Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

18
Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 1 Pendidikan Tinggi Untuk Siapa? Kajian Mengenai Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi --Kastrat BEM FTUI 2013-- “Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.” ~Ir. Soekarno Undang-undang Perguruan Tinggi (UU Dikti atau UU PT) sudah menjadi perbincangan hangat bahkan saat bentuk masih dalam bentuk rancangan undang-undang. Bahkan sebelum kita mengenal RUU PT yang telah disahkan menjadi UU PT, sudah ada gonjang-ganjing tentang UU BHP yang disebut-sebut memiliki roh yang sama dengan UU PT. UU PT merupakan salah satu regulasi yang dibuat pemerintah sebagai salah satu dari regulasi yang mengatur pendidikan di Indonesia. Secara lebih spesifik, UU PT mengatur tentang segala macam hal mengenai pendidikan tinggi. Pada tahun 2010, UU BHP telah di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya UU BHP sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena telah diputuskan melanggar konstitusi. Saat ini, UU PT juga sedang di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap memiliki berbagai permasalahan pada pasal-pasal yang terkandung di dalamnya. Apa yang sebenarnya menjadi permasalahan dalam UU PT? Untuk menjawab pertanyaan ini, analisa akan dilakukan pada beberapa tahap. Pertama, analisa melalui filosofi pendidikan. Kedua, sejarah yang terjadi sampai disahkannya UU PT. Ketiga, status badan hukum yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagai bentuk otonomi.

description

pendidikan

Transcript of Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Page 1: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 1

Pendidikan Tinggi Untuk Siapa?

Kajian Mengenai Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

--Kastrat BEM FTUI 2013--

“Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi, membangun

teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun

jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa

dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak

diperlukannya Nation and character Building.” ~Ir. Soekarno

Undang-undang Perguruan Tinggi (UU Dikti atau UU PT) sudah menjadi perbincangan

hangat bahkan saat bentuk masih dalam bentuk rancangan undang-undang. Bahkan sebelum kita

mengenal RUU PT yang telah disahkan menjadi UU PT, sudah ada gonjang-ganjing tentang UU

BHP yang disebut-sebut memiliki roh yang sama dengan UU PT. UU PT merupakan salah satu

regulasi yang dibuat pemerintah sebagai salah satu dari regulasi yang mengatur pendidikan di

Indonesia. Secara lebih spesifik, UU PT mengatur tentang segala macam hal mengenai

pendidikan tinggi.

Pada tahun 2010, UU BHP telah di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, dan

akhirnya UU BHP sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena telah diputuskan

melanggar konstitusi. Saat ini, UU PT juga sedang di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi

karena dianggap memiliki berbagai permasalahan pada pasal-pasal yang terkandung di

dalamnya. Apa yang sebenarnya menjadi permasalahan dalam UU PT? Untuk menjawab

pertanyaan ini, analisa akan dilakukan pada beberapa tahap. Pertama, analisa melalui filosofi

pendidikan. Kedua, sejarah yang terjadi sampai disahkannya UU PT. Ketiga, status badan hukum

yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagai bentuk otonomi.

Page 2: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 2

1. Filosofi Pendidikan

Indonesia merupakan salah satu dari sangat sedikit Negara yang mencantumkan

“mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan Negara. Tujuan Negara ini tercantum dalam

pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial. Artinya, founding fathers kita saat itu membayangkan sebuah Negara

yang tujuannya tidak lain adalah menyejahterakan rakyatnya, bahwa Negara Indonesia adalah

sebuah welfare state, Negara kesejahteraan.

Alasan mengapa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi salah satu tujuan Negara dapat

dipahami dengan melihat dari sejarah Indonesia. Indonesia yang memiliki potensi alam yang

sangat besar, mulai dari tanahnya yang subur sehingga dapat menumbuhkan berbagai macam

tanaman hingga isi buminya yang kaya, berkeinginan untuk mengelola SDA tersebut secara

mandiri. Selama dijajah dan masa awal kemerdekaan, Indonesia masih sangat tergantung dengan

teknologi dan pengetahuan dari Negara lain untuk melakukan hal ini. Disadari betul oleh Bung

Karno bahwa kemerdekaan merupakan langkah awal untuk menuju kesejahteraan, dan

ditambahkan dengan Bung Hatta yang menegaskan bahwa tidak ada artinya kedaulatan politik

jika tidak dibarengi dengan kedaulatan ekonomi, sementara kemandirian pengelolaan yang dapat

membawa kita pada kedaulatan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan dan pengetahuan

Indonesia dalam mengelolanya, maka tak pelak lagi pendidikan menjadi salah satu hal yang

sangat penting untuk diletakkan sebagai tujuan Negara.

Tidak hanya sebagai strategi politik Negara, pendidikan juga menjadi Hak ekosob yang

harus dipenuhi oleh Negara. Hak atas pendidikan diatur dalam Pasal 13 Konvenan Hak Ekosob.

