Kasus Pelangaran HAM
-
Upload
sisilia-devi-n -
Category
Documents
-
view
43 -
download
6
description
Transcript of Kasus Pelangaran HAM
Polisi Israel Didakwa Menganiaya Remaja As Keturunan Palestina
By Alexander Lumbantobing
on 11 Sep 2014 at 17:07 WIB
Liputan6.com, Yerusalem - Seorang pria di Israel ditahan karena diduga telah menganiaya
seorang remaja asal Amerika Serikat yang juga keturunan Palestina. Penganiayaan tersebut
terjadi saat korban sedang berdemonstrasi di Yerusalem Timur beberapa waktu silam.
Kementerian Kehakiman Israel menyatakan polisi yang tak disebutkan namanya tersebut
didakwa telah melakukan kekerasan secara brutal terhadap Tariq Abu Khdeir. Otoritas Israel
memiliki rekaman video yang menunjukkan tindakan polisi tersebut. Aparat yang menjadi
tersangka itu akan menjalani proses hukum selanjutnya.
"Dari bukti yang ditemukan, tersangka diduga telah melakukan tindakan kekerasan berat,"
seperti dimuat Haaretz, Kamis (11/9/2014). Tariq tinggal di Kota Tampa, Negara Bagian Florida,
AS. Ia disebut dipukuli aparat dalam unjuk rasa di Yerusalem Timur setelah kematian sepupunya
secara mengenaskan. Pihak Israel mengatakan Tariq bertindak anarkis saat unjuk rasa. Tapi
remaja berusia 15 tahun itu membantah telah melakukannya. Sepupu remaja itu, Mohammed
Abu Khdeir (16), diduga dibakar hingga tewas oleh sejumlah ekstremis Israel sebagai bentuk
balas dendam pembunuhan tiga remaja Israel di Tepi Barat.
Kematian para remaja tersebut pun menyulut rentetan aksi demonstrasi terhadap Israel. Hingga
berujung memanasnya konflik antara Israel dengan Hamas. (Riz)
Komnas Pastikan Pelanggaran HAM pada Rusuh
Bima
Selasa, 03 Januari 2012 | 14:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) memastikan
adanya pelanggaran HAM dalam pembubaran masyarakat yang memblokir Pelabuhan Sape,
Bima, 24 Desember 2011 lalu. Komisi antara lain mencatat kepolisian telah melakukan
serangkaian kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
"Peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape merupakan bukti yang cukup untuk menduga terjadinya
pelanggaran HAM sebagaimana dijamin undang-undang," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim di Jakarta, Selasa, 3 Januari 2012. Ifdhal merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut Ifdhal, pelanggaran HAM yang terjadi berupa penghilangan hak untuk hidup, hak untuk
tidak diperlakukan secara kejam dan direndahkan, hak atas rasa aman, hak anak, dan hak atas
kesehatan. Namun Komnas HAM belum menyatakan pelanggaran HAM di Bima termasuk
pelanggaran HAM berat.
Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh menambahkan, saat membubarkan massa, polisi
bertindak represif. Polisi menyerang dan menembak orang yang memblokir pelabuhan. "Bahkan
warga yang sudah menyerah tetap dipukul, ditembak dari jarak dekat, dipukul, diseret, dan
ditendang," kata Ridha.
Komnas HAM juga memastikan bahwa tiga orang korban tewas dalam insiden itu. Mereka
adalah Arif Rahman, 18 tahun, Syaiful, (17), dan Syarifudin (46). Syaiful, menurut Ridha,
ditembak saat hendak menolong Arif yang tertembak 700 meter dari arah pelabuhan. Di luar
korban tewas, Komnas HAM mencatat 30 korban luka tembak dan 9 korban tindak kekerasan.
"Ini belum termasuk data korban kekerasan yang dipenjara," ujar Ridha.
Ridha menuturkan salah seorang korban yang mengalami kekerasan bernama Hasanudin, 38
tahun. Polisi memukuli korban dengan senjata pada alis kirinya sampai robek dan harus dijahit.
Bagian kepala atasnya dipukul dengan ujung pistol sehingga bocor dan dijahit. Tak cukup
sampai di situ, polisi lantas menyeret korban hingga punggungnya terluka. "Dalam keadaan tak
sadar, korban ditembak dari jarak dekat pada bagian paha kanan sampai tembus," kata Ridha.
Polisi, Ridha melanjutkan, tidak hanya menembak ke arah massa yang memblokir pelabuhan,
melainkan juga ke arah orang-orang yang ingin menolong korban. Akibatnya, beberapa
perempuan dan anak-anak juga terkena tembakan. Dalam peristiwa itu, Komnas HAM mencatat
10 anak yang menjadi korban kekerasan aparat.
