KATA PENGANTAR€¦ · Web viewKomplikasi lain dari fraktur kompresi mencakup konstipasi,...
Transcript of KATA PENGANTAR€¦ · Web viewKomplikasi lain dari fraktur kompresi mencakup konstipasi,...
LAPORAN KASUS
LOW BACK PAIN PADA PASIEN DENGAN PARKINSON DISEASE
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Tugas Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa
Disusun Oleh :
Fakhri Mubarok
1910221129
Diajukan kepada :
Pembimbing :
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, M.H
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. GUNAWAN MANGUNKUSUMO
AMBARAWA
PERIODE 29 MARET 2021 – 17 APRIL 2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
LOW BACK PAIN PADA PASIEN DENGAN PARKINSON DISEASE
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa
Disusun oleh:
Fakhri Mubarok
1910221129
Ambarawa, April 2021
Telah diterima dan disahkan oleh,
Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, M.H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat-
Nya karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penyusunan laporan
kasus ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Departemen Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD dr.
Gunawan Mangunkusumo Ambarawa yang berjudul “Low Back Pain
pada Pasien dengan Parkinson Disease”.
Dengan segenap kerendahan hati, izinkan penulis pada kesempatan
ini untuk mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurtakdir Kurnia
Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH selaku pembimbing, seluruh dokter,
perawat, apoteker, staf medis, atau berbagai pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung terlibat selama penyusunan laporan kasus ini
dan kegiatan kepaniteraan klinik yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan, dan kepustakaan,
penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan dibutuhkan pengembangan lebih lanjut agar
dapat bermanfaat. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan serta sebagai masukan bagi
penulis di masa yang akan datang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kelak di kemudian hari bagi pihak yang terkait
terutama penulis dan kepada pembaca.
Ambarawa, April 2021
Penulis
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. JS
b. No RM : 0152** - 2011
c. Umur : 82 tahun 3 bulan 28 hari
d. Jenis Kelamin : Laki – laki
e. Status Perkawinan : Menikah
f. Pekerjaan : Pensiunan
g. Pendidikan : SMU
h. Agama : Kristen Katolik
i. Alamat : Krajan 5/1 Ngampin Ambarawa, Kab. Semarang
j. Ruang Rawat : Wijaya Kusuma VIP
k. Tanggal masuk : 29 Maret 2021
l. Tanggal keluar : 05 April 2021
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis serta alloanamnesis
kepada anak laki-laki kedua pasien pada tanggal 31 Maret 2021 (hari ke-3
perawatan) pukul 15.21 WIB bertempat di bangsal Wijaya Kusuma VIP
kamar 303 RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa.
II.1. Keluhan Utama
Nyeri punggung bawah
II.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSGM Ambarawa diantar oleh keluarganya
dengan keluhan nyeri punggung bawah pada kedua sisi sejak 1 bulan
SMRS. Keluarga pasien mengaku jika keluhan ini semakin memberat
dalam 1 minggu terakhir terutama saat pasien berjalan, mengangkat kaki
ataupun berganti posisi terutama saat posisi berbaring – duduk dengan
intensitas sedang dan dirasakan menjalar hingga ke bokong dan kedua
tungkai atas terutama bagian depan sehingga pasien saat ini mengalami
kesulitan berjalan dan harus dibantu dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seperti mandi, makan, ataupun berpakaian. Pasien mengaku jika keluhan
yang dirasakan memiliki karakteristik seperti tertusuk-tusuk atau
terkadang terasa panas/ seperti terikat dan bersifat persisten/terus menerus
dengan VAS 8. Seiring dengan berjalannya waktu pasca tiga hari
perawatan di RSGM Ambrawa, keluhan dirasakan semakin terlokalisasi di
bagian kedua sisi pinggang. Keluhan ini belum pernah dialami pasien
sebelumnya.
Pasien menyangkal nyeri punggung yang timbul ketika batuk atau
mengejan dan tidak mengetahui faktor pencetus atau faktor-faktor yang
memperingan keluhan terkait, namun biasanya keluhan akan menghilang
dengan sendirinya setelah beristirahat dengan posisi tertentu seperti
setengah duduk dan memiringkan badan ke salah satu sisi atau diganjal
menggunakan bantal. Pasien dapat diajak berkomunikasi dengan baik dan
merespons dengan menjawab setiap pertanyaan dengan tepat.
II.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat kekakuan yang dirasakan pada keempat
ekstremitas saat digerakkan serta kedua tangan yang seringkali gemetar
terutama timbul saat pasien akan menyendok makanan, mengambil gelas,
mandi, menyikat gigi, ataupun berpakaian dan menghilang saat pasien
sedang tidur. Keluarga pasien mengaku jika keluhan ini tidak diketahui
kapan pertama kali timbul karena pasien cenderung menghabiskan
sebagian besar waktunya di rumah dan masih dapat dikendalikan oleh
pasien. Pasien juga tidak mengganggap hal tersebut merupakan sesuatu
yang mengganggu aktivitasnya.
Sebelumnya, pasien berjalan dengan posisi yang agak condong ke
depan dengan langkah-langkah kecil di rumah. Namun, keluarga pasien
mengaku jika hal tersebut sudah berlangsung lama selama bertahun-tahun
dan merupakan sesuatu yang dianggap wajar pada pasien karena faktor
usia. Satu hari SMRS, keluarga pasien mengaku jika pasien seringkali
berhalusinasi dengan melihat tembok sekelilingnya berwarna kuning dan
seperti berpasir. Keluhan lain seperti kesemutan, kelemahan anggota
gerak, mudah terjatuh saat berjalan, mudah lupa terhadap kejadian yang
baru dialami atau tidak mengenali anggota keluarganya, serta suara yang
bertambah kecil saat berbicara disangkal.
Pasien memiliki riwayat kebutaan total mendadak pada mata kanan
dan kiri (+/+) yang dialami sejak tahun 2000 dengan penyebab yang tidak
diketahui. Riwayat glaukoma, katarak dan infeksi pada mata disangkal.
Riwayat penurunan fungsi pendengaran juga dialami pasien sejak
tahun 2015 pada kedua telinga, terutama pada telinga kanan serta hal ini
belum pernah dikonsultasikan kepada dokter spesialis THT-KL
sebelumnya. Keluarga pasien mengaku selama 1 tahun terakhir, pasien
mengalami peningkatan frekuensi BAK yang dapat mencapai > 10 kali
terutama pada malam hari dengan warna urine jernih kekuningan, (-) buih,
(-) darah, dan tidak disertai nyeri saat berkemih.
Riwayat dispepsia (+) serta hipertensi sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
juga memiliki riwayat hernia inguinalis di regio iliaca sinistra sejak 1
tahun terakhir.
Riwayat trauma pada punggung; riwayat mengangkat benda berat;
riwayat stroke, kejang, dan penurunan kesadaran mendadak sebelumnya
disangkal.
Riwayat penyakit kronis lain seperti DM dan Asma juga disangkal
II.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa dan penyakit kronis seperti Hipertensi, DM,
dan Asma pada keluarga disangkal
II.5. Riwayat Pemberian Obat
Selama 1 bulan SMRS, pasien sempat berobat di praktik dokter
terdekat dan diberikan @Neurobion tablet 1x1 dan amlodipin 5 mg,
keluhan sedikit mereda namun belum sepenuhnya membaik.
II.6. Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pensiunan guru sejak tahun 1994. Saat ini,
pasien tinggal di rumah bersama seorang istri, ketiga anaknya, serta kelima
cucunya. Keluarga pasien mengaku jika pasien sangat menjaga
kesehatannya dengan rutin mengonsumsi air putih, sayur-sayuran, buah
pepaya dan mentimun, dan membatasi konsumsi daging merah, makanan
yang manis-manis, gurih, dan berminyak. Sebelum keluhan timbul, pasien
rutin melakukan senam di atas tempat tidur setiap pagi selama 10-15
menit, namun saat ini pasien hanya berbaring di tempat tidur dan
melakukan aktivitas fisik selama 1 bulan terakhir. Riwayat merokok,
konsumsi alkohol, serta adanya stres/beban pikiran saat ini disangkal.
III. Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : nyeri kepala (-), pusing (-)
Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-), sesak saat beraktivitas (-)
Sistem respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak napas (-)
Sistem neuropsikiatri : gemetar dengan gerakan pill-rolling (+), halusinasi
visual (+)
Sistem gastrointestinal : sulit menelan (-), nyeri perut (-), mual (-), muntah
(-), belum BAB sejak masuk RS (+)
Sistem muskuloskeletal : nyeri punggung bawah (+), kekakuan pada
persendian keempat ekstremitas (+)
Sistem integumen : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : frekuensi BAK meningkat (+), nokturia (+),
urgensi (+), hesistensi (-), inkontinensia uri (-),
disuria (-)
IV. Resume Anamnesis
Tn. JS datang ke IGD RSGM Ambarawa dengan keluhan nyeri
punggung bawah sejak 1 bulan SMRS, timbul mendadak dengan
karakteristik seperti tertusuk-tusuk atau terkadang terasa panas/ seperti
terikat, bersifat persisten, dan memiliki intensitas tinggi (VAS 8). Pada
awalnya, keluhan nyeri dirasakan menjalar ke kedua tungkai atas, namun
saat ini semakin terlokalisasi di kedua sisi pinggang dan dirasakan
semakin memberat dalam 1 minggu SMRS terutama saat pasien berjalan,
mengangkat kaki ataupun berganti posisi terutama saat posisi berbaring -
duduk.
Keluhan ini disertai dengan kekakuan yang dirasakan pada keempat
ekstremitas saat digerakkan, gemetar pada kedua tangan ketika pasien
melakukan gerakan motorik halus, serta halusinasi visual. Pasien dibawa
ke IGD RSGM dengan dipapah dan dalam kondisi sadar penuh. Keluhan
serupa sebelumnya serta keluhan lain seperti kesemutan, kelemahan
anggota gerak, instabilitas postural, gangguan memori, serta suara yang
bertambah kecil saat berbicara disangkal.
Riwayat kebutaan total mendadak pada kedua mata, penurunan fungsi
pendengaran, dan peningkatan frekuensi BAK yang dapat mencapai > 10
kali terutama pada malam hari. Riwayat dispepsia dan hipertensi sejak 3
tahun yang lalu dan riwayat hernia inguinalis sejak 1 tahun terakhir.
Riwayat trauma pada punggung; riwayat mengangkat benda berat; riwayat
stroke, kejang, dan penurunan kesadaran mendadak sebelumnya disangkal.
V. Diskusi Pertama
Berdasarkan data anamnesis pada pasien, didapatkan keluhan utama
nyeri punggung bawah. Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan
jaringan aktual atau yang secara potensial merusak, atau dideskripsikan
sebagai adanya kerusakan. (International Association for the Study of
Pain, 2020). Ditinjau dari jenisnya, nyeri dapat bersumber dari nosiseptif
(nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu
yang menyebabkan aktivasi ataupun sensitisasi pada nosiseptor perifer),
neurogenik (nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf
perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen
sentral dan perifer), dan psikogenik. Sedangkan berdasarkan onsetnya,
nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Nyeri akut
Nyeri yang disebabkan oleh stimulus noksius akibat kerusakan jaringan,
proses penyakit, maupun fungsi abnormal otot atau organ viseral yang bersifat
sementara. Nyeri akut selalu bersifat nyeri nosiseptif yang berfungsi untuk
mendeteksi, melokalisai, dan membatasi kerusakan jaringan. Berdasarkan
sumber asalnya, nyeri akut dapat diklasifikasikan menjadi nyeri somatik dan
viseral.
Nyeri somatik, yaitu nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh
dan berasal dari tulang, otot, sendi, ligamen, tendon dan kulit yang
umumnya dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut
serta umumnya dapat dilokalisasi dengan baik (nyeri somatik superfisial)
atau bersifat tumpul dan sukar terlokalisasai (nyeri somatik dalam)
Nyeri viseral, yaitu nyari berasal dari organ viseral atau membran yang
menutupinya dengan karakteristik merupakan nyeri alih dari organ lain,
bersifat difus, tidak terlokalisasi, dan dapat disertai refleks otonomik dan
motorik.
2. Nyeri kronik
Nyeri yang menetap melampaui proses penyakit akut atau melebihi waktu
penyembuhan normal yang biasanya berlangsung 3 hingga 6 bulan. Nyeri
kronik dapat berasal dari nyeri nosiseptif, neuropatik, maupun campuran
keduanya, di mana faktor psikologis, lingkungan, dan sosial memainkan peran
utama.
