KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA PERNIKAHAN USIA AWALeprints.ums.ac.id/71744/9/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...
Transcript of KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA PERNIKAHAN USIA AWALeprints.ums.ac.id/71744/9/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...
KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA
PERNIKAHAN USIA AWAL
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II
pada Jurusan Magister Profesi Psikologi Sekolah Pascasarjana
Oleh:
PITTARI MASHITA PURNOMO
T100 155 009
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSURAKARTA
2019
i
HALAMAN PERSETUJUAN
KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA PERNIKAHAN USIA AWAL
PUBLIKASI ILMIAH
oleh :
PITTARI MASHITA PURNOMO
T 100 155 009
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Pembimbing Utama
Dr. Nanik Prihartanti, M.Si., Psikolog
NIK. 540
Pembimbing Pendamping
Wisnu Sri Hertinjung, S.Psi., M.Psi., Psikolog
NIK. 877
ii
HALAMAN PENGESAHAN
KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA PERNIKAHAN USIA AWAL
OLEH:
PITTARI MASHITA PURNOMO
T 100 155 009
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Magister Psikologi Profesi
Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Sabtu, 9 Februari 2019
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Dr. Nanik Prihartanti, M.Si., Psikolog
(Ketua Dewan Penguji)
(______________________)
2. Wisnu Sri Hertinjung, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog
(Anggota I Dewan Penguji)
(_______________________)
3. Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Psi., Psikolog
(Anggota II Dewan Penguji)
(_______________________)
Mengetahui,
Dekan Fakultas Psikologi
Susatyo Yuwono, M.Si, Psikolog
NIK. 838
Ketua Program
Magister Psikologi Profesi
Dr.Lisnawati Ruhaena, M.Si., Psikolog
NIK. 836
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis
diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas,
maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 13 Januari 2019
Yang menyatakan
PITTARI MASHITA PURNOMO
T 100 155 009
1
KEMATANGAN EMOSI ISTRI PADA PERNIKAHAN USIA AWAL
Abstrak
Salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pernikahan adalah kematangan
emosi. Seorang istri perlu memiliki kematangan emosi yang baik dalam
kehidupan pernikahan agar terwujud keluarga yang bahagia. Penelitian ini
bertujuan untuk (1) memahami kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal,
(2) memahami dan merancang program intervensi psikologi yang sesuai dan tepat
untuk meningkatkan kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode kuesioner dan
wawancara. Informan penelitian ditetapkan dengan cara purposive sampling
dengan jumlah 6 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kematangan
emosi istri pada pernikahan usia awal cenderung rendah, yang ditandai dengan
sikap istri yang mudah mengekspresikan emosi marah pada suami dan anak,
ketika masalah muncul cenderung tidak mau melayani suami, pergi dari rumah
tanpa ijin suami, meluapkan kekesalan di sosial media, merasa suami kurang
perhatian, ketidaksiapan memiliki momongan, mudah menyalahkan diri dan
merasa stress. (2) Hal yang dapat meningkatkan kematangan emosi istri pada
pernikahan usia awal ialah pemahaman mengenai peran dan kewajiban sebagai
istri dalam kehidupan pernikahan, terciptanya komunikasi yang efektif, dan
adanya sikap bersyukur yang dimiliki istri. (3) Rancangan intervensi yang sesuai
untuk meningkatkan kematangan emosi ialah pelatihan menjadi istri yang
mempesona.
Kata kunci: emosi, kematangan emosi, kematangan emosi istri, pernikahan.
Abstract
One of the factors that influence marriage happiness is emotional maturity. A wife
needs to have good emotional maturity in married life so that a happy family can
be realized. This study aims to (1) understand the emotional maturity of wives at
early marriage, (2) understand and design appropriate and appropriate
psychological intervention programs to improve the emotional maturity of wives
at early marriage. Data collection in this study using questionnaire and interview
methods. Research informants were determined by purposive sampling with a
total of 6 respondents. The results showed that (1) the wife's emotional maturity at
the early marriage tended to be low, which was marked by a wife's attitude that
easily expressed anger towards her husband and child, when problems arose
tending not to serve her husband, leaving home without the husband's permission,
overflowing on social media, feel that husbands are lacking in attention,
unpreparedness to have a baby, easy to blame themselves and feel stressed. . (2)
What can increase the emotional maturity of a wife at an early age marriage is an
understanding of the role and obligations as a wife in married life, the creation of
effective communication, and the existence of a grateful attitude that the wife has.
