KELIMPAHAN, SEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN...
Transcript of KELIMPAHAN, SEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN...
18
KELIMPAHAN, SEBARAN DAN
KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR
(Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA
PENGELOLAAN BERBEDA
DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH
AMIN ASRIADI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
19
KELIMPAHAN, SEBARAN DAN
KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR
(Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA
PENGELOLAAN BERBEDA
DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
AMIN ASRIADI
105095003114
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/ 1431 H
20
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar
(Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan
Karst Gombong Jawa Tengah” yang ditulis oleh Amin Asriadi, NIM
105095003114 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 11 Februari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi
Biologi.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Priyanti, M. Si Megga Ratnasari Pikoli, M. Si
NIP. 132 283 153 NIP. 19720322.200212.2.002
Pembimbing I Pembimbing II
Fahma Wijayanti, M. Si Paskal Sukandar, M. Si
NIP. 150 326 910 NIP. 19510325.198210.1.001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env.
Stud
21
NIP. 19680117.200112.1.001 NIP. 150 375 182
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN
TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Februari 2010
Amin
Asriadi
105095003114
22
ABSTRAK
Amin Asriadi. Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar
(Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di
Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi.
Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2010.
Keberadaan kelelawar pada gua dengan pola pengelolaan berbeda dapat
mempengaruhi kelimpahan dan jenis kelelawar di dalamnya. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2009 dengan menghitung kelimpahan dan
mengidentifikasi kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa Tengah. Kelelawar
dikoleksi menggunakan mist net, harp net dan jaring bertangkai di sekitar mulut
Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan. Selama penelitian diperoleh
kelimpahan kelelawar pada Gua Petruk adalah ± 3927 ekor, Gua Intan ± 2884
ekor, Gua Jatijajar ± 1274 ekor dan Gua Liyah ± 433 ekor. Didapatkan 11 jenis
kelelawar yaitu Chaerephon plicata, Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus
australis, Rhinolophus affinis, Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C.
titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Rousettus amplexicaudatus dan Macroglossus
sobrinus. Hasil analisis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner menunjukan
keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi di Gua Petruk (H’ = 1,5024) dan
terendah di Gua Intan (H’ = 0,4504). Indeks Kemerataan Shannon Evenness menunjukan kemerataan jenis kelelawar tertinggi di Gua Liyah (E = 0,7956) dan
terendah di Gua Intan (E = 0,6497). Indeks Simpson menunjukan dominasi tertinggi di Gua Intan (C = 0,7220) dan terendah di Gua Petruk (C = 0,2371).
Cynopterus brachyotis dan Hipposideros larvatus merupakan jenis kelelawar yang paling sering ditemukan selama penelitian.
Kata kunci: Kelelawar, Gua, Karst.
23
ABSTRACT
Amin Asriadi. Species Abundance, Distribution and Diversity of Bats
(Chiroptera) in Various Cave Type With Diverge Managerial System at
Gombong Karst Area Central Java. Thesis. Biological Study Program.
Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2010.
The existence of bats in cave type with diverge managerial system are influenced abundance and species bats. This research was conducted on Juny to July 2009
that counting abundance and identify bats at Gombong karst area Central Java.
The bats were collected by using mist net, harp net and stalk net at flying track
surrounding cave’s mouth of Petruk Cave, Liyah Cave, Jatijajar Cave and Intan
Cave. Bats abundance at Petruk Cave amount ± 3927 bats, Intan cave amount ±
2884 bats, Jatijajar Cave amount ± 1274 bats and Liyah Cave amount ± 433 bats.
The eleven spesies were collected from this research, such as Chaerephon plicata,
Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus australis, Rhinolophus affinis,
Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C. titthaecheilus, Eonycteris spelaea,
Rousettus amplexicaudatus and Macroglossus sobrinus. The analysis result is
used Diversity Index of Shannon-Wienner showed the highest diversity at Petruk
Cave (H’ = 1,5024) and the lowest at Intan Cave (H’ = 0,4504). Similarity Index
of Shannon Evenness is showed the highest similarity at Liyah Cave (E = 0,7956)
and the lowest at Intan Cave (E = 0,6497). Domination Index of Simpson is showed the highest domination at Intan Cave (C = 0,7220) and the lowest at
Petruk Cave (C = 0,2371). Cynopterus brachyotis and Hipposideros larvatus are spesies that common and often founded during this research.
Keyword: Bats, Cave, Karst.
24
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala
rahmat dan hidayah-Nya yang dianugrahkan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah
SAW.
Skripsi berjudul “Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis
Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan
Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah” disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Biologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya naskah skripsi penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tersayang, Mimih dan Babeh yang selalu memberikan
dukungan do’a dan semangat. Adik-adikku: Fajar Nur Husein dan Nur
Ilham Zein, kalian berdua adalah sumber motivasi terbesarku untuk
menyelesaikan skripsi ini.
2. Fahma Wijayanti M.Si Selaku pembimbing I yang dengan ikhlas
memberikan bantuan, saran dan bimbingannya selama melaksanakan
penelitian hingga selesainya skripsi ini.
3. Paskal Sukandar M.Si selaku pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
25
4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
5. Dr. Lily Surayya EP. M. Env. Stud. selaku Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Narti Fitriana, M.Si dan Drh. Bhintarti S. Hastari, M.Biomed selaku
penguji I dan penguji II pada seminar proposal dan seminar hasil
penelitian yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Priyanti, M. Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M. Si selaku penguji I dan
penguji II pada sidang munaqosyah yang telah memberikan banyak
masukan pada penulis.
8. Seluruh staf pengajar Program Studi Biologi, terima kasih atas semua ilmu
yang telah diberikan, semoga bisa bermanfaat untuk penulis.
9. Desi Haryanti yang selalu memberikan perhatian dan motivasi ketika
senang maupun sedih.
10. Saudara-saudaraku tersayang yang juga melakukan penelitian di Karst
Gombong: Muhammad Rizki, Heru Harisma dan Marzuki Pujiantoro.
Tanpa kalian penulis tidak akan semangat dan tidak bisa bertukar fikiran.
Penelitian selama satu bulan bersama kalian menjadi sangat bermakna dan
indah.
26
11. Saudara-saudaraku di Biologi angkatan 2005 (BIOMA), Kita semua telah
mengarungi lautan dan gunung selama hampir 4 tahun bersama. Semoga
Allah SWT selalu memberkahi langkah kita semua.
12. Ade Suryadi, Irvan Rachmatullah, Luqman Budianto, Fachri Fahrudin,
Maulya Arfi S, Dede Elica, Galih Hakim Antarnusa, Walid Rumblat dan
seluruh warga kosan yang selalu memberikan keceriaan. Rangga Punji
Mulyawan yang merelakan laptopnya dipinjam selama penulisan skripsi
ini.
13. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan Rahmat dan
Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala
bantuan tersebut di atas. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik
yang membangun masih diharapkan. Akhir kata penulis berharap
bahwa skripsi ini berguna khususnya bagi penulis.
Jakarta, Februari 2010
(Penulis)
27
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK................................................................................................... i
ABSTRACT.................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 3
1.3. Hipotesis................................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian...................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian.................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5
2.1. Biologi Kelelawar..................................................................... 5
2.1.1. Klasifikasi Kelelawar .................................................... 5
2.1.2. Morfologi Kelelawar ..................................................... 6
2.1.3. Reproduksi Kelelawar ................................................... 8
2.1.4. Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar ........................... 9
2.1.5. Perilaku Makan Kelelawar ............................................ 10
2.2. Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar ........................................ 12
2.3 Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst............................ 14
2.4 Kawasan Karst Gombong .......................................................... 16
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................. 18
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 18
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................... 19
3.3 Cara Kerja ................................................................................ 19
3.3.1 Penentuan Lokasi Penelitian.......................................... 19
3.3.2 Pengambilan Sampel ..................................................... 19
3.3.3 Metode Estimasi Kelelawar........................................... 21
3.4 Analisis Data ............................................................................ 21
3.4.1. Identifikasi Jenis Kelelawar............................................ 21
3.4.2. Indeks Keanekaragaman Jenis. ...................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................. 25
4.1. Kondisi Umum Gua Pengamatan ................................................ 25
4.2. Kelimpahan Kelelawar Pada Tiap Gua........................................ 31
4.3. Jenis-Jenis Kelelawar.................................................................. 34
4.4. Indeks Keanekaragaman Jenis Pada Masing-Masing Gua ........... 50
4.5. Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Keberadaan Kelelawar........ 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 58
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 58
5.2. Saran ........................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 59
LAMPIRAN ................................................................................................ 62
29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang mencakup
keanekaragaman flora, fauna dan mikroba (Primack et al, 1998). Tingginya
keanekaragaman hayati ini dikarenakan wilayah Indonesia yang terletak di daerah
tropik, memiliki berbagai macam tipe habitat, serta berbagai isolasi sebaran
berupa laut atau pegunungan (Noerdjito dan Maryanto, 2005). Indonesia memiliki
keanekaragaman jenis kelelawar yang cukup tinggi, lebih dari 205 jenis kelelawar
yang terdiri dari 72 jenis kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) dan 133 jenis
kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera); atau sekitar 20% dari jumlah
jenis di dunia yang telah diketahui (Suyanto, 2001).
