repository.uksw.edu...Pakaian khas yang dikenakan komunitas Samin..... 27 . 11 BAB I PENDAHULUAN ......
Transcript of repository.uksw.edu...Pakaian khas yang dikenakan komunitas Samin..... 27 . 11 BAB I PENDAHULUAN ......
2
3
4
5
6
7
8
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Identitas Dan Pengesahan Laporan Akhir Hasil Penelitian
Hibah Bersaing ...........................………………........................... 2
Ringkasan …………………………………………………………....……….............. 3
Sumary ..... ........................................................................ 4
Prakata………………………………………......................…………………….…… 5
Daftar Isi…………………………...…………………………………..................….. 7
Daftar Tabel......................................................................... 8
Daftar Gambar .................................................................... 9
Bab I PENDAHULUAN………………….....................…………………………. 10
Bab II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.............................. 12
2.1. Tujuan................................................................. 12
2.2. Manfaat Penelitian................................................. 12
Bab III TINJAUAN PUSTAKA.............…………………………………………... 17
3.1. Interaksionalisme simbolik......………………………………..… 17
3.1.2. Pembelajaran berbasis two way communication……. 20
3.1.3. Kerangka berpikir ke arah pengembangan model.... 21
Bab IV METODOLOGI PENELITIAN…………….………………………………….. 22
Bab V HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………….….............… 24
5.1. Hasil…............…………………………………………………………..... 24
5.2 Pembahasan………………….…………………………………............. 28
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN……………………………................…… 43
6.1. Kesimpulan………………………………………….................……… 43
6.2. Saran……………………………………………………………….............. 43
Bab VII RENCANA PENELITIAN TAHAP SELANJUTNYA.................. 44
7.1. Tujuan Khusus....................................................... 44
7.2. Metode.................................................................. 44
7.3. Jadwal Kerja........................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....................… 47
LAMPIRAN….........………………………..……………..............……………....... 49
9
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Sekolah Formal dan Proses Belajar
Komunitas Samin........................................................ 40
Tabel 2. Rencana Pola Pembelajaran Komunitas Samin dengan
Model Komunikasi Dua Arah.......................................... 41
Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan...................................................... 47
10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. posisi tempat duduk dimana pemimpin menjadi sentral
(diujung)............................................................... 24
Gambar 2. Upacara perkawinan dalam kehidupan komunitas Samin,
dimana pemimpin menjadi sentral dalam upacara ini...... 25
Gambar 3. Pakaian khas yang dikenakan komunitas Samin............ 27
11
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan satu hal yang sangat urgen dalam kehidupan
manusia dewasa ini. Ditengah perkembangan teknologi yang sangat pesat serta
dalam era globalisasi pada saat ini, pendidikan menjadi satu keharusan dalam kehidun setiap orang. Tanpa pendidikan seorang individu akan tertinggal dan
tergilas oleh kemajuan jaman. Akibat yang sangat fatal adalah individu itu tidak
dapat survive dalam persaingan yang sangat ketat pada saat ini.
Tetapi sayangnya, pendidikan dan proses pembelajaran ini tidak dirasakan
dan tidak dilakukan oleh semua masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat
dan tidak semua komunitas mengenyam bangku pendidikan secara formal. Salah
satu komunitas yang tidak mengijinkan anggota komunitasnya mengenyam bangku pendidikan secara formal adalah komunitas Samin yang ada di Sukolilo,
Pati. Ketakutan adanya pengaruh negatif dari masyarakat luar terhadap
komunitas ini merupakan satu alasan mengapa komunitas ini tidak diijinkan
mengikuti pendidikan secara formal. ’Yen wis pinter lak yo mengko kanggo
minteri wong’ (Kalau sudah pintar nanti pasti digunakan untuk membodohi
orang). Demikian alasan yang digunakan mengapa mereka tidak tidak menyekolahkan anak-anaknya sekolah di sekolah formal.
Karena alasan ini, maka anak-anak komunitas Samin yang berusia sekolah
akhirnya tidak disekolahkan di sekolah formal seperti anak-anak usia sekolah
pada umumnya. Jam-jam efektif yang seharusnya mereka gunakan untuk
menimba ilmu disekolah-sekolah formal, akhirnya hanya mereka gunakan untuk
bermain-main dengan saudara-saudaranya untuk anak-anak yang usianya sekitar 5 – 10 tahun. Sedangkan untuk anak-anak yang usianya sekitar 11 – 15 tahun,
waktu-waktu efektif untuk sekolah itu digunakan untuk membantu orang tua
disawah atau didapur. Sikap Masyarakat Samin ini merupakan manifestasi dari
falsafah hidup mereka. Berawal dari sikap pemberontakan terhadap penjajahan
Belanda di Indonesia pada tahun 1890 yang dipimpin oleh Samin Surosentiko,
pada perkembangannya gerakan ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang
berlandaskan pada agama Adam. Ajaran agama Adam menjadi falsafah hidup dan dasar untuk bertindak serta bertingkah laku dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Pada perkembangannya, komunitas Samin menunjukkan sikap yang
eksklusif dan menutup diri karena penolakan pemerintah dan masyarakat
terhadap keberadaan dan kepercayaan mereka. Sikap eksklusif ini ditunjukkan
dengan penolakan terhadap institusi pernikahan yang dilakukan pemerintah serta
menolak menyekolahkan anaknya dalam pendidikan formal. Alasannya, supaya anak-anak dan keturunan mereka tidak terpengaruh oleh ajaran dan kepercayaan
masyarakat dari luar komunitas Samin.
Pengetahuan dan informasi mereka dapatkan dari pemimpin yang mereka
anggap sebagai ’opinion leader’ terhadap setiap pesan yang masuk dalam
kehidupan mereka. Pemimpin menjadi orang yang paling penting terhadap setiap
pesan dan informasi. Akibatnya, ’transfer of knowledge’ serta proses
12
pembelajaran terjadi melalui pemimpin bukan melalui pendidikan formal. Pola
komunikasi yang terbentuk dalam komunitas ini adalah Pola komunikasi
tersentral yang menjadikan pemimpin sebagai pusat dan sumber informasi yang
paling penting.1 Tetapi di sisi yang lain, televisi sebagai satu media yang paling
penting dalam era globalisasi ini, ternyata mampu menembus benteng kehidupan masyarakat Samin dan membawa pengaruh dalam kehidupan mereka.2
Fenomena ini menjadi satu fenomena yang cukup unik. Di satu sisi mereka tidak
mau menyekolahkan anaknya karena takut terpengaruh oleh masyarakat luar,
tetapi disisi yang lain informasi dari televisi tidak mereka tolak. Yang menjadi
pertanyaan, ’bagaimana model pembelajaran yang paling tepat untuk kehidupan
komunitas Samin?’
Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan tersendiri. Di tengah persaingan kehidupan yang sangat ketat pada saat ini serta dalam era globalisasi dimana
persaingan bukan lagi dalam taraf lokal, generasi muda Samin yang tidak dibekali
dengan pendidikan yang cukup menjadi satu keprihatinan yang perlu diberi
perhatian secara khusus. Berdasarkan pemikiran inilah maka penelitian dengan
judul ”Pemetaan Model Pembelajaran Berbasis ’Two Way Communication’
Dalam Kehidupan Komunitas Samin” ini dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
peneliti. Penelitian pertama dengan judul ’Pola komunikasi komunitas Samin’
serta penelitian yang kedua dengan judul ’Pengaruh terpaan televisi terhadap
pola komunikasi komunitas Samin’. Permasalahan inilah yang diangkat dalam
penelitian Hibah Bersaing pada saat ini dengan :
1. Subjek Penelitian : Komunikasi
2. Lokasi Penelitian : Desa Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah
3. Hasil yang ditargetkan :
a. Deskripsi pola transfer of knowledge melalui pola komunikasi dan
transfer informasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Samin.
b. Diskripsikan potensi yang dimiliki oleh komunitas Samin, kemudian
memetakan model pembelajaran dalam komunitas Samin.
c. Tersusunnya model pembelajaran berbasis ’two way communication’ yang efektif untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan
komunitas Samin.
d. Buku acuan (panduan) pembelajaran berbasis ’two way communication’
sebagai petunjuk bagi pengajar dalam merancang, melaksanakan, dan
mengevaluasi proses pembelajaran komunikasi.
e. Deskripsi tentang keefektifan dan feasibilitas model pembelajaran berbasis ’two way communication’ dalam mengembangkan
pengetahuan dan wawasan komunitas Samin.
1 Rini Darmastuti. 2005. Pola komunikasi sosial masyarakat Samin. Tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana, UNS 2 Rini Darmastuti. Pengaruh terpaan televisi dalam kehidupan komunitas Samin. Kritis: Jurnal Studi Pembangunan
Interdisipliner Vol. XVIII, No. 3, Desember-Maret 2007. Penelitian ini dibiayai oleh Dikti pada tahun 2006 melalui
penelitian Dosen Muda.
13
f. Verifikasi dan revisi model pembelajaran berbasis ’two way
communication’.
14
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1. Tujuan Penelitian
Tujuan khusus dari program penelitian ini adalah untuk;
1. Mendeskripsi pola transfer of knowledge melalui pola komunikasi dan transfer informasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Samin.
2. Mendeskripsikan potensi yang dimiliki oleh komunitas Samin, kemudian
memetakan model pembelajaran dalam komunitas Samin.
3. Menyusun dan mengembangkan model pembelajaran berbasis ’two way
communication’ yang efektif untuk mengembangkan pengetahuan dan
wawasan komunitas Samin.
4. Menyusun buku acuan (panduan) pembelajaran berbasis ’two way communication’ sebagai petunjuk bagi pengajar dalam merancang,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran komunikasi.
5. Mendeskripsi keefektifan dan feasibilitas model pembelajaran berbasis ’two
way communication’ dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan
komunitas Samin.
6. Mem-verifikasi dan revisi model pembelajaran berbasis ’two way communication’.
2.2. Manfaat Penelitian
a. Pentingnya pendidikan sebagai proses pembelajaran
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Keberadaan dan kehadiran orang lain menjadi satu urgensi dalam kehidupannya. Melalui interaksi dengan orang lain, pengakuan dan
penerimaan dari masyarakat mereka dapatkan. Seseorang merasa dirinya
berarti ketika dia diterima oleh anggota masyarakat lainnya. Pada tataran ini
setiap individu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan
masyarakat lainnya supaya dapat di terima di tengah masyarakat. Belajar
merupakan satu cara yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhannya ini sehingga muncullah proses pembelajaran. Pentingnya belajar ini dapat dilihat dari ungkapan Andrias Harefa yang terkenal dengan
manusia pembelajar dengan ungkapan, ”Aku berdoa, aku belajar, aku
berkarya bagi sesama, maka aku ada”.
Ungkapan ini jelas menunjukkan bahwa proses pembelajaran menjadi
satu hal yang penting dalam kehidupan setiap manusia. Karena melalui proses
pembelajaran itulah seorang individu akan merasa dirinya berarti. Proses pembelajaran dalam kehidupan seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan
formal, non formal, maupun informal. Hal ini dapat kita pahami berdasarkan
makna kata pendidikan yang berasal dari bahasa latin e-ducare yang memiliki
15
arti menggiring keluar. Dari pemahaman ini, pendidikan merupakan proses
pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan seseorang dengan harapan dapat
membawa orang itu keluar sehingga mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Masih tentang pendidikan Driyarkara memaknai proses ini sebagai tindakan
memanusiakan manusia muda. Pendapat ini senada dengan pandangan Thomas Aquinas yang menganggap pendidikan sebagai proses pembelajaran
sebagai aplikasi dari proses pemanusiaan manusia menyangkut seluruh jiwa
dan roh. Aplikasinya di Indonesia tertuang juga di dalam UU No 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas, Bab II pasal 3 menyatakan “…., pendidikan bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Berdasarkan filosofi pendidikan tersebut, pemaknaan mengenai
pendidikan sekarang ini tidak terbatas pada praktek PBM (proses belajar
mengajar) di dalam kelas. Melalui percakapan sehari-hari dan melalui
interaksi individu dengan masyarakat atau media dapat dipahami sebagai
pendidikan. Pendefinisian dan pembatasan ini menjadi cukup penting, mengingat konsep pendidikan ’sekolah’ yang selama ini populer tidak lagi
memadai untuk diterapkan di dalam komunitas lokal yang eksis di Indonesia.
