KEBANGKITAN NASIONAL

14
KEBANGKITAN NASIONAL Oleh : Siti Nurbayani, Arif, Parmadai, Mega, Dion Disampaikan pada seminar Kebangkitan Nasional UNS 26 Mei 2011 Pengantar Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan kebebasan,” ujar Francois Caaron profesor sejarah di Universitas Sorbone Paris, karena prinsip nasionalisme mencakup unity, liberty dan equality (Persatuan, Kemerdekaan dan persamaan). Nasionalisme menurut Kohn dalam bukunya Nationalism : its Meaning and history (1961:11), mengatakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Secara etimologis, kata nation berasal dari kata bahasa Latin natio, yang berakar pada kata nascor 'saya lahir'. Pada masa Kekaisaran Romawi, kata natio dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kemudian, pada masa Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di Universitas- Universitas. Selanjutnya, pada masa Revolusi Perancis, Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale (Dewan Nasional) yang menunjuk kepada semua kelas yang memiliki hak sama dalam berpolitik. Akhirnya, kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. Untuk lebih mengantarkan kita pada bentuk riil dari nasionalisme harusnya kita mengacu pada konsep nasionalisme yang diungkapkan oleh Benedict Anderson dalam buku versi terjemahan yang berjudul “Komunitas-komunitas Imajiner: renungan tentang asal-usul dan penyebaran nasionalisme” penting pula disampaikan disini agar ada pemahaman yang dapat disepakati bersama. Benedict Anderson mensinyalir kurangnya kepedulian para pengkaji gerakan kebangsaan terhadap rasa kebangsaan, rasa nasionalistis, perasaan pribadi dan kultural bahwa seseorang dan orang lain tertentu adalah satu bangsa bahwa anda dan saya merasa sebagai

Transcript of KEBANGKITAN NASIONAL

KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh : Siti Nurbayani, Arif, Parmadai, Mega, Dion

Disampaikan pada seminar Kebangkitan Nasional UNS

26 Mei 2011

Pengantar

Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah

mengajarkan kebebasan,” ujar Francois Caaron profesor sejarah di Universitas Sorbone Paris,

karena prinsip nasionalisme mencakup unity, liberty dan equality (Persatuan, Kemerdekaan

dan persamaan).

Nasionalisme menurut Kohn dalam bukunya Nationalism : its Meaning and history

(1961:11), mengatakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu

harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Secara etimologis, kata nation berasal dari kata

bahasa Latin natio, yang berakar pada kata nascor 'saya lahir'. Pada masa Kekaisaran

Romawi, kata natio dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kemudian, pada masa Abad

Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di Universitas-

Universitas. Selanjutnya, pada masa Revolusi Perancis, Parlemen Revolusi Prancis menyebut

diri mereka sebagai assemblee nationale (Dewan Nasional) yang menunjuk kepada semua

kelas yang memiliki hak sama dalam berpolitik. Akhirnya, kata nation menjadi seperti

sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi

suatu negara.

Untuk lebih mengantarkan kita pada bentuk riil dari nasionalisme harusnya kita

mengacu pada konsep nasionalisme yang diungkapkan oleh Benedict Anderson dalam buku

versi terjemahan yang berjudul “Komunitas-komunitas Imajiner: renungan tentang asal-usul

dan penyebaran nasionalisme” penting pula disampaikan disini agar ada pemahaman yang

dapat disepakati bersama.

Benedict Anderson mensinyalir kurangnya kepedulian para pengkaji gerakan

kebangsaan terhadap rasa kebangsaan, rasa nasionalistis, perasaan pribadi dan kultural bahwa

seseorang dan orang lain tertentu adalah satu bangsa bahwa anda dan saya merasa sebagai

seorang indonesia, bahwa anda dan saya adalah kita. Bahwa orang-orang lain adalah mereka.

Padahal kenyataanya selama sebagai bangsa indonesia ini menurut Benedict Anderson,

hanyalah realitas imajiner. Ke-kita-an kita adalah komunitas imajiner yang kita kenal nama

Indonesia. Apa yang selama ini kita telan mentah sebagai “indonesia” seperti kata Bung

Karno, dari Sabang sampai Merauke sebagai mengejawantahkan rasa keindonesiaan kita,

adalah kesatuan wujud semata.

