Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp .../Kajian... · 12. Seluruh dosen dan ......

download Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp .../Kajian... · 12. Seluruh dosen dan ... mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di kelas maupun di luar ... No.4

If you can't read please download the document

Transcript of Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp .../Kajian... · 12. Seluruh dosen dan ......

  • Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp tentang tindak

    pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang

    (pengeroyokan)

    (studi kasus di pengadilan negeri boyolali)

    Penulisan Hukum

    (Skripsi)

    Disusun dan Diajukan untuk

    Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

    Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Oleh :

    Rouliati Marehanda

    NIM E.0004274

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

    2008

  • ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Penulisan Hukum (Skripsi)

    KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP

    TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA

    MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN)

    (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

    Disusun oleh :

    ROULIATI MAREHANDA

    NIM : E0004274

    Disetujui untuk dipertahankan

    Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

    BUDI SETIYANTO, S.H SUBEKTI, S.H NIP. 131 568 283 NIP. 131 841 891

  • iii

    PENGESAHAN PENGUJI

    Penulisan Hukum (Skripsi)

    KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP

    TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA

    MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN)

    (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

    Disusun oleh :

    ROULIATI MAREHANDA

    NIM : E0004274

    Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

    Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Pada :

    Hari : Sabtu

    Tanggal : 3 Mei 2008

    TIM PENGUJI

    1. Rofikah, S.H., M.H : ...............................................

    Ketua

    2. Subekti, S.H : ...............................................

    Sekretaris

    3. Budi Setiyanto, S.H. : ...............................................

    Anggota

    Mengetahui :

    Dekan,

    Moh. Jamin, S.H., M.H. NIP. 131 570 154

  • iv

    MOTTO

    Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku

    mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera

    dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang

    penuh harapan

    (Yeremia 29:11)

    Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah

    tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada

    barangsiapa yang mengasihi Dia

    (Yakobus 1:12)

  • v

    PERSEMBAHAN

    Hasil penulisan hukum ini penulis persembahkan kepada :

    Tuhan Yang Maha Esa.

    Papa Halomoan Simanjuntak dan Mama Dra. Sundari, M.Hum yang telah

    memberikan kasih sayang, dukungan dan pengorbanan baik materiil maupun

    spiritual.

    Adik tersayang, Philo Dellano, Inilah hasil karyaku, kutunggu hasil karyamu

    kelak di kemudian hari.

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu memulai, dan ada waktu untuk

    mengakhiri. Oleh karena itu dengan berakhirnya penyusunan penulisan hukum

    (skripsi) ini, penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

    berkat dan rahmat-Nya yang selalu mengalir di dalam kehidupan penulis dalam

    penyusunan penulisan hukum ini sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan

    Hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170

    AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA

    BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG

    (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali).

    Penulis menyadari bahwa dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini terdapat

    banyak hambatan dan kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima

    kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperkaya isi Penulisan

    Hukum (skripsi) ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan

    ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik meteriil

    maupun spiritual sehingga Penulisan Hukum (skripsi) ini dapat diselesaikan,

    terutama kepada :

    1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

    Sebelas Maret Surakarta.

    2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana yang

    telah memberikan ijin dan rekomendasi pembimbing Penulisan Hukum

    (skirpsi) kepada penulis.

    3. Bapak Budi Setiyanto, S.H., Selaku Pembimbing Akademik penulis selama

    menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan selaku

    Pembimbing I Penulisan Hukum (skripsi) yang telah memberikan bimbingan

    dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi).

    4. Ibu Subekti, S.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum (skripsi) yang

    penuh kedisiplinan, ketekunan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan

    dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini.

  • vii

    5. Pengadilan Negeri Boyolali (bagian Hukum) yang telah memberikan waktu

    untuk kelancaran informasi dan kerjasama selama penelitian guna

    kelengkapan penelitian hukum penulis.

    6. Papa dan mama tercinta, yang telah memberikan kasih sayangnya dan

    pengorbanan yang luar biasa kepada penulis selama penulis hidup hingga

    menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini.

    7. Adik tercinta, Philo Dellano terima kasih atas dukungan moril baik cinta

    maupun kasih sayang serta materiil kepada penulis.

    8. Saudara-saudaraku, Kak Jo, Kak Nad, Kak Do, Ida, Disa, Ela, Mbak Tria, dll

    terima kasih atas dukungan doanya selama penulis menyusun skripsi ini,

    walaupun jauh, tapi doa kalian memiliki kekuatan yang besar buat kehidupan

    penulis.

    9. Sahabatku, Nonik dan Cimcim, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan

    kalian selama kuliah di FH UNS yang telah mengalami berbagai suka dan

    duka bersama.

    10. Komsel Youth Pemuda Sambeng, Kak Andin, Kak Ardi, Ony, Cik Fit, Mbak

    Marsi, Peter, Mas Yudi, Cik Yanti, Ototo, Vany, Vika, Vivin dll terima kasih

    atas dukungan kalian dalam doa dan selalu support penulis dalam

    menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini, Tuhan selalu memberkati

    kalian.

    11. Teman-temanku di TLG, Neo Warnet, PMK FH, mahasiswa FH UNS

    angkatan 2004 terima kasih atas dukungan moril yang diberikan kepada

    penulis.

    12. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Hukum, yang selalu

    mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di kelas maupun di luar

    kelas di Fakultas Hukum.

    13. Seluruh staf Perpustakaan Pusat UNS dan Staf Perpustakaan Hukum UNS,

    penulis mengucapkan terima kasih yang telah mempermudah mencari buku-

    buku dalam menunjang penulisan hukum (skripsi) penulis

  • viii

    14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

    banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi)

    ini.

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan Hukum (skripsi)

    ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang

    membangun demi penyempurnaan skripsi ini akan diterima dengan senang hati.

    Akhir kata penulis berharap, agar karya tulis ilmiah yang sangat sederhana

    ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas

    Maret khususnya dan para pembaca pada umumnya.

    Surakarta, April 2008

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

    HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

    HALAMAN MOTTO...................................................................................... iv

    DAN PERSEMBAHAN .................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

    DAFTAR ISI.................................................................................................... xi

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi

    ABSTRAK....................................................................................................... xii

    BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

    A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1

    B. Perumusan Masalah ............................................................................... 4

    C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 4

    D. Manfaat Penulisan.................................................................................. 5

    E. Metode Penulisan................................................................................... 6

    F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................. 9

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

    A. Kerangka Teori 12

    1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana.. 12

    a. Istilah dan pengertian Tindak Pidana.. 12

    b. Unsur-unsur Tindak Pidana. 16

    c. Jenis Tindak Pidana. 17

    d. Pengertian Tinda Pidana dengan Terang-terangan dan Tenaga

    Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan).. 21

    1) Pengertian dengan terang-terangan... 21

    2) Pengertian Tenaga Bersama.. 23

    3) Melakukan Kekerasan... 23

  • x

    4) Menyebabkan Luka.. 26

    2. Tinjauan Tentang Pidana. 27

    a. Pengertian Pidana 27

    b. Jenis-jenis Pidana 28

    c. Teori Pemidanaan 29

    3. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan

    dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan

    dengan Tenaga Bersama 31

    a. Pelaku (Dader) 32

    b. Pembantu (Medeplichtigheid) 33

    B. Kerangka Pemikiran. 37

    BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 39

    A. Implementasi Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana

    dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang

    yang Mengakibatkan Luka di Pengadilan Negeri

    Boyolali.. 39

    B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam

    Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana dengan Tenaga

    Bersama melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang

    Mengakibatkan Luka sebagaimana Diatur Dalam Pasal 170 Ayat (2)

    Ke-1 KUHP.... 49

    BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 58

    A. Kesimpulan. 58

    B. Saran 59

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar I.1. Siklus Analisis Data Model Interaktif ........................................ 9

    Gambar II.2. Gambar Kerangka Pemikiran ..................................................... 37

  • xii

    ABSTRAK

    ROULIATI MAREHANDA, 2008. KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    Penulisan ini mengkaji dan menjawab permasalahan tentang bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali serta dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

    Penulisan ini apabila dilihat dari tujuannya termasuk jenis penulisan hukum normatif yang bersifat diskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber Data menggunakan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis mengenai tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penulisan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tentang tindak pidana pengeroyokan. Analisis data menggunakan teknik analisis data content analisys dengan pendekatan kualitatif.

