Kelompok Mki Local Wisdom

download Kelompok Mki Local Wisdom

of 23

description

jbkjbkjb

Transcript of Kelompok Mki Local Wisdom

PEMBAHASAN

Kebudayaan BaliB.Nilai Kearifan Lokal di BaliKearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan local dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya (Restu Gunawan, 2008).Sedangkan menurut Tim Sintesis Kebijakan (www.Wikapedia.com) mengatakan; Kayakinan tradisional mengandung sejumlah besar data empiris yang berhubungan dengan fenomena, proses dan sejarah perubahan lingkungan sehingga membawa implikasi bahwa system pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan. Keyakinan tradisional dipandang sebagai kearifan budaya lokal(indigenous knowledge), dan merupakan sumber informasi empiris dan pengetahuan penting yang dapat ditingkatkan untuk melengkapi dan memperkaya keseluruhan pemahaman ilmiah. Kearifan budaya atau masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu etnis, yang merupakan hasil pengamatan dalam kurun waktu yang panjang. Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kualitas lingkungan manusia, serta hubungan-hubungan manusia dan lingkungan alamannya.Masing-masing daerah, suku atau komunitas dalam suatu wilayah akan memiliki pengetahuan tradisional yang secara empiris merupakan nilai yang diyakini oleh komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam menjalin hubungan antara sesame dan lingkungan alamnya. Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama memiliki nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesame umat beragama di Provinsi Bali, diantaranya;Nilai kearifanTri Hita Karana; suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan tuhan (sutata parhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam lingkungannya (sutata palemahan). Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan social masyarakat yang berjalan sangat dinamis.Nilai kearifan lokaltri kaya parisuda; sebagai wujud keseimbangan dalam membangun karakter dan jatidiri insani, dengan menyatukan unsur pikiran, perkataan dan perbuatan. Tertanamnya nilai kearfan ini telah melahirkan insane yang berkarakter, m emiliki konsistensi dan akuntabilitas dalam menjalankan kewajiban sosial.Nilai kearifan lokalTatwam Asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini memberikan fibrasi bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi seraya menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai ini menjadi dasar yang bijaksana dalam membangun peradaban demokrasi modern yang saat ini sedang digalakkan.NilaiSalunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya; sutu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan social yang saling menghargai dan menghormati.NilaiBhineka Tunggal Ikasebagai sikap social yang menyadari akan kebersamaan ditengah perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk diaktualisasikan dalam tantanan kehidupan social yang multicultural.Nilai kearifan lokalmenyama braya; mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan pengakuan social bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka.Sederertan nilai-nilai kerafian lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakahn relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal ini seharusnya dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin heterogen dan kompleks.C.Pengalam Empiris dalam Penerapan Nilai Kearifan Lokal.Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Di situlah sebuah nilai akan dapat dirasakan. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Bali telah teruji keampuhannya, paling tidak ketika proses reformasi berlangsung, pemilu multi partai dan konflik-konflik sosial yang bernuansa antar pemuda, masalah ekonomi dan politik dapat diredam.Jauh sebelum seminar nasional sebagaimana dikutif pada awal makalah ini digelar, para tokoh lintas agama di Provinsi Bali sudah menangkap fenomena sosial yang rentan dapat menyeret kearah konflik yang dikemas dalam nuansa lpmflik agama. Ketika gerakan reformasi pada tahun 1998 berhail melakukan koreksi total terhadap rezim berkusa suasana sosial dan politik diwarnai euperia kebebasan yang berujung pada pelaksanaan pemilu yang dipercepat yakni pada tahun 1999. Ketika itu euperia politik multi partai (ada 48 partai politik peserta pemilu) dengan tumbuh dan berkembangnya partai politik dengan berbagai aliran, sangat rentan menyeret isu-isu agama sebagai perekat solideritas sempit. Maka ketika musyawarah antar umat beragama di gelar di Bedugul, yang difasilitasi oleh pemerintah Privinsi Bali, para tokoh agama bersepakat untuk membentu Forum Kerukunan Antar Umat Beragama Provinsi Bali, sebagai wadah berhimpun, berkomunikasi dan saling tukar informasi tentang dinamika sosial-keagamaan dan secara proaktif melakukan sosialisasi bersama dalam menjaga kerukunan umat beragama di Provinsi Bali. FKAUB yang didirikan oleh para tokoh lintas agama ini merupakan cerminan aspiratif dari pemuka agama atas situasi sosial dan politik yang terjadi ketika itu, dan berupaya untuk berperan serta dalam menjaga umatnya masing-masing agar tidak terseret kedalam kancah pemanfaatan agama dalam politik praktis.Langkah selanjutnya para pemuka agama secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kebupaten, memberikan pencerahan akan arti pentingnya kerukunan intern dan antar umat beragama ditengah hangar bingarnya euferia reformasi. Begitupun pentingnya pengetahuan dan pemahaman politik kewarganegaraan bnagi umat beragama sehingga tidak terseret pada pragmatisme politik sempit yang lazim memanfaatkan solideritas agama ke kancah politik praktis. Hasilnya, pemilu yang awalnya diprediksi akan berlangsung panas, diwarnai konflik dan berdarah-darah, khususnya di Bali dapat berjalan aman, damai dan demokratis. Dengan mengusung semangat menyama braya kerukunan dapat terjaga dalam suasana perbedaan pilihan politik ketika itu.Sikapparas paros sarpanayadan semangatmenyama brayakembali dilakukan ketika terjadi konflik yang bernuansa sara di Mataram. Ketika itu ada sekelompok etnis yang terancam dan sebagian ada yang ke Bali. FKAUB ketika itu membentuk posko untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap mereka yang secara sosial merasa terancam. Rasa persaudaraan dan peri kemanusiaan mesti selalu ditanamkan kepada insane pemeluk agama sehingga dalam memberikan bantuan ataupun perlindungan tidak melihat apa agamanya, namun mengedepankan pri kemanusiaan untuk saling mengasihi antar sesama.Praktik ini merupakan cerminan dari nilai tatwamasi.Peristiwa bom Bali I dan Bom Bali II yang dilakukan oleh kelompok teroris yang berkedok agama telah menorehkan sejarah peradaban yang sangat keji bagi kemanusiaan, pasca peristiwa yang memilukan itu sempat menghembuskan isu sara. Namun berkat kesigapan aparat, tokoh agama dan adat serta kesadaran yang tinggi dari masyarakat, isu sara dapat diredam dan seluruh komponen lintas agama mengambil peran strategis dalam bentuk doa bersama, mengutuk pelaku terorisme dan meredamkan amarah masyarakat, serta kembali pada nilai-nilai tatwamasi dan karmaphala. Para pelaku dengan cepat dapat ditangkap dan dihukum