Analisis Kebijakan Mengenai Keselamatan Nelayan Dan Kapal Ikan Dilaut
KARAKTERISTIK NELAYAN KECIL DALAM KETAHANAN PANGAN IKAN …
Transcript of KARAKTERISTIK NELAYAN KECIL DALAM KETAHANAN PANGAN IKAN …
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 319
KARAKTERISTIK NELAYAN KECIL DALAM KETAHANAN PANGAN IKAN: KASUS DI KOTA KENDARI, SULAWESI TENGGARA
THE CHARACTERISTICS OF SMALL SCALE FISHERIES IN FOOD
SECURITY: A CASE STUDY IN KENDARI, SOUTHEAST SULAWESI
Ary Wahyono Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI
Abstrak
Stigma nelayan kecil tidak memiliki konstribusi pada ketahanan pangan tidak selalu benar. Nelayan kecil adalah
satu-satunya kelompok sosial yang memberikan asupan makanan dengan mudah untuk penyediaan kebutuhan ikan
konsumsi. Paling tidak kebutuhan ikan konsumsi untuk keluarganya terpenuhi. Hal ini tidak terjadi pada perikanan
tangkap skala besar yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor ikan. Pemerintah Indonesia tampaknya
lebih memilih untuk meningkatkan ekspor hasil perikanan dibandingkan dengan memikirkan kebutuhan konsumsi
ikan dalam negeri. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan kepada rumah tangga nelayan
kecil secara terbatas di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi nelayan
kecil untuk kebutuhan konsumsi ikan lokal terpengaruh sejak adanya kebijakan moratorium perikanan tangkap
karena sebagian nelayan kecil mulai tertarik untuk memasok kebutuhan industri pengolahan hasil ikan. Hal ini tentu
saja mempengaruhi pasokan kebutuhan ikan konsumsi lokal.
Kata kunci: nelayan kecil; ketahanan pangan; konsumsi ikan.
Abstract
Small scale fisheries are often stigmatized as poor ones without any contributions toward food security. In fact,
small fishermen are the only social group supplying the needs of fish consumption. This does not happen in big scale
fisheries aiming for increasing the number of exported fish. The Government of Indonesia seems prioritizing the
number of exported fish products rather than fulfilling the local food security. Using qualitative approach, data
were gathered from small fishermen in Kendari. Result shows that fisheries moratorium affects the small scale
fisheries. The small fishermen are starting interested in supplying fishery industry. Consequently, it influences the
local food security, particularly the needs of fish consumption.
Keywords: small scale fishery; food security; fish consumption.
Latar Belakang
Salah satu isu human security di sektor
perikanan dan kelautan adalah terindikasinya
gejala kelebihan tangkap (overfishing) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP). Berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 47/KEPMEN-KP/20161, potensi sumber
daya ikan di laut Indonesia diperkirakan mencapai
9.931.920 ton. Namun demikian, menurut Surat
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
1Keputusan Menteri ini menguraikan tentang
estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
45/KEPMEN-KP/2011, besarnya potensi perikanan
ini tidak merata di seluruh wilayah pengelolaan
perikanan (WPP), di beberapa WPP tertentu sudah
mengalami “kelebihan tangkap” (Lihat Tabel 1).
Jumlah nelayan yang terlalu banyak merupakan
salah satu penyebab terjadinya gejala kelebihan
tangkap atau dalam bahasa McGoodwin, “too
many people chasing to few fish” (McGoodwin,
1990). Artinya, pressure yang berlebihan dari
nelayanlah yang menjadi salah satu penyebab
overfishing.
Dalam permasalahan yang dihadapi terkait
isu human security di atas, masyarakat nelayan
dan pesisir sebenarnya menempati posisi kunci
yang bisa berpotensi ganda. Pada satu pihak,
320 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
nelayan adalah pemain utama yang bisa
mengkonversi potensi ikan-ikan di laut menjadi
pasokan protein orang-orang di darat. Dengan
segala resikonya dan aspek ketidaktentuan yang
tinggi, nelayanlah yang telah menangkap ikan-
ikan di laut dan mendaratkannya di pantai
sehingga ikan menjadi accessible oleh manusia
lain di daratan. Tetapi di sisi lain, nelayan juga
adalah pihak yang terlibat dalam gejala overfishing
tersebut. Dalam kerangka pikir demikan, menjadi
menarik untuk bisa memahami peranan nelayan
dalam ketahanan pangan.
Rice dan Gracia (2011) mengemukakan
bahwa pertumbuhan penduduk dunia pada tahun
2050 diperkirakan akan meningkat menjadi 9
milyar jiwa. Pertumbuhan jumlah penduduk yang
begitu cepat akan berakibat pada peningkatan
kebutuhan pangan. Oleh karena itu, jika pertumbuhan
penduduk tidak diimbangi dengan peningkatan
produksi pangan, hal itu akan berakibat munculnya
bencana kerawanan pangan. Kerawanan pangan di
sini tidak hanya menyangkut pangan dalam arti
karbohidrat, seperti beras dan sejenisnya
melainkan kerawanan pangan-protein hewani
(termasuk ikan) sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan.2
Konsumsi pangan protein ikan juga
semakin meningkat seiring dengan harga daging
sapi yang semakin mahal. Hal ini sesuai dengan
data konsumsi pangan yang dikeluarkan oleh
KADIN, yang menunjukkan bahwa konsumsi ikan
pada tahun 2014 mencapai 7,5 juta ton. Jumlah ini
meningkat dari 6,60 juta ton pada tahun 2010.
Jumlah konsumsi ikan tersebut bahkan
menunjukkan lebih besar jika dibandingkan dengan
jumlah konsumsi daging, telur dan susu, yang
masing-masing sebesar 1,83 juta ton, 1,58 juta ton
dan 3,29 juta ton pada tahun 2014, atau total hanya
2Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
sebesar 6,7 juta ton. Dengan kata lain, jumlah
konsumsi ikan ini telah mencapai 53% dari total
jumlah konsumsi protein hewani pada tahun 2014.
Jumlah konsumsi ikan meningkat pada
tahun 2014 dan tahun-tahun sesudahnya, karena
terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi
ikan oleh masyarakat Indonesia dari tahun ke
tahun. Jika pada tahun 2009 jumlah konsumsi ikan
per kapita per tahun baru sebesar 29,08 kg, pada
tahun 2010 dan 2011 berturut-berturut telah
meningkat menjadi 30,47 kg dan 31,64 kg, dan
pada tahun 2013 telah meningkat lagi sekitar 34,7
kg. Bahkan, pada tahun 2014 Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah meningkatkan target
konsumsi ikan menjadi 35 kg per kapita per tahun.
Itu menunjukkan bahwa Indonesia dengan luas
wilayah yang mencapai 3,1 juta km2 sebetulnya
memiliki stock yang cukup besar dalam pemenuhan
kebutuhan protein masyarakat dari produk
perikanan.
Sebagaimana yang ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumber daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia, potensi sumber daya lestari di perairan
laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 juta ton,
dan pada tahun 2011 jumlah produksi ikan laut
hasil penangkapan sebesar 5.345.729. Potensi
tersebut belum ditambah dengan potensi perikanan
budi daya dan potensi perikanan pada perairan
umum. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun
2013 jumlah produksi perikanan budi daya
mencapai 13.300.906 ton dan jumlah produksi
perikanan tangkap di perairan umum pada tahun
yang sama sebesar 398.213 ton. Jumlah produksi
perikanan budi daya itu diperkirakan meningkat
pada tahun 2014 menjadi 13,9 juta ton.3
3http://m.bisnis.com/industri
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 321
Tabel 1
Tingkat Eksploitasi Sumber daya Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia
Sumber: Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 45/Men./2011.
