Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan...
Transcript of Keanekaragaman Dan Biomassa Rayap Tanah Di Hutan Alam Dan Hutan Tanaman Industri (Hti) Pada Lahan...
1
KEANEKARAGAMAN DAN BIOMASSA RAYAP TANAH DI HUTAN ALAM
DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) PADA LAHAN GAMBUT DI
KAWASAN BUKIT BATU, RIAU
Febri Ayu1, Ahmad Muhammad
2, Desita Salbiah
3
1Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA-UR
2Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR
3Dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian-UR
Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia
ABSTRACT
The conversion of peat swamp forest into industrial pulpwood (Acacia crassicarpa)
plantation forest (“HTI”) has been suspected to cause substantial change in biodiversity,
such as might be reflected in termite assemblages. This study was carried out to
investigate how such conversion affects subterranean termites diversity and biomass.
The study area was conducted at Bukit Batu District, Riau Province. Termite sampling
was done in September and October 2011 at four natural forest sites in Bukit Batu
Wildlife Reserve and four HTI sites situated near the former. Termites were
systematically sampled with the help of a transect of 100 m drawn on each site. We
used 10 square subplots (1 m x 1 m) situated along the transect with a regular interval of
10 m, and termites were extracted down to 10 cm deep beneath the peat surface. Nine
species were found, consisting of eight genera, four subfamilies and two families.
Termite species found only under natural forest were Microcerotermes dubius,
Bulbitermes flavicans, Nasutitermes proatripennis and Ceylonitermes indicola. Species
encountered only under HTI was Coptotermes curvignathus. Four species occurring in
both land use types were Capritermes semarangi, Capritermes mohri,
Schedorhinotermes malaccensis and Parrhinotermes aequalis (Sørensen Similarity
Index = 61.54%). Termite biomass was relatively small, with only 0.53 ± 0.41 gr/m2
and 0.29 ± 0.19 gr/m2
under natural forest and HTI, respectively, and there was no
significant difference between them.
Keywords: Peatland - Natural forest - industrial pulpwood (Acacia crassicarpa)
plantation forest - HTI - subterranean termites - diversity - biomass - Bukit Batu - Riau.
PENDAHULUAN
Lahan gambut di Pulau Sumatera tersebar di beberapa wilayah provinsi, seperti
Provinsi Riau, yang memiliki lahan gambut seluas kurang lebih 4 juta ha (Uryu et al.,
2008). Tetapi sejak dua dasawarsa terakhir banyak terjadi pengalihgunaan lahan gambut
di provinsi ini, yaitu antara lain menjadi lahan pemukiman dan lahan budidaya
pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Sebenarnya secara umum lahan gambut
termasuk jenis lahan marginal atau tidak sesuai untuk dibudidayakan, apalagi apabila
lapisan gambutnya dalam (≥3 m) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Hal ini dikarenakan
2
pengalihgunaannya dapat menyebabkan kerusakan sistem hidrologi, mengingat lahan
gambut merupakan penyimpan air (Sabiham, 2010). Selain itu, lahan gambut juga
rentan terhadap subsidensi setelah dialihgunakannya dan mengalami pengeringan (Las
et al., 2009). Faktor lain yang memberatkan adalah kenyataan bahwa umumnya gambut
memiliki pH dan tingkat kesuburan yang terlalu rendah untuk kepentingan budidaya
(Sabiham & Basuki, 1989).
Pengalihgunaan lahan gambut yang masih berupa hutan alam umumnya diawali
dengan pembuatan kanal-kanal, setelah hutannya terlebih dahulu ditebang habis.
Keberadaan kanal-kanal menyebabkan penurunan muka air, sehingga lapisan gambut
bagian atas yang semula jenuh air menjadi lebih berpori dan aerobik (Sabiham et al.,
2012). Perubahan ini dapat merubah karakteristik lahan gambut sebagai habitat
makrofauna tanah, seperti misalnya rayap tanah (subterranean termites).
Penelitian ini difokuskan pada fauna rayap tanah yang terdapat pada hutan alam
yang masih berupa hutan rawa gambut dan yang telah dialihgunakan menjadi Hutan
Tanaman Industri (HTI). Hutan alam merupakan sebuah ekosistem alamiah, sedangkan
HTI merupakan sebuah ekosistem antropogenik atau buatan manusia. Diantara
keduanya terdapat banyak perbedaan, yang antara lain dapat dilihat dari karakteristik
hidrologis dan struktur vegetasinya serta aktifitas pengelolaan oleh manusia. Lantai
hutan rawa gambut secara alamiah sering tergenang air sehingga kondisi di bawah
permukaan gambut cenderung selalu jenuh air (Murayama & Bakar, 1996). Hal ini
sangat kontras dengan kondisi lantai HTI yang cenderung lebih kering karena muka
airnya telah mengalami penurunan karena adanya pembangunan kanal-kanal. Kondisi
ini diduga justru lebih sesuai bagi rayap karena rayap merupakan serangga tanah yang
menyukai kondisi lembab tetapi tidak terlalu basah (Cornelius & Osbrink, 2010).
Hutan alam memiliki keanekaragaman spesies pohon yang jauh lebih tinggi
dibandingkan HTI yang merupakan sistem monokultur. Oleh karenanya stuktur vegetasi
hutan alam juga jauh lebih kompleks dibanding HTI yang selain hanya terdiri dari satu
spesies pohon juga tersusun oleh pohon-pohon yang umurnya kurang lebih sama.