setimpal sesuai dengan perbuatannya.Pendeknya berbagai isu sara yang sempat berembus di Bali seperti adanya swiping terhadap pendatang, kasus AM Saefudin yang menistakan agama, selebaran gelap Bali dalam genggaman, penggunaan simbol-simbol agama oleh umat lain merupakan catatan penting untuk direnungkan dan FKUB mengambil peran untuk meluruskan, menyadarkan dan mengatasi dengan cara semangatmenyama brayayang sudah menginternalisasi dikalangan tokoh-tokoh agama di Bali.Mengingat peran strategis dari para tokoh agama, serta langkah-langkah proaktif dari FKAUB Bali sebagai organisasi kemasyarakatan lintas agama, fibrasinya menyebar ke berbagai daerah seperti Yogyakarta, NTB, Jawa Timur dan berbagai daerah lain mulai terbentuk organisasi serupa, bahkan pada tahun 2008 pemerintah pusat melalui SKB dua mentri (Agama dan Mentri Dalam Negeri) bersepakat untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dimana pemerintah menjadi fasilitator dalam menggerakkan administrasi forum dengan melibatkan tokoh-tokoh agama.Demikianlah FKUB sebagai lembaga yang mewadahi para tokoh agama tidak ditempatkan hanya sebagai pemadam kebakaran, diingat ketika terjadi konflik, namun harus terus menerus diberikan peran bersama-sama komponen masyarakat lainnya saling bersinergis mengatasi berbagai persoalan sosial. Langkah positif yang dibangun dalam mengimplementasikan nilai kearifan local bagi terciptanya keserasian dan keselarasan sosial dikalangan tokoh agama di Bali adalah adanya kesepakatan pengucapan salam agama. Salam cukup disampaikan menurut agama yang dianut oleh yang mengucapkan. Begitupun dalam menjaga harmonisasi dan mengantisipasi dinamika sosial disepakati adanya pertemuan rutin bulanan secara bergilir di masing-masing lembaga umat. Begitupun dialog antar umat beragama secara rutin difasilitasi oleh pemerintah dan kementerian agama serta adanya kesepakatan bersama dalam pelaksanaan perayaan hari-hari besar agama khususnya dalam perayaan Nyepi yang bersamaan dengan hari-hari besar agama lain. Begitupun tentang komitmen untuk menjaga tempat ibadah adalah menjadi kewajiban semua agama untuk menjaga kesuciannya.Komitmen kebersamaan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kebersamaan sebagaimana nilai bineka tunggal ika, dengan dilandasi semangatmenyama braya, tentu tidak saja diterapkan pada situasi-kondisi konflik, akan tetapi lebih jauh dari itu dapat menjadi pendoman hidup sehari-hari dalam mengatasi problem sosial, ekonomi dan politik yang kerap muncul ditengah-tengah dinamika kehidupan sosial. Rasaselunglung sabayantaka, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung menjadi landasan berpikir bagi setiap insan sosial untuk selalu menghormati nilai-nilai kearifan lokal seraya menjadikannya sebagai pedoman bersama dalam kehidupan sosial. Apabila hal ini sudah menjadi milik bersama masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama dan antar golongan dalam kehidupan kelektif niscaya keserasian dan harmonisasi sosial dapat menjadi bagian dari indahnya kehidupan bersama. Pusparagam suku, ras, agama, adat istiadat merupakan untaian kekayaan yang tak ternilai, perlu terus dijaga, dilindungi dan dikembangkan sebagai fondasi membangun karakter bangsa yang multicultur, satu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan.Bali memiliki beragam kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai luhur dalam upaya menjaga kelestarian alam, termasuk menjaga kelestarian wilayah pesisir. Salah satunya yaitu konsep nyegara-gunung (laut-gunung). Konsep nyegara-gunung memiliki makna keseimbangan antara laut dan gunung karena keduanya adalah sumber kesejahteraan. Segara (laut) menjadi tempat yang pantas untuk sarana penyucian, seperti : penyucian (pembersihan) pratima, melukat bagi yang sakit, melarung, dan sebagainya. Secara ilmu kesehatan segara juga dapat membersihkan penyakit karena ada unsur garam didalamnya.Masyarakat Kepulauan Nusa Penida di Klungkung Bali memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga wilayah pesisirnya. Masyarakat di Kepulauan Nusa Penida yang meliputi Pulau Nusa Gede, Lembongan dan Pulau Ceningan memiliki tradisi yang disebut nyepi segara. Saat nyepi segara warga Kepulauan Nusa Gede menghentikan seluruh aktivitasnya di laut selama satu hari penuh.Ritual Nyepi Segara ini tidak hanya berlaku bagi aktifitas nelayan semata, tetapi berlaku pula terhadapa aktivitas transportasi laut dari dan menuju kepulauan Nusa Gede. Termasuk seluruh aktivitas pariwisata di kawasan Kepulauan Nusa Gede.Pelaksanaan Nyepi Segara yang jatuh pada Purnama sasih kapat atau kempat berdasarkan penanggalan Bali ini telah dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Nusa Gede sejak tahun 1600 atau saat masa pemerintahan Raja Waturenggong. Tokoh Masyarakat Nusa Gede I Wayan Sukasta menyatakan pelaksanaan Nyepi Segara ini merupakan bentuk penghormatan kepada penguasa laut yaitu Dewa Baruna. Menjaga Pelaksanaan Nyepi Segara ini juga sebagai bentuk menjaga hubungan antara manusia dan alam sekitarnya.Pada saat Nyepi Segara itu adalah saatnya Dewa Baruna melakukan Tapa Yoga Semadi, makanya kalau saat itu kita ganggu maka akan terjadi bencana, jelas I Wayan Sukasta.Menurut Sukasta, secara ilmiah nyepi segara memiliki makna memberikan alam terutama ekosistem laut untuk tumbuh dan berkembang tanpa adanya gangguan selama satu hari penuh. Selama satu hari penuh ekosistem laut mempunyai waktu untuk melakukan netralisir terhadap pencemaran laut akibat transportasi laut dan terbebas dari aktivitas nelayan.Community Outreach Officer Coral Triangle Center (CTC) wilayah Nusa Penida Wira Sanjaya menyampaikan masyarakat Nusa Penida tidak saja memiliki nyepi segara semata dalam menjaga kelestarian pesisir. Sebagai contoh dari hasil penelusuran lapangan CTC di Desa Lembongan Nusa Penida terdapat awig-awig (aturan adat) yang melarang warga desa mengambil terumbu karang dari laut. Selain itu, di Desa Jungut Batu juga terdapat awig-awig yang melarang warga desa menebang pohon bakau tanpa seijin desa adat.Menurut Sanjaya, aturan adat yang ada tersebut memiliki sanksi adat bagi warga desa yang melanggar. Sanksinya dapar berupa hukuman ringan hingga berat berupa kasepekang (dikucilkan di lingkungan desa adat. yang melanggar kasusnya di bahas di paruman (pertemuan) desa, kalau tetap melanggar haknya di desa di cabut, yang paling berat kasepekang kata Wira Sanjaya.Lembaga KemasyarakatanSubak adalah salah satu bentuk lembaga kemasyarakatan pada masyarakat bali yang bersifat tradisional dan dibentuk secara turun temurun oleh masyarakat umat hindu bali. Subak berfungsi sebagai satu kesatuan dari para pemilik sawah atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan tertentu. Subak merupakan satu kesatuan ekonomi, social, budaya dan keagamaan. Pada umumnya tugas warga subak adalah mengatur pembagian air, memelihara dan memperbaiki sarana irigasi, melakukan kegiatan pemberantasan hama, melakukan inovasi pertanian dan mengkonsepsikan serta mengaktifkan kegiatan upacara. Karna subak memiliki struktur yang berlandaskan konsep tri hita karana, maka setiap subak dibali harus memiliki pura pemujaan.

