Kekerasan Budaya Pasca Tahun 1965

download Kekerasan Budaya Pasca Tahun 1965

of 10

description

Kekerasan yang muncul terhadap budaya di Indonesia pasca peristiwa G/30S

Transcript of Kekerasan Budaya Pasca Tahun 1965

  • 1

    > Diskusi Asahan Aidit vs SalimSaid

    From: ASAHAN

    Sent: Wednesday, January 8, 2014 7:11 AM

    Beste bung Salim,

    Terima kasih atas komentar bung Salim dan saya dengan senang hati membacanya.

    Saya tidak akan menyebutkan atau menekankan perbedaan ataupun persamaan

    dalam masing-masing tulisan kita karena saya anggapa gaya atau kebiasan itu sudah

    semakin konservativ dan lebih banyak basa basinya yang justru menghalangi

    kelancaran dan kewajaran sebuah diskusi serius. Sesudah membaca buku Wijaya

    Herlambang KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965 ( saya singkat saja "KBP 65) saya

    terkesan oleh beberapa hal mengenai sosok dan pemikiran Wijaya Herlambang a.l.

    kapasitasnya sebagai seorang kritikus sastra, analisisnya yang tajam dan mengurai,

    kepandaiannya mengelola tulisan yang bersifat sastra dan politik serta ilmu dalam

    sebuah buku. Saya kira kombinasi macam demikian sangat mudah membuat seorang

    penulis tergelincir pada agitasi (bila bicara soal politik), pada intelektualisme (bila

    bicara soal ilmu) dan subyektivisme (ketika menganalisa dan mengurai). Dan saya

    tidak melihat penulis ini terpelest pada bidang yang manapun namun tetap berjalan

    dengan lancarnya di tempat-tempat yang licin tersebut. Tapi memang, secara

    ideologis saya tentu banyak yang sependapat dengan dia dan mengenai soal ini

    pasti saja bung Salim bisa memahami. Namun saya juga tidak mau tergelincir untuk

    sampai meninggalkan obyektivitas dan semata mementingkan faktor subyek sendiri

    saja. Kita berhadapan dengan ilmu dan bukan mempertengkarkan ideologi dan

    hanyut dalam perdebatan politik. Obyektivitas di sini adalah cermin yang harus jadi

    patokan kita dan bukanlah sesuatu yang harus dimutlakkan tapi sebagai akibat

    absennya cermin tsb kita juga akan kehilangan arah atau orientasi.

    Anti komunis dalam alam demokrasi adalah hak setiap orang seperti juga hak setiap

    orang untuk menjadi komunis sebagai pilihan ideologinya lalu pada giliranya ada pula

    hak menyerang dan hak membela diri. Hak menyerang masih banyak menimbulkan

    soal tapi lain halnya dengan hak membela diri yang tidak boleh direduksi sekecil

    apapun. Dan ini menjadi persoalan bangsa kita hingga sekarang: hak bela diri terlalu

    sempit dan sengaja dipersempit oleh penguasa dan bahkan hingga dicekik sama

    sekali. Demokrasi kita menjadi timpang meskipun kediktatoran tampak goyah dan

    terlihat sulit untuk tegak kembali. Komunisme tidak diberi hak hidup dan hak

  • 2

    membela diri di sebuah negara yang menyebut dirnya negara demokrasi. Saya

    melihat buku Herlambang ini sebagai sebuah usaha baru untuk menegakkan hak bela

    diri dari semua korban kekerasan Orba di masa lalu yang hingga kini pengaruhnya

    masih sangat kuat. Dan yang menjadi korban sekarang ini bukan lagi semata kaum

    komunis (mereka sudah hampir habis) tapi yang non Komunis dan juga

    lapisan sebagian terbesar rakyat hingga ke segolongan intelektuil yang juga non

    Komunis harus hidup dalam ketegangan karena selalu dalam kekuatiran dituduh

    Komunis dan bahkan hingga didiskriminasi bila telah dicurigai sebagai bersimpati

    dengan Komunis. Saya yakin bung Salim tidak akan setuju denga situasi yang begini.

    Saya sendiri secara pribadi tidak setuju MK dilarang meskipun jiwa MK tidak saya

    setujui. Saya juga adalah penganut kebebasan ber-ekspressi dalam pengertian

    umum dan yang sedang aaya lakukansekarang ini adalah justru saya sedang

    menggunakan kebebasan itu. Tanpa adanya kebebasan ber-expresi tidak akak lahir

    karya manusia yang wajar. Tapi kebebasan ber-expressi yang diberi isi tujuan

    membasmi Komunisme sudah pasti saya tentang yang kebebasan semacam itu

    dikemudikan oleh kekuatan sebuah penguasa negara dengan tujuan menghancurkan

    kebebasan ber-expressi orang lain maupun pihak lawan. Dan MK telah menjadi alat

    langsung penguasa Orba turut serta menghancurkan Komunisme dengaan senjata

    budaya seni mereka Kebebasan ber-expessi yang mereka tafsirkan secara palsu dan

    penipuan sehingga istilah "kebebasan ber-expressi" yang didominasi dan menuurut

    tafsiran MK membuat banyak orang menjadi takut untuk menentangnya tapi bila

    membelanya berarti akan turut-turut memerangi Komunis.

    Menurut saya Nasakom sama sekali bukan membuat PKI menjadi besar malah

    sebaliknya Nasakom yang disokong PKI telah membuat PKI menambah musuh

    secara tidak perlu. Sebelum Nasakom dilahirkaan secara formal setiap anggota PKI

    yang menjalankan ajaran agama Islam bisa dengan tenang melakukannya yang

    memang amat jelas PKI membiarkan semua anggotanya menganut sesuatu agama

    yang dipilihnya meskipun PKI bukan nengurusi soal agama karna PKI adalah Partai

    Politik. Tapi begitu Nasakom-nya Presiden Soekarno disokong kuat oleh PKI, Partai

    menghadapi banyak musuh dari kalangan Islam di luar PKI. PKI membesar

    dan berkembang adalah karena Partai menempuh jalan yang salah: jalan damai untuk

    merebut kekuasaan. Tapi PKI ketika itu dengan penuh kesedaran menempuh dan

    melaksanakan garis politik jalan damai yang punya risiko fatal yang sama dengan

    yang ditempuh Presiden Soekarno di saat-saat menentukan di puncak kegagalan

    G30S: MENGHINDARI PERTUMPAHAN DARAH yang berahir dengan akibat malah

    darah telah tertumpah puluhan kali bahkan ratusan kali lebih banyak dibadingkan

    sendainya mengadakan perlawanan. Dan begitu jugalah yang dialami PKI bersma

  • 3

    simpatisan dan sebagian rakyat Indonesia. Jalan damai PKI memang banyak menarik

    perhatian dan simpati orang banyak dan oleh sebab itulah PKI dapat membesar yang

    nantinya sebagai calon babi potong untuk dipestakan di tengah musuh-musuhnya

    terutama Angkatan Darat .

    Saya yakin cukup banyak para seniman, budayawan dan para pemuda kita yang tidak

    sadar dan tidak tahu telah makan duit CIA. Dan kalau demikian bukanlah sesuatu

    yang mesti disesalkan asalkan tidak secara sedar memburunya yang kemudian untuk

    menerima tugas-tugas dari CIA. Hingga menjelang ahir tahun 1961 saya masih

    berada di Jakarta dan menjadi mahasiswa UI di Rawamangun. Mungkin saja kalau

    saya mendapat kesempatan sekolah ke Amerika dan mendapat besiswa saya akan ke

    Amerika . Tapi ke Sovyet Uni pun saya harus berusaha sendiri tanpa dukungan

    organisasi yang manapun. Bahkan abang sulung saya tidak setuju saya belajar ke

    luar negeri: ke Soviet Uni apalagi ke Amerika. Tapi saya tetap menggunakan hak

    saya dari usaha sendiri dengan cara melamar seperti ribuan calon penerima besiswa

    lainnya tanpa dukungan siapapun.

