Kelompok Model Pembelajaran Personal
-
Upload
nurma-sinanten -
Category
Documents
-
view
248 -
download
1
Transcript of Kelompok Model Pembelajaran Personal
PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia terus diupayakan
dan dikembangkan seiring dengan perkembangan jaman yang semakin global.
Peningkatan sumber daya manusia ini juga berpengaruh terhadap dunia
pendidikan. Pendidikan yang merupakan ujung tombak dalam pengembangan
sumber daya manusia harus bisa berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan
juga kuantitas. Upaya pengembangan pendidikan tersebut harus sesuai dengan
proses pengajaran yang tepat agar anak didik dapat menerima pelajaran dengan
baik.
Proses pengajaran akan lebih hidup dan menjalin kerjasama diantara siswa,
maka proses pembelajaran dengan paradigma lama harus diubah dengan
paradigma baru yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam berpikir, arah
pembelajaran yang lebih kompleks tidak hanya satu arah sehingga proses belajar
mengajar akan dapat meningkatkan kerjasama diantara siswa dengan guru dan
siswa dengan siswa, maka dengan demikian siswa yang kurang akan dibantu oleh
siswa yang lebih pintar sehingga proses pembelajaran lebih hidup dan hasilnya
lebih baik.
Kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari berbagai variabel pokok yang
saling berkaitan yaitu kurikulum, guru/pendidik, pembelajaran, peserta. Dimana
semua komponen ini bertujuan untuk kepentingan peserta. Berdasarkan hal
tersebut pendidik dituntut harus mampu menggunakan berbagai pendekatan
pembelajaran agar peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar dengan
menyenangkan. Hal ini dilatar belakangi bahwa peserta didik bukan hanya sebagai
objek tetapi juga merupakan subjek dalam pembelajaran. Peserta didik harus
disiapkan sejak awal untuk mampu bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga
berbagai jenis pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik.
Berdasarkan pandangan diatas, maka permasalahan yang muncul adalah
bagaimana upaya guru untuk meningkatkan hasil balajar siswa dengan pendekatan
yang tepat. Salah satu solusinya yaitu dengan mengembangkan suatu pendekatan
pembelajaran yang membuat siswa lebih senang dan lebih termotivasi untuk
belajar.
A. Perkembangan Konsep Pembelajaran
Pandangan mengenai konsep pengajaran terus-menerus menga¬lami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi
pendidikan. Tanda-tanda perkembangan tersebut dapat kita amati berdasarkan
pengertian-pengertian yang disajikan pada uraian di bawah ini.
1. Pengajaran sama artinya dengan kegiatan mengajar.
Kegiatan mengajar dilakukan oleh guru untuk menyampaikan pengetahuan
kepada siswa. Dalam konsep ini, guru bertindak dan berperan aktif, bahkan
sangat menonjol dan bersifat menentukan segalanya. Pengajaran sama artinya
dengan perbuatan mengajar.
2. Pengajaran merupakan interaksi mengajar dan belajar.
Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling pengaruh-mempengaruhi
dalam bentuk hubungan interaksi antara guru dan siswa. Guru bertindak
sebagai pengajar, sedangkan siswa ber-peran sebagai yang melakukan
perbuatan belajar. Guru dan siswa menunjukkan keaktifan yang seimbang
sekalipun peranannya berbeda namun terkait satu dengan yang lainnya. Proses
pengajaran berlangsung dalam situasi tertentu yakni situasi belajar mengajar.
Dalam situasi itu terdapat faktor-faktor yang saling berhubungan, yakni :
tujuan mengajar, siswa yang belajar, guru yang mengajar, bahan yang
diajarkan, metode mengajar, alat bantu mengajar, prosedur penilaian, dan
situasi pengajaran. Dalam proses pengajaran tersebut, semua faktor bergerak
secara dinamis dalam suatu rangkaian yang terarah dalam rangka membawa
para siswa/peserta didik untuk mencapai tujuan pengajaran. Pengajaran
merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang
direncanakan dan terarah serta bertujuan.
3. Pengajaran sebagai suatu sistem.
Pengertian pengajaran pada hakikatnya lebih luas dan bukan hanya sebagai
suatu proses atau prosedur belaka. Pengajaran adalah suatu sistem yang luas,
yang mengandung dan dilandasi oleh berbagai dimensi, yakni : (1). Profesi
guru, (2). Perkembangan dan pertumbuhan siswa/peserta didik, (3). Tujuan
pendidikan dan pengajaran, (4). Program pendidikan dan kurikulum, (5).
