KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN...
Transcript of KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN...
KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
(Studi Analisis Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ANNISA RAHMI FAISAL
NIM : 1111045100004
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
vii
ABSTRAK
Annisa Rahmi Faisal 1111045100004, Jurusan Kepidanaan Islam, Prodi Jinayah Siyasah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
1436 H/ 2015, vii + 94 halaman.
Penelitian ini berjudul “Kedudukan Islah Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Menurut
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu
Lintas Oleh AQJ). Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang kedudukan
islah dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia dan dalam hukum pidana Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa penelitian pustaka (library research).
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari KUHP, Undang-undang, serta kitab fiqih. Dan data sekunder diperoleh dari buku-buku
hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa islah dalam penyelesaian tindak pidana dapat dilakukan
sebagai jalan keluar yang baik, tanpa melalui proses persidangan dan menguntungkan para
pihak yang terlibat baik korban maupun pelaku kejahatan. Secara spesifik islah tidak diatur
dalam hukum positif Indonesia, namun proses penyelesaian islah sudah lama dikenal sebagai
keadilan restoratif (restoratif justice), proses islah dalam hukum positif hendaknya diketahui
penyidik agar dapat menghentikan proses peradilan ke pengadilan. Dalam UU Nomor 2 tahun
2002 tentang diskresi kepolisian, polisi mempunyai pijakan yuridis untuk menetapkan filosofi
restoratif justice. Adapun tindak pidana yang dapat diselesaikan secara islah adalah tindak
pidana ringan serta tindak pidana oleh anak, namun pada praktiknya tindak pidana sedang
dan beratpun tidak menutup kemungkinan para pihak untuk melakukan islah. Pada tindak
pidana anak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan
anak menegaskan konsep keadilan restoratif sebagai jalan keluar permasalahan, hal ini
ditujukan untuk mempebaiki keadaan si anak. Sedangkan dalam hukum Islam, konsep islah
sudah lama ada sejak jaman Rasulullah, sebagaimana keterangan dari Q.S.Al-Hujurat ayat 9,
Q.S Al-Baqarah ayat 178, serta beberapa hadis Nabi yang melegalkan islah. Dalam hukum
pidana Islam, islah dapat dilakukan atas jarimah Qisash, Diyat dan Ta’zir, adapun dalam
jarimah Hudud hal ini masih menjadi pro-kontra para fuqaha, karena dalam hudud terdapat
hak Allah dan ketentuan hudud telah diatur secara jelas dan rinci hukumanya dalam Al-
Qur’an. Kesimpulanya adalah islah merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap baik
karena menguntungkan para pihak serta dapat memperbaiki keadaan sosial suatu masyarakat.
Kata kunci : Islah, Kedudukan Islah, Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana.
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik alam semesta beserta
isinya, yang telah memberikan kemudahan serta ilmu yang bermamfaat. Tak lupa shalawat
serta salam akan kerinduan yang teramat dalam kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan cahaya serta pertolongan kepada umat
muslim hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN ISLAH DALAM
MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu
Lintas AQJ) telah selesai. Skripsi ini merupakan sebuah bentuk akhir dari semua usaha yang
penulis lakukan selama 3 tahun lebih belajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang semoga dapat bermamfaat bagi penulis juga
pembaca. Tak sedikit kesulitan serta halangan ketika penulisan ini dilmulai, namun semua itu
bisa teratasi dengan baik karena dukungan serta arahan dari berbagai pihak yang selalu
dengan sabar membantu penulis.
Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada yang sempurna, apa lagi hanya sebuah
karya skripsi ini yang penulisnya pun masih dalam proses belajar kearag yang lebih baik.
Namun dari semua itu, yang paling diutamakan adalah usaha serta kerja keras yang sudah
penulis lakukan untuk menyajikan wacana keilmuan dalam skripsi ini. Tentunya hal tersebut
tidaklah mungkin dapat terjadi jika tanpa bantuan para pihak, oleh sebab itu penulis ingin
mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Kepada pak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah
v
2. Kepada Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si, selaku ketua prodi Jinayah Siyasah, dan Ibu
Rosdiana,M.A selaku sekretaris prodi Jinayah Siyasah, kepada keduanya yang telah
memberikan banyak arah serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Kepada Pak Dr.H. M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan banyak waktu, arahan, kritik dan motivasi dalam penyusunan
skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Kepada Pak Qosim Asryadani, M.A, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran layaknya seorang ayah.
5. Kepada dosen hukum penulis, yaitu Dr. Alfitra, M.H selaku dosen hukum pidana yang
sudah memberikan banyak masukan serta pengertian kepada penulis.
6. Kepada semua dosen Jinayah Siyasah yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Semoga ilmu yang mereka
berikan dapat selalu bermamfaat.
7. Kepada Ibunda tercinta yakni Dahliawati, S.Pd yang telah banyak sekali memberikan hal-
hal berarti kepada penulis. Terimakasih karena selalu memberikan doa, motivasi, serta
pelajaran hidup kepada penulis. Semoga ibunda selalu sehat dan bangga akan anak-
anaknya.
8. Kepada Ayahanda Ma’mun Faisal, S.Pd yang telah dengan sabar membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini, dan kepada semua keluarga penulis, yang telah memberikan
dorongan serta dukungan yang penuh kasih sayang.
9. Kepada semua sahabat-sabahat terbaik Jinayah Siyasah : Fachria, Nurhayati, Dewi, dan
Novi yang telah banyak memberikan dukungan selama kuliah dan selama penulisan
skripsi ini, juga kepada teman-teman sejawat di Jinayah Siyasah dan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah mendoakan serta mendukung penulis.
vi
10. Kepada senior Jinayah Siyasah, Waskita Agung Nugroho yang selalu mendukung dan
memberikan motivasi kepada penulis, serta telah memberikan banyak pengarahan
semenjak penyusunan prosal hinggal skripsi. Serta untuk senior lainya baik dari Jinayah
Siyasah maupun PMII.
Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis, semoga kebaikan mereka
semua dapat balasan yang indah dari Allah SWT. Kepada mereka, penulis hanya bisa
mendoakan, agar mereka semua selalu sehat dalam rahmat dan keberkahan Allah SWT.
Akhir kata, semoga kerja keras penulisan skripsi ini dapat bermamfaat untuk semua pihak,
baik pembaca, penulis, maupun praktisi hukum.
Jakarta, 30 April 2015.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI.........................................................................ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN....................................................................................iii
KATA PENGANTAR...............................................................................................................iv
ABSTRAK................................................................................................................................vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……..…………………………………………......1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...………………………...………..9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...………………………...…………..10
D. Tinjauan Pustaka………..…………………………………………………11
E. Metode Penelitian…………………………………..……………………..13
F. Sistematika Penulisan………………………..……………………………14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Islah dan Perdamaian Para Pihak…………………………………………17
a) Pengertian Islah dan Perdamaian……………………………………17
b) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah…………………………..18
c) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah……………………………25
d) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana………………………………………………………………..32
B. Tindak Pidana dan Pemidanaan…………………………………………..35
a) Pengertian Tindak Pidana……………………………………………35
b) Kategorisasi Tindak Pidana…………………………………………39
x
c) Unsur-unsur Tindak Pidana…………………………………………42
d) Tujuan Pemidanaan…………………………………………………45
BAB III : KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam…………………………………..….49
b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………....52
c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam...58
d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………69
BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH
a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung
Jawaban Pidana Anak…………………………………………………….73
b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Lalu Lintas
Oleh AQJ…………………………………………………………………79
c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam hukum
positif……………………………………………………………………..84
d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum
Pidana Islam……………………………………………………………...88
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………92
B. Saran……………………………………………………………………..94
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara Konvensional hukum dibagi menjadi hukum publik dan hukum
privat, dan hukum pidana adalah bagian dari hukum publik. Hal ini berlaku
dewasa ini, dahulu di Eropa dan juga di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik
dan hukum privat. Gugatan baik dalam bidang yang termasuk hukum publik
sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat, diajukan oleh pihak-pihak
yang dirugikan. Terkenanlah adagium bahasa Jerman, “wo kein klager ist, ist kein
richter” (jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim).1
Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum
mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, adapun
tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban, dan keseimbangaan. Dengan tercapainya ketertiban di
dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam
mencapai tujuan tersebut, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara
perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara
memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.2
Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara
mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak
1A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif
Watampone, 2010, hlm.7 2Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005,
hlm. 77
2
dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia
akan berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang kurang
jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan
menemukan hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya.
Sehingga dapat mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang
mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.3
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum.
Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan
sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum
pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan
dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan
penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian,
masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga masalah
kebijakan (the problem of policy).4
Selain itu, tujuan umum dari hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia), melindungi
kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari suatu
tindakan tercela atau kejahatan di satu pihak dari tindak penguasa sewenang-
3Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti
dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers,2006, hlm 28. 4Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010,hlm 20
3
wenang dilain pihak.5 Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi
hukum menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara
berencana. Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah
berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai
alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum
pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak
pidana baru.
Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan
melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian
dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian
ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan
mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridis-
individualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu
perbuatan oleh hakim. Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan,
setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu
menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan
jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu pihak
semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami
manusia.6
Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada
umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi).
Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal
5www.fhunram.com
6 Moh Rifqi, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008
4
yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan
tersebut, yaitu : keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum.7 Meskipun
demikian, dalam tataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi
sekaligus. Adapaun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian dikenal
dengan istilan win lose solution, dimana akan terdapat pihak yang menang dan
ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara
umumnya kerap menimbulkan suatu rasa “tidak enak” dibenak pihak yang kalah,
sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal
ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi
yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi ketentuan.8
Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute
Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai
bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara
yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti
negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus,
seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia)
untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak
asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan
putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai
sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui
7 Sudikimo Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1997,
hlm.98. 8 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3
5
adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau
Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian
yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak
yang bersengketa.9
Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan
pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap
ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik
dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia
seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa
budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai
karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan
perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat,
mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam
menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama
dalam masyarakat Jawa dan Bali.10
Islah memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada
pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana
konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan pemaafan,
menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang
diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja
9 Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam
dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul
19.30 WIB 10
Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang,
1991, hal. 21.
6
perdamaian dan perundingan.11
Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh
oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan
keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, Islah merupakan
pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya.12
Penyelesaian perkara tindak pidana melalui islah juga terterap dalam hukum
Islam, hal ini dapat kita lihat dari beberapa nash yang dijadikan landasan islah,
antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang asrtinya : “Orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 224 yang artinya : “Jangahlah kamu
jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat
kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia[139]. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Proses islah terjadi karena adanya perspektif yang berubah dari korban
dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan perspektif ini menyebabkan
cara yang penyelesaian yang ditempuh pun berubah tergantung kondisi dan
keinginan korban. Tetapi perubahan perspektif ini berpengaruh terhadap proses
pemeriksaan kesaksian di pengadilan, dimana dalam beberapa keterangannya
saksi-saksi cenderung mengubah “perspektifnya” atas peristiwa yang terjadi.
Selama proses pemeriksaan saksi, alasan yang dikemukakan untuk mengubah
keterangan atau mencabut keterangan dalam BAP adalah karena alasan emosional
11
A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001. 12
Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul
Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet
pada tanggal 08 oktober 2014
7
saksi yang disebabkan oleh situasi psikologis saksi sebelum melakukan islah dan
setelah melakukan islah. Contoh islah dapat kita lihat dalam Kasus HAM di
Tanjung Priok, alasan para saksi melakukan koreksi (revisi) atau “perbaikan”
keterangan tersebut disebabkan karena pada saat diperiksa oleh Kejaksaan Agung
para saksi tersebut belum melakukan islah dan masih dendam terhadap tentara,
sehingga pada waktu memberikan keterangan, saksi sengaja merekayasa
keterangannya. Atas keterangan ini memang majelis hakim telah memperingatkan
saksi agar memberikan keterangan sebagaimana yang dialaminya. Namun,
peringatan majelis hakim ini tidak pernah dihiraukan oleh para saksi dan koreksi
(revisi) keterangan ataupun perbaikan keterangan ini tetap saja berlanjut dalam
pemeriksaan-pemeriksaan saksi berikutnya.13
Islah juga pernah terjadi pada tahun 2013, yaitu yang dilakukan Ahmad
Dhani kepada keluarga korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat sang anak
yaitu Abdul Qadir Jaelani/ AQJ (Dul). Dalam kasusnya, ia melanggar UU Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 281 atas
pelanggaran terhadap Pasal 77 Ayat (1). Sanksi pidanya adalah pidana kurungan
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah). Akibat kecelakaan ini 7 orang meninggal dunia, maka Dul juga dapat
dituntut dengan menggunakan Pasal 310 Ayat (4) atas pelanggaran terhadap Pasal
229 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sanksinya adalah pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda
maksimal Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Namun disebabkan oleh
13
Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring
pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal
08 oktober 2014
8
usianya yang masih 13 tahun, yaitu masih dalam kategori anak-anak, maka selama
dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan negeri wajib
melakukan upaya diversi. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam kasus ini, Islah
sangatlah diperlukan, karena ancaman pidana terhadap Dul kurang dari 7 (tujuh)
tahun penjara dan apa yang dilakukan Dul bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.14
Dalam wawancara media pada tanggal 09 September 2013, Kak Seto
mengatakan bahwa setiap orang memang harus bertangungjawab atas
perbuatannya, termasuk Dul. Tetapi hukum kita juga mengatur bagaimana
seharusnya anak seusia Dul diperlakukan. berdasarkan Undang-Undang No.3/97
tentang Pengadilan Anak dan sekarang diganti dengan undang-undang No 11
tahun 2012, meskipun masih ditunda pemberlakukannya, mestinya ditempuh
secara kekeluargaan (restoratif justice). Ini merupakan proses hukum juga tetapi
dengan cara perdamaian, dan pihak korban pun setuju. Artinya,
pertanggungjawaban kerugian dan pengobatan harus diselesaikan oleh pihak
Ahmad Dhani.15
Namun, meski akhirnya Dul bebas, perhatian publik menuai pro-
kontra.