Komunitas budaya lokal yang memiliki believe-nya sendiri sering kali menolak
difusi inovasi ’sekolah’. Hasilnya, komunitas tersebut tidak bisa secara
sistematis memperoleh perluasan wawasan dan pencerahan pengetahuan.
Situasi seperti inilah yang terjadi di dalam masyarakat Samin. Samin sebagai salah satu dari komunitas lokal memiliki kearifannya sendiri mengenai
proses pendidikan. Kearifan lokal yang menurut Everett M. Rogers (1983)
menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan ini di dalam
masyarakat Samin berwujud kepercayaan atas apa yang dinamakan
pendidikan. Selama ini mereka melakukan proses sosialisasi dan internalisasi
pengetahuan secara turun temurun. Jarang ada informasi mengenai dunia luar
yang masuk ke dalam komunitas ini. Didasari latarbelakang sejarahnya yang telah sedikit diulas di muka, komunitas ini bersifat resistence terhadap
pengetahuan dari luar.
b. Pentingnya proses pembelajaran dalam kehidupan komunitas Samin
Implikasi dari pemahaman tentang pendidikan sebagai proses
pembelajaran di atas, menjadi satu hal yang sangat urgen untuk diterapkan dalam kehidupan komunitas Samin. Fenomena bahwa komunitas Samin
adalah komunitas yang tidak menyekolahkan anaknya dalam pendidikan
formal menjadi satu permasalahan yang perlu segera diatasi. Tujuannya,
seperti yang dikatakan Thomas Aquinas, supaya proses pemanusiaan manusia
yang menyangkut seluruh jiwa dan roh dapat terjadi dalam kehidupan
komunitas Samin, sehingga membawa komunitas Samin kepada keadaan
yang lebih baik, memperluas wawasan dan pengetahuan.
16
Namun, seperti yang sudah sedikit disinggung di atas, untuk
melaksanakan pendidikan dalam komunitas Samin, tidaklah semudah
mengembangkan konsep pendidikan klasikal yang selama ini dikenal
masyarakat. Pendekatan pendidikan yang digunakan harus benar-benar
menghormati kearifan lokal yang mereka miliki mengenai pendidikan. Artinya pendidikan ini tidak akan diselenggarakan dengan bentuk persekolahan formal
seperti yang sudah ada. Pendidikan ini akan dilakukan berdasarkan pola
komunikasi sebagai proses ’transfer of knowledge’ yang selama ini sudah
melembaga di dalam komunitas.
Pola komunikasi seperti apa yang telah diwariskan generasi ke generasi
di dalam masyarakat Samin sebagai proses pembelajaran ini perlu diteliti lebih
lanjut. Tujuannya supaya dalam proses pendidikan selanjutnya hambatan komunikasi dapat diperkecil. Sehingga dialog mengenai pendidikan dan
pelaksanaannya dapat berjalan dalam kesepakatan makna bersama antara
komunitas Samin dengan faslitator belajar.
Pemahaman atas model pembelajaran yang sudah melembaga ini akan
cenderung bersifat emic ketimbang etic. Meski di dalam perumusan model
pembelajaran nanti, kerangka etic akan tetap memainkan perananannya. Emic di sini dipahami dalam arti menerjemahkan secara khusus pemahaman
masyarakat Samin mengenai pembelajaran. Sementara etic, menarik
kesimpulan umum mengenai pola komunikasi pembelajaran yang terdapat di
dalam masyarakat Samin. Penarikan ide umum tersebut dilakukan dengan
menyandingkan pola pendidikan komunitas Samin dengan pola komunikasi
dalam kerangka pendidikan yang sudah ada dalam pendidikan formal.
c. Pembelajaran melalui komunikasi dua arah (two way communication)
Sampai saat ini, proses pembelajaran dalam kehidupan komunitas Samin
terjadi melalui pendidikan informal. ’Transfer of knowledge’ terjadi dari
pemimpin kepada anggota karena pemimpin dianggap sebagai sumber pesan
dan sumber informasi. Hal ini terjadi karena latar belakang budaya komunitas
Samin yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, sehingga membuat komunitas Samin menutup diri dengan masyarakat luar. Oleh karena itu
dibutuhkan satu pendekatan yang berbeda dengan pendekatan yang
dilakukan untuk masyarakat pada umumnya supaya proses pembelajaran itu
dapat terjadi. Proses pembelajaran tidak dapat dilakukan secara formal dan
klasikal seperti proses pembelajaran yang terjadi selama ini, tetapi proses
pembelajaran dilakukan dengan pendekatan komunikasi informal. Pendekatan antar pribadi yang didasarkan pada rasa saling percaya merupakan dasar
untuk membangun hubungan dengan komunitas Samin.
Proses pembelajaran informal komunitas Samin ini tidak juga terlalu
asing bagi masyarakat pada umumnya, karena pemerintah sendiri telah
mengatur mengenai pendidikan informal ini di dalam UU Sisdiknas No 20
tahun 2003 pasal 27, tentang pendidikan informal. Proses pembelajaran
informal mengijinkan masyarakat menyelenggarakan proses pembelajaran secara mandiri. Pembelajaran ini dapat saja dilakukan oleh keluarga maupun
17
antar anggota komunitas. Melalui hubungan yang saling percaya antar
anggota komunitas berlangsunglah proses pembelajaran. ’Transfer of
knowledge’ dilakukan melalui komunikasi dua arah dalam situasi yang
informal. Tidak di dalam ruang kelas, tidak menggunakan buku paket dan
terjadi begitu saja di dalam ruang-ruang publik komunitas Samin. Pembelajaran ini dapat saja terjadi di sawah, di emper rumah, di sungai
maupun di pasar. Pada saat makan, minum, maupun saat guyonan.
Bentuknya lebih berupa dialog mengenai persoalan lokal yang dihadapi
komunitas secara langsung dalam kehidupan sehari-hari dan jangka panjang.
d. Model pembelajaran two way communication
Model pembelajaran two way communication ini adalah model pembelajaran yang terjadi secara dua arah. Mengacu pada pendapatnya
Friederich Kron (dalam Biesta, 1995), model pembelajaran ini merupakan
model pembelajaran yang menggunakan paradigma interaksionalisme
simbolik. Menurut pandangan ini, pendidikan tidak dimaknai sebagai tindakan
manipulasi pendidik atas pesertanya. Pendidikan dipahami sebagai proses
sosial yang dibangun oleh interpretasi yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Pendidik dan peserta didik merasa bahwa kedudukan mereka sama,
tidak ada yang merasa lebih tinggi kedudukannya, sehingga antara pendidik
dan peserta didik saling menghargai. Dalam hal ini, rasa saling percaya
memegang peranan yang sangat penting. Model ini pada akhirnya
memposisikan pendidikan sebagai proses komunikasi dua arah dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran seperti ini diperlukan dalam komunitas Samin
mengingat komunitas Samin adalah komunitas yang tidak mudah menerima
orang lain, mudah menaruh curiga terhadap orang lain dan menganggap
pengaruh dari masyarakat luar merupakan pengaruh yang sangat berbahaya
dan perlu dihindari. Melalui proses pembelajaran dengan model komunikasi
dua arah ini diharapkan muncul rasa percaya dalam kehidupan komunitas
Samin kepada orang lain sehingga mereka mau membuka diri terhadap informasi dan pengetahuan yang berasal dari luar komunitas.
e. Pengembangan model pembelajaran
Model pembelajaran berbasis ‘two way communication’ dikembangkan
dengan mengacu pada teori dari berbagai disiplin ilmu dan sejumlah hasil
penelitian yang relevan, dengan harapan dapat menjadi salah satu bentuk solusi permasalahan dalam komunitas Samin. Tujuannya untuk meningkatkan
kehidupan komunitas Samin dan membawa komunitas ini pada keadaan yang
lebih baik. Meningkatkan pengetahuan dan memperluas wawasan mereka.
Di samping itu apabila program pengembangan ini berhasil
direalisasikan, upaya ke arah proses pembelajaran kondusif dan relevan untuk
komunitas Samin dapat dilakukan. Lebih jauh, bagi lembaga pendidikan tinggi
khususnya UKSW, pengembangan model pembelajaran yang dapat
18
diaplikasikan dalam kehidupan suatu komunitas yang selama ini dianggap
’negatif’ oleh masyarakat, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab
selaku lembaga ilmiah dalam menghasilkan produk unggulan yang bernilai
strategis untuk pembangunan.
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Interaksionalisme simbolik
Model pembelajaran berbasis komunikasi dua arah (two way
communication) ini berlandaskan pada teori interaksionalisme simbolik yang memandang bahwa dalam setiap interaksi yang dilakukan oleh setiap individu
selalu menggunakan simbol. Ada setiap makna yang tertera dalam setiap simbol
yang digunakan.
Zeitlin (dalam Riyadi Soeprapto 2002:116), mengemukakan pandangan
George Herbert Mead tentang interaksi simbolik. Untuk memahami interaksi
simbolik ini, Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam. Dalam pandangan Mead, seorang individu bukanlah budak yang melayani masyarakat, melainkan satu pribadi yang sensitif
dan aktif. Kehadiran mereka ditengah lingkungan sosialnya sangat
mempengaruhi lingkungan tempat dia tinggal secara efektif (baik itu secara
individu maupun sosial) sebagaimana lingkungan itu mempengaruhi dirinya.
Dengan kata lain, individu mempunyai peran yang sangat besar dalam
membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuk individu tersebut.
Interaksi inilah yang terjadi antara individu dengan individu dan individu
dengan alam. Satu sama lain saling mempengaruhi dan saling membentuk.
Dalam interaksi ini bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai peran yang
sangat penting untuk menyampaikan simbol-simbol di antara mereka. Pendapat
ini dipertegas oleh Herbert Blumer, penganut paham interaksionalisme simbolis
yang mengembangkan pendapat Mead.
Menurut Blumer, ada 3 prinsip utama yang terkandung dalam teori
interaksionalisme simbolik, yaitu Meaning (makna), language (bahasa) dan
thought (pemikiran) (Griffin 2003: 56). Makna dalam interaksionalisme simbolik,
menurut Herbert Blumer (dalam Riyadi Soeprapto 2002: 120) dipahami dengan
cara bertumpu pada 3 premis utama, yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
sedang berlangsung.
Bagi Blumer makna merupakan konstruksi dari realitas sosial yang ada di
masyarakat, sedangkan sumber pemahaman terhadap makna berasal dari bahasa. Kemudian di antara makna dan bahasa terdapat pemikiran yang
memainkan peran diantara keduanya. Makna yang terjadi dalam interaksi sosial
tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang, tetapi ditafsirkan terlebih
20
dahulu dan akan disempurnakan dalam proses interaksi sosial yang sedang
berlangsung (Basrowi dan Sukidin 2002: 116).
Teori Interaksi Simbolik ini memberikan penekanan pada sifat karakter
instruksi khusus yang berlangsung antara manusia. Sebagai seorang individu,
dalam merespon setiap tindakan terhadap dirinya dia tidak langsung bertindak, tetapi terlebih dahulu menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain,
baru beraksi terhadap tindakan itu. Respon seorang individu secara langsung
maupun tidak langsung selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut.
Interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau
dengan menemukan tindakan orang lain (Riyadi Soeprapto 2002: 121).
Menurut Blumer, manusia sebagai seorang individu akan memilih,
memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakannya. Secara sadar
dan reflektif menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang
disebut Blumer sebagai ‘Self-Indivation’. Self-Indivation adalah proses
komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu,
menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan
makna itu. Proses Self-Indivation ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan
tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu (Riyadi Soeprapto 2002:
122).
Individu yang mengadakan interaksi sosial dalam pemahaman
interaksionalisme simbolik adalah individu yang berhubungan dengan individu
lainnya maupun dengan alam sekitarnya. Interaksi sosial ini terjadi di masyarakat. Little John memberikan gambaran bahwa dalam Interaksi Simbolik
perilaku manusia dipahami melalui proses interaksi yang terjadi. Kemudian
struktur sosial serta makna-makna diciptakan dan dipelihara melalui interaksi
sosial yang terjadi ditengah masyarakat itu. Dari diskripsi ini, komunikasi
didefinisikan sebagai perilaku simbolik yang menghasilkan saling berbagi makna
dan nilai-nilai diantara partisipan dalam tingkat yang beragam (Littlejohn 2001:
144).