    Ketika MK dilarang oleh bung Karno saya sudah tidak berada di Indonesia dan dari

    sana saya juga tidak mendengar bahwa lawan-lawan Lekra mengalami kesulitan

    hidup, repressi, kehilangaan pekerjaan dan kehilangan kesempatan untuk bekerja

    (Mungkin seperti yang dialami oleh para korban 65 hingga sekarang ini). Tapi saya

    rasa sulit untuk menyalahkan Lekra atau menuduh Lekralah yang menyebabkan

    semua penderitaan mereka. Lekra hanya berdebat dan melakukan perang

    pena. Lekra tidak punya kuasa dan yang berkuasa adalah Pemerintahan Presiden

    Soekarno. Lekra bisa menyokong tapi tidak bisa mengendalikan seorang Soekarno.

    Dan MK dibubarkan dengan sebuah keputusan Presiden, dengan kertas, sedangkan

    Lekra dihancurkan dengan peluru dan bayonet, penjara serta buangan. Lain

    umpamanya dengan para mahasiswa pendemonstran dan pendongkel Pemerintahan

    Soekarno yang bekerja sama langsung dengan militer dan sama-sama antusias untuk

    menghancurkan Lekra dan komunisme.

    Bung Salim, maafkan, ini sudah terlalu panjang dari saya.

    Salam,

    ASAHAN.

  • 4

    ----- Original Message -----

    From: Salim Said

    Sent: Monday, January 06, 2014 4:22 AM

    Subject: Fwd: KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965...

    Bapak Asahan Yth,

    Beberapa hari lalu saya membeli beberapa buku di toko buku Gramedia. Salah satu

    yang saya beli adalah karya Dr. Wijaya Herlambang,Kekerasan Budaya Pasca 1965.

    Saya sudah selesai membaca buku itu, tapi karena saya ingin lebih mengerti karya

    buku yang menarik itu saya sedang mencari waktu membacanya kembali.

    Penelitian yang dilakukan Herlambang (kemudian menjadi tesis doktornya di salah

    satu Universitas di Australia dan kini terbit di Indonesia dalam terjemahan dengan

    judul Kekerasan Budaya Pasca 1965) saya anggap sangat menarik dan usaha

    intelektual yang penting. Selama ini pada umumnya kritik dan pembicaraan tentang

    karya sastra kita hanya melihat karya sastra sebagai sebuah produk seni, produk

    kreatif, dan sedikit sekali (kalau toh ada) yang melihatnya sebagai teks budaya

    yang dari dalamnya kita bisa melihat ideologi sang penulis serta kecenderungan

    masyarakat pada suatu zaman dan pada suatu lokasi. Memang harus diakui, studi

    budaya yang memperlakukan produks kreatif (sastra, film, komik, teater dll)

    sebagai teks yang mengandung banyak hal, adalah fenomena baru dalam ilmu

    humaniora. Sepanjang sejarah sastra Indonesia moderen, gaya dan pendekatan

    H.B.Jassin, dan murid-muridnya di Fakultas Sastra UI (Sekarang Fakultas Ilmu

    Budaya) adalah model dan penjuru bagi semua yang menulis kritik terhadap

    sastra Indonesia di dalam maupun di luar negeri.

    Dr. Wijaya Herlambang adalah salah satu sarjana Indonesia yang mendekati

    sastra Indonesia dengan pendekatan baru, artinya bukan dalam tradisi H.B. Jassin.

    Menurut pengakuannya sendiri, Dr. Herlambang membahas kesenian

    Indonesia karena terobsessi oleh pertanyaan "bagaimana ideologi anti komunis

    bisa bertahan lama, jauh setelah jatuhnya Orde Baru." Dalam aline yang sama

    (halaman 4) Herlambang menyimpulkan ," tidak bisa dipungkiri bahwa bertahannya

    ideologi anti-komunis merupakan akibat langsung dari pendekatan politik Orde Baru

    untuk menghancurkan komunisme dan mencegah munculnya kembali paham itu di

    Indonesia..."

    Assumsi dari kesimpulan Herlambang itu adalah bahwa di Indonesia kekuatan anti

    Komunis adalah hanya militer, yang kemudian dibantu oleh "agen-agen

  • 5

    kebudayaannya" yakni para seniman yang tidak tergolong Kiri dan bahkan

    "berperang" melawan kaum Kiri. Menurut saya di sini kelemahan utama Herlambang.

    Penulis ini tidak meletakkan persoalan yang ditelitinya dalam kontek politik

    zamannya.

    Persoalan Kiri lawan Kanal sudah mulai tampil dalam sejarah Indonesia sejak

    Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada tahun 1950. Puncak dari

    "perang" antara Kiri melawan Kanan adalah pada masa Demokrasi Terpimpin. Di

    bawah payung doktrin Nasakom Pemimpin Besar Revolusi yang mendominasi

    kegiatan budaya adalah kegiatan kiri. Pada saat itulah buku-buku mereka yang

    dituduh Manikebu dan Humanisme Universal dilarang oleh kekuatan kiri dengan

    menggunakan tangan Mendikbud Prof. Priyono, seorang pemegang bintang Stalin.

    Dalam buku baru saya Dari Gestapu ke Reformasi ada saya ceritakan bagaimana

    orang-orang yang dituduh Manikebu masa itu terpaksa harus menulis dengan nama

    samaran karena tidak ada lagi media yang mau memuat tulisan mereka akibat teror

    dari golongan kiri. Teror kiri waktu itu dipimpin oleh Pramudaya Ananta Tur yang

    secara leluasa menggunakan rubrik Lentera pada harian milik Partindo, Bintang

    Timur.

    Pujian berlebihan kepada novel September sesungguhnya tidak usah terjadi kalau

    saja Herlambang dengan saksama mempelajari berbagai tafsiran dan teori tentang

    Gestapu. Novel Massardi tidak lebih dari terjemahan kreatif dari teori missing link

    professor Wertheim yang sejak awal Orde Baru sudah menuduh Soeharto sebagai

    dalang Gestapu.

    Pada halaman 8, Herlambang menulis,"bahwa peran CCF di Indonesia merupakan

    salah satu faktor penting yang telah memanipulasi gagasan "kebebasan"(liberty)

    yang tujuannya adalah menghancurkan komunisme -- yang pada tahun 1960an

    telah menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia-- dan sekaligus

    untuk membela kepentingan ekonomi pemerintah AS."

    Ada dua komentar saya untuk kalimat tersebut. Pertama, masa yang disebutkan

    Herlambang adalah masa Perang Dingin. Dalam masa itu hampir seluruh dunia tidak

    mungkin terbebas dari konflik Timur-Barat tersebut. Amerika bergerak di

    mana-mana membendung Sovyet dan Cina serta sekutu-sekutu mereka. Pihak

    sebaliknya juga demikian.Karena Amerika lebih kaya, tentu duit dan fasilitas yang

    ditebarkannya lebih banyak dari pihak lawannya.Saya masih ingat USIS (kantor

    penerangan Amerika) membiarkan bukunya dicuri oleh anak-anak muda yang

    tertarik membaca buku buku Amerika itu. Beasiswa ke Amerika juga tersedia

  • 6

    sampai Sukarno mempersult mahasiswa ke Amerika dan memfasilitasi

    mereka belajar ke Eropa Timur, Uni Sovyet dan Cina. Pihak timur melawan

    Amerika itu dengan mendatangkan buku-buku dengan cetakan bagus dan dengan

    harga murah. Beasiswa ke Eropa Timur, Sovyet dan Cina juga tersedia banyak. Kami

    orang Indonesia waktu itu memanfaatkan dengan baik kesempatan dari Barat dan

    Timur waktu tersebut.Tapi itu bukti bahwa kita orang Indonesia tidak begitu saja

    jadi obyek "manipulasi" asing, dari Barat maupun dari Timur.

    Ya, betul, PKI adalah salah satu kekuatan politik terbesar waktu itu. Tapi kita

    sebaiknya tidak berhenti pada kalimat itu. Sebab kalau berhenti di situ, sulit kita

    mengerti mengapa PKI dengan mudah dihabisi oleh militer setelah 1 Oktober 1965.

    PKI bisa mencapai tingkat itu banyak disebabkan oleh lindungan Nasakom Sukarno

    serta kepandaian PKI memanfaatkan kesempatan yang dibukakan Sukarno itu. Di

    samping PKI dan Sukarno ada Angkatan Darat yang sangat anti Komunis. Tapi selain

    tentara ada jumlah besar golongan anti Komunis yang tadinya ada dalam Masyumi

    dan PSI (Keduanya dibubarkan Sukarno pada tahun 1960) serta sejumlah golongan

    anti Komunis dalam NU, Partai Katolik dan PNI. Mereka-mereka yang anti Komunis

    inilah yang mendukung Angkatan Darat dalam menghadapi PKI dan Sukarno setelah

    1 Oktober 1965.

    Saya sebenarnya bisa bicara lebih panjang lagi mengomentari buku Dr. Wijaya

    Herlambang. Inti kritik saya sekarang adalah jangan sekali-sekali menafikan

    sejarah. Soal ideologi anti Komunis yang berlangsung hingga masa reformasi

    sekarang yang dibahas oleh Herlambang, adalah kejadian-kejadian yang akarnya

    sudah merupakan sejarah. Maka kalau Herlambang ingin menjawab pertanyaan yang

    mendasari obsessi penilitiannya, dia harus sensitif terhadap sejarah politik

    Indonesia, termasuk masa-masa jauh sebelum 1 Oktober 1965.

    BS.

    ----------

  • 7

    ASAHAN:

    KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965 Buku Wijaya Herlambang*

    Sebuah inspirasi baru

    Buku ini adalah sebuah kajian ilmiah tapi juga sarat dengan peristiwa sejarah

    khususnya sejarah G30S dan budaya anti komunis Orde Baru. Analisis dan

    bukti-bukti sejarah serta wawancara mewarnai buku Wijaya Herlambang ini hingga

    menguatkan kesan bahwa penulisnya bukan saja seorang peneliti ilmiah yang serius

    tapi juga tegas memihak. Memihak pada kebenaran dan obyektivitas. Ini perlu

    ditegaskan mengingat pentingnya kelahiran buku ini yang pasti mampu memberikan

    inspirasi kepada setiap peneliti lainnya yang cenderung memilih obyektivitas

    untuk isi kajiannya tapi juga tegas berpihak pada kebenaran betapapun risiko yang

    akan dihadapi di tengah masyarakat maupun pihak penguasa. Tapi juga buku ini

    penting bagi setiap mahluk Indonesia yang semuanya punya trauma peristiwa G30S

    dengan segala komplikasinya dari budaya anti komunis yang diwariskan Orba

    suharto. Setiap orang perlu berpikir kembali terutama bagi mereka yang terbius

    selama hampir setengah abad oleh budaya anti komunis Orba suharto yang sangat

    sulit waras kembali.

    Wijaya Herlambang menggunakan bahasa yang jelas dan bahkan cukup banyak

    bab-bab yang sesungguhnya adalah essay-essay yang brilyant dengan analisis

    peristiwa dan analisis ideologi anti komunis yang mengungkapkan inti masaalah

    secara amat mantap dan jitu. Umpamanya Neoliberalisme di bidang kebudayaan

    dengan ayat-ayat suci mereka seperti : "kebebasan ber-expressi" dalam seni

    budaya yang sesungguhnya adalah ideologi anti komunis yang tampak

    seolah diperhalus dan mudah ditelan. Tapi sesungguhnya tujuan "kebebsan

    ber-expresi" itu adalah untuk bebas membasmi komunis serta menyebarkan

    kebancian dan dendam kesumat terhadap komunisme sepanjang abad melalui seni

    budaya yang bertuhankan "humanisme Universal".