Tabel 2
Konsumsi Pangan dan Penggunaan Pangan untuk Energi Dalam Negeri
2010 – 2014 (Juta Ton)
Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014
Beras 34,50 34,90 35,30 35,70 36,10
Jagung 14,40 14,50 14,70 14,90 15,10
Kedelai 2,10 2,10 2,10 2,20 2,20
Gulakonsumsi 3,00 3,00 3,10 3,10 3,20
CPO 7,50 8,60 9,80 11,10 12,40
Migor 6,00 6,10 6,30 6,50 6,70
Lainnya* 1,60 2,50 3,50 4,50 5,70
Teh** 94,00 95,00 96,00 97,00 98,00
Kopi** 304,00 308,00 312,00 315,00 319,00
Kakao** 328,00 332,00 336,00 339,00 343,00
Ikan 6,60 6,80 7,00 7,30 7,50
Daging 1,56 1,62 1,68 1,75 1,83
Telur 1,35 1,40 1,46 1,52 1,58
Susu 2,81 2,92 3,04 3,17 3,29
Sumber: laporan Kamar Dagang Indonesiaa (KADIN) dalam National Summit
* termasuk kebutuhan untuk energy (biodisel dan etanol)
** dalam 000 ton
322 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Tabel 3
Perkembangan produksi perikanan di Indonesia 2004, 2010 sampai 2013 (ton)
No. Wilayah Tingkat Produksi
2004 2010 2011 2012 2013
1 Sumatera 16.694 124.684 41.515 36.847 42.034
2 Jawa 220.121 462.417 292.812 318.704 354.521
3 Bali dan Nusa
Tenggara
16.442 46.161 11.430 13.840 13.970
4 Kalimantan 22.156 42.364 30.792 19.472 7.236
5 Sulawesi 31.189 40.320 36.812 22.626 28.216
6 Maluku dan Papua - 14.342 10.536 8.942 6.605
Total 305.602 730.286 423.896 420.431 452.581
Sumber: BPS, Statistik Perikanan 2014
Dengan jumlah produksi sebesar itu,
mestinya Indonesia sudah tidak memiliki masalah
dalam memenuhi kebutuhan protein hewani dari
hasil laut. Akan tetapi, tantangan ke depan diperkirakan
akan semakin rumit, baik karena pertumbuhan
penduduk, maupun karena penurunan produksi.
Dalam Tabel 3 dapat dilihat bahwa penurunan
produksi ikan di Indonesia terjadi pada tahun
2011 dan 2012. Walaupun pada tahun 2013 terjadi
peningkatan, tetapi jumlahnya masih jauh di
bawah produksi tahun 2010. Jika penurunan itu
terus terjadi, sedangkan kebutuhan konsumsi ikan
terus meningkat, maka dikhawatirkan pemenuhan
ketahanan pangan dari ikan akan sulit tercapai.
Lebih-lebih Kementerian Kelautan dan Perikanan
telah menargetkan peningkatan konsumsi ikan
dari 28 kg per kapita per tahun menjadi 35 kg per
kapita per tahun. Selain dua hal tersebut, sulitnya
pemenuhan kebutuhan protein masyarakat dari
produk ikan juga disebabkan oleh produksi ikan
yang dihasilkan dari industri perikanan cenderung
tidak untuk memenuhi permintaan kebutuhan
pangan langsung (direct human consumption)
melainkan untuk kebutuhan industri pakan ternak
dan produk olahan lainnya (FAO, 2011). Hal ini
dapat dimengerti karena pemerintah negara
berkembang cenderung lebih mementingkan
ekspor ikan untuk meningkatan pendapatan
nasional dibandingkan peningkatan ketahanan
pangan.
Sebagaima diketahui bahwa ikan adalah
salah satu komoditi pangan utama global yang
diperdagangkan, ikan menjadi komoditi pangan
terbesar kedua setelah buah dan sayuran (FAOstat
and FAO Trade STAT, 2007). Kecenderungan ini
terjadi juga pada pangan non-beras, pangan
karbohidrat non-beras, seperti jagung dan
singkong. Pemerintah Indonesia tidak memiliki
perhatian terhadap sumber pangan tersebut
sehingga di beberapa masyarakat yang mengkonsumsi
pangan non beras kehilangan sistem pangan lokal
yang berakibat pada biaya sosial (social cost)
yang harus ditanggung. Hilangnya sistem pangan
lokal menyebabkan masyarakat rentan terhadap
ketahanan pangan karena akses pangan tergantung
pada pangan beras, daya beli dan kelangkaan
stok pangan beras (Wahyono, A., dkk., 2013).
Konstribusi perikanan berskala kecil
(small-scale fishery) tidak dapat diabaikan dalam
penyedian pangan protein hewani. Menurut
catatan FAO, 90% pertumbuhan kebutuhan
konsumsi pangan ika di tingkatn global dipenuhi
dari perikanan berskala kecil (small-scale fishery), dan
sekitar 40% dari produksi ikan yang dihasilkan
perikanan berskala kecil, dikonsumsi oleh rumah
tangga nelayan kecil (FAO, 2011). Dari sini jelas,
konstribusi perikanan berskala kecil dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi ikan global.
Dalam konteks kontribusi terhadap ketahanan
pangan, perikanan berskala kecil tersebut lebih
dominan dibandingkan perikanan berskala besar.
Di lain pihak, produksi ikan yang dihasilkan dari
industri perikanan besar cenderung tidak
dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan
kebutuhan pangan langsung (direct human
consumption) melainkan untuk kebutuhan pakan
ternak dan produk olahan lainnya, dan sebagainya
(FAO, 2011).
Harapan konstribusi perikanan berskala
kecil untuk menopang ketersediaan pangan sangat
besar. Hal ini memberikan keyakinan bahwa
konstribusi perikanan berskala kecil dapat
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 323
memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan sekaligus
memberikan sumbangan pada ketahanan pangan
nasional. Dalam konteks Indonesia, upaya untuk
meningkatkan produksi perikanan dihadapkan adanya
berbagai kendala atau ancaman yang dihadapi nelayan
kecil, antara lain adalah peralatan tangkap yang
masih sederhana, yang berpengaruh pada kemampuan
untuk menjangkau wilayah tangkap yang lebih
luas tetapi terbatas, sementara itu beberapa
wilayah perairan pantai yang menjadi lokasi
penangkapan nelayan kecil sudah over-fishing.
Terkait dengan latar belakang di atas,
tulisan ini mencoba memaparkan kejelasan seberapa
besar konstribusi hasil tangkapan nelayan kecil
sebenarnya dalam memenuhi kebutuhan pangan
dirinya (rumah tangga nelayan) dan sumbangannya
terhadap ketersediaan pangan lokal, dan kemudian
tulisan ini mencoba melakukan identifikasi
tantangan yang dihadapi nelayan kecil dalam
memberikan kontribusi ketersediaan pangan ikan.
Konseptualisasi
Serge M. Garcia dan Andrew A. Rosenberg
menjelaskan small-scale fishery dari sudut
pandang karakteristik yang melekat di dalamnya.
Beberapa karakteristik tersebut antara lain
adalah:type of jurisdiction, fishing capacity, lokasi
jaringan produksi, dan lokasi pendaratan kapal
ikan. Karakteristik type of jurisdiction menunjuk
pada zona wilayah penangkapan ikan yang telah
ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah.4 Di
Indonesia, zona wilayah penangkapan untuk perikanan
skala kecil berada pada jalur penangkapan I, (0-4
mil), yaitu wilayah penangkapan ikan dari permukaan
air laut pada surut terendah untuk ukuran armada
perikanan dibawah 10GT.5
4Di Indonesia, zona wilayah penangkapan
diatur dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan No:
PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan,
penempatan alat penangkapan dan Alat Bantu
Penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan
negara Republik Indonesia.
5Zona wilayah penangkapan ikan ditentukan
berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan No:
PER.02/MEN/2011. Zona wilayah penangkapan ikan
meliputi jalur penangkapan ikan mulai dari permukaan
air laut pada surut terendah, terdiri dari jalur
penangkapan I [0-4] mil , II [4-12]mil , dan III [zona
ZEE dan perairan di luar jalur II]. Pembagian jalur
Karakteristik perikanan skala kecil lainya
adalah fishing capacity, yang meliputui sebagai
berikut:
(a) Skala teknologi dan investasi yang dibutukan
dalam unit penangkapan ikan;
(b) Organisasi bisnis usaha perikanan, yang
berbentuk usaha keluarga (family business);
(c) Produksi ikan untuk konsumsi rumah tangga
(subsistence fisheries);
(d) Ikan yang menjadi target tangkapan pada
umumnya adalah jenis ikan yang memiliki
harga rendah di pasar (low-value small pelagic
fisheries), meskipun hal ini tidak dapat
digeneralisasi karena jenis ikan karang juga
menjadi target tangkapan nelayan kecil,
seperti yang dilakukan nelayan Bajo.
