KAREN SOLIHIN.pdf
Transcript of KAREN SOLIHIN.pdf
NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM
SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
KAREN SOLIHIN
NIM: 109011000243
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 / 1437 H
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Karen Solihin, 109011000243, “ Nilai-nilai Pendidikan Dalam Surat Al-
Ankabut ayat 16-24.” Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24, dan metode penelitian yang
digunakan adalah library research yaitu dengan cara menelaah, menganalisis,
meneliti dari sumber rujukan atau literatur yang dapat dipertanggung jawabkan
tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, dimana sumber
pokoknya adalah, Al-Qur’an, beberapa buku tafsir Al-Qur’an : Tafsir Al-Misbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-
Azhar, karya H. Abdullah Malik Karim.
Sehingga penulis mendapatkan beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
pertama Ibadah, adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian
kepada Allah swt, yang merupakan kewajiban agama Islam yang tidak bisa
dipisahkan dari aspek keimanan, kedua Sabar adalah dapat menahan diri dari hal-
hal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun
sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman, demi
mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik, ketiga Syukur adalah proses kejiwaan
dan ungkapan batin atas apa yang diperolehnya, sifat syukur ditunjukan dalam
meningkatkan amal ibadah dan ikhtiar yang semuanya dilakukan karena Allah dan
untuk Allah, keempat Iman kepada Allah, yaitu mempercayai segala macam yang
Allah ciptakan baik yang ghaib maupun yang dzahir sehingga dapat
meningkatkan kualitas keimanan seseorang kepada Rabbnya.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah SWT. Sang kholiq yang
menciptakan bumi beserta isinya, yang maha berkuasa dan berkendak, pemilik
nikmat dan kebahagiaan dan yang selalu menyayangi setiap umat yang dekat
denganNya. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya sampai akhir zaman.
Selama penulisan skripsi yang berjudul Nilai- Nilai Pendidikan Dalam
Surat Al- Ankabut ayat 16-24, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit
kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat kerjas keras, doa dan
kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi
ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dede Rosayada., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam,
dan Hj. Marhamah Saleh Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam beserta segenap dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta
bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga Allah SWT
membalas semua jasa-jasa beliau dan ilmu yang telah beliau berikan
mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
4. Abdul Ghofur, MA., Pembimbing Skripsi yang penuh keikhlasan dan
kebesaran hati dalam membagi waktu, tenaga dan pikiran beliau dalam upaya
memberikan bimbingan, petunjuk, serta mengarahkan penulis dalam proses
mengerjakan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta, yang menjadi penyemangat utama penulis,
yang tak pernah lelah mendoakan dan memberikan dukungan secara moril
dan materil serta selalu menyanyangi penulis dari kecil hingga dewasa ini.
vi
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang tidak dapat terhitung dan
kasih sayang yang tak pernah putus yang diberikan untuk penulis.
6. Kakak dan adikku tersayang yang selalu memberikan doa dan menjadi obat
pelipur laraku.
7. Istriku tercinta Neneng Wasilah S.Pdi dan putri kecilku Calista Athifa Fatawa
yang selalu mendoa’kan dan menemani dalam suka dan duka penulis.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan
2009 khususnya kelas PAI F. Terima kasih atas bantuan, dukungan dan
kenangan terindah yang kita lalui bersama di kampus tercinta.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan yang bermanfaat bagi penulis demi terselesaikannya skripsi ini.
Tiada ucapan yang dapat penulis haturkan kecuali ucapan terima kasih
yang seluas-luasnya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian dan
menjadikannya kendaraan menuju surga Allah SWT.
Penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang konstruktif
dari pembaca demi memperbaiki karya tulis ini, semoga dapat membawa manfaat
bagi para pengkaji/pembaca dan bagi penulis sendiri. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Jakarta, 19 Juli 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ........................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 6
D. Rumusan Masalah .................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Nilai-Nilai Pendidikan ............................................................ 8
1. Pengertian Nilai.................................................................. 8
2. Macam- Macam Nilai ....................................................... 9
3. Pengertian Pendidikan ....................................................... 11
B. Akhlak ..................................................................................... 14
1. Pengertian Akhlak ............................................................. 14
2. Macam- Macam Akhlak ..................................................... 15
3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .................................. 17
4. Hasil Penelitian yang Relevan .......................................... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 24
B. Metode Penelitian..................................................................... 24
C. Fokus Penelitian ....................................................................... 26
viii
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24 ...................................... 27
B. Nilai-nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat
Al-Ankabut Ayat 16-24............................................................ 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 65
B. Saran ......................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68
LEMBAR UJI REFERENSI
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan sumber utama dan yang pertama dalam ajaran
Islam. Ia menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia. Al-Qur‟an adalah kitab suci
terakhir yang diturunkan Allah swt kepada umat manusia yang isinya
mencangkup segala pokok-pokok syari‟at yang terdapat dalam kitab-kitab suci
yang diturunkan sebelumnya.
Kehadiran Al-Qur‟an memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya
berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam rangka memahami isinya, kaum muslimin sendiri telah melahirkan banyak
kitab tafsir yang berupaya mengungkap dan menjelaskan makna pesannya.1
Quraisy Syihab dalam bukunya wawasan Al-Qur‟an mengemukakan
bahwa di antara tujuan diturunkannya Al-Qur‟an adalah:
1. Untuk membersihkan akal dan mensucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna bagi
Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni
bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam
pendidikan kepada Allah swt dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di
bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan
teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri
manusia, dengan panduan Nur Illahi.
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan
akhirat.
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
1Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-1, h. Viii.
2
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit,
penderitaan hidup, serta pemerasan manusia dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan agama.2
Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Qur‟an, tujuan yang terpadu dan
menyeluruh bukan sekedar mewajibkan pendekatan yang religius yang bersifat
ritual atau mistik yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. Al-Qur‟an
adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-
nilai yang dapat dijadikan bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila
dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikirian, rasa, dan karsa kita mengarah
kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup
pribadi dan masyarakat.
Rasulullah saw adalah manusia teragung sepanjang sejarah yang telah
berhasil mengubah peradaban dunia, dari rusaknya akhlak menuju mulianya
akhlak, tentunya itu menjadikan suri tauladan bagi seluruh manusia yang
menginginkan sifat yang mulia. Beliau adalah gurunya para guru, dan sekaligus
sebagai penabur rahmat bagi seluruh alam. Manusia adalah makhluk yang
memiliki dua potensi. Pertama potensi yang mengarah kepada kebaikan, kedua
mengarah kepada keburukan.
Manusia yang diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah atau karakter
dasar sebagai makhluk yang cenderung berbuat baik, memiliki perasaan kasih
sayang serta bertingkah laku dengan baik atau dalam bahasa agama sering disebut
berakhlakul karimah. Pesan akhlak begitu agung dalam Al-Qur‟an sehingga
Fazlur Rahman mengatakan; “Al-Qur‟an ibarat puncak sebuah gunung es yang
terapung, sembilah persepuluh darinya terendam di bawah air sejarah dan hanya
sepersepuluh darinya yang tampak di permukaan”.3 Sungguh, tidak akan ada yang
mampu mengenalnya dan menggali secara mendalam konsep akhlak dalam Al-
Qur‟an secara komprehensif, kecuali mereka yang tenggelam di dalamnya.
Begitu dalam kandungan ayat-ayat suci Al-Qur‟an sehingga untuk
memahaminya dibutuhkan sebuah teori yang tidak hanya mampu memahami Al-
2 M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 10. h. 12.
3 Rosihun Anwar, Samudera Al-Qu‟ran, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet ke- I, h.
173.
3
Qur‟an secara integral, tetapi juga mampu menghasilkan penafsiran-penafsiran
yang dapat menyelesaikan problem-problem kekinian. Al-Qur‟an sebagai kitab
suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa manusia yang dilahirkan secara
fitrah/suci memiliki dimensi kasih sayang dan rasa-perasaan lemah lembut
terhadap siapapun, oleh karenanya pendidikan yang hingga saat ini menjadi garda
depan pembentukan manusia seutuhnya menjadi sebuah keharusan untuk
mengintegrasikan intelektualitas dengan akhlakul karimah yang ada, seperti
halnya apa yang disampaikan oleh guru besar pendidikan agama Islam Ahmad
Tafsir, meyakini “Selama dari atas belum memberi keteladanan kepada
bawahannya sulit untuk mengharapkan perbaikan akhlak peserta didik melalui
pendekatan keteladanan”4. Ini artinya akhlak memiliki porsi atau domain dan
sangat vital dalam proses pendidikan yang ada saat ini, dan ini artinya sebagai
penegasan aspek akhlak tidak boleh dikesampingkan dalam pendidikan yang ada,
karena kecenderungan pendidikan yang ada lebih menekankan faktor kognitif
semata.
Sudah menjadi konsesus di kalangan ahli pendidikan bahwa proses
pendidikan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu tidak ada batasan umur
tertentu dalam pendidikan. Namun ada level-level pendidikan yang disusun sesuai
dengan keadaan perkembangan manusia sebagai makhluk individu maupun sosial
yang hidup dalam keberadaan suatu bangsa dan negara.
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peran yang sangat
penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan
bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk
menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang
berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan
oleh pendidikan saat ini.
Pendidikan harus mampu menciptakan manusia-manusia yang siap dan
eksis untuk hidup ditengah-tengah perubahan zaman yang ada. Bukan
4 Ahmad Tafsir, “Pendidikan Agama Islam di Sekolah Salah Paradigma”Media Indonesia
(Jum‟at, 03 Desember 2004), h. 3.
4
terpengaruhi tetapi mempengaruhi, tetapi tidak juga bisa menolak perubahan,
karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Sehingga manusia tidak ikut lebur
dalam arus menerpanya, melainkan mampu mengendalikan arus perubahan,
mampu memilah dan sekaligus memilih kemana kehidupan sebuah masyarakat
akan dikendalikan dan diciptakan sesuai dengan tujuan pendidikan akhlak dalam
hal ini adalah pendidikan Islam.
Bagaimana pun pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat
esensial dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia
tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan adalah sebuah investasi
sumber daya manusia. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki
kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya.
Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga
hasil yang dicapai pun memuaskan.5 Karena proses pendidikan merupakan suatu
proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang
tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada
pemerdekaan manusia.6
Gagalnya pendidikan untuk menanamkan nilai akhlak terlihat dengan
menempatkan Indonesia termasuk ke dalam negara yang korup, banyak sekolah-
sekolah yang khusus bagi para pemodal, orang kaya. Orang miskin tidak
mendapatkannya, sekolah seolah menjadi pemicu marjinalisasi terhadap mereka
yang tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Hal ini semakin menutup
nilai akhlak dalam pendidikan, masih maraknya budaya tawuran, angka kriminal
yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepotisme dari orang-orang yang berpendidikan
meyakinkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan saat ini.
Problem yang muncul di tengah masyarakat adalah tingginya angka
kriminal di kalangan remaja, semua meremehkan nilai moral atau akhlak,
pendidikan seolah-olah hanya bersifat parsial tidak bersifat holistik, tidak
merambah wilayah pembangunan karakter, penenaman nilai, sehingga yang
5 A. Syafi‟f Ma‟rif et.al, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), h 15. 6 H.A.R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h 119.
5
terjadi adalah orang berpendidikan juga bisa melakukan tindakan kriminal yang
lebih kejam dibanding dengan orang yang tidak mengenyam pendidikan, kasus
korupsi misalnya yang telah merugikan banyak orang.
Sebuah prinsip yang harus dipegang dalam pendidikan khususnya
pendidikan Islam adalah pengembangan belajar sebagai muslim baik bagi terdidik
maupun pendidik. Setiap rangkaian belajar mengajar seharusnya ditempatkan
sebagai pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi
atau internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana
peserta didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya. Ketaqwaan dan
keshalehannya bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi
melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat. Karena
itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dan realitas universum.7
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi
pada penulis untuk lebih jauh mengungkap kembali ayat-ayat Al-Qur‟an yang
membawa pada perbaikan akhlak manusia dan pikiran-pikiran para praktisi
pendidikan yang dituangkannya dalam beberapa buku dan artikel yang banyak
menyorot berbagai persoalan moralitas atau akhlakul karimah yang dilandaskan
pada kerangka kemanusiaan atau pemuliaan manusia yang didasarkan kepada
potensi yang dimilikinya, serta bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk
pluralitas sebagai sebuah keniscayaan yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun
tidak. Karenanya, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang konsep pendidikan
akhlak yang mengembalikan kesadaran akan dirinya sebagai “khalifatu filardh.”
Jika kembali kepada pembahasan mendasar tentang sumber Pendidikan
Agama Islam maka sumbernya adalah mengacu kepada sumber Islam itu sendiri,
yaitu Al-Qur‟an8 dan Al-Hadits. Oleh karena Islam sebagai sistem kehidupan
kaum muslimin dan Al-Qur‟an merupakan pedoman hidup sehari-hari maka Al-
Qur‟an tidak pernah berhenti dari pengkajian akan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, selalu ada upaya untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya
7Abdul Munir Mulkhan, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren; Religiusitas
IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.111-112. 8 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ, 2005),
h. 1.
6
dari berbagai sudut pandang. Dan ternyata Al-Qur‟an memang bisa didekati dari
berbagai sudut pandang yang berbeda, termasuk dari sisi kependidikan dan
kemanusiaan.
Berangkat dari sinilah, jika hendak berpikir ulang tentang pendidikan
Islam maka harus kembali mengacu kepada landasan yang telah diberikan Al-
Qur‟an. Dalam hal ini pembaharuan dalam pendidikan Islam harus dilakukan
sesuai dengan problematikanya, maka penulis memfokuskan kepada sisi akhlak
dan pendidikan Islam, atau dengan kata lain penulis berusaha menemukan konsep
akhlak pendidikan yang termuat dalam Al-Qur‟an.
Terbangunnya kembali konsep pendidikan yang berakhlakul karimah di
tengah sistem pendidikan nasional yang belum dapat sepenuhnya menunjukan
pendidikan yang berbasis pada akhlak serta pendidikan yang bercirikan pada
sosial planning dan setelah itu teraplikasi dalam praktek kehidupan yang bahagia
di dunia dan di akhirat, sehingga besar harapan langkah ini bisa memperbaiki
mutu pendidikan yang ada. Dengan adanya latar belakang di atas, penulis
mengambil judul pembahasan ini dengan: “Nilai-Nilai Pendidikan Yang
Terkandung Dalam Surat Al-Ankabut Ayat 16-24.”
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari uraian dan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini
difokuskan dalam tiga topik permasalahan, yang dapat diasumsikan sebagai
problem akademik dan kemudian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Banyaknya kejadian atau tindakan penyimpangan terhadap masyarakat
berpendidikan karena minimnya pemahaman mereka tentang akhlak.
2. Pendidikan sekarang ini lebih memfokuskan pada kecerdasan kognitif
semata, kurang menyentuh masalah moralitas.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini terfokus, maka penulis membatasi kajian
skripsi ini pada pembahasan tentang Nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam surat Al-Ankabut 16-24.
