Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

30

Click here to load reader

Transcript of Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Page 1: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Kapitalisme Pendidikan Kita : Efisiensi Sosial Sebagai TujuanOleh Rum Rosyid

Menurut Pragmatisme, tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Kondisi sekolah di tanah air amat bervariasi, apabila ditinjau dari aspek mutu (Zamroni, 2009). Perbedaan kualitas diantara berbagai sekolah amat tajam. Perbedaan ini memiliki dampak, adanya kebijakan peningkatan mutu yang bersifat konvensional akan senantiasa menjadikan disparitas antar sekolah semakin tajam. Mengapa?. Karena sekolah-sekolah yang relatif maju akan bisa menerima dan memanfatkan kebijakan tersebut sehingga semakin maju. Sebaliknya sekolah yang relatif tidak bermutu mengalami kesulitan untuk melaksanakan kebijakan yang ada. Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Pragmatisme guru/kepala sekolah“Saya itu ndak tahu, dek, organisasi buat guru itu apa saja dan dibuat apa saja. Yang penting, bagi saya, mengajarkan pada murid sesuai kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Terus mengusahakan bagaimana semua murid mengerti apa yang saya ajarkan. Diskusi atau tanya jawab itu ada, tapi jawaban murid ya harus sesuai dengan kunci jawaban yang saya pegang. Murid tanya macam-macam tidak apa-apa, pokoknya saya memberi jawaban sesuai dengan kunci jawaban yang dipegang dan dibuat acuan oleh guru-guru yang lain juga. Dan dia juga menyetujuinya.” Itulah jawaban polos seorang guru yang mengajar di salah satu SD yang berlokasi di Desa Arjasa, Jember, ketika ditanya tentang adakah yang ia pahami tentang organisasi atau pemikiran kritis lainnya saat dia di posisi seorang guru. Dari jawaban polos tersebut, terlihat jelas betapa daya kritis guru telah dibungkam oleh sederet kurikulum yang telah ditasbihkan oleh negara. Guru lantas menjadi salah satu tangan kuasa negara untuk meneruskan pola pembungkaman kebenaran pada anak didiknya.Pendidikan, seperti yang dituturkan oleh Romo Mangun, adalah proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya bisa tercapai apabila seseorang berhasil membaca realitas di sekitar mereka.

Page 2: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Pendidikan sejatinya merupakan proses pembebasan, yang bertujuan menciptakan individu-individu yang merdeka, berkarakter matang, bertanggung jawab dan peka akan realitas sosial.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, tentu saja diperlukan suatu peran pendidik yang mantap, yang juga mempunyai nilai kritis dalam mengajarkan siswanya. Dalam hal ini, sangat sulit untuk meminta pemerintah turut bersumbangsih memutuskan kebijakan-kebijakan untuk mendukung hal tersebut. Karena, jamak diketahui, pemerintah sedikt sekali memberi porsi kebebasan bagi guru, sehingga guru lebih mirip sebagai pegawai pemerintah yang harus memenuhi setiap keputusan pemerintah atasnya, ketimbang sebagai pendidik yang independen. Hal tersebut terbukti dengan jarangnya keterlibatan guru dalam perumusan kebijakan pendidikan, bahkan dalam pengelolaan guru sekalipun.

Kejadian tentang dugaan manipulasi nilai yang terjadi di SMAN 3 Makassar (Fajar, 23/07/08) merupakan efek pragmatisme pendidikan. Pemalsuan nilai dilakukan agar dapat lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur khusus di Univeristas Hasanuddin. Sebelumya, kasus yang cukup menghebohkan adalah pungutan liar yang terjadi di sejumlah sekolah di Makassar yang berujung pencopotan dan mutasi sejumlah kepala sekolah. Tiga bulan yang lalu, dalam pelaksanaan Ujian Nasional juga terjadi kecurangan pembocoran soal yang melibatkan sejumlah kepada sekolah dan guru. Dalam hajatan yang sama, ditenggarai sejumlah oknum guru memberikan bantuan berupa kunci jawaban kepada siswa. Rentetan kejadian ini mengindikasikan adanya degradasi moralitas di kalangan pendidik kita. Degradasi itu lahir sebagai akibat pragmatisme guru. Pragmatisme dalam hal ini adalah hasrat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan sesaat dan keinginan memperoleh prestasi, meskipun sifatnya semu. Beberapa hal yang dapat kemukakan sebagai faktor pendorong lahirnya berbagai kecurangan itu adalah:

Pertama, gengsi pribadi dan gengsi sekolah. Adanya keinginan untuk memperoleh prestasi atas nama pribadi dan institusi dalam jiwa guru. Guru (baca; guru yang terlibat dalam kasus) ingin disebut berhasil secara pribadi atau lembaga. Sesungguhnya semangat guru demikian bagus, hanya saja jalan yang ditempuh sama sekali tidak bisa dibenarkan. Kasus ini tercermin dari manipulasi nilai untuk meluluskan siswa ke perguruan tinggi dan kasus pembocoran ujian nasional. Keberhasilan meluluskan siswa dalam jumlah yang banyak ke perguruan tinggi bergengsi atau keberhasilan meluluskan siswa seratus persen dalam ujian nasional merupakan prestise bagi guru sekaligus sekolah. Predikat ini yang ingin diraih guru, tetapi fatalnya dilakukan dengan tindakan amoral. Permasalahan ini juga tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang ingin menilai pada hasil akhir. Masyarakat kita memiliki pandangan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu meluluskan siswanya hingga seratus persem dalam Ujian Nasional atau mampu meluluskan siswanya dalam jumlah yang  banyak pada perguruan tinggi bergengsi tanpa melihat proses yang terjadi di balik angka kelulusan itu.