V.1. Nyeri Punggung Bawah
V.1.1. Definisi
Menurut Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI tahun 2016 dan North American Spine Society tahun 2020, nyeri punggung bawah adalah nyeri yang berasal dari muskuloskeletal yang dirasakan di antara margin costal terbawah dan lipatan gluteal inferior, yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral atau terkadang dapat meluas sebagai nyeri alih somatik hingga terbatas pada tungkai atas (sciatica).
V.1.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko
Nyeri punggung tersebar luas pada populasi orang dewasa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hingga 23% orang dewasa di
dunia menderita nyeri punggung bawah kronis. Populasi ini juga
menunjukkan adanya tingkat rekurensi dalam 1 tahun berkisar antara 24%
sampai 80%. Beberapa perkiraan prevalensi seumur hidup setinggi 84%
pada populasi orang dewasa. (WHO, 2013).
Penyakit diskus merupakan etiologi yang mendasari < 5% pasien
dengan nyeri punggung bawah akut. Terdapat sekitar 3 - 5% orang dewasa
akan mengalami gejala radikulopati lumboskaral seumur hidup mereka.
Pasien dengan radikulopati lumbal 63 – 72% di antaranya akan mengalami
paresthesia, 35% akan mengalami radiasi nyeri pada tungkai bawah, dan
27% pasien akan mengalami baal / kesemutan. Kelemahan otot terjadi
hingga 37%, tidak adanya refleks tendon achilles hingga 40%, dan tidak
adanya refleks patella pada 18% pasien. Terdapat sejumlah faktor risiko
terkait kejadian nyeri punggung bawah, antara lain :
a) Usia
Insidensi LBP meningkat dan mencapai puncakya pada usia sekitar
55 tahun. Pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia
produktif 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35
tahun dan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur akibat
terjadinya degenerasi pada tulang berupa kerusakan jaringan, penggantian
jaringan parut, dan pengurangan produksi cairan sendi sehingga kekuatan
dan ketahanan otot serta elastisitas tulang mulai menurun sehingga hal ini
berisiko timbulnya gejala LBP. Selain itu, gangguan mekanisme seluler
dasar yang menjaga homeostasis jaringan akibat proses penuaan membuat
respons terhadap stress menjadi tidak adekuat (Litwic et al., 2013).
b) Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita mempunyai risiko LBP yang sama sampai
usia sekitar 60 tahun. Diatas 60 tahun wanita mempunyai risiko LBP yang
lebih besar karena cenderung mengalami osteoporosis yang didukung oleh
kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria secara fisiologis
c) Indeks massa tubuh
Orang-orang dengan tinggi dan berat badan yang lebih besar akan
5 kali mengalami kejadian LBP dibanding yang memiliki IMT yang ideal.
Hal ini terkait ketidakstabilan diskus akibat beban eksternal tambahan.
d) Faktor pekerjaan
LBP merupakan manifestasi klinis yang kronis yang membutuhkan
waktu lama untuk berprogresi sehingga faktor pekerjaan yang terutama
berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat atau posisi yang
tidak ergonomis selama bekerja perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
penelusuran.
e) Kebiasaan merokok
Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat merokok
dengan keluhan nyeri pinggang. Hal ini terutama dikaitkan dengan
kandungan nikotin dan zat toksin lain pada rokok yang dapat
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan perifer dan
menurunnya kapasitas fungsional paru sehingga terjadi gangguan perfusi
oksigen ke jaringan otot dan tulang di sekitar pinggang serta berkurangnya
kandungan mineral pada tulang yang dapat menyebabkan nyeri secara
tidak langsung akibat kerusakan jaringan tulang lebih lanjut.
f) Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko
timbulnya gejala LBP akibat penurunan suplai oksigen ke dalam otot
karena pola hidup yang tidak aktif. Program olahraga yang teratur yang
dilakukan secara bertahap setidaknya 3 kali dalam seminggu dengan
intensitas rendah – sedang dapat memperbaiki kualitas hidup, mencegah
osteoporosis dan berbagai penyakit rangka dan otot yang lain. Kebiasaan
sikap/ postur tubuh seseorang saat duduk, berdiri, tidur, atau mengangkat
beban pada posisi yang salah (tidak menopang punggung) dapat
menimbulkan nyeri pinggang.
g) Riwayat penyakit terkait rangka dan riwayat trauma
Postur yang bervariasi, abnormalitas kelengkungan vertebra, atau
adanya riwayat terjadinya trauma pada vertebra merupakan salah satu
faktor risiko adanya keluhan LBP yang dapat mengakibatkan nyeri yang
persisten. Orang dengan kasus spondylolisthesis akan lebih berisiko LBP
pada jenis pekerjaan yang berat, tetapi kondisi ini sangat langka. Kelainan
secara struktural seperti spina bifida acculta dan jumlah ruas vertebra yang
abnormal tidak memiliki konsekuensi. Perubahan spondylitic biasanya
memiliki nilai risiko yang lebih rendah.
h) Psikologis
Faktor psikologis juga berperan penting dalam kejadian LBP.
Orang-orang yang memiliki afektivitas negatif, dukungan sosial yang
rendah di tempat kerja, riwayat gangguan cemas dan/atau depresi lebih
rentan mengalami LBP.
V.1.3. Klasifikasi
A. Etiologi dan onset klinis
a) LBP spesifik, bila terdapat diagnosis pato-anatomis yang jelas.
Radikulopati lumbal merupakan jenis nyeri neuropatik lumbal yang
umum, selain keterlibatan jaringan miofasial (yaitu, fasia torakolumbal)
dan beberapa ligamen lumbal.
b) LBP nonspesifik (85% kasus) merupakan nyeri punggung bawah yang
disebabkan oleh patologi spesifik yang tidak diketahui (misalnya infeksi,
tumor, osteoporosis, fraktur lumbal vertebra, deformitas struktural,
penyakit inflamasi, sindrom radikuler, atau sindrom cauda equina).
Berdasarkan onsetnya, nyeri punggung bawah nonspesifik dikategorisasi
menjadi 3 subtipe, antara lain:
LBP akut, jika timbul untuk pertama kalinya dalam kehidupan pasien
atau setelah interval bebas rasa nyeri setidaknya selama minimal 6
bulan, dan berlangsung tidak lebih dari 4 minggu (self-limiting dari
episode awal gejala)
LBP subakut, jika berlangsung selama 1 – 3 bulan.
LBP kronik, jika berlangsung selama 3 bulan atau lebih.
(Spine Surgery, 2019)
B. Patogenesis
a) Spondilogenik
Nyeri yang timbul berasal dari lesi yang melibatkan komponen
tulang (osteogenik) dari kolumna vertebralis, perubahan patologik pada
articulasio sacroiliaca, atau yang paling umum melibatkan perubahan yang
terjadi pada struktur jaringan lunak (diskus intervertebralis (diskogenik),
ligamen dan miofasial (miogenik). Nyeri diperburuk oleh aktivitas umum
dan spesifik serta berkurang sampai batas tertentu dengan istirahat. Nyeri
dapat menyebar (referred pain) ke organ lain namun cenderung tidak
terdistribusi sesuai dengan dermatom. Batuk, bersin, ataupun kontraksi
volunter otot-otot abdomen dapat menstimulasi nyeri pada penderita LBP
spondilogenik.
b) Neurogenik
Nyeri ini dicetuskan oleh adanya penegangan, iritasi, atau
kompresi akar saraf lumbal yang biasanya akan menyebabkan gejala nyeri
alih ke salah satu atau kedua tungkai. Penyebab lain seperti lesi pada
sistem saraf pusat seperti tumor talamus dapat muncul atau berkembang
menjadi nyeri kaki jenis kausalgik, dan iritasi arachnoid dengan penyebab
apapun serta tumor dura spinal juga dapat menyebabkan nyeri punggung.
Gambar 1. CT Scan Conus LipomaHasil CT scan menunjukkan adanya lipoma yang meluas hingga conus. Pasien datang
dengan sciatica dan gejala akar saraf lumbal pertama.
c) Viscerogenik
Kelainan pada traktus genitourinarius dan organ pelvis intraperitoneal
ataupun retroperitoneal dapat mengiritasi peritoneum posterior dapat
menyebabkan timbulnya nyeri punggung. Nyeri yang disebabkan oleh
kelainan viscera biasanya tidak diperparah oleh aktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat. Rasa nyeri timbul dari jaringan atau organ yang
persarafannya berhubungan secara segmental dengan jaringan superfisial
daerah lumbosakral sehingga nyeri ini disebut juga sebagai nyeri alih
(referred pain) tanpa perubahan struktural pada tulang belakang dan jaringan
terkait.
Gambar 2. CT-scan potongan aksial pada pasien dengan Limfoma Hodgkin.Tampak adanya nodus retroperitoneal multipel yang luas (panah) yang menyebabkan
nyeri punggung pada pasien
d) Vaskulogenik
Kelainan pada aorta descendens dan arteri iliaka, seperti aneurisma
atau oklusi vaskular perifer dapat menyebabkan nyeri yang berproyeksi ke
punggung atau nyeri yang menyerupai iskemia.
e) Psikogenik
Nyeri punggung juga dapat dicetuskan oleh hysterical paralysis
akibat gangguan depresi ansietas, atau campuran keduanya yang umumnya
terjadi pada populasi yang berusia lebih muda.
V.1.4. Etiologi
Tabel 1. Etiologi yang dikaitkan dengan Nyeri Punggung Bawah
Salah satu penyebab nyeri punggung bawah yang paling mungkin
terkait pada pasien adalah faktor degenerasi.
1) Spondylosis deformans lumbal
Penyakit degeneratif yang bersifat progresif pada diskus
intervertebralis yang diikuti dengan perubahan pada facet joint, corpus
vertebra, ligamen (terutama ligamentum flavum) atau jaringan lunak
sekitar vertebra lumbal sehingga hal ini mengakibatkan makin
menyempitnya jarak antar vertebra (karena degenerasi diskus
menyebabkan berkurangnya ketinggian antara pedicle sehingga
mengurangi lebar outlet radiks saraf), penebalan ligamentum flavum
akibat menurunnya regangan di dalamnya, terbentuknya osteofit pada tepi
diskus, penyempitan kanalis spinalis dan foramen intervertebralis, serta
iritasi persendian posterior.
Rasa nyeri pada spondylosis ini disebabkan oleh terjadinya
osteoartritis dan tertekan radiks oleh kantung durameter yang
mengakibatkan iskemik dan inflamasi. Spondylosis lumbal seringkali
merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena
adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya
terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1.
Nyeri pada kasus spondylosis berhubungan erat dengan aktivitas
yang terlalu lama dalam rentang perjalanan yang panjang yang dijalani
oleh penderita sehingga hal ini menimbulkan keterbatasan gerak pada
regio lumbal. Pasien biasanya berusia di atas 40 tahun, sering memiliki
riwayat robekan dari diskusnya dan serangan nyeri yang berulang dalam
beberapa tahun. Pemeriksaan neurologis dapat memperlihatkan tanda –
tanda sisa dari prolaps diskus yang lama (misalnya ketiadaan refleks
fisiologis). Pada tahap sangat lanjut, gejala dan tanda – tanda stenosis
spinal atau stenosis saluran akar unilateral dapat timbul (Appley, 2013).
Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain:
o Annulus fibrosus menjadi kasar, serat kolagen cenderung melonggar dan
muncul retak pada berbagai sisi serta terjadi penonjolan ke semua arah dari
anulus fibrosus. Annulus mengalami kalsifikasi dan perubahan hipertrofik
terjadi pada tepi corpus vertebra yang kemudian membentuk osteofit atau spur
atau taji.
o Dehidrasi dan kolaps nucleus pulposus
o Tinggi diskus berkurang
Dengan penyempitan rongga intervertebra, sendi intervertebra
dapat mengalami subluksasi dan menyempitkan foramina intervertebra.
Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa
adanya lipping yang disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus
yang menghasilkan penarikan periosteum dari annulus fibrosus. Dapat
terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi
terjadinya brush fracture.
Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan
menebal terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada
selaput meningeal, durameter medulla spinalis membentuk suatu selubung
yang mengelilingi akar saraf dan hal ini menimbulkan inflamasi karena
jarak diskus membatasi canalis intervertebralis. Terjadi perubahan
patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada
osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada tepi permukaan artikular dan
bersama-sama dengan penebalan kapsular dapat menyebabkan penekanan
pada akar saraf dan mengurangi lumen pada foramen intervertebralis.
Spondylosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul
dari vertebra lumbalis. Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior,
superior, dan lateral vertebra. Pembentukan osteofit timbul karena terdapat
tekanan pada ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi
kompresi pada saraf tersebut dan hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri,
baik lokal maupun menjalar, parastesia, kelemahan otot, atau bahkan
gangguan perkemihan. Pada pasien yang sudah mengalami degeneratif
pada lumbalnya, namun sudah tidak merasakan adanya nyeri pada daerah
punggung bawah dalam waktu satu minggu, maka kondisi pasien akan
membaik dalam waktu 3 bulan (Woolfson, 2008).
Gambar 3. Patogenesis Spondylosis
2) Spondylolithesis
Kondisi yang menunjukkan suatu pergeseran ke anterior yang
didapat dari satu corpus vertebra dengan vertebra yang terletak di
bawahnya dengan perubahan degeneratif, tanpa adanya kerusakan atau
defek terkait pada cincin vertebra. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) di mana vertebra L5 bergeser (slip)
diatas vertebra S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan
yang lebih tinggi.
Spondylolisthesis dapat menyebabkan kelainan struktur tulang
belakang, penekanan pada nerve roots, dan kerusakan pada facet joint.
Terdapat lima jenis utama spondilolisthesis berdasarkan sistem klasifikasi
Wiltse, antara lain:
1. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sacrum bagian atas atau neral arch L5.
Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan seringkali
disertai atau berhubungan dengan spina bifida occulta (94%).
2. Isthmic atau spondilolitik
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis. Tipe
ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering dan dibagi menjadi
3 jenis, antara lain:
Lytic, yaitu ditemukan adanya pemisahan (separation) dari pars
interartikularis yang terjadi akibat stress fracture dan paling sering
ditemukan pada pasien yang berusia di bawah 50 tahun
Elongated pars interarticularis, yang terjadi akibat mikrofraktur
dan tanpa pemisahan pars.
Acute pars fracture, yang terjadi pasca trauma hebat.
Insidensi spondylolysis terjadi sekitar pada 4-6% populasi dan
meningkat prevalensinya pada olahragawan yang melibatkan hiperekstensi
berulang (pesenam, angkat besi, hakim garis sepak bola). Dari seluruh
kasus spondylolysis, 82% di antaranya berlokasi di level L5 / S1 serta 11%
terjadi di level L4 / L5 akibat gaya paling besar terdapat pada level
vertebra ini dan facet joint yang terletak lebih koronal.
3. Degenerative
Dijumpai akibat proses degenerasi yang terjadi pada pasien yang berusia
di atas 40 tahun dan seringkali terjadi pada vertebra level L4-L5, namun
kurang umum pada L3-4 atau L5-S1. Pada wanita terjadi empat kali lebih
sering dibandingkan pria. Pada orang dengan ras kulit hitam terjadi tiga
kali lebih sering dibandingkan dengan ras kulit putih. Derajat pergeseran
(slip) yang biasanya kurang dari 30% dan pars tetap utuh.
4. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat sekunder terhadap suatu proses trauma pada
vertebra yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis.
Tipe ini terjadi setelah periode 1 minggu atau lebih dari episode trauma.
Acute pars fracture tidak termasuk ke dalam tipe ini.
5. Pathologis
Jenis spondilolisthesis ini merupakan jenis yang paling langka yang terjadi
akibat kerusakan pada elemen posterior karena adanya metastasis tumor
atau penyakit tulang metabolik (penyakit Albers-Schönberg yang dapat
menyebabkan fraktur pars, arthrogryposis, penyakit Paget tulang, atau
tuberkulosis tulang).
Gambar 3. Jenis Spondilolithesis Berdasarkan Klasifikasi Wiltse
Manifestasi klinis dapat bervariasi bergantung pada jenis
pergeseran dan usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan,
presentasi klinis dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali
dirasakan pada panggul dan paha posterior, terutama saat beraktivitas.
Gejala jarang berkorelasi dengan tingkat pergeseran, meskipun disebabkan
oleh ketidakstabilan segmental.
Nyeri punggung pada regio yang terkena merupakan gejala khas yang
umumnya timbul berkaitan dengan aktivitas dan sering lebih memberat
dengan latihan terutama yang melibatkan ekstensi vertebra lumbal.
Spasme otot, kekakuan dalam pergerakan vertebra dan tungkai atas bagian
belakang, serta penurunan jangkauan gerak dari punggung bawah
merupakan ciri spesifik. Baal, kesemutan, atau kelemahan pada kaki
terjadi akibat kompresi saraf. Pada kondisi yang berat, kompresi saraf
dapat menyebabkan hilangnya kontrol fungsi usus atau kandung kemih.
Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak
sering terjadi kecuali jika terdapat adanya bukti subluksasi vertebra.
Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang
umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya. Tanda
neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat slip dan melibatkan
motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai untuk kompensasi
akar saraf, biasanya S1. (Syaiful, 2008). Pasien dengan spondilolistesis
degeneratif biasanya datang dengan nyeri punggung, radikulopati,
klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Gejala-
gejala radikuler seringkali merupakan hasil dari stenosis recessus lateral
dari facet, hipertrofi ligamen, dan/ atau herniasi diskus. Akar saraf L5
paling sering dipengaruhi dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis
longus. Stenosis sentral dan klaudikasio neurogenik dapat terjadi
bersamaan atau mungkin tidak ditemui.
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi
bersifat ringan. Pasien akan mengalami gangguan bentuk postur jika
terdapat subluksasio berat. Pergerakan tulang belakang berkurang karena
nyeri dan terdapatnya spasme otot. Nyeri umumnya terletak pada bagian di
mana terdapatnya pergeseran/keretakan, namun terkadang nyeri tampak
pada beberapa segmen distal dari level dimana lesi mulai timbul. Ketika
pasien berada pada posisi pronasi, perasaan tidak nyaman atau nyeri dan
kekakuan otot dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara
langsung di atas defek vertebra. Pada sebagian besar pasien, lokalisasi
nyeri di sekitar defek dengan mudah diketahui bila pasien diletakkan pada
posisi lateral dan meletakkan kaki mereka ke atas (fetal position).
Fleksi vertebra membuat massa otot paraspinal lebih tipis dan
teregang pada posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien
dengan spondilolistesis biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi
biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equina
yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
Pemeriksaan Rontgen foto polos vertebra lumbal merupakan
modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis spondilosis atau
spondilolistesis yang harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Proyeksi
anteroposterior, lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi
lateral persendian lumbosacral akan melengkapi pemeriksaan radiologis.
Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam
posisi fetal sehingga hal ini membantu dalam mengidentifikasi defek pada
pars interartikularis karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut
dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri.
Pada beberapa kasus tertentu, studi pencitraan lain seperti Bone
scan (SPECT scan) atau CT scan bermanfaat untuk menegakkan diagnosis
awal reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak
terlihat baik dengan foto polos. Akan tetapi, saat ini MRI lebih sering
digunakan karena juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus,
kanal, dan anatomi serabut saraf) selain tulang yang lebih baik
dibandingkan dengan foto polos. MRI dapat memperlihatkan adanya
edema pada lesi yang akut atau menentukan adanya kompresi saraf spinal
akibat stenosis kanalis sentralis. Elektromiografi dapat mengidentifikasi
radikulopati lainnya atau poliradikulopati (stenosis) yang dapat timbul
pada spondilolistesis. Xylography umumnya dilakukan pada pasien
dengan spondilolistesis derajat tinggi.
Gambar 4. Patogenesis Spondylolysis dan Spondylolisthesis
3) Vertebral Compression Fracture
Fraktur kompresi vertebra (VCF) pada level torakolumbal sering
terjadi pada orang tua dengan prevalensi sekitar 1,5 juta kasus setiap tahun
pada populasi umum AS. Sekitar 25% dari semua wanita pascamenopause
di AS mengalami fraktur kompresi selama hidup mereka dan meningkat
seiring bertambahnya usia, yakni mencapai 40% pada usia 80 tahun. Studi
populasi telah menunjukkan bahwa insidensi VCF setiap tahun berkisar
10,7 per 1000 wanita dan 5,7 per 1000 pria.
Etiologi yang paling umum adalah osteoporosis, trauma, infeksi,
serta neoplasma. Wanita pascamenopause memiliki risiko terbesar karena
perubahan hormonal yang dapat mengganggu arsitektur mikro dari tulang
dan kepadatan mineral serta mengubah kandungan protein non-kolagen
dalam matriks tulang sehingga menyebabkan tulang osteoporosis.
Fraktur kompresi vertebra thoracolumbar memiliki mekanisme
cedera kompresi fleksi yang biasanya melibatkan columna vertebralis
pertama (ligamentum longitudinal anterior dan separuh anterior corpus
vertebral). Nyeri merupakan manifestasi klinis utama, sedangkan defisit
neurologis cenderung jarang terjadi karena fraktur ini tidak melibatkan
retropulsi fragmen tulang ke dalam canalis vertebralis.
Tabel 2. Gejala dan Komplikasi Fraktur Kompresi Vertebral
Fraktur kompresi pada korpus vertebra sangat mengkhawatirkan
pada pasien dengan osteoporosis berat. Fraktur dapat terjadi pada pasien
selama kejadian yang sebenarnya tidak berisiko (trivial events), seperti
mengangkat benda ringan, batuk atau bersin yang kuat, atau membalikkan
posisi badan di tempat tidur. Hal ini telah dihipotesiskan bahwa fraktur
pada corpus vertebral terjadi karena adanya peningkatan beban pada tulang
belakang yang disebabkan oleh kontraksi otot paraspinal.
Diperkirakan bahwa sekitar 30% dari fraktur kompresi pada pasien
dengan osteoporosis berat terjadi saat pasien berada di tempat tidur. Pasien
dengan osteoporosis moderate dapat mencederai vertebra setelah pasien
memiliki riwayat jatuh dari kursi, tersandung, atau mencoba mengangkat
benda berat. Penyebab VCF yang paling mungkin terjadi pada pasien yang
tidak mengalami osteoporosis adalah trauma yang berat, seperti
kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. Ketika pasien yang berusia
lebih muda dari 55 tahun datang dengan fraktur kompresi, keganasan
harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab fraktur.
Fraktur kompresi vertebra memiliki onset yang mendadak dan
seringkali hanya menyebabkan nyeri punggung yang bersifat ringan.
Seiring waktu, fraktur di lokasi multipel dapat menyebabkan hilangnya
tinggi badan secara progresif dan kontraksi otot paraspinal secara terus
menerus untuk mempertahankan postur tubuh. Kombinasi ini
menyebabkan otot lelah dan nyeri yang mungkin berlanjut bahkan setelah
fraktur kompresi yang sebenarnya sembuh. Pasien dengan tahap lanjut ini
dapat mengembangkan kifosis toraks yang berlebihan dan lordosis lumbal
yang dapat memberikan penekanan rongga thorax pada panggul sehingga
dapat berpotensi menyebabkan gangguan fungsi paru, abdomen yang
tampak yang menonjol, serta rasa kenyang dan penurunan berat badan
dini.
Komplikasi lain dari fraktur kompresi mencakup konstipasi,
obstruksi usus, kurangnya aktivitas fisik, trombosis vena dalam,
peningkatan osteoporosis, kelemahan otot progresif, hilangnya
independensi, kifosis dan penurunan tinggi badan, gangguan pernapasan
(misalnya: atelektasis, pneumonia, dan nyeri berkepanjangan), harga diri
rendah, dan masalah emosional dan sosial.
VCF dapat menyebabkan ketidakstabilan segmental ketika
kolapsnya corpus vertebral lebih dari 50% dari ketinggian awal. Dengan
satu segmen yang kolaps ke titik instabilitas, level vertebra yang
berdekatan harus mendukung beban tambahan. Ketegangan yang
meningkat pada segmen yang berdekatan dapat mengakibatkan degenerasi
vertebra dan / atau VCF tambahan. Sebagian besar fraktur yang signifikan,
60 – 75%, terjadi di sekitar daerah torakolumbar. Segmen ini berada di
antara T12 dan L2 dan dianggap sebagai zona transisi dari columna
vertebralis thoracalis yang lebih rigid dibandingkan dengan columna
vertebralis lumbalis yang relatif mobile.