7
D. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini,
penulis bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas. Maka penulis dapat
merumuskan masalah yaitu: “Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung
dalam surat Al-Ankabut ayat 16-24.”
E. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi tujuan penulis pada wacana pendidikan
yang terkandung dalam surat Al-Ankabut adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada surat
Al-Ankabut ayat 16-24.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak. Misalnya:
1. Bagi guru
Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan
institusi pendidikan tinggi Islam.
2. Bagi sekolah
Memberi sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang
pendidikan dalam Al-Qur‟an, serta menambah khazanah kepustakaan
dalam meneliti dan memahami Al-Qur‟an sebagai petunjuk umat.
3. Bagi mahasiswa dan pembaca
Mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur‟an terhadap nilai
pendidikan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Nilai-Nilai Pendidikan
1. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke
dalam suatu pengertian yang memuaskan. Nilai adalah substansi, esensi atau sifat-
sifat yang melekat pada sebuah hakikat atau objek. Nilai adalah sesuatu yang
bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan
penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Dan nilai juga merupakan
sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan
dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).9
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan.10
Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon
penghargaan.11
Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan
melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.12
Jadi nilai adalah sesuatu yang
bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan
manusia, nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia agar
menjadi lebih mulia, lebih matang sesuai dengan martabat human dignity dalam
arti tujuan dan cita-cita manusia.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dianggap baik, berguna atau penting, dijadikan sebagai acuan dan melambangkan
kualitas yang kemudian diberi bobot baik oleh individu maupun kelompok
9 HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 61. 10
W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999)
, h. 677. 11
H. Titus, M.S, et al, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h.
122. 12
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda
Karya,1993), h. 61.
8
9
Pendidikan Islam merupakan pendidikan universal yang diperuntukan
untuk seluruh umat manusia. Pendidikan Islam memiliki nilai-nilai luhur yang
agung dan mampu menentukan posisi dan fungsi di dalam masyarakat Indonesia.
Maka pendidikan Islam berperan dalam penyusunan suatu sistem pendidikan
nasional yang baru, nilai-nilai luhur yang disandang oleh pendidikan Islam adalah:
a. Nilai historis, pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai-nilai yang
sangat besar dalam kesinambungan hidup bangsa, di dalam kehidupan
bermasyarakat, di dalam perjuangan bangsa Indonesia, pada saat
terdapat invasi dari negara barat pendidikan Islam survive sampai saat
ini
b. Nilai religius, pendidikan Islam dalam perkembangannya tentu telah
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai Islam sebagai salah satu
nilai religius masyarakat Indonesia; dan
c. Nilai moral, pendidikan Islam tidak dapat diragukan sebagai pusat
pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan
agama Islam, sebagai contoh sekolah madrasah, pesantren, merupakan
pusat pendidikan dan juga merupakan benteng bagi moral bagi
mayoritas bangsa Indonesia.13
2. Macam-macam Nilai
Substansi nilai merupakan suatu hal yang komplek dan beragam, nilai
berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.14
yaitu:
a. Nilai Ilahiyah (nash) yaitu nilai yang lahir dalam keyakinan (belief),
berupa petunjuk dari supernatural atau Tuhan.15
Nilai yang diwahyukan
melalui rasul yang berbentuk iman, takwa, adil yang diabadikan dalam
Al-Qur‟an. Nilai ini merupakan nilai yang pertama dan paling utama
bagi para penganutnya dan akhirnya nilai tersebut dapat diaplikasikan
13
Chabib Thoha, dkk Kapita Selekta Pendidikan Islam, (yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), cet.1, h. 78. 14
Muhaimin dan Abdul Muji, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111. 15
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001),
h. 98.
10
dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini bersifat statis dan kebenarannya
mutlak.16
Nilai-nilai ilahiyah selamanya tidak mengalami perubahan. Nilai
ilahiyah ini mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku
pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak berkecendrungan
untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan perubahan sosial dan tuntutan individu.
b. Nilai Insaniyah (produk budaya yakni yang lahir dari kebudayaan
masyarakat baik secara individu maupun kelompok).17
Nilai ini tumbuh
atas kesepakatan manusia serta berkembang dan hidup dari peradaban
manusia. Nilai insani ini kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi
yang diwariskan turun-temurun mengikat anggota masyarakat yang
mendukungnya. Disini peran manusia dalam melakukan kehidupan di
dunia berperan untuk melakukan perubahan kearah nilai yang lebih
baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 53:
Artinya: yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-
kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya
kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada
diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Anfal: 53)
Kemudian dalam analisis teori nilai dapat dibedakan menjadi dua jenis
nilai pendidikan yaitu:
1. Nilai Instrumental yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk
sesuatu yang lain.
16
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111. 17
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001),
h. 99.
11
2. Nilai Intrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang
lain melainkan di dalam dan dirinya sendiri.18
Nilai instrumental dapat juga dikatagorikan sebagai nilai yang bersifat
relatif dan subjektif, dan nilai intrinsik keduanya lebih tinggi dari pada nilai
instrumental.
Sedangkan nilai dilihat dari segi sifat nilai itu dapat dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
a) Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek dan objek. Hal
ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut.
b) Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari
objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat, seperti nilai
kemerdekaan, nilai kesehatan, nilai keselamatan, badan dan jiwa, nilai
perdamaian dan sebagainya.
c) Nilai yang bersifat objektif metafisik yaitu nilai yang ternyata mampu
menyusun kenyataan objektif seperti nilai-nilai agama.19
Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing nilai mempunyai
keterkaitan dengan nilai yang satu dengan lainnya. Misalkan nilai ilahiyah
mempunyai relasi dengan nilai insani, nilai ilahi (hidup etis religius) mempunyai
kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya. Di samping secara
hierariki lebih tinggi, nilai keagamaan mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya
dan sebaliknya nilai lainnya mempunyai nilai konsultasi pada nilai etis religius.
3. Pengertian Pendidikan
Konsep pendidikan dan pembelajaran baik secara umum maupun khusus
telah dibicarakan, dibahas dan didalogkan dalam berbagai buku-buku ilmiah,
maupun kegiatan-kegiatan tertentu seperti seminar, loka karya dan sebagainya
oleh para ahli yang berskala nasional maupun internasional. Dalam pembicaraan
itu tetap saja hadir berbagai konsep dan pemikiran mendasar dari mereka tentang
18
Mohammad Nor Syam, Pendidikan Filsafat dan Dasar Filasafat Pancasila, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1986), h. 137. 19
Ibid, h. 137.
12
apa sesungguhnya pengertian pendidikan itu. Namun, sangat sulit untuk
memperoleh suatu rumusan yang signifikan yang disepakati oleh mereka.
Menyadari perbedaan-perbedaan pijakan pemikiran para ahli tersebut, tentunya
dilatarbelakangi oleh sudut pandang masing-masing diakibatkan oleh berbagai
faktor misalnya kondisi geografis di antara mereka, kondisi sosio kultural dari
mereka, keahlian yang ditekuni, pendekatan yang digunakan serta keinginan yang
mengilhami sasaran dan tujuan yang ditetapkan, disamping komprehensif dan
sangat pekanya manusia yang menjadi objek kerja pendidikan.
Keseluruhan perbedaan-perbedaan ini memiliki suatu nuansa positif dan
perspektif dimana dengannya dapat disimak seberapa dalam dan luas masalah
pendidikan, sehingga dapat dihayati bahwa masalah pendidikan tidak akan tuntas
dibahas, namun tetap menjadi kebutuhan dasar (basic need) dari manusia yang
menuntut adanya perenungan yang komprehensif dan sistematis atas dinamika
pendidikan itu sekaligus berkaitan erat dengan dinamika perkembangan
masyarakat dan tuntunan zaman yang terus mengalami perubahan.
Selanjutnya kata pendidikan berasal dari raba‟-yarbu‟, artinya tumbuh dan
berkembang. Dalam kamus dijelaskan ; yurabbi al-walad artinya memberinya
makan dan membuatnya tumbuh dan berkembang. Arti lainnya adalah
menyucikan diri. Dalam buku al-Munjid dijelaskan; yurabbi al-walad berarti
membina dan membuatnya suci dan bersih. Sementara sebagian lain mengatakan,
kata tarbiyah berakar kata dari raba-yarbu‟ yang artinya semakin tumbuh dan
bertambah. 20
Secara etimologis, sebagian cendikiawan mengartikan tarbiyah sebagai
perubahan berbagai potensi menjadi kemuliaan.21
Pendidikan merupakan proses
perubahan atau pengembangan diri anak didik dalam segala aspek kehidupan
sehingga terbentuklah suatu kepribadian yang utuh (insan kamil) baik sebagai
makhluk sosial, maupun makhluk individu, sehingga dapat beradaptasi dan hidup
20
Rasyid Majid Pur, Membenahi Akhlaq Mewarisi Kasih Sayang, (Bogor: Cahaya, 2003),
Cet. I, h. 1. 21
Ibid, h.2.
13
dalam masyarakat luas dengan baik. Termasuk bertanggung jawab kepada diri
sendiri, orang lain, dan Tuhannya.22
Dalam kerangka pendidikan, istilah ta‟dib mengandung arti ilmu,
pengajaran dan penguasaan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau
pemilikan terhadap objek atau anak didik, di samping tidak pula menimbulkan
interpretasi mendidik makhluk selain manusia, misalnya binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Karena menurut konsep Islam yang bisa bahkan harus didik hanyalah
makhluk manusia. Dan akhirnya, Al-Attas menekankan pentingnya pembinaan
tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas “akhlak yang
terpuji” yang terdapat hanya dalam istilah ta‟dib. Dengan tidak dipakainya konsep
ta‟dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan, telah berakibat hilangnya adab
sehingga melunturkan citra keadilan dan kesucian. Menurut Al-Attas, keadaan
semacam itu bisa membingungkan kaum muslimin, sampai-sampai tak terasa
pikiran dan cara hidup sekuler telah menggeser berbagai konsep Islam di berbagai
segi kehidupan termasuk pendidikan.
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba “pendidikan adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama atau insan
kamil”23
.
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan dari berbagai pandangan
yang telah dikemukakan bahwa pendidikan mempunyai pengertian sebagai upaya
yang sistematis, terarah, dan terukur dalam membimbing dan mengarahkan anak
didik agar dapat memahami dan mengajarkan ajaran Islam serta menjadikannya
sebagai pedoman hidup sehari-hari dalam bertindak, bersikap dan berfikir.
Disamping itu juga pendidikan merupakan aspek penting yang harus
dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah agar segala usaha
yang dilakukan itu dapat menjadi penggerak, pengendali serta pembimbing dalam
kehidupan anak-anak didik sehingga terbentuklah manusia yang sempurna (insan
kamil).
22
Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo: Ramadhani, 1989), h. 12. 23
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1989), h.
cet,VIII, h. 19.
14
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Pendidikan akhlak ialah penanaman, pengembangan dan pembentukan
akhlak yang mulia dalam diri anak didik. Pendidikan akhlak tidak harus
merupakan suatu program atau pelajaran khusus, akan tetapi lebih merupakan
suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.24
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab, jama‟ dari khuluqun yang
berarti (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam
jiwa, dari padanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa
memerlukan pikiran dan pertimbangan.25
Berakar dari kata khalaqa yang berarti
menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan)
dan khalaq (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak
tercangkup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan)
dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku
seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak
yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak
khaliq (Tuhan). Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja
merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama
manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan
dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih akhlak adalah suatu keadaan
atau bentuk gerakan jiwa yang tetap (konstan) yang melahirkan sikap atau
perbuatan-perbuatan secara wajar tanpa didahului oleh proses berfikir atau
rekayasa. Pengertian akhlak tersebut tidak memasukkan norma-norma/nilai-nilai
yang belum meresap kedalam jiwa sehingga dapat membentuk perilaku tanpa ada
status rekayasa. Sehingga apabila seseorang bertindak karena paksaan dari luar
24
M Sastraprtedja, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia, 1993),
h. 3. 25
Abdul Kholiq et.al, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
h. 87.
15
dan belum meresap kedalam jiwa seseorang, seperti karena terpaksa dalam
berbuat, maka hal ini belum bisa dikatakan akhlaknya sudah terbentuk.
Selanjutnya Abudin Nata dalam bukunya bahwa ada lima ciri yang
terdapat dalam perbuatan akhlak:
Pertama, perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi keperibadian yang
tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua, perbuatan akhlak merupakan
perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran
(unthouhgt). Ketiga, perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan.
Keempat, perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara.
Kelima, perbuatan akhlak dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.26
Akhlak merupakan pondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan
pribadi manusia yang seutuhnya, maka pendidikan yang mengarah terbentuknya
pribadi yang berakhlak, merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab
akan melandasi kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan.
2. Macam-macam Akhlak
a. Akhlak Mahmudah/Fadilah
Akhlak mahmudah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik
(yang terpuji). Secara garis besar akhlak mahmudah dibagi menjadi tiga, yaitu: 1)
Akhlak terhadap Allah, 2) Akhlak terhadap diri sendiri, 3) Akhlak terhadap
sesama.27
Adapun akhlak atau sifat-sifat mahmudah sebagaimana yang dikemukakan
para ahli akhlak, antara lain:
1) Al-Amanah (setia, jujur, dapat dipercaya)
2) Al-Sidqu (benar, jujur)
3) Al-Adl (adil)
4) Al-Afwu (pemaaf)
5) Al-Wafa‟ (menepati janji)
6) Al-Ifafah (memelihara diri)
7) Al-Haya‟ (malu)
26
Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Persepektif Hadist, (Jakarta: UIN Jakarta
press, 2005), h. 274. 27
A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 197.
16
8) As-Syajaah (berani)
9) Al-Quwwah (kuat)
10) As-Sabru (sabar)
11) Ar-Rahmah (kasih sayang)
12) As-Sakha‟u (murah hati)
13) At-Ta‟awun (penolong/tolong menolong)
14) Al-Islah (damai)
15) Al-Ikha‟ (persaudaraan), dan lain sebagainya yang menunjukan kepada
sifat terpuji.28
Jadi manusia menyaksikan dan menyadari bahwa Allah telah
mengaruniakan kepadanya keutamaan yang tidak dapat terbilang dan karunia
nikmat yang tidak bisa dihitung banyaknya, semua itu perlu disyukuri dengan
berupa berzikir dengan hatinya. Sebaiknya dalam kehidupannya senantiasa
berlaku hidup sopan santun menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapat terhindar
dari perbuatan dosa, maksiat, sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yang
harus dijaga dan dipelihara dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya.