Lebih jauh Ballis Ball (dalam Littlejohn 2001: 145) memberikan pemahaman
tentang teori interaksionalisme simbolis dengan memberikan penekanan pada
komunikasi dan masyarakat. Menurut Ballis Ball, teori interaksi simbolis memiliki
sejumlah asumsi sebagai berikut:
1. People make decisions and act in according with their subjective
understandings of the situations in which they find themselves
2. Social life consists of interaction processes rather than structures and is
therefore constantly changing
3. People understand their experience through the meanings found in the
simbols of their primary group, and language is an essensial part of
social life
4. The world is made up of social objects that are named and have socially
determined meanings
21
5. People’s actions are based on their interpretation, in which the relevant
objects and actions in the situation are taken into account and defined.
6. One’s self is a significant object and like all social objects is defined
through social interaction with others
Dalam konteks yang sama, mengikuti hasil kajian Poloma 1984 (Riyadi
Soeprapto 2002: 124) Blumer menyampaikan perspektif interaksionalisme
simbolis yang mengandung ide-ide dasar sebagai berikut:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut
saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur
sosial.
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi non-simbolis mencakup
stimulasi respon, sedangkan interaksi simbolis mencakup penafsiran
tindakan-tindakan.
3. Objek-objek tidak mempunyai makna yang instrinsik. Makna lebih
merupakan produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, (a) objek fisik; (b) objek sosial dan (c) objek abstrak.
4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka juga dapat
melihat dirinya sebagai objek.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat manusia itu
sendiri.
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagain besar
“tindakan bersama” tersebut dilakukan secara berulang-ulang, namun
dalam kondisi yang stabil. Dan di saat lain ia bisa melahirkan suatu
kebudayaan.
Dalam interaksi sosial yang terjadi di antara individu dengan individu atau
antara individu dengan alam di tengah masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Ballis Bal dan Poloma diatas, komunikasi memegang peranan yang penting.
Komunikasi sebagai sarana pertukaran simbol yang mengandung makna dari satu
individiu kepada individu lainnya merupakan wujud interaksi sosial yang terjadi di
tengah masyarakat. Wan Xiao (dalam Alo Liliweri 2003:5) mengatakan:
Interaksi sosial membentuk sebuah peran yang dimainkan oleh setiap
orang dalam wujud kewenangan dan tanggungjawab yang telah memiliki pola-pola tertentu. Pola-pola itu ditegakkan dalam institusi sosial (social
institution) yang mengatur bagaimana cara orang berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain, dan organisasi sosial (social organization)
memberikan wadah serta mengatur mekanisme kumpulan orang-orang
dalam masyarakat.
22
3.1.2. Pembelajaran berbasis two way communication
Pemahaman tentang interaksionalisme simbolik diatas, digunakan sebagai
dasar untuk memahami pembelajaran berbasis two way communication. Model
interaksi simbolik ini kemudian di terapkan di dalam tiga elemen pendidikan,
yakni kurikulum, fasilitas dan fasilitator.
Kurikulum dalam hal ini dipahami sebagai seperangkat materi ajar, metode
pembelajaran, target pencapaian serta evaluasi hasil belajar. Di dalam komunitas
Samin dengan model interaksi simbolik secara praktis materi belajarnya akan
sangat menyesuaikan dengan kebutuhan hidup yang dijalani. Kalaupun yang
dibutuhkan komunitas ini adalah pengetahuan di bidang pertanian, maka materi
yang dipelajaripun harus berkaitan dengan kebutuhan tersebut. Hasilnya
komunitas Samin tidak akan merasakan ajaran ini asing, melainkan lebih merasa menikmati manfaatnya, karena adanya penambahan pengetahuan. Target
pencapaian tentu juga harus dipertimbangkan, namun karena sistem yang
dipakai bukanlah pendidikan formal atau non-formal, melainkan informal maka
target pencapaiannyapun tidak dapat diukur sekedar berdasarkan pada
bertambahnya pengetahuan, melainkan bagaimana penambahan wawasan
tersebut diterapkan dan membawa perubahan dalam kehidupan komunitas. Demikian juga dengan evaluasi, taksiran nilai sukses belajar dapat dilihat dalam
perubahan perilaku dan praktek hidup.
Sementara bila bicara fasilitas, tentu dengan model ini tidak akan ada
ruang kelas, serta bangku dan papan tulis. Fasilitas di dalam model pembelajaran
ini lebih mengarah pada segenap peralatan dan perlengkapan yang mendukung
proses pembelajaran. Sebagai contoh mengenai materi pertanian, dialog dapat saja terjadi di sawah, maka yang dimaknai sebagai fasilitas di sini adalah tanah
dan kadar air yang ada di area persawahan tersebut sebagai kelas, laboratorium,
sekaligus perlengkapan belajar. Dialog dalam rangka pembelajaran ini dirancang
melekat dalam pranata sosial yang dimiliki komunitas. Sehingga keberadaan
proses pembelajaran ini sangat menyesuaikan dengan interpretasi komunitas
atas interaksi sosial yang terbangun.
Terakhir mengenai fasilitator, seperti yang sudah dipaparkan dalam subtopik interaksionisme simbolis dan two way communication, pengajar dan
atau pendidik bukanlah orang yang paling tahu. Konsep yang digunakan adalah
pendampingan. Fungsi pengajar adalah memfasilitasi apabila komunitas
menemukan hambatan dan memerlukan masukan. Terlebih lagi kaitannya
dengan kearifan lokal, pengajar dan peserta belajar secara bersama-sama
melakukan kegiatan belajar. Pemahaman ini berawal dari kenyataan bahwa pengajar perlu belajar nilai, bahasa dan budaya dari komunitas Samin, demikian
sebaliknya. Proses timbali balik, antara belajar-mengajar secara terus menerus
terjadi antara fasilitator dan peserta. Sehingga peran tersebut dapat bertukar
secara sirkular. Hal ini terjadi sebagaimana prinsip komunikasi dua arah (two way
communication). Singkatnya kegiatan belajar tidak hanya dilakukan oleh peserta,
melainkan dilakukan oleh fasilitator juga.
Dengan pola belajar semacam ini belajar tidak akan dirasakan sebagai ‘belajar’. Belajar akan sama rasanya dengan berdialog, atau bercengkrama dalam
23
kehidupan sehari-hari. Komunitas tidak akan merasakan adanya perampasan
waktu dan energi untuk melakukan kegiatan ’asing’ sebagai penambahan dalam
agenda mereka. Hal ini disebabkan karena prosesnya dilakukan secara alami
sesuai konteks dan gaya komunitas Samin. Untuk bisa merumuskan model
pembelajaran semacam ini dibutuhkan penelitian yang membangun kerangka pola komunikasi dan makna belajar dalam komunitas Samin.
3.1.3. Kerangka berpikir ke arah pengembangan model
Pokok-pokok pikiran yang melandasi perlu dikembangkannya model
pembelajaran berbasis two way communication dalam kehidupan komunitas
Samin adalah; (1) Pola komunikasi komunitas Samin merupakan gambaran dari
transfer of knowledge yang terjadi dalam kehidupan komunitas pada saat ini sebagai proses pembelajaran yang mendasar, (2) berdasarkan gambaran ini,
perlu dikembangkan model pembelajaran dengan pendekatan khusus yang
berbasis two way communication dengan membangun kepercayaan dari
komunitas Samin, (3) apalagi berdasarkan fenomena bahwa televisi mampu
mendobrak benteng pertahanan komunitas Samin terhadap informasi dan ajaran
dari luar komunitas, sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan proses pembelajaran dalam kehidupan komunitas ini, (4) paradigma pembelajaran yang
digunakan adalah proses interaksi belajar mengajar yang lebih menekankan pada
model pembelajaran yang menyenangkan, membuat peserta didik merasa
nyaman dan betah dalam proses pembelajaran serta benar-benar terlibat dalam
seluruh aktivitas pembelajaran.
24
BAB IV
METODE PENELITIAN
Berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, program penelitian ini
dirancang dengan pendekatan "Penelitian dan Pengembangan", artinya suatu
program penelitian ditindaklanjuti dengan program pengembangan untuk perbaikan atau penyempurnaan (Borg and Gall, 1989:784-5). Untuk
menghasilkan model pembelajaran berbasis ’two way communication’ ditempuh
langkah-langkah sistematis dalam bentuk proses aksi, refleksi, evaluasi, dan
inovasi dengan mengaplikasikan metode penelitian observasi langsung,
pengembangan, eksperimen, dan evaluasi.
Program penelitian ini direncanakan untuk dilaksanakan dalam dua tahap
dengan waktu penyelesaian dua tahun.
Tahap I tahun 2008, langkah pertama studi referensi dan penelitian observasi
secara langsung untuk mengetahui ’transfer of knowledge’ dalam kehidupan
komunitas Samin melalui pola komunikasi yang mereka gunakan. Kedua,
Mendeskripsikan potensi yang dimiliki oleh komunitas Samin, kemudian membuat
model pembelajaran berbasis two way communication dan mengembangkan model ini berdasarkan potensi yang ada. Sebagai subjek penelitian adalah
komunitas Samin yang ada di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi secara langsung
serta berperan secara aktif untuk mengamati segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupan komunitas ini yang berhubungan dengan hal yang diteliti. Data yang
diperoleh dari observasi langsung di lapangan ini kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil kajian empiris ini dan berbagai rujukan
teori serta model yang ada, akan disusun suatu model pembelajaran berbasis two
way communication sebagaimana diancangkan. Ketiga, Menyusun dan
mengembangkan model pembelajaran berbasis ’two way communication’ yang
efektif untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan komunitas Samin
Tahap II tahun 2009, diawali dengan sosialisasi model kepada beberapa anggota komunitas Samin yang dianggap memiliki potensi untuk mendidik
(berdasarkan penelitian terdahulu ada beberapa anggota komunitas Samin yang
sudah dapat membaca dan memungkinkan untuk menjadi pendidik dalam
komunitas ini) melalui komunikasi antar pribadi dan menyusun buku acuan.
Selanjutnya melalui metode eksperimen dengan rancangan control group pretest
– posttest design, penelitian dilakukan untuk menguji keefektifan model pembelajaran berbasis two way communication dalam mengembangkan
kemampuan komunitas Samin dalam menerima materi yang disampaikan.
Penelitian akan dilakukan pada anggota komunitas Samin yang berumur sekolah
(sekitar 7-12 tahun) dengan pemikiran pada usia inilah seharusnya mereka
mendapatkan pendidikan secara formal. Keefektivan model dalam hal ini akan
diuji dengan analisis perbedaan mean (t–test) kemampuan proses pembelajaran
25
antara kelompok peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan model
two way communication dan kelompok peserta didik yang memperoleh
pembelajaran dari pemimpim komunitas pada saat ini.
Secara sederhana langkah dan target yang ingin dicapai dari setiap
tahapan penelitian dapat divisualisasikan dalam flow-chart berikut ini.
Bagan 1: Rangkaian Kegiatan Penelitian Pengembangan Model Pembelajaran
Berbasis Two Way Communication
LANGKAH I:
Studi Pustaka
dan Hasil-hasil Penelitian
yang relevan
LANGKAH II:
Merancang
dan Melaksanakan
Penelitian
Pendahuluan
DESKRIPSI: 1. Pola komunikasi komunitas
Samin sebagai gambaran
transfer of knowledge pada saat
ini 2. Model pembelajaran yang terjadi
dalam kehidupan komunitas
Samin saat ini.
3. Potensi dan kemungkinan pengembangan model
pembelajaran selanjutnya.
LANGKAH III:
Pengembangan/
Konseptualisasi Model
LANGKAH IV:
Sosialisasi Model
bagi dan
menyusun buku acuan
PROTOTYPE MODEL
PEMBELAJARAN
BERBASIS TWO WAY
COMMUNICATION
LANGKAH V:
Uji Model
melalui
Eksperimen
LANGKAH
VI:
Revisi
Model
1. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TWO WAY
COMMUNICATION (dalam
bentuk buku siap publikasi).
