KASUS IIIdacsd
-
Upload
jovan-octara -
Category
Documents
-
view
232 -
download
0
description
Transcript of KASUS IIIdacsd
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Kasus 3
Laki-laki 37 tahun, batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-
kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat
badan turun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah
berobat belum ada perubahan.
B. Kata Kunci
1. Laki-laki 37 tahun
2. Batuk produktif
3. Dispneu
4. Keringat dingin malam hari
5. Anoreksia
6. Berat badan turun
7. Febris
C. Definisi Kata Kunci
1. Batuk
a. Definisi Batuk
Suatu ekspirasi eksplosif sebagai mekanisme protektif normal untuk
membersihkan cabang trakeobronkial dari secret dan zat-zat asing
(Weinberger, 2005).
b. Klasifikasi Batuk
Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa
diklasifikasikan mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama
kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga
hingga delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih dari
delapan minggu.
1) Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan
merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik
dokter. Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus
respiratori yang merupakan self-limiting dan bisa sembuh selama
seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom
yang sementara dan merupakan kelebihan yang penting dalam proteksi
saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau bagaimanapun,
terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas yang
kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang
diambil untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk
(Dicpinigaitis, 2009).
2) Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang
berlangsung secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup
menurun yang akan membawa kepada pengasingan sosial dan depresi
klinikal (Haque, 2005). Penyebab sering dari batuk kronis adalah
penyakit refluks gastro-esofagus, rinosinusitis dan asma. Terdapat juga
golongan penderita minoritas yang batuk tanpa dengan diagnosis dan
pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk
golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya
penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).
Klafisikasi batuk berdasarkan tanda klinis adalah :
1) Batuk kering
Terjadi apabila tidak ada sekresi saluran nafas, iritasi pada
tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit. Batuk kering sering kali
mengganggu dan pada beberapa kondisi tertentu berbahaya, misalnya
pasca operasi sehingga perlu ditekan.
2) Batuk produktif
Batuk yang terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan.
2. Dispneu
a. Definisi Dispneu
Dispnea atau sesak nafas merupakan keadaan yang sering
ditemukan pada penyakit paru maupun jantung.
Secara umum yang dimaksud dispneu adalah kesulitan bernafas
yang terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernafasan tambahan.
Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula terjadi
dengan cepat. Berat ringannya dispneu tidak dapat diukur dan kadang-
kadang sulit untuk dinilai.
b. Klasifikasi Dispneu
Dispneu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Inspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu inspirasi yang
disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-paru.
2) Ekspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu ekspirasi yang
disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar dari paru-paru.
3) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan primer penyakit
jantung.
4) Exertional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena olahraga.
5) Exspansional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena
kesulitan ekspansi dari rongga toraks.
6) Paroksismal dispnea, yaitu dispnea yang terjadi sewaktu-waktu, baik
pada malam maupun siang hari.
7) Ortostatik dispnea, yaitu dispnea yang berkurang pada waktu posisi
duduk.
Pembagian tersebut di atas tidak berdasarkan atas klasifikasi etiologi
maupun tipe dispnea, akan tetapi istilah-istilah tersebut sering
dipergunakan.
Berdasarkan etiologi maka dispnea dapat dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu :
1) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena adanya
kelainan pada jantung.
2) Pulmonal dispnea, dispnea yang terjadi pada penyakit paru.
3) Hematogenous, dispnea yang disebabkan oleh karena adanya asidosis,
anemia atau anoksia, biasanya dispnea ini berhubungan dengan
exertional (latihan).
4) Neurogenik, dispnea terjadi oleh karena kerusakan pada jaringan otot-
otot pernafasan.
3. Keringat Malam Pada Malam Hari
a. Definisi
Suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari yang
diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu
tubuh normal pada manusia memiliki irama sirkadian dimana paling rendah
pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1°C dan meningkat menjadi 37.4°C
atau lebih tingi pada sre hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant,
1991; Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/keringat malam
mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu
tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten
pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberculosis
menyebabkan demam pada malam hari.
4. Anoreksia
a. Definisi Anoreksia
Anoreksia berasal dari bahasa Yunani, “an” yang artinya tanpa, dan
“orexis” yang artinya hasrat untuk (makan). Jadi anoreksia memiliki arti
tidak memiliki hasrat untuk makan. Pada kasus ini disebabkan oleh adanya
infeksi Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan diproduksinya
pirogen endogen. Pirogen endogen ini akan bersirkulasi sistemik dan
menembus masuk hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus
seingga mempengaruhi nafsu makan seseorang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
5. Berat Badan Turun
a. Pengertian
Berat badan turun adalah meningkatnya metabolisme tubuh karena
peningkatan penggunaan energi metabolic tetapi tidak disertai asupan nutrisi
yang memadai.
6. Febris
a. Pengertian
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari-hariyang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar
antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal
temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature
≥37,2°C (Kaneshiro&Zieve, 2010). Istilah lain yang berhubungan dengan
demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam
dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang
parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem
saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).
b. Tipe Demam
Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain :
Tabel 1.1 Tipe-tipe demam
Jenis demam Penjelasan
Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik
ke tingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik
ketingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat yang
normal pada pagi hari
Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai
suhu normal
Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ket
ingkat yang normal selama beberapa jam
dalam satu hari.
Demam kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu
sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari
satu derajat.
