KAPITA SELEKTA 2
description
Transcript of KAPITA SELEKTA 2
KAPITA SELEKTA
SINDROM KORONER AKUT
Pembimbing:
dr. Erlieza Roosdhania, Sp. PD
Disusun oleh:
Adiatma 22010113210022
Kusumaningrum 22010113210071
Monica Sari Gunawan 22010113210069
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
BAB IPENDAHULUAN
Sindroma koroner akut (SKA) adalah salah satu manifestasi penyakit
jantung koroner yang utama dan paling sering menyebabkan kematian.1 SKA
merupakan suatu kegawatdaruratan dimana suplai darah pada suatu bagian
jantung terhenti sehingga sel otot jantung mengalami infark atau kematian. Hal ini
dapat terjadi secara mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada
keluhan sebelumnya. SKA diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu angina pektoris
tidak stabil (unstable angina pectoris), infark miokard akut tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI).2
Lebih dari tujuh juta manusia di dunia meninggal akibat SKA, sekitar
12,8% dari semua kematian. Setiap enam laki-laki dan tujuh wanita di Eropa
meninggal akibat infark miokard.3 Satu juta orang di Amerika Serikat
diperkirakan menderita infark miokard setiap tahunnya dan 300.000 orang
meninggal karena infark miokard akut sebelum sampai ke rumah sakit.4
Penyakit jantung cenderung meningkat sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996
menunjukkan bahwa proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun sebagai
penyebab kematian. Kematian akibat penyakit jantung hanya 5,9% di tahun 1975,
kemudian meningkat sampai 9,1% di tahun 1981, kemudian meningkat sampai
16% pada tahun 1986, dan menjadi 19% pada tahun 1995. Sensus nasional tahun
2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk
penyakit jantung coroner adalah sebesar 26,4%. Angka ini empat kali lebih tinggi
dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker, yaitu 4%. Dengan kata lain,
kurang lebih satu diantara empat orang di Indonesia meninggal akibat PJK.5
Tingginya angka morbiditas, mortalitas, dan biaya pada pasien SKA
sehingga diperlukan strategi penatalaksanaan terapi yang tepat pada pasien SKA
untuk mengurangi beban penyakit. Berbagai pedoman dan standar terapi telah
dibuat untuk penatalaksanaan terapi pada pasien SKA agar strategi
penatalaksanaan terapi pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif, dan
1
2
efisien. Standar terapi yang digunakan sebagai pedoman manajeman
penatalaksaan terapi SKA diantaranya adalah The American College of
Cardiology (ACC)/American Heart Association (AHA) dan European Society of
Cardiology (ESC).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindroma Koroner Akut
2.1.1. Definisi
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan keadaan kegawatdaruratan dari
koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan
aliran darah. SKA terdiri dari angina pektoris tak stabil (UAP), infark miokard
akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokard akut disertai elevasi
segmen ST (STEMI). Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki
kesamaan patofisiologi.1
Gambar 1. Spektrum dan definisi dari SKA2
Pasien yang datang dengan nyeri dada akut dan persisten (>20 menit)
dengan elevasi segmen ST, secara umum menggambarkan oklusi koroner total
akut. Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan
angioplasti primer atau terapi fibrinolitik. Sedangkan pada pasien dengan klinis
nyeri dada akut tanpa elevasi segmen ST perlu pemeriksaan biomarker untuk
membedakan apakah NSTEMI/UAP. Pada pasien NSTEMI terjadi peningkatan
3
4
troponin T atau I dan pada pasien UAP kadar troponin normal. Strategi awal pada
pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG
serial dan mengulangi pengukuran penanda nekrosis miokard.6
2.1.2. Faktor Resiko7
Ada empat faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat
dimodifikasi, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Risiko
aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Pada pria risiko
meningkat setelah usia 45 tahun dan 55 tahun pada wanita. Sebelum usia 55 tahun
risiko terhadap wanita lebih rendah, hal ini dikarenakan sebelum menopause
esterogen akan mencegah terjadinya penyakit jantung koroner. Risiko meningkat
bila terdapat riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung koroner sebelum
usia 55 tahun pada pria dan 65 tahun pada wanita.