(3) The design of an appropriate intervention to increase emotional maturity is
training to be a charming wife.
Keywords: emotions, emotional maturity, wife's emotional maturity, marriage.
2
1. PENDAHULUAN
Kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran,
merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya
dan orang lain, selain itu dapat menyatakan emosinya secara konstruktif dan
kreatif. Ditinjau dari segi psikologis, pasangan yang akan membina rumah tangga
harus matang keadaannya. Matang disini adalah pasangan telah dapat
mengendalikan emosinya, dan dengan demikian dapat berpikir secara baik. Dapat
menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan yang objektif. Kematangan emosi
dan pikiran akan saling kait-mengait. Bila seseorang telah matang emosinya,
dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang,
berpikir secara baik, berpikir secara objektif. Dalam kaitannya dengan
perkawinan, jelas hal ini dituntut agar suami istri dapat melihat permasalahan
yang ada dalam keluarga dengan baik dan objektif. Menurut Walgito (2002) salah
satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pernikahan adalah kematangan
emosi antara suami dan istri.
Seseorang yang sudah memasuki gerbang pernikahan umumnya
menginginkan keluarga yang bahagia. Secara psikologis, pernikahan merupakan
sarana yang dapat memenuhi kebutuhan manusia baik terhadap keinginan untuk
dilindungi, rasa aman, cinta, dan kasih sayang. Kertamuda (2009)
mengungkapkan bahwa tujuan pernikahan antara lain adalah konformitas, cinta,
hubungan seks yang halal, memperoleh keturunan yang sah, faktor emosional dan
ekonomi, kebersamaan, sharing, keamanan, dan harapan-harapan lain. Pada usia
awal pernikahan kurang lebih mencakup 10 tahun pertama perkawinan sering
muncul berbagai permasalahan antara suami dan istri. Dalam masa ini early years
merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua belah pihak,
pasangan suami istri berusaha saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau
memulai karir, merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran
masing-masing dalam menjalani hubungan suami istri. Suami istri harus saling
belajar satu sama lain untuk mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu
krisis yang disebabkan karena masing-masing kurang memainkan peranan baru
baik suami istri ataupun sebagai orang tua (Walgito, 2000).
3
Pengadilan Agama Solo mencatat selama kurun 2016 terdapat 796 kasus
perceraian. Dari 796 kasus perceraian pada 2016, sebanyak 404 kasus dipicu oleh
tidak adanya tanggung jawab. Kemudian disusul oleh faktor ketidakharmonisan
sebanyak 179 kasus. Faktor krisis akhlak, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dan ekonomi juga meningkat tajam. Pada 2015, terjadi 34 kasus
perceraian karena krisis akhlak. Jumlah itu meningkat jadi 61 kasus pada 2016.
Sedangkan faktor ekonomi menjadi sebab terjadinya 10 kasus perceraian pada
2015 dan meningkat menjadi 43 kasus pada 2016. Terjadinya perceraian tersebut
mayoritas dilakukan oleh istri sebagai penggugat, serta mayoritas lebih dari 50%
perceraian terjadi pada pasangan yang usia pernikahan kurang lebih lima tahun
dan rata-rata usia pasangan dibawah 30 tahun. Selanjutnya peneliti melakukan
penggalian data awal lebih lanjut melalui wawancara yang dilakukan pada bulan
Desember 2017 dan Januari 2018 untuk menggali permasalahan ditahun awal
pernikahan, berdasarkan hasil penggalian data awal diungkapkan bahwa 4 wanita
atau istri lebih mudah mengekspresikan emosi ketika menghadapi masalah rumah
tangga, hal ini ditunjukkan ketika menghadapi permasalahan lebih sering
memarahi suami, ngomel, ada pula yang secara tidak sengaja membentak anak.
Kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk
menjaga kelangsungan pernikahan. Mappiare (1983) mengungkapkan pasangan
yang memiliki kematangan emosi akan dapat membina hubungan akrab,
mengembangkan penyesuaian diri, mencegah dan mampu memecahkan konflik
rumah tangga sehingga hidup keluarga pasangan suami istri yang bersangkutan
dapat langgeng dan kokoh. Lebih tinggi tingkat kematangan emosi yang dicapai
seseorang semakin besar pula kemungkinan kokoh dan langgengnya hidup
perkawinan mereka.
Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti tertarik untuk menggali lebih
dalam mengenai kematangan emosi pada istri di usia awal pernikahan. Mengingat
peran seorang istri di dalam kehidupan rumah tangga sangatlah penting yaitu
sebagai pendamping suami di setiap saat dan ibu yang siap menjaga serta
membimbing anak-anaknya (Dewi dalam Lestari, 2015). Oleh sebab itu seorang
4
istri perlu memiliki kematangan emosi yang baik dalam kehidupan pernikahan
agar terwujud keluarga yang bahagia.
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka tujuan yang
menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini, yaitu: memahami kematangan emosi
istri pada pernikahan usia awal serta memahami dan merancang program
intervensi psikologi yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan kematangan emosi
istri pada pernikahan usia awal.
2. METODE
Gejala penelitian dalam penelitian ini adalah kematangan emosi istri pada
pernikahan usia awal. kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal ialah
suatu keadaan dimana individu (istri) memiliki pemahaman terhadap dirinya,
memiliki kontrol diri, stabil, mampu berpikir secara objektif, mengontrol dan
mengekspresikan emosi dengan baik sesuai dengan keadaan yang dihadapi
sehingga mampu beradaptasi dengan situasi/ orang lain dengan cara yang tepat,
serta mampu mencegah dan mengatasi konflik yang dihadapi guna mencapai
tujuan pernikahan yang bahagia.
Kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal akan diungkap
menggunakan metode kuesioner dan wawancara, sehingga tercapai tujuan untuk
mengetahui dan memahami kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal,
serta hal-hal yang mempengaruhi kematangan emosi istri. Kemudian data tersebut
digunakan sebagai acuan untuk menyusun program intervensi yang dapat
diaplikasikan untuk meningkatkan kematangan emosi istri pada pernikahan usia
awal.
Pemilihan informan ini dilakukan secara purposive sampling dengan
jumlah informan sebanyak 6 orang. Dalam penelitian ini menggunakan cirri-ciri
informan penelitian antara lain, wanita yang sudah menikah (Istri) yang tinggal di
Karesidenan Surakarta, memiliki suami, tinggal satu rumah dengan suami, usia
pernikahan dibawah 10 tahun, usia dibawah 35 tahun.
5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pandangan mengenai pernikahan usia awal menurut subjek berdasarkan hasil
penelitian ialah pernikahan merupakan suatu takdir Allah dimana dua orang
dipertemukan untuk menjalani kehidupan bersama dalam suka dan duka,
membangun komitmen berdua untuk mencapai tujuan pernikahan. Meski
demikian, kehidupan pernikahan tidak lepas dari munculnya permasalahan.
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan pernikahan subjek ialah perbedaan
sikap dan kebiasaan pasangan, peralihan peran, manajemen waktu, komunikasi,
ekonomi, keterbukaan, keterlibatan keluarga, kesiapan memiliki momongan, serta
tuntutan dari istri pada suami. Munculnya permasalahan tersebut dalam kehidupan
pernikahan disebabkan oleh masa penyesuaian, komunikasi yang kurang efektif,
suami sibuk bekerja, merasa suami kurang perhatian, hubungan dengan keluarga
yang kurang baik, belum selesai sekolah, serta sikap istri yang suka mengungkit
masalah. Munculnya berbagai permasalahan dalam kehidupan pernikahan
memberikan dampak yang dialami subjek antara lain, muncul pikiran negatif,
pisah kamar dengan suami, stress dan tertekan, marah pada suami, hubungan
dengan orang tua renggang, pergi tanpa ijin suami, membentak anak, malas
melakukan kegiatan, diluapkan di sosial media.
Pada usia awal pernikahan kurang lebih mencakup 10 tahun pertama
perkawinan sering muncul berbagai permasalahan antara suami dan istri. Dalam
masa ini early years merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi
kedua belah pihak, pasangan suami istri berusaha saling mengenal, menyelesaikan
sekolah atau memulai karir, merencanakan kehadiran anak pertama serta
mengatur peran masing-masing dalam menjalani hubungan suami istri (Walgito,
2000). Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul dalam sepuluh tahun
awal kehidupan pernikahan memberikan dampak antara lain kebahagiaan dalam
pernikahan, masalah sosial, pekerjaan, anak, dan berujung dengan perceraian.