Kelelawar memiliki peranan penting dalam ekosistem. Kelelawar
berfungsi sebagai pemencar biji tumbuh-tumbuhan di hutan tropik. Karena
perilaku makan dan kemampuan terbang yang jauh menyebabkan daya pencar
biji-bijian pun jauh. Fungsi lainnya adalah sebagai penyerbuk bunga. Terdapat
sekitar 300 jenis tanaman tropik yang penyerbukan dan pemencarannya dilakukan
oleh kelelawar. Contoh tanaman bernilai ekonomi yang dibantu penyerbukannya
oleh kelelawar adalah durian (Durio zibethinus), aren (Arenga sp), petai (Parkia
speciosa), kapuk randu (Ceiba pentandra), pisang-pisangan (Musa sp) kelapa
(Cocos nucifera) (Suyanto, 2003). Selain itu kelelawar merupakan penghasil
guano yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Wiyatna (2003) menyebutkan bahwa
30
guano kelelawar memiliki kandungan bahan-bahan utama pupuk yaitu 10%
nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium. Kandungan nitrogen yang tinggi dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan fosfor dapat merangsang
pertumbuhan akar. Akan tetapi keanekaragaman hayati dan peranan ini belum
mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat dalam usaha
konservasi kelelawar. Masyarakat pada umumnya menganggap kelelawar sebagai
hama karena memakan buah-buahan dari tanaman budidaya, sehingga banyak
perburuan kelelawar yang menyebabkan habitatnya terganggu dan populasi
kelelawar di alam menurun.
Ekosistem gua merupakan salah satu ekosistem yang paling rentan di
muka bumi dan merupakan tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi
berbagai jenis organisme (Rahmadi, 2007). Lebih dari 50% Microchiroptera dan
20% Megachiroptera tinggal di gua. Sebagai penghuni gua, kelelawar memiliki
peranan yang sangat penting bagi ekosistem di dalam gua, namun hingga saat ini
kawasan gua tidak luput dari usaha-usaha eksploitasi yang berpontensi
menghancurkan fungsi gua baik sebagai habitat alami kelelawar maupun sebagai
pengatur siklus hidrologi.
Wilayah Gombong memiliki bentang alam karst yang terletak di
Kecamatan Ayah (Riswan et al, 2006). Kawasan karst Gombong memiliki
struktur geologi berupa gunung-gunung berbatu yang terjal dan terbentuk dari
batuan kapur. Kawasan karst Gombong merupakan salah satu contoh kawasan
karst yang memiliki banyak gua dengan karakteristik yang beragam, terdapat
sekitar 15 gua, 8 gua di antaranya dihuni oleh kelelawar (Rahmadi, 2007).
31
Beberapa gua di kawasan ini dijadikan obyek wisata, sehingga dikhawatirkan
populasi kelelawar yang ada di dalamnya maupun ekosistem gua itu sendiri akan
mengalami gangguan, mengingat ekosistem gua yang rapuh dan memiliki fungsi
cukup penting, terutama dalam kaitannya dengan ekosistem luar gua, maka
dibutuhkan pola pengelolaan gua yang tepat. Agar dapat dibuat pola pengelolaan
gua yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, diperlukan informasi
yang luas mengenai ekosistem gua serta segala sesuatu yang menyangkut
berlangsungnya proses ekologi yang terkait. Penelitian tentang kelimpahan,
sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa
Tengah sangat diperlukan.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di
kawasan karst Gombong Jawa Tengah?
2. Bagaimana kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar
(Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di
kawasan karst Gombong Jawa Tengah?
1.3. Hipotesis
1. Tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di kawasan karst
Gombong Jawa Tengah adalah tinggi.
32
2. Terdapat perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis
kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan
berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis
kelelawar (Chiroptera) dan mengetahui perbedaan kelimpahan, sebaran dan
keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola
pengelolaan yang berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi mengenai perbedaan kelimpahan, sebaran dan
keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan
pola pengelolaan yang berbeda.di kawasan karst Gombong Jawa Tengah.
2. Sumber informasi bagi para peneliti yang terkait dan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengelolaan gua yang berbasis ekologi.
33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Kelelawar
2.1.1. Klasifikasi Kelelawar
Klasifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Chiroptera
Sub Ordo : - Megachiroptera
- Microchiroptera
Saat ini tercatat 1.111 jenis kelelawar (Kingston et al, 2006) yang tersebar
hampir di seluruh dunia. Diperkirakan keanekaragaman jenis kelelawar lebih dari
50% dari keanekaragaman seluruh mamalia. Hampir seperempat dari seluruh jenis
mamalia di dunia merupakan anggota ordo Chiroptera (Zimmer, 1998). Jenis
kelelawar yang sudah diketahui di Indonesia berkisar 205 jenis yang terbagi
menjadi 9 famili dan 52 genus. Kesembilan famili tersebut antara lain
Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae,
Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Mollosidae (Suyanto,
2001).
34
2.1.2. Morfologi Kelelawar
Kelelawar termasuk ordo Chiroptera. Chiroptera berasal dari bahasa
Yunani “cheir” yang berarti tangan, dan “pteros” yang berarti selaput, atau dapat
diartikan sebagai “sayap tangan”, karena kaki depannya termodifikasi menjadi
sayap. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari
kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Pada kelelawar betina, patagium
berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengan kepala di
bawah. Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti
tubuhnya ketika cuaca dingin dan mengipaskan sayapnya jika cuaca panas,
kelelawar aktif pada malam hari karena pada siang hari dapat mengakibatkan
radiasi yang merugikan sayap yang disebabkan karena terkena cahaya matahari
sehingga lebih banyak panas yang diserap daripada yang dikeluarkan. Hal ini
dikarenakan sayap kelelawar hanya berupa selaput kulit tipis yang sangat rentan
terkena sinar matahari (Cobert dan Hill, 1992).
Gambar 1. Morfologi kelelawar (Cobert dan Hill, 1992)
35
Kelelawar memiliki dua sub ordo yaitu Megachiroptera dan
Microchiroptera. Megachiroptera umumnya herbivora dan memiliki ciri-ciri mata
besar, penciuman yang baik, memiliki struktur telinga yang sederhana, tidak
memiliki tragus/antitragus, ekor biasanya pendek bahkan tidak ada, jari sayap
kedua umumnya bercakar, kecuali Eonycteris, Dobsonia, dan Neopteryx.
Megachiroptera yang paling kecil (Balionycteris, Chironax, dan Aethalops)
berbobot 10 gram, dan yang paling besar Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) bisa
mencapai berat 1500 gram, bentangan sayapnya mencapai 1700 mm, dan lengan
bawah sayapnya 36-228 mm, sedangkan Microchiroptera merupakan insektivora,
dan sebagian kecil merupakan omnivora, karnivora, piscivora, frugivora dan
nectarivora. Microchiroptera umumnya berukuran kecil, memiliki struktur telinga
yang kompleks, memiliki tragus/antitragus. Tragus adalah bagian menonjol dari
dalam daun telinga seperti tongkat, sedangkan antitragus adalah bagian menonjol
dari luar daun telinga yang berbentuk bundar atau tumpul (Suyanto, 2001).
Microchiroptera paling kecil berbobot 2 gram dan paling besar 196 gram,
dan lengan bawah sayapnya 22-115 mm (Suyanto, 2001). Jenis kelelawar tertentu,
terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki bagian khusus pada
wajah, terutama di bagian lubang hidung, yang disebut daun hidung. Bagian ini
merupakan tonjolan kulit. Pada jenis-jenis kelelawar lain, daun hidungnya sangat
sederhana, berupa lipatan kulit yang kecil tunggal dan tumbuh di ujung hidung
saja. Jari sayap kedua tidak bercakar, tetapi pada genus Miniopterus memiliki
panjang ruas akhir (kedua) jari sayap nomor tiga hampir tiga kali panjang ruas jari
pertama (Suyanto, 2001).
36
2.1.3. Reproduksi Kelelawar
Kelelawar melahirkan anaknya dalam keadaan head-down (posisi terbalik)
pada posisi roosting. Selaput kulit (patagium) digunakan sebagai tempat
melahirkan anaknya (Altringham, 1996). Pada umumnya kelelawar berkembang
biak hanya satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan 3 sampai 6 bulan, dan
hanya bisa melahirkan satu atau dua ekor bayi setiap periode melahirkan. Bayi
yang baru dilahirkan ini mempunyai bobot yang dapat mencapai 25-30% dari
bobot tubuh induknya, lebih besar dari bayi manusia yang mencapai 5% dari
bobot tubuh induknya (Nowak, 1995).
Kelelawar yang baru lahir memiliki gigi susu, tetapi akan segera
digantikan dengan gigi permanen. Gigi susu pada beberapa jenis cukup tajam
dengan bentuk membengkok. Ini dapat membantu bayi kelelawar berpegangan
pada induknya saat induknya terbang berkeliling dengan menggendong bayinya.
Kelelawar pemakan serangga memiliki geraham yang sangat tajam dan digunakan
untuk menghancurkan serangga, sedangkan taringnya didesain untuk menggigit
dan membawa mangsa yang masih hidup. Gigi tengah umumnya sangat kecil pada
kelelawar pemakan serangga dan ketika membuka mulut, terlihat seperti tidak
memiliki gigi depan sama sekali. Kelelawar pemakan buah memiliki geraham
yang besar dan kuat untuk mengunyah buah dan biji-bijian. Juga memiliki otot
rahang yang kuat untuk membantu mengunyah makanan yang keras (Ceave,
1999).
