KAJIAN PERTUMBUHAN EKSPLAN PUCUK GAHARU...
Transcript of KAJIAN PERTUMBUHAN EKSPLAN PUCUK GAHARU...
KAJIAN PERTUMBUHAN EKSPLAN PUCUK GAHARU
(Gyrinops versteegii (Gilg) Domke)
MELALUI TEKNIK EX VITRO
CITRA BETRIANINGRUM
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Halaman Persembahan
Tulisan ini Ku dedikasikan untuk kedua orang tua dan kakak ku. Atas Segala Kasih Sayang yang selalu menjadi sumber semangat dan kebanggaan.
RINGKASAN
CITRA BETRIANINGRUM. E34104031. Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk
Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Melalui Teknik Ex Vitro. Dibimbing
oleh EDHI SANDRA dan WA ODE HAMSINAH BOLU.
Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton,
namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah
mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mendapatkan komposisi media yang sesuai untuk pertumbuhan eksplan
dan untuk mendapatkan konsentrasi hormon tumbuh IBA (Indole Butyric Acid) yang
optimal bagi pertumbuhan perakaran eksplan pucuk G.versteegii melalui teknik ex
vitro. Diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang media tumbuh
yang sesuai dan konsentrasi hormon yang terbaik untuk pertumbuhan eksplan pucuk
G.versteegii (Gilg) Domke, sehingga dapat diterapkan guna mendukung pelestarian
plasma nutfah.
Dalam pelaksanaan penelitian, alat yang digunakan box mika, aqua gelas 240
ml, cutter, gunting tanaman, sungkup, paranet, papan iris, steples, speryer, dan kertas
label. Bahan yang digunakan antara lain eksplan pucuk G.versteegii, hormon IBA
(400, 450, 500, 550, 600 ppm), Vitamin B1, bakterisida, fungisida, media (tanah,
pasir, dan kompos), Antracol, zat perekat, CaCo3. Semua eksplan yang sudah
direndam pada larutan (vitamin B1, sterilisasi, dan hormon dengan berbagai
konsentrasi), serta dioles dengan pasta pada bagian pangkal eksplan, langsung
ditanam pada masing-masing media (tanah tunggal, pasir tunggal, dan campuran
tanah-pasir-kompos) yang sudah dimasukkan pada box mika. Selanjutnya box ditutup
rapat dan disteples, kemudian simpan dalam sungkup.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah presentase hidup pada perlakuan sebesar
66,67%, sedangkan pada kontrol sebesar 83,33%. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan dengan hormon berpengaruh pada presentase hidup eksplan. Pertumbuhan
tinggi pada eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media. Sedangkan hormon sangat
berpengaruh terhadap perakaran. Persentase berakar pada perlakuan hormon sebesar
61,78% dan pada kontrol sebsesar 53,33%. Dilihat dari persentase berakar
berdasarkan konsentrasi hormon, yang paling tinggi pada konsentrasi 550 ppm yaitu
14,22%. Namun, tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 450 ppm dengan persentase
berakarnya sebesar 13,11%.
Dari hasil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komposisi media yang baik
untuk pertumbuhan eksplan gaharu adalah media tanah dengan persentase hidup
89,33%. Sedangkan hormon yang optimal untuk perakaran eksplan pucuk gaharu
adalah dengan konsentrasi 550 ppm. Namun konsentrasi 450 ppm juga baik untuk
perakaran, walaupun tidak seoptimal konsentrasi 550 ppm. Tetapi konsentarsi
hormon 450 ppm ini dapat mengefisienkan biaya.
Key words: Gyrinops versteegii (Gilg) Domke, Material, Hormone
SUMMARY
CITRA BETRIANINGRUM
. E34104031. Study of Explan Growth Gaharu
Sprout (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Trhoug a Technique of Ex Vitro.
Under Supervision EDHI SANDRA and WA ODE HAMSINAH BOLU.
In the year 1985, amount export of the gaharu Indonesia reach about 1487 ton,
but exploit the tropical experienced forest and gaharu hunt which do not in control
have resulted the species-species of gaharu become the rareness. As for this research
target is to get the appropriate material composition for the growth of explan and to
get the hormone concentration grow the IBA (Indole Butyric Acid) optimal for
growth of root the eksplan sprout G. versteegii of through technique of ex vitro.
Assorted of material grow and various concentration of IBA hormone can yield the
growth which different each other, knowable so that composition of material and best
hormone concentration for the growth of explan of gaharu sprout by ex vitro.
Expected from this research result is obtained by information of about material grow
appropriate and best hormone concentration for the growth of explan of sprout
G.Versteegii (Gilg) Domke, applicable to so that utilize to support the continuation of
plasma nutfah.
In research implementation, appliance used : box mica, glass aqua 240 ml,
cutter, cut the crop, mulch, paranet, board slice, steples, speryer, and lable paper.
Substance used by for example explan of sprout Gyrinops versteegii, IBA hormone (
400, 450, 500, 550, 600 ppm), growquick, benstar 50 WP, agrept 20 WP, material
(land, sand, and compost), antracol, agristik, calcium carbonate. All eksplan is soaked
at condensation (vitamin B1, sterilization, and hormone by various concentration),
and also pasta oles of shares of jetty explan, direct planted each material (single land,
single sand, and mixture land-sand-compost) is entered at box mica. Call a meeting to
order and disteples and keep in mulch.
Result of research the obtained percentage live equal treatment to 66,67%,
while at control equal to 83,33%. This matter indicate that living of hormone not have
an in with percentage live explan. High growth explan is also influenced by media
type. While hormone very having an effect on to root. Seen from percentage take root
pursuant to hormone concentration, concentration highest 550 ppm that is 95,52%.
But, not far different from concentration 450 ppm with percentage take root to equal
95,16%. If evaluated from level of fifth concentration hormone, all concentration
represent optimal concentration for the root of gaharu explan
From previous result can be concluded that media composition which good to
growth of gaharu explan is ground land single media with percentage live 89,33%.
While hormone which optimal for the root of gaharu explan with concentration 550
ppm. But concentration 450 ppm also good to root, although not as optimal as
concentration 550 ppm. But 450 ppm hormone concentration this can be efficient
expense.
Key words: Gyrinops versteegii (Gilg) Domke, Material, Hormone
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Pertumbuhan
Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) melalui Teknik Ex vitro
adalah benar-benar hasil dari karya saya sendiri dengan bimbingan dosen
pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi
atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Citra Betrianingrum
NRP E34104031
Judul Penelitian : Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii
(Gilg) Domke) Melalui Teknik Ex Vitro
Nama : Citra Betrianingrum
NIM : E34104031
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
Ketua,
Ir. Edhi Sandra, M.Si
NIP. 132 055 229
Anggota,
Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc
NIP. 680 003 228
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr
NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulisan skripsi dapat
terselesaikan. Penelitian dilaksankan pada bulan Agustus-Oktober 2008, yang
berjudul ”Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg)
Domke) melalui Teknik Ex vitro.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, ibu dan kakak tercinta yang
telah memberi doa, dorongan, dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi dan Ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu,
MSc, yang telah membimbing dan memberi masukan dalam penulisan karya ilmiah
ini. Selain itu, ungkapan penghargaan ditujukan kepada Bapak Drs. Minaldi yang
telah membimbing penulis dalam berbagai kegiatan teknis lapang selama penulis
melaksanakan penelitian, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Harun
dari Kebun Raya Bogor yang telah membantu dalam penyediaan eksplan dan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
ini.
Bogor, Januari 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Muara Bungo pada tanggal 28 Desember 1986
sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Rum
Herayitno (ayah) dan Hj.Elizabet (ibu). Penulis telah lulus dari SMU
N 3 Solok, pada tahun 2004. Dan pada tahun yang sama penulis
diterima di Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan Dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB).
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di dalam organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai staf Himakova tahun kepengurusan 2005-2006, dan
penulis bergabung dalam Kelompok Pemerhati Flora (KPF). Penulis menajabat
sebaga sekretaris dalam kegiatan EXPO Himakova yang dilaksanakan pada bulan
Mei 2007. Pada bulan Juli-Agustus 2007 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan
Hutan di Baturraden dan Cilacap, serta Praktek Pengelolaan Hutan yang dilaksanakan
di Getas, Jawa Timur. Bulan Februari tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung
Barat.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Kajian Pertumbuhan Eksplan Gyrinops versteegii (Gilg) Domke
Melalui Teknik Ex vitro yang dibimbing oleh Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Ir. Wa Ode
Hamsinah Bolu, M.Sc.
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakhmat dan
hidayah-Nya, sehingga karya tulis berupa Skripsi yang berjudul “Kajian Pertumbuhan
Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) melalui Teknik Ex vitro “
ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta (Rum
Herayitno dan Hj. Elizabet) dan kakak tersayang (Suci Betrianingrum dan Yusra) atas
doa, dukungan dan motivasi dalam penyusunan skripsi. Selain itu, kepada Bapak Ir.
Edhi Sandra, MSi dan Ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, MSc selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Penelitian Skripsi ini melibatkan banyak pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan ungkapan rasa hormat kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor atas segala fasilitas dan kesempatan belajar bagi penulis selama
menempuh studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni MSc.F. selaku ketua Departemen Program
Studi Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor yang telah memberikan dorongan dan semangat.
3. Ibu Dr. Lina Karlina, S.Hut, M.ScF dari Departemen Hasil Hutan dan Ibu Dr. Ir.
Noor Farikhah Haneda , M.Sc dari Departemen Silvikultur sebagai dosen penguji
dan telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi penulis.
4. Keluarga Bapak Komarruddin dan Alm Hj. Unay (Teh Opi, Om Muhlis, Kakak
Dikcoy, Teh Dewi) dan khususnya Dede yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi.
5. Sahabat yang selalu bersama penulis (Rofa, Denny, Heru K,) dan teman-teman
PKLP Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Okta, Ari, Dwi, Aan, Rofa, dan
Nira).
6. Seluruh staf KPAP Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
khususnya ibu Evan dan ibu Titin.
7. Kepada pihak Biotek, khususnya: Drs. Minaldi, Pak Pramono, Pak Wahyu, Bu
Karianti, Mas Yusuf, Mas Alkindi, Mas Dwi H, Pak Parjo, Mas Firman, Mas
Hilman dan Mas Hendrik.
8. Semua teman-teman KSH 41 atas segala kebersamaan mengejar studi, khususnya:
Hermi, Yandi, Oki, Tice, Ivan, Zulfan, Ucenk, Tikul, Toa. Semoga kita dapat
meraih segala cita-cita dan dapat bertemu lagi disuatu waktu.
9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya Skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi dan penyajian. Namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2009
Citra Betrianingrum
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3
1.3 Hipotesis ................................................................................................ 3
1.4 Manfaat .................................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gaharu ..................................................................................................... 4
2.1.1 Taksonomi ................................................................................... 4
2.1.2 Morfologi ...................................................................................... 4
2.1.3 Penyebaran dan Habitat Gaharu ..................................................... 5
2.1.4 Pemanfaatan ................................................................................... 5
2.1.5 Status Tumbuhan ............................................................................ 6
2.2 Perbanyakan secara Vegetatif ................................................................. 7
2.2.1 Definisi Stek ................................................................................... 8
2.2.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Pertumbuhan Stek ...................... 9
2.3 Zat Pengatur Tumbuh .............................................................................. 13
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 14
3.3 Prosedur Penelitian.................................................................................. 14
3.3.1 Persiapan ..................................................................................... 14
3.3.1.1 Pengambilan Eksplan ........................................................... 14
3.3.1.2 Pembuatan Media ................................................................. 15
3.3.1.3 Pembuatan ZPT .................................................................... 15
3.3.2 Penanaman .................................................................................. 15
3.3.2.1 Media .................................................................................... 15
3.3.2.2 Sterilisasi Eksplan ................................................................ 15
3.3.2.3 Penanaman Eksplan.............................................................. 16
3.3.3 Pemeliharaan ............................................................................... 16
3.3.4 Pengamatan dan pengambilan data ............................................. 16
3.3.4.1 Tinggi ................................................................................... 16
3.3.4.2 Persentase hidup eksplan Gyrinops versteegii ..................... 16
3.3.4.3 Jumlah dan panjang akar ...................................................... 17
3.3.4.4 Persentase yang berakar ....................................................... 17
3.3.5 Analisis Data ............................................................................... 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Media Perakaran ............................................................................ 20
4.1.1 Pengaruh Jenis Media Terhadap Persen Esplan Hidup .................. 21
4.1.2 Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Pucuk Eksplan ...... 29
4.2 Konsentrasi Hormon IBA terhadap Perakaran ....................................... 34
4.2.1 Persentase eksplan yang berakar .................................................... 35
4.2.2 Jumlah akar eksplan Gyrinops versteegii (Gilg) Domke ............... 41
4.2.2.1. Jumlah Akar Primer (JAP) ................................................ 41
4.2.2.2 Panjang Akar Primer (PAP) ............................................. 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 48
5.2 Saran ......................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49
LAMPIRAN ...................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Persentase jumlah eksplan yang hidup pada perlakuan dengan
hormon dan tanpa hormon (kontrol) ....................................................... 21
2. Rekapitulasi kemampuan hidup eksplan G. versteegii selama
10 minggu ................................................................................................... 22
3. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase hidup
eksplan pucuk G.versteegii ......................................................................... 26
4. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase
hidup stek Estimasi kepadatan populasi orangutan .................................... 26
5. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap persentase hidup stek yang memberikan pengaruh terbesar ........ 27
6. Jenis dan kandungan unsur hara dalam kompos ........................................... 31
7. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap pertambahan tinggi
eksplan pucuk G.versteegii .......................................................................... 33
8. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap pertambahan
tinggi Eksplan ................................................................................................... 34
9. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase berakar
eksplan pucuk Gyrinops versteegii ............................................................... 39
10. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) hormon terhadap
persentase berakar eksplan ........................................................................... 39
11. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap persentase berakar stek yang memberikan pengaruh terbesar ...... 40
12. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap jumlah akar primer
stek pucuk Gyrinops versteegii .................................................................... 42
13. Uji Duncan hormon terhadap jumlah akar primer (JAP) eksplan pucuk G.
versteegii .................................................................................................... 43
14. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap JAP eksplan yang memberikan pengaruh terbesar ........................ 44
15. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap PAP ........................... 45
16. Uji Duncan jenis media terhadap persentase hidup eksplan ................................ 46
17. Rekapitulasi pengaruh media dan hormon untuk berbagai parameter ......... 47
18. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan hormon untuk setiap
parameter yang diamati ................................................................................ 47
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Gyrinops versteegii (dok. Citra, 2008) . ....................................................... 4
2. Eksplan yang terserang jamur ...................................................................... 22
3. Jumlah eksplan hidup per media tanam ........................................................ 23
4. Kondisi eksplan yang masih segar pada media tanah (a) A1B5 (b) A1B2 .. 24
5. Pucuk yang tumbuh pada media campuran ................................................. 30
6. Rata-rata tinggi eksplan berdasarkan ulangan waktu pengamatan
(a) perlakuan tanah, (b) perlakuan pasir, (c) perlakuan media campuran ....32
7. Persentase berakar ekspal berdasarkan konsentrasi hormon .......................36
8. Persentase eksplan berakar berdasarkan jenis media ...................................37
9. Persentase berakar pada kontrol ..................................................................37
10. Diagram pengaruh jenis media dan hormon terhadap persen eksplan
berakar Gyrinops versteegii .........................................................................38
11. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap JAP eksplan pucuk
Gyrinops versteegii .......................................................................................42
12. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap PAP eksplan pucuk
Gyrinops versteegii .....................................................................................45
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Jumlah eksplan hidup pada perlakuan ........................................................ 52
2. Jumlah eksplan hidup pada kontrol .............................................................. 52
3. Tinggi eksplan dengan perlakuan hormon ................................................... 53
4. Tinggi eksplan tanpa perlakuan hormon (kontrol) ....................................... 54
5. Jumlah eksplan yang berakar pada perlakuan .............................................. 54
6. Jumlah eksplan yang berakar pada kontrol .................................................. 55
7. Rekapitulasi jumlah akar dan rata-rata panjang akar pada perlakuan
hormon ......................................................................................................... 56
8. Rata-rata jumlah akar pada perlakuan .......................................................... 64
9. Rata-rata jumlah akar pada kontrol .............................................................. 64
10. Rekapitulasi jumleh eksplan yang mengalami rontok daun pada
perlakuan ..................................................................................................... 65
11. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami rontok daun pada kontrol ... 65
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh
endemik beberapa species gaharu komersial (Situmorang dan Yupi, 2006). Pada
tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun
eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah
mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka. Sejak saat itu ekspor gaharu
dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun. Namun sejak tahun 2000, total ekspor
gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES.
Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua
pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp., penghasil utama gaharu)
dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di
Bangkok. Gaharu mambutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan
regenerasi. Dilihat perbandingannnya lebih besar permintaan dibandingkan
pertumbuhan gaharu itu sendiri. Karena kekhawatiran akan punahnya species gaharu
di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota
ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun.
Gaharu merupakan salah satu jenis flora yang memiliki berbagai manfaat dan
komoditas elit hasil hutan bukan non kayu (HHBK) karena bernilai tinggi dan banyak
diminati oleh masyarakat. Menurut Sumarna (2007), jenis ini banyak diminati karena
mengandung damar wangi berupa oleoresin yang akan mengeluarkan aroma khas bila
dibakar.
Dalam pemenuhan permintaan pasar, semua produksi gaharu masih
mengandalkan dari hutan alam. Jika tidak diatasi pengadaan plasma nutfahnya, maka
akan mengancam kelestarian jenis gaharu itu sendiri. Menurut kebijakan pemerintah
masa lalu, masyarakat diberi kesempatan seluasnya untuk memproduksi gaharu
dengan pengawasan relatif rendah dan nilai jual relatif tinggi. Kegiatan ini dapat
menimbulkan intensitas perburuan gaharu di hutan alam semakin tidak terkendali.
Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan tidak berisi gubal
gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon secara
spekulatif. Pohon gaharu yang telah ditebang ternyata tidak mengandung gaharu
setelah dikupas dan dicacah, kemudian akan diterlantarkan begitu saja. Jika hal ini
berlangsung secara terus menerus dan tidak adanya upaya pelestarian ataupun
kebijakan tentang pemanenan gaharu, maka populasi gaharu akan semakin terancam
punah.
Untuk mengatasi kelangkaan, dibutuhkan upaya konservasi melalui kegiatan
pemanfaatan secara lestari dan pelestarian jenis beserta ekosistemnya. Alasan lain
untuk dilakukannya upaya konservasi gaharu adalah substansi aromatik yang
terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena.
Substansi ini memiliki struktur kimia yang sangat spesifik, sehingga sampai saat ini
belum dapat dibuat secara sintetis.
Dalam upaya pelestarian plasma nutfah jenis gaharu dilakukan dengan
perbanyakan vegetatif. Perbanyakan gaharu dengan menggunakan cara generatif
masih belum optimal, karena di Indonesia belum tersedia kebun induk pohon
penghasil biji gaharu yang terpelihara dengan baik yang disiapkan oleh pemerintah,
pengusaha, maupun oleh masyarakat. Upaya pelestarian gaharu dapat dilakukan
dengan kegiatan in vitro dan ex vitro. Selain untuk mempertahankan kelestarian
gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik secara in vitro maupun ex vitro juga
akan memberikan peluang dihasilkannya bibit unggul.
Ex vitro merupakan salah satu kegiatan dalam pelestarian jenis dengan cara
perbanyakkan bibit, melalui kegiatan ini dapat dilakukan upaya peminimalisiran
biaya pembibitan, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pembibitan lebih ringan
dibandingkan dengan kegiatan pembibitan secara in vitro. Namun, dasar dari kegiatan
ini tetap merujuk pada kegiatan in vitro. Regenerasi secara ex-vitro merupakan
kegiatan perbanyakkan secara vegetatif, di mana tunas-tunas yang dihasilkan dari
pohon induk dapat langsung ditanam dalam media tanah dengan aplikasi zat
perangsang tunas dan akar. Dengan metode perbanyakan tunas gaharu secara ex vitro,
bahan tanam dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat,
sehingga dapat mendukung pelestarian plasma nutfah gaharu.
Kegiatan ex vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Dalam kajian ini akan dititik beratkan pada faktor eksternal yaitu
konsentrasi zat pengatur tumbuh dan media yang digunakan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendapatkan komposisi media yang sesuai untuk pertumbuhan eksplan pucuk
Gyrinops versteegii melalui teknik ex vitro.
2. Mendapatkan konsentrasi hormon tumbuh IBA (Indole Butyric Acid) yang
optimal bagi pertumbuhan perakaran eksplan pucuk Gyrinops versteegii melalui
teknik ex vitro.
1.3 Hipotesis
Kajian pertumbuhan eksplan pucuk dari jenis Gyrinops versteegii pada berbagai
macam media tumbuh dan berbagai konsentrasi hormon IBA dapat menghasilkan
pertumbuhan yang berbeda-beda.
1.4 Manfaat
Dapat memberikan informasi tentang media tumbuh yang sesuai dan
informasi konsentrasi hormon yang terbaik untuk pertumbuhan eksplan pucuk
Gyrinops versteegii, sehingga dapat diterapkan guna mendukung pelestarian plasma
nutfah.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gaharu
2.1.1 Taksonomi
Menurut Gilg (1932), taksonomi dari jenis gaharu ini adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledone
Sub-Class : Magnoliopsida
Famili : Thymelaeaceae
Genus : Gyrinops
Species :Gyrinops versteegii (Gilg)
Domke
Gambar 1. Gyrinops versteegii (dok. Citra, 2008)
2.1.2 Morfologi
Jenis tumbuhan penghasil gaharu dari famili Thymelaeaceae memiliki ciri dan
sifat morfologis yang relatif sama. Tumbuhan ini biasanya berupa semak belukar atau
pohon kecil, selalu hijau atau berganti daun setiap tahun. Pertulangan daun berbentuk
alternate, oposite dengan ujung daun berbentuk runcing. Tumbuhan ini merupakan
jenis tumbuhan biseksual dan kadang-kadang dioecious. Susunan bunga di tangkai
atau subterminal lebih sering berupa susunan axillary dan kadang-kadang berupa
susunan brachyblasts, sessile atau pedunculate, yang pada dasarnya racemose.
Susunan bunga berupa capitate, spicate, umbelliform, atau fascicled. Bunga pada
umumnya actinomorphic, biseksual atau uniseksual dan kebanyakan dioecious,
bracteate (daun kecil pada bunga yang membentuk suatu involucre atau ebracteate,
sessile atau pedicellate). Kelopak bunga berbentuk pipa, campanulate, atau
infundibuliform. Pada umumnya mahkota bunga tersusun 4, 5 atau 6, kebanyakkan
berbentuk caducous, namun kadang-kadang circumscissile atau gigih, atau juga
berbentuk seperti cuping yang menutupi. Benang sari berjumlah 2 atau lebih dan
pada umumnya sebanding dengan jumlah kelopak. Kepingan hypognous pada
umumnya mengarah ke dasar indung telur, seperti mengelupas, cup-shaped atau
berbentuk gelang. Indung telur superior terdiri dari 1 atau 2 lokus, sessile atau ovules
solitary pada setiap lokus. Buah kebanyakan berbentuk indehiscent atau gemuk,
sedangkan pada Aquilaria berbentuk suatu loculicidal kapsule. Benih dengan atau
tanpa endosperm, embrio lurus atau langsung.
Phloem berisi serat yang sangat kuat, menjadikan jenis ini sangat baik sebagai
pelapis kertas untuk menghasilkan kertas dengan kualitas terbaik. Kebanyakkan jenis
adalah beracun dan beberapa bersifat medicinally yang dapat digunakan sebagai obat.
2.1.3 Penyebaran dan Habitat
Penyebaran gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan hutan
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara
ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 –
2400 mdpl. Umumnya gaharu yang memiliki kualitas sangat baik, tumbuh pada
daerah beriklim panas dengan suhu 28o – 34
o C, kelembaban 60% - 80%, dengan
curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna, 2007).
Gaharu dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang beragam. Tumbuhan ini
dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur,
sedang, maupun ekstrem. Tumbuhan ini pun dapat dijumpai pada kawasan hutan
rawa, gambut, hutan dataran rendah, atau hutan pegunungan dengan tekstur tanah
berpasir.
2.1.4 Pemanfaatan
Berdasarkan hasil analisis kimia, gaharu memiliki enam komponen utama
berupa furanoid sesquiterpene, di antaranya adalah a-agarofuran, b-agarofuran, dan
agarospirol. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa
sequiterpenoida, eudesmana, dan velancana.
Gaharu mengeluarkan aroma keharuman yang khas, dimanfaatkan untuk
bahan baku industri parfum, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris.
Pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bahan kayu
bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Seiring dengan
perkembangan ilmu dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya bermanfaat
sebagai bahan industri pengharum, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan
sebagai obat.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit
seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan
kanker (Anonim, 2003). Beberapa negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang,
dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu tersebut sebagai bahan obat-
obatan, seperti penghilang stres, gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis,
pembengkakan liver dan limfa, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker,
malairia, serta radang lambung. Di Papua gaharu sudah digunakan secara tradisional
oleh masyarakatnya untuk pengobatan. Daun, kulit batang, dan akar digunakan
sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan (limbah dari proses
destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) sangat bermanfaat untuk merawat
wajah dan menghaluskan kulit (Sumarna, 2007).
2.1.5 Status Tumbuhan
Aquilaria dan Gyrinops adalah dua genus dari famili Thymelaeceae yang
dikenal sebagai penghasil gaharu yang tumbuh dan tersebar di Indonesia. Eksploitasi
yang tak terkendali telah mengancam kelestarian kedua kelompok tumbuhan tersebut.
Oleh karena itu, upaya perlindungan telah dilakukan dengan memasukkan A.
malaccensis, jenis penghasil gaharu utama di Indonesia, kedalam daftar Appendix II
CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora
and Fauna) pada bulan November 1994. Selanjutnya, pada Oktober 2004 menyusul
Gyrinops spp, dimasukkan dalam daftar tersebut.
Dalam mengusahakan jenis tumbuhan ini sebagai hasil hutan non-kayu,
Indonesia mempunyai suatu kuota yang diijinkan untuk di ekspor. Pembatasan ini
sebagai respon terhadap ancaman penebangan secara berlebihan terhadap berbagai
jenis pohon penghasil gaharu. Namun dewasa ini, kemampuan untuk menjangkau
jumlah kuota yang diijinkan semakin menurun akibat kelangkaan gaharu akibat
pemanenan yang berlebihan.
2.2 Perbanyakan secara Vegetatif
Menurut Darmawan dan Baharsjah (1983), pembiakan vegetatif merupakan
perbanyakkan tanaman tanpa melibatkan proses perkawinan dan dapat
mempertahankan sifat-sifat asli induknya. Selanjutnya menurut Sumarna (2007),
perbanyakkan vegetatif merupakan cara perbanyakkan dengan memanfaatkan bagian
dari tanaman induk seperti tunas, cangkok dan stek pucuk.
Harahap (1972) menyatakan bahwa secara garis besar, pembiakan vegetatif
dibagi dua, antara lain:
3. Allelovegetative propagation, merupakan pembiakan vegetatif dari dua jenis
genotif yang berbeda seperti pada sambungan dan okulasi.
4. Autovegetative propagation, merupakan pembiakan genotif yang sama seperti
kegiatan cangkok dan stek.
Kegiatan perbanyakkan secara vegetatif dapat mengantisipasi kendala yang
timbul dari perbanyakkan yang dilakukan secara generatif. Menurut Rochiman dan
Harjadi (1973), banyak tumbuhan tidak memiliki sifat yang sama ataupun
menyerupai sifat induknya apabila dibiakkan dengan biji. Selain itu, alasan lain
dilakukannya perbanyakkan secara vegetatif adalah:
1. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang memiliki biji namun sulit untuk
berkecambah.
2. Tumbuhan yang menghasilkan biji dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak
menghasilkan biji.
3. Tumbuhan yang tumbuh dari akar-akar pohon induk, akan lebih rentan terhadap
hama dan penyakit.
4. Beberapa jenis tumbuhan akan tahan terhadap suhu dingin (hard) bila
disambungkan pada batang lain jenis.
5. Tumbuhan akan memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap hama dan penyakit
bila disambungkan.
6. Pembiakan secara vegetatif untuk jenis-jenis tertentu akan lebih ekonomis.
Perbanyakkan secara vegetatif (asexual propagation) merupakan perbanyakkan
dari bagian-bagian vegetatif tumbuhan. Setiap sel tumbuhan mempunyai informasi
genetik yang berguna untuk membentuk individu tumbuhan yang lengkap.
Perbanyakkan ini dapat terjadi melalui bakal akar dan tunas atau melalui bakal akar,
batang, daun dan tunas atau melalui penyatuan bagian vegetatif seperti pada grafting
dan okulasi (Hartman dan Kester, 1983).
Supriyanto (1997), menyatakan bahwa perbanyakkan vegetatif memiliki
keuntungan-keuntungan, antara lain:
1. Secara genetik, bibit yang dihasilkan memiliki sifat keturunan yang sama dengan
sifat induknya.
2. Tumbuhan yang diperbanyak secara vegetatif lebih cepat berbuah.
3. Tidak tergantung terhadap musim.
4. Dapat diperbanyak dalam jumlah besar.
5. Dapat dikombinasikan dengan jenis tumbuhan yang lain.
2.2.1 Definisi Stek
Perbanyakkan secara vegetatif dapat dilakukan berbagai kegiatan yaitu stek
(cutting), cangkok (layering), penempelan (budding), dan sambungan (grafting)
(Soerianegara dan Djamhuri, 1979). Stek merupakan bagian dari tumbuhan dengan
adanya titik tumbuh, yang dipotong atau pisahkan dari induknya dan kemudian dapat
tumbuh menjadi tanaman baru (Tjitrosoepomo, 2001). Menurut Rochiman dan
Harjadi (1973), penyetekan merupakan suatu perlakukan pemisahan atau pemotongan
beberapa bagian tumbuhan seperti batang, akar, daun dan tunas dengan tujuan agar
bagian-bagian tersebut membentuk akar.