Perbedaan karakteristik vegetasi ini mempengaruhi heterogenitas lingkungan dan
ketersediaan pangan yang dapat dimanfaatkan oleh makrofauna tanah seperti rayap
(Pearce, 1997). Semakin tinggi heterogenitas lingkungan pada suatu habitat biasanya
menyebabkan lebih banyak spesies yang dapat menghuni habitat tersebut (Eggleton et
al., 1996). Oleh karenanya diduga perbedaan karakteristik vegetasi antara hutan alam
dan HTI akan mempengaruhi keanekaragaman dan biomassa rayap yang ada pada
masing-masing jenis habitat ini.
Hutan alam adalah sistem yang relatif lebih sedikit menerima pengaruh aktifitas
manusia dibanding HTI. Kegiatan manusia pada HTI yang kemungkinan menimbulkan
dampak sangat penting bagi rayap, selain terkait pengelolaan air, adalah panen yang
dilakukan setiap 5-6 tahun sekali. Panen merubah kondisi habitat secara total karena
semua pohon yang ada ditebang. Selain itu, penggunaan alat-alat berat dapat
menghancurkan koloni-koloni rayap yang berada di bawah permukaan gambut. Oleh
karenanya komunitas rayap tanah pada HTI kemungkinan akan sangat terganggu oleh
rotasi panen. Dengan demikian, diduga perbedaan intensitas gangguan manusia pada
hutan alam dan HTI akan berpengaruh terhadap keanekaragaman dan biomassa rayap
tanah yang ada pada masing-masing jenis habitat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan biomassa rayap pada lahan
3
gambut yang masih berupa hutan alam dan yang telah digunakan sebagai HTI di
kawasan Bukit Batu, Riau.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan gambut yang terdapat di kawasan Bukit Batu,
Provinsi Riau. Pengumpulan rayap dilakukan pada bulan September dan Oktober 2011,
yaitu di empat plot hutan alam yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bukit Batu (010
22' 49,3" LU - 010 23' 53.3" LU dan 101
0 50' 54,7" BT - 101
0 53' 40.8" BT), dua plot
HTI Acacia crassicarpa yang dikelola oleh PT. Bukit Batu Hutani Alam (010 21' 39.3"
LU - 010
22' 47,3" LU dan 1010 57' 45.6" BT - 101
0 57' 45.9" BT) dan dua plot HTI
Acacia crassicarpa yang dikelola oleh PT. Sekato Makmur Permai (010 36' 53,7" LU -
010
37' 08,0" LU dan 1010 43' 52,2" BT - 101
0 43' 52,5" BT). Pada masing-masing plot
dibuat sebuah transek sepanjang 100 m. Pada setiap transek dibuat 10 subplot (1 m x 1
m) dengan interval 10 m. Dengan demikian pada satu transek terdapat 10 subplot dan
terdapat 40 subplot pada hutan alam dan 40 subplot pada HTI. Rayap dikumpulkan
dengan menggali masing-masing subplot hingga kedalaman 10 cm. Biomassa rayap
ditimbang ketika rayap masih hidup dan segar dengan menggunakan timbangan digital
(Sonic BL-01, China) dengan tingkat ketelitian hingga 0,01 gr. Biomassa ini dihitung
sebagai berat total rayap yang ditemukan dalam setiap subplot seluas 1 m2. Setelah
penimbangan, rayap tersebut diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%. Identifikasi
spesimen rayap dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo (Olympus SZX7, Japan)
dan buku referensi Tho (1992), Ahmad (1958) dan Syaukani (2004).
Pada penelitian ini juga dilakukan karakterisasi habitat yang dilakukan dengan
melihat kondisi gambut, baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan gambut.
Kondisi di atas permukaan gambut dilihat berdasarkan beberapa parameter yaitu
kerapatan pohon, basal area (BA) pohon dan kelimpahan serasah. Sedangkan kondisi di
bawah permukaan gambut dilihat berdasarkan parameter yang meliputi kedalaman
muka air, kandungan air dalam gambut, rasio C/N dan pH gambut. Selain itu, pada
masing-masing jenis penggunaan lahan yang diperiksa juga dilakukan pengamatan
tambahan terhadap aktifitas manusia.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara ditabulasikan dan
dibuat grafik histogram menggunakan Microsoft Office Excel. Perbandingan antara
hutan alam dan HTI dilakukan dengan uji t tidak berpasangan (Fowler & Cohen, 1992)
dengan bantuan program SPSS 16,0. Indeks Similaritas Sørensen (Krebs, 2002)
digunakan untuk membandingkan komposisi spesies rayap tanah pada hutan alam dan
HTI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik habitat
Hutan alam dan HTI memiliki struktur vegetasi yang sangat berbeda. Hutan alam dalam
penelitian ini merupakan hutan rawa gambut yang dicirikan oleh adanya stratifikasi
tajuk pohon dan keanekaragaman spesies maupun morfologi pohon yang tinggi. Tingkat
kerapatan pohon pada hutan rawa gambut rata-rata 1.600 pohon/ha dan basal area 17
m2/ha (Gunawan, 2012). Sedangkan HTI dicirikan oleh tidak adanya stratifikasi tajuk
pohon, karena selain hanya tersusun oleh satu spesies pohon saja (Acacia crassicarpa)
4
juga tersusun oleh pohon-pohon yang berumur sama. Tingkat kerapatan pohon pada
HTI sebenarnya cukup tinggi yaitu kurang lebih juga 1.600 pohon/ha dan basal area 23
m2/ha. Perbedaan struktur vegetasi dapat mempengaruhi keanekaragaman rayap. Hal ini
dikarenakan struktur vegetasi mempengaruhi iklim mikro, ketersediaan pangan dan
mikrohabitat (Cornelius & Osbrink, 2010; Donovan et al., 2007) yang diperlukan oleh
rayap.