2. Deskripsi tentang keefektifan dan feasibilitas Model dalam
mengembangkan pengetahuan dan
memperluas wawasan
komunitas Samin
TAHAP I
(TH. 2008)
TAHAP II
(TH. 2009)
26
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL
Dari hasil wawancara mendalam dan observasi secara langsung dalam
kehidupan komunitas Samin maka diperoleh hasil seperti yang disajikan dalam tulisan dibawah ini. Wawancara mendalam dilakukan dengan sesepuh atau tokoh
komunitas Samin, serta anggota komunitas Samin dengan usia anak-anak
sekolah (SD dan SMP) serta orang tua mereka.
Pola Komunikasi yang tersentral dalam kehidupan komunitas Samin
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, Pola komunikasi yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Samin adalah pola komunikasi yang tersentral pada pemimpin dan berbentuk Roda.3 Pemimpin atau sesepuh mempunyai peranan
yang sangat besar dalam setiap tindak komunikasi yang terjadi dalam pola
komunikasi yang tersentral dan berbentuk roda ini. Sesepuh adalah orang yang
memimpin dan mengkoordinasi dalam kehidupan sosial dan kehidupan
bermasyarakat, baik dengan masyarakat Samin sendiri maupun dengan
masyarakat non Samin di sekitar lingkungan mereka. Pusat dari semua tindak komunikasi yang terjadi dalam kehidupan komunitas ini adalah pemimpin.
Tindakan yang mereka ambil ini sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka
bahwa pemimpin adalah orang yang harus diikuti nasehat dan pendapat-
pendapatnya, karena pemimpin adalah orang yang dianggap mempunyai wahyu.
Pola komunikasi yang tersentral ini juga ditunjukkan dalam cara duduk pada saat
pertemuan-pertemuan. Dalam setiap pertemuan, pemimpin akan menjadi pusat. Kondisi ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. posisi tempat duduk dimana pemimpin menjadi sentral (diujung)
3 Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Kritis Vol. XVII, No. 1, April 2005 hal 79
27
Pola komunikasi yang tersentral ini sangat dipengaruhi oleh stratifikasi
kehidupan mereka dimana sesepuh mempunyai peran yang sangat penting dalam
stratifikasi kehidupan sosial masyarakat Samin yang ada di Sukolilo. Peran
sentral pemimpin dalam tindak komunikasi dilakukan dalam semua segi
kehidupan mereka. Ketika mereka mengalami konflik, pemimpinlah yang bertindak untuk membantu menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan
komunitas ini. Penyelesaian biasanya dilakukan secara kekeluargaan dalam
pertemuan-pertamuan yang mereka lakukan. Peran sesepuh disini sebagai
penasehat yang memberikan nasehat kepada orang-orang yang sedang
berkonflik.
Peran sentral lainnya yang diemban oleh pemimpin dalam hal
penyampaian pesan dan informasi dari luar komunitas Samin dan dalam ritual perkawinan. Dalam penyampaian informasi dan pesan yang berasal dari
masyarakat di luar komunitas, informasi dan pesan berasal dari pemimpin. Dalam
ritual perkawinan, pemimpin menjadi sentral dalam ritual ini. Hal ini disebabkan
karena ritual perkawinan yang diadakan dalam komunitas masyarakat Samin
yang ada di Sukolilo berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya.
Permasalah agama (agama Adam yang mereka anut) menjadi penyebab utama.
Gambar 2. Upacara perkawinan dalam kehidupan komunitas Samin, dimana
pemimpin menjadi sentral dalam upacara ini.
Agama Masyarakat Samin
Komunitas Samin adalah suatu bentuk komunitas yang lahir karena suatu pergerakan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yang menjajah bangsa
Indonesia pada saat itu. Gerakan ini dipimpin oleh Samin Suroesntiko. Samin
Surosentiko sebagai seorang pemimpin, selain berusaha mengobarkan semangat
rakyat untuk melawan penjajah Belanda melalui pandangan dan nasehat-
28
nasehatnya, dia juga memberikan ajaran-ajaran keagamaan sebagai pedoman
untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Pada perkembangannya, ajaran keagamaan yang diberikan oleh Samin
Surosentiko itu disebut sebagai agama Adam. Dalam tradisi lisan masyarakat
Samin agama Adam dipahami sebagai “Agama iku gaman, adam pangucape, man gaman lanang.” Adam dalam pandangan masyarakat Samin yang ada di Sukolilo
ini dipahami sebagai ‘seneng nyandang, doyan mangan, tata ngauto sing
demunung tekke dewe’. Artinya suka berpakaian, suka makan, pekerjaan yang
penting milik sendiri.
Sebagai pedoman dalam mengatur tingkah laku, tindak tanduk serta
pengucapan, agama Adam mempunyai nasehat-nasehat yang dipahami sebagai
nasehat dari nenek moyangnya. Nasehat ini sering disebut sebagai ‘pitutur saka leluhur’ dan lebih terkenal dengan sebutan ‘Pitutur nggawe kaluhurane jiwa’
(nasehat untuk keluhuran jiwa). Pitutur ini merupakan warisan nenek moyang
dan sebagai sumber utama adalah pitutur dari Samin Surosentiko.
Pitutur ini diturunkan kepada anak cucu secara lisan, karena masyarakat
Samin pada umumnya tidak bisa membaca dan menulis. Satu-satunya cara yang
efektif untuk menyampaikan pitutur dari nenek moyangnya adalah dengan cara lisan dan turun temurun. Berdasarkan penelitian terdahulu dalam wawancara
dengan Mbah Sampir4, ada satu contoh pitutur dari nenek moyang yang diberikan
secara lisan yaitu ‘Pitutur nggawe kaluhurane jiwa’ itu berisi:
Nggayuh ilmu sampurnaning pati
Kanti laku pakarti kang nista
Tondo kuwalik akale
Wong watak demen njaluk
Niku yekti asoring budi
Karya ribeting roso
Sira ojo tiru
Najan kusuk semedinyo
Ora teka jumujug sampurno jati
Amargo lakune nista
Artinya, mengejar ilmu sampai meninggal dengan tingkah laku yang nista,
menjadi pertanda pikiran yang terbalik. Watak orang yang suka meminta
merupakan bukti kerendahan budi. Pekerjaan yang menimbulkan keresahan hati
jangan ditiru. Sekalipun semedinya sangat kusuk, tidak akan mencapai
kesempurnaan kalau tingkah lakunya nista.
Untuk membantu melakukan nasehat para leluhur ini, ada aturan-aturan
yang diberikan oleh nenek moyang mereka yang dikenal dengan ‘Angger-angger
4 Rini Darmastuti, 2005: Tesis
29
wong Sikep’. Angger-angger wong Sikep ini memuat 20 aturan yang harus ditaati
oleh masyarakat Samin, yaitu:
Aja ndrengki, srei, panasten, dahwen, kemeren
Bedog, colong, petil, njumput, nemu aja
Dagang, kulak, blantik, mbakul, nganakno duwit emoh
Bujuk, apus, akal, krenah, ngapusi prenah aja dilakoni.
Aturan-aturan ini yang mengatur sikap, tingkah laku dan tindak tanduk
masyarakat Samin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Orang Samin tidak
boleh mempunyai perasaan iri hati terhadap orang lain, mencuri dan menemukan
barang milik orang saja tidak boleh dilakukan. Berdagang bukanlah pekerjaan yang disukai oleh masyarakat Samin, apalagi membungakan uang mereka tidak
mau. Menipu dan membohongi orang lain tidak boleh dilakukan. Bertani
merupakan pilihan profesi dalam kehidupan mereka yang sesuai dengan ’Angger-
angger wong sikep’. Dengan bertani, mereka tidak mungkin membohongi orang
lain, maupun meribakan uang. Ciri khas sebagai petani ini mereka tunjukkan
dengan cara berpakaian mereka yang mengenakan pakaian khas petani untuk kaum laki-laki dan pakaian khas jawa untuk perempuan seperti pada gambar
dibawah ini.
Gambar 3. Pakaian khas yang dikenakan komunitas Samin
Pitutur dan angger-angger diatas menjadi pedoman yang sangat penting
dalam mengatur tingkah laku, sikap dan perkataan dalam kehidupan masyarakat
Samin yang ada di Sukolilo. Dalam kehidupan masyarakat Samin, yang paling
‘urgen’ dalam kehidupan ini adalah kebenaran tingkah laku, sikap serta
pengucapannya. Apabila orang Samin bisa mengucapkan tetapi tidak bisa
melakukan, maka hal ini dianggap sebagai suatu yang sia-sia. Seperti yang
dikatakan Mbah Tarno, sesepuh masyarakat Samin di Sukolilo, “Dadi apa sing
30
diucapno ya kudu dipahami lan dilakokno. Yen wong iso ngucapno nanging ora
iso nglakoni kuwi rak jenenge muspro” (jadi apa yang diucapkan ya harus
dipahami dan dilakukan. Kalau orang bisa mengucapkan tetapi tidak bisa
melakukan itu berarti sia-sia).
Pemahaman masyarakat Samin yang ada di Sukolilo terhadap agama ini sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa yang menjadi latar belakang budaya
kehidupan mereka. Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai sangkan
Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kekuasaan dan kebesarannya sebagai
corak dan sifat yang khas bagi orang Jawa.
Pandangan hidup Jawa dalam pengenalan dengan Tuhan sudah mengakar
jauh ke masa lalu. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, pandangan hidup Jawa ini
sangat dipengaruhi oleh pengaruh Hindu (Sujamto 1991: 147). Pandangan hidup masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh pengaruh Hindu ini sangat terasa dalam
pandangan hidup dan tatacara keagamaan masyarakat Samin yang dipahami
sebagai agama Adam.
Latar belakang agama inilah yang menyebabkan masyarakat Samin
menutup diri dari lingkungan luar dan mereka memutuskan tidak menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah formal. Permasalahan inilah yang menjadi penekanan dalam penelitian ini, untuk melihat bagaimana model pembelajaran yang tepat
dalam kehidupan komunitas Samin melalui pendekatan two way communications.
PEMBAHASAN
Model pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan komunitas Samin saat ini
Masyarakat Samin merupakan suatu komunitas yang memiliki prinsip
hidup yang sangat kuat berdasarkan kepercayaan, falsafah hidup serta agama
yang mereka anut. Mereka memiliki resistensi yang sangat kuat terhadap
pengaruh dari luar. Hal ini disebabkan karena mereka berusaha untuk menutup
diri terhadap pengaruh dari luar dengan harapan sikap dan tingkah laku mereka
tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran dari luar dan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang mereka yakini.
Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan melarang anak-anak
mereka untuk sekolah di pendidikan formal. Fenomena ini dapat kita lihat dari
kondisi anak-anak komunitas Samin dimana hampir semua anggota komunitas
Samin di Sukolilo, Pati tidak menempuh pendidikan secara formal di bangku-
bangku sekolah. Pendapat yang sering mereka lontarkan adalah bahwa sekolah adalah untuk mencari kepandaian dan kalau orang sudah pandai biasanya
kepandaian itu hanyalah untuk membohongi orang lain.
Seperti yang dikatakan mbah Tarno dalam wawancara mendalam,
“Sekolah ki jane arep golek apa? Rak ya kanggo golek kepinteran to? Trus yen
wis pinter biasane rak yo kanggo minteri konco kancane to?” (Sekolah itu
sebetulnya untuk apa? Untuk mencari ke pandaian kan? Kalau sudah pandai
31
biasanya orang lantas menggunakan kepandaian itu untuk membodohi orang
lain).
Pendapat ini dilandasi karena pengalaman masa lalu terhadap sikap
penjajahan Belanda yang berusaha membodohi masyarakat Indonesia yang
masing terbelakang pada saat itu. Orang-orang Belanda yang mereka anggap sebagai orang-orang pandai justru menggunakan kepandaian mereka untuk
membodohi orang lain.
Akibatnya, masyarakat Samin berpandangan anak-anaknya tidak perlu
dimasukkan ke sekolah-sekolah formal. Sekolah formal dianggap sebagai sarana
pendidikan yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak-anak mereka
terhadap ajaran-ajaran yang tidak benar yang bertentangan dengan ajaran
mereka.