Demam siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan
selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu
seperti semula
(Sumber : Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis paru adalah suatu infeksi menular saluran pernapasan yang
seringkali ditandai dengan batuk produktif lebih dari 3 minggu, nyeri dada,
hemoptisis dan keringat pada malam hari. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri
Mtb, bersifat aerob obligat, berbentuk batang halus berukuran 3 x 0.5 µm, tidak
berspora dan tidak bersimpai. Kuman ini tergolong dalam bakteri tahan asam
(BTA) dan pada pewarnaan cara Ziehl-Nielsen terlihat berwarna merah dengan
latar biru.
2. Epidemiologi
Indonesia adalah negara penyumbang 6% dari total kasus TB paru dunia
dengan prevalensi TB paru tertinggi ketiga setelah China dan India.
3. Faktor Risiko
Narasimhan et al (2013) memaparkan bahwa ada beberapa faktor risiko
TB paru antara lain:
a. Faktor Risiko Individual
Faktor risiko individual adalah faktor risiko yang terkait dengan
masing-masing individu, adapun beberapa faktor risiko individual meliputi
kondisi imunosupresif, keadaan malnutrisi, usia, dan DM.
1) Kondisi Imunosupresif
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah faktor risiko yang
paling potensial pada perkembangan TB paru aktif. Koinfeksi HIV
memperparah perjalanan penyakit TB, begitupun koinfeksi TB
mempercepat replikasi virus HIV pada organ yang terkena, termasuk
paru dan pleura. Individu dengan gangguan immune-mediated
inflammatory disorders (IMID) juga diketahui memiliki risiko terkena
infeksi TB, terutama setelah penggunaan Tumor Necrosis Factor
(TNF)-α inhibitor untuk mengatasi berbagai penyakit autoimun.
2) Malnutrisi
Beberapa studi menunjukkan bahwa malnutrisi, baik itu
defisiensi makronutrien maupun mikronutrien meningkatkan risiko TB
paru karena adanya gangguan pada respon imun. Sedangkan infeksi TB
sendiri dapat menyebabkan keadaan malnutrisi karena berkurangkan
nafsu makan dan perubahan proses metabolik.
3) Usia
Anak-anak sangat rentan terhadap berbagai macam jenis
penyakit terutama infeksi TB. Mayoritas anak-anak yang berusia
kurang dari 2 tahun terinfeksi melalui lingkungan dalam rumah
sedangkan yang berusia lebih dari 2 tahun lebih banyak tertular dari
lingkungan.
4) Diabetes Melitus
Diabetes telah terbukti meningkatkan risiko seseorang untuk
terkena infeksi TB aktif. Diperkirakan ada 70% orang penderita DM
yang tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
angka ini terus meningkat terutama di negara yang merupakan endemis
TB. Penderita DM memiliki risiko infeksi 3 kali lebih besar untuk
terkena infeksi TB dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
DM. Selain itu didapatkan bahwa pasien DM dengan infeksi TB paru
memiliki risiko kematian 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien TB paru yang tidak menderita DM. Selain itu dalam sebuah
penelitian juga dinyatakan bahwa lama menderita DM berpengaruh
terhadap kejadian TB paru. Jenis kelamin pasien DM tipe 2 juga
berpengaruh terhadap kejadian TB paru.
b. Faktor Sosio-Ekonomi
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
menderita TB paru adalah faktor sosioekonomi. Faktor sosioekonomi
meliputi kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan polusi udara.
1) Merokok
Bates et al dalam studi meta analisisnya pada 24 studi tentang
pengaruh rokok terhadap TB paru menunjukkan bahwa relative risk TB
paru lebih tinggi pada perokok jika dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Penjelasan biologis termasuk gangguan pada sekresi mukosa,
menurunnya kemampuan fagosit makrofag alveolar, dan menurunnya
respon imun karena kandungan nikotin dalam rokok.
2) Konsumsi Alkohol
Alkohol telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB.
Sebuah ulasan terhadap 3 penelitian cohort dan 18 penelitian kasus
kontrol menyimpulkan bahwa risiko terkena infeksi TB paru meningkat
pada orang yang minum lebih dari 40 gram alkohol per hari dan/atau
memiliki kebiasaan penyalahgunaan alkohol. Hal ini dapat terjadi
karena perubahan sistem imun terutama pada produksi sitokin.
3) Polusi Udara
Di negara-negara berkembang, presentasi penggunaan bahan
bakar padat untuk memasak lebih dari 80%.26 Kayu bakar sebelumnya
telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB paru pada suatu
studi kasus kontrol di India Brazil. Asap kayu bakar dapat mengganggu
fungsi makrofag fagositik, surface adherence, dan bersihan bakteri.
4. Cara Penularan
Proses terjadinya infeksi oleh Mtb biasanya secara inhalasi, sehingga TB
paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya.
Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei, khususnya
yang didapat dari pasien TB paru dengan hemoptisis atau berdahak yang
mengandung BTA.
5. Patogenesis
Umumnya penularan TB terjadi melalui droplet yang keluar dengan cara
batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet dapat
dengan mudah mengering dan bertahan di udara dalam waktu beberapa jam.
