KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...
Transcript of KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBA NGUNAN HUKUM D1INDONESIA ...
•
•
•
243
KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM D1INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRlTlS TERHADAP POLlTIK PEMBINAAN HUKUM NASIONAL *)
.
----Oleh : Abdul Hakim G Nusantara, SH. LL. M ----
I. Pengan tar Mendekati tahun 1978 dunia poli
tik Indonesia ditandai oleh meningkatnya tuntutan-tuntutan masyarakat akan perwujudan keadilan sosial yang lebih nyata. Tuntutan perwujudan keadilan sosial ini menjadi isyu politik penting yang terus berkembang di tengah masyarakat. Kalngan pers, intelektual, akademis dan kelompok-kelompok sosial penting lainnya tiada hent-hentinya mempersoalkan masalah masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan keadilan sosial di dalam masya- ' rakat. Dalam garis besarnya masalah-
. - -masalah yang sering dibicarakan oleh kalangan terse but terdiri atas: pertama perataan hasil-hasil pembangunan, dan kedua, masalah partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan politik yang berkenaan dengan alokasi sumber daya yang penting bagi kehidupan mereka. . Bagi pengamat yang jeli tentu akan mafhum bahwa kedua masalah tersebut di atas menyembul ke permukaan untuk sebagian merupakan reaksi terhadap gaya-gaya pembangunan PELITA I, dan PELITA II yang lebi..b,.menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan aspek ' siabilitas politik. Sedang untuk sebagian lainnya tuntutan-tuntutan keadilan terse but bisa
*) Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengkajian dan Strategi Pembangunan dalam Pelita III tentang Pemerataan Keadilan, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 21-23 April 1983 .
pula dipandang sebagai bentuk artikulasi ideologi dari kelompok-kelompok menengah Indonesia yang menghendaki terbukanya jalan masuk bagi mereka ke pusat-pusat oengambilan kePutusan politik yang menentukan arah jalannya kekuasaan negara.
Menjawab tuntutan-tuntutan politik itu pemerintah dalam PELITA III mencoba merubah orientasi dan penekanan pembangunan (tanpa merubah strategi) di mana aspek perataan men daptkan prioritas yang utama dengan tetap mengindahkan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dengan demikian meskipun dalam PELIT A III aspek perataan mendapatkan prioritas perhatian yang utama namun pranata-pranata sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang mendukung bagi kepentingan pertumbuhan ekono mi dan stabilitas politik akan tetap diPertahankan, dan bahkan dikukuhkan. Konsekkuensi dari strategi yang demikianadalah pengaruhnya yang khusus bagi perwujudan perataan hasil-hasil pembangunan dalam PELITA III .
Dalam pem bangunan Lima Tahun Ke III penekanan aspek perataan meliputi bidang-bidang yang amat luas seperti; ekonomi; politik; sosial budaya, hukum dan perimbangan pembangunan pusat dan daerah. Perataan bidangbidang terse but di atas hendak dicapai melaIui delapan jalur pemerataan sebagaimana digariskan oleh PELITAUI. Di antara delapan jalur perataan itu
244
bidang hukum menempati jalur kedelapan, yaitu jalur pemerataan keadilan. Penempatan bidang hukum secara khusus dalam satu jalur perataan mencerminkan perhatian yang besar dari
•
pihak pemerintah atas masalah-masa-lah yang berkenaan dengan pemerataan k~adilan yang berpengaruh pada keberhasilan pencapaian sasaran perataan hasil-hasil pembangunan dalam PELIT A III. Sejauh mana pemerataan keadilan bidang hukkum ini dikonseptualisasikan dan diimpiementasikan, dan sejauh mana pranata-pranata sosial dan hukum yang ada mempengaruhi proses perwujudan perataan keadifan akan menjadi titik pusat pembahasan dalam tulisan ini.
