Kelompok x Mengenai Tbc
-
Upload
yessy-wirani-fardhana -
Category
Documents
-
view
44 -
download
7
description
Transcript of Kelompok x Mengenai Tbc
PROPOSAL KEGIATAN PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN KELOMPOK X TAHUN 2005/2006
PENGETAHUAN MASYARAKATKELURAHAN X KECAMATAN Y PROPINSI
SUMATERA SELATAN TENTANGTUBERKULOSIS PARU
Disusun Oleh :
KELOMPOK X
Esa Indah Ayudia Tan (04033100013)Prima Mediyanti (04033100029)Ronalisa (04033100049)Richard (04033100052)Primagintara (04033100075)Irwani Purnamasari (04033100076)Indah Yuliati (04033100091)Lucky Aryati (04033100099)Ali Ridho (04033100104)Ria Mareza (04033100111)Indah Sari (04033100115)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2005/2006
OUTLINE PROPOSAL
I. Judul : PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP TB PARU
II. PendahuluanII.1 Latar belakang
Sejarah penyakit TB paru Prevalensi penyakit TB paru Faktor Pengetahuan Masyarakat
II.2 Rumusan masalahII.3 TujuanII.4 Manfaat
III. Tinjauan PustakaIII.1 Biomedik III.1.1 Definisi III.1.2 Etiologi III.1.3 Patogenesis III.1.4 Klasifikasi III.1.5 Gejala Klinik
III.1.6 Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan Laboratorium
III.1.7 Pengobatan Obat Anti TB (OAT) Pembedahan Paru
III.1.8 Pencegahan Pencegahan pada dewasa Pencegahan pada anak
III.2 Epidemiologi TuberkulosisIII.3 Program Pemerintah dalam Penanggulangan TB Paru III.3.1 DOTS III.3.2 Gerdunas (Gerakan Terpadu Nasional)
IV. Metode PenelitianIV.1 Jenis PenelitianIV.2 Lokasi dan Waktu PenelitianIV.3 Populasi dan SampelIV.4 Variabel PenelitianIV.5 Definisi OperasionalIV.6 Metode Pengumpulan DataIV.7 Penyajian dan Analisis Data
I. JUDUL : Pengetahuan Masyarakat Kelurahan X Kecamatan Y Provinsi
Sumatera Selatan Tentang Penyakit Tuberkulosis Paru
II. PENDAHULUAN
II.1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis paru sudah ada sejak jaman purbakala. Hal ini terbukti
dari penemuan-penemuan arkeologi, tulisan kuno, sampai dengan pahatan-pahatan
pada candi yang tersebar di seluruh dunia. Selama berabad-abad penyakit ini
dianggap masyarakat sebagai penyakit herediter, dan baru sekitar tahun 1800-an,
Villemin membuktikan untuk pertama kalinya secara ilmiah bahwa penyakit TB
paru adalah penyakit menular. Selanjutnya disusul penemuan-penemuan lain yang
sampai sekarang masih digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit TB paru,
seperti stetoskop, sinar X, serta tes tuberculin (mantoux).
Pada tahun 1998, seiring datangnya krisis ekonomi jumlah penduduk
Indonesia yang terkena penyakit TB paru pun semakin melonjak. Menurut Yayasan
Indonesia Sehat (YPIS), jumlah penderita penyakit TB paru di Indonesia kini
mencapai 6,7 juta orang. Data organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2002
menunjukkan bahwa kematian karena TB paru di Indonesia ± 175.000 orang per
tahun. Di dunia, TB paru juga masih menjadi permasalahan besar. WHO
memperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit TB paru. Lebih
mengerikan lagi angka kematian akibat penyakit TB paru juga masih tinggi, jauh
lebih tinggi dibandingkan AIDS dan malaria. Diperkirakan ± 8000 penderita
meninggal setiap hari di dunia akibat penyakit TB paru, atau 2-3 juta setiap tahun.
Di masa mendatang masalah penyakit TB paru akan semakin besar karena
diperkirakan terdapat 10 juta kasus baru setiap tahunnya diseluruh dunia. Dari
angka kejadian tersebut, 90% terjadi di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Menurut badan statistik, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar
jumlah penderita penyakit TB paru di dunia setelah India dan Cina. Di Sumatera
Selatan berdasarkan SKRT tahun 1997 tercatat angka mortalitas akibatTB paru
sebesar 29,04%.