Perencanaan pengajaran, (6). Strategi belajar mengajar, (7). Media pengajaran,
(8). Bimbingan belajar, (9). Hubungan antara sekolah dan masyarakat, (10).
Manajemen pendidikan/kelas. Dengan memperhatikan dimensi-dimensi
tersebut, maka konsep sistem pengajaran memiliki ruang lingkup kajian yang
sangat luas, sehingga cenderung dikategorikan sebagai suatu cabang keilmuan
tersendiri.
B. Pendekatan Sistem Pembelajaran
Pendekatan sistem pada mulanya digunakan di bidang engineering, untuk
merancang sistem-sistem elektronik, mekanik dan militer. Kemudian pendekatan
sistem melibatkan sistem manusia mesin, dan selanjutnya dilaksanakan dalam
bidang keorganisasian dan manajemen. Pada akhir tahun 1950 dan awal tahun
1960-an mulai diterapkan dalam bidang pendidikan dan pelatihan.
Pendekatan sistem yang diterapkan dalam pembelajaran bukan saja sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sesuai dengan
perkembangan dalam psikologi belajar sistemik, yang dilandasi oleh prinsip-
prinsip psikologi behavioristik dan humanistik, serta kenyataan dalam masyarakat
sendiri.
Aspek-aspek pendekatan sistem pembelajaran meliputi aspek filosofis dan
aspek proses. Aspek filosofis ialah pandangan hidup yang melandasi sikap si
perancang, sistem yang terarah pada kenyataan, sedangkan aspek proses ialah
suatu proses dan suatu perangkat alat konseptual.
Inti dari suatu sistem filosofis ialah suatu keseluruhan yang terdiri dari
sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan saling bergan¬tungan satu
dengan yang lainnya. Karena itu, untuk mengenal dan memahami suatu sistem
perlu dikenali dan dipahami semua komponen yang terkandung di dalamnya.
Perubahan suatu sistem harus dilihat dari perubahan komponen-komponen
tersebut. Sistem filosofis cenderung untuk mengkondisi pendekatan tertentu
terhadap masalah dengan cara membentuk sikap dan persepsi tertentu. Sikap
dalam hal ini merupakan sensitifitas terhadap hakikat sistemik dan terhadap
variabel-variabel dalam sistem yang saling berinteraksi itu, berdasarkan
kenyataan. Itu sebabnya, si perancang sistem harus bersikap pragmatis yang
senantiasa tanggap terhadap kenyataan sesungguhnya. Suatu perangkat alat atau
teknik dalam pendekatan sistem, ialah berupa kemampuan-kemampuan
merumuskan tujuan secara operasional, mengembangkan deskripsi tugas-tugas
secara lengkap dan akurat, dan melaksanakan analisis tugas-tugas. Analisis tugas
dianggap lebih penting, karena bertalian dengan keterlaksanaan prinsip-prinsip
belajar dalam rangkaian kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan/hasil
pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya. Implikasi dari aspek ini, guru
dituntut untuk menyediakan kondisi-kondisi belajar bagi siswa, sehingga
pembelajaran itu menjadi efektif.
Ada dua ciri utama pendekatan sistem pembelajaran, yakni (1). Pendekatan
sistem sebagai suatu pandangan tertentu mengenai proses pembelajaran di mana
berlangsung kegiatan belajar mengajar, terjadinya interaksi antara siswa dan guru,
dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar secara efektif, (2).
Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran, yang meliputi
prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan
proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu
(konsep, prinsip, keterampilan, sikap dan nilai, kreativitas, dan sebagainya).
Dengan metodologi ini akan dihasilkan suatu sistem pembelajaran yang
memanfaatkan sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi secara efisien dan
efektif. Dalam hal ini, pendekatan sistem merupakan suatu acuan dalam rangka
perencanaan dan penyelenggaraan pembelajaran.
Pola pendekatan sistem pembelajaran. Pendekatan sistem pembelajaran
disajikan dalam bentuk bagan arus (flow chart). Pada bagan tersebut digambarkan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam sistem, yakni : (1). identifikasi
kebutuhan pendidikan dan pelatihan (merumuskan masalah), (2). analisis
kebutuhan untuk mentransformasikannya menjadi tujuan-tujuan pembelajaran
(analisis masalah), (3). merancang metode dan materi pembelajaran
(pengembangan suatu pemecahan), (4). pelaksanaan pembelajaran
(eksperimental), dan (5). menilai dan merevisi. Kendatipun pola bagan ini
tampaknya bersifat linear, namun sesungguhnya pemecahan masalah tersebut
merupakan lompatan-lompatan ke depan berdasarkan pemahaman seketika dan
umpan balik untuk mengubah atau memperbaiki langkah-langkah sebelumnya.