    Wijaya Herlambang, penulis buku ini terasa jelas adalah juga seorang kritikus

    sastra yang membedah hasil sastra atau salah satu produk kebudayaan, istilah yang

    sering digunakannya, secara amat tajam dan mengurai. Penciuman politiknya sebagai

    seorang ilmuwan dan sarjana sangat tajam yang itu membuat dia bisa lancar bicara

    * WIJAYA HERLAMBANG: Kekerasan Budaya Pasca 1965; Tanggerang Selatan; Marijn Kiri: 2013;

    334 hlm.

  • 8

    soal politik dan pula analisisnya. Umpamanya Herlambang dalam ulasannya dan

    penilaiannya mengenai perdebatan atau lebih tepatnya perselisihan antara KUK

    (Komunitas Utan Kayu) dan boemipoetra, di pihak boemipoetra dan pihak

    sekutunya dalam menyerang pihak KUK cumalah menyinggung soal-soal permukaan

    saja tapi tidak menyingung masalah inti sebagai isi perut KUK yang menyebarkan

    budaya anti Komunis dan pembenaran terhadap kekerasan pembantaian pasca G30S

    serta penganut ekonomi Neoliberalisme dan agen berkebudayaan liberal

    Barat meskipun hanya melalui ide-ide besar mereka "kebebasan ber-ekspressi"

    yang ibu kandungnya adalah "Hunanisme Universal". Saya sendiri menganggap

    analisis Wijaya Herlambang ini adalah jenius meskipun tampak lahirnya sederhana

    saja .

    Metode Wijaya Herlaambang dalam mengumumkan apa yang tersembunyi dan apa

    yang terang-terangan dalam karya karya produk budaya kaum Manifest

    Kebudaayaan maupun pecahannya seperti KUK, adalah langsung membedah

    karya-karya mereka itu sendiri yang memang karya-karya itu sendirilah yang

    berbicara.

    Saya jadi teringat akan seorang kritikus sastra yang besar bangsa Rusia abad ke 19

    Dobroliubov yang terkenal dengan ucapannya: "Tidak penting apa yang kau

    maksudkan (di luar text), yang penting apa yang telah kau katakan (dalam text)."

    Dengan kata lain Wijaya Herlambang telah membedah hingga ke dasar obyek

    yang dibedahnya dan lalu menunjukkan kepada setiap orang apa yang ada di sana dan

    dan apa yang tidak ada dengan pertolongan penerang analisis yang tidak keluar dari

    bingkai obyektivitas dan sambil juga tetap berdisiplin menunjukkan diri sebagai

    seorang ilmuwan dan peneliti. Kombinasi kwalitas yang demikian masih amat langka

    dan amat jarang kita temukan di Indonesia sekarang ini. Masyarakat sastra

    Indonesia sendiri sering bilang: "Di Indonessia sekarang ini tidak ada kritikus

    sastra". Tapi dengan lahirnya buku Wijaya Herlambang "Kekerasan Budaya Pasca

    1965", toh kita sudah bisa bilang, kritikus sastra sudah ada di Indonesia.

    Dengan menggunakan dokumen dokumen dan juga wawancara langsung dengan

    tokoh-tokoh sastra dan budaya, penulis buku ini mengurai analisisnya dan

    menawarkan kesimpulan-kesimpulan dan bahkan mengungkap banyak masalah yang

    dulu tidak atau belum terungkap atau bahkan dimanipulasi yang justru dilakukan

    oleh produk-produk kebudayaan Orba melalui institusi-institusi kebudayaan dan

    kesenian mereka.

  • 9

    Dalam buku ini Gunawan Mohamad sangat banyak disoroti dan hasil penyorotan

    Wijaya Herlambang bahwa Gunawan Mohamad adalah seorang moderat anti Komunis,

    simpatisaan PSI, menerima banyak bantuan dari CCF (Congress for Cutural

    Freedom) yang dibiayai oleh CIA yang kemudian bubar karena campur tangan CIA

    dalam CCF ini justru pernah dibongkar oleh majalah Amerika The New York

    Time. Tapi yang mendapat biaya dan bantuan lainnya dari CIA bukan cuma

    Gunawan Mohamad tapi masih banyak dan sangat banyak para tokoh sastrawan dan

    budayawan lainnya yang menikmati uang CIA seperti umpamanya dikirim ke luar

    negeri hanya untuk menulis sebuah novel dengan tema anti komunis atau dengan

    banyak alasan lainnya seperti dapat beasiswa belajar di luar negeri. Dan tujuan CIA