Sekarang ini, vaksin pencegah dan berbagai Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
untuk menyembuhkan penyakit TB paru telah ditemukan dan digunakan, sehingga
penyakit TB paru tidak mustahil untuk disembuhkan. Sayangnya, meskipun
berbagai vaksin dan obat anti tuberkulosis telah ditemukan, hasil yang diperoleh
belum maksimal. Buktinya, jumlah penderita TB paru di Indonesia yang masih
tinggi. Ada beberapa faktor yang mungkin mendasari peningkatan jumlah penderita
TB paru di Indonesia antara lain pengobatan yang tidak teratur, tingginya tingkat
resistensi obat anti tuberkulosis, dan sulitnya mendeteksi kasus TB paru secara dini.
Selain faktor tersebut, diduga pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB paru
juga turut berpengaruh. Oleh karena itu, kami ingin mengetahui sejauh mana
pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB paru sehingga dapat menunjang
usaha-usaha untuk memberantas penyakit TB paru.
II. 2. Rumusan Masalah
Sejauh mana hubungan pengetahuan masyarakat tentang penyakit
tuberkulosis paru ?
II. 3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang TB paru
2. Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat mengenai program-
program yang dilaksanakan pemerintah untuk memberantas TB paru
II. 4. Manfaat
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah bagi dunia
kedokteran dan dapat digunakan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis
paru
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak Puskesmas
dan pemerintahan dalam program pemberantasan penyakit TB paru
III. TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Biomedik
III.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis, yang biasanya ditularkan melalui
inhalasi percikan ludah (droplet), orang-ke-orang, dan mengkolonisasi bronkiolus
atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke tubuh melalui saluran cerna, ingesti
susu tercermar yang tidak dipasteurisasi, atau kadang-kadang melalui lesi kulit.
(Buku saku patofisiologi). Sebagian besar kuman (> 80%) Mycobacterium
tuberkulosis menyerang paru dan sebagian kecil mengenai organ tubuh lain
(Braunwald et. al., 2002, Depkes RI, 2002).
III.1.2 Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab penyakit TB termasuk
ke dalam famili Mycobacterium dan genus Mycobacterium. (buku fotokopi lisa)
M. tuberkulosis adalah parasit intraseluler fakultatif yang menimbulkan penyakit
dengan pertumbuhan dalam makrofag, tetapi dapat juga berproliferasi dalam
ruangan ekstraseluler dari jaringan yang terinfeksi, dan mampu in vitro dalam
sistem biakan bebas sel. (buku penyakit infeksi)
M. tuberkulosis merupakan aerob obligat yang pertumbuhannya dibantu
oleh tekanan CO5 5-10%, tetapi dihambat oleh pH di bawah 6,5 dan asam lemak
rantai panjang. Basili tuberkel tumbuh hanya pada suhu 35-37 derajat Celcius,
yang sesuai dengan kemampuannya menginfeksi organ dalam, terutama paru.
Mikroorganisme ini tidak membentuk spora, basilus tidak bergerak, dinding
selnya mengandung banyak lipid, dan berukuran sekitar 0,4x4,0 m. Lipid
menyusun 25-60% berat kering organisme, bila dibandingkan dengan 0,5% untuk
bakteri gram positif dan 3% untuk bakteri gram negatif. Basilus tuberkel tumbuh
sangat lambat, waktu gandanya adalah 12-20 jam, bila dibandingkan dengan
kebanyakan bakteri patogen lain yang kurang dari 1 jam.
III.1.3 Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi buruk dan gelap yang mengakibatkan kuman dapat tahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang
sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel < 5μm. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari cabang trakeo-bronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dan berkembang
biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau focus Ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti
paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri Pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional =
kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1. sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (ini yang banyak terjadi).
2. sembuh dengan meningggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5
mm dan kurang lebih 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
3. berkomplikasi dan menyebar secara :
a. perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,
b. secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus,
c. secara limfogen, ke organ tubuh lainnya,
d. secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.
