KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

9
243 KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA- NGUNAN HUKUM D1INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRlTlS TERHADAP POLl- TIK PEMBINAAN HUKUM NASIONAL *) . ----Oleh : Abdul Hakim G Nusantara, SH. LL. M ---- I. Pengan tar Mendekati tahun 1978 dunia poli- tik Indonesia ditandai oleh mening- katnya tuntutan-tuntutan masyarakat akan perwujudan keadilan sosial yang lebih nyata. Tuntutan perwujudan ke- adilan sosial ini menjadi isyu politik penting yang terus berkembang di te- ngah masyarakat. Kalngan pers, inte- lektual, akademis dan kelompok-ke- lompok sosial penting lainnya tiada hent-hentinya mempersoalkan masalah masalah yang berkenaan dengan pelak- sanaan keadilan sosial di dalam masya-' rakat. Dalam garis besarnya masalah- . - - masalah yang sering dibicarakan oleh kalangan terse but terdiri atas: pertama perataan hasil-hasil pembangunan, dan kedua, masalah partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan po- litik yang berkenaan dengan alokasi sumber daya yang penting bagi kehi- dupan mereka. . Bagi pengamat yang jeli tentu akan mafhum bahwa kedua masalah terse- but di atas menyembul ke permukaan untuk sebagian merupakan reaksi ter- hadap gaya-gaya pembangunan PELI- TA I, dan PELITA II yang lebi..b, . mene- kankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan aspek ' siabilitas politik. Sedang untuk sebagian lainnya tun- tutan-tuntutan keadilan terse but bisa *) Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengkajian dan Strategi Pembangunan dalam Pelita III tentang Pemerataan Ke- adilan, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 21-23 April 1983 . pula dipandang sebagai bentuk artiku- lasi ideologi dari kelompok-kelompok menengah Indonesia yang menghen- daki terbukanya jalan masuk bagi me- reka ke pusat-pusat oengambilan kePu- tusan politik yang menentukan arah jalannya kekuasaan negara. Menjawab tuntutan-tuntutan politik itu pemerintah dalam PELITA III mencoba merubah orientasi dan pene- kanan pembangunan (tanpa merubah strategi) di mana aspek perataan men daptkan prioritas yang utama dengan tetap mengindahkan aspek-aspek per- tumbuhan ekonomi dan stabilitas poli- tik. Dengan demikian meskipun dalam PELIT A III aspek perataan mendapat- kan prioritas perhatian yang utama na- mun pranata-pranata sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang mendukung bagi kepentingan pertumbuhan ekono mi dan stabilitas politik akan tetap diPertahankan, dan bahkan dikukuh- kan. Konsekkuensi dari strategi yang demikianadalah pengaruhnya yang khusus bagi perwujudan perataan ha- sil-hasil pembangunan dalam PELITA III. Dalam pem bangunan Lima Tahun Ke III penekanan aspek perataan me- liputi bidang-bidang yang amat luas se- perti; ekonomi; politik; sosial budaya, hukum dan perimbangan pembangun- an pusat dan daerah. Perataan bidang- bidang terse but di atas hendak dicapai melaIui delapan jalur pemerataan seba- gaimana digariskan oleh PELITAUI. Di antara delapan jalur perataan itu

Transcript of KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

Page 1: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

243

KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA­NGUNAN HUKUM D1INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRlTlS TERHADAP POLl­TIK PEMBINAAN HUKUM NASIONAL *)

.

----Oleh : Abdul Hakim G Nusantara, SH. LL. M ----

I. Pengan tar Mendekati tahun 1978 dunia poli­

tik Indonesia ditandai oleh mening­katnya tuntutan-tuntutan masyarakat akan perwujudan keadilan sosial yang lebih nyata. Tuntutan perwujudan ke­adilan sosial ini menjadi isyu politik penting yang terus berkembang di te­ngah masyarakat. Kalngan pers, inte­lektual, akademis dan kelompok-ke­lompok sosial penting lainnya tiada hent-hentinya mempersoalkan masalah masalah yang berkenaan dengan pelak­sanaan keadilan sosial di dalam masya- ' rakat. Dalam garis besarnya masalah-

. - -masalah yang sering dibicarakan oleh kalangan terse but terdiri atas: pertama perataan hasil-hasil pembangunan, dan kedua, masalah partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan po­litik yang berkenaan dengan alokasi sumber daya yang penting bagi kehi­dupan mereka. . Bagi pengamat yang jeli tentu akan mafhum bahwa kedua masalah terse­but di atas menyembul ke permukaan untuk sebagian merupakan reaksi ter­hadap gaya-gaya pembangunan PELI­TA I, dan PELITA II yang lebi..b,.mene­kankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan aspek ' siabilitas politik. Sedang untuk sebagian lainnya tun­tutan-tuntutan keadilan terse but bisa

*) Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengkajian dan Strategi Pembangunan dalam Pelita III tentang Pemerataan Ke­adilan, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 21-23 April 1983 .

pula dipandang sebagai bentuk artiku­lasi ideologi dari kelompok-kelompok menengah Indonesia yang menghen­daki terbukanya jalan masuk bagi me­reka ke pusat-pusat oengambilan kePu­tusan politik yang menentukan arah jalannya kekuasaan negara.