Ketersediaan pangan dalam hal ini antara lain dapat dilihat dari kelimpahan
serasah yang ada di bawah masing-masing jenis vegetasi. Kelimpahan serasah pada
hutan alam dan HTI memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel 1). Rata-rata
kelimpahan serasah di HTI lebih tinggi (588,23 gr/m2) daripada di hutan alam (302,91
gr/m2). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik spesies tumbuhan yang
menyusun masing-masing jenis vegetasi. Akasia merupakan salah satu contoh spesies
tanaman yang memiliki riap tumbuh sangat tinggi (fast-growing species). Spesies-
spesies tanaman yang memiliki riap tumbuh tinggi umumnya juga menghasilkan serasah
dengan laju yang tinggi (Lee & Woo, 2012). Sedangkan vegetasi hutan alam umumnya
tersusun oleh spesies-spesies pohon yang memiliki riap tumbuh lebih rendah
(Mirmanto, 2009). Selain itu, tingkat diversitas vegetasi juga mempengaruhi produksi
serasah. Scherer-Lorenzen et al. (2007), misalnya, menemukan produksi serasah yang
tertinggi justru pada hutan yang memiliki keanekaragaman spesies pohon yang tidak
terlalu tinggi.
Tabel 1. Perbedaan karakteristik habitat pada hutan alam dan HTI
Parameter Jenis Penggunaan Lahan Gambut
Hutan Alam (n=4) HTI (n=4)
Kerapatan pohon (pohon/ha) 1.200-2.400 1.600-1.660
Basal area (m2/ha) 11-25 21-23
Keanekaragaman spesies pohon 55-82 1
Kelimpahan serasah (gr/m2) 38,3-636,2* 63,3-1.200*
Kedalaman muka air (cm) 0-55* 44-110*
Kandungan air (%) 43,8-90,6* 42,8-78,2*
pH 3,5-5 3,6-6,4
Rasio C/N 20-22* 23-26* * Beda nyata pada taraf 5% (P=0,05)
Mugerwa et al. (2011) dan Swoboda (2004) menyatakan bahwa kelimpahan dan
diversitas serasah dapat mempengaruhi aktifitas pencarian makan (foraging) rayap.
Serasah menciptakan perlindungan yang memungkinkan rayap tanah bergerak di atas
permukaan tanah dengan lebih aman. Selain itu, serasah sendiri juga merupakan salah
satu sumber makanan bagi rayap (Jones & Brendell, 1998).
Perbedaan lain antara kedua jenis habitat ini yang paling menyolok adalah
kondisi hidrologisnya. Kedalaman muka air (water table) di hutan alam jauh lebih
dangkal dibandingkan HTI, yaitu rata-rata tidak pernah lebih dalam dari 14,66 cm
(Tabel 1). Selama musim hujan lantai hutan alam bahkan selalu tergenang
(waterlogged) (Ritzema & Wösten, 2002). Sementara pada HTI kedalaman muka air
rata-rata sekitar 100 cm. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem drainase berupa kanal-
kanal berukuran besar. Oleh karenanya, kondisi tergenang tidak pernah terjadi di
lingkungan HTI. Perbedaan kedalaman muka air sangat mempengaruhi kandungan air
5
dalam lapisan permukaan gambut. Semakin dalam muka air maka kandungan air dalam
lapisan ini cenderung lebih rendah. Hasil pengukuran kandungan air menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kandungan air di dekat permukaan gambut pada hutan
alam dan HTI yang rata-rata adalah 80,87% dan 63,61% (Tabel 1). Perbedaan ini diduga
mempengaruhi keanekaragaman dan biomassa rayap tanah yang dapat hidup dalam
gambut yang berada di bawah hutan alam dan HTI.
Kondisi hidrologis pada hutan alam sebenarnya kurang sesuai (hostile) bagi
makrofauna tanah seperti rayap, yang umumnya menyukai kondisi lembab tetapi tidak
terlalu basah (Cornelius & Osbrink, 2010). Namun, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa rayap tanah dapat hidup pada hutan alam yang masih berupa hutan rawa gambut
dan memiliki kandungan air tidak kurang dari 80%. Rayap mampu hidup pada hutan
alam dengan hidup di dalam tanggul-tanggul pohon sebagai pelindung koloni. Hal ini
menunjukkan bahwa rayap tanah sebenarnya merupakan salah satu kelompok
makrofauna tanah yang mampu beradaptasi dengan kondisi tanah yang relatif basah.
Penelitian Faszly et al. (2005) dan Vaessen et al. (2011) juga menemukan bahwa rayap
tanah mampu hidup pada hutan rawa gambut yang terdapat di Malaysia.
Gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan
kisaran pH 3-5 (Murayama & Bakar, 1996). Tingkat kemasaman gambut (pH) di hutan
alam dan HTI adalah 4,29 dan 4,62. Keduanya tidak berbeda signifikan, tetapi ada
kecenderungan pH gambut pada hutan alam lebih rendah daripada HTI. Jones &
Eggleton (2000) mengungkapkan bahwa rayap tanah merupakan salah satu kelompok
makrofauna tanah yang memiliki kisaran toleransi yang cukup lebar terhadap pH tanah.
Hasil penelitian Vaessen et al. (2011) bahkan menunjukkan bahwa tingkat keasaman
lahan gambut bukanlah faktor penghambat terpenting bagi rayap tanah.
