KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN...

110
KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : ANNISA RAHMI FAISAL NIM : 1111045100004 PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M

Transcript of KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN...

KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

HUKUM PIDANA ISLAM

(Studi Analisis Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

ANNISA RAHMI FAISAL

NIM : 1111045100004

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/ 2015 M

vii

ABSTRAK

Annisa Rahmi Faisal 1111045100004, Jurusan Kepidanaan Islam, Prodi Jinayah Siyasah,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun

1436 H/ 2015, vii + 94 halaman.

Penelitian ini berjudul “Kedudukan Islah Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Menurut

Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu

Lintas Oleh AQJ). Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang kedudukan

islah dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia dan dalam hukum pidana Islam.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa penelitian pustaka (library research).

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

dari KUHP, Undang-undang, serta kitab fiqih. Dan data sekunder diperoleh dari buku-buku

hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukan bahwa islah dalam penyelesaian tindak pidana dapat dilakukan

sebagai jalan keluar yang baik, tanpa melalui proses persidangan dan menguntungkan para

pihak yang terlibat baik korban maupun pelaku kejahatan. Secara spesifik islah tidak diatur

dalam hukum positif Indonesia, namun proses penyelesaian islah sudah lama dikenal sebagai

keadilan restoratif (restoratif justice), proses islah dalam hukum positif hendaknya diketahui

penyidik agar dapat menghentikan proses peradilan ke pengadilan. Dalam UU Nomor 2 tahun

2002 tentang diskresi kepolisian, polisi mempunyai pijakan yuridis untuk menetapkan filosofi

restoratif justice. Adapun tindak pidana yang dapat diselesaikan secara islah adalah tindak

pidana ringan serta tindak pidana oleh anak, namun pada praktiknya tindak pidana sedang

dan beratpun tidak menutup kemungkinan para pihak untuk melakukan islah. Pada tindak

pidana anak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan

anak menegaskan konsep keadilan restoratif sebagai jalan keluar permasalahan, hal ini

ditujukan untuk mempebaiki keadaan si anak. Sedangkan dalam hukum Islam, konsep islah

sudah lama ada sejak jaman Rasulullah, sebagaimana keterangan dari Q.S.Al-Hujurat ayat 9,

Q.S Al-Baqarah ayat 178, serta beberapa hadis Nabi yang melegalkan islah. Dalam hukum

pidana Islam, islah dapat dilakukan atas jarimah Qisash, Diyat dan Ta’zir, adapun dalam

jarimah Hudud hal ini masih menjadi pro-kontra para fuqaha, karena dalam hudud terdapat

hak Allah dan ketentuan hudud telah diatur secara jelas dan rinci hukumanya dalam Al-

Qur’an. Kesimpulanya adalah islah merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap baik

karena menguntungkan para pihak serta dapat memperbaiki keadaan sosial suatu masyarakat.

Kata kunci : Islah, Kedudukan Islah, Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana.

Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik alam semesta beserta

isinya, yang telah memberikan kemudahan serta ilmu yang bermamfaat. Tak lupa shalawat

serta salam akan kerinduan yang teramat dalam kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan cahaya serta pertolongan kepada umat

muslim hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN ISLAH DALAM

MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu

Lintas AQJ) telah selesai. Skripsi ini merupakan sebuah bentuk akhir dari semua usaha yang

penulis lakukan selama 3 tahun lebih belajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang semoga dapat bermamfaat bagi penulis juga

pembaca. Tak sedikit kesulitan serta halangan ketika penulisan ini dilmulai, namun semua itu

bisa teratasi dengan baik karena dukungan serta arahan dari berbagai pihak yang selalu

dengan sabar membantu penulis.

Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada yang sempurna, apa lagi hanya sebuah

karya skripsi ini yang penulisnya pun masih dalam proses belajar kearag yang lebih baik.

Namun dari semua itu, yang paling diutamakan adalah usaha serta kerja keras yang sudah

penulis lakukan untuk menyajikan wacana keilmuan dalam skripsi ini. Tentunya hal tersebut

tidaklah mungkin dapat terjadi jika tanpa bantuan para pihak, oleh sebab itu penulis ingin

mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Kepada pak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah

v

2. Kepada Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si, selaku ketua prodi Jinayah Siyasah, dan Ibu

Rosdiana,M.A selaku sekretaris prodi Jinayah Siyasah, kepada keduanya yang telah

memberikan banyak arah serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada Pak Dr.H. M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan banyak waktu, arahan, kritik dan motivasi dalam penyusunan

skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Kepada Pak Qosim Asryadani, M.A, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah

membimbing dengan penuh kesabaran layaknya seorang ayah.

5. Kepada dosen hukum penulis, yaitu Dr. Alfitra, M.H selaku dosen hukum pidana yang

sudah memberikan banyak masukan serta pengertian kepada penulis.

6. Kepada semua dosen Jinayah Siyasah yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Semoga ilmu yang mereka

berikan dapat selalu bermamfaat.

7. Kepada Ibunda tercinta yakni Dahliawati, S.Pd yang telah banyak sekali memberikan hal-

hal berarti kepada penulis. Terimakasih karena selalu memberikan doa, motivasi, serta

pelajaran hidup kepada penulis. Semoga ibunda selalu sehat dan bangga akan anak-

anaknya.

8. Kepada Ayahanda Ma’mun Faisal, S.Pd yang telah dengan sabar membantu penulis dalam

penyelesaian skripsi ini, dan kepada semua keluarga penulis, yang telah memberikan

dorongan serta dukungan yang penuh kasih sayang.

9. Kepada semua sahabat-sabahat terbaik Jinayah Siyasah : Fachria, Nurhayati, Dewi, dan

Novi yang telah banyak memberikan dukungan selama kuliah dan selama penulisan

skripsi ini, juga kepada teman-teman sejawat di Jinayah Siyasah dan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah mendoakan serta mendukung penulis.

vi

10. Kepada senior Jinayah Siyasah, Waskita Agung Nugroho yang selalu mendukung dan

memberikan motivasi kepada penulis, serta telah memberikan banyak pengarahan

semenjak penyusunan prosal hinggal skripsi. Serta untuk senior lainya baik dari Jinayah

Siyasah maupun PMII.

Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis, semoga kebaikan mereka

semua dapat balasan yang indah dari Allah SWT. Kepada mereka, penulis hanya bisa

mendoakan, agar mereka semua selalu sehat dalam rahmat dan keberkahan Allah SWT.

Akhir kata, semoga kerja keras penulisan skripsi ini dapat bermamfaat untuk semua pihak,

baik pembaca, penulis, maupun praktisi hukum.

Jakarta, 30 April 2015.

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI.........................................................................ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN....................................................................................iii

KATA PENGANTAR...............................................................................................................iv

ABSTRAK................................................................................................................................vii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……..…………………………………………......1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...………………………...………..9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...………………………...…………..10

D. Tinjauan Pustaka………..…………………………………………………11

E. Metode Penelitian…………………………………..……………………..13

F. Sistematika Penulisan………………………..……………………………14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Islah dan Perdamaian Para Pihak…………………………………………17

a) Pengertian Islah dan Perdamaian……………………………………17

b) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah…………………………..18

c) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah……………………………25

d) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak

Pidana………………………………………………………………..32

B. Tindak Pidana dan Pemidanaan…………………………………………..35

a) Pengertian Tindak Pidana……………………………………………35

b) Kategorisasi Tindak Pidana…………………………………………39

x

c) Unsur-unsur Tindak Pidana…………………………………………42

d) Tujuan Pemidanaan…………………………………………………45

BAB III : KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam…………………………………..….49

b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………....52

c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam...58

d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………69

BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH

a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung

Jawaban Pidana Anak…………………………………………………….73

b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Lalu Lintas

Oleh AQJ…………………………………………………………………79

c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam hukum

positif……………………………………………………………………..84

d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum

Pidana Islam……………………………………………………………...88

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………92

B. Saran……………………………………………………………………..94

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara Konvensional hukum dibagi menjadi hukum publik dan hukum

privat, dan hukum pidana adalah bagian dari hukum publik. Hal ini berlaku

dewasa ini, dahulu di Eropa dan juga di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik

dan hukum privat. Gugatan baik dalam bidang yang termasuk hukum publik

sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat, diajukan oleh pihak-pihak

yang dirugikan. Terkenanlah adagium bahasa Jerman, “wo kein klager ist, ist kein

richter” (jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim).1

Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum

mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, adapun

tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

menciptakan ketertiban, dan keseimbangaan. Dengan tercapainya ketertiban di

dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam

mencapai tujuan tersebut, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara

perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara

memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.2

Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara

mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak

1A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif

Watampone, 2010, hlm.7 2Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005,

hlm. 77

2

dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia

akan berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang kurang

jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan

menemukan hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya.

Sehingga dapat mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang

mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.3

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum.

Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada

umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan

sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum

pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan

dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan

penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian,

masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan

hukum pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga masalah

kebijakan (the problem of policy).4

Selain itu, tujuan umum dari hukum pidana adalah untuk melindungi

kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia), melindungi

kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari suatu

tindakan tercela atau kejahatan di satu pihak dari tindak penguasa sewenang-

3Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti

dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers,2006, hlm 28. 4Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010,hlm 20

3

wenang dilain pihak.5 Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi

hukum menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara

berencana. Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah

berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai

alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum

pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak

pidana baru.

Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan

melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian

dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian

ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan

mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridis-

individualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu

perbuatan oleh hakim. Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan,

setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu

menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan

jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu pihak

semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami

manusia.6

Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada

umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi).

Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal

5www.fhunram.com

6 Moh Rifqi, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam

Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008

4

yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan

tersebut, yaitu : keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum.7 Meskipun

demikian, dalam tataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi

sekaligus. Adapaun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian dikenal

dengan istilan win lose solution, dimana akan terdapat pihak yang menang dan

ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara

umumnya kerap menimbulkan suatu rasa “tidak enak” dibenak pihak yang kalah,

sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal

ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi

yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi ketentuan.8

Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute

Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai

bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara

yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti

negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus,

seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia)

untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak

asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan

putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai

sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui

7 Sudikimo Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1997,

hlm.98. 8 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3

5

adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau

Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian

yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak

yang bersengketa.9

Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan

pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap

ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik

dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia

seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa

budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai

karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan

perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat,

mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam

menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama

dalam masyarakat Jawa dan Bali.10

Islah memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada

pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana

konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan pemaafan,

menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang

diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja

9 Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam

dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul

19.30 WIB 10

Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang,

1991, hal. 21.

6

perdamaian dan perundingan.11

Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh

oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan

keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, Islah merupakan

pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya.12

Penyelesaian perkara tindak pidana melalui islah juga terterap dalam hukum

Islam, hal ini dapat kita lihat dari beberapa nash yang dijadikan landasan islah,

antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang asrtinya : “Orang-orang beriman itu

Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara

kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat

rahmat.” Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 224 yang artinya : “Jangahlah kamu

jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat

kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia[139]. dan Allah

Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Proses islah terjadi karena adanya perspektif yang berubah dari korban

dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan perspektif ini menyebabkan

cara yang penyelesaian yang ditempuh pun berubah tergantung kondisi dan

keinginan korban. Tetapi perubahan perspektif ini berpengaruh terhadap proses

pemeriksaan kesaksian di pengadilan, dimana dalam beberapa keterangannya

saksi-saksi cenderung mengubah “perspektifnya” atas peristiwa yang terjadi.

Selama proses pemeriksaan saksi, alasan yang dikemukakan untuk mengubah

keterangan atau mencabut keterangan dalam BAP adalah karena alasan emosional

11

A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001. 12

Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul

Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet

pada tanggal 08 oktober 2014

7

saksi yang disebabkan oleh situasi psikologis saksi sebelum melakukan islah dan

setelah melakukan islah. Contoh islah dapat kita lihat dalam Kasus HAM di

Tanjung Priok, alasan para saksi melakukan koreksi (revisi) atau “perbaikan”

keterangan tersebut disebabkan karena pada saat diperiksa oleh Kejaksaan Agung

para saksi tersebut belum melakukan islah dan masih dendam terhadap tentara,

sehingga pada waktu memberikan keterangan, saksi sengaja merekayasa

keterangannya. Atas keterangan ini memang majelis hakim telah memperingatkan

saksi agar memberikan keterangan sebagaimana yang dialaminya. Namun,

peringatan majelis hakim ini tidak pernah dihiraukan oleh para saksi dan koreksi

(revisi) keterangan ataupun perbaikan keterangan ini tetap saja berlanjut dalam

pemeriksaan-pemeriksaan saksi berikutnya.13

Islah juga pernah terjadi pada tahun 2013, yaitu yang dilakukan Ahmad

Dhani kepada keluarga korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat sang anak

yaitu Abdul Qadir Jaelani/ AQJ (Dul). Dalam kasusnya, ia melanggar UU Nomor

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 281 atas

pelanggaran terhadap Pasal 77 Ayat (1). Sanksi pidanya adalah pidana kurungan

paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta

rupiah). Akibat kecelakaan ini 7 orang meninggal dunia, maka Dul juga dapat

dituntut dengan menggunakan Pasal 310 Ayat (4) atas pelanggaran terhadap Pasal

229 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Sanksinya adalah pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda

maksimal Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Namun disebabkan oleh

13

Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring

pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal

08 oktober 2014

8

usianya yang masih 13 tahun, yaitu masih dalam kategori anak-anak, maka selama

dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan negeri wajib

melakukan upaya diversi. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam kasus ini, Islah

sangatlah diperlukan, karena ancaman pidana terhadap Dul kurang dari 7 (tujuh)

tahun penjara dan apa yang dilakukan Dul bukan merupakan pengulangan tindak

pidana.14

Dalam wawancara media pada tanggal 09 September 2013, Kak Seto

mengatakan bahwa setiap orang memang harus bertangungjawab atas

perbuatannya, termasuk Dul. Tetapi hukum kita juga mengatur bagaimana

seharusnya anak seusia Dul diperlakukan. berdasarkan Undang-Undang No.3/97

tentang Pengadilan Anak dan sekarang diganti dengan undang-undang No 11

tahun 2012, meskipun masih ditunda pemberlakukannya, mestinya ditempuh

secara kekeluargaan (restoratif justice). Ini merupakan proses hukum juga tetapi

dengan cara perdamaian, dan pihak korban pun setuju. Artinya,

pertanggungjawaban kerugian dan pengobatan harus diselesaikan oleh pihak

Ahmad Dhani.15

Namun, meski akhirnya Dul bebas, perhatian publik menuai pro-

kontra.

