Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

8
1 Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya Tugas mata kuliah Seminar dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya Semester Ganjil 2008/2009 Dosen: Prof. Dr. Noerhadi Magetsari Oleh: Satrio Arismunandar NPM: 0806401916 Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia November 2008

description

Penelitian ilmu budaya bisa dilakukan lewat dua pendekatan. Pertama, pendekatan yang lebih bersifat idealisme. Kedua, pendekatan yang lebih bersifat materialisme. Kebudayaan itu sendiri mengandung kedua aspek tersebut, yakni aspek yang bersifat ide (gagasan), dan aspek yang bersifat materi (fisik). Makalah singkat ini mencoba mengungkap lebih jauh tentang aspek materi dari kebudayaan, atau kita sebut saja kebudayaan materi (material culture). Sementara di sisi lain, ada paradigma keilmuan untuk memahami kebudayaan, yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek materi tersebut, atau yang kita sebut materialisme budaya (cultural materialism).

Transcript of Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

Page 1: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

1

Kebudayaan Materi dan

Materialisme Budaya

Tugas mata kuliah Seminar dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya

Semester Ganjil 2008/2009

Dosen: Prof. Dr. Noerhadi Magetsari

Oleh: Satrio Arismunandar

NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

November 2008

Page 2: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

2

Pendahuluan

Penelitian ilmu budaya bisa dilakukan lewat dua pendekatan. Pertama,

pendekatan yang lebih bersifat idealisme. Kedua, pendekatan yang lebih bersifat

materialisme. Kebudayaan itu sendiri mengandung kedua aspek tersebut, yakni aspek

yang bersifat ide (gagasan), dan aspek yang bersifat materi (fisik).

Makalah singkat ini mencoba mengungkap lebih jauh tentang aspek materi

dari kebudayaan, atau kita sebut saja kebudayaan materi (material culture). Sementara

di sisi lain, ada paradigma keilmuan untuk memahami kebudayaan, yang lebih

menitikberatkan pada aspek-aspek materi tersebut, atau yang kita sebut materialisme

budaya (cultural materialism).

Selalu ada perdebatan, mana sebenarnya yang lebih menentukan dalam

kebudayaan. Yakni, apakah ide dan gagasan yang menghasilkan perilaku, atau

sebaliknya, justru perilaku dan tindakan yang lebih menentukan gagasan.

Yang manapun yang lebih dominan, “jejak-jejak”kebudayaan itu bisa terlihat

dari aspek verbal (kebahasaan) dan nonverbal (non-kebahasaan). Aspek verbal itu

sendiri terbagi dua, yaitu yang bersifat lisan dan tulisan (teks tertulis). Sedangkan

aspek nonverbal juga terbagi dua, yakni yang berupa artifak dan alam.

Verbal Nonverbal

Lisan Tulisan (teks) Artifak Alam

Penafsiran Dokumen dan Kebudayaan Materi

Menurut Ian Hodder, bukti-bukti bisu, seperti teks tertulis dan artifak, berbeda

dengan kata-kata lisan. Bukti-bukti bisu ini secara fisik bertahan cukup lama, dan

Gagasan/ide

Perilaku (behavior,

action)

Page 3: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

3

karena itu dapat dipisahkan secara ruang dan waktu dari pengarang, produser, atau

penggunanya. Jejak-jejak material ini sering harus ditafsirkan tanpa bisa

memanfaatkan komentar asli dari sang sumber (indigenous commentary).

Jejak-jejak dan residu material dengan demikian menghadirkan problem

khusus bagi riset kualitatif. Disiplin-disiplin utama yang telah mencoba

mengembangkan teori dan metode yang pas untuk tujuan itu, adalah: sejarah, sejarah

seni, arkeologi, antropologi, sosiologi, psikologi kognitif, teknologi, dan studi-studi

kebudayaan materi modern.

Jejak-jejak materi tersebut bisa berupa dokumen dan rekaman. Lincoln dan

Guba (1985) membedakan dokumen tertulis dan rekaman (records), berdasarkan

apakah teks itu disiapkan untuk bukti suatu transaksi formal. Jadi, yang dimaksud

dengan rekaman antara lain: sertifikat nikah, surat izin mengemudi, kontrak

pembangunan, dan pernyataan perbankan. Sedangkan yang dimaksud dokumen

adalah teks yang dibuat untuk alasan personal ketimbang alasan resmi, seperti: catatan

harian, memo, surat, dan nota lapangan.