Tuberkulosis Post-Primer (Tuberculosis Sekunder)
Kuman yang dormant Pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,
alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis post-primer
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-
paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-
sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.
Berdasarkan jumlah kuman, virulensi, dan imunitas pasien sarang dini ini
dapat menjadi :
1. direabsorpsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. sarang yang mula-mula meluas tapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar, akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast
dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadilah
perkijuan dan kavitas karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin
dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi
lebih kecil, tetapi berisi bakteri yang sangat banyak
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
1. Sarang yang sudah sembuh.
Bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2. Sarang aktif eksudatif.
Bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna
3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh.
Bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan
terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang
sempurna.
III.1.4 Klasifikasi
Beberapa tahun belakangan ini Unit Paru RS Persahabatan Jakarta telah
menetapkan klasifikasi TB paru. Tujuan membuat klasifikasi ini untuk
mendapatkan keseragaman dalam diagnosis, pengobatan maupun catatan medik,
sehingga dapat diikuti oleh tim pelayanan kesehatan manapun.
Klasifikasi ini berdasarkan atas hubungan manusia dengan kuman TB yang
dinyatakan dalam :
1. Hasil pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan mikroskopik langsung (M)
Hasil biakan (B)
2. Gambaran radiologik
Radiologik (Rö) + : yang dianggap relevan untuk TB paru
Radiologik (Rö) – : yang dianggap tidak relevan untuk TB paru
Juga dicatat: - stabil/membaik/memburuk (seri foto)
- kavitas (+)/(–)
3. Keadaan klinis penderita
1. Klinis (+): tanda-tanda yang dianggap relevan untuk TB paru
2. Klinis (Rö): tanda-tanda yang dianggap tidak relevan untuk TB paru
4. Riwayat pengobatan
Sejak kapan mendapat pengobatan
Sejak kapan selesai pengobatan
Pengobatan adekuat/tidak
Belum pernah mendapat pengobatan.
Berdasarkan pada faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, maka TB
paru digolongkan dalam 3 kelas, yaitu : (majalah cermin kedokteran + buku
penyakit dalam)
1. TB paru
Mencakup semua kasus TB paru aktif, prosedur dignostik yang sudah
lengkap, semua kasus yang sedang dalam penyelesaian pengobatan, walaupun
M/B (-) dan penderita-penderita dengan M/B (-), setelah pengobatan OAT
jelas ada perbaikan klinis maupun radiologik.
2. Bekas TB paru
Mencakup penderita dengan M/B (-), Rö (-) atau Rö (+), stabil pada seri foto,
Klinis (–), mungkin ada riwayat TB yang lampau dan pengobatan (–),
adekuat, tidak adekuat, atau tidak teratur.
3. TB paru tersangka.
Mencakup penderita yang: M (–)/B belum ada hasil atau belum diperiksa, Rö
(+) dengan kavitas (+) atau (–), klinis (+) dan pengobatan (–) atau (+).
Penderita yang masuk dalam kelas ini, semua pemeriksaan diagnostik harus
dilaksanakan, paling lambat dalam 3 bulan harus dapat ditentukan sebagai TB
paru/bekas TB paru.
Dalam upaya diagnostik, penderita TB paru tersangka dibagi 2 golongan:
a. Diobati
- Rö dan klinis sangat berat menjurus pada TB paru
- Penderita dengan tanda-tanda komplikasi seperti: batuk darah, efusi pleura,
DM yang tak terkontrol, dsb.
b. Tidak diobati
Penderita dengan Rö dan klinis tidak kuat menjurus pada TB paru
III.1.5 Gejala Klinik
Gejala utama TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa
sputum. Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam.
Tapi banyak juga ditemukan pasien TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:
Demam.
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-440xC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian timbul kembali. Hilang timbul demam ini
berlangsung terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah lepas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Batuk/Batuk Darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni
setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan dari peradangan semula. Sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Selanjutnya batuk
darah yang disebabkan pembuluh darah pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.
Sesak Napas
Pada penyakit ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru
Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah mencapai pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepas napasnya.
Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan semakin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara
tidak teratur.