Karena manusia adalah makhluk sosial maka ia perlu menciptakan suasana yang
baik, satu dengan yang lainnya saling berakhlak yang baik.
b. Akhlak Mazmumah/Qabihah
Akhlak mazmumah (akhlak tercela) adalah sebagai lawan atau kebalikan
dari akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas. Dalam ajaran Islam tetap
membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar,
dan dapat diketahui cara-cara menjauhinya. Berdasarkan petunjuk ajaran Islam
dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, di antaranya:
1) Ananiah (egois)
2) Al-Bagyu (lacur)
3) Al-Bukhl (pelit)
4) Al-Buhtan (dusta)
5) Al-Khmar (peminum khmar)
6) Al-Khianah (khianat)
28
Ibid, h. 198
17
7) Al-Jumu (aniaya)
8) Al-Gasysyu (curang)
9) Al-Fawahisy (dosa besar)
10) Al-Ghaddab (marah)
11) Al-Ghibah (mengumpat)
12) Al-Namumah (adu domba)
13) Al-Guyur (menipu, memperdaya)
14) Al-Hasad (dengki)
15) Al-Istikbar (sombong), dan lain sebagainya yang menunjukan sifat-
sifat yang tercela.29
Sebagaimana yang diuraikan di atas maka akhlak dalam wujud
pengamalannya dibedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak tercela. Jika
sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya yang kemudian melahirkan
perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak yang terpuji, sedangkan
jika ia sesuai dengan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dan melahirkan
perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak yang
tercela. Namun di sini penulis hanya menitik beratkan kepada nilai-nilai akhlak
terpuji sebagai kajian yang perlu diamati dan didalami.
3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan
keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak
masa analisa hingga menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap
mengarungi lautan kehidupan.
Adapun secara umum akhlak dapat dibagi kepada tiga ruang lingkup yaitu
akhlak kepada Allah swt, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.
a. Akhlak Kepada Allah swt
Akhlak kepada Allah swt dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan taat yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
29
Ibid, h. 200.
18
kepada Tuhan sebagai sang khalik. Karena pada dasarnya manusia hidup
mempunyai beberapa kewajiban makhluk kepada khalik sesuai dengan
tujuan yang ditegaskan dalam firman Allah swt.,
Surat Adz-Zariyat ayat 56:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembahku”30
(Q.S. Adz-Zariyat: 56).
Ada beberapa alasan yang meyebabkan manusia harus berakhlak kepada
Allah swt antara lain:
1) Karena Allah swt yang menciptakan manusia
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Ath-Thaariq ayat 5-7 yang
berbunyi:
Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar yang keluar dari
antara tulang sulbi dan tulang dada”31
. (Q.S. Ath-Thaariq: ayat 5-7).
2) Karena Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indra berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, di samping
anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat An-Nahl ayat 78:
Artinya:” Dan Allah swt mengeluarkan kamu dari perut ibummu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
30
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Termahnya, op. cit., h. 862. 31
Ibid, h. 473 .
19
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.32
(Q.S. An-
Nahl: ayat 78).
3) Karena Allah swt yang menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidupa manusia seperti: bahan makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang-binatang ternak
dan sebagainya. Firman Allah swt dalam surat Al-Jaatsiyah ayat 12-13
yang berbunyi:
Artinya: “Allah swt yang telah menundukkan lautan untukmu supaya
kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu
dapat mencari sebahagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar tanda-tanda (kekuasaan
Allah swt) bagi kaum yang berfikir”.33
(Q.S. Al-Jaatsiyah: ayat 12-13)
4) Karena Allah yang telah memuliakan manusia dengan memberinya
kemampuan menguasai daratan dan lautan. Hal ini ditegaskan oleh Allah
swt dalam surat Al-Isra ayat 70:
Artinya:”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang
32
Ibid, h. 473 33
Ibid, h. 399
20
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”.34
(Q.S. Al-Isra‟:
ayat 70).
Apabila manusia tidak ingin melaksanakan kewajiban sebagai
makhluk berarti telah menentang kepada fitrahnya sendiri, sebab pada
dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk mengabdi kepada
Tuhannya yang telah menciptakannya. Tujuan pengabdian manusia pada
dasarnya hanyalah mengharapkan akan adanya kebahagiaan lahir dan
batin, dunia dan akhirat serta terhindar dari murka-Nya yang akan
mengakibatkan kesengsaraan diri sepanjang masa.35
Dalam berhubungan
dengan khaliknya, manusia mesti memiliki akhlak yang baik kepada Allah
swt yaitu:
a) Tidak menyekutukan-Nya
b) Taqwa kepada-Nya
c) Mencintai-Nya
d) Ridha dan Ikhlas terhadap segala sesuatu keputusan-Nya dan bertaubat
e) Mensyukuri nikmat-Nya
f) Selalu berdoa kepada-Nya
g) Beribadah
h) Selalu berusaha mencari keridhoan-Nya36
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan manusia lain, orang kaya membutuhkan pertolongan orang miskin
begitu juga sebaliknya, bagaimana pun tingginya pangkat seseorang sudah
pasti membutuhkan rakyat jelata begitu juga dengan rakyat jelata,
hidupnya akan terkatung-katung jika tidak ada orang yang membantunya.
34
Ibid, h. 231. 35
A. Mudjab Mahli, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghzali, (Yoghyakarta: BFE, 1984), h.
257. 36
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 148.
21
Adanya saling membutuhkan ini menyebabkan manusia sering
mengadakan hubungan satu sama lain, jalinan hubungan ini sudah tentu
mempunyai pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu,
setiap orang seharusnya melakukan perbuatan dengan baik dan wajar,
seperti halnya: tidak masuk kerumah orang lain tanpa izin, mengeluarkan
ucapan baik dan benar, jangan mengucilkan orang lain, berhusnudzon
terhadap orang lain, memanggil dengan sebutan yang baik dan bagus.
Kesadaran untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang
lain, melahirkan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, dan
keseimbangan dalam hubungan manusia secara pribadi maupun dengan
masyrakat lingkungannya. Adapun kewajiban setiap orang untuk
menciptakan lingkungan yang baik adalah bermula dari diri sendiri. Jika
tiap pribadi mau bertingkah laku mulia maka terciptalah masyarakat yang
aman dan bahagia.
Sebagai individu manusia tidak dapat bisa memisahkan diri dari
masyarakat, dia senantiasa membutuhkan dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis
dengan masyarakat tersebut setiap pribadi harus memiliki sifat terpuji dan
mampu menempatkan dirinya secara positif ditengah-tengah masyarakat.
Pada hakikatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat/tercela
terhadap orang lain adalah untuk dirinya sendiri. Orang lain akan senang
berbuat baik kepada seseorang jika orang tersebut sering berbuat baik
kepada orang itu. Ketinggian budi pekerti seseorang menjadikannya dapat
melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna
sehingga menjadikan orang itu dapat hidup bahagia.
c. Akhlak Terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia, baik
binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang tak bernyawa.
Manusia sebagai khlifah dipermukaan bumi ini menuntut adanya interaksi
antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam yang
22
mengandung pemeliharaan dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya. Sehingga manusia mampu bertanggung jawab dan
tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungannya serta terbiasa
melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji untuk menghindari hal-hal
yang tercela. Dengan demikian terciptalah masyarakat yang aman dan
sejahtera.
Pada dasarnya faktor bimbingan pendidikan agama terhadap anak
yang dilakukan oleh orang tua di rumah, dan guru di sekolah akan dapat
berpengaruh terhadap pembentukan akidah, ibadah, dan akhlak anak yang
baik.
4. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menemukan beberapa penelitian
yang relevan yaitu dari hasil penulis sebelumnya. Kajian yang relevan
tersebut antara lain adalah:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Luqman Hakim yang berjudul “Nilai-
nilai Pendidikan pada Karakter Guru Profesional Dalam Persepektif
Al-Qur`an (Telaah Surah Luqman ayat 12-19)”. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang
digunakannya adalah metode library reseach. Dan hasil dari penelitian
tersebut adalah bahwa peran akhlak dalam pendidikan agama Islam
secara keseluruhan dari tiga dimensi yaitu mendidik, mengajar dan
memberi contoh yang baik.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Suryadi yang berjudul “Nilai-
Nilai Pendidikan dalam Surat Al-ikhlas (kajian akhlak)”. Penelitian
tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dan dari hasil
penelitian tersebut adalah melalui analisa fenomena di lapangan
dengan wawancara yang dilakukan dan pengamatan pada objek
penelitian, ditemukan bahwa upaya guru untuk membina akhlak yang
baik pada muridnya dengan beberapa cara, yaitu, bercerita, memutar
video, memberikan reward. Dan memberikan buku harian prestasi
23
yang beretujuan untuk meningkatkan ibadah dan akhlak yang baik.
Dan beberapa pesan komunikasi yang diberikan guru kepada murid
dalam upaya meningkatkan akhlak yang baik adalah dengan beberapa
cara yaitu, melalui pesan komunikasi verbal dan pesan komunikasi
non verbal
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis mengambil tempat penelitian
diperpustakaan Iman Jama‟, serta didukung dengan koleksi buku-buku di
perpustakaan, baik di perpustakaan Utama maupun Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena penelitian ini adalah bersifat
kajian pustaka, maka yang menjadi objek penelitian pada skripsi ini adalah buku-
buku referensi dan literatur yang dapat dipertanggung jawabkan yang terkait
dengan pembahasan skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan yang
Terkadung dalam Surat Al-Ankabut ayat 16-24”. Penelitian ini berlangsung
selama empat semester.
B. Metode Penelitian
Dalam upaya mengungkap permasalahan yang dibahas, penulis
menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu Penelitian yang menghasilkan
data deskriptif yang mendalam berupa kata-kata tertulis.37
Untuk memperoleh
data yang representatif, dalam pembahasan skripsi ini digunakan metode
penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelaah,
menganalisis, meneliti dari sumber rujukan atau literatur yang dapat di
pertanggung jawabkan tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasaan
skripsi ini. Dimana sumber pokoknya (primer) adalah:
1. Al-Qur'an.
2. Empat buku Tafsir Al-Qur'an : Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur'an, karya M. Quraish Shihab. Tafsir al-Azhar, karya H. Abdullah Malik Karim
37
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta,
2010), Cet. Ke- 2, h. 352.
24
25
Amarullah (Hamka), Tafsir Al-Maraghi, karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi, dan Shahih
Tafsir Ibnu Katsir, karya Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.
3. Hadits-hadits Nabi SAW.
Disamping hal tersebut, juga merujuk pada buku-buku pendukung
(sekunder) baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung. Sumber-
sumber pendukung ini antara lain adalah:
1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili.
2. Buku-buku yang berisikan ilmu-ilmu tentang Al-Qur`an, atau yang
dikenal dengan „Ulum Al-Qur‟an.
3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata Al-Qur`an, yang mana isinya
merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai
pula kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan.
4. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
Adapun metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat yang dibahas
dalam skripsi ini, peneliti menggunakan metode tafsir Tahlili yaitu dengan
berupaya mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an dari segala berbagai macam aspek
pengetahuan dan maknanya atau (dalam hal ini QS. Al-Ankabut 16-24) dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral surah
tersebut,
Tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan dalam surah Al-Ankabut ayat 16-24 dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Menetapkan ayat yang akan diteliti sebagai obyek bahasan.
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
3. Diperlukan pengetahuan tentang latar belakang diturunkannya ayat/asbab
an-nuzul, yang dimaksudkan untuk mempermudah memahami pengertian-
pengertian ayat.
4. Diteliti juga munasabah bagian-bagian ayat dengan ayat atau dengan ayat-
ayat lain dan berbagai bentuk hubungan lain. Tampaknya hal ini dapat
26
disejajarkan dengan memperhatikan kontek pembicaraan yang mengitari
ayat.
5. Jika diperlukan maka akan diperkaya dengan berbagai hadits Nabi Saw,
yang ada hubungannya dengan pembahasan. Karena hadits dapat
menjelaskan dan membantu mendapatkan pengertian makna yang
terkandung dalam Al-Qur`an.
6. Memperhatikan penafsiran-penafsiran para mufasir khususnya dalam
kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan utama dengan tidak
mengesampingkan referensi lain yang dapat membantu dalam memahami
tentang makna nilai pendidikan dalam surat tersebut.
7. Langkah berikutnya adalah pemeriksaan Tahlili, yakni usaha menafsirkan
ayat-ayat yang dijadikan obyek pembahasan. Dalam hal ini terbagi dalam
beberapa tahapan.Pertama,memilih, menentukan dan menjelaskan kata
kunci yang dapat membantu untuk memahami konsep nilai pendidikan
apa sajakah yang terkandung dalam ayat-ayat yang sedang dibahas, kedua
menafsirkan ayat-ayat yang menjadi obyek pembahasan dengan
menggunakan huruf bercetak tegak sebagai pembeda terjemahan ayat
yang dicetak dengan huruf italic (miring), ketiga menjelaskan konsep
nilai pendidikan yang ada dalam ayat yang menjadi obyek pembahasan.
Sedangkan teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang telah distandarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Fokus Penelitian
Dalam membahas skripsi ini, penulis hanya fokus menelusuri kandungan
surah Al-Ankabut: 16-24, dengan melihat penafsirannya serta menganalisa dengan
merujuk kepada penafsiran para ulama untuk kemudian dijadikan sebagai
referensi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Pemilihan ayat yang
terkandung dalam surat Al-Ankabut: 16-24 ini.
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24
Surat Al-Ankabut yang berarti rumah laba-laba adalah nama surah yang
ke-29 di antara surah-surah di dalam Al-qur‟an, terdiri dari 69 ayat dan termasuk
dalam golongan surah-surah makiyyah. Nama surat ini diambil dari perkataan al-
ankabut yang terdapat pada ayat 41 surah ini. “Dinamakan demikian karena dalam
surah ini Allah swt mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala itu
seperti rumah laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat
dia berlindung dan sebagai tempat ia menangkap mangsanya. Padahal apabila
ditiup angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan
hancur. Begitu pula dengan kaum musyrikin yang percaya dengan kekuatan
sembahan-sembahan yang tidak mampu sedikitpun menolong mereka dari azab
Allah swt di dunia. Apalagi menghadapi azab Allah swt di akhirat nanti‟‟.38
Al-BIqa‟I berpendapat bahwa tujuan utama surah ini adalah perintah untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi‟ munkar serta ajakan
menuju jalan Allah dan pujian atas-Nya tanpa jemu, sedangkan menurut
Thabathaba‟I berkesimpulan bahwa tujuannya adalah menjelaskan bahwa Allah
swt, menghendaki dari keimanan bukan sekedar mengucapkan: “Kami telah
beriman kepada Allah”, tetapi yang dikehendakinya adalah hakikat iman yang
tercermin pada keteguhan menghadapi gelombang fitnah dan penganiayaan, tidak
tergoyahkan oleh perubahan keadaan dan situasi, tetapi terus-menerus teguh
bertahan kendati penganiayaan silih berganti.39
Jika memperhatikan paparan atau penjelasan para ahli di atas bahwa salah
satu tujuan sentral dan yang paling utama diturunkannya surat ini yaitu
menjelaskan keteguhan hakikat iman meski berbagai macam ujian dan cobaan
yang dihadapi, tanpa ada perubahan sedikitpun dari keimanan tersebut
38
Ahsin w, Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Hamzah, 2006), Cet.2, h. 25-26. 39
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 4.
