Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

10
tetap menyentuh hati nurani dan rasa keadilan setiap orang. Siapa pun akan ikut merasa teraniaya bila mengetahui bahwa peradilan atas nama "hukum tf dan tfkeadilan" telah orang yang tidak bersalah. Sebuah lakon yang diduga keras menimpa Lingah, Pacah, dan Sumir. Memang atas dasar pengakuan Asun bahwa dialah yang telah membunuh Pamor [Forum Keadilan,Nomor 12/111: 102], mereka sudah bebas bersyarat sebelum vonis, namun keputusan Peninjauan Kembali (corrections) dan rehabilitasi secara hukum dari Makamah Agung belum turon (Forum Keadilan, Nomor 13/111:94). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Bagaimana mungkin "peradilan yang sesat" dapat terjadi di negara hukum yang berdasar etis pada Pancasila? Kiranya. tidak terdapat jawaban yang sederhana untuk perta- Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana (Refleksi atas kasus Pacah, Lingah, dan Sumir) • Sindung Tjahyadi Dosen Filsafat Hukum Fakultas Filsafat UGM Hukzlm sebagai realitas sosial selalu menjadi perbincangan dari waktu ke waktu dan selalu saja timbul kesan bahwa permasa- lahan hukum selalu berkembang mendahului langkah kemajuan masyarakatnya. Satu contoh, belum lagi Indo- nesia menyiapkan perangkjat hukum yang mampu mengakomodasi sistem perdagangan bebas yang sedang di- perjuangkan melalui APEC, masyara- kat telah disambut dengan kasus adanya ekspor fiktif dan lemahnya pengawasan hukum atas bank-bank nasional, yang bagaimanapun berpen- garuh terhadap tingkatS kepercayaan investor·atas perlindungan hukum atas usaha mereka. Namun selain terdapat masalah yang secara substantif sungguh-sung- guh baru, terdapat pula masalah hukum yang dapat dikatakan "klasik", yakni masalah hukum pidana. Terlepas dari ajaran banyak agama yang menya- takan bahwa selama dunia masih berputar akan selalu terjadi pertarun- gan antara yang baik dan yang jahat, terulangnya "peradilan yang sesat" @jurnal fi/safar Des '94 34

Transcript of Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

Page 1: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

tetap menyentuh hati nurani dan rasakeadilan setiap orang. Siapa pun akanikut merasa teraniaya bila mengetahuibahwa peradilan atas nama "hukum tfdan tfkeadilan" telah menghuku~

orang yang tidak bersalah. Sebuahlakon yang diduga keras menimpaLingah, Pacah, dan Sumir. Memangatas dasar pengakuan Asun bahwadialah yang telah membunuh Pamor[Forum Keadilan,Nomor 12/111: 102],

• mereka sudah bebas bersyarat sebelumvonis, namun keputusan PeninjauanKembali (corrections) dan rehabilitasisecara hukum dari Makamah Agungbelum turon (Forum Keadilan, Nomor13/111:94). Pertanyaan yang kemudianmuncul adalah: Bagaimana mungkin"peradilan yang sesat" dapat terjadi dinegara hukum yang berdasar etis padaPancasila? Kiranya. tidak terdapatjawaban yang sederhana untuk perta-

Keadilan, Kepastian Hukum, danPraktek Peradilan Pidana(Refleksi atas kasus Pacah, Lingah, dan Sumir)

• Sindung TjahyadiDosen Filsafat Hukum Fakultas Filsafat UGM

Hukzlm sebagai realitas sosial selalu menjadi perbincangandari waktu ke waktu dan selalu saja timbul kesan bahwa permasa­lahan hukum selalu berkembang mendahului langkah kemajuanmasyarakatnya.

Satu contoh, belum lagi Indo­nesia menyiapkan perangkjat hukumyang mampu mengakomodasi sistemperdagangan bebas yang sedang di­perjuangkan melalui APEC, masyara­kat telah disambut dengan kasusadanya ekspor fiktif dan lemahnyapengawasan hukum atas bank-banknasional, yang bagaimanapun berpen­garuh terhadap tingkatS kepercayaaninvestor· atas perlindungan hukum atasusaha mereka.

Namun selain terdapat masalahyang secara substantif sungguh-sung­guh baru, terdapat pula masalahhukum yang dapat dikatakan "klasik",yakni masalah hukum pidana. Terlepasdari ajaran banyak agama yang menya­takan bahwa selama dunia masihberputar akan selalu terjadi pertarun­gan antara yang baik dan yang jahat,terulangnya "peradilan yang sesat"

@jurnal fi/safar Des '94 34

Page 2: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

nyaan ini, karena hukum sebagaibagian dari realitas sosial memilikikompleksitasnya sendiri yang menuntuttelaah komprehensif dan proporsionalatas semua unsur-unsurnya. Bercerminpada sejarah, filsafat sebagai "induksegala iImu" justru meneatat lembarhitam pada awal perkembangannyadengan "peradilan yang sesat" atasSokrates oleh masyarakatYunani padawaktu itu. Bagaimanapun, berkaitandengan pemberlakuan sistem hukumpositif, memang-, muneul persoalanklasik yang berhubungan erat denganpenggunaan dan usaha' kekerasan atasseseorang demi terlaksananya hukumpada satu sisi, dan atas moralitas dankeadilan pada sisi lain (Hart, dalam:Edward, 1976,VI:265). Suatu gamba­ran moralitas yang paradoksal, k~enapenegakan "perlindungan atas kekera­san" dengan eara "kekerasan" pula.

