Katajiwa Edisi 6: Renjana

40

description

Manusia adalah makhluk yang berkelindan di antara begitu banyak pilihan. Hal ini membuat manusia dituntut untuk menjalankan hidup yang patah-patah. Tidak selalu mulus. Pilihan-pilihan itu bagaikan halte tempat berhenti untuk kemudian memutuskan melanjutkan ke halte berikutnya. Untuk inilah ada agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Namun, tentu saja perjalanan bukanlah melulu bicara pemberhentian, bukan pula hanya bicara tujuan. Pemandangan di kiri-kanan, percakapan dengan penumpang lain, suasana rasa tiap saatnya adalah bagian perjalanan itu juga. Untuk inilah lahir sejarah, tempat mengenang dan menjumput kata saat berbincang. Untuk inilah hadir seni, sarana merayakan detak perjalanan jiwa, dalam cinta atau pun luka.

Transcript of Katajiwa Edisi 6: Renjana

Page 1: Katajiwa Edisi 6: Renjana
Page 2: Katajiwa Edisi 6: Renjana
Page 3: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Manusia adalah makhluk yang berkelindan di

antara begitu banyak pilihan. Hal ini membuat

manusia dituntut untuk menjalankan hidup yang

patah-patah. Tidak selalu mulus. Pilihan-pilihan itu

bagaikan halte tempat berhenti untuk

kemudian memutuskan melanjutkan ke halte

berikutnya. Untuk inilah ada agama, filsafat, dan

ilmu pengetahuan.

Namun, tentu saja perjalanan

bukanlah melulu bicara pemberhentian,

bukan pula hanya bicara tujuan. Pemandangan di kiri-kanan, percakapan dengan penumpang

lain, suasana rasa tiap saatnya adalah bagian perjalanan itu juga. Untuk inilah lahir sejarah, tempat mengenang dan menjumput kata saat

berbincang. Untuk inilah hadir seni, sarana merayakan detak perjalanan jiwa,

dalam cinta atau pun luka.

Koordinator Komunitas: Muhammad AkhyarPemimpin Redaksi: Johan Rio PamungkasEditor: Johan Rio Pamungkas, Fina Febriani, Nila Rahma, Tery Marlita Penata Letak: Vita Wahyu Hidayat, Dian KusumawardhaniIlustrator Kulit Muka: Dian KusumawardhaniPemasaran: Alfi Syahriyani, Danu Ardi Kuncoro

Tahun II, no.6/2012, September 2012

adalah salah satu produk dari

Komunitas Langit Sastraemail: [email protected]: @langitsastra majalah-katajiwa.tumblr.com

C A T A T A N K E B U D A Y A A NPindah RumahMuhammad Akhyar

P U I S INila Rahma7 Hari

Hasrul Eka Putra Dari Mata Sebuah Jendela Ketapang yang Kehilangan Sejak Kekasihnya Memintanya Menjadi Kemarau

Indra Eka Widya JayaPertemuanMerampas PrajnaparamithaMaya

Indra ElSesak

O P I N IApa Pesannya?Mulyadi Syamsuri

C E R I T A P E N D E KAngka Tercecer KisahTaufik Akbar

BisnisAlra Ramadhan

Panggilan AcakFina Febriani

K R I T I KDimensi Keislaman dalam Kumpulan Puisi Modern Tertua di IndonesiaIbnu Wahyudi

R E S E N S ISebentuk Cinta dari AnakJohan Rio Pamungkasi

P A N T A UMelihat Kembali Jejak Raden SalehJohan Rio Pamungkas

H E R V O I C EChoiceAlfi Syahriyani

B I D I K IndependenceHindun Wilda Risni

2

5

789

101213

14

15

18

23

26

30

31

34

36

21

Page 4: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Catatan Kebudayaan

2 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Masa lalu itu ada sejauh seberapa kuat ingatan memakunya. Salah satu paku

terbaiknya bernama rumah. Kalimat-kalimat ini mendapatkan bukti sahihnya pada uwak perempuan saya setelah suaminya meninggal dunia.

Cerita ini harus dimulai ketika saya harus kembali ke kampung tempat uwak saya itu tinggal di pesisir Timur Sumatera sana. Baru dua hari saya pulang dari rumah uwak di kampung sana, saya harus kembali lagi. Tentu dengan perasaan yang berbeda. Sangat ber-beda. Sebelumnya saya datang ke sana dengan perasaan suka cita karena akan berkumpul dengan keluarga besar. Bercengkrama ini-itu tentang kisah perantauan beberapa tahun be-lakangan. Dan kini saya harus datang ke sini dalam nuansa hitam pekat, duka luar biasa.

Saya masih ingat uwak laki-laki saya itu. Dua hari sebelumnya ia masih bisa mene-bang pohon kelapa muda di depan rumahnya. Pohon muda itu ditebang untuk kemudian diambil umbutnya. Umbut adalah batang

Pindah Rumah  

Muhammad Akhyar

Page 5: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Catatan Kebudayaan

3Tahun II, no. 6/2012, September 2012

muda dari kelapa yang letaknya di pucuk ke-lapa. Bentuknya mirip dengan rebung bambu, tetapi dengan rasa lebih manis. Oh saudara, gulai umbut itu nikmatnya tiada tara. Masih terasa di lidah saya sampai sekarang. Kala itu saya masih ingat ujarannya sambil menepuk pohon kelapa yang masih dua meter tinggi-nya, di samping pohon kelapa yang sudah ia buat rebah, “nah, yang ini kita tebang untuk hari raya tahun depan.”

Kini, ketika saya sampai ke rumah ini, ia telah terbujur kaku. Tak akan ada lagi tangan yang menepuk batang kelapa dan berjanji merubuhkannya di hari raya tahun depan. Ia kini malah yang telah rubuh. Di rumah itu kini yang tersisa hanyalah istrinya. Semua anaknya sudah berkeluarga dan ting-gal jauh dari rumah itu.

Tentu saja, anak yang berbudi tidak akan membiarkan bunda kandung mereka tinggal sendirian, tertatih di rumah tersebut. Anak yang berbudi pastilah akan meminta ibunda mereka tinggal bersama mereka. Paling tidak mereka akan bersepakat untuk bergantian merawat ibu mereka yang me-mang sudah sepuh itu.

Akan tetapi apa hendak dikata, niat baik tak selamanya disambut manis saudara. Uwak saya itu tak pernah mau mengikuti ajakan anak-anaknya. Ia tak pernah bisa meninggalkan rumah itu. Ah, inilah rumah tempat ingatannya tentang suaminya tercinta berkelindan.

Dari kisah ini saya baru mafhum mengapa orang-orang dulu membuat pro-sesi pindah rumah itu begitu sulit dan rumit

untuk tidak dikatakan mustahil dieksekusi. Bayangkan saja frase pindah rumah bukan-lah metafora semacam licentia puitica, tetapi benar-benar dihadirkan di dunia nyata. Pin-dah rumah bukanlah bermakna seseorang pindah dari satu rumah ke rumah yang lain, tetapi benar-benar satu rumah dipindahkan ke lokasi yang baru. Pemindahannya bisa dengan mengangkat satu rumah utuh secara beramai-ramai, bisa pula dibongkar terlebih dahulu kemudian dipasang kembali di tempat yang lain. Benar-benar mencengangkan.

Satu hal yang bisa kita tarik: proses pindah rumah adalah perkara pelik karena memang manusia adalah makhluk yang tidak dirancang untuk berpindah-pindah. Pindah bagi manusia adalah perkara yang tak mudah. Pindah selalu akan menerbitkan gundah. Hukum kelembaman Newton sungguh pasti berlaku di sini, tidak bisa tidak.

