Kasus Pelangaran HAM

33
Polisi Israel Didakwa Menganiaya Remaja As Keturunan Palestina By Alexander Lumbantobing on 11 Sep 2014 at 17:07 WIB Liputan6.com, Yerusalem - Seorang pria di Israel ditahan karena diduga telah menganiaya seorang remaja asal Amerika Serikat yang juga keturunan Palestina. Penganiayaan tersebut terjadi saat korban sedang berdemonstrasi di Yerusalem Timur beberapa waktu silam. Kementerian Kehakiman Israel menyatakan polisi yang tak disebutkan namanya tersebut didakwa telah melakukan kekerasan secara brutal terhadap Tariq Abu Khdeir. Otoritas Israel memiliki rekaman video yang menunjukkan tindakan polisi tersebut. Aparat yang menjadi tersangka itu akan menjalani proses hukum selanjutnya. "Dari bukti yang ditemukan, tersangka diduga telah melakukan tindakan kekerasan berat," seperti dimuat Haaretz, Kamis (11/9/2014). Tariq tinggal di Kota Tampa, Negara Bagian Florida, AS. Ia disebut dipukuli aparat dalam unjuk rasa di Yerusalem Timur setelah kematian sepupunya secara mengenaskan. Pihak Israel mengatakan Tariq bertindak anarkis saat unjuk rasa. Tapi remaja berusia 15 tahun itu membantah telah melakukannya. Sepupu remaja

description

dokumen

Transcript of Kasus Pelangaran HAM

Page 1: Kasus Pelangaran HAM

Polisi Israel Didakwa Menganiaya Remaja As Keturunan Palestina

By Alexander Lumbantobing

on 11 Sep 2014 at 17:07 WIB

Liputan6.com, Yerusalem - Seorang pria di Israel ditahan karena diduga telah menganiaya

seorang remaja asal Amerika Serikat yang juga keturunan Palestina. Penganiayaan tersebut

terjadi saat korban sedang berdemonstrasi di Yerusalem Timur beberapa waktu silam.

Kementerian Kehakiman Israel menyatakan polisi yang tak disebutkan namanya tersebut

didakwa telah melakukan kekerasan secara brutal terhadap Tariq Abu Khdeir. Otoritas Israel

memiliki rekaman video yang menunjukkan tindakan polisi tersebut. Aparat yang menjadi

tersangka itu akan menjalani proses hukum selanjutnya.

"Dari bukti yang ditemukan, tersangka diduga telah melakukan tindakan kekerasan berat,"

seperti dimuat Haaretz, Kamis (11/9/2014). Tariq tinggal di Kota Tampa, Negara Bagian Florida,

AS. Ia disebut dipukuli aparat dalam unjuk rasa di Yerusalem Timur setelah kematian sepupunya

secara mengenaskan. Pihak Israel mengatakan Tariq bertindak anarkis saat unjuk rasa. Tapi

remaja berusia 15 tahun itu membantah telah melakukannya. Sepupu remaja itu, Mohammed

Abu Khdeir (16), diduga dibakar hingga tewas oleh sejumlah ekstremis Israel sebagai bentuk

balas dendam pembunuhan tiga remaja Israel di Tepi Barat.

Kematian para remaja tersebut pun menyulut rentetan aksi demonstrasi terhadap Israel. Hingga

berujung memanasnya konflik antara Israel dengan Hamas. (Riz)

Page 2: Kasus Pelangaran HAM

Komnas Pastikan Pelanggaran HAM pada Rusuh

Bima

Selasa, 03 Januari 2012 | 14:10 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) memastikan

adanya pelanggaran HAM dalam pembubaran masyarakat yang memblokir Pelabuhan Sape,

Bima, 24 Desember 2011 lalu. Komisi antara lain mencatat kepolisian telah melakukan

serangkaian kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

"Peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape merupakan bukti yang cukup untuk menduga terjadinya

pelanggaran HAM sebagaimana dijamin undang-undang," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal

Kasim di Jakarta, Selasa, 3 Januari 2012. Ifdhal merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Menurut Ifdhal, pelanggaran HAM yang terjadi berupa penghilangan hak untuk hidup, hak untuk

tidak diperlakukan secara kejam dan direndahkan, hak atas rasa aman, hak anak, dan hak atas

kesehatan. Namun Komnas HAM belum menyatakan pelanggaran HAM di Bima termasuk

pelanggaran HAM berat.

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh menambahkan, saat membubarkan massa, polisi

bertindak represif. Polisi menyerang dan menembak orang yang memblokir pelabuhan. "Bahkan

warga yang sudah menyerah tetap dipukul, ditembak dari jarak dekat, dipukul, diseret, dan

ditendang," kata Ridha.

Komnas HAM juga memastikan bahwa tiga orang korban tewas dalam insiden itu. Mereka

adalah Arif Rahman, 18 tahun, Syaiful, (17), dan Syarifudin (46). Syaiful, menurut Ridha,

ditembak saat hendak menolong Arif yang tertembak 700 meter dari arah pelabuhan. Di luar

Page 3: Kasus Pelangaran HAM

korban tewas, Komnas HAM mencatat 30 korban luka tembak dan 9 korban tindak kekerasan.