Berdasarkan semua temuan itu, Komnas HAM mendesak Markas Besar Kepolisian RI segera
menuntaskan penyelidikan dan pemeriksaan atas anggota polisi yang diduga melanggar HAM.
Komnas HAM juga meminta kepolisian tidak hanya memberi sanksi administratif, tapi juga
sanksi pidana bagi anggota polisi yang bersalah dalam kasus ini. "Harus ada sanksi tegas bagi
pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran HAM."
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/01/03/063375085/komnas-pastikan-pelanggaran-ham-
pada-rusuh-bima
Kasus Pembunuhan Angeline dan Pelanggaran UU
Pokok Agraria
Kamis, 18 Juni 2015 | 21:07 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ada sisi menarik dari kasus pembunuhan bocah berusia 8
tahun Angeline Margriet Megawe yang sepertinya luput dari perhatian publik. Sisi menarik itu
adalah masalah warisan yang diduga sebagai motif sang ibu angkat Angeline, Margriet untuk
membunuh gadis kecil itu.
Dugaan itu terkuak dari adanya dokumen perjanjian adopsi yang dibuat pada 24 Mei 2007 silam.
Pasal 2 dokumen perjanjian adopsi Angeline yang disahkan notaris Anneke Wibowo
menyebutkan: \"Pihak kedua (Margriet) akan dianggap menjadi ahli waris dari anak yang
diangkat tersebut, bila anak tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat,\" tulis
dokumen tersebut.
Yang jadi soal dalam kasus pembunuhan Angeline ini bukanlah masalah warisan itu sendiri,
tetapi soal status ibu angkat Angeline yang merupakan seorang WNI yang menikah dengan
warga negara asing bernama Douglas. Douglas menikah dengan Margriet Christina Megawe dan
bekerja pada bidang sistem seismik dan eksplorasi minyak. Pasangan tersebut diketahui memiliki
sejumlah properti di Bali.
Salah satu harta Douglas berdasarkan keterangan dari Kepala Dinas Desa Canggu, Putu Siarta,
adalah Villa di Jalan Raya Babakan Desa Canggu, Kabupaten Badung, Bali yang diperkirakan
luasnya mencapai 100 meter persegi. Selebihnya kepolisian masih menelusuri harta Douglas
yang bisa jadi ada kaitannya antara harta tersebut dengan kemungkinan motif pembunuhan
karena persoalan warisan.
Di sinilah timbul pertanyaan mendasar terkait hak Douglas selaku warga negara asing untuk bisa
memiliki properti dan tanah yang sebenarnya dilarang dalam hukum Indonesia. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria mengatur larangan kepemilikan tanah dan
hak guna bangunan oleh warga negara asing. Dan sepanjang yang diketahui hingga kini, Douglas
hingga wafatnya tak pernah mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara
Indonesia.
Pasal 21 Ayat (1) UU Agraria berisi ketentuan hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat
mempunyai hak milik. Pasal 21 Ayat (3) UU Pokok Agraria berisi aturan bagi orang asing yang
setelah UU ini disahkan mendapatkan hak milik karena warisan tanpa wasiat atau pencampuran
harta karena perkawinan dan bagi WNI yang mempunyai hak milik tapi kehilangan
kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya
hak tersebut.
Jika dalam waktu satu tahun maka hak tersebut terhapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
negara dengan hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Lalu Pasal 36 Ayat (1) UU
Pokok Agraria mengatur pihak yang mempunyai hak guna bangunan yaitu WNI dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Pasal-pasal di atas jelas melarang adanya kepemilikan baik dalam status hak milik dan hak guna
bangunan bagi warga negara asing. Nasib Margriet yang masih bisa menguasai harta milik
Douglas setelah suaminya meninggal menjadi berbeda 180 derajat dengan nasib yang dialami Ike
Farida, seorang WNI yang menikah dengan WN Jepang. Karena status pernikahannya, hak Ike
terhalang oleh pasal-pasal di atas untuk membeli rumah susun (rusun) yang diidamkannya.
Karenanya dia menggugat pasal-pasal tersebut plus pasal dalam UU Perkawinan. Ike menikah
pada Agustus 1995. Pasca menikah, Ike sama sekali tidak melepas kewarganegaraan
Indonesianya dan tetap menetap di Indonesia. Pada 26 Mei 2012, Ike pun membeli rusun.
Setelah ia membayar lunas, ternyata rusun tersebut tidak juga diserahkan padanya. Pengembang
rusun malah membatalkan secara sepihak pembelian rusun tersebut.
Pengembang melakukan pembatalan dengan alasan suami Ike adalah warga negara asing dan
mereka dituding tidak memiliki perjanjian perkawinan. Alasan tersebut tercantum dalam surat
pembatalan pengembang pada Oktober 2014. Pengembang menggunakan Pasal 36 Ayat (1) UU
Pokok Agraria soal hak guna bangunan.
