KAJIAN REVISI PERPRES 39 TAHUN 2014pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_17.pdf ·...
Transcript of KAJIAN REVISI PERPRES 39 TAHUN 2014pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_17.pdf ·...
i
LAPORAN ANALIS KEBIJAKAN
KAJIAN REVISI PERPRES 39 TAHUN 2014
Oleh
Erwidodo
Muchjidin Rachmat
Reni Kustiari
Saktyanu Kristyantoadi
Frans D.M. Dabukke
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2015
i
DAFTAR ISI
I. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1
II. TUJUAN DAN METODOLOGI ............................................................................. 3
III. PERUBAHAN PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014 BIDANG USAHA
PERTANIAN. ................................................................................................... 4
IV. KINERJA INVESTASI TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES
39/2014. ........................................................................................................ 6
V. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI
PERPRES 39/2014. .......................................................................................... 8
VI. KINERJA INVESTASI DAN PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
ASEAN .......................................................................................................... 10
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 18
Lampiran 1. Hasil-Hasil FGD .............................................................................. 19
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Indeks Daya Saing Investasi Negara Nagara Asean dan China .................. 2
Tabel 2. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Dalam Prepres
36/2010 dan Prepres 39/2014 ................................................................. 5
Tabel 4. Nilai Ekspor Dirinci Menurut Sektor 2007-2014 (Juta Us$) ........................ 9
Tabel 5. Neraca Perdagangan Sektor Partanian Tahun 2009 -2013 ....................... 10
Tabel 6. Foreign Direct Investment Extra-ASEAN ................................................ 11
Tabel 7. Foreign Direct Investment Intra-ASEAN .................................................. 12
Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN ............................................................ 13
1
I. LATAR BELAKANG
(1) Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 merupakan perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal atau biasa disebut Daftar Negatif Investasi (“DNI”).
(2) Pemerintah kembali berencana untukk melakukan revisi Perpres No 39/2014.
Rencana revisi tersebut terkesan sangat prematur mengingat Perpres ini
berlakunya baru genap satu tahun dan dampak ekonominya belum dirasakan.
Namun demikian, pemerintah pasti punya alasan kuat untuk melakukan revisi
tersebut. Rencana untuk merevisi Perpres DNI diduga kuat dilatar-belakangi
oleh keinginan pemerintah untuk lebih memacu kegiatan penanaman modal,
baik PMA maupun PMDN dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
memacu investasi, memacu ekspor untuk mengurangi defisit neraca transaksi
berjalan khususnya neraca perdagangan, serta untuk menciptakan lapangan
kerja. Alasan lain, diperkirakan, untuk melonggarkan dan mempermudah
persyaratan investasi dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif agar
dapat memenangkan persaingan dalam menarik investasi asing (Foreign
Direct Investment-FDI) menjelang berlakunya pasar tunggal ASEAN 2016.
(3) Revisi atau deregulasi Perpres No 39/2014 diarahkan kepada langkah untuk
melonggarkan persyaratan baik dengan cara mengurangi persyaratan,
melonggarkan berlakunya persyatan, maupun dengan mempercepat prosedur
untuk memperoleh rekomendasi.
(4) Perkiraan diatas konsisten dengan langkah pemerintah menggulirkan paket-
paket kebijakan deregulasi (paket 1-4) beberapa bulan terakhir yang
semuanya bertujuan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional
dan memacu pertumbuhan ekonomi, mengingat sampai saat ini menurut
Global Competitiveness Index (dari 144 negara), Indonesia berada dalam
urutan 34, dibawah Singapore (2), Malaysia (20), dan Thailand (31), meski
berada diatas Philippines (52), Vietnam (68), Lao PDR (93), Cambodia (95)
dan Myammar (134) seperti terangkum dalam Tabel 1.
2
(5) Lebih merisaukan lagi, mengacu kepada indeks kemudahan berusaha (Ease of
Doing Business Index, dari 189), Indonesia menduduki urutan ke 109, jauh
dibawah Singapore (1), Malaysia (18), Thailand (49), Brunei (84), Vietnam
(90) dan Philippines (103). Situasi inilah yang diperkirakan menjadi perhatian
serius dan alasan kuat pemerintah untuk terus berbenah menciptakan iklim
investasi dan usaha yang kondusif agar lebih berdaya saing. Kalau langkah ini
tidak dilakukan dikuatirkan Indonesia akan semakin tertinggal dan tidak
memperoleh manfaat dari berlakunya pasar tunggal ASEAN (Tabel 1)
Tabel 1. Indeks Daya Saing Investasi Negara Nagara Asean dan China
Negara Global competitiveness
Index 2014-2015 (144 negara) *
Ease of Doing Business rank 2015 **
Singapore 2 1
Malaysia 20 18
Thailand 31 49
Indonesia 34 109
Brunei Darussalam - 84
Vietnam 68 90
Phillipines 52 103
Cambodja 95 127
Lao PDR 93 134
Myanmar 134 167
Timor Leste 136 173
China 28 84
Sumber : * World Economic Forum.2015
** World Bank Group.2015
(6) Namun langkah ini tidaklah mudah untuk dilakukan dan selalu memicu pro-
kons, karena ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan dalam jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang. Kepentingan sektoral yang
ditopang kepentingan politik praktis seringkali juga menjadi penghambat
dalam melakukan perubahan. Disamping itu, belum adanya konsensus
nasional dalam memaknai kedaulatan dan kemandirian, membuat pemerintah
3
tidak „satu suara‟ dalam memaknai dan menyikapi keberadaan modal asing
(FDI) dalam perekonomian Indonesia. Diperlukan sikap politik pemerintahan
yang kuat dengan visi dan misi yang jelas untuk melakukan perubahan
menuju perekonomian nasional yang kuat dan berdayasaing.