Menjawab tuntutan-tuntutan politik itu pemerintah dalam PELITA III mencoba merubah orientasi dan pene­kanan pembangunan (tanpa merubah strategi) di mana aspek perataan men daptkan prioritas yang utama dengan tetap mengindahkan aspek-aspek per­tumbuhan ekonomi dan stabilitas poli­tik. Dengan demikian meskipun dalam PELIT A III aspek perataan mendapat­kan prioritas perhatian yang utama na­mun pranata-pranata sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang mendukung bagi kepentingan pertumbuhan ekono mi dan stabilitas politik akan tetap diPertahankan, dan bahkan dikukuh­kan. Konsekkuensi dari strategi yang demikianadalah pengaruhnya yang khusus bagi perwujudan perataan ha­sil-hasil pembangunan dalam PELITA III .

Dalam pem bangunan Lima Tahun Ke III penekanan aspek perataan me­liputi bidang-bidang yang amat luas se­perti; ekonomi; politik; sosial budaya, hukum dan perimbangan pembangun­an pusat dan daerah. Perataan bidang­bidang terse but di atas hendak dicapai melaIui delapan jalur pemerataan seba­gaimana digariskan oleh PELITAUI. Di antara delapan jalur perataan itu

Page 2: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

244

bidang hukum menempati jalur kede­lapan, yaitu jalur pemerataan keadilan. Penempatan bidang hukum secara khu­sus dalam satu jalur perataan men­cerminkan perhatian yang besar dari

pihak pemerintah atas masalah-masa-lah yang berkenaan dengan pemerata­an k~adilan yang berpengaruh pada keberhasilan pencapaian sasaran pera­taan hasil-hasil pembangunan dalam PELIT A III. Sejauh mana pemerataan keadilan bidang hukkum ini dikonsep­tualisasikan dan diimpiementasikan, dan sejauh mana pranata-pranata sosial dan hukum yang ada mempengaruhi proses perwujudan perataan keadifan akan menjadi titik pusat pembahas­an dalam tulisan ini.

I1.Dua Model Strategi Pemba­ngunan Hukum

Menurut John Henry Merryman da­lam dunia kontemporer ini hadir di hadapan kita tiga tradisi hukum yang utama, Mereka adalah :

,

1. tradisi hukum kontinental (civil ,

law); 2. tradisi hukum adat (common law); dan 3. tradisi hukum sosialis (socialist law). (John Henry Merryman: The Cil'if La1\' Tradition, Stanford University Press; Stanford, California, 1969, halaman 1-6). Dengan tradisi hukum yang mak­sudkan adalah, seperangkat si~kp-sikap mengenai sifat hukum, peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintah, or­ganisasi dan operasionalisasi dari sis tern hukum dan cara di dalam mana hukum itu dibuat, diterapkan, dip cla­jari, , disempurnakan, dan dipikirkan . .

yang kesemuanya itu berakar secara mendalam dan dikondisikan oleh seja­rah masyarakat . Pandangan ku),tural terse but . tentu mempunyai kegunaan ,

dan kepentingannya sendiri, terutama sebagai cara lain untuk menganalisa, dan memahami sifat,sistem, organisa-

,

si dan mekanisme hukum dari suatu masyarakat tertentu.

Hukum dan Pembangunan

Dari sudut perspektif sejarah maka sebagai hasil . dari proses politik yang terjadi di dalam suatu masyarakat kita dapat melihat adanya dua model stra­tegi pembangunan hukum. Mereka adalah:

I. strategi pembangunan hukum orto­dok ; dan 2. strategi pembangunan hukum responsif. Di sini yang dimak­sudkan dengan strategi pembangunan hukum adalah segala usaha yang di­lakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk 1

),) dikonseptualisasikall, " di , implementasikan, dilembagakan dalam suatu proses politik. Sedang kebijak­sanaan lebih menunjuk kepada tindak-

• an-tindakan formal yang diambil oleh para pemegang kekuasaan politik. Strategi Pembangunan Hukum Orto­dok: Strategi Pembangullan Hukum 01'10-dok: mencirikan adanya ~eranan mu­tlak dari lembaga-Iembafa negara ( e­merintah dan parlemen) dalam men' ri-, \.

