KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

49
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhamad Firmanullah NIM: 1113032100060 PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

Transcript of KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

Page 1: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA

KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Muhamad Firmanullah

NIM: 1113032100060

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 2: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

i

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Firmanullah

Fakultas : Ushuluddin

Jurasan/Prodi : Studi Agama-agama

Judul Skripsi : Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan

Menurut Agama Sikh

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain maka, saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 8 Juli 2020

Muhammad Firmanullah

Page 3: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN

MENURUT AGAMA SIKH

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Muhammad Firmanullah

NIM: 1113032100060

Dosen Pembimbing

Dra. Halimah, SM, M.Ag

NIP: 19590413 199603 1 001

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 4: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

PENGESAHAN PENGUJI

Skripsi berjudul Kedudukan Perempuan Dalam Upacara Keagamaan

Menurut Agama Sikhsudah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juli 2020. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada

program Studi Agama-Agama.

Jakarta, 17 Juli 2020

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Syaiful Azmi, MA Lisfa Sentosa Aisyah, MA

NIP. 19710310199703 1 005 NIP. 1975050506 200501 2 003

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si Siti Nadroh, M.Ag

NIP. 196511291994031002 NIP. 9920112687

Pembimbing,

Dra. Halimah SM., MA

NIP. 19590413 199603 2 001

Page 5: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

iv

ABSTRAK

Feminisme menggabungkan posisi bahwa prioritas sudut pandang laki-laki

dan perempuan diperlakukan secara tidak adil. Dalam agama Sikh, tidak ada

pembedaan ruang lingkup kasta antara laki-laki dalam perempuan. Dimana

seorang perempuan berhak untuk memimpin serangkaian upacara peribadatan

dalam agama Sikh. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti

kedudukan perempuan dalam agama Sikh. Dalam hal ini penulis kemudian

menjadikan objek penelitian kepada para perempuan yang ada di agama Sikh.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan peran konsep

feminisme dalam agama Sikh terutama pada upacara keagamaannya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan

pendekatan historis dan pendekatan feminisme. Dalam metode penyajian dan

pembahasan data, penulis menggunakan objek penelitian dan kajian yang relevan.

Teknik pengumpulan data menggunakan metode Library Research (Penilitian

Kepustakaan) dan Observasi.

Dalam observasi penelitian, didapatkan hasil bahwa kedudukan antara

perempuan dan laki-laki adalah setara. Dimana agama Sikh adalah suatu agama

yang egaliter yang juga mendukung suatu adanya kedudukan setara bagi

perempuan dan laki-laki, hal tersebut terlihat dari peran seorang perempuan dalam

menjalankan upacara peribadatan. Seorang perempuan dalam agama Sikh

memiliki kesempatan untuk memimpin serangkaian sebuah upacara peribadatan

tersebut tanpa harus memandang sebuh gender.

Kata Kunci: Upacara peribadatan, Kedudukan Perempuan, Agama Sikh

Page 6: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirah maanirahiim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha

Pengasih yang telah melimpahkan hidayahnya ehingga penuliss dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tecurah kepada Nabi

Besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan

hingga zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Segala upaya penulis lakukan dalam penyelesaian skripsi ini, hingga

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kedudukan

Perempuan Dalam Agama Sikh” sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Studi

Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah

Jakarta.

Semua ini berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak,

oleh karenanya perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih

serta penghargaan yang mendalam khususnya kepada:

1. Dra. Halimah, SM, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, saran serta perhatiannya kepada penulis dan dengan

sangat penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Suparjo dan Ibu Pudji Lestari, S.Pd,

atas segala kasih sayang, perhatian dan dorongannya serta munajat doanya

di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir batin dalam mengarungi

semangat perjuangan hidup. Semoga selalu dalam lindungan-Nya.

3. Kakak-adik penulis, Gadis Ria Ambar Tari, SE, Lanang Prakoso, S.Th.i,

Dara Anggunian, Fauzi Abdullah Ramadhani, keponakan terlucu Nazla,

Shanum, Aca, Mesha dan Samudra yang selalu memberikan motivasi dan

keceriaan disaat kejenuhan menghampiri

4. Keluarga Prof. Dr. H. M. Ikhsan Tanggok, M.Si dan Dian Israliena SE.

Terimakasih atas pertolongan, arahan dan semangat. Yang telah sabar

memberikan segala nasihat baiknya. Semoga Allah membalas semua

kebaikannya.

Page 7: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

vi

5. Heni Aulia, S.Ag tersayang yang baru dipertemukan kembali setelah

sekian lama berpisah. Tak pernah menyerah memberikan semangat

bersaing dan motivasi penuh sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga apa yang kita niatkan bersama dapat tertunaikan. Semoga kita

berjodoh di dunia dan akhirat. Aamiin.

6. Bapak Syaiful Azmi, MA selaku ketua Jurusan Studi Agama-agama

Fakultas Ushuluddin dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku sekretaris

Jurusan Studi Agama-agama. Serta seluruh dosen dan staff akademik

Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Studi Agama-agama yang telah

membagikan waktu, tenaga dan ilmu pengetahuan juga pengalaman

berharga kepada penulis.

7. Teman-teman mahasiwa Jurusan PA angkatan 2013 khususnya HIMTI

(Himpunan Mahasiswa Tholol Indonesia), Imam Wahyudi, M Najibbudin,

M Abudzar, Irfan Santoso, Wahid Muhammad, Ahmad Tedi Anwar, Nur

Fitri Barliana dan Qaffa Tahqiq. Dan temanku yang masih berjuang dalam

menyelesaikan tugas akhir. Love you guys!

8. Keluarga besar Puskesmas Tigaraksa terimakasih banyak atas segala

arahan, dukungan dan motivasi, sehingga penulis lebih bersemangat lagi

dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga Agency Of Escorting (Relawan Kemanusiaan), yang tidak

pernah bosan memberi semangat, keceriaan disetiap waktu. Tetap pada

moto kita guys! YOUR LIFE IS OUR MISSION.

10. Yunita, Ambar, Sherly, Jessica dan Heris terimakasih atas canda-tawa dan

semua waktu yang diberikan untuk setiap keluh kesah penulis selama

mengerjakan skripsi ini.

11. Muchamad Edy Irawan dan M Rifqi Ari kawan DoTaku like a my family.

The next level play. Duude !

12. Abdul Karim Habibullah dan Deby Aslamia. Thanks for everythings ma

bestiest!

13. Keluarga Ayah angkat R. Daraquthny terimakasih atas semangatnya.

Makasih abah !

14. Keluarga Besar FriendZone FC. Keep solid guys!

Page 8: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

vii

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian dan

motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya

skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis

khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Aamiin.

Jakarta, Juli 2020

Penulis

Page 9: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4

D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 4

E. Metode Penelitian ....................................................................... 5

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9

BAB II. SEJARAH AGAMA SIKH ............................................................. 10

A. Pengertian Agama Sikh .............................................................. 10

B. Sejarah Berdirinya Agama Sikh ................................................. 10

C. Konsep Agama Sikh ................................................................... 12

BAB III SKETSA SOSIOHISTORIS POSISI WANITA DALAM SIKH 16

A. Kondisi Sosio Historis Perempuan Pra- Sikh ............................ 16

B. Perempuan Dalam Teks Suci Sikh (Grand Sahib dan Para

Guru Sikh) ................................................................................... 19

C. Cita Perempuan dalam Tradisi Sikh dan Isu-Isu Gender

dalam Komunitas Sikh ................................................................ 21

Page 10: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

ix

BAB IV. Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan Sikh ....... 24

A. Upacara Keagamaan dalam Agama Sikh .................................... 24

B. Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Ritual Keagamaan

dan Kehidupan Sosial Keagamaan ............................................. 27

C. Analisa Kesetaraan dan Interpretasi Baru Sikh untuk

Kesetaraan Gender. ..................................................................... 31

BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 35

A. Kesimpulan ................................................................................. 35

B. Saran ........................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37

Page 11: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada periode-periode tertentu dalam sejarah, perempuan tersembunyi

dari publik dan terpingit dalam rumah yang khusus diperuntukkan untuk

keluarga dan merupakan tempat terlarang bagi pria dewasa kecuali tuan

rumah atau kerabat dekat. Status seorang perempuan dalam sebuah

masyarakat menunjukan skenario sosial, budaya, agama, dan politik. Posisi

wanita melewati banyak fase, terbukti setelah mempelajari ajaran dasar dari

tradisi spiritual yang berbeda bahwa agama memberikan status tinggi kepada

kaum perempuan.

Dalam Islam mengungkapkan kesetaraan gender, amal perbuatan laki-

laki dan perempuan diberi pahala sama, dan kewajiban agama laki-laki dan

perempuan tidak berbeda karena keduanya merupakan bagian dari satu

kesatuan. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa perempuan sekarang

mempunyai kesadaran lebih besar akan hak-haknya dan pengetahuan yang

lebih banyak. Perempuan akan memperoleh kesetaraan mutlak melalui

usahanya sendiri untuk dapat menghormati dan menghargai serta tidak

menolak hak-haknya dalam masyarakat.1

Allah menciptakan manusia, perempuan dan laki-laki dari unsur yang

sama tidak ada perbedaan kedudukan atau status antara perempuan dan laki-

laki. Di dalam Surat An-Nisa ayat 1 Allah berfirman yang artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah

menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Hawa dan Prakriti perempuan dimungkinkan untuk bermain setara dan

peran yang lebih bersemangat dalam bidang sosio-religius, politik dan

ekonomi karena pesan egaliter dan humanistik Sikh Gurus telah

1 Mai Yamani, Feminisme & Islam (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford

Foundation, 2000), h. 72.

Page 12: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

2

memungkinkan terjadinya bias gender dan pemikiran sempit yang terkait

dengan masyarakat didominasi oleh laki-laki.2

Seperti agama-agama besar lainnya yang memiliki cara pandang untuk

mendeskripsikan sosok perempuan dalam berbagai aspek yang berbeda-beda.

Begitupun agama Sikh juga memiliki cara pandang yang berbeda pula dengan

agama lain. Hal itu seperti yang dipaparkan oleh Ghoul Rajj, agama Sikh itu

ada untuk menyederhanakan agama-agama yang sudah ada, maksud disini

adalah karena pada saat itu agama Islam dan agama Hindu sering bertikai

dengan mengatasnamakan agama, hal itulah yang mendorong Guru Nanak

untuk membuat sebuah ajaran baru sebagai antitesa dari kedua agama

tersebut, perkataan yang kemudian menjadi dasar ajaran agama Sikh adalah

“tidak ada Islam maupun tidak ada Hindu ” karena kita semua sama

dihadapan Tuhan hanya cara penyebutan dan cara mengabdikan diri saja yang

berbeda. Atas dasar itulah agama Sikh dikenal dengan agama universal,

agama yang boleh dikenal semua seluk beluknya oleh siapa pun dan dari

kalangan manapun.