Terdapat beberapa faktor risiko terhadap terjadinya fraktur
kompresi vertebra, baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang mencakup
konsumsi alkohol, penggunaan tembakau, osteoporosis, defisiensi
estrogen, menopause dini atau salpingo-ooforektormi bilateral, amenore
pramenopause selama lebih dari 1 tahun, gangguan penglihatan, aktivitas
fisik yang tidak adekuat, berat badan rendah, defisiensi kalsium makanan,
dan defisiensi vitamin D. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi,
antara lain mencakup usia lanjut, jenis kelamin perempuan, ras Kaukasia,
demensia, kerentanan untuk jatuh, riwayat fraktur saat dewasa, riwayat
fraktur pada kerabat tingkat pertama, pengobatan dengan steroid
sebelumnya atau antikonvulsan sebelumnya. Menariknya, obesitas bersifat
protektif terhadap insidensi fraktur karena stres yang tinggi pada tulang
dapat menginduksi respons bone remodelling yang lebih kuat. Peningkatan
kadar hormon estrogen dan hiperinsulinemia yang terkait dengan
penurunan insulin-like growth factor binding protein-1 (IGFBG-1) pada
pasien obesitas dapat meningkatkan kadar protein IGF-1 yang
menstimulasi proliferasi osteoblas dan mendorong aktivitas osteoblas.
Fraktur kompresi vertebral dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori, yaitu wedge, biconcave, dan crush compression fractures. Wedge
fractures merupakan tipe yang paling umum terjadi sekitar lebih dari 50%
dari seluruh kasus VCF. Fraktur ini terjadi di daerah midthoracic dan
ditandai dengan kompresi segmen anterior corpus vertebral. Biconcave
compression fractures merupakan tipe kedua tersering yang terjadi sekitar
17% kasus VCF. Pada fraktur ini, hanya bagian tengah corpus vertebral
yang kolap, sedangkan segmen anterior dan posterior tetap intak. Jenis
VCF yang paling tidak umum adalah crush compression fractures yang
berkontribusi sekitar 13% dari seluruh kasus. Pada tipe ini, seluruh
columna anterior, termasuk margin anterior dan posterior kolaps.
Gambar 5. Studi Pencitraan Fraktur Kompresi Vertebrala) Foto polos X-ray fraktur kompresi vertebra dengan anterior wedging (panah putih) b) CT scan dari fraktur kompresi vertebra dengan biconcave (panah hitam) c) T2 weighted MRI fraktur kompresi vertebra dengan wedging (panah putih) dan biconcave (panah hitam).
Dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan adanya fraktur
kompresi, diperlukan studi pencitraan dengan radiografi polos digunakan
sebagai modalitas diagnostik awal. VCF multipel ditemukan pada 5 – 20%
pasien. Hilangnya ketinggian vertebra, disrupsi alignment di sepanjang
garis corpus vertebral anterior dan posterior, dislokasi facet, dan
peningkatan jarak interpedikuler dan interspinous (> 7 mm) merupakan
indikator adanya disrupsi vertebra. Kekurangan utama pada modalitas
pencitraan ini yaitu ketidakmampuannya untuk mendeteksi adanya cedera
ligamen. Pengukuran angulasi kyphotic pasca trauma berguna untuk
menilai progresivitas fraktur, terutama untuk fraktur yang ditatalaksana
secara konservatif. CT scan dapat membantu mendeteksi ketidakstabilan
fraktur kompresi wedge sisi anterior dan cedera tulang yang tersamar.
Pemeriksaan ini sangat ideal untuk pencitraan fraktur kompleks dan
menentukan derajat kominusi vertebral.
Modalitas pencitraan yang lebih kompleks, seperti CT
myelography dan MRI tidak diperlukan kecuali jika terdapat adanya
defisit neurologis. Jika pada kasus tertentu di mana fraktur kompresi
disebabkan oleh proses infeksi atau keganasan, maka teknik MRI yang
lebih canggih dapat digunakan. Pencitraan MRI sekaligus berguna untuk
memvisualisasikan adanya kompresi medulla spinalis dan kerusakan
ligamen yang lebih baik.
V.1.5. Patofisiologi
Saat membahas nyeri radikuler, penting untuk meninjau
neuroanatomi manusia, di mana nerve roots keluar dari medulla spinalis.
Fraktur patologis pada vertebra dapat menyebabkan cedera pada nerve
root pada level vertebra yang lebih rendah. Penyakit radikular kompresif
sering terjadi di daerah proksimal ganglia dorsal root relatif terhadap
neuroforamen dan corpus vertebral. Jika terdapat jejas pada rami dorsal
medulla spinalis, melakukan dan mengevaluasi pemeriksaan neurologis
menyeluruh mungkin sulit dilakukan. Terdapat inervasi yang tumpang
tindih yang dapat menyebabkan rasa nyeri sehingga sulit untuk menilai
sepenuhnya patologi pada otot paraspinal. Kekuatan otot sering
dipertahankan dalam kasus radikulopati karena seringkali banyak akar
saraf yang menginervasi otot. Namun, saat serabut motorik cedera, refleks
tendon dalam dapat hilang atau berkurang.
Rami ventral bertanggung jawab terhadap fungsi motorik dan
sensorik. Biasanya hal ini dinilai pada pemeriksaan fisik dengan berbagai
miotom dan dermatom. Area tubuh yang dapat dikaitkan dengan akar saraf
tunggal disebut zona otonom. Area independen radikulopati lumbosakral
ini mencakup tungkai atas/paha bagian anterior (L2 dan L3), tungkai
bawah/ betis bagian medial (L4), dorsum pedis (L5), dan plantar (S1).
Kompresi akar saraf L5 terjadi dari protrusi diskus sentral dari L2-
L3 atau L3-L4, protrusi diskus lateral di L4-L5, atau protrusi lateral yang
terletak jauh di foramen di L5-S1. Cauda equina mengandung banyak akar
saraf. Ketika kompresi terjadi pada salah satu level vertebra, terdapat
adanya kemungkinan kompresi yang meningkat pada beberapa, mungkin
bilateral pada akar saraf secara bersamaan. Nyeri akan sering muncul
bersamaan dengan defisit neurologis. Nerve roots injury dapat terjadi pada
seluruh tingkat diskus.
Gambar 6. Patogenesis Low Back Pain (Radiculopathy)Radikulopati lumbal L2, L3, dan L4 dianggap sebagai satu
kelompok, di mana terdapat adanya inervasi yang tumpang tindih pada
otot-otot tungkai atas bagian anterior. Cedera akut pada distribusi L2, L3,
dan L4 paling sering muncul pada pasien yang mengalami nyeri punggung
yang menjalar ke aspek anterior dari tungkai atas yang dapat berlanjut ke
lutut, aspek medial tungkai bawah, dan kaki. Pada pemeriksaan, pasien
dapat mengalami kelemahan selama ekstensi lutut, adduks dan/atau fleksi
pinggul. Seringkali ada hilangnya sensasi pada paha anterior di sepanjang
area nyeri. Pasien mungkin menunjukkan refleks patela yang berkurang
(L4). Aktivitas yang dapat memperburuk gejala, meliputi batuk dan bersin
atau meluruskan kaki.
Pada radikulopati L5, pasien akan sering mengeluhkan nyeri
punggung akut, yang menjalar ke kaki sisi lateral hingga ke kaki. Pada
pemeriksaan, mungkin terjadi penurunan kekuatan otot dengan ekstensi
jempol kaki (m. extensor hallucis longus) atau keempat jari kaki, inversi,
eversi, dan dorsofleksi telapak kaki. Radikulopati L5 kronis dapat
menyebabkan atrofi m. extensor digitorum brevis (penanda radikulopati
L5 pada EMG) dan m. tibialis anterior. Radikulopati L5 yang berat dapat
mempengaruhi m. gluteus minimus dan medius yang dapat menyebabkan
kelemahan pada abduksi kaki.
Radikulopati S1 akan menyebabkan radiasi/ penjalaran nyeri pada
daerah sakral atau bokong ke aspek posterior tungkai hingga ke kaki atau
perineum. Pada pemeriksaan, dapat ditemukan adanya kelemahan pada
plantarfleksi atau hilangnya sensasi di sepanjang tungkai posterior dan
aspek lateral kaki. Refleks tendo Achilles (ankle reflex) (S1) juga dapat
menghilang atau berkurang. Pola defisit motorik yang ditandai dengan
radikulopati L5 atau S1 membantu diagnosis mereka dibandingkan dengan
radikulopati lainnya. Akar saraf L4 dan S1 memiliki inervasi yang berbeda
untuk pengujian sensasi dan kekuatan otot.
Temuan saat pemeriksaan juga dapat membantu dalam
mendiagnosis radikulopati, mencakup ketidakmampuan pasien untuk
bangun dari kursi (kelemahan m. iliopsoas atau m. quadriceps), riwayat
lutut tertekuk (kelemahan m. quadriceps), dan jari kaki yang terseret
(kelemahan m. tibialis anterior). Straight leg raising test paling membantu
dalam diagnosis radikulopati L4 dan S1. Mekanisme nyeri saat
mengangkat tungkai lurus adalah peningkatan ketegangan dural (dural
tension) pada vertebra lumbosakral selama pemeriksaan. Nyeri atau
reproduksi parestesia dianggap sebagai hasil yang positif (Lasegue's sign).
Bowstring sign akan mengurangi nyeri radikuler yang mendasari dengan
fleksi lutut pasien pada sisi yang terkena.
Straight leg raising test kontralateral merupakan adalah fleksi pasif
m. quadriceps dengan ekstensi pada tungkai dan dorsofleksi telapak kaki
pada kaki yang tidak terpengaruh. Hasilnya positif ketika kaki yang tidak
terpengaruh menimbulkan gejala radikuler pada ekstremitas yang terkena.
Refleks hamstring internal juga terbukti menjadi tes yang berguna untuk
radikulopati L5. Hal ini dilakukan dengan mengetuk tendon m.
semimembranosus atau semitendinosus di bagian proksimal fossa
popliteal. Ketika timbul adanya refleks asimetris di antara kedua tungkai,
maka kemungkinan terjadinya radikulopati perlu dicurigai. Pada nyeri
punggung non-radikuler, nyeri terlokalisasi di daerah tulang belakang atau
paraspinal.
Gambar 7. Metode Inspeksi dan Palpasi pada Nyeri Punggung Bawah
V.1.6. Evaluasi Klinis
Nyeri tulang belakang yang bersifat mekanis atau yang berkaitan
dengan aktivitas paling sering diperburuk oleh beban statis pada vertebra
(misalnya, duduk atau berdiri dalam waktu lama), aktivitas yang bertumpu
pada poros vertebra (misalnya, menyedot debu atau bekerja dengan lengan
yang diangkat dan menjauhi tubuh), dan postur tertentu (misalnya,
membungkuk ke depan).
Nyeri dapat berkurang ketika kekuatan multidireksional yang
menyeimbangkan vertebra diaplikasikan (misalnya berjalan atau berubah
posisi secara konstan) dan ketika vertebra tidak terbebani (misalnya posisi
berbaring). Pasien dengan LBP mekanis sering lebih memilih untuk
berbaring diam di tempat tidur, sedangkan pasien dengan penyebab
vaskular atau viseral seringkali menggeliat kesakitan serta tidak dapat
menemukan posisi yang nyaman. Nyeri yang bersifat persisten walaupun
saat beristirahat menunjukkan penyebab yang serius, seperti keganasan
ataupun infeksi sehingga studi pencitraan dan pemeriksaan laboratorium
sebaiknya segera dilakukan, terutama pada pasien dengan defisit
neurologis progresif.
Tabel 3. Red Flags Nyeri Punggung Bawah Akut
Selain itu, berdasarkan data anamnesis yang pasien, keluhan nyeri
punggung bawah pada pasien juga disertai dengan adanya kekakuan yang
ditemukan saat digerakkan. Kekakuan pada keempat ekstremitas ini
ditandai dengan munculnya tahanan saat gerakan pasif pada
persendian (fenomena roda pedati/cogwheel rigidity) yang
merepresentasikan adanya peningkatan tonus otot secara involunter yang
dapat melibatkan seluruh kelompok otot, baik fleksor maupun ekstensor
akibat kegagalan inhibisi dan meningkatnya aktivitas alfa motor neuron
pada otot protagonis dan antagonis saat digerakkan sehingga hal ini
menimbulkan rigiditas yang terdapat pada seluruh luas gerakan dari
ekstremitas yang terlibat. Kekakuan yang melibatkan persendian tangan
dan kaki membuat pasien berjalan dalam langkah-langkah kecil dan posisi
badan yang agak condong ke depan.
Selain itu pada kedua tangan pasien, tampak gemetar yang
seringkali timbul terutama saat melakukan gerakan motorik halus yang
menunjukkan adanya resting tremor. Resting tremor merupakan salah satu
tipe tremor parkinsonian yang paling umum pada pasien dengan penyakit
Parkinson selain tremor postural atau kinetik. Resting tremor memiliki
karakteristik asimetris pada ekstremitas (terutama tampak pada tangan)
atau unilateral pada awal onset dengan frekuensi rendah (4–6 Hz, jarang
hingga 9 Hz) dan amplitudo maksimal rata-rata dicapai setelah 2-3 menit,
bersifat episodik, dapat dimodulasi (disupresi atau ditingkatkan) oleh
aktivitas motorik atau kognitif (berkurang selama inisiasi gerakan (fitur
diagnostik yang paling penting) atau apabila pasien melakukan gerakan
yang terarah sesuai target dan memburuk dengan stres emosional) akibat
degenerasi neuron dopaminergik dengan lokalisasi osilator sentral yang
masih diperdebatkan (sirkuit basal ganglia (nukleus subthalamic dan
pallidum)-thalamo-cortical). Selain ekstremitas, tremor saat istirahat juga
terjadi di lidah, bibir, atau dagu, tetapi jarang mengenai kepala. Pasien
dengan tremor yang dominan memiliki ikatan dopamine transporter yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan tipe akinetic-rigid, sedangkan tingkat
keparahan tremor tidak berkorelasi dengan defisit dopamin striatal.
Karakteristik lain yang paling tampak pada pasien ini berupa
gejala-gejala terkait bradikinesia, yaitu gerakan yang mempertemukan ibu
jari dan telunjuk yang mirip gerakan menghitung uang logam atau
membuat pil (“pill rolling”) dengan amplitudodan kecepatan yang
semakin berkurang. Hal ini seringkali tanpa sadar dilakukan oleh pasien
dan menghilang jika pasien diminta melakukan gerakan volunter.
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls
optik, vestibular, propioseptif dan impuls sensoris di ganglia basalis yang
mengakibatkan perubahan aktivitas refleks yang mempengaruhi motor
neuron gamma dan alfa.
Hipomimia dengan kedipan mata dan ayunan tangan yang
berkurang serta ekspresi wajah menjadi lebih datar seperti topeng (face
mask) juga tampak pada pasien. Riwayat berjalan dengan langkah-langkah
yang kecil sebelumnya (shuffling gait) juga mengarahkan adanya gejala
bradikinesia. Gejala-gejala terkait bradikinesia lain seperti hypophonia,
dysarthria, tachyphemia, dan micrographia tidak tampak pada pasien ini.
Tes retropulsi untuk menilai instabilitas postural tidak dapat dilakukan
pada pasien karena keterbatasan pasien terkait timbulnya nyeri punggung
bawahnya pada posisi berdiri atau berjalan. Namun, sebelum timbulnya
gejala nyeri punggung bawah, menurut pengakuan keluarga pasien, pasien
tidak mengalami kesulitan saat berjalan, di mana ia tetap mampu
mempertahankan posisi saat berjalan walaupun agak condong ke depan.
V.2. Parkinsonisme dan Parkinson Disease
V.2.1. Definisi Parkinsonisme merupakan sindrom klinis motorik
yang muncul dengan berbagai derajat rigiditas, dan berbagai gejala yang meliputi bradikinesia, tremor, dan postur tubuh yang tidak stabil. Sekitar 80% kasus parkinsonisme idiopatik disebabkan oleh penyakit Parkinson.
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegenerasi kronik dan progresif yang ditandai dengan penurunan jumlah dopamin di otak yang berperan dalam mengontrol gerakan sebagai akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang otak (PERDOSSI, 2016).
V.2.2. Epidemiologi
Penyakit Parkinson biasanya mempengaruhi sekitar 1 – 2 orang dalam 1000 populasi orang, di mana tingkat prevalensinya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (1% populasi berusia di atas 60 tahun, jarang terjadi pada individu di bawah usia 50 tahun). Penyakit Parkinson lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita dengan rasio insidensi sekitar 1,5 : 1.
V.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
1) Idiopatik (primer), meliputi penyakit Parkinson dan Juvenile Parkinsonism.
2) Simptomatik (sekunder), meliputi parkinsonisme yang disebabkan oleh penggunaan obat (misal antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin, α-metildopa, lithium, flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi, pasca ensefalitis, slow virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma kranioserebral, tumor otak, vaskular, dan siringomielia.
3) Parkinsonisme plus (Multiple System Degeneration), meliputi degenerasi ganglion kortikal basal, sindrom demensia, Parkinsonism Guam-demensia-ALS, sindrom atrofi multi sistem, dan palsy supranuklear progresif.
4) Parkinsonisme heredodegeneratif, meliputi penyakit Hallervoden- Spatz, penyakit Huntington, Lubag, nekrosis striatal dan sitopati mitokondria, neuroakantositosis, penyakit Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker, penyakit Machado-Joseph, atrofi familial olivopontoserebelar, dan sindroma thalamik demensia.
V.2.4. Etiologi
Penyakit Parkinson dianggap sebagai penyakit multifaktorial, yang dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik (Mark, 2010). Faktor risiko terkuat yang diasosiasikan menjadi penyebab terjadinya penyakit Parkinson antara lain memiliki riwayat keluarga dengan penyakit Parkinson atau tremor serta riwayat konstipasi (berisiko peningkatan absorpsi neurotoksin pada usus) (Noyce, 2012).
Trauma kepala, depresi atau anseitas, penggunaan β-blocker juga berkontribusi sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Parkinson (Bellou, 2016). β-blocker dapat mengurangi neurotransmisi norepinefrin di otak. Sistem norepinefrin dianggap memiliki peran penting dalam melindungi integritas neuron dopaminergik pada SN. Gangguan pada sistem norepinefrin dianggap berperan penting dengan mempengaruhi onset dan perkembangan kerusakan jalur DA nigostriatal. Hilangnya norepinefrin dapat meningkatkan neurotoksik dari toksin lingkungan ke neuron dopaminergik nigostriatal.
Sedangkan latihan fisik, merokok, konsumsi kopi dan alkohol, serta penggunaan NSAID dan calcium channel blocker memiliki korelasi yang negatif dengan insidensi penyakit Parkinson (Bellou, 2016). Urat serum merupakan penangkap radikal bebas yang dianggap berkontribusi terhadap hilangnya neuron dopaminergik (Noyce, 2012). Latihan fisik dapat meningkatkan kadar urat plasma sehingga hal ini dikaitkan dengan menurunnya risiko terjadinya penyakit Parkinson (Yang, 2015).
Salah satu faktor lingkungan yang dikaitkan menjadi penyebab PP adalah paparan senyawa kimia beracun, misal MPTP (1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahidropyridine) dalam pestisida. Mutasi gen yang dikaitkan dengan PP antara lain gen α-synuclein (SNCA), gen eukaryotic translation initiation factor 4-gamma 1 (EIF4G1), gen glucocerebrosidase (GBA), gen loci leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2), gen loci PTEN-induced putative kinase 1 (PINK1), gen superokside dismutase 2 (SOD2), dan gen vacuolar protein sorting 35 homolog (VPS35) (DeMaagd, 2015).
V.2.5. Patofisiologi
Penyakit Parkinson merupakan penyakit pada sistem ekstrapiramidal yang ditandai oleh degenerasi neuron dopaminergik progresif sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi
sitoplamik eosinofilik (Lewy bodies). Hal ini menyebabkan pengurangan proyeksi dopaminergik dari substantia nigra pars compacta (SNc) ke striatum (jalur nigostriatal) sehingga menghasilkan hilangnya fungsi dopaminergik.
Dopamin diproyeksikan ke striatum dan seterusnya ke ganglion
basalis serta berperan penting dalam mengatur pergerakan, keseimbangan
dan refleks postural, serta kelancaran dalam berkomunikasi. Terdapat dua tipe reseptor DA, yaitu tipe eksikatorik (D1) yang mengaktivasi jalur langsung dan tipe inhibitorik (D2) yang mengaktivasi jalur tidak langsung. Jalur langsung dibentuk oleh neuron di striatum yang memproyeksikan langsung ke GPi dan SNr, kemudian dilanjutkan ke ventroanterior (VA) dan ventrolateral (VL) thalamus. Neurotransmitter yang terdapat di jalur langsung adalah GABA yang bersifat inhibitorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur ini adalah penurunan arus rangsang dari thalamus ke korteks. Sedangkan jalur tidak langsung dibentuk oleh neuron striatal yang memproyeksikan ke GPe, lalu menginervasi STN, kemudian dilanjutkan ke VA dan VL thalamus. Proyeksi dari striatum ke GPe dan dari GPe ke STN menggunakan neurotransmitter GABA, tetapi jalur akhir proyeksi STN ke GPi dan SNr menggunakan neurotransmitter glutamatergik yang bersifat eksikatorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur ini adalah peningkatan arus rangsang dari thalamus ke korteks.
Reduksi kadar DA pada striatum menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor D1 dan penurunan aktivitas pada reseptor D2 (gangguan keseimbangan antara inhibitorik dan
eksitatorik) sehingga menyebabkan peningkatan hambatan pada proyeksi VA dan VL thalamus ke korteks bagian depan dan menyebabkan penurunan aktivitas motorik. (DeMaagd, 2015). Secara singkat, hal ini menyebabkan hilangnya
kontrol sirkuit neuron di ganglion basalis untuk mengatur jenis gerak
dalam hal inhibisi terhadap jaras langsung dan eksitasi terhadap jaras yang
tidak langsung baik dalam jenis motorik ataupun non-motorik yang dapat
menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), tremor, kekakuan
(rigiditas) dan hilangnya refleks postural.
Terdapat sejumlah hipotesis mengenai proses patologi yang
mendasari degenerasi neuron SNc, antara lain:
1. Stres oksidatif, yang menyebabkan terbentuknya formasioksiradikal,
seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan α-sinuklein (disebut
protofibrils). Akumulasi formasi ini tidak dapat didegradasi oleh
ubiquitin-proteasomal pathway sehingga menyebabkan kematian sel-sel
SNc.
2. Hipotesis Radikal Bebas
Oksidasi enzimatik dari dopamine diduga dapat merusak neuron
nigrostriatal karena proses ini menghasilkan hidrogren peroksid dan
radikal oksi lainnya.
3. Hipotesis Neurotoksin
Gambar 8. Patogenesis Parkinson’s Disease
V.2.6. Manifestasi Klinis
Tanda kardinal gejala motorik, antara lain:1) Bradykinesia atau akinesia2) Tremor pada saat istirahat3) Rigidity4) Ketidakstabilan postural
Gejala motorik lainnya, meliputi penurunan ketrampilan dalam menggunakan tangan atau tubuh; kesulitan bangkit dari posisi duduk; dysarthria; dystonia; dysphagia; “freezing” pada awal pergerakan, di mana akan tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (hesistancy), berjalan dengan kaki diseret (shuffling), atau berjalan yang semakin cepat (festination), hipomimia (berkurangnya ekspresi wajah), hipophonia (berkurangnya volume suara), mikrografia (tulisan tangan yang semakin kecil). Tanda Myerson positif bila kedua mata pasien berkedip-kedip
dengan gencar bila dilakukan pengetukan di atas pangkal hidung.
Selain itu, pasien juga dapat menunjukkan adanya gejala nonmotorik, yang mencakup: gangguan saat tidur (insomnia, tidur siang yang berlebihan, REM sleep behavioral disorder), gejala otonomik dan sensorik (konstipasi, hipotensi ortostatik, pusing, disfungsi seksual, diaphoresis, sialorrhea, seborrhea, nyeri, paresthesia, hyposmia), depresi, psikosis (halusinasi, delusi), demensia, gelisah, serta gejala tambahan lainnya seperti mual, mudah lelah, penurunan berat badan, dan jatuh (DeMaagd, 2015).
VI. Diagnosis Sementara
VI.1. Diagnosis Pertama
a) Diagnosis klinik : Nyeri punggung bawah
b) Diagnosis topik : Nerve root N. Ischiadicus L4 – L5
c) Diagnosis etiologi : LBP spesifik dd/ nonspesifik
X.1. Diagnosis Kedua
a) Diagnosis klinik : Parkinsonisme dengan Resting Tremor,
Bradikinesia, dan Rigiditas
b) Diagnosis topik : Bangunan ekstrapiramidal
c) Diagnosis etiologi : Neurodegeneratif dd/ gangguan metabolik,
gangguan elektrolit, gangguan hormonal
VII. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 1 April 2021 (hari ke-3
perawatan) pukul 16.15 WIB di Bangsal Wijaya Kusuma – VIP RSUD dr.