37
2.1.4. Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar
Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti gua, hutan alami, hutan
buatan, dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak alternatif dalam memilih
tempat bertengger. Jenis kelelawar seperti Kalong kapuk (Pteropus vampyrus),
Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus) dan kebanyakan jenis sub ordo
Megachiroptera lainnya memilih tempat bertengger untuk tidur pada pohon-pohon
yang tergolong besar, sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang termasuk sub
ordo Microchiroptera lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubang-
lubang batang pohon, celah bambu, maupun gua. Beberapa jenis hidup secara
berkoloni, berkelompok kecil, berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Cobert dan
Hill, 1992).
Kelelawar gua sebagian besar termasuk sub ordo Microchiroptera. Ukuran
tubuhnya yang relatif kecil, bola mata kecil dan tidak berfungsi sebagai alat
penglihatan merupakan penyesuaian dengan keadaan di dalam gua yang gelap.
Kemampuan penglihatan kelelawar untuk terbang dalam kegelapan digantikan
oleh kemampuan penala gema yang dikenal dengan istilah ekholokasi. Ketika
terbang, kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik) rata-rata
50 Khz yang tidak terdengar oleh telinga manusia yang hanya dapat menangkap
suara 3-18 Khz (Suyanto, 2001). Pantulan suara ultrasonik (ekholokasi) dapat
digunakan untuk memandu arah terbang, mengenali dan melacak posisi
mangsanya.
Daerah jelajah kelelawar ketika mencari makan bervariasi seperti Cecadu
pisang besar (Macroglosus sobrinus), yang mencapai radius 3 km, sedangkan
38
Lalai kembang (Eonycteris spelaea) mencapai radius 40 km, sementara Kalong
kapuk (Pteropus vampyrus) mencapai radius 60 km. Kelelawar pada waktu
terbang membutuhkan oksigen yang jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak
terbang (27 ml berbanding 7 ml Oksigen/1 gram bobot tubuhnya), dan denyut
jantung berdetak lebih kencang (822 kali berbanding 522 kali permenit), untuk
mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar
dibandingkan kelompok lain (0,9% berbanding 0,5% bobot tubuh) (Suyanto,
2001).
2.1.5. Perilaku Makan Kelelawar
Kebiasaan makan kelelawar bervariasi seperti kebanyakan mamalia pada
umumnya. Keanekaragaman makanan disesuaikan dengan morfologi dan fisiologi
pada kelelawar. Jenis pakan dari beberapa kelelawar adalah arthropoda, serangga,
mamalia kecil, burung, reptil, amfibi, ikan, darah, bangkai, buah, bunga, nektar,
polen dan daun (Altringham, 1996).
Sub ordo Megachiroptera memiliki komposisi pakan sebagian besar terdiri
atas buah, bunga, daun, polen dan nectar. Lebih dari 250 jenis kelelawar memakan
satu atau beberapa jenis tumbuhan, dengan memakan buah ataupun nektar bunga
sedangkan sub ordo Microchiroptera sebagian besar adalah pemakan serangga,
selain itu beberapa terdapat jenis sub ordo Microchiroptera adalah penghisap
darah misalnya Desmodus rotundus dan pemakan madu misalnya Leptonecteris
curasoae (Altringham, 1996). Meskipun serangga merupakan komponen utama
dari kebanyakan pakan kelelawar tetapi laba-laba, kalajengking, udang-udangan
39
dan arthropoda lainnya juga dimakan, sekitar 70% dari semua spesies kelelawar
adalah pemakan serangga.
Kelelawar pemakan buah dapat menyebarkan biji sekitar 47 spesies
tanaman berbeda pada setiap jenis kelelawar (Lopez dan Christopher, 2007).
Menurut Suyanto (2001), bahwa penyebaran biji ini dapat meningkatkan
variabilitas sifat-sifat tumbuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas
hidup tumbuhan itu sendiri. Kelelawar pemakan buah atau madu ini mempunyai
peranan sangat penting di dalam regenerasi hutan dan penyerbuk tanaman yang
memiliki nilai komersial tinggi. Kelompok kelelawar ini sering memakan buah
tidak di lokasi tanaman yang sedang berbuah, akan tetapi membawa dan
membuang sepah dan biji buah jauh dari tempat lokasi tanaman tersebut (Sinaga,
2006).
Kelelawar pemakan nektar dan polen memiliki perilaku makan yang unik,
yaitu terbang mengelilingi pohon sebelum mendarat pada kelopak bunga,
melayang-layang di atas kelopak bunga kemudian secara perlahan mendekati
bunga dan mulai menghisap nektar. Kelelawar menghisap nektar dari 2 sampai 3
bunga sebelum pergi (Elangovan, 2000).
Kelelawar pemakan serangga memiliki tubuh yang kecil, keunggulan dari
ukuran tubuh yang kecil memudahkan kelelawar melakukan manuver dan
kegiatan dalam hal menangkap serangga yang sedang terbang yang tertangkap
oleh sistem ekholokasi jarak dekat. Serangga yang dijadikan mangsa disesuaikan
dengan ukuran tubuh kelelawar, serangga dengan ukuran yang besar hanya akan
menyulitkan pada saat penangkapan, penaklukan dan proses makan, hal ini akan
40
banyak membuang energi kelelawar. Apabila ukuran serangganya terlalu kecil,
penangkapan sulit dilakukan dan tidak mencukupi kebutuhan energi harian
(Altringham, 1996).
2.2. Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar
Gua dalam arti yang sederhana merupakan lubang di bawah permukaan
tanah yang dapat dimasuki manusia. Definisi gua mencakup ruangan-ruangan
yang lebih kecil, misalnya rekahan-rekahan dan celah-celah yang biasa terdapat di
dalam batu gamping. Gua dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan letak dan
batuan pembentuknya, yaitu gua lava, gua litoral, gua batu gamping (karst), gua
pasir, gua batu halit, gua es dan lain-lain. Di antara gua-gua tersebut, gua karst
merupakan gua yang banyak dihuni oleh jenis-jenis fauna seperti kelelawar, walet,
dan fauna khas gua (KPG, 2004).
Gua karst terbentuk dari proses pelarutan batuan gamping oleh air. Sifat
batu gamping yang mudah meloloskan air menyebabkan batuan ini mudah dilalui
aliran air permukaan seperti sungai yang menjadi aliran air bawah tanah jika
sudah memasuki lorong gua. Aliran air tersebut membawa sumber makanan dari
luar gua yang mendukung terjadinya proses rantai makanan di dalam gua,
sehingga memungkinkan berbagai jenis fauna mikro untuk hidup dan
menyesuaikan diri di dalamnya (KPG, 2004).
Ekosistem gua merupakan suatu ekosistem unik yang kondisinya berbeda
dengan kondisi ekosistem lain di luar gua. Interaksi yang terjadi dalam ekosistem
gua terbentuk dari komponen-komponen fisik (abiotik) dan biotik. Komponen
41
fisik gua meliputi air, ornamen gua, tanah, temperatur dan kelembaban yang
mempengaruhi keanekaragaman jenis fauna gua sebagai komponen biotik yang
mendiaminya.
Berdasarkan kondisi fisiknya, Gllenie (1962) dalam Samodra (2001)
membagi lorong gua dibagi ke dalam empat zona/mintakat yaitu:
a. Zona terang, dimulai dari mulut gua atau bagian dalam ceruk yang masih
dipengaruhi sinar matahari.
b. Zona peralihan, batas antara bagian terang dan gelap.
c. Zona gelap, bagian gua yang masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua
sehingga suhu di dalamnya masih berfluktuasi.
d. Zona gelap abadi, bagian gua tanpa fluktuasi suhu dan sama sekali tidak
dipengaruhi oleh iklim di luar gua.
Keberadaan kelelawar di dalam gua erat kaitannya dengan keadaan
mikroklimat untuk masing-masing gua. Selain itu kandungan guano untuk setiap
gua mempengaruhi perbedaan kelelawar dalam memilih gua tertentu sebagai
tempat bertengger, karena secara tidak langsung guano menyebabkan perbedaan
temperatur dan kelembaban gua (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991).
Fauna gua yang ada di kawasan karst tropis jenisnya sangat beragam.
Fauna tersebut dapat menyesuaikan hidupnya dengan lingkungan yang panas,
gersang, sedikit air, dan hanya mempunyai lapisan tanah yang relatif tipis.
Samodra (2001) menjelaskan bahwa fauna gua bisa tinggal di atas dan di bawah
permukaan pada celah atau retakan batuan, pada sela-sela bongkahan batu dan
sebagainya.
42
Berdasarkan derajat adaptasi fauna gua terhadap lingkungannya di dalam
gua, Vandel (1965 ) dalam Samodra (2001) membagi fauna gua menjadi 3
kategori, yaitu:
a. Troglobite : Fauna yang telah beradaptasi secara penuh terhadap
lingkungan gua dan merupakan penghuni tetap gua, contohnya adalah ikan
gua (Puntius microps), udang gua (Macrobrachium poeti) dan Ketam
(Cancrocaea xenomorpha)
b. Troglophile : Fauna yang secara teratur memasuki gua tetapi tidak
sepenuhnya di dalam gua. Sebagian siklus hidupnya dapat berlangsung di
dalam atau di luar gua. Contohnya adalah kelelawar dan jangkrik gua
(Rhaphidophora dammermani dan R. dehaan)
c. Trogloxene : Fauna yang kadang-kadang memasuki gua. Trogloxene ini
ada yang datang ke dalam gua secara sengaja dan ada yang masuk ke
dalam gua secara tidak sengaja, contohnya adalah ular phyton gua, tokek,
biawak, landak dan satwa liar lain yang menggunakan gua sebagai tempat
berlindung sementara.