    Berdasarkan penulisan ini diperoleh hasil bahwa Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP terhadap Pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka jauh berbeda dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal tersebut. Pidana yang dijatuhkan hakim ternyata lebih ringan yaitu 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari penjara dikurangi masa tahanan dibanding dengan ancaman pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara. Ini dikarenakan Terdakwa dengan Korban telah menyatakan perdamaian dengan adanya Surat Pernyataan Damai dimana terdakwa telah meminta maaf dan membayar ganti kerugian yang di derita oleh korban. Selain itu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku didasari pada unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan unsur subyektif didasarkan pada keyakinan (diri pribadi) hakim tersebut yang menangani, mengadili dan memutus suatu perkara terhadap diri terdakwa.

  • xiii

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Indonesia merupakan suatu negara hukum, pernyataan tersebut termuat

    dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara

    Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas

    kekuasaan belaka (machtstaat), sebagai negara hukum maka Indonesia

    mempunyai serangkaian peraturan atau hukum supaya kepentingan

    masyarakat dapat terlindungi. Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar

    1945 yang merupakan landasan konstitusional negara ini memuat bahwa

    tujuan negara salah satunya antara lain adalah menciptakan kesejahteraan

    umum. Jadi semua usaha dan pembangunan yang dilakukan negara ini harus

    mengarah pada tujuan ini sehingga tercipta kesejahteraan rakyat.

    Hukum sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial suatu

    masyarakat dimana hukum tersebut terbentuk. Dapat dikatakan bahwa hukum

    adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat, namun hukum bukanlah

    bangunan sosial yang statis, melainkan ia dapat berubah dan perubahan ini

    terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakat (H. Zamhari Abidin,

    1986:84). Suatu hukum dalam masyarakat tidak selalu bertindak sebagai suatu

    penghalang terhadap perubahan sosial. Adanya sikap masyarakat yang peduli

    terhadap hukum dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang luar biasa

    untuk ketentraman dari pergaulan masyarakat itu sendiri.

    Kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat dewasa ini

    menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan antara anggota masyarakat itu

    sendiri maupun ketidakpercayaan dengan aparat penegak hukum dan

    pemerintah. Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat

    ini, mengakibatkan timbulnya kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat

    yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat dalam

    setiap anggota masyarakat tersebut. Kondisi yang terjadi setiap hari dan

    dialami oleh masyarakat misalnya penjambretan, penodongan, pencurian,

  • xiv

    perampokan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, tawuran remaja, atau

    lebih dikenal dengan kejahatan jalanan atau street crime menjadi

    tantangan bagi proses penegakan hukum.

    Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan seperti diuraikan diatas,

    maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya

    persoalan kejahatan ini. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan

    konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha

    pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan

    hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana (Muladi dan Barda

    Nawawi, 1998:148).

    Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun

    seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan

    meresahkan masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban

    umum yang terdapat dalam Pasal 153-181. Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan bahwa : Barangsiapa di muka

    umum, bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang

    dapat dilihat dalam pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang memberi batasan

    untuk dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan.

    Dibandingkan dengan tindak pidana kekerasan lainnya yang terdapat

    juga dalam KUHP, Pasal 170 KUHP memiliki ancaman pidana yang lebih

    berat daripada pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk kekerasan yang lain

    dalam KUHP. Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP lebih menegaskan lagi bahwa

    Yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun,

    kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang

    dilakukanya itu menyebabkan orang mendapat luka. Dalam pasal ini bukan

    hanya unsur kekerasan saja, namun unsur menyebabkan orang mendapat luka

    termasuk didalamnya. Dilihat dari unsurnya, Pasal 170 KUHP memiliki suatu

    perbedaan terhadap Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana yang

    dilakukan lebih dari satu orang.

  • xv

    Seseorang yang melakukan tindak pidana yang tergolong dalam Pasal

    170 ayat (1) maupun ayat (2) KUHP haruslah diproses berdasarkan peraturan

    hukum yang berlaku. Hal ini akan menjadi tanggung jawab hakim dalam

    menentukan penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana tersebut sesuai

    dengan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut.

    Hakim sebagai salah satu penegak hukum yang berperan penting dalam

    peradilan haruslah dapat bersikap seadil-adilnya, karena hakim memiliki

    posisi sentral dalam proses penegakan hukum yang mampu menjatuhkan

    putusan terhadap pelaku tindak pidana. Putusan hakim sangatlah penting

    karena merupakan tolak ukur pemahaman hakim atas suatu perkara dari tindak

    pidana yang dipersidangkan dalam pengadilan serta menjadi puncak dalam

    perjuangan memperoleh keadilan.

    Sesuai dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim

    memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang secara

    tersendiri serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang

    terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Hakim dapat memberikan pidana

    terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-

    undangan sesuai dengan pemikiran dari hakim itu sendiri.

    Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri

    Boyolali terhadap pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang

    tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang

    yang menyebabkan luka atau pengrusakan pada barang (pengeroyokan),

    hakim harus mempunyai implementasi dalam pasal tersebut yang nantinya

    dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana tersebut.

    Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk

    mengadakan penelitian dengan judul : KAJIAN YURIDIS

    IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG

    TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN

    KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGROYOKAN) (Studi Kasus

    di Pengadilan Negeri Boyolali).

  • xvi

    B. Perumusan Masalah

    Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk

    mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai

    menjadi jelas, tegas, terarah, serta tercapai sasaran yang diharapkan. Dalam

    penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :

    1. Bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang

    tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap

    orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali?

    2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri

    Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana

    dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang

    mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1

    KUHP?

    C. Tujuan Penulisan

    Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan

    masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti

    mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.

    Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun

    tujuan penelitian ini adalah :

    1. Tujuan Obyektif

    a. Untuk mengetahui implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP

    tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan

    terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri

    Boyolali.

    b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri

    Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana

    dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang

    mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1

    KUHP.

    2. Tujuan Subyektif

  • xvii

    a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang

    hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam

    lapangan Hukum Pidana.

    b. Untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam meneliti di bidang ilmu

    hukum khususnya Hukum Pidana.

    D. Manfaat Penulisan

    Manfaat dari penulisan yang penulis lakukan adalah :

    1. Manfaat Teoritis

    a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Hukum

    Pidana, terutama berhubungan dengan implementasi Pasal 170 ayat

    (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama

    melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di

    Pengadilan Negeri Boyolali.

    b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen,

    atau pembaca yang tertarik dalam Hukum Pidana.

    2. Manfaat Praktis

    a. Untuk melatih mengembangkan pola pikir yang sistematis sekaligus

    untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang

    telah diperoleh.

    b. Dengan disusunnya penulisan hukum ini maka dapat digunakan

    sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum

    pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    E. Metode Penulisan

    Metode artinya adalah jalan ke, sedangkan penelitian adalah suatu

    kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan

    secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1986:42).

    Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian kegiatan

    ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten untuk

    memperoleh data yang lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan secara

  • xviii

    ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Metode yang digunakan

    peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Jenis Penelitian

    Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian

    yang dilakukan ini mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian

    hukum normatif sering disebut juga penelitian hukum doktrinal atau

    kepustakaan karena penelitian ini hanya meneliti dan mengkaji bahan-

    bahan hukum tertulis dan banyak dilakukan di perpustakaan.

    2. Sifat Penelitian

    Apabila dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini termasuk

    penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan

    untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau

    gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif ini adalah

    terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu

    didalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun

    teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 :10).

    3. Jenis data

    Dalam penelitian hukum normatif ini, jenis data yang digunakan

    peneliti berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang

    diperoleh dari penelaahan dokumen dari penelitian serupa yang pernah

    dilakukan sebelumnya, bahan-bahan pustaka seperti buku-buku, artikel,

    literatur, koran, majalah, jurnal, internet, perundang-undangan, dan lain

    sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta putusan

    Pengadilan Negeri Boyolali mengenai perkara tindak pidana kekerasan

    bersama dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.

