KEBUDAYAAN DALAM ISLAM.pdf

download KEBUDAYAAN DALAM ISLAM.pdf

of 5

description

Untuk Tugas Agama Islam Prodi Teknik Konversi Politeknik Negeri Medan

Transcript of KEBUDAYAAN DALAM ISLAM.pdf

  • 53

    BAB XII

    KEBUDAYAAN ISLAM

    A. Konsep Kebudayaan dalam Islam Secara umum arti kebudayaan yang sebenarnya ialah suatu hasil daya pemikiran

    dan pemerahan tenaga lahir manusia, ia adalah gabungan antara tenaga fikiran dengan

    tenaga lahir manusia ataupun hasil daripada gabungan tenaga batin dan tenaga lahir

    manusia. Apa yang dimaksudkan gabungan antara tenaga batin (daya pemikiran) dengan

    tenaga lahir ialah apa yang difikirkan oleh manusia itu terus dibiat dan dilaksanakan. Apa

    yang difikirkannya itu dilahirkan dalam bentuk sikap. Maka hasil daripada gabungan

    inilah yang dikatakan kebudayaan.

    Jadi kalau begitu, seluruh kemajuan baik yang lahir ataupun yang batin walau

    dibidang apapun, dianggap kebudayaan. Sebab hasil daripada daya pemikiran dan daya

    usaha tenaga lahir manusia akan tercetuslah soal-soal politik, pendidikan, ekonomi,

    sastera dan seni, pembangunan dan kemajuan-kemajuan lainnya.

    Dan kalau begitu pengertian kebudayaan maka agama-agama di luar Islam juga

    bisa dianggap kebudayaan. Ini adalah karena agama-agama seperti Budha, Hindu, kristen

    (yang telah banyak diubah-ubah) itu lahir hasil dari pemikiran (ide-ide) manusia. Ia

    adalah ciptaan akal manusia.

    Sebaliknya agama Islam tidak bisa dianggap kebudayaan sebab ia bukan hasil

    daripada pemikiran dan ciptaan manusia, bukan hasil budi dan daya (tenaga lahir)

    manusia. Agama Islam adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah SWT.

    Agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada Rasulullah

    SAW yang mengandung peraturan-peraturan untuk jadi panduan hidup manusia agar

    selamat di dunia dan akhirat. Tetapi agama-agama di luar Islam memang kebudayaan,

    sebab agama-agama tersebut adalah hasil ciptaan manusia daripada daya pemikiran

    mereka, daripada khayalan dan angan-angan.

    Namun begitu walaupun agama Islam itu bukan kebudayaan tetapi ia sangat

    mendorong (bahkan turut mengatur) penganutnya berkebudayaan. Islam bukan

    kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Islam mendorong berkebudayaan

    dalam berfikir, berekonomi, berpolitik, bergaul, bermasyarakat, berpendidikan, menyusun

    rumah tangga dan lain-lain. Jadi, sekali lagi dikatakan, agama Islam itu bukan

    kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Oleh karena itu seluruh kemajuan

    lahir dan batin itu adalah kebudayaan maka dengan kata-kata lain, Islam mendorong

    umatnya berkemajuan.

    Agama Islam mendorong umatnya berkebudayaan dalam semua aspek kehidupan

    termasuk dalam bidang ibadah. Contohnya dalam ibadah yang paling pokok yaitu

    sembahyang. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2): 43 ada perintah:

    Artinya: Dirikanlah sembahyang, dan tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama

    orang yang rukuk. Perintah itu bukan kebudayaan karena ia adalah wahyu dari Allah SWT. Tetapi

    apabila kita hendak melaksanakan perintah "dirikanlah sembahyang" maka timbullah

    daya pemikiran kita, bagaimana hendak bersembahyang, dimana tempat untuk

  • 54

    melaksanakannya dan lain-lain. Secara ringkas, kitapun bersembahyanglah setelah

    mengkaji Sunnah Rasulullah yang menguraikan kehendak wahyu itu tadi. Firman Allah

    dalam surat An Najm (53) ayat 3:

    Artinya: Tiadalah Rasul itu berkata-kata melainkan wahyu yang diwahyukan

    padanya. Umpamanya kalau sembahyang berjemaah, kita berbaris, dalam saf-saf yang lurus

    dan rapat. Jadi dalam kita melaksanakan barisan saf yang lurus dan rapat itu adalah

    budaya, karena ia hasil usaha tenaga lahir kita yang terdorong dari perintah wahyu.