27
28
1. Tafsir Ayat
Al-Ankabut Ayat 16
يم إر قال لقو وٱتقوي رلكم خيشوإبش ٱعبذوا ٱلل لكم إن كىتم م
٦١تعلمون Artinya: Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah
olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Ankabut ayat 16).
Allah ta‟ala memberitahukan tentang hamba, Rasul, dan kekasih-Nya,
Ibrahim as sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya
untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan
ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata tanpa sekutu bagi-
Nya. Nabi Ibrahim as mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas,
tak kompleks dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan
cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh pembawa dakwah. Ia memulai
dengan menjelaskan hakikat dakwah dan mengajak mereka kepada-Nya,
“Sembahlah olehmu Allah swt dan bertakwalah kepada-Nya.
Kata ta‟lamun terambil dari kata alima- ya‟lamu yang mempunyai arti
mengetahui, mempelajari. Dan dari ayat tersebut terdapat dorongan bagi mereka
untuk menghilangkan kebodohan dari diri mereka sendiri dan memilih kebaikan
bagi mereka..
Musthafa Al-Maraghi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah
Ibrahim as setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat
martabatnya dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada
manusia, dan melaksanakan dakwah kejalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya
untuk menyembah Allah swt semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan
ibadah kepada-Nya, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun dalam
keadaan terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan
segala kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksitan.”40
40
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, h. 218.
29
Allah swt memerintahkan nabi Muhammad saw agar menceritakan kepada
kaumnya kisah nabi Ibrahim as. Setelah dewasa dan sempurna pertumbuhan
akalnya, sanggup untuk berpikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif serta
telah memungkinkan untuk mencapai derajat kenabiaan yang sempurna, maka
Ibrahim as mulai mencurahkan perhatiaanya menyeru manusia untuk menerima
kebenaran yang dibawanya. Ia mengajak mereka untuk mengEsakan Allah swt
dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga
menyerukan agar mereka ikhlas mengabdi kepada Allah swt baik ketika seorang
diri atau dihadapan orang banyak, serta menjauhi murka Allah swt dengan
melaksanakan segala tugas dan kewajiban yang diperintahkan-Nya serta menjauhi
segala larangan-Nya
Maka penulis berkesimpulan dari uraian di atas bahwa untuk mencegah
diri dari segala kemusyrikan yang ada yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada
Allah dengan sebenar-benarnya tanpa ada penyelewengan sedikitpun yang
mengenai tentang akidah, dan berilmulah karena dengan ilmu seseorang bisa
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Al-Ankabut Ayat 17
أوثه ا وتخلقون إفكا إن ٱلزيه تعبذون إوما تعبذون مه دون ٱلل
لا يملكون لكم سصق ٱلشصق مه دون ٱلل ا فٲبتغوا عىذ ٱلل
ۥ إلي ٦١تشجعون وٱعبذوي وٱشكشوا لArtinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala,
dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak
mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan
sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan
dikembalikan. (QS. Al-Ankabut ayat 17).
Kata autsanan adalah bentuk jamak dari kata watsan, yaitu berhala
yang berupa batu atau dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan
30
yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini lebih khusus dari pada kata
ashnam, karena yang ini adalah berhala yang disembah walau hanya batu yang
tidak berbentuk.41
Kata autsanan dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyratkan
bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan
sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta
karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada
penyembahnya.42
Ahmad Mushtafa al-Maraghi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah swt
memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah
swt itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan
mereka sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai Tuhan serta
mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.43
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, dijelaskan bahwa nabi Ibrahim
menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau
dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah
swt, dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh. Apalagi jika mereka
menghindar untuk menyembah Allah swt. Kedua, dengan penyembahan itu
mereka tidak bersandar pada dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka dengan
penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu ciptaan
yang tak ada cerita sebelumnya, karena mereka membuat sesuai dengan dorongan
diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka. Ketiga,
berhala-berhala ini tidak memberikan manfaat bagi mereka sedikitpun.44
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka
sembah ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka sendiri,
lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka terbuat dari batu atau dari kayu.
41
M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461. 42
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2007), Cet I, h. 377. 43
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra.
1989), h. 218. 44
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), h. 95.
31
Mereka membuatnya sendiri lalu kemudian mereka sembah dan mereka muliakan
dan mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka sudah nyata
dusta.
Kata rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu rizqon yang
artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”.
Penulis menarik kesimpulan bahwa rizki itu adalah sesuatu hal yang dapat
memberikan asas manfaat terhadap orang lain yang datangnya langsung dari
Allah swt melalui perantara. Oleh karena itu dianjurkan kepada manusia agar
sekiranya terus meningkatkan ibadahnya dan meminta rizki kepada Allah, karena
Allahlah sang maha pemberi rizki dan memberikan kepada orang yang Ia
kehendaki-Nya.
Selanjutnya kata fabtaghu terambil dari kata bagha yang antara lain berarti
meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas
maupun kualitas.
Ahmad mustafa al-maraghi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah swt
bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian akan memperoleh apa yang
kalian cari itu dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala
nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan
karunia-Nya.
Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak
dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah swt adalah hakikat
yang bukan sekedar untuk mendorong kecendrungan yang tersimpan dalam jiwa.
Al-Ankabut Ayat 18
32
. Artinya: dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang
sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain
hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (QS. Al-
Ankabut ayat 18).
Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat nabi Ibrahim as kepada
kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka atau nasihat
tersebut beliau sampaikan sebelum beliau telah menyampaikan nasihat lalu
mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran dari
Allah swt kepada kaum musyrikin untuk memberikan penegasan bahwa tugas
Rasul hanyalah menyampaikan ajaran agama Allah dan mengajak kepada
kebeneran.
Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan
akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul.
Seakan-akan menyatakan kepada kaum musyirikin bahwa keadaan kamu dalam
menolak ajaran rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga
mendustakan Rasulnya, sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah swt, mereka
tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka.
Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan dalam ayat ini terdapat dua khitab.
Pertama, menceritakan tentang kaum nabi Ibrahim as. Sebagaimana ibrahim
berkata kepada kaumnya “jika kamu mendustakan, maka umat-umat sebelum
kamu telah mendustakan”. Kedua, bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap
kaum nabi Muhammad dan penjelasannya, bahwasannya hikayat-hikayat yang
banyak itu untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi hikayat itu merupakan hikayat
yang baik, oleh karena itu banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku
kehilangan hikayat ini. Nabi Muhamammad bermaksud memberi peringatan
kepada kaumnya mengenai umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah
dirinya dari berbohong dan mereka menggigil karena takut siksaan, lalu Nabi
Muhammad bersabda pada pertengahan hikayatnya “hai kaumku, jika kamu
33
mendustakan aku maka aku takut akan datang sesuatu (siksaan) yang datang
kepada umat-umat sebelum kamu”.45
Menurut Quraish Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk
pendustaan kaum Nabi Ibrahim as dan akibat dari pendustaan tersebut, yang
menyatakan:
Wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan
tuntunan Allah swt maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan
dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah swt
yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu merugikan diri kamu sendiri. Dan
cukuplah kamu ketahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi
Nuh as, Ad dan Tsamud telah mendustakan para rasul mereka, lalu Allah swt
membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka
merugikan diri sendiri dan tidak sedikitpun merugikan Allah swt atau para rasul-
Nya.46
Nabi Ibrahim as kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka
membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan
bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap
mendustakan seruan Nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang
mendustakan para utusan Allah swt. Seperti yang telah dialami umat Nabi Nuh,
Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa oleh Allah swt akibat
kedurhakaannya. Di sisi lain, Allah swt menyelamatkan orang-orang yang
beriman beserta para rasulnya.47
Al-Maraghi menjelaskan, “Jika kalian membenarkan aku, maka
sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan
pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian pernah mendustakan para
rasulnya, seperti kaum Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Lalu
45
Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru al-Razi, … h. 46. 46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, h. 462-
463. 47
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2007), Cet. 1, h. 378.
34
berlakulah apa yang telah menjadi sunah Allah swt pada makhluknya, yaitu
keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasulnya”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya
menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan
tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu,
tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang itu sendiri.
Al- Ankabut Ayat 19-20
Artinya: Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan
(manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali).
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan
(manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut ayat 19-
20).
Kata yarau terambil dari kata “ra‟a yang dapat berarti melihat atau
memandang.48
Thaba‟thaba‟I sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab memahami kata
tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat
dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam
48
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 222.
35
kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata
hati.
Sebagian ulama memandang ayat ini ditunjukan kepada penduduk Mekkah
yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi Jumhur mufassir berpendapat
bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada
kaumnya.
Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orang-
orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara
Al-Qur‟an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat
keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang
mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan
wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya.”49
Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga
percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para
rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses
kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah
menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan
bulan atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan
pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah
memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila
telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi
Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan
mereka.50
Kata yubdi‟u terambil dari kata bada‟a berkisar maknanya pada
memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada‟a diartikan “iftahuhu qoddamuhu fil
amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.51
49
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 96. 50
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirannya, h. 380 51
Luis Ma‟luf, Al-Munjid, (Beirut, Dar el-Machreq, 1986), h. 28
36
Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “Dia
yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini
mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia menciptakan yang
tidak ada maka menjadi ada segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.52
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al-
Khalil as bahwasannya ia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang
mengingkarinya. Penegasan itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat mereka
liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa dan
bukan siapa-siapa, hingga datang suatu masa pengembalian pada asalnya, dan itu
mudah bagi Allah swt. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran
dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya, dan
benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukan kepada adanya
pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada sesuatu “jadilah”
maka ia pun menjadi”.53
Karena Allah berfirman yang artinya:
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulangnya kembali, dan itu
lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di
bumi. Dan Dialah yang Maha perkasa Maha Bijaksana”.
Tegasnya ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat
memahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia, akan tetapi
mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan pada hal itu
justru lebih mudah bagi Allah.
Sementara ulama membatasi kata ( ) al-khalq pada ayat ini dalam
pengertian manusia.”ini karena mereka memahami kata “yu‟iduhu” yakni
mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di dunia
ini”.54
52
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 464. 53
Muhammad Nasib al-Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir,
Terj, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet ke-1, h. 723. 54
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 465.
37
Kata ( ) an-nasy‟ah terambil dari kata nasya‟a yaitu menjadikan
kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw
untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, jika mereka belum juga
mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan oleh
leluhur mereka dan bapak para Nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan
agar mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan dan
memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya.
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini “Berjalanlah dimuka bumi ini dan
saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang
tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti
gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohonan dan buah-buahan,
serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri
dan atas adanya pembuatan yang apabila berkata kepada sesuatu “jadilah”, maka
terjadilah ia”.55
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti
firman-Nya (siiru fii al-ardhi fandhuru) ditemukan dalam al-Qur‟an sebanyak
tujuh kali, ini mengisyratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan
wisata ziarah. Dengan perjalanan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran
dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik
dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat
memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat
menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.56
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan
dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik
melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupun dari
peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal
usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti. Sebagai tambahan
55
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 222. 56
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 468.
38
perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi
setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi tinta para pelajar
nilainya setara dengan darah para syuhada‟ pada hari pembalasan. Dengan
demikian para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid
dipandang sebagai “orang-orang terpilih” dalam masyarakat yang telah
termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan
ilmu pengetahuan mereka, hal ini sejalan dengan ayat Al-Qur‟an surat At-Taubah
ayat 122 yang berbunyi:
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah ayat 122).
Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari
pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu dari pada ahli
ibadah adalah seperti kelebihan Muhammad saw atas orang Islam seluruhnya.
Dikalangan kaum muslimin hadist ini sangat populer sehingga mereka
memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.
Dalam Islam nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut
penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang
berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh
Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan
dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut ilmu. Motivasi religius ini
juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al-rihla
fi talab al-„ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu adalah bukti
sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.
39
Rihla tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan
kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai
religius. Hadist-hadist Nabi membuktikan suatu hubungan tertentu: “seseorang
yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala
seperti orang yang berperang menegakan agama. Para malaikat membentangkan
sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan”.
Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu
sejauh mungkin, bahkan sampai ke negri Cina. Nabi menyatakan bahwa “Jauhnya
letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap
kemuliaan nilai ilmu pengetahuan”57
. Siapapun sepakat hadist Nabi yang berbunyi
Utlub al-„ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu
terutama ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghazali sebagai fardlu „ain.
Al-Ankabut Ayat 21
Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi
rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu
akan dikembalikan. (QS. Al-Ankabut ayat 21).
Ayat di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan dihari
kemudian (kiamat) kata “ ” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban
yang berarti membalik”. Hati manusia dinamai qolb karena ia sering kali berbolak
balik, al-Maraghi menafsirkan kata tuqlabun yaitu kalian dihidupkan kembali
setelah mati, maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun
kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian.
57
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), h.24-27.
40
Didahulukannya kata ilaihi atas tuqlabun untuk mengisyaratkan
kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak
kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada
satupun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan.
Ketika faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang
pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang sirna dan punah karena
memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa hanyalah
Allah semata.
Dengan demikian berdasarkan pengertian yang telah disebutkan dari para
ahli tafsir diatas. Maka hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabun ialah akan
ada suatu masa dimana manusia itu akan kembali pada sang Penciptanya. Allah
tidak pernah menjauhkan diri-Nya kepada makhluk-Nya justru terkadang manusia
itu sendiri yang menjauhkan diri-Nya terhadap Penciptanya. Dan jangan pernah
beranggapan bahwa Allah lupa dengan segala apa yang diperbuat atau yang
dilakukan oleh hamba-hambanya, Allah akan memperhitungkan semua amal
perbuatan manusia dan Dia pula yang menentukan pahala atau azab sebagai
imbalannya.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam
kehidupan dihari kemudian, yaitu bahwa:
“Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki untuk
disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan sangat jelas
hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan
merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar anugrah-Nya semata
siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu
yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya dan hanya kepada-Nyalah
setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati.58
Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan
mengazab siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau
beriman dan orang yang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak
hanya terbatas di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan
memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki dengan nikmat dan keutamaan-
Nya. Allah yang menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah
58
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 470.
41
tidak bertanggung jawab kepada manusia tetapi manusia yang wajib bertanggung
jawabkan perbuatannya kepada Allah.
Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa “Allah mengazab
siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan keadilan. Maka Dia tidak berbuat
zalim seberat dzarrah pun, karena kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri
juga dalam pergaulan di antara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan
dikembalikan pada hari kiamat”.59
Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan
jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia
untuk memilih. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah satu dari
dua jalan, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa yang dia
pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah untuk berharap dan
mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada
pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil
petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk-Nya, niscaya perbuatannya itu
akan mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah
ditentukan apakah ia mendapatkan rahmat atau azab.”60
Dari beberapa penjelasan sebegaimana yang telah dikemukakan di atas,
dapat dipahami bahwa Allah menciptakan permulaan hidup dalam segala sesuatu
adalah semata-mata atas kekuasaan-Nya, niscaya Allah pun akan menjatuhkan
azab dan siksaan-Nya terhadap orang yang Dia kehendaki-Nya. Demikian pula
ketika Dia menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dia
terletak di antara dua jalan, yaitu jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang
tersesat. Manusia diberi alat buat menempuh jalan itu, yaitu akal dan pikirannya.
Hingga jalan mana yang akan ia tempuh, akan tetapi Allah selalu menganjurkan,
memanggil dan membujuk agar jalan yang ia tempuh ialah jalan yang benar-benar
di ridhoi Allah, dan Allah berjanji akan menolongnya. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-An‟am ayat 12 :
59
Muhammad Nasib al-Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1, h. 723. 60
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an DI Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 98.
42
Artinya: Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di
bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya
kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak
ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak
beriman. (QS. Al-An’am ayat 12).
Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan
kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun
kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepada-
Nyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-Nyalah tersimpan
pahala serta siksaan kalian.
Al-Ankabut Ayat 22
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab
Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali Tiadalah bagimu
pelindung dan penolong selain Allah. (QS. Al-Ankabut ayat 22).
Kata Mu‟jizin terambil dari kata ajaza-ya‟jizu-ajzan yang
berarti lemah, dalam kamus al-Qur‟an kata Mu‟jizin diartikan: yang melepaskan
43
atau yang terlepas, sedangkan al-Maraghi menafsirkan kata tersebut dengan
tafsiran menjadikan Allah lemah.
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
Mu‟jizin yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun di
antara para penghuni langit dan bumi-Nya, justru Dia-lah yang maha perkasa di
atas seluruh hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada-Nya”.61
Tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, Allah
berkuasa atas sekalian hamba-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya, andaikata
seseorang pergi mencari tempat pelarian ke langit yang tinggi, atau bersembunyi
dalam perut ikan di laut, ia tak akan dapat melepaskan diri dari genggaman
kekuasaan Allah. Oleh karena itu tidak ada seorang pun di antara manusia yang
dapat mencari seseorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan
siksaan Allah, baik itu di langit maupun di bumi.
Kemudian Sayyid Quthb menyatakan tentang inti dari potongan ayat di
atas, “kemana lagi kalian mencari perlindungan dan penolong selain Allah?
Ataukah, kepada malaikat dan jin? Sementara semuanya adalah para hamba
ciptaan Allah yang tak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada diri
mereka, apalagi untuk orang lain.62
Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut menyatakan bahwa „‟dan kamu sekali-
kali tidak dapat melepaskan diri dari azab di bumi dan tidak pula di langit, “tidak
ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi, yang dapat melemahkan-Nya.
Dia tidak membutuhkan perkara selain-Nya”. Dan sekali-kali tiada pelindung dan
penolong selain Allah.
Dari beberapa penjelasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh apa pun dan siapapun, karena
Allah maha berkuasa tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan
Allah, matahari yang begitu besar, tunduk tidak sanggup melawan peraturan-
peraturan yang telah Allah tetapkan, kononlah engkau, hai manusia! “dan tidak
ada bagi kamu selain Allah sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika
61
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 223. 62
Sayyid Quthb, Tafsir Zilalil Qur‟an, h.99.
44
diancam oleh sesuatu bahaya. Tidak seorang pun di antara manusia yang dapat
mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah,
baik di langit maupun di bumi.
Penyebutan kata fi as-samaa‟I atau di langit pada ayat di atas
untuk mengisyratkan kemungkinan dugaan sementara pendurhaka bahawa ia
dapat berlindung ke langit seperti Fir‟aun yang berusaha membuat bangunan
tinggi menuju ke langit untuk melihat Tuhan Nabi Musa atau bahwa arwah
seseorang akan berada di langit.
Ibn „Asyur berpendapat bahwa penyebutan kata langit bertujuan
memupuskan sama sekali harapan mereka untuk memperoleh keselamatan,
walaupun sebenarnya mereka juga sadar tentang ketidak mampuan mereka berada
di langit. Sedangkan Thaba‟thaba‟I memahami kata di langit sebagai tempat
dimana jin dapat berada. Karena itu, ulama tersebut memahami ayat-ayat di atas
sejalan maknanya dengan firman Allah yang artinya:
“Hai jama‟ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
kecuali dengan kekuatan”. (QS. Ar-Rahman ayat 21).
Al-Ankabut Ayat 23
Artinya: Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan
Pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu
mendapat azab yang pedih. (QS. Al-Ankabut ayat 23).
45
Kata artinya mereka putus asa dari rahmatku
(Allah). Terambil dari kata “al-ya‟su yang bermakna ketiadaan ambisi atau putus
asa”.63
Sedangkan menurut Quraish Shihab kata “( ) dipahami dalam arti
surga”. Dalam al-Qur‟an sering kali kata rahmat digunakan untuk menunjuk surga
Seperti dalam QS. Al-Jatsiah: 45 dan QS. AL-Insan: 31. Penamaannya
demikian sangat wajar, karena memang surga adalah tempat memperoleh ganjaran
Ilahi sekaligus rahmat-Nya sebagaimana neraka tempat penyiksaan dan siksa-Nya.
Di sisi lain keputus asaan mereka itu dapat dipahami dalam arti “mereka
mengingkari keniscayaan kiamat” atas dasar pada hari kiamat akan ada surga dan
ada juga neraka, siapa yang tidak mempercayai adanya kiamat, maka dia pada
hakikatnya tidak percaya dan telah memutuskan harapannya untuk memperoleh
surga. Bisa juga penggalan ayat itu dipahami sebagai ketetapan Allah atas mereka,
yakni mereka tidak akan masuk surga, dan dengan adanya ketetapan tersebut,
mereka menjadi orang-orang yang berputus asa.
Ayat yang lalu memupuskan harapan kaum musyrikin untuk memperoleh
dan perlindungan dari siksa Allah. Kini melalui ayat di atas dipupuskan pula
harapan mereka untuk memperoleh surga.
Al-Marghi menafsirkan ayat tersebut:
“Dan orang-orang yang kafir kepada bukti-bukti yang telah ditegakan
Allah pada alam ini sebagai dalil atas ketauhidan-Nya dan bukti-bukti yang
diturunkan-Nya kepada para rasul-Nya yang menunjuk kepada keesaan-Nya itu,
serta mengingkari pertemuaan dengan-Nya dan kembali kepada-Nya pada hari
kiamat, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan rahmat-
Nya, karena mereka tidak takut kepada siksa-Nya, tidak pula mengharapkan
pahala-Nya dan mereka tidak akan menerima azab yang pedih di dunia dan di
akhirat.”64
63
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h. 379 64
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 224
46
Menurut Quraish Shihab potongan ayat ini mengandung pengertian bahwa,
“ Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah yakni mengingkari bukti-
bukti yang terbentang di alam raya dan mengabaikan tuntunan-tuntunan-Nya yang
terdengar dibaca dari kitab suci serta mengingkari pula pertemuan dengan-Nya,
yakni hari kebangkitan, mereka itu yang sungguh jauh dari peringkat kemanusiaan
bahkan binatang, telah berputus asa dari rahmat-Ku, yakni berputus asa untuk Ku-
perlakukan dengan perlakuan seorang yang kasih sehingga Ku-masukkan ke surga
dan sekali lagi mereka itulah yang sungguh jauh dari segala macam kebajikan
yang memperoleh secara wajar dan adil siksa yang pedih.
Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa, sebagaimana pada ayat
20 yang lalu, Nabi Muhammad SAW. Diperintahkan untuk menyampaikan
kandungan ayat 20 hingga ayat 22. Adapun ayat ini, maka ia tidak termasuk apa
yang diperintahkan untuk disampaikan oleh beliau, tetapi Allah yang langsung
berdialog dengan Nabi Muhammad SAW. Dan menyampaikan kepada beliau
melalui malaikat Jibril. Itu sebabnya pada ayat 23 ini, Allah menunjukan surga
dan menisbatkannya langsung kepada diri-Nya dengan menyatakan (rahmat-Ku)
serta mengulangi kata ( ) ulaa‟ika yang menggunakan bentuk tunggal,
yakni kepada Nabi Muhammad SAW sendiri, bukan bentuk jamak seperti
ulaa‟ikum. Pernyataan Allah secara langsung dengan menyebutkan kata rahmat-
Ku mengisyaratkan bahwa surga adalah hak prerogratif Allah SWT. Dia sendiri
yang berwenang menentukan siapa yang wajar mendapatkannya, sekaligus
mengisyaratkan bahwa penganugerahannya semata-mata adalah berkat rahmat
Allah, bukan hak yang dapat dituntut oleh hamba-hamba Allah seberapa
banyakpun amal salehnya.
Kemudian Hamka lebih lanjut menyatakan bahwa dan orang-orang yang
kafir dengan ayat-ayat Allah, ialah yang telah bertemu dengan tanda-tanda dan
bukti adanya Allah itu, namun dia masih saja tidak mau percaya bahwa Allah ada
atau diakuinya bahwa Allah ada, tetapi dia tidak mau percaya bahwa Allah Maha
Kuasa sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dari hal yang akan
47
bertemu dengan Dia”, artinya dia tidak percaya akan hari kiamat; “Itulah orang
yang telah berputus asa dari RahmatKu. “artinya tidak ada harapan lagi baginya
dengan mendapat rahmat Ilahi yang Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan
memberikan itu. Barulah keputusan itu akan hilang, jika orang itu mengubah
pendirian, “dan orang-orang itu, bagi mereka adalah azab yang pedih.”65
Kemudian Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat di atas yaitu, dan orang-
orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, yakni ingkar
terhadap ayat-ayat Allah dan kafir terhadap hari kiamat, mereka putus asa dari
rahmat-Ku, mereka tidak memperoleh bagian dari rahmat itu, dan mereka itu
mendapat azab yang pedih.
Ditujukan ayat ini langsung kepada nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk
mengukuhkan hati beliau serta untuk menghindarkan para pendurhaka mendengar
langsung firman ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak beriman,
demikian tulis Thaba‟thaba‟i.
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari berbagai penjelasan di atas ialah
Allah mengancam orang kafir yang tidak mau membenarkan keterangan-
keterangan-Nya di atas bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah,
sehingga mereka berputus asa. Karena mengingkari keesaan Allah, mendustakan
para rasul yang diutus untuk mereka, serta tidak percaya akan adanya hari
kebangkitan. Berarti mereka tidak takut akan ancaman azab Allah dan tidak
mengharapkan balasan yang baik dari sisi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika mereka
diancam dengan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat.
Hal itu karena seseorang manusia tak merasa putus asa dari rahmat Allah
kecuali ketika hatinya kafir, dan terputus antara dirinya dan Rabnya. Demikian
juga ia tak kafir kecuali ketika ia telah berputus asa dari tersambungnya hatinya
dengan Allah, dan telah kering hatinya itu, sehingga tak lagi mempunyai jalan
menuju rahmat Allah. Dan akibat yang diterimanya yaitu “mereka itu mendapat
azab yang pedih.
65
Hamka, Tafsri Al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1982) Juzz XX, h. 168.
48
Al-Ankabut Ayat 24
Artinya: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan:
"Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ankabut ayat 24).
Kata adalah kata perintah dari kata “haraqa-yaharriqu-tahriqon”.
Asal kata ini dari “hariqa-yahriqu-harqan yang berarti terbakar”, tambahan
tasydid di sini untuk memberi makna “banyak”, oleh karena itu makna haraqa
adalah membakar dengan api yang sangat banyak. Kata ini memiliki makna lain
yaitu “menguliti dengan kikir sehingga sakitnya terasa panas” akan tetapi yang
dimaksud di sini adalah membakar dengan api yang besar.66
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas yaitu, mendengar nasihat itu,
maka tidak ada jawaban kaumnya yang sebenarnya sangat dikasihi oleh Nabi
Ibrahim as itu selain mengatakan dengan sangat kasar serta penuh kebencian.
Bunuhlah dia dengan pedang dan semacamnya atau bakarlah dia sampai mati,
akhirnya mereka sepakat memilih untuk membakar beliau. Mereka kemudian
mengumpulkan bahan bakar lalu menyulutnya dengan api sehingga lahir kobaran
api yang sangat besar dan yang panasnya menyengat siapapun yang berada
meskipun itu jauh jaraknya, karena itu mereka melempar Nabi Ibrahim as dengan
ketapel besar sehingga beliau terjatuh di tonggakan api yang menyala itu, lalu
dengan cepat dan tanpa berangsur Allah Yang Maha Kuasa, penolong dan
pelindung satu-satunya menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sangat panas
itu.
66
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h. 383
49
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, firman-Nya mengabadikan
ucapan Nabi Ibrahim as: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, dapat dipahami bahwa
kaum Nabi Ibrahim as ketika ingin membunuh Nabi ibrahim dengan dua cara
yaitu membunuhnya dengan pedang atau dengan dilemparkannya ke dalam api
yang sangat panas, akan tetapi disini kaumnya lebih memilih untuk
membunuhnya dengan kobaran api agar tak tersisa sedikitpun jasad Nabi Ibrahim
as, akan tetapi Allah berkehendak lain Nabi Ibrahim diselamatkan dengan
mu‟jizatnya yang tak bisa terbakar oleh panasnya api neraka.
Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat ini, Allah ta‟ala memberitahukan
ihwal kaum Ibrahim bahwa setelah Ibrahim as menyampaikan nasihat yang
meliputi pentujuk dan penjelasan, maka jawaban mereka hanyalah, bunuh atau
bakarlah dia. Hal itu karena mereka kalah dalam berdebat, lalu mereka beralih
kepada penggunaan kekuatan raja, kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar
hingga terkumpul banyak dan kemudian membakarnya hingga terbuatlah api yang
sangat besar. Ibrahim tak memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga ikut
campurlah kekuasaan Allah dalam bentuknya yang jelas yaitu dengan mukjizat-
Nya yang mana Nabi Ibrahim tak dapat dibakar dengan api.
Terselamatkannya Ibarahim as dari api dengan cara supranatural yang
menjadi kekuasaan Allah bagi orang yang hatinya siap untuk beriman, namun
kaum Nabi Ibrahim tetap saja tak beriman, meskipun mereka telah melihat tanda
kekuasaan Allah. Kenyataan ini menunjukan bahwa kejadian-kejadian
supranatural tak memberi petunjuk kepada hati. Akan tetapi kesiapan untuk
menerima petunjuk dan keimanan itulah yang mengantar seseorang kepada
keimanan.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Surat Al-Ankabut Ayat 16-24.
Al-Qur‟an sebagai landasan pokok serta pedoman hidup umat Islam, telah
banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai serta norma-norma dalam segala
segi kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan yang merupakan
faktor fundamental serta menjadi kebutuhan yang penting, dan telah menjadi hak
50
semua manusia untuk menempatkan pembinaan, pemeliharaan, serta pendidikan
yang layak dalam menempuh kesuksesan hidup. Baik itu kebutuhan hidup di
dunia maupun keselamatan hidup di akhirat.
Al-Qur‟an surat Al-Ankabut ayat 16-24 merupakan beberapa ayat dari
sekian banyak ayat dalam Al-Qur‟an yang membahas masalah pendidikan. Dalam
hal ini ayat tersebut menunjukan akan adanya nilai-nilai pendidikan yang penting
untuk dibahas, seperti halnya nilai pendidikan ibadah dalam surat ini. Tentunya
para ulama sepakat bahwa hal yang membedakan orang yang beriman dengan
orang yang kafir dari segi ibadahya. Dalam surat Al-Ankabut ayat 16 merupakan
seruan Nabi Ibrahim kepada kaumnya untuk beribadah kepada Allah, perjuangan
khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim as yang mengajak kaumnya untuk
mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk
kemusyrikan, karena selama ini mereka menyembah berhala yang tidak lain
adalah hasil buatan tangan mereka sendiri.
Berdasarkan isi kandungan surat Al-Ankabut ayat 16-24 penulis
mengambil beberapa nilai pendidikan sebagai intisari yang akan menjadi
pembahasan dalam bab ini. Adapun nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi:
pendidikan ibadah, nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan, nilai
pendidikan kewajiban belajar mengajar, nilai pendidikan mensyukuri, dan nilai
pendidikan sabar yang akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan ibadah
Terambil dari kata u‟buduu dari ayat yang akan diteliti, yang berasal dari
kata abada-ya‟budu yang artinya menyembah, bahwasannya ibadah merupakan
hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan ibadah
seseorang berinteraksi langsung dengan Tuhannya dan karena dengan ibadah pula
seseorang mendapatkan langsung martabat kesempurnaan di hadapan Tuhannya.
Ibadah adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian
kepada Allah swt.67
Ibadah juga merupakan kewajiban agama Islam yang tidak
67
Aswil Rony, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, (Padang:
Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999), h.18
51
bisa dipisahkan, dari aspek keimanan, keimanan merupakan pundamen,
sedangkan ibadah merupakan manifestasi dari keimanan tersebut. Ibadah dalam
pengertian yang lebih luas mencangkup keseluruhan kegiatan manusia dalam
hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu
dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada
Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.68
Dapat dipahami bahwa ibadah merupakan ajaran Islam yang tidak dapat
dipisahkan dari keimanan, karena ibadah merupakan bentuk perwujudan dari
keimanan. Dengan demikian kuat atau lemahnya ibadah seseorang ditentukan oleh
kualitas imannya. Semakin tinggi nilai ibadah yang dimiliki akan semakin tinggi
pula keimanan seseorang. Jadi ibadah adalah cermin atau bukti nyata dari aqidah.
Dalam pembinaan ibadah ini, firman Allah swt dalam surat Taha ayat 132:
artinya : “Dan perintahakanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki
kepadamu, kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di
akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa”69
(Q.S. Thaha: 132).
Seluruh tugas manusia dalam kehidupan ini berakumulasi pada tanggung
jawabnya untuk beribadah kepada Allah swt. Pada usia anak 6 sampai 12 tahun
bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tetapi merupakan masa
persiapan latihan dan pembiasaan, sehingga ketika anak memasuki usia dewasa,
pada saat mereka mendapatkan kewajiban dalam beribadah, segala jenis ibadah
yang Allah swt wajibkan dapat mereka lakukan dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan, sebab sebelumnya ia terbiasa dalam melaksanakan ibadah tersebut.
a. Macam-macam Ibadah
68
Ibid, h. 60 69
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h.492
52
Jika ditinjau lebih lanjut ibadah pada dasarnya terdiri dari dua macam
yaitu: pertama ; Ibadah „Am yaitu seluruh perbuatan yang dilakukan oleh setiap
muslim dilandasi dengan niat karena Allah swt ta‟ala. Kedua; Ibadah Khas yaitu
suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah dari Allah swt dan rasul-
Nya. Contoh dari ibadah ini adalah:
1. Mengucap dua kalimat syahadat
Dua kalimat syahadat terdiri daru dua kalimat yaitu kalimat pertama
merupakan hubungan vertikal kepada Allah swt. Sedangkan kalimat
kedua merupakan hubungan horizontal antar setiap manusia.
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah komunikasi langsung dengan Allah swt, sesuai dengan
cara yang telah ditetapkan dan dengan syarat-syarat tertentu.
3. Puasa Ramadhan
Puasa adalah menahan diri dari segala yang dapat membukakan atau
melepaskannya satu hari lamanya, mulai dari subuh sampai terbenam
matahari.
4. Membayar zakat
Zakat adalah bagian harta kekayaan yang diberikan kepada yang
berhak menerimanya dengan beberapa syarat.
5. Naik haji ke Baitullah
Ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan sesuai dengan rukun Islam
ke 5 yaitu dengan mengunjungi Baitullah di Mekkah, dan ibadah ini
hanya dilakukan bagi orang yang mampu.70
Kelima ibadah khas di atas adalah bentuk pengabdian hamba terhadap
Tuhannya secara langsung berdasarkan aturan-aturan, ketetapan dan syarat-
syaratnya. Setiap guru atau pendidik di sekolah mestilah menanamkan nilai-nilai
ibadah tersebut kepada anak didiknya agar anak didik tersebut dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
70
Aswil Rony, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, (Padang:
Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999), h. 26-31
53
Ibadah tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa dalam diri anak, pada
saat anak melakukan salah satu ibadah, secara tidak langsung akan ada dorongan
kekuatan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut. Jika anak tersebut tidak
melakukan ibadah seperti biasa yang ia lakukan maka dia merasa ada suatu
kekurangan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut, hal ini dilatar belakangi oleh
kebiasaan yang dilakukan anak. Untuk itu setiap orang tua di rumah harus
mengusahakan dan membiasakan agar anaknya dapat melaksanakan ibadah shalat
atau ibadah lainnya setiap hari.
2. Nilai Pendidikan Sabar
Sabar diartikan tabah, yaitu dapat menahan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit,
mampu mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman.71
Menurut M.
Quraish Shihab, sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu
yang baik atau lebih baik. Secara umum, kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian
pokok: yaitu sabar jasmani dan sabar ruhani. Yang pertama adalah kesabaran
dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan
anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan
keletihan atau sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani,
seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar ruhani
menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu seksual yang bukan pada
tempatnya.72
Kata sabar الصبش , dari segi bahasa berarti mencegah dan menahan. Yaitu
kedudukan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang-orang yang memiliki
semangat tinggi dan jiwa yang suci. Dalam firman-Nya Qs-Luqman: 17
71
Ahsin, op. cit., h. 257. 72
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 593.
54
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.(Qs. Al-
Luqman [31]: 17)
Kata( )washbir `ala maa ashaa bak, yaitu “Dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.Selanjutnya, Rif`at Syauqi Nawawi
mengutip pendapat Imam Ghazali mengenai lingkup wilayah aplikasi sabar, yaitu
meliputi tiga wilayah, yaitu
a. Ash-Shabr fi ath-tha`ah (terus-menerus sabar menjalankan ketaatan ).
b. Ash-shabr `an al-ma`shiyyah (sabar dalam rangka menghindarkan diri dari
maksiat), dan
c. Ash-Shabr`alaal-mushibah (tegar dan sabar dalam menghadapi musibah).73
Dari paparan Imam Al-Ghazali tersebut dapat ditegaskan bahwa kesabaran
yang dimiliki manusia seharusnya menghasilkan sikap aktif dalam beberapa hal,
yaitu terus menerus menjunjung sikap taat kepada Allah, terus menerus berusaha
menghindarkan diri dan tindakan-tindakan maksiat kepada Allah, dan tetap tegar
dan optimis serta tabah dalam menghadapi hal-hal yang secara lahiriah tidak
menyenangkan, seperti bersabar dalam menghadapi berbagai keadaan yang tidak
sesuai dengan keinginannya.
Namun, sabar juga memiliki cakupan yang lebih luas daripada itu, antara
lain”.74
1. Sabar dalam menuntut ilmu
Diperlukan kesabaran bagi siapa saja yang menuntut ilmu. Betapa banyak
gangguan yang harus dihadapinya. Misalnya, dia harus bersabar menahan lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Dia harus bersabar dalam
upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri kuliah/kelas, mencatat dan
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan sebagainya.
73
Rif`at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. I, h. 74. 74
M. Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi Muda,
(Bandung: Marja, 2012), Cet. I, h. 74.
55
Yahya bin Abi Katsir pernah berkata,”Ilmu tidak akan pernah didapat
dengan banyak mengistirahatkan badan.” Seseorang yang menuntut ilmu
seringkali mendapatkan gangguan dan halangan, baik yang berasal dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya. Maka diperlukan kesabaran dan ketegaran dalam
menuntut ilmu agar tidak mogok ditengah jalan.
2. Sabar dalam mengamalkan ilmu
Demikian pula orang berilmu yang hendak mengamalkan ilmunya,
gangguan dari luar dan dari dalam dirinya seringkali menghadang. Seperti,
perasaan malu dan rendah diri atau tidak adanya kesempatan atau tidak adanya
penghargaan. Hal-hal seperti ini meski dihadapi dan dilalui dengan kesabaran,
sehingga ilmu yang dimiliki dapat diamalkan untuk kebaikan. Dengan demikian,
ilmu itu tidak menjadi beban yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat
kelak.
3. Sabar dalam berdakwah
Terlebih dalam berdakwah, rintangan dan godaannya lebih besar. Orang
yang berdakwah dan ingin mengajak orang lain ke arah kebenaran dan kebaikan
selalu dihadapkan pada tantangan. Oleh karena itu kesabaran merupakan kunci
utama untuk meraih keberhasilan dakwah tersebut.
Sabar merupakan pilar kebahagiaan seorang muslim. Dengan kesabaran,
seorang muslim akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten dalam menjalankan
ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Sifat sabar akan
membantunya untuk lebih tegar, mampu menahan amarah, tidak merugikan orang
lain, bersikap lemah-lembut, dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Ali
bin Abi Thalib Ra berkata”sabar bagi keimanan laksana kepala terhadap tubuh
apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan”.75
Sabar adalah kompas yang mengarahkan kita pada jalan yang lurus. Tanpa
sabar, iman seorang menjadi lemah dan pemahaman tauhidnya menjadi kacau.
Lebih dari itu, sabar merupakan indra keenam yang kita miliki. Melalui kesabaran
75
Ibid.,h. 73.
56
ini, kita akan mampu menyingkap pusparagam misteri yang selama ini belum
terpecahkan. Seringkali kita putus asa, malas, cemas, dan ragu-ragu. Pada titik ini,
kita jelas membutuhkan sifat dan karakter diri yang mampu meneguhkan diri agar
mampu menjadi manusia berkarakter sempurna dan paripurna. Hal ini pula yang
harus dimiliki seorang guru. Sebabnya, tidak lain karena para anak didik memiliki
karakter dan kepribadian masing-masing. Tidak semua anak didik adalah pribadi
yang rajin, tekun, dan memperhatikan pelajaran. Tidak sedikit yang justru kerap
kali menampilkan aksi-aksi negatif, semisal mengganggu temannya, usil dalam
proses belajar-mengajar, tidak memperhatikan pelajaran guru, dan malas belajar.76
Disamping itu, guru juga menghadapi akal yang bervariasi dalam hal daya paham,
cara pandang, penerimaan materi dan lain sebagainya. Atau bisa jadi guru
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan “iseng” atau yang bukan pada tempatnya
serta dikejutkan ditengah-tengah penyampaianya bahwa salah seorang siswanya
tidur atau tersenyum sendiri dan seterusnya.77
Menyikapi keadaan ini, tentu kesabaran menjadi sebuah pelita, sebuah
cahaya yang tidak akan pernah redup, apalagi padam. Kesabaran akan
membingkai semua tutur kata dan jalinan sikap seorang guru agar selalu dalam
kebajikan. Kesabaran menjadi obat dalam pusparagam “kenakalan” yang
ditampilkan anak-anak didik.78
Karena dengan kesabaran tersebut, ia akan
senantiasa terbimbing oleh sang maha pembimbing yang sempurna yaitu, Allah
Swt.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.(Qs
Al-Baqarah [2]: 153)
Di dalam kata “kesabaran” terdapat isyarat adanya proses yang harus
dihadapi seseorang. Kesabaran juga mengindikasikan kesiapan menerima
76
Asef Umar Fakhruddin, op. cit., h. 100. 77
Fu`ad bin Abdul Aziz asy-Syalhub, op. cit., h .41. 78
Asef Umar Fakhruddin, op. cit., h. 101.
57
tahapan-tahapan proses itu hingga sampai kepuncaknya. Mereka yang sabar
menjadikan proses itu sebagai bagian dari komitmen profesional. Orang-orang
profesioanal sangat memerlukan kesabaran, Karena hanya dengan kesabaran
mereka bisa mencapai puncak prestasi.79
Menahan emosi dan menundukannya merupakan indikasi kuatnya seorang
guru, bukan indikasi kelemahanya. Sehingga dengan karakter kesabaranya itulah
faktor kesuksesan seorang guru.
3. Pendidikan Mensyukuri
Terambil dari ayat di atas yang bertujuan untuk diteliti yaitu kata
“wasykuru” yang berasal dari kata syakara-yaskuru yang bermakna “membuka”.
Kata ini dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima kasih
kepada Allah dan untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya). Ini berarti
bersyukur adalah menampakkan nikmat yang Allah Swt berikan kepada kita, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Dalam kamus Al-Qur`an, syukur menurut bahasa adalah berterima kasih.
Adapun menurut istilah adalah merasa gembira dan puas serta berterima kasih atas
segala nikmat dan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu
syukur merupakan cara hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khaliq,
berapapun yang didapat, bagaimanapun hasilnya itu merupakan sebuah anugrah
yang mesti dan patut disyukuri sebagai makhluk Allah.
Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu, seperti
anugrah-Nya. Setiap anugrah ini, keimanan, kesehatan, dan segala bentuk ciptaan-
Nya merupakan anugrah untuk manusia agar mensyukuri karuni-Nya. Begitu juga
halnya dengan seorang guru pertama-tama harus bersyukur kepada Allah Swt,
Tuhan yang Maha Esa, atas semua nikmat yang telah Dia anugerahkan. Posisi,
jabatan dan status sosialnya di masyarakat sebagai guru merupakan karunia Allah
yang sangat besar. Ini mengingat jarang sekali ada orang yang secara sadar ingin
mengabdikan diri kepada Allah melalui profesi guru. Allah telah menunjuk dan
mempercayakan peran itu kepadanya, oleh karena itu dia wajib mensyukurinya.
79
Hamka Abdul Aziz, op. cit., h.101.
58
Rasa bersyukur merupakan ibadah dan juga cara untuk melindungi kita
dari “penyimpangan”. Tidak bersyukur berarti melangkah menuju kerusakan dan
kejahatan, merupakan kelemahan-kelemahan, dan menjadi takbabur ketika mereka
semakin kaya dan berkuasa. Mereka yang menunjukan rasa syukurnya kepada
Allah swt disertai ilmu bahwa semua yang mereka capai adalah pemberian dari
Allah, berarti mereka mengetahui bahwasannya mereka bertanggung jawab
menggunakan semua rahmat ini dijalan Allah seperti kehendak-Nya. Itulah rasa
syukur kepada Allah yang didasari kerendahan hati dan kedewasaan para Rasul.
Ar-Raghib Al-Asfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa
Al-Qur‟an menulis dalam al-mufradat fi gharib Al-Qur‟an, bahwa kata “syukur”
mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya
kepermukaan”.
Syukur dapat dikualifikasikan menjadi tiga macam:
a. Syukur dengan hati, yaitu dengan merenungkan nikmat sendiri.
b. Syukur melalui lisan, yaitu dengan memuji dan menyanjung sang
pemberi nikmat.
c. Syukur dengan anggota badan, yaitu dengan membalas nikmat
(karunia) yang diterimanya sesuai dengan kemampuan dan etika
bersyukur.
Jika ditelisik lebih dalam tentang makna syukur dari sudut pandang
komunikasi dua arah antara yang bersyukur dengan yang disyukuri, maka katagori
syukur dibedakan menjadi tiga macam. “Pertama, syukur seseorang kepada
atasannya (yang keduanya lebih tinggi) notabene Allah dengan cara berbakti,
memuji dan berbakti kepadanya. Kedua, syukur seseorang kepada sesamanya
(yang sepadan) dengan cara membalas kembali pemberiannya sesuai dengan
kondisi dan kemampuan yang ada pada dirinya. Ketiga, syukur seseorang kepada
orang yang kedudukannya lebih rendah dari padanya, yaitu berupa pemberian
imbalan yang sepantasnya”80
80
Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir dan Berfikir, h. 41-42
59
4. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari kebangkitan
Yang dimaksud dengan hari akhir adalah saat Allah membangkitkan
kembali manusia untuk hidup kembali, setelah habisnya waktu yang ditentukan
ketika hidup di dunia. Hidup pada hari akhir dimaksudkan untuk memberi balasan
kepada setiap insan atas amal dan perbuatan yang telah diperbuatnya ketika hidup
di dunia.
Banyak orang yang berfikir bahwa kehidupan setelah mati tidak masuk di
akal dan bertanya bagaimana akan dibangkitkan sedang mereka telah menjadi
tulang dan debu. Tidaklah mereka pikir bahwa mereka diciptakan dari sesuatu
yang tidak ada sebelumnya, yang diawali dan diciptakan dari ribuan bahkan jutaan
air mani, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian dari segumpal daging,
sebagian ada yang jadi dan sebagian ada yang tidak jadi, lalu tersimpan di dalam
rahim sampai waktu tertentu, kemudian lahir sebagai bayi dan kemudian
dipelihara samapa pada umur tertentu sampai ia mempunyai kekuatan, hendaknya
mereka merenungkan betapa bumi itu tandus dan tidak tumbuh, tapi jika Allah
menurunkan hujan, maka segar dan mekarlah ia, dan tumbuhlah bermacam-
macam tumbuhan yang indah. “Ketahuilah bahwa Dia yang telah menciptakan
langit dan bumi, mampu menghidupkan yang telah mati karena Dia maha Kuasa
atas segalanya”.81
81
Abdul A‟la AL-Maududi, Esensi Al-Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Jakarta:
Mizan), h. 20.
60
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami
jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu
sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian
akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. (QS. Al-Mu’minun ayat
12-16).
Beriman kepada hidup sesudah mati adalah ajaran pokok agama Islam
yang terkahir. Perkataan yang biasa digunakan oleh al-Qur‟an untuk menyatakan
hidup sesudah mati ialah al-akhirat, kata akhir adalah lawan kata awal
(permulaan). Jadi kata akhir adalah bermakna kesudahan. Selain kata al-akhirat,
digunakan pula kata yaumul akhir artinya hari akhir, kadang-kadang digunakan
pula darul akhirah artinya tempat tinggal terakhir.
Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah ayat 8).
Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan
keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak
sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir. Hal ini disebabkan
keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan
sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena
kesempurnaan ganjaran dan balasannnya hanya ditemukan dihari kemudian nanti.
61
Jika masih ada orang yang ragu tentang berulangnya kehidupan manusia
sesudah mati, hendaklah ia meneliti periode-periode dalam hidupnya. Dia pasti
akan melihat gejala-gejala kekuasaan Ilahi yang Maha Kuasa dan pencipta segala
sesuatu yang sangat menakjubkan. Dan pastilah pula keindahan ciptaan Allah di
atas bumi yang luas terhampar.82
Banyak redaksi yang digunakan Al-Qur‟an untuk menguraikan hari akhir,
misalnya yaum al-ba‟ts s (hari kebangkitan), yaum al-qiamah (hari kiamat), yaum
al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan). Al-Qur‟an
menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar, kata al-yaum al-akhir
saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata akhirat yang terulang sebanyak
115 kali. Ini menunjukan betapa besar perhatian Al-Qur‟an dan betapa penting
permasalahan ini. Banyak juga sisi dari “hari” tersebut yang diuraikan Al-Qur‟an,
dan uraian itu yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan
diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Qur‟an bermaksud untuk
memantapkan keyakinan tersebut bagian demi bagian serta fasal demi fasal dalam
jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Qur‟an ketika
menguraikna masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.83
Allah telah berfirman (Q.S Al-Haqqah :13-16)
Artinya : Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup dan diangkatlah
bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka
82
Anshori Umar Sitanggal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, (tt: Pustaka Dian,
1984), cet. I, h, 88 83
Qurais Shihab, wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhi‟I atas Pelbagai Permasalahan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 81
62
pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari
itu langit menjadi lemah.
Maksudnya: ialah tiupan yang pertama yang pada waktu itu alam semesta
menjadi hancur.
Banyak sekali ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang kehancuran alam
raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahanyanya,
gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang beterbangan bagaikan kapas dan
sebagainya, itu semua merupakan kehancuran total, bukan sebagian tertentu saja
dalam raya ini.
5. Nilai Pendidikan Belajar Mengajar
Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu
dengan alasan yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia,
sebagaimana yang telah diketahui manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah
fil ardh. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya jika bukan karena
bimbingan dan hidayah Allah. Namun manusia tidak pula begitu saja mampu
menelan secara mentah-mentah apa yang dilihatnya tetapi dengan cara mengamati
dan belajar memahami tentang semua ciptaan alam semesta ini yang diciptakan
oleh Allah, dan tidak hanya berhenti disitu, manusia seletah mengetahui tentang
sesuatu, itu wajib diajarkan atau diamalkan ilmunya agar fungsi kekhilafahan
manusia tidak terhenti pada satu masa saja. Dan semua itu sudah di atur oleh
Allah swt.
Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. tanpa ilmu
manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan
mampu merubah suatu peradaban. Bahkan tanpa ilmu pun manusia tidak akan
merubahnya menjadi lebih baik.
Karena menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan
kewajiban bagi setiap muslim, sangat tepat wahyu pertama turun kepada Nabi saw
mengisyaratkan tentang perintah membaca (menuntut ilmu).
63
Kata iqra‟ terambil dari kata qara‟a yang pada mulanya berarti menghimpun.
Apa bila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka
kita sudah menghimpunnya yakni membacanya.84
Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu
teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar
oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata
tersebut. Antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Nabi saw diperintahkan untuk
membaca iqra‟ oleh malaikat Jibril, Nabi saw bertanya ma Aqra‟? tetapi malaikat
Jibril tidak menjawabnya. Ada yang berpendapat pertanyaan itu tidak dijawab,
karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama
bacaan tersebut Bismi Rabbika, dalam arti bermanfaat untuk manusia dan dirinya
dunia dan akhirat. Demikian Allah memberikan stimulus kepada manusia, agar
senantiasa mengerahkan segala daya dan upayanya dalam menuntut ilmu.
Syekh Abdul Halim Mahmud sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab beliau
menulis dalam bukunya al-Qur‟an Fi Syahr al-Qur‟an: “dengan kalimat iqra‟
bismi Rabbika, al-Qur‟an tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tetapi
membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang
sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya
ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu,
bekerjalah demi Tuhanmu”. Demikian juga ketika kita berhenti melakukan
aktifitas hendaklah didasari pada bismi Rabbikai sehingga akhirnya ayat itu berarti
“jadilah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, kesemuanya
demi karena Allah semata”.
Segala potensi yang dimiliki manusia sebagai jalan untuk mengetahui sesuatu
baik berupa isyarat yang jelas (tampak) maupun yang tersembunyi yang hanya
mampu ditangkap dengan indra yang abstrak merupakan cara Allah mendidik
manusia.
84
M. Quraish Shihab, Tafisr Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 392.
64
Quraish Shihab mengatakan ,”Al-Qur‟an sejak dini memadukan usaha dan
pertolongan Allah, akal dan Qolbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa
qalbu menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sema dengan pelita
ditanya bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mengakhiri uraian dari bab-bab sebelumnya dalam pembahasan
skiripsi ini, maka pada bab penutup ini dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai
berikut:
Nilai pendidikan yang diajarkan dalam surat Al-Ankabut ayat 16 sampai
ayat 24 adalah:
1. Ibadah: adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian
kepada Allah swt, yang juga merupakan kewajiban agama Islam yang
tidak bisa dipisahkan dari aspek keimanan. Keimanan merupakan
pundamen, sedangkan ibadah merupakan manifestasi dari keimanan
tersebut.
2. Sabar: adalah dapat menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu
mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman, demi mencapai
sesuatu yang baik atau lebih baik, dengan sabar akan menjadikan orang
memiliki sikap tawadlu, rendah hati, tidak sombong dan selalu bersyukur
atas cobaan yang menimpanya.
3. Syukur adalah proses kejiwaan dan ungkapan batin atas apa yang
diperolehnya. Sikap dan sifat syukur ditunjukan dalam meningkatkan amal
ibadah dan ikhtiar yang semuanya itu dilakukan karena Allah dan untuk
Allah, yang disertai dengan kesungguhan untuk terus memperbaiki segala
amalnya.
4. Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari
kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak
sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman
kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah
kematian, yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di
dunia.
65
66
5. Belajar mengajar adalah suatu keharusan dilakukan oleh seseorang
muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah
swt. Dan orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki
kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang berjihad di medan
perang melawan orang kafir.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka
penulis memberikan saran-saran berikut:
1. Orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga serta pendidik pada
umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama yang
bersumber pada Al-Quran dan Hadis, sebagai upaya untuk membentuk
kepribadian muslim yang diharapkan.
2. Orang tua hendaknya mengajarkan ibadah sebagai pendidikan yang paling
utama kepada anak, karena pada dasarnya pendidikan ibadah merupakan
hal yang paling sentral dalam membentuk kepribadiaanya yang lebih baik.
3. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan sabar kepada anak, yang
bertujuan agar tertanam di dalam diri anak sifat tersebut yang dapat
membawa dampak positif terhadap perkembangan anak itu sendiri.
4. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan syukur, karena bersyukur
atas nikmat dan karunia Allah akan membantu jiwa, mendekatkan kepada
Tuhannya dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat-nikmat itu
sebaik-baiknya sesuai dengan pedoman Allah dan Rasulnya.
5. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan iman kepada hari
kebangkitan, agar anak ingat akan adanya kehidupan sesudah mati dan
balasannya, dengan adanya keimanan kepada hari kebangkitan dan
adanya hari pembalasan di akhirat atas perbuatan yang pernah dilakukan
seseorang di dunia sesuai dengan kelakuan masing-masing, akan
memelihara anak dari kejahatan dan akan mengarahkannya untuk berbuat
baik.
67
6. Orang tua hendaknya memberikan motivasi kepada anak untuk menuntut
ilmu, menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia.
Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu
manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban, bahkan dirinya pun
tidak bisa menjadi lebih baik. Dan mengajarkan ilmu kepada orang lain.
Menuntut ilmu dan mengajarkannya sama pahalanya di sisi Allah dengan
jihad. Barang siapa yang memberi contoh kebaikan, kemudian kebaikan
itu dicontoh oleh orang lain, maka dia akan mendapat kebaikan yang
sama dengan orang yang melakukan tersebut, tanpa mengurangi pahala
orang yang melakukannya, begitu juga sebaliknya.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir dan Berfikir.
Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,
Jakarta: GayaMedia Pratama, 2007.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, , Semarang: Toha
Putra. 1989.
al-Marbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf, Kamus Arab Melayu.
AL-Maududi , Abdul A‟la, Esensi Al-Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika,
Jakarta: Mizan.
al-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn
Katsir, Terj, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Anwar, Rosihun. Samudera Al-Qu‟ran, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya.
Fakhruddin, Muhammad al-Razi, Tafsir Fakhru al-Razi.
Hafidz, Hasan, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Solo: Ramadhani, 1989.
Hamka, Tafsri Al-Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1982.
Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama,
2001.
Kholiq ,Abdul et.al, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
M.S , H. Titus, , et al, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1984.
Ma‟luf, Luis, Al-Munjid, Beirut, Dar el-Machreq, 1986.
Ma‟rif, A. Syafi‟f et.al, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.
Mahli , A. Mudjab, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghzali, Yoghyakarta: BFE,
1984.
69
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Al-Ma‟rif,
1989.
Mas‟ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Mujib, Abdul dan Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda
Karya,1993,
Mujib,Abdul dan Muhaimin, , Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Mulkhan, Abdul Munir, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren;
Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Mustafa, A., Akhlak Tasawuf, Jakarta: Pustaka Setia, 1999.
Nata , Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,
Jakarta, 2010.
Nata, Abudin dan Fauzan, Pendidikan dalam Persepektif Hadist, Jakarta: UIN
Jakarta press, 2005.
Nawawi, Rif`at Syauqi, Kepribadian Qur`ani, Jakarta: Amzah, 2011.
Pamungkas, M. Imam, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi
Muda, Bandung: Marja, 2012.
Pur, Rasyid Majid, Membenahi Akhlaq Mewarisi Kasih Sayang, Bogor: Cahaya,
2003.
Purwadarminta, W.JS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
1999.
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Jakarta: Gema
Insani Press, 2004.
Rony, Aswil, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, Padang:
Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999.
Sastraprtedja, M, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: Gramedia,
1993.
70
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar ,Yogyakarta: eLSAQ,
2005.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, Qurais, wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhi‟I atas Pelbagai
Permasalahan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, tt: Pustaka
Dian, 1984.
Syam,Mohammad Nor, Pendidikan Filsafat dan Dasar Filasafat Pancasila,
Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Syihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2000. Tafsir.
“Pendidikan Agama Islam di Sekolah Salah Paradigma”Media
Indonesia Jum‟at, 03 Desember 2004.
Thoha , HM. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Tilaar, H.A.R, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005.
W, Ahsin, Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, Jakarta: Hamzah, 2006.
LEMBAR UJI REFERDNSI
Nama :Karen Solihin
NIM :109011000243
JudulSkripsi : Nilai-NilaiPendidikan Yang TerkandungDalam Surat Al-
Ankabut Ayat 16-24.
No ReferensiNomor
Footnote
I{alaman
Skripsi
Para{Dosen
Pembimbing
BAB I PENDAHULUAN
Yunus Hasan Abi&t, Tafsir Al-Qur'an SejarahTafsir dan Metode Para Mtfasir, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-1, h. Viii.
1 1
2. M. QuraishSyihab, Wawasan Al-Qur'an,(Bandung: Mizan,2000), Cet. 10. h. 12.
2 2
-t Rosihun Anwar, Samudera AI-Qu'ran,(Bandung: PustakaSetia, 2001), Cetke- I, h.
173.
3 2 +4. Ahmad Tafsir, "Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Salah Paradigma"Media Indonesia(Jum'at, 03 Desember 2004), h. 3.
4 3< +5. A. Syafi'fMa'rif et.al, Pendidikan Islam di
Indonesia antaraCitadanFakta (YogyakartaPT. Tiara Wacana, l99l), h 15.
5 4
>6. H.A.R Tilaar, Manifesto P endi dikanNas ional,
Ti nj au a n dc r i P e rsp ektifP o s tmo d e rn is me dan S tu diKulhtral (Jakarta: PenerbitBukuKompas,20os), h 119.
6 4
7. Abdul MunirMulkhan,Reko n st rul<s i P en di dikan d anTr a di s i P es ant ren ;Religiusiras IPTEK (YogYakarta:
PustakaPelajar, 2000), h. 1 1 1 -1 12.
7 5
<_ (!8. M. NurKholisSetiaw an, Al-Qur' an Kitabsastra 8 5 '--b----.-.
Terbesar (Y ogyakarta: eLSAQ, 2005), h. 1.
BAB II KAJIAN TEORETIK DAN PENGAJUAN KONSEPTUAL INTERVENSITINDAKAN
9. HM. ChabibThoha, KapitaSelektaPendidikanIslam, (Yogyakarta: PustakaPelajar,l996), h.
61.
1 9 s+--b)
10. W.JS. Purwadarminta, KamusUmum BahasaIndonesia, (Jakarta :BalaiPustaka, 1999) , h.
677.
2 e<
1l H. Titus, M.S, et dl, Persoalan-persoalanFilsafat, (Jakarta :BulanBintang,1984),h. 122.
9
12. Muhaimindan Abdul Mujib,PemilciranPendidikan Islam, (Bandung:TrisendaKarya.l993), h. 61.
4 9
13. ChabibThoha, dldcKapitaSelektaPendidikanIslam, (yogyakarta :PustakaPelajar, 1996),cet.l. h. 78.
5 10-- ( >.\r-
14. Muhaimindan Abdul Muji,PemikiranPendidikan Islam'.K aj i an F i lo s ofi s dan K e r an gkaD a s a r Op e ra s i o ntt Inya, (Bandung: TrigendaKarya, 1993), h. 111.
6 t0
15. Mansur Isna, DiskursusPendidikan Islam,(Yogyakarta: Global PustakaUtama, 2001), h.
98.
l i0 I<--<f:>
i
16. Muhaimindan Abdul lvtftjlb,PemikiranPendidikan Islam:K ai i anFi I o s ofi s danKer angkaD as ar O p e r as i o n a In ya. (Bandung: TrigendaKarya, 1993),h. 111.
8 11
17. Mansur Isna, DiskursusPendidikan Islam,(Yogyakarta: Global PustakaUtama, 2001), h:99.
9 11
18. Mohammad NorSyam,P endi dikan F i I s afa t d an D as a r F i I a s afatPancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986),h. t37.
10 12
{)
19. Mohammad NorSyam,P endi dikanF i ls afa t d an D a s ar F i I a s afa tPancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986),h. 137.
11 t2 --.--.--{_-----t v)
20. MajidRasyidPw,lfiembenahi Akhl aq M ew ari s i Kas i h Say an g,(Bosor: Cahaya 2003), Cet. I, h. 1.
12 13 /---t------\-.....- S_2
21.Pr;r.,l4 emb e nahiAkh I aq Mew a ri s i Kas i hSay ang,(Bogor: Cahaya. 2003), Cet. I, h. 2.
MajidRasyid 13 14
22. Hasan Hafrdz, Dasar-dasarPendidikandanllmuJiwa, (Solo:Ramadhani, 1989), h. 12.
14 t4 -S--t-23. Ahmad D. Marimba,
PengantarFilsafatPendidikan, (Bandung: PTAl-Ma'rif, 1989), h. cet,VIII, h. 19.
15 14\AJ
24. M Sastraprtedja,PendidikanNilaiMemasukiTahun 2000,(Jakarta: Cramedia, 1993). h. l.
16 15
/\ Abdul Kholiq et.al, PemikiranPendidikanh I am, (Y ogy akarta: PustakaPel ajar, 1.999), h.
17 1s< \a--->
I
zo. Abudin Nata danFauzan,PendidikandalamPersepektifiIadisr, (Jakarta:
UIN Jakarla pres s.2005), h.27 4.
18 16 'T=27. A. Mustafa, AkhlakTasawuf, (Jakarta:
Pustakasetia, 1999), h. 197.
19 16! rF28. A. Mustafa, AkhlakTasawuf, (Jakarta:
PustakaSetia, 1999), h. 198.
20 17 -----\:)
29. A. Mustafa, AkhlakTasaywf, (Jakarta:
PustakaSetia, 1999), h. 200.2t 17 F
30. Departemen Agama, Al-Qur'an danTerntahnya,oo. cit., h. 862.
22 1,9 F31. Departemen Agama, Al-Qur'an danTermahnya,
op. cit., h.473.23 20 <T=----.-F
32. Departemen Agama, Al-Qur'an danTermahnya,op. cit., h. 473.
24 20 +13. Departemen Agamq Al-Qur'an danTermahnya,
op. cit., h. 399.25 21 .F
14. Departemen Agamq Al-Qur'an danTermahnya,op. cit., h.231.
26 2t P35. A. MudjabMahli, Pembinaan Moral di Mata
Al-Ghzali, (Yoshyakarta: BFE, 1984), h. 257.
2'7 22 .u36. Abudin Nata, AkhlakTasawuf, (Jakarta: PT.
Raia GrafindoPersada, 1996), h. 148.
28 22 ::-\*
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIANAbuddin Nata, Ilmupendidikai lstamDenganPendekatanMultidisipliner, (Jakarta,
2010), Cet.Ke- 2, h. 352.
BAB IV HASIL PENELITIANAhsin w, Al-Hafidz, Komutlt*i-Al-dtrrii,Jakarta: Hamzah,2006), Cet.2. h. 25-26.M. QuraishShih ab, Ta.fsir Al-Mirbahpes"",kesan, dankeserasian Al-eur'an, (Jikarta:LenteraHati, 2002). h. 4Ahmad Mustafa al-Maraghi, T"ri"mohTa,friAl-Maraehi,h. 218.M. QuraishSyihab, Tafsir AfMisbahPesanKesandanKeserasian Al-eur,an,(Jakarta: LenteraHati, Z00Z). h. 461.Depademen Agama RI, ,,ll-err'r,, Dn,Tctfsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI,2007). Cet I. h. 377 .
Ahrnad Mustafa Al-Maraghi, Tui"mohTnfsi,Al-Maraghi, (Semarang: Toha putra. l9g9), h.
SatyidQuthb, Fi Zhitatil A*h"DiBawahNaungan Al-Qur'an, (Jakarta:Cemalnsani Press, 2004). h.95.Muhammad Idris Abdul Ra.,f ul-M*ba,r|Kan.rus Arab Melatu, ( Darullhva ). h.Muhammad al-RaziFak}ruddin. TafsiiFakhnal-Razi. .. . h. 46.M. QuraishShihab, Tafsir af
,
MisbahP es anKesandanKeserasian Al-ettr' an,h.462-463.
Departemen Agama, Al-eurh"danTa,fs irannya, (Jakarta: Depart"-"n Agorru
Cet. l. h. 378.Muhammad Idris Abdul Rurl ul-M-b*i,Kamus Arab Melaw, h. 222.SayyidQuthb, Fi Zhilatll aurhn
-rup^.,,^t
trto,,.orn Al-Our'an- h- 96t4 35 =F51. Departemen Agama R'I, Al-Qur'an Dan
,t ^t^:-^---,- I 'L9/l15 35 __ \a_,
I52. Luis Ma'luf, Al-Munjid, (tserrut, Dar el-r\,r^^L-6a IOCK\ h ,R
16 35
'a
53. M. QuraishShihab, IdJstr At-
MisbahPesanKesandanKeserasian al-Qur'an,
h.464.t7 36 ul-54. Muhammad Nasib al-Rifa'I, Kemudahan l)art
Allah: RiangkasanTafsirlbnKatsir, Terj'
Syihabuddin, (Jakarta: Gemalnsani Press'
l ooo\ ^Ar v^-1 h 1)1
M.QuraishShihab,al-Qur'an,M is b ah P e s an d an K e s a n Ke s er 0s i an
h. 465.
Tafsir Al- 18 JO <=U)\-
55.
l956. Ahmad Mustafa al-illatag)'tt,'1'erjemah I alstr dt-
t r.,,"--Li L 1'.>1
yE,
M.QuraishShihab, Tafsir Al-
Mis b ah P e s on d anK e s an Ke s er a s i a n
h. 468
al-Qur'an,20 17
57.
21 39 --, - 1- --....-\s,_>
\-58. Abdurrahman Mas'ud, Menggagas ! ormat
PendidikanNondikotomik, (Yogyakarta: Gamar, r:- /rr\.\a\ L 1,4 17IVIg(jr4r zwuz,r,
22 40 !.-\zr-
59. M.QuraishShihab, TaJsir At-
M is b ah P e s an danKe s a nKe s er as i an
h.470.
al-Qur'an,
23 4t {-\-.---+JI
60. Muhammad Nasib al-Rii'a'I, Kemudahan Dart
Allah: RiangkasanTafsirlbnKatsir' (Jakafla:
^ --r-^^-: rr-^-- IOOO\ ia+ t h 7)124 41 ---\--\--,
6TTSayyidQuthb. Fi Zhilalil Qur an Dt
I BawahNaungan Al-Qur'an.h' 98'25
:OZ. I en*ua Mustafa al-Maraghi, Ierjemahla|str at'
I Marashi,h.223.26 43 .:s
63. I SayyidQuthb' TafsirZilalil Qur-an' h'9e'
,.. 27 4564. I)epartemen Agallra D' Y
1 d .r-:------^-.- 1.11Oagnlulttt utttly.t,28 45 i:------J
\ S>\b-
65
66
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Teriemahla|str at-n r^-^-L; h ,) /-
n^rtk^. f"ftrl Al-Azhar' (Jakarta: PT
PustakaPanji Mas, 1982) Juzz XX, h' 168'
29 47
I
67. Departemen Agama RI, Al-Qur'andanTafs irannya, h. 383.
30 48 G-68. AswiiRony, dkk" Alatlbadah Muslim Koleksi
Museum Aclhityawarman, (Padang:B agianProyekPembinaan?ermuseumanSumatera Barat, 1999), h.18.
31 50\- (>
69. AswilRony, dkke Alatlbadah Muslim Kolel<siMus eum Ad h i tyaw a rman, (Padang:
B agianProyekPembinaanPermuseumanSumatera Barat, 1999), h.
32 51
70. Departemen Agama F.I, Al-Qu r' andanTafsirannya, h.492
33 ------ \--------q271. AswilRony, dkk, Alatlbadah Muslim Koleksi
Mus eum Adhityaw arman, (Padang:
BagianProyekPembinaanPermuseumanSumatera Barat, 1999), h. 26-31
52
72. M. QuraishShihab, op. cit., h. 593. 36 53 '-=-\b-Rilat Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur'oni,(Jakarta: Amzah, 201 1), Cet.1,h. 74.
37 : i-D--f--:-74. M. Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern
Membangun Karakter Generasi Muda,(Banduns: Maria, 2012), Cet. I, h. 74.
54 ,\ _- \ \7---'-H
75. M. Imam Pamun gkas, Akhlak Muslim ModernMembangun Karakter Generasi Muda,(Bandung: Maria, 2012), Cet. I, h. 73.
39 55
76. AsefUmar Fakhruddin, op. cil., h. 100. 40 56
77. Fu'ad bin Abdul Aziz asy-Syalhub, op. cit., h.41.
41 56 F-18. Asefumar Fakhruddin, ap. cil., h. 101. 56<
79. HamkaAbdul Aziz, op. cit., h.101. 43 57 _t>80. Abdullah bin Jarullah, FenomenaSyukur,
B erzikirdanBerlikir, h. 4 I -4244 59 +_
81. Abdul A'la Al-Maududi, Esensi Al-Qur'an,F ilsafatPolitikEkonomi Etika, (Jakarta: Mizan),h.20.
45 59
82. Anshori Umar Sitarggal, Islam 46 61 --.-14)_
Anshori Umar Sitarggal, IslamM emb in a M as y ar akotA d ilM akmur, (tt: Pustaka
QuraisShihab, wcw as an Al-Qur' anTafs ir M au dhi' I a t as P e I b a ga i P e rm a s a I ah anUma
1996). cet II. h. 81
M. QuraishShihab, TaJisr Al-Misbah: Pesan,
KesandanKeserasian Al-Qur'an, (Jakarta:
LenteraHati. 2002\. h. 392.
Menyetujui,
' Abdul Ghofur, MA
NrP. 19681208199703r003
DEPARTEMEN AGAMAUIN JAKARTAFITKJl. k. H. .lr.n<!a Uo 6 Cip,lal 15412 lndonesia
FoRM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
Tgl. Terbit : 5 Januari 2009
No- Revisi: : 00
Hal 1t'l
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI
NomorLamp.Hal
: Un.0l/}- 1/KM.01 .31........1........:,..............: Bimbingan Skipsi
Jakarra,2iT llii 2016
Kepada Yth.Bpk Abdul Ghofur, MAPembimbing ShipsiFakultas Ilmu Tar.biyah dan KeguruanIJIN Syarif HitlayatullahJakarta-
Assal amu' ala ikum wr. wb.
Dengan ini tliharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing Vtr(materVteknis) penulisan skripsi mahasiswa:
Nama : Karen Solihin
NIM :109011000243
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Semester : XW @mpat Belas)
Judul Skipsi : Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Surat Al-Ankabut Ayat l6-24.
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 15 Februari2013 , abstaksi/o utline tt:ilunpir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional padajudul tersebut. Apabila perutahan substansial diaoggap perlu, mohon pembimbingmenghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingaa skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat petpanjangan.
Atas perhatian drt kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Was s alatnu' a I aikum w'-wb.
a.n. DekanSekjur
r, Hj. MarhamatrSaleh, Il, Mt'l..rp.
t gzzo3 t :2oo8o I 20 I oTembusan:
l. Dekan FITK2. Mahasiswa ybs.