    4. Sumber Data

    Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari :

    a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

    kekuatan secara yuridis, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Boyolali

  • xix

    Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi tentang tindak pidana Pasal 170 ayat

    (2) ke-1 KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab

    Undang-undang Hukum Acara Pidana.

    b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi

    penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa pendapat para ahli,

    surat kabar, majalah, internet dan jurnal, hasil penelitian yang

    berkaitan dengan masalah yang diteliti.

    c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

    seperti :

    1) Kamus bahasa

    2) Kamus hukum

    3) Ensiklopedia

    5. Teknik Pengumpulan Data

    Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

    yaitu studi dokumen atau bahan pustaka yang terkait dengan masalah yang

    akan diteliti tentang tindak pidana dengan menggunakan kekerasan

    terhadap orang yang mengakibatkan luka.

    6. Teknik Analisis Data.

    Terhadap data yang telah terkumpul, diperlukan suatu teknik

    analisis data agar data yang telah terkumpul dapat digunakan untuk

    mencapai tujuan dari penelitian yaitu mendapatkan jawaban dari

    permasalahan yang diteliti. Analisis data yaitu menguraikan data dalam

    bentuk rumusan angka-angka, sehingga kemudian dibaca dan diberi arti

    bila data itu kuantitatif dan menguraikan data dalam bentuk kalimat yang

    baik dan benar sehingga mudah dibaca dan diberi arti (diinterpretasikan)

    bila data itu kualitatif. (Abdulkadir Muhammad, 2004:92). Dalam

    penelitian hukum ini, peneliti menggunakan teknik analisis isi atau content

    analysis yang kemudian menganalisisnya secara kualitatif. Data

  • xx

    dikumpulkan, kemudian dianalisis melalui tiga tahap, dengan menyeleksi

    dan mengklarifikasi data yaitu :

    a. Mereduksi data

    Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas,

    menyederhanakan, membuat fokus dan membuang hal-hal yang

    kurang mendukung penelitian pada tahap pengumpulan data. Proses

    reduksi data ini berlangsung terus menerus, mulai dari pengumpulan

    data, sampai penelitian selesai.

    b. Menyajikan data.

    Data yang dikumpulkan dan direduksi kemudian disajikan

    menjadi sekumpulan informasi yang telah tersusun sehingga

    memungkinkan penarikan kesimpulan sehingga peneliti mengerti dan

    memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

    c. Menarik kesimpulan.

    Setelah melaksanakan tahapan-tahapan tersebut diatas yang

    meliputi reduksi data dan penyajian data, maka selanjutnya yang harus

    dilakukan oleh peneliti adalah menarik kesimpulan dengan verifikasi

    selama penelitian berlangsung.

    Gambar 3

    Pengumpulan Data

    Sajian Data Reduksi Data

    Penarikan Kesimpulan / Verifikasi

  • xxi

    Siklus Analisis Data Model Interaktif

    F. Sistematika Penulisan Hukum

    Dalam mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan

    memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi ini, penulis

    menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum. Dengan demikian

    dapat diketahui hal-hal yang saling berkaitan dengan pembahasan yang saling

    berhubungan dengan pokok permasalahan yang diangkat ke dalam penulisan

    hukum ini. Adapun Penulis menyusun sistematika penulisan hukum sebagai

    berikut :

    BAB I : PENDAHULUAN

    Pada bab ini penulis memberikan gambaran awal tentang

    penulisan yang dilakukan yang terdiri dari, latar belakang masalah,

    perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode

    penulisan yang dipergunakan dalam penulisan ini, dan yang

    terakhir adalah sistematika penulisan hukum untuk memberikan

    pemahaman terhadap isi dari penulisan ini secara garis besar.

    BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini menguraikan tentang Kerangka Teori yang berupa

    Tinjauan tentang Tindak Pidana terdiri dari Istilah dan Pengertian

    Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana, Jenis Tindak Pidana

    dan Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan. Tinjauan tentang

    Pidana terdiri dari Pengertian Pidana, Jenis-jenis Pidana, Teori

    Pemidanaan, dan Tinjauan tentang Perbedaan Pasal 55 dan Pasal

    56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang

    Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama. Bab ini

    juga memuat tentang Kerangka Pemikiran dari penelitian yang

    diteliti.

    BAB III : HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN

  • xxii

    Dalam bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan

    pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu :

    Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana

    dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang

    mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. Selain itu juga

    membahas tentang Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri

    Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana

    dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang

    mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2)

    ke-1 KUHP.

    BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN

    Pada bagian akhir dari penulisan hukum ini, berisi tentang

    simpulan dari hasil penulisan hukum yang telah diteliti oleh

    penulis dan berisi tentang saran-saran terhadap beberapa

    kekurangan dalam penelitian yang menurut penulis perlu

    diperbaiki, yang penulis temukan selama penulisan.

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kerangka Teori

    1. Tindak Pidana

    a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

    Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana

    merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

    larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

    barangsiapa melanggar larangan tersebut (Adam Chazawi, 2002:71).

  • xxiii

    Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang

    peristilahan strafbaarfeit atau tindak pidana, antara lain :

    1) Moeljatno dan Roeslan Saleh, menterjemahkan dengan istilah

    Perbuatan Pidana

    2) Soedarto dan Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan dengan

    istilah Tindak Pidana

    3) R. Tresna dan Zainal Abidin, menterjemahkan dengan istilah

    Peristiwa Pidana

    4) Leden Marpaung, menterjemahkan dengan istilah Delik

    Terdapat beberapa definisi mengenai tindak pidana yang

    dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu :

    1) Simons

    Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah

    dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

    yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

    undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

    dihukum (PAF Lamintang, 1984:185).

    2) Wirjono Prodjodikoro

    Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3

    (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum

    ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh

    pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana

    (Wiryono Prodjodikoro, 2002:01)

    3) Pompe

    Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan

    terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan

    sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan

    hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

  • xxiv

    terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum

    (PAF Lamintang, 1984:182).

    4) R Tresna

    Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan

    manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

    perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

    tindakan penghukuman (Adam Chazawi, 2002:73).

    Dalam beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut

    pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah Tindak

    Pidana dan Perbuatan Pidana, dengan alasan selain mengandung

    pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat

    praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya.

    Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan

    yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

    ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa

    melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002:54). Menurut

    Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih

    tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

    1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

    2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

    3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Adam Chazawi, 2002: 71).

    Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana

    yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan

    menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

  • xxv

    1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana, 4) pelakunya diancam dengan pidana Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4)

    merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana (Sudradjat Bassar,

    1986:2).

    Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai

    perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang

    dikehendaki oleh hukum (Roeslan Saleh, 1981:9). Beliau membedakan

    istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan

    perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang

    oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak

    pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau

    karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

    Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan

    dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis

    berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsur

    perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat

    melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab

    digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan

    untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang

    berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan

    pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut

    telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang,

    maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai

    pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus

    ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai

    kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh

    apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat

    dipidana.

  • xxvi

    Adanya pandangan tentang kedua paham tersebut diatas, maka

    sangat berpengaruh terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh

    lebih dari satu orang (penyertaan). Sebagai contoh, A bersama dengan

    B melakukan pengrusakan terhadap barang milik C, maka menurut

    pandangan monistis maka A dan B semua dipenjara. Sedangkan

    menurut pandangan dualistis, jika A dan B (sehat akalnya semua),

    maka A dan B dapat dipidana tetapi apabila A (sehat akalnya) dan B

    (tidak sehat akalnya) maka A dapat dipidana dan B tidak dapat

    dipidana karena mengalami gangguan jiwa (tidak sehat akalnya) sesuai

    dengan Pasal 44 KUHP yang dalam pasal tersebut seseorang yang

    mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan

    perbuatannya. Ini dikarenakan dalam pandangan dualistis,

    pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan perbuatan pidana para

    pelaku.