Tulisan ini jauh dari pretnsiintuk mengajukan pemeeahan tunggalatas berbagai problem hukum pidanayang kompleks, namun .berangkat daritujuan untuk menyajikan perspektifyang "holistik" atas dasar kasus"skandal hukum" , yakni denganmengambil pendekatan telaah ,filsafathukum yang mempertimbangkan aspeksubjektif, aspek objektif dari faktisitashukum seeara proporsionbal denganorientasi nilai .•,~ pada keseimbanganantara etika hak dan etika kewajiban.Sebelum dibahas aspek subjektif,aspek objektif dan faktisitas hukum,akan diulas unsur-unsur pokok dalamhukum pidana dan peradilan pidana.

Hukum Pidana, Hukum AcaraPidana, dan Peradilan PidanaHukum Pidana adalah peraturanperundangan yang sebagian besartermuat dalam Kitab Undang-undangHukum Pidana dan sebagian yang lainterdapat pada perundang-undangan

@jurna/ fi/safat Des '94

pemerintah pusat maupun pemerintahdaerah. lsi Hukum Pidana padapokoknya memuat: (a) penunjukkandan gambaran dari perbuatan-perbua­tan yang dianeam dengan hukumpidana; (b) penunjukkan syarat-syaratumum yang harns dipenuhi agarperbuatan-perbuatan itu merupakanperbuatan yang pembuatnya dapatdihukum pidana; (e) penunjukkanorang-orang atau badan-badan hukumyang pada umumnya dapat dipidana ,dan (d) penunjukkan maeam hukumanpidana yang dapat dijatuhkan. Adapun

. tata cara pelaksanaan penuntutan,pengambilan putusan hukum olehPengadilan , dan pelaksanaan putusanPengadilan diatur dalam Hukum AcaraPidana (Witjono, 1980: 15). Pendekkata Hukum Pidana menetapkan"bila", kepada "siapa", dan "bagaima­naIf hukuman pidana dapat dijatuhkanoleh Hakim; sedangkan Hukum AcaraPidana mengetur prosedur dan prosesperadilan atas dasar hukum pidana.

Dengan diundangkannyaHukum Pidana dan Hukum AcaraPidana sesungguhnya terdapat duapihak yang kepentingannya dilindungi.Pihak pertama' adalah masyarakat,yakni untuk menghukum pelanggarhukum setimpal dengan kesalahannyaguna ketertiban dan keamanan masya­rakat. Pihak kedua adalah orang yangditunutt, yakni bahwa yang bersangku­tan harns diperlakukan secara adilsedemikian rupa sehingga jangansampai terjadi orang yang tidak bersa­lab mendapat hukuman, ataukalaumemang terbukti bersalah jangansampai yang bersangkutan mendapathukuman yang terlalu berat yang tidakseimbang dengan kesalahan 'yangdibuatnya (ibid: 16). Titik herat HukumPidana pada perlindungan masyarakat,sedangkan titk berat Hukum AcaraPidana pada perlindungan hak tersang-

35

Page 3: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

ka pelalru pelanggaran hukum pidana.Berkaitan dengan prosedur penyidikan,penuntutan, dan peradilan, dalam ilmuhumm dikenal adanya dua sistem,yakni sistem "accusatoir ft (penuduhan)dan sistem ttinquisitoirtt(pemeriksaan)(Ibid: 18). Sistem accusatoir mendu­dukkan tersangka atau pihak yangdidakwa sebagai suatu "subyek"berhadap-hadapan dengan pihakpendakwa (kepolisian atau kejaksaan)sedemikian rupa sehingga kedua belahpihak masing-masing mempunyai hakyang sarna dan Hakim berkedudukandi atas kedua belah pihak yang berper­kara pidana menurut Hukum Pidanayang berlaku. Sedangkan sistem in­quisitoir mendudukkan tersangkasebagai "obyek" yang hams diperiksaatas dasar pendakwaan yang sedikitbanyak telah diyakini kebenarannyaoleh pendakwa atas dasar sumberpengetahuan di laur terdakwa, sehing­ga pemeriksaan atau "hearing" lebihmerupakan upaya untuk mendorongtersangka agar mengakui saja "kesala­hannya".

Sistem yang secara etis sesuaidengan Etika Pancasila adalah sistemaccusatoir. Secara formal juga sudahada upaya dari pemerintah untukmewujudkan sistem tersebut, yaknidengan l;ahirnya Undang-undangNomor: 18 tabun 1981 mengenai KitabUndang-undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) yang secara yuridis meng­gantikan Herzeine Indonesich Regle­ment (HIR). Salah satti. misi utamayang hendak diperjuangkan melaluiKUHAP adalah ditegakkannya prinsippraduga tak bersalah, selain prinsipperadilan bebas, bantuan hukum,perlindungan hak kemerdekaan/kebe­basan, hak atas kehormatan/namabaik, serta hak atas rahasia pribadi(Subekti, 1984:11-13). Dengan katalain, KUHAP adalah produk peraturan

@jurnal filsafat Des'94

perundangan yang sarat dengan tuntu­tan normatif untuk menjunjung tinggihak-hak asasi manusia.

Di samping unsur formal yangberupa peraturan hukum positif, terda­pat unsur lain yang membedakanhukum dengan peraturan normatifsosial lainnya, yakni unsur faktisitas­nya (Suseno,1987:73-74). Yangdimaksud dengan unsur faktisitashumm adalah pelaksanaan secarafaktual norma hukum yang telahdiundangkan secara resmi, hingga bila,suatu misal, terjadi pelanggaran terha­dap norma hukum tersebut, pelanggarakan dihukum sesuai dengan ketentuanyang berlaku. Unsiir- faktisitas inisemakin penting dalam hukum pidanaterutama terkait dengan syarat materialdapat dikenakannya hukuman pidana,yakili peristiwa pidana. Sejak Montes­quieu dalam hukum pidana dikenalasas ullum delictum, nulla poena sinepraevia lege poenali -- suatu peristiwatidak dapat dikenai hukuman selainatas kekuatan peraturan undang­undang pidana yang mendahuluinya(Apeldoorn,1968:265). Norma etisyang diemban oleh asas tersebut adalahperljndungan hak· dan keselamatanpribadi . atas kekuasaan hakim danpembuat hukum.

Dalam rancangan KUHP(bam) penggeseran secara formalorientasi pemidanaan jug dilakukan.Hila pemidanaan sebelumnya lebih,berorientasi pada pencegahan tindakkejahatan dengan daya penakut padaancaman hukuman, maka KUHP(barn) pemidanaan bertujuan untuk: (a)pengayoman masyarakat., (b) pemasya­rakatan, (c) penyelesaian konflik yangtimbul akibat tindak pidana, memulih­kan keseimbangan dan mendatangkanrasa damai dalam masyarakat; (d)membebaskan rasa bersalah padaterpidana; (e) tidak dimaksudkan untuk

36

Page 4: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

menderitakan dan tidak diperkenankanmerendahkan martabat manusia

,(Samosir, 1992:22). Dari perincianlima tujuan pemidanaan, tiga diantara­nya jelas bertujuan terapeutis, yaknimengembalikan kondisi disharmonikepada kondisi harmoni. Adapun duatujuan yang lain. berkaitan .denganperlindungan hak terpidana. Perta­nyaan yang kemudian muncul: Apakahperumusan formal melalui KUHP(baru) dan KUHAP sudah mampumengakomod,asi permasalahan faktualyang dihadapi setiap angg'ota masy,ara­kat terhadap adanya kemungkinan"unfair justice"? Kiranya sulit untukdijawab secara regas, brena sekalipuntelah dilakukan berbagai upaya yangmenguras ten. dan pikiran yangbanyak untuk merumuskan hukumyang ~suai dengan nilai-nilai Pancasi­la, tetap Muneul berbagai masalahyang berkaitan dengan unsur faktisitashukumyang tidak: hanya berhubungandengan rumusan formal hukum namunterkait pula dengan berbagai unsurpenegakan hukum yang lain, yakniIembaga legislatif, lembaga eksekutif,lembaga yudikatif, polisi, pribadi­pribadi pembentuk masyarakat Indine­sia, dan masyarakat Indonesia sebagairealitas ssosial. Berikut akan dibahasketerkaitan antara berbagai unsurpenegakan hukum, dan sejauh manakeadilan dapat diwujudkan dalamkondisi yang demikian.

Substansi, Struktur, dan KulturHukum

Sistem hukum secara sosiolo­gis dapat dipilah dalam tiga komponen,yakni, substansi hukum, strukturrasional hukum, dan kultur hukum(Satjipto,1983:23-29). Substasi hukummerujuk pada. perundang-undanganformal sebagaimana dibuat olehlembaga legislatif. Pada produk hukum

@jurnal filsafat Des '94

positif ini termuat rumusan pembuathukum tentang nilai dan norma terten....tu, dan tentang cara hukum itu dijalan­kane Substansi hukum t5erkait eratdengan "isi" hukum yang mempunyaijangkauan relevansi yang sangat luas.Pada taraf abstrak-ideal suatu "isi"hukum akan mengacu pada relevansinilai yang dapat diwakili oleh"common values", ataupun normaideologis tertentu. Sedangkan padataraf konkrit-faktual suatu "isi" hukumakan mengacu pada relevansi praktis,sebagaimana ditunbjukkan oleh peratu­ran-peraturan lali lintas. Rangkaianperaturan dengan berbagai relevansi­nya inilah yang pada akhirnyamem­bentuk struktur rasional hukum positif,hingga seeara formal dapat ditelusurikonsis'tensi pasal-pasaI KUHAPdenganperundang-undangan dJ atas­nya, atau bahkan sampai pada "sta~ts­

fundamental norm" Pancasila. Dengandemikian struktur rasional menjelaskanpola hubungan logis-yuridis antaraperundang-undangan yang satu denganyang lain dan juga perihal tata carapelaksanaan dan penegakkan "strukturrasional" tersebut. Dengan tolok ukurdua komponen ini kiranya sulit untukmencari "negara modern" yang bukan

