KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA...
Transcript of KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA...
i
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA
PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Magister
Oleh:
GUSTI DINDA DAMARSASI
NIM: 151232005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SEPTEMBER 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Seiring dengan ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
kelancaran dalam setiap langkah saya, tesis ini saya persembahkan untuk kedua orang tua
saya Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK, dan Ibu Soeryanti . Mereka adalah orang
teristimewa di dunia ini yang telah mencurahkan segala cinta demi kebahagian dan
kesuksesan saya.
Danu Mukti dan Gusti Nanda Wahyusari, yang selalu mengingatkan saya ketika saya malas,
memotivasi saya ketika putus asa, dan selalu menghibur serta terkadang menyebalkan.
Bernadus Tube dan Yuni Lundiarti, yang selalu memberikan motivasi, kritik,
saran dan selalu menanyakan perkembangan tesis saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Jer Basuki Mawa Bea (pepatah Jawa)
bahwa memang sebuah kesuksesan yang kita capai adalah
sebuah cerminan dari pengorbanan kita
Kawula Mung Saderma, Mobah-mosik Kersaning Hyang Sukmo
(pepatah Jawa)
berusaha memang tugas seorang manusia, selebihnya Tuhanlah
yang menentukan
Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan tapi dengan ketekuan dan
kegigihan ~
(Samuel Jhonson)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana
layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme
dalam tesis ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 11 September 2017
Penulis
Gusti Dinda Damarsasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Gusti Dinda Damarsasi
Nomor Mahasiswa : 151232005
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA
PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 11 September 2017
Yang menyatakan
( Gusti Dinda Damarsasi )
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan,Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan berpijak pada teori komunikasi fatis dan sosiopragmatik. Sumber data lokasional penelitian ini adalah abdi dalem punakawan yang berada di Keraton Yogyakarta. Sumber data substantif penelitian ini adalah tuturan-tuturan para abdi dalem. Data penelitian ini adalah berupa tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan berbahasa dan cuplikan wawancara abdi dalem. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik simak, diikuti dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode padan. Selanjutnya, teknik analisis data yang digunakan adalah dasar pilah unsur penentu kemudian diikuti teknik lanjut hubung banding.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan benar tidaknya tuturan yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi polar. Di dalam tuturan fatis tersebut juga terdapat maksud penutur atau makna pragmatik yang berhubungan dengan pemenuhan hubungan sosial yaitu, mempertahankan komunikasi, mencairkan suasana, bertegur sapa,mengawali pembicaraan dan mengakhiri pembicaraan. Di dalam tuturan komunikasi fatis tersebut terdapat wujud pergeseran honorifik dan eufemisme. Pergeseran honorifik sapaan dan eufemisme ini digunakan penutur untuk lebih memperhalus tuturan dengan maksud menghormati dan menujukkan kesopanan. Terjadinya pergeseran honorifik dan eufemisme disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor internal berupa kebijakan kraton untuk bergabung dengan pemerintahan dan tidak adanya budaya magang serta penguasaan bahasa penutur dan mitra tutur yang tidak sederajat. Selanjutnya,faktor eksternal yaitu perkembangan pola pikir, perkembangan IPTEK dan perkembangan budaya
Kata kunci: komunikasi fatis, sosiopragmatik, pergeseran bahasa, abdi dalem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Sociopragmatic Study of Pathic Language of The Royal Servants in Yogyakarta Palace. Thesis. Yogyakarta: The Graduate School of The Indonesian Language and Literature Education Study Programme, Faculty of Teacher Traning and Education, Sanata Dharma University.
This study discusses the language of the speakers in Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. The purposes of this research are (1) to describe the form and meaning of pragmatic phatic communication of the servant’s language in the Yogyakarta Palace, (2) to describe the shifting form and pragmatic phatic communication meaning which is occured in the use of the servant’s languange in the Yogyakarta Palace , (3) to describe the factors that cause the occurrence a shift in the form of the phatic communication of the servant’s language in Yogyakarta Palace .
This research was categorized as qualitative descriptive research based on communication theory of phatic communication and sociopragmatic. Locational data source of this research was Yogyakarta Palace by observing punakawan servents. The sources of substantive data of this research were the speeches of the servant. The data of this research was in the form of speeches that contained language of phatic communication. Technique of collecting the data used was listening technique, followed by basic technique in the form of tapping technique. Data analysis method used was matching method. Furthermore, the data analysis technique used was the basic of the decisive element and then followed by the advanced technique of appeal.
Based on the results of the research, the researcher can conclude that the form of language phatic communication of the servants can be grouped into two based on whether or not true speech communication pure phatic communication and polar communication. In the phatic utterance there is also the intention of speakers or pragmatic meanings related to the fulfillment of social relations that is: maintain communication, melting the atmosphere, greeting, starting the conversation and end the conversation. In the phatic communication, there are honorific and euphemisms shifts. This honorific shift of greetings and euphemisms was used by speakers to further refine speech with the intention of honoring and showing decency. The occurrence of honorificable shifts and euphemisms is caused by several external and internal factors. Internal factors in the form of a Palace policy to join the government and the absence of an internship culture as well as the mastery of speech languages and speech partners are not equal. While, the external factors are the development of mindset, development of science and technology and culture development.
Key Words: phatic communication, sociopragmatic, language shift, servant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkah serta hidayahNya
penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Kajian Sosiopragmatik
Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta “. Tesis ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan
dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph,D., Dekan FKIP USD yang telah mendukung proses
intelektual penulis dalam berbagai kegiatan di FKIP USD.
2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Program Magister yang telah
mendampingi secara akademis selama menempuh pendidikan di
MPBSI, USD. Sekaligus dosen pembimbing I yang dengan sabar
membimbing, memotivasi dan memberi masukan berharga sehingga
tesis ini dapat terselesaikan.
3. Prof. Dr. Pranowo. M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang dengan
teliti telah membimbing dan berdiskusi sehingga tesis ini dapat
selesai.
4. Para Dosen P ro gra m S t ud i PBSI, Program Magister yang telah
mendid ik , memberikan pengalaman dan waktu untuk membimbing
penulis selama studi sehingga penulis dapat mempunyai bekal untuk
terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik..
5. R. Marsidiq selaku pegawai sekretariat P rog ra m S tu d i PBSI,
Program Magister yang dengan sabar membantu kelancaran
perkuliahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. GKR. Condrokirono, yang telah memberikan izin sehingga penulis
dapat melakukan penelitian di Keraton Yogyakarta.
7. Orang-orang yang selalu mendukung penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan tesis, Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK., Ibu
Soeryanti, Danu Mukti, S.Pd., dan Gusti Nanda Wahyusari.
8. Keluarga Besar SMP Santo Aloysius Turi, yang telah banyak
memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih Bruder Kosmas,
Bu Agnes Natalia, Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati,
Bu Maya, Bu Ambar dan teman-teman guru lainnya.
9. Bernadus Tube, Brigita Yuni, Natalia Sulistyanti Harsanti, Ibu Angel
Gena, Dina Eka, Sofylia, Deni Pradita, Didit Setiawan, dan juga
teman-teman seperjuangan MPBSI yang selalu memberikan
dukungan, saran dan canda tawa selama berdinamika di MPBSI.
10. Yuni Lundiarti, Ade Supiyanto, S. Seno Kurniawan sahabat yang
selalu menanyakan tesis dan memberi semangat kepada penulis.
11. Marta Susanti, Melyda Agustin adik sekaligus sahabat yang tak bosan
mendengarkan keluh kesah dan selalu memberikan semangat pada
penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu
kritik dan saran sangat dibutuhkan oleh penulis. Penulis berharap tesis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 11 September 2017
Penulis,
Gusti Dinda Damarsasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………….................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….. iv
MOTTO ........................................................................................................ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................................
vii
ABSTRAK .................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
1.5 Batasan Istilah .......................................................................................... 9
BAB II: LANDASAN TEORI ……………………………………………. 11
2.1 Teori Sosiopragmatik .............................................................................. 11
2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik ......................................... 15
2.3 Teori Makna dan Maksud ........................................................................ 25
2.4 Teori Konteks .......................................................................................... 27
2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa ...................................................... 36
2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa.................................................. 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.6 Pergeseran Bahasa .................................................................................. 45
2.7 Kerangka Berpikir ................................................................................... 52
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………………………………. 54
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 54
3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ............................................... 54
3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data .................................................... 55
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data.......................................................... 57
3.5 Triangulasi Data ...................................................................................... 59
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN ……………... 61
4.1 Hasil Analisis Data ................................................................................. 61
4.1.1 Deskripsi Data ................................................................................ 61
4.1.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis ......................... 65
4.1.3 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis ……………………………. 84
4.1.4 Faktor Penyebab Pergeseran …………………………………….. 93
4.2 Pembahasan ……………………………………………………………. 97
4.2.1 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis ............................ 97
4.2.2 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis …………………………….. 103
4.2.3 Faktor Penyebab Pergeseran ……………………………………... 106
BAB V: PENUTUP ……………………………………………………….. 112
5.1 Simpulan …………………………………………………………… 112
5.2 Saran………………………………………………………………... 114
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 115
LAMPIRAN ................................................................................................. 119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keraton Yogyakarta merupakan status yang menjadikan Yogyakarta
menjadi Daerah Istimewa (DI). Awalnya, Negara-negara penjajah memberikan
status Kesultanan Yogyakarta sebagai “Kerajaan Vassal atau Negara Bagian atau
Dependent State”. Bahkan, para penjajah Belanda menyebutnya sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen, sedangkan penjajah Jepang menyebutnya dengan
istilah Koti atau Kooti (Kurniawati, 2013). Tentu, status tersebut membawa
konsekuensi sistem politik dan hukum yang otonom. Artinya bahwa Kesultanan
Yogyakarta memiliki kewenangan sendiri dalam mengatur dan mengurus wilayah
di bawah penerintahan penjajah tertentu. Keistimewaan Yogyakarta mengacu
pada UU Nomor 22 Tahun 1948 bahwa presiden mengangkat kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan
syarat, yaitu kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan memiliki pengetahuan yang
luas tentang budaya Jawa secara umum, dan Yogyakarta secara khusus. .
Selain itu, Keraton Yogyakarta juga dipandang sebagai pusat kerajaan,
pusat kebudayaan, sekaligus tempat tinggal raja yang dikukuhkan sebagai figur
atau tokoh penerima pulung, ndaru, cahya nurbuat, atau wahyu Ilahi, untuk
menyampaikan kebajikan Allah kepada umat manusia di muka bumi. Hal senada
dinyatakan oleh Magnis-Suseno (2001: 103) bahwa kepercayaan Jawa
menganggap seorang raja sebagai subjek yang mendapat pulung, memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
kekuatan ilahi dan diibaratkan sebagai raja-dewa yang bertahta atas alam semesta.
Bahkan Subanar (Wardani, 2012) menegaskan kedudukan Sultan sebagai Sang
Sinuwun (Sinuhun) adalah lembaga, tempat segenap aparat dan kawula
mengharapkan anugerah. Sultan juga berperan sebagai institusi, yakni tempat
orang berguru sebagai Sang Arif Bijaksana, tempat memperoleh pendidikan,
pembinaan, dan pengemblengan watak berbudi bawa leksana (mengutamakan
kebaikan), ambeg adil para marta (berlaku adil kepada siapapun), serta tempat
melakukan penghayatan hidup yang berorientasi pada etika Jawa dengan
menjunjung rasa hormat, harmoni, sabar, legawa (terbuka menerima kenyataan
sebagaimana yang terjadi), dan memayu hayuning buwana (melestarikan
keindahan dunia).
Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang
diterapkan dalam Kesultanan. Banyak kebijakan Keraton yang membawa
perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Misalnya, perubahan Yogyakarta yang semula di bawah pengawasan penguasa
kolonial Belanda dan fasisme Jepang kemudian di bawah kekuasaan republik
menjadi sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan, pada masa kekuasaan Sultan
Hamengku Buwana IX, Yogyakarta berubah menjadi Daerah Istimewa dan
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Wardani,
2012). Perubahan lain yang lebih tampak pada fungsi Kesultanan Yogyakarta.
Awalnya, fungsi keraton bersifat tertutup, kini berubah menjadi lebih terbuka
kepada masyarakat umum, khususnya keterbukaan Kesultanan Yogyakarta bagi
dunia pendidikan dan pariwisata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Fenomena-fenomena perubahan tersebut menunjukkan bahwa Kesultanan
Yogyakarta telah mengalami transformasi paradigma yang senantiasa
berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti kehidupan
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tentu, di tengah perubahan, kedua wilayah
ini tetap memperlihatkan pentingnya warisan tradisi dan budaya yang dipandang
sebagai kearifan lokal dan aset budaya bangsa yang harus dipertahankan dan
ditransformasikan kepada generasi-generasi penerus, karena keduanya memberi
kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat, baik masyarakat berbudaya Jawa
maupun masyarakat umum.
Masyarakat berbudaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan,
dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga sangat menjunjung
tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai-nilai budaya yang
menjadi dasar utama bagi masyarakat Jawa dalam membangun hidup, khususnya
dalam berbahasa dan membangun komunikasi dengan sesama dan orang lain.
Misalnya, sikap ewuh pakewuh (Ewuh berarti repot dan pekewuh berarti tidak
enak perasaan) menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Jawa karena
menjadi dasar untuk melakukan ewuh pakewuh, yakni etika (Purwadi: 2008).
Sikap rasa tidak enak pada orang akan berpengaruh terhadap cara berkomunikasi
antarmasyarakatnya.
Budaya ewuh pekewuh pun menjadi dasar yang menunjukkan bahwa
masyarakat berlatar belakang budaya Jawa memiliki pola komunikasi yang khas,
yakni pola spiral atau tidak langsung pada pokok pembicaraan saat membangun
komunikasi dengan orang lain. Sikap budaya ini sebagai media dalam menjalin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
sebuah hubungan sosial. Pola komunikasi ini bertujuan untuk menjaga perasaan
mitra tuturnya, sekaligus mempertahankan hubungan baik antarpenutur dengan
mitra tutur. Konsep ini dalam bidang pragmatik disebut komunikasi fatis.
Komunikasi fatis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
digunakan oleh penutur untuk menanyakan hal yang sebenarnya sudah
diketahuinya dengan maksud untuk mempertahankan hubungan baik
anatarpenutur. Bentuk komunikasi ini sering terjadi dalam kehidupan sosial
masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Misalnya, dalam tuturan di bawah ini.
Orang 1 (O1) : Kiyambakan, Romo? (Sendirian - Bapak? (Sendirian, Bapak?)
Orang 2 (O2) : Enggeh,ajeng teng pundhi? (Iya-akan-pergi-mana?) (Iya, akan ke mana?)
Orang 1 (O1) : Niki jalan-jalan. (ini-jalan-jalan) (ini jalan-jalan)
Konteks (K) : O1 berjenis kelamin perempuan yang usianya jauh lebih muda dibanding O2. O1 berjalan melewati O2 yang sedang duduk sendiri.
Tuturan yang dikatakan oleh O1 (selanjutnyaakan ditulis penutur) dalam
pertuturan di atas merupakan bentuk komunikasi yang digunakan bukan untuk
menyampaikan atau menanyakan sebuah informasi, namun digunakan untuk
menjaga hubungan intrapersonal. Penutur yang merasa lebih muda dibanding
dengan O2 (selanjutnya akan ditulis mitra tutur), ketika betemu orang yang sudah
dikenal mempunyai kewajiban untuk menyapa mitra tutur terlebih dahulu, karena
keduanya berlatar belakang budaya Jawa. Kemudian, penutur memulai pembicara
dengan mengatakan tuturan tersebut. Tuturan Kiyambakan, Romo? dikatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
bukan untuk menanyakan sebuah informasi, karena penutur jelas sudah
mengetahui bahwa mitra tutur sendiri dan tidak ada yang menemani. Tuturan
tersebut dikatakan untuk membangun atau mempertahankan sebuah hubungan
sosial antara penutur dan mitra tutur. Penutur berharap dengan tuturan tersebut
akan membangun interaksi selanjutnya yang lebih baik. Hal ini berarti bahasa
bukan lagi berfungsi untuk menanyakan atau memberikan informasi, tetapi bahasa
berfungsi fatis (Leech: 1981). Artinya bahwa bahasa digunakan dalam komunikasi
untuk membina dan memelihara hubungan antarpenuturnya. Walaupun memiliki
tugas ringan, fungsi fatis merupakan fungsi bahasa memiliki peran yang sangat
penting dalam kehidupan sosial karena fungsi fatis berkaitan dengan hubungan
interpersonal penuturnya.
Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa seiring berkembangnya
zaman, kehidupan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mulai dipengaruhi
dengan kehidupan global. Tentu, muncul pertanyaan bahwa apakah masyarakat
masih memertahankan budaya sebagai dasar dalam berkomunikasi, ataukah saat
ini telah mengalami pergeseran. Hal ini merupakan pertanyaan kegelisahan,
karena menurut Nafi’ah (2013) bahwa pemahaman masyarakat mengenai budaya
di era globalisasi semakin berkurang. Hal ini jelas terlihat dengan lunturnya
bahasa krama. Bahasa Krama merupakan salah satu budaya berupa tata cara atau
unggah ungguh dalam berkomunikasi. Padahal, dalam budaya komunikasi sosial
masyarakat Jawa terdapat fungsi bahasa untuk menjalin hubungan sosial
penuturnya (fungsi fatis).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Sisi lain, masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mengenal adanya
budaya unggah-ungguh. Hal ini sangat tampak dan senantiasa dihidupi oleh para
tokoh dan masyarakat Jawa zaman dahulu. Namun, zaman sekarang budaya
tersebut menjadi perbincangan publik, khususnya dunia pendidikan, keluarga, dan
lingkungan sosial. Para guru, orangtua, tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan
para tokoh kesultanan merasa tidak dihormati oleh para generasi muda Jawa
maupun generasi muda yang datang dari luar Jawa. Para generasi muda kurang
menjalankan norma dan nilai-nilai budaya, khususnya budaya unggah ungguh
dalam membangun komunikasi (Sahlan, https://www.academia.edu/15562280).
Fenomena tersebut tentu dialami juga oleh para abdi dalem Kesultanan
Yogyakarta. Para abdi dalem merupakan contoh masyarakat berlatar belakang
budaya Jawa yang masih dekat dengan budaya-budaya Jawa yang mereka percayai
sehingga mereka masih memperhatikan aspek-aspek budaya Jawa dalam
berperilaku dan berbicara. Abdi dalem adalah orang-orang yang membantu atau
bekerja dan tinggal di Keraton Yogyakarta. Artinya, peran sosial para abdi dalem
di Kesultanan Yogyakarta menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya perubahan
komunikasi sosial yang mungkin berdampak pada pergeseran makna komunikasi
fatis yang dibangun sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Tentu,
kurun waktu pengabdian para abdi dalem juga akan menjadi perhatian untuk
menjawab persoalan mengenai pergeseran makna komunikasi fatis.
Dengan demikian, topik mengenai komunikasi fatis berlatar belakang
budaya Jawa yang terjadi di Keraton Kesultanan Yogyakarta menjadi fokus kajian
peneliti untuk mencari bentuk komunikasi fatis masyarakat Jawa dan pergeseran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
maknanya. Konsep pergeseran dipaparkan oleh Sulistyowati (2015: 221) sebagai
perubahan yang ditentukan oleh adanya perbedaan struktural antara dua sistem
bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan dan tindakan opsional (optional
actions). Pergeseran yang terjadi dalam komunikasi fatis dimaknai sebagai
perubahan maksud pragmatis berdasarkan konteks. Hal ini yang menjadi tujuan
penelitian ini. Tentu, fenomena pergeseran makna komunikasi fatis para abdi
dalem di Keraton Kesultanan Yogyakarta juga dapat dikaji dengan pendekatan
sosiopragmatik. Konsep sosiopragmatik dikemukakan Rahardi (2009: 21) sebagai
ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya
sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Penggunaan
bahasa oleh para abdi dalem sebagai bentuk komunikasi fatis sangat ditentukan
oleh konteks, baik konteks situasi maupun konteks budaya Jawa. Penelitian ini
akan dilakukan pada tahun 2017 dengan mengamati tuturan para abdi dalem dalam
berkomunikasi di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, peneliti akan
melakukan penelitian bejudul, “ Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah utama penelitian
ini dapat dirumuskan, yakni “Bagaimana kefatisan berbahasa para abdi dalem
Keraton Yogyakarta?” Masalah utama tersebut dijabarkan dalam sub rumusan
masalah, antara lain:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1. Bagaimana wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi
dalem Keraton Yogyakarta?
2. Pergeseran wujud dan makna pragmatik apa sajakah yang terdapat pada
pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta?
3. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran kefatisan
berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakartaq?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan di atas
maka tujuan penelitian ini,antara lain:
1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para
abdi dalem Keraton Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat
pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.
3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud
kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta dalam
perspektif sosiopragmatik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang
memerlukan. Manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
1. Manfaat teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap
pengembangan ilmu sosiopragmatik yang berkaitan dengan komunikasi
fatis berlatarbelakang budaya Jawa. Selain itu, penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pengetahuan terhadap masyarakat Jawa
mengenai keberadaan komunikasi fatis pada saat ini.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa
dan memberikan masukan khususnya pihak Keraton Yogyakarta terkait
dengan komunikasi para abdi dalem. Selain itu, peneliti ini dapat
memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya para abdi dalem
dalam penggunaan kefatisan yang tepat dalam berkomunikasi agar
hubungan sosial antarabdi dalem akan tetap berjalan dengan baik.
1.5 Batasan Istilah
1. Kefatisan adalah ucapan-ucapan yang digunakan untuk membina
hubungan sosial antarpenutur
2. Abdi dalem adalah orang yang mau bekerja, tinggal, dan mengabdikan
dirinya kepada keraton dengan segala aturan yang ada tanpa
menghiraukan besarnya upah (gaji, imbalan).
3. Pergeseran bahasa adalah peralihan sebuah bahasa menjadi lebih luas
yang disebabkan oleh penutur bahasa itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
4. Sosiopragmatik adalah sebuah displin ilmu yang mengaji maksud dibalik
tuturan seseorang di dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Sosiopragmatik
Apabila dilihat dari awal munculnya, ada kesamaan antara sosiolinguitik
dan pragmatik karena keduanya muncul dengan langkah pendobrakan terhadap
kekuatan kelompok kegiatan yang menelah bahasa yang bercokol kuat pada tahun
1950-1960-an, yakni aliran transformasional-generatif. Akan tetapi, terdapat
sedikit perbedaan mengenai titik yang dikaji, menurut penganut sosiolinguitik
bahasa pada hakikatnya adalah heterogen, sehingga pencanang sosiolinguitik
melakukan tindakan meng-homogen-kan bahasa karena keanekaragaman bahasa
itu ada dari latar belakang sosial penuturnya yang berbeda-beda. Sementara itu,
aliran pragmatik melakukan tindakan dengan melucuti kalimat yang pada
hakikatnya berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam
komunikasi. Oleh karena itu, upaya menyusun teori bahasa janganlah hanya
mendasarkan pada bentuk kalimat tetapi juga konteks yang melingkupinya,
penggunaannya pada komunikasi, dan interaksi antara pembicara dan lawan
bicara (Purwo, 1990:16).
Sosiopragmatik merupakan salah satu dari dua sisi pragmatik, selain
pragmalinguistik (Leech, 1983: 10-11). Kedua disiplin pragmatik tersebut
(pragmalinguistik dan sosiopragmatik) menunjukkan bahwa bahasa yang
digunakan oleh seseorang dalam berkomunikasi dapat dikaji secara internal
(aspek pragmalinguistik) maupun eksternal (aspek sosiopragmatik). Kajian secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
internal dilakukan terbatas terhaduap strtuktur interen bahasa yang akan
menghasilkan perian-perian bahasa, tanpa ada keterkaitan dengan masalah lain di
luar aspek kebahasaan. Tentu, hal tersebut dilakukan dengan menggunakan teori-
teori dan prosedur-prosedur yang berlaku di dalam bidang linguistik. Sementara
itu, kajian eksternal akan membuahkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah
yang bergayut dengan penggunaan bahasa dalam segala kegiatan manusia dalam
masyarakat. Karena itu, kajian ini tidak hanya menggunakan teori dan prosedur
linguistik, tetapi juga dikaitkan dengan teori dan prosedur dari disiplin ilmu lain
yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Misalnya kajian sosiopragmatik
melibatkan disiplin ilmu sosiolinguistik dengan pragmatik.
Konsep sosiopragmatik diawali dengan pemahaman mengenai
sosiolinguistik sebagai disiplin yang menghubungkan bahasa dengan masyarakat
dan pragmatik sebagai disiplin yang mempelajari arti ujaran atau bahasa secara
kontekstual (Yule, 1996: 3). Artinya bagaimana seseorang menggunakan bahasa
dalam berkomunikasi dengan masyarakat sosial berdasarkan konteks
keberadaannya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian kefatisan para abdi dalem
dimana penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan kefatisan
berbahasa para abdi dalem yang dikaitkan dengan lingkungan masyarakat
tuturnya. Konsep tersebut juga telah dipaparkan oleh Nurjamily (2015) bahwa
sebuah penelitian sosiopragmatik mengaji penggunaan bahasa di dalam sebuah
masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah telaah
mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus
mengenai penggunaan bahasa. Selain itu, sosiopragmatik merupakan suatu studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
yang mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu
lingkungan tertentu. Sementara itu Dike (2014) mengatakan bahwa secara konkrit
kajian sosiopragmatik merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan
ancangan penulisan sosiolinguistik dan ancangan penulisan pragmatik dalam
wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Lebih dari itu, Dike mempertegas bahwa
sosiopragmatik tidak terlepas dari aspek konteks. Hal ini berlatarbelakang bahwa
fokus kajian sosiopragmatik lebih pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri.
Hal ini berarti sosiopragmatik adalah cabang pragmatik umum yang kajiannya
menekankan pada aspek nonlinguistik, terbatas pada penggunaan bahasa pada
kondisi sosial tertentu, yang terikat oleh percakapan lokal, dan berdasarkan
konteks. Selain itu, Rini (2013) mengatakan bahwa objek sebuah kajian
sosiopragmatik ialah maksud dari sebuah tuturan yang memerhatikan aspek-aspek
masyarakat bahasa.
Konsep tersebut ditegaskan Rahardi (2009: 21) bahwa sosiopragmatik
adalah ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada
dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu.
Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks
sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota
masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sementara itu,
konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari
anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
Sisi lain, kajian sosiopragmatik didasarkan pada prinsip kerjasama (PKS)
dan prinsip sopan santun (PSS), khususnya dalam kebudayaan dan masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
bahasa yang berbeda, dalam situasi sosial yang berbeda, dan dalam kelas sosial
yang berbeda. Hal ini berlatar belakang pada realitas adanya kesalahpahaman
dalam berkomunikasi antarmanusia berlatar sosial dan budaya berbeda yang
memungkinkan terjadinya pergeseran wujud dan maksud sebuah tuturan.
Masyarakat sosial yang berbeda tentu berpeluang memiliki perbedaan interpretasi
atau pemahaman terhadap makna suatu tuturan. Misalnya, para abdi dalem
memandang prilaku tertentu tidak sopan, sedangkan masyarakat Jawa lainnya,
khususnya generasi muda menganggap sopan. Karena itu, deskripsi
sosiopragmatik harus dikaitkan dengan kondisi-kondisi sosial tertentu.
Dengan demikian, peneliti memakai pendekatan sosiopragmatik sebagai
pisau analisis untuk mengkaji aspek-aspek non-kebahasaan, khususnya
penggunaan bahasa dalam percakapan lokal oleh para abdi dalem di lingkungan
Keraton Yogyakarta. Teori sosiopragmatik yang telah dipaparkan Yule (1996) dan
Rahardi (2009) peneliti gunakan untuk membantu menganalisis aspek non-
kebahasaa. Konteks penelitian ini menunjukkan bahwa kajian sosiopragmatik
diperlukan untuk menghasilkan deskripsi penggunaan bahasa oleh para abdi
dalem dalam komunikasi berdasarkan konteks sosial dan budaya Jawa. Dengan
kata lain, peneliti ingin mendeskripsikan tuturan fatis abdi dalem dalam
berkomunikasi dengan mengaitkan situasi kehidupan sosial penuturnya. Secara
khusus, penelitian ini akan berfokus pada wujud dan makna pragmatik tuturan
komunikasi fatis untuk mengkaji bentuk pergeseran wujud dan maksud
komunikasi fatis para abdi dalem dengan perspektif sosiopragmatik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik
Sosiopragmatik merupakan disiplin ilmu yang mengkaji bahasa atau
makna ujaran sebagai objek penelitian dan sosial masyarakat sebagai konteks
objek penelitiannya. Aspek sosial masyarakat di sini sesungguhnya tidak terlepas
dari aspek budaya masyarakatnya sehingga kerapkali dirangkaikan menjadi aspek
sosial budaya masyarakatnya. Bahasa mempunyai bentuk pragmatik yang
berbeda-beda bila dilihat dari fungsinya. Di masyarakat, fungsi bahasa sering
dikaitkan salah satunya dengan hubungan sosial oleh penggunanya yang peristiwa
itu sering disebut sebagai komunikasi fatis atau kefatisan berbahasa.
Halliday (Sudaryanto,1990:17) menjelaskan bahwa fungsi khas bahasa
yang tercermin pada struktur bahasa ada tiga, yaitu (1) fungsi “ideasional” dimana
bahasa berperan sebagai pengungkapan ‘isi’ pengungkapan pengalaman penutur
tentang dunia nyata, termasuk dunia dalam dari kesadarannya sendiri, (2) fungsi
“interpersonal” berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan
memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial
termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri, (3)
fungsi “tekstual” berkaitan dengan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata
rantai kebahasaan dan mata rantai unsure situasi (features of the situation) yang
memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya.
Dalam hal ini, kefatisan berbahasa berkaitan erat dengan fungsi
interpersonal karena bahasa digunakan untuk membangun dan memelihara
hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk peranan-
peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
dapat dilihat pada struktur yang melibatkan modalitas dan system yang
dibangunnya. Membangun hubungan sosial berarti termasuk juga memelihara
hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.
Chaer (2009:16) menjelaskan bahwa ungkapan-ungkapan yang
digunakan dalam fatik biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa,
pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-
ungkapan yang digunakan tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harfiah
karena ungkapan tersebut digunakan untuk tujuan untuk memelihara komunikasi
dan tidak untuk menyampaikan informasi yang berdampak pada hubungan sosial
penutur dan mitra tutur. Seperti contoh Apa kabar? Bagaimana kabar keluarga di
rumah? Mau kemana nih? dan sebagainya.
Komunikasi fatis diperkenalkan oleh Malinowski setelah ia menyumbang
gagasan mengenai ‘konteks situasi’ yang penting bagi teori bahasanya dalam buku
milik Ogden’s dan Richards, dengan konsep ‘persekutuan pahtic’ dalam
linguistik. Malinowski (Senft, 2009) mengatakan bahwa bahasa "free, aimless
social intercourse" yang maksudnya adalah bahwa bahasa bebas digunakan
dalam hubungan sosial antarmasyarakat yang tidak memiliki tujuan khusus.
Misalnya, seseorang menanyakan kesehatan, mengomentari cuaca, atau
memberikan sapaan. Hal ini ditegaskan Malinowski bahwa [...] to a natural man
another man's silence is not a reassuring factor, but on the contrary, something
alarming and dangerous [...]. Terjadinya keheningan atau diam di dalam
pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan hubungan sosial
antarpenuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Artinya, penutur harus mengubah suasana hening atau diam yang terjadi
saat berkomunikasi untuk menyelamatkan hubungan keduanya. Contoh
menanyakan kesehatan, memberikan sapaan atau mengomentari cuaca merupakan
sesuatu yang bisa dikatakan bila terjadi keheningan yang dapat disebut
‘persekutuan phatic’. Persekutuan phatic bukan kumpulan kata yang digunakan
untuk menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic
sedang memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah
tujuan utama mereka. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi
fatis bisa bukan hanya untuk basa-basi atau small talk dalam proses komunikasi
tetapi menjadi pembentuk hubungan antar individu (Seft, 2009).
Malinowski (1923) menganggap Phatic Communion sebagai languag e as
‘an instrument of r eflecti on’ and languag e as ‘a mode of action (Zegarac &
Clark, 1999). Artinya, bahasa digunakan sebagai alat untuk merefleksikan sebuah
keadaan dan juga digunakan sebagai cara untuk mengungkapakan suasana yang
berhubungan dengan perasaan pembicara tentang apa yang diucapkan atau terjadi.
Bahkan, dalam literatur terbarunya Malinowski mengatakan bahwa:
1. Dalam Phatic Communion bahasa digunakan sebagai mode
tindakan atau sebagai cara untuk melakukan tindakan bukan
untuk transmisi (pengiriman) pikiran. Jadi komunikasi fatis
tidak bersifat informatif, kalimat atau pernyataan yang
dituturakan oleh penutur bukan semata-mata untuk
menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada
mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
2. Berbagai macam jenis komunikasi fatis seperti salam, gossip
dan sejenisnya memiliki persamaan yang tipis; di mana situasi
terjadinya kefatisan tersebut dan munculnya wujud kefatisan
dihasilkan secara linguistik.
3. Dalam komunikasi fatis makna kata yang keluar dari penutur
hampir tidak relevan dengan topik pembicaraan utama tetapi
ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial.
4. Fungsi sosial tersebut digunakan untuk mengatasi ketegangan
atau hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh diam,
kesenyapan yang terjadi dalam berinteraksi atau digunakan
untuk menghargai lingkungan dan interpersonal antar
penuturnya.
Sementara itu, Jakosbson seorang ahli bahasa dan antropologi merujuk
istilah persekutan phatic dengan phatic communication. Istilah tersebut digunakan
untuk merujuk pada ucapan-ucapan yang dikatakan memiliki eksklusif sosial,
fungsi ikatan seperti membangun dan hal yang memuat suasana yang ramah dan
harmonis dalam hubungan interpersonal, terutama selama pembukaan dan
penutupan tahap sosial. Hal ini menyatakan bahwa persekutuan phatic ditandai
dengan tidak menyampaikan arti, tidak mengimpor informasi. Salam, komentar
pada cuaca, lewat pertanyaan tentang kesehatan seseorang, dan topik pembicaraan
kecil lainnya. Jakobson (1960) mencirikan fungsi fatis sebagai penggunaan bahasa
untuk berfokus pada saluran komunikasi. Namun hal itu bukan berfokus pada
informasi yang disampaikan melalui kode bahasa tetapi menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
pertukaran fatis yang berkepanjangan tepat terjadi ketika proses komunikasi
terancam (misalnya, oleh ketidakamanan dari lawan bicaranya). Mereka pun
menyadari bahwa kegiatan tersebut meruakan bagian dari 'chit-chat' dan
percakapan informatif.
Selanjutnya, Laver (1974) juga mengambil pandangan Malinowski dan
menjelaskan secara terperinci hubungan antara status sosial yang relatif dari lawan
bicaranya dan pilihan ekspresi wajah yang sesuai dalam pertukaran fatik. Dia
menyarankan agar fungsi sosial komunikasi fatik yang mendasar adalah
`rinciannya mengani pengaturan hubungan interpersonal pada keseimbangan
psikologis dari interaksi.
Arimi (1998:171) mengatakan bahwa komunikasi fatis dapat dibagi
menjadi dua yaitu murni dan polar. Komunikasi fatis murni yaitu ungkapan atau
tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang
muncul. Jadi apa yang dikatakan oleh penuturnya selaras dengan kenyataan atau
memang benar-benar terjadi. Sedangkan komunikasi fatis polar yaitu sebuah
ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan
dengan realitasnya, tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau
memilih ungkapan itu untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk
pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.
Penelitian mengenai kefatisan mulai banyak dilakukan baik di dalam
budaya, dunia pendidikan, dunia kerja, dan lain sebagainya. Budaya Jawa
memiliki beberapa istilah kefatisan, seperti abang-abang lambe atau basa-basi.
Maria Budi Asih (2015) melakukan penelitian mengenai basa-basi berbahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
antarabdi dalem di Keraton Yogyakarta. Penelitian ini menjelaskan wujud tuturan
basa-basi yang diklasifikasikan berdasarkan maksud tuturannya. Asih
mengklasifikasikan tuturan menjadi menjadi sembilan berdasarkan maksud basa-
basi, yaitu sapaan, menerima, menolak, minta izin, memohon atau mengundang,
simpati, permisi, perendahan hati dan teguran. Wujud basa-basi yang
diklasifikasikan berdasarkan maksud tuturannya tersebut juga dapat ditemukan
penanda linguistik dan nonlinguistik dalam setiap tuturannya. Berdasarkan
sembilan klasifikasi tersebut, data tuturan basa-basi dengan maksud sapaan
memperoleh jumlah yang lebih banyak dibanding yang lain seperti menerima,
menolak, memohon dan lain sebagainya. Basa-basi sapaan tersebut berjumlah
sembilan belas tuturan yang memiliki variasi yang berbeda-beda.
Selanjutnya, penelitian Rukman Pala (2015) dalam artikel jurnal mengenai
bentuk komunikasi fatis dalam bahasa Bugis Soppeng. Pala menemukan sebanyak
12 bentuk fatis yang terdapatdalam bahasa Bugis Soppeng. Bentuk fatis tersebut,
yaitu bentuk fatis yang berbentuk kata, frasa dan kalimat. Fatis yang berbentuk
kata terbagi lagi atas dua, yaitu kata tunggal dan kata tunggal utuh. Fatis yang
berbentuk frasa adalah frasa Assalamu alaikum/waalaikumsalam dan frasa salam
akkik. Fatis kalimat berupa kalimat ajakan dan kalimat pertanyaan. Secara umum,
bentuk fatis bahasa Bugis Soppeng menempati posisi inisial, medial, dan final
suatu tuturan, sedangkan maksud makna fatis adalah mempertegas maksud,
pertanyaan, ajakan, dan menunjukkan penghormatan. Penelitian ini menggunakan
teori komunikasi fatis milik Malinowski, dan konsep beberapa ahli mengenai
komunikasi fatis berlandaskan konsep fatis Malinowski, Leech, dan Kridalaksana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Teori Malinowski mengenai adanya suatu situasi pembicaraan yang tidak
memiliki tujuan tertentu, tetapi pertukaran kata yang terjadi sudah merupakan
tujuan. Malinowski menambahkan bahwa dalam hal beramah-tamah secara tulus
(pure sociabilities) dan percakapan ringan (gossip), seseorang menggunakan
bahasa seperti halnya kaum primitif dan bahasa yang digunakan menjadi
‘komunikasi fatis’, yang berfungsi memantapkan ikatan personal antara orang-
orang yang terlibat karena kebutuhan akan kebersamaan, dan tidak bertujuan
mengomunikasikan ide.
Konsep kefatisan menurut Leech yang dipaparkan dalam penelitian ini
adalah phatic communication sebagai bagian dari prinsip kesopanan dalam
bahasa. Leech memaparkan bahwa pengguna bahasa yang terampil pasti pernah
menghadapi kesulitan saat mengakhiri percakapan. Hal ini menyadarkan
seseorang tentang hubungan yang erat antara sopan santun dengan perilaku
berbicara. Kategori fatis menurut Leech (1993: 224) merupakan maksim
metalinguistik. Pertanyaan-pernyataan yang tidak informatif dalam komunikasi,
tetapi sangat penting dilakukan.
Teori fatis menurut Kridalaksana (2008:114) dalam penelitian ini sebagai
kategori fatis. Ia mengungkapkan bahwa kategori fatis adalah kategori yang
bertugas memulai, memertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi
antara pembicara dan kawan bicara. Lebih lanjut, ia memasukkan kategori fatis ini
menjadi salah satu dari kelas kata bahasa Indonesia. Selain itu Kridalaksana juga
menuliskan bahwa komunikasi fatis adalah pertuturan ungkapan beku, seperti,
Halo, apa kabar? yang tidak mempunyai makna, dalam arti untuk menyampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
informasi, melainkan digunakan untuk mengadakan kontak sosial antara
pembicara atau kawan bicara untuk menghindari kesenyapan yang menimbulkan
rasa kikuk. Maksudnya, komunikasi fatis adalah salah satu bentuk komunikasi
yang dipakai untuk menjaga hubungan sosial. Adanya ungkapan yang tidak sesuai
dengan makna kata yang membentuknya biasanya ditujukan untuk mengawali
percakapan. Jika ditinjau dari aspek pragmatik, komunikasi ini sangat besar
manfaatnya.
Topik dalam penelitian milik Pala berkaitan dengan topik yang sedang
peneliti teliti, yaitu mengenai komunikasi fatis yang berhubungan dengan budaya
daerah. Namun, penelitian Pala mengkaji berdasarkan perspektif pragmatik
sedangkan penelitian ini mengaji komunikasi fatis dalam perspektif
sosiopragmatik. Tentu, hasil analisis yang diperoleh akan lebih mendalam. Jadi
penelitian ini memperluas kajian mengenai komunikasi fatis.
Selanjutnya, penelitian mengenai penggunaan komunikasi fatis di tempat
kerja dilakukan oleh Sari Ramadanty (2014). Hasil penelitiannya bahwa
Penggunaan komunilasi fatis sering terjadi di tempat kerja, karena dianggap
sebagai pembuka hubungan yang lebih akrab. Komunikasi fatis sangat berperan
dalam pembentukan hubungan dan menciptakan hubungan yang erat antarsesama
rekan kerja. Konteks budaya seseorang sangat berperan dalam penggunaan
komunikasi fatis, seseorang dengan konteks budaya tinggi cenderung lebih sering
menggunakan komunikasi fatis dalam hubungan komuniksi interpersonalnya.
Namun, bagi mereka yang berada pada konteks budaya rendah menempatkan
komunikasi fatis untuk berhubungan dengan para rekan kerja dalam kepentingan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
pekerjaan. Penelitian ini menegaskan bahwa komunikasi fatis sangat penting
dalam membangun hubungan di tempat kerja. Selain itu, konteks komunikasi fatis
juga berkaitan dengan pengelolaan bahasa verbal dan nonverbal.
