Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan...

14
1 KEANEKARAGAMAN DAN BIOMASSA RAYAP TANAH DI HUTAN ALAM DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) PADA LAHAN GAMBUT DI KAWASAN BUKIT BATU, RIAU Febri Ayu 1 , Ahmad Muhammad 2 , Desita Salbiah 3 [email protected] 1 Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA-UR 2 Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR 3 Dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian-UR Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia ABSTRACT The conversion of peat swamp forest into industrial pulpwood (Acacia crassicarpa) plantation forest (“HTI”) has been suspected to cause substantial change in biodiversity, such as might be reflected in termite assemblages. This study was carried out to investigate how such conversion affects subterranean termites diversity and biomass. The study area was conducted at Bukit Batu District, Riau Province. Termite sampling was done in September and October 2011 at four natural forest sites in Bukit Batu Wildlife Reserve and four HTI sites situated near the former. Termites were systematically sampled with the help of a transect of 100 m drawn on each site. We used 10 square subplots (1 m x 1 m) situated along the transect with a regular interval of 10 m, and termites were extracted down to 10 cm deep beneath the peat surface. Nine species were found, consisting of eight genera, four subfamilies and two families. Termite species found only under natural forest were Microcerotermes dubius, Bulbitermes flavicans, Nasutitermes proatripennis and Ceylonitermes indicola. Species encountered only under HTI was Coptotermes curvignathus. Four species occurring in both land use types were Capritermes semarangi, Capritermes mohri, Schedorhinotermes malaccensis and Parrhinotermes aequalis (Sørensen Similarity Index = 61.54%). Termite biomass was relatively small, with only 0.53 ± 0.41 gr/m 2 and 0.29 ± 0.19 gr/m 2 under natural forest and HTI, respectively, and there was no significant difference between them. Keywords: Peatland - Natural forest - industrial pulpwood (Acacia crassicarpa) plantation forest - HTI - subterranean termites - diversity - biomass - Bukit Batu - Riau. PENDAHULUAN Lahan gambut di Pulau Sumatera tersebar di beberapa wilayah provinsi, seperti Provinsi Riau, yang memiliki lahan gambut seluas kurang lebih 4 juta ha (Uryu et al., 2008). Tetapi sejak dua dasawarsa terakhir banyak terjadi pengalihgunaan lahan gambut di provinsi ini, yaitu antara lain menjadi lahan pemukiman dan lahan budidaya pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Sebenarnya secara umum lahan gambut termasuk jenis lahan marginal atau tidak sesuai untuk dibudidayakan, apalagi apabila lapisan gambutnya dalam (≥3 m) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Hal ini dikarenakan

Transcript of Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan...

Page 1: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

1

KEANEKARAGAMAN DAN BIOMASSA RAYAP TANAH DI HUTAN ALAM

DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) PADA LAHAN GAMBUT DI

KAWASAN BUKIT BATU, RIAU

Febri Ayu1, Ahmad Muhammad

2, Desita Salbiah

3

[email protected]

1Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA-UR

2Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR

3Dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian-UR

Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia

ABSTRACT

The conversion of peat swamp forest into industrial pulpwood (Acacia crassicarpa)

plantation forest (“HTI”) has been suspected to cause substantial change in biodiversity,

such as might be reflected in termite assemblages. This study was carried out to

investigate how such conversion affects subterranean termites diversity and biomass.

The study area was conducted at Bukit Batu District, Riau Province. Termite sampling

was done in September and October 2011 at four natural forest sites in Bukit Batu

Wildlife Reserve and four HTI sites situated near the former. Termites were

systematically sampled with the help of a transect of 100 m drawn on each site. We

used 10 square subplots (1 m x 1 m) situated along the transect with a regular interval of

10 m, and termites were extracted down to 10 cm deep beneath the peat surface. Nine

species were found, consisting of eight genera, four subfamilies and two families.

Termite species found only under natural forest were Microcerotermes dubius,

Bulbitermes flavicans, Nasutitermes proatripennis and Ceylonitermes indicola. Species

encountered only under HTI was Coptotermes curvignathus. Four species occurring in

both land use types were Capritermes semarangi, Capritermes mohri,

Schedorhinotermes malaccensis and Parrhinotermes aequalis (Sørensen Similarity

Index = 61.54%). Termite biomass was relatively small, with only 0.53 ± 0.41 gr/m2

and 0.29 ± 0.19 gr/m2

under natural forest and HTI, respectively, and there was no

significant difference between them.

Keywords: Peatland - Natural forest - industrial pulpwood (Acacia crassicarpa)

plantation forest - HTI - subterranean termites - diversity - biomass - Bukit Batu - Riau.

PENDAHULUAN

Lahan gambut di Pulau Sumatera tersebar di beberapa wilayah provinsi, seperti

Provinsi Riau, yang memiliki lahan gambut seluas kurang lebih 4 juta ha (Uryu et al.,

2008). Tetapi sejak dua dasawarsa terakhir banyak terjadi pengalihgunaan lahan gambut

di provinsi ini, yaitu antara lain menjadi lahan pemukiman dan lahan budidaya

pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Sebenarnya secara umum lahan gambut

termasuk jenis lahan marginal atau tidak sesuai untuk dibudidayakan, apalagi apabila

lapisan gambutnya dalam (≥3 m) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Hal ini dikarenakan

Page 2: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

2

pengalihgunaannya dapat menyebabkan kerusakan sistem hidrologi, mengingat lahan

gambut merupakan penyimpan air (Sabiham, 2010). Selain itu, lahan gambut juga

rentan terhadap subsidensi setelah dialihgunakannya dan mengalami pengeringan (Las

et al., 2009). Faktor lain yang memberatkan adalah kenyataan bahwa umumnya gambut

memiliki pH dan tingkat kesuburan yang terlalu rendah untuk kepentingan budidaya

(Sabiham & Basuki, 1989).

