Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

29
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 1/29 1 LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV FARMAKOTERAPI PASIEN FEBRIS TIFOID, OBSTRUKSI KONVULSI, DAN DIARE AKUT DEHIDRASI SEDANG Disusun oleh: 1. Hesti Pri Haryani (G1F012034) 2.  Nindya Nur Bagaskarina (G1F012048) 3. Curie Julia Kulzumia (G1F012054) 4. Sariah Aini Rahmawati (G1F012086) 5. Putri Margareta (G1F012088)  Nama Dosen Pembimbing : Ika Mustika, M.Sc., Apt. Tanggal Diskusi Dosen : Senin/ 28 September 2015 (08.00 –  11.30 WIB)  Nama Asisten : Kiky Tanggal Diskusi Kelompok : Senin/ 21 September 2015 (08.00  –  11.30 WIB) Laboratorium Farmasi Klinik Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman 2015

Transcript of Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

Page 1: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 1/29

1

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

FARMAKOTERAPI PASIEN FEBRIS TIFOID, OBSTRUKSI KONVULSI, DAN

DIARE AKUT DEHIDRASI SEDANG

Disusun oleh:

1. 

Hesti Pri Haryani (G1F012034)

2.   Nindya Nur Bagaskarina (G1F012048)

3.  Curie Julia Kulzumia (G1F012054)

4.  Sariah Aini Rahmawati (G1F012086)

5.  Putri Margareta (G1F012088)

 Nama Dosen Pembimbing : Ika Mustika, M.Sc., Apt.

Tanggal Diskusi Dosen : Senin/ 28 September 2015 (08.00 –  11.30 WIB)

 Nama Asisten : Kiky

Tanggal Diskusi Kelompok : Senin/ 21 September 2015 (08.00 –  11.30 WIB)

Laboratorium Farmasi Klinik

Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

2015

Page 2: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 2/29

2

Kasus Praktikum Farmakoterapi IV (Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, dan Diare

Akut Dehidrasi Sedang)

A.  Kasus

1. Identitas Pasien

 Nama Pasien An. H. T Umur/ TTL 1 Tahun

 No. Rekam Medis 541xxx Berat Badan 9 Kg

Alamat Mandirancan Tinggi Badan -

Status Jaminan - Jenis Kelamin Laki-laki

2. Riwayat MRS

Tanggal MRS 30/01/2014 Tanggal KRS 13/02/2014

Riwayat MRS Demam tinggi, Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurangdari 15 menit, sebelum/ sesudah kejang sadar, saat kejang

tidak sadar, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB

(+) cair 12 x 1 nyemprot, kuning (+), bau (+)

Riwayat Penyakit -

Riwayat Obat/

Supplemen

Sanmol

Riwayat Lifestyle -

Alergi -

Diagnosa Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, DADS (Diare Akut

Dehidrasi Sedang)

3. Parameter Penyakit

TTVTanggal

30-01 31-01 1-02 2-02 3-02 4-02 5-02 6-02 7-02

Tekanan

Darah

- - - - - - - - -

 Nadi 126 140 136 120 140 136 142

Suhu 40,8 38,3 38,6 38,2 37 37,4 36,8

RespiratoryRate

42 40 36 24 44 46 40

4. Data Laboratorium

Pemeriksaan SatuanTanggal

30-01 01-02

Hb g/ dL 12,2

Leukosit /  18390

Hematokrit % 39

Trombosit /   114000

Page 3: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 3/29

3

 Na mmol/L 133

K mmol/L 3,0

Cl mmol/L 98

Ca mg/ dL 7,9

GDS 106/   348 110Eritrosit fl 5,4

MCV pg 72,7

MCH % 22,8

MCHC % 31,4

RDW % 27,9

Eosinofil % 0,1

Basofil % 0,2

Batang % 0,8

Segmen % 79,9

Limfosit % 16,0

Tabel 5. Pemeriksaan Penunjang

 Nama

Pemeriksaan Hasil

Tanggal

30-01-2014

Paratyphi

A-O (-)

A-H (-)

B-O (-)

B-H (-)

C-O (+ titer 1/80)

C-H (-)

 Nama

Pemeriksaan

SERO IMUNOLOGI

IgM Anti Toxoplasma (non reaktif)

IgG Anti Toxoplasma (-/ < 0,130

AU/m)

IgM Anti CMV (non reaktif)

IgG Anti CMV (+/ 66,82 AU/m)Tanggal

11-02-2014

6. Terapi

Obat Dosis FreqTanggal

30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

O2  3 lpm √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

IV FD KAEN IB 300

mg

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Page 4: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 4/29

4

Inj. Ampicilin 150

mg3

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Inj. Kemicetin 25

mg 3

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Luminal 100

mg2

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Inj.