Sistem berpikir (aplikasi pendekatan sistem) melibatkan kegiatan intelektual
(analisis, sintesis, dan evaluasi) pada setiap langkah sepanjang proses
pembelajaran berlangsung. Pada setiap langkah memang ada aturan namun tidak
mengatur semua kejadian, melainkan merupakan petunjuk berpikir dan bukan
merupakan proses berpikir yang bersifat mekanistik. Jadi kesan seolah-olah
penggunaan bagan kurang efektif ternyata tidak benar.
C. Pendekatan Pembelajaran Personal
Pembelajaran secara personal adalah kegiatan mengajar guru yang
menitikberatkan pada bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing
individu. Bantuan dan bimbingan belajar kepada individu juga ditemukan pada
pembelajaran klasikal, tetapi prinsipnya berbeda. Pada pembelajaran personal,
guru memberi bantuan kepada masing-masing pribadi. Sedangkan pada
pembelajaran klasikal, guru memberi bantuan secara umum. Sebagai ilustrasi,
bantuan guru kelas tiga kepada siswa yang membaca dalam hati dan menulis
karangan adalah pembelajaran personal. Pada membaca dalam hati secara
personal siswa menemukan kesukaran sendiri-sendiri. ciri-ciri yang menonjol
pada pembelajaran personal dapat ditinjau dari segi (i) tujuan pengajaran, (ii)
siswa sebagai subjek yang belajar, (iii) guru sebagai pembelajar, (iv) program
pembelajaran, serta (v) orientasi dan tekanan utama dalam pelaksanaan
pembelajaran.
Pendekatan ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada
pengembangan individu. Perhatian utamanya pada emosional peserta didik dalam
mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Pendekatan ini
menjadikan pribadi peserta didik mampu membentuk hubungan harmonis serta
mampu memproses informasi secara efektif. Tokoh humanistik adalah Abraham
Maslow (1962), R. Rogers, C. Buhler dan Arthur Comb. Menurut teori ini, guru
harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar peserta didik
merasa bebas dalam belajar mengembangkan diri baik emosional maupun
intelektual. Teori humanistik timbul sebagai cara untuk memanusiakan manusia.
Pada teori humanistik ini, pendidik seharusnya berperan sebagai pendorong bukan
menahan sensivitas peserta didik terhadap perasaanya. Implikasi teori ini dalam
pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Bertingkah laku dan belajar adalah hasil pengamatan.
2. Tingkah laku yang ada dapat dilaksanakan sekarang (learning to do).
3. Semua individu memiliki dorongan dasar terhadap aktualisasi diri.
4. Sebagian besar tingkahlaku individu adalah hasil dari konsepsinya sendiri.
5. Mengajar adalah bukan hal penting, tapi belajar bagi peserta didik adalah
sangat penting.
6. Mengajar adalah membantu individu untuk mengembangkan suatu
hubungan yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya
sebagai pribadi yang cakap
Ada beberapa model pembelajaran yang termasuk pendekatan ini,
diantaranya adalah pengajaran tidak langsung, pelatihan kesadaran, sinektik,
system konseptual, dan pertemuan kelas. Dalam pembahasan ini hanya empat
model yang akan diperkenalkan, yaitu (1) model pembelajaran pengajaran tidak
langsung (non-directive teaching), (2) model pembelajaran sinestik (2) model
pembelajaran pelatihan kesadaran (awareness training), dan (4) model
pembelajaran pertemuan kelas (classroom meeting).
1. Model Pembelajaran Tidak Langsung (non-directive teaching)
Sebelumnya perlu disampaikan bahwa yang dimaksud dengan nondirektif
adalah tanpa mengguru. Model pengajaran nondirektif merupakan hasil karya Carl
Roger dan tokoh lain pengembang konselina nondirektif. Roger mengaplikasikan
strategi konseling ini untuk pembelajaran. Ia meyakini bahwa hubungan manusia
yang positif dapat membantu indvidu berkembang. Oleh karena itu, pengajaran
harus didasarkan atas hubungan yang positif, bukan semata-mata didasarkan atas
penguasaan materi ajar belaka. Model pengajaran tidak langsung (non-directive
teaching) menekankan pada upaya memfasilitasi belajar. Tujuan utamanya adalah
membantu siswa mencapai integrasi pribadi, efektivitas pribadi, dan penghargaan
terhadap dirinya secara realitas. Peran guru dalam model pembelajaran ini adalah
sebagai fasilitator. Oleh karena itu, guru hendaknya mempunyai hubungan pribadi
yang positif dengan siswanya yaitu sebagai pembimbing bagi pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam menjalankan perannya ini, guru membantu siswa
menggali ide atau gagasan tentang kehidupannya, lingkungan sekolahnya, dan
hubungannya dengan orang lain.