Gambaran kematangan emosi pernikahan usia awal berdasarkan hasil
penelitian antara lain pertama, pemahaman diri sebagai istri yang memiliki tugas
dan kewajiban dalam melayani anak dan suami dengan baik. Akan tetapi ketika
masalah muncul istri cenderung tidak melayani suami dan meminta suami
6
menyiapkan keperluannya sendiri. Selain itu merupakan istri yang moody ditandai
dengan mudah emosi dengan suami baik secara langsung maupun melalui pesan,
suka mengungkit masalah, serta merasa tidak patuh pada suami. Menurut Hurlock
(2004), pemahaman diri yaitu memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak
berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu
mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan
mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.
Kedua, yang dipikirkan ketika masalah muncul yaitu merasa kurang ada
buat suami, sempat belum siap memiliki anak karena masih memikirkan kuliah
dan orang tua, cara mengatasi masalah, merasa dipermainkan suami, dianggap
tidak patuh, kekeh dengan pendirian, menganggap suami berubah, langsung cerita
ke suami/ mengeluh. Kemudian yang dirasakan subjek ialah sedih, kecewa,
merasa tidak terima, menyalahkan diri sendiri, stress, tertekan, marah. Menurut
Walgito (2010), seseorang yang telah matang secara emosi mempu berpikir secara
objektif sehingga akan memiliki sifat sabar, penuh pengertian dan mempunyai
toleransi yang baik. Orang yang matang emosinya tidak bersifat impulsif. Ia akan
merespon stimulus dengan cara berpikif baik, mengatur pikirannya untuk
memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya. Orang yang bresifat
impulsif bertindak sebelum berpikir dengan baik merupakan tanda bahwa
emosinya belum matang. Stabilitas emosi yaitu tidak adanya perubahan emsosi
yang berlangsung cepat dan tidak menentu, adanya kepercayaan diri, serta
perasaan optimis dan realistis (Hurlock, 2009).
Ketiga, reaksi yang muncul ketika menghadapi masalah diam, ngomel
atau marah-marah dengan suami, melampiaskan emosi pada suami melalui chat,
meremehkan nasehat suami, memarahi anak, menyindir di sosial media, tidak
betah dirumah dan pergi tanpa ijin suami, merasa suami tidak pengertian,
menyalahkan keadaan pada suami, tidak mematuhi pernintah suami. Namun
reaksi lain yang muncul berupa introspeksi diri dan mencari waktu yang pas untuk
berbicara. Menurut Hurlock (2004), individu tidak meledakkan emosinya
dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat
7
melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya
matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial
atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara
yang dapat diterima secara sosial. Singh & Bhargava (2005) mengungkapkan
bahwa kestabilan emosi mengacu pada karakteristik seseorang yang tidak
memungkinkan untuk bereaksi berlebihan atau perubahan mood secara mendadak
yang disebabkan situasi yang emosional. Orang dengan emosi yang stabil dapat
melakukan apa yang dituntut darinya dalam situasi tertentu. Tetapi ketidakstabilan
emosi adalah kecenderungan untuk berubah dengan cepat, tidak bisa diandalkan,
cepat marah, keras kepala, kurangnya kapasitas untuk menyelesaikan tugas serta
mencari bantuan untuk menyelesaikan suatu tugas/masalah.
Keempat, Cara yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang
muncul antara lain berdiam diri terlebih dahulu sambil mencari solusi yang tepat,
mengingatkan pasangan, melakukan sesuatu untuk pasangan tanpa membuatnya
tersinggung, sindirian halus, mengetahui kebutuhan pasangan, membicarakan
berdua, berusaha mengalah, sebelum tidur meluangkan waktu untuk bicara,
menghubungi suami terlebih dahulu, melalui perantara anak, suami mendekati dan
mengajak bicara, biasanya masalah tidak selesai saat itu sehingga berlarut-larut
dan situasi yang kurang tepat untuk diskusi. Selain itu cara yang dilakukan untuk
mengelole emosi ialah menenangkan diri, mencari kegiatan lain, diskusi dengan
suami dengan situasi yang tepat, pelampiasannya yaitu senang dikantor, atau pergi
main, dipendam, memikirkan masalah terus menerus. Singh & Bhargava (2005),
ketidakstabilan emosi adalah kecenderungan untuk berubah dengan cepat, tidak
bisa diandalkan, cepat marah, keras kepala, kurangnya kapasitas untuk
menyelesaikan tugas serta mencari bantuan untuk menyelesaikan suatu
tugas/masalah. Selanjutnya Walgito (2010) mengungkapkan bahwa individu
mampu bertanggung jawab dengan baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah
frustasi, dan dapat menghadapi masalah dengan penuh perhatian.