Penyelesaian Tindak pidana melalui islah memang merupakan jalan keluar
yang sangat baik, namun pada kenyataanya, penyelesaian secara islah tak selalu
bisa menghentikan penyelidikan perkara dalam hukum positif oleh sebab yang
14
http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini
diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB 15
http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul
ahmad -dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB
9
diatur oleh hukum, namun berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, islah
merupakan jalan yang sangat baik dan bisa dilakuan sebelum adanya keputusan
dari hakim. Maka untuk menjawab problematika tersebut, penulis akan
mengusung skripsi yang berjudul KEDUDUKAN ISLAH DALAM
MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus
Pelanggaran Lalu Lintas AQJ).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada bagaimanakah islah dapat
dilakukan yang dalam kajianya melihat seperti apa kedudukan islah dalam
penyelesaian tindak pidana menurut hukum positif dan hukum pidana islam, serta
bagaimana pandangan hukum tersebut mengenai islah dalam analisis kasus
pelanggaran lalu lintas oleh AQJ.
Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah
yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu :
1. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam
hukum positif?
2. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam
hukum pidana Islam?
3. Bagaimanakah kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh
AQJ?
10
Hukum Positif yang dimaksud penulis ialah KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana), dan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 2 tahun 2012
Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP Pada Peradilan Pidana, serta Perundang-undangan lain yang terkait.
Dalam Hukum Pidana Islam, penulis meninjau penarikkan kesimpulan
terharap ayat-ayat Al-Qur‟an dan As-Sunnah untuk mencari apakah Islah dapat
berlaku bagi semua tindak pidana, dan dari studi kualitatif bagaimana praktek
islah dilakukan dalam persidangan pidana Islam.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, studi ini ada bebrapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
a. merumuskan dan menjelaskan secara utuh mengenai pengertian dan
prosedur Islah dalam hukum Pidana di Indonesia.
b. merumuskan dan menjelaskan secara komperhensif prosedur islah para
pihak dalam penyelesaian tindak pidana dalam perspektif hukum Islam.
c. Menjelaskan kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh
AQJ menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
11
2. Manfaat Penelitian
Adapun mamfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menambah wawasan keilmuan yang secara
spesifik mengenai kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana
dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.
b. Mengetahui dalam perkara apa sajakah islah dapat dilakukan oleh para
pihak dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.
c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan studi komparatif untuk
penelitian selanjutnya yang membahas tentang islah dan perdamaian
tindak pidana.
d. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran dalam
merumuskan RUU KUHP di Indonesia mengenai prosedur islah/
perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana dimasa yang akan datang.
D. Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang topik Islah telah dilakukan, baik yang mengkaji
secara spasifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung
secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian
mengenai penyelesaian perkara tindak pidana memalui Islah
Karya ilmiah yang di susun oleh Ahmad Ramzy dengan berjudul “Perdamaian
Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Dalam Tesisnya beliau mengatakan
bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara penyelesaian perkara pidana
menurut hukum pidana Islam dan Restorative Justice mengenai tindak-pidana
12
yang dapat dilaksanakan perdamaian, institusinya yang dapat menyelesaikan
perkara pidana secara perdamaian bisa menjadi komparasi untuk sistem peradilan
pidana yang berada di Indonesia sehingga dapat terbangunnya semangat untuk
menyelesaikan permasalahan perdamaian.16
Karya Ilmiah ditulis oleh Alef yang berjudul “Kedudukan Perdamaian Antara
Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Dalam
penelitianya beliau mengatakan bahwa dalam praktek pengadilan, perdamaian
yang dilakukan anatara korban dengan pelaku tindak pidana menjadi bahan
pertimbangan meringankan yang digunakan oleh sebagian besar hakim dalam
menjatuhkan putusanya. Perdamaian yang dilakukan antara korban dan pelaku
tindak pidana tidak dapat mengahapuskan pertanggung jawabanan atau perbuatan
yang telah dilakukan oleh terdakwa meskipun sudah memaafkan terdakwa dan
tidak menuntut terdakwa atas perbuatanya, bahkan meminta petugas untuk
membebaskan terdakwa dari pemidanaan.17
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penulis bermaksud untuk
menulis skripsi mengenai islah, yang menitik beratkan tentang bagaimana
kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana, apakah islah dapat
berpengaruh terhadap putusan hakim baik dalam persidangan hukum positif di
Indonesia maupun hukum pidana Islam. Penulis pun akan menganalisis kasus
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, yang pada penyelesaian
perkaranya dengan menggunakan upaya permadamain (islah).
16
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan
Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas
Indonesia, 2012. 17
Alef Musyahadah , Tesis, Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku
Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan. Universitas Diponogoro, 2005.
13
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari
suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai dasar
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian
dengan pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode
kualitatif. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model
logika reflektif, yang di dalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses
berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.18
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan
penelitian kualitatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa
data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu data
yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif, data-
data yang berupa bahan hukum terdiri dari :
a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.19
Adapun
bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu : KUHP dan Kitab Fiqih.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan
18
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi. 19
Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO,
2001), Cet V, hlm.13.
14
hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah
buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang sudah membahas masalah ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20
Bahan
hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer dan sekunder,
seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.
3. Tehnik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan
penelitian kulitatif. Dalam penyajianya, penelitian kualitatif yang khas adalah
dalam teks naratif.21
Dalam melakukan analisis terhdapa sumber dan materi
hukum pidana islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis. Sedangkan dalam
melakukan analisis terhadap materi perundang-undangan pidana khusus dan
doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normative-doktrin dengan
memanfaatkan model-model interpretasi hukum.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama
bertajuk “pendahuluan”. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang
melatar belakangi penelitian ini, dan diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu
(1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan
20
Soejono Soekanto, Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO,
2001), Cet V, hlm.13. 21
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi.
15
dan mamfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6)
sistematika penulisan.
Bab kedua berjudul “tinjauan umum tentang tindak pidana”. Bab ini
menyajikan uraian teori mengenai pengertian serta tinjauan hukum mengenai
penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum positif.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang
diungkapkan oleh beberapa ahli. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan
berpikir menganalisis hukum pidana nasional. Bab ini terdiri dari atas 2 (dua) sub-
bab utama, yaitu (1) Islah dan perdamaian para pihak, (2) Tindak pidana dan
pemidanaan. Pada sub-bab “Islah dan perdamaian para pihak” memuat 4 (empat)
sub-bab , yaitu (a) pengertian islah dan perdamaian, (b) latar belakang
penyelesaian secara islah, (c) penyelesaian tindak pidana secara islah, dan (d)
efektifitas islah dan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana. Sedangkan
dalam sub-bab kedua (2) “Tindak pidana dan pemidanaan.” memuat 4 (empat)
sub-bab, yaitu (a) pengertian tindak pidana, (b) kategorisasi tindak pidana, (c)
unsur-unsur tindak pidana, dan (d) tujuan pemidanaan.
Bab ketiga berjudul “kedudukan islah dalam hukum pidana Islam”. Bab
ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian, definisi serta tinjauan hukum
mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum
pidana Islam. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara
teori yang diungkapkan oleh beberapa fuqaha. Uraian dalam bab ini juga menjadi
landasan berpikir menganalisis hukum pidana Islam. Bab ini terdiri dari atas 4
(empat) sub-bab, yaitu (1) Devinisi Islah menurut hukum pidana Islam, (2)
16
Urgensi Islah dalam hukum pidana Islam, (3) Penyelesaian tindak pidana secara
islah dalam hukum pidana Islam, dan (4) Efektifitas Islah dalam hukum pidana
Islam.
Bab Keempat berjudul “Penyelesaian kasus pidana anak melalui islah”.
Dalam bab ini diuraikan analisis terhadap kasus pidana AQJ yang diselesaikan
secara islah dengan menerapkan kerangka pemikiran konsep hukum, baik hukum
positif maupun hukum pidana Islam, sehingga dapat dilihat dalam bentuk
komparatif terhadap islah tersebut. Bab ini menyajikan 4 sub-bab, yaitu : (a)
Kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ dan konsep pertanggungjawaban pidana
anak, (b) kedudukan islah dalam penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas oleh
AQJ, (c) Efektifitas islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif
hukum positif, dan (d) Efektifitas Islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ
perspektif hukum pidana Islam.
Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saran-
saran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang telah
dihasilkan, serta memuat saran terkait dengan penelitian selanjutnya.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Islah dan Perdamaian Para Pihak
a.) Pengertian Islah dan Perdamaian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat,
pengertian islah adalah perdamaian, yakni tentang penyelesaian pertikaian.
Sedangkan pengertian perdamaian adalah penghentian permusuhan, perselihisan,
pertikaian, dsb.22
Islah atau perdamaian, memiliki landasan filosofis dan teologis yang
mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat,
mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat
dengan permaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan.
Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan
melalui meja perdamaian dan perundingan.23
Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku
untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap
kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, islah merupakan pilihan yang menjadi hak
prerogratif dari korban maupun ahli warisnya. Islah merupakan pilihan yang
sifatnya voluntaristik, suka rela dan tanpa paksaan. Kedua belah pihak, baik
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 594. 23 A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.
18
korban maupun pelaku sama-sama dalam posisi tidak saling menekan dan
memilih secara bebas jalan menuju islah ini.24
Islah dalam praktiknya adalah bersifat pribadi dan bilateral antara pelaku dan
korban. Dalam hal pelaku dan korban jumlahnya lebih dari satu maka tetap islah
ini dalam koridor perdamaian dua belah pihak. Namun, Islah inipun bersifat privat
atau pribadi dan tidak bisa dilakukan penyamarataan terhadap semua korban atau
pelaku. Sekali lagi bahwa islah adalah pilihan yang sifatnya pribadi antara pelaku
dan korban. Munculnya pemikiran tentang islah sendiri adalah sebuah proses
yang sering didahului dengan perubahan perspektif baik korban ataupun pelaku
dalam mensikapi peristiwa yang terjadi. Kedua belah pihak, baik pelaku maupun
korban, mengalami proses pemahaman tertentu sehingga lebih memilih proses
penyelesaian melalui perdamaian dan memilih untuk bermusywarah dan
memberikan permaafan.25
b.) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah
Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk dalam
ruang hukum publik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara warga
negara dan menitikberatkan kepada kepentingan publik. Secara historis,
hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi/
privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambilalih oleh
kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambilalih oleh
negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap suatu
24
Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003, hlm. 2-3. 25
Ibid
19
perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara, yaitu jaksa penuntut
umum.26
Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik
dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap
orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya
tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun dalam
kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
sering dilakukan. 27
Setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan
akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik.
Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik tersebut,
diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan
ketidakseimbangan tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh
pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan
juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan,
berarti dirinya harus menjalankan suatu hukuman yang berguna untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dinilai kurang baik dan
membahayakan kepentingan umum.28
Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada
umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi).
Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal
26
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 2. 27 Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang : CV.Agung,
1999, hlm.21. 28
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 3.
20
yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan
tersebut, yakni adalah : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.29
Secara teoritik, model peradilan pidana yang selama ini berkembang dalam
masyarakat sosial, dikenal dalam dua bentuk, yakni model dalam peradilan pidana
(In of Court System) dan model di luar peradilan pidana (Out of Court System).
Model dalam peradilan pidana dimaksudkan model penyelesaian yang bertolak
dari kaidah-kaidah normatif, yaitu kaidah yang secara tekstual normatif telah
disepakati untuk menjadi pedoman dalam proses penanganan perkara pidana, dan
dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal adanya model-model dalam sistem
peradilan pidana, yakni : crime control model, due process model dan family
model. Sedangkan model di luar peradilan pidana (Out of Court System) adalah
model yang dikembangkan dari kaidah-kaidah tradisi dalam kehidupan sosial
masyarakat dan atau praktik penegakan hukum, unutk menyelesaikan persoalan
hukum di luar proses persidangan formal.30
Meskipun pengadilan dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan konflik
yang muncul dalam masyarakat dan bersifat netral, tetapi pengadilan bukanlah
satu- satunya institusi dalam menyelesaikan konflik, karena pihak-pihak yang
berkonflik tidak selamanya menggunakan mekanisme penyelesaian pada badan
peradilan. Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan
di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.31
29
Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1997,
hlm.98 30
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 31 31 Trisno Raharjo, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, hlm.492 - 519
21
Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian tindak pidana
melalui pengadilan, dikenal dengan istilah win lose solution, di mana akan
terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti
ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak
enak” di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke
tingkat peradilan lebih lanjut atau lebih tinggi. Hal ini pada umumnya dicap
sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat
dihindari walaupun sudah menjadi suatu ketentuan.32
Sehingga banyak dari
masyarakat yang berhadapan dengan hukum lebih memilih jalur di luar
pengadilan, yakni dengan perdamaian (islah).
