Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa
-
Upload
sabila-robbani -
Category
Documents
-
view
31 -
download
4
description
Transcript of Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 1
Pendidikan Tinggi Untuk Siapa?
Kajian Mengenai Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
--Kastrat BEM FTUI 2013--
“Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi, membangun
teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun
jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa
dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak
diperlukannya Nation and character Building.” ~Ir. Soekarno
Undang-undang Perguruan Tinggi (UU Dikti atau UU PT) sudah menjadi perbincangan
hangat bahkan saat bentuk masih dalam bentuk rancangan undang-undang. Bahkan sebelum kita
mengenal RUU PT yang telah disahkan menjadi UU PT, sudah ada gonjang-ganjing tentang UU
BHP yang disebut-sebut memiliki roh yang sama dengan UU PT. UU PT merupakan salah satu
regulasi yang dibuat pemerintah sebagai salah satu dari regulasi yang mengatur pendidikan di
Indonesia. Secara lebih spesifik, UU PT mengatur tentang segala macam hal mengenai
pendidikan tinggi.
Pada tahun 2010, UU BHP telah di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, dan
akhirnya UU BHP sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena telah diputuskan
melanggar konstitusi. Saat ini, UU PT juga sedang di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi
karena dianggap memiliki berbagai permasalahan pada pasal-pasal yang terkandung di
dalamnya. Apa yang sebenarnya menjadi permasalahan dalam UU PT? Untuk menjawab
pertanyaan ini, analisa akan dilakukan pada beberapa tahap. Pertama, analisa melalui filosofi
pendidikan. Kedua, sejarah yang terjadi sampai disahkannya UU PT. Ketiga, status badan hukum
yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagai bentuk otonomi.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 2
1. Filosofi Pendidikan
Indonesia merupakan salah satu dari sangat sedikit Negara yang mencantumkan
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan Negara. Tujuan Negara ini tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Artinya, founding fathers kita saat itu membayangkan sebuah Negara
yang tujuannya tidak lain adalah menyejahterakan rakyatnya, bahwa Negara Indonesia adalah
sebuah welfare state, Negara kesejahteraan.
Alasan mengapa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi salah satu tujuan Negara dapat
dipahami dengan melihat dari sejarah Indonesia. Indonesia yang memiliki potensi alam yang
sangat besar, mulai dari tanahnya yang subur sehingga dapat menumbuhkan berbagai macam
tanaman hingga isi buminya yang kaya, berkeinginan untuk mengelola SDA tersebut secara
mandiri. Selama dijajah dan masa awal kemerdekaan, Indonesia masih sangat tergantung dengan
teknologi dan pengetahuan dari Negara lain untuk melakukan hal ini. Disadari betul oleh Bung
Karno bahwa kemerdekaan merupakan langkah awal untuk menuju kesejahteraan, dan
ditambahkan dengan Bung Hatta yang menegaskan bahwa tidak ada artinya kedaulatan politik
jika tidak dibarengi dengan kedaulatan ekonomi, sementara kemandirian pengelolaan yang dapat
membawa kita pada kedaulatan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan dan pengetahuan
Indonesia dalam mengelolanya, maka tak pelak lagi pendidikan menjadi salah satu hal yang
sangat penting untuk diletakkan sebagai tujuan Negara.
Tidak hanya sebagai strategi politik Negara, pendidikan juga menjadi Hak ekosob yang
harus dipenuhi oleh Negara. Hak atas pendidikan diatur dalam Pasal 13 Konvenan Hak Ekosob.
Sebagai HAM ekosob, pemerintah bertanggung jawab dalam memastikan setiap rakyat dapat
mengakses dan menimati pendidikan. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah untuk
memanusiakan manusia, oleh karena itu pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai sebuah
jalan untuk mendapatkan pekerjaan semata, melainkan juga kesadaran sepenuhnya sebagai
manusia. Belajar dari pengalaman Freire dengan pendidikan di Brazil, kita dapat mengetahui
bahwa pendidikan selalu sarat dengan kepentingan politik (bisa dalam arti baik dan buruk).