(7) Revisi Perpres No 39/2014 diperkirakan mengundang pro-kons khususnya
terkait persyaratan kepemilikan modal asing (PMA). Sebagai salah satu bukti
adalah digugatnya UU No 13/2010 tentang Hortikultura, yang terkait dengan
kepemilikan modal asing maksimun 30%. Pihak yang merasa dirugikan telah
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2014,
meskipun akhirnya MK memutuskan menolak gugatan tersebut (19 Maret
2015).
II. TUJUAN DAN METODOLOGI
(8) Kajian ini bertujuan menilai dampak positif-negatif secara komprehensif dari
langkah perubahan/deregulasi. Idealnya untuk menganalisa dampak
kebijakan dilakukan “Regulatory Impact Assessement (RIA)”. Namun karena
keterbatasan waktu, RIA tidak dapat dilakukan. Sebagai gantinya, dilakukan
pendekatan sebagai berikut: (i) analisa deskriptif dampak perubahan Prespres
no 36/2010 menjadi Perpres No 39/2014, (ii) Focus Group Discussion (FGD).
(9) Laporan kajian dituangkan akan mecakup uraian tentang : (1) Perubahan
Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014 Bidang Usaha Pertanian, (2)
Kinerja Investasi terkait Revisi Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014, (3)
Kinerja Perdagangan terkait Revisi Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014,
(4) Kinerja Investasi dan Perdagangan Indonesia dalam Perspektif ASEAN,
dan (5) Kinerja Investasi dan Perdagangan Indonesia dalam Perspektif
ASEAN. Sedangkan hasil hasil FDG terangkum dalam Lampiran1.
4
III. PERUBAHAN PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014 BIDANG USAHA PERTANIAN.
(10) Daftar Negatif Investasi terdiri dari (i) usaha yang tertutup untuk penanaman
modal, dan (ii) usaha terbuka dengan persyaratan. Adapun persyaratan yang
berlaku mencakup : (a) Dicadangkan untuk UMKMK (Usaha Mikro, Kecil,
Menengah dan Koperasi), (b) Kemitraan, (c) Kepemilikan modal asing, (d)
Lokasi tertentu, (e) Perizinan khusus, (f) Modal dalam negeri 100%, (g)
Kepemilikan modal asing serta lokasi, (h) Perizinan khusus dan kepemilikan
modal asing, (i) Modal dalam negeri 100% dan perizinan khusus, (j)
Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam modal
dari negara‐negara ASEAN.
(11) Di bidang usaha pertanian, revisi Perpres DNI mencakup : (i) perubahan
kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur
dalam Perpres 36/2010 menjadi maksimal 30% dalam Perpres 39/2014,
sesuai dengan amanat UU No 13/2010 tentang Hortiultura, (ii) usaha
perbenihan dan pembibitan tanaman pokok tanpa batasan luas yang semula
dalam Perpres 36/2010 dapat diusahakan oleh asing dengan maksimal
kepemilikan modal asing 49% menjadi dapat diusahakan oleh asing dengan
batasan luas diatas 25 ha dan maksimum kepemilikan modal 49%, sedangkan
yang dibawah 25 ha tidak diatur, (iii) dalam perpres 36/2010 diatur usaha
pembibitan dan usaha budidaya tanaman pangan lain dapat diusahakan
dengan asing maksimal kepemilikan 95% sedangkan di dalam Perpres
39/2014 tidak lagi diatur, dan (iv) perubahan pengelompokan ulang dan
penyederhanaan bidang usaha pertanian (Tabel 2).
5
Tabel 2. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Dalam Prepres 36/2010 dan Prepres 39/2014
Komponen Prepres 36/2010 Prepres 39/2014
A. Tanaman Pangan Pokok
1. Usaha perbenihan tanaman pangan kurang dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Tidak diatur
2. Usaha perbenihan tanaman pangan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Modal asing maksimal 49 %
3. Usaha budidaya tanaman pangan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK
4. Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Modal asing maksimal 49 %
5. Usaha perbenihan tanaman pangan lainnya Modal asing maksimal 95% Tidak diatur
6. Usaha budidya tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95 % Tidak diatur
B. Perkebunan
1. Usaha perbenihan perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK
2. Usaha perbenihan perkebunan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95%
3. Usaha perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK
4. Usaha budidaya perkebunan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95%
7. Usaha industry pengolahan hasil perkebunan dibawah kapasitas
tertentu sesuai dengan peraturan perundangan
UMKMK UMKMK
8. Usaha industry pengolahan hasil perkebunan sama atau diatas kapasitas tertentu sesuai dengan peraturan perundangan
Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95%
C. Hortikultura
1. Usaha perbenihan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
2. Usaha budidaya hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
3. Usaha industry pengolahan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
4. Usaha penelitian hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
5. Usaha wisata agro hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
6. Usaha jasa hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30%
D. Peternakan
1. Jumlah Kurang atau sama dengan 125 ekor UMKMK UMKMK
2. Jumlah lebih dari 125 ekor Lokasi tertentu tidak bertentangan dengan Perda
Lokasi tertentu tidak bertentangan dengan Perda
3. Pembibitan dan budidaya ayam buras serta persilangannya UMKMK UMKMK
E. Peneliian dan Pengembangan ilmu teknologi dan rekayasa Modal asing maksimal 49%
rekomendasi menteri
Modal asing maksimal 49%
rekomendasi menteri
6
IV. KINERJA INVESTASI TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014.
(12) Dalam uraian berikut dipaparkan hasil analisis indikator ekonomi (investasi,
perdagangan) selama beberapa tahun. Periode analisis dibagi kedalam
periode sebelum revisi, menjelang revisi, dan setelah revisi. Namun demikian,
harus dipahami bahwa dampak ekonomi dari kegiatan investasi tertunda atau
mengalami „delay‟ atau „lags‟. Artinya, peningkatan realisasi investasi pada
tahun ke-t kemungkinan baru akan berdampak ekonomi pada tahun ke t+1
bahkan sampai t+5.