    Indonesia menganut Paham Dualistis, terbukti dalam Kitab

    Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49,

    Pasal 50, Pasal 51 KUHP yang mengatur tentang tidak dipidananya

    seseorang walaupun telah melakukan suatu tindak pidana karena

    alasan-alasan tertentu, yaitu :

    1) Cacat jiwa;

    2) Daya paksa;

    3) Pembelaan terpaksa;

    4) Melaksanakan ketentuan undang-undang;

    5) Perintah jabatan.

    b. Unsur-unsur Tindak Pidana

    Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka

    harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang

    diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip

    intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan

    menjadi 2 (dua) segi yaitu :

  • xxvii

    1) Unsur Subyektif

    Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau

    berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang

    bersangkutan dengan batinnya.

    Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

    a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);

    b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya;

    c) Ada atau tidaknya perencanaan;

    2) Unsur Obyektif

    Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan

    lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan

    berada diluar batin si pelaku.

    a) Memenuhi rumusan undang-undang

    b) Sifat melawan hukum;

    c) Kualitas si pelaku;

    d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan

    dengan akibatnya.

    Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu

    faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul

    dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

    c. Jenis Tindak Pidana

    Tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai

    berikut:

    1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam

    Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III.

    Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan

    keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak

    mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak

    pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat

  • xxviii

    baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundang-

    undangan yang mengaturnya.

    Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) (Smidt I hlm 63

    dan seterusnya) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan

    adalah rechtsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun

    tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana,

    telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata

    hukum. Sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten yaitu

    perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat

    diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian

    (Moeljatno, 2002:71).

    Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas

    kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana.

    Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam

    Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat

    daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat

    dari :

    a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana,

    sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

    b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak

    pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan

    melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

    c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana

    menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan,

    sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

    d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya

    diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah

    hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan

    pelanggaran jabatan.

  • xxix

    e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak

    penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek

    daripada kejahatan.

    f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), sistem

    penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan

    sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus

    pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

    2) Menurut cara perumusannya, dibedakan antara Tindak Pidana

    Formil dan Tindak Pidana Materiil

    Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

    dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika

    seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang

    itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan

    bagaimana akibat dari perbuatan itu.

    Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan

    sebagai perbuatan yang berwujud mengambil barang tanpa

    mempersoalkan akibat tertent dari pengambilan barang tersebut..

    Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang

    dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau

    tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya

    sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak

    dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan,

    yang dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan matinya

    orang lain.

    Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam

    pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan

    pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri

    keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk

    menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan

    akibat yang dilarang.

  • xxx

    3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan Tindak Pidana Dolus

    dan Tindak Pidana Culpa

    Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat

    unsur kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP

    tentang Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang

    kesengajaan membakar atau menyebabkan peletusan atau banjir.

    Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur

    kealpaan dalam perumusannya. Contoh : Pasal 359 KUHP tentang

    kealpaan yang menyebabkan orang mati atau luka.

    4) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan Tindak Pidana Aktif

    (Delik Comissionis) dan Tindak Pidana Pasif (Omisionis)

    Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa

    perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk

    mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh

    orang yang berbuat. Contoh : Pasal 362, 338, dan 378 KUHP.

    Tindak pidana Omisionis yaitu tindak pidana yang berupa tidak

    berbuat sesuatu. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak

    pidana pengabaian suatu kewajiban hukum (Adam Chazawi,

    2002:129). Contoh : Pasal 531 KUHP tentang Pelanggaran

    terhadap orang yang perlu ditolong.

    Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa

    yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi

    dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat (Moeljatno, 2002:76).

    Sebagai contoh seorang ibu sengaja tidak memberi makan kepada

    bayinya, lalu anak itu mati kelaparan, maka ibu tersebut dapat

    dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP.

    5) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,

    dibedakan Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Biasa

    Tindak pidana aduan timbul karena adanya pengaduan dari

    korban atau keluarga korban yang dirugikan. Contoh : Pasal 310

    KUHP tentang pencemaran nama baik. Tindak pidana biasa

  • xxxi

    merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum

    dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada

    aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat

    dituntut secara hukum.

    6) Dilihat dari subyek hukumnya, dibedakan Tindak Pidana

    Communia dan Tindak Pidana Propia

    Tindak Pidana Communia adalah tindak pidana yang dapat

    dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana

    memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia

    adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang

    berkualitas tertentu (Adami Chazawi, 2002:131). Contoh : Pasal

    346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan

    kandungannya sendiri.

    7) Berdasarkan berat ringannya ancaman pidana, dibedakan Tindak

    pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang

    diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang

    diperingan (gepriviligieerde delicten)

    Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara

    lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan

    pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung

    pengertian yurudis dari tindak pidana tersebut, contoh Pasal 362

    tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat

    maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam

    bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat

    memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

    Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang

    meringankan, maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun

    menjadi lebih ringan daripada dalam pasal bentuk pokoknya.

    Contoh tindak pidana yang diperberat : Pasal 340 KUHP tentang

    pembunuhan berencana (unsur yang memperberat ialah adanya

    perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak pidana yang

  • xxxii

    diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang dilakukan

    oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang

    memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu).

    d. Pengertian Tindak Pidana dengan Terang-terangan danTenaga

    Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan)

    1) Pengertian dengan terang-terangan

    Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tindak pidana

    pengeroyokan diatur dalam Pasal 170 KUHP yang berbunyi:

    ayat (1) :

    Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama

    menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam

    dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

    ayat (2) :

    Yang bersalah diancam :

    ke-1 dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia

    dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan

    yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

    ke-2 dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika

    kekerasan mengakibatkan luka berat;

    ke-3 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika

    kekerasan mengakibatkan maut;

    ayat (3) :

    Pasal 89 tidak diterapkan.

    Kata terang-terangan dapat dikatakan di hadapan publik.

    Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa terang-terangan

    dalam pengertian tidak bersembunyi, ini berarti tidak perlu di muka

    umum tetapi cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan

    orang lain dapat melihatnya (Soenarto Soerodibroto, 1991:105).

    Dapat dikatakan apabila terjadi suatu kekerasan dilakukan dalam

    suatu rumah dan publik melihatnya, maka itu juga dapat dikatakan

  • xxxiii

    sebagai terang-terangan. Dalam hal melakukan kekerasan yang

    dilakukan di tempat yang sunyi dan tidak diketahui oleh orang atau

    umum, maka tidak dapat digolongkan dalam Pasal 170 KUHP ini.

    Kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP ini termasuk

    kejahatan terhadap ketertiban umum. Sedangkan bagi yang

    melakukan kekerasan yang tidak terlihat oleh umum maka dapat

    digolongkan sebagai penganiayaan.

    Menurut Simon yang dikutib oleh Moeljatno tentang kata

    terang-terangan atau (openlijk) diartikan apabila dilakukan di

    depan umum namun tidak ada publik yang melihatnya, disitu tidak

    dapat dikatakan terang-terangan, sedangkan apabila perbuatan

    kekerasan tersebut dilakukan dalam rumah dan sempat terlihat oleh

    publik melalui jendela rumah maka itu sudah dapat dikatakan

    terang-terangan (Moeljatno, 1984:129).

    2) Pengertian Tenaga Bersama

    Arti kata tenaga bersama atau secara bersama-sama

    dalam penjelasan Pasal 170 KUHP yaitu dilakukan oleh dua orang

    atau lebih bersama-sama melakukan suatu perbuatan (R. Sugandhi,

    1981:190). Sedangkan apabila dalam melakukan suatu kekerasan

    yang dilakukan oleh satu orang saja maka pelaku tersebut tidak

    dapat dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) ke-2 KUHP ini. Dalam

    melakukan tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak

    pidana pengeroyokan, harus memuat pelaku yang dilakukan oleh

    dua otang atau lebih. Noyon Langemeyer berpendapat bahwa

    untuk dikenai Pasal 170 ayat(1) ke-2 KUHP adalah 2 (dua) orang

    sudah cukup. Pendapat Noyon Langemeyer didukung oleh

    Moeljatno bahwa menggunakan tenaga bersama, dimana 2 (dua)

    orang sudah dapat merupakan tenaga bersama (Moeljatno,

    1984:126).

  • xxxiv

    Tenaga bersama disini menunjuk pada bentuk penyertaan

    atau medeplegen (turut serta melakukan), dan untuk mengadakan

    kerjasama kekerasan harus dilakukan setidak-tidaknya minimal 2

    (dua) orang secara bersekutu. Para pelaku masing-masing

    mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta

    melakukan perbuatan tersebut. Para pelaku tersebut harus

    menginsafi bahwa ia bekerja sama dengan orang-orang lain, sebab

    hanya dengan demikianlah dapat diadakan pertanggungjawaban

    atas perbuatannya orang lain (Moeljatno, 1984:125).

    3) Melakukan Kekerasan

    Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku

    baik yang terbuka ataupun tertutup yang disertai penggunaan

    kekuatan kepada orang lain dan bersifat menyerang atau bertahan

    (Thomas Susanto, 2002:11). Kekerasan (Geweld) mengandung

    pengertian menggunakan tenaga fisik atau jasmaniah tidak kecil

    secara tidak sah, misalnya memukul, menyepak, menendang

    dengan tangan atau senjata dan sebagainya. Kekerasan dilakukan

    secara terbuka dan dengan kekuatan yang terkumpul, hingga

    kejahatan ini merupakan kejahatan terhadap ketertiban umum

    dimana korban yang dirugikan kurang diperhatikan.

    Menurut Thomas Susanto, terdapat jenis-jenis kekerasan

    yang terbagi dalam 4 (empat) bentuk yaitu :

    a) Kekerasan Terbuka, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh

    seseorang atau beberapa orang yang dapat dilihat oleh publik

    secara kasat mata, seperti perkelahian antar pelajar.

    b) Kekerasan Tertutup, merupakan kekerasan yang dilakukan

    secara tersembunyi atau tidak dilakukan secara fisik. Publik

    tidak mengetahui adanya dilakukan kekerasan jenis ini.

    Kekerasan ini lebih ditujukan pada psikologis korban seperti

    perilaku mengancam.

  • xxxv

    c) Kekerasan Agresif, merupakan kekerasan yang dilakukan tidak

    untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu.

    d) Kekerasan Defensif, merupakan kekerasan yang dilakukan

    sebagai tindakan, pelindung diri. Baik kekerasan agresif

    maupun kekerasan defensif dapat bersifat terbuka ataupun

    tertutup (Thomas Susanto, 2002:13).

    Pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP

    ini tidak dijelaskan secara detail hanya dijelaskan cara

    dilakukannya kekerasan dalam beberapa cara yaitu : perusakan

    terhadap barang; penganiayaan terhadap orang atau hewan;

    melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah; membuang-

    buang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya (R.

    Sugandhi, 1981:190).

    Pengaturan mengenai pengertian kekerasan dalam KUHP

    terdapat pada Pasal 89 KUHP yang berbunyi :

    Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu membuat

    orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi.

    Dalam Pasal 89 KUHP tersebut arti dari melakukan kekerasan

    adalah dengan menggunakan tenaga secara jasmani sekuat

    mungkin secara tidak sah yang menyebabkan orang yang menjadi

    korban dari kekerasan tersebut merasakan sakit akibat kekerasan

    tersebut. Namun pengertian kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1)

    KUHP memiliki perbedaan pengertian kekerasan yang terdapat

    dalam Pasal 89 KUHP, dimana dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP

    berbunyi Pasal 89 KUHP tidak diterapkan. Perbedaan tersebut

    terletak pada obyek yang dimaksudkan. Pasal 89 KUHP dijelaskan

    bahwa obyek yang menjadi sasaran dalam melakukan kekerasan

    ditujukan terhadap orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

    Sedangkan obyek sasaran yang menjadi inti dari pengertian

    kekerasan dalam Pasal 170 KUHP lebih meluas, tidak hanya

    ditujukan kepada orang tetapi juga barang yang menjadi sasaran

  • xxxvi

    kekerasan termasuk di dalamnya serta penggunaan alat dalam

    melakukan tindak pidana kekerasan tersebut.

    Berdasarkan 4 (empat) pengertian kekerasan yang diutarakan

    oleh Thomas Susanto, kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170

    KUHP termasuk kekerasan terbuka dimana kekerasan tersebut

    dilakukan oleh seseorang ataupun beberapa orang melakukan

    kekerasan secara fisik yang dilakukan di tempat dimana dapat

    diketahui atau dilihat oleh publik.

    Kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP secara

    keseluruhan ini menitikberatkan pada seseorang yang melakukan

    suatu perbuatan kekerasan terhadap orang maupun barang bukan

    suatu ancaman kekerasan atau mengatakan tentang kekerasan.

    Di tempat mana publik mengetahui orang tersebut sedang

    melaksanakan kekerasan tersebut kepada orang lain atau barang

    maka orang tersebut dapat dikenai Pasal 170 KUHP.

    4) Menyebabkan Luka

    Pengertian luka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun

    1991 yaitu pertama, belah (pecah, cedera, lecet, dsb) pada kulit

    karena kena barang tajam; kedua, menderita luka. Definisi luka

    yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP merujuk pada

    Pasal 90 KUHP dimana termasuk memiliki pengertian luka berat,

    sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP yang berbunyi :

    Luka berat berarti :

    a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;

    b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian;

    c) tidak dapat lagi memakai salah satu pancaindera; d) mendapat cacat besar; e) lumpuh (kelumpuhan); f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat

    minggu; g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

  • xxxvii

    Khusus Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, kata luka bukan

    merupakan pengertian dari luka berat yang diatur dalam Pasal 90

    KUHP yang mana penyembuhannya memerlukan waktu yang

    sangat lama atau dapat menyebabkan cacat bagi orang yang

    menderita. Pengertian luka dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP

    tersebut masih tergolong dapat disembuhkan dengan sempurna dan

    tidak mendatangkan bahaya maut yang diderita oleh seseorang

    akibat dari suatu tindak pidana kekerasan dikarenakan tergolong

    luka ringan. Seseorang yang mengalami luka, baik luka berat

    maupun luka ringan perlu didukung dengan adanya visum et

    repertum dari rumah sakit yang digunakan yang ditanda tangani

    oleh seorang dokter sebagai bukti surat dalam penanganan tindak

    pidana terkait dalam Pasal 170 KUHP ini maupun tindak pidana

    kekerasaan yang lain dalam KUHP.

    2. Tinjauan tentang Pidana

    a. Pengertian Pidana

    Istilah hukuman dalam lingkungan masyarakat terkadang

    disamaartikan dengan istilah pidana, padahal kenyataannya kedua

    istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah hukuman

    memiliki pengertian yang lebih luas sehingga bidang yang dicakup

    juga luas. Istilah hukuman sering digunakan dalam kehidupan

    sehari-hari misalnya dalam bidang pendidikan, moral, agama, dan

    sebagainya. Sedangkan istilah pidana digunakan khusus dalam

    bidang hukum sehingga memiliki makna yang lebih tegas terhadap

    setiap pelanggar hukum.

    Pidana merupakan reaksi atas delik yang dijatuhkan yang

    berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas

    terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Namun

    apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka dapat dibebaskan, ini

  • xxxviii

    dikarenakan dalam sistem hukum di Indonesia menganut asas praduga

    tidak bersalah (presumption of innocence).

    Pidana mempunyai istilah yang lebih khusus maka perlu ada

    pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan

    sifat dari pidana itu sendiri. Dalam memberikan gambaran yang lebih

    luas, Soedarto memberikan definisi pidana sebagai penderitaan yang

    sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

    memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Menurut Roeslan Saleh,

    memberikan definisi pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud

    suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat

    tindak pidana tersebut (dalam buku Muladi dan Barda

    Mawawi,1998:2).

    Berdasarkan definisi dari 2 (dua) tokoh diatas, dapat disimpulkan

    bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

    a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

    b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang).

    c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang (Muladi dan Barda Mawawi, 1998:5).

    b. Jenis-jenis Pidana

    Dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jo.

    Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, pidana dibedakan menjadi 2

    (dua) kelompok, antara pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan

    dari pidana menunjukan berat ringannya pidana. Pidana terberat adalah

    pidana yang pertama kali disebutkan, dan urutan berikutnya

    menunjukan pidana yang semakin ringan.

    Pidana pokok terdiri dari :

    1) pidana mati;

    2) pidana penjara;

    3) pidana kurungan;

  • xxxix

    4) pidana denda;

    5) pidana tutupan (Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946).

    Pidana tambahan terdiri dari :

    1) pidana pencabutan hak-hak tertentu;

    2) pidana perampasan barang-barang tertentu;

    3) pidana pengumuman putusan hakim.

    c. Teori Pemidanaan

    Masyarakat dari tahun ke tahun telah mengenal pemidanaan

    dengan berbagai cara, hal itu dilakukan agar orang yang berbuat jahat

    tidak mengganggu hubungan yang terjalin dalam masyarakat. Oleh

    karena itu hukum pidana memberikan teori-teori tentang pemidanaan

    atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Beberapa teori-

    teori pemidanaan antara lain :

    1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan

    Teori ini berpendapat bahwa penjatuhan yang berupa

    penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah

    membuat penderitaan terhadap orang lain. Menjatuhkan pidana

    tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi

    satu-satunya penderitaan bagi penjahat. Pidana secara multak harus

    ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan

    kejahatan. Teori ini dikatakan sebagai teori pembalasan karena

    sebenarnya inti dari teori ini adalah untuk mencapai kepuasan hati.

    Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana

    tersebut. Setiap kejahatan harus mendapatkan pidana terhadap

    orang yang melakukan kejahatan. Aliran ini dipengaruhi oleh para

    filosof seperti Imanuel Kant, Hegel, Stahl, dan Herbert.

    2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

  • xl

    Teori relatif ini mencari dasar hukum pidana dalam

    menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan

    untuk prevensi terjadinya kejahatan (Andi Hamzah 1994:34).

    Dalam teori ini terdapat adanya suatu pengambilan tindakan yang

    tidak bersifat pidana secara positif dianggap baik oleh pihak

    pemerintah. Tindakan ini misalnya berupa mengawasi perilaku

    setiap penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta

    dalam bidang sosial (Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983:27).

    Teori relatif ini terbagi dua prevensi yaitu pertama, prevensi

    general atau umum yang menyatakan pidana yang dijatuhkan pada

    penjahat ditujukan agar masyarakat menjadi takut untuk berbuat

    jahat. Masyarakat diberikan suatu pandangan bahwa penjahat yang

    dijatuhi pidana dapat dijadikan contoh oleh masyarakat agar

    masyarakat tidak meniru perbuatan yang serupa dilakukan oleh

    penjahat tersebut.

    Kedua, prevensi special atau khusus menyatakan bahwa

    tujuan pemidanaan adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah

    dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan tindak pidana

    dengan adanya sosialisasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga

    sosial yang telah diberikan suatu tanggung jawab untuk perbaikan

    diri dari pelaku kejahatan agar kehidupan nantinya dapat menjadi

    lebih baik setelah kembali dalam lingkungan masyarakat. Teori ini

    disebut teori tujuan karena untuk memidana seseorang harus dilihat

    apa tujuannya, disamping hanya menjatuhkan pidana. Jadi

    memberikan tindakan kepada pelaku kejahatan lebih diutamakan

    agar kejahatan itu tidak terulang lagi atau lebih bersifat prevensi.

    3) Teori Gabungan

    Teori gabungan merupakan perpaduan dari teori absolut dan

    teori relatif, pidana dijatuhkan selain sebagai sarana untuk

    pembalasan bagi pelaku kejahatan, namun juga pidana digunakan

    untuk mencegah masyarakat lainnya agar tidak melakukan

  • xli

    kejahatan karena ancaman pidana yang diberikan dan bagi pelaku

    sebelumnya tidak mengulangi penderitaan dari pidana akibat

    kejahatan yang telah dia lakukan sebelumnya.

    Disimpulkan bahwa pemidanaan merupakan suatu

    penjatuhan pidana oleh majelis hakim kepada pelaku tindak pidana

    di suatu pengadilan dan bertujuan untuk mencegah dilakukannya

    tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

    pengayoman masyarakat (Andi Hamzah dan Siti Rahayu,

    1983:95).

    3. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan

    dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan

    dengan Tenaga Bersama

    Suatu tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang baik

    sebagai kejahatan maupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek

    hukum pidana) dan hanya sebagian kecil terdapat tindak pidana yang

    ditujukan pada suatu badan hukum yang terdapat diluar KUHP.

    Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan

    tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun

    sering terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang.

    Dalam hal ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau deelneming.

    Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua

    bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis

    maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga

    melahirkan suatu tindak pidana (Adam Chazawi, 2002:73). Menurut Van

    Hamel, memberikan definisi penyertaan sebagai ajaran

    pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu

    tindak pidana yang menurut pengertian undang-undangan, dapat

    dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri (AK Moch

    Anwar, 1981 :3).

  • xlii

    Permasalahan penyertaan diatur dalam Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana Buku I Bab V yaitu dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

    Pasal 55 KUHP mengatur tentang apa yang disebut dengan pelaku atau

    dader, sedangkan Pasal 56 KUHP mengatur tentang pembantuan atau

    medeplichtigheid. Melihat Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP apabila ditinjau

    maka suatu penyertaan bukan hanya satu orang saja yang tersangkut dalam

    terjadinya tindak pidana, akan tetapi beberapa orang. Menurut Moeljatno,

    selain peserta yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut maka tidak ada

    peserta lain yang dapat dipidana (Moeljatno, 1977:01).

    a. Pelaku (Dader)

    Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut :

    1) Dipidana sebagai pembuat sesuatu tindak pidana ;

    ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang

    turut melakukan perbuatan;

    ke-2. orang yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

    menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

    ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

    sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya

    melaukan perbuatan.

    2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan

    sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

    Dalam Pasal 55 KUHP dapat dikelompokkan orang-orang yang

    disebut sebagai pembuat yaitu :

    1) mereka, yang melakukan perbuatan pidana. Arti kata dari

    melakukan adalah secara lengkap memenuhi semua unsur delik

    dan merupakan suatu bentuk tunggal dari pengertian

    berbuat.Orang itu sendiri yang melakukan delik tersebut.

    2) mereka, yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Arti kata

    menyuruhlakukan adalah bukan pelaku utama yang melakukan

    delik tersebut, namun pelaku utama tersebut menggerakkan orang

  • xliii

    lain, yang (dengan alasan apapun) tidak dapat dikenai pidana,

    melakukan suatu delik;

    3) mereka, yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Arti kata

    turut (serta) melakukan adalah bersepakat dengan orang lain

    membuat rencana untuk melakukan suatu delik dan secara

    bersama-saman melaksanakannya;

    4) mereka, yang membujuk supaya dilakukan perbuatan pidana. Arti

    dari membujuk adalah meminta orang lain untuk melakukan

    suatu delik dengan bantuan yang secara limitatif terdapat dalam

    Pasal 55 ayat (2) KUHP yang biasa disebut sarana-sarana

    pembujukan, membujuk orang lain yang memang dapat dipidana.

    Seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu

    perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindak-tindakannya

    memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang

    dapat dihukum tersebut (AK Moch.Anwar, 1981:7).

    Pertanggungjawaban yang dibebankan pelaku yang melakukan suatu

    tindak pidana adalah berdiri sendiri, pelaku tersebut harus

    bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang telah dilakukannya

    sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya.

    b. Pembantu (Medeplichtigheid)

    Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :

    Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana :

    ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu

    dilakukan;

    ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau

    keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

    Pasal 56 KUHP menjelaskan tentang medeplichtigheid atau

    pembantuan dimana ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam

    tindak pidana kejahatan, secara sengaja memberikan bantuan atau

    memberikan kesempatan serta daya upaya atau keterangan sehubungan

  • xliv

    dengan pelaksanaan tindak pidana. Medeplichtigheid atau pembantuan

    terjadi apabila terdapat 2 (dua) orang yang satu sebagai pembuat

    (dader) sedangkan yang lain sebagai pembantu (medeplichtigheid).