Kemudian, karakteristik lokasi jaringan
produksi yang meliputi jaringan penangkapan,
pengolahan dan distribusi yang masih terbatas,
dan dukungan kegiatan perikanan dan lokasi
pendaratan ikan yang berbeda dengan industri
perikanan besar (large-scale fisheries).Sementara
itu, FAO membedakan antara small-scale fisheries
dan artisanal fisheries. Pengertian artisanal
fisheries adalah perikanan tradisional yang
umumnya rumah tangga nelayan (sebagai lawan
kata dari perusahaan komersial), memiliki ciri-
ciri memiliki modal-investasi kecil, sarana perahu
kecil, wilayah operasi penangkapan tidak terlalu
jauh, dan hasil tangkapan untuk kebutuhan
konsumsi. Dalam kenyataannya pengertian artisanal
fisheries tersebut di setiap negara tidak sama,
artisanal fiherie sbisa termasuk perikanan
subsisten atau perikanan komersiil karena hasil
tangkapannya dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi ikan lokal atau di ekspor ke
penangkapan ikan ini paralel dengan tonnase armada
perikanan dan kewenangan jenjang pemerintah dalam
melakukan pengawasan kegiatan penangkapan ikan,
yakni sebagai berikut:
Pengawasan di tingkat kabupaten/kota untuk armada
penangkapan ikan dibawah 10GT dan beroperasi
di jalur I [dibawah 4 mil].
Pengawasan di tingkat provinsi untuk armada
penangkapan ikan antara [10-30]GT dan
beroperasi di jalur I [4-12] mil.
Pengawasan di tingkat pusat untuk armada
penangkapan ikan diatas 30GT dan dan beroperasi
di jalur III [ di atas 12 mil].
324 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
luar negeri. Hal yang membedakan karakteristik
artisanal fisheries dengan small-scale fisheries
adalah ukuran skala dari unit penangkapan ikan,
dan teknologi penangkapan yang menggambarkan
besarnya modal yang diinvestasikan ke dalam unit
penangkapan tersebut (FAO, 2015).
Berkes membuat 3 (tiga) klasifikasi perikanan,
yaitu perikanan subsisten, artisanal, dan industri.
Karakteristik yang membedakan ketiga kategori
perikanan tersebut tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 4
Karakteristik dan Kategori Unit Penangkapan Ikan
Karakteristik Kategori Unit Perikanan
Subsisten Artisanal Industri
Unit
penangkapan
Operator tunggal/keluarga Kecil, Sistem pembagian
kerja
Sistem pembagian kerja dan
jenjang karir jelas
Pemasaran Lokal Lokal dan nasional Global
Status pekerjaan Penuh/utama Sambilan dan atau utama Sambilan
Pengelolaan
hasil tangkapan
Pengeringan, pengasapan, dan
sebagian besar untuk konsumsi
rumah tangga
Pengeringan, pengasapan,
penggaraman, dan sebagian
hasil tangkapan untuk
konsumsi rumah tangga
Bergantung tipe dan
komoditas. Hasil tangkapan
cenderung digunakan untuk
bahan baku produk lain
Penjualan hasil
tangkapan
Dikonsumsi sendiri dan barter
dengan produk pangan
lainnya.
Pasar lokal dan sering
ditemui dalam jumlah besar
untuk kebutuhan konsumsi
sendiri
Dijual ke pasar yang telah
terorganisir
Pengumpulan
data perikanan
Dapat dilakukan melalui
otoritas perikanan
Tidak berjalan karena
tergantung otoritas
perikanan.
Sulit dilakukan
Sumber: Diadopsi dari Berkes, F., Mahon, R., McConney, P., Pollnac, P., dan Pomeroy, R., (2001).
Grafik 1
Persentase Profesi Nelayan dari Total Angkatan Kerja di 16 Negara Berkembang
Sumber: World Fish, 2011.Aquaculture,Fisheris, Poverty, Food Security. Working Paper.Penang, Worldfish Centre.
2.12
1.241.66
2.61
1.52
5.26
1.030.76
0.23 0.45 0.57
3.21
1.281.84
1.04
2.63
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 325
Kontribusi Nelayan Kecil
Konstribusi nelayan kecil terhadap
ketahanan pangan ikan dapat dibedakan antara
konstribusi langsung dan konstribusi tidak
langsung. Konstribusi langsung adalah sumbangan
pangan ikan terhadap kualitas pangan, yaitu
bahan gizi makanan yang tidak terdapat pada
sumber pangan lainnya, seperti beras, ubi kayu,
dll.6 Seemntara itu, kontribusi tidak langsung
berupa hasil tangkapan ikan yang kemudian
menjadi sumber penghasilan rumah tangga
nelayan miskin dan bidang kehidupan yang
memberikan lapangan pekerjaan, mulai dari produksi,
pengolahan, maupun distribusi hasil tangkapan
dan masih banyak lagi sumbangan penghasilan
baik langsung maupun tidak langsung (Serge M.
Garcia dan Andrew A. Rosenberg, 2010),
meskipun nelayan sebagai angkatan kerja tidak
besar jumlahnya. Menurut catatan statistik FAO
tahun 2009, sektor perikanan mampu memberikan
lapangan pekerjaan baru sekitar 1,7% dari total
angkatan kerja, sedangkan Indonesia termasuk
yang besar dibandingkan negara lain, yakni
berkisar 5,28% dari total angkatan kerja (World
Fish, 2011).
Pada level individu/rumah tangga, konstribusi
langsung kegiatan perikanan adalah pemenuhan
kebutuhan konsumsi ikan yang diperoleh dari
hasil tangkapan (self-consumption). Bagi kalangan
rumah tangga nelayan miskin, kegiatan sebagai
nelayan murni atau nelayan sambilan adalah
persoalan ketahanan pangan di level perorangan
atau rumah tangga. Ketahanan pangan ikan di
kalangan rumah tangga menghadapi kendala karena
persentase total dari hasil tangkapan ikan yang
dikonsumsi tergantung level komersialisasi hasil
perikanan, begitu pula konsumsi ikan di kalangan
RT nelayan kecil bisa jadi lebih besar dari total
hasil tangkapannya.
6FAO mencatat bahwa ikan memberikan
sekitar 19% dari masukan protein (protein intake) di
negara berkembang. Kandungan protein yang terdapat
di ikan lebih baik dibandingkan dengan sumber protein
lainnnya. Protein ikan mengandung micro-nutrients
(zat besi, iodine, zine, calsium, vitamin A dan Vitamin
C), yang tidak terdapat di sumber pangan lainnya,
seperti beras, ubikayu atau jagung (FAO, 2009).
Hasil tangkapan nelayan kecil merupakan
sumber langsung untuk konsumsi pangan ikan
rumah tangga. Ini artinya, kontribusi nelayan
kecil untuk ketahanan pangan ikan paling tidak
terlihat dari hasil tangkapan yang dikonsumsi
untuk makan sehari-hari. Kebutuhan konsumsi
ikan makan terutama di kalangan masyarakat
nelayan juga dipenuhi melalui barter dari hasil
tangkapan dengan hasil tangkapan lainnya. Hal
ini terjadi pada nelayan yang menangkap jenis
ikan karang atau jenis ikan lainnya yang memiliki
nilai ekonomi tinggi. Selain barter, kebutuhan
ikan makan pada rumah tangga nelayan kecil
dilakukan dengan menjual hasil tangkapan untuk
membeli ikan makan. Pola seperti ini yang lazim
dilakukan sebagian besar nelayan kecil.
Konstribusi small-scale fishery dalam
artikel ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan
pangan dirinya difokuskan pada ketersediaan
pangan ikan di level rumah tangga, yakni melalui
produktivitas hasil penangkapan ikan yang
dilakukan dalam kurun waktu tertentu (fishing
trip) dalam musim ikan dan kalender
penangkapan ikan dalam satu tahun dan hasil
produksi perikanan per rumah tangga dilihat
proporsinya, bagian untuk kebutuhan konsumsi
dan bagian dijual/dibarter untuk mendapatkan
penghasilan.
Konstribusi small-scale fishery dalam
ketahanan pangan pada level komunitas dilakukan
dengan memanfaatkan data sekunder, antara
lain:
(a) Jumlah unit perikanan kecil dengan berbagai
tipologinya.
(b) Produksi dan pemasaran berdasarkan jenis
ikan tangkapan.
(c) Pola konsumsi ikan per kapita.