Faktor resiko lain yang dapat dimodifikasi yakni abnormalitas kadar
serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi
buah-buahan, diet dan alkohol, stress dan aktivitas fisik. Semakin tinggi kadar
kolesterol, semakin tinggi pula risiko penyakit jantung koroner, apalagi bila orang
tersebut merokok dan tekanan darah tinggi. Kadar HDL dan LDL yang optimal
akan mencegah terbentuknya plak di arteri.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi,
maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan
oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen
yang tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner 2-4 kali
dibandingkan bukan perokok. Beberapa penelitian menunjukkan merokok dapat
menurunkan kadar HDL yang meningkatkan faktor risiko penyakit jantung.
5
Obesitas (IMT >30 kg/m2) dan overweight (IMT 25-30 kg/m2) juga
meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti tekanan darah tinggi, peninggian
kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II.
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Resiko terkena infark miokard
meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang
vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal.
2.1.3. Pembagian SKA8
1. Angina Pektoris Tak Stabil (UAP)
Definisi Angina Pektoris Tak Stabil
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh
iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Angina pektoris tak stabil
didefinisikan sebagai angina pektoris atau rasa tidak nyaman seperti iskemi
dengan satu dari tiga tanda berikut : (1) muncul saat istirahat (atau dengan
aktifitas minimal), biasanya terjadi >10 menit; (2) derajatnya berat dan
onsetnya baru (antara 4-6 minggu); dan/atau (3) muncul dengan pola
crescendo (derajatnya menjadi lebih berat, berkepanjangan, atau sering
muncul dibanding sebelumnya).
Epidemiologi Angina Pektoris Tak Stabil9
Di Amerika serikat setiap tahun, 1 juta pasien di rawat di rumah sakit
karena angina pektoris tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian
mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam satu
tahun setelah diagnosis ditegakkan.
Etiologi dan Patogenesis Penyakit8
1. Ruptur Plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab tersering angina pektoris
tak stabil, dimana tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
6
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal.
Dua pertiga dari pembuluh darah yang mengalami ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung
jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak
mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi
pada tepi plak yang berdekatan dengan tunika intima yang normal atau pada
bahu dari timbunan lemak. Biasanya terjadi keretakan pada dinding plak yang
paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan
stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
2. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor
jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik pembentukan trombin dan fibrin.
3. Vasospasme
Vasospasme juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak
stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
4. Erosi pada plak tanpa ruptur
7
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos
dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan
iskemia.
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang8
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih
berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena
aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan
fisik sering kali tidak ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang8
• Elektrokardiografi (EKG)
Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya
iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau
NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang non spesifik seperti
depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang
dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia dan dapat disebabkan karena hal
lain.
• Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah di terima
sebagai pertanda paling penting. Menurut European Society of Cardiology
(ESC) dianggap ada mionekrosis bila troponin T dan I positif dalam 24
jam.
Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil8, 9, 10
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif
koroner, pasien perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan
oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih
merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
8
Terapi medikamentosa
o Obat anti iskemia (nitrat, beta blocker, antagonis kalsium)
o Obat anti agregasi trombosit (aspirin, tiklopidin, klopidogrel, inhibitor
glikoprotein IIb/IIIa)
o Obat anti trombin (Unfractionnated Heparin, low molecular weight
heparin, direct trombin inhibitors)
Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien
dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass
(CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi
resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas
dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif. Pada pasien dengan
faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua
pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI merupakan
pilihan utama.
Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau
konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi,
seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin
meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung
seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini.
.
2. Infark Miokard Akut (IMA)
Definisi Infark Miokard Akut
Pengertian umum infark miokard menurut European Society of Cardiology
2012 yakni adanya peningkatan atau penurunan biomarker jantung (lebih
disukai troponin) dengan salah satu nilai diatas persentil 99 dari batas atas
rujukan dan salah satu dari kriteria berikut:
Gejala iskemia
Perubahan ST – T signifikan yang baru atau diduga; atau LBBB baru
9
Perkembangan menjadi Q patologi pada EKG
Gambaran hilangnya kemampuan miokardium atau abnormalitas gerakan
dinding
Identifikasi trombus intrakoroner dengan angiography atau otopsi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30%
dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah
sakit. Angka mortalitas mejadi 4x lebih besar pada lansia (>75 tahun)
dibanding dengan pasien yang lebih muda.
A. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
Etiologi NSTEMI
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi
koroner sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkan
nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas
pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi
segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis.
Patofisiologi NSTEMI
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen,
sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
aliran darah ke distal dari tempat terjadinya penyumbatan.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactiveoxygen species, dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel
tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
10
oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi
makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Makrofag dan
trombosit melepaskan faktor pertumbuhan sehingga menyebabkan migrasi
otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur.
Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen
pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
menyebabkan terbentuknya trombosis. Makrofag dan limfosit T
melepaskan metaloprotease dan sitokin sehingga melemahkan selubung
fibrosa. Hal ini mengakibatkan ulserasi atau ruptur mendadak lapisan
fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi
arteri.
Gambar 2. Perjalanan Proses Aterosklerosis
11
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi
plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan
obstruksi, menurukan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi
klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas
iskemia miokard dan keparahan menifestasi klinis penyakit. Oleh sebab
itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens
kiri berbahaya.
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan
miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi
mekanis, biokimia, dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke sub
endokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal
arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi
dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi, dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan
glukosa menjadi karbondioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang
berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi
asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaan ini mengganggu stabilitas
membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran
kanal K+ dan ambilan Na + oleh monosit. Keparahan dan durasi dari
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan
apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau
irreversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard.
NSTEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST
yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi
dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada NSTEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak
menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner.
Ketika aliran darah menurun tiba – tiba akibat oklusi trombus di arteri
12
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI terjadi jika arteri tersumbat cepat.
Diagnosis dan Pemeriksaan NSTEMI
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria
nyeri dada yang di alami pasien, apakah berasal dari jantung atau luar
jantung. Jika dicurigai berasal dari jantung perlu dibedakan apakah
nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Sifat nyeri dada angina adalah
sebagai berikut:
Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial
Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih beban
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan
kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat
Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas, dan lemas
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor – faktor risiko antara lain hipertensi, diabates melitus,
dislipidemia, merokok, stres serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.
Pada pemeriksaan fisik, didapati pasien tampak sakit, muka pucat,
kulit basah dan dingin. Tekanan darah bisa tinggi, normal atau rendah.
Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal dan irama
gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau
teraba di dinding dada pada IMA inferior.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
13
EKG, atau adanya peningkatan petanda biokimia. Pada gambaran EKG
terdapat gambaran gelombang Q yang patologis serta perubahan segmen
ST-T dimana terdapat ST elevasi, ST depresi, dan T terbalik. Secara
spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang
menentukan resiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial (TIMI)
III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV
merupakan prediktor outcome yang buruk. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien dengan trombus tidak menyebabkan oklusi total,
maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pada pasien dengan gambaran EKG
tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau
NSTEMI.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dalam tatalaksana pasien
NSTEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase CK(MB) dan
cardiac specific troponin (cTn)T atau cTnI dan dilakukan secara serial.
Peningkatan enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung.
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
14
Gambar 3. Biomarker jantung pada NSTEMI
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal
dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada
infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam
8-14 hari.
Penatalaksanaan NSTEMI
Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk
mengontrol simptom dan mencegah progresifitas dari NSTEMI, atau
setidaknya mengurangi tingkat kerusakan miokard. Terpai serta
pencegahan untuk NSTEMI dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Terapi untuk mengurangi area infark pada miokard
Terapi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya area infark pada
miokard. Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan
pemberian:
o Aspirin
Aspirin berfungsi sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase (COX)
pada platelet. Akibatnya platelet tidak dapat menghasilkan thromboxane
15
A2 sehingga menghambat agregasi platelet. Selain itu aspirin juga
berpengaruh pada proses perjalanan penyakit unstable angina. Dosis yang
diberikan kepada pasien 75 – 300 mg/hari. Aspirin memiliki efek samping
berupa gangguan pada gastrointestinal.