I1.Dua Model Strategi Pembangunan Hukum
Menurut John Henry Merryman dalam dunia kontemporer ini hadir di hadapan kita tiga tradisi hukum yang utama, Mereka adalah :
,
1. tradisi hukum kontinental (civil ,
law); 2. tradisi hukum adat (common law); dan 3. tradisi hukum sosialis (socialist law). (John Henry Merryman: The Cil'if La1\' Tradition, Stanford University Press; Stanford, California, 1969, halaman 1-6). Dengan tradisi hukum yang maksudkan adalah, seperangkat si~kp-sikap mengenai sifat hukum, peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintah, organisasi dan operasionalisasi dari sis tern hukum dan cara di dalam mana hukum itu dibuat, diterapkan, dip clajari, , disempurnakan, dan dipikirkan . .
yang kesemuanya itu berakar secara mendalam dan dikondisikan oleh sejarah masyarakat . Pandangan ku),tural terse but . tentu mempunyai kegunaan ,
dan kepentingannya sendiri, terutama sebagai cara lain untuk menganalisa, dan memahami sifat,sistem, organisa-
,
si dan mekanisme hukum dari suatu masyarakat tertentu.
Hukum dan Pembangunan
Dari sudut perspektif sejarah maka sebagai hasil . dari proses politik yang terjadi di dalam suatu masyarakat kita dapat melihat adanya dua model strategi pembangunan hukum. Mereka adalah:
I. strategi pembangunan hukum ortodok ; dan 2. strategi pembangunan hukum responsif. Di sini yang dimaksudkan dengan strategi pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk 1
),) dikonseptualisasikall, " di , implementasikan, dilembagakan dalam suatu proses politik. Sedang kebijaksanaan lebih menunjuk kepada tindak-
• an-tindakan formal yang diambil oleh para pemegang kekuasaan politik. Strategi Pembangunan Hukum Ortodok: Strategi Pembangullan Hukum 01'10-dok: mencirikan adanya ~eranan mutlak dari lembaga-Iembafa negara ( emerintah dan parlemen) dalam men' ri-, \.
tukan arah perkembangan hukull\ \ I.n-\
lam suatu masyarakat. H Ikum yang dihasilkan oleh strategi i i me \ ja'~i bersifat Positifis - illstl'ume(l ta/is. ' ,l\Ikum menjadi instrumen yang anuiilli bagi pelaksanaan ideologi d~n pro~~a\h dari negara. (Yash P . Gh1 : N()'M~ Towards A Theury 0/ Law \alld fd~'r,.
logy Tanzanian Perspcctil'cs. AI'Jiica.tl) \
Law Studies, 1976, halaman 33), Dalam pengertian yang demikiaIl\ i~'t1 , '\
baik tradisi hukum kontinental ! (~ 'il"i'l law) maupun tradisi huku~ s~:sbli\ (sosialist law) bis~ dikatakan . se:4agai
, . , menganut strategi pembangun\ul , hu-kum ortodok. Baik dalam tradiSL k'u· kum kontinental maupun dalarp tt-~ hukum sosialis peranan lembag".leflt. baga negara (pemerin tah daQ ~(\rl\j~
men) sangat besar dalam men~nt\Ukan
arah perkembangan hukum di etalam masyarakat.
•
Strateg; Pembangullall Hukum
Strategi pembangunan hukuln responSI! mencirikan adanya peranan yang besar dari Lembaga peradilan, dan partisipasi yang luas dari kelompokkelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. Ini berarti peranan lembaga-Iembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukUIfl menjadi lebih relatif. Adanya tekanan-tekanan yang ditim bulkan oleh partisipasi luas dari masyarakat dan kedudukannya yang relatif bebas memungkinkan lembaga peradilan melihat perspektif ke depan , khususnya dalam menghadapi berbagai konflik ya ng tim bul yang diajukan kehadapannya. Keadaan yang demikian memungkinkan dihasilkannya produk hukum yang bersifat lebih responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok so sial at au individu dalam masyarakat. Dalam pengertian seperti itu tradisi hukum adat (cu mmun law) bisa diklitakan se bagai menganut model strategi pembangunan hukum responsif. Dalam tradisi hukum adat (co mmon law ) kita menyaksikan peranan substansial dari lernbaga peradilan dan partisiapsi luas dari berbagai kelompok sosial atau individu dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat.