Phenobarbital1 1

√ 

Zink Kid 1 cth 3 √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Sanmol 3 √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

ASI ad Libitum ½ cth √  √  √  √  √  √ 

P.O Mukos ½ cth 3 √  √  √  √  √ 

Fisioterapi Jika

Tidak Demam

√  √  √  √ 

Cefixime ½ cth 2 √  √ 

Fartolyn ½ cth 3 √  √ 

Tabel 7. Terapi Saat KRS

 Nama Obat Dosis Frekuensi Jumlah

Cefixime

Fartolyn

Zink

½ cth

½ cth

1

2

3

1

B.  Dasar Teori

1.  Patofisiologi

Demam Tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhy (S typhy) atau Salmonella paratyphi ( S paratyphi ) yang masuk

kedalam tubuh manusia (Djoko Widodo, 2006). Demam tifoid adalah penyakit

infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam

lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. S.

typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian

Page 5: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 5/29

5

kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.

Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik

seperti : demam, malaise, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan

mental dan koagulasi (Ngastiyah, 2005).

Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus,

Adenovirus enteritis), bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit

(Biardia, Lambia). Menurut patofisiologi diare secara garis besar dibagi menjadi

diare osmotik dan diare sekretorik. Namun, infeksi mikroorganisme sering

menyebabkan diare kombinasi antara osmotik dengan sekretorik. Diare osmotik

relatif umum terjadi pada anak-anak, hal ini terjadi jika makanan sulit atau tidak

dapat diabsorpsi di usus maka osmotik di usus akan mengingkat, sehingga air akan

ditarik ke dalam usus dan dikeluarkan dari usus dalam bentuk cair (Hegar, 2003).

Obstruksi konvulsi atau kejang demam kejang demam adalah kenaikan

suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial

listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan kejang. Peningkatan

suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam

waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut

dengan akibat lepasnya muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya

sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan

 bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam

yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan

gejala sisa. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan

anatomis di otak hingga terjadi epilepsi disertai denyut jantung yang tidak teratur

dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnyaaktivitas otot (Betz, 2002).

Page 6: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 6/29

6

Gambar 1. Skema hubungan Demam Tifoid, Obstruksi Konvulsi, dan DADS

(Soegijanto, 2002). 

Gambar 2. Skema hubungan demam dengan kejang (Soegijanto, 2002).

Page 7: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 7/29

7

2.  Guideline Terapi

Gambar 3. Managemen Kesehatan Masyarakat berdasarkan kasus dan paparan

(Balasegaram S., et al ., 2012).

Page 8: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 8/29

8

Gambar 3. Lanjutan (Balasegaram S., et al ., 2012).

Page 9: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 9/29

9

Gambar 4. Managemen Kesehatan Masyarakat dari Kasus S.typhi atau paratyphi

(Balasegaram S., et al ., 2012).

Berdasarkan algoritma diatas, pasien pada Question 1 masuk dalam Possible Case

dimana sakit yang diderita pasien sudah termasuk akut ditandai dengan terdapat paparan

gejala yang timbul pada pasien tersebut. Menurut algoritma diatas, perlu dilakukan tes

atau uji terkait seperti kultur bakteri untuk menegakkan diagnosis selanjutnya. Terapi

 berdasarkan algoritma diatas yaitu dengan antibiotik.

Page 10: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 10/29

10

C.  Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan

1. Subjective

Identitas Pasien

 Nama Pasien An. H. T Umur/ TTL 1 Tahun

 No. Rekam Medis 541xxx Berat Badan 9 Kg

Alamat Mandirancan Tinggi Badan -

Status Jaminan - Jenis Kelamin Laki-laki

Riwayat MRS

Tanggal MRS 30/01/2014 Tanggal KRS 13/02/2014

Riwayat MRS Demam tinggi, Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurang

dari 15 menit, sebelum/ sesudah kejang sadar, saat kejang

tidak sadar, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB(+) cair 12 x 1 nyemprot, kuning (+), bau (+)

Riwayat Penyakit -

Riwayat Obat/

Supplemen

Sanmol

Riwayat Lifestyle -

Alergi -

Diagnosa Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, DADS (Diare Akut

Dehidrasi Sedang)

Catatan : Demam Tinggi karena adanya febris tifoid (Boedina Kresno dkk, 1992).Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurang dari 15 menit, sebelum/

sesudah kejang sadar, saat kejang tidak sadar karena adanya obstruksi

konvulsi, tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang

(Carpenito, 2000).