Pengembang juga menggunakan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan mengatur soal harta bersama. Menurut
pengembang, pasal tersebut berisi ketentuan perempuan yang menikah dengan warga negara
asing dilarang membeli tanah atau bangunan dengan status hak guna bangunan. Atas dasar pasal-
pasal tersebut, pengembang membatalkan perjanjian lantaran khawatir akan melanggar pasal di
atas.
Dalil pengembang ini pun dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). PN
Jaktim telah menetapkan hak Ike musnah karena Pasal 36 Ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal
35 Ayat (1) UU Perkawinan. Merasa dirugikan atas pasal-pasal ini sehingga tak bisa memiliki
tanah akibat kawin campur, Ike pun mengajukan gugatan uji materi atas pasal-pasal ini ke
Mahkamah Konstitusi.
Ia merasa dirugikan atas sejumlah pasal tersebut lantaran mengakibatkan dirinya tidak akan
pernah mempunyai hak milik dan hak guna bangunan seumur hidup karena bersuaminkan orang
asing. Akibatnya ia merasa haknya sebagai warga negara Indonesia didiskriminasikan.
Menurutnya setiap warga Indonesia seharusnya memiliki hak yang sama seperti dijamin dalam
pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 bahwa tap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga Ike
merasa seharusnya ia tetap mempunyai hak milik tanah dan hak guna bangunan.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa penerapan UU Pokok Agraria dan UU
Perkawinan dalam kedua kasus itu bisa berbeda? Ike dan Margriet sama-sama menikah dengan
warga negara asing. Berdasarkan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, keduanya jelas
dilarang memiliki properti dan tanah. Namun mengapa Ike terkena dampak UU tersebut
sementara Margriet tidak?
Dalam banyak kasus, penerapan aturan dalam UU tersebut juga terkesan diskriminatif karena
tanpa diketahui, sebenarnya banyak warga negara asing yang bisa memiliki tanah dan bangunan
di Indonesia lewat perkawinan campuran. Kasus Margriet bisa menjadi salah satu contohnya.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin
mengatakan, data langsung yang menunjukkan warga negara asing memiliki hak atas tanah dan
hak guna bangunan di Indonesia bisa dipastikan tidak ada. Alasannya semua yang memiliki hak
milik dan hak guna bangunan pasti menggunakan data warga negara Indonesia.
\"Karena tidak boleh ada warga negara asing mempunyai hak milik dan hak guna bangunan di
Indonesia. Warga negara asing melakukan penyelundupan hukum biasanya dengan
menggunakan nama pembantunya atau nama orang lain yang berwarganegara Indonesia.
Sehingga data tidak ada. Tapi fenomena di Kemang, Bali, Lombok, dan Jepara itu banyak sekali
kita lihat orang-orang asing tidak hanya mempunyai rumah bahkan punya vila, hotel, dan unit-
unit usaha. Tapi atas nama orang lokal,\" ujar Iwan saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (18/6).
Ia menjelaskan, penyelundupan hukum atas hak milik dan hak guna tersebut juga bisa terjadi
dengan jalan perkawinan. Iwan mencontohkan jika seorang warga negara Indonesia menikah
dengan warga negara asing maka rumah yang mereka beli bisa menjadi harta bersama. Lalu
ketika mereka bercerai, maka harta tersebut harus dibagi.
Dihubungkan dengan kasus yang dialami Douglas dan Margriet, menurutnya pasangan tersebut
memang seharusnya tidak diperbolehkan memiliki tanah atau properti lainnya. Kalaupun bukan
atas nama mereka, maka ada kemungkinan hak milik tanah tersebut memiliki nomini atau
diatasnamakan dengan perjanjian. Menurutnya pengatasnamaan tersebut harus segera
diselesaikan.
\"Misalnya ada perjanjian seseorang yang memiliki tanah dan bangunan hanya atas nama saja,
tetapi sesungguhnya ada orang lain yang memilikinya dan membayar tanah tersebut. Itu
namanya nomini, mengatasnamakan orang. Lalu apakah itu bisa diwariskan ke orang asing? Ya
tidak bisa,\" ujar Iwan.
Menurutnya, kalau ada orang asing yang ingin memiliki hak atas tanah dengan mengakali hukum
maka sesungguhnya yang akan rugi adalah warga negara asing bersangkutan. Sebab tanah yang
diatasmakan tidak bisa diwariskan atau tidak bisa langsung dijualbelikan atas nama warga negara
asing tersebut.
Ketika akan diwariskan atau dijualbelikan, nomini atau pemilik atas nama mau tidak mau harus
selalu diikutkan dalam tiap proses. Ia mengatakan secara hukum keperdataan nomini yang
berhak mendapatkan harta atau hak milik secara keseluruhan.
