KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

19
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK I. Tujuan percobaan : Mengetahui pengaruh parameter jenis Kristal dari bahan baku obat terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk sediaannya. II. Dasar teori : Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya. Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: 1. Teori film (model difusi lapisan) 2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi) 3. Teori Solvasi terbatas / Inerfisial. Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per

description

biofarmasetika

Transcript of KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Page 1: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

I. Tujuan percobaan :

Mengetahui pengaruh parameter jenis Kristal dari bahan baku obat terhadap

kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk sediaannya.

II. Dasar teori :

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia

zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan

pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan

biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.

Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan

transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari

permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:

1.      Teori film (model difusi lapisan)

2.      Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

3.      Teori Solvasi terbatas / Inerfisial.

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan

utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi

zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif

yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan

kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang

profil proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh

Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai

berikut :

      dc / dt        = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )

Cs                   = kelarutan  ( konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )

Ct               = konsentrasi bahan dalam  larutan untuk waktu t

K               = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan    

          jenuh dan tebal lapisan difusi.

Page 2: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya

suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara

konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu.

Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan

jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di

sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat

menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum

difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat

memberikan kemungkinan perbaikan  kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien

difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan

pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari

suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan.

Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan,

dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media

sekelilingnya.

Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya

kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang

tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan,

namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.

Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:

Ø   Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :

·        Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D

·        Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan

menaikkan nilai Cs.

Page 3: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

UJI DISOLUSI OBAT

Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah

menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih

luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,

sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di

bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel

itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh

sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.

Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran

pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.

Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet

melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung

dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena

itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya

atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.

Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh

dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in

vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,

melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian

pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran;

besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian  manusia sebagai obyek bagi penelitian yang

“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara

manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji

disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung

dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari

faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan

mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk

menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam

mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :

1.     Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%

2.     Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju

penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.

Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari

satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator

Page 4: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch”

satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan

melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang

sama dan dapat diulangi.

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan

sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang

dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan

besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi

makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan

system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid

(salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti

absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik.

Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan

kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna,

mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :

²  Zat aktif mula-mula harus larut

²  Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna.

Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting

dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk

persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai

studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun,

disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan

parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati

dari suatu produk.

Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan

menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :

a)      Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam

model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila

dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo

b)      Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat

disolusi dan absorbsinya sesuai.

c)      Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu

untuk produk akhir.

d)      Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk

Page 5: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah

ditetapkan.

e)      Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan

manufaktur.

f)        Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi

zat aktif yang baru.

g)      Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat

sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu

keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan

penggunaan sistem.

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul

bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul

telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan

oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi,

profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi

atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan.

III. Alat dan bahan :

1. Alat :

a. Timbangan analitik

b. Alat gelas yang lazim

c. Dissolution tester

d. Stopwatch

e. Spektrofometer

f. Jangka sorong

g. Mesin pencetak tablet

2. Bahan :

a. Pelarut (etanol 95%, chloroform)

b. Bahan obat : acetosal

c. Medium disolusi (dapar acetat pH 4,5)

d. Vaselin

IV. Cara kerja :

1. Uji disolusi :

Melakukan rekristalisai asetosal dengan pelarut etanol 95% dan chloroform

Mencetak hasil rekristalisasi menjadi tablet A dan tablet B

Page 6: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Mengukur diameter tablet dan menimbang bobot tablet yang diperoleh

Mengolesi tablet dengan vaselin pada seluruh permukaan kecuali satu bagian

permukaan tablet

Melakukan pengujian disolusi. Memasukkan tablet hasil rekristalisasi asetosal

kedalam dissolusi tester dengan medium disolusi dapar asetat pH 4,5 sebanyak

500 ml. Sampling dilakukan tiap 15 menit sebanyak 10 ml, dan tiap kali

sampling larutan dapar diganti dengan volume yang sama agar medium disolusi

tetap 500 ml

Sampel ditentukan kadarnya dengan spektrofotometer pada λ = 265 nm dengan

blangko dapar acetat

2. Pembuatan kurva baku asetosal :

Menimbang dengan seksama 140 mg asetosal

Melarutkan asetosal dengan alkohol 95% beberapa tetes dalam labu takar 50 ml,

menambahkan dapar acetat ad tanda batas

Dengan pipet volume mengambil 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 2,5 ml; 3 ml; 3,5 ml larutan

stock diatas. Masing-masing dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan

ditambahkan larutan dapar ad tanda batas

Membaca absorbansi masing-masing larutan pada λ = 265 nm dengan blangko

dapar acetat

Membuat persamaan kurva baku acetosal antara konsentrasi (x) Vs absorbansi

(y)

3. Membuat larutan dapar acetat pH 4,5 0,05 M sebanyak 1000 ml :

Menimbang 2,99 g Na Acetat, menambahkan 1,66 ml asam acetat glacial dan

menambahkan aquadest ad tanda batas.

V. Data percobaan :

a. Identitas tablet :

Tablet A : rekristalisasi asetosal dengan etanol 95%

a. Nama bahan obat : acetosal

b. Pelarut : etanol 95%

c. Diameter tablet : 0,857 cm

d. Bobot tablet : 0,380 g

Tablet B : rekristalisasi asetosal dengan chloroform

a. Nama bahan obat : acetosal

b. Pelarut : chloroform

Page 7: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

c. Diameter tablet : 0,81 cm

d. Bobot tablet : 0,313 g

b. Kondisi uji disolusi :

Tablet A : rekristalisasi asetosal dengan etanol 95%

a. Medium disolusi : dapar asetat pH 4,5 0,05 M

b. Kecepatan : 50 rpm

c. Waktu mulai analisa : 0-15 menit pertama

d. Pembacaan pada panjang gelombang : 265 nm

Tablet B : rekristalisasi asetosal dengan chloroform

a. Medium disolusi : dapar asetat pH 4,5 0,05 M

b. Kecepatan : 50 rpm

c. Waktu mulai analisa : 0-15 menit pertama

d. Pembacaan pada panjang gelombang : 265 nm

Berat = 140 mg/500 ml

10050

×140=280 mg %

V1 . N1 = V2 . N2 y = a + bx

280 mg% . 1 ml = 50 ml . N2 x1 = 0,164−0,022

0,027 = 5,259 mg%

N2 = 5,6 mg%

280 mg% . 1,5 ml = 50 ml . N2 x2 = 0,247−0,022

0,027 = 8,333 mg%

N2 = 8,4 mg%

280 mg% . 2 ml = 50 ml . N2 x3 = 0,314−0,022

0,027 = 10,815 mg

%

N2 = 11,2 mg%

280 mg% . 2,5 ml = 50 ml . N2 x4 = 0,423−0,022

0,027 = 14,852 mg

%

N2 = 14 mg%

Page 8: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

280 mg% . 3 ml = 50 ml . N2 x5 = 0,459−0,022

0,027 = 17,519 mg

%

N2 = 16,8 mg%

280 mg% . 3,5 ml = 50 ml . N2 x6 = 0,536−0,022

0,027 = 19,037 mg

%

N2 = 19,6 mg%

c. Data sampling

Volume tiap kali sampling = 10 ml

NOWaktu

(menit)

Absorbansi (A0) Faktor

pengenceranTablet A Tablet B

1 15 0,118 0,072 -

2 30 0,167 0,112 -

3 45 0,248 0,154 -

4 60 0,298 0,202 -

d. Data kurva baku

Konsentrasi mg% Absorbansi (A0)

5,6 0,164

8,4 0,247

11,2 0,314

14 0,429

16,8 0,459

19,6 0,536

Data regresi linier hubungan konsentrasi Vs absorbansi :

a = 0,022

b = 0,266

r = 0,995

persamaan kurva baku : y = a + bx

konsentrasi (mg%)

Page 9: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Tablet A : Tablet B :

Menit ke 15 : 0,118 = 0,022 + 0,027x Menit ke 15 : 1,852 mg%

X = 3,556 mg%

Menit ke 30 : 0,167 = 0,022 + 0,027x Menit ke 30 : 3,333 mg%

X = 0,167−0,022

0,027 = 5,370 mg%

Menit ke 45 : 0,248 = 0,022 + 0,027x Menit ke 45 : 4,888 mg%

X = 0,248−0,022

0,027 = 8,370 mg%

Menit ke 60 : 0,298 = 0,022 + 0,027x Menit ke 60 : 6.667 mg%

X = 0,298−0,022

0,027 = 10,222 mg%

VI. Analisa data :

1. Konsentrasi acetosal yang terdisolusi tiap kali sampling :

NOWaktu

( menit )

Absorbansi Konsentrasi

A B A B

1 15 0,118 0,072 3,556 1,852

2 30 0,167 0,112 5,370 3,333

3 45 0,248 0,154 8,370 4,889

4 60 0,298 0,202 10,223 6,667

2. Jumlah asetosal yang terdisolusi (K) :

K (mg) = jumlah asetosal yang terdisolusi dalam media disolusi tiap kali

sampling.