Sebagaimana pentingnya pendekatan empatik terhadap suatu agama yang

didasarkan pada pengetahuan yang benar. Demikian pula, agama Sikh sangat

mementingkan konsep keperempuanan untuk menyadari perbedaan

pengalaman perempuan secara lintas agama, budaya dan waktu.

Di masa lalu, perhatian di tujukan kepada beberapa agama patrialkhal

yang sangat mempengaruhi perempuan dan memberikan pandangan satu

dimensi tentang hubungan agama dan perempuan sebagai yang di tindas.

Oleh karena stereotip itu juga memiliki kadar kebenaran tertentu yang

mungkin memotret satu aspek paling ekstrim dari suatu agama ketika

mempelajari wanita perhatian kepada stereotip itu mungkin menjadi

katalisator penting untuk melakukan reformasi.3

Agama Sikh menekankan perempuan harus berani melihat permasalahan

secara konseptual. Apabila konsep perempuan diterapkan dengan

2 Sudarshan Singh, Sikh Religion Democratic Ideals and Institutions (London:

Encyclopaedia Britanica, 2009),Vol.VIII h. 126-127.

3 Arvind Sharma, Perempuan dalam Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Suka-Press,

1987), h. 4.

Page 13: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

3

menggunakan teori yang tidak relevan bagi generasi mendatang, maka tidak

akan banyak membantu untuk kemajuan perempuan itu sendiri. Konsep

kesetaraan dalam agama Sikh sendiri menyadarkan bahwa bukan hanya laki-

laki yang dapat memimpin sembahyang ataupun upacara keagamaan di

Gurdwara, sebagai contoh perempuan menjadi pemandu pembacaan Granth

Sahib atau bisa dikatakan sebagai imam. Bukan hanya itu dalam setiap

upacara-upacaran sakral lainnya, perempuan tidak jarang diikut sertakan

untuk menjadi pemandu pembacaan kitab suci. Berbeda dengan agama Islam

yang memperbolehkan perempuan sebagai imam namun hanya dalam kondisi

semua jamaah atau makmumnya perempuan dan tak ada satupun laki-laki

ditempat tersebut4.

Penganut Sikh mengacu pada pedoman yang terdapat dalam kitab mereka

Sri Guru Granth Sahib lebih tepatnya pada potongan ayat (Guru Nanak

Dev,Var Asa,473) di jelaskan, tidak ada pembedaan posisi antara laki-laki

ataupun perempuan hanya saja perempuan disini lebih di hargai dan di hormati

sebab mereka berasumsi melalui perempuan peradaban berlanjut dan melalui

perempuan juga hukum dijaga.5

Berdasarkan latar belakang diatas, maka judul skripsi yang diangkut oleh

penulis yaitu : “Kedudukan Perempuan Dalam Upacara Keagamaan

Menurut Agama Sikh”.

Teknik penulisan skripsi ini penulis mengacu pada standar penulisan

skripsi yang didasarkan apada buku Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mengacu pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah tahun 2013 yang diterbitkan oleh penerbit

CeQda (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut:

4 Soenarjati Djajarnegara, Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003), h. 15. 5 Arvind Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia (Yogyakarta: Suka-Press, 1987),

h. 11-13.

Page 14: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

4

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam agama Sikh ?

2. Bagaimana peran perempuan dalam upacara keagamaan menurut agama

Sikh?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari pada penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam agama Sikh

2. Untuk mengetahui peran perempuan dalam upacara keagamaan menurut

agama Sikh

Adapun manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran atau

memperkaya konsep-konsep mengenai pandangan tentang kedudukan

perempuan dalam agama Sikh.

2. Manfaat Akademik

Sebagai salah satu persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan

gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada prodi Studi Agama-Agama Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai Kedudukan Perempuan Dalam Upacara

Keagamaan Menurut Agama Sikh belum ada ditemukan dalam buku, skripsi

maupun karya ilmiah yang lainnya. Untuk membuktikan orisinalitas

penelitian dan menguraikan penelitian sebelumnya yang memiliki objek

penelitian dan kajian yang relevan dengan penelitian ini. Dari hasil

penelusuran penulis, Penulis hanya menemukan satu karya ilmiah dalam

bentuk skripsi yang mengangkat objek kajian agama sikh. Skripsi itu berjudul

“Ajaran Ketuhanan dalam Agama Sikh”. Skripsi ini ditulis oleh Thari

Mayaratu dari UIN Syarif Hidayatullah tahun 2011. Dalam penelitian tersebut

dibahas tentang konsep kedudukan Tuhan di dalam agama Sikh dengan

menggunakan pendekatan teologis.

Page 15: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

5

Perbedaan antara skripsi tersebut dengan penelitian yang akan penulis

lakukan adalah penulis hanya akan melakukan penelitian tentang kedudukan

perempuan dalam agama Sikh.

Persamaan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan

skripsi tersebut adalah sama-sama membahas agama Sikh secara garis besar,

akan tetapi disini penulis lebih menonjolkan tentang bagaimana agama Sikh

memandang dan memuliakan perempuan maupun kedudukan perempuan

dalam upacara keagamaannya sebagaimana judul yang penulis angkat.

Sejauh ini penulis belum menemukan judul yang sama ataupun yang

mendekati sebagaimana yang penulis angkat.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis terapkan yaitu penelitian kepustakaan

dan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.6Untuk memperoleh data dalam membangun dan memperkaya

tulisan ilmiah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library

research), yaitu suatu penelitian untuk memperoleh data, baik untuk data

primer dan data sekunder, yang bersumber dari buku, majalah, artikel,

jurnal, dan lain-lain, berdasarkan hasil bacaan, catatan, dan bahan-bahan

lainnya yang diolah untuk dikumpulkan.7

Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang

dilakukan secara langsung di medan terjadinya gejala melalui

pengamatan/observasi maupun wawancara mendalam.8 Penelitian ini

menggunakan informasi yang diperoleh dari para responden melalui

wawancara, abstraksi, atau lainnya. Penelitian ini dilakukan Gurdwara

Pasar Baru Jakarta dan melakukan pengamatan lapangan serta

6 Lexy J. Meolong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), h. 4. 7 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),

cet. I, h. 3.

8 Nusa Putra, Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi (Jakarta: PT. Indeks, 2012) ,cet. II, h.

43.

Page 16: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

6

wawancara, apa saja yang dilakukan oleh jemaat Sikh maupun yang

bukan jemaat Sikh dalam memandang kedudukan perempuan.

2. Sumber

Ada dua bentuk sumber data dalam penelitian ini yang akan

penulis jadikan sebagai pusat informasi bagi data yang dibutuhkan dalam

hal penelitian. Sumber data tersebut terbagi atas dua kelompok, yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah buku, artikel, jurnal, ceramah, arsip,

dokumen, majalah, dan surat kabar yang terkait langsung dengan topik

penelitian ini. Dalam hal ini, peneliti memperoleh data yang

diperlukan dengan melakukan wawancara terhadap mereka yang

bersangkutan, dengan penelitian ini diantaranya; Ghoul Rajj

(Merupakan salah satu pengurus Gurdwara Pasar Baru Jakarta) Selain

itu didukung oleh buku/dokumen yang ditulis langsung oleh kalangan

kaum sikh, diantaranya; Nyoman S. Pendit, Guru Nanak dan Agama

Sikh (Jakarta: Yayasan Gurdwara Mission, 1988), Hakim Choor

Singh, Agama Sikh, (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission: 2001),

Khustwant Singh, A History Of The Sikh, (Oxford University Press,

2004), Eleanor Nesbitt, A Guide to Sikhism, (Oxford University Press,

2005), Trilochan Singh, The Sacred Writing Of The Sikhs,(Ruskin

House, 1960), Kristina Myrvold, Inside The Guru’s Gate (Lund: Lund

University, 2008).

b. Sumber data Sekunder

Sumber data sekunder ialah yang biasanya tersusun dalam bentuk

dokumen. Jenis data ini adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai

pendukung data primer atau dapat diartikan sumber ini dapat

memberikan informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat

data primer. Data sekunder dapat penulis peroleh dari dokumentasi

atau buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, misalnya seperti

buku-buku yang terkait langsung dengan Kedudukan Perempuan

maupun agama Sikh. Sumber data sekunder sebagai berikut; Joesoef

Page 17: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

7

Sou‟yb, Asal Mula Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Penerbit Pustaka

Alhusna, 1996), Siti Nadroh, Agama-Agama Minor, (Ciputat: UIN

JAKARTAPRESS: 2013), Mukti Ali, Ed.Romdhon dkk, Agama-

Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,

1988), Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam

Mengenai Kepercayaan Majusi, Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu,

Buddha, Sikh, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993).

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik Mengolah dan Menganalisis Data

1. Studi kepustakaan (library research)

Suatu penelitian untuk memperoleh data, baik untuk data

primer dan data sekunder, yang bersumber dari buku, majalah,

artikel, jurnal, dan lain-lain, berdasarkan hasil bacaan, catatan,

dan bahan-bahan lainnya yang diolah untuk dikumpulkan. 9

Penulis menggunakan buku-buku pustaka yang terkait

dengan permasalahan yang dibahas. Buku-buku tersebut

merupakan buku-buku yang mayoritas ditulis langsung oleh kaum

Sikh sebagai sumber primer, dan juga buku-buku yang dapat

membantu dalam penyelesaian permasalahan yang

dibahas,adapun sebagai sumber penulis mengumpulkan data baik

dari Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun dari

perpustakaan yang lain.

2. Observasi

Observasi adalah salah satu metode utama yang terpenting

dalam penelitian sosial keagamaan terutama pada penelitian

kualitatif. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang

paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam

dunia keilmuan tetapi juga didalam berbagai aktifitas kehidupan.

Observasi bermakna umum yaitu pengamatan atau penglihatan

sedangkan secara khusus, dalam dunia penelitian ilmiah, observasi

adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,

9 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet.

I, h. 3.

Page 18: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

8

mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial

keagamaan baik itu berupa kejadian-kejadian, benda maupun

simbol-simbol tertentu selama beberapa waktu tanpa

mempengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan melakukan

kegiatan pencatatan, perekaman pemotretan sebagai hasil temuan

data analisis.10

4. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis dan

pendekatan feminisme. Pendeketan Historis adalah pendekatan yang

paling tua dan dipakai pertama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki,

dan meneliti agama-agama baik sebelum agama menjadi disiplin yang

berdiri sendiri (otonom) atau sesudahnya.11

Sebelum penulis

menguraikan tentang kedudukan perempuan dalam agama Sikh, penulis

menguraikan terlebih dahulu kedudukan perempuan dari sudut pandang

historis.

Pendekatan feminsime adalah pendekatan tentang pola fikir dan

perilaku yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara

maskulinitas dan feminitas.12

Dalam pendekatan ini penulis menyelidiki

posisi perempuan baik dalam agama maupun ruang lingkup sosial.