BAB cair 12 x 1 nyemprot kuning dan bau menandakan bahwa pasien

mengalami diare akut karena konsistensi feses yang menunjukkan

hasil tersebut (WHO, 2008).

2.  Objective

Parameter Penyakit

TTV

Tanggal Norma

lKeterangan

30-0131-

01

1-

02

2-

02

3-

02

4-

02

5-

02

6-

02

7-

02

TD- - - - - - - - - 120/80 -

 Nadi 126 140 136 120 14013

6

14

2

88xMeningkat karena

febris tifoid dan

Page 11: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 11/29

11

obstruksi

konvulsi

(Carpenito,

2000).

Suhu 40,8 38,338,

6

38,

237

37,

4

36,

8

36-

36,5

Meningkat karenafebris tifoid dan

obstruksi

konvulsi

(Carpenito,

2000).

RR 42 40 36 24 44 46 40 20x

Meningkat karena

febris tifoid dan

obstruksi

konvulsi

(Carpenito,

2000).

Data Laboratorium

Pemeriksaan SatuanTanggal  Nilai

 NormalKeterangan

30-01 01-02

Hb g/ dL 12,211,5 –  14,8

 Normal

Leukosit /  18390 4,5 –  10,0

Meningkat adanya infeksi bakteri

 pada saluran pencernaan dan

adanya demam (Bates, B., 1995).

Hematokrit % 39 35 –  50 Normal

Trombosit /   114000150.000 –  400.000

Menurun adanya demam (Bates, B.,

1995).

 Na mmol/L 133 135 –  145

Menurun adanya kekurangan

elektrolit dalam tubuh karena diare

(Bates, B., 1995).

K mmol/L 3,0 3,6 –  5,8Menurun adanya kekurangan

elektrolit (Bates, B., 1995).

Cl mmol/L 98 98 –  110 Normal

Ca mg/ dL 7,9 9 –  11,5Menurun, karena dehidrasi sedang

(WHO, 2008).

GDS 106/   348 110<140

mg/dL

Meningkat pada tanggal 30/01 dan

menurun pada tanggal 01/02

Diagnosis diabetes dapat

ditegakkan bila terdapat gejala

klasik DM disertai glukosa plasma

sewaktu ≥200 mg/dL (11,1mmol/L). Apabila konsentrasi

glukosa >400 mg/dL, kemungkinan

adanya ketonemia perlu

dipertimbangkan (Prodia.co.id,

2015).

Page 12: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 12/29

12

Eritrosit fl 5,4 4,5 –  5,5 Normal

MCV pg 72,7 80 –  96

Menurun karena eritrosit lebih kecil

dari biasanya (mikrositik) seperti

 pada anemia karena kekurangan zat

 besi(Carpenitto.LJ, 2000).

MCH % 22,8 27- 31

Menurun karena eritrosit lebih kecil

dari biasanya (mikrositik)

(Carpenitto.LJ, 2000).

MCHC % 31,4 32 –  36 Normal

RDW % 27,9 < 16

Meningkat karena adanya variasi

dalam ukuran eritrosit (anisositosis)

 bersama dengan variasi dalam

 bentuk (poikilositosis)

(Carpenitto.LJ, 2000).

Eosinofil % 0,1 1,0 –  3,0

Menurun karena adanya syok atau

stress pada anak (Boedina Kresno

dkk, 1992).

Basofil % 0,2 0,0 –  1,0 Normal

Batang % 0,8 2,0 –  6,0Menurun karena adanya demam

(Bates, B, 1995).

Segmen % 79,950,0 –  70,0

Meningkat, adanya infeksi bakteri

menyebabkan diare akut (Bates. B,

1995).

Limfosit % 16,020,0 –  40,0

Menurun menandakan adanya

anemia atau demam (Boedina

Kresno dkk, 1992).

Pemeriksaan Penunjang

 Nama

Pemeriksaan

Uji Widal

Hasil

Tanggal30-01-2014

Paratyphi

A-O (-)

A-H (-)B-O (-)

B-H (-)

C-O (+ titer 1/80)

C-H (-)

 Nama

Pemeriksaan

SERO IMUNOLOGI

IgM Anti Toxoplasma (non reaktif)

IgG Anti Toxoplasma (-/ < 0,130 AU/m)

IgM Anti CMV (non reaktif)

IgG Anti CMV (+/ 66,82 AU/m)Tanggal

11-02-2014

Page 13: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 13/29

13

Hasil pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥

1/200 atau peningkatan ≥ 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah pada

demam typhoid, meskipun dapat terjadi positif ataupun negatif palsu akibat adanya

reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis mikrobiologis merupakan metode

diagnosis yang paling spesifik. Kultur darah dan sum-sum tulang positif pada minggu

 pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja dan kultur urin

 positif (Wong, 2003).

Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O

maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria

tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada aglutinin H (Loho, T., et

al ., 2000).  Dari data penunjang yang didapatkan, terlihat bahwa adanya jenis

 paratyphi C dengan aglutinin C memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka dapat

dikatakan pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih besar dari

nilai normal yaitu 1/160.

(Loho, et al, 2012).

Hasil IgM Anti Toxoplasma untuk mengetahui adanya infeksi akut karena

muncul setelah 5 hari terkena infeksi dan meningkat cepat dalam 1-2 minggu lalu

menghilang dalam beberapa bulan tetapi hasil seroimunologinya negatif sehingga

tidak adanya infeksi akut (Prodia.co.id, 2015).

Status kekebalan pasien terhadap parasit toxoplasma dapat dikatakan baik

karena hasilnya negatif dengan titer rendah serta tidak adanya infeksi akut karena

tidak ada peningkatan IgG (Prodia.co.id, 2015).

Hasil IgM Anti CMV adalah non reaktif karena manfaat dari pengujian ini

untuk mendiagnosis infeksi CMV primer atau reinfeksi (pada wanita hamil dan

 janinnya), dan sebagai uji saring pada pasien transplantasi (Prodia.co.id, 2015).

Page 14: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 14/29

14

Hasil dari IgG Anti CMV adalah positif 66,82 AU/ mL menandakan bahwa

hasil borderline akan diulang terlebih dahulu. Jika hasil tetap borderline maka pada

hasil diberi catatan "mohon periksa ulang 2-3 minggu kemudian ini sebagai

monitoring terapi untuk pasien hingga menghasilkan nilai negatif. Uji ini dilakukan

untuk menguji adanya infeksi CMV masa lampau (IgG stabil), infeksi aktif atau

reinfeksi (IgG meningkat), dan mengidentifikasi carrier CMV sebelum menjadi donor

darah maupun organ (Prodia.co.id, 2015).

3.  Assesment

Diagnosa pasien : Febris typhoid, obs. Konvulsi, DADS.

subjektif Objektif Assessment

Kejang –  kejang seluruh badan,

kaku < 15 menit, sebelum/

sesudah kejang sadar, saat

kejang tidak sadar.

 Nadi meningkat,

Suhu meningkat,

RR meningkat.

Obstruksi konvulsi

Demam tinggi Suhu, Nadi, RR,

leukosit,

hematokrit, basofil,

segmen meningkat.

Eosinofil, batang,limfosit menurun.

Febris tyfoid

BAB (+) cair 12x, nyemprot,

kuning (+), bau (+)

 Natrium menurun,

kalium menurun,

kalsium menurun.

(Elektrolit tubuh

menurun)

Diare Akut

Dehidrasi Sedang.

(Djoko, 2006)

Drug Terapi Problem

Problem Paparan Problem Rekomendasi

Duplikasi terapi Pasien diberi injeksi

luminal (phenobarbital)

sebagai profilaksis

kejang dan juga inj

Pemberian inj luminal

(Phenobarbital) untuk

anak dengan dosis 4

mg/kg BB 1 kali sehari

sebagai terapi

 profilaksis kejang dan

Page 15: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 15/29

15

 phenobarbital untuk

terapi kejang akut

Terapi antibiotik yang

diberikan yaitu inj.

Ampicilin dan kemicetin

(kombinasi)

Diazepam sebagai

terapi kejang demam

akut dosis 0,3 mg/kg

BB (IDI,2005).

Monoterapi antibiotik

yaitu Kloramfenikol

dengan dosis 50-

75mg/kg BB (WHO,

2003; Dipiro, 2008).

Terapi tidak diperlukan

(tidak ada indikasi

yang menunjukkan

 pasien membutuhkan

terapi tersebut)

Pasien diberikan Mukos

secara per oral

sedangkan pasien tidak

terdapat indikasi batuk.

