Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

16

Click here to load reader

description

Stagnation to analyze collective violence in Indonesia

Transcript of Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

Page 1: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

KEKERASAN KOLEKTIF DAN LUMPUHNYA BASIS ANALISIS KITA

Oleh:Tua Hasiholan Hutabarat

emandang Indonesia saat ini tak obahnya seperti memandang lahan

gambut yang terbakar. Gosong di atas permukaan, dan membara di

bawah. Kita miris melihat perkelahian dan pertarungan elit politik

yang seakan tak pernah berhenti mempertontonkan drama pura-pura. Adegan-demi

adegan yang tak pernah bisa diprediksi awal dan akhir ceritanya. Kepentingan

menjadi skenario laten yang terus ditutupi oleh moralitas, ideologi, hukum atau

M

1

Page 2: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

aturan. Atas nama kepentingan pula kemudian hukum ditelikung dan dianggap

sebuah gelang karet yang bisa diperketat dan diperlonggar sesuka hati. Stabilitas

dan pembangunan ekonomi dijadikan alasan untuk secara diam-diam mengeruk

kepentingan dan dibagi-bagikan kepada para pemburu rente. Apa yang diucapkan

dan dilakukan sudah terlalu jauh, tidak nyambung, bahkan dianggap sebagai sebuah

situasi paradox yang tak terelakkan. Mereka tidak sadar, jika tabrak lari terhadap

undang-undang, peraturan, hukum, moral dan ideologi negara ini telah disaksikan,

dinikmati, bahkan menjadi sumber perilaku ratusan juta rakyat Indonesia.

Atas nama demokrasi, semua pihak merasa berhak untuk berucap, bertindak,

bahkan merekonstruksi kembali makna dari sebuah kepatutan dan kebenaran. Entah

sadar atau tidak, namun yang pasti dinamika yang berlangsung selama ini

cenderung mereduksi arti demokrasi yang sebenarnya masih "mengkal" dan sedang

mencari bentuk yang seharusnya.

Geger elit yang berlangsung saat ini ternyata meneteskan tanaman berduri di

masyarakat. Disebalik kesibukannya untuk tetap bertahan hidup, rakyat telah

merekonstruksi dan mereproduksi perilaku yang mereka saksikan berdasarkan

pengalaman, pengetahuan dan keterbatasannya sendiri. Ada sebuah atmosphere

yang semakin memanas di tingkat masyarakat, sehingga menjadi lebih sensitif

terhadap gejolak-gejolak kecil di tengah masyarakat. Perkara kecil, isu, nilai, mitos,

sinyalemen, peristiwa, maupun bentuk-bentuk perbedaan di masyarakat bisa

menjadi sinyal dari sesuatu yang keras, berat dan dahsyat hanya dalam hitungan

detik.

Kemarahan, agresivitas, vandalisme, kekerasan secara horizontal dan vertikal

semakin kerap terjadi dan intensitasnya semakin meninggi. Semua peristiwa

tersebut sama sekali tidak bisa diprediksi. Isu-isu yang selama ini dianggap sensitif

2

Page 3: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

ternyata tak bisa lagi dianggap remeh sebagai pemicu dan pemacu kekerasan.

Seluruh apa yang dapat kita tangkap melalui indera manusia maupun yang tak kita

mengerti sama sekali bisa menjadi awal sebuah tindakan kekerasan. Titik picu ada

di setiap sudut rumah dan lingkungan kita. Seakan-akan persoalan SARA yang

selama ini kita anggap paling sensitif tak berarti apa-apa dibandingkan peristiwa

penggusuran, korupsi, kuburan, olahraga, korupsi, tabrak lari, senggolan kendaraan,

maupun tindakan kriminal biasa. Semua bisa menjelma dari sesuatu yang besar dan

menakutkan. Tanda-tanda apakah sebenarnya ini semua?