Bahan stek yang digunakan dari bagian pohon yang belum berkayu terlampau
keras. Panjang stek antara 5-10 cm. Bahan stek tersebut sebaiknya diambil dari pohon
induk yang subur, mempunyai pertumbuhan bunga yang baik, dan berdaun lebat.
Bahan stek dipotong pada bagian dekat daun, karena di lokasi tersebut berkumpul
banyak cadangan makanan. Hal ini memudahkan terbentuknya akar pada bagian
tersebut. Pemotongan bahan stek sebaiknya menggunakan pisau yang tajam (Atjung,
1975).
Berdasarkan bagian tumbuhan yang diambil untuk bahan stek, stek dapat
dibedakan menjadi stek akar, stek batang, stek daun atau stek tunas daun, dan stek
tunas atau stek mata tunas. Stek yang menggunakan batang sebagai bahan stek sangat
menguntungkan karena mempunyai persediaan makanan yang memadai (Wattimena,
1988). Stek yang dilakukan pada bagian atas tumbuhan seperti stek pucuk, stek
batang dan lain-lain, bertujuan untuk mengoptimalkan pembentukan sistem bagian
atas tumbuhan (Rochiman dan Harjadi, 1973; Hartmann dan Kester, 1983).
Adapun keuntungan perbanyakkan vegetatif melalui stek dapat menghasilkan
tumbuhan yang sempurna dengan akar, daun dan batang dalam waktu relatif singkat
serta bersifat serupa dengan induknya (Rochmin dan Harjadi, 1973). Namun
permasalahan yang dihadapi dalam perbanyakan tumbuhan dengan cara stek meliputi
berbagai macam aspek, diantaranya adalah pemilihan bahan stek, pemilihan bibit,
jenis dan konsentrasi hormon yang digunakan untuk memperoleh hasil yang optimal,
serta aplikasinya dalam penanaman di lapangan (Subiakto, 1988).
2.2.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Pertumbuhan Stek
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyetekan dapat digolongkan menjadi dua
bagian, yaitu faktor dalam dan faktor luar (lingkungan) tanaman (Hartmann dan
Kester, 1983).
Faktor Dalam
a. Jenis tanaman
Beberapa jenis pohon kehutanan dapat dibiakkan dengan metode stek, baik itu
dengan stek akar, stek batang, stek pucuk ataupun stek daun. Namun ada beberapa
pohon tidak bisa dibiakkan dengan metode stek.
b. Bahan stek
Faktor dari bahan stek meliputi nutrisi yang terkandung didalamnya,
ketersediaan air, kandungan hormon endogen dalam jaringan stek, tipe bahan stek,
bebas dari hama dan penyakit, serta umur pohon induk. Selain itu, kondisi bagian
bahan stek yang akan digunakan untuk penanaman.
Faktor Luar
a. Suhu
Kisaran suhu yang baik untuk pembentukan perakaran adalah 21-270C. Setiap
jenis akan mempunyai suhu yang berbeda-beda dalam kisaran 21-270C untuk
merangsang pembentukan primordia masing-masing jenis. Temperatur media juga
mempunyai pengaruh dalam pembentukan akar. Menurut Rochiman dan Harjadi
(1973), temperatur udara yang optimum untuk pembentukan akar berbeda-beda
menurut jenis tanaman. Tetapi pada kebanyakan tanaman, temperatur udara optimum
adalah 290 C, sedangkan temperatur media perakaran sebaiknya berada pada suhu 24
0
C, karena pada temperatur ini pembelahan sel pada akar akan distimulir. Sedangkan
menurut Smith dan Yasman (1987), suhu dan kelembaban yang baik untuk
mendukung pertumbuhan eksplan dengan baik adalah 25oC – 28
oC dengan
kelembaban diusahakan stabil di atas 90%.
b. Media perakaran
Jenis media yang digunakan untuk media perakaran akan sangat mempengaruhi
kemampuan stek untuk membentuk akar. Media perakaran memiliki fungsi yaitu
untuk menahan bahan stek agar tetap berada pada tempatnya, menyediakan dan
menjaga kelembaban yang dibutuhkan oleh stek dan untuk membiarkan penetrasi
udara ke bagian dasar dari stek (Mahlstede dan Haber, 1957).
Menurut Hartmann dan Kester (1978), kriteria media yang baik adalah sebagai
berikut :
1. Harus cukup kuat dan kompak sebagai pemegang stek atau benih selama
perkecambahan atau pertumbuhan
2. Harus mampu mempertahankan kelembaban
3. Memiliki aerasi dan drainase yang baik
4. Bebas dari benih tumbuhan liar, nematoda dan berbagai organisme penyebab
penyakit
5. Tidak memiliki salinitas yang tinggi
6. Dapat disterilkan dengan menggunakan panas tanpa menimbulkan efek terhadap
unsur-unsur penting bagi pertumbuhan stek
Media yang sering digunakan untuk stek antara lain dapat terdiri dari campuran
dari tanah, pasir, gambut, sphagnum, vermiculite dan perlite. Perbedaan macam
media terhadap pembentukan akar tidak nyata selama media dapat memenuhi syarat-
syarat pembentukan akar (Rochiman dan Harjadi, 1973).
Menurut Purwowidodo (1998), tanah merupakan tempat tumbuh tanaman dan
penyedia unsur hara. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan oleh
sifat-sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar
tanaman. Tanah lapisan atas banyak mengandung bahan organik yang mempunyai
kemampuan menghisap dan memegang air yang tinggi. Tanah yang beraerasi baik,
presentase pembentukan akar pada stek lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik
(Hartmann dan Kester, 1983).
Pasir telah digunakan secara luas sebagai media perakaran stek karena media
ini relatif murah dan mudah tersedia, bersih serta memiliki daya rekat tinggi. Pasir
tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyiraman yang
lebih sering. Penggunaan tunggal tanpa campuran dengan media lain membuatnya
sangat kasar sehingga tidak akan memberikan hasil yang baik. Kekasaran dan sistem
aerasi pasir harus diperhatikan, supaya dapat memberikan hasil yang baik (Yasman
dan Smith, 1988).
c. Kelembaban udara
Kelembaban udara pada bahan stek sebaiknya di atas 90 % terutama sebelum
bahan stek mampu membentuk akar karena kelembaban yang tinggi akan mencegah
stek dari kekeringan dan kematian. Tetapi kelembaban stek dan lingkungan sebaiknya
juga jangan terlalu tinggi, karena apabila media yang digunakan kurang steril,
kelembaban yang terlalu tinggi justru akan memacu perkembangan mikroba
pengganggu yang dapat menyebabkan kegagalan stek.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), kelembaban udara termasuk salah satu
faktor penting yang mempengaruhi stek sebelum berakar. Bila kelembaban rendah,
stek akan cepat mati karena kandungan air dalam stek pada umumnya sangat rendah
sehingga stek menjadi kering sebelum membentuk akar.
d. Intensitas Cahaya
Cahaya dibutuhkan tanaman sebagai salah satu komponen dalam proses
fotosintesis, untuk itu intensitas cahaya yang sesuai untuk tanaman akan menentukan
keberhasilan stek. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pengaturan
intensitas naungan.
e. Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), selain faktor dalam dan faktor luar
(lingkungan), faktor yang mempengaruhi keberhasilan adalah faktor pelaksanaan.
Stek pada umumnya akan berakar bila ditanam pada musim dimana kelembaban
udara cukup tinggi dan pada saat tak terjadi pertumbuhan karena pada masa ini
tanaman banyak mengandung karbohidrat (Djamhuri et al, 1986). Pelaksanaan
penyetekan, mulai dari pemotongan bahan stek, penanaman sampai pemeliharaan
akan mempengaruhi keberhasilan stek. Selain itu dalam penyetekan dibutuhkan
peralatan yang bersih dan steril sehingga memperkecil kemungkinan stek terserang
oleh hama dan penyakit.
Menurut Wudianto (1993), saat pemotongan stek yang baik yaitu pada saat
kelembaban udara tinggi dan tanaman sedang tidak mengalami pertumbuhan. Saat itu
biasanya terjadi pada awal musim hujan. Sedangkan pemotongan stek sebaiknya
dilakukan di dalam air, tujuannya agar jaringan pembuluh pada stek yang baru
dipotong terisi oleh air, dengan demikian akan memudahkan penyerapan zat
makanan. Bila stek dipotong di tempat terbuka, udara tentu saja akan masuk ke dalam
jaringan pembuluh, sehingga penyerapan air dan zat-zat makanan akan dipersulit atau
dihalangi oleh adanya rongga udara tersebut. Menurut Kramer dan Kozlowsky
(1960), ketersediaan air, kandungan bahan makanan, umur pohon induk, jenis
kelamin tanaman, jenis tanaman, bagian tanaman, musim, dan adanya perlakuan ZPT
juga mempengaruhi pertumbuhan stek.
2.3. Zat Pengatur Tumbuh
Menurut Sinaga (1987), zat pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa-senyawa
organik selain nutrisi tumbuhan, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung,
menghambat, serta dapat mempengaruhi setiap proses fisiologis tumbuhan. Hormon
tumbuhan (plant hormone) merupakan zat organik yang dihasilkan oleh tumbuhan
atau buatan (hormon sintetis), yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur proses
fisiologis. Hormon biasanya bergerak dari bagian tanaman yang menghasilkan
menuju kebagian tanaman lainnya (Abidin, 1983).
Pemberian zat pengatur tumbuh ini dimaksudkan untuk merangsang
pembentukan dan pertumbuhan akar dalam stek batang dan stek pucuk. Salah satu zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pembentukan dan
pertumbuhan akar adalah jenis auksin. Jenis auksin yang sering digunakan untuk
keperluan tersebut adalah IAA (Indole Asetat Acid), IBA (Indole Butyric Acid), dan
NAA (Naftelenasetat). Jenis auksin yang dipergunakan secara luas dan merupakan
bahan terbaik dibandingkan dengan jenis auksin lainnya adalah IBA (Hartmann dan
Ketser, 1983). IAA memiliki kelebihan karena dapat tersebar ke tunas-tunas dan
menghalangi perkembangan serta pertumbuhan tunas-tunas tersebut. Di dalam
praktek pemakaian, IBA dan NAA lebih stabil sifat kimianya dan mobilitasnya di
dalam tanaman rendah. Kelemahan NAA yaitu kisaran konsentrasi yang sempit,
sehingga penggunaanya harus hati-hati agar konsentrasi optimum tidak terlampaui.
IBA bersifat lebih baik dari pada IAA dan NAA, karena kandungan kimianya lebih
stabil, daya kerjanya lebih lama dan relatif lebih lambat ditranslokasikan di dalam
tanaman, sehingga memungkinkan memperoleh respon yang lebih baik terhadap
perakaran stek (Kusumo, 1984).
Penggunaan zat pengatur tumbuh ini efektif pada jumlah tertentu, konsentrasi
yang terlalu tinggi dapat merusak eksplan, dimana pembelahan sel dan kalus akan
berlebihan dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan pada konsentrasi
dibawah optimum tidak efektif (Rochiman dan Harjadi, 1973).
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi), berlokasi di Kawasan PUSPIPTEK (Pusat
Pengkajian Ilmu Penegtahuan dan Teknologi), Serpong, Tangerang, Provinsi Banten.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Agustus sampai Oktober 2008.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Timbangan
b. Aluminium foil
c. Sendok
d. Pipet
e. Botol berukuran 1 L
f. Magnetic Stirrer
g. Box mika
h. Aqua gelas bekas 240 ml
i. Cutter
j. Gunting tanaman
k. Sungkup
l. Paranet
m. Papan iris
n. Bak plastik
o. Sprayer
p. Steples
q. Kertas label
Untuk bahan, yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Eksplan Gyrinops versteegii
b. Media (tanah, pasir, dan kompos)
c. IBA (indole butyric acid) sintetic
d. Aquadest
e. Bakterisida
f. Fungisida
g. Antracol
h. Vitamin B1
i. Zat perekat
j. Kalsium karbonat
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan
3.3.1.1 Pengambilan eksplan
Eksplan yang akan diambil berasal dari pohon induk koleksi dari Kebun Raya
Bogor. Pucuk yang diambil merupakan dari pucuk stak (pucuk dorman) dengan ciri
batang putih kemerahan sepanjang 15 - 20 cm. Pengambilan eksplan dalam kondisi
sehat dan berasal dari pohon gaharu yang sehat serta belum diinjeksi patogen untuk
pembentukan gubal dari pohon gaharu tersebut.
3.3.1.2 Pembuatan Media
Media merupakan salah satu faktor eksternal yang mendukung pertumbuhan
eksplan. Pada kajian ini, campuran media yang akan digunakan adalah tanah, pasir
dan kompos.
A1 : Tanah
A2 : Pasir
A3 : Campuran tanah, pasir, dan kompos (1:1:1)
3.3.1.3 Pembuatan ZPT
Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan adalah IBA (Indole Butyric Acid)
dengan konsentrasi 400 ppm, 450 ppm, 500 ppm, 550 ppm, dan 600 ppm yang berupa
cairan/larutan. Larutan yang telah dibuat, disimpan di dalam botol dan dibungkus
dengan aluminium foil, simpan di dalam lemari pendingin.
3.3.2 Penanaman
3.3.2.1 Media
Media yang digunakan dalam penanaman eksplan adalah tanah, pasir, dan
kompos. Untuk media pertama menggunakan media tunggal yaitu media tanah.
Wadah yang digunakan untuk penanaman adalah box mika, tanah diisi ke dalam box
mika sebanyak setengah box atau enam kali aqua gelas yang berukuran 240 ml.
Setelah itu, media baik tanah, pasir, dan campuran (tanah + pasir + kompos)
disemprot dengan menggunakan antracol (bakterisida) hingga rata, tidak hanya
dipermukaannya saja, melainkan sampai bagian bawah media. Selanjutnya
mnenyiapkan lubang tanam sebanyak sepuluh lubang tiap boxnya.
3.3.2.2 Sterilisasi Eksplan
Pemotongan eksplan dilakukan sampai 3-4 buku, kemudian daun dipotong dan
disisakan sepanjang ± 1 cm. Bagian pangkal eksplan disayat dengan kedalaman ± 2
mm. Eksplan yang sudah dipotong, kemudian direndam dalam larutan vitamin B1
(Growquick). Setelah itu, eksplan disterilisasi dengan menggunakan bahan sterilan
anti jamur dan bakteri. Larutan tersebut merupakan campuran dari Benstar, Agristik,
dan Agrept, perendaman eksplan di dalam larutan sterilan dilakukan selama 15 menit.