tukan arah perkembangan hukull\ \ I.n-\

lam suatu masyarakat. H Ikum yang dihasilkan oleh strategi i i me \ ja'~i bersifat Positifis - illstl'ume(l ta/is. ' ,l\I­kum menjadi instrumen yang anuiilli bagi pelaksanaan ideologi d~n pro~~a\h dari negara. (Yash P . Gh1 : N()'M~ Towards A Theury 0/ Law \alld fd~'r,.

logy Tanzanian Perspcctil'cs. AI'Jiica.tl) \

Law Studies, 1976, halaman 33), Dalam pengertian yang demikiaIl\ i~'t1 , '\

baik tradisi hukum kontinental ! (~ 'il"i'l law) maupun tradisi huku~ s~:sbli\ (sosialist law) bis~ dikatakan . se:4agai

, . , menganut strategi pembangun\ul , hu-kum ortodok. Baik dalam tradiSL k'u· kum kontinental maupun dalarp tt-~ hukum sosialis peranan lembag".leflt. baga negara (pemerin tah daQ ~(\rl\j~

men) sangat besar dalam men~nt\Ukan

arah perkembangan hukum di etalam masyarakat.

Page 3: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

Strateg; Pembangullall Hukum

Strategi pembangunan hukuln respon­SI! mencirikan adanya peranan yang besar dari Lembaga peradilan, dan partisipasi yang luas dari kelompok­kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat dalam menentu­kan arah perkembangan hukum. Ini berarti peranan lembaga-Iembaga nega­ra (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hu­kUIfl menjadi lebih relatif. Adanya te­kanan-tekanan yang ditim bulkan oleh partisipasi luas dari masyarakat dan kedudukannya yang relatif bebas me­mungkinkan lembaga peradilan meli­hat perspektif ke depan , khususnya da­lam menghadapi berbagai konflik ya ng tim bul yang diajukan kehadapannya. Keadaan yang demikian memungkin­kan dihasilkannya produk hukum yang bersifat lebih responsif terhadap tun­tutan-tuntutan dari berbagai kelompok so sial at au individu dalam masyarakat. Dalam pengertian seperti itu tradisi hukum adat (cu mmun law) bisa dikli­takan se bagai menganut model strategi pembangunan hukum responsif. Dalam tradisi hukum adat (co mmon law ) kita menyaksikan peranan substansial dari lernbaga peradilan dan partisiapsi luas dari berbagai kelompok sosial atau individu dalam menentukan arah per­kembangan hukum di dalam masyara­kat.

Penerapan model-model _ strategi pembangunan hukum terse but diatas tidak berarti sclalu melalui sebuah proses yang terencana. Bahkan sejarah menunjukkan untuk sebagian besar penerapan model-model strategi pem­bangunan hukum terse but merupakan hasil dari suatu proses politik. Ini berarti yang mana di antara dua strategi p~mbangunan hukum itu akan diikuti dan dlterapkan dalam suatu masyaradt sangat tergantung dari h~sil interaksi politik di antarakelom­p~-kelompok sos~al yang ada" cli da-

245

lamnya. (sebagal contoh penerapan model strategi pembangunan hukum responsif dalam tradisi hukum adat di Inggris pada awal abad ke 12 adalah

• hasil perjuangan politik dari ](elompok kelompok sosial di luar sektor negara).

III. Kebijaksanaan Dan Strategi Pembangunan Hukum Orde Ba­ru: Suatu Tinjauan Atas Kebi­jaksanaan Pembinaan Hukum Pe-lita III .

Kerangka teori di atas mengantar kita kepada suatu analisa ten tang ke­bijaksanaan Dan Strategi Pembangun­an Hukum Orde Baru, Ji dalam mana kita akan mencoba untuk mengamati sejauh mana pranata-pranata sosial dan hukum yang ada mempengaruhi proses perwujudan program pemerataan ke­adilan sebagaimana yang digariskan oleh PELIT A III.

Se bagaimana kita ketahui tampil­nya Orde Baru pada tahun 1966 tclah menempatkan golongan militer dan bi­rakrat sebagai penopang utama keku­asaan politik negara. Kejadian ini bu-/ kanlah hal yang mengejutkan mengr ingat proses-proses politik yang di ala- ' mi oleh bangsa Indonesia setelah m/asa kemerdekaan cenderung untuk me­nempatkan golongan militer dan iro­krat sebagai kelompok-kelompo sosi­al dominan di dalam masyarak~t. Se­lanjutnya proses politik telah pula menempatkan kelompok-kelompok sosial di , luar sektor negara d~lam po­sisi ' yang kurang..11\enentukan baik da­lam arti kata politik\ konomii

Golonga militer an birokrat me­rupakan kel p-&k.~kelompok sosial yang terorganisir secara rapih dan mempunyai visi dan ideologi yang re-

I \latif homogin, yaitu: idea persatuan nasiunal. Ideoiugi persatuan nas;otlal ini memberikan legitimasi yang pen-

.Vle; 1983

Page 4: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

246

ting bagi naiknya golongan militer dan birokrat ke panggung kekuasaan poli­tile.