Ke lima, penerimaan pada pasangan yaitu ditandai dengan pandangan
subjek terhadap suami yaitu cuek, kurang romantic, keras, sulit mengekspresikan
keinginan, jahil, tanggung jawab, belum sepenuhnya terbuka, pendiam, pendengar
8
yang baik, fokus pada kewajibannya. Kemudian harapan yang diungkapkan
subjek kepada suami antara lain lebih perhatian pada istri, bisa romatis seperti
awal menikah, waktu dan komunikasi lebih intens, lebih terbuka dan jujur, suami
lebih cekatan, disiplin, lebih inisiatif, meminimalisir handphone, suami ada untuk
subjek, saling menjaga dan tanggung jawab. Menurut Hurlock (2009), cinta yaitu
keadaan seseorang dalam hal kepemilikan sesuatu yang disukai dan dicintainya.
Dalam diri individu ada kemampuan untuk mengelola perasaan suka dan cinta
secara baik. Selain itu intimasi yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan yang
akrab dengan orang lain, tidak mengalami nervous, grogi dan kesulitan ketika
memulai perkenalan dalam bergaul. Inidividu yang matang secara emosi dapat
menerima keadaan dirinya sendiri maupun orang lain dengan apa adanya, sesuai
dengan keadaan objektifnya. Orang yang matang emosinya dapat berpikir secara
objektif dan baik (Walgito, 2010).
Keenam, Reaksi ke lingkungan ketika menghadapi masalah antara lain
merasa cemburu ketika mertua mendekati anak, berusaha cuek dan tidak
menanggapi perkataan keluarga, masalah pekerjaan tidak terbengkalai, saling
emosi sehingga maksud pembicaraan tidak tersampaikan, anak menjadi perantara
ketika terjadi konflik, menjauh, melihat situasi kadang memberi penjelasan namun
terkadang ikut emosi, dilampiaskan ke sosial media sehingga mendapat komentar
dari orang lain, dipekerjaan cenderung diam namun tetap bekerja. Singh &
Bhargava (2005) menyatakan bahwa kematangan emosi salah satunya dapat
dilihat melalui penyesuaian sosial, penyesuaian sosial mengacu kepada proses
interaksi antara kebutuhan seseorang dan tuntutan lingkungan sosial dalam situasi
tertentu, sehingga mereka dapat mempertahankan dan menyesuaikan hubungan
yang diinginkan dengan lingkungan. Oleh karena itu dapat digambarkan sebagai
hubungan yang harmonis seseorang dengan dunia sosialnya. Sedangkan orang
yang tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya menunjukkan
kurangnya adaptasi sosial, menunjukkan kebencian, menyombongkan diri,
pembohong dan sering lalai.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hal-hal yang
dominan dalam mempengaruhi kematangan emosi subjek ialah memahami peran
9
dan tanggung jawab sebagai istri dalam kehidupan pernikahan, mampu
berkomunikasi dengan baik, dan menyukuri segala kondisi yang dialami. Melalui
hal tersebut nantinya akan dirancang suatu program intervensi psikologis untuk
mengatasi masalah kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal.
Rancangan program intervensi yang diusulkan oleh peneliti adalah
pelatihan “Menjadi Istri yang Mempesona”. Tujuan dari pelatihan ini secara
umum adalah meningkatkan kematangan emosi pada istri agar dalam menjalani
kehidupan pernikahan dapat merasakan bahagia serta meminimalisir munculnya
konflik, sehingga tujuan pernikahan dapat tercapai. Selanjutnya, secara khusus
pelatihan ini memiliki tujuan yaitu untuk membekali peserta (istri) dengan
pengetahuan dan keterampilan mengenai peran dan kewajiban istri, komunikasi
efektif, rasa syukur dan regulasi emosi yang akan membantu dan mendukung
dalam menjalani peran sebagai istri dalam kehidupan pernikahan. Sasaran dalam
pelatihan ini ialah istri yang memiliki usia pernikahan dibawah 10 tahun dan
wanita yang akan memasuki gerbang pernikahan.