Diameter droplet yang sangat kecil (<5—10 µm) menyebabkan droplet tersebut
dapat mencapai jalan napas terminal jika terhirup dan membentuk sarang
pneumonia, yang dikenal sebagai afek primer.6,17 Ada sekitar 3000 bakteri per
kali seseorang yang menderita TB mengalami batuk. Kemungkinan seseorang
terkena TB antara lain dipengaruhi oleh, adanya kontak yang erat dan lama
dengan penderita, derajat keparahan, dan faktor lingkungan.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfangitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
dapat sembuh tanpa cacat (restitution ad integrum), sembuh dengan
meninggalkan bekas (fokus Ghon, garis fibrotik, dan perkapuran di hilus), atau
menyebar secara perkontinuatum, bronkogen, hematogen atau limfogen. Inilah
yang kemudian disebut sebagai TB primer. Tuberkulosis paru post-primer
muncul bertahun-tahun kemudian setelah TB primer. Bentuk TB inilah yang
terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan.TB post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak
di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumonia kecil.
Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah TB primer.
Bentuk ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukan sarang dini (sarang
pneumonia), umumnya di segmen apical lobus superior maupun inferior.
Sarang pneumoni ini dapat diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan
cacat, membentuk jaringan fibrosis yang membentuk perkapuran, atau meluas
mengalami nekrosis kaseosa dan menjadi kavitas. Risiko berkembangnya
infeksi TB pasca infeksi sangatlah tergantung pada faktor-faktor endogen,
seperti imunitas bawaan dan pertahanan oleh Cell-Mediated Immunity (CMI).
6. Klasifikasi
Klasifikasi TB paru menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
tahun
2011 adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak BTA
Tuberkulosis paru dapat diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan
dahak melalui pewarnaan BTA dan pemeriksaan mikroskopis. Adapun
klasifikasi tersebut adalah TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif atau hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TB aktif
atau hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif
dengan gambaran klinik dan kelainan radiologi menunjukkan TB aktif
atau hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Mtb. Jika belum ada pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa.
b. Berdasarkan Tipe Pasien
Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan tipe pasien meliputi pasien
kasus baru, pasien kasus kambuh, pasien kasus pindahan, pasien kasus lalai
berobat, pasien kasus gagal, pasien kasus kronik, dan pasien kasus bekas
tuberkulosis.
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).
2) Kasus Kambuh
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila hasil pemeriksaan BTA negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis
maka harus dipikirkan apakah gambaran merupakan lesi non-TB seperti
pneumonia, bronkiektasis, jamur, dan keganasan atau TB paru kambuh
yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani
kasus TB.
3) Kasus Pindahan
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4) Kasus Lalai Berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan
berhenti dua minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
5) Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima atau penderita dengan hasil
BTA negatif gambaran radiologik positif dan menjadi BTA positif pada
akhir bulan kedua pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
dengan hasil perburukan.
6) Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori dua dengan
pengawasan yang baik.
7) Kasus Bekas Tuberkulosis
Hasil pemeriksaan sputum mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi
TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama dua bulan
ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.
7. Gejala
Gejala klinis TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni gejala lokal
dan gejala sistemik.
a. Gejala Respiratorik
Batuk ≥ 3 pekan disertai dengan batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical heck up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
pasien mungkin tidak mengalami gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar.
b. Gejala Sistemik
Gejala sistemik yang tampak pada pasien TB paru pada umumnya
adalah demam dengan malaise, keringat malam, dan penurunan berat badan.
8. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya
sulit sekali ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta
daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara
lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pada pleuritis TB,
kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher dan terkadang pada daerah aksila. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi abses dingin.
b. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai
arti sangat penting dalam penegakan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
radiologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urine, feses, dan
jaringan biopsi. Dahak diambil dalam tiga waktu, yakni sewaktu kunjungan,
keesokan paginya, dan sewaktu mengantarkan dahak pagi. Atau dapat
diambil setiap pagi selama tiga hari berturut-turut.
c. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apikolordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai lesi aktif :
1) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus inferior.
2) Kavitas terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
1) Fibrotik pada segmen apical dan atau posterior lobus atas.
2) Kalsifikasi atau fibrotic.
3) Kompleks ranke.
4) Schwarte atau penebalan pleura.
9. Tatalaksana
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan. Pemaparan di bawah ini adalah panduan pengobatan
TB berdasarkan konsesus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:
a. Obat Anti Tuberkulosis
1) Obat Utama
a) INH
b) Rifampisin
c) Pirazinamid
d) Streptomisin
e) Etambutol
2) Kombinasi Dosis Tetap
a) Empat OAT dalam satu tablet, yaitu Rifamipisin 150 mg, Isoniazid
75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.
b) Tiga OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75
mg, dan Pirazinamid 400 mg.
b. Kombinasi Obat
1) Kasus Baru BTA Positif atau Lesi Luas
Kombinasi obat yang dapat diberikan antara lain 2 RHZE / 4 RH
dengan alternatif 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE / 6 HE.
2) Kasus Baru BTA Negatif
Kombinasi obat yang dapat diberikan adalah 2 RHZ / 4 RH
dengan alternatof 2 RHX / 4 R3H3 atau 6 cRHE.
3) Kasus Kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam
OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga
kombinasi obat yang diberikan adalah 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak
ada/tidak dilakukan uji resistensi, maka alternative diberikan paduan
obat : 2 RHZE/1, RHZE/5. R3H3E3.
4) Kasus Gagal
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih
sensitif (Jika H resisyen, tetap diberikan) dengan lama pengobatan
minimal selama 1-2 tahun. Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan
dahulu 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
5) Kasus Lalai
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a) Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT stop.
b) Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif. Pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan pengobatan yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
c) Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan
tetapi klinik dan/atau radiologik positif. Pengobatan diulang dari
awal dengan paduan obat yang sama.
d) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2—4 minggu,
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
10. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan obat.
a. Evaluasi Klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap satu bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis
meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisis.
b. Evaluasi Bakteriologik
Evaluasi bakteriologik dilakukan pada bulan ke 0-2-6/9 pengobatan.