    Dan kalau dilihat dalam ajaran Islam, kita dikehendaki bersembahyang di tempat

    yang bersih. Jadi perlu tempat atau bangunan yang bersih bukan saja bersih dari najis

    tetapi bersih daripada segala pemandangan yang bisa menganggu kekhusyukan kita pada

    saat kita bersembahyang. Maka terpaksalah kita umat Islam menggunakan pikiran,

    memikirkan perlunya tempat-tempat sembahyang yaitu mushalla, surau ataupun masjid.

    Apabila kita membangun surau atau masjid hasil dari dorongan wahyu "Dirikanlah

    sembahyang" itu maka lahirlah kemajuan, lahirlah kebudayaan.

    Jadi agama Islam mendorong manusia berkebudayaan dalam beribadah padahal ia

    didorong oleh perintah wahyu "Dirikanlah sembahyang" yang bukan kebudayaan. Tapi

    karena hendak mengamalkan tuntutan perintah wahyu ini, maka muncullah bangunan-

    bangunan masjid dan surau-surau yang beraneka bentuk dan di dalamnya umat Islam

    sembahyang berbaris dalam saf-saf yang lurus dan rapat. Ini semua merupakan

    kebudayaan hasil tuntutan wahyu.

    Kesimpulannya, jelaslah Islam bukan kebudayaan sebab ia bukan hasil ciptaan

    manusia. Walau bagaimanapun agama Islam itu mendorong orang berkebudayaan.

    Adapun agama-agama di luar Islam memang kebudayaan sebab ia hasil kerja akal,

    khayalan dan angan-angan manusia itu sendiri.

    Justru itu, jika ajaran agama Islam ini diamalkan seungguh-sungguh, umat Islam

    akan jadi maju. Dan dengan kemajuan yang dihasilkan itu, lahirlah kebudayaan atau

    tamadun. Makin banyak umat Islam mengamalkan hukum, semakin banyaklah kemajuan

    dihasilkan dan seterusnya makin banyak lahirlah kebudayaan atau tamadun Islam.

    B. Sejarah Kebudayaan dan Intelektual Umat Islam Dalam catatan sejarah, pernah dituliskan dengan tinta emas adanya puncak

    kemajuan kebudayaan Islam, terutama pada pemerintahan khalifah al-Mamun dari dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang adil, menjamin

    kebebasan berpikir sehingga pada zaman itu, berdiri pusat-pusat kajian dan

    penterjemahan buku-buku filsafat Yunani dan berkumpul berbagai ilmuwan dari berbagai

    kalangan keagamaan, dengan sistem ekonomi perdagangan yang terbuka, di mana saat itu, kota Baghdad menjadi kota perdagangan. Akan tetapi setelah pemerintahan al-

    Mamun, tanda-tanda kejatuhan dan kemunduran kebudayaan Islam mulai merebak, yang ditandai oleh ketidakmampuannya dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil, sikap hidup para pemimpin dan orang-orang kaya di sekitarnya yang suka berfoya-foya,

    serta terjadinya frustrasi akademik di kalangan kaum terpelajar.

    Puncak kebudayaan Islam itu tidak dicapai dengan seketika, demikian pula halnya

    kejatuhannya, proses itu berjalan dalam rentang waktu lama, ratus tahun, sejak abad ke

    tujuh sampai abad ke dua belas masehi. Dalam periode itu, umat Islam terpukau oleh pemikiran Yunani, mereka melakukan penterjemahan buku-buku Yunani secara besar-

  • 55

    besaran, akan tetapi mereka mengabaikan fundamental bangunan intelektual dari akar tradisinya sendiri, yang diwariskan oleh tradisi kenabian. Sir Muhammad Iqbal,

    melukiskan keadaan itu dengan pernyataannya bahwa mereka membaca Al-Quran dengan cahaya pemikiran Yunani, padahal jiwa intelektual yang dibangun oleh al-Quran itu bersifat aktual, dalam amal ke salehan sebagai jalan spritual, berbeda dengan jiwa

    intelektual Yunani yang bercorak spekulatif, dan rasional semata-mata.

    Di lihat dari konteks metode berpikir kefilsafatan, barangkali pernyataan adanya

    kemajuan kebudayaan yang disebut dengan kebudayaan Islam itu, sesungguhnya masih bersifat semu saja, karena sesungguhnya yang ada bukan kebangkitan kebudayaan Islam, tetapi kebangkitan kebudayaan Yunani dalam pemerintahan dan masyarakat Islam. Persoalan ini, telah muncul perdebatan akademik dalam pemikiran filsafat dengan

    sangat serius, apakah filsafat Islam itu pernah ada, karena yang ada adalah bukan filsafat

    Islam tetapi filsafat Yunani yang diberi baju Islam.

    Dalam konsep filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun

    produk, pada dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya akal kudus

    secara seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah

    dan kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegakkan berdasarkan rasio

    semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spritualitasnya,

    dan mempunyai kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan universal

    dan spritual agama.

    Oleh karena itu, ketahanan suatu kebudayaan sepenuhnya ditentukan oleh

    keseimbangan dealektik antara kreaktifitas dan wawasan moralitas, yang secara seimbang menjadi manifestasi aktual dan dinamis dari keseimbangan iman dan ilmu dalam tindakan amal kesalehan. Pada dataran ini, kebudayaan menjadi sasaran

    komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhannya, dalam suatu pertemuan penciptaan yang

    bermakna ibadah. Di sinilah kebudayaan Islam sebagai penyerahan, ketunduhan dan

    kepatuhan diri kepada Tuhan dijabarkan secara kreatif dalam penciptaan kebudayaan,

    yang basisnya adalah dealektika hukum-hukum Tuhan yang ada dalam ciptaan-Nya. Dengan demikian, kebudayaan yang demikian akan menghantarkan manusia kepada

    salam, mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, di dunia dan akhirat. Lebih jauh, terkait sejarah intelektual Islam, berdasarkan teori yang dikemukakan

    oleh Harun Nasution, maka perkembangannya dikelompokkan kedalam tiga masa yaitu:

    1) Masa Klasik, yaitu antara 650-1250 M, Di era klasik ini, lahir beberapa tokoh penting di beberapa bidang, antaranya

    bidang ilmu filsafat, tokohnya antara lain Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-

    Farabi (w 390 H/961 M), Ibnu Bajah (w 523 H), Ibnu Thufail (w 581 H), dan Ibnu

    Sina (370-428 H/980-1037 M). Ibnu Sina, selain dikenal ahli filsafat, ia juga dikenal

    sebagai bapak kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya, seperti Qanun fi Thib, Asy-

    Syifa, dan lainnya. Selain nama di atas, tokoh lainnya adalah Al-Ghazali (450-505

    H/1058-1101 M). Beberapa karyanya adalah Ihya Ulum Al-Din, Tahafut al-Falasifah,

    dan al-Munqizh Minadl Dhalal. Kemudian, ada Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198

    M). Karangannya adalah Mabdiul Falasifah, Kasyful Afillah, dan Al-Hawi dalam

    bidang kedokteran.

    Adapun di bidang ilmu kedokteran, selain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tokoh

    lainnya adalah Jabir bin Hayyan (w 161 H/778 M), Hunain bin Ishaq (194-264 H/810-

    878 M), Thabib bin Qurra (w 901 M), dan Ar-Razi (251-313 H/809-873 M). Di

    bidang, ilmu matematika, dua orang tokohnya antara lain adalah Umar Al-Farukhan

    (arsitek pembangunan Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar

    yang juga menemukan angka nol (0)). Sedangkan, angka 1-9 berasal dari India yang

    dikembangkan oleh Islam. Karena itu, angka 1-9 disebut pula dengan angka Arab.