Gunawan Mangunkusumo Ambarawa.
a) Keadaan umum : tampak sakit sedang
b) Kesadaran : compos mentis [GCS: E4V5M6]
c) Tanda vital
Tekanan darah : 142/74 mmHg Frekuensi nadi : 88 x/menit Laju pernapasan : 20 x/menit Suhu : 37,2 oC SpO2 : 98%
d) Status Generalis
Kepala : normocephal, rambut terdistribusi normal, tidak mudah dicabut, jejas (-)
Wajah : hipomimia (+), face mask (+), Myerson sign (+) Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor Ø (3mm/3mm), refleks pupil direk (+/+), refleks pupil indirek (+/+), refleks kornea (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), deviasi septum (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), membran timpani sulit dinilai, sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/), nyeri ketok mastoid (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), karies dentis (-), faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1, atrofi papil lidah (-), tremor lidah (+)
Leher : simetris, pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba, JVP 5±2 cmH2O
Thorax :o Cor Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi :
Batas kanan atas : ICS II linea parasternal dextra Batas pinggang jantung : ICS II linea parasternal sinistra Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternal dextra Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis
sinistra Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-), sela iga
tidak melebar Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri Perkusi : terdengar sonor pada seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler (+/+). RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-) Abdomen :
Inspeksi : datar, asites (-), massa (-), spider nevi (-). Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, nyeri tekan otot paravertebra (+/+), nyeri ketok CVA (+/+), ballotement (-)
Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas : akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), CRT
(< 2 dtk), turgor kulit cepat kembali (<3
dtk)
e) Status Psikiatrik
Tingkah laku : normoaktif Perasaan hati : normoritmik (eutimia, normoafek) Orientasi : orientasi orang, waktu, dan tempat baik Kecerdasan : dalam batas normal Daya ingat : dalam batas normal
f) Status Neurologis
1) Sikap tubuh : Simetris2) Gerakan abnormal : resting tremor (+) pada kedua tangan,
mioklonus (-) , chorea (-)3) Cara berjalan : tidak dapat dinilai4) Pemeriksaan saraf kranial
NERVUS CRANIALIS Kanan Kiri
N.I Daya penghidu Normal Normal
N.II
Daya penglihatan LP with projection NLP
Penglihatan warna – –
Lapang pandang – –
N.III
Ptosis – –
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Reflek cahaya langsung + +Reflek cahaya konsensuil + +
Strabismus divergen – –
N.IV
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen – –
Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
N.V
Sensibilitas muka Normal Normal
Refleks kornea + +
Trismus – –
N.VIGerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen – –
N.VII
Kedipan mata Normal Normal
Lipatan nasolabial Simetris
Sudut mulut Simetris
Mengerutkan dahi Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Meringis Normal Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
Daya kecap lidah 2/3 depan Tidak dinilai
N.VIII
Mendengar suara berbisik – –
Mendengar detik arloji – –
Tes Rinne + +
Tes Schawabach memendek memendek
Tes Weber Lateralisasi ke telinga kiri
N. IX
Arkus Faring SimetrisDaya kecap lidah1/3 belakang Tidak dinilai
Reflek muntah Dalam batas normal
Sengau –
Tersedak –
N.X
Arkus Faring Simetris
Bersuara Normal
Menelan Normal
N.XII
Memalingkan kepala Normal Normal
Sikap bahu Normal Normal
Mengangkat bahu Normal Normal
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII
Sikap Lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah +
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah Eutrofi
Fasikulasi -
5) Pemeriksaan Refleks
a) Refleks Fisiologis b) Refleks Patologis
6) Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas Kanan Kiri
EksteroseptifTaktil + +Nyeri + +
Thermi tidak dinilai tidak dinilaiPropioseptif
Rasa gerak dan sikap + +Rasa getar + +
Diskriminatif
Refleks Kanan Kiri
Babinski - -Chaddock - -
Oppenheim - -Gordon - -
Schaeffer - -Achilles - -
Mendel Bachterew - -Rosollimo - -
Hofman Trommer - -
Refleks Kanan Kiri
Biceps sdn sdnTriceps sdn sdn
Ulna sdn sdnRadius sdn sdnPatella sdn sdn
Achilles sdn sdn
Rasa gramestesia + +Rasa barognosia + +Rasa topognosia + +
7) Pemeriksaan Motorik
G B B K 5/5/5 5/5/5 Tn N N
T T 5/5/5 5/5/5 N N
RF + + RP - -
+ + - -
Ditemukan rigiditas pada keempat ekstremitas dengan cogwheel phenomenon.
8) Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan
Cara berjalan : tidak dapat dinilai Tes Romberg : tidak dapat dinilai Tes Fukunda : tidak dapat dinilai Tes telunjuk-hidung : tidak dapat dinilai Tes telunjuk-telunjuk : tidak dapat dinilai Disdiadokokinesia : tidak dapat dinilai Rebound phenomenon : -
9) Pemeriksaan Fungsi Kognitif
Pemeriksaan fungsi kognitif dengan Mini Mental State Examination (MMSE) sulit dilakukan karena keterbatasan visual dan auditorik pada pasien.
10) Pemeriksaan Fungsi Vegetatif
Miksi : frekuensi BAK meningkat (+), nokturia (+), urgensi (+), hesistensi (-), inkontinensia uri (-), disuria (-)
Defekasi : belum BAB sejak 3 hari yang lalu
11) Pemeriksaan Khusus
Test Lasegue : +/+ Test Cross Lasegue : -/-
Test Patrick : -/- Test Contra Patrick : -/- Test Naffziger : -/- Test Valsava : -/-
VIII. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Normal Satuan
HEMATOLOGI (29/03/21)Hemoglobin 12,2 (L) 13,2 – 17,3 g/dl
Leukosit 5,6 3,8 – 10,6 ribuEritrosit 4,51 4,4 – 5,9 Juta
Hematokrit 35,3 (L) 40 – 52 %Trombosit 215 150 – 400 Ribu
MCV 78,3 (L) 82 – 98MCH 27,1 27 – 32 Pg
MCHC 34.6 32 – 37 g/dLRDW 15,7 10 – 16 %MPV 8,2 7 – 11 mikro m3
Limfosit 0,68 (L) 1,0 – 4,5 10^3/mikroMonosit 0,54 0,2 – 1,0 10^3/mikroEosinofil 0,03 0,04 – 0,8 10^3/mikroBasofil 0,01 0 – 0,2 10^3/mikro
Neutrofil 4,34 1,8 – 7,5 10^3/mikroLimfosit% 12,1 (L) 25 – 40 %Monosit% 9,7 (H) 2 – 8 %Eosinofil% 0,6 (L) 2 – 4 %Basofil% 0,1 0 – 1 %
Neutrofil% 77,5 (H) 50 – 70 %PCT 0,175 0,2 – 0,5 %PDW 7,2 (L) 10 – 18 %ALC 680 (L) 1000 – 4500 u/lNLR 6,38 (H) < 3,13 -
KIMIA KLINIK (30/03/21)Glukosa Sewaktu 97 74 – 106 mg/dL
SGOT 20 0 – 50 IU/LSGPT 9 0 – 50 IU/LUreum 37 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0,78 0,62 – 1,1 mg/dLAsam Urat 4,76 2 – 7 mg/dL
HDL Direct 25,0 (L) 28 – 63 mg/dLLDL Cholesterol 54 <150 mg/dL
Total Protein 5,98 6 – 8 g/dLAlbumin 3,63 3,4 – 4,8 g/dLGlobulin 2,35 2,0 – 4,0 g/dL
Cholesterol 95
<200Dianjurkan 200-239
Risiko Sedang >=240 Risiko tinggi
mg/dL
Trigliserida 81 70 – 140 mg/dLNatrium 140 136 – 146 mmol/LKalium 3,8 3,5 – 5,1 mmol/LChlorida 109 (H) 98 – 106 mmol/L
SEKRESI DAN EKSKRESI – URIN LENGKAP (29/03/21)Warna Kuning
Kekeruhan JernihProtein Urine 1+0,3 NegatifGlukosa Urine negatif Negatif
pH 5,0 5 – 9Bilirubin Urine negatif NegatifUrobilinogen 1+2 Negatif
Berat Jenis Urine 1,030 1,000 – 1,030Keton Urine negatif Negatif
Leukosit negatif NegatifEritrosit +-10 Negatif
Nitrit negatif NegatifSedimen -Eritrosit 183,2 <6,4 uLLeukosit 12,0 <5,8 uL
Epitel 16,6 <3,5 uLSilinder 0,45 <0,47 uLBakteri 22,4 <23 uLKristal 0,1 Negatif -Yeast 0,0 Negatif -
Epitel Tubulus 12,5 Negatif -Silinder Patologis 0,34 Negatif -
Mucus 0,22 Negatif -Sperma 0,0 Negatif -
Konduktivity 14,2 Negatif -
b) Elektrokardiografi (29/03/21)
Interpretasi : Irama : Sinus Rate : 86 x/menit Axis : LAD PR Interval : Normal 0,14 S QRS : Sempit 0,09 S Ruang Jantung : - Koroner : - Lain-lain : -
Kesan : Normal
c) Radiologi (29/03/21)
Rontgen Thorax AP Rontgen Vertebrae Lumbosakral AP / Lateral
IX. Diskusi Kedua
Berdasarkan data objektif dari pemeriksaan fisik, didapatkan jika
tingkat kesadaran dan tanda vital pasien secara umum dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status generalis untuk wajah didapatkan adanya
hipomimia (+), face mask (+), Myerson sign (+) saat dilakukan pengetukan
jari pada area pangkal hidung/glabella. Pada pemeriksaan rongga mulut
dan abdomen masing-masing didapatkan adanya tremor pada lidah dan
nyeri ketok CVA (+/+) serta spasme dan nyeri tekan pada otot
paravertebra bilateral.
Kesan: Bentuk dan letak
jantung normal Kalsifikasi arcus aorta Gambaran
bronkopneumonia
Kesan: Spondylolisthesis ke anterior
corpus vertebra L3 dan L4 (grade I) Wedging compression corpus
vertebra L1 (grade III) Biconcave compression corpus
vertebra L3 (grade I) Spondylosis thoracolumbalis Penyempitan diskus dan foramen
intervertebralis L3-4 dan L4-5
Hasil dari pemeriksaan status neurologis ditemukan adanya
gerakan abnormal berupa resting tremor (+) pada kedua tangan yang akan
berkurang intensitasnya apabila pasien diminta mengangkat kedua
tangannya. Pada pemeriksaan nervus cranialis, terutama untuk :
Nervus opticus (VII) ditemukan bahwa ketajaman penglihatan pada kedua
mata pasien sangat menurun, di mana untuk mata kanan (OD) didapatkan
berupa light perception with projection yang berarti pasien dapat
mengidentifikasi sumber cahaya yang diberikan pada ruangan gelap dalam
jarak 30 cm dengan arah yang tepat sesuai 4 kuadran lapang pandang serta
untuk mata kiri (OD) didapatkan berupa no light perception, yang berarti
pasien tidak dapat melihat stimulus cahaya yang diberikan atau buta total.
Hal ini juga sesuai dengan pengakuan keluarga pasien jika pasien seringkali
melihat lampu yang terletak di sebelah kanan di luar ruang rawat inap
pasien pada malam hari.
Nervus vestibulocochlearis (VIII) ditemukan bahwa jika pada pemeriksaan
garpu tala:
o Tes Rinne menunjukkan hasil positif pada kedua telinga
o Tes Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga kiri. Hal
ini tidak menunjukkan jika telinga kiri merupakan telinga yang
sehat, namun kemungkinan telinga kiri memiliki derajat ketulian
sensorineural yang lebih ringan dibandingkan dengan yang kanan.
o Tes Schwabach menunjukkan hasil memendek pada kedua telinga
sehingga dapat diidentifikasi jika kedua telinga pasien mengalami
tuli sensorineural.
Nervus hipoglossus (XII) ditemukan adanya tremor pada lidah saat
dijulurkan.
Pemeriksaan sensibilitas pada pasien secara keseluruhan dalam
batas normal. Pemeriksaan motorik pada pasien ditemukan adanya gerakan
yang terbatas pada kedua tungkai dan rigiditas pada keempat ekstremitas
dengan cogwheel phenomenon. Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan
serta fungsi kognitif sebagian besar tidak dapat dilakukan pada pasien
karena masalah keterbatasan visual, auditorik, dan sensorik terkait nyeri
punggung bawah pasien yang akan bertambah berat saat posisi berdiri atau
berjalan. Pemeriksaan refleks fisiologi juga sulit dinilai karena rigiditas
yang terdapat pada persendian keempat ekstremitas.