Dalam pada itu, kelompok-kelom­pok sosial pi luar sektor negara umum­nya merupakan kelompok-kelompok sosial yang kuran terorganisir secara rapih dan secara ideologis mereka ter­cerai-berai. Mereka terdiri atas; inte­lektual, mahasiswa/kalangan aka de­misi, pedagang-pedagang menengah, kelompok profesi, pemimpin-pemim­pin agama, dan tokoh-tokoh partai politik. Mereka merupakan kelompok menengah yang tidak mempunyai ak­ses langsung ke pusat-pusat kekuasaan politik.

Dalam bentuk artikulasi ideologi for­mal mereka adalah kelompok sosial yang ' paling vokal dalam menuntut tegaknya otonorni hukum, peranan yang lebih besar dari lembaga pera­dilan, partisipasi masyarakat luas da­lam menentukan arah perkembangan hukum, yang kesemuanya di anggap penting bagi pelaksanaan keadilan sosi­al eli dalam masyarakat. (Daniel. S. Lev.: Sudicial Authority And The Struggle For An Indonesian Rechts­staat, Law & Society Review, 1978, Volume 3). Namundemikian, sehebat dan' sekeras apapun idea dan suara pem'baharuan kelompok menengah ke­dudu.kan politik dan ekonomi mereka yang lemah membuat mereka senan­

merupakan elite pinggiran yang kurang banyak menentukan arah per­kembangan hukum nasional.

Lemahnya kedudukan politik dan ekonomi kelompok menengah, dan tentunya pula masyarakat lapis bawah menempatkan negara (pemerintah) da­lam kedudukan monopolis dibidang pembinaan hukum nasional. Sedang Lembaga peradilan dan partisipasi ma­syarakat luas kurang mendapatkan tempat yang cukup berarti dibidang pembinaan hukum.

Ifukum dan Pembangunan

Ini berarti politik pembinaan hukum nasional untuk sebagian besar mere­fleksikan cara pemerintah memandang permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Sejalan de­ngan perkembangan politik tersebut di atas, sebagai akibat pengalaman-penga­laman di masa lalu dan juga oleh ka­rena kepeningan pemerntah sendiri ideologi persatuan nasional /atau ideo­logikepentingan nasional) telah mengalami suatu penafsiran yang sa ngat luas sehingga ia mampu pula menjastifikasi pembentukan pranata­pranata ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, yang secara sepihak diang­gap sebagai penting untuk menunjang ke berhasilan pembangunan . nasional

dan PELITA I, PELITA II, dan PELI-T A III. Dalam pada itu, peranan mo­nopolis pemerintah di bidang pembi­naan hukum nasional menjadi strate­gis, dalam arti ia berguna untuk meng­asahkan eksistensi pranata-pranata ter-

. sebut di atas.

Sehingga dengan demikian hukum be­nar-benar merupakan instrument yang ampuh untuk mewujudkan dan meng­absahkan program-pr0gram pemerin­tah di bidang-bidang pertum buhan ekonomi, pem bangunan sosial dan mo­derisasi serta "stabilitas politik". Hasil konkrit dari strategi pembangunan hu­kum yang demikian adalah terbentuk­nya produk-produk hukum yang men­jamin dan mengabsakan:

• I. pranata-pranata politik dan hukum

yang kurang memberikan kesempat­an bagi partisipasi masyarakat luas untuk turut serta mempengaruhi proses pengambilan keputusan-ke­putusan politik penting terutama yang berkenaan dengan alokasi sumber daya.

2. pranata-pranata politik dan keaman ap yang memperkuat dan memper­besar peranan eksekutif di bidang pengelolaan sektor publik.

Page 5: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

Strategi Pembangunan Hukum

3. pranata-pranata ekonomi yang ku­rang memberikan kesempatan bagi partisipasi golongan ekonomi le­mah dan atau kaum miskin.

Selanjutnya strategi pembangunan hukum pada PELIT A I dan PELIT A II bahkan pada PELITA III telah membe­rikan sifat-sifat yang khas pada pro­duk-produk hukum yang dihasilkan: pertama, produk hukum yang diha­silkan melalui kerangka strategi pem­bangunan hukum yang disebut orto­dok itu bersifat kaku dan kurang ter­buka bagi berubahan, dan dengan de­mikian hukum menjadi kurang tang­gap terhadap tuntutan-tuntutan kebu­tuhan masyarakat; kedua, produk hu­kum yang dihasilkan juga cenderung bersifat oppresif karena ia secara se'pi­hak merefleksikan persepsi sosial para pengambil kebijakan.