Penyelesaian Tindak pidana melalui islah memang merupakan jalan keluar

yang sangat baik, namun pada kenyataanya, penyelesaian secara islah tak selalu

bisa menghentikan penyelidikan perkara dalam hukum positif oleh sebab yang

14

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini

diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB 15

http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul

ahmad -dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB

9

diatur oleh hukum, namun berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, islah

merupakan jalan yang sangat baik dan bisa dilakuan sebelum adanya keputusan

dari hakim. Maka untuk menjawab problematika tersebut, penulis akan

mengusung skripsi yang berjudul KEDUDUKAN ISLAH DALAM

MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF

HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus

Pelanggaran Lalu Lintas AQJ).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada bagaimanakah islah dapat

dilakukan yang dalam kajianya melihat seperti apa kedudukan islah dalam

penyelesaian tindak pidana menurut hukum positif dan hukum pidana islam, serta

bagaimana pandangan hukum tersebut mengenai islah dalam analisis kasus

pelanggaran lalu lintas oleh AQJ.

Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah

yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu :

1. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam

hukum positif?

2. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam

hukum pidana Islam?

3. Bagaimanakah kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh

AQJ?

10

Hukum Positif yang dimaksud penulis ialah KUHP (Kitab Undang-undang

Hukum Pidana), dan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 2 tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam

KUHP Pada Peradilan Pidana, serta Perundang-undangan lain yang terkait.

Dalam Hukum Pidana Islam, penulis meninjau penarikkan kesimpulan

terharap ayat-ayat Al-Qur‟an dan As-Sunnah untuk mencari apakah Islah dapat

berlaku bagi semua tindak pidana, dan dari studi kualitatif bagaimana praktek

islah dilakukan dalam persidangan pidana Islam.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini ada bebrapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

a. merumuskan dan menjelaskan secara utuh mengenai pengertian dan

prosedur Islah dalam hukum Pidana di Indonesia.

b. merumuskan dan menjelaskan secara komperhensif prosedur islah para

pihak dalam penyelesaian tindak pidana dalam perspektif hukum Islam.

c. Menjelaskan kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh

AQJ menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.

11

2. Manfaat Penelitian

Adapun mamfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menambah wawasan keilmuan yang secara

spesifik mengenai kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana

dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

b. Mengetahui dalam perkara apa sajakah islah dapat dilakukan oleh para

pihak dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan studi komparatif untuk

penelitian selanjutnya yang membahas tentang islah dan perdamaian

tindak pidana.

d. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran dalam

merumuskan RUU KUHP di Indonesia mengenai prosedur islah/

perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana dimasa yang akan datang.

D. Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu

Sejumlah penelitian tentang topik Islah telah dilakukan, baik yang mengkaji

secara spasifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung

secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian

mengenai penyelesaian perkara tindak pidana memalui Islah

Karya ilmiah yang di susun oleh Ahmad Ramzy dengan berjudul “Perdamaian

Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Dalam Tesisnya beliau mengatakan

bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara penyelesaian perkara pidana

menurut hukum pidana Islam dan Restorative Justice mengenai tindak-pidana

12

yang dapat dilaksanakan perdamaian, institusinya yang dapat menyelesaikan

perkara pidana secara perdamaian bisa menjadi komparasi untuk sistem peradilan

pidana yang berada di Indonesia sehingga dapat terbangunnya semangat untuk

menyelesaikan permasalahan perdamaian.16

Karya Ilmiah ditulis oleh Alef yang berjudul “Kedudukan Perdamaian Antara

Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Dalam

penelitianya beliau mengatakan bahwa dalam praktek pengadilan, perdamaian

yang dilakukan anatara korban dengan pelaku tindak pidana menjadi bahan

pertimbangan meringankan yang digunakan oleh sebagian besar hakim dalam

menjatuhkan putusanya. Perdamaian yang dilakukan antara korban dan pelaku

tindak pidana tidak dapat mengahapuskan pertanggung jawabanan atau perbuatan

yang telah dilakukan oleh terdakwa meskipun sudah memaafkan terdakwa dan

tidak menuntut terdakwa atas perbuatanya, bahkan meminta petugas untuk

membebaskan terdakwa dari pemidanaan.17

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penulis bermaksud untuk

menulis skripsi mengenai islah, yang menitik beratkan tentang bagaimana

kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana, apakah islah dapat

berpengaruh terhadap putusan hakim baik dalam persidangan hukum positif di

Indonesia maupun hukum pidana Islam. Penulis pun akan menganalisis kasus

pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, yang pada penyelesaian

perkaranya dengan menggunakan upaya permadamain (islah).

16

Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan

Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas

Indonesia, 2012. 17

Alef Musyahadah , Tesis, Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku

Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan. Universitas Diponogoro, 2005.

13

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan

skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari

suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai dasar

penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian

dengan pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode

kualitatif. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model

logika reflektif, yang di dalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses

berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.18

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan

penelitian kualitatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa

data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu data

yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif, data-

data yang berupa bahan hukum terdiri dari :

a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.19

Adapun

bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu : KUHP dan Kitab Fiqih.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan

18

Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi. 19

Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO,

2001), Cet V, hlm.13.

14

hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah

buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang sudah membahas masalah ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20

Bahan

hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer dan sekunder,

seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.

3. Tehnik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan

penelitian kulitatif. Dalam penyajianya, penelitian kualitatif yang khas adalah

dalam teks naratif.21

Dalam melakukan analisis terhdapa sumber dan materi

hukum pidana islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis. Sedangkan dalam

melakukan analisis terhadap materi perundang-undangan pidana khusus dan

doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normative-doktrin dengan

memanfaatkan model-model interpretasi hukum.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama

bertajuk “pendahuluan”. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang

melatar belakangi penelitian ini, dan diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu

(1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan

20

Soejono Soekanto, Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO,

2001), Cet V, hlm.13. 21

Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi.

15

dan mamfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6)

sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul “tinjauan umum tentang tindak pidana”. Bab ini

menyajikan uraian teori mengenai pengertian serta tinjauan hukum mengenai

penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum positif.

Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang

diungkapkan oleh beberapa ahli. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan

berpikir menganalisis hukum pidana nasional. Bab ini terdiri dari atas 2 (dua) sub-

bab utama, yaitu (1) Islah dan perdamaian para pihak, (2) Tindak pidana dan

pemidanaan. Pada sub-bab “Islah dan perdamaian para pihak” memuat 4 (empat)

sub-bab , yaitu (a) pengertian islah dan perdamaian, (b) latar belakang

penyelesaian secara islah, (c) penyelesaian tindak pidana secara islah, dan (d)

efektifitas islah dan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana. Sedangkan

dalam sub-bab kedua (2) “Tindak pidana dan pemidanaan.” memuat 4 (empat)

sub-bab, yaitu (a) pengertian tindak pidana, (b) kategorisasi tindak pidana, (c)

unsur-unsur tindak pidana, dan (d) tujuan pemidanaan.

Bab ketiga berjudul “kedudukan islah dalam hukum pidana Islam”. Bab

ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian, definisi serta tinjauan hukum

mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum

pidana Islam. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara

teori yang diungkapkan oleh beberapa fuqaha. Uraian dalam bab ini juga menjadi

landasan berpikir menganalisis hukum pidana Islam. Bab ini terdiri dari atas 4

(empat) sub-bab, yaitu (1) Devinisi Islah menurut hukum pidana Islam, (2)

16

Urgensi Islah dalam hukum pidana Islam, (3) Penyelesaian tindak pidana secara

islah dalam hukum pidana Islam, dan (4) Efektifitas Islah dalam hukum pidana

Islam.

Bab Keempat berjudul “Penyelesaian kasus pidana anak melalui islah”.

Dalam bab ini diuraikan analisis terhadap kasus pidana AQJ yang diselesaikan

secara islah dengan menerapkan kerangka pemikiran konsep hukum, baik hukum

positif maupun hukum pidana Islam, sehingga dapat dilihat dalam bentuk

komparatif terhadap islah tersebut. Bab ini menyajikan 4 sub-bab, yaitu : (a)

Kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ dan konsep pertanggungjawaban pidana

anak, (b) kedudukan islah dalam penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas oleh

AQJ, (c) Efektifitas islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif

hukum positif, dan (d) Efektifitas Islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ

perspektif hukum pidana Islam.

Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saran-

saran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang telah

dihasilkan, serta memuat saran terkait dengan penelitian selanjutnya.

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Islah dan Perdamaian Para Pihak

a.) Pengertian Islah dan Perdamaian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat,

pengertian islah adalah perdamaian, yakni tentang penyelesaian pertikaian.

Sedangkan pengertian perdamaian adalah penghentian permusuhan, perselihisan,

pertikaian, dsb.22

Islah atau perdamaian, memiliki landasan filosofis dan teologis yang

mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat,

mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat

dengan permaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan.

Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan

melalui meja perdamaian dan perundingan.23

Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku

untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap

kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, islah merupakan pilihan yang menjadi hak

prerogratif dari korban maupun ahli warisnya. Islah merupakan pilihan yang

sifatnya voluntaristik, suka rela dan tanpa paksaan. Kedua belah pihak, baik

22

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 594. 23 A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.

18

korban maupun pelaku sama-sama dalam posisi tidak saling menekan dan

memilih secara bebas jalan menuju islah ini.24

Islah dalam praktiknya adalah bersifat pribadi dan bilateral antara pelaku dan

korban. Dalam hal pelaku dan korban jumlahnya lebih dari satu maka tetap islah

ini dalam koridor perdamaian dua belah pihak. Namun, Islah inipun bersifat privat

atau pribadi dan tidak bisa dilakukan penyamarataan terhadap semua korban atau

pelaku. Sekali lagi bahwa islah adalah pilihan yang sifatnya pribadi antara pelaku

dan korban. Munculnya pemikiran tentang islah sendiri adalah sebuah proses

yang sering didahului dengan perubahan perspektif baik korban ataupun pelaku

dalam mensikapi peristiwa yang terjadi. Kedua belah pihak, baik pelaku maupun

korban, mengalami proses pemahaman tertentu sehingga lebih memilih proses

penyelesaian melalui perdamaian dan memilih untuk bermusywarah dan

memberikan permaafan.25

b.) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah

Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk dalam

ruang hukum publik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara warga

negara dan menitikberatkan kepada kepentingan publik. Secara historis,

hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi/

privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambilalih oleh

kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambilalih oleh

negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap suatu

24

Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003, hlm. 2-3. 25

Ibid

19

perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara, yaitu jaksa penuntut

umum.26

Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik

dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap

orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya

tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun dalam

kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan

sering dilakukan. 27

Setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan

akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik.

Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik tersebut,

diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan

ketidakseimbangan tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh

pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan

juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan,

berarti dirinya harus menjalankan suatu hukuman yang berguna untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dinilai kurang baik dan

membahayakan kepentingan umum.28

Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada

umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi).

Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal

26

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 2. 27 Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang : CV.Agung,

1999, hlm.21. 28

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 3.

20

yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan

tersebut, yakni adalah : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.29

Secara teoritik, model peradilan pidana yang selama ini berkembang dalam

masyarakat sosial, dikenal dalam dua bentuk, yakni model dalam peradilan pidana

(In of Court System) dan model di luar peradilan pidana (Out of Court System).

Model dalam peradilan pidana dimaksudkan model penyelesaian yang bertolak

dari kaidah-kaidah normatif, yaitu kaidah yang secara tekstual normatif telah

disepakati untuk menjadi pedoman dalam proses penanganan perkara pidana, dan

dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal adanya model-model dalam sistem

peradilan pidana, yakni : crime control model, due process model dan family

model. Sedangkan model di luar peradilan pidana (Out of Court System) adalah

model yang dikembangkan dari kaidah-kaidah tradisi dalam kehidupan sosial

masyarakat dan atau praktik penegakan hukum, unutk menyelesaikan persoalan

hukum di luar proses persidangan formal.30

Meskipun pengadilan dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan konflik

yang muncul dalam masyarakat dan bersifat netral, tetapi pengadilan bukanlah

satu- satunya institusi dalam menyelesaikan konflik, karena pihak-pihak yang

berkonflik tidak selamanya menggunakan mekanisme penyelesaian pada badan

peradilan. Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan

di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.31

29

Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1997,

hlm.98 30

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 31 31 Trisno Raharjo, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal

Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, hlm.492 - 519

21

Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian tindak pidana

melalui pengadilan, dikenal dengan istilah win lose solution, di mana akan

terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti

ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak

enak” di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke

tingkat peradilan lebih lanjut atau lebih tinggi. Hal ini pada umumnya dicap

sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat

dihindari walaupun sudah menjadi suatu ketentuan.32

Sehingga banyak dari

masyarakat yang berhadapan dengan hukum lebih memilih jalur di luar

pengadilan, yakni dengan perdamaian (islah).