Berdasarkan adanya temuan tiga dari empat tanda kardinal sesuai
dengan kriteria Hughes, yaitu tremor saat istirahat, rigiditas, serta
bradikinesia, maka hal ini dapat mengarah pada penegakan diagnosis
Definite Parkinson Disease pada pasien.
Adapun kriteria diagnosis klinis lain untuk Penyakit Parkinson
menurut MDS (Movement Disorders Society) Clinical Diagnostic Criteria
for Parkinsons Disease tahun 2015 juga ikut menyertakan gejala
nonmotorik pada Parkinson. Pasien dalam kasus ini dapat ditegakkan
diagnosis klinis Establish Penyakit Parkinson karena telah memenuhi satu
kriteria esensial (bradikinesia dan resting tremor), dua kriteria pendukung
(adanya respons positif yang signifikan terhadap terapi dopaminergik dan
resting tremor pada ekstremitas yang terdokumentasi) tanpa ditemukan
adanya kriteria eksklusi absolut atau kriteria red flags.
Gambar 11. Penegakan Diagnosis Penyakit Parkinson menurut MDS Clinical
Diagnostic Criteria for Parkinsons
Sedangkan berdasarkan perjalanan klinis, penyakit Parkinson
diklasifikasikan berdasarkan staging Hoehn and Yahr.
Tabel 4. Staging Hoehn and Yahr
Pasien dalam kasus ini termasuk ke dalam stadium 2, di mana
pasien memiliki gejala bilateral di mana tremor saat istirahat tampak pada
kedua tangan, terdapat kecacatan minimal, dan sikap ataupun cara jalan
mulai terganggu dalam langkah-langkah yang kecil, namun pasien belum
mengalami instabilitas postural saat berjalan.
Gambar 11. Staging Hoehn and Yahr
Hingga saat ini belum terdapat adanya pemeriksaan yang definitif
dalam mengonfirmasi diagnosis penyakit Parkinson saat pasien masih
hidup. Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit gabungan antara
klinis gejala parkinsonisme dengan temuan patologi anatomi yang
spesifik, yaitu hilangnya neuron dopaminergik di daerah substansia nigra
pars compacta, dengan munculnya gambaran inklusi sitoplasmik
eosinofilik Lewy bodies. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk
menunjang informasi tambahan pada pasien dengan Penyakit Parkinson,
yaitu EEG di mana akan didapatkan adanya perlambatan gelombang listrik
otak yang berisfat progresif dan CT Scan Kepala yang dapat ditemukan
adanya atropi kortikal difus dengan sulci yang melebar, dan hidrosefalus
eks vakuo.
Pemeriksaan foto Rontgen lumbosakral dengan proyeksi
anteroposterior dan lateral pada pasien ini menunjang informasi terkait
klinis nyeri punggung bawah pada pasien di mana menunjukkan adanya
gangguan struktural pada vertebra, antara lain berupa:
Spondylolisthesis ke anterior corpus vertebra L3 dan L4 (grade I) yang
menunjukkan adanya pergeseran ke arah depan L3-L4 dengan derajat 0-25%
Gambar 11. Grading Derajat Pergeseran Vertebra Pada
Spondilolithesis
Wedging compression corpus vertebra L1 (grade III) yang menunjukkan
adanya kompresi segmen anterior corpus vertebral L1 dengan derajat
deformitas >40%
Biconcave compression corpus vertebra L3 (grade I) yang menunjukkan
adanya bagian tengah corpus vertebral L3 yang kolap dengan derajat
deformitas >40%
Gambar 12. Grading Derajat Vertebral Compression
Spondylosis thoracolumbalis yang menunjukkan adanya kelainan
progresif pada diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra, ligamen
atau jaringan lunak sekitar vertebra thoracalis dan lumbal
Penyempitan diskus dan foramen intervertebralis L3-4 dan L4-5, yang
membuat terkompresinya radiks saraf oleh dural sehingga mengakibatkan
iskemik dan inflamasi dan timbulnya nyeri pada punggung bawah, gluteus,
menjalar hingga ke bagian anterior regio femoral, bagian lateral regio cruris,
atau bagian dorsal pedis sesuai dengan tingkat dermatomnya. Adanya
kompresi saraf akibat gangguan struktural pada vertebra dibuktikan pada
pemeriksaan Straight Leg Raising Test (Lasegue test) positif pada kedua
tungkai yang berarti nervus ischiadicus di L4 – L5 atau L5 – S1 akan semakin
terstimulasi akibat peningkatan ketegangan dural.
X. Diagnosis Akhir
X.2. Diagnosis Pertama
a) Diagnosis klinik : Ischialgia bilateral
b) Diagnosis topik : N. Ischiadicus (L4-S1)
c) Diagnosis etiologi : Radiculoneuropathy Lumbosacral
d) Diagnosis tambahan : Suspek Infeksi Saluran Kemih
X.3. Diagnosis Kedua
e) Diagnosis klinik : Establish Penyakit Parkinson Stadium 2
f) Diagnosis topik : Ganglia Basal, Substantia Nigra Pars
Compacta
g) Diagnosis etiologi : Degenerasi neuron dopaminergik
h) Diagnosis tambahan : Suspek Infeksi Saluran Kemih
XI. Penatalaksanaan
Medikamentosa- IVFD Asering 20 tpm- Inj Methylcobalamin 1x1- Inj Ketolorac 3x1- Inj Ranitidin 2x1- PO Siprol 1x1- PO Eperison 2x1- PO Fluoxetin 0-0-1- PO Asam Folat 2x1- PO Levacid 2x1
Non medikamentosa- Pasang nebulizer bila sesak- Pemasangan korset- Fisioterapi
XII.Prognosis
Death : bonam Disease : bonam Disability : dubia ad bonam Discomfort : dubia ad bonam Dissatisfaction : dubia ad bonam
XIII. Diskusi Ketiga
XIII.1 Hubungan Parkinsonisme dengan Nyeri Punggung Bawah
XIII.1.1. Epidemiologi
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif kronis
yang ditandai dengan gejala motorik, seperti tremor saat istirahat,
bradikinesia, rigiditas, dan instabilitas postural serta gejala nonmotorik,
seperti disfungsi sensorik. Disfungsi sensorik pada penyakit Parkinson
umumnya terdiri dari nyeri; disfungsi visual, olfaktorik, atau vestibular;
serta defisit visual dan visuokognitif primer. Nyeri dapat terjadi pada
setiap tahapan penyakit Parkinson, termasuk tahap premotor yang
merupakan salah satu gejala yang paling umum dan mengganggu pada
pasien PD dengan tingkat prevalensinya mencapai sekitar 40 -85%.
Sensasi nyeri/tidak menyenangkan pada penyakit Parkinson dapat dibagi
menjadi beberapa kategori, yaitu mencakup nyeri muskuloskeletal, nyeri
radikuler atau neuropatik, nyeri terkait distonia, akathitic discomfort, dan
nyeri primer atau parkinsonian sentral. Jenis nyeri yang paling umum pada
PD adalah nyeri muskuloskeletal yang diperkirakan mencapai hingga 70%
dari pasien PD dengan nyeri.
Masalah muskuloskeletal spesifik pada PD dapat berupa masalah
shoulder, nyeri punggung bawah, deformitas, arthritis, osteoporosis, dan
fraktur. LBP seringkali timbul bertepatan dengan progresi penyakit
Parkinson. Pada hampir 30% kasus, LBP merupakan gejala inisial dari PD.
Selain itu, prevalensi LBP dengan PD mencapai sekitar 60 – 83%
dibandingkan dengan 25% pada subjek kontrol yang cocok sehingga hal
ini menimbulkan kemungkinan bahwa gangguan postural PD dapat
diperburuk oleh adanya LBP ataupun sebaliknya.
Namun, intensitas LBP biasanya dikaitkan dengan tingkat
keparahan tanda motorik PD dan semakin lanjutnya stadium penyakit.
Pada PD, progresivitas penyakit menghasilkan abnormalitas rangka aksial
seperti skoliosis, fleksi leher yang ekstensif (kepala menunduk), fleksi
badan (camptocormia), dan sindrom Pisa, yang dapat meningkatkan risiko
LBP.
XIII.1.2. Relevansi Klinis
Nyeri punggung bawah merupakan kondisi yang berkaitan dengan
muskuloskeletal, sedangkan penyakit Parkinson merupakan kondisi terkait
neurodegeneratif. Meskipun berbeda, kedua penyakit ini hadir dengan
gangguan domain kontrol postural dan perubahan terkait dengan
neurofisiologi sentral, yaitu:
a) Berkurangnya persepsi dan perubahan integrasi somatosensori untuk
kontrol keseimbangan;
Pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan gangguan sensasi
taktil dan gangguan kinesthesia untuk mendeteksi posisi tungkai selama
gerakan aktif serta untuk mendeteksi tungkai pasif dan rotasi batang tubuh.
Pasien dengan LBP menunjukkan gangguan diskriminasi dua titik dan
tidak dapat secara kinestetik mempersepsikan lumbar trunk berdasarkan
jejak citra tubuh. Keduanya terkait dengan gangguan ketajaman taktil dan
kinesthesia.
Pasien dengan PD menunjukkan kemampuan yang terganggu
untuk membatasi postural sway selama keseimbangan berdiri ketika input
somatosensori tidak sesuai dengan input visual dan/atau vestibular.
Demikian juga, pasien dengan LBP juga menunjukkan peningkatan
postural sway dalam kondisi di mana input somatosensori tidak sesuai
dengan modalitas lainnya.
Untuk pasien dengan LBP, gangguan postural mungkin
terlokalisasi pada pemrosesan propriosepsi dan kontrol batang tubuh,
dengan kemungkinan kompensasi melalui pemrosesan aferen yang
ditingkatkan dan penggunaan ekstremitas distal untuk mengontrol postural
sway saat berdiri. Dengan demikian, orang dengan LBP dan PD sama-
sama menunjukkan kemampuan yang terganggu untuk memodulasi
pengaruh input somatosensori permukaan untuk menjaga keseimbangan
saat berdiri.
*)Postural sway interaksi antara kekuatan destabilisasi yang bekerja
pada tubuh dan sistem kontrol postural untuk mencegah hilangnya
keseimbangan.
Gambar 9. Kesamaan Presentasi Klinis Nyeri Punggung Bawah dan Parkinson’s Disease
b) Rigiditas dan tonus postural aksial yang berlebihan;
Rigiditas (resistensi terhadap gerakan pasif) adalah salah satu
gejala utama PD yang bersifat pervasif dan dapat terlihat di seluruh
segmen tubuh aksial, proksimal, dan distal sehingga mempengaruhi
mobilitas, keseimbangan, dan kehidupan sehari-hari. Kekakuan aksial atau
spinal-segmental juga umum terjadi pada orang dengan LBP
c) Penyesuaian postural antisipatif yang tertunda dan tidak spesifik (APA :
delayed and non-specific anticipatory postural adjustments) untuk
menstabilisasi dan memfasilitasi gerakan volunter.
Anticipatory postural adjustments merepresentasikan aktivasi otot
terprogram yang dipelajari dari segmen tubuh pendukung untuk
menetralisasi kekuatan yang mengganggu (perturbing forces) yang
diantisipasi terkait dengan gerakan volunter untuk mempertahankan postur
dan keseimbangan. Gerakan yang efisien bergantung pada waktu dan
amplitudo yang spesifik terhadap gerakan yang tepat dari APA.
Untuk PD, APA yang terganggu tampak jelas pada beberapa
aktivitas, seperti inisiasi langkah dan pengangkatan lengan. Menariknya,
serupa dengan temuan pada pasien PD, pasien dengan LBP juga
menunjukkan APA tertunda yang tidak spesifik pada kebutuhan gerakan.
d) Respons postural otomatis (APR : automatic postural responses) non-
spesifik dan kurang efektif terhadap gangguan eksternal;
APR merepresentasikan respons yang cepat, otomatis, tetapi secara
fungsional spesifik terhadap gangguan postur untuk mempertahankan
postur dan keseimbangan.
Untuk PD dan LBP, APR menghasilkan gangguan stabilitas yang
ditandai dengan perpindahan pusat massa yang lebih besar dan
pengurangan perpindahan pusat tekanan korektif, gangguan spesifisitas
arah dari APR di mana strategi pengerasan non-spesifik dari ko-kontraksi
otot antagonis terbukti. Pasien dengan LBP juga menunjukkan redistribusi
kontrol untuk APR melalui kompensasi pada segmen tubuh distal yang
tidak terbukti dengan PD.
e) Lambatnya berjalan kaki dan aktivitas lainnya (bradikinesia)
Pada pasien dengan PD, bradikinesia dapat menjangkau gerakan di
seluruh segmen tubuh, seperti finger tapping, tersenyum, dan gaya
berjalan yang ditandai dengan kecepatan yang melambat, panjang langkah
yang berkurang, serta asimetri dan variabilitas langkah. Sama halnya
seperti PD, pada pasien dengan LBP, bradikinesia juga tidak hanya
terisolasi untuk gaya berjalan, namun juga disertai dengan gerakan tubuh
yang melambat, gangguan koordinasi batang tubuh, dll.