III.1.6 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subferis),
badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda : (kapita selekta)
infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain)
penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
sekret di saluran napas
suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronkus
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan foto toraks dan lateral. Gambaran
foto toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu:
Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)
Adanya kavitas, tunggal atau ganda
Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru
Adanya kalsifikasi
Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
Bayangan milier
Pemerikasaan radiologi dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomografi Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih pasti dibandingkan radiologi biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-
perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital, dan koronal.
3. Pemeriksaan laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-
kadang meragukan dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru dimulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung
jenis pergeseran ke kiri, jumlah limfosit masih di bawah normal dan laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal, jumlah limfosit masih tinggi dan laju endap darah mulai
turun ke arah normal.
Sputum
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di
samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas).
Namun, kuman BTA kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru
dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar,
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
- pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
- pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresensi (pewarnaan
khusus)
- pemeriksaan dengan biakan (kultur)
- pemeriksaan terhadap resistensi obat
Tes tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes
Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified
Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU (Intermediate strength). Bila
ditakutkan reaksi hebat dengan 5 TU masih dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU
(first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 TU masih memberikan hasil
negatif, dapat diulangi dengan 250 TU (second strength). Bila dengan 250 TU
masih memberikan hasil yang negatif berarti tuberkulosis dapat disingkirkan.
Umumnya tes Mantoux dengan 5 TU saja sudah cukup berarti.
Pada orang yang kena infeksi primer akan terlihat reaksi setelah 48-72
jam dari penyuntikan, berupa kemerahan dan indurasi. Uji tuberkulin positif
bila indurasi yang terjadi berukuran lebih dari 10 mm.
III.1.7 Pengobatan
1. Obat anti TB (OAT)
OAT harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan pemberian OAT,
antara lain:
Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin
melalui kegiatan bakterisid
Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan
kegiatan sterilisasi
Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya
tahan imunologis
Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan
populasi kuman yang membelah dengan cepat
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka
pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional
OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin ®,
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol
(E) yang bersifat bakteriostatik. Penilaian keberhasilan pengobatan didasarkan
pada hasil pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan klinis. Kesembuhan TB
paru yang baik akan memperlihatkan sputum BTA (-), perbaikan radiologi,
dan menghilangnya gejala.
2. Pembedahan paru
Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang.
Indikasi pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relatif.
Indikasi mutlak pembedahan adalah:
semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap
positif
pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
Indikasi relatif pembedahan adalah:
a. pasien dengan sputum negatif dan batuk-batuk darah berulang.
b. kerusakan salah satu paru atau lobus dengan keluhan.
c. sisa kavitas yang menetap
III.1.8. Pencegahan
1. Langkah-langkah untuk mencegah penyakit TB paru pada anak
a. Pencegahan Primer
Termasuk dalam kelompok ini adalah pencegahan dini terhadap TB paru,
yaitu pemberian vaksinasi BCG dan peningkatan status gizi, serta
mencegah transmisi dari basil TB ke tubuh anak.
b. Pencegahan Sekunder
Pada orang yang sudah terlanjur sakit perlu juga diperhatikan supaya
akibat yang lebih buruk tidak terjadi. Untuk itu perlu peningkatan
pengetahuan dokter dalam hal diagnosa dini penyakit TB paru anak serta
pengobatan yang tepat dan adekuat.
c. Pencegahan Tersier
Pada kasus-kasus yang kebetulan diketahui dalam keadaan sakit yang
sudah berat, tindakan pencegahan masih diperlukan. Tindakan tersebut
ditujukan agar cacat yang mungkin tak terhindarkan lagi, tidak
memberikan dampak yang lebih buruk. Jadi pada kasus-kasus ini perlu
juga perhatian agar mendapatkan pengobatan yang tepat dan adekuat, serta
usaha rehabilitasi terhadap cacat yang timbul agar tumbuh kembang anak
dapat terus berlangsung. Perlu perhatian khusus terhadap stimulasi fisik
dan psikososial yang optimal.
2. Langkah-langkah pencegahan TB paru pada dewasa
Hendaknya kita selalu ingat bahwa TB pada orang dewasa lebih sering
ditimbulkan oleh reinfeksi endogen (80%) daripada eksogen (20%).Di Indonesia,
sebagaimana dikebanyakan negara berkembang lainnya, hampir semua penduduk
dewasa suda pernah mengalami infeksi oleh basil TB pada masa mudanya, maka
sebagian besar penyakit TB pada orang dewasa di negara ini ditimbulkan oleh
basil yang telah mengalami reaktivasi. Dengan demikian yang diperlukan dalam
pencegahan TB paru pada orang dewasa adalah mempertahankan sistem imiunitas
seluler dalam keadaan optimal. Dan bagi orang yang high risk group (seperti
penderita diabetes mellitus, lepra, orang yang immunosuprean, penderita AIDS,
dan lain-lain) pemberian profilaksis dengan INH dapat menjadi pertimbangan
untuk mencegah kekambuhan di kemudian hari.
III.2 Epidemiologi Tuberkulosis
Distribusi dan Prevalensi
Tuberkulosis ditemukan di seluruh dunia. Dahulu, sewaktu hubungan
antarnegara masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB
(misalnya suku eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan beberapa
suku penghuni pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik). Tetapi dengan makin
mudahnya hubungan antarnegara sejak abad XVI, sekarang TB menjadi salah satu
penyakit mancanegara yang mematikan.
Dalam keadaan normal (apabila infeksi HIV/AIDS tidak merajalela),
makin makmur suatu negara, makin sedikit rakyat yang terinfeksi penyakit TB. Hal
ini disebabkan oleh pola hidup yang memenuhi syarat kesehatan (gizi tinggi dan
perumahan yang sehat), dan kemampuan ekonomi untuk mendapatkan pemeriksaan
medis serta pengobatan hingga sembuh sangat rendah. Oleh karena itu, Menteri
Kesehatan Achmad Sujudi menegaskan bahwa TB paru bukan masalah kesehatan
saja, namun juga berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Penderita TB paru
sebagian berasal dari penduduk miskin dan banyak menyerang usia produktif. Rata-
rata penderita akan kehilangan waktu kerja 3-4 bulan setiap tahunnya atau setara
dengan penurunan 20-30% pendapatan tahunan keluarga. Kondisi seperti ini
tentulah memprihatinkan. Berbagai faktor memang berperan di sini, termasuk
kemiskinan, program penanggulangan yang tidak baik, dan timbulnya infeksi
HIV/AIDS.
III.3 Program Pemerintah Dalam Penanggulangan TB Paru
TB paru masih merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia, bahkan
TB paru ditetapkan sebagai global emergency oleh WHO. Untuk menurunkan
angka mortalitas akibat TB paru, WHO telah menetapkan berbagai kebijakan
diantaranya DOTS (directly observed treatment short-course).
Di Indonesia, TB paru merupakan penyakit infeksi yang menimbulkan
masalah terbesar. Pemerintah Indonesia sendiri telah mencanangkan kebijakan
untuk menurunkan prevalensi TB paru sejak zaman kolonial Belanda walaupun
terbatas pada kalangan tertentu. Program ini dilanjutkan pada 1952 melalui Balai
Pengobatan Paru-paru (BP4). Baru setelah Lokakarya TBC Nasional I Tahun
1969, program pemberantasan TB diintegrasikan secara khusus melalui Sub
Direktorat Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis (Depkes RI, 1991b).
Kebijakan, program, dan strategi pemerintah dalam penanggulangan TB
paru diantaranya :
1. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)
DOTS merupakan strategi pemerintah yang mulai diterapkan pada 1999.
Strategi DOTS untuk menghentikan penyebaran tuberkulosis terdiri dari lima
komponen, yaitu komitmen politis, diagnosis akurat dengan pemeriksaan
mikroskopis, pengobatan dengan OAT dan ketaatan berobat, ketersediaan
OAT yang tidak terputus, dan pencatatan serta pelaporan.