(13) Sektor pertanian (tanaman pangan dan perkebunan termasuk peternakan
serta hortikultura) merupakan salah satu sektor yang diminati oleh para
investor asing, dilihat dari realisasi nilai investasi PMA, yaitu urutan ke-4
(empat) terbesar pada tahun 2014 setelah sektor perindustrian, sektor
pertambangan/penggalian, dan sektor transportasi/pergudangan/komunikasi.
(14) Kinerja PMA agregat (semua sektor) setelah berlakunya Perpres 36/2010
(2010-2013) memperlihatkan pertumbuhan pesat, baik dari jumlah maupun
nilai proyeknya. Nilai total investasi meningkat hampir dua kali lipat dari USD
16.2b pada tahun 2010 menjadi USD 28.6b pada tahun 2013, atau tumbuh
dengan laju rata-rata 19.0% per tahun selama periode tersebut. Namun,
pertumbuhan ini tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana laju
pertumbuhan investasi justru menurun 0.31% dari USD 28.6b pada tahun
2013 menjadi USD 28.5b. Realisasi nilai investasi tahun 2015 diperkirakan
akan terus menurun, karena realisasi sampai dengan bulan Juni 2015 baru
mencapai USD 8.3b kurang dari sepertiga nilai investasi 2014.
(15) Kinerja PMA di sektor pertanian (subsektor tanaman pangan dan perkebunan
serta peternakan) setelah berlakunya Perpres 36/2010 (2010-2013)
memperlihatkan perkembangan positif dan nyata, baik dari jumlah maupun
nilai proyeknya. Jumlah proyek investasi di sektor pertanian meningkat dari
170 unit proyek pada tahun 2010 menjadi 539 unit pada tahun 2013, atau
tumbuh dengan laju rata-rata 35.0% per tahun selama periode tersebut.
Angka laju pertumbuhan ini merupakan resultante dari laju pertumbuhan
jumlah proyek di subsektor pertanian pangan dan perkebunan sebesar 35.9%
7
per tahun dan laju pertumbuhan jumlah proyek di subsektor peternakan
sebesar 16.6% per tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada
periode 2013-2014, dimana realisasi jumlah proyek investasi justru menurun
drastis dari 539 unit pada tahun 2013 menjadi 124 unit, atau turun lebih dari
125 persen (Tabel 3).
Tabel 3. Perkembangan Investari sektor pertanian 2009-2015
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015*
A. Jumlah Proyek (Unit)
Pertanian 11 170 278 275 539 124 259
1. Tan Pangan dan Kebun 7 159 264 261 520 119
2. Peternakan 4 11 14 14 19 5
B. Nilai Investasi ($ Juta)
Pertanian 125.7 776 1243.6 1621.7 1616.6 493.3 862.9
1. Tan Pangan dan Kebun 122.9 751 1222.5 1601.9 1605.3 481.2
2. Peternakan 2.8 25 21.1 19.8 11.3 12.1
* Januari sampai Juni
Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik
(16) Nilai investasi di sektor pertanian juga memperlihatkan perkembangan yang
sama. Nilai realisasi investasi di sektor pertanian meningkat dari USD 0.8b
pada tahun 2010 menjadi USD 1.6b pada tahun 2013, atau tumbuh dengan
laju rata-rata 22.1% per tahun selama periode 2010-2013. Angka laju
pertumbuhan ini merupakan resultante dari laju pertumbuhan nilai investasi di
subsektor pertanian pangan dan perkebunan sebesar 22.7% per tahun dan
laju penurunan nilai investasi di subsektor peternakan sebesar -22% per
tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada periode 2013-2014,
dimana realisasi jumlah proyek investasi justru menurun drastis dari USD 1.6b
pada tahun 2013 menjadi USD 0.5b tahun 2014, atau turun lebih dari 106
persen. Menurunnya nilai investasi usaha pertanian pada periode 2013-2014
seharusnya menjadi alasan yang „legitimate‟ bagi pemerintah (dhi kementan)
untuk menggulirkan revisi aturan investasi di sektor pertanian kearah yang
lebih longgar baik untuk PMDN dan PMA.
8
(17) Perkembangan nilai investasi agregat 2013-2014 menjadi alasan kuat bagi
pemerintah untuk menerbitkan Perpres no 39/2014 menggantikan Perpres no
36/2010, sedangkan perkembangan investasi 2014-2015 yang terus menurun
dapat menjadi alasan kuat untuk kembali melakukan revisi Perpres no
39/2014 yang masa berlakunya baru genap satu tahun.
V. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010
MENJADI PERPRES 39/2014.
(18) Sesuai dengan munculnya Perpres 36/2010 dan Perpres 39/2014, maka
keragaan ekspor impor dibagi dalam tiga periode yaitu antara 2007-2009,
antara 2010-2013, dan 2013-2014: (1) Pada periode 2007-2009,
pertumbuhan ekspor hanya mengalami peningkatan sebesar 0,98 persen, hal
ini diakibatkan oleh beberapa sektor mengalami pertumbuhan negatif seperti
sektor migas dan industri. Pada periode tersebut sektor pertanian tumbuh
dengan laju 8,28%; (2) Pada periode 2010-2013, pertumbuhan ekspor
nasional mengalami peningkatan lebih baik sebesar 3,32 persen dimana
terjadi pertumbuhan positif di seluruh sektor. Pada periode tersebut sektor
pertanian tumbuh dengan laju 4,73%; (3) Selanjutnya, pada periode 2013-
2014, pertumbuhan ekspor mengalami pertumbuhan negatif sebesar -3,43
persen. Pertumbuhan tersebut diakibatkan beberapa sektor mengalami
pertumbuhan negatif seperti sektor migas, pertambangan, lainnya (jasa).
Pada periode tersebut sektor pertanian masih tumbuh dengan laju 1,01%
(Tabel 4)
9
Tabel 4. Nilai Ekspor Dirinci Menurut Sektor 2007-2014 (Juta Us$)
Tahun Migas Non Migas
Total Ekspor Pertanian Industri Tambang Lainnya Total
2007 22.088,6 3.657,8 76.460,8 11.884,9 8,8 92.012,3 114.100,9
2008 29.126,3 4.584,6 88.393,5 14.906,2 9,9 107.894,2 137.020,4
2009 19.018,3 4.352,7 73.435,8 19.692,3 10,7 97.491,7 116.510,1
Pertumbuhan (2007-2009) -6,56 8,28 -1,90 25,19 9,80 2,76 0,98
2010 28.039,6 5.001,9 98.015,1 26.712,6 9,9 129.739,5 157.779,1
2011 41.477,0 5.165,8 122.188,7 34.652,0 13,0 162.019,6 203.496,6
2012 36.977,3 5.569,2 116.125,1 31.329,9 18,7 153.043,0 190.020,3
2013 32.633,1 5.713,0 113.029,9 31.159,5 16,3 149.918,8 182.551,8
Pertumbuhan
(2010-2013) 2,67 4,73 3,47 3,24 17,15 3,47 3,32
2014 30.331,9 5.770,6 117.329,9 22.850,0 10,4 145.960,8 176.292,7
Pertumbuhan (2013-2014) -7,05 1,01 3,80 -26,67 -36,56 -2,64 -3,43
Sumber : Badan Pusat Statistik.
(19) Neraca perdagangan sektor pertanian menunjukkan surplus yang terutama
disebabkan oleh surplus perdagangan di sub sektor perkebunan, yang lebih
besar dari deficit yang terjadi pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura
dan peternakan. Dalam tahun 2009-2010 surplus neraca perdagangan
pertanian tumbuh dengan laju 34,09%, namun laju pertumbuhan surplus
perdagangan produk pertanian dalam tahun 2010-2013 menurun hanya
menjadi 2,57%. Kondisi ini dapat dijadikan alasan munculnya revisis perpres
39/2014 (Tabel 5).
10
Tabel 5. Neraca Perdagangan Sektor Partanian Tahun 2009 -2013
Ekspor/ Impor
Sub sektor
Tahun Laju (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2009-
2010
2010-
2013
Export (Juta $ US)
T.Pangan 321.3 477.7 584.9 162.9 187.3 39.15 -16.8
hortikultura 379.7 390.7 491.3 472.9 422.5 2.86 3.89
Perkebunan 21581.7 30702.9 40689.7 32453.1 29476.5 34.89 5.66
Peternakan 754.9 951.7 1599.1 578.3 609.7 23.06 -7.39
Pertanian 23037.6 32523 43365 33667.2 30696 34.14 5.04
Impor
(Juta $ US)
T. Pangan 2737.9 3893.8 7023.9 8270.8 7479.9 34.86 23.57
hortikultura 1077.5 1292.9 1686.1 1754.9 1529.4 18.17 9.3
Perkebunan 3949.2 6028.2 8843.8 3123.4 2669.6 41.67 -11.1
Peternakan 2132.8 2768.3 3044.8 2856.9 3173.5 25.93 7.76
Pertanian 9897.4 13983.2 20598.6 16006 14852.4 34.22 7.92
Neraca
(Juta $ US)
T. Pangan -2416.6 -3416.1 -6439 -8107.9 -7292.6 34.27 26.1
hortikultura -697.8 -902.2 -1194.8 -1282 -1106.9 25.55 11.56
Perkebunan 17632.5 24674.7 31845.9 29329.7 26806.9 33.29 8.83
Peternakan -1377.9 -1816.6 -1445.7 -2278.6 -2563.8 27.47 14.94
Pertanian 13140.2 18539.8 22766.4 17661.2 15843.6 34.09 2.57
Sumber : Badan Pusat Statistik.
VI. KINERJA INVESTASI DAN PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ASEAN
(20) Secara nilai nominal dan pangsa FDI di ASEAN pada tahun 2013, FDI extra-
ASEAN di Indonesia menduduki urutan keempat dengan nilai nominal sebesar
USD 9.7b dan pangsa (9.9%), dibawah Singapura (USD 52.5b dan 53.4%)
dan Thailand (USD 11.7b dan 11.9%) dan Malaysia (USD 10.1b dan 10.3%),
diatas Vietnam (USD 7.7b dan 7.8%) dan Philippines (USD 6.1b dan 6.2%).
