Kebijakan Pendidikan Islam

15
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DRS. ABDUL KADIR, M. Si WIDYAISWARA MADYA BKPP PEMERINTAH PROVINSI ACEH Analisis Kebijakan Pendidikan Islam merupakan materi yang mengkaji berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia. Pembahasan ini dilakukan dengan pendekatan analisis kritis terhadap latar belakang, hakikat dan spirit yang dikehendaki oleh suatu kebijakan. Melalui materi ini, diharapkan para pendidik dapat memahami secara normatif, filosofis dan kritis terhadap dinamika kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemeraintah dan segala implikasinya terhadap pendidikan Islam. 1. Pendahuluan Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah, sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapai harus disesuaikan dengan kepentingan mereka. Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesia mulai menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (BP 7 Pusat, 1990:1). Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut :

description

Kebijakan Pendidikan

Transcript of Kebijakan Pendidikan Islam

  • KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM

    DRS. ABDUL KADIR, M. Si

    WIDYAISWARA MADYA

    BKPP PEMERINTAH PROVINSI ACEH

    Analisis Kebijakan Pendidikan Islam merupakan materi yang mengkaji berbagai kebijakan

    pendidikan di Indonesia. Pembahasan ini dilakukan dengan pendekatan analisis kritis

    terhadap latar belakang, hakikat dan spirit yang dikehendaki oleh suatu kebijakan. Melalui

    materi ini, diharapkan para pendidik dapat memahami secara normatif, filosofis dan kritis

    terhadap dinamika kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemeraintah dan segala

    implikasinya terhadap pendidikan Islam.

    1. Pendahuluan

    Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap

    pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah,

    sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapai harus disesuaikan dengan kepentingan

    mereka. Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesia

    mulai menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan

    usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia.

    Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :

    Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang

    melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

    memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

    ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka

    disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik

    Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha

    esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang

    dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan

    mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (BP 7 Pusat, 1990:1).

    Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan

    dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut

    dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

    Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut :

  • Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

    peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

    bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

    dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

    mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Agar tujuan

    tersebut dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan suatu alat untuk

    mencapainya, yaitu segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan

    pendidikan (Barnadib, 1987:96).

    Sehubungan dengan alat pendidikan ini, Ahmad Supardi (1989:9), membagi alat

    pendidikan ke dalam dua bagian, yaitu :

    1. Alat pisik, berupa segala perlengkapan pendidikan yang berupa sarana dan fasilitas dalam

    bentuk konkrit, seperti bangunan, alat tulis dan baca dan lain sebagainya.

    2. Alat non pisik, berupa kurikulum, pendekatan, metode dan tindakan berupa hadiah dan

    hukuman serta uswatun hasanah atau contoh teladan yang baik dari pendidik.

    Berdasarkan pembagian alat pendidikan yang dikemukakan Ahmad Supardi di atas,

    jelaslah bahwa salah satu dari alat pendidikan diantaranya adalah kurikulum. Sebagai alat

    untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai

    pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa

    itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.

    Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik

    pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan

    terjadinya perubahan kurikulum tang berlaku. Sebagai contoh sebelum Indonesia merdeka

    setidaknya telah terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama ketika di jajah belanda

    kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Kedua ketika dijajah Jepang

    kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan

    kebangunan Asia Timur Raya. Kemudia setelah Indonesia merdeka pra orde baru terjadi pula

    dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana

    pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada

    tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran

    terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun

  • 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala

    ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.

    Saat orde baru terlahirpun kurikulum mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan

    pertama terjadi dengan dikeluarkannya kurikulum 1968 yang didasari oleh adanya tuntutan

    untuk mengadakan perubahan secara radikal pemerintahan orde lama dalam segala aspek

    kehidupan termasuk pendidikan. Perubahan kedua terjadi dengan diterbitkannya kurikulum

    tahun 1975 (disempurnakan dengan kurikulum 1976 dan 1977). Perubahan ketiga terjadi

    dengan diberlakuannya kurikulum tahun 1984. Dan Perubahan keempat terjadi Ketika di

    negara kita diberlakukan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional (UUSPN) pada tahun

    1989 beserta seperangkat peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan

    UUSPN tersebut, menyebabkan perlunya pembuatan atau penyusunan kurikulum yang sesuai

    dengan rumusan pasal-pasal yang tercantum dalam UUSPN dan peraturan pemerintahnya.

    Maka pada Tahun 1994 di negara kita diberlakukan kurikulum baru sesuai dengan keputusan

    menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.

    Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi,

    karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan

    perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah (1993:3),

    bahwa :

    a. Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan,

    maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sipat anticipatori, bukan hanya

    sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian

    di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.

    b. Sifat kurikulum yang harus senantiasa adaptif dan antisipatif ini sesuai dengan Sabda

    Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

    Artinya : Didiklah anak-ankmu itu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk mengisi

    masa yang bukan masamu.

  • Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim orde baru dan

    terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan eksistensi

    Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)

    dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang

    Dasar 1945 tersebut dipandang perlu menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun

    2003 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan

    Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang

    Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU SISDIKNAS.

    Sesuai dengan tuntututan UU SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan peraturan

    pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebabkan

    kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang sesuai dengan standar nasional

    pendidikan.

    Agar kurikulum yang digunakan di sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan

    maka Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan peraturan menteri

    pendidikan nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat

    tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, standar

    kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan

    Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri

    Agama No. 2 Tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan

    Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah.

    2. Kurikulum Berbasis Kompetensi

    Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan

    terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus

    dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran.

    Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang

    kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar,

    dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.

    Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan

    muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan

  • (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Depdiknas,

    Tahun 2004).

    Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan

    apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan

    kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara

    bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.

    Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

    (1) pemilihan kompetensi yang sesuai;

    (2) spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian

    kompetensi;

    (3) pengembangan sistem pembelajaran.

    Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun

    klasikal.

    2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

    3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang

    bervariasi.

    4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi

    unsur edukatif.

    5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau

    pencapaian suatu kompetensi.(Depdiknas, Tahun 2004).

    Setidaknya ada dua versi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang pernah ada di

    Indonesia setelah lahirnya UU SISDIKNAS no 20 tahun 2003, yaitu KBK tahun 2004 yang

    tidak pernah disyahkan menteri pendidikan Nasional walaupun telah menelan biaya milyaran

    rupiah dan KBK tahun 2006 yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTSP.

    Nanang Rijono, dalam situs pribadinya menatakan bahwa banyak kalangan, termasuk

    aparat Depdiknas dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membuat statement bahwa

    Kurikulum 2004 (atau KBK) tidak terlalu jauh berbeda dengan Kurikulum 2006 yang disusun

    oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan baru ditetapkan pemberlakuannya oleh

    Mendiknas melalui Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006. Saya tidak

  • tahu, apakah penyataan mereka itu dimaksudkan untuk menghibur guru agar tidak resah

    menghadapi perubahan kurikulum ini. Mengingat Kurikulum 2004 ini masih dalam taraf uji

    coba yang lebih luas sejak tahun pembelajaran 2004/2005 dan belum semua sekolah sudah

    menerapkan secara utuh Kurikulum 2004. Namun apa daya, kini sudah dimunculkan

    kurikulum baru, Kurikulum 2006. Sehingga muncullah statement yang menghibur tersebut.

    3. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam KBK

    Ketika kita berbicara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka pembahasan

    utama yang harus kita lakukan adalah tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang

    harus ditempuh oleh seorang peserta didik. Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran

    Pendidikan Agama Islam (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang

    disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi

    pendidikan Islam yang menyeluruh, untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :

    No Standar Kompetensi

    1 Mengamalkan ajaran al- Quran /Hadits dalam kehidupan sehari-hari

    2 Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari

    3 Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela

    dalam kehidupan sehari

    4 Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari)

    5 Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam

    kehidupan sehari-hari.

    Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d

    Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi menjadi

    beberapa kompetensi dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.

    Sebagai contoh untuk standar kompetensi dasar yang pertama di kelas VII diurai ke dalam

    lima kompetensi Dasar yaitu :

    1. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adduha

    2. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat Al Adiyat

    3. Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah

    4. Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan mim mati

  • 5. Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin Hadits tentang Rukun Islam.

    Sementara dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang disajikan untuk

    mata pelajaran pendidikan Agama Islam sangat banyak, tetapi bobotnya amat dangkal, untuk

    kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13

    SK.

    Ada satu pertanyaan yang mungkin mengganjal di hati kita mengapa Standar

    Kompetensi dalam KBK 2006 ini dangkal, jawabannya adalah karena Standar Kompetensi

    yang disajikan dalam KBK 2006 adalah Kompetensi dasar dalam KBK 2004. Sebagai Contoh

    Perhatikan Tabel berikut ini :

    Kelas VII, Semester I

    Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

    Al-Quran

    1. Menerapkan Hukum

    bacaan Al

    Syamsiyah dan

    AlQomariyah

    1.1 Menjelaskan hukum bacaan-bacaan Al Syamsiyah

    dan AlQomariyah

    1.2 Membedakan hukum bacaan-bacaan Al

    Syamsiyah dan AlQomariyah

    1.3 Menerapkan bacaan-bacaan Al Syamsiyah dan

    AlQomariyah dalam bacaan surat-surat Al-Quran

    dengan benar

    Aqidah

    1. Meningkatkan

    keimanan kepada

    Allah SWT melalui

    pemahaman sifat-

    sifatNya

    2.1 Membaca ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan

    dengan sifat-sifat Allah

    2.2 Menyebutkan arti ayat-ayat al-Quran yang

    berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT

    2.3 Menunjukkan tanda-tanda adanya Allah SWT

    2.4 Menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan

    akan sifat-sifat Allah SWT

    1. Memahami Asmaul

    Husna

    3.1 Menyebutkan arti ayat-ayat al-Quran yang

    berkaitan dengan 10 Asmaul Husna

    3.2 Mengamalkan isi kandungan 10 Asmaul Husna

    Akhlak 1. Membiasakan perilaku

    terpuji

    4.1 Menjelaskan pengertian tawadhu, taat, qanaah dan

    sabar

    4.2 Menampilkan contoh-contoh perilaku tawadhu,

    taat, qanaah dan sabar

    4.3 Membiasakan perilaku tawadhu, taat, qanaah dan

  • Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

    sabar

    Fiqih 1. Memahami ketentuan

    ketentuan thaharah

    (bersuci)

    5.1 Menjelaskan ketentuan ketentuan mandi wajib

    5.2 Menjelaskan perbedaan hadas dan najis

    1. Memahami tatacara

    shalat

    6.1 Menjelaskan ketentuan ketentuan shalat wajib

    6.2 Memperaktikkan shalat wajib

    1. Memahami tatacara

    shalat jamaah dan

    munfarid (sendiri)

    7.1 Menjelaskan pengertian shalat jamaah dan

    munfarid

    7.2 Memperaktikkan shalat jamaah dan shalat munfarid

    Tarikh dan kebudayaan

    Islam

    1. Memahami sejarah

    Nabi Muhammad

    SAW

    8.1 Menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW

    8.2 Menjelaskan misi nabi Muhammad untuk semua

    manusia dan bangsa

    Dari kedua contoh perbandingan kurikulum di atas jelaslah, bahwa ternyata kedalaman

    standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai oleh KBK 2004 jauh lebih

    menyeluruh dibanding dengan KBK 2006, belum lagi kesulitan yang akan dirasakan guru saat

    menyusun RPP dimana ketentuan pembuatan RPP adalah satu KD satu RPP. Coba perhatikan

    SK yang pertama terdapt tiga KD, berarti dari ketiga KD itu harus dibuat satu RPP dan satu

    RPP disajikan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Padahal ketiga KD di atas dapat disajikan

    satu kali pertemuan (2 jam pelajaran).

    4. Penutup

    Demikianlah pembahasan tentang Analisis Kebijakan Pendidikan Islam bidang kurikulum

    yang sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini. Untuk menyempurnakan makalah ini

    kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi sore hari ini.

    a. Tinjauan Praksis Pendidikan Islam

    Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu pendidikan yang

    lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta

  • didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu

    pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan

    dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan

    sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di

    lapangan.

    Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya

    yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan

    kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk

    perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR

    Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan

    Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik

    pendidikan.

    Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya

    Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa

    Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik

    dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara

    pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di

    mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam

    berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan.

    Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga

    berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur

    dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu

    Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren .

    Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak

    perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia.

    Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu

    sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan

    antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa

    pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat

  • (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus

    berlanjut hingga kini.

    Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah

    berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh

    penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa

    sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian

    mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau

    pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian

    sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala

    mengembangkan suatu ilmu.

    Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa

    dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh.

    Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi

    kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada

    pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan

    30% agama.

    b. Persoalan dan Hambatan

    Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari

    bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus

    yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih

    terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta

    pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua:

    matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta

    ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K

    dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik

    beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat

    sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah

    (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).

    Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies

  • (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen

    Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah

    Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk

    diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang

    berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak

    daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu

    berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau l yamtu wal yahya diplesetakan menjadi

    kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian,

    madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan

    dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %,

    sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya

    mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.

    Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam

    tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di

    disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah

    menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam

    masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam

    sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua

    (rahmatan lil alamin).

    c. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal

    Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya

    organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman.

    Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan

    sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja

    misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke

    perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah

    yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah

    atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah

    ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar"

  • dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah

    berbasis ormas ini seakan over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum

    berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya

    dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga

    tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian

    Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.

    Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri

    khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya

    secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya,

    penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan

    perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap

    ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini

    masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk

    melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di

    kancah internasional.

    Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di

    Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat

    eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan

    maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi

    masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.

    Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU

    sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan

    Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar

    "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram

    praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada

    sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan

    mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang

    Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama

    dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala

  • membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji

    secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community".

    Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini

    sebagai dampak dari implementasi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

    Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan

    otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah

    Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme

    dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum

    berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum

    bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori

    sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan

    memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem .

    Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di

    persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di

    mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong.

    Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma

    pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh

    kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak

    terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks

    sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan

    urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak

    memisahkan keduanya.

    d. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal

    Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit

    dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini

    disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan

    lembaga pendidikan Islam ini sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis

    dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam

    dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman

  • disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah. Gejala

    rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat

    Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi.

    Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan

    kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para

    pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan

    social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya

    membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya.

    Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai

    Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya

    berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena

    kondisi cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek

    internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut.

    Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan

    dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah

    terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah

    agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti

    kecerdasan intelektual dan sosial.

    Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal)

    masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus

    dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk

    sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih

    rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan

    cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang

    diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam.

    Terima kasih

    Penulis