, "negara hukum" . Persoalan yangkemudian ,muncul adalah berkaitandengan tuntutan normatif: bahwa duaaspek itu· saja belum memadai, karenastruktur formal hukum yang melin­dungi hak-hak asasi tidak idendkdengan perlindungan hukum jaktualatas hak-hak asasi. Pada titik singgunginilahberperan apa yang disebut 5at­jipto sebagai "kuItur" hukum, sekali-pun masalah hubungan 30tara"formali­tas hukum" dan "keadilan" telahmuneul sejak jaman Aristoteles(Friedman, 1990: 13).

Secara normatif-etishams adil. 5ampai saat

Page 5: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

hukumn modern yang dapat diterima.adalah: (a) kepastian dalam pelaksa­naan hukum; (b) hukum hams adil,dalam arti secara formal berlakuumum dan secara material dituntutsesesuai mungkin dengan cita-citakeadilan dalam masyarakat(Suseno,1987:79-82). Atau dalamrumusan lain, negara hukum memilikitiga substansi. Pertama, hukum seba­gai mekanisme penyelesaian konflikkepentingan setiap warga tanpamemandang relasi mereka dengankekuasaan. Kedua, pembagian kekua­saan atas tiga tipe struktur:eksekutif,Legislatif dan yudikatif. Dan substansiketiga adalah dijaminnya asaskeadilandalam peradilan (Muji Sutrisno,dalam: Forum Keadilan,Nomor: 13/111). Dengan demikian tetapsulit diterima bila kepe~ntingan salahsatu pihak, dalanl hal ini tersangkatindak kejahatan, dikorbankan atasnama "kepentingan umum". Kepentin­gan semua pihak harns terakomodasisecara memadai, baik itu pihak korban

kejahatan, maupun tersangkapelaku kejahatan (dalanl analisa ini"tersangka tt mohan digaris bawahi).Meletakkan tu7ntutan ini sebagai"tuntutan normatif-etis H tentu akanmenimbulkan pertanyaan, yakni:mungkinkah ltkultur hukum" kitamenyediakan kondisi yang kondusifuntuk terwujudnya tuntutan tersebut?Sebelum menjawab pertanyaan terse­but berikut diuylas lebih dahulu secarasingkat tiga tipe Hkultur" hukum.

Nonet dan Selnick memilahadanya tiga tipe hukurn yang masing­masing membentuk ttkultur H yangberbeda, yakni tipe hukurn represif,tipe hukum otonom, dan tipe hukumresponsif (Satjipto, 1983:50-53). Padatiupe hukum represif, tujuan hukumadalh ketertiban atas dasar keamanansoail dan kepentingan negara. Pada

<9jurna/ fi/safat Des '94

tipe hukum represif peraturan dirumus­kan secara detail namun mengikatpembuat keputusan seear longgar sajadan didasarkan atas kebijakan oportu­nistik dengan pengekangan yang lunak.Dari segi moral, tipe ini eenderungbercorak komunal dan paksaan.Sedangkan dari segi politik, hukumberkedudukan lebih rendah dari kekua­tan politik. Pada tipe hukum represifini ketidakpatuhan dianggap sebagaipembangkangan dan kritik sebagaisikap yang tidak loyal. Berbeda dengantipe hukum represif, tipe hukumotonom lebih bertitik berat pacta tujuanuntuk terpenuhinya fungsi Iegitimasidari hukum deng31l' berpijak padaprosedur-prosedur yang jujur. Ciriaturan pacta tipe hukum otonom adalahrumit, terperinci, dan berpegang teguhpada aturan yang telah dibuat. Tipeini cenderung lnembatasi kebijakanhukum sesusai dengan yang secaraformal telah dirumuskan. Moralitastipe hukum otonom adalah moralitasinstitusionaIsebagaimana terpenuhi9leh adanya integritas dari proses­proses hukum faktual yang didukungpula oleh "kemandirian" hukum ataspolitik. Hukum terpisah dari kekua­saan, .sehingga ketidakpatuhan hanyadiartikan sebagai pengujian atas validi­tas undang-undang dan peraturan­peraturan hukum, terlepas dari kontekspolitik. Pada tipe hukum otonom inipartisipasi masyarakat dapat diterimasebatas sesuai dengan tata cara (prose­dur) yang sudah .mapan. Bila pada duatipe hukum yang terdahulu ini ke­cenderungan positivistik masih kuat,pada tipe hukum responsif cenderunglebih kental dengan asumsi-asumsiteori huku~ kodrat modern yangmenjunjung hak: asasi manusia. Padatipe hukum responsif tujuan huykumadalah pemberian wewenang padaorang atau lembaga tertentu yang