\"Kalau ada perjanjian lain dan yang diatasnamakan jujur maka nggak akan melakukan
perlawanan lantaran hanya atas nama. Tapi bagaimana kalau warga negara asing tersebut
bertemu dengan orang jahat atau jika 10 tahun lagi orang berubah pikiran? Jadi yang rugi orang
asing itu sendiri sebenarnya,\" katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad
Riza Patria mengatakan hingga kini DPR juga belum memiliki data soal berapa banyak warga
negara asing yang memiliki hak atas tanah dan hak guna bangunan di Indonesia. Menurutnya
memang sejauh ini tidak ada yang memiliki data tersebut. Sebab warga negara asing biasanya
menggunakan nama istri untuk mempunyai hak milik tanah atau hak guna bangunan.
\"Tapi aturan yang ada, warga negara asing tidak boleh mempunyai hak milik. Jadi hanya hak
pakai,\" ujar Riza saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Kamis (18/6).
Riza mengatakan komisi II DPR sebelumnya memang sempat didatangi istri-istri yang memiliki
suami berkewarganegaraan asing. Para istri tersebut meminta agar mereka bisa mempunyai hak
milik untuk rumah. Sebab hingga kini karena aturan yang ada, mereka tidak bisa mempunyai hak
milik.
Terkait dengan harta kekayaan yang dimilik Douglas dalam kasus Angeline, ia mengatakan
hingga kini masih belum diketahui bentuk harta tersebut berupa tanah, rumah, uang atau logam
mulia. Menurutnya kalau harta tersebut berupa tanah maka memang akan menjadi masalah
lantaran orang asing memiliki tanah.
\"Tapi kalau hanya uang atau logam mulia maka hal tersebut dimungkinkan dan menjadi hak
bagi anaknya,\" ujarnya.
Menyangkut persoalan kepemilikan tanah oleh warga negara asing tersebut, kini DPR sedang
menggodok Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang mengatur sejauh mana sebuah tanah
bisa dimiliki orang asing atau perkawinan campur.
\"Mungkin sampai batas-batas yang sedikit, sejauh itu hak milik atas rumah tinggal bisa saja
diberikan, tapi tidak untuk investasi atau bisnis. Itu yang akan nanti kita rumuskan. Bisa saja atas
nama istri atau atas nama suami hanya sebatas rumah tinggal dan sebatas berapa ratus meter,\"
ujar Riza.
Saat ditanya soal kemungkinan kepemilikan tanah oleh asing akan lebih banyak jika ada aturan
dalam RUU Pertanahan, ia menyangkalnya. Menurutnya, jumlah orang asing tidak terlalu
banyak dan memang perlu dibatasi soal luas kepemilikan rumah tinggal tersebut.
Menyambung hal ini, menurut Iwan, konstitusi dan UU Pokok Agraria sudah jelas melarang
warga negara asing memiliki tanah di Indonesia. Pihak asing yang ingin memiliki tanah
dimungkinkan melalui badan usaha atau badan hukum yang didaftarkan di Indonesia.
Sehingga yang bersangkutan bisa memiliki hak guna usaha untuk pertanian, perkebunan, tambak,
atau saham di dunia properti. Lalu warga negara asing sebenarnya punya hak untuk satuan rusun
atau apartemen dengan persyaratan tertentu sesuai dengan undang-undang Satuan Rumah Susun.
Berbeda dengan hak milik atas tanah, menurutnya kalau warga negara asing diperbolehkan
memiliki tanah maka bisa dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sebab kepemilikan tanah
oleh asing akan menimbulkan permasalahan agrarian menjadi lebih pelik.
Ia mencontohkan kalau pemerintah membutuhkan tanah untuk kepemilikan umum dan tanah
tersebut dimiliki asing yang secara politik negaranya lebih kuat dari Indonesia maka bisa jadi
masalah hubugan diplomatik. Sehingga memang banyak negara lazim membuat aturan bahwa
hak milik atas tanah, tidak boleh diberikan pada warga negara asing.
Kalaupun ada hak, maka haknya lebih rendah dari hak milik misalnya hak guna usaha, hak guna
bangunan, dan hak pakai. \"Kalau rumah maka bukan rumah yang ada tapaknya di atas tanah,\"
lanjutnya.
Terkait kasus Angeline sendiri, Hotma Sitompoel, pengacara tersangka Margriet angkat bicara
soal tudingan ke kliennya. Menurut Hotma, isu warisan yang selama ini digembar-gemborkan
hanya isapan jempol belaka. Isu warisan di kasus Angeline hanya mengada-ada. \"Nggak ada isu
warisan,\" jelas Hotma, Kamis (18/6).
\"Memang Angeline dapat warisan darimana? Kalau Ibu Margriet meninggal baru dapat
warisan,\" jelas Hotma lagi.