o Clopidogrel
Clopidogrel merupakan thienooyridine yang menghambat adenosine
diphosphate-mediated platelet activation. Obat anti platelet jenis ini
bersinergi dengan aspirin karena sama – sama bekerja pada jalur asam
arakhidonat. Clopidogrel kurang efektif dalam mencegah perdarahan,
sehingga kurang tepat diberikan pada pasien pasca operasi seperti CABG.
o Glikoprotein IIb/IIIa
Glikoprotein IIb/IIIa merupakan reseptor yang bekerja mengaktivasi
membrane platelet. Glikoprotein IIb/IIIa juga menghambat agregasi
platelet terutama setelah dilakukan PCI.
o Heparin
Prinsip penghambatan oleh heparin terjadi pada tahap koagulasi. Dimana
pada saar itu terjadi penghambatan trombin yang mengaktivasi faktor V
dan VIII.
o Terapi lainnya
Terapi lain yang dapat diberikan adalah menggunakan anti trombolitik.
Selain itu direkomendasikan juga pemberian antikoagulan warfarin untuk
terapi jangka panjang.
2. Terapi untuk tanda dan gejala iskemik yang muncul
Gejala iskemik yang muncul pada kasus NSTEMI sering berupa unstable
angina. Untuk mengurangi angina dapat diberikan beberapa obat berikut :
o Nitrogliserin
o Beta blocker
o Calcium channel blocker
Selain kedua terapi diatas dapat juga diberikan terapi berupa Coronary
Artery Bypass Grafting (CABG) atau Percutaneus Coronary Intervention
16
(PCI)
B. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST (STEMI)
Patofisiologi STEMI7
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembang banyak kolateral.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injurivaskular, dimana hal ini di cetuskan oleh beberapa faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) mengaktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten) dan potensi terjadinya resistensi fibrinolisis.
Aktivasi trombosit oleh senyawa agonis memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi
sesuai fungsinya, reseptor ini mempunyai afinitas tinggi terhadap protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
17
endotel yang rusak.Faktor VII dan X teraktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.
Diagnosis dan Pemeriksaan STEMI8
Pada anamnesis sama dengan anamnesis pada pasien NSTEMI.
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di
laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.
Pada pemeriksaan fisik didapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI.
Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan/hipertensi) dan hampir
setengah pasien infark inferior hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia
dan/hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan
S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksal
bunyi jantung kedua, dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistolik apikal yang bersifat sementara.
Diagnosis STEMI ditegakan berdasarkan anamnesis dan gambaran
EKG adanya elevasi ST >2mm, minimal pada dua sadapan prekordial
yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
terapi pada pasien dengan STEMI untuk dilakukan terapi reperfusi. Bila
awal diagnostik EKG tidak menunjukkan STEMI namun pasien
18
menunjukkan gejala STEMI, dilakukan EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu untuk
mendeteksi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan
presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang
Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dalam tatalaksana pasien STEMI
namun tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah CKMB dan troponin T atau I dan
dilakukan secara serial. Peningkatan enzim diatas 2 kali nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.
Penatalaksanaan STEMI10
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Sebagian besar kematian di rumah sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam
24 jam pertama onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Elemen utama tatalaksana pasien yang dicurigai STEMI
antara lain :
o Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis
o Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
o Transportasi pasien ke Rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICU
o Melakukan terapi reperfusi
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi
EKG.Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital belum
bisa dilakukan. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dengan
sasaran waktu iskemi total 120 menit.
19
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan
nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang
tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan
STEMI.
o Pemberian Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien
dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
o Nitrogliserin (NTG) sublingual, dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG menurunkan
kebutuhan O2 dengan menurunkan pre load dan meningkatkan
suplai O2 miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark. Terapi nitrat dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan.
o Mengurangi nyeri dada : morfin, aspirin, β-blocker
• Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
• Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner
akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
• Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri
dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif.
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5
20
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >
60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval
PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12
jam.
o Terapi Reperfusi
o Fibrinolisis lebih disukai jika:
Presentasi awal < 3 jam atau kurang dari onset gejala dan
keterlambatan strategi invasif
Strategi invasif bukan pilihan
Laboratorium kateterisasi belum tersedia
Kesulitan akses vascular
Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu
Terlambat untuk strategi invasive
o Strategi invasif umumnya lebih disukai jika :
Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup
surgical Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time
<90 menit.
Resiko tinggi STEMI (Syok kardiogenik, Klas Kilip ≥ 3)
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatkan risiko
perdarahan dan perdarahan intrakranial
Presentasi terlambat (onset gejala > 3 jam lalu)
Diagnosis STEMI tidak yakin
o Reperfusi Farmakologis dengan Fibrinolitik
Streptokinase (1,5 juta unit , habis dalam waktu 30-60 menit)
Tissue Plasminogen Activator (tPA); dosis 15 mg bolus
dilanjutkan denga 0,75 mg/kg (max 50 mg) lebih dari 30 menit,
dilanjutkan 0,5 mg/kg (maks 35 mg) lebih dari 1 jam
Reteplase (dosis 10 U bolus, dua kali dengan interval 30 menit)
21
Tenekteplase (TNKase); dosis berdasarkan berat badan < 60 kg
: 30mg; 60-69 kg : 35 mg; 70-79 kg : 40 mg; 80-89 kg : 45 mg;
>90 kg : 50 mg
Tatalaksana di Rumah Sakit
ICCU :
Aktivitas, pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
Diet, karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark
miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30 % kalori total
dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya
serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowels, istirahat di tempat tidur. Penggunaan narkotik sering
menyebabkan efek konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan
pencahar ringan secara rutin.
Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk
mempertahankan periode inaktivasi dengan penenang. Diazepam
5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-
4 kali/hari .
Terapi farmakologis
Antitrombotik
Inhibitor ACE
Beta-Blocker
Komplikasi
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI,
sehingga menimbulkan komplikasi seperti :
1. Syok Kardiogenik
2. Disfungsi ventrikular
3. Infark ventrikel kanan
4. Aritmia
5. Ekstrasistol ventrikel
6. Takikardi dan Fibrilasi Ventrikel
22
Prognosis11
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA:
a. Klasifikasi Killip: berdasarkan pemeriksaan fisik sederhana, S3 gallop,
kongesti paru, dan syok kardiogenik
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
b. TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang
dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik.
Tabel 2. TIMI risk factor untuk NSTEMI
Faktor risiko PoinSkor Risiko /
Mortalitas 30 hari(%)
Usia 65-74 tahun
Usia > 75 tahun
Diabetes melitus/hipertensi atau angina
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg
Frekuensi jantung >100 mmHg
Klasifikasi Killip II-IV
Berat <67 kg
Elevasi ST anterior atau LBBB
Waktu ke reperfusi > 4 jam
Skor risiko = total poin
2
3
1
3
2
2
1
1
1
0-14
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
> 8 (35,9)
ST elevasi atau baru atau curiga LBBB baru;
sangat mungkin terjadi luka
ST-Elevasi MI (STEMI)Mulai tata laksana tambahan
sesuai indikasiJangan tunda reperfusi
Strategi reperfusi:Pilihan terapi ditentukan keadaan pasien dan centerTarget:Target door-to-balloon time (PCI)Target door-to-needle time (fibrinolisis) kurang dari 30 menit
Simptom mengarah kepada iskemia atau infark
Penilaian data tata laksana EMS dan persiapan rumah sakit:Monitor, lakukan ABC. Siapkan diri untuk melakukan RJP dan defibrilasiBerikan aspirin dan jika diperlukan berikan oksigen, nitrogliserin, dan morfinJika ada, pasang EKG 12 sandapan: jika ada ST elevasi:Informasikan rumah sakit: catat waktu onset dan kontak pertama dengan tim medisRumah sakit yang dituju harus memobilisasi sumber daya untuk perawatan STEMIJika akan dilakukan fibrinolisis pre-hospital, periksa checklist fibrinolitik
Penilaian ED segera (<10 menit)Cek tanda vital: evaluasi saturasi oksigenPasang akses IVAnamnesis dan PF yang singkat dan terarahLengkapi checklist fibrinolisik: cari kontraindikasiPeriksa cardiac marker, elektrolit, dan koagulasiPeriksa chest X-ray portable (<30 menit)
Tata laksana umum ED segeraJika saturasi O2 <94%, start oksigen 4 L/menit, titrasiAspirin 160-325 mg (jika belum diberikan EMS)Nitrogliserin sublingual atau sprayMorfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin
Kaji EKG 12 sandapan
Onset simptom ≤ 12 jam
ST depresi atau inversi gelombang T dinamis: sangat
mungkin terdapat iskemiAngina tidak stabil resiko tinggi/Non-ST-Elevasi MI
(UA/NSTEMI)Troponin meningkat atau pasien resiko tinggiPertimbangkan strategi invasif dini jika:Nyeri dada refrakterDeviasi ST berulang/menetapTerjadi VTHemodinamik tidak stabilTanda-tanda gagal jantung
Mulai terapi tambahan sesuai indikasiNitrogliserinHeparin (UFH atau LMWH)Pertimbangkan: Beta blocker oralPertimbangkan: ClopidogrelPertimbangkan: Gp IIb/IIIa inhibitor
Rawat di ruang bermonitorNilai status resikoLanjutkan aspirin, heparin, dan terapi lain sesuai indikasiACE inhibitor/ARBHMG CoA reduktase inhibitor (statin)
Normal atau perubahan ST segmen/gelombang T non-
diagnostikUA resiko
rendah/intermediatePertimbangkan admisi ke chest pain unit/tempat perawatan yang sesuai dan lakukan:Pemeriksaan cardiac marker serial (termasuk troponin)Ulangi EKG/monitoring segmen ST kontinyuPertimbangkan tes diagnostik non-invasif
Terdapat satu atau lebih keadaan di bawah ini:Gambaran klinis resiko tinggiPerubahan EKG dinamik yang sesuai dengan iskemiaPeningkatan troponin
Pemeriksaan pencitraan diagnostik non-invasif atau fisiologis memberi
hasil abnormal?
Jika tidak ada bukti iskemia atau infark, dapat dipulangkan dengan
follow-up
> 12 jam
< 12 jam
Ya
Ya
Tidak
Tidak
23Algoritme Sindroma Koroner Akut
(dikutip dari 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC)
24
Tabel 3. Obat-obatan Sindroma Koroner Akut9
No
Jenis Penyaki
t
Golongan Obat
Jenis Obat DosisSediaa
n
Cara Pemberia
n1 Angina
tak stabilNitrat Isosorbid
dinitrat1 – 4 mg/jam Injeksi Intravena
Beta blocker Metoprolol 50 – 200 mg, 2x sehari
Injeksi, tablet
Intravena, oral
Antagonis kalsium
Nifedipin 10 – 20 mg, 3x sehari
Tablet Oral
Antiagregasi trombosit
Aspirin Dosis awal 160 mg/hari, dosis selanjutnya 80-325 mg per hari
Tablet Oral
Tiklodipin 250mg 2 kali sehari
Tablet Oral
Antikoagulan
Heparin (UFH)
Dosis awal 60 U per kg dilanjutkan dengan infus awal 12-15 U per kg per jam
Injeksi Intravena
Fondafarinux
2,5mg sehari Injeksi Intravena, subkutan
Klopidogrel 300mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari
Tablet Oral
2 STEMI Nitrat Nitrogliserin 0,4mg dan dapat di berikan sampai 3 dosis
Injeksi, tablet
Intravena, Oral
Beta-Blocker
Metoprolol 5mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis
Injeksi, Tablet
Intravena, oral
Antikoagulan
Heparin (UFH)
dengan dosis awal intravena 60 U/kg di lanjutkan infus
Injeksi Intravena
25
intravena 12 U/kg/jam
Fondafarinux
Dosis awal 2,5 mg intravena di lanjutkan subkutan 2,5mg per hari
Injeksi Intravena, Subkutan
Enoxaparin Dosis awal 30mg intravena dilanjutkan subkutan 1mg/kg setiap 12 jam
Injeksi Intravena, Subkutan
Klopidogrel 75mg/hari diberikan bersama Aspirin
Tablet Oral
Fibrinolitik Aktivator plasminogen
Permulaan 10mg dalam 1-2 menit, lalu 50mg selama jam pertama dam 10 mg dalam 30 menit, sampai maksimal 100mg dalam 3 jam
Injeksi Intravena
Streptokinase
Dosis awal 250.000UI diikuti dengan dosis pemeliharaan 100.000UI/jam
Injeksi Intravena
Antiagregasi Trombosit
Aspirin Dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin di beriakan oral dengan dosis 75-162 mg.