  • 56

    Namun, setelah ditemukan orang Latin, namanya pun disebut dengan angka Latin.

    Terakhir di bidang seni ukir, dalam bidang ini, umat Islam cukup terkenal dengan

    hasil seni pada botol tinta, papan catur, payung, pas bunga, burung-burungan dan

    pohon-pohonan. Tokohnya antara lain Al-Badr dan Al-Tariff sekitar tahun 961-976

    M. Seni ukir yang dikembangkan tidak hanya pada kayu tapi juga pada logam, emas,

    perak, marmer, mata uang, dan porselin.

    2) Masa Pertengahan, yaitu tahun 1250- 1800 M, Di zaman atau era pertengahan ini, dalam catatan sejarah pemikiran dan

    peradaban Islam merupakan masa kemunduran. Sebab utama karena umat Islam

    mulai menjauhkan filsafat, sehingga muncul kecendrungan akal dipertentangkan

    dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa

    sampai sekarang.

    3) Masa Moderen, yaitu tahun 1800- sekarang.

    C. Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam J. Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic Book mengungkapkan "Di era

    kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga

    sebagai pusat kegiatan intelektualitas." Memang sejak awal perkembangannya, masjid

    terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di dunia

    Islam.

    Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang.

    Peran masjid kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu. Sekolah-masjid di era

    kejayaan Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan hingga ribuan siswa.

    Sebagai pusat intelektualitas, masjid-masjid di era kekhalifahan telah dilengkapi dengan

    perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama

    yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid.

    Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama

    kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti

    Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak

    tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk

    mendidik anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam.

    Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu

    sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis

    99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak Muslim di masa

    kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang sederhana.

    Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid

    dijarkan Al-Quran ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan

    pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman

    kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar,

    biologi, sejarah, hukum, dan teologi.

    Pada perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja.

    Untuk mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar

    di rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium. Tempat

    belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan dengan

    masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru.

    Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya bertempat di

    masjid. Masjid menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan

  • 57

    Dinasti Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan

    belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas.

    Pendidikan yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam ternyata mampu

    memberi pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar

    Studi Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di era

    kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui sistem

    pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar kesarjanaan yang diberikan.

    Dari paparan di atas, maka tampak jelas bahwa masjid tidak hanya berfungsi

    sebagai pusat ibadah ritual, melainkan berfungsi juga sebagai pusat ibadah sosial seperti

    pendidikan dan ekonomi. Dari kedua fungsi tersebut titik sentral fungsi utama masjid

    adalah sebagai pusat pembinaan umat Islam. Dengan ungkapan lain, masjid sebagai pusat

    peradaban Islam.

    Lebih dari itu, di dalam setiap peradaban terdapat kebudayaan. Siapa pun orang

    yang lahir disambut dan diatur oleh kebudayaan. Maka, kebudayaan menjadi modal

    utama membangun peradaban. Caranya, budaya tersebut dikembangkan dan diawetkan

    lewat pendidikan, yang dapat melahirkan high culture (peradaban tinggi). Peradaban

    yang tinggi inilah kemudian yang akan melahirkan pilar-pilar peradaban, misalnya, ilmu

    pengetahuan, seni, bahasa, dan sastra. Dan masjid dalam sejarah peradaban Islam

    merupakan tempat atau pusat lahirnya peradaban Islam tersebut.

    D. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam besar dari

    negara Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.

    Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit

    membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam menyamakan

    antara perilaku yng tampil oleh orang Arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa

    yang dilakukan oleh orang Arab itu semuanya mencerminkan ajaran Islam, bahkan

    hingga kini budaya Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.

    Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para dai mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah Jawa.

    Karena kehebatan para Wali Allah dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya

    setempat, sehingga masyarakat setempat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam sudah

    menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam

    upacara-upara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa Al-Quran/Arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang

    baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari

    ajaran Islam.