Kekerasan massa yang terjadi belakangan ini sebenarnya bukan sesuatu yang

luar biasa di Indonesia. Sejarah bangsa ini sudah menunjukkan besarnya potensi

terjadinya tindakan kekerasan secara horizontal maupun vertikal. Namun kondisi

sekarang semakin menarik sekaligus menakutkan dikarenakan semakin rasionalnya

sistem. Ketika ruang partisipasi dibuka lebar, saat publik domain tak lagi mengenal

strata sosial, ekonomi, etnisitas, dan agama, para saat itu pula resiko anarkhi

semakin besar. Saat hukum dianggap panglima, aturan, mekanisme dan birokrasi

semakin rasional, ketika itu pula kita tak bisa semakin tolerir. Berbagai keran

informasi, akses, peran, kontribusi warga dibuka lebar-lebar. Semua bisa berteriak

apapun sesukanya sepanjang dalam koridor hukum dan mematuhi institusi sanksi di

tingkat negara maupun di level grassroot. Rakyat diberi peluang untuk belajar

apapun, menginternalisasi, bahkan menyebar nilai, kepercayaan dan moral kepada

masyarakat lainnya. Kita juga didorong untuk semakin berdaulat secara individual

dan mandiri secara kolektif, sehingga mampu ikut bagian dalam pasar kompetisi

global yang semakin kuat. Untuk menghindari sang leviathan, kita pun disuguhi

berbagai kontrak sosial sebagai tali persaudaraan modern yang dikatakan mampu

mengintegrasikan kemajemukan.

3

Page 4: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

Di bidang ekonomi, negara menciptakan kasur empuk bernama safety valve

yang dianggap sebagai social security tersistem bagi semua golongan. Sedangkan

bagi pihak-pihak yang paling tak beruntung ada triliunan dana kompensasi yang

bisa membuat kita duduk manis di kursi goyang tanpa berpeluh. Media dibiarkan

ber euphoria merengkuh ekstasi kebebasan, sehingga tak ada satu orang pun yang

bisa menyentuhnya. Dan yang juga tak kalah penting adalah, ada garansi untuk

semua warga agar bisa menjadi apapun yang dia inginkan sepanjang memiliki

kapasitas yang diterima oleh aturan dan kebenaran standar awam.

Jika dilihat berbagai transformasi yang ada, sungguh sebenarnya sangat tidak

masuk akal jika kemudian malah kekerasan cenderung meningkat, khususnya

kekerasan terhadap sesama kelompok masyarakat. Juga menjadi cukup sulit untuk

menganalisis, apakah realitas tersebut berhubungan terhadap analisis-analisis social

patology yang sebelumnya cukup mumpuni untuk bisa menjawab gejala-gejala

sosial tersebut. Apakah yang sedang terjadi saat ini merupakan indikasi dari

semakin rumitnya struktur sosial? Apakah semakin mudahnya orang atau kelompok

masyarakat berbuat kekerasan tidak lagi bisa dijelaskan dengan konsep-konsep

degradasi moral, tekanan kemiskinan, lunturnya integrasi dan kohesivitas ataupun

anomi?

Mari kita jawab dengan mengutak-beberapa pendekatan. Pertama, mungkin

kita bisa lihat pendekatan klasik Emile Durkheim, Robert K Merton dan lainnya.

Salah satu pendekatan klasik yang kerap digunakan dalam menganalisis kekerasan

adalah konsep Anomie yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim. Menurutnya,

Anomie akan terjadi ketika norma budaya terdegradasi dan tidak mampu

menyesuaikan diri dengan cepatnya perubahan. Pada saat terjadi perubahan cepat di

masyarakat, maka akan tercipta suasana depresi massal. Pada saat itu, manusia tak

punya pegangan lagi dalam hidup, sehingga memunculkan perilaku-perilaku

menyimpang. Pandangan yang mirip juga dikemukakan oleh Merton. Ketika

4

Page 5: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

tercipta gap antara norma-norma budaya yang mengatur tentang tujuan hidup

dengan norma-norma budaya yang mengatur manusia tentang cara mengejar atau

mencapai tujuan hidup tersebut, maka pada saat itulah terjadi anomie pada

masyarakat.

Dalam kacamata kontemporer, apa yang dikemukakan oleh Durkheim dan

Merton tersebut menyebutkan beberapa konsep penting, yakni; tujuan, alat/cara,

tekanan dan aturan/norma. Kegagalan masyarakat atau struktur sosial dalam

mengatur perilaku/tindakan manusia akan menyebabkan anomie. Struktur sosial di

sini maksudnya adalah kompleksitas budaya, norma, aturan, hukum, pranata,

termasuk

Perilaku masyarakat/individu dalam mencapai tujuan hidup.