Dalam konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan
retributif, penderitaan atau kerugian korban telah diabstraksi dan
dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan pada
pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun sepenuhnya menjadi
kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau penderitaan
korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang
hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian
tindak pidana yang menurut pandangan retributif dikonsepsikan sebagai perbuatan
yang melanggar hukum negara. Dengan konsepsi tersebut maka negara, yang
aturan-aturan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku tindak pidana, menempatkan
diri sebagai korban dan juga berhak, melalui aparat penegak hukumnya, untuk
menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada si pelaku kejahatan. Dalam pandangan
32 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm.3-5.
22
retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadap-hadapkan
pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai
pihak yang aturan hukumnya telah dilanggar. Dalam konstruksi hukum pidana
yang demikian, segala keinginan korban yang berkaitan dengan penyelesaian
tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak diakomodasi.
Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan
kepada pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan
pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang
ditujukan kepada pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai
korban. Namun pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali
mengecewakan perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan.33
Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute
Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai
bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara
yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti
negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus,
seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia)
untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak
asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan
putusan yang tepat atau memuaskan semua pihak. Harapan-harapan lain itu
nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani
33
G. Widiartana, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro, 2011, hlm.14
23
melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan
atau Arbitrase itu memakan waktu yang lama, biaya yang tidak kecil,
penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan
pihak-pihak yang bersengketa.34
Adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur ADR
(Alternative Dispute Resolution) adalah bermaksud agar dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban. Pendekatan melalui jalur
ADR, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun
dalam perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini
sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995.
ADR ini merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan
peradilan pada posisi mediator.35
Praktik penyelesaian perkara pidana melalui jalur musyawarah antar
pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya merupakan suatu
kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini
dalam praktiknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum.
Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah yang terjadi
menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan
pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang
demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia
saja. Di sejumlah Negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab
34
Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam
dan Hukum Positif, Palembang : 2013 (Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 20:05 WIB) 35
Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
hlm.2.
24
pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan
dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi
pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan
restoratif. Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional
yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian
perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat.36
Untuk lebih jelasnya, keadilan restoratif juga dapat dilihat dalam United
Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, dinyatakan bahwa
restorative justice merupakan sebuah istilah baru terhadap konsep lama.
Pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan masalah
konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat. Karena
pendekatan-pendekatan retributif atau rehabilitatif terhadap kejahatan dalam
tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Oleh karenanya
menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice.
Kerangka pendekatan restorative justice melibatkan pelaku, korban dan
masyarakat dalam upaya untuk menciptakan keseimbangan, antara pelaku dan
korban.37
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi.
Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
36
Eva Achjani Zulfa, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang
kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana),
Universitas Indonesia. 37
Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
hlm.1-2
25
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban
dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang
dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui
mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya. Hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan konvensional tidak
memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, namun dalam hal restorative
justice, korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah
mereka.38
Model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan memalui
musyawarah yang bertujuan perdamaian, dapat digunakan sebagai model
alternatif atas daras pertimbangan kompleksitas masalah dan pada saat yang sama
untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran hukum pidana itu
sendiri.39
c.) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah
Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, perdamaian dalam perkara pidana
tidak selalu diupayakan layaknya perkara perdata. Karena upaya damai dalam
perkara pidana tidak pernah menjadi komponen yang utama dan tidak menentukan
baik di awal maupun diakhir proses penanganan. Hukum pidana menempatkan
perdamaian di luar pengadilan. Itulah sebabnya filosofi yang melatar belakangi
38
Jecky Tengens, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana
Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. 39
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Huku, Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 37
26
kehadiran peradilan pidana hanya berkisar pada upaya pengawasan sosial melalui
upaya penegakkan hukum materiil, dan melindungi hak-hak individu.40
Paradigma diatas ada benarnya, sebab paradigam dalam hukum pidana
bersifat retributif, di mana hukuman harus mengakibatkan pada si penjahat
kerugian atau penderitaan, atau paling tidak seimbang dengan apa yang diderita
korban. Namun, demikian bukan berarti penyelesaian perkara pidana di luar
peradilan tidak dapat dilakukan. Mengingat dalam hukum pidana sudah dianut
pola semacam itu. Hal ini dapat dilihat di bab VIII buku I KUHP, di mana ada
alasan penghapusan penuntutan, meskipun hanya terbatas pada tindak pidana
pelanggaran yang semata-mata diancam dengan denda.41
Dalam penyelesaian tindak pidana melalui islah/ perdamaian, dapat
dilakukan di luar pengadilan (konsep restorative justice). Hal itu dapat memutus
perkara menjadi tidak sampai dalam tahap persidangan, karena para pihak telah
berdamai atau telah menemukan sebuah kesepakatan sebelum kasus di
persidangkan. Namun, tentu hal itu hanya bisa terjadi pada delik tertentu. Pada
kasus tindak pidana biasa maupun pidana berat, perdamaian tidak dapat
menghentikan perkara kedalam persidangan, namun hal itu dapat menjadi
pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan.42
Hakim mempunyai wewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan
hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu
memenuhi rasa keadilan masyarakat saat ini, dengan mencakupkan pertimbangan
40
Soedjono Dirdjosisworo, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,
Bandung : Armico, 1984, hlm. 21 41
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 35 42
Wawancara kepada Alfitra, Jum‟at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.
27
hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek
kehidupan hukum.43
Dalam penyelesaian tindak pidana dengan konsep keadilan Restoratif,
setelah adanya penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama MAHKUMJAKPOL
tentang Perma Nomor 2 Tahun 2012 antara Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia dan Kepolisan Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara
Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dilakukan agar lembaga-lembaga hukum terkait dapat berkordinasi dengan baik
untuk menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dan dapat
mensosialisasikannya untuk mengadili dan memutus perkara-perkara yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan dan perkara-perkara yang dijatuhi
hukuman denda.44
Namun dalam praktiknya, tidak hanya tindak pidana ringan ataupun perkara-
perkara yang dijatuhi denda saja yang melakukan perdamaian atau proses islah di
luar peradilan pidana. Hal ini dapat terjadi dengan adanya diskresi kepolisian45
,
yang berwenang untuk memilih tindakan apa yang pantas kepada suatu perkara.46
43
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9 44
Anistia Retenia Putri Siregar, Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013. 45
Diskresi adalah kebijaksanaan kepolisian dalam hal memutuskan sesuatu tindakan tidak
hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku, tetapi
juga atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan menurut penilaiannya sendiri. 46
Wawancara dengan Dr. Alfitra, SH, MH
28
Menurut pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang diskresi kepolisian,
sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada polisi sebagai penyidik
untuk menerapkan filosofi restorative justice dalam penanganan perkara pidana.
Dengan diskresi ini, penyidik polri dapat memilih berbagai tindakan dalam
menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, dalah satu tindakan yang dapat
dilakukanya adalah mengimplementasikan restorative justice dengan cara
mendudukan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan
menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggung jawaban.47
Sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum
dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan hukum
hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan
kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum
oleh aparat penegak hukum ditandi dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di
masyarakat. Kepolisian sebagai alat Negara yang berperan dalam menegakkan
hukum diharapkan dapat merespons hal ini dengan menggunakan mekanisme
restotarive justice.48
Kepolisian dalam melaksanakan tugas harus selalu berpedoman pada hukum
dan mengenakan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran, namun kepolisian
juga dimungkinkan melakukan tindakan pembebasan seorang pelanggar dari
proses hukum, seperti adanya kewenangan diskresi kepolisian yang tertuang pada
Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
47
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hal.10. 48
Ibid, hlm. 1
29
Negara Republik Indonesia, yang bunyi pasalnya adalah untuk kepentingan umum
pejabat Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara RI.49
Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model
lembaga musyawarah untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Dengan
demikian, penegak hukum dapat menjadikanya sebagai solusi untuk mengatasi
kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam
mengimplementasikan keadilan restoratif. Polisi dapat melakukan hal ini melalui
hak diskresi yang dimilikinya karena hal itu merupakan kelengkapan dari sistem
pengaturan oleh hukum itu sendiri.50
Tugas polisi sebagaimana yang diatur dalam bab IV KUHAP memiliki
wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana,
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang
tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya, melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan, memeriksa dan menyita surat,
memanggil orang sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli,
mengadakan penghentian penyidikan, serta mengadakan tindakan lain menurut
49
Bram Wijaya, dkk.Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian
Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum
Fakultas Brawijaya, hlm.3 50
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hlm.14.
30
hukum yang bertanggung jawab.51
Hal senada juga dijelaskan dalam UU No.2
tahun 2002 tentang kepolisian.
Dengan demikian, kepolisian itu tidak perlu hanya memainkan peran yang
bersifat represif. Di lapangan, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat
represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan
bahkan jauh lebih kecil dengan pekerjaan yang pre-emptif. Pola yang demikian itu
mengisyaratkan bahwa cara kerja kepolisian bukan seperti pemadan kebakaran
yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului menculnya
kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emptif ketimbang
represif. Mengingat peran yang dimainkan oleh kepolisiaan secara komprehensif
seperti itu (represif-preventif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok
dikembangkan oleh kepolisian (dan tentunya perangkat hukum yang lainya)
dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah restorative justice.52
Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan
keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang mencarei
keadilan. Peran kepolisian dalam model peradilan restorative adalah sebagai
“fasilitator” dan bukan semata-mata sebagai “penghukum” (penegak hukum).
Dengan demikian hasil yang diharapkan dari proses peradilan restorative adalah
menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win
solution.
51
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011,
Cet.VII. hlm. 236. 52
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.7
31
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dalam perkara
pidana dapat dilakukan dengan pihak ketiga yaitu kepolisian sebagai fasilitator
untuk korban dan pelaku kejahatan agar bisa bermusyawarah dan mengupayakan
perdamaian di luar pengadilan.
Meskipun rumusan restorative justice itu belum ada dalam perundang-
undangan Indonesia namun tidak berari tidak ada dasar hukumnya. Dasar hukum
yang dapat dirujuk adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI, UU
Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, UU Nomor 13 tahun 2006 tentang LPSK, Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan kepada Saksi dan korban. Juga sila ke-4 Pancasila yaitu prinsip
musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah.53
Selain itu, restorative justice sudah secara jelas tertuang dalam UU No.11
tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, dimana proses peradilan tersebut wajib
mengedepankan restorative justice.54
Proses restorative justice ini dilakukan
melalui musyawarah dengan melibatkan anak (baik anak sebagai korban, pelaku,
maupun saksi). Proses ini dilakukan oleh penyidik (kepolisian) di luar pengadilan
atau sebelum perkara di persidangkan.55
53
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif
Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, Agustus
2013, hlm.10 54
Aqsa Alghifarri, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta:
LBH Jakarta, 2012, hlm.15 55
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
32
d.) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Dalam berbagaimacam wacana aktual, restorative justice atau keadilan
restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana di luar
pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem ini,
namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses
peradilan pidana yang konvensional.56
Ada beberapa manfaat diterapkanya retributive justice dalam sistem
peradilan suatu Negara. Manfaat pertama adalah bagi korban dan pelaku. Konsep
ini berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus membayar kesalahanya
melalui pemenjaraan. Adapun korban sering hanya “dimamfaatkan” sebagai saksi.
Setelah proses persidangan selesai korban akan ditinggalkan sendiri dengan segala
penderitaan dan kerugiannya. Sebaliknya, restorative justice justru akan lebih
memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa 80% korban
merasakan proses yang lebih fair dalam restorative justice. Mereka merasa lebih
less upset about the crime, less apprehensive and less afraid of revictimization
(kurang tau tentang kejahatan, kurang memprihatinkan dan kurang takut
reviktimisasi).57
Mamfaat kedua adalah bagi komunitas sekitarnya. Restorative justice tidak
hanya merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk
yang dirasakan komunitas. Program perdamaian yang menjadi icon restorative
justice diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan
56
Ibid. hlm. 08 57
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif
di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus
2013, hlm.12
33
masyarakat terdampak. Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah narapidana dan
residivis, dan manfaat keempat adalah menghemat biaya dan waktu.58
Realitas praktik penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui
prosedur perdamaian, terlihat bahwa pola penyelesaian yang demikian dirasa lebih
sesuai dengan adat istiadat dan atau nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya penyelesaian kasus-kasus
kriminal tertentu melalui prosedur perdamaian (conciliation procedure) dan atau
penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian atau ADR,
atau mediasi penal, memang dapat dibenarkan, tetapi bukan berarti dapat
dilakaukan dengan serta merta, tetapi harus memperhatikan kriteria yang ada.59
Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek
sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya
perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan
pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan
kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek
sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku,
latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah
pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada
korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.60
58
Ibid. 59
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40 60
Ibid.