3.3.2.3 Penanaman
Eksplan yang telah direndam di dalam larutan sterilan ditiriskan/dikering
anginkan. Pilih eksplan dengan kondisi batang eksplan yang baik, direndam dalam
larutan hormon 400 ppm, 450 ppm, 500 ppm, 550 ppm, dan 600 ppm, masing-masing
30 eksplan untuk tiga box mika, dimana masing-masing box ditanam sepuluh
eksplan. Eksplan direndam selama 15 menit. Selama perendaman, siapkan pasta
kalsium karbonat (CaCO3), dan dalam pembuatan pasta tersebut pelarut yang
digunakan masing-masing konsentrasi hormon.
Setelah 15 menit, eksplan ditanam pada media. Sebelum ditanam, bagian
pangkal eksplan diolesi pasta hingga sayatan pada bagian pangkal eksplan tertutup.
Kemudian eksplan ditanam pada lubang tanam yang telah tersedia. Setelah itu
eksplan dan media yang telah ditanam, disiram/disemprot dengan air hingga basah
secara merata. Selanjutnya box mika ditutup dan disteples secara rapat, box tersebut
disimpan di dalam sungkup plastik.
3.3.3 Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan adalah dengan penyiraman pada lantai sungkup
agar tetap lembab. Selain itu, dilakukan penyiangan untuk mengatasi gulma yang
terdapat di dalam sungkup.
3.3.4 Pengamatan dan Pengambilan Data
3.3.4.1 Tinggi
Panjang eksplan awal diukur terlebih dahulu setelah dilakukan penanaman. Hal
ini untuk pengamatan tinggi eksplan setelah ditanam, dan pengukuran dilakukan dua
minggu sekali. Tinggi bahan stek tersebut diukur secara konsisten dari pangkal
hingga ujung batang (pucuk).
3.3.4.2 Jumlah eksplan yang hidup dan laju kematian
Keberhasilan tumbuh eksplan yang hidup diamati tiap dua minggu. Selain
eksplan yang hidup, jumlah eksplan yang mati ataupun yang mengalami daun rontok
juga diamati. Sehingga hasil akhir akan diperoleh data persentase hidup eksplan.
Setiap minggu terdapat eksplan yang mati, maka dapat dihitung laju kematian
eksplan tiap minggunya dengan rumus:
3.3.4.3 Jumlah dan panjang akar
Parameter lain untuk mengkaji pertumbuhan eksplan adalah jumlah akar yang
keluar dan pengukuran akar dari tiap eksplan. Pengukuran ini dilakukan pada akhir
pengamatan yaitu pada pengamatan ke-5 (minggu ke-10).
3.3.4.4 Persentase eksplan yang berakar
Pengamatan persentase berakar dilakukan pada minggu ke-10 (pengamatan ke-5).
Dari jumlah eksplan yang hidup dapat, namun belum tentu memiliki akar. Maka,
dapat dipersentasekan jumlah eksplan yang berakar dengan rumus:
3.3.5 Analisis Data
Penelitian dengan menggunakan rancangan Percobaan Faktorial 3 x 5 dalam
Rancangan Acak Kelompok. Untuk masing-masing faktor dirinci sebagai berikut :
Faktor A : Jenis media, terdiri dari :
A1 : Media berupa tanah
A2 : Media berupa pasir
A3 : Media berupa campuran tanah, pasir, dan kompos
Faktor B : Konsentrasi hormon IBA, terdiri dari :
B1 : IBA dengan konsentrasi 400 ppm
B2 : IBA dengan konsentrasi 450 ppm
B3 : IBA dengan konsentrasi 500 ppm
B4 : IBA dengan konsentrasi 550 ppm
B5 : IBA dengan konsentrasi 600 ppm
Jumlah yang digunakan sebanyak 3 kelompok, dengan tiap kelompok terdiri
dari 150 eksplan, serta masing-masing perlakuan terdiri dari 10 eskplan. Dengan
demikian jumlah eksplan yang digunakan sebanyak 450 eksplan. Pembagian
kelompok ini berdasarkan atas jenis media perlakuan.
Menurut Yitnosumarto 1993, kondisi tempat/lokasi dapat dikatakan relatif
sama, namun secara statistik homogenitas sulit dicapai karena tidak ada dua tempat
yang berdekatan sekalipun memiliki persamaan seratus persen untuk berbagai
keadaan baik fisik, kimia maupun kondisi lingkungannya.
Model statistik yang digunakan adalah :
Yij = µ + Rk + Ai + Bj + (AB)ij +Eijk
Keterangan :
i = 1, 2, 3, 4..........
j = 1, 2, 3, 4..........
Yij = Nilai pengamatan perlakuan dari faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke- j
µ = Nilai rata-rata umum
Rk = Pengaruh perbedaan kelompok
Ai = Pengaruh faktor A taraf ke-i
Bj = Pengaruh faktor B taraf ke-j
(AB)ij = Interaksi antar faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j
Eijk = Pengaruh acak (galat percobaan)
Hipotesa dalam uji F adalah sebagai berikut :
Ho : Perbedaan jenis media, dan konsentrasi hormon serta kombinasinya tidak
akan berpengaruh terhadap jumlah eksplan hidup, tinggi, jumlah eksplan
berakar, jumlah dan panjang akar primer
H1 : Perbedaan jenis media, dan konsentrasi hormon serta kombinasinya akan
berpengaruh terhadap jumlah eksplan hidup, tinggi, jumlah eksplan berakar,
jumlah dan panjang akar primer
Pengambilan keputusan dengan uji F adalah :
F hitung > F tabel : Terima H1
F hitung < F tabel : Terima Ho
Uji selanjutnya setelah H1 diterima yaitu dilakukan uji wilayah berganda
Duncan (Gaspersz, 1994). Dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menyusun nilai tengah perlakuan dalam urutan menaik
2. Menghitung galat baku dari nilai tengah perlakuan percobaan dengan perlakuan-
perlakuan untuk percobaan dengan perlakuan yang mempunayai ulangan yang
sama : sỸ = (s2/r)
1/2 =(KTG/r)
1/2, dimana s
2 = nilai kuadrat tengah galat dan r
adalah jumlah ulangan
3. Menghitung wilayah nyata terpendek untuk berbagai wilayah/ranges dari nilai
tengah sebagai berikut : Rp = rp sỸ
4. Mengelompokkan nilai tengah perlakuan menurut nyata secara statistik dengan
menggunakan nilai tengah terbesar terhadap wilayah nyata terpendek Rp dari p
terbesar kemudian membandingkan hasil semua nilai tengah perlakuan dengan
nilai tengah perlakuan terbesar.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan perakaran eksplan gaharu (G.versteegii) didukung oleh faktor
internal dan faktor eksternal dari bahan tanaman. Faktor internal dipengaruhi oleh
sifat genetik tanaman, sedang faktor eksternal adalah pengaruh lingkungan tumbuh.
Bahasan ini menitikberatkan pada faktor eksternal, dalam hal ini komposisi media
dalam pembentukan perakaran pada eksplan pucuk dan hormon IBA (Indole Butyric
Acid) sebagai perangsang akar dengan beragam konsentrasi. Faktor eksternal lainnya,
yakni suhu dan kelembaban, juga berpengaruh dalam pembentukan perakaran.
Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menstimulasi berkembangnya bagian pucuk
dorman, agar tumbuh dan dapat mendukung pertambahan tinggi eksplan.
4.1 Jenis Media Perakaran
Media tanam merupakan suatu media yang digunakan untuk menumbuhkan
eksplan, serta sebagai tempat tumbuh atau berkembanganya akar atau bakal akar.
Media tanam adalah faktor eksternal penting dalam pembentukan perakaran dan
stimulasi berkembangnya pucuk. Akar-akar eksplan yang berkembang akan mengikat
media, sehingga eksplan dapat berdiri kokoh di atas media. Media juga menyediakan
bahan makanan atau unsur hara bagi eksplan tanaman yang akan diserap oleh akar
dan didistribusikan ke seluruh bagian eksplan. Dari bahan makanan tersebut, eksplan
akan tumbuh dan hidup dengan memproduksi bahan makanan sendiri melalui proses
fotosintesis.
Fungsi lain dari media adalah sebagai tempat hidupnya eksplan yang ditanam.
Dalam teknik ex vitro, eksplan pucuk yang digunakan harus dalam keadaan
segar/hidup. Jika eksplan mati, maka perakaran tidak akan tumbuh. Dengan
demikian, eksplan sehat merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan
untuk mendukung perakaran. Selain itu, pertumbuhan pucuk eksplan yang awalnya
dalam kondisi dormansi juga dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan, yang
mana akan berpengaruh secara langsung terhadap tinggi eksplan. Media yang
digunakan untuk tempat tumbuh dan berkembangnya akar eksplan adalah masing-
masing media tanah, media pasir, dan media yang terdiri atas campuran tanah, pasir
dan kompos.
4.1.1 Pengaruh jenis media terhadap persentase eksplan yang hidup
Jenis media mempengaruhi persentase jumlah eksplan yang hidup. Pengaruh ini
berbeda antara eksplan yang tanpa diberi hormon dan dengan perlakuan hormon.
Tanpa perlakuan hormon, persentase eksplan hidup pada media tanah dan media pasir
masing-masing sebesar 100%, sedang pada media campuran tanah, pasir dan kompos
sebesar 50% (Tabel 1). Dengan pelakuan hormon, persentase eksplan hidup pada
media tanah dan media pasir menjadi lebih rendah, berturut-turut sebesar 89,33% dan
33,33%. Hanya pada media campuran tanah, pasir dan kompos perlakuan hormon
menunjukkan perbaikan persentase eksplan hidup lebih baik, yakni 77,33%.
Tabel 1. Persentase jumlah eksplan yang hidup tanpa hormon (kontrol) dan dengan
perlakuan hormon berdasarkan jenis media
Media % hidup
Tanpa hormon Dengan Hormon
Tanah 100 89,33
Pasir 100 33,33
Tanah+pasir+kompos 50 77,33
Dari data pada Tabel 1 dapat disimpulkan, bahwa pada media tanah dan media
pasir, perlakuan pemberian hormon pada eksplan tidak berpengaruh terhadap jumlah
eksplan hidup. Hanya pada media campuran tanah, pasir dan kompos pemberian
hormon menunjukkan perbaikan tingkat persentase hidup eksplan.
Tabel 2. Rekapitulasi jumlah eksplan hidup selama 10 minggu
Minggu ke-
Setelah
Tanam
Jumlah Eksplan
Hidup
Jumlah Eksplan
Mati (Kumulatif)
Persentase
Eksplan Hidup
(%)
2 442 8 98,22
4 367 83 81,56
6 349 101 77,56
8 305 145 67,77
10 300 150 66,67 Keterangan: laju kematian eksplan adalah 15 eksplan per minggu dari 450 eksplan atau sekitar 3,33%
Jumlah kematian eksplan sampai akhir pengamatan adalah 150 eksplan dari 450
eksplan dengan laju kematian sebesar 15 eksplan/minggu atau sekitar 3,33% per
minggu (Tabel 2). Kematian lebih banyak terjadi pada media pasir dan terjadi juga
hampir disetiap perlakuan (Lampiran 1). Kematian diawali dengan membusuknya
bagian tanaman yang terluka oleh pemotongan pada tangkai daun dan kemudian
menyebar ke seluruh bagian tanaman. Selain itu juga diawali dari pangkal eksplan
yang bersentuhan langsung dengan media lalu menyebar ke seluruh bagian tanaman.
Beberapa tanaman yang mati berwarna hitam seperti terbakar dan batang eksplan
bagian luar ditumbuhi jamur.
Gambar 2. Eksplan yang terserang jamur
Pada penjelasan sebelumnya, persentase hidup pada kontrol eksplan lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan. Persentase hidup eksplan sangat dipengaruhi oleh
perbedaan jenis media. Dari penelitian ini diketahui bahwa media tanah adalah media
tumbuh yang memberikan hasil persentase hidup eksplan yang terbaik, baik tanpa
perlakuan hormon (100%) maupun dengan perlakuan hormon (89,33%). Pada
Gambar 3 dapat dilihat jumlah eksplan hidup diberbagai media tanam secara
keseluruhan pada perlakuan hormon. Jumlah eksplan hidup pada media tanah paling
tinggi yaitu 134 eksplan.
Gambar 3. Jumlah eksplan hidup dalam berbagai media tanam perlakuan
Tanah merupakan media yang paling banyak digunakan sebagai media
perakaran karena sudah mengandung butiran-butiran mineral, air, udara serta bahan
organik. Menurut Purwowidodo (1998), tanah merupakan tempat tumbuh tanaman
dan penyedia unsur hara. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan
oleh sifat-sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar
tanaman. Tanah yang digunakan berjenis latosol merah yang kompak, memiliki
tekstur halus dan pH 4,5 (bersifat asam). Tanah latosol memiliki kandungan besi (Fe)
yang sangat tinggi, sehingga tanah ini berwarna merah. Selain itu, tanah latosol ini
masuk ke dalam golongan tanah oxisol yang memiliki penampang tanah berwarna
merah yang sangat dalam.
Tanah latosol merah ini memiliki drainase sedang dan bentuk wilayah yang
berombak dengan punggung-punggung yang cembung dan berbahan induk Tuf
andest. Jenis tanah yang memiliki aerasi dan drainase baik dapat mengatur
kelembaban maupun suhu di dalam box mika pada tahap aklimatisasi/hardening-off.
Selama 77 hari, eksplan yang ditanam dalam media tanah masih segar (Gambar 4).
134
50
116
Jumlah Hidup
Tanah
Pasir
Campuran
(a) (b)
Gambar 4. Kondisi eksplan yang masih segar pada media tanah (a) A1B5 (b) A1B2
Salah satu syarat media tanam yang baik adalah bersifat remah. Media yang
remah memiliki pori-pori dan tidak padat secara keseluruhan. Hal lain yang dimiliki
oleh sifat remah ini adalah dapat membuang air yang berlebihan. Hal ini dibuktikan
pada media ini memiliki jumlah eksplan hidup yang paling banyak (Gambar 3).
Dalam tahap awal, eksplan yang ditanam pada media ini akan mengalami tahap
adaptasi, yaitu dengan menggugurkan daun pada MST 2.
Pada umumnya tanah mempunyai kandungan bahan organik yang rendah,
sehingga disebut juga dengan tanah mineral atau tanah inorganik (mengandung 1-6 %
bahan organik). Tanah mineral terdiri dari empat penyusun utama yaitu bahan
mineral, bahan organik, air dan udara. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan erat.
Jika eksplan yang ditanam pada tanah yang memiliki komposisi unsur-unsur diatas
secara tepat, maka tanaman akan tumbuh dengan baik.
Jumlah eksplan yang paling kecil persentase hidupnya adalah pada jenis media
pasir dengan perlakuan hormon, yakni 33,33%. Kebanyakan eksplan yang mati
karena terjadi pembusukan. Pasir yang digunakan merupakan pasir berlempung,
sehingga air tidak cepat menyebar/mengalir dan terjadi pengendapan pada dasar
wadah penanaman. Hal ini menimbulkan perendaman pada bagian pangkal eksplan
sampai akhirnya membusuk ke seluruh bagian eksplan. Perlu diketahui bahwa
penyiraman dilakukan setiap dua minggu. Ukuran pasir yang terlalu kecil dan
bertekstur halus memungkinkan untuk memperlambat aliran air sehingga terjadi
pengendapan.