Penerapan model-model _ strategi pembangunan hukum terse but diatas tidak berarti sclalu melalui sebuah proses yang terencana. Bahkan sejarah menunjukkan untuk sebagian besar penerapan model-model strategi pembangunan hukum terse but merupakan hasil dari suatu proses politik. Ini berarti yang mana di antara dua strategi p~mbangunan hukum itu akan diikuti dan dlterapkan dalam suatu masyaradt sangat tergantung dari h~sil interaksi politik di antarakelomp~-kelompok sos~al yang ada" cli da-
245
lamnya. (sebagal contoh penerapan model strategi pembangunan hukum responsif dalam tradisi hukum adat di Inggris pada awal abad ke 12 adalah
• hasil perjuangan politik dari ](elompok kelompok sosial di luar sektor negara).
III. Kebijaksanaan Dan Strategi Pembangunan Hukum Orde Baru: Suatu Tinjauan Atas Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Pe-lita III .
Kerangka teori di atas mengantar kita kepada suatu analisa ten tang kebijaksanaan Dan Strategi Pembangunan Hukum Orde Baru, Ji dalam mana kita akan mencoba untuk mengamati sejauh mana pranata-pranata sosial dan hukum yang ada mempengaruhi proses perwujudan program pemerataan keadilan sebagaimana yang digariskan oleh PELIT A III.
Se bagaimana kita ketahui tampilnya Orde Baru pada tahun 1966 tclah menempatkan golongan militer dan birakrat sebagai penopang utama kekuasaan politik negara. Kejadian ini bu-/ kanlah hal yang mengejutkan mengr ingat proses-proses politik yang di ala- ' mi oleh bangsa Indonesia setelah m/asa kemerdekaan cenderung untuk menempatkan golongan militer dan irokrat sebagai kelompok-kelompo sosial dominan di dalam masyarak~t. Selanjutnya proses politik telah pula menempatkan kelompok-kelompok sosial di , luar sektor negara d~lam posisi ' yang kurang..11\enentukan baik dalam arti kata politik\ konomii
Golonga militer an birokrat merupakan kel p-&k.~kelompok sosial yang terorganisir secara rapih dan mempunyai visi dan ideologi yang re-
I \latif homogin, yaitu: idea persatuan nasiunal. Ideoiugi persatuan nas;otlal ini memberikan legitimasi yang pen-
.Vle; 1983
246
ting bagi naiknya golongan militer dan birokrat ke panggung kekuasaan politile.
Dalam pada itu, kelompok-kelompok sosial pi luar sektor negara umumnya merupakan kelompok-kelompok sosial yang kuran terorganisir secara rapih dan secara ideologis mereka tercerai-berai. Mereka terdiri atas; intelektual, mahasiswa/kalangan aka demisi, pedagang-pedagang menengah, kelompok profesi, pemimpin-pemimpin agama, dan tokoh-tokoh partai politik. Mereka merupakan kelompok menengah yang tidak mempunyai akses langsung ke pusat-pusat kekuasaan politik.
Dalam bentuk artikulasi ideologi formal mereka adalah kelompok sosial yang ' paling vokal dalam menuntut tegaknya otonorni hukum, peranan yang lebih besar dari lembaga peradilan, partisipasi masyarakat luas dalam menentukan arah perkembangan hukum, yang kesemuanya di anggap penting bagi pelaksanaan keadilan sosial eli dalam masyarakat. (Daniel. S. Lev.: Sudicial Authority And The Struggle For An Indonesian Rechtsstaat, Law & Society Review, 1978, Volume 3). Namundemikian, sehebat dan' sekeras apapun idea dan suara pem'baharuan kelompok menengah kedudu.kan politik dan ekonomi mereka yang lemah membuat mereka senan
merupakan elite pinggiran yang kurang banyak menentukan arah perkembangan hukum nasional.
Lemahnya kedudukan politik dan ekonomi kelompok menengah, dan tentunya pula masyarakat lapis bawah menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan monopolis dibidang pembinaan hukum nasional. Sedang Lembaga peradilan dan partisipasi masyarakat luas kurang mendapatkan tempat yang cukup berarti dibidang pembinaan hukum.