a. Prosedur Pembelajaran
Teknik utama dalam mengaplikasikan model pembelajaran
pengajaran tidak langsung adalah apa yang diistilahkan oleh Roger sebagai
non-directive interview atau wawancara tanpa menggurui, yaitu wawancara
tatap muka antara guru dan siswa. Selama wawancara guru berperan sebagai
kolaourator dalam proses penggalian jati diri dan pemecahan masalah siswa.
Inilah yang dimaksud dengan tanpa menggurui (non-directive). Guru
megggunakan teknik wawancara ini untuk membimbing siswa dalam
mencari topik-topik pelajaran tertentu yang menarik baginya. Namun, teknik
tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang lambat atau memiliki masalah
belajar tetapi dapat pula digunakan untuk siswa yang pintar dan tidak
mempunyai masalah belajar yang berarti. Secara singkat model
pembelajaran ini dapat membantu siswa memperkuat persepsi terhadap
dirinya dan mengevaluasi kemajuan dan perkembangan dirinya. Kunci
utama keberhasilan dalam menerapkan model ini adalah kemitraan antara
guru dan siswa. Misalnya, ketika siswa mengeluhkan tentang nilainya yang
rendah, guru hendaknya jangan sekali-kali menyelesaikan masalah tersebut
dengan menjelaskan bagaimana seharusnya cara belajar yang baik
(menggurui), tetapi guru hendaknya mendorong siswa mengekspresikan
perasaannya tentang permasalahan yang dihadapi, seperti perasaan tentang
sekolah, dirinya, dan orang lain disekitarnya. Ketika ia sudah
mengekspresikan semua perasaannya, biarkan siswa itu sendiri menentukan
perubahan yang menurutnya tepat bagi dirinya.
Menurut Roger, iklim wawancara yang dilakuakan oleh guru harus
memenuhi empat syarat, yaitu (1) guru harus menunjukkan kehangatan dan
tanggap atas masalah yang dihadapi siswa serta memperlakukannya
sebagaimana layaknya manusia, (2) guru harus mampu membuat siswa
mengekspresikan perasaannya tanpa tekanan dengan cara tidak memberikan
penilaian (mencap salah atau buruk), (3) siswa harus bebas mengekspresikan
secara simbolis perasaannya dan (4) proses konseling (wawancara) harus
bebas dari tekanan.
Secara umum, sebagaimana halnya model pembelajaran lain, model
pembelajaran ini juga memiliki tahapan. Roger mengelompokkannya dalam
lima tahap. Tahap pertama, membantu siswa menemukan inti permasalahan
yang dihadapinya. Biasanya hal ini terjadi diawal wawancara, tetapi kadang
terjadi disaat wawancara telah atau sedang berlangsung. Biasanya
pembatasan masalah yang dihadapi siswa sangat bervariasi tergantung jenis
masalah atau siswanya.
Tahap kedua, guru mendorong (memancing) siswa agar dapat
mengekspresikan perasaannya, baik positif maupun negatif. Di samping itu,
guru harus mendorong (memancing) siswa agar dapat menyatakan dan
menggali permasalahannya. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menerima
dngan tangan terbuka dan kehangatan serta tanpa memberikan penilaian
(mencap jelek atau buruk) terhadapanya. Tahap ketiga, siswa secara
bertahap mengembangkan pemahaman (kesadaran) akan dirinya. Ia berusaha
menemukan makna dari pengalamannya, menemukan hubungan sebab dan
akibat dan pada akhirnya memahami (menyadari) makna dari perilaku
sebelumnya. Dalam hal ini, dimana siswa berada dalam tahapan di antara
upaya menggali permasalahan sendiri dan upaya memahami perasaannya,
guru mendorong siswa untuk membuat perencanaan dan pengambilan
keputusan berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Tugas gurubukan
hanya memberikan alternatif, tetapi berusaha membantu mengklarifikasi
alternatif–alternatif yang diajukan siswa.