5. Analisis data

Setelah data penelitian terkumpul, maka langakah selanjutnya

penulis melakukan analisis data.13

Analisis data yang penulis gunakan

adalah metode desktiptif analitik, yaitu metode yang dilakukan dengan

cara menguraikan sekaligus menganalisis data-data yang menjadi hasil

pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian. Metode

deskriptif lebih banyak berkaitan dengan kata-kata, di mana semua data-

data hasil penelitian diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik lisan

10

Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2003), h. 162. 11

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.

15. 12

Abdul Karim, Feminisme: Sebuah Model Penelitian Kualitatif (Kudus: SAWWA, 2014),

h. 88. 13

Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan.

Lihat H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),

h. 102.

Page 19: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

9

maupun tulisan. Kemudian, data-data yang berbentuk bahasa ini

dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian sehingga menghasilkan

kesimpulan.14

Dengan mendeskripsikan dan menganalisa, penulis berharap dapat

memberikan gambaran secara maksimal atas objek penelitian yang dikaji

dan di dalami dalam penelitian ini. Hasil kajian dan penelitian dalam

skripsi ini disajikan dalam bentuk narasi.

6. Teknik Penulisan

Penulis dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada prinsip-

prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah(Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh Biro

Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2013/2014.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman isi dari skripsi ini, maka penulis

membagi dalam lima bab yang disusun secara sistematis secara berikut:

Bab Pertama, mendeskripsikan tentang Pendahuluan, Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian

Pustaka, Metode Penelitian, Sumber, Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, mendeskripsikan tentang pengertian agama Sikh, sejarah

berdirinya agama Sikh di Indonesia dan sejarah berdirinya

agama Sikh di Gurdwara Pasar Baru Jakarta Pusat.

Bab Ketiga, mendeskripsikan tentang kedudukan perempuan dalam

upacara keagamaan menurut agama Sikh

Bab Keempat, tentang analisis Kedudukan sosiohistoris posisi wanita dalam

Sikh

Bab Kelima, sebagain bab terakhir atau bab penutup yang berisikan

tentang kesimpulan dari pokok permasalahan dalam kajian

skripsi ini, dan saran-saran yang sifatnya membangun dari

penulis.

14

Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora

Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 337.

Page 20: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

10

BAB II

SEJARAH AGAMA SIKH

A. Pengertian Agama Sikh

Kata Sikhisme berasal dari kata Sikh, yang berarti ”murid” atau “pelajar”

dan Sikha berarti ”pengikut Sikh”. Ada juga yang mengartikan Sikh sebagai

“suatu masyarakat agama di India dan Pakistan” atau suatu sekte keagamaan

yang berasal dari penyelewengan terhadap “Bramanis-Hinduisme”. Agama

Sikh juga dikatakan sebagai agama sinkretis, karena ia didirikan dengan

maksud “memperdamaikan antara Islam dan Hinduisme”.

Agama Sikh itu bermakna agama para Murid, yang dimaksudkan tersebut

ialah para Murid dari pembangunan agama Sikh itu. Oleh karena sang Guru

itu pada masa belakangan dikultuskan sebagai penjelmaan Tuhan di bumi

maka pengertian para Murid itu dimaknakan dengan Murid Tuhan.15

B. Sejarah Berdirinya Agama Sikh

Sikhisme adalah salah satu agama terbesar di dunia. Agama ini

berkembang terutamanya pada abad ke-16 dan 17 di India. Agama Sikh

didirikan oleh Guru Nanak. Guru Nanak dilahirkan di Punjab, India, pada

tahun 1469 M, begitu pula dengan ajarannya Sikhisme berasal dari daerah

Punjab India, walaupun mayoritas kaum Sikh lebih dominan di India, namun

kini pengikutnya juga dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia yang

mempunyai komunitas India. Di Asia Tenggara, umat Sikh banyak ditemukan

di Malaysia dan Singapura. Umat Sikh dapat dikenali melalui namanya yang

banyak di akhiri Singh untuk pria dan Kaur untuk wanita. Sikhisme

dipengaruhi pergerakan perubahan dalam agama Hindu (misalnya Bhakti,

Monisme, metafisika Weda, Guru Ideal, dan Bhajan) serta Islam sufi. Agama

ini berangkat dari adat-adat sosial dan struktur dalam agama Hindu dan Islam

(contohnya sistem kasta dan Purdah). Filsafat dalam Sikhisme bercirikan

Logika, keseluruhan (bersifat komprehensif), dan pendekatan yang sederhana

terhadap masalah-masalah spiritual maupun material. Teologinya penuh

15

Jai Singh Yadev, Mengenal Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Gudrwara Mission: 2001), h. 56-57.

Page 21: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

11

kesederhanaan. Dalam etika Sikh, tidak ada konflik antara tugas pribadi

terhadap diri sendiri dengan masyarakat.16

Orang-orang Sikh adalah suatu ras yang luar biasa. Jumlah seluruhnya di

dunia ini kurang lebih ada 10 juta orang. Segala sesuatu tentang mereka ini

pun luar biasa, pakaian mereka, sejarah mereka, dan terutama sekali adalah

kelahiran mereka. Sebelum diadakan pemisahan India, kebanyakan orang

Sikh hidup di daerah Punjab (daerah yang mempunyai lima sungai), suatu

propinsi yang luas, terletak di bagian utara India. Sejak pemisahan India di

tahun 1974, lebih dari dua juta orang Sikh harus meninggalkan rumah,

kampung halaman dan kekayaan mereka di daerah yang diserahkan kepada

Pakistan. Mayoritas orang Sikh sekarang berada di Punjab Timur yang

menjadi milik India.17

Agama Sikh bermula di Sultanpur, berhampiran Amritsar di wilayah

Punjab, India. Selepas Guru Nanak (1469-1539) meninggal dunia pengganti

beliau pun diberi pangkat Guru. Sebanyak sepuluh Guru telah mengambil alih

tempat beliau dan secara perlahan-lahan. Rangkaian ini berakhir pada tahun

1708 selepas kematian Gobind Singh yang tidak meninggalkan pengganti

manusia tetapi meninggalkan satu himpunan skrip suci yang dipanggil Adi

Granth. Skrip ini kemudian diberi nama Guru Granth Sahib. Gobind Singh

juga telah menumbuhkan sebuah persatuan “persaudaraan Khalsa Sikh” dan

memulakan pemakaian seragam untuk lelaki Sikh yang taat kepada agamanya

yang diberi gelaran “Lima K” yaitu: Kesh (rambut dipotong; mana semua

Gurus disimpan), Kangha (sikat; untuk menjaga rambut yang bersih), Kada

(gelang logam atau keluli; untuk kekuatan dan selfrestrain), Kirpan (senjata;

untuk pertahan diri), Kacca(lutut panjang khas luar dalam untuk

ketangkasan), setiap Sikh sepatutnya untuk menjaga Lima „K yang juga

bertindak sebagai identitinya.

Agama Sikh lahir dan mulai berkembang bersamaan waktunya

dengan kelahiran agama Protestan di Eropa, yaitu di akhir abad ke- 19 M.

16

I Dewa Putu Sedana, Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam (Denpasar:

Universitas Udayana Press, 2013), h.68. 17

Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Tangerang selatan: UIN Jakarta

Press, 2015), h. 201.

Page 22: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

12

Guru Nanak sendiri hanya 14 tahun lebih tua daripada Martin Luther, pendiri

agama Protestan itu. Motivasi kelahirannya juga senada dengan kelahiran

protestan. Kalau Protestan lahir sebagai reaksi terhadap eksistensi dan

kekuasaan Gereja Katolik Roma di daratan Eropa, maka agama Sikh lahir

sebagai reaksi terhadap agama Brahma atau Hinduisme.18

Agama Sikh semenjak kelahirannya sekitar lima abad yang lalu,

lalu sampai sekarang masih tetap menarik perhatian para peminat penelitian

agama. Hal ini bukan saja karena keunikan tokoh pendirinya, perjalanan

sejarah perkembangannya, dan seluk-beluk hubungannya dengan agama lain,

tetapi juga karena pertistiwa-peristiwa sejarah, baik yang bersifat keagamaan

maupun politik, yang langsung diperankannya.19

C. Ajaran Agama Sikh

Dalam konsep keagamaan penganut Sikh terdapat berbagai konsep yang

mereka dikuti dan berpegang pada konsep tersebut. Agama Sikh adalah

agama yang tidak terhad kepada bangsa Punjabi saja tetapi terbuka luas

kepada bangsa-bangsa lain atau kaum-kaum yang lain. Jika seseorang itu

ingin memeluk agama Sikh, harus melalui satu upacara yang disebut upacara

masuk agama yaitu Amrit Sanskar. Selain itu, mereka perlu meminum air

„Amrit‟. Air „Amrit‟ ini adalah dianggap sebagai tanda sebelum seseorang itu

memeluk masuk agama Sikh. Agama Sikh menyamakan Tuhan dengan

„kebenaran‟ atau „sach‟ dan berpegang kuat kepada kitab suci yaitu „Granth

Sahib‟ yang juga dikenali sebagai „Bani‟. Kepercayaan asas Sikhisme adalah

yang terdapat didalam „Japji‟ atau dikenal sebagai „mool mantra‟. Agama

Sikh menerima teori „Karma‟ sama seperti agama-agama yang mempercayai

teori tersebut. Teori karma adalah satu kepercayaan dimana apabila sesorang

itu membuat salah atau benar maka akan dibalas mengikut perbuatan yang

dilakukan. Penganut agama Sikh ini menafikan pemujaan sungai dan dewa.

Hal ini kerana penganut Punjabi ini mempercayai pada kitab-kitab mereka.

„Gurdawara‟ merupakan sebagai simbol suci Sikh. Upacara beribadat untuk

18

Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia( Jakarta: Al-Husna, 1966), h. 171. 19

Romdhon dkk, “Agama Sikh” dalam Mukti Ali, Ed., Agama-Agama Di Dunia

(Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), h.183-185.

Page 23: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

13

kaum sikh ini dilakukan pada setiap hari Ahad yaitu sekitar pukul 6.30 pagi

dan 6.00 petang hingga 7.00 petang di Temple yang berdekatan dan wajib

dilakukan oleh semua penganut Sikh.20

Agama Sikh menanamkan kepercayaan terhadap kesatuan dan

kemahakuasaan Tuhan serta menyamakan Tuhan dengan kebenaran. Para

Guru Sikh berkeyakinan bahwa manusia dapat memperoleh kebahagiaan

kekal tanpa harus mengabaikan tugas-tugas hariannya. Ajaran-ajaran para

Guru Sikh dilestarikan dalam buku suci Granth Sahib sesuai dengan aslinya.