Jika pandangan mereka berdua yang kita yakini, maka kita cenderung akan

menyalahkan struktur. Ada norma, budaya, aturan dan berbagai regulasi yang gagal

membawa keseimbangan pranata-pranata yang ada di dalam struktur. Struktur

menjadi faktor determinan, karena manusia dianggap agen pasif yang pasrah

dengan panduan atau aturan perilaku yang telah ditentukan oleh struktur. Perspektif

ini memang masih debatable. Sebahagian pengamat dan aktivis masih yakin dengan

pisau analisis seperti ini. Persoalannya adalah, teori tersebut lahir dari sebuah

kondisi carut-marut ketika terjadi sebuah perubahan besar yang berlangsung cepat,

sehingga masyarakat kehilangan pegangannya. Kenyataannya, anomi tidak hanya

terjadi pada masa-masa seperti itu. Dalam keadaan normal seperti yang terjadi di

Indonesia saat ini ternyata terjadi hal yang sama. Masyarakat seakan kehilangan

batas-batasnya sehingga memunculkan kecenderungan berbuat menyimpang,

seperti melakukan kekerasan kolektif. Dan ternyata juga, kekerasan kolektif

tersebut tidak terjadi terus-menerus sehingga membentuk sebuah pola. Kekerasan

yang terjadi saat ini berlangsung secara acak dan terlihat unpredictable. Tidak ada

kiris besar seperti krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Tidak

ada juga instabilitas politik yang berlangsung radikal sehingga menggoncangkan

5

Page 6: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

struktur masyarakat. Malah terkesan saat ini Indonesia sedang menuju kematangan

demokrasi sebagai hasil modernisasi sistem politik dan ekonomi.

Lalu dimana letak akar persoalannya? Apakah dalam keadaan minim tekanan

seperti yang berlangsung saat ini memungkinkan terjadinya anomie pada

masyarakat? Ketika ditelusuri, ternyata pelaku kekerasan juga bukan dari satu

kelompok sosial terorganisir yang menjadi korban keganasan struktural. Kekerasan

malah bisa dilakukan oleh elit, maupun kelompok masyarakat yang dimanipulasi

oleh elit. Walaupun terkesan tidak murni, namun dari kesan yang ditimbulkan,

kekerasan kolektif tersebut tak ada bedanya dengan kekerasan kolektif yang lahir

dari kecacatan persoalan struktural.

Mazhab Chicago yang cukup liberal dan mikro dalam memandang realitas

sosial juga tak cukup tepat menganalisis kecenderungan ini. Mereka percaya bahwa

penyimpangan sosial merupakan ciri khas masyarakat urban, dimana penyebabnya

dapat ditemukan pada karakteristik perkotaan, seperti; keluarga broken home,

tingginya angka kelahiran illegal, heterogenitas masyarakat, ketimpangan

pendapatan, pendidikan rendah, masalah ketenagakerjaan dan lainnya. Pendekatan

itu sulit menjelaskan secara komprehensif, karena gejala kekerasan kolektif bukan

identik dengan masyarakat urban, bahkan menjalar ke pelosok-pelosok desa dimana

berbagai karakter urban belum terjadi.

Jika kita ingin sedikit melompat, mungkin kita bisa gunakan juga pendekatan

Sosiolog Konflik Lewis Coser. Kekerasan yang terjadi merupakan bentuk konflik

yang menurut Coser memiliki makna positif bagi struktur sosial dan kelompok

sosial. Salah satunya adalah fungsi pendefinisian kelompok. Dengan adanya

konflik, maka akan memperjelas identitas dan batas dengan kelompok sosial

lainnya. Kalau kita percaya dengan perspektif Coser, maka sebenarnya tidak ada

yang perlu dikhawatirkan dengan kekerasan dan konflik yang berlangsung saat ini,

karena semuanya merupakan proses alami dalam rangka keseimbangan struktur

sosial. Pendekatan tersebut tampaknya juga tidak terlalu tepat. Konflik sosial yang

6

Page 7: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

berbuah tindakan kekerasan massa di Indonesia tak berakhir dengan manfaat seperti

yang dikemukakan Coser.