Terapi mukos per oral

tidak diberikan

Terapi tidak diperlukan

(terapi tanpa obat lebih

sesuai)

Pasien mendapatkan

antibiotik cefixime

setelah 2 minggu

menggunakan antibiotik

amoxicillin dan

kemicetin

(chloramphenicol)

Cefixime tidak

diberikan karena tidak

ada gejala resistensi

dan pasien sudah

diberikan monoterapi

antibiotik

kloramfenikol yang

efektif untuk

mengobati demam

tifoid pada anak

(WHO, 2003;

Murray,2005)

Pasien tidak

membutuhkan fartolynkarena pasien tidak

terdapat indikasi batuk

Fartolyn tidak

diberikan

Page 16: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 16/29

16

4.  Plan

A.  Terapi MRS

1.  Dikasus

2.  Rekomendasi Penggantian Terapi

ObatDosi

sFreq

Tanggal

Kegunaan3

0

3

11 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

O2 3

lpm

Selama

MRS

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  Mengatasi

Sesak Nafas

Pasien

IV FD

KAEN IB 300

mg

Selama

MRS

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  Pengganti

Cairan

Tubuh

(Dehidrasi)

Inj.

Kemicetin 500

mg

1 x sehari

(0,5 g /

setengah

vial)

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ 

Antibiotik

Lini

Pertama

Inj.

luminal

4mg

/kg

BB/

hr

1

√  √  √  √  √  √  Profilaksis

Kejang

(Antikonvul

san)

Page 17: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 17/29

17

B.  Terapi KRS

 Nama obat Dosis Frekuensi Kegunaan

Sanmol Syrup 120mg

/5ml

3 apl/hr

1 sendok

teh

Mengatasi demam jika demam muncul

kembali (jika dibutuhkan, dimana pasien

masih mengalami demam setelah KRS)

Oralit 1 gelas 1 x setelah

BAB Cair(diare)

Mengatasi kekurangan cairan tubuh

akibat diare (jika dibutuhkan, dimana

 pasien masih mengalami diare setelah

KRS)

diazepam5

mg/

kgBB

Pada saat

kejang

MRS

secara

 per rektal

√ 

Terapi

kejang

demam akut

Zink Kid 62,5

mg1 x sehari

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ Diare Pasien

Sanmol

Syrup

120

mg/

5 ml

3

√  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √  √ Anti

Demam

ASI

Ad

Libit

um

√  √  √  √  √  √  Mencukupi

Kebutuhan

 Nutrisi

Tambahan

Pasien

Page 18: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 18/29

18

C.  Monitoring

Parameter/Obat

MonitoringTarget

Keberhasilan Jadwal PemantauanKeberhasilan ESO

 Nadi <90 / menit - Nadi normal Setiap hari

RR 20-40 / menit - RR normal Setiap hari

Suhu 36-37 C - Suhu normal Setiap hari

Leukosit4,5  –   10,0

-Leukosit

normal

1 minggu 1 kali

Trombosit150.000-

400.000 /  -

Trombosit

normal

1 minggu 1 kali

Eritrosit 4,5 –  5,5 fl -Eritrosit

normal

5 hari 1 kali untuk

 pemantauan

 penggunaan

antibiotik

kloramfenikol

karena memilikiESO anemia

Hb 11,5-14,8 - Hb normal

5 hari 1 kali untuk

 pemantauan

 penggunaan

antibiotik

kloramfenikol

karena memiliki

ESO anemia

Kimecitin

Demam

turun, tidak

diare, BAB

tidak kuning

anemia

Atasi diare

dan infeksi

akibat  s.

 paratypi 

Setiap hari

Zink Tidak diare - Atasi diare Setiap hari

SanmolTidak

Demam-

Turunkan

demam

Setiap hari

Page 19: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 19/29

19

O2  Tidak Sesak -

Tidak sesak

nafas, RR

normal

Setiap hari

  Alasan pemberian Antibiotik

Menurut literatur Dipiro (2008) dan WHO (2003), kloramfenikol, amoxicillin,

dan trimetropim-sulfametoksazol merupakan terapi antibiotik untuk demam

tifoid. Di indonesia, terapi antibiotik lini pertama untuk terapi demam tifoid

adalah kloramfenikol (Anonim, 2006). Penggunaan antibiotik kloramfenikol

dapat menurunkan demam lebih cepat (4,2 hari) dibandingkan antibiotik untuk

demam tifoid lainnya (Tumbelaka, 2005). Selain itu lama rawat inap pasien

demam tifoid yang diberikan kloramfenikol juga paling singkat dibandingkan

dengan pasien yang diberikan antibiotik azitromicin, cefixime, dan tiamfenikol

(Rampengan, 2013).