Dalam konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan

retributif, penderitaan atau kerugian korban telah diabstraksi dan

dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan pada

pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun sepenuhnya menjadi

kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau penderitaan

korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang

hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian

tindak pidana yang menurut pandangan retributif dikonsepsikan sebagai perbuatan

yang melanggar hukum negara. Dengan konsepsi tersebut maka negara, yang

aturan-aturan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku tindak pidana, menempatkan

diri sebagai korban dan juga berhak, melalui aparat penegak hukumnya, untuk

menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada si pelaku kejahatan. Dalam pandangan

32 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm.3-5.

22

retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadap-hadapkan

pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai

pihak yang aturan hukumnya telah dilanggar. Dalam konstruksi hukum pidana

yang demikian, segala keinginan korban yang berkaitan dengan penyelesaian

tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak diakomodasi.

Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan

kepada pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan

pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang

ditujukan kepada pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai

korban. Namun pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali

mengecewakan perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan.33

Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute

Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai

bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara

yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti

negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus,

seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia)

untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak

asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan

putusan yang tepat atau memuaskan semua pihak. Harapan-harapan lain itu

nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani

33

G. Widiartana, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro, 2011, hlm.14

23

melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan

atau Arbitrase itu memakan waktu yang lama, biaya yang tidak kecil,

penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan

pihak-pihak yang bersengketa.34

Adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur ADR

(Alternative Dispute Resolution) adalah bermaksud agar dapat menyelesaikan

konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban. Pendekatan melalui jalur

ADR, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun

dalam perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini

sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995.

ADR ini merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan

peradilan pada posisi mediator.35

Praktik penyelesaian perkara pidana melalui jalur musyawarah antar

pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya merupakan suatu

kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini

dalam praktiknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum.

Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah yang terjadi

menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan

pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang

demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia

saja. Di sejumlah Negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab

34

Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam

dan Hukum Positif, Palembang : 2013 (Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 20:05 WIB) 35

Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

hlm.2.

24

pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan

dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi

pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan

restoratif. Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional

yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian

perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat.36

Untuk lebih jelasnya, keadilan restoratif juga dapat dilihat dalam United

Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, dinyatakan bahwa

restorative justice merupakan sebuah istilah baru terhadap konsep lama.

Pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan masalah

konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat. Karena

pendekatan-pendekatan retributif atau rehabilitatif terhadap kejahatan dalam

tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Oleh karenanya

menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice.

Kerangka pendekatan restorative justice melibatkan pelaku, korban dan

masyarakat dalam upaya untuk menciptakan keseimbangan, antara pelaku dan

korban.37

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti

rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.

Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.

36

Eva Achjani Zulfa, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang

kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana),

Universitas Indonesia. 37

Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

hlm.1-2

25

Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban

dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang

dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui

mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan

lainnya. Hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan konvensional tidak

memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, namun dalam hal restorative

justice, korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah

mereka.38

Model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan memalui

musyawarah yang bertujuan perdamaian, dapat digunakan sebagai model

alternatif atas daras pertimbangan kompleksitas masalah dan pada saat yang sama

untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran hukum pidana itu

sendiri.39

c.) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah

Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul Filsafat

Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, perdamaian dalam perkara pidana

tidak selalu diupayakan layaknya perkara perdata. Karena upaya damai dalam

perkara pidana tidak pernah menjadi komponen yang utama dan tidak menentukan

baik di awal maupun diakhir proses penanganan. Hukum pidana menempatkan

perdamaian di luar pengadilan. Itulah sebabnya filosofi yang melatar belakangi

38

Jecky Tengens, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana

Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. 39

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Huku, Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 37

26

kehadiran peradilan pidana hanya berkisar pada upaya pengawasan sosial melalui

upaya penegakkan hukum materiil, dan melindungi hak-hak individu.40

Paradigma diatas ada benarnya, sebab paradigam dalam hukum pidana

bersifat retributif, di mana hukuman harus mengakibatkan pada si penjahat

kerugian atau penderitaan, atau paling tidak seimbang dengan apa yang diderita

korban. Namun, demikian bukan berarti penyelesaian perkara pidana di luar

peradilan tidak dapat dilakukan. Mengingat dalam hukum pidana sudah dianut

pola semacam itu. Hal ini dapat dilihat di bab VIII buku I KUHP, di mana ada

alasan penghapusan penuntutan, meskipun hanya terbatas pada tindak pidana

pelanggaran yang semata-mata diancam dengan denda.41

Dalam penyelesaian tindak pidana melalui islah/ perdamaian, dapat

dilakukan di luar pengadilan (konsep restorative justice). Hal itu dapat memutus

perkara menjadi tidak sampai dalam tahap persidangan, karena para pihak telah

berdamai atau telah menemukan sebuah kesepakatan sebelum kasus di

persidangkan. Namun, tentu hal itu hanya bisa terjadi pada delik tertentu. Pada

kasus tindak pidana biasa maupun pidana berat, perdamaian tidak dapat

menghentikan perkara kedalam persidangan, namun hal itu dapat menjadi

pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan.42

Hakim mempunyai wewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan

hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu

memenuhi rasa keadilan masyarakat saat ini, dengan mencakupkan pertimbangan

40

Soedjono Dirdjosisworo, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,

Bandung : Armico, 1984, hlm. 21 41

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 35 42

Wawancara kepada Alfitra, Jum‟at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.

27

hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek

kehidupan hukum.43

Dalam penyelesaian tindak pidana dengan konsep keadilan Restoratif,

setelah adanya penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama MAHKUMJAKPOL

tentang Perma Nomor 2 Tahun 2012 antara Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik

Indonesia dan Kepolisan Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara

Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

dilakukan agar lembaga-lembaga hukum terkait dapat berkordinasi dengan baik

untuk menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dan dapat

mensosialisasikannya untuk mengadili dan memutus perkara-perkara yang

berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan dan perkara-perkara yang dijatuhi

hukuman denda.44

Namun dalam praktiknya, tidak hanya tindak pidana ringan ataupun perkara-

perkara yang dijatuhi denda saja yang melakukan perdamaian atau proses islah di

luar peradilan pidana. Hal ini dapat terjadi dengan adanya diskresi kepolisian45

,

yang berwenang untuk memilih tindakan apa yang pantas kepada suatu perkara.46

43

Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9 44

Anistia Retenia Putri Siregar, Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013. 45

Diskresi adalah kebijaksanaan kepolisian dalam hal memutuskan sesuatu tindakan tidak

hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku, tetapi

juga atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan menurut penilaiannya sendiri. 46

Wawancara dengan Dr. Alfitra, SH, MH

28

Menurut pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang diskresi kepolisian,

sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada polisi sebagai penyidik

untuk menerapkan filosofi restorative justice dalam penanganan perkara pidana.

Dengan diskresi ini, penyidik polri dapat memilih berbagai tindakan dalam

menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, dalah satu tindakan yang dapat

dilakukanya adalah mengimplementasikan restorative justice dengan cara

mendudukan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan

menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggung jawaban.47

Sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum

dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan hukum

hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan

kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum

oleh aparat penegak hukum ditandi dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di

masyarakat. Kepolisian sebagai alat Negara yang berperan dalam menegakkan

hukum diharapkan dapat merespons hal ini dengan menggunakan mekanisme

restotarive justice.48

Kepolisian dalam melaksanakan tugas harus selalu berpedoman pada hukum

dan mengenakan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran, namun kepolisian

juga dimungkinkan melakukan tindakan pembebasan seorang pelanggar dari

proses hukum, seperti adanya kewenangan diskresi kepolisian yang tertuang pada

Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

47

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan

Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hal.10. 48

Ibid, hlm. 1

29

Negara Republik Indonesia, yang bunyi pasalnya adalah untuk kepentingan umum

pejabat Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud

pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara RI.49

Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model

lembaga musyawarah untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Dengan

demikian, penegak hukum dapat menjadikanya sebagai solusi untuk mengatasi

kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam

mengimplementasikan keadilan restoratif. Polisi dapat melakukan hal ini melalui

hak diskresi yang dimilikinya karena hal itu merupakan kelengkapan dari sistem

pengaturan oleh hukum itu sendiri.50

Tugas polisi sebagaimana yang diatur dalam bab IV KUHAP memiliki

wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana,

melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang

tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya, melakukan penangkapan,

penahanan, penggeledahan dan penyitaan, memeriksa dan menyita surat,

memanggil orang sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli,

mengadakan penghentian penyidikan, serta mengadakan tindakan lain menurut

49

Bram Wijaya, dkk.Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian

Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum

Fakultas Brawijaya, hlm.3 50

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan

Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hlm.14.

30

hukum yang bertanggung jawab.51

Hal senada juga dijelaskan dalam UU No.2

tahun 2002 tentang kepolisian.

Dengan demikian, kepolisian itu tidak perlu hanya memainkan peran yang

bersifat represif. Di lapangan, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat

represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan

bahkan jauh lebih kecil dengan pekerjaan yang pre-emptif. Pola yang demikian itu

mengisyaratkan bahwa cara kerja kepolisian bukan seperti pemadan kebakaran

yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului menculnya

kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emptif ketimbang

represif. Mengingat peran yang dimainkan oleh kepolisiaan secara komprehensif

seperti itu (represif-preventif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok

dikembangkan oleh kepolisian (dan tentunya perangkat hukum yang lainya)

dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah restorative justice.52

Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan

keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang mencarei

keadilan. Peran kepolisian dalam model peradilan restorative adalah sebagai

“fasilitator” dan bukan semata-mata sebagai “penghukum” (penegak hukum).

Dengan demikian hasil yang diharapkan dari proses peradilan restorative adalah

menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win

solution.

51

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011,

Cet.VII. hlm. 236. 52

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan

Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.7

31

Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dalam perkara

pidana dapat dilakukan dengan pihak ketiga yaitu kepolisian sebagai fasilitator

untuk korban dan pelaku kejahatan agar bisa bermusyawarah dan mengupayakan

perdamaian di luar pengadilan.

Meskipun rumusan restorative justice itu belum ada dalam perundang-

undangan Indonesia namun tidak berari tidak ada dasar hukumnya. Dasar hukum

yang dapat dirujuk adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI, UU

Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang

kekuasaan kehakiman, UU Nomor 13 tahun 2006 tentang LPSK, Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan

Bantuan kepada Saksi dan korban. Juga sila ke-4 Pancasila yaitu prinsip

musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah.53

Selain itu, restorative justice sudah secara jelas tertuang dalam UU No.11

tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, dimana proses peradilan tersebut wajib

mengedepankan restorative justice.54

Proses restorative justice ini dilakukan

melalui musyawarah dengan melibatkan anak (baik anak sebagai korban, pelaku,

maupun saksi). Proses ini dilakukan oleh penyidik (kepolisian) di luar pengadilan

atau sebelum perkara di persidangkan.55

53

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif

Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, Agustus

2013, hlm.10 54

Aqsa Alghifarri, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta:

LBH Jakarta, 2012, hlm.15 55

Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

32

d.) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Dalam berbagaimacam wacana aktual, restorative justice atau keadilan

restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana di luar

pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem ini,

namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses

peradilan pidana yang konvensional.56

Ada beberapa manfaat diterapkanya retributive justice dalam sistem

peradilan suatu Negara. Manfaat pertama adalah bagi korban dan pelaku. Konsep

ini berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus membayar kesalahanya

melalui pemenjaraan. Adapun korban sering hanya “dimamfaatkan” sebagai saksi.

Setelah proses persidangan selesai korban akan ditinggalkan sendiri dengan segala

penderitaan dan kerugiannya. Sebaliknya, restorative justice justru akan lebih

memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa 80% korban

merasakan proses yang lebih fair dalam restorative justice. Mereka merasa lebih

less upset about the crime, less apprehensive and less afraid of revictimization

(kurang tau tentang kejahatan, kurang memprihatinkan dan kurang takut

reviktimisasi).57

Mamfaat kedua adalah bagi komunitas sekitarnya. Restorative justice tidak

hanya merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk

yang dirasakan komunitas. Program perdamaian yang menjadi icon restorative

justice diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan

56

Ibid. hlm. 08 57

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif

di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus

2013, hlm.12

33

masyarakat terdampak. Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah narapidana dan

residivis, dan manfaat keempat adalah menghemat biaya dan waktu.58

Realitas praktik penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui

prosedur perdamaian, terlihat bahwa pola penyelesaian yang demikian dirasa lebih

sesuai dengan adat istiadat dan atau nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya penyelesaian kasus-kasus

kriminal tertentu melalui prosedur perdamaian (conciliation procedure) dan atau

penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian atau ADR,

atau mediasi penal, memang dapat dibenarkan, tetapi bukan berarti dapat

dilakaukan dengan serta merta, tetapi harus memperhatikan kriteria yang ada.59

Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek

sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya

perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan

pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan

kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek

sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku,

latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah

pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan

atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada

korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.60

58

Ibid. 59

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40 60

Ibid.