Ifukum dan Pembangunan
Ini berarti politik pembinaan hukum nasional untuk sebagian besar merefleksikan cara pemerintah memandang permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Sejalan dengan perkembangan politik tersebut di atas, sebagai akibat pengalaman-pengalaman di masa lalu dan juga oleh karena kepeningan pemerntah sendiri ideologi persatuan nasional /atau ideologikepentingan nasional) telah mengalami suatu penafsiran yang sa ngat luas sehingga ia mampu pula menjastifikasi pembentukan pranatapranata ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, yang secara sepihak dianggap sebagai penting untuk menunjang ke berhasilan pembangunan . nasional
•
dan PELITA I, PELITA II, dan PELI-T A III. Dalam pada itu, peranan monopolis pemerintah di bidang pembinaan hukum nasional menjadi strategis, dalam arti ia berguna untuk mengasahkan eksistensi pranata-pranata ter-
. sebut di atas.
Sehingga dengan demikian hukum benar-benar merupakan instrument yang ampuh untuk mewujudkan dan mengabsahkan program-pr0gram pemerintah di bidang-bidang pertum buhan ekonomi, pem bangunan sosial dan moderisasi serta "stabilitas politik". Hasil konkrit dari strategi pembangunan hukum yang demikian adalah terbentuknya produk-produk hukum yang menjamin dan mengabsakan:
• I. pranata-pranata politik dan hukum
yang kurang memberikan kesempatan bagi partisipasi masyarakat luas untuk turut serta mempengaruhi proses pengambilan keputusan-keputusan politik penting terutama yang berkenaan dengan alokasi sumber daya.
2. pranata-pranata politik dan keaman ap yang memperkuat dan memperbesar peranan eksekutif di bidang pengelolaan sektor publik.
Strategi Pembangunan Hukum
3. pranata-pranata ekonomi yang kurang memberikan kesempatan bagi partisipasi golongan ekonomi lemah dan atau kaum miskin.
Selanjutnya strategi pembangunan hukum pada PELIT A I dan PELIT A II bahkan pada PELITA III telah memberikan sifat-sifat yang khas pada produk-produk hukum yang dihasilkan: pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang disebut ortodok itu bersifat kaku dan kurang terbuka bagi berubahan, dan dengan demikian hukum menjadi kurang tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat; kedua, produk hukum yang dihasilkan juga cenderung bersifat oppresif karena ia secara se'pihak merefleksikan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Kondisi produk-produk hukum yang demikian itu jelas mempunyai dampak negatif yang sangat bermakna bagi pelaksanaan perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat. (selama PELIT A I dan PELIT A II, tidak sebuahpun perundang-undagan diciptakan untuk melayani kepentingan ekonomi golongan masyarakat lapis bawah). Keadaan yang demikian itu telah menim bulkan reaksi-reaksi kritis dari kelompok menengah Indonesia yang kemhali menyuarakan ditegakkan nya ideologi otonomi hukum, partisipasi masyarakat luas di bidang pembagunan hukum sebagai pcrwujudan keadilan sosial di dalam masyarakat Indonesia.
Menanggapi sikap-sikap kritis dari keloCl)pok menengah tersebut pemerintah dalam PELIT A 1II mengintrodusir program perataali. disegala bidang-hidang kegaitan pembangunan, di mana salah satunya adalah program pcrataan keadilan bidang hukum. Dalam kaitannya , dengan program pcrataan keadilan PELITA III menggaris-
/ /
247
kan program pembinaan hukum nasional sebagai berikut :
1. Program Pembinaan Hukum Nasiona1. Tujuan dari ' Program Pembinaan Hukum Nasional adalah penyusunan dan pemantapan perangkat perundang-undangan yang menunjang
,
pembaangunan di berbagai bidang dan menampung akibat pembangunan itu secara tertib dan dina-' mis. (parafraf 1).