38

Page 6: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

didasarkan atas keadilan substantif.Aturan-aturan yang ada kerkedudukanlebih rendah dari prinsip-prinsip dankebijakan (moral). Bila tipe hukumotonom menempatkan ketaatan yangkuat pada pnguasa hukum sebagaipertimbangan, tipe hukum responsiflebih mempertimbangkan kegunaandan perluasan kompetensi kognitif.Ciri lain tipe hukum responsifr adalah:kebijakan hukum bersifat luas namunatas dasar tujuan untuk pencarianaltematif pemecahan masalah secarapositif, misalnya gengan peningkatankesejahteraan, imbalan atau penerapankewajiban yang didukung sistemkognitif yang memadai sebagai .dasar·pembenarannya (misalnya "ideologi tI

tertentu); Moralitas hukum adalahmoralitas sipil, dengan- hukum danpolitik sebagai suatu hal yang integratifdalam arti politik merupakan perpa­duan antara berbagai kekuasaan. Padatipe hukum responsif ini ketidakpatu­han dimaknakan dalam lingkup kejaha­tan substantif, bukan dalam kaitandengan terminologi politik. Partisipasiditerima dalam lingkup integrasi antarapembelaan hukum atas terdakwa danpembelaan sosial atas tindak kejahatan.

Dari tiga -tipe hukum yangdikemu7kakan oleh Nonet dan Selnicksetidak-tidaknya ditemukan adanyaasumsi bahwa: pertama, efektivitasberlakunya struktur rasional hukumsangat bergantiing pada "kultur tI

hukum atau proses-proses sosial yangsecara faktual sungguh terjadi dimasyarakat. Kedua, terdapat duaorientasi pokok sistem hukum, yakni,sistem hukum yang subordinatif terha­dap sistem nilai (dan validitas hukumdiukur atas dasar sistem nilai tersebut),dan sistem hukum yang cenderungsubordinatif pada kekuasaan politik.Orientasi pertama lebih banyak ter­wakili oleh sistem hukum responsif,

@jurnal filsafat Des '94

sedangkan orientasi hukum yang kedualebih cenderung diwakili oleh tipehukum represif dan tipe hukumotonom.

Dalam rangka memahamifaktor-faktor yang secara faktualberpengaruh pada "kultur" ataupunorientasi hukum dalam peradilan,bagan Robert Cooley Angell kiranyadapat membantu (Angell, 1965: 17).Dalam rangka memahami penyimpan­gan maupun pembangkangan yangterjadi dalam proses-proses sosial,Angell memilah adanya dua jaringanyang berpengaruh langsung padaproses sosial. Yang pertama adalahjaringoo moral yang terdiri dari fak­tor-faktor: norma-norma moral,hukum, dan lembaga-lembaga kema­syarakatan. Yang kedua adalah jarin­goo ekologis yang terdiri dari faktor­faktor demograjis dan teknologis.Jaringan moral menjelaskan polahubungan antara struktur sosial danproses sosial dengan nilai-nilai yangumum diterima oleh masyarakat(common values), sedangkan jaringanekologis menggambarkan pola hubun­gan antara struktur dan proses sosialdengan kondisi-kondisi fisis-biotistempat masyarakat itu hidup.

Detigan' demikian suatu prak­tek penyimpangan terhadap prosedurhukum sebagaimana diatur melalui"struktur rasional hukum ft, atau punpeinbangkangan terhadap institusihukum, baik oleh subjek hukummaupun olehunsur-unsur penegakhukum (polisi, jaksa, pembela, panit­era, hakim) dapat ditelusuri penyebab­nya baik pada jaringan moral maupunjaringan ekologis. Dapat terjadi"common values tf sebagaimana terja­bar melalui norma-norma moral,hukum, dan lembaga sosial tidak dapatdiimplementasikan karena faktor-faktordemografis (misalnya, daerah luas

39

Page 7: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

namun penduduknya sedikit danmenyebar) atau pun faktor-faktorteknologis (misalnya terbatasnya alattransportasi dan komunikasi). Namundemikian dapat pula terjadi sebaliknya.Keunggulan faktor-faktor demografisdan teknologis justru melonggarkanikatan dan kepatuhan terhadap norma­norma moral, hukum dan lembaga­lembaga sosiaL Selain dua kemungki­nan tersebut, terdapat kemungkinanlain yang lebih kompleks, yakni bilapenyimpangan prosedur hukum terjadijustru karena adanya ketidakjelasanhubungan· antara faktor-faktor normamoral, hukum, dan institusi sosialyang terdapat dalam jaringan moraLBila terjadi "mal sistem" dalam jarin­gan moralmaka fenomena ini merupa­kan indikasi yang kuat adanya disori­entasi disintegrasi dari masyarakatpendukung "common values tt.