"Ini belum termasuk data korban kekerasan yang dipenjara," ujar Ridha.

Ridha menuturkan salah seorang korban yang mengalami kekerasan bernama Hasanudin, 38

tahun. Polisi memukuli korban dengan senjata pada alis kirinya sampai robek dan harus dijahit.

Bagian kepala atasnya dipukul dengan ujung pistol sehingga bocor dan dijahit. Tak cukup

sampai di situ, polisi lantas menyeret korban hingga punggungnya terluka. "Dalam keadaan tak

sadar, korban ditembak dari jarak dekat pada bagian paha kanan sampai tembus," kata Ridha.

Polisi, Ridha melanjutkan, tidak hanya menembak ke arah massa yang memblokir pelabuhan,

melainkan juga ke arah orang-orang yang ingin menolong korban. Akibatnya, beberapa

perempuan dan anak-anak juga terkena tembakan. Dalam peristiwa itu, Komnas HAM mencatat

10 anak yang menjadi korban kekerasan aparat.

Berdasarkan semua temuan itu, Komnas HAM mendesak Markas Besar Kepolisian RI segera

menuntaskan penyelidikan dan pemeriksaan atas anggota polisi yang diduga melanggar HAM.

Komnas HAM juga meminta kepolisian tidak hanya memberi sanksi administratif, tapi juga

sanksi pidana bagi anggota polisi yang bersalah dalam kasus ini. "Harus ada sanksi tegas bagi

pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran HAM."

http://nasional.tempo.co/read/news/2012/01/03/063375085/komnas-pastikan-pelanggaran-ham-

pada-rusuh-bima

Page 4: Kasus Pelangaran HAM

Kasus Pembunuhan Angeline dan Pelanggaran UU

Pokok Agraria

Kamis, 18 Juni 2015 | 21:07 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ada sisi menarik dari kasus pembunuhan bocah berusia 8

tahun Angeline Margriet Megawe yang sepertinya luput dari perhatian publik. Sisi menarik itu

adalah masalah warisan yang diduga sebagai motif sang ibu angkat Angeline, Margriet untuk

membunuh gadis kecil itu.

Dugaan itu terkuak dari adanya dokumen perjanjian adopsi yang dibuat pada 24 Mei 2007 silam.

Pasal 2 dokumen perjanjian adopsi Angeline yang disahkan notaris Anneke Wibowo

menyebutkan: \"Pihak kedua (Margriet) akan dianggap menjadi ahli waris dari anak yang

diangkat tersebut, bila anak tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat,\" tulis

dokumen tersebut.

Yang jadi soal dalam kasus pembunuhan Angeline ini bukanlah masalah warisan itu sendiri,

tetapi soal status ibu angkat Angeline yang merupakan seorang WNI yang menikah dengan

warga negara asing bernama Douglas. Douglas menikah dengan Margriet Christina Megawe dan

bekerja pada bidang sistem seismik dan eksplorasi minyak. Pasangan tersebut diketahui memiliki

sejumlah properti di Bali.

Salah satu harta Douglas berdasarkan keterangan dari Kepala Dinas Desa Canggu, Putu Siarta,

adalah Villa di Jalan Raya Babakan Desa Canggu, Kabupaten Badung, Bali yang diperkirakan

luasnya mencapai 100 meter persegi. Selebihnya kepolisian masih menelusuri harta Douglas

yang bisa jadi ada kaitannya antara harta tersebut dengan kemungkinan motif pembunuhan

karena persoalan warisan.

Page 5: Kasus Pelangaran HAM

Di sinilah timbul pertanyaan mendasar terkait hak Douglas selaku warga negara asing untuk bisa

memiliki properti dan tanah yang sebenarnya dilarang dalam hukum Indonesia. Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria mengatur larangan kepemilikan tanah dan

hak guna bangunan oleh warga negara asing. Dan sepanjang yang diketahui hingga kini, Douglas

hingga wafatnya tak pernah mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara

Indonesia.

Pasal 21 Ayat (1) UU Agraria berisi ketentuan hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat

mempunyai hak milik. Pasal 21 Ayat (3) UU Pokok Agraria berisi aturan bagi orang asing yang

setelah UU ini disahkan mendapatkan hak milik karena warisan tanpa wasiat atau pencampuran

harta karena perkawinan dan bagi WNI yang mempunyai hak milik tapi kehilangan

kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya

hak tersebut.

Jika dalam waktu satu tahun maka hak tersebut terhapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada

negara dengan hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Lalu Pasal 36 Ayat (1) UU

Pokok Agraria mengatur pihak yang mempunyai hak guna bangunan yaitu WNI dan badan

hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal-pasal di atas jelas melarang adanya kepemilikan baik dalam status hak milik dan hak guna

bangunan bagi warga negara asing. Nasib Margriet yang masih bisa menguasai harta milik

Douglas setelah suaminya meninggal menjadi berbeda 180 derajat dengan nasib yang dialami Ike

Farida, seorang WNI yang menikah dengan WN Jepang. Karena status pernikahannya, hak Ike

terhalang oleh pasal-pasal di atas untuk membeli rumah susun (rusun) yang diidamkannya.