Tahap keempat, siswa melaporkan tindakan (berupa alternatif-
alternatif pemecahan masalah yang telah diambilnya pada tahap ketiga
diatas). Lebih jauh ia merefleksikan ulang tindakan yang telah diambilnya
tersebut, dan berupaya membuatnya lebih baik dan efektif. Keempat tahapan
ini dapat terjadi dalam satu seri wawancara atau beberapa kali seri
wawancara.
b. Aplikasi
Model pembelajaran pengajaran tidak langsung (tanpa menggurui)
bisa digunakan untuk berbagai situasi masalah, baik masalah pribadi, sosial,
dan akademik. Dalam masalah pribadi siswa menggali perasaan tentang
dirinya. Dalam masalah sosial, ia menggali perasaan tentang hubungannya
dengan orang lain dan menggali bagaimana perasaan tentang diri tersebut
berpengaruh terhadap orang lain. Dalam masalah akademik, ia menggali
perasaan tentang kompetisi dan minatnya.
Dari semua kasus diatas, esensi, atau muatan wawancara harus
bersifat personal, bukan eksternal. Artinya, harus datang dari perasaan,
pengalaman, pemahaman, dan solusi yang dipilihnya sendiri. Inilah inti dari
istilah tidak menggurui (non-diretive) yang dimaksud oleh Roger.
2. Model pembelajaran Sinektik
Kata sinektik berasal dari bahasa Yunani yang berarti penggabungan unsur-unsur
atau gagasan-gagasan yang berbeda-beda. Model Sinektik dapat dipahami sebagai
strategi mempertemukan berbagai macam unsur, dengan menggunakan kiasan
untuk memperoleh satu pandangan baru (Gordon,1980:168). Menurut Joyce,
Weil, dan Calhoun (2000:135) semua model mengajar mengandung unsur model
berikut: a) orientasi model, b) urutan kegiatan (sintaks), c) sistem sosial (social
system), d) prinsip reaksi (principle of reaction),
Dalam hal ini model pembelajaran sinektik juga harus mencakup semua
unsur tersebut.
a. Orientasi Model
Istilah sinektik berasal dari bahasa Yunani yang berarti
penggabungan unsur-unsur atau gagasan-gagasan yang berbeda-beda yang
tampaknya tidak relevan. Menurut William J.J. Gordon (1980:168), sinektik
berarti strategi mempertemukan berbagai macam unsur, dengan
menggunakan kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru. Selanjutnya
Model Sinektik yang ditemukan dan dirancang oleh William JJ Gordon ini
berorientasi meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi
kreatif, empati, dan wawasan dalam hubungan sosial.
b. Rangkaian Kegiatan
Unsur kegiatan atau sintaksis merujuk pada rincian atau tahapan
kegiatan model sehingga fase-fase kegiatan model tersebut teridentifikasi
dengan jelas. Unsur kedua pembangun model sinektik ini adalah proses
belajar mengajar sebagai struktur model pembelajaran. Ada dua strategi dari
model pembelajaran sinektik, yaitu strategi pembelajaran untuk menciptakan
sesuatu yang baru (creating something new) dan strategi pembelajaran untuk
melazimkan terhadap sesuatu yang masih asing (making the strange
familiar).
c. Sistem Sosial
Sistem sosial menandakan hubungan yang terjalin antara guru dan
siswa, termasuk norma atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan
untuk pelaksanaan model. Model ini menuntut agar antara guru dan siswa
terdapat hubungan yang kooperatif di mana guru menjalankan dwi fungsi
sebagai pemrakarsa dan pengontrol aktivitas siswa pada setiap tahap. Selain
itu, guru menjadi fasilitator bagi kegiatan siswa dalam proses belajar
mengajar.
d. Prinsip Reaksi
Prinsip reaksi bermakna sikap dan perilaku guru untuk menanggapi
dan merespon bagaimana siswa memproses informasi, menggunakannya
sesuai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tugas penting yang diemban
guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa menerima informasi
baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan.
3. Model Pmbelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes training)
Model pembelajaran pelatihan kesadaran merupakan suatu model
pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran manusia. Model ini
dikembangkan oleh Milliam Schutz. Ia menekankan pentingnya pelatihan
interpersonal sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi (pemahamn diri
individu). Mengapa demikian? Karena ia percaya bahwa ada empat tipe
perkembangan yang dibutuhkan untuk mrealisasikan potensi individu secara utuh,
yaitu (1) fungsi tubuh, (2) fungsi personal, termasuk didalamnya akuisisi
pengetahuan dan pengalaman, kemamapuan berfikir logis, kreatif dan integrasi
intelektual, (3) perkembangan interpersonal, (4) hubungan institusi-institusi sosial,
organisasi sosial, dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, Schutz ingin
mengembangkan model pembelajaran untuk memenuhi salah satu dari keempat
tipe perkembangan tersebut, yaitu perkembangan interpersonal. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan pemahaman diri dan kesadaran akan perilaku prang lain
sehingga dapat membantu siswa mengembangkan perkembangan pribadi dan
sosialnya.
