KASUSjiwa
-
Upload
pratiwi-akbar -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
description
Transcript of KASUSjiwa
REFLEKSI KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. S
No RM : 3211
Usia : 67thn
Agama : Islam
Alamat : Cawan
B. Kasus
Seorang perempuan datang ke puskesmas untuk pengobatan rutin Diabetes Melitus
dan cek kadar gula darah. Selain untuk cek rutin pasien mengeluhkan sulit tidur dan
sering merasakan kepalanya pusing terutama ketika sedang memikirkan masalah
keluarganya yang sudah memiliki empat tinggal masing-masing, pasien tinggal
sendirian dan merasa kesepian, pasien sering terbangun di malam hari dan kesulitnn
untuk tidur kembali. Pasien merasakan keluhan sejak pasien pensiun dari
pekerjaannya. Pasien serin merasa kehilangan minat, malas melakukan aktivitas dan
mudah tersinggung.
Pertanyaan :
Apa itu depresi pada lansia ? Bagaimana efektivitas pengobatan paroxetine dan
psikoterapi terhadap depresi pada lansia ?
C. Pembahasan
Depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan
yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi
perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2007)
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat
merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons dari
kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan.
Depresi pada lansia adalah depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor
pada lansia adalah didiagnosa ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua
gejala inti (mood terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan)
bersama dengan empat atau lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2 minggu:
perasaan diri tidak berguna atau perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk
berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi atau retardasi psikomotor,
insomnia atau hipersomnia, perubahan signifikan pada berat badan atau selera makan,
dan pemikiran berulang tentang kematian atau gagasan tentang bunuh diri (American
Psychiatric Association/APA, 2000).
Prevalensi depresi pada lansia berjenis kelamin wanita lebih tinggi. Alasan
untuk perbedaan ini meliputi perbedaan hormonal, efek-efek dari melahirkan,
perbedaan stressor psikososial, dan model-model perilaku dari learned helplessness
(Sadock & Sadock, 2007). Wanita memiliki risiko untuk depresi lebih tinggi daripada
pria, bahkan di masa tua (Gallo & Gonzales, 2001). Pada penelitian oleh Schoever et
al (2000) didapati prevalensi depresi pada pria sebesar 6,9% dan sebesar 16,5% pada
wanita. Pada penelitian oleh Schoever tersebut dapat dilihat pada subjek penelitian
bahwa disabilitas fungsional lebih sering terjadi pada wanita dan lebih banyak wanita
yang tidak atau tidak lagi menikah.
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut (Damping, 2003)
adalah:
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi, antara lain:
analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi, antipsikotik, antikanker,
ansiolitika, dan lain-lain.
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah
gangguan endokrin, neoplasma, gangguan neurologis, dan lain-lain.
3. Teori neurobiologi
Para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada depresi lansia. Pada
beberapa penelitian juga ditemukan adanya perubahan neurotransmiter pada
depresi lansia, seperti menurunnya konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamin,
asetilkolin, serta meningkatnya konsentrasi monoamin oksidase otak akibat proses
penuaan. Atrofi otak juga diperkirakan berperan pada depresi lansia.
4. Teori psikodinamik
Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung menghasilkan
pendapat bahwa hilangnya objek cinta diintrojeksikan ke dalam individu tersebut
sehingga menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Kemarahan terhadap
objek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi
perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna, dan
sebagainya.
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan
seperti keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive
helplessness pada pasien usia lanjut.
Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu periode paling
sedikit 2 minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau
kehilangan ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu
dengan depresi juga harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang
ditarik dari suatu daftar yang meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan atau
berat badan, tidur, dan aktivitas psikomotorik; energi yang berkurang; perasaan tidak
berharga atau bersalah; kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi, atau membuat
keputusan; atau pemikiran-pemikiran berulang tentang kematian atau pemikiran,
rencana-rencana, atau usaha untuk bunuh diri.
Dampak Depresi Pada Lansia
Pada usia lanjut depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan
penyakit lain hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila tidak diobati
dapat memperburuk perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis.
Depresi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler
Pada depresi timbul ketidakseimbangan hormonal yang dapat memperburuk
penyakit kardiovaskular. (Misal: peningkatan hormon adrenokortikotropin akan
meningkatkan kadar kortisol).
Metabolisme serotonin yang terganggu pada depresi akan menimbulkan efek
trombogenesis.
Perubahan suasana hati (mood) berhubungan dengan gangguan respons imunitas
termasuk perubahan fungsi limfosit dan penurunan jumlah limfosit.
Pada depresi berat terdapat penurunan aktivitas sel natural killer.
Pasien depresi menunjukkan kepatuhan yang buruk pada program pengobatan
maupun rehabilitasi.
Efektivitas paroxetine ditambah psikotherapy pada pasien lansia dengan depresi
menunjukan hasil yang baik dan menurunkan angka depresi berulang. SSRI kini telah
menjadi pengobatan lini pertama untuk depresi pada orang tua karena menguntungkan
mereka dengan efek samping dan risiko komplikasi yang rendah. Pasien menerima
pengobatan terbuka dengan paroxetine dan psikoterapi mingguan, dosis paroxetine
awalnya 10 mg per hari dan dititrasi selama periode delapan minggu untuk maksimum
dari 40 mg per hari. Depresi berat terulang dalam waktu dua tahun di 35 persen dari
pasien yang menerima paroxetine dan psikoterapi, 37 persen dari mereka yang
menerima paroxetine dan clinical management, 68 persen dari mereka yang menerima
plasebo dan psikoterapi, dan 58 persen dari mereka yang menerima plasebo dan
klinis-manajemen sesi (P = 0,02). Setelah penyesuaian untuk efek psikoterapi, risiko
relatif kekambuhan antara mereka yang menerima plasebo adalah 2,4 kali (95 persen
interval kepercayaan, 1,4-4,2) yang antara mereka yang menerima paroxetine. Jumlah
pasien perlu ditangani dengan paroxetine untuk mencegah satu kekambuhan 4 (95
persen interval kepercayaan, 2,3-10,9). Pasien dengan kondisi medis yang lebih
sedikit dan kurang parah hidup bersama (seperti hipertensi atau penyakit jantung)
menerima manfaat yang lebih besar dari paroxetine (P = 0,03 untuk interaksi antara
pengobatan dengan paroxetine dan dasar keparahan penyakit medis).