Ketika Freire berupaya untuk mengubah sistem pendidikan di Brazil yang tadinya berbasis
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 3
hafalan menjadi berbasis analisa, ia mendapat tentangan keras dari pihak pemerintah bahkan
sampai tidak diizinkan masuk ke negaranya sendiri. Sebab, sejarah nmembuktikan bahwa
pergerakan melawan pemerintah yang lalim selalu datang dari kalangan terdidik, sehingga Freire
merupakan ancaman bagi pemerintah Brazil saat itu.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pengaruh latar dan tujuan politik sangat
berpengaruh terhadap sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia. Secara garis besar, menurut
urutannya kurikulum dapat dibagi menjadi 3, yaitu Kurikulum Rencana pelajaran (1945-1968),
Kurikulum Berbasis Pada Pencapaian Tujuan (1975-1984) serta Kurikulum Berbasis Kompetensi
dan KTSP (2004/2006). Penjelasan singkat yang membedakan kurikulum dari waktu ke waktu
adalah pada masa kepresidenan Soekarno, kurikulum memiliki ciri khas selalu menghubungkan
bahan ajar dengan kehidupan sehari-hari. Sebab Bung Karno mengedepankan nation and
character bulding, dimana identitas keindonesiaan merupakan tujuan besar dari pemerintahan
saat itu. Pembangunan jiwa baru dilanjutkan dengan pengembangkan keahlian merupaka
perspektif besar yang digunakan dalam menyusun kurikulim pedidikan pada masa itu.
Sesudah tahun 1968, perubahan presiden dari Soekarno ke Soeharto berdampak pada
perubahan orientasi politik, sekaligus juga kepada orientasi pendidikan nasional. Nilai pancasila
memang tetap menjadi dasar pendidikan, tetapi situasi politik saat itu menempatkan pendidikan
sebagai pensuplai tenaga kerja bagi industri yang sedang digalakkan oleh presiden Soeharto.
Pada kurikulum masa ini, justru bahan hajar tidak banyak berelasi dengan kehidupan sehari-hari.
Sama dengan apa yang dialami Brazil, pemerintahan Soeharto menginginkan kestabilan politik,
sehingga lembaga pendidikan dibuat sedemikian rupa menjadi developmentalis, justru
melegitimasi apapun kebijakan pemerintah. Sesudah reformasi, kurikulum telah beberapa kali
diperbaiki yaitu dengan memperkenalkan KBK dan KTSP. Tetapi produk pendidikan lebih dari
30 tahun pada era Orde Baru membuat perspektif filosofis rakyat Indonesia terhadap pendidikan
menjadi tercampur baur.
Sejarah panjang pendidikan nasional ini juga berpengaruh kepada filosofi yang
digunakan dalam memandang pendidikan dalam pasal-pasal di UU PT. Pendidikan yang
seharusnya dipandang sebagai public goods atau atau barang publik mulai dibiaskan menjadi
private goods atau barang privat yang harus diperjuangkan masing-masing sehingga Negara
tidak bertanggung jawab terhadapnya. Distorsi pemikiran ini hampir selalu muncul dalam
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 4
perdebatan filosofi pendidikan di UU PT. Melihat dari penyebab distorsi dalam sejarah
pendidikan Indonesia, dapat ditegaskan bahwa pendidikan merupakan jalan utama untuk
mencapai tujuan Negara yaitu mencerdaskan kehidupan, dan oleh karena itu pemerintah
bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan sekaligus memastikan pendidikan dapat
diakses oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan latar belakang apapun.
Pendidikan adalah hak ekosob bagi rakyat sekaligus sektor strategis bagi pemerintah untuk
mencapai kedaulatan dan kesejahteraan.
2. Sejarah UU PT
Undang-undang Perguruan Tinggi tidak muncul secara tiba-tiba pada tahun 2012. Jika
memperhatikan permasalahan serupa yang terjadi pada beberapa undang-undang sekitar tahun
2000 keatas, dapat dimengerti bahwa upaya untuk meliberalisasi berbagai sektor di Indonesia
dimulai bersamaan dengan dimulainya reformasi, yaitu sekitar tahun 1998. Krisis finasial yang
melanda Indonesia memang berhasil menciptakan momen sejarah untuk menggulingkan
kekuasaan Soeharto, tetapi sekaligus munculnya masalah baru. Krisis financial memaksa
Indonesia untuk berhutang kepada IMF, dimana IMF kemudian meminjamkan uang dengan
syarat pemerintah harus menandatangani Letter of Intent (LOI), dimana IMF bersedia
meminjamkan uang asalkan pemerintah mau membuat regulasi sesuai dengan saran mereka. Hal
ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di Negara berkembang lainnya.