Dalam himne-himne para Guru ini, Nirvan, atau kekhusyukan terhadap Tuhan

dijadikan tujuan tertinggi dari hasil aktivitas manusia dan orang-orang yang

diberkati mendapatkannya di firdaus yang disebut Sach Kand. Di firdaus itu

saling mengenal dan menikmati kebahagiaan kekal. Penyatuan kembali

dengan yang absolut merupakan tujuan tertinggi dari seluruh ketaatan dan

cita-cita kaum Sikh.21

Guru Nanak menyatakan bahwa tanpa selalu mengingat nama Tuhan

(Simiran), maka semua amal, penebusan dosa, ziarah, dan upacara keagamaan

lainnya akan sia-sia. Melalui semadi dan ibadah kepada Tuhan Doa Guru

yang tulus akan terkabul. Manusia yang sungguh-sungguh patuh kepada

kehendak Tuhan akan memperoleh kuasa Illahi dan rahmat Tuhan. Tujuan

hidup manusia adalah mengabdi kepada Tuhan dan penyatuan kembali

dengan Tuhan merupakan ajaran pokok keyakinan kaum Sikh. Penyatuan

kembali dengan Tuhan itu sekaligus juga merupakan tujuan tertinggi ketaatan

kaum Sikh.

Adapun demikian yang termasuk kedalam konsep-konsep dari agama

Sikh, yaitu :

a. Konsep Ketuhanan

Berkaitan dengan konsep ketuhanan, definisi terbaik yang dapat

diberikan oleh orang-orang Sikh adalah konsep „mool mantra‟. Konsep

ini menjadi landasan fundamental agama Sikh yang termuat di dalam

bagian permulaan kitab Sri Guru Granth Shahib yang berbunyi “hanya

20

Eleanor Nesbitt, A Guide to Sikhism (Oxford University Press, 2005), h. 23-25. 21

Tan Sri Dato seri darshan singh gill, Sikh community in Malaysia (Malaysia: Geraksikh,

2009), h. 76-78.

Page 24: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

14

ada Tuhan Yang Esa”. Dalam agama Sikh Tuhan itu disebut Dadru,

„Sang Pencipta‟ atau „Dia yang terbebas dari rasa takut dan rasa

kebencian‟, „Dia yang kekal‟ dan „Dia yang tidak dilahirkan‟. Agama

Sikh secara tegas menyatakan diri sebagai agama monotheisme dan

Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak tampak wujudnya itu disebut

‟EkOmkara‟, sedangkan Tuhan yang tampak wujudnya disebut

„Omkara‟.22

Dalam kitab Granth Shahib terdapat banyak nama untuk

menjelaskan sifat Tuhan misalnya „EkOmkara‟ ataru disebut „Kartar‟

(sang pencipta), „Akal‟ (yang abadi), „Satyanama‟ (yang maha suci),

„Shahib‟ (Tuhan), „Parvardigar‟ (sang pemelihara), „Rahim‟ (sang

pengasih), „karim‟ (yang mulia). Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan

„Wahe Guru‟ yang berarti satu Tuhan. Agama Sikh menentang konsep

„Avtarvada‟, yaitu konsep titisan (Inkarnasi) Tuhan, Tuhan tidak bisa

mengambil wujud seperti manusia, seperti bagaimana orang Kristen

menyebut Yesus sebagai titisan Allah (berkinosis). Mereka tidak percaya

bahwa Tuhan berkinosis dan melarang penyembahan berhala. Seperti

yang dipaparkan oleh Baldev Singh, „Setiap orang akan ingat kepada

Tuhannya tatkala ia dalam lilian masalah, tetapi lupa mengingatnya

dalam keadaan senang dan bahagia. Seseorang yang selalu mengingat

Tuhan tatkala berada dalam keadaan senang dan bahagia, bagaimana

mungkin ia akan jatuh keadalam masalah‟.23

b. Konsep Kemanusiaan

Bagi kaum laki-laki Sikh, diharamkan merokok, dan kebanyakan

memakai sorban. Umat Sikh paling pantang makan makanan yang

bernyawa, mereka hanya memakan sayur dan buah-buahan (vegetarian).

Guru Nanak mengajarkan bahwa seluruh umat manusia adalah satu

serta meletakan dasar bagi pengangkatan martabat manusia di kalangan

masyarakat Hindu bukan atas dasar kasta, akan tetapi atas dasar kodrat

22

Nyoman S. Pendit, Guru Nanak dan Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Gurdwara Mission,

1988), h. 51-53 23

Wawancara Pribadi dengan Bapak Baldev Singh, Pada tanggal, 2 Maret 2018, di

Gurdwara, Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Page 25: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

15

dan kecenderungan manusia itu sendiri. Derajat seseorang ditentukan

oleh amal kebajikannya. Manusia harus hidup dengan mengutamakan

kesempurnaan moral, karena nilai manusia terletak pada tinggi rendahnya

moral. Di agama Sikh dalam pernikahan tidak diperbolehkan untuk

bercerai dan tidak diperbolehkan poligami.

Agama Sikh mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan

dirinya dari lima hal yang bisa disebut juga dengan setan bagi mereka,

namun sesunggguhnya mereka tidak mempercayai akan adanya makhluk

ghaib. Lima hal yang harus mereka jauhi ialah:

1. Krad (murka)

2. Lob (serakah)

3. Kam (nafsu)

4. Moh (bodoh)

5. Ahawar (ego yang berlebihan)24

c. Konsep Eskatologi (kehidupan setelah mati)

Kepercayaan agama Sikh akan kehidupan setelah mati hampir sama

dengan agama Islam. Adapun perbedaan yang mendasar di dalam ajaran

agama Sikh dengan agama Islam adalah tidak adanya kepercayaan di

tentang konsep surga-neraka dan hari akhir, akan tetapi mereka masih

mempercayai nirwana atau bersatunya dengan Tuhan yang diajarkan oleh

agama Hindu Brahmana.25

24

Nuhrison M Nuh dkk, “Eksistensi Agama Sikh di Jabodetabek” dalam Kustini,

Ed.,Baha’i, Sikh dan Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan Hak-hak Sipil (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI, 2015), h. 215. 25

Gurdev Singh, Respective On Sikh Tradition (New Delhi: Patiala, 1996), h. 81.

Page 26: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

16

BAB III

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM AGAMA SIKH

A. Kondisi Sosio Historis Perempuan Pra- Sikh

Agama Hindu dan Islam lahir jauh sebelum adanya agama Sikh. Pada

abad ke-15 kondisi perempuan pada saat itu sangat memprihatinkan, tertindas

dan tidak mendapatkan keadilan. Harkat dan martabat kaum perempuan sama

sekali tidak dihargai. Perempuan memegang posisi istri, ibu, petani, artisan,

dan biarawati, serta beberapa peran kepemimpinan penting seperti abbes atau

wali ratu.

Perempuan dalam pandangan agama Hindu memiliki peranan yang tidak

terpisahkan dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat. Sejak awal

peradaban agama Hindu yaitu pada zaman Veda perempuan memegang

peranan penting dalam kehidupan. Ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu

dalam SiwaTattwa yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama

manusia karena perpaduan antara unsure suklanita dan swanita. Tanpa

swanita tak mungkin ada dunia yang harmonis.

Namun dibalik itu semua agama Hindu memiliki pandangan buruk

tentang perempuan, dimana perempuan dianggap sebagai orang yang hilang

kehormatan, perempuan juga selalu dianggap memikirkan syahwat, suka

marah, bersikap palsu dan tidak jujur. Oleh karena itu, dalam agama Hindu

perempuan harus dijauhi. Ketika perempuan menjadi seorang istri kemudian

suaminya meninggal maka harus dibakar hidup-hidup. Hal tersebut karena

dianggap tabiat perempuan adalah selalu menggoda laki-laki. Seorang

perempuan Hindu diizinkan berbuat serong, kumpul kebo, kalau suaminya

merantau lebih dari enam bulan. Bahkan jika suaminya tidak mampu

memberi keturunan, seorang istri boleh bersatu badan dengan laki-laki lain

yang dapat memberi keturunan.

Saat seorang istri yang baru melahirkan menyediakan makanan maka

tidak boleh dimakan oleh suaminya karena dianggap najis. Di India, pada

waktu penduduk negeri itu berjumlah kurang lebih 70.000 jiwa, sedikitnya

3000 bayi perempuan yang baru lahir dibenamkan dalam tanah.

Page 27: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

17

Fakta sejarah menunjukan bahwa secara umum kondisi perempuan pada

pra-Sikh adalah suram. Pada masa itu perempuan yang mempunyai jasa

melahirkan manusia di dunia ini dihina, diperlakukan kasar dan direndahkan

martabatnya. Kadang kala mereka dipaksa untuk mengabdi kepada suaminya

dan diperlakukan seenaknya, bahkan sering kali keberadaan mereka tidak

diakui sebagaimana mestinya, sehingga mereka tidak mempunyai hak dan

kedudukan apapun dalam masyarakat.

Perempuan pada masa itu tidak diberi kesempatan untuk

mengembangkan kepribadian dan menggunakan kemampuannya secara

penuh bagi kemaslahatan manusia. Bahkan hak kewarisan dan kepemilikan

yang dimiliki perempuanpun tidak diakui adanya. Kondisi tersebut juga

terjadi di Jazirah Arab sebelum agama Islam datang.26

Sejak akhir abad ke -18 hingga milenium ketiga ini, feminisme terus

digelorakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan hak kaum

perempuan dengan laki-laki. Tidak salah memang, karena faktanya

diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dalam berbagai bidang.

Ideologi patriarki kerap dianggap sebagai kambing hitamnya, meskipun

permpuan memang memiliki kekhasan yang secara kodrati tidak mungkin

dipersamakan dengan laki-laki. Sebatas untuk melawan ketidakadilan dan

diskriminasi atas perempuan yang membuat perempuan marjinal dan

teraniaya, feminisme dapat diterima. Di luar itu, feminisme ala Barat perlu

disaring kembali karena tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran,

pandangan hidup, dan budaya masyarakat Timur.27

Terlebih diluar sana banyak yang beranggapan bahwa perempuan

dipandang rendah derajat kemanusiaannya dibandingkan laki-laki. Namun

para Guru menepis semua persepsi yang terkait tentang pemaknaan

perempuan bahwa derajat kemanusiaannya lebih rendah dari laki-laki, sebab

seorang perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dengan laki-laki

26

Ulia Kencana, Wanita Dalam Pandangan Agama Dan Bangsa, An nisa‟a Vol 7 No.2:

2012 http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa/article/download/844/717 artikel diakses pada

Tanggal 22 Juli 2020. 27

Hakim Choor Singh, Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission: 2001), h. 67.

Page 28: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

18

dalam kedudukannya sebagai Hamba, yakni sama sama mempunyai

kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Tuhan.

Dalam Sikh, baik sebagai nama ataupun pemikiran feminisme

sesungguhnya bukan hal yang baru. Teks suci Sikh telah memaparkan

pemikiran tentang kemuliaan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki.