34

Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan

sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan

masyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat. Restorative justice

menawarkan suatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus

kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi

hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian

perkara pidana yang menguntungkan.61

Ada beberapa keuntungan dengan

menjadikan kedilan restoratif sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara

pidana. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri

permasalahan hukumanya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara

berkurang. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem

peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan menjadi berkurang.

Dengan begitu maka beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem

peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan

pun akan berkurang.62

Jika ingin dibandingkan sistem peradilan pidana dengan restorative justice,

maka perbandingannya adalah demikian63

:

61

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan

Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04 62

Ibid, hlm.05 63

Ibid, hlm. 04

35

SPP RJ

Tujuan Menanggulangi dan Mengendalikan

Kejahatan

Mencari penyelesaian atas

tindak pidana yang terjadi

Tolok ukur

keberhasilan

Jumlah perkara yang diproses dan di

pidana yang dijatuhkan

Kesepakatan para pihak

dapat dijalankan

Tujuan akhir Mengintegrasikan pelaku kembali ke

masyarakat untuk menjadi warga yang

baik

Pemulihan hubungan social

antar stake holder

Bentuk

penyelesaian

Pembalasan, pemaksaan, penderitaan

bagi pelaku

Pemaafan, sukarela,

perbaikan untuk semua.

B. Tindak Pidana dan Pemidanaan

a.) Pengertian Tindak Pidana

Mendefinisikan tentang pengerian hukum tindak pidana tidaklah mudah. Hal

itu disebabkan para ahli memberikan pengertian hukum tindak pidana akan

berkaitan dengan cara pandang, batasan, dan ruang lingkup dari pengertian

tersebut. Seorang ahli hukum pidana yang memberikan pengertian tentang hukum

pidana tentu akan berimplikasi pada batasan dan ruang lingkup hukum pidana, hal

itu tentu saja akan berbeda dengan ahli hukum yang lainnya. Tidak mengherankan

apabila dijumpai banyak sekali pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh

para ahli hukum pidana yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.64

64

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.1

36

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar suatu larangan yang diatur

oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.65

Kata tindak pidana

berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar

feit, terkadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin

delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara anglo-saxon menggunakan

istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.66

Pada dasarnya istilah strafbaar feit diuraikan secara harfiah yang terdiri dari

tiga kata, yaitu Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, lalu Baar

yang diterjemahkan dengan dapat dan boleh, serta kata feit yang diterjemahkan

dengan kata tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar

feit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam

kajian selanjutnya tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum bukan

perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar

aturan hukum.67

Tindak pidana menurut undang-undang diartikan sebagai perbuatan

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perturan perundang-undangan

dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Dengan demikian perbuatan yang dituduhkan haruslah perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh suatu perturan perundangn-undangan.68

Adapun istilah yang dipakai dalam hukum pidana sebagaimana yang ditulis

dalam buku Moeljatno, yaitu „tindak pidana‟. Istilah ini muncul dari pihak

65

Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I

Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28 66

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 86 67

Ibid. hlm. 87 68

Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005, hal .1

37

kementerian Kehakiman, istilah ini sering dipakai dalam perundang-undangan.

Meskipun kata „tindak‟ lebih pendek dari „perbuatan‟ tapi „tindak‟ tidak

menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan

keadaan konkrit, sebagaimana hanya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa

tindak adalah kelakukan, tingkah-laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani

seseorang.69

Oleh karena tindak sebagai kata tidak terlalu dikenal, maka di dalam

perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-

pasalnya, maupun dalam penjelasan undang-undang tersebut, hampir selalu

dipakai pula kata perbuatan.70

Selanjutnya, berikut adalah pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli

hukum. Menurut Moeljatno mengartikan hukum tindak pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai acaman maupun sanksi pidana tertentu bagi siapa

saja yang melanggarnya.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada seseorang yang telah

melakukan larangan-larangan, sehingga dapat dijatuhi atau dikenakan pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan bagaimana cara pemidanaan itu dapat dilakukan apabila orang

yang diduga telah melanggar ketentuan yang berlaku.71

69

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,

hlm.55. 70

Ibid. 71

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 2

38

A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena

“perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.72

Ia

menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum

dipakai sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin Delictum). Memang jika kita

perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan juga istilah delik di

samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan

“perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno

Adji, di samping menggunakan islitlah “perbuatan pidana” juga menggunakan

islitalh “delik”.73

Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang

dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau tindak pidana adalah kelakuan

yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.74

Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah

dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana

itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit,

yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act

berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.75

Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai

istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh

72

Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005, cet.I.

hlm.96 73

Ibid. 74

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet II, hlm. 88 75

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005, cet I,

hlm. 96

39

istilah yang mewakili, yaitu 1) tindak pidana, 2) peristiwa pidana, 3) delik, 4)

pelanggaran pidana, 5) perbuatan yang boleh dihukum, 6) perbuatan yang dapat

dihukum, dan 7) perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang

dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang

diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.76

b.) Kategorisasi Tindak Pidana

Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis

perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas

kejahatan dan pelanggaran.77

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP

kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).

Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal

KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.78

Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,

terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau

tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undang-

undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala

in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat

perbuatan tesebut memang jahat.79

76

M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,

Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6 77

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101. 78

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, Cetakan Keenam,

2000. hlm.71 79

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101

40

Sebaliknya, pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan

yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet yang

menentukan demikian. Namun, sejak sebelum Wetbook v. Strafrecht mulai

berlaku, pandangan seperti itu telah ditentang. Hal itu disebabkan bahwa adanya

pelangggaran juga sudah ada sebelum adanya ketentuan wet, yang memang sudah

dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.80

Pembagian delik atau tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini

muncul dalam WvS (KUHP Belanda) pada tahun 1886, yang kemudian turun ke

KUHP Indonesia pada tahun 1918.81

Pembagian delik kejahatan dan delik

pelanggaran ini menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan

sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah

dianggap seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai

delik undang-undang, yang artinya setelah tercantum dalam undang-undang maka

hal tersebut dapat dipandang sebagai delik.82

Manurut Moeljatno, KUHP di Indonesia hanya membagi delik kejahatan

dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau entengnya pidana saja.83

Selain

daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi delik kejahatan adalah lebih

berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa84

:

80

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.

hlm.71 81

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,

hlm. 106 82

Ibid. 83

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya,

2000,hlm.72 84

Ibid.

41

1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja

2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau

kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan

jika menghadapi pelanggaran maka hal itu tidak perlu.

3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54). Juga

pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).

4. Perihal tenggang daluarsa, baik hak untuk menentukan maupun hak

penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.

5. Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda untuk

pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah

daripada pidana berat (pasal 65, 66-70).

Pembagian tindak pidana pun tidak hanya terbagi dalam delik kejahatan dan

pelanggaran, tindak pidana pun dikategorisasikan dalam delik materiil dan delik

formil. Yang pertama adalah perbuatan pidana yang dalam perumusanya

dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana formil adalah

perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanya perbuatan

yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya, seperti

yang tercantum dalam pasal 362 KUHP dan pasal 160 KUHP. Sedangkan

perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya

dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap

telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah

terjadi. 85

85

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.102.

42

Selain kategorisasi di atas, pembagian tindak pidana juga dapat dibedakan

atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang dalam

penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau

dirugikan. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaraktkan adanya

pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan

penggelapan.86

c.) Unsur-unsur Tindak Pidana

Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari atas unsur-

unsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat

yang ditimbulkan karena hal itu, yakni suatu kejadian dalam alam lahir (kejadian

yang nyata).87

Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik terdiri dari dua

golongan, yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur

objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang semuanya

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.88

Adapun unsur-

unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur-unsur

Subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap

suatu perbuatan yang dilakukannya.89

86

Ibid. hlm.103 87

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,

hlm.58 88

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa,

t.th), hlm. 65 89

P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang

Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992, hlm. 29

43

Menurut Mahrus Ali, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana, ketika

dikatakan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana bagi yang melakukanya, maka unsur-unsur perbuatan

pidana meliputi beberapa hal, yaitu90

:

1. Perbuatan itu berwujud suatu kelakukan, baik aktif maupun pasif, yang

mengakibatkan timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.

2. Kelakukan yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam

pengertianya yang formil maupun materiil.

3. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan

dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait

dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan

pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya, berkaitan

dengan diri pelaku delik, tempat terjadinya delik, keadaan sebagai syarat

tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Moeljatno, ia mengatakan bahwa yang

merupakan unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah adanya kelakuan

dan akibat perbuatan, adanya hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,

adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana, adanya unsur melawan

hukum yang objektif maupun unsur yang melawan hukum subyektif.91

Dalam bukunya pun Moeljatno kembali menekankan, bahwa sekalipun dalam

rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa

perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan

90

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.100. 91

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.

hlm.63

44

pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir,

namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat

melawan hukum yang subjektif.92

Dalam hukum pidana, istilah “sifat melawan hukum” adalah satu frasa yang

memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum

umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formil, dan sifat

melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat

umum dapat dipidana suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum khusus

biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Sifat

melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu

perbuatan.93

Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, adakalanya perkataan

“melawan hukum” dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik

dan adakalanya tidak. Jika perkataan “melawan hukum” dirumuskan dan

dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti

penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidananya orang

yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang

diatur dalam undang-undang.94

Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal dua

jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat

melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan

92

Ibid. 93

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.142. 94

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

Malang : UUM Press, 2008, hlm. 211.

45

hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik

dalam undang-undang.95

Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil

berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya

didasarkan pada undang-undangn saja, atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga

didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan dikatakan

telah memenuhi unsur melawan hukum materiil apabila perbuatan itu merupakan

pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup

dalam masyarakat.96

d.) Tujuan Pemidanaan

Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan untuk diri sendiri tetapi

ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.

Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.97

Teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan dalam sistem

hukum Eropa Kontinental yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.

Sedangkan teori pemidanaan dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu teori

retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.98

Dalam

karya tulis ini, penulis akan lebih menjelaskan teori tujuan pemidanaan Eropa

Kontinental.

95

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.45 96

Ibid. hlm.147 97

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,

hlm. 30 98

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.186.

46

1. Teori Absolut

Teori absolut bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik

masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.99

Teori

absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan

yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada

terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam

hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu

kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan

untuk memuaskan tuntutan keadilan.100

Teori ini mirip dengan teori retribution

dalam Anglo Saxon.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang

praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung

unsur-unsur untuk dijatuhkanya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena

dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan mamfaat menjatuhkan

pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.

Maka drai itu, teori ini disebut teori absolut, karena penjatuhan pidana merupakan

hal yang mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi

keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.101

99

Ibid. hlm.187. 100

Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998, hlm. 49. 101

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,

hlm. 33

47

2. Teori Relatif

Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan

pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana

(special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa

mendatang, serta secara umumnya bertujuan untuk mencegah masyarakat luas

(general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti

kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainya.102

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib

masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.

Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu : menakutkan, memperbaiki, atau

membinasakan. Prevensi ini dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan

khusus. Prevensi umum yaitu bertujuan untuk menghendaki agar orang-orang

pada umumnya tidak melakukan delik.103

Sedangkan prevensi khusus, yang dianut

oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan

prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) untuk mengulangi

perbuatanya, atau mencegah bakal pelanggar melasanakan perbuatan jahat yang

direncakanaya.104

3. Teori Gabungan

Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran

yang terdapat dalam teroti absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa

penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga

102

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.190. 103

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,

hlm. 34 104

Ibid. hlm.37.

48

dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke

masyarakat.105

Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan

pidana, yaitu106

:

1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikanya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 5).

Dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan

untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dengan demikian dapat dikatan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP

merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha

prevensi, koreksi, kedamain dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah

pada terpidana.107

105

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.191 106

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,

hlm. 38 107

Ibid, hlm. 39

49

BAB III

KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam

Dalam Islam perdamaian dikenal dengan kata al-islah yang artinya

memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan,

berusaha mewujudkan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan

orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, dan melakukan perbuatan

baik berperilaku sebagai orang suci.108

Secara bahasa, akar kata islah berasal dari lafazh صلح –يصلح –حب yang صال

berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata islah merupakan bentuk

mashdar dari wazan إفعبل yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan

mendamaikan, (penyelesaian pertikaian). Kata صال ح merupakan lawan kata dari

إ صلح Sementara kata .(rusak) فسبد / سيئة biasanya secara khusus digunakan untuk

menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. 109

Iṣ lah ialah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan

antara dua pihak yang sedang saling berperkara. Iṣ lah merupakan sebab untuk

mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian.

Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, maka

dari itu islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran, menghilangkan

hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan, serta yang menimbulkan

108 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997, hlm. 740 109

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008, hlm.13.

50

sebab-sebab yang menguatkan, yakni persatuan dan persetujuan, hal itu

merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.110

Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al‟afwu, bahkan ada

beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al‟afwu. Namun, dari Islah

dan al‟afwu berbeda secara definisi maupun konsep. Secara ringkas dapat

disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar

pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh

pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian di

antara kedua belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara

kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang

masih memungkinkan dilakukan qisash. Dalam konteks jinayat dan lebih khusus

lagi persoalan pembunuhan, secara implisit menarik satu garis pembeda antara

al‟afwu dan ishlah dengan melihat arti makna inisiatif kompensasi itu berasal.

Jikalau inisiatif pemberian kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal

dari kedua belah pihak, maka itu dikatakan ishlah (perdamaian). Sedangkan jika

inisiatif pemberian kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya

pihak korban), maka yang demikian itu masuk dalam kategori al‟afwu

(pemaafan).111

Pembedaan antara islah dan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya terdapat

pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktik, sangat mungkinkan terjadi

110

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

455 111

Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif

Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia

2012, hlm. 27-28.