Pengalihgunaan lahan gambut yang masih berupa hutan alam umumnya diawali

dengan pembuatan kanal-kanal, setelah hutannya terlebih dahulu ditebang habis.

Keberadaan kanal-kanal menyebabkan penurunan muka air, sehingga lapisan gambut

bagian atas yang semula jenuh air menjadi lebih berpori dan aerobik (Sabiham et al.,

2012). Perubahan ini dapat merubah karakteristik lahan gambut sebagai habitat

makrofauna tanah, seperti misalnya rayap tanah (subterranean termites).

Penelitian ini difokuskan pada fauna rayap tanah yang terdapat pada hutan alam

yang masih berupa hutan rawa gambut dan yang telah dialihgunakan menjadi Hutan

Tanaman Industri (HTI). Hutan alam merupakan sebuah ekosistem alamiah, sedangkan

HTI merupakan sebuah ekosistem antropogenik atau buatan manusia. Diantara

keduanya terdapat banyak perbedaan, yang antara lain dapat dilihat dari karakteristik

hidrologis dan struktur vegetasinya serta aktifitas pengelolaan oleh manusia. Lantai

hutan rawa gambut secara alamiah sering tergenang air sehingga kondisi di bawah

permukaan gambut cenderung selalu jenuh air (Murayama & Bakar, 1996). Hal ini

sangat kontras dengan kondisi lantai HTI yang cenderung lebih kering karena muka

airnya telah mengalami penurunan karena adanya pembangunan kanal-kanal. Kondisi

ini diduga justru lebih sesuai bagi rayap karena rayap merupakan serangga tanah yang

menyukai kondisi lembab tetapi tidak terlalu basah (Cornelius & Osbrink, 2010).

Hutan alam memiliki keanekaragaman spesies pohon yang jauh lebih tinggi

dibandingkan HTI yang merupakan sistem monokultur. Oleh karenanya stuktur vegetasi

hutan alam juga jauh lebih kompleks dibanding HTI yang selain hanya terdiri dari satu

spesies pohon juga tersusun oleh pohon-pohon yang umurnya kurang lebih sama.

Perbedaan karakteristik vegetasi ini mempengaruhi heterogenitas lingkungan dan

ketersediaan pangan yang dapat dimanfaatkan oleh makrofauna tanah seperti rayap

(Pearce, 1997). Semakin tinggi heterogenitas lingkungan pada suatu habitat biasanya

menyebabkan lebih banyak spesies yang dapat menghuni habitat tersebut (Eggleton et

al., 1996). Oleh karenanya diduga perbedaan karakteristik vegetasi antara hutan alam

dan HTI akan mempengaruhi keanekaragaman dan biomassa rayap yang ada pada

masing-masing jenis habitat ini.

Hutan alam adalah sistem yang relatif lebih sedikit menerima pengaruh aktifitas

manusia dibanding HTI. Kegiatan manusia pada HTI yang kemungkinan menimbulkan

dampak sangat penting bagi rayap, selain terkait pengelolaan air, adalah panen yang

dilakukan setiap 5-6 tahun sekali. Panen merubah kondisi habitat secara total karena

semua pohon yang ada ditebang. Selain itu, penggunaan alat-alat berat dapat

menghancurkan koloni-koloni rayap yang berada di bawah permukaan gambut. Oleh

karenanya komunitas rayap tanah pada HTI kemungkinan akan sangat terganggu oleh

rotasi panen. Dengan demikian, diduga perbedaan intensitas gangguan manusia pada

hutan alam dan HTI akan berpengaruh terhadap keanekaragaman dan biomassa rayap

tanah yang ada pada masing-masing jenis habitat. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan biomassa rayap pada lahan

Page 3: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

3

gambut yang masih berupa hutan alam dan yang telah digunakan sebagai HTI di

kawasan Bukit Batu, Riau.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan gambut yang terdapat di kawasan Bukit Batu,

Provinsi Riau. Pengumpulan rayap dilakukan pada bulan September dan Oktober 2011,

yaitu di empat plot hutan alam yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bukit Batu (010

22' 49,3" LU - 010 23' 53.3" LU dan 101

0 50' 54,7" BT - 101

0 53' 40.8" BT), dua plot

HTI Acacia crassicarpa yang dikelola oleh PT. Bukit Batu Hutani Alam (010 21' 39.3"

LU - 010

22' 47,3" LU dan 1010 57' 45.6" BT - 101

0 57' 45.9" BT) dan dua plot HTI

Acacia crassicarpa yang dikelola oleh PT. Sekato Makmur Permai (010 36' 53,7" LU -

010

37' 08,0" LU dan 1010 43' 52,2" BT - 101

0 43' 52,5" BT). Pada masing-masing plot

dibuat sebuah transek sepanjang 100 m. Pada setiap transek dibuat 10 subplot (1 m x 1

m) dengan interval 10 m. Dengan demikian pada satu transek terdapat 10 subplot dan

terdapat 40 subplot pada hutan alam dan 40 subplot pada HTI. Rayap dikumpulkan

dengan menggali masing-masing subplot hingga kedalaman 10 cm. Biomassa rayap

ditimbang ketika rayap masih hidup dan segar dengan menggunakan timbangan digital

(Sonic BL-01, China) dengan tingkat ketelitian hingga 0,01 gr. Biomassa ini dihitung

sebagai berat total rayap yang ditemukan dalam setiap subplot seluas 1 m2. Setelah

penimbangan, rayap tersebut diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%. Identifikasi

spesimen rayap dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo (Olympus SZX7, Japan)

dan buku referensi Tho (1992), Ahmad (1958) dan Syaukani (2004).

Pada penelitian ini juga dilakukan karakterisasi habitat yang dilakukan dengan

melihat kondisi gambut, baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan gambut.