Selain itu, perlakuan hormon yang menggunakan metode perendaman dan
pengolesan zat pengatur tumbuh pada pangkal eksplan turut pula mempengaruhi.
Bagian pangkal yang terendam larutan hormon menjadi pemicu terjadinya
pembusukan eksplan. Pada eksplan tanpa perendaman hormon, persentase eksplan
yang hidup mencapai 100%.
Dibandingkan dengan jenis media tanah, pasir memiliki pori-pori yang lebih
sempit. Jika dibasahi, pasir akan memadat sehingga mempersempit ruang mengalir
air. Selain memiliki kekurangan pada drainase, aerasi media pasir pun kurang baik.
Hal ini juga dikemukakan oleh Sumantri (1995) dalam penelitiannya, bahwa
campuran tanah latosol dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 belum mampu
menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi eksplan. Diduga karena terjadinya
pemadatan media setelah penyiraman. Menurut Sumantri (1995) pemadatan akan
mengurangi jumlah pori-pori sebagai tempat oksigen dalam media. Kurangnya
kandungan udara di dalam media akan menghambat pergerakan dan penyerapan air
serta unsur hara. Selain itu dapat menahan aktifitas mikroba tanah sehingga proses-
proses biologis yang berhubungan dengan kesuburan tanah akan terhambat. Dilihat
dari hasil penelitian pada minggu ke-2, eksplan pada media pasir sudah banyak yang
mati dan masih mengalami kerontokan daun (Lampiran 10).
Media campuran tanah, pasir dan kompos dengan perlakuan hormon memiliki
persentase hidup 77,33%. Media campuran ini memiliki semua yang dibutuhkan
eksplan untuk melakukan pertumbuhan, baik untuk pertumbuhan akar maupun
pertumbuhan pucuk. Unsur kompos meningkatkan hara mineral di dalam media untuk
pertumbuhan eksplan. Unsur pasir dapat menjamin drainase dan aerasi yang baik,
sedangkan pada unsur tanah memiliki sifat remah, sehingga memiliki pori-pori yang
dapat mengatur air dan udara dalam media.
Tabel 3. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase hidup eksplan
pucuk Gyrinops versteegii
Sumber Db JK KT F-Hit F-Tab
Kelompok 2 344,40 172,2 2,3 3,33
Media 2 1134,09 567,0 7,5 3,33
Hormon 4 131,33 32,8 0,4 2,70
Media+Hormon 7 3810,75 544,4 7,2 2,35
Sisa 29 2205,16 76,0
Total 44 7625,73
Hasil sidik ragam pada Table 3 menunjukan bahwa jenis media memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhada persentase hidup eksplan. Interaksi diantara jenis
media dengan pemberian hormon memberikan pengaruh yang nyata terhadap
persentase hidup eksplan, sedang pemberian hormon semata tidak memberikan
pengaruh yang nyata.
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh
nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor jenis media dan
interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-
masing tanaman, menunjukkan bahwa untuk faktor jenis media berdasarkan uji beda
nyata Duncan adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase hidup
eksplan
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 2, 29) x (KTG/3)0,5
= 16,77
1A 2A 3A
26,8 10 23,2
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 14,581 15,321 15,799 16,142 Keterangan : A1 = Media Tanah
A2 = Media Pasir
A3 = Media Campuran (Tanah-Pasir-Kompos)
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa :
2A 3A 1A
10 23,2 26,8
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah
16,80 sehingga jika diurutkan persentase hidup eksplan dari yang terkecil sampai
terbesar terlihat perbedaan jarak 16,77, yaitu perlakuan dengan jenis media berupa
pasir 33,33%, campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan persentase hidup
eksplan sebesar 77,33%, dan media berupa tanah dengan persentase hidup eksplan
mencapai 89,33%. Jenis media berupa tanah dan campuran antara tanah-pasir-
kompos (TPK) berdasarkan nilai sidik ragam dan uji Duncan memberikan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan persentase hidup eksplan yang cukup besar. Sedangkan
untuk media berupa pasir menghasilkan persentase hidup yang lebih rendah serta
berbeda nyata terhadap jenis media berupa tanah maupun media campuran (TPK).
Untuk faktor interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang
diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah
sebagai berikut :
Tabel 5. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap persentase hidup eksplan yang memberikan pengaruh terbesar
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5
= 7,24
41BA 42BA 43BA
28,40 20,20 27,80
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 8,929 9,382 9,675 9,885 Keterangan : A1B4 = Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
A2B4 = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
A3B4 = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa :
41BA 42BA 43BA 28,40 20,20 27,80
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah
11,40 sehingga jika diurutkan persentase hidup eksplan terbaik dari yang terkecil
sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 7,24 yaitu perlakuan jenis media pasir
dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar
67,33%, perlakuan jenis media yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos
(TPK) dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar
92,67% perlakuan jenis media tanah dengan pemberian hormon 550 ppm dengan
persentase hidup eksplan sebesar 94,67%. Antara A1B4 dan A3B4 tidak berbeda
nyata, sedangkan perlakuan A2B4 memberikan pengaruh terhadap besarnya
persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A3B4.
Pada umumnya eksplan yang mati mengalami pembusukan pada pangkal
batang, diawali dengan mengeringnya batang. Beberapa eksplan terserang jamur
berwarna putih dan hitam. Jamur yang menyerang batang terdapat pada tumpuan
daun dari daun yang rontok, meski tidak menyerang media. Pada umumnya, media
yang selalu lembab akan memicu tumbuhnya jamur dan bakteri, sehingga dapat
menyerang eksplan sampai menimbulkan kematian pada eksplan. Hal ini
dikemukakan oleh Juhardi (1995) kelembaban yang terlalu tinggi di dalam bak
penanaman yang menyebabkan banyak eksplan yang busuk.
Eksplan ditanam pada boks mika yang tertutup rapat. Sebelum ditutup media
dan eksplan disiram dengan air secara merata. Di dalam boks yang ditutup akan
terlihat titik-titik air yang menandakan masih adanya persediaan air di dalam boks.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban di dalam boks mika.
Media harus selalu dijaga kelembabannya. Eksplan yang ditanam dalam wadah,
tingkat kelembaban medianya bisa dilihat dari titik-titik air yang menempel pada
plastik atau kaca penutupnya. Tidak adanya air pada tempat itu menandakan bahwa
media telah kering. Cara mengatasinya dengan menyirami media (Wudianto 1993).
Dalam pelaksanaan penelitian, suhu yang diukur adalah suhu luar dan suhu dalam
sungkup. Pengukurun ini dihasilkan bahwa suhu dalam sungkup lebih tinggi
dibandingkan suhu luar.
Dari hasil pengukuran suhu yang diukur mulai pukul 08.00-15.00, kisaran suhu
adalah 27,3 – 37,3oC untuk suhu di dalam sungkup dan 26,4 – 36,9
oC suhu
lingkungan. Suhu tertinggi terjadi pada pukul 14.00 WIB. Kemudian suhu mulai
turun pada pukul 15.00 WIB. Menurut Sumantri (1995), jika kondisi lingkungan
seperti suhu dan kelembaban baik, maka eksplan akan tumbuh dengan baik pada
berbagai jenis media.
Pengukuran kelembaban di dalam sungkup berkisar antara 68-90%. Menurut
Smith dan Yasman (1987), kisaran suhu untuk pertumbuhan eksplan adalah 25-27oC
dengan kelembaban di atas 90%. Namun dengan kisaran suhu 27,3 – 37,3oC ini
eksplan masih segar dan dapat tumbuh dengan baik. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terjadinya pembusukan pada eksplan di media pasir disebabkan oleh drainase
yang kurang baik.
Dengan kelembaban yang berkisar antara 68-90% dan suhu yang cukup tinggi
untuk eksplan yang belum berakar, tidak dijumpai adanya jamur ataupun bakteri pada
media yang digunakan. Hal ini disebabkan oleh media yang digunakan telah
disterilisasi. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoclave dengan
tekanan mencapai 15 psi (pound square inchi). Kegiatan ini dinamakan juga dengan
teknik steaming yang merupakan memasukkan uap air yang panas ke dalam pori-pori
di dalam media, sehingga uap tersebut memanaskan media beberapa waktu yang
lamanya diperhitungkan dapat mematikan bibit-bibit hama atau penyakit yang ada di
dalam media. Metode ini merupakan yang paling baik dan paling efektif untuk
membunuh patogen-patogen (organisme penyebab penyakit) dalam tanah.
4.1.2 Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Pucuk Eksplan
Pertumbuhan pucuk merupakan salah satu parameter yang diamati. Media
campuran (tanah, pasir, dan kompos) memberi hasil terbaik, dimana sebagian besar
pucuk eksplan yang sedang dormansi mengalami pertambahan pertumbuhan rata-rata
sebesar 0,9-1,5 cm dan dapat mendukung pertambahan tinggi eksplan. Media pasir
juga pada awalnya menunjukkan pertumbuhan pucuk yang baik, namun akhirnya
mengalami pembusukan dan mati.
Jenis media tanah tunggal tidak menimbulkan pertumbuhan pada pucuk yang
dorman. Sedangkan pada media pasir tunggal, pucuk tumbuh pada MST 4. Namun,
pada MST selanjutnya banyak yang mengalami busuk dan lama kelamaan mati.
Faktor lain yakni bahan eksplan yang digunakan pada media pasir juga sudah tua,
serta berasal dari pohon yang berbeda
Media tanah memiliki kandungan besi yang sangat tinggi sedangkan kandungan
fosfat rendah, dan diikat oleh besi. Unsur fosfat dalam tanah merupakan unsur yang
dapat memacu pertumbuhan pucuk pada eksplan yang sedang dorman. ATP (Adenin
Tripospat) dalam tanaman merupakan energi untuk melakukan pertumbuhan baik
pertumbuhan pucuk maupun akar eksplan. Unsur fosfat merupakan unsur yang
mendukung ATP dalam eksplan untuk pertumbuhan pucuk. Unsur fosfat yang diikat
oleh besi tanpa ada campuran yang dapat memisahkan fosfat dari unsur besi maka
tidak dapat menstimulasi pertumbuhan pucuk.
Media campuran memiliki kandungan fosfat yang cukup besar, yang disuplai
oleh kompos. Dengan adanya kompos, maka pucuk eksplan yang pada awalnya
dorman tumbuh dengan baik (Gambar 5) dan mendukung pertumbuhan ke atas pada
eksplan. Selain itu kompos pada media campuran mensuplai kalium yang cukup
tinggi. Menurut Hakim (1986), kalium memiliki peran dalam proses metabolisme dan
memiliki pengaruh khusus dalam absorbsi hara, transpirasi, pengaturan hara, kerja
enzim dan berfungsi sebagai translokasi karbohidrat.
Gambar 5. Pucuk yang tumbuh pada media campuran
Menurut Juhardi (1995), proses pertumbuhan tunas dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya umur bahan eksplan, ukuran eksplan serta jenis tanaman. Ukuran
eksplan yang ditanam menggunkan rataan jumlah buku daun, yaitu 3-4 buku daun.
Antar buku jaraknya berbeda-beda, sehingga ukuran tinggi eksplan tidak seragam.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan pucuk untuk bahan eksplan di Kebun
Raya Bogor, sehingga mengambil eksplan yang berumur lebih tua. Eksplan yang
berumur lebih tua ditanam pada media pasir tunggal.
Media campuran yang terdiri dari tanah, pasir dan kompos dapat memperbaiki
struktur, tekstur maupun kandungan hara yang dibutuhkan oleh eksplan untuk
tumbuh. Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik segar dari tanaman
atau daun-daunan, baik yang sengaja dibuat atau dari timbunan sampah organik di
tempat sampah yang sudah berwarna hitam serta tidak dapat dilihat lagi serat aslinya.
Kompos yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos buatan dan berbahan
dasar daun pisang, kotoran sapi, dengan menggunakan larutan tertentu. Kompos
memiliki kandungan unsur hara yang bervariasi (Tabel 6). Hal ini tergantung dari
jenis-jenis sampah daun-daun yang dikomposkan dan cara penyimpanannya. Adapun
komposisi hara kompos menurut hasil penelitian kebun percobaan muara, Bogor
disajikan pada tabel dibawah ini:
Tabel 6. Jenis dan kandungan unsur hara dalam kompos
Kandungan Kompos Komposisi (%)
Cairan 41,00
Bahan kering 59,00
Karbon (C) 8,20
Hara:
Nitrogen (N) 0,009
Fosfor (P2O5) 0,36
Kalium (K2O) 0,81
C/N 23,00
Pertukaran kation pada tanah merupakan proses yang sangat penting untuk
mendukung tumbuhnya eksplan. Besarnya nilai KTK tanah beragam untuk setiap
jenis tanah tergantung pada tekstur tanah, pH tanah, dan macam koloid tanah (liat
atau humus). Menurut Miller dan Donahue 1990 dari total KTK adanya bahan
organik akan menyumbang sekitar 30-70% dari total KTK tanah. Maka, penurunan
KTK sejalan dengan penurunan bahan organik tanah. Dalam penelitian ini media
campuran menggunakan kompos sebagai bahan organik, sehingga KTK media
meningkat dan dapat membantu menjaga kondisi eksplan serta agar eksplan tetap
segar.
Pucuk yang tumbuh pada eksplan juga tumbuh pada buku daun yang disebut
juga dengan pucuk lateral. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena terjadi
penumpukan makanan pada buku daun tersebut. Selain itu, pada buku daun juga
terdapat mata tunas. Jika didukung dengan pemenuhan bahan makanan (karbohidrat)
dan terdapat mata tunas sehingga timbul pucuk baru yang tumbuh pada ketiak daun
tersebut. Namun, tidak semua eksplan yang tumbuh pucuk di ketiak daun. Selain itu,
juga pada ketiga jenis media terdapat beberapa eksplan yang tumbuh pucuk di ketiak
daun.
Dalam pengamatan tiap dua minggu, tinggi eksplan tidak terlalu nyata
pertumbuhannya, karena tinggi pada bagian pucuk pertumbuhannya tidak merata.
Pada media campuran ini tinggi eksplan terlihat jelas meningkat tiap minggunya. Hal
ini disebabkan oleh adanya campuran kompos sebagai subsidi untuk pertumbuhan ke
atas pada eksplan. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa
kompos mengandung fosfat dan kalium untuk membantu pertumbuhan. Adapun rata-
rata pertumbuhan tinggi eksplan disajikan pada grafik dibawah ini (Gambar 6).
(a) (b)
(c)
Gambar 6. Rata-rata tinggi eksplan berdasarkan ulangan waktu pengamatan (a) perlakuan
tanah, (b) perlakuan pasir, (c) perlakuan media campuran
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa pada perlakuan tanah tidak nyata
pertambahan tingginya. Sedangkan pada perlakuan pasir, tinggi eksplan mulai
meningkat pada pengamatan kedua. Namun pada pengamatan berikutnya eksplan
tidak terlalu signifikan pertumbuhan pucuknya, serta pada pengamatan terakhir pucuk
eksplan banyak yang mengalami pembusukan dan akhirnya mati. Berbeda dengan
kondisi tinggi eksplan pada perlakuan media campuran. Petumbuhan tingginya terus
meningkat, namun pada pengamatan keempat terjadi penurunan pada A3B4, karena
terdapat beberapa eksplan yang mengalami pucuk yang kering dan rontok, yang
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi serta penyiraman yang terlalu banyak. Pada
pengamatan kelima pucuk tersebut mulai tumbuh kembali.