Tablet Oral
26
3 NSTEMI
Nitrat Isorbida dinitrat
30-160 mg sehari, dibagi dalam 3-4 kali pemberian.
Tablet Oral, Sublingual
Nitrogliserin 5-10 Ug/menit). Laju infus dapat di tingkatkan 10 Ug/menit tiap 3-5
Injeksi Intavena
Beta-Blocker
Metoprolol 5mg intravena dalam 15 menit pertama, dilanjutkan 200mg per oral.
Injeksi, Tablet
Intarvena, Oral
Kalsium-Antagonis
Verapamil 240-480mg/hari di bagi dalam 3-4 dosis pemberian
Kaplet Oral
Diltiazem 90mg diberikan 2kali sehari dapat di tingkatkan sampai 360mg/hari
Kapsul Oral
Antikoagulan
Heparin (UFH)
Dosis awal 60 U per kg. dilanjutkan dengan infus awal 12-15 U per kg per jam.
Injeksi Intravena
Enoksaparin 0,6-1,0 U/ml Injeksi IntravenaFondaparinux
2,5mg sehari Injeksi Intravena
Antiagregasi Trombosit
Aspirin dosis awal 160-325mg (non-enteric) dan dengan
Tablet Oral
27
dosis pemeliharan 75-100 mg
Klopidogrel Dosis loading 30 mg/hari, di lanjutkan klopidogrel 75 mg/hari
Tablet Oral
BAB III
KESIMPULAN
Sindroma koroner akut (SKA) ditandai oleh adanya ketidakseimbangan
antara pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard. Sindroma koroner akut
diklasifikasikan menjadi angina pectoris tidak stabil (UAP), infark miokard tanpa
elevasi ST (NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi ST (STEMI).
Diagnosis SKA dapat ditegakkan dari 3 komponen utama, yaitu dari
anamnesis, EKG, dan pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker). Angina
pectoris tidak stabil ditandai dengan keluhan nyeri dada tipikal tanpa peningkatan
enzim jantung. NSTEMI ditandai dengan nyeri dada tipikal yang disertai
perubahan EKG berupa ST depresi dan peningkatan enzim jantung. STEMI
ditandai dengan nyeri dada tipikal yang disertai perubahan EKG berupa ST
elevasi dan peningkatan enzim jantung. Penanganan dini yang harus segera
diberikan kepada pasien nyeri dada dengan kecurigaan SKA adalah MONACO
(Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspilet, Clopidogrel).
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner Fokus
Sindrom Koroner Akut. 2006.
2. Tim Penyusun. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001.
3. Steg, Et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal. Vol 33. (2569–2619). 2012. Diakses http://www.escardio.org/
Guidelines_AMI_STEMI.pdf.
4. Christofferson RD. Acute Myocardial Infarction. In : Griffin BP, Topol EJ,
eds. Manual of cardiovascular medicine. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins. 2009. p.1-28.
5. Budiarso LR, Putrali JM, Comm H, Muhtaruddin. Survey Kesehatan Rumah
Tangga Litbangkes Departemen Kesehatan RI;1980.
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
7. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran.2005;147:6-9.
8. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC;
2007.
9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 5. Farmakologi dan Terapi.Jakarta : Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
10. Robert E, William Brady, Steven C. Brooks,et al. 2010 American Heart
Association Guidlines for Cardiopulmonary Resucitation and Emergency
Cardiovascular Care Sciene. Ahajournal [Internet]. 2010; 122: 5787-5817.
11. American Heart Association. Coronary Arter Disease – Coronary Heart
Disease. American Heart Association [Internet]. 2013.
29