Seperti yang dipaparkan Ghoul Rajj, “laki-laki dan perempuan sama karena

kewajibanpun sama, jadi siapa kita untuk membedakan satu sama lain”. Dari

apa yang dipaparkan Ghoul Rajj tersebut kita sudah sedikit mengerti bahwa

Sikh meniadakan kasta dalam konsep gender.28

Agama Sikh telah menegaskan bahwa perempuan memiliki derajat yang

sama dengan laki-laki hanya saja cara memuliakannnya yang berbeda. Sikh

memiliki asumsi bahwasanya perempuan akan berposisi lemah dalam budaya

patriarki, ketika dia tidak memiliki keunggulan yang bisa menaikan daya

tawar dirinya dalam berbagai ranah sosial. Atas dasar itulah feminisme Sikh

dapat dimaknai sebagai gerakan pemberdayaan perempuan sehingga memiliki

keunggulan diri yang dapat memosisikan dirinya sejajar dengan laki-laki. 29

Konsep penciptaan perempuan merupakan hal yang sangat mendasar

untuk dibahas. Berangkat dari hal ini, maka dapat ditarik benang merah

konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Granth Shahib tidak

menyebutkan secara rinci tentang asal-usul penciptaan perempuan tetapi

Granth Shahib menolak berbagai persepsi yang membeda-bedakan diantara

keduanya.

Prinsip pokok dalam ajaran agama Sikh tentang hakikat penciptaan

perempuan adalah persamaan antar manusia. Perbedaan yang patut

digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang

di mata Tuhannya hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

Ajaran agama Sikh tidak membataskan perempuan untuk bebas bergerak

dalam menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Sebab kaum perempuanpun

28

Nyoman S Pendit, Guru Nanak dan Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara

Mission: 1988), h. 76-81. 29

Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,

Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 216.

Page 29: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

19

memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan serta kondisi sosialnya. Posisi

tersebut menuntut peranan seorang perempuan, tidak hanya dalam privat

tetapi juga kehidupan politik. Hal tersebut saling mengakomodasi dalam

menjalankan tanggung jawab. Selain perempuan harus cakap dalam

mengambil langkah-langkah praktis yang dibutuhkan dalam menghadapi

perubahan di tengah-tengah masyarakat, perempuan juga dibutuhkan dalam

kiprahnya untuk berdakwah di tengah masyarakat. 30

B. Perempuan Dalam Teks Suci Sikh (Grand Sahib dan Para Guru Sikh)

Pada dasarnya Guru Nanak menekankan bahwa seluruh umat manusia

adalah satu dan ia sangat menentang ajaran tentang kasta. Sebab, manusia

harus hidup dengan mengutamakan kesempurnaan moral karena nilai

manusia terletak pada tinggi rendahnya moral itu. Guru Nanak mengajarkan

bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, dan tidak abadi. Yang kekal

abadi hanya Tuhan, karena Tuhan adalah realitas mutlak. Dengan kodrat dan

iradat Tuhan seluruh alam ini terjadi, dan melalui hukum Tuhan alam ini

menjalani kehidupannya. Tidak ada sesuatu yang bisa berjalan di luar

kehendak dari hukum Tuhan.

Dalam ajaran Sikh perempuan sangat dimuliakan dan dijaga

kehormatannya. Sikh mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan

agar keduanya dapat menjalani kehidupan yang harmonis. Sikh memandang

bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi antara

satu dengan yang lain bukan untuk dibandingkan dari keduanya mana yang

lebih utama. Karena yang lebih utama adalah yang lebih bertaqwa dari

keduanya. Hal ini menunjukan adanya prinsip keadilan antara laki-laki dan

perempuan.31

Guru Nanak mengajarkan perempuan untuk lebih di hargai dan di

muliakan, bukan karena derajat perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi

keistimewaan yang dimiliki perempuanlah harus lebih dimuliakan. Sebab,

perempuan diberi tanggung jawab sedikit lebih dari laki-laki, sebagai contoh

Tuhan menciptakan dengan bentuk tubuh yang berbeda, pastinya beda pula

30

Khustwant Singh, A History Of The Sikh (Oxford University Press, 2004), h. 86-90. 31

Wawancara Pribadi dengan Bapak Ghoul Raj pada tanggal 23 Mei 2018, di Gurdwara,

Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Page 30: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

20

peran dan tugas dari keduanya dalam menjalani kehidupan. Maka, akan

menjadi ketidak adilan jika peran dan tugas yang mereka emban adalah sama.

Misalnya, Sikh membebankan memberi nafkah kepada laki-laki bukan

perempuan. Akan tetapi sebaliknya, Sikh membebankan pengasuhan anak,

mengurus rumah tangga dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya

adalah kewajiban perempuan bukan laki-laki. Inilah aturan yang mengatur

dua jenis manusia dengan kadar masing-masing. Hal tersebutlah yang

menunjukan bahwa perempuan harus lebih dimuliakan karena tanggung

jawab perempuan tidak bisa dianggap remeh atau sebelah mata, karena tugas

ini sangat penting dalam menentukan bentuk kepribadian yang baik.

Kepribaian yang luhur itu ditentukan oleh generasi dan kehidupan keluarga.

Beginilah, Sikh memuliakan perempuan dengan tugas pokoknya.32

ayat dalam Granth Sahib yang bertutur tentang perempuan telah

dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Di antara ayat-ayat tersebut adalah

sebagai berikut:

“Of Woman are we born, of woman conceived. To Woman engaged, to

woman married. Woman we be a friend, by woman is the civilization

continued. When woman dies, woman is sought for: It is by woman that order

is maintained. Then why call her evil. From whom great men are born, from

woman is woman born. And without woman none would exist. The enternal

lord is the only one, o Nanak Who Depeds not on woman.” (Guru anak Dev,

Var Asa, pg. 473).

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

“Dari perempuan kita dilahirkan, dalam perempuan kita dikandung;

Dengan perempuan kita terikat, dengannya kita menikah; Perempuan menjadi

sahabat kita, melalui perempuan peradaban berlanjut; Ketika perempuan

meninggal, dia dirindukan: Melalui perempuan hukum dijaga. Lalu mengapa

kita menyebutnya si jahat? Dari padanya orang-orang besar dilahirkan; dari

perempuan, perempuan lahir. Dan tanpa perempuan, tak seorangpun ada.

Tuhan yang abadi hanya satu, Ya Nanak Yang tidak tergantung perempuan.”

Prinsip penghormatan terhadap perempuan juga diwujudkan Sikh ketika

merespon tradisi-tradisi lokal yang sangat mendiskreditkan perempuan.

Tradisi yang berlaku di India pada masa itu yang mengharuskan seorang istri

membakar dirinya manakala suaminya meninggal. Sikh sangat mengutuk

tradisi yang kejam ini.

Disebutkan dalam sebuah ayat: “They cannot be called satis, who burn

the selves with their dead husbands. They can onlt be called satis, if they bear

the shock of separation. They may also be known as satis, who live character

and contentment and always show veneration to their husbands by

remembering them.”

“Mereka tidak dapat disebut satis, yang membakar diri mereka bersama

dengan suami-suami mereka yang sudah mati. Mereka hanya dapat disebut

32

Kristina Myrvold, Inside The Guru’s Gate (Lund: Lund University, 2008), h. 57-58.

Page 31: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

21

satis, jika mereka menanggung beban perpisahan. Mereka juga boleh

dianggap satis, yang tinggal dengan katakter dan rasa cukup dan selalu

memperlihatkan rasa hormat kepada suami-suami mereka dengan mengenang

mereka.” (Guru Amar Das, Var Suhi, pg. 787).

C. Cita Perempuan Dalam Tradisi Sikh dan Isu-Isu Gender dalam

Komunitas Sikh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Feninisme adalah gerakan

perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum

perempuan dan laki-laki, sedangkan Feminis berarti orang yang menganut

paham feminisme.33

Istilah konsep feminisme diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk

menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan

sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan sebuah tuntunan budaya yang

dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.

Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur-

adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-

ciri manusia yang bersifat non kodrat (Gender) yang sebenarnya bisa

berubah-ubah atau diubah.

Pembedaan peran gender ini membantu untuk memikirkan kembali

tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada

perempuan dan laki-laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu yang

tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran

tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat

dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.34

Di lain pihak, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas,

analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama

ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas

adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat

berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender

sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi alat analis sosial yang ada dan

33

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminis artikel diakses pada Tanggal 25 Juli 2020. 34

Sushil Mittal And Gene Thursby, Religions of South Asia, (New York: First Published,

2006), h. 91-92.

Page 32: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

22

yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial laki-laki dan

perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran

perempuan dan laki- laki dalam masyarakat. Secara umum adanya gender

telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang

tempat dimana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender

itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa

seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi

sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh

perempuan dan laki-laki.

Seperti yang dijelaskan dalam Granth sahib bahwa laki-laki dan

perempuan itu sama tidak ada bedanya hanya saja perempuan harus lebih

dimuliakan karena perempuan memiliki tanggung jawab sedikit lebih berat

dibanding laki-laki. Bapak Ghoul Rajj pun memantapkan konsep feminis

dalam ajaran Sikh, pada pembukaan ayat Granth Sahib dijelaskan “mulai dari

Allah, Cahaya di upaya. Kodrat dan manusia Dia yang ciptakan. Kita tidak

punya hak untuk menghakimi (membanding-bandingkan) satu sama lain”.

Maksud dari kutipan ayat tersebut ialah, sesama ciptaan Tuhan alangkah

baiknya kita saling menghargai, menghormati dan menjaga hubungan baik.

Granth Sahib menekankan dari apa yang Tuhan berikan apapun wujudnya kita

harus tetap mensyukuri dan menganggap itu sebagai nikmat dari-Nya.35

Dalam Sikh, hal pertama yang harus disadari kaum Sikh adalah

eksistensinya dan siapa dirinya. Dan untuk mengenal diri serta dari mana

asalnya, maka Sikh berinteraksi dengan melalui keyakinan dan ketetapannya.

Ketetapan Sikh tidak lain hanya akan diperoleh dalam Guru Granth Sahib.

Dengan demikian, manusia akan lebih mengenal eksistensinya di balik semua

ilmu, moral dan amal yang dilakukan. Sedikit banyaknya Granth Sahib

sendiri membahas masalah laki-laki dan perempuan. Dari hubungan antara

satu dengan yang lain, keserasian serta perbedaan mendasar antara keduanya,

baik dalam hal yang berkaitan dengan hak maupun kewajiban masing-

masing.

35

I Dewa Putu Sedana, Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam (Denpasar:

Universitas Udayana Press, 2013), h.73-75.

Page 33: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

23

Guru Granth Sahib sebagai kitab suci yang merupakan petunjuk bagi

kaum Sikh, senantiasa menempatkan manusia sesuai dengan porsinya.

Manusia sebagai makhluk yang sama dihadapan Tuhan, namun berbeda

beberapa hal, yang mana perbedaan tersebut merupakan bukti keserasian

antara keduanya. Hal ini bisa dilihat dari kutipan ayat diatas yang

menjelaskan posisi kesetaraan khususnya dihadapan Tuhan. Namun

kesetaraan tersebut bukan sebagai bukti mereka adalah makhluk yang sama

dalam segala hal, seperti yang banyak disuarakan para feminis. Contoh

kesetaraan dalam Sikh yang di paparkan oleh bapak Ghoul Rajj adalah

bagaimana antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih diutamakan

antara keduanya, dalam kebebasan, kewajiban dan hak. Hanya saja, Sikh

lebih memuliakan perempuan dikarenakan tanggung jawabnya yang lebih

sedikit lebih berat dari laki-laki.

Granth Sahib juga menegaskan bahwa, sistem relasi antara laki-laki dan

perempuan dimasyarakat sesuai dengan norma ajaran agama Sikh.

Ketimpangan gender yang sering dianggap sebagai permasalahan sebenarnya

telah selesai. Maka dari itu Sikhlah yang mengangkat kaum perempuan sesuai

dengan fungsi serta perannya.36

36

Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia (Jakarta: Al-Husna, 1966), h. 176-179.

Page 34: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

24

BAB IV

Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan Sikh

A. Upacara Keagamaan dalam Agama Sikh

Apa yang membedakan suatu praksis historis kesetaraan yang sekuler

dengan yang relijius adalah, bahwa yang terakhir berlandaskan pada teks-teks

suci, wahyu, yang diimani; sementara praksis kesetaraan sekuler didasarkan

pada sumber selain wahyu; pada poin ini, pembedaan bahwa watak praksis

historis kesetaraan itu rasional sementara yang relijius irasional perlu

dikoreksi, wahyu dapat dikatakan memiliki sumber ilham yang non-rasional,

tetapi dalam praktiknya, ia memiliki logika yang tidak kurang rasional dan

historis. Dalam kasus Sikh, pendapat ini secara positif dapat diafirmasi.

Gagasan kesetaraan Sikh berdasarkan pada suatu teks sakral (Guru Granth

Sahib) dan dalam praktiknya berwatak historis karena menjawab suatu

permasalahan sosial konkret yang terjadi di masyarakat, yaitu sistem kasta

secara khusus.

Maka, untuk mengawali suatu gambaran sekaligus analisis sosial dari

Sikh, alangkah baiknya merujuk kepada teks-teks sakral dan bukti historis

yang dapat mengafirmasi prinsip ini. Guru Nanak menyampaikan:

"Kita terlahir dari wanita, kita tumbuh dalam rahim wanita. kita

ditunangkan dan dinikahkan dengan wanita. Kita berteman dengan

wanita dan garis keturunani ini berlanjut karena wanita. Ketika seorang

wanita meninggal, kita menikahi wanita lainnya, faktanya kita terikat

dengan dunia melalui wanita. Mengapa kita harus meremehkannya, ia

yang melahirkan raja-raja? Wanita lahir dari wanita; tidak ada apa-apa

tanpanya. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang ada tanpa wanita."37

Bai Ghurdas, sang penyair dari periode awal Sikh, berkata:

"Seorang wanita, di rumahnya begitu dicintai oleh ayah dan ibunya.

Di rumah mertuanya, ia adalah tiang dari keluarga, penjamin

keberuntungannya... sama-sama memiliki kebijaksanaan dan

pencerahan spiritual, serta sifat-sifat mulianya, sang wanita, belahan

jiwa sang pria, mengantarkannya menuju pintu kebebasan."38

37

Jaspreet Kaur. Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,

Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4. h. 46 38

Ibid, h. 47

Page 35: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

25

Keduanya menyatakan posisi mereka berhadapan dengan situasi abad

pertengahan di India, di mana sistem kasta benar-benar menempatkan wanita

pada posisi yang rendah. Prinsip kesetaraan Sikh tidak hanya berlaku bagi

lelaki, tetapi juga bagi wanita. Perkembangan dari suatu masyarakat dapat

dilihat dari bagaimana posisi wanita dilihat secara sosio-relijius di dalamnya;

artinya, suatu agama yang meyakini kesetaraan mengharuskan suatu

penempatan posisi yang jelas dan tegas, bahwa wanita tidak berada di bawah

laki-laki, keduanya sama-sama merupakan manusia yang memiliki hak dan

kewajiban yang saling melengkapi di masyarakat. Dalam perkara dunia

maupun perkara akhirat, wanita dan laki-laki memiliki posisi yang sama-sama

penting. Meskipun begitu, tidak selalu suatu teks suci dari suatu agama yang

mendukung kesetaraan secara relijius, terlaksana dalam praktiknya.39

Dengan

memahami hal ini, kita dapat melihat betapa Sikh merupakan suatu agama

yang mendukung kesetaraan. Maka pertama-tama, mari kita melihat lebih

lanjut bagaimana Sikh secara relijius menempatkan posisi wanita, setelah itu,

fakta historis umum mengenai prinsip ini diteliti.

Dalam kutipan pertama, Guru Nanak menyampaikan suatu fakta yang

umum diketahui oleh kita. Peran wanita sebagai ibu, istri, sebagai “pencipta

kehidupan”, dan hanya Tuhan-lah yang tidak memerlukan wanita untuk ada.

Pada poin bahwa wanita adalah ibu dan istri, tidak ada yang dapat menolak,

ini merupakan fakta biologis, tapi dengan menyatakan kalimat selanjutnya,

bahwa hanya Tuhan yang tidak bergantung kepada wanita, Guru Nanak telah

menyematkan posisi relijio-filosofis yang begitu penting. Wanita adalah

sumber dari eksistensi; pernyataan ini secara implisit memiliki suatu

konsekuensi sosial: salah besar jika eksistensi wanita, keberadaannya,

dinomorduakan dalam masyarakat; sebagaimana terjadi, bahkan hingga hari

ini. Posisinya secara sosial harus pula diturunkan dari posisi relijio-

filosofisnya. Dalam kutipan kedua, wanita dalam Sikh dipandang memiliki

signifikansi relijius yang sama sebagaimana laki-laki. Hal ini harus dilihat

dari fakta historis kasus kerahiban, misalnya, di mana wanita dipandang

sebagai penghalang jalan spiritual laki-laki mencapai kebenaran ilahiah. Sikh

39

Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak.

International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018. h. 726

Page 36: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

26

menganggap bahwa wanita bukanlah penghalang menuju kebenaran spiritual,

ia sama-sama merupakan hamba Tuhan yang juga dikaruniai kesucian dan

pencerahan spiritual. Para guru tidak membedakan antara jenis kelamin dalam

perkara sangat, sewa, pangat dan yang paling penting, proses inisiasi Sikh.40

Argumen yang paling sering diajukan di masyarakat adalah bahwa

wanita ada di kelas yang lebih rendah; mereka dianggap kurang cerdas, plin-

plan, kurang kreatif, berbadan lemah, dan cenderung emosional.41

Posisi ini

dilanggengkan dari berabad-abad lalu, mulai dari Sokrates hingga agama-

agama besar seperti Hindu, Islam, Kristen, Yahudi. Sikh membedakan diri

dalam hal ini, dalam keyakinan bahwa wanita bukanlah godaan menuju jalan

spiritual; kita dapat melihat bagaimana para biksu, para pastur, dan para zahid

melihat bahwa wanita adalah godaan duniawi, yang menghalangi mereka

menuju kebenaran. Ini merupakan praktik historis dari institusi agama-agama

tersebut, dari sanalah kita dapat melihat apakah suatu agama benar-benar

mendukung kesetaraan secara penuh atau hanya sebagian saja.

Sikh menolak anggapan bahwa wanita itu lemah dan rendah, bahkan,

para Guru memberi nama “singhni” bagi para wanita yang secara fisik dan

mental lemah, kata ini bermakna “ke-singa-an”.42

Artinya, untuk menilai

posisi seorang wanita, tolok ukurnya bukan hanya badan dan mentalnya

semata. Untuk memperkuat poin ini, kita dapat merujuk kepada fakta bahwa

Guru Nanak dan Guru Arjun Dev menulis suatu tulisan bernama "Baramaha"

yang di dalamnya mereka menggambarkan rasa sakit dan penderitaan dari

hati ketika menjadi seorang wanita,43

hal ini menunjukkan bahwa secara

psikologis-spiritual, beban yang ditanggung oleh seorang wanita begitu besar,

sehingga, konsekuensinya, wanita adalah makhluk yang begitu kuat.

Untuk merangkum pendapat dalam bagian ini, kita dapat menegaskan

bahwa Sikh meyakini prinsip kesetaraan semua manusia, baik laki-laki dan

wanita dalam prinsip teologis-spiritual mereka; pertama, Sikh menempatkan

40

Jaspreet Kau, Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,

Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4. h. 46 41

Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak.

International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018. h. 727 42

Jaspreet Kau, Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,

Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4.h. 47 43

Ibid. h. 47

Page 37: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

27

secara filosofis-spiritual bahwa hanya Tuhan yang tidak membutuhkan

wanita, ini artinya signifikansi dari keberadaan wanita begitu penting; kedua,

secara spiritual, wanita tidak dinomorduakan, tidak seperti praktik institusi

agama secara umum yang menganggap wanita sebagai godaan menuju jalan

spiritual, Sikh menganggap bahwa wanita dan laki-laki sama-sama

merupakan agen spiritual yang setara; hal ini akan terbukti jelas ketika kita

merujuk praktik-praktik yang menomorduakan wanita dalam institusi agama,

seperti anjuran untuk menjadi petapa dan berselibat, penggunaan cadar, dan

konsepsi patriarkal lain atas wanita; ketiga, Sikh mendefinisikan kekuatan

dan kelemahan tidak dalam konsepsi umumnya, yang biasanya berujung pada

pandangan bahwa perempuan lebih lemah dan rendah dibandingkan dengan

laki-laki. Poin-poin filosofis-spiritual ini akan lebih jelas jika kita melihat

bagaimana Sikh secara sosio-historis menempatkan wanita dalam praksisnya.

B. Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Ritual Keagamaan dan

Kehidupan Sosial Keagamaan

Sebelum berbicara mengenai penerapan prinsip kesetaraan sosial bagi

wanita dalam Sikh, sekilas kita akan membahas mengenai posisi Sikh secara

umum perihal kesetaraan. Sikh memiliki tiga tujuan sosial utama: untuk

membangun suatu masyarakat setara, untuk menjadikan masyarakat yang

setara ini sebagai dasar perlawanan atas penindasan relijius dan politis, dan

merengkuh kekuasaan politis melalui Khalsa. Ketiganya merupakan bagian

utama dari prinsip Sikh bahwa ketidakadilan, ketidaksetaraan dan hirarki

dalam bentuk apapun harus dilawan.44

Pembahasan mengenai kasta

merupakan bagian penting yang harus dijelaskan, sebab ini merupakan salah

satu bentuk ketidaksetaraan yang laing jelas dan paling kuat, dan yang secara

historis dilawan oleh para Guru.

Kasta merupakan suatu peringkat sosial yang dibenarkan melalui

pemaknaan relijius dan ritual. Berbeda dengan pembedaan atau

ketidaksetaraan lain seperti perbedaan kelas ekonomis yang lebih lentur, kasta

merupakan suatu peringkat yang begitu kukuh mengakar dalam masyarakat.