Strategi DOTS antara lain:
a. Komitmen politik, pemerintah mempunyai peran kunci dalam
membangun komitmen politis, menganjurkan masyarakat untuk
meminta dan menyelesaikan pengobatan, dan menjamin kualitas
pelayanan. Biaya pengobatan awal tuberkulosis di masyarakat jauh
lebih murah dibanding dengan mengobati tambahan kasus baru dan
penyediaan obat-obatan baru untuk mengobati kasus resistensi.
b. Diagnosis akurat dengan pemeriksaan mikroskopis
Program Nasional TB paru pada 2003 telah mengupayakan
keikutsertaan institusi pelayanan kesehatan diluar puskesmas, seperti
rumah sakit pemerintah dan swasta, klinik penyakit paru-paru, dokter
praktek, klinik perusahaan, dan penjara. Langkah pertama adalah
pelibatan dan pelatihan staf klinik dan rumah sakit sebagai upaya
kerjasama pemerintah dengan swasta dan upaya koordinasi yang lebih
intensif antarsemua unit yang terlibat dalam penanggulangan TB.
c. Kesesuaian DOTS
Obat anti tuberkulosis yang ada umumnya dapat menyembuhkan kasus
tuberkulosis. Karena penyakit ini sangat menular, pengobatan dapat
mencegah penularan terhadap orang lain. Pengobatan yang sukses
membutuhkan dosis harian minimal enam bulan pengobatan waktu
yang lama setelah pasien merasakan kesembuhan.
d. Ketersediaan obat yang tidak terputus
Ketaatan berobat dipengaruhi pula oleh ketersediaan obat yang
berkualitas, teratur, tidak terputus selama masa pengobatan. Obat anti
tuberkulosis termasuk obat yang Sangat Sangat Esensial (SSE)
sehingga pengadaan dan ketersediaannya dijamin oleh pemerintah.
Perubahan besar karena kebijakan desentralisasi fiskal yang
dilaksanakan pada 2001, dan perubahan-perubahan lain yang
diakibatkannya di semua tingkatan dalam sistem, mungkin
mengganggu penyediaan obat dan sistem distribusinya.
e. Pengawasan penyakit
Tiap provinsi perlu melakukan survei secara teratur untuk memonitor
keadaan masyarakat yang berkaitan dengan penyakit TB paru.
Program TB nasional merencanakan untuk meningkatkan peran
masyarakat melalui inisiatif berbasis masyarakat (Community Based Initiative
atau COMRI) pada 2004, dan juga akan melakukan beberapa riset operasional
tentang anggota keluarga yang menjadi PMO. Salah satu strategi DOTS yang
sangat efektif dalam menurunkan prevalensi kematian akibat TB paru adalah
PMO (Pengawas Menelan Obat). Pengawas minum obat (PMO)
umumnya masih anggota keluarga.
1. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh penderita.
Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita
Bersedia membantu penderita dengan sukarela
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan penderita.
2. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa,
perawat, pekarya, Sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, anggota keluarga atau tokoh
masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
3. Tugas seorang PMO
Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat secara
teratur.
Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang
mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan
diri kepada petugas kesehatan.
4. Selain itu PMO juga harus mempunyai kemampuan untuk menyampaikan
informasi-informasi yang benar mengenai TB paru. Informasi penting
yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan diantaranya:
TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan
Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu
diawasi
Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi
efek samping tersebut
Cara penularan dan mencegah penularan.
2. Gerdunas (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis)
Pada 1999 pemerintah Indonesia menetapkan TBC sebagai prioritas
kesehatan nasional. Gerdunas TB adalah satu gerakan multi sector dan multi
komponen dalam masyarakat yang terkait dalam P2TB (Depkes RI, 2000)
yang berupaya untuk mempromosikan percepatan pemberantasan
tuberculosis. Gedurnas merupakan pendekatan terpadu yang mencakup rumah
sakit dan sector swasta dan semua pengambil kebijakan lain, termasuk
penderita dan masyarakat. Tujuan Gedurnas TB secara internal organisasi
Depkes adalah untuk mengkoordinasikan manejemen P2TB secara lintas
bidang dan secara ekstrernal adalah untuk melibatkan sektor lain yang
bersedia secara aktif dalam P2TB.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI, No:203/Menkes/III/1999
telah ditetapkan Gerdunas TB yang secara organisatoris terdiri dari: Komite
Nasional Penanggulangan TB, Komite Ahli Penanggulangan TB, dan Tim
Teknis Penanggulangan TB.