(Dipiro, 2008)

(WHO, 2003)

(Anonim, 2006)

Page 20: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 20/29

20

(Rampengan, 2013) dan (Tumbelaka, 2005)

Berikut ini tabel dosis antibitik kloramfenikol :

(WHO, 2003)

  Alasan Pemberian Fisioterapi

Dasar pemberian terapi fisik (fisioterapi), Dokter sering

merekomendasikan terapi fisik (PT) untuk anak-anak dan remaja yang telah

terluka atau yang memiliki masalah gerakan dari suatu penyakit, penyakit, atau

cacat. Setelah cedera, terapis fisik bekerja untuk mengurangi rasa sakit dan

membantu anak-anak kembali ke aktivitas sehari-hari. Mereka mengajarkan

latihan kepada anak-anak yang dirancang untuk membantu mereka mendapatkan

kembali kekuatan dan gerakan, dan juga menunjukkan kepada anak-anak dan

keluarga bagaimana mencegah cedera selanjutnya (Kidshealth.org).

Terapi fisik mungkin diperlukan pasien yang mempunyai masalah dengan

gerakan yang sering membatasi kegiatan sehari-hari seseorang. Terapi fisik

menggunakan berbagai perawatan untuk membantu membangun kekuatan,

meningkatkan gerakan, dan memperkuat keterampilan yang dibutuhkan untuk

melakukan kegiatan sehari-hari (Kidshealth.org).

Page 21: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 21/29

21

Pada pasien An. H.T berusia satu tahun, diperlukan pemberian

fisioterapi karena pasien mengalami kejang-kejang dan dirawat dirumah sakit

lebih dari satu minggu. Pemberian fisioterapi ini ditujukkan untuk

mengembalikan fungsi alat gerak pasien yang dimungkinkan mengalami ke

kakuan. Pemberian fisioterapi dilakukakn ketika pasien tidak mengalami

demam. Selain mengebalikan fungsi alat gerak fisioterapi juga ditujukkan untuk

menghindari gangguan pada pertumbuhan pasien karena usia pasien masih

dalam masa pertumbuhan.

 

Alasan Pemberian Terapi Antikonvulsant dengan Inj. Luminal dan Diazepam

Terapi kejang demam akut (antikonvulsan) pada saat pasien MRS yaitu

mengunakan diazepam dengan dosis 5 mg/kg BB secara per rektal kemudian

diberikan terapi untuk profilaksisnya yaitu diberikan terapi profilaksis kejang

yaitu luminal (fenobarbital) dengan dosis 3-4 mg/Kg BB/ hari 1 kali sehari

selama pasien mengalami demam dimana suhu mencapai > 37.5 ˚C (Ikatan

dokter anak indonesia, 2005. Unit Kerja Neurologi: Konsensus

 Penatalaksanaan Kejang Demam.  Unit Kerja Neurologi Ikatan dokter anak

indonesia, Jakarta). 

Page 22: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 22/29

22

D.  Terapi Non Farmakologi

a.  Pemberian ASI yang cukup pada 1 jam sebelum dan 2 jam setelah minum

obat (Kamicetin Antibiotik Golongan Tetrasiklin).

 b. Konsumsi makanan padat serta produk makanan yang mengandung susu.

c. 

Pemberian Cairan Rehidrasi Oral atau dua buah pisang atau satu gelas jus jeruk untuk menggantikan kalium yang hilang.

(Lung, 2003; Dipiro,2005).

E.  KIE

a)  Keluarga

Pemberian edukasi dan konseling kepada keluarga pasien:

  Cara penggunaan yang benar dan teratur

  Kepatuhan dalam menggunakan antibiotik yang diresepkan

  Tidak boleh berhenti minum antibiotik tanpa sepengetahuan

Dokter/Apoteker (harus diminum sampai habis kecuali jika terjadi

reaksi obat yang tidak diinginkan)

  Cara penyimpanan antibiotik

 

Cara / prosedur pembuatan larutan oralit dan cairan rehidrasi oral

agar dapat diterapkan ketika pasien sudah pulang dari Rumah Sakit

sebagai penambah cairan tubuh bagi pasien pengganti infus.