44

Jagjit Sing, The Sikh Revolution: A Perspective View. New Delhi: Bahri Publications,

1998. h. 115.

Page 38: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

28

Dan politik relijius kasta, secara singkat dapat dilihat sebagai pengukuhan

kelas Brahman di atas semua kelas dalam masyarakat. Dalam politik kasta,

tidak terdapat kesetaraan, yang ada ialah bahwa satu kasta lebih unggul dari

yang lain, dan ini merupakan hal yang mutlak.Guru Nanak menyerang

ideologi kasta dan menyebutnya sebagai penyimpangan. Hindu menyebut

kasta yang rendah tidak dapat menyucikan diri, dan ibadah mereka tidaklah

diterima. Guru Nanak menyanggahnya, dengan mempraktikkan kesetaraan, ia

bergabung dengan kelompok dari kasta terendah. Bai Ghurdas menyebut

bahwa Guru Nanak telah "menyempurnakan Dharma dengan meleburkan

empat kasta menjadi satu. Menganggap raja dan orang miskin sederajat, dan

ketika bertemu saling memegang kaki (menganggap dirinya lebih rendah

dibandingkan yang lain), dan menjadikannya budi pekerti.”45

Pembahasan mengenai kasta secara merinci tidak dimungkinkan di sini,

kami hanya akan membahas satu anasir dari sistem kasta yang masih bertahan

dalam masyarakat non-kasta, yang dengannya kesetaraan antara laki-laki dan

wanita menjadi hampir mustahil, yaitu gagasan pencemaran. Menurut Nikky-

Guninder Kaur Singh, Para sarjanawan secara umum begitu banyak mengutip

Guru Granth perihal penolakan atas kasta dan kelas, namun hampir lupa

perihal penolakannya atas seksisme.46

Ia menyiratkan bahwa para sarjanawan

lupa bahwa kesetaraan antar manusia dengan hilangnya kasta juga tidak boleh

melupakan kesetaraan antara wanita dan laki-laki. Ketika berbicara mengenai

ketidaksetaraan dalam sistem kasta, akan merujuk kepada suatu praktik

pengucilan dan perendahan derajat spiritual bagi „golongan rendah‟, yang

secara umum ditandai dengan istilah “tidak suci”.

Gagasan mengenai pencemaran, mengenai pembatasan kebersamaan

adalah ungkapan yang paling tersebar luas, yang menggambarkan watak

ketertutupan dan elitis dari sistem kasta. "Seorang yang kastanya di bawah

Brahmin, ketika melihat makanan dari sang Brahmin, ia secara ritual

45

Jagjit Singh, The Sikh Revolution: A Perspective View. New Delhi: Bahri Publications,

1998. h. 118. 46

Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The

Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.). (Oxford: Oxford

University Press, 2014), h. 612.

Page 39: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

29

mencemari sang Brahmin"47

hanya melalui kontak fisik dengan mereka yang

kastanya lebih rendah, seseorang akan tercemar, dan 'Kasta yang lebih rendah

dari Brahmin secara umum lebih mudah tercemar, tetapi prinsipnya sama,

kontak dengan kasta selalu berhubungan dengan gagasan penyingkiran

pencemaran'.48

“Jika gagasan mengenai pencemaran diterima, maka terdapat

pencemaran di mana-mana. Terdapat cacing dalam tinja sapi dan kayu; Tidak

ada sebutir jagung tanpa kehidupan. Pada mulanya, terdapat kehidupan di air

yang karenanya segala sesuatu menjadi hijau. Bagaimana kita dapat

menghindari pencemaran? Ia jatuh di atas dapur kita. Ucap Nanak,

pencemaran itu tidaklah disucikan, ia tersucikan oleh pengetahuan Ilahi.

Pencemaran terdiri dari takhayul dan ketergantungan kepada hal-hal duniawi.

Makanan dan minuman yang dikirim Tuhan bagi kita untuk bertahan hidup

itu suci.”49

Dalam himne di atas, sudah jelas bahwa Sikh menolak gagasan mengenai

ketidaksucian, pencemaran, suatu gagasan pengkelasan antara yang suci dan

yang tercemar. Guru Nanak sepenuhnya menolak gagasan Hindu bahwa

seorang wanita yang melahirkan tercemar selama beberapa hari, dan bahwa

rumah di mana ia melahirkan juga ikut tercemar. Tidak pula bahwa

menstruasi setiap bulan membuat ia tercemar.50

Dari gagasan inilah

ketidaksetaraan wanita dan laki-laki menjadi sesuatu yang dibenarkan.Dalam

masyarakat kita, pandangan terhadap darah wanita secara umum -entah darah

menstruasi setiap bulan atau darah nifas - begitu menakutkan, dipandang

sebaagai yang privat, proses yang memalukan; menstruasi kerap disamakan

dengan penyakit atau kelemahan. Secara sosial, wanita yang sedang dalam

periode mereka dilarang turut serta dalam ibadah relijius. Guru Granth secara

dramatis menolak tabu umum perihal tercemarnya wanita. Sebab darah nifas

47

Jagjit Singh, Caste System and the Sikh dalam Gurdev Singh (ed.) (Perspectives on the

Sikh Tradition. Amritsar: Singh Brother, 1996), h. 316. 48

Jagjit Singh, The Sikh Revolution: A Perspective View (New Delhi: Bahri Publications,

1998), h. 126. 49

Jagjit Singh, Caste System and the Sikh dalam Gurdev Singh (ed.), (Perspectives on the

Sikh Tradition. Amritsar: Singh Brother, 1996), h. 317 50

Dharmjit Sing, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak

(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 731-732.

Page 40: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

30

adalah darah yang begitu penting, suatu hal yang alami, hidup dimulai

darinya.51

Di sini jelas perbedaan pendapat dari Sikh dan Hindu serta Islam

berkenaan dengan darah wanita.

Perbedaan Sikh lainnya berkenaan dengan kritik Guru Nanak atas purdah

dan sati. Purdah, menurut Nikki, bukan hanya sepotong kain yang dengannya

wanita Muslim menutupi rambut, wajah dan badannya, tetapi sekumpulan

norma kompleks yang melibatkan kendali patriarkal atas seksualitas wanita.

Gagasan purdah dan aurat ini juga berkaitan dengan gagasan bahwa wanita

yang tidak menutup dirinya dengan purdah adalah penggoda yang

menjauhkan seseorang dari jalur spiritual. Begitu pula adat Hindu bernama

sati. Sati secara literal bermakna istri yang suci atau baik; secara historis, ini

adalah perintah menjanda bagi seorang wanita yang kehilangan suaminya

karena meninggal sebagai bentuk kepatuhan bagi suaminya, baik ia masih

hidup atau telah meninggal.52

Sikh menolak semua bentuk dominasi dan

kendali atas wanita yang menyiratkan ketergantungan, kelemahan serta

posisinya yang rendah secara sosio-relijius.

Untuk mempertegas prinsip kesetaraan ini, kita dapat merujuk kepada

praktik yang lebih umum, yang bahkan masih ada sampai hari ini, yakni

pandangan yang meremehkan kehidupan dalam rumah vis a vis luar rumah,

yaitu kerja domestik dan kerja di luar rumah, membedakan antara wanah

spiritual dan empiris. Pernyataan bahwa kerja dalam rumah adalah sesuatu

yang rendah, yang konsekuensinya, karena kerja dapur,kasur, sumur, dalam

masyarakat patriarkis dinilai sebagai pekerjaan khusus bagi wanita; adalah

bahwa wanita yang mengerjakannya juga berstatus lebih rendah dibandingkan

laki-laki. Maka, di sini kritik Guru Nanak atas praktik selibat, praktik

pertapaan dan ahimsa menjadi lebih terang, semuanya berkaitan dengan

gagasan kesetaraan. Wanita dianggap lebih rendah, dan semata-mata milik

ayah, suami dan anaknya, fungsinya hanyalah untuk memperbanyak ras,

51

Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The

Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford

University Press, 2014), h. 612. 52

Nikki-Guninder Kaur Singh. A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The

Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford

University Press, 2014), h. 613-614.

Page 41: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

31

untuk melakukan kerja rumah dan melayani anggota laki-laki dari

keluarganya, mereka dianggap sebagai penggoda dan penghalang dari jalur

spiritual laki-laki. Sementara lelaki diperbolehkan melakukan poligami, janda

tidak diperbolehkan untuk menikah kembali.53

C. Analisa Kesetaraan dan Interpretasi Baru Sikh untuk Kesetaraan

Gender

Kriteria untuk menentukan apakah suatu agama atau ideologi mendukung

prinsip kesetaraan atau menentang dapat diukur dengan sejauh mana seorang

wanita dapat mengendalikan diri dan hidupnya, bagaimanakah perihal akses

pengetahuan, sumber pendapatan dan kekuasaan politis, seberapa tinggi

kemandiriannya menentukan keputusan pada hal-hal yang penting dalam

kehidupannya. Maka, dengan adanya kriteria tersebut dapat menentukan

apakah Sikh secara khusus mendukung atau menentang prinsip kesetaraan

ini.54

Dalam teks-teks suci Sikh, tersurat pembelaan terhadap posisi wanita

yang selama ini dinomorduakan, "Yang Ilahi itu sendiri adalah ibu, adalah

ayah" begitu yang terdapat dalam Guru Granth.55

Konsepsi teologis semacam

ini merupakan dasar yang penting bagi praksis kesetaraan dalam suatu

masyarakat relijius; sebab, diskriminasi kasta dan perendahan perempuan

disebabkan oleh teks suci yang secara tersurat atau tersirat mendukung

ketidaksetaraan. Dari awal, Guru Nanak sudah menekankan kesetaraan antara

laki-laki dan perempuan, semisal dalam pemilihan istilah-istilah yang

sematkan bagi perempuan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang

cendekiawan wanita, Upinder Jit Kaur mengenainya:

Guru Nanak, pendiri keimanan Sikh, menyerukan suaranya untuk

keadilan bagi para wanita dan menyediakan dasar skriptural bagi

kesetaraan yang tidak akan dapat ditemukan dalam teks-teks suci dari

agama-agama India lainnya. Perlu dicatat bahwa ia membela wanita dan

berjuang untuk pembebasan mereka di abad kelima belas, sementara

53

Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak

(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 730. 54

Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak

(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 726. 55

Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The

Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford

University Press, 2014), h. 607.