Diagnosis konstribusi small-scale fishery
dalam ketahanan pangan dalam artikel ini
dilakukan dengan membandingkan kebutuhan
konsumsi ikan pada tingkat kabupaten dibandingkan
dengan produksi ikan small-scale fishery. Pola
pikir dalam tulisan ini terlihat pada tabel di
bawah ini.
326 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Tabel 5
Tipologi Small Scale-Fishery dan Konstribusi untuk Ketahanan Pangan
Tipologi Small Scale-Fishery Kontribusi Small Scale-Fishery
Langsung Tidak Langsung
Jenis Perahu/Kapal:
Sampan/tempel/mesin dalam
[dikonsumsi/jenis
ikan/jumlah/fishing trip]
Tingkat kecukupan pangan-
ikan kebutuhan di level RT
% ikan yang dikonsumsi
Dijual/dibarter—sell fish to buy fish
Jenis dan % ikan dijual/dibarter
Penghasilan lain
o Pengolahan
o Pengangkutan
o Trasnportasi
o Non perikanan tangkap
Konstribusi untuk membeli bahan
pangan ikan
Fishing trip
Jumlah personel melaut
Pemasaran
Sistem bagi hasil
Sumber: Diadopsi dari FAO. 2001. Increasing The Contribution of Small-Scale Fisheries to Poverty Alleviation
and Food Security. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 10. Rome, FAO. 75 pp.
Jumlah Penduduk dan Produksi Perikanan
Tangkap
Kota Kendari memiliki wilayah daratan
seluas 267,37 km2 atau sekitar 0,69% dari luas
daratan Provinsi Sulawesi Tenggara dengan
jumlah penduduk sebanyak 304.862 jiwa. Rincian
luas wilayah dan jumlah penduduk per kecamatan
dapat dilihat pada Tabel 6. Dari 10 kecamatan
yang ada di Kota Kendari, kecamatan yang paling
luas wilayahnya adalah Kecamatan Baruga, yakni
48 ha atau 18% dari luas keseluruhan wilayah
Kota Kendari. Sementara itu, kecamatan dengan
jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan
Kendari.
Selain wilayah daratan, Kota Kendari
memiliki wilayah laut seluas 177,64 km², dengan
garis pantai sepanjang sekitar 85,8 km (BPS Kota
Kendari, 2014). Dari 10 kecamatan yang ada di
wilayah Kota Kendari, terdapat enam kecamatan
yang mempunyai wilayah pesisir yang berada di
sepanjang garis pasang surut Teluk Kendari,
yaitu: Kecamatan Kendari, Kendari Barat, Poasia,
Abeli, Mandonga, dan Kambu. Adapun di
Kecamatan Abeli juga terdapat beberapa kelurahan
pesisir, yaitu: Kelurahan Bungkutoko, Kelurahan
Lapulu, Kelurahan Talia, Kelurahan Puday,
Kelurahan Sambuli, Kelurahan Tondonggeu,
Kelurahan Petoaha, dan Kelurahan Nambo.
Sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut
bermukim dalam wilayah pasang surut.
Kawasan pesisir Kota Kendari mencakup
garis sepanjang kawasan Teluk Kendari dengan
panjang daerah pesisir atau dataran pantai
sepanjang Teluk Kendari. Dataran yang dibentuk
oleh endapan rawa menempati bagian dalam
Teluk Kendari yang cukup luas. Penggunaan
lahan dalam kawasan bentangan dataran ini
adalah permukiman, tambak atau empang, dan
tanaman rawa. Kawasan pesisir Kota Kendari
membentuk pantai melingkar dan melebar ke arah
daratan di sisi barat. Mulut teluk menyempit pada
sisi timur yang menghadap ke Laut Banda. Pada
sisi timur ini terdapat pulau kecil Bungkutoko
sehingga perairan teluk Kendari relatif tertutup.
Tabel 6
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
Menurut Kecamatan di Kota Kendari
No. Kecamatan Jumlah
Kelurahan
Luas
(Km²)
Jumlah
Penduduk
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Baruga
Wua-Wua
Kadia
Kendari
Barat
Kendari
Mandonga
Puwatu
Poasia
Kambu
Abeli
4
4
5
9
9
6
6
4
4
13
48,00
11,16
6,71
19,11
15,68
20,77
39,72
37,74
24,63
43,85
20.363
25.661
41.260
45.132
26.870
38.021
29.175
26.260
28.529
23.591
Jumlah 64 267,37 304.862
Sumber: Kota Kendari dalam Angka, 2014
Potensi perikanan di wilayah Kota Kendari
dapat dikelompokkan ke dalam perikanan tangkap,
perikanan budi daya, perikanan tambak, perikanan
kolam, dan perikanan darat. Tidak ada data
tentang potensi ikan lestari yang ada di wilayah
laut Kota Kendari. Meskipun demikian, dari
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 327
berbagai potensi perikanan tersebut, produksi
perikanan didominasi dari hasil kegiatan
penangkapan ikan di laut dan diikuti hasil budi
daya laut, budi daya tambak, dan budi daya
kolam.
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa
produksi perikanan di Kota Kendari didominasi
oleh perikanan tangkap. Dalam tabel terlihat pada
tahun 2013 produksi mencapai 30.887,81 ton, atau
sekitar 99,45% dari total produksi perikanan di
wilayah itu. Potensi perikanan tangkap cukup
besar karena Kota Kendari memiliki posisi
strategis yang memiliki beberapa kelebihan. Kota
Kendari memiliki garis pantai sepanjang + 85,8
km, memiliki wilayah laut seluas 177,64 km2,
serta memiliki Pulau Bungkutoko yang berhadapan
langsung dengan Laut Banda. Selain itu Kota
Kendari relatif dekat dengan Laut Seram, Laut
Maluku, Laut Arafura, dan Laut Flores yang
terkenal kaya berbagai jenis ikan yang bernilai
ekonomis tinggi, seperti ikan cakalang, layang,
tenggiri, kembung, udang, dan lain-lain.
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7,
produksi perikanan laut di Kota Kendari pada
tahun 2013 mencapai 30.027,43 ton dengan nilai
Rp 333.588.348. Produksi tersebut mengalami
peningkatan 1,11% dibandingkan tahun sebelumnya
(2012) yang sebesar 28.027,430 ton. Nilai produksi
juga mengalami peningkatan dari Rp.283.077.043
pada tahun 2012 menjadi Rp.333.588.348 pada
tahun 2013, atau meningkat sekitar 1,08%.
Produksi perikanan laut di Kota Kendari terdiri
dari berbagai jenis ikan, terutama cakalang, ikan
layang, dan tongkol. Keseluruhan jumlah produksi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 8, yang
selanjutnya digambarkan pada Tabel 9.
Tabel 7
Jumlah Produksi Perikanan Laut di Kota Kendari
Tahun 2012-2013
Jenis Komoditi 2012 (Ton) 2013 (Ton)
Cakalang 9.598,25 9.931,61
Tuna 638,17 715,03
Tongkol 5.954,51 6.113,06
Layang 7.273,54 8.733,55
Tembang 156,29 60,77
Tenggiri 30,63 19,71
Kerapu 120,24 121,12
Ekor Kuning 15,45 17,94
Cumi-cumi 173,06 93,62
Kepiting Rajungan 46.01 111.40
Lain-Lain 4.021,28 4.970,00
Jumlah 28.027,43 30.887,81
Sumber: Bidang PBPT DKP Kota Kendari, dalam
Laporan Tahunan DKP Kota Kendari
Tahun 2013
Jumlah nelayan di wilayah Kota Kendari
pada tahun 2013 adalah sebanyak 6.926 orang,
tersebar di lima kecamatan, yaitu Kecamatan
Kendari, Kendari Barat, Poasia, Abeli, dan
Kecamatan Abeli (PPS). Jumlah terbanyak berada
di Kecamatan Abeli (PPS), disusul kemudian di
Kecamatan Kendari Barat. Jumlah nelayan di
wilayah ini cukup stabil, karena dari tahun 2012
sampai tahun 2013 hanya mengalami peningkatan
sebanyak satu persen atau hanya mengalami
peningkatan sebesar 30 nelayan.
Tabel 8 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Kota Kendari
No. Jenis Usaha
Perikanan
Tahun 2012 Tahun 2013 Perkem
bangan
(%) Volume
(Ton)
Nilai
(Rp.000)
Volume
(Ton)
Nilai
(Rp.000)
1.
2.