51

persamaan teknis dalam pelaksanaannya sebagai satu metode penyelesaian suatu

jarimah. Bahwa islah merupakan konsep perdamaian secara umum untuk masalah

keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula dalam

bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan para pihak.

Sedangkan al‟afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis berupa

pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan

konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat (kompensasi) atau

tanpa kompensasi.112

Secara istilah, islah bisa diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya

dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, islah

dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari

keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik

lawan dari perbuatan tidak baik.113

„Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua

amal perbuatannya dan segala urusannya. Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan

al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata islah mempunyai arti

mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus serta mengembalikan fungsinya

untuk dimanfaatkan.114

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa, ada puluhan ayat dalam Al-Qur‟an

berbicara tentang kewajiban melakukan salah dan islah. Dalam kamus-kamus

bahasa Arab, kata ṣ alah diartikan sebagai antonym dari kata fasad (kerusakan),

112

Ibid. 113

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008. hlm.14 114

Ibid

52

yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah

digunakan oleh Al-Qur‟an dalam dua bentuk: Pertama islah yang selalu

membutuhkan objek; dan kedua adalah salah yang digunakan sebagai bentuk kata

sifat. Sehingga, salah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada

sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan

kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga

tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk

menghadirkan nilai tersebut dan hal yang dilakukannya itu dinamai islah.115

b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam

Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu

keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap

sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat

dipulihkan. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai

bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara,

baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-

forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.116

Islah dalam Islam merupakan satu konsep yang utuh dalam penyelesaian suatu

perkara. Secara mendasar terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses

islah, yang pertama adalah pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak,

yaitu pihak yang berkonflik dalam hal kejahatan dan harus ada korban serta

115

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

464 116

Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk

Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004, hlm. 18

53

pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, islah merupakan

proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan antara hak dan

kewajiban.117

Terdapat anggapan selama ini bahwa dalam suatu perkara atau kasus hukum,

terutama pada kasus-kasus pidana, pilihan penyelesaian perkara melalui peradilan

menjadi pilihan utama, karena itulah satu-satunya penyelesaian perkara yang

dianggap legal di negeri ini. Namun demikian, salah satu alternatif penyelesaian

perkara yang dianggap lebih mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang

panjang untuk selesainya sebuah perkara yaitu dibuatnya lembaga pemaafan.

Lembaga pemaafan dapat menangani segala jenis jarimah dalam Islam, maka

dapat dikatakan bahwa ditetapkannya lembaga pemaafan dalam sistem hukum

pidana nasional menjadi sangat urgen, bukan saja karena lembaga ini diakui

dalam hukum tetapi juga karena keberadaan lembaga pemaafan ini akan

mengurangi masalah yang dihadapi oleh para pihak yang bertikai.118

Pandangan bahwa Islam sangat menekankan penyelesaian perkara di luar

mekanisme peradilan, juga dapat ditelusuri dari berbagai konsep dalam Al-

Qur‟an. Yakni konsep islah (perdamaian), sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-

Hujurat/49 : 9.119

117

Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif

Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia

2012, hlm.31. 118

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,

hlm.450 119

Ibid, hlm. 455

54

“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai, maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya

terhadap yang lain maka tidaklah kelompok yang berubuat aniaya itu sehingga ia

kembali keoada perintah Allah, jika ia telah kembali maka damaikanlah antara

keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai

orangorang yang berlaku adil.”

Ayat di atas menggunakan kata (إن). Kata ini untuk menunjukan bahwa

pertikaian antar kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang

terjadi. Karena orang-orang itu adalah orang yang beriman juga dan memiliki

tujuan yang sama. Kata iqtatalu ( ) terambil dari kata qatala ( إ قتتلوا قتل ). Ia dapat

berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Dengan demikian, perintah fa

qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikn perangilah, karena

memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh.

Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut – lebih-lebih dalam konteks ayat

ini – adalah tindaklah. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman

agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan

nampak. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkanlah api sebelum

menjalar.120

Kata iqtatalu ( إقتتلوا ) berbentuk jamak, sedang tha‟ifatani (طبءفتبن) berbentuk

dual. Sepintas mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian

kenyataanya. Hal tersebut karena – menurut sementara pakar – di sebabkan karena

120

Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 13,

Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 244

55

jika terjadi peperangan atau perkelahian antara dua kelompok, yang akhirnya

menjadi lebih dari dua orang, tetapi tetap itu menjadi dua pihak. Kata ashlihu

.(صلح) yang asalnya adalah shaluha (أصلح) terambil dari kata ashlaha (أصلحوا)

Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan anonym kata fasada ( فسد )

yang artinya rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluha

berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang ishlah

adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu (إصالح)

sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar manusia,

maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan. Apabila terjadi kerusakan,

maka hal ini menuntut adanya islah, yakni perbaikan agar keharmonisan pulih,

dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemashlahatan.121

Ayat di atas merupakan landasan hukum untuk memaafkan tindak pidana Al-

Baghyu (pemerontakan). Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk

mendamaikan. Namun jika salah satu kelompok dari dua golongan masih

memberontak dan melampaui batas maka diperbolehkan untuk memerangi mereka

hingga mereka kembali jalan yang benar. Namun, pemberontakan yang dimaksud

ialah bahwa pemberontakan hanya dilakukan kepada kepala negara yang sah dan

berdaulat. Apabila dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu

negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak

disebut pemberontakan.122

Selain dasar hukum perdamaian dan pemaafaan di atas, dasar hukum

perdamaian juga tertera dalam hadis Nabi SAW dari Sahl bin Sa'ad ra : “bahwa

121

Ibid. hlm. 244 -245 122

Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.66-67

56

sesungguhnya penduduk Quba berperang-perangan (berkelahi) sampai mereka

berlempar-lemparan dengan batu. Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw,

Beliau bersabda: "marilah kita pergi ke sana dan kita damaikan mereka".

(HR.Imam Bukhari, Kitab Shahihul Bukhari, Terjemah, Juz III, hal 76, no

1248).123

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui doktrin Islam tentang penyelesaian

perkara adalah penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara pihak-pihak

yang berperkara tanpa harus melalui proses hukum di depan hakim pengadilan.

Hal-hal yang saat ini baru muncul dan menunjukkan kekurangan dari sistem

peradilan konvensional, sebenarnya telah disadari dalam Islam sehingga

dianjurkan untuk tidak terburu-buru membawa setiap perkara ke pengadilan.

Karena jiwa yang telah didoktrin dengan ajaran pemaafan merupakan jiwa yang

menjadi tujuan setiap muslim untuk mencapai ketaqwaan, maka diyakini perkara

itu dapat diselesaikan di antara pihak-pihak berperkara. Doktrin Islam tentang

lembaga alternatif penyelesaian perkara pidana bahkan telah merupakan hukum

postif yang berlaku dalam negara dan masyarakat Islam mendahului doktrin

sistem hukum manapun. Lembaga itulah yang dikenal sebagai lembaga pemaafan

yang terukir dalam sejarah awal Islam.124

123

Misnawati Mistiah, Samudrailmu.blogspot.com, blog ini diakses pada 10 Desember

20014 pukul 19.30 WIB 124

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm

460.

57

c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam

Salah satu ketentuan mengenai hubungan antar orang perorang adalah

mekanisme penyelesaian konflik ketika manusia menghadapi sengketa hukum.

Al-Quran mengatur proses penyelesaian sengketa ini melalui jalur pengadilan

maupun di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur non

pengadilan dapat dilakukan di antaranya oleh seorang hakam (Pihak ketiga).125

Ḥakam ini berfungsi sebagai penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang

sedang berperkara. Istilah teknis penyelesaian perkara non-litigasi, ḥ akam sejajar

dengan mediator atau arbitator.126

Menurut Amin Suma, salah seorang anggota tim revisi KUHP, beliau pernah

menyatakan bahwa salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam fikih

jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa

bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga

korban. Ketika diwawancarai oleh Nanang Shaikhu dari UIN Online, Amin Suma

mengatakan “Saya pernah menjadi tim perumus RUU KUHP. Saya memaparkan

bahwa salah satu institusi dalam pidana Islam terdapat “pemaafan”. Institusi ini

setahu saya adalah khas milik hukum pidana Islam, dalam hukum pidana lain

tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang yang melakukan pembunuhan tetapi

jika pihak keluarga korban memaafkan, maka ia bebas sama sekali dari hukum.

125

Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH

UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 126

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

461.

58

Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian, tetap perbuatanya harus

diproses.127

Penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam dapat dilakukan

melalui lembaga “pemaafan” dengan menghadirkan Hakam di antara pihak yang

sedang berperkara. Dalam kamus Munjid disebutkan bahwa, “arbitrase” dapat

disepadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata

“hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai

pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama

dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yaitu pengangkatan seseorang atau lebih

sebagai wasit oleh dua orang yang berperkara atau lebih, guna menyelesaikan

perselisihan perkara mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut

dengan “hakam”.128

Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut istilah

fiqih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang

mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan perkara para pihak yang

bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian

“tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah

memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia dengan

ucapan yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan pengertian “tahkim”

menurut ahli hukum dari kelompok Syafi‟iyah yaitu memisahkan pertikaian

127

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

450. 128

Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH

UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB

59

antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan

menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilakukanya.129

Hakam dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 35 :

“Dan jika kamu khawatir persengketaan diantara keduanya, maka

kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari

keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya

Allah member taufik kepada suami-istri-mu iyu. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal,

apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami-istri yang

bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka

hakam dan, dengan begitu, mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan

kemashlahatan, baik disetujui oleh para pihak maupun tidak. Pendapat ini juga

dianut oleh sejumlah sahabat Nabi SAW, juga kedua imam mazhab Malik dan

Ahmad Ibn Hanbal.130

Meskipun konsep tahkim, al-hakam, dan hakamain, dalam Al-Qur‟an lebih

mengacu pada perkara perdata, yaitu perceraian, tetapi dalam perkembangannya,

ternyata konsep tersebut juga digunakan dalam perkara-perkara yang terkait

dengan pidana. Seperti, perkara yang terjadiantara Ali bin Abi Talib dengan

Muawiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terjadinya perang Siffin

129

Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH

UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 130

Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 2.

Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm.522.

60

diselesaikan dengan sebuah mekanisme yang dikenal dalam sejarah sebagai

“tahkim”.131

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan

dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,

hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang

mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu

adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang

melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Menurut Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan

bahwa Allah mewajibkan qisash jika - wahai keluarga terbunuh- menghendakinya

sebagai sanksi akibat pembunuhan. Tetapi pembalasan itu harus melalui pihak

yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka,

hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Jangan menuntut seperti adat

Jahiliah, membunuh orang merdeka walau yang terbunuh adalah hamba sahaya,

jangan juga menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh

secara tidak sah hanya seorang, karena makna qisash adalah “persamaan”. Tetapi

131

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hal.

455.

61

jika keluarga teraniaya (korban) ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi

itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.132

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya

sekemanusiaan, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik,

dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat yakni tebusan kepada yang

memberi maaf dengan cara yang baik pula. Jangan sekali-kali yang memaafkan

menuntuk tebusan yang tak wajar. Yang demikian itu, adalah ketetapan hukum

tersebut, yakni suatu keringanan dari Tuhan kamu agar tidak timbul dendam atau

pembunuhan beruntun, ia juga merupakan rahmat bagi keluarga korban dan

pembunuh.133

Jarimah qisash dalam fiqih jinayah ada 2, yaitu qisash karena melakukan

jarimah pembunuhan, dan qisash karena melakukan jarimah pengaiayaan. Adapun

jarimah pembunuhan menurut ulama fiqih terbagi dalam 3 kategori, yaitu

pembunuhan sengaja, pembunuhan semi-sengaja dan tersalah.134

Adapun sanksi hukuman qisash hanya berlaku bagi tindak pidana

pembunuhan yang pertama, yakni pembunuhan sengaja. Adapun dua jenis

pembunuhan yang lain sanksinya dalah diyat. Demikian juga sanksi pembunuhan

sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban, sanski hukumanya juga berupa

diyat. Mengenai jumlah diyat yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana adalah

berupa diyat berat, ataupun diyat ringan. Perbedaan kedua diyat tersebut terletak

pada jenis dan umur unta, tetapi jumlah untanya tetap sama baik diyat ringan

132

Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 1,

Jakarta : Lentera Hati, 2007, hal. 393 133

Ibid. 134

Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.5-7.

62

maupun diyat berat, yakin sama-sama 100 ekor unta. Untuk diyat ringan, hanya

terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain berumur 1-2 tahun, 20

ekor yang lain umurnya 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20 ekor

lagi berumur 4-5 tahun. Sedangkan diyat berat terdiri dari tiga kategori terakhir di

atas ditambah 40 ekor unta yang sedang mengandung atau bunting.135

Kasus pidana yang secara jelas dapat diserahkan kepada lembaga pemaafan

ini, adalah jarimah pembunuhan, sebab kasus itulah yang disebutkan secara tegas

dan langsung dalam Al-Qur‟an, yang memberikan hak kepada keluarga korban

untuk menentukan jenis hukuman apa yang diberikan kepada pelaku tindak

pidana. Namun ada Hadis Nabi saw. yang menunjukkan bahwa kasus-kasus

pidana yang lain pun dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga pemaafan

ini.136

Dalam wewenangnya sebagai lembaga pemaafan, hendaknya melihat jarimah

apa yang menjadi pertikaian di antara para pihak. Dalam hukum pidana Islam,

dikenal tiga macam jarimah (tindak pidana), yaitu jarimah Hudud, Qisash, dan

Ta‟zir. Jarimah sendiri menurut bahasa, berasal dari kata Jarama yang artinya

berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Imam

al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat syari

(mahzurat syar‟iyyah), yang diancam oleh Allah SWT dengan sanksi had atau

ta‟zir.137

135

Ibid. 136

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

456 137

Ibid. hlm. 456.