Kebiasaan-kebiasaan dalam hidup mungkin juga seperti itu, seperti rumah. Kita menganggapnya adalah hal yang layak untuk dijalani begitu saja. Ia kita jalani karena itu membuat kita nyaman, karena memang seperti itu adanya. Ia kita jalani karena itu adalah rumah kita, tempat bernaung, tempat menanam ingatan, dan nanti kita akan me-nuai kisah darinya. Ia kita jalani tanpa ada pretensi untuk menghilangkan kemisteri-usannya.

Namun, belakangan ketika ajaran-ajaran agama, filsafat, psikologi popular, mulai menggerogoti, kita mulai diancam untuk le-bih memaknai hidup. Hidup tak boleh hanya mengalir begitu saja. Hidup tak boleh

Page 6: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Catatan Kebudayaan

4 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

menjadi biasa-biasa saja. Hidup tak boleh di situ-situ saja. Harus ada kemajuan. Harus ada pindah rumah. Oh, tidak. Hidup rasanya menjadi berat. Karena hal-hal baru tadi menawarkan yang belum ada sebelumnya: janji kebenaran.

Hanya saja, ketika kehidupan telah mengantarkan kita kepada alat-alat untuk mencapai kebenaran tadi, alih-alih ketenangan, kecemasan yang makin mendera-dera kemanusiaan kita. Betapa banyak hal yang disampaikan oleh janji-janji sebenarnya menyimpan simulacrum pertanyaan yang tak ada habisnya. Pada akhirnya hidup yang awal-nya tenang menjadi gaduh oleh banyaknya tanya yang menusuk-nusuk dinding kepala.

Lihatlah kabar yang mengatakan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Bagaimana pula kita membuktikan ini benar-benar ada. Bahkan hidup ini sendiri pun jika kita pertanyakan belum tentu benar keberadaannya. Bisa saja ini hanyalah mimpi semalam yang berada di otak seseorang. Ke-mudian ketika orang itu terbangun, kita dan orang-orang kita kenal akan hilang begitu saja, seiring kerjap matanya. Tak usah jauh, jika masih saja kita ingin benar-benar berta-nya, bagaimana kita yakin bahwa orang yang kita anggap orang tua selama ini benar-benar adalah orang tua kita. Adakah di antara kita yang tega, menyatakan begini “duhai ayah

bunda, aku tak bisa begitu saja percaya pada ucapan kalian yang mengatakan bahwa aku adalah anak kandung kalian, ayolah kita buk-tikan itu dengan tes DNA.”

Ah, di sela-sela himpitan itulah kita hidup. Berpikir untuk mempertanyakan ada-kah ini benar adanya dan di sisi seberangnya keinginan menjalani apa yang harus dijalani, menganggapnya adalah hal yang pasti ada, hal yang semestinya dilakoni. Di dua dinding ini-lah kita sehari-hari terpental-pental. Betapa tidak nyamannya hidup, kita dipaksa untuk pindah rumah terus-menerus.

Tentu saja kita tidak bisa membiarkan sepanjang usia kita terombang-ambing seperti ini. Kita perlu satu momen untuk melepaskan tarikan-tarikan tadi. Kita perlu merayakan hidup. Ya merayakan yang di sini. Merayakan yang belum pasti. Merayakan yang mungkin.

Dengan merayakan kita bisa pergi se-bentar dari rumah kita, tak perlu pindah me-mang. Tak usah khawatir dengan pergi kita akan kehilangan cinta, karena sejatinya kisah cinta yang mengerikan bukanlah yang pergi tetapi yang di sini, yang tetap, tetapi ketika kita tatap kita tak mengenalnya lagi. Ketika perayaan usai kita bisa pulang ke rumah kita. Karena pada akhirnya tidak ada rumah yang membosankan. Itu sebabnya pulang kampung adalah kala yang selalu dinanti.

Page 7: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

5

 

Aku selalu meminum air yang sejak lama kau suapkan padaku

air itu tak pernah habis sebab kau selalu berjaga

berjaga untuk selalu mengisi ulang wadah itu saat hampir habis

Tak pernah sekali pun kau terlambat mengisinya.

Kau selalu mengisinya dengan hati-hati

dan aku berpikir, bagaimana kau bisa sehati-hati itu menuangnya?

tak ada yang pernah tertumpah, sepercik pun.

Jika dihitung, 7 hari adalah jangka waktu airku habis

Tepat di hari keenam kau selalu datang untuk menuang

Aku bisa minum hari ini dan setidaknya 7 hari lagi

Itupun jika cuaca normal.

Dulu,

kau selalu mengirim pesan pendek dengan bilang,

“Mbak, apakah air galonnya sudah mau diantar?”

“Ya, bisa. Antarkan saja ke rumah.”

Berkali-kali demikian.

Aku tak sangka kau menghafal jangka waktunya, 7 hari.

Dengan hafalnya jangka waktu demikian,

tanpa diminta pun kau akan datang membawa air

tanpa ada pesan pendek lagi

dan tentunya tanpa balasan dariku.

Nila Rahma

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

7 Hari

Page 8: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

6 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Itulah mengapa aku tak pernah menyimpan nomormu.

Sekilas membaca pesan pendek darimu, kujawab, hapus.

Selesai. Aku tak pernah menyimpan nomormu.

Kali ini cuacanya tidak normal

sedang begitu terik-teriknya

Biasanya, di hari keenam setelah kau datang menuang, kau akan datang lagi

tapi sekarang aku butuh kau lebih cepat

Aku tak menyimpan nomormu

Semua pesan pendekmu soal pemesanan air itu sudah kuhapus

Tidak ada rekaman di panggilan masuk ataupun keluar karena memang kita tidak pernah

berteleponan.

Ini sudah larut malam

Tak ada toko yang masih membuka layanan

Gas komporku habis

Aku tak mungkin memaksa untuk menaruh panci

di atas kompor tak bernyawa ini.

Terpaksa kali ini aku meminum air kran

karena kau tak datang.

Depok, 26 Mei 2012

Page 9: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

7

jendela ini telah kehilangan separuh pembicaraan dan ucapan selamat tidur

dari kekasihnya, si burung merpati yang belang putih.

ia telah berubah jadi bingkai hitam

yang berisi temaram hujan dan bulan yang terombang-ambing di kota.

ia selalu mendengar sapaan suara dari jam wekernya

yang suka bermain biola dan punya radio di halaman belakang.

halaman tempat bendera menyapa lentik udara yang baru tiba dari atlantik.

bendera strip yang penuh bintang gemintang.

setiap kali pembicaraan usai. jendela itu selalu memanggilmanggil bendera.

“apa yang dilakukan oleh kakikaki itu? melangkah, serius,

dan tidak pernah mengajak bicara aku dan temantemanku.” keluh jendela.

“ya, disini waktu adalah uang. dan kita cuma kunangkunang.” jawab si bendera.

dari balik mata sebuah jendela.

Jersey, 200712

 

Hasrul Eka Putra

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Dari Mata Sebuah Jendela

Page 10: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

8 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

kita hanyalah ketapang yang luruh oleh musimmusim tak berperasaan

daundaun yang saling melepas, saling mengikhlas

tanah kering dan langit yang keras kepala

rantingranting yang kehilangan rasa memiliki

angin yang terlalu rumit, yang terlalu ingin menjadi sebatang pohon ketapang.

kita lalu kalah oleh akar kita sendiri

akar yang kita tanam beberapa kemarau lalu

ia kini berubah pohon ketapang,

yang menggigil, saat musim panas kehilangan dirimu. lalu aku.