2.3. Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst
Kelelawar memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting bagi
kelangsungan ekosistem, baik di dalam maupun luar gua. Pada suatu ekosistem
gua, kelelawar adalah penyeimbang ekosistem. Guano kelelawar diyakini sebagai
sumber energi yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan di dalam
ekosistem gua (Suyanto, 2001). Guano kelelawar merupakan produsen bagi fauna
43
lain seperti jangkrik gua sebagai konsumen pertama. Manfaat lain dari guano
yaitu sebagai bahan dasar pupuk. Guano kelelawar adalah 100% pupuk organik
yang mengandung elemen mikro dan makro lengkap yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman. Kandungan kasar bahan-bahan utama pupuk yang terdapat dalam guano
yaitu 10% nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium (Wiyatna, 2002).
Kondisi iklim mikro gua dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
fisik seperti kelembaban, suhu, cahaya, air, kadar oksigen, CO2, aliran udara, dan
pH tanah, yang berpengaruh terhadap jenis fauna gua yang tinggal di dalamnya.
Gua-gua yang dihuni kelelawar memiliki karakteristik yang berbeda dengan gua-
gua yang tidak dihuni kelelawar. Perbedaan tersebut di antaranya dapat dilihat
dari suhu dan kelembaban. Pada umumnya, gua-gua yang dihuni kelelawar,
memiliki suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang lebih tinggi daripada yang
tidak dihuni kelelawar (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991).
Hasil penelitian di kawasan karst Gudawang menunjukkan bahwa gua
yang dihuni kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata 26,15 ± 0,97oC
dan 90,7 ± 3,49%, sedangkan gua yang tidak dihuni kelelawar meiliki suhu dan
kelembaban rata-rata sebesar 26,68 ± 1,55oC dan 87,6 ± 8,2% (Apriandi, 2004).
Gua-gua di daerah tropis cenderung lebih hangat karena variasi suhunya
kecil. Sebagian besar fauna gua beradaptasi dengan kondisi suhu yang stabil,
karena suhu dalam gua tidak berfluktuasi besar. Suhu sangat berperan dalam tahap
reproduksi jenis termasuk fauna gua. Iklim mikro gua tidak hanya dipengaruhi
oleh suhu udara tetapi juga oleh suhu air. Suhu air yang mengalir biasanya sama
44
dengan suhu air di luar, karena berasal dari air resurgence (aliran sungai yang
masuk ke gua (Rahmadi, 2007).
2.4. Kawasan Karst Gombong
Kawasan karst Gombong terletak di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
Letaknya kurang lebih 44 km di sebelah barat daya kota Kebumen, dan sekitar 23
km selatan kota Gombong. Berada pada 109o _
110o Bujur Timur dan 7
o – 8
o
Lintang Selatan. Ketinggian dari permukaan laut sekitar 20 sampai 40 m. Luas
wilayah sekitar 82 km2. Sepertiga luas wilayahnya merupakan lahan persawahan,
sisanya adalah tanah kering yang dimanfaatkan untuk perkebunan, pemukiman,
dan hutan.
Gambar 2. Peta Kawasan Karst Gombong (TourismJavaIsland, 2009)
45
Menurut Riswan et al (2006) Gombong memiliki bentang alam karst yang
terletak di Kecamatan Ayah. Menurut Whitten et al (1999), Paparan Sunda
awalnya merupakan lautan tropik dangkal dimana di dasarnya banyak mengendap
kalsium karbonat yang dihasilkan oleh binatang berkerangka kapur koral dan
foraminifera. Sekitar tiga juta tahun yang lalu, dasar lautan terdorong ke atas oleh
gaya tektonik, akibatnya terbentuk barisan bukit karst. Selanjutnya CO2
(karbondioksida) di udara yang larut dalam air hujan membentuk asam karbonat
lemah. Larutan asam karbonat tersebut melarutkan batu gamping sehingga
tebentuklah gua karst. Setelah proses jutaan tahun, gua karst (batu gamping)
menjadi ekosistem unik dengan karakteristik ruang tertutup, gelap, temperatur
stabil, lembab, ada aliran udara dan dihuni oleh flora dan fauna khas.
Secara keseluruhan kawasan karst Gombong mempunyai banyak gua-gua
horizontal maupun vertikal yang tersebar di kecamatan-kecamatan pada bagian
pegunungan. Gua-gua yang sudah terdata sekitar 50 gua dan sebagian besar
merupakan gua fosil. Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah memiliki dua bentang
alam yang memiliki fenomena geologi yang unik, langka dan bernilai tinggi, yaitu
daerah karst Gombong dan Karangsambung. Sekitar sepertiga luas wilayahnya
merupakan lahan persawahan, sisanya adalah kawasan tanah kering yang dipakai
untuk pemukiman, perkebunan, dan hutan. Hutan produksi seluas 17 ribu ha atau
13% luas daerah ditumbuhi oleh jati, pinus, dan sungkai. Vegetasi karst di
kawasan Gombong menunjukkan bahwa kawasan karst merupakan ekosistem
hutan karst sekunder yang sudah mengalami kerusakan sebelumnya (Riswan et al,
2006).
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis
kelelawar (Chiroptera) dilakukan di gua-gua yang terdapat di kawasan karst
Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah pada bulan Juni - Juli 2009. Analisis
spesimen dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta dan
Laboratorium Mamalia, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (Badan Survey Geologi Nasional, 2004)
Ket: Lokasi pemasangan perangkap di sekitar mulut gua
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: mist net, harp net,
jaring bertangkai, kantong blacu, head lamp, lampu senter, meteran gulung, tali
47
rafia, kertas label, GPS, anemometer, termometer, timbangan digital, jangka
sorong, galah, dan kamera digital.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kelelawar,
formalin 4%, alkohol 96%, aquades dan kloroform.
48
3.3. Cara kerja
3.3.1 Penentuan Lokasi Penelitian
Penangkapan dan estimasi populasi kelelawar dilakukan di Gua Petruk, Gua Liyah,
Gua Jatijajar dan Gua Intan yang terdapat di kawasan karst Gombong Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah. Pemilihan keempat gua tersebut karena dikelola dengan pola pengelolaan yang
berbeda. Gua Petruk dan Gua Liyah pengelolaannya dibiarkan alami dengan fasilitas
penunjang seadanya sebagai obyek wisata alam minat khusus. Gua Jatijajar dan Gua Intan
dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan berbagai sarana penunjang yang
diberi fasilitas jalan, jembatan dan lampu di sepanjang lorong gua.
3.3.2 Pengambilan Sampel
Penangkapan kelelawar dilakukan pada pukul 17.00 - 21.00 WIB dengan
menggunakan mist net dan harp net pada jalur terbang kelelawar yang berada di sekitar mulut
gua. Jaring bertangkai digunakan untuk menangkap kelelawar pada tempat bertengger di
dalam gua. Sebelumnya, dilakukan pengukuran parameter fisik seperti suhu, kelembaban, dan
kecepatan angin. Kelelawar yang tersangkut kemudian dipindahkan ke dalam kantung blacu.
Kelelawar yang tertangkap, dibius dengan kloroform 4 %, kemudian ditimbang dan diukur
dengan jangka sorong. Bagian-bagian luar tubuh kelelawar yang diukur tersaji pada Gambar
4.
E
HB
T
HF
Tb
FA
49
Gambar 4. : Bagian-bagian tubuh kelelawar
(Amin, 2009)
- HB (Head and Body) = panjang total tubuh kelelawar, dari mulai kepala sampai
dengan pangkal ekor.
- T (Tail) = panjang ekor mulai dari pangkal ekor sampai ujung ekor.
- HF (Hindfoot) = diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang tanpa cakar.
- E (Ear), diukur dari pangkal sampai dengan ujung telinga yang terjauh.
- FA (Forearm), diukur dari sisi luar siku sampai dengan sisi luar pergelangan sayap
yang melengkung.
- Tb (Tibia), diukur mulai dari lutut sampai lengan pergelangan kaki.
Setelah itu dilakukan pemberian label dan penyuntikan dengan formalin 4%,
kemudian kelelawar direndam pada alkohol 70% dan semua sampel yang diperoleh,
selanjutnya dianalisis di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.
3.3.3. Metode Estimasi Jumlah Kelelawar
Metode estimasi jumlah kelelawar di Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua
Intan dilakukan dengan cara metode sensus (Ahlen, 1993), yaitu dengan menghitung jumlah
total individu. Penghitungan dilakukan pada saat kelelawar ke luar dari mulut gua pada sore
hari oleh dua orang pengamat dengan menggunakan counter setiap interval waktu lima menit
mulai dari kelelawar pertama ke luar gua hingga tidak ada lagi kelelawar yang keluar.
Penghitungan kelelawar diulang sebanyak tiga kali pada hari yang berbeda.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Identifikasi Jenis Kelelawar
50
Data yang dikumpulkan terdiri dari data karakteristik morfologi kelelawar, yang
meliputi ukuran tubuh (Gambar 4), untuk mengidentifikasi jenis kelelawar yang ditemukan.
Cara mengidetifikasi jenis adalah menggunakan kunci identifikasi yang mengacu pada kunci
identifikasi menurut Suyanto (2001) dalam buku Panduan Lapangan Jenis-jenis Kelelawar di
Indonesia dan Kingston (2006) dalam buku Bats of Krau Wildlife Reserve.