Dalam kehidupan masyarakat Samin, pendidikan dipahami sebagai
sekolah. Sekolah dalam pandangan masyarakat Samin ada dua, yaitu sekolah
tulis dan sekolah biasa. Sekolah tulis adalah pembelajaran yang dilakukan
dibangku-bangku sekolah secara formal, sedangkan sekolah biasa adalah
pembelajaran yang dilakukan di rumah oleh orang tua masing-masing.
Sekolah biasa dalam pandangan masyarakat Samin adalah sekolah macul, sekolah nyapu, sekolah masak dan sekolah nyuci yang dapat diajarkan oleh
orang tua mereka sendiri-sendiri di pondokan mereka.
Sekolah formal di pahami sebagai sekolah nulis. Dalam komunitas Samin
yang ada di Sukolilo, untuk anak-anak usia sekolah juga diajarkan sekolah nulis,
yaitu belajar menulis huruf jawa dan huruf latin, serta berhitung. Yang
memberikan latihan adalah orang-orang Samin sendiri yang sudah bisa membaca dan menulis serta berhitung.
Makna Belajar menurut Komunitas Samin
Samin sebagai salah satu dari komunitas lokal memiliki kearifannya sendiri
mengenai proses pendidikan. Kearifan lokal yang menurut Everett M. Rogers
menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan ini di dalam masyarakat
Samin berwujud kepercayaan atas apa yang dinamakan pendidikan. Selama ini mereka melakukan proses sosialisasi dan internalisasi pengetahuan secara turun
temurun. Jarang ada informasi mengenai dunia luar yang masuk ke dalam
komunitas ini. Didasari latarbelakang sejarahnya yang telah sedikit diulas di
muka, komunitas ini bersifat resistence terhadap pengetahuan dari luar.
Sesungguhnya konsep belajar baca tulis ini tidak begitu populer di
komunitas Samin. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya lisan yang sangat kuat dalam masyarakat ini. Sesepuh akan menyampaikan pesan-pesan,
nasehat dan pituturnya kepada orang tua dan ‘guru’guru’ ini dalam pertemuan-
pertemuan agama mereka, atau dalam pertemuan komunitas mereka. Apa yang
diajarkan tersentral pada sesepuh. Transfer informasi dari sesepuh kepada orang
tua dan ‘guru-guru’ dilakukan secara lisan.
32
Sedulur Sikep tidak punya kebiasaan menuliskan sesuatu, kecuali tembang
(lagu) yang diturunkan secara regeneratif dari Mbah Tarno dan sesepuh yang
lain. Biasanya pelajaran hidup disampaikan secara lisan melalui tembang.
Persitiwa-peristiwa penting dalam tahap kehidupan perorangan keluarga Samin
ditandai dengan tembang. Bisa bermacam-macam jenis tembang, diantaranya Macapat, Dandang Gula, Asmarandana, dan sebagainya. Dalam rutinitas sehari-
hari tembang dipakai juga untuk mengajari anak-anak mengenai etika hidup dan
norma-norma moral yang diyakini.Tembang yang dipakai dalam metode
pengajaran anak-anak ini biasanya tergolong tembang dolanan anak-anak.
”Ya ika, kaya pas nggawekke sumur bocah-bocah, mbah Sampir kakung
gawe tembang. Aku yo uwis lali lagune piye. Sajakke bocah-bocah isih
nyatet. Wong senengane do ditulis, mung disimpen yak’e catetanne. Saiki malah wis do poto kopi. Wah senenge, eneng mesin kuwi rak yo apik to.
Marakke cepet, garek obo njaluk ping piro.”5 (Ya itu, seperti pada saat buat
sumur untuk anak-anak, mbah Sampir laki-laki buat tembang. Aku juga
sudah lupa syairnya bagaimana. Sepertinya anak-anak masih punya
catatannya. Mereka senang juga menuliskannya, Cuma mungkin disimpan
catatannya. Sekarang malah sudah bisa foto copy. Wah senangnya, ada mesin itu kan bagus. Membuat jadi cepat, tinggal minta saja mau berapa
kali.)
Jadi budaya tulis itu baru datang kemudian di generasi berikutnya setelah
generasi mbah Sampir. Karena budaya ini tergolong baru bagi komunitas Samin,
maka ada proses pembelajaran yang kemudian diusahakan, meskipun tidak dijadikan norma yang harus dilakukan oleh anak-anak Samin.
Mekanisme belajar menurut praktek yang terjadi pada umumnya
membutuhkan pelaku, instrumen materi, institusi dan gedung. Hanya lain halnya
dengan yang terdapat di kehidupan komunitas Samin dengan segala macam
keunikan budayanya. Benar karena komunitas ini terbentuk akibat ikatan
genealogis dan religiusitas maka mereka memiliki keeratan hubungan batin yang
kuat ketimbang masyarakat modern dewasa ini. Kondisi ikatan persaudaran secara hubungan darah dan kepercayaan ini akhirnya mempengaruhi perilaku
belajar mereka. Apakah dalam hal ini definisi belajar kita pahami sebagai
mempelajari sesuatu di sekolah formal, maupun belajar dalam arti menjadi
sesuatu (being or becoming) dalam kehidupan sehari-hari. Jelasnya, komunitas
ini mendefinisikan makna belajar menurut cara pandangnya sendiri dan
berdasarkan keyakinan agama Adam yang mereka percayainya.
Belajar adalah Sinau
Menurut apa yang dipaparkan seorang tokoh komunitas Samin, ’belajar’
menurut mereka bukanlah seperti yang kita pahami selama ini. ’Belajar’ menurut
bahasa masyarakat modern adalah duduk di kelas, mendengarkan, mencatat,
5 Wawancara dengan mbah Sampir putri Juli 2008
33
menghafal lalu mengikuti ujian. Sungguh berbeda pemaknaan ini dari arti yang
disematkan komunitas samin pada kata ’belajar’.
Sesungguhnya komunitas Samin tidak punya kata ’belajar’, kata ini ada
dalam bahasa Indonesia, sementara bahasa yang dipakai komunitas berpakaian
hitam dan warna gelap ini menggunakan bahasa Jawa berlogat ’em’ dan ’lah’. Logat mereka lebih serupa campuran logat bahasa Jawa Blora dan Pati. Tidak
pelak, karena memang area permukiman komunitas ini berada di daerah
administrasi Blora dan Pati.
Komunitas yang belum lama kehilangan sesepuhnya ini menggunakan
istilah ’sinau’ untuk kata ’belajar’ yang kita gunakan. Sinau memiliki makna yang
berbeda dengan ’belajar’. Hampir sama tapi tidak sepenuhnya. Artinya, kata
’belajar’ itu sendiri sebenarnya tidak bisa mewakili kata ’sinau’. ’Belajar’ akan memberikan konotasi seperti yang telah dipaparkan di atas, yakni kegiatan
belajar di ruang kelas, atau kegiatan menggali informasi dari buku, atau sumber
lain. Sementara kata ’sinau’ yang dimaksudkan di sini adalah mempelajari segala
hal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan menjalani kehidupan dengan baik.
Standar bertahan hidup dan baik di sini, tentu tidak bisa dibayangkan sebagai
aktivitas hidup seperti: bisa pergi ke mall, atau memiliki mobil mewah. Bagi komunitas Samin, kebutuhan untuk menjalani hidup yang baik didasarkan pada
satu motivasi filosofis tujuan hidup yang mereka yakini dengan ungkapan ’sing
jenenge wong urip kuwi rak tujuane mung loro, pisan mbenerke pitutur, pindo
mbecikke lelakon. Ora butuh banda. Duit kuwi rak dudu tujuan’6 (yang namanya
manusia hidup itu kan tujuannya hanya dua; pertama, berkata-kata dengan
benar, dan berperilaku dengan baik. Tidak butuh harta. Uang itu kan bukan tujuan).
Bukan karir bekerja di kantor atau perusahaan multinasional yang
menjiwai kegiatan belajar mereka, namun bertujuan mempelajari kebenaran
hidup dan hubungan antar sesama yang disebut sebagai kehidupan yang baik.
Motif dasar yang jauh berbeda sebagai awal mula kegiatan belajar dalam
komunitas ini, mempengaruhi pemaknaan ’sinau’ yang mereka hidupi. ’Sinau’
menurut Mbak Gun merupakan aktivitas sepanjang hidup, dari bangun pagi hingga malam hari. ’Sinau’ bisa mempelajari apapun yang dibutuhkan untuk
bertahan dan beradaptasi, baik dengan alam maupun dengan lingkungan sosial.
Dengan kata lain, ’sinau’ adalah hidup itu sendiri bagi mereka. Memasak,
mencangkul, membuat pupuk, menikah dan menjadi orang tua adalah bagian
dari banyak hal yang harus mereka pelajari.
Menggolongkan makna belajar menurut komunitas Samin, dengan aturan struktural jenis pendidikan resmi dalam UU Sisdiknas (tahun 1999), tentu pola
belajar mereka dapat dikategorikan sebagai pendidikan informal. Pola belajar
melalui interaksi santai yang tidak diatur secara sengaja, tidak memiliki skema
dan satuan acara pembelajaran. Proses pembelajaran informal komunitas Samin
ini tidak juga terlalu asing bagi masyarakat pada umumnya, karena pemerintah
sendiri telah mengatur mengenai pendidikan informal ini di dalam UU Sisdiknas
No 20 tahun 2003 pasal 27, tentang pendidikan informal. Proses pembelajaran
6 Wawancara dengan mbak Gun 11 Mei 2008
34
informal mengijinkan masyarakat menyelenggarakan proses pembelajaran secara
mandiri. Pembelajaran ini dapat saja dilakukan oleh keluarga maupun antar
anggota komunitas. Melalui hubungan yang saling percaya antar anggota
komunitas berlangsunglah proses pembelajaran. ’Transfer of knowledge’
dilakukan melalui komunikasi dua arah dalam situasi yang informal. Tidak di dalam ruang kelas, tidak menggunakan buku paket dan terjadi begitu saja di
dalam ruang-ruang publik komunitas Samin. Pembelajaran ini dapat saja terjadi
di sawah, di emper rumah, di sungai maupun di pasar. Pada saat makan, minum,
maupun saat guyonan. Bentuknya lebih berupa dialog mengenai persoalan lokal
yang dihadapi komunitas secara langsung dalam kehidupan sehari-hari dan
jangka panjang.
’Sinau’ bisa dilakukan kapan saja, dimana saja seperti yang dipaparkan mbak Gun ”nek bocah neng kene ki yo sinau kapan wae, iso neng endi-endi, ora
dikudokke.” (kalo anak-anak di sini belajar ya bisa kapan saja, bisa di mana-
mana, tidak perlu diharuskan).
Namun, selain gambaran umum mengenai ’sinau’ yang telah dipaparkan
tersebut, ada beberapa bentuk ’sinau’ yang berhasil di tangkap melalui
wawancara dan pengamatan lapang. ’Sinau’ secara umum memang proses sepanjang hidup, namun proses ’sinau’ materi tertentu mereka polakan dalam
situasi dan cara yang lebih khusus. Meski tidak juga kemudian menjadi sekolah
formal seperti kebanyakan dipakai di masyarkat.
Sinau dalam kehidupan masyarakat Samin adalah ’transfer of knowledge’
dari semua bagian kehidupan mereka, mulai dari sinau macul, sinau nyapu, sinau
masak. Sinau bukan hanya dalam konteks sinau nulis dan sinau maca, tetapi sinau dari keseluruhan ’transfer of knowledge’dari bagian hidup mereka,
sekalipun mereka juga melakukan sinau maca dan sinau nulis dalam situasi yang
non formal. Sinau ini merupakan jenis ’sinau’ yang lebih khusus. Sinau yang
pertama, yakni maca berarti belajar membaca, sementara nulis berarti belajar
menulis. Sementara yang terakhir, sinau ’nembang’ ini berarti belajar lagu.
Gambar 4. Kegiatan belajar komunitas Samin
Kembali ke fokus pada bagian belajar membaca dan menulis, komunitas
Samin, berdasarkan peta lokasinya proses belajar mengajar baca, tulis dan
35
berhitung ini terpusat pada sedulur sikep yang tinggal di daerah Ngawen.