Validitas Hukuman dan ProsesPeradilan

Sistem hukum yang baik,sebagaimana telah dipaparkan dimuka, selain terdiridari strukturrasional-koheren yang mengacu padaberbagai relevansi (baik relevansi nilaimaupun praktis), harus pula didukungoleh unsur-unsur kultural yang menja­min proses peradilan yang jujur. Efek­tivitas hukum sebagai penjaga harmoniproses sosial kemudian banyak bergan­tung bukan pada struktur rasional yangrentan terhadap bahaya formalisme,namun pada unsur-unsur penegakanhukum dalam masyarakat. Dengankata lain, yang lebih berperananmemberi corak pada hukum buykanlahrangkaian hukum positif dan proseduryang dirumuskan secara formal,namun pada proses faktual peradilan,mengingat faktisitas hukum merupakanmuara pertemuan antara relevansinilai, struktur rasional hukum, kepen-

@jurna/ fi/safat Des '94

tingan-kepentingan pribadi tersangka,kepentingan masyarakat, dan kepen­tingan pemerintah. Dalam sistemhukum pidana faktisitas hukum terwu­jud dari proses penyidikan, penahanan,praperadilan, peradilan, dan pelaksa­naan sanksi pidana.

Sekalipun proses peradilansecara faktual merupakan rangkaianrangkaian proses yang panjang, namundalam analisa dapat dipilah antaraaspek subjektif dan aspek objektif.Aspek subjektif adalah aspek yangmelekat pacta pribadi-pribadi yangterlibat dengan proses peradilan yangbanyak terkait dengan: perspektifpribadi;. motivasi-ffiQ!iyasi psikis yangkompleks; dan kecenderungan insting­tif tertentu. Adapun aspek objektifbanyak berhubungan kompleks realitaseksternal yang merujuk pacta: sistemnilai yang hidup di masyarak~t; hukumpositif yang berlaku; faktor-faktoradministratif; struktur birokrasi; ting­kat kemajuan pendidikan nasional;kepentingan-kepentingan politis; fak­tor-faktor ekonomis; faktor lingkun­gan; faktor teknologis, faktor demo­gratis, dan lain sebagainya. Padaproses peradilan semua faktor tersebutsaling .berhubungan secara korelatif.Karena aspek objektif terdiri darifaktor-faktor "independen" -- dalamarti pada tingkat tertentu "tidak ter­pengaruh oleh proses dan hasil peradi­Ian" atau dengan kata lain merupakanfaktor-faktor "buatan" yang tidakmemiliki kemampuan membentuk. danmerubah dirinya --'maka yang mendu­duki peran sentral dalam proses peradi­Ian adalah penegak hukum (juralagencies). Polisi, jaksa, pembela,panitera, dan hakim merupakan unsur­unsur pokok penegakkan hukum.Dapat dikatakan demikian karena

. aktivitas yang mereka lakukan dalamproses peradilan adalah tt aktivitas

40

Page 8: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

hukum tt. Pernyataan seorang Profesorhukum ataupun opini massa yangterwakili oleh media massa tidak akanmenimbulkan konsekuensi-konsekuensilegal, sekalipun apa yang diutarakanmengendung kebenaran logis-yuridis.Lain halnya dengan para penegakhukum, perkataan dan tindakan, merekamempunyai konsekuensi-konsekuensilegal. Dengan demikian, terlepas dari"kebenaran material" yang diuji lewatperadilannya, pernyataan seoranghakim yang berisi putusan pidana atasdiri seseorang memiliki konsekuensihukum dan pelaksanaannya dapatdipaksakan oleh lembaga yang berwe­nang. Masalah yang kemudian munculadalah berkaitan dengan hubungantimbal balik antara "penegak hukum"(orangnya) dengan "aktivitas penegakhukum tf (tindakannya) (Golding, 1975:23). Jawaban atas persoalan tentangunsur apa sajakah yang menjadikan"tindakan penegak hukum" merupakan"tindakan hukum" , sesungguhnyalangsung terkait dengan persoalanklasik tentang dasar-dasar validitashukum dan hubungan antara tanggung­jawabmoral dan tanggungjawab legal.

Secara garis besar validitashukum didasarkan atas tiga kriteria,yakni kriteria behavioristik, kriteriaBehavioral-psikologis, dan kriteriadeontis (Ibid:20-21). Dalam kerangkabehavioristik'l validitas hukum diukuratas dasar kesesuaian antara tingkahlaku aktual dari anggota masyarakatdengan hukum yang mengatur masya­rakat tersebut. Dengan kacamata inisulit untuk dikatakan bahwa sistemhukum tertentu valid bila tingkah lakuanggotanya sungguh-sungguh berbedadengan perbuatan .yang diatur oIehhukum. Jadi dasar kriteria adalahperbuatan yang teramati, bukan motiv­asi-motivasi di balik perbuatan terse­but. Berbeda dengan dengan kriteria

@jurnal filsafat Des '94

validitas yang pertama, kriteria validi­tas hukuum behavioral-psikologisjustru mengaitkan motivasi-motivasiinternal dengan perbuatan-perbuatanyang teramati. Sesuai dengan kriteriaini, hukum dikatakan valid bila hukumbersifat normatif bagi anggotanya dandijadikan penuntun tindakan. Adapunkriteria ketiga, kriteria deontis,mendasarkan validitas hukum padadaya ikat terhdap anggotanya. Terda­pat empat varian dari teori deontis.Varian pertama mendasarkan daya ikatpada unsur paksaan, dan dalam hal iniadanya agen pemaksa merupakansyarat pengandaian. Varian keduamendasarkan daya ikat pada penghar­gaan hukum sebagai "pengikat" olehanggota masyarakatnya. Varianketiga menlandaskan daya ikat padakewajiban-kewajiban yang secaraformal telah dirumuskan oleh lembagalegislatif melalui hukum positif yangtelah dibuatnya. Adapun varian terak­hir mendasarkan daya ikat hukum pactatanggungjawab moral para anggotamasyarakat untuk mematuhihukum.Dari berbagai kriteria yangmembentang dari kriteria behavioristikhingga kriteria deontis dengan berba­gai variannya, dari pendasaran terha­dap etika positivistik sampai denganpendasaran pada etika kewajiban,nampak bahwa terdapat masalah yangrumit berkaitan dengan jenis perbua­tan "legal" dan pertanggungjawabanatas perbuatan tersebut. Kriteria beha­vioristik jelas berkepentingan denganperbuatan lahiriah terlepas dari aspek­aspek internal perbuatan, sehinggamenurut kriteria ini moralitas perbua­tan -- termasuk perbuatan penegakhukum -- merupakan sesuatu di luarkompetensi hukum. Demikian puladengan kriteria behavioral-psikologisdan varian tertentu dari teori deontis,aspek moral tidak mempunyai kaitan

41

Page 9: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

yang jelas dengan penerimaan anggotamasyarakat terhadap sistem hukumyang berlaku. Kriteria yang tidakmenempatkan niulai moral sebagaidfasar norma perbuatan, bagaimanapun akan membuka peluang bagiadanya penindasan hak asasi atas nama"hukum".

Sejak ditandatanganinyaDeklarasi Universal Hak-hak AsasiManusia (1948), praktek penganiayaantelah dilarang, sekalipun pada masalampau dan "masa darurat perang"penganiayaan telah dipergunakan untuk"menguji" kejujuran "saksisaksi yangtidak dipercaya" (Matthew Lippman,dalam:Lubis,~d, 1993:42-56). Apapunteknik penganiayaan tersebut, baikdengan cara klasik (fisik) maupundengan teknik modern (hipnosa-psiko­logis ataupun farmakologis), jelasmerupakan praktek kejahatan yangmerendahkan martabat kemanusiaan.Memang talah ada. upaya untukmenyusun kode etik profesional pihak­pihak yang bergelut dengan prosesperadilan pidana, namun implementa­sinya tidak dapat dijamin karena sangattergantung pada "kultur" (baca: carapraktek yang sudah dianggap sebagai'norma') dan etmoral pribadi" penegakhukum. Validitas hukum dan prosesperadilan sangat tergantung sejauhmana penegak hukum mampu berpe­gang pada pedoman rasional (hukum)dan pedoman moral. Peradilan yangjujur mestinya menolak ft bukti-bukti tt

yang diperoleh atas dasar paksaan dankondisi psikis tertentu (kleptomania,psikopat, keadaan hipnosa), karenakondisi-kondisi tersebut merupakankeadaan di mana tersangka kehilanganpilihan-pilihan tindakan bebasnya,sehingga pada dirinya tidak melekattanggungjawab (Mackie, dalam Hack­er,ed, 1977: 182). Peradilan mestinyatidak boleh kehilangan prinsip pokok-

@jumal fi/safst Des '94

nya sebagai lembaga "verifikasi empi­ris tt yang menguji "actus reus" (tindak'kejahatan') atas dasar fakta bahwa sitersangka dalam kapasitas yangmemenuhi syarat untuk mempertang­gungjawabkan perbuatannya (Mora­wetz, 1980: 202-203). Kondisi-kondisiyang menjadikan seorang tersangkadalam keadaan "tertekan tt dan "kehi­langan kebebasannya", bagaimanapunhams dipertimbangkan sebagai faktorpenentu besarnya tuntutan tanggungja­wah atas perbuatan yang dituduhkan.

Memang tidak perlu dipungkiribahwa sebagai manusia para penegakhukum tidak dapat melepaskan diridari berbagai keterbatasan psikis, baikindividual maupun sosial. Rutinitasdan tipologi manusia yang tidak jauhberbeda (pemabuk, penodong, peram­pok, pencuri, pemerkosa, pembunuh,penipu, dan lain sebagaimya) yangsetiap kali harus diurus, akan mudahmenjebak polisi dan jaksa, misalnya,uDtuk bersikap apriori terhadap orangyang disidik untuk dibuatkan BeritaAcara Pemeriksaan (BAP)-nya (Coffey& Eldefonso, 1975:64). Belum lagiadanya anggapan dari polisi terhadapdiri mereka sendiri sebagai pembersihttsampah masyarakat tt yang terikatpada subkultur, norma, dan nilai yangberbeda dari masyarakatnya (Culbert­son, 1984: 58). Badan advokasi seba­gai pihak pembela, kehadirannyaselalu dipandang antagonis oleh jaksadan hakim, jauh melebihi pertentanganwajar yang meskinya ada dalamhubungan antar mereka (Lev, 1990:145). Sementara kemandirian badankehakiman --karena ttbeban sejarahoriatt -- merupakan persoalan sendiriyang sulit diatasi (Ibid: 396-411). Jadisecara kultural, sosiologis, dan psikispara penegak hukum memiliki hamba­tan dan keterbatasan masing-masing.