34
Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan
sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan
masyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat. Restorative justice
menawarkan suatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus
kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi
hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian
perkara pidana yang menguntungkan.61
Ada beberapa keuntungan dengan
menjadikan kedilan restoratif sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara
pidana. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri
permasalahan hukumanya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara
berkurang. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem
peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan menjadi berkurang.
Dengan begitu maka beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem
peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan
pun akan berkurang.62
Jika ingin dibandingkan sistem peradilan pidana dengan restorative justice,
maka perbandingannya adalah demikian63
:
61
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04 62
Ibid, hlm.05 63
Ibid, hlm. 04
35
SPP RJ
Tujuan Menanggulangi dan Mengendalikan
Kejahatan
Mencari penyelesaian atas
tindak pidana yang terjadi
Tolok ukur
keberhasilan
Jumlah perkara yang diproses dan di
pidana yang dijatuhkan
Kesepakatan para pihak
dapat dijalankan
Tujuan akhir Mengintegrasikan pelaku kembali ke
masyarakat untuk menjadi warga yang
baik
Pemulihan hubungan social
antar stake holder
Bentuk
penyelesaian
Pembalasan, pemaksaan, penderitaan
bagi pelaku
Pemaafan, sukarela,
perbaikan untuk semua.
B. Tindak Pidana dan Pemidanaan
a.) Pengertian Tindak Pidana
Mendefinisikan tentang pengerian hukum tindak pidana tidaklah mudah. Hal
itu disebabkan para ahli memberikan pengertian hukum tindak pidana akan
berkaitan dengan cara pandang, batasan, dan ruang lingkup dari pengertian
tersebut. Seorang ahli hukum pidana yang memberikan pengertian tentang hukum
pidana tentu akan berimplikasi pada batasan dan ruang lingkup hukum pidana, hal
itu tentu saja akan berbeda dengan ahli hukum yang lainnya. Tidak mengherankan
apabila dijumpai banyak sekali pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh
para ahli hukum pidana yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.64
64
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.1
36
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar suatu larangan yang diatur
oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.65
Kata tindak pidana
berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar
feit, terkadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin
delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara anglo-saxon menggunakan
istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.66
Pada dasarnya istilah strafbaar feit diuraikan secara harfiah yang terdiri dari
tiga kata, yaitu Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, lalu Baar
yang diterjemahkan dengan dapat dan boleh, serta kata feit yang diterjemahkan
dengan kata tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar
feit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam
kajian selanjutnya tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum bukan
perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar
aturan hukum.67
Tindak pidana menurut undang-undang diartikan sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Dengan demikian perbuatan yang dituduhkan haruslah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh suatu perturan perundangn-undangan.68
Adapun istilah yang dipakai dalam hukum pidana sebagaimana yang ditulis
dalam buku Moeljatno, yaitu „tindak pidana‟. Istilah ini muncul dari pihak
65
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I
Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28 66
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 86 67
Ibid. hlm. 87 68
Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005, hal .1
37
kementerian Kehakiman, istilah ini sering dipakai dalam perundang-undangan.
Meskipun kata „tindak‟ lebih pendek dari „perbuatan‟ tapi „tindak‟ tidak
menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan
keadaan konkrit, sebagaimana hanya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
tindak adalah kelakukan, tingkah-laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani
seseorang.69
Oleh karena tindak sebagai kata tidak terlalu dikenal, maka di dalam
perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-
pasalnya, maupun dalam penjelasan undang-undang tersebut, hampir selalu
dipakai pula kata perbuatan.70
Selanjutnya, berikut adalah pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli
hukum. Menurut Moeljatno mengartikan hukum tindak pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai acaman maupun sanksi pidana tertentu bagi siapa
saja yang melanggarnya.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada seseorang yang telah
melakukan larangan-larangan, sehingga dapat dijatuhi atau dikenakan pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan bagaimana cara pemidanaan itu dapat dilakukan apabila orang
yang diduga telah melanggar ketentuan yang berlaku.71
69
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,
hlm.55. 70
Ibid. 71
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 2
38
A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena
“perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.72
Ia
menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum
dipakai sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin Delictum). Memang jika kita
perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan juga istilah delik di
samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan
“perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno
Adji, di samping menggunakan islitlah “perbuatan pidana” juga menggunakan
islitalh “delik”.73
Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang
dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau tindak pidana adalah kelakuan
yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan
dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.74
Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah
dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana
itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit,
yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act
berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.75
Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai
istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh
72
Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005, cet.I.
hlm.96 73
Ibid. 74
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet II, hlm. 88 75
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005, cet I,
hlm. 96
39
istilah yang mewakili, yaitu 1) tindak pidana, 2) peristiwa pidana, 3) delik, 4)
pelanggaran pidana, 5) perbuatan yang boleh dihukum, 6) perbuatan yang dapat
dihukum, dan 7) perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang
dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang
diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.76
b.) Kategorisasi Tindak Pidana
Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis
perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran.77
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP
kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).
Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal
KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.78
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau
tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undang-
undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala
in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat
perbuatan tesebut memang jahat.79
76
M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6 77
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101. 78
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, Cetakan Keenam,
2000. hlm.71 79
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101
40
Sebaliknya, pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan
yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet yang
menentukan demikian. Namun, sejak sebelum Wetbook v. Strafrecht mulai
berlaku, pandangan seperti itu telah ditentang. Hal itu disebabkan bahwa adanya
pelangggaran juga sudah ada sebelum adanya ketentuan wet, yang memang sudah
dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.80
Pembagian delik atau tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini
muncul dalam WvS (KUHP Belanda) pada tahun 1886, yang kemudian turun ke
KUHP Indonesia pada tahun 1918.81
Pembagian delik kejahatan dan delik
pelanggaran ini menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan
sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah
dianggap seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai
delik undang-undang, yang artinya setelah tercantum dalam undang-undang maka
hal tersebut dapat dipandang sebagai delik.82
Manurut Moeljatno, KUHP di Indonesia hanya membagi delik kejahatan
dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau entengnya pidana saja.83
Selain
daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi delik kejahatan adalah lebih
berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa84
:
80
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.
hlm.71 81
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,
hlm. 106 82
Ibid. 83
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya,
2000,hlm.72 84
Ibid.
41
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau
kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan
jika menghadapi pelanggaran maka hal itu tidak perlu.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54). Juga
pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
4. Perihal tenggang daluarsa, baik hak untuk menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.
5. Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda untuk
pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah
daripada pidana berat (pasal 65, 66-70).
Pembagian tindak pidana pun tidak hanya terbagi dalam delik kejahatan dan
pelanggaran, tindak pidana pun dikategorisasikan dalam delik materiil dan delik
formil. Yang pertama adalah perbuatan pidana yang dalam perumusanya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana formil adalah
perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanya perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya, seperti
yang tercantum dalam pasal 362 KUHP dan pasal 160 KUHP. Sedangkan
perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap
telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi. 85
85
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.102.
42
Selain kategorisasi di atas, pembagian tindak pidana juga dapat dibedakan
atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang dalam
penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau
dirugikan. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaraktkan adanya
pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan
penggelapan.86
c.) Unsur-unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari atas unsur-
unsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karena hal itu, yakni suatu kejadian dalam alam lahir (kejadian
yang nyata).87
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik terdiri dari dua
golongan, yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur
objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang semuanya
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.88
Adapun unsur-
unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur-unsur
Subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap
suatu perbuatan yang dilakukannya.89
86
Ibid. hlm.103 87
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,
hlm.58 88
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa,
t.th), hlm. 65 89
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992, hlm. 29
43
Menurut Mahrus Ali, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana, ketika
dikatakan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana bagi yang melakukanya, maka unsur-unsur perbuatan
pidana meliputi beberapa hal, yaitu90
:
1. Perbuatan itu berwujud suatu kelakukan, baik aktif maupun pasif, yang
mengakibatkan timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2. Kelakukan yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam
pengertianya yang formil maupun materiil.
3. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan
dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait
dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan
pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya, berkaitan
dengan diri pelaku delik, tempat terjadinya delik, keadaan sebagai syarat
tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Moeljatno, ia mengatakan bahwa yang
merupakan unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah adanya kelakuan
dan akibat perbuatan, adanya hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana, adanya unsur melawan
hukum yang objektif maupun unsur yang melawan hukum subyektif.91
Dalam bukunya pun Moeljatno kembali menekankan, bahwa sekalipun dalam
rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa
perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan
90
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.100. 91
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.
hlm.63
44
pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir,
namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat
melawan hukum yang subjektif.92
Dalam hukum pidana, istilah “sifat melawan hukum” adalah satu frasa yang
memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum
umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formil, dan sifat
melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat
umum dapat dipidana suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum khusus
biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.93
Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, adakalanya perkataan
“melawan hukum” dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik
dan adakalanya tidak. Jika perkataan “melawan hukum” dirumuskan dan
dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti
penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidananya orang
yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang.94
Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal dua
jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat
melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
92
Ibid. 93
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.142. 94
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang : UUM Press, 2008, hlm. 211.
45
hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
dalam undang-undang.95
Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil
berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya
didasarkan pada undang-undangn saja, atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga
didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan dikatakan
telah memenuhi unsur melawan hukum materiil apabila perbuatan itu merupakan
pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup
dalam masyarakat.96
d.) Tujuan Pemidanaan
Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan untuk diri sendiri tetapi
ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.
Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.97
Teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan dalam sistem
hukum Eropa Kontinental yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.
Sedangkan teori pemidanaan dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu teori
retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.98
Dalam
karya tulis ini, penulis akan lebih menjelaskan teori tujuan pemidanaan Eropa
Kontinental.
95
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.45 96
Ibid. hlm.147 97
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,
hlm. 30 98
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.186.
46
1. Teori Absolut
Teori absolut bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.99
Teori
absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.100
Teori ini mirip dengan teori retribution
dalam Anglo Saxon.
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkanya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan mamfaat menjatuhkan
pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.
Maka drai itu, teori ini disebut teori absolut, karena penjatuhan pidana merupakan
hal yang mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi
keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.101
99
Ibid. hlm.187. 100
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998, hlm. 49. 101
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,
hlm. 33
47
2. Teori Relatif
Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan
pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana
(special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa
mendatang, serta secara umumnya bertujuan untuk mencegah masyarakat luas
(general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti
kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainya.102
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.
Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu : menakutkan, memperbaiki, atau
membinasakan. Prevensi ini dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan
khusus. Prevensi umum yaitu bertujuan untuk menghendaki agar orang-orang
pada umumnya tidak melakukan delik.103
Sedangkan prevensi khusus, yang dianut
oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan
prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) untuk mengulangi
perbuatanya, atau mencegah bakal pelanggar melasanakan perbuatan jahat yang
direncakanaya.104
3. Teori Gabungan
Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran
yang terdapat dalam teroti absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa
penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga
102
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.190. 103
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,
hlm. 34 104
Ibid. hlm.37.
48
dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke
masyarakat.105
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan
pidana, yaitu106
:
1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikanya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 5).
Dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dengan demikian dapat dikatan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP
merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha
prevensi, koreksi, kedamain dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah
pada terpidana.107
105
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.191 106
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,
hlm. 38 107
Ibid, hlm. 39
49
BAB III
KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan kata al-islah yang artinya
memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan,
berusaha mewujudkan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan
orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, dan melakukan perbuatan
baik berperilaku sebagai orang suci.108
Secara bahasa, akar kata islah berasal dari lafazh صلح –يصلح –حب yang صال
berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata islah merupakan bentuk
mashdar dari wazan إفعبل yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan
mendamaikan, (penyelesaian pertikaian). Kata صال ح merupakan lawan kata dari
إ صلح Sementara kata .(rusak) فسبد / سيئة biasanya secara khusus digunakan untuk
menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. 109
Iṣ lah ialah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan
antara dua pihak yang sedang saling berperkara. Iṣ lah merupakan sebab untuk
mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian.
Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, maka
dari itu islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran, menghilangkan
hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan, serta yang menimbulkan
108 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997, hlm. 740 109
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, hlm.13.
50
sebab-sebab yang menguatkan, yakni persatuan dan persetujuan, hal itu
merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.110
Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al‟afwu, bahkan ada
beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al‟afwu. Namun, dari Islah
dan al‟afwu berbeda secara definisi maupun konsep. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar
pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh
pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian di
antara kedua belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara
kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang
masih memungkinkan dilakukan qisash. Dalam konteks jinayat dan lebih khusus
lagi persoalan pembunuhan, secara implisit menarik satu garis pembeda antara
al‟afwu dan ishlah dengan melihat arti makna inisiatif kompensasi itu berasal.
Jikalau inisiatif pemberian kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal
dari kedua belah pihak, maka itu dikatakan ishlah (perdamaian). Sedangkan jika
inisiatif pemberian kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya
pihak korban), maka yang demikian itu masuk dalam kategori al‟afwu
(pemaafan).111
Pembedaan antara islah dan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya terdapat
pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktik, sangat mungkinkan terjadi
110
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
455 111
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm. 27-28.
51
persamaan teknis dalam pelaksanaannya sebagai satu metode penyelesaian suatu
jarimah. Bahwa islah merupakan konsep perdamaian secara umum untuk masalah
keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula dalam
bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan para pihak.
Sedangkan al‟afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis berupa
pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan
konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat (kompensasi) atau
tanpa kompensasi.112
Secara istilah, islah bisa diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya
dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, islah
dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari
keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik
lawan dari perbuatan tidak baik.113
„Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua
amal perbuatannya dan segala urusannya. Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan
al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata islah mempunyai arti
mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus serta mengembalikan fungsinya
untuk dimanfaatkan.114
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa, ada puluhan ayat dalam Al-Qur‟an
berbicara tentang kewajiban melakukan salah dan islah. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab, kata ṣ alah diartikan sebagai antonym dari kata fasad (kerusakan),
112
Ibid. 113
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. hlm.14 114
Ibid
52
yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Qur‟an dalam dua bentuk: Pertama islah yang selalu
membutuhkan objek; dan kedua adalah salah yang digunakan sebagai bentuk kata
sifat. Sehingga, salah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada
sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga
tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk
menghadirkan nilai tersebut dan hal yang dilakukannya itu dinamai islah.115
b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap
sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai
bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara,
baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-
forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.116
Islah dalam Islam merupakan satu konsep yang utuh dalam penyelesaian suatu
perkara. Secara mendasar terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses
islah, yang pertama adalah pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak,
yaitu pihak yang berkonflik dalam hal kejahatan dan harus ada korban serta
115
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
464 116
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004, hlm. 18
53
pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, islah merupakan
proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban.117
Terdapat anggapan selama ini bahwa dalam suatu perkara atau kasus hukum,
terutama pada kasus-kasus pidana, pilihan penyelesaian perkara melalui peradilan
menjadi pilihan utama, karena itulah satu-satunya penyelesaian perkara yang
dianggap legal di negeri ini. Namun demikian, salah satu alternatif penyelesaian
perkara yang dianggap lebih mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang
panjang untuk selesainya sebuah perkara yaitu dibuatnya lembaga pemaafan.
Lembaga pemaafan dapat menangani segala jenis jarimah dalam Islam, maka
dapat dikatakan bahwa ditetapkannya lembaga pemaafan dalam sistem hukum
pidana nasional menjadi sangat urgen, bukan saja karena lembaga ini diakui
dalam hukum tetapi juga karena keberadaan lembaga pemaafan ini akan
mengurangi masalah yang dihadapi oleh para pihak yang bertikai.118
Pandangan bahwa Islam sangat menekankan penyelesaian perkara di luar
mekanisme peradilan, juga dapat ditelusuri dari berbagai konsep dalam Al-
Qur‟an. Yakni konsep islah (perdamaian), sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-
Hujurat/49 : 9.119
117
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm.31. 118
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.450 119
Ibid, hlm. 455
54
“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya
terhadap yang lain maka tidaklah kelompok yang berubuat aniaya itu sehingga ia
kembali keoada perintah Allah, jika ia telah kembali maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orangorang yang berlaku adil.”
Ayat di atas menggunakan kata (إن). Kata ini untuk menunjukan bahwa
pertikaian antar kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang
terjadi. Karena orang-orang itu adalah orang yang beriman juga dan memiliki
tujuan yang sama. Kata iqtatalu ( ) terambil dari kata qatala ( إ قتتلوا قتل ). Ia dapat
berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Dengan demikian, perintah fa
qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikn perangilah, karena
memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh.
Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut – lebih-lebih dalam konteks ayat
ini – adalah tindaklah. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman
agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan
nampak. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkanlah api sebelum
menjalar.120
Kata iqtatalu ( إقتتلوا ) berbentuk jamak, sedang tha‟ifatani (طبءفتبن) berbentuk
dual. Sepintas mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian
kenyataanya. Hal tersebut karena – menurut sementara pakar – di sebabkan karena
120
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 13,
Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 244
55
jika terjadi peperangan atau perkelahian antara dua kelompok, yang akhirnya
menjadi lebih dari dua orang, tetapi tetap itu menjadi dua pihak. Kata ashlihu
.(صلح) yang asalnya adalah shaluha (أصلح) terambil dari kata ashlaha (أصلحوا)
Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan anonym kata fasada ( فسد )
yang artinya rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluha
berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang ishlah
adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu (إصالح)
sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar manusia,
maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan. Apabila terjadi kerusakan,
maka hal ini menuntut adanya islah, yakni perbaikan agar keharmonisan pulih,
dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemashlahatan.121
Ayat di atas merupakan landasan hukum untuk memaafkan tindak pidana Al-
Baghyu (pemerontakan). Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk
mendamaikan. Namun jika salah satu kelompok dari dua golongan masih
memberontak dan melampaui batas maka diperbolehkan untuk memerangi mereka
hingga mereka kembali jalan yang benar. Namun, pemberontakan yang dimaksud
ialah bahwa pemberontakan hanya dilakukan kepada kepala negara yang sah dan
berdaulat. Apabila dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu
negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak
disebut pemberontakan.122
Selain dasar hukum perdamaian dan pemaafaan di atas, dasar hukum
perdamaian juga tertera dalam hadis Nabi SAW dari Sahl bin Sa'ad ra : “bahwa
121
Ibid. hlm. 244 -245 122
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.66-67
56
sesungguhnya penduduk Quba berperang-perangan (berkelahi) sampai mereka
berlempar-lemparan dengan batu. Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw,
Beliau bersabda: "marilah kita pergi ke sana dan kita damaikan mereka".
(HR.Imam Bukhari, Kitab Shahihul Bukhari, Terjemah, Juz III, hal 76, no
1248).123
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui doktrin Islam tentang penyelesaian
perkara adalah penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara pihak-pihak
yang berperkara tanpa harus melalui proses hukum di depan hakim pengadilan.
Hal-hal yang saat ini baru muncul dan menunjukkan kekurangan dari sistem
peradilan konvensional, sebenarnya telah disadari dalam Islam sehingga
dianjurkan untuk tidak terburu-buru membawa setiap perkara ke pengadilan.
Karena jiwa yang telah didoktrin dengan ajaran pemaafan merupakan jiwa yang
menjadi tujuan setiap muslim untuk mencapai ketaqwaan, maka diyakini perkara
itu dapat diselesaikan di antara pihak-pihak berperkara. Doktrin Islam tentang
lembaga alternatif penyelesaian perkara pidana bahkan telah merupakan hukum
postif yang berlaku dalam negara dan masyarakat Islam mendahului doktrin
sistem hukum manapun. Lembaga itulah yang dikenal sebagai lembaga pemaafan
yang terukir dalam sejarah awal Islam.124
123
Misnawati Mistiah, Samudrailmu.blogspot.com, blog ini diakses pada 10 Desember
20014 pukul 19.30 WIB 124
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm
460.
57
c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Salah satu ketentuan mengenai hubungan antar orang perorang adalah
mekanisme penyelesaian konflik ketika manusia menghadapi sengketa hukum.
Al-Quran mengatur proses penyelesaian sengketa ini melalui jalur pengadilan
maupun di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur non
pengadilan dapat dilakukan di antaranya oleh seorang hakam (Pihak ketiga).125
Ḥakam ini berfungsi sebagai penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang
sedang berperkara. Istilah teknis penyelesaian perkara non-litigasi, ḥ akam sejajar
dengan mediator atau arbitator.126
Menurut Amin Suma, salah seorang anggota tim revisi KUHP, beliau pernah
menyatakan bahwa salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam fikih
jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa
bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga
korban. Ketika diwawancarai oleh Nanang Shaikhu dari UIN Online, Amin Suma
mengatakan “Saya pernah menjadi tim perumus RUU KUHP. Saya memaparkan
bahwa salah satu institusi dalam pidana Islam terdapat “pemaafan”. Institusi ini
setahu saya adalah khas milik hukum pidana Islam, dalam hukum pidana lain
tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang yang melakukan pembunuhan tetapi
jika pihak keluarga korban memaafkan, maka ia bebas sama sekali dari hukum.
125
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 126
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
461.
58
Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian, tetap perbuatanya harus
diproses.127
Penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam dapat dilakukan
melalui lembaga “pemaafan” dengan menghadirkan Hakam di antara pihak yang
sedang berperkara. Dalam kamus Munjid disebutkan bahwa, “arbitrase” dapat
disepadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata
“hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai
pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama
dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yaitu pengangkatan seseorang atau lebih
sebagai wasit oleh dua orang yang berperkara atau lebih, guna menyelesaikan
perselisihan perkara mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut
dengan “hakam”.128
Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut istilah
fiqih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang
mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan perkara para pihak yang
bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian
“tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah
memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia dengan
ucapan yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan pengertian “tahkim”
menurut ahli hukum dari kelompok Syafi‟iyah yaitu memisahkan pertikaian
127
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
450. 128
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
59
antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan
menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilakukanya.129
Hakam dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatir persengketaan diantara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah member taufik kepada suami-istri-mu iyu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal,
apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami-istri yang
bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka
hakam dan, dengan begitu, mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan
kemashlahatan, baik disetujui oleh para pihak maupun tidak. Pendapat ini juga
dianut oleh sejumlah sahabat Nabi SAW, juga kedua imam mazhab Malik dan
Ahmad Ibn Hanbal.130
Meskipun konsep tahkim, al-hakam, dan hakamain, dalam Al-Qur‟an lebih
mengacu pada perkara perdata, yaitu perceraian, tetapi dalam perkembangannya,
ternyata konsep tersebut juga digunakan dalam perkara-perkara yang terkait
dengan pidana. Seperti, perkara yang terjadiantara Ali bin Abi Talib dengan
Muawiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terjadinya perang Siffin
129
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 130
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 2.
Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm.522.
60
diselesaikan dengan sebuah mekanisme yang dikenal dalam sejarah sebagai
“tahkim”.131
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Menurut Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan
bahwa Allah mewajibkan qisash jika - wahai keluarga terbunuh- menghendakinya
sebagai sanksi akibat pembunuhan. Tetapi pembalasan itu harus melalui pihak
yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Jangan menuntut seperti adat
Jahiliah, membunuh orang merdeka walau yang terbunuh adalah hamba sahaya,
jangan juga menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh
secara tidak sah hanya seorang, karena makna qisash adalah “persamaan”. Tetapi
131
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hal.
455.
61
jika keluarga teraniaya (korban) ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi
itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.132
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya
sekemanusiaan, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat yakni tebusan kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik pula. Jangan sekali-kali yang memaafkan
menuntuk tebusan yang tak wajar. Yang demikian itu, adalah ketetapan hukum
tersebut, yakni suatu keringanan dari Tuhan kamu agar tidak timbul dendam atau
pembunuhan beruntun, ia juga merupakan rahmat bagi keluarga korban dan
pembunuh.133
Jarimah qisash dalam fiqih jinayah ada 2, yaitu qisash karena melakukan
jarimah pembunuhan, dan qisash karena melakukan jarimah pengaiayaan. Adapun
jarimah pembunuhan menurut ulama fiqih terbagi dalam 3 kategori, yaitu
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi-sengaja dan tersalah.134
Adapun sanksi hukuman qisash hanya berlaku bagi tindak pidana
pembunuhan yang pertama, yakni pembunuhan sengaja. Adapun dua jenis
pembunuhan yang lain sanksinya dalah diyat. Demikian juga sanksi pembunuhan
sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban, sanski hukumanya juga berupa
diyat. Mengenai jumlah diyat yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana adalah
berupa diyat berat, ataupun diyat ringan. Perbedaan kedua diyat tersebut terletak
pada jenis dan umur unta, tetapi jumlah untanya tetap sama baik diyat ringan
132
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 1,
Jakarta : Lentera Hati, 2007, hal. 393 133
Ibid. 134
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.5-7.
62
maupun diyat berat, yakin sama-sama 100 ekor unta. Untuk diyat ringan, hanya
terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain berumur 1-2 tahun, 20
ekor yang lain umurnya 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20 ekor
lagi berumur 4-5 tahun. Sedangkan diyat berat terdiri dari tiga kategori terakhir di
atas ditambah 40 ekor unta yang sedang mengandung atau bunting.135
Kasus pidana yang secara jelas dapat diserahkan kepada lembaga pemaafan
ini, adalah jarimah pembunuhan, sebab kasus itulah yang disebutkan secara tegas
dan langsung dalam Al-Qur‟an, yang memberikan hak kepada keluarga korban
untuk menentukan jenis hukuman apa yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana. Namun ada Hadis Nabi saw. yang menunjukkan bahwa kasus-kasus
pidana yang lain pun dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga pemaafan
ini.136
Dalam wewenangnya sebagai lembaga pemaafan, hendaknya melihat jarimah
apa yang menjadi pertikaian di antara para pihak. Dalam hukum pidana Islam,
dikenal tiga macam jarimah (tindak pidana), yaitu jarimah Hudud, Qisash, dan
Ta‟zir. Jarimah sendiri menurut bahasa, berasal dari kata Jarama yang artinya
berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Imam
al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat syari
(mahzurat syar‟iyyah), yang diancam oleh Allah SWT dengan sanksi had atau
ta‟zir.137
135
Ibid. 136
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
456 137
Ibid. hlm. 456.
63
Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya „uqubah
(hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan (jani) meninggal
dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu
saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus tindak pidana
qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman terhadap hartanya tetap
harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah
pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur jika para
pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar
pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari pada
diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam
perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat,
karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat
gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau walinya. Adapun dalam
perkara hudud tidak boleh ada maaf, karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang
diberikan, baik itu diberikan oleh korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah.138
Secara bahasa, lafal hadd atau hudud berarti pencegahan, dan yang dimaksud
dengan hudud Allah adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena dilarang.
Jarimah Qisash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman Qisash
atau diyat. Baik Qisash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah
ditentukan oleh syara‟. Perbedaan qisash dengan hukuman hadd adalah bahwa
hadd merupakan hak Allah (masyarakat), sedangkan qisash dan diat adalah hak
manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana
138
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Hlm. 63.
64
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah “suatu hak yang manfaatnya kembali
kepada orang tertentu”. Pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman
tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Sedangkan, jarimah takzir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman takzir.
Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pelajaran atau
menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagaimana dikemukakan
oleh imam Al-Mawardi bahwa “Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa
(tindak pidana) yang belum di tentukan hukumannya oleh syara‟.139
Ta‟zir adalah bentuk masdar dari kata yang secara etimologis berarti يعزر -زرع
نصره yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti , الرد والمنع
menolong dan menguatkan. Hal ini serupa dalam firman Allah SWT berikut :
Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)-Nya, membersarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath : 9).140
Kata ta‟zir dalam ayat diatas juga memiliki arti عظمو و وقره وأعبنو وقواه
yaitu membersarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (Agama
Allah). Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa
ta‟zir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.141
139
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
465-467 140
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136 141
Ibid.
65
Menurut Nurul Irfan dalam buku fiqih Jinayah, ta‟zir ialah sanksi yang
diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan
dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk dalam kategori
hukuman hudud ataupun kafarat. Karena ta‟zir tidak ditentukan secara langsung
oleh Alqur‟an dan hadis. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, harus
tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kepentingan
umum.142
Ta‟zir memang tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun,
bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di
antara sekian banyak jenis dan bentuk ta‟zir berupa hukuman mati.143
Berbeda dengan hudud, menurut Makhrus Munajat, jarimah hudud umumnya
diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara
mutlak oleh Allah SWT, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan
hukuman selain hukum yang ditetapkan Allah. Alasan para fuqaha
mengklasifikasikan jarimah hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan
yang disebut secara rinci oleh Al-Qur‟an sangat mendatangkan kemaslahatan baik
perorangan maupun kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya secara definitif
disebut secara langsung oleh lafal yang ada dalam Al-Qur‟an, sementara pidana
lain tidak.144
Jika mengacu pada hadis-hadis Nabi SAW yang telah dikemukakan. "Saling
memaafkanlah kalian dalam kasus-kasus hukum sebelum datang kepada saya
142
Ibid. hlm.140 143
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah,
2012, hlm. 147 144
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.462
66
(untuk mendapatkan putusan), sebab kasus hukum apa saja yang sampai kepada
saya, maka saya wajib menegakkan hadd". Hadis ini mengindikasikan bahwa
kasus-kasus hukum apa pun dapat diselesaikan melalui mekanisme Lembaga
Pemaafan.145
Rasulullah bersabda Dari Abu Syuraih al-Khaza‟iy berkata, “Saya mendengar
Rasulullah SAW berkata, "Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau penganiayaan
(al-khubl adalah al-jarah, yakni penganiayaan badan), maka ia berhak memilih
salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya, mengambil diyat, atau memaafkan,
maka jika berkehendak yang keempat ambillah dari kedua tangannya.”146
Dalam
hadis lain pun yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari Amr bin Syuaib dari Bapak
dari Kakeknya, Rassulullah SAW bersabda, yang artinya: “Barang siapa dengan
sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika
wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal (qisash), mereka dapat
membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat mengambil
diyat (denda). Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada wali mereka.”
kasus-kasus hukum sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan melalui jalur non
litigasi sebelum dibawa ke pengadilan. Maka, lembaga pemaafan dapat berfungsi
sebagai alternatif penyelesaian perkara sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan.
Jika perkara-perkara yang tergolong jarimah hudud masih diperdebatkan menjadi
kewenangan Lembaga Pemaafan, maka perkara-perkara lainnya yang termasuk
145
Ibid. Hlm.465 146
Misnawati, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif. Samuderailmu.blogspot.com. Artikel ini di akses pada 12 Desember 2014 pukul
19.00 WIB
67
jarimah qisash/ diat dan jarimah takzir, sama sekali tidak ada masalah jika
menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan.147
Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan atau perdamaian
adalah orang yang memiliki hak qishash. Jumhur ulama yang terdiri atas Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pemilik qishash
adalah semua ahli waris, baik zawil furudh maupun ashabah, laki-laki maupun
perempuan dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Lain halnya dengan Imam
Malik, menurutnya pemilik hak qishash adalah ashabah laki-laki yang paling
dekat derajatnya dengan korban dan perempuan yang mewarisi dengan syarat-
syarat tertentu mereka adalah mustahik (ahli waris) qishash.148
Sedangkan, untuk jarimah qisash para ulama telah sepakat tentang
dibolehkannya perdamaian, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur.
Perdamaian dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar
dari pada diat, sama dengan diat, atau lebih kecil dari diat. Juga boleh dengan cara
tunai atau utang (angsuran), dengan jenis diat atau selain jenis diat dengan syarat
disetujui (diterima) oleh pelaku jarimah. Akan tetapi, dalam hukum qishash itu
terkandung dua hak, yaitu hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu),
penguasa (negara) masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta‟zir. Pendapat
ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Hukuman ta‟zir menurut
malikyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid (dera) sebanyak seratus kali.
147
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.466 148 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm.30.
68
Akan tetapi menurut Syafi‟iyah, Hanabilah, Ishak, dan Abu Tsaur, pelaku tidak
perlu dikenakan hukuman ta‟zir. 149
Salah satu jarimah qisash adalah pembunuhan, Ibn Qudamah dalam kitabnya
al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-Laist dan al-Auza‟i telah
menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan oleh wali korban, maka dia
dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu tahun. Sedangkan al-Syafi‟i, Ishak,
Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat bahwa si pembunuh boleh diberi
kebebasan penuh. Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah
dalam bukunya al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami menegaskan bahwa jika pihak
korban memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan
(private rights) yaitu hukuman qisash atau diyat saja. Sedangkan hak Allah yang
dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa hukuman ta‟zir.150
Adapun dasar pelaksanaan islah menurut Abd al-Qadir Audah selain QS. Al-
Baqarah (2):178, adalah Hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa
melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si
terbunuh apakah akan menuntut qisash atau akan mengambil diyat, hak islah
sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi). Menurut
Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada islah sama dengan hukum yang ada
pada „afw. Siapa yang memberi maaf maka dia telah melakukan islah. Apa yang
terjadi pada islah juga sama dengan yang terjadi pada „afw, yakni sama-sama
menggugurkan qisash. Maaf dalam perkara ta‟zir dapat dilakukan oleh wali al-
149
Ibid. 150
Ibid.
69
amr. Karena ia yang mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam
tindak pidana ta‟zir. 151
d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Islah atau sulh adalah suatu proses penyelesaian perkara ketika para pihak
bersepakat mengakhiri perkara mereka secara damai. Islah/ sulh memberikan
kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan
perkara. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar perkara
mereka dapat diakhiri. Al-Qur‟an menganjurkan memilih sulh sebagai sarana
penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat
memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam
penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman hati,
kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.152
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama
dalam menata hubungan sosial. Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat
memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat yang mengutamakan
perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kekompakan di antara individu dalam masyarakat.153
Islah dinilai mampu mengobati luka hati rakyat. Islah dapat mencegah
masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam,
151
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, hlm.65 152
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.465. 153
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, hlm.51
70
melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban
sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.154
Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjaga
agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara
“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau
melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa
depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada
penuntutan pidana.155
Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang semua
manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan antarsesama.
Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-diyat, tetapi
memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.156
Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak
selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan
dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang
bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya
dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari ishlãh dapat
digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.Termasuk dalam
konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai
154
Ibid. hlm.8-9. 155
Ibid.. 156
Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,
November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB
71
universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan
keadilan.157
Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-Qur‟an
dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat toleran
dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan kepentingan
umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain jarimah hudud.
Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak Allah yang
ketentuanya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah diharapkan dapat
membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa dendam maupun
penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kemabali rukun.
157
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, hlm. 53
72
BAB IV
PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH
a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung
Jawaban Pidana Anak.
Kasus pelanggaran lalu lintas tak jarang mengakibatkan kecelakaan. Tak
hanya oleh orang dewasa, kasus pelanggaran serta kecelakaan lalu lintas pun
banyak dilakukan oleh anak di bawah umur. Maraknya kecelakaan lalu lintas yang
melibatkan anak di bawah umur diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi para
orang tua agar lebih mengawasi dan menjaga putra putri mereka, selain
mengancam nyawa dan psikologis si anak, terjadinya kecelakaan juga
menyebabkan anak mempunyai catatan kelam dalam hukum yang bisa
mempengaruhi masa depannya. 158
Salah satu kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak-anak adalah
kasus pelanggaran lalu lintas yang terjadi pada hari Minggu tanggal 8 September
2013 sekitar pukul 01.00 WIB, bertempat di Jalan Tol Jagorawi KM 08.400 A
arah selatan wilayah Jakarta Timur. Kejadian melibatkan kendaraan Mitsubhisi
Lancer Nopol B-80-SAL, dengan kendaraan Daihatsu Grand Max Nopol B-1347-
UZJ, dengan kendaraan Toyota Avanza Nopol B-1882-UZ. Diketahui bahwa
pengemudi kendaraan Mitsubhisi Lancer adalah Achmad Abdul Qadir Jaelani
berusia 13 tahun, Laki-laki, pekerjaan pelajar, tempat tinggal di Pinang Emas
158
thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret
2015 pukul 14.45.WIB
73
VII/D4 RT8/3 Pondok Indah Jaksel. Pengemudi kendaraan Mitsubhisi Grand Max
teridentifikasi sebagai Nugroho Brury Laksono berusia 35 tahun, jenis kelamin
laki-laki, pekerjaan karyawan swasta, dan beralamat di Kampung Bendungan
Melayu Rt 006/01 Rawa Badak Selaran Koja, Jakut. Sedangkan pengemudi
kendaraan Toyota Avanza teridentifikasi sebagai Hendra Sasongko, laki-laki,
pekerjaan swasta, dan beralamat di Asrama Janang Ratmil RT02/02 Jakarta
Utara.159
Kecelakaan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi 8 September tersebut
menewaskan enam orang dan sembilan lainnya luka-luka ini, kecelakaan maut
yang terjadi pada pukul 00:24 dini hari ini menjadikan Abdul Qodir Jaelani atau
yang akrab dipanggil Dul sebagai tersangka utama penyebab kecelakaan tersebut.
Anak bungsu musisi Ahmad Dhani yang mengendarai mobil sedan dengan plat
polisi B 80 SAL ini menabrak pagar pemisah dan masuk ke jalur berlawanan,
yang kemudian mobil yang dikendarainya menghantam mobil Avanza dan
Grandmax yang berisi 13 penumpang yang datang dari arah berlawanan. Peristiwa
yang terjadi di kilometer 8+200 ini terjadi ketika Dul memacu kendaraan dari arah
Cibubur menuju Jakarta. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Dul lepas
kendali dan menabrak pembatas jalan. Diduga mobil yang dikendarai Dul melaju
dengan kecepatan di atas 100 Km per jam.160
159
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad
Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-
lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul
15.00WIB 160
e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015
pukul 13.10 WIB.
74
Lebih jelasnya, kronologis pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan
ini terjadi ketika Mobil Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang dikendarai oleh Dul
datang dari arah selatan menuju utara menabrak pagar tengah hingga melayang ke
arah jalur berlawanan. Mobil itu menghantam Daihatsu Grandmax B 1347 UZJ
dan terdorong mengenai Avanza B 1882 UZ. Akibat kecelakaan yang terjadi
sekitar pukul 00.45 WIB. Korban meninggal di TKP sebanyak 6 orang sedangkan
1 orang meninggal di rumah sakit, jadi korban yang meninggal sebanyak 7 orang,
dan 9 orang mengalami luka-luka.161
Kasus kecelakaan maut ini menjadikan Dul sebagai tersangka, disebabkan
Dul lalai dan mengakibatkan tujuh korban tewas. Selain itu, Dul juga dijerat pasal
berlapis yaitu pasal 310 ayat 3 dan 4 UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas,
serta pasal 105 tentang ketertiban, 106 tentang mengemudi dengan wajar dan
berkonsentrasi, dan pasal 281 tentang kewajiban pengemudi mmeiliki SIM.162
Pasal 310 ayat 3 UULAJ No.22 tahun 2009 : “Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
Kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”163
Pasal 310 ayat (4) yaitu : “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan
161
thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret
2015 pukul 14.45.WIB 162
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad
Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-
lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul
15.00WIB 163
UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
75
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”164
Kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Dul mengakibatkan
dirinya harus berhadapan dengan hukum. Menurut pasal 1 Undang-undang no.11
tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.165
Jika ditinjau dari segi
yuridis, dul masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori
anak anak. Namun dalam undang undang no 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilam anak, anak dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang telah berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Kejadian itu seharusnya bisa menjadi renungan bagi para orang tua,
terutama yang memiliki anak remaja agar tidak bersikap permisif dan harus
menerapkan disiplin pada anak.166
Di Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang mengatur
tentang hukum bagi anak, baik sebagai pelaku pidana maupun sebagai korban dari
suatu tindak pidana. Perlindungan hukum kepada anak adalah upaya hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak anak (fundamental rights and freedom of
children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
164
Ibid. 165
UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 166
Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum
Islam (Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014. Hlm.4
76
anak.167
Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah
mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di
bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan
perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.168
Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.11 tahun 2012, sistem peradilan anak wajib
mengedepankan pendekatan kedilan restorative. Untuk mewujudkan keadilan
restorative diperlukan pelibatan seluruh orang-orang yang punya kepentingan dari
suatu tindak pidana yakni pelaku, korban, keluarga korban serta masyarakat. Yang
dimaksud pelibatan di sini ialah orang-orang yang punya kepentingan harus
dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan respon yang pantas terhadap suatu
kejahatan, yang mana tujuannya adalah untuk memperkuat nilai-nilai saling
menghormati, mengasihi dan memaafkan diantara pemangku kepentingan. Untuk
memastikan pelaku memikul tanggung jawab pemenuhan kompensasi baik
terhadap korban maupun masyakarat, atas dampak kejahatanya.169
Proses peradilan anak harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif,
baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses
Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,
167
Muhammad Rajab Ali, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan
Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,
2012, hlm 4 168
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm. 5 169
Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta :
LBH Jakarta, 2012, hlm.21
77
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.170
Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak, wajib
mengupayakan disversi sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.11 tahun
2012 tentang disversi. Berdasarkan pasal 6 UU tersebut, disversi bertujuan untuk
mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar
proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
anak.171
Dilihat dari tujuannya, proses peradilan anak lebih mengedepankan
perdamaian para pihak, sehingga menghindari penjatuhan hukuman yang
dikhawatirkan akan menganggu psikologis anak. Dalam sistem peradilan anak,
skema yang dijalankan adalah yaitu setelah terjadi tindak pidana, kemudian
dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh petugas, setelah itu dilakukanya
disversi yang melibatkan pihak anak, korban, keluarga atau wali anak, serta
penyidik atas rekomendasi lembaga kemasyarakatan.172
Kesepakatan disversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada
korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua
atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.
Namun apabila disversi tidak menyelesaikan perkara, maka proses peradilan
170
Penjelasan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 171
UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 172
Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta :
LBH Jakarta, 2012, hlm.46
78
pidana bagi anak dapat dilanjutkan/ dilaksanakan dengan Acara Peradilan Anak di
persidanagan. Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke
sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis
bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.173
b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pealnggaran Lalu Lintas
Oleh AQJ
Kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan oleh AQJ
membuatnya menjadi seorang tersangka. Hal ini disayangkan oleh ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Arist Merdeka Sirais. Menurutnya hal
ini terlalu terburu-buru dan seharusnya polisi bisa menjadi fasilitator terjadinya
restoratif justice (penyelesaian kasus di luar pengadilan) melihat adanya upaya
dari keluarga Ahmad Dhani untuk menemui keluarga korban dan berdamai. "Saya
menilai Dhani, sebagai orangtua Dul sudah berupaya untuk mengisi peluang
adanya restoratif justice dengan menemui keluarga korban. Dengan begitu, Dhani
yang berupaya meminta maaf atas apa yang dilakukan Dul, semestinya dilihat
polisi sebagai upaya restoratif justice. Bahkan pemberian santunan sebagai tanda
permintaan maaf yang tulus dan perhatian keluarga Dul, bisa mempermulus hal
itu," ujar Arist.174
173
UU no.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 174
Hasiloan Eko, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di
Luar Pengadilan, www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhani-sebagai-
upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00
WIB
79
Restorative justice, atau penyelesaian di luar pengadilan terhadap anak, sangat
mungkin dilakukan, dan polisi seharusnya memberi peluang itu atau bahkan
memfasilitasinya dengan mengajak pihak keluarga Dul dan keluarga korban
duduk bersama. Bersamaan dengan itu, pengumpulan fakta untuk proses hukum
terus dilakukan oleh polisi untuk mengantisipasi jika restorative justice tidak
berhasil dilakukan. Peluang restorative justice oleh polisi ini adalah hak diskresi
polisi. Dalam dunia hukum dan perpsektif anak, sebenarnya ada peluang di mana
kasus ini bisa diselesaikan secara islah atau damai dengan catatan pihak korban
mau menerimanya dan memaafkan Dul atas permintaan keluarga atau Dhani.
Polisi dengan hak diskresinya harus melihat hal ini. Setelah Dul ditetapkan
menjadi tersangka oleh polisi, restorative justice masih tetap dilakukan.
Syaratnya, keluarga korban sudah memaafkan, tidak menuntut, tidak merasa
dirugikan dan menerima semuanya sebagai musibah.175
Kriminolog dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyatakan bahwa
penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani (Dul)
dilematis. Menurutnya, perlu kehati-hatian dari aparat penegak hukum untuk
menuntaskannya. Meskipun di sisi lain, Ahmad Dhani memberi respons positif
dan akan bertanggung jawab pada keluarga korban. Bila pihak Ahmad Dhani dan
keluarga para korban sepakat berdamai, itu merupakan hal positif. Hal itu sah
secara hukum. Namun, ia menyatakan bahwa musyawarah itu juga harus
menyertakan polisi sebagai penegas perdamaian antara dua pihak. Sebaliknya, bila
175
Ana Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru,megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10
/0839160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul
19.00 WIB
80
pihak Ahmad Dhani dan keluarga korban berdamai tanpa sepengetahuan polisi,
hal itu akan sia-sia.176
Dalam kasus ini, pihak Ahmad Dhani mencoba mendekati keluarga korban
dengan cara mengunjungi keluarga korban mati dan korban luka-luka. Hal ini
dilakukan pihak AQJ sebagai itikad baik untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan AQJ secara damai. Salah satu korban luka-luka bernama Nugroho
Brury mengaku mendapatkan santunan dari pihak AQJ, santunan itu sebesar 18
juta per enam bulan. Selain itu, ketika korban masuk rumah sakit, Ahmad Dhani
selaku orangtu AQJ membantunya dengan melunasi semua biaya perawatan
hingga keluar dari rumah sakit. "Sejauh ini untuk tanggung jawabnya saya puas
sekali ya, kita nggak merasa dipersulit. Segala urusan dipermudah," urainya ketika
diwawancarai oleh media online detik.177
Proses islah yang dilakukan oleh pihak AQJ nyatanya tidak berpengaruh
terhadap penghentian proses peradilanya. Proses restorative justice yang
dilakukan Ahmad Dhani dan keluarga korban, tidak menghentikan proses
peradilan AQJ dan akhirnya pada tanggal 16 Juli 2014, sidang pembacaan putusan
AQJ dilakukan. Dalam tuntutan jaksa penutut umum, putra bungsu Dhani itu
dituntut dua tahun masa percobaan dan satu tahun penjara. Apabila selama masa
176
Oris Riswan, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/
read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses
pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB 177
Maulidi Riswoyo, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan,
Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-santunan-
rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB
81
percobaan dua tahun tersebut AQJ/ Dul melakukan perbuatan melanggar hukum,
maka dia akan menjalani hukuman kurungan satu tahun penjara.178
Dalam sidang pembacaan putusan, AQJ ditetapkan bebas oleh majlis hakim
Jakarta Timur, vonis ini berbanding terbalik dari keputusan jaksa penuntut umum
(JPU) yang menuntut Dul dengan tiga dakwaan kumulatif Pasal 310 Undang-
Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dakwaan pertama yakni Pasal 310 ayat
4, kedua Pasal 310 ayat 2 dan 3 dan ketiga, Pasal 310 ayat 1. Ancaman hukuman
dalam pasal ini terendah satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun
serta denda Rp 5 juta subsider tiga bulan kerja sosial. Sementara maksimal enam
tahun penjara.179
Ketua Majelis Hakim yaitu Pertianti, membacakan putusan dengan
mengungkapkan beberapa pertimbangan mengapa membebaskan terdakwa.
Majelis hakim tidak sependapat jika terdakwa diberikan pidana bersyarat.
Pengamatan majelis, terdakwa masih dapat dibina untuk meperbaiki
kesalahannya. Adapun pertimbangan lain mengacu pada UU No 3 Tahun 1997
tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut Petrianti menambahkan, ada beberapa
pertimbangan lainnya yaitu telah terjadinya perdamaian antara korban dan
keluarga besar terdakwa. Para korban dan keluarga korban tidak ingin kasus ini
dibawa ke ranah hukum karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga
terdakwa secara sungguh-sungguh menyatakan tanggung jawab. Di mana
178
Gusti Sawabil, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/
metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret
2015 pukul 19.20 WIB 179
Tri Harnigsih, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas,
www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-akhirnya-
divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB
82
keluarga terdakwa, telah menanggung biaya pengobatan, pendidikan anak korban,
dan pemakaman para korban. Usai membacakan beberapa pertimbangan lainnya,
Petrianti akhirnya memutuskan bahwa AQJ dinyatakan bebas dan akan
dikembalikan kepada kedua orangtuanya, karena masih di bawah umur.180
Selain itu, hakim juga menolak hukuman bersyarat dari jaksa agar AQJ
menjalani kerja sosial dan denda Rp5.000.000. Hakim menyatakan AQJ
menunjukkan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta
dianggap bukan anak yang nakal. Majelis hakim menganggap AQJ kurang
perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim
mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya
perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban. Keluarga terdakwa
dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para
korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia
menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang
meninggal dunia. Fetrianti mengungkapkan kasus AQJ tergolong "restoratif
justice" dengan mempertimbangkan pergantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang peradilan anak yang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012.181
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan ini,
penulis dapat menyimpulkan bahwa islah atau upaya damai yang dilakukan oleh
pihak AQJ dan keluarga korban berguna sebagai pertimbangan hakim. Hal ini
180
Ibid. 181
Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas,
bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-ahmad-
dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB.
83
dapat terlihat ketika proses restorative justice yang dilakukan oleh pihak AQJ
tidak menghentikan proses peradilan. Sebagaimana dalam UU no.11 tahun 2012,
apabila proses disversi dalam mewujudkan keadilan restoratif tidak tercapai, maka
proses peradilan anak tetap dilanjutkan dalam acara peradilan pidana anak.182
Namun proses disversi tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia, hakim dalam
menetapkan keputusanya menjadikan islah para pihak sebagai pertimbangan, yang
akhirnya menjadikan sebuah keputusan yang bermamfaat bagi semua pihak.
c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum
Positif
Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ adalah bentuk pelanggaran
lalu lintas, yang dalam hal ini ia dikenakan pasal 310 ayat 1-4. Kitab Undang-
undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tergantung kepada akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana
kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga.
Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359, 360, dan 361. Sedangkan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan
lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian
182
Pasal 13 UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
84
pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan
oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang,
maupun kecelakaan lalu lintas berat.183
Status AQJ yang masih berusia 13 tahun mengkatogerikan dirinya sebagai
anak-anak. Setelah diterbitakannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, telah
diatur secara khusus tentang hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan
hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu, Undang-undang No 3 tahun 1997 merupakan hukum yang khusus (lex
spesialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang tertuang dalam kitab
Undag-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Acara Pidana (KUHAP).184
Kemudian pada tahun 2012, pemerintah
menggeluarkan UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,
menggantikan UU No. 3 tahun 1997.
Dalam UU No.11 tahun 2012, keadilan restoratif dapat dilakukan oleh para
pihak yang berperkara. Keadilan restoratif yang dilakukan tentu bertujuan untuk
memberikan hal baik, bagi anak maupun bagi korban. Menurut pasal 1 UU No.11
tahun 2012 keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
183 Hotmarta Adelia, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan
Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus
Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 2014, hlm.22 184
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011, cet -1, hlm.75
85
Di luar konteks hukum peradilan anak, keadilan restoratif memang memiliki
banyak mamfaat serta efektifitas bagi para pihak. Mamfaat dan efektifitas yang
paling dirasakan oleh para pihak adalah bahwa pelaku tindak pidana tidak harus
membayar kesalahanya melalui pemenjaran, korban pun tidak “dimamfaatkan”
sebagai saksi yang akhirnya hanya bisa menerima takdir atas musibah yang ia
terima tanpa mendapatkan ganti rugi ataupun pemulihan, sedangkan yang pelaku
kejahatan hanya membayar kesalahanya dengan pemenajraan, meninggalkan
korban tanpa memikirkan dampak kejahatanya terhadap diri korban yang
menderita, baik fisik maupun psikologis. Dalam restorative justice, pelaku
kejahatan dan korban dapat bersama-sama menentukan jalan keluar yang
menguntungkan bagi mereka.185
Keadilan restoratif tentu dapat dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan
kriteria yang ada. Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis
dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan
hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat
ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan
kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek
sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku,
latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah
pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
185
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif
di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus
2013. hlm.12
86
atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada
korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.186
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, tentu saja islah
atau perdamaian para pihak dapat dilakukan, selain karena usia AQJ yang masih
anak-anak dan harus menggunakan UU No.11 tahun 2012, perbuatan serta sikap
AQJ juga memenuhi kriteria dalam aspek sosilogis dan yuridis untuk dilakukanya
sebuah keadilan restoratif.
Islah yang dilakukan pihak AQJ dan korbanya tidak hanya membuat AQJ
bebas dari hukuman disebabkan usianya yang masih muda dan masih memiliki
masa depan yang panjang, tetapi islah juga membuat para korban menjadi lebih
tenang disebabkan oleh pihak AQJ yang bertanggung jawab. Saat menggelar
jumpa pers dikediamanya pada tanggal 10 Januari 2014 Pondok Pinang Jakarta
Selatan, Ahmad Dhani selaku ayah AQJ mengatakan bahwa besok sore keluarga
para korban selamat di undang kerumahnya untuk membicarakan seputar
santunan yang diminta agar tidak diberikan perbulan lagi, tetapi diakumulasikan.
"Mereka ini mohon tidak lagi diberi santunan bulanan tapi langsung dalam
nominal tertentu untuk membuka usaha, bisnis. Alhasil kami berhasil kumpulkan
sejumlah uang yang diminta. Saya, Al, El, Dul, Mulan, Safeea, kami berenam
bareng-bareng ya, pas korbannya enam," selain itu, untuk korban meninggal,
pihak AQJ masih menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan santunan
hingga anak-anak korban selesai sekolah. "Yang selamat iya sudah selesai. Tapi
186
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40
87
kalau korban yang jadi janda, tetap akan kita santuni sampai anak sekolahnya
selesai semua.”187
Oleh karena para pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan AQJ telah sepakat atas perdamaian dan santunan yang diberikan pihak
AQJ, maka tujuan dari sistem restorative justice telah tercapai. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Yunan Hilmi dalam jurnal hukum Rechtsvinding, bahwa tujuan
akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi
hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian
perkara pidana yang menguntungkan semua pihak.188
d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum
Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam, islah dapat diterapkan berdasarkan landasan
hukum yang termuat dalam Al-Qur‟an, antara lain adalah surat Al-Baqarah ayat
178 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
187
Agus Prianto, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www.
kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-50-juta-
2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB 188
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04
88
yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.”
Pada kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, perbuatan yang ia lakukan
menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Dalam perspektif hukum
Islam, perbuatan yang dilakukan oleh AQJ dikenakan jarimah qisash. Namun,
usia AQJ yang masih dibawah umur membuatnya tidak memenuhi unsur-unsur
tindak pidana. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak
pidana untuk jarimah dapat dibedakan tiga bagian, yaitu: Pertama unsur formal
(al-rukn al-syar‟i), kedua unsur material (al-rukn al-madi), ketiga unsur moral
(al-rukn al-adabi).189
Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil yaitu unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
Kemudian Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyakatan
bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan
sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu),
maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu). Sedangkan, Al-
rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang
berada di bawah ancaman.190
189
M.Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.2 190
Ibid. hlm.3
89
Adapun jika ada perbedaan pendapat, apakah AQJ sudah mumayiz atau masih
dalam kategori anak-anak, maka perbuatan AQJ pun tidak dapat dikenakah
jarimah qisash disebabkan bahwa kecelakaan lalu lintas tersebut adalah
ketidaksengajaan. Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan
gugurnya „uqubah (hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan
(jani) meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah
seperti diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam
kasus tindak pidana qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman
terhadap hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur
apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi
gugur jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah,
maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih
ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun,
islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah
diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga,
hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau
walinya.191
Meskipun hukuman qisash dan diyat tidak dapat dijatuhi oleh sebab tidak
terpenuhinya unsur-unsur qisash karena AQJ masih dibawah umur dan
dikhawatirkan terdapat syubhat, AQJ tetap dikenakan hukum, yakni dengan
jarimah ta‟zir. Menurut Nurul Irfan dalam bukunya yang berjudul Fiqih Jinayah,
sanksi yang diberikan dalam jarimah ta‟zir dapat bermacam-macam, dari sanksi
191
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Hlm. 63.
90
yang ringan, hingga sanksi yang berat. Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan badan
dapat berupa hukuman cambuk, ataupun mati. Selain itu, hukuman ta‟zir juga
dapat berupa penjara, pengasingan, pembayaran denda, perampasan/ penyitaan,
hingga peringatan tertulis, nasihat, celaan, pemecatan, pengumuman kesalahan,
dsb.192
Adapun tujuan dan syarat-syarat sanksi ta‟zir yaitu, pertama, sebagai upaya
preventif (pencegahan), hal ini ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan
jarimah, kedua, untuk membuat jera (represif), dimaksudkan agar pelaku tidak
mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari. Yang ketiga adalah adanya islah
(kuratif), ta‟zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian
hari. Dan yang terakhir adalah sebagai upaya edukatif (pendidikan), yang
diharapkan dapat mengubah pola hidup ke arah yang lebih baik.193
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kematian para
korban oleh AQJ, yang kemudian pihak AQJ mepertanggungjawabkan
perbuatanya dengan cara melakukan islah kepada para pihak dan memberikan
santunan kepada para korban, hal ini lah yang kemudian membuat hakim harus
mempertimbangkan 2 hal, yang pertama adalah bahwa AQJ masih dalam usia
anak-anak, dan yang kedua adalah pihak AQJ telah melakukan islah dengan para
korban. Sehingga, hukuman ta‟zir yang diberikan hakim kepada AQJ menjadi
hukuman yang ringan, yakni dikembalikan kepada orang tua, untuk dididik dan
diarahkan agar pola hidup serta masa depanya menjadi lebih baik.
192
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.147 193
Ibid. hlm.142
91
Pengembalian AQJ kepada orangtuanya oleh hakim, dengan pertimbangan
karena islah yang dilakukan para pihak, tidaklah bertentangan dengan hukum
pidana Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa‟i dan Al-Baihaqi, dari Aisyah ra, bahwa Nabi
bersabda :
ذوي قيلىا الله عليه وسلم أ ىرسىل الله صل ث قبلرضي الله عنهب قبل ةشئعن عب
الهيئب ت عثرا جهم إال الحدود
“Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan
kejahatan atas perubuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah yang menyatakan
bahwa, hukuman hudud, qisash, diyat tidak boleh diubah-ubah oleh hakim,
sedangkan ta‟zir dapat disesuaikan. Objek pertimbangan hakim dalam bidang
hudud, qisash, diyat hanya sebatas pada tindak pidananya, bukan pelakunya.
Sedangkan pada hukuman ta‟zir, untuk memaafkan atau memberatkan hukuman
dapat dilihat dari dua sisi, yakni tindak pidana yang dilakukan serta siapa pelaku
tindak pidana tersbut.194
194
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.140
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan tentang penyelesaian tindak pidana
melalui islah dalam hukum positif dan hukum pidana Islam, serta analislis islah
dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, maka banyak hal yang sebenarnya
dapat ditarik kesimpulan. Berikut adalah beberapa point penting yang menjadi inti
dari pembahasan skripsi penulis.
1. Islah dalam hukum positif merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan
dikenal dengan disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah
sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain
dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik
berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi
atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. kebijakan ini
juga dikenal dengan keadilan restoratif (restorative justice). pada umumnya
hukum pidana positif tidak mengenal keadilan restoratif, namun pada
preakteknya hal ini dapat dilakukan, yakni melalui jalur perdamaian yang
dilakukan para pihak dengan menggunakan wewenang kepolisian sebagai
penengah dan mewujudkan keadilan restoratif, karena aparat kepolisian
memiliki hak diskresi.
2. Dalam hukum pidana Islam, islah Konsep islah dikatakan banyak terjadi
kemiripan dengan al‟afwu. Namun, dari Islah dan al‟afwu berbeda secara
93
definisi maupun konseptual. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ishlah
merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh
masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan
berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian diantara kedua
belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan
qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih
memungkinkan dilakukan qisash. Islah dalam hukum pidana Islah dapat
dilakukan melalui lembaga pemaaf, yakni dengan adanya seorang hakam
sebagai penengah/ pendamai diantara kedua pihak yang berperkara. Hak iIslah
diberikah kepada ahli waris korban maupun si korban yang masih hidup.
Dalam pelaksanaanya, islah dapat dilakukan untuk jarimah qisash, diyat, serta
jarimah ta‟zir. Sedangkan untuk jarimah hudud, tidak dibenarkan karena hudud
merupakan hak Allah dan sangat jelas aturanya dalam Nash.
3. Islah yang dilakukan para pihak dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan oleh AQJ menjadi pertimbangan hakim. Baik ditinjau dalam hukum
positif maupun hukum pidana Islam. Dalam hukum positif, kasus AQJ tetap
disidangkan hingga proses pembacaan vonis, yang artinya, proses islah tidak
menghentikan penyidikan kasus, tetapi islah menjadi pertimbangan hakim
ketika memutuskan dan mengembalikan AQJ kepada kedua orangtuanya.
Dalam hukum pidana Islam, islah yang dilakukan para pihak pun menjadi
pertimbangan hakim karena kasus AQJ termasuk dalam jarimah ta‟zir.
94
B. Saran-saran
Setelah penulis manarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut.
1. Seharusnya, para pembuat undang-undang di negeri ini, lebih memperhatikan
keadaan korban dan pelaku, tidak hanya mengedepankan kepentingan negara.
Korban dan pelaku harus sama-sama dipulihkan, korban tidak boleh hanya
dijadikan sebagai saksi dan kemudian ditinggalkan pelaku yang menjalani
hukuman, sedangkan korban sendiri menderita kerugian yang harus ia
tanggung sendiri.
2. Konsep islah dalam hukum pidana Islam telah ada, jauh sebelum hukum positif
lahir. Konsep islah dalam hukum pidana Islam seharusnya dapat menjadi
pertimbangan para penegak hukum untuk membuat undang-undang kearah
yang lebih baik.
3. Dalam melakukan islah, hendaknya pemerintah membuat standar pelaksanaan,
sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan penegak hukum dalam
menengahi penyelesaian perkara pidana. Kejadian islah seperti kasus AQJ
hendaknya menjadi pelajaran dan menjadi koreksi agar islah dapat berjalan
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A.Wahid, Yani, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.
A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif
Watampone, 2010.
Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH
Jakarta, 2012.
Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung :
Armico, 1984
Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII.
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013.
Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Amzah, 2014.
Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012.
Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005.
Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th)
Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam
(Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014
Lamintang, P.A.F dan Samosir, Djisman, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan
Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992.
Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Mertokusumo, Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998.
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011.
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012.
Prayitno, Wukir, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991.
Rajab Ali, Muhammad, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian
Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,
2012.
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN
Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
Ramzy, Ahmad, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice
Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia,
2012.
Rifqi, Mohammad, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008.
Sihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Soekanto, Soejono, Mudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet.V, Jakarta : Indhillco, 2001.
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006.
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I
Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Suparman, Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan
Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004.
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers, 2006.
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang :
UUM Press, 2008.
Widiartana.G, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro,
2011.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997.
Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003.
Peraturan Perundang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Peraturan Perundang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Wawancara kepada Alfitra, Jum’at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.
Adelia, Hotmarta, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku
Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus
Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2014.
Artadi, Ibnu, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Vol.25 No.1. 2007
At-Tamimi, Umar, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, 2013.
Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,
November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB.
Lasmadi, Sahuri, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Putri Siregar, Anistia Retenia Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
2013.
Raharjo, Trisno, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17, 2010.
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di
Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2,
2013.
Tengens, Jecky, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,
Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB.
Wijaya, Bram, dkk. Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam
Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum
Fakultas Brawijaya.
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media
Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, 2013.
Zulfa, Eva Achjani, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang kemungkinan
penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana),
Universitas Indonesia.
Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas,
bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-
ahmad-dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB.
e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul
13.10 WIB.
Eko, Hasiloan, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar
Pengadilan,www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhanisebagai-
upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015
pukul 19.00 WIB.
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul
Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-
lalu-lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13
Maret 2015 Pukul 15.00WIB
Harnigsih, Tri, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas,
www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-
dhani-akhirnya-divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB
http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini
diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB
http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul ahmad -
dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB
Mistiyah, Misna, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan
Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014
pukul 19.30 WIB
Prianto, Agus, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www.
kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-
50-juta-2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB
Riswan, Oris, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/
read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel
ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB.
Riswoyo, Maulidi, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan,
Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-
santunan-rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015
pukul 19.20 WIB.
Sawabil, Gusti, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/
metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses
pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB
Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru, megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10/0839
160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015
pukul 19.00 WIB.
Thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret 2015
pukul 14.45.WIB