Teori yang digunakan Ramadanty adalah komunikasi antarpribadi, termasuk
ciri-ciri dan karakteristik, komunikasi fatis dan budaya high contex dan low
contex. Teori antarpribadi ini dipaparkan Wiryanto (2006), Mulyana (2010),
Devito (2012) dan disimpulkan oleh Ramadanty adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau lebih yang berlangsung secara
langsung atau atap muka dan memungkinkan peserta menangkap reaksi orang lain
dan mendapatkan umpan balik pada waktu itu juga, baik secara verbal atau
nonverbal.
Ciri-ciri komunikasi antarpribadi, yakni pertama, arus pesan dua arah.
Artinya, komunikasi antarpribadi menempatkan sumber pesan dan penerima
dalam posisi yang sejajar, sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan
mengikuti arus dua arah. Kedua, Suasana non-formal, yaitu komunikasi
antarpribadi biasanya berlangsung dalam suasana non-formal. Ketiga, Umpan
balik. Artinya, komunikasi antarpribadi biasanya mempertemukan para pelau
komunikasi secara bertatap muka. Karena itu, umpan balik dapat diketahui
dengan segera, baik secara verbal maupun nonverbal. Keempat, peserta
komunikasi berada dalam jarak dekat. Komunikasi antarpribadi menuntut
pesertanya berada dalam jarak dekat, baik fisik maupun psikologis. Kelima,
peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan
spontan secara verbal maupun non-verbal. Untuk meningkatkan keefektifan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
komunikasi antarpribadi, kekuatan pesan verbal maupun nonverbal, untuk
berupaya saling meyakinkan, dengan mengoptimalkan penggunaan pesan
verbal maupun nonverbal secara bersamaan, saling mengisi, saling
memperkuat sesuai dengan tujuan komunikasi.
Teori mengenai komunikasi fatis dalam penelitian Ramadanty memiliki
persamaan dengan teori fatis Pala. Konsep teori fatis dalam kedua penelitian
ini menggunakan teori Malinowski, hanya ada beberpa tambahan mengenai
konsep komunikasi fatis, yaitu komunikasi fatis adalah komunikasi yang tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan komunikasi fatis
kita dengan orang lain sangat terkait dengan bagaimana budaya kita berperan
membentuknya. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi
fatis bisa jadi bukan hanya bentuk basa-basi atau small talk dalam proses
komuniasi tersebut, tetapi bisa menjadi pembentuk hubungan antar individu.
Meskipun penelitian tersebut dilakukan tidak dalam budaya tertentu,
tetapi paparan teori mengenai komunikasi anatarbudaya telah dijelaskan.
Ramandanty menduga bahwa faktor penggunaan komunikasi fatis salah
satunya adalah latar belakang budaya penuturnya. Teori komunikasi
anatarbudaya yang dipaparkan dalam penelitian ini, yaitu interaksi dan
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda. Hall (Andriani, 2012) menyatakan bahwa
budaya dapat diklasifikasikan berdasarkan gaya komunikasi konteks tinggi dan
gaya komunikasi konteks rendah. Budaya konteks tinggi diinternalisasikan pada
orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
2.3 Teori Makna dan Maksud
Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang berkaitan dengan makna.
Makna (sense) adalah arti atau maksud yang tersimpul dalam suatu kata karena
berhubungan dengan makna kata yang lain dalam sebuah tuturan (Subroto, 2011:
23). Ilmu yang mempelajari mengenai makna kata disebut semantik. Semantik
mempelajari makna yang ada dalam ujaran. Perlu dijelaskan bahwa terjemahan
meaning adalah ‘arti’ sedangkan sense adalah ‘makna’. Matthews (Nuryadi, 2017)
mendefinisikan arti sebagai hubungan antara bentuk bahasa dengan sesuatu di luar
bahasa, sedangkan makna didefinisikan sebagai hubungan di antarkata itu sendiri
di dalam bahasa. Sementara Subroto (2011) mengatakan bahwa arti (meaning)
bersifat umum, sedangkan makna (sense) memiliki kekhasan sifat, karena
ditentukan berdasarkan relasinya dengan satuan lingual lain dalam sebuah tuturan.
Sementara itu, Pateda (1985) mengatakan bahwa makna dapat dibicarakan
dari dua pendekatan yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan
operasional. Pendekatan analitik ingin mencari esensi makna dengan cara
menguraikan atas segmen-segemn utama. Pendekatan operasional ingin
mempelajari leksem dalam penggunaannya. Selain itu, dalam pendekatan
operasional lebih menekankan bagaimana leksem dioperasikan dalm tindak
sehari-hari (Pateda,1985: 48).
Makna sebuah ujaran dikatakan berbeda dengan maksud ujaran. Makna
merupakan gejala yang berada di dalam ujaran sedangkan maksud berada di luar
ujuran (Chaer, 2009). Artinya maksud ujuran dapat dilihat dari segi penuturnya.
Apabila makna ujaran dapat dipelajari dalam ilmu semantik, maksud dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dipelajari dalam ilmu pragmatik. Sehingga maksud dapat dikatakan juga sebagai
makna pragmatik dalam setiap ujaran. Berdasarkan konsep penelitian ini, maksud
ujaranlah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Penelitian kefatisan berbahasa
tidak lepas dari maksud atau makna pragmatik dalam tuturanya. Dengan
demikian, makna pragamtik yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah maksud
yang ada dalam diri penutur yang berhubungan dengan hubungan sosial
antarpenutur.
Setiap penutur mengeluarkan tuturan pasti mempunyai maksud yang ingin
disampaikan. Maksud tersebut adalah milik si penutur, bukan tuturan. Tuturan
adalah media bagi penutur untuk menyampaikan maksud tersebut. Berkaitan
dengan maksud tersebut, sangat perlu dipahami bagaimana maksud dan makna
dapat dibedakan, karena kedua hal tersebut adalah berbeda jika telah
bersinggungan dengan konteks situasi.
Rahardi (2003:16−17) dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan
makna ini. Rahardi mengawali dengan memaparkan bahwa ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud
penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa
pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa
yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal.
Istilah maksud dalam ilmu pragmatik dapat juga dikatakan sebagai makna
pragmatik. Jadi, sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antar keduanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal,
sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Rahardi memaparkan pula bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik
bersifat terikat konteks (context dependent), sedangkan makna yang dikaji di
dalam semantik berciri bebas konteks (context independent). Makna yang dikaji di
dalam semantik bersifat diadik (diadic meaning), sedangkan dalam pragmatik
makna itu bersifat triadik (triadic meaning). Pragmatik mengkaji bahasa untuk
memahami maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna
sebuah satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan
dengan konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi
wadahya.
Selanjutnya, Wijana dan Muhammad (2008:10–11) membedakan ketiga
hal, yaitu makna, maksud, dan informasi dengan mengatakan dengan tegas bahwa
makna berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan informasi
bersifat di luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari
pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang bersumber dari
isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif.
2.4 Teori Konteks
Sebuah wujud tuturan komunikasi fatis selalu berkaitan dengan maksud
penutur. Maksud penutur tersebut tentu berhubungan dengan hubungan sosial
antarpenutur. Namun, wujud dan maksud dari sebuah tuturan fatis tidak dapat
diidentifikasi apabila kita tidak memperhatikan konteks tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
melingkupinya. Di dalam penelitian ini, selain teori komunikasi fatis, peneliti
menggunakan teori sosiopragmatik untuk membantu mengidentifikasi maksud
penutur dalam setiap tuturan. Oleh sebab itu, konteks sangat penting dalam
penelitian ini, tidak hanya konteks situasi saja tetapi juga konteks sosial yang di
dalamnya terdapat budaya masyarakat tuturnya.
Konteks dalam kajian sosiopragmatik merupakan aspek yang sangat
penting untuk memahami maksud penutur dalam peristiwa tuturan. Proses
komunikasi dalam lingkungan sosial menuntut pemakai bahasa atau penutur tidak
hanya menguasai aspek gramatikal, tetapi juga kesesuaian pemaiakan bahasa
dengan kontes situasi dan budaya, serta faktor-faktor lain di luar aspek
kebahasaan, aspek di luar kebahasaan tersebut juga ikut membedakan bahasa
sebagai ujaran.
Konsep konteks secara pragmatik (juga sosiopragmatik) adalah
pengetahuan mengenai ruang, mengenai identitas partisipan, dan pengetahuan
waktu pelaksanaan penuturan (Levinson,1983: 5). Pandangan Levinson tersebut
setidaknya mencakup pada konteks linguistik dan konteks fisik, yaitu konteks
yang mengarah pada konteks pertuturan. Hal senada dikemukakan oleh Firth
bahwa kajian bahasa sulit dilakukan tanpa ada pertimbangan konteks situasi yang
meliputi partisipan, tindakan partisipan (baik verbal maupun nonverbal), ciri-ciri
situasi lain yang bergayut dengan hal yang sedang berlangsung, dan akibat-akibat
dari tindak tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk perubahan yang muncul
akibat tindakan partisipan (Wijana, 1995: 47).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Sementara itu, Jacob I. Mey (1983: 42-43) membedakan konteks situasi
dalam kajian pragmatik menjadi dua jenis, yaitu social context ‘konteks sosial’
dan societal context ‘konteks sosietal’. Social context adalah konteks kebahasaan
yang hadir sebagai dampak dari peristiwa komunikasi dan interaksi antaranggota
masyarakat dengan latar belakang sosial budaya tertentu. Societal context adalah
konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relatif masyarakat tutur
di dalam situasi sosial tertentu. Karena itu, konteks sosial didasarkan atas
solidarity ‘solidaritas’; sedangkan konteks sosietal pada power ‘kekuasaan’. Mey
mengungkapkan bahwa konteks sebagai sebuah konsep yang dinamis, bukan
statis. Secara umum, konteks tersebut dipahami sebagai lingkungan yang tidak
tetap (senantiasa berubah) yang memungkinkan peserta pertuturan berinteraksi,
dan dapat membantu mereka untuk memahami ungkapan-ungkapan kebahasaan
yang mereka gunakan dalam peristiwa berkomunikasi.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Leech (1993: 20) yang memberi
pengertian bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-
sama dimiliki oleh penutur dan petutur, serta yang membantu petutur di dalam
menafsirkan makna tuturan. Penelitian ini memfokuskan pada konteks situasi dan
didukung oleh konteks sosial budaya masyarakat (abdi dalem). Konteks situasi
adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur
pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar dan situasi,
saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap
dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
antaranggota masyarakat, wujud sikap dan pola prilaku lain secara bersama-sama
berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu.
Teori konteks Mey dan Leech digunakan peneliti untuk menganalisis data
yang diperoleh sehingga peneliti dapat merumuskan mengenai kefatisan
berbahasa para abdi dalem. Namun tidak hanya itu, konteks budaya juga
membantu peneliti dalam menganalisis data yang diperoleh. Konteks budaya
dibatasi sebagai kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan (Martin
1986 dalam Saragih 2003:198). Teks merupakan kegiatan atau aktivitas sosial
dengan pengertian bahwa teks wujud sebagai interaksi yang melibatkan dua sisi
pelibat. Konteks budaya juga menetapkan tahap (stages) yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan karena pemakai bahasa tidak mungkin mencapai suatu
tujuan dengan hanya sekali ucap. Dengan kata lain, konteks budaya menetapkan
langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan sosial. Konteks budaya
merupakan suatu pendekatan yang menggambarkan cara-cara manusia
menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan sesuai dengan budaya yang
melingkupinya (Rosmawaty, 2011).
Sementara itu, hubungan pragmatik dengan konteks juga dikemukakan
oleh Leech (1983: 19-22) bahwa pragmatik adalah kajian tentang makna dalam
kaitannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation). Artinya, seseorang yang
berusaha menganalisis makna pragmatik harus memperhitungkan konsep-konsep
situasi ujar yang meliputi lima aspek, yakni:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
1) Aspek Penyapa dan Pesapa
Penyapa (yang menyapa) sebagai penutur dan pesapa (yang disapa)
sebagai mitra tutur dalam sebuah peristiwa komunikasi. Pemahaman
terhadap siapa penutur dan siapa mitra tutur akan menentukan jalannya
komunikasi. pemahaman faktor penutur dan mitra tutur dalam komunikasi
para abdi dalem, perlu dicermati faktor-faktor yang berada dalam diri
penutur, yakni keyakinan, kondisi fisik, perilaku jabatan, usia, tingkat
keakraban, dan kedudukan dalam kesultanan dan kadipaten Yogyakarta.
2) Aspek Konteks
Aspek konteks adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik
dan sosial sebuah tuturan. Konteks adalah latar belakang pengetahuan
yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, serta hal-hal yang
penting (yang membantu) mitra tutur untuk menafsirkan makna tuturan.
3) Aspek Tujuan Tuturan
Bentuk sebuah tuturan yang diujarkan oleh seorang penutur tidak terlepas
dari maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Penyampaian suatu
maksud yang sama, dapat dinyatakan dengan tuturan yang beragam; atau
berbagai maksud disampaikan dengan tuturan yang sama. Artinya, setiap
tuturan memiliki tujuan tertentu.
4) Aspek Tindakan Ilokusi
Tindak ilokusi adalah bagian tuturan sebagai tindakan (tindak tutur).
Artinya, tuturan memengaruhi mitra tutur melakukan sesuatu sehingga
tindak tutur (speech act) adalah kekuatan ujar penutur. Pernyataan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
mengisyaratkan peringatan para abdi dalem dalam berkomunikasi agar
tetap memertahankan kebudayaan Jawa dalam kehidupan zaman sekarang.
5) Aspek Tuturan
Aspek tuturan merupakan produk tindak verbal dengan memanfaatkan
teknik bertutur. Misalnya, intonasi kalimat yang diucapkan penutur dengan
intonasi naik atau keras bisa dipahami oleh mitra tutur bahwa ia marah,
menegur, menyangsikan, atau mendesak.
Lebih lanjut, Pranowo (2015) mengatakan bahwa konteks dalam
pragmatik dapat diindentifikasi melalui enam aspek, yaitu:
1. Dasar Pemahaman yang Sama
Artinya, dalam memahami maksud sebuah tuturan, penutur dan
mitra tutur harus mempunyai pengetahuan yang sama (common ground)
mengenai pokok pembicaraan. Hal ini membantu mitra tutur untuk dapat
menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh penutur. Konteks di
dalam pragmatik berkaitan dengan unsur ekstralingual yang ada dalam
penuturnya. Misalnya, percakapan suami-istri mengenai pemahaman soal
waktu yang sama. Ketika suami menanyakan “Sudah jam berapa ya, Bu?
Istri menjawab “Kereta api belum lewat, tu Pak!” Suami tidak protes atas
jawaban sang istri. Hal ini membuktikan bahwa mereka memiliki
pemahaman sama mengenai waktu. Padahal, jawaban sang istri
sebenarnya tidak padu jika dilihat secara sintaksis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
2. Latar Belakang Budaya
Latar belakang penuturnya juga dapat membantu untuk mengetahui
maksud sebuah tuturan. Latar belakang budaya dapat diketahui melalui
intensitas berkomunikasi bersemuka antarpenutur. Misalnya, seorang
dosen mengatakan tuturan “Tidak ada spidol ya?”. Tuturan tersebut dapat
menimbulkan dua jawaban. Jawaban pertama mahasiswa akan menjawab
bahwa memang spidol tersebut sejak tadi tidak ada; jawaban kedua
mahasiswa akan menjawab bahwa dosen tersebut diminta untuk menunggu
karena akan diambilakan spidol di sekretariat. Dua jawaban tersebut
memang tidak salah, tetapi jawaban kedua membuat dosen lebih berkenan.
Jika setiap dosen berbicara seperti itu tentu mahasiswa dengan latar
belakang berbeda tidak akan menangkap maksud yang diinginkan oleh
dosen. Setiap masyarakat memiliki latar belakang budaya yang berbeda-
beda, maka tidak perlu didebatkan tetapi dicari cara yang tepat untuk
memahaminya.
Latar belakang budaya dapat menjadi salah satu dasar dapat atau
tidaknya komunikasi berjalan dengan lancer. Latar belakang pengetahuan
budaya ini dapat dimiliki oleh seseorang melalui motivasi integratif dan
motivasi secara instrumental. Latar belakang pengetahuan budaya yang
dimiliki melalui motivasi integratif dapat terjadi apabila seseorang itu
menguasai budaya karena merka ingin menjadi bagian dari budaya
masyarakat yang dikuasainya. Latar belakang pengetahuan budaya yang
dimiliki melalui motivasi secara instrumental terjadi pada seseorang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
ingin menguasai budaya baru dengan tujuan mempelajari budaya baru
tetapi mereka tetap bertahan pada budaya aslinya.
3. Asumsi Penutur terhadap Mitra Tutur
Seorang penutur dapat berkomunikasi secara lancer dengan mitra
tutur jika asumsi penutur terhadap mitra tutur selalu benar, demikkian
sebaliknya. Awal membangun asumsi dalam berkomunikasi, penutur dapat
melakukan berbagai cara untuk menjajagi mitra tutur agar dapat
menemukan persepsi yang sama.
4. Knowledge of the World
Dasar pemahaman yang sama dapat dibangun oleh penutur dan
mitra tutur melalui pengetahuan tentang dunia (knowledge of the world)
dan latar belakang pengetahuan budaya (culture knowledge background)
untuk saling memahami topik yang dituturkan. Pengetahuan tentang dunia
dapat dimiliki secara eksplisit maupun imlisit. Eksplicit knowledge of the
world dimiliki penutur dan mitra tutur karena mereka mempelajari secara
khusus tentang pengetahuan tersebut karena mereka belajar secara formal.
Sebaliknya, implicit knowledge of the world dimiliki penutur dan mitra
tutur karena mereka sering bersinggungan dengan bidang-bidang tertentu.
Ketika penutur berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki knowledge of
the world yang sama, berarti keduanya memiliki dasar pemahaman yang
sama mengenai topik sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan
lancar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
5. Kesantunan
Pemakaian bahasa dikatakan secara santun apabila penutur mampu
menjaga harkat dan martabat dirinya di hadapan mitra tutur sehingga
tuturannya tidak menyinggung perasaan mitra tutur. Santun tidaknya suatu
tuturan di samping ditentukan oleh unsur intralingual seperti kata-kata
beraura santun, yaitu tolong, terimakasih, maaf dll, juga ditentukan unsur
ekstralingual, yaitu empan papan, adu rasa, angon rasa, dll.
6. Bahasa Non-verbal
Salah satu situasi di luar tuturan tetapi ikut memperjelas maksud
penutur adalah bahasa non-verbal. Bahasa non-verbal (sebagai unsur
ekstralingual) juga penting dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat
berupa gestur, yaitu gerakan tubuh atau bagian tubuh yang dapat berfungsi
penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa kinesik, kontak mata
(kerlingan, mata) dan kinestetik.
Dengan demikian, pengertian konteks dapat dipaparkan, yaitu (1) Konteks
yang mengarah pada konteks pertuturan, seperti konteks linguistik (referensi
tekstual) dan konteks fisik (referensi kontekstual); (2) Konteks bersifat dinamis,
bukan statis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang tidak menetap (selalu
berubah-ubah) dalam arti yang luas, dan diketahui bersama oleh partisipan (baik
pengetahuan umum maupun interpersonal) yang memungkinkan partisipan
berinteraksi serta membantu partisipan dalam rangka saling memahami ungkapan-
ungkapan kebahasaan yang digunakan dalam berkomunikasi; (3) Konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
digunakan untuk memahami maksud tuturan, bukan makna kalimat yang
berorientasi pada pengguna; dan (4) Konteks sebagai implikasi pragmatik.
2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa
Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang didasarkan pada anggapan
penutur terhadap rekan bicaranya. Di dalam bahasa Jawa tingkat tutur dapat juga
disebut unggah-ungguh. Unggah-ungguh merupakan gabungan dua kata, yakni
unggah atau munggah yang berarti naik, mendaki, memanjat (Prawiroatmodjo,
1989: 296) dan ungguh yang berarti berada, bertempat, pantas, cocok sesuai
dengan sifatnya (Zoetmulder, 1995: 1334). Artinya bahwa kecendrungan
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya Jawa menghormati orang lain
berdasarkan tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Selain itu, mereka
juga menghormati orang lain dengan selalu memperhatikan keadaan, selalu
berhati-hati (waspada) dalam membawa diri, agar sikap dan tingkah lakunya
sesuai, pantas, serta tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik
dalam masyarakat (Handayani, 2009). Dengan demikian unggah-ungguh berarti
sopan santun, basa basi atau tata karma (Mangunsuwito, 2002: 570). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Jawa selalu memerhatikan aturan sopan santun
dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun,
aman, dan damai.
Soepomo (1997) mengatakan bahwa masyarakat Jawa khususnya yang
berbahasa Jawa memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem unda-usuk.
Maksudnya, dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat tutur yang khas dan jelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
digunakan untuk membawakan arti kesopanan yang bertingkat-tingkat. Pertama,
tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan yang tinggu atau
disebut tingkat tutur krama (sopan sekali). Kedua, tingkat tutur menengah yang
berfungsi membawakan arti kesopanan yang sedang atau biasanya disebut madya
(setengah-setengah). Ketiga, tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan rasa
kesopanan rendah atau biasa disebut ngoko (kesopanan rendah).
Sisi lain, Frans Magnis Suseno (1985: 60) mengidentikkan unggah-
ungguh dengan prinsip hormat. Artinya, masyarakat Jawa selalu menunjukkan
sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam
hal berbicara dan membawa diri. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan
bahasa keluarga dan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat, yaitu krama
sebagai bentuk sikap hormat dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, serta
krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi dalam
menyapa atau membangun komunikasi orang lain. Tingkatan bahasa krama
tersebut dijadikan sebagai sarana ampuh dalam mencegah timbulnya konflik,
sehingga tatanan ngoko-krama memiliki fungsi mengatur semua bentuk
komunikasi, khususnya interaksi langsung dengan keluarga inti maupun di tengah
lingkungan sosial. Tatanan krama ini mengenai gerak badan, urutan duduk, isi dan
bentuk pembicaraan. Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan Suseno
merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat
(Handayani, 2009).
Maryono Dwiraharjo (2001: 67) pun mendefinisikan unggah-ungguh
sebagai tingkah laku berbahasa menurut adat sopan santun masyarakat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain. Dengan demikian,
unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dengan
membawa diri dalam kehidupan sosial. Mereka selalu memerhatikan tuturan atau
bahasa yang digunakan dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati
orang lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan
lebih baik dan selaras. Makna unggah-ungguh yang dikonotasikan dalam berbagai
bentuk tersebut berupa tatanan yang mengandung makna yang sama dan
mempunya tujuan yang sama pula.
Beberapa unsur dalam definisi tersebut, merupakan bentuk adanya sikap
dalam masyarakat. Sikap yang ditunjukkan biasanya hanya basa-basi. Misalnya,
penutur menawarkan mitra tutur untuk singgah, tetapi bukan tawaran yang serius.
Hal ini ditunjukan masyarakat Jawa hanya untuk memupuk rasa kerukunan dan
keakraban. Selain itu, beberapa literatur menyebutkan kepada siapa saja orang
harus melaksanakan unggah-ungguh (berperilaku dan berbicara) halus, biasa, dan
kasar. Karena itu, keseluruhan hal tersebut terbagi dalam beberapa kelompok,
yaitu berunggah-ungguh kepada orang yang memiliki kedudukan, orang yang
lebih tua, orang asing, orang yang setara, dan orang yang lebih muda atau
bawahan (Handayani, 2009).
2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa
Secara umum, etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah
laku dan sikap, sekaligus menyoroti kewajban manusia. Mohammad Hatta
(Handayani, 2009) menegaskan bahwa etika tidak mempersoalkan apa atau siapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
manusia itu, tetapi bagaimana seharusnya manusia bertindak. Konsep ini
berkaitan dengan etika Jawa, karena mengandung makna filosofi yang mendalam.
Etika Jawa diartikan sebagai usaha lahir dan batin masyarakat Jawa untuk mencari
solusi terbaik dalam menelusuri kehidupan demi tujuan yang ingin dicapai
berdasarkan adat, keyakinan, golongan, dan kedudukan masing-masing. Hal ini
berarti masyarakat Jawa dapat dilihat dari aspek kebudayaan, adat istiadat,
kenikmatan hidup, dan keyakinan atau kepercayaan (Handayani, 2009). Hal ini
menjadi pola hidup masyarakat Jawa yang diatur dalam unggah-ungguh.
Unggah-ungguh merupakan bagian dari etika, atau sebagai etika terapan
yang berhubungan dengan cara bekomunikasi, bersikap, dan bertingkah laku
masyarakat Jawa (Handayani, 2009). Tentu, hal ini berhubungan dengan etika
Jawa. Suseno (2001: 43) mensosialisasikan etika Jawa dengan menanamkan
prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk
memertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun yang dimaksud
adalah suatu keadaan dimana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang dan
tenteram, tanpa konflik, bersatu dengan satu tujuan untuk saling membantu dalam
segala bidang kehidupan. Suatu keutamaan yang sangat dihargai oleh masyarakat
Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak
langsung. Tampaknya, sikap ethok-ethok (pura-pura) sangat berharga demi
menutup aib, dengan harapan keselarasan menghindari terjadinya konflik. Inilah
salah satu ciri khas masyarakat Jawa sehingga bersikap tertutup dan tidak
transparan apa adanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Sementara itu, prinsip hormat berperan penting dalam interaksi
masyarakat Jawa. Prinsip ini mengutamakan sikap setiap orang dalam mambawa
diri dan cara berbicara selalu memperhatikan sikap hormat terhadap orang lain
sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip ini mengedepankan bahasa sebagai
pemeran yang penting, khususnya dalam unggah-ungguh. Suseno (2001: 65)
mengutip pandangan Hildred Geertz bahwa sikap hormat itu tercapai melalui tiga
perasaan, yaitu wedi (taktut), isin (malu), dan sungkan (enggan). Ketiga sifat
tersebut merupakan satu kesatuan sifat yang harus dimiliki oleh masyarakat Jawa
dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, unggah-
ungguh sangat berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam etika Jawa
menurut filsafat etika (Handayani, 2009).
Komunikasi yang dibangun seseorang tentu memperhatikan kaidah-kaidah
kebahasaan. Artinya, penutur harus mengetahui mitra tuturnya atau siapa orang
yang diajak berbicara. Ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tentu
berbeda cara berbicaranya dibandingkan dengan orang lebih muda. Hal ini dalam
masyarkat Jawa disebut sebagai unggah-ungguhing basa. Meinsma (Purwadi,
1941) menyatakan bahwa dalam Babad Tanah Jawa telah diberitakan Senopati
lajeng jumeneng nata wonten ing Matawis, nanging mboten karan sultan, tetiyang
kathah sami mastani Penembahan senopati kemawon. Pemberitaan tersebut
mengatakan bahwa sebenarnya pemberiaan gelar mempunyai kesan kurang tinggi
tingkatanya atau kurang penuh kehormatannya. Dengan kata lain, dalam
membengun komunikasi dengan orang lain, masyarakat Jawa selalu memilih kata-
kata atau bahasa secara tepat yang memiliki kaidah unggah-ungguhing basa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Ketetapan pemakaian bahasa dalam berkomunikasi berlandaskan pada tingkat
pokok bahasa Jawa, yakni ngoko, madya, dan krama (Soepomo, 1997:9). Ketiga
unggah-ungguhing basa tersebut dapat diuraikan di bawah ini.
1. Bahasa Ngoko
Secara umum, bahasa ngoko merupakan tingkat kesopanan
berbahasa rendah yang biasa digunakan dalam komunikasi. Tingkat tutur
ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara penutur dan mitra tutur.
Artinya penutur tidak mempunyai rasa enggan (jiguh pekewuh) terhadap
mitra tutur (Soepomo,1997:15b). Untuk menyatakan kearaban tingkatan
ngoko ini biasanya digunakan. Jenis-jenis bahasa Jawa Ngoko, yaitu
Ngoko Lugu, Antya-Basa dan Basa-Antya (Soepomo,1997). Sedangkan
Purwadi (2012) mengatakan bahasa Ngoko memiliki dua jenis yaitu Ngoko
Lugu dan Andhap. Bahasa Ngoko Lugu biasa digunakan dalam
komunikasi antara (a) Orang tua kepada anak, cucu atau anak muda
lainnya; (b) Percakapan orang-orang sederajat, tidak memperhatikan
kedudukan atau usia. Misalnya, percakapan antara anak-anak dengan
teman-teman sebayanya; (c) Percakapan atasan pada bawahannya. Namun,
sekarang kebanyakan atasan berbicara menggunakan bahasa krama kepada
bawahanya meskipun tidak lengkap; dan (d) Dipakai saat ngunandika
karena orang yang diajak berbicara adalah dirinya sendiri. Tentu, hal ini
tidak memerlukan penghormatan.
Sementara itu, bahasa Ngoko Andhap dibedakan menjadi dua
macam, yaitu Antya-basa dan Basa-antya. Bahasa Ngoko Andhap dipakai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
oleh siapa saja yang telah akrab dengan lawan bicara atau mitra tuturnya,
tetapi masih saling menghormati. Basa Jawa Ngoko merupakan bahasa
yang disusun dari kata-kata ngoko seperti aku, kowe, lagi, dan ater-ater:
dak-, ko-, di-, serta penambang –ku, -mu, dan -e
2. Bahasa Madya
Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko adalah madya. Tingkat
tutur madya pada dasarnya ialah tingkat tutur krama yang telah mengalami
proses penurunan tingkat, proses informalisasi dan proses ruralisasi
(Soepomo, 1997). Tingkat madya berada di tengah-tengah antara tingkat
krama dan tingkat ngoko. Bahasa Madya menyatakan kesopanan
berbahasa tingkat menengah. Tingkat madya biasanya digunakan oleh
orang yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Basa Madya juga
biasa digunakan antarmasyarakat desa yang lain yang dianggap lebih tua
atau yang dihormati. Basa Madya dibagi menjadi tiga yaitu madya ngoko,
madya karma, dan madyantara.
Madya Ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang
pedesaan atau pegunungan. Kata-kata yang digunakan adalah kata madya
dicampur kata ngoko yang tidak ada kata madya. Madya Krama adalah
bahasa yang digunakan oleh orang-orang desa untuk berbicara pada orang
yang dianggap lebih tua atau dihormati. Madya Krama terbentuk dari kata-
kata madya dicampur dengan kata-kata krama yang tidak mempunyai kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
madya. Madyantara merupakan bahasa yang digunakan oleh priyayi kecil
dengan suaminya, tetapi saat ini madyantara sudah jarang dipakai lagi.
3. Bahasa Krama
Tingkat selanjutnya adalah karma, yaitu menyatakan tingkat
kesopanan berbahasa paling tinggi. Tingkat krama merupakan tingkat
yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan
adanya perasaan enggan (pekewuh) penutur terhadapa mitra tutur karena
mitra tutur adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, berwibawa dan
lain-lain (Soepomo, 1997:15). Soepomo (1997) mengatakan bahwa basa
krama terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu muda-krama, kramantara,
wreda-krama. Muda-krama merupakan bahasa yang digunakan orang
muda kepada lawan bicara yang lebih tua, karena merasa lebih tua dan
lebih tinggi kedudukannya. Kramantara merupakan bahasa yang
digunakan untuk orang-orang yang sederajat. Wreda-krama merupakan
bahasa yang digunakan orang tua kepada orang muda.
Basa krama merupakan penggunaan bahasa yang disusun dari
kata-kata Krama. Purwadi (2012) mengatakan bahwa krama memiliki
enam jenis, yaitu mudha krama, kramantara, wredha krama, karma inggil,
krama desa dan basa kedhaton atau bagongan. Krama inggil, yang
mengenai pribadi, tindakan-tindakan, dan beberapa benda yang amat erat
hubungannya dengan pribadi manusia serta mengungkakan sikap hormat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
yang amat tinggi, dan yang dikombinasikan baik dengan bahasa karma
maupun bahasa ngoko.
Sesungguhnya, penggunaan bahasa Jawa yang memiliki kaidah unggah-
ungguhing basa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing
lapisan masyarakat. Suseno (1985: 63) menegaskan hal tersebut, yaitu
penghalusan bahasa dari ngoko ke krama dan ke krama inggil disertai satu
pengaburan arti kata. Misalnya, kata-kata arep, bakal (masa depan), wani
(berani), dan gelem (mau) dalam bahasa krama menjadi hanya dua kata saja, yaitu
badhe atau purun, dan dalam krama inggil semuanya menjadi karsa. Kata tuku
atau tumbas (membeli), njupuk atau mendhet (mengambil), kata takon atau nedha
(bertanya), dan kata njaluk atau nedha (minta) menjadi empat kata dalam ngoko
dan tiga kata dalam krama, dalam krama inggil menjadi mundhut. Pengaburan arti
ini adalah tanda kehalusan dan sering dengan apa yang dalam hubungan dengan
prinsip rukun dikatakan tentang disimulasi, ethok-ethok dan sebagainya. Dalam
komunikasi yang halus, obyektivitas dalam arti kesesuaian dengan satu kenyataan
di luar kesadaran orang, semakin dianggap kurang penting dibandingkan dengan
hubungan-hubungan intersubyektif dan dengan emosi-emosi yang menyertainya.
Kedudukan (status) sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti kekayaan,
keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan kebangsaan. Namun,
yang penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya, yaitu gaya bicara dalam
semua hal ditentukan untuk sebagaian oleh status relatif (atau keakraban) para
pembicara. Perbedaannya tidak kecil, seperti perbedaan kata du dan sie. Untuk
menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau seorang yang dikenal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dekat) orang mengatakan ‘apa pada slamet?” Tetapi orang menyapa mereka yang
lebih tinggi (atau seorang yang dikenal tapi tak begitu dekat) dengan bentuk
‘mengapa sami sugeng?’ yang kedua-duanya berarti “Apakah anda sehat?”
Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini. “Panjenengan saking tindak pundhi?”
dan Kowe saka endi? adalah pertanyaan yang sama (“Dari mana anda”). Kalimat
yang pertama ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada
orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah bahwa
pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar, di sekitar mana
pada umumnya mereka mengorganisasi tingah laku sosial mereka.
Selain bahasa-bahasa yang telah disebutkan di atas, biasanya orang-orang
di istana atau kedhaton menggunakan bahasa Kedhaton atau Basa Bagongan
dalam berkomunikasi. Model bahasa Bagongan hanya digunakan oleh sesama
ratu, antar sultan dengan ratu, ratu dengan abdi dalem. Berikut merupakan
sepeuluh Basa Bagongan: hanggeh, mboya, menira, pekenira, punapi, peniki,
peniku, wenten, besahos, seyos, nedo.
2.6 Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa merupakan konsekuensi jangka panjang dari pola-pola
pilihan bahasa yang konsisten. Sementara itu, Chaer (2004:142) menjelaskan
bahawa pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang
penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai perpindahan dari satu
masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Pergeseran sebuah bahasa terkadang
dapat dikatakan juga sebagai kepunahan bahasa (Suandi,2014). Sebuah bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
dapat dikatakan bergeser apabila suatu guyup menghendaki untuk menghilangkan
identitasnya sebagai kelompok sosikulturural yang dapat diidentifikasi sendiri
demi identitas sebagai guyup lain. Sumarsono (2002;278) mengatakan bahwa
pergeseran bahasa akan terjadi hanya kalau suatu guyup menghendaki untuk
menghilangkan identitas sendiri demi identitas dari guyup lain. Biasanya
kelompok lain tersebut merupakan kelompok lebih besar yang mengontrol guyup
minoritas. Pergeseran bahasa dan kepunahan bahasa bertitik tolak dari kontak dua
bahasa dalam suatu masyarakat. Beberapa ahli bahasa menyebut berdwibahasa
dengan bilingualisme, sedangkan Ferguson (1959) memakai istilah diglosia.
Untuk membedakan kedua konsep antara bilingualisme dan diglosia, Fishman
(1972) menggunakan istilah bingualisme dan bilingualitas (Triyono, 2006).
Pergeseran dan pemertahanan sebuah bahasa seperti dua sisi mata uang:
bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Bahasa
bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri. Pergeseran
bahasa berarti suatu masyarkat tertentu meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya
untuk memakai bahasa lain (Sumarsono, 2002:231). Sumarsono (2002:235)
mengatakan bahwa kedwibahasaan masyarakat bukan satu-satunya kondisi bagi
suatu pegeseran. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih
generasi, menyangkut lebih dari satu generasi. Dengan kata lain, jarang terjadi
sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat menanggalkan bahasa dan
mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya.
Pergeseran sebuah bahasa didorong oleh adanya kedwibahasaan, tetapi
Sumarsono mengatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendorong sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
pergeseran bahasa terjadi yaitu faktor migrasi, ekonomi, sekolah. Sebuah
pergeseran bahasa juga telah dipaparkan Dorian (dalam Sumarsono) mengenai
pergeseran bahasa Gaelik di Sutherland Timur, Inggris Utara. Daerah Sutherland,
mengalami sejarah panjang kedwibahasaan, melibatkan bahasa Inggris (B2 di
tempat itu) dan bahasa Gaelik (B1). Bahasa Gaelik mempunyai sejarah panjang
tetapi statusnya lebih rendah. Sejak abad ke-14 pengadilan Skotlandia sudah
memakai bahasa Inggris. Bertahun-tahun bahasa Inggris diasosiasikan dengan
penduduk Lowland yang ‘beradab’ dan Gaelik diasosiasikan dengan penduduk
Highland (wilayah tempat Sutherland berada) yang ‘kasar’;’liar’. Pada awal abad
ke-18 Skotlandia disatukan dengan Inggris tetapi jarak geografi dan kurangnya
jalan menyebabkan Highland tetap terpencil. Pada awal abad 19 penduduk elite
yang berbahasa Inggris pindah keSkotlandia utara. Bahasa Inggris meluncur dari
puncak jenjang sosial dan menyebar kokoh ke bawah, sampai bahasa Gaelik
bergeser dari statusnya sebagai bahasa mayoritas ke bahasa minoritas. Ironisnya
ini justru terjadi di wilayah bahasa itu.
Pergeseran sebuah bahasa berupa pergeseran budaya sapaan juga telah
dipaparkan oleh Mukminatun (2007) dalam jurnal dengan judul Pergeseran
Budaya Sapaan dan Kekerabatan Di Wilayah Kecamatan Keraton Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta. Mukminatun memaparkan bahwa terdapat bentuk
pergeseran dalam sapaan di dalam wilayah Keraton Yogyakarta. Pergeseran
tersebut berupa (l) penyingkatan sapaan nomma, (2) penghormatan karena
stratifikasi sosial lebih diutamakan, (3) bagi kalangan bawah lebih meninggikan
sapaannya dalam rangka mencari posisi dan kedudukan dalam masyarakat. Hal itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
disebabkan karena status sosial, usia, stratifikasi sosial, jenis kelamin ber-
pengaruh terhadap pemakaian sapaan nomina. Masalah penelitian ini hampir
meyerupai penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu pergeseran bahasa
(pergeseran sapaan) yang berhubungan dengan keraton. Namun, dalam penelitian
ini Mukminatun melalukan penelitian di wilayah Kecamatan Keraton Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta sedangkan peneliti hanya dalam lingkup karaton
saja.
Selain itu, pergeseran bahasa akibat sebuah masyarakat dapat
menyebabkan pergeseran wujud bahasa itu sendiri. Wujud suatu tuturan dalam
komunikasi dapat mengalami pergeseran atau lazim disebut pergeseran wujud.
Seperti halnya di dalam lingkungan karaton yang menggunakan bahasa Bagongan,
saat ini bahasa Bagongan mengalami pergeseran dalam penggunaannya. Beberapa
wujud bahasa bagongan bergeser menjadi bahasa Jawa Krama Inggil, Madya dan
lain sebagainya menjadi salah satu bukti wujud pergeseran bahasa dari sebuah
masyarkat. Selain itu, makna pragmatik yang muncul pada diri penutur dalam
sebuah komunikasi dapat mengalami pergeseran atau lazim disebut pergeseran
makna pragmatik. Pergeseran yang terjadi karena sebuah guyup disebabkan oleh
sosial, budaya sebuah masyarakat bahasa tersebut.
Dengan demikian, pergeseran wujud dan makna pragmatik yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perubahan tuturan berdasarkan konteks
sosial budaya, cara pandang masyarakat, dan faktor-faktor luar yang dihadirkan
sebagai pendukung identitas sosial masyarakat. Pergeseran wujud dan makna
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
pragmatik dalam penelitian ini juga berhubungan dengan perubahan sosial dan
budaya masyarakat Jawa khususnya para abdi dalem karaton.
Sementara itu, Romaine (Suandi, 2014:99) memaparkan faktor yang
menyebabkan pergeseran bahasa yaitu kekuatan kelompok mayoritas terhadap
minoritas, kelas sosial, latarbelakang agama dan pendidikan, hubungan dengan
tanah leluhur atau asal, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa. Begitu juga
dengan Grosjean (1982) memaparkan faktor penyebab pergeseran bahasa yaitu
sosial, sikap, pemakaian bahasa dan kebijakan pemerintah. Adanya pola sosial
dan budaya yang beragam dalam suatu masyarakat ikut menentukan identitas
sosial dan keanggotaan kelompok sosial, faktor-faktor sosial itu meliputi status
sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seorang dalam suatu jaringan. Faktor-
faktor yang telah dipaparkan tersebut dapat memperkuat penelitian mengenai
faktor penyebab terjadi pergeseran kefatisan berbahasa. Faktor bergesernya
sebuah bahasa dapat disebabkan adanya faktor sosial masyarakat yang
didalamnya terdapat faktor budaya masyarakat penutur dalam konteks penelitian
ini yaitu budaya masyarakat Jawa.
Salah satu hal yang menyebabkan sebuah bahasa mengalami pergeseran
yaitu faktor budaya. Budaya atau kebudayaan merupakan tata kelakuan manusia,
hasil dari tata kelakuan itu dan juga cara kelakuan itu terjari dan tersusun dalam
system masyarakat. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan dari kelakuan dan
hasil kelakuan manusia, yang teratur tata kelakuan yang didapatkannya dengan
belajar dan tersusun dalam kehidupan masyarakat (Koentjoroningrat, 1990:79).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Ihrom (1987:21) mengatakan bahwa bila kita berbicara menngenai kebiasaan
bersama dalam suatu masyarakat dan hal itu menjadi pusat perhatian antropologi
budaya maka kebiasaan tersebut merupakan sebuah kebudayaan.