Komunitas Samin yang ada di kecamatan Sukolilo tersebar di lima desa, yaitu
Ngawen, Curuk, Nggaliran, Mbombong dan Kutuk. Dari kelima desa ini, desa
Ngawen merupakan pusat pembelajaran karena didaerah lain tidak melakukan
proses pembelajaran ini. Di sinilah mbak Gun tinggal, bersama dengan keluarga besar Mbak Sampir. Sedulur Sikep di Ngawen ini menurut peta pola belajar yang
diperoleh dari lapangan merupakan pusat pembelajaran baca, tulis dan hitung.
Mbak Gun sendiri yang sekarang berperan sebagai sesepuh menggantikan mbah
Sampir yang meninggal 2 tahun yang lalu, adalah salah satu anggota sedulur
sikep yang fasih baca tulis, hitung bahasa Jawa maupun Indonesia. Mbah Sampir
fasih membaca dan menulis karena pada awalnya mbah Sampir adalah pemeluk
agama tertentu yang masuk kedalam komunitas Samin dan memeluk agama Adam.
Anak-anak kecil umur 6-10 dan remaja 11-15tahun dari komunitas yang
tinggal di daerah Nggaliran, Curuk dan Mbombong akan datang ke pemukiman
Ngawen ini untuk belajar.
Siapa: Pelaku Belajar Komunitas Samin
’Sinau’ bagi komunitas sedulur Sikep ini dipahami sebagai proses
sepanjang hayat, dilakukan dengan spontan dan ditujukan untuk menunjang
kehidupan. ’Sinau’ dilakukan oleh siapa saja, apa saja, dimana saja dan kapan
saja. Prinsip ini tetap berlaku untuk belajar baca, tulis dan hitung, hanya saja
biasanya tidak dilakukan sebebas belajar materi lain. Menurut pengamatan di
lapangan, sedulur sikep akan bersama-sama menentukan waktu belajar dan berkumpul di salah satu rumah pemukiman Ngawen. Waktunya bisa siang hari,
namun seringkali sore hingga malam hari karena sangat tergantung waktu luang
yang dimiliki oleh Mbak Gun maupun ’turunannya’ (anaknya).
Peserta belajar sedulur sikep kebanyakan anak-anak usia 6-10 dan remaja
11-15tahun. Lebih dari itu, biasanya bagi mereka yang belum bisa baca tulis
akan belajar langsung dari sedulur (anggota komunitas) lain. Artinya dia tidak
akan mengikuti pertemuan belajar di Ngawen.
Pengajar dalam hal ini adalah guru bagi anak-anak. Prasarat yang perlu
dipenuhi oleh seorang guru dalam komunitas ini adalah seseorang yang bisa
membaca, menulis dan berhitung baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia.
Terlebih lagi, karena model kempemimpinan yang religius karismatis, seorang
guru perlu memiliki pengetahuan cukup atau mumpuni tentang agama Adam.
Selain itu dibutuhkan karakter ’orang tua’ yang bisa sabar dan ngemong (membimbing).
Sejauh ini yang berperan sebagai guru masih bergantung pada Mbak Gun
dan seorang putrinya yang sudah remaja. Dua perempuan inilah yang kemudian
banyak mengambil peran dalam mengajar baca, tulis dan hitung di komunitas
Samin.
“Nek sinau maca ki ya isih neng kene, sing ngajari yo kae turunanku sing
nomer siji. Nek aku ana wektu pas ora okeh gawean yo aku sing ngajari.
36
Wong cah-cah ki luwih seneng nek aku sing ngajari. Cah-cah enom kae rak
durung sabar.” 7
(kalau belajar baca ya masih di sini, yang mengajar ya itu anak
perempuanku yang nomer satu. Bila saya ada waktu pas tidak banyak
pekerjaan ya saya yang mengajar. Soalnya anak-anak itukan lebih senang bila aku yang mengajari. Anak-anak muda itu kan belum cukup sabar.)
Mengenai jumlah peserta belajar setiap kali ada pertemuan tidak banyak
hanya sekitar enam hingga sepuluh anak atau remaja. Tidak ada pembagian
kelas berdasar usia dalam proses pembelajaran komunitas yang diawali oleh
Samin Soerontika ini. Mereka menganggap belajar adalah hak bagi semua orang
dengan segala usia, dan mengajari adalah kewajiban semua orang yang memang sudah bisa atau sudah belajar lebih dahulu.
Apa: Materi yang dipelajari komunitas Samin
Tujuan belajar bagi anak-anak dan remaja Samin adalah mampu
membaca, menulis dan menghitung, sehingga setelah tahu mereka bisa menjaga
diri mereka dari pengaruh asing, maupun serangan ideologi dari luar. Seperti yang dipaparkan mbak Gun:
“yo ora, bocah gelem sinau nulis iku wes apik. Lha rak tujuane sinau ki ra’
pisan ben ngerti lan iso, kepindo nek wes iso banjur dienggo pager ben ora
dipoyoki sedulure.”8 (ya engga, anak-anak mau belajar itu sudah bagus.
Lha kan tujuan belajar itu kan pertama, biar tahu dan bisa, kedua, setelah
bisa lalu dipakai untuk memagari diri supaya tidak dicurangi temannya.)
Mereka memegang teguh keharmonisan hubungan. Bagi mereka proses
belajar ini lebih menyerupai latihan bela diri. Sebuah ketrampilan untuk menjaga
diri dari jahatnya lingkungan. Ketrampilan baca, tulis, dan hitung itu yang
terpenting. Mengenai apa yang akan mereka baca dalam tulisan yang mereka
baca, kemudian apa yang akan mereka tuangkan dalam tulisan, serta apa yang
akan mereka hitung itu adalah perkara yang erat kaitannya dengan aktivitas hidup mereka.
Mata pencaharian utama sebagai petani, menjadi materi relevan dalam
kegiatan mereka belajar baca tulis. Ketrampilan baca tulis menjadi satu bagian
yang penting pula untuk melestarikan keyakinan mereka terhadap agama Adam.
Karena bagaimanapun juga, hanya satu sumber kebenaran bagi mereka, kitab
Adam. Selain itu, ikatan kekerabatan karena hubungan darah dan ikatan sakral mengharuskan mereka mengenal keluarga dan sedulur-sedulurnya. Oleh karena
itu untuk pendidikan anak-remaja yang sering dilakukan oleh komunitas Samin
akan lebih banyak berisi materi-materi awal perkenalan tentang keluarga, bapak,
ibu, keluarga batih dan pertanian.
7 Wawancara dengan mbak Gun, 11 Mei 2008 8 Wawancara dengan mbak Gun, tercatat dalam Logbook1-11 Mei 2008
37
”Nek do ajar nulis kuwi yo sak geleme. Sing penting nulis. Apa wae. Iso
nulis sejarah keluargane, iso nyrito bapakne..”9 (Bila belajar menulis itu
semaunya sendiri. Yang penting menulis. Apa saja. Bisa menulis tentang
sejarah keluarganya, bisa cerita tentang bapaknya..)
Cara Belajar Komunitas Samin: Komunikasi Dua Arah
Belajar dalam arti umum, bisa dilakukan dengan cara apapun. Bicara
sehari-hari sambil menimang anak dengan sesama ibu yang baru melahirkan
merupakan proses belajar bagi anggota komunitas Samin. Ada transfer
pengetahuan melalui kegiatan yang mereka lakukan. Berbagi pengetahuan
tentang cara mengatasi mual dengan cara minum arang adalah salah satu
kearifan lokal yang kemudian digunakan sebagai alat adaptasi terhadap hidup. Itulah belajar.
Hanya, bila mengupas cara belajar secara khusus dalam arti baca, tulis dan
hitung, tentu menggunakan cara yang lebih terperinci. Biasanya dalam hari-hari
tertentu yang tidak diatur waktunya, anak-anak dan remaja akan berkumpul
untuk mendengarkan penuturan kisah maupun pembelajaran huruf-huruf.
Tempatnya tidak selalu di dalam rumah. Bisa di pekarangan, di halaman rumah maupun di dapur. Tergantung peserta belajar, bila tempat cukup untuk jumlah
peserta maka tempat tersebut adalah lokasi yang tepat untuk belajar.
Belajar baca, tulis dan hitung juga tidak terbatas pada saat mereka
berkumpul. Anak-anak dan remaja yang memang ingin bisa saja bertanya pada
orang tua mereka yang memang bisa membaca. Seperti yang ditutukan Mbak
Gun”Sing ngajari yo wong tuwone karo awakke dewe.” Ada beberapa anggota komunitas lain yang juga bisa baca, tulis dan hitung selain Mbak Gun dan
keluarganya. Sehingga kegiatan belajar bisa saja terjadi di sela-sela aktivitas
hidup sehari-hari.
Seperti pada suatu kali kunjungan ke lapangan, peneliti mengikuti kegiatan
mbak Gun Narti. Sebelumnya peneliti membantu dan menemani dia memasak.
Setelah acara memasak selesai mbak Gunarti melanjutkan acaranya dengan
‘latihan’ kepada anak-anak usia sekolah yang ada di lingkungan itu. Sejak pagi hari peneliti sudah mengamati kegiatan anak-anak yang masih berusia sekolah
ini. Ketika teman-teman yang lain pergi ke sekolah mereka justru bermain atau
membantu orang tuanya.
Pada pagi itu, kegiatan anak laki-laki bermain layang-layang dan sepeda-
sepedaan, sedangkan anak perempuan ada yang membantu ibunya mencuci
pakaian, ada yang mencuci piring dan ada juga yang memasak serta menyapu halaman. Lamunan peneliti ini terputus ketika Mbak Gunarti berkata, “Ayo mbak,
sido melu apa ora? Latihane iki ana pondokane Kang Adam” (Ayo mbak, jadi ikut
latihan apa tidak? Latihan ini dilakukan di rumahnya Mas Adam).
Peneliti kemudian mengikuti langkah Mbak Gunarti, Disitu sudah ada 6
anak laki-laki dan 7 anak perempuan yang usianya sekitar 9-12 tahun. Ada yang
9 Wawancara dengan mbak Gun, tercatat dalam Logbook1-11 Mei 2008
38
duduk dilantai dan ada juga yang duduk dikursi. Dengan Papan tulis kecil, sekitar
satu jam mbak Gunarti memperkenalkan huruf-huruf Jawa kepada mereka.
Kemudian pada jam berikutnya Mbak Gunarti mengajari mereka untuk berhitung
mulai dari ‘tambah-tambahan’ sampai dengan perkalian. Sebelum mengakiri
latihan itu mbak Gunarti memberi pesan kepada mereka, “Saiki latihane wis rampung. Latihan iki kanggo kuwe kabeh supaya kowe kabeh dadi pinter,
nanging aja pada minteri liyan. Kowe kabeh kudu nurut karo bapak dan emak.
Wis saiki podo bali ono pondokane dewe-dewe” (Sekarang latihannya sudah
selesai. Latihan ini buat kalian semua supaya jadi pintar tetapi jangan dipakai
untuk memperdayai orang lain. Kalian semua harus menurut sama bapak dan
ibu. Sudah sekarang semua pulang kerumah masing-masing). Acara latihanpun
selesai pada siang itu. Acara latihan biasanya diadakan setiap hari setelah mbak Gunarti selesai memasak sekitar pukul 11.
“Ya koyo mengkene ki latihane sedulur sikep. Sedulur sikep ke ra seneng
sekolah kaya liyane. Sekolah kita rak ya mung kanggo golek kepinteran to? Trus
mengko yen wis pinter kanggo minteri liyan. Biasane ana latihan ini aku
ngaturake pitutut saka Mbah Tarno pas rembug gunem ana Sukolilo, supaya
bocah-bocah kuwi pada ngerti apa sing kudu ditindakno” (Ya seperti ini latihannya saudara Sikep. Suadara Sikep tidak suka sekolah seperti saudara yang
lain. Tujaun sekolah itu kan untuk kepandaian, tetapi kalau sudah pintar tetapi
untuk memberdaya orang lain bagaimana? Biasanya dalam latihan ini aku
menyampaikan pesan dari mbah Tarno waktu Timbang Gunem di Sukolilo supaya
anak-anak tahu apa yang harus dilakukan).
