kebujakan pupuk

download kebujakan pupuk

of 20

description

kebujakan pupuk

Transcript of kebujakan pupuk

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi pertanian. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kuantitas dan kualitas produk pertanian yang dihasilkan, tetapi kenyataannya permasalahan yang sering dihadapi petani adalah kelangkaan pasokan pupuk dan harga yang tidak terjangkau di tingkat petani. Kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini berupa memberikan subsidi pupuk kepada petani, merencanakan jumlah alokasi kebutuhan pupuk, dan merencanakan sistem distribusi pupuk. Walaupun kebijakan yang diterapkan selama ini cukup bagus dan komprehensif, kelangkaan dan kenaikan harga pupuk masih tetap terjadi.Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kebijakan pemerintah terkait dengan pupuk bersubsidi terhadap tingkat pendapatan panen petani. Penelitian ini menggunakan pendekatan rantai pasok guna mengetahui peran dan keterkaitan antar pelaku dalam sistem. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan pemodelan sistem dinamik, karena obyek dan permasalahan bersifat macro level, less detail dan strategic level. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kebijakan kenaikan harga eceran tertinggi pupuk (HET) dan penurunan anggaran subsidi pupuk berdampak pada penurunan pendapatan petani tiap komoditas. Tetapi pada skenario penggabungan antara kenaikan HET pupuk dan kenaikan harga komoditas pertanian berdampak pada peningkatan pendapatan petani.MENJELASKAN TENTANG ISU PUPUKPupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Pupuk menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara tahun 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Pupuk pun berkontribusi 15-30 persen untuk biaya usaha tani padi. Dengan demikian sangat penting untuk menjamin kestabilan harga dan kelancaran distribusi pupuk. Ketersediaan pupuk non-organik (umum disebut pupuk pabrik) setiap saat dengan harga yang memadai merupakan salah satu penentu kelangsungan produksi padi dan komoditas pangan lainnya di dalam negeri, yang selanjutnya berarti terjaminnya ketahanan pangan. Karena pentingnya pupuk bagi pertumbuhan pertanian, khususnya pangan seperti padi, sejak era Orde Baru hingga saat ini, pemerintah memberikan subsidi pupuk. Cara yang baru ini merupakan upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah yaitu harga eceran tertinggi (HET). Sesuai Keputusan Menteri (Kepmen) Pertanian No. 106/Kpts/SR.130/2/2004 tentang kebutuhan pupuk bersubsidi No.64/Kpts/SR.130/2005 dan HET pupuk bersubsidi, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan HET di tingkat pengecer resmi. Tidak semua jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah. Sesuai Kepmen tersebut, jenis-jenis pupuk yang disubsidi adalah pupuk Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi 15:15:15 dan diberi label Pupuk Bersubsidi Pemerintah. Semua pupuk bersubsidi ini disediakan untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan (usaha milik sendiri atau bukan, dengan luas lahan hingga 25 ha, dan tidak membutuhkan izin usaha perkebunan), dan makanan ternak. HET yang ditetapkan oleh Kepmen tersebut adalah sebagai berikut: Urea Rp 1.050/kg; SP-36 Rp 1.400/kg; ZA Rp 950/kg; dan NPK Rp 1.600/kg.Pupuk memiliki peran yang penting dalam peningkatan produksi dan produktivitas petani. Oleh karena itu pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk yang efisien melalui kebijakan melalui aspek teknis, penyediaan dan distribusi maupun harga melalui subsidi. Kebijakan subsidi dan distribusi pupuk yang telah diterapkan mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapat Harga Eceran Tertinggi (HET), besaran subsidi hingga sistem distribusi ke pengguna pupuk sudah cukup komprehensif. Namun demikian, berbagai kebijakan tersebut belum mampu menjamin ketersediaan pupuk yang memadai dengan HET yang di tetapkan. Secara lebih spesifik, masih sering terjadi kasus antara lain : kelangkaan pasokan pupuk yang menyebabkan harga melebihi HET, marjin pemasaran lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, perencanaan alokasi kebutuhan pupuk yang belum sepenuhnya tepat, pengawasan yang belum maksimal, yang menyebabkan penyaluran pupuk bersubsidi belum tepat pada sasaran. Kebocoran penyaluran pupuk bersubsidi ke luar petani masih sering ditemukan, sehingga menimbulkan kelangkaan dan harga pupuk yang melebihi HET.Kebijakan penyediaan pupuk dengan harga murah melalui pemberian subsidi yang terus meningkat setiap tahun menyebabkan semakin tidak efisiensinya penggunaan pupuk oleh petani dan meningkatkan ketidaktepatan sasaran subsidi pupuk yang seharusnya dinikmati oleh petani kecil tetapi dinikmati oleh petani lain. Langkanya pasokan dan lonjakan harga serta penyaluran pupuk brsubsidi yang kurang tepat sasaran akan terus terjadi dan berulang setiap tahun erat kaitannya dengan aspek teknis dan aspek manajemen.Pada pendistribusian pupuk bersubsidi yang dilaksanakan oleh pemerintah masih banyak ditemukan masalah-masalah. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain : Sistem penetapan alokasi pupuk dan keakuratan data petani Implementasi tidak sesuai dengan ketentuan Penggunaan pupuk yang tidak sesuai dengan dosis anjuran HET yang berlaku kurang realistis Keterbatasan anggaran belanja pemerintah Masih lemahnya pengawasan dilapangan