Sebuah ilmu antropologi membagi tiap-tiap kebudayaan kedalam beberapa
unsur besar yang disebut culture universals (Koentjoroningrat, 1990:82). Istilah
universal artinya ada dan bisa didapatkan dalam semua kebudayaan dari semua
bangsa di mana pun. Unsur-unsur budaya tersebut adalah peralatan dan
perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah, alat rumah tangga, transportasi dll),
mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, pertenakan, sistem
produksi, sistem distribusi dll), sistem kemasyarakatan (kekerabatan, organisasi
politik, sistem hukum, sistem perkawinan), bahasa (lisan dan tulisan), kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak dll), sistem pengetahuan, religi.
Paparan mengenai unsur besar kebudayaan yang bisa ditemukan secara
universal, bahasa masuk dalam unsur kebudayaan. Oleh sebab itu bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan sebuah masyarakat. Budaya dan masyarakat
memang sangat berkaitan sehingga salah satu di antarnya berubah maka keduanya
juga akan ikut berubah. saat ini tidak bisa dimungkiri bahwa keduanya seiring
mengalami proses perubahan. Sudah menjadi ketentuan proses-proses perubahan
masyarakat dan kebudayaan atau culture change berlaku amat lambat sehingga
hanya dapat dilihat dengan mata orang-orang ahli saja. Namun, proses perubahan
itu juga dapat berlaku amat cepat hingga dapat dilihat dengan mata orang yang
bukan ahli. Perubahan budaya dan masyarakat dikelompokkan dalam beberapa
istilah, seperti difusi, asimilasi, dan akulturasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Difusi adalah proses persebaran dari unsur-unsurkebudayaan dari satu
individu keindividu yang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Proses pertama yaitu persebaran dari individu ke individu dalam satu masyarkat
atau biasanya disebut intra-masyarakat. kedua, ialah persebaran dari masyarakat
ke masyarakat yang biasa disebut inter-masyarakat atau intersociety.
Sementara itu, asimilasi adalah proses masyarakat yang timbul ketika
terjadi (a) kelompok-kelompok manusia yang bersal dari lingkungan yang
mempunyai perbedaan kebudayaan; dan (b) individu-individu dari kelompok yang
sling bergaul, berkomunikasi secara intensif dengan waktu yang cukup lama
sehingga kebudayaan kelompok masing-masing menjadi saling menyesuaikan.
Dengan kata lain, salah satu kelompok budaya harus melebur ikut menyesuaikan.
Proses asimilasi inti dapat dicegah apabila kelompok masyarakat tersebut mampu
bersikap tolerensi dan simpati terhadap kelompok lain. Misalnya, orang Batak
berada di Jawa khususnya Yogyakarta dan bergaul secara luas dan intensif dengan
orang Jawa tetapi orang tersebut mampu mempertahankan budayanya. Hal itu
disebabkan karena orang itu mampu bertoleransi terhadap budaya lain.
Akulturasi atau acculturation atau culture contract mempunyai arti yang
berbeda dari berbagai sarjana antropologi, tetapi semuanya sesuai dengan paham
bahwa proses akulturasi timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing yang berbeda
sehingga unsur kebuayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah dalam
kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
2.7 Kerangka Berpikir
Tuturan para abdi dalem dalam berkomunikasi diduga mengandung
kefatisan yang digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Oleh
sebab itu, peneliti akan meneliti tuturan fatis yang digunakan oleh para abdi dalem
untuk membina dan mempertahankan hubungan sosial dengan mitra tutur atau
lawan bicaranya. Untuk menganalisis setiap tuturan fatis para abdi dalem, peneliti
menggunakan teori komunikasi fatis dan teori sosiopragmatik. Teori komunikasi
fatis digunakan untuk menentukan wujud tuturan fatis para abdi dalem, sedangkan
teori sosiopragmatik digunakan untuk menentukan maksud tuturan atau makna
pragmatik dalam tiap tuturan fatis. Teori komunikasi fatis dan sosiopragmatik pun
selalu terikat oleh konteks, yaitu konteks situasi dan sosial. Konteks situasi dan
sosial membantu peneliti dalam mengidentifikasi kefatisan. Data yang telah
diperoleh berupa tuturan fatis para abdi dalem diklasifikasikan. Selanjutnya, data
dianalisis sesuai rumusan masalah berdasarkan teori yang relevan. Data yang telah
dianalisis, dibahas dan, dikritis berdasarkan wujud dan makna pragmatik,
kemudian peneliti dapat menemukan pergeseran bahasa dalam setiap tuturan fatis
dan dapat menemukan faktor yang menyebabkan pergeseran. Kerangka berpikir
penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
TUTURAN KOMUNIKASI FATIS PARA
ABDI DALEM
SOSIOPRAGMATIK
KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI
DALEM
WUJUD DAN
MAKNA
PRAGMATIK
KOMUNIKASI
FATIS
PERGESERAN
DALAM
PEMAKAIAN
KEFATISAN
BERBAHASA
FAKTOR YANG
MENYEBABKAN
TERJADINYA
PERGESERAN
PRAGMATIK SOSIOLINGUISTIK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dan berikut akan diuraikan
hal-hal yang menandainya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak perlu
menggunakan prosesdur statistisk dalam pencapaiannya karena penelitian
kualitatif digunakan untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku manusia, gerakan sosial, atau hubungan
kekerabatan (Baswori & Suwandi, 2008: 1). Hal-hal tersebut dikaitkan dengan
konteks tertentu atau khusus yang alamiah. Penelitian deskriptif, yaitu peneliti
mengumpulkan data-data atau informasi kemudian menggambarkan apa yang
ditemukan dengan apa adanya dalam bentuk kata dan bahasa
Sejalan dengan konsep tersebut, penelitian ini mengharuskan peneliti akan
menemukan data-data berupa tuturan fatis para abdi dalem di Keraton
Yogyakarta. Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk,
mendeskripsikan bagaimana bentuk pergeseran wujud dan makna pragmatik
kefatisan berbahasa serta faktor yang menyebabkannya.
3.2 Sumber Data, Data, dan Objek Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah abdi dalem punakawan yang
berada di Keraton Yogyakarta. Abdi dalem sendiri terbagi menjadi dua, yakni
abdi dalem kaprajan dan abdi dalem punakawan. Abdi dalem kaprajan memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
derajat atau kasta lebih tinggi dibanding punakawan. Jumlah abdi dalem kaprajan
juga tidak begitu banyak dibanding jumlah abdi dalem punakawan. Perbedaan
dari kedua abdi dalem tersebut adalah uang pituas (gaji) dari pihak keraton. Abdi
dalem kaprajan tidak mendapatkan uang pituas karena mereka sudah
mendapatkan uang pensiun. Sedangkan punakawan mendapatkan uang pituas
meskipun dalam jumlah kecil.
Sumber data lokasional penelitian ini adalah para abdi dalem Keraton
Yogyakarta yang berada di Jalan Rotowijayan Blok No. 1, Kota Yogyakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan, sumber data substantif penelitian ini
adalah tuturan-tuturan para abdi dalem dalam berkomunikasi dan transkip
wawancara yang dilakukan kepada abdi dalem. Data dalam penelitian ini berupa
tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan dan cuplikan wawancara . Tuturan
yang mengandung kefatisan tersebut akan selalu didasarkan pada konteks tuturan.
Selain itu, data dalam penelitian ini juga berupa uraian hasil wawancara peneliti
dengan abdi dalem. Objek penelitian ini adalah kefatisan berbahasa para abdi
dalem. Kefatisan berbahasa diperoleh melalui komunikasi sehari-hari para abdi
dalem dengan abdi dalem lain atau orang lain (wisatawan).
3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Penyedian data merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh peneliti
untuk menyediakan data penelitia secukupnya. Data yang dimaksud di sini ialah
fenomena yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian. Metode yang
digunakan dalam penyediaan data penelitian ini pertama, menggunakan metode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
simak. Disebut metode simak karena data diperoleh dengan menyimak, yaitu
menyimak penggunaan bahasa yang dilakukan oleh para abdi dalem ketika
berbicara dengan sesama abdi dalem atau orang lain (tamu, wisatawan atau
sultan).
Metode simak ini diikuti dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Peneliti
untuk mendapatkan data harus menyadap pembicaraan yang dilakukan oleh para
abdi dalem. Namun, tidak hanya berhenti pada penyadapan saja kegiatan
menyadap ini dilanjutkan dengan teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas
libat cakap (Sudaryanto;2016). Di dalam teknik simak libat cakap peneliti
memperoleh data dengan cara berpartisipasi sambil menyimak pembicaraan yang
dilakukan oleh para abdi dalem. Peneliti juga terlibat dalam dialog tersebut
sehingga disamping memperhatikan penggunaan bahasa mitra tutur (abdi dalem)
peneliti juga turut serta dalam pembicaraan. Peneliti terkadang aktif angkat bicara
tetapi terkadang juga mendengarkan dan sedikit untuk berbicara. Munculnya data
kefatisan berbahasa yang diharapkan dapat melibatkan peneliti secara langsung.
Selain itu, dalam memperoleh data peneliti juga menggunakan teknik
simak bebas libat cakap. Jadi, dalam teknik ini peneliti tidak ikut serta dalam
pembicaraan para abdi dalem dan mitra tuturnya tetapi peneliti hanya sebagai
pemerhati apa yang dikatakan oleh abdi dalem. Para abdi dalem dan mitra
tuturnya akan hanyut dalam percakapan tetapi peneliti hanya memperhatikan
percakapan mereka saja tidak ikut serta dalam pembicaraan. Dalam teknik simak
bebas libat cakap alat yang digunakan sama seperti teknik simak libat cakap
dalam memperoleh data yaitu peneliti itu sendiri. Dalam pelaksanaan kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
teknik tersebut dilakukan juga teknik rekam dan catat. Peneliti yang merekam
pembicaraan atau percakapan para abdi dalem dan juga mencatat ketika data yang
diperoleh ketika melakukan teknik tersebut. Sehingga ketika peneliti mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi data, peneliti dapat memutar ulang percakapan
dalam alat perekam yang telah disediakan.
Metode yang digunakan dalam penyediaan data kedua yaitu metode cakap.
Metode ini dapat disejajarkan dengan metode wawancara (Sudaryanto;2016).
Dalam melakukan metode ini, peneliti mendapatkan data dengan cara memancing
narasumber yang diwawancarai agar berkenan untuk berbicara. Narasumber yang
dapat diwawancarai yaitu para abdi dalem dan ahli bahasa dalam lingkungan
keraton. Kegiatan tersebut dapat disebut sebagai teknik pancing yang merupakan
teknik dasar dalam metode simak. Teknik pancing tersebut dilanjutkan dengan
teknik cakap semuka yaitu melakukan percakapan atau wawancara dengan
narasumber secara langsung atau bertatap muka. Dalam melakukan wawancara
tersebut peneliti mencatat informasi yang diperoleh dari narasumber dan merekam
percakapan yang terjadi.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk menangani
masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 2016). Analisis dimulai tepat
pada saat penyedian data selesai dilakukan. Dalam menganalisis masalah yang
terjadi peneliti perlu menggunakan metode dan teknik tertentu. Metode yang
digunakan peneliti dalam penelitian kefatisan berbahasa ini adalah metode padan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Metode padan adalah metode atau cara yang digunakan dalam upaya menemukan
kaidah dalam tahap analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Dalam konteks ini
metode padan akan digunakan untuk menganalisis komunikasi fatis yang
dikaitkan dengan konteks sosial budaya penuturnya.
Teknik analisis data merupakan suatu proses mengatur dan menganalisis
data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Sudaryanto (1993) menyatakan bahwa teknik analisis data merupakan upaya
peneliti untuk menangani langsung masalah yang terkandung pada data. Metode
padan yang digunakan dalam penelitian ini diikuti dengan teknik dasar pilah unsur
penentu, kemudian diikuti teknik lanjut hubung banding menyamakan (HBS).
Kegiatan analisis dapat dihentikan bila peneliti menemukan kaidah, atau dalil
yang berkaitan dengan objek yang menjadi masalah penelitian (Sudaryanto, 1993:
6). Langkah-langkah proses analisis dalam penelitian ini yaitu:
1. Data yang telah terkumpul ditranskip ke dalam bahasa Indonesia.
2. Data hasil transkip dipilah peneliti berdasarkan topik penelitian, yaitu
kefatisan berbahasa. Artinya, peneliti memilah tuturan yang mengindikasi
komunikasi fatis.
3. Data yang mengindikasi komunikasi fatis ditabulasi berdasarkan wujud
tuturannya.
4. Data hasil tabulasi ditriangulasikan kepada ahli. Triangulator dalam
penelitian ini Dr. BB. Dwijatmoko, MA.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
5. Hasil triangulasi dikaji dan dianalisis untuk menjawab rumusan masalah
dan tujuan penelitian.
6. Data hasil kajian dan analisis kemudian dikritisi dalam pembahasan.
7. Terakhir, peneliti mengambil kesimpulan berdasarkan hasil dalam
pembahasan.
3.5 Triangulasi Data
Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan akan dicetak keabsahannya.
Pengujian keabsahan hasil penelitian data diuji dengan teknik Triangulasi.
Triangulasi adalah upaya penggunaan cara-cara lain untuk mengatasi masalah
yang timbul dalam penyediaan data (Mahsun, 2005:236). Triangulasi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu triangulasi data dan teori. Trianggulasi data
dilakukan untuk menguji data yang terkumpul kepada ahli, ahli dalam kaitan
dengan penelitian ini yang dimaksud adalah ahli sosiopragmatik. Ahli tersebut
akan melihat bahwa data yang dikumpulkan sudah dapat dikatakan memadai
(representatif), dan untuk mengkomfirmasi bahwa data yang didapat sudah
dikatakan mencukupi hingga sudah tidak ditemukan data lagi.
Selain itu, triangulasi data juga bukan semata-mata untuk mencari
kebenaran data penelitian tetapi juga untuk mengecek kredibilitas data dan
keterpercayaan hasil temuan yang diperoleh dari berbagai sumber. Sedangkan,
triangulasi teori dilakukan dengan mengkomfirmasi kajian teori dan hasil
penelitian terdahulu dengan meminta justifikasi kepada ahli untuk memastikan
bahwa teori dan hasil penelitian yang dikaji memang sudah cukup sebagai dasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
untuk menganalisis. Triangulator data dalam penelitian kefatisan berbahasa para
abdi dalem ini adalah Dr. BB. Dwijatmoko, MA.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian dan pembahasan. Pada
bagian Hasil Penelitian, peneliti akan menjelaskan mengenai deskripsi data, hasil
analisis wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa, wujud pergeseran
bahasa dalam komunikasi fatis dan faktor penyebab pergeseran. Selanjutnya, pada
bagian Pembahasan, peneliti akan membahas, menegaskan dan mengkritisi hasil
penelitian yang telah dipaparkan dala hasil penelitian.
4.1 Hasil Penelitian
Bagian hasil penelitian ini peneliti memeparkan mengenai deskripsi data
yang telah diperoleh dalam penelitian dan menganalisis data berdasarkan dengan
masalah penelitian. Hal tersebut penulis paparkan sebagai berikut.
4.1.1 Deskripsi Data
Data penelitian ini berupa tuturan fatis para abdi dalem di Keraton
Yogyakarta yang diindikasikan mengandung tuturan komunikasi fatis. Data ini
diperoleh melalui pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh peneliti terkait
komunikasi fatis para abdi dalem di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta.
Peneliti juga ikut bergabung dan mendengar percakapan baik antarabdi dalem
mupun para abdi dalem dengan orang lain. Peneliti juga melakukan wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
dengan para abdi dalem untuk memperoleh data. Hal ini dilakukan sekaligus
untuk menggali informasi mengenai para komunikasi fatis abdi dalem.
Tuturan yang digunakan sebagai data penelitian ini berupa komunikasi
para abdi dalem Keraton Yogyakarta terdiri dari dua bahasa yaitu bahasa
Indonesia, bahasa Jawa (Bagongan dan Krama Inggil). Bahasa Indonesia biasanya
digunakan para abdi dalem ketika berbicara dengan tamu atau wisatawan yang
berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Sementara bahasa Bagongan dan bahasa Jawa
Karma Inggil biasanya digunakan ketika berbicara dengan sesama abdi dalem
atau dengan raja.
Data komunikasi fatis yang penelitian ini berdasarkan benar tidaknya
tuturanya dibagi menjadi dua (Arimi, 1998) yaitu komunikasi murni dan
komunikasi fatis polar. Komunikasi fatis murni yaitu ungkapan atau tuturan yang
dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa
yang dikatakan oleh penutur selaras dengan kenyataan atau memang benar-benar
terjadi. Sementara itu, komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan
yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau
tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih suatu ungkapan
untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial
antar penuturnya. Selanjutnya, di dalam klasifikasi tersebut terdapat lima
pengelompokan komunikasi fatis berdasarkan makna pragmatiknya yaitu
mengawali pembicaraan, mengakhiri pembicaraan, mencairkan suasana,
mempertahan komunikasi dan bertegur sapa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Data komunikasi fatis murni dikelompokkan dan diberi paparan konteks
situasi, soisal yang dapat mendukung wujud kefatisannya. Di dalam
pengelompokkan, tuturan komunikasi fatis murni memiliki kode A/KFM Contoh
data-data komunikasi fatis murni dapat dipaparkan di bawah ini.
Tuturan komunikasi fatis murni: O1: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini- sertifikat-untuk- kanjeng) (Ini sertifikat untuk kanjeng) O2: Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat-sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) O1: Wah sepi dinten niki, Bu.(A1/KFM) (Wah-sepi-hari-ini-Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) O2: Inggeh niki, lha ujian. (Iya-ini-lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) O1: …. Konteks: O1 dan O2 adalah abdi dalem karaton. Mereka sedang berbincang-bincang di tepas security. Di tengah pembicaraan, orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat penghargaan untuk kanjeng. Kemudian mereka membicarakan tentang setifikat penghargaan tersebut. Namun, membahas sertifikat berakhir, O1 dan O2 terjadi keheningan atau senyap tidakada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah sepi dinten niki.
Tuturan A1/KFM merupakan contoh tuturan komunikasi fatis murni.
Tuturan tersebut digunakan untuk mengisi kesenyapan atau keheningan yang
terjadi di tengan pembicaraan. Tuturan A1/KFM tuturan yang sesuai dengan
situasi yang terjadi ketika tuturan itu terjadi. Tentunya, tuturan tersebut digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
agar pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Contoh tuturan komunikasi fatis
murni lainnya dapat dilihat dalam tabulasi penelitian ini.
Sementara itu, komunikasi fatis polar juga memiliki peranan dalam
membangun komunikasi. Data komunikasi fatis polar juga dikelompokkan dan
diberi paparan konteks situasi, soisal yang dapat mendukung wujud kefatisannya.
Di dalam pengelompokkan, tuturan komunikasi fatis polar memiliki kode B/KFP.
Contoh data-data komunikasi fatis polar dapat dipaparkan di bawah ini.
Tuturan Komunikas Fatis Polar O1: Yaa, begitu. Bisa dikatakan dari situlah bahasa bagongan mulai bergeser karena sudah tidak ada lagi istilah magang. O2: Iya, baik kanjeng. Ehmm (melihat daftar pertanyaan) Senyap O1: Sudah jalan-jalan keliling keraton belum? (B1/KFP) O2: Baru sampai belakang situ, kanjeng. Ini Kanjeng, saya mau Tanya lagi. O1: Oiya, iya silahkan tadi hanya selingan saja. …… Konteks: O1 sedang diwawancari oleh O2 di tepas Dwarapura. Ketika O2 sedang sibuk mencari daftar pertanyaanuntuk wawancara, suasana menjadi hening tidak ada pembicaraan. O2 juga tampak bingung karena kehilangan daftar pertanyaan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Sudah jalan-jalan keliling keraton belumn? Ketika O2 yang sedang mencari daftar pertanyaa wawancara untuk mengisi keheningan yang terjadi antara O1 dan O2. Setelah itu O1, O2 melakukan tanya jawab kembali.
Tuturan B1/KFP merupakan contoh dari komunikasi fatis polar. Tuturan
tersebut digunakan oleh penutur untuk mengisi kenyapan yang terjadi dalam
pembicaraan. Tuturan B1/KFP merupakan tuturan yang tidak sesuai dengan
realitas atau kenyataan yang terjadi. Tentunya, tuturan tersebut digunakan agar
pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Contoh tuturan komunikasi fatis polar
lainnya dapat dilihat dalam tabulasi penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
4.1.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis
Wujud tuturan komunikasi fatis para abdi dalem dikelompokkan menjadi
dua yaitu komunikasi fatis murni dan polar. Hal itu sejalan dengan pendapat
Arimi yang mengatakan bahwa Arimi (1998:171) mengatakan bahwa komunikasi
fatis dapat dibagi menjadi dua yaitu murni dan polar. Setiap kelompok
komunikasi fatis mempunyai makna pragmatik yang terdiri dari mempertahankan
komunikasi, memulai pembicaraan, mengakhiri pembicaraan, mencairkan
suasana, dan bertegur sapa. Uraian mengenai wujud dan makna pragmatik
komunikasi tersebut akan dipaparkan secara terperinci di bawah ini.
4.1.2.1 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis Murni
Pada bagian ini akan memaparkan data komunikasi fatis murni (KFM)
berdasarkan wujud dan makna pragmatik dalam tuturannya. Uraian tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
1. Tuturan KFM: O1: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini- sertifikat-untuk- kanjeng) (Ini sertifikat untuk kanjeng) O2: Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) O1: Wah sepi dinten niki, Bu. (A1/KFM) (Wah, sepi hari ini Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) O2: Inggeh niki, lha ujian. (Iya-ini-lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) O1: ….
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Konteks: O1 dan O2 adalah abdi dalem karaton. Mereka sedang berbincang-bincang di tepas security. Di tengah pembicaraan, orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat penghargaan untuk kanjeng. Kemudian mereka membicarakan tentang setifikat penghargaan tersebut. Namun, membahas sertifikat berakhir, O1 dan O2 terjadi keheningan atau senyap tidakada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah sepi dinten niki.
2. Tuturan KFM ….. O1: Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (A2/KFM) (Sudah-luhur-to-ini-Saya mendahului) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) O2: Nggeh, monggo. (Iya-silahkan) (Iya, silahkan) Konteks: O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem di karaton. Mereka sudah mengenal cukup lama. O1 dan O2 sedang berbincang-bincang di tepas sudah cukup lama. O1 sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius O1 dan O2 saling diam dan tidak ada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar jawaban O2, O1 langsung berpamitan untuk mendahului. Dilihat dari usianya O2 lebih tua dibanding O1. 3. Tuturan KFM
O1: Sugeng enjang. (A9/KFM) (Selamat pagi) (Selamat pagi) O2: Mangga (Mari) (Mari) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O2 sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan O1 sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh O1 tidak tahu kalau O2 berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu O1 berjalan mendekati O2, para wisatawan itu pergi dan O1 dapat melihat O2. Ketika O1 melewati persis di depan O2, O1 mengatakan tuturan sugeng enjang pada O2. O2 yang megetahui hal itu kemudian menjawab tuturan O1. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara O1 dan O2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
4. Tuturan KFM
O1: Keseso mas? (Terburu-buru-mas) (Terburu-buru mas?) O2: Kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (A7/KFM) (Kanjeng-ada-siapa-kok-sendirian?) (Kanjeng, ada siapa kok sendirian?) O1 : Hanggeh (Iya) (Iya) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O1 sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. O1 tahu bawah O2 sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan O1. O1 mengatakan tuturan keseso mas? O2 pun menanggapi O1 dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. O1 dan O2 sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian. 5. Tuturan KFM
O1: Wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. (A3/KFM) ( Wah – teh – nya – pahit – ini – mbak. Yang – buat – memang) (Wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.) O2 : Hehe. O1 : Sudah masukin surat belum mbak? O2 : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks : O1 merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (O2) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. O2 yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama O1. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan di antara mereka. 6. Tuturan KFM
O1 : Wilujeng injing, Co. A5/KFM (Selamat – pagi – man) (Selamat pagi, teman) O2: Mangga (silakan) (mari) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
mereka berpapasan. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka.
Tuturan A1 merupakan bentuk dari tuturan fatis murni. Tuturan tersebut
digunakan untuk mengisi kesenyapan yang benar-benar terjadi antara penutur O1
(selanjutnya ditulis penutur) dan O2 (selanjutnya ditulis mitra tutur). Kesenyapan
yang terjadi dalam komunikasi antarpenutur yang sudah saling mengenal dapat
mengganggu hubungan mereka. Kefatisan dalam tuturan A1 juga terlihat dari
konteks situasi dan budayanya, masyarakat berlatarbelakang budaya Jawa
menganggap kesenyapan tersebut tidak biasa karena akan muncul kesan tidak
sopan atau menimbulkan prasangka buruk. Konsep tersebut sejalan dengan
pendapat Malinowsky yang mengatakan bahwa terjadinya keheningan atau diam
di dalam pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan hubungan
sosial antarpenuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan (Senft, 2009). Hal ini
berarti wujud situasi senyap dalam komunikasi dapat membawa dampak positif
maupun negatif. Dampak positifnya bahwa senyap dapat membantu penutur untuk
merenungkan sesaat tentang suatu persoalan. Namun, suasana senyap dapat
membawa dampak negatif yaitu memutuskan komunikasi bahkan dianggap tidak
sopan dalam masyarakat budaya Jawa. Begitu juga dalam tuturan A11/KFM dan
A21/KFM tuturan tersebut juga digunakan untuk mengisi kesenyapan yang terjadi
dalam pembicaraan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan komunikasi agar
keduanya tetap terjalin komunikasi.
Ciri yang menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan bentuk tuturan
fatis adalah ketidakrelevanan topik yang penutur gunakan dalam mengisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kesenyapan komunikasi yang terjadi. Topik sebelumnya penutur dan mitra tutur
membicarakan mengenai sertifikat karena terjadi kesenyapan penutur
menggunakan kefatisan berupa memberikan pernyataan suasana ketika tuturan itu
terjadi kemudian berganti topik, yaitu membicarakan mengenai sekolah.
Ketidakrelevanan tersebut juga telah dipaparkan oleh Malinowski bahwa
tuturan fatis yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan topik
pembicaraan utama tetapi ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi
sosial. Artinya bahwa sebuah tuturan fatis dapat berfungsi menutup kesenyapan
komunikasi agar komunikasi antarpenutur terus terjaga. Hal ini juga menunjukkan
peran tuturan fatis dalam membangun kesadaran setiap penutur untuk membangun
komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan komunikasi pun
tercapai. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh penutur merupakan hal yang sama-
sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Jadi tuturan tersebut bukan dimaknai
sebagai kalimat informatif tetapi berfokus sebagai tuturan yang komunikatif.
Konsep tersebut sepahaman dengan Jakobson dan Malinowski bahwa komunikasi
fatis bukanlah tuturan atau kalimat yang semata-mata untuk menanyakan atau
memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra tuturnya (Zegarac & Clark:1999).
Oleh karena itu tuturan A1, A11, dan A21 merupakan bentuk dari komunikasi
fatis.
Lebih dari itu, tuturan tersebut merupakan wujud komunikasi fatis murni.
Tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut
memang benar-benar terjadi pada waktu lingkungan karaton benar-benar sepi.
Mitra tutur pun mengetahui bahwa konteks situasi pada waktu itu memang sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
sepi karena di karaton belum banyak pengunjung yang datang. Wujud kefatisn
tersebut terbukti dengan pandangan Arimi bahwa komunikasi fatis murni adalah
ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa
tutur yang muncul (Arimi,1998). Hal ini berarti sebuah situasi dapat menjadikan
momen seseorang atau penutur untuk membangun komunikas. Situasi lingkungan
karaton yang sepi saat keberadaan penuur dan mitra tutur dijadikan penutur untuk
mengisi kesenyapan komunikasi, sekaligus menjalin hubungan komunkasi yang
sempat terhenti. Oleh sebab itu tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis
murni.
Dalam konteks budaya Jawa, dua orang yang saling mengenal dan berada
dalam satu tempat jika tidak berkomunikasi akan membuat hubungan
antarpenutur menjadi tidak lazim atau tidak baik (berprasangka buruk). Hal
tersebut dapat berupa prasangka buruk dari penuturnya seperti sombong, tidak
ramah, tidak sopan dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam situasi serupa kefatisan
sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal. Kefatisan
dalam pertuturan tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu untuk
mempertahankan komunikasi agar tetap berjalan atau tetap terjadi interaksi
antarpenuturnya. Makna pragmatik tersebut ditegaskan oleh Malinowsky bahwa
terjadinya keheningan dalam komunikasi akan mengkhawatirkan hubungan sosial
penuturnya. Masyarakat Jawa dalam hal ini para abdi dalem memiliki pandangan
yang serupa terkait hal itu. Oleh sebab itu tuturan A1 mempunyai makna
pragmatik yaitu untuk mempertahan komunikasi antarpenuturnya agar hubungan
sosial mereka tetap terjalin baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Sama halnya dengan tuturan A1, tuturan A2 merupakan bentuk tuturan
komunikasi fatis. Tuturan tersebut digunakan untuk mengakhiri percakapan antara
penutur dan mitra tutur. Tuturan tersebut juga bukan digunakan untuk
menginformasikan kepada mitra tutur bahwa sudah waktunya luhur atau dzuhur,
tetapi lebih bersifat komunikatif yaitu untuk mengakhiri sebuah percakapan. Di
dalam masyarakat Jawa tidak mungkin bagi penutur untuk langsung mengkahiri
pembicaraan setelah keperluan selesai karena sebelumnya penutur dan mitra tutur
sedang berbicara dengan serius. Hal itu dapat merusak hubungan sosial
antarpenutur. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinoswki bahwa fatis
digunakan dalam rangka pemenuhan hubungan sosial. Artinya bahwa suatu
tuturan fatis dapat digunakan untuk menjaga hubungan sosial, khususnya saat
mengakhiri sebuh pembicaraan serius. Penutur dapat mengakhiri pembicaraan
serius dengan tuturan fatis agar mitra tutur tidak merasa tersinggung atau tidak
dihormati.
Selain itu, waktu luhur yang penutur katakan merupakan hal yang sama-
sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur sehingga tuturan fatis tersebut
sebenarnya senada dengan mengomentari situasi yang sudah jelas. Dengan kata
lain, situasi dapat menjadi bahan kefatisan. Penutur mengungkapkan situasi yang
sama dengan kenyataan dapat menjadi makna yang dimaksudkan penutur. Oleh
sebab itu, tuturan tersebut dikatakan sebagai tuturan fatis karena tuturan tersebut
bukanlah sebuah tuturan informasi tetapi tuturan yang didalamnya memiliki nilai
sosial khusus yang digunakan dalam mengakhiri sebuah percakapan. Pernyataan
tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923) bahwa fatis bukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
digunakan untuk menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakannya
sedang memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah
tujuan utama mereka.
Lebih dari itu, tuturan A2 merupakan wujud dari komunikasi fatis murni,
karena tuturan A2 merupakan tuturan yang memang terjadi atau selaras dengan
kenyataan. Ketika tuturan terjadi, waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB yang
menandakan bahwa sudah saatnya sholat dzuhur atau istirahat. Pengetahuan
tersebut juga sama-sama diketahui oleh mitra tutur bahwa pada pukul 12.00
waktunya untuk sholat dan juga istirahat. Wujud komunikasi fatis murni tersebut
sejalan dengan pendapat Arimi yang mengatakan bahwa komunikasi fatis murni
adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan
peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998).
Masyarakat Jawa memiliki sikap bahwa, orang yang akan berpamitan atau
mengakhiri pembicaran dan sebelumnya telah berbincang-bincang cukup serius
mereka tidak akan langsung mengatakan akan pergi atau tidak langsung
mengakhiri. Hal itu dilakukan agar mitra tutur tidak tersinggung apabila masih
ada hal yang harus dibicarakan dan juga akan memperlihatkan bahwa penutur
adalah orang yang tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan A2 dituturkan oleh penutur
agar ia terlihat sopan, tidak menyinggung perasaan mitra tutur, dan tentunya akan
meninggalkan kesan baik sehingga dalam pertemuan selanjutnya mitra tutur akan
senang untuk berbicara kembali dengan penutur. Selain itu, penutur merupakan
abdi dalem yang usianya lebih muda dibanding mitra tutur, di dalam sosial
masyarakat Jawa penutur mempunyai kewajiban untuk menghormati mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
karena usianya yang lebih muda dibanding mitra tutur. Oleh sebab itu, penutur
menerapkan prinsip sopan santun dengan mengatakan tuturan A2 untuk
mengakhiri pembicaraan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Geertz
(Pranowo,2009:47) yang mengatakan bahwa dalam ajaran budaya Jawa untuk
menciptakan kesantunana dalam berkomunikasi ada ajaran dalam berbahasa yaitu
harus selalu kurmat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui antara
penutur dan mitra tutur. Hal itu tampak dengan tanggapan mitra tutur yang
langsung mempersilakan penutur untuk mengakhiri pembicaraan dan pergi
sebagai benuk menghargai penutur. Dengan demikian tuturan A2 sebagai wujud
komunikasi murni tersebut mempunyai makna pragamatik untuk menjaga relasi
dengan mitra tutur, tidak menyinggung perasaan, dan untuk berlaku sopan.
Tuturan A9 dan A7 merupakan bentuk tuturan fatis. Tuturan tersebut
digunakan oleh penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah penutur kenal.
Sikap saling menyapa atau bertegur sapa ketika berpapasan merupakan sebuah
komunikasi sangat berpengaruh pada hubungan atau relasi antarpenutur.
Masyarakat budaya Jawa mengenal sikap bertegur sapa merupakan sebuah
komunikasi yang dapat dikatakan wajib untuk dilakukan apabila kedua penutur
saling mengenal. Apabila tidak dilakukan hal tersebut akan mengganggu
hubungan sosial atau relasi dari penuturnya. Sikap saling bertegur sapa dengan
mengucapkan salam atau menanyakan sebuah situasi masuk dalam jenis
komunikasi fatis. Tuturan A9 menggambarkan salam yang dituturkan bukan
semata-mata digunakan untuk memberikan informasi pada mitra tutur bahwa pada
waktu itu pagi hari. Sementara itu tuturan A7 pertanyaan yang dituturkan bukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
semata-mata menanyakan hal yang sudah jelas dilakukan oleh mitra tutur karena
kefatisan bukan merupakan tuturan yang bersifat informative tetapi komunikatif.
Komunikatif di dalam tuturan tersebut adalah penutur ingin menunjukkan
keramahannya dengan mengatakan tuturan A9 dan A7 . Pendapat itu sejalan
dengan Malinowski (Zegarac&Clark:1999) bahwa komunikasi fatis tidak bersifat
informatif, kalimat atau pernyataan yang dituturakan oleh penutur bukan semata-
mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra
tuturnya.
Oleh karena kefatisan bukan merupakan penyampaian informasi,
tanggapan dari mitra tutur yang tidak relevan adalah hal yang dianggap sah dalam
sebuah komunikasi. Baik mitra tutur maupun penutur tidak pernah
mempermasalahkan tanggapan atas tuturan fatis karena tuturan tersebut digunakan
untuk pemenuhan hubungan sosial. Apapun tanggapannya hal itu sudah
menandakan bahwa mitra tutur memahami maksud penutur. Jawaban dari mitra
tutur yang tidak relevan dalam pertuturan semakin memperjelas bahwa tuturan A9
dan A7 mengandung kefatisan berbahasa.
Selanjutnya, tuturan A9 dan A7 merupakan wujud dari komunikasi fatis
murni. Artinya, penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan situasi yang
sedang terjadi. Namun, tuturan yang sesuai dengan situasi tersebut penutur
gunakan untuk pemenuhan hubungan sosial mereka. Dalam tuturan A9 penutur
dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa mereka berpapasan pada waktu
pagi hari sedangkan dalam tuturan A7 penutur sudah melihat bahwa mitra tutur
tergesa-gesa dengan berjalan cepat sehingga mereka sebenarnya mengatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
sesuatu yang sudah jelas diketahui bersama. Pandangan tersebut sejalan dengan
pendapat Arimi bahwa komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang
dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul
(Arimi,1998).
Orang yang sudah sama-sama saling mengenal khususnya di dalam
masyarakat Jawa ketika bertemu atau berpapasan akan saling menyapa karena
apabila tidak saling dilakukan hal itu akan membuat buruk hubungan sosial
antarpenuturnya. Hal itu dapat berupa prasangkan buruk satu sama lain seperti
prasangkan sombong, tidak peduli, acuh tak acuh dan lain sebagainya. Konsep
serupa juga telah dipaparkan oleh Lever (1974) bahwa fungsi sosial komunikasi
fatik yang mendasar adalah pengaturan hubungan interpersonal pada
keseimbangan psikologis dari interaksi. Dengan penutur mengatakan tuturan fatis,
secara tidak langsung penutur dan mitra tutur sedang menyeimbangkan hubungan
sosial yang terjalin. Oleh karena itu, dalam situasi serupa kefatisan sering kali
penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal. Kefatisan dalam A9
tersebut mempunyai makna pragmatik dengan bertegur sapa penutur ingin
menunjukkan sikap ramah kepada mitra tutur yang sudah dikenalnya sedangkan
dalam tuturan A7 penutur ingin menunjukkan kepedulian terdapat mitra tutur
sehingga hubungan mereka tertap berjalan dengan baik. Dengan demikian, tuturan
A9 dan A7 yang merupakan wujud komunikasi fatis murni mempunyai makna
pragmatik yaitu menunjukkan sikap ramah dan kepedulian terdapat mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
4.1.2.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis Polar
Pada bagian ini akan memaparkan data komunikasi fatis polar (KFP)
berdasarkan wujud dan makna pragmatik dalam tuturannya. Uraian tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
1. Tuturan KFP O1: Gimana mba penelitiannya? O2: Alhamdulilah, saya sering ke sini pak buat ambil data. ….. O1: Setelah ini mau ngapain? (B4/KFP) O2: Mau masuk pak, observasi. O1: Njiih, kalau gitu monggo Konteks: O1 merupakan seorang abdi dalem yang sering bertugas di tepas security dan O2 seorang tamu.. O2 yang baru saja datang dan masuk tepas kaget melihat O1 sedang duduk di pojok. O2 hanya tersenyum karena O2 harus presensi dan mengisi data terlebih dahulu. Setelah O2 selesai, O2 mendekati O1 tetapi ketika O2 belum sampai pada O1, O1 sudah memulai pembicaraan. O1 terlihat seperti terburu-buru, karena O1 dan O2 berbicara dengan berdiri dan tidak menanggapi banyak pembicaraan O2. O1 mengangkat tas sambil mendengarkan pembicaraan O2, setelah O2 selesai berbicara O1 langsung mengatakan tuturan setelah ini mau ngapain? 2. Tuturan KFP
O1: Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? (B6/KFP) (Maaf–teman-kemarin-ada-tamu-dari-mana?) (Maaf teman, kemarin ada tamu dari mana?) O2: Nggeh kanjeng, wonten saking Kompas. (Iya-kanjeng-ada-dari-Kompas) (Iya kanjeng, ada dari Kompas) O1: Matur nuwun (ucap-terima-kasih) (terima kasih) konteks situasi: O1 seorang abdi dalem. O1 pada waktu itu sedang diwawancarai oleh mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, pada waktu O1 menjelaskan ia lupa mengenai tamu yang beberapa hari lalu datang menemui O1. O2 yang pada waktu itu sedang menyimak pembicaraan O1 dan mahasiswa tersebut ditanyai oleh O1 untuk membantu mengingatkan O1. O1 yang tidak mengetahui bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
sebenarnya ikut menyimak mengawali pembicaraan dengan mengatakan tuturan Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? 3. Tuturan KFP
O1: Dahar dereng niki? (B8/KFP) (Makan-belum-ini?) (Sudah makan belum?) O2: Matur nuwun, kesusu. (Ucap-terimakasih-terburu-buru) (Terimakasih, terburu-buru) O1: Monggo. (silahkan) (silahkan) Konteks: O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem yang saling mengenal. O1 sedang makan di depan pintu masuk keraton Yogyakarta bersama dua abdi dalem lain. Ketika O1 sedang menikmati makannya, O1 melihat O2 keluar dari pintu utama dan akan melewati O1. O1 dan O2 sama-sama mengetahui bahwa mereka akan bertemu karena mereka sudah saling melempar senyum. Pada waktu O2 melewati depan O1, O1 mengatakan tuturan Dahar dereng niki? Untuk menyapa O2. O2 hanya berjalan lebih pelan sambil menjawab pertanyaan O1. 4. Tuturan KFP
O1: Mangga (B12/KFP) (mari) (mari) O2: menundukkan kepala Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O2 sedang berdiri di pintu masuk utama untuk bertugas. O1 akan melewati pintu masuk utama dari arah gerbang utama Karaton. Ketika O1 melewati O2, O1 mengatakan tuturan Mangga dengan mengurangi kecepatan berjalan. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaran antara O2 dan O1. O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang saling mengenal tetapi mereka jarang bertemu karena bertugas di tempat yang berbeda. antara O1 dan O2 juga jarang terjadi komunikasi cukup lama. 5. Tuturan KFP
O1: Mari makan pak.
O2: Sudah, matur nuwun. (B10/KFP)
(Sudah – bilang- terimakasih)
(sudah-trimakasih)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Konteks: O1 merupakan seorang tamu. O2 seorang abdi dalem yang
sedang bertugas. O1 dan O2 sudah saling mengenal. ketika O1 sedang
makan di warung dalam karaton O2 berjalan melewati O1. O1 kemudian
menyapa dan menawrkan makan kepada O2, kemudian O2 merespon
dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung
cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan tersebut.
6. Tuturan KFP
…..