3.4.2. Indeks Keanekaragaman Jenis
Indeks Keanekaragaman Jenis yang digunakan adalah Indeks Keanekaragaman,
Kemerataan, Kesamaan dan Dominasi Jenis. Untuk mengetahui Keanekaragaman jenis
kelelawar pada setiap gua digunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
(Bower dan Zar, 1977).
Keterangan:
- H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wienner
- ni
= Jumlah individu jenis ke-i
- N = Jumlah individu seluruh jenis
Kisaran nilai Indeks Keanekaragaman (H’) (Odum, 1971) adalah sebagai berikut:
- H’ < 1 Tingkat Keanekaragaman rendah
- 1 < H’ < 3 Tingkat Keanekaragaman sedang
- H’ > 3 Tingkat Keanekaragaman tinggi
Indeks Keanekaragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas dan
juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis (Odum,
1971). Nilai Indeks Keanekaragaman digunakan untuk menentukan nilai Indeks Kemerataan
Jenis dengan menggunakan rumus Indeks Kemerataan Shannon Evenness (Krebs, 1989).
51
Keterangan:
- E = Indeks Kemerataan Shannon Evenness
- H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
- S = Jumlah jenis
Kisaran nilai Indeks Kemerataan (E) (Ludwig dan Reynolds, 1988) adalah sebagai berikut:
- E < 0.4 Kemerataan rendah
- 0.4 < E < 0.6 Kemerataan sedang
- E > 0.6 Kemerataan tinggi
Semakin kecil Indeks Kemerataan (E) akan semakin kecil pula kemerataan suatu
populasi, yang menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan
ada kecenderungan terjadi dominasi dari jenis yang ada. Semakin besar nilai Indeks
Kemerataan (E) maka populasi menunjukkan kemerataan yang tinggi, yang menandakan
bahwa cenderung tidak terjadi dominasi antar jenis yang ada.
Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis antara
lokasi Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar, dan Gua Intan dengan menggunakan Indeks
Sorensen (IS).
2100%
cIS
a b= ×
+
dengan:
a = jumlah jenis di lokasi A
b = jumlah jenis di lokasi B
c = jumlah jenis yang sama ditemukan di kedua lokasi
52
Indeks Dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson dalam Krebs (1989) dengan
menggunakan rumus:
Keterangan:
- C = Indeks Dominasi
- ni = Jumlah individu jenis ke-i
- N = Jumlah total individu
Indeks Dominasi berhubungan terbalik dengan Keanekaragaman dan Kemerataan.
Nilai Indeks Dominasi (C) berkisar antara 0-1. Jika C mendekati 1, berarti dalam populasi
cenderung terjadi dominasi dari salah satu jenis yang ada, dan bila C mendekati 0 maka
dalam populasi cenderung tidak terjadi dominasi.
53
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Lingkungan Gua
- Gua Petruk
Terletak sekitar 7 km selatan Taman Wisata Jatijajar di mana jalan yang beraspal
baik menghubungkan keduanya (07o42.315LS/109
o24.130BT). Untuk mencapai mulut gua
harus ke bukit melalui jalan berundak sejauh lebih kurang 350 m. Pemandangan sebelum
masuk kawasan Gua Petruk adalah deretan perbukitan batu gamping yang membentuk
morfologi karst. Beberapa bukit yang berlereng curam dibatasi oleh struktur geologi batu
gamping di kawasan ini berwarna putih kotor kekuningan atau coklat muda. Vegetasi di
sekitar mulut gua cukup lebat, menunjukkan banyaknya air di bagian ini. Mulut Gua Petruk
berbangun persegi, yang memanjang ke atas.
- Gua Liah
Terletak di sebelah selatan Gua Petruk dengan bentuk mulut guanya yang
melengkung rendah dan sempit (07o42.392LS/109
o23.838BT). Tinggi mulut gua hampir
sama dengan Gua Petruk, yaitu sekitar 80 m di atas permukaan laut. Sebagai gua fosil,
ornamen di dalamnya kurang berkembang. Beberapa ruangan yang cukup besar ukurannya
dihubungkan dengan lorong-lorong sempit yang beratap tinggi. Stalakmit di dasar gua
tersebar mengikuti stalaktit yang tumbuh berderet di atap gua. Sederetan stalaktit aktif yang
berwarna putih berakhir pada sebuah pilar. Stalaktit itu tumbuh di bawah retakan atap gua.
Sehingga kelurusannya akan mencirikan arah retakan yang memotong mulut gua
- Gua Jatijajar
54
Gua Jatijajar terletak ± 42 Km sebelah Barat Kota Kebumen yaitu di Desa Jatijajar,
Kecamatan Ayah (07o39.994LS/109o27.262BT). Ketinggian dari permukaan laut ± 81 meter
dan jarak dari pantai ± 10 Km. Tinggi mulut gua ± 8 meter, tinggi rata-rata ± 12 meter, lebar
± 15 meter dan panjang total gua ± 250 meter. Gua Jatijajar merupakan objek wisata andalan
Kabupaten Kebumen yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Mulut gua yang tinggi dan
lebar menyingkapkan lapisan batu gamping pejal yang kompak dan keras.
- Gua Intan
Gua Intan berada pada Desa Jatijajar dan terletak ± 500 m sebelah barat dari Gua
Jatijajar dan berada pada (07o40.211LS/109
o25.595BT) dan 74 meter di atas permukaan laut,
merupakan gua alam fosil yang penuh dengan ornamen yang masih aktif. Sebuah stalaktit di
dinding pintu masuk sebelah kanan dilingkupi oleh sedimen pasir lempungan berwarna
merah kecoklatan yang mengandung fosil moluska. Sedimen tersebut merupakan sisa
endapan gua yang menyingkap sejarah pembentukan gua. Moluska tersebut adalah binatang
darat yang hidup di sekitar gua ketika terjadi aliran air hujan yang masuk ke dalam gua,
bersama-sama dengan sedimen pasir dan lempung binatang itu terangkut kedalam gua. Saat
terjadi banjir seluruh lorong gua terendam air, dan sebuah stalaktit yang terletak 3 m dari
dasar gua ditutupi oleh sedimen tersebut. Pada musim hujan, dasar gua yang dilapisi oleh
lempung cokelat tua yang cukup tebal menjadi basah. Sekelompok stalaktit yang menyatu
dengan stalakmit membentuk pilar-pilar indah setinggi beberapa meter. Ornamen gua di
bagian ini umumnya masih aktif.
4.2. Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar
Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah
kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor.
Rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Jatijajar pada tanggal 1, 2, dan 3 Juli 2009 adalah ±
55
1274 ekor. Kedua gua ini merupakan gua wisata, yang membedakannya adalah Gua Petruk
lebih dibiarkan alami dengan fasilitas penunjang seadanya sebagai obyek wisata alam minat
khusus, sedangkan Gua Jatijajar dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan
berbagai sarana penunjang. Bahkan bagian dalam Gua Jatijajar telah diberi fasilitas jalan dan
jembatan serta dilengkapi dengan deorama yang menggambarkan rangkaian cerita legenda
Raden Kamandaka-Lutung Kasarung.
Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Jatijajar,
ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar yang berupa faktor
biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar
dibandingkan dengan Gua Jatijajar (Wijayanti, 2001). Menurut Altringham (1996), kondisi
gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu yang stabil cocok sebagai tempat
beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi demikian kelelawar dapat
berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu tubuh dan berkembang biak
dengan aman.
Menurut Griffin (1970) dalam Wijayanti (2001), dalam mencari makan kelelawar
mempunyai kemampuan terbang dari tempat bertenggernya sejauh 60 km. Jarak antara Gua
Petruk dengan Gua Jatijajar hanya ± 5 km, sehingga wilayah tempat pencarian makan
kelelawar penghuni Gua Petruk dan Gua Jatijajar diperkirakan sama. Oleh karena itu, faktor
makanan bukan merupakan penyebab adanya perbedaan jumlah populasi kelelawar di kedua
gua.
Faktor biotik lain yang diduga mempengaruhi jumlah populasi kelelawar di Gua
Petruk dan Gua Jatijajar adalah manusia. Jumlah pengunjung ke Gua Petruk jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan Gua Jatijajar. Berdasarkan hasil pengamatan, para pengunjung tidak
mengusik ataupun memburu kelelawar secara langsung, namun kebisingan yang
ditimbulkannya diduga sangat mengganggu populasi kelelawar. Menurut Altringham (1996),
56
kelelawar sangat peka terhadap kebisingan, karena kebanyakan jenis kelelawar mempunyai
alat pendengaran yang sangat sensitive sebagai adaptasi dari aktifitas hidupnya di malam
hari. Menurut Tidemann & Flavel (1987) dalam Wijayanti (2001), kelelawar memilih tempat
bertengger pada pohon-pohon tinggi, cerobong asap, gedung-gedung tua dan gua untuk
menghindari kebisingan yang disebabkan oleh manusia dan hewan lainnya.
Ukuran Gua Petruk yang lebih besar (panjang 350 m, lebar rata-rata 45 m)
dibandingkan dengan Gua Jatijajar (panjang 250 m, lebar rata-rata 15 m) juga menyebabkan
Gua Petruk menampung lebih banyak jenis fauna dibandingkan Gua Jatijajar, hal ini sesuai
dengan pendapat Cox dan Moore (1995) yang menyatakan bahwa habitat yang luas
menampung lebih banyak jenis makhluk hidup di dalamnya dibandingkan dengan habitat
yang lebih sempit.