Istilah " Kebangkitan Nasional"

Istilah kebangkitan nasional dikemukakan oleh Perdana Menteri Hatta pada tahun

1948. Saat itu situasi politik di dalam negeri masih diwarnai perang kemerdekaan, di mana

gejolak politik begitu hebat. Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin pada bulan Februari

1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan melakukan berbagai provokasi yang

memancing reaksi dari partai lain seperti Masyumi, sehingga timbul konflik fisik. Selain itu,

akibat perjanjian Renville, tentara Siliwangi dan pemerintahan di Jawa Barat harus hijrah ke

Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia. Republik sudah berada di bawah ancaman Agresi

Militer II. Keadaan ekonomi begitu buruk, inflasi meningkat. Sementara itu, Van Mook sibuk

membentuk negara-negara federal seperti Negara Pasundan, NIT, dan lain-lain.

Melihat kondisi negara yang masih muda itu begitu mengkhawatirkan, Soewardi

Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan dr. Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada

Presiden Soekarno. Perdana Menteri Hatta, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr Ali

Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei

1908, untuk mengingatkan semua orang bahwa persatuan kebangsaan itu sudah

diperjuangakan begitu lama. Usulan ini disetujui pemerintah RI. Maka dilaksanakanlah

peringatan "Kebangunan Nasional" yang ke-40 pada tahun 1948 itu. Upacara peringatan

dilangsungkan di "Presidenan", kediaman Presiden RI tahun 1946-1949, di Yogyakarta.

Hadir dalam acara yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara itu, para pimpinan partai politik

yang berseteru, dan juga tokoh tokoh-tokoh nasional lainnya. Setelah itu, diadakan iring-

iringan barisan keliling kota yang juga mengikutsertakan pasukan yang sedang hijrah. Sejak

itulah dilakukan peringatan "Hari Kebangkitan Nasional", kecuali tahun 1949 karena situasi

yang tidak memungkinkan.

Rasa nasionalisme yang dipertanyakan.

Indonesia merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum internasional, dan kini

menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri (M.C. Ricklefs-2008). . Bangsa

Indonesia masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun 1945-1949, tatkala

penjajah menginginkan kembali jajahannya. Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di

tengah gejolak politik dan politik devide et impera Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan

tahun 1949, nasionalisme bangsa masih terus diuji dengan munculnya gerakan separatis di

berbagai wilayah tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin, masalah

nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali ke

nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula situasi ini dengan terjadinya

tragedi nasional 30 September 1965.

Koalisi pemerintahan yang stabil susah dicapai. Peran Islam di Indonesia menjadi hal

yang rumit karena Soekarno lebih memilih negara sekuler (memisahkan antara kepentingan

agama dengan kepentingan negara) dengan berdasarkan Pancasila. Sementara beberapa

kelompok muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang mensyaratkan

umat Islam takluk kepada hukum Islam.

Pada akhir 1950 dan awal 1960, Soekarno bergerak lebih dekat dengan negara-negara

komunis di Asia dan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Komunis

adalah suatu paham yang bertolak belakang dengan Pancasila sebagai ideologi Indonesia.

Sehingga pergerakan paham Komunis dalam perkembangannya di Indonesia menimbulkan

Konflik.

Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal

tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial

Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini

dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan

memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan

regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan

menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno

mengumumkan pengunduran diri Negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20

Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB

dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian

mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh

Inggris).

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan

terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju

pemerintahan sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi

dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan

pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian

terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962

Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan

Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia

mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk

Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari

Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai

pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.

Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh

dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI.

Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta

tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil

alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian

dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah

terjadi di Jawa dan Bali.

Pada masa Orde Baru, Periode panjang pemerintahan otoriter telah berakibat pada

terjadinya proses perubahan sosial-ekonomi yang menghasilkan ketimpangan tajam antara

berbagai kelompok sosial wacana nasionalisme pun perlahan-lahan tergeser dengan

persoalan-persoalan modernisasi dan industrialisasi (pembangunan). Maka "nasionalisme

ekonomi" pun muncul ke permukaan. Nasionalisme ekonomi didorong oleh meningkatnya

rasa bangga indonesia atas prestasinya (M.C.Ricklefs,2008:610).

Sementara arus globalisasi, seakan memudarkan pula batas-batas "kebangsaan",

kecuali dalam soal batas wilayah dan kedaulatan negara. Kita pun seakan menjadi warga

dunia. Di samping itu, negara mengambil alih urusan nasionalisme, Menggunakan pancasila

sebagai alat Rezimnya atas nama "kepentingan nasional" dan "demi stabilitas nasional"

sehingga terjadilah apa yang disebut greedy state, negara betul-betul menguasai rakyat

hingga memori kolektif masyarakat pun dicampuri negara. Kemajuan banyak di jumpai pada

masa ini, baik sektor ekonomi, pendidikan, dan program yang lain misalnya keluarga

berencana. Masa ini sesungguhnya memberikan tentang kemungkinan-kemungkinan

indonesia masa depan jika saja pemerintah orde baru bukan pemerintah yang kejam, korup,

brutal dan hanya didominasai oleh satu orang. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme hanya

beberapa permasalahan yang mengiringi perjalanan rezim orde baru. Masalah separatisme

yang diilhami rasa kesukuan dan agama muncul kembali. Aceh selama ini dalam keadan

tenang sejak masa kegiatan pemberontakan 1976-1982, namun pemberontakan kembali

muncul pada 1988. Pemberontakan menjadi serius pada tahun 1998, ketika pejuang GAM

menyerang pos-pos ABRI dan mengambil senjata. Timor-timur juga mulai muncul lagi

sebagai wilayah berbahaya bagi jakarta. Hingga 1989, provinsi itu tertutup bagi dunia luar

dan ABRI bebas berkeliaran disana, sebelum akhirnya provinsi itu di buka kembali. Secara

rutin dijumpai demonstrasi mahasiswa menentang soeharto dan korupsi rezimnya dalam

kampus-kampus. Pada tahun 1979, ketua dewan mahasiswa ITB berusia 25 tahun, Hery

Akhmadi, di penjara selama dua tahun karena menghina presiden, DPR dan MPR. Pada saat

vonis Hery sudah ditahan selama 1 tahun. Ketika kelas menengah indonesia mulai tidak

begitu toleran terhadap penyimpangan rezim Soeharto, dan ketika peningkatan rasa ke

islaman menuntut adanya keadilan dan moralitas yang lebih besar. Dalam kondisi penuh

tantangan ini, keluarga Soeharto dan kroni-kroninya semakin menggila dalam korupsi dan

penyalahgunaan kekuasaan mereka. Kemudian, krisis keuangan Asia memasukkan Indonesia

kedalam bencana ekonomi, sehingga tidak ada lagi alasan untuk rakyat mendukung

pemerintahan pada tahun 1998, rezim Soeharto pun runtuh di tengah-tengah suasana yang

mirip dengan suasana kelahiranya di tahun 1965-1966, yaitu di tengah-tengah krisis ekonomi,

kerusuhan dan pertumpahan darah di jalan-jalan.

Ketika muncul upaya disintegrasi dan gerakan separatisme serta sekelumit

permasalahan yang kita hadapi sesungguhnya adalah karena persoalan pembangunan yang

tidak merata. 32 tahun dibawah kepemimpinan otoriter dan absolut, begitu besar kesenjangan

ekonomi pusat terjadi. Akibatnya warisan tersebut menjadi permasalahan yang sulit diatasi di

era reformasi.

Era reformasi yang seharusnya menawarkan demokrasi, menjanjikan kehidupan lebih

baik, karena dimungkinkannya setiap individu dan kelompok mengekspresikan aspirasinya

menjadi terkontaminasi oleh timbunan-timbunan ketidakpuasan yang terlalu dalam. Maka

kitapun menyaksikan banyaknya kerumunan-kerumunan marah yang justru dalam iklim

kebebasan ini menggunakan kesempatan untuk melampiaskan kemarahan dan tidak peduli

pada aturan yang tengah coba dibangun. Supremasi hukum yang diidamkan terasa semakin

sulit dicapai disaat hukum tak dihormati, hukum sekarang tidak lagi berpihak pada keadilan

dan kebenaran.

Ketika penegak hukum kehilangan kendali maka konflik vertikal dan horizontal

marak terjadi. Seperti halnya pada masalah pertikaian yang terjadi di berbagai daerah, tragedi

di Tual, Maluku, tragedi Sampit di Kalimantan dan aksi-aksi anarkis, banyak para elit politik

seperti tak peduli. Rakyat susah mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang

merajalela mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan pemberantasan nya yang tebang

pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi,

penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-

menyuap, dan lain-lain. Realita ini seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan

seabad yang lalu.

Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di

tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila. Kasus

Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan

menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Akhir-akhir ini, muncul lagi

"nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai

budaya negeri jiran itu. Kemudian ketika Tari Pendet dipakai sebagai icon dari iklan

pariwisata malaysia. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh

elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun anehnya, perasaan atau

paham itu hanya muncul sesaat ketika peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa

"nasionalisme kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita. Realita ini

seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad yang lalu. Itulah potret

nasionalisme bangsa kita hari ini. Kini apa yang telah terjadi dengan seluruh cita-cita luhur

dan modal sosial yang telah kita miliki bersama?

Nampaknya, dalam perjalanan bangsa selama ini, terlalu banyak elemen bangsa, terutama

para elit politik, sadar atau tidak, telah banyak yang mengkhianati cita-cita luhur dan menyia-

nyiakan modal sosial yang telah dicoba dibangun dengan susah payah.

Refleksi Nasionalisme

1. BUDI UTOMO

Budi utomo merupakan suatu benih yang melahirkan gerakan nasionalis Indonesia.

Budi utomo telah sampai pada tingkat kesadaran yang fundamental (Van Niel, 1950).

Tanggal 20 mei 1908 yang merupakan kebangkitan nasional yang oleh Akira Nagazumi

disebut dengan “Fajar Nasionalisme Indonesia” (the down of Indonesian nasionalis). Konsep

kemajuan selaras untuk bangsa dan Negara cakupannya sangat luas yakni memajukan

pengajaran/pendidikan. Pertanian, peternakan, perdagangan, teknik, industri, kesenian dan

pengetahuan. Dari apa yang dilakukan Budi Utomo tampak bangkitnya kesadaran hidup

berbangsa dan bernegara (nasionalisme).

2. Sarekat Islam

Pada mulanya sarekat islam adalah perkumpulan para pedagang yang bernama

Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi Sarekat Islam didirikan oleh beberapa tokoh SDI

seperti H.O.S Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H Agus Salim. Sarekat Islam berkembang

pesat karena bermotivasi agama islam yang dominan ada pada masyarakat saat itu.

Kecepatan tumbuhnya SI begaikan meteor dan meluas secara horizontal. SI

merupakan Organisasi masa pertama di Indonesia. Antara tahun 1917 sampai dengan 1920

sangat terasa pengaruhnya didalam politik Indonesia. Untuk menyebarkan propaganda

perjuangannya, Sarekat Islam menerbitkan surat kabar yang bernama Utusan Hindia.

3. Indische Partij

Tujuan Indische Partij adalah untuk membangun patriotisme semua Hindia Putra

terhadap tanah air. Konsep Hindia Putra adalah semua orang yang dilahirkan dan dibesarkan

bahkan dikebumikan di “Indonesia”, tanpa melihat suku, etnis, keturunan, agama, budaya.

4. Perhimpunan Indonesia dan Manifesto Politik.

Pada tahun 1908 di Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische

Vereeniging. Pelopor pembentukan organisasi ini adalah Sutan Kasayangan Soripada dan

RM Noto Suroto. Para mahasiswa lain yang terlibat dalam organisasi ini adalah R.Pandji

Sosrokartono, Gondowinoto, Notodiningrat, Abdul Rivai, Radjiman Wediodipuro

(wediodiningrat) dan Brantel. Tujuan dibentuknya Indische Vereeniging adalah untuk

memajukan kepentingan berasama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia. Kedatangan

tokoh-tokoh Indische Partij seperti Cokro Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, sangat

mempengaruhi perkembangan Indische Vereeniging. Masuk kondisi “Hindia Bebas” dari

Belanda, dalam pembentukan Negara Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri.

Perasaan anti-kolonialisme semakin menonjol setelah ada seruan presiden Amerika Serikat

Woodrow Wilson tentang kebebasan dalam menentukan nasib sendiri pada Negara terjajah

(the right of self determination). Dalam upaya berfikir lebih jauh, organisasi ini memiliki

media komunikasi yang berupa majalah Hindia Poetra. Pada rapat umum bulan januari 1923,

Iwa Kusumasumantri sebagai ketua baru memberikan penjelasan bahwa organiasasi yang

sudah dibenahi ini mempunyai tiga asas pokok yang disebut juga Manifesto Politik.

5. Partai Nasional Indonesia

Pemberontakan PKI Pada tahun 1926 membangkitkan semangat untuk menyusun

kekuatan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial belanda. Rapat pendirian partai ini

dihadiri Ir. Soekarno, Dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr Iskaq Tjokrodisuryo, Mr

Budiarto dan Mr Soenarjo. Pada awal berdirinya, PNI berkembang sangat pesat karena

didorong oleh faktor-faktor berikut:

a. Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakan masa

b. PKI sebagai partai masa telah dilarang

c. Propagandanya menarik dan mempunyai orator ulung yang bernama Ir soekarno.

Peranan PNI dalam pergerakan nasional Indonesia sangat besar. Menyadari perlunya

pernyataan segala potensi rakyat, PNI mempelopori berdirinya Pemufakatan Perhimpunan

Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PPPKI diikuti oleh PSII(Partai Sarekat Islam

Indonesia), Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, kaum Betawi, Indonesische Studi

Club, dan Algemenee Studi Club.

Nasionalisme dalam pemikiran kritis

Untuk dapat memahami Nasionalisme itu sendiri,sebaiknya kita mencoba melihat

nasionalisme dalam beberapa pemikiran-pemikiran kritis, yaitu :

Nasionalisme sebuah Perspektif dekonstruksi dalam postmodernisme

Gerakan dekontruksi yang mulai berkembang pada paruh abad keduapuluh

lahir sebagai penolakan terhadap doktrin-doktrin positivisme yang telah dominan

sejak Rene Descartes. Filsafat posmodernisme dan dekonstruksi telah digunakan oleh

ahli-ahli teori kritis untuk menegaskan bahwa posmodernisme dan dekontruksi adalah

suatu pemisahan dari tradisi artistik dan filosofis abad pencerahan. Mereka tandai

modernisme telah melakukan suatu sistem yang lebih besar dan universal dalam

estetika, etika dan ilmu pengetahuan. Filsafat posmodernisme dan dekontruksi

merupakan suatu revolusi terhadap rasionalitas dari modernisme. Mereka menolak

pikiran tentang kebenaran universal (universal truth) yang mencari metanarrative

atau grand theory. Mereka menolak otoritas yang secara implisit atau eksplisit

mendukung hak istimewa dari suatu teori atas teori yang lain. Mereka

menggantikannya dengan suatu titik pandang partial dan relativistik dengan

menekankan ketidak pastian dan dasar menengahi dalam pembangunan teori. Pemikir

posmodern dan dekontruksi belajar mengkontekstualisasi, mentoleransi relativismen

dan pluralisme (Helisus Sjamsudin, 2007 : 336 – 337). Secara teoritis posmodernisme

menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan daripada persatuan dan

kompleksitas daripada simplifikasi (Ritzer, 2010 : 20).

Memahami Dekonstruksi menurut Prof Helius seperti melihat seorang tukang

reparasi membongkar arloji dan menyusunnya kembali. Teori Dekonstruksi

diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) pada tahun 1967 dan mulai

digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an (Muhadjir, 2001: 203).

Dekonstruksi merupakan gebrakan posmodernisme yang bersifat fungsionalis,

strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmodernisme, karya seni tidak

dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan antara seni

yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka pemaknaan

terkait erat dengan diskursus.

Dekontruksi menurut Deridda memang bukan sistem dan tidak mungkin

menyeretnya menjadi sistem namun mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada

hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain, dan untuk membuka

diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Menurut teori

dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik, kajian realitas sosial

telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian dekonstruksi sosial. Kajian

dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial sebagai obyek yang

didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin (2007) menjelaskan pandangan Karl Heinrich

Marx (1818-1883) tentang realitas kehidupan sosial budaya masyarakat ditentukan

oleh pertentangan antara dua kelas (sesuai dengan pandangan teori konflik).

Demikian nasionalisme dalam kontek dekonstruksi dan postmodersm adalah

menghargai pluralisme atau kebinekaan dalam konteks persatuan dan kesatuan.

Menurut Oommen (2009 : 362) pluralisme bukanlah sebuah fakta, tetapi orientasi

nilai yang didasarkan pada keragaman atau heterogenitas. Di samping itu, pluralisme

sebagai nilai harus merujuk pada koeksistensi keragaman kelompok, rasial dan etnis.

Hal ini sebenarnya telah ditampilkan oleh para pejuang bangsa Indonesia sejak

dicetuskannya sumpah pemuda. Dari berbagai perkumpulan pemuda, seperti: Jong

Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks, Jong Ambon, Pemuda

Betawi, Sekar Rukun dan Pemuda Timor mereka telah berikrar mengakui berbahasa,

berbangsa dan bertumpah darah satu yaitu Indonesia. Bermula sejak Kongres Pemuda

I tahun 1926 yang dipimpin oleh Tabrani (saat itu masih berumur 24 tahun), sehingga

menjadikan momentum ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat penting di dalam

tumbuhnya identitas bangsa Indonesia. Kongres yang diikuti oleh pemuda dari

Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan daerah lainnya ini sudah berusah mewujudkan

tekad gerakan nasional. Sejak kongres pemuda Indonesia I, berbagai perkumpulan

pemuda yang bersifat kedaerahan mulai melebur kedalam gerakan yang bersifat

nasional. Menurut Leirissa yang dikutip oleh Tilaar (2007:173) bahwa gerakan

kedaerahan yang bersifat etnis ini berubah sebagai berikut:

1. Gerakan yang akhirnya bergabung dengan gerakan nasional;

2. Gerakan yang tetap mempertahankan identitasnya hanya mengambil simbol-

simbol gerakan nasional;

3. Gerakan yang tetap mempertahankan sifat identitas etnis saja.

Perubahan paradigma gerakan perjuangan anti kolonialisme sebenarnya sudah

jauh dimulai sebelum 1926, yaitu sejak 1908 (bangsa Indonesia memperingatinya

sebagai hari kebangkitan nasional) yaitu saat lahirnya Budi Oetomo. Paradigma

gerakan yang bersifat etnis kedaerah dan menggunakan kekerasan dalam menggapai

cita-cita kemerdekaan dirubah menjadi gerakan yang bersifat organisasi dan bersifat

nasionalis.

Melihat perubahan konsep dari etnitas menjadi nasionalitas berarti melihat

dekonstruksi dari otonomi kebudayaan kearah kesadaran diri yang lebih terorganisir

dalam kerangka perjuangan melalui jalur politik. Nasionalisme Indonesia dibangun

dan diproduksi atas dasar nasionalisme politik, yaitu adanya kebutuhan bersama

masyarakat yang kemudian dibingkai dalam kesadaran keindonesiaan, dalam rangka

melepaskan diri dari kolonialisme. Pengertian masyarakat, tentu saja pada awalnya

hanya berarti sekelompok elit terpelajar, yang dengan kemampuan dwibahasa

(Indonesia-Belanda), akses pergaulan dan informasi internasional, serta pemahaman

nasionalisme ala Eropa, kemudian mencerahkan dan membangun kesadaran

nasionalitas masyarakat secara umum. Tilaar (2007:26) menyebutnya sebagai identitas

yang terfragmentasi dan bekal identitas etnis menuju kepada kesatuan nasional yang

lebih terarah dan terintegrasi. Bangsa yang menggambarkan adanya suatu imagined

communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di

dalam satu kesatuan, sehingga menimbulkan kebanggaan dan loyalitas nasional.

Dalam proses ini sebenarnya terjadi dekonstruksi terhadap konstruksi

pemahaman primordial dari kelompok atau etnis sehingga timbul pemikiran

nasionalis. Dekonstruksi dari karya Derrida ini menciptakan nilai penting pada

kemampuannya untuk membuat para pemuda saat itu melihat jejak dari apa yang telah

terabaikan dari konsep dan deskripsi karena kelemahan yang ada sehingga menjadi

satu entitas yang menjadi kesatuan, yang mengakibatkan mereka tidak mustahil untuk

ada dan eksis. Dekonstruksi mengajarkan seseorang untuk memikirkan dan

merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai yang ada/dimiliki. Apapun itu,

setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan yang ada tidak akan menjadi

terlalu dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih. Tilaar

(2007:75) menjelaskan peran besar etnis di dalam tumbuhnya rasa nasionalisme dari

bangsa Indonesia dalam menjadi empat yaitu,

1. Manusia Indonesia pertama-tama adalah milik kelompoknya atau milik etnisnya.

Nilai-nilai primordial telah mengikat kelompok itu menjadi satu kesatuan. Inilah

nilai-nilai pada tataran horizontal pada tingkat primordial yaitu rasa persatuan

yang sangat jelas kita temukan di dalam setiap kelompok etnis.

2. Dalam perkembangan rasa persatuan kita lihat peranan komunitas agama misalnya

yang terlihat pada organisasi Muahammadiyah dan NU yang telah

menyumbangkan peranan yang besar sekali dalam pengembangan demokrasai dan

melahirkan para pemimpin berwawasan Nasional.

3. Mulai berkembang identitas kelompok berupa adat-istiadat, simbol-simbol ideal

maupun yang fisik seperti pakaian adat atau pun berjnis-jenis makanan daerah,

semuanya melekat sebagai identitas etnis.

4. Berkembangnya emosi primordial yang kemudian berkembang menjadi emosi

nasionalisme terutama dalam menghadapi perubahan global.

Dengan demikian Sumpah pemuda merupakan tonggak sejarah yang

monumental. Ia mengandung ilham kepatriotan dan kepahlawanan dan sekaligus

merupakan awal babak baru dalam sejarah pergerakan dan perjuangan nasional yang

mengatasi berbagai kemajemukan dan keaneka ragaman yang ada di bumi nusantara

ini. Sumpah pemuda membangkitkan kesadaran kebangsaan yang makin meluas dan

dihayati oleh bangsa kita, terutama dikalangan generasi muda saat itu (Ridwan Tasa,

2009 : 113). Namun pada saat itu cenderung hanya menyentuh ranah politik saja.

Sementara di era globalisasi ini nasionalisme didekontruksikan tidak hanya dalam

ranah politik, tetapi menyentuh ranah sosial, budaya dan ekonomi. Karena itu

meskipun kita sangat menghargai pluralisme politik, budaya, agama, sosial namun

tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

Perbedaan keyakinan, pandangan politik, klompok sosial semuanya merupakan

keunikan dan keberagaman yang patut kita syukuri bersama. Melalui keberagaman

itulah akan diperoleh hasil yang lebih nyata dan sempurna.

Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita untuk dibangkitkan

kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu. Nasionalisme

yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi

semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan

kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak

bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.

Pemuda dan 4 pilar Bangsa

Dalam perspektif diatas memberikan gambaran tentang nasionalisme. Tetapi Dari

permasalahan yang kita hadapi hendaknya kita sebagai kaum intelek (pemuda) harus bisa

memberikan sebuah perubahan, kita harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan

meningkatkan kualitas diri agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia.

Ketika kualitas diri kita sebagai pemuda meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, kita

akan mampu menjadi think tank bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia. Presiden pertama

kita, Ir.Soekarno pernah mengatakan “beri aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan

dunia”. Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana besarnya pengaruh pemuda dalam

menentukan masa depan bangsa. Bukan tanpa alasan, dalam sejarah perjuangan bangsa

indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting

yang terjadi. Bahkan dikatakan bahwa pemuda menjadi tulanmg punggung penjajahan ketika

itu. Peran tetsebut juga tetap disandang oleh pemuda hingga saat ini, selain sebagai

pengontrol independent terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan

penguasa, pemuda indonesia juga aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan,

apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak pada masyarakat.Tentunya Nasionalisme

yang sekarang berbeda dengan Nasionalisme seabad yang lalu, serta peran pemuda saat ini

sedikit berbeda dengan peran dan tanggung jawab pemuda pada masa revolusi kemerdekaan.

Saat ini pemuda harus mampu melakukan transformasi atau perubahan dalam berbagai

bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan

dengan giat belajar dan mengedepankan jiwa patriotik untuk membangun masyarakat, bangsa

dan negara. Pemuda harus mampu menjawab segala tantangan zaman yang muncul di

hadapanya. Pemuda jangan sampai tergerus oleh oleh kerusakan zaman yang dibawa oleh

ideologi-ideologi yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Pemuda harus ampu

bersinergi demgan seluruh elemen lain untuk mempertahankan dan membawa INDONESIA

menuju kearah yang lebih baik. Dengan apa kita bersinergi? Ya, dengan Pancasila, sebagai

falsafah hidup bangsa Indonesia(way of life), tentunya yang di fahami secara kultural dan tak

lagi menjadikannya sebagai alat kekuasaan semata, Bhineka Tunggal Ika, sebagai pemersatu

dari keberagaman Indonesia, UUD 45, sebagai landasan dan sumber hukum bangsa

Indonesia, dan Pendikan Berkarakter, sebagai alat mengembangkan jiwa patriotisme,

kesadaran berbangsa dan bernegara serta membentuk moral bangsa yang tangguh. Selamat

Hari Kebangkitan Nasional (JANGAN TERLENA SESUNGGUHNYA KITA DALAM

BENCANA).

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C., 2008,Sejarah Indonesia Modern

Asvi Warman Adam, 2007, seabad kontrovesi sejarah, Ombak, Yogyakarta

www.wikipedia.com