Skema privatisasi dapat terlihat dalam dokumen IMF yaitu Letter of Intent tanggal 11
September, 19 Oktober, dan 13 November tahun 1998. Salah satu contoh isi dari LoI 13
November adalah sebagai berikut
“The masterplan for the restructuring and privatization of all state enterprises over the
medium term, has been adopted and publicly released. The masterplan also provides for the
review of the regulatory framework in the key privatized sectors”
Stiglitz, sebagai orang yang pernah terlibat dalam penentuan kebijakan keuangan di
Amerika sendiri mengakui bahwa Amerika melalui IMF dan World Bank memiliki skema
privatisasi pada seluruh Negara berkembang di dunia. Sedangkan yang menjadi kritik, justru di
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 5
negaranya sendiri skema privatisasi ini tidak diterapkan, dimana dominasi perusahaan-
perusahaan asal Amerika tetap dikukuhkan agar tidak tersaingi oleh perusahaan dari Negara lain
di negaranya sendiri. Skema privatisasi ini tidak lain merupakan upaya perusahaan multinasional
dengan memanfaatkan intervensi Negara asalnya di organisasi internasional untuk merebut pasar
sektor tertentu di seluruh dunia. Sebab privatisasi kurang lebih memiliki semangat
neoliberalisme, yaitu meminimalkan peran pemerintah dan menyerahkan sepenuhnya kepada
mekanisme persaingan pasar bebas. Padahal di Indonesia, kebutuhan yang menyangkut hajad
hidup orang banyak seharusnya dianggap sebagai hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah,
bukan justru dianggap sebagai pasar sehingga harus dikomersialisasi.
Nasib ini tidak hanya dialami oleh sektor pendidikan, melainkan juga sektor
ketenagalistrikan melalui UU no 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikkan yang telah dicabut
oleh MK pada tahun 2004, sektor migas melalui UU no 22 tahun 2001 yang telah berulang kali
di judicial review di MK, dan sektor-sektor lain. Sehingga kita harus memandang bahwa
pendidikan merupakan salah satu dari berbagai macam sektor yang diinginkan untuk
diprivatisasi, sebab secara logis berhubungan dengan berbagai UU yang mengatur sektor lainnya.
Upaya untuk melakukan privatisasi sektor pendidikan sudah terjadi bahkan sebelum lahirnya
Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) melalui Rancangan Undang-undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). RUU BHP disahkan menjadi UU BHP pada tahun 2009,
dan langsung diajukan judicial review dan akhirnya dicabut oleh MK karena dianggap
bertentangan dengan konstitusi pada tahun 2010.
Tidak sampai 2 tahun kemudian, muncul RUU PT yang secara konten memiliki roh yang
sama dengan UU BHP, walau dengan berbagai macam perbaikan dan penghalusan pada pasal-
pasalnya. RUU PT ini kemudian disahkan menjadi UU PT pada tahun 2012 dengan berbagai
kritik dan kontroversi yang masih terus mengalir saat statusnya masih RUU. Hal ini semakin
menegaskan bahwa pemerintah memang memiliki agenda tertentu untuk melakukan privatisasi
sektor pendidikan, dimana dalam hal ini adalah pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan
kebutuhan bagi semua orang, sekaligus pasar yang menguntungkan bagi orang yang berniat
melakukan bisnis sebagai lembaga pendidikan. Pergulatan politik dan kepentingan inilah yang
melahirkan kontroversi pada UU PT.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 6
3. Status Badan Hukum
Pasal dalam UU PT yang sedang diajukan ke MK untuk diuji adalah pasal 64, 65, 73, 74,
86 dan 87. Permasalahan yang dianggap paling mengkhawatirkan adalah perspektif untuk
melakukan privatisasi perguruan tinggi dengan penggunaan istilah otonomi. Hal ini dilakukan
dengan cara membuat perguruan tinggi menjadi berstatus badan hukum, sebuah perspektif yang
sama antara UU BHP yang telah dicabut oleh MK dengan UU PT yang masih berstatus memiliki
kekuatan hukum mengikat. Status badan hukum inilah yang menjadi point yang sangat penting
untuk dianalisa sebagai kritik terhadap UU PT. Pasal yang berhubungan dengan status badan
hukum ini terutama adalah pasal 64 dan 65 yang berisi :
Pasal 64
(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi
bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. ketenagaan; dan
f. sarana prasarana.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN
dengan menerapkan PolaPengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan
membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 7
(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan
fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Analisa akan dilakukan dengan 3 tahap, yaitu memahami apa yang dimaksud dengan
badan hukum, apa kesamaan antara penjelasan mengenai badan hukum pendidikan tinggi yang
dijelaskan dalam UU BHP dengan UU PT, dan apa dampaknya jika perguruan tinggi berstatus
badan hukum.