2012

Ketapang yang KehilanganHasrul Eka Putra

Page 11: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

9

sejak kekasihnya memintanya menjadi kemarau

ia memilih jadi langit agustus yang begitu pendiam.

ia irit bercerita. hanya berkata satu dua

agar segala berhenti menanyakan kabar dan perihal dirinya.

ia telah memutuskan untuk pulang lebih cepat dari senja

dari apapun yang terbang di langit agustus.

seolaholah, horizon hanyalah lapisan ozon kosong,

yang membuat dirinya terlalu kecil untuk menampung

kekasihnya dalam botol plastik pemberian ibu

saat ia berumur sepuluh, di saat yang sama ketika

ia belajar tentang matematika sederhana:

bahwa semua angka dibagi nol menjadi tiada berhingga

sejak itu pula, ia belajar mencintai angkaangka

sebab dengan begitu, ia bisa menghitung segala benda

ya, segala benda, termasuk rasa sakit yang tumbuh di lengannya

sejak kekasihnya memintanya menjadi kemarau

ia juga belajar tentang matematika sederhana:

bahwa semua dibagi hatinya yang kosong adalah sesak tak berhingga.

ia memilih menjadi kemarau yang sengau

setiap pagi ia bangun, sarapan, dan pergi

ia irit bercerita. hanya bernyayi dua tiga

agar ia bisa merasakan hujan deras di balik tirai hatinya yang kelelahan.

2012

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Sejak Kekasihnya Memintanya Menjadi Kemarau

Hasrul Eka Putra

Page 12: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

10 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Kisah apa yang kau ceritakan kali ini

Apakah sama

Kita itu sama

Mengumbar janji sebebasnya

Seperti itik diantara perdu ilalang

Di padang

Kita akan sama kali ini

Seberapabanyak yang kau keluarkan, aku tak akan kalah

Aku tak akan mati dalam chandradimukha

Aku tak akan musnah sayang

Aku akan bergelut pada mu itu

Hingga phallusku bergesek dengan phallus mu

Hingga keringatku menghapus dengan keringatmu

Kepal akan bertemu tinju

Sayang

Dengan mesra sampai desah terakhir

PertemuanIndra Eka Widya Jaya  

Page 13: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

11Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Aku tak akan pernah menyesal

Ketika aku mulai berniat untuk menebahmu

Hingga bonggol dan akarmu tercabut

Walau kau tahu, nyatanya aku tak bertangan kuat

selayaknya kau

Dengarlah

Semangatku tak pernah menggelinjang sampai kini

Lawanlah aku

Tj.Priok 2012

Menjelang Pilkada

Page 14: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

12 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Perampok Pembunuh PemerkosaPenodong Hingga Anak tiriku Selesai mem Buka pintu Aku masihBisa men Nuliskan Ini aaa Aaaaa Aaaaa Aaaa Aaaa Aaaa Aaa Aaa Aa Aa a

Indra Eka Widya Jaya

Merampas PrajnaparamithaAku

PerampokPemerkosaPenodongPembunuh

Bajingan

Namun aku tak pernah membunuhKupu-kupu dan bunga

Pulung kerajaan itu ada dan tepatDibalik badong mu!

Kuteteskan darah,Si pembuat keris

Dan suamimu yang merampas muSampai aku tidak disebut

PararatonPupuh Pratama

Page 15: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

13Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Merampas PrajnaparamithaAku masih melihatmu dan menelusup kedalam mimpi yang sama

Ketika kau menunjukkan geligimu yang tersemat dibalik lambe merah

Kau selalu menginterupsi setiap langkah ya

Langkah bodoh ini

Aku ingin sekali menghisap wangi keringatmu

Dari ujung tudungmu itu

Kau tahu aku menahan setiap cipratan testosteron

Dalam tahun tahun ini

Hingga mengecil

Ingin sekali ku kecup dan melumat setiap langkah

Yang kutulis bersamamu

Dan setiap pandangan yang mengarah ke bawah lehermu

Kurantai dengan paksa

Namun persetan

Tak peduli Tuhan

Seribu tahun pun

Aku tetap sama

Tj. Priok 2012

Di balik bantal

Indra Eka Widya Jaya

Maya

Page 16: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Puisi

14 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

ketika arus datangawas kepala mu terbanglabrak tumbang bukan kepalangmerekah kau terjanghingga nadi - nadi pun tegangtak jua dan tak ada memangtak tau kau butuh gagangmakin kau pegangmeradangmarahdan tangan mu melayangpecahdan nafas pun hilanglelahkau tak pulangnaik turun mata mu jelanglepasberharap semua hilanglepasbiarkan dia terbanglepasdan kau tenang

SesakIndra El  

Page 17: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Opini

 

Mata adalah jendela jiwa, begitulah pesan yang pernah saya baca dalam sebuah tulisan. Orang yang sedang berbahagia,

bersedih, atau menyimpan amarah, memiliki ekspresi matanya masing-masing. Bahkan perilaku jujur atau bohongnya seseorang konon dapat dibaca dan dideteksi dari pergerakan matanya. Mata bisa jadi adalah salah satu media penyampai pesan yang meski implisit dan subtil namun teramat jujur karena sulit dimanipulasi –dan oleh karena itu tidak selayaknya diabaikan begitu saja dari perhatian kita. Terkait hal tersebut, ada sebuah iklan provider telepon seluler “3” yang menarik, yakni iklan 3 Always On (versi cewek) Iklan ini memiliki total durasi 60 detik. Namun, dari 60 detik itu, ada potongan gambar berdurasi 3 detik yang menarik perhatian saya melebihi potongan gambar dari 57 detik sisanya. Saya selalu menunggu iklan itu diputar di televisi. Dan tiap kali iklan itu diputar, saya selalu menanti potongan gambar berdurasi

Mulyadi Syamsuri

Apa Pesannya?

15Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Page 18: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Opini

3 detik itu –sampai akhirnya saya mengunduh sendiri iklan tersebut sehingga tidak perlu lagi berlama-lama menonton televisi.

 Dalam potongan gambar yang muncul pada detik 55 hingga 57 itu, tampak wajah seorang manusia. Kita dapat melihat keseluruhan wajahnya mulai dari rambutnya, dahinya, alisnya, matanya, hidungnya, pipinya kecuali mulutnya yang agak tertutup oleh tangannya.  Apa yang paling menarik perhatian saya adalah mata manusia itu. Honestly, itu adalah sebuah mata yang sangat cantik. Bentuknya pipih sedang memanjang (namun tidak terlalu pipih) dengan sorot mata yang hitam dan tajam. Pada potongan gambar detik 55’6, pandangan matanya tampak ke samping. Pada detik 55’8 hingga 56’1, ia memejamkan matanya (sepertinya ketika memejamkan matanya inilah, ia memindahkan arah pandangannya dari samping ke tengah). Pada detik 56’2 ia mulai membuka matanya perlahan dengan arah pandangan menuju ke tengah (Tidak! Jika anda perhatikan dengan lebih seksama, arah pandangan itu tidak menuju ke tengah, tapi ke arah mata anda para pemirsa !) disertai dengan tarikan halus garis wajah ke atas pada pipi dan bibirnya yang membentuk bulan sabit.

Pada potongan gambar detik 56’2 ini, gambar mata yang tampak seperti mata seseorang yang baru saja bangun tidur atau mata seseorang yang baru saja kembali terbuka setelah mengalami pengembaraan yang dalam ketika terpejam. Pada detik 56’3 kelopak matanya terbuka semakin lebar,

lebih lebar dari gambar 56’2 –sayangnya saya tidak dapat melihat ke dalam pupil matanya: apakah ikut membesar atau tidak. Dalam tayangan cepat, potongan gambar 56’2 dan 56’3 berganti sangat cepat dan menghasilkan kesan seseorang yang tiba-tiba saja secara mengagetkan membuka matanya setelah dipejamkan—. Pada potongan gambar detik 56’4 hingga 56’9, ia tampak menarik nafas semakin dalam (terlihat dari hidungnya yang semakin ia benamkan dan senyumnya yang tidak lagi kelihatan) sedangkan matanya semakin lama semakin tajam menatap kita, seakan-akan mata itu hendak mengatakan: “Hei kamu, lihatlah aku !” Potongan gambar detik 57’0 hingga 57’9 –koreksi jika pengamatan saya salah—menampilkan gambar yang sama dengan potongan gambar detik 56’9 namun dengan angle kamera yang bergerak dan berpindah secara halus menangkap gambar wajah.      

Hanya inilah yang dapat saya deskripsikan dan ceritakan pada Anda. Saya mencoba mengurai sebuah pesan berdurasi sekitar 3 detik yang ditampilkan lewat sepasang mata (didukung dengan properti wajah yang lain tentunya) dengan cara mengurai elemen-elemen pesan menjadi potongan-potongan gambar. Namun cara ini, mengacu Roland Barthes, adalah cara yang berisiko karena rentan terhadap pereduksian makna pesan yang hendak disampaikan. Contohnya seperti ini: Saya melihat mobil BMW dalam mimpi saya kemudian saya menceritakan mimpi saya ini kepada seorang

16 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Page 19: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Opini

17Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

teman. Saya tidak menyebutkan bahwa saya melihat ‘mobil BMW’ secara langsung kepadanya, namun memecah tiap bagian dari ‘mobil BMW’ menjadi bagian-bagian. Saya katakan pada teman saya ini bahwa saya melihat ‘sebuah benda bermesin’, ‘memiliki empat roda’, ‘memiliki setir di dalamnya’ dan ‘merupakan kendaraan yang diimpor dari luar negeri’. Teman saya ini kemudian menggabungkan setiap deskripsi yang tadi telah saya sebutkan dengan rinci itu kemudian ia konstruksikan menjadi sebuah gambaran imajiner sebuah kendaraan yang memiliki nama: mobil Mercedez-Benz. Lihatlah, saya telah mendeskripsikan kendaraan yang saya lihat dalam mimpi secara benar lewat informasi yang saya dekonstruksi (potong-potong jadi beberapa bagian) dan teman saya juga telah mengkonstruksikan kembali potongan-potongan informasi itu

menjadi satu kendaraan yang utuh kembali. Namun, gambaran yang kami hasilkan ternyata berbeda.

Cara yang saya lakukan ini bisa jadi –dan sangat mungkin terjadi—tidak mampu menyampaikan pesan secara utuh dan lengkap. Kesan yang saya tangkap dari potongan gambar berdurasi 3 detik itu pada akhirnya tidak mampu saya jabarkan, saya jelaskan kepada Anda lewat tulisan. Anda harus melihat, memperhatikan, dan menangkap kesan itu sendiri. Semoga kesan yang kelak kita hasilkan nanti akan sama: bahwa sepasang mata pada potongan gambar berdurasi 3 detik itu bukanlah sepasang mata polos dan hampa yang tanpa sengaja tertangkap oleh kamera. Sepasang mata itu hendak menyampaikan sebuah pesan.     

 Tapi, apa pesannya ?

Page 20: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

 

Taufik Akbar

Angka Tercecer KisahHari ketiga puluh satu, minggu ke empat, luna kelima1, Pukul 11.11 WIB.

Di hadapan saya terpancang sepucuk nisan. Nisan yang masih basah oleh kesedihan yang dihasilkan kelenjar air mata. Dalam ingatan yang tak pernah benar-benar ada,

beberapa hari yang lalu segalanya tumpah ruah: wajah muram, bunga kembang rupa, doa-doa sendu, sendal-sendal yang penuh lumpur lalu orang-orang mulai senyap, pergi berlahan meningalkan tapak-tapak. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah. Entah apa yang sedang dikerjakan tumbuh ringkih itu di bawah sana. Adakah ia mendengar, adakah yang ingin ia katakan, adakah ia menyerah, adakah ia marah pada saya sebelum saya pergi jua dari sini.

Betapa hari sebelumnya Dayang meminta saya untuk pulang, ia katakan ayah sedang bersiap melunasi umurnya, sakitnya kian parah dan seluruh keluarga sudah berkumpul bersiap mengikhlaskannya. Saya diam tak berkomentar banyak, dayang memohon-mohon

1 Hari tanpa tembakau sedunia

18 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Page 21: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

19Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

meminta saya pulang. Saya bergeming hingga ia katakan bahwa ayah ingin berjumpa. Nama saya selalu disebut-sebut.

71 % keluarga di Indonesia memiliki 1 orang anggota keluarga yang perokok2

Sewaktu kecil, saya selalu mengulang-ngulang pertanyaan yang sama,

“Yah, mengapa senang mengisap benda aneh itu dan mengeluarkan asap dari mulut?”

Ia pun akan menjawab dengan pertanyaan yang selalu sama,

“Mengisap benda ini membuat ayah merasa tenang dan bisa berpikir lebih baik.”

Tiap subuh ia akan duduk di teras rumah menyerumput secangkir kopi sambil menyalakan benda aneh itu, mengisapnya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya pelan-pelan.

2 Majalah Tempo edisi 28 mei -3 juni 2012

Wajahnya menggambarkan nikmat yang tiada dua. Bisanya ibu akan datang setelah pekerjaannya di dapur selesai dan mereka mengobrol entah tentang apa.

Pun sehabis makan malam, menonton televisi, selesai beribadah, saat buang air besar, sehabis mandi, benda beberapa sentimeter itu yang selalu bersamanya. Selalu. Tak ada pengecualian.

66 % perokok pasif di Indonesia adalah kaum hawa.3

Ibu saya seorang ibu rumah tangga, mengurus keperluan anaknya mengurus keperluan suaminya. Perhatiannya bak embun di tengah gersangnya gurun sahara, tatapan matanya riuh rendah dendang paling indah, ucapannya ibarat madu yang paling manis. Begitulah saya memandang ibu. Seorang hawa yang sangat saya cintai tiada banding di dunia. Sampai-sampai

3 ibid

ketika saya menikah nanti istri saya harus seperti ibu, minimal mendekati ibu.

Saat kenaikan kelas 6 SD adalah pembuktian pada Ibu bahwa rangking satu adalah hadiah yang ingin saya beri. Namun saat itu ibu dirawat di rumah sakit. Pingsan setelah muntah darah. Esok harinya ibu tiada. Kehilangan paling besar dan membekas paling dalam.

Tak ada yang pernah bercerita mengapa ibu bisa tiba-tiba meninggal. Ayah hanya bungkam saat saya tanya,

“Ayah, ibu sakit apa?”Satu tahun berselang.

Tanpa meminta pendapat saya, ayah menikah lagi dan lahirlah Dayang. Saya menjadi pendiam. Saya menjadi pemarah. Merasa kerdil tak dianggap, tak mengerti, apakah ayah begitu cepat melupakan ibu. Saya berteriak di depannya bahwa Ibu tak akan bisa digantikan. Saya bertekad tak akan mengajaknya bercakap-cakap lagi. Berbicara hanya

Page 22: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

seperlunya saja antara kata iya dan diksi tidak.

Kelas 1 SMA saya tahu ibu menderita kanker paru-paru dan ia menyembunyikannya dari saya.

Satu orang meregang jiwa setiap 5,8 detik karena rokok.4

Ayah, di depan nisan ini aku ingin mengatakan bahwa aku menyerah. Akhirnya aku datang juga setelah berhari-hari didera rasa tak nyaman. Aku tahu tatapan mata orang-orang ketika aku ke sini: Anak durjana, anak durhaka, anak tak tahu adat. Tapi sayang sekali mereka tak benar-benar mengerti bagaimana perasaanku saat engkau merenggut ibu dariku dengan

4 ibid

kebiasaanmu itu.Aku marah ayah.

Terlampau marah untuk meminta pertanggungjawaban darimu. Di benakku hanya ada kesangsian apakah engkau mencintai aku dan ibu. Apakah orang yang mencintai begitu tega merengkuh jiwa yang dicintainya. Apakah orang yang mencintai tak sedikitpun mau mengubah kebiasaan durjananya dengan benda jahanam itu.

Ayah aku tak pernah mengerti bagaimana perasaanmu dan mengapa tak kau tak pernah menceritakan perasaanmu? Sungguh, apakah aku sekerdil itu.

Ayah, sebelum aku pergi sebaiknya kita

berdamai saja. Ku pikir tak perlu mengungkit kemarahan yang lalu-lalu. Kita lunasi sampai disini. Kaupun kini boleh mengisap benda itu di bawah sana. Aku tak akan menggangu. Aku punya kehidupan yang harus kujalani kini. Terima kasih telah melahirkanku dan memberikan contah ayah yang takkan kutiru.

Dan sebagai penghormatan terakhir, kupersembahkan sebungkus rokok keluaran terbaru rasa kopi kesukaanmu. Semoga kau menyukainya.

20 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Page 23: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

21Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Sungguh aku membenci hal ini: kelas...

Dalam kelas lah kita dipisah, dipilah, mungkin juga disendirikan. Seperti aku kini, ada dalam sebuah

kelas yang menyendirikanku. Tak ada obrolan berarti. Apalagi kemerdekaan untuk tertawa. Juga kebebasan untuk sekedar meluruskan kaki dengan nyaman.

Yang ada di hadapan mataku adalah kursi kulit—entah kulit macan, entah kulit badak, entah cicak—yang di dalamnya terdapat busa, atau gabus, atau bulu-bulu kapuk yang tiada pernah dijemur di terik matahari. Keras...

Dan kebebasanku kembali berkurang satu lagi: kebebasan untuk dapat menyandarkan punggungku dengan nyaman.

Di sebelahku adalah seorang tua. Sejak aku datang, orang itu mempergunakan jatah tempatku duduk untuk meletakkan kakinya, bukti bahwa ia tak juga nyaman dengan tempat duduknya bukan? Orang itu terpaksa ku bangunkan. Bagaimana pun itu tempat dudukku, dalam tiketku: gerbong dua, nomor 13 D. Ia terbangun dengan polos, sungguh, seperti tatapan kosong pada cicak yang

Alra Ramadhan

mati. Ia memandangiku sesaat. Matanya sayu, setidaknya itu yang terlihat dibalik kacamatanya. Detik selanjutnya dipindahkannya kakinya itu dari kulit-kulit berkapuk keras menuju lantai.

Aku duduk...Saat inilah

ketakbebasanku mulai muncul. Saat aku menyadari bahwa kakiku tiada dapat dengan bebas berselonjor. Dan punggungku, ah.. tak bertemu dengan kulit berkapuk empuk. Aku tak lagi merdeka, aku terbatasi. Dan dalam keterbatasan ini aku tak nyaman. Sungguh. Bila saja tak karena keperluan mendesak, tak ku duduki bangku ini. Bukankah manusia selalu membatasi?

Ah...Harusnya lah aku

 

Bisnis

Page 24: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

berbahagia dengan ini: ketika aku ada pada gerbong yang tak hendak aku kehendaki. Ketika aku ada dalam ketidakmerdekaanku. Ketika aku sadar bahwa aku dalam keterbatasan, dan ada yang lebih tak terbatas. Ketika semua itu berkumpul, lalu menjadi kelas, dan lantas semakin membatasi. Harusnya aku bersuka cita dengan hal ini.

“Ah, tidak...” batinku.Aku benar-benar

terkurung. Jarak mataku dengan kursi di depanku tak lebih dari satu meter. Dan ketika aku melihat sekeliling, benar-benar tak ada yang menarik perhatianku. Ya, tentu saja, aku tak bisa bahagia dengan itu. Aku tak bisa terus terkurung dan terpasung dalam hidup dan pemikiran rasio.

Tapi, mereka di sekelilingku bahagia. Mereka tertidur lelap dalam kekangan. Mereka mendengkur keras dengan tangan bersedeku, kaki menumpang kursi depannya, juga dengan posisi yang tak seberapa nyaman: bahasa resminya adalah

keterbatasan.Mereka mungkin tak

sadar bahwa sesungguhnya mereka terkurung. Ah, bagaimana mungkin? Atau mereka merasa harga kursi ini—kau tentu tahu kawan, perbandingan harga kursi kereta bisnis dengan ekonomi—lebih mahal daripada kelas di bawah, sehingga mereka dapat tidur nyenyak. Mereka menerima segala kungkungan.

Atau mungkin mereka tahu mereka terkurung? Mungkin mereka tahu bahwa mereka terbatas. Lantas mereka memaksakan bahagia ada pada mereka, dalam diri mereka, dan di sekitar mereka. Mereka menganggapnya lumrah dan telah sesuai. Entahlah. Manusia memang lebih sering menerima tanpa mempertanyakan.

Tapi aku rasa opsi kedua tadi patutlah jadi pertimbanganku. Aku tetap harus berbahagia, bersyukur, meski dalam keterbatasanku. Aku harus bangga bahwa aku ada dalam kelas yang tak nyaman ini. Aku yang terbatas dalam

perbandingan baik buruk, benar salah. Kita memerlukan itu. Aku mesti menyadarinya. Aku harus menyadari, dalam arti sebenarnya, bahwa kemerdekaan itu ada dalam keterbatasan.

“Ya,” batinku. “Aku harus demikian..”

Tapi bagaimana mungkin? Di kelas ini, di gerbong kehidupan ini, sejauh mataku aku lesatkan ke depan, yang aku lihat adalah belakang. Pentolan kerudung, botak bapak-bapak, atau ujung rambut ibu-ibu. Perhatikanlah susunan tempat duduk kereta ini, bukankah ketika setiap manusia menghadap ke depan dan ber-shaf, yang terlihat adalah belakang. Kita perlu melepasnya. Membebaskan. Dan tiada lagi membatasinya dengan rasio.

Karena inilah yang aku benci dari kelas: batas...

Malang, 30 Mei 2012

22 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Page 25: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

23Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Panggilan AcakFina Febriani

Ujung Nusa, 21 Mei 2012, pukul 23.00

Tulilit… tulilit…Kulirik ponselku.

Private number. Hanya ada satu kemungkinan.

Panggilan itu datang!Ya Tuhan, apa aku

bermimpi?Tidak ada waktu

menjawab pertanyaan itu. Tombol hijau di hadapanku harus segera kutekan, jika tak ingin ini benar-benar menjadi mimpi.

“Halo…” sapaku.“Halo…” Ah. Aku

tersenyum sendiri.“Apa kabar?” tanyaku.

Standar sekali.“Baik. Bagaimana

studimu?” tanyamu lagi. Itu lagi.

“Kenapa selalu tanya itu?” kataku sambil tertawa.

“Karena tidak tahu harus bicarakan apa lagi.” ujarmu polos. Tawaku terhenti seketika.

“Fin…”“Ya?”“Berceritalah…” kau

meminta dengan tulus. “Tentang apapun.”

“Aa… hmm...”Aaaaah, mengapa

begini? Kurutuki diriku sendiri.

Bukankah telah kusiapkan berjuta cerita untuk kubagi denganmu? Mana kisah tentang angin yang membawa cita-citaku terbang tinggi? Mana keluhan tentang dingin yang meremukkan tulang-tulang jemari? Mana dongeng tentang daun, hujan, petir, debu?

“Hmm, cerita apa ya?”

 

Page 26: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Cerpen

Ugh, jawaban yang memalukan! Seketika saja aku begitu membenci diriku.

“Hidupku datar saja. Tak ada yang menarik.”

Astaga! Mengapa itu yang keluar?

Fiiiin! Tak adakah yang lebih bodoh dari itu?

Kau diam. Hening pun mengambil alih.

“Kau saja yang cerita.” kataku menetralisasi penyesalan. “Kau punya cerita apa?”

“Ah ya, jadi di sini…” mengalirlah cerita itu dari mulutmu. Kudengarkan saksama. Kata demi kata.

Benarkah ini nyata? tanyaku pada malam.

Kuraba hatiku. Hangat.

Malam sebelumnya, pukul 23.10

Kulirik jam di dinding. Resah. Sudah lewat sepuluh menit. Mengapa masih hening?

Sungguh, aku menunggu sebuah suara.

Tulilit… tulilit…Ah, itu dia!Kuraih ponselku cepat.

Dina.Eh, kok Dina? tanyaku

dalam hati. Kecewa.“Halo?”“Halo.”“Belum tidur, Fin?”“Belum. Ada apa?”

tanyaku tak bersemangat.“Aku mau tanya soal…”Panjang kalimat Dina.

Uuuh, sudah dong. Jika tidak segera kututup, panggilan itu akan…

“Oke. Terimakasih, Fin.”“Sama-sama.”Klik. Aku menghela

napas. Semoga masih ada kesempatan.

Kuletakkan ponselku. Menunggu. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit. Sepi. Akhirnya, kuputuskan berbaring. Dengan nelangsa dan sejuta tanya. Ini malam ketiga. Ke mana dia?

***

Seberang Nusa, 5 Mei 2012, pukul 23.00

Tut… tit… tut… tit… tut…

Kurapatkan ponselku ke telinga. Menunggu jawaban.

Tuuut… tuuut… tuuut…

“Hmm, halo?”“Halo.”“Ini siapa ya?”“Seorang teman.”“Teman?”“Ah, tepatnya seseorang

yang ingin menjadi teman Anda.”

“Aduh, serius dong. Ini siapa?”

“Teman.”“Akh!”Tut… tut… tut…Sambungan terputus.

Malam berikutnya, pukul 23.00

Tut… tit… tut… tit… tut…

Kurapatkan ponselku ke telinga. Menunggu jawaban. Dari orang yang berbeda.

Tuuut… tuuut… tuuut…

“Hello?”“Halo.”“Who is this?”“A friend.”“Hah?”Tut… tut… tut…Lagi. Terputus. Lebih

cepat dari sebelumnya.

Malam berikutnya, pukul 23.00

Tut… tit… tut… tit…

24 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Page 27: Katajiwa Edisi 6: Renjana

25Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

tut…Kurapatkan ponselku ke

telinga. Menunggu jawaban. Dari orang yang berbeda.

Tuuut… tuuut… tuuut…

“Halo, selamat malam.”“Selamat malam.”“Ya? Dengan siapa?”“Seorang teman.”“Teman?”“Ya. Aku ingin menjadi

temanmu.”“Oh, baiklah.”Aku terdiam sejenak.

Terhenyak oleh tanggapan yang berbeda dari biasanya.

“Boleh tahu namamu?” tanyaku memberanikan diri.

“Fin.”“Hmm. Maaf

mengganggumu, Fin.”“Oh, tak masalah. Ada

yang ingin kau sampaikan?”“Aku… hanya ingin

berbincang.” kataku bingung.“Hmm. Baiklah. Tentang

apa?”“Ah ya, tentang…”Sambungan berlanjut.

Malam berikutnya, pukul 23.00

Tut… tit… tut… tit… tut…

Kurapatkan ponselku ke

telinga. Menunggu jawaban. Kali ini, dari orang yang sama.

Tuuut… tuuut… tuuut…

“Halo, selamat malam.”“Hai, Fin.”“Oh, hai.”“Apa kabarmu hari ini?”“Baik sekali. Bagaimana

denganmu?”“Aku…”Sambungan berlanjut.

***

Ujung Nusa, 21 Mei 2012, pukul 23.30

“Fin…” ia memanggil lagi. Tepatnya, mengingatkanku bahwa ia masih di seberang sana.

“Ya?”“Terimakasih telah mau

mendengarkanku selama ini.”“Tak perlu begitu.

Bukankah kita teman?” kataku sambil tersenyum. Senyum yang mustahil dilihatnya.

“Sesungguhnya ini sulit, tapi aku harus mengatakannya.”

“Katakanlah…” ujarku.“Ini akan menjadi

perbincangan kita yang terakhir.”

Dahiku seketika mengernyit.

“Mengapa?”“Sebab aku…”Tut… tut… tut…Sambungan terputus.“Hei! Tunggu! Aaa…”Kalimatku terhenti.

Larut oleh hening yang mematikan.

Malam berikutnya, pukul 23.45

Benar. Aku tidak sadar. Entah sejak kapan dan entah karena apa, perbincangan acak itu begitu kunikmati.

Kulirik ponselku untuk kesekian kali malam ini. Masih sepi. Dan mungkin, akan terus sepi.

Rumah, 5 Juli 2012

Cerpen

Page 28: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Kritik

26 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Agak mengherankan bahwa kumpulan puisi tertua dalam khazanah sastra

modern di Indonesia menyuratkan nada ke-islaman. Dikatakan demikian sebab prosa ter-tua di Indonesia, Tjerita Nyai Dasima, yang ditulis dan diterbitkan sendiri oleh G. Francis pada tahun 1896, cukup terasa nada ketidakislamannya. Simak saja nama yang menyiratkan sisi negatif dalam novel itu, misalnya pembunuh bayaran yang meng-habisi nyawa Dasima, bernama Bang Puase. Juga Wak Salihun, yang haji, mempraktikkan tatacara yang dalam konteks Islam harus di-hindari, yaitu mengguna-gunai Dasima.

Namun kumpulan puisi pertama di Indo-nesia ini, Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen yang terbit tahun 1857 dan ditulis oleh SaOrang jang Bangsjawan, kental dengan nuansa keislaman. Bait pertama dari 80 syair

Dimensi Keislaman dalam Kumpulan Puisi Modern Tertua di Indonesia

Ibnu Wahyudi

 

Page 29: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Kritik

27Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

yang ada, dimulai dengan //Bismillah itoe moela dikata/ Rahman dan rahim kedoewa-nja serta/ Mengarang sair soewatoe tjeritta/ Dengen pitoeloeng Toehan kitta//.

Karya bernuansa Islam seperti ini akhirnya menjadi sesuatu yang langka pada masa awal pertumbuhan sastra modern Indonesia itu, yaitu pada pertengahan sampai akhir abad XIX. Yang lebih mendominasi adalah karya-karya—khususnya syair—yang ditulis oleh peranakan Cina atau orang Indo-Eropa, yang cenderung menulis hal-hal biasa dan netral saja atau mengisahkan cerita yang berkaitan dengan relasi pribumi dan nonpribumi, khu-susnya yang berhubungan dengan masalah pernyaian.

Kecenderungan tematik yang sarat dengan ajaran moral atau keislaman secara khusus, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ham-pir-hampir tidak lagi kental. Kenyataan ini menarik dan menimbulkan tanda tanya. Apa gerangan yang terjadi? Jangan-jangan, tema seperti ini masih ditulis dan banyak, namun terwadahi dalam karya-karya yang ditulis dengan huruf Jawi sebagai naskah atau sebagi kirografik. Demikian pula dengan identitas pengarangnya, yang agaknya pribumi atau sekurang-kurangnya bukan keturunan Cina atau Indo-Eropa—merupakan pula sesuatu yang istimewa sebab pengarang pribumi pertama yang selama ini luas dikenal adalah R.M. Tirto Adhisoerjo dengan karya-karya-nya yang terbit pada awal abad XX.

DidaktisSyair yang terhimpun dalam buku ini lebih

tepat disebut sebagai “syair didaktis” atau boleh juga masuk kelompok “syair agama”. Dikatakan demikian, mengingat bahwa tema yang ada di dalam kumpulan syair ini berisi ajaran atau arahan moralitas yang bertolak dari keharusan bagi berbagai pihak. Sebagai misal, di dalam kumpulan ini tersurat keha-rusan bagi seorang anak untuk berbakti dan menurut kepada orangtuanya, petunjuk kepa-da para murid untuk selalu menghormati dan menghargai gurunya, anjuran kepada para bangsawan dan hartawan agar tidak takabur dan tinggi hati, awas-awas kepada siapa saja untuk menghindari berjudi, main perempuan, berdusta, berhutang sana-sini, boros, serta melakukan kebiasaan kawin-cerai. Dapat di-jumpai di dalam bait-bait syair ini, pada akhirnya, suatu ajakan untuk menghindari semua perbuatan buruk dan tercela ini dengan cara selalu memohon petunjuk Sang Pencipta agar selamat di dunia dan akhirat nanti.

Apa-apa yang dipesankan melalui syair tersebut merupakan hal-hal yang sangat sehari-hari, manusiawi, dan bukan sesuatu yang luar biasa. Berkenaan dengan tema yang sedemikian ini, maka jelas bahwa syair dalam buku ini berbeda dengan syair-syair sebelum-nya yang biasanya ditulis dengan huruf Jawi dan cenderung berisi hal-hal yang bersing-gungan dengan mitos, sejarah, serta melukis-kan dunia antah-berantah. Kenyataan ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa kum-pulan syair ini telah berhasil keluar dari kon-vensi penulisan sastra lama, baik dari sisi tema maupun stilistikanya. Oleh sebab itu, tidak

Page 30: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Kritik

28 Tahun II, no. 6/2012, September 2012

ada kesangsian lagi di sini untuk menyatakan bahwa buku kumpulan puisi yang berupa syair ini adalah khazanah sastra modern atau lebih tepatnya disebut sebagai pemula khazanah sastra modern di Indonesia.

Secara tematik, keseluruhan bait syair ini dapat dipilah ke dalam beberapa topik utama, yaitu topik yang berkaitan de-ngan ajakan untuk berbuat kebajikan dalam hidup keseharian, topik yang ber-hubungan dengan sikap yang selayaknya ditunjuk-kan oleh murid terhadap gurunya atau topik yang berhubungan dengan du-nia pendidikan, dan topik yang berhubungan dengan persoalan spiritualitas atau religiusitas.

Ajakan untuk Berbuat Kebajikan

Bait-bait yang di dalamnya mengandung aspek moralitas, dalam arti memberi ajaran moral kehidupan yang selayaknya dipahami dan sedapat mungkin diikuti oleh pembaca-sasaran, intinya menegaskan akan bahayanya enam kebiasaan buruk manusia. Keenam perilaku negatif yang harus dijauhi atau dihindari ini, karena

terbukti berakibat buruk untuk diri sendiri di dalam pergaulan dan di masa depan, adalah mengonsumsi candu, bermain judi, suka ber-bohong, suka berhutang, suka melancong tak berketentuan, dan punya kebiasaan kawin-cerai. Kesemua tabiat atau pola hidup ma-nusia yang harus dijauhi ini terekspresikan

dalam bait-bait berikut ini.

Bait-bait ini secara cukup terang menge-mukakan perihal sisi buruk dari tabiat manu-

Pertama madat kedoewa maenSentiijasa lakoenja soedalah aënAhirnja itoe mentjoerie kaenModalnja abis tiijada laenKatiga orang soeka berdoestaApa lah segala ampoenja kataTerboleh pertjaija semata-mataKetieganja itoe bersama serta

Kaämpat soeka beroetang oetanganYang tiijada kira dengen itoenganKelima orang soeka pelantjong nganLawan nja itoe bersama timbangan.Kaanemnja orang serieng bebinieSabentar bertjerë sabentar bebiniePikier moe tratetep kesana kesinieSoesah dipertjaija orang beginie

Page 31: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Kritik

29Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

sia, tapi kesemuanya itu baru berupa penge-tahuan atau hal-hal yang perlu diindahkan, sementara alasan yang mendasari kenegatifan kebiasaan-kebiasaan tersebut belum secara langsung disebutkan. Dasar argumen yang menyebabkan keenam perilaku itu buruk, baru disebutkan pada bait-bait selanjutnya, seperti bahwa orang akan berpenyakitan jika suka menghisap madat, atau orang akan semakin miskin jika perilaku berhutang sudah menjadi kebiasaan.

Dipraktikkan atau munculnya perilaku buruk seperti telah ditunjukkan, tentu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Hal itu bisa sebagai akibat pergaulan yang tidak baik, bisa karena ketidaktahuan akan bahaya keenam faktor negatif tadi karena lingkungan yang tidak sehat, bisa pula diakibatkan oleh faktor pendidikan. Dengan penjelasan lain, perilaku atau tabiat seperti itu barangkali bukan sesuatu yang disengaja atau “dicita-citakan”, melainkan akibat tingkat pendidikan yang rendah atau akibat dari tidak adanya atmosfir didaktis yang mengitarinya. Secara tersurat, bair-bait syair ini menyatakan bahwa aspek pendidikan itu sangat penting dan memegang peran utama dalam pembentukan kepribadian manusia.

Keislaman sebagai Landasan SpiritualitasSelama ini, karya-karya sastra yang terbit

pada awal keberadaan sastra Indonesia

modern, lazimnya ditulis oleh peranakan Cina atau Indo-Eropa, yang (hampir semuanya) tidak beragama Islam. Beberapa di antara mereka malahan memperlihatkan nada merendahkan Islam. Hampir tiadanya karya sastra di masa itu yang menyiratkan atau juga menyuratkan keislaman, sesungguhnya dapat dipahami.

Mereka yang berkiprah dalam penulisan biasanya adalah orang-orang non-Islam yang umumnya berpendidikan Eropa atau berseko-lah secara formal dalam format sekolah mo-dern, bukan di pesantren. Berdasarkan realitas itu maka cukup mengherankan ketika mem-baca buku syair ini, dan lebih-lebih sebagai karya yang sementara ini disebut sebagai yang pertama dalam peta sastra Indonesia modern, ternyata sarat dengan nada keislaman atau ungkapan-ungkapan yang khas Islam.

Bukti mengenai hal ini terlihat pada bait-bait syairnya. Bukan hanya dengan semata-mata menyebut “Allah” misalnya, melainkan juga karena berhubungan dengan hal-hal dogmatis yang operasional-keseharian sifat-nya. Sebagai contoh saja, perhatikan bait syair ini: //Sabda rasoel penghoeloe kitta/ Goeroe itoepoen toean kitta/ Goeroe itoe tamsil pellitta/ Manerangken hattie ijang gelap goelitta//.

Page 32: Katajiwa Edisi 6: Renjana

30

Resensi

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Ibu dan Bapak

atau Papa dan Mama atau

apapun sebutan kita untuk mereka adalah orang pertama yang melihat kita di dunia. Orang yang utama kita berikan bakti serta cinta yang kita miliki. Buku ini adalah sebentuk bakti dan cinta dari seorang anak untuk kedua orang tuanya.

Buku bertajuk Surat Cinta untuk Ayah Bunda buah karya Muhammad Akhyar ini merupakan usaha untuk memberikan sebuah cinta walau hanya dalam sebentuk surat atau tulisan. 14 tulisan di sini seakan mengajarkan pembaca tanpa menggurui bagaimana berdialog dengan orang tua dan bagaimana orang tua menghadapi anak. Rasa cinta antara anak dan orang tua yang

menjadi inti cerita tentu saja ada dalam cerita-cerita di dalamnya.