Kondisi di atas permukaan gambut dilihat berdasarkan beberapa parameter yaitu

kerapatan pohon, basal area (BA) pohon dan kelimpahan serasah. Sedangkan kondisi di

bawah permukaan gambut dilihat berdasarkan parameter yang meliputi kedalaman

muka air, kandungan air dalam gambut, rasio C/N dan pH gambut. Selain itu, pada

masing-masing jenis penggunaan lahan yang diperiksa juga dilakukan pengamatan

tambahan terhadap aktifitas manusia.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara ditabulasikan dan

dibuat grafik histogram menggunakan Microsoft Office Excel. Perbandingan antara

hutan alam dan HTI dilakukan dengan uji t tidak berpasangan (Fowler & Cohen, 1992)

dengan bantuan program SPSS 16,0. Indeks Similaritas Sørensen (Krebs, 2002)

digunakan untuk membandingkan komposisi spesies rayap tanah pada hutan alam dan

HTI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik habitat

Hutan alam dan HTI memiliki struktur vegetasi yang sangat berbeda. Hutan alam dalam

penelitian ini merupakan hutan rawa gambut yang dicirikan oleh adanya stratifikasi

tajuk pohon dan keanekaragaman spesies maupun morfologi pohon yang tinggi. Tingkat

kerapatan pohon pada hutan rawa gambut rata-rata 1.600 pohon/ha dan basal area 17

m2/ha (Gunawan, 2012). Sedangkan HTI dicirikan oleh tidak adanya stratifikasi tajuk

pohon, karena selain hanya tersusun oleh satu spesies pohon saja (Acacia crassicarpa)

Page 4: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

4

juga tersusun oleh pohon-pohon yang berumur sama. Tingkat kerapatan pohon pada

HTI sebenarnya cukup tinggi yaitu kurang lebih juga 1.600 pohon/ha dan basal area 23

m2/ha. Perbedaan struktur vegetasi dapat mempengaruhi keanekaragaman rayap. Hal ini

dikarenakan struktur vegetasi mempengaruhi iklim mikro, ketersediaan pangan dan

mikrohabitat (Cornelius & Osbrink, 2010; Donovan et al., 2007) yang diperlukan oleh

rayap.

Ketersediaan pangan dalam hal ini antara lain dapat dilihat dari kelimpahan

serasah yang ada di bawah masing-masing jenis vegetasi. Kelimpahan serasah pada

hutan alam dan HTI memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel 1). Rata-rata

kelimpahan serasah di HTI lebih tinggi (588,23 gr/m2) daripada di hutan alam (302,91

gr/m2). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik spesies tumbuhan yang

menyusun masing-masing jenis vegetasi. Akasia merupakan salah satu contoh spesies

tanaman yang memiliki riap tumbuh sangat tinggi (fast-growing species). Spesies-

spesies tanaman yang memiliki riap tumbuh tinggi umumnya juga menghasilkan serasah

dengan laju yang tinggi (Lee & Woo, 2012). Sedangkan vegetasi hutan alam umumnya

tersusun oleh spesies-spesies pohon yang memiliki riap tumbuh lebih rendah

(Mirmanto, 2009). Selain itu, tingkat diversitas vegetasi juga mempengaruhi produksi

serasah. Scherer-Lorenzen et al. (2007), misalnya, menemukan produksi serasah yang

tertinggi justru pada hutan yang memiliki keanekaragaman spesies pohon yang tidak

terlalu tinggi.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik habitat pada hutan alam dan HTI

Parameter Jenis Penggunaan Lahan Gambut

Hutan Alam (n=4) HTI (n=4)

Kerapatan pohon (pohon/ha) 1.200-2.400 1.600-1.660

Basal area (m2/ha) 11-25 21-23

Keanekaragaman spesies pohon 55-82 1

Kelimpahan serasah (gr/m2) 38,3-636,2* 63,3-1.200*

Kedalaman muka air (cm) 0-55* 44-110*

Kandungan air (%) 43,8-90,6* 42,8-78,2*

pH 3,5-5 3,6-6,4

Rasio C/N 20-22* 23-26* * Beda nyata pada taraf 5% (P=0,05)

Mugerwa et al. (2011) dan Swoboda (2004) menyatakan bahwa kelimpahan dan

diversitas serasah dapat mempengaruhi aktifitas pencarian makan (foraging) rayap.

Serasah menciptakan perlindungan yang memungkinkan rayap tanah bergerak di atas

permukaan tanah dengan lebih aman. Selain itu, serasah sendiri juga merupakan salah

satu sumber makanan bagi rayap (Jones & Brendell, 1998).

Perbedaan lain antara kedua jenis habitat ini yang paling menyolok adalah

kondisi hidrologisnya. Kedalaman muka air (water table) di hutan alam jauh lebih

dangkal dibandingkan HTI, yaitu rata-rata tidak pernah lebih dalam dari 14,66 cm

(Tabel 1). Selama musim hujan lantai hutan alam bahkan selalu tergenang

(waterlogged) (Ritzema & Wösten, 2002). Sementara pada HTI kedalaman muka air

rata-rata sekitar 100 cm. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem drainase berupa kanal-

kanal berukuran besar. Oleh karenanya, kondisi tergenang tidak pernah terjadi di

lingkungan HTI. Perbedaan kedalaman muka air sangat mempengaruhi kandungan air

Page 5: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

5

dalam lapisan permukaan gambut. Semakin dalam muka air maka kandungan air dalam

lapisan ini cenderung lebih rendah. Hasil pengukuran kandungan air menunjukkan

perbedaan yang signifikan antara kandungan air di dekat permukaan gambut pada hutan

alam dan HTI yang rata-rata adalah 80,87% dan 63,61% (Tabel 1). Perbedaan ini diduga

mempengaruhi keanekaragaman dan biomassa rayap tanah yang dapat hidup dalam

gambut yang berada di bawah hutan alam dan HTI.