PRIORITAS1. Sistem Penetapan Alokasi Pupuk dan Keakuratan Data PetaniPeraturan sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini mengikuti ketentuan Permendag No.21 /M-DAG/PER/6/2008. Peraturan ini hanya memuat proses perencanaan alokasi pupuk yang didasarkan atas Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Hal ini membuka peluang penyimpangan, khususnya terhadap besarnya penyaluran pupuk. Selain itu Pemda belum memiliki basis data petani yang akurat terutama soal luas lahan, akibatnya fungsi pengawasan dan pengendalian kurang berfungsi (Benny Raachman , 2009).

2. Implementasi Tidak Sesuai dengan KetentuanBerdasarkan peraturan yang berlaku, produsen bertanggung jawab terhadap penyaluran pupuk sampai ke pengecer resmi dengan HET yang berlaku. Namun kenyataannya, produsen pupuk kurang peduli terhadap penyaluran pupuk dan penunjukkan distributor yang tidak memenuhi persyaratan (Benny Rachman, 2009).

3. Penggunaan Pupuk yang Tidak Sesuai dengan Dosis yang DianjurkanPenggunaan pupuk (khusus nya Urea) saat ini oleh petani sudah banyak yang melewati dosis yang di anjurkan, yaitu berkisar 300-500 kg/ha. Sedangkan dosis yang dianjurkan hanya 200-300 kg/ha (Rachman et al , 2005 dan Syafaat et al, 2006). Selain itu kebutuhan pupuk meningkat tajam pada saat musim tanam sedangakan persediaan pupuk hampir merata di sepanjang tahun. Penggunaan pupuk yang berlebih menjadi pemicu utama melonjaknya permintaan pupuk diawal musim tanam yang berdampak pada kelangkaan pupuk.

4. HET yang Berlaku Kurang RealistisKomponen HET yang dianggap kurang realistis adalah marjin pemasaran yang terdiri dari fee pelaku distribusi dan biaya pemasaran. Dengan HET yang kurang realistis, maka pelaku distribusi menaikkan fee diatas ketentuan dan melakukan penyesuaian biaya pemasaran secara tidak resmi. Tindakan pelaku distribusi ini mennyebabkan meningkatnya marjin pemasaran diatas ketentuan (Kariyasa et al, 2004; PESKP, 2006 dan Rachman et al, 2008).

5. Keterbatasa Anggran Belanja PemerintahKetrbatasan anggran belanja pemerintah akan menyebabkan kondisi : pmberian subsidi pupuk dipriortaskan untuk usahatani tanaman pangan usaha kecil dan perhitungan total volume pupuk bersubsidi untuk usahatani tanaman pangan didasarkan atas luas tanam yang kadang kala kurang akurat jika dikalikan dengan dosis pupuk yang dianjurkan.

6. Masih Lemahnya Pengawasan di LapanganKonsep pengawasan pupuk bersubsidi masih bersifat parsial dimana pengawasan pada tahap perencanaan, pengadaan, dan pendistribusian masih berjalan sendiri-sendiri. Dalam aspek pengawasan tersebut, Pemda cenderung bersifat pasif karena menganggap bahwa kebijakan tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat.

A. PROGRAM YANG DILAKUKANBerbagai macam alternatif telah dilakukan, baik oleh Pemerintah maupun produsen pupuk untuk mengatasi masalah kelangkaan pupuk tersebut. Pemerintah telah meminta kepada produsen pupuk lainnya untuk memasok pupuk di daerah yang membutuhkan. Langkah ini diharapkan dapat mengatasi kelangkaan serta meredam gejolak kenaikan harga pupuk di pasar.Terkait dengan masalah gas, langkah yang diperlukan adalah adanya kebijakan energi yang berpihak kepada industri dalam negeri, terutama industri pupuk. Penulis setuju dengan kebijakan pemerintah yang kini melakukan reorientasi penggunaan energi seperti tertuang dalam Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres itu, Presiden RI telah memerintahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional yang harus memuat (a) adanya jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri; (b) kewajiban pelayanan publik (public service obligation); (c) pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya.Pola subsidi harga gas perlu dilihat lagi efektivitasnya. Ini mengingat, subsidi harga gas tidak bisa mencerminkan biaya produksi serta biaya-operasional lainnya. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi memang betul-betul mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk men-deliver pupuk sampai ke petani. Namun sebelumnya, audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus dilakukan. Ini mengingat, dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya biaya-biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk dan jumlahnya cukup besar, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan.Mengenai masalah distribusi hulu ke hilir ini tidak ada yang mengontrol. Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Pertanian harus memberi tanggung jawab pupuk ini melalui jalur birokrasi yaitu kepala daerah. Supaya kepala daerah dapat mendistribusikan pupuk kepada aparatnya mulai dari kecamatan, lurah dan kepala desa. Bukan hanya mendistribusikan, tapi juga harus ikut menginventarisasi berdasarkan luas lahan pertaniannya. Dengan demikian ini akan menjadi basis pangan daerah. Karena tidak mungkin dalam pola sekarang penyaluran pupuk harus dikontrol dari pusat.Kepala daerah harus diberi kewenangan sehingga kalau terjadi penyelewengan oleh aparat kepala daerah dan jajarannya akan lebih gampang memberi sanksi yang keras, daripada mengontrol mafia trider (agen-agen). Kepala daerah harus bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan daerah. Dengan otonomi daerah, kebutuhan pangan menjadi tanggung jawab Pemda dan pemerintah pusat harus memberi sepenuhnya kepercayaan kepada daerah.Ada pula yang berpendapat yang seharusnya diambil oleh negara adalah mengatur distribusi dengan baik dan cepat sehingga tidak menyulitkan para petani untuk mendapatkan pupuk. Negara harus memberikan harga yang semurah-murahnya kepada para petani, bahkan harus memberikan pupuk secara gratis bagi petani yang tidak mampu membeli pupuk. Maka apabila kondisi pupuk dan benih murah serta teknologi pertanian yang modern benar-benar sudah dinikmati petani, maka produksi pertanian akan terwujud dan kualitas produksi pun akan tercipta dan membawa akibat negara mampu melakukan swasembada pangan yang berujung pada terciptanya kesejahteraan rakyat.

B. ALTERNATIF KEBIJAKANAspek Teknis1. Meningkatkan Ketepatan Penggunaan PupukTingkat pemupukan bervariasi, sebagian lokasi terdapat kebiasan melakukan pemupukan melebihi rekomendasi, sebaliknya dilokasi lain petani cenderung menggunakan pupuk lebih rendah dari rekomendasi. Penggunaan pupuk yang berlebih atau kurang akan menurunkan efisiensi dan efektifitas penggunaan pupuk. Empat hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pupuk menurut Benny Rachman : Tepat jenis, yaitu memilih kombinasi jenis pupuk berdasarkan komposisi unsure hara utama dan tamabahan berdasarkan sifat kelarutan, sifat sinergis, dan antagonis antat unsur hara dan sifat tanahnya. Tepat waktu dan frekuensi yang ditentukan oleh iklim, sifat fisik tanah, dan logistic pupuk. Tepat cara, yaitu cara pemberian yang ditentukan berdasarkan jenis pupuk , umur tanaman, dan jenis tanah. Tepat dosis, yaitu dosis yang diperlukan berdasarkan analisa status haratanah dan kebutuhan tanaman.

Penerapan empat tepat tersebut dapat tercapai apabila didukung oleh perencanaan kebutuhan pupuk yang tepat dan rinci dari masing-masing petani atau kelompok tani. Untuk itu perlu diketahui informasi mengenai sifat-sofat tanah, rekomendasi pemupukan lokasi yang spesifik, luas lahan dan pemiliknya, lokasi dan komoditas yang diusahakan. Sebaguan besar data base dn informasi tersebut belum tersedia secara lengkap baik di pemerintah daaerah maupun pusat.

2. Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk Anorganik melalui Penggunaan Pupuk Organik.Kecenderungan untuk menggunakan pupuk kimia (anorganik) yang tinggi untuk mengejar hasil yang tinggi pada lahan sawah tanpa mampertimbangkan kbutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah telah menyebabkan kandungan bahan organic tanah menurun, baik jumlah maupun kualitasnya. Hal tersebut terjadi karena : penimbunan hara dalam tanah, terkurasnya hara mikro dari tanah yang tidak pernah diberikan melalui pupuk kimia, terganggunya keseimbangan hara dalam tanah, tanaman lebih rentan trserang penyakit, dan teganggunya jasad renik yang menguntungkan tanah. Kondisi demikian berakibat terhadap menurunnya produktifitas lahan, tidak efisiensinya penggunaan input, serta menurunnya kualitas lahan (Benny Rachman, 2009).Peningkatan dan pemeliharaan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan organic yang tersedia di lokasi, seperti : pupuk hijau, puuk kandang, dan jerami padi. Pengembangan pupuk organic ini merupakan langkah strategis mengingat sebagian besar petani Indonesia adalah petani yang menghadapi kendala biaya produksi.

Aspek Manajemen1. Peningkatan Ketepatan dalam Penetapan Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi.Untuk meningkatkan ketepatan dalam menetapkan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi diperlukan sinkronisasi antara usulan kebutuhan pupuk dari daerah dan kemampuan anggaran pemerintah.

2. Peningkatan Pemantauan dan Pengawasan Pelaksanaan Pembentukan perangkat pengawasan serta mekanisme pemantauan dalam pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi adalahmengacu pada Permendag No.21 /M-DAG/PER/6/2008 dan Permentan No.42/Permentan /OT.140/09/2008. Berdasarkan peraturan tersebut telah dibentuk badan-badan pengawasan pupuk bersubsidi. Meskipun telah dibentuk badan badan pengawas pupuk bersubsidi, penyimpangan masih terjadi (Deptan, 2008). Pengembangan sistem transaksi dengan kartu kendali (SmartCard) yang telah di ujicobakan pada tahun 2007 dan 2008 mampu meminimalisir penyimpangan dan penyaluran pupuk bersubsidi dapat dipantau dengan cepat secara berjenjang sampai ke tingkat pusat. Namun hal tersebut belum diterapkan secara permanen dan menyeluruh, instrument tersebut memerlukn kajian yang lebih mendalam tentang efektifitas sistem tersebut terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi . Dengan sistem Smartcard petani atau kelompok tani dapat mengetahui jumlah alokasi pupuk bersubsidi dan transaksinya serta melakukan pemantauan dan pengawasan (Deptan, 2008).

3. Peningkatan Ketepatan Penyaluran Pupuk BersubsidiPihak pemerintah daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, sampai kecamatan dan desa/kelompok tani perlu mempersiapkan kelembagaan dan infrstruktur distribusi pupuk bersubsidi melalui pemberdayaan BUMD yang mampu melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi secara langsung kepada kelompok tani/petani tersebut. Disamping itu, Pemda melalui Dinas Pertanian dapat lebih berperan aktif dalam pemantauan penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian. 2008. Rancangan Model Subsidi Terpadu Sektor Pertanian.Departemen Pertanian. 2009. Pengkajian Subsidi Pupuk.Kariyasa, K., M. Maulana dan Sudi Mardianto. 2004. Usulan Tingkat Subsidi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang relevan serta Perbaikan Pola Pendistribusian Pupuk di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Lilik Agustin. 2011. Analysis of fertilizer subsidy policies for fulfillment of farmers needs: an approach of dynamic systemPeraturan Menteri Perdagangan No.21/M-DAG/PER/6/2008. Sistem Distribusi Pupuk dari Lini I sampai Lini IVPeraturan Menteri Pertanian No.42/Permentan/OT.140/09/2008. Sistem Penyaluran Pupuk dari Lin IV sampai ke Kelompok Tania atau Petani.PSEKP, 2006. Kebijakan Mengatasi Kelangkaan Pupuk : Perspektif Jangka Pendek. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianRachman, B., A. Agustian dan M.Maulana. 2008. Dampak Penyesuian HET Pupuk Terhadap Penggunaan Pupuk dan Laba Usahatani Padi, Jagung, dan Kedele. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Rachman, Benny. 2009. Kebijakan Subsidi Pupuk. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianSyafaat, N., A. Purwoto, dan C. Muslim. 2006. Analisis besaran Subsidi Pupuk dan Pola Pendistribusiannya. Pusat Analisis Sosiak Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.www. pse.litbang.deptan.go.id

Faktor-Faktor Penyebab Kelangkaan Pupuk BersubsidiKasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET.Menurut penulis, berdasarkan pola kebijakan kasus diatas, penulis mencoba menganalisis penyebab terjadinya ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk yang komprehensif tersebut karena dugaan adanya peningkatan ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring peningkatan margin antara harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang notabene merupakan kelompok masyarakat miskin. Eskpor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.Faktor lain yang menyebabkan kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar domestik menurut penulis adalah perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar. Sejak ditetapkan kebijakan harga pupuk, telah menyebabkan pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Langka pasok dan lonjak harga juga terjadi akibat perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi).Beberapa hal yang sangat penting yang tertera dalam surat keputusan tersebut seperti dinyatakan bahwa : (a). bahwa peranan pupuk sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional; (b). bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan adanya subsidi pupuk; (c). bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas, dan untuk penyediaan pupuk dengan harga yang wajar sampai di tingkat petani, dipandang perlu menetapkan Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2007.Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam kemasan 50 kg atau 20 kg yang dibeli oleh petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan atau udang di kios pengecer resmi secara tunai. Dalam Pasal 9 diuraikan bahwa produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), distributor, dan pengecer resmi wajib menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi saat dibutuhkan petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan atau udang sesuai alokasi yang telah ditetapkan. Kemudian pada Pasal 10 dinyatakan bahwa pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan peredaran pupuk bersubsidi dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadi pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana. Pertama, pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg/ha.Penggunaan pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya seperti SP36 dan KCl hanya merupakan pupuk pelengkap (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Sehingga seringkali dijumpai banyak petani yang tidak menggunakan pupuk KCl di samping karena harganya memang relatif mahal. Kedua, pemilikan lahan yang sempit (< 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi).Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Departemen Pertanian yang merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan pola tanam. Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi dua kali, ketika begitu masih ada persediaan air yang mencukupi pada gadu dua (MK II) petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada tanaman hortikultura juga sangat sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak pasti dan selalu berubah-ubah sesuai permintaan pasar. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi.Jadi, menurut penulis pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi pupuk yang pada intinya untuk kesejahteraan petani serta kesinambungan usahataninya, masih terkendala pada ketidaktepatan azas enam tepat di lapangan dan sistem distribusi pupuk yang masih belum teratur dan konsisten. Maka perlu kebijakan subsidi pupuk ini diperbaiki lagi dari enam variable kendala dan peta masalah yang terjadi selama ini ditemukan dilapangan.B. Kesimpulan Masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan program pupuk bersubsidi, seperti ketika pendataan RDKK, penjualan pupuk bersubsidi kepada yang tidak berhak, penghitungan volume penyaluran, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi, penghitungan subsidi pupuk, dan pengawasan program pupuk bersubsidi. Telah sebagian besar penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan program pupuk bersubsidi terjadi di tingkat pengecer, distributor dan produsen serta lemahnya mekanisme pengawasan pelaksanaan pupuk bersubsidi. Sebagian besar regulasi telah mengatur mekanisme pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi secara memadai, namun penyimpangan masih terjadi karena pelaksanaannya masih belum berjalan sesuai ketentuan, lemahnya pengawasan dari institusi yang berwenang, dan lemahnya kontrol masyarakat luas. Aspek transparansi dan keterbukaan informasi dalam mata rantai pelaksanaan program kebijakan pupuk bersubsidi masih lemah.C. Usulan Perbaikan dan Rekomendasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi 1. RekomendasiUntuk mengatasi permasalahan pupuk bersubsidi penulis merekomendasikan kebijakan yang perlu dilakukan.Pertama, Produsen dan Kementerian terkait harus meningkatkan pembinaan dan sosialisasi yang intensif kepada pengecer dan kelompok tani berkaitan dengan pedoman dan ketentuan pelaksanaan program pupuk bersubsidi. Kedua, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN perlu berkordinasi secara intensif untuk mengevaluasi kelemahan sistem pendataan RDKK, penyaluran dan distribusi serta pengawasan program pupuk bersubsidi.Ketiga, perlu adanya aturan mengenai komponen-komponen biaya yang tidak boleh dibebankan dalam perhitungan HPP pupuk bersubsidi. Keempat, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida harus meningkatkan kinerja pengawasannya dengan didukung dengan anggaran yang memadai. Kelima, akses informasi dan keterlibatan publik dalam pelaksanaan program pupuk bersubsidi harus ditingkatkan melalui pelibatan masyarakat dalam proses pengawasan. Keenam, kebijakan subsidi harga pupuk yang dilakukan pada era 1980-1990-an menunjukkan bahwa penerapan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang bersifat tertutup terbukti efektif dalam mencegah langka pasok dan menjamin HET. Ketujuh, dalam mekanisme pelaksanaan program pupuk bersubsidi perlu dikembangkan model akuntabilitas yang lebih partisipatif, transparan dan dapat diakses publik.Kedelapan, melakukan operasi pasar langsung kepada petani. Kesembilan, mengubah pembayaran gas dan transaksi untuk produk hilir pabrik pupuk dalam negeri menjadi rupiah yang pada mulanya dengan dollar Amerika. Perlu diyakini bahwa permasalahan pupuk bukanlah permasalahan teknis semata. Dengan demikian produksi dan distribusi pupuk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Diharapkan langkah-langkah tersebut dapat memberikan rekomendasi perbaikan terhadap kebijakan subsidi pupuk selama ini di Indonesia sehingga selanjutnya akan mendorong ketahanan pangan yang kuat dan dapat memberikan kesejahteraan pada petani, dan benar-benar subsidi pupuk untuk petani.1. SaranAdapun saran penulis terhadap peta masalah kebijakan pupuk bersubsidi di indonesia selama ini.Alternatif kebijakan subsidi pupuk menyangkut sistem distribusinya adalah dengan menerapkan sistem tertutup dan aktif. Dengan melihat hasil dan pelaksanaan kebijakan pupuk tersebut beberapa pertimbangan dan saran yang dapat dilakukan untuk dapat memperbaiki pelaksanaan subsidi pupuk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tani adalah : (1) Kebijakan subsidi pupuk perlu tetap dipertahankan karena masih diperlukan untuk peningkatan produktivitas usahatani, (2) Kesulitan subsidi pupuk saat ini dapat diatasi dengan alternatif subsidi pada transportasi pupuk, sehingga dapat menekan biaya angkut dan distribusi yang notabene merupakan faktor terbesar dalam komponen pupuk itu sendiri. (3) Perlu kesadaran petani dalam pemakaian pupuk yang tepat dalam pemakaiannya sesuai rekomendasi. (4) Perlu ketegasan pemerintah untuk mengenakan sanksi kepada produser jika terbukti gagal melaksanakan kewajiban untuk mencukupi sediaan pupuk di kios pengecer sesuai HET dengan mencabut haknya untuk memperoleh subsidi gas dan pemutusan izin ekspor pupuk. Dan, (5) Perlunya memadukan kebijakan subsidi gas dan pengenaan pajak ekspor sehingga harga pupuk bagi petani lebih murah, sedangkan pabrik pupuk tidak dirugikan karena nilai subsidi gas diatur sama dengan nilai pajak ekspor.Sumber Referensi PATTIRO (Laporan Penelitian: Program Integritas dan Akuntabilitas Sosial, PATTIRO-USAID)Permasalahan Pupuk dan Langkah-langkah Penanganannya

Senin, 23 Pebruari 2009

Pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Pupuk menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara tahun 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Pupuk pun berkontribusi 15-30 persen untuk biaya usaha tani padi. Dengan demikian sangat penting untuk menjamin kestabilan harga dan kelancaran distribusi pupuk.

Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal sehingga menurunkan hasil panen petani atau bahkan terjadi gagal panen. Gagal panen inilah yang selanjutnya menjadi ancaman dalam menciptakan ketahanan pangan. Jika situasi kelangkaan pupuk dibiarkan berlangsung lama dan tidak segera diambil tindakan yang tepat oleh instansi terkait, akan mengakibatkan timbul rasa kurang adil kepada petani, menurunkan tingkat kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian nasional, serta dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Permasalahan Pupuk

Kondisi perpupukan di Indonesia memiliki berbagai masalah yang serius. Pertama, permasalahan pabrik pupuk yang sudah berusia tua sehingga efisiensi produksinya makin menurun.

Kedua, pasokan gas bumi untuk produksi pupuk sangat terbatas. Dengan demikian pabrik tidak dapat beroperasi optimal. Padahal 60 persen bahan bakunya untuk pupuk urea adalah gas alam. Keterbatasan supply gas alam dikarenakan mayoritas perusahaan gas alam dimiliki oleh swasta yang memiliki orientasi yang besar pada keuntungan. Hal itu seiring dengan diresmikannya liberalisasi sektor migas di Indonesia yang diatur dalam UU 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Ketiga, kebutuhan pupuk yang semakin meningkat, sementara produksinya terbatas, sehingga terjadi kelangkaan pupuk. Kelangkaan pupuk juga melanda Indonesia pada tahun 2008 kemarin. Di sinyalir permasalahan kelangkaan pupuk tersebut dikarenakan : (a) Rayonisasi yang tidak fleksibel, sehingga tidak mudah melakukan penyesuaian supply antar wilayah. (b) Pengawasan yang lemah dari Pemda di dalam pengelolaan pupuk bersubsidi juga menyebabkan permasalahan pupuk terjadi. (c) Rendahnya margin (fee) yang diterima distributor dan penyalur di Lini IV yang berkisar Rp 30-40/ kg. (d) Tingginya disparitas harga terjadi pada pupuk bersubsidi dengan pupuk non subsidi, sehingga memicu terjadinya penyelewengan pupuk bersubsidi dan pada akhirnya menyebabkan kelangkaan pupuk.

Keempat, harga pupuk yang cenderung semakin mahal karena pupuk kimia yang beredar di pasar Indonesia sangat begantung pada bahan baku impor yang harganya terus merangkak naik mengikuti kurs dollar di pasar mata uang internasional.

Kelima, Jumlah distributor daerah dan kios penyalur di Lini IV cenderung masih terkonsentrasi di Ibu Kota Kecamatan/ Kabupaten/ Kota.

Keenam, penggunaan pupuk anorganik meningkat drastis akibat fanatisme petani dan bertambahnya luas areal tanam, sementara penggunaan pupuk organik belum berkembang.

Langkah-langkah Penanganannya

Keenam permasalahan tersebut telah mendorong instansi terkait untuk membuat kebijakan-kebijakan sebagai solusi. Adapun kebijakan-kebijakan yang dibuat terdiri dari kebijakan jangka pendek dan kebijakan jangka panjang.

Kebijakan jangka pendek yang ditempuh adalah dengan meningkatkan penyediaan pupuk urea mencapai 7 juta ton dengan mengupayakan penyediaan gas bumi sebanyak 9 kargo. Penyediaan gas bumi sebanyak 9 kargo dikarenakan defisit yang terjadi pada PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Namun sampai saat ini yang baru disetujui 1 kargo sementara sisanya masih dalam proses. Disamping itu, peningkatan jumlah ketersediaan pupuk ini juga ditempuh dengan mengimpor pupuk urea dari beberapa negara.

Sedangkan kebijakan jangka panjangnya adalah dengan merevitalisasi industri pupuk yaitu mengganti 5 pabrik pupuk urea yang sudah tua dan tidak efisien lagi, serta membangun satu pabrik pupuk urea baru, melakukan program gasifikasi batubara untuk mengganti bahan baku gas bumi dengan batubara, mengembangkan pabrik pupuk urea di lokasi sumber gas bumi, dan mengembangkan pabrik pupuk melalui kerjasama dengan negara lain.

Selain kebijakan diatas, Instansi terkait juga telah dan akan melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi kelangkaan pupuk.

Pertama, menambah alokasi pupuk urea bersubsidi tahun 2008 dari 4,3 juta ton menjadi 4,8 juta ton, dan tahun 2009 ditingkatkan lagi menjadi 5,5 juta ton.

Kedua, pemerintah juga melakukan kelonggaran atau fleksibilitas penyaluran pupuk bersubsidi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 05/Permentan/OT.140/1/2009, pasal 9, ayat (2) dimana disebutkan perlu dilakukan fleksibilitas penyaluran yang dilaksanakan melalui koordinasi dengan Dinas Pertanian setempat.

Ketiga, Mengusulkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 21/2008 yang mencakup ketentuan stok pupuk pada puncak musim tanam, penyaluran maksimal 20 persen diatas alokasi, dan pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan cadangan pupuk nasional.