Cara-cara seperti inilah yang dilakukan untuk melakukan pendidikan dilingkungan masyarakat Samin. Yang menjadi penekanan dalam bidang
pendidikan dilingkungan masyarakat Samin adalah mendidik anak-anak untuk
taat mengikuti ajaran dan falsafah hidup yang diyakini masyarakat Samin.
Menulis dan berhitung hanyalah sebagai sarana untuk menjadi manusia yang
sempurna. Oleh karena itu, sekalipun pembelajaran menulis dan membaca
dilakukan oleh beberapa anggota komunitas masyarakat Samin, tetapi untuk
pengajaran tentang falsafah hidup dan agama berada di bawah kontrol sesepuh. Ajaran-ajaran ini kadang-kadang disampaikan langsung oleh sesepuh kepada
anak-anak, tetapi tidak jarang dilakukan dengan menggunakan media. Media
yang digunakan adalah orang tua dan anggota komunitas masyarakat Samin
lainnya yang menjadi ‘guru’ bagi mereka.
Pola pembelajar semacam ini sangat selaras dengan pola pembelajaran
two way communication yang menjadi sasaran pola pengembangan belajar di komunitas Samin. Sangat menguntungkan, karena abstraksi yang diangkat dari
data lapangan membuktikan bahwa komunitas Samin memiliki model
komunikasi dialogis dalam proses pembelajarannya. Pembelajaran terjadi secara
dua arah. Mengacu pada pendapatnya Friederich Kron (dalam Biesta, 1995), pola
pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang menggunakan paradigma
interaksionalisme simbolik. Menurut pandangan ini, pendidikan tidak dimaknai
sebagai tindakan manipulasi pendidik atas pesertanya. Pendidikan dipahami sebagai proses sosial yang dibangun oleh interpretasi yang dimiliki oleh masing-
masing peserta. Pendidik dan peserta didik merasa bahwa kedudukan mereka
39
sama, tidak ada yang merasa lebih tinggi kedudukannya, sehingga antara
pendidik dan peserta didik saling menghargai. Dalam hal ini, rasa saling percaya
memegang peranan yang sangat penting. Model ini pada akhirnya memposisikan
pendidikan sebagai proses komunikasi dua arah dalam konteks kehidupan sehari-
hari.
Proses pembelajaran seperti inilah yang justru selama ini dipraktekan
dalam komunitas Samin. Hanya pola proses pembelajaran ini perlu
dikembangkan lebih lanjut untuk memuncul rasa percaya dalam kehidupan
komunitas Samin kepada orang lain sehingga mereka mau membuka diri
terhadap informasi dan pengetahuan yang berasal dari luar komunitas.
Setidaknya ke depan nanti komunitas Samin akan bisa melestarikan proses
belajar baca, tulis dan hitung menurut kearifan mereka sendiri.
Terdapat banyak aspek yang mempengaruhi cara belajar di dalam sebuah
masyarakat. Sementara bila belajar itu sendiri dimaknai sebagai proses
regenerasi dan pewarisan budaya, maka belajar merupakan proses yang tidak
terbatas di ruang kelas. Demikianlah konsep yang terdapat dalam tataran
gagasan komunitas Samin, proses yang mengalir dalam keseharian tersebut akan
sangat ditentukan oleh pola hidup dan aspek sosial budaya mereka.
Beberapa intisari dari pola pendidikan komunitas samin menunjukkan
bahwa orang-orang Samin melakukan proses pewarisan budaya dan
sosialisasinya melalui budaya lisan, informal dan mengalir dalam keseharian.
Namun, setelah dilakukan pemetaan garis besar mengenai proses pembelajaran
mereka, khususnya yang dipandang penting untuk mempertahankan diri bagi
masyarakat ini adalah belajar baca, tulis dan hitung. Oleh karena itu fokus penyajian model pembelajaran yang akan dikembangkan dalam penelitian ini
akan lebih berfokus pada pola pembelajaran baca, tulis dan hitung, dengan butir-
butir usulan sebagai berikut:
Pelaku belajar komunitas Samin
Seperti yang telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya mengenai
deskripsi siapa saja yang melakukan proses pembelajaran, maka aspek penting yang perlu dilihat adalah pertama, mengenai beragamnya usia peserta belajar,
dan kedua, pengajar atau guru selama ini berpusat pada komunitas wilayah
Ngawen, dengan tokoh sentral Mbak Gunarti.
Kondisi ini cukup menguntungkan bagi mereka, karena memang mudah
mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini bila pengajaran baca, tulis, dan
hitung dilakukan secara tersentral di satu daerah. Mbak Gun sebagai tokoh kepercayaan, pengganti sesepuh sebelumnya, Mbah Sampir melalui proses
belajar baca, tulis, hitung juga punya tangungjawab untuk mempertahankan
kelestarian kepercayaan mereka. Oleh karena itu dapat dipahami bila proses
belajar ini lebih banyak dipusatkan di Ngawen. Hanya, saat dilakukan wawancara
mendalam, Mbak Gun sebenarnya tidak keberatan bila proses belajar ini juga
bisa dilakukan sedulur-sedulur Sikep di daerah lain, bila memang ada anggota
komunitas yang bisa baca, tulis, hitung jawa dan Indonesia.
40
Selama ini yang lebih banyak dilakukan tiap-tiap anggota keluarga yang
memiliki anak yang ingin belajar memilih untuk mengantarkan mereka ke
Ngawen. Meski sekarang ini ada juga beberapa remaja di wilayah-wilayah
komunitas Nggaliran, Curug dan Bombong yang mampu baca, tulis dan hitung
Jawa maupun Indonesia, namun keberadaan mereka kurang begitu berperan dalam proses sosialisasi baca dan tulis.
Proses yang polanya terpusat ini mengakibatkan penyebaran ketrampilan
baca, tulis, dan hitung dalam komunitas ini tergolong pelan. Memang bagi
mereka bukan kompetensi ini yang ingin dicapai, namun melihat perkembangan
penggunaan media dan terpaan informasi yang membuat mereka harus
bertahan, mereka sendiripun seperti yang dipaparkan Mbak Gun mengaku butuh
kemampuan ini.
”Yo, nek selama iki sinaune yo sak geleme wae, lha usulmu kudu piye?”
(Ya, kalau selama ini belajarnya ya semaunya saja, lha usulmu harus
gimana?)
Melihat keterbukaan tersebut, peneliti bermaksud menawarkan pembuatan
pola belajar yang lebih menyebar sehingga remaja yang sudah mampu baca, tulis
dan hitung dapat berdaya sebagai guru di pemukiman wilayah yang lain. Pengontrolan dapat tetap dilakukan oleh De Tjuk, Mbak Gun atau Mas Gun demi
menjaga kemurnian materi pembelajaran sesuai dengan ajaran keyakinan
mereka.
Selain itu pembelajaran dapat saja digolongkan berdasarkan kelompok usia
menurut tingkat kedewasaan psikologis mereka. Karena tentunya pola
pengetahuan dan kebutuhan tematik akan sangat berbeda antara anak-anak dengan remaja yang sudah menginjak masa akhil balik. Penggolongan ini
memang belum dibicarakan lebih lanjut dalam diskusi kelompok bersama dengan
sedulur Sikep di Ngawen, namun peluang ini terbuka karena biasanya mereka
tidak melibatkan anak-anak dalam pembicaraan orang-orang dewasa. Artinya,
ada kesadaran terhadap kebutuhan informasi dan pengetahuan dalam komunitas
ini.
Materi yang dipelajari
Materi belajar selama ini sejauh aksara Jawa, dan baca tulis Indonesia.
Tema yang menjadi isi pembelajaran untuk anak-anak dan remaja lebih banyak
berkaitan dengan konteks diri sendiri, keluarga, pertanian dan budaya sedulur
Sikep.
Konteks diri sendiri banyak bicara mengenai siapa seseorang di dalam sebuah keluarga, hubungan dengan orang tua, kapasitasi filosofis mereka sebagai
manusia, kemudian berkaitan erat dengan kepercayaan agama Adam mereka.
Sementara bila mereka membahas mengenai keluarga maka yang dilakukan
dalam proses pembelajaran dengan anak-anak adalah proses pengenalan
terhadap identitas orang tua mereka, siapa bapak, ibu, apa yang mereka
kerjakan dan keyakinan macam apa yang mereka anut. Termasuk keyakinan
41
gaya hidup mereka sebagai orang Jawa yang penting untuk dipertahankan dalam
rupa identitas bahasa, cara berpakaian, rumah dan kegiatan.
Sebagai orang Jawa dengan kondisi geografis persawahan, mereka sangat
memegang teguh mata pencaharian sebagai petani. Segala hal yang berkaitan
dengan pertanian menjadi pokok pengetahuan yang dibicarakan dalam pelajaran.
Meski materi-materi tematik itu tidak selalu diberikan secara sistematis,
tapi kisaran tema yang dibahas selalu bertautan dengan bidang-bidang tersebut.
Segala macam materi yang disuguhkan tersebut kemudian dapat dikembangkan
secara lebih tersusun dan sistematis. Sehingga lebih mudah bagi anak-anak yang
belajar dalam menangkap gambaran besar mengenai hal-hal yang mereka
pelajari.
Peneliti menyadari masuknya ide modul materi belajar ini tentu akan membuat komunitas Samin melakukan akulturasi bahkan asimilasi dari budaya
lisan kepada budaya tulis. Namun, satu hal yang menjadi pokok perhatian di sini
adalah bagaimana budaya tulis inipun dapat menangkal budaya instan yang lahir
akibat teknologi komunikasi yang mereduksi makna komunikasi interpersonal
mereka.
Adapun budaya tulis ini tidak sama sekali baru bagi komunitas Samin, karena mereka sudah terbiasa mendokumentasikan tembang dalam bentuk
kumpulan lagu-lagu. Tidak hanya menuliskannya, komunitas Samin bahkan
sudah menggunakan mesin foto kopi untuk memperbanyak informasi tembang
warisan mbah Sampir. Sehingga peluang untuk mengusulkan suatu bentuk
modul belajar pada mereka yang tentunya sesuai dengan kebutuhan dan budaya
sedulur Sikep.
Modul belajar ini akan berisi tentang huruf, hitung dan tema yang
berkaitan dengan keseharian dan kebiasaan hidup mereka. Selain itu juga akan
dipaparkan cara atau metode penyampaian berdasarkan materi dan tema belajar
tiap bagian.
Cara belajar dengan komunikasi dua arah
Strategi belajar dialogis atau dua arah yang dibangun dalam komunitas Samin menjadi modal dasar yang kuat untuk melestarikan pemanusiaan
manusia yang mereka pertahankan selama ini. Hanya saja proses pembelajaran
yang informal dan tidak terjadwal menjadikan proses belajar baca, tulis, dan
hitung jadi sangat acak. Oleh karena itu peneliti bermaksud mengembangkan
cara belajar dialogis yang meski tetap mempertahankan pola pembelajaran
dalam pola komunikasi sehari-hari juga mengembangkan pola pembelajaran dengan pertemuan-pertemuan yang meski informal namun teratur.
Justru transfer informasi yang dialogis inilah yang ingin dipertahankan
dalam pola pertukaran simbol yang dikonsepkan oleh Geroge Herbert Mead
dalam teori interaksionisme simboliknya. Berdasar gagasan mereka sendiri
mengenai agama Adam, juga mengenai mata pencaharian bertani sebagai satu-
satunya usaha yang boleh dilakukan sebagai orang Jawa maka proses
pembelajaran tetap dilakukan berdasarkan ideologi mereka.
42
Di sini peran guru tidak sekedar nuturi melainkan berperan aktif untuk
menggali potensi, kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri peserta belajar,
terutama anak-anak dan remaja yang membutuhkan alat untuk menggali
pengetahuan di sekeliling mereka. Tujuan dari proses pembelajaran interaktif ini
lebih ditujukan untuk membekali anak-anak dan remaja komunitas Samin dari terpaan pengaruh budaya dari luar, akibat banyaknya interaksi dengan nilai-nilai
yang dibawa peneliti, LSM maupun pemerintah. Setidaknya dengan pembelajaran
dari hati ini, anak-anak dan remaja dapat sepenuhnya memegang teguh nilai-
nilai yang membuat mereka tetap bertahan hingga sekarang sebagai komunitas
sedulur Sikep.