Upacara NgabenNgaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.Upacar PernikahanDalam kebudayaannya, Bali memiliki prosesi unik dalam tata cara melakukan pernikahan. Adat pernikahan Bali, seluruh biaya prosesi ditanggung oleh mempelai pria. Dalam prosesinya ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum disahkan sebagai sepasang suami istri dalam ikatan adat. Seluruh tahapan biasanya dilakukan di rumah mempelai pria, baru kemudian mempelai wanita diantarkan untuk kembali ke rumah orang tuanya untuk meminta izin agar diperbolehkan tinggal bersama suaminya.Ada 6 tahapan pernikahan adat Bali, yaitu upacara ngekeb, upacaramungkah lawang, upacaramesegehagung, upacaramadengen-dengen, upacaramiwidhi widana, dan upacaramajeuman ngabe tipat bantal.Upacara NgekebProsesi upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon mempelai wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Dimulai dari memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan kebahagiaan kepada calon pasangan dan diberikan keturunan yang baik. Prosesi ini dilanjutkan sore hari, dimana calon mempelai wanita dilulur rempah yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Rambutnya pun harus dikeramas dengan air merang (jerami padi yang diolah dan diambil sarinya). Setelah prosesi mandi, upacara dilanjutkan di dalam kamar pengantin. Sebelumnya di kamar calon mempelai wanita telah disiapkan sesaji. Calon pengantin wanita yang sudah dimasukkan kamar biasanya tidak diperbolehkan keluar kamar sampai calon suaminya datang menjemput.Pada upacara penjemputan, seluruh tubuh calon mempelai wanita ditutup dengan kain kuning tipis. Upacara ini melambangkan calon wanita siap menempuh hidup bersama pasangan baru dan mengubur masa lalu sebagai remaja.Mungkah LawangMungkah lawang atau yang berarti buka pintu merupakan upacara yang bertujuan untuk menjemput mempelai wanita yang berada dikamar. Dalam upacara ini, utusan pria akan mengetuk pintu kamar calon mempelai wanita sebanyak tiga kali dengan iringan musik khas Bali dan tembang Bali. Isi tembang atau lagu berisikan pesan yang mengatakan bahwa calon mempelai pria telah datang dan memohon agar dibukakan pintu.

MesegehagungUpacara ini dilakukan pada saat kedua calon pengantin berada di pekarangan rumah pengantin pria. Upacara Mesegehagung bermakna sebagai upacara selamat datang kepada calon mempelai wanita. Kedua mempelai dibawa atau ditandu ke kamar pengantin. Sesampainya di kamar pengantin, ibu dari mempelai pria akan memasuki kamar dan meminta kepada pengantin wanita agar kain kuning yang menutupi tubuhnya dibuka dan ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusukkan dengan tali benang Bali.Madengen-dengen

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau menyucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri kedua calon mempelai. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau biasa disebut Balian.Mewidhi WidanaProsesi ini tidak kalah pentingnya dengan upacara yang lain. Upacara penyempurnaan proses pembersihan diri dari kedua belah pihak. Dalam upacara ini mempelai pria dan wanita mengenakan pakaian kebesaran. Tujuan dari upacara ini yaitu, meminta restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar upacara pernikahan dan juga kehidupan keluarga baru ini direstui. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku marejan.Mejauman Ngabe Tipat BantalBeberapa hari setelah pengantin resmi menjadi suami istri, maka pada hari yang telah disepakati, kedua belah pihak keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacaraMejamuan. Upacara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta kerabat pengantin wanita, dan kepada leluhur, bahwa saat ini pengantin wanita telah sah menjadi bagian dari keluarga besar pengantin pria. Upacara ini sekaligus sebagai upacara terakhir, dimana upacara ini keluarga pria akan membawa aneka makanan khas Bali, yiatu kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, teh, sirih, pinang, buah-buahan dan masakan khas Bali. (1001)

Kebudayaan BaliSuku Asmatadalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal diantara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Persebaran masyarakat suku Asmat.Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya. Pola hidup suku Asmat.

Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka.

Adat istiadat suku Asmat.Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :1. Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.2. Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.3. Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.4. Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya.Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terulang kembali malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka.Mengapa Harus Memotong Jari?Bagi Suku Dani,jari bisa diartikan sebagai symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.Alasan lainya adalah Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.Tradisi Potong Jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari.Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.

* Upacara BisUpacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.

Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.Kebudayaan Suku AsmatOrang-orang Asmat pandai membuat hiasan ukiran. Hebatnya, mereka membuat ukiran tanpa membuat sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran yang mereka buat memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa.Mengukir adalah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para leluhur. Ukiran patung suku Asmat berkaitan dengan kepercayaan mereka. Ukiran merupakan penghubung mereka yang saat ini masih hidup dengan leluhur.Mereka mempresentasikan roh-roh para leluhur ke dalam ukiran-ukiran di tiang kayu, tameng, atau perahu. Patung yang terkenal dan dianggap paling sakral adalah patung Bis (bioskokombi).Kini, pembuatan patung dan ukiran lainnya bagi suku Asmat bukan hanya bernilai sakral, tetapi bernilai ekonomis juga. Patung ini banyak diminati oleh para kolektor, baik dalam negeri maupun dari luar negeri.

ADAT ISTIADAT SUKU ASMAT

Dalam kehidupannya, suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah dan kepala adat atau kepala suku yang berasal dari masyarakat.Sebagaimana lainnya, kepala adat atau kepala suku dari suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini.Segala kegiatan dalam kebudayaan suku Asmat selalu didahului oleh acara adat yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan untuk memperlancar proses tersebut.Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal darifain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang berhasil dalam peperangan.

(LEDIA) SUKU KAJANG, SULAWESI SELATAN

A. Asal-usulDi tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajangatau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoadalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).Secarageografisdan administratif, masyarakat adat Kajangterbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa,antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan denganTulidisebelah Utara,denganLimbadi sebelah Timur, dengan Seppadisebelah Selatan,dandenganDorodisebelah Barat.Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa diwilayah Kecamatan Bulukumba,diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe(Aziz, 2008).Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut denganPatuntung.IstilahPatuntungberasal darituntungi,kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti mencari sumber kebenaran(to inquiri into or to investigate the truth). AjaranPatuntungmengajarkanjika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormatiTuriek Akrakna(Tuhan), tanah yang diberikanTuriek Akrakna, dan nenek moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadapTuriek Akraknamerupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agamaPatuntung.Masyarakat adat Kajang percaya bahwaTuriek Akraknaadalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa (Adhan, 2005: 270).Turiek Akraknamenurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentukpasang(sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernamaAmmatoa.Secara harfiah,pasangberarti pesan. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan.Pasangadalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi (Usop, 1985).Pasangtersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggarpasang,maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuahpasangyang berbunyiPunna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki(Artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalu dilangkahi kita lumpuh) (Adhan, 2005: 271).Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia,Turiek AkraknamemerintahkanAmmatoauntuk menjaga, menyebarkan, dan melestarikanpasangtersebut. FungsiAmmatoadalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antaraTuriek Akraknadengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang,Ammatoamerupakan manusia pertama yang diturunkan olehTuriek Akraknake dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kaliAmmatoaditurunkan ke bumiadalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka.Suku Kajang menyebut tanah tempattinggal mereka saat inisebagaiTanatoa, "tanah tertua", tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.Merekapercaya,konon disuatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintahTurek Akraknaatau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burungKajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dariTanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagaiTanatoaatau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagaiAmmatoa(pemimpin tertinggi Suku Kajang)yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajangkemudian digunakan sebagainama komunitas mereka(http://www.liputan6.com/progsus/?id=20087).Melaluipasang,masyarakat Ammatoamenghayati bahwakeberadaan mereka merupakan komponen darisuatu sistem yang saling terkait secara sistemis;Turiek Akrakna(Tuhan),Pasang, Ammatoa(leluhur pertama),dantanah yang telah diberikan olehTuriek Akraknakepada leluhur mereka.Merawat hutan, bagi masyarakat Kajangmerupakan bagian dari ajaranpasang, karena hutanmerupakan bagian dari tanah yang diberikan olehTuriek Akraknakepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapatkekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencanaketikatidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008). Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkunganTanatoaKajang. Tentang hal ini, sebuah pasang menjelaskan:Naparanakkang jukuNapaloliko raung kajuNahambangiko alloNabatuiko Ere BosiNapalolorang Ere TuaNakajariangko TinanangArtinya:Ikan bersibak pohon-pohon bersemi,Matahari bersinar,hujan turun,Air Tuak menetes,segala tanaman menjadi(Adhan, 2005: 262).Pasangdi atas merupakan gambaran bagaimana masyarakat Kajang menghormati lingkungannya dengan cara menjaga hutan agar tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap terjaganya kelestarian hutan juga merupakan petanda bahwaAmmatoayang terpilih diterima olehTuriek Akraknadan alam.Ammatoadianggap telah berhasil mengimplementasikan ajaran-jaranpasangsebagaimana dititahkan olehTuriek Akrakna.Terlepas dari benar-salahnya ajaran yang diyakini masyarakat Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat sakral tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga tetap lestarinya kawasan hutan mereka.B. Konsep Kearifan Ekologis Suku KajangBerbicara tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebuttallase kamase-mase,bagian daripasangyang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah,tallase kamase-maseberarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalamarti bahwatujuan hidup warga masyarakatKajangmenurutpasangadalah semata-mata mengabdikepadaTurek Akrakna.Prinsiptallasekamase-mase,berarti tidak mempunyaikeinginan yang berlebih dalam kehidupansehari-hari, baik untuk makan, maupundalam kebutuhan pakaiannya. Dengan carayang demikian,maka keinginan mendapatkanhasilberlebihandari dalamhutandapat dihindari,setidak-tidaknya dapat ditekan seminimalmungkin, sehingga hutan tidak terganggukelestariannya (Salle, 2000).Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelastallasekamase-maseini tercermin dalampasangsebagai berikut: Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamase-maseartinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana. Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju.Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya,membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya(Restu dan Sinohadji, 2008). Jagai lino lollong bonena, kammayatompalangika, rupa taua siagangboronga.Artinya;Peliharalah dunia beserta isinya,demikian pula langit, manusia dan hutan.Pasangini mengajarkan nilai kebersahajaan bagiseluruh warga masyarakatKajang, tak terkecualiAmmatoa,pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal inidapat dipandang sebagai filosofi hidupmereka yang menempatkanlangit, dunia,manusia dan hutan, sebagai satu kesatuanyang tak terpisahkan dalam suatuekosistem yang harus dijagakeseimbangannya.Manusia hanyalah salah satu komponen dari makro kosmos yang selalu tergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen makro kosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami (Salle, 2000).Masyarakat adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsiptallasekamase-maseini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut: Bentuk rumah yang seragam, seragambahannya, seragam besarnya, dan sedapatmungkin seragam arah bangunannya.Keseragaman itu bermaksud menghindarisaling iri di kalangan mereka, yang dapatberakibatpadakeinginan memperoleh hasillebihbanyakdengancaramerusak hutan. arangan membangun rumah denganbahan bakunya batu-bata. Menurutpasang,hal ini adalahpantangan, karena hanyaorang mati yang telah berada di dalamliang lahat yang diapit oleh tanah. Rumahyang bahan bakunyaberasal daribatu-bata,meskipunpenghuninya masih hidupnamun secara prinsip mereka dianggapsudah mati,karena sudah dikelilingi oleh tanah.Apabila diperhatikan hal tersebut lebihjauh, maka sebenarnya pantangan yangdemikian bersangkut-paut denganpelestarian hutan. Bukankah untukmembuat batu-bata, diperlukan bahanbakar kayu, karena proses pembakaranbatu-bata memerlukan kayu bakar yangcukup banyak. Dengan pantangan itusebenarnya memberikan perlindunganpada bahan bakar kayu yang sumberutamanya berasal dari hutan. Memakai pakaian yang berwarna hitam.Warna hitam untuk pakaian (baju,sarung)adalah wujudkesamaan dalam segala hal, termasukkesamaan dalam kesederhanaan. Menurutpasang,tidak ada warna hitam yanglebih baik antara yangsatu dengan yang lainnya. Semuahitam adalah sama.Warna hitam untuk pakaian (bajudansarung)menandakanadanya kesamaan derajat bagi setiap orangdi depanTurek Akrakna.Kesamaan bukanhanya dalam wujud lahir, akan tetapi jugadalam menyikapi keadaan lingkungan,utamanya hutan mereka, sehingga dengankesederhanaan yang demikian, tidakmemungkinkan memikirkan memperolehsesuatu yang berlebih dari dalamhutanmereka. Dengan demikianhutanakantetap terjaga kelestariannya(Salle, 2000).Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alamdi sekitar mereka,masyarakat adat Kajangdengan demikianbukanlahmasyarakat yang mengejar kekayaan material, namunmengejarkehidupan abadi di akhirat. Karena itu, bagi mereka, tanah bukan untuk dieksploitasi demi materi, melainkan sekedaruntukmemenuhi kebutuhan hidup secukupnya.Dari penjelasan tersebut,tallase kamasa-masejuga merupakan representasi dari tigaprinsiputama. Pertama, perbuatan manusia di dunia akan mempengaruhi kehidupannya di akhirat.Jika manusia berbuat baik di dunia, maka ia akan menuai kebaikan pula kelak di akhirat. Sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan di dunia, maka kelak di akhirat ia akan mendapat celaka.Kedua, setiap orang harus mengerahkan unsur dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan petunjuk Yang Mahakuasa untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan. Dan ketiga, paham kehidupan materialistis di dunia dapat berakibat buruk dalam kehidupan manusia(Suriani, 2006).Dengan prinsiptallase kamasa-maseini,masyarakat adat Kajangdiharapkan mampumengekang hawa nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati,tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain,dan tidak memujamaterisecara berlebihan.Selain ajarantallase kamasa-mase,masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat olehAmmatoa.Secara lebih jelas Al Rawali (2008) menyebutkan tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:Kawasan yang pertama adalahBarong Karamakaatau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasanbarong karamakaini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuahpasang,yaitu:Talakullei nisambei kajua,Iyato minjo kaju timboa.Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka.Kasipalli tauwa alamung-lamung ri boronga,Nasaba sere wattu la rie tau angngakui bate lamunna(Artinya:Tidak bisa diganti kayunya,itu saja kayu yang tumbuh.Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.Orang dilarang menanam di dalam hutansebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.Kawasan yang kedua adalahBarongBatasayyaatau hutan perbatasan. Hutan inimerupakan hutanyang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dariAmmatoaselaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhirbolehtidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dariAmmatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayusajayang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh,dan Pangi. Jumlahkayu yang ditebang punharus sesuai dengan kebutuhan,sehingga tidak jarang kayu yang ditebangakan dikurangi oleh Ammatoa.Syaratutama ketikaorangingin menebang pohonadalahorang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon barudapatdilakukan.Menebang satujenis pohon, makaorang yang bersangkutan wajibmenanamduapohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan olehAmmatoa.Penebangan pohon itujuga hanya boleh dilakukan dengan menggunakanalat tradisional berupa kampak atau parang.Cara mengeluarkan kayu yangsudahditebangjugaharus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karenadapatmerusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.Dan kawasan yang ketiga adalahBorong Luaraatau hutanrakyat. Hutan inimerupakan hutan yangdapatdikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat,namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan initetapmasih berlaku.Ammatoamelarang setiap praktekkesewenang-wenangandalammemanfaatkansumberdaya yang terdapat dalamhutan rakyat ini.Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing,Ammatoaakan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.C. Pengaruh SosialMasyarakat adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adatAmmatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku(lebba)yang diterapkan kepada setiaporang yang telah melakukanpelanggaran yang dapat merusak kelestarian lingkungan hutan. Dalam halini diberlakukansikap tegas(gattang),dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi,sebagaimanadisebutkandalampasangyang berbunyi:Anre nakulle nipinra-pinra punna anu lebbaArtinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa dirubah lagi(Restu dan Sinohadji, 2008).Pasangsecara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan.Pasanginilah yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan efektif.Konsekuensinya, bagi siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas.Tentang bagaimana usaha agar wargamasyarakat menaati aturan pelestarian hutanyangberdasarkan ataspasang,maka dibawahkepemimpinanAmmatoasebagai Kepala AdatKeammatoaanmengadakan acaraabborong(bermusyawarah) yang menetapkan bahwapelanggaran atas ketentuanpasangyangberhubungan dengan pelestarian hutandikenakan denda (apabila diketahuipelanggarnya) sebagai berikut:Pertama,Cappa Babalaatau pelanggaran ringan.CappaBabaladiberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon darikokoatau kebun warga masyarakatadatAmmatoa.Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesiakira-kirasetara denganuang enam ratus ribu rupiah. Selain itu, pelanggar juga wajib memberikansatu gulung kain putihkepadaAmmatoa.Kedua,Tangnga Babalaatau pelanggaran sedang.Tangnga babalamerupakan sangsi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasanhutan perbatasan atauBorong Batasayya. Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasaninitanpa seizinAmmatoa berarti melanggar aturanTangnga babala. Ketika seseorang diizinkan olehAmmatoauntuk mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang diizinkan, maka orang tersebut telah melanggar aturanTangnga babalaini.Denda dari pelanggaran inisebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan mata uang Indonesia ditambah satu gulung kain putih.Ketiga,Poko Babalaatau pelanggaran berat.Pokobabaladiberlakukan kepada seluruh masyarakat yang bernaung dibawah kepemimpinanAmmatoajika melakukan pelanggaran berat menurut adat.Pokobabaladiberlakukan jikamasyarakat adatmelakukan pelanggaran diBarong marakaatau hutan keramat dalam bentukmengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayuyang terdapat di dalamnya.Pokobabalamerupakan hukuman terberat dalam konsep aturan adatmasyarakat Ammatoa.Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas real,ataudalam mata uang Indonesiasetara dengansatu juta dua ratus ribu rupiah, kain putih satu lembar,dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam hutan(Restu dan Sinohadji, 2008).Disamping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang lebih menakutkan. Jika masyarakat melanggarPokobabalamakaAmmatoatidak akan menghadirisetiapacara atau pesta yang dilangsungkannya.KetikaAmmatoatidak hadir maka setiap acara atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia.Bagi merekayang telah melanggarnya,lebih baik dipenjara seumur hidup daripada harusterkenaPokobabala. Lebih menakutkan lagi karena sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai tujuh turunan.Apabilasebuah pelanggarantidak diketahuisiapapelakunya, makaadat Ammatoa akan melangsungkanupacaraattunupanrolik(membakar linggis sampai merahkarena panasnya).Mendahului upacaratersebut dipukullah gendang di rumahAmmatoadengan irama tertentu yang langsungdiketahui oleh warga masyarakatKeammatoaan,bahwa mereka dipanggilberkumpul untuk menghadiri upacaraattunupanrolik.Kepada setiap warga masyarakatKeammatoaandipersilakan memegang linggisyang