Kelompok 1_Sriwedari

download Kelompok 1_Sriwedari

of 3

description

qq

Transcript of Kelompok 1_Sriwedari

TUGAS ADMINISTRASI PERTANAHANSENGKETA SRIWEDARI

DISUSUN OLEH :KELOMPOK IKELAS B

1. AHMAD SHOLIHNIM. 132227522. ALBERTO AGUSTINO SELLANNIM. 132227533. ALFIAN BUDI SAPUTRANIM. 132227544. ANDRI PUTRA HARMAINNIM. 132227555. ANISA SEKAR SARINIM. 13222756

DOSEN :Drs. ABDUL HARIS FARID, M.Si

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHANSEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONALYOGYAKARTA2014

SENGKETA SRIWEDARITaman Sriwedari dan Segaran dibangun oleh Paku Buwono X yang merupakan adik ipar KRMT Wirjodiningrat. KRMT Wirjodiningrat membeli tanah Sriwedari dari seorang Belanda bernama Johannes Buselar pada 1877 dengan status tanah RVE (hak milik). Alat buktinya adalah Gros akta no 59 tanggal 5 Desember 1887 Meefbrief No.4 tanggal 22 februari tahun 1884.dan pada tahun 1905 tanah dan bangunan Sriwedari dipergunakan pemerintah kota surakarta untuk membangun taman Sriwedari dan museum Radya Pustaka yang sekarang menjadi ikon kota SurakartaSetelah keluar Undang-undang Pokok Agraria tanggal 24 September 1960, status kepemilikan tanah didaftarkan kembali namun hanya mendapat status hak guna bangunan (HGB) 22 karena baru didaftarkan tahun 1965. Kemudian pada tahun 1973 SK Mendagri No.85 mencabut HGB 22 dan status tanah kembali menjadi tanah negaraKemudian Ahli waris KRMT Wirjodiningrat mengklaim memiliki bukti kepemilikan tanah Sriwedari seluas 10 hektar. Di atas tanah ini berdiri Taman Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Stadion Sriwedari, Gedung Wayang Orang, Segaran, Pujasera, Restoran Boga, dan bekas gedung bioskop Solo Theatre. Ahli waris KRMT Wirjodiningrat menggugat melalui Pengadilan Negeri Solo pada 1970. Pada 1980, keputusan kasasi di tingkat Mahkamah Agung menyatakan ahli waris berhak atas HGB 22 sampai 1980. Pemerintah Kota Solo membayar ganti rugi uang sewa persil dan gedung, sementara gugatan agar pemkot mengosongkan dan menyerahkan persil dan gedung kepada ahli waris tidak dapat diterima. Pada 1980 ahli waris memperpanjang hak kepada BPN Solo namun tidak diterima.Pada 1987 dan 1991, BPN menerbitkan Hak Pakai (HP) 11 dan HP 15 untuk tanah Sriwedari atas nama Pemkot Solo. Ahli waris KRMT Wirjodiningrat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara menuntut pembatalan HP 11 dan HP 15.Di PTUN Semarang, BPN kalah, tetapi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya BPN menang. Di tingkat kasasi BPN kalah. Saat ini sedang berlangsung proses pengajuan peninjauan kembali. 17 April 2007 PK BPN ditolak Mahkamah Agung.

KomentarKonflik yang terjadi antara Ahli waris dengan Pemkot Surakarta ini memang sampai saat ini belum menemukan titik temu.dalam melihat kasus ini kami berpendapat bahwa Pada waktu itu ahli waris tidak menguasai tanahnya secara fisik,dan tidak memanfaatkan sesuai dengan peruntukannya.dilihat dari pemerintah kota bisa membangun sarana untuk kpentingan umum dengan tidak ada keberatan dari ahli waris pada waktu tersebut. Sesuai Keppres 32 tahun 1997 dan peraturan Mendagri no.3 tahun 1979 disebutkan bahwa tanah bekas RVE sejak 24 oktober 1980 dinyatakan sebagai tanah negara,maka secara hukum tanah tersebut merupakan tanah milik negara ,jadi sudah betul penerbitan sertipikat hak pakai no.11 dan no.15 atas nama Pemerintah kota Surakarta.Pada tahun 1984 Pemerintah surakarta juga sudah memberikan ganti rugi kepada ahli waris. Pemerintah surakarta secara fisik telah menguasai/mengelola tanah tersebut untuk sarana umum kota Surakarta sehingga hak prioritas adalah pemerintah kota Surakarta. Walaupun keputusan Mahkamah agung dimenangkan ahli waris Wiryo namun keputusan MA tersebut belum ada eksekusi, karena Sriwedari secara historis adalah milik semua warga surakarta Kalaupun harus tunduk putusan MA bahwa sengketa tersebut dimenangkan ahli waris maka seharusnya dengan segala upaya dan kemampuan pemkot solo harus memperolehnya kembali dengan cara pembebasan tanah untuk kepentingan umum dengan kata lain dibeli pemkot untuk kepentingan umum, melalui proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Keputusan akhir dari proses hukum sebaiknya bisa menguntungkan kedua pihak, baik ahli waris maupun pemerintah lebih mengutamakan kepentingan publik, sehingga keputusan akan lebih pada kepentingan masyarakat banyak.