Untuk menilai lebih lanjut komitmen pemerintah dalam P2TB, WHO
(1998) telah menentukan indicator-indikator administratif, yaitu: berdirinya
unit P2TB di tingkat pusat, adanya staf purna waktu dengan tim yang
multidisiplin, merancang koordinator regional untuk monitor dan supervisi
program, merancang sistem referensi nasional laboratorium TB, membentuk
jaringan regional untuk pelatihan/monitor/supervisi laboratorium,
pengembangan pedoman P2TB, alokasi pembiayaan yang dapat mendanai
aktivitas esensial dan penjaminan kesiapaan bantuan dana dari pihak luar. Di
samping itu, koordinasi interorganisasi sangat diperlukan, khususnya dengan
sektor swasta dan organisasi profesi kedokteran, karena P2TB nasional tidak
akan dapat mencapai sasaran program (penurunan transmisi penyakit,
penurunan angka kesakitan dan kematiaan) hanya melalui sektor pelayanan
kesehatan publik.
Pada 2001 semua provinsi dan kabupaten di Indonesia telah
mencanangkan Gedurnas, meskipun tidak semua beroperasi penuh. Lebih dari
itu sudah adanya Rencana Strategis Program Penanggulangan Tuberkulosis
selam lima tahun (2002-2006) yang membangun pondasi dan pilar-pilar untuk
membangun lebih lanjut kegiatan pemberantasan tuberculosis nasional.
3. Penyuluhan TB
Salah satu bentuk perhatian pemerintah dalam usahanya untuk
menurunkan jumlah penderita TB paru adalah dengan penyuluhan TB.
Penyuluhan TB sangat perlu dilakukan karena masalah TB berkaitan dengan
masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB.
Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun dengan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan
- perorangan
- kelompok
Penyuluhan dengan menggunakan media dalam bentuk
- bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk
- media masa yang dapat berupa:
media cetek seperti koran dan majalah
media elektronik seperti radio dan televisi.
4. Komitmen internasional
Pemerintah Indonesia menyediakan sejumlah besar dana untuk
pengendalian tuberkulosis, dan telah menjanjikan US$ 19,8 juta untuk obat-
obatan dan gaji staf. Anggaran sebesar ini mencakup 54% dari kebutuhan
seluruhnya sebesar US$ 36,5 juta. Hal ini merupakan bukti dari komitmen
politis untuk menghentikan dan menurunkan penyebaran tuberculosis pada
2015. Komitmen internasional lain mencakup Deklarasi Amsterdam tahun
2000, dimana Menteri Kesehatan menyetujui untuk mencapai 70% angka
deteksi kasus pada 2005 dan keberhasilan pengobatan sebesar 85%.
IV. Metode Penelitian
IV.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah survei deskriptif.
IV.2. Lokasi dan Waktu
Penelitian akan dilakukan di kelurahan X, kecamatan Y, Propinsi Sumatera Selatan
pada tanggal Z.
IV.3. Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini populasi yang akan diambil berumur 15-50 tahun. Dan akan
diambil sample sebanyak 50 orang.
IV.4. Variabel
1. Sosiodemografi
- Jenis kelamin responden
- Umur responden
- Pekerjaan responden
- Latar belakang pendidikan
- Status perkawinan
- Pendapatan keluarga responden
2. Pengetahuan responden
- Pengertian TB paru
- Penyebab TB paru
- Gejala-gejala TB paru
- Penularan TB paru
- Faktor predisposisi TB paru
- Klasifikasi TB paru
- Pengobatan TB paru
- Pencegahan TB paru
- Program pemerintah dalam penanggulangan TB paru
IV.5. Definisi Operasional
1. Karakteristik Sosiodemografi
a. Jenis kelamin meliputi responden laki-laki atau wanita.
b. Umur adalah usia responden dalam tahun.
c. Pekerjaan adalah aktivitas rutin yang dilakukan responden untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
d. Latar belakang pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah
dilalui oleh responden mencakup tingkat sekolah dasar (SD), sekolah
menengah pertama (SMP), sekolah menengah umum (SMU) atau yang
sederajat dan perguruan tinggi atau yang sederajat.
e. Status perkawinan meliputi responden sudah menikah atau belum.
f. Pendapatan keluarga responden adalah jumlah uang yang didapat oleh
keluarga responden selama sebulan.