O1: Mangga
(Mari)
(Mari)
O2:Sampun, jam sementen niku wayahipun jalan-jalan. Kulo
ngrumiyini. B13/KFP
(Sudah- jam - segini – itu - waktunya - jalan-jalan. - saya -
mendahului)
(Sudah, jam segini itu waktunya jalan-jalan. saya mendahului)
O1: Hahaha, njeh monggo
(Hahaha-iya-mari)
(Hahaha, iya mari)
Konteks : O2 seorang abdi dalem sedangkan O1 adalah tamu. Mereka berada di tepas security. O1 teman seorang abdi dalem yang berada di tepas security juga. Mereka bertiga sedang asyik ngobrol. Setelah beberapa menit berlangsung Mt terlihat tidak nyaman seperti ingin keluar dari tepas tetapi mereka sedang ngobrol. Mt merasa tidak enak untuk memotong pembicaraan. di tengah pembicaraan O1 ingin minum dan menawari O2. O2 yang sudah tidak nyaman karena ada keperluan mengatakan tuturan
Tuturan B4 merupakan bentuk dari tuturan komunikasi fatis. Tuturan
tersebut digunakan penutur untuk mengakhiri pembicaraan yang terjadi.
Mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan secara langsung dapat mengganggu
hubungan sosial antar penuturnya. Di dalam masyarakat Jawa mengakhiri
pembicaraan secara langsung ketika baru saja berjumpa penutur dapat
menimbulkan prasangka tidak baik yang berujung pada terganggunya relasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
antarpenuturnya. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923)
yang mengatakan bahwa phatic bukan kumpulan kata yang digunakan untuk
menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic sedang
memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi. Tujuan sosial
yang penutur penuhi adalah ingin mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur
dengan santun.
Dalam pertuturan tersebut, tuturan yang dikatakan O1 (selanjutnya akan
ditulis penutur) juga tidak terlihat relevan dengan topik sebelumnya. O1 dan O2
(selanjutnya akan ditulis mitra tutur) membicarakan mengenai penelitian dan
dengan tiba-tiba topik berubah penutur menanyakan aktivitas yang akan mitra
tutur lakukan. Namun hal itu tampak sah dan diperbolehkan dalam komuniksi
fatis karena memang kefatisan merupakan ungkapan yang hampir tidak relevan
dengan topik pembicaraan yang keluar dari topik utama. Selain itu tuturan
tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan atau menanyakan sebuah
informasi kepada mitra tutur tetapi tuturan tersebut penutur gunakan untuk
pengantar mengakhiri pembicaraan kepada mitra tutur. Hal tersebut disebabkan
mitra tutur merupakan seorang tamu dan keduanya saling mengenal meskipun
jarang sekali untuk bertemu. Apabila pembicaraannya masih terlalu singkat dan
penutur langsung mengakhiri pembicaraan penutur akan terlihat tidak sopan juga
akan mengganggu hubungan sosial antarpenuturnya. Prasangka buruk akan timbul
dari mitra tutur dan akan merusak hubungan sosial keduanya misalnya
ketidaknyaman komunikasi dalam pertemuan selanjutanya, anggapan sombong
dan juga sikap tidak sopan. Pendapat tersebut dijalan dengan teori yang Jakobson
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
dan Malinowski bahwa komunikasi fatis bukanlah tuturan atau kalimat yang
semata-mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada
mitra tuturnya.
Lebih dari itu, tuturan B4 merupakan wujud dari komunikasi fatis polar.
Artinya, tuturan tersebut disampaikan penutur tidak sesuai dengan realitasnya atau
berlawanan. Mitra tutur tidak tersinggung atas tuturan tersebut karena mitra tutur
nenahami maksud dari penutur. Konsep tersebut sependapat dengan teori Arimi
(1998) yang mengatakan komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau
tuturan yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan
realitasnya, tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih
ungkapan itu untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan
hubungan sosial antar penuturnya.
Di dalam masyarakat budaya Jawa, tuturan fatis semacam itu kerap kali
dilakukan dalam mengakhiri pembicaraan karena memang tuturan tersebut akan
berdampak baik bagi hubungan sosial penuturnya. Pemahaman semacam itu
tampak penutur dan mitra tutur ketahui karena mitra tutur tidak protes atau
menanggapi tuturan dengan pas atau sesuai. Mitra tutur mengetahui maksud
penutur bahwa ia akan mengakhiri pembicaraan. Dengan demikian, tuturan B4
yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik,
yaitu mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur dengan santun dan tidak
menyinggung perasaan mitra tutur.
Tidak berbeda dengan tuturan B4, tuturan B6 merupakan bentuk
komunikasi fatis. Tuturan tersebut penutur gunakan untuk mengwali pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
kepada rekan sesama abdi dalem. Dalam berkomunikasi mengatakan langsung
pada pokok pembicaraan akan tampak tidak sopan dan dapat membuat mitra tutur
tidak berkenan sehingga ketidaknyamanan antarpenutur dapat terjadi sehingga
relasi keduanya bisa terganggu. Hal tersebut sejalan dengan Kridalaksana
(2008:114) bahwa kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,
mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi antara pembicara
dan kawan bicara. Dalam komunikasi khususnya membuka atau mengawali
pembicaraan penutur kerap mengalami kebingungan antar sopan santun dan
perilaku berbahasa sehingga fatis tersebut dapat membantu penutur dalam
menyampaikan tujuaanya. pemeliharaan dan menciptakan hubungan baik dalam
berkomunikasi selalu tetap dilakukan oleh sebab itu komunikasi fatis sangat
berperan dalam hal tersebut (Ramadanti, 2014)
Selanjutya, tuturan B6 mempunyai wujud komunikasi fatis polar. Artinya,
tuturan B6 penutur katakan berlawanan dengan realitasnya. Permintaan maaf
penutur bukan disebabkan karena penutur melakukan kesalahan sehingga ia harus
meminta maaf tetapi sebagai bentuk pengantar untuk masuk dalam inti
pembicaraan. Pendapat tersebut sejalan dengan Arimi yang mengatakan bahwa
komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam
sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya, tidak sesuai dengan
kenyataan. Penutur memilih untuk mengatakan tuturan B6 untuk menunjukkan
sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial. Oleh sebab itu,
tuturan B6 merupakan wujud dari komunikasi fatis polar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Masyarakat Jawa beranggapan bahwa, orang akan dikatakan tidak sopan
apabila dalam pembicaraan ia langsung menuju pada pokok pembicaraan tanpa
menggunakan pengantar terlebih dahulu. Oleh sebab itu tuturan B6 mempunyai
maksud untuk bersikap sopan dengan berbicara santun kepada mitra tuturnya. Hal
tersebut dapat mempertahankan atau membina hubungan baik antar penutur
karena terjadi kenyamanan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, tuturan B6
mempunyai wujud komunikasi fatis polar dengan maksud tuturan yaitu
mengawali pembicaraan dengan bertutur santun agar mitra tutur berkenan untuk
berbicara dengan penutur.
Tuturan B8 dan B12 merupakan bentuk dari komunikasi fatis. Tuturan
tersebut digunakan penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah mereka kenal.
Penutur yang saling mengenal apabila bertemu tidak saling menyapa hal itu akan
mengganggu hubungan sosial keduanya. Dalam masyarakat Jawa saling menyapa
merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar tidak muncul prasangka buruk dari
masing-masing penuturnya. Tuturan tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan fatis
yang bentuk tuturannya dapat berupa tuturan B8 dan B12. Pemahaman seperti itu
sesuai dengan pendapat bahwa fatis bukan kumpulan kata yang digunakan untuk
menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic sedang
memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi. Tuturan B8 dan
B12 juga dituturkan bukan bersifat informatif, dalam B8 penutur bukan untuk
menanyakan kepada mitra tutur apakah sudah makan dan tanggapan mitra tutur
yang tidak relevan juga tetap dianggap sah serta tidak di protes oleh penuturnya.
Oleh sebab itu, tuturan B8 dan B12 merupakan wujud kefatisan berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Selebihnya, tuturan B8 dan B12 merupakan wujud dari komunikasi fatis
polar. Tuturan komuikasi fatis polar merupakan tuturan yang tidak sesuai atau
berlawanan dengan situasi tuturnya. Dalam tuturan B12 penutur pada waktu itu
tidak berhenti dan kemudian mengajak mitra tutur yang sedang melewat gerbang,
penutur hanya berjalan lebih pelan dari sebelumnya. Begitu juga dalam tuturan
B8. Konsep komunikasi fatis polar tersebut didukung dengan pendapat Arimi
(1998) yang mengatakan bahwa fatis polar adalah tuturan yang dipakai dalam
sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya, tidak sesuai dengan
kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih ungkapan itu untuk menunjukkan
sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.
Pemenuhan hubungan sosial tersebut dapat dilihat dari maksud penutur
dalam mengatakan tuturan tersebut. Dalam konteks masyarakat budaya Jawa
bertegur sapa merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk pemenuhan hubungan
sosial. Dalam tuturan B12 penutur mengtakan tuturan tersebut ingin menunjukkan
sikap ramah dan menghormati mitra tuturnya karena pada waktu penutur berjalan
melewati mitra tutur. Akan terjadi prasangka buruk apabila penutur hanya diam
dan lewat begitu saja tanpa adanya tuturan fatis tersebut. Selanjutnya, dalam
tuturan B8, penutur mengatakan tuturan tersebut untuk menyapa sehingga dapat
mengakrabkan hubungan dengan mitra tutur. Oleh karena itu tuturan B8 dan B12
yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu
bertegur sapa untuk menunjukkan keramahan, menghormati dan keakrabn dengan
mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
4.1.3 Pergeseran Wujud dan Makna Pragmatik dalam Kefatisan Berbahasa
Pergeseran wujud merupakan bagian dari sebuah pergeseran bahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur
atau sekelompok penutur yang bisa terjadi karena pertemuan dua kebudayaan
yang berbeda dan saling berkomunikasi secara langsung cukup lama. Pergeseran
tersebut dapat berupa honorifik dan eufemisme. Kedua pergeseran terssebut
terdapat di dalam tuturan komunikasi fatis murni dan polar para abdi dalem
keraton. Pergeseran tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
4.1.3.1 Pergeseran Honorifik
Honorifik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan
penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain
(Kridalaksana,2008:85). Honorifik ditemukan dalam tuturan fatis murni dan polar
para abdi dalem sebagai wujud pergeseran sapaan. Uraian pergeseran honorifik
dalam tuturan komunikasi fatis murni dipaparkan berikut ini.
1. Tuturan KFM
O1: Keseso mas? (Terburu-buru-mas) (Terburu-buru mas?) O2: Kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (A7/KFM) (Kanjeng-ada-siapa-kok-sendirian?) (Kanjeng, ada siapa kok sendirian?) O1: Hanggeh (Iya) (Iya) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O1 sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. O1 tahu bawah O2 sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan O1. O1 mengatakan tuturan keseso mas? O2 pun menanggapi O1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. O1 dan O2 sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.
2. Tuturan KFM
O1: Sehat, Romo. (A12/KFM) (Sehat-bapak?) (Sehat bapak?) O2: Pengestunipun (Doanya) (Doanya) O1: …. Konteks: O2 sedang duduk dan menonton televise di pos jaga parkiran belakang bersama abdi dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan seperti tidak ada pembicaraan di antara para abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari dalam ingin bergabung dan sepertinya ada keperluan dengan O2. O1 pun mendekati O2 dengan mengatakan tuturan Sehat, Romo. O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem tetapi dilihat dari usianya, O2 lebih tua dibandingkan dengan O1. Setelah tuturan tersebut keduanya duduk berhadapan dan membicarakan sesuatu.
3. Tuturan KFP
O1: Njenengan pun dhahar dereng niki Romo? (B5/KFP) (Kamu-sudah-makan-belum-ini-pak?) (Kamu sudah makan belum ini, pak?) O2: Wah pun tigang mangkok. (Wah-sudah-tiga-mangkok) (Wah sudah tiga mangkok) O1: Waa lha niku, waras sak kabehipun. Pripun wau dhalu? (Waa-lha-itu-sehat-satu-semuanya-Gimana-tadi-malam?) (Waa lha itu, sehat semuanya. Gimana tadi malam?) Konteks: O1 dan O2 adalah seorang abdi dalem karaton berjenis kelamin laki-laki. Di pos jaga belakang Karaton, terdapat dua abdi dalem yang sedang minum teh dan menonton televise. Ada pembicaraan di antara mereka, pembicaraan tersebut mereka lakukan dengan menonton televise (berita) tetapi sering kali senyap. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari tepas security di saat para abdi dalem lain sedang tidak ada pembicaraan di pos jaga belakang. O1 yang ingin bergabung duduk dan menonton televise, datang dan bertanya “Njenengan pun dhahar dereng niki Romo?” (kamu sudah makan belum ini, pak?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
4.Tuturan KFP
O1: Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo? (B7/KFP) (Permisi-kamu-sibuk-tidak-Bapak?) (Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?) O2: Pripun? (Bagaimana?) (Bagaimana?) O1: Dipadhosi Kanjeng. (Dicari-kanjeng) (Dicari kanjeng) O2: Wo, nggeh matur nuwun. (Wo-ya-ucap-terima kasih) (Wo, ya terima kasih)
Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang bertugas di Tepas Dwirapura. O1 mendapat perintah untuk memanggilkan O2 yang berada di Tepas Dwirapura juga tetapi berada di dekat pintu masuk. O1 tahu, bahwa MT hanya sedang membaca buku dan duduk. Namun O1 tetep mengatakan tuturan “Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo?” Untuk menyampaikan pesan kepada O2.
Tuturan fatis A7 dan A13 terdapat wujud pergeseran honorifik yaitu pada
kata mas dan romo. Sebelumnya, di dalam lingkungan karaton para abdi dalem
karaton menggunakan kata co atau konco yang artinya teman untuk menyapa
sesama dalam berkomunikasi. Namun, kata co mengalami pergeseran menjadi
mas (dalam tuturan A7) dan romo (dalam tuturan A13). Pergeseran tersebut
merupakan pergeseran honorifik karena sebutan romo digunakan dalam sapaan
umum atau digunakan untuk menyapa orang (laki-laki) yang lebih tua atau
‘dituakan’ sedangkan mas digunakan untuk sapaan umum atau digunakan untuk
menyapa orang (laki-laki) yang lebih muda dalam masyarakat Jawa. Keduanya
penutur gunakan semata-mata untuk menghormati mitra tuturnya dan secara tidak
langsung menunjukkan adanya tingkat sosial. Hal itu berarti sebelumnya sebutan
co hanya digunakan secara khusus dalam lingkungan karaton. Dengan demikian,
dalam tuturan A7 dan A13 terdapat pergeseran dengan wujud honorifik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Pergeseran honorifik dalam tuturan fatis murni di atas juga berpengaruh
terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain
wujud pergseran honorifik secara otomatis memengaruhi maksud wujud tuturan
tersebut. Tuturan co berfungsi untuk menyamakan status atau kesetaraan status
sosial para abdi dalem di lingkungan karaton. Oleh sebab itu kata co yang
digunakan untuk bertegur sapa mempunyai maksud untuk saling mengakrabkan
antarpenuturnya. Namun dengan kata sapaan yang bergeser menjadi mas (dalam
tuturan A7) tentu mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu bertegur sapa
digunakan untuk menghargai mitra tutur. Begitu juga dalam tuturan A13, kata
sapaan yang bergeser menjadi romo juga mempunyai maksud yang bergeser pula
yaitu mengawali pembicaraan dengan menghormati mitra tutur yang sedang
melakukan aktivitas lain. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan yang
berbentuk sapaan dapat disebut sebagai wujud pergeseran honorifik. Artinya,
wujud honorifik lebih mengarah pada maksud sapaan.
Tidak hanya dalam tuturan komunikasi fatis murni saja, pergeseran
honorifik juga terdapat dalam tuturan komunikasi fais polar. Tuturan fatis polar
B5 dan B7 terdapat wujud pergeseran honorifik pada kata romo. Sebelumnya, di
dalam lingkungan keraton para abdi dalem keraton menggunakan kata co atau
konco yang artinya teman untuk menyapa sesama dalam berkomunikasi. Namun
kata tersebut mengalami pergeseran menjadi romo. Romo digunakan oleh
masyarakat untuk berbicara pada orang yang lebh tua atau dihormati. Pergeseran
tersebut merupakan pergeseran honorifik karena sebutan romo digunakan dalam
sapaan umum atau digunakan untuk menyapa orang (laki-laki) yang lebih tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Penutur menggunakan sapaan romo semata-mata untuk menghormati mitra
tuturnya dan menunjukkan adanya tingkat sosial di dalam tuturan tersebut. Hal itu
berarti sebelumnya sebutan co hanya digunakan secara khusus dalam lingkungan
karaton dan sapaan tersebut dipakai untuk menunjukkan kesetaraaan. Dengan
demikian, dalam tuturan B5 dan B7 terdapat pergeseran dengan wujud honorifik.
Pergeseran honorifik dalam tuturan fatis polar di atas juga berpengaruh
terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain
wujud pergseran honorific secara otomatis memengaruhi maksud wujud tuturan
tersebut. Tuturan co berfungsi untuk menyamakan status atau kesetaraan status
sosial para abdi dalem di lingkungan karaton. Oleh sebab itu kata co yang
digunakan untuk mengawali pembicaraan dan membuat antarpenutur lebih akrab.
Namun dengan kata sapaan yang bergeser menjadi romo (dalam tuturan B5 dan
B7) tentu mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu mengawali pembicaraa
untuk lebih menghormati mitra tutur. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan
yang berbentuk sapaan dapat disebut sebagai wujud pergeseran honorifik.
Artinya, wujud honorifik lebih mengarah pada maksud sapaan.
4.1.3.2 Pergeseran Eufemisme
Eufemisme atau eufemia atau penghalusan merupakan gejala yang
ditampilkannya kata atau bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus
atau sopan dari yang digantikan (Chaer,1990). Tidak hanya honorifik saja,
eufemisme juga merupakan wujud pergeseran yang ditemukan dalam tuturan
kefatisan abdi dalem. Pergeseran dengan wujud tersebut juga akan berpengaruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
terhadap pergeseran maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturannya.
Uraian pergeseran eufemisme dalam tuturan komunikasi fatis murni dipaparkan
berikut ini.
1. Tuturan KFM:
O1: Njenengan sampun sayah niki jam sementen? (A6/KFM) (Kamu-sudah-capek-ini-jam-segini?) (kamu sudah capek jam segini?) O2: Ngantuk hawane (Ngantuk-suasananya) (Ngantuk-suasananya) O1: Inggih, monggo. (Iya-mari) (Iya, mari) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, O1 sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Keraton. O1 melihat O2 sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, O1 yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat O2 yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. O1 melewati O2 sehingga O1 mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?)”
2. Tuturan KFM:
…. O1: Wah, jam sementen pun mboten panas. (A12/KFM) (Wah-jam-segini-sudah-tidak-panas) (Wah jam segini sudah tidak panas) O2: Pun sakniki mboten saget ditebak. (Sudah-sekarang-tidak-bisa-ditebak) (Sekarang tidak bisa ditebak) O1: Wau dalu kulo niku medhal walah uademe. (Tadi-malam-saya-keluar-walah dingin) (Tadi malam saya keluar walah dingin) ….. Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem karaton. Pada waktu itu O1 sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba O2 datang untuk menghampiri O1 yang sedang berdiri sendiri. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada O2 dan O1. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. hal itu tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut O2 dan O1 kembali membicarakan topik sebelumnya.
3. Tuturan KFP
….. O1: Kanjeng wonten niki? (B14/KFP) (Kanjeng-ada-ini?) (Kanjeng ada ini?) O2: Wau wonten. (Tadi-ada) (Tadi ada) O1: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (Kemarin-saya-ke tempat-romo) (Kemarin saya ke tempat romo) …… Konteks: O1 dan O2 sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, O1 dan O2 saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan O1 mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? O2 pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh O1, O1 dan O2 membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.
4. Tuturan KFP
O1: Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo? (B7/KFP) (Permisi-kamu- sibuk-tidak-Bapak?) (Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?) O2: Pripun? (Bagaimana?) (Bagaimana?) O1: Dipadhosi Kanjeng. (Dicari-kanjeng) (Dicari kanjeng) O2: Wo, ngeh matur nuwun. (Wo-ya-ucap-terima kasih) (Wo, ya terima kasih) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang bertugas di Tepas Dwirapura. O1 mendapat perintah untuk memanggilkan O2 yang berada di Tepas Dwirapura juga tetapi berada di dekat pintu masuk. O1 tahu, bahwa O2 hanya sedang membaca buku dan duduk. Namun O1 tetap mengatakan tuturan “Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo?” Untuk menyampaikan pesan kepada O2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Tuturan fatis murni A6 dan A12 terdapat wujud pergeseran eufemisme
yaitu pada kata njenengan dan mboten. Sebelumnya, di dalam lingkungan keraton
para abdi dalem keraton menggunakan kata pekeniro dan mboya dalam
berkomunikasi sesama abdi dalem. Namun, kata pekeniro mengalami pergeseran
menjadi njenengan dan mboya menjadi mboten. Pekeniro dan mboya merupakan
bahasa Bagongan yang hanya digunakan dalam lingkungan keraton sedangkan
Njenengan dan mboten merupakan bahasa Jawa Krama Madya yang digunakan
untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati sehingga berdasarkan
tingkat tuturnya bahasa Jawa Krama Madya dapat dikatakan lebih halus sehingga
mempunyai tingkat kesopanan yang paling tinggi (Mangunsuwito,2002).
Pergeseran tersebut merupakan pergeseran eufemisme karena tuturan Njenengan
dan mboten merupakan basa Jawa Krama yang mempunyai tingkat kehalusan dan
tingkat kesopanan paling tinggi. Dengan demikian, dalam tuturan fatis A6 dan
A12 terdapat pergeseran dengan wujud eufemisme.
Pergeseran eufemisme dalam tuturan fatis murni di atas juga berpengaruh
terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain
wujud pergeseran eufemisme secara otomatis memengaruhi maksud wujud
tuturan tersebut. Tuturan Pekeniro dan mboya (basa bagongan) berfungsi untuk
menyamakan status atau kesetaraan status sosial para abdi dalem di lingkungan
keraton. Oleh sebab itu kata tersebut digunakan untuk mengawali pembicaraan
dan membuat antarpenutur lebih akrab. Namun dengan adanya pergeseran
pekeniro menjadi njenengan (A6) dan mboya menjadi mboten (A12) tentu
mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu mengawali pembicaraa untuk lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
menghormati mitra tutur. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan yang
berbentuk penghalusan untuk menunjukkan penghormatana dapat disebut sebagai
wujud pergeseran eufemisme. Artinya, wujud eufemisme lebih mengarah pada
maksud penghormatan.
Tidak hanya dalam tuturan komunikasi fatis murni saja, pergeseran
eufemisme juga terdapat dalam tuturan komunikasi fais polar. Tuturan fatis polar
B7 dan B14 terdapat wujud pergeseran eufemisme yaitu pada kata njenengan,
mboten (B7) dan wonten (B14). Sebelumnya, di dalam lingkungan karaton para
abdi dalem karaton menggunakan kata pekeniro, mboya, wenten dalam
berkomunikasi sesama abdi dalem. Namun, kata pekeniro mengalami pergeseran
menjadi njenengan, mboya menjadi mboten dan wenten menjadi wonten.
Pekeniro, mboya dan wenten merupakan bahasa Bagongan yang hanya digunakan
dalam lingkungan karaton sedangkan Njenengan, mboten dan wonten merupakan
bahasa Jawa Krama Madya yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang
lebih tua atau dihormati sehingga berdasarkan tingkat tuturnya bahasa Jawa
Krama Madya dapat dikatakan lebih halus sehingga mempunyai tingkat
kesopanan yang paling tinggi (Dwiraharjo, 2001: 67). Pergeseran tersebut
merupakan pergeseran eufemisme karena tuturan Njenengan, mboten dan wonten
merupakan basa Jawa Krama yang mempunyai tingkat kehalusan dan tingkat
kesopanan paling tinggi. Dengan demikian, dalam tuturan fatis polar B7 dan B14
terdapat pergeseran dengan wujud eufemisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
4.1.4 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pergeseran Bahasa
Wujud tuturan komunikasi fatis merupakan cermin masyarakat tutur dalam
membina hubungan sosial antarsesamanya. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa
wujud tersebut telah bergeser. Bergesernya wujud tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi.
4.1.4.1 Faktor Internal
Pergeseran wujud dan makna pragmatik disebabakan salah satunya dari
faktor dalam keraton itu sendiri. Hal tersebut juga telah dipaparkan oleh
narasumber yang berasal dari keraton melalui wawancara khusus terkait bahasa
para abdi dalem. Faktor internal penyebab pergeseran tersebut diuraikan sebagai
berikut.
Kebijakan dari pihak karaton untuk bergabung dengan pemerintahan
merupakn faktor penyebab pergeseran terjadi. Hal itu sejalan dengan pendapat
KRT Jati Ningrat dalam wawancara yang mengatakan “Perubahan di sini
(karaton) terjadi dimulai dari ketika sultan memutuskan untuk bergabung dengan
pemerintahan. Perubahan tersebut termasuk dalam berbahasa”. Kebijakan tersebut
membuat keraton lebih terbuka pada masyarakat umum yang tentunya hal itu
membuat adanya pergeseran salah satunya pergeseran budaya, dalam hal ini
termasuk pergeseran bahasa. Kebijakan sultan tersebut membuat abdi dalem lebih
luas untuk berinteraksi dengan masyarakat umum sehingga cara berkomunikasi
abdi dalem seiiring berjalannya waktu akan mengikuti bahasa yang digunakan
dalam masyarakat mayoritas. Masyarakat mayoritas biasanya berkomunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Jawa dalam berinteraksi
kesehariannya.
Faktor yang disebabkan karena kebijakan karaton tersebut salah satunya
terlihat dalam pergeseran kata sapaan yang digunakan oleh abdi dalem. Para abdi
dalem menggunakaan sapaan umum (pak, bu, romo, mas) ketika berkomunikasi.
Padahal, abdi dalem memiliki budaya berbahasa sendiri yaitu dengan kata sapaan
khusus sesame abdi dalem co. Penggunaan sapaan umum untuk berkomunikasi
fatis terlihat dalam tuturan berikut.
1. Tuturan KFM
O1: Sehat, Romo. (A13/KFM) (Sehat-bapak?) (Sehat bapak?) O2: Pengestunipun (Doanya) (Doanya) O1: …. Konteks: O2 sedang duduk dan menonton televise di pos jaga parkiran belakang bersama abdi dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan seperti tidak ada pembicaraan di antara para abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari dalam ingin bergabung dan sepertinya ada keperluan dengan O2. O1 pun mendekati O2 dengan mengatakan tuturan Sehat, Romo. O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem tetapi dilihat dari usianya, O2 lebih tua dibandingkan dengan O1. Setelah tuturan tersebut keduanya duduk berhadapan dan membicarakan sesuatu.
Berdasarkan tuturan tersebut kita dapat melihat bahwa bergabungnya
keraton dalam pemrintah sehingga membuat interaksi semakin luas dapat
menyebabkan pergeseran salah satunya kata sapaan. Abdi dalem terbiasa
berkomunikasi tidak hanya dengan abdi dalem lain tetapi masyarakat umum di
dalam lingkungan keraton
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Selanjutnya, budaya ‘magang’ di kerabat dan juga pangeran karaton yang
sudah tidak dilakukan lagi. Budaya menunjuk pada aspek kehidupan yang
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan, sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan
manusia yang khas untuk suatu masyarakat tertentu (Ihromi,1987). Budaya
‘magang’ dalam lingkungan keraton dapat menghasilkan sesuatu yang khas
termasuk dalam hal berbahasa. Calon abdi dalem akan ’magang’ terlebuh dahulu
sebelum diterima menjadi abdi dalem yang sah karena dalam ‘magang’ tersebut
calon abdi dalem belajar baik dalam hal berbahasa, bersikap dan lainnya sehingga
mereka tahu kebudayaan yang ada dalam lingkungan keraton.
Budaya ‘magang’ yang ada di dalam keraton merupakan salah satu
kebiasaan yang berpengaruh terhadap penguasaan bahasa para abdi dalem karena
di dalam ‘magang’ itulah para abdi dalem belajar atau pawiyatan terkait bahasa
Bagongan. Namun, kebiasaan itu mulai hilang salah satunya karena berkurangnya
pangeran dalam keraton. Oleh sebab itu, para abdi dalem yang lebih lama
mengabdi atensi mereka dalam menggunakan bahasa Bagongan lebih banyak
dalam berkomunikasi meskipun tidak utuh dalam satu percakapan.
Faktor internal terakhir adalah penutur (O1) dan mitra tutur (O2) yang tidak
lagi sederajat. Artinya tidak sederajat adalah dalam penguasaan bahasa Bagongan.
Hilangnya pawiyatan untuk para calon abdi dalem membuat penguasaan
khususnya berbahasa para abdi dalem menjadi tidak lancar. Jadi ketika abdi dalem
‘baru’ berbicara dengan abdi dalem yang sudah lama di situ terlihat
ketidaksederajatan berbahasa mereka sehingga para abdi dalem lama mengikuti
berbahasa mereka, di sisi lain bahasa abdi dalem baru sama dengan masyarakat di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
luar lingkungan karaton. Apalagi mereka seringkali berinteraksi di dalam
lingkungan karaton sehingga ketidaksederajatan tersebut dapat dikatakan sebagai
salah satu faktor iternal pergeseran bahasa.
4.1.4.2 Faktor Eksternal
Selain faktor internal pergeseran wujud dan makna pragmatik dalam tuturan
fatis tersebut disebabkan oleh adanya faktor ekternal, seperti pola pikir penutur
bahasa yang berkembang. Faktor eksternal yang menyebabkan pergeseran adalah
pola pikir penuturnya yang makin berkembang. penutur dalam hal ini abdi dalem
memiliki pemikiran yang berkembang yang disebabkan oleh lingkungan sosial.
Penggunaan kata njenengan (dalam A6/KFM) dan wonten (dalam B14/KFP)
dalam bahasa Jawa Krama Inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang
lebih tua atau dihormati atau mempunyai status sosial yang tinggi ((Dwiraharjo,
2001: 67). Penutur menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil mempunyai maksud
ingin dihormati dam menghormati oleh mitra tutur ketika berbicara. Oleh sebab
itu dapat diartikan bahwa kini pola pikir penutur (abdi dalem) berkembang dengan
dibuktikkannya penutur memperhatikan status sosial mitra tutur (pekerjaan, usia,
kekeluargaan, dan kebangsaan) karena di dalam masyarkat status sosial sangat
diperhatikan sedangkan dalam lingkungan keraton tidak. Namun, tuturan tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat luar mempengaruhi pola pikir penutur terutama
dalam berbahasa para abdi dalem keraton. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Suseno (1985: 63) yang mengatakan bahwa sesungguhnya, penggunaan bahasa
Jawa yang memiliki kaidah unggah-ungguhing basa mengandaikan kesadaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
akan kedudukan sosial masing-masing lapisan masyarakat. Kedudukan (status)
sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti kekayaan, keturunan, pendidikan,
pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan kebangsaan.
Selain itu, faktor penyebab pergeseran tersebut adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Saat ini masyarakat sudah semakain cerdas
dan berkembang dengan kemudahan dalam berteknologi sehingga bisa
mempengaruhi masyarakat termasuk dalam hal kosa kata berbahasa. Hal tersebut
tentu membuat para abdi dalem dapat memguasai kosa kata yang beragam dan
mengikuti perkembangan zaman sehingga dalam berkomunikasi kemungkinan
untuk menggunakan bahasa yang semestinya dapat bergeser. Tuturan fatis yang
telah diperoleh dapat menjadi bukti bahwa perkembangan tersebut bisa menjadi
pngaru terhadap pengguna bahasa. Seperti kata sapaan khusus sesama abdi dalem
yang telah bergeser menjadi sapaan umum.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis yang telah peneliti lakukan mengenai wujud dan
makna pragmatik, wujud pergeseran, serta faktor penyebab terjadinya pergeseran,
maka peneliti akan membahas ketiga hal tersebut dalam bagian ini.
4.2.1 Wujud dan Makna Pragamatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem
Kefatisan seperti yang telah diungkapkan Malinowsky adalah kumpulan
kata yang tidak digunakan untuk menyampaikan makna tetapi untuk pemenuhan
fungsi sosial antarpribadi (Seft, 2009). Kefatisan atau tuturan fatis diungkapkan
oleh para abdi dalem dalam situasi santai dan juga dalam situasi formal untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
pemenuhan hubungan sosial dalam komunikasi sehari-hari, sekaligus membina
atau mempertahankan hubungan sosial dengan mitra tutur.
Kefatisan dalam tuturan para abdi dalem ini dikelompokkan menjadi dua
berdasarkan benar atau tidaknya tuturan itu terjadi. Pertama, tuturan komunikasi
fatis murni. Arimi (1998:171) menjelaskan bahwa komunikasi fatis murni adalah
ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa
tutur yang muncul. Artinya, penutur menggunakan tuturan yang sesuai dengan
kenyataan atau benar-benar terjadi untuk hal yang berhubungan dengan sosial
mitra tuturnya. Tuturan fatis murni para abdi dalem berupa sampun luhur to
niki? Kulo ngrumiyini. (A2/KFM), wilujeng injing, Co (A5/KFM). Kedua
tuturan fatis tersebut dapat dikatakan sebagai wujud kefatisan murni karena
tuturan A2 dan A5 bukan semata-mata penutur katakan untuk memberikan
informasi bahwa pada waktu itu sudah zuhur (A2/KFM) waktunya untuk sholat
zuhur dan bahwa pagi itu pagi hari (A5/KFM) pada mitra tutur, tetapi digunakan
untuk pemenuhan hubungan sosial dengan mitra tutur. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Kridalaksana (2008: 114) yang mengatakan bahwa kategori fatis
bertugas memulai, mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi
antara pembicara dan kawan bicara. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan
kenyataan atau benar-benar terjadi sehingga kefatisan dalam tuturan tersebut
dikatakan sebagai murni atau komunikasi fatis murni. Komunikasi fatis murni
tersebut mempunyai wujud yang selaras dengan situasi dan kenyataan sehingga
bisa terlihat cukup jelas oleh mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Wujud komunikasi fatis murni lebih cenderung tidak bervariasi karena
topik yang digunakan untuk memenuhi hubungan sosial antarpenutur biasanya
berupa menginformasikan keadaan yang sudah sama-sama diketahui seperti
Sampun, Romo? (A13/KFM), Sampun luhur to niki? (A2/KFM), Wah teh e pait
iki mbak. Seng gawe jan. (A3/KFM), menanyakan sebuah kabar Sehat, Romo?
(A12/KFM), Sami wilujeng? A18/KFM dan bertegur sapa Sugeng enjang
A19/KFM, Wilujeng injing, Co A5/KFM. Wujud komunikasi seperti itu jelas
sama-sama diketahui masing-masing penutur sehingga kefatisan dalam tuturan
bisa sama-sama dimengerti atau mudah dipahami.
Wujud tuturan fatis murni (dan polar) memiliki makna pragmatik. Makna
pragmatik merupakan maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur.
Yule (1985) menyebutkan makna pragmatik sebagai makna tambahan dalam teks
atau tutran. Hal itu berarti tuturan-tuturan fatis para abdi dalem mengandung
makna pragmatik, maksud, atau makna tambahan. Makna pragmatik atau maksud
dalam tuturan fatis tidak terlepas dari konteks situasi dan konteks sosial penutur.
Misalnya, dalam tuturan A2/KFM dan A5/KFM. Tuturan A2/KFM mempunyai
makna pragmatik, yaitu penutur ingin mengakhiri pembicaraan dengan dengan
sopan. Penutur tidak ingin menyinggung perasaan mitra tutur karena sebelumnya
penutur dan mitra tutur berbincang-bincang cukup serius. Sementara itu, tuturan
A5 memberikan makna pragmatik bahwa penutur ingin menunjukkan sikap ramah
kepada mitra tutur dengan cara bertegur sapa. Kedua makna pragmatik atau
maksud, yaitu mengakhiri pembicaraan dengan tidak menyinggung perasaan mitra
tutur dan bertegur sapa merupakan salah satu fungsi dari komunikasi fatis yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
berkaitan dengan hubungan sosial antarpenutur. Pendapat tersebut sejalan dengan
konsep Kridalaksana (2008:114) yang menjelaskan bahwa kategori fatis bertugas
memulai, mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi antara
pembicara dan kawan bicara.
Selain itu, sikap mengakhiri pembicara secara langsung dalam budaya
Jawa akan mengganggu hubungan sosial antarpenuturnya sehingga mitra tutur
yang mempunyai latarbelakang budaya sama dengan penutur mengetahui maksud
mitra tutur dengan mempersilakan penutur. Demikian budaya bertegur sapa,
merupakan wujud informasi yang jelas sudah diketahui oleh mitra tutur bahwa
pada waktu itu pagi hari juga tidak akan membuat mitra tutur kesal atau marah.
Hal itu justru akan membuat hubungan sosial antarpenutur semakin baik. Pranowo
(2015) menegaskan bahwa dalam menyimpulkan suatu maksud tuturan penutur
membutuhkan pemahaman yang sama mengenai topik pembicaraan antara
penutur dan mitra tutur itu sendiri. Tentu hal ini berlatarbelakang pemahaman
yang sama antara penutur dan mitra tutur bahwa pada saat itu pagi hari.
Selain bertegur sapa dan mengakhiri pembicaraan, secara keseluruhan, di
dalam kelompok tuturan komunikasi fatis murni para abdi dalem terdapat
beberapa makna pragmatik yang penutur gunakan sebagai pemenuhan hubungan
sosial antarpenutur. Makna pragmatik yang muncul dalam tuturan komunikasi
fatis murni para abdi dalem adalah mempertahankan komunikasi, mengawali
pembicaraan, dan juga mencairkan suasana. Makna pragmatik tersebut muncul
dalam penutur sebagai cara penutur untuk fungsi sosial. Masing-masing maksud
atau makna pragmatik tersebut memiliki karakteristik yang sama yaitu setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
tuturan fatis murni baik bentuk atau wujud maupun maksudnya bergantung pada
konteks. Secara khusus konteks yang lebih menonjol dalam setiap tuturan fatis
murni para abdi dalem adalah konteks situasi dan sosial budaya masyarakat.
Kedua, yaitu komunikasi fatis polar. Arimi (1998:171) menjelaskan bahwa
komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam
sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan
kenyataan. Maksudnya, penutur mengatakan atau memilih ungkapan yang tidak
sesuai dengan realitas untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan sebagai
pemenuhan hubungan sosial antarpenuturnya. Realitas dalam setiap tuturan dapat
dilihat sebelum, sesudah atau ketika tuturan itu terjadi. Tuturan komunikasi fatis
polar para abdi dalem dapat berupa Setelah ini mau ngapain? (B4/KFP), Sudah
jalan-jalan keliling keraton belum? (B1/KFP)
Tuturan komunikasi fatis polar bukan semata-mata ingin menanyakan
agenda kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk pemenuhan sosial agar mitra
tutur tidak tersinggung. Tuturan B4 masuk dalam tuturan fatis polar karena
tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur tidak ingin
mengetahui agenda mitra tutur yang sesungguhnya tetapi hal tersebut dikatakan
sebagai pengantar untuk mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur.
Wujud komunikasi fatis polar berbeda dengan dengan komunikasi fatis
murni. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:16) mengatakan bahwa
ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam fatik biasanya sudah berpola tetap,
seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan
keadaan keluarga. Namun, pendapat tersebut tidak berlaku pada komunikasi fatis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
polar. Wujud dari komunikasi fatis polar lebih bervariasi dengan topik yang
bervariasi pula misalnya abdi dalem mengatakan Sudah jalan-jalan keliling
keraton belum? (B1/KFP), Njenengan ngobrol kaleh mbak e niki nggeh
angsal kok. Hehe. Nggeh to mba? (B3/KFP) untuk megisi kesenyapan yang
terjadi dalam komunikasi, atau abdi dalem mengatakan Setelah ini mau
ngapain? (B4/KFP) pada tamu yang sudah dikenal untuk mengakhiri
pembicaraan. Penutur mengandalkan pikiran semata atau imajinasi untuk
membangun komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan
tujuan komunikasi pun tercapai. Selain itu, komunikasi fatis polar lebih sulit
untuk diidentifikasi kefatisannya, perlu kecermatan dalam melihat konteks
tuturan.
Sama halnya dengan komunikasi fatis murni, dalam setaip tuturan fatis
memiliki makna pragmatik. Makna pragmatik atau maksud penutur merupakan
makna tambahan yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.
Misalnya, contoh dalm tuturan B4. Tuturan B4 mempunyai makna pragmatik
yaitu penutur ingin mengakhiri pembicaraan dengan mitra tanpa harus
menyinggung perasaan mitra tutur yang merupakan tamu karaton. Mitra tutur
yang mengetahui maksud penutur tidak menunjukkan sikap marah atau
tersinggung karena penutur ingin mengetahui aktivitasnya. Mitra tutur mengetahui
bahwa penutur segera ingin pergi atau terburu-buru sehingga makna pragamatik
dalam tuturan tersebut tersampaikan pada mitra tutur. Pemahaman mengenai hal
tersebut sejalan dengan pendapat Pranowo (2015) yang mengatakan bahwa
menyimpulkan suatu maksud tuturan penutur membutuhkan pemahaman yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sama mengenai topik pembicaraan antara penutur dan mitra tutur itu sendiri.
Tentu, hal ini berlatar belakang pada konteks pemahaman yang sama antara
penutur dan mitra tutur bahwa saat itu penutur sedang terburu-buru. Selain itu,
tuturan fatis polar digunakan untuk mengakhiri pembicaraan saja, makna
pragmatik yang muncul dalam tuturan fatis polar yang penutur gunakan sebagai
pemenuhan hubungan sosial antarpenutur adalah mempertahankan komunikasi,
mengawali pembicaraan, bertegur sapa dan mencairkan suasana.
Pengantar untuk menuju pokok pembicaraan yang merupakan wujud
komunikasi fatis polar tersebut dapat dikatakan sebagai wujud kespriralan (tidak
langsung pada inti persoalan) yang identik dengan masyarakat Jawa dalam
berbicara. Pada dasarnya tuturan komunkasi fatis ini merupakan tuturan yang
menempel pada tuturan-tuturan penutur untuk memenuhi sesuatu yang
berhubungan dengan sosial.