Kondisi produk-produk hukum yang demikian itu jelas mempunyai dampak negatif yang sangat bermak­na bagi pelaksanaan perwujudan ke­adilan sosial dalam masyarakat. (se­lama PELIT A I dan PELIT A II, tidak sebuahpun perundang-undagan dicipta­kan untuk melayani kepentingan eko­nomi golongan masyarakat lapis ba­wah). Keadaan yang demikian itu te­lah menim bulkan reaksi-reaksi kritis dari kelompok menengah Indonesia yang kemhali menyuarakan ditegakkan nya ideologi otonomi hukum, parti­sipasi masyarakat luas di bidang pem­bagunan hukum sebagai pcrwujudan keadilan sosial di dalam masyarakat Indonesia.

Menanggapi sikap-sikap kritis dari keloCl)pok menengah tersebut peme­rintah dalam PELIT A 1II mengintro­dusir program perataali. disegala bi­dang-hidang kegaitan pembangunan, di mana salah satunya adalah program pcrataan keadilan bidang hukum. Da­lam kaitannya , dengan program pcra­taan keadilan PELITA III menggaris-

/ /

247

kan program pembinaan hukum nasio­nal sebagai berikut :

1. Program Pembinaan Hukum Nasio­na1. Tujuan dari ' Program Pembinaan Hukum Nasional adalah penyusun­an dan pemantapan perangkat per­undang-undangan yang menunjang

,

pembaangunan di berbagai bidang dan menampung akibat pemba­ngunan itu secara tertib dan dina-' mis. (parafraf 1).

Selanjutnya dalam paragraf 3 dika­takan: "Dalam kegiatan perencanaan hu­kum dan perundang-undangan prio­ritas diberikan pada penyiapan per­aturan perundangan yang segara di­perlukan untuk menunjang kebu­tuhan pembangunan nasional, khu­susnya yang menunjang pembangun an ekonomi dan mendorong peru­bahan sosial ke arah moderenisasi serta memantapkan kehidupan poli­tik, (paragraf 3).

( Makna dari rumusan-rumusan indah ,

terse but adalah, meskipun program pe-rataan keadilan di bidang hukum me­rupakan sasaran yang utama dari PELITA III, namun aspek-aspek per­tumbuhan ekonomi dan stabilitas po­litik tetap pula menjadi titik tolak dari strategi pembangnan hukum PELITA III. Ini berarti pula seluruh peranata­peranata politik, ekonomi dan hukum yang dianggap sebagai tempat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, Jan stabilitas politik harus terus di­tingkatkan peranannya. Konsekuensi-konsekuensi dari padanya se bagaimana kita lihat dalam kenya­taan adalah; pertama, dipertahankan­nya peranata-pcranata politik dan hu­kum yang memberikan partisipasi ma­syarakat luas dalam pcngambilan kepu­tusan-keputusan yang berkenaan de-,

ngan alokasi sumber daya. •

Mei / 'IS3

,

Page 6: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

,

248

Lebih lanjut dalam PELITA III peme­rintah justeru mengintrodusir undang­udnang pemerin tahan desa/U. U. No.5 tahun 1979, yang secara extrim mem­persempit partisipasi politik masyara-, kat desa. Dalam konteks strategi ini pula peranan pengadilan dalam meng­hadapi isyu-isyu atau masalah masalah yang penting dan straegi juga semakin terbatas; kedua, peranata peranata po­litik dan keamanan yang memperkuat dan memperbesar peranan pemerintah di bidan pengelolaan sektor politik juga semakin diperkokoh. Dipertahan­kannya undang-undang anti subversif, dan pengundangan undang-undang HANKAM ABRI harus pula dilihat dalam konteks strategi terse but di atas. Dalam pada itu selama PELIT A III , pemerintah dan DPR belum juga ber­hasil mengundangkan rancangan un­dang-un dang peradilan tatausaha nega­ra; ketiga, seluruh peranata-peranata ekonomi yang akan memberikan fasili-

. tas-fasilitas kepada kelompok-kelom­pok kekuatan ekonomi dominan juga terus ditingkatkan peranannya.

Selanjutnya dalam bagian yang agak terperinci program pembinaan hukum PELITA III menyatakan sebagai ber­ikut:

"Kelanjutan usaha kodifikasi menca­kup bidang-bidang hukum pidana; aca-ra pidana; perdata ; acara perdata; da­

; tatausaha negara ; acara tata negara; dan perburuhan. (para-

araf 4). Khusus tentang masalah kodifikasi mencakup bidang-bidang hukum terse­but nampaknya kurang terlihat ada­nya usha-usaha yang bisa dicatat .