63

Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya „uqubah

(hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan (jani) meninggal

dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu

saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus tindak pidana

qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman terhadap hartanya tetap

harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah

pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur jika para

pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar

pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari pada

diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam

perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat,

karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat

gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau walinya. Adapun dalam

perkara hudud tidak boleh ada maaf, karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang

diberikan, baik itu diberikan oleh korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah.138

Secara bahasa, lafal hadd atau hudud berarti pencegahan, dan yang dimaksud

dengan hudud Allah adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena dilarang.

Jarimah Qisash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman Qisash

atau diyat. Baik Qisash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah

ditentukan oleh syara‟. Perbedaan qisash dengan hukuman hadd adalah bahwa

hadd merupakan hak Allah (masyarakat), sedangkan qisash dan diat adalah hak

manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana

138

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008. Hlm. 63.

64

dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah “suatu hak yang manfaatnya kembali

kepada orang tertentu”. Pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman

tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.

Sedangkan, jarimah takzir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman takzir.

Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pelajaran atau

menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagaimana dikemukakan

oleh imam Al-Mawardi bahwa “Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa

(tindak pidana) yang belum di tentukan hukumannya oleh syara‟.139

Ta‟zir adalah bentuk masdar dari kata yang secara etimologis berarti يعزر -زرع

نصره yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti , الرد والمنع

menolong dan menguatkan. Hal ini serupa dalam firman Allah SWT berikut :

Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,

menguatkan (agama)-Nya, membersarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di

waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath : 9).140

Kata ta‟zir dalam ayat diatas juga memiliki arti عظمو و وقره وأعبنو وقواه

yaitu membersarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (Agama

Allah). Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa

ta‟zir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.141

139

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.

465-467 140

M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136 141

Ibid.

65

Menurut Nurul Irfan dalam buku fiqih Jinayah, ta‟zir ialah sanksi yang

diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan

dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk dalam kategori

hukuman hudud ataupun kafarat. Karena ta‟zir tidak ditentukan secara langsung

oleh Alqur‟an dan hadis. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, harus

tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kepentingan

umum.142

Ta‟zir memang tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun,

bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di

antara sekian banyak jenis dan bentuk ta‟zir berupa hukuman mati.143

Berbeda dengan hudud, menurut Makhrus Munajat, jarimah hudud umumnya

diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara

mutlak oleh Allah SWT, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan

hukuman selain hukum yang ditetapkan Allah. Alasan para fuqaha

mengklasifikasikan jarimah hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan

yang disebut secara rinci oleh Al-Qur‟an sangat mendatangkan kemaslahatan baik

perorangan maupun kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya secara definitif

disebut secara langsung oleh lafal yang ada dalam Al-Qur‟an, sementara pidana

lain tidak.144

Jika mengacu pada hadis-hadis Nabi SAW yang telah dikemukakan. "Saling

memaafkanlah kalian dalam kasus-kasus hukum sebelum datang kepada saya

142

Ibid. hlm.140 143

M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah,

2012, hlm. 147 144

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,

hlm.462

66

(untuk mendapatkan putusan), sebab kasus hukum apa saja yang sampai kepada

saya, maka saya wajib menegakkan hadd". Hadis ini mengindikasikan bahwa

kasus-kasus hukum apa pun dapat diselesaikan melalui mekanisme Lembaga

Pemaafan.145

Rasulullah bersabda Dari Abu Syuraih al-Khaza‟iy berkata, “Saya mendengar

Rasulullah SAW berkata, "Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau penganiayaan

(al-khubl adalah al-jarah, yakni penganiayaan badan), maka ia berhak memilih

salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya, mengambil diyat, atau memaafkan,

maka jika berkehendak yang keempat ambillah dari kedua tangannya.”146

Dalam

hadis lain pun yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari Amr bin Syuaib dari Bapak

dari Kakeknya, Rassulullah SAW bersabda, yang artinya: “Barang siapa dengan

sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika

wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal (qisash), mereka dapat

membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat mengambil

diyat (denda). Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada wali mereka.”

kasus-kasus hukum sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan melalui jalur non

litigasi sebelum dibawa ke pengadilan. Maka, lembaga pemaafan dapat berfungsi

sebagai alternatif penyelesaian perkara sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan.

Jika perkara-perkara yang tergolong jarimah hudud masih diperdebatkan menjadi

kewenangan Lembaga Pemaafan, maka perkara-perkara lainnya yang termasuk

145

Ibid. Hlm.465 146

Misnawati, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif. Samuderailmu.blogspot.com. Artikel ini di akses pada 12 Desember 2014 pukul

19.00 WIB

67

jarimah qisash/ diat dan jarimah takzir, sama sekali tidak ada masalah jika

menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan.147

Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan atau perdamaian

adalah orang yang memiliki hak qishash. Jumhur ulama yang terdiri atas Imam

Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pemilik qishash

adalah semua ahli waris, baik zawil furudh maupun ashabah, laki-laki maupun

perempuan dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Lain halnya dengan Imam

Malik, menurutnya pemilik hak qishash adalah ashabah laki-laki yang paling

dekat derajatnya dengan korban dan perempuan yang mewarisi dengan syarat-

syarat tertentu mereka adalah mustahik (ahli waris) qishash.148

Sedangkan, untuk jarimah qisash para ulama telah sepakat tentang

dibolehkannya perdamaian, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur.

Perdamaian dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar

dari pada diat, sama dengan diat, atau lebih kecil dari diat. Juga boleh dengan cara

tunai atau utang (angsuran), dengan jenis diat atau selain jenis diat dengan syarat

disetujui (diterima) oleh pelaku jarimah. Akan tetapi, dalam hukum qishash itu

terkandung dua hak, yaitu hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu),

penguasa (negara) masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta‟zir. Pendapat

ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Hukuman ta‟zir menurut

malikyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid (dera) sebanyak seratus kali.

147

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,

hlm.466 148 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif

Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia

2012, hlm.30.

68

Akan tetapi menurut Syafi‟iyah, Hanabilah, Ishak, dan Abu Tsaur, pelaku tidak

perlu dikenakan hukuman ta‟zir. 149

Salah satu jarimah qisash adalah pembunuhan, Ibn Qudamah dalam kitabnya

al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-Laist dan al-Auza‟i telah

menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan oleh wali korban, maka dia

dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu tahun. Sedangkan al-Syafi‟i, Ishak,

Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat bahwa si pembunuh boleh diberi

kebebasan penuh. Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah

dalam bukunya al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami menegaskan bahwa jika pihak

korban memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan

(private rights) yaitu hukuman qisash atau diyat saja. Sedangkan hak Allah yang

dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa hukuman ta‟zir.150

Adapun dasar pelaksanaan islah menurut Abd al-Qadir Audah selain QS. Al-

Baqarah (2):178, adalah Hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa

melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si

terbunuh apakah akan menuntut qisash atau akan mengambil diyat, hak islah

sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi). Menurut

Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada islah sama dengan hukum yang ada

pada „afw. Siapa yang memberi maaf maka dia telah melakukan islah. Apa yang

terjadi pada islah juga sama dengan yang terjadi pada „afw, yakni sama-sama

menggugurkan qisash. Maaf dalam perkara ta‟zir dapat dilakukan oleh wali al-

149

Ibid. 150

Ibid.

69

amr. Karena ia yang mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam

tindak pidana ta‟zir. 151

d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam

Islah atau sulh adalah suatu proses penyelesaian perkara ketika para pihak

bersepakat mengakhiri perkara mereka secara damai. Islah/ sulh memberikan

kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan

perkara. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar perkara

mereka dapat diakhiri. Al-Qur‟an menganjurkan memilih sulh sebagai sarana

penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat

memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam

penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman hati,

kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.152

Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama

dalam menata hubungan sosial. Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat

memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat yang mengutamakan

perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta

kekompakan di antara individu dalam masyarakat.153

Islah dinilai mampu mengobati luka hati rakyat. Islah dapat mencegah

masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam,

151

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008, hlm.65 152

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,

hlm.465. 153

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008, hlm.51

70

melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban

sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.154

Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjaga

agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara

berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara

“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf

untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau

melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa

depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada

penuntutan pidana.155

Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang semua

manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan antarsesama.

Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-diyat, tetapi

memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.156

Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak

selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan

dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang

bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya

dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari ishlãh dapat

digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.Termasuk dalam

konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai

154

Ibid. hlm.8-9. 155

Ibid.. 156

Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,

November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB

71

universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan

keadilan.157

Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-Qur‟an

dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat toleran

dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan kepentingan

umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain jarimah hudud.

Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak Allah yang

ketentuanya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah diharapkan dapat

membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa dendam maupun

penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kemabali rukun.

157

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008, hlm. 53

72

BAB IV

PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH

a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung

Jawaban Pidana Anak.

Kasus pelanggaran lalu lintas tak jarang mengakibatkan kecelakaan. Tak

hanya oleh orang dewasa, kasus pelanggaran serta kecelakaan lalu lintas pun

banyak dilakukan oleh anak di bawah umur. Maraknya kecelakaan lalu lintas yang

melibatkan anak di bawah umur diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi para

orang tua agar lebih mengawasi dan menjaga putra putri mereka, selain

mengancam nyawa dan psikologis si anak, terjadinya kecelakaan juga

menyebabkan anak mempunyai catatan kelam dalam hukum yang bisa

mempengaruhi masa depannya. 158

Salah satu kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak-anak adalah

kasus pelanggaran lalu lintas yang terjadi pada hari Minggu tanggal 8 September

2013 sekitar pukul 01.00 WIB, bertempat di Jalan Tol Jagorawi KM 08.400 A

arah selatan wilayah Jakarta Timur. Kejadian melibatkan kendaraan Mitsubhisi

Lancer Nopol B-80-SAL, dengan kendaraan Daihatsu Grand Max Nopol B-1347-

UZJ, dengan kendaraan Toyota Avanza Nopol B-1882-UZ. Diketahui bahwa

pengemudi kendaraan Mitsubhisi Lancer adalah Achmad Abdul Qadir Jaelani

berusia 13 tahun, Laki-laki, pekerjaan pelajar, tempat tinggal di Pinang Emas

158

thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret

2015 pukul 14.45.WIB

73

VII/D4 RT8/3 Pondok Indah Jaksel. Pengemudi kendaraan Mitsubhisi Grand Max

teridentifikasi sebagai Nugroho Brury Laksono berusia 35 tahun, jenis kelamin

laki-laki, pekerjaan karyawan swasta, dan beralamat di Kampung Bendungan

Melayu Rt 006/01 Rawa Badak Selaran Koja, Jakut. Sedangkan pengemudi

kendaraan Toyota Avanza teridentifikasi sebagai Hendra Sasongko, laki-laki,

pekerjaan swasta, dan beralamat di Asrama Janang Ratmil RT02/02 Jakarta

Utara.159

Kecelakaan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi 8 September tersebut

menewaskan enam orang dan sembilan lainnya luka-luka ini, kecelakaan maut

yang terjadi pada pukul 00:24 dini hari ini menjadikan Abdul Qodir Jaelani atau

yang akrab dipanggil Dul sebagai tersangka utama penyebab kecelakaan tersebut.

Anak bungsu musisi Ahmad Dhani yang mengendarai mobil sedan dengan plat

polisi B 80 SAL ini menabrak pagar pemisah dan masuk ke jalur berlawanan,

yang kemudian mobil yang dikendarainya menghantam mobil Avanza dan

Grandmax yang berisi 13 penumpang yang datang dari arah berlawanan. Peristiwa

yang terjadi di kilometer 8+200 ini terjadi ketika Dul memacu kendaraan dari arah

Cibubur menuju Jakarta. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Dul lepas

kendali dan menabrak pembatas jalan. Diduga mobil yang dikendarai Dul melaju

dengan kecepatan di atas 100 Km per jam.160

159

Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad

Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-

lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul

15.00WIB 160

e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015

pukul 13.10 WIB.

74

Lebih jelasnya, kronologis pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan

ini terjadi ketika Mobil Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang dikendarai oleh Dul

datang dari arah selatan menuju utara menabrak pagar tengah hingga melayang ke

arah jalur berlawanan. Mobil itu menghantam Daihatsu Grandmax B 1347 UZJ

dan terdorong mengenai Avanza B 1882 UZ. Akibat kecelakaan yang terjadi

sekitar pukul 00.45 WIB. Korban meninggal di TKP sebanyak 6 orang sedangkan

1 orang meninggal di rumah sakit, jadi korban yang meninggal sebanyak 7 orang,

dan 9 orang mengalami luka-luka.161

Kasus kecelakaan maut ini menjadikan Dul sebagai tersangka, disebabkan

Dul lalai dan mengakibatkan tujuh korban tewas. Selain itu, Dul juga dijerat pasal

berlapis yaitu pasal 310 ayat 3 dan 4 UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas,

serta pasal 105 tentang ketertiban, 106 tentang mengemudi dengan wajar dan

berkonsentrasi, dan pasal 281 tentang kewajiban pengemudi mmeiliki SIM.162

Pasal 310 ayat 3 UULAJ No.22 tahun 2009 : “Setiap orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan

Kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”163

Pasal 310 ayat (4) yaitu : “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan

161

thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret

2015 pukul 14.45.WIB 162

Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad

Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-

lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul

15.00WIB 163

UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

75

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”164

Kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Dul mengakibatkan

dirinya harus berhadapan dengan hukum. Menurut pasal 1 Undang-undang no.11

tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, anak yang berhadapan dengan hukum

adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak

pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.165

Jika ditinjau dari segi

yuridis, dul masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori

anak anak. Namun dalam undang undang no 11 tahun 2012 tentang sistem

peradilam anak, anak dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah

anak yang telah berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun yang diduga melakukan

tindak pidana. Kejadian itu seharusnya bisa menjadi renungan bagi para orang tua,

terutama yang memiliki anak remaja agar tidak bersikap permisif dan harus

menerapkan disiplin pada anak.166

Di Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang mengatur

tentang hukum bagi anak, baik sebagai pelaku pidana maupun sebagai korban dari

suatu tindak pidana. Perlindungan hukum kepada anak adalah upaya hukum

terhadap berbagai kebebasan dan hak anak (fundamental rights and freedom of

children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

164

Ibid. 165

UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 166

Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum

Islam (Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014. Hlm.4

76

anak.167

Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah

mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di

bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan

perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.168

Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.11 tahun 2012, sistem peradilan anak wajib

mengedepankan pendekatan kedilan restorative. Untuk mewujudkan keadilan

restorative diperlukan pelibatan seluruh orang-orang yang punya kepentingan dari

suatu tindak pidana yakni pelaku, korban, keluarga korban serta masyarakat. Yang

dimaksud pelibatan di sini ialah orang-orang yang punya kepentingan harus

dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan respon yang pantas terhadap suatu

kejahatan, yang mana tujuannya adalah untuk memperkuat nilai-nilai saling

menghormati, mengasihi dan memaafkan diantara pemangku kepentingan. Untuk

memastikan pelaku memikul tanggung jawab pemenuhan kompensasi baik

terhadap korban maupun masyakarat, atas dampak kejahatanya.169

Proses peradilan anak harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif,

baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses

Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu

bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,

167

Muhammad Rajab Ali, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan

Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,

2012, hlm 4 168

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm. 5 169

Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta :

LBH Jakarta, 2012, hlm.21

77

dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan

menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.170

Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak, wajib

mengupayakan disversi sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.11 tahun

2012 tentang disversi. Berdasarkan pasal 6 UU tersebut, disversi bertujuan untuk

mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar

proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong

masyarakat untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada

anak.171

Dilihat dari tujuannya, proses peradilan anak lebih mengedepankan

perdamaian para pihak, sehingga menghindari penjatuhan hukuman yang

dikhawatirkan akan menganggu psikologis anak. Dalam sistem peradilan anak,

skema yang dijalankan adalah yaitu setelah terjadi tindak pidana, kemudian

dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh petugas, setelah itu dilakukanya

disversi yang melibatkan pihak anak, korban, keluarga atau wali anak, serta

penyidik atas rekomendasi lembaga kemasyarakatan.172

Kesepakatan disversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada

korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua

atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS paling lama 3 bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.

Namun apabila disversi tidak menyelesaikan perkara, maka proses peradilan

170

Penjelasan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 171

UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 172

Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta :

LBH Jakarta, 2012, hlm.46

78

pidana bagi anak dapat dilanjutkan/ dilaksanakan dengan Acara Peradilan Anak di

persidanagan. Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke

sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis

bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.173

b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pealnggaran Lalu Lintas

Oleh AQJ

Kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan oleh AQJ

membuatnya menjadi seorang tersangka. Hal ini disayangkan oleh ketua Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Arist Merdeka Sirais. Menurutnya hal

ini terlalu terburu-buru dan seharusnya polisi bisa menjadi fasilitator terjadinya

restoratif justice (penyelesaian kasus di luar pengadilan) melihat adanya upaya

dari keluarga Ahmad Dhani untuk menemui keluarga korban dan berdamai. "Saya

menilai Dhani, sebagai orangtua Dul sudah berupaya untuk mengisi peluang

adanya restoratif justice dengan menemui keluarga korban. Dengan begitu, Dhani

yang berupaya meminta maaf atas apa yang dilakukan Dul, semestinya dilihat

polisi sebagai upaya restoratif justice. Bahkan pemberian santunan sebagai tanda

permintaan maaf yang tulus dan perhatian keluarga Dul, bisa mempermulus hal

itu," ujar Arist.174

173

UU no.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 174

Hasiloan Eko, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di

Luar Pengadilan, www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhani-sebagai-

upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00

WIB

79

Restorative justice, atau penyelesaian di luar pengadilan terhadap anak, sangat

mungkin dilakukan, dan polisi seharusnya memberi peluang itu atau bahkan

memfasilitasinya dengan mengajak pihak keluarga Dul dan keluarga korban

duduk bersama. Bersamaan dengan itu, pengumpulan fakta untuk proses hukum

terus dilakukan oleh polisi untuk mengantisipasi jika restorative justice tidak

berhasil dilakukan. Peluang restorative justice oleh polisi ini adalah hak diskresi

polisi. Dalam dunia hukum dan perpsektif anak, sebenarnya ada peluang di mana

kasus ini bisa diselesaikan secara islah atau damai dengan catatan pihak korban

mau menerimanya dan memaafkan Dul atas permintaan keluarga atau Dhani.

Polisi dengan hak diskresinya harus melihat hal ini. Setelah Dul ditetapkan

menjadi tersangka oleh polisi, restorative justice masih tetap dilakukan.

Syaratnya, keluarga korban sudah memaafkan, tidak menuntut, tidak merasa

dirugikan dan menerima semuanya sebagai musibah.175

Kriminolog dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyatakan bahwa

penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani (Dul)

dilematis. Menurutnya, perlu kehati-hatian dari aparat penegak hukum untuk

menuntaskannya. Meskipun di sisi lain, Ahmad Dhani memberi respons positif

dan akan bertanggung jawab pada keluarga korban. Bila pihak Ahmad Dhani dan

keluarga para korban sepakat berdamai, itu merupakan hal positif. Hal itu sah

secara hukum. Namun, ia menyatakan bahwa musyawarah itu juga harus

menyertakan polisi sebagai penegas perdamaian antara dua pihak. Sebaliknya, bila

175

Ana Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru,megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10

/0839160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul

19.00 WIB

80

pihak Ahmad Dhani dan keluarga korban berdamai tanpa sepengetahuan polisi,

hal itu akan sia-sia.176

Dalam kasus ini, pihak Ahmad Dhani mencoba mendekati keluarga korban

dengan cara mengunjungi keluarga korban mati dan korban luka-luka. Hal ini

dilakukan pihak AQJ sebagai itikad baik untuk mempertanggungjawabkan

perbuatan AQJ secara damai. Salah satu korban luka-luka bernama Nugroho

Brury mengaku mendapatkan santunan dari pihak AQJ, santunan itu sebesar 18

juta per enam bulan. Selain itu, ketika korban masuk rumah sakit, Ahmad Dhani

selaku orangtu AQJ membantunya dengan melunasi semua biaya perawatan

hingga keluar dari rumah sakit. "Sejauh ini untuk tanggung jawabnya saya puas

sekali ya, kita nggak merasa dipersulit. Segala urusan dipermudah," urainya ketika

diwawancarai oleh media online detik.177

Proses islah yang dilakukan oleh pihak AQJ nyatanya tidak berpengaruh

terhadap penghentian proses peradilanya. Proses restorative justice yang

dilakukan Ahmad Dhani dan keluarga korban, tidak menghentikan proses

peradilan AQJ dan akhirnya pada tanggal 16 Juli 2014, sidang pembacaan putusan

AQJ dilakukan. Dalam tuntutan jaksa penutut umum, putra bungsu Dhani itu

dituntut dua tahun masa percobaan dan satu tahun penjara. Apabila selama masa

176

Oris Riswan, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/

read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses

pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB 177

Maulidi Riswoyo, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan,

Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-santunan-

rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB

81

percobaan dua tahun tersebut AQJ/ Dul melakukan perbuatan melanggar hukum,

maka dia akan menjalani hukuman kurungan satu tahun penjara.178

Dalam sidang pembacaan putusan, AQJ ditetapkan bebas oleh majlis hakim

Jakarta Timur, vonis ini berbanding terbalik dari keputusan jaksa penuntut umum

(JPU) yang menuntut Dul dengan tiga dakwaan kumulatif Pasal 310 Undang-

Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dakwaan pertama yakni Pasal 310 ayat

4, kedua Pasal 310 ayat 2 dan 3 dan ketiga, Pasal 310 ayat 1. Ancaman hukuman

dalam pasal ini terendah satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun

serta denda Rp 5 juta subsider tiga bulan kerja sosial. Sementara maksimal enam

tahun penjara.179

Ketua Majelis Hakim yaitu Pertianti, membacakan putusan dengan

mengungkapkan beberapa pertimbangan mengapa membebaskan terdakwa.

Majelis hakim tidak sependapat jika terdakwa diberikan pidana bersyarat.

Pengamatan majelis, terdakwa masih dapat dibina untuk meperbaiki

kesalahannya. Adapun pertimbangan lain mengacu pada UU No 3 Tahun 1997

tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut Petrianti menambahkan, ada beberapa

pertimbangan lainnya yaitu telah terjadinya perdamaian antara korban dan

keluarga besar terdakwa. Para korban dan keluarga korban tidak ingin kasus ini

dibawa ke ranah hukum karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga

terdakwa secara sungguh-sungguh menyatakan tanggung jawab. Di mana

178

Gusti Sawabil, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/

metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret

2015 pukul 19.20 WIB 179

Tri Harnigsih, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas,

www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-akhirnya-

divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB

82

keluarga terdakwa, telah menanggung biaya pengobatan, pendidikan anak korban,

dan pemakaman para korban. Usai membacakan beberapa pertimbangan lainnya,

Petrianti akhirnya memutuskan bahwa AQJ dinyatakan bebas dan akan

dikembalikan kepada kedua orangtuanya, karena masih di bawah umur.180

Selain itu, hakim juga menolak hukuman bersyarat dari jaksa agar AQJ

menjalani kerja sosial dan denda Rp5.000.000. Hakim menyatakan AQJ

menunjukkan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta

dianggap bukan anak yang nakal. Majelis hakim menganggap AQJ kurang

perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim

mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya

perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban. Keluarga terdakwa

dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para

korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia

menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang

meninggal dunia. Fetrianti mengungkapkan kasus AQJ tergolong "restoratif

justice" dengan mempertimbangkan pergantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang peradilan anak yang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012.181

Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan ini,

penulis dapat menyimpulkan bahwa islah atau upaya damai yang dilakukan oleh

pihak AQJ dan keluarga korban berguna sebagai pertimbangan hakim. Hal ini

180

Ibid. 181

Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas,

bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-ahmad-

dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB.

83

dapat terlihat ketika proses restorative justice yang dilakukan oleh pihak AQJ

tidak menghentikan proses peradilan. Sebagaimana dalam UU no.11 tahun 2012,

apabila proses disversi dalam mewujudkan keadilan restoratif tidak tercapai, maka

proses peradilan anak tetap dilanjutkan dalam acara peradilan pidana anak.182

Namun proses disversi tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia, hakim dalam

menetapkan keputusanya menjadikan islah para pihak sebagai pertimbangan, yang

akhirnya menjadikan sebuah keputusan yang bermamfaat bagi semua pihak.

c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum

Positif

Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ adalah bentuk pelanggaran

lalu lintas, yang dalam hal ini ia dikenakan pasal 310 ayat 1-4. Kitab Undang-

undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan

terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya

pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tergantung kepada akibat yang

ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana

kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga.

Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359, 360, dan 361. Sedangkan dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan

lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian

182

Pasal 13 UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

84

pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan

oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang,

maupun kecelakaan lalu lintas berat.183

Status AQJ yang masih berusia 13 tahun mengkatogerikan dirinya sebagai

anak-anak. Setelah diterbitakannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, telah

diatur secara khusus tentang hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan

hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana. Oleh

karena itu, Undang-undang No 3 tahun 1997 merupakan hukum yang khusus (lex

spesialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang tertuang dalam kitab

Undag-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Acara Pidana (KUHAP).184

Kemudian pada tahun 2012, pemerintah

menggeluarkan UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,

menggantikan UU No. 3 tahun 1997.

Dalam UU No.11 tahun 2012, keadilan restoratif dapat dilakukan oleh para

pihak yang berperkara. Keadilan restoratif yang dilakukan tentu bertujuan untuk

memberikan hal baik, bagi anak maupun bagi korban. Menurut pasal 1 UU No.11

tahun 2012 keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

183 Hotmarta Adelia, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan

Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus

Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, 2014, hlm.22 184

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2011, cet -1, hlm.75

85

Di luar konteks hukum peradilan anak, keadilan restoratif memang memiliki

banyak mamfaat serta efektifitas bagi para pihak. Mamfaat dan efektifitas yang

paling dirasakan oleh para pihak adalah bahwa pelaku tindak pidana tidak harus

membayar kesalahanya melalui pemenjaran, korban pun tidak “dimamfaatkan”

sebagai saksi yang akhirnya hanya bisa menerima takdir atas musibah yang ia

terima tanpa mendapatkan ganti rugi ataupun pemulihan, sedangkan yang pelaku

kejahatan hanya membayar kesalahanya dengan pemenajraan, meninggalkan

korban tanpa memikirkan dampak kejahatanya terhadap diri korban yang

menderita, baik fisik maupun psikologis. Dalam restorative justice, pelaku

kejahatan dan korban dapat bersama-sama menentukan jalan keluar yang

menguntungkan bagi mereka.185

Keadilan restoratif tentu dapat dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan

kriteria yang ada. Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis

dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan

hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat

ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan

kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek

sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku,

latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah

pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan

185

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif

di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus

2013. hlm.12

86

atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada

korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.186

Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, tentu saja islah

atau perdamaian para pihak dapat dilakukan, selain karena usia AQJ yang masih

anak-anak dan harus menggunakan UU No.11 tahun 2012, perbuatan serta sikap

AQJ juga memenuhi kriteria dalam aspek sosilogis dan yuridis untuk dilakukanya

sebuah keadilan restoratif.

Islah yang dilakukan pihak AQJ dan korbanya tidak hanya membuat AQJ

bebas dari hukuman disebabkan usianya yang masih muda dan masih memiliki

masa depan yang panjang, tetapi islah juga membuat para korban menjadi lebih

tenang disebabkan oleh pihak AQJ yang bertanggung jawab. Saat menggelar

jumpa pers dikediamanya pada tanggal 10 Januari 2014 Pondok Pinang Jakarta

Selatan, Ahmad Dhani selaku ayah AQJ mengatakan bahwa besok sore keluarga

para korban selamat di undang kerumahnya untuk membicarakan seputar

santunan yang diminta agar tidak diberikan perbulan lagi, tetapi diakumulasikan.

"Mereka ini mohon tidak lagi diberi santunan bulanan tapi langsung dalam

nominal tertentu untuk membuka usaha, bisnis. Alhasil kami berhasil kumpulkan

sejumlah uang yang diminta. Saya, Al, El, Dul, Mulan, Safeea, kami berenam

bareng-bareng ya, pas korbannya enam," selain itu, untuk korban meninggal,

pihak AQJ masih menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan santunan

hingga anak-anak korban selesai sekolah. "Yang selamat iya sudah selesai. Tapi

186

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40

87

kalau korban yang jadi janda, tetap akan kita santuni sampai anak sekolahnya

selesai semua.”187

Oleh karena para pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang

dilakukan AQJ telah sepakat atas perdamaian dan santunan yang diberikan pihak

AQJ, maka tujuan dari sistem restorative justice telah tercapai. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Yunan Hilmi dalam jurnal hukum Rechtsvinding, bahwa tujuan

akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi

hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian

perkara pidana yang menguntungkan semua pihak.188

d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum

Pidana Islam

Dalam hukum pidana Islam, islah dapat diterapkan berdasarkan landasan

hukum yang termuat dalam Al-Qur‟an, antara lain adalah surat Al-Baqarah ayat

178 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa

187

Agus Prianto, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www.

kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-50-juta-

2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB 188

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan

Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04

88

yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)

membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang

demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.

Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat

pedih.”

Pada kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, perbuatan yang ia lakukan

menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Dalam perspektif hukum

Islam, perbuatan yang dilakukan oleh AQJ dikenakan jarimah qisash. Namun,

usia AQJ yang masih dibawah umur membuatnya tidak memenuhi unsur-unsur

tindak pidana. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak

pidana untuk jarimah dapat dibedakan tiga bagian, yaitu: Pertama unsur formal

(al-rukn al-syar‟i), kedua unsur material (al-rukn al-madi), ketiga unsur moral

(al-rukn al-adabi).189

Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil yaitu unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang

secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

Kemudian Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyakatan

bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan

sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu),

maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu). Sedangkan, Al-

rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang

dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang

berada di bawah ancaman.190

189

M.Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.2 190

Ibid. hlm.3

89

Adapun jika ada perbedaan pendapat, apakah AQJ sudah mumayiz atau masih

dalam kategori anak-anak, maka perbuatan AQJ pun tidak dapat dikenakah

jarimah qisash disebabkan bahwa kecelakaan lalu lintas tersebut adalah

ketidaksengajaan. Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan

gugurnya „uqubah (hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan

(jani) meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah

seperti diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam

kasus tindak pidana qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman

terhadap hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur

apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi

gugur jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah,

maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih

ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun,

islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah

diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga,

hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau

walinya.191

Meskipun hukuman qisash dan diyat tidak dapat dijatuhi oleh sebab tidak

terpenuhinya unsur-unsur qisash karena AQJ masih dibawah umur dan

dikhawatirkan terdapat syubhat, AQJ tetap dikenakan hukum, yakni dengan

jarimah ta‟zir. Menurut Nurul Irfan dalam bukunya yang berjudul Fiqih Jinayah,

sanksi yang diberikan dalam jarimah ta‟zir dapat bermacam-macam, dari sanksi

191

Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008. Hlm. 63.

90

yang ringan, hingga sanksi yang berat. Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan badan

dapat berupa hukuman cambuk, ataupun mati. Selain itu, hukuman ta‟zir juga

dapat berupa penjara, pengasingan, pembayaran denda, perampasan/ penyitaan,

hingga peringatan tertulis, nasihat, celaan, pemecatan, pengumuman kesalahan,

dsb.192

Adapun tujuan dan syarat-syarat sanksi ta‟zir yaitu, pertama, sebagai upaya

preventif (pencegahan), hal ini ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan

jarimah, kedua, untuk membuat jera (represif), dimaksudkan agar pelaku tidak

mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari. Yang ketiga adalah adanya islah

(kuratif), ta‟zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian

hari. Dan yang terakhir adalah sebagai upaya edukatif (pendidikan), yang

diharapkan dapat mengubah pola hidup ke arah yang lebih baik.193

Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kematian para

korban oleh AQJ, yang kemudian pihak AQJ mepertanggungjawabkan

perbuatanya dengan cara melakukan islah kepada para pihak dan memberikan

santunan kepada para korban, hal ini lah yang kemudian membuat hakim harus

mempertimbangkan 2 hal, yang pertama adalah bahwa AQJ masih dalam usia

anak-anak, dan yang kedua adalah pihak AQJ telah melakukan islah dengan para

korban. Sehingga, hukuman ta‟zir yang diberikan hakim kepada AQJ menjadi

hukuman yang ringan, yakni dikembalikan kepada orang tua, untuk dididik dan

diarahkan agar pola hidup serta masa depanya menjadi lebih baik.

192

M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.147 193

Ibid. hlm.142

91

Pengembalian AQJ kepada orangtuanya oleh hakim, dengan pertimbangan

karena islah yang dilakukan para pihak, tidaklah bertentangan dengan hukum

pidana Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh

Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa‟i dan Al-Baihaqi, dari Aisyah ra, bahwa Nabi

bersabda :

ذوي قيلىا الله عليه وسلم أ ىرسىل الله صل ث قبلرضي الله عنهب قبل ةشئعن عب

الهيئب ت عثرا جهم إال الحدود

“Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan

kejahatan atas perubuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.”

Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah yang menyatakan

bahwa, hukuman hudud, qisash, diyat tidak boleh diubah-ubah oleh hakim,

sedangkan ta‟zir dapat disesuaikan. Objek pertimbangan hakim dalam bidang

hudud, qisash, diyat hanya sebatas pada tindak pidananya, bukan pelakunya.

Sedangkan pada hukuman ta‟zir, untuk memaafkan atau memberatkan hukuman

dapat dilihat dari dua sisi, yakni tindak pidana yang dilakukan serta siapa pelaku

tindak pidana tersbut.194

194

M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.140

92

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan tentang penyelesaian tindak pidana

melalui islah dalam hukum positif dan hukum pidana Islam, serta analislis islah

dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, maka banyak hal yang sebenarnya

dapat ditarik kesimpulan. Berikut adalah beberapa point penting yang menjadi inti

dari pembahasan skripsi penulis.

1. Islah dalam hukum positif merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan

dikenal dengan disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah

sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain

dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik

berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi

atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. kebijakan ini

juga dikenal dengan keadilan restoratif (restorative justice). pada umumnya

hukum pidana positif tidak mengenal keadilan restoratif, namun pada

preakteknya hal ini dapat dilakukan, yakni melalui jalur perdamaian yang

dilakukan para pihak dengan menggunakan wewenang kepolisian sebagai

penengah dan mewujudkan keadilan restoratif, karena aparat kepolisian

memiliki hak diskresi.

2. Dalam hukum pidana Islam, islah Konsep islah dikatakan banyak terjadi

kemiripan dengan al‟afwu. Namun, dari Islah dan al‟afwu berbeda secara

93

definisi maupun konseptual. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ishlah

merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh

masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan

berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian diantara kedua

belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan

qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih

memungkinkan dilakukan qisash. Islah dalam hukum pidana Islah dapat

dilakukan melalui lembaga pemaaf, yakni dengan adanya seorang hakam

sebagai penengah/ pendamai diantara kedua pihak yang berperkara. Hak iIslah

diberikah kepada ahli waris korban maupun si korban yang masih hidup.

Dalam pelaksanaanya, islah dapat dilakukan untuk jarimah qisash, diyat, serta

jarimah ta‟zir. Sedangkan untuk jarimah hudud, tidak dibenarkan karena hudud

merupakan hak Allah dan sangat jelas aturanya dalam Nash.

3. Islah yang dilakukan para pihak dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang

dilakukan oleh AQJ menjadi pertimbangan hakim. Baik ditinjau dalam hukum

positif maupun hukum pidana Islam. Dalam hukum positif, kasus AQJ tetap

disidangkan hingga proses pembacaan vonis, yang artinya, proses islah tidak

menghentikan penyidikan kasus, tetapi islah menjadi pertimbangan hakim

ketika memutuskan dan mengembalikan AQJ kepada kedua orangtuanya.

Dalam hukum pidana Islam, islah yang dilakukan para pihak pun menjadi

pertimbangan hakim karena kasus AQJ termasuk dalam jarimah ta‟zir.

94

B. Saran-saran

Setelah penulis manarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut.

1. Seharusnya, para pembuat undang-undang di negeri ini, lebih memperhatikan

keadaan korban dan pelaku, tidak hanya mengedepankan kepentingan negara.

Korban dan pelaku harus sama-sama dipulihkan, korban tidak boleh hanya

dijadikan sebagai saksi dan kemudian ditinggalkan pelaku yang menjalani

hukuman, sedangkan korban sendiri menderita kerugian yang harus ia

tanggung sendiri.

2. Konsep islah dalam hukum pidana Islam telah ada, jauh sebelum hukum positif

lahir. Konsep islah dalam hukum pidana Islam seharusnya dapat menjadi

pertimbangan para penegak hukum untuk membuat undang-undang kearah

yang lebih baik.

3. Dalam melakukan islah, hendaknya pemerintah membuat standar pelaksanaan,

sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan penegak hukum dalam

menengahi penyelesaian perkara pidana. Kejadian islah seperti kasus AQJ

hendaknya menjadi pelajaran dan menjadi koreksi agar islah dapat berjalan

lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

A.Wahid, Yani, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.

A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif

Watampone, 2010.

Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH

Jakarta, 2012.

Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung :

Armico, 1984

Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2001.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII.

Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013.

Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:

Amzah, 2014.

Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012.

Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005.

Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th)

Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam

(Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014

Lamintang, P.A.F dan Samosir, Djisman, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan

Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992.

Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Mertokusumo, Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.

Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2011.

Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag.

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012.

Prayitno, Wukir, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991.

Rajab Ali, Muhammad, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian

Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,

2012.

Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN

Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB

Ramzy, Ahmad, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice

Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia,

2012.

Rifqi, Mohammad, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam

Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008.

Sihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13,

Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Soekanto, Soejono, Mudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet.V, Jakarta : Indhillco, 2001.

Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006.

Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I

Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Suparman, Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan

Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan

Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers, 2006.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang :

UUM Press, 2008.

Widiartana.G, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro,

2011.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997.

Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003.

Peraturan Perundang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Peraturan Perundang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Wawancara kepada Alfitra, Jum’at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.

Adelia, Hotmarta, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku

Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus

Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, 2014.

Artadi, Ibnu, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Vol.25 No.1. 2007

At-Tamimi, Umar, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, 2013.

Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,

November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB.

Lasmadi, Sahuri, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Putri Siregar, Anistia Retenia Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor

2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

2013.

Raharjo, Trisno, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal

Hukum No. 3 Vol. 17, 2010.

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di

Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2,

2013.

Tengens, Jecky, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,

Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB.

Wijaya, Bram, dkk. Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam

Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum

Fakultas Brawijaya.

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan

Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media

Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, 2013.

Zulfa, Eva Achjani, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang kemungkinan

penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana),

Universitas Indonesia.

Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas,

bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-

ahmad-dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB.

e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul

13.10 WIB.

Eko, Hasiloan, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar

Pengadilan,www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhanisebagai-

upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015

pukul 19.00 WIB.

Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul

Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-

lalu-lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13

Maret 2015 Pukul 15.00WIB

Harnigsih, Tri, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas,

www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-

dhani-akhirnya-divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini

diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB

http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul ahmad -

dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB

Mistiyah, Misna, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan

Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014

pukul 19.30 WIB

Prianto, Agus, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www.

kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-

50-juta-2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB

Riswan, Oris, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/

read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel

ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB.

Riswoyo, Maulidi, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan,

Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-

santunan-rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015

pukul 19.20 WIB.

Sawabil, Gusti, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/

metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses

pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB

Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru, megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10/0839

160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015

pukul 19.00 WIB.

Thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret 2015

pukul 14.45.WIB