2. Pengetahuan Responden tentang TB paru
a. TB paru adalah penyakit kronik menular pada paru yang disebabkan oleh
kuman atau bakteri.
b. Penyebab TB paru adalah Mycobacterium tuberculosis.
c. Gejala TB paru adalah gejala yang diketahui oleh responden, seperti batuk,
sesak nafas, demam, nyeri dada, badan lemah, berat badan menurun,malaise,
dan lain-lain.
d. Penularan TB adalah bahwa kuman TB dapat menyebar ke udara melalui
droplet nuklei pada waktu penderita batuk atau bersin.
e. Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu lebih
rentan terinfeksi TB paru, meliputi perilaku merokok, jenis kelamin, dan
umur.
f. Klasifikasi TB paru adalah tipe-tipe TB paru yang meliputi TB paru, Bekas
TB paru, TB paru tersangka.
g Pengobatan TB paru adalah usaha yang dilakukan penderita atau tersangka
TB paru untuk menyembuhkan penyakit TB paru.
h. Pencegahan TB paru adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh
masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi insiden TB paru.
i. Program pemerintah dalam menangulangi TB paru adalah usaha
pemerintah dalam menurunkan insiden TB paru serta menurunkan tingkat
motilitas akibat TB paru.
IV.6. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan dengan wawancara terstruktur
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner akan diedarkan secara langsung kepada
responden. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner tersebut akan disusun
sedemikian rupa sehingga dapat mencakup semua variabel yang akan diamati. Hasil
kuesioner akan dikumpulkan, diteliti, dan dikelompokkan satu per satu.
IV.7. Penyajian dan Analisis Data
Setelah seluruh data hasil kuesioner didapatkan, maka akan dilakukan analisis
terhadap tiap variabel dari data yang telah terkumpul. Data yang diperoleh akan
diatur, diurutkan, dan dikelompokkan. Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk
pernyataan-pernyataan deskriptif dan akan dikuantifikasi berdasarkan persentase
(disajikan dalam bentuk tabel).
DAFTAR PUSTAKA
Danusantoso, Halim. Tuberkulosis Paru dalam Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.
Hipocrates. Jakarta. 1999; 93-151.
Waspada TBC Sejak Dini. 6 April 2004. http://www.republika.com/health.htm
Kanwil Departemen Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 1997. Profil Kesehatan
Provinsi Sumatera Selatan 1997.
Novaliani, Amirah. Persepsi Masyarakat tentang Penyakit TBC. Jurnal Kedokteran
Universitas Sriwijaya. 2004; 878-885.
Corwin, Elizabeth. Sistem Pernafasan dalam Buku Saku Patofisiologi. EGC.
Jakarta.1997; 414-417.
Idris, Fahmi. Manajemen Public Private Mix: Penanggulangan Tuberkulosis Strategi
DOTS Dokter Praktik Swasta. Yayasan Penerbit IDI. Jakarta.
Marren, John. Infeksi Mikobakteria dalam Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.1994; 208-227.
Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi III. Editor
Soeparman. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001; 819-829.
Nawas, Arifin. Diagnosis Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran No 63. Pusat
Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma. 1990; 13-16.
Hadiarto, Dr. Tuberkulosis Paru dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi III. Editor
Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI. Jakarta. 1999; 472-476.
Utji, Robert & Harun, Hasrul. Kuman Tahan Asam dalam Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994; 191-199.
Suryatenggara, Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran No
63. Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma. 1990; 25-28.
Price, S.A & Wilson. Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Bagian II. Edisi 4. EGC. Jakarta.1994.
Farid, M. Masalah Pengobatan Tuberkulosis Anak. Disampaikan pada Simposium
Pulmonologi dan Hematologi Anak dalam rangka Dies Natalis ke-28 Universitas
Sriwijaya & Rapat Kerja IDAI 1988. Palembang.
TBC di Indonesia Ketiga Terbanyak di Dunia. 1 November 2001.
http://www.kompas.com/
Satu Meninggal Tiap Empat Menit akibat TBC. 17 September 2001.
http://www.kompas.com/
Tuberkulosis (TB) subbab dari Mengendalikan Penyakit Malaria dan Mulai Menurunnya
Jumlah Kasus Malaria dan Penyakit lainnya pada 2015. 2004.
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/Indonesia MDG-BI-Goal6.pdf