a. Prosedur Pembelajaran
Kunci utama prosedur pembelajaran model ini didasarkan atas teori
encounter. Teori ini menjelaskan metode untuk meningkatkan kesadaran
hubungan antar manusia yang didasarkan atas keterbukaan, kejujuran,
kesadaran diri, tanggung jawab, perhatian terhadap diri sendiri atau orng
lain, dan orientasi pada kondisi saat ini. Model pembelajaran ini terdiri atas
dua tahapan. Pertama adalah penyampaian dan penyelesaian tugas. Pada
tahapan ini guru memberikan pengarahan tentang tugas yang akan diberikan
dan bagaimana melaksanakannya. Tahapan kedua adalah diskusi atau
analisis tahap pertama. Jadi, intinya siswa diminta melakukan sesuatu
(berkaitan dengan teori acounter tadi), setelah itu mendiskusikannya
(refleksi bersama) atas apa yang telah terjadi.
b. Aplikasi
Sampai saat ini, masih sangat sedikit sekolah atau guru yang
menerapkan model ini. Permainan sederhana dapat dilakukan untuk
keperluan ini. Model ini juga dapat dilakukan sebagai selingan yang tidak
memakan waktu terlalu banyak. Dalam pelaksanaan diskusi, keterbukaan,
dan kejujuran menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
model ini dapat meningkatkan perkembangan emosi.
4. Model Pembelajaran Pertemuan Kelas
Model ini diciptakann berdasarkan terapi realitas yang dipelopori oleh
William glasser. Terapi realitas merupakan landasan teori kepribadian yang
digunakan untuk terapi tradisional dan dapat diaplikasikan untuk pengajaran.
Glasser percaya bahwa permasalahan manusia kebanyakan disebabkan oleh
kegagalan mengfungsikan diri dalam lingkungan sosialnya (kegagalan fungsi
sosial). Ia percaya bahwa setiap manusia mempunyai dua kebutuhan dasar yaitu,
cinta dan harga diri. Keduanya terjadi dalam hubungan antara satu individu
dengan individu yang lain dalam satu lingkungan sosial. Individu mempunyai
masalah karena gagal memenuhi kebutuhan dasar, yaitu keterikatan (cinta) dan
kehormatan (harga diri). intinya manusia harus memilki kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain agar dapat mencintai dan dicintai, dihargai dan
saling menghargai. Kemampuan ini tidak dapat dilakukan melalui terapi individu
seperti yang ditawarkan oleh para ahli jiwa (psikiater), tetapi melalui konteks
kelompok sosial, seperti lingkungan kelas atau sekolah. Oleh karena itu, Glasser
mengaplikasikannya untuk pembelajaran di kelas. Jadi, model pertemuan (diskusi
kelas) adalah model pembelajaran yang ditujukan untuk membangun suatu
kelompok sosial yang saling menyayangi, saling menghargai, mempunyai disiplin
diri, dan komitmen untuk berperilaku positif.
a. Prosedur pembelajaran
Model pertemuan (diskusi kelas) terdiri atas enam tahap, yaitu (1)
menciptakan iklim (suasana) yang kondusif, (2) menyampaikan
permasalahan diskusi, (3) membuat penilaian pribadi, (4) mengidentifikasi
alternatef tindakan solusi, (5) membuat komitmen, (6) merencanakan tindak
lanjut tindakan.
Langkah pertama, merupakan prasyarat pertemuan kelas. Bukan
hanya sekedar melakukan pertemuan atau diskusi baru, tetapi lebih jauh
membangun suatu kualitas hubungan yang kondusif, hangat, personal, dan
terbuka sehingga perasaan dan pendapat semua orang akan dihargai,
diterima tanpa ada tekanan, rasa takut penghakiman atau penilaian. Setiap
orang berbicara atas namanya sendiri dan semua orang hendaknya didorong
untuk berpartisipasi.
Langkah kedua, penyampaian masalah yang akan dibahas
(didiskusikan) dapat datang dari siswa atau dari guru. Guru hendaknya
menghindari adanya siswa yang dijadikan sampel atau contoh. Permasalahan
yang diajukan hendaknya yang berkaitan dengan perilaku yang hendak
diperbaiki. Sebagai contoh, perilaku yang diajukan adalah perilaku
berbohong sebagaimana sering terjadi/dilakukan oleh siswa. Dalam
penyampaian masalah ini, guru tidak harus menyebutkan nama siswa yang
suka berperilaku berbohong. Setelah permasalahan disampaikan, (langkah
ketiga) dua hal yang harus dilakukan oleh siswa yaitu (1) mengidentifikasi
konsekuensi jika permasalahan tersebut dilakukan, baik bagi diri sendiri
maupun orang lain, dan (2) menjelaskan norma-norma sosial (sebagai
rujukan) yang mengatur hal tersebut. Tujuan langkah ketiga adalah agar
semua siswa membuat penilaian pribadi terhadap permasalahan yang
diajukan. Untuk kebutuhan ini, mereka perlu memberikan pejelasan
mengapa masalah tersebut relevan atau tidak menurut nilai atau norma sosial
yang berlaku.
Tahap keempat, siswa secara lebih dalam mengidentifikasi alternatif-
alternaif tindakan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini
dilanjutkan pada langkah kelima, dimana siswa membuat komitmen bersama
untuk mencari alternatif tindakan yang telah dibuat pada langkah
sebelumnya.
Tahap terakhir, guru meminta siswa menjelaskan atau melaporkan
efektitas dari alternatif-alternatif tindakan yang dilakukan. Selanjutnya
memberi saran tindakan selanjutnya.
b. Aplikasi
Model pertemuan kelas ini dapat dilakukan maksimal tiga kali dalam
sehari. Akan tetapi, biasanya sekali sehari sudah cukup tergantung dari
permasalahan yang terjadi .umumnya, pertemuan kelas berlangsung dimana
siswa dan guru duduk melingkar dan saling mendekat satu sama lain.
Pada pertemuan pagi hari, sebelum pelajaran kelas dimulai,
pertemuan kelas dapat membahas peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin.
Atau mungkin merefleksikan kejadian yang terjadi di luar kelas. Siswa
dilatih mengkritisi permasalahan, memberikan penilaian pribadi berdasarkan
nilai atau norma sosial yang berlaku dan telah dikenalnya serta memberi ide
solusi pemecahannya. Jika permasalahan yang dibahas berkaitan dengan
perilaku siswa didalam kelas, setelah komitmen dibuat harus dilaksanakan
dengan serius. Guru harus benar-benar memonitor hal ini. Jika tidak, hasil
pertemuan kelas tidak bermakna. Kekhawatirannya dianggap hanya main-
main belaka.
Model ini dapat diaplikasikan untuk semua jenis fungsionalisasi,
baik sosial maupun akademik, dan terutama diaplikasikan untuk
perkembangan fungsi personal. Dengan demikian, dapat mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi lebih bertanggung jawab, punya integrasi,
disiplin, dan dapat mengarahkan dan memonitor kemajuannya sendiri.
D. Peran Siswa dalam Pembelajaran secara Individual
Kedudukan siswa dalam pembelajaran individual bersifat sentral. Pebelajar
merupakan pusat layanan pengajaran. Berbeda dengan pengajaran klasikal, maka
siswa memiliki keleluasaan berupa (i) keleluasaan belajar berdasarkan
kemampuan sendiri, (ii) kebebasan menggunakan waktu belajar, dalam hal ini
siswa bertanggung jawab atas semua kegiatan yang dilakukannya, (iii)
keleluasaan dalam mengontrol kegiatan, kecepatan, dan intensitas belajar, dalam
ranga mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan, (iv) siswa melakukan
penilaian sendiri atas hasil belajar, (v) siswa dapat mengetahui kemampuan dan
hasil belajar sendiri, serta (vi) siswa memiliki kesempatan untuk menyusun
program belajarnya sendiri.
Keenam jenis kedudukan siswa tersebut berakibat pada adanya perbedaan
tanggung jawab belajar mengajar. Pada pembelajaran klasikal, tanggung jawab
guru dalam membelajarkan siswa cukup besar. Pada pembelajaran secara
individual, tanggung jawab siswa untuk belajar sendiri sangat besar. Pebelajar
bertanggung jawab penuh untuk belajar sendiri. Timbul soal berikut; apakah siswa
telah memiliki rasa tanggung jawab untuk belajar sendiri? hal ini terkait dengan
perkembangan emansipasi diri siswa. Meskipun demikian pada tempatnya sejak
usia pendidikan dasar (6;0-15;0) siswa dididik untuk memiliki rasa tanggung
jawab dalam belajar sendiri.