Melalui analisis menggunakan sidik ragam (Tabel 7) pengaruh perlakuan
terhadap pertambahan tinggi eksplan dari mulai penanaman hingga akhir pengamatan
menunjukan bahwa jenis media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
pertumbuhan eksplan dalam hal ini penambahan tinggi eksplan. Sedangkan hormon
maupun interaksi antara jenis media dan hormon yang diberikan pada konsentrasi
tertentu pada tanaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan
tinggi eksplan.
Tabel 7. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap pertambahan tinggi
eksplan pucuk Gyrinops versteegii
Sumber Db JK KT F-Hit F-Tab
Kelompok 2 14,11 7,06 3,63 3,33
Media 2 33,95 16,975 8,72 3,33
Hormon 4 7,14 1,785 0,92 2,70
Media+Hormon 7 11,35 1,621 0,83 2,35
Sisa 29 56,44 1,95
Total 44 122,99
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap faktor yang berpengaruh nyata
terhadap pertambahan tinggi eksplan, yaitu faktor jenis media digunakan pada
masing-masing eksplan, menunjukkan bahwa untuk perlakuan berupa penggunaan
jenis-jenis media yang berbeda berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai
berikut :
Tabel 8. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap pertambahan
tinggi eksplan
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 2, 29) x (KTG/3)0,5
= 2,68
1A 2A 3A
0,20 0,23 0,30
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 2,336 2,454 2,531 2,586 Keterangan : A1 = Media Tanah
A2 = Media Pasir
A3 = Media Campuran (Tanah-Pasir-Kompos)
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
3B 5B 2B 4B 1B 10,83 11,37 11,49 11,97 12,84
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 0,10
sehingga jika diurutkan pertambahan tinggi pada eksplan dari yang terkecil sampai
terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 2,68. Dengan demikian beda nyata yang diuji
pada F-Tabel tidak kuat atau lemah beda nyatanya, dengan jenis media terbaik untuk
pertambahan tinggi tiap minggunya.
4.2 Pengaruh Konsentrasi Hormon IBA terhadap Perakaran G.versteegii
(Gilg) Domke
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hormon IBA sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan akar pada eksplan gaharu (G.versteegii). Jika dibandingkan
dengan kontrol, eksplan yang diberi hormon lebih banyak akar yang tumbuh. Akar
eksplan yang tidak diberi hormon tetap tumbuh, namun dari segi kuantitas lebih
rendah dibandingkan dengan eksplan yang diberi perangsang akar.
Konsentrasi hormon IBA berpengaruh nyata terhadap presentase berakar,
jumlah akar dan panjang akar. Dalam penelitian ini digunakan lima macam
konsentrasi hormon IBA. Hal ini dilakukan untuk melihat kisaran konsentrasi yang
optimal untuk merangsang akar.
4.2.1 Persentase eksplan yang berakar
Dari hasil penelitian, jumlah eksplan yang hidup sebanyak 300 eksplan. Dari
jumlah tersebut, eksplan yang berakar sebanyak 278 eksplan. Dari total eksplan yang
ditanam, memiliki persentase berakar sebesar 61,78% pada perlakuan dengan
hormon. Sedangkan pada perlakuan tanpa hormon sebesar 53,33%, dari 25 eksplan
yang hidup hanya 16 eksplan yang berakar. Dari segi pertumbuhan akar secara
sepintas memang tidak berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan.
Hormon yang digunakan merupakan hormon sintetis (hormon buatan). Menurut
Rohmin dan Harjadi (1973), pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke
bawah dari karbohidrat, auksin dan rooting cofactor (zat yang berinteraksi dengan
auksin). Hormon IBA merupakan salah satu hormon pertumbuhan ke bawah yang
akan berinteraksi dengan zat auksin yang sudah terdapat dalam eksplan tersebut.
Dalam penelitian ini metode penggunaan hormon adalah dengan perendaman dan
pengolesan menggunakan pasta. Pasta untuk pengolesan hormon menggunakan bahan
talk kalsium karbonat yang dicampur dengan larutan hormon berdasarkan konsentrasi
masing-masing.
Dilihat dari presentase berakar berdasarkan konsentrasi hormon, yang paling
tinggi pada konsentrasi 550 ppm yaitu 14,22%. Namun, tidak jauh berbeda dengan
konsentrasi 450 ppm dengan presentase berakarnya sebesar 13,11%. Jika ditinjau dari
besarnya konsentrasi kelima hormon, semua konsentrasi merupakan konsentrasi yang
optimal untuk perakaran eksplan gaharu (Gambar 7). Semua konsentrasi hormon
yang digunakan memiliki kemampuan untuk menstimulir akar eksplan. Hal ini
menunjukkan bahwa hormon IBA yang memiliki konsentrasi di atas 400 ppm sudah
merupakan konsentrasi yang baik untuk merangsang perakaran.
Gambar 7. Presentase berakar eksplan berdasarkan konsentrasi hormon
Jenis media yang digunakan untuk media perakaran akan sangat mempengaruhi
kemampuan eksplan untuk membentuk akar. Berdasarkan dari jenis media perakaran,
persentase berakar yang paling besar adalah pada jenis media tanah tunggal, yakni
sebesar 28,44%. Hal ini disebabkan oleh sifat tanah yang remah serta drainase dan
aerasi yang baik yang mampu menjaga kelembaban. Namun, pada media campuran
persentase berakar lebih rendah karena jumlah eksplan yang hidup juga lebih kecil
dibandingkan dengan media tanah (Gambar 8). Eksplan yang hidup tetapi tidak
berakar masih dalam keadaan segar dan daun masih berwarna hijau, serta batang yang
tidak layu.
Seharusnya pada eksplan timbul kalus untuk munculnya calon akar. Menurut
Hartman dan Kester (1990), proses pembentukan akar dimulai dari pelukaan pada
bagian pangkal dan mengakibatkan sel-sel yang rusak mengalami fungsi
dediferensiasi dengan menggandakan mitosis (perbanyakan sel). Kemudian akan
membentuk sel-sel yang bersifat parenkimatis yang disebut kalus. Kalus yang
terbentuk berinisiasi membentuk primordia akar yang akhirnya membentuk akar baru.
Secara umum, pangkal eksplan yang tidak berakar, tidak satupun yang membentuk
kalus. Hal ini dikarenakan bagian pangkal yang disayat kemudian ditutup dengan
pasta dan pasta tersebut pada media pasir tercuci akibat drainase yang kurang baik
sehingga air menggenang disekitar pangkal eksplan dan menghilangkan pasta untuk
penghilangan bekas luka dan meninggalkan kalus pada eksplan tersebut. Pada
umumnya akar keluar langsung dari bekas sayatan.
0
5
10
15
400 450 500 550 600
Pe
rse
nta
se (
%)
Konsentrasi Hormon (ppm)
Gambar 8. Presentase eksplan berakar berdasarkan jenis media
Pada kontrol persentase berakar sebesar 53,33%, dengan persentase berakar
paling tinggi adalah pada media tanah yakni sebesar 26,67%. Media pasir tetap
memiliki persentase berakar paling kecil yakni 10 % (Gambar 10). Dilihat dari
Gambar 8 dan Gambar 9, antara jenis media tanah dengan media campuran memang
tidak berbeda nyata dalam hal presentase jumlah akar. Hal ini membuktikan bahwa
media tanah latosol merah yang kompak merupakan media yang terbaik untuk
pertumbuhan akar eksplan.
Gambar 9. Presentase berakar pada kontrol
Pada media pasir, terdapat eksplan yang sudah berakar, namun mengalami
pembusukan dan mati. Hal ini disebabkan sifat pasir yang memiliki drainase yang
kurang baik. Pasir yang digunakan sebagai media merupakan pasir berlempung. Jika
disiram dengan air, maka media akan memadat dan mempersempit pori-pori pasir
tersebut, sehingga akan menghambat pergerakan air. Dapat dilihat pada media pasir,
0
5
10
15
20
25
30
Tanah Pasir Campuran
Pre
sen
tase
(%
)Jenis Media
0
10
20
30
Tanah Pasir Campuran
Pe
rse
nta
sae
(%
)
Jenis Media
memiliki presentase jumlah eksplan yang berakar paling kecil diantara jenis media
lain. Eksplan yang tidak berakar bagian pangkalnya mengalami pembusukan. Namun
eksplan masih dalam kondisi segar. Setelah beberapa hari dipindahkan ke polybag,
daun menjadi berwarna kuning dan akhirnya rontok. Hal lain yang menyebabkan
presentase berakar pada media pasir kecil juga disebabkan oleh media yang memadat
akan menghambat pertumbuhan akar eksplan yang akan tumbuh. Media perakaran
memiliki fungsi yaitu untuk menahan bahan eksplan agar tetap berada dalam
tempatnya, menyediakan dan menjaga kelembaban yang dibutuhkan oleh eksplan dan
untuk membiarkan penetrasi udara ke bagian dasar dari eksplan (Mahlstede dan
Haber, 1957). Menurut Mahlstede dan Haber (1962) untuk eksplan eksplan yang
mengalami perakaran dibutuhkan kelembaban sebesar 75%.
Untuk perbedaan pengaruh perlakuan terhadap parameter persentase eksplan
berakar G.versteegii berdasarkan jenis media, hormon, serta interaksi diantara
keduanya dapat dilihat pada (Gambar 10).
Gambar 10. Diagram pengaruh jenis media dan hormon terhadap persen
eksplan berakar G.versteegii
Tabel 9. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase berakar
eksplan pucuk G.versteegii
Sumber Db JK KT F-Hit F-Tab
Kelompok 2 13,01 6,51 0,45 3,33
Media 2 14,4 7,20 0,50 3,33
Hormon 4 283,92 70,98 4,88 2,70
Media+Hormon 7 242,24 34,61 2,38 2,35
Sisa 29 421,43 14,53
Total 44 975
Hasil sidik ragam yang diperlihatkan pada Table 9, menunjukan bahwa zat
pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata dan interaksi diantara jenis
media tanam dengan pemberian hormon terntentu memberikan pengaruh nyata
terhadap persentase hidup eksplan. Sedangkan media tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap persentase hidup eksplan jika tidak dikombinasikan dengan
penambahan zat pengatur tumbuh pada tanaman tersebut. Hal tersebut memberikan
sebuah kesimpulan bahwa hormon dan Interaksi antara jenis media serta hormon
memberikan pengaruh yang positif terhadap persentase hidup dan persentase berakar
eksplan terutama pada konsentrasi dan jenis media berupa tanah dengan konsentrasi
hormon sebanyak 450 ppm dan 550 ppm (Gambar 10).
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh
nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor zat pengatur tumbuh
(zpt) dan interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada
masing-masing eksplan, menunjukkan bahwa untuk faktor hormon berdasarkan uji
beda nyata Duncan adalah sebagai berikut :
Tabel 10 Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) hormon terhadap persentase berakar
eksplan
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5
= 4,60
1B 2B 3B 4B 5B
17 20 17 21 17
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 4,939 5,189 5,351 5,467
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
1B 3B 5B 2B 4B 17 17 17 20 21
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 4,00
sehingga jika diurutkan presentase berakar eksplan dari yang terkecil sampai terbesar
tidak terlihat perbedaan jarak 4,60. Dengan demikian beda nyata yang diuji pada F-
Tabel tidak kuat atau lemah bedanyatanya, namun jika dilihat dari presentase berakar
terbesar hormon dengan konsentrasi 550 yang memberikan presentase berakar
terbesar, yaitu 71,11% sedangkan untuk konsentrasi hormon yang lain yaitu
perlakuan dengan pemberian hormon dengan konsentrasi 400 ppm sebanyak 56,67%,
500 ppm dan 600 ppm sebanyak 57,78% untuk masing-masing konsentrasi, serta
berbeda nyata dengan hormon pada konsentrasi 450 ppm dan 550 ppm. Untuk
konsentrasi 450 ppm persentase berakar eksplan adalah 65,56% serta tidak berbeda
nyata dengan pemberian hormon sebanyak 550 ppm yang memberikan persentase
hidup eksplan terbesar.
Untuk faktor Interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang
diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah
sebagai berikut :
Tabel 11. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap persentase berakar eksplan yang memberikan pengaruh terbesar
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5
= 3,17
41BA 42BA 43BA
28 10 27
P 2 3 4 5
rp 2,950 3,097 3,190 3,255
RP 3,904 4,102 4,230 4,322 Keterangan : A1B4 = Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
A2B4 = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
A3B4 = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
42BA 43BA 41BA 10 27 28
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah
23,00 sehingga jika diurutkan presentase hidup eksplan terbaik dari yang terkecil
sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 3,17 yaitu perlakuan jenis media pasir
dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase berakar eksplan sebesar
33,33%, perlakuan jenis media yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos
(TPK) dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar
90% perlakuan jenis media tanah dengan pemberian hormon 550 ppm dengan
persentase hidup eksplan sebesar 93,33%. Antara A1B4 dan A3B4 tidak berbeda
nyata, sedangkan perlakuan A2B4 memberikan pengaruh terhadap besarnya
persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A3B4.
4.2.2 Jumlah akar eksplan G. versteegii (Gilg) Domke
Jumlah akar merupakan salah satu parameter kualitas eksplan yang ditanam itu
baik. Akar yang diamati adalah akar yang langsung keluar dari sayatan eksplan,
disebut juga dengan akar primer. Kualitas akar yang dimaksud dalam penelitian ini
terdiri dari Jumlah Akar Primer (JAP) dan Panjang Akar Primer (PAP). Akar
memiliki fungsi untuk dapat memanfaatkan air, udara dan unsur-unsur hara yang ada
di dalam media tersebut supaya pertumbuhan dan produksi tanaman dapat mencapai
tingkat yang optimum. Dalam penelitian ini rata-rata akar eksplan tumbuh setelah 6
minggu setelah tanam
4.2.2.1. Jumlah Akar Primer (JAP)
Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan yang paling banyak menghasilkan akar
adalah perlakuan eksplan dengan media campuran antara tanah, pasir dan kompos
yang memiliki rata-rata jumlah akar rata-rata sebanyak 6,5 buah. Berdasarkan
konsentrasi hormon yang digunakan, dosis 400 dan 450 ppm menghasilkan rata-rata
jumlah akar terbanyak, berturut-turut sebanyak 5,1 dan 5,2 buah.
Gambar 11. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap JAP eksplan
pucuk G.versteegii
Gambar 12 memperlihatkan pengaruh perbedaan media dan perbedaan
konsentrasi hormon IBA terhadap parameter jumlah akar primer eksplan pucuk
G.versteegii. Media campuran antara tanah, pasir, dan kompos memberikan JAP
terbanyak dengan rata-rata jumlah akar primer sebanyak 6,7 buah dan media berupa
tanah menghasilkan rata-rata jumlah akar primer terendah sebanyak 4,8 buah.