    satu-satunya adalah untuk menciptakan kader-kader Indonesia anti komunis dan

    pembasmian Komunis di Indonesia. Sedangkan alat budaya mereka yang terampuh

    adalah: "kebebasan ber-expresi" yang diisikan atau dipompakan ke berbagai

    semboyan yang bagus-bagus seperti "Humanisme Universal" yang kemudian

    melahirkan karya-karya seni budaya yang bertemakan anti komunis yang terutama

    dipelopori oleh majalah horizon dan majalah Sastra.

    Contoh-contoh yang diambil oleh Wijaya Herlambang adalah cerpen-cerpen yang

    bertema yang melegitimasi kekerasan atau pembantaian manusia oleh rezim

    suharto tapi dengan cara mem "pahlawankan" para pelaku kekerasan (algojo)

    sebagai pengemis rasa "harap dimaklumi" atau "harap bertimbang rasa" kepada

    pembaca karena para pelaku kekerasan itu "terpaksa" atau tidak ada jalan lain

    dan harus melakukannya untuk menyelamatkaa hidup mereka sendiri yang ini tentu

    saja merujuk pada ideologi Manifest Kebudayaan: "sekejam-kejam manusia toh

    mereka masih memiliki sinar cahaya ilahi". Dan ujar mereka cahaya ilahi itu harus

    diselamatkan, jadi para algojo tidaklah bersalah dan tidak boleh dihukum bahkan

    harus dibenarkan dan DILEGITIMASI yang itulah ideologi suharto dan Orde Baru

    hingga sekarang ini: PEMBUNUHAN MASAAL DI TAHUN 65/66 DAPAT

    DIBENARKAN DAN PERLU UNTUK MEMBASMI KOMUNIS DAN

    MENYELAMATKAN INDONESIA.

    Dan ideologi Orba suharto inilah yang telah dibedah oleh Wijaya Herlambang dalam

    bukunya dalam bentuk studi ilmiah yang bermuatan sejarah itu secara amat

    gamblang, penuh penekanan dan bahkan cukup sering diulang ulang dalam banyak

    pengulasan selanjutnya di dalam bukunya. Dan dia sampai pada kesimpulan penting

    bahwa legitimasi kekerasan budaya maupun kekerasan fisik yang dilancarkaan

    Orba suharto di Indonesia adalah cikalbakal untuk melaksanakan Neoliberalisme

    dan demokrasi Liberal di Indonesia dan semua tujuan itu hanya bisa dilaksanakan

  • 10

    hanya dengan cara membasmi Komunisme hingga keakar-akarnya dan ideologi inilah

    yang membimbing Indonesia hingga sekarang ini.

    Hal lain yang menarik juga adalah bahwa Wijaya Herlambang menggunakan metode

    perbandingan antara versi Nugroho Notosusanto, Arswendo Atmowiloto, Arifin

    C.Noor ( Film "Pengkhianatan G30Spki") dengan novel Noorca Massardi

    September yang bertolak belakang secara ideologis dan bahkan menjungkir

    balikkan semua rekayasa Orde Baru tentang peristiwa, G30S. Herlambang

    mengatakan bahwa Orde Baru dan para sekutu budayanya menggunakan,

    menciptakan "kenyataan" yang sesungguhnya adalah fiksi belaka. Sebaliknya

    Noorca Massardi dengan Novel September- nya mengunakan fiksi untuk

    menggambarkan kebenaran sejarah. Dengan cukup panjang lebar bahkan dengan

    bab tersendiri Wijaya Herlambang mengulas, membedah dan mengurai novel

    September karya Noorca Massardi dan memberikan penilaian tinggi terhadap novel

    tsb. Sangat menarik untuk dibaca.

    ASAHAN.

    Hoofddorp, 6 Januari 2014.