Dengan tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan
dan evaluasi mikroskopik dilakukan saat sebelum pengobatan di mulai,
setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), dan pada akhir
pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan, lakukan pemeriksaan biakan dan
uji resistensi.
c. Evaluasi Radiologi
Evaluasi radiologik dilakukan di waktu yang sama dengan evaluasi
bakteriologik. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan saat sebelum
pengobatan dimulai, setelah dua bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang
juga dipikirkan kemungkinan keganasan), dan pada akhir pengobatan.
d. Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
Bila memungkinkan sebaiknya pemeriksaan fungsi hati, fungsi
ginjal, dan darah lengkap dilakukan di awal. Pemeriksaan fungsi hati
meliputi SGPT, SGOT, dan bilirubin. Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi
ureum dan kreatinin. Gula darah dan asam urat juga perlu dilakukan
pemeriksaan. Asam urat diperiksa bila pasien menggunakan pirazinamid,
pemeriksaan visus dan uji buta warna dilakukan apabila pasien
menggunakan etambutol (bila ada keluhan), pasien yang mendapat
streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan), dan pada anak muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek
samping, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
mengonfirmasinya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
e. Evaluasi Keteraturan Berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah keteraturan berobat dan
diminum atau tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini penting sekali
penyuluhan atau edukasi mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan dan edukasi dilakukan pada pasien, keluarga, dan
lingkungannya karena ketidakteraturan mengonsumsi OAT akan
menyebabkan timbulnya resistensi. Seorang pasien TB paru dapat dikatakan
sembuh apabila :
1) BTA mikroskopis negatif dua kali, yakni pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
2) Pada foto toraks didapatkan gambaran radiologi serial yang tetap sama
atau menunjukkan perbaikan.
3) Bila ada fasilitas pembiakan, maka kriteria kesembuhan ditambah
dengan adanya biakan yang negatif.
f. Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam dua tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis
sputum BTA dan foto toraks. Pemeriksaan mikroskopis sputum BTA pada
bulan ke 3,6,12,24 bulan (sesuai indikasi/ bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks dilakukan pada bulan ke 6, 12, dan
24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
11. Komplikasi
Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan, dalam masa pengobatan, maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi tersebut adalah :
a. Hemoptisis
b. Penumotoraks
c. Luluh Paru
d. Gagal Napas
e. Gagal Jantung
f. Efusi Pleura
B. Bronkitis
1. Definisi Bronkitis
Bronktis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan
(bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari,
bakteri, alergi, dan lainnya (Dorland, 1995: 22). Pada kelompok pertama gejalanya
hampir sama dengan pneumonia ringan berupa batuk-batuk dengan dahak
mukopurulen, peningkatan suhu badan yang belum terlalu tinggi, rasa tak seperti
biasanya pada dada dan dapat sesak nafas ringan (Mutaqqin, Arif, 2008: 119). Bila
bronkhitis itu lama berkepanjangan, bahkan cenderung untuk sesekali kambuh di
masa-masa tenang, itulah bronkhitis kronis. Penderita yang memang sudah menderita
bronkhitis kronis sebelumnya, dalam 1 tahun dapat 1-2 kali terkena serangan akut,
baik itu berupa super infeksi dengan kuman baru (virus, bakteri ataupun
mikroorganisme lain) maupun haya suatu eksaserbasi akut dari radang kronis yang
memang sudah menghinggapi mukosa bronkusnya.
2. Klasifikasi Bronkitis
Bronkitis kronis dapat dibagi atas:
a. Simple chronic bronchitis : bila spatum bersifat mukoid.
b. Chronic atau recurrent muco purulent bronchitis : bila spatum bersifat
mukopuruler
c. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran nafasyang timbul
apabila terpanjang zat iritan atau ada infeksi saluranpernafasan akut (Sibuea,
Herdin dkk, 2005:59).
Padahal yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah suatu sindrom klinik
berupa batuk-batuk kronis berdahak setiap hari selama paling sedikit 3 bulan dan
selama paling sedikti 2 tahun berturut-turut dengan demikian tidak dipersoalkan apa
yang menjadi etiologinya serta bagaimana perubahan patofisiologis anatominya
(Danusantoso, Halim, 2005:72).
3. Epidemiologi
Di Indonesia, belum ada angka morbiditas bronkitis kronis, kecuali di rumah
sakitsentra pendidikan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (National
Center for HealthStatistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasinya didiagnosa
bronkitis kronis. Angkainipun diduga masih di bawah angka morbiditas yang
sebenarnya karena bronkitis kronisyang tidak terdiagnosis. Bronkitis akut merupakan
kejadian yang paling umum dalampengobatan rawat jalan, berkontribusi terhadap
sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter di ASpada 1998. Di Amerika Serikat, biaya
pengobatan untuk bronkitis akut sangat besar;untuk setiap episode, pasien menerima
rata-rata dua resep untuk digunakan 2-3 hari.Bronkitis kronis dapat dialami oleh
semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensiangka morbiditas bronkitis kronis lebih
kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanyasaja hingga kini belum ada angka
perbandingan yang pasti. Usia penderita bronkitiskronis lebih sering dijumpai di atas
50 tahun.