Lingkungan fisik ekosistem Gua Jatijajar juga telah berubah dari keadaan aslinya
akibat pembangunan sarana penunjang pariwisata. Hal itu berbeda sekali dengan lingkungan
fisik Gua Petruk yang dibiarkan seperti aslinya. Menurut Ehrlich dan Roughgarden (1987)
dalam Wijayanti (2001), ekosistem yang secara fisik mantap memungkinkan tercapainya
komunitas klimaks dalam suksesi sehingga terjadi penimbunan keragaman biologi yang
tinggi, sedangkan ekosistem yang berubah karena suatu gangguan akan mengalami suksesi
kembali (suksesi sekunder), sehingga komunitasnya jauh dari kondisi klimaks.
4.2. Jenis-jenis Kelelawar
Berdasarkan hasil penelitian selama bulan Juni-Juli 2009 di kawasan karst Gombong
Selatan Kabupaten Kebumen didapatkan dari 4 gua yang diamati terdapat 79 individu yang
terdiri dari 2 sub ordo: Megachiroptera yang hanya terdiri dari 1 famili (Pteropodidae)
dengan 6 jenis kelelawar dan Microchiroptera yang terdiri dari 4 famili (Mollosidae,
Hipposideridae, Rhinolophidae, dan Vespertilionidae) dengan 5 jenis kelelawar yang terdapat
57
pada semua titik pengambilan kelelawar. Persentase jumlah jenis kelelawar yang didapat
pada seluruh gua terlampir pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis kelelawar yang tertangkap pada seluruh gua
No. Famili Jenis Nama Lokal Jumlah
Individu (%)
Cynopterus horsfieldii Codot horsfieldi 2 2.53
C. brachyotis Codot krawar 15 18.98
C. titthaecheilus Codot besar 2 2.53
Eonycteris spelaea Lalai kembang 2 2.53
Rousettus amplexicaudatus Nyap biasa 3 3.80
1 Pteropodidae
Macroglossus sobrinus Cecadu pisang besar 4 5.07
2 Mollosidae Chaerephon plicata Tayo kecil 11 13.93
Hipposideros larvatus Barong horsfieldi 10 12.66 3 Hipposideridae
H. ater Barong Malaya 18 22.78
4 Rhinolophidae Rhinolophus affinis Prok bruk hutan 10 12.66
5 Vespertilionidae Miniopterus australis Tomosu australi 2 2.53
Jumlah 79 100
Keanekaragaman jenis kelelawar yang ditemukan pada seluruh gua terlampir pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil rekapitulasi tangkapan kelelawar pada seluruh gua
Lokasi Pengambilan No. Jenis
Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan
1 Cynopterus horsfieldii X
2 C. brachyotis X X X
3 C. titthaecheilus X
4 Eonycteris spelaea X
5 Rousettus amplexicaudatus X X
6 Macroglossus sobrinus X
7 Chaerephon plicata X
8 Hipposideros larvatus X X X
9 H. ater X
10 Rhinolophus affinis X
11 Miniopterus australis X
Pengukuran parameter fisik pada saat pengambilan kelelawar di jalur terbang (pada
masing-masing gua) terlampir pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter fisik
Parameter fisik Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan
Suhu (oC) 28.4 28 28.2 28.4
58
Kelembaban (%) 90 96 89 90
Intensitas cahaya (Klux/m) 0.108 0.100 3.63 13.1
Ketinggian (m dpl) 78 83 81 74
4.3. Kunci Identifikasi Tingkat Famili Kelelawar
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
runcing .............................................................................................. 2
2a. Tidak berekor, selaput kulit antarpaha tumbuh baik ........................... 3
b. Ekor ada ............................................................................................ 4
3a. Telinga besar dan panjang, telinga kanan dan kiri bersambung pada-
pangkalnya ........................................................................ Megadermatidae
b. Telinga tidak seperti 3a........................................................ Hipposideridae
4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ........................ 5
b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha............... 8
5a. Tidak memiliki daun hidung ............................................... Vespertilionidae
b. Memiliki daun hidung........................................................................ 6
6a. Ujung tulang ekor berbentuk seperti huruf T ........................... Nycteridae
b. Ujung tulang ekor tidak seperti 6a ..................................................... 7
7a. Daun hidung belakang tumbuh baik sehingga berbentuk segitiga .......
............................................................................................ Rhinolophidae
b. Daun hidung belakang tumpul ............................................. Hipposideridae
8a. Ekor yang mencuat di tengah selaput kulit antar paha ......... Emballonuridae
b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antarpaha ................. 9
9a. Ekor yang bebas sangat panjang, lebih dari setengah panjang ekornya, ada
59
lipatan kulit sederhana di atas lubang hidung. Lubang hidung sempit
bercelah .............................................................................. Rhinopomatidae
b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, tidak
ada lipatan kulit seperti 8a. Lubang hidung agak bundar ......... Molossidae
4.4. Kunci Identifikasi Kelelawar Karst Gombong Selatan
• Spesimen kelelawar dengan kode: P1, P2, P5-P11, P13-P14.
1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham
runcing .............................................................................................. 2
2b. Ekor ada ............................................................................................ 4
4b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha .............. 8
8b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antar paha ................ 9
9b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, lubang
hidung agak bundar ................................................................ Molossidae
Wajah ditumbuhi rambut-rambut kaku yang pendek dan hitam. Bibir sangat berkerut-
kerut seperti dijahit, daun telinga tebal, bundar dan lebar (telinga bagian kanan dan kiri
dihubungkan dengan selaput kulit). Dengan ciri-ciri tersebut di atas, spesimen kelelawar ini
termasuk jenis Chaerephon plicata (Buchanan, 1800 dalam Cobert & Hill, 1992).
• Spesimen kelelawar dengan kode: P16-P20, P22-P25, P32-P40.
1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham
runcing .............................................................................................. 2
2b. Ekor ada ............................................................................................ 4
4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ........................ 5
5b. Memiliki daun hidung........................................................................ 6
60
6b. Ujung ekor tidak seperti 6a ................................................................ 7
7b. Daun hidung belakang tumpul ............................................. Hipposideridae
Daun hidung anterior berbentuk seperti ladam kuda, bagian tengah daun hidung
merupakan suatu bangunan daging yang berbentuk seperti bantal pendek, sedangkan daun
hidung posterior membentuk struktur seperti kantong yang bersekat-sekat.
Jika dilihat dari karakteristik morfologi dan ukuran tubuhnya, spesimen ini adalah
Hipposideros ater (Templeton, 1848 dalam Cobert & Hill, 1992).
• Spesimen kelelawar dengan kode: P21, P31, GJ1-GJ4, GJ8-GJ10, dan L8.
1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham
runcing .............................................................................................. 2
2b. Ekor ada ............................................................................................ 4
4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ........................ 5
5b. Memiliki daun hidung........................................................................ 6
6b. Ujung ekor tidak seperti 6a ................................................................ 7
7b. Daun hidung belakang tumpul ............................................. Hipposideridae
Spesimen kelelawar ini adalah Hipposideros larvatus (Horsfield, 1823 dalam Cobert
& Hill, 1992), Semua ciri-ciri morfologi mirip dengan H. ater, yang membedakan adalah
ukuran tubuh dan bobotnya. H. larvatus jauh lebih besar dari H. ater dengan ukuran fore arm
(lengan bawah sayap) 53,2-62,1 mm.
• Spesimen kelelawar dengan kode: I1 dan I10.
1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham
runcing .............................................................................................. 2
2b. Ekor ada ............................................................................................ 4
61
4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ........................ 5
5a. Tidak memiliki daun hidung ............................................... Vespertilionidae
Ukuran tulang jari terakhir pada sayap nomor tiga, panjangnya lebih dari tiga kali
panjang tulang jari pertama, telinga pendek bundar dengan lipatan di bagian belakang dengan
tragus pendek tumpul melengkung sedikit ke arah depan, dan spesimen ini termasuk
Miniopterus australis (Tomes, 1858 dalam Cobert & Hill, 1992).
• Spesimen kelelawar dengan kode: I2-I9, I11, dan I9.
1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham
runcing .............................................................................................. 2
2b. Ekor ada ............................................................................................ 4
4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ........................ 5
5b. Memiliki daun hidung........................................................................ 6
6b. Ujung ekor tidak seperti 6a ................................................................ 7
7a. Daun hidung belakang tumbuh baik sehingga berbentuk segitiga .......
............................................................................................ Rhinolophidae
Famili Rhinolophidae hanya terdiri dari satu genus tunggal yaitu Rhinolophus,
memiliki ciri yaitu daun hidung kompleks yang terdiri dari daun hidung belakang yang
berbentuk seperti segitiga; daun hidung tengah; dan daun hidung depan yang berbentuk tapal
kuda, gigi seri atas kecil, ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha, tidak memiliki tragus
sebagai gantinya terdapat antitragus.
Pada bagian dorsal tubuhnya berwarna coklat gelap dengan bagian kepala yang
berwarna lebih gelap dibagian didekat telinga, bagian ventralnya lebih cerah dan merupakan
spesies Rhinolophus affinis (Horsfield, 1823 dalam Cobert & Hill, 1992).
62
• Spesimen kelelawar dengan kode P3 dan P4.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1b. Jari sayap kedua ada .......................................................................... 4
4a. Gigi seri bawah ada ........................................................................... 6
6b. Gigi seri bawah empat ....................................................................... 12
12b. Gigi seri atas empat buah................................................................... 13
13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar.................................... 14
14b. Ekor ada ............................................................................................ 19
19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga .............................................. 20
20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya,
moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung...........................