Kondisi hidrologis pada hutan alam sebenarnya kurang sesuai (hostile) bagi

makrofauna tanah seperti rayap, yang umumnya menyukai kondisi lembab tetapi tidak

terlalu basah (Cornelius & Osbrink, 2010). Namun, hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa rayap tanah dapat hidup pada hutan alam yang masih berupa hutan rawa gambut

dan memiliki kandungan air tidak kurang dari 80%. Rayap mampu hidup pada hutan

alam dengan hidup di dalam tanggul-tanggul pohon sebagai pelindung koloni. Hal ini

menunjukkan bahwa rayap tanah sebenarnya merupakan salah satu kelompok

makrofauna tanah yang mampu beradaptasi dengan kondisi tanah yang relatif basah.

Penelitian Faszly et al. (2005) dan Vaessen et al. (2011) juga menemukan bahwa rayap

tanah mampu hidup pada hutan rawa gambut yang terdapat di Malaysia.

Gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan

kisaran pH 3-5 (Murayama & Bakar, 1996). Tingkat kemasaman gambut (pH) di hutan

alam dan HTI adalah 4,29 dan 4,62. Keduanya tidak berbeda signifikan, tetapi ada

kecenderungan pH gambut pada hutan alam lebih rendah daripada HTI. Jones &

Eggleton (2000) mengungkapkan bahwa rayap tanah merupakan salah satu kelompok

makrofauna tanah yang memiliki kisaran toleransi yang cukup lebar terhadap pH tanah.

Hasil penelitian Vaessen et al. (2011) bahkan menunjukkan bahwa tingkat keasaman

lahan gambut bukanlah faktor penghambat terpenting bagi rayap tanah.

Hasil analisis rasio C/N di hutan alam dan HTI memiliki perbedaan yang

signifikan. Hutan alam memiliki rasio C/N yang rata-rata hanya 21% sedangkan HTI

memiliki rasio C/N yang lebih tinggi, yaitu rata-rata 25%. Kandungan C/N di dalam

tanah sangat dipengaruhi oleh kelimpahan dan kualitas serasah dari tumbuhan yang ada

di atasnya (Martius et al., 2004). Menurut Noor (2001) rasio C/N yang tinggi

mengindikasikan tingkat dekomposisi yang belum lanjut, semakin tinggi rasio C/N

maka semakin rendah tingkat dekomposisi yang terjadi.

Keanekaragaman rayap tanah

Pada Tabel 2 spesies rayap tanah yang ditemukan pada penelitian ini berjumlah

sembilan spesies. Empat spesies yang ditemukan pada hutan alam juga dapat ditemukan

pada HTI (Indeks Similaritas Sørensen = 61,54%). Spesies rayap yang ditemukan pada

penelitian ini terdiri dari delapan genera dan empat subfamilia yang dikelompokkan

dalam dua familia. Enam spesies dari sembilan spesies rayap yang ditemukan

merupakan spesies rayap dari famili Termitidae yang dikelompokkan dalam dua

subfamilia. Tiga spesies lainnya merupakan spesies rayap dari famili Rhinotermitidae

yang dikelompokkan dalam dua subfamilia.

Famili Termitidae merupakan kelompok rayap pemakan kayu, serasah dan

humus (Tho, 1992). Sebagian besar anggota famili ini bersarang di dalam tanah atau

membuat gundukan (busut) di atas permukaan tanah dan sebagian kecil membuat sarang

arboreal (Eggleton, 2000). Famili Termitidae dalam penelitian ini ditemukan pada 30

Page 6: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

6

titik pengamatan (37,5%). Famili ini terdiri dari empat subfamilia, namun dalam

penelitian ini hanya ditemukan dua subfamilia, yaitu Termitinae dan Nasutitermitinae.

Tabel 2. Komposisi spesies rayap tanah di hutan alam dan HTI

No Famili Subfamili Spesies

Jenis

Penggunaan

Lahan

HA HTI

1 Termitidae Termitinae Capritermes semarangi • •

2 Termitidae Termitinae Capritermes mohri • •

3 Termitidae Termitinae Microcerotermes dubius •

4 Termitidae Nasutitermitinae Bulbitermes flavicans •

5 Termitidae Nasutitermitinae Nasutitermes proatripennis •

6 Termitidae Nasutitermitinae Ceylonitermes indicola •

7 Rhinotermitidae Rhinotermitinae Schedorhinotermes malaccensis • •

8 Rhinotermitidae Rhinotermitinae Parrhinotermes aequalis • •

9 Rhinotermitidae Coptotermitinae Coptotermes curvignathus • Keterangan: HA (Hutan Alam), HTI (Hutan Tanaman Industri), • = tanda kehadiran rayap

Famili Rhinotermitidae merupakan rayap pemakan kayu dan mempunyai habitat

subteranean atau di dalam tanah (Eggleton, 2000). Subfamili dari Rhinotermitidae yang

ditemukan dalam penelitian ini adalah Rhinotermitinae dan Coptotermitinae. Anggota-

anggota famili Rhinotermitidae ditemukan pada 34 titik pengamatan (42,5%). Subfamili

dari Rhinotermitidae yang ditemukan adalah Rhinotermitinae dan Coptotermitinae.

Gambar 1. Struktur rayap tanah berdasarkan tingkat taksonomis

Pada penelitian ini ditemukan delapan spesies rayap tanah (88,9%) pada hutan

alam dan lima spesies (55,6%) pada HTI (Gambar 1). Jumlah spesies rayap tanah yang

ditemukan pada penelitian ini relatif kecil. Hal yang serupa ditemukan oleh Vaessen et

al. (2011), yang juga hanya menemukan 20 spesies rayap pada lahan gambut di

Sarawak, Malaysia. Sementara Donovan et al. (2007) yang melakukan survei pada

lahan tanah mineral di Sabah, Malaysia, dapat menemukan hingga 43 spesies rayap.