Entahkah cerita-cerita dalam buku ini adalah benar terjadi, semi-fiksi atau fiksi murni tapi Akhyar dengan buku ini mampu membawa pembaca (minimal saya pribadi) ke dalam tempat dan waktu di tulisannya. Contohnya dalam “Risalah Pahlawan” Akhyar menuliskan, 10 November 1997 “Nak, ke sini kau dulu!” Bapak tiba-tiba saja memintaku untuk duduk di sampingnya. Mulai senja saat itu, langit agak merah, lumayan cerah memang hari ini.”

Cukup cepat untuk bisa langsung menyelesaikan buku ini. Saya sendiri hanya menghabiskan waktu 47 menit untuk membaca buku ini secara keseluruhan. Muhammad Akhyar sudah menyampaikan rasa cintanya kepada orang tuanya walau, sekali lagi, “hanya” dalam bentuk surat atau tulisan. Sudahkah kita ?

Judul Buku : Surat Cinta Untuk Ayah BundaPenulis : Muhammad Akhyar (@muhammadakhyar) Penerbit : Langit Sastra Publishing Tahun Terbit : 2012 Tebal : vi+141 HalamanHarga : Rp 50. 000

Johan Rio Pamungkas

Sebentuk Cinta dari Anak

 

 

Page 33: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012 31

Pantau

Pada suatu waktu di Belanda, beberapa pelukis muda Belanda, yang sedang belajar untuk melukis, melukis beberapa bunga dan memperlihatkannya kepada pemuda Indonesia.

Lalu, kumbang-kumbang dan kupu-kupu hinggap di atas lukisan bunga para pemuda Belanda. Lukisan tersebut untuk merendahkan kemampuan melukis pemuda Indonesia tersebut.

Terhina dan sangat marah, pemuda Indonesia itu kemudian mengurung diri berhari-hari. Para pemuda Belanda tersebut di atas lantas mengunjungi rumah pemuda Indonesia itu karena

Johan Rio Pamungkas

Melihat Kembali Jejak Raden Saleh

  Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Page 34: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, September 201232

Pantau

diketuk tidak ada juga jawaban dari dia, me-reka lantas masuk dengan mendobrak pintu. Mereka terkejut dan menjerit mengira bahwa pemuda Indonesia itu telah mati. Sebelum suasana bertambah panik, sang pemilik rumah muncul dan berkata, “Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tapi gambar saya bisa menipu manusia.”

Itulah kisah Raden Saleh yang termak-

tub dalam brosur pameran “Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” Lukisan yang mengelabui para koleganya, pelukis-pelukis muda Belanda, itu sendiri bertajuk “Mayat Raden Saleh” yang saat itu, belum dibingkai tentu saja, dibentangkan oleh

Raden Saleh di lantai rumahnya dan benar-benar mirip dengan lantai rumah dan dirinya yang mati.

Raden Saleh, pelukis kenamaan Indonesia yang secara istimewa mengeyam pendidikan di Eropa pada masa kolonial, membawa pemahaman baru mengenai seni visual.

Karya-karyanya yang tidak biasa menunjukkan perpaduan

nilai Jawa dan budaya Eropa. Menjadikannya kib-lat bagi para pecinta seni. Sebanyak 40 lukisan cat minyak dan sketsa buah karya Raden Saleh dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia pada tang-gal 3-17 Juni 2012.

Contohnya pada karya “Singa dan Ular” Gaya Romantisme sangat terlihat pada lukisan ini. Bagaimana lukisan ini bisa mem-bangkitkan kenangan

romantis dan keindahan pada objek lukisan-nya, yakni ular yang ingin mematuk singa dan dua ekor singa yang ingin menerkam ular dilatarbelakangi pemandangan yang sangat indah. Lukisan ini juga adalah simbolisasi peperangan antara yang baik dan jahat.

  Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Page 35: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012 33

Pantau

Lukisan “Penangkapan Diponegoro” sudah pasti adalah lukisan yang paling banyak menyedot perhatian para pengunjung. Galeri Nasional tentu tahu telah mem-perkirakan bahwa lukisan tersebut akan paling banyak diapresiasi, maka dengan cerdik, pihak penyeleng-gara menempatkan lukisan master piece Raden Saleh itu tepat di tengah Galeri Nasional.

Dalam pa-meran ini juga diputar film

biografi tentang Raden Saleh. Film biografi terse-but cukup detail menceritakan kehidupan Raden Saleh sejak dia lahir, belajar lukis di Belanda dan berkeliling negara-negara Eropa, hingga “Pelukis Sang Raja” itu me-ninggal dunia di Bogor.

 

  Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Page 36: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, September 201234

Her Voice

Life teaches us through experiences. Sometimes in life, we don’t always get

what we want, or realize the plans that we’ve made. However, every step we choose always brings wisdom. One point that we should remember is that our life is made up of a series of choices that bear a conse-quence.

The consequences then lead us to learn. We learn how to tackle a problem, we learn how to be patient, we learn how to be realistic instead of too idealistic, and in the end, we conclude that the bigger the goal, the bigger the consequence; the big-ger the risk, the bigger the reward. After all, maturity is about how we can take full responsibility for the consequences that

Alfi Syahriyani

Choice

 

Two roads diverged in a yellow wood,And sorry I could not travel bothAnd be one traveler, long I stood

And looked down one as far as I couldTo where it bent in the undergrowth;

(Robert Frost, The Road Not Taken, 1920)

Page 37: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012 35

Her Voice

we receive, and stop blaming others for the results.

When we get older, we realize that life is about making a decision. Age talks, choices talk as well. They go hand in hand. The choices will be more varied and compli-cated when we get older, unlike when we were a child, we can ask our parents which one’s the best. The choice is merely like, “Which dress do you like?” or “Which dress I should wear now?” However, when we grow older, we can rely on others forever, because the question is not only about the things that we use temporarily, but it’s about a path that will create another path, a path of our life, a path that will be brought us until the end of our life. We are the one who con-trol our life.

In the middle of process, of course we will find many challenges to ride. We find that to reach our dream or to create a big leap, we can’t start from a big step, but a small step instead. We also find that we can’t only rely on ourselves because there is “an invisible hand playing” around our own life, the Power that easily changes everything.

We never know what will happen tomorrow, so we should take control of our choice.

Sometimes we make minor mistake when we choose. We get despair and hope-less for the incorrect choice. However, the process actually can make us stronger and of course we get better understanding to fix the problem.

David and Bruce McArthur, in their book titled The Intelligent Heart: Transform Your Life With the Laws of Love said “Many people are afraid to forgive because they feel they must remember the wrong or they will not learn from it. The opposite is true. Through forgiveness, the wrong is released from its emotional stranglehold on us so that we can learn from it. Through the pow-er and intelligence of the heart, the release of forgiveness brings expanded intelligence to work with the situation more effectively”.

Therefore, one of the important things in life is that we have to forgive our mis-takes, our incorrect choice in the past, no matter how we berate the misdeeds.

Page 38: Katajiwa Edisi 6: Renjana

Tahun II, no. 6/2012, September 201236

   Independence

Independence means free from corruptionFree from the hands of irresponsible politicianFree from ignorance, free from the fear of starvationFree from foreigners’ hands plundering the country, free from povertyOne day, Indonesian will together carry a torch, the sign of freedomIndonesia will soon be free.

Photo taken at New York City with Ipod 4G, edited by Instagram

Hindun Wilda Risni

Bidik

Page 39: Katajiwa Edisi 6: Renjana
Page 40: Katajiwa Edisi 6: Renjana