Cynopterus
Ciri khas genus Cynopterus adalah tepi telinga berwarna putih. Spesimen ini memiliki
tonjolan di tengah permukaan geraham bawah dan merupakan ciri khas jenis Cynopterus
horsfieldii (Gray, 1843 dalam Cobert & Hill, 1992).
• Spesimen kelelawar dengan kode P26-P30, GJ7, L2, L3, L5, L6, L9-L12, dan L16.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1b. Jari sayap kedua ada .......................................................................... 4
4a. Gigi seri bawah ada ........................................................................... 6
6b. Gigi seri bawah empat ....................................................................... 12
12b. Gigi seri atas empat buah................................................................... 13
13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar.................................... 14
63
14b. Ekor ada ............................................................................................ 19
19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga .............................................. 20
20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya,
moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung...........................
Cynopterus
Spesimen ini adalah Cynopterus brachyotis (Muller, 1838 dalam Cobert & Hill,
1992). Memiliki bentuk wajah dan morfologi yang mirip dengan C. horsfieldii, adanya tepi
telinga berwarna putih, hanya saja pada C. brachyotis tidak memiliki tonjolan di tengah
permukaan geraham bawah yang merupakan ciri khas dari jenis Cynopterus horsfieldii.
• Spesimen kelelawar dengan kode GJ5 dan GJ6.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1b. Jari sayap kedua ada .......................................................................... 4
4a. Gigi seri bawah ada ........................................................................... 6
6b. Gigi seri bawah empat ....................................................................... 12
12b. Gigi seri atas empat buah................................................................... 13
13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar.................................... 14
14b. Ekor ada ............................................................................................ 19
19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga .............................................. 20
20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya,
moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung...........................
Cynopterus
Spesimen ini termasuk Cynopterus titthaecheilus (Temminck, 1823 dalam Cobert &
Hill, 1992). Hampir menyerupai dengan C. brachyotis, hanya saja memiliki ukuran yang
64
lebih besar (ukuran fore arm (lengan bawah sayap) 74-83 mm, berwarna kecoklatan dengan
leher berwarna kekuningan. Pada kebanyakan jenis masa birahi ditandai warna rambut di
sekitar bahu yang lebih terang coklat kemerahan.
• Spesimen kelelawar dengan kode P12 danP15.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1c. Jari sayap kedua tidak bercakar.......................................................... 2
2b. Punggung berambut, gigi seri dua pasang .......................................... 3
3b. Berekor.................................................................................... Eonycteris
Ciri-ciri yang paling mencolok dari genus Eonycteris adalah tidak ada cakar pada jari
kedua sayap, moncong panjang, lidah panjang, rambut pendek halus seperti beludru. Lengan
bawah sayap 60-81 mm, dan spesimen yang didapat termasuk jenis Eonycteris spelaea
(Dobson, 1873 dalam Cobert & Hill, 1992).
• Spesimen kelelawar dengan kode P41, L1 dan L4.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1b. Jari sayap kedua ada .......................................................................... 4
4a. Gigi seri bawah ada ........................................................................... 6
6b. Gigi seri bawah empat ....................................................................... 12
12b. Gigi seri atas empat buah................................................................... 13
13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar.................................... 14
14b. Ekor ada ............................................................................................ 19
19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga .............................................. 20
65
20a. Geraham atas kecil berjumlah lima buah. Gigi seri berbelah ujungnya,
moncong panjang, hidung sedang, rambut sangat pendek kecuali tengkuk
dimana rambut tumbuh lebih panjang seperti jumbai. Warna permukaan
atas tubuh kecoklatan, permukaan bawah coklat muda. Lengan bawah
sayap 78-90 mm ....................................................................... Rousettus
Spesimen ini termasuk Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810 dalam Cobert &
Hill, 1992), memiliki ciri-ciri moncong panjang, tubuh berwarna kecoklatan dan memiliki
bentuk permukaan kunyah M3 yang membundar.
• Spesimen kelelawar dengan kode L7, L13-L15.
1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-
tumpul .................................................................................. Pteropodidae
1b. Jari sayap kedua ada .......................................................................... 4
4a. Gigi seri bawah ada ........................................................................... 6
6b. Gigi seri bawah empat ....................................................................... 12
12b. Gigi seri atas empat buah................................................................... 13
13a. Jarak antar gigi seri sebelah dalam sangat lebar. Gigi seri kecil-kecil.
Moncong panjang dan ramping. Lidah sangat panjang, dua kali moncong.
Tidak berekor atau kalau ada sangat pendek. Lengan bawah sayap 37-52
mm. Warna rambut coklat...................................................... Macroglossus
Spesimen ini termasuk Macroglossus sobrinus (Andersen, 1823 dalam Cobert & Hill,
1992), karena tidak memiliki alur pada tengah bibir atas dan tonjolan pelekatan belahan
rahang bawah kanan dan kiri di sebelah dasar. (semua data pengukuran tubuh kelelawar
tersaji pada lampiran 1).
66
Menurut Griffin (1970) dalam Wijayanti (2001) menjelaskan bahwa kelelawar dalam
mencari makanan mempunyai kemampuan terbang dari tempat bertengger sejauh 60 km. Dari
kemampuan terbang yang dimiliki oleh kelelawar ini membuat kelelawar mendapatkan
makanan jauh dari tempat bertenggernya.
Pada Tabel 1. Dapat terlihat bahwa kelelawar jenis Hipposideros larvatus memiliki
persentase 12.66% dan Cynopterus brachyotis memiliki persentase 18.89%, jenis kelelawar
ini hampir berada di semua gua yang diamati, baik pada jalur terbang sekitar Gua Petruk,
Gua Liah dan Gua Jatijajar, ini menandakan bahwa daerah jelajah kelelawar ini tersebar
secara merata pada semua tempat. Keberadaan kelelawar di semua tempat mungkin ini
merupakan jalur terbangnya untuk mencari makan bagi kelelawar dn jika dilihat dari
persentasenya yang cukup besar, dimungkinkan selain daerah jelajah yang luas, tetapi juga
karena kebutuhan pakan untuk jenis ini cukup banyak.
Kelelawar jenis Rousettus amplexicaudatus memiliki persentase 3,80% dan terdapat
pada jalur terbang di sekitar Gua Petruk dan Gua Liah, ini menandakan bahwa daerah jelajah
kelelawar ini cukup luas juga tapi tidak seperti Hipposideros larvatus dan Cynopterus
brachyotis, dilihat dari persentase yang kecil, ini dimungkinkan karena ketersediaan pakan
untuk jenis ini terbatas.
R. amplexicaudatus berbeda dengan jenis-jenis dari famili Pteropodidae lainnya yang
menggunakan mata untuk mengenali benda-benda disekitarnya. Jenis kelelawar ini
menggunakan kemampuan ekholokasi untuk terbang dan mendeteksi benda disekitarnya
sehingga dapat hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan gua yang gelap. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jenis-jenis Rousettus telah diketahui
memiliki sistem ekholokasi dan sering dijumpai di gua-gua, di lubang, dan bertengger di
langit-langit yang tinggi (Cobert dan Hill, 1992.)
67
Kelelawar jenis Chaerephon plicata, Hipposideros ater, Cynopterus horsfieldii, dan
Eonycteris spelaea hanya terdapat di sekitar jalur terbang Gua Petruk. Ini menandakan bahwa
kelelawar-kelelawar ini memiliki daerah jelajah yang terbatas.
Kelelawar jenis Hipposideros ater dan Chaerephon plicata memiliki persentase
22,78% dan 13,93%, diduga walaupun daerah jelajahnya terbatas tapi dalam persentase
paling banyak dibandingkan dengan jenis kelelawar lainnya yang cenderung sedikit
jumlahnya (Cynopterus horsfieldii dan Eonycteris spelaea memiliki persentase hanya
2.53%), mungkin karena di jalur terbang sekitar Gua Petruk banyak ketersediaan makanan
untuk kelelawar ini.
Kelelawar jenis Macroglossus sobrinus memiliki persentase 5.07% dan hanya
terdapat pada jalur terbang sekitar Gua Liah, ini menandakan bahwa daerah jelajah kelelawar
ini terbatas. Begitu pula juga dengan Cynopterus titthaecheillus yang hanya terdapat pada
jalur terbang sekitar Gua Jatijajar; Rhinolophus affinis dan Miniopterus australis yang hanya
terdapat pada jalur terbang sekitar Gua Intan. Semua kelelawar ini memiliki daerah jelajah
yang terbatas.
4.5. Spesies Diversity Index
Gua Petruk memiliki nilai Indeks Keragaman Shannon-Weiner (H’) tertinggi yaitu
1.5024. Pada gua ini terdapat 7 jenis kelelawar yaitu Chaerephon plicata, Hipposideros
larvatus, H. ater, Cynopterus brachyotis, C. horsfieldii, Eonycteris spelaea, dan Rousettus
amplexicaudatus. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jumlah individu tiap jenis dalam
komunitas di Gua Petruk lebih seimbang dibanding dengan gua lainnya. Gua Intan memiliki
nilai Indeks Keragaman Shannon-Weiner (H’) terendah dengan nilai sebesar 0.4504. Hal ini
disebabkan karena pada gua tersebut hanya ditemukan 2 jenis kelelawar, yaitu Rhinolophus
affinis dan Miniopterus australis.