Kinerja FDI Indonesia sedikit membaik pada tahun 2014, yakni menduduki
urutan ketiga dengan nilai nominal sebesar USD 8.8b dan pangsa (7.9%),
dibawah Singapura (USD 67.6b dan 60.5%) dan Thailand (USD 10.8b dan
9.7%), sedikit diatas Malaysia (USD 7.9b dan 7.1%), Vietnam (USD 7.7b dan
6.9%) dan Philippines (USD 6.1b dan 5.5%). Namun, kalau dilihat besarnya
11
jumlah penduduk dan angkatan kerja, luas wilayah, besarnya perekonomian
(GDP), kinerja FDI di Indonesia belum menggembirakan, artinya Indonesia
dengan potensi ekonomi dan pasar yang begitu besar belum cukup atau tidak
terlalu menarik bagi investor asing. Hal ini kemungkinan disebabkan relatif
sulit dan ketatnya persyaratan FDI untuk masuk di Indonesia dibandingkan
dengan negara ASEAN lain. Dugaan ini konsisten dengan indeks kemudahan
berusaha di Indonesia yang berada pada urutan ke 109, jauh dibawah negara
ASEAN lain, sebagaimana telah diuraikan diatas (Tabel 6)
Tabel 6. Foreign Direct Investment Extra-ASEAN
Country 2012 2013 2014
USD b % USD b % USD b %
Brunei
Darussalam
833.3 0.9 783.5 0.8 427.0 0.4
Cambodia 1,034.1 1.1 976.1 1.0 1,354.0 1.2
Indonesia 11,550.0 12.2 9,722.7 9.9 8,817.5 7.9
Lao PDR 220.7 0.2 322.1 0.3 775.3 0.7
Malaysia 6,586.1 6.9 10,109.9 10.3 7,943.0 7.1
Myanmar 1,203.0 1.3 1,434.1 1.5 262.6 0.2
Philippines 2,651.8 2.8 3,901.5 4.0 6,121.9 5.5
Singapore 52,678.3 55.5 52,473.3 53.4 67,565.6 60.4
Thailand 11,041.2 11.6 11,743.0 11.9 10,884.0 9.7
Viet Nam 7,105.5 7.5 6,821.4 6.9 7,653.0 6.8
Total 94,904.0 100 98,287.5 100 111,803.9 100
Sumber: ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015.
(21) Yang menarik Indonesia selalu menduduki urutan atas untuk FDI intra-
ASEAN, kecuali tahun 2012 sedikit dibawah Singapore. Pada tahun 2013, FDI
intra-ASEAN di Indonesia tercatat sebesar USD 8.7b dan kemudian meningkat
menjadi USD 13.5b pada tahun 2014, nilainya jauh diatas FDI intra-ASEAN di
singapore dan negara ASEAN lain. Situasi ini mudah dipahami, karena
Indonesia memang merupakan tujuan investasi dan target pasar ekspor bagi
negara anggota ASEAN lain. Pertanyaannya, mana yang lebih menguntungkan
12
bagi Indonesia menjadi target tujuan investasi atau tujuan pasar ekspor?
Pertanyaan ini yang harus dijawab oleh pemangku kebijakan dan para-pihak
dalam membahas kebijakan investasi termasuk merancang Perpres baru
tentang DNI yang sedang diwacanakan saat ini Tabel 7).
Tabel 7. Foreign Direct Investment Intra-ASEAN
Country 2012 2013 2014
USD b % USD b % USD b %
Brunei Darussalam
31.5 0.2 -58.0 (0.3) 141.2 0.6
Cambodia 523.0 2.5 298.8 1.5 372.5 1.5
Indonesia 7,587.9 36.9 8,721.1 45.0 13,458.8 55.2
Lao PDR 73.6 0.4 104.6 0.5 137.9 0.6
Malaysia 2,813.9 13.7 2,187.5 11.3 2,771.1 11.4
Myanmar 151.2 0.7 1,186.8 6.1 683.6 2.8
Philippines 145.2 0.7 (41.7) (0.2) 78.6 0.3
Singapore 8,302.0 40.4 3,665.0 18.9 4,532.7 18.6
Thailand -342.0 -1.7 1,256.8 6.5 653.9 2.7
Viet Nam 1,262.5 6.1 2,078.6 10.7 1,547.1 6.3
Total 0,548.8 100 19,399.6 100 24,377.4 100
Sumber: ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015.
(22) Dari total nilai perdagangan intra-ASEAN sebesar USD 608.3b, Indonesia
menduduki ke-4 dengan nilai USD 90.7b atau pangsa 14.9% dibawah nilai
perdagangan Singapura USD 203.2b (33.4%), Malaysia USD 119.1b (19.6%)
dan Thailand USD 102.7b (16.9%). Dari total ekspor intra-ASEAN sebesar
USD 329.7b, nilai ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN berada di urutan
ke-4 dengan total ekspor USD 39.8b atau pangsa 12.1%, jauh dibawah nilai
ekspor Singapura sebesar USD 127.7b (38.7%), Malaysia USD 65.3b (19.8%)
dan Thailand USD 59.4b (18.0%), diatas nilai ekspor Vietnam USD 18.3b
(5.5%) dan Philippines USD 9.2m (2.8%). Sementara itu, dari total impor
intra-ASEAN sebesar USD 278.6b, Indonesia berada di urutan ke-3 dengan
total impor USD 50.9b atau dengan pangsa 18.3%, dibawah nilai impor
13
Singapura USD 75.5b (27.1%), Malaysia USD 53.8b (19.3%), diatas Thailand
USD 43.3b (15.5%) dan Vietnam USD 22.5b (8.1%) seperti terangkum dalam
Tabel 8.
Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN
Country Intra-ASEAN
export
Intra-ASEAN
import
Intra-ASEAN
trade
Value % Value % Value %
Brunei Darussalam
2,093.0 0.6 1,767.6 0.6 3,860.6 0.6
Cambodia 2,037.9 0.6 5,577.6 2.0 7,615.5 1.3
Indonesia 39,822.1 12.1 50,903.1 18.3 90,725.3 14.9
Lao PDR 1,451.3 0.4 2,045.0 0.7 3,496.3 0.6
Malaysia 65,297.0 19.8 53,779.1 19.3 119,076.0 19.6
Myanmar 4,362.3 1.3 7,092.6 2.5 11,455.0 1.9
Philippines 9,211.2 2.8 16,158.8 5.8 25,370.0 4.2
Singapore 127,739.2 38.7 75,457.2 27.1 203,196.4 33.4
Thailand 59,425.8 18.0 43,299.5 15.5 102,725.3 16.9
Viet Nam 18,260.5 5.5 22,537.1 8.1 40,797.7 6.7
ASEAN 329,700.4 100 278,617.6 100 608,318.0 100
Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
(23) Kinerja perdagangan ekstra-ASEAN Indonesia juga kurang menggembirakan,
berada jauh dibawah kinerja ekspor Singapore, Malaysia dan Thailand. Total
nilai perdagangan ekstra-ASEAN tahun 2014 sebesar USD 1920.6b, Indonesia
menduduki urutan ke-4 dengan nilai USD 263.7b atau dengan pangsa
(13.7%) jauh dibawah Singapura sebesar USD 572.8b (29.8%), Thailand USD
352.8b (18.3%) dan Malaysia USD 324.0b (16.8%), sedikit diatas Vietnam
USD 253.0b (13.2%). Dari total ekspor ekstra-ASEAN sebesar USD 962.9b,
Indonesia berada di urutan ke-4 dengan total ekspor USD 136.5b atau
dengan pangsa 14.1%, dibawah nilai ekspor Singapura USD 282.0b (29.3%),
Malaysia USD 168.8b (17.5%) dan Thailand USD 168.1b (17.4%), sedikit
14
diatas nilai ekspor Vietnam USD 129.8b (13.5%) seperti terangkum dalam
Tabel 9.
Tabel 9. Total Perdagangan Ekstra-ASEAN
Country
Extra-ASEAN export
Extra-ASEAN import
Extra-ASEAN trade
Value % Value % Value %
Brunei
Darussalam 8,491.1 0.9 1,828.9 0.2 10,320.1 0.5
Cambodia 8,643.5 0.9 13,395.6 1.4 22,039.1 1.1
Indonesia 136,470.5 14.2 127,275.7 13.3 263,746.2 13.7
Lao PDR 1,188.6 0.1 703.9 0.1 1,892.5 0.1
Malaysia 168,864.2 17.5 155,139.1 16.2 324,003.3 16.9
Myanmar 6,668.3 0.7 9,133.4 1.0 15,801.7 0.8
Philippines 52,598.7 5.5 51,598.2 5.4 104,196.9 5.4
Singapore 282,029.5 29.3 290,790.1 30.4 572,819.6 29.8
Thailand 168,147.8 17.5 184,652.8 19.3 352,800.6 18.4
Viet Nam 129,831.0 13.5 123,148.4 12.9 252,979.4 13.2
ASEAN 962,933.2 100 957,666.2 100 1,920,599.4 100
Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
(24) Kinerja investasi dan perdagangan Indonesia yang jauh lebih rendah
dibandingkan Singapore, Malayasia dan Thailand inilah yang nampaknya
menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk terus mempermudah persyaratan
investasi, baik bagi PMDN dan PMA, melalui revisi Perpres DNI, termasuk
Perpres no 39/2014 yang baru genap satu tahun masa berlakunya.
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
(25) Dalam era globalisasi dan terutama dengan diberlakukannya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2016, maka perdagangan produk-produk pertanian
antar negara akan semakin bebas dan terbuka, dilakukan liberalisasi
15
perdagangan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil secara
leluasa dan arus modal yang lebih bebas. Indonesia harus mempersiapkan
diri sehingga dapat mengambil manfaat dari MEA tersebut. Apabila tidak
maka Indonesia akan dirugikan karena akan menjadi negara importir dan
pasar domestik yang besar akan diambil oleh Negara anggota MEA lain.
(26) Namun, kenyataannya sampai saat ini kinerja perdagangan dan investasi
Indonesia jauh dibawah kinerja Singapura, Malaysia dan Thailand. Total nilai
ekspor Indonesia, baik dalam perdagangan intra-ASEAN maupun ekstra-
ASEAN, jauh lebih kecil dibandingkan nilai ekspor ketiga negara anggota
ASEAN tersebut. Indonesia juga kalah bersaing dengan ketiga negara
tersebut dalam menarik investasi asing, baik intra-ASEAN maupun ekstra-
ASEAN. Jika tidak dilakukan pembenahan dan perbaikan dalam iklim usaha
dan investasi, diperkirakan nilai ekspor Indonesia akan semakin tertinggal dari
ketiga negara tersebut, dan bahkan sangat mungkin disusul oleh Vietnam.
(27) Sebagai negara dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, seharusnya
indonesia dapat menjadi eksportir utama produk pertanian. Hal ini dapat
dicapai melalui peningkatan produksi pertanian yang berdaya saing, dengan
mendayagunakan semaksimal mungkin potensi sumberdaya yang dimiliki dan
membuka peluang pengembangan usaha pertanian melalui kegiatan investasi
di segala bidang usaha. Jika kenyataan selama ini kinerja PMDN di sektor
pertanian pangan dan hortikultura masih sangat terbatas, maka PMA
seharusnya dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi,
produktivitas dan daya saing dari sub-sektor ini.
(28) Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan
untuk meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh investasi
untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah produk pertanian. Idealnya
untuk memaksimalkan nilai tambah, kegiatan investasi usaha pertanian dapat
dilakukan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha domestik (PMDN), namun
kenyataannya hal ini belum dapat sepenuhnya dilakukan, sehingga
dibutuhkan investasi asing (PMA). Disamping membantu peningkatan
produksi dan ketersediaan produk dalam negeri, PMA juga berguna dalam
16
rangka mendorong alih teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara
efisien, berkualitas dan berdaya saing.
(29) Dalam kaitan tersebut maka evaluasi terhadap Perpres No 39/2014 tentang
DNI menjadi relevan. Salah satu aspek penting dalam Prepres No 39 Tahun
2014 adalah adanya ketentuan tentang kepemilikan asing dalam usaha
pertanian, baik dalam usaha perbenihan, usaha budidaya tanaman dan usaha
industri pengolahan pertanian. Ketentuan pemilikan modal asing pada usaha
tanaman pangan maksimal 49% dan usaha perkebunan maksimal 95%,
sedangkan pada usaha hortikultura maksimal 30 % (sesuai UU 13/2010
tentang Hortikultura).
(30) Pada saat ini, upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan
asing (PMA) di bidang usaha hortikultura tidak dapat dilakukan karena akan
bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Namun
perlu disadari bahwa persyaratan ini menjadi dilematis karena dikuartirkan
akan menjadi penghambat pertumbuhan sub-sektor hortikultura yang
berakibat terjadinya stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk
hortikultura. Akibat lebih lanjut, Indonesia tidak akan mampu memenuhi
permintaan domestik produk hortikultura yang terus meningkat sehingga akan
semakin tergantung impor, apalagi untuk tujuan peningkatan ekspor.
(31) Pada sub sektor perkebunan, ketentuan kepemilikan modal asing sebesar
95% dinilai sudah maksimal. Kinerja investasi di subsektor perkebunan telah
berjalan sesuai yang diharapkan. Kalaupun pemerintah ingin terus mendorong
investasi di subsektor ini dapat dilakukan dengan mempermudah persyaratan
lain yang berlaku, termasuk prosedur untuk memperoleh rekomendasi
(32) Pada sub sektor tanaman pangan, peluang untuk meningkatkan kepemilikan
asing lebih besar dari 49%, sebagaimana diatur dalam Perpres 39/2014,
masih dimungkinkan. Namun, usulan untuk melonggarkan persyaratan
investasi di subsektor tanaman pangan, termasuk persyaratan kepemilikan
asing, selayaknya dikaji lebih cermat.
(33) Dalam kaitan itu dalam jangka pendek yang perlu dilakukan adalah
bagaimana mengoptimalkan situasi yang ada, yaitu: (a) memaksimalkan
upaya untuk mendorong investasi asing pada bidang usaha perkebunan yang
17
memberikan peluang investasi sampai 95 % , dan (b) memaksimalkan upaya
untuk tumbuhnya investasi terutama investasi domestik pada usaha bidang
tanaman pangan dan terlebih lagi pada usaha hortikultura.
(34) Upaya untuk mendorong investasi, baik PMDN maupun PMA, dapat dilakukan
melalui beberapa instrumen kebijakan, diantaranya:
a. Bidang moneter: instrumen suku bunga yang lebih rendah, nilai tukar
yang sesuai dan perlakuan kredit khusus akan merangsang minat
investasi.
b. Bidang fiskal: kebijakan penerapan pajak perlu dilakukan secara bijak agar
tetap mampu merangsang dunia usaha untuk investasi di pertanian.
c. Bidang pengembangan industri pertanian: kemudahan perijinan dan
dukungan kredit/pembiayaan terutama bagi usaha yang menghasilkan
produk bermutu sesuai permintaan pasar.
d. Bidang perdagangan: mengurangi distorsi pasar dalam rangka
memperlancar arus barang dan jasa, serta meningkatkan efisiensi
pemasaran.
e. Bidang infrastruktur: penyediaan infrastruktur publik terutama infrastuktur
yang banyak dibutuhkan oleh pelaku usaha dan dapat merangsang
tumbuhnya investasi baru, seperti jalan, listrik, pelabuhan, transportasi,
komunikasi, sarana pengairan dan drainase dan lainnya.
f. Bidang penelitian dan pengembangan: mendorong kegiatan penelitian
untuk menghasilkan teknologi dan teknik budidayapertanian
g. Bidang SDM: meningkatkan kualitas SDM pertanian untuk mendukung
pengembangan usaha mikro-kecil-menengah pertanian.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015
2. ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
3. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia, Berbagai Tahun
4. Prepres 36 tahun 2010, Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dsn
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal.
5. Perpres 39 tahun 2014 entang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dsn Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal.
6. World Bank Group.2015. Doing Bsiness Measuring Business Regulation. http//
www.doingbusiness.org/rankings.
7. World Economic Forum. 2015. The Global Competitiveness Report 2014-2015.
19
Lampiran 1. Hasil Hasil FGD
1) Banyak UU di luar UU hortikultura yang mempengaruhi pengembangan
industri hortikultura. Oleh karena itu, perlu dipelajari UU lain terkait dengan
investasi. UU 13/2010 berisi tentang investasi asing di bidang hortikultura.