Tabel 1.
Perbandingan Sekolah Formal dan Proses Belajar Komunitas Samin
Faktor
Pembelajaran
Sekolah Formal Sinau ala Samin
Kurikulum Paket dari pemerintah
dalam bentuk satuan mata
pelajaran
Standar evaluasi tertentu,
UAN
Periode belajar
Semester/Caturwulan
Materi sesuai kebutuhan
hidup, diutamakan
menulis, membaca dan berhitung bahasa Jawa
dan Indonesia
Standar evaluasi alami,
teruji dalam praktek
hidup sehari-hari
Periode belajar sesuai kebutuhan dan kepuasan
pencapaian dari masing-
masing peserta belajar
Pengajar-Peserta Belajar
Guru harus memenuhi standar pendidikan bidang
pelajaran tertentu sesuai
yang diampu
Peserta belajar dibagi
menurut tingkat usia dan
memiliki kewajiban administrasi tertentu
Hubungan Guru-Peserta
belajar seringkali
cenderung satu arah,
karena kuota kelas yang
besar
Guru adalah orang tua, atau tokoh masyarakat
setempat yang memiliki
kemampuan menulis,
membaca dan berhitung
bahasa Jawa dan
Indonesia
Peserta belajar dibagi
berdasarkan
kemampuan bukan
tingkat usia.
Hubungan Pengajar-
peserta belajar berlangsung dua arah,
timbal balik, karena
peserta belajar terbatas,
serta menekankan pada
43
hubungan kekeluargaan.
Fasilitas Gedung, kelas, papan tulis,
dan teknologi informasi
komunikasi
Perpustakaan dan buku
Rumah, kursi dan meja
sendiri, papan tulis
kapur di emperan
Sumber informasi fotokopian tembang dan
huruf Jawa
Proses Belajar Setiap hari, dengan durasi jam tertentu, sepanjang
minggu, dengan hari libur
yang ditentukan
Peserta belajar
menggunakan seragam
Setiap kali pengajar punya waktu luang dan
peserta belajar mau
belajar
Peserta belajar hadir
dengan pakaian sehari-
hari mereka.
Tabel 2.
Rencana Pola Pembelajaran Komunitas Samin dengan Model Komunikasi
Dua Arah
Faktor
Pembelajaran
Sinau ala Samin Usulan Pola
Pembelajaran
Dua Arah
Kurikulum Materi sesuai kebutuhan
hidup, diutamakan menulis, membaca dan berhitung
bahasa Jawa dan Indonesia
Standar evaluasi alami, teruji
dalam praktek hidup sehari-
hari
Periode belajar sesuai
kebutuhan dan kepuasan pencapaian dari masing-
masing peserta belajar
Materi tetap
mengakomodasi kebutuhan hidup
komunitas Samin.
Berupa huruf dan
angka Jawa, serta
huruf dan angka
Indonesia.
Standar evaluasi tetap alami, tetapi diadakan
latihan-latihan yang
sifatnya menguji
pemahaman materi
yang diberikan.
Periode belajar dapat saja sesuai kebutuhan,
namun memiliki target
yang jelas sesuai
dengan materi yang
tersusun.
44
Pengajar-Peserta
Belajar
Guru adalah orang tua, atau
tokoh masyarakat setempat yang memiliki kemampuan
menulis, membaca dan
berhitung bahasa Jawa dan
Indonesia
Peserta belajar dibagi
berdasarkan kemampuan bukan tingkat usia.
Hubungan Pengajar-peserta
belajar berlangsung dua
arah, timbal balik, karena
peserta belajar terbatas,
serta menekankan pada
hubungan kekeluargaan.
Guru dapat saja orang
tua, namun sebaiknya anak-anak muda yang
sudah lebih dewasa
dapat diberi
tanggungjawab untuk
mengajari peserta
belajar yang lebih muda.
Peserta belajar dapat
dibagi berdasarkan
tingkat usia dan
konteks kebutuhan
materi.
Hubungan pengajar-peserta belajar yang
dialologis dapat
dipertahankan.
Fasilitas Rumah, kursi dan meja
sendiri, papan tulis kapur di
emperan
Sumber informasi fotokopian
tembang dan huruf Jawa
Ruangan tempat
berlangsungnya
pembelajaran dapat di
rumah mana saja,
sesuai kesepakatan.
Tempat belajar ini lebih baik disediakan
juga di Curug,
Nggaliran dan ?
Sumber infomasi
dalam bentuk modul
per-pokok bahasan
dan tema tembang.
Proses Belajar Setiap kali pengajar punya
waktu luang dan peserta
belajar mau belajar
Peserta belajar hadir dengan
pakaian sehari-hari mereka.
Waktu dapat disepakati
bersama secara
periodik, sehingga dapat mengakomodasi
kebutuhan peserta
sekaligus memudahkan
pengajar mengatur
waktunya.
Pengajar dan peserta belajar tetap
berpakaian sesuai
dengan kebiasaan
komunitas Samin.
45
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pola sosialisasi sebagai wujud pembelajaran komunitas Samin terwujud dalam bentuk komunikasi dua arah yang informal dan alami.
2. Komunitas memandang proses pembelajaran sebagai proses belajar
seumur hidup. Prinsip yang diterapkan adalah belajar tentang segala hal
yang penting bagi kehidupan mereka, kapan saja, bersama dengan siapa
saja.
3. Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Komunitas Samin berupa proses
belajar seumur hidup dan kegiatan belajar membaca dan menulis bahasa Jawa dan Indonesia, maka model pembelajaran yang dapat diterapkan
adalah model pembelajaran informal dengan mengembangkan materi,
pengajar dan tempat belajar.
6.2. Saran
1. Saran metodologis: karena penelitian ini adalah penelitian etnografi, maka dibutuhkan waktu yang cukup bagi dosen untuk melakukan penelitian
2. Supaya model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam kehidupan
komunitas Samin, sebaiknya pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan emik, yaitu pendekatan yang menggunakan sudut pandang
dari obyek penelitian
3. Dibutuhkan pemahaman dari semua komponen, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat luas mengenai sistem nilai Sedulur Sikep yang mewarnai
proses pembelajaran mereka.
46
BAB VII
RENCANA PENELITIAN TAHAP SELANJUTNYA
Tujuan Khusus
Pada penelitian tahap kedua penelitian Hibah Bersaing dengan judul Pemetaan Model Pembelajaran Berbasis ’Two Way Communication’ Dalam
Kehidupan Komunitas Samin, maka tujuan khusus yang ingin diperoleh adalah:
1. Menyusun buku acuan (panduan) pembelajaran berbasis ’two way
communication’ sebagai petunjuk bagi pengajar dalam merancang,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran komunikasi.
2. Mendeskripsi keefektifan dan feasibilitas model pembelajaran berbasis
’two way communication’ dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan komunitas Samin.
3. Mem-verifikasi dan revisi model pembelajaran berbasis ’two way
communication’.
Metode
Berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, program penelitian ini dirancang dengan pendekatan "Penelitian dan Pengembangan", artinya suatu
program penelitian ditindaklanjuti dengan program pengembangan untuk
perbaikan atau penyempurnaan (Borg and Gall, 1989:784-5). Untuk
menghasilkan model pembelajaran berbasis ’two way communication’ ditempuh
langkah-langkah sistematis dalam bentuk proses aksi, refleksi, evaluasi, dan
inovasi dengan mengaplikasikan metode penelitian observasi langsung, pengembangan, eksperimen, dan evaluasi.
Jadwal Kerja
Program penelitian ini direncanakan untuk dilaksanakan dalam dua tahap
dengan waktu penyelesaian dua tahun. Tahap pertama sudah dilakukan, maka
pada tahun kedua akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:
Tahap II tahun 2009, diawali dengan sosialisasi model kepada beberapa anggota komunitas Samin yang dianggap memiliki potensi untuk mendidik
(berdasarkan penelitian terdahulu ada beberapa anggota komunitas Samin yang
sudah dapat membaca dan memungkinkan untuk menjadi pendidik dalam
komunitas ini) melalui komunikasi antar pribadi dan menyusun buku acuan.
Selanjutnya melalui metode eksperimen dengan rancangan control group pretest
– posttest design, penelitian dilakukan untuk menguji keefektifan model pembelajaran berbasis two way communication dalam mengembangkan
kemampuan komunitas Samin dalam menerima materi yang disampaikan.
Penelitian akan dilakukan pada anggota komunitas Samin yang berumur sekolah
(sekitar 7-12 tahun) dengan pemikiran pada usia inilah seharusnya mereka
47
mendapatkan pendidikan secara formal. Keefektivan model dalam hal ini akan
diuji dengan analisis perbedaan mean (t–test) kemampuan proses pembelajaran
antara kelompok peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan model
two way communication dan kelompok peserta didik yang memperoleh
pembelajaran dari pemimpim komunitas pada saat ini. Secara rinci jadwal dalam penelitian ini seperti dalam tabel 3 dibawah ini.
48
Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan
No Kegiatan Bulan dalam tahun 2009
April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop
1 Persiapan
1.1. Revisi proposal x
1.2. Penyusunan alat dan uji
reliabilitas
xx
1.3. Persiapan penelitian
lapangan
x
1.4. Penjajagan informan
(agen pembaharu)
xxxx
2. Penelitian Lapangan
2.1. Penentuan informan
(agen pembaharu) dan peserta belajar
xx
2.2. Pengambilan data
dengan teknik partisipasi
xxx
2.3. Penyusunan modul
X
xxxx
2.4. Pelatihan dan evaluasi
model pembelajaran
x
xxxx xxxx xxxx
2.5. Transkrip dan coding
data
xxxx xxxx
2.6. Analisis data xxxx xxxx
3. Penulisan
3.1. Penulisan laporan xx
3.2. Monitoring dan evaluasi
xx
3.3. Penyusunan program aksi sebagai tindak
lanjut laporan
xx
3.4. Pengiriman dan pertanggungjawaban
laporan
x
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basrowi dan Sukidin. (2002). Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia
Borg, Walter R. and Meredith Damien Gall. (1989). Educational Research. New
York: Longman
Griffin, Em. (2003). A first look at communication theory. New York: McGraw-
Hill.
Harefa, Andrias. (1995). Sekolah Saja Tidak Cukup. Jakarta: Gramedia.
Littlejohn, Stephen W and Roberta Gray (2001). Theories of Human Communication, 7 th ed. Belmont: Wadsworth Publishing Company
Riyadi Soeprapto, HR. (2002). Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rogers, Everet M. (1983). Diffusion of Innovations, 3th ed. New York: The Free
Press, Macmillan Publishing Co., Inc.
Soejanto Sastroatmodjo. 2003. Masyarakat Samin: siapakah mereka?. Jogjakarta: Penerbit Narasi
Undang-Undang
Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jurnal
Biesta, Gert. (1995). Education/Communication: The Two Faces of
Communicative Pedagogy. Philosophy of Education. Netherlands: Utrecht
University.
Majalah
Intisari on the Net, Juli 2001. Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko
Supari, Achmad. 2000. “Pembelajaran yang Menyenangkan”. Kompas, Edisi Senin, 20 November 2000.
Suripan Sadi Hutomo. (1985). Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya. Basis,
Januari 1985.
Zaim Uchrowi dkk. (1987). Jalan Mulut Orang Samin. Tempo. 23 Mei, 35 – 52.
Internet
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Wikipedia the free book.htm
50
Illich, Ivan. (1972). Deschooling Society. Wikipedia the free book.htm
Tulisan yang tidak diterbitkan
Rini Darmastuti. (2005). Pola komunikasi sosial masyarakat Samin. Tesis.
Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Rini Darmastuti. Pengaruh terpaan televisi dalam kehidupan komunitas Samin.
Penelitian ini Dibiayai Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan
dan Terapan, dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian Nomor:
176/SP3/PP/DP2M/II/2006, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian
Pada Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional
Rini Darmastuti. (2007). Pengaruh terpaan televisi dan pola komunikasi
komunitas Samin. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner Vol. XVIII, No. 3, Desember-Maret 2007
Prasela, Mustika Kuri. (2007). Pendidik: Memaknai pendidikan sebagai interaksi
dialogis. Materi Jurnal Enquriy. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
51
LAMPIRAN
52