Berbaga.i::...::peraturan yang berkenaan dMlltu _bidang-bidang terse but di atas .masih tersebar bertebaran. Dalam paragraf 5 program pem binaan huku~ nasional mengatakan lebih lan­.i!1t sebagai berikut :

"Beberapa pokok materi peraturan

Hukum dan Pembangunal1

perundang-undangan yang akan di­bentuk ataupun disempurnakan me­liputi an tara lain bidang-bidang per­tanian; perlindungan hutan; sum­ber alam dan lingkungan hiudp; pelabuhan; jalan raya ; hypotyk ru­mah; asuransi pelayaran laut; per­industrian; hak merek dan cipta; kesehatan; hygiene dan senitasi; ke­selamatan kerja; bedah mayat; adop si; keluarga berencana; pendidikan; pertahanan keamanan; pemerintah­an desa; tataguna tanah; bina ko­ta; bantuan hukum; ganti rugi; dan

rehabilitasi; peradilan tata usaha ne-gara; acara pidana; pemilihan ' umum; dan lain sebagainya.

Dari seluruh program di bidang pem ba­ngunan hukum di atas meliputi bidang bidang yang am at luas. Dari situ kita dapat membaca kelompok-kelompok sosial mana yang mendapat prioritas perhatian dari program di bidang pem­bangunan hukum. Yang agak menghe­rankan masalah Perlindungan konsu­men yang jelas menyangkut hajat hi­dup orang banyak nampak kurang mendapat perhatian yang menonjol. Dalam tingkat pelaksanaan BPHN ten­tu sudW pula mengadakan berbagai pertemuan ilmiah guna mendapatkan input baik dari kalangan akademis maupun . praktisi di bidang-bidang hukum tertentu seperti; seminar ten­tang hypotik, seminar mengenai ban­tuan hukum, dan lain-lain.

Namun demikian di samping ber­bagai pertemuan ilmiah yang kemam­puannya terbatas pada pengumpulan input dari kalangan praktisi dan aka­demisi perwujudan dari berbagai pro­gram pembangunan perundang-undang an terse but selama PELITA III masih jauh dari harapan. Di antara berbagai rancangan undang-undang yang telah diundangkan seperti; undang-undang pemerintahan desa, undang-undang HANKAM ABRI, undang-undang

Page 7: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

Strategj Pembangunan Hukum

pokok lingkungan hid up, undang-un­dag hukum acara pidana, yang nam­paknya dekat dengan cita rasa pera­taan keadilan adalah dua undang-un­dang yang terakhir. Namun disamping undang-undang hukum acra pidana masih ada persoalan dan kesimpang siuran dalam tahap pelaksanaannya, undang-undang pokok mengenai ling­kungan hidup masih belum juga bisa diterapkan katena belum ada peratur­an pelaksanaannya.

Dari uraian panjang mengenai pro­gram pembinaan hukum nasional, kita dapat mengatakan bahwa politik pem­binaan hukum nasional selama PE­LIT A III masih jauh dari cita-cita ke­adilan sosial. Politik pembinaan hu­kum nasional untuk sebagin besar justru berlawanan dengan program pe­rataan yang diinrodusir oleh peme­rintah dalam PELITA III. Sebagian akibatnya para korban pen­cemaran lingkngan, para korban kese­wenang-wenang produsen, seperti; para korban pestisida, para korban kepu­tusan birokrat-birokrat yang tidak ber-

I • tanggung jawao, para buruh tam, buruh perkebun~n, buru industri tetap dalam keadaan tidak atau kurag ter-•

lin dung oleh peraturan-peraturan hu-kum yang ada.

Dalam pada itu, Hi tengah tuntutan­tuntutan kebutuhiln akan perlakuan yang adil, yang dikemukakan oleh kelompok menenglih, maupun oleh mayoritas masyatakat lapis bawah lembaga peradilal'l oleh karena berba­gai faktor politik nampak menjadi semakin kurang krtrati!untuk mengem­bangkan doktrin-doktrin hukum yang penting seperti; daktrin perbuatan me­lawan hukum dan Jain sebagainya un­tuk melindungi kelompok masyarakat yang lemah dari tiJridak sewenang-we­nang kelompok m4syarafat y~g j~uh lebih ' kuat baik sectara ekonoml. .mau­pun politik.

249

Menuju Strategi Pembangunan Hukum Responsif-Progresif

Fakta-fakta yang dikemukakan pada bagian akhir dari uraian di atas adaIah ciri cari kehidupan hukum da~

• lam Pelita III yang tidak begitu banyak berbeda dari fakta kehidupan hukum pada Pelita I dan Pelita II. Fakta ke-

hidupan hukum tersebut mendorong kita semua untuk memikirkan, men-

. cari dan merencanakan sebuah alter- . natif straregi pem bangunan hukum yang lebih akrab dengan cita rasa ke­adilan .