68
Gua yang memiliki nilai Indeks Kemerataan Shannon Evenness (E) tertinggi adalah
Gua Liah dengan nilai sebesar 0.7956. Tingginya nilai kemerataan ini dikarenakan komposisi
populasi tiap-tiap jenis kelelawar pada gua ini cukup merata. Gua yang memiliki Indeks
Kemerataan Shannon Evenness (E) terendah adalah Gua Intan dengan nilai sebesar 0.6497.
Rendahnya nilai kemerataan ini dikarenakan pada gua tersebut hanya terdapat dua spesies
kelelawar.
Gua yang memiliki nilai Indeks Dominasi Simpson (C) tertinggi dengan nilai sebesar
0.7220 adalah Gua Intan, hal ini dikarenakan pada gua tersebut hanya terdapat dua jenis
kelelawar, sehingga secara otomatis terjadi dominasi populasi dari jenis yang ada. Gua yang
memiliki Indeks Dominasi Simpson (C) terendah adalah Gua Petruk dengan nilai sebesar
0.2371.
Nilai indeks kemerataan berbanding terbalik dengan indeks dominasi. Semakin besar
indeks kemerataan, maka populasi semakin merata dan cenderung tidak terjadi dominasi,
sedangkan nilai dominasi yang semakin besar menunjukkan bahwa pada komunitas tersebut
cenderung terjadi dominasi oleh salah satu jenisnya seperti pada Gua Intan yang hanya
terdapat dua jenis kelelawar. Nilai Indeks Keragaman Jenis, Kemerataan Jenis dan Dominasi
pada setiap gua disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Indeks Keragaman (H’), Kemerataan (E), dan Dominasi (C) pada setiap Gua.
No. Gua H’ E C
1. Petruk 1.5024 0.7717 0.2371
2. Liah 1.1032 0.7956 0.3984
3. Jatijajar 0.8016 0.7295 0.5400
4. Intan 0.4504 0.6497 0.7220
4.6. Pengaruh parameter fisik terhadap keberadaan kelelawar
69
Terbentuknya pola penyebaran jenis kelelawar yang bervariasi pada setiap gua diduga
berkaitan erat dengan kondisi fisik dan mikroklimat di dalam gua, hal ini pula yang
menyebabkan beberapa gua tidak dihuni oleh kelelawar. Berdasarkan pengukuran suhu dan
kelembaban yan dilakukan pada setiap gua, dapat diketahui bahwa gua yang dihuni oleh
kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata sebesar ± 28.25oC dan ± 91.25%. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Maryanto dan Mahadaratunkamsi (1991) yang menyatakan
bahwa gua-gua yang dihuni oleh kelelawar umumnya memiliki suhu yang rendah dan
kelembaban tinggi.
Pada Tabel 3. dapat dilihat pengaruh parameter fisik terhadap tempat pengambilan
sampel. Dapat dijelaskan bahwa semua kelelawar yang didapat memiliki suhu rata-rata
±28.25, suhu yang stabil dan cocok untuk kelelawar (tidak terlalu dingin dan tidak terlalu
panas), ini dikarenakan kelelawar merupakan hewan berdarah panas (termoregulasi). Suhu
yang terdapat di jalur terbang sekitar Gua Petruk stabil sehingga banyak keragaman jenis
kelelawar yang terdapat di tempat ini. Berbeda dengan di Gua Jatijajar, Gua Liah dan Gua
Intan yang memiliki suhu yang tinggi dan rendah sehingga hanya beberapa jenis saja yang
didapat.
70
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar Pada Setiap Gua
Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah
kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor.
Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Intan, Gua
Jatijajar, dan Gua Liah. Gua ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan
kelelawar yang berupa faktor biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung
perkembangan populasi kelelawar dibandingkan dengan gua-gua lainnya (Wijayanti, 2001).
Menurut Altringham (1996), kondisi gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu
yang stabil sesuai sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi
demikian kelelawar dapat berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu
tubuh dan berkembang biak dengan aman.
71
DAFTAR PUSTAKA
Ahlen, I. 1993. The Bats Fauna of Some Isolated Island in Scandinavia. Oikos, (41) : 352-
358.
Altringham, J. D. 1996. Bats Biology and Behaviour. Oxford University Press. New York.
Apriandi, J. 2004. Keanekaragaman dan Kekerabatan Jenis Kelelawar Berdasarkan Kondisi Fisik-Mikroklimat Tempat Bertengger Pada Beberapa Gua di Kawasan Gua
Gudawang. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Boedi, A. M. dan A. Suyanto. 1983. An Insectivorous bat, Tadarida plicata (Buchanan)
(Microchiroptera: Molossidae) as a possible component in biological control of
insects. Biotrop. Spec. Publ.18: 245-247.
Ceave, A. 1999. Bats a Portrait of The Animal World. TODTRI Book publishers. New York.
Cobert, G. B. dan J. E. Hill. 1992. The Mammals of The Indomalaya Region: A Systematic
Review. Oxford University Press. Oxford.
Elangovan, V., G. Marimuthu dan T. H. Kunz. 2000. Nectar Feeding Behaviour in The Short-
Nosed Fruit Bat Cynopterus sphinx (Chiroptera:Pteropodidae). Acta
Chiropterologica, 2 (1): 1-5.
Hill, J. E. dan J. D. Smith. 1984. Bats: A Natural History. British Museum (Natural History) Cromwell Road. London.
Kingston, T., G. Jones., Z. Akbar dan T. H. Kunz. 2000. Resource Partitioning in
Rhinolophoid Bats Revisited. Oecologia, 124: 332-342.
Kingston, T., B.L Liem., dan Z. Akbar. 2006. Bats of Krau Wildlife Reserve. Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 1990. Wild Mammals
of Lombok Island Nusa Tenggara, Indonesia: Systematic and Natural History.
Western Australian Museum.
Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 2002. Mamalia Pulau
Lombok. Puslit Biologi-LIPI, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO
Movement. Bogor.
KPG ”Hira” Himakova. 2004. Ekspedisi Gua Gimbar Way Canguk Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan. Kelompok Pemerhati Gua ”Hira” Himakova Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York.
72
Kunz, T. H. dan E. D. Pierson, 1991. Bats of The World : An Introduction. The John
Hopkins University Press. London.
Lopez, J. E., dan C. Voughan. 2007. Food Niche Overlap Among Neotropical Frogivorous
Bats in Costa Rica. Biological Tropical, 55 (1): 301-313.
Ludwig, J. A. dan J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer On Methods And
Computing. John Wiley & Sons Inc. USA.
Maryanto, I dan Mahadaratunkamsi. 1991. Kecenderungan jenis-jenis kelelawar dalam
memilih tempat bertengger pada beberapa gua di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Media Konservasi III, (3): 29-34.
Noerdjito dan I. Maryanto. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus dilindungi oleh dan untuk
Masyarakat Indonesia. LIPI dan ICRAF. Bogor.
Nowak, R. M. 1995. Bats of The World. The Johns Hopkins University Press. Baltimore &
London.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. H. Freeman and Co. San Fransisco.
Primack, R.B., J. Supriatna., M. Indrawan., dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Rahmadi, C. 2007. Arthropoda Gua Karst Maros (Sulawesi) & Gunung Sewu (Jawa):
Melintas Garis Wallace. Fauna Indonesia, vol 7 (2): 1-6.
Rianti, I. P. 2006. Keanekaragaman Jenis Dan Pola Penggunaan Ruang Bertengger Kelelawar
Di Beberapa Gua Di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riswan, S., M. Noerdjito dan I. Rachman. 2006. Vegetasi Hutan Karst: Kasus Kawasan
Gombong Selatan Ayah Kebumen, Jawa Tengah. PUSLIT Biologi LIPI. Bogor.
Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia. Pengelolaan dan
Perlindungannya. Publikasi khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 25:
1-317.
Sesni, H. 2008. Identifikasi Serbuk Sari Tumbuhan yang Terdapat pada Saluran Pencernaan
Kelelawar Penyerbuk Bunga (Eonycteris spelaea, Dobson 1872) di Goa Lalay Kabupaten Tasikmalaya dan Goa Bau Kabupaten Karawang. Skripsi: Program Studi
Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.
Sinaga. M., A. S. Ahmadi dan I. Maryanto. 2006. Peran Kelelawar Gua Dalam
Keseimbangan Ekosistem. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah Dan
Pemecahanannya. (Editor: Ibnu Maryanto, Mas Noerdjito dan R. Ubaidillah). Pusat
Penelitian Biologi LIPI. Bogor
Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor.
73
Suyanto, A. 2003. Kelelawar pemakan buah dan Taman Nasional Gunung Halimun. Zoo
Indonesia, 5 (2): Hal 31 – 40.
Tidemen, C. R. dan S. C. Flavel. 1987. Factor Affecting Choice of Diurnal Roost Site By
Tree Hole Bats (Microchiroptera) in South-Eastern Australia. Australian Wildlife
Research, 14 (4): 459-473.
Turttle, M. D. 2000. Where The Bats Are-Part III: Caves, Cliffs, and Rock Crevices.
http://www.batcon.org.
Wijayanti. F. 2001. Komunitas Fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar Kabupaten Kebumen. Tesis: Program Studi Biologi Universias Indonesia. Jakarta.
Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja., dan S. Arifin. 1999. Ekologi Jawa dan Bali.
Prehallindo. Jakarta.
Wiyatna, M. F. 2003. Potensi Indonesia sebagai penghasil pospat guano
kelelawar. Makalah Falsafah Sains Program Pascasarjana/S3. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Zimmer, C. 1998. Into the night. In: Discover. The Gale Group and Looksmart.
74