Eggleton et al. (1997) bahkan menemukan 64 spesies rayap di lokasi yang berbeda di

Sabah. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa kekayaan spesies rayap tanah di lahan

gambut lebih kecil daripada yang ada di lahan-lahan tanah mineral.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Familia Subfamilia Genera Spesies

Ju

mla

h

Hutan Alam HTI

Page 7: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

7

Gambar 2. Struktur rayap tanah berdasarkan makanan

Berdasarkan makanannya, rayap dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu

kelompok rayap pemakan kayu, pemakan tanah, pemakan tanah dan kayu mati,

pemakan serasah dan pemakan mikroepifit (Jones & Bredell, 1998; Eggleton et al.,

1996). Namun dalam penelitian ini hanya dijumpai dua kelompok, yaitu rayap pemakan

kayu dan rayap pemakan tanah. Gambar 2 menunjukkan bahwa kelompok rayap

pemakan kayu lebih dominan ditemukan pada kedua jenis penggunaan lahan. Vaessen

et al. (2011) juga menemukan bahwa rayap pemakan kayu lebih dominan pada kawasan

gambut di Sarawak, Malaysia. Chan et al. (2011) dan Kon et al. (2012) mengungkapkan

bahwa lahan gambut memiliki ketersedian tunggul-tunggul kayu yang cukup tinggi,

sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok rayap pemakan kayu sebagai sarang.

Penelitian pada lahan mineral di gunung Slamet Jawa juga menemukan bahwa rayap

pemakan tanah lebih sedikit dibandingkan rayap pemakan kayu (Pribadi et al., 2011).

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelompok rayap pemakan tanah sangat sensitif

terhadap perubahan fisik tanah akibat gangguan habitat (Eggleton et al., 2002; Eggleton

et al., 1997; Kagezi et al., 2011). Penelitian Davies (2003) juga mengungkapkan bahwa

pengalihfungsian lahan berdampak negatif terhadap rayap pemakan tanah. Dengan

mempertimbangkan sensitifitas ini, rayap pemakan tanah dapat dijadikan sebagai

indikator perubahan lingkungan yang berkaitan dengan pengalihgunaan lahan (Eggleton

et al., 2002; Kon et al., 2012).

Sebaran spesies dan biomassa rayap tanah

Sebaran spesies rayap tidak tersebar secara merata di masing-masing transek pada

kedua jenis penggunaan lahan yang diamati (Tabel 3). Spesies rayap yang memiliki

sebaran “luas” atau yang dapat ditemukan di hampir semua transek adalah

Schedorhinotermes malaccensis. Spesies rayap ini umumnya ditemukan pada kayu

hidup (pohon) dan kayu mati (Roonwal, 1969). Sedangkan spesies rayap yang memiliki

sebaran “sempit” atau yang hanya ditemukan pada satu transek saja adalah

Microtermes dubius. Rayap ini merupakan rayap pemakan kayu (Jones & Brandell,

1998). Spesies rayap yang memiliki sebaran “luas” maupun sebaran “sempit”

merupakan pemakan kayu namun Schedorhinotermes malaccensis lebih banyak

ditemukan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan karakteristik spesies-spesies anggota

famili Rhinotermitidae yang menurut Eggleton (2000) memiliki kisaran toleransi yang

lebar terhadap tingkat kekeringan maupun kebasahan lingkungan.

0

1

2

3

4

5

6

7

Kayu Tanah

Ju

mla

h S

pesie

s R

ayap

Hutan Alam HTI

Page 8: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

8

Tabel 3. Sebaran spesies rayap tanah pada setiap transek di hutan alam dan HTI

Spesies

Jenis Penggunaan Lahan

Hutan Alam HTI

T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4

Capritermes semarangi •

• •

Capritermes mohri • • •

Microcerotermes dubius

Bulbitermes flavicans • • •

Nasutitermes proatripennis •

Ceylonitermes indicola • •

Schedorhinotermes malaccensis • • •

• • • •

Parrhinotermes aequalis •

• • • •

Coptotermes curvignathus •

Jumlah Total 7 4 4 3 5 2 3 4

Keterangan: T1 (Transek); • = tanda kehadiran rayap

Sebaran spesies yang tidak tersebar merata dalam penelitian ini mengindikasikan

adanya heterogenitas pada tingkat mikrohabitat (Martius et al., 2004). Hal ini dapat

disebabkan oleh perbedaan mikrotopografi, pencahayaan, kelembaban udara,

kelimpahan serasah dan kerapatan tutupan vegetasi bawah (Bignell & Eggleton, 2000).

Menurut Jones & Eggleton (2000) rayap termasuk kelompok makrofauna tanah yang

cukup peka terhadap heterogenitas mikrohabitat.

Gambar 3. Frekuensi kehadiran rayap tanah menurut transek

Meskipun jumlah spesies rayap tanah yang dapat ditemukan pada hutan alam

dan HTI berbeda, secara umum tidak tampak adanya perbedaan frekuensi kehadiran

rayap yang menyolok pada transek-transek yang diperiksa di kedua jenis penggunaan

lahan ini (Gambar 3). Rata-rata frekuensi kehadiran rayap pada hutan alam dan HTI

adalah 45% dan 35%. Pola kehadiran ini diduga dipengaruhi oleh kondisi heterogenitas

habitat pada masing-masing plot yang diperiksa. Cornelius & Osbrink (2010)

menyebutkan bahwa sebaran makanan dan mikrohabitat yang sesuai, misalnya, sangat

mempengaruhi pola kehadiran rayap pada suatu habitat.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 4

Fre

ku

en

si

Keh

ad

iran

(%

) Hutan Alam HTI

Page 9: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

9

Gambar 4. Frekuensi kehadiran spesies-spesies rayap tanah pada hutan alam dan HTI (1) Capritermes semarangi; (2) Capritermes mohri; (3) Microcerotermes dubius; (4) Bulbitermes

flavicans; (5) Nasutitermes proatripennis; (6) Ceylonitermes indicola; (7) Schedorhinotermes

malaccensis; (8) Parrhinotermes aequalis; (9) Coptotermes curvignathus

Dari pemeriksaan 40 subplot di hutan alam dan 40 subplot di HTI, secara umum

dapat diketahui bahwa frekuensi kehadiran rayap tanah pada kedua jenis penggunaan

lahan gambut ini sangat tinggi, yaitu 72,5% pada hutan alam dan 87,5% pada HTI.

Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4, diantara spesies rayap yang dijumpai dengan

frekuensi cukup tinggi pada hutan alam adalah Capritermes mohri dan Ceylonitermes

indicola (masing-masing 15,0%), sedangkan pada HTI adalah Schedorhinotermes

malaccensis (30,0%). Capritermes mohri adalah rayap pemakan tanah, sedangkan

Ceylonitermes indicola dan Schedorhinotermes malaccensis adalah rayap pemakan

kayu. Belum diketahui apakah rayap Capritermes yang hidup pada lahan gambut juga

dapat memanfaatkan gambut sebagai makanan, seperti halnya yang hidup pada lahan

mineral memakan tanah. Rayap pemakan kayu dapat memanfaatkan tunggul-tunggul

kayu sebagai sarang sekaligus sumber makanan. Muhammad (data tidak dipublikasikan)

bahkan menjumpai rayap-rayap semacam ini dapat memakan kayu-kayu yang berasal

dari lapisan gambut dalam (>3 m), apabila kayu-kayu ini sudah berada di permukaan.

Biomassa rayap yang ditemukan pada kedua jenis penggunaan lahan tidak

berbeda signifikan. Meskipun demikian, secara visual ditemukan perbedaan yang cukup

menarik. Rayap-rayap yang ditemukan di bawah permukaan gambut pada hutan alam

cenderung berukuran kecil tetapi jumlahnya besar. Sebaliknya rayap-rayap yang

ditemukan pada HTI umumnya memiliki ukuran tubuh lebih besar tetapi jumlahnya

lebih kecil. Perbedaan ukuran dan massa tubuh rayap sangat berkaitan erat dengan

spesies rayap, umur rayap (Grace et. al., 1995), dan kelompok fungsionalnya (Inoue et

al., 2001).

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Fre

ku

en

si

Keh

ad

iran

(%

) Hutan Alam HTI

Page 10: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

10

Gambar 5. Biomassa rayap tanah menurut transek di hutan alam dan HTI

Secara umum biomassa rayap yang ditemukan berkisar antara 0,05 hingga 1,05

gr/m2 atau rata-rata 0,47 gr/m

2 (Gambar 5). Biomassa rayap yang ditemukan pada

penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan biomassa rayap yang ditemukan

pada lahan tanah mineral. Pribadi et al. (2011), misalnya, menemukan biomassa rayap

yang rata-rata tidak pernah kurang dari 3 gr/m2 di beberapa jenis penggunaan lahan di

lereng gunung di Jawa. Penelitian lain yang dilakukan di Brazil oleh Vasconcellos &

Moura (2010) menemukan bahwa biomassa rayap rata-rata 11 gr/m2. Bahkan Eggleton

et al. (1996) menemukan biomassa rayap rata-rata 24 gr/m2 pada dataran rendah

berhutan yang telah banyak mengalami gangguan di Kamerun. Hal ini menunjukkan

bahwa rayap cenderung lebih melimpah pada lahan tanah mineral dibanding pada lahan

gambut. Perbedaan hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian tersebut kemungkinan

juga dipengaruhi oleh perbedaan cara pengambilan sampel rayap. Meskipun demikian,

kelimpahan rayap pada suatu lahan kemungkinan juga dipengaruhi oleh spesies rayap

tertentu. Rayap Coptotermes curvignathus justru lebih melimpah pada lahan gambut

dibanding pada lahan tanah mineral.

Biomassa rayap dapat memberikan dampak penting secara ekologis. Terkait hal

ini, Sanderson (1996) melaporkan bahwa biomassa rayap dapat mempengaruhi tingkat

emisi karbon ke udara. Penelitian lain oleh Eggleton et al. (1999) mengungkapkan

bahwa kelompok rayap pemakan tanah dan kelompok rayap pemakan tanah dan kayu

cenderung meningkatkan emisi gas metana, selain karbondioksida. Dengan demikian,

tingkat emisi kedua gas rumah kaca ini terkait dengan biomassa kedua kelompok rayap

ini. Semakin besar biomassa kedua kelompok rayap ini, maka semakin besar pula emisi

gas metana dan karbondioksida ke udara.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum tingkat keanekaragaman spesies rayap tanah yang ditemukan pada lahan

gambut, baik yang masih berupa hutan alam maupun yang telah dialihgunakan menjadi

HTI relatif rendah, yaitu delapan spesies pada hutan alam dan lima spesies pada HTI,

atau seluruhnya hanya sembilan spesies. Spesies yang hanya dijumpai pada hutan alam

adalah Microcerotermes dubius, Bulbitermes flavicans, Nasutitermes proatripennis, dan

Ceylonitermes indicola dan spesies rayap yang hanya ditemukan pada HTI adalah

Coptotermes curvignathus, sedangkan yang terdapat pada keduanya adalah Capritermes

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 4

Bio

massa g

r/m

2

Hutan Alam HTI

Page 11: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

11

semarangi, Capritermes mohri, Schedorhinotermes malaccensis dan Parrhinotermes

aequalis (Indeks Similaritas Sørensen = 61,54%). Biomassa rayap tanah pada kedua

jenis penggunaan lahan gambut relatif kecil, yaitu hanya 0,53 ± 0,41 gr/m2

pada hutan

alam dan 0,29 ± 0,19 gr/m2

pada HTI, yang diantara keduanya tidak terdapat perbedaan

signifikan.