Selanjutnya dalam paragraf 3 dikatakan: "Dalam kegiatan perencanaan hukum dan perundang-undangan prioritas diberikan pada penyiapan peraturan perundangan yang segara diperlukan untuk menunjang kebutuhan pembangunan nasional, khususnya yang menunjang pembangun an ekonomi dan mendorong perubahan sosial ke arah moderenisasi serta memantapkan kehidupan politik, (paragraf 3).
( Makna dari rumusan-rumusan indah ,
terse but adalah, meskipun program pe-rataan keadilan di bidang hukum merupakan sasaran yang utama dari PELITA III, namun aspek-aspek pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tetap pula menjadi titik tolak dari strategi pembangnan hukum PELITA III. Ini berarti pula seluruh peranataperanata politik, ekonomi dan hukum yang dianggap sebagai tempat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, Jan stabilitas politik harus terus ditingkatkan peranannya. Konsekuensi-konsekuensi dari padanya se bagaimana kita lihat dalam kenyataan adalah; pertama, dipertahankannya peranata-pcranata politik dan hukum yang memberikan partisipasi masyarakat luas dalam pcngambilan keputusan-keputusan yang berkenaan de-,
ngan alokasi sumber daya. •
Mei / 'IS3
,
,
248
Lebih lanjut dalam PELITA III pemerintah justeru mengintrodusir undangudnang pemerin tahan desa/U. U. No.5 tahun 1979, yang secara extrim mempersempit partisipasi politik masyara-, kat desa. Dalam konteks strategi ini pula peranan pengadilan dalam menghadapi isyu-isyu atau masalah masalah yang penting dan straegi juga semakin terbatas; kedua, peranata peranata politik dan keamanan yang memperkuat dan memperbesar peranan pemerintah di bidan pengelolaan sektor politik juga semakin diperkokoh. Dipertahankannya undang-undang anti subversif, dan pengundangan undang-undang HANKAM ABRI harus pula dilihat dalam konteks strategi terse but di atas. Dalam pada itu selama PELIT A III , pemerintah dan DPR belum juga berhasil mengundangkan rancangan undang-un dang peradilan tatausaha negara; ketiga, seluruh peranata-peranata ekonomi yang akan memberikan fasili-
. tas-fasilitas kepada kelompok-kelompok kekuatan ekonomi dominan juga terus ditingkatkan peranannya.
Selanjutnya dalam bagian yang agak terperinci program pembinaan hukum PELITA III menyatakan sebagai berikut:
"Kelanjutan usaha kodifikasi mencakup bidang-bidang hukum pidana; aca-ra pidana; perdata ; acara perdata; da
; tatausaha negara ; acara tata negara; dan perburuhan. (para-
araf 4). Khusus tentang masalah kodifikasi mencakup bidang-bidang hukum tersebut nampaknya kurang terlihat adanya usha-usaha yang bisa dicatat .
•
Berbaga.i::...::peraturan yang berkenaan dMlltu _bidang-bidang terse but di atas .masih tersebar bertebaran. Dalam paragraf 5 program pem binaan huku~ nasional mengatakan lebih lan.i!1t sebagai berikut :
"Beberapa pokok materi peraturan
Hukum dan Pembangunal1
perundang-undangan yang akan dibentuk ataupun disempurnakan meliputi an tara lain bidang-bidang pertanian; perlindungan hutan; sumber alam dan lingkungan hiudp; pelabuhan; jalan raya ; hypotyk rumah; asuransi pelayaran laut; perindustrian; hak merek dan cipta; kesehatan; hygiene dan senitasi; keselamatan kerja; bedah mayat; adop si; keluarga berencana; pendidikan; pertahanan keamanan; pemerintahan desa; tataguna tanah; bina kota; bantuan hukum; ganti rugi; dan
•
rehabilitasi; peradilan tata usaha ne-gara; acara pidana; pemilihan ' umum; dan lain sebagainya.
Dari seluruh program di bidang pem bangunan hukum di atas meliputi bidang bidang yang am at luas. Dari situ kita dapat membaca kelompok-kelompok sosial mana yang mendapat prioritas perhatian dari program di bidang pembangunan hukum. Yang agak mengherankan masalah Perlindungan konsumen yang jelas menyangkut hajat hidup orang banyak nampak kurang mendapat perhatian yang menonjol. Dalam tingkat pelaksanaan BPHN tentu sudW pula mengadakan berbagai pertemuan ilmiah guna mendapatkan input baik dari kalangan akademis maupun . praktisi di bidang-bidang hukum tertentu seperti; seminar tentang hypotik, seminar mengenai bantuan hukum, dan lain-lain.
Namun demikian di samping berbagai pertemuan ilmiah yang kemampuannya terbatas pada pengumpulan input dari kalangan praktisi dan akademisi perwujudan dari berbagai program pembangunan perundang-undang an terse but selama PELITA III masih jauh dari harapan. Di antara berbagai rancangan undang-undang yang telah diundangkan seperti; undang-undang pemerintahan desa, undang-undang HANKAM ABRI, undang-undang
Strategj Pembangunan Hukum
pokok lingkungan hid up, undang-undag hukum acara pidana, yang nampaknya dekat dengan cita rasa perataan keadilan adalah dua undang-undang yang terakhir. Namun disamping undang-undang hukum acra pidana masih ada persoalan dan kesimpang siuran dalam tahap pelaksanaannya, undang-undang pokok mengenai lingkungan hidup masih belum juga bisa diterapkan katena belum ada peraturan pelaksanaannya.
Dari uraian panjang mengenai program pembinaan hukum nasional, kita dapat mengatakan bahwa politik pembinaan hukum nasional selama PELIT A III masih jauh dari cita-cita keadilan sosial. Politik pembinaan hukum nasional untuk sebagin besar justru berlawanan dengan program perataan yang diinrodusir oleh pemerintah dalam PELITA III. Sebagian akibatnya para korban pencemaran lingkngan, para korban kesewenang-wenang produsen, seperti; para korban pestisida, para korban keputusan birokrat-birokrat yang tidak ber-
I • tanggung jawao, para buruh tam, buruh perkebun~n, buru industri tetap dalam keadaan tidak atau kurag ter-•
lin dung oleh peraturan-peraturan hu-kum yang ada.
Dalam pada itu, Hi tengah tuntutantuntutan kebutuhiln akan perlakuan yang adil, yang dikemukakan oleh kelompok menenglih, maupun oleh mayoritas masyatakat lapis bawah lembaga peradilal'l oleh karena berbagai faktor politik nampak menjadi semakin kurang krtrati!untuk mengembangkan doktrin-doktrin hukum yang penting seperti; daktrin perbuatan melawan hukum dan Jain sebagainya untuk melindungi kelompok masyarakat yang lemah dari tiJridak sewenang-wenang kelompok m4syarafat y~g j~uh lebih ' kuat baik sectara ekonoml. .maupun politik.
249
Menuju Strategi Pembangunan Hukum Responsif-Progresif
Fakta-fakta yang dikemukakan pada bagian akhir dari uraian di atas adaIah ciri cari kehidupan hukum da~
• lam Pelita III yang tidak begitu banyak berbeda dari fakta kehidupan hukum pada Pelita I dan Pelita II. Fakta ke-
•
hidupan hukum tersebut mendorong kita semua untuk memikirkan, men-
. cari dan merencanakan sebuah alter- . natif straregi pem bangunan hukum yang lebih akrab dengan cita rasa keadilan .
Sebagaimana diuraikan di muka penerapan model-model strategi pembangunan hukum dalam suatu masyara· kat untuk sebagian besar merupakan hasil proses ,politik. Namun itu tidak berarti tertutup kemungkinan bagi kita untuk memikirkan, mencari, merencanakan dan menerapkan sebuah strategi lain yang lebih dekat dengan kepentingan rakyat banyak. Dalam kaitannya dengan hal terse but di atas, maka berbeda dari strategi pembangunan hukum responsif di Inggeris yang umumnya lebih tanggap pada kebutuhan-kebutuhan kelas menengah, di Indonesia kini diperlukan sebuah strategi pemba· ngunan hukum responsif-progresif sebagai cara untuk mendorong dan mempercepat proses emansipasi sosial rna· syarakat lapis bawah. Sejalan dengan usaha untuk mencari alternatif strategi ini Paul dan Dias mengajukan suatu konsep yang disebut mereka sebagai pendekatan alternatif terhadap pembangunan . (James C.N. Paul dan Clarence J. Dias: Law And Administration In Alternative Development, International Center for Law in Development, December, 1980, halaman 11-14).
Mel-alui konsep terse but Paul dan Dias hendak menempatkan kelompokkelompok kolektif masyarakat, terutama masyarakat lapis bawah sebagai
Mel 1983
250
pemegang peranan penting dalam proses pembentukan hukum \yang berkenaan dengan kepentingtn mereka. · Konsep ini mensyarakatk~n perlunya diciptakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat memberikan ~esempatan bagi pertumbuhan kelompok-ke~om
pok kolektif masyarakat lapis bawah --.-
yang ,' mengorganisasikan kepenting-mereka. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kesempatan kelompok-kelompok kolektif masyarakat untuk memperoleh akses yang l~bih\ besar ke lembaga pengadilan juga harus dlberi~ lean, atau dapat pula dengan memberilean kesempatan untuk bertum:buh dan berkembangnya lembaga-lembaga baru seperti: lembaga arbitrase yang berfungsi untuk menjembatani kepenting-
. \
an-kepentingan berbeda an'tara kelom-pok-kelompok kolektif masyarakat lapis bawah dengan lembaga birokrasi, sehingga masyarakat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang dilakukan oleh para pejabat.
Dalam konteks Indonesia, beberapa hal dapat dilakukan untuk menyelamatkan situasi kehidupan .hukum kita yang tidak nyaman bagi masyarakat lapis bawah: Pertama, perlu dicipatakan kondisi-kondisi sosial yang memungki~an pertumbuhan sejati kelompok-k~lompok kolektif masyarakat lapis bawah yang benar-benar dapat berfungsi untuk 'mengorganisasikan, dan memperjuangkan hak-llak dan kepentingan\ mereka. Kedua, memperbesar akses masyarakat, khususnya masyarakat lapis bawah, ke lembaga-lem-
baga pengadilan_ c Dalam kaitannya dengan hal tersebut gugatan-gugatan oleh
,
kelompok-kelompok kolektif masya-rakat, baik masyarakat yang tergolong lapisan bawah dan atau masyarakat yan, tergolong lapisan menengah ke peAlAdilan yang berkenaan dengan
pencemaran lingkung-
Hukum dan Pembangunan
an, perlindungan konsumen harus mendapatkan perlakuan yang adil dari pihak pengadilan. Demikian , pula pula gugatan-gugatan yang diajukan oleh kaum buruh yang berkenaan dengan pelanggaran perusahaan atas hakhak mereka untuk berserikat, dan mengadakan peIjanjian keIja bersama harus pula mendapat an posif dari pihak pengadilan. *)
Sejillan dengan usaha-usaha tersebut di atas pemerintah (Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung) berkuajiban pula untuk menciptakan kondisikondisi yang sehat sehingga para hakim akan mampu berpikir secani' bebas dalam menghadapi kasus-kasus strategis yang diajukan ke .hadapannya_ 'De-
• ngan begitu diharapkan para hakim akan memiliki keberanian untuk meng-
,
hasilkan yurisprudensi-yurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya tuntutantuntutan kebutuhan masyarakat lapis bawah. Ketiga, Organisasi-<>rganisasi sosial non-pemerintah yang selama ini bergerak di bidang penyadaran masyarakat dan atau bantuan hukum seperti: LBH, Lembaga Konsumen, KSBH, Kelompok-kelompok penyadar kelestarian lingkungan dan kelompok sejenis,
,
*) Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Kerja, Undang-undang No.21 tahun 1954, tentang K etentuan-ketentuan Perjanjian Perburn han, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No_ 02, tahun 1978, mengatur hak-hak burnh untuk berserikat, dan mengadakan perjanjian kerja bersama. Namun demikian dalam praktek efektivitas hak-hak tersebut ban yak terhambat oleh pihak pernsahaan. Sanksi-sanksi
,
bagi para pelanggar hak-hak tersebut seba-gaimana temluat dalam peraturan-peraturan hukum tersebut di atas maupun mekanisme penyelesaian sengketa atas mast;llah -masalah tersebut melalui P4D dan, P4P, nampak tidak mendukung efektivitas hak-hak kaum burnh untuk berserikat, dan mengadak'm ,