Page 42: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

32

gerakan emansipasi wanita di Eropa berlangsung jauh hari setelahnya,

di abad kedelapan belas dan sembilan belas. Dalam suatu zaman di

mana perendahan wanita dianggap norma dan pembunuhan bayi wanita

serta adat purdah dan sati secara umum diterapkan, Guru Nanak

bersuara menentangnya dengan suara nalar dan kewarasan.56

Parveen Kaur, dalam salah satu artikelnya, The Relationship Between

Gender Ideology and Division of Labour in Sikh Households menguji

persoalan antara gagasan dan praktik kesetaraan gender dalam keluarga Sikh

dalam rentang waktu akhir 1999 hingga awal 2000 di 197 keluarga Sikh di

Perak, Malaysia. Kriteria kesetaraan terpenuhi jika terdapat penekanan atas

kesetaraan gender dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki,

sementara ketidaksetaraan berarti terdapatnya kecenderungan kepada relasi-

relasi gender dan kesempatan yang tidak setara. Dalam tulisan ini, Parveen

Kaur membedakan antara persepsi kesetaraan dan praktik kesetaraan. Suatu

ideologi atau agama mungkin memiliki ideal kesetaraan namun tidak pada

praktiknya, begitu pula, seseorang mungkin memiliki persepsi kesetaraan

tetapi tidak dalam praktiknya.57

Parveen menggunakan kategori Kegiatan Dalam Rumah yang terdiri dari

persiapan masak, memasak, membersihkan rumah, mencuci baju,

menyeterika dan mencuci piring; Kegiatan Luar Rumah seperti membeli

sayuran, dan marketing; Kegiatan Merawat Anak terdiri dari memberi makan

anak-anak, memandikan anak-anak, membantu tugas anak-anak, mengantar

anak-anak ke sekolah, menjemput anak-anak dari sekolah dan mengawasi

kesehatan mereka. Dengan kategori ini, Parveen ingin meneliti pembagian

tugas ibu dan ayah dalam suatu keluarga, dan darinya menentukan seberapa

jauh persepsi kesetaraan mereka dibandingkan dengan praktiknya.58

56

Nikky-Guninder Kaur Sing, The Feminine Principle in the Sikh Vision of the

Transcendent (Cambridge: Cambridge University Press. 1993), h. 31. 57

Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in

Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi

2012), h. 106. 58

Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in

Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi

2012), h. 109.

Page 43: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

33

Kesimpulan dari penelitian Parveen Kaur adalah bahwa kesetaraan dalam

ideologi relijius dan kultural Sikh telah menyumbang besar kepada persepsi

kesetaraan relijius dan kultural dari pemeluk Sikh. Meskipun pada akhirnya

tidak menyumbang banyak bagi kesetaraan dalam peran gender sebagaimana

terungkap dalam preferensi pilihan kerja berdasrkan jenis kelamin, khususnya

dalam kegiatan yang dilakukan di dalam rumah. Parveen menyimpulkan

bahwa timpangnya hubungan antara persepsi dan praktik ini disebabkan

beberapa variabel seperti lokasi yang berbeda, gagasan bahwa laki-laki adalah

penyokong finansial dari keluarga, dan juga pengaruh budaya berbeda dalam

konteks Malaysia yang secara umum patriarkal.59

Agama Sikh memiliki dasar-dasar kesetaraan dalam teks sucinya, yaitu

secara teologis, dalam sub-bab kedua telah dipaparkan beberapa praktik

historis gerakan Sikh menentang beberapa jenis ketidaksetaraan pada

masanya, secara persepsional, keluarga Sikh pada umumnya mendukung

kesetaraan, meskipun tidak dalam praktiknya. Agama Sikh merupakan suatu

agama yang mendukung kesetaraan, suatu agama yang mendukung

kesetaraan bermakna menyediakan dasar skriptural dan catatan historis, maka

Sikh adalah agama yang mendukung kesetaraan.

Perbedaan antara suatu ideologi sekuler dengan agama, yang

membedakan keduanya adalah bertumpu dan bertujuan kepada hal-hal

spiritual. Dalam Agama Sikh, antara yang profan dan yang sakral telah

diminimalisir, akan tetapi, Sikh tetaplah suatu keyakinan yang tidak dapat

dinilai dengan semata kriteria empiris. Dalam hal kesetaraan yang telah

dibahas, kriteria untuk mengukur apakah Sikh dapat disebut sebagai agama

yang mendukung atau menentang kesetaraan, tentu tidak bijak jika menilai

tidak egaliter dengan landasan data kuantitatif yang dipaparkan, misalnya

oleh Parven Kaur. Justru di sinilah keunikan Sikh. Dalam permasalahan

kesetaraan gender ini harus merujuk kepada ajaran Miri-Piri; meskipun ajaran

ini pada generasi selanjurnya cenderung memiliki konotasi militeristik, miri-

piri pada dasarnya adalah dilampauinya jurang antara yang temporal dan yang

59

Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in

Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi

2012), h. 120.

Page 44: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

34

sakral, yang duniawi dan yang ukhrawi; implikasi logis dari ini adalah tidak

adanya dominasi dari kerja, entah kerja dalam rumah atau luar rumah.

Dengan institusi Langar, Sikh telah menyucikan urusan dalam rumah tangga,

sebagai yang mulia, bukan yang lebih rendah daripada kerja di luar rumah,

bukan pula suatu pekerjaan yang menyiratkan kelemahan dan inferioritas.

Page 45: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

35

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Kedudukan Perempuan

Dalam Upacara Keagamaan Menurut Agama Sikh” maka penulis

mengambil kesimpulan bahwa:

Konsep gender menurut feminisme, bukan suatu sifat yang kodrati atau

alami, tetapi suatu suatu konsep yang mengacu pada perbedaan peran, fungsi,

sifat, posisi, akses, kontrol dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-

laki. Konsep gender dipengaruhi oleh budaya, agama, sosial, politik,

ekonomis, hukum dan pendidikan serta dapat berubah sesuai perkembangan

zaman. Ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai ketentuan Tuhan yang

bersifat kodrati yang membedakan seseorang hanyalah tingkat ketakwaan

kepada Tuhan.

Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berpengaruh terhadap suatu

Agama. Pada awal mulanya perempuan mendapatkan sisi pandang yang

negatif, namun didalam Agama kedudukan perempuan sangatlah dimuliakan,

tidak lagi dianggap hina maupun ditindas. Perempuan telah mendapatkan

keadilan akan hak-haknya.

Dalam agama Sikh penolakan Guru Nanak kepada setiap ketidaksetaraan

sangat menyeluruh, yaitu dengan memberi dasar teologis dari konsep

kesetaraan. Guru Nanak merumuskan suatu teologi yang menyatakan bahwa

Tuhan itu satu, dan setiap manusia merupakan saudara, karenanya,

permusuhan antara saudara sendiri adalah hal yang tidak masuk akal. Bukan

hanya kesetaraan antara manusia, tetapi antara laki-laki dan perempuan.

Konsep kesetaraan dalam agama Sikh bukan hanya laki-laki yang dapat

memimpin sembahyang ataupun upacara keagamaan di Gurdwara, sebagai

contoh perempuan menjadi pemandu pembacaan Granth Sahib atau bisa

dikatakan sebagai imam. Bukan hanya itu dalam setiap upacara-upacaran

sakral lainnya, perempuan tidak jarang diikut sertakan untuk menjadi

Page 46: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

36

pemandu pembacaan kitab suci. Agama Sikh adalah suatu agama egaliter

yang mendukung kesetaraan gender.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian dan analisis data. Maka penulis mencoba

untuk memberikan saran atau masukan untuk bahan kajian studi agama,

yaitu:

1. Tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman sekarang ini isu kesetaraan

gender telah banyak menjadi pusat perhatian terutama bagi kaum

feminisme yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membangun dan

mencapai kesetaraan gender. Maka penulis berharap kesetaraan gender

ini bisa diterapkan sebagaimana mestinya agar tidak ada lagi kaum

perempuan yang ditindas.

2. Perlu adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam suatu

agama, karena sesungguhnya kedudukan diantara keduanya adalah

setara, yang membedakan seseorang hanyalah tingkat ketakwaan kepada

Tuhan.

3. Diharapkan kedudukan perempuan bisa setara dengan laki-laki agar tidak

ada lagi kaum perempuan yang terbelakang, ditindas dan direndahkan

lagi.

Page 47: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

37

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Media Zainul. 2015. Wajah Studi Agama-agama. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Djajarnegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gill, Tan Sri Dato seri darshan singh. 2009. Sikh community in Malaysia.

Malaysia: Geraksikh.

Hakim, Agus. 1993. Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai

Kepercayaan Majusi, Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh.

Bandung: CV. Diponegoro.

Kahmad, H. Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama, Bandung: CV. Pustaka

Setia.

Kaur, Jaspree. 2017. Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal

of Arts, Humanities & Social Science.

Kaur, Parveen. 2012. The Relationship Between Gender Ideology and Division of

Labour in Sikh Households. International Journal of Sociology of the

Family.

Meolong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

M, Nuh Nuhrison dkk. 2015. Eksistensi Agama Sikh di Jabodetabek dalam

Kustini, Ed.,Baha’i, Sikh dan Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan

Hak-hak Sipil, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian

Agama RI.

Myrvold, Kristina. 2008. Inside The Guru’s Gate. Lund: Lund University.

Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi. 2015. Agama-Agama Minor. Tangerang selatan:

UIN Jakarta Press.

Nesbitt, Eleanor. 2005. A Guide to Sikhism. Oxford University Press.

Pendit, Nyoman S. 1988. Guru Nanak dan Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Sikh

Gurdwara Mission.

Putra, Nusa. 2012. Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi. Jakarta: PT. Indeks.

Page 48: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

38

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu

Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Romdhon, dkk. 1988. Agama Sikh dalam Mukti Ali, Ed., Agama-Agama Di

Dunia. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.

Sedana, I Dewa Putu. 2013. Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam.

Denpasar: Universitas Udayana Press.

Sharma, Arvind. 1987. Perempuan dalam Agama-Agama Dunia, Yogyakarta:

Suka-Press.

Singh, Dharmjit. 2018. Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru

Nanak. International Journal of Research in Social Sciences.

Singh, Gurdev. 1996. Respective On Sikh Tradition. New Delhi: Patiala.

Singh, Hakim Choor. 2001. Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission.

Singh, Sudarshan. 2009. Sikh Religion Democratic Ideals and Institutions,

London: Encyclopaedia Britanica.

Singh, Khustwant. 2004. A History Of The Sikh. Oxford University Press.

Singh, Nikki-Guninder Kaur. 2014. A Feminist Interpretation of Sikh Scripture

dalam The Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E.

Fenech (ed.). Oxford: Oxford University Press.

Singh, Nikky-Guninder Kaur. 1993. The Feminine Principle in the Sikh Vision of

the Transcendent. Cambridge: Cambridge University Press.

Sou‟yb, Joesoef. 1966. Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Al-Husna.

Suprayogo, Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Thursby, Sushil Mittal And Gene. 2006. Religions of South Asia. New York: First

Published.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Baldev Singh. Jakarta, 2 Maret 2018.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Ghoul Raj. Jakarta, 23 Mei 2018.

Yadev, Jai Singh. 2001. Mengenal Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Gudrwara Mission.

Yamani, Mai. 2000. Feminisme & Islam. Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dan

The Ford Foundation.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Page 49: KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH

39

Sumber Internet

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesi. Di

ambil dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminis (25 Juli 2020)

Kencana Ulia, 2012, Wanita Dalam Pandangan Agama Dan Bangsa. Di ambil

dari

http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa/article/download/844/717

( 22 Juli 2020).