Sebagaimana diuraikan di muka pe­nerapan model-model strategi pemba­ngunan hukum dalam suatu masyara· kat untuk sebagian besar merupakan hasil proses ,politik. Namun itu tidak berarti tertutup kemungkinan bagi kita untuk memikirkan, mencari, merenca­nakan dan menerapkan sebuah strategi lain yang lebih dekat dengan kepen­tingan rakyat banyak. Dalam kaitan­nya dengan hal terse but di atas, maka berbeda dari strategi pembangunan hu­kum responsif di Inggeris yang umum­nya lebih tanggap pada kebutuhan-ke­butuhan kelas menengah, di Indonesia kini diperlukan sebuah strategi pemba· ngunan hukum responsif-progresif se­bagai cara untuk mendorong dan mem­percepat proses emansipasi sosial rna· syarakat lapis bawah. Sejalan dengan usaha untuk mencari alternatif strategi ini Paul dan Dias mengajukan suatu konsep yang disebut mereka sebagai pendekatan alternatif terhadap pemba­ngunan . (James C.N. Paul dan Clarence J. Dias: Law And Adminis­tration In Alternative Development, International Center for Law in De­velopment, December, 1980, halaman 11-14).

Mel-alui konsep terse but Paul dan Dias hendak menempatkan kelompok­kelompok kolektif masyarakat, ter­utama masyarakat lapis bawah sebagai

Mel 1983

Page 8: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

250

pemegang peranan penting dalam pro­ses pembentukan hukum \yang berke­naan dengan kepentingtn mereka. · Konsep ini mensyarakatk~n perlunya diciptakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat memberikan ~esempatan bagi pertumbuhan kelompok-ke~om­

pok kolektif masyarakat lapis bawah --.-

yang ,' mengorganisasikan kepenting-mereka. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kesempatan kelompok-ke­lompok kolektif masyarakat untuk memperoleh akses yang l~bih\ besar ke lembaga pengadilan juga harus dlberi~ lean, atau dapat pula dengan memberi­lean kesempatan untuk bertum:buh dan berkembangnya lembaga-lembaga baru seperti: lembaga arbitrase yang ber­fungsi untuk menjembatani kepenting-

. \

an-kepentingan berbeda an'tara kelom-pok-kelompok kolektif masyarakat lapis bawah dengan lembaga birokrasi, sehingga masyarakat dapat mempenga­ruhi proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang dilakukan oleh para pejabat.

Dalam konteks Indonesia, beberapa hal dapat dilakukan untuk menyela­matkan situasi kehidupan .hukum kita yang tidak nyaman bagi masyarakat lapis bawah: Pertama, perlu dicipata­kan kondisi-kondisi sosial yang me­mungki~an pertumbuhan sejati ke­lompok-k~lompok kolektif masyarakat lapis bawah yang benar-benar dapat berfungsi untuk 'mengorganisasikan, dan memperjuangkan hak-llak dan ke­pentingan\ mereka. Kedua, memperbe­sar akses masyarakat, khususnya ma­syarakat lapis bawah, ke lembaga-lem-

baga pengadilan_ c Dalam kaitannya de­ngan hal tersebut gugatan-gugatan oleh

,

kelompok-kelompok kolektif masya-rakat, baik masyarakat yang tergolong lapisan bawah dan atau masyarakat yan, tergolong lapisan menengah ke peAlAdilan yang berkenaan dengan

pencemaran lingkung-

Hukum dan Pembangunan

an, perlindungan konsumen harus mendapatkan perlakuan yang adil dari pihak pengadilan. Demikian , pula pula gugatan-gugatan yang diajukan oleh kaum buruh yang berkenaan de­ngan pelanggaran perusahaan atas hak­hak mereka untuk berserikat, dan mengadakan peIjanjian keIja bersama harus pula mendapat an posif dari pihak pengadilan. *)

Sejillan dengan usaha-usaha tersebut di atas pemerintah (Departemen Keha­kiman dan Mahkamah Agung) berkua­jiban pula untuk menciptakan kondisi­kondisi yang sehat sehingga para ha­kim akan mampu berpikir secani' bebas dalam menghadapi kasus-kasus strate­gis yang diajukan ke .hadapannya_ 'De-

• ngan begitu diharapkan para hakim akan memiliki keberanian untuk meng-

,

hasilkan yurisprudensi-yurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap ter­hadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya tuntutan­tuntutan kebutuhan masyarakat lapis bawah. Ketiga, Organisasi-<>rganisasi sosial non-pemerintah yang selama ini bergerak di bidang penyadaran masya­rakat dan atau bantuan hukum seperti: LBH, Lembaga Konsumen, KSBH, Ke­lompok-kelompok penyadar kelesta­rian lingkungan dan kelompok sejenis,