a. Pengertian Badan Hukum
Dalam sejarahnya “badan hukum” merupakan istilah yang diterjemhkan dari Bahasa
Belanda yaitu dari kata rechtspersoon. Di Indonesia peraturan tentang badan hukum terdapat
dalam Pasal 1654 KUH Perdata yang menyatakan Semua perkumpulan yang sah adalah seperti
halnya orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau
ditundukkan pada acara-acara tertentu. Sementara itu sebelumnya pada Pasal 1653 KUH
Perdata adalah peraturan umumnya yang menyebutkan Selain perseroan yang sejati oleh
undang-undang diaku ipula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-
perkumpulan, baik perkumpula-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh
kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan atau
telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang
atau kesusilaan baik.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 8
Jika diklasifikasikan berdasarkan pada materinya maka terdapat dua jenis badan hukum, antara
lain :
1) Badan Hukum Publik (publiekrecht) yaitu badan hukum yang mengatur hubungan
antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan
umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara,
hukum international dan lain sebagainya. Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank
Indonesia.
2) Badan Hukum Privat (privaatrecht) yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerja
sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan Hukum Privat yang bertujuan Provit
Oriented (contoh : Perseroan Terbatas) atau Non Material (contoh : Yayasan).
Berdasarkan penjelasan di atas maka terlihat jelas bahwa istilah Badan Hukum digunakan
untuk membentuk suatu badan/lembaga baru demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Sedangkan
badan hukum pendidikan (BHP) seharusnya hanya sebagai fungsi penyelenggara bukan sebagai
suatu suatu badan atau lembaga baru. Maka tak heran bila Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa istilah “badan hukum pendidikan” bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu,
melainkan merupakan sebutan bagi fungsi penyelenggaraan pendidikan yang berarti bahwa suatu
lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Adapapun bentuk badan hukum
yang diakui itu dapat bermacam-macam sesuai dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam
perundang-undangan misalnya, yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan lain
sebagainya.
b. Penjabaran Status Badan Hukum Pendidikan dalam UU BHP dan UU PT
Salah satu hal yang meyebabkan para perumus undang-undang di negeri ini menelurkan
sebuah UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah karena UU Nomor 9 tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan secara sah dinyatakan Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan UUD 1945.
Undang-undang BHP memiliki semangat menyeragamkan bentuk badan-badan
penyelenggara pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi suatu badan yang bernama
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 9
“badan hukum pendidikan”. Setelah UU BHP ini “ditumbangkan” di Mahkamah Konstitusi
tahun 2009 silam maka pada tahun 2012 lahir sebuah undang-undang pengganti UU BHP yaitu
UU Pendidikan Tinggi. Pada UU Pendidikan Tinggi hanya berfokus pada jenjang pendidikan
tinggi atau bahkan jauh lebih berkonsentrasi pada Pendidikan Tinggi yang diselenggrakan oleh
pemerintah, tidak lagi bicara secara detail tentang penyeragaman penyelenggra pendidikan
negeri maupun swasta.
Tapi entah apa yang dimaksudkan oleh undang-undang pengganti UU BHP yaitu UU
pendidikan Tinggi. Undang-undang ini cukup berbeda dengan UU BHP yang lebih banyak
bicara tentang badan penyelanggara pendidikan secara keseluruhan, UU PT hanya berfokus
pada Pendidikan Tinggi saja. Secara kebijakan seluruhnya UU PT memang jauh lebih baik
dibandingkan dengan UU BHP. Namun pada UU PT seolah-olah menghindari desakan para
pemohon UU BHP yang didominasi oleh yayasan swasta. UU PT sangat fokus pada
penyelenggraaan Pendidikan Tinggi oleh negara atau PTN. Peraturan bagi PTS tidak diatur
secara detail dalam UU PT.
Pada UU Pendidikan tinggi masih juga terdapat istilah “badan hukum”. Tidak seperti
halnya UU BHP istilah badan hukum hanya dipergunakan untu Perguruan Tinggi Negeri yang
disebut PTN badan hukum. Namun badan hukum ini tidak dijelaskan secara mendail pada UU
PT, misalnya tidak ada kejelasan tentang pembubaran badan hukum tsb, dan lain sebagainya.