Ralf Dahrendorf juga kemungkinan gagal jika digunakan untuk menganalisis

kondisi sekarang. Syarat konflik yang dikemukakannya, yakni tentang adanya

sekelompok orang yang terlibat dalam organisasi, terjadinya interaksi atau

komunikasi, perbedaan posisi maupun perebutan kepentingan atas sumber daya

kerap tak dijumpai dalam kasus-kasus konflik di Indonesia. Begitu juga ketika

menggunakan cara berfikir Raymond W. Mack (1969). Anggapannya bahwa

konflik terjadi ketika proses kompetisi berlangsung tidak fair juga tak menjawab

persoalan. Kerap sekali konflik yang terjadi di Indonesia bukan dikarenakan adanya

kompetisi memperebutkan sumberdaya atau tujuan tertentu. Bahkan ada kita jumpai

beberapa konflik dimana ternyata tidak ada satupun hal yang diperebutkan. Begitu

juga dengan pandangan Jerry W Robinson (1972) yang banyak menelaah tentang

manajemen konflik diantara kelompok komunitas. Menurutnya, konflik terbagi atas

dua dimensi, yakni konflik yang terjadi dikarenakan adanya ancaman terhadap

teritori, dan konflik yang terjadi ketika muncul ancaman terhadap nilai, tujuan,

kebijakan atau perilaku tertentu. Sedangkan konflik antar masyarakat saat ini sering

tak berdimensi sama sekali. Kerap konflik tersebut tak berakar dari perebutan

wilayah ataupun kemarahan yang muncul akibat ancaman terhadap nilai yang

dimiliki.

Terakhir mungkin kita bisa melihat apa yang dikemukakan oleh James S

Coleman (1957). Ia melihat ada tiga komponen besar yang bisa menjadi pendorong

munculnya konflik pada komunitas, yakni; (1) adanya aspek penting yang terkait

dengan kehidupan masyarakat; (2) aspek penting tersebut berdampak berbeda

terhadap anggota komunitas, dan (3) adanya dorongan anggota untuk melakukan

tindakan yang mengarah pada konflik. Pada situasi dimana struktur sosial sudah

cukup matang dan organisasi sosial menjadi basis masyarakat, maka ketiga

komponen tersebut cukup membantu menjelaskan. Namun tidak demikian untuk

7

Page 8: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

kasus kekerasan dan konflik di Indonesia. Kadangkala konflik terjadi bukan

disebabkan adanya hal substansi atau prinspil yang sedang terancam. Bayangkan

saja, gara-gara senggolan motor bisa terjadi konflik yang berbuntut dengan

kekerasan massa.

Cerita panjang di atas membawa kita pada kesimpulan sederhana, dimana

pendekatan dan teori yang selama ini ampuh memberi penjelasan terhadap gejala

konflik ternyata tumpul. Bukan hanya tumpul, namun ternyata pandangan-

pandangan yang menyatakan konflik memiliki fungsi stabilisator sistem sama sekali

tak berlaku. Berbagai gejolak sosial,politik yang melibatkan komunitas dan massa

ternyata tak membuahkan perubahan apapun. Jika Jerry W Robinson dan Clifford

Roy A percaya bahwa ada sisi positif dari pihak-pihak yang mendorong terjadinya

konflik bagi perubahan, maka hal itu cenderung tak ditemui pada konflik yang

berlangsung sekarang. Seperti pandangan mereka terhadap seorang tokoh organizer

bernama Saul D Alinsky. Mereka melihat apa yang dilakukan oleh Alinsky dalam

mengorganisir konflik merupakan upayanya dalam mendorong sebuah perubahan.

Walaupun sedikit bisa membawa titik terang, namun penjelasan tersebut tak bisa

mengidentifikasi adanya sebuah pola dalam konflik-konflik yang terjadi. Beberapa

konflik sosial memang sengaja diorganisir agar merembet pada peristiwa-peristiwa

yang dapat mendesakkan perubahan,namun melihat kondisi saat ini, secara

substansi sebenarnya perubahan yang diharapkan kerap tak terjadi.

Disebalik keputusasaan kita dalam menemukan pendekatan paling tepat dalam

menemukan akar konflik, sebenarnya pendekatan-pendekatan tersebut ada yang

sedikit berguna bagi individu atau organisasi yang berminat terhadap manajemen

konflik. Salah satunya adalah dalam hal mengelola dan menyelesaikan konflik.