Sebagai HAM ekosob, pemerintah bertanggung jawab dalam memastikan setiap rakyat dapat

mengakses dan menimati pendidikan. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah untuk

memanusiakan manusia, oleh karena itu pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai sebuah

jalan untuk mendapatkan pekerjaan semata, melainkan juga kesadaran sepenuhnya sebagai

manusia. Belajar dari pengalaman Freire dengan pendidikan di Brazil, kita dapat mengetahui

bahwa pendidikan selalu sarat dengan kepentingan politik (bisa dalam arti baik dan buruk).

Ketika Freire berupaya untuk mengubah sistem pendidikan di Brazil yang tadinya berbasis

Page 3: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 3

hafalan menjadi berbasis analisa, ia mendapat tentangan keras dari pihak pemerintah bahkan

sampai tidak diizinkan masuk ke negaranya sendiri. Sebab, sejarah nmembuktikan bahwa

pergerakan melawan pemerintah yang lalim selalu datang dari kalangan terdidik, sehingga Freire

merupakan ancaman bagi pemerintah Brazil saat itu.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pengaruh latar dan tujuan politik sangat

berpengaruh terhadap sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia. Secara garis besar, menurut

urutannya kurikulum dapat dibagi menjadi 3, yaitu Kurikulum Rencana pelajaran (1945-1968),

Kurikulum Berbasis Pada Pencapaian Tujuan (1975-1984) serta Kurikulum Berbasis Kompetensi

dan KTSP (2004/2006). Penjelasan singkat yang membedakan kurikulum dari waktu ke waktu

adalah pada masa kepresidenan Soekarno, kurikulum memiliki ciri khas selalu menghubungkan

bahan ajar dengan kehidupan sehari-hari. Sebab Bung Karno mengedepankan nation and

character bulding, dimana identitas keindonesiaan merupakan tujuan besar dari pemerintahan

saat itu. Pembangunan jiwa baru dilanjutkan dengan pengembangkan keahlian merupaka

perspektif besar yang digunakan dalam menyusun kurikulim pedidikan pada masa itu.

Sesudah tahun 1968, perubahan presiden dari Soekarno ke Soeharto berdampak pada

perubahan orientasi politik, sekaligus juga kepada orientasi pendidikan nasional. Nilai pancasila

memang tetap menjadi dasar pendidikan, tetapi situasi politik saat itu menempatkan pendidikan

sebagai pensuplai tenaga kerja bagi industri yang sedang digalakkan oleh presiden Soeharto.

Pada kurikulum masa ini, justru bahan hajar tidak banyak berelasi dengan kehidupan sehari-hari.

Sama dengan apa yang dialami Brazil, pemerintahan Soeharto menginginkan kestabilan politik,

sehingga lembaga pendidikan dibuat sedemikian rupa menjadi developmentalis, justru

melegitimasi apapun kebijakan pemerintah. Sesudah reformasi, kurikulum telah beberapa kali

diperbaiki yaitu dengan memperkenalkan KBK dan KTSP. Tetapi produk pendidikan lebih dari

30 tahun pada era Orde Baru membuat perspektif filosofis rakyat Indonesia terhadap pendidikan

menjadi tercampur baur.

Sejarah panjang pendidikan nasional ini juga berpengaruh kepada filosofi yang

digunakan dalam memandang pendidikan dalam pasal-pasal di UU PT. Pendidikan yang

seharusnya dipandang sebagai public goods atau atau barang publik mulai dibiaskan menjadi

private goods atau barang privat yang harus diperjuangkan masing-masing sehingga Negara

tidak bertanggung jawab terhadapnya. Distorsi pemikiran ini hampir selalu muncul dalam

Page 4: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 4

perdebatan filosofi pendidikan di UU PT. Melihat dari penyebab distorsi dalam sejarah

pendidikan Indonesia, dapat ditegaskan bahwa pendidikan merupakan jalan utama untuk

mencapai tujuan Negara yaitu mencerdaskan kehidupan, dan oleh karena itu pemerintah

bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan sekaligus memastikan pendidikan dapat

diakses oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan latar belakang apapun.

Pendidikan adalah hak ekosob bagi rakyat sekaligus sektor strategis bagi pemerintah untuk

mencapai kedaulatan dan kesejahteraan.

2. Sejarah UU PT

Undang-undang Perguruan Tinggi tidak muncul secara tiba-tiba pada tahun 2012. Jika

memperhatikan permasalahan serupa yang terjadi pada beberapa undang-undang sekitar tahun

2000 keatas, dapat dimengerti bahwa upaya untuk meliberalisasi berbagai sektor di Indonesia

dimulai bersamaan dengan dimulainya reformasi, yaitu sekitar tahun 1998. Krisis finasial yang

melanda Indonesia memang berhasil menciptakan momen sejarah untuk menggulingkan

kekuasaan Soeharto, tetapi sekaligus munculnya masalah baru. Krisis financial memaksa

Indonesia untuk berhutang kepada IMF, dimana IMF kemudian meminjamkan uang dengan

syarat pemerintah harus menandatangani Letter of Intent (LOI), dimana IMF bersedia

meminjamkan uang asalkan pemerintah mau membuat regulasi sesuai dengan saran mereka. Hal

ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di Negara berkembang lainnya.