42

Page 10: Keadilan, Kepastian Hukum, dan Praktek Peradilan Pidana

Penutup dan Kesimpulan

Peristiwa "Paeah, Lingah, danSumir tt merupakan cermin keeil daripermasalahan besar hukum di Indone­sia. Jaringan masalah muneul hampirpada semua aspek proses sosial. PadaJaringan moral tersulam masalahpokok berkaitan dengan konsistensi"dan koherensi antara nilai-nilai moral,hukum dan institusi pendukungnya;sedangkan pada jaringan ekologissistem hukum Indonesia dihadapkanpada pluralitas .budaya dan beberapaaspek demografis yang kurang men­guntungkan, yang belum terkejar olehteknologi yang kita miliki. Jumlahtenaga dan laboratorium kriminal,misalnya, masih belum sebandingdengan ekstensitas dan intensitastindale pidana. Belum lagi kondisisosio-kultural sebagian masyarakatIndonesia masih belum siap menga­dopsi. konsep ttnegara hukum" dengansegala perangkat dan konsekuensinya.Kematian Wastam akibat "peradilanmassa" yang curiga atas kekayaanyang diperolehnya dengan jalan"Nyupang'\ merupakan bukti bahwapembangunan hukum tidak dapat berja­Ian sendiri (Forum Keadilan,Nomor: 15/111:54-55).

Sekalipun penjelasan sosiolo­gis, kultural maupun psikologismenempatkan "penyimpangan hukum"sebagai suatu hal yang "alami", namunhukum hams tetap dipandang sebagaisebuah sistem hak dan kewajiban dimana keputusan-keputusan yangdiambil haroslah didasarkan pada nilai­nilai moral atau pun prinsip-prinsipkeadilan, bukan pada kebijakan opor­tunistik dengan tendensi utilitarianistik.Terlepas dari apakah termaktub dalamkonstitusi atau pun tidak, orang tetaptidak: boleh dihukum atas kejahatanyang tidak dilakukannya (Held,1989: 115). Argumen yang dipakaisebagai landasan dalam putusan hukumadalah argumen deontis, bukan argu­men teleologis maupun utilitarianistik:.-Martabatmanusia hanya dapat diwu-

-t!#iumalfiJsafat Des '94

judkan dengan tetap menjunjung tinggihak asasi, bukan dengan memenangkankepentil1,gan pra~atis. Saius Populi,suprema lex Esto.

***DAFTAR PUSTAKA

Angell~ Robert Cooley, 1965, Free Society and- MoralCrisis, The University of Michigan Press,Toronto

'Apeldoorn, L<J> <van., 1968, Pengantar IlmuHukum, Pradnya Paramita,Jakarta

Coffey, Alan' R., and Eldefonso, Edward, 1975,Process and Impact of Justice, GlencoePress, California

Culpertson, Robert G., 1984, Order Under Law,Reading in Criminal Justice, WavelandPress, Illionis

Edward, Paul, ed., 1973, Encyclopedia of Philoso­phy, volume VI, The Macmillan Company& The Free Press, New York

Forum Keadilan, Nomor: 12,13,15/ill, 1994Friedmann, W., 1990, Teori dan Filsafat· Hukum,

Hukum dan masalah-masalah kontempor-er, susunan II, Rajawali Press, Jakarta

Hacker,P.M.S.,and Raz, l,ed.,1977, Law Society,and Morality, Essays inllonor of HLAHart, Clerendon Press, Oxford

Held, Virginia, 1989, Etika Moral, Pembenarantindakan sosial, PT Erlangga, Jakarta

Lev, Daniel S., 1990, Hukum dan Politik di Indone-sia,Kesinambungan dan Perubahan,LP3ES, Jakarta

Lubis, T. Mulya, 1993, Hak-hak Asasi Manusiadalam Masyarakat Dunia,Yayasan OOOrIndonesia, Jakarta

Morawetz, Thomas, 1980, The Philosophy of Law,An Introduction, Macmillan Publishing &Co., New York

Samosir, Djisman,1992, Fungsi Pidana Penjaradalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,Bina Cipta Bandung

Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum,Suatu tinjauan Sosiologis, Penerbit SInar

. Barn BandungSubekti, 1984, Perlindungan Hak: Asasi· Manusia

dalam KUHAP, Pradnya Paramita, Jakar­ta.

Suseno, Franz Magnis, 1981, Etika Politik, Prinsip­prinsip Kenegaraan modem, PT GramediaJakarta

Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum. Acara Pidanadi Indonesia, Penerbitan Sumur Bandung,Bandung, cetakan ke X.

43