3.
Perikanan Laut
Perairan Umum
Budi daya
Tambak
Kolam
Laut
28.027,430
-
714,110
136,130
23,270
554,710
283.077.043,00
-
13.370.960,00
5.785.525,00
651.560,00
6.933.875,00
30.887,81
-
170,95
101,53
36,08
33,34
333.588.348,00
-
5.826.365,00
4.315.025,00
1.011.240,00
500.100,00
1,1
-
0,24
0,75
1,55
0,06
Jumlah 28.741,540 296.448.003,00 31.058,76 339.414.713,00 1,08 Sumber: Bidang PBPT DKP Kota Kendari, dalam Laporan Tahunan DKP Kota Kendari Tahun 2013
328 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Tabel 9
Perkembangan Jumlah Nelayan Menurut Kecamatan
di Kota Kendari Tahun 2013
No. Kecamatan Jumlah Nelayan Perkembangan
2012 2013 (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kendari
Kendari Barat
Mandonga
Puwatu
Kadia
Baruga
Wua-wua
Poasia
Kambu
Abeli (PPS)
159
1.665
-
-
-
-
-
139
-
4.933
162
1.672
-
-
-
-
-
142
-
4.950
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah 6.896 6.926 1,00 Sumber: Bidang PBPT DKP Kota Kendari, dalam Laporan Tahunan DKP
Kota Kendari Tahun Tahun 2013
Jumlah armada perikanan Kota Kendari
pada tahun 2013 adalah sebanyak 1.089 unit. Jika
dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah armada
perikanan mengalami peningkatan, walaupun
sedikit. Namun, jika dibandingkan tahun 2011 dan
2012, jumlah armada perikanan di Kendari
mengalami penurunan, sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 10 sebagai berikut.
Berdasarkan penggunaan motor dalam
armada perikanan, dapat diketahui bahwa perahu
tanpa motor memiliki persentase yang cukup
besar, yaitu 31%. Jumlah kapal motor memang
cukup besar persentasenya, yaitu 46%, tetapi
motor yang dipakai masih berupa motor tempel
dengan persentase yang juga cukup besar, yaitu
23%. Dilihat dari besarnya kapal, dari jumlah
kapal motor sebanyak 506 unit pada tahun 2013,
sebanyak 76 unit (15,02%) memiliki kapasitas
<5GT. Jika ditambah dengan jumlah perahu tanpa
motor dan perahu motor tempel yang masing-
masing sebanyak 340 dan 249 unit, total armada
perikanan yang memiliki kapasitas <5GT
mencapai 665 unit, atau 61,07%. Jumlah inilah
yang masuk dalam golongan small scale fisheries.
Jika kapasitas 5-10GT juga dimasukkan sebagai
perikanan skala kecil, jumlah tadi akan menjadi
lebih besar lagi, yaitu mencapai 84,21%.
Meskipun demikian, satu hal yang perlu dicermati
adalah terjadinya penurunan perahu tanpa motor
yang berbanding terbalik dengan peningkatan
jumlah perahu motor tempel pada tahun yang
sama jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Tabel 10
Perkembangan Jumlah Armada Perikanan Laut di
Kota Kendari Tahun 2010-2013
No. Jenis Armada Jumlah Armada Perikanan
2010 2011 2012 2013
1.
2.
3.
Perahu Tanpa Motor
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
< 5 GT
5 – 10 GT
10 – 30 GT
31 – 50 GT
> 50 GT
389
218
471
132
225
67
12
35
391
238
486
69
246
114
6
51
391
243
495
73
248
117
5
52
340
249
506
76
252
119
6
53
Jumlah 1.078 1.115 1.129 1.089
Sumber: Bidang PBPT DKP Kota Kendari, dalam Profil Kawasan Minapolitan 2014
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 329
Tabel 11
Unit Penangkapan Ikan di Laut menurut Jenis Alat Tangkap di Kota Kendari Tahun 2012 dan 2013
No. Jenis Alat Tangkap Jumlah
2012 2013
1. Pukat Udang 2 2
2. Pukat Cincin/Gae/(Purse Seine) 105 108
3. Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) 101 101
4. Jaring Insang Tetap (Bottom Set Gill Net) 57 59
5. Jaring Insang Trammel Net 62 62
6. Jaring Angkat/Bagan Perahu 52 56
7. Pancing Rawai (Long Line) 140 143
8. Pancing Huhate (Pull and Line) 35 36
9. Pancing Tonda (Troll Net) 78 80
10. Perangkap Sero 53 57
11. Perangkap Bubu/Rakkang 1123 1623
Jumlah 1808 2327 Sumber: Bidang PBPT DKP Kota Kendari dalam Laporan Tahunan DKP Kota Kendari tahun 2013
Beberapa jenis alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan di wilayah Kota Kendari meliputi
pukat (pukat udang, pukat kantong, dan pukat
cincin), jaring (jaring insang dan jaring angkat),
pancing, perangkap, dan peralatan lainnya.
Beberapa jenis alat tangkap jumlahnya mengalami
peningkatan pada tahun 2013, terutama pada jenis
alat tangkap pukat cincin (purse seine), jaring
insang, jaring angkat, pancing tonda, dan
perangkap (bubu).
Pada Tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa
jenis alat tangkap ikan yang paling banyak dipakai
oleh nelayan di wilayah Kota Kendari pada tahun
2013 adalah bubu, pancing rawai, pukat cincin,
dan jaring insang. Jika dibandingkan antara tahun
2012 dan 2013, terjadi peningkatan jumlah alat
tangkap sebesar 1,27% pada tahun 2013.
Peningkatan tersebut disebabkan adanya bantuan
alat tangkap dari Pemerintah Kota untuk
meningkatkan produksi perikanan di wilayah itu.
Karakteristik Perikanan Skala Kecil
Di Kendari, jenis perahu ikan ukuran
kecil tidak mudah dimasukkan ke dalam kategori
definisi small-scale fisheries sebagaimana
dikembangkan oleh FAO. Oleh karena itu, tulisan
ini lebih menggunakan kategori yang dikembangkan
dalam statistik perikanan Indonesia, yang lebih
dimasukan sebagai nelayan kecil, yang meliputi
perahu tanpa motor, perahu motor tempel, perahu
motor kurang dari 5GT, dan perahu motor antara
5-10GT. Berdasarkan statistik perikanan yang
dikeluarkan Kantor Pelabuhan Perikanan Nasional
(PPN) Kendari, dari keempat kategori perahu
nelayan kecil tersebut terjadi penurunan jumlah
perahu yang cukup signifikan pada perahu tanpa
motor dan perahu motor tempel kurang dari 5GT
selama empat tahun terakhir. Sebaliknya, terjadi
peningkatan pada perahu motor berukuran 5-10GT
dan perahu motor tempel. Pola pergeseran ini
kemungkian terjadi pada nelayan tanpa motor
tempel berubah menjadi perahu motor tempel, dan
nelayan yange mengunakan perahu mesin kurang
dari 5GT berganti dengan perahu motor tempel
antara 5-10 GT.
Jika, jumlah perahu tanpa motor dan perahu
bermesin tempel dikelompokan dalam perikanan
skala kecil, jumlahnya sekitar 53% dari total
armada perikanan di Kendari. Jumlah perahu tanpa
motor memiliki persentase yang cukup besar, yaitu
31%. Jumlah kapal motor memang cukup besar
persentasenya (46%), tetapi yang masih berupa
motor tempel persentasenya juga cukup besar,
yaitu 23%.
Dilihat dari besarnya kapal, dari jumlah
kapal motor sebanyak 506 unit pada tahun 2013,
sebanyak 76 unit (15,02%) memiliki kapasitas
<5GT. Ditambah perahu tanpa motor dan perahu
motor tempel yang masing-masing sebanyak 340
dan 249 unit, maka total armada perikanan yang
lebih kecil dari 5 GT mencapai 665 unit, atau
61,07%. Jumlah inilah yang tergolong sebagai
330 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
small scale fisheries. Jika 5-10GT juga dimasukkan
sebagai perikanan skala lecil, jumlahnya akan
menjadi lebih besar lagi, yaitu mencapai 84,21%.
Meskipun demikian, satu hal yang perlu dicermati
adalah terjadinya penurunan perahu tanpa motor
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sebaliknya
pada tahun yang sama terjadi peningkatan jumlah
perahu motor tempel. Ini menunjukkan bahwa
terdapat beberapa nelayan yang sebelumnya
menggunakan perahu tanpa motor pada tahun
2013 sudah meningkatkan armadanya dengan
menggunakan perahu motor, walaupun masih
motor tempel.