Skema privatisasi dapat terlihat dalam dokumen IMF yaitu Letter of Intent tanggal 11

September, 19 Oktober, dan 13 November tahun 1998. Salah satu contoh isi dari LoI 13

November adalah sebagai berikut

“The masterplan for the restructuring and privatization of all state enterprises over the

medium term, has been adopted and publicly released. The masterplan also provides for the

review of the regulatory framework in the key privatized sectors”

Stiglitz, sebagai orang yang pernah terlibat dalam penentuan kebijakan keuangan di

Amerika sendiri mengakui bahwa Amerika melalui IMF dan World Bank memiliki skema

privatisasi pada seluruh Negara berkembang di dunia. Sedangkan yang menjadi kritik, justru di

Page 5: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 5

negaranya sendiri skema privatisasi ini tidak diterapkan, dimana dominasi perusahaan-

perusahaan asal Amerika tetap dikukuhkan agar tidak tersaingi oleh perusahaan dari Negara lain

di negaranya sendiri. Skema privatisasi ini tidak lain merupakan upaya perusahaan multinasional

dengan memanfaatkan intervensi Negara asalnya di organisasi internasional untuk merebut pasar

sektor tertentu di seluruh dunia. Sebab privatisasi kurang lebih memiliki semangat

neoliberalisme, yaitu meminimalkan peran pemerintah dan menyerahkan sepenuhnya kepada

mekanisme persaingan pasar bebas. Padahal di Indonesia, kebutuhan yang menyangkut hajad

hidup orang banyak seharusnya dianggap sebagai hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah,

bukan justru dianggap sebagai pasar sehingga harus dikomersialisasi.

Nasib ini tidak hanya dialami oleh sektor pendidikan, melainkan juga sektor

ketenagalistrikan melalui UU no 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikkan yang telah dicabut

oleh MK pada tahun 2004, sektor migas melalui UU no 22 tahun 2001 yang telah berulang kali

di judicial review di MK, dan sektor-sektor lain. Sehingga kita harus memandang bahwa

pendidikan merupakan salah satu dari berbagai macam sektor yang diinginkan untuk

diprivatisasi, sebab secara logis berhubungan dengan berbagai UU yang mengatur sektor lainnya.

Upaya untuk melakukan privatisasi sektor pendidikan sudah terjadi bahkan sebelum lahirnya

Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) melalui Rancangan Undang-undang

Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). RUU BHP disahkan menjadi UU BHP pada tahun 2009,

dan langsung diajukan judicial review dan akhirnya dicabut oleh MK karena dianggap

bertentangan dengan konstitusi pada tahun 2010.

Tidak sampai 2 tahun kemudian, muncul RUU PT yang secara konten memiliki roh yang

sama dengan UU BHP, walau dengan berbagai macam perbaikan dan penghalusan pada pasal-

pasalnya. RUU PT ini kemudian disahkan menjadi UU PT pada tahun 2012 dengan berbagai

kritik dan kontroversi yang masih terus mengalir saat statusnya masih RUU. Hal ini semakin

menegaskan bahwa pemerintah memang memiliki agenda tertentu untuk melakukan privatisasi

sektor pendidikan, dimana dalam hal ini adalah pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan

kebutuhan bagi semua orang, sekaligus pasar yang menguntungkan bagi orang yang berniat

melakukan bisnis sebagai lembaga pendidikan. Pergulatan politik dan kepentingan inilah yang

melahirkan kontroversi pada UU PT.

Page 6: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 6

3. Status Badan Hukum

Pasal dalam UU PT yang sedang diajukan ke MK untuk diuji adalah pasal 64, 65, 73, 74,

86 dan 87. Permasalahan yang dianggap paling mengkhawatirkan adalah perspektif untuk

melakukan privatisasi perguruan tinggi dengan penggunaan istilah otonomi. Hal ini dilakukan

dengan cara membuat perguruan tinggi menjadi berstatus badan hukum, sebuah perspektif yang

sama antara UU BHP yang telah dicabut oleh MK dengan UU PT yang masih berstatus memiliki

kekuatan hukum mengikat. Status badan hukum inilah yang menjadi point yang sangat penting

untuk dianalisa sebagai kritik terhadap UU PT. Pasal yang berhubungan dengan status badan

hukum ini terutama adalah pasal 64 dan 65 yang berisi :

Pasal 64

(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi

bidang akademik dan bidang nonakademik.

(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.

(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:

a. organisasi;

b. keuangan;

c. kemahasiswaan;

d. ketenagaan; dan

f. sarana prasarana.

Pasal 65

(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64

dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN

dengan menerapkan PolaPengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan

membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.

(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 7: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 7

(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:

a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;

b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;

c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;

d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;

e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;

f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan

g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.

(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan

fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Analisa akan dilakukan dengan 3 tahap, yaitu memahami apa yang dimaksud dengan

badan hukum, apa kesamaan antara penjelasan mengenai badan hukum pendidikan tinggi yang

dijelaskan dalam UU BHP dengan UU PT, dan apa dampaknya jika perguruan tinggi berstatus

badan hukum.

a. Pengertian Badan Hukum

Dalam sejarahnya “badan hukum” merupakan istilah yang diterjemhkan dari Bahasa

Belanda yaitu dari kata rechtspersoon. Di Indonesia peraturan tentang badan hukum terdapat

dalam Pasal 1654 KUH Perdata yang menyatakan Semua perkumpulan yang sah adalah seperti

halnya orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata dengan tidak

mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau

ditundukkan pada acara-acara tertentu. Sementara itu sebelumnya pada Pasal 1653 KUH

Perdata adalah peraturan umumnya yang menyebutkan Selain perseroan yang sejati oleh

undang-undang diaku ipula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-

perkumpulan, baik perkumpula-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh

kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan atau

telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang

atau kesusilaan baik.

Page 8: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 8

Jika diklasifikasikan berdasarkan pada materinya maka terdapat dua jenis badan hukum, antara

lain :

1) Badan Hukum Publik (publiekrecht) yaitu badan hukum yang mengatur hubungan

antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan

umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara,

hukum international dan lain sebagainya. Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank

Indonesia.

2) Badan Hukum Privat (privaatrecht) yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerja

sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan Hukum Privat yang bertujuan Provit

Oriented (contoh : Perseroan Terbatas) atau Non Material (contoh : Yayasan).

Berdasarkan penjelasan di atas maka terlihat jelas bahwa istilah Badan Hukum digunakan

untuk membentuk suatu badan/lembaga baru demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Sedangkan

badan hukum pendidikan (BHP) seharusnya hanya sebagai fungsi penyelenggara bukan sebagai

suatu suatu badan atau lembaga baru. Maka tak heran bila Mahkamah Konstitusi berpendapat

bahwa istilah “badan hukum pendidikan” bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu,

melainkan merupakan sebutan bagi fungsi penyelenggaraan pendidikan yang berarti bahwa suatu

lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Adapapun bentuk badan hukum

yang diakui itu dapat bermacam-macam sesuai dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam

perundang-undangan misalnya, yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan lain

sebagainya.

b. Penjabaran Status Badan Hukum Pendidikan dalam UU BHP dan UU PT

Salah satu hal yang meyebabkan para perumus undang-undang di negeri ini menelurkan

sebuah UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah karena UU Nomor 9 tahun

2009 tentang Badan Hukum Pendidikan secara sah dinyatakan Mahkamah Konstitusi

bertentangan dengan UUD 1945.

Undang-undang BHP memiliki semangat menyeragamkan bentuk badan-badan

penyelenggara pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi suatu badan yang bernama

Page 9: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 9

“badan hukum pendidikan”. Setelah UU BHP ini “ditumbangkan” di Mahkamah Konstitusi

tahun 2009 silam maka pada tahun 2012 lahir sebuah undang-undang pengganti UU BHP yaitu

UU Pendidikan Tinggi. Pada UU Pendidikan Tinggi hanya berfokus pada jenjang pendidikan

tinggi atau bahkan jauh lebih berkonsentrasi pada Pendidikan Tinggi yang diselenggrakan oleh

pemerintah, tidak lagi bicara secara detail tentang penyeragaman penyelenggra pendidikan

negeri maupun swasta.

Tapi entah apa yang dimaksudkan oleh undang-undang pengganti UU BHP yaitu UU

pendidikan Tinggi. Undang-undang ini cukup berbeda dengan UU BHP yang lebih banyak

bicara tentang badan penyelanggara pendidikan secara keseluruhan, UU PT hanya berfokus

pada Pendidikan Tinggi saja. Secara kebijakan seluruhnya UU PT memang jauh lebih baik

dibandingkan dengan UU BHP. Namun pada UU PT seolah-olah menghindari desakan para

pemohon UU BHP yang didominasi oleh yayasan swasta. UU PT sangat fokus pada

penyelenggraaan Pendidikan Tinggi oleh negara atau PTN. Peraturan bagi PTS tidak diatur

secara detail dalam UU PT.

Pada UU Pendidikan tinggi masih juga terdapat istilah “badan hukum”. Tidak seperti

halnya UU BHP istilah badan hukum hanya dipergunakan untu Perguruan Tinggi Negeri yang

disebut PTN badan hukum. Namun badan hukum ini tidak dijelaskan secara mendail pada UU

PT, misalnya tidak ada kejelasan tentang pembubaran badan hukum tsb, dan lain sebagainya.

Sehingga masih timbul kerancuan tentang status dan teknis badan hukum yang dicetusnya pada

UU Pendidikan Tinggi.

c. Dampak Jika Pendidikan Berstatus Badan Hukum

Hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah dampak yang terjadi jika perguruan tinggi

menjadi berstatus badan hukum. Bagaimana dampak ini dapat dianalisa adalah dengan

mengingat kembali tujuan Negara tentang pendidikan dan keadaan kekinian yang tidak terhindar

dari globalisasi. Terdapat beberapa gambaran mengenai badan hukum yang dijelaskan dengan

berbagai teori, diantaranya :

Teori fiksi yang dikemukakan oleh Savigny.

Page 10: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 10

Bahwa adanya badan hukum merupakan anggapan saja yang diciptakan oleh

Negara , sebab sebenarnya badan hukum tidak memiliki kekuasaannya sendiri

untuk bertindak, maka dibutuhkan wakil dari badan hukum untuk melakukan

tindakan, misalnya direktur, dll.

Teori Realitas Yuridis yang dikemukakan oleh Scholten

Badan hukum disamakan dengan manusia sebagai suatu kenyataan yuridis. Maka

adanya badan hukum ditentukan oleh adanya hukum yang negatur badan hukum

tersebut.

Dalam UU PT, status perguruan tinggi yang menjadi badan hukum dalam UU PT dapat

terlihat pada pasal 65 ayat 3. Pada pasal 3 point pertama, dapat terlihat bahwa badan hukum akan

memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara. Artinya, perspektif yang

digunakan adalah perspektif untuk mereduksi peran pemerintah terhadap pendidikan tinggi.

Konsekuensinya, badan hukum dapat mengalami kebangkrutan, sebab posisi keuangannya

terpisah dari pemerintah dan dapat menjalankan mekanisme sendiri seperti mengatur hutang

piutang dan sebagainya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sebuah perguruan tinggi kelak akan

dapat menyatakan status keuangannya bangkrut.

Jika menggunakan perspektif persaingan untuk meningkatkan kualitas, barangkali logika

yang digunakan dalam UU PT untuk membuat perguruan tinggi berstatus badan hukum adalah

logika yang tepat. Tetapi jika dikembalikan kepada tujuan Negara, hal ini tentu saja

bertentangan. Sebab Negara melepas tanggung jawabnya terhadap keberlangsungan pendidikan

tinggi. Pemerintah tidak lebih dari melakukan pengawasan. Dengan kata lain, istilah memberikan

otonomi dengan membuat perguruan tinggi menjadi berstatus badan hukum telah melepaskan

secara halus tanggung jawab pemerintah untuk memastikan pendidikan tinggi dapat diakses oleh

semua orang tanpa diskriminasi.

Selain itu, badan hukum tidak hanya berdampak pada lepasnya tanggung jawab

pemerintah, tetapi juga berpotensi memberatkan mahasiswa dari segi pembiayaan. Pemerintah

memang tetap menganggarkan uang untuk diberikan kepada perguruan tinggi, namun tidak

bertanggung jawab atas kekurangan yang terjadi pada perguruan tinggi tersebut. Perspektif

perasingan/kompetisi untuk mengembangkan kualitas yang ada dibalik status badan hukum akan

membuat perguruan tinggi harus mencari pemasukan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.

Page 11: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 11

Sepanjang pengalaman perguruan tinggi dalam mengembangkan ventura, pada akhirnya

perguruan tinggi pasti akan kesulitan untuk menggantungkan pemasukkannya disana. Sebab

perguruan tinggi memang bukan perusahaan yang ada untuk keuntungan. Akibatnya, besar

kemungkinan perguruan tinggi akan menarik biaya lebih dari penerimaan mahasiswa.

Masalah penerimaan mahasiswa ini berhubungan dengan salah satu pasal di UU PT yaitu

pasal 74 ayat 1. Isinya adalah :

Pasal 74

(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik

tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah

terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen)

dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.

(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,

Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

Batasan yang tercantum dalam pasa 74 ayat 1 bisa dipastikan hanya akan menjadi syarat yang

harus dipenuhi, bukan secara sadar menjadi tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bahkan dengan susunan pasal dalam UU PT yang demikian, maka memungkinkan terjadinya

kondisi dimana dalam suatu perguruan tinggi, misalnya saja UI, akan menerima mahasiswa

dengan komposisi hanya 20% saja mahasiswa yang regular sedangkan 80% sisanya adalah

parallel yang notabene harus membayar dengan harga yang lebih tinggi.

Celah komersialisasi juga terlihat dari pasal 73, dimana secara garis besar pasal ini

merupakan pasal karet yang hanya terlihat baik secara redaksional tetapi sangat bercelah dalam

impelementasi. Celah ini aka terlihat jika memperhatikan kesinambungan dari pasal-pasal

sebelumnya. Isi pasal 73 tersebut adalah :

Pasal 73

(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui

pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.

(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan

Mahasiswa baru secara nasional.

Page 12: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 12

(3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi

persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam

setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga

kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.

(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan

dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-

masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional

diatur dalamPeraturan Menteri.

Pertama, pada redaksional pasal 73 ayat 1 menggunakan istilah “bentuk lain”, sehingga

memungkinkan perguruan tinggi membuka jalur lain yang rawan memberatkan dari segi

pembiayaan. Ayat 2 hanya menyatakan pemerintah akan menanggung biaya seleksi penerimaan

secara nasional, sementara “bentuk lain” tidak ditanggung. Pasal lainnya seolah hanya sebagai

pasal karet yang memperindah dan memperhalus pasal, seperti pasal 73 ayat 5 yang melarang

seleksi akademis untuk tujuan komersial tidak akan berdampak apa-apa selama ada pasal-pasal

sebelumnya yang sudah memungkinkan terjadinya komersialisasi, sementara pada pasal 73 ayat

5 sama sekali tidak dijelaskan seperti apa ukuran sebuah perguruan tinggi membuat seleksi

bertujuan komersial atau tidak.

Dalam UUD 1945 amandemen, pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan berisi :

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.’ ’ ’ ’

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya.’ ’ ’ ’

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,

yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.’ ’ ’ ’

Page 13: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 13

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen

dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan

belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan

nasional.’ ’ ’ ’

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-

nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat

manusia.’ ’

Perlu diperhatikan bahwa pada pasal 31 ayat 2 menyebutkan Negara hanya diwajibkan

membiayai pendidikan dasar. Kemudian pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam APBN

Negara wajib menganggarkan minimal 20% dari total APBN untuk biaya pendidikan. Artinya,

dalam UUD pemerintah memang tidak diwajibkan untuk membiayai sepenuhnya biaya

pendidikan tinggi. Secara teknis komposisi 20% dari APBN belum tentu mencukupi kebutuhan

untuk membiayai seluruh jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan

tinggi.

Namun, kembali ke pembukaan UUD 1945 anelia keempat dan pasal 31 ayat 1, walaupun

pemerintah memang tidak diwajibkan membiayai keseluruhan biaya pendidikan tinggi, tetapi

dengan makna filosofis pendidikan yang tercermin dari pembukaan UUD maka Negara tetap

bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga tidak tepat jika

pemerintah melepaskan penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Dua pasal lain yang diajukan ke MK saat ini merupakan pasal 86 dan 87 yang berisi :

Pasal 86

(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan

bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.

(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota

Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan

Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 87

Page 14: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 14

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara

kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan.

Masalah yang ada pada pasl 86 adalah hubungan antara redaksional “pemerintah memfasilitasi

dunia usaha dan dunia industri” dengan “pemerintah memberikan insentif”, dimana insentif

tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Hal yang mengkhawatirkan adalah insentif ini

dimanfaatkan secara tidak sehat kepada dunia usaha dan dunia industri sehingga terjadi transaksi

antara pemerintah dengan dunia usaha dan dunia industri dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Sedangkan masalah dalam pasal 87 lebih kepada ketidakjelasaan status perguruan tnggi, apakah

PTN BH atau BLU, yang dimaksud dapat mengelola kekayaan Negara.

4. Epilog

Jika sejauh ini analisa yang digunakan menggunakan perspektif Negara, maka hal yang

tidak boleh dilewatkan adalah perspektif dari sisi mahasiswa itu sendiri sebagai orang yang

sangat dipengaruhi nasibnya oleh UU PT. Bagian ini membahas dampak yang telah dirasakan

secara langsung. Sebab ketika UU PT disahkan, sebenarnya bukan berarti dampaknya baru

dirasakan saat itu. Tetapi banyak perguruan tinggi yang telah menjalankan perguruan tingginya

mirip dengan apa yang diatur dalam UU PT, bahkan sebelum UU PT disahkan.

Dampak persaingan bebas dalam sektor pendidikan khusunya perguruan tinggi

UU PT secara umum dapat menimbulkan dampak- dampak yang tidak diinginkan dan

dapat berdampak buruk pada kestabilan pendidikan. Dampak-dampak itu adalah sebagai berikut :

perguruan tinggi asing boleh mendirikan cabang di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam

pasal 114. Pada ayat pertama pasal ini tersurat bahwa perguruan tinggi negara lain dapat

menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal ini memang dapat meningkatkan kualitas

pendidikan dengan secara tidak langsung karena mengatur semua perguruan tinggi untuk masuk

dalam kompetisi global akan tetapi hal ini dapat mematikan perguruan tinggi lokal karena pada

dasarnya hampir semua perguruan tinggi tidak siap secara finansil maupun infrastruktur. Berbeda

dengan perguruan tinggi asing yang memiliki kondisi finansial dan infrastruktur jauh melebihi

perguruan tinggi lokal. Selain itu perguruan tinggi asing pastilah membawa budaya negarannya

sehingga hal ini dapat mengintervensi budaya lokal atau bahkan menghancurkan budaya lokal.

Page 15: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 15

Kita patut mempertanyakan apakah ukuran sebuah universitas yang “maju” benar-benar sudah

sesuai dengan tujuan Negara.

Indonesia menuju negara liberal

Ketika kita kembali melihat beberapa RUU dan UU dalam berbagai sektor seperti yang

sudah disebutkan, maka kita dapat melihat suatu pola di mana privatisasi gencar dilakukan.

Secara perlahan pemerintah mulai membebaskan rakyatnya untuk bersaing secara mandiri.

Terbentuk sebuah ide bahwa Indonesia sedang diarahkan menuju negara liberal di mana

pemerintah tidak dapat terlalu ikut campur dalam pasar. Dalam suatu perspektif, ini merupakan

hal yang baik karena dapat memacu kreatifitas dan inovasi yang nantinya dapat meningkatkan

mutu produk atau jasa tersebut, begitulah idealnya.

Ketika kita melihat dari perspektif lain maka kita akan sadar bahwa seringkali di dalam

pasar bebas terlihat bahwa pasar dikuasai oleh instansi-instansi besar yang berasal dari luar

negeri. Dapat dikatan bahwa teori “persaingan pasar babas” hanyalah sebagai topeng yang di

mana pada kenyataanya pasar tersebut tidaklah sebebas yang dicita-citakan. Sesungguhnya pasar

tersebut dikuasai oleh segelintir instansi terkait dan sangatlah sulit bagi instansi-intansi kecil

untuk berkembang. Telah terbukti di dalam berbagai negara yang menerapkan pasar bebas

teradapat instansi-instansi internasional yang kurang lebih sama. Maka terlihat kesan adanya niat

oleh segelintir instansi-instansi ingin menguasi berbagai pasar di berbagai negara termasuk

Indonesia.

Di Indonesia sendiri tercium adanya niatan dari pihak luar yang ingin menguasai pasar

Indonesia khususnya di dalam sektor energi dan pendidikan. Berkaitan dengan UU PT ini, maka

dapat disimpulkan ini adalah pintu bagi instansi-instansi luar untuk masuk dalam pasar

Indonesia. Jika sampai pasar Indonesia dikuasai oleh pasar asing, maka musnalah cita-cita para

pendiri bangsa yang memimpikan Indonesia merdeka seutuhnya. Agar Indonesia terhindar dari

penguasaan asing, pemerintah seharusnya tidak melepaskan tangannya dan jangan membiarkan

pasar bebas untuk terjadi, salah satunya dengan membatalkan UU PT ini.

Pendidikan adalah hal strategis bagi Negara dan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini

sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Seluruh upaya untuk mengkomersialisasikan pendidikan

harus dianggap sebagai upaya untuk menentang filosofi dan dasar Negara yang secara jelas

disebut pada pembukaan UUD 1945. Karena itulah, pasal-pasal dalam UU PT yang berusaha

Page 16: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 16

memprvatisasi dan mengkomersialisasi pendidikan tinggi seperti yang telah dibahas harus segera

dicabut.

Tetapi kita tidak boleh menutup mata terhadap teknis penyelenggaaan pendidikan itu

sendiri. Perlawanan terhadap privatisasi yang berujung pada komersialisasi pendidikan tidak

hanya pertarungan ideologi dan regulasi, tetapi juga perjuangan dalam pengelolaan keuangan

Negara. Walaupun UUD telah mengamanatkan Negara untuk mengalokasikan untuk pendidikan

minimal 20% dari APBN, tetapi jika dibandingkan dengan PDB, anggaran pendidikan di

Indonesia masih terbilang rendah yaitu 3.41% (sebagai pembanding, anggaran pendidikan

terhadap PDB di Malaysia adalah 7.9%).

Artinya, secara teknis keuangan, apa yang dihadapi Indonesia dalam mengelola

pendidikan akan sangat bergantung kepada pertumbuhan ekonomi Negara. Sebab jika tidak,

walaupun secara filosofi dan regulasi Negara kita memiliki pembukaan UUD dan UUD, tetapi

secara implementasi akan sulit untuk membuat pendidikan rendah menjadi gratis dan pendidikan

tinggi menjadi murah, dimana kedua-duanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Tetapi

bagaimanapun esalahan dalam pengelolaan Negara yang berdampak pada tipisnya “dompet”

Negara bukanlah suatu pembenaran untuk melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap

penyelenggaraan pendidikan.

Menolak UU PT bukan berarti lebih memihak untuk mengalokasikan anggaran Negara

kepada pendidikan tinggi daripada pendidikan dasar. Menurut data kemendikbud tahun 2011,

alokasi anggaran untuk pendidikan dasar adalah Rp 15.735.022.717, pendidikan menengah

sebesar Rp 7.248.688.000.000, sementara pendidikan tinggi Rp 28.599.094.000. Alokasi untuk

pendidikan dasar plus menengah lebih besar daripada pendidikan tinggi, dan hal ini bisa

dimengerti mengingat amanat UUD untuk mengratiskan pendidikan dasar dan merintis juga ke

pendidikan menengah. Bahkan anggaran pendidikan tinggi sebenarnya sudah lebuh tinggi dari

pendidikan dasar, namun karena kebutuhan pendidikan tinggi memang lebih tinggi, anggaran

tersebut masih belum cukup untuk membuat pendidikan tinggi gratis. Secara realistis, memang

saat ini belum memungkinkan untuk membuat PTN gratis sepenuhnya. Tetapi sekali lagi, belum

sanggupnya pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tinggi bukan berarti menjadi

pembenaran untuk melepaskan tanggung jawab Negara terhadap pendidikan tinggi dengan

membuatnya mejadi PTN BH.

Page 17: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 17

Belajar dari Ir. Soekarno, dulu Indonesia memiliki rencana strategis melalui pendidikan

tinggi di Indonesia. Padahal saat itu keuangan Negara juga tidak lebih baik daripada apa yang

kita alami sekarang dan belum memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan gratis bagi

seluruh rakyat Indonesia. Dengan melindungi objek-objek vital untuk tetap dikuasai oleh

perusahaan Negara, Bung Karno mengirimkan pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di

berbagai Negara Eropa. Tujuannya tidak lain adalah untuk membawa pelajar tersebut kembali

dan mengelola perusahaan Negara tersebut. Rencana ini memiliki konsekuensi logis

meningkatkan pemasukan Negara melalui kemandirian dan produktivitas perusahaan Negara,

dan akhirnya meningkatkan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan

pendidikan lebih luas.

Entah sejak kapan cara pandang kita kepada pendidikan jadi begitu rendah dan naïf, baik

pemerintah maupun pelajar dan mahasiswa itu sendiri. Pemerintah memandang pendidikan tidak

lebih dari sebuah jasa yang harus bisa dinikmati rakyat, menjadi beban bagi anggaran

pemerintah, dan jika dikomersialisasi akan lebih menguntungkan bagi Negara karena

mendapatkan pemasukan, sehingga mereka tidak menyerah dengan mensahkan UU PT karena

UU BHP telah dibatalkan MK. Pelajar dan mahasiswa memandang pendidikan sebagai sesuatu

yang menjadi hak yang tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain, pendidikan itu

untuk kemaslahatan diri sendiri, untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji besar semata, bukan

untuk mencerdaskan mereka yang belum beruntung menikmati bangku sekolah, apalagi untuk

mengabdi kepada Negara. Kasihan Negara kita ini, merindukan pemerintah dan rakyatnya yang

gandrung akan filosofi pendidikan dan hubungannya terhadap kesejahteraan.

Saat ini, UU PT sedang di-judicial review oleh 6 mahasiswa UNAND. Ada banyak cara

untuk membantu pencabutan UU PT sebagai jalan perjuangan menentang privatisasi dan

komersialisasi pendidikan tinggi. Kita bisa datang mendampingi atau memberi dukungan ketika

sedang dilakukan sidang di Mahkamah Konstitusi. Bagi teman-teman yang merasa dirugikan dan

diberatkan oleh sistem yang diakibatkan oleh UU PT ini, khususnya secara finansial, bisa

membantu memberikan kesaksian dalam sidang di MK. Atau minimal kita bisa menyebarkan

kepedulian kepada teman-teman di sekitar kita terhadap upaya pemerintah melakukan privatisasi

dan komersialisasi pendidikan tinggi melalui UU PT. Akankah sebagai mahasiswa kita akan

diam saja melihat pemerintah melanggar filosofi pendidikan dan tujuan Negara?

Page 18: Kastrat BEM FTUI - 003 - 1- Pendidikan Tinggi Untuk Siapa

Kajian dan Aksi Strategis BEM FTUI 2013 #Berkarya

Pendidikan Tinggi untuk Siapa? Page 18

Notes : Jika ada rekan-rekan hendak menyampaikan pemikiran lain beserta alternatif solusi,

harap sampaikan pemikiran dan alternatif solusi tersebut dalam bentuk tulisan yang

komperhensif ke [email protected]. Kami akan membaca dan sebisa mungkin

merespon semua email yang masuk.