Karenanya dia menggugat pasal-pasal tersebut plus pasal dalam UU Perkawinan. Ike menikah

pada Agustus 1995. Pasca menikah, Ike sama sekali tidak melepas kewarganegaraan

Indonesianya dan tetap menetap di Indonesia. Pada 26 Mei 2012, Ike pun membeli rusun.

Setelah ia membayar lunas, ternyata rusun tersebut tidak juga diserahkan padanya. Pengembang

rusun malah membatalkan secara sepihak pembelian rusun tersebut.

Pengembang melakukan pembatalan dengan alasan suami Ike adalah warga negara asing dan

mereka dituding tidak memiliki perjanjian perkawinan. Alasan tersebut tercantum dalam surat

Page 6: Kasus Pelangaran HAM

pembatalan pengembang pada Oktober 2014. Pengembang menggunakan Pasal 36 Ayat (1) UU

Pokok Agraria soal hak guna bangunan.

Pengembang juga menggunakan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan mengatur soal harta bersama. Menurut

pengembang, pasal tersebut berisi ketentuan perempuan yang menikah dengan warga negara

asing dilarang membeli tanah atau bangunan dengan status hak guna bangunan. Atas dasar pasal-

pasal tersebut, pengembang membatalkan perjanjian lantaran khawatir akan melanggar pasal di

atas.

Dalil pengembang ini pun dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). PN

Jaktim telah menetapkan hak Ike musnah karena Pasal 36 Ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal

35 Ayat (1) UU Perkawinan. Merasa dirugikan atas pasal-pasal ini sehingga tak bisa memiliki

tanah akibat kawin campur, Ike pun mengajukan gugatan uji materi atas pasal-pasal ini ke

Mahkamah Konstitusi.

Ia merasa dirugikan atas sejumlah pasal tersebut lantaran mengakibatkan dirinya tidak akan

pernah mempunyai hak milik dan hak guna bangunan seumur hidup karena bersuaminkan orang

asing. Akibatnya ia merasa haknya sebagai warga negara Indonesia didiskriminasikan.

Menurutnya setiap warga Indonesia seharusnya memiliki hak yang sama seperti dijamin dalam

pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 bahwa tap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga Ike

merasa seharusnya ia tetap mempunyai hak milik tanah dan hak guna bangunan.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa penerapan UU Pokok Agraria dan UU

Perkawinan dalam kedua kasus itu bisa berbeda? Ike dan Margriet sama-sama menikah dengan

warga negara asing. Berdasarkan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, keduanya jelas

dilarang memiliki properti dan tanah. Namun mengapa Ike terkena dampak UU tersebut

sementara Margriet tidak?

Page 7: Kasus Pelangaran HAM

Dalam banyak kasus, penerapan aturan dalam UU tersebut juga terkesan diskriminatif karena

tanpa diketahui, sebenarnya banyak warga negara asing yang bisa memiliki tanah dan bangunan

di Indonesia lewat perkawinan campuran. Kasus Margriet bisa menjadi salah satu contohnya.

Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin

mengatakan, data langsung yang menunjukkan warga negara asing memiliki hak atas tanah dan

hak guna bangunan di Indonesia bisa dipastikan tidak ada. Alasannya semua yang memiliki hak

milik dan hak guna bangunan pasti menggunakan data warga negara Indonesia.

\"Karena tidak boleh ada warga negara asing mempunyai hak milik dan hak guna bangunan di

Indonesia. Warga negara asing melakukan penyelundupan hukum biasanya dengan

menggunakan nama pembantunya atau nama orang lain yang berwarganegara Indonesia.

Sehingga data tidak ada. Tapi fenomena di Kemang, Bali, Lombok, dan Jepara itu banyak sekali

kita lihat orang-orang asing tidak hanya mempunyai rumah bahkan punya vila, hotel, dan unit-

unit usaha. Tapi atas nama orang lokal,\" ujar Iwan saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (18/6).

Ia menjelaskan, penyelundupan hukum atas hak milik dan hak guna tersebut juga bisa terjadi

dengan jalan perkawinan. Iwan mencontohkan jika seorang warga negara Indonesia menikah

dengan warga negara asing maka rumah yang mereka beli bisa menjadi harta bersama. Lalu

ketika mereka bercerai, maka harta tersebut harus dibagi.

Dihubungkan dengan kasus yang dialami Douglas dan Margriet, menurutnya pasangan tersebut

memang seharusnya tidak diperbolehkan memiliki tanah atau properti lainnya. Kalaupun bukan

atas nama mereka, maka ada kemungkinan hak milik tanah tersebut memiliki nomini atau

diatasnamakan dengan perjanjian. Menurutnya pengatasnamaan tersebut harus segera

diselesaikan.

\"Misalnya ada perjanjian seseorang yang memiliki tanah dan bangunan hanya atas nama saja,

tetapi sesungguhnya ada orang lain yang memilikinya dan membayar tanah tersebut. Itu

namanya nomini, mengatasnamakan orang. Lalu apakah itu bisa diwariskan ke orang asing? Ya

tidak bisa,\" ujar Iwan.