Di level desa, nelayan Tondogue termasuk
kategori nelayan subsisten, yang mencari ikan
hanya untuk mendapatkan ikan konsumsi. Mereka
mengoperasikan sendiri tanpa ABK. Ada dua alat
tangkap yang dominan untuk menghasilkan ikan
konsumsi sehari-hari, yaitu pancing ulur dan
pancing rawai, dan ada beberapa alat tangkap yang
dikembangkan oleh sejumlah kecil warga masyarakat,
seperti Keramba (KJA), jaring gillnet, dan bubu.
Pancing ulur dan pancing rawai memiliki
perbedaan dan persamaaan dari tujuan penggunaan
alat tersebut. Penggunaan pancing rawai dianggap
lebih efektif untuk mendapatkan ikan karena dapat
dioperasikan sepanjang tahun. Sementara itu,
pancing ulur berhenti dioperasikan pada saat bulan
terang, yaitu posisi bulan purnama dalam siap
bulannya. Oleh karena itu, dalam satu bulannya
alat tangkap ini hanya digunakan 24 hari, sedangkan
pancing ulur terbatas penggunaannya, terutama pada
musim barat, atau angin kencang.
Konsumsi Ikan
Kontribusi langsung dari kegiatan perikanan
pada ketahanan pangan di level rumah tangga
dapat dilihat melalui pola konsumsi ikan rumah
tangga nelayan (self consumstion). Di Tondogue,
Kendari, warga masyarakat cenderung mengkonsumsi
ikan segar dibandingkan mengkonsumsi ikan yang
diawetkan. Rata-rata kebutuhan konsumsi ikan setiap
rumah tangga nelayan berkisar 1 kg (1000 gram).
Jika dalam satu RT terdiri 5 jiwa, maka rata-rata
per jiwa sekitar 20 gram/kapita/hari atau 140
gram/ kapita/minggu atau 7.300 gr/perkapita/
setahun. Angka ini berada di atas sedikit jauh
darinilai rata-rata konsumsi ikan perkapita per hari
di Sulawesi Tenggara sebesar 121,49 gram/seminggu
(perkotaan) dan 106,8 gr/ seminggu (perdesaan),
atau 5.846,4 gr/perkapita/ setahun (perkotaan) dan
5.126,4 gram/perkapita/ setahun (SUSENAS,
2014).
Pola konsumsi di tingkat kabupaten terlihat
jenis ikan ikan pelajik seperti tongkol, tuna dan
cakalang dan kembung adalah ikan konsumsi yang
paling dominan, berikut ini gambaran pola
konsumsi ikan di Kota Kendari (lihat Grafik 2). Di
level komunitas, data dari Susenas Kota Kendari
menunjukkan rata-rata konsumsi ikan perkapita
per hari sebesar 121,49 gram/seminggu (perkotaan)
dan 106,8 gram/seminggu (perdesaan), atau 5.846,4
gram/perkapita/tahun (perkotaan) dan 5.126,4
gram/perkapita/setahun.
Tabel 12
Perbandingan Karakteristik Perikanan Tangkap di PPN Kendari
No. Ukuran Kapal Perusahaan Ikan Kapal Lokal/Gae
1. Tonasse Di atas 100 GT (6-26) GT
2. Alat Tangkap Purseseine [6 kali lipat dari jaring
Gae]
Jaring Gae [diameter 550 m
dan kedalamam 70 m
3. Crew Kapal 32 orang 20 orang
4. Mesin Nisssan 1010 cyl Mesin 6D15 dan 6D16
5. Sistem pengupahan ABK digaji tiap bulan Bagi hasil tangkapan
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 331
Grafik 2
Pola Konsumsi Ikan RT di Desa Tondogue (RT/Kg/Hari)
Sumber: Hasil Kuesioner yang diolah, 2015
Grafik 3
Pola Konsumsi Menurut Jenis Ikan Per Kapita Per Hari
Sumber: Data Susesnas Kota Kendari, 2014.
1 [2,0]4 [1,83]
7 [1,37]
30 [1,83]
34 [1,94]
5 [2,16]3 [0,87]
1 2 3 4 5 6 7
1,72
0.032
0.225
0.002
0.019
0.203
0.051
0.114
0.001 0.006
0.000 -
0.038 0.027
0.195
0.010
0.021
0.005 0.005
-0.003 -
0.012
0.024
- -0.009
-0.008
0.051
0.009 0.005
Ek
or
kun
ing
To
ng
kol/
tun
a/ca
kal
…
Ten
gg
iri
Sel
ar
Kem
bun
g
Ter
i
Ban
den
g
Gab
us
Mu
jair
Mas
Lel
e
Kak
ap
Bar
on
ang
Ikan
seg
ar L
ainn
ya
Ud
ang
Cum
i-cu
mi/
soto
ng
Ket
am/k
epit
ing
/raj
…
Ker
ang/s
iput
Lai
nny
a
Kem
bun
g (
Ped
a)
Ten
gg
iri
To
ng
kol/
tun
a/ca
kal
…
Ter
i
Sel
ar
Sep
at
Ban
den
g
Gab
us
Ikan
dal
am k
alen
g
Ikan
dia
wet
kan
…
Ud
ang (
ebi)
Cum
i-cu
mi/
So
tong
332 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Dengan melihat rata-rata konsumsi ikan
per tahun sebesar 7.300 gr/perkapita/setahun, dan
jumlah penduduk Kota Kendari sebesar 304.862
jiwa (2014) maka dapat diketahui bahwa
kebutuhan pangan ikan di kota ini sebanyak
2.225.492.600 gr per hari. Sementara itu, total
produksi di Kota Kendari khususnya untuk jenis
ikan konsumsi lokal (jenis ikan ikan pelajik:
seperti tongkol, tuna kecil dan cakalang dan
kembung) sebesar 2.013.868.800 gram.7 Dari sini
dapat disimpulkan bahwa konstribusi nelayan
lokal sangat mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan pangan ikan. Jenis ikan konsumsi
lokal tersebut ditangkap dengan alat tangkap
pukat cincin (purse seine) atau istilah lokal pukat
gae yang digerakan dengan armada perahu
perikanan berbobot sekitar 10GT. Jadi dengan
demikian, peranan nelayan gae di Kendari sangat
besar dalam memenuhi kebutuhan ikan pangan
setempat, sementara alat tangkap lainnya yang
dioperasikan nelayan kecil non gae seperti
pancing ulur, bagan, huhate, pancing Gurita,
pancing tonda sangat kecil peranannya.
Akses Pangan Ikan
Di Todogue, Kendari, ikan makan yang
dikonsumsi sering disebut “ikan siang”. Disebut
ikan siang karena ikan ini dibeli pada saat
nelayan tiba pada siang hari pulang dari melaut.
Ikan siang pada umumnya jenis ikan karang
(kerapu, ekor kuning), yang ditangkap dengan
pancing rinta dan pancing ulur. Kebutuhan ikan
pangan harus dibeli karena tidak semua RT
memiliki pancing rinta.
Selain pancing rinta atau ulur, nelayan di
sini juga mengembangkan pancing rawai.
Nelayan rawai termasuk kategori one daily
fishing, yakni berangkat pada jam 02.30 dan
pulang pada jam 09.00 dalam setiap harinya.
Untuk pancing ulur atau pancing rinta, waktu
pengoperasian lebih terbatas dibandingkan pancing
rawai, yaitu berlangsung 5 bulan, mulai bulan
7Sumber dari produksi ikan yang dilaporkan
dari pendaratan ikan di Kota Kendari Tahun 2014 [TPI
Kendari]. Dari 33 jenis ikan dan hasil laut lainnya,
total produksi sebesar 32.357.261 kg, sedangkan
dengan mengambil jenis-jenis ikan tertentu yang pada
umumnya dikonsumsi yang diperoleh total produksi
20.138.688 kg.
September, Oktober, Nopember, Desember dan
Januari. Alat tangkap ini dioperasikan sekitar 10
jam dalam seharinya, dan dalam satu bulan hanya
20 hari kerja. Dalam kategori kenelayanan, unit
penangkapan ikan yang menggunakan pancing
memiliki tonasse di bawah 5 GT, dan di kalangan
nelayan di kelurahan ini mengkatagorikan dirinya
sebagai nelayan “non GT”, sebuah kategori yang
tidak bisa dihitung menurut rumus perhitungan
penentuan GT karena panjang dan lebarnya tidak
memenuhi standar kapal perikanan.
Karakteristik lain bahwa nelayan pancing
disini hanya dioperasikan seorang nelayan dan
one day fishing sifatnya. Jarak tempuh menuju
fishing groundsnya sekitar satu jam. Dengan
melihat karakteristik unit sarana penangkapan
maka nelayan di kelurahan Tondogue termasuk
kategori nelayan kecil.
Pengunaan pancing rawai dan ulur adalah
“simbiose mutualistis” untuk memenuhi
kebutuhan ikan konsumsi. Penggunaan jaring
rawai dan rinta adalah kombinasi alat yang
digunakan dalam upaya mempertahankan kehidupan,
khususnya kebutuhan pangan-ikan. Pancing
rawai adalah alat tangkap untuk berbagai jenis
ikan karang yang cukup efektif digunakan
sebagai sumber penghasilan keluarga karena
dapat dioperasikan sepanjang tahun, mulai bulan
Januari sampai dengan bulan Desember. Pancing
rawai tidak dapat digunakan pada saat posisi
bulan terang pada setiap bulannya. Hasil
tangkapan jaring rawai merupakan sumber pendapatan
meningkatkan daya beli kebutuhan pangan ikan.
Sedangkan, pancing rinta digunakan nelayan
untuk mendapatkan “ikan makan” masyarakat.
Hasil tangkapan pancing rinta memberikan
alternatif sumber pangan protein ikan yang murah
dibandingkan ikan hasil tangkapan pancing
rawai. Kebutuhan pangan ikan dapat dipenuhi
dari hasil tangkapan pancing rinta.
Namun demikian, hasil tangkapan ikan
pancing ulur tidak dapat dipenuhi kebutuhan ikan
konumsi sepanjang tahun. Jika dibandingkan
pancing rawai, penggunaan pancing ulur sangat
terbatas. Pancing ulur beroperasi hanya lima bulan,
dari bulan September sampai dengan Januari.
Kebutuhan ikan konsumsi di luar bulan-bulan itu
dipenuhi dari dari membeli ikan pelajik (tuna,
cakalang) hasil tangkapan nelayan dari luar
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 333
[nelayan gae (pukat cincin). Dengan demikian,
rumah tangga nelayan di kelurahan Tondogue,
mengkonsumsi jenis ikan karang dan ikan
pelajik. Sebagaimana diketahui bahwa ikan
pelajik merupakan ikan makan yang tidak hanya
dikonsumsi oleh penduduk kelurahan ini,
melainkan dikonsumsi penduduk di Kota Kendari
dan kota/kabupaten lainnya di provinsi Sulawesi
Tenggara. Permintaan ikan pelajik untuk pasar-
pasar lokal cukup besar.8 Meskipun demikian,
nelayan Tondogue lebih memprioritaskan mendapatkan
ikan konsumsi dari hasil melaut daripada
membeli ikan makan meskipun hasil tangkpannya
jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomi
tinggi.
Kendala Akses Mendapatkan Ikan Pangan
Semua komunitas nelayan dimanapun
menjumpai faktor musim atau cuaca sebagai
rintangan alam untuk mendapatkan ikan. Kehidupan
di laut dengan penuh ketidakpastian (Acheson,
1981). Meskipun demikian, menghadapi kondisi
alam yang penuh ketidakpastian ini, nelayan telah
melakukan adaptasi untuk menyiasati kondisi
alam, antara lain memindahkan fishing grounds,
atau mencari ikan di pinggir pantai, dan
menggunakan alat tangkap yang bisa dioperasikan di
musim barat. Kesemuanya itu merupakan siasat
agar kehidupan bisa tetap berlangsung, terutama
untuk mendapatkan ikan makan.
Kendala akses pangan ini sebenarnya tidak
begitu dirasakan sebagai bencana yang mempengaruhi
kerentanan mereka, karena nelayan memiliki
sensitivitas yang rendah terhadap eksposure bencana
alam dibandingkan dengan bencana sosial yang
terjadi ketika pasokan ikan di pasar lokal
terganggu akibat dampak kebijakan pemerintah.
Sebagaimana diketahui, sebelum diberlakukan
moratorium kebijakan perikanan tangkap,
8Permintaan ikan makan dari pelajik dapat
diketahui dari perbedaan harga jenis-jenis ikan pelajik
di pasaran yang kadang lebih tinggi dibandingkan
dengan harga pembelian dari perusahaan. Nelayan di
Teluk Kendari menangkap jenis ikan pelajik, seperti
cakalang kecil kurang 1 kg, deho, bebi tuna,
menggunakan pukat gae atau payang. Pada musim
ikan, nelayan gae di sini menjual hasil tangkapan ke
pasar-pasar lokal di semua kota/kabupaten di Sulawesi
Tenggara dan ke perusahaan perikanan di kawasan
Pelabuhan Perikanan Nusantara [PPN] Kendari.
pasokan bahan baku industri perikanan mencukupi
dari kapal perikanan berskala besar. Kapal
perikanan milik industri perikanan yangberada di
kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara-Kendari
itu memiliki tenaga kerja asing yang dinilai lebih
terampil dibandingkan dengan Indonesia. Namun,
sejak Menteri Perikanan dan Kelauatan megeluarkan
larangan penggunaan ABK asing, hal itu sangat
berpengaruh pada produksi hasil tangkapan kapal
perikanan skala besar tersebut. Menghadapi
kesulitan pasokan industri perikanan, perusahaan
membeli bahan baku di pasar lokal untuk
memenuhi kebutuhan pabrik. Untuk mendapatkan
pasokan dari nelayan lokal, perusahaan membuat
daya tarik dengan membuat fee.9 Oleh karena itu,
ke depannya, dampak dari kebijakan pemerintah
ini akan berpengaruh pada stok ikan di pasar
lokal, dan kesempatan pedagang ikan lokal
semakin berkurang untuk mendistribusikan ikan
kebutuhan konsumsi ikan di masyarakat.
Penutup
Konsumsi ikan Indonesia telah mencapai
7,5 juta ton pada tahun 2014. Jumlah ini
merupakan peningkatan sekitar 6,60 juta ton
selama sepuluh tahun yang silam. Dengan
demikian, sumbangan protein ikan mencapai 53%
dari total jumlah konsumsi protein hewani di
Indonesia. Jumlah konsumsi ikan diperkirakan
akan meningkat lagi pada tahun 2015 dan tahun-
tahun sesudahnya, karena terdapat kecenderungan
peningkatan konsumsi ikan oleh masyarakat
Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut catatan
dari FAO, di tingkat global, kebutuhan konsumsi
ikan disumbang sekitar 90% oleh perikanan berskala
kecil (small-scale fishery), dan sekitar 40% nya
dari produksi ikan yang dihasilkan perikanan
berskala kecil tersebut dikonsumsi oleh rumah
tangga nelayan kecil (FAO, 2011). Ini artinya,
rumah tangga nelayan kecil mengatasi ketahanan
pangan sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Sementara itu, produksi perikanan tangkap
diperkirakan sejak tahun 2010 telah terjadi
penurunan produksi ikan di Indonesia. Jika
9Fee yang diberikan Rp.500,-/kg untuk ikan
layang, dan Rp.250,-/kg untuk ikan tongkol.
334 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Grafik 4
Cara Mendapatkan Ikan Makan pada Musim Paceklik Ikan
Sumber: Data Olahan Kuesioner, 2015
Grafik 5 Kebiasaan Membangun Lumbung Pangan Ikan dan
Jumlah RT Nelayan yang Mengkonsumsi Ikan yang Diawetkan
Sumber: Data Olahan Kuesioner, 2015
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 335
Gambar 1 Skema Dinamika Akses Pangan Pasca Moratorium Kasus Kendari
penurunan itu terus terjadi, sementara kebutuhan
konsumsi ikan terus meningkat, maka dikhawatirkan
pemenuhan ketahanan pangan dari ikan akan sulit
tercapai.