Dengan demikian, wujud dan makna sebuah kefatisan berbahasa
bergantung pada konteks situasi dan juga sosial yang di dalamnya terdapat
konteks budaya. Hal itu sejalan dengan pendapat Pranowo (2015) yang
mengatakan bahwa konteks dalam ilmu pragmatik berupa dasar pemahaman yang
sama, latar belakang budaya, asumsi penutur terhadap mitra tutur, bahasa
nonverbal dan juga kesantunan.
4.2.2. Pergeseran Wujud dan Makna Pragmatik Kefatisan Berbahasa
Tidak bisa dimungkiri bahwa sebuah bahasa dapat mengalami pergeseran.
Pergeseran tersebut terjadi dalam tuturan fatis para abdi dalem yang gunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
untuk memenuhi hubungan sosial. Berdasarkan hasil analisis data yang telah
dilakukan sebelumnya terdapat dua wujud pergeseran yang ditemukan dalam
tuturan komunikasi fatis abdi dalem yaitu honorifik dan eufemisme.
Pada dasarnya wujud pergeseran tersebut digunakan penutur untuk
penghormatan terhadap mitra tutur agar hubungan intrapersonal antarpenutur tetap
terbangun dengan baik. Penghormatan tersebut bisa berupa sapaan (honorifik) dan
juga penghalusan (eufemisme) kata yang dipilih untuk berkomunikasi fatis. Kedua
wujud pergeseran tersebut secara otomatis juga akan mempengaruhi makna
pragmatik dalam setiap tuturan. Pengaruh tersebut berupa ikut bergesernya makna
pragamtik dalam setiap tuturan kefatisan.
Seperti yang telah disampaikan oleh KRT Jati Ningrat dalam sebuah
wawancara, seharusnya para abdi dalem menggunakan bahasa Kedaton atau
Bagongan dalam berkomunikasi karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang
telah ditetapkan pihak karaton sebagai bahasa yang digunakan oleh para abdi
dalem dalam lingkungan karaton. Namun saat ini bahasa tersebut telah mengalami
pergeseran, hal tersebut dapat dilihat dari tuturan komunikasi fatis yang muncul
dari para abdi dalem. Wujud pergeseran pertama yaitu Honorifik. Honorifik
sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang
dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain
(Kridalaksana,2008:85). Maksudnya, wujud pergeseran ini terdapat dalam kata
sapaan khusus para abdi dalem keraton menjadi sapaan umum yang
memperhatikan tingkat tutur dalam berbahasa. Sebelumnya, dalam lingkungan
keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
atau teman. Namun sekarang, konco atau co mengalami pergeseran co yang
bergeser menjadi bu dalam tuturan A1/KFM, mas A7/KFM, romo A12/KFM atau
seperti sapaan yang digunakan dalam masyarakat umum. Sapaan tersebut
digunakan dalam masyarakat dengan memperhatikan status sosial yang
melingkupi kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seorang dalam suatu jaringan
(Grosjean,1982).
Pergeseran eufemisme juga penutur gunakan utnuk penghormatan dan
juga kesopanan. Tuturan kefatisan abdi dalem yang telah diperoleh, menunjukkan
bahwa bahasa para abdi dalem mengalami pergeseran menjadi bahasa yang lebih
halus dan menunjukkan sikap lebih hormat yaitu basa bagongan menjadi Jawa
Krama. Misalnya dalam tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas
(A11/KFM) dan kanjeng wonten niki? (B14/KFP). Kata mboten dn wonten
meruakan bahasa Jawa Krama Inggil yang digunakan dengan maksud untuk
menghormati mitra tutur Suseno (1985: 63). Hal tersebut akan berbeda ketika
penutur menggunakan mboya dan wenten, penutur seperti berbicara dengan rekan
sesamanya yang tentunya tujuannya untuk mengakrabkan.
Bahasa kedaton atau bagongan hanya terdiri dari beberapa kata yaitu
hanggeh, mboya, menira, pekenira, punapi, peniki, peniku, wenten, besahos,
seyos, nedo. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dari kesebelas kata
yang telah ditetapkan, kata yang mengalami pergeseran dalam tuturan komunikasi
fatis yaitu pekeniro, mboya, wenten. Kata pekeniro bergeser menjadi njenengan,
mboya bergeser menjadi mboten dan wenten bergeser menjadi wonten. Selain itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
kata sapaan khusus untuk para abdi dalem co juga bergeser menjadi sapaan umum
yang digunakan dalam masyarakat umum yaitu mas, romo, bapak, ibu. Kata-kata
dalam bahasa Bagongan tersebut bergeser dalam penggunaanya menjadi bahasa
Krama Inggil.
4.2.3 Faktor-faktor Penyebab Pergeseran
Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan yang terjadi di dunia
membuat pergeseran yang berdampak pada beberapa aspek. Salah satunya dalam
hal berbahasa. Pergeseran bahasa yang muncul dalam tuturan komunikasi fatis
para abdi dalem disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor –faktor tersebut dibagi
menjadi dua yaitu faktor internal dan juga faktor eksternal. Hal itu akan
dipaparkan sebagai berikut.
Faktor internal penyebab pergeseran yaitu pertama kebijakan keraton
untuk bergabung dalam pemerintahan. Hal ini secara jelas dikatakan oleh salah
satu abdi dalem keraton bahwa perubahan yang terjadi di dalam karaton berawal
dari bergabungnya karaton dalam pemerintahan (KRT Jati Ningrat,2017).
Perubahan tersebut terjadi dalam banyak aspek salah satunya dalam berbahasa.
Karena dengan bergabunganya keraton dalam pemerintahan, warga keraton
khususnya para abdi dalem lebih luas berinteraksi terhadap masyarakat sehingga
menimbulkan berbagai dampak terhadap para abdi dalem sendiri. Salah satu hal
yang berkaitan dengan bahasa adalah penggunaan bahasa Bagongan para abdi
dalem yang sudah jarang atau berkurang pemakaiannya. Mereka lebih sering
menggunakan bahasa mayoritas untuk berinterkasi yaitu bahasa Jawa Krama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Inggil atau Madya. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, hal tersebut
sejalan dengan Koentjarningrat (1974:82) yang mengatakan bahwa bahasa lisan
maupun tulis merupakan bagian dari culture universal yang ada dan bisa didapat
di semua kebudayaan. Dengan begitu, kebijakan tersebut membuat bahasa para
abdi dalem sebagai budaya dalam keraton mengalami pergeseran. Selain itu,
watak masyarkat Jawa yang suka ‘mengalah’ terbawa dalam berbahasa. Para abdi
dalem lebih mengikuti apa yang orang lain suka atau lebih mengalah sehingga
budaya mereka dapat bergeser.
Selanjutnya, juga mengenai pawiyatan atau kebiasaan ‘magang’ untuk
para abdi dalem di tempat pangeran dan kerabat keraton yang sudah tidak
dilakukan lagi. Pernyataan tersebut juga jelas diterangkan oleh abdi dalem keraton
dalam sebuah wawancara yang mengatakan “ Dulu para calon abdi dalem akan
magang terlebih dahulu ditempat pangeran dan kerabat karaton. Ya untuk belajar
sebelum diwisuda menjadi abdi dalem ” (KRT Jati Ningrat,2017). Namun,
sekarang kebiasaan tersebut sudah tidak ada selain telah berkurangnya pangeran
di dalam keraton, pegeseran tersebut juga disebabkan karena perkembangan
zaman. Budaya ‘magang’ yang ada di dalam keraton merupakan salah satu
kebiasaan yang berpengaruh terhadap penguasaan bahasa para abdi dalem.
Dengan bergesernya kebiasaan tersebut mengakibatkan atensi para abdi dalem
menggunakan bahasa Bagongan berkurang.
Pawiyatan atau pendidikan bagi calon abdi dalem yang mulai hilang
akhirnya membuat penutur (O1) dan mitra tutur (O2) tidak lagi sederajat dalam
hal berbahasa. Hal itu dapat juga menjadi faktor penyebab internal pergeseran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
bahasa. Apabila abdi dalem baru berkomunikasi dengan abdi dalem lama
kemungkinan adanya pergeseran tersebut terjadi, apalagi bahasa yang digunakan
oleh para abdi dalem baru merupakan bahasa keseharian di masyarakat yaitu
bahasa Jawa Krama atau Madya. Sehingga pengaruh untuk abdi dalam yang
sudah fasih berbahasa bagongan untuk mengikuti mitra tutur yang tidak fasih akan
sangat besar karena di dalam berkomunikasi mereka lebih mengutamakan
penyampaian informasi dibandingkan cara mereka untuk menyampaikannya. Hal
itu sejalan dengan pendapat Jati Ningrat (2017) yang mengatakan “… karena saat
ini ada abdi dalem tidak magang terlebih dahulu,penguasaan bahasanya kurang
jadi ketika berkomunikasi termasuk sultan mereka lebih mengutamakan informasi
tersebut sampai, terkadang menggunakan Krama terkadang bahasa Indonesia
kalau dengan tamu”. Dengan demikian penguasaan bahasa yang tidak sederajat
dapat dikatakan sebagai faktor internal pergeseran.
Selanjutnya, faktor penyebab secara eksternal. Pertama, berkembanganya
pola pikir masyarakat tutur. Masyarakat tutur atau para abdi dalem saat ini
berpikir lebih ke depan mengikuti perubahan yang terjadi di dalam sosial
masyarakat. Mereka saat ini lebih memandang bahwa dalam berkomunikasi status
sosial perlu diperhatikan karena secara sosial mereka ingin dihormati dan juga
menghormati oleh mitra tutur. Masyarakat tidak bisa mempertahankan bahwa
keraton memiliki budaya tersendiri karena intensitas mereka berinteraksi dengan
masyarakat umum juga lebih banyak dibanding dengan sesama abdi dalem.
Sistem kemasyarakatan tersebut juga merupakan bagian dari kebudayaan yang
ada di dalam lingkungan karaton. Sistem masyarakat tersebut juga masuk dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
culture universal yang bisa ditemukan dalam setiap masyarkat berbudaya
(Koentjarningrat,1974:82).
Faktor selanjutnya adalah masuknya masyarakat luar ke dalam lingkungan
karaton. Hal itu menjadi dampak dari kebijakan keraton yang bergabung dengan
pemerintahan. Masuknya masyarakat tersebut bisa dikatakan sebagai pertemuan
kebudayaan yang berbeda. Para abdi dalem sering berkomunikasi, bertemu dan
juga berinteraksi dengan masyarakat luar yang tentu mempunyai budaya
berbahasa yang berbeda. Masyarakat di luar lingkungan keraton mengenal dengan
ungah-ungguh basa dalam berkomunikasi sedangkan para abdi dalem tidak
mengenal tingat tutur dalam lingkungan keraton. Pertemuan kebudayaan yang
berbeda ini dapat menyebabkan asimilasi dan juga akulturasi.
Proses asimilasi terjadi karena pertemuan dua budaya berbeda dan salah
satunya tidak bisa mempertahankan budayanya. Hal tersebut sejalan dengan
Koentjarningrat (1974:149) yang mengatakan bahwa proses asimilasi timbul
karena kelompok-kelompok manusia asal dari lingkungan yang berbeda, individu-
individu dari kelompok-kelompok tadi saling bergaul langsung secara intensif
untuk waktu yang cukup lama, sehingga kebudayaan dari kelompok tadi masing-
masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu. Karakter khas masyarakat
Jawa yang tidak keras atau ngalah atau pekewuh membuat mereka untuk lebih
sering mengikuti bahasa yang digunakan masyarakat (luar keraton) untuk
berbicara dan hal itu juga terbawa ketika berkomunikasi dengan sesama abdi
dalem. Para abdi dalem yang mulai tidak menggunakan bahasa khas mereka
merupakan contoh dari proses asimilasi tersebut. Namun, tidak semua para abdi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
dalem tidak menggunakan bahasa bagongan masih ada abdi dalem yang
mempertahankan bahasa khas mereka. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai
proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing
yang berbeda sehingga unsur kebuayaan asing itu dengan lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan sendiri (Koentjarningrat,1974:152).
Terakhir, faktor ekternal penyebab pergeseran adalah perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Berkembangnya IPTEK juga menyebabkan
pergeseran terjadi yaitu salah satunya dengan bertambahnya kosa kata penutur
bahasa. Masyarakat saat ini mudah untuk menggunakan berteknologi sehingga
mereka dapat memperoleh informasi yang banyak. Tentunya hal itu dapat
menambah variasi kata yang beragam sehingga dalam berkomunikasi
kemungkinan untuk menggunakan bahasa yang semestinya dapat juga bergeser.
Bahkan seperti yang dikatakan oleh Jati Ningrat “ Kita (masyarakat) akan
dikatakan sebagai masyarakat zaman dahulu apabila kita tidak bisa menggunakan
satu atau dua kata bahasa asing”. Oleh sebab itu, hal tersebut sebagai salah satu
sebab bahasa daerah (bahasa Bagongan) mulai bergeser.
Dengan demikian faktor penyebab pergeseran yang terdapat dalam tuturan
fatis para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal yang
terdiri dari kebijakan dari pihak karaton, penguasaan bahasa penutur (O1) dan
mitra tutur (O2) yang tidak sederajat dan hilangnya budaya magang atau
pawiyatan untuk calon abdi dalem. Kemudian faktor internal yaitu pola pikir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
penutur yang semakin berkembang, perkembangan IPTEK dan perkembangan
budaya yang disebabkan masuknya masyarakat luar dalam lingkungan keraton.
Beberapa faktor penyebab bergesernya sebuah bahasa telah menyadarkan
pihak keraton dan juga masyarakat tutur untuk perlu adanya pemertahanan terkait
hal tersebut. Saat ini, pemertahanan yang telah dilakukan yaitu pertama dengan
menyadari bahwa bahasa Bagongan mulai bergeser selanjutnya dengan
mengadakan sebuah pawiyatan khusus untuk para abdi dalem mengenai bahasa.
Pawiyatan tersebut wajib diikuti oleh para abdi dalem terutama para abdi dalem
punokawan. Bentuk pemertahanan tersebut dapat menyelamatkan bahasa yang
akan mengalami kepunahan karena hilangnya budaya dan juga pengaruh
masyarakat umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yaitu simpulan dan saran. Simpulan berisi
rangkuman keseluruhan isi hasil penelitian. Sementara itu, saran berisi hal-hal
yang perlu diperhatikan untuk peneliti dan pihak-pihak terkait yang berhubungan
dengan penelitian ini. Berikut ini adalah pemaparan dari kedua hal tersebut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan juga pembahasan secara kritis dapat
disimpulkan bahwa wujud komunikasi fatis para abdi dalem Keraton Yogyakarta
dikelompokkan menjadi dua, yaitu komunikasi fatis murni dan polar. Komunikasi
fatis murni, yaitu ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai
dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa yang dikatakan oleh penutur selaras
dengan kenyataan atau memang benar-benar terjadi. Sementara itu, komunikasi
fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam sebuah
percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan
kenyataan. Setiap wujud tuturan fatis memiliki makna pragmatik. Makna
pragmatik yang terdapat dalam tuturan fatis para abdi dalem yaitu mengawali
pembicaraan, mencairkan suasana, mempertahankan komunikasi, bertegur sapa,
dan mengakhiri pembicaran.
Selanjutnya, tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan zaman dapat
membuat pergeseran bahasa. Berdasarkan analisis data dan pembahasan kritis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
pergseran yang ditemukan dalam kefatisan berbahasa para abdi dalem keraton
berwujud pertama honorifik. Pegeseran secara honorifik sapaan ini terdapat pada
kata co yang bergeser menjadi bu, mas, romo dalam komunikasi abdi dalem.
Kedua eufemisme, pegeseran dengan wujud eufemisme ini terdapat pada kata
mboya, wenten, pekeniro yang bergeser menjadi mboten, wenten dan njenengan.
Tentunya ketiga pergeseran yang ditemukan juga memengaruhi makna pragmatik
dalam setiap tuturan fatis. Misalnya, dahulu antarabdi dalem mengatakan tuturan
fatis untuk mengakrabkan hubungan mereka tetapi dengan pergeseran wujud
tersebut makna pragmatik dalam setiap tuturan dapat berubah menjadi
menghormati mitra tutur.
Pergeseran wujud dan makna pragmatik di atas dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Pertama, faktor internal yang berupa kebijakan karaton untuk
bergabung dalam pemerintahan. Bergabungan karaton dalam pemerintahan warga
karaton khususnya para abdi dalem lebih luas berinteraksi terhadap masyarakat
sehingga menimbulkan dampak terhadap para abdi dalem. Salah satu hal yang
berkaitan dengan bahasa adalah penggunaan bahasa Bagongan para abdi dalem
yang sudah jarang atau berkurang pemakaiannya. Kedua budaya ‘magang’ yang
sudah tidak ada lagi. Magang merupakan pawiyatan yang dilakukan oleh calon
abdi dalem sebelum diwisuda. Pada kegiatan tersebut abdi dalem belajar
berbahasa dan bersikap yang sesuai dengan lingkungan keraton. Ketiga
penguasaan bahasa penutur (O1) dan mitra tutur (O2) yang tidak sederajat. Kedua
faktor eksternal, yaitu berkembanganya pola pikir masyarakat khususnya para
abdi dalem. Mereka saat ini beranggapan bahwa dalam bekomunikasi status sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
perlu diperhatikan karena secara sosial mereka ingin dihormati dan juga
menghormati oleh mitra tutur. Perkembangan IPTEK dan perkembangan budaya
yang disebabkan masuknya masyarakat luar dalam lingkungan keraton.
5.2 Saran
Komunikasi fatis para abdi dalem merupakan sebuah tuturan tidak
memiliki makna karena di dalam setiap tuturan fatis terdapat makna pragmatik
yang berhubungan dengan sosial penutur. Oleh karena itu, peneliti ingin
memberikan saran untuk berbagai pihak terkait peelitian ini.
1. Peneliti menyarankan kepada para abdi dalem agar terus menyadari
pentingnya kefatisan berbahasa dalam berkomunikasi sehingga antarabdi
dalem tetap terjalin hubungan baik dalam komunikasi maupun dalam
hubungan sosial.
2. Selain itu peneliti juga menyarankan kepada para abdi dalem agar terus
menggunakan bahasa khusus dalam lingkungan karaton agar tidak terjadi
kepunahan.
3. Peneliti menyarankan pada pihak keraton agar budaya berbahasa dalam
lingkungan karaton terus dipertahankan.
4. Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar mendalami
kefatisan berupa fatis nonverbal yang juga sering digunakan para abdi
dalem dalam mempererat hubungan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
DAFTAR PUSTAKA
Arimi, Sailal. 1998. “Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. Tesis. Yogyakarta: UGM.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta. ____________. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (edisi revisi).
Jakarta: Rineka Cipta. Dwirahardjo, M. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra. Handayani, S. 2009. “Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa”. Skripsi. Jakarta:
Jurusan Aqidah-Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Ihrom, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia. Koentjaranigrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia. ________________. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia. Kurniawati, L.D. 2013. “Sejarah Perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta”.
(online). Terbaca: https://www.academia.edu/. Diakses tanggal 23 November 2016.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka.
Jakarta: Universitas Indonesia. Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. New York: Cambridge University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mangunsuwito, S.A. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: CV. Yrama
Widya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mukminatun. 2007. Pergeseran Budaya Sapaan dan Kekerabatan di Wilayah
Kecamatan Kraton Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Humanika No.2, Vol.12.
Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka. Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurjamily, Wa Ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan
Keluarga (Kajian Sosiopragmatik). Jurnal Humaniora No.15, Vol.3. Nuryadi. (-). Hubungan Makna: Suatu Kajian Semantik. Diambil dari e-jounal:
ejournal-unisma.net/ojs/index.php/makna/article/download/396/364 (23 Agustus 2017)
Pala, Rukman. 2015. Bentuk Komunikasi Fatis dalam Bahasa Bugis Soppeng.
Jurnal Sawerigading. Pateda, Mansoer. 1985. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah. Poedjosoedarmo, Soepomo. 19977. Unda-Usuk Bahasa Jawa. Yogyakarta.
Laporan penelitian Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta. Pustaka Pelajar _______. 2015. Tergantung pada Konteks. Jurnal PIBSI. Purwadi, Eko Priyo Purnomo. 2008. Kamus Sansekerta Indonesia. e-book
(online) diakses tanggal 05 November 2016. Purwadi, Mahmudi dkk. 2012. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka. Prawiroatmodjo, S. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV. Haji
Masagung. Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma Malang. ______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Ramadanti, Sari. 2014. Penggunaan Komunikasi Fatis dalam Pengelolaan Hubungan di Tempat Kerja. Jurnal. (online) Diakses tanggal 20 September 2016.
Rosmawaty. 2011. Tautan Konteks Situasi dan Konteks Budaya: Kajian
Linguistik Sistemik Fungsional pada Cerita Terjemahan Fiksi “Halilian”. Jurnal Litera. Vol.10, Nomor 1
Sahlan, M. (-). “Budaya Unggah-Ungguh dalam Masyarakat Jawa, sebagai Salah
Satu Strategi Pembangunan Nasional”. (online). Terbaca: https://www.academia.edu/. Diakses tanggal 24 November 2016.
Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: PPs Unimed.
Sasmaya,F Dike. 2014. “Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang ‘Perko’ Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik”. Skripsi Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. [online]. Tersedia: http://www.library.usd.ac.id/. [6 November 2016].
Senft, Gunter. 2009. Phatic Communion. Max Planck Institute for Psycholinguistics, Nijmegen.
Setiyanto, Aryo Bimo. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press. _________. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press. Sofiah. 2010. “Komunikasi Phatic dalam Keluarga (Studi Deskriptif tentang
Penggunaan Komunikasi Phatic sebagai Sarana Pemenuhan Fungsi Efektif dan Sosialisasi dalam Keluarga Di Kawasanhunian Liar Kampung Kentingan Baru Surakarta)”. Jurnal Komunikasi Massa Vol.3,No.2
Sulistyowati, I. 2015. “Menerjemahkan Permainan Bahasa dalam Novel Anak
Judy Moody, Girl Detective” RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 2 Oktober 2015, 220-232. (online). Terbaca: ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret/. Diakses tanggal 23 September 2016.
Sumarsono, dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Suseno, F.M. 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafah tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Triyono, Sulis. 2006. Pergeseran Bahasa Daerah Akibat Kontak Bahasa Melalui
Pembauran. Jurnal Litera. Wardani, L.K. 2012. “Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural Sultan
Hamengkubuwana IX terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta”. (online). Terbaca: http://journal.unair.ac.id/table_of_content_15_volume25_nomor1.html. Diakses tanggal 24 November 2016
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. ________________________________________.2009. Analisis Wacana
Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Zegarac, Vladimir. 2009. What is Phatic Communication, Cambridge Journal Online.
Zoetmulder, P.S. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DATA PENELITIAN KOMUNIKASI FATIS PARA ABDI DALEM DI KARATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Data penelitian komunikasi fatis para abdi dalem di karaton diklasifikasikan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi fatis polar. Kode
A diberikan pada komunikasi fatis murni (KFM) dan kode B diberikan pada komunikasi fatis polar (KFP). Data berdasarkan pengklasifikasian tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
KODE DATA PERTUTURAN
DAN KONTEKS MAKNA
PRAGMATIK PERGESERAN FAKTOR PENYEBAB KETERANGAN
A1/KFM P: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (ini - sertifikat – untuk – Kanjeng) (Ini, sertifikat untuk kanjeng) MT : Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (wo – lha – dapat – sertifikat - sendiri -bahkan) (Wo lha dapat setifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) P: Wah sepi dinten niki Bu (wah – sepi – hari – ini, Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) MT : Inggeh niki,lha ujian. (Iya-ini- lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) P : ….
Mempertahanka
n komunikasi
agar tetap
berlangsung
Honorifik : konco ke bu
Bahasa bagongan sudah jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam lingkungan karaton
semakin sering dan luas interaksi para abdi dalem di luar masyarakat karaton sehingga abdi dalem terbiasa dengan sapaan atau kosa kata bahasa Indonesia
Tuturan Wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tturan tersebut bukan untuk memberitahu atau bersifat informative pada mitra tuturnya karena mereka sudah sama-sama mengetahui akan hal itu (hari itu sepi) . Dalam tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran secara generalisasi yaitu pada kata Bu. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu bu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal karena sering bertugas ditepas yang sama. P dan Mt berada di tepas security sedang berbincang-bincang. Di tengah pembicaraan ada orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat untuk kanjeng. Setelah orang tersebut menyerahkan sertifikat P dan Mt membahas mengenai sertifkat yang diberikan untuk kanjeng. Setelah membahas sertifikat berakhir, P dan Mt diam melihat ke arah pendopo. Senyap yang terjadi secara tiba-tiba membuat merasa canggung karena mereka berada di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan. Kemudian P mengatakan tuturan wah sepi dinten niki untuk mengisi pembicaraan antara P dan Mt. Mt pun menanggapi dan kemudian terjadi pembicaraan lebih lanjut dengan topik yang berbeda dari tuturan tersebut..
A2/KFM ….. P: Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah – luhur – to – ini? Saya- mendahuluhi ) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) Mt: Nggeh, monggo. (Iya- silahkan) (Iya, silahkan).
Mengakhiri
pembicaraan
- -
Tuturan sampun luhur to
niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah
luhur to ini? Saya mendahului)
merupakan tuturan yang tidak
dimaksudkan untuk
pemberitauan kepada mitra
tutur tetapi digunakan
mengantarkan penutur untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks : P dan Mt merupakan sesama abdi dalem di keraton. Mereka sudah mengenal cukup lama. P dan Mt sedang berbincang-bincang di tepas, mereka berbicara sudah cukup lama. Mereka saling berhadapan. P sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius P dan Mt saling diam dan tidak ada pembicaraan. P dan Mt hanya melihat para wisatawan yang sedang melakukan kunjungan dan sesekali membahas topik yang mereka bicarakan. Kemudian P mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar tanggapan Mt, P langsung berpamitan untuk mendahului Dilihat dari usianya Mt lebih tua dibanding P. P menghormati Mt sehingga ketika P ingin pergi dan mengakhiri pembicaraan ia tidak langsung pamit tetapi mengatakan sesuatu yang sudah sama-sama mereka ketahui. Mt yang menghargai P sudah mengetahui maksud P sehingga Mt langsung menpersilakan P.
menyampaikan maksud dalam
konteks ini mengakhiri
pembicaraan
A3/KFM Suasana sepi P: Wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. ( Wah – teh – nya – pahit – ini – mbak. Yang – buat – memang) (Wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.)
Mengawali atau
memulai
pembicaraan
- - Tuturan wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan bukan untuk memnginformasikan kepada mitra tutur bahwa teh yang diminum oleh penutur itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : Hehe.. P : Sudah masukin surat belum mbak? MT : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks: P merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (MT) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. MT yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama P. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hal itu terjadi selama beberapa menit. Kemudian P masuk untuk mengambil minum dan mengatakan tuturan “wah the e pait iki mbak. Seng gawe jan” P masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, ia merasa tidak nyaman ketika bersama MT tetapi tidak ada pembicaraan atau interaksi. P mengatakan tuturan yang sudah ia ketahui dan membicarakannya pada MT agar P bisa memulai pembicaraan lanjut dan saling berinteraksi. P seorang abdi dalem keraton yang ingin menujukkan keramahan pada tamu-tamu yang sedang berkunjung ke Kraton.
pahit tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan dengan mitratutur agar akrab dan menunjukkan keramahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A4/KFM P : Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? Kalau mau duduk sini boleh kok. MT: Iya bu. Oow, duduk di sini boleh ya? P: Boleh kalau mau duduk di sini, pokoknya kalau tidak ada tulisan dilarang boleh silahkan. MT: Yaya, ibu. Terimakasih P: Asalnya dari mana? Konteks : P sedang duduk di Pendopo gamelan untuk istirahat. P sudah agak lama memperhatikan MT yang sibuk mengurus tasnya yang besar dan terlihat berat serta bingung untuk mencari tempat. P mengetahui bahwa Mt berwisata sendiri. Di Pendopo Gamelan pada waktu itu masih sepi belum ada pengunjung. Para abdi dalem lain sedang siap-siap untuk bermain gamelan. Pada waktu MT berada di dekat P ia mengatakan tuturan Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? P tidak mengenal Mt karena Mt seorang wisatawan. P yang tahu bahwa Mt mencari tempat duduk. P tidak langsung meminta Mt untuk duduk meskipun ia tahu. P mengatakan tuturan tersebut untuk menunjukkan keramahan kemudian memberitahu Mt.
Mengawali atau
memulai
pembicaraan
- Mitra tutur bukan orang Jawa
Tuturan Sendiri ini mas
wisatanya, gak sama teman-
temanya? Merupakan bentuk
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut digunakan
bukan untuk menanyakan
sesuatu yang sudah diketahui
oleh penutur tetapi tuturan
tersebut digunakan untuk
mengawali pembicaraan.
Wujud komunikasi fatis dalam
tuturan tersebut yaitu murni
karena tuturan tersebut sesuai
dengan realitasnya yaitu mitra
tutur sedang berwista ke
karaton sendiri.
Tuturan tersebut mengalami
pergeseran dengan maksud
agar komunikasi mudah
dipahami. Lebih dari itu,
penutur menggunakan
komunikasi dengan bahasa
Indonesia karena mitra tutur
berasal dari luar jawa yang
sedang berwisata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A5/KFM PT : Wilujeng injing, Co (selamat – pagi – teman) (Selamat pagi, teman) MT : Mangga (silakan) (mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan mereka berpapasan. P mengatakan tuturan wilujeng injing, Co ketika tepat berpapasan dengan Mt. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka. P dan Mt sasama abdi dalem keraton. P lebih muda dibanding Mt sehingga ketika berpapasan P mengatakan tuturan terlebih dahulu. P ingin menghormati Mt meskipun mereka merupakan sesame abdi dalem. Begitu juga dengan Mt, dan Mt juga ingin menghargai dengan menanggapi tuturan P.
Bertegur sapa - - Tuturan wilujeng injing, Co
merupakan bentuk komunikasi
fatis karena digunakan bukan
untuk menginformasikan
kepada mitra tutur bahwa hari
itu pagi, tetapi merupakan
wujud tuturan untuk menjalin
hubungan baik antarpenutur.
Tuturan tersebut merupakan
wujud komunikasi fatis murni
artinya tuturan tersebut sesuai
dengan realitasnya pagi hari.
Masyarakat jawa memiliki budaya tegur sapa sebagai salah satu cara membina hubungan baik antarpenuturnya. Hal ini tampak dalam tuturan tersebut karena merupakan Hal yang sudah sama-sama
diketahui atau dimengerti.
A6/KFM P: Njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu- sudah – capek – ini – jam—segini?) (kamu sudah capek jam segini?) MT: Ngantuk hawane
Bertegur sapa Eufemisme : Pekeniro ke njenengan
abdi dalem yang sudah tidak fasih berbahasa bagongan karena penggunaan bahasa jawa krama,madya yang
Tuturan njenengan sampun
sayah niki jam sementen?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(ngantuk –udaranya ) (suasananya ngantuk) P : Inggih, mangga. (iya- mari) (iya, mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, P sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Kraton. P melihat MT sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, P yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat MT yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. P melewati MT sehingga P mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) ” Mt dan P merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal. P yang sudah mengenal MT dengan baik akan menyapa ketika bertemu dengan MT, meskipun P mengatakan tuturan yang sudah P ketahui .
lebih sering dipakai.
digunakan untuk menanyakan
informasi pada mitra tutur
tetapi tuturan tersebut
digunakan untuk membina
hubungan sosial.
Selain itu tuturan tersebut
merupakan wujud dari
komunikasi fatis murni karena
kefatisan dalam tuturan
tersebut sesuai dengan
realitasnya
Tuturan fatis tersebut terdapat
wujud pergeseran asosiasi
yaitu pada kata njenengan .
Sebelumnya, abdi dalem
karaton menggunakan kata
pekeniro sekarang kata
tersebut bergeser menjadi
njenengan. Artinya,
sebenarnya P menggunakan
kata pekenira untuk menyapa
sesame abdi dalem di dalam
percakapannya.
A7/KFM PT : Keseso mas? (terburu-buru – mas?) (terburu-buru mas?) MT : Kanjeng. Wonten sinten kok
Bertegur sapa honorifiki : konco ke mas
eufemisme : wenten ke
perkembangan sosial
budaya yaitu pihak
karaton yang sudah
terbuka dan
Tuturan tercetak tebal tersebut
merupakan wujud komunikasi
fatis murni karena penutur
mengatakan sesuatu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kiyambakan? (Kanjeng. Ada – siapa – kok – sendirian?) (kanjeng. Ada siapa kok sendirian?) PT : Hanggeh (Iya) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. Ketika sedang duduk, P tahu bawah Mt sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan P. P mengatakan tuturan keseso mas? Ketika Mt melewati depan P sebagai bentuk sapaan karena mereka sudah saling mengenal. MT pun menjawab dengan singkat dengan tuturan kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? sebagai bentuk kepedulian terhadap P. Mt pun menanggapi P dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. P dan Mt sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.
wonten menerima
masyarakat dari luar.
abdi dalem yang
sudah tidak fasih
menggunakan bahasa
bagongan karena
penggunaan bahasa
jawa krama lebih
sering dipakai.
sudah ia ketahui jawabannya
tetapi P katakana untuk
menunjukkan kepedulian.
Di dalam tuturan fatis tersebut
terdapat pergeseran dengan
wujud generalisasi pada kata
mas. Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan kata
sapaan co yang maksudnya
konco atau teman. Namun,
sekarang konco atau co
mengalami pergeseran yaitu
mas untuk menyebut mitra
tutur yang laki-laki yang lebih
muda dan dihargai.
A8KFM P : Sinten niku? Duhh hehe (siapa – itu? Duh hehe) (siapa-itu-Duh-hehe) (siapa itu? Duh hehe) MT: Ndak pundhi, niki (pergi – kemana – ini)
Bertegur sapa - - Tuturan Sinten niku? Duhh
hehe merupkan bentuk
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut bukan penutur
gunakan untuk bertanya dan
ingin megetahui siapa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(mau kemana, ini?) P : menunjuk arah Konteks: P merupakan abdi dalem dan Mt penjual di
dalem lingkungan keraton. Mt sedang
berbincang-bincang dengan salah satu
wisatawan dan melihat keberadaan P yang
akan melewati warung miliknya. P dan Mt
sudah terlihat sama-sama tahu dan terlihat
akan bertegur sapa. Ketika P sudah hampir
mendekati Mt, P mengatakan tuturan
Sinten niku,duhh? Hehe. Mt menjawab
dengan berbalik bertanya pada P. P tidak
menjawab hanya menunjukkan arah, Mt
yang sedang berbicara dengan wisatawan
tidak merespon kembali. P menyapa
terlebih dahulu karena P mengetahui bahwa
Mt sedang berbicara dengan orang lain.
berbicara dengan mitra tutur
tetapi digunakan untuk saling
bertegur sapa. Selain itu,
tuturan tersebut berwujud
komunikasi fatis murni karena
penutur mengatakan tuturan
yang sesuai dengan realitas
bahwa mitra tutur sedang
berbincang-bincang dengan
orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A9/KFM P : Sugeng enjang. (Selamat -pagi) (Selamat pagi) Mt : Mangga (Mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. Mt sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan P sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh P tidak tahu kalau Mt berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu P berjalan mendekati Mt, para wisatawan itu pergi dan P dapat melihat MT. Ketika P melewati persis di depan Mt, P mengatakan tuturan sugeng enjang pada Mt. Mt yang megetahui hal itu kemudian menjawab tuturan P. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara P dan Mt.
Bertegur sapa - - Tuturan sugeng enjang
merupakan bentuk dari
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut digunakan
untuk menjaga hubungan
sosial antarpenutur yaitu
ramah tamah. Tuturan tersebut
bukan merupakan tuturan
untuk menginformasikan atau
bersifat informative. Selain itu
wujud tuturan tersebut yaitu
komunikasi fatis murni karena
penutur membina hubungan
sosial dengan mitra tutur
dengan mengtakan tuturan
yang sesuai dengan realitasnya
yaitu pagi hari.
A10/KFM P : Sendirian mbak? (sedang sendiri- mbak) (Sendirian mbak?) Mt: njeh. (Iya) (Iya) P: …… Konteks:
Mengawali
pembicaraan
- - Tuturan sendirian mbak?
Merupakan bentuk kmuikasi
fatis karena tuturan bukan
digunakan untuk menanyakan
informasi. Tuturan tersebut
merupakan tuturan yang
penutur gunakan untuk
mengawali pembicaraan
dengan seorang tamu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P seorang abdi dalem dan Mt merupakan tamu yang sedang duduk di tepas security. Sebelumnya Mt pernah bertemu P di tempat lain dan ketika bertemu Mt memang selalu sendiri. Pada waktu itu P baru selesai berpatroli mengelilingi karaton danmenuju ke tepas. P mengatakan tuturan sendirian mba? Dan kemudian duduk bersebelahan dengan Mt. Setelah tuturan tersebut P berbincang-bincang dengan Mt.
sudah dikenal. Selain itu
penutur juga ingin
menunjukkan kesopanan
karena penutur ingin duduk di
sebelah mitra tutur sambil
istirahat. Selain itu tuturan
sendirian mbak? Merupakan
wujud dari komunikasi fatis
murni karena tuturan tersebut
sesuai dengan realitas bahwa
mitra tutur memang sedang
sendiri
A11/KFM …. P: Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah- jam- segini- sudah- tidak- panas) (Wah jam segini sudah tidak panas) Mt : Pun sakniki mboten saget ditebak. (Sudah-sekarang-tidak –bisa-ditebak) (Yasekarang tidak bisa ditebak) P: Wau dalu kulo niku medhal walah uademe. (tadi-malam-saya-keluar-walah-dinginnya) (tadi malam saya keluar walah dinginnya) ….. Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem kraton. Pada waktu itu P sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba Mt datang untuk
Mempertahanka
n komunikasi
eufemisme : Mboya ke mboten
perkembangan
bahasa dan juga
sosial budaya yaitu
pihak karaton yang
sudah terbuka dan
menerima
masyarakat dari luar.
Tuturan Wah, jam sementen
pun mboten panas
merupakan wujud komunikasi
fatis murni karena (bukan
sebuah informasi yang akan
diberikan kepada mitra tutur
bahwa cuaca sudah tidak panas
tetapi penutur gunakan untuk
menjaga komunikasi.
Tuturan fatis tersebut mengalami pergeseran dengan wujud asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata Mboya tetapi sekarang konco
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghampiri P yang sedang berdiri sendiri. Mt memang ada keperluan, membicarakan sesuatu yang penting. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada Mt dan P. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian P mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini tidak panas) hal itu tidak sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut Mt dan P kembali membicarakan topik sebelumnya.
atau co mengalami pergeseran yaitu mboten
A12/KFM P: sehat, Romo? (sehat-bapak?) (sehat, bapak?) Mt: pengestunipun (doanya) P: …. Konteks : Mt sedang duduk dan menonton televise di
pos jaga parkiran belakang bersama abdi
dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan
seperti tidak ada pembicaraan di antara para
abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa
menit kemudian, P datang dari dalam ingin
bergabung dan sepertinya ada keperluan
Mengawali
pembicaraan
Honorifik : Co ke romo
Perkembangan
sosial budaya yaitu
pihak karaton yang
sudah terbuka dan
menerima
masyarakat dari luar.
Tuturan sehat, Romo?
Merupakan wujud komunikasi
fatis murni karena tuturan
tersebut bukan sebuah tuturan
yang digunakan tetapi sebagai
pengantar kepada mitra tutur
untuk berbicara mengenai
suatu hal.
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran secarageneralisasi
pada kata romo..
Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan Mt. P pun mendekati Mt dengan
mengatakan tuturan sehat, Romo. P dan Mt
merupakan sesame abdi dalem tetapi dilihat
dari usianya, Mt lebh tua dibandingkan
dengan P. Setelah tuturan tersebut
keduanya duduk berhadapan dan
membicarakan sesuatu.
sapaan co yang maksudnya
konco atau teman. Namun,
sekarang konco atau co
mengalami pergeseran yaitu
romo.
A13/KFM P: Sampun, Romo? (Sudah - bapak?) (Sudah, bapak?) Mt: Niki kok saged babarengan.hehe. Monggo. (ini- kok – bisa- bersama-sama. Hehehe- Mari ) (ini kok bisa bersama-sama. Hehehe.Mari ) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang
sedang melakukan presensi. Mt datang
terlebih dahulu kemudian tanda tangan. Di
belakang P ada Mt yang akan tanda tangan
juga. Ketika Mt sudah selesai Mt berbalik
dan melihat P. Mt dan P saling mengenal
sehingga P mengatakan tuturan Sampun,
Romo? Mt yang mengetahui maksud P
pun membalas dengan niki kok saged
babarengan.hehe. Monggo.
Bertegur sapa Honorifik Co ke romo
perkembangan sosial
budaya yaitu pihak
karaton yang sudah
terbuka dan
menerima
masyarakat dari luar.
Tuturan terssebut bukan
merupakan tuturan yang
menanyakan sebuah
informasi. Artinya penutur
mengatakan tuturan tersebut
tidak mengharapkan jawaban
sesuai dengan pertanyaan
karena P sudah mengetahui
jawaban dari tuturan tersebut.
Dengan demikian tuturan
tersebut merupakan wujud
komunikasi fatis murni
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran secara generalisasi
pada kata romo. Sebelumnya,
dalam lingkungan keraton
sesama abdi dalem
menggunakan kata sapaan co
yang maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konco atau co mengalami
pergeseran yaitu romo.
A14/KFM P: Mboten mriko? (tidak - ke sana) tidak ke sana) MT: Ngantuk. Konteks: P sedang berjalan dari arah tepas security menuju gerbang utama. ketika berjalan melewati pendopo gamelan ia berpapasan dengan MT . Mereka sudah sama-sama mengetahui bahwa akan berpapasan. setelah jarak semakin dekat P mengatakan tuturan Mboten mriko? (tidak ke sana?). Mt pun menjawab dengan ala kadarnya. setelah mengatakan tuturan tersebut P dan Mt tidak melanjutkan pembicaraan.
Bertegur sapa Eufemisme : Mboya ke mboten
abdi dalem yang
sudah tidak fasih
karena
penggunaan
bahasa jawa
krama lebih
sering dipakai.
Tuturan tersebut merupakan wujud komuniaksi fatis murni. Kefatisan tuturan tersebut lebih jelas dilihat ketika mitra tutur menjawab pertanyaan penutur tidak sesuai dengan topik tetapi penutur tidak menanyakan ulang atau sudah merasa puas. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan realita saat tuturan itu terjadi. Selanjutnya, tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran sevara asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata mboya. Namun, mboya mengalami pergeseran yaitu mboten.
A15/FKM P: Ngeteh niki? (Sedang- minum – teh- ini?) (Sedang minum teh ini?) MT: Enggeh men padang. (Iya-agar-terang) (Iyaagar terang) Konteks:
Bertegur sapa - - Tuturan tersebut penutur katakan bukan untuk menanyakan sesuatu hal yang sudah penutur ketahui yaitu mitra tutur minum teh. Namun penutur katakana sebagai bentuk sapaan karena penutur tiba di ruangan tersebut. Dengan demikian tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P dari arah luar masuk ke tepas sequrity. ketika sampai dalam, P melihat MT yang sedang minum teh. di dalam tepas mereka hanya berdua sehingga P mengatakan tuturan Ngeteh niki? (minum teh ini?) Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan kembali antara P dan Mt. Mt berdiri di dekat pintu sedang P sedang menulis sesuatu.
tersebut mempunyai wujud komunikasi fatis murni
A16/KFM P: Kulon nuwun (permisi) MT: Mangga, sehat mbak? (silakan- sehat- mbak?) (silakan, sehat mbak?) P: Njeh pak, matur nuwun. Bu Yati rawuh dereng pak? (Iya pak, terima kasih. Bu Yati sudah datang?) Konteks: P merupakan tamu di karaton. P datang ke tepas sequrity untuk mencari Bu Yati. Pada waktu itu Mt sedang membaca Koran di dalam tepas. P dan Mt sudah saling mengenal. Ketika tuturan terjadi, di tepas hanya ada MT. setelah tuturan terjadi P dan MT membicarakan topik yang berbeda.
Mengawali pembicaraan
Tuturan terebut merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban. Artinya tuturan tersebut bersifat komunikatif bukan informative. Tuturan tersebut dituturkan untuk menghargai penutur yang menunjukkan sikap sopan terhadap mitra tutur. Hal itu akan mempengaruhi hubungan sosial antar penuturnya.
A17/KFM P: Sugeng enjang kanjeng, wenten tamu. (Selamat - pagi – kanjen – ada- tamu.) (Selamat pagi kanjeng, ada tamu.)
Mengawali pembicaraan
Tuturan sugeng enjang (selamat pagi )merupakan wujud dari komunikasi fatis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt: Enggeh, saking pundi? (Iya, dari mana?) Konteks : P dan MTmerupakan abdi dalem yang berada dalam satu tepas. Pada waktu itu P sedang bertemu dengan tamu. MT tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh P karena pada waktu itu MT sedang duduk membaca buku dan menulis. Tamu tersebut ternyata ingin bertemu dengan MT. P mengantar tamu tersebut untuk bertemu MT yang sedang membaca buku di dalam ruangan itu juga. P dan MT merupakan masyarakat berlatarbelakang Jawa yang berusia lebih dari 50 tahun.
murni karena tuturan tersebut sesuai dengan situasi pada waktu tuturan terjadi yaitu pagi hari. Namun, tuturan tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan informasi pada mitra tutur bahwa pada waktu itu pagi hari, tetapi digunakan untuk hubungan sosial yaitu bersikap sopan agar mitra tutur tidak tersinggung.
A18/KFM P: Sami wilujeng? (Sama-selamat) (Kabar baik?) MT: pengestunipun (doanya) P:Pekeniro rapat jam pinten? (Kamu rapat jam berapa?). ….. Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang berada di dalam tepas yang sama. sebelum berbicara dengan MT, P berbicara dengan
Mengawali pembicaraan
Tuturan sami wilujeng? Merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk mencari atau menanyakan keadaan mitra tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan ada itra tutur. Selian itu tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa mitra tutur sedang baik-baik saja atau sehat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
abdi dalem lain cukup lama. MT pada waktu itu sedang membaca buku dan mengetahui keberadaan P. setelah P selesai berbicara dengan abdi dalem lain, P menemui MT. Mt tidak lagi membaca buku tetapi sedang mencari sesuatu di mejanya ketika P datang. P mengatakan tuturan sami wilujeng? (kabarnya baik?) Kepada MT. setelah tuturan tersebut P duduk dan berbicara cukup lama dengan MT.
A19/KFM P: Sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? (Selamat- pagi – baru- datang- kanjeng?) (Selamat pagi, baru datang kanjeng?) MT: Wenten tamu wau. monggo. (Ada tamu tadi. Mari ) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. dalam setiap harinya P dan MT bertugas di tepas yang sama. P sedang menulis di tepas. dari kejauhan MT berjalan menuju tepas. P tahu bahwa MT akan masuk dan melewati depan P. ketika MT masuk P mengatakan tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut, P dan MT melanjutkan aktivitas masing-masing.
Bertegur sapa Tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan dignakan oleh penutur utnuk menanyakan nformasi tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenutur dengan bertegur sapa. Selain itu, dapat dikatakan murni karena penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan. Artinya pada waktu tuturan tersebut memang mitra tutur sedang datang dan berpapasan oleh penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A20/KFM P: Ngawan ngawani niki? (kesiangan ini?). MT: Sugeng enjang, monggo. (selamat pagi, mari) Konteks : P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. P berada dari arah barat dan MT dari arah timur dan baru datang.mereka berpapasan. ketika mereka berpapasan P mengatakan tuturan ngawan ngawani niki? dan Mt tidak menjawab sesuai dengan topik yang dibicarakan. setelah Mt merespon P , mereka tidak melanjutkan pembicaraan dan melalukan aktivitas masing-masing.
Bertegur sapa Tuturan ngawan ngawani niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan semata-mata untuk menanyakan informasi pada mitratutur tetapi untuk bertegur sapa. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa ketika mereka bertemu mitra tutur sedang tiba di karaton dan lebih siang dibanding penuturnya.
A21/KFM P: Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? (Bagaimana- ini - Bu Yati - beritanya - kok isinya- seperti - gini?) (Bagaimana ini Bu Yati, beritanya kok isinya begini?) Mt: Hahahah,pripun maleh pak. (Pripun meleh pak) ….. Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang
sedang berada di tepas security. Dalam
tepas tersebut terdapat tiga orang yang
Mencairkan
suasana
Honorifik : co ke bu
perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
Tuturan Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? Merupakan bentuk komunkasi fatismurni karena tuturan tersebut bukan untuk menyampaikan protes atau pemberitahuan sesungguhnya kepada mitra tutur. Namun, penutur mencaikan suasana pada waktu itu. Selanjutnya, tuturan tersebut berwujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan tersebut benar-benar terjadi, berita yang sedang dibaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
salah satunya tamu. Tidak ada pembicraan
di antara mereka. P sedang membaca
Koran, Mt sedang duduk dan hanya
melamun. Dalam keadaan hening P tiba-
tiba mengatakan tuturan Dhos pundhi niki
bu Yati beritane kok isine koyo ngene?
Sambil menutup Koran yang dibaca. Mt
sepertinya sudah paham bahwa hal itu tidak
perlu dikomentari sehingga Mt tidak
menanggapi terlalu banyak. Setlah tuturan
tersebut P dan Mt berbincang-bingan
mengenai topik yang berbeda.
penutur memprihatinkan dan lain sebagainya. Tuturan tersebut terdapat
pergeseran secara generalisasi
pada kata bu bu Yati .
Sebelumnya, dalam lingkungan
keraton sesama abdi dalem
menggunakan kata sapaan co
yang maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang konco
atau co mengalami pergeseran
yaitu bu.
A22/KFM P: Minggu-minggu, uwong uwong ki do piknik yo mbak biasane? (Minggu-minggu-orang-orang-itu-pada piknik-ya- mba-biasanya?) (Minggu-minggu, orang-orang itu pada piknik ya mba biasanya?) Mt: Njih pak, kesempatan. (Iya pak, kesempatan.) P: Mbake ki asli pundhi to? (Mbak e asli mana?) Konteks : P adalah abdi dalem sedangkan Mt adalah
tamu.P sedang berada di depan gerbang
pintu masuk karaton. P dan Mt sudah saling
mengenal karena Mt sedang melakukan
penelitian di Karaton. Mt berdiri di dekat P
Mengawali
pembicaraan
- - Tuturan Minggu-minggu,
uwong uwong ki do piknik
yo mbak biasane? Merupakan
bentuk komunikasi fatis karena
tuturan tersebut bukan bersifat
informative atau digunakan
untuk memberikan informasi
kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut penutur gunakan
untuk mengawali pembicaraan
kepada mitra tutur agar
keduanya dapat berbincang-
bincang dan lebih akrab.
Selain itu tuturan tersebut
sesuai dengan realitas. Artinya
bahwa tuturan tersebut penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan wisatawan sedang datang secara
bergerombolan. Sebelumnya memang tidak
ada pembicaraan karena Mt baru saja
datang kemudian berada di dekat P. Ketika
wisatawan sudah tidak begitu banyak yang
datang suasana menjadi sepi kemudian P
mengatakan Minggu-minggu, uwong
uwong ki do piknik yo mbak biasane?
Setelah tuturan tersebut P dan Mt
berbincang-bincang membahas mengenal
daerah tempat tinggal Mt.
katkan karena melihat melihat
banyak wisatawan yang
berkunjung ke karaton.
A23/KFM P: Ndak pundi niki? (pergi kemana ini?) MT: Padhos angin niki.hehe monggo (cari angina ini,hehe mari) Konteks: P dan MT seorang abdi dalem. P sedang berdiri di depan pintu utama untuk mengawasi para wisatwan. MT dari arah dalam karaton keluar melewati pintu utama. tuturan tersebut terjadi ketika MT melwati depan P. sebelumnya P sudah mengetahui bahwa MT akan berjalan melewati. ketika MT berjalan dan berada di dekat P, P mengataan tuturan ndak pundi niki? Setelah tuturan tersebut P dan MT tidak melanutkan pembicaraan.
Bertegur sapa Tuturan ndak pundi niki? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Tuturan tersebut penutur katakan bukan semata-mata untuk bertanya kepada mitra tutur kemana ia akan pergi tetapi digunakan untuk bertegur sapa agar tidak ada prasangka buruk keduanya. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur mengtakan tuturan tersebut karena melihat mitratutur keluar dari pintu utama karaton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A24/KFM P: Sugeng enjang, sehat? (selamat pagi, sehat) MT: pangestunipun,kanjeng (doanya kanjeng) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem karatan. namun P merupakan kerabat sultan yang mempunyai jabatan lebih tinggi dibanding dengan MT. Tuturan terjadi ketika P ingin beremu dengan abdi dalem lain yang bertugas di tempat yang sama dengan MT. P masuk dalam tepas dan melihat MT sedang membaca buku. MT melihat P yang masuk ke dalam tepas sehingga P mengatakan tuturan sugeng enjang, sehat?. MT pun merespon tuturan P tetapi setelah itu tidak ada pembicaraan lebih lanjut. P kemudian bertemu abdi dalem lain dan MT melanjutkan aktivutasnya.
Bertegur sapa Tuturan sugeng enjang, sehat? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan untuk menanyakan dan memberi sebuah informais kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Hubungan sosial tersebut dapat berupa keramahtamahan, kepedulian. Selain itu tanggapan mitra tutur yang tidak relevan memperkuat bahwa tuturan tersebut berupakan bentuk dari komunikasi fatis. Selanjutnya tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan terjadi pada pagi hari dan mitra tutur tampak sehat karena bisa melakukan aktivitas di karaton dengan baik.
A25/KFM P: Kiyambakan, Romo? (Sendirian- romo?) (Sendirian, romo?) MT: saking pundhi niki? (Dari mana ini?) P: ….. Konteks: P dan MT mrupakan abdi dalem. Mt abdi dalem yang mempunyai usia lebih tua dibanding P.
Mengawali pembicaraan
Honorifik: co ke romo
Tuturan kiyambakan, Romo? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan keberadaan mitra tutur tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan. Tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya pada waktu tuturan terjadi mitra tutur sedang sendiri. Oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt sedang duduk dan menonton televisi pos parkiran belakang. MT dari arah dalam melihat P yang sedang duduk sendiri di tempat itu. MT memang sengaja ingin duduk dan bergabung bersama MT. tuturan kiyambakan, Romo? dikatakan oleh P ketika ia masuk dalam pos tersebut
sebab itu pernyataan yang sesuai realitasnya tersebut digunakan penutur untuk mempertahankan hubungan sosial yaitu penutur ingin bersikap sopan terhadap mitra tutur. Tuturan fatis tersebut terdapat pergseran secara generalisasi pada kata romo Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu romo
KODE DATA PERTUTURAN DAN KONTEKS
MAKNA
PRAGMATIK PERGESERAN FAKTOR PENYEBAB Keterangan
B1/KFP P : Yaa, begitu. Bisa dikatakan dari situlah
bahasa bagongan mulai bergeser karena
sudah tidak ada lagi istilah magang.
MT: Iya, baik kanjeng. Ehmm (melihat
daftar pertanyaan)
Senyap
P: Sudah jalan-jalan keliling kraton
belum?
MT: Baru sampai belakang situ, kanjeng.
Mempertahanka
n komunikasi
- - Tuturan sudah jalan-jalan
keliling kraton belum?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut tidak semata-
mata digunakan untuk
menanyakan sebuah informasi
tetapi digunakan untuk
mempertahankan komunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ini Kanjeng, saya mau Tanya lagi.
P: Oiya,iya silahkan tadi hanya selingan
saja.
……
Konteks :
P sedang diwawancari oleh Mt. P
menjelaskan mengenai bahasa bagongan
yang sudah jarang digunakan oleh para abdi
dalem. Mt menengaskan pernyataan P
mengenai pertanyaan wawancara. Ketika
Mt sedang sibuk mencari daftar pertanyaan
selajutnya, terjadi kesenyapan antara P dan
Mt. Mt terlihat bingng karena kehilangan
daftar pertanyaan dan P yang hanya
menunggu dan melihat Mt. P mengatakan
tuturan sudah jalan-jalan keliling kraton
belumn? Ketika Mt yang sedang mencari
daftar pertanyaa wawancara untuk mengisi
keheningan yang terjadi antara P dan Mt.
Setelah itu Mt, P melakukan Tanya jawab
kembali.
yang sedang berlangsung.
Kesenyapan yang terjadi di
dalam sebuah komunikasi akan
mengganggu hubungan sosial
antarpenutur terlebih P sedang
berbicara dengan seorang
tamu. Wujud dari komunikasi
fatis tersebut yaitu polar.
Artinya tuturan tersebut tidak
sesuai dengan realitasnya,
tuturan tersebut dituturkan
agar
B2/KFP P : Cucu saya kemarin juga minta saya
suruh nambani mbak. Lalu saya mintakan
ke situ
MT: Langsung sembuh ya Bu?
P1 : Iya mba.
Senyap (P1 dan P2 hanya diam dan tidak
Mempertahankan
komunikasi agar
tetap berlangsung
Daerah (bahasa Jawa) ke bahasa
Indonesia
Mitra tutur tidak berlatarbelakang budaya
Jawa.
Tuturan mbak e kalau hari
Minggu ada acara gak?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebu bukan semata-
mata untuk mengetahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terjadi interaksi)
P : Mbak e kalau hari Minggu ada acara
gak?
MT : Jarang, Bu.
P : …..
Konteks :
P seorang abdi dalem berjenis kelamin
perempuan. MT seorang mahasiswa yang
sedang melakukan penelitian. MT datang
terlalu pagi dan melihat di dalam keraton
belum banyak aktivitas. MT menunggu di
tepas security dan ditemani P. P bercerita
mengenai aturan-aturan yang berhubungan
dengan adat budaya di dalam keraton.
Setelah beberapa menit mereka berbicara
MT dan P berhenti karena tidak ada yang
diceritaan lagi. MT dan PT sama menatap
pendopo untuk melihat gamelan.
Kesenyapan terjadi di antara mereka, tidak
ada pembicaaran dan di tepas tersebut
mereka hanya berdua. Sehingga P
mengatakan tuturan “mbak e kalau hari
Minggu ada acara gak?” Kepada Mt dan
berlanjut berbincang-bincang meskipun
dengan topik yang berbeda.
aktivitas mitra tutur tetapi
digunakan untuk mengakraban
dan menunjukkan
keramahtamahan. Selanjutnya,
tuturan tersebut tidak sesuai
dengan realitas yang
sebenarnya. Artinya tuturan
tersebut tidak benar-benar
digunakan untuk mencari tahu
agenda mitra tutur pada hari
Minggu tetap hanya unuk
mengisi kesenyapan dalam
komunikasi.
Tuturan tersebut terdapat
pergeseran dari bahasa daerah
(bahasa JAwa) ke bahasa
Indonesia. Sebenarnya,
penutur menggunakan bahasa
Jawa untuk berkomunikasi
tetapi agar mudah
dipahamioleh mitra tutur,
tuturan bergeser menjadi
bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B3/KFP P : Sekedap nggih mas.
(sebentar –ya-mas)
(sebentar ya mas)
MT : Injih.
(Iya)
Senyap
PT: Njenengan ngobrol kaleh mbak e niki
nggeh angsal kok. Hehe. Nggeh to mba?
(Anda-berbicara-dengan-mbak-itu- dulu
boleh-kok-Heheh-Iya kan mba?)
(Anda berbicara sama mbaknya dulu boleh
kok. Heheh. Iya kan mba?)
MT2: senyum
PT : Niki sampun bener nanging dereng
pener. Ngapunten nggih njenengan gantos
riyen.
(Ini-sudah-bener-tapi-belum-tepat. Maaf –
ya-Anda-ganti-dahulu)
(Ini sudah bener tapi belum tepat. Maaf ya
Anda ganti dahulu)
MT1: Inggih mas, matur nuwun
(Iya-mas-ucap-terima-kasih)
(Iya mas ucap terima kasih)
Konteks :
MT bertemu dengan P untuk
Mempertahankan
komunikasi
Ameliorasi dan asosiasi: pekeniro ke njenengan
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai.
dalam masyarkat status sering kali menjadi perhatian
Dalam konteks tuturan tersebut
Apa yang dikatakan oleh P
bukanlah tuturan yang semata-
mata meminta Mt2 dan Mt1
untuk berbincang-bincang. P
hanya ingin mempertahan
komunikasi tetap berjalan agar
mitra tutur 1 dan mitra tutur 2
tidak merasa canggung. Bagi
Mt2, tuturan P akan membuat
lebih akrab. Dengan demikian
tuturan njenengan ngobrol
kaleh mbak e niki nggeh
angsal kok. Hehe. Nggeh to
mba? Merupakan bentuk
komunikasi fatis. Selain
tuturan tersebut berwujud
komunikasi fatis polar karena
tersebut tidak sesuai dengan
realitasnya. Artinya penutur
tidak benar-benar meminta
mitra tutur untuk saling
berbicara hal tersebut hanya
digunakan untukmengisi
kesenyapan dalam komunkasi
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyampaikan berkas di Tepas Panitra
Pura. Ketika MT di Tepas Panitra Pura P
sedang berbicara dengan MT2. P tahu
bahwa MT akan menyerahkan berkas
tersebut sehingga P meminta MT untuk
memberikannya pada P. Tidak ada
pembicaraan ketika P sedang memeriksa
berkas yang MT berikan dan hal itu terjadi
hingga beberapa menit. Setelah dua menit
tersebut P mengatakan tuturan “njenengan
ngobrol kaleh mbak e niki nggeh angsal
kok. Hehe. Nggeh to mba?”.
P merasa tidak enak karena telah
membiarkan MT2 yang merupakan tamu
untuk menunggu dan dibiarkan begitu saya.
P mengatakan hal itu sebagai bentuk
keakraban agar MT2 merasa nyaman
berada dilingkungan tersebut.
Tuturan tersebut terdapat
pergeseran secara asosiasi
pada kata njenengan.
Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan kata
pekeniro. Namun, sekarang
pekeniro mengalami
pergeseran yaitu njenengan.
selanjutnya, dalam lingkungan
keraton sesama abdi dalem
menggunakan kata pekeniro
agar tidak terlihat adanya jarak
atau tingkatan sosial
ddalamnya. Namun saat ini
bergeser menjadi njenengan
yang mempunyai maksud
menghormati mitra tuturnya.
B4/KFP P: Gimana mba penelitiannya?
Mt: Alhamdulilah, saya sering kesini pak
buat ambil data.
…..
P: Setelah ini mau ngapain?
Mt:Mau masuk pak, observasi.
P: Njiih, kalau gitu monggo
Mengakhiri
pembicaraan
- - Tuturan setelah ini mau
ngapain? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut bukan untuk
mencari informasi mengenai
Mt. Tuturan tersebut
digunakan untuk mengakhiri
pembicaran karena akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks :
P merupakan seorang abdi dalem yang
sering bertugas di tepas security. P dan Mt
saling mengenal tetapi jarang bertemu. Mt
yang baru saja datang dan masuk tepas
kaget melihat P sedang duduk dipojok. Mt
hanya tersenyum karena Mt harus presensi
dan mengisi data terlebih dahulu. Setelah
Mt selesai, Mt mendekati P tetapi ketika
MT belum sampai pada P, P sudah memulai
pembicaraan. P terlihat seperti terburu-
buru, karena P dan Mt berbicara dengan
berdiri dan tidak menanggapi banyak
pembicaraan Mt. P mengangkat tas sambil
mendengarkan pembicaraan Mt, setelah Mt
selesai berbicara P langsung mengatakan
tuturan setelah ini mau ngapain? Untuk
segera mengakhiri pembicaraan dengan Mt.
P langsung pergi setelah selesai berbicara
dengan Mt.
P dan Mt sudah mengenal. Mt menghormati
P karena P lebih tua dan merupakan teman
dosen pembimbing Mt. P juga menghargai
Mt karena Mt merupakan tamu di keraton
yang sedang melakukan penelitian. P
mengatakan tuturan tersebut agar Mt
nyaman.
terkesan tidak sopan apabila
baru saja bertemu tetapi sudah
ingin segera mengakhiri.
Selain itu, tuturan tersebut
tidak sesuai dengan realitas.
Realitas tersebut dapat dilihat
salah satunya berlanjutnya
topik pembicaraan itu
dibicarakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B5/KFP P : Njenengan pun dhahar dereng
niki Romo?
(Kamu- sudah - makan - belum – ini - pak?)
(Kamu sudah makan belum ini, pak?)
MT : Wah pun tigang mangkok.
(Wah- sudah - tiga - mangkok)
(Wah sudah tiga mangkok)
P : Waa lha niku, waras sak
kabehipun. Pripun wau dhalu?
(Waa-lha- itu – sehat- semuanya. –
Bagaimana- tadi- malam?)
(Waa lha itu, sehat semuanya. Bagaimana
tadi malam)
Konteks :
P adalah seorang abdi dalem Kraton
berjenis kelamin laki-laki. MT juga seorang
abdi dalem berjenis kelamin laki-laki. Pada
waktu itu di pos jaga belakang Kraton,
terdapat dua abdi dalem yang sedang
minum teh dan menonton televise. Ada
pembicaraan di antara mereka, pembicaraan
tersebut mereka lakukan dengan menonton
televise (berita) tetapi sering kali senyap..
Beberapa menit kemudian, P datang dari
tepas security di saat para abdi dalem lain
Mengawali
pembicaraan
Asosiasi dan generalisasi
Perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
Abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
Tuturan njenengan pun
dhahar dereng niki Romo?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut digunakan
bukan semata-mata untuk
menanyakan sebuah informasi
tetapi digunakan untuk
menggali sebuah pembicaraan.
Selain itu tuturan tersebut
tidak sesuai dengan realitas.
Artinya, sebelumnya tidak ada
topik pembicaraan yang
relevan dengan tuturan
tersebut.
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran dengan wujud
asosiasi yaitu pada kata
njenengan. Sebelumnya,
dalam lingkungan keraton
sesama abdi dalem
menggunakan kata pekeniro.
Namun, sekarang pekeniro
pergeseran yaitu njenengan.
Selanjutunya, di dalam tuturan
fatis tersebut juga mengalami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedang tidak ada pembicaraan di pos jaga
belakang. P yang ingin bergabung duduk
dan menonton televise, datang dan bertanya
“njenegngan pun dhahar dereng niki
Romo?”
(kamu sudah makan belum ini, pak?)
pergeseran secara generalisasi
pada kata romo. Penutur
sehurusnya menggunakan kata
co sebagai sapaan dalam
tuturan tersebut karena co
merupakan sapaan untuk
sesame abdi dalem. Namun,
kata co mengalami pergeseran
dalam penggunaannya secara
generalisasi menjadi romo.
B6/KFP PT : Ngapunten Co, kolo wingi wenten
tamu saking pundi?
(Maaf –teman- kemarin- ada-tamu - dari
mana?)
(Maaf teman, kemarin ada tamu dari
mana?)
MT : Nggeh kanjeng, wenten saking
kompas .
(Iya- kanjeng – ada - dari -Kompas)
(Iya, kanjeng ada dari Kompas)
PT: Matur nuwun.
(ucap-terima-kasih)
(terima kasih)
Konteks :
P seorang abdi dalem. P pada waktu itu
sedang diwawancarai oleh mahasiswa yang
Mengawali
pembicaraan
- - Tuturan ngapunten Co, kolo
wingi wonten tamu saking
pundi? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut bukan tuturan
informative yang digunakan
penutur untuk meminta maaf
tetapi Penutur katakan untuk
mengawali pembicraan dengan
cara yang lebih sopan. P
mengatakan tuturan tersebut
untuk menghargai kegiatan
yang dilakukan oleh Mt atau
Mt yang mungkin pada waktu
itu sedang sibuk.
Selain itu, tuturan fatis tersebut
tidak sesuai dengan
realitasnya. Artinya penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedang melakukan penelitian,pada waktu P
menjelaskan ia lupa mengenai tamu yang
beberapa hari lalu datang menemui P. Mt
yang pada waktu itu sedang menyimak
pembicaraan P dan mahasiswa tersebut
ditanyai oleh P untuk membantu
mengingatkan P. P yang tidak mengetahui
bahwa sebenarnya ikut menyimak
mengawali pembicaraan dengan
mengatakan tuturan ngapunten Co, kolo
wingi wonten tamu saking pundi?
mengatakan permintaan maaf
bukan karena ia elakukan
kesalahan tetapi sebagai
Pembina hubungan sosial
antarpenutur
B7/KFP P : Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten
Romo?
(Minta-seribu- kamu – sedang- sibuk -
tidak, Bapak?)
(Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?)
MT: Pripun?
(Bagaimana?)
(Bagaimana?)
P: Dipadhosi Kanjeng.
(Dicari- kanjeng)
(Dicari kanjeng)
MT: Wo, nggeh matur nuwun.
( Wo-ya-terima-kasih)
( Wo,ya terima kasih)
Mengawali
pembicaraan
Asosiasi: pekeniro ke njenengan
generalisasi: co ke romo
perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
Tuturan nuwun sewu,
njenengan sibuk mboten
Romo? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar.
Penutur menanyaka sesuatu
yang sudah ia ketahui
jawbannya. Penutur ingin
menghormati MT agar P dapat
tetap menjalin hubungan baik
dan tidak menyinggung MT.
Selanjutnya, tuturan tersebut
tidak sesuai dengan realitas.
Penutur pada waktu tuturan
tersebut tidak sedang sibuk.
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran dengan wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks:
P danmt merupakan abdi dalem yang
bertugas di Tepas Dwirapura. P mendapat
perintah untuk memanggilkan MT yang
berada di Tepas Dwirapura juga tetapi
berada di dekat pintu masuk. P tahu, bahwa
MT hanya sedang membaca buku dan
duduk. Namun P tetep mengatakan tuturan
“nuwun sewu, njenengan sibuk mboten
Romo?” Untuk menyampaikan pesan
kepada Mt.
asosiasi yaitu pada kata
njenengan. Sebelumnya,
dalam lingkungan keraton
sesama abdi dalem
menggunakan kata pekeniro.
Namun, sekarang pekeniro
pergeseran yaitu njenengan.
Selanjutunya, di dalam tuturan
fatis tersebut juga mengalami
pergeseran secara generalisasi
pada kata romo. Penutur
sehurusnya menggunakan kata
co sebagai sapaan dalam
tuturan tersebut karena co
merupakan sapaan untuk
sesame abdi dalem. Namun,
kata co mengalami pergeseran
dalam penggunaannya secara
generalisasi menjadi romo.
B8/KFP P : Dahar dereng niki?
(Makan- belum- ini)
(Makan belum ini)
Mt: Matur nuwun, keseso.
(ucap terimakasih- terburu-buru)
(terimakasih, terburu-buru)
Bertegur sapa - - Dalam situasi tersebut tuturan
dahar dereng niki?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut tidak dimaknai
sebagai pertanyaan yang
membutuhkan jawaban. Oleh
karena itu jawaban dari mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P: Mangga.
(silahkan)
Konteks:
P dan Mt merupakan sesama abdi dalem
yang saling mengenal. P sedang makan di
depan pintu masuk keraton Yogyakarta
bersama dua abdi dalem lain. Ketika P
sedang menikmati makannya, P melihat Mt
keluar dari pintu utama dan akan melewati
P. P dan Mt sama-sama mengetahui bahwa
mereka akan bertemu karena mereka sudah
saling melempar senyum. Pada waktu Mt
melewati depan P, P mengatakan tuturan
dahar dereng niki? Untuk menyapa Mt.
Mt tidak berhenti dan berbincang-bincang
dengan P. Mt hanya berjalan lebih pelan
sambil menawab pertanyaan P.
tutur pun tidak relevan dengan
tuturan penutur tetapi tetap
dianggap sah karena tuturan
tersebut digunakan untuk
bertegur sapa Selain itu,
tuturan tersebut tidak sesuai
dengan realitasnya. Artinya
penutur tidak benar-benar
bertanyaa untuk menunjukkan
kepedulian atau menawarkan
makan tetapi tuturan
digunakan untuk pemenuhan
hubungan sosial lain yitu
bertegur sapa agar terlihat
ramah.
B9/KFP P: Pripun?
(bagaimana)
Mt : Duh, kayane kok sumringah.
(Duh- sepertinya- kok- bahagia)
(Duh, sepertinya kok bahagia)
P: Mangga,mangga pinarak riyen.
(Mari-mari –mampir- dulu)
(Mari-mari mampir dulu)
Mengawali
pembicaraan
- - Tuturan pripun? Dalam
konteks tersebut merupakan
tuturan komuikasi fatis karena
tuturan tersebut tidak
digunakan untuk menanyakan
informasi yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat Jawa uturan
pripun? Mempunyai maksud
yang luas bisa menanyakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
…..
Konteks :
P merupakan abdi dalem dan Mt tamu yang
akan bertemu dengan P. P kaget melihat Mt
datang ketika P sedang keluar tepas dan
melihat Mt sudah diluar. P kemudian
mengatakan tuturan pripun? . Mt pun
menanggapi tuturan P yang sepertinya
sudah tahu maksud P . Setelah hal tersebut
P mempersilakan Mt untuk masuk dalam
tepas dan mereka pun berbicara dengan
serius.
kabar, keadaan, apa yang
dilakukan dan lai-lain. Apa
pun jawaban dari mitra tutur
tetap dianggap benar atau sah
karena hal itu hanya sebagai
pemenuhan hubungan soial
antar penuturnya. Selain itu
tuturan terseut mempunyai
wujud komunikasi fatis polar
karena tuturan tidak selaras
dengan realitas. Artinya tidak
ada sesuatu yang terjadi pada
mitra tutur.
B10/KFP P: Mari makan pak. MT: Sudah, matur nuwun. (Sudah, terimakasih) Konteks:P merupakan seorang tamu. MT seorang abdi dalem yang sedang bertugas. P dan MT sudah saling mengenal. ketika P sedang makan di warung dalam karaton Mt berjalan melewati P. P kemudian menyapa dan menawrkan makan kepada MT, kemudian MT merespon dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan terseut.
Bertegur sapa - - Tuturan sudah, matur nuwun merupakan bentuk komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Mitra tutur menolak ajakan penutur dengan mengatakan tuturan tersebut agar penutur tidak tersinggung. Tuturan tersebut juga tersebut tidak selaras dengan realitas. Artinya mitra tutur mengatakan hal yang tidak sebenarnya
B11/KFP …….
P: Njenengan mbenjang mriki mboten?
Mengakhiri
pembicaraan
Asosiasi : pekeniro ke njenengan
abdi dalem yang sudah
tidak fasih karena
Tuturan njenengan mbenjang mriki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mbenjang kulo critani meleh. Hehehe.
Kulo tak mriko riyen.
(Kamu-besok-ke- sini-tidak-Besok-saya
critakan-lagi-Hehehe-Saya-ke-sana-dulu)
(Kamu besok ke sini tidak? Besok saya
critakan lagi. Hehehe. Saya ke sana dulu
Mt: Enjeh pak, kulo tenggo critanipun
maleh.
(Iya-pak-saya-tunggu-critanya-lagi)
(Iya pak, saya tunggu critanya lagi)
P: Ngapunten nggeh.
(maaf ya)
Konteks :
P seorang abdi dalem dan Mt adalah tamu
yang sedang melakukan penelitian. P dan
Mt sudah sering bertemu meskipun tidak
setiap hari. Dari Mt datang P sudah berada
di tepas security dan sedang membaca
Koran. Setelah Mt mengisi presensi Mt dan
P berbincang-bincang mengenai kejadian
mistis di keraton. Mereka berbincang-
bincang cukup lama. Ketika P dan Mt
berbincang-bincang ada seorang abdi dalem
yang memanggil P kemudian P mengatakan
tuturan njenengan mbenjang mriki
penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
mboten? Mbenjang kulo
critani meleh. Hehehe. Kulo
tak mriko riyen merupakan
wujud komunikasi fatis polar
karena tuturan tersebut
digunakan bukan untuk
menyampaikan atau
menanyakan informasi tetapi
digunakan untuk mengakhiri
pembicaraan agar penuturnya
terlihat sopan,tidak
menyinggung perasaan mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mboten? Mbenjang kulo critani meleh.
Hehehe. Kulo tak mriko riyen.
B12/KFP P: Mangga (mari)
Mt: (menundukkan kepala)
Konteks :
P dan Mt seorang abdi dalem. Mt sedang
berdiri di pintu masuk utama untuk
bertugas. P berjalan akan melewati pintu
masuk utama dari arah gerbang utama
Karaton. Ketika P melewati Mt, P
mengatakan tuturan monggo dengan
mengurangi kecepatan berjalan. Setelah
tuturan tersebut tidak ada pembicaran
antara Mt dan P.
Bertegur sapa - - Tuturan monggo merupakan
bentuk komunikasi fatis polar
merupakan tuturan yang
bersifat informative tetapi
tuturan tersebut tersebut
bersifat komunikatif yang
berhubungan dengan
hubungan sosial penuturnya.
Sehingga jawaban apa pun dari
mitra tutur akan tampak sah
bagi penuturnya. tuturan
tersebut juga tidak sesuai atau
berlawanan dengan realitas.
Artinya penutur sebenarnya
tidak mengajak sesuai dengan
tuturan tersebut, tuturan itu
hanya digunakan sebagai
pemenuhunan hubungan
sosial.
B13/KFP …..
P: Mangga
(Mari)
(Mari)
Mt: Sampun, jam sementen niku
wayahipun jalan-jalan. Kulo ngrumiyini.
(Sudah- jam - segini - itu –waktunya -
Mengakhiri
pembicaraan
- - Tuturan tersebut tidak
dimaknai sebagai tuturan yang
informative. Tuturan tersebut
digunakan untuk mengakhiri
pembicaraan agar penutur
dapat terlihat sopan. Di dalam
masyarakat Jawa, ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
jalan-jalan. - saya - mendahului)
(Sudah, jam segini itu waktunya jalan-jalan.
saya mendahului)
P: Hahaha, njeh monggo
(hahaha-iya-mari)
(hahaha, iya mari)
Konteks :
Mt seorang abdi dalem sedangkan P adalah
tamu. Mereka berada di tepas security. P
teman seorang abdi dalem yang berada di
tepas security juga. Mereka bertiga sedang
asyik ngobrol. Setelah beberapa menit
berlangsung Mt terlihat tidak nyaman
seperti ingin keluar dari tepas tetapi mereka
sedang ngobrol. Mt merasa tidak enak
untuk memotong pembicaraan. di tengah
pembicaraan P ingin minum dan menawari
Mt. Mt yang sudah tidak nyaman karena
ada keperluan mengatakan tuturan sampun,
jam sementen niku wayahipun jalan-
jalan. Kulo ngrumiyini. Untuk
menanggapi tuturan P.
sedang berbincang-bincang
mengakhiri pembicaraan
langsung dapat menyinggung
perasaan mitra tuturnya. Oleh
sebab itu, tuturan tersebut
penutur gunakan agar mitra
tutur tidak tersinggung dan
mitra tutur pun sudah
mengetahui maksud penutur
sehingga mempersilakan.
B14/KFP ….. P: Kanjeng wonten niki? (Kanjeng -ada -ini?) (Kanjeng ada ini?)
Mempertahan komunikasi
Asosiasi: wenten ke wonten
Tuturan : kanjeng wonten niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: Wau wonten. (tadi ada) P: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (kemarin saya ketempat romo) …… Konteks : P dan MT sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, P dan MT saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan P mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? MT pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh P, P dan MT membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.
informasi kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk mengisi kesenyapan sehingga komunikasi tetap berjalan. Tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa kanjeng masih berada di tempat yang sama seperti yang mereka mereka lihat sebelum berkomunikasi tetapi penutur menanyakan untuk mengisis kesenyapan yang terjadi. Tuturan tersebut terdapat pergeseran secara asosiasi. Kata yang telah bergeser dalam tuturan tersebut yaitu wonten. Penutur sebenarnya menggunakan wenten dalam berkomunikasi antarabdi dalem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DATA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERGESERAN
Narasumber : KRT. H. Jati Ningrat, S.H.
Jabatan : Pengageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Cuplikan wawancara 1:
…….
Pewawancara : Apakah dalam hal berbahasa mengelami perubahan juga?
Narasumber : Jadi begini, dulu para calon abdi dalem biasanya magang sebagai calon abdi dalem itu ditempatkan para pangeran-pangeran, saudara dari sultan, sultan yang ada di luar mereka kan punya sultan HB, pangeran Bintara, HB Kusumo, Natajaya dsb jadi dulu mereka itu belum masuk seperti. Dulu gak ada istilah kaprajan. ……… Ini sebagai perkembangan baru dengan sendirinya yang tadi calon sebelumnya magang di tempat pangeran sekarang langsung karena para pangeran semakin lama berkurang. Semakin tipis, apalagi sultan ke-10 tidak punya putra laki-laki. Brarti tidak ada pangeran. Nah untuk berikutnya gimna? Nah ini harus ditata yang macam-macam begitu tantangan yang ada di depan kita.
Pewawancara : Brarti secara tidak langsung perubahan setelah HB IX yang tidak punya …
Narasumber : Oo bukan,bukan itu. Itu sekarang. Setelah sultan HB IX mengatakan bergabung dengan republik sudah ada perubahan. Dulu kerajaan penuh bersifat kerajaan. Supayaapa? Supaya tidak ada negara di dalam negara dari situ maka UU Istimewa Yogyakarta mewajibkan memelihara budaya ini agar tidak hilang.
…….
Cuplikan wawancara 2:
Pewawancara : Kanjeng mohon maaf saya kurang paham, sebagai abdi dalem pernah mendengar para abdi dalem menggunakan bahasa lain.
Narasumber : Sering, saya sendiri sering begitu. Terus terang malah menggunakan krama inggil. Di sadari atau tidak disadari masih ada ungkapan-ungkapan ketika ngajak bicara. Itu sudah menggunakan bahasa bagongan lama-lama menggunakan krama inggil atau campuran atau bahasa Indonesia. Tapi dalam kraton tidak menonjol tapi pandangan kata-kata bahasa Indonesia dengan Jawa dalam otak kita sering Indonesia tapi kita harus bicara Jawa. Lha ini menerjemahkan kalau tidak sering beda. Ini sering jadi kendala jangan sampai terjadi seperti itu, bagaimana setidaknya kita sadari kemudian ada upaya pendidikan ini upaya untuk tetap dan kita harus pahami dan hargai kesadaran yang seperti ini. biasanya orang jawa sering banyak mengalah menyesuaikan kemauan pihak lain kurang keras pendiriannya. Kamu harus gini tapi gak bisa begitu. Kalau kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sadari Sri Sultan HBIX terjun ke internasional apa yang dilakukan beliau meyesuaikan bahasanya dan disukai apalagi istri HB IX salah satunya dari Bangka.
……..
Cuplikan wawancara 3:
……..
Pewawancara : Berarti secara tidak langsung perubahan setelah HB IX yang tidak punya …
Narasumber : Oo bukan,bukan itu. Itu sekarang. Setelah sultan HB IX mengatakan bergabung dengan republik sudah ada perubahan. Dulu kerajaan penuh bersifat kerajaan. Supaya apa? Supaya tidak ada negara di dalam negara dari situ maka UU Istimewa Yogyakarta mewajibkan memelihara budaya ini agar tidak hilang.
Pewawancara : Perubahan budaya termasuk, budaya berbahasa itu tadi.
Narasumber : Iyaa termasuk budaya berbahasa itu juga. itu tanggung jawab bukan dari kraton saja tapi dari masyarakat jogja maka panjenengan meneliti ini dan menulis setidaknya di kampus ada catatan mengenai upaya untuk mempertahankan budaya.
……….
Cuplikan wawawancara 4:
……
Pewawancara : Wong Jawa. Hehe
Narasumber : Wong Jawa,semua itu bisa diakali, bisa dirembug itu istilahnya sedangkan atauran keras. Lha itu kita masih lunak sehingga kita masih tidak sama dalam itu. Sikap kita yang seperti ini dalam upaya melestarikan budaya ini menjadi kendala. Tapi saya yakin kalau kitasa dari itu tidak masalah apalgi tugas saya di sini.
……
Cuplikan wawawancara 5:
Pewawancara : Perkembangan zaman yang terjadi saat ini apakah juga mempengaruhi bahasa di sini, Kanjeng?
Narasumber : Iya, memang itu terjadi. Kita sering bertemu dengan tamu bahkan tamu dari luar atau asing brarti kita tidak bisa menggunakan bahasa Jawa. Sekarang karena zaman sudah berkembang, mempengaruhi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pewawancara : Termasuk pola pikir kanjeng?
Narasumber : Bisa itu, kita menggunakan bahasa nasional dengan tamu kalau dengan orang asing kita sering menggunakan bukan bahasa Indonesia itu sudah sifat kita. Bahasa Indonesia saat ini dalam artian global juga menemui bahaya.
Pewawancara : Bahaya ya?
Narasumber : Iya, jadi bukan bahasa daerah saja tapi juga bahasa nasional . Kita lebih seneng dengan bahasa Inggris ya to. Di media banyak menggunakan bahasa asing kan zaman sudah berkembang. Di media malah justru kita dikatakan kalau tidak tau bahasa inggris satu atau dua kata dikatakan jadul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DATA PENELITIAN KOMUNIKASI FATIS PARA ABDI DALEM
DI KERATON YOGYAKARTA KETERANGAN:
Data penelitian komunikasi para abdi dalem di Keraton Yogyakarta diklasifikasikan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi fatis polar. Kode
A diberikan pada komunikasi fatis murni (KFM) dan kode B diberikan pada komunikasi fatis polar (KFP). Di bawah ini merupakan data-data penelitian
berjudul “Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”. Berilah tanda centang pada kolom penilaian (S) apabila Anda
setuju bahwa makna pragmatik, pergeseran wujud dan makna dan faktor penyebab pergeseran yang diidentifikasi oleh peneliti dapat membantu pemahaman
mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem. Sebaliknya ber tanda centang pada kolom penilaian (TS) apabila Anda tidak setuju bahwa makna pragmatik,
pergeseran wujud dan makna dan faktor penyebab pergeseran yang diidentifikasi oleh peneliti dapat membantu pemahaman mengenai kefatisan berbahasa para
abdi dalem dan berikan alasan atau komentar.
KODE DATA PERTUTURAN
DAN KONTEKS
MAKNA
PRAGMA
TIK PERGESERAN
FAKTOR PENYEBAB
KETERANGAN
TRIANGULATOR
KOMENTAR Setuju Tidak
setuju
A1/KFM P: niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini, sertifikat untuk kanjeng) MT : wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo lha dapat setifikat sendiri malahan) ……. (senyap) P: wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) MT : inggeh niki,lha ujian. (Iya ini, lha ujian) P : ….
Mempertah
ankan
komunikasi
agar tetap
berlangsung
honorifik : konco ke bu
Bahasa bagongan sudah jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam lingkungan karaton
semakin sering dan luas interaksi para abdi dalem di luar masyarakat karaton sehingga abdi dalem
Tuturan wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tturan tersebut bukan untuk memberitahu atau bersifat informative pada mitra tuturnya karena mereka sudah sama-sama mengetahui akan hal itu (hari itu sepi) . Dalam tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran secara generalisasi yaitu pada kata Bu. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal karena sering bertugas ditepas yang sama. P dan Mt berada di tepas security sedang berbincang-bincang. Di tengah pembicaraan ada orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat untuk kanjeng. Setelah orang tersebut menyerahkan sertifikat P dan Mt membahas mengenai sertifkat yang diberikan untuk kanjeng. Setelah membahas sertifikat berakhir, P dan Mt diam melihat ke arah pendopo. Senyap yang terjadi secara tiba-tiba membuat merasa canggung karena mereka berada di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan. Kemudian P mengatakan tuturan wah sepi dinten niki untuk mengisi pembicaraan antara P dan Mt. Mt pun menanggapi dan kemudian terjadi pembicaraan lebih lanjut dengan topik yang berbeda dari tuturan tersebut..
terbiasa dengan sapaan atau kosa kata bahasa Indonesia
abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu bu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A2/KFM ….. P: sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) Mt: nggeh, monggo. (Iya, silahkan). Konteks : P dan Mt merupakan _esame abdi dalem di keraton. Mereka sudah mengenal cukup lama. P dan Mt sedang berbincang-bincang di tepas, mereka berbicara sudah cukup lama. Mereka saling berhadapan. P sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius P dan Mt saling diam dan tidak ada pembicaraan. P dan Mt hanya melihat para wisatawan yang sedang melakukan kunjungan dan sesekali membahas topik yang mereka bicarakan. Kemudian P mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar tanggapan Mt, P langsung berpamitan untuk mendahului Dilihat dari usianya Mt lebih tua dibanding P. P
Mengakhi
ri
pembicaraa
n
- -
Tuturan sampun luhur to
niki? Kulo ngrumiyini.
(Sudah luhur to ini? Saya
mendahului) merupakan
tuturan yang tidak
dimaksudkan untuk
pemberitauan kepada mitra
tutur tetapi digunakan
mengantarkan penutur
untuk menyampaikan
maksud dalam konteks ini
mengakhiri pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghormati Mt sehingga ketika P ingin pergi dan mengakhiri pembicaraan ia tidak langsung pamit tetapi mengatakan sesuatu yang sudah sama-sama mereka ketahui. Mt yang menghargai P sudah mengetahui maksud P sehingga Mt langsung menpersilakan P.
A3/KFM Suasana sepi P: wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. (wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.) MT : hehe.. P : sudah masukin surat belum mbak? MT : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks: P merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (MT) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. MT yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama P. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi
Mengawali
atau memulai
pembicaraan
- - Tuturan wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan bukan untuk memnginformasikan kepada mitra tutur bahwa teh yang diminum oleh penutur itu pahit tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan dengan mitratutur agar akrab dan menunjukkan keramahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hal itu terjadi selama beberapa menit. Kemudian P masuk untuk mengambil minum dan mengatakan tuturan “wah the e pait iki mbak. Seng gawe jan” P masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, ia merasa tidak nyaman ketika bersama MT tetapi tidak ada pembicaraan atau interaksi. P mengatakan tuturan yang sudah ia ketahui dan membicarakannya pada MT agar P bisa memulai pembicaraan lanjut dan saling berinteraksi. P seorang abdi dalem keraton yang ingin menujukkan keramahan pada tamu-tamu yang sedang berkunjung ke Kraton.
A4/KFM P : Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? Kalau mau duduk sini boleh kok. MT: Iya bu. Oow, duduk di sini boleh ya? P: boleh kalau mau duduk di sini, pokoknya kalau tidak ada tulisan dilarang boleh silahkan.
Mengawali
atau
memulai
pembicaraa
n
Mitra tutur bukan orang jawa
Tuturan Sendiri ini mas
wisatanya, gak sama
teman-temanya?
Merupakan bentuk
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut digunakan
bukan untuk menanyakan
sesuatu yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT: yaya, ibu. Terimakasih P: asalnya dari mana? Konteks : P sedang duduk di Pendopo gamelan untuk istirahat. P sudah agak lama memperhatikan MT yang sibuk mengurus tasnya yang besar dan terlihat berat serta bingung untuk mencari tempat. P mengetahui bahwa Mt berwisata sendiri. Di Pendopo Gamelan pada waktu itu masih sepi belum ada pengunjung. Para abdi dalem lain sedang siap-siap untuk bermain gamelan. Pada waktu MT berada di dekat P ia mengatakan tuturan Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? P tidak mengenal Mt karena Mt seorang wisatawan. P yang tahu bahwa Mt mencari tempat duduk. P tidak langsung meminta Mt untuk duduk meskipun ia tahu. P mengatakan tuturan tersebut untuk menunjukkan keramahan
diketahui oleh penutur
tetapi tuturan tersebut
digunakan untuk
mengawali pembicaraan.
Wujud komunikasi fatis
dalam tuturan tersebut yaitu
murni karena tuturan
tersebut sesuai dengan
realitasnya yaitu mitra tutur
sedang berwista ke karaton
sendiri.
Tuturan tersebut mengalami
pergeseran dengan maksud
agar komunikasi mudah
dipahami. Lebih dari itu,
penutur menggunakan
komunikasi dengan bahasa
Indonesia karena mitra
tutur berasal dari luar jawa
yang sedang berwisata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemudian memberitahu Mt.
A5/KFM PT : wilujeng injing, Co (Selamat pagi, Co) MT : mangga (mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan mereka berpapasan. P mengatakan tuturan wilujeng injing, Co ketika tepat berpapasan dengan Mt. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka. P dan Mt sasama abdi dalem keraton. P lebih muda dibanding Mt sehingga ketika berpapasan P mengatakan tuturan terlebih dahulu. P ingin menghormati Mt meskipun mereka merupakan sesame abdi dalem. Begitu juga dengan Mt, dan Mt juga ingin
Bertegur
sapa
- - Tuturan wilujeng injing,
Co merupakan bentuk
komunikasi fatis karena
digunakan bukan untuk
menginformasikan kepada
mitra tutur bahwa hari itu
pagi, tetapi merupakan
wujud tuturan untuk
menjalin hubungan baik
antarpenutur. Tuturan
tersebut merupakan wujud
komunikasi fatis murni
artinya tuturan tersebut
sesuai dengan realitasnya
pagi hari.
Masyarakat jawa memiliki budaya tegur sapa sebagai salah satu cara membina hubungan baik antarpenuturnya. Hal ini tampak dalam tuturan tersebut karena merupakan Hal yang sudah sama-sama
diketahui atau dimengerti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghargai dengan menanggapi tuturan P.
A6/KFM P: njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) MT: ngantuk hawane (suasananya ngantuk) P : inggih, mangga. (iya, mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, P sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Kraton. P melihat MT sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, P yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat MT yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. P melewati MT sehingga P mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) ” Mt dan P merupakan abdi dalem yang sudah saling
Bertegur
sapa
Eufemisme : Pekeniro ke njenengan
abdi dalem yang sudah tidak fasih berbahasa bagongan karena penggunaan bahasa jawa krama,madya yang lebih sering dipakai.
Tuturan njenengan
sampun sayah niki jam
sementen? Merupakan
bentuk dari komunikasi
fatis karena tuturan tersebut
tidak digunakan untuk
menanyakan informasi pada
mitra tutur tetapi tuturan
tersebut digunakan untuk
membina hubungan sosial.
Selain itu tuturan tersebut
merupakan wujud dari
komunikasi fatis murni
karena kefatisan dalam
tuturan tersebut sesuai
dengan realitasnya
Tuturan fatis tersebut
terdapat wujud pergeseran
asosiasi yaitu pada kata
njenengan . Sebelumnya,
abdi dalem karaton
menggunakan kata pekeniro
sekarang kata tersebut
bergeser menjadi
njenengan. Artinya,
sebenarnya P menggunakan
kata pekenira untuk
menyapa sesame abdi
dalem di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengenal. P yang sudah mengenal MT dengan baik akan menyapa ketika bertemu dengan MT, meskipun P mengatakan tuturan yang sudah P ketahui .
percakapannya.
A7/KFM PT : keseso mas? (terburu-buru mas?) MT : kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (kanjeng,ada siapa kok sendirian? PT : Hanggeh (Iya) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. Ketika sedang duduk, P tahu bawah Mt sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan P. P mengatakan tuturan keseso mas? Ketika Mt melewati depan P sebagai bentuk sapaan karena mereka sudah saling mengenal. MT pun menjawab dengan singkat dengan tuturan kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? sebagai bentuk kepedulian
Bertegur
sapa
Honorifik : konco ke mas
Eufemisme : wenten ke wonten
perkembangan
sosial budaya
yaitu pihak
karaton yang
sudah terbuka
dan menerima
masyarakat dari
luar.
abdi dalem yang
sudah tidak fasih
menggunakan
bahasa bagongan
karena
penggunaan
bahasa jawa
krama lebih
sering dipakai.
Tuturan tercetak tebal
tersebut merupakan wujud
komunikasi fatis murni
karena penutur mengatakan
sesuatu yang sudah ia
ketahui jawabannya tetapi P
katakana untuk
menunjukkan kepedulian.
Di dalam tuturan fatis
tersebut terdapat pergeseran
dengan wujud generalisasi
pada kata mas.
Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan
kata sapaan co yang
maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang
konco atau co mengalami
pergeseran yaitu mas untuk
menyebut mitra tutur yang
laki-laki yang lebih muda
dan dihargai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terhadap P. Mt pun menanggapi P dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. P dan Mt sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.
A8KFM P : Sinten niku? Duhh hehe (siapa itu? Duh hehe) MT: ndak pundhi, niki (mau kemana, ini?) P : menunjuk arah Konteks: P merupakan abdi dalem
dan Mt penjual di dalem
lingkungan keraton. Mt
sedang berbincang-bincang
dengan salah satu
wisatawan dan melihat
keberadaan P yang akan
melewati warung miliknya.
P dan Mt sudah terlihat
sama-sama tahu dan terlihat
akan bertegur sapa. Ketika
P sudah hampir mendekati
Mt, P mengatakan tuturan
Sinten niku,duhh? Hehe.
Mt menjawab dengan
Bertegur
sapa
- - Tuturan Sinten niku?
Duhh hehe merupkan
bentuk komunikasi fatis
karena tuturan tersebut
bukan penutur gunakan
untuk bertanya dan ingin
megetahui siapa yang
berbicara dengan mitra
tutur tetapi digunakan
untuk saling bertegur sapa.
Selain itu, tuturan tersebut
berwujud komunikasi fatis
murni karena penutur
mengatakan tuturan yang
sesuai dengan realitas
bahwa mitra tutur sedang
berbincang-bincang dengan
orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbalik bertanya pada P. P
tidak menjawab hanya
menunjukkan arah, Mt
yang sedang berbicara
dengan wisatawan tidak
merespon kembali. P
menyapa terlebih dahulu
karena P mengetahui bahwa
Mt sedang berbicara
dengan orang lain.
A9/KFM P : sugeng enjang. (Selamat pagi) Mt : mangga (Mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. Mt sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan P sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh P tidak tahu kalau Mt berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu P berjalan mendekati Mt, para wisatawan itu pergi dan P dapat melihat MT. Ketika P melewati persis di depan Mt, P mengatakan tuturan sugeng enjang pada Mt. Mt yang megetahui hal itu kemudian menjawab
Bertegur
sapa
- - Tuturan sugeng enjang
merupakan bentuk dari
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut digunakan
untuk menjaga hubungan
sosial antarpenutur yaitu
ramah tamah. Tuturan
tersebut bukan merupakan
tuturan untuk
menginformasikan atau
bersifat informative. Selain
itu wujud tuturan tersebut
yaitu komunikasi fatis
murni karena penutur
membina hubungan sosial
dengan mitra tutur dengan
mengtakan tuturan yang
sesuai dengan realitasnya
yaitu pagi hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tuturan P. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara P dan Mt.
A10/KFM P : sendirian mbak? (menundukkan kepala) Mt: njeh. P: …… Konteks: P seorang abdi dalem dan Mt merupakan tamu yang sedang duduk di tepas security. Sebelumnya Mt pernah bertemu P di tempat lain dan ketika bertemu Mt memang selalu sendiri. Pada waktu itu P baru selesai berpatroli mengelilingi karaton danmenuju ke tepas. P mengatakan tuturan sendirian mba? Dan kemudian duduk bersebelahan dengan Mt. Setelah tuturan tersebut P berbincang-bincang dengan Mt.
Mengawali
pembicaraa
n
- - Tuturan sendirian mbak?
Merupakan bentuk
kmuikasi fatis karena
tuturan bukan digunakan
untuk menanyakan
informasi. Tuturan tersebut
merupakan tuturan yang
penutur gunakan untuk
mengawali pembicaraan
dengan seorang tamu yang
sudah dikenal. Selain itu
penutur juga ingin
menunjukkan kesopanan
karena penutur ingin duduk
di sebelah mitra tutur
sambil istirahat. Selain itu
tuturan sendirian mbak?
Merupakan wujud dari
komunikasi fatis murni
karena tuturan tersebut
sesuai dengan realitas
bahwa mitra tutur memang
sedang sendiri
A11/KFM …. P: Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini sudah tidak panas) Mt : pun sakniki mboten
Memperta
hankan
komunikasi
Eufemisme : Mboya ke mboten
perkembangan
bahasa dan juga
sosial budaya
yaitu pihak
karaton yang
Tuturan Wah, jam
sementen pun mboten
panas merupakan wujud
komunikasi fatis murni
karena (bukan sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saget ditebak. P: wau dalu kulo niku medhal walah uademe. ….. Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem kraton. Pada waktu itu P sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba Mt datang untuk menghampiri P yang sedang berdiri sendiri. Mt memang ada keperluan, membicarakan sesuatu yang penting. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada Mt dan P. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian P mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini tidak panas) hal itu tidak sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut Mt dan P kembali membicarakan topik sebelumnya.
sudah terbuka
dan menerima
masyarakat dari
luar.
informasi yang akan
diberikan kepada mitra
tutur bahwa cuaca sudah
tidak panas tetapi penutur
gunakan untuk menjaga
komunikasi.
Tuturan fatis tersebut mengalami pergeseran dengan wujud asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata Mboya tetapi sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu mboten
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A12/KFM P: sehat, Romo? (sehat, bapak?) Mt: pengestunipun (doanya) P: …. Konteks : Mt sedang duduk dan
menonton televise di pos
jaga parkiran belakang
bersama abdi dalem lain.
Pada waktu itu sepi
bahkan seperti tidak ada
pembicaraan di antara para
abdi dalem lain di pos
tersebut. Beberapa menit
kemudian, P datang dari
dalam ingin bergabung
dan sepertinya ada
keperluan dengan Mt. P
pun mendekati Mt dengan
mengatakan tuturan sehat,
Romo. P dan Mt
merupakan sesame abdi
dalem tetapi dilihat dari
usianya, Mt lebh tua
dibandingkan dengan P.
Setelah tuturan tersebut
keduanya duduk
berhadapan dan
membicarakan sesuatu.
Mengawali
pembicaraa
n
Honorifik : Co ke romo
Perkembangan
sosial budaya
yaitu pihak
karaton yang
sudah terbuka
dan menerima
masyarakat dari
luar.
Tuturan sehat, Romo?
Merupakan wujud
komunikasi fatis murni
karena tuturan tersebut
bukan sebuah tuturan yang
digunakan tetapi sebagai
pengantar kepada mitra
tutur untuk berbicara
mengenai suatu hal.
Tuturan fatis tersebut
terdapat pergeseran
secarageneralisasi pada kata
romo..
Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan
kata sapaan co yang
maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang
konco atau co mengalami
pergeseran yaitu romo.
A13/KFM P: Sampun, Romo? (Sudah, bapak?)
Bertegur
sapa
Honorifik Co ke romo
perkembangan
sosial budaya
Tuturan terssebut bukan
merupakan tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt: (menundukkan kepala). Niki kok saged babarengan.hehe. Monggo. (ini kok bisa bersama-sama.hehehe.mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi
dalem yang sedang
melakukan presensi. Mt
datang terlebih dahulu
kemudian tanda tangan. Di
belakang P ada Mt yang
akan tanda tangan juga.
Ketika Mt sudah selesai
Mt berbalik dan melihat P.
Mt dan P saling mengenal
sehingga P mengatakan
tuturan Sampun, Romo?
Mt yang mengetahui
maksud P pun membalas
dengan niki kok saged
babarengan.hehe.
Monggo.
yaitu pihak
karaton yang
sudah terbuka
dan menerima
masyarakat dari
luar.
menanyakan sebuah
informasi. Artinya penutur
mengatakan tuturan
tersebut tidak
mengharapkan jawaban
sesuai dengan pertanyaan
karena P sudah mengetahui
jawaban dari tuturan
tersebut. Dengan demikian
tuturan tersebut merupakan
wujud komunikasi fatis
murni
Tuturan fatis tersebut
terdapat pergeseran secara
generalisasi pada kata
romo. Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan
kata sapaan co yang
maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang
konco atau co mengalami
pergeseran yaitu romo.
A14/KFM P: Mboten mriko? (tidak ke sana) MT: Ngantuk. Konteks: P sedang berjalan dari arah tepas security menuju gerbang utama. ketika
Bertegur sapa
Eufemisme : Mboya ke mboten
abdi dalem
yang sudah
tidak fasih
karena
penggunaan
bahasa jawa
krama lebih
Tuturan tersebut merupakan wujud komuniaksi fatis murni. Kefatisan tuturan tersebut lebih jelas dilihat ketika mitra tutur menjawab pertanyaan penutur tidak sesuai dengan topik tetapi penutur tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berjalan melewati pendopo gamelan ia berpapasan dengan MT . Mereka sudah sama-sama mengetahui bahwa akan berpapasan. setelah jarak semakin dekat P mengatakan tuturan Mboten mriko? (tidak ke sana?). Mt pun menjawab dengan ala kadarnya. setelah mengatakan tuturan tersebut P dan Mt tidak melanjutkan pembicaraan.
sering
dipakai.
menanyakan ulang atau sudah merasa puas. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan realita saat tuturan itu terjadi. Selanjutnya, tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran sevara asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata mboya. Namun, mboya mengalami pergeseran yaitu mboten.
A15/FKM P: Ngeteh niki? (minum teh ini?) MT: Enggeh men padang. Konteks: P dari arah luar masuk ke tepas sequrity. ketika sampai dalam, P melihat MT yang sedang minum teh. di dalam tepas mereka hanya berdua sehingga P mengatakan tuturan Ngeteh niki? (minum teh ini?) Setelah tuturan tersebuttidak ada pembicaraan kembali antara P dan Mt. Mt berdiri di dekat pintu sedang P sedang menulis sesuatu.
Bertegur sapa
- - Tuturan tersebut penutur katakan bukan untuk menanyakan sesuatu hal yang sudah penutur ketahui yaitu mitra tutur minum teh. Namun penutur katakana sebagai bentuk sapaan karena penutur tiba di ruangan tersebut. Dengan demikian tuturan tersebut mempunyai wujud komunikasi fatis murni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A16/KFM P: kulon nuwun (permisi) MT: mangga, sehat mbak? (silahkan, sehat mbak?) P:njeh pak, matur nuwun. Bu Yati rawuh dereng pak? (Iya pak, terima kasih. Bu Yati sudah datang?) Konteks: P merupakan tamu di karaton. P datang ke tepas sequrity untuk mencari Bu Yati. Pada waktu itu Mt sedang membaca Koran di dalam tepas. P dan Mt sudah saling mengenal. Ketika tuturan terjadi, di tepas hanya ada MT. setelah tuturan terjadi P dan MT membicarakan topik yang berbeda.
Mengawali pembicaraan
Tuturan terebut merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban. Artinya tuturan tersebut bersifat komunikatif bukan informative. Tuturan tersebut dituturkan untuk menghargai penutur yang menunjukkan sikap sopan terhadap mitra tutur. Hal itu akan mempengaruhi hubungan sosial antar penuturnya.
A17/KFM P: sugeng enjang kanjeng, wenten tamu. (selamat pagi kanjeng, ada tamu.) Mt: enggeh, saking pundi? (iya, dari mana?) Konteks : P dan MTmerupakan abdi dalem yang berada dalam satu tepas. Pada waktu itu P sedang bertemu dengan tamu. MT tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh P karena pada waktu
Mengawali pembicaraan
Tuturan sugeng enjang (selamat pagi )merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan situasi pada waktu tuturan terjadi yaitu pagi hari. Namun, tuturan tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan informasi pada mitra tutur bahwa pada waktu itu pagi hari, tetapi digunakan untuk hubungan sosial yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu MT sedang duduk membaca buku dan menulis. Tamu tersebut ternyata ingin bertemu dengan MT. P mengantar tamu tersebut untuk bertemu MT yang sedang membaca buku di dalam ruangan itu juga. P dan MT merupakan masyarakat berlatarbelakang Jawa yang berusia lebih dari 50 tahun.
bersikap sopan agar mitra tutur tidak tersinggung.
A18/KFM P: sami wilujeng? (kabarnya baik?) MT: pengestunipun (doanya) P: pekeniro rapat jam pinten? (kamu rapat jam berapa?). ….. Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang berada di dalam tepas yang sama. sebelum berbicara dengan MT, P berbicara dengan abdi dalem lain cukup lama. MT pada waktu itu sedang membaca buku dan mengetahui keberadaan P. setelah P selesai berbicara dengan abdi dalem lain, P menemui MT. Mt tidak lagi membaca buku tetapi
Mengawali pembicaraan
Tuturan sami wilujeng? Merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk mencari atau menanyakan keadaan mitra tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan ada itra tutur. Selian itu tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa mitra tutur sedang baik-baik saja atau sehat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedang mencari sesuatu di mejanya ketika P datang. P mengatakan tuturan sami wilujeng? (kabarnya baik?) Kepada MT. setelah tuturan tersebut P duduk dan berbicara cukup lama dengan MT.
A19/KFM P: sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? (selamat pagi kanjeng, baru datang?) MT: wenten tamu wau. monggo. (ada tamu tadi. mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. dalam setiap harinya P dan MT bertugas di tepas yang sama. P sedang menulis di tepas. dari kejauhan MT berjalan menuju tepas. P tahu bahwa MT akan masuk dan melewati depan P. ketika MT masuk P mengatakan tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut, P dan MT melanjutkan aktivitas masing-masing.
Bertegur sapa
Tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan dignakan oleh penutur utnuk menanyakan nformasi tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenutur dengan bertegur sapa. Selain itu, dapat dikatakan murni karena penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan. Artinya pada waktu tuturan tersebut memang mitra tutur sedang datang dan berpapasan oleh penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A20/KFM P: ngawan ngawani niki? (kesiangan ini?). MT: sugeng enjang, monggo. (selamat pagi, mari) Konteks : P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. P berada dari arah barat dan MT dari arah timur dan baru datang.mereka berpapasan. ketika mereka berpapasan P mengatakan tuturan ngawan ngawani niki? dan Mt tidak menjawab sesuai dengan topik yang dibicarakan. setelah Mt merespon P , mereka tidak melanjutkan pembicaraan dan melalukan aktivitas masing-masing.
Bertegur sapa
Tuturan ngawan ngawani niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan semata-mata untuk menanyakan informasi pada mitratutur tetapi untuk bertegur sapa. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa ketika mereka bertemu mitra tutur sedang tiba di karaton dan lebih siang dibanding penuturnya.
A21/KFM P: Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? (bagaimana ini Bu Yati, beritanya kok isinya seperti gini?) Mt: hahahah,pripun maleh pak. (Pripun meleh pak) ….. Konteks : P dan Mt merupakan abdi
dalem yang sedang berada
Mencairka
n suasana
Honorifik : co ke bu perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa
Tuturan Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? Merupakan bentuk komunkasi fatismurni karena tuturan tersebut bukan untuk menyampaikan protes atau pemberitahuan sesungguhnya kepada mitra tutur. Namun, penutur mencaikan suasana pada waktu itu. Selanjutnya, tuturan tersebut berwujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di tepas security. Dalam
tepas tersebut terdapat tiga
orang yang salah satunya
tamu. Tidak ada
pembicraan di antara
mereka. P sedang
membaca Koran, Mt
sedang duduk dan hanya
melamun. Dalam keadaan
hening P tiba-tiba
mengatakan tuturan Dhos
pundhi niki bu Yati
beritane kok isine koyo
ngene? Sambil menutup
Koran yang dibaca. Mt
sepertinya sudah paham
bahwa hal itu tidak perlu
dikomentari sehingga Mt
tidak menanggapi terlalu
banyak. Setlah tuturan
tersebut P dan Mt
berbincang-bingan
mengenai topik yang
berbeda.
krama lebih sering dipakai
komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan tersebut benar-benar terjadi, berita yang sedang dibaca penutur memprihatinkan dan lain sebagainya. Tuturan tersebut terdapat
pergeseran secara
generalisasi pada kata bu bu
Yati . Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama
abdi dalem menggunakan
kata sapaan co yang
maksudnya konco atau
teman. Namun, sekarang
konco atau co mengalami
pergeseran yaitu bu.
A22/KFM P: Minggu-minggu, uwong uwong ki do piknik yo mbak biasane? (Minggu-minggu, orang-orang itu pada piknik ya mba biasanya?) Mt: njih pak, kesempatan. (Iya pak, kesempatan.)
Mengawali
pembicaraa
n
- - Tuturan Minggu-minggu,
uwong uwong ki do
piknik yo mbak biasane?
Merupakan bentuk
komunikasi fatis karena
tuturan tersebut bukan
bersifat informative atau
digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P: Mbake ki asli pundhi to? (Mbak e asli mana?) Konteks : P adalah abdi dalem
sedangkan Mt adalah
tamu.P sedang berada di
depan gerbang pintu
masuk karaton. P dan Mt
sudah saling mengenal
karena Mt sedang
melakukan penelitian di
Karaton. Mt berdiri di
dekat P dan wisatawan
sedang datang secara
bergerombolan.
Sebelumnya memang
tidak ada pembicaraan
karena Mt baru saja datang
kemudian berada di dekat
P. Ketika wisatawan sudah
tidak begitu banyak yang
datang suasana menjadi
sepi kemudian P
mengatakan Minggu-
minggu, uwong uwong ki
do piknik yo mbak
biasane? Setelah tuturan
tersebut P dan Mt
berbincang-bincang
membahas mengenal
daerah tempat tinggal Mt.
memberikan informasi
kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut penutur gunakan
untuk mengawali
pembicaraan kepada mitra
tutur agar keduanya dapat
berbincang-bincang dan
lebih akrab. Selain itu
tuturan tersebut sesuai
dengan realitas. Artinya
bahwa tuturan tersebut
penutur katkan karena
melihat melihat banyak
wisatawan yang berkunjung
ke karaton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A23/KFM P: ndak pundi niki? (pergi kemana ini?) MT: padhos angin niki.hehe monggo (cari angina ini,hehe mari) Konteks: P dan MT seorang abdi dalem. P sedang berdiri di depan pintu utama untuk mengawasi para wisatwan. MT dari arah dalam karaton keluar melewati pintu utama. tuturan tersebut terjadi ketika MT melwati depan P. sebelumnya P sudah mengetahui bahwa MT akan berjalan melewati. ketika MT berjalan dan berada di dekat P, P mengataan tuturan ndak pundi niki? Setelah tuturan tersebut P dan MT tidak melanutkan pembicaraan.
Bertegur sapa
Tuturan ndak pundi niki? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Tuturan tersebut penutur katakan bukan semata-mata untuk bertanya kepada mitra tutur kemana ia akan pergi tetapi digunakan untuk bertegur sapa agar tidak ada prasangka buruk keduanya. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur mengtakan tuturan tersebut karena melihat mitratutur keluar dari pintu utama karaton.
A24/KFM P: sugeng enjang, sehat? (selamat pagi, sehat) MT: pangestunipun,kanjeng (doanya kanjeng) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem karatan. namun P merupakan kerabat sultan yang mempunyai jabatan
Bertegur sapa
Tuturan sugeng enjang, sehat? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan untuk menanyakan dan memberi sebuah informais kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Hubungan sosial tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih tinggi dibanding dengan MT. Tuturan terjadi ketika P ingin beremu dengan abdi dalem lain yang bertugas di tempat yang sama dengan MT. P masuk dalam tepas dan melihat MT sedang membaca buku. MT melihat P yang masuk ke dalam tepas sehingga P mengatakan tuturan sugeng enjang, sehat?. MT pun merespon tuturan P tetapi setelah itu tidak ada pembicaraan lebih lanjut. P kemudian bertemu abdi dalem lain dan MT melanjutkan aktivutasnya.
dapat berupa keramahtamahan, kepedulian. Selain itu tanggapan mitra tutur yang tidak relevan memperkuat bahwa tuturan tersebut berupakan bentuk dari komunikasi fatis. Selanjutnya tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan terjadi pada pagi hari dan mitra tutur tampak sehat karena bisa melakukan aktivitas di karaton dengan baik.
A25/KFM P: kiyambakan, Romo? (sendirian, romo?) MT: saking pundhi niki? (Dari mana ini?) P: ….. Konteks: P dan MT mrupakan abdi dalem. Mt abdi dalem yang mempunyai usia lebih tua dibanding P. Mt sedang duduk dan menonton televisi pos parkiran belakang. MT dari arah dalam melihat P yang sedang duduk sendiri di tempat itu. MT memang
Mengawali pembicara
an
Honorifik: co ke romo
Tuturan kiyambakan, Romo? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan keberadaan mitra tutur tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan. Tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya pada waktu tuturan terjadi mitra tutur sedang sendiri. Oleh sebab itu pernyataan yang sesuai realitasnya tersebut digunakan penutur untuk mempertahankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sengaja ingin duduk dan bergabung bersama MT. tuturan kiyambakan, Romo? dikatakan oleh P ketika ia masuk dalam pos tersebut
hubungan sosial yaitu penutur ingin bersikap sopan terhadap mitra tutur. Tuturan fatis tersebut terdapat pergseran secara generalisasi pada kata romo Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu romo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KODE DATA PERTUTURAN
DAN KONTEKS
MAKNA
PRAGMA
TIK PERGESERAN
FAKTOR PENYEBAB
Keterangan
TRIANGULATOR
KOMENTAR Setuju
Tidak
setuju
B1/KFP P : yaa, begitu. Bisa
dikatakan dari situlah
bahasa bagongan mulai
bergeser karena sudah
tidak ada lagi istilah
magang.
MT: iya, baik kanjeng.
Ehmm (melihat daftar
pertanyaan)
Senyap
P: sudah jalan-jalan
keliling kraton belum?
MT: baru sampai
belakang situ, kanjeng.
Ini Kanjeng, saya mau
Tanya lagi.
P: oiya,iya silahkan tadi
hanya selingan saja.
……
Konteks :
P sedang diwawancari
oleh Mt. P menjelaskan
mengenai bahasa
bagongan yang sudah
jarang digunakan oleh para
abdi dalem. Mt
menengaskan pernyataan
P mengenai pertanyaan
Mempertah
ankan
komunikasi
- - Tuturan sudah jalan-jalan
keliling kraton belum?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut tidak semata-
mata digunakan untuk
menanyakan sebuah informasi
tetapi digunakan untuk
mempertahankan komunikasi
yang sedang berlangsung.
Kesenyapan yang terjadi di
dalam sebuah komunikasi akan
mengganggu hubungan sosial
antarpenutur terlebih P sedang
berbicara dengan seorang tamu.
Wujud dari komunikasi fatis
tersebut yaitu polar. Artinya
tuturan tersebut tidak sesuai
dengan realitasnya, tuturan
tersebut dituturkan agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wawancara. Ketika Mt
sedang sibuk mencari
daftar pertanyaan
selajutnya, terjadi
kesenyapan antara P dan
Mt. Mt terlihat bingng
karena kehilangan daftar
pertanyaan dan P yang
hanya menunggu dan
melihat Mt. P mengatakan
tuturan sudah jalan-jalan
keliling kraton belumn?
Ketika Mt yang sedang
mencari daftar pertanyaa
wawancara untuk mengisi
keheningan yang terjadi
antara P dan Mt. Setelah
itu Mt, P melakukan
Tanya jawab kembali.
B2/KFP P : cucu saya kemarin
juga minta saya suruh
nambani mbak. Lalu saya
mintakan ke situ
MT: langsung sembuh ya
Bu?
P1 : Iya mba.
Senyap (P1 dan P2 hanya
diam dan tidak terjadi
interaksi)
P : mbak e kalau hari
Minggu ada acara gak?
MT : Jarang, Bu.
Mempertaha
nkan
komunikasi
agar tetap
berlangsung
Mitra tutur tidak berlatarbelakang
budaya Jawa.
Tuturan mbak e kalau hari
Minggu ada acara gak?
Merupakan bentuk dari
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebu bukan semata-
mata untuk mengetahui aktivitas
mitra tutur tetapi digunakan
untuk mengakraban dan
menunjukkan keramahtamahan.
Selanjutnya, tuturan tersebut
tidak sesuai dengan realitas yang
sebenarnya. Artinya tuturan
tersebut tidak benar-benar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : …..
Konteks :
P seorang abdi dalem
berjenis kelamin
perempuan. MT seorang
mahasiswa yang sedang
melakukan penelitian. MT
datang terlalu pagi dan
melihat di dalam keraton
belum banyak aktivitas.
MT menunggu di tepas
security dan ditemani P. P
bercerita mengenai aturan-
aturan yang berhubungan
dengan adat budaya di
dalam keraton. Setelah
beberapa menit mereka
berbicara MT dan P
berhenti karena tidak ada
yang diceritaan lagi. MT
dan PT sama menatap
pendopo untuk melihat
gamelan. Kesenyapan
terjadi di antara mereka,
tidak ada pembicaaran dan
di tepas tersebut mereka
hanya berdua. Sehingga P
mengatakan tuturan
“mbak e kalau hari
Minggu ada acara gak?”
Kepada Mt dan berlanjut
digunakan untuk mencari tahu
agenda mitra tutur pada hari
Minggu tetap hanya unuk
mengisi kesenyapan dalam
komunikasi.
Tuturan tersebut terdapat
pergeseran dari bahasa daerah
(bahasa JAwa) ke bahasa
Indonesia. Sebenarnya, penutur
menggunakan bahasa Jawa
untuk berkomunikasi tetapi agar
mudah dipahamioleh mitra tutur,
tuturan bergeser menjadi bahasa
Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbincang-bincang
meskipun dengan topik
yang berbeda.
B3/KFP P : sekedap nggih mas.
(sebentar ya mas)
MT : injih. (Iya)
Senyap
PT: njenengan ngobrol
kaleh mbak e niki nggeh
angsal kok. Hehe. Nggeh
to mba? (Anda berbicara
sama mbaknya dulu boleh
kok. Heheh. Iya kan mba?)
MT2: senyum
PT : niki sampun bener
nanging dereng pener.
Ngapunten nggih
njenengan gantos riyen.
(Ini sudah bener tapi
belum tepat. Maaf ya Anda
ganti dahulu)
MT1: inggih mas, matur
nuwun
Konteks :
MT bertemu dengan P
untuk menyampaikan
berkas di Tepas Panitra
Pura. Ketika MT di Tepas
Panitra Pura P sedang
berbicara dengan MT2. P
tahu bahwa MT akan
Mempertah
ankan
komunikasi
Eufmisme pekeniro ke njenengan
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai.
dalam masyarkat status sering kali menjadi perhatian
Dalam konteks tuturan tersebut
Apa yang dikatakan oleh P
bukanlah tuturan yang semata-
mata meminta Mt2 dan Mt1
untuk berbincang-bincang. P
hanya ingin mempertahan
komunikasi tetap berjalan agar
mitra tutur 1 dan mitra tutur 2
tidak merasa canggung. Bagi
Mt2, tuturan P akan membuat
lebih akrab. Dengan demikian
tuturan njenengan ngobrol
kaleh mbak e niki nggeh
angsal kok. Hehe. Nggeh to
mba? Merupakan bentuk
komunikasi fatis. Selain tuturan
tersebut berwujud komunikasi
fatis polar karena tersebut tidak
sesuai dengan realitasnya.
Artinya penutur tidak benar-
benar meminta mitra tutur untuk
saling berbicara hal tersebut
hanya digunakan untukmengisi
kesenyapan dalam komunkasi
tersebut.
Tuturan tersebut terdapat
pergeseran secara asosiasi pada
kata njenengan. Sebelumnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyerahkan berkas
tersebut sehingga P
meminta MT untuk
memberikannya pada P.
Tidak ada pembicaraan
ketika P sedang
memeriksa berkas yang
MT berikan dan hal itu
terjadi hingga beberapa
menit. Setelah dua menit
tersebut P mengatakan
tuturan “njenengan
ngobrol kaleh mbak e
niki nggeh angsal kok.
Hehe. Nggeh to mba?”.
P merasa tidak enak
karena telah membiarkan
MT2 yang merupakan
tamu untuk menunggu dan
dibiarkan begitu saya. P
mengatakan hal itu sebagai
bentuk keakraban agar
MT2 merasa nyaman
berada dilingkungan
tersebut.
dalam lingkungan keraton
sesama abdi dalem
menggunakan kata pekeniro.
Namun, sekarang pekeniro
mengalami pergeseran yaitu
njenengan. selanjutnya, dalam
lingkungan keraton sesama abdi
dalem menggunakan kata
pekeniro agar tidak terlihat
adanya jarak atau tingkatan
sosial ddalamnya. Namun saat
ini bergeser menjadi njenengan
yang mempunyai maksud
menghormati mitra tuturnya.
B4/KFP P: gimana mba
penelitiannya?
Mt: alhamdulilah, saya
sering kesini pak buat
ambil data.
…..
Mengakhiri
pembicaraan
- - Tuturan setelah ini mau
ngapain? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut bukan untuk
mencari informasi mengenai Mt.
Tuturan tersebut digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P: setelah ini mau
ngapain?
Mt:mau masuk pak,
observasi.
P: njiih, kalau gitu
monggo
Konteks :
P merupakan seorang abdi
dalem yang sering
bertugas di tepas security.
P dan Mt saling mengenal
tetapi jarang bertemu. Mt
yang baru saja datang dan
masuk tepas kaget melihat
P sedang duduk dipojok.
Mt hanya tersenyum
karena Mt harus presensi
dan mengisi data terlebih
dahulu. Setelah Mt selesai,
Mt mendekati P tetapi
ketika MT belum sampai
pada P, P sudah memulai
pembicaraan. P terlihat
seperti terburu-buru,
karena P dan Mt berbicara
dengan berdiri dan tidak
menanggapi banyak
pembicaraan Mt. P
mengangkat tas sambil
mendengarkan
untuk mengakhiri pembicaran
karena akan terkesan tidak sopan
apabila baru saja bertemu tetapi
sudah ingin segera mengakhiri.
Selain itu, tuturan tersebut tidak
sesuai dengan realitas. Realitas
tersebut dapat dilihat salah
satunya berlanjutnya topik
pembicaraan itu dibicarakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembicaraan Mt, setelah
Mt selesai berbicara P
langsung mengatakan
tuturan setelah ini mau
ngapain? Untuk segera
mengakhiri pembicaraan
dengan Mt. P langsung
pergi setelah selesai
berbicara dengan Mt.
P dan Mt sudah mengenal.
Mt menghormati P karena
P lebih tua dan merupakan
teman dosen pembimbing
Mt. P juga menghargai Mt
karena Mt merupakan
tamu di keraton yang
sedang melakukan
penelitian. P mengatakan
tuturan tersebut agar Mt
nyaman.
B5/KFP P : njenengan pun
dhahar dereng niki
Romo? (kamu sudah
makan belum ini, pak?)
MT : wah pun tigang
mangkok. (Wah sudah tiga
mangkok)
P : waa lha niku,
waras sak kabehipun.
Pripun wau dhalu? (Waa
lha itu, sehat semuanya.
Mengawali
pembicaraan
Honorifik: co ke romo
Perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
Abdi
Tuturan njenengan pun dhahar
dereng niki Romo? Merupakan
bentuk dari komunikasi fatis
polar karena tuturan tersebut
digunakan bukan semata-mata
untuk menanyakan sebuah
informasi tetapi digunakan untuk
menggali sebuah pembicaraan.
Selain itu tuturan tersebut tidak
sesuai dengan realitas. Artinya,
sebelumnya tidak ada topik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagaimana tadi malam)
Konteks :
P adalah seorang abdi
dalem Kraton berjenis
kelamin laki-laki. MT juga
seorang abdi dalem
berjenis kelamin laki-laki.
Pada waktu itu di pos jaga
belakang Kraton, terdapat
dua abdi dalem yang
sedang minum teh dan
menonton televise. Ada
pembicaraan di antara
mereka, pembicaraan
tersebut mereka lakukan
dengan menonton televise
(berita) tetapi sering kali
senyap.. Beberapa menit
kemudian, P datang dari
tepas security di saat para
abdi dalem lain sedang
tidak ada pembicaraan di
pos jaga belakang. P yang
ingin bergabung duduk
dan menonton televise,
datang dan bertanya
“njenegngan pun dhahar
dereng niki Romo?”
(kamu sudah makan belum
ini, pak?)
dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
pembicaraan yang relevan
dengan tuturan tersebut.
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran dengan wujud
asosiasi yaitu pada kata
njenengan. Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama abdi
dalem menggunakan kata
pekeniro. Namun, sekarang
pekeniro pergeseran yaitu
njenengan.
Selanjutunya, di dalam tuturan
fatis tersebut juga mengalami
pergeseran secara generalisasi
pada kata romo. Penutur
sehurusnya menggunakan kata
co sebagai sapaan dalam tuturan
tersebut karena co merupakan
sapaan untuk sesame abdi
dalem. Namun, kata co
mengalami pergeseran dalam
penggunaannya secara
generalisasi menjadi romo.
B6/KFP PT : ngapunten Co, kolo Mengawali - - Tuturan ngapunten Co, kolo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wingi wenten tamu saking
pundi? (Maaf Co,
kemarin ada tamu dari
mana?)
MT : nggeh kanjeng,
wenten saking kompas .
(Iya, kanjeng ada dari
Kompas)
PT: matur nuwun. (terima
kasih)
Konteks :
P seorang abdi dalem. P
pada waktu itu sedang
diwawancarai oleh
mahasiswa yang sedang
melakukan penelitian,pada
waktu P menjelaskan ia
lupa mengenai tamu yang
beberapa hari lalu datang
menemui P. Mt yang pada
waktu itu sedang
menyimak pembicaraan P
dan mahasiswa tersebut
ditanyai oleh P untuk
membantu mengingatkan
P. P yang tidak
mengetahui bahwa
sebenarnya ikut menyimak
mengawali pembicaraan
dengan mengatakan
tuturan ngapunten Co,
pembicaraan wingi wonten tamu saking
pundi? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar karena
tuturan tersebut bukan tuturan
informative yang digunakan
penutur untuk meminta maaf
tetapi Penutur katakan untuk
mengawali pembicraan dengan
cara yang lebih sopan. P
mengatakan tuturan tersebut
untuk menghargai kegiatan yang
dilakukan oleh Mt atau Mt yang
mungkin pada waktu itu sedang
sibuk.
Selain itu, tuturan fatis tersebut
tidak sesuai dengan realitasnya.
Artinya penutur mengatakan
permintaan maaf bukan karena ia
elakukan kesalahan tetapi
sebagai Pembina hubungan
sosial antarpenutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kolo wingi wonten tamu
saking pundi?
B7/KFP P : nuwun sewu,
njenengan sibuk mboten
Romo? (permisi, kamu
sedang sibuk tidak,
Bapak?)
MT: pripun?
(Bagaimana?)
P: dipadhosi Kanjeng.
(Dicari kanjeng)
MT: wo, ngeh matur
nuwun. ( Wo,ya terima
kasih)
Konteks:
P danmt merupakan abdi
dalem yang bertugas di
Tepas Dwirapura. P
mendapat perintah untuk
memanggilkan MT yang
berada di Tepas Dwirapura
juga tetapi berada di dekat
pintu masuk. P tahu,
bahwa MT hanya sedang
membaca buku dan duduk.
Namun P tetep
mengatakan tuturan
“nuwun sewu, njenengan
sibuk mboten Romo?”
Untuk menyampaikan
pesan kepada Mt.
Mengawali
pembicaraa
n
eufemisme pekeniro ke njenengan
Honorifik co ke romo
perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.
abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
Tuturan nuwun sewu,
njenengan sibuk mboten
Romo? Merupakan bentuk
komunikasi fatis polar. Penutur
menanyaka sesuatu yang sudah
ia ketahui jawbannya. Penutur
ingin menghormati MT agar P
dapat tetap menjalin hubungan
baik dan tidak menyinggung
MT. Selanjutnya, tuturan
tersebut tidak sesuai dengan
realitas. Penutur pada waktu
tuturan tersebut tidak sedang
sibuk.
Tuturan fatis tersebut terdapat
pergeseran dengan wujud
asosiasi yaitu pada kata
njenengan. Sebelumnya, dalam
lingkungan keraton sesama abdi
dalem menggunakan kata
pekeniro. Namun, sekarang
pekeniro pergeseran yaitu
njenengan.
Selanjutunya, di dalam tuturan
fatis tersebut juga mengalami
pergeseran secara generalisasi
pada kata romo. Penutur
sehurusnya menggunakan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
co sebagai sapaan dalam tuturan
tersebut karena co merupakan
sapaan untuk sesame abdi
dalem. Namun, kata co
mengalami pergeseran dalam
penggunaannya secara
generalisasi menjadi romo.
B8/KFP P : dahar dereng niki?
(Makan belum ini)
Mt: matur nuwun,
keseso. (terimakasih,
terburu-burur)
P: mangga. (silahkan)
Konteks:
P dan Mt merupakan
sesama abdi dalem yang
saling mengenal. P sedang
makan di depan pintu
masuk keraton Yogyakarta
bersama dua abdi dalem
lain. Ketika P sedang
menikmati makannya, P
melihat Mt keluar dari
pintu utama dan akan
melewati P. P dan Mt
sama-sama mengetahui
bahwa mereka akan
bertemu karena mereka
sudah saling melempar
senyum. Pada waktu Mt
melewati depan P, P
Bertegur
sapa
- - Dalam situasi tersebut tuturan
dahar dereng niki? Merupakan
bentuk dari komunikasi fatis
polar karena tuturan tersebut
tidak dimaknai sebagai
pertanyaan yang membutuhkan
jawaban. Oleh karena itu
jawaban dari mitra tutur pun
tidak relevan dengan tuturan
penutur tetapi tetap dianggap sah
karena tuturan tersebut
digunakan untuk bertegur sapa
Selain itu, tuturan tersebut tidak
sesuai dengan realitasnya.
Artinya penutur tidak benar-
benar bertanyaa untuk
menunjukkan kepedulian atau
menawarkan makan tetapi
tuturan digunakan untuk
pemenuhan hubungan sosial lain
yitu bertegur sapa agar terlihat
ramah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengatakan tuturan dahar
dereng niki? Untuk
menyapa Mt. Mt tidak
berhenti dan berbincang-
bincang dengan P. Mt
hanya berjalan lebih pelan
sambil menawab
pertanyaan P.
B9/KFP P: pripun? (bagaimana)
dengan wajah kaget dan
bersalaman
Mt : Duh, kayane kok
sumringah. (Duh,
sepertinya kok bahagia)
P: mangga,mangga
pinarak riyen. (Mari-mari
mampir dulu)
…..
Konteks :
P merupakan abdi dalem
dan Mt tamu yang akan
bertemu dengan P. P kaget
melihat Mt datang ketika P
sedang keluar tepas dan
melihat Mt sudah diluar.
P kemudian mengatakan
tuturan pripun? . Mt pun
menanggapi tuturan P
yang sepertinya sudah tahu
maksud P . Setelah hal
tersebut P mempersilakan
Mengawali
pembicaraa
n
- - Tuturan pripun? Dalam konteks
tersebut merupakan tuturan
komuikasi fatis karena tuturan
tersebut tidak digunakan untuk
menanyakan informasi yang
sesungguhnya. Dalam
masyarakat Jawa uturan pripun?
Mempunyai maksud yang luas
bisa menanyakan kabar,
keadaan, apa yang dilakukan dan
lai-lain. Apa pun jawaban dari
mitra tutur tetap dianggap benar
atau sah karena hal itu hanya
sebagai pemenuhan hubungan
soial antar penuturnya. Selain itu
tuturan terseut mempunyai
wujud komunikasi fatis polar
karena tuturan tidak selaras
dengan realitas. Artinya tidak
ada sesuatu yang terjadi pada
mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt untuk masuk dalam
tepas dan mereka pun
berbicara dengan serius.
B10/KFP P: mari makan pak. MT: sudah, matur nuwun. (sudah, terimakasih) Konteks:P merupakan seorang tamu. MT seorang abdi dalem yang sedang bertugas. P dan MT sudah saling mengenal. ketika P sedang makan di warung dalam karaton Mt berjalan melewati P. P kemudian menyapa dan menawrkan makan kepada MT, kemudian MT merespon dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan terseut.
Bertegur sapa
- - Tuturan sudah, matur nuwun merupakan bentuk komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Mitra tutur menolak ajakan penutur dengan mengatakan tuturan tersebut agar penutur tidak tersinggung. Tuturan tersebut juga tersebut tidak selaras dengan realitas. Artinya mitra tutur mengatakan hal yang tida sebenarnya.
B11/KFP …….
P: njenengan mbenjang
mriki mboten?
Mbenjang kulo critani
meleh. Hehehe. Kulo tak
mriko riyen. (Kamu
besok ke sini tidak? Besok
saya critakan lagi. Hehehe.
Saya ke sana dulu.
Mengakhiri
pembicaraa
n
eufemisme : pekeniro ke njenengan
abdi dalem
yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai
Tuturan njenengan mbenjang mriki
mboten? Mbenjang kulo
critani meleh. Hehehe. Kulo
tak mriko riyen merupakan
wujud komunikasi fatis polar
karena tuturan tersebut
digunakan bukan untuk
menyampaikan atau menanyakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt: enjeh pak, kulo
tenggo critanipun maleh.
(Iya pak, saya tunggu
critanya lagi)
P: ngapunten nggeh. (maaf
ya)
Konteks :
P seorang abdi dalem dan
Mt adalah tamu yang
sedang melakukan
penelitian. P dan Mt sudah
sering bertemu meskipun
tidak setiap hari. Dari Mt
datang P sudah berada di
tepas security dan sedang
membaca Koran. Setelah
Mt mengisi presensi Mt
dan P berbincang-bincang
mengenai kejadian mistis
di keraton. Mereka
berbincang-bincang cukup
lama. Ketika P dan Mt
berbincang-bincang ada
seorang abdi dalem yang
memanggil P kemudian P
mengatakan tuturan
njenengan mbenjang
mriki mboten?
Mbenjang kulo critani
meleh. Hehehe. Kulo tak
mriko riyen.
informasi tetapi digunakan untuk
mengakhiri pembicaraan agar
penuturnya terlihat sopan,tidak
menyinggung perasaan mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B12/KFP P: monggo (mari)
Mt: (menundukkan
kepala)
Konteks :
P dan Mt seorang abdi
dalem. Mt sedang berdiri di
pintu masuk utama untuk
bertugas. P berjalan akan
melewati pintu masuk
utama dari arah gerbang
utama Karaton. Ketika P
melewati Mt, P mengatakan
tuturan monggo dengan
mengurangi kecepatan
berjalan. Setelah tuturan
tersebut tidak ada
pembicaran antara Mt dan
P.
Bertegur
sapa
- - Tuturan monggo merupakan
bentuk komunikasi fatis polar
merupakan tuturan yang bersifat
informative tetapi tuturan
tersebut tersebut bersifat
komunikatif yang berhubungan
dengan hubungan sosial
penuturnya. Sehingga jawaban
apa pun dari mitra tutur akan
tampak sah bagi penuturnya.
tuturan tersebut juga tidak sesuai
atau berlawanan dengan realitas.
Artinya penutur sebenarnya
tidak mengajak sesuai dengan
tuturan tersebut, tuturan itu
hanya digunakan sebagai
pemenuhunan hubungan sosial.
B13/KFP …..
P: Mangga (mengambil
gelas)
Mt: sampun, jam
sementen niku
wayahipun jalan-jalan.
Kulo ngrumiyini. (Sudah,
jam segini itu waktunya
jalan-jalan. saya
mendahului)
P: hahaha, njeh monggo
Konteks :
Mengakhiri
pembicaraa
n
- - Tuturan tersebut tidak dimaknai
sebagai tuturan yang
informative. Tuturan tersebut
digunakan untuk mengakhiri
pembicaraan agar penutur dapat
terlihat sopan. Di dalam
masyarakat Jawa, ketika sedang
berbincang-bincang mengakhiri
pembicaraan langsung dapat
menyinggung perasaan mitra
tuturnya. Oleh sebab itu, tuturan
tersebut penutur gunakan agar
mitra tutur tidak tersinggung dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mt seorang abdi dalem
sedangkan P adalah tamu.
Mereka berada di tepas
security. P teman seorang
abdi dalem yang berada di
tepas security juga.
Mereka bertiga sedang
asyik ngobrol. Setelah
beberapa menit
berlangsung Mt terlihat
tidak nyaman seperti ingin
keluar dari tepas tetapi
mereka sedang ngobrol.
Mt merasa tidak enak
untuk memotong
pembicaraan. di tengah
pembicaraan P ingin
minum dan menawari Mt.
Mt yang sudah tidak
nyaman karena ada
keperluan mengatakan
tuturan sampun, jam
sementen niku
wayahipun jalan-jalan.
Kulo ngrumiyini. Untuk
menanggapi tuturan P.
mitra tutur pun sudah
mengetahui maksud penutur
sehingga mempersilakan.
B14/KFP ….. P: kanjeng wonten niki? (Kanjeng ada ini?) MT: Wau wonten. (tadi ada) P: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (kemarin
Mempertahan komunikasi
Eufemisme : wenten ke wonten
Tuturan : kanjeng wonten niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan informasi kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk mengisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saya ketempat romo) …… Konteks : P dan MT sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, P dan MT saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan P mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? MT pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh P, P dan MT membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.
kesenyapan sehingga komunikasi tetap berjalan. Tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa kanjeng masih berada di tempat yang sama seperti yang mereka mereka lihat sebelum berkomunikasi tetapi penutur menanyakan untuk mengisis kesenyapan yang terjadi. Tuturan tersebut terdapat pergeseran secara asosiasi. Kata yang telah bergeser dalam tuturan tersebut yaitu wonten. Penutur sebenarnya menggunakan wenten dalam berkomunikasi antarabdi dalem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
WUJUD DAN MAKNA PRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA
PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA
Gusti Dinda Damarsasi, R. Kunjana Rahardi, dan Pranowo Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Email : [email protected]
Abstact
The purpose of this phatic communication research is to describe the pragmatic forms and meanings of phatic communication of the royal servants in Yogyakarta Palace. Based on the validity of utterance, it can be inferred that the form of phatic communication of the royal servants can be grouped into two, they are the genuine phatic communication and polar communication. In that phatic utterance, there are pragmatic purpose and meaning related to the fulfillment of social relations, such as maintaining communication, greeting, starting communication and leave taking.
Keywords : phatic communication, the royal servants, sociopragmatic
Abstrak
Tujuan dari penelitian kefatisan berbahasa ini adalah mendeskripsikan wujud-wujud dan makna-makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Berdasarkan benar tidaknya tuturan, dapat disimpulkan bahwa wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi polar. Di dalam tuturan fatis tersebut juga terdapat maksud atau makna pragmatik yang berhubungan dengan pemenuhan hubungan sosial yaitu, mempertahankan komunikasi, bertegur sapa,mengawali pembicaraan dan mengakhiri pembicaraan.
Kata kunci : kefatisan berbahasa, abdi dalem, sosiopragmatik
A. PENDAHULUAN
Masyarakat berbudaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga sangat menjunjung tinggi kesopanan dan
kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai-nilai budaya yang menjadi dasar utama bagi
masyarakat Jawa dalam membangun hidup, khususnya dalam berbahasa dan membangun
komunikasi dengan sesama dan orang lain. Misalnya, sikap ewuh pakewuh (Ewuh berarti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repot dan pekewuh berarti tidak enak perasaan) menjadi budaya yang hidup dalam
masyarakat Jawa karena menjadi dasar untuk melakukan ewuh pakewuh, yakni etika
(Purwadi: 2008). Sikap rasa tidak enak pada orang akan berpengaruh terhadap cara
berkomunikasi antarmasyarakatnya.
Budaya ewuh pekewuh pun menjadi dasar yang menunjukkan bahwa masyarakat
berlatar belakang budaya Jawa memiliki pola komunikasi yang khas, yakni pola spiral atau
tidak langsung pada pokok pembicaraan saat membangun komunikasi dengan orang lain.
Sikap budaya ini sebagai media dalam menjalin sebuah hubungan sosial. Pola komunikasi ini
bertujuan untuk menjaga perasaan mitra tuturnya, sekaligus mempertahankan hubungan baik
antarpenutur dengan mitra tutur. Konsep ini dalam bidang pragmatik disebut komunikasi
fatis. Komunikasi fatis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan oleh
penutur untuk menanyakan hal yang sebenarnya sudah diketahuinya dengan maksud untuk
mempertahankan hubungan baik anatarpenutur. Bentuk komunikasi ini sering terjadi dalam
kehidupan sosial masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Tuturan ‘Sendirian saja?’,
‘Kabar sehat?’ , Sedang apa?’ sering kali digunakan sekadar untuk mengawali pembicaraan
atau bertegur sapa. Hal ini berarti bahasa bukan lagi berfungsi untuk menanyakan atau
memberikan informasi, tetapi bahasa berfungsi fatis (Leech: 1981). Artinya bahwa bahasa
digunakan dalam komunikasi untuk membina dan memelihara hubungan antarpenuturnya.
Dengan mendasarkan pada paparan latar belakang di atas, rumusan masalah
penelitian tentang kefatisan berbahasa yang hendak dikaji adalah bagaimana wujud dan
makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Manfaat dari
penelitian ini adalah (a) dapat memberi sumbangsih terhadap pengembangan ilmu
sosiopragmatik yang berkaitan dengan komunikasi fatis berlatarbelakang budaya Jawa, (b)
penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa terkait dengan
komunikasi para abdi dalem.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sumber data substantif penelitian ini adalah tuturan-tuturan para abdi dalem punakawan
dalam berkomunikasi sehari-hari. Tuturan- tuturan tersebut merupakan bahasa natural yang
dituturkan oleh para abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Data dalam penelitian ini berupa
tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan. Tuturan yang mengandung kefatisan tersebut
akan selalu didasarkan pada konteks tuturan.
Metode yang digunakan dalam penyediaan data penelitian ini pertama, menggunakan
metode simak dan metode cakap (Sudaryanto,2016). Metode tersebut diikuti dengan teknik
dasar berupa teknik sadap. Peneliti untuk mendapatkan data harus menyadap pembicaraan
yang dilakukan oleh para abdi dalem. Selain itu diikuti juga dengan teknik simak bebas libat
cakap. Kedua metode tersebut sering kali digunakan dalam penelitian bahasa seperti prgamtik
atau sosiopragmatik.
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian kefatisan berbahasa ini adalah
metode padan. Metode padan adalah metode atau cara yang digunakan dalam upaya
menemukan kaidah dalam tahap analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015). Dalam konteks
ini metode padan akan digunakan untuk menganalisis komunikasi fatis yang dikaitkan
dengan konteks sosial budaya penuturnya.
Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori phatic communion yang
digagas oleh Malinowsky. Malinowski (Senft, 2009) mengatakan bahwa bahasa bebas
digunakan dalam hubungan sosial antarmasyarakat yang tidak memiliki tujuan khusus.
Misalnya, seseorang menanyakan kesehatan, mengomentari cuaca, atau memberikan sapaan.
Hal ini ditegaskan Malinowski bahwa [...] to a natural man another man's silence is not a
reassuring factor, but on the contrary, something alarming and dangerous [...]. Terjadinya
keheningan atau diam di dalam pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hubungan sosial antar penuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan. Artinya, penutur
harus mengubah suasana hening atau diam yang terjadi saat berkomunikasi untuk
menyelamatkan hubungan keduanya. Contoh menanyakan kesehatan, memberikan sapaan
atau mengomentari cuaca merupakan sesuatu yang bisa dikatakan bila terjadi keheningan
yang dapat disebut ‘persekutuan phatic’.
Dalam literatur Malinowski mengatakan bahwa (1) Phatic Communion bahasa
digunakan sebagai mode tindakan atau sebagai cara untuk melakukan tindakan bukan untuk
transmisi (pengiriman) pikiran. Jadi komunikasi fatis tidak bersifat informatif, kalimat atau
pernyataan yang dituturakan oleh penutur bukan semata-mata untuk menanyakan atau
memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra tuturnya, (2) berbagai macam jenis komunikasi
fatis seperti salam, gossip dan sejenisnya memiliki persamaan yang tipis; di mana situasi
terjadinya kefatisan tersebut dan munculnya wujud kefatisan dihasilkan secara linguistic, (3)
dalam komunikasi fatis makna kata yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan
topik pembicaraan utama tetapi ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial,
(4) fungsi sosial tersebut digunakan untuk mengatasi ketegangan atau hal tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh diam, kesenyapan yang terjadi dalam berinteraksi atau
digunakan untuk menghargai lingkungan dan interpersonal antarpenuturnya.
Selain teori phatic communion peneliti menggunakan teori sosiopragmatik untuk
menganalisis wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa. Konsep sosiopragmatik
diawali dengan pemahaman mengenai sosiolinguistik sebagai disiplin yang menghubungkan
bahasa dengan masyarakat dan pragmatik sebagai disiplin yang mempelajari arti ujaran atau
bahasa secara kontekstual (Yule, 1996: 3). Artinya bagaimana seseorang menggunakan
bahasa dalam berkomunikasi dengan masyarakat sosial berdasarkan konteks keberadaannya.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian kefatisan para abdi dalem dimana penelitian ini
dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan kefatisan berbahasa para abdi dalem yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikaitkan dengan lingkungan masyarakat tuturnya. Konsep tersebut juga telah dipaparkan
oleh Nurjamily (2015) bahwa sebuah penelitian sosiopragmatik mengaji penggunaan bahasa
di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah
telaah mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus
mengenai penggunaan bahasa. Selain itu, sosiopragmatik merupakan suatu studi yang
mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu lingkungan tertentu.
Konsep tersebut ditegaskan Rahardi (2009: 21) bahwa sosiopragmatik adalah ilmu yang
mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh
konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan
konteks sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi
antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sementara itu,
konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-
anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
B. KATEGORI WUJUD KEFATISAN BERBAHASA
Berdasarkan data penelitian kefatisan para abdi dalem peneliti mendapatkan sejumlah
data tentang wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa. Secara terperinci, kefatisan
berbahasa tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Kefatisan Berbahasa Berwujud Murni
Wujud kefatisan berbahasa muncul dengan beberapa makna pragmatik. Contoh kefatisan
tersebut dalam tuturan berikut.
Orang1 (O1): Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini-sertifikat-untuk-kanjeng) (Ini sertifikat buat kanjeng)
Orang2 (O2): Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat-sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
……. (senyap) Orang1 (O1): Wah sepi dinten niki, Bu (A1) (Wah-sepi-hari-ini-Bu?) (Wah sepi hari ini, Bu?) Orang1 (O2): Inggeh niki, lha ujian.
(Iya ini, lha ujian) (Iya-ini-lha-ujian)
O1: ….
Tuturan A1 merupakan bentuk dari tuturan fatis murni. Tuturan tersebut digunakan
untuk mengisi kesenyapan yang benar-benar terjadi antara penutur O1 (selanjutnya ditulis
penutur) dan O2 (selanjutnya ditulis mitra tutur). Kefatisan dalam tuturan A1 juga terlihat
dari konteks situasi dan budayanya, masyarakat berlatarbelakang budaya Jawa menganggap
kesenyapan tersebut tidak biasa karena akan muncul kesan tidak sopan atau menimbulkan
prasangka buruk. Hal ini berarti wujud situasi senyap dalam komunikasi dapat membawa
dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya bahwa senyap dapat membantu penutur
untuk merenungkan sesaat tetntang suatu persoalan. Namun, suasana senyap dapat membawa
dampak negatif yaitu memutuskan komunikasi bahkan dianggap tidak sopan dalam
masyarakat budaya Jawa.
Ciri yang menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan bentuk tuturan fatis adalah
ketidakrelevanan topik yang penutur gunakan dalam mengisi kesnyapan komunikasi yang
terjadi. Topik sebelumnya penutur dan mitra tutur membicarakan mengenai sertifikat
sedangkan karena terjadi kesenyapan penutur menggunakan kefatisan berupa memberikan
pernyataan suasana ketika tuturan itu terjadi kemudian berganti topik, yaitu membicarakan
mengenai sekolah.
Ketidakrelevanan tersebut juga telah dipaparkan oleh Malinowski bahwa tuturan fatis
yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan topik pembicaraan utama tetapi
ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial. Artinya bahwa sebuah tuturan
fatis dapat berfungsi menutup kesenyapan komunikasi agar komunikasi antarpenutur terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terjaga. Hal ini juga menunjukkan peran tuturan fatis dalam membangun kesadaran setiap
penutur untuk membangun komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan
komunikasi pun tercapai. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh penutur merupakan hal yang
sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Jadi tuturan tersebut bukan dimaknai
sebagai kalimat informatif tetapi berfokus sebagai tuturan yang komunikatif. Konsep tersebut
sepahaman dengan Jakobson dan Malinowski bahwa komunikasi fatis bukanlah tuturan atau
kalimat yang semata-mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada
mitra tuturnya (Zegarac & Clark:1999). Oleh karena itu tuturan A1 merupakan bentuk dari
komunikasi fatis.
Lebih dari itu, tuturan tersebut merupakan wujud komunikasi fatis murni. Tuturan A1
merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut memang benar-benar
terjadi pada waktu lingkungan keraton benar-benar sepi. Mitra tutur pun mengetahui bahwa
konteks situasi pada waktu itu memang sedang sepi karena di karaton belum banyak
pengunjung yang datang. Wujud kefatisn tersebut terbukti dengan pandangan Arimi bahwa
komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai
dengan peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998). Hal ini berarti sebuah situasi dapat
menjadikan momen seseorang atau penutur untuk membangun komunikas. Situasi
lingkungan karaton yang sepi saat keberadaan penuur dan mitra tutur dijadikan penutur untuk
mengisi kesenyapan komunikasi, sekaligus menjalin hubungan komunkasi yang sempat
terhenti. Oleh sebab itu tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis murni.
Dalam konteks budaya Jawa, dua orang yang saling mengenal dan berada dalam satu
tempat jika tidak berkomunikasi akan membuat hubungan antarpenutur menjadi tidak lazim
atau tidak baik (berprasangka buruk). Hal tersebut dapat berupa prasangka buruk dari
penuturnya seperti sombong, tidak ramah, tidak sopan dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam
situasi serupa kefatisan sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kefatisan dalam pertuturan tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu untuk
mempertahankan komunikasi agar tetap berjalan atau tetap terjadi interaksi antarpenuturnya.
Makna pragmatik tersebut ditegaskan oleh Malinowsky bahwa terjadinya keheningan dalam
komunikasi akan mengkhawatirkan hubungan sosial penuturnya. Masyarakat Jawa dalam hal
ini para abdi dalem memiliki pandangan yang serupa terkait hal itu. Oleh sebab itu tuturan A1
mempunyai makna pragmatik yaitu untuk mempertahan komunikasi antarpenuturnya agar
hubungan sosial mereka tetap terjalin baik.
Cuplikan tuturan lain yang menunjukkan kefatisan berbahasa berwujud murni dapat
dilihat sebagai berikut.
Orang1(O1) : Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (A2)
(Sudah-luhur-to-ini-Saya-mendahului) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului.)
Orang2 (O2): Nggeh, monggo. (Iya-silakan) (Iya, silakan)
Sama halnya dengan tuturan A1, tuturan A2 merupakan bentuk tuturan komunikasi
fatis. Tuturan tersebut digunakan untuk mengakhiri percakapan antara penutur dan mitra
tutur. Tuturan tersebut juga bukan digunakan untuk menginformasikan kepada mitra tutur
bahwa sudah waktunya luhur atau dzuhur, tetapi lebih bersifat komunikatif yaitu untuk
mengakhiri sebuah percakapan. Di dalam masyarakat Jawa tidak mungkin bagi penutur untuk
langsung mengkahiri pembicaraan setelah keperluan selesai karena sebelumnya penutur dan
mitra tutur sedang berbicara dengan serius. Hal itu dapat merusak hubungan sosial
antarpenutur. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinoswki bahwa fatis digunakan
dalam rangka pemenuhan hubungan sosial. Artinya bahwa suatu tuturan fatis dapat
digunakan untuk menjaga hubungan sosial, khususnya saat mengakhiri sebuh pembicaraan
serius. Penutur dapat mengakhiri pembicaraan serius dengan tuturan fatis agar mitra tutur
tidak merasa tersinggung atau tidak dihormati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu, waktu luhur yang penutur katakan merupakan hal yang sama-sama
diketahui oleh penutur dan mitra tutur sehingga tuturan fatis tersebut sebenarnya senada
dengan mengomentari situasi. Dengan kata lain, situasi dapat menjadi bahan kefatisan.
Penutur mengungkapkan situasi yang sama dengan kenyataan dapat menjadi makna yang
dimaksudkan penutur. Oleh sebab itu, tuturan tersebut dikatakan sebagai tuturan fatis karena
tuturan tersebut bukanlah sebuah tuturan informasi tetapi tuturan yang didalamnya memiliki
nilai sosial khusus yang digunakan dalam mengakhiri sebuah percakapan. Pernyataan
tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923) bahwa fatis bukan digunakan untuk
menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakannya sedang memenuhi fungsi sosial
mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah tujuan utama mereka.
Lebih dari itu, tuturan A2 merupakan wujud dari komunikasi fatis murni, karena
tuturan A2 merupakan tuturan yang memang terjadi atau selaras dengan kenyataan. Ketika
tuturan terjadi, waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB yang menandakan bahwa sudah
saatnya sholat dzuhur atau istirahat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui oleh
mitra tutur bahwa pada pukul 12.00 waktunya untuk sholat dan juga istirahat. Wujud
komunikasi fatis murni tersebut sejalan dengan pendapat Arimi yang mengatakan bahwa
komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai
dengan peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998).
Masyarakat Jawa memiliki sikap bahwa, orang yang akan berpamitan atau mengakhiri
pembicaran dan sebelumnya telah berbincang-bincang cukup serius mereka tidak akan
langsung mengatakan akan pergi atau tidak langsung mengakhiri. Hal itu dilakukan agar
mitra tutur tidak tersinggung apabila masih ada hal yang harus dibicarakan dan juga akan
memperlihatkan bahwa penutur adalah orang yang tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan A2
dituturkan oleh penutur agar ia terlihat sopan, tidak menyinggung perasaan mitra tutur, dan
tentunya akan meninggalkan kesan baik sehingga dalam pertemuan selanjutnya mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
akan senang untuk berbicara kembali dengan penutur. Selain itu, penutur merupakan abdi
dalem yang usianya lebih muda dibanding mitra tutur, di dalam sosial masyarakat Jawa
penutur mempunyai kewajiban untuk menghormati mitra tutur karena usianya yang lebih
muda dibanding mitra tutur. Oleh sebab itu, penutur menerapkan prinsip sopan santun dengan
mengatakan tuturan A2 untuk mengakhiri pembicaraan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Geertz (Pranowo,2009:47) yang mengatakan bahwa dalam ajaran budaya Jawa untuk
menciptakan kesantunana dalam berkomunikasi ada ajaran dalam berbahasa yaitu harus
selalu kurmat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui antara penutur dan mitra
tutur. Hal itu tampak dengan tanggapan mitra tutur yang langsung mempersilakan penutur
untuk mengakhiri pembicaraan dan pergi sebagai benuk menghargai penutur. Dengan
demikian tuturan A2 sebagai wujud komunikasi murni tersebut mempunyai makna
pragamatik untuk menjaga relasi dengan mitra tutur, tidak menyinggung perasaan, dan untuk
berlaku sopan.
Begitu juga dalam tuturan Sugeng enjang. (Selamat pagi) (A3). Tuturan A3
merupakan wujud dari komunikasi fatis murni. Artinya, penutur mengatakan tuturan tersebut
sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Namun, tuturan yang sesuai dengan situasi tersebut
penutur gunakan untuk pemenuhan hubungan sosial mereka. Dalam tuturan A3 penutur dan
mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa mereka berpapasan pada waktu pagi hari. Orang
yang sudah sama-sama saling mengenal khususnya di dalam masyarakat Jawa ketika bertemu
atau berpapasan akan saling menyapa karena apabila tidak saling dilakukan hal itu akan
membuat buruk hubungan sosial antarpenuturnya. Hal itu dapat berupa prasangkan buruk
satu sama lain seperti prasangkan sombong, tidak peduli, acuh tak acuh dan lain sebagainya.
Dengan penutur mengatakan tuturan fatis, secara tidak langsung penutur dan mitra
tutur sedang menyeimbangkan hubungan sosial yang terjalin. Oleh karena itu, dalam situasi
serupa kefatisan sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kefatisan dalam A3 tersebut mempunyai makna pragmatik dengan bertegur sapa penutur
ingin menunjukkan sikap ramah kepada mitra tutur yang sudah dikenalnya sehingga
hubungan mereka tertap berjalan dengan baik. Dengan demikian, tuturan A3 wujud
komunikasi fatis murni mempunyai makna pragmatik yaitu menunjukkan sikap ramah dan
kepedulian terdapat mitra tutur. Secara lengkap, cuplikan tuturan berikut dapat dicermati
untuk memperjelas hal tersebut.
Orang1 (O1) : Sugeng enjang. (A3) (Selamat pagi) Orang2 (O2) : Mangga
(Mari)
2. Kefatisan Berbahasa Berwujud Polar
Selain kefatisan berbahasa berwujud murni terdapat juga kefatisan berbahasa berwujud
polar (Arimi,1998) dengan makna pragmatik yaitu berkaitan dengan hubungan sosial
antarpenutur. Di dalam tuturan Setelah ini mau ngapain? (B1) terdapat kefatisan berbahasa
berwujud polar. Tuturan tersebut disampaikan penutur tidak sesuai dengan realitasnya atau
berlawanan. Mitra tutur tidak tersinggung atas tuturan tersebut karena mitra tutur nenahami
maksud dari penutur. Penutur mengatakan atau memilih ungkapan itu untuk menunjukkan
sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.
Di dalam masyarakat budaya Jawa, tuturan fatis semacam itu kerap kali dilakukan dalam
mengakhiri pembicaraan karena memang tuturan tersebut akan berdampak baik bagi
hubungan sosial penuturnya. Pemahaman semacam itu tampak penutur dan mitra tutur
ketahui karena mitra tutur tidak protes atau menanggapi tuturan dengan pas atau sesuai.
Mitra tutur mengetahui maksud penutur bahwa ia akan mengakhiri pembicaraan. Dengan
demikian, tuturan B1 yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna
pargamtik, yaitu mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur dengan santun dan tidak
menyinggung perasaan mitra tutur. Untuk membantu memahami tuturan tersebut dapat di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lihat dalam tuturan secara lengkap berikut.
Orang1 (O1): Gimana mba penelitiannya? Orang2 (O2): Alhamdulilah, saya sering ke sini pak buat ambil data. ….. Orang1 (O1): Setelah ini mau ngapain? (B1) Orang2 (O2: Mau masuk pak, observasi. Orang1 (O1): Njiih, kalau gitu manga
Selanjutnya, kefatisan berbahasa berwujud polar dapat terlihat dalam tuturan lengkap
berikut.
Orang1 (O1) : Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? (B2) (Mohon-maaf-Co-kemarin-ada-tamu-dari-mana?) (Maaf Co, kemarin ada tamu dari mana?) Orang2 (O2): Nggeh kanjeng, wonten saking Kompas. (Iya-kanjeng-ada-dari-Kompas) (Iya kanjeng, ada dari Kompas) Orang1 (O1): Matur nuwun
(ucapkan-maaf) (terima kasih)
Tuturan B2 mempunyai wujud komunikasi fatis polar. Artinya, tuturan B2 penutur
katakan berlawanan dengan realitasnya. Permintaan maaf penutur bukan disebabkan karena
penutur melakukan kesalahan sehingga ia harus meminta maaf tetapi sebagai bentuk
pengantar untuk masuk dalam inti pembicaraan.
Masyarakat Jawa beranggapan bahwa, orang akan dikatakan tidak sopan apabila
dalam pembicaraan ia langsung menuju pada pokok pembicaraan tanpa menggunakan
pengantar terlebih dahulu. Oleh sebab itu tuturan B2 mempunyai maksud atau makna
pragmatik untuk bersikap sopan dengan berbicara santun kepada mitra tuturnya. Hal tersebut
dapat mempertahankan atau membina hubungan baik antar penutur karena terjadi
kenyamanan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, tuturan B2 mempunyai wujud
komunikasi fatis polar dengan maksud tuturan yaitu mengawali pembicaraan dengan bertutur
santun agar mitra tutur berkenan untuk berbicara dengan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kefatisan berbahasa dengan wujud polar juga terlihat dalam tuturan Dahar dereng
niki? (Makan belum ini?) (B8). Tuturan tersebut merupakan bentuk dari komunikasi fatis.
Tuturan tersebut digunakan penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah mereka kenal.
Penutur yang saling mengenal apabila bertemu tidak saling menyapa hal itu akan
mengganggu hubungan sosial keduanya. Dalam masyarakat Jawa saling menyapa merupakan
sesuatu yang harus dilakukan agar tidak muncul prasangka buruk dari masing-masing
penuturnya. Tuturan B8 bukan bersifat informatif, dalam B8 penutur bukan untuk
menanyakan kepada mitra tutur apakah sudah makan dan tanggapan mitra tutur yang tidak
relevan juga tetap dianggap sah serta tidak di protes oleh penuturnya. Oleh sebab itu, tuturan
B3 merupakan wujud kefatisan berbahasa.
Pemenuhan hubungan sosial tersebut dapat dilihat dari maksud penutur dalam
mengatakan tuturan tersebut. Di dalam tuturan B8, penutur mengatakan tuturan tersebut
untuk menyapa sehingga dapat mengakrabkan hubungan dengan mitra tutur. Oleh karena itu
tuturan B8 berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu
bertegus sapa untuk menunjukkan keramahan, menghormati dan keakraban dengan mitra
tuturnya. Secara lengkap, cuplikan tuturan tersebut dapatdilihat berikut ini
Orang1 (O1) : Dahar dereng niki? (B8/KFP) (Makan belum ini) Orang2 (O2) : Matur nuwun, kesusu.
(terimakasih, terburu-buru) Orang1 (O1) : Monggo.
(silahkan)
C. SIMPULAN
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa kefatisan
berbahasa atau komunikasi fatis para abdi dalem Keraton Yogyakarta dikelompokkan
menjadi dua, yaitu fatis murni dan polar. Pengelompokkan tersebut didasarkan pada benar
tidaknya tuturan tersebut dikatakan, Komunikasi fatis murni, yaitu ungkapan atau tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa yang
dikatakan oleh penutur selaras dengan kenyataan atau memang benar-benar terjadi.
Sementara itu, komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam
sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Setiap wujud tuturan fatis memiliki makna pragmatik. Makna pragmatik yang terdapat dalam
tuturan fatis para abdi dalem yaitu mengawali pembicaraan, mempertahankan komunikasi,
bertegur sapa, dan mengakhiri pembicaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arimi, Sailal. 1998. “Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. (Tesis). Yogyakarta:
UGM.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Purwadi, Eko Priyo Purnomo. 2008. Kamus Sansekerta Indonesia. e-book (online) diakses
tanggal 05 November 2016.
Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
Senft, Gunter. 2009. Phatic Communion. Max Planck Institute for Psycholinguistics,
Nijmegen.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma
University Press.
Nurjamily, Wa Ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga
(Kajian Sosiopragmatik). Jurnal Humanika No.15, Vol.3.
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Zegarac, Vladimir. 2009. What is Phatic Communication, Cambridge Journal Online.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BUKTI SUBMITE JURNAL
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIODATA PENULIS
Gusti Dinda Damarsasi, lahir di Yogyakarta pada 26 Agustus
1992. Penulis memulai pendidikan formal di SD Netral C dan selesai
pada tahun 2004. Setelah lulus SD melanjutkan pendidikan di SMP N
12 Yogyakarta dan selesai pada tahun 2007. Pendidikan SMA di
selesaikan pada tahun 2010 di SMA N 1 Gamping. Tahun 2010, penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Lulus pada tahun 2014. Selanjutnya, pada tahun 2015 penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program
Magister. Penulis lulus pada tahun 2017 dengan tesis yang berjudul Kajian Sosiopragmatik
Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI