KAJIAN PENGEMBANGAN INDIKATOR KINERJA...

89
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013 KAJIAN PENGEMBANGAN INDIKATOR KINERJA LOGISTIK INDONESIA

Transcript of KAJIAN PENGEMBANGAN INDIKATOR KINERJA...

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013

KAJIAN PENGEMBANGAN INDIKATOR KINERJA LOGISTIK INDONESIA

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Terjadinya disparitas harga antar daerah menjadi salah satu indikasi masih

adanya permasalahan logistik, baik itu dalam distribusi antar pulau bahan pangan pokok maupun barang strategis. Permasalahan timbul ketika tingkat disparitas harga antar daerah cenderung meningkat, karena hal tersebut mengindikasikan bahwa mekanisme pasar tidak berjalan, sehingga potensi konsumen surplusnya tidak dapat dinikmati dengan maksimal. Kemungkinan terjadinya hal itu disebabkan adanya faktor-faktor yang mendistorsi pasar, misalnya struktur pasar yang tidak kompetitif, proses distribusi barang yang tidak kompetitif dan lain-lain. Pada pasar yang stuktur pasarnya dan proses distribusinya kompetitif, seiring dengan berjalannya waktu akan ada peralihan dari kondisi disparitas harga yang tinggi menuju konvergensi harga pada selang harga yang wajar (penurunan disparitas harga).

Dalam konteks Indonesia, konvergensi tersebut belum terlihat paling tidak dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2009 - 2012, perkembangan tingkat disparitas harga belum menunjukan pola penurunan persisten, dimana pada tahun tertentu mengalami menurun, sedangkan pada tahun yang lain mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penurunan disparitas harga belum membuahkan hasil yang optimal.

Dalam menyikapi hal tersebut Kementerian Perdagangan (2012) telah melakukan studi awal analisis mengenai biaya distribusi beras di beberapa rute distribusi beras. Hasil dari studi awal tersebut adalah: (i) Biaya shipping freight dan biaya pelabuhan memberikan kontribusi terbesar dari total biaya distribusi; (ii) Besarnya biaya shipping freight tidak berbanding lurus dengan jaraknya; (iii) Terdapat bottleneck pengiriman barang antar pulau khususnya di Indonesia Bagian Timur; dan (iv) Tingginya biaya distribusi antar pulau akan mempengaruhi harga akhir yang diterima konsumen, khususnya pengiriman ke/dari wilayah Indonesia Timur.

Mengingat keterbatasan survei singkat tersebut, maka perlu dilanjutkan kajian yang lebih mendalam dengan responden yang lebih besar dan cakupan koridor yang lebih luas agar mendapatkan hasil yang lebih akurat dan relevan. Sebagai bagian dari inisiatif ini, Kementerian Perdagangan melanjutkan Kajian Kinerja Logistik Antar Pulau dengan fokus untuk menjawab pertanyaan: Apa yang menjadi faktor determinan terjadinya bottleneck sistem logistik antar pulau?

Permasalahan penyebab tingginya biaya pengiriman antar pulau, terutama untuk pengiriman barang ke Sorong antara lain adalah kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai, frekuensi keberangkatan kapal yang rendah, muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul problem). Kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai berdampak pada kinerja pelabuhan yang rendah dan kepada tingginya waktu tunggu kapal (vessel waiting

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia ii

time) yang pada akhirnya menyebabkan tingginya biaya pengiriman barang antar pulau.

Frekuensi keberangkatan kapal yang rendah terutama untuk kapal yang ditujukan ke Sorong atau Indonesia timur lainnya. Ada hubungan yang terbalik antara frekuensi keberangkatan kapal dengan biaya pengiriman (sea freight costs). Dengan frekuensi yang lebih besar, biaya pengiriman dapan lebih rendah dan sebaliknya. Tentunya frekuensi yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume pengiriman barang (demand pengiriman barang). Secara umum, rute dengan frekuensi yang tinggi memiliki harga yang daya saing lebih baik. Ini terbukti dengan kasus Surabaya - Banjarmasin, Surabaya - Samarinda, Surabaya - Belawan, Surabaya - Makassar dan Makassar - Surabaya. Tingginya volume perdagangan, atau sejalan dengan prinsip ship follow the trade. Makassar dan Medan yang memiliki volume perdagangan yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi perjalanan untuk rute tersebut. Sebaliknya, kota dengan perekonomian yang lebih lambat pertumbuhannya, seperti Sorong atau Ambon akan memiliki frekuensi perjalanan yang rendah.

Lokasi pelabuhan yang merupakan hub ports umumnya memiliki frekuensi perjalanan lebih tinggi. Kota seperti Makassar merupakan lokasi transit bagi perdagangan lainnya di daerah timur Indonesia, seperti menuju wilayah Papua, Ambon dan sekitarnya, atau kota lainnya di pulau Sulawesi; Banjarmasin merupakan hub bagi kota lainnya di Kalimantan melalui jalur darat. Oleh sebab itu tingginya potensi hinterland bagi pelabuhan-pelabuhan hub tersebut mendorong tingginya frekuensi perjalanan menuju kota-kota tersebut. Muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul problem). Rute dengan biaya sea-freight mahal dengan tujuan Sorong, Ternate, atau Bitung memiliki gap sea-freight tariff yang cukup besar untuk arus baliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya empty backhaul atau kosongnya muatan pada arus balik.

Perusahaan shipping umumnya akan menurunkan biaya angkut hingga sangat rendah – hingga hanya 1/3 dari tarif inbound – saat mengangkut barang pada rute arus balik tersebut. Dengan demikian, dapat diduga tingginya biaya sea-freight ke kota tujuan Sorong, Ternate atau Bitung karena turut memperhitungkan adanya potensi backhaul ini. Adanya masalah backhaul juga turut berkontribusi pada waktu loading/unloading yang lebih lama, sebagaimana yang terjadi di pelabuhan Bitung. Proses loading/unloading yang seharusnya bisa dicapai 1 hari, tapi secara efektif mencapai 2 hari. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan masuknya muatan untuk diangkut dari Bitung.

Faktor kepadatan lalu lintas menjadi masalah utama hampir di semua lokasi. Hal ini disebabkan lebar badan jalan kurang memadai mengingat jalan juga dipakai oleh mobil pribadi. Untuk itu perlu:

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia iii

1. Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur terutama akses jalan ke pelabuhan.

2. Perencanaan jalur transportasi baik barang dan manusia dengan mempertimbangan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.

3. Peningkatan ketertiban dan kesadaran pengguna sarana transportasi dan infrastruktur terhadap aturan-aturan transportasi dan aturan lain seperti beban muatan.

Dalam perdagangan antar pulau biaya sea freight merupakan komponen terbesar. Salah satu yang menjadi faktor tingginya biaya sea freight adalah kecilnya volume barang yang diangkut. Untuk kasus Sorong, ketidakseimbangan volume barang antara inbound turut memperbesar biaya sea freight. Selain itu, infrastruktur pelabuhan dapat mempengaruhi produktivitas bongkar muat di pelabuhan yang berdampak pada lamanya waktu tunggu di pelabuhan dan biayanya. Untuk itu perlu :

1. Pengembangan ekonomi sesuai dengan koridor ekonomi yang dirancang dalam MP3EI segera diimplementasikan.

2. Menciptakan iklim daya saing di industri pelayaran domestik dengan penambahan jumlah operator.

3. Memperbaiki infrastruktur pelabuhan dengan meningkatkan investasi di pelabuhan. Sebagai contoh melihat ulang daftar negatif investasi yang terkait dengan investasi terminal operator pelabuhan.

4. Meningkatkan produktivitas di pelabuhan terutama kinerja dari tenaga kerja bongkar muat.

5. Mengevaluasi peraturan daerah khususnya yang melarang beroperasinya truk kontainer di luar pelabuhan di kota Sorong.

6. Mengurangi kepadatan dan dwelling time di pelabuhan.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat Kebijakan

Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia” tepat pada waktunya.

Kajian ini dilatarbelakangi bahwa bahan pangan pokok dan strategis

memegang peranan penting dalam aspek ekonomi, sosial, bahkan politik. Terjadinya

disparitas harga antar daerah menjadi salah satu indikasi masih adanya

permasalahan logistik, baik itu dalam distribusi antar pulau bahan pangan pokok

maupun barang strategis. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam

mengenai kinerja logistik antar pulau dengan fokus untuk menjawab pertanyaan: apa

yang menjadi faktor determinan terjadinya bottleneck sistem logistik antar pulau?

Demikian, semoga hasil kajian ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya

dan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan. Hasil kajian ini

tentunya belum sempurna, maka dari itu sumbang dan saran dari pembaca kami

harapkan dan untuk semua itu disampaikan terima kasih.

Jakarta, Desember 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia v

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... iv DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2. Tujuan Kajian ..................................................................................................... 3

1.3. Keluaran Kajian .................................................................................................. 4

1.4. Manfaat Kajian ................................................................................................... 4

1.5. Ruang Lingkup Kajian ......................................................................................... 4

1.6. Sistematika Laporan Kajian ................................................................................ 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Logistik .................................................................................................... 10

2.1.1. Konsep Biaya dan Waktu Distribusi Pada Survei ....................................... 10

2.2. Perrgerakan Kontainer ........................................................................................ 14

2.3. Produksi dan Distribusi Komoditas Semen.. ........................................................ 16

2.4. Produksi dan Distribusi Komoditas Beras ............................................................ 20

2.5. Konsep Rantai Pasok (Supply Chain).. ................................................................ 24

BAB III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 26

3.2. Metode Analisis ................................................................................................... 27

3.3. Jenis Data, Sumber dan Metode Pengumpulan Data .......................................... 28

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia vi

3.3.1. Data dan Sumber Data .............................................................................. 28

3.3.2. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 31

3.3.3. Teknik Penarikan Sampling ....................................................................... 33

BAB IV. ANALISIS KINERJA LOGISTIK ANTAR PULAU KOMODITI BERAS DAN SEMEN

4.1. Hasil Survei dan Analisis di Kota Asal ................................................................. 36

4.1.1. Analisis Rantai Pasok Antar Pulau di Kota Surabaya................................. 36

4.1.2. Analisis Rantai Pasok Antar Pulau di Kota Makassar ................................ 43

4.1.3. Analisis Biaya dan Waktu Distribusi Antar Pulau dangan Kapal Laut ......... 51

4.2. Hasil Survei dan Analisis di Kota Tujuan ............................................................. 56

4.2.1. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju Ke Medan ............... 56 4.2.2. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju Ke Manado ............. 62

4.2.3. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju ke Sorong ............... 67

4.2.4. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju ke Banjarmasin....... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 75

5.2. Rekomendasi Kebijakan ...................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tingkat Disparitas Harga Antar Daerah Tahun 2009-2012 (dalam%) .................. 2

Tabel 1.2. Distribusi Semen Antar Provinsi Dari Beberapa Produsen Utama ....................... 6

Tabel 2.1. Kapasitas Terpasang Pada Industri Semen di Indonesia..................................... 17

Tabel 2.2. Luas Panen, Produkstivitas dan Produksi Padi Tahun 2006-2011 ....................... 21

Tabel 3.1. Data dan Sumber Data : Gudang Petani/Pabrik ke Pelabuhan dan Pelabuhan

Ke Gudang (Biaya Truk) ..................................................................................... 28

Tabel 3.2. Pelabuhan ke Pelabuhan .................................................................................... 30

Tabel 3.3. Komposisi Responden Survei ............................................................................. 33

Tabel 4.1. Harga Beras Berdasarkan Proses Produksinya ................................................... 37

Tabel 4.2. Harga Beras Berdasarkan Proses Produksinya ................................................... 44

Tabel 4.3. Biaya Perizinan Operasional Perusahaan Ekspedisi (Tahunan) .......................... 48

Tabel 4.4. Infrastruktur dan Produktifitas Pelabuhan ............................................................ 54

Tabel 4.5. Rata-rata Harga Beli dan Jual Beras dari Distributor kepada Agen/Ritel.............. 56

Tabel 4.6. Harga Jual Semen Serta Margin di Tingkat Pedagang ........................................ 57

Tabel 4.7. Harga Jual di Tingkat Distributor dan Ritel di Kota Manado ................................. 62

Tabel 4.8. Harga Jual Semen Serta Margin di Tingkat Pedagang ........................................ 63

Tabel 4.9. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang ........... 64

Tabel 4.10. Harga Beli/Jual Beras per kg di Tingkat Distributor dan Ritel ............................... 67

Tabel 4.11. Harga Semen Serta Margin Keuntungan Ritel di Sorong ..................................... 68

Tabel 4.12. Harga Jual di Tingkat Distributor dan Ritel .......................................................... 71

Tabel 4.13. Harga Beli/Jual Beras di Tingkat Distributor ........................................................ 72

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Sebaran Harga Semen Antar Daerah Bulan Januari 2013 ............................... 2

Gambar 1.2. Sebaran Harga Semen Antar Daerah Tahun 2009 dan 2012 ........................... 3

Gambar 1.3. Peta Distribusi Komoditi Beras ......................................................................... 5

Gambar 1.4. Proses Supply Chain dalam Studi .................................................................... 7

Gambar 1.5. Ruang Lingkup Studi ........................................................................................ 7

Gambar 1.6. Batasan Supply Chain di Kajian ....................................................................... 8

Gambar 2.1. Biaya Pengiriman Antar Pulau .......................................................................... 11

Gambar 2.2. Perkiraan Biaya Pengiriman Kontainer (TEU) Mempergunakan Kapal Antar Pulau ...................................................................................................... 12

Gambar 2.3. Biaya Total Pengiriman Kontainer Antar Pulau (Surabaya-Makassar) .............. 13

Gambar 2.4. Estimasi Biaya Distribusi Sapi dari Sumbawa-Jakarta ...................................... 14

Gambar 2.5. Arus Kontainer dari/ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta (2011) .................. 16

Gambar 2.6. Arus Kontainer dari/ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta (2011) .................. 16

Gambar 2.7. Perbandingan Antara Kapasitas dan Kebutuhan Semen (Termasuk Pendatang/Investor Baru), 2012-2016 ............................................ 18

Gambar 2.8. Alur Distribusi Semen di Indonesia ................................................................... 20

Gambar 2.9. Pemasaran Beras di Level Petani Pemilik Lahan ............................................. 21

Gambar 2.10. Pemasaran Beras di Level Petani Penggarap .................................................. 22

Gambar 2.11. Pola Distribusi Beras Nasional ......................................................................... 23

Gambar 2.12. Skema Lima Komponen Rantai Pasok ............................................................. 25

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 26

Gambar 3.2. Cakupan Analisis dengan Pendekatan Supply Chain ....................................... 32

Gambar 4.1. Alur Rantai Pasok Perdagangan Beras di Surabaya ........................................ 36

Gambar 4.2. Biaya Truk dari Perusahaan Penggilingan Beras ke Pedagang Beras di Surabaya dan Sekitarnya ............................................................................. 38

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia ix

Gambar 4.3. Biaya Trucking/kg dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke Pelabuhan ................. 39

Gambar 4.4. Biaya Trucking/kg/km dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke Pelabuhan ........... 39

Gambar 4.5. Komposisi Waktu Distribusi dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan ...... 40

Gambar 4.6. Waktu yang dibutuhkan untuk Pengiriman dari Gudang Pedagang sampai ke Pelabuhan Tanjung Perak (Jam) ..................................................... 40

Gambar 4.7. Waktu Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan ...................................................................................... 41

Gambar 4.8. Hasil Survei Persepsi Pedagang Beras di Surabaya Tentang Hambatan Usaha .............................................................................................................. 41

Gambar 4.9. Hasil Survei Persepsi Pedagang Semen di Surabaya Tentang Hambatan Usaha .............................................................................................................. 42

Gambar 4.10. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Surabaya Tentang Hambatan Usaha .............................................................................................................. 42

Gambar 4.11. Alur Rantai Pasok Perdagangan Beras di Makassar ........................................ 43

Gambar 4.12. Alur Rantai Pasok Perdagangan Semen di Makassar ...................................... 44

Gambar 4.13. Biaya Truk dari Perusahaan Penggilingan Beras ke Pedagang Beras

di Makassar dan sekitarnya .............................................................................. 46

Gambar 4.14. Biaya Trucking/kg dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke Pelabuhan ................. 47

Gambar 4.15. Biaya Trucking/kg/km dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke Pelabuhan ........... 47

Gambar 4.16. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Gudang Hingga Ke Pelabuhan ........................................................................................................ 48

Gambar 4.17. Komponen waktu Distribusi dari Gudang Pedagang Hingga Ke Pelabuhan (jam) ............................................................................................... 49

Gambar 4.18. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Gudang Pedagang Hingga Ke Pelabuhan ........................................................................................................ 49

Gambar 4.19. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Makassar tentang Hambatan Usahanya ......................................................................................................... 50

Gambar 4.20. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Beras di Makassar tentang Hambatan Usahanya........................................................................................ 51

Gambar 4.21. Distribusi Angkutan Laut yang akan Diteliti Dalam Studi ................................... 51

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia x

Gambar 4.22. Biaya Pengiriman Barang Antar Pulau yang Berasal dari Surabaya ................. 52

Gambar 4.23. Biaya Pengiriman Barang Antar Pulau yang Berasal dari Makassar ................. 52

Gambar 4.24. Perbandingan Biaya per Km ............................................................................. 53

Gambar 4.25. Frekuensi Perjalanan Kapal Peti Kemas dengan Biaya Pengiriman ................. 54

Gambar 4.26. Volume Perdagangan yang Tidak Seimbang Menyebabkan Muatan Balik yang Kosong ............................................................................... 55

Gambar 4.27. Biaya Truking/kg dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli ...................................... 58

Gambar 4.28. Biaya Truking/kg/km dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli ................................ 58

Gambar 4.29. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang ........ 58

Gambar 4.30. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ......... 59

Gambar 4.31. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ............................................................................................................ 59

Gambar 4.32. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Medan tentang Hambatan Usahanya ......................................................................................................... 60

Gambar 4.33. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Beras di Medan tentang Hambatan Usahanya........................................................................................ 61

Gambar 4.34. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Semen di Medan tentang Hambatan Usahanya........................................................................................ 61

Gambar 4.35. Biaya Trucking/kg dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli .................................... 63

Gambar 4.36. Biaya Trucking/kg/km dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli............................... 63

Gambar 4.37. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang ........ 64

Gambar 4.38. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ......... 65

Gambar 4.39. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ............................................................................................................ 66

Gambar 4.40. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Manado tentang Hambatan Usahanya ......................................................................................................... 66

Gambar 4.41. Biaya Trucking/kg dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli .................................... 68

Gambar 4.42. Biaya Trucking/kg/km dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli............................... 68

Gambar 4.43. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang ........ 69

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia xi

Gambar 4.44. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ......... 70

Gambar 4.45. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Sorong tentang Hambatan Usahanya ......................................................................................................... 70

Gambar 4.46. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang ........ 72

Gambar 4.47. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli ......... 73

Gambar 4.48. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Banjarmasin tentang

Hambatan Usahanya........................................................................................ 74

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Saat ini, dimana perekonomian dunia tengah dilanda kelesuan sejak krisis menimpa

Amerika dan Eropa, Indonesia justru mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif di level 5%-6% yang mengantarkan Indonesia dalam kelompok negara middle income dengan pendapatan per kapita mencapai US$ 3 Ribu (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012). Selanjutnya, Indonesia tidak ingin masuk dalam Middle Income Trap yang salah satunya disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang lambat (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2012), sehingga pada tahun 2014, pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur bisa menurunkan biaya logistik menjadi 10% dari biaya produksi, dimana saat ini porsinya masih 14,08% (www.kompas.com)1.

Kebutuhan untuk meningkatkan konektivitas dan integrasi pasar nasional telah diakui oleh Pemerintah Indonesia sebagai kebijakan prioritas, seperti yang dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 15-tahunan (MP3EI 2011-2025), dan Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS).

Terjadinya disparitas harga antar daerah menjadi salah satu indikasi masih adanya permasalahan logistik, baik itu dalam distribusi antar pulau bahan pangan pokok maupun barang strategis. Permasalahan timbul ketika tingkat disparitas harga antar daerah cenderung meningkat, karena hal tersebut mengindikasikan bahwa mekanisme pasar tidak berjalan, sehingga potensi konsumen surplusnya tidak dapat dinikmati dengan maksimal. Kemungkinan terjadinya hal itu disebabkan adanya faktor-faktor yang mendistorsi pasar, misalnya struktur pasar yang tidak kompetitif, proses distribusi barang yang tidak kompetitif dan lain-lain. Pada pasar yang stuktur pasarnya dan proses distribusinya kompetitif, seiring dengan berjalannya waktu akan ada peralihan dari kondisi disparitas harga yang tinggi menuju konvergensi harga pada selang harga yang wajar (penurunan disparitas harga).

Dalam konteks Indonesia, konvergensi tersebut belum terlihat paling tidak dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2009 - 2012, perkembangan tingkat disparitas harga belum menunjukan pola penurunan persisten, dimana pada tahun tertentu mengalami menurun, sedangkan pada tahun yang lain mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penurunan disparitas harga belum membuahkan hasil yang optimal.

1http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/19/07501337/Indonesia.Bisa.Keluar.dari.Jebakan.Kelas.Menengah. Diakses pada tanggal 25

Januari 2012.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 2

Tabel 1.1. Tingkat Disparitas Harga Antar Daerah Tahun 2009 – 2012 (dalam %)

No. Komoditi Tahun

2009 2010 2011 2012 1 Beras 11,83 12,42 11,23 9,20 2 Gula 5,57 5,91 6,22 5,03 3 Kedelai 42,25 17,59 24,17 25,12 4 Terigu 8,79 10,49 10,22 10,02

5 Minyak Goreng Curah 12,88 9,65 11,22 11,56

6 Jagung 22,10 21,69 22,75 23,31 7 Susu Bubuk 7,16 7,92 5,24 6,25 8 Daging Ayam 12,72 11,46 12,98 15,97 9 Daging Sapi 13,56 13,15 12,08 13,48 10 Telur Ayam 16,32 15,71 13,10 13,27

Sumber: Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (2009-2012),diolah

Terjadinya disparitas harga antar daerah tidak hanya pada bahan pangan pokok, tetapi pada barang-barang lainnya yang dianggap memiliki nilai strategis seperti semen. Sebagai ilustrasi, pada bulan Januari 2013, tingkat disparitas harga semen antar daerah mencapai 14,6%. Jika melihat bahwa semen sebagai barang industri, maka dianggap kurang wajar jika tingkat disparitasnya mencapai angka tersebut. Barang-barang industri lainnya seperti gula, dan susu bubuk, pada bulan yang sama tingkat disparitas harga antar daerahnya hanya 8,6% dan 8%.

Secara umum, daerah yang mengalami disparitas harga dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Misalnya untuk beras, pada tahun 2009 daerah yang harganya jauh di atas harga rata-ratanya adalah Sumatera Barat serta Kalimantan Barat, dan dalam 3 tahun kemudian daerah tersebut masih menjadi daerah yang mengalami disparitas harga beras tinggi.

Gambar 1.1 Sebaran Harga Semen Antar Daerah Bulan Januari 2013

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia (2013), diolah

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 3

Secara umum, daerah yang mengalami disparitas harga dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Misalnya untuk beras, pada tahun 2009 daerah yang harganya jauh di atas harga rata-ratanya adalah Sumatera Barat serta Kalimantan Barat, dan dalam 3 tahun kemudian daerah tersebut masih menjadi daerah yang mengalami disparitas harga beras tinggi.

Gambar 1.2 Sebaran Harga Beras Antar Daerah Tahun 2009 dan 2012

(a) Tahun 2009 (b) Tahun 2012

Sumber: Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (2009 & 2012), diolah

Dalam menyikapi hal tersebut Kementerian Perdagangan (2012) telah melakukan studi awal analisis mengenai biaya distribusi beras di beberapa rute distribusi beras. Hasil dari studi awal tersebut adalah: (i) Biaya shipping freight dan biaya pelabuhan memberikan kontribusi terbesar dari total biaya distribusi; (ii) Besarnya biaya shipping freight tidak berbanding lurus dengan jaraknya; (iii) Terdapat bottleneck pengiriman barang antar pulau khususnya di Indonesia Bagian Timur; dan (iv) Tingginya biaya distribusi antar pulau akan mempengaruhi harga akhir yang diterima konsumen, khususnya pengiriman ke/dari wilayah Indonesia Timur.

Hasil studi di atas diperoleh dari responden yang jumlahnya terbatas (1-2 orang responden). Mengingat keterbatasan survei singkat tersebut, maka perlu dilanjutkan kajian yang lebih mendalam dengan responden yang lebih besar dan cakupan koridor yang lebih luas agar mendapatkan hasil yang lebih akurat dan relevan. Sebagai bagian dari inisiatif ini, Kementerian Perdagangan melanjutkan Kajian Kinerja Logistik Antar Pulau dengan fokus untuk menjawab pertanyaan: Apa yang menjadi faktor determinan terjadinya bottleneck sistem logistik antar pulau?

1.2. Tujuan Kajian

Tujuan dari kajian ini adalah untuk:

a. Menganalisis kinerja logistik perdagangan antar pulau untuk komoditas beras dan produk semen.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 4

b. Mengetahui persentase biaya logistik terhadap terhadap harga jual produk.

c. Mengidentifikasi bottleneck2 menyangkut aspek logistik yang muncul pada rantai pasok yang diteliti.

d. Merumuskan kebijakan dalam mengatasi bottleneck.

1.3. Keluaran Kajian

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:

a. Biaya logistik komoditas beras dan produk semen antar pulau pada rute terpilih (Rp/TEU/km dan jumlah hari distribusi).

b. Persentase biaya logistik terhadap terhadap harga jual produk.

c. Bottleneck yang mempengaruhi kinerja sistem logistik komoditas/produk dan rute terpilih.

d. Rekomendasi kebijakan untuk mengatasi bottleneck diatas.

1.4. Manfaat Kajian a. Studi ini menjadi langkah awal pengembangan indikator kinerja logistik Indonesia untuk

dapat mengukur kinerja logistik Indonesia.

b. Dengan diketahuinya kinerja logistik untuk rute terpilih serta permasalahan yang ada, dapat dikembangkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi bottleneck (debottlenecking) pada rantai pasok.

1.5. Ruang Lingkup Kajian Analisis dalam kajian ini mencakup 3 dimensi, yaitu:

a. Barang yang diangkut. Studi terbatas dengan jenis komoditas beras dan semen yang dikemas dengan kontainer (containers cargo).

1) Pertimbangan pemilihan komoditas/produk adalah merupakan komoditas bahan pokok (beras) dan barang strategis (semen) yang juga merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan atau didistribusikan antar pulau. Pemilihan kedua komoditas ini juga berusaha untuk mengurangi kompleksitas dalam pengerjaan survei.

2) Pertimbangan pemilihan kemasan berupa kontainer mengingat tren distribusi beralih dari yang bersifat curah (bulk) ke kontainer (kontainer) karena bersifat lebih aman dan praktis. Selain itu pengukuran biaya dan waktu distribusi per-satuan unit kontainer dapat lebih mudah untuk diperbandingkan. Ukuran kontainer yang akan diteliti adalah 20 twenty-foot equivalent unit (TEU) atau kontainer 20 feet.

2 Bottleneck adalah kondisi yang menghambat kinerja sistem yang disebabkan keterbatasan dari kapasitas

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 5

Makassar

• •

• • •

Jakarta

Pontianak

Samarind Balikpapa

Maluku

Nabire

Paniai

Merauke Surabay

Ternate

• •

• •

• •

• • • • •

• •

• •

b. Rantai pasok dan/atau koridor. Pendekatan rantai pasok yang dimaksud adalah mengikuti perpindahan barang/komoditas dalam proses rantai pasok dari pedagang besar sampai ke distributor yang berada di pulau yang berbeda. Analisis akan dilakukan di setiap segmen atau tahapan dari rantai pasok tersebut. Sementara itu ruang lingkup koridor yang dimaksud adalah rantai pasok yang dianalisis pada rute-rute terpilih antar pulau.

Penentuan lokasi survei didasarkan pada kota-kota penghasil komoditi beras atau produk semen serta beberapa kota yang diketahui menerima pasokan beras dan semen dari kota lain yang memiliki akses pelabuhan. Pada tahap awal, studi ini mengacu kepada hasil studi Kementerian Perdagangan di tahun 2006. Dari hasil studi tersebut diketahui kota-kota yang menjadi asal komoditi beras untuk dikirimkan antar pulau antara lain: Surabaya, Makasar, dan Jakarta. Sementara itu untuk produk semen, beberapa kota asal pengiriman antar pulau kurang lebih sama, yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar. Dari informasi ini ditentukan kota yang akan disurvei dan diidentifikasi sebagai kota asal barang, yaitu Surabaya dan Makassar. Penentuan asal kota juga sesuai dengan karakteristik pelabuhan di kota tersebut, dimana merupakan pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia.

Gambar 1.3 Peta Distribusi Komoditi Beras

Sumber: Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri (2006)

Sementara itu, untuk kota yang akan disurvei sebagai kota tujuan barang dipilih berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut:

1) Kota yang berada di pulau yang berbeda dari kota asal, mengingat fokus penelitian adalah perdagangan antar pulau.

2) Kota yang dapat mewakili wilayah Indonesia, baik bagian barat, tengah, maupun timur.

3) Kota yang memiliki porsi penerimaan semen/beras antar pulau yang relatif lebih besar dibanding kota-kota lainnya.

4) Kota yang memiliki pelabuhan selain pelabuhan utama.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 6

Tabel 1.2. Distribusi Semen Antar Provinsi Dari Beberapa Produsen Utama

PT. Indocement

Tunggal Perkasa

PT. Holchim Indo

PT. Semen Gresik

PT. Semen Tonasa

PT. Semen Bosowa Mksr

Ton %

1. D.I. Aceh - - - - -

2. Sumut 460,264 206,480 - - 18,500 685,244 1.67

3. Sumbar 42,844 - - - - 42,844 0.10

4. Riau - 171,917 - - 47,815 219,732 0.54

5. Kepulauan Riau 171,772 108,512 - - 130,035 410,319 1.00

6. Jambi 16,796 49,489 - - 38,404 104,689 0.26

7. Sumsel 201,406 258,624 - - 30,950 490,980 1.20

8. Bangka - Belitung 196,008 119,993 - - 36,605 352,606 0.86

9. Bengkulu 46,552 93,234 - - - 139,786 0.34

10. Lampung 397,175 456,730 - - 17,026 870,931 2.13

TOTAL SUMATERA 1,532,817 1,464,979 - - 319,335 3,317,131 8.10

17. Kalbar 360,047 267,312 135,891 45,400 92,199 900,849 2.20

18. Kalsel 313,735 147,045 237,476 211,570 40,353 950,179 2.32

19. Kalteng 81,956 85,953 336,018 21,719 2,500 528,146 1.29

20. Kaltim 356,827 78,681 116,707 566,176 196,725 1,315,116 3.21

TOTAL KALIMANTAN 1,112,565 578,991 826,092 844,865 331,777 3,694,290 9.02

21. Sultera 55,350 2,835 - 246,070 137,428 441,683 1.08

22. Sulsel 165,184 30,867 - 1,093,003 523,947 1,813,001 4.43

23. Sulbar 27,650 - - 87,661 15,376 130,687 0.32

24. Sulteng 77,247 - - 366,045 71,360 514,652 1.26

25. Sulut 192,940 12,336 - 363,308 50,424 619,008 1.51

26. Gorontalo 57,000 - - 71,813 69,769 198,582 0.48

TOTAL SULAWESI 575,371 46,038 - 2,227,900 868,304 3,717,613 9.08

30. Maluku 45,208 - 23,798 144,802 75,576 289,384 0.71

31. Maluku Utara - - 44 131,271 47,528 178,843 0.44

32. Papua Barat - 965 2,616 15,628 42,124 61,333 0.15

33. Papua 146,939 11,738 104,648 235,075 71,815 570,215 1.39

TOTAL IND. TIMUR 192,147 12,703 131,106 526,776 237,043 1,099,775 2.69

TOTAL INDONESIA 16,005,277 7,781,971 10,328,516 4,083,087 2,753,004 40,951,856 100.00

NO. DAERAH TUJUAN

ASAL Jumlah

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia (2013), diolah

Tabel di atas adalah gambaran distribusi semen dari beberapa produsen semen utama di Indonesia ke beberapa kota tujuan. Kota yang diberi warna menunjukkan kota yang dipilih menjadi kota yang akan disurvei sebagai kota tujuan distribusi. Dari data yang ada serta kriteria pemilihan kota yang akan disurvei, pada tahap ini ditentukan kota yang akan disurvei sebagai kota tujuan distribusi adalah Medan dan Surabaya (wilayah Indonesia Barat), Banjarmasin (Wilayah Indonesia Tengah), Makassar, Manado dan Sorong (Wilayah Indonesia Timur).

c. Kinerja Distribusi

1) Ruang lingkup kinerja dari distribusi yang dimaksud adalah waktu, biaya serta kualitas pelayanan logistik.

2) Akan diidentifikasi pula bottleneck yang muncul dalam rantai pasok yang diteliti.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 7

Gambar 1.4. Proses Supply Chain dalam Studi

Gambar 1.5. Ruang Lingkup Studi

Sementara itu tahapan proses distribusi berdasarkan rantai pasok sebagaimana yang disebutkan pada poin 2 di atas dapat dijelaskan pada Gambar 1.7. Rantai pasok akan dibatasi pada infrastruktur pelabuhan dan infrastruktur jalan yang menghubungkan 2 kota di pulau yang berbeda. Moda transportasi juga dibatasi pada truk dengan menggunakan infrastruktur jalan serta kapal laut untuk mengangkut kontainer.

Proses distribusi dari rantai pasok juga dibatasi mulai dari gudang di kota asal sebelum diangkut ke pelabuhan hingga ke pengecer di kota tujuan. Secara umum pemangku kepentingan yang terlibat dalam rangkaian rantai pasok yang diteliti dimulai dari penjual di kota asal hingga pembeli (pengecer) di kota tujuan (Gambar 1.6). Namun demikian, hal ini tidak bersifat baku, dimana dimungkinkan rangkaian rantai pasok langsung ditangani produsen yang khusus memiliki divisi distribusi antar pulau, sebagaimana yang berlaku pada produk semen. Sehingga pada prinsipnya cakupan rantai pasok pada studi ini adalah proses distribusi yang menggunakan kombinasi 2 moda transportasi, yaitu transportasi darat dan transportasi laut.

Petani

Transportasi darat

Gudang penjual

Transportasi darat

Pelabuhan di kota asal

Transportasi laut

Pelabuhan di kota tujuan

darat

Gudang Pembeli

Pengumpul

Transportasi darat

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 8

Gambar 1.6. Batasan Supply Chain di Kajian

1.6. Sistematika Laporan Kajian Laporan kajian rencananya akan disusun dalam enam bab, yaitu:

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Tujuan Kajian

1.3. Keluaran Kajian

1.4. Manfaat Kajian

1.5. Ruang Lingkup Kajian

1.6. Sistematika Laporan Kajian

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Kinerja Logistik

2.2. Pergerakan Kontainer

2.3. Produksi dan Distribusi Beras

2.4. Produksi dan Distribusi Semen

2.5. Penelitian Terdahulu

Bab 3. Metodologi

3.1. Kerangka Pemikiran

3.2. Metode Analisis

3.3. Data dan Sumber Data

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 9

Bab 4. Analisis Kinerja Logistik Antar Pulau Komoditi Beras

4.1. Hasil Survei dan Analisis di Kota Asal

4.2. Hasil Survei dan Analisis di Kota Tujuan

Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

5.1. Kesimpulan

5.2. Rekomendasi Kebijakan

Daftar Pustaka

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 10

1. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Logistik Kinerja logistik dapat mempengaruhi daya saing perdagangan suatu negara. Data

berdasarkan Doing Business (2013) menunjukkan bahwa di Laos memerlukan waktu rata-rata 44 hari untuk melakukan export satu kontainer ukuran TEU (Container 20 feet). Sedangkan di Singapura hanya membutuhkan waktu 5 hari. Dalam hal biaya untuk ekspor, di Laos membutuhkan biaya US $1,880 sedangkan di Malaysia hanya membutuhkan sekitar US $450. Sedangkan di Indonesia untuk melakukan ekspor satu kontainer membutuhkan waktu kurang lebih 17 hari dan biaya sekitar US $644.

Ukuran kinerja logistik dapat dilihat berdasarkan biaya dan waktu pengiriman barang. Dari hasil penelitian, diketahui biaya transportasi dan logistik sangat mempengaruhi perdagangan dan pergerakan barang antar daerah (Hausman, Lee, dan Subramanian, 2005). Kinerja logistik yang buruk dapat mempengaruhi daya saing barang atau produk dan mempengaruhi biaya logistik dan waktu distribusi dari produk itu.

Untuk Indonesia sebagai negara kepulauan, ketersediaan data kinerja logistik khususnya yang terkait dengan distribusi antar pulau menjadi sangat penting karena dapat mengetahui permasalahan logistik (bottleneck logistics) dalam pengiriman barang antar pulau dan membandingkan indikator daya saing perdagangan antar pulau, khususnya biaya dan waktu antar rute-rute tertentu.

Pada bulan Oktober 2012, Kementerian Perdagangan dan Bank Dunia bekerja sama dalam melakukan survei untuk menganalisis mengenai Kinerja Pelabuhan terkait dengan distribusi komoditi beras ke beberapa kota di Indonesia. Dalam survei tersebut diperoleh pula informasi mengenai biaya logistik dalam mengangkut beras antar pulau, khususnya rute yang melalui pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dan pelabuhan Makassar di kota Makassar.

2.1.1. Konsep Biaya dan Waktu Distribusi Pada Survei

Proses distribusi barang secara umum adalah proses perpindahan barang mulai dari produsen/petani hingga sampai ke konsumen akhir. Jika distribusi dilakukan antar pulau maka membutuhkan multi-moda transportasi, seperti truk atau kereta api dan kapal laut. Analisis yang dilakukan pada survei terbatas pada aktivitas distribusi mulai dari gudang petani atau pedagang beras/pangan pokok di kota asal hingga ke gudang di kota tujuan sebagaimana yang digambarkan pada gambar di bawah ini. Satuan unit kuantitas barang yang didistribusikan adalah per TEU (twenty feet equivalent unit) atau per kontainer berukuran 20 kaki. Selain itu, biaya distribusi yang dikeluarkan dihitung per km jarak tempuh barang yang didistribusikan. Gambar 2.1 menjelaskan bahwa setiap komponen yang dilalui oleh pergerakan barang tersebut terkait dengan aktor yang berbeda dan setiap aktor menjawab pertanyaan survei mengenai biaya, waktu dan permasalahan yang ada terkait dengan isu logistik.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 11

Gambar 2.1. Biaya Pengiriman Antar Pulau

Origin Warehouse

DestinationWarehouse

Origin Port Destination Port

Trucking costsPort

ChargesTrucking costs

Port Charges

Door-to-door costs

Port-to-port costsWarehouse-to-port costs

Port-to-Warehouse

costs

Sea Freight Charges

Sumber: Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, BP2KP (2012)

Selain biaya, kinerja logistik juga dapat diukur dengan mempergunakan indikator waktu. Waktu pengiriman adalah waktu pergerakan barang mulai dari gudang penjual sampai dengan gudang pembeli. Termasuk didalamnya adalah waktu angkut dari gudang pengirim sampai pelabuhan, waktu bongkar muat di pelabuhan, waktu angkut dengan kapal dari pelabuhan asal sampai pelabuhan tujuan, waktu bongkar di pelabuhan tujuan, dan waktu angkut dari pelabuhan tujuan sampai gudang pembeli.

a. Biaya Logistik Antar Pulau

1. Hasil Survei Beras

Dari survei awal telah diperoleh beberapa temuan. Sebagai contoh, pedagang beras di Makassar membutuhkan biaya lebih dari Rp 15.000.000,- untuk mengirim satu kontainer dari Makassar ke Sorong. Contoh lain adalah pengiriman beras satu kontainer dari Makassar ke Bitung membutuhkan biaya Rp 8.000.000,- (Gambar 2.2). Sehingga, dampak dari biaya logistik yang tinggi dapat mempengaruhi harga akhir dari beras yang akan dijual ke kota tujuan seperti Bitung dan Sorong. Dampak inilah yang akhirnya menciptakan disparitas harga yang tinggi antar daerah di Indonesia.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 12

Gambar 2.2. Perkiraan Biaya Pengiriman Kontainer (TEU) Mempergunakan Kapal Antar Pulau

Selain biaya seafreight, kinerja logistik antar pulau dapat diukur melalui biaya keseluruhan pengiriman door-to-door atau warehouse-to-warehouse. Biaya ini adalah biaya angkut dari gudang pengirim sampai pelabuhan, biaya di pelabuhan (Terminal Handling Charges (THC), warehouse, container shifting, pekerja pelabuhan, Bill of Lading (B/L)), biaya angkut dengan kapal dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan, biaya di pelabuhan tujuan dan biaya angkut dari pelabuhan ke gudang pembeli.Termasuk didalam komponen biaya pengiriman adalah biaya yang tidak tidak resmi (illegal fees) yang mungkin dikenakan kepada freight forwarder maupun juga shipping liners.

Gambar 2.3. menjelaskan total biaya pengiriman antar pulau. Hasil survei menunjukkan bahwa biaya truk dari Surabaya menuju pelabuhan (Rp 1.200.000,-) hampir sama besarnya dengan biaya pengiriman kapal dari Surabaya dengan tujuan Makassar (Rp 1.500.000,-). Biaya pelabuhan di Surabaya (Rp 2.520.000,-) merupakan komponen biaya yang terbesar. Biaya truk di Surabaya adalah dua kali lebih besar dari biaya truk di Makassar. Biaya pengiriman per km menjadi sekitar Rp 6.300,-/km untuk rute Surabaya-Makassar.

Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)

Estimasi berdasarkan skema Container Yard (CY)-to-CY (container terminal). Biaya termasuk THC di pelabuhan lokasi asal dan tujuan. Biaya lainnya di pelabuhan adalah: B/L, dokumen karantina, Lift-on/lift-off, dll.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 13

Gambar 2.3. Biaya Total Pengiriman Kontainer Antar Pulau (Surabaya – Makassar)

1,200

2,520

1,500

900

400

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

TruckWarehouse to

SBY Port (20km)

THC & othercosts @ SBY

Shipping freightcost

THC and othercosts @ MKS

Truck Port toWarehouse inMKS (20km)

Rp (,000)Rp (,000)

Cost of Segment

Accumulated cost

Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)

2. Hasil Survei Daging Sapi

Biaya logistik untuk rantai pasok komoditi sapi potong telah dilakukan survei oleh Kementerian Perdagangan pada tahun 2011-2012. Survei tersebut dilakukan untuk mencari fakta tentang jenis dan kuantitas aliran sapi potong, asal, tujuan, waktu pengiriman, fasilitas pengiriman, penguatan kelembagaan, regulasi, dan hal terkait lainnya. Survei dilakukan di 3 lokasi yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dengan batasan yaitu aliran dari peternak sampai dengan rumah potong hewan di sentra konsumen. Hasil survei menunjukkan bahwa ketiga wilayah mempunyai pola pasokan dan permintaan berdasarkan dari kebutuhan end user. Jumlah permintaan pada waktu tertentu seperti pada hari raya Lebaran dan tahun baru mengalami peningkatan yang signifikan sedangkan pada waktu tertentu yaitu pada waktu kenaikan anak sekolah atau bulan Juni-Juli mengalami penurunan. Pola pengangkutan dilakukan dengan jalur darat dan mempergunakan moda transportasi sewaan, hal ini dikarenakan keterbatasan pemilikan truk pengangkut yang dimiliki pedagang sapi.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 14

Gambar 2.4. Estimasi Biaya Distribusi Sapi dari Sumbawa – Jakarta

Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)

Jika dilihat dari aspek biaya logistik, biaya logistik dalam rantai pasok sapi potong mencakup biaya sewa truk (termasuk supir), biaya BBM, biaya retribusi, biaya parkir, dan biaya pungutan liar. Jumlah dan jenis pungutan liar berbeda-beda untuk masing-masing wilayah. Jumlah pungutan liar di Jawa Timur hanya 1 dengan jumlah Rp 25.000 - Rp 50.000, sedangkan di Sulawesi Selatan, diidentifikasikan sebanyak 3 retribusi dengan nilai keseluruhan Rp. 62.000 dan 10 pungutan liar dengan nilai keseluruhan Rp 214.000. Di Nusa Tenggara, biaya yang dikeluarkan dihitung per ekor sapi (dengan nilai Rp 5.000/sapi atau Rp 25.000/sapi) tergantung lokasi pasar tersebut. Gambar 2.4 menjelaskan bahwa biaya transportasi merupakan komponen terbesar dalam keseluruhan biaya distribusi komoditi sapi dari Sumbawa-Jakarta yang menyebabkan inefisiensi dalam biaya logistik antara pulau. Hal yang dapat dilakukan dalam pengurangan biaya logistik adalah mengurangi pungutan retribusi yang diterapkan baik resmi maupun tidak resmi.

2.2. Pergerakan Kontainer Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Drewry Maritime Research (2012), diperkirakan

pergerakan kontainer dunia akan meningkat sebesar 4,9% pada tahun 20133. Berdasarkan survei yang dilakukan Kemendag dalam studi pengukuran kinerja logistik antar pulau diperoleh informasi bahwa tren penggunaan kontainer untuk pengiriman barang antar pulau juga semakin meningkat. Hal ini juga terjadi pada distribusi komoditas beras dan semen yang hampir sebagian besar mempergunakan kontainer dalam pengiriman antar pulau.

3 Kontainer Market Review and Forecast Q 3 2012, Drewry Maritime Research

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 15

Kontainer merupakan alat transportasi multi-moda yang dapat mempercepat proses bongkar muat. Adapun keuntungan dari penggunaan kontainer adalah:

a. Mempercepat proses bongkar muat di pelabuhan.

b. Banyak dipergunakan untuk pengiriman barang internasional.

c. Tidak ada barang yang terbuang. Sementara jika menggunakan curah kering (dry bulk) biasa akan ada volume yang terbuang dalam proses bongkar muat. Berdasarkan wawancara dengan freight forwarder, curah kering biasanya akan berkurang sekitar 3-5%.

d. Tidak terpengaruh oleh cuaca dalam proses bongkar muat.

Pada tahun 2011 total pergerakan kontainer antar pulau mencapai 5,8 juta TEU4 dengan total 104 rute domestik dimana 82 rute atau sekitar 79% adalah rute domestik antara pelabuhan luar Jawa dan pelabuhan di pulau Jawa, 18 rute antara pelabuhan di luar Jawa (17%), 4 rute (4%) intra pelabuhan di Pulau Jawa. Setengah dari pergerakan kontainer antar pulau berasal dari dan ke Tanjung Priok di Jakarta atau Tanjung Perak di Surabaya. Karena sebagian besar produksi dan konsumsi terletak di Pulau Jawa. Tanjung Perak menangani sebagian besar gerakan kontainer domestik di Indonesia, yaitu 1,49 Juta TEU (2011) sedikit lebih besar dari Tanjung Priok (1,46 Juta TEU). Namun, dalam hal distribusi kargo, kedua pelabuhan memiliki pola distribusi yang berbeda. Tanjung Priok kebanyakan melayani pergerakan kontainer di koridor barat-Indonesia (Sumatra dan Kalimantan) dan Tanjung Perak melayani untuk timur-Indonesia koridor (Makassar, Ambon dan kota-kota di Papua).

Gambar 2.4. menggambarkan aliran kontainer rata-rata perbulan yang datang/keluar dari pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Belawan di Medan, Sumatera Utara merupakan salah satu mitra perdagangan yang tertinggi, diikuti oleh Banjarmasin dan Pontianak. Sedangkan untuk Tanjung Perak di Surabaya, pelabuhan Makassar merupakan mitra perdagangan utama diikuti oleh Ambon dan Banjarmasin (Gambar 2.5 dan Gambar 2.6).

4 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) (2012)

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 16

Gambar 2.5. Arus Kontainer dari/ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta (2011)

Gambar 2.6. Arus Kontainer Dari/Ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya (2011)

2.3. Produksi dan Distribusi Komoditas Semen Perkembangan kapasitas terpasang industri semen di Indonesia baik untuk clinker

maupun semen, terhitung sejak tahun 2012 telah mengalami beberapa perubahan dengan dilakukannya pembangunan atau perluasan dari pabrik-pabrik existing sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan pasok semen terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar semen di dalam negeri yang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2016 mendatang.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 17

Tabel 2.1. Kapasitas Terpasang Pada Industri Semen di Indonesia

Nama Perusahaan

2012 2013* 2014* 2015*

Clinker Semen Clinker Semen Clinker Semen Clinker Semen

Lafarge 1.200 1.600 1.200 1.600 2.400 3.200 2.400 3.400

Padang 5.600 6.400 5.625 6.620 6.855 8.160 8.220 9.260

Baturaja 1.200 1.350 1.200 1.500 2.300 2.600 2.300 2.700

Indocement 15.600 21.100 15.600 21.100 18.100 23.100 18.100 23.100

Holcim 6.400 8.700 7.600 8.700 7.600 10.700 7.600 10.700

Gresik 9.100 11.300 10.500 13.120 10.500 13.120 10.500 13.120

Tonasa 6.300 6.550 6.300 7.150 6.300 7.150 6.300 7.150

Bosowa 1.800 3.000 4.300 5.500 4.300 5.500 4.300 5.500

Kupang 300 570 300 570 300 570 300 570

Total 47.500 60.570 52.625 65.860 58.655 74.100 60.020 75.500

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia (2013); * forecast.

Selain dari pabrik-pabrik yang sudah ada sekarang ini, industri semen nasional juga akan mendapatkan tambahan kapasitas terpasang dari pabrik-pabrik pendatang/investor baru sebesar ± 6 juta ton. dimana pabrik-pabrik tersebut diperkirakan akan selesai dan siap beroperasi pada tahun 2015 atau 2016. Dengan demikian, jumlah total kepasitas produksi semen di Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan akan mencapai ± 85 juta ton dan kebutuhan semen di dalam negeri adalah sebesar ± 73 juta ton.

Pada tahun 2012, terdapat 2 (dua) pabrikan yang telah selesai pembangunan pabrik barunya adalah:

a. PT Semen Gresik di Tuban dengan kapasitas tambahannya sebesar 2,5 juta ton, mulai resmi beroperasi pada bulan Juni 2012. Saat ini pabrik tersebut telah mampu beroperasi meskipun masih ada beberapa kendala dari sisi teknis yang secara bertahap masih terus dilakukan perbaikan-perbaikan agar operasional pabrik bisa berjalan secara optimal. Selain itu PT Semen Gresik juga tahun ini sedang melakukan pembangunan pabrik baru lainnya yang berlokasi di Rembang Jawa Tengah. yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2016 mendatang.

b. PT Semen Tonasa di Pangkep sedang membangun pabrik dengan kapasitas tambahannya sebesar 2,5 juta ton. Pabrik baru telah mulai melakukan uji coba operasi pada bulan Oktober, diharapkan hingga akhir tahun ini sudah dapat berjalan dengan normal.

Dengan beroperasinya 2 pabrik tersebut, maka penambahan kapasitas terpasang tahun ini adalah sebesar 5 juta ton. Total kapasitas terpasang semen nasional tahun 2012 adalah sebesar 60,5 juta ton. Jumlah tersebut masih ditambah dengan beroperasinya 2 unit grinding

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 18

plant yang masing-masing kapasitasnya 1,5 juta ton/tahun yang dimiliki oleh Semen Gresik dan Semen Bosowa Maros. Jumlah tersebut akan mampu untuk memenuhi kebutuhan semen di dalam negeri yang tahun ini sekitar 55 juta ton dan diperkirakan pada tahun 2013 sebesar 60 juta ton.

Selain kedua pabrik tersebut diatas, beberapa pabrikan lain yang pada tahun 2012 sedang melakukan penambahan pabrik baru ataupun perluasan pabrik yang ada antara lain adalah :

a. PT Holcim Indonesia, membangun pabrik baru di Tuban Jawa Timur dengan kapasitas 1,7 juta ton. Pabrik tersebut diperkirakan akan berproduksi pada akhir tahun 2013.

b. PT Semen Bosowa Maros, membangun pabrik baru di Maros dengan kapasitas 2,5 juta ton, yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2015.

c. PT Semen Padang, Tahun 2013 ini akan mulai membangun pabrik baru yang berlokasi di Indarung dengan kapasitas 2,5 juta ton.

d. PT Indocement Tunggal Prakarsa juga berencana membangun pabrik baru yang diperkirakan selesai pada tahun 2015.

Gambar 2.7. Perbandingan Antara Kapasitas Dan Kebutuhan Semen (Termasuk Pendatang/Investor Baru), 2012-2016

Sumber: Kementerian Perindustrian (2013); 2013 – 2016 merupakan forecast

Grafik tersebut menyimpulkan bahwa hingga periode lima tahun ke depan kebutuhan semen diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh tingginya tingkat pembangunan pada sektor properti dan perumahan baik yang dibangun di kota-kota besar maupun perumahan mewah di daerah-daerah serta diiringi pula dengan pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah. Namun demikian, peningkatan tersebut masih dapat dipenuhi oleh kapasitas terpasang yang ada, baik dari pabrikan existing maupun dari produsen/investor baru di industri semen.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 19

Jalur distribusi semen di Indonesia menjadi hal yang sangat memegang peranan dalam kelancaran pasokan mulai dari pabrik hingga diterima oleh pengguna di tingkat eceran. Gambaran secara umum jalur distribusi yang ada pada produsen semen di Indonesia ada 4 (empat) jenis, dari saluran yang terpendek hingga saluran yang memiliki jalur cukup panjang, yaitu:

a. Pabrik Konsumen

b. Pabrik Distributor Konsumen

c. Pabrik Distributor Sub Distributor Konsumen

d. Pabrik Distributor Sub Distributor Pengecer Konsumen

Mengingat sifat semen yang bulky, maka cara pengangkutan juga sangatlah penting diperhatikan, karena pengangkutan semen yang baik dan efisien akan sangat mempengaruhi harga jual pada akhirnya. Pada umumnya moda transportasi untuk mengangkut semen menggunakan angkutan laut dengan kapal dan angkutan darat menggunakan truk atau kereta api.

Angkutan dengan kapal laut lebih sering digunakan untuk mendistribusikan semen dari pabrik ke pasar yang lokasinya berada jauh dari pabrik (penjualan antar pulau/negara). Dengan angkutan kapal, semen akan lebih efisien jika dikirimkan dalam bentuk curah. Biasanya pabrikan semen melakukan pengiriman ini dengan tujuan packing plant yang berada jauh dari pabrik, untuk kemudian dikantongi dalam bag sebelum dijual ke pasar, atau langsung dipasarkan ke proyek-proyek yang membutuhkan semen curah.

Angkutan semen dengan truk atau kereta api digunakan untuk pendistribusian semen yang lokasi pasarnya tidak jauh dari pabrikan atau masih dalam wilayah satu pulau. Semen yang diangkut bisa dalam bentuk curah maupun bag dan biasanya tarif angkutan darat jauh lebih murah daripada angkutan laut. Dari beberapa pabrikan yang berada di pulau Jawa ini, semen didistribusikan ke wilayah-wilayah seluruh Indonesia dengan menggunakan pelayaran nasional dan pelayaran rakyat. Pengangkutan semen dengan menggunakan pelayaran nasional umumnya khusus, dimana semen diangkut tidak bercampur dengan komoditas pangan, namun untuk pelayaran rakyat mengingat jumlah semen yang diangkut umumnya dalam tonase yang kecil, pengangkutan semen ini dicampur dengan komoditi lainnya, meskipun diberi batas antara barang makanan dan barang-barang yang termasuk kategori berbahaya, seperti semen atau pupuk.

Khusus untuk memenuhi kebutuhan Indonesia Timur, persebaran semen dimulai dari 2 (dua) pelabuhan besar yaitu di Pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya dan Pelabuhan Makasar, selain Pelabuhan di Tuban milik Semen Gresik sendiri. Di kedua pelabuhan besar ini terdapat 3 (tiga) produsen semen nasional yang dominan melayani kebutuhan semen di wilayah Indonesia Timur, yaitu PT. Semen Gresik dan PT. Semen Tonasa serta Semen Bosowa. Pada tahun 2005, rata-rata jumlah semen yang dikirim dari pelabuhan Makassar ke luar wilayah Makassar berkisar dari jumlah sekitar 69,1 ribu ton hingga 89.425 ton setiap bulan. Jumlah tersebut memang hanya sekitar 20% dari total produksi kedua pabrik yang ada di Makassar, yaitu PT Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa. Pada tahun 2005, kedua pabrik tersebut memproduksi semen masing-masing sebesar 3,3 juta ton dan 1,6 juta ton.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 20

Pendistribusian semen dari Pelabuhan Makassar mengikuti pembagian pemasaran dari PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa. PT. Semen Tonasa membagi 3 (tiga) wilayah pemasarannya, yaitu wilayah I mencakup daerah Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Jawa; Wilayah II mencakup daerah Kalimantan, Sulteng, Sulut, Gorontalo dan Samarinda, dan wilayah III mencakup daerah SulSel dan Barat, Sulteng, Sultra Papua dan Maluku. PT. Semen Bosowa membagi wilayah pemasarannya menjadi 3 Wilayah yaitu wilayah I mencakup daerah SulSel dan Barat; wilayah II mencakup daerah Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara dan wilayah III mencakup daerah Maluku dan Papua.

Pengangkutan semen antar pulau umumnya sudah menggunakan kontainer, dengan ukuran kontainer bervariasi antara 10“ dan 20“. Masing-masing sak semen pun sudah dimasukkan kedalam jumbo dengan ukuran 1 ton dan 2 ton. Dengan sistem pengangkutan seperti ini sangat berpengaruh kepada lama bongkar muat semen tersebut di pelabuhan angkut maupun pelabuhan tujuan. Oleh karena itu, sistem pengangkutan semen dengan menggunakan kontainer dan sistem jumbo hanya untuk tujuan pelabuhan yang memiliki fasilitas memadai atau kapal yg bersangkutan memiliki fasilitas tersebut. Pengangkutan semen antar pulau umumnya dilayani oleh pelayaran nasional, sedangkan pendistribusian semen ke daerah pedalaman di Indonesia Timur umumnya dilakukan oleh pelayaran rakyat dan pesawat terbang.

Gambar 2.8. Alur Distribusi Semen di Indonesia

Sumber: Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri (2006)

2.4. Produksi dan Distribusi Komoditas Beras Beras yang dikonsumsi penduduk Indonesia umumnya merupakan hasil produksi dari

Pulau Jawa. Sampai sekarang Pulau Jawa masih menjadi lumbung beras nasional dengan memasok 56-60 persen dari produksi beras nasional. Produksi beras tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat, diikuti Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dari tahun ke tahun produksi padi terus tumbuh. Pertumbuhan tersebut disumbang oleh perluasan lahan dan peningkatan produktivitas. Meskipun perkembangannya naik-turun, luas lahan dan produktivitas terus meningkat.

• •

• •

• • •

1.1.1.1

1.1.1.1.1.2

1.1.1.2

1.1.1.2.1.

1.1.1.2.1.

1.1.1.2.1.3

1.1.1.2.1.4

1.1.1.2.1.

1.1.1.3

1.1.1.4

• •

• •

• •

• •

• • • • •

• •

• •

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 21

Tabel 2.2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2006-2011

Uraian Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Luas Panen (ha) - Jawa - Luar Jawa - Indonesia

5.703.589 6.082.841

11.786.430

5.670.947 6.476.690

12.147.637

5.742.270 6.585.155

12.327.425

5.909.468 6.759.521

12.668.989

6.358.627 6.885.557

13.244.184

6.314.198 6.944.495

13.258.693

Produktivitas (kw/ha) - Jawa - Luar Jawa - Indonesia

52,53 40,27 46,20

53,72 41,21 47,05

56,33 42,49 48,94

56,64 43,04 49,38

55,81 41,35 50,14

55,94 41,57 50,76

Produksi (ton) - Jawa - Luar Jawa - Indonesia

29.960.638 24.494.299 54.454.937

30.466.339 26.691.096 57.157.435

32.346.997 27.978.928 60.325.925

33.469.237 29.091.909 62.561.146

35.995.608 29.985.062 65.980.670

36.431.936 30.875.388 67.307.324

Sumber : BPS (2012), diolah

Pelaku distribusi beras merupakan bentuk kelembagaan yang paling potensial dalam pembentukan harga ditingkat konsumen. Jalur distribusi yang kompleks (panjang) akan menjadikan harga yang terbentuk menjadi kurang efisien bilamana setiap rantai-rantai pemasarannya kurang berfungsi secara efektif. Gambar 2.9 menjelaskan distribusi pemasaran beras dari tingkat petani sampai pedagang besar dan eceran pada kategori petani pemilik lahan dan petani penggarap.

Gambar 2.9. Pemasaran Beras di Level Petani Pemilik Lahan

Petani

Petani

Pengumpul

(Bandar)

Penggilingan

( Heler )

Pasar Induk Beras

Beras Beli Langsung

Petani

(Bandar)

( )

Pengecer

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 22

Pola distribusi pemasaran beras di setiap daerah atau tempat akan mempunyai karakteristik tersendiri. Salah satu pola pemasaran beras pada tingkat petani pemilik lahan sebagai berikut :

a. Memiliki rantai pemasaran yang relatif lebih pendek.

b. Petani pemilik lahan yang sekaligus sebagai petani pengumpul dan juga petani penggiling akan lebih mudah menentukan harga untuk memasarkan ke tingkat pedagang besar yang ada di pasar induk. Pemasaran beras ke pasar induk dapat dilakukan melalui pasar Induk Cipinang Jakarta atau pasar induk setempat atau pun langsung dipasarkan pedagang lainnya.

Gambar 2.10. Pemasaran Beras di Level Petani Penggarap

Distribusi pemasaran beras di tingkat petani penggarap relatif berbeda dengan pemasaran di tingkat petani pemilik lahan dengan pola sebagai berikut:

a. Pemasaran di tingkat petani penggarap dihadapkan pada beberapa jenis lembaga pemasaran karena penjualan didasarkan pada rantai yang menawarkan harga lebih tinggi.

b. Perbedaan harga gabah di tingkat petani terjadi ketika negosiasi harga dilakukan berdasarkan perbedaan tempat.

Kedua gambar di atas menunjukkan bahwa distribusi pemasaran beras relatif efisien di tingkat petani pemilik lahan dibandingkan petani penggarap. Hal ini dapat dianalisis bahwa asimetrik informasi mengenai harga akan lebih besar terjadi pada tingkat petani penggarap.

Perbedaan jalur distribusi beras dari petani sampai pedagang eceran dan tingkat petani pemilik lahan dengan petani penggarap lebih dikarenakan sistem langganan. Petani pemilik lahan sudah mempunyai langganan dalam menjual beras, sehingga rantai dari gabah ke beras tidak ada margin dimana rantai dari petani ke pengumpul ke penggilingan terintegrasi sehingga margin biaya akibat rantai pemasaran relatif kecil. Tidak demikian dengan petani penggarap, karena keterbatasan modal yang mereka miliki, sistem penjualan pun lebih bersifat bebas (harga yang lebih tinggi akan terlebih dahulu dijual), sehingga tidak ada pembeli yang bersifat langganan. Perbedaan pasar yang terjadi, tidak mempengaruhi pada harga di pasar.

Dalam penjelasan distribusi beras yang lebih kompleks, maka dapat dijelaskan dalam Gambar 2.11.

Petani Petani

Pengumpul (Bandar)

Penggilingan ( Heler )

Pedagang Besar

Pasar Induk

Pedagang Pengecer

Beras

Beras

Gabah Basah Gabah Basah

Gabah Kering Gabah Kering

Petani Pengumpul

(Bandar)

Penggilingan ( Heler )

Pedagang Besar

Pasar Induk

Pengecer

Beras

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 23

Gambar 2.11. Pola Distribusi Beras Nasional

Sumber : Bulog (2010)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, beberapa provinsi di Indonesia merupakan sentra produsen beras, bahkan mengalami surplus. Dengan adanya surplus beras tersebut berpeluang untuk terjadi distribusi tidak hanya di dalam wilayah provinsi, bahkan sampai ke provinsi lain, terutama yang kekurangan beras (wilayah defisit).

Secara nasional tampak bahwa tujuan utama pemasaran beras di Indonesia adalah DKI. Jakarta. Hal ini karena jumlah penduduk Jakarta yang relatif besar sementara produksi berasnya paling kecil. Dengan demikian beras didatangkan terutama dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta sebagian dari Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Selatan. Karena pasar beras yang besar di DKI Jakarta menyebabkan terbentuknya pedagang-pedagang besar yang terutama bergerak di Pasar Induk Cipinang, Jakarta dan diduga pasar tersebut menjadi pasar acuan harga bagi sebagian pasar-pasar lain di Indonesia. Pedagang besar tersebut mendistribusikan beras yang masuk ke Jakarta untuk pasar-pasar yang ada di wilayah DKI Jakarta serta mendistribusikan ke daerah lain, seperti Pontianak.

Untuk distribusi beras di Pulau Sumatera terjadi antar provinsi, sebagai wilayah pemasok antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, maupun Lampung. Sumatera Selatan dan Lampung selain mendistribusikan beras ke provinsi lain di Sumatera, juga memasok ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di Pulau Jawa, selain DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, maka Jawa Timur memiliki peranan penting dalam mensuplai beras ke berbagai daerah di Indonesia. Jawa Timur memasok beras ke DKI Jakarta, Pontianak, Samarinda, Makassar, Bali, NTB, NTT, atau Maluku.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 24

2.5. Konsep Rantai Pasok (Supply Chain) Rantai Pasok (Supply Chain) adalah serangkaian aktivitas yang terdiri dari forecasting

(perkiraan) dan planning (perencanaan), pengadaan dan purchasing (pembelian), manufacturing (produksi) dan assembly (perangkaian), warehousing and distribution, shipping and transportation, returns (kembalian), inventory management (manajemen sediaan) dan order management (manajemen instruksi pembelian). Pujawan (2005) menjelaskan bahwa rantai pasok adalah jaringan pelaku usaha yang secara bersamaan bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pelaku-pelaku usaha tersebut biasanya termasuk supplier, pabrik, distributor, toko atau ritel serta pelaku usaha pendukung seperti perusahaan jasa logistik.

Kinerja dari suatu rantai pasok dapat diukur dengan menggunakan 5 (lima) parameter (Schroeder, 2007, p197), yaitu:

a. Pengiriman (on time-delivery)

Pengiriman adalah persentase pengiriman tepat waktu yang sesuai dengan permintaan konsumen. Pesanan yang tidak sampai secara utuh dan pengiriman yang terlambat tidak termasuk dalam on time-delivery.

b. Kualitas

Indikator pengukuran kualitas adalah tingkat kepuasan pelanggan yang dapat diukur dengan menggunakan variabel kualitatif seperti tidak setuju, setuju, agak setuju atau lain sebagainya. Pengukuran yang serupa misalnya berupa kesetiaan pelanggan yaitu berapa banyak pelanggan yang datang kembali untuk membeli produk setelah membelinya minimal satu kali.

c. Waktu

Waktu dalam hal ini adalah lamanya suatu siklus bisnis berlangsung.

d. Fleksibilitas

Fleksibilitas merupakan waktu yang diperlukan untuk mengubah volume produksi atau campuran produksi dalam persentase tertentu. Hal ini dikarenakan permintaan yang tidak selalu sama, fleksibel diperlukan agar produsen dapat mengimbangi permintaan dari konsumen.

e. Biaya

Biaya tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga waktu yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sesuatu. Terdapat dua perhitungan biaya, yaitu besarnya biaya yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang dan mengukur efisiensi atau produktivitas.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 25

Terdapat lima komponen dalam rantai pasok, yaitu terdiri dari produksi, persediaan, lokasi, transportasi dan informasi. Kelima komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan tidak selalu berbalikan dalam satu komponen akan berpengaruh positif terhadap komponen lainnya. Lima komponen rantai pasok tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Skema Lima Komponen Rantai Pasok

Logistik adalah bagian dari rantai pasok (supply chain) yang menangani arus barang, arus

informasi dan arus uang melalui proses pengadaan (procurement), penyimpanan (warehousing), transportasi (transportation), distribusi (distribution), dan pelayanan pengantaran (delivery services) sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki konsumen, secara aman, efektif dan efisien, mulai dari titik asal (point of origin) sampai dengan titik tujuan (point of destination).

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 26

2. BAB III

METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari kajian ini adalah aktivitas logistik dari rantai pasok

komoditi/produk antar pulau yang merupakan bagian dari proses distribusi barang akan mempengaruhi harga komoditi/produk akhir yang akan ditanggung oleh konsumen. Secara lebih spesifik, kerangka pemikiran kajian ini dinyatakan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam proses produksi, input akan diproses oleh petani atau produsen menjadi produk (output). Setelah itu, proses produksi akan dilanjutkan dengan proses distribusi produk hingga ke konsumen akhir. Setiap tahapan proses ini akan menentukan harga produk yang akan ditanggung oleh konsumen akhir. Studi ini terkait khususnya dalam proses distribusi barang, dimana ukuran yang menentukan kinerja proses distribusi adalah biaya dan waktu distribusi. Biaya distribusi antara lain terdiri dari biaya trucking, biaya bongkar muat, baik di gudang maupun pelabuhan, biaya angkutan laut, hingga biaya tidak resmi yang muncul di sepanjang proses distribusi. Lebih jauh, biaya maupun waktu selama proses distribusi sebenarnya merefleksikan kondisi dan efisiensi dari berbagai kegiatan dan fasilitas yang digunakan dalam proses distribusi, seperti ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fasilitas pelabuhan, ketersediaan moda transportasi, kualitas sumber daya manusia, hingga aspek soft infrastructure.

Input Proses Produksi

Proses Distribusi

Output

Produsen / Petani

• Biaya distribusi (trucking, bongkar muat,

biaya tdk resmi dll) • Waktu distribusi

• Kualitas dan ketersediaan infrastruktur

• Fasilitas pelabuhan

• Ketersediaan moda transportasi

Konsumen Akhir

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 27

3.2. Metode Analisis Kajian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dengan mengkombinasikan data

kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil survei. Untuk mempertajam dan memperkaya analisis mengenai kinerja pelabuhan, akan digunakan pula data sekunder mengenai kinerja serta data/informasi yang berkaitan dengan kepelabuhanan. Biaya distribusi antar pulau per km dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:

a. Petani/pabrik ke pelabuhan Farm/factory to port)

b. Pelabuhan ke pelabuhan (Port to port)

c. Petani/pabrik ke pasar (Door-to-door)

Tiga formula di atas sekaligus menunjukkan bentuk kesepakatan mengenai cakupan layanan pengangkutan (terms of shipping) antara pemilik barang dengan penyedia jasa angkutan, khususnya freight forwarder. Skema door-to-door menunjukkan biaya total pengantaran barang dari petani atau pabrik hingga sampai ke pasar. Untuk mengetahui adanya bottleneck yang muncul sepanjang proses pengangkutan, penting kiranya untuk membagi tahapan dari proses pengangkutan door-to-door atas beberapa komponen, seperti biaya angkutan jalur darat dengan menggunakan truk, biaya yang khusus dikeluarkan di pelabuhan, serta biaya penggunaan kapal laut. Dengan demikian, dapat diketahui pula biaya distribusi per-km untuk setiap moda transportasi yang digunakan.

Sementara itu dalam hal waktu distribusi antar pulau, dapat dihitung waktu total pengiriman door-to-door serta waktu pengiriman di setiap tahapan, sebagaimana yang dinyatakan pada formula berikut:

(km)Door Door to Distance

(Rp) D & O ChargesPort + (Rp)Freight Sea+ (Rp) D&O Costs Trucking =(Rp/km) CostsDoor Door to

(km)Port Port to Distance(Rp)n Destinatio ChargesPort + (Rp)Freight Sea+ (Rp)Origin ChargesPort

=(Rp/km) CostsPort Port to

Total waktu pengiriman (door-to-door) = waktu angkut dari gudang penjual ke pelabuhan; + waktu bongkar muat di pelabuhan, termasuk waktu tunggu; + waktu berlayar; + waktu bongkar muat di pelabuhan tujuan termasuk waktu tunggu; + waktu angkut dari pelabuhan ke gudang pembeli.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 28

3.3. Jenis Data, Sumber dan Metode Pengumpulan Data

3.3.1. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam melakukan analisis studi adalah:

a. Data sekunder yang diperoleh dari publikasi instansi tertentu, khususnya Kementerian Perhubungan, Pelindo, dan Kementerian Perdagangan;

b. Data primer atau informasi persepsi yang diperoleh dari hasil survei.

Tabel 3.1. menyajikan daftar data/informasi yang diperlukan dalam studi ini beserta dengan sumber datanya. Daftar data/informasi yang diperlukan dikelompokkan berdasarkan tahapan dalam rantai pasok (supply chain), yaitu dimulai dari gudang ke pelabuhan, pelabuhan ke pelabuhan, dan pelabuhan ke gudang. Daftar data/informasi ini juga dapat menggambarkan pertanyaan atau kuesioner yang akan digunakan dalam survei di lapangan.

Tabel 3.1. Data dan Sumber Data: Gudang Petani/Pabrik ke Pelabuhan dan Pelabuhan ke Gudang (Biaya Truk)

No Jenis Data Keterangan Sumber Data

1 Rute pengangkutan antar pulau

Kemana saja beras/semen diangkut antar pulau. Kota tujuan pengangkutan tidak terbatas pada kota yang akan disurvei. Informasi ini bermanfaat untuk mengetahui pola distribusi beras/semen antar pulau.

Survei Pedagang

2 Jarak a. Jarak antara gudang penjual – pelabuhan

b. Jarak antara pelabuhan tujuan – gudang pembeli

Survei Freight Forwarder (FF) dan hasil penelitian ITS

3 Biaya angkut dengan truk

Biaya yang dikenakan perusahaan trucking kepada pemilik barang sesuai dengan jaraknya, termasuk biaya muat ke truk di gudang.

Survei Pedagang, FF

4 Biaya angkut dengan kapal laut

Biaya sea freight yang dibayar oleh pemilik barang/perusahaan freight forwarder kepada perusahaan pelayaran sesuai dengan rute/jarak tempuh, termasuk biaya yang muncul karena adanya waktu tunggu kapal

Survei FF, shipping liners

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 29

No Jenis Data Keterangan Sumber Data 5 Seluruh biaya

logistik yang dikenakan di pelabuhan

Biaya yang harus di bayar oleh perusahaan freight forwarder selama barang berada di pelabuhan, termasuk biaya tenaga kerja, tips, dokumen, asuransi, dll

Survei FF, Shipping liners

6 Seluruh biaya tidak resmi yang timbul selama proses pengangkutan barang

Pungutan yang muncul selama proses pengangkutan, baik di jalan, saat di pelabuhan dll.

Survei Pedagang, FF, shipping liners

7 Waktu yang dibutuhkan selama proses pengangkutan barang

a. Waktu angkut dengan truk b. Waktu bongkar muat di

gudang c. Waktu tunggu (delay)

gudang dan di lokasi lain yang mempengaruhi proses pengiriman barang

Survei pedagang, FF, shipping liners

8 Permasalahan yang ada di tiap tahapan dan persepsi mengenai pelaksanaan pengangkutan barang

Bottleneck selama proses pengangkutan barang, kualitas dan ketersediaan infrastruktur, kualitas SDM, kualitas sistem dan prosedur, dll

Survei pedagang, FF,shipping liners

9 Kondisi musim/cuaca, periode hari raya, dll

Sejauh mana dampak cuaca, musim, periode hari raya, dll mempengaruhi pelaksanaan distribusi barang. Apakah sampai mempengaruhi harga dan waktu?

Survei shipping liner, FF

10 Harga beli Harga yang diterima oleh pedagang baik di kota asal barang maupun di kota tujuan

Survei pedagang

11 Harga jual Harga yang ditetapkan oleh petani/produsen dan harga yang diterima oleh konsumen akhir

Survei pedagang, Pembeli

12 Persentase biaya logistik terhadap biaya produksi

Indikator ini untuk mengetahui porsi biaya logistik terhadap total biaya produksi

Survei pedagang

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 30

Tabel 3.2. Pelabuhan ke Pelabuhan

No Jenis Data Keterangan Sumber Data

1 Tarif jasa-jasa kepelabuhanan

Tarif bongkar muat, lift on/off, container storage, container shifting,bill-of-lading, manifest fees,dll.

Kemenhub, Pelindo

2 Indikator Pelabuhan

Waiting time, berthing time, turnaround time, dll

Kemenhub

3 Rute pengangkutan antar pulau

Kemana saja beras/semen diangkut antar pulau. Kota tujuan pengangkutan tidak terbatas pada kota yang akan disurvei. Informasi ini bermanfaat untuk mengetahui pola distribusi beras/semen antar pulau.

Survei pedagang, FF

4 Jarak Jarak antara pelabuhan asal – pelabuhan tujuan

Survei dan hasil penelitian ITS

5 Biaya angkut dengan kapal laut

Biaya sea freight yang dikenakan perusahaan pelayaran kepada pemilik barang/perusahaan freight forwarder sesuai dengan rute/jarak tempuh, termasuk biaya yang muncul karena adanya waktu tunggu kapal

Survei pedagang, FF dan shipping liners

6 Metode penanganan proses pengiriman, termasuk biaya pengiriman (CIF/FOB)

Perjanjian antara penjual dan pembeli mengenai siapa yang akan menangani proses pengiriman barang, termasuk yang mengurus pembayaran pengiriman barang

Survei Pedagang, FF, pembeli

7 Seluruh biaya logistik yang dikenakan di pelabuhan

Biaya yang harus di bayar oleh perusahaan pelayaran selama barang berada di pelabuhan, termasuk biaya tenaga kerja, tips, dokumen, asuransi, dll

Survei shipping liners, FF

8 Seluruh biaya tidak resmi yang timbul selama proses pengangkutan barang

Pungutan yang muncul selama proses pengangkutan, baik di jalan, pelabuhan dll.

Survei Pedagang, Freight forwarder

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 31

No Jenis Data Keterangan Sumber Data

9 Waktu yang dibutuhkan selama proses pengangkutan barang

a. Waktu angkut dengan kapal

b. Waktu bongkar muat di pelabuhan

c. Waktu tunggu (delay) di pelabuhan atau sekitar pelabuhan yang mempengaruhi proses pengiriman barang

Survei FF, shipping liners

10 Permasalahan yang ada di tiap tahapan dan persepsi mengenai pelaksanaan pengangkutan barang

Bottleneck selama proses pengangkutan barang, kualitas dan ketersediaan infrastruktur, kualitas SDM, kualitas sistem dan prosedur, dll

Survei pedagang, FF, shipping liners

11 Kondisi musim/cuaca, periode hari raya, dll

Sejauh mana dampak cuaca, musim, periode hari raya, dll mempengaruhi pelaksanaan distribusi barang. Apakah sampai mempengaruhi harga dan waktu?

Survei pedagang, FF, shipping liners

12 Marjin keuntungan perusahaan (trucking/freight forwarding dan shipping line)

Info mengenai marjin keuntungan berupa % terhadap total biaya produksi

Survei FF, shipping liners

13 Persentase biaya logistik terhadap harga komoditi/produk

Indikator ini untuk mengetahui porsi biaya logistik terhadap total biaya produksi

Survei pedagang

14 Data tambahan lainnya

Ukuran kapal, frekuensi perjalanan kapal per-rute dalam seminggu, term of shipping

Survei shipping liners, FF

3.3.2. Metode Pengumpulan Data

Survei pada kajian ini menggunakan pendekatan supply chain (rantai pasok). Artinya, survei ini berusaha menangkap kesinambungan proses distribusi barang dalam satu rangkaian rantai pasok yang akan diteliti. Dengan demikian, rantai pasok yang disurvei dimulai dari petani/pabrik, dilanjutkan ke pelabuhan asal, pelabuhan tujuan, hingga ke pasar, sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 3.2.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 32

Gambar 3.2. Cakupan Analisis dengan Pendekatan Supply Chain

Metode yang digunakan dalam survei adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur. Wawancara dilakukan terutama kepada responden yang mengetahui kondisi teknis di lapangan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan sebagian pertanyaan perlu ditujukan kepada pihak manajeman perusahaan (perusahaan pedagang/freight forwarder/pelayaran).

Survei akan dilakukan ke beberapa kelompok responden. Terdapat beberapa pertanyaan khusus yang diberikan kepada kelompok responden tertentu. Selain itu, terdapat beberapa pertanyaan yang ditanyakan kepada semua kelompok responden. Hal ini bertujuan untuk mengkonfirmasi jawaban yang diperoleh dari satu kelompok responden dengan kelompok responden lainnya.

Sebagai contoh, kepada pedagang akan ditanyakan biaya yang harus dibayar untuk biaya transportasi dari gudang pedagang ke pelabuhan. Pada kelompok responden yang berbeda, survei akan menanyakan hal yang sama kepada perusahaan pengangkutan (trucking) mengenai biaya tersebut. Hal ini ditujukan untuk mengkonfirmasi data dan informasi yang lebih akurat. Hal yang sama juga diterapkan kepada perusahaan pelayaran dan perusahaan freight forwarder untuk mengetahui data biaya pengiriman barang melalui angkutan laut. Berapakah biaya yang dibayar freight forwarder kepada perusahaan pelayaran untuk mengirim barang? Sebaliknya, berapa biaya yang ditetapkan perusahaan pelayaran kepada freight forwarder atas jasa yang diberikan.

Data yang akan dicari melalui survei adalah data primer maupun data yang bersifat persepsi. Setelah divalidasi, akan dilakukan proses coding dan input data data. Data survei yang telah diinput kemudian akan ditabulasi dan dilakukan peringkasan data secara statistik untuk dapat dilakukan analisis.

Khusus untuk data kuantitatif yang diperoleh dari survei kepada responden – seperti biaya angkut, biaya pelabuhan, biaya sea freight, waktu pengurusan – data yang diharapkan adalah per-pengiriman (shipment) yang dilakukan oleh responden. Diharapkan responden dapat memberikan data shipment paling sedikit 3 shipment terakhir. Manfaat pengumpulan data per-pengiriman ini adalah dapat memperoleh data riil di tingkat implementasi sesuai dengan waktu pelaksanaan pengiriman serta dapat memperbanyak jumlah unit sampel dari tiap responden.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 33

3.3.3. Teknik Penarikan Sampling

a. Responden

Secara umum terdapat 5 kelompok responden dari kegiatan survei studi ini, yaitu petani, penjual, perusahaan trucking/freight forwarder, perusahaan pelayaran, serta pembeli. Survei akan dilaksanakan di beberapa kota yang dipilih menjadi kota asal barang serta beberapa kota yang diperkirakan menjadi kota tujuan. Di kota asal barang, responden yang akan disurvei adalah petani, penjual, perusahaan trucking/freight forwarder dan perusahaan pelayaran. Sementara itu, di kota tujuan, responden yang akan disurvei adalah pembeli dan perusahaan trucking/freight forwarder untuk menangkap biaya pengangkutan dari pelabuhan ke gudang pembeli. Jumlah responden per-kelompok responden di tiap kota adalah 10, kecuali 5 responden untuk perusahaan pelayaran – mengingat relative terbatasnya pemain di bidang industri pelayaran.

b. Lokasi Survei

Lokasi survei kajian ini adalah:

1) Jakarta, Surabaya dan Makassar, sebagai daerah origin distribusi beras dan semen.

2) Medan, Balikpapan, Manado dan Sorong sebagai daerah destinasi distribusi beras dan semen.

Berdasarkan beberapa pertimbangan, maka responden dan lokasi survei secara bersama-sama disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Komposisi Responden Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 34

c. Penarikan Sampel Responden

Proses penarikan sampel responde dilakukan dengan metode purposive sampling, mengingat perlunya memperoleh responden pedagang beras yang melakukan perdagangan antar pulau. Disamping itu, mengingat pendekatan survei ini adalah supply chain maka setelah memperoleh responden pedagang, tahap selanjutnya adalah mencari responden perusahaan trucking/freight forwarding, dilanjutkan dengan perusahaan pelayaran, hingga pembeli. Secara lebih detil, tahapan survei ini sebagai berikut:

1) Pengumpulan data/informasi mengenai pedagang beras dan semen antar pulau.

Informasi mengenai pedagang beras ini akan diperoleh dari Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) atau Asosiasi Logistik dan Freight Forwarder Indonesia (ALFI). Pedagang beras yang menjadi target sampel khususnya pedagang besar yang melakukan perdagangan antar pulau dari Jakarta, Surabaya dan Makassar.

2) Melakukan studi literatur terhadap proses supply chain distribusi beras maupun semen, khususnya antar pulau.

Mengingat supply chain tiap produk/komoditi maupun tiap daerah berbeda, diperlukan studi literatur mengenai proses supply chain yang menyangkut beras maupun semen. Finalisasi rute dan kota tujuan yang akan disurvei akan dilakukan pada tahap ini.

3) Melakukan pre-test terhadap kuesioner yang telah disusun.

Setelah dilakukan penyusunan daftar calon responden serta memfinalisasi kuesioner survei, akan dilakukan pre-test terhadap kuesioner tersebut. Pre-test akan dilakukan kepada pedagang beras maupun semen yang berlokasi di Jakarta. Pre-test akan dilakukan kepada masing-masing jenis responden, mulai dari penjual hingga pembeli. Pre-test juga dapat dilakukan kepada perwakilan dari asosiasi, yaitu Perpadi (beras), ASI (semen), ALFI (freight forwarder), maupun INSA (pelayaran).

4) Survei lapangan

Kegiatan survei lapangan akan dilakukan bertahap, sesuai dengan kelompok responden.

a) Responden: pedagang

Setelah dilakukan penyempurnaan kuesioner atas hasil pre-test, selanjutnya akan dilakukan survei lapangan. Dari rantai pasok, survei dilakukan pertama kali untuk para pedagang. Dalam wawancara kepada pedagang juga akan diperoleh informasi mengenai perusahaan trucking atau freight forwarder yang digunakan pedagang tersebut. Perusahaan freight forwarder ini yang kemudian menjadi target responden untuk kelompok freight forwarder.

b) Responden: perusahaan trucking/freight forwarder

Informasi perusahaan trucking/freight forwarder yang menjadi rekanan pedagang akan dijadikan sebagai target responden selanjutnya. Mengingat data yang akan dikumpulkan adalah data per-shipment maka dapat dimungkinkan akan diperoleh lebih dari 1 freight forwarderdari 1 orang responden pedagang. Hal ini justru bermanfaat untuk kegiatan survei, mengingat Indonesia dapat memiliki beberapa target responden freight

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 35

forwarder. Dari daftar responden yang diperoleh dari pedagang, akan dipilih 10 freight forwarder di setiap kota, baik di kota asal maupun di kota tujuan. Sebaliknya, jika informasi dari pedagang tidak mencapai 10 freight forwarder, maka target responden freight forwarder akan diperoleh dari daftar anggota ALFI.

c) Responden:perusahaan pelayaran

Dari survei kepada freight forwarderakan diperoleh pula daftar perusahaan pelayaran yang menjadi rekanan mereka. Langkah selanjutnya akan melakukan wawancara kepada perusahaan pelayaran tersebut.

d) Responden: perusahaan freight forwarder di kota tujuan

Sesuai dengan skema pengiriman (term of shipping), jika antara pedagang dan dan perusahaan freight forwarder memiliki term of shipping selain door-to-door, hal ini memungkinkan untuk memiliki pihak freight forwarder yang berbeda di kota tujuan. Untuk itu perlu untuk dilakukan survei kepada pihak freight forwarder di kota tujuan. Informasi mengenai freight forwarder di kota tujuan ini dapat diperoleh dari daftar anggota ALFI. Intinya, survei kepada freight forwarder di kota tujuan bermaksud menggali informasi mengenai biaya logistik mulai dari barang tiba di pelabuhan hingga sampai ke gudang pembeli. Waktu pelaksanaan survei kepada kelompok freight forwarder di kota tujuan ini tidak perlu menunggu pelaksanaan survei kepada pedagang di kota asal.

e) Responden: pembeli di kota tujuan

Setelah melakukan wawancara kepada freight forwarder di kota tujuan, diharapkan dapat diperoleh info mengenai pembeli produk/komoditi di kota tujuan tersebut. Informasi mengenai pembeli ini yang kemudian menjadi target responden kelompok pembeli di kota tujuan. Selain dari freight forwarder, informasi mengenai pembeli juga dapat diperoleh dari penjual.

5) Proses pengkodean, validasi data, entry kuesioner, tabulasi

Setelah serangkaian proses survei lapangan, akan dilakukan proses pengkodean, validasi data yang telah terkumpul, melakukan input data kuesioner, hingga tabulasi hasil input data.

6) Pengolahan data dan analisis

Setelah diperoleh data lengkap, selanjutnya dapat dilakukan pengolahan data dan analisis hasil survei. Proses analisis akan dilanjutkan hingga penyusunan rekomendasi kebijakan.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 36

3. BAB IV ANALISIS KINERJA LOGISTIK ANTAR PULAU KOMODITI BERAS DAN SEMEN

Survei dilakukan di kota-kota yang diteliti meliputi Surabaya dan Makassar sebagai kota asal, dan Medan, Manado, Banjarmasin, dan Sorong sebagai kota tujuan. Analisis dilakukan per-kota, yang mencakup mengenai biaya, waktu, persepsi responden mengenai hambatan usaha, serta harga5. Pemaparan diawali dengan pembahasan daerah asal, kemudian dilanjutkan dengan daerah tujuan.

4.1. Hasil Survei dan Analisis di Kota Asal 4.1.1. Analisis Rantai Pasok Antar Pulau di Kota Surabaya

Bagian ini akan menjelaskan hasil survei ke kota asal beras dan semen untuk diperdagangkan antar pulau. Dengan demikian, analisis hasil survei akan dijelaskan berturut-turut untuk kota: Surabaya dan Makassar. Analisis mengenai biaya dan waktu menggambarkan proses distribusi untuk kedua komoditi sekaligus, yaitu beras dan semen. Dengan demikian, analisis waktu, biaya dan persepsi tidak dilakukan per-komoditi yang diteliti.

a. Rantai Pasok Perdagangan Beras

Alur Rantai Pasok Beras yang Berasal Dari Surabaya

Pedagang beras di Surabaya umumnya mendapat beras yang berasal dari sentra produksi: Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jember, Lamongan, Kudus dan Kediri. Dari hasil survei didapat umumnya penggiling beras berada satu kota dengan petani di sentra produksi beras. Secara garis besar alur rantai pasok perdagangan beras di Surabaya adalah sebagai berikut.

Gambar 4.1. Alur Rantai Pasok Perdagangan Beras di Surabaya

Sumber: Disarikan dari hasil survei Penggilingan menerima dari petani sudah dalam bentuk beras

5 Analisis mengenai indikator biaya, waktu dan persepsi menggambarkan karakteristik kedua komoditi yang diteliti secara

bersama-sama, bukan terpisah berdasarkan komoditi.

Bulog

Petani (Gresik,

Lamongan, dll)

Pengumpul

Pengecer di pulau lain

Pedagang (Surabaya) –

Distributor dan pengecer

Penggilingan (Gresik,

lamongan, dll)

Distributor beras di kota

lain

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 37

Dari hasil survei terhadap penggiling ditemukan bahwa lebih dari 70% dari pedagang secara aktif mencari beras dengan berhubungan langsung dengan penggiling atau ke petani langsung. Pedagang beras yang berfungsi sebagai pembeli beras antar pulau umumnya berhubungan langsung dengan perusahaan penggilingan beras di kota asal atau berhubungan dengan pedagang beras di kota asal.

Pergerakan Harga Beras di Sepanjang Rantai Pasok

Umumnya perusahaan penggilingan beras menerima pasokan beras dalam 2 (dua) bentuk, yaitu dalam bentuk gabah dan dalam bentuk pecah kulit. Beras pecah kulit adalah gabah yang telah dikeringkan dan dipecah dari kulitnya hingga bentuknya berubah menjadi beras. Setelah menjadi beras pecah kulit, umumnya beras akan diproses pemutihan, pengayakan, penyortiran hingga menjadi beras sesuai dengan kualitas yang diinginkan. Terakhir, beras akan dikemas untuk dijual kepada pedagang. Beberapa petani melakukan proses awal hingga menghasilkan beras pecah kulit. Selanjutnya beras pecah kulit akan diproses lebih lanjut oleh perusahaan penggiling beras hingga menghasilkan beras yang siap dikonsumsi. Namun demikian, terdapat perusahaan penggiling yang melakukan semua proses mulai dari gabah, beras pecah kulit, hingga menjadi beras siap konsumsi.

Survei berusaha menangkap tahapan pergerakan harga, mulai dari harga gabah, pecah kulit, hingga harga jual beras di tingkat pedagang, sebagaimana yang dinyatakan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1. Harga Beras Berdasarkan Proses Produksinya

Pelaku Harga Jual per kg (Rp) Produk Keterangan

Petani

7.040

Beras pecah kulit

Jika petani menjual dalam bentuk gabah, maka harganya berkisar antara Rp 4.200 – Rp 4.800

Penggilingan beras

7.452

Beras siap konsumsi

• Dari beras pecah kulit, umumnya beras akan melalui proses pemutihan, pengayakan, penyortiran hingga menjadi beras sesuai dengan kualitas yang diinginkan

• Dari Perusahaan penggiling beras dapat menjual langsung kepada pedagang beras, termasuk pedagang di pulau yang berbeda

Pedagang 8.350 Beras siap konsumsi

Sumber: Hasil Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 38

b. Rantai Pasok Perdagangan Semen

Pergerakan Harga Semen di Sepanjang Rantai Pasok

Berdasarkan survei kepada pedagang semen di kota Surabaya, ditemui merek semen yang dijual adalah merek Holcim dan semen Gresik, masing-masing memiliki harga jual rata-rata per kg-nya adalah Rp 1.275,- dan Rp 1.325,-. Diketahui pula bahwa harga beli semen yang diterima pedagang adalah rata-rata sebesar Rp 35.625,-/sak (40 kg) atau sekitar Rp 890,-/kg. Dengan demikian diketahui pula bahwa peritel mengambil margin keuntungan untuk masing-masing merek sekitar Rp 350,- hingga Rp 500,-/kg.

c. Biaya Distribusi

Dari hasil survei diketahui bahwa para penggiling beras memasarkan berasnya, baik di daerah Surabaya dan sekitarnya serta ke kota lain di pulau lainnya, antara lain ke Surabaya, ke kecamatan Sidoarjo, ke Gedongan, atau ke Tuban. Gambar di bawah ini menggambarkan biaya truk yang mengangkut beras dari Sidoarjo dan Surabaya ke beberapa lokasi di Surabaya dan sekitarnya.

Gambar 4.2. Biaya Truk dari Perusahaan Penggilingan Beras ke Pedagang Beras di Surabaya dan Sekitarnya

Sumber: Hasil survei

Terlihat bahwa banyaknya muatan yang diangkut jumlahnya kurang dari 8 ton, mengingat daerah tujuan pemasaran hanya berada di daerah Surabaya dan sekitarnya. Dengan demikian, biaya truk per kg hanya berkisar antara Rp 10,-/kg (Sidoarjo – Gedongan) hingga Rp 167,-/kg (di dalam kota Surabaya). Menarik untuk diperhatikan bahwa biaya angkut di dalam kota Surabaya lebih mahal dibandingkan ke kota/kabupaten lainnya, seperti Tuban atau di dalam kabupaten Sidoarjo. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya bottleneck untuk melakukan distribusi di kota Surabaya itu sendiri, seperti masalah kepadatan lalu lintas yang mendorong tingginya harga.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 39

Sementara itu distribusi beras maupun semen antara pulau dilakukan dengan menggunakan truk container dari lokasi penggilingan beras atau distributor semen di Jombang, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, Banyuwangi dan Kediri seperti yang dinyatakan pada gambar di atas. Terlihat bahwa biaya angkut per kg berkisar antara Rp 50,-/kg hingga Rp 225,-/kg, dimana tariff biaya angkut/kg sejalan dengan jaraknya. Sebagai contoh, rute Banyuwangi-pelabuhan Tanjung Perak memiliki tarif tertinggi, mengingat jarak tempuhnya juga paling jauh. Namun demikian, rute ini tidak menunjukkan adanya bottleneck yang signifikan, mengingat dari sisi biaya angkut/kg/km justru menunjukkan biaya angkut yang relatif rendah. Rute lainnya seperti Jombang, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan justru menunjukkan biaya angkut/kg/km yang relatif lebih tinggi.

Gambar 4.3. Biaya Trucking/kg dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke

Pelabuhan

Gambar 4.4. Biaya Trucking/kg/km dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke

Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

Sumber: Hasil survei

Selain biaya per kg dan per-km, dianalisis juga biaya komponen biaya distribusi dengan menggunakan truk. Biaya dikelompokkan menjadi biaya bongkar muat di pelabuhan, biaya truk dari pelabuhan ke gudang pembeli, serta biaya-biaya lainnya yang diperlukan selama proses tersebut, seperti biaya administrasi, biaya pungutan, perizinan dan biaya lainnya.

Dari hasil ini juga menarik untuk diperhatikan adalah perijinan baik ditingkat daerah atau pusat menjadi hal yang perlu diperhatikan. Gambar 4.5. menunjukkan komponen biaya pengiriman dari gudang pedagang sampai ke Pelabuhan Tanjung Perak. Walaupun biaya pengiriman dengan truk merupakan komponen biaya yang tertinggi akan tetapi biaya perijinan dan pungutan yaitu sebesar Rp 355.000,- merupakan komponen biaya yang bisa dikurangi. Biaya perijinan dan pungutan yang dimaksud adalah perijinan dari Organda, polisi dan Pemda. Biaya THC di Tanjung Perak sebesar Rp 1.300.000,- sedangkan biaya administrasi sebesar Rp 300.000,-.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 40

Gambar 4.5. Komposisi Waktu Distribusi dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan

Sumber: Hasil survei d. Waktu Distribusi

Gambar 4.6. memberikan paparan mengenai waktu yang dibutuhkan untuk pengiriman beras/semen dari gudang yang terletak di berbagai daerah di luar Surabaya menuju Tanjung Perak. Menarik untuk diteliti lebih lanjut adalah waktu tunggu kapal, diluar kegiatan bongkar muat rata-rata bisa mencapai 53 jam, atau lebih dari 2 hari.

Gambar 4.6. Waktu yang dibutuhkan untuk Pengiriman dari Gudang Pedagang sampai ke Pelabuhan Tanjung Perak (Jam)

Sumber: Hasil survei

Lebih jauh, gambaran mengenai proses distribusi barang dengan menggunakan truk digambarkan pada gambar 4.7. di bawah ini. Terlihat bahwa lama perjalanan dari gudang pembeli ke pelabuhan proporsional terhadap jaraknya. Jarak tempuh yang lebih jauh membutuhkan waktu perjalanan yang juga lebih lama. Sementara itu Pelabuhan Tanjung Perak – Gresik dengan jarak sekitar 30 km membutuhkan waktu angkut sekitar 3 jam.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 41

Gambar 4.7. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Dari hasil survei terhadap pedagang beras antar pulau, ditemukan bahwa kepadatan lalu lintas menjadi kendala utama dalam kegiatan usaha mereka, khususnya pengiriman beras. Gambar 4.8. menjelaskan hasil survei terhadap pedagang beras di sekitar Surabaya mengenai faktor-faktor hambatan usaha, khususnya pengiriman beras. Nilai yang semakin besar (skala 1 – 5) menyatakan hambatan yang besar. Sebagai contoh, kepadatan di jalan raya merupakan hambatan yang signifikan dalam pengiriman barang, bagi pedagang beras.

Gambar 4.8. Hasil Survei Persepsi Pedagang Beras di Surabaya Tentang Hambatan Usaha

Sumber: Hasil survei

Dari hasil survei yang perlu diperhatikan adalah kualitas freight forwarder dan perusahaan truk lebih baik dibandingkan dengan kualitas infrastruktur. Dari hasil ini, membuktikan bahwa peranan pihak swasta, khususnya perusahaan logistik telah berperan dengan baik. Infrastruktur baik jalanan ditingkat kota, kabupaten, provinsi menjadi kendala dalam proses pengiriman.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 42

Gambar 4.9. Hasil Survei Persepsi Pedagang Semen di Surabaya Tentang Hambatan Usaha

Sumber: Hasil survei

Pedagang semen juga menganggap kepadatan di jalan menjadi penghambat usaha mereka, khususnya dalam distribusi barang. Yang juga dianggap sebagai penghambat adalah perijinan baik di tingkat pusat dan daerah serta kualitas infrastruktur di jalan provinsi.

Gambar 4.10. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Surabaya Tentang Hambatan Usaha

Sumber: Hasil survei

Sementara itu, persepsi mengenai hambatan usaha bagi perusahaan ekspedisi, tidak jauh berbeda dengan para pedagang semen di Surabaya. Yang dianggap sebagai hambatan dalam kegiatan usaha mereka berturut-turut adalah: perijinan di tingkat pemerintah daerah, perijinan di tingkat daerah, kepadatan di jalan serta kualitas infrastruktur jalan provinsi.

Sebagai kesimpulan, dari ketiga kelompok responden menyatakan bahwa kepadatan di jalan serta kualitas jalan provinsi menjadi hambatan. Kedua faktor ini dapat terkait dimana kondisi infrastruktur yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya kepadatan di jalan. Selanjutnya yang menjadi penghambat adalah kualitas perijinan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut yang potensial untuk diperbaiki dalam menghilangkan hambatan usaha dalam melakukan proses distribusi barang.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 43

4.1.2. Analisis Rantai Pasok Antar Pulau di Kota Makassar

a. Rantai Pasok Perdagangan Beras

Alur Rantai Pasok Beras yang Berasal dari Makassar

Terdapat beberapa sentra produksi beras di Sulawesi Selatan, seperti Sidrap dan Maros. Survei yang dilakukan pada studi ini dilakukan di Sidrap dan sekitarnya. Berdasarkan hasil survei, daerah asal beras antara lain: Wajo, Bone, Sidrap, Palopo, Barru, Pinrang, Soppeng, serta Maros. Alur rantai pasok produksi beras umumnya dimulai dari petani, dilanjutkan kepada petani pengumpul atau langsung kepada perusahaan penggilingan beras, hingga ke pedagang yang ada di kota yang sama maupun kota lain, baik di Sulawesi maupun pulau lainnya, seperti yang digambarkan pada bagan di bawah ini.

Gambar 4.11. Alur Rantai Pasok Perdagangan Beras di Makassar

Petani Pengumpul Penggilingan

Pengecer di kota lain, pulau yang sama

Distributor di pulau lain Penggilingan menerima dari

pengumpul/petani berupa gabah

Bulog

Pengecer di pulau lain

Distributor di Makassar

Distributor /Pengecer di pulau lain

Sumber: Disarikan dari hasil survei

Umumnya perusahaan penggiling mencari secara aktif pasokan gabah, baik langsung ke para petani atau melalui petani pengumpul. Namun demikian, ada sebagian kecil perusahaan penggiling beras yang menerima dari petani di sekitarnya.

Pergerakan Harga Beras di Sepanjang Rantai Pasok

Berikut ini adalah harga beras yang dicatat berdasarkan hasil survei kepada perusahaan penggiling dan pedagang beras di Makassar. Proses yang dilakukan oleh perusahaan penggilingan beras pada dasarnya sama dengan yang telah dipaparkan di laporan bagian Surabaya, yaitu mulai dari gabah, pecah kulit, hingga menjadi beras siap konsumsi.

Jika perusahaan Penggiling Beras membeli gabah dari petani, maka harga rata-ratanya adalah sebesar Rp 3.525. Gabah tersebut kemudian diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan beras yang siap dikonsumsi. Berdasarkan informasi dari responden, umumnya dari 1 kg gabah akan dihasilkan beras 1/2 kg. Beras jadi yang telah diproduksi penggiling padi ini kemudian dijual kepada pedagang beras di Makassar dan sekitarnya, dimana harga jual sudah termasuk ongkos kirim.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 44

Tabel 4.2. Harga Beras berdasarkan Proses Produksinya

Pelaku Harga Jual per kg (Rp) Produk Keterangan

Petani

6,377

Beras pecah kulit

Jika petani menjual dalam bentuk gabah, maka harganya sekitar Rp 3.525

Perusahaan Penggiling

Beras

6,721

Beras siap konsumsi

• Dari beras pecah kulit, umumnya beras akan melalui proses pemutihan, pengayakan, penyortiran hingga menjadi beras sesuai dengan kualitas yang diinginkan

• Dari Perusahaan penggiling beras dapat menjual langsung kepada pedagang beras, termasuk pedagang di pulau yang berbeda

Pedagang

7,500

Beras siap konsumsi

Sumber: Hasil survei. Catatan: Jenis beras adalah kualitas menengah

b. Rantai Pasok Perdagangan Semen

Alur Rantai Pasok Semen yang Berasal Dari Makassar

Survei untuk mengetahui distribusi beras di Makassar dilakukan ke salah satu produsen semen di Makassar, yaitu semen Bosowa. Semen Bosowa memiliki daerah pemasaran di luar Makassar, antara Kalimantan Timur (Balikpapan), Jawa Timur (Surabaya), kota lainnya di Sulawesi seperti Manado, Palu, dan Kendari, NTB dan NTT, serta Papua Barat, Jayapura dan Sorong. Komposisi pemasaran hasil produksi PT. Bosowa adalah sebanyak 25% untuk konsumsi pasar di Sulawesi Selatan, sementara 75% sisanya untuk kota dan pulau lainnya. Dari produk yang dipasarkan ke pulau lain, sekitar 25% menggunakan container. Alur rantai pasok produksi semen PT. Bosowa dinyatakan pada diagram berikut ini.

Gambar 4.12. Alur Rantai Pasok Semen di Makassar

Produsen PT. Bosowa di Makassar

Distributor di Kalimantan

Distributor di NTB, NTT

Distributor di Papua

Distributor di Manado, Palu, Kendari

Ritel

Ritel

Ritel

Ritel

Distributor semen Bosowa adalah

entitas yang berbeda dgn

produsen

Sumber: Disarikan dari hasil survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 45

Dalam memasarkan produknya di kota/pulau lain, PT. Bosowa memiliki distributor-distributor di kota-kota tujuan. Selanjutnya, distributor-distributor tersebut yang akan mengatur jasa ekspedisi dalam mengurus angkutan semen dari Makassar ke lokasi distributor. Dengan demikian, PT. Bosowa tidak mengatur teknis pelaksanaan pengangkutan distribusi semen tersebut.

Pergerakan Harga Semen di Sepanjang Rantai Pasok

Dalam penentuan harga, PT. Semen Bosowa turut menentukan harga yang beredar di pasar, khususnya harga di tingkat distributor. Harga semen per sak di tingkat pabrik di Makassar adalah Rp 36.500,-. Sementara itu harga di tingkat distributor per sak adalah sebesar Rp 39.000,-. Selanjutnya, harga di tingkat toko per sak-nya mencapai Rp 41.000,- hingga Rp 42.000,-. Harga-harga patokan ini ditentukan oleh pihak PT. Bosowa, agar tidak mencapai perbedaan harga yang terlalu tinggi di tingkat ritel. Hal ini juga mencegah pihak ritel mengambil margin keuntungan yang terlalu tinggi. Khusus untuk Sorong, harga jual tidak bisa disamakan dengan kota lainnya. Harga ritel di Sorong dapat mencapai sekitar Rp 50.000,- hingga Rp 70.000,-/sak.

c. Biaya Distribusi

Berdasarkan alur rantai pasok yang digambarkan di atas, studi ini mengidentifikasi biaya distribusi beras, dimulai dari perusahaan penggilingan beras atau distributor semen hingga ke pelabuhan untuk kemudian diangkut ke pulau lainnya. Studi tidak mempertimbangkan distribusi beras dari petani ke penggiling, mengingat jarak yang umumnya relatif pendek.

Setelah dilakukan proses produksi di perusahaan penggiling beras, yaitu dari gabah hingga menjadi beras, beras siap dikirim ke pedagang beras. Sekitar 80% perusahaan penggilingan beras memiliki truk sendiri untuk mengangkut beras hasil produksinya yang dipasarkan di kota/kecamatan lainnya di Sulawesi Selatan. Sisanya akan menggunakan jasa perusahaan trucking. Umumnya, biaya kirim sudah termasuk ke dalam harga jual beras. Ongkos kirim berkisar antara Rp 50,-/kg – Rp 115,-/kg beras, tergantung kepada jaraknya. Umumnya truk yang digunakan berkapasitas 5-10 ton. Namun demikian, jika jumlah muatan besar, dimungkinkan untuk menggunakan truk container. Gambar 4.13. di bawah ini menggambarkan biaya angkut truk dari perusahaan Penggiling di daerah sumber-sumber beras ke kota/kecamatan lain di Sulawesi Selatan.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 46

Gambar 4.13. Biaya truk dari Perusahaan Penggilingan Beras ke Pedagang Beras di Makassar dan sekitarnya

Sumber: Hasil survei

Dari gambar di atas terlihat bahwa rute yang cukup jauh, seperti Sidrap-Makassar, Sidrap-Pare-pare atau Sidrap-Tator memiliki biaya angkut yang lebih tinggi. Sementara itu, untuk jarak yang relatif dekat, seperti di dalam kecamatan Sidrap atau dari Maros ke Makassar, umumnya berat muatannya relatif lebih kecil, dimana biaya angkutnya adalah sebesar Rp 50,-/kg.

Sementara itu, distribusi beras antar pulau umumnya dimulai dari daerah kecamatan sumber beras, kemudian diangkut ke pelabuhan di kota Makassar. Truk yang digunakan umumnya adalah truk container berukuran 20 feet, yang kemudian langsung dimuat ke atas kapal laut. Gambar di bawah ini menunjukkan biaya angkut per kg serta jarak dari sumber asal beras maupun distributor semen ke pelabuhan Makassar untuk diangkut antar pulau. Mengingat jumlah muatan dengan menggunakan container lebih besar dari truk kecil, maka biaya angkut per kg relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya dengan truk kecil. Dapat diperhatikan pula bahwa untuk daerah sumber komoditi di kecamatan seperti Wajo, Pankajene, Paucino, dan Joli yang relative jauh (sekitar 200-250 km) menuju pelabuhan Makassar memiliki biaya angkut per kg yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute lainnya.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 47

Gambar 4.14. Biaya Trucking/kg dari Lokasi Sumber Beras/Semen ke

Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

Gambar 4.15. Biaya Trucking/kg/km dariLokasi Sumber Beras/Semen ke

Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

Yang cukup menarik dianalisis lebih lanjut adalah, rute dengan jarak terjauh tidak serta merta memiliki biaya angkut/kg/km yang paling tinggi. Sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 4.15., terlihat bahwa biaya/kg/km yang tertinggi justru yang berasal dari Maros, yang jaraknya hanya sekitar 50 km ke pelabuhan Makassar, disusul dengan Pangkep dengan jarak yang kurang lebih sama (50 km). Biaya angkut ini sekaligus dapat menunjukkan adanya bottleneck yang mungkin terjadi pada rute tersebut, mengingat biaya per-unitnya menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan perusahaan ekspedisi, akses jalan dengan rute Maros – Makassar memang relatif kecil, sehingga sering terjadi kemacetan yang cukup parah.

Dalam proses distribusi mulai dari gudang pedagang atau gudang penggiling beras hingga ke pelabuhan, terdapat komponen-komponen biaya-biaya lain, selain biaya truk itu sendiri. Rata-rata komponen biaya distribusi yang diperoleh dari hasil survei dinyatakan pada gambar berikut ini.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 48

Gambar 4.16. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Gudang Hingga ke Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

Dari hasil survei diketahui bahwa komponen biaya distribusi terbesar adalah biaya trucking, dari gudang pedagang/penggiling ke pelabuhan. Untuk rata-rata jarak sebesar 159 km, biaya truk rata-rata adalah sebesar Rp 2.375.000,-. Komponen biaya lainnya adalah biaya di pelabuhan (THC) sebesar satu juta rupiah, disusul oleh biaya administrasi sebesar Rp 200.000,-. Yang cukup menarik, biaya perizinan dan pungutan per-proses pengiriman dianggap sangat kecil, atau hanya sebesar kurang lebih Rp 5000,- untuk setiap pengiriman. Namun demikian, perusahaan ekspedisi perlu untuk membayar biaya perizinan tahunan seperti izin lintas antar kabupaten atau izin pelabuhan seperti yang dinyatakan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3. Biaya perizinan operasional perusahaan ekspedisi (tahunan)

Jenis Perizinan Biaya (Rp) Keterangan

Izin lintas antar kabupaten 100,000 per-tahun/per-mobil

Izin Pelabuhan 85,000 per-tahun

Sumber: Hasil survei

d. Waktu Distribusi

Waktu distribusi juga dapat menggambarkan kelancaran proses distribusi barang. Secara rata-rata, dibutuhkan waktu sekitar 2 hari di pelabuhan sebelum kapal dapat diberangkatkan. Ini juga terkait dengan waktu closing kapal, untuk kemudian dilakukan proses bongkar muat barang ke kapal. Proses bongkar muatnya sendiri memakan waktu sekitar 1 hari. Sementara itu, rata-rata lama perjalanan di jalan memakan waktu rata-rata 12.3 jam, yang tentunya akan tergantung kepada jarak tempuhnya.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 49

Gambar 4.17. Komposisi waktu Distribusi dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan (jam)

Sumber: Hasil survei

Menarik jika ditinjau lebih lanjut mengenai waktu perjalanan truk dengan menggunakan infrastruktur jalan, sebagaimana digambarkan pada gambar di bawah ini. Lokasi gudang yang berjarak terjauh, yaitu Wajo (250 km) hanya membutuhkan waktu 5 jam perjalanan. Sementara itu, Maros yang berjarak hanya sekitar 30 km membutuhkan waktu perjalanan sekitar 2 jam. Gambaran ini juga dapat menunjukkan kemungkinan adanya hambatan dalam hal infrastruktur yang terjadi di rute-rute Pangkajene, Pacino, Toli yang memiliki waktu tempuh perjalanan yang cukup lama, atau Maros dan Pangkep yang secara jarak relatif pendek, namun membutuhkan waktu perjalanan yang lebih lama.

Gambar 4.18. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Gudang Pedagang Hingga ke Pelabuhan

Sumber: Hasil survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 50

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Persepsi para responden mengenai hambatan-hambatan usaha mereka cukup sejalan dengan indikator biaya dan waktu yang telah dijelaskan di atas. Bagi ekspedisi, yang dianggap paling menjadi hambatan adalah kepadatan di jalan, disusul dengan kepadatan di pelabuhan. Yang cukup menarik, perizinan dianggap tidak terlalu signifikan sebagai hambatan usaha. Selanjutnya, pungutan bahkan dianggap sama sekali tidak menjadi hambatan.

Gambar 4.19. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Makassar tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil survei

Tidak jauh berbeda dengan perusahaan ekspedisi, pedagang beras di Makassar juga menganggap bahwa faktor kepadatan di jalan dan kualitas infrastruktur, khususnya di jalan provinsi yang dianggap paling menghambat usahanya. Namun demikian, jika ditinjau dari besarnya skor hambatan, persepsi para pedagang terhadap iklim berusaha usaha di Makassar cukup positif. Skor hambatan usaha terbesar hanya 2.4 (skor 5 paling menghambat). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa walau hambatan dalam usaha dapat mereka temui, namun tingkatnya masih cukup rendah.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 51

Gambar 4.20. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Beras di Makassar tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil survei

4.1.3. Analisis Biaya Dan Waktu Distribusi Antar Pulau dengan Kapal Laut

Pada bagian ini akan dijelaskan hasil survei mengenai distirbusi dengan angkutan laut dari pelabuhan asal, yaitu pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya) dan pelabuhan Makassar (Makassar) menuju pelabuhan-pelabuhan di kota tujuan, yaitu Medan, Manado, Banjarmasin, dan Sorong. Jalur angkutan laut yang akan diteliti adalah Surabaya Makassar, Surabaya Manado, Surabya Banjarmasin, Surabaya Medan, Surabaya Sorong, Makassar Manado, dan Makassar Sorong.

Gambar 4.21. Distribusi Angkutan Laut yang akan Diteliti Dalam Studi

Sumber: Tim Kajian

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 52

Berdasarkan hasil survei, di Surabaya, sebagian besar ekspedisi menyediakan jasa pengiriman antar pulau dan trucking. Ekspedisi di Surabaya melakukan seluruh pengiriman antar pulau yang berasal dari kota Surabaya. Sedangkan di Makassar, hanya setengah dari ekspedisi yang memiliki jasa pengangkutan barang antar pulau. Ini menyebabkan hanya sebagian kecil (30%) jasa pengiriman antar pulau dari Makassar dapat ditangani oleh ekspedisi yang berasal dari Makassar. Ini menandakan bahwa, terjadi perbedaan jumlah penyedia jasa angkutan antar pulau antar Surabaya dan Makassar. Dimana, di Surabaya pengguna jasa mempunyai lebih banyak pilihan perusahaan pengangkutan antar pulau.

Hampir keseluruhan perjanjian pengiriman barang antar pulau yang berasal dari Surabaya mempergunakan gudang penjual sampai pelabuhan tujuan (di kota pembeli). Dari hasil survei, gambar dibawah menjelaskan perbedaan biaya pengiriman antar pulau (sudah termasuk biaya-biaya di pelabuhan asal dan tujuan).

Gambar 4.21. Biaya Pengiriman Barang Antar Pulau yang Berasal dari Surabaya

Sumber: Hasil survei

Gambar 4.22 Biaya Pengiriman Barang Antar Pulau yang Berasal dari Makassar

Sumber: Hasil survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 53

Dari dua gambar diatas dapat dilihat bahwa, biaya pelabuhan sudah cukup stabil dengan rata-rata sekitar Rp 2.400.000,-. Akan tetapi, perbedaan terbesar terjadi di biaya pengiriman (sea freight costs). Untuk Surabaya, biaya tertinggi adalah pengiriman barang menuju Sorong, disusul oleh Surabaya menuju Manado. Untuk Makassar, biaya tertinggi adalah pengiriman barang menuju Sorong.

Jika dilihat dari biaya pengiriman per Km, yang dapat dipergunakan untuk menganalisis perbandingan antara rute. Terlihat bahwa, Surabaya – Banjarmasin merupakan yang terbesar, disusul oleh Surabaya – Sorong dan Makassar – Sorong. Akan tetapi, setelah melakukan analisis lebih lanjut, diketahui bahwa permasalahan di rute Surabaya – Banjarmasin dikarenakan jarak (480 Km) yang memang relatif lebih dekat dibandingkan rute yang lain. Bisa dijadikan pertimbangan untuk melakukan pengurangan biaya dengan mempergunakan kapal tipe RoRo.

Gambar 4.23. Perbandingan Biaya per Km

Sumber: Hasil survei

Dari hasil analisis terdapat permasalahan yang sama dalam penyebab tingginya biaya pengiriman antar pulau, terutama untuk pengiriman barang ke Sorong, yaitu antara lain adalah :

1. Kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai. Yang tentunya berdampak kinerja pelabuhan yang rendah dan kepada tingginya waktu tunggu kapal (vessel waiting time) yang pada akhirnya menyebabkan tingginya biaya pengiriman barang antar pulau. Di pelabuhan Sorong waktu tunggu kapal (vessel waiting time) memakan waktu sampai 3 hari dan loading/unloading barang memakan waktu 8 hari. Tabel berikut memberikan informasi mengenai kualitas infrastruktur yang rendah.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 54

Tabel 4.4. Infrastruktur dan Produktivitas Pelabuhan

Number Length (m)

Makassar 5 1,310 5 25 Container Terminal 1Bitung 10 1,447 3 25 Container Terminal 2Banjarmasin 5 1,468 4 20 Container Terminal 3Sorong 3 280 none 9 Conventional 8

Time for loading/unloading

(day) - survey result*

BerthsName of Port

Shore Gantry

Productivity of Cargo Handling (Box/Crane/Ho

Type of Terminal

Sumber: Pelindo, diolah

2. Frekuensi keberangkatan kapal yang rendah. Terutama untuk kapal yang ditujukan ke Sorong atau Indonesia timur lainnya. Gambar berikut menunjukkan bahwa ada hubungan yang terbalik antara frekuensi keberangkatan kapal dengan biaya pengiriman (sea freight costs). Dengan frekuensi yang lebih besar, biaya pengiriman dapan lebih rendah dan sebaliknya. Tentunya frekuensi yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume pengiriman barang (demand pengiriman barang).

Secara umum, rute dengan frekuensi yang tinggi memiliki harga yang daya saing lebih baik. Ini terbukti dengan kasus Surabaya-Banjarmasin, Surabaya-Samarinda, Surabaya-Belawan, Surabaya-Makassar dan Makassar-Surabaya. Alasannya adalah :

- Tingginya volume perdagangan, atau sejalan dengan prinsip ship follow the trade. Makassar dan Medan yang memiliki volume perdagangan yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi perjalanan untuk rute tersebut. Sebaliknya, kota dengan perekonomian yang lebih lambat pertumbuhannya, seperti Sorong atau Ambon akan memiliki frekuensi perjalanan yang rendah.

Gambar 4.24. Frekuensi Perjalanan Kapal Peti Kemas dengan Biaya Pengiriman

Sumber: Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS Surabaya – 2011)

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 55

- Lokasi pelabuhan yang merupakan hub ports umumnya memiliki frekuensi perjalanan lebih tinggi. Kota seperti Makassar merupakan lokasi transit bagi perdagangan lainnya di daerah timur Indonesia, seperti menuju wilayah Papua, Ambon dan sekitarnya, atau kota lainnya di pulau Sulawesi; Banjarmasin merupakan hub bagi kota lainnya di Kalimantan melalui jalur darat. Oleh sebab itu, tingginya potensi hinterland bagi pelabuhan-pelabuhan hub tersebut mendorong tingginya frekuensi perjalanan menuju kota-kota tersebut.

3. Muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul problem). Rute dengan biaya sea-freight mahal dengan tujuan Sorong, Ternate, atau Bitung memiliki gap sea-freight tariff yang cukup besar untuk arus baliknya. Grafik di bawah ini menunjukkan bagaimana besarnya perbedaan tarif antara Jakarta-Sorong dengan Sorong-Jakarta, atau Surabaya-Sorong dengan Sorong-Jakarta.

Gambar 4.25. Volume Perdagangan yang Tidak Seimbang Menyebabkan Muatan Balik yang Kosong

Sumber: Hasil Survei

Hal ini disebabkan oleh adanya empty backhaul atau kosongnya muatan pada arus balik. Perusahaan shipping umumnya akan menurunkan biaya angkut hingga sangat rendah – hingga hanya 1/3 dari tarif inbound – saat mengangkut barang pada rute arus balik tersebut. Dengan demikian, dapat diduga tingginya biaya sea-freight ke kota tujuan Sorong, Ternate atau Bitung karena turut memperhitungkan adanya potensi backhaul ini.

Adanya masalah backhaul ini juga turut berkontribusi pada waktu loading/unloading yang lebih lama, sebagaimana yang terjadi di pelabuhan Bitung. Proses loading/unloading yang seharusnya bisa dicapai 1 hari, tapi secara efektif mencapai 2 hari. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan masuknya muatan untuk diangkut dari Bitung.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 56

4.2. Hasil Survei dan Analisis di Kota Tujuan Pada bagian ini akan dijelaskan hasil survei yang dilakukan ke kota-kota tujuan

perdagangan antar pulau, yaitu Medan, Manado, Banjarmasin, dan Sorong. Analisis hasil survei mengenai kota tujuan diasumsikan dimulai dari proses bongkar muat di pelabuhan hingga proses distribusi dari pelabuhan ke gudang pembeli. Sebagaimana di kota asal, analisis meliputi biaya distribusi, waktu distribusi, serta persepsi dari para responden mengenai hambatan usaha mereka terkait dengan proses distribusi antar pulau. Proses distribusi yang dimaksud terkait dengan komoditi beras dan semen.

4.2.1. Perdagangan Beras Dan Semen Antar Pulau Menuju Ke Medan

a. Pergerakan Harga Beras di Sepanjang Rantai Pasok

Dari hasil survei diketahui bahwa 75% responden distributor beras memperoleh berasnya dari pedagang antar pulau di Pasar Induk Cipinang Jakarta, sementara sisanya memperoleh beras masing-masing dari pedagang di Surabaya dan Solo. Untuk proses pengirimannya, yang mengatur serta menanggung biaya distribusi adalah penjual antar pulau yang berlokasi di tempat asal beras. Dengan demikian, harga yang diterima oleh para pedagang di Medan di lokasi gudang mereka sudah termasuk dengan ongkos kirimnya. Namun demikian, distributor memperhitungkan biaya simpan yaitu sebesar Rp 10,-/kg. Rata-rata harga beli dan jual beras dari distributor kepada agen/ritel adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Rata-rata Harga Beli dan Jual Beras dari Distributor kepada Agen/Ritel

Beras

Harga Distributor Harga

Jual Ritel

Selisih Harga

Harga Beli Distributor

Harga Jual Distributor

Jual vs Beli Distributor

Jual Ritel vs Jual

Distributor

Kualitas Rendah 8,250.0 8,337.5 8,500.0 87.5 162.50

Kualitas Menengah 8,937.5 9,037.5 9,450.0 100.0 412.50

Kualitas Premium 10,106.3 10,250.0 10,333.3 143.8 83.33

Selisih harga sebagaimana yang ditunjukan pada tabel di atas dapat menggambarkan margin, biaya transportasi, biaya operasional lainnya. Terlihat bahwa selisih harga antara harga jual di tingkat ritel dan distributor lebih besar dibandingkan dengan selisih harga Antara harga jual dan harga beli di tingkat distributor. Hal yang mendasarinya antara lain karena biaya operasional lebih besar, misalnya sewa lokasi, pegawai yang lebih banyak, biaya transportasi dari distributor ke peritel tersebut, termasuk margin. Yang cukup menarik adalah khusus untuk beras kualitas premium, selisih harga antara harga ritel dengan harga distributor lebih kecil dibanding dengan selisih harga antara harga jual dan harga beli di tingkat distributor. Salah satu faktornya adalah harga jual di tingkat distributor yang sudah cukup ditinggi, sehingga peritel tidak dapat mengambil margin yang terlalu besar untuk beras jenis ini.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 57

b. Pergerakan Harga Semen di Sepanjang Rantai Pasok

Mengingat di kota lain sekitar kota Medan terdapat beberapa produsen semen, yaitu di Sumatera Barat, maka mayoritas sumber semen terutama berasal dari daerah Sumatera Barat. Sebagaimana yang diperoleh dari hasil survei, responden distributor semen memperoleh semen dari Padang, khususnya Indarung serta Jakarta. Sekitar 75% dari responden memperoleh pasokan semen dari Padang (Indarung), dimana sisanya dari Jakarta. Rata-rata harga jual semen di kota Medan dinyatakan pada tabel berikut.

Tabel 4.6. Harga Jual Semen Serta Margin di Tingkat Pedagang

Merek Harga/sak Harga/kg Margin/kgHolcim 44,700 894 100Merah Putih 45,000 900 100Padang 47,667 953.3 100Tiga Roda 44,500 890 100Andalas 48,000 960 100Rata-rata 45,973 919.5 100

Keterangan: 1 sak = 50 kg

Rata-rata harga semen di kota Medan adalah sebesar Rp 45.973,-/sak atau Rp 919.5,-/kg. Sementara itu, dari hasil survei kepada pedagang semen diketahui bahwa rata-rata mereka mengambil margin keuntungan bersih hanya sebesar Rp 100,-/kg, atau Rp 5000,-/sak semen.

Sebanyak 75% responden penjual semen menyatakan bahwa mereka tidak mengeluarkan biaya simpan di gudang. Namun demikian, terdapat responden sisanya yang menyatakan bahwa biaya simpan semen di gudang berkisar Antara Rp 250,-/sak hingga Rp 500,-/sak. Selain biaya simpan, umumnya pedagang akan mengeluarkan biaya angkut dari lokasi toko pedagang ke lokasi konsumen.

c. Biaya Distribusi

Dalam perdagangan beras dan semen antar pulau, setelah diangkut dengan kapal container, barang diangkut kemudian ke pembeli dengan menggunakan truk container. Dari hasil survei, diketahui bahwa jarak antara pelabuhan dengan gudang pembeli tidak memiliki variasi yang tinggi, yaitu berkisar antara 20 km hingga 40 km. Biaya truk untuk rute-rute tersebut juga relatif rendah, yaitu hanya berkisar antara Rp 25,-/kg hingga Rp 65,-/kg. Menurut responden di Medan, tidak ada perbedaan dalam hal biaya angkutan dengan menggunakan truk antara komoditi beras maupun semen. Berikut ini adalah biaya trucking dari pelabuhan Belawan di Medan ke berbagai wilayah di Medan dan sekitarnya.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 58

Gambar 4.26. Biaya Trucking/kg dari

Pelabuhan ke Gudang Pembeli Gambar 4.27 Biaya Trucking/kg/km dari

Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil survei

Sumber: Hasil survei

Untuk melihat kemungkinan adanya bottleneck yang terjadi dalam jalur distribusi dalam kota, dapat digunakan indikator berupa biaya trucking/kg/km. Dapat terlihat bahwa dibandingkan dengan rute yang ada, rute dari pelabuhan Belawan ke daerah Kayu Putih memiliki biaya trucking per kg per-km yang tertinggi (Gambar 4.27.).

Gambar 4.28 Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang

Sumber: Hasil Survei

Sementara itu ditinjau dari komponen biaya angkut, komponen biaya administrasi dan biaya lain memakan porsi yang cukup besar, yaitu keduanya secara bersama-sama mencapai sekitar 40% dari total biaya angkut. Khusus untuk biaya lainnya, umumnya mencakup biaya jaminan container serta biaya buruh. Relatif terhadap total biaya, dapat terlihat bahwa biaya trucking sendiri tidak terlalu besar, dimana porsinya hanya sekitar 30% dari total biaya angkut.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 59

d. Waktu Distribusi

Gambaran mengenai waktu distribusi barang mulai dari tiba di pelabuhan hingga sampai ke gudang pembeli dinyatakan pada gambar di bawah ini. Waktu distribusi di kota tujuan dimulai dari saat kapal tiba di pelabuhan hingga barang sampai ke gudang pembeli, atau dibagi menjadi waktu tunggu kapal di pelabuhan, waktu bongkar container dari kapal, dan lamanya perjalanan dari pelabuhan hingga ke gudang pembeli.

Gambar 4.30. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil Survei

Dapat terlihat bahwa dari ketiga tahapan tersebut, waktu tunggu kapal di pelabuhan diluar dari kegiatan bongkar muat memakan waktu terbesar, yaitu rata-rata 5 hari. Proses bongkar dari kapal juga relatif memakan waktu yang lama, yaitu rata-rata selama 2.7 hari. Dengan demikian, waktu perjalanan barang dari pelabuhan ke gudang pembeli relatif lebih cepat, yaitu hanya sekitar 1-2 jam saja.

Gambar 4.29. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 60

Ditinjau dari waktu perjalanan truk dari pelabuhan ke gudang pembeli, terlihat bahwa tidak terdapat adanya bottleneck yang berarti. Lama perjalanan cenderung seragam, kecuali rute pelabuhan ke daerah Titi Papan, dimana jarak 25 km ditempuh dalam waktu 2 jam. Terlihat pula bahwa rute pelabuhan menuju daerah Batang Kuis dan Tanjung Morawa cukup efisien, dimana walau jaraknya cukup jauh (40 km) namun bisa ditempuh sekitar 1 jam. Hal ini disebabkan karena tersedia akses jalan tol yang menuju ke kedua lokasi tersebut.

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Persepsi dari responden mengenai hambatan usaha yang mempengaruhi aktivitas distribusi antar pulau dinyatakan pada 2 gambar di bawah ini. Persepsi yang diberikan responden dikonversi menjadi angka dengan skala 0-5, dimana 0 berarti tidak ada hambatan, sementara 5 berarti sangat menghambat.

Gambar 4.30. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Medan tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil Survei

Dari gambar di atas terlihat bahwa secara umum responden perusahaan ekspedisi tidak terlalu menghambat kegiatan usahanya. Konversi persepsi semua berada pada skala 0 hingga kurang dari 2,5. Yang dirasakan responden sebagai hambatan usaha secara berturut-turut adalah kualitas SDM, kepadatan di jalan dan kualitas truk.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 61

Gambar 4.31. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Beras di Medan tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil Survei

Responden pedagang beras secara umum menganggap tidak ada hambatan usaha yang signifikan dalam aktivitas perdagangan antar pulaunya. Di antara faktor-faktor yang ada, kepadatan di jalan yang memiliki skor tertinggi, walau nilai skornya dapat diartikan adanya sedikit hambatan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sejauh ini dari faktor-faktor terkait logistik yang diidentifikasi, tidak terdapat hambatan yang sangat mempengaruhi aktivitas distribusi yang responden lakukan.

Gambar 4.32. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Pedagang Semen di Medan tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil Survei

Persepsi pedagang semen tentang beberapa faktor yang menghambat usahanya tidak jauh berbeda dengan persepsi pedagang beras. Dari berbagai faktor yang ada, kepadatan di jalan yang menjadi faktor yang memiliki skor paling tinggi, disusul oleh kualitas infrastruktur baik di jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan kota.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 62

4.2.2. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju Ke Manado

a. Pergerakan Harga Beras di Sepanjang Rantai Pasok

Manado menerima pasokan beras, baik dari kota Surabaya maupun Makassar. Setelah distributor beras menerima pasokan beras, umumnya distributor akan mendistribusikannya ke toko-toko yang berlokasi di sekitar kota Manado. Dalam melakukan distribusi ke toko-toko, umumnya distributor menggunakan truk milik sendiri yang kapasitas muatannya sebanyak 5 ton. Berdasarkan hasil survei kepada responden, dalam melakukan kegiatan distribusi, margin keuntungan yang diambil oleh distributor tersebut adalah 6 hingga 8% dari harga jualnya. Berikut ini adalah perkembangan harga beras di tingkat distributor dan ritel di kota Manado yang dicatat dari hasil survei.

Tabel 4.7. Harga jual di tingkat Distributor dan Ritel di kota Manado

Harga Jual Distributor

Harga Jual Ritel

Selisih Harga Ritel vs

DistributorKualitas Rendah n.a 8,625.0 n.aKualitas Menengah 9,441.7 9,640.0 198.3 Kualitas Premium 11,833.3 14,000.0 2,166.7

Dapat diamati pada table di atas, peritel di Manado memiliki kemungkinan menerima margin yang lebih tinggi untuk beras jenis premium, dimana selisih harga antara harga di tingkat distributor dan harga di tingkat ritel adalah sebesar lebih dari Rp 2000,-/kg. Sementara selisih harga yang sama untuk jenis beras kualitas menengah hanya kurang dari Rp 200,-/kg. Dengan demikian, seorang peritel akan menerima margin keuntungan secara tidak langsung dari subsidi silang antara beras kualitas premium dengan kualitas menengah.

b. Pergerakan Harga Semen di Sepanjang Rantai Pasok

Manado menerima pasokan semen antara lain semen Tonasa, Bosowa dan Tiga Roda. Khusus untuk semen Tiga Roda, terdapat cabang perusahaan tersebut di kota Manado, untuk mendistribusikan produk semen dalam memenuhi kebutuhan semen di kota Manado dan sekitarnya. Dari total semen Tiga Roda yang dikirim antar pulau ke Manado, 90% menggunakan kapal kargo, dan hanya 10% yang menggunakan container. Dari hasil wawancara dengan perwakilan PT. Semen Tiga Roda, diketahui bahwa harga Semen di gudang Rp 55.000,- dan harga di pelabuhan Rp 54.000,-. Sementara harga di tingkat ritel umumnya ditambah dengan profit seribu hingga tiga ribu rupiah. Biaya kirim semen ke kota sebesar Rp 1000,-/kg – 1500,-/kg, dengan jarak 30 km (p.p). Jumlah semen yang didistribusikan perbulan adalah berkisar antara 5.000 ton/bulan – 10.000 ton/bulan. Sementara itu, hasil survei mengenai harga semen dan perkiraan margin di tingkat ritel di kota Manado adalah sebagai berikut.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 63

Tabel 4.8. Harga jual semen serta margin di tingkat pedagang

Merek Rp/kg Margin (Rp/kg)

Tonasa 1096 100

Bosowa 1050 100

Tiga Roda 1140 100

Dari berbagai merek semen yang berhasil disurvei di lapangan, umumnya harga jual semen tidak jauh berbeda. Diantara tiga merek semen, semen Tiga Roda memiliki harga yang relative lebih tinggi. Namun demikian, margin keuntungan yang diambil peritel umumnya sama, yaitu sebesar Rp 100,-/kg. Jika satu sak semen memiliki berat 50 kg, maka peritel akan menerima margin sebesar Rp 5000,-/sak semen.

c. Biaya Distribusi

Berikut ini akan diuraikan mengenai biaya distribusi beras dan semen yang berasal dari kota dan pulau lain, yang kemudian masuk ke kota Manado melalui pelabuhan. Menurut responden, terdapat perbedaan antara biaya mengangkut beras dan semen. Biaya mengangkut semen umumnya lebih mahal, yaitu 10-20% lebih mahal dibandingkan mengangkut beras. Terdapat alasan-alasan yang mendasari perbedaan ini, antara lain: (i) berat jenis semen lebih berat dibanding beras; (ii) terkait dengan no (i), maka biaya buruh untuk mengangkut semen lebih mahal; (iii) biaya angkut semen dihitung per sak, sementara beras dihitung beras netto-nya. Berikut ini adalah pengangkutan beras dengan menggunakan truk.

Gambar 4.33. Biaya Trucking/kg dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Gambar 4.34 Biaya Trucking/kg/km dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil survei

Sumber: Hasil survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 64

Terlihat bahwa biaya truk, khususnya pada rute pelabuhan Bitung ke kota/kabupaten sekitarnya, tidak menunjukkan proporsional tertentu antara jarak dan biaya per kg-nya. Rute Pelabuhan Bitung menuju ke Kabupaten/kota Kaidatan dan Likupang menunjukkan bahwa jarak yang lebih rendah tidak serta merta diikuti dengan tarif truk angkut yang lebih rendah. Di kota-kota tersebut, walau jarak antara kedua lokasi tersebut relatif dekat, yaitu hanya sekitar 30-40 km, biaya truk per kg nya cukup tinggi (Rp 100,-/kg). Berbeda halnya dengan daerah Warisa, dengan jarak tempuh mencapai lebih dari 475 km, biaya truknya hanya sebesar Rp 41,-/kg.

Namun demikian, kemungkinan terjadinya bottleneck adalah di Bitung, dimana biaya truk per/kg/km yang tertinggi, lebih besar dibanding rute lainnya, yaitu mencapai sekitar Rp 16 per kg per-km. Biaya truk untuk rute lainnya hanya sekitar Rp 2 per kg per-km. Menurut informasi dari responden, jalan di area Bitung dan sekitarnya cukup sempit. Hal ini yang mungkin memberikan kontribusi adanya bottleneck pada rute Bitung dan sekitarnya.

Tabel 4.9. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang

Komponen Biaya Rp %

Biaya THC Manado 1,067,443 32.0

Biaya Administrasi 548,213 16.4

Biaya lainnya 139,732 4.2

Biaya trucking dari pelabuhan ke gudang pembeli 1,189,113 35.6

Biaya perijinan 45,100 1.4

Biaya keamanan 144,345 4.3

Biaya pungutan 85,357 2.6

Biaya gudang di pelabuhan 116,325 3.5

Total 3,335,629 100

Sumber: Hasil Survei

Gambar 4.35. Komponen Rata-rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 65

Ditinjau dari komponen biayanya, porsi biaya trucking dari pelabuhan ke gudang pembeli menempati porsi terbesar, yaitu sekitar 35% dari total biaya, atau sebesar Rp 1.189.113,- untuk jarak tempuh sekitar 160 km dari pelabuhan. Komponen THC di pelabuhan Belawan adalah sebesar Rp 1.067.443,- atau sebesar 32% dari total biaya. Yang menarik, komponen biaya lainnya cukup tinggi, mencapai total 29% yaitu berupa biaya administrasi, biaya perizinan, biaya keamanan, biaya pungutan, biaya lainnya, serta biaya gudang. Komponen ini dibayar oleh perusahaan ekspedisi, yang tentunya akan dibebankan kepada pengguna jasa sebagai konsumen akhir.

d. Waktu Distribusi

Waktu distribusi merupakan salah satu indikator kinerja logistik antar pulau. Sebagaimana biaya distribusi, waktu distribusi dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu waktu bongkar muat di pelabuhan, waktu tunggu kapal sebelum berlayar (diluar aktivitas bongkar muat), serta lama perjalanan dari pelabuhan ke gudang pembeli.

Gambar 4.36. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil Survei

Dari ketiga aktivitas di atas, waktu bongkar muat di pelabuhan tercatat mencapai waktu terlama, yaitu 78.7 jam atau sekitar 3 hari. Sementara itu waktu bongkar muatnya saja juga turut memberikan kontribusi pada lamanya waktu distribusi, yaitu lebih dari 24 jam. Dengan demikian, waktu distribusi dengan menggunakan truk menempati porsi terkecil, yaitu selama 9.3 jam, untuk jarak rata-rata sebesar 9.3 km.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 66

Gambar 4.39. Waktu dan Jarak Tempuh Truk di Jalan dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil Survei

Lebih jauh, jarak dan waktu tempuh truk dapat memberikan indikasi ada tidaknya bottleneck di sepanjang rantai pasok terkait. Seperti yang terlihat di gambar di atas, rute pelabuhan Bitung – Warisa, Bitung – Kotamobagu yang memiliki jarak yang cukup jauh, yaitu mencapai berturut-turut 475 km dan 285 km mencatat waktu distribusi dengan truk sekitar 3 hari saja. Sementara itu rute Pelabuhan Bitung – Gorontalo dengan jarak sekitar 300 km membutuhkan waktu tempuh selama 2 hari.

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Berikut ini disajikan persepsi responden mengenai hambatan usaha, khususnya dalam melaksanakan distribusi beras dan semen.

Gambar 4.40. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Manado tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 67

Tidak jauh berbeda dengan daerah survei lainnya, yang dianggap menjadi hambatan usaha terkait aktivitas distribusi barang adalah kepadatan di jalan, disusul oleh kualitas infrastruktur di jalan kabupaten dan jalan provinsi. Kepadatan di pelabuhan juga dirasakan menjadi hambatan bagi responden di Manado. Hal lainnya adalah kualitas infrastruktur di jalan kota serta kualitas SDM. Yang cukup menarik, walau terdapat biaya perizinan dalam komponen biaya angkut, perizinan tidak terlalu dianggap sebagai hambatan bagi para responden.

4.2.3. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju Ke Sorong

a. Pergerakan Harga Beras Di Sepanjang Rantai Pasok

Hasil survei menunjukkan bahwa sumber beras antar pulau di Sorong berasal dari Surabaya. Mengenai proses pengiriman beras antar pulau, yang mengatur serta menanggung biaya distribusi adalah penjual antar pulau yang lokasinya berada di tempat asal beras hingga sampai ke pelabuhan. Sehingga, pedagang beras di Sorong sebagai pembeli beras antar pulau perlu menanggung biaya trucking dari pelabuhan Sorong ke gudang mereka. Berikut ini adalah harga beras baik di tingkat distributor maupun ritel.

Tabel 4.10. Harga Beli/Jual Beras per kg di tingkat Distributor dan Ritel

Beras

Harga Distributor Harga Ritel

Selisih Harga

Harga Beli Distributor

Harga Jual Distributor

Jual vs Beli

Distributor Ritel vs

Distributor

Kualitas Menengah 9,550 9,740

9,800 190 60

Kualitas Premium 10,700 11,000

13,400 300 2,400

Dari hasil survei terlihat bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antara selisih harga ritel dan distributor untuk beras kualitas premium dan kualitas menengah. Peritel diperkirakan mengambil margin keuntungan yang sangat tinggi untuk beras kualitas premium, mengingat jumlah konsumen yang mampu membeli beras jenis ini relative kecil. Sementara itu, dibandingkan dengan peritel, distributor diperkirakan hanya mengambil margin keuntungan yang lebih kecil untuk beras jenis ini.

b. Pergerakan Harga Semen Di Sepanjang Rantai Pasok

Dari hasil survei diketahui bahwa semen yang diperdagangkan antar pulau ke kota Sorong terutama berasal dari kota Makassar, yaitu merek Bosowa dan Tonasa. Namun demikian, diakui pula oleh responden bahwa pasar Sorong juga dipenuhi oleh pasokan semen dari Surabaya. Harga semen di tingkat ritel adalah sebagai berikut :

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 68

Tabel 4.11. Harga Semen serta Margin Keuntungan Ritel di Sorong

Harga/sak Harga/kg Margin/kgBosowa 83,000 1,660 100Tonasa 87,000 1,740 100Rata-rata 85,000 1,700 100

Jika dibandingkan dengan harga semen di Medan, diketahui bahwa harga semen di Sorong hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu rata-rata Rp 85.000,-/sak. Hal ini menunjukan adanya kontribusi biaya transportasi yang tinggi dari lokasi asal semen menuju ke kota Sorong. Namun demikian, walaupun harga jual yang tinggi, margin keuntungan yang diambil oleh peritel di Sorong juga relative sama, yaitu hanya sebesar Rp 100,-/kg atau Rp 8.500,-/saknya. Margin keuntungan bagi peritel relatif terbatas, mengingat harga tetap dikontrol oleh pihak produsen, sebagaimana informasi yang diperoleh dari responden perusahaan Bosowa di Makassar.

c. Biaya Distribusi

Berbeda dengan kota lainnya, di kota Sorong berlaku peraturan dimana container dilarang dibawa keluar area pelabuhan. Dengan demikian, container akan dibuka dan dibongkar area pelabuhan, dipindahkan isinya ke dalam truk, untuk kemudian diangkut ke gudang pemilik barang. Tentu saja truk yang digunakan memiliki kapasitas muatan yang lebih kecil. Dengan demikian, umumnya diperlukan 4 kali perjalanan untuk dapat mengangkut semua isi container berukuran 20 feet. Kapasitas muatan truk adalah sekitar 5 ton. Konsekuensinya, waktu yang diperlukan untuk mengangkut semua isi container 20 feet tersebut menjadi empat kali lipat waktu normal untuk satu kali perjalanan. Selain itu, terdapat adanya aktivitas tambahan berupa membongkar container dan memindahkan isinya ke dalam truk berukuran lebih kecil tersebut. Aktivitas ini tentunya akan menambah biaya distribusi.

Gambar 4.37. Biaya Trucking/kg dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Gambar 4.38. Biaya Trucking/kg/km dari Pelabuhan ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil survei Sumber: Hasil Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 69

Dapat diperhatikan bahwa jarak rata-rata pelabuhan dengan lokasi gudang relatif pendek, yaitu hanya berkisar antara 5 hingga 7 km. Jika ditinjau dalam hal biaya truk per kg, biaya truk relatif tidak terlalu mahal, yaitu hanya sebesar Rp 30-40 per kg. Namun demikian, jika diperhatikan biaya per kg dan per-km, maka biaya truk relatif tinggi, yaitu sebesar Rp 5-6 per kg per-km.

Untuk melihat kemungkinan adanya bottleneck yang terjadi dalam jalur distribusi dalam kota, dapat digunakan indikator berupa biaya trucking/kg/km. Secara umum, tidak terdapat perbedaan biaya trucking/kg/km yang signifikan untuk wilayah tujuan akhir Sorong dan sekitarnya serta Sorong Barat. Dengan demikian, kondisi infrastruktur maupun kepadatan jalan di antara kedua area tersebut relatif sama.

Gambar 4.39 Komponen Rata-Rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang

Sumber: Hasil Survei

Komponen biaya angkut mulai dari barang tiba di pelabuhan hingga sampai ke gudang pembeli terdiri dari: biaya THC, biaya bongkar dari container ke truk, biaya trucking dan biaya lain-lain (Gambar 4.42.). Dapat diamati bahwa terdapat biaya bongkar dari container ke truk yang mencapai rata-rata sebesar Rp 1.700.000,-. Hal ini terkait dengan adanya aturan dari pemerintah daerah kota Sorong yang melarang beroperasinya truk container keluar pelabuhan. Dengan demikian aktivitas bongkar dari container yang umumnya di kota lain dilakukan di gudang tujuan, perlu dilakukan di pelabuhan dan ini menimbulkan adanya biaya ekstra. Biaya bongkar ini mencapai lebih dari 2 kali lipat biaya trucking dari pelabuhan ke gudang. Selain itu, sebagaimana telah di sampaikan di atas biaya trucking ini terdiri dari 4 rit perjalanan, sehingga memakan waktu yang lebih lama. Biaya lainnya mencakup biaya untuk karantina tumbuhan, khusus untuk beras. Selain itu, khusus untuk semen, terdapat biaya tambahan (tuslag) sebesar 20% dari biaya mengangkut barang normal lainnya, mengingat semen dikategorikan sebagai bahan mengganggu.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 70

d. Waktu Distribusi

Gambaran mengenai waktu distribusi barang mulai dari tiba di pelabuhan hingga sampai ke gudang pembeli dinyatakan pada gambar di bawah ini. Waktu distribusi di kota tujuan dimulai dari saat kapal tiba di pelabuhan hingga barang sampai ke gudang pembeli, atau dibagi menjadi waktu tunggu kapal di pelabuhan, waktu bongkar container dari kapal, dan lamanya perjalanan dari pelabuhan hingga ke gudang pembeli.

Gambar 4.40. Komposisi Waktu Distribusi dari Pelabuhan Hingga ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil Survei

Dari ketiga tahapan distribusi, terlihat bahwa proses bongkar dari kapal memakan waktu terbesar, yaitu rata-rata 15,75 jam. Sementara itu lama perjalanan rata-rata dari pelabuhan ke gudang mencapai sekitar 4 jam, dengan jarak rata-rata sebesar 6,3 km. Hal ini sudah turut memperhitungkan 4 kali perjalanan pulang-pergi, mengingat muatan per-perjalanan hanya sebesar 5 ton saja. Sementara itu berdasarkan informasi responden, waktu tunggu kapal di luar waktu bongkar-muat hanya mencapai 1 jam 45 menit saja.

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Gambaran mengenai persepsi responden terhadap kegiatan usaha, terutama dalam melakukan distribusi barang dinyatakan pada grafik berikut ini.

Gambar 4.41. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Sorong tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil Survei

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 71

Walau tingkat hambatan yang dinyatakan oleh responden tidak terlalu besar, namun demikian, hasil persepsi dapat menunjukkan kecenderungan dari suatu faktor terhadap faktor lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan pada grafik di atas, kualitas SDM dianggap sebagai faktor yang relatif memberikan hambatan bagi usaha dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan responden, dimana masalah etos kerja yang rendah dari para tenaga kerja, khususnya tenaga kerja lokal cukup menjadi kendala. Hal berikutnya yang menjadi masalah adalah kualitas infrastruktur jalan provinsi dan kepadatan di pelabuhan. Mengingat terbatasnya dermaga bagi kapal untuk melakukan sandar serta adanya aturan untuk melarang truk container menggunakan akses jalan menimbulkan potensi adanya kepadatan di pelabuhan.

4.2.4. Perdagangan Beras dan Semen Antar Pulau Menuju ke Banjarmasin

a. Pergerakan Harga Beras di Sepanjang Rantai Pasok

Distributor beras di Banjarmasin umumnya menerima pasokan beras dari Surabaya/ Jakarta. Selanjutnya mereka akan mendistribusikannya ke toko-toko/agen yang berlokasi di sekitar kota Banjarmasin hingga ke Kab. Hulu Sungai Tengah, atau bahkan Palangkaraya. Rata-rata harga beli dan jual beras dari distributor kepada agen/ritel adalah sebagai berikut:

Tabel 4.12. Harga Beli/Jual di tingkat Distributor dan Ritel

Harga Beli Distributor

Harga Jual Distributor

Kualitas Menengah 8,450.0 8,600.0 150.0 Kualitas Premium 9,450.0 9,600.0 150.0

BerasHarga Distributor Selisih Harga

Jual vs Harga Beli

Dalam melakukan distribusi ke toko-toko, umumnya distributor menggunakan truk milik

sendiri dan mengenakan biaya antar kecuali diambil sendiri. Margin keuntungan distributor yang diperoleh adalah antara Rp 150,-/kg – Rp 200,-/kg (lihat tabel di atas). Biaya pengiriman dari pelabuhan-gudang sebesar Rp 500.000,- untuk 3 truk yang kapasitasnya setara dengan 1 kontainer. Penjualan ke retailer biasanya diambil langsung oleh retailer yang bersangkutan. Namun demikian, jika diantar oleh distributor akan dikenakan biaya Rp 600.000,-/truk untuk jarak dekat dan Rp 1.000.000,-/truk – Rp 1.500.000,-/truk untuk jarak jauh.

b. Pergerakan Harga Semen di Sepanjang Rantai Pasok

Salah satu produk semen yang dikirim ke Banjarmasin adalah Semen Gresik. Dari total Semen Gresik yang dikirim antar pulau ke Banjarmasin, 90% menggunakan kapal kargo, dan hanya 10% yang menggunakan container. Biaya tambahan jika pengiriman menggunakan kontainer adalah sebesar Rp 20.000/ton atau Rp 440.000 per container 20 feet. Biaya ini ditanggung oleh distributor yang berdampak kepada naiknya harga semen.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 72

Tabel 4.13 Harga Jual/beli di tingkat distributor

Rp/sak Keterangan

Harga beli distributor (di gudang) 55.000 -

Harga Jual distributor (di gudang distributor) 61.000 -

Harga Jual distributor (di lokasi konsumen) 64.000 Jarak ≤ 15 km

Harga Jual distributor (di lokasi konsumen) 66.000 Jarak > 15 km

Sementara itu, harga di tingkat ritel umumnya ditambah dengan profit sebesar Rp 6.000,- hingga Rp 10.000,- dari harga jual konsumen, tergantung kepada kuantitas yang dibeli dan jarak/lokasi konsumen.

c. Biaya Distribusi

Biaya angkut beras maupun semen yang tiba di pelabuhan Banjarmasin untuk kemudian didistribusikan ke kota Banjarmasin maupun sekitarnya memiliki komponen biaya antara lain biaya THC di pelabuhan Banjarmasin, biaya truk, biaya administrasi dan biaya perijinan sebagaimana yang dinyatakan pada gambar berikut ini.

Gambar 4.42 Komponen Rata-Rata Biaya Distribusi dari Pelabuhan hingga ke Gudang

Sumber: Hasil survei

Sementara itu ditinjau dari komponen biaya angkut, komponen biaya truk memakan porsi yang cukup besar, yaitu mencapai hampir sebesar 40% dari total biaya angkut, atau sebesar Rp 754.500 untuk jarak sejauh rata-rata 33 km. Khusus untuk biaya administrasi, terdiri dari biaya DO serta biaya di pelabuhan. Sementara itu terdapat biaya perijinan yang porsinya hanya kurang dari 5% dari total biaya angkut.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 73

d. Waktu Distribusi

Gambaran mengenai waktu distribusi barang mulai dari tiba di pelabuhan hingga sampai ke gudang pembeli dinyatakan pada gambar di bawah ini. Waktu distribusi di kota tujuan dimulai dari saat kapal tiba di pelabuhan hingga barang sampai ke gudang pembeli, atau dibagi menjadi waktu tunggu kapal di pelabuhan, waktu bongkar container dari kapal, dan lamanya perjalanan dari pelabuhan hingga ke gudang pembeli.

Gambar 4.43. Komposisi waktu Distribusi dari Pelabuhan hingga ke Gudang Pembeli

Sumber: Hasil survei

Dari aktivitas yang dilakukan mulai dari kapal tiba hingga barang sampai di gudang pembeli, proses bongkar di pelabuhan memakan waktu yang paling lama, yaitu 4 hari. Hal ini merupakan contoh dari kapal dengan kualitas baik seperti kapal Kamandalu berkapasitas 2500 ton. Untuk jenis kapal yang kualitasnya kurang baik atau cukup tua dapat memakan waktu bongkar hingga 2 minggu, jika mengandalkan crane kapal. Waktu tunggu kapal cukup normal, yaitu selama 1 hari saja, dan waktu di perjalanan juga cukup singkat, yaitu 2 jam untuk rata-rata jarak sebesar 33 km.

e. Persepsi Mengenai Hambatan Usaha

Persepsi dari responden mengenai hambatan usaha yang mempengaruhi aktivitas distribusi antar pulau dinyatakan pada 2 gambar di bawah ini. Persepsi yang diberikan responden dikonversi menjadi angka dengan skala 0-5, dimana 0 berarti tidak ada hambatan, sementara 5 berarti sangat menghambat.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 74

Gambar 4.44. Hasil Survei Persepsi Perusahaan Ekspedisi di Banjarmasin tentang Hambatan Usahanya

Sumber: Hasil survei

Dari gambar di atas terlihat bahwa secara umum responden perusahaan ekspedisi tidak terlalu menghambat kegiatan usahanya. Konversi persepsi semua berada pada skala 0 hingga kurang dari 1. Yang dirasakan responden sebagai hambatan usaha adalah kepadatan di jalan, kepadatan di pelabuhan, kualitas infrastruktur, dan kualitas kapal laut.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 75

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan a. Permasalahan penyebab tingginya biaya pengiriman antar pulau, terutama untuk

pengiriman barang ke Sorong antara lain adalah kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai, frekuensi keberangkatan kapal yang rendah, Muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul problem).

b. Kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai berdampak pada kinerja pelabuhan yang rendah dan kepada tingginya waktu tunggu kapal (vessel waiting time) yang pada akhirnya menyebabkan tingginya biaya pengiriman barang antar pulau.

c. Frekuensi keberangkatan kapal yang rendah terutama untuk kapal yang ditujukan ke Sorong atau Indonesia timur lainnya. Ada hubungan yang terbalik antara frekuensi keberangkatan kapal dengan biaya pengiriman (sea freight costs). Dengan frekuensi yang lebih besar, biaya pengiriman dapan lebih rendah dan sebaliknya. Tentunya frekuensi yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume pengiriman barang (demand pengiriman barang).

d. Secara umum, rute dengan frekuensi yang tinggi memiliki harga yang daya saing lebih baik. Ini terbukti dengan kasus Surabaya - Banjarmasin, Surabaya - Samarinda, Surabaya - Belawan, Surabaya - Makassar dan Makassar - Surabaya.

e. Tingginya volume perdagangan, atau sejalan dengan prinsip ship follow the trade. Makassar dan Medan yang memiliki volume perdagangan yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi perjalanan untuk rute tersebut. Sebaliknya, kota dengan perekonomian yang lebih lambat pertumbuhannya, seperti Sorong atau Ambon akan memiliki frekuensi perjalanan yang rendah.

f. Lokasi pelabuhan yang merupakan hub ports umumnya memiliki frekuensi perjalanan lebih tinggi. Kota seperti Makassar merupakan lokasi transit bagi perdagangan lainnya di daerah timur Indonesia, seperti menuju wilayah Papua, Ambon dan sekitarnya, atau kota lainnya di pulau Sulawesi; Banjarmasin merupakan hub bagi kota lainnya di Kalimantan melalui jalur darat. Oleh sebab itu tingginya potensi hinterland bagi pelabuhan-pelabuhan hub tersebut mendorong tingginya frekuensi perjalanan menuju kota-kota tersebut.

g. Muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul problem). Rute dengan biaya sea-freight mahal dengan tujuan Sorong, Ternate, atau Bitung memiliki gap sea-freight tariff yang cukup besar untuk arus baliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya empty backhaul atau kosongnya muatan pada arus balik. Perusahaan shipping umumnya akan menurunkan biaya angkut hingga sangat rendah – hingga hanya 1/3 dari tarif inbound – saat mengangkut barang pada rute arus balik tersebut. Dengan demikian, dapat diduga tingginya biaya sea-freight ke kota tujuan Sorong, Ternate atau Bitung karena turut memperhitungkan adanya potensi backhaul ini.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia 76

h. Adanya masalah backhaul juga turut berkontribusi pada waktu loading/unloading yang lebih lama, sebagaimana yang terjadi di pelabuhan Bitung. Proses loading/unloading yang seharusnya bisa dicapai 1 hari, tapi secara efektif mencapai 2 hari. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan masuknya muatan untuk diangkut dari Bitung.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

a. Faktor kepadatan lalu lintas menjadi masalah utama hampir disemua lokasi. Hal ini disebabkan lebar badan jalan kurang memadai, untuk itu perlu dilaksanakan beberapa hal yaitu:

1) Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur terutama akses jalan ke pelabuhan.

2) Perencanaan jalur transportasi baik barang dan manusia dengan mempertimbangan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.

3) Peningkatan ketertiban dan kesadaran pengguna sarana transportasi dan infrastruktur terhadap aturan-aturan transportasi dan aturan lain seperti beban muatan.

b. Untuk mengurangi biaya sea freight, perlu dilaksanakan beberapa hal yaitu:

1) Pengembangan ekonomi sesuai dengan koridor ekonomi yang dirancang dalam MP3EI segera diimplementasikan.

2) Menciptakan iklim daya saing di industri pelayaran domestik dengan penambahan jumlah operator.

3) Memperbaiki infrastruktur pelabuhan dengan meningkatkan investasi di pelabuhan. Sebagai contoh melihat ulang daftar negatif investasi yang terkait dengan investasi terminal operator pelabuhan.

4) Meningkatkan produktivitas di pelabuhan terutama kinerja dari tenaga kerja bongkar muat.

5) Mengevaluasi peraturan daerah khususnya yang melarang beroperasinya truk kontainer di luar pelabuhan di kota Sorong.

6) Mengurangi kepadatan dan dwelling time di pelabuhan.

Kajian Pengembangan Indikator Kinerja Logistik Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Semen Indonesia (17 Februari 2013). Perkembangan Industri Semen di Indonesia Tahun 2012 – 2016. Diakses dari http://www.asi.or.id/berita-116-perkembanganindustrisemendiindonesiatahun2012%E2%80%932016.html

Badan Pusat Statistik (21 Oktober 2012). Tabel Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi. Diakses dari http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3

Bank Dunia (5 Februari 2013). Logistic Performance Index (LPI) 2012. Diakses dari http://lpisurvei.worldbank.org/

___________ (5 Februari 2013). Doing Bussiness Data 2013. Diakses dari http://www.doingbusiness.org/data/

Debudanabu.wordpress.com (5 Januari 2013). Distribusi Semen di Indonesia. Diakses dari http://debudanabu.wordpress.com/2011/08/05/distribusi-semen/

Ditjen. Perdagangan Dalam Negeri (2013). Perkembangan Harga Bahan Pokok. Tidak Dipublikasikan. Ditjen. Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan. Jakarta

Kementerian Informasi dan Informatika (2012). Laporan Rakornas Kominfo 2012: Tumbuh Melalui Konektivitas. Kementerian Informasi dan Informatika. Jakarta

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (14 Maret 2013). Kemandirian Pangan Kunci Meloloskan dari Middle Income Trap. Diakses dari http://www.ekon.go.id/news/2013/03/18/kemandirian-pangan-kunci-meloloskan-dari-middle-income-trap

Kementerian Perdagangan. 2012. Laporan Analisis Survei Aliran Sapi Potong. Jakarta

Kompas (25 Januari 2013). Indonesia Bisa Keluar Dari Jebakan Kelas Menengah. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/19/07501337/Indonesia.Bisa.Keluar.dari.Jebakan.Kelas.Menengah

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2012). Analisis Kinerja Pelabuhan Laut Sebagai Salah Satu Simpul Logistik dalam Distribusi Pangan Pokok. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Jakarta

_____________________________________ (2011). Kajian Ambang Batas Intervensi Pemerintah Terhadap Gejolak Harga Bahan Pangan Pokok. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Jakarta

Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri (2006). Kajian Sistem Distribusi Yang Efisien Dan Efektif Secara Nasional. Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Jakarta