sudah berwarna merah karena panasnya.Bagi orang yang tangannya melepuh ketika memegang linggis tersebut, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yangbukan pelaku, tidak akan merasakan panasnyalinggis tersebut. Akan tetapi pada umumnyapelaku tidak mau menghadiri upacara tersebut,sehingga untuk mengetahui pelakunya (yangmutlak harus dicari), maka diadakan upacaraattunu passauk(membakar dupa)(Salle, 2000).Mendahului upacara tersebut, terlebihdisampaikan pengumuman kepada segenapwarga selama sebulan berturut-turut, denganharapan bahwa pelaku, maupun yangmengetahui perbuatan penebangan pohon ituakan datang melapor kepadaAmmatoa.Hal itusangat perlu, karena akibat dariattunu passaukyang sangat berat, yaitu bukan hanya menimpapelaku, akan tetapi juga kepadaketurunannya.Attunu passaukdiadakan setelahattunupanrolikgagal menemukan pelaku. Upacaradilakukan olehAmmatoabersama pemuka adatdi dalamBarong Karamaka.Attunu passaukadalah kegiatan menjatuhkanhukuman in absentia.Hukumanini dipercaya langsung diberikan olehTurek Akrakna,yangberupamusibahsecaraberuntun, baik padapelaku, keluarga,dan keturunannya, serta oranglain yang mengetahui perbuatan itu,namuntidak melaporkannya kepadaAmmatoa(Salle, 2000).Namun, dalam masyarakat Kajang sendiri, pemberlakukan denda dan sanksi bagi pelanggar kelestarian hutan hanyalah sarana saja (bukan tujuan itu sendiri) karena idealitas yang mereka kehendaki sebenarnya adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang terbebas dari sanksi apapun. Sanksi dalam konteks ini berarti hanya berfungsi sebagai sarana prevensi agar pelanggaran terhadap kelestarian hutan dalam bentuk apapun tidak akan dilakukan oleh komunitas Ammatoa. Lantas, apa kira-kira rasionalisasi dari pemberlakuan sanksi tersebut?Bagi masyarakat Kajang, hutan ibarat seorang ibu yang memberikan perlindungan sekaligus harus dilindungi. Perumpamaan ini sebenarnya tidak hanya mengandung makna filosofis saja, tetapi juga berimplikasi pada manfaat praktis terkait dengan kegiatan-kegiatan pelestarian hutan. Terkait dengan hal ini, setidaknya ada dua fungsi utama hutan bagi masyarakat Kajang. Pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata rantai dari sistem kepercayaan yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral.Konsekuensi dari kepercayaan tersebut tergambar pada upacara yang dilakukan dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat(Ammatoa), attunu passaung(upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan upacaraangnganro(bermohon kepadaTurek Akraknauntuk suatu hajat baik individu maupun kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, dimana hutan dipandang sebagai pengatur tata air(appariek bosi, appariek tumbusu),yangmenimbulkan adanyahujan danmenyimpan cadanganair(Restu dan Sinohadji, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Adhan, S., 2005, Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang: Pergulatan Tiada Akhir,dalam Hikmat Budiman, ed.,Hak-Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia,Jakarta: Yayasan Interseksi bekerjasama dengan Tifa Foundation. Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang,diakses darihttp://www.liputan6.com/progsus/?id=20087 Restu, M.,&Emil Sinohadji.Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang).Diakses pada Tanggal 29Agutus2008 darihttp://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind Rossler, M., 1990, Striving for modesty; Fundamentals of the religion and social organization of the MakassaresePatuntung,In:Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde146 (1990), no: 2/3, Leiden, 289-324. Diakses darihttp://www.kitlv-journals.nl/files/pdf/art_BKI_1393.pdf Salle, K, 2000, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, dalam Jurnal Pascasarjana Universitas hasanuddin Vol. 1 Thn. 2000. Diakses darihttp://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/vol_1_2/kaimud.pdf Suriani, 2006, Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang, dalam Harian SoreSinar HarapanEdisi 06 Februari 2006. Usop, KMA. M. 1985.Pasang ri Kajang:Kajian Sistem Nilai Masyarakat AmmaToa dalam Agama dan Realitas Sosial.Diterbitkan untuk Yayasan Ilmu-ilmuSosial,Hasanuddin University Press. Widyasmoro, T.T., 2006, Kajang, Badui dari Sulawesi, dalamMajalah IntisariEdisi: No. 511 TH.XLIII Februari 2006. Diakses darihttp://www.intisari-online.com Gunawan, Restu, 2008,Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra, Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jalarta (http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/dps/detail/2014/01/24/Menjadikan-Nilai-Kearifan-Lokal-Sebagai-Benteng-Kelestarian-Pesisir-Bali-awal1akhir/201401240010 (http://www.wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/adat-kebudayaan) (http://www.wisatabaliaga.com/blog/makna-dan-tujuan-ngaben-di-bali/) (http://kabarinews.com/utama-2-uniknya-upacara-pernikahan-adat-bali/56350) http://cloud.papua.go.id/id/budaya/adat/Pages/Jew,-Rumah-Adat-Suku-Asmat-.aspx http://wacananusantara.org/perahu-lesung-transportasi-suku-asmat/ http://www.papuabaratnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1015:tradisi-potong-jari-di-papua-by-tim-wacana-nusantara&catid=43:unik&Itemid=403 http://www.jalanjalanyuk.com/papua-memiliki-tradisi-potong-jari/ http://cloud.papua.go.id/id/budaya/adat/Pages/Jew,-Rumah-Adat-Suku-Asmat-.aspx http://wacananusantara.org/perahu-lesung-transportasi-suku-asmat/ (http://www.anneahira.com/suku-asmat-di-irian-jaya.htm)

2