Hotma juga menepis ada surat wasiat dari suami Margriet, Douglas yang juga ayah angkat
Angeline. Tidak pernah ada surat wasiat seperti itu.
Hotma menegaskan, isu soal warisan ini karena ada tulisan di akta adopsi. Di sana tertulis kalau
Angeline meninggal maka seluruh harta diwariskan ke Margriet. \"Angeline masih kecil,
pertanyaannya harta warisan dari mana? Nggak ada itu. Saya akan tuntut yang bicara dan
menuding soal warisan, saya inventaris ini,\" tutup dia. (dtc)
Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11148#.VdNqSPkYMuk
Peristiwa Talangsari
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat
keamanan di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen
Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa itu terjadi pada 7
februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di
Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena
tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari
yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang. Sebuah surat tiba di hari senja.
Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu bertanda tangan dari Kepala Dukuh
Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way JePara, Kapten Soetiman,
yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan.
Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan
diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way
Jepara, Lampung Tengah.
Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan
Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa
perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan
dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga
memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten
Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa
Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya
berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut
bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok.
Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung
Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7
Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat
gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi
korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut.
Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah
yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban
Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban
berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para
korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),
Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di
masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Di sebut-sebut keompok pengajian itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru yang dinilai
gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai
sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal
menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, konomi hanya dikuasai kaum elite
yang dekat dengan kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Menanggapi peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto seperti disampaikan Ketua
MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala Negara di Bina Graha mengatakan, “janganlah
karena perbuatan sekelompok kecil orang, merusak nama baik umat Islam yang besar jumlahnya
di Indonesia”
Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini sungguh sangat mahal harganya.
Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban
penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua
kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan Militer di Lampung
(Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat
HAM pada kasus tersebut. Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar
Umat (Format) dan Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka
menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para pelakunya (berbagai
sumber).
( Dikutip dari buku “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung”
karya Fadilasari : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 2007 )
Tersangka Kasus Bullying di SMAN 3 Jember
Akhirnya Dikeluarkan dari Sekolah
Arif Purba, Rabu, 19 September 2012 09:32 WIB
Kasus bullying di SMA Negeri 3 Jember itu bermula dari penolakan ajakan untuk masuk dalam
group BBM (blackberry massanger).
JEMBER, Jaringnews.com - Setelah polisi menetapkan status tersangka kepada tiga siswi yang
melakukan tindakan kekerasan atau bullying, pihak SMA Negeri 3 Jember akhirnya
mengeluarkan ketiga siswa tersebut. Surat pengembalian kepada orangtua dijadwalkan akan
diberikan Rabu (19/9) siang ini.
Humas SMA Negeri 3 Jember, Sugiyanto Efendi, menerangkan, berdasarkan hasil keputusan
rapat, ketiga siswi yang saat ini tersandung kasus hukum itu, bakal dikembalikan kepada orang
tuanya alias dikeluarkan dari sekolah.
Keputusan itu, kata Sugiyanto, merupakan hasil keputusan rapat bersama yang melibatkan
Kepala Sekolah, jajaran Wakil Kepala Sekolah, guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), Wali
Kelas, perwakilan guru, dan Pembina OSIS.
"Dalam rapat bersama itu, kami memutuskan untuk mengembalikan tiga siswi berinisial A, N,
dan V, dikeluarkan dari sekolah, karena dinilai telah melakukan pelanggaran berat. Dalam
catatan guru BP, AY dan kawan-kawannya tadi, telah empat kali melakukan pelanggaran di
sekolah, termasuk kasus penganiayaan atas Putri dan Ganis," jelasnya, Rabu (19/9)
Sugiyanto menyebutkan, kasus bullying atas Putri Ragil Januarti dan Ganis Anggreini,
dikatogorikan sebagai pelanggaran berat. Selain melahirkan perasaan trauma bagi korbannya,
tindakan ketiga siswi itu telah mencoreng nama baik sekolah SMA Negeri 3 Jember.
Seperti diberitakan, kasus bullying di SMA Negeri 3 Jember itu bermula dari penolakan ajakan
untuk masuk dalam group BBM (blackberry massanger). Alhasil kedua siswi yang bernama Putri
Ragil Januarti dan Ganis Anggraeni, keduanya kelas 2 itu, mengalami luka memar dan lebam di
wajahnya.
Pelakunya adalah anggota geng Yakni Ayu, Nadia (kelas 3 IPS 3) dan Via (adiknya Ayu) yang
duduk di kelas 1. Ayu adalah adik kelas Putri yang sempat BBM kepada Putri dan mengajaknya
bergabung dalam group BBM. Kasus pemukulan itu sendiri terjadi pekan lalu. Ironisnya,
penganiayaan geng perempuan itu dilakukan di dalam sekolah. Kasus bullying itu akhirnya
berakhir di meja polisi.