Kedua, ketakutan guru dan sekolah memperoleh cap gagal. Kegagalan menjadi pukulan telak bagi guru dan sekolah. Kegagalan dalam ujian nasional atau seleksi masuk perguruan tinggi dinilai sebagai aib bagi guru dan sekolah. Padahal, kegagalan tidak

Page 3: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

harus selalu didefinisikan demikian. Keberhasilan dan kegagalan siswa dalam menempuh pendidikan tidak hanya ditentukan faktor guru dan sekolah. Dukungan orang tua, lingkungan, dan juga pemerintah memberikan andil terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa di sekolah.

Ketiga, adanya target-target yang dibebankan. Persoalan lain yang seringkali menghantui guru adalah kegagalan memenuhi target yang dibebankan pemegang kebijakan. Misalnya, target yang ditetapkan pemerintah daerah atau dinas pendidikan dalam hal kelulusan siswa. Target-target yang tidak terlepas dari kepentingan politik. Semuanya terakumulasi dan menjadi tekanan bagi guru dan sekolah. Secara realitas kadangkala target-target seperti itu sesungguhnya sangat sulit untuk dipenuhi, tetapi ketakutan memperoleh cap gagal melahirkan pilihan berbuat curang dipilih oleh guru ataupun sekolah secara institusi, seperti me-mark up nilai rapor atau memberikan kunci jawaban.

Keempat, faktor kepentingan sesaat dan ‘rayuan materi’. Kasus pungutan liar yang terjadi di sejumlah sekolah, tidak terlepas dari kepentingan sesaat sekolah untuk ‘meningkatkan’ pundi-pundi keuangan sekolah. Berbagai alibi dan justifikasi digunakan untuk membenarkan tindakan, misalnya uang pembangunan gedung, perlengkapan belajar, laboratorium dan lainnya. Tetapi, dibalik semua itu sekolah lebih banyak memanfaatkan momentum. Posisi  siswa dan orang tua yang berada dalam ‘posisi lemah’ karena kebutuhan memperoleh sekolah dimanfaatkan untuk memberikan pemasukan bagi sekolah. Pungutan-pungutan yang berlangsung bisa saja disetujui oleh orang tua. Tetapi, apakah persetujuan itu lahir dengan tulus? Ini sesuatu yang susah dipastikan. Penulis cenderung menilai persetujuan lahir karena keterpaksaan. Mengapa? Posisi orang tua yang ‘lemah’ yang menginginkan anaknya dapat diterima di sekolah memaksa mereka untuk memilih pilihan setuju.

Kelima, hubungan emosional. Dalam kasus pemalsuan nilai yang terjadi di Makassar memperlihatkan adanya faktor hubungan emosional ini. Kedekatan emosional yang dimiliki oleh guru atau kepala sekolah dengan siswa menjadi salah satu faktor pendorong. Budaya mark-up nilai yang kerap terjadi di dunia pendidikan kita dewasa ini hendaknya dipandang sebagai persoalan serius. Apalagi, melibatkan guru sebagai aktor utama. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Sekolah Kepribadian (2002; 5) mengatakan bahwa profesi guru diukur dari kemampuan me-mark up nilai sehingga rapor siswa bebas angka merah. Kenaikan kelas atau kelulusan 100 % adalah sebuah peristiwa biasa bukan sebuah prestasi. Budaya mark-up nilai, pembocoran soal, pemberian kunci jawaban, ataupun pungutan liar yang mulai membudaya dapat menjadi ‘awal kematian’ bagi dunia pendidikan kita. Secara langsung ini merupakan pendidikan negatif bagi siswa. Guru mendidik mereka meraih prestasi semu melalui usaha ‘haram’. Tindakan-tindakan tersebut sama sekali bukan upaya pencerdasan, sebaliknya lebih tepat disebut pembodohan siswa.Prilaku ‘menyimpang’ guru yang membantu siswa dengan cara-cara haram memiliki implikasi negatif yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan intelektual siswa. Karena pendidikan yang mereka lalui ditempuh dengan cara-cara ‘haram’, maka anak akan tumbuh dengan mental yang rapuh, suka menggunakan jalan pintas, dan melakukan

Page 4: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

kecurangan untuk tujuan-tujuan dan kesuksesan sesaat. Pembentukan karakter seperti itu bisa terjadi atas dasar pengalaman yang dilalui dan diperoleh dalam menempuh pendidikan mereka. Disinilah terpampang dengan jelas permasalahan yang melanda guru. Bukan hanya masalah kesejahteraan, yang kata pemerintah mulai April 2009 akan memberikan minimal gaji 2 juta rupiah, bagi guru golongan terendah; tapi juga masalah pola pendidikan bagi guru itu sendiri. Bagaimana membuat ruang kelas menjadi sarana ruang kritis, jika pendidiknya tidak mempunyai bekal tentang arti kekritisan itu sendiri.Karena itu, harus diterapkan formulasi baru, agar peran pendidik kembali pada falsafahnya, yaitu pengabdian, bukan sama dengan profesi-profesi pekerjaan lain yang ujungnya hanya untuk meningkatkan gaji dan traf hidup. Formulasi itu bisa dilakukan dengan banyak cara.

Pertama, adalah dengan menghidupkan kembali organisasi-organisasi yang independen bagi guru. Yang programnya bukan hanya peningkatan kualitas kesejahteraan, tetapi juga peningkatan pengetahuan guru tentang pikiran-pikiran yang membebaskan. Mulai dari Nasionalisme Soekarno, Ekonomi Rakyat Hatta, Sosialisme Tan Malaka, Sampai Prinsip Etika Pak Haji Agus Salim.

Kedua, dengan mengadakan pertemuan seluruh guru, namun tidak terkotak-kotak oleh status profesi yang sedang disandang, dan membiacarakan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Hasil dari pertemuan itu menjadi suara guru untuk wajib dijalankan sebagai agenda kerja bagi komisi di DPRD dan DPR yang menangani masalah pendidikan. Sebelumnya, pertemuan-pertemuan guru ini memang telah dilaksanakan, namun sayangnya bersifat terbatas dan hanya untuk status tertentu saja. Misal, pertemuan yang dilaksanakan PGRI hanya untuk mereka yang berstatus guru negeri saja.

Ketiga , guru harus menuntut haknya yang sekaligus melaksanakan kewajibannya, untuk dilibatkan dalam memutuskan setiap kebijakan yang berlaku dalam dunia pendidikan. Harus ada fraksi yang independen yang duduk di komisi yang menangani pendidikan bagi DPRD dan DPR, yang merupakan perwakilan dari guru. Sehingga guru bisa turut andil dan bertanggung jawab terhadap kurikulum yang akan diterapkan sampai keputusan yang mengatur dirinya sendiri.Harus ada gebrakan baru yang benar-benar bisa meningkatkan kualitas seorang guru. Bukan hanya menambah jumlah guru negeri ini dengan banyaknya gelar dan sertifikasi yang telah dicapai, lantas melupakan falsafah peran pendidik yang sebenarnya. Dengan banyaknya guru yang mempunyai pikiran kritis, niscaya murid-murid di kelasnya juga mempunyai sarana untuk menjadikan ruang kelas sebagai ruang diskusi untuk mengumpulkan banyak tanda tanya terhadap seluruh mata pelajaran dan kebenaran atas apa terjadi pada negeri ini.

Pragmatisme Penerimaan Siswa BaruParadigma penerimaan siswa baru setiap tahun ini selalu terasa. Banyak sekolah melakukan tebar pesona dengan berbagai tawaran program. Tampaknya, secara sekilas, kita melihat hal itu sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi, apabila dicermati, ternyata sekolah-sekolah telah melakukan jalan pintas dengan pragmatisme

Page 5: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

sebagai jawaban atas laju perkembangan zaman. Kejutan masa depan (future shock) tekanan yang mengguncang dan hilangnya orientasi karena terlalu banyak perubahan dalam waktu singkat , tidak disikapi dengan bijak. Tanpa disadari, sekolah-sekolah telah menebar cultural lag yang mengasingkan siswa dari akselerasi perubahan, kebutuhan zaman, dan pembaharuan kebudayaan. Sekolah-sekolah melakukan kebijakan yang mencitrakan mutu pendidikan . Akan tetapi, bila diteliti secara mendalam, benarkan citra mutu pendidikan itu menjawab kebutuhan masyarakat dan zaman? Tidakkah yang dilakukan sekolah-sekolah itu sekadar program kesementaraan yang tak menangkap substansi perubahan kebudayaan? Setidaknya terdapat empat langkah pragmatisme yang ditawarkan sekolah untuk tetap menarik minat calon siswa. Pertama, sekolah mencitrakan kepada publik bahwa siswa mereka lulus ujian nasional (UN) seratus persen. Kedua, sekolah menawarkan program kelas akselerasi sebagai daya tarik bagi calon siswa. Ketiga, sekolah membuka kelas imersi dengan pengantar bahasa Inggris. Keempat, menyediakan kelas unggulan dengan pengelolaan khusus. Keempat langkah pragmatisme tersebut sengaja digencarkan oleh kepala sekolah untuk menyerap siswa baru dengan input nilai lulusan UN yang relatif tinggi. Di balik itu, tersembunyi hasrat menjaring calon siswa dengan kemampuan finansial yang memadai.

Pragmatisme UNKetika penulis menjadi pengawas dalam EBTANAS dengan sistem pengawasan silang antar sekolah , hampir semua komponen, baik Panitia maupun Pengawas Ruangan EBTANAS begitu disiplin dan sangat tertib, serta sangat menjaga kerahasiaan dalam pelaksanaannya, sehingga hasil yang diperoleh benar-benar murni dan tanpa sedikitpun kecurangan. Namun, setelah diberlakukannya kebijakan tentang Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan seorang siswa pada jenjang satuan pendidikan. Sekolah merasa takut, jika banyak siswanya tidak bisa memperoleh nilai sesuai dengan standar minimal kelulusan. Secara rasional kita dapat mengerti perilaku tersebut, yaitu :1. Sekolah akan dianggap gagal jika banyak siswanya tidak lulus. Bahkan mungkin orang tua tidak akan mempercayai sekolah tersebut untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.2. Di era reformasi, dengan temperamen emosional masyarakat yang masih labil bahkan tak terkendali. Jika banyak orang tua yang anaknya tidak lulus, akan menimbulkan suatu gerakan emosional sosial yang tak terkendali dan kemungkinan sekolah akan menjadi sasaran amuk masa, bahkah dilakukan sendiri oleh para siswa yang tidak lulus. Demikianlah yang terjadi setelah diumumkan hasil UN tahun 2010 pada tanggal 26 April 2010. Di NTB yang luluspun malah menenggak minuman keras, dan yang tidak lulus merusak sekolah.3. Guru sebagai orang tua di sekolah yang selama 3 tahun membimbing siswa, tidak akan tega jika ternyata banyak siswanya tidak bisa lulus, hanya karena dengan sebuah penilaian sesaat.Dari ke tiga alasan tersebut, akhirnya dengan berbagai cara, sekolah melakukan sebuah usaha untuk bisa membantu siswanya lolos dari jeratan Ujian Nasional. Semuanya dilakukan dengan penuh suka-rela tanpa paksaan, walaupun seluruh batin Guru merintih sedih dan penuh haru. “Inilah salah satu kecurangan di dunia pendidikan khususnya

Page 6: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

sekolah, yang belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”, dan semuanya dilakukan sebagai perlawanan sekolah terhadap kebijakan pemerintah.

Siapapun tidak bisa membantah kalau Ujian Nasional telah menciptakan generasi yang rusak moralitasnya. Sebagaimana bisa kita lihat beberapa fenomena kecurangan dan kejahatan yang sering terjadi hingga ditayangkan diberbagai media masa maupun media elektronik. Beberapa saat lalu Ujian Nasional tingkat SMA/MA dan setingkat lainnya telah diberlangsungkan namun meninggalkan bekas yang sangat memprihatinkan karena dimana-mana terjadi kecurangan yang patutnya tidak perlu terjadi(Azhari, 2009). Beberapa saat lalu hari terakhir Ujian Nasional bagi siswa-siswi SMA/MA, saya menyaksikan sebuah tayangan berita di salah satu TV swasta yang menayangkan kecurangan Ujian Nasional yang terjadi. Bukan kasus itu saja melainkan didaerah lainpun terjadi hal yang sama. Bahkan beberapa kepala sekolah tega menjual lembaran soal hingga mencapai jutaan rupiah. Dengan demikian inikah yang dinamakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan cita-cita nasional.

Dari segi evaluasi, ujian nasional (UN) SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang dibutuhkan oleh SMK/SMA dan PT amat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan menjadi pemborosan anggaran negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan pemerintah untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan suara rakyatnya sendiri. Pada masa lalu, saat UN sedang digugat ke pengadilan, beberapa petinggi di Depdiknas selalu mengatakan, ”Kita tunggu proses hukumnya. Apa pun yang terjadi, keputusan pengadilan itu kita patuhi.” Sekarang keputusan pengadilan sudah keluar dan kita menuntut konsistensi institusi Depdiknas agar mematuhi putusan MA itu.Depdiknas sebagai lembaga pemerintah diharapkan memberi contoh untuk taat hukum, dengan melaksanakan putusan MA itu. Konsekuensinya, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang mengatur mengenai UN segera direvisi sesuai semangat keputusan MA. Dan mengingat persiapan UN 2010 sudah dilaksanakan, maka jalan tengahnya adalah UN 2010 tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Fungsinya bukan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai pemetaan mutu pendidikan saja. Kelulusan tetap menjadi otonomi guru. Kiranya ini adalah jalan tengah yang elegan.

Pemerintah menegaskan, Ujian Nasional (UN) pada 2010 akan tetap diselenggarakan. Hal itu karena hasil kajian pemerintah terhadap keputusan Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta Pusat menunjukkan, pemerintah tidak bersalah jika menyelenggarakan UN. Hasil UN pun mulai tahun ini akan diintegrasikan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sebaliknya, praktisi hukum Todung Mulya Lubis menegaskan, dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA), sebaiknya kebijakan UN ditinjau ulang. Dalam kunjungannya ke Redaksi "PR", Jln. Soekarno-Hatta No. 147 Bandung, Rabu (16/12), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah telah mengundang prominent lawyer (pengacara terkemuka) dari kalangan guru besar perguruan tinggi untuk mengkaji putusan PN dan PT Jakarta Pusat. "Jawabannya adalah pemerintah tidak salah dan

Page 7: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

dibenarkan jika menyelenggarakan UN. Sejauh ini, memang saya belum menerima salinan putusan MA (Mahkamah Agung). Akan tetapi, jika putusan MA adalah menguatkan putusan PN dan PT, maka seperti itu hasil kajiannya," katanya.

Dalam siaran eksklsif Trans TV tanggal 27 Maret jam 17.00 ternyata UN 2010 terbukti dapat dibocorkan dengan melibatkan petugas dari Kepmendiknas bahkan hanya cukup mengeluarkan biaya Rp 6000.000; siswa telah memperoleh kunci jawabannya. Langkah yang menerabas ini merupakan bukti bahwa hingga saat ini UN telah dianggap sebagai momok oleh masyarakat, terutama oleh siswa dan penyelenggara pendidikan: guru, kepala sekolah, sampai kepala dinas pendidikan. Mula-mula, UN dianggap sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Sekolah yang dianggap berhasil adalah sekolah yang tingkat kelulusan UN-nya tinggi. (Moh Dhoyin, 2010). Dinas Pendidikan menekan kepala sekolah, lalu kepala sekolah menekan guru. Karena itu, yang terjadi kemudian, guru, kepala sekolah, bahkan kepala Dinas Pendidikan, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan persentase lulusan. Di sinilah pangkal tolak semuanya: bagaimana caranya supaya tingkat kelulusan UN-nya mencapai 100%, bahkan dengan rentangan nilai tinggi.

UN 2010 amat problematik dan cenderung menciptakan beban baru pada murid (Darmaningtyas, 2010). Problematik pertama adalah dimajukanya jadwal UN dari bulan April menjadi Maret. Pemajuan jadwal UN itu memberi konsekuensi pada proses pembelajaran yang serba tergesa, baik guru maupun murid dipaksa untuk menyelesaikan materi pelajaran maksimal awal Maret. Ketergesaan ini pasti hasilnya kurang baik, selain murid dan guru sama-sama stres.

Kedua, tak ada koordinasi antara pemimpin perguruan tinggi (PT) dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam menyusun jadwal UN dan ujian masuk ke PT secara mandiri. Yang terjadi adalah ujian masuk ke UI, misalnya, terjadi sehari sebelum UN dan ujian masuk UGM sehari setelah UN. Dengan model soal yang berbeda antara UN dan ujian masuk PT, dapat dibayangkan tingkat stres murid kelas III SMTA yang dalam waktu bersamaan harus menyiapkan diri untuk ikut UN dan seleksi masuk ke PT.Para murid jelas mengalami dilema tentang apa yang harus dipelajari. Bila konsentrasi ke UN terlebih dulu, bisa lulus UN tetapi belum tentu dapat mengerjakan soal ujian masuk PT. Sebaliknya, bila konsentrasi pada ujian masuk ke PT favorit, belum tentu lulus UN. Anak betul-betul menjadi korban dari keegoisan para penentu kebijakan pendidikan.

Problematik ketiga adalah ada UN ulangan yang akan dilaksanakan satu bulan setelah UN utama selesai atau sepekan setelah hasil UN utama diumumkan. Masa jeda yang panjang membuat murid bermalas-malasan belajar lagi, kecuali selama masa jeda masih ada pelajaran; sehingga UN ulangan hanya akan menjadi formalitas, tidak memiliki bobot akademik. Potensi manipulasi kelulusan pada UN ulangan akan jauh lebih tinggi dari UN utama, karena inilah upaya penyelamatan sekolah.Keempat, buruknya penyusunan kalender pendidikan. UN dan pengumuman dimajukan, tetapi bila tes masuk perguruan tinggi serentak (SMNPTN) tidak maju; demikian pula proses penerimaan murid baru di jenjang sekolah yang lebih tinggi tidak dimajukan, sia-sia saja pemajuan jadwal UN itu, karena banyak sisa waktu murid kelas VI SD dan kelas III SMP-SMTA terbuang percuma antara setelah mengikuti UN sampai dengan

Page 8: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

penerimaan murid/mahasiswa baru. Pemajuan jadwal UN sepertinya tanpa konsep yang jelas.Problematik kelima adalah kualitas hasil UN masih dipertanyakan, tetapi sudah dirancang akan menjadi pedoman untuk penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN). Seandainya saya pimpinan PTN, pasti menolak rencana itu karena kredibilitas UN sebagai pedoman kualitas pendidikan masih dipertanyakan. Bila para guru mata pelajaran yang di-UN-kan selalu heran dengan hasil UN muridnya yang melebihi kemampuan sehari-hari, bagaimana kredibilitas UN dapat dipertanggungjawabkan. Perguruan tinggi kelak tertipu saat kualitas mahasiswa yang mereka terima berdasarkan nilai UN ternyata tidak sebanding dengan tingginya nilai UN mereka.

Melanggar prinsip KeadilanKetua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, ujian memang melekat dengan proses belajar-mengajar siswa. "Hanya, hasil ujian yang dijadikan standar kelulusan dan disamaratakan di seluruh wilayah Indonesia, itu tidak adil," kata Din Syamsuddin di Aula Universitas Islam Bandung, Rabu (16/12). Menurut Din, kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak sama antara satu daerah dan daerah lainnya. Begitu pun fasilitas pendidikan, sarana dan prasarana yang juga masih belum merata. "Jika hasil UN dijadikan standar kelulusan apalagi hendak dijadikan acuan untuk masuk ke perguruan tinggi, akan menutup pintu anak-anak di daerah. Sebab, fasilitas di daerah tidak sama dengan fasilitas siswa di kota," ujarnya.

Pada awal pelaksanaan UN, muncul istilah yang baru dalam dunia pendidikan: Indomi (Indonesia, Matematika, dan Inggris). Tiga mata pelajaran itu (Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris-mata pelajaran yang di-UN-kan waktu itu) mendapat kehormatan untuk diajarkan secara khusus. Pada saat siswa duduk di bangku kelas III (SMP kelas IX dan SMA kelas XII), hanya tiga mata pelajaran tersebut yang disampaikan. Mata pelajaran yang lain diabaikan. Perilaku lain, yang jelas-jelas tidak sehat, bahkan sudah dapat dikategorikan salah dan sesat, guru berusaha memberikan bocoran jawaban kepada siswa. Berbagai cara mereka lakukan.

Mengapa mereka sampai melakukan berbagai upaya itu. Banyak alasan. Selain karena merupakan indikator keberhasilan sebuah sekolah, mereka juga memiliki alasan lain yang berkaitan dengan dampak psikologi UN bagi siswa. Beberapa tahun yang lalu di Harian Suara Merdeka ini ramai diberitakan adanya siswa-siswa yang pandai (pemenang olimpiade, misalnya) yang ternyata tidak lulus UN. Banyak yang menyalahkan UN pada waktu itu. Atas ketidaklulusan ini banyak siswa yang kemudian malu, stres, bahkan tidak mau melanjutkan sekolah. Karena itu, mereka berusaha agar tidak ada siswa yang tidak lulus UN di sekolahnya. Alasan-alasan ‘’kemanusiaan” inilah yang juga menjadikan para penyelenggara pendidikan bersikap pragmatis dalam menghapi UN. Dalam kesempatan yang sama, praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan, putusan MA sudah merupakan putusan tertinggi di Indonesia. Jika memang kebijakan yang dipermasalahkan dalam kasus ini harus dikaji ulang, sebaiknya pemerintah segera mengkaji ulang kebijakan UN. "Kalau menurut saya tinjau ulang saja dulu, sebab putusan MA sudah merupakan putusan tertinggi, pemerintah sebaiknya melaksanakan putusan

Page 9: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

tersebut," katanya. Todung menuturkan, yang harus dilihat oleh semua pihak termasuk pemerintah adalah kenyataan jika kondisi pendidikan Indonesia saat ini belum merata. Pendidikan di satu daerah dengan daerah lainnya sangat berbeda, sementara kebijakan UN menyamaratakan pendidikan di seluruh daerah.

Dalam sebuah seminar nasional di Purworejo, seorang peserta menyampaikan pemikirannya kepada pembicara. ”Kalau kami harus mengikuti model pembelajaran seperti yang Bapak (pembicara) sampaikan, tampaknya waktu kami banyak tersita. Sementara semua itu belum tentu masuk dalam soal UN. Lalu bagaimana kami harus bersikap?” Menjawab pertanyaan itu, sang pembicara, Prof Dr Suminto A. Sayuti dari Yogyakarta balik bertanya: ”Sesungguhnya Ibu itu mengajar mau membuat anak menjadi pintar atau lulus ujian?”. Pertanyaan ini menjadi menarik karena kondisi proses belajar mengajar di sekolah saat ini telah melenceng atau menyimpang dari tujuan yang semestinya.

Karena sikap pragmatis tadi banyak guru yang hanya mengantarkan siswa ke UN. Proses belajar-mengajar tidak lagi mengarah pada pencapaian kompetensi siswa. Padahal jelas dalam kurikulum disebutkan bahwa proses belajar-mengajar harus mampu membuat anak menjadi berkompetensi. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.

M. Nuh mengungkapkan, sepanjang sejarah, UN merupakan konsep ujian yang lebih baik. Dua puluh tahun yang lalu, pemerintah pernah mengadakan ujian sekolah yang penilaiannya diserahkan kepada pendidik (guru). Kemudian, pernah pula pemerintah menggunakan konsep penggabungan nilai UN dengan nilai ujian sekolah. Namun, kata dia, penyimpangan pun terjadi. Atas dasar itulah, pemerintah mengambil sikap untuk tetap melanjutkan UN pada 2010 bertema prestasi dan jujur. Terkait dengan teknis di lapangan selama ini terutama menyangkut ketidakjujuran, M. Nuh meminta masyarakat membedakan sistem dan pelaksanaan. "Pasti ada plus dan minusnya. Namun, kita mencoba perbaiki agar lebih baik," katanya.

Pada pelaksanaannya, UN tahun depan akan tetap dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa, melibatkan perguruan tinggi sebagai pengawas, dan sejumlah perbaikan seperti adanya UN ulang dan pembedaan tipe soal. Menyinggung rencana pengintegrasian hasil UN dalam SNMPTN, menurut dia, akan dimulai pada 2010. "Nanti akan dilaksanakan bertahap. Misalnya, perguruan tinggi negeri biasanya menerima seribu lulusan SNMPTN, maka mulai tahun ini seratus atau dua ratusnya memanfaatkan hasil UN," katanya.

Pragmatisme Mutu SekolahLangkah pragmatisme kepala sekolah untuk mencapai kelulusan semaksimal mungkin dengan nilai UN tinggi menjadi salah satu obsesi. Semua langkah ditempuh untuk mencapai kebanggaan lulus UN seratus persen. Pembelajaran direduksi menjadi sekadar latihan soal, siasat mengerjakan soal dengan cepat dan tepat. Pembelajaran jauh dari

Page 10: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

pandangan holistik yang membentuk manusia pembelajar secara utuh. Sekolah yang menciptakan siswa lulus UN seratus persen, dicitrakan sebagai sekolah bermutu. Adapun sekolah yang paling banyak tidak meluluskan siswa, dicitrakan sebagai sekolah terbelakang.

Dikotomi pencitraan itu menjadi pandangan umum semenjak dari para birokrat pendidikan hingga masyarakat. Citra yang menyesatkan tersebut telah menjadi pandangan umum. Calon siswa tak melihat akan keunggulan guru dalam membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Tidak dipersoalkan benar, setelah siswa lulus sekolah menengah atas tak bisa terserap ke lapangan pekerjaan atau meneruskan ke perguruan tinggi. Tak ada tanggung jawab birokrasi pendidikan untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja. Kian jauh dan gersang keterasingan siswa dari dunia kerja yang penuh persaingan global.

Menurut data Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta di Kompas, 29 Mei 2004 pada tahun 2002 jumlah penganggur yang terserap lapangan kerja 155.700 orang atau hanya 25,6 persen. Sedangkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 8,1 juta dengan 567.000 orang di antaranya berpendidikan tinggi. Dari data ini terbukti pendidikan kita telah gagal dengan tak berperilaku sebagai pranata sosial. Di tengah krisis nilai yang melanda kehidupan, kita telah mengalami perubahan yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatisme liberal. Homo economicus sebagai paham humanisme yang mempengaruhi pemegang kebijakan sistem pendidikan bukan pada kompetensi. Kriteria sukses sebuah sekolah sudah sangat jauh berbeda akibat pergeseran nilai-nilai mengenai sukses sebuah sekolah.

Demikian pula dengan sekolah yang menawarkan kelas akselerasi. Daya tempuh yang lebih pendek, dua tahun, tak memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan tenaga terdidik yang bergulat dengan persoalan kultural. Apa yang bisa dilakukan siswa yang lulus dalam kurun waktu lebih cepat? Meneruskan kuliah? Menjadi siswa unggul yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kepedihan nasib masyarakatnya? Atau, justru menjadi teralienasi dari persoalan masyarakatnya?. Di antara mereka yang cepat lulus setelah menempuh program akselerasi, akan menjadi calon mahasiswa yang sebagaimana lulusan lain kelak juga mencari lapangan pekerjaan. Menjadi beban negara sebagai pencari kerja, dan menjadi beban birokrasi yang harus menyediakan peluang kerja.

Sementara itu sekolah yang menawarkan kelas imersi, dengan pengantar bahasa Inggris, hanya membuat para guru gagap dalam komunikasi di ruang kelas. Globalisasi, perkembangan kultur yang tak terduga cepatnya, informasi yang melimpah, tak membuka cakrawala baru bagi siswa kelas imersi. Taruhlah para siswa memiliki kecakapan berbahasa Inggris yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang lain. Bagaimanakah sikapnya terhadap informasi yang melimpah ruah, terjadinya cultural lag yang menyebabkan masyarakat semakin hedonis dan konsumeris. Mereka tetaplah menjadi anak-anak yang gagap menatap zaman.

Fenomena tawuran pelajar mahasiswa, korupsi

Page 11: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Kita mungkin jenuh dengan fenomena tawuran pelajar dan mahasiswa, pejabat yang korup sampai birokrat yang sontoloyo. Benang merah dapat ditarik ketika pendidikan mengalami degradasi pemahaman dari tujuan mulianya kepada hanya sebatas proses belajar mengajar dalam sebuah konteks ruang yang disebut institusi. Pragmatisme pendidikan terjadi ketika secarik kertas yang disebut ijazah menjadi tujuan utama orang tua menyekolahkan anaknya pada lembaga2 pendidikan formal dengan aspek turunan pada mazhab competency based untuk terciptanya SDM yang dapat berkompetisi dalam pasar kerja global.

Kenakalan remaja adalah salah satu bukti terjadinya proses pelarian akibat saluran internal dalam sekolah yang tersumbat. Padahal sekolah seharusnya menjadi akomodator. Selain tentunya faktor pengaruh lingkungan masyarakat yang menjadi pendorong. Ini adalah masalah pokok dan kesalahan manajemen pendidikan yang tanpa disadari justru menjadi pemicu paling menonjol dan berperan besar dalam kasus kenakalan remaja.Kita ambil contoh tawuran. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah faktor ekternal seperti kekerasan di media ataupun masyarakat yang cenderung individualistik. Namun kenyataannya di daerah atau desa yang relatif pengaruh ekternal tidak terlalu besar, bahkan nuansa religius dan budaya lokalnya sangat kuat, tawuran tetap terjadi.

Sejumlah pakar psikologi remaja mendefinisikan faktor pemicu tawuran, yaitu apa yang disebut sebagai false indentity atau identitas palsu. Yang mengejutkan identitas palsu ini bukan diciptakan oleh masyarakat (bila kita mengacu pada teori kekerasan di media), melainkan justru diciptakan oleh dunia pendidikan itu sendiri melalui simbol dan mekanisme kependidikan yang tidak akomodatif. Dunia pendidikan kita memang gagal menyerap aspirasi dan menyalurkan energi kreatif yang dimiliki civitasnya, semata hanya karena sistem yang stagnan dan kaku serta cenderung enggan menerima perubahan (status quo).

Sebagai bukti kita bisa contohkan tawuran pelajar antara SMU dengan STM. Pemicunya sangat sepele, karena seragam. Mereka memandang seragam adalah simbol identitas. Loyalitas korps terakumulasi dan diekspresikan dalam bentuk kebanggaan yang berlebihan. Ini bisa terjadi karena mereka memang oleh dunia pendidikan kita selama ini diindoktrinasi seperti tentara. Mereka secara sistemik diberikan identitas palsu tersebut, bahwa mereka memiliki korps dan dibedakan secara tidak adil dengan stigma, STM lebih rendah dari SMU. Akibatnya muncul sakit hati dan dendam yang tentu saja tidak dapat tersalurkan.

Sayangnya, subtansi pendidikan sebagai penanaman nilai-nilai luhur akan fitrah manusia seringkali dikesampingkan. Sesungguhnya ruang bebas dapat berfungsi sebagai institusi pendidikan yang hakiki bila dapat menggungah atau menanamkan benih-benih nilai luhur dan kebajikan serta kesadaran akan keagungan sang pencipta. Ketika melintasi sebuah lampu merah anak-anak  jalanan yang kepanasan mendidik kita untuk memiliki jiwa sosial. Ketika duduk di tepian pantai, fenomena alam menggugah kesadaran kita akan kebesaran sang pencipta. Seorang ibu yang berbakti kepada suaminya dan ramah kepada lingkungannya akan melahirkan personalisasi kebajikan dalam diri anak-anaknya.

Page 12: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Menempatkan pendidikan hanya dalam konteks ruang institutional hanya menghasilkan tujuan-tujuan yang bersifat pragmatis. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa orang-orang yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi tanpa dibarengi dengan penanaman nilai-nilai spiritual hanya melahirkan manusia bermental durjana yang tak segan melakukan tindakan-tindakan penipuan, pembunuhan, dan perkosaan hak2 orang lain.

Terus menurunnya Indeks Pembangunan ManusiaIndeks Pembangunan Manusia menunjukkan peringkat Indonesia yang mengalami penurunan sejak 1995, yaitu peringkat ke-104 pada tahun 1995, ke-109 pada tahun 2000, ke-110 pada tahun 2002, ke 112 pada tahun 2003, dan sedikit membaik pada peringkat ke-111 pada tahun 2004 dan peringkat ke-110 pada tahun 2005. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah dituntut lebih serius lagi menangani masalah pendidikan.Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1). Tabel 1:Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan

Pendidikan Presentase1 Tdk/ blm tamat SD 22%2 SD 39%3 SLTP 17%4 SLTA 18%5 Diploma 2%6 Universitas 2%

TOTAL 100%Diolah dari data Susenas, BPS 2003

  Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003). Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah---masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen).

Page 13: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

 Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen. Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen. Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun).  Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah. Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar. Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh. Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah). Tabel 2:Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas

Page 14: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

di The First Step to Nobel PrizeTahun Nama Sekolah1999 I Made Agus Wirawan SMUN 1 Bangli, Bali2004 Septinus George Saa SMUN 3 Jayapura, Papua2005 Anike Nelce Bowaire SMAN 1 Serui, Papua2005 Dhina Pramita Susanti SMAN 3 Semarang, Jateng

Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005  Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474.

Sebenarnya, ada beberapa persoalan kuantitatif pendidikan yang perlu segera ditangani secara bertahap dan tersistem (Suyanto, 2004). Pertama, rendahnya partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia prasekolah (5 - 6 tahun) adalah 8.259.200 yang baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%). Penduduk usia sekolah dasar (7 - 12 tahun) 25.525.000, baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%). Jumlah usia SMP (13-15 tahun) 12.831.200, baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%). Penduduk usia SMA (16 - 18 tahun) 12.695.800, baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%). Penduduk usia pendidikan tinggi (19 - 24 tahun) 24.738.600, baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%).Kedua, banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Sebanyak 1.234.927 guru SD yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%), sedangkan 466.748 guru SMP, yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08). Guru sekolah menengah (377. 673), yang terbilang layak baru 238.028 orang (63,02%), sedangkan dosen perguruan tinggi (210.210), yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).Ketiga, tingginya angka putus sekolah. Angka putus sekolah SD 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%.Keempat, banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik 77.399 (82,67%), kelas SD (865.258), yang masih baik hanya 364.440 (42,12%). Ruang kelas SMP (187.480), yang masih baik 154.283 (82,29 %). Ruang kelas SMA (124.417) yang kondisinya masih baik 115.794 (93,07%).Kelima, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf. Dari penduduk total 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas 23.199.823 (10,99%).Terlepas dari persoalan kuantitatif tersebut, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses pendidikan. Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para

Page 15: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya. Sehingga, setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London.

Page 16: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Page 17: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Page 18: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default

Page 19: Kapitalisme Pendidikan Kita Efisiensi Sosial Sebagai Tujuan

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education