    Orang yang membantu dalam Pasal 56 KUHP ini khusus mereka yang

    membantu tindak pidana kejahatan. Sedangkan pembantuan dalam hal

    pelanggaran tidak dipidana karena terdapat ketentuan dalam Pasal 60

    KUHP. Pengertian orang yang membantu adalah mereka yang dengan

    sengaja memberi bantuan untuk melakukan kejahatan, sengaja

    memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan

    kejahatan.

    Unsur sengaja dalam medeplichtigheid ini merupakan unsur yang

    tidak dapat diabaikan karena unsur sengaja ditujukan pada perbuatan

    atau sikap dalam memberi bantuan. Menurut Simons, medeplichtigheid

    merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan

    yang tidak berdiri sendiri (PAF Lamintang, 1997:646). Maksud dari

    yang diutarakan Simons memiliki pengertian bahwa dalam hal

    pemidanaan bagi pembantu, ancaman pidananya akan tergantung pada

    apa yang dilakukan oleh si pembuat. Apabila si pembuat tidak dapat

    dipertanggungjawabkan secara pidana maka pembantuan tersebut tidak

    dipidana, begitu juga sebaliknya. Suatu Pembantuan atau

    medeplichtigheid terjadi pada saat sebelum terjadinya suatu kejahatan

    dan pada saat kejahatan tersebut dilaksanakan.

    Dikatakan secara jelas bahwa dalam suatu penyertaan diperlukan 2

    (dua) orang atau lebih dalam hal melakukan suatu tindak pidana sama

    seperti kata dengan tenaga bersama yang terdapat dalam Pasal 170 ayat

    (1) KUHP. Namun dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang

    mendasar antara penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56

    KUHP dengan penyertaan dalam Pasal 170 KUHP.

    Penyertaan membahas tentang peranan atau hubungan tiap-tiap

    peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang

    diberikan oleh tiap-tiap peserta agar tindak pidana tersebut dapat

  • xlv

    dilaksanakan/diselesaikan serta pertanggungjawabannya atas

    sumbangan/bantuan tersebut. Hubungan antara peserta dalam penyelesaian

    tindak pidana tersebut dapat bermacam-macam yaitu :

    a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan; b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan,

    sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut;

    c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana tersebut (AK. Moch Anwar, 1981:2-3).

    Menurut Wirjono Projodikoro, Pasal 170 KUHP tergolong bentuk

    pidana yang merupakan penyertaan mutlak perlu (Noodzakelijke

    Deelneming) yang dapat dipidana (Wirjono Projodikoro,2002:169).

    Penyertaan mutlak perlu bukan merupakan penyertaan dalam arti yang

    telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, melainkan suatu bentuk

    tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, dimana untuk

    mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari 1 (satu) pembuat

    (Adami Chazawi, 2002:160). Pasal 170 KUHP dalam hal dilakukan oleh

    lebih dari satu orang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP

    tentang turut serta melakukan dimana unsur dalam pasal tersebut adalah

    adanya niat dalam melaksanakan suatu perbuatan dengan kesadaran yang

    kemudian terjadi suatu kerjasama dalam melakukan perbuatan tersebut

    (AK. Moch Anwar, 1981:25). Apabila dalam kerjasama tersebut dilakukan

    tanpa kesadaran, perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan turut

    serta melakukan menurut pengertian Pasal 55 ayat (1) KUHP (AK. Moch

    Anwar, 1981:26).

    Pasal 170 KUHP yang termasuk penyertaan mutlak tidak selalu

    diperlukan kerjasama yang diinsyafi seperti pada penyertaan dalam Pasal

    55 dan Pasal 56 KUHP, hal ini tergantung pada bunyi dari isi pasal-pasal

    yang termasuk dalam tindak pidana penyertaan mutlak. Dalam Pasal 170

    ayat (1) KUHP hanya dijelaskan cara melakukan suatu kekerasan yang

    dilakukan lebih dari satu orang yang mana tidak disebutkan apakah

    melakukan kekerasan tersebut berdasarkan niat atau kerjasama dari kedua

  • xlvi

    pihak dalam melaksanakan tindak pidana tersebut. Pasal 170 KUHP

    merujuk pada akibat atas perbuatan yang dilakukan, oleh karena itu

    pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku berdiri sendiri, masing-

    masing pelaku mendapatkan suatu pertanggungjawaban pidana penuh atas

    perbuatan yang dilakukan masing-masing.

    B. Kerangka Pemikiran

  • xlvii

    Kerangka Pemikiran

    Terkadang tanpa disadari kejahatan maupun pelanggaran yang terjadi

    dalam masyarakat semakin meningkat dewasa ini. Ini dikarenakan kurangnya

    kesadaran hukum didalam masyarakat. Banyak kasus mengenai tindak pidana

    Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP

    Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan

    Pemidanaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP terhadap

    pelaku tindak pidana

    Pengadilan Negeri Boyolali

    Tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang (Pengeroyokan)

  • xlviii

    kekerasan yang dilakukan baik seorang diri maupun dilakukan secara

    bersama-sama. Kekerasan sekarang tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi

    juga secara psikis. Terdapat banyak kasus yang dikenakan dalam Pasal 170

    KUHP dimana pelaku tindak pidana lebih dari 1 (satu) orang atau dapat

    dikatakan sebagai tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan

    terhadap orang atau barang, seperti kasus yang terdapat dalam Pengadilan

    Negeri Boyolali.

    Dalam melakukan tugasnya sebagai hakim yang arif dan adil bagi

    pencari keadilan maka dibutuhkan suatu pertimbangan yang sangat matang

    dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana sebagaimana terdapat

    dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Ancaman pidana dalam Pasal 170

    KUHP sangat tinggi apabila diterapkan kepada terdakwa. Supaya pemidanaan

    dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP nantinya tidak timbul kesewenang-

    wenangan dan ketidakadilan, maka hakim dalam menerapkan penjatuhan

    pidana terhadap pelaku tindak pidana haruslah sesuai dengan kaidah hukum

    yang berlaku dengan tidak mengesampingkan rasa keadilan masyarakat.

    Sehingga pada ahkirnya pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim bagi

    pelaku tindak pidana telah mencerminkan rasa keadilan sosial serta

    memandang tinggi hak-hak asasi manusia. Diharapkan juga atas penjatuhan

    pidana terhadap terdakwa membuat terdakwa tidak melakukan lagi tindak

    pidana tersebut dan membuat terdakwa jera.

    BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Implementasi Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana

    dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang

    Mengakibatkan Luka di Pengadilan Negeri Boyolali

    Dalam Pasal 1 ayat (11) KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan

    hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

    pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

    menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Apabila

  • xlix

    perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan

    menyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

    didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka pengadilan menjatuhkan

    pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

    Hasil penelitian yang telah dilakukan penulis di Pengadilan Negeri

    Boyolali tentang studi kasus mengenai Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang

    tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang

    yang mengakibatkan luka (pengeroyokan), hakim telah memberikan putusan

    berupa pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana tersebut yang tertuang

    dalam Putusan Nomor :101/Pid.B/2007/PN.Bi. di Pengadilan Negeri Boyolali.

    Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 101/Pid.B/2007/PN.Bi

    Nama : Nur Cahyono alias Kembar bin Paino

    Tempat lahir : Boyolali

    Umur/Tanggal lahir : 22 tahun, 19 Oktober 1985

    Jenis kelamin : Laki-laki

    Kebangsaan : Indonesia

    Tempat tinggal :Dukuh Sanggrahan RT.05 RW.03 Desa Trayu,

    Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali

    Agama : Islam

    Pekerjaan : Swasta.