Kasatersekrim Polres Jember, AKP Makung Ismoyojati, mengatakan kasus bullying di SMAN
3Jember itu akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jember. "Sedang proses
pemberkasan. Sementara tidak ada tersangka baru," jelasnya.
Ketiga tersangka, N, A dan V, dibidik dengan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan pasal itu, ketiga murid kelas 3 itu terancam hukuman
penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta. (Arp / Deb)
http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/23325/tersangka-kasus-bullying-di-sman-jember-
akhirnya-dikeluarkan-dari-sekolah
Bully Siswa SD di Bukit Tinggi
Minggu, 12 Oktober 2014, 16:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah video yang menayangkan sejumlah murid laki-laki
memukuli dan menendang teman perempuannya beredar di jejaring sosial. Dalam video tersebut,
seorang siswi di pojok ruangan dihujani pukulan dan tendangan oleh sekitar dua siswa dan satu
siswi.
Kepala Bidang TK SD Dinas Pendidikan Pemuda Olah Raga di Bukit Tinggi, Sumatra Barat,
Erdi mengaku terkecoh dengan kejadian tersebut. Karena menurutnya, ia baru mengetahui hal itu
pada Senin (6/10) lalu. lalu.
Keesokan harinya, Selasa (7/10), pihaknya mendatangi sekolah SD di Bukit Tinggi tersebut
untuk mendalami kasusnya. Erdi mengatakan langsung mengumpulkan siswa kelas V SD dan
pihak sekolah.
Saat diminta keterangan pada anak-anak siswa SD tersebut, mereka mengaku hanya iseng
melakukan pemukulan. Setelah didesak, barulah anak-anak bercerita. Menurut salah seorang
anak yang melakukan pemukulan itu, ia memukul atas dasar sakit hati kepada siswi berkerudung
yang ia pukuli.
"Ibu saya dihina oleh teman ini. Ibu saya disamakan dengan sepatu," kata Erdi mengutip
perkataan siswa pelaku pemukulan itu, dalam wawancara melalui telepon dengan Republika,
Ahad (12/10).
Erdi mengatakan, peristiwa itu direkam oleh salah seorang siswa di kelas tersebut. Kemudian
siswa tersebut memberikan video kepada ibunya. Lalu, ibunya memberikan rekaman tersebut
kepada temannya hingga akhirnya beredar di dunia maya.
Menurutnya, kejadian berlangsung pada 18 September lalu. Namun, kasus ini sudah diselesaikan
oleh pihak sekolah bersama para orang tua murid. Dan menurutnya, sudah ada perdamaian antara
pihak terkait. Kejadian berlangsung di kelas saat berlangsung mata pelajaran agama Islam.
Namun, saat kejadian guru tersebut tengah mengajar di sekolah SMP di Agam.
Menurut Erdi, guru agama tersebut adalah guru tambahan dan merupakan PNS pada sekolah
SMP di Agam. Atas kelalaian dan meninggalkan tugas, Erdi mengatakan pihaknya telah
meminta kepala sekolah untuk menghentikan kontrak guru agama mengajar di SD tersebut. Ia
juga menghimbau pada pihak sekolah agar lebih berhati-hati dalam menseleksi guru dan agar
kejadian ini tidak terulang.
Atas kejadian tersebut, Erdi juga telah mengimbau kepada sekolah di Bukit Tinggi agar berhati-
hati dalam proses pembelajaran di sekolah. Ke depan, katanya, ia akan membuat program
kelompok kerja guru per gugus di masing-masing kecamatan di Bukit Tinggi. Di dalamnya
menurutnya, berupa pemberian materi keragaan bagaimana menanamkan karakter yang baik
sejak dini kepada anak-anak. Pembinaan guru tersebut menurutnya, diberikan dalam rangka
memberikan pencerahan dan peningkatan implementasi karakter.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/10/12/ndbsmg-inilah-kronologi-kasus-
bully-anak-sd-di-bukittinggi
Pembakaran masjid di Tolikara
Reporter : Yulistyo Pratomo | Kamis, 23 Juli 2015 15:25
Merdeka.com - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akhirnya merilis kronologi lengkap saat
berlangsungnya aksi massa yang berujung pada terbakarnya sebuah musala di Tolikara, Papua.
Dalam peristiwa ini, satu orang dinyatakan tewas dan melukai 14 lainnya akibat tembakan yang
dilepaskan aparat.
Kronologi ini dipaparkan langsung oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti saat berlangsungnya
Video Conference di ruang rapat Tribrata Mabes Polri sekitar pukul 08.00 WIB tadi. Berikut
pemaparan yang disampaikan Kapolri yang dikutip dari Fanpage Divisi Humas Mabes Polri.