Page 8: Kasus Pelangaran HAM

Menurutnya, kalau ada orang asing yang ingin memiliki hak atas tanah dengan mengakali hukum

maka sesungguhnya yang akan rugi adalah warga negara asing bersangkutan. Sebab tanah yang

diatasmakan tidak bisa diwariskan atau tidak bisa langsung dijualbelikan atas nama warga negara

asing tersebut.

Ketika akan diwariskan atau dijualbelikan, nomini atau pemilik atas nama mau tidak mau harus

selalu diikutkan dalam tiap proses. Ia mengatakan secara hukum keperdataan nomini yang

berhak mendapatkan harta atau hak milik secara keseluruhan.

\"Kalau ada perjanjian lain dan yang diatasnamakan jujur maka nggak akan melakukan

perlawanan lantaran hanya atas nama. Tapi bagaimana kalau warga negara asing tersebut

bertemu dengan orang jahat atau jika 10 tahun lagi orang berubah pikiran? Jadi yang rugi orang

asing itu sendiri sebenarnya,\" katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad

Riza Patria mengatakan hingga kini DPR juga belum memiliki data soal berapa banyak warga

negara asing yang memiliki hak atas tanah dan hak guna bangunan di Indonesia. Menurutnya

memang sejauh ini tidak ada yang memiliki data tersebut. Sebab warga negara asing biasanya

menggunakan nama istri untuk mempunyai hak milik tanah atau hak guna bangunan.

\"Tapi aturan yang ada, warga negara asing tidak boleh mempunyai hak milik. Jadi hanya hak

pakai,\" ujar Riza saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Kamis (18/6).

Riza mengatakan komisi II DPR sebelumnya memang sempat didatangi istri-istri yang memiliki

suami berkewarganegaraan asing. Para istri tersebut meminta agar mereka bisa mempunyai hak

milik untuk rumah. Sebab hingga kini karena aturan yang ada, mereka tidak bisa mempunyai hak

milik.

Terkait dengan harta kekayaan yang dimilik Douglas dalam kasus Angeline, ia mengatakan

hingga kini masih belum diketahui bentuk harta tersebut berupa tanah, rumah, uang atau logam

mulia. Menurutnya kalau harta tersebut berupa tanah maka memang akan menjadi masalah

lantaran orang asing memiliki tanah.

Page 9: Kasus Pelangaran HAM

\"Tapi kalau hanya uang atau logam mulia maka hal tersebut dimungkinkan dan menjadi hak

bagi anaknya,\" ujarnya.

Menyangkut persoalan kepemilikan tanah oleh warga negara asing tersebut, kini DPR sedang

menggodok Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang mengatur sejauh mana sebuah tanah

bisa dimiliki orang asing atau perkawinan campur.

\"Mungkin sampai batas-batas yang sedikit, sejauh itu hak milik atas rumah tinggal bisa saja

diberikan, tapi tidak untuk investasi atau bisnis. Itu yang akan nanti kita rumuskan. Bisa saja atas

nama istri atau atas nama suami hanya sebatas rumah tinggal dan sebatas berapa ratus meter,\"

ujar Riza.

Saat ditanya soal kemungkinan kepemilikan tanah oleh asing akan lebih banyak jika ada aturan

dalam RUU Pertanahan, ia menyangkalnya. Menurutnya, jumlah orang asing tidak terlalu

banyak dan memang perlu dibatasi soal luas kepemilikan rumah tinggal tersebut.

Menyambung hal ini, menurut Iwan, konstitusi dan UU Pokok Agraria sudah jelas melarang

warga negara asing memiliki tanah di Indonesia. Pihak asing yang ingin memiliki tanah

dimungkinkan melalui badan usaha atau badan hukum yang didaftarkan di Indonesia.

Sehingga yang bersangkutan bisa memiliki hak guna usaha untuk pertanian, perkebunan, tambak,

atau saham di dunia properti. Lalu warga negara asing sebenarnya punya hak untuk satuan rusun

atau apartemen dengan persyaratan tertentu sesuai dengan undang-undang Satuan Rumah Susun.

Berbeda dengan hak milik atas tanah, menurutnya kalau warga negara asing diperbolehkan

memiliki tanah maka bisa dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sebab kepemilikan tanah

oleh asing akan menimbulkan permasalahan agrarian menjadi lebih pelik.

Ia mencontohkan kalau pemerintah membutuhkan tanah untuk kepemilikan umum dan tanah

tersebut dimiliki asing yang secara politik negaranya lebih kuat dari Indonesia maka bisa jadi

masalah hubugan diplomatik. Sehingga memang banyak negara lazim membuat aturan bahwa

hak milik atas tanah, tidak boleh diberikan pada warga negara asing.

Page 10: Kasus Pelangaran HAM

Kalaupun ada hak, maka haknya lebih rendah dari hak milik misalnya hak guna usaha, hak guna

bangunan, dan hak pakai. \"Kalau rumah maka bukan rumah yang ada tapaknya di atas tanah,\"

lanjutnya.

Terkait kasus Angeline sendiri, Hotma Sitompoel, pengacara tersangka Margriet angkat bicara

soal tudingan ke kliennya. Menurut Hotma, isu warisan yang selama ini digembar-gemborkan

hanya isapan jempol belaka. Isu warisan di kasus Angeline hanya mengada-ada. \"Nggak ada isu

warisan,\" jelas Hotma, Kamis (18/6).

\"Memang Angeline dapat warisan darimana? Kalau Ibu Margriet meninggal baru dapat

warisan,\" jelas Hotma lagi.

Hotma juga menepis ada surat wasiat dari suami Margriet, Douglas yang juga ayah angkat

Angeline. Tidak pernah ada surat wasiat seperti itu.

Hotma menegaskan, isu soal warisan ini karena ada tulisan di akta adopsi. Di sana tertulis kalau

Angeline meninggal maka seluruh harta diwariskan ke Margriet. \"Angeline masih kecil,

pertanyaannya harta warisan dari mana? Nggak ada itu. Saya akan tuntut yang bicara dan

menuding soal warisan, saya inventaris ini,\" tutup dia. (dtc)

Reporter : Lilis Khalisotussurur

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11148#.VdNqSPkYMuk

Page 11: Kasus Pelangaran HAM

Peristiwa Talangsari

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat

keamanan di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen

Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa itu terjadi pada 7

februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di

Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena

tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari

yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang. Sebuah surat tiba di hari senja.

Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu bertanda tangan dari Kepala Dukuh

Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way JePara, Kapten Soetiman,

yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan.

Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan

diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way

Jepara, Lampung Tengah.

Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan

Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa

perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan

dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga

memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten

Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa

Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya

berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut

bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok.

Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.

Page 12: Kasus Pelangaran HAM

Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung

Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7

Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat

gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.

Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi

korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut.

Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah

yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban

Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban

berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para

korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),

Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di

masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.

Di sebut-sebut keompok pengajian itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru yang dinilai

gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai

sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal

menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, konomi hanya dikuasai kaum elite

yang dekat dengan kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.

Menanggapi peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto seperti disampaikan Ketua

MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala Negara di Bina Graha mengatakan, “janganlah

karena perbuatan sekelompok kecil orang, merusak nama baik umat Islam yang besar jumlahnya

di Indonesia”

Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini sungguh sangat mahal harganya.

Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban

penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua

kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan Militer di Lampung

Page 13: Kasus Pelangaran HAM

(Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat

HAM pada kasus tersebut. Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar

Umat (Format) dan Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka

menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para pelakunya (berbagai

sumber).

( Dikutip dari buku “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung”

karya Fadilasari : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 2007 )

Page 14: Kasus Pelangaran HAM

Tersangka Kasus Bullying di SMAN 3 Jember

Akhirnya Dikeluarkan dari Sekolah

Arif Purba, Rabu, 19 September 2012 09:32 WIB

Kasus bullying di SMA Negeri 3 Jember itu bermula dari penolakan ajakan untuk masuk dalam

group BBM (blackberry massanger).

JEMBER, Jaringnews.com - Setelah polisi menetapkan status tersangka kepada tiga siswi yang

melakukan tindakan kekerasan atau bullying, pihak SMA Negeri 3 Jember akhirnya

mengeluarkan ketiga siswa tersebut. Surat pengembalian kepada orangtua dijadwalkan akan

diberikan Rabu (19/9) siang ini.

Humas SMA Negeri 3 Jember, Sugiyanto Efendi, menerangkan, berdasarkan hasil keputusan

rapat, ketiga siswi yang saat ini tersandung kasus hukum itu, bakal dikembalikan kepada orang

tuanya alias dikeluarkan dari sekolah.

Keputusan itu, kata Sugiyanto, merupakan hasil keputusan rapat bersama yang melibatkan

Kepala Sekolah, jajaran Wakil Kepala Sekolah, guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), Wali

Kelas, perwakilan guru, dan Pembina OSIS.

"Dalam rapat bersama itu, kami memutuskan untuk mengembalikan tiga siswi berinisial A, N,

dan V, dikeluarkan dari sekolah, karena dinilai telah melakukan pelanggaran berat. Dalam

catatan guru BP, AY dan kawan-kawannya tadi, telah empat kali melakukan pelanggaran di

sekolah, termasuk kasus penganiayaan atas Putri dan Ganis," jelasnya, Rabu (19/9)

Sugiyanto menyebutkan, kasus bullying atas Putri Ragil Januarti dan Ganis Anggreini,

dikatogorikan sebagai pelanggaran berat. Selain melahirkan perasaan trauma bagi korbannya,

tindakan ketiga siswi itu telah mencoreng nama baik sekolah SMA Negeri 3 Jember.

Page 15: Kasus Pelangaran HAM

Seperti diberitakan, kasus bullying di SMA Negeri 3 Jember itu bermula dari penolakan ajakan

untuk masuk dalam group BBM (blackberry massanger). Alhasil kedua siswi yang bernama Putri

Ragil Januarti dan Ganis Anggraeni, keduanya kelas 2 itu, mengalami luka memar dan lebam di

wajahnya.

Pelakunya adalah anggota geng Yakni Ayu, Nadia (kelas 3 IPS 3) dan Via (adiknya Ayu) yang

duduk di kelas 1. Ayu adalah adik kelas Putri yang sempat BBM kepada Putri dan mengajaknya

bergabung dalam group BBM. Kasus pemukulan itu sendiri terjadi pekan lalu. Ironisnya,

penganiayaan geng perempuan itu dilakukan di dalam sekolah. Kasus bullying itu akhirnya

berakhir di meja polisi.

Kasatersekrim Polres Jember, AKP Makung Ismoyojati, mengatakan kasus bullying di SMAN

3Jember itu akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jember. "Sedang proses

pemberkasan. Sementara tidak ada tersangka baru," jelasnya.

Ketiga tersangka, N, A dan V, dibidik dengan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan pasal itu, ketiga murid kelas 3 itu terancam hukuman

penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta. (Arp / Deb)

http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/23325/tersangka-kasus-bullying-di-sman-jember-

akhirnya-dikeluarkan-dari-sekolah

Page 16: Kasus Pelangaran HAM

Bully Siswa SD di Bukit Tinggi

Minggu, 12 Oktober 2014, 16:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah video yang menayangkan sejumlah murid laki-laki

memukuli dan menendang teman perempuannya beredar di jejaring sosial. Dalam video tersebut,

seorang siswi di pojok ruangan dihujani pukulan dan tendangan oleh sekitar dua siswa dan satu

siswi.

Kepala Bidang TK SD Dinas Pendidikan Pemuda Olah Raga di Bukit Tinggi, Sumatra Barat,

Erdi mengaku terkecoh dengan kejadian tersebut. Karena menurutnya, ia baru mengetahui hal itu

pada Senin (6/10) lalu. lalu.

Keesokan harinya, Selasa (7/10), pihaknya mendatangi sekolah SD di Bukit Tinggi tersebut

untuk mendalami kasusnya. Erdi mengatakan langsung mengumpulkan siswa kelas V SD dan

pihak sekolah.

Saat diminta keterangan pada anak-anak siswa SD tersebut, mereka mengaku hanya iseng

melakukan pemukulan. Setelah didesak, barulah anak-anak bercerita. Menurut salah seorang

anak yang melakukan pemukulan itu, ia memukul atas dasar sakit hati kepada siswi berkerudung

yang ia pukuli.

"Ibu saya dihina oleh teman ini. Ibu saya disamakan dengan sepatu," kata Erdi mengutip

perkataan siswa pelaku pemukulan itu, dalam wawancara melalui telepon dengan Republika,

Ahad (12/10).

Erdi mengatakan, peristiwa itu direkam oleh salah seorang siswa di kelas tersebut. Kemudian

siswa tersebut memberikan video kepada ibunya. Lalu, ibunya memberikan rekaman tersebut

kepada temannya hingga akhirnya beredar di dunia maya.

Menurutnya, kejadian berlangsung pada 18 September lalu. Namun, kasus ini sudah diselesaikan

oleh pihak sekolah bersama para orang tua murid. Dan menurutnya, sudah ada perdamaian antara

Page 17: Kasus Pelangaran HAM

pihak terkait. Kejadian berlangsung di kelas saat berlangsung mata pelajaran agama Islam.

Namun, saat kejadian guru tersebut tengah mengajar di sekolah SMP di Agam.

Menurut Erdi, guru agama tersebut adalah guru tambahan dan merupakan PNS pada sekolah

SMP di Agam. Atas kelalaian dan meninggalkan tugas, Erdi mengatakan pihaknya telah

meminta kepala sekolah untuk menghentikan kontrak guru agama mengajar di SD tersebut. Ia

juga menghimbau pada pihak sekolah agar lebih berhati-hati dalam menseleksi guru dan agar

kejadian ini tidak terulang.

Atas kejadian tersebut, Erdi juga telah mengimbau kepada sekolah di Bukit Tinggi agar berhati-

hati dalam proses pembelajaran di sekolah. Ke depan, katanya, ia akan membuat program

kelompok kerja guru per gugus di masing-masing kecamatan di Bukit Tinggi. Di dalamnya

menurutnya, berupa pemberian materi keragaan bagaimana menanamkan karakter yang baik

sejak dini kepada anak-anak. Pembinaan guru tersebut menurutnya, diberikan dalam rangka

memberikan pencerahan dan peningkatan implementasi karakter.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/10/12/ndbsmg-inilah-kronologi-kasus-

bully-anak-sd-di-bukittinggi

Page 18: Kasus Pelangaran HAM

Pembakaran masjid di Tolikara

Reporter : Yulistyo Pratomo | Kamis, 23 Juli 2015 15:25

Merdeka.com - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akhirnya merilis kronologi lengkap saat

berlangsungnya aksi massa yang berujung pada terbakarnya sebuah musala di Tolikara, Papua.

Dalam peristiwa ini, satu orang dinyatakan tewas dan melukai 14 lainnya akibat tembakan yang

dilepaskan aparat.

Kronologi ini dipaparkan langsung oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti saat berlangsungnya

Video Conference di ruang rapat Tribrata Mabes Polri sekitar pukul 08.00 WIB tadi. Berikut

pemaparan yang disampaikan Kapolri yang dikutip dari Fanpage Divisi Humas Mabes Polri.

Tolikara sedang berlangsung Seminar dan KKR pemuda GIDI tanggal 13-19 Juli 2015. Dalam

proposal tertulis 22-27 Juli 2015. Ternyata pelaksanaannya tanggal 13-19 Juli dan ditutup

tanggal 20 Juli 2015.

Di antara tanggal tersebut ada tanggal 17 Juli yang bertepatan Idul Fitri. Badan pekerja GIDI

Tolikara mengeluarkan surat yang berisi:

1) Larangan umat Muslim melaksanakan salat Ied di Tolikara. Salat boleh di luar Tolikara.

2) Melarang umat muslim untuk menggunakan jilbab.

Pada tanggal 13 kapolres mendapat surat tersebut dan memverifikasi surat tersebut dan Presiden

GIDI mengatakan surat tersebut tidak resmi karena tidak di ACC ketua GIDI. Kapolres

mengomunikasikan agar salat Ied bisa dilaksanakan di Tolikara, Bupati juga akan koordinasi

dengan panitia GIDI agar surat dicabut. Karena penjelasan itu kapolres bertemu tokoh

Page 19: Kasus Pelangaran HAM

masyarakat, dan ada hasil silakan shalat ied di halaman Koramil. TNI dan Polri akan siap

melakukan pengamanan.

Namun saat salat Ied datanglah para pemuda GIDI dan memaksa untuk salat dibubarkan.

Kapolres dan tokoh masyarakat bernegosiasi, agar salat boleh terlaksana sampai jam 8.

Massa tetap tidak mau, kemudian terjadi pelemparan (posisi salat sedikit di bawah sehingga

mudah jadi sasaran lempar) namun massa tidak dapat mendekati karena ada pagar berduri. Ada

tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak menggubris akhirnya aparat melepaskan

tembakan hingga 12 orang luka kemudian mereka membubarkan diri.

Saat bubar, ada oknum yang membakar kios hingga merembet ke musala. Jumlah kios yang

terbakar berjumlah 70 unit serta 2 mobil terbakar. Api membesar karena ada kios juga yang

menjual bensin serta tidak adanya pemadam kebakaran di sana. Saat ini amanat langsung dari

presiden untuk bangun kembali kios serta musala di Tolikara.

Kasus ini telah selesai, sudah ada pengamanan di lokasi, sudah ada penegakan hukum oleh

kepolisian. Oleh karena itu diimbau kepada masyarakat agar menanggapi kejadian ini dengan

kepala dingin agar tidak terpancing isu-isu provokatif apalagi amarah dan balas dendam. Mari

bersama menjaga kerukunan antar umat beragama NKRI.

http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-lengkap-peristiwa-tolikara-versi-mabes-

polri.html

Page 20: Kasus Pelangaran HAM

Dunia

Pelanggaran HAM di Vietnam Terus Terjadi

Partai Komunis merupakan satu-satunya partai di Republik Rakyat Vietnam. Tidak ada selain

partai itu, partai politik lainnya yang boleh berdiri di negara tersebut. Sementara media berada di

bawah kontrol ketat negara.

Hiruk pikuk jalanan di ibukota Vietnam, Hanoi merupakan lokasi paling ideal untuk

mengadakan pertemuan rahasia dengan pembangkang Vietnam, Tran Khai Than Thui. Penulis

perempuan berusia 49 tahun itu pernah ditangkap pada bulan April 2007. Baru Januari tahun lalu

dia kembali menghirup udara kebebasan. Harian terbitan partai Komunis, Nhan Dan menuduh

Than Thui melempar fitnah, dengan menulis tentang situasi politik dan sosial di Vietnam, seperti

pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah.

Di ruang belakang sebuah hotel, ia menyesalkan penangkapan seorang pegacara Le Cong Dinh.

Aktivis HAM itu merupakan seorang tahanan politik yang menonjol di negara tersebut. Juni lalu,

ia ditahan atas tudingan menyebarkan propaganda anti pemerintah. Sejak itulah ia mendekam di

penjara, izin praktiknya sebagai pengacara dicabut dan Dewan Pengacara Vietnam juga memecat

bekas wakil ketua asosiasi itu.

„Le Cong Dinh merupakan seorang patriot. Dia berjuang bagi demokratisasi di Vietnam.

Pemerintah telah menahannya, sebab ia dituduh menyebarkan propaganda anti pemerintah.“

Le Cong Dinh dituding mempublikasikan dokumen yang berisi kritikan terhadap pemerintahan

Vietnam. Disamping tudingan bahwa ia menulis konsep baru konstitusi.

Pria berusia 41 tahun itu, sebelumnya bertahun-tahun mewakili pemerintah Vietnam menghadapi

konflik perekonomian dengan Amerika Serikat dan menjadi terkenal karenanya. Dulu ia

bekerjasama dengan berbagai media luar negeri antara lain BBC dan Radio Free Asia. Harian

Page 21: Kasus Pelangaran HAM

Vietnam Than Nien menulis Le juga bekerja untuk gerakan demokratisasi Vietnam, yang

dianggap sebagai organisasi subversif oleh pemerintah. Tindakan itu dapat diancam hingga 20

tahun penjara.

Menurut Organisasi HAM Human Rights Watch, hak-hak fundamental demokrasi di Vietnam

masih terus mengalami pelanggaran secara sistematis. Sophie Richardson dari HRW yang

membidangi wilayah Asia mengatakan:

“Pemerintah Vietnam menganggap para tokoh aktivis terutama, sebagai duri dalam daging.

Bukan hanya para pengacara, namun juga para jurnalis dan blogger, yang berjuang untuk

menegakan demokrasi di Vietnam. Mereka ditangkapi dan dijebloskan ke penjara ataupun

tahanan rumah, hanya karena alasan sederhana, seperti misalnya mendukung pengakuan serikat

pekerja oelh pemerintah.”

Hal ini pula yang menimpa Tran Khai Than Thui. Penulis ini ditangkap April 2007 dengan

tuduhan mengganggu ketentraman umum. Sembilan bulan 10 hari harus dijalaninya di balik

jeruji besi. Kondisi penjara itu memprihatinkan, paparnya:

„Para tahanan politik diperlakukan dengan sangat buruk. Meski pemerintah membantah, namun

sebenarnya itulah yang terjadi. Saya sakit di penjara, sebagaimana juga tahanan lainnya. Saya

menderita TBC dan diabetes.“

Namun berbeda dengan Myanmar, masyarakat internasional nampaknya tidak menganggap

keadaan di Vietnam itu sebagai masalah serius. Meski bulan April tahun ini, Komisi HAM PBB

melaporkan banyaknya pelanggaran HAM di Vietnam, masih banyak perusahaan Jerman

berinvestasi di negara ini. Juga terdapat kerjasama Jerman-Vietnam di Universitas Ho Chi Minh

dan kunjungan teratur politisi Jerman ke negara ini. Sebaliknya terhadap Myanmar, Jerman dan

negara-negara barat yang tergabung dalam Uni Eropa, bersama-sama dengan Amerika Serikat

menjatuhkan sanksi politik, menuntut reformasi di negara itu dan perlindungan terhadap tokoh

pro demokrasi Aung San Suu Kyi.

Musch Borowska / Ayu Purwaningsih Éditor: Christa Saloh-Foerster

Page 22: Kasus Pelangaran HAM

http://www.dw.com/id/pelanggaran-ham-di-vietnam-terus-terjadi/a-4595373

Kasus Big Gossan, Freeport Dinilai Langgar HAM

Jumat, 14 Februari 2014 16:01 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

memastikan insiden runtuhnya terowongan Big Gossan yang menewaskan 28 orang merupakan

kelalaian PT Freeport Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, Freeport diduga kuat melakukan

pembiaran keadaan atau tindakan pengawasan yang kurang sehingga menyebabkan terjadinya

kecelakaan.

"PT Freeport Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa

runtuhnya Big Gossan," kata Natalius di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat

(14/2/2014).

Pelanggaran yang dimaksud, kata dia, adalah hak untuk hidup yang dijamin dalam UUD 1945.

Selain itu, runtuhnya terowongan itu merupakan kesalahan dari kepala teknik tambang,

pengawas operasional, dan penanggung jawab teknis Freeport.

"Mereka bisa beli alat canggih-canggih. Masak perusahaan sehebat Freeport enggak punya alat

pendeteksi batuan," ucapnya.

Menurut Natalius, kesimpulan itu didasarkan pada hasil pemantauan dan penyelidikan komisi.

Penyelidikan itu, kata dia, juga sudah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah daerah melalui Dinas Pertambangan, dan

kepolisian.

"Mereka semua sudah melakukan penyelidikan, tapi setelah itu diam. Bahkan, kesimpulan

kepolisian menemukan adanya kelalaian, tapi hanya diberikan kompensasi," kata Natalius.

Page 23: Kasus Pelangaran HAM

Menurutnya, pemberian kompensasi tidaklah cukup. Peran negara, kata dia, harus memberikan

sanksi administratif, bahkan sanksi pidana. Pemberian sanksi penting diberikan agar Freeport

lebih waspada dan kejadian serupa tidak terulang lagi.

Untuk diketahui, pada tanggal 14 Mei 2013 terjadi runtuhan batuan yang menimbun sebuah

ruang kelas di area fasilitas pelatihan Big Gossen, tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia.

Dari 38 karyawan yang mengikuti pelatihan, 28 orang diantaranya tewas tertimbun tanah longsor

dan 10 orang mengalami luka-luka.(Rahmat Fiansyah)

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/14/kasus-big-gossan-freeport-dinilai-langgar-ham