Hasil analisis rasio C/N di hutan alam dan HTI memiliki perbedaan yang
signifikan. Hutan alam memiliki rasio C/N yang rata-rata hanya 21% sedangkan HTI
memiliki rasio C/N yang lebih tinggi, yaitu rata-rata 25%. Kandungan C/N di dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh kelimpahan dan kualitas serasah dari tumbuhan yang ada
di atasnya (Martius et al., 2004). Menurut Noor (2001) rasio C/N yang tinggi
mengindikasikan tingkat dekomposisi yang belum lanjut, semakin tinggi rasio C/N
maka semakin rendah tingkat dekomposisi yang terjadi.
Keanekaragaman rayap tanah
Pada Tabel 2 spesies rayap tanah yang ditemukan pada penelitian ini berjumlah
sembilan spesies. Empat spesies yang ditemukan pada hutan alam juga dapat ditemukan
pada HTI (Indeks Similaritas Sørensen = 61,54%). Spesies rayap yang ditemukan pada
penelitian ini terdiri dari delapan genera dan empat subfamilia yang dikelompokkan
dalam dua familia. Enam spesies dari sembilan spesies rayap yang ditemukan
merupakan spesies rayap dari famili Termitidae yang dikelompokkan dalam dua
subfamilia. Tiga spesies lainnya merupakan spesies rayap dari famili Rhinotermitidae
yang dikelompokkan dalam dua subfamilia.
Famili Termitidae merupakan kelompok rayap pemakan kayu, serasah dan
humus (Tho, 1992). Sebagian besar anggota famili ini bersarang di dalam tanah atau
membuat gundukan (busut) di atas permukaan tanah dan sebagian kecil membuat sarang
arboreal (Eggleton, 2000). Famili Termitidae dalam penelitian ini ditemukan pada 30
6
titik pengamatan (37,5%). Famili ini terdiri dari empat subfamilia, namun dalam
penelitian ini hanya ditemukan dua subfamilia, yaitu Termitinae dan Nasutitermitinae.
Tabel 2. Komposisi spesies rayap tanah di hutan alam dan HTI
No Famili Subfamili Spesies
Jenis
Penggunaan
Lahan
HA HTI
1 Termitidae Termitinae Capritermes semarangi • •
2 Termitidae Termitinae Capritermes mohri • •
3 Termitidae Termitinae Microcerotermes dubius •
4 Termitidae Nasutitermitinae Bulbitermes flavicans •
5 Termitidae Nasutitermitinae Nasutitermes proatripennis •
6 Termitidae Nasutitermitinae Ceylonitermes indicola •
7 Rhinotermitidae Rhinotermitinae Schedorhinotermes malaccensis • •
8 Rhinotermitidae Rhinotermitinae Parrhinotermes aequalis • •
9 Rhinotermitidae Coptotermitinae Coptotermes curvignathus • Keterangan: HA (Hutan Alam), HTI (Hutan Tanaman Industri), • = tanda kehadiran rayap
Famili Rhinotermitidae merupakan rayap pemakan kayu dan mempunyai habitat
subteranean atau di dalam tanah (Eggleton, 2000). Subfamili dari Rhinotermitidae yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah Rhinotermitinae dan Coptotermitinae. Anggota-
anggota famili Rhinotermitidae ditemukan pada 34 titik pengamatan (42,5%). Subfamili
dari Rhinotermitidae yang ditemukan adalah Rhinotermitinae dan Coptotermitinae.
Gambar 1. Struktur rayap tanah berdasarkan tingkat taksonomis
Pada penelitian ini ditemukan delapan spesies rayap tanah (88,9%) pada hutan
alam dan lima spesies (55,6%) pada HTI (Gambar 1). Jumlah spesies rayap tanah yang
ditemukan pada penelitian ini relatif kecil. Hal yang serupa ditemukan oleh Vaessen et
al. (2011), yang juga hanya menemukan 20 spesies rayap pada lahan gambut di
Sarawak, Malaysia. Sementara Donovan et al. (2007) yang melakukan survei pada
lahan tanah mineral di Sabah, Malaysia, dapat menemukan hingga 43 spesies rayap.
Eggleton et al. (1997) bahkan menemukan 64 spesies rayap di lokasi yang berbeda di
Sabah. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa kekayaan spesies rayap tanah di lahan
gambut lebih kecil daripada yang ada di lahan-lahan tanah mineral.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Familia Subfamilia Genera Spesies
Ju
mla
h
Hutan Alam HTI
7
Gambar 2. Struktur rayap tanah berdasarkan makanan
Berdasarkan makanannya, rayap dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu
kelompok rayap pemakan kayu, pemakan tanah, pemakan tanah dan kayu mati,
pemakan serasah dan pemakan mikroepifit (Jones & Bredell, 1998; Eggleton et al.,
1996). Namun dalam penelitian ini hanya dijumpai dua kelompok, yaitu rayap pemakan
kayu dan rayap pemakan tanah. Gambar 2 menunjukkan bahwa kelompok rayap
pemakan kayu lebih dominan ditemukan pada kedua jenis penggunaan lahan. Vaessen
et al. (2011) juga menemukan bahwa rayap pemakan kayu lebih dominan pada kawasan
gambut di Sarawak, Malaysia. Chan et al. (2011) dan Kon et al. (2012) mengungkapkan
bahwa lahan gambut memiliki ketersedian tunggul-tunggul kayu yang cukup tinggi,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok rayap pemakan kayu sebagai sarang.