E. Peran Guru dalam Pembelajaran secara Individual
Kedudukan guru dalam pembelajaran individual bersifat membantu.
Bantuan guru berkenaan dengan komponen pembelajaran berupa (i) perencanaan
kegiatan belajar, (ii) pengorganisasian kegiatan belajar, (iii) penciptaan
pendekatan terbuka antara guru dan siswa, dan (iv) fasilitas yang mempermudah
belajar.
Dalam pengajaran klasikal pada umumnya peranan guru dalam
merencanakan kegiatan pembelajaran sangat besar. Hal ini tidak terjadi dalam
pembelajaran individual. Perenan guru dalam merencanakan kegiatan belajar
sebagai berikut: (i) membantu merencanakan kegiatan belajar siswa; dengan
musyawarah guru membantu siswa menetapkan tujuan belajar, membuat program
belajar sesuai kemampuan siswa, (ii) membicarakan pelaksanaan belajar,
mengemukakan kriteria keberhasilan belajar, menentukan waktu dan kondisi
belajar, (iii) berperan sebagai penasihat atau pembimbing, dan (iv) membantu
siswa dalam penilaian hasil belajar dan kemajuan sendiri. Sebagai ilustrasi, guru
membantu memilih program belajar dengan suatu modul. Peranan guru dalam
pengorganisasian kegiatan belajar adalah mengatur dan memonitor kegiatan
belajar sejak awal sampai akhir. Peranan guru sebagai berikut: (i) memberikan
orientasi umum sehubungan dengan belajar topik tertentu, (ii) membuat variasi
kegiatan belajar agar tidak terjadi kebosanan, (iii) mengkoordinasikan kegiatan
dengan memperhatikan kemajuan, materi, media, dan sumber, (iv) membagi
perhatian pada sejumlah pebelajar, menurut tugas dan kebutuhan pebelajar, (v)
memberikan balikan terhadap setiap pebelajar, dan (vi) mengakhiri kegiatan
belajar dalam suatu unjuk hasil belajar berupa laporan atau pameran hasil kerja;
unjuk kerja hasil belajar tersebut umumnya diakhiri dengan evaluasi kemajuan
belajar.
Peranan guru dalam penciptaan hubungan terbuka dengan siswa bertujuan
menimbulkan perasaan bebas dalam belajar.
F. Program Pembelajaran dalam Pembelajaran Individual
Program pembelajaran individual merupakan usaha memperbaiki
kelemahan pengajaran klasikal. Dari segi kebutuhan pebelajar, program
pembelajaran individual lebih efektif, sebab siswa belajar sesuai dengan
programnya sendiri. Dari segi guru, yang terkait dengan jumlah pebelajar, tampak
kurang efisien. Jumlah siswa sebesar empat puluh orang meminta perhatian besar
guru, dan hal itu akan melelahkan guru.
Dari segi usia perkembangan pebelajar, maka program pembelajaran
individual cocok bagi siswa SLTP ke atas. Hal ini disebabkan oleh (i) umumnya
siswa sudah dapat membaca dengan baik, (ii) siswa mudah memahami petunjuk
atau perintah dengan baik, dan (iii) siswa dapat bekerja mandiri dan bekerja sama
dengan baik. Dari segi bidang studi, maka tidak semua bidang studi cocok untuk
diprogramkan secara indidual. Bidang studi yang dapat diprogramkan secara
individual adalah pengajaran bahasa, matematika, IPA, dan IPS bagi bahan ajaran
tertentu. Bagi bidang studi musik, kesenian, dan olah raga yang bersifat
perorangan, juga cocok untuk program pembelajaran individual.
Program pembelajaran individual dapat dilaksanakan secara efektif, bila
mempertimbangkan hal-hal berikut, (i) disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan siswa. (ii) tujuan pembelajaran dibuat dan dimengerti oleh siswa, (iii)
prosedur dan cara kerja dimengerti oleh siswa, (iv) kriteria keberhasilan
dimengerti oleh siswa, dan (v) keterlibatan guru dalam evaluasi dimengerti siswa.
G. Orientasi dan Tekanan Utama Pelaksanaan
Program pembelajaran individual berorientasi pada pemberian bantuan
kepada setiap siswa agar ia dapat belajar secara mandiri. Kemandirian belajar
tersebut merupakan tuntutan perkembangan individu. Dalam menciptakan
pembelajaran individual, rencana guru berbeda dengan pengajaran klasikal.
Dalam pelaksanaan guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing, pendiagnosis
kesukaran belajar, dan rekan diskusi. Guru berperan sebagai guru pendidik, bukan
instruktur.