Sehingga masih timbul kerancuan tentang status dan teknis badan hukum yang dicetusnya pada
UU Pendidikan Tinggi.
c. Dampak Jika Pendidikan Berstatus Badan Hukum
Hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah dampak yang terjadi jika perguruan tinggi
menjadi berstatus badan hukum. Bagaimana dampak ini dapat dianalisa adalah dengan
mengingat kembali tujuan Negara tentang pendidikan dan keadaan kekinian yang tidak terhindar
dari globalisasi. Terdapat beberapa gambaran mengenai badan hukum yang dijelaskan dengan
berbagai teori, diantaranya :
Teori fiksi yang dikemukakan oleh Savigny.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 10
Bahwa adanya badan hukum merupakan anggapan saja yang diciptakan oleh
Negara , sebab sebenarnya badan hukum tidak memiliki kekuasaannya sendiri
untuk bertindak, maka dibutuhkan wakil dari badan hukum untuk melakukan
tindakan, misalnya direktur, dll.
Teori Realitas Yuridis yang dikemukakan oleh Scholten
Badan hukum disamakan dengan manusia sebagai suatu kenyataan yuridis. Maka
adanya badan hukum ditentukan oleh adanya hukum yang negatur badan hukum
tersebut.
Dalam UU PT, status perguruan tinggi yang menjadi badan hukum dalam UU PT dapat
terlihat pada pasal 65 ayat 3. Pada pasal 3 point pertama, dapat terlihat bahwa badan hukum akan
memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara. Artinya, perspektif yang
digunakan adalah perspektif untuk mereduksi peran pemerintah terhadap pendidikan tinggi.
Konsekuensinya, badan hukum dapat mengalami kebangkrutan, sebab posisi keuangannya
terpisah dari pemerintah dan dapat menjalankan mekanisme sendiri seperti mengatur hutang
piutang dan sebagainya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sebuah perguruan tinggi kelak akan
dapat menyatakan status keuangannya bangkrut.
Jika menggunakan perspektif persaingan untuk meningkatkan kualitas, barangkali logika
yang digunakan dalam UU PT untuk membuat perguruan tinggi berstatus badan hukum adalah
logika yang tepat. Tetapi jika dikembalikan kepada tujuan Negara, hal ini tentu saja
bertentangan. Sebab Negara melepas tanggung jawabnya terhadap keberlangsungan pendidikan
tinggi. Pemerintah tidak lebih dari melakukan pengawasan. Dengan kata lain, istilah memberikan
otonomi dengan membuat perguruan tinggi menjadi berstatus badan hukum telah melepaskan
secara halus tanggung jawab pemerintah untuk memastikan pendidikan tinggi dapat diakses oleh
semua orang tanpa diskriminasi.
Selain itu, badan hukum tidak hanya berdampak pada lepasnya tanggung jawab
pemerintah, tetapi juga berpotensi memberatkan mahasiswa dari segi pembiayaan. Pemerintah
memang tetap menganggarkan uang untuk diberikan kepada perguruan tinggi, namun tidak
bertanggung jawab atas kekurangan yang terjadi pada perguruan tinggi tersebut. Perspektif
perasingan/kompetisi untuk mengembangkan kualitas yang ada dibalik status badan hukum akan
membuat perguruan tinggi harus mencari pemasukan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 11
Sepanjang pengalaman perguruan tinggi dalam mengembangkan ventura, pada akhirnya
perguruan tinggi pasti akan kesulitan untuk menggantungkan pemasukkannya disana. Sebab
perguruan tinggi memang bukan perusahaan yang ada untuk keuntungan. Akibatnya, besar
kemungkinan perguruan tinggi akan menarik biaya lebih dari penerimaan mahasiswa.
Masalah penerimaan mahasiswa ini berhubungan dengan salah satu pasal di UU PT yaitu
pasal 74 ayat 1. Isinya adalah :
Pasal 74
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik
tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.
Batasan yang tercantum dalam pasa 74 ayat 1 bisa dipastikan hanya akan menjadi syarat yang
harus dipenuhi, bukan secara sadar menjadi tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bahkan dengan susunan pasal dalam UU PT yang demikian, maka memungkinkan terjadinya
kondisi dimana dalam suatu perguruan tinggi, misalnya saja UI, akan menerima mahasiswa
dengan komposisi hanya 20% saja mahasiswa yang regular sedangkan 80% sisanya adalah
parallel yang notabene harus membayar dengan harga yang lebih tinggi.
Celah komersialisasi juga terlihat dari pasal 73, dimana secara garis besar pasal ini
merupakan pasal karet yang hanya terlihat baik secara redaksional tetapi sangat bercelah dalam
impelementasi. Celah ini aka terlihat jika memperhatikan kesinambungan dari pasal-pasal
sebelumnya. Isi pasal 73 tersebut adalah :
Pasal 73
(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui
pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.
(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan
Mahasiswa baru secara nasional.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 12
(3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi
persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam
setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga
kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.
(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan
dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-
masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional
diatur dalamPeraturan Menteri.
Pertama, pada redaksional pasal 73 ayat 1 menggunakan istilah “bentuk lain”, sehingga
memungkinkan perguruan tinggi membuka jalur lain yang rawan memberatkan dari segi
pembiayaan. Ayat 2 hanya menyatakan pemerintah akan menanggung biaya seleksi penerimaan
secara nasional, sementara “bentuk lain” tidak ditanggung. Pasal lainnya seolah hanya sebagai
pasal karet yang memperindah dan memperhalus pasal, seperti pasal 73 ayat 5 yang melarang
seleksi akademis untuk tujuan komersial tidak akan berdampak apa-apa selama ada pasal-pasal
sebelumnya yang sudah memungkinkan terjadinya komersialisasi, sementara pada pasal 73 ayat
5 sama sekali tidak dijelaskan seperti apa ukuran sebuah perguruan tinggi membuat seleksi
bertujuan komersial atau tidak.
Dalam UUD 1945 amandemen, pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan berisi :
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.’ ’ ’ ’
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.’ ’ ’ ’
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.’ ’ ’ ’
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 13
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.’ ’ ’ ’
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.’ ’
Perlu diperhatikan bahwa pada pasal 31 ayat 2 menyebutkan Negara hanya diwajibkan
membiayai pendidikan dasar. Kemudian pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam APBN
Negara wajib menganggarkan minimal 20% dari total APBN untuk biaya pendidikan. Artinya,
dalam UUD pemerintah memang tidak diwajibkan untuk membiayai sepenuhnya biaya
pendidikan tinggi. Secara teknis komposisi 20% dari APBN belum tentu mencukupi kebutuhan
untuk membiayai seluruh jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi.
Namun, kembali ke pembukaan UUD 1945 anelia keempat dan pasal 31 ayat 1, walaupun
pemerintah memang tidak diwajibkan membiayai keseluruhan biaya pendidikan tinggi, tetapi
dengan makna filosofis pendidikan yang tercermin dari pembukaan UUD maka Negara tetap
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga tidak tepat jika
pemerintah melepaskan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Dua pasal lain yang diajukan ke MK saat ini merupakan pasal 86 dan 87 yang berisi :
Pasal 86
(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan
bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota
Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 87
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 14
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara
kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Masalah yang ada pada pasl 86 adalah hubungan antara redaksional “pemerintah memfasilitasi
dunia usaha dan dunia industri” dengan “pemerintah memberikan insentif”, dimana insentif
tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Hal yang mengkhawatirkan adalah insentif ini
dimanfaatkan secara tidak sehat kepada dunia usaha dan dunia industri sehingga terjadi transaksi
antara pemerintah dengan dunia usaha dan dunia industri dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Sedangkan masalah dalam pasal 87 lebih kepada ketidakjelasaan status perguruan tnggi, apakah
PTN BH atau BLU, yang dimaksud dapat mengelola kekayaan Negara.
4. Epilog
Jika sejauh ini analisa yang digunakan menggunakan perspektif Negara, maka hal yang
tidak boleh dilewatkan adalah perspektif dari sisi mahasiswa itu sendiri sebagai orang yang
sangat dipengaruhi nasibnya oleh UU PT. Bagian ini membahas dampak yang telah dirasakan
secara langsung. Sebab ketika UU PT disahkan, sebenarnya bukan berarti dampaknya baru
dirasakan saat itu. Tetapi banyak perguruan tinggi yang telah menjalankan perguruan tingginya
mirip dengan apa yang diatur dalam UU PT, bahkan sebelum UU PT disahkan.
Dampak persaingan bebas dalam sektor pendidikan khusunya perguruan tinggi
UU PT secara umum dapat menimbulkan dampak- dampak yang tidak diinginkan dan
dapat berdampak buruk pada kestabilan pendidikan. Dampak-dampak itu adalah sebagai berikut :
perguruan tinggi asing boleh mendirikan cabang di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
pasal 114. Pada ayat pertama pasal ini tersurat bahwa perguruan tinggi negara lain dapat
menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal ini memang dapat meningkatkan kualitas
pendidikan dengan secara tidak langsung karena mengatur semua perguruan tinggi untuk masuk
dalam kompetisi global akan tetapi hal ini dapat mematikan perguruan tinggi lokal karena pada
dasarnya hampir semua perguruan tinggi tidak siap secara finansil maupun infrastruktur. Berbeda
dengan perguruan tinggi asing yang memiliki kondisi finansial dan infrastruktur jauh melebihi
perguruan tinggi lokal. Selain itu perguruan tinggi asing pastilah membawa budaya negarannya
sehingga hal ini dapat mengintervensi budaya lokal atau bahkan menghancurkan budaya lokal.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 15
Kita patut mempertanyakan apakah ukuran sebuah universitas yang “maju” benar-benar sudah
sesuai dengan tujuan Negara.
Indonesia menuju negara liberal
Ketika kita kembali melihat beberapa RUU dan UU dalam berbagai sektor seperti yang
sudah disebutkan, maka kita dapat melihat suatu pola di mana privatisasi gencar dilakukan.
Secara perlahan pemerintah mulai membebaskan rakyatnya untuk bersaing secara mandiri.
Terbentuk sebuah ide bahwa Indonesia sedang diarahkan menuju negara liberal di mana
pemerintah tidak dapat terlalu ikut campur dalam pasar. Dalam suatu perspektif, ini merupakan
hal yang baik karena dapat memacu kreatifitas dan inovasi yang nantinya dapat meningkatkan
mutu produk atau jasa tersebut, begitulah idealnya.
Ketika kita melihat dari perspektif lain maka kita akan sadar bahwa seringkali di dalam
pasar bebas terlihat bahwa pasar dikuasai oleh instansi-instansi besar yang berasal dari luar
negeri. Dapat dikatan bahwa teori “persaingan pasar babas” hanyalah sebagai topeng yang di
mana pada kenyataanya pasar tersebut tidaklah sebebas yang dicita-citakan. Sesungguhnya pasar
tersebut dikuasai oleh segelintir instansi terkait dan sangatlah sulit bagi instansi-intansi kecil
untuk berkembang. Telah terbukti di dalam berbagai negara yang menerapkan pasar bebas
teradapat instansi-instansi internasional yang kurang lebih sama. Maka terlihat kesan adanya niat
oleh segelintir instansi-instansi ingin menguasi berbagai pasar di berbagai negara termasuk
Indonesia.
Di Indonesia sendiri tercium adanya niatan dari pihak luar yang ingin menguasai pasar
Indonesia khususnya di dalam sektor energi dan pendidikan. Berkaitan dengan UU PT ini, maka
dapat disimpulkan ini adalah pintu bagi instansi-instansi luar untuk masuk dalam pasar
Indonesia. Jika sampai pasar Indonesia dikuasai oleh pasar asing, maka musnalah cita-cita para
pendiri bangsa yang memimpikan Indonesia merdeka seutuhnya. Agar Indonesia terhindar dari
penguasaan asing, pemerintah seharusnya tidak melepaskan tangannya dan jangan membiarkan
pasar bebas untuk terjadi, salah satunya dengan membatalkan UU PT ini.
Pendidikan adalah hal strategis bagi Negara dan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini
sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Seluruh upaya untuk mengkomersialisasikan pendidikan
harus dianggap sebagai upaya untuk menentang filosofi dan dasar Negara yang secara jelas
disebut pada pembukaan UUD 1945. Karena itulah, pasal-pasal dalam UU PT yang berusaha
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 16
memprvatisasi dan mengkomersialisasi pendidikan tinggi seperti yang telah dibahas harus segera
dicabut.
Tetapi kita tidak boleh menutup mata terhadap teknis penyelenggaaan pendidikan itu
sendiri. Perlawanan terhadap privatisasi yang berujung pada komersialisasi pendidikan tidak
hanya pertarungan ideologi dan regulasi, tetapi juga perjuangan dalam pengelolaan keuangan
Negara. Walaupun UUD telah mengamanatkan Negara untuk mengalokasikan untuk pendidikan
minimal 20% dari APBN, tetapi jika dibandingkan dengan PDB, anggaran pendidikan di
Indonesia masih terbilang rendah yaitu 3.41% (sebagai pembanding, anggaran pendidikan
terhadap PDB di Malaysia adalah 7.9%).
Artinya, secara teknis keuangan, apa yang dihadapi Indonesia dalam mengelola
pendidikan akan sangat bergantung kepada pertumbuhan ekonomi Negara. Sebab jika tidak,
walaupun secara filosofi dan regulasi Negara kita memiliki pembukaan UUD dan UUD, tetapi
secara implementasi akan sulit untuk membuat pendidikan rendah menjadi gratis dan pendidikan
tinggi menjadi murah, dimana kedua-duanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Tetapi
bagaimanapun esalahan dalam pengelolaan Negara yang berdampak pada tipisnya “dompet”
Negara bukanlah suatu pembenaran untuk melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
Menolak UU PT bukan berarti lebih memihak untuk mengalokasikan anggaran Negara
kepada pendidikan tinggi daripada pendidikan dasar. Menurut data kemendikbud tahun 2011,
alokasi anggaran untuk pendidikan dasar adalah Rp 15.735.022.717, pendidikan menengah
sebesar Rp 7.248.688.000.000, sementara pendidikan tinggi Rp 28.599.094.000. Alokasi untuk
pendidikan dasar plus menengah lebih besar daripada pendidikan tinggi, dan hal ini bisa
dimengerti mengingat amanat UUD untuk mengratiskan pendidikan dasar dan merintis juga ke
pendidikan menengah. Bahkan anggaran pendidikan tinggi sebenarnya sudah lebuh tinggi dari
pendidikan dasar, namun karena kebutuhan pendidikan tinggi memang lebih tinggi, anggaran
tersebut masih belum cukup untuk membuat pendidikan tinggi gratis. Secara realistis, memang
saat ini belum memungkinkan untuk membuat PTN gratis sepenuhnya. Tetapi sekali lagi, belum
sanggupnya pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tinggi bukan berarti menjadi
pembenaran untuk melepaskan tanggung jawab Negara terhadap pendidikan tinggi dengan
membuatnya mejadi PTN BH.
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 17
Belajar dari Ir. Soekarno, dulu Indonesia memiliki rencana strategis melalui pendidikan
tinggi di Indonesia. Padahal saat itu keuangan Negara juga tidak lebih baik daripada apa yang
kita alami sekarang dan belum memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan gratis bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan melindungi objek-objek vital untuk tetap dikuasai oleh
perusahaan Negara, Bung Karno mengirimkan pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di
berbagai Negara Eropa. Tujuannya tidak lain adalah untuk membawa pelajar tersebut kembali
dan mengelola perusahaan Negara tersebut. Rencana ini memiliki konsekuensi logis
meningkatkan pemasukan Negara melalui kemandirian dan produktivitas perusahaan Negara,
dan akhirnya meningkatkan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan
pendidikan lebih luas.
Entah sejak kapan cara pandang kita kepada pendidikan jadi begitu rendah dan naïf, baik
pemerintah maupun pelajar dan mahasiswa itu sendiri. Pemerintah memandang pendidikan tidak
lebih dari sebuah jasa yang harus bisa dinikmati rakyat, menjadi beban bagi anggaran
pemerintah, dan jika dikomersialisasi akan lebih menguntungkan bagi Negara karena
mendapatkan pemasukan, sehingga mereka tidak menyerah dengan mensahkan UU PT karena
UU BHP telah dibatalkan MK. Pelajar dan mahasiswa memandang pendidikan sebagai sesuatu
yang menjadi hak yang tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain, pendidikan itu
untuk kemaslahatan diri sendiri, untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji besar semata, bukan
untuk mencerdaskan mereka yang belum beruntung menikmati bangku sekolah, apalagi untuk
mengabdi kepada Negara. Kasihan Negara kita ini, merindukan pemerintah dan rakyatnya yang
gandrung akan filosofi pendidikan dan hubungannya terhadap kesejahteraan.
Saat ini, UU PT sedang di-judicial review oleh 6 mahasiswa UNAND. Ada banyak cara
untuk membantu pencabutan UU PT sebagai jalan perjuangan menentang privatisasi dan
komersialisasi pendidikan tinggi. Kita bisa datang mendampingi atau memberi dukungan ketika
sedang dilakukan sidang di Mahkamah Konstitusi. Bagi teman-teman yang merasa dirugikan dan
diberatkan oleh sistem yang diakibatkan oleh UU PT ini, khususnya secara finansial, bisa
membantu memberikan kesaksian dalam sidang di MK. Atau minimal kita bisa menyebarkan
kepedulian kepada teman-teman di sekitar kita terhadap upaya pemerintah melakukan privatisasi
dan komersialisasi pendidikan tinggi melalui UU PT. Akankah sebagai mahasiswa kita akan
diam saja melihat pemerintah melanggar filosofi pendidikan dan tujuan Negara?
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya
Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 18
Notes : Jika ada rekan-rekan hendak menyampaikan pemikiran lain beserta alternatif solusi,
harap sampaikan pemikiran dan alternatif solusi tersebut dalam bentuk tulisan yang
komperhensif ke [email protected]. Kami akan membaca dan sebisa mungkin
merespon semua email yang masuk.