Tablet A

K Perhitungan Hasil

15 menit3,556 mg100 ml

×500 ml 17,78 mg

Page 10: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

30 menit5,370 mg100 ml

×500 ml 26,85 mg

45 menit8,370 mg100 ml

×500 ml 41,85 mg

60 menit10,223 mg

100 ml×500 ml 51,115 mg

AUC tablet A

AUC150 =

17,78(15−0)2

= 133,35 mg/menit

AUC3015 =

26,85+17,78(30−15)2

= 334,725 mg/menit

AUC4530 =

41,85+26,85 (45−30)2

= 515,25 mg/menit

AUC6045 =

51,12+41,85(60−45)2

= 697,28 mg/menit

AUC total = 1680,605 mg/menit

AUC tablet B

AUC150 =

9,26(15−0)2

= 69,45 mg/menit

AUC3015 =

16,7+9,26 (30−15)2

= 194,7 mg/menit

Tablet B

K Perhitungan Hasil

15 menit1,852mg100 ml

×500 ml 9,26 mg

30 menit3,334 mg100 ml

×500 ml 16,7 mg

45 menit4,889 mg

100 ml× 500 ml 24,445 mg

60 menit6,667 mg100 ml

×500 ml 33,335 mg

Page 11: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

AUC4530 =

16,7+24,45(45−30)2

= 308,63 mg/menit

AUC6045 =

24,45+33,34 (60−45)2

= 433,425 mg/menit

AUC total = 1006,21 mg/menit

Hitung DE

Tablet A DE60 = 1680,605 mg /menit

0,380 × 60 × 100 %

= 7,37 %

Tablet A DE60 = 1006,21mg /menit

0,313 × 60 × 100 %

= 5,35 %

Menghitung kecepatan disolusi :

Tablet A :

dcdt

15= 17,78

15(3,14 ×0,42852)=¿ 2,056 mg/menit . cm2

dcdt

30= 26,85

30(3,14 ×0,42852)=¿ 1,552 mg/menit . cm2

dcdt

45= 41,85

45(3,14 ×0,42852)=¿ 1,613 mg/menit . cm2

dcdt

60= 51,115

60(3,14 ×0,42852)=¿ 1,477 mg/menit . cm2

Tablet B :

dcdt

15= 9,26

15(3,14 ×0,4052)=¿ 1,199 mg/menit . cm2

dcdt

30= 16,7

30(3,14 ×0,4052)=¿ 1,079 mg/menit . cm2

dcdt

45= 24,445

45(3,14 ×0,4052)=¿ 1,055 mg/menit . cm2

dcdt

60= 33,335

60(3,14 ×0,4052)=¿ 1,079 mg/menit . cm2

Page 12: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Rata-rata kecepatan disolusi tablet A ; 6,698 : 4 = 1,6745 mg/menit . cm2

Rata-rata kecepatan disolusi tablet B ; 4,412 : 4 = 1,103 mg/menit . cm2

VII. Pembahasan :

Dari percobaan diatas dilakukan pada uji disolusi tablet dengan pelarut yang

berbeda diketahui bahwa tablet dengan pelarut etanol 95% lebih besar jumlah obat

yang terdisolusi tiap kali sampling dibandingkan dengan tablet yang pelarutnya

chloroform dikarenakan chloroform dan etanol 95% berbeda polar (etanol 95%)

dan non polar (chloroform).

Dari data AUC pada percobaan dapat dilihat bahwa, tablet A itu lebih kecil

dibandingkan tablet B, karena perbedaan pelarut rekristalisasi antara polar dan

non polar, dari jumlah obat yang terdisolusi didapatkan hasil DE60 dari tablet A

dan B yaitu 7,37% dan 5,35%, dari data ini bisa diaplikasikan karena tablet A

dengan pelarut DE60 lebih kecil karena AUC dari tablet A tersebut lebih besar

dibanding tablet B dan juga bobot pada tablet A lebih besar disbanding tablet B

sehingga DE60 tablet A lebih besar. Dari kecepatan disolusi kedua tablet tersebut

diketahui bahwa kecepatan disolusi tablet A lebih besar dibanding tablet B, kerana

jumlah obat yang terdisolusi tiap kali sampling tablet A lebih besar ketimbang

tablet B sehingga kecepatan disolusi tablet A lebih besar dikarenakan obat pada

tablet A dengan pelarut etanol 95% pada uji disolusi merupakan senyawa polar

sehingga pelarut polar disolusinya cepat.

Dalam uji disolusi tersebut suhu air harus diperhatikan agar tetap 37oC karena

suhu yang digunakan tersebut disesuaikan dengan suhu tubuh manusia dan tujuan

dari penambahan pelarut agar tetap konstan yaitu karena pelarut dianalogikan

sebagai cairan tubuh.

Page 13: KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

VIII. Kesimpulan :

Dari hasil data yang didapatkan bahwa tablet A dengan pelarut etanol 95%

kecepatan disolusinya dirata-ratakan adalah 1,6745 mg/menit . cm2 dan pada

tablet B dengan pelarut chloroform dirata-ratakan adalah 1,103 mg/menit . cm2

dari data diatas disimpulkan bahwa kecepatan disolusi tablet A lebih besar

dibandingkan dengan tablet B.

IX. Daftar pustaka :

Abdou . H.M . 1989. Disolution Bioavalibility and Bioequivalen., Mac

publishing Company , Pennsylvania, 53-72.