    1. Kasus Posisi

    Pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar jam 00.30 WIB

    Terdakwa Nur Cahyono dan saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum

    tertangkap) sedang tiduran di makam di desanya tiba-tiba didatangi

    Supriyanto yang mengatakan bahwa Sarno alias Itheng bertengkar dengan

    Warga Winong. Mendengar hal tersebut Terdakwa dan saudara kembarnya

    Nur Cahyanto (belum tertangkap) beserta Supriyanto pergi ke tempat

    dimana Sarno alias Itheng ditahan oleh warga Winong untuk melerai

    perkelahian. Sesampai ditempat tersebut, Terdakwa dan Sdr. Nur

    Cahyanto (belum tertangkap) langsung memukul Semi yang mengenai

  • l

    mata sebelah kanan. Tukimin alias Karyo yang melihat Semi dipukul oleh

    Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) berusaha melerai

    lagi, namun belum sempat melerai mereka, Tukimin alias Karyo malah

    dipukul Terdakwa dengan tangan kosong sebanyak kurang lebih 4 (empat)

    kali dan dipukul Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap)

    dengan menggunakan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang

    mengenai bagian atas mata sebelah kiri dan kening hingga mengeluarkan

    darah, kemudian Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap)

    mendorong Tukimin alias Karyo hingga jatuh, selanjutnya Tukimin alias

    Karyo ditendangi dengan menggunakan kedua kaki Terdakwa dan Sdr.

    Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) sebanyak kurang lebih 10

    (sepuluh) kali. Perkelahian mereka berhenti setelah Budi Giono dan Eko

    Susanto datang melerai perkelahian tersebut dan membawa Tukimin alias

    Karyo yang menderita luka ke Rumah Sakit Bayudono, Kecamatan

    Boyolali. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, Tukimin alias Karyo

    mengalami pusing dan muntah-muntah serta mengalami luka robek kurang

    leih 5 Cm sehingga harus dijahit sebanyak 6 (enam) jahitan dan Tukimin

    harus opname selama 1 (satu) hari di Rumah Sakit Banyudono Kabupaten

    Boyolali, sesuai dengan Visum et Repertum No.445/537/IV/2007 yang

    ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R dari Rumah Sakit Banyudono.

    2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

    Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tanggal 29 Mei

    2007 No. Reg.Perk PDM-24/Ep.2/05/2007 telah mendakwa sebagai

    berikut :

    --- Bahwa Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino dengan Sdr.

    Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) pada hari Minggu tanggal

    8 April 2007 sekitar jam 00.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu

    waktu dalam Bulan April 2007 bertempat di Perempatan Dukuh Winong,

    Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali atau setidak-

    tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk daerah Hukum Pengadilan

  • li

    Negeri Boyolali, dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan

    terhadap korban Tukimin alias Karyo yang menyebabkan korban

    mengalami luka, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

    a. Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, ketika korban

    Tukumin alias Karyo berusaha melerai perkelahian antara Saksi Sarno

    alias Itheng dengan Sdr. Jitheng, tiba-tiba datang terdakwa dengan

    Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) mendatangi

    tempat kejadian dan langsung memukul tetapi Saksi Semi yang

    mengenai mata sebelah kanan, namun Saksi Semi tidak mengalami

    luka;

    b. Bahwa melihat Saksi Semi dipukul Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto

    (belum tertangkap), maka korban Tukimin alias Karyo berusaha

    melerai lagi, namun belum sempat melerai ketiganya, korban malah

    dipukul terdakwa dengan tangan kosong sebanyak kurang lebih 4

    (empat) kali dan dipukul oleh Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum

    tertangkap) dengan menggunakan batu sebesar kepalan orang dewasa

    yang mengenai bagian atas mata sebelah kiri dan kening hingga

    mengeluarkan darah, kemudian Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto

    (belum tertangkap) mendorong korban hingga jatuh, selanjutnya

    korban ditendangi dengan menggunakan kedua kaki Terdakwa dan

    Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) sebanyak kurang

    lebih 10 (sepuluh) kali.

    c. Bahwa perbuatan Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar

    (belum tertangkap) baru berhenti setelah saksi Budi Giono dan saksi

    Eko susanto datang melerai perbuatan Terdakwa dan Sdr. Nur

    Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap), selanjutnya korban dibawa

    ke Rumah Sakit Banyudono, Kabupaten Boyolali.

    d. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban Tukimin alias

    Karyo mengalami pusing dan muntah-muntah sehingga mengalami

    luka robek kurang lebih 5 Cm sehingga harus dijahit sebanyak 6

    (enam) jahitan dan korban diharuskan opname selama 1 (satu) hari di

  • lii

    Rumah Sakit Banyudono, Kabupaten Boyolali, sesuai Visum et

    Repertum No.445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni

    Titisari R dari Rumah Sakit Banyudono. Perbuatan Terdakwa diatur

    dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana.

    3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

    Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya memohon

    Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali yang memeriksa dan

    mengadili perkara ini agar memutuskan sebagai berikut :

    a. Menyatakan Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino terbukti

    bersalah melakukan tindak pidana pengeroyokan, sebagaimana diatur

    dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP;

    b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin

    Paino dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangkan

    selama Terdakwa ditahan dengan perintah tetap ditahan;

    c. Menetapkan barang bukti berupa :

    1) 1 (satu) baju warna abu-abu motif kotak-kotak, dikembalikan

    kepada korban Tukimin alias Karyo

    2) Pecahan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa, dirampas

    untuk dimusnahkan;

    d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani untuk membayar biaya

    perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah)

    4. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali

    Telah mendengar pembelaan Terdakwa secara lisan yang

    mengajukan keringanan hukuman, keterangan saksi, serta adanya barang

    bukti, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam putusannya

    Nomor. 101/Pid.B/2007/PN.Bi telah memutuskan sebagai berikut :

    a. Menyatakan Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino terbukti

    secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

  • liii

    dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang

    mengakibatkan luka;

    b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

    penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari;

    c. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan

    seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

    d. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

    e. Memerintahkan barang bukti berupa:

    1) 1 (satu) buah baju warna abu-abu motif kotak-kotak, dikembalikan

    kepada saksi Tukimin alias Karyo

    2) 1 (satu) bongkahan pecahan batu sebesar kepalan tangan orang

    dewasa, dirampas untuk dimusnahkan;

    f. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

    sebesar Rp. 2000,- (dua ribu) rupiah.

    Analisis Kasus :

    Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa Nur Cahyono alias kembar

    bin Paino telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan

    tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang

    yang mengakibatkan luka, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

    Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Hal ini dapat kita ketahui karena unsur-unsur

    dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut

    adalah sebagai berikut :

    1. Unsur barang siapa

    Unsur barang siapa menunjukkan subyek hukum atau orang yang

    di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum karena melakukan suatu tindak

    pidana dan kepada Terdakwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas

    perbuatannya secara hukum. Unsur barang siapa dalam perkara ini adalah

    Terdakwa NUR CAHYONO alias KEMBAR bin PAINO yang setelah

    dinyatakan identitas Terdakwa di muka persidangan sama dan sesuai

    dengan identitas Terdakwa yang tercantum dalam Surat Dakwaan No.

  • liv

    Reg.Perk PDM-24/Ep.2/05/2007 oleh Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa

    mengakui perbuatan yang telah dilakukannya dan selama dalam

    pemeriksaan Terdakwa menyatakan dirinya sehat jasmani maupun rohani

    dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah

    dilakukannya. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur barang siapa telah

    terpenuhi.

    2. Unsur secara terang-terangan dengan tenaga bersama

    Bahwa pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar jam 00.30

    WIB di perempatan Jalan Dukuh Winong, Desa Canden, Kecamatan

    Sambi, Kabupaten Boyolali telah terjadi perkelahian antara Terdakwa

    bersama saudara kembar Terdakwa bernama Nur Cahyanto (belum

    tertangkap) berhadapan dengan beberapa Warga Dukuh Winong yang

    diantaranya bernama Tukimin alias Karyo. Pada waktu malam itu,

    Terdakwa bersama Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) yang sedang

    tiduran di makam di desanya setelah ada orang meninggal dunia didatangi

    Supriyanto yang mengatakan bahwa Sarno alias Itheng bertengkar dengan

    Warga Dukuh Winong, lalu terdakwa dan saudaranya segera menuju

    tempat tersebut yang bermaksud melerai Sarno alias Itheng dengan Warga

    Winong. Sesampai di sana, Warga Winong mengeroyok Nur Cahyono dan

    saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertan