Kebangkitan Islam Asia Tenggara

3
Kebangkitan Islam Asia Tenggara 05-September-2007 Pada dasarnya kebangkitan Islam di abad ke-19 hingga 21 adalah sebuah fenomena global. Seiring dengan adanya interaksi dengan peradaban Barat di abad ke-18, umat Islam menyadari keterbelakangan peradabannya. Interaksi tersebut berlanjut menjadi media refleksi dan digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari peradaban Barat. Kehendak baik itu tecermin dari kemauan mendialogkan doktrin agama dengan modernitas Barat. Dialog tidak mengandung arti bahwa umat Islam tengah “memaksakan” doktrin agamanya untuk menerima modernitas, melainkan membaca ulang doktrin agama dengan pisau analisa modernitaas… Dengan begitu penerimaan terhadap demokrasi atau modernisasi politik umpamanya, bukanlah “pemerkosaan semiotik” terhadap kitab suci, yang mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat pragmatis. Modernitas diterima sebagai milik sendiri lantaran dalam doktrin Islam banyak ayat-ayat al-Quran yang sejalan dan selaras dengan nilai-nilai modern. Dapat disimpulkan bahwa kebangkitan Islam terkait dengan proses take and give dengan peradaban Barat. Empat Model Gerakan Satu hal yang harus diingat, kebangkitan Islam tidak semata-mata terinspirasi oleh kemajuan peradaban Barat. Hans-Dieter Evers dan Sharon Siddique mencatat ada empat model gerakan yang melatarbelakangi kebangkitan Islam. Pertama, gerakan penolakan atas rasionalisasi, yaitu penolakan atas demistifikasi dunia. Kedua, gerakan sebagai sebuah usaha untuk mengatasi tekanan- tekanan modernisasi. Ketiga, gerakan anti imperialis dan hegemoni. Keempat, gerakan pembaruan yang merupakan doktrin agama itu sendiri (1993). Kebangkitan Islam yang dilatari oleh faktor pertama hingga ketiga bisa dikatakan sebagai respon negatif terhadap modernitas Barat. Kebangkitan Islam dimaknai sebagai resistensi identitas, dimana Barat yang diasumsikan sebagai pemilik modernitas terlalu

Transcript of Kebangkitan Islam Asia Tenggara

Page 1: Kebangkitan Islam Asia Tenggara

Kebangkitan Islam Asia Tenggara05-September-2007

Pada dasarnya kebangkitan Islam di abad ke-19 hingga 21 adalah sebuah fenomena global. Seiring dengan adanya interaksi dengan peradaban Barat di abad ke-18, umat Islam menyadari keterbelakangan peradabannya. Interaksi tersebut berlanjut menjadi media refleksi dan digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari peradaban Barat. Kehendak baik itu tecermin dari kemauan mendialogkan doktrin agama dengan modernitas Barat. Dialog tidak mengandung arti bahwa umat Islam tengah “memaksakan” doktrin agamanya untuk menerima modernitas, melainkan membaca ulang doktrin agama dengan pisau analisa modernitaas…

Dengan begitu penerimaan terhadap demokrasi atau modernisasi politik umpamanya, bukanlah “pemerkosaan semiotik” terhadap kitab suci, yang mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat pragmatis.  Modernitas diterima sebagai milik sendiri lantaran dalam doktrin Islam banyak ayat-ayat al-Quran yang sejalan dan selaras dengan nilai-nilai modern. Dapat disimpulkan bahwa kebangkitan Islam terkait dengan proses take and give dengan peradaban Barat. 

Empat Model Gerakan Satu hal yang harus diingat, kebangkitan Islam tidak semata-mata terinspirasi oleh kemajuan peradaban Barat. Hans-Dieter Evers dan Sharon Siddique mencatat ada empat model gerakan yang melatarbelakangi kebangkitan Islam. Pertama, gerakan penolakan atas rasionalisasi, yaitu penolakan atas demistifikasi dunia. Kedua, gerakan sebagai sebuah usaha untuk mengatasi tekanan-tekanan modernisasi. Ketiga, gerakan anti imperialis dan hegemoni. Keempat, gerakan pembaruan yang merupakan doktrin agama itu sendiri (1993).

Kebangkitan Islam yang dilatari oleh faktor pertama hingga ketiga bisa dikatakan sebagai respon negatif terhadap modernitas Barat. Kebangkitan Islam dimaknai sebagai resistensi identitas, dimana Barat yang diasumsikan sebagai pemilik modernitas terlalu mendominasi dan memonopoli kebenaran. Oleh sebab itu, kebangkitan Islam dalam konteks semacam ini adalah sikap yang reaktif. Sebab resistensi tersebut dilakukan dengan menyertakan sentimen identitas, sehingga subjektivitasnya lebih memainkan peran, ketimbang sebagai sebuah representasi objektif.

Berbeda dengan ketiga model gerakan yang sudah dijelaskan di awal, model yang keempat lebih merupakan determinasi doktrinal dan sejarah. Senada dengan hal ini John L Esposito mencatat, bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara dewasa ini bukan sebagai reaksi terhadap modernitas Barat, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembaruan yang selalu muncul, yang menunjukkan keberlangsungan tradisi Islam dalam sejarah (1983). Hal itu menjelaskan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah dorongan dan dinamika internal. Dari kerangka berpikir ini, kebangkitan Islam di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai sebuah wacana alternatif dunia Islam, ketimbang sebagai ancaman bagi Barat—juga bukan sebagai ancaman bagi umat Islam sendiri, sebab kebangkitan itu berlandas pada tradisi Islam.

Page 2: Kebangkitan Islam Asia Tenggara

Penjelasan yang senada dengan Esposito disampaikan oleh Azyumardi Azra, cendekiawan muslim yang banyak diundang ke negara-negara Barat untuk menjelaskan tentang “Islam moderat”. Menurut Azyumardi salah satu sumber optimisme kalangan pengamat luar tentang kebangkitan Islam di Asia Tenggara pada umumnya didasarkan pada pengamatan mereka tentang “watak” atau “karakteristik” Islam di kawasan ini. Mereka melihat Islam di Asia Tenggara mempunyai watak atau karakteristik yang khas, yang berbeda dengan Islam di kawasan lain, khususnya di Timur Tengah. Karakteristik terpenting Islam di Asia tenggara itu, misalnya, memiliki watak yang lebih damai, ramah, dan toleran (2000). 

Berlangsung Damai Watak Islam seperti itu diakui banyak pengamat, diantaranya Thomas W Arnold. Dalam bukunya, The Preaching of Islam—sebagaimana dikutip oleh Azyumardi—Arnold menyimpulkan bahwa penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara berlangsung secara damai (2000). Berbeda halnya dengan penyebaran Islam di sebagian besar wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika yang biasa disebut sebagai fath atau futuh, yakni pembebasan, yang dalam praktiknya sering melibatkan kekuatan militer. Meskipun futuh di kawasan-kawasan yang disebutkan tadi tidak selamanya berupa pemaksaan penduduk setempat untuk memeluk Islam. Sebaliknya, menurut Azyumardi, penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak pernah disebut sebagai futuh yang disertai kekuatan militer (2000). 

Karakter yang toleran inilah yang membuat Islam di Asia Tenggara tidak memusuhi peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme Barat terhadap masyarakat Asia Tenggara tidak membuat umat Islam menutup diri untuk berdialog dengan peradaban Barat. Imperialisme adalah sisi jahat peradaban Barat yang tidak bisa ditolerir, sedangkan demokrasi adalah sisi “cantik” peradaban Barat yang layak diapresiasi. Oleh karena itu bagi Esposito, Islam di Asia Tenggara memang cukup prospektif dan diperkirakan akan muncul menjadi kawasan alternatif bagi kebangkitan Islam (1997). Pada masa dimana Islam telah diidentikkan dengan radikalisme dan dianggap tidak cocok dengan demokrasi, Indonesia dan Malaysia telah mampu menepis stereotip semacam itu. Meskipun penilaian Esposito ini diungkapkan sebelum munculnya dugaan kuat adanya jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia, dan terlepas dari kontrovesi ada-tidaknya JI, namun penilaian Esposito ini mencerminkan keterpesonaan pengamat Barat terhadap kemampuan umat Islam di Asia Tenggara dalam mendialogkan doktrin Islam dengan masalah modernitas.(CMM)