peljanjian kerja bersama_
Strategi Pem bangu nan Hukum
hams pula terus meningkatkan peranannya untuk menyadarkan hak-hak masyarakat lapis bawah, bersamaan dengan itu merencanakan program -program litigasi baru yang diarahkan untuk merangsang tumbuhnya yurisprudensi-yurisprudensi baru yang responsif-progresif. Keempat, Menyadari pula kerbatasan-keterbatasan lembaga peradilan, organisasi-organisasi sosial
I
non-pemer~ntah seperti: LBH, KSBH, kelompok-Relompok penyadar kelestarian lingkuhgan, kelompok tani membangun danl' organisasi sejenis lainnya, be~ama pe'ffierintah harus pula merangsang masyarakat luas, khususnya masyarakat lapis bawah untuk mendirikan lembah-lembaga baru seperti: lemb~ga arbi~~ase yang berfungsi untuk menjembatani kepentingan-kepentingan berbeda an tara kelompok-kelompok masyarakat dengan lem baga birokrasi pemeiintah. Lembaga semacam itu jelas h rus merupakan kreasi masyarakat send ?, dan karena itu rnasyarakat mempu yai kontrol terhadapnya. Pemerintatl dan kelompok-kelompoksosial lainnya harus mengakui eksistensi lem baga terse bu t. Lem baga tersebut harus pula mempunyai kewe- . nangan yang layak sehingga ia mampu secara adil dan tepat nalar menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan . kelompok masyarakat tertentu. Di Indonedsia perwujudan lem baga semacam itu dirasakan cukup mendesak terutama untuk mengatasi konflik antara pemerintah dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang berkenaan dengan rencana penggunaan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan umum masalah pengelolaan hutan dan /lumber daya alam lainnya dan lain se-
bagainya. Kelima, Untuk menunian~ seluruh USaha terse but di atas peme-. -tintah dan DPR hams pula memper-cepat proses pengundang-undangan peradilan tata usaha negara. Peradil-
251
an-peradilan tata USaha negara tersebut ,
harus diberikan kewenangan yang la-I
yak sehingga ia mampu menguji keab-saan segi-segi formal dan material keputusan atau kebijakan yang diambil oleh para pejabat pemerintah. Keenam, Untuk menunjang program-program litigasi baru yang akan dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial, yang
I akan diarahkan untuk mendorong la-hirnya yurisprudensi-yurisprudensi . ,
ba~ yang progresif di bidang-bidang hukum tertentu, maka baik oleh peme~ntah maupun oleh pihak swasta atau kelompok-kelompok sosial harus
• •
mulai diadakan suatu proyek peneli-tian yang secara khusus mempelajari, menganalisa dan memberikan catatancatatan baik segi-segi formal maupun penalaran keputusan-keputusan para hakim dalam menghadapi semua kasus yang pernah diajukan ke pengadilan. Namu~ demikian hendaknya prioritas diberikan pada kasus-kasus strategis yang m~nyangkut kepentingan mayoritas rakyat. .
Seluruh uraian di atas menggam barkan sebuah 'shategi pembangunan hukum responsif-progresif di mana peranan kelompok-kelompok kolektif masyarakat, khususnya masyarakat lapis bawah beserta lembaga-lembaganya dalam proses pembentukan hukum cukup menentukan. Melalui partisipasi
,
seperti itu kelompok kolektif masya-rakat lapis . bawah diharapkan mampu mengubah keadaan yang merugikan dan memiskinkan mereka. Dengan demikian melalui strategi pembangunan hukum responsif-progresif golongan masyarakat lapis bawah mampu melakukan gerakan emansipasi sosial yang diperlukan untuk mewujudkan keadilan sosial . dalam masyarakat Indonesia merdeka.
Me; 198)