Dampak dari diberlakukannya UU 13 ini terlihat dari perkembangan
investasi PMA dan PMDN di bidang pertanian dan Non Pertanian. Ada
kemungkinan investasi di sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh
investasi di sektor non pertanian. Data investasi di bidang hortikultura
secara khusus tidak tersedia. Untuk memacu kinerja investasi diperlukan
insentif ekonomi dan non ekonomi, misalnya tidak membayar pajak pada
saat melakukan investasi awal.
2) Batang tubuh Perpres 39 dapat direvisi dan pada Tabel Lampiran dapat
dimasukkan asek lain seperti tenaga kerja, alat dan mesin, dan pestisida.
Perlu penyempurnaan di aspek GMO. Ketentuan skala 25 Hektar dalam
Perpres perlu diusulkan menjadi 10 hektar. Perlu didefinisikan dalam UU
tentang industri hortikultura. Sebaiknya industri hortikultura adalah industri
yang menggunakan bahan baku komoditas hortikultura lebih dari 50%.
3) Hasil kajian UU 13/2010 yang dilakukan pada 2013 menunjukkan bahwa
sebagian besar PMDN mau menerima UU 13/2010, namun PMA tidak mau
menerima. Hal ini disebabkan industri perbenihan hortikultura adalah
industri dengan keuntungan yang besar. Banyak mantan pekerja di
perusahaan perbenihan PMA (East west) yang membuat perusahaan
sendiri dan memproduksi benih hortikultura, mengimpor benih induk dari
negara lain (karena iklim Indonesia tidak cocok untuk memproduksi benih
induk) untuk kemudian diperbanyak di Indonesia. Pengusaha pemasok
benih ini bermitra dengan penangkar benih hortikultura. Benih hortikultura
yang dihasilkan tidak diberi merk dagang. Teknologi dan saluran
pemasaran mengikuti metode pemasaran perusahaan PMA. Perusahaan
seperti ini yang saat ini banyak memasok benih hortikultura di Indonesia,
namun tidak tercatat secara resmi.
20
4) Perubahan kinerja investasi di bidang pertanian dapat disebabkan oleh
Perpres dan performa ekonomi global. Perlu juga melihat indicator lainnya,
seperti Neraca Perdagangan sektor yang dibuka, seperti perkebunan, selalu
mengalami surplus perdagangan. Terkait dengan masalah daya saing
industri kecil, ada baiknya dilihat indicator lainnya untuk memastikan
keterkaitan daya saing dengan peraturan investasi yang ada.
5) Untuk tujuan keamanan pangan maka perlu restriksi produk-produk GMO,
oleh karena itu masih diperlukan rekomendasi menteri untuk investasi di
industri produk GMO. Paket I-V menunjukkan bahwa Indonesia sudah
semakin liberal. Misalnya, Indonesia sudah mengijinkan impor sapi dari
Negara-negara zona PMK (paket V).
6) Pasar untuk produk organic sudah mulai berkembang pesat namun
peningkatan produksi produk organic terkendala oleh kekhawatiran petani
akan adanya serangan hama dan penyakit. Selain itu, karena penyuluhan
dari pemerintah terkalahkan oleh promosi penggunaan pestisida oleh
perusahaan pemasok pestisida tersebut. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan aturan pada regulasi hortikultura untuk produk-produk yang
sehat dan organic.
7) Untuk meningkatkan kapasitas penangkar benih hortikultura maka perlu
dilakukan kegiatan pendampingan agar dapat dihasilkan benih hortikultura
yang berkualitas. Petani hortikultura harus diberdayakan agar mampu
menjadi penangkar. Saat ini sudah ada investasi di bidang breeding dan
muncul berbagai ragam investasi di bidang hortikultura. Aturan impor benih
harus dilaksanakan dengan benar.
8) Perlu kerjasama pengembangan bidang hortikultura melalui konsorsium
antara Balitbang pertanian, Dikti, dan Ristek agar sektor hortikultura dapat
lebih maju. Perlu ada ketentuan skala usaha yang harus diberikan
insentif/fasilitas Balitbang. Paket teknologi yang dihasilkan oleh Balitbang
tentang pengurangan penggunaan pestisida pada tanaman hortikultura
harus disosialisasikan ke petani agar dapat dihasilkan produk hortikultura
yang sesuai dengan ketentuan keamanan pangan dan aspek lainnya.
Terkait UU 12, Balitbang dan Perguruan Tinggi dapat melakukan inovasi di
21
lokasi kelompok tani. Perlu diketahui pemanfaatan hasil penelitian dan
pengembangan di luar Kementerian Pertanian . Kegiatan penelitian harus
ada insentif yang berbeda dengan kegiatan pengembangan.
9) Sesuai dengan pasal 33, investasi tidak harus bebas seperti bidang
perdagangan. Indonesia mengimpor lebih dari 50% dari total input
produksi tanaman pangan, seperti pertisida, benih, pupuk (kecuali urea).
Pilihan kebijakan/regulasi harus mempertimbangkan untuk perkembangan
yang lebih merata.
10) Kegiatan penelitian dan pengembangan memerlukan investasi asing
(teknologi maju) untuk kemajuan pertanian jadi pertanian harus take a
lead. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan harus open minded
terhadap investasi asing, dengan kata lain harus ada keterbukaan terhadap
investor asing yang teknologinya dapat dimanfaatkan untuk kemajuan
sektor pertanian di masa yang akan datang. Manfaatkan kerjasama
penelitian yang sudah ada dengan organisasi internasional.
11) Perdagangan internasional produk pertanian bersifat asimetri. Investasi
asing ini kemungkinan berkaitan dengan perdagangan internasional. Misal
jika impor kedelai dibatasi, maka PMA akan berlomba melakukan investasi
di bidang kedelai.