Keempat, melakukan operasi pasar langsung kepada petani.

Kelima, mengubah pembayaran gas dan transaksi untuk produk hilir pabrik pupuk dalam negeri menjadi rupiah yang pada mulanya dengan dollar Amerika.

Perlu diyakini bahwa permasalahan pupuk bukanlah permasalahan teknis semata. Dengan demikian produksi dan distribusi pupuk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Diharapkan langkah-langkah tersebut dapat memberikan fondasi yang kuat terhadap perpupukan di Indonesia sehingga selanjutnya akan mendorong ketahanan pangan yang kuat dan dapat memberikan kesejahteraan pada petani.

( Ibnu Purna / Hamidi / Prima )

AKARTA, KOMPAS.com - Alokasi pupuk bersubsidi pada 2014 turun 830.000 ton dibandingkan dengan alokasi 2013 dan turun 1,47 juta ton dibandingkan 2012. Kelangkaan pupuk baru akan terjadi setelah Oktober 2014 karena pada Januari-Oktober 2014 masih dimungkinkan realokasi penyaluran.

Menurut General Manager Niaga PT Pupuk Indonesia Subhan, Kamis (9/1/2014), di Jakarta, dengan adanya kebijakan realokasi penyaluran pupuk bersubsidi yang ditarik dari bulan di depannya.

Misalnya, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi pada Januari 2014 sudah habis mengacu alokasi, tetapi permintaan pupuk oleh petani tetap bisa dilakukan karena alokasi pupuk Februari 2014 bisa digeser ke Januari 2014 untuk menutup kekurangan bulan Januari, kata Subhan.

Sepanjang petani punya rencana definitif kebutuhan kelompok, permintaan pupuk oleh petani wajib dilayani. Kurangnya alokasi pupuk tidak menjadi masalah pada saat ini sampai Oktober 2014 karena bisa direalokasi, ujarnya.

Dengan cara ini, tidak akan ada lagi kekurangan pupuk bersubsidi sekalipun alokasi pupuk bersubsidi 2014 dipangkas. Kalaupun ada masalah, hal itu akan terjadi nanti setelah Oktober 2014 karena alokasinya habis.

Itu pun produsen pupuk mendapat jaminan dari Kementerian Pertanian selaku kuasa pengguna anggaran pupuk bersubsidi untuk memberi tambahan volume pupuk bersubsidi, ujar Subhan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No 122/2013 tentang Rencana Kebutuhan Pupuk Bersubsidi 2014 yang diterbitkan pada 26 November 2013, alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun 2014 bagi petani sebanyak 7,78 juta ton. Ini lebih rendah 830.000 ton (10 persen) dibandingkan dengan alokasi 2013 dan lebih rendah 1,47 juta ton dibandingkan dengan alokasi 2012 atau turun 16 persen.

Besaran alokasi pupuk bersubsidi 2014 hanya 63,45 persen dari total produksi pupuk nasional sebanyak 12,26 juta ton. Rinciannya, alokasi pupuk jenis urea 3,42 juta ton, SP-36 sebanyak 760.000 ton, ZA 800.000 ton, NPK 2 juta ton, dan pupuk organik 800.000 ton.

Khusus pupuk urea, dibandingkan alokasi 2013, alokasi 2014 turun 447.000 ton. Ini setara dengan pertanaman padi 1,12 juta hektar. Subhan menggarisbawahi, pada 2013 realisasi penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 102 persen dari total alokasi sepanjang 2013. Realisasi pupuk bersubsidi itu, antara lain, untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan budidaya.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, secara teori, realokasi memang bisa dilakukan. Kenyataannya, di daerah informasi sering tidak sampai.

Meski pusat membolehkan realokasi pupuk dari bulan setelahnya, hal itu tidak dilakukan. Ini akibat informasi dan pemahaman yang berbeda-beda dari petugas di daerah.

Petani tidak akan ribut kalau kebutuhan pupuk dipenuhi. Faktanya, di kios-kios pupuk tidak ada. Kalaupun ada, pembelian pupuk sangat dibatasi. Winarno mengatakan, masalah pupuk terjadi akibat tidak adanya tambahan subsidi. Sementara biaya produksi naik, akibatnya volume yang ditekan.

Jika memang hitungan pemerintah biaya pokok produksi pupuk naik, tak masalah bagi petani kalau harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi juga dinaikkan. (MAS/GRE/BAY/DKA/SIR/WER/NIT/NIK)