4. PENUTUP
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yang dirumuskan sebagai
berikut: Pertama, kematangan emosi istri pada pernikahan usia awal cenderung
kurang matang, hal ini ditunjukkan dengan sikap istri yang mudah
mengekspresikan emosi marah pada suami dan anak, ketika masalah muncul
cenderung tidak mau melayani suami, pergi dari rumah tanpa ijin suami,
meluapkan kekesalah di sosial media, merasa suami kurang perhatian, kesiapan
memiliki momongan, mudah menyalahkan diri dan merasa stress. Gambaran
kehidupan pernikahan usia awal merupakan masa-masa penyesuaian antara istri
dan suami. Permasalahn yang muncul terkait dengan perbedaan sikap dan
kebiasaan pasangan, peralihan peran, manajemen waktu, komunikasi, ekonomi,
keterbukaan, keterlibatan keluarga, kesiapan memiliki momongan, serta tuntutan
dari istri pada suami. Hal tersebut disebabkan oleh masa penyesuaian, komunikasi
yang kurang efektif, manajemen waktu, merasa suami kurang perhatian, hubungan
dengan keluarga yang kurang baik, belum selesai sekolah, serta sikap istri yang
10
suka mengungkit masalah. Sehingga memberikan dampak dalam kehidupan
pernikahan antara lain, muncul pikiran negatif, pisah kamar dengan suami, stress
dan tertekan, marah pada suami, hubungan dengan orang tua renggang, pergi
tanpa ijin suami, membentak anak, malas melakukan kegiatan, diluapkan di sosial
media.
Kedua, hal-hal yang dapat meningkatkan kematangan emosi istri pada
pernikahan usia awal antara lain pemahaman mengenai peran dan kewajiban
sebagai istri dalam kehidupan pernikahan, terciptanya komunikasi yang efektif,
dan adanya sikap bersyukur yang dimiliki istri.
Ketiga, rancangan intervensi psikologi yang diusulkan peneliti
berdasarkan hasil penelitian ini ialah “Pelatihan Menjadi Istri yang Mempesona”
yang berisikan mengenai psikoedukasi peran dan tanggung jawab istri,
membangun komunikasi yang efektif, kebersyukuran, dan cara mengelola emosi.
Sasaran dalam pelatihan ini ditujukan kepada istri dengan usia pernikahan
dibawah 10 tahun. Selain itu, pelatihan ini juga bisa digunakan untuk wanita/calon
istri yang akan menikah.
DAFTAR PUSTAKA
Ekasari, E. (2012). m.detik.com. Retrieved November 2018, from m.detik.com:
https://m.detik.com/wolipop/read/2012/12/17/183255/2120814/854
diakses pada 17 Desember 2018
Herdiansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hurlock, E. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Kertamuda, F. E. (2009). Konseling Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia.
Jakarta: Salemba Humanika.
Khairani, R., & Putri, D. E. (2008). Kematangan Emosi Pada Pria Dan Wanita
Yang Menikah Muda. Jurnal Psikologi vol 1 no 2 .
krjogja. (2017). 11 Kasus KDRT Terjadi di Sukoharjo. Retrieved from 11 Kasus
KDRT Terjadi di Sukoharjo: http://krjogja.com/web/news/read/42204/11_
Kasus_KDRT_Terjadi_di_Sukoharjo 27 Agustus 2018
11
Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Murtadho, A. (2009). Konseling Perkawinan Perspektif Agama. Semarang:
Walisongo Press.
Muslimin. (2002). Metodologi Penelitian Bidang Sosial Edisi 1. Malang: Bayu
Media.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Fieldman, S. D. (2008). Human Development
(Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana.
Solopos. (2017). Retrieved from Perceraian Solo: Tiap Hari, 2-3 Pasutri Bercerai:
http://www.solopos.com/2017/01/04/perceraian-solo-tiap-hari-2-3-pasutri-
bercerai-781663 diakses pada 20 Desember 2018
Talukdar, R. R., & Das, J. (2013). A Study on Emotional Maturity Among
Arranged Marriage Couples. International Journal of Humanities and
Social Science Invention , Volume 2 Issue 8 16-18.
Walgito, B. (2004). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi
Offset.