Tolikara sedang berlangsung Seminar dan KKR pemuda GIDI tanggal 13-19 Juli 2015. Dalam
proposal tertulis 22-27 Juli 2015. Ternyata pelaksanaannya tanggal 13-19 Juli dan ditutup
tanggal 20 Juli 2015.
Di antara tanggal tersebut ada tanggal 17 Juli yang bertepatan Idul Fitri. Badan pekerja GIDI
Tolikara mengeluarkan surat yang berisi:
1) Larangan umat Muslim melaksanakan salat Ied di Tolikara. Salat boleh di luar Tolikara.
2) Melarang umat muslim untuk menggunakan jilbab.
Pada tanggal 13 kapolres mendapat surat tersebut dan memverifikasi surat tersebut dan Presiden
GIDI mengatakan surat tersebut tidak resmi karena tidak di ACC ketua GIDI. Kapolres
mengomunikasikan agar salat Ied bisa dilaksanakan di Tolikara, Bupati juga akan koordinasi
dengan panitia GIDI agar surat dicabut. Karena penjelasan itu kapolres bertemu tokoh
masyarakat, dan ada hasil silakan shalat ied di halaman Koramil. TNI dan Polri akan siap
melakukan pengamanan.
Namun saat salat Ied datanglah para pemuda GIDI dan memaksa untuk salat dibubarkan.
Kapolres dan tokoh masyarakat bernegosiasi, agar salat boleh terlaksana sampai jam 8.
Massa tetap tidak mau, kemudian terjadi pelemparan (posisi salat sedikit di bawah sehingga
mudah jadi sasaran lempar) namun massa tidak dapat mendekati karena ada pagar berduri. Ada
tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak menggubris akhirnya aparat melepaskan
tembakan hingga 12 orang luka kemudian mereka membubarkan diri.
Saat bubar, ada oknum yang membakar kios hingga merembet ke musala. Jumlah kios yang
terbakar berjumlah 70 unit serta 2 mobil terbakar. Api membesar karena ada kios juga yang
menjual bensin serta tidak adanya pemadam kebakaran di sana. Saat ini amanat langsung dari
presiden untuk bangun kembali kios serta musala di Tolikara.
Kasus ini telah selesai, sudah ada pengamanan di lokasi, sudah ada penegakan hukum oleh
kepolisian. Oleh karena itu diimbau kepada masyarakat agar menanggapi kejadian ini dengan
kepala dingin agar tidak terpancing isu-isu provokatif apalagi amarah dan balas dendam. Mari
bersama menjaga kerukunan antar umat beragama NKRI.
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-lengkap-peristiwa-tolikara-versi-mabes-
polri.html
Dunia
Pelanggaran HAM di Vietnam Terus Terjadi
Partai Komunis merupakan satu-satunya partai di Republik Rakyat Vietnam. Tidak ada selain
partai itu, partai politik lainnya yang boleh berdiri di negara tersebut. Sementara media berada di
bawah kontrol ketat negara.
Hiruk pikuk jalanan di ibukota Vietnam, Hanoi merupakan lokasi paling ideal untuk
mengadakan pertemuan rahasia dengan pembangkang Vietnam, Tran Khai Than Thui. Penulis
perempuan berusia 49 tahun itu pernah ditangkap pada bulan April 2007. Baru Januari tahun lalu
dia kembali menghirup udara kebebasan. Harian terbitan partai Komunis, Nhan Dan menuduh
Than Thui melempar fitnah, dengan menulis tentang situasi politik dan sosial di Vietnam, seperti
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah.
Di ruang belakang sebuah hotel, ia menyesalkan penangkapan seorang pegacara Le Cong Dinh.
Aktivis HAM itu merupakan seorang tahanan politik yang menonjol di negara tersebut. Juni lalu,
ia ditahan atas tudingan menyebarkan propaganda anti pemerintah. Sejak itulah ia mendekam di
penjara, izin praktiknya sebagai pengacara dicabut dan Dewan Pengacara Vietnam juga memecat
bekas wakil ketua asosiasi itu.
„Le Cong Dinh merupakan seorang patriot. Dia berjuang bagi demokratisasi di Vietnam.
Pemerintah telah menahannya, sebab ia dituduh menyebarkan propaganda anti pemerintah.“
Le Cong Dinh dituding mempublikasikan dokumen yang berisi kritikan terhadap pemerintahan
Vietnam. Disamping tudingan bahwa ia menulis konsep baru konstitusi.
Pria berusia 41 tahun itu, sebelumnya bertahun-tahun mewakili pemerintah Vietnam menghadapi
konflik perekonomian dengan Amerika Serikat dan menjadi terkenal karenanya. Dulu ia
bekerjasama dengan berbagai media luar negeri antara lain BBC dan Radio Free Asia. Harian
Vietnam Than Nien menulis Le juga bekerja untuk gerakan demokratisasi Vietnam, yang
dianggap sebagai organisasi subversif oleh pemerintah. Tindakan itu dapat diancam hingga 20
tahun penjara.
Menurut Organisasi HAM Human Rights Watch, hak-hak fundamental demokrasi di Vietnam
masih terus mengalami pelanggaran secara sistematis. Sophie Richardson dari HRW yang
membidangi wilayah Asia mengatakan:
“Pemerintah Vietnam menganggap para tokoh aktivis terutama, sebagai duri dalam daging.
Bukan hanya para pengacara, namun juga para jurnalis dan blogger, yang berjuang untuk
menegakan demokrasi di Vietnam. Mereka ditangkapi dan dijebloskan ke penjara ataupun
tahanan rumah, hanya karena alasan sederhana, seperti misalnya mendukung pengakuan serikat
pekerja oelh pemerintah.”
Hal ini pula yang menimpa Tran Khai Than Thui. Penulis ini ditangkap April 2007 dengan
tuduhan mengganggu ketentraman umum. Sembilan bulan 10 hari harus dijalaninya di balik
jeruji besi. Kondisi penjara itu memprihatinkan, paparnya:
„Para tahanan politik diperlakukan dengan sangat buruk. Meski pemerintah membantah, namun
sebenarnya itulah yang terjadi. Saya sakit di penjara, sebagaimana juga tahanan lainnya. Saya
menderita TBC dan diabetes.“
Namun berbeda dengan Myanmar, masyarakat internasional nampaknya tidak menganggap
keadaan di Vietnam itu sebagai masalah serius. Meski bulan April tahun ini, Komisi HAM PBB
melaporkan banyaknya pelanggaran HAM di Vietnam, masih banyak perusahaan Jerman
berinvestasi di negara ini. Juga terdapat kerjasama Jerman-Vietnam di Universitas Ho Chi Minh
dan kunjungan teratur politisi Jerman ke negara ini. Sebaliknya terhadap Myanmar, Jerman dan
negara-negara barat yang tergabung dalam Uni Eropa, bersama-sama dengan Amerika Serikat
menjatuhkan sanksi politik, menuntut reformasi di negara itu dan perlindungan terhadap tokoh
pro demokrasi Aung San Suu Kyi.
Musch Borowska / Ayu Purwaningsih Éditor: Christa Saloh-Foerster
http://www.dw.com/id/pelanggaran-ham-di-vietnam-terus-terjadi/a-4595373
Kasus Big Gossan, Freeport Dinilai Langgar HAM
Jumat, 14 Februari 2014 16:01 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
memastikan insiden runtuhnya terowongan Big Gossan yang menewaskan 28 orang merupakan
kelalaian PT Freeport Indonesia.
Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, Freeport diduga kuat melakukan
pembiaran keadaan atau tindakan pengawasan yang kurang sehingga menyebabkan terjadinya
kecelakaan.
"PT Freeport Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa
runtuhnya Big Gossan," kata Natalius di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat
(14/2/2014).
Pelanggaran yang dimaksud, kata dia, adalah hak untuk hidup yang dijamin dalam UUD 1945.
Selain itu, runtuhnya terowongan itu merupakan kesalahan dari kepala teknik tambang,
pengawas operasional, dan penanggung jawab teknis Freeport.
"Mereka bisa beli alat canggih-canggih. Masak perusahaan sehebat Freeport enggak punya alat
pendeteksi batuan," ucapnya.
Menurut Natalius, kesimpulan itu didasarkan pada hasil pemantauan dan penyelidikan komisi.
Penyelidikan itu, kata dia, juga sudah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah daerah melalui Dinas Pertambangan, dan
kepolisian.
"Mereka semua sudah melakukan penyelidikan, tapi setelah itu diam. Bahkan, kesimpulan
kepolisian menemukan adanya kelalaian, tapi hanya diberikan kompensasi," kata Natalius.
Menurutnya, pemberian kompensasi tidaklah cukup. Peran negara, kata dia, harus memberikan
sanksi administratif, bahkan sanksi pidana. Pemberian sanksi penting diberikan agar Freeport
lebih waspada dan kejadian serupa tidak terulang lagi.
Untuk diketahui, pada tanggal 14 Mei 2013 terjadi runtuhan batuan yang menimbun sebuah
ruang kelas di area fasilitas pelatihan Big Gossen, tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia.
Dari 38 karyawan yang mengikuti pelatihan, 28 orang diantaranya tewas tertimbun tanah longsor
dan 10 orang mengalami luka-luka.(Rahmat Fiansyah)
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/14/kasus-big-gossan-freeport-dinilai-langgar-ham