4. Etiologi
Secara umum penyebab bronkitis dapat dibagi berdasarkan faktor lingkungan
dan faktorhost/penderita.
Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,
merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri
(Staphylococcus,Pertusis,Tuberculosis, mikoplasma), infeksi virus (RSV,
Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara
meliputi polusi asaprokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan
faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru
yang sudah ada (Setiawati, Makmuri dan Asih, 2006).
Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis
infeksiosa dan bronkitis iritatif.
a. Bronkitis infeksiosa
Bronkitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, terutama
Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa terjadi
pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan menahun.
Infeksi berulang bisamerupakan akibat dari:
1) Sinusitis kronis
2) Bronkiektasis
3) Alergi
4) Pembesaran amandel dan adenois pada anak-anak
b. Bronkitis iritatif
Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu
yang dapatmenyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa
disebabkan olehberbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa
pelarut organik klorin,hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara
yang menyebabkan iritasiozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok
lainnya. Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan Marlina,
2011).
5. Patofisiologi
Invasi virus menyebabkan obstruktis bronkhitis akibat amukulasi mucus,
debresi dan edema terjadi resistensi aliran udara pernafasanberbanding terbalik
(dengan radius lumen pangkat empat), baik pada faseinpirasi maupun fese ekspirasi
terdapat mekanisme klep yaituterperangkapnya udara yang menimbulkan obserinflasi
dada. Pertukaranudara yang terganggu menyebabkan ventilasi terkurang dan
hipoksemia,peningkatan frekuensi nafas sebagai kompensasi pada keadaan
sangatberat dapat terjadi hiperkapnia obstruksi total dan terserapnya udara
dapatmenyebabkan atelaksasis.Gangguan respirotik jangka panjang pasca bronkhitis
dapat timbulberapa batuk berulang mengi dan hiperaktivitas bronkus.
Cenderungmembaik sebelum usia sekolah. Komplikasi jangka panjang
yaitubronkhitis, obeliteris dan sindrom paru hiperlusen unilateral sering dihubungkan
dengan. adenovirus (Danusantoso,Halim,2005:72).
Patomekanisme
a. Kelenjar mukosa brankus akan beriritasi dan membentuk lendir yang lebih
banyak.
b. Rambut silia epitel bronkus yang bergerak terus menerus dan memindahkan
lendir dari bronkus dan trakea dengan perlahan-lahan. Kearah mulut mengalami
kelumpuhan.
c. Terjadi penumpukan lendir dan bakteri yang tidak dibuang akan berkembang
biak serta membangunkan lekosit untuk menyerang sputum yang purulenta akan
terbentuk, disusul oleh batuk yang produktif pada penderita dengan bronkus
yang peka, bronkus yang hiperaktif terjadi kekejangan otot-otot bronkus dan
edema mukosa (Sibuea, Herdin, 2005:60).
6. Manifestasi Klinis
Penderita selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah bertahun-
tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan bunyi nafas dan sesak. Berbeda
dengan astham, maka sesak nafas tidak bersifat hilang tumbuh dengan begitu nyata,
tetapi cenderung untuk selalu ada. Walaupun dapat bervariasi antara agak ringan
(bila tidak ada infeksi sekunder) sampai berat bila ada serangan infeksi sekunder
(Danusantoso,Halim, 2005:72).
Biasanya didahului infeksi saluran nafas atas dengan batuk pilek, tanpa
demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat disertai nafas cepat dan
dangkal terdapat dispnuding expiratory effort. Retraksi otot Bantuk nafas, nafas,
cepat dangkal disertai nafas cuping hidung sianosis sekitar hidung dan mulut,
gelisah, ekspirium memenjang atau mengi. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris,
tak terdengar, ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada akhir/awal eksirasi,
suara perkusi paru hipersonor (Mutaqqin,Arif, 2008:120).
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama pada klien dengan bronkhitis meliputi batuk kering,
produktif dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai
>40°C, dan sesak nafas (Sibuea, Herdin dkk, 2005:61).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak di temukan kelainan fisik hanya kadang-kadang
terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang di sertai bising
mengi juga di dapatkan tanda-tanda overinflasi paru.
1) Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkhitis
biasanya di dapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40°C,
frekuensi napas meningkatkan dari frekuensi normal, nadi biasanya
meningkatkan seirama dengan peningkatkan suhu tubuh dan frekuensi
pernafasan, serta biasnya tidak ada masalah dengan tekanan darah
(Mutaqqin, Arif, 2008:120).
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto thorak pasterio-anterior dilakukan untuk menilai derajat
progresivitas penyakit yang berpengaruh menjadi penyakit paru obstruktif
menahun (Mutaqqin, Arif, 2008).
d. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya perubahan pada
peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis darah). Sputum
diperiksa secara mikroskopi untuk diagnosis banding dengan tuberkulosis paru.
1) Darah
Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan saja, yaitu
lektosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran tekanan, yang sebenarnya tak
bersedia dengan keadaan-keadaan dengan infeksi kronis lain. Kultur darah
seringkali tak menunjukan adanya bakteriemi kadang-kadang dapat
memberikan hasil positif, sehingga kemungkinan timbulnya metostasis
pernanahan (terutama di otak) perlu diwaspadai.