Page 23: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 23/29

23

b)  Tenaga Kesehatan

  Informasi terkait frequensi pemberian obat injeksi seperti inj

kemicetin dan inj fenobarbital

  Monitoring data lab (nadi, rr, leukosit, limfosit, suhu) untuk perawat

 

Tenaga gizi untuk memilihkan asupan makan untuk pasien

D. Kesimpulan

Terapi untuk anak umur 1 tahun yang didiagnosis demam tifoid, diare dan

mengalami kejang adalah antibiotik kloramfenikol dosis 500mg perhari selama

14 hari, injeksi luminal untuk pengobatan kejang ketika MRS dan diazepam untuk

terapi profilaksis antikonvulsan, zink untuk terapi diare dimana diberikan lebih

dari 10 hari yaitu 15 hari, pemberian O2 untuk mengatasi sesak nafas pada pasien

selama di Rumah sakit, sanmol diberikan sebagai terapi antipiretik, dan pemberian

infus KAEN. Pemberian ASI sebagai terapi untuk diare dan memenuhi kebutuhan

elektrolit serta energi bagi pasien.

Page 24: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 24/29

24

Daftar Pustaka

Alodokter, 2015. Lumpuh Otak. ://www.alodokter.com/lumpuh-otak. diakses tanggal

28 September 2015.Anonim, 2006, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid , Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta.

Bates. B, 1995. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002.  Buku Saku Keperawatan Pediat ri. Jakarta :

EGC.

Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. EGC.

Jakarta.

DeChacare. 2015. Informasi Obat. http://www.DechaCare.com. diakses tanggal 21

september 2015.

Dipiro. 2005. Pharmacotherapy :  A Pathophysiology Approach Ed 6 th .  New York :

McGraw-Hill.

Dipiro. 2008. Pharmacotherapy :  A Pathophysiology Approach Ed 7 th .  New York :

McGraw-Hill.

Djoko Widodo. 2006, Demam Tifoid, Dalam: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,

Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati, eds.  Buku Ajar Ilmu

 Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV, Pusat Penerbitan Departement Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 1752-1756,

Jakarta.

Frances K. Widmann, alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk.. 1992. Tinjauan Klinis

 Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1. Jakarta :

EGC.

Gilman, A. G., Goodman, L. S., Rall, T. W. and Mirad, F. 1985. The Pharmacological

 Basic Of Therapeutics, 7th ed . New York : Macmillan Publishing

Company.

Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al . 2001.  Practice Guidelines for the

 Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases.

Hegar B, Kadim M. 2003. Tatalaksana diare akut pada anak dalam Majalah

kesehatan Kedokteran indonsia, Vol 1 No 06.

Kemenkes RI, 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI

Page 25: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 25/29

25

Kidshealth. http://kidshealth.org/parent/system/ill/phys_therapy.html# . Diakses pada

tanggal 05 Oktober 2015. 

Loho, T., Sutanto, H., Silman, E. 2000. Dalam:  Demam tifoid peran mediator,diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan

 bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : UI Press.

Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,

editors. 2003. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd

edition. New York : Lange Medical Books. 131 - 50.

Murray, P.R., Baron EJ, Pfalter EA, Jenover FC, Yolker RH, 2005, Manual of Clinical

Microbiology, Edisi ke-6, ASM Press, Washington DC. Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC.

Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf. 

Prodia. 2015. IgG Anti CMV.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-CMV-IgG.  diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgG Anti CMV.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-CMV-IgG.  diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgG Anti Toxoplasma.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-Toxoplasma-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgG Anti Toxoplasma.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-Toxoplasma-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgM Anti CMV.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-CMV-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgM Anti CMV.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-CMV-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.

Page 26: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 26/29

26

Prodia. 2015. IgM Anti Toxoplasma.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-Toxoplasma-IgM  . diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. IgM Anti Toxoplasma.

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-Toxoplasma-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.

Prodia. 2015. Pemeriksaan Laboratorium: IgG Anti CMV. 

http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant 

i-CMV IgG. diakses tanggal 21 september 2015.

Rampengan, Novie H. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

 pada Anak. Sari Pediatri 14(5):271-6.Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 . Jakarta :

Prima Medika.

Soegijanto, Soegeng, 2002,  Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan,

Salemba Medika, Jakarta.

Tim Adaptasi Indonesia. 2008. Pelayanan Kesehatan anak di Rumah Sakit. Jakarta :

WHO. 132-142.

Tumbelaka AR. 2005. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium

infeksi pediatri - tropik dan gawat darurat anak. Surabaya: SurabayaIntellectual Club, 37-47.

WHO, 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment And Prevention Of

Typhoid Fever. This publication is available on the Internet at:

www.who.int/vaccines-documents/

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Jakarta: EGC.

Page 27: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 27/29

27

 Lampiran 1 

Pertanyaan :

1. 

Devi Yanti : Penggunaan anti konvulsan luminal kenapa diganti dengan

fenobarbital? Tolong cari jurnalnya.

2.  Lala Febria : Hasil paratyphi itu cara membacanya bagaimana?

3.  Ihsanti Dwi : Bagaimana regimen dosis untuk penggunaan kombinasi

kemicetin dan amoxicillin? Kenapa cefixime tidak digunakan?

4.  Ibu Imus : Apa pertimbangan Anda, mengapa tidak diberikan fisioterapi

 padahal terdapat riwayat obstruksi konvulsi?

Jawaban :

1. 

Seharusnya diberikan luminal (fenobarbital) dengan dosis 3-4 mg/Kg BB/ hari 1kali sehari dahulu untuk mengatasi kejangnya kemudian diberikan terapi untuk

 profilaksisnya yaitu diazepam dengan dosis 0,3 mg/kg BB (Ikatan dokter anak

indonesia, 2005. Unit Kerja Neurologi: Konsensus Penatalaksanaan Kejang

 Demam. Unit Kerja Neurologi Ikatan dokter anak indonesia, Jakarta).

Page 28: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 28/29

28

2. 

Dari data penunjang yang didapatkan, terlihat bahwa adanya jenis paratyphi C

dengan aglutinin C memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka dapat dikatakan

 pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih besar dari nilai

normal yaitu 1/160.

3.  Dilihat dari berat badan, menurut WHO pasien termasuk dalam kategori normal

yaitu 9kg umur 1 tahun (7.7kg  –   12kg). Dosis diberikan berdasarkan regimen

dosis dari WHO berikut ini :

1. Amoxicillin syrup = 75-100mg/kg 675-900mg 750 mg

Diberikan = 125mg/5ml diberikan 3 kali sehari sebanyak 10 ml dengan sendok

takar sirup. 2. Kloramfenikol IV

Karena lini pertama pengobatan demam thypoid adalah kloramfenikol dan

amoxicillin (antibiotik empiris) yang diberikan selama 15 hari (di RS) dengan di

monitoring Hb, eritrosit (ESO anemia), sedangkan cefixime merupakan terapi

alternatif atau lini ke dua (berdasarkan guideline). Karena pasien tidak

menunjukkan indikasi penggantian antibiotik maka cefixime (golongan

sefalosporin) tidak diberikan. Menurut WHO penggantian antibiotik ketika terjadi

Page 29: Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B

http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 29/29

resistensi. Pemilihan kloramfenikol dan amox adalah karena melihat segi

kenyamanan pasien dimana jika menggunakan cefixime diberikan 4 kali sehari

sedangkan kloram dan amox hanya 3 kali sehari.

4. 

Fisioterapi tetap dilakukan karena pasien mengalami kejang, kejang terjadi karena

suhu tubuh yang meningkat dan kejang juga salah satu dampak dari lumpuh otak.

Ada yang hanya mengenai salah satu sisi tubuh, bagian kaki saja, lengan saja, atau

kaki sekaligus lengan. Untuk itu perlu dilakukan fisioterapi, diantaranya:

a. 

Exercise Therapy atau Terapi Latihan

Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi sekaligus memberi

 penguatan dan pemeliharaan gerak agar bisa kembali normal atau setidaknya

mendekati kondisi normal. Kepada anak, akan diberikan latihan memegangmaupun menggerakkan tangan dan kakinya. Setelah mampu, akan dilanjutkan

dengan latihan mobilisasi, dimulai dengan berdiri, melangkah, berjalan, lari

kecil, dan seterusnya

 b.  Hydro Therapy atau Aquatik Therapy

Terapi dengan air berguna bagi anak-anak yang menagalami gangguan,

terutama gangguan gerak akibat spastisitas (kekakuan, nyeri, dan kesulitan

untuk digerakkan). Sedangkan pada anak yang terlambat berjalan, tentu sajasebelum diterapi mereka akan dievaluasi dulu baik dari usia, tingkat

kemampuan, maupun tingkat kesulitan yang dialami. Untuk bisa berjalan,

anak tentu saja harus melalui berbagai tahapan yang dimulai dengan

tengkurap, duduk, merangkak sampai berdiri. Biasanya anak tidak akan

langsung diajarkan berjalan bila tahap sebelumnya belum mampu ia lakukan.

Pada anak yang mengalami kesulitan bergerak karena spastisitas/kekakuan,

ketika di air, umumnya dia akan lebih mudah bergerak. Dengan demikian

diharapkan spastisitas anak akan berkurang mengingat adanya bantuan berupa

dorongan air yang sifatnya bisa melenturkan gerak tubuh. Meskipun tidak

semua anak dengan gangguan tersebut dapat diberikan hidro terapi air, tapi

terapi ini bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif.

(Aldokter, 2015).