,

*) Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Kerja, Undang-undang No.21 tahun 1954, tentang K etentuan-ketentuan Perjanjian Per­burn han, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No_ 02, tahun 1978, mengatur hak-hak burnh untuk ber­serikat, dan mengadakan perjanjian kerja bersama. Namun demikian dalam praktek efektivitas hak-hak tersebut ban yak terham­bat oleh pihak pernsahaan. Sanksi-sanksi

,

bagi para pelanggar hak-hak tersebut seba-gaimana temluat dalam peraturan-peraturan hukum tersebut di atas maupun mekanisme penyelesaian sengketa atas mast;llah -masalah tersebut melalui P4D dan, P4P, nampak ti­dak mendukung efektivitas hak-hak kaum burnh untuk berserikat, dan mengadak'm ,

peljanjian kerja bersama_

Page 9: KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...

Strategi Pem bangu nan Hukum

hams pula terus meningkatkan peran­annya untuk menyadarkan hak-hak masyarakat lapis bawah, bersamaan de­ngan itu merencanakan program -pro­gram litigasi baru yang diarahkan un­tuk merangsang tumbuhnya yurispru­densi-yurisprudensi baru yang respon­sif-progresif. Keempat, Menyadari pula kerbatasan-keterbatasan lembaga peradilan, organisasi-organisasi sosial

I

non-pemer~ntah seperti: LBH, KSBH, kelompok-Relompok penyadar kelesta­rian lingkuhgan, kelompok tani mem­bangun danl' organisasi sejenis lainnya, be~ama pe'ffierintah harus pula me­rangsang masyarakat luas, khususnya masyarakat lapis bawah untuk mendi­rikan lembah-lembaga baru seperti: lemb~ga arbi~~ase yang berfungsi un­tuk menjembatani kepentingan-kepen­tingan berbeda an tara kelompok-ke­lompok masyarakat dengan lem baga birokrasi pemeiintah. Lembaga sema­cam itu jelas h rus merupakan kreasi masyarakat send ?, dan karena itu rna­syarakat mempu yai kontrol terhadap­nya. Pemerintatl dan kelompok-ke­lompoksosial lainnya harus mengakui eksistensi lem baga terse bu t. Lem baga tersebut harus pula mempunyai kewe- . nangan yang layak sehingga ia mampu secara adil dan tepat nalar menyelesai­kan sengketa antara pemerintah de­ngan . kelompok masyarakat tertentu. Di Indonedsia perwujudan lem baga se­macam itu dirasakan cukup mendesak terutama untuk mengatasi konflik an­tara pemerintah dengan kelompok-ke­lompok masyarakat tertentu yang ber­kenaan dengan rencana penggunaan ta­nah-tanah rakyat untuk kepentingan umum masalah pengelolaan hutan dan /lumber daya alam lainnya dan lain se-

bagainya. Kelima, Untuk menunian~ seluruh USaha terse but di atas peme-. -tintah dan DPR hams pula memper-cepat proses pengundang-undangan peradilan tata usaha negara. Peradil-

251

an-peradilan tata USaha negara tersebut ,

harus diberikan kewenangan yang la-I

yak sehingga ia mampu menguji keab-saan segi-segi formal dan material ke­putusan atau kebijakan yang diambil oleh para pejabat pemerintah. Ke­enam, Untuk menunjang program-pro­gram litigasi baru yang akan dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial, yang

I akan diarahkan untuk mendorong la-hirnya yurisprudensi-yurisprudensi . ,

ba~ yang progresif di bidang-bidang hukum tertentu, maka baik oleh pe­me~ntah maupun oleh pihak swasta atau kelompok-kelompok sosial harus

• •

mulai diadakan suatu proyek peneli-tian yang secara khusus mempelajari, menganalisa dan memberikan catatan­catatan baik segi-segi formal maupun penalaran keputusan-keputusan para hakim dalam menghadapi semua kasus yang pernah diajukan ke pengadilan. Namu~ demikian hendaknya prioritas diberikan pada kasus-kasus strategis yang m~nyangkut kepentingan mayori­tas rakyat. .

Seluruh uraian di atas menggam barkan sebuah 'shategi pembangunan hukum responsif-progresif di mana peranan kelompok-kelompok kolektif masya­rakat, khususnya masyarakat lapis ba­wah beserta lembaga-lembaganya da­lam proses pembentukan hukum cu­kup menentukan. Melalui partisipasi

,

seperti itu kelompok kolektif masya-rakat lapis . bawah diharapkan mampu mengubah keadaan yang merugikan dan memiskinkan mereka. Dengan demikian melalui strategi pembangun­an hukum responsif-progresif golongan masyarakat lapis bawah mampu mela­kukan gerakan emansipasi sosial yang diperlukan untuk mewujudkan keadil­an sosial . dalam masyarakat Indonesia merdeka.

Me; 198)