2) Sputum
Pemeriksaan sputum memegang peranan yang sangat penting dan dapat
di kerjakan secara mikroskop dan kultur dengan tes resistensi. Pemeriksaan
sputum sewaktu secara mikroskopik dapat memberikan indikasi tentang
bagaimana keadaan penderita. Semakin purulen sputumnya. Semakin besar
pula bahaya bahwa sedang atau hampir terjadi suatu aksaserbasi akut ataupun
suatu infeksi sekunder yang baru (Mutaqqin, Arif, 2008:120).
8. Penatalaksanaan
a. Umum
1) Hindari paparan faktor pencetus seperti udara dingin, debu, dll
2) Pakai masker saat beraktivitas
3) Istirahat yang cukup
4) Makan makanan yang bergizi
5) Banyak minum air hangat
b. Medikamentosa
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan
bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang
mereka derita sering kali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis
kronik atau common cold . Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk
bronkitis akut hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu
pemberian antibiotik dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus.
1) Pemberian Antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65–80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui
bahwa pemberian antibiotik sendiri tidak efektif. Pasien dengan usia tua
paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka
menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas. Tren pemberian antibiotik
spektrum luas juga dapat dijumpai di praktek dokter–dokter pada umumnya.
2) Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan
bronkodilator tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut
tanpa komplikasi. Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak
menegaskan adanya keuntungan dari penggunaan β-agonists oralmaupun
dalam mengurangi gejala batuk pada pasien dengan bronkhitis akut.
Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bro
nkhitis akut dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing,
penggunaan bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan. Efek samping
dari penggunaan β -agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan
gemetar. Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk
pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak
dianjurkan.
3) Antitusif
Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat
tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan
bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan
memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua
obattersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan
penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan
tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian.
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efe
ktif dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian,
sebanyak 710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan
gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30mg Dekstromethorpan
hydrobromide atau placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara
objektif menggunakan rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya
menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam pengamatan.
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih
banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi
empiris untuk batuk pada bronkitis akutdapat digunakan.
4) Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis
yang menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di
beberapa penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal.
5) Lain–lain
Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada
penderita, diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup,
kelembaban udara yang cukup serta masukan cairan ditingkatkan.
9. Prognosis
a. Quo ad vitam: bonam
b. Quo ad functionam: bonam
c. Quo ad sanationam: dubia ad bonam
C. Pneumonia
1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
2. Epidemiologi
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan
merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan
50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian
bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan
antibiotika secara empiris.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi
saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan
penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan
11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus
infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik
Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti
dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
4. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan :
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di
temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka
akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
b. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
d. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan
'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
5. Klasifikasi Pneumonia
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
2) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
3) Pneumonia aspirasi
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised
*pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
b. Berdasarkan bakteri penyebab
1) Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
3) Pneumonia virus
4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan
2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
3) Pneumonia interstisial
6. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar
suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
2) Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
7. Penatalaksanaan
8. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada
penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi
20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan
kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas
V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita
pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan
pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999
adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.
D. Bronkiektasis
1. Definisi
Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat bersifat
fokal atau difus, biasanya diaibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernapasan
proksimal, atau abnormalitas bronkus kongenital. Bronkiektasis dapat
dikelompokkan berdasarkan gambaran radiologi atau patologi jalur pernapasan
menjadi silinder, varicose, dan kistik. ‘
2. Epidemiologi dan Etiologi
Insidens bronkiektasis meningkat seiring bertambahnya usia, sekitar 272 per
100.000 orang dengan usia ≥75 tahun. Seiring ditemui pada perempuan berusia di
atas 50 tahun yang tidak merokok. Insidens perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Sebanyak 42% kasus disebabkan oleh post-infeksi, namun sekitar 50%
lainnya tidak diketahui penyebab pastinya.
3. Patogenesis
Bronkiektasis merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus, yang
melibatkan infeksi transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut bersifat kronik
dengan eksaserbasi akut sepanjang perjalanannya. Infeksi, biasanya Pseudomonas
aeruginosa atau Haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan
merusak dinding bronkus. Infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme tersebut,
menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat merusak epitel pernapasan
dan klirens mukosilier. Proses inflamasi dan gangguan klirens mukosiler
menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi berulang
yang akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens mukosilier.
Proses tersebut dikenal dengan hipotesis “Vicious Cycle”. Proses tersebut
menyebabkan neutrofil dan mediator lainnya keluar dan menyebabkan kerusakan
epitel yang semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas, dan infeksi berulang.
4. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis perlu dicari beberapa hal, antara lain :
a. Pada umumnya batuk berdahak, beberapa batuk kering lama. Sputum mukoid,
mukopurulen (71-97%), kental atau campuran ketiganya yang dikenal dengan
sputum tiga lapis.
b. Hemoptisis (50-70% kasus).
c. Lemas, penurunan BB, mialgia.
d. Dipsneu, mengi.
e. Demam, nyeri dada pleuritik.
f. Kor pulmonal.
g. Tidak ada riwayat merokok.
h. Riwayat keluhan yang kronik.
Dari pemeriksaan fisis, dapat ditemukan takipneu ronki basah (hingga 70%
kasus), mengi dan jari tabuh. Jika disertai penyakit sistemik berat lainnya, dapat
terjadi hipoksemia kronik, kor pulmonal, atau gagal ventrikel kanan.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto toraks dada
Tidak sensitive dalam mendeteksi derajat dari penyakit (ringan/sedang).
Dari foto polos, dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin, garis paralel
dan struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambaran ruang
kistik, air-fluid level atau gambaran honeycomb.
b. CT scan
Standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitive
dibandingkan foto polos dada menggambarkan dilatasi salura napas pada kedua
lobus dan lingual.
Karakteristik : bronchial tapering menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi
paru, rasio ukuran bronkoarteri meningkat (tanda signet-ring).
c. Bronkoskopi fiberoptik
Mengetahui penyebab penyumbatan endobronkial.
d. Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan
Dapat ditemukan neutrofilia dan kolonisasi. Selain itu dapatdilakukan tes
resistensi antibiotik (terutama pada infeksi Pseudomonas aeruginosa).
6. Tatalaksana
Tujuan
a. Tatalaksana infeksi, terutama pada serangan akut.
b. Peningkatan klirens sekresi trakeobronkial.
c. Penurunan inflamasi.
d. Tatalaksana pada masalah lainnya yang teridentifikais.
Medikamentosa
Terapi antibiotik merupakan tatalaksana utama pada bronkiektasis. Terapi
antibiotic dapat dibagi menjadi terapi eksaserbasi akut dan jangka panjang.
Pemberian terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya dilakukan oleh pelayanan
kesehatan tingkat sekunder atau diatasnya.
a. Eksaserbasi akut
Indikasi terapi antibiotik pada eksaserbasi akut, antara lain terjadi
perburukan keadaan umum mendadak, biasanya dalam beberapa hari, berupa
bertambahnya keluhan batuk, volume sputum atau terdapat keluhan sesak atau
hemoptisis. Terapi antibiotik bersifat empiris dan diberikan selama 10-14 hari.
Regimen antibiotic dapat iubah setelah mendapat hasil pemeriksaan
bakteriologis.
b. Jangka panjang
Indikasi terapi antibiotik jangka panjang, antara lain jika keluhan sangat
berat dan sering (eksaserbasi akut >3x/tahun). Regimen antibiotic ditentukan
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis ketika tidak dalam eksaserbasi
akut.
Tatalaksana lainnya, yaitu pemberian bronkodilator dikatakan dapat
memperbaiki penyumbatan dan meninkatkan klirens. Sedangkan pemberian
mukolitik untuk mengurangi secret dan memperbaiki klirens hingga saat ini masih
diperdebatkan. Tindakan rehabilitasi medic dapat membantu, seperti posisi tidur
dan cara mengeluarkan dahak.
Bedah ‘
Operasi hingga saat ini bukan pilihan utama, terutama jika terapi antibiotic
dan suportif masih efektif. Namun, jika keluhan meningkatkan morbiditas, reseksi
pada region paru yang terkena dapat menjadi pilihan jika lesi bersifat local atau
embolisasi jika lesi luas.
E. Emfisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya
kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal
yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir
proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada
kenyataannya, ketika klien mengalami gejala emfisema, fungsi paru sudah sering
mengalami kerusakan permanen (irreversible) yang disertai dengan bronchitis
obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.
1. Definisi Emfisema
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang
dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216)
Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-
ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.
(Robbins.1994.253).
Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru
dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435)
2. Klasifikasi
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus
alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak
membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki
dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan
berat badan.
b. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada
pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi
kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung
sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal
napas.
Pembagian Klinis
Paracicatricial Terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus di tepi suatu lesi fibrotic paru
Lobular Pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di
asinus/lobules sekunder
Pembagian Menurut Lokasi Tempat Proses
Sentrolobular Kerusakan terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya
tetap normal
Panlobular Kerusakan terjadi di seluruh asinus
Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat
ditentukan dari mana mulainya
Pada emfisema paru, terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara
sebelah distal bronchus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
3. Penyebab
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus
sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada
penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang
yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru
terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin
adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
4. Gejala
Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
berlangsung. Gejala-gejala emfisema antara lain:
a. Sesak napas
b. Mengi
c. Sesak dada
d. Mengurangi kapasitas untuk kegiatan fisik
e. Batuk kronis
f. Kehilangan nafsu makan dan berat
g. Kelelahan
5. Etiologi
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak,
2004).
b. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin.
Kerja enzim ini menetralkan enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada
peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan
jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu
kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita
emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru
akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-
gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada
seseorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru
bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi
bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi skunder oleh
bakteri.
d. Hipotesis Elastase – Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan
antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru.
Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary
alveolar macropage—PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok
dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi
menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan
kemudian emfisema.
6. Manifestasi Klinis
a. Dispnea.
b. Pada inspeksi: bentuk dada ‘barrel chest’.
c. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan (sternokleidomastoid).
d. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
e. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan
ekspirasi.
f. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum.
g. Distensi vena leher selama ekspirasi.
7. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang berlebihan,
kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan
redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan
emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan
paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)
dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).
Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk
disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru
berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar.
Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran
pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi
dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung pada
kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang / tidak ada,
tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah
ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada
keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam
darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding
alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan
demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi
emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung
(Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah.
Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh
peningkatkan tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru.
Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan
negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan
kerja keras otot-otot pernafasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga
terfikasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada
dimana rasio diameter AP,Tranversal mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini
terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang
belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung.
Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernafas, menggunakan otot-
otot bantu nafas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi
mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat
inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal
menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memingkinkan terjadi. Kapasitas vital total
(VC) mungkin normal, tetapi rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan
kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli yang
mengalami kerusakan dan jalan nafas yang menyempit meningkatkan upaya
pernafasan (Smeltzer dan Bare, 2002).
8. Komplikasi
a. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
b. Daya tahan tubuh kurang sempurna
c. Tingkat kerusakan paru semakin parah
d. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
e. Pneumonia
f. Atelaktasis
g. Pneumothoraks
h. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
9. Pemeriksaan Diagnosis
a. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis.,
bronkodilator.
c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;
penurunan emfisema.
d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis.
h. h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,
kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa
yang terlihat pada bronchitis.
i. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma).
j. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan
diagnosa emfisema primer.
k. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia
atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis,
emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
m. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program
latihan.
10. Pencegahan dan Pengobatan
Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu
mencegah penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti
merokok mencegah perkembangan penyakit. Pengobatan didasarkan pada gejala
yang terjadi, apakah gejalanya ringan, sedang atau berat. Perlakuan termasuk
menggunakan inhaler, pemberian oksigen, obat-obatan dan kadang-kadang operasi
untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.
BAB III
PATOFISIOLOGI
A. Batuk
Pola dasar batuk bisa dibagi kepada empat komponen yaitu inspirasi dalam
yang cepat, ekspirasi terhadap glotis yang tertutup, pembukaan glotis secara tiba-
tiba dan terakhir relaksasi otot ekspiratori (McGowan, 2006).
Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter
atau refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen.
Jaras aferen termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus
trigemineus, glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula
termasuklah nervus laryngeus dan nervus spinalis. Batuk bermula dengan inspirasi
dalam diikuti dengan penutupan glotis, relaksasi diafragma dan kontraksi otot
terhadap penutupan glotis. Tekanan intratorasik yang positif menyebabkan
penyempitan trakea. Apabila glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antar
atmosfer dan saluran udara disertai penyempitan trakea menghasilkan kadar aliran
udara yang cepat melalui trakea. Hasilnya, tekanan yang tinggi dapat membantu
dalam mengeliminasi mukus dan mikroorganisme penyebab infeksi, dalam kasus
ini adalah Mycobacterium tuberculosis.
B. Dispneu
Aktivitas bernapas dimulai dari neuron di medulla spinalis. Serat efferent
dari medulla spinalis merangsang mekanoreseptor pada saluran napas, paru,
dinding dada, dalam mengatur pola napas. Selanjutnya serat efferent dari medulla
spinalis juga merangsang perubahan pada pCO2 dan pO2 yang diatur oleh
kemoreseptor sentral pada medulla spinalis dan kemoreseptor tepi pada arteri
carotis dan aortic body. Sinyal dari kemoreseptor ini ditransmisikan kembali ke
pusat batang otak yang mengatur pernapasan untuk menjaga keseimbangan gas
darah dan keseimbangan asam-basa. Signal efferent dari mekanoreseptor dan
kemoreseptor akan dilanjutkan kembali ke pusat napas di cortex cerebri.
Sesak timbul ketika terjadi ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksia.
Pada tuberculosis terjadi gangguan pada proses ventilasi yang disebabkan reaksi
peradangan pada alveolus oleh Mycobacterium tuberculosis. Fungsi alveolus
adalah sebagai tempat difusi (pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida).
Apabila fungsi ini terganggu maka akan terjadi ketidakseimbangan gas oksigen dan
karbondioksida. Hal ini akan merangsang peningkatan dari kerja otot pernapasan
untuk mengkompensasi keadaan tersebut, tetapi peningkatan kerja otot pernapasan
ini tidak diimbangi oleh kapasitas ventilasi yang memadai, sehingga timbul
dispneu.
C. Keringat Dingin Malam Hari
Ada pendapat keringat malam pada pasien tuberculosis aktif terjadi sebagai
respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu tumour necrosis factor alpha (TNF-
α) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun dimana mereka bereaksi terhadap
bakteri infeksius (M.tuberculosis). monosit yang merupakan sumber TNF-α akan
meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman M.tuberculosis dan menjadi
makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara
keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin
lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran
bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF-α yang dikeluarkan secara
berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam,
nekrosis, dan penurunan berat badan dimana semua ini merupakan karakteristik
dari tuberculosis (Tramontana et al 1995).
D. Anoreksia dan Penurunan Berat Badan pada TB
Infeksi Mycobacterium tuberculosis
Aktivasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen
IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α
Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk
hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.
Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan
produksi prostaglandin.
Prostaglandin merangsang cerebral cortex
( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat
menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi
Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada
pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.
Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB
menyebabkan penurunan BB
E. Febris
Demam terjadi karena adanya suatu pirogen (zat yang menyebabkan
demam) yang pada kasus ini adalah Mycobacterium tuberculosis atau disebut juga
dengan piroge eksogen. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel
darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa
toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF α,
dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endothelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan thermostat di
pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-
mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit
dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh
naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu : fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokostriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa
kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat
yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna
kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).
BAB IV
PENJELASAN DD (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
TB BRONKITIS AKUT PNEUMONIA BRONKIEKTASIS EMFISEMA
Batuk Batuk produktif,
remiten
Batuk produktif,
remiten, disertai
dahak berwarna
kuning kehijauan
Demam tinggi
(hiperpireksia)
Batuk menahun,
produktif, berbau
busuk dan/atau
mengandung darah
Batuk ringan
Dispnea
- + +
Sesak berat, terdapat
otot pernafasan
tambahan
Sesak saat aktivitas Progresif bila
bergerak
Keringat dingin
malam hari+ - - - -
Anoreksia + + +
Penurunan BB + + + + +
Febris Demam subfebris + + + -