Penelitian pada lahan mineral di gunung Slamet Jawa juga menemukan bahwa rayap
pemakan tanah lebih sedikit dibandingkan rayap pemakan kayu (Pribadi et al., 2011).
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelompok rayap pemakan tanah sangat sensitif
terhadap perubahan fisik tanah akibat gangguan habitat (Eggleton et al., 2002; Eggleton
et al., 1997; Kagezi et al., 2011). Penelitian Davies (2003) juga mengungkapkan bahwa
pengalihfungsian lahan berdampak negatif terhadap rayap pemakan tanah. Dengan
mempertimbangkan sensitifitas ini, rayap pemakan tanah dapat dijadikan sebagai
indikator perubahan lingkungan yang berkaitan dengan pengalihgunaan lahan (Eggleton
et al., 2002; Kon et al., 2012).
Sebaran spesies dan biomassa rayap tanah
Sebaran spesies rayap tidak tersebar secara merata di masing-masing transek pada
kedua jenis penggunaan lahan yang diamati (Tabel 3). Spesies rayap yang memiliki
sebaran “luas” atau yang dapat ditemukan di hampir semua transek adalah
Schedorhinotermes malaccensis. Spesies rayap ini umumnya ditemukan pada kayu
hidup (pohon) dan kayu mati (Roonwal, 1969). Sedangkan spesies rayap yang memiliki
sebaran “sempit” atau yang hanya ditemukan pada satu transek saja adalah
Microtermes dubius. Rayap ini merupakan rayap pemakan kayu (Jones & Brandell,
1998). Spesies rayap yang memiliki sebaran “luas” maupun sebaran “sempit”
merupakan pemakan kayu namun Schedorhinotermes malaccensis lebih banyak
ditemukan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan karakteristik spesies-spesies anggota
famili Rhinotermitidae yang menurut Eggleton (2000) memiliki kisaran toleransi yang
lebar terhadap tingkat kekeringan maupun kebasahan lingkungan.
0
1
2
3
4
5
6
7
Kayu Tanah
Ju
mla
h S
pesie
s R
ayap
Hutan Alam HTI
8
Tabel 3. Sebaran spesies rayap tanah pada setiap transek di hutan alam dan HTI
Spesies
Jenis Penggunaan Lahan
Hutan Alam HTI
T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4
Capritermes semarangi •
• •
•
Capritermes mohri • • •
•
•
Microcerotermes dubius
•
Bulbitermes flavicans • • •
Nasutitermes proatripennis •
Ceylonitermes indicola • •
•
Schedorhinotermes malaccensis • • •
• • • •
Parrhinotermes aequalis •
•
• • • •
Coptotermes curvignathus •
•
Jumlah Total 7 4 4 3 5 2 3 4
Keterangan: T1 (Transek); • = tanda kehadiran rayap
Sebaran spesies yang tidak tersebar merata dalam penelitian ini mengindikasikan
adanya heterogenitas pada tingkat mikrohabitat (Martius et al., 2004). Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan mikrotopografi, pencahayaan, kelembaban udara,
kelimpahan serasah dan kerapatan tutupan vegetasi bawah (Bignell & Eggleton, 2000).
Menurut Jones & Eggleton (2000) rayap termasuk kelompok makrofauna tanah yang
cukup peka terhadap heterogenitas mikrohabitat.
Gambar 3. Frekuensi kehadiran rayap tanah menurut transek
Meskipun jumlah spesies rayap tanah yang dapat ditemukan pada hutan alam
dan HTI berbeda, secara umum tidak tampak adanya perbedaan frekuensi kehadiran
rayap yang menyolok pada transek-transek yang diperiksa di kedua jenis penggunaan
lahan ini (Gambar 3). Rata-rata frekuensi kehadiran rayap pada hutan alam dan HTI
adalah 45% dan 35%. Pola kehadiran ini diduga dipengaruhi oleh kondisi heterogenitas
habitat pada masing-masing plot yang diperiksa. Cornelius & Osbrink (2010)
menyebutkan bahwa sebaran makanan dan mikrohabitat yang sesuai, misalnya, sangat
mempengaruhi pola kehadiran rayap pada suatu habitat.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 4
Fre
ku
en
si
Keh
ad
iran
(%
) Hutan Alam HTI
9
Gambar 4. Frekuensi kehadiran spesies-spesies rayap tanah pada hutan alam dan HTI (1) Capritermes semarangi; (2) Capritermes mohri; (3) Microcerotermes dubius; (4) Bulbitermes
flavicans; (5) Nasutitermes proatripennis; (6) Ceylonitermes indicola; (7) Schedorhinotermes
malaccensis; (8) Parrhinotermes aequalis; (9) Coptotermes curvignathus
Dari pemeriksaan 40 subplot di hutan alam dan 40 subplot di HTI, secara umum
dapat diketahui bahwa frekuensi kehadiran rayap tanah pada kedua jenis penggunaan
lahan gambut ini sangat tinggi, yaitu 72,5% pada hutan alam dan 87,5% pada HTI.
Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4, diantara spesies rayap yang dijumpai dengan
frekuensi cukup tinggi pada hutan alam adalah Capritermes mohri dan Ceylonitermes
indicola (masing-masing 15,0%), sedangkan pada HTI adalah Schedorhinotermes
malaccensis (30,0%). Capritermes mohri adalah rayap pemakan tanah, sedangkan
Ceylonitermes indicola dan Schedorhinotermes malaccensis adalah rayap pemakan
kayu. Belum diketahui apakah rayap Capritermes yang hidup pada lahan gambut juga
dapat memanfaatkan gambut sebagai makanan, seperti halnya yang hidup pada lahan
mineral memakan tanah. Rayap pemakan kayu dapat memanfaatkan tunggul-tunggul
kayu sebagai sarang sekaligus sumber makanan. Muhammad (data tidak dipublikasikan)
bahkan menjumpai rayap-rayap semacam ini dapat memakan kayu-kayu yang berasal
dari lapisan gambut dalam (>3 m), apabila kayu-kayu ini sudah berada di permukaan.
Biomassa rayap yang ditemukan pada kedua jenis penggunaan lahan tidak
berbeda signifikan. Meskipun demikian, secara visual ditemukan perbedaan yang cukup
menarik. Rayap-rayap yang ditemukan di bawah permukaan gambut pada hutan alam
cenderung berukuran kecil tetapi jumlahnya besar. Sebaliknya rayap-rayap yang
ditemukan pada HTI umumnya memiliki ukuran tubuh lebih besar tetapi jumlahnya
lebih kecil. Perbedaan ukuran dan massa tubuh rayap sangat berkaitan erat dengan
spesies rayap, umur rayap (Grace et. al., 1995), dan kelompok fungsionalnya (Inoue et
al., 2001).
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fre
ku
en
si
Keh
ad
iran
(%
) Hutan Alam HTI
10
Gambar 5. Biomassa rayap tanah menurut transek di hutan alam dan HTI
Secara umum biomassa rayap yang ditemukan berkisar antara 0,05 hingga 1,05
gr/m2 atau rata-rata 0,47 gr/m
2 (Gambar 5). Biomassa rayap yang ditemukan pada
penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan biomassa rayap yang ditemukan
pada lahan tanah mineral. Pribadi et al. (2011), misalnya, menemukan biomassa rayap
yang rata-rata tidak pernah kurang dari 3 gr/m2 di beberapa jenis penggunaan lahan di
lereng gunung di Jawa. Penelitian lain yang dilakukan di Brazil oleh Vasconcellos &
Moura (2010) menemukan bahwa biomassa rayap rata-rata 11 gr/m2. Bahkan Eggleton
et al. (1996) menemukan biomassa rayap rata-rata 24 gr/m2 pada dataran rendah
berhutan yang telah banyak mengalami gangguan di Kamerun. Hal ini menunjukkan
bahwa rayap cenderung lebih melimpah pada lahan tanah mineral dibanding pada lahan
gambut. Perbedaan hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian tersebut kemungkinan
juga dipengaruhi oleh perbedaan cara pengambilan sampel rayap. Meskipun demikian,
kelimpahan rayap pada suatu lahan kemungkinan juga dipengaruhi oleh spesies rayap
tertentu. Rayap Coptotermes curvignathus justru lebih melimpah pada lahan gambut
dibanding pada lahan tanah mineral.
Biomassa rayap dapat memberikan dampak penting secara ekologis. Terkait hal
ini, Sanderson (1996) melaporkan bahwa biomassa rayap dapat mempengaruhi tingkat
emisi karbon ke udara. Penelitian lain oleh Eggleton et al. (1999) mengungkapkan
bahwa kelompok rayap pemakan tanah dan kelompok rayap pemakan tanah dan kayu
cenderung meningkatkan emisi gas metana, selain karbondioksida. Dengan demikian,
tingkat emisi kedua gas rumah kaca ini terkait dengan biomassa kedua kelompok rayap
ini. Semakin besar biomassa kedua kelompok rayap ini, maka semakin besar pula emisi
gas metana dan karbondioksida ke udara.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum tingkat keanekaragaman spesies rayap tanah yang ditemukan pada lahan
gambut, baik yang masih berupa hutan alam maupun yang telah dialihgunakan menjadi
HTI relatif rendah, yaitu delapan spesies pada hutan alam dan lima spesies pada HTI,
atau seluruhnya hanya sembilan spesies. Spesies yang hanya dijumpai pada hutan alam
adalah Microcerotermes dubius, Bulbitermes flavicans, Nasutitermes proatripennis, dan
Ceylonitermes indicola dan spesies rayap yang hanya ditemukan pada HTI adalah
Coptotermes curvignathus, sedangkan yang terdapat pada keduanya adalah Capritermes
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 4
Bio
massa g
r/m
2
Hutan Alam HTI
11
semarangi, Capritermes mohri, Schedorhinotermes malaccensis dan Parrhinotermes
aequalis (Indeks Similaritas Sørensen = 61,54%). Biomassa rayap tanah pada kedua
jenis penggunaan lahan gambut relatif kecil, yaitu hanya 0,53 ± 0,41 gr/m2
pada hutan
alam dan 0,29 ± 0,19 gr/m2
pada HTI, yang diantara keduanya tidak terdapat perbedaan
signifikan.
Berdasarkan pengalaman dan hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, dapat
dikemukakan saran sebagai berikut: Perlu dilakukan penelitian dengan metode yang
sama tetapi dengan jumlah ulangan plot pada hutan alam dan HTI yang lebih banyak,
misalnya 5 atau 6 plot. Penelitian berikutnya juga dapat dilakukan dengan jumlah
ulangan plot yang mewakili hutan alam dan HTI yang sama (empat) atau bahkan
separuhnya (dua), tetapi menggunakan metode pengambilan sampel rayap yang
diusulkan oleh Jones & Eggleton (2000).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Motoko S. Fujita dan Dr. Hiromitsu
Samejima dari CSEAS, Kyoto University, yang telah membantu mencarikan dana
penelitian melalui Global Center of Excellence (GCOE) Program Kyoto University.
Selanjutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada BBKSDA Riau yang telah
memberikan izin penelitian di Suaka Margasatwa Bukit Batu, dan kepada PT. Sinar Mas
Forestry yang telah memberikan izin penelitian di HTI yang dikelola oleh PT. Bukit
Batu Hutani Alam dan PT. Sakato Makmur Permai, serta kepada keluarga Ibu Asnah
yang telah menyediakan akomodasi di lapangan. Penulis juga berterima kasih kepada
Mas Anto dan Ibu Wara asfiya, M.Sc. dari Puslitbang Zoologi (LIPI) di Cibinong yang
telah membantu mencarikan literatur tentang rayap, serta kepada Bapak Prof. Dr. Dodi
Nandika, Ibu Arinana, M.Si, Ibu Esti dan Mas Punto yang telah mengajari dan
membantu penulis dalam proses identifikasi spesies rayap di Laboratorium Anatomi
Fakultas Kehutanan IPB di Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. 1958. Key to the Indomalayan Termites. Biologia 4: 33-198.
Bignell, D.E. & P. Eggleton. 2000. Termites in Ecosystems dalam Abe, T., D.E. Bignell
& M. Higashi. Termites: Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Kluwer
Academic Publishers. Hal 1-23.
Chan, S.P., C.F.J. Bong & W.H. Lau. 2011. Damage Pattern and Nesting Characteristic
of Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in Oil Palm on Peat.
American Journal of Applied Sciences 8 (5): 420-427.
Cornelius, M.L. & W.A. Osbrink. 2011. Effect of Soil Type and Moisture Availability
on the Foraging Behavior of the Formosan Subterranean Termite (Isoptera:
Rhinotermitidae). Journal Of Economic Entomology 103 (3): 799-807.
Jones, D. T., and M.J.D. Brendell. 1998. The Termite (Insect: Isoptera) Fauna of Pasoh
Forest Reserve, Malaysia. The Raffles bulletin of Zoology 46 (1): 79-89.
Davies, R.G., P. Eggleton., D.T. Jones., F.J. Gathorne-Hardy & L.M. Hernandez. 2003.
Evolution of Termite Functional Diversity: Analysis and Synthesis of Local
Ecological and Region Influence on Local Spesies Richness. Journal of
Biogeography 30: 847-877.
12
Donovan, S.E., G.J.K. Griffiths., R. Homathevi & L. Winder. 2007. The Spatial Pattern
of Soil-dwelling Termite in Primary and Logged Forest in Sabah, Malaysia.
Ecological Entomology 32: 1-10.
Eggleton, P., D.E. Bignell., W.A. Sands., N.A. Mawdsley., J.H. Lawton., T.G. Wood &
N.C. Bignell. 1996. The Diversity, Abundance and Biomassa of Termite Under
Differing Levels of Disturbance in the Mbalmayo Forest Reserve, Southern
Cameroon. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B
351 (1335): 51-68.
Eggleton, P., R. Homathevi., D. Jeeva., D.T. Jones., R.G. Davies & M. Maryati. 1997.
The Species Richness and Composition of Termites (Isoptera) in Primary and
Regenerating Lowland Dipterocarp Forest in Sabah, East Malaysia. Ecotropica
3: 119-128.
Eggleton, P. 2000. Global Patterns of Termite Diversity dalam Abe, T., D.E. Bignell &
M. Higashi. Termites: Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Kluwer
Academic Publishers. Hal 1-23.
Eggleton, P., S.E. Donovan & D.E. Biggnel. 2002. Termite Diversity A Cross An
Anthropogenic Disturbance Gradient in Humid Forest Zone of West Africa.
Agroecocistem Environment 90: 189-202.
Faszly R, Idris AB, Sajap AS. 2005. Termite (Insecta: Isoptera) Assemblages from
Sungai Bebar Peat Swamp Forest. Expedition Sungai Bebar, Pekan. Pahang.
Fowler, J., L. Cohen. 1992. Practical statistic for field biology. John Wiley and Son. New
York.
Gunawan, H. 2012. Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forest for the Promotion of
Ecosystem Service and Rural Livelihoods in Giam Siak Kecil- Bukit Batu
Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. PhD Thesis. Graduate School of Asian and
African Area Studies. Kyoto University. Kyoto.
Grace, J.K., R.T. Yamamoto & M. Tamashiro. 1995. Is Termite Body Size Correlated
with Colony Vigor? The International Research Group on Wood Preservation
Section 1 Biology (Fauna), IRG/WP 95-10130.
Inoue, T., Y. Takematsu., F. Hyodo., A. Sugimoto., A. Yamada., C. Klangkaew., N.
Kirtibutr & T. Abe. 2001. The Abundance and Biomassa of Subterranean
Termites (Isoptera) in A Dry Evergreen Forest of Northeast Thailand.
Sociobiology 37 (1): 41-52.
Jones, D.T. & M.J.D. Brendell. 1998. The Termite (Insect: Isopteran) Fauna of Pasoh
Forest Reserve, Malaysia. The Raffles Bulletin of Zoology 46(1): 79-89.
Jones, D.T. & P. Eggleton. 2000. Sampling Termite Assemblages in Tropical Forest:
Testing A Rapid Biodiversity Assemblage Protocol. Journal of Applied Ecology
37 : 191-203.
Kagezi, G.H., M. Kaib., P. Nyeko., C. Bakuneeta., M. Schadler & R. Brandl. 2011.
Decomposition of Tissue Baits and Termite Density Along A Gradient of
Human Land-Use Intensification in Western Kenya. African Journal of Ecology
49: 267-276.
Kon, T-W., C-F. J. Bong, J-H. P. King,& C-T. S. Leong. 2012. Biodiversity of Termite
(Insecta: Isoptera) in Tropical Peat Land Cultivated with Oil Palm. Pakistan
Journal of Biological Sciences 15 (3): 108-120.
13
Krebs, C. 2002. Ecological Methodology Second Edition. Benjamin Cummings.
California.
Las, I.K., Nugroho & A. Hidayat. 2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian 2 (4): 295-298.
Lee, Y. & S. Woo. 2012. Changes in Litter, Decomposition, Nitrogen Mineralization
and Microclimate in Acacia mangium and Acacia auriculiformis Plantation in
Mount Makiling, Philippines. International Journal of Physical Sciences 7 (12):
1976-1985.
Martius, C. 2004. Assessing the Sustainability of Agroforestry Systems in Central
Amazonia Using CART to Model Non-Linear Relationships. Center for
Development Research. San Francisco.
Martius, C., H. Hofer, M.V.B. Garcia, J. Rombke & W. Hanagarth. 2004. Litter Fall,
Litter Stocks and Decomposition Rates in Rainforest and Agroforestry Sites in
Central Amazonia. Nutrient Cycle Agroecosistem 68: 137-154.
Mirmanto, E. 2009. Forest Dynamics of Peat Swamp Forest in Sebangau, Central
Kalimantan. Biodiversitas 10 (4): 187-194.
Mugerwa, S., M. Nyangito., D. Mpairwe & J. Nderitu. 2011. Effect of Biotic and
Abiotic Factors on Composition and Foraging Intensity of Subterranean
Termites. African Journal of Environmental Science and Technology 5(8): 579-
588.
Murayama, S. & Z.A. Bakar. 1996. Decomposition of Tropical Peat Soils. Japan
Agricultural Research Quarterly 30: 145-151.
Pearce, M.J. 1997. Termites: Biology and Pest Management. Centre for Agriculture and
Biosciences International. Cambridge.
Pribadi, T., R. Raffiudin & I.S. Harahap. 2011. Termite Community as Environmental
Bioindicator in Highlands: A Case Study in Eastern Slopes of Mount Slamet,
Central Java. Biodiversitas 12 (3): 235-240.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kasinus. Yogyakarta.
Ritzema, H & H. Wösten 2002. Hydrology of Borneo’s Peat Swamps. STRAPEAT –
Status Report Hydrology. Netherlands.
Roonwall. 1969. Measurement of Termite for Taxonomi Purposes. Journal of the
Zoological Society of India 21(1).
Sabiham, S and Basuki, S. 1989. Studies on Peat in the Coastal Plains of Sumatra and
Borneo Part II: The Clay Mineralogical Composition of Sediments in Coastal
Plains of Jambi and South Kalimantan. Southeast Asian Studies 27 (1).
Sabiham, S. 2010. Properties of Indonesian Peat in Relation to the Chemistry of Carbon
Emission. Prociding of International Workshop on Evaluation and Sustainable
Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Department of
Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture. Bogor. 205-216.
Sabiham, S., S.D. Tarigani., Hariyadi., I.K. Las. 2012. Organic Carbon Storage and
Management Strategies for Reducing Carbon Emission from Peatlands: A Case
Study in Oil Palm Plantations in West and Central Kalimantan, Indonesia.
Pedologist 426-434.
14
Sanderson, M.G. 1996. Biomass of Termite and Their Emissions of Methane and
Carbon Dioxide: A Global Database. Global Biogeochemical Cycles 10 (4):
543-557.
Scherer-Lorenzen, M., J.L. Bonilla & C. Potvin. 2007. Tree Species Richness Affects
Litter Production and Decomposition Rates in A Tropical Biodiversity
Experiment. Oikos 116: 2108-2124.
Syaukani. 2004. A Guide to the Nasus Termites (Nasutitermitinae, Termitidae) of Kerinci
Seblat National Park Sumatra. Nagao Natural Environment Foundation. Tokyo.
Swaboda, L.E. 2004. Environmental Influences on Subterranean Termite Foraging
Behavior and Bait Acceptance. Disertation. Faculty of Virginia Polytechnic
Institute and State University, Blacksburg.
Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Malayan Forest Record 36. Forest
Research Institute Malaysia. Kepong.
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa
Gambut di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2): 149-156.
Uryu, Y., C. Mott., N. Foead., K. Yulianto., A. Budiman., Setibudi., F. Takakai.,
Nursamsu., C.M.B. Hutajulu., J. Jaenicke., R. Hatano., F. Siegert & M. Stuwe.
2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emission
in Riau, Sumatra, Indonesia: One Indonesian Province’s Forest and Peat Soil
Carbon Loss Over A Quarter Century and Its Plans for the Future. WWF
Indonesia Technical Report. Jakarta.
Vaessen, T., C. Verwer., M. Demies., H. Kaliang., and P.J. Meer. 2011. Comparison of
Termite Assemblages Along A Landuse Gradient on Peat Areas in Sarawak,
Malaysia. Journal of Tropical Forest Science 23 (2): 196-203.
Vasconcellos, A. & F.M.S. Moura. 2010. Wood Litter Consumption by Three Species
of Nasutitermes Termites in An Area of the Atlantic Coastal Forest in
Northeastern Brazil. Journal of Insect Science 10 (72).