Perbedaan media dengan campuran hormon tertentu bagi pertumbuhan eksplan
ini memberikan pengaruh sangat nyata untuk parameter JAP (Tabel 8). Pemberian
konsentrasi hormon dan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah akar primer
Tabel 12. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap jumlah akar primer
eksplan pucuk G.versteegii
Sumber Db JK KT F-Hit F-Tab
Kelompok 2 38,80 19,40 5,54 3,33
Media 2 7,50 3,25 0,93 3,33
Hormon 4 29,75 7,44 2.13 2,70
Media+Hormon 7 135,20 19,31 5,52 2,35
Sisa 29 101,63 3,50
Total 44 312,88
Berdasarkan informasi pada Tabel 12 kita dapat melihat bahwa media
campuran berupa tanah, pasir dan kompos serta pemberian hormon dengan
konsenterasi 400 dan 450 ppm memberikan JAP tertinggi, dengan masing-masing
JAP yaitu 7,2 dan 6,7 buah. Namun tidak berbeda nyata dengan media tanah dan
campuran hormon 400 dan 550 ppm.
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh
nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor Zat Pengatur tumbuh
(zpt) dan interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada
masing-masing tanaman, menunjukkan bahwa untuk faktor hormon berdasarkan uji
beda nyata Duncan adalah sebagai berikut :
Tabel 13. Uji Duncan hormon terhadap jumlah akar primer (JAP) eksplan pucuk
G.versteegii
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5
= 2,26
1B 2B 3B 4B 5B
5,1 5,2 4,7 4,9 5,0
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 2,424 2,547 2,626 2,683
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
3B 4B 5B 1B 2B 4,7 4,9 5,0 5,1 5,2
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 0,5
sehingga jika diurutkan jumlah akar primer pada eksplan dari yang terkecil sampai
terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 2,26. Dengan demikian beda nyata yang diuji
pada F-Tabel tidak kuat atau lemah beda nyatanya, namun jika dilihat dari jumlah
akar primer terbanyak hormon dengan konsentrasi 450 yang memberikan JAP
terbesar, yaitu 5,2 buah sedangkan untuk konsentrasi hormon yang lain yaitu
perlakuan dengan pemberian hormon dengan konsentrasi 500 ppm sebanyak 4,7
buah, 550 ppm sebanyak 4,9 buah, 600 ppm sebanyak 5 buah, serta tidak berbeda
nyata dengan hormon pada konsentrasi 400 ppm dan 450 ppm.
Untuk faktor Interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang
diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah
sebagai berikut :
Tabel 14. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon
terhadap jumlah akar primer (JAP) pada eksplan yang memberikan pengaruh
terbesar
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5
= 1,55
41BA 32BA 13BA
5,2 5,2 7,6
P 2 3 4 5
rp 2,950 3,097 3,190 3,255
RP 1.916 2.013 2.076 2.121 Keterangan : A1B4 = Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
A2B3 = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 500 ppm
A3B1 = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 400 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
41BA 32BA 13BA
5,2 5,2 7,6
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 2,4
sehingga jika diurutkan jumlah akar primer terbaik pada eksplan dari yang terkecil
sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 1,55 yaitu perlakuan jenis media pasir
dengan pemberian hormon 500 ppm dan perlakuan jenis media tanah dengan
pemberian hormon 550 ppm dengan JAP sebanyak 5,2 buah, perlakuan jenis media
yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan pemberian
hormon 400 ppm dengan JAP sebanyak 5,7 buah. Antara A1B4 dan A2B3 tidak
berbeda nyata, sedangkan perlakuan A3B1 memberikan pengaruh terhadap besarnya
persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A2B3.
4.2.2.2 Panjang Akar Primer (PAP)
Berdasarkan perhitungan terhadap besarnya panjang akar primer (PAP),
diperoleh bahwa media berupa tanah dengan pemberian hormon IBA sebanyak 550
ppm memilki nilai tertinggi untuk panjang akar primer, yaitu dengan PAP 17,06 cm.
Gambar 12. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap PAP eksplan
pucuk G. versteegii.
Gambar 12 memperlihatkan perbedaan pengaruh perlakuan (jenis media dan
konsentrasi hormon) terhadap parameter panjang akar primer dapat dilihat bahwa
media tanah dan pemberian hormon pada konsentrasi 550 ppm merupakan perlakuan
yang memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan panjang akar primer.
Tabel 15. menunjukkan bahwa perlakuan pemberian hormon memberikan
pengaruh sangat nyata bagi parameter panjang akar primer. Sedangkan jenis media
dan interaksi antara media dan hormon tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata.
Tabel 15. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap panjang akar primer
(PAP) eksplan pucuk G. versteegii
Sumber Db JK KT F-Hit F-Tab
Kelompok 2 235,04 117,52 7,49 3,33
Media 2 15,81 7,91 0,50 3,33
Hormon 4 423,18 105,80 6,74 2,70
Media+Hormon 7 101,24 14,46 0,92 2,35
Sisa 29 455,03 15,69
Total 44 1230,31
Hasil sidik ragam yang diperlihatkan pada Tabel 15, menunjukan bahwa
perlakuan pemberian hormon memberikan pengaruh yang sangat nyata. Sedangkan
jenis media dan interaksi diantara jenis media dengan perlakuan pemberian hormon
tertentu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar primer (PAP)
pada eksplan tanaman.
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap faktor yang berpengaruh nyata
terhadap ukuran/panjang akar primer, yaitu faktor hormon yang diberikan pada
masing-masing tanaman, menunjukkan bahwa untuk perlakuan berupa pemberian
hormon yang berbeda berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut :
Tabel 16. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase
hidup eksplan
JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5
= 4,16
1B 2B 3B 4B 5B
12,84 11,49 10,83 11,97 11,37
P 2 3 4 5
rp 2,897 3,044 3,139 3,207
RP 5.132 5.392 5.561 5.681
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisih-
selisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
3B 5B 2B 4B 1B 10,83 11,37 11,49 11,97 12,84
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 2,01
sehingga jika diurutkan panjang akar primer (PAP) pada eksplan dari yang terkecil
sampai terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 4,16. Dengan demikian beda nyata
yang diuji pada F-Tabel tidak kuat atau lemah bedanyatanya, dengan tingkat
pemberian hormon terbaik yaitu pada konsentrasi 400 dan 550 ppm.
Tabel 17. Rekapitulasi pengaruh media dan hormon untuk berbagai parameter yang
diukur
Perlakuan % Hidup % Berakar Δ Tinggi
(cm) JAP PAP (cm)
A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5
90,00 83,33 86,67 93,33 93,33 26,67 36,67 36,67 40,00 26,67 73,33 86,67 66,67 90,00 70,00
83,33 80,00 80,00 93,33 90,00 16,67 30,00 33,33 33,33 20,00 66,67 86,67 60,00 90,00 63,33
1,6 0,6 0,6 0,8 0.9 1.6 2,0 1,7 2,3 1,5 2,4 2,9 2,6 2,6 0,9
40 37 41 52 49
9 14 13 8 8 48 59 34 58 46
16,29 12,98 14,05 17,06 14,94
5,47 4,82 7,19 4,02 5,34
16,75 16,67 11,25 14,83 13,82
Rata-rata 66,67 61,78 1,67 34,40 11,70 Keterangan: JAP = Jumlah akar primer
PAP = Panjang akar primer
Hasil analisis sidik ragam yang diperlihatkan Tabel 18. menunjukkan bahwa
perbedaan media memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase hidup dan
pertambahan tinggi pada eksplan. Penggunaan hormon dengan konsentrasi tertentu
memberikan pengaruh terhadap perakaran pada eksplan, baik pada persentase
berakar, jumlah akar primer (JAP), maupun panjang akar primer dari eksplan yang
diberikan perlakuan dengan penambahan hormon pada konsentrasi tertentu. Hormon
IBA pada konsentrasi 450 ppm dan 550 ppm secara umum memberikan pertumbuhan
yang optimal pada perakaran eksplan. Interaksi kedua perlakuan menunjukan
pengaruh namun tidak berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi dan besarnya
ukuran panjang akar primer (PAP).
Tabel 18. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan hormon untuk setiap
parameter yang diamati
Perlakuan % Hidup % Berakar Δ Tinggi JAP PAP Kelompok tn tn * ** ** Media ** tn ** tn tn Hormon tn ** tn * ** Media + Hormon ** * tn ** tn
Keterangan: * = Nyata pada selang kepercayaan 95%
** = Sangat nyata pada selang kepercayaan 99%
tn = Tidak nyata
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian ini, komposisi media yang baik untuk pertumbuhan
gaharu (G.versteegii (Gilg) Domke) yaitu media tanah. Jenis tanah yang digunakan
adalah latosol merah yang kompak. Hal ini dapat dilihat dari persentase hidup
masing-masing media, yakni media tanah tunggal sebesar 89,33%, kemudian jenis
media campuran sebesar 77,33%, dan yang terkecil persentase hidup eksplan
adalah pada jenis media pasir tunggal (33,33%). Selain itu, media tanah tunggal
dan media campuran (tanah-pasir-kompos) memiliki persentase berakar yang baik.
2. Konsentrasi hormon yang efisien dan optimum untuk pertumbuhan akar adalah
pada konsentrasi 550 ppm, tetapi hormon dengan konsentrasi 450 ppm juga baik
walaupun tidak seoptimal 550 ppm. Namun hormon 450 ppm dapat
mengefisienkan biaya.
3. Penggunaan eksplan pucuk yang bersifat dorman lebih baik dibandingkan dengan
pucuk muda, karena pucuk muda lebih cepat layu.
5.2 Saran
1. Perlu penelitian lanjutan untuk aplikasi hasil ex vitro ke lapangan.
2. Sebaiknya dalam penelitian ex vitro juga mengkaji jenis bahan stek pada
G.versteegii (pucuk, batang tengah dan batang bawah). Berdasarkan hasil dari
penelitian prndahuluan, jika eksplan pucuk yang didapatkan tidak dalam keadaan
dorman (pucuk muda), yang sangat rentan terhadap kelayuan dapat diganti pada
batang tengah dan batang bawah.
3. Menggunakan gabungan beberapa jenis hormon auksin untuk merangsang
perakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z, 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung:
Angkasa.
Anonim. 2003. Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit. http://www.sinarharapan.co.id/
berita/0703/16/ipt04.html. [17 Mei 2008].
Atjung. 1975. Tumbuh-tumbuhan Perhiasan di Pekarangan. Jakarta: N. V. Masa
Baru.
Darmawan J, J Baharsjah. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. Semarang:
PT.Suryandaru Utama.
Djamhuri E, W Soekotjo, D Nandika dan Y Santosa. 1986. Usaha Penyediaan Bahan
Tanaman Jenis-jenis Dipterocarpaceae Secara Massal dengan Pembiakan
Vegetatif. Proyek Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Bogor :
Fakultas Kehutanan IPB.
Gilg. 1932. Gyrinops versteegii. http://zipcodezoo.com/Plants/Gyrinops
versteegii.asp. [17 Juni 2008].
Hakim N, MY Nyakpa, AM Lubis, SG Nugroho, MA Diha, GB. Hong, HH Bailey.
1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hal. 78-
79.
Harahap, RMS. 1972. Percobaan Orientasi Vegetatif Beberapa Jenis Pohon. Laporan
LPH No. 155. Bogor : Lembaga Penlitian Hutan.
Hartmann HT and DE Kester. 1978. Plant Propagation Principle and Practice.
Fourth edition. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Englewood.
________________________. 1983. Plant Propagation Principle and Practice.
Fourth edition. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Englewood.
Juhardi D. 1995. Studi Pembiakan Vegetatif Stek Pucuk Shore selenica BI dengan
Menggunkan Zat Pengatur Tumbuh IBA pada Media Campuran Tanah dan
Pasir. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. Tidak Diterbitkan.
Jumin BH. 1992. Ekologi Tanaman. Jakarta: Rajawali Press Jakarta.
Kremer PJ and TT Kozlowski. 1960. Physiologi of Trees. McGraw. London: Hill
Book Company.
Kusumo S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Jakarta: CV. Jayaguna.
Lingga P dan Marsono. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Mahlstede JP and ES Haber. 1957. Plant Propagation. New York : John Wiley and
Sons, Inc.
______________________. 1962. Plant Propagation. John Wiley & Sons, Inc. New
York.
Miller RH and RL Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth.
Sixt Edition. Printice Hall Inc. Englewood Cliffs. NJ.
Situmorang J dan I Yopi. 2006. Pelatihan Nasional Budidaya dan Pengolahan
Gaharu. http://www.bticnet.com/gaharu.htm. [17 Mei 2008].
Purwowidodo. 1998. Metode Selidik Tanah. Surabaya : Usaha Nasional.
Rochiman, K dan SS Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor: Bahan Bacaan
Pengantar Agronomi. Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, IPB.
Sinaga VM. 1987. Pedoman Penggunaan Hormon Tumbuh Akar pada Pembibitan
Beberapa Tanaman Kehutanan. Jakarta: Direktorat Jendral Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan.
Soeharto B, Suseno Budidarsono dan Meine van Noordwijk. Ex Ante Impacts Of
Aquilaria spp (Thymelaeacea) Biotechnology. World Agroforestry Centre.
http://worldagroforestry.org/downloads/publications/PDFs/PO07115.PDF.
[17 Mei 2008].OF Aquilaria spp (THYMELAEACEAE) BIOTECHNOLOGY
Soerianegara I dan E Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor : Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Subiakto A. 1988. Teknik Propagasi Vegetatif Diklat Pengatur Persemaian. Jakarta:
Kerjasama Puslitbang Hutan dan Proyek Diklat dalam rangka
PengIndonesia-an Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan.
Sumantri IGAK. 1995. Pengaruh Media dan Cara Pemberian Zat Pengatur Tumbuh
IBA terhadap Pertumbuhan Stek Batang Acacia mangium Willd. Skripsi.
Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak
Diterbitkan.
Sumarna Y. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya.
Supriyanto. 1997. Teknik Tanaman Stek Pucuk : Aspek Fisiologis. Serang: Materi
Pelatihan Stek Pucuk di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. KPH Banten..
Tjitrosoepomo G. 2001. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-13. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Bogor : Pusat Antar Universitas Institut
Pertanian Bogor.
Wudianto, R. 1993. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Yasman I, and WTM Smith. 1987. Pengadaan Bibit Dipterocarpaceae dengan Sistem
Cabutan dan Stek. Simposium Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Bogor.
_____________________. 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae.
Samarinda: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen
Kehutanan.
Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya.
Jakarta: PT. Gramedia Utama.
Lampiran 1. Jumlah eksplan hidup pada perlakuan
Perlakuan Jumlah eksplan
Total
Eksplan
Minggu
ke-2
Minggu
ke-4
Minggu
ke-6
Minggu
ke-8
Minggu
ke-10
A1B1 30 30 27 27 27 27
A1B2 30 30 28 27 25 25
A1B3 30 30 26 26 26 26
A1B4 30 30 28 28 28 28
A1B5 30 29 28 28 28 28
A2B1 30 30 22 18 9 8
A2B2 30 30 21 19 11 11
A2B3 30 30 21 19 12 11
A2B4 30 29 25 23 12 12
A2B5 30 28 20 18 11 8
A3B1 30 30 22 22 22 22
A3B2 30 29 26 26 26 26
A3B3 30 27 22 20 20 20
A3B4 30 30 28 27 27 27
A3B5 30 30 23 21 21 21 Keterangan: A1B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm
A1B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm
A1B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm
A1B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm
A1B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm
A2B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm
A2B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm
A2B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm
A2B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm
A2B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm
A3B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm
A3B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm
A3B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm
A3B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm
A3B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm
Lampiran 2. Jumlah eksplan hidup pada kontrol
Perlakuan Jumlah eksplan
Total
eksplan
Minggu
ke-2
Minggu
ke-4
Minggu
ke-6
Minggu
ke-8
Minggu
ke-10
Tanah 10 10 10 10 10 10
Pasir 10 10 10 10 10 10
Campuran 10 9 6 5 5 5
Lampiran3. Tinggi eksplan dengan perlakuan hormon Perlakuan Tinggi eksplan (cm)
Awal Minggu
ke-2 Minggu
ke-4 Minggu
ke-6 Minggu ke-
8 Minggu ke-
10 A1B1 6.7 6.8 7.5 8.2 8.8 8.7 A1B1 4.6 4.6 5.2 5.5 5.7 5.7 A1B1 7.4 7.6 8.6 9.4 10.2 8.9
µ 6.2 6.3 7.1 7.7 8.2 7.8 A1B2 6.4 6.5 5.9 7.0 6.9 7.1 A1B2 6.7 6.9 6.9 7.6 7.9 7.1 A1B2 5.6 5.7 7.4 6.0 6.0 6.0
µ 6.2 6.3 6.7 6.8 6.9 6.8 A1B3 6.8 7.1 7.2 7.3 7.4 7.3 A1B3 6.3 6.4 6.9 7.0 6.9 6.9 A1B3 5.9 6.0 6.4 6.6 6.0 7.1
µ 6.3 6.5 6.8 7.0 7.0 7.1 A1B4 5.7 5.8 6.1 6.4 6.4 6.5 A1B4 6.0 6.1 7.1 7.0 7.0 7.2 A1B4 5.6 5.7 5.8 5.8 6.7 6.5
µ 5.8 5.9 6.4 6.4 6.6 6.7 A1B5 5.2 5.3 6.1 6.5 6.8 6.5 A1B5 6.3 6.4 7.1 7.2 8.1 8.6 A1B5 5.1 5.1 5.8 6.0 6.3 7.0
µ 5.5 5.6 6.4 6.5 7.0 7.4 A2B1 6.2 6.3 8.5 8.8 9.0 7.7 A2B1 4.8 4.9 7.1 7.0 6.9 6.2 A2B1 5.3 5.4 6.7 7.4 6.1 7.1
µ 5.4 5.5 7.5 7.7 8.0 7.0 A2B2 5.8 6.0 7.9 8.2 8.4 7.5 A2B2 4.9 5.0 6.9 7.2 7.5 7.4 A2B2 4.6 4.7 5.9 5.5 8.0 6.5
µ 5.1 5.2 6.9 7.0 7.4 7.1 A2B3 4.4 4.5 5.1 5.3 5.5 5.7 A2B3 5.1 5.2 7.2 7.5 7.8 7.3 A2B3 5.6 5.6 6.7 7.1 7.4 7.0
µ 5.0 5.1 6.4 6.6 6.9 6.7 A2B4 5.0 5.0 7.0 7.4 7.9 7.8 A2B4 6.5 6.6 9.3 9.4 9.4 8.2 A2B4 4.7 4.7 6.5 6.9 7.4 7.1
µ 5.4 5.4 7.6 7.9 8.2 7.7 A2B5 6.4 4.8 8.7 8.8 8.9 8.2 A2B5 4.7 6.1 7.4 7.5 7.7 7.1 A2B5 6.0 6.6 5.6 5.8 5.9 6.4
µ 5.7 5.8 7.3 7.4 7.5 7.2 A3B1 6.0 7.3 6.2 6.5 6.8 7.1 A3B1 7.1 6.1 7.5 8.6 9.4 10.4 A3B1 7.1 7.3 7.8 8.4 9.2 9.9
µ 6.7 6.9 7.2 7.8 8.5 9.1
Lanjutan Lampiran 3. Perlakuan Tinggi eksplan (cm)
Awal Minggu
ke-2 Minggu
ke-4 Minggu
ke-6 Minggu
ke-8 Minggu ke-
10 A3B2 6.9 7.1 7.5 8.3 9.1 9.7 A3B2 6.3 6.5 7.1 8.0 8.9 9.6 A3B2 6.3 6.4 6.9 7.6 8.2 9.0
µ 6.5 6.6 7.2 8.0 8.7 9.4 A3B3 6.5 6.6 6.7 7.3 7.8 8.0 A3B3 5.3 5.4 6.1 6.5 6.9 7.8 A3B3 6.0 6.1 6.3 7.6 8.9 9.6
µ 5.9 6.0 6.4 7.1 7.9 8.5 A3B4 7.4 7.7 8.3 9.2 10.1 10.2 A3B4 5.9 5.9 6.3 7.2 8.2 8.1 A3B4 5.9 6.0 6.2 7.0 7.8 8.8
µ 6.4 6.5 6.9 7.8 8.7 9.0 A3B5 5.7 5.9 6.2 9.2 7.1 7.9 A3B5 5.6 5.7 6.0 7.2 6.6 7.3 A3B5 6.1 6.3 6.6 7.0 7.2 7.9
µ 5.8 5.9 6.3 7.8 7.0 7.7
Lampiran 4. Tinggi eksplan tanpa perlakuan hormon (kontrol)
Perlakuan Tinggi eksplan (cm) Awal Minggu
ke-2 Minggu
ke-4 Minggu
ke-6 Minggu
ke-8 Minggu
ke-10 Tanah 5.2 5.2 7.1 6.0 6.1 6.4 Pasir 6.4 6.6 5.8 7.0 7.6 7.8 T+P+K 5.9 6.0 6.3 6.6 6.9 7.7
Lampiran 5. Jumlah eksplan yang berakar pada perlakuan Perlakuan Jumlah yang berakar
A1B1 25 A1B2 24 A1B3 24 A1B4 28 A1B5 27 A2B1 5 A2B2 9 A2B3 10 A2B4 10 A2B5 6 A3B1 20 A3B2 26 A3B3 18 A3B4 27 A3B5 19
Lampiran 6. Jumlah eksplan yang berakar pada kontrol
Perlakuan Jumlah yang berakar Tanah 8 Pasir 3
Campuran 5
Lampiran 7. Rekapitulasi jumlah akar dan rata-rata panjang akar pada perlakuan hormon Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A1B1 5 3,20 A1B1 6 3,88 A1B1 6 5,92
0 0 5 4,00 8 5,54
3 6,10 - - 6 3,77
6 1,00 3 2,67 7 2,16
6 1,35 5 1,72 - -
- - 5 1,80 7 1,59
6 0,97 5 2,86 9 2,82
5 0,70 4 2,90 6 3,08
7 3,69 5 2,86 0 0
7 2,28 7 3,11 2 0,15
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A1B2 2 3,90 A1B2 3 1.00 A1B2 3 3.47
- - 9 3.22 5 3.68
4 2,55 7 4.49 3 3.97
2 2,15 - - 5 3.00
7 1,60 - - 7 2.37
- - 2 1.85 4 3.28
2 1,00 4 3.28 7 1.86
0 0 - 6 3.13
3 2,03 6 3.72 6 3.52
4 4,58 6 1.03 3 3.43
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A1B3 6 0.78 A1B3 - - A1B3 6 4.17
7 2.10 4 0.50 5 2.66
7 3.30 5 2.84 5 2.28
3 2.97 4 4.15 7 3.21
0 0 - - 7 4.24
5 3.78 5 1.54 5 4.22
4 2.00 3 3.03 5 2.06
3 1.13 0 0 5 3.14
3 4.73 - - 9 3.64
6 2.90 - - 4 2.58
Perlakuan Jumlah
akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A1B4 6 2.98 A1B4 5 4.02 A1B4 8 2.89
4 3.33 6 5.05 6 5.42
4 4.03 9 3.12 1 1.40
8 1.75 5 2.58 7 1.01
4 3.25 5 2.56 6 4.17
9 1.32 8 2.39 - -
5 6.36 5 2.64 - -
6 4.47 5 2.42 4 3.43
5 3.38 5 1.40 9 2.68
5 3.84 1 1.30 6 2.52
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A1B5 4 3.38 A1B5 7 3.00 A1B5 4 4.48
8 2.93 4 3.58 4 2.23
4 4.78 4 2.03 7 2.34
0 0 10 1.76 6 1.62
4 2.33 8 2.64 2 0.85
- - 6 2.25 - -
6 1.85 10 3.20 6 2.85
3 4.33 6 3.97 4 2.95
4 2.48 4 1.33 7 3.99
1 1.40 9 2.63 5 2.78
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A2B1 - - A2B1 0 0 A2B1 - -
0 0 - - 3 0.47
- - - - - -
3 0.97 - - - -
- - - - - -
- - 5 2.68 - -
- - 5 1.70 - -
- - - - - -
- - - - 4 0.93
- - - - - -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A2B2 - - A2B2 - - A2B2 - -
- - - - - -
7 0.46 - - - -
5 0.78 - - - -
- - 7 1.01 3 1.83
- - 3 1.20 3 1.23
- - 4 0.78 - -
- - - - - -
7 1.46 - - 2 1.55
- - - - - -
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A2B3 - - A2B3 2 1.45 A2B3 - -
- - 3 2.67 6 2.08
- - - - - -
- - - - - -
- - 4 1.13 - -
6 1.38 2 2.55 4 2.43
- - - - - -
0 0 - - - -
5 1.28 5 1.30 - -
2 0.25 - - - -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A2B4 - - A2B4 - - A2B4 - -
- - - - - -
2 0.55 3 0.70 - -
- - - - - -
- - - - - -
1 3.50 4 2.25 1 1.90
- - - - 1 6.90
- - - - 3 0.87
5 1.03 - - 3 0.70
- - - - 2 2.25
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A2B5 - - A2B5 - - A2B5 - -
- - - - 5 2.12
- - - - 4 1.90
- - - - 6 2.05
- - - - - -
- - - - - -
- - - - - -
- - 4 1.75 5 0.80
- - - - - -
1 0.40 - - - -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A3B1 9 2.22 A3B1 5 3.96 A3B1 10 2.41
8 2.63 7 3.07 10 2.30
- - - - 2 0.40
- - 7 1.76 - -
- - 12 1.64 8 3.16
- - 8 1.61 - -
- - 4 3.83 9 2.69
7 2.27 - - 6 1.82
3 3.97 5 3.14 5 1.45
8 2.01 11 1.39 - -
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A3B2 10 2.39 A3B2 7 2.23 A3B2 7 2.57
2 0.65 8 1.59 12 2.83
8 5.28 7 2.84 8 2.38
6 2.60 6 2.70 6 2.62
7 2.30 - - 6 0.63
5 2.92 - - 10 1.69
- - 5 1.66 8 1.65
- - 8 2.83 2 1.50
8 3.54 2 0.60 8 2.49
5 2.86 7 2.64 8 2.18
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang akar
(cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A3B3 9 1.33 A3B3 - - A3B3 7 3.26
8 1.73 - - 7 2.27
3 1.67 - - - -
- - 8 2.31 - -
- - - - 8 2.32
3 0.23 - - 5 2.38
- - 5 1.98 5 1.50
2 2.90 4 1.33 7 1.54
- - - - 5 4.54
6 1.97 7 1.41 4 1.20
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A3B4 2 3.65 A3B4 9 3.30 A3B4 6 2.90
9 1.33 - - 6 2.32
6 2.18 - - 6 2.80
7 2.33 - - 3 2.63
7 2.39 7 2.67 10 2.25
6 0.40 6 1.87 5 2.08
7 3.16 5 2.90 1 2.70
9 2.73 8 0.58 6 2.28
10 2.38 8 1.79 8 2.80
7 2.70 5 1.32 5 3.56
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
A3B5 4 3.13 A3B5 6 2.53 A3B5 0 0
6 2.58 6 1.55 - -
- - 9 1.86 0 0
7 1.09 - - - -
11 1.29 8 2.35 10 1.7
7 2.63 6 2.1 - -
5 2.14 - - 4 3.6
11 1.55 10 2.18 10 1.9
- - 6 1.22 - -
9 1.57 - - 2 1.15
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Perlakuan Jumlah
Akar
Rata-rata panjang
akar (cm)
Kontrol
Tanah
2 5.1 Kontrol
Pasir
- - Kontrol
T+P+K
- -
1 4.5 - - - -
0 - 0 - - -
1 4.5 - - -
2 6.2 0 - - -
3 4.2 4 2.2 1 2.2
1 1.4 - - 1 3.3
4 2.6 2 5.3 2 2
0 - 0 - 1 2.3
2 3.7 1 7.5 3 1.0
Lampiran 8. Rata-rata jumlah akar pada perlakuan
Perlakuan Rata-rata
A1B1 4.03
A1B2 3.67
A1B3 4.1
A1B4 5.23
A1B5 4.9
A2B1 0.87
A2B2 1.37
A2B3 1.3
A2B4 0.83
A2B5 0.83
A3B1 4.80
A3B2 5.87
A3B3 3.43
A3B4 5.80
A3B5 4.57
Lampiran 9. Rata-rata jumlah akar pada kontrol
Perlakuan Rata-rata
Tanah 1.6
Pasir 0.7
Campuran 0.8
Lampiran 10. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami daun rontok pada
perlakuan
Perlakuan Jumlah eksplan mengalami daun rontok
Total
Eksplan
Minggu
ke-2
Minggu
ke-4
Minggu
ke-6
Minggu
ke-8
Minggu
ke-10
A1B1 30 14 1 - - 1
A1B2 30 10 2 - - 2
A1B3 30 16 5 - - -
A1B4 30 6 3 1 - -
A1B5 30 10 1 - - -
A2B1 30 22 5 14 9 1
A2B2 30 19 8 2 10 2
A2B3 30 19 5 1 4 1
A2B4 30 14 5 18 11 -
A2B5 30 17 7 8 7 3
A3B1 30 12 4 - - -
A3B2 30 10 3 - - -
A3B3 30 10 4 3 - -
A3B4 30 9 1 1 - -
A3B5 30 8 7 3 - 1
Lampiran 11. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami daun rontok pada kontrol
Perlakuan Jumlah eksplan mengalami daun rontok
Total
eksplan
Minggu
ke-2
Minggu
ke-4
Minggu
ke-6
Minggu
ke-8
Minggu
ke-10
Tanah 10 4 - - - -
Pasir 10 3 - - - -
T+P+k 10 5 - - - -