Berdasarkan pengalaman dan hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, dapat

dikemukakan saran sebagai berikut: Perlu dilakukan penelitian dengan metode yang

sama tetapi dengan jumlah ulangan plot pada hutan alam dan HTI yang lebih banyak,

misalnya 5 atau 6 plot. Penelitian berikutnya juga dapat dilakukan dengan jumlah

ulangan plot yang mewakili hutan alam dan HTI yang sama (empat) atau bahkan

separuhnya (dua), tetapi menggunakan metode pengambilan sampel rayap yang

diusulkan oleh Jones & Eggleton (2000).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Motoko S. Fujita dan Dr. Hiromitsu

Samejima dari CSEAS, Kyoto University, yang telah membantu mencarikan dana

penelitian melalui Global Center of Excellence (GCOE) Program Kyoto University.

Selanjutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada BBKSDA Riau yang telah

memberikan izin penelitian di Suaka Margasatwa Bukit Batu, dan kepada PT. Sinar Mas

Forestry yang telah memberikan izin penelitian di HTI yang dikelola oleh PT. Bukit

Batu Hutani Alam dan PT. Sakato Makmur Permai, serta kepada keluarga Ibu Asnah

yang telah menyediakan akomodasi di lapangan. Penulis juga berterima kasih kepada

Mas Anto dan Ibu Wara asfiya, M.Sc. dari Puslitbang Zoologi (LIPI) di Cibinong yang

telah membantu mencarikan literatur tentang rayap, serta kepada Bapak Prof. Dr. Dodi

Nandika, Ibu Arinana, M.Si, Ibu Esti dan Mas Punto yang telah mengajari dan

membantu penulis dalam proses identifikasi spesies rayap di Laboratorium Anatomi

Fakultas Kehutanan IPB di Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. 1958. Key to the Indomalayan Termites. Biologia 4: 33-198.

Bignell, D.E. & P. Eggleton. 2000. Termites in Ecosystems dalam Abe, T., D.E. Bignell

& M. Higashi. Termites: Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Kluwer

Academic Publishers. Hal 1-23.

Chan, S.P., C.F.J. Bong & W.H. Lau. 2011. Damage Pattern and Nesting Characteristic

of Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in Oil Palm on Peat.

American Journal of Applied Sciences 8 (5): 420-427.

Cornelius, M.L. & W.A. Osbrink. 2011. Effect of Soil Type and Moisture Availability

on the Foraging Behavior of the Formosan Subterranean Termite (Isoptera:

Rhinotermitidae). Journal Of Economic Entomology 103 (3): 799-807.

Jones, D. T., and M.J.D. Brendell. 1998. The Termite (Insect: Isoptera) Fauna of Pasoh

Forest Reserve, Malaysia. The Raffles bulletin of Zoology 46 (1): 79-89.

Davies, R.G., P. Eggleton., D.T. Jones., F.J. Gathorne-Hardy & L.M. Hernandez. 2003.

Evolution of Termite Functional Diversity: Analysis and Synthesis of Local

Ecological and Region Influence on Local Spesies Richness. Journal of

Biogeography 30: 847-877.

Page 12: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

12

Donovan, S.E., G.J.K. Griffiths., R. Homathevi & L. Winder. 2007. The Spatial Pattern

of Soil-dwelling Termite in Primary and Logged Forest in Sabah, Malaysia.

Ecological Entomology 32: 1-10.

Eggleton, P., D.E. Bignell., W.A. Sands., N.A. Mawdsley., J.H. Lawton., T.G. Wood &

N.C. Bignell. 1996. The Diversity, Abundance and Biomassa of Termite Under

Differing Levels of Disturbance in the Mbalmayo Forest Reserve, Southern

Cameroon. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B

351 (1335): 51-68.

Eggleton, P., R. Homathevi., D. Jeeva., D.T. Jones., R.G. Davies & M. Maryati. 1997.

The Species Richness and Composition of Termites (Isoptera) in Primary and

Regenerating Lowland Dipterocarp Forest in Sabah, East Malaysia. Ecotropica

3: 119-128.

Eggleton, P. 2000. Global Patterns of Termite Diversity dalam Abe, T., D.E. Bignell &

M. Higashi. Termites: Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Kluwer

Academic Publishers. Hal 1-23.

Eggleton, P., S.E. Donovan & D.E. Biggnel. 2002. Termite Diversity A Cross An

Anthropogenic Disturbance Gradient in Humid Forest Zone of West Africa.

Agroecocistem Environment 90: 189-202.

Faszly R, Idris AB, Sajap AS. 2005. Termite (Insecta: Isoptera) Assemblages from

Sungai Bebar Peat Swamp Forest. Expedition Sungai Bebar, Pekan. Pahang.

Fowler, J., L. Cohen. 1992. Practical statistic for field biology. John Wiley and Son. New

York.

Gunawan, H. 2012. Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forest for the Promotion of

Ecosystem Service and Rural Livelihoods in Giam Siak Kecil- Bukit Batu

Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. PhD Thesis. Graduate School of Asian and

African Area Studies. Kyoto University. Kyoto.

Grace, J.K., R.T. Yamamoto & M. Tamashiro. 1995. Is Termite Body Size Correlated

with Colony Vigor? The International Research Group on Wood Preservation

Section 1 Biology (Fauna), IRG/WP 95-10130.

Inoue, T., Y. Takematsu., F. Hyodo., A. Sugimoto., A. Yamada., C. Klangkaew., N.

Kirtibutr & T. Abe. 2001. The Abundance and Biomassa of Subterranean

Termites (Isoptera) in A Dry Evergreen Forest of Northeast Thailand.

Sociobiology 37 (1): 41-52.

Jones, D.T. & M.J.D. Brendell. 1998. The Termite (Insect: Isopteran) Fauna of Pasoh

Forest Reserve, Malaysia. The Raffles Bulletin of Zoology 46(1): 79-89.

Jones, D.T. & P. Eggleton. 2000. Sampling Termite Assemblages in Tropical Forest:

Testing A Rapid Biodiversity Assemblage Protocol. Journal of Applied Ecology

37 : 191-203.

Kagezi, G.H., M. Kaib., P. Nyeko., C. Bakuneeta., M. Schadler & R. Brandl. 2011.

Decomposition of Tissue Baits and Termite Density Along A Gradient of

Human Land-Use Intensification in Western Kenya. African Journal of Ecology

49: 267-276.

Kon, T-W., C-F. J. Bong, J-H. P. King,& C-T. S. Leong. 2012. Biodiversity of Termite

(Insecta: Isoptera) in Tropical Peat Land Cultivated with Oil Palm. Pakistan

Journal of Biological Sciences 15 (3): 108-120.

Page 13: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

13

Krebs, C. 2002. Ecological Methodology Second Edition. Benjamin Cummings.

California.

Las, I.K., Nugroho & A. Hidayat. 2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk

Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Jurnal Pengembangan

Inovasi Pertanian 2 (4): 295-298.

Lee, Y. & S. Woo. 2012. Changes in Litter, Decomposition, Nitrogen Mineralization

and Microclimate in Acacia mangium and Acacia auriculiformis Plantation in

Mount Makiling, Philippines. International Journal of Physical Sciences 7 (12):

1976-1985.

Martius, C. 2004. Assessing the Sustainability of Agroforestry Systems in Central

Amazonia Using CART to Model Non-Linear Relationships. Center for

Development Research. San Francisco.

Martius, C., H. Hofer, M.V.B. Garcia, J. Rombke & W. Hanagarth. 2004. Litter Fall,

Litter Stocks and Decomposition Rates in Rainforest and Agroforestry Sites in

Central Amazonia. Nutrient Cycle Agroecosistem 68: 137-154.

Mirmanto, E. 2009. Forest Dynamics of Peat Swamp Forest in Sebangau, Central

Kalimantan. Biodiversitas 10 (4): 187-194.

Mugerwa, S., M. Nyangito., D. Mpairwe & J. Nderitu. 2011. Effect of Biotic and

Abiotic Factors on Composition and Foraging Intensity of Subterranean

Termites. African Journal of Environmental Science and Technology 5(8): 579-

588.

Murayama, S. & Z.A. Bakar. 1996. Decomposition of Tropical Peat Soils. Japan

Agricultural Research Quarterly 30: 145-151.

Pearce, M.J. 1997. Termites: Biology and Pest Management. Centre for Agriculture and

Biosciences International. Cambridge.

Pribadi, T., R. Raffiudin & I.S. Harahap. 2011. Termite Community as Environmental

Bioindicator in Highlands: A Case Study in Eastern Slopes of Mount Slamet,

Central Java. Biodiversitas 12 (3): 235-240.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kasinus. Yogyakarta.

Ritzema, H & H. Wösten 2002. Hydrology of Borneo’s Peat Swamps. STRAPEAT –

Status Report Hydrology. Netherlands.

Roonwall. 1969. Measurement of Termite for Taxonomi Purposes. Journal of the

Zoological Society of India 21(1).

Sabiham, S and Basuki, S. 1989. Studies on Peat in the Coastal Plains of Sumatra and

Borneo Part II: The Clay Mineralogical Composition of Sediments in Coastal

Plains of Jambi and South Kalimantan. Southeast Asian Studies 27 (1).

Sabiham, S. 2010. Properties of Indonesian Peat in Relation to the Chemistry of Carbon

Emission. Prociding of International Workshop on Evaluation and Sustainable

Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Department of

Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture. Bogor. 205-216.

Sabiham, S., S.D. Tarigani., Hariyadi., I.K. Las. 2012. Organic Carbon Storage and

Management Strategies for Reducing Carbon Emission from Peatlands: A Case

Study in Oil Palm Plantations in West and Central Kalimantan, Indonesia.

Pedologist 426-434.

Page 14: Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan Gambut

14

Sanderson, M.G. 1996. Biomass of Termite and Their Emissions of Methane and

Carbon Dioxide: A Global Database. Global Biogeochemical Cycles 10 (4):

543-557.

Scherer-Lorenzen, M., J.L. Bonilla & C. Potvin. 2007. Tree Species Richness Affects

Litter Production and Decomposition Rates in A Tropical Biodiversity

Experiment. Oikos 116: 2108-2124.

Syaukani. 2004. A Guide to the Nasus Termites (Nasutitermitinae, Termitidae) of Kerinci

Seblat National Park Sumatra. Nagao Natural Environment Foundation. Tokyo.

Swaboda, L.E. 2004. Environmental Influences on Subterranean Termite Foraging

Behavior and Bait Acceptance. Disertation. Faculty of Virginia Polytechnic

Institute and State University, Blacksburg.

Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Malayan Forest Record 36. Forest

Research Institute Malaysia. Kepong.

Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa

Gambut di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2): 149-156.

Uryu, Y., C. Mott., N. Foead., K. Yulianto., A. Budiman., Setibudi., F. Takakai.,

Nursamsu., C.M.B. Hutajulu., J. Jaenicke., R. Hatano., F. Siegert & M. Stuwe.

2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emission

in Riau, Sumatra, Indonesia: One Indonesian Province’s Forest and Peat Soil

Carbon Loss Over A Quarter Century and Its Plans for the Future. WWF

Indonesia Technical Report. Jakarta.

Vaessen, T., C. Verwer., M. Demies., H. Kaliang., and P.J. Meer. 2011. Comparison of

Termite Assemblages Along A Landuse Gradient on Peat Areas in Sarawak,

Malaysia. Journal of Tropical Forest Science 23 (2): 196-203.

Vasconcellos, A. & F.M.S. Moura. 2010. Wood Litter Consumption by Three Species

of Nasutitermes Termites in An Area of the Atlantic Coastal Forest in

Northeastern Brazil. Journal of Insect Science 10 (72).