XIII.1.3. Neuropatologi
Disfungsi sirkuit yang melibatkan ganglia basal merupakan
patofisiologi khas yang terkait dengan perkembangan dan tingkat
keparahan gejala motorik pada PD, yaitu instabilitas postural dan
gangguan gaya berjalan.
LBP juga dapat berkaitan dengan adanya patologi pada ganglia
basalis. Transisi antara LBP akut menuju kronis berkaitan dengan
berkurangnya gray matter striatal di beberapa nuclei serta dengan
peningkatan konektivitas fungsional antara cortex prefrontal dan nucleus
accumbens; peningkatan konektivitas ini juga berkorelasi dengan
intensitas nyeri yang dilaporkan. Pada subjek dengan LBP kronis, terdapat
banyak perubahan terkait dalam struktur saraf dan fungsi yang tidak selalu
mirip dengan PD, termasuk daerah non-overlapping dari gray matter
kortikal yang berkurang dan gray matter striatal yang meningkat. Dengan
demikian, patologi kortikostriatal dapat mempengaruhi PD dan LBP,
namun dengan karakteristik patologi yang sangat berbeda. Seperti yang
ditentukan oleh stimulasi magnetik transkranial repetitif, durasi APA yang
berkepanjangan pada orang dengan PD selama inisiasi langkah dikaitkan
dengan fungsi sirkuit yang melibatkan supplementary motor area, dan
pengaruh stimulasi pada supplementary motor area terhadap durasi APA
tampaknya meningkat dengan seiring dengan tingkat keparahan penyakit.
Selama berjalan, pasien dengan PD menunjukkan peningkatan aktivitas
lobus frontal atau singkatnya, adanya peningkatan pengaruh korteks
serebral pada kontrol postural untuk pasien dengan PD. Pasien dengan
LBP juga menunjukkan bukti peningkatan pengaruh korteks serebral pada
kontrol postural.
Mengingat sistem kompleks yang mengontrol postur dan gaya
berjalan (60), beberapa kesamaan neuropatologis ini tidak menunjukkan
bahwa mereka diperlukan dan cukup untuk menghasilkan perilaku motorik
bersama dari LBP dan PD. Kesamaan secara keseluruhan pada presentasi
postur dan gaya berjalan antara LBP dan PD lebih besar dibandingkan
pada LBP dengan kondisi neurologis lainnya (misalnya: gangguan
serebelar atau vestibular, neuropati perifer, stroke), yang berbeda dalam
kondisi sensorik dari gangguan keseimbangan saat berdiri, rigiditas
trunkal, spesifisitas kontekstual, scaling, timing APA dan APR, serta gaya
berjalan parkinsonian versus pola ataksik, neuropatik, atau hemiparetik.
Oleh karena itu, mengorelasikan kontrol postur dan gaya berjalan pada
pasien LBP dengan PD tampak lebih kuat dibandingkan dengan opsi lain.
XIV. Follow-Up
29 Maret 2021
S
Nyeri punggung bawah pada kedua sisi sejak 1 bulan SMRS, menjalar
(+), VAS 8, sulit berjalan dan menggangkat kaki (+), kesemutan (-), lemah anggota gerak (-), BAK
meningkat, BAB dbn
Planning
Inf RL 20 tpm Inj Ketorolac 1 amp Inj Ranitidin 1 amp Pasang DC
Laboratorium Darah Lengkap, Urinalisis, dan
Kimia Klinik (GDS, fungsi hepar, fungsi ginjal, profil lipid)
Ro Thorax AP dan Ro Lumbosacral AP/Lateral
O
Keadaan umum: sakit berat Kesadaran: compos mentis Tanda vital:
TD: 142/74 | SpO2: 98% | FN: 88 | RR: 20 | Suhu: 37˚C |
Ekstremitas bawah: Motorik 5/5/2/2 Sensibilitas taktil +/+/+
A LBP, Pyriformis Syndrome
30 Maret 2021
S
Nyeri punggung bawah (+) membaik, VAS 6, hilang timbul; kedua kaki dapat diangkat namun
masih nyeri; terasa kebas / kesemutan (-), BAK (+) (-) disuria,
BAB (-) Ketorolac 2x1 Omeprazole 2x1 Ranitidin 2x1 Sucralfat 4xc1 Gabapentin 3x1
Menunggu expertise Ro Thorax AP dan Ro
Lumbosacral AP/Lateral
O
Keadaan umum: sakit sedang Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: 130/80 | SpO2: 98% | FN: 84
| RR: 20 | Suhu: 37,1˚C | Ekstremitas bawah:
Motorik 5/5/4/4 + cogwheel rigidity (+)
Sensibilitas taktil +/+/+/+Hasil lab darah rutin, profil lipid,
gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit, dan urinalisis lengkap
terlampirA LBP, Pyriformis Syndrome
31 Maret 2021
S Nyeri punggung bawah (+) tidak berkurang sejak kemarin, terutama saat berubah posisi, menjalar (-), rigiditas (+), tremor kedua tangan
(+), halusinasi visual (+), kesemutan (-), BAK (+), BAB (-)
Inj Ketorolac 2x1 Inj Ranitidin 2x1 Inj Methylcobalamine
1x1 Eperison 2x1 Fluoxetin 1x1
(malam) Asam folat 2x1 Levazide 2x1
Konsultasi ke Dokter Spesialis Paru
Konsultasi ke Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Medik
Konsultasi ke Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin
O
Keadaan umum: sakit sedang Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: 133/69 | SpO2: 98% | FN: 84
| RR: 20 | Suhu: 37,1˚C | Face mask (+), Myerson sign (+) Ulkus dekubitus (+) pada gluteus Ekstremitas:
Motorik 5/5/5/5 + tremor kedua tangan (+) + cogwheel rigidity (+)
Sensibilitas taktil +/+/+/+Hasil Ro Thorax AP dan Ro
Lumbosacral AP/Lateral terlampir
ALBP Spondilogenik + Parkinson
Disease Stage 2 + Ulkus Dekubitus + Susp PPOK
1 April 2021
S
Nyeri punggung bawah (+) terasa makin memberat terutama saat berubah posisi, menjalar (-),
rigiditas (+), tremor (+) berkurang, sulit tidur (+), halusinasi visual (+), kesemutan (-), BAK (+), BAB (-)
sejak masuk RS, sakit kepala/pusing (-)
Inj Ketorolac 2x1 Inj Ranitidin 2x1 Inj Methylcobalamine
1x1 Siprol@ 1x1 Eperison 2x1 Fluoxetin 1x1
(malam) Asam folat 2x1 Levazide 2x1
O Keadaan umum: sakit sedang Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: 137/77 | SpO2: 98% | FN: 78
| RR: 20 | Suhu: 36,8˚C | Face mask (+), Myerson sign (+) Ekstremitas:
Motorik 5/5/5/5 + tremor kedua tangan (+) + cogwheel rigidity (+)
Sensibilitas taktil +/+/+/+
Jawaban Konsultasi : dr. Sp.KFR pemakaian korset
dan latihan peningkatan kapasitas aerob, penguatan dan peregangan otot, serta latihan
keseimbangan dr. Sp.P kondisi saat ini
stabil, tidak didapatkan tanda dan gejala infeksi paru
dr. Sp.KK ulkus dekubitus, Th/: asam fusidat cream 2x sehari dan ganti posisi tirah baring.
A LBP Spondilogenik + Parkinson Disease Stage 2
3 April 2021
S
Nyeri punggung bawah (+) intensitas berkurang, menjalar (-),
rigiditas (+), tremor (+) tidak berkurang sejak kemarin, sulit tidur (+), disorientasi waktu dan tempat semalam (+), kesemutan (-), BAK
(+), BAB (-) sejak masuk RS
Inj Ketorolac 2x1 Inj Ranitidin 2x1 Inj Methylcobalamine
1x1 Siprol@ 1x1 Eperison 2x1 Fluoxetin 1x1
(malam) Asam folat 2x1 Levazide 2x1
Besok BLPL bila kondisi stasioner (05/03/21)
O
Keadaan umum: sakit ringan Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: 147/84 | SpO2: 98% | FN: 79
| RR: 20 | Suhu: 37,3˚C | Face mask (+) Ekstremitas:
Motorik 5/5/5/5 + tremor kedua tangan (+) + cogwheel rigidity (+)
Sensibilitas taktil +/+/+/+
A LBP Spondilogenik + Parkinson Disease Stage 2
5 April 2021
S
Nyeri punggung bawah (+) masih sering timbul terutama saat posisi berbaring – duduk, menjalar (-), rigiditas (+), tremor (+) belum
berkurang sejak kemarin, sulit tidur (+), kesemutan (-), BAK (+), BAB
(-) sejak masuk RS
Korset ukuran S
Obat pulang : Parasetamol 2x650
mg Siprol@ 1x1 Eperison 2x1 THP 3×1 Mecobalamine 1x1 Asam folat 2x1 Levazide 2x1
O Keadaan umum: sakit ringan Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: 151/78 | SpO2: 96% | FN: 81
| RR: 20 | Suhu: 37,1˚C | Face mask (+) Ekstremitas:
Motorik 5/5/5/5 + tremor kedua tangan (+) + cogwheel rigidity (+)
Sensibilitas taktil +/+/+/+
Laxadine syr 3xc1
A LBP Spondilogenik + Parkinson Disease Stage 2
DAFTAR PUSTAKA
LBP
https://www.physio-pedia.com/Non_Specific_Low_Back_Pain
https://aneskey.com/classification-of-low-back-pain-and-alerts-for-different-age-
groups/
https://www.who.int/medicines/areas/priority_medicines/BP6_24LBP.pdf
EVALUASI KLINIS https://emedicine.medscape.com/article/1144130-
overview#a5
SPONDYLOLYSTHESIS
https://musculoskeletalkey.com/classification-of-spondylolisthesis/
https://www.orthobullets.com/spine/2038/adult-isthmic-spondylolisthesis
http://repository.unair.ac.id/39893/1/ABSTRAK.pdf - TERAPI LATIHAN PADA
PENDERITA SOPNDYLOLISTHESIS
vertebral compression
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3523935/pdf/i1552-5775-16-4-
46.pdf
GAMBAR
https://www.orthobullets.com/spine/2058/pediatric-spondylolysis-and-
spondylolisthesis
parkinson
https://www.amboss.com/us/knowledge/Tremor
https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0041598
https://translationalneurodegeneration.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/
s40035-017-0086-4.pdf
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542224/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470193/
parkinson-lbp
https://www.scielo.br/pdf/brjp/v3n4/1806-0013-brjp-20200192.pdf
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0303846717303475
OBAT-OBATAN
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557539/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532989/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6930825/pdf/CNS-26-5.pdf
https://www.researchgate.net/profile/Jeetendra-Gupta/publication/
339412930_Potential_Benefits_of_Methylcobalamin_A_Review/links/
5e4ff1bd458515072dafa8be/Potential-Benefits-of-Methylcobalamin-A-
Review.pdf
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557539/
https://go.drugbank.com/drugs/DB00413
https://go.drugbank.com/drugs/DB00863
https://go.drugbank.com/drugs/DB00465
https://go.drugbank.com/drugs/DB03614
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545172/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532989/#:~:text=Mechanism%20of
%20Action,-Mechanism&text=Ranitidine%20is%20a%20competitive
%20inhibitor,gastric%20acid%20volume%20and%20concentration.
https://link.springer.com/article/10.1007/s13318-011-0034-0
https://www.dovepress.com/effects-of-eperisone-hydrochloride-and-non-steroid-
anti-inflammatory-d-peer-reviewed-fulltext-article-DHPS#:~:text=Eperisone
%20hydrochloride%2C%20a%20centrally%20acting,VGSC)%20in%20the
%20brain%20stem.
https://go.drugbank.com/drugs/DB00472
https://go.drugbank.com/drugs/DB00158
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459223/#:~:text=Fluoxetine%20exerts
%20its%20effects%20by,the%205HT2A%20and%205HT2C%20receptors.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554487/
https://jnnp.bmj.com/content/jnnp/74/4/549.1.full.pdf