Yang menjadi persoalan adalah soal penafsiran dari teks tertulis tersebut,

apapun jenisnya. Teks-teks itu penting bagi riset kualitatif, karena relatif mudah

diakses dan biayanya murah. Selain itu, informasi yang disajikannya mungkin

berbeda dari bentuk lisan, atau tak tersedia dalam bentuk lisan. Karena teks tertulis itu

lebih awet dan bertahan lama, ia juga memberi wawasan historis.

Teks tertulis merupakan kasus khusus dari artifak, yang mendapat prosedur

penafsiran yang hampir sama. Baik dalam teks maupun artifak, problemnya adalah

bagaimana menempatkan kebudayaan materi dalam berbagai konteks, sementara pada

saat yang sama, masuk ke dalam relasi dialektis antara konteks tersebut dengan

konteks dari si penganalisis.

Latihan hermeneutis ini, di mana pengalaman yang dijalani sekitar

kebudayaan materi diterjemahkan ke dalam konteks interpretasi yang berbeda, adalah

sesuatu yang umum, baik untuk teks maupun bentuk-bentuk lain kebudayaan materi.

Keterbatasan Artikulasi dan Gambaran Parsial

Kebudayaan materi, termasuk teks tertulis, menghadirkan tantangan bagi

pendekatan interpretatif, yang sering menekankan pada pentingnya dialog dengan dan

Page 4: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

4

komentar kritis lisan dari partisipan. Bukti-bukti kebudayaan materi, di sisi lain,

mungkin tak memiliki partisipan yang masih hidup, yang bisa memberi tanggapan

pada interpretasi.

Bahkan jika partisipan seperti itu masih ada, mereka sering tidak mampu

mengartikulasikan makna-mana kebudayaan materi. Apapun yang terjadi, kebudayaan

materi bertahan lama, sehingga si pembuat dan pengguna orisinalnya mungkin hanya

mampu memberi gambaran parsial dari keseluruhan sejarah makna-makna yang

diberikan pada sebuah objek, mengingat objek itu digunakan dan direinterpretasikan

dalam rentang waktu yang panjang.

Tantangan yang diajukan oleh kebudayaan materi itu penting bagi analisis

antropologis dan sosiologis, karena kebudayaan materi sering merupakan medium di

mana suara-suara alternatif dan suara yang sering dibungkam, bisa diekspresikan.

Namun, “pembaca” kebudayaan materi harus mengakui bahwa hanya

beberapa aspek dari makna kebudayaan materi, yang seperti bahasa. Makna dari

banyak kebudayaan materi dikenali dari penggunaan, sementara pengetahuan

(knowledge) kebudayaan materi sering amat tak beraturan bentuknya dan berada

dalam konteks tertentu (contextualized).

Operasi-operasi teknis mengimplikasikan jejaring yang luas dari sumber

materi, sosial, dan simbolik, sedangkan makna-makna abstrak yang dihasilkannya

terkait erat dengan materi tersebut.

Metode interpretasi terhadap kebudayaan materi, berpusat pada prosedur-

prosedur hermeneutik serentak dari rumusan konteks, konstruksi kemiripan dan

perbedaan yang terpolakan, dan penggunaan teori-teori kebudayaan materi dan sosial

yang relevan.

Kebudayaan materi mungkin tidak bisa langsung “berbicara balik” (speak

back). Namun, jika prosedur-prosedur yang layak sudah dipatuhi, terdapat ruang bagi

data dan bagi tingkatan-tingkatan teori yang berbeda, untuk menghadapi interpretasi-

interpretasi.

Sang penafsir belajar dari pengalaman sisa-sisa materi. Data dan sang penafsir,

masing-masing mengangkat keberadaan yang lain secara dialektis. Interepretasi-

interpretasi dapat dikonfirmasikan, atau dibuat lebih atau kurang benar ketimbang

yang lain-lain, dengan menggunakan rentang standar yang cukup adil dari kriteria

internal dan eksternal (sosial).

Page 5: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

5

Materialisme Budaya sebagai Paradigma

Materialisme budaya adalah sebuah paradigma, yang prinsip-prinsipnya

tampaknya relevan bagi tata laku penyelenggaraan riset dan pengembangan teori

dalam seluruh bidang dan sub-bidang antropologi.

Bagi kaum materialis budaya, apakah mereka seorang antropolog budaya,

arkeolog, antropolog biologi, atau ahli bahasa, pengalaman intelektual utama

antropologi bukanlah etnografi, tetapi pertukaran data dan teori di antara bidang dan

sub-bidang yang berbeda-beda, yang terkait dengan studi global, komparatif,

diakronis, dan sinkronis tentang umat manusia, dan studi-studi lainnya.

Menurut Marvin Harris, materialisme budaya didasarkan pada prinsip-prinsip

epistemologis tertentu, yang dipegang secara umum oleh semua disiplin yang

mengklaim memiliki pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah itu didapat melalui

operasi-operasi yang bisa diulang (replicable) dan terbuka (public), yaitu lewat

observasi dan transformasi logis.

Tujuan dari riset ilmiah adalah merumuskan teori-teori yang bersifat

eksplanatif, yang bercirikan: (1) prediktif atau retrodiktif, (2) bisa dites (atau bisa

ditunjukkan salahnya), (3) sangat ketat, (4) dari cakupan yang luas, dan (5) bisa

dipadukan atau kumulatif, dalam kumpulan teori-teori yang koheren dan meluas

(expanding).

Prinsip-prinsip Epistemologis yang Spesifik

Sebagai tambahan terhadap prinsip-prinsip epistemologis umum, yang berbagi

bersama disiplin-disiplin ilmiah lain, materialisme budaya juga didasarkan pada

prinsip-prinsip epistemologis yang bersifat spesifik bagi studi sistem sosiobudaya

manusia.

Prinsip-prinsip ini termasuk: (1) pemisahan peristiwa-peristiwa mental

(pikiran-pikiran) dari perilaku (tindakan dari bagian-bagian tubuh, serta dampak-

dampak lingkungannya), dan (2) pemisahan sudut pandamg emic (komunitas

partisipan) dari etic (komunitas pengamat), terhadap pikiran-pikiran dan perilaku-

perilaku tersebut.

Alasan bagi distingsi epistemologis antara peristiwa mental dan perilaku ini

adalah karena operasi (prosedur observasi) yang digunakan untuk memperoleh

Page 6: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

6

pengetahuan dari peristiwa mental (mental events), secara kategoris berbeda dari

prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan dari peristiwa perilaku

(behavioral events).

Komponen-komponen kehidupan sosial --yang paling langsung memediasi

dan memfasilitasi pemuasan kebutuhan, dorongan, ketidaksukaan, dan kecenderungan

perilaku biogram-- membentuk pusat penyebab sistem sosiobudaya.

Beban mediasi ini dipikul oleh kombinasi proses-proses demografis,

teknologi, ekonomi, dan ekologis –cara produksi dan reproduksi-- yang ditemukan di

setiap sistem sosiobudaya.

Infrastruktur, Struktur, dan Superstruktur

Infrastruktur membentuk tatap muka antara alam di satu sisi dan kebudayaan

di sisi yang lain. Alam yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk batasan-batasan

psikologis, biologis, kimiawi, fisik, dan ketidakkemampuan untuk berbeda dari yang

lain. Sedangkan di dalam kebudayaan itu terkandung cara-cara utama Homo sapiens

dalam mengoptimasi kesehatan dan kesejahteraannya.

Ketidakmampuan untuk berubah dari hukum fisika, kimia, biologi, dan

psikologi karenanya memberi prioritas strategis awal pada infrastruktur, dalam

perumusan teori-teori materialis kebudayaan. Optimisasi dan adaptasi budaya harus

pertama-tama dan terakhir mematuhi sikap menahan diri dan peluang dari lingkungan

dan hakikat manusia.