Dibandingkan dengan perikanan skala
besar, kontribusi nelayan kecil tidak diragukan
lagi. Produksi ikan yang dihasilkan industri
perikanan besar cenderung tidak dimanfaatkan
untuk memenuhi permintaan kebutuhan pangan
langsung (direct human consumption) melainkan
untuk kebutuhan pakan ternak dan produk olahan
lainnya (FAO, 2011). Kecenderungan ini terjadi
karena ada kebijakan pemerintah di negara
berkembang yang lebih mementingkan ekspor
ikan untuk meningkatan pendapatan nasional
daripada peningkatan ketahanan pangan ikan.
Sebagaima diketahui bahwa ikan adalah salah satu
komoditi pangan utama global yang diperdagangkan
dan ikan menjadi komoditi pangan terbesar kedua
setelah buah dan sayuran (FAOstat and FAO
Trade STAT, 2007). Hal ini memberikan keyakinan
bahwa konstribusi nelayan kecil dapat memenuhi
kebutuhan pangan sendiri dan sekaligus memberikan
sumbangan pada ketahanan pangan nasional.
Hasil Sampingan
ABK Gae
[Memancing]
Pasar-Pasar
Ikan lokal
Bakul Ikan
Perempuan
[Mamalele]
Pedagang Ikan
Kota/Kab. di
Sultera
Pabrik
Pengolahan
Ikan
Hasil Bersih
Tangkapan
Kapal
Penangkapan
Gae
Hak Bagian
Ikan Makan
ABK kapal
Konsumen
[RT/Rumah
makan]
Di kirim
Surabaya dan
Jakarta
Kebutuhan Ikan
di Pulau Jawa
Kapal Purseseine
[pemasok bahan baku pabrik
pengolahan ikan]
336 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Berikut ini ringkasan temuan konstribusi nelayan
kecil terhadap ketahanan pangan di Kendari.
Pada level individu/rumah tangga, konstribusi
langsung kegiatan perikanan adalah pemenuhan
kebutuhan konsumsi ikan yang diperoleh dari
hasil tangkapan (self-consumption). Bagi kalangan
rumah tangga nelayan miskin, kegiatan sebagai
nelayan murni atau nelayan sambilan adalah
persoalan ketahanan pangan di level perorangan
atau rumah tangga. Ketahanan pangan ikan di
kalangan rumah tangga mrnghadapi kendala
karena persentase total dari hasil tangkapan ikan
yang dikonsumsi tergantung pada level
komersialisasi hasil perikanan, begitu pula
konsumsi ikan di kalangan RT nelayan kecil bisa
jadi lebih besar dari total hasil tangkapannya.
Kebutuhan subsisten dalam perikanan
nelayan miskin adalah sumber langsung ketahanan
pangan utama yang potensial, oleh sebab itu
konstribusi hasil tangkapan nelayan kecil dapat
dilihat juga melalui barter dengan komoditi
lainnya, dan penghasilan yang diperoleh dari menjual
hasil tangkapan jika kebutuhan susbistensi pangan
terpenuhi, dan hal ini menjadi sumber tidak
langsung yang penting untuk ketahanan pangan.
Upaya untuk meningkatkan ketahanan
pangan ikan dihadapkan pada kendala atau
ancaman berkurangnya pasokan ikan konsumsi
(ikan pelajik) yang menjadi bahan pangan hewan
ikan di masyarakat karena pemilik armada perikanan
berskala kecil lebih tertarik untuk memasok
kebutuhan perusahaan industri perikanan, karena
harganya lebih baik dibandingkan dengan pasar
lokal. Sejak adanya moratorium Menteri Kelautan
dan Perikanan yang melarang transhipment atau
pengangkutan hasil penangkapan ikan di tengah
laut mendorong perusahaan industri nasional
untuk membeli ikan pelajik, seperti cakalang,
tongkol dari perikanan skala kecil.
Daftar Pustaka
Acheson, J.M., (1981). “Anthropology of Fishing”
dalam Annual Review of Anthropology.
pp. 357-307.
Berkes, F., Mahon,R., McConney, P., Pollnac,P.,
and Pomeroy, R., (2001). Managing
Small-Scale Fisheries: Alternative Directions
and Methods. Ottawa: International
Development Research Centre.
Christophe Béné. (2006). Small-Scale Fisheries:
Assessing their Contribution To Rural
Livelihoods In Developing Countries.
Rome, Food And Agriculture Organization
of The United Nations Rome.
Dugan, P., Dey, M.D., and Sugunan, V.V. (2005).
Fisheries And Water Productivity In
Tropical River Basins: Enhancing Food
Security And Livelihoods By Managing
Water For Fish. Elsevier, Agriculture
water management xxx (2005)-… article
inpress.
Dugan, P.J., et.al. (2002). The Contribution of
Aquatic Ecosistems and Fisheries to Food
Security and Livelihoods: A Research
Agenda. In Challenge Program on Water
and Food Background Paper 3 (pp. 86-
113). Colombo: CGIAR & IWMI.
FAO. (2004). Fisheries country profiles. Rome,
FAO. (available at www.fao.org/fi/fcp/
fcp.asp).
FAO. (2005). Increasing the contribution of small-
scale fisheries to poverty alleviation and foor
security. FAO Technical Guidelines for
Responsible are summarize. No.10. Rome:
FAO.
FAO and Agricultural Organization of United
Nations. (2015). Small Scale and Artisanal
Fisheries. (available at http:// www.fao.
otrg/fishery/17/02/2015. 6.04).
Hanjra A. M., Quereshi E. M. (2010). Global
Water Crisis and Future Food Security in
an era of Climate Change. Food Policy,
35, 365-377.
McGoodwin. (1990). Crisis In The World's
Fisheries: People, Problems And Politics.
‘Too Many People Chasing To Few Fish’.
Colorado: Stanford University Press.
Muladi. (2012). Pemanfaatan Kerjasama Keamanan
(Cooperativesecurity) untuk Menghadapi Bahaya
Keamanan Komprehensif (Comphrehensive
Security Threat) dalam Rangka Ketahanan
Nasional dan Memperkokoh NKRI. Makalah
pada Ceramah PPRA dan PPSA Lemhannas.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 337
Rice,C.J., and Garcua.M. (2011). Fisheries, Food
Security, Climate Change and Biodiversity:
Characteristics of The Sector and the
Perspectives on Emerging Issues. ICES
Journal of Marine Science, 68 (6), 1343-
1353.
Wolrdfish. (2011). Aquaculture, Fisheris, Poverty,
Food Security. Working Paper. Penang:
Worldfish Centre.
Wahyono, A. dkk, (2013). Studi Pengembangan
Kelembagaan Bank Pangan Nonberas di
Tingkat Masyarakat untuk Membangun
Ketahanan Pangan di Pedesaan: Strategi
Petani Lahan Kering Memenuhi Kebutuhan
Pangan Nonberas. Jakarta: LIPI Press.
Sumber Statistik
BPS Kota Kendari (2014). Kota Kendari dalam
Angka.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kendari.
(2014). Laporan Tahunan Tahun 2013
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kendari.
(2015). Profil Kawasan Minapolitan 2014.
Tabel 13
Karakteristik Nelayan Kecil dan Konstribusi Untuk Ketahanan Pangan:
Kasus Kendari dan Maluku Tengah10
Tipologi Kecil Kontribusi Nelayan Kecil
Langsung Tidak langsung
Perahu < 10GT [dikonsumsi/jenis ikan
demersal/pelajik/one day
fishing
[1-1,5] kg/4-5
jiwa/harian
100% [subsisten]
Dijual/sell fish to buy fish
Jenis demersal/pelajik; 100% dan
jika lebih dijual untuk membeli
ikan pelajik
Nelayan murni, bekerja non
nelayan, jika musim paceklik ikan
o Tetap melaut,
o Ngojek
o Perkebunan
Harian [one day fishing]
1-2 orang
Penampung lokal
Tidak ada
10Dalam konteks ini, penulis tidak menggunakan kriteria perikanan berskala kecil (small-scale fisheries)
sebagaimana tercantum pada Tabel 5 yang lebih digunakan untuk pedoman dalam mencocokan kategori nelayan
kecil di lapangan. Penulis lebih memilih menggunakan istilah nelayan kecil dari pada small-scale fisheries.
Definisi nelayan kecil lebih mendekati dengan kondisi lapangan dan sesuai dengan definisi yang dipakai di
Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 2016 tentang perlindungan, pemberdayaan
nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam, definisi nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari , baik tidak yang menggunakan kapal penangkap
ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).
338 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016