Seperti yang dikemukakan oleh Kenneth E. Boulding (1962). Ia menawarkan

beberapa pendekatan dalam menyelesaikan konflik, yakni; (1) avoidance; (2)

Conquest; dan (3) Prosedural Resolutin. Dari ketiga strategi tersebut, tampaknya

8

Page 9: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

yang pertamalah yang sering digunakan oleh pemerintah maupun elit dalam

menghadapi konflik. Walaupun menurut Boulding cara pertama tersebut cenderung

memperbesar potensi konflik, kenyataannya tidak terjadi di Indonesia. Konflik bisa

muncul tiba-tiba, dan selesai, lenyap tanpa bekas, sehingga sulit untuk melihat pola

apa yang sebenarnya terjadi.

Pemahaman tentang kekerasan, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok

sosial maupun massa yang terlihat agak rumit dikemukakan oleh Norbert Elias,

Zymunt Baumann, dan kemudian disempurnakan oleh Arpád Szakolczai.

Walaupun cenderung rumit dan keluar dari koridor pendekatan klasik, namun

sedikit bisa membantu.

Menurut mereka, kekerasan atau perilaku impulsive dan barbar yang

dilakukan oleh masyarakat berhubungan erat dengan upaya kekuasaan dalam

melindungi monopoli tindakan kekerasan yang kerap dilakukan oleh pemerintah.

Mengapa demikian? Menurut mereka, pemerintah atau negara sebenarnya memiliki

instrumen untuk melakukan kekerasan, misalnya melalui kebijakan pajak, dan

sebagainya. Untuk melindungi kebijakan tersebut, maka rejim membiarkan

tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh massa. Menurut Arpád

Szakolczai, kekerasan pada awalnya hanya merupakan tindakan relaxasi, pelarian

(escape) atau yang mereka sebut sebagai ventilsite. Tindakan kekerasan tersebut

dibiarkan, sehingga lama kelamaan semakin membudaya. Ketika semakin

membudaya, kemudian rejim membangun instrumen yang berusaha meredam

praktek-praktek kekerasan yang ada, sehingga realitas kekerasan dan penindakan

menjadi sebuah sistem yang dapat menyembunyikan aspek kekerasan lain yang

dilakukan oleh rejim berkuasa.

Apa yang Norbert dan kawan-kawan ungkapkan tersebut tentu ada

hubungannya dengan kondisi saat ini. Kita melihat kekerasan atau konflik yang

9

Page 10: Kekerasan Kolektif Dan Lumpuhnya Basis Analisis Kita

berakhir dengan tindakan barbar dan mengorbankan sesama masyarakat merupakan

sebuah bangunan sistem keteraturan yang dikonstruksi rejim untuk melindungi

kekuasaannya, terutama tindakan-tindakan pemerintah yang sebenarnya merupakan

tindakan kekerasan terhadap masyarakat. Lihat saja bagaimana pemerintah kerap

membiarkan terjadinya tindakan-tindakan kekerasan antar masyarakat, yang

kemudian dikurangi, diredam atau ditindak melalui mekanisme, instrumen hukum,

norma, aturan dan sebagainya. Sorotan masyarakat tentang kekerasan akan tersedot

dalam konteks itu, padahal ternyata hal tersebut mengalihkan monopoli kekerasan

yang ternyata dimiliki oleh pemerintah.

Tentu kita harus kritis memandang pendekatan ini. Ada sebuah proses atau

tahapan penyembunyian tindakan kekerasan yang sangat halus berlangsung, dan

seakan-akan tidak disadari oleh semua pihak. Kita tidak sadar bahwa massa

sebenarnya terdorong melakukan kekerasan tertentu, walaupun ternyata akhirnya

kita tau kekerasan tersebut tak berakar dan sama sekali tak bertujuan. Ketika

kekerasan terus berlangsung, pemerintah kemudian semakin kuat membangun

instrumen tindak, sehingga terinternalisasilah pada masyarakat tentang mana yang

disebut dengan kekerasan, dan mana yang tidak.

Terlepas dari tidak komprehensifnya pendekatan ini, tetapi paling tidak bisa

memberikan abstraksi kepada kita, dan menjadi titik tolak yang lebih dalam

sehingga menemukan strategi berfikir yang lebih tepat dan dialektik dalam

memahami kekerasan kolektif yang saat ini berlangsung di Indonesia.

**************************Mataram, 01 Juni 2010

10