Sebagai tambahan terhadap infrastruktur, setiap sistem sosiobudaya manusia

terdiri dari dua subsistem utama lain, yaitu struktur dan superstruktur. Masing-masing

dengan aspek mental/perilaku dan emic/etic. Struktur menunjukkan subsistem

domestik dan politis. Sedangkan, superstruktur menunjukkan nilai, estetika, aturan,

kepercayaan, simbol, ritual, agama, filsafat, dan bentuk-bentuk lain pengetahuan,

termasuk sains itu sendiri.

Maka prinsip-prinsip teoretis dasar dari materialisme budaya sekarang dapat

dinyatakan: (1) optimisasi untung/rugi dari pemuasan kebutuhan biogram, secara

probabilistik menentukan (atau memilih untuk) perubahan-perubahan dalam

infrastruktur perilaku etic; (2) perubahan-perubahan dalam infrastruktur perilaku etic

secara probabilistik menseleksi perubahan dalam bagian lain dari sistem sosiobudaya

tersebut. Kombinasi dari butir 1 dan 2 adalah prinsip bagi pengutamaan infrastruktur.

Page 7: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

7

Terdapat mitos populer di kalangan kaum interpretasionis pencaci-sains bahwa

antropologi positivis selayaknya runtuh, karena kegagalannya menghasilkan tubuh

teori-teori ilmah yang koheren tentang masyarakat dan kebudayaan. Tuduhan ini

mengisyaratkan, seolah-olah kaum postmodernis telah melakukan studi sistematis

tentang kumpulan teori-teori positivis, yang menangani evolusi konvergen dan paralel

atas sistem sosiobudaya. Namun, mereka sebenarnya tidak melakukan ini.

Adalah ironis, pada saat antropologi mencapai sukses ilmiahnya yang terbesar,

kalangan antropolog --yang tidak pernah menguji kumpulan teoritis positivis yang

mereka kecam-- justru merayakan kematian antropologi positivis dan kelahiran

paradigma humanistik yang “baru.” Hanya mereka yang tak tahu sejarah teori-teori

antropologi dapat memuji paradigma semacam itu sebagai sesuatu yang “baru,” dan

bukan sekadar “refigurasi pemikiran sosial.”

Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa humanisme antipositivistik

menjadi begitu menarik bagi generasi baru kaum antropolog (dan praktisi “ilmu”

sosial lain). Salah satu alasannya mungkin karena generasi mahasiswa yang muncul

selama dekade 1960-an dan 1970-an percaya bahwa ilmu-ilmu sosial positivis

bertanggungjawab atas momok abad ke-20, seperti fasisme, Stalinisme, imperialisme

Amerika, korporasi, dan kompleks edukasional-industrial-militeris.

Tak diragukan, hiperindustrialisme, teknologi tinggi, dan “technological fix”

memang menjurus ke perasaan dehumanisasi dan keterasingan Namun,

mengasosiasikan semua ini dengan ilmu sosial positivis adalah keliru. Problemnya

bukan karena kita memiliki terlalu banyak ilmu sosial positivis, tetapi justru karena

kita memiliki terlalu sedikit.

Berbagai kekejaman abad ke-20 faktanya dilakukan persis oleh orang-orang

yang acuh tak acuh atau menentang keras ilmu sosial positivis (misalnya: Lenin,

Stalin, Hitler, Mussolini).

Terlalu banyak antropolog yang tampaknya lupa bahwa ada sisi lain dari

relativisme, fenomenologi, dan antipositivisme. Yaitu, sisi di mana kaum relativis

yang mengecam nalar dan pengetahuan ilmiah, telah mengkonstruksi dunia sesuai

dengan citranya sendiri. ***

Referensi:

1. Bahan-bahan kuliah Prof. Dr. Noerhadi Magetsari, 22 Oktober 2008.

Page 8: Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya

8

2. Bahan-bahan kuliah Prof. Dr. Noerhadi Magetsari, 29 Oktober 2008.

3. Harris, Marvin, “Cultural Materialism is Alive and Well and Won’t Go Until

Something Better Comes Along,” dalam Brodsky, Assessing Cultural

Anthropology.

4. Hodder, Ian. “The Interpretation of Documents and Material Culture.”

5. Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok:

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan

Pengabdian Masyarakat UI.

Depok, 3 November 2008