2.1 Pengertian perilaku konsumen, Teori perilaku konsumen ...
2.LAPORAN AKHIR ANALISIS KELOMPOK KONSUMEN...
-
Upload
trinhduong -
Category
Documents
-
view
257 -
download
4
Transcript of 2.LAPORAN AKHIR ANALISIS KELOMPOK KONSUMEN...
Laporan Akhir
ANALISIS KELOMPOK KONSUMEN (CONSUMER GROUP)
DALAM UPAYA PENINGKATAN KEBERDAYAAN KONSUMEN
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan 2016
iiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmatNya laporan Analisis Kelompok Konsumen (Consumer Group) Dalam
Upaya Peningkatan Keberdayaan Konsumen dapat diselesaikan. Salah satu
indikator keberhasilan pelaksanaan perlindungan konsumen dapat dilihat dari
tingkat keberdayaan konsumennya. Saat ini, secara umum, konsumen di
Indonesia masih berada pada tahap belum berdaya. Pembentukan
kelompok/organisasi konsumen atau lebih dikenal dengan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), merupakan salah satu
bentuk upaya untuk melakukan sosialiasi dan edukasi kepada konsumen
mengenai hak dan kewajibannya, sekaligus membantu konsumen dalam
melakukan advokasi dengan pelaku usaha, yang pada akhirnya diharapkan
dapat membantu meningkatkan keberdayaan konsumen secara umum.
Analisis ini bertujuan untuk memetakan potensi dan prioritas kelompok
konsumen yang dapat dibentuk, mengidentifikasi bentuk kelembagaan dan
pengelolaan kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan
pemberdayaan konsumen, serta merumuskan usulan kebijakan terkait
kelompok/organisasi konsumen dalam rangka pemberdayan dan perlindungan
konsumen. Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa saat ini telah terdapat
beberapa LPKSM yang berperan cukup aktif dalam membantuk meningkatkan
keberdayaan konsumen. Namun, kinerja LPKSM dinilai masih belum optimal dan
seringkali terbentur dengan permasalahan dana dan SDM yang terbatas. Oleh
karena itu, perlu ada dukungan dari pemerintah untuk lebih memberdayakan
LPKSM serta melibatkan LPKSM dalam upaya pelaksanaan perlindungan
konsumen.
Kami sadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan,
namun kami harapkan agar analisis ini dapat menjadi bahan masukan bagi
pimpinan dalam merumuskan kebijakan terutama di bidang standardisasi dan
perlindungan konsumen.
Jakarta, Agustus 2016
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
iiiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
ABSTRAKSI
Tingkat keberdayaan konsumen Indonesia masih relatif rendah, konsumen belum cukup terdidik dan terinformasi dengan baik sehingga belum mampu memilih barang dan jasa yang terbaik dan belum aktif melindungi dirinya. Kelompok/lembaga konsumen (LPKSM) menjadi penting karena dapat membentuk kesadaran kritis konsumen individu sehingga menjadi kesadaran komunal untuk meningkatkan keberdayaan konsumen. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan prioritas pembentukan kelompok konsumen, menganalisis kelembagaan dan pelaksanaan kegiatan dengan metode Case Study Approach dan AHP. Hasilnya, LPKSM masih menemui hambatan yaitu keterbatasan SDM, keterbatasan dana operasional serta persepsi negatif masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlu dibentuk LPKSM berbasis sektor prioritas yaitu finansial, properti, fasilitas umum, jasa telekomunikasi, dan kesehatan sehingga pelaksanaan kegiatan edukasi dan advokasi lebih efektif. Sebagian LPKSM belum berbadan hukum, masih fokus pada kegiatan advokasi, dan koordinasi masih kurang antar LPKSM dan antara LPKSM dengan pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu lebih memberdayakan LKPSM, menyusun modul edukasi konsumen yang terstandar, serta bersama LPKSM membangun citra positif dan memperbaiki koordinasi dengan meningkatkan peran asosiasi LPKSM.
Kata kunci : keberdayaan konsumen, edukasi, advokasi, kelompok konsumen
ABSTRACT
Indonesia consumers’ empowerment level is still low which causes consumers’ incapability to protect themselves actively. Role of consumers group (LPKSM) become important in developing individual critical conscious into communal level. This study objects to prioritize assorted leading sectors as basis for developing consumers group, analyze organization and management of the groups in conducting education and advocacy programs. Three factors hampering development of the groups are limitation in human resource quality and quantity, limitation on funding, and negative perception of consumers group in society. Result shows five priority sectors consecutively are finance, property/housing, public utilities, telecommunication service, and health service. Some consumer groups do not have legal standing, only focus on advocacy programs, and lack of coordination not only among themselves but also between the groups and government. Therefore, government need to put more effort on consumer groups’ empowerment, produce standardized consumers education modules, together with consumer groups build their positive image, and improve coordination by enhance the role of existing consumer groups association.
Keywords : consumer empowerment, consumer group, education, advocacy
ivPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1.Latar Belakang .................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .............................................................. 4
1.3.Tujuan dan Output .............................................................. 4
1.4. Keluaran Analisis …………………………………………………… 5
1.4.Dampak Analisis .................................................................... 5
1.5.Ruang lingkup ..................................................................... 5
1.6. Sistematika penulisan ....................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7
2.1.Tinjauan regulasi ……………...................................................... 7
2.2. Tinjauan empiris …………………………………............................ 14
2.3. Kelompok/organisasi konsumen di beberapa negara .................. 25
2.4. Kerangka Pikir ……………............................................................ 29
BAB III METODOLOGI ....................................................................... 32
3.1. Data dan Sumber Data ................................................................ 32
3.2. Metode PengumpulanData ……………………….......................... 32
3.3. Metode Analisis Data ………………………………………………. 33
3.4. Jadwal Operasional ………………………………………………… 35
BAB IV KELOMPOK ORGANISASI KONSUMEN DI DAERAH PENELITIAN.. 39
4.1. Kelompok Konsumen dan Pengelolaannya…................................ 39
4.2. Layanan Produk atau Jasa............................................................. 65
4.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen.................. 68
4.4. Peran Pemerintah………............................................................... 71
BAB V HASIL ANALISA……………………………………………………………. 74
5.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen.................. 74
vPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
5.2. Profil, Hambatan serta Yang Dilakukan oleh Kelompok
Konsumen ……………………………………………………………. 76
5.3. Potensi dan Prioritas Kelompok Konsumen yang Dapat
Dibentuk ………………………………………………………………. 82
5.4. Peran Pemerintah Terhadap Kelompok Konsumen...................... 85
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN............................ 91
6.1. Kesimpulan ……….…………...................................................... 91
6.2. Rekomendasi Kebijakan…………………………............................ 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Pembobotan dalam Dimensi Indeks Keberdayaan
Konsumen................................................................................... 20
Tabel 3.1. Skala Penilaian Metode AHP ..................................................... 39
Tabel 3.2. Skala Penilaian ………………..................................................... 39
Tabel 3.3. Perbandingan Antar Kriteria ....................................................... 40
Tabel 3.4. Sintesa Penilaian ……………...................................................... 41
Tabel 3.5. Sektor-sektor Penting Terkait Perlindungan Konsumen…........... 41
Tabel 3.6. Operasional Survey…………....................................................... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pikir ………………........................................................ 35
Gambar 4.1. Prosedur Penanganan Sengketa Konsumen…………………..... 45
Gambar 4.2. Majalah “Consumers” yang diterbitkan YLKIT……………..…..... 59
Gambar 5.1. Hasil Penilaian Sektor-sektor Prioritas…………..………….…..... 89
viiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Upaya perlindungan konsumen dapat dikatakan berhasil apabila
konsumen Indonesia sudah berdaya, dalam arti bahwa konsumen memahami
hak dan kewajibannya serta mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari
potensi kerugian. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan
perlu mengoptimalkan upaya dalam pemberdayaan konsumen. Hal ini
dilatarbelakangi beberapa faktor (Puska Dagri, 2016), pertama yaitu
pelanggaran hak-hak konsumen masih sering terjadi, kedua adalah perlunya
kesejajaran antara penghormatan atas hak konsumen dengan kewajiban
pelaku usaha. Kemudian yang ketiga adalah makin terbukanya pasar bagi
masuknya berbagai jenis produk dan jasa. Kewenangan Kementerian
Perdagangan terkait perlindungan konsumen tertuang dalam Undang-
Undang No.7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan khususnya pasal 5 ayat (2)
dan (3) yang menyatakan bahwa kebijakan perdagangan dalam negeri
diarahkan dan mengatur tentang perlindungan konsumen dimana
pemberdayaan konsumen menjadi salah satu upaya dalam perlindungan
konsumen. Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan pasal 4 poin (e) bahwa menteri terkait harus berkoordinasi
untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan
dan keterampilan.
Keberdayaan konsumen adalah peningkatan kontrol konsumen yang
berdampak positif pada perilaku konsumen terkait konsumsi barang dan jasa
(Direktorat Pemberdayaan Konsumen, 2015). Keberdayaan konsumen
memiliki tiga dimensi utama yaitu dimensi ketegasan konsumen, dimensi
pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen,
dan dimensi keterampilan konsumen (Simanjuntak, 2014). Konsumen yang
berdaya adalah mereka yang paham dengan baik mengenai hak dan
kewajibannya, sehingga memiliki ketrampilan dasar yang memadai dalam
perilakunya sehari-hari sebagai konsumen. Keterampilan dasar tersebut
antara lain mampu membandingkan harga, mengecek tanggal kadaluarsa,
label dan nomor registrasi produk, serta memperhatikan kualitas produk yang
2PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
dibeli (Simanjuntak, 2014). Selain itu, mereka juga berperan aktif dalam
memperjuangkan hak-haknya. Namun demikian, hasil studi yang dilakukan
oleh Direktorat Pemberdayaan Konsumen (2015) menunjukkan bahwa
tingkat keberdayaan konsumen di Indonesia, yang diukur melalui Indeks
Keberdayaan Konsumen (IKK), masih rendah yaitu 34,17%. Artinya,
konsumen di Indonesia ada pada tahap memahami hak dan kewajibannya,
namun belum mampu berperan aktif melindungi dirinya.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu untuk melakukan upaya-upaya
dalam rangka meningkatkan keberdayaan konsumen. Seperti yang telah
disebutkan dalam salah satu regulasi di atas, pemberdayaan konsumen
dapat ditingkatkan melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan. Upaya
tersebut diimplementasikan dalam bentuk penyuluhan ke kelompok-kelompok
masyarakat, seminar dan workshop di perguruan tinggi dan instansi terkait,
serta kampanye “Konsumen Cerdas”. Namun demikian, berdasarkan hasil
survey yang dilakukan oleh Puska Dagri (2016) pada hampir 5.000
konsumen di seluruh Indonesia, rata-rata lebih dari 80% dari mereka tidak
mengetahui dan tidak ikut serta dalam kegiatan sosialisasi “Konsumen
Cerdas”. Dengan demikian, pemerintah dinilai perlu menggunakan sarana
lain dalam upaya pemberdayaan konsumen. Salah satunya adalah menyasar
program pemberdayaan kepada kelompok konsumen tertentu, misalnya
penggalakan sadar SNI melalui Masyarakat Standarisasi (MASTAN).
Kelompok konsumen ini berfungsi melakukan edukasi dan advokasi terkait
perlindungan konsumen kepada para anggotanya.
Keberadaan kelompok konsumen atau kelompok konsumen merupakan
hal yang lumrah di negara-negara lain, terutama negara maju. Sebagai
contoh, di negara ASEAN seperti Malaysia memiliki Consumers Affairs and
Protection Society of Sabah (CAPS) yang merupakan lembaga independen
beranggotakan masyarakat umum. Beberapa kegiatan utama lembaga ini
antara lain 1) melindungi konsumen dari penipuan, pemalsuan, penindasan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab; 2) memupuk kesadaran
konsumen akan hak-hak mereka dan mendorong konsumen untuk berperan
aktif dalam memperjuangkan haknya; 3) menyerahkan masalah yang
dihadapi konsumen kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti; dan
4) menyampaikan saran, komentar dan teguran kepada pihak yang
berwenang. Dengan kata lain, organisasi konsumen ini memberikan edukasi
3PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
kepada anggotanya, melakukan advokasi, serta menjadi perantara antara
anggotanya dengan pihak-pihak berwenang terkait. Sementara di Australia,
salah satu organisasi konsumen non-profit yang dibentuk sejak tahun 1959
adalah CHOICE. Organisasi ini beranggotakan masyarakat umum dan
melakukan kampanye melalui penerbitan majalah, jurnal dan buku-buku.
Kegiatan utamanya adalah melakukan tes dan review terhadap berbagai
produk yang beredar di pasar untuk memastikan konsumen anggotanya
memperoleh produk yang aman dan sesuai ketentuan.
Beberapa contoh kelompok konsumen di atas menunjukkan bahwa
keberadaan kelompok/organisasi konsumen dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman konsumen akan hak-haknya dan
mendampingi konsumen dalam memperjuangkan hak mereka, sehingga
konsumen memiliki hak tawar yang lebih tinggi secara kolektif. Sebagai
contoh, pembentukan kelompok konsumen di daerah yaitu Kelompok
Konsumen Sadar di Daerah Istimewa Yogyakarta membawa perubahan
kepada konsumen yang menjadi anggotanya: 1) konsumen menjadi lebih
aktif dalam berbagi pengalaman terkait masalah pelanggaran konsumen; 2)
meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan hak-hak
mereka sebagai konsumen; dan 3) masyarakat lebih berani memperjuangkan
haknya dan menuntut pelaku usaha (Purnomo, 2014). Inisiasi pembentukan
kelompok konsumen dapat dilakukan baik oleh kelompok
masyarakat/konsumen maupun pemerintah. Namun demikian,
kelompok/organisasi konsumen belum banyak berkembang di Indonesia.
Hasil studi yang dilakukan oleh AIPEG (2015) menyatakan bahwa lembaga
advokasi masyarakat belum berkembang secara memadai. Kapasitas
masing-masing organisasi konsumen di daerah juga sangat bervariasi
sehingga belum optimal dalam memperjuangkan kepentingan konsumen.
Selain itu, sampai saat ini belum ada asosiasi yang berfungsi sebagai
coordinator dari para lembaga/organisasi konsumen.
Pentingnya peranan kelompok/organisasi konsumen belum diiringi
dengan perkembangan yang memadai. Padahal dengan jumlah konsumen
sebesar 250 juta dan beragamnya jumah barang dan jasa yang beredar di
masyarakat, seharusnya para konsumen dapat direpresentasikan melalui
kelompok/organisasi.
4PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1.2. Rumusan masalah
Pentingnya peran konsumen dalam perekonomian harus diiringi usaha
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan konsumen.
Salah satu sebab masih kurang berdayanya konsumen yaitu konsumen
belum cukup terdidik dan terinformasi dengan baik sehingga tidak mampu
memilih barang dan jasa yang terbaik dan tidak mampu melindungi dirinya
(AIPEG, 2015). Untuk itu, kelompok/organisasi konsumen dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu sarana dalam mengoptimalkan upaya
pemberdayaan konsumen. Berdasarkan gambaran tersebut, maka
pemerintah perlu mendorong dan mendukung pembentukan kelompok
konsumen dalam rangka peningkatan upaya pemberdayaan konsumen.
Kelompok/organisasi konsumen dapat dibentuk berdasarkan kelompok
barang dan jasa yang dikonsumsi, berdasarkan wilayah atau domisili para
anggotanya, dan juga berdasarkan kesamaan profil social ekonomi.
Walaupun potensi pembentukannya besar, namun jumlah dan
perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Selain itu, hasil literature
menunjukkan kelompok/organisasi konsumen ini merupakan lembaga non-
profit, non-pemeritah, pembiayaannya swadaya, serta keanggotaannya
sebagian besar relawan. Keanggotaan dan pengelolaan organisasi ini
menghadapi berbagai kendala dari kurangnya komitmen anggota sampai
kurang terorganisirnya berbagai program dan kegiatan.
Dengan demikian, untuk mengoptimalkan peranan kelompok/organisasi
konsumen maka perlu dilakukan pemetaan potensi pembentukannya,
kemudian bagaimana bentuk lembaga dan pengelolaannya yang efektif/ideal,
serta sejauh mana pemerintah dapat berperan dalam mendukung peran
kelompok konsumen dalam pemberdayaan dan perlindungan konsumen.
1.3. Tujuan analisis
1. Memetakan potensi dan prioritas kelompok/organisasi konsumen yang
dapat dibentuk
2. Mengidentifkasi bentuk kelembagaan dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan pemberdayaan
konsumen
5PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. Merumuskan usulan kebijakan terkait kelompok/organisasi konsumen
dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan konsumen
1.4. Keluaran analisis
1. Peta potensi dan prioritas kelompok/organisasi konsumen yang dapat
dibentuk
2. Hasil identifkasi bentuk kelembagaan dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan pemberdayaan
konsumen
3. Merumuskan usulan kebijakan terkait kelompok/organisasi konsumen
dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan konsumen
1.5. Dampak analisis
1. Bagi pemerintah
Pemerintah dapat mengoptimalkan kelompok/organisasi konsumen
sebagai sarana dalam mengimplementasikan program-program
pemberdayaan konsumen, antara lain edukasi dan advokasi dalam
rangka optimalisasi perlindungan konsumen
2. Bagi masyarakat
Masyarakat atau konsumen secara umum dapat memanfaatkan
consumer group sebagai media atau sarana untuk meningkatkan
pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai konsumen serta
menyalurkan aspirasi dan keluhan terkait konsumsi barang dan jasa di
masyarakat.
1.6. Ruang lingkup analisis
a. Aspek yang dikaji
• Regulasi yang terkait dengan pemberdayaan konsumen, kelompok dan
organisasi konsumen di tingkat pusat maupun daerah
• Potensi pembentukan kelompok/organisasi konsumen : berdasarkan
kelompok barang dan atau jasa dan wilayah
6PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
• Prioritas pembentukan kelompok/organisasi konsumen berdasarkan
indikator : jumlah aduan konsumen, potensi kerugian konsumen, dan
proporsi pengeluaran konsumen
• Aspek kelembagaan, pengelolaan serta kegiatan kelompok/organisasi
konsumen dalam mencapai tujuan
b. Daerah penelitian
Daerah yang menjadi ruang lingkup dalam analisis ini adalah lokasi
keberadaan kelompok/organisasi konsumen yang telah terbentuk di
masyarakat yang dibatasi pada 4 daerah yaitu Daerah Istimewa
Yogyakarta, Banten, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
1.7. Sistematika penulisan laporan
Laporan kajian ini terdiri dari 6 (enam) bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, output, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir. Bab ini menjelaskan
kerangka berpikir dalam pengkajian dan tinjauan literatur yang akan
digunakan sebagai referensi dalam kajian ini.
BAB III
BAB IV:
: Metode Pengkajian. Bab ini menjelaskan metode yang digunakan
dalam kajian ini untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan
untuk menjawab tujuan kajian meliputi metode analisis, serta sumber
data dan teknik pengumpulan data.
Hasil Studi Lapangan. Bab ini membahas hasil studi lapangan di
daerah survey antara lain profil kelompok konsumen, pelaksanaan
kegiatan, pengelolaan dan hambatan yang dihadapi.
BAB V : Hasil Analisis dan Pembahasan. Bab ini akan menggambarkan potensi
pembentukan, bentuk kelembagaan, dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam mendukung upaya
pemberdayaan konsumen, serta peran pemerintah dalam
pengembangannya
BAB VI : Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini memberikan kesimpulan hasil
analisis dan rekomendasi.
7PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Tinjauan Regulasi
2.1.1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Perlindungan konsumen, menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU PK), adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Sementara itu, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Tingkat optimalisasi perlindungan konsumen dapat ditunjukkan dari
seberapa besar upaya pemerintah dalam memenuhi tujuan dari
perlindungan konsumen seperti yang tertera di dalam Pasal 3 UU PK, yakni:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
8PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Disamping itu, optimalisasi pelaksanaan perlindungan konsumen juga
dapat dilihat dari seberapa besar upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepada konsumen dalam memperoleh haknya serta
memberikan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen mengenai kewajiban
konsumen, hingga pada akhirnya diharapkan dapat tercipta konsumen yang
lebih berdaya. Terkait hal tersebut, yang dimaksud dengan hak dan
kewajiban konsumen menurut Pasal 4 dan 5 UU PK antara lain adalah:
(1) Hak Konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Kewajiban konsumen adalah:
9PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Pada Pasal 44 dan juga dijelaskan dalam PP No. 59 Tahun 2001 Tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), maka
tugas LPKSM adalah menjalankan fungsi :
i. Edukasi; dengan cara
- menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan
mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen.;
- memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara lisan
atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya;
- melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran informasi
mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau
jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
ii. Advokasi; dengan cara membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar
mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara
perorangan maupun kelompok.;
iii. Pengawasan; dengan cara melakukan pengawasan bersama
pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan
cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
10PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
2.1.2. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan
oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini dilakukan terkait :
1. Penyusunan perundangan di bidang PK,
2. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan
kualitas SDM dan lembaga,
4. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan
konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing
5. Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,
pelatihan, keterampilan
6. Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang
menyangkut perlindungan konsumen
7. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa
8. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku
usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa
9. meningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam
memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta
pencantuman label dan klausula baku.
b. Pengembangan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM) terkait dalam hal pemasyarakatan peraturan
perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen, pembinaan dan peningkatan sumber daya
manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan
keterampilan; dan
c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen dilakukan dengan cara peningkatan kualitas PPNS,
11PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tenaga Peneliti dan penguji barang/jasa; pengembangan dan
pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan penelitian dan
pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang
dan/atau jasa serta penerapannya.
Dalam melakukan ketiga upaya di atas, Menteri melakukan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis.
Menteri teknis bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan
oleh :
1. Pemerintah
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha
dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual
barang dan/atau jasa. Pengawasan dilakukan dalam proses
produksi, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang/ jasa
dimana hasil dari pengawasan tersebut dapat disebarluaskan
kepada masyarakat. Ketentuan tata cara pengawasan ditetapkan
oleh menteri dan atau menteri teknis yang terkait.
2. Masyarakat
Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian,
pengujian, dan atau survey. Aspek pengawasan meliputi
pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil dari
pengawasan tersebut dapat disebarluaskan dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.
3. LPKSM
Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar dilakukan dengan cara penelitian,
pengujian dan atau survey terhadap barang dan/atau jasa yang
diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan
12PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
dan keselamatan konsumen. Aspek pengawasan meliputi
pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil dari
pengawasan tersebut dapat disebarluaskan dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Pengujian
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui
laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.3. Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2001 Tentang LPKSM
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
selanjutnya disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang
terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen. LPKSM yang di akui oleh
pemerintah yaitu LPKSM terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum
dalam anggaran dasarnya.
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan
berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
perlindungan konsumen;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara
lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya;
c. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran
informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas
barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta
pendidikan konsumen;
13PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen. LPKSM dapat
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan
maupun kelompok;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian,
pengujian dan/atau survei.
Dalam melaksanakan tugasnya LPKSM dapat bekerja sama dengan
organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun
internasional dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota setiap tahun.Pemerintah dapat membatalkan pendaftaran
LPKSM, apabila LPKSM tersebut tidak lagi menjalankan kegiatan
prlindungan konsumen dan terbukti melakukan kegiatan pelanggaran
ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan mengenai tata cara
pembatalan pendaftaran diatur lebih lanjut dalam keputusan Menteri
(Kepmenperindag No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran
LPKSM).
2.1.4. Rencana Strategis Kementerian Perdagangan Tahun 2015-2019
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perdagangan Tahun 2015-
2019 merupakan dokumen perencanaan kementerian Perdagangan untuk
periode 5 (Lima) tahun terhitung sejak tahun 2015 hingga tahun 2019.
Perlindungan konsumen merupakan salah satu isu penting yang juga
dibahas dalam renstra tersebut, karena perlindungan konsumen merupakan
salah satu prasayarat dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui
keseimbangan antara perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
usaha. Hingga tahun 2013, Kementerian Perdagangan telah membuat 9
(Sembilan) nota kesepahaman/memorandum of understanding (MoU)
dengan beberapa instansi teknis terkait. Selain itu, dalam lingkup penguatan
kelembagaan perlindungan konsumen, Kementerian Perdagangan telah
memfasilitasi pembentukan Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) yang
14PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sampai dengan tahun 2013 telah mencapai 111 unit BPSK yang tersebar di
kabupaten/kota.
Dalam rangka meningkatkan upaya perlindungan konsumen,
Kementerian Perdagangan melalui Renstra tahun 2015-2019 telah
menetapkan beberapa sasaran yang ingin dicapai yakni meningkatnya
pemberdayaan konsumen, standardisasi, pengendalian mutu, tertib ukur dan
pengawasan barang/jasa. Penetapan sasaran ini bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya serta
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha akan pentingnya perlindungan
konsumen sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
barang/jasa yang berada di pasar dalam negeri. Meningkatnya
pemberdayaan konsumen ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
pelaksanaan edukasi konsumen yang menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, semakin cerdasnya konsumen serta ketersediaan infrastruktur
dan lembaga perlindungan konsumen. Adapun indikator yang digunakan
sebagai ukuran kinerja dari peningkatan pemberdayaan konsumen adalah
Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK). IKK merupakan indeks yang
mengukur tingkat keberdayaan konsumen di Indonesia. Semakin tinggi nilai
IKK menunjukkan bahwa konsumemn di Indonesia semakin berdaya. Dalam
periode tahun 2015-2019, nilai IKK ditargetkan meningkat dari 37 pada tahun
2015 menjadi 50 pada tahun 2019. Langkah strategis untuk peningkatan
perlindungan konsumen antara lain adalah:
(i) Edukasi konsumen cerdas (Gerakan konsumen cerdas, mandiri dan cinta
produk dalam negeri); dan
(ii) Publikasi perlindungan konsumen secara lebih masif melalui pelaksanaan
tot dalam upaya pembentukan motivator perlindungan konsumen kepada
mahasiswa, pelatihan motivator mandiri serta aktivasi motivator-motivator
perlindungan konsumen yang telah dilatih.
2.2. Tinjauan Empiris
2.2.1. Studi diagnostik perlindungan konsumen
Salah satu studi mengenai konsumen yang membahas mengenai
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perlindungan konsumsen di
Indonesia adalah studi yang dilakukan oleh AIPEG (2015). Faktor-faktor
terkait perlindungan konsumen yang ditelaah adalah persaingan usaha yang
15PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sehat, konsumen yang berdaya, dan kerangka kebijakan perlindungan
konsumen yang efektif. Hasil studi menunjukkan bahwa hambatan pertama
adalah UU PK yang selama ini menaungi upaya perlindungan konsumen
memiliki beberapa kelemahan. Undang – undang ini tidak mengakomodir
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga perlu diamandemen.
Panduan mengenai tata kelola dan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga
pelaksana perlindungan konsumen tidak diatur secara jelas, sehingga
menyulitkan mereka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Selanjutnya, upaya perlindungan konsumen dianggap tidak memberikan
insentif bagi pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah tidak
menyediakan dana operasional yang memadai. Bidang perlindungan
konsumen belum menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dalam menyusun
kebijakan dibandingkan bidang social lainnya seperti pendidikan dan
kesehatan. Selain itu, program perlindungan secara nasional belum terarah
dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak sinkron satu sama lain.
Hambatan pelaksanaan perlindungan konsumen yang kedua adalah
masih rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya, terutama di kota-
kota kecil dan luar pulau Jawa. Dengan demikian, program-program edukasi
konsumen sebaiknya dievaluasi pelaksanaan dan efektifitasnya mengingat
besarnya jumlah konsumen dan luasnya wilayah Indonesia. Temuan
hambatan selanjutnya adalah persaingan usaha yang kurang sehat, tidak
hanya disebabkan oleh perilaku pelaku usaha namun juga akibat dari
kebijakan pemerintah.
Ada beberapa penyebab tidak berdayanya konsumen, pertama adalah
tidak terwakilinya konsumen dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kesejahteraannya karena lembaga swadaya
masyarakat yang lemah. Kedua, konsumen kurang terdidik karena
keterbatasan informasi sehingga konsumen tidak dapat membuat keputusan
yang terbaik dalam melakukan pembelian atau konsumsi barang dan jasa.
Keterbatasan tersebut juga menghambat konsumen dalam memperjuangkan
hak-haknya.
Lebih lanjut mengenai lembaga konsumen, khususnya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), dari keseluruhan
jumlah LPKSM sebanyak 426, sebagian besar masih berlokasi di pulau Jawa
dan hanya 3 yang menjadi anggota lembaga Consumer International yaitu
16PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
YLKI, Lembaga Konsumen Yogya, dan LP2K Semarang. Keanggotaan
LPKSM pada lembaga internasional tersebut menunjukkan tingkat
kemampuan LPKSM dalam membangun jaringan. Kemampuan LPKSM
dinilai variatif dan tidak merata sehingga ini merupakan indikasi bahwa tugas
pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional kurang efektif. Forum komunikasi
antar LPKSM juga belum terbentuk sehingga kegiatan antar mereka belum
terkoordinasi dengan baik.
2.2.2. Indeks Keberdayaan Konsumen
Analisis mengenai Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) dilakukan oleh
Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan
bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dilatarbelakangi
fakta bahwa dengan makin beragamnya barang dan jasa yang tersedia di
pasar sehingga konsumen seharusnya berdaya sehingga mampu melindungi
dirinya sendiri dari hal-hal yang merugikan. Studi ini bertujuan untuk
menganalisis indeks keberdayaan konsumen dan dimensinya berdasarkan
wilayah, demografi, aspek sosial dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan di 13
provinsi dengan 1.950 responden yang dibagi antara responden yang tinggal
di perkotaan dan pedesaan. Variabel utama dalam studi ini adalah indeks
keberdayaan konsumen yang terdiri dari tahapan pembelianya itu, pra
pembelian, saat pembelian dan pasca pembelian. Masing-masing tahapan
pembelian tersebut memiliki beberapa dimensi yang dirinci dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Pembobotan dalam Dimensi Indeks Keberdayaan Konsumen
Tahapan
Pembelian Dimensi Pembobotan
Pra pembelian • Pencarian informasi
• Pengetahuan tentang undang-
undang dan lembaga perlindungan
konsumen
• 20%
• 10%
Saat pembelian • Pemilihan barang dan jasa
• Preferensi barang dan jasa
• Perilaku pembelian
• 5%
• 5%
• 15%
Pasca pembelian • Kecenderungan untuk bicara • 5%
17PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
• Perilaku komplain • 40%
Kemudian, tingkat keberdayaan konsumen atau skor IKK dikelompokkan
menjadi 5 yaitu :
1. Sadar; mengenali hak dan kewajiban dasar sebagai konsumen (skor
indeks 0.0 – 20.0)
2. Paham; memahami hak dan kewajiban sebagai konsumen untuk
melindungi dirinya (skor indeks 20.1 – 40.0)
3. Mampu; mampu menggunakan hak dan kewajiban konsumen untuk
menentukan pilihan terbaik termasuk menggunakan produk dalam negeri
bagi diri dan lingkungannya (skor indeks 40.1 – 60.0)
4. Kritis; berperan aktif memperjuangkan hak dan melaksanakan
kewajibannya serta mengutamakan produk dalam negeri (skor indeks
60.1 – 80.0)
5. Berdaya; memiliki nasionalisme tinggi dalam berinteraksi dengan pasar
dan memperjuangkan kepentingan konsumen (skor indeks 80.1 – 100.0)
Hasil studi menunjukkan bahwa secara rata-rata di Indonesia,
konsumennya masih belum berdaya dengan skor 34,17. Dengan kata lain,
konsumen Indonesia ada dalam tahap “paham” yaitu mereka memahami
apa-apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai konsumen, namun
belum memperjuangkan hak maupun menjalankan kewajibannya. Dimensi
yang memiliki skor indeks tertinggi adalah pereferensi barang dan jasa yaitu
78,60, sementara dimensi dengan skor indeks terendah adalah perilaku
komplain yaitu 11,14.
Sementara itu, jika dianalisis berdasarkan karakter demografi responden,
maka konsumen yang paling berdaya adalah berjenis kelamin perempuan,
tinggal di wilayah perkotaan, memiliki rentang usia 25-54 tahun,
berpendidikan tinggi setara sarjana atau lebih tinggi, dan berpendapatan
rata-rata di atas 10 juta per bulannya.
2.2.3. Pemetaan Kebutuhan Konsumen
Identifikasi kebutuhan konsumen dapat dilihat dari hasil survey Analisis
Pemetaan Kebutuhan Konsumen, yang telah dilakukan pada awal tahun
2016 oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan, bekerjasama dengan Institut Pertanian
18PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Bogor (IPB). Penelitian ini merupakan program kerja sama dengan
Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka merancang strategi nasional dan
rencana aksi penguatan perlindungan konsumen di Indonesia yang
bertujuan untuk menciptakan harmonisasi penyelenggaraan program dan
implementasi kebijakan perlindungan konsumen di berbagai sektor serta
memberikan manfaat yang optimal bagi konsumen di Indonesia.
Penelitian atau survey ini dilakukan terhadap 4829 responden yang
berada di 15 provinsi di Indonesia. tujuan penelitian ini antara lain adalah: (1)
melakukan identifikasi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah terkait perlindungan konsumen, hak-haknya selaku konsumen,
prosedur pengaduan konsumen, serta lembaga tempat pengaduan
konsumen; (2) melakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat selaku konsumen dalam penggunaan barang dan jasa serta
cara penyelesaian masalahnya; dan (3) Melakukan identifikasi kebutuhan,
permasalahan, dan harapan masyarakat terhadap program dan sistem
perlindungan konsumen.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kebutuhan perlindungan konsumen
dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yakni:
1) Sosialisasi dan edukasi terhadap hak dan kewajiban konsumen
Hasil survey menunjukkan bahwa masih terdapat cukup banyak
konsumen yang belum memahami hak dan kewajibannya seperti yang
tertera di dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Tingkat kesadaran konsumen akan hak-
haknya sangat rendah. Hasil survey menunjukkan bahwa sekitar 67%
konsumen memiliki pengetahuan yang rendah terhadap haknya, hanya
sekitar 4% konsumen yang memliki pengetahuan yang tinggi akan haknya.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia rentan terhadap
pelanggaran atak hak-haknya yang disebabkan oleh rendahnya
pengetahuan atas hak-haknya tersebut.
Sementara itu, tingkat kesadaran konsumen dalam menjalankan
kewajibannya dapat dilihat dari tingkat kepedulian konsumen dalam
melakukan pengecekan terhadap kualitas produk, tanggal kadaluarsa, ada
tidaknya label halal, komposisi produk, aturan penggunaan produk, nomor
layanan pengaduan, dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 32% dari konsumen yang
19PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tidak peduli dengan kewajibannya dalam membeli atau mengkonsumsi
barang atau jasa. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi masih menjadi
kebutuhan utama konsumen dalam menciptakan konsumen berdaya yang
mengetahui hak-haknya serta mampu melaksanakan kewajibannya sebagai
konsumen yang baik.
2) Advokasi (saluran pengaduan, pemberian kompensasi/ganti rugi atas
kerugian akibat penggunaan barang/jasa)
Pemberian perlindungan kepada konsumen tidak hanya dilakukan saat
pembelian atau saat mengkonsumsi barang atau jasa, tetapi juga harus
diberikan jika konsumsi barang atau jasa tersebut menimbulkan kerugian
atau dampak buruk bagi konsumen di kemudian hari. Dalam hal ini,
konsumen membutuhkan jaminan advokasi dari pemerintah apabila suatu
saat konsumen memperoleh kerugian akibat mengkonsumsi barang atau
jasa. Advokasi dalam hal ini dapat berbentuk saluran pengaduan, pemberian
kompensasi atau ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan barang atau
jasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 37% konsumen pernah
mengalami masalah dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Masalah
tersebut dapat berasal dari pedagang maupun pengecer. Dari sejumlah
konsumen yang mengalami masalah, hanya terdapat sekitar 54% konsumen
yang melakukan pengaduan. Sebagian besar (44%) konsumen langsung
mengadu pada penjual produk, sementara sisanya ke produsen (15%) dan
keluarga atau kerabat (9%). Hanya sebagian kecil (1%) yang melakukan
pengaduan ke Lembaga Pengaduan Konsumen (LPK).
Rendahnya pengaduan yang dilakukan pada LPK disebabkan masih
rendahnya tingkat pengenalan konsumen pada LPK yang ada di Indonesia.
Diantara beberapa LPK yang ada saat ini, hanya YLKI yang paling dikenal
oleh konsumen, sementara pengenalan masyarakat terhadap Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lain sebagainya
masih relatif rendah. Selain itu, sekitar 44% konsumen menyatakan
alasananya tidak melakukan pengaduan antara lain adalah karena tidak
mengetahui lokasi tempat mengadu, prosedur pengaduan yang rumit, serta
prosesnya yang lama. Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi
20PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
terkait dengan bentuk – bentuk advokasi yang diberikan oleh pemerintah
serta lembaga terkait didalamnya.
3) Pengawasan barang (meliputi label, timbangan, standar mutu produk (SNI),
manual kartu garansi (MKG), dll)
Pengawasan terhadap barang dan jasa dapat dilakukan oleh pemerintah
untuk mencegah konsumen dari kerugian yang lebih besar akibat
mengkonsumsi barang atau jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 37% konsumen yang pernah mengalami masalah dalam
mengkonsumsi barang atau jasa. Umumnya masalah yang ditemukan oleh
konsumen antara lain meliputi kualitas produk atau jasa yang tidak sesuai
dengan yang dijanjikan, kebenaran atau kejujuran informasi yang
disampaikan, adanya diskriminasi dalam pelayanan, serta tidak adanya
informasi mengenai efek samping dari produk yang digunakan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pengawasan barang atau jasa menjadi
salah satu kebutuhan vital konsumen dalam mengkonsumsi barang atau
jasa, sekaligus menjadi bentuk upaya pemerintah dalam menjaga kualitas
mutu barang dan jasa agar memenuhi syarat keamanan dan kesehatan.
2.2.4. Peranan Kelompok/Organisasi Konsumen, Kelembagaan dan
Pengelolaan
Kelompok konsumen, dalam hal ini LPKSM, menurut Peraturan
Pemerintah No.59 Tahun 2001 Tentang LPKSM merupakan lembaga yang
bertugas dalam bidang perlindungan konsumen dan memiliki fungsi :
a. Edukasi; dengan cara
- Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan
mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen;
- Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara lisan
atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya;
- Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran informasi
21PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau
jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
b. Advokasi; dengan cara membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. LPKSM
dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun
kelompok.
c. Pengawasan; dengan cara melakukan pengawasan bersama pemerintah
dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian
dan/atau survei.
Sementara itu, studi empiris menunjukkan bahwa kegiatan edukasi
konsumen meliputi menyediakan informasi seluasnya sehingga konsumen
dapat memilih barang/jasa dgn lebih baik (informed choice), melindungi
konsumen dari praktek tidak adil dan eksploitatif, dan merubah perilaku
konsumen sehingga menjadi konsumen kritis yang dapat berdampak secara
sosial dan politik bagi lingkungannya (ASIC, 2001). Sekanjutnya untuk
pelaksanaan fungsi advokasi memerlukan infrastruktur advokasi yang efektif.
Menurut hasil studi Brown (2011), infrastruktur advokasi konsumen yang
efektif antara lain meliputi pengetahuan dan pemahaman, kredibilitas,
networks, dan consumers engagement yang kesemuanya diimplementasikan
melalui kampanye aktif dan advokasi yang responsif.
Kemudian, beberapa hasil studi juga menunjukkan pentingnya peranan
kelompok/organisasi konsumen. Pembentukan kelompok konsumen yang
menjalankan tugas dan fungsinya secara baik akan memberikan dampak
yang positif sehingga masyarakat (konsumen) lebih berdaya. Sebagai
contoh adalah pembentukan Kelompok Konsumen Sadar Di DIY
berdasarkan hasil studi Purnomo (2014) yaitu bahwa Pembentukan
kelompok konsumen tersebut membawa perubahan kepada konsumen yang
menjadi anggotanya. Perubahan tersebut meliputi : 1) konsumen menjadi
lebih aktif dalam berbagi pengalaman terkait masalah pelanggaran
konsumen; 2) meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
akan hak-hak mereka sebagai konsumen; dan 3) masyarakat lebih berani
memperjuangkan haknya dan menuntut pelaku usaha.
22PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Lebih lanjut, studi yang dilakukan di New Zealand pada sektor pelayanan
kesehatan (Coney, 2004) menekankan pentingnya partisipasi konsumen,
khususnya yang tergabung dalam kelompok, untuk meningktakan kualitas
layanan kesehatan yang mereka terima. Hasil studi di Amerika Serikat dan
Inggris Raya menunjukkan bahwa kelompok konsumen yang aktif
berpartisipasi mampu memperbaiki pelayanan kesehatan di negara-negara
tersebut. Partisipasi konsumen yang efektif membutuhkan dukungan
pemerintah, komitmen, serta organisasi konsumen yang kuat. Dengan
demikian, hasil studi yang dilakukan Coney ini mendorong pembentukan
kelompok/organisasi konsumen di sektor kesehatan karena New Zealand
saat itu belum memiliki kelompok konsumen tingkat nasional dan belum
memiliki sistem yang terorganisir sebagai wadah komunikasi dan berbagi
informasi bagi konsumen, baik dari pihak pemerintah maupun penyedia
layanan kesehatan.
2.2.5. Metode Analytical Hierarchy Process Dalam Penentuan Prioritas
AHP atau Analytical Hierarchy Process merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan multi kriteria yang pertama kali ditemukan dan
dikembangkan oleh Thomas L Saaty, seorang ahli matematika dari
Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. AHP merupakan
metode penelitian yang dapat digunakan untuk membantu menyusun suatu
prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi
criteria). Selain bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu
proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur, dan dilakukan
oleh para ahli yang representatif berkaitan dengan alternatif – alternatif yang
akan disusun prioritasnya (Bourgeois, 2005). Dengan menggunakan metode
AHP, prioritas pilihan yang dihasilkan akan lebih bersifat konsisten dengan
teori, logis, transparan, dan partisipatif. Oleh karena itu, metode AHP akan
sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang
menuntut transparansi dan partisipasi.
Dalam perkembangannya, metode AHP dinilai memiliki beberapa
kelebihan dalam sistem analisanya, antara lain (Syaifullah, 2010):
23PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1) Kesatuan (Unity). AHP mampu menjadikan permasalahan yang luas dan
tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah
dipahami.
2) Kompleksitas (Complexity). AHP memecahkan permasalahan yang
kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara
deduktif.
3) Saling ketergantungan (Inter Dependence). AHP dapat digunakan pada
elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan
hubungan linier.
4) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring). AHP mewakili pemikiran alamiah
yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang
berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa.
5) Pengukuran (Measurement). AHP menyediakan skala pengukuran dan
metode untuk mendapatkan prioritas.
6) Konsistensi (Consistency). AHP mempertimbangkan konsistensi logis
dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas.
7) Sintesis (Synthesis). AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan
mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.
8) Trade Off. AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada
sistem sehingga orang mampu memilih alternatif terbaik berdasarkan
tujuan mereka.
9) Penilaian dan konsensus (Judgement and Consensus). AHP tidak
mengharuskan adanya suatu konsensus, melainkan menggabungkan
hasil penilaian yang berbeda.
10) Pengulangan Proses (Process Repetition). AHP mampu membuat orang
menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan
penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan.
Sementara itu, kelemahan metode AHP terletak pada ketergantungan
model AHP pada input utamanya yang berupa persepsi seorang ahli,
sehingga melibatkan subyektifitas sang ahli yang berpotensi menjadikan
model tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
Selain itu, metode AHP tidak disertai pengujian secara statistik sehingga
tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.
Susila & Munadi (2007), dalam penelitiannya, telah menggunakan metode
AHP untuk menyusun prioritas proposal penelitian Badan Litbang
24PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Terdapat lima proposal penelitian
yang akan ditentukan prioritas pelaksanaannya oleh para ahli, berdasarkan
kriteria penilaian yang ditentukan. Adapun kriteria penilaian yang telah
ditentukan dan digunakan untuk menyusun prioritas proposal penelitian,
sesuai dengan urutan bobot prioritas masing – masing kriteria antara lain
adalah:
(i) Efektifitas dari penelitian untuk mencapai visi dan misi dari Kementerian
Perdagangan. Semakin dianggap efektif penelitian tersebut, maka nilai
yang diberikan akan semakin tinggi dan sebaliknya.
(ii) Urgensi penelitian (penelitian bersifat responsif terhadap isu – isu
penting yang dihadapi oleh Kementerian Perdagangan dan merupakan
isu terkini). Semakin urgen atau penting isu yang disebutkan didalam
penelitian tersebut, maka nilai yang diberikan akan semakin tinggi dan
sebaliknya.
(iii) Kemudahan secara teknis. Semakin mudah penelitian tersebut, maka
nilai yang diberikan akan semakin tinggi dan sebaliknya.
(iv) Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian. Semakin lama
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian maka nilai yang
diberikan akan semakin kecil dan sebaliknya.
(v) Biaya atau total anggaran yang tersedia untuk sebuah penelitian.
Semakin tinggi biaya yang diperlukan, maka nilai yang diberikan akan
semakin kecil dan sebaliknya.
Hasil analisis dengan metode AHP dengan menggunakan kriteria tersebut
diatas menunjukkan urutan prioritas proposal penelitian yang diajukan oleh
Badan Litbang Perdagangan adalah sebagai berikut:
1) Kajian dampak peraturan perijinan perdagangan dalam negeri terhadap
keinginan untuk melakukan bisnis di Indonesia;
2) Dampak penurunan tarif impor di sektor perikanan, kehutanan, dan
produk – produk kimia;
3) Kajian pengembangan pasar distribusi regional untuk produk agro;
4) Kajian minuman beralkohol asal impor;
5) Kajian tentang strategi yang kompetitif dalam pemasaran hasil industri
kerajinan tangan di Indonesia.
Sementara itu Kusdiana & Gunardi (2014), dalam penelitiannya berjudul
Pengembangan Produk Unggulan UMKM di Kabupaten Sukabumi,
25PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
menggunakan metode AHP untuk melihat produk unggulan UMKM di
berbagai sektor di Kabupaten Sukabumi, yang cocok untuk dikembangkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya pengembangan potensi
unggulan produk UMKM yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi sehingga diharapkan dapat membantu Pemerintah
Daerah Kabupaten Sukabumi dalam menetapkan program yang lebih fokus
untuk mengembangkan produk unggulan UMKM. Metode AHP yang
digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas produk
unggulan di setiap sektor melalui penilaian yang dilakukan oleh para ahli
terkait. Terdapat tiga sektor yang akan diteliti yakni sektor pertanian, industri
dan jasa, dengan lima produk unggulan pada masing – masing sektor. Untuk
menentukan produk unggulan pada setiap sektor digunakan tiga kriteria
yakni keunikan, aspek pasar dan kontribusi ekonomi. Hasil penelitian dengan
menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria
keunikan, potensi pasar, dan manfaat ekonomi, potensi unggulan produk
UMKM prioritas di Kabupaten Sukabumi adalah manggis, pengolahan
logam, dan jasa perbengkelan.
Penelitian lainnya dengan menggunakan metode AHP juga telah
dilakukan oleh Soebagiyo & Wahyudi (2008). Penelitiannya bertujuan untuk
menganalisis kompetensi unggulan daerah pada produk batik tulis dan batik
cap Solo di Daerah Tingkat II Kota Surakarta. Terdapat beberapa metode
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: (i) Metode Bayes,
untuk memperoleh peringkat produk unggulan prioritas; (ii) AHP, dengan
mengaplikasikan Software Expert Choice, yang bertujuan untuk mengetahui
kompetensi unggulan IKM di daerah Surakarta; (iii) Analisis Ekonomi Rantai
Nilai, yang diawali dengan pemetaan rantai (chain map) atas produk
unggulan prioritas yang tergolong sebagai peringkat utama, kemudian setiap
mata rantai nilai diidentifikasi kekuatan atau kompetensinya, untuk
selanjutnya dikuantifikasi dan dinilai analisis ekonomi rantai nilainnya.
Analisis dengan menggunakan metode AHP dilakukan melalui diskusi
dengan narasumber yang kompeten serta memiliki kewenangan dan fokus
terhadap produk kompetensi daerah. Metode AHP dilakukan untuk
menentukan produk kompetensi unggulan prioritas dari kompetensi-
kompetensi produk unggulan yang telah diidentifikasi. Adapun kriteria yang
digunakan dalam melakukan penilaian antara lain adalah: (i) keunikan; (ii)
26PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
daya saing; (iii) keterbukaan terhadap pasar baru; dan (iv) manfaat yang
lebih baik bagi pelanggan. Hasil analisis dengan menggunakan metode AHP
menunjukkan bahwa batik dan produk batik yang berada di peringkat
pertama dalam produk unggulan IKM di Kota Surakarta atau Solo adalah
yang memiliki keunikan dalam motif, memiliki daya saing unggulan yang
dominan dalam karakteristik, desain dan daya inovasi, serta memiliki makna
filosofis atas motifnya.
2.3. Kelompok/Organisasi Konsumen di Beberapa Negara
2.3.1. Thailand
Foundation for Consumers (FFC), 1994
Merupakan lembaga non-profit dan non-pemerintah yang terbentuk tahun
1983 dengan nama The Coordinating Committee for Primary Health Care of
Thai NGOs (CCPN) yang bergerak dibidang kesehatan. Lembaga bertujuan
untuk:
a. Melakukan koordinasi antara konsumen dan organisasi konsumen untuk
melindungi hak-hak mereka sendiri;
b. Untuk mempromosikan dan memperkuat organisasi konsumen dan
konsumen untuk berpartisipasi dalam perlindungan konsumen;
c. Untuk penelitian dan studi tentang masalah konsumen untuk
mempromosikan perlindungan konsumen;
d. Melakukan koordinasi dengan organisasi nasional dan Internasional
untuk perlindungan konsumen
2.3.2. Malaysia
1. Consumers Affair and Protection Society of Sabah (CAPS)
Merupakan lembaga independen yang anggotanya berasal dari
masyarakat umum dengan membayar iuran. Kegiatan utama lembaga ini
sebagai berikut :
a. Melindungi dan menjaga masyarakat pengguna dari berbagai unsur
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan penindasan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
b. Memupuk kesadaran pengguna sehingga membedakan dengan hak-hak
mereka dan bersuara berdasarkan landasan hak dasar pengguna
seperti berikut:
27PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
- Hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar
- Hak untuk mendapatkan keamanan
- Hak untuk mendapatkan informasi
- Hak untuk membuat pilihan
- Hak untuk berekspresi
- Hak untuk mendapatkan ganti rugi
- Hak untuk mendapatkan pendidikan pengguna
- Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman
c. Membantu pemerintah melalui pemantauan harga barang kebutuhan
harian terutama harga barang-barang terkendali di seluruh daerah
d. Menyampaikan saran, komentar dan teguran kepada pihak yang
berwajib agar keluhan atau permasalahan konsumen dapat
ditindaklanjuti.
e. Membentuk masyarakat konsumen ke arah konsumen cerdas melalui
penerapan kebiasaan 'berhemat' dalam mengelola urusan keuangan
pribadi dan keluarga.
f. Mengusulkan seminar, lokakarya, kampanye, kursus, dialog dan lain-lain
kegiatan konsumen yang dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada
pengguna di tingkat desa, mukim, daerah dan zona seluruh negeri
dengan kerjasama dan izin pemerintah daerah yang bersangkutan.
g. Bekerjasama dengan asosiasi, organisasi atau organisasi lain baik di
dalam atau di luar negeri yang memiliki misi, visi dan tujuan yang sama
untuk melindungi masyarakat pengguna.
2. Consumers' Association of Subang and Shah Alam, Selangor
(CASSA)
Merupakan lembaga non pemerintah untuk masyarakat Malaysia kelas
bawah. Lembaga ini bertujuan untuk :
a. Melindungi hak-hak konsumen dibidang makanan, perumahan dan
tempat tinggal, perawatan kesehatan, sanitasi, transportasi umum,
pendidikan, kebijakan publik, hak asasi manusia dan lingkungan.
b. Mendidik masyarakat menjadi konsumen yang bertanggung jawab dan
melindungi konsumen dari penyalahgunaan dan malpraktek yang terjadi
di Pasar.
28PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. FOMCA: Federation of Malaysian Consumers Associations -
Gabungan Persatuan-Persatuan Pengguna-Pengguna Malaysia
Merupakan lembaga dengan lingkup nasional, non pemerintah, bersifat
sukarela, dan non-profit. Lembaga ini terdiri dari 13 asosiasi konsumen di
Malaysia yaitu asosiasi di setiap negara bagian. Tujuan utama lembaga
adalah melaksanakan kegiatan dalam rangka melindungi hak-hak
konsumen; hak untuk membuat pilihan, hak untuk mendapatkan keamanan,
hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk bersuara, hak untuk
mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan
aman, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar, dan hak untuk
mendapatkan pendidikan pengguna.
Federation of Malaysian Consumers Associations (FOMCA) merupakan
organisasi non pemerintah yang bersifat sukarela, non-profit, berorientasi
kepada masyarakat. FOMCA adalah sebuah badan organisasi yang
memayungi beberapa asosiasi/organisasi konsumen yang terdaftar di
Malaysia. FOMCA telah berdiri sejak 10 Juni 1973. Sebagai payung
organisasi konsumen di Malaysia, FOMCA berperan dalam menghubungkan
segala aktivitas dari berbagai asosiasi konsumen baik di dalam negeri
(Malaysia) maupun di tingkat internasional yang terkait dengan penguatan
perlindungan konsumen melalui pengaruh, jaringan, perwakilan, kampanye
dan edukasi.
Kegiatan FOMCA berfokus pada peningkatan keberdayaan konsumen
terutama di negara berkembang dengan jumlah konsumen yang terus
bertumbuh.
Visi FOMCA antara lain adalah:
1. Mewujudkan konsumen yang berdaya, berdikari dan mampu melindungi
dirinya sendiri;
2. Mewujudkan konsumen yang cerdas, yang membeli sesuai dengan
kebutuhan hidup dan daya beli konsumen (tidak boros).
Peranan FOMCA terkait dengan visi di atas antara lain adalah:
1. Sebuah badan yang memberi dan menyebarkan informasi;
2. Sebuah badan penyidik yang memberi pendidikan kepada semua
anggota (konsumen);
3. Sebuah badan bertindak yang memberi perlindungan kepada konsumen;
29PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
4. Sebuah badan yang menyusun strategi, membuat kajian dan ujian untuk
mendapatkan informasi yang benar.
Beberapa aktivitas atau kegiatan FOMCA antara lain adalah:
1. Melakukan kajian terkait isu-isu konsumen dan dampaknya pada rakyat;
2. Melakukan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen;
3. Memberikan perlindungan konsumen yang lebih baik;
4. Bila perlu, menjalankan pemeriksaan produk.
Beberapa tujuan dari FOMCA antara lain adalah:
1. Memperkuat perkembangan pergerakan konsumen di Malaysia;
2. Meneliti isu-isu dan masalah konsumen dan berjuang untuk hak-hak
konsumen;
3. Mengusahakan perlindungan konsumen melalui daya beli konsumen
untuk mendapatkan satu orientasi pembangunan yang akan menjamin
keadilan sosial ekonomi dan kualitas perdagangan yang lebih baik bagi
semua stakeholder;
4. Menngkoordinasikan dan menjadi badan konsultasi bagi organisasi
konsumen lain di Malaysia.
Beberapa fungsi utama dan peran FOMCA antara lain adalah:
1. Memberikan pelayanan sebagai koordinator, konsultan dan agen
penasehat terhadap asosiasi konsumen di Malaysia yang terdaftar
sebagai anggotanya;
2. Menampung dan memberikan saran sesuai minat konsumen dalam
rangka mempromosikan kesejahteraan konsumen;
3. Membantu menyelesaikan permasalahan konsumen melalui kebijakan
yang berkembang dan advokasi;
4. Menyediakan perwakilan bagi anggota asosiasi dalam hal hubungan
dengan pemerintah;
5. Menyebarkan informasi kepada konsumen dan memberikan edukasi
kepada konsumen.
Adapun beberapa prinsip FOMCA antara lain adalah:
1. Bekerjasama dengan pemerintah tetapi bukan untuk pemerintah;
2. Bekerjasama dengan konsumen tetapi bukan untuk konsumen;
3. Mengawal kaidah perdagangan yang bersifat mengeksploitasi dan tidak
beretika tetapi bukan menentang kaidah perdagangan yang bertanggung
jawab.
30PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
FOMCA juga mewakili konsumen dalam hal pembuatan kebijakan dan
implementasi kebijakan di berbagai Kementerian dan Badan, seperti
Kementerian Perdagangan Domestik dan Urusan Konsumen (The Ministry of
Domestic Trade and Consumer Affairs), Kementerian Kesehatan (The
Ministry of Health), Kementerian Keuangan (The Ministry of Finance), dan
lain sebagainya.
2.4. Kerangka pikir
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan perlu mengoptimalkan
upaya dalam pemberdayaan konsumen. Bagian penting dari aspek
pemberdayaan konsumen adalah peningkatan peran kelompok konsumen
untuk memperjuangkan kepentingan konsumen. Hasil studi sementara dari
berbagai literatur menunjukkan masih sedikit LPKSM yang memiliki lingkup
kerja yang spesifik. Pembentukan LPKSM dengan lingkup spesifik akan
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan edukasi dan advokasi
karena LPKSM menguasai materi secara spesifik. Potensi pembentukan
LPKSM tersebut termasuk berdasarkan kelompok barang dan jasa (sector)
dan berdasarkan wilayah. Kemudian, potensi tersebut akan dibahas dan
dianalisis dengan menggunakan metode case study dan juga Analytical
Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan potensi mana yang
memungkinkan serta untuk menentukan prioritas yang mana yang akan
menjadi basis pembentukan kelompok konsumen.
Selain itu, dari hasil studi lapangan juga akan dijabarkan bagaimana
bentuk kelembagaan serta pelaksanaan program dan kegiatan yang
dilaksanakan oleh LPKSM. Secara umum, LPKSM merupakan lembaga non-
profit dan non-pemerintah yang membiayai dirinya sendiri dan bersifat
sukarela. Selanjutnya akan dibahas bagaimana bentuk kelembagaan
tersebut mempengaruhi LPKSM dalam menjalankan program dan
kegiatannya dengan metode pendekatan studi kasus. Lebih lanjut, studi
literatur menyatakan bahwa selain frekuensi kegiatan yang memadai, ada
beberapa unsur atau elemen dalam pelaksanaan program edukasi dan
advokasi yang perlu dipenuhi sehingga kegiatan tersebut memberikan
dampak yang positif dan signifikan. Dalam pelaksanaan edukasi, konsumen
perlu: 1) memperoleh informasi yang memadai terkait pilihan barang dan
jasa yang tersedia (informed choice); 2) memperoleh perlindungan dari
31PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
eksploitasi yang mungkin terjadi; dan 3) program edukasi juga harus
memupuk daya pikir kritis konsumen sehingga konsumen dapat secara aktif
melindungi dirinya sendiri (critical view). Sementara itu, yang diperlukan
dalam pelaksanaan kegiatan advokasi adalah pengetahuan yang cukup,
kredibilitas sudah dibangun secaa baik oleh LPKSM, memperkuat jaringan,
serta penting untuk selalu melibatkan konsumen dalam proses advokasi.
Kelompok/OrganisasiKonsumendalamMendukungPemberdayaan
Konsumen
Potensi
PembentukanBentuk
KelembagaanPelaksanaanProgram
Program- Berdasarkankelompokbarangdanjasa
- Berdasarkanwilayah
- Berdasarkankesamaansosialekonomi
- Non-profit- Non-government- Self/memberfunding
- Voluntary
a. Edukasi:- Informedchoice- Perlindungandari
eksploitasi- Criticalview
b. Advokasi:- Knowledge- Kredibilitas- Networks- Consumer
engagement
MetodeAnalisis:
CaseStudyApproach
32PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
BAB 3
METODOLOGI
3.1. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari para responden yaitu key person pada
consumer group yang sudah terbentuk di masyarakat serta lembaga terkait
lainnya untuk menggali informasi tentang pembentukan consumer group,
perekrutan anggota, pembentukan jaringan, serta program dan kegiatan
yang dilaksanakan dalam rangka mengedukasi dan mengadvokasi anggota
dan masyarakat secara umum. Sementara data sekunder yang dikumpulkan
meliputi regulasi, literatur dan referensi yang terkait, data jumlah consumer
group dan LPKSM, program edukasi dan advokasi yang dilaksanakan
pemerintah dan pihak lainnya.
3.2. Metode Pengumpulan Data
- Purposive sampling
33PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Penentuan responden dilakukan dengan purposive sampling, yaitu
responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu, antara lain merupakan
penggagas terbentuknya kelompok konsumen, pengurus, anggota, dan
mitra terkait.
- In-depth interview
In-depth interview dilakukan untuk memperoleh keterangan secara
mendalam sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan
dengan tatap muka antara pewawancara dengan responden atau
orang yang diwawancarai. Penggalian dilakukan untuk
mengetahui pendapat responden dalam memandang sebuah
permasalahan. Salah satu kelebihan teknik ini adalah topik atau
pembahasan masalah yang ditanyakan bisa bersifat kompleks
atau sangat sensitif.
- Group discussion
Dalam diskusi grup ini akan diundang seluruh pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pemberdayaan konsumen, antara lain perwakilan
pihak pemerintah, akademisi, penggiat perlindungan konsumen,
termasuk key person yang terlibat dalam kelompok/organisasi
konsumen. Bahasan yang didiskusikan dalam diskusi grup ini meliputi
program dan regulasi pemerintah dan pihak lainnya dalam mendukung
perkembangan kelompok/organisasi konsumen, pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan konsumen baik oleh pemerintah maupun oleh
kelompok/organisasi konsumen, hambatan dan permasalahan yang
dihadapi serta dukungan yang diharapkan.
3.3. Metode Analisis Data
3.3.1. Case-study approach
Metode analisis yang digunakan untuk memetakan potensi pembentukan
kelompok/organisasi konsumen adalah dengan analisis deskriptif terhadap
data dan informasi yang diperoleh melalui studi literatur maupun hasil in-
depth interview. Kemudian, pendekatan yang digunakan terkait
kelembagaan/organisasi dan pengelolaan kelompok konsumen adalah case
study atau studi kasus untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
mengenai kelompok/organisasi konsumen yang sudah terbentuk.
Pendekatan ini menekankan pada analisis kontekstual pada aspek
34PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
pembentukan, kelembagaan, pengelolaan dan kemudian menganalisis relasi
atau hubungannya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis case study adalah sebagai berikut :
1. Menentukan dan mendefisinikan pertanyaan penelitian
2. Menentukan contoh kasus yang dijadikan obyek analisis
3. Menyiapkan pengumpulan data termasuk menyusun kuesioner atau
panduan wawancara (in-depth interview)
4. Pengumpulan data
5. Penyusunan laporan
Setelah in-depth interview dilakukan, tahap berikutnya adalah melakukan
analisis deskriptif. Beberapa tahapan sebelum melakukan analisis :
a. Meninjau ulang data dan informasi yang dikumpulkan
b. Membuat transkrip atau verbatim dan membaca ulang transkrip
c. Melakukan koding terhadap sikap, pendapat responden yang
memiliki kesamaan
d. Menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks
yang berbeda
e. Menentukan persamaan istilah yang digunakan, termasuk
perbedaan pendapat terhadap istilah tersebut
f. Mencari hubungan diantara masing-masing kategorisasi yang ada
untuk menentukan bentuk bangunan hasil diskusi atau sikap dan
pendapat
3.3.2. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Secara garis besar, terdapat tiga tahapan pelaksanaan AHP dalam
penyusunan prioritas (Susila & Munadi, 2007):
1. Dekomposisi dari masalah
Untuk menyusun prioritas, maka masalah penyusunan prioritas harus
mampu didekomposisi menjadi tujuan dari suatu kegiatan, identifikasi
pilihan-pilihan, dan perumusan kriteria untuk memilih prioritas.
2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi
Pada bagian ini, terdapat dua tahap penilaian atau pembandingan antar
elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan
untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria bertujuan untuk
menentukan bobot untuk masing – masing kriteria. Sementara itu,
35PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria dimaksudkan untuk
melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan demikian,
tujuan dari penilaian ini adalah untuk melihat seberapa penting suatu
pilihan dilihat dari kriteria tertentu.
Pada awalnya, penilaian atau perbandingan yang digunakan oleh Saaty
(2008) adalah dengan menggunakan skala dari 1/9 sampai dengan 9. Jika
pilihan A dianggap sama (indifferent), maka A dan B masing – masing diberi
nilai 1/3. Jika A jauh lebih disukai dibanding B, maka A diberi nilai 3 dan B
diberi nilai 1/3. Atau dengan penilaian lainnya dimana jika A jauh lebih
disukai dibanding B, maka A misalnya diberi nilai 7 dan B diberi nilai 1/7.
Tabel 3.1 Skala Penilaian Metode AHP Skala Penilaian
(Tingkat Kepentingan) Definisi Keterangan
1 Sama penting 2 Lemah atau sedikit lebih
penting
Dua kegiatan memiliki kontribusi yang sama terhadap pencapaian tujuan
3 Cukup penting 4 Lebih penting
Pengalaman dan penilaian sedikit lebih mendukung satu kegiatan dibanding yang lainnya
5 Kepentingan yang kuat 6 Kepentingan yang lebih
kuat
Pengalaman dan penilaian sedikit lebih mendukung satu kegiatan dibanding yang lainnya
7 Sangat kuat atau kepentingan yang didemonstrasikan
8 Sangat, sangat penting
Sebuah kegiatan yang sangat didukung dibanding kegiatan lainnya; dominan dari kegiatan tersebut ditunjukkan oleh praktek di lapangan
9 Sangat penting (kepentingan yang ekstrim)
Terdapat bukti pendukung untuk mendukung suatu kegiatan dibanding pilihan kegiatan lainnya
1.1-1.9 Jika kegiatan-kegiatannya sangat berdekatan
Kondisi dimana sulit untuk menetapkan kegiatan mana yang lebih penting, namun tetap dapat diputuskan melalui kepentingan relatif antar kegiatan.
Sumber: Saaty, 2008.
36PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Alternatif penilaian lainnya adalah seperti yang digunakan oleh Bourgeois
(2005) yang menggunakan skala antara 0,1 sampai dengan 1,9. Sebagai
contoh, misalkan A sedikit lebih baik/disukai dari B, maka A diberi nilai 1,3
dan B dinilai 0,7. Namun, jika A jauh lebih disukai dibanding B, maka nilai A
menjadi 1,6 dan B menjadi 0,4 (Tabel 3.2).
Tabel 3.2 Skala Penilaian Hasil Penilaian Nilai A Nilai B
A sangat jauh lebih disukai dari B 1,9 0,1 A jauh lebih disukai dari B 1,6 0,4 A sedikit lebih disukai dari B 1,3 0,7 A sama dengan B 1,0 1,0 A sedikit kurang disukai dari B 0,7 1,3 A jauh kurang disukai dari B 0,4 1,6 A sangat jauh kurang disukai dari B 0,1 1,9 Sumber: Bourgeois, 2005.
Dengan menggunakan penilaian seperti tabel diatas, maka perbandingan
antar kriteria akan menghasilkan seperti Tabel 3.3 berikut. Jika diasumsikan
hanya terdapat empat kriteria, maka dari tabel tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut:
• Cij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j;
• Ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke-i;
• C merupakan penjumlahan semua nilai ci;
• Bobot kriteria ke I diperoleh dengan membagi nilai ci dengan c.
Tabel 3.3 Perbandingan antar Kriteria Kriteria CR1 CR2 CR3 CR4 Jumlah Bobot
CR1 - C12 C13 C14 C1 Bc1=c1/c CR2 C21 - C23 C24 C2 Bc2=c2/c CR3 C31 C32 - C34 C3 Bc3=c3/c CR4 C41 C42 C43 - C4 Bc4=c4/c
Jumlah C
Proses penilaian antar pilihan dilakukan untuk semua kriteria dan
dilakukan oleh ahli atau stakeholder utama. Jumlah ahli yang diikutsertakan
bervariasi tergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian ini dapat
dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing – masing ahli
ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan
penilaian tersebut.
37PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. Sintesis Penilaian
Sintesis penilaian merupakan tahap akhir dari AHP. Sintesis merupakan
penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing – masing
kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum, nilai suatu
pilihan adalah sebagai berikut:
!"#$= $=1%!"$& * !'&
………………………………………………………………………………………………………(1)
Bop = nilai/bobot untuk pilihan ke-i
Formula tersebut dapat juga disusun dalam bentuk tabel. Untuk
memudahkan penilaian, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat
pilihan seperti Tabel 3.4 berikut. Sebagai contoh, nilai prioritas/bobot pilihan
1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada kriteria dengan nilai
yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut:
Bop1 = bo11 * bc1 + bo12 * bc2 + bo13 * bc3 + bo14 * bc4
…………………………………………………………..(2)
Hal yang sama dilakukan untuk pilihan ke-2, 3 dan 4. Setelah diperoleh
nilai untuk masing – masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan
besarnya nilai tersebut. Smakin tinggi nilai suatu pilihan, maka semakin
tinggi prioritasnya dan sebaliknya.
Tabel 3.4 Sintesa Penilaian CR1 CR2 CR3 CR4 Prioritas bc1 bc2 bc3 bc4 bopi
OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1 OP2 bo21 bo22 bo23 bo23 bop2 OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3 OP4 bo41 bo42 bo43 bo44 Bop4
Sektor Prioritas Dalam Pembentukan LPKSM
Selanjutnya, dengan metode AHP maka disusun prioritas sektor atau
kelompok barang yang menjadi basis pembentukan kelompok konsumen
atau LPKSM. Untuk itu diperlukan pilihan sektor-sektor prioritas, indikator
atau kategori penilaian, dan bobot dari masing indikator tersebut.
Berdasarkan hasil tinjauan literatur dan diskusi dengan expert, maka sektor-
38PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sektor yang penting untuk dijadikan basis pembentukan LPKSM tercantum
dalam tabel berikut.
Tabel 3.5. Sektor-sektor penting terkait perlindungan konsumen
3.4. Jadwal Operasional Pengumpulan Data di Daerah
Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi menjadi 4
(empat) tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim dan target
responden adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6. Operasional Survey
Daerah Waktu
Pelaksanaan
Petugas Survey Target
Responden
Sumatera
Utara
M5 Mei 2016 Michael
Manurung, Yudha
Hadian Nur Ratna
Anita
Key person pada
kelompok
konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
D.I.Yogyakarta M4 Juni 2016 Ratna Anita, Riska
Pujiati, Deasy
Key person pada
kelompok
39PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Hariyani konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
Banten M5 Juni 2016 Ranni Resnia,
Bagus Wicaksena,
Riska Pujiati
Key person pada
kelompok
konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
Jawa Barat M4 Juli 2016 Sri Hartini, Ranni
Resnia, Ratna
Anita, Asih Yulianti
Key person pada
kelompok
konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
40PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB IV
KELOMPOK/ORGANISASI KONSUMEN DI DAERAH PENELITIAN
4.1. Kelompok Konsumen Dan Pengelolaannya
4.1.1. LPKSM Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY)
Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) didirikan pada tanggal 12 April
1978 dengan nama awal YLK Perwakilan Yogyakarta yang menginduk ke
YLKI (Jakarta). Bentuk organisasi pada awalnya adalah yayasan. Pada
tanggal 20 Mei 1999, YLK Perwakilan Yogyakarta melepaskan diri dari YLKI
dan bentuk organisasi berubah dari yayasan ke organisasi kemasyarakatan
dengan nama YLKI Yogyakarta. Nama YLKI Yogyakarta mengalami
perubahan lagi pada Musyawarah Anggota ke-2 tahun 2005 dengan nama
Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY). Alasan berubahnya bentuk
organisasi menjadi organisasi kemasyarakatan adalah dengan dasar
pemikiran bahwa organisasi bersangkutan adalah organisasi konsumen
yang terbuka bagi siapapun untuk masuk kedalamnya dan memperjuangkan
isu-isu perlindungan konsumen. Kekuasaan tertinggi di LKY adalah
Musyawarah Anggota. Dibawahnya terdapat Dewan Pengawas dan Dewan
Pengurus. Dewan Pengawas mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap kinerja Dewan Pengurus dalam melaksanakan amanah
Musyawarah Anggota.
Adapun susunan Dewan Pengawas LKY periode tahun 2014 – 2018
adalah sebagai berikut :
a) Ketua : Nanang Ismuhartoyo
b) Anggota : AP. Murniati Sucipto
Sementara untuk Dewan Pengurus, bersifat kolektif kolegial dengan
susunan sebagai berikut :
a) Ketua : Saktya Rini Hastuti
b) Koordinator Program : Renta Chrisdiana
c) Koordinator Pelayanan Publik : J. Widijantoro
d) Sekretaris : Dwi Priyono
e) Bendahara : Erri Sulistyawati
41PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Koordinator program berfungsi memberikan pendidikan pengorganisasian
atau pendidikan konsumen seperti misalnya siaran di radio, televisi,
penyebaran leaflet, penyuluhan ke masyarakat, pelatihan dan pembentukan
kelompok konsumen. Salah satu bentuk kegiatan dari koordinator program,
yaitu siaran radio dianggap cukup efektif sebagai salah satu media
pembelajaran mengenai hak konsumen bagi masyarakat dikarenakan dapat
menjangkau masyarakat luas. Tiap wilayah biasanya memiliki jaringan radio
lokal yang masih memiliki banyak audiens. Namun, cara ini masih memiliki
kekurangan disebabkan dibutuhkan dana yang cukup besar bagi para
anggota LKY untuk menjangkau radio lokal di wilayah masing-masing
tersebut. Beberapa contoh edukasi lewat siaran radio antara lain adalah
pendidikan konsumen tentang pangan, BPJS, listrik, dan lain-lain.
Penyuluhan ke sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi juga dilakukan oleh
LKY agar masyarakat, khususnya dalam hal ini anak-anak sekolah hingga
mahasiswa juga melek akan pangan yang sehat dan sadar akan hak-haknya
sebagai konsumen. Penyuluhan juga diberikan oleh LKY berbarengan
dengan kegiatan lainnya, misalnya kegiatan ibu-ibu PKK yang disisipkan
materi dari pihak LKY. Berbagai kegiatan ini dilakukan dengan target agar
timbulnya kesadaran konsumen terhadap barang dan jasa sehingga
masyarakat memiliki kemampuan untuk mengadvokasi dirinya sendiri.
Koordinator Pelayanan Publik berfungsi menerima pengaduan,
konsultansi, sebagai staf ahli (misal di Polda) dan memberi advokasi
kebijakan ke pemerintah. Ketika ada pengaduan dari masyarakat, langkah
awal yang dilakukan LKY adalah mendorong konsumen untuk
melaporkannya ke BPSK ataupun ke Ombudsman daerah. Adanya
keterbatasan sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu alasannya.
LKY hanya mengambil kasus-kasus yang jarang terjadi atau unik dan bisa
memberi dampak terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai contoh untuk
kasus ibu melahirkan, selama ini hanya si ibu yang berhak terdaftar di BPJS
dan mendapat layanan, namun sekarang bayipun sudah bisa terdaftar di
BPJS dan mendapat layanan.
42PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Gambar 4.1 Prosedur Penanganan Sengketa Konsumen
Dalam kegiatannya, LKY memiliki visi yaitu terwujudnya keadilan bagi
seluruh masyarakat konsumen, sedangkan untuk misi dari LKY yaitu :
a) Menumbuhkan kesadaran kritis konsumen;
b) Menggalang solidaritas konsumen;
c) Mendorong terbentuknya kelompok-kelompok konsumen yang kuat dan
kritis;
d) Membela konsumen nir-daya, dan
e) Memperjuangkan keadilan bagi masyarakat konsumen.
Misi-misi yang diemban oleh LKY ini kemudian diterjemahkan dalam
beberapa Bidang Kegiatan Utama (BKU) berdasarkan hasil Musyawarah
Anggota ke-4 :
a) Pemberdayaan masyarakat konsumen, terdiri dari pengorganisasian
konsumen dan pendidikan konsumen (termasuk kampanye publik);
b) Perubahan kebijakan, terdiri dari pemantauan/penelitian, pengaduan
kasus sengketa konsumen-produsen, advokasi kebijakan;
c) Penguatan kapasitas lembaga (internal LKY), terdiri dari pengembangan
sumber daya manusia dan fund rising.
Implementasi dari BKU untuk pemberdayaan masyarakat konsumen, LKY
telah memulai untuk merintis 4 Kelompok Konsumen Sadar (KKS) di wilayah
43PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
kota Yogyakarta. Keempat KKS tersebut ada di wilayah Tegalkemuning,
Serangan, Cokrodiningratan dan Kotabaru. Dua kelompok di Sleman, yakni
di Kring Minggir II dan Kisik (Sendang agung, Minggir, Sleman). Di samping
itu, juga memperluas wilayah pengorganisasian konsumen, terutama di
Gunungkidul, yakni di desa Wareng, Wonosari, Gunung Kidul. Berdasarkan
konsep pengorganisasian ini, LKY meraih penghargaan sebagai lembaga
perlindungan konsumen terbaik nasional (Indonesia Consumer Protection
Award) dalam Shoutheast Asian Conference –Technical Corporation for
Consumer Protection pada tanggal 7-8 November 2006.
Pembentukan KKS ini bisa berasal dari tokoh masyarakat ataupun
anggota LKY yang berada di wilayah bersangkutan. LKY dalam hal ini
mendorong pembentukan KKS di wilayah-wilayah, selain agar lebih
mempermudah dalam hal komunikasi dan koordinasi di wilayah tersebut,
juga agar cakupan masyarakat yang cerdas dan mengetahui hak-haknya
sebagai konsumen juga bisa menjadi lebih luas. Namun sedikit berbeda
dengan LKY, KKS ini lebih konsentrasi pada segala sesuatu yang bersifat
praktis atau dapat langsung diaplikasikan, yang sesuai dengan kebutuhan
wilayah masing-masing. Tidak ada unsur advokasi pada KKS.
Keanggotaan LKY adalah berbasis relawan. Dalam hal perekrutan
anggota, tidak ada kriteria spesifik. Setiap warga dapat menjadi anggota
LKY. Di awal setelah resmi menjadi anggota, mereka diberi pelatihan selama
3 (tiga) hari, antara lain mengenai hak konsumen, isu pangan dan isu
kesehatan. Saat ini sekitar 20-25 orang anggota yang aktif di LKY, dengan
latar belakang yang cukup beragam, seperti mahasiswa, dosen, ibu rumah
tangga, pensiunan dari berbagai dinas, dan lain-lain. Keaktifan mereka dapat
diketahui dari seringnya mereka menghadiri pertemuan-pertemuan yang
diselenggarakan oleh LKY maupun berperan sebagai narasumber. Semua
itu dipelajari oleh anggota secara learning by doing. Adapun manfaat yang
bisa diterima oleh anggota LKY adalah menambah pengetahuan, menambah
jaringan (networking), menyuarakan aspirasi bahkan peluang dalam
mengembangkan usaha.
LKY dalam perkembangannya memiliki beberapa hambatan. Terbatasnya
SDM adalah salah satu hal yang masih dirasakan oleh LKY. Masih
rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya (salah satunya dapat
dilihat dari sedikitnya jumlah anggota yang terlibat) menjadikan LKY cukup
44PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sulit untuk bisa merekrut anggota. Beberapa anggota yang kemudian
akhirnya keluar dari keanggotaan LKY karena memiliki aktivitas yang
berdampak pada perolehan pendapatan yang lebih pasti juga merupakan
salah satu alasan SDM LKY kurang berkembang. Selain hambatan dalam
hal keterbatasan SDM, hambatan lain adalah dari sisi pendanaan. Sebagai
organisasi nirlaba, tentu saja LKY tidak boleh meminta uang kepada
konsumen yang mereka dampingi. Iuran anggota dalam hal ini tidak bisa
mencukupi besarnya pengeluaran LKY terutama dalam hal operasional. Saat
ini iuran anggota ditetapkan sebesar Rp. 5.000/bulan dan tidak memiliki
jangka waktu keanggotaan. Keanggotaan bersifat sukarela. Selain dari iuran
anggota, sumber dana sebenarnya juga terkadang dapat mereka peroleh
lewat proyek-proyek yang dikerjakan bersama mitra LKY. Penghasilan (fee)
yang mereka peroleh ketika terlibat dalam suatu proyek nantinya dipotong
untuk masuk ke kas LKY. Namun hal ini tidak bersifat rutin. Keterbatasan
SDM dan pendanaan juga menjadi alasan kurang berkembangnya beberapa
KKS yang mereka bina.
Selain menjalankan berbagai program di berbagai bidang untuk
memperbaiki kondisi perlindungan konsumen di Indonesia, LKY telah
menjadi sumber utama berbagai pihak baik kalangan perguruan tinggi,
instasi pemerintah dan swasta, penegak hukum, media massa maupun
masyarakat pada umumnya, untuk memperoleh berbagai data, hasil
penelitian, kesaksian, maupun opini/pendapat yang terkait dengan isu-isu
perlindungan konsumen. Oleh karena itu, LKY mengembangkan konsep
Pusat Pembelajaran Konsumen atau Consumer Learning Center (CLC) yang
merupakan kegiatan inti di bidang pendidikan dan pelatihan dimana LKY
dapat diakses oleh semua pihak untuk beragam kebutuhan di bidang
perlindungan konsumen. Berikut beberapa jenis pelatihan yang diberikan
oleh CLC :
a) Pelatihan Konsumerisme Dasar
Bertujuan agar peserta mengerti, memahami dan melaksanakan nilai-nilai
yang terdapat dalam gerakan konsumen. Adapun materi dalam topik ini
antara lain : sejarah gerakan konsumen dan nilai-nilai kemanusiaan, needs
and wants (membedakan kebutuhan dan keinginan), hukum perlindungan
konsumen, isu-isu konsumen dan membentuk organisasi konsumen.
b) Pelatihan Kesadaran Konsumen untuk Anak
45PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Membekali anak dengan pemahaman tentang hak-hak konsumen sangat
penting diberikan, karena anak merupakan salah satu sasaran dari para
pelaku usaha dalam menjual barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini
diharapkan dapat membuat anak tidak terjebak pada budaya konsumtifisme
akibat pengaruh iklan dan media promosi lainnya. Materi dalam pelatihan ini
antara lain : hak-hak konsumen, jajanan sehat, mengkritisi iklan, mengkritisi
tontonan dan praktek pengaduan konsumen.
c) Pelatihan Hukum Perlindungan Konsumen UU Perlindungan Konsumen
(UU PK)
Meskipun UU Perlindungan Konsumen talah disahkan sejak tahun 1999,
namun pelaksanaan dianggap masih jauh dari yang diharapkan. Untuk itu,
pengenalan hukum dan produk-produk aturan lainnya dalam ranah
perlindungan konsumen perlu dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak
terkait dalam penyediaan barang dan jasa maupun pihak yang
berkepentingan terhadap perlindungan konsumen lainnya. Materi yang
diberikan yaitu : telaah kritis UU PK, telaah kritis aturan-aturan turunan UU
PK, penyelesaian sengketa konsumen dan studi kasus.
d) Pelatihan Keamanan dan Kedaulatan Pangan
Pelatihan ini bertujuan agar peserta mampu memahami keamanan,
kesehatan dan mampu berdaulat atas pangan kita sendiri sehingga dapat
memperkecil dampak negatif dari pangan yang ada. Materi yang
disampaikan yaitu : hak-hak konsumen pangan, telaah kritis UU Pangan,
keamanan dan kesehatan pangan, mengenal bahan-bahan pangan lokal dan
diversifikasi pengolahan bahan pangan lokal.
Beberapa bentuk kegiatan yang dianggap cukup efektif yang selama ini
sudah dilakukan adalah melakukan edukasi lewat pertemuan-pertemuan dan
siaran radio. Namun mereka juga berharap selain kegiatan-kegiatan yang
sudah ada saat ini, mereka juga bisa memiliki divisi riset yang berfungsi
untuk mencari dan mengolah data di lapangan sesuai kebutuhan. Selama ini
data yang mereka peroleh baru dari dinas-dinas terkait dan sifatnya masih
berupa data umum, bukan data yang khusus (spesifik). Apabila LKY kelak
memiliki divisi riset, maka diharapkan data yang diperoleh dapat menjadi alat
kampanye atau edukasi terhadap masyarakat.
LKY dalam hal ini selain bermitra dengan pemerintah juga bekerja sama
dengan beberapa lembaga, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
46PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Beberapa pihak yang selama ini telah melakukan kerjasama dengan LKY
antara lain : Lembaga Ombudsman, Swasta DIY, Lembaga Ombudsman
Daerah, BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) kota Yogyakarta,
PKK Propinsi, dinas-dinas di kalangan pemerintah (pertanian, kesehatan,
pendidikan, perekonomian dan perdagangan) baik kabupaten/kota atau
propinsi, akademisi dan perguruan tinggi, Consumer International (CI),
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), YLKI Jakarta, Institute for
Global Justice (IGJ) Jakarta, HIVOS, Gerakan Bisnis Beretika Berkelanjutan
(Gatra Tri Brata), Yayasan Kesehatan Perempuan, Jaringan Perempuan
Peduli Kesehatan, Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan
Kemiskinan (MAMPU), Australian Aid, dll. Saat ini LKY juga tercatat sebagai
: anggota Forum LSM DIY, anggota Tim Keamanan Pangan, Pangan dan
Gizi DIY dan anggota Consumers International Regional Office of Asia
Pacific (CIROAP) yang berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia.
4.1.1.1. Kelompok Konsumen Sadar Gunung Kidul
Kelompok Konsumen Sadar Gunung Kidul atau yang biasa disingkat KKS
Gunung Kidul merupakan salah satu organisasi masyarakat hasil bentukan
dari LPKSM LKY dengan lokasi di Desa Wareng. Berdiri sekitar tahun 2013
dengan Ketua Ibu Parjiem (sampai dengan saat ini). Ibu Parjiem sendiri
merupakan salah satu anggota LKY. Masyarakat sekitar biasa mengenal
KKS ini dengan nama KKS Menur. Arti dari menur adalah barang kecil yang
padat dan memiliki aroma yang harum. KKS ini dibentuk dengan tujuan agar
masyarakat sekitar memiliki pemahaman akan pentingnya makanan sehat
dan mengetahui cara budidaya makanan sehat. KKS Gunung Kidul memiliki
beberapa kelompok (cabang), antara lain di daerah Ponjung (4 kelompok)
dan di daerah Panggang (8 kelompok).
Sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya, salah satu
perbedaan antara LPKSM dengan KKS adalah pada tujuan utamanya. KKS
memiliki tujuan utama lebih mendorong pengolahan produk lokal namun juga
turut menyisipkan pengetahuan tentang hak-hak konsumen. Beberapa
produk lokal yang dikembangkan adalah membuat kripik dari bonggol
pisang, singkong yang dikeringkan dan difermentasi, nasi dikeringkan, dll.
Produk-produk ini diberi merek “Menur”. Pemasaran dilakukan lewat
kelompok (cabang) yang mereka miliki. KKS Gunung Kidul sebisa mungkin
47PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
membuat produk-produk yang dianggap unik atau jarang dipasarkan
sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada produk-produk yang
biasa ada di pasaran. KKS dalam hal ini tidak memiliki unsur advokasi dan
tidak terdaftar di pemerintah kabupaten/kota.
Struktur organisasi KKS Gunung Kidul terdiri dari Ketua, Sekretaris,
Bendahara, Seksi Simpan Pinjam, Seksi Produksi, Seksi Usaha dan Seksi
Humas. Anggota KKS Gunung Kidul aktif saat ini adalah sekitar 25 orang
dengan sifat keanggotaan sukarela dan kekeluargaan serta tidak memiliki
batas waktu keanggotaan. Saat awal bergabung menjadi anggota, mereka
diminta untuk membuat kesepakatan diantaranya yang berkaitan dengan
kedisiplinan, kesopanan, dan lain-lain. Semua anggota adalah wanita. Iuran
awal sebesar Rp. 2.000 dengan iuran wajib Rp. 500/bulan. Mereka juga
memiliki iuran sukarela yang sebenarnya berbentuk tabungan. Nantinya, dari
iuran sukarela tersebut, mereka dapat mengambil kembali uang mereka
untuk dipergunakan sesuai kebutuhan, misalnya membuat seragam KKS
Gunung Kidul. Seragam ini dibuat dengan tujuan agar semakin timbul rasa
kebersamaan.
Beberapa hak yang dimiliki jika menjadi anggota KKS Gunung Kidul
adalah mendapat pengetahuan tentang berbagai macam budidaya di bidang
pertanian, mendapat pengetahuan tentang hak konsumen dan mendapat
kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh KKS
Gunung Kidul, seperti wisata di akhir tahun. Adapun kewajibannya adalah
menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh KKS Gunung
Kidul, membayar iuran wajib dan mengikuti program jual jasa. Yang
dimaksud dengan program jual jasa adalah program membantu masyarakat
sekitar dalam mengolah lahan, baik lahan yang dimiliki oleh anggota maupun
bukan anggota. Uang yang diperoleh dari hasil menjual jasa tersebut
sepenuhnya menjadi milik kas KKS Gunung Kidul. Tujuan diadakannya
program ini adalah selain untuk menambah kebersamaan juga untuk
membantu menambah kas KKS Gunung Kidul. Tiap anggota diharapkan
mampu untuk menjadi contoh yang baik bagi masyarakat sekitar.
KKS Gunung Kidul juga memiliki program edukasi kepada anggotanya.
Pemberian materi ini biasanya tidak melalui persiapan tertentu melainkan
lebih bersifat spontanitas. Dalam setiap pertemuan diupayakan materi
mengenai perlindungan konsumen, terutama dalam hal pangan agar dapat
48PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
disisipkan. Dalam hal ini tidak hanya pengurus yang berhak untuk
menyampaikan materi, namun bisa juga dari anggotanya. Pengetahuan yang
mereka peroleh dari menghadiri pertemuan atau seminar di tempat lain wajib
untuk dibagi kepada anggota KKS Gunung Kidul lainnya. Dalam hal ini
setiap anggota diberi kesempatan untuk mengikuti pertemuan-pertemuan
tersebut. Hanya saja mereka berharap pelatihan atau seminar yang
diberikan tidak hanya berupa teori namun juga sekaligus praktek, sehingga
lebih memudahkan mereka dalam memahami materi yang disampaikan.
Walaupun KKS Gunung Kidul memiliki kelompok atau cabang di tempat
lain, namun ibu Parjiem selaku ketua sesekali masih harus memantau dan
memberi materi di kelompok-kelompok tersebut, dikarenakan SDM yang
dimiliki masih memiliki keterbatasan terutama dalam hal pengetahuan. Hal
ini juga dianggap sebagai hambatan yang masih kerap mereka temui,
terutama karena mereka merasakan masih kurangnya peranan LKY sebagai
organisasi yang membentuk KKS Gunung Kidul. Peranan LKY dalam hal ini
terutama dari segi pembinaan dan pemberian materi-materi yang bersifat
edukasi.
4.1.1.2. Kelompok Konsumen Sadar Kotabaru
KKS Kotabaru juga merupakan salah satu organisasi masyarakat hasil
bentukan dari LPKSM LKY. Dibentuk sekitar tahun 2012. Tidak banyak
informasi yang bisa diperoleh dari KKS Kotabaru ini, dikarenakan kebetulan
responden yang diwawancarai bukanlah ketua atau pengurus kelompok
bersangkutan.
KKS Kotabaru dinamakan demikian dikarenakan lokasinya di daerah
Kotabaru. Adapun tujuan dibentuknya KKS ini hampir sama dengan KKS
Gunung Kidul, yaitu mendorong masyarakat sekitar daerah Kotabaru untuk
lebih menggunakan produk olahan lokal yang tetap aman dan higienis,
membekali masyarakat dengan pengetahuan mengenai hak-hak konsumen
serta cara pengaduannya serta pengetahuan-pengetahuan lainnya yang
bermanfaat (misalnya kesadaran tentang kesehatan, makan makanan
dengan gizi seimbang, dan lain-lain). Tidak ada unsur advokasi didalamnya
dan tidak pula terdaftar di pemerintah kabupaten/kota.
Sistem perekrutan di KKS Kotabaru juga hampir sama dengan di KKS
Gunung Kidul. Tidak ada kriteria tertentu untuk menjadi anggota namun tidak
49PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
perlu membuat kesepakatan secara tertulis seperti halnya di KKS Gunung
Kidul. Sifat keanggotaan sukarela dan tidak memiliki jangka waktu
keanggotaan.
Anggota KKS Kotabaru saat ini yang aktif adalah sekitar 20-an orang
dengan pertemuan sekitar 3 bulan sekali. Kebanyakan anggotanya terdiri
dari wanita dengan latar belakang ibu rumah tangga. Mereka tidak hanya
terlibat dalam KKS Kotabaru saja, namun juga aktif di organisasi-organisasi
lainnya, seperti PKK. Aktifnya sebagian besar anggota di beberapa
organisasi cukup membuat mereka sulit untuk meluangkan waktu untuk KKS
Kotabaru. Ini merupakan salah satu hambatan kurang aktifnya kegiatan di
KKS Kotabaru, selain karena kurangnya dana untuk operasional dan
kurangnya peran dari LPKSM LKY di KKS bersangkutan. Untuk KKS
Kotabaru tidak dipungut iuran, dikarenakan anggota-anggota yang notabene
juga aktif di organisasi lain sudah menyumbangkan uangnya untuk
organisasi selain KKS Kotabaru.
Beberapa manfaat menjadi anggota KKS Kotabaru adalah menambah
pengetahuan, pengalaman, jaringan (networking), kesempatan untuk
memperluas pasar bagi anggota yang memiliki usaha sendiri dan menjalin
hubungan bisnis. Dalam hal materi, anggota hanya diberi uang transport jika
harus mengikuti kegiatan penyuluhan di tempat lain. Selama ini, bantuan
dana baru berasal dari LPKSM LKY.
Kegiatan yang biasa dilakukan adalah penyuluhan, terutama hal yang
berkaitan dengan pengetahuan budidaya tanaman, pengetahuan tentang
hak konsumen dan cara pengaduan. Pengetahuan yang mereka peroleh
diharapkan dibagi ke masyarakat sekitar, khususnya daerah Kotabaru.
4.1.2. LPKSM Siaga
LPKSM Siaga berdiri tahun 2009 dengan ketua Pak Moerdoko (sampai
dengan saat ini). Lokasi di daerah Sleman. Pak Moerdoko sendiri sebelum
mendirikan LPKSM Siaga bersama rekan-rekannya adalah merupakan
anggota LPKSM LKY. Dikarenakan banyaknya kasus pengaduan di daerah
Sleman, akhirnya diputuskan untuk mendirikan organisasi yang bernama
LPKSM Siaga. LPKSM Siaga memiliki filosofi agar konsumen selalu cermat,
siaga dan teliti terhadap produk-produk di Indonesia. Tujuan awal
50PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
didirikannya LPKSM Siaga adalah agar dapat menempatkan konsumen
secara bermartabat.
Struktur organisasi LPKSM Siaga terdiri dari ketua, Sekretaris, Bendahara
Divisi Operasional Kantor, Divisi Penanganan Pelaporan, dan Divisi
Publikasi. Divisi Operasional Kantor berfungsi untuk mengendalikan
manajemen kantor dan lebih berperan dalam segala urusan internal lembaga
terkait. Divisi Penanganan Pelaporan memiliki produk advokasi yang
berfungsi sebagai pendamping konsumen atau pelapor di luar peradilan
umum dan dalam hal ini hanya mendampingi konsumen yang mengadu
hingga tingkat mediasi dan tidak menempuh jalur hukum, karena biar
bagaimanapun LPKSM Siaga bukanlah jasa hukum yang berhak untuk
mewakili konsumen sampai pada tingkat peradilan. Target Divisi
Penanganan Pelaporan adalah adanya musyawarah mufakat yang tidak
merugikan 2 kepentingan, yaitu pelaku usaha dan konsumen. Divisi
Publikasi memberikan pengetahuan kepada konsumen melalui: selebaran,
menjadi narasumber ataupun saat menjelaskan kepada konsumen perihal
aduan konsumen terkait. Dengan kata lain, sebelum konsumen dialihkan ke
divisi Penanganan Pelaporan, oleh Divisi Publikasi dijelaskan terlebih dahulu
mengenai segala konsekuensi apabila konsumen memutuskan untuk
melanjutkan ke tahap pelaporan. Dalam hal ini LPKSM Siaga tidak pernah
memberikan jaminan bahwa kasus yang mereka dampingi akan berhasil di
tahap mediasi dan memenuhi keinginan konsumen. Apabila dikemudian hari
konsumen memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus, maka LPKSM Siaga
akan meminta konsumen tersebut untuk membuat semacam surat
pernyataan tentang hal itu. Tidak ada prioritas dalam penanganan kasus,
demikian juga halnya dengan tidak adanya batasan dari segi area layanan.
LPKSM Siaga memiliki target selain agar konsumen memiliki pengetahuan
tentang hak-nya sebagai seorang konsumen, juga mendorong konsumen
menjadi masyarakat mandiri yang mampu mengadvokasi dirinya sendiri.
Selain beberapa kegiatan yang sudah disebutkan, Divisi Publikasi juga
kerap memberikan sisipan materi saat ada kegiatan yang bersifat religi.
Misalnya ketika acara dakwah, maka oleh anggota LPKSM Siaga akan
disisipi juga pengetahuan mengenai hak konsumen. Cara ini dianggap cukup
efektif, karena selain tidak perlu repot untuk mengundang audiens, juga
51PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
karena lewat metode dakwah, pesan yang disampaikan diharapkan lebih
bisa diterima karena ada unsur ideologi agama.
Bentuk lembaga dipilih yang berbentuk organisasi masyarakat. Hal ini
dianggap lebih ideal dikarenakan selain tidak terlalu membutuhkan dana
yang cukup besar saat pendirian, organisasi masyarakat atau lembaga
perlindungan memiliki kontrol di masyarakat. Anggota LPKSM Siaga sekitar
8 orang (tidak termasuk pengurus). Awal perekrutan adalah dengan cara
pembukaan relawan. Kriteria saat merekrut antara lain sukarela, tidak SARA
dan tidak memiliki konflik kepentingan. Kesepakatan dibuat saat menjadi
anggota yaitu diantaranya tidak memanfaatkan lembaga perlindungan
konsumen untuk kepentingan pribadi. Sifat keanggotaan sukarela dan tidak
memiliki jangka waktu keanggotaan.
Setelah anggota direkrut, mereka diberi beberapa pelatihan. Pelatihan-
pelatihan yang diberikan antara lain : UU Perlindungan Konsumen, LPKSM,
Hak Konsumen (meliputi arti konsumen, beberapa tipe konsumen,
distributor, agen dan produsen) dan pelatihan tentang produk. Khusus untuk
pelatihan mengenai Hak Konsumen ditujukan agar konsumen dapat
menempatkan posisinya secara tepat. Yang memberikan pelatihan adalah
para pengurus. Latar belakang para relawan rata-rata adalah mahasiswa
dan ibu rumah tangga. Adapun manfaat yang diterima lebih dalam hal non
materi, yaitu menambah pengetahuan untuk kemudian pengetahuan
tersebut dapat dibagi ke masyarakat luas.
Terbatasnya SDM dan pendanaan juga dialami oleh LPKSM Siaga. Sifat
lembaga yang nirlaba, tentunya tidak memungkinkan bagi mereka untuk
menetapkan biaya dalam mendampingi konsumen yang mengadu. Ini
tentunya juga berdampak pada kurangnya pendanaan untuk operasional
lembaga bersangkutan. Mereka hanya berhak menerima fee (upah) atas
dasar kerelaan dari konsumen yang mengadu. Sebenarnya upah juga
mereka terima saat mereka diundang menjadi pembicara atau narasumber
di suatu kegiatan yang bersifat edukasi. Namun upah tersebut menjadi hak
sepenuhnya pengurus atau anggota yang menjadi pembicara tersebut.
Tidak hanya dengan dinas di pemerintahan, LPKSM Siaga juga menjalin
kerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya. Salah satunya dengan LKY
yang mengundang LPKSM Siaga untuk menghadiri sebuah acara di
52PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Malaysia. Mitra lainnya yaitu dengan Yayasan Kakak. Yayasan ini bekerja di
bidang perlindungan untuk anak-anak.
4.1.3. LPKSM Handaini
LPKSM Handaini didirikan pada tahun 2008 dengan alamat di Cipondoh
Tangerang. Organisasi ini memiliki 10 orang anggota dengan 3 orang
pengurus yaitu Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Organisasi ini belum
memiliki divisi atau bagian yang terpisah untuk masing-masing program atau
kegiatan yang dilakukan, misalnya divisi edukasi maupun divisi advokasi.
Kegiatan atau program dilaksanakan oleh seluruh pengurus dan anggota
secara bersama-sama. Organisasi konsumen awalnya diinisiasi karena
terdorong oleh adanya kebutuhan untuk memperbaiki posisi tawar konsumen
di Banten, khususnya Kota Tangerang, yang merupakan kota perdagangan
dan jasa. Hal tersebut dianggap dapat meningkatkan potensi kerugian
konsumen, apalagi di Kota Tangerang belum ada lembaga/organisasi
konsumen. Konsumen memerlukan organisasi yang dapat
merepresentasikan kepentingan konsumen terutama dalam skala lokal.
Pembentukan kelompok/organisasi konsumen ini tidak memiliki hambatan
secara administratif dari pihak yang berwenang seperti Pemda setempat.
Hambatan justru berasal dari pola pikir (mindset) masyarakat, termasuk
kepala daerah, yang belum menganggap keberadaan organisasi konsumen
(LPKSM) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) itu
penting. LPKSM diperlukan dalam rangka pembentukan BPSK, karena salah
satu anggota BPSK adalah perwakilan konsumen yaitu LPKSM. Pemerintah
maupun masyarakat dirasa masih terbatas pengetahuannya mengenai hak
dan kewajiban konsumen serta regulasi terkait perlindungan konsumen.
Keberadaaan LPKSM dan BPSK hanya dianggap sebagai pemborosan
anggaran, sehingga sulit untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah.
Keberdayaan konsumen juga dinilai masih rendah, mereka cenderung
pasrah jika menemui masalah dalam transaksi dan penggunaan barang dan
jasa.
Latar belakang pengurus organisasi konsumen ini adalah pengacara dan
aktivis dengan kualifikasi Sarjana Hukum serta pengetahuan yang dirasa
53PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
cukup memadai mengenai perlindungan konsumen. Sementara, anggotanya
sebagian besar adalah mahasiswa dengan keanggotaan sukarela. Mereka
direkrut dengan syarat memenuhi kriteria yaitu memiliki pemahaman yang
cukup mengenai perlindungan konsumen. Kriteria ini digunakan dengan
tujuan agar organisasi lebih mudah dalam pelaksanaan program dan
kegiatan. Organisasi ini tidak memungut iuran bagi anggotanya, tapi
menerima donasi yang sifatnya sukarela. Antusiasme anggota dalam
menjalankan tugas cukup tinggi, diduga karena para anggota yang berstatus
mahasiswa masih memiliki idealisme yang baik. Namun, kontinuitas program
yang masih kurang dikhawatirkan akan mengurangi antusiasme para
anggota dalam jangka panjang. Tidak ada keuntungan yang diperoleh oleh
pengurus maupun anggota secara materil, sedangkan secara non materil
mereka mendapatkan pengetahuan, informasi dan juga peningkatan
keberdayaan mereka sebagai konsumen.
Kegiatan yang dilakukan oleh LPKSM Handaini meliputi kegiatan edukasi
dan advokasi konsumen.
a. Sosialisasi hak dan kewajiban konsumen ke masyarakat Tangerang
Target kegiatan ini adalah anggota masyarakat secara umum dan juga
para pelajar. Sosialisasi dilakukan dengan cara penyebarluasan informasi
terkait perlindungan melalui seminar, penyebaran pamphlet, poster, dan
spanduk. Frekuensi penyelenggaraan kegiatan ini rata-rata 1 kali dalam
setahun, tergantung dari ketersediaan dana.
b. Sosialisasi hak dan kewajiban konsumen ke pelaku usaha di Tangerang
Kegiatan ini biasanya diselipkan pada saat melakukan mediasi antara
konsumen dan pelaku usaha saat terjadi sengketa. Target kegiatan ini
adalah peningkatan awareness pelaku usaha akan hak-hak konsumen,
sehingga akan memperbaiki usaha mereka dalam memenuhi hak-hak
konsumen tersebut.
c. Advokasi konsumen
Kegiatan advokasi yang dimaksud adalah menerima keluhan konsumen
terkait pembelian atau penggunaan barang dan jasa, kemudian
melakukan pendampingan konsumen untuk mediasi jika menghadapi
sengketa dengan pelaku usaha.
d. Bekerja sama dengan dinas melakukan kegiatan pengawasan barang
beredar dan jasa. Keikutsertaan dalam kegiatan ini dilakukan berdasarkan
54PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
undangan dari dinas terkait seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian,
Badan Pengawas Obat dan Makanan serta aparat penegak hukum.
Target kegiatan ini adalah mengawasi dan menertibkan peredaran
barang-barang, khususnya pangan, yang berbahaya bagi konsumen dan
melanggar ketentuan. Frekuensi kegiatan ini 1 kali dalam setahun yaitu
menjelang hari raya keagamaan.
4.1.4. LPKSM Paragon
LPKSM Paragon didirikan pada tahun 2011 di kota Tangerang Selatan.
Pembentukan organisasi konsumen didasari oleh minat atau ketertarikan
dalam bidang perlindungan konsumen, khususnya advokasi dan
pengawasan barang beredar. Hambatan pembentukan secara adminsitratif
tidak ditemui. Hambatan muncul saat melaksanakan kegiatan atau program,
karena masyarakat maupun pemerintah masih memiliki persepsi yang
negatif tentang keberadaan LPKSM. Sebagian besar masyarakat belum
memahami peran LPKSM.
Pengurus organisasi ini terdiri dari 3 orang yaitu ketua, sekretaris dan
bendahara. Belum ada pemisahan tugas dan wewenang antara anggota,
semua kegiatan dilakukan bersama. Dengan jumlah anggota sebanyak 7
orang dan sifat keanggotaan yang sukarela, organisasi ini tidak menetapkan
kriteria khusus dalam perekrutannya. Dengan menjadi anggota, tidak ada
hak khusus yang diberikan namun mereka wajib membuat laporan setelah
selesai melaksanakan kegiatan.
Kegiatan yang dilakukan meliputi advokasi dan pengawasan barang dan
jasa yang beredar di masyarakat. Kegiatan advokasi yang dilakukan adalah
pendampingan bagi konsumen dalam sengketa dengan pelaku usaha,
contoh kasusnya adalah pembiayaan (leasing) kendaraan bermotor. Untuk
kegiatan pengawasan, yang dilakukan adalah melakukan pengawasan untuk
pelayanan jasa parkir.
4.1.5. YLKI Tangerang
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tangerang (YLKIT) didirikan
pada tanggal 10 Juli 2009 dengan bentuk organisasi yayasan. Organisasi ini
mengambil nama YLKI untuk mempermudah konsumen mengenali tujuan
dan fungsinya yaitu melindungi konsumen. Sesuai dengan bentuk
55PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
lembaganya, yayasan terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Pengurus, dan
Dewan Pengawas. Selanjutnya, kepengurusan yayasan dilakukan oleh
pengurus yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan bendahara. Jumlah anggota
15 orang termasuk 3 orang pengurus. Para pengurus dan anggota
mengadakan pertemuan rutin 1 kali dalam sebulan. Berikut adalah susunan
kepengurusan yayasan :
a. Pembina : Mustafa kamal
b. Pengurus :
- Ketua : Fajri Safeí
- Sekretaris : Kapri Yani
- Bendahara : Asep Syaiful
c. Pengawas : Hasan H.K
Organisasi tidak memiliki sistem perekrutan khusus untuk seleksi
anggota. Organisasi ini sifatnya sukarela atau relawan. Tiap anggota berhak
menggunakan identitas YLKIT dalam pelaksanaan kegiatan, sementara
kewajibannya adaah harus melapor jika terjadi kasus pelanggaran hak
konsumen yang terjadi di lingkungan masing-masing. Anggota dan pengurus
tidak memperoleh manfaat dalam bentuk materi, namun manfaat non materi
yang diperoleh antara lain menjadi paham tentang perlindungan konsumen
dan berani membela haknya. Kemudian, manfaat tambahan yang diperoleh
pengurus adalah diprioritaskan untuk mengikuti pelatihan atau seminar yang
diadakan oleh pihak lain.
Tujuan dibentuknya organisasi konsumen ini adalah untuk mengakomodir
kebutuhan perlindungan konsumen di Tangerang Selatan. Alasan yang
sama juga mendasari pembentukan cabang YLKIT di Kota Tangerang.
YLKIT memiliki dua cabang. Kedua organisasi tersebut dikelola dengan
manajemen yang sama. Kegiatan yang dilakukan YLKIT meliputi edukasi
dan advokasi sebagai berikut :
a. Pelatihan konsumen
YLKIT melaksanakan pelatihan (training) dan sosialisasi terkait hak-hak
konsumen dan bahaya dari produk-produk yang tidak sesuai ketentuan.
Target kegiatan ini adalah masyarakat, khususnya pemuda usia produktif
karena kelompok masyarakat usia produktif tersebut aktif melakukan
pembelian dan dianggap lebih kritis daripada kelompok usia lainnya.
56PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Dengan kegiatan ini diharapkan masyarakat menjadi lebih paham akan
hak-haknya.
b. Pembuatan majalah “Consumers”
Selain melakukan pelatihan dan sosialisasi bagi konsumen, YLKIT juga
menerbitkan majalah “Consumers” pada tahun 2011 bekerjasama dengan
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Tangsel Pos dan
beberapa pelaku usaha. Majalah ini berisi bahasan isu-isu perlindungan
konsumen seperti : pengaruh persaingan bisnis ritel terhadap konsumen,
permasalahan konsumen di bidang properti, dan sebagainya. Selain itu,
terdapat beberapa kolom edukasi konsumen tentang informasi tata cara
peyelesaian sengketa, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha,
serta ulasan zat berbahaya dalam produk pangan. Namun demikian,
kerjasama tersebut tidak berlanjut karena ketidaktersediaan dana.
Gambar 4.2 Majalah “Consumers” yang diterbitkan YLKIT
c. Advokasi dan media
Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah pendampingan konsumen
untuk pengaduan (complaint) dan penyelesaian sengketa. Jika dirata-rata,
frekuensi pendampingan yaitu 5 kali dalam sebulan. Dari pendampingan
ini diharapkan konsumen dapat memenangkan sengketa dan
memperoleh kembali haknya serta terjadi penurunan kegiatan usaha yang
melanggar UU Perlindungan Konsumen.
57PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
4.1.6. Forum Komunikasi Pelanggan Pdam Tirta Kertaraharja
Forum komunikasi ini dibentuk dengan bekerjasama dengan USAID untuk
program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH)
Kabupaten Tangerang sejak tahun 2011. Forum komunikasi ini aktif
menyuarakan saran, masukan serta keluhan terkait pelayanan air minum di
wilayah kabupaten Tangerang. Dampaknya, berbagai aspirasi pelanggan
tersebut cepat direspon oleh penyedia layanan yaitu PDAM. Kelompok ini
juga rutin mengadakan pertemuan dengan PDAM 3 bulan sekali untuk
membahas berbagai isu terkait layanan air minum. Forum ini beranggotakan
seluruh pelanggan PDAM di Kabupaten Tangerang dengan pengurus antara
lain ketua, sekretaris, bendahara dan 23 orang koordinator wilayah. Masing-
masing koordinator wilayah menangani tiap kelurahan.
Manfaat yang didapat dengan menjadi anggota forum komunikasi ini
adalah, selain dapat menyalurkan aspirasi pelanggan secara lebih efektif
dan efisien, juga mendapatkan fasilitas berupa studi banding ke daerah lain
terkait pelayanan air minum seperti ke Solo, Sukoharjo, Malang dan
Semarang. Hasil dari studi banding tersebut baik bagi pelanggan maupun
penyedia layanan masing-masing mendapat tambahan wawasan dan
pengetahuan tentang penyediaan jasa air bersih khususnya air minum.
Manfaat lainnya adalah kelompok pelanggan ini dianggap sebagai aset oleh
PDAM, sehingga komunikasi terjalin baik dan digunakan PDAM sebagai
media sosialisasi dan promosi.
4.1.7. LPKSM Madani
LPKSM Madani didirikan pada September 2011 di Garut. Pembentukan
LPKSM Madani dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satunya adalah
timbulnya kerugian di pihak konsumen akibat pelaku usaha yang nakal.
LPKSM Madani juga memiliki tujuan untuk mensosialisasikan Undang
Undang Perlindungan Konsumen (UU PK). LPKSM ini belum memiliki
cabang, namun dalam melaksanakan aktifitasnya, LPKSM Madani memilki
koordinator wilayah, yaitu koordinator wilayah Garut Utara dan Garut
Selatan.
Struktur kepengurusan LPKSM Madani terdiri atas ketua, sekretaris,
bendahara, dan empat divisi, yaitu divisi humas, divisi pengaduan, divisi
58PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
kajian, dan divisi advokasi hukum. Dalam menangani laporan, konsumen
pertama-tama melaporkan ke divisi pengaduan, lalu kasus yang masuk akan
dikaji dulu apakah bisa diselesaikan secara mediasi atau dilanjutkan ke
BPSK. Tahapan berikutnya, pengaduan diteruskan ke divisi advokasi hukum.
Divisi humas bertugas melaksanakan sosialisasi dan bekerja sama dengan
pemerintah dalam melakukan program pengawasan barang beredar dan
jasa. Pengurus inti LPKSM Madani sebanyak 12 orang dan anggota
sebanyak 40 orang. Keanggotaan LPKSM bersifat sukarela dan berlaku
seumur hidup. Manfaat yang didapat oleh pengurus dan anggota dengan
mengikuti kegiatan LPKSM adalah menambah jaringan dan mendapat
pengetahuan baru terkait perlindungan konsumen Setiap anggota berhak
mendapatkan prioritas bantuan jika menghadapi masalah terkait
pelanggaran hak konsumen. Sedangkan kewajiban anggota adalah harus
secara aktif mengikuti pertemuan rutin atau musyawarah organisasi. Terkait
dengan bentuk lembaga ideal, kelompok konsumen ini menilai bahwa bentuk
yayasan dirasa akan lebih baik dalam mengakomodir kebutuhan organisasi.
Kegiatan atau program yang dilaksanakan oleh LPKSM Madani meliputi
edukasi dan advokasi. Tujuan utama dari kegiatan edukasi yang dilakukan
oleh LPKSM Madani adalah memberi penjelasan kepada konsumen agar
semakin berdaya dan sadar akan haknya. Untuk kegiatan advokasi berupa
mediasi dan pendampingan kasus yang bertujuan agar konsumen terlindungi
dari kerugian yang disebabkan oleh pelaku usaha. Kegiatan tersebut antara
lain:
a. Sosialisasi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Kegiatan ini dilakukan bekerjasama dengan kantor kecamatan setempat
untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban konsumen sesuai UU
Perlindungan Konsumen. Output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah
meningkatnya kesadaran masyarakat.
b. Pendampingan untuk mediasi dan sengketa konsumen
LPKSM Madani melakukan pendampingan konsumen jika mereka
mengalami masalah dengan pelaku usaha, bentuknya bisa
pendampingan untuk mediasi maupun sengketa di BPSK atau pihak
berwenang lainnya. Salah satu kasus yang pernah ditangani adalah oli
palsu dan dimenangkan oleh konsumen di tingkat Mahkamah Agung.
59PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah konsumen dapat
memperjuangkan haknya dan memenangkan kasus.
Selain itu, LPKS Madani juga melakukan kerjasama dengan LPKSM lain
yaitu LPKSM Garut agar memudahkan dalam hal pertukaran informasi dan
dapat membantu dalam menangani kasus.
4.1.8. Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen Indonesia (YLBKI)
Organisasi konsumen ini dibentuk pada tahun 2002 di Bandung dan
didasari keinginan untuk merespon keluhan konsumen yang cukup banyak
saat itu dalam bidang properti. Dengan membentuk LPKSM dinilai akan lebih
memudahkan usaha membantu konsumen memperjuangkan hak-haknya
yang pada saat itu dilanggar oleh cara pemasaran properti yang dinilai
menyesatkan. YLBKI memiliki 2 kantor cabang yaitu di Sumedang dan Bogor
yang berfungsi dan dikelola sama dengan YLBKI induk. Dalam hal ini, YLBKI
induk juga melayani konsultasi teknis dari kantor cabang, dengan kata lain
kantor cabang masih menerima pembinaan dan pelatihan dari YLBKI induk.
Secara struktur, YLBKI memilih bentuk lembaga sesuai ketentuan dalam
UU-PK yaitu LPKSM. Bentuk ini dirasa sudah cukup ideal. Kepengurusan
organisasi sudah memisahkan wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Pengurus utama : terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara masing-
masing 1 orang
- Bagian Pengaduan : terdiri dari 3 orang yang bertugas menerima dan
menampung berbagai aduan dan keluhan dari masyarakat
- Bagian Penyuluhan : terdiri dari 3 orang yang bertugas melaksanakan
kegiatan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat, termasuk menjalin
kerjasama dengan pihak lain terkait edukasi
- Bagian Penanganan : terdiri dari 3 orang yang bertugas untuk
menindaklanjuti aduan dan keluhan dari Bagian Pengaduan, kemudian
menentukan apakah aduan tersebut dapat ditindaklanjuti dalam bentuk
mediasi ataupun sengketa. Bagian ini juga bertugas mendampingi
konsumen dalam proses mediasi maupun sengketa.
- Bagian Umum : terdiri dari 1 orang yang menangani bagian administrasi
dan kepengurusan organisasi secara umum.
Tugas dan wewenang yang cukup spesifik untuk masing-masing bidang
memerlukan kualifikasi personel yang sesuai. Untuk itu, dalam merekrut
60PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
anggotanya, YLBKI mensyaratkan latar belakang di bidang hukum dan
pemahaman tentang perlindungan konsumen yang memadai, khususnya
untuk bagian penyuluhan dan bagian penanganan. Namun untuk anggota
bidang lainnya tidak dipersyaratkan kualifikasi latar belakang pendidikan
yang spesifik. Seperti LPKSM lain, keanggotaan di YLBKI juga bersifat
sukarela dan tidak memungut iuran wajib. Namun demikian, masing-masing
anggota berhak untuk mendapat uang saku ketika menjadi peserta pelatihan
(training) dan juga berhak mengikuti pelatihan secara bergiliran. Sementara
kewajiban mereka meliputi menyusun laporan kegiatan dan juga menghadiri
piket. Ketua YLBKI menilai bahwa sampai sekarang antusiasme anggota
dalam menjalankan tugas masih cukup tinggi, karena adanya insentif seperti
dapat mengikuti pelatihan secara bergantian dan juga bergantian menjadi
anggota BPSK (diajukan untuk mengikuti seleksi anggota BPSK). Dalam hal
ini, ketua YLBKI mengajukan/mengusulkan anggotanya untuk mengikuti
seleksi menjadi anggota BPSK secara bergantian 1 orang untuk 1 periode.
Selama menjadi anggota BPSK, orang tersebut tetap menjadi anggota
YLBKI, demikian pula setelah masa keanggotaan di BPSK berakhir.
Kesempatan tersebut kemudian menjadi insentif bagi anggotanya. Karena
selain mendapatkan pengalaman dan ilmu, mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dengan menjadi anggota BPSK.
Kegiatan yang paling banyak dilakukan YLBKI adalah menerima aduan
dan keluhan dari konsumen, diikuti oleh advokasi dan terakhir kegiatan
edukasi. Kegiatan yang dilakukan, didanai dari donasi pengurus setelah
tidak lagi menerima donasi dari pemerintah setempat. Donasi yang pernah
diberikan pemerintah daerah yaitu mendanai kegiatan sosialisasi atau
penyuluhan mengenai hak dan kewajiban konsumen. Dalam hal ini, YLBKI
mengajukan proposal untuk anggaran penyelenggaraan sosialisasi. Namun
beberapa tahun terakhir (3-4 tahun), YLBKI tidak lagi dapat mengajukan
proposal, dengan alasan menurut Pemda pemberian bantuan kepada
LPKSM sulit karena tidak memiliki mata anggaran. Pemda tidak ingin
mengambil resiko jika nantinya ada temuan penyalahgunaan anggaran oleh
BPK, KPK dan sebagainya.
Adapun penjelasan lebih lanjut terkait kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh YLBKI adalah sebagai berikut :
a. Menerima aduan dan keluhan konsumen
61PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Aduan dan keluhan konsumen tidak semuanya berlanjut ke tahap mediasi
atau sengketa dengan pelaku usaha. Sebagian dapat diselesaikan
dengan konsultasi, karena kadang terjadi kesalahpahaman oleh
konsumen.
b. Advokasi untuk mediasi dan sengketa konsumen
Pendampingan konsumen dalam mediasi dan sengketa dengan pelaku
usaha seringnya melibatkan pihak ketiga yaitu pihak kepolisian. Tindak
lanjut aduan konsumen ini biasanya karena nilai kerugian cukup besar.
YLBKI merasakan dampak yang cukup positif dari kegiatan advokasi ini
yaitu pelaku usaha semakin kooperatif dalam penyelesaian sengketa, dan
makin lama jumlah kasus sengketa semakin berkurang.
c. Sosialisasi hak dan kewajiban konsumen
Frekuensi kegiatan ini semakin berkurang seiring dengan semakin
berkurangnya ketersediaan dana pelaksanaan. Sejak 3 tahun yang lalu,
frekuensi penyelenggaraan yang bisa mencapai 2 – 3 kali setahun
berkurang menjadi hanya 1 kali dalam setahun, biasanya dilakukan saat
momen besar seperti HKBN atau peringatan Hari Konsumen Nasional
(Harkonas). Target dari kegiatan ini adalah anak-anak usia sekolah,
mahasiswa, para guru, dan ibu-ibu rumah tangga. Kegiatan sosialisasi
tersebut dinilai cukup baik secara materi yang disampaikan dan jumlah
peserta, namun masih kurang dalam hal frekuensi.
Selain itu, YLBKI juga mengadakan kerjasama dengan kelompok
konsumen lain di Jawa Barat, khususnya Bandung. Kerjasama tersebut
terjalin dengan membentuk forum komunikasi antar LPKSM dengan ketua
forumnya adalah ketua YLBKI. Mereka saling tukar menukar informasi terkait
perlindungan konsumen dan juga berbagi dalam hal penyelenggaraan
kegiatan.
4.1.9. Yayasan Pemberdayaan Konsumen (YAPKINDO)
YAPKINDO diinisiasi dan didirikan pada tahun 2001 oleh dua orang
aktivis yaitu Tatto dan Yana. Inisiatif membentuk organisasi konsumen
muncul setelah keluarnya UU No.8 Tahun 1999 dan mengetahui bahwa
pada saat itu Indonesia hanya memiliki 2 LPKSM yaitu YLKI dan Yayasan
Bina Konsumen Indonesia (YBKI). Jumlah LPKSM yang terbatas tersebut
dinilai belum dapat mengakomodir kebutuhan konsumen yang jumlahnya
62PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
besar. Organisasi ini mengambil bentuk yayasan untuk kelembagaannya.
Susunan pengurus organisasi terdiri dari dewan pembina, badan pengurus,
dan badan pengawas. Bentuk lembaga dinilai cukup ideal namun untuk
kepengurusan masih belum ada pembagian tugas dan wewenang karena
masih terbatasnya sumber daya. Organisasi ini seharusnya memiliki
pembagian bidang atau divisi yaitu divisi sosialisasi dan advokasi.
Keanggotaan dalam YAPKINDO bersifat sukarela dengan jangka waktu
yang tidak ditentukan. Antusiasme anggota dalam menjalankan organisasi
dinilai kurang antusias karena kurang mendapat insentif. Mereka tidak pro-
aktif namun tidak bisa dibilang pasif.
YAPKINDO melakukan 3 jenis kegiatan dalam rangka peningkatan
perlindungan terhadap konsumen yaitu :
a. Sosialisasi hak dan kewajiban konsumen
Merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh YAPKINDO dan
bekerjasama dengan forum Rukun Warga (RW) Kota Bandung yang
anggotanya adalah para ketua RT dan RW seluruh Kota Bandung. Jika
forum RW tersebut mengadakan acara, maka YAPKINDO hadir sebagai
pembicara untuk menyisipkan materi edukasi kepada peserta. Hal ini
merupakan cara mengatasi minimnya dana untuk penyelenggaraan
sosialisasi.
b. Pendampingan konsumen untuk mediasi dengan pelaku usaha
Kasus yang pernah ditangani oleh YAPKINDO antara lain terkait
pelayanan air minum dan aduan tentang barang yang sudah kadaluarsa.
Yang dilakukan YAPKINDO adalah mendampingi konsumen untuk proses
mediasi dengan pelaku usaha dan bermusyawarah untuk penyelesaian
masalah.
c. Pemantauan/pengawasan barang beredar
Kegiatan selanjutnya adalah YAPKINDO ikut serta dengan pihak
berwenang lain seperti dinas setempat dan BPOM dalam memantau dan
mengawasi barang-barang beredar, khususnya untuk barang-barang
kadaluarsa. Frekuensi kegiatan biasanya 1 – 2 kali setahun. Untuk
pemantauan barang kadaluarsa, tim melakukan inspeksi ke toko grosir
maupun eceran.
Kegiatan-kegiatan tersebut dinilai masih tidak ideal karena bersifat pasif
yang disebabkan masalah pendanaan. Organisasi ini tidak bisa menerima
63PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
dana dari pelaku usaha, sementara dana dalam bentuk hibah dari
pemerintah hanya dapat diberikan 1 kali. YAPKINDO tidak menerima dari
pelaku usaha dengan alasan untuk menjada independensi. Pemberian dana
dari pemerintah dalam bentuk lain seperti bantuan sosial (Bansos) sulit
karena keenggan pihak pemerintah daerah terkait adanya kasus korupsi.
Idealnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan YAPKINDO harus tetap
independen tapi tetap pembiayaan dan kemitraan harus dikelola dengan baik
untuk menjaga keberlangsungan organisasi.
4.1.10. Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) Medan
Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) Medan merupakan salah satu
LPKSM tertua di kota Medan yang telah berdiri sejak tahun 2001.
Pembentukan LKI Medan pada awalnya menginduk pada YLKI Jakarta.
Alasan awal dari pembentukan LKI Medan adalah banyaknya indikasi
pelanggaran dari pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen terutama untuk
konsumen yang berada di sekitar kota Medan. Oleh dari itu, LKI Medan
dibentuk dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen
serta memberdayakan konsumen. Lembaga ini tidak memiliki cabang di
wilayah lain, meskipun terdapat beberapa LPKSM di Sumatera Utara dengan
nama yang serupa, tetapi LKI merupakan lembaga konsumen yang berdiri
sendiri.
Struktur organisasi LKI terdiri dari:
a) Ketua : Abu Bakar Siddik, SH;
b) Sekretaris;
c) Bendahara; dan
d) Seksi-seksi lainnya. Sebenarnya pada awalnya terdapat pembagian divisi
seperti seksi pelayanan pengaduan, seksi publikasi/sosialisasi, dan lain
sebagainya. Namun dikarenakan keterbatasan jumlah pengurus maka
seksi pelayanan pengaduan pun terkadang bertugas melakukan
sosialisasi, dan sebaliknya.
Total jumlah seluruh pengurus dan anggota dari LKI Medan adalah
sebanyak 13 orang, dengan keanggotaan yang bersifat sukarela melalui
sistem perekrutan penunjukan langsung yang mensyaratkan adanya
komitmen dari yang bersangkutan untuk terlibat aktif di dalam organisasi
64PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tersebut. Yang dimaksud dengan sistem perekrutan langsung adalah
penunjukkan langsung berdasarkan pertemanan dengan cara merekrut
langsung (mengajak) orang-orang yang sudah dikenal baik oleh para
pengurus untuk menjadi anggota.
Tidak ada kewajiban bagi anggota maupun pengurus untuk membayar
iuran rutin, namun dibutuhkan peran aktif dan komitmen untuk membantu
melakukan pengawasan serta pemberdayaan konsumen dalam rangka
perlindungan konsumen. Baik pengurus maupun anggota juga tidak
menerima upah rutin seperti gaji, namun dapat menerima honor apabila
mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu yang dibiayai oleh pihak luar. Meskipun
demikian, antusiasme anggota dalam mengikuti setiap kegiatan dari LKI
Medan cukup tinggi walaupun banyak dari anggotanya tetap lebih
memprioritaskan pekerjaan mereka masing-masing dibandingkan dengan
kegiatan pada LKI Medan. Antusiasme yang cukup tinggi dapat dilihat dari
tingginya minat anggota dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh LPKSM tersebut, seperti sosialisasi, advokasi, dan lain
sebagainya.
Terdapat beberapa manfaat yang didapatkan oleh pengurus maupun
anggota baik secara materi maupun non materi. Dari sisi materi, manfaat
yang diperoleh adalah berupa honor sebagai saksi ahli maupun sebagai
narasumber. Disamping itu, pengurus dan anggota LKI Medan memperoleh
manfaat lain yang meskipun bersifat non-materi, yaitu pertemanan dengan
masyarakat menjadi lebih luas.
Beberapa kegiatan yang rutin dilakukan oleh LKI Medan antara lain
adalah sosialisasi dan edukasi langsung kepada konsumen. Sosialisasi dan
edukasi biasanya dilaksanakan kepada ketua adat di masing-masing daerah
untuk kemudian dapat disebarkan kepada masyarakat yang lebih luas lagi.
Selain itu, kegiatan lain yang rutin dilakukan oleh LKI Medan adalah
memberikan bantuan advokasi berupa pendampingan kepada konsumen
dalam menyelesaikan sengketa dengan pelaku usaha, termasuk melakukan
sidang terkait perlindungan konsumen di BPSK. LKI Medan tidak ragu untuk
menegur pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap konsumen.
Disamping sosialisasi, edukasi dan advokasi, LKI juga memiliki layanan
pengaduan konsumen yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung
65PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
segala pengaduan dari konsumen terkait pelanggaran pelaku usaha
terhadap hak-hak konsumen.
Meskipun berada di kota Medan, namun area pelayanan LKI Medan tidak
dibatasi di kota Medan saja, karena tidak ada ketentuan yang membatasi hal
tersebut. Mengingat tidak terdapat kewajiban untuk membayar iuran rutin,
maka sumber pendanaan untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh LKI
Medan berasal dari sebagian honor yang disisihkan oleh pengurus atau
anggota sebagai hasil dari tugas mereka menjadi saksi ahli atau
narasumber. Kesempatan pengurus untuk menjadi saksi ahli maupun
narasumber tidak selalu ada dan tidak dapat diperkirakan, oleh karena itu
LKI Medan juga kerap terhambat dengan masalah pendanaan. Namun,
masalah pendanaan biasanya dapat diselesaikan dengan bantuan dari
jejaring yang dimiliki oleh LKI Medan. Yang dimaksud dengan bantuan dari
jejaring itu adalah bantuan dari beberapa kenalan pengurus untuk diundang
menjadi narasumber atau pembicara dalam sebuah seminar, atau saksi ahli
untuk sebuah kasus (biasanya untuk tugas-tugas tersebut, pengurus
memperoleh honor). Jejaring yang dimaksud disini bisa berasal dari
pemerintah daerah atau dari kalangan pelaku usaha.
4.1.11. LPKSM Sumatera
LPKSM Sumatera merupakan salah satu LPKSM yang masih relatif baru
namun meskipun demikian, LPKSM ini cukup aktif berperan dalam
melaksanakan perlindungan konsumen di wilayah Sumatera Utara. Lembaga
ini telah berdiri sejak tahun 2012, dengan alasan masih banyaknya
konsumen yang belum berdaya sehingga tujuan dari pendirian lembaga ini
adalah untuk meningkatkan keberdayaan konsumen khususnya yang berada
di Wilayah Sumatera Utara. Pada dasarnya pembentukan LPKSM tidak
membutuhkan persyaratan yang memberatkan sehingga seharusnya tidak
ada hambatan berarti pada awal pembentukan LPKSM ini, namun
kurangnya dukungan dari pemerintah kota Medan menjadi sebuah hambatan
bagi LPKSM ini pada awal proses pembentukannya.
Struktur organisasi LPKSM ini terdiri dari:
a) Ketua: Riakhta Parangin-angin;
b) Sekretaris;
c) Bendahara; dan
66PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
d) Seksi-seksi lainnya.
Total jumlah pengurus 5 orang, sementara total jumlah anggota LPKSM
Sumatera baik yang aktif maupun pasif sebanyak 20 orang dengan jangka
waktu keanggotaan yang tidak terbatas. Tidak ada persyaratan khusus untuk
menjadi anggota dari LPKSM ini, sehingga seleksi juga dilakukan secara
informal. Namun, untuk menjadi pengurus, LPKSM ini mensyaratkan
pendidikan minimum S1. Persyaratan ini dibuat karena dalam melaksanakan
kegiatannya pengurus harus memiliki pengetahuan yang cukup mumpuni
terutama dalam melakukan edukasi dan advokasi kepada konsumen. Tidak
ada kewajiban bagi anggota untuk membayar iuran rutin, namun anggota
diwajibkan untuk berperan aktif dalam membantu pengurus. Meskipun
demikian, para anggota dinilai cukup antusias dalam melaksanakan kegiatan
LPKSM ini, hal ini diduga karena mayoritas dari anggota merupakan
mahasiswa yang peduli dan memiliki rasa idealisme yang cukup tinggi.
Beberapa kegiatan yang rutin dilakukan oleh LPKSM Sumatera antara
lain adalah sosialisasi dan edukasi yang biasanya dilakukan melalui media
radio dan cetak. Selain itu, kegiatan lain yang rutin dilakukan adalah bantuan
advokasi kepada konsumen berupa pendampingan konsumen dalam
penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha. Kegiatan-kegiatan tersebut
memiliki dampak positif bagi konsumen, hal ini dapat dilihat dari semakin
banyaknya konsumen yang melakukan pengaduan, namun meskipun
demikian tidak semua pengaduan konsumen dapat diselesaikan karena
keterbatasan anggaran. Dalam melaksanakan kegiatannya, LPKSM
Sumatera tidak membatasi wilayah layanannya, karena pengaduan
konsumen bisa berasal dari mana saja.
Meskipun tidak ada kewajiban untuk membayar iuran rutin bagi pengurus
maupun anggota, namun mereka tetap membayar dana sukarela yang
besarannya dan waktu penyerahannya tidak ditentukan oleh pengurus. Dana
ini kemudian menjadi salah satu sumber utama bagi LPKSM ini untuk
melaksanakan segala kegiatannya.
4.2. Layanan Produk Atau Jasa
4.2.1. Wilayah D.I Yogyakarta
Layanan yang diberikan baik oleh LPKSM LKY maupun LPKSM Siaga
tidak terfokus pada kategori produk atau jasa tertentu. Dengan kata lain
67PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
mereka melayani semua kategori. Namun, tidak fokusnya layanan pada
kategori tertentu ini sebenarnya membuat LPKSM memiliki kesulitan dalam
hal pendampingan konsumen. Ini disebabkan SDM yang dimiliki oleh
LPKSM-LPKSM tersebut kurang memiliki kualifikasi yang menyeluruh
terhadap produk atau jasa. Keterbatasan tersebut cukup membuat kurang
optimalnya LPKSM bekerja saat mendampingi konsumen terutama jika
berhadapan dengan pelaku usaha. Biar bagaimanapun, tiap pelaku usaha
biasanya memiliki tim advokat yang memang mumpuni terkait dengan
penguasaan hukum dan produknya. Mereka berpendapat LPKSM akan bisa
bekerja dengan lebih baik jika tiap LPKSM memiliki semacam “core
business” atau dalam hal ini fokus pada kategori produk atau jasa tertentu,
ketimbang menangani seluruhnya. Demikian juga dengan batasan wilayah
layanan. Dengan adanya batasan wilayah layanan, akan lebih memudahkan
LPKSM tersebut untuk bekerja secara optimal mengingat pemahaman akan
wilayah yang dilayani menjadi lebih baik.
Dari sekian banyaknya produk serta jasa yang ada, kategori perbankan
dan pembiayaan (leasing) termasuk banyak ditangani oleh kedua LPKSM,
baik LPKSM LKY maupun LPKSM Siaga. Konsumen menganggap nilai
kerugian yang mereka tanggung di kedua kategori ini lebih besar ketimbang
kategori lainnya, misalnya makanan. Ini membuat konsumen merasa pantas
untuk memperjuangkan haknya. Menurut LPKSM Siaga tingkat prosentase
keberhasilan atau kesuksesan kasus yang diadukan adalah 50% : 50%.
4.2.2. Wilayah Banten
Berdasarkan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK)
yang dimiliki YLKIT, kegiatan YLKIT meliputi perlindungan konsumen
khususnya bidang kesehatan, asuransi, perbankan, makanan, minuman,
kelistrikan, pariwisata, pelayanan jasa, manufaktur dan industri. Dengan kata
lain, layanan yang diberikan meliputi banyak bidang/sektor. Begitu pula
halnya dengan 2 LPKSM lainnya yang tidak memberikan batasan tertentu
terkait layanan produk dan jasa yang ditangani. Penanganan layanan untuk
masing-masing produk atau jasa juga tidak dibedakan atau tidak ada
prioritas. Namun demikian, kasus yang mendominasi keluhan konsumen di
provinsi Banten adalah leasing kendaraan bermotor, property (kredit
perumahan dan sewa-jual-beli apartemen), dan sebagian kecil produk
68PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
pangan dan manufaktur. Namun untuk batasan wilayah untuk sementara
mereka masih melayani secara lokal yaitu wilayah provinsi Banten. Hal ini
dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya, baik tenaga relawan (SDM)
maupun dari segi pendanaan.
Dalam melaksanakan kegiatan dan programnya, LPKSM Handaini juga
bekerjasama dengan organisasi konsumen lain yaitu YLKI Jakarta, dengan
alasan bahwa YLKI merupakan contoh LKPSM yang masih idealis dan aktif
dalam perlindungan konsumen. manfaat yang diperoleh dari kerjasama
tersebut adalah pertukaran informasi tentang isu-isu perlindungan konsumen
menjadi lebih lancar, idealisme tetap terjaga dan secara tidak langsung ada
peningkatan kapasitas dari anggota. Sebagai tambahan informasi, secara
rata-rata jumlah LKPSM yang aktif hanya 10% dari total jumlah LPKSM yang
ada atau terdaftar. Tidak sedikit dari mereka yang sudah mulai luntur
idealismenya dan cenderung berpihak kepada pelaku usaha. Lebih lanjut,
YLKIT menjalin kerjasama dengan LPKSM Paragon dalam pelaksanaan
kegiatan sosialisasi konsumen dan juga advokasi. Kerjasama ini dilakukan
atas dasar kesamaan wilayah kerja.
YLKIT menilai bahwa kegiatan dan layanan yang mereka lakukan belum
cukup ideal, terutama dari segi frekuensi dan skala kegiatan. Kegiatan
pelatihan dan sosialisasi dinilai cukup efektif namun akan lebih baik jika lebih
sering dilakukan, minimal 3 kali dalam setahun untuk setiap kelurahan
dengan jumlah peserta 20-30 orang. Sementara saat ini, frekuensi masih 1
kali dalam setahun dengan peserta 10-20 orang. Bahkan pernah tidak ada
kegiatan edukasi sama sekali dalam 1 tahun.
4.2.3. Wilayah Jawa Barat
Layanan yang diberikan oleh LPKSM Madani tidak terbatas pada produk
atau jasa tertentu. Dengan kata lain LPKSM Madani melayani keluhan
konsumen tentang kerugian yang timbul dari produk atau jasa yang
digunakan. Mayoritas kasus yang masuk terkait sektor keuangan, yaitu
perbankan dan pembiayaan (leasing). Selain itu, LPKSM Madani juga
menerima pengaduan yang berasal dari luar kota Garut, misalnya
pengaduan yang berasal dari wilayah Jakarta. Hal serupa juga disampaikan
oleh YLBKI dan YAPKINDO.
69PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
4.2.4. Wilayah Sumatera Utara
Baik bagi LKI Medan maupun LPKSM Sumatera, tidak ada pembatasan
dalam kategori produk atau jasa yang dilayani. Pelayanan diberikan secara
umum untuk seluruh kategori produk atau jasa yang beredar di masyarakat.
Meskipun demikian, menurut LPKSM Sumatera semestinya terdapat
perbedaan penanganan untuk setiap kategori produk dan jasa, namun
dikarenakan masih belum ada SOP pelaksanaan tugas maka setiap
pengaduan yang masuk akan ditangani dengan cara yang sama untuk
semua kategori produk dan jasa. Belum adanya penyusunan SOP ini
dikarenakan masih terbatasnya anggaran dan jumlah pengurus yang dapat
menangani setiap pengaduan dari konsumen.
Walaupun layanan dari LKI Medan dan LPKSM Sumatera tidak dibatasi
untuk kategori produk atau jasa tertentu, namun terdapat beberapa kategori
produk atau jasa yang menjadi masalah bagi konsumen, hal ini dapat dilihat
dari banyaknya aduan yang masuk kepada LKI Medan maupun LPKSM
Sumatera. Bagi LKI Medan, kasus yang sering masuk dalam beberapa
waktu belakang ini adalah kasus seputar meteran listrik, sementara itu bagi
LKPSM Sumatera, jenis kategori produk atau jasa yang sering diadukan oleh
konsumen adalah jasa keuangan non- perbankan (leasing). Pemberian
layanan pengaduan akan dilakukan kepada konsumen yang lebih dahulu
melakukan pengaduan.
4.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen
4.3.1. Wilayah D.I Yogyakarta
Menurut kedua LPKSM, tingkat kesadaran masyarakat akan kehadiran
kelompok konsumen masih relatif rendah. Hal ini bisa dilihat dari masih
sedikitnya tingkat pengaduan konsumen ke lembaga terkait, serta hanya
LPKSM-LPKSM tertentu saja yang dijadikan tempat untuk mengadu oleh
konsumen, seperti misalnya LPKSM LKY. Ini wajar, mengingat usia LPKSM
LKY yang memang paling tua dibandingkan LPKSM lainnya yang eksis di
Yogyakarta.
Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen terhadap hadirnya grup
atau kelompok konsumen di Yogyakarta antara lain karena sikap nrimo
warga Yogyakarta. Masyarakat menganggap bahwa hal-hal seperti hak
konsumen belum menjadi salah satu prioritas mereka. Warga akhirnya
70PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
menganggap isu itu menjadi penting ketika sudah bersinggungan langsung
dengan mereka, misalnya ketika warga atau konsumen terlibat dengan salah
satu kasus yang menyangkut hak mereka sebagai konsumen. Padahal salah
satu tujuan dibentuknya grup atau kelompok konsumen adalah membuat
masyarakat cerdas yang mandiri, yang mampu mengadvokasi dirinya
sendiri. Masyarakat atau konsumen yang cerdas pada akhirnya akan
mendorong pelaku usaha untuk lebih meningkatkan kualitas hasil usahanya,
baik itu produk ataupun jasa.
Keberadaan grup atau kelompok perlindungan konsumen seperti LPKSM
LKY dan LPKSM Siaga selama ini diketahui lewat beberapa media, misalnya
radio lokal, TV, media sosial, selebaran maupun pertemuan-pertemuan yang
rutin dilakukan. Media radio lokal dianggap efektif karena dapat menjangkau
daerah pedalaman. Media TV efektif karena sifatnya yang audio-visual dan
dapat menjangkau masyarakat luas. Media sosial dianggap sedang tren saat
ini dan juga bisa menjangkau masyarakat luas. Selebaran penting karena
informasi yang disampaikan dapat sedetail mungkin dan membangkitkan
minat baca, sedangkan melalui pertemuan, konsumen atau warga dapat
berkomunikasi langsung dengan pihak LPKSM. Namun sejauh ini, dari
beberapa alternatif media yang sudah dijalani, pertemuan dianggap lebih
efektif dan efisien bagi pihak LPKSM. Komunikasi langsung dengan
konsumen yang memungkinkan konsumen langsung bertanya serta biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan pertemuan adalah alasannya.
4.3.2. Wilayah Banten
YLKIT menyatakan bahwa masyarakat belum sadar akan kehadiran
LPKSM dan kadang masih mempertanyakan peranan dan fungsinya.
LPKSM Handaini juga menyampaikan hal serupa, masyarakat masih apatis
terhadap keberadaan LPKSM dan menganggapnya sebagai pihak yang
sering meminta uang. Masyarakat masih menyamakan peran atau pekerjaan
LPKSM dengan LSM pada umumnya, belum memahami ada perbedaannya.
Ternyata selama ini LSM memiliki reputasi yang tidak baik di masyarakat,
yaitu organisasi masyarakat yang perilakunya kurang menyenangkan yang
sering meminta bantuan dana kepada pemerintah setempat maupun kepada
masyarakat pada umumnya, dengan cara yang kurang menyenangkan.
71PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Pengalaman masyarakat inilah yang menyebabkan adanya sentimen negatif
masyarakat terhadap LPKSM.
Hanya YLKI yang dikenal dan memiliki reputasi cukup baik di masyarakat.
Keberadaan LPKSM diketahui dari berbagai sumber informasi, terutama
media massa seperti televisi dan surat kabar. Ketiga organisasi konsumen
juga mencoba menyebarluaskan informasi melalui organisasi kepemudaan
(mahasiswa) dan media sosial untuk menjangkau masyarakat yang lebih
luas. Sementara itu, LPKSM Paragon menyampaikan bahwa sebagian
masyarakat sudah sadar akan kehadiran LPKSM, untuk itu perlu membentuk
kelompok konsumen yang lebih kecil lingkupnya misalnya kelompok
konsumen tingkat RT atau RW. Dengan demikian dampak keberadaan
LPKSM akan lebih terasa oleh masyarakat. Kemudian, ketiga LPKSM
sepakat bahwa media sosial cukup efektif untuk menyebarluaskan informasi
tentang LPKSM maupun sosialisasi kegiatan yang dilakukan dengan target
konsumen usia produktif.
4.3.3. Wilayah Jawa Barat
Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat yang mengetahui keberadaan
LPKSM Madani sudah cukup banyak. Masyarakat mengetahui keberadaan
LPKSM dari mulut ke mulut, dimana konsumen yang puas dengan
pelayanan LPKSM Madani kemudian merekomendasikan LPKSM tersebut
ke konsumen lain agar mengadukan kasus ke LPKSM Madani. Hal ini cukup
efektif untuk menyebarluaskan informasi tentang fungsi dan peran LPKSM
bagi masyarakat. Kesan positif dari masyarakat juga diterima oleh
YAPKINDO karena keberadaannya dinilai membantu konsumen. Sementara
YLBKI menilai bahwa organisasi mereka memiliki reputasi yang cukup baik
di masyarakat. Keberadaaan mereka diinformasikan melalui media
elektronik, yaitu ketika pengurus menjadi narasumer di radio dan media
cetak yaitu memasang iklan di Pikiran Rakyat dan Galamedia.
4.3.4. Wilayah Sumatera Utara
Keberadaan LPKSM Sumatera masih belum cukup dikenal oleh
masyarakat, hal ini kemungkinan dikarenakan lembaga ini masih relatif baru
berdiri. Namun, menurut LKI Medan, keberadaan LKI Medan sudah cukup
dikenal oleh masyarakat Medan mengingat lembaga ini sudah cukup lama
72PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
berdiri di Medan. Oleh karena itu, bagi kedua lembaga ini sosialisasi tetap
dibutuhkan selain untuk mengenalkan kepada masyarakat juga untuk
membantu konsumen dalam meningkatkan keberdayaannya. Sosialisasi
yang selama ini telah dilakukan baik melalui media cetak maupun radio
dinilai cukup efektif dalam membantu menyebarkan informasi akan
keberadaan lembaga konsumen ini. Menurut LPKSM Sumatera, salah satu
bentuk sosialiasai yang dinilai paling efektif adalah sosialisasi melalui media
radio, sementara menurut LKI Medan, bentuk sosialisasi yang paling efektif
adalah sosialisasi melalui kepala lingkungan di beberapa wilayah di kota
Medan. Menurut LPKSM Sumatera, alasannya karena dapat menjangkau
wilayah yang lebih luas termasuk daerah yang terpencil, namun menurut LKI
sosialisasi melalui kepala lingkungan lebih efektif karena labih tepat sasaran,
sementara sosialisasi melalui media cetak atau radio, belum tentu sampai
kepada konsumen.
Meskipun demikian, berbagai bentuk sosialisasi tetap dilakukan untuk
membantu meningkatkan keberdayaan konsumen. Menurut LPKSM
Sumatera, salah satu bentuk sosialisasi yang belum dilakukan saat ini
adalah sosialisasi langsung kepada masyarakat melalui PKK ataupun media
agama seperti pengajian, dan lain sebagainya.
4.4. Peran Pemerintah
Sejauh ini, peran pemerintah dalam hal regulasi dianggap sudah cukup,
walaupun khusus untuk UU Perlindungan Konsumen ada baiknya jika dikaji
ulang mengingat usia UU yang sudah lama dan kecenderungan semangat
lebih ke arah substansi dan tidak terlalu ke arah semangat demokrasi
sebagaimana yang tertuang di UU Perlindungan Konsumen. Sosialisasi
tentang perlindungan konsumen diharapkan tidak lagi sebatas yang selama
ini dilakukan, namun juga bisa dengan terobosan baru, misalnya
memasukkan materi perlindungan konsumen di dunia pendidikan seperti di
level perguruan tinggi, atau bahkan bisa mulai diperkenalkan pada level-level
sebelumnya yaitu pada anak-anak, karena sebagaimana yang sudah
disampaikan sebelumnya bahwa anak merupakan salah satu sasaran dari
para pelaku usaha dalam menjual barang atau jasa yang dihasilkan. Pada
akhirnya diharapkan anak tidak terjebak pada budaya konsumtifisme akibat
pengaruh iklan dan media promosi lainnya. Dengan kata lain, pemerintah
73PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tidak hanya mendorong timbulnya grup atau kelompok konsumen di
masyarakat, namun juga membuat regulasi yang nantinya memungkinkan
masyarakat untuk mengetahui dan sadar akan haknya sebagai konsumen
tidak harus semata dari lembaga-lembaga perlindungan konsumen.
Akan halnya dukungan dari segi pendanaan terhadap LPKSM-LPKSM
yang eksis saat ini boleh dibilang tidak ada. Hal ini membuat kinerja LPKSM
menjadi kurang optimal. Ini dikarenakan bentuk lembaga yang sifatnya
nirlaba yang tidak memungkinkan untuk meminta upah ke masyarakat.
Mereka berharap nantinya pemerintah dapat memberikan dukungan
pendanaan, misalnya lewat APBD. Akan halnya LPKSM yang patut diberi
bantuan, mereka menyarankan adanya sistem audit dan pemberian
akreditasi secara berulang untuk setiap LPKSM yang ada. Akreditasi perlu
dilakukan berulang untuk melihat kepatuhan LPKSM tersebut terhadap
undang-undang dan sejauh mana aktivitasnya di bidang perlindungan
konsumen. Akreditasi ini sebaiknya diawasi oleh sebuah badan pengawas
lembaga perlindungan konsumen sehingga tidak menyalahi kewenangan
sebagai LPKSM. Hal ini diharapkan agar bantuan yang diberikan oleh
pemerintah dapat lebih tepat sasaran, mengingat sangat banyaknya LPKSM
atau lembaga sejenis yang tumbuh di masyarakat.
Di beberapa negara, grup atau lembaga perlindungan konsumen diberi
bantuan dana oleh pemerintah, walaupun pembentukannya tetap diinisiasi
oleh masyarakat, seperti Consumers Affairs and Protection Society of Sabah
(CAPS) di Malaysia dan Halal Monitoring Committe (HMC) di Inggris. Hal ini
dilandasi bahwa pemerintah memang memiliki kewajiban untuk melindungi
warganya. Walaupun memang ada sedikit kekuatiran bahwa jika pemerintah
membantu grup atau kelompok konsumen tersebut, maka akan
menimbulkan kurangnya independensi dari lembaga bersangkutan.
Selain itu, terkait dengan salah satu bentuk kegiatan yang biasa dilakukan
oleh LPKSM yaitu kegiatan advokasi, diharapkan nantinya setiap LPKSM
memiliki anggota yang bersertifikat advokat. Selama ini LPKSM terutama
yang belum berbadan hukum tidak berhak untuk mewakili konsumen hingga
tingkat peradilan. LPKSM hanya sampai tingkat mediasi, dan apabila kasus
harus berlanjut ke tingkat peradilan, maka akan dilanjutkan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Namun, apabila nantinya salah
satu anggota LPKSM memiliki sertifikat advokat, maka akan lebih baik bagi
74PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
konsumen karena konsumen akan didampingi oleh orang atau tim yang
sama. Tentu saja advokat ini secara struktural tidak berada di dalam
LPKSM, melainkan misalnya advokat yang berkantor di LPKSM terkait.
Akan halnya kategori layanan produk atau jasa yang sebaiknya diberikan,
pemerintah diharapkan menetapkan wilayah kerja LPKSM di tingkat
kabupaten dengan kategori layanan yang lebih spesifik. Alasannya adalah
sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya. Beberapa kategori
layanan dapat dibagi menjadi :
a) Bidang jasa keuangan
b) Bidang jasa di luar jasa keuangan
c) Bidang pangan
d) Produk yang tidak bisa dimakan (misal : elektronik, dll.)
Dengan bantuan pemerintah, baik dari sisi regulasi dan pendanaan,
diharapkan nantinya akan mampu mendorong LPKSM-LPKSM untuk
membentuk kelompok-kelompok kecil, seperti halnya Kelompok Konsumen
Sadar (KKS) hasil bentukan LKY di masyarakat dengan tingkatan di bawah
kabupaten. Semakin banyaknya kelompok konsumen yang dibentuk di
masyarakat, maka diharapkan akan terwujudnya konsumen cerdas yang
berdaya.
75PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB 5
HASIL ANALISA
5.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen
Sejauh ini keberadaan kelompok konsumen di masyarakat belumlah
terlalu diketahui oleh masyarakat. Masyarakat biasanya lebih mengetahui
adanya keberadaan kelompok konsumen yang telah berdiri cukup lama.
Tidak hanya itu, dikarenakan sebagian besar bentuk kelembagaan
kelompok konsumen adalah organisasi kemasyarakatan atau lembaga
swadaya masyarakat (LSM), ini menimbulkan sikap apatis dari masyarakat.
Masyarakat memiliki persepsi bahwa kelompok konsumen yang berbentuk
LSM hanya ingin meminta uang namun tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Beberapa kelompok konsumen yang lebih memfokuskan pada
program advokasi adalah salah satu contohnya. Kelompok konsumen ini
kurang memahami bahwa sebenarnya tugas kelompok konsumen (LPKSM),
terutama yang belum berbentuk Badan Hukum atau Yayasan adalah
sebatas mediasi antara konsumen dengan pelaku usaha, dan bukan semata
untuk mencari kemenangan di pihak konsumen. Mereka malah membantu
konsumen sampai ke ranah hukum. Kelompok konsumen yang seperti ini
biasanya menjalani program advokasi dengan harapan konsumen yang
dibantu dapat memberikan timbal balik berupa upah (fee) sebagaimana tim
76PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
advokat pada umumnya. Mereka, baik secara sadar maupun tidak sadar
telah “memanfaatkan” minimnya pengetahuan konsumen akan tugas
sesungguhnya dari kelompok konsumen tersebut (LPKSM), terutama yang
belum memiliki Badan Hukum.
LPKSM dalam hal ini yang memiliki hak gugat (legal standing) dalam
konteks ligitas kepentingan konsumen adalah yang telah berbentuk Badan
Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan
perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat
diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 UU PK).
Akan halnya kelompok konsumen yang tetap berada pada jalurnya dan
telah menjalankan tugasnya dengan baik, mendapat apresiasi dari
masyarakat, terutama dalam hal ini konsumen yang dibantu. Konsumen
yang telah mengetahui keberadaan dan manfaat kelompok konsumen
biasanya akan merekomendasikan kelompok konsumen tersebut kepada
orang lain (word of mouth). Hal ini tentunya sangat membantu kelompok
konsumen, sehingga dapat menimimalkan anggaran promosi.
Berbagai cara untuk menginformasikan keberadaan kelompok konsumen
di masyarakat sebenarnya cukup beragam, mulai dari penyampaian secara
langsung, melalui media cetak, media sosial maupun media elektronik.
Hendaknya masing-masing cara tersebut disesuaikan dengan karakteristik di
tiap daerah sehingga dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.
Penyampaian informasi secara langsung biasanya dilakukan melalui
penyuluhan, seminar atau kegiatan sejenis. Mereka juga biasanya
bekerjasama dengan komunitas-komunitas tertentu, misalnya ibu-ibu PKK
atau komunitas kegiatan keagamaan tertentu (misalnya pengajian). Melalui
komunitas tersebut, kelompok konsumen akan dapat meminimalkan biaya
yang harus dikeluarkan karena biasanya mereka cukup diminta datang
sebagai narasumber. Kelebihan cara ini adalah masyarakat yang menghadiri
kegiatan dapat langsung berinteraksi dengan pengurus atau anggota
kelompok konsumen dan bertanya seputar perlindungan konsumen maupun
profil kelompok konsumen bersangkutan. Kekurangan cara ini adalah
terutama untuk kelompok konsumen tertentu, dimana sumber daya manusia
(SDM) masih kurang memiliki pengetahuan serta pengalaman yang cukup
sehingga kurang dapat memberikan informasi yang jelas dan lengkap
kepada masyarakat (konsumen). Keterbatasan SDM baik dari segi jumlah
77PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
maupun kemampuan atau pengetahuan sering menjadi kendala
berkembangnya suatu kelompok konsumen.
Penyampaian informasi melalui media cetak biasanya membutuhkan
anggaran tertentu, misalnya untuk spanduk, pamflet atau brosur. Ini
seringkali menjadi kendala bagi kelompok konsumen dikarenakan minimnya
dana atau anggaran. Perlu dipelajari seberapa besar minat baca saat ini
dimasyarakat, karena hal ini akan berdampak pada seberapa efektifnya cara
tersebut untuk dapat membuat masyarakat menyadari kehadiran kelompok
konsumen sekaligus memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen.
Apabila cara ini tetap dilakukan, maka sebaiknya informasi yang ingin
disampaikan singkat, jelas dan dapat menarik perhatian. Terlalu banyaknya
informasi yang ingin disampaikan belum tentu menjamin dapat diserapnya
dengan baik informasi tersebut di masyarakat.
Media sosial tentu saja menjadi salah satu cara yang cukup efektif dalam
menginformasikan sesuatu. Masyarakat yang memang sudah melek
informasi biasanya cenderung mencari informasi melalui cara ini. Perlu
dipelajari siapa target konsumen untuk penyampaian informasi lewat media
sosial. Tentu saja dilihat dari karakteristik tiap daerah atau demografinya.
Untuk target konsumen tertentu, penggunaan media ini sebagai sarana
menyampaikan informasi tidak hanya berdampak pada timbulnya kesadaran
(awareness) masyarakat (konsumen) terhadap suatu kelompok konsumen,
namun juga bisa menampilkan citra (image) positif bagi kelompok konsumen
bersangkutan.
Walaupun media sosial saat ini tengah digandrungi dimasyarakat, namun
media elektronik masih dilirik sebagai salah satu cara efektif dalam
menyampaikan informasi, misalnya melalui televisi ataupun radio.
Jangkauannya yang cukup luas menjadi alasannya. Baik media televisi dan
radio ada yang memiliki jangkauan nasional maupun daerah. Penggunaan
salah satu jenis jangkauan tersebut tentu saja disesuaikan dengan
kebutuhan kelompok konsumen bersangkutan. Kekurangan penggunaan
cara ini tentu saja dalam hal pendanaan. Sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, kelompok konsumen yang saat ini cukup banyak
ada dimasyarakat rata-rata memiliki kendala tidak hanya dalam hal SDM,
namun juga pendanaan. Kerjasama dengan pemerintah daerah tentu
menjadi salah satu solusinya.
78PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
5.2. Profil, Hambatan Serta Kerjasama Yang Dilakukan Oleh Kelompok
Konsumen
5.2.1. Bentuk Kelembagaan Dan Pengelolaan
Hadirnya kelompok-kelompok konsumen di tengah masyarakat pada
awalnya berasal dari adanya kepedulian segelintir masyarakat terhadap
perlindungan hak dan kewajiban mereka sebagai konsumen. Beberapa dari
kelompok tersebut bahkan berdiri dikarenakan adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen. Mereka yang mendirikan
kelompok-kelompok konsumen ini juga berharap Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UU PK) No. 8 Tahun 1999 lebih tersosialisasi
dengan merata di masyarakat.
Selama ini, bentuk kelembagaan kelompok konsumen adalah berupa
organisasi kemasyarakatan atau yang biasa dikenal dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satu dasar pemikirannya adalah bahwa
bentuk kelembagaan tersebut adalah organisasi konsumen yang terbuka
bagi siapapun untuk masuk kedalamnya dan memperjuangkan isu-isu
perlindungan konsumen. Secara umum, struktur organisasi untuk tiap
kelompok konsumen yang berbentuk bukan yayasan minimal terdiri dari
ketua, sekretaris dan bendahara. Apabila dimungkinkan, dibentuk lagi
beberapa divisi yang biasanya berfungsi untuk edukasi dan advokasi.
Selain berbentuk LSM, terdapat pula beberapa kelompok konsumen yang
bentuk kelembagaannya adalah yayasan. Namun ini jarang, dikarenakan
selain membutuhkan dana finansial yang lebih besar saat pendiriannya, juga
membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang cukup banyak.
Sebagaimana diketahui bahwa untuk mendirikan yayasan dibutuhkan
struktur dewan pembina, dewan pengurus dan dewan pengawas, sedangkan
untuk dewan pengurus minimal terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara.
Hal ini tentu saja agak menyulitkan dikarenakan biasanya saat membentuk
kelompok konsumen, sumber daya manusia yang bergabung masih sedikit.
Program-program yang biasa dilaksanakan oleh kelompok-kelompok
konsumen tersebut adalah edukasi dan advokasi. Untuk edukasi, biasanya
berupa sosialisasi mengenai keberadaan LPKSM bersangkutan, UU
Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, serta hak dan kewajiban
konsumen. Edukasi dilakukan tidak hanya secara internal (pengurus dan
79PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
anggota LPKSM), namun juga eksternal (masyarakat umum). Tidak hanya
sosialisasi kepada konsumen, untuk LPKSM tertentu juga melakukan
sosialisasi ke pelaku usaha. Target kegiatan ini adalah peningkatan
kesadaran (awareness) pelaku usaha akan hak-hak konsumen, sehingga
akan memperbaiki usaha mereka dalam memenuhi hak-hak konsumen
tersebut. Kegiatan atau program-program yang dilakukan diantaranya
menyelenggarakan seminar, penyebaran pamflet, wawancara lewat radio,
pemasangan spanduk, poster, dan lain-lain. Efektifitas program biasanya
tergantung dari seberapa sering kelompok konsumen tersebut melakukan
sosialisasi. Namun tidak hanya itu, sebenarnya program juga dapat berjalan
efektif bila disosialisasikan oleh orang-orang tertentu yang lebih dihormati
dan disegani di masyarakat, misalnya ketua adat (seperti yang dilakukan
oleh salah satu kelompok konsumen di wilayah Medan).
Berdasarkan hasil lapangan, diketahui bahwa untuk beberapa kelompok
konsumen memiliki target edukasi atau sosialisasi yang spesifik yaitu para
pelajar. Kiranya perlu untuk membekali mereka dengan pemahaman tentang
hak-hak konsumen, karena pelajar (terutama anak-anak) merupakan salah
satu sasaran dari para pelaku usaha dalam menjual barang atau jasa yang
dihasilkan. Pembekalan dasar dianggap perlu sehingga mereka tidak
terjebak pada budaya konsumtifisme akibat pengaruh iklan dan media
promosi lainnya dan dapat mulai bersikap kritis sebagai seorang konsumen.
Untuk saat ini program pembekalan ke sekolah-sekolah dapat berupa
kunjungan rutin ke sekolah. Materi pembekalan dapat disesuaikan dengan
target peserta, misalnya anak didik dan tenaga pendidik. Bagi target peserta
anak didik, materi dan cara penyampaian juga perlu disesuaikan
berdasarkan jenjang sekolah (level). Tentunya materi dan cara penyampaian
untuk anak didik level SD akan berbeda apabila target anak didiknya level
SMP dan seterusnya. Bagi target peserta tenaga pendidik, program
pembekalan tentu saja perlu dikarenakan dalam kesehariannya, mereka-lah
yang berhadapan dengan anak didik dan lingkungan sekolah, misal kantin
sekolah maupun tempat jajan di luar lingkungan sekolah. Apabila materi
ingin dimasukkan ke dalam kurikulum, tentunya harus bekerjasama dengan
Kemendikbud atau Kemenristekdikti.
Adapun untuk program advokasi dilakukan oleh kelompok konsumen
(LPKSM) agar masyarakat (konsumen) dapat berdaya dan memperjuangkan
80PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
haknya, baik secara mandiri, perorangan maupun kelompok. Kegiatan
biasanya dimulai dengan tahapan pengaduan ke LPKSM, konsultansi dan
diakhiri dengan pendampingan hingga tingkat mediasi dan tidak melalui
ranah hukum. Hal ini dikarenakan merupakan wewenang dari Balai
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di tiap daerah.
Bagi setiap kelompok konsumen (baik yang berbentuk yayasan maupun
LSM) yang telah mendaftarkan diri ke pemerintah lewat pemerintah
kabupaten/kota dan memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum
dalam PP No.59 Tahun 2001 Bab 2 Pasal 2, maka akan menjadi bagian dari
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Berikut adalah penjelasan mengenai tugas LPKSM yang tercantum dalam
PP No.59 Tahun 2001 Bab 3 (Pasal 3 – 9) :
Pasal 3
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan;
c. melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen
Pasal 4
Penyebaran informasi yang dilakukan oleh LPKSM, meliputi penyebarluasan
berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
perlindungan konsumen.
Pasal 5
Pemberian nasihat kepada konsumen yang memerlukan dilaksanakan oleh
LPKSM secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya.
Pasal 6
81PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Pelaksanaan kerjasama LPKSM dengan instansi terkait meliputi pertukaran
informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang
dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
Pasal 7
Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun
kelompok.
Pasal 8
Pengawasan perlindungan konsumen oleh LPKSM bersama Pemerintah dan
masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar
dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Pasal 9
a. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
LPKSM dapat bekerjasama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik
yang bersifat nasional maupun internasional.
b. LPKSM melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota setiap tahun.
5.2.2. Hambatan Yang Dialami
Kelompok-kelompok konsumen yang saat ini ada di masyarakat masih
memiliki beberapa hambatan dalam perkembangannya. Tidak hanya
keterbatasan SDM, namun juga secara finansial. Sifat keanggotaan dan
kegiatan yang bersifat sukarela menjadi alasannya. Para relawan yang pada
awalnya bergabung, namun dikarenakan minimnya insentif (bahkan
seringkali tidak ada) yang disediakan oleh tiap kelompok konsumen tersebut,
pada akhirnya membuat para anggota kurang memprioritaskan kegiatan-
kegiatan di kelompok tersebut. Besarnya iuran yang ditetapkan oleh
beberapa kelompok konsumen lebih hanya untuk menunjukkan komitmen
terhadap organisasi. Demikian pula halnya dengan kegiatan advokasi. Sifat
organisasi yang nirlaba, tentunya tidak memungkinkan bagi mereka untuk
menetapkan biaya dalam mendampingi konsumen yang mengadu, yang
pada akhirnya berdampak pada kurangnya pendanaan untuk operasional
82PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
lembaga bersangkutan. Mereka hanya berhak menerima fee (upah) atas
dasar kerelaan dari konsumen yang mengadu, sementara disisi lain,
konsumen yang mengadu merasa bahwa dikarenakan kelompok konsumen
memang bertugas untuk membantu konsumen, maka konsumen tersebut
merasa tidak memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan dalam bentuk
apapun.
Hambatan lainnya adalah yang terkait dengan legalitas LPKSM.
Sebagaimana diketahui, saat ini bentuk kelembagaan LPKSM biasanya
berupa yayasan dan organisasi masyarakat (LSM). Bagi LPKSM yang
bentuk kelembagaannya belum berbadan hukum, memiliki keterbatasan
terutama saat konsumen yang mengadu ingin melanjutkan aduannya ke
tingkat berikutnya (tidak hanya sebatas mediasi). Dalam hal ini, LPKSM
tersebut tidak dapat mewakili konsumen, hanya sebatas pendampingan.
Apabila kondisinya seperti ini, maka ada 2 (dua) cara penyelesaian.
Pertama, LPKSM tersebut (yang belum berbadan hukum) bekerja sama
dengan Lembaga Bantuan Hukum Daerah (LBHD). Konsumen dalam hal ini
akan dapat diwakili oleh seorang advokat. Kedua, apabila di daerah tersebut
belum ada LBHD, maka LPKSM bersangkutan harus menyampaikan di awal
mengenai kondisi ini dan dampaknya bagi konsumen, terutama jika
konsumen tidak hanya puas sebatas jalur mediasi.
Hambatan lainnya juga datang dari pihak Pemerintah. Pemerintah, dalam
hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota ternyata juga masih ragu-ragu
dalam membantu kelompok konsumen (LPKSM), dikarenakan belum adanya
mekanisme yang khusus mengatur mengenai bantuan terhadap kelompok-
kelompok konsumen yang telah diakui, dalam hal ini LPKSM di tiap daerah.
PP No. 59 tahun 2001 Pasal 2 hanya menyebutkan mengenai pendaftaran
kelompok konsumen ke pemerintah kabupaten/kota. Perlu ditekankan,
bahwa yang dimaksud dengan LPKSM adalah lembaga (baik yayasan
maupun non-yayasan) yang telah terdaftar dan mendapat TDLPK (Tanda
Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen) sebagaimana yang telah diatur
dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan N0:
302/MPP/Kep/10/2001 tanggal 24 Oktober 2001.
5.2.3. KERJASAMA YANG DILAKUKAN
Selama ini kerjasama sudah cukup sering dilakukan, baik antar kelompok
konsumen, kelompok konsumen dengan lembaga yang bersifat nasional
83PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
maupun internasional, maupun antara kelompok konsumen dengan
pemerintah, terutama pemerintah daerah. Kerjasama antar kelompok
konsumen biasa dilakukan dengan tujuan untuk saling menukar informasi.
Perlu kiranya bagi kelompok konsumen yang dianggap lebih lengkap dalam
hal pemahaman, pengetahuan serta pengalamannya untuk membagikan
“ilmu”nya kepada kelompok konsumen lain.
Kerjasama dengan lembaga lain baik yang bersifat nasional ataupun
internasional biasanya dilakukan dalam hal menyampaikan informasi-
informasi tertentu yang terkait dengan kedua lembaga tersebut. Kerjasama
ini biasanya dilakukan oleh kelompok konsumen yang dianggap sudah
dikenal dengan cukup baik oleh masyarakat, misalnya Lembaga Konsumen
Yogyakarta (LKY). Untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap kelompok konsumen, kerjasama dengan lembaga lain juga perlu
dilakukan terutama oleh kelompok konsumen yang belum terlalu dikenal di
masyarakat. Akan halnya kerjasama dengan lembaga internasional biasanya
berupa survey atau riset yang tentunya juga terkait dengan kedua lembaga
atau organisasi. Biasanya kerjasama ini dapat menjadi peluang bagi
kelompok konsumen terkait untuk mendapat tambahan dari segi finansial.
Kelompok konsumen (LPKSM) dalam hal ini dapat mencari informasi
lembaga atau organisasi mana yang sedang membutuhkan data tertentu
yang diperoleh dengan metode riset. Mereka dapat mengajukan proposal ke
lembaga tersebut. Tentunya ini juga dapat menjadi salah satu ajang
pembelajaran yang bermanfaat.
Kerjasama dengan pemerintah biasanya dilakukan dengan tujuan untuk
mensosialisasikan kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kelompok konsumen juga sering dijadikan sebagai narasumber dalam
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan konsumen.
Diharapkan bagi kelompok konsumen tersebut dapat langsung
mensosialisasikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat luas,
mengingat kelompok konsumen terutama yang telah diakui, dalam hal ini
LPKSM adalah kepanjangan tangan pemerintah dalam membantu
memberdayakan konsumen (masyarakat). Pemerintah juga dalam hal ini
dapat membantu menginformasikan kepada masyarakat luas akan
keberadaan kelompok konsumen di wilayah bersangkutan. Apabila
pemerintah membantu menginformasikan keberadaan kelompok konsumen
84PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tersebut, tentunya akan berdampat pada timbulnya kepercayaan masyarakat
terhadap kelompok konsumen (LPKSM).
5.3. Potensi Dan Prioritas Kelompok Konsumen Yang Dapat Dibentuk
Berkaitan dengan layanan produk atau jasa, boleh dikatakan bahwa
kelompok-kelompok konsumen tersebut belum membagi berdasarkan
kriteria tertentu, dengan kata lain mereka menerima semua jenis pelaporan
atau aduan dari konsumen (masyarakat). Biasanya, kelompok konsumen
yang berdiri lebih lama daripada kelompok sejenis di wilayah tersebut, lebih
dipercaya oleh konsumen. Konsumen mengadukan berbagai permasalahan
ke kelompok tersebut agar dapat dibantu.
Banyaknya aduan dari konsumen kepada kelompok konsumen tersebut
akhirnya membuat kelompok konsumen itu membuat kelompok konsumen
lagi di wilayah lain (mirip dengan cabang) yang dianggap memiliki tingkat
aduan yang relatif cukup tinggi. Ini dilakukan agar lebih efektif dan efisien.
Biasanya yang menjadi pengurus pada kelompok konsumen bentukan baru
itu adalah tadinya merupakan anggota pada kelompok konsumen yang lama.
Pada wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satu kelompok konsumen
yang juga merupakan kelompok konsumen tertua di wilayah itu, yaitu
Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) juga melakukan hal yang sama,
namun kelompok-kelompok konsumen hasil bentukan LKY tidak memiliki
program advokasi. Kelompok-kelompok konsumen ini, yang biasa disebut
Kelompok Konsumen Sadar (KKS) lebih fokus pada pemberdayaan
konsumen yang bersifat aplikasi.
Namun bukan berarti hal ini tidak memiliki kekurangan. Biar
bagaimanapun, untuk membantu konsumen (masyarakat) dalam melindungi
haknya, kelompok konsumen memerlukan pengurus dan anggota yang
memiliki kemampuan yang mumpuni. Selama ini, pembekalan yang
diberikan saat penerimaan anggota masih bersifat umum dan tidak khusus.
Ini akan menjadi terasa dampaknya ketika mereka harus mendampingi
konsumen bersangkutan pada tingkat mediasi dengan pelaku usaha.
Minimnya pengetahuan akan industri pelaku usaha yang diadukan, tentunya
mengakibatkan kurang optimalnya perlindungan terhadap konsumen
tersebut, yang pada akhirnya akan turut pula mempengaruhi penilaian atau
persepsi konsumen (masyarakat) terhadap kelompok konsumen.
85PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, beberapa aduan yang dinilai
sering atau menjadi primadona adalah aduan di bidang perbankan,
pembiayaan (leasing), properti dan sedikit di bidang pangan. Pengaduan
konsumen (masyarakat) yang dilakukan selama ini lebih didasarkan pada
besarnya nilai yang harus mereka keluarkan. Ini mengapa aduan di bidang
perbankan, pembiayaan dan properti termasuk yang sering diadukan, karena
konsumen menganggap mereka telah mengeluarkan uang yang cukup besar
untuk ketiga bidang tersebut, sedangkan aduan untuk kategori pangan,
walaupun mereka merasa uang yang telah dikeluarkan relatif kecil, namun
dikarenakan pangan terkait dengan kesehatan (apa yang dikonsumsi), maka
ini juga menjadi perhatian konsumen.
Dari sekian banyak sektor terkait perlindungan seperti yang tercantum
pada bagian sebelumnya, maka ditentukan 10 sektor yang dinilai penting
yaitu:
1. Finansial (perbankan dan non-perbankan)
2. Pangan
3. Properti
4. Jasa telekomunikasi
5. Kesehatan
6. Edukasi
7. Belanja online
8. Jasa transportasi
9. Barang tahan lama
10. Fasilitas umum dan layanan publik
Berdasarkan temuan tersebut, sebenarnya untuk lebih meningkatkan
kinerja kelompok konsumen (LPKSM), akan lebih baik jika kelompok-
kelompok konsumen tersebut memiliki pengetahuan yang lebih dalam
terutama untuk bidang-bidang (kategori) yang menjadi primadona. Dapat
ditetapkan misalnya 5 bidang teratas sebagai standar di tiap LPKSM. Tidak
hanya mempelajari secara lebih detail tentang karakteristik tiap bidang,
namun juga mempelajari para pelaku usaha yang berkecimpung dibidang-
bidang tersebut. Kemudian, diskusi lebih lanjut dengan para pemangku
kepentingan menentukan bahwa ada 3 (tiga) indikator atau kriteria untuk
menentukan sektor mana yang perlu diprioritaskan. Indikator tersebut
adalah 1) jumlah aduan konsumen; 2) potensi nilai kerugian konsumen; dan
86PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3) proporsi pengeluaran masyarakat untuk produk tersebut. Dengan
demikian, kelima bidang yang dapat dijadikan standar bagi setiap LPKSM
adalah :
• Jasa finansial (perbankan dan non-perbankan)
• Properti
• Fasilitas umum dan layanan publik (misal listrik, air, dll.)
• Jasa telekomunikasi
• Kesehatan (obat-obatan dan layanan kesehatan)
Gambar 5.1. Hasil penilaian sektor-sektor prioritas
Selain tiap LPKSM memiliki pengetahuan dan kualitas SDM yang
mumpuni untuk 5 bidang teratas atau standar, sebaiknya mereka juga
dibekali oleh pengetahuan di luar kelima bidang tersebut namun yang
menjadi primadona di wilayah terkait. Sebagai contoh, LPKSM yang
berdomisili di daerah A yang kebetulan wilayah tersebut primadona-nya
SektorPilihan:
Finansial(perbankandannon-perbankan)
Pangan
ProperA
Jasatelekomunikasi
Kesehatan
Edukasi
Belanjaonline
Jasatransportasi
Barangtahanlama
Fasilitasumumdanlayananpublik
Indikator/kriteria:
1.Jumlahaduankonsumen(0.4)
2.Potensikerugian(0,35)
3.Proporsipengeluaranmasyarakat(0,25)
SektorPrioritas:
1.Finansial
2.ProperA
3.Fasilitasumumdanlayananpublik
4.Jasatelekomunikasi
5.Kesehatan
87PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
adalah jasa pendidikan, maka selain mereka harus menguasai kelima bidang
(yang menjadi standar bagi tiap LPKSM), mereka juga harus menguasai
bidang jasa pendidikan.
5.4. Peran Pemerintah Terhadap Kelompok Konsumen
5.4.1. Dukungan Regulasi Dan Pendanaan
Sejauh ini kelompok konsumen merasa bahwa peran pemerintah
terutama dalam hal anggaran masih sangat kurang. Pemerintah, dalam hal
ini pemerintah daerah lebih banyak melibatkan kelompok konsumen dalam
hal sosialisasi kebijakan. Masih minimnya peran pemerintah daerah dalam
hal anggaran sepertinya dikarenakan belum adanya regulasi yang jelas yang
mengatur seberapa jauh pemerintah daerah dapat mendukung keberadaan
kelompok konsumen terutama dari sisi pendanaan.
Berdasarkan temuan lapangan, diperoleh dua pendapat yang cukup
berbeda mengenai hal ini. Disatu sisi, bantuan pemerintah tentu saja akan
sangat membantu kelancaran program-program kelompok konsumen,
namun disisi lain mereka khawatir dengan diberikannya bantuan pendanaan
akan berdampak pada tidak adanya kemandirian (independensi) kelompok
konsumen yang dibantu.
Adanya kemungkinan inisiasi pembentukan kelompok konsumen dari
pemerintah juga mendapat respon yang menarik. Pemerintah diharapkan
lebih berkonsentrasi memberikan dukungan kepada kelompok konsumen
yang sudah ada ketimbang harus membentuk yang baru, walaupun ini juga
bisa berarti lebih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
kelompok konsumen baru tersebut dikarenakan dibentuk oleh pemerintah.
Pemerintah diharapkan mengembalikan fungsi dan peranan para kelompok
konsumen tersebut melalui mekanisme tertentu.
Pemerintah dapat saja memberikan bantuan pendanaan kepada
kelompok konsumen yang sudah ada dengan persyaratan tertentu, misalnya
kelompok konsumen tidak hanya terdaftar di pemerintah kabupaten/kota,
namun juga memiliki program kerja yang dapat direalisasikan dalam kurun
waktu tertentu. Tidak hanya dapat direalisasikan, namun perlu adanya
laporan pertanggungjawaban program atau kegiatan yang telah berjalan
tersebut (misalnya pelaporan dilakukan setahun sekali). Tiap kelompok
konsumen yang ingin mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah
88PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
daerah juga dapat memgikuti semacam program akreditasi. Besaran
dukungan pendanaan yang dapat diberikan bisa saja dilihat dari peringkat
akreditasi yang diperoleh. Sebagai contoh, kelompok konsumen yang
memiliki akreditasi A berhak untuk mendapat dukungan pendanaan yang
jumlahnya lebih besar daripada kelompok konsumen yang memiliki
akreditasi B, dan seterusnya. Pemberian akreditasi ini hendaknya dilakukan
secara berkala, misalnya setahun sekali, sehingga diharapkan setiap
kelompok konsumen (LPKSM) tetap menampilkan performa terbaiknya
sebagai lembaga perlindungan konsumen. Sebuah kelompok konsumen
yang tadinya memiliki akreditasi B, bisa saja di penilaian berikutnya memiliki
akreditasi A, sehingga lembaga konsumen tersebut berhak mendapat
bantuan atau dukungan yang sesuai dengan tingkat akreditasinya, dan
demikian seterusnya.
Akan halnya dukungan regulasi, pada beberapa kelompok konsumen
yang ditemui menyarankan perlu adanya kajian ulang terhadap UU
Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999 agar lebih sesuai dengan
kebutuhan saat ini dan masa depan. Masih bervariasinya interpretasi
terhadap UU Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999 dan peraturan
lainnya adalah indikasi bahwa kelompok konsumen yang saat ini ada dan
berkembang dimasyarakat belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang
sama terhadap berbagai kebijakan tersebut. Ini dapat menjadi masukan bagi
pemerintah agar lebih memperhatikan hal tersebut. Pemerintah dalam hal ini
harus dapat memastikan bahwa kelompok konsumen yang ada
dimasyarakat, terutama yang telah terdaftar (LPKSM) memiliki pemahaman
yang sama terhadap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan.
5.4.2. PPKN
PPKN yang merupakan singkatan dari Perkumpulan Perlindungan
Konsumen Nasional, dibentuk oleh BPKN (Badan Perlindungan Konsumen
Nasional) pada tahun 2013. Anggota PPKN terdiri dari beberapa LPKSM
yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data BPKN, dari sekitar
365 LPKSM, hanya sekitar 100 LPKSM yang aktif.
Peranan PPKN dalam hal ini sangat penting. Berdasarkan temuan
lapangan, dapat disimpulkan beberapa hal menyangkut kurang meratanya
sosialisasi dan edukasi :
89PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1. Regulasi Pemerintah (UU PK dan turunannya) diantara LPKSM
2. Keberadaan PPKN bagi LPKSM
3. Keberadaan PPKN dan anggotanya di masyarakat
PPKN diharapkan dapat menjadi wadah yang menjembatani antara
pemerintah dengan LPKSM di seluruh Indonesia. Dalam hal ini PPKN
bertugas untuk mensosialisasikan setiap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah kepada seluruh anggota LPKSM, sehingga nantinya setiap
LPKSM yang terdaftar menjadi anggota LPKSM memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang sama terhadap setiap kebijakan atau regulasi dari
pemerintah. Juga perlu adanya peningkatan sosialisasi keberadaan PPKN
kepada LPKSM-LPKSM di Indonesia. Masih sedikitnya anggota PPKN, salah
satunya dapat diartikan karena kurangnya sosialisasi akan eksistensi PPKN
bagi LPKSM. PPKN juga bertugas untuk mensosialisasikan keberadaannya
ke masyarakat, berikut anggota-anggotanya sehingga masyarakat di setiap
daerah menjadi lebih aware terhadap keberadaan LPKSM dan peranannya.
LPKSM yang terdaftar sebagai anggota PPKN diharapkan akan memiliki
kesan (image) yang lebih baik di masyarakat dibandingkan dengan yang
belum terdaftar. Untuk lebih meningkatkan kesan positif masyarakat
terhadap LPKSM, pemerintah juga dapat mengadakan LPKSM Award yang
bertujuan mengapresiasi LPKSM yang memiliki komitmen dalam
melaksanakan edukasi dan advokasi kepada masyarakat.
Bagi LPKSM yang ingin menjadi anggota PPKN diharapkan memiliki
persyaratan standar, misalnya dalam hal struktur organisasi. Untuk lebih
mengoptimalkan kinerja setiap LPKSM, maka struktur organisasi standar
yang dimiliki minimal terdiri dari : Ketua, Sekretaris, Bendahara, Divisi
Edukasi dan Divisi Advokasi. Selain itu, setiap LPKSM yang ingin mengikuti
program akreditasi diwajibkan untuk menjadi anggota PPKN. Perlu
dijelaskan manfaat bagi setiap LPKSM yang bergabung di PPKN, misalnya
kemudahan akses dalam hal informasi, baik itu informasi yang terkait
dengan regulasi dari pemerintah maupun informasi lembaga donor yang
membutuhkan kerjasama dengan LPKSM di Indonesia. Tidak hanya itu,
PPKN juga dapat menetapkan standar modul edukasi konsumen yang
diberikan oleh setiap LPKSM yang menjadi anggota PPKN. Berikut adalah
beberapa topik yang dapat dijadikan standar tersebut :
a. UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999
90PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
b. Pengetahuan dasar konsumen terkait hak dan kewajiban
c. Pengetahuan dasar minimum tentang produk-produk di sektor prioritas,
terutama terkait kesehatan, keamanan dan keselamatan
d. Layanan pengaduan konsumen dan mekanisme penyelesaian sengketa
Kedepannya, PPKN diharapkan dapat menjadi sebuah media center bagi
masyarakat.
5.4.3. Pembentukan Media Center
Ide pembentukan media center terinspirasi dari maraknya pusat informasi
yang berkembang di masyarakat. Hanya saja, kebanyakan pusat informasi
ini dibentuk oleh pelaku usaha sebagai upaya menjembatani antara pelaku
usaha dengan konsumen sekaligus sebagai ajang promosi media lini bawah
(below the line). Maraknya media center di tiap industri menandakan
efektifitas yang cukup tinggi dari kegiatan ini. Konsumen dapat bertanya
ataupun mengadu (complaint) secara langsung kepada pihak pelaku usaha
dan segera mendapat feedbacknya, terutama yang berkaitan tentang
pertanyaan.
Namun, biar bagaimanapun ini tetap memiliki kekurangan, terutama di
pihak konsumen. Media center yang dibentuk oleh pelaku usaha pastinya
akan tetap membawa kepentingan pelaku usaha bersangkutan, sehingga
unsur perlindungan terhadap konsumen tidak senantiasa terjamin.
Kekurangan inilah yang sebenarnya bisa diminimalisasikan bahkan
ditiadakan apabila media center tersebut merupakan bentukan pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah dapat menjaga netralitasnya di antara pelaku
usaha dan konsumen.
Pembentukan media center oleh pemerintah dapat bekerja sama dengan
PPKN yang memiliki anggota LPKSM-LPKSM di seluruh Indonesia. Media
center tersebut sebaiknya terdiri dari berbagai kategori produk dan jasa.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa terdapat
standar pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap LPKSM di seluruh
Indonesia (misalnya untuk 5 bidang atau kategori teratas). Standar tersebut
yang ditambah dengan bidang tertentu yang juga menjadi primadona di
daerah masing-masing harus diinformasikan dari setiap LPKSM kepada
PPKN. Nantinya, konsumen yang ingin mengadu dapat langsung
berhubungan dengan LPKSM tersebut. Sebagai contoh, seorang konsumen
91PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
ingin mengadu terkait sebuah institusi pendidikan di kotanya. Konsumen
tersebut kemudian menghubungi media center. Oleh media center,
konsumen tersebut kemudian dihubungkan dengan LPKSM yang memiliki
kemampuan spesifik yang berhubungan dengan jasa pendidikan. Namun jika
konsumen yang mengadu tersebut aduannya terkait dengan jasa perbankan,
yang kebetulan merupakan salah satu dari 5 bidang teratas layanan standar
di setiap LPKSM, maka oleh media center, konsumen tersebut dapat
langsung dihubungi oleh LPKSM manapun yang sama domisilinya dengan si
konsumen. Kementrian Perdagangan dalam hal ini dapat bekerja sama
dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
5.4.4. Sosialisasi Ppkn & Lpksm
Peran pemerintah dalam menginformasikan keberadaan PPKN dan
LPKSM-LPKSM yang tergabung didalamnya sangatlah penting. Kesan
(image) positif tentang LPKSM akan lebih mudah didapatkan dari
masyarakat apabila pemerintah yang mensosialisasikannya. Pemerintah
dalam hal ini menjelaskan fungsi dan peranan LPKSM bagi masyarakat
(konsumen).
Sosialisasi dapat dilakukan melalui beberapa media. Misalnya TV dan
radio. Pemerintah dapat menggunakan TV nasional maupun lokal, demikian
pula radio. Dengan menggunakan media TV dan radio, diharapkan
cakupannya bisa lebih luas atau terjangkau. Media lainnya yang juga bisa
digunakan misalnya media sosial. Apabila media center akhirnya dibentuk,
maka tentunya pemerintah harus menginformasikan keberadaan media
center di masyarakat. Semua langkah ini diharapkan dapat membantu
masyarakat untuk lebih mengetahui dan memahami peranan lembaga
konsumen di Indonesia.
92PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan
1. Hasil studi literatur, hasil wawancara lapangan dan analisis AHP
menunjukkan bahwa dengan menggunakan 3 (tiga) indikator prioritas
yaitu jumlah aduan konsumen, potensi kerugian konsumen, dan proporsi
pengeluaran masyarakat, kelompok/organisasi konsumen dapat dibentuk
berdasarkan sektor prioritas dengan urutan sebagai berikut: 1) finansial
(perbankan dan non-perbankan); 2) properti; 3) fasilitas umum dan
layanan publik; 4) jasa telekomunikasi; dan 5) obat-obatan dan layanan
kesehatan.
2. Hasil studi lapangan menunjukkan masih sedikit LPKSM yang memiliki
lingkup kerja yang spesifik berdasarkan sektor. Pembentukan kelompok
93PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
konsumen berbasis sektor akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan
kegiatan edukasi karena menguasai materi secara spesifik. Dengan
demikian perlu didorong pembentukan kelompok konsumen yang
berbasis pada lima sektor prioritas tersebut.
3. Hasil studi lapangan menggambarkan kondisi bentuk kelembagaan
kelompok/organisasi konsumen dan pengelolaannya sebagai berikut:
a. Bentuk lembaga kelompok/organisasi konsumen yang ada di
masyarakat, dalam hal ini LPKSM, adalah yayasan dan non-yayasan
(LSM). Sebagian besar LPKSM berbentuk LSM karena
membutuhkan lebih sedikit SDM dalam pembentukannya. LPKSM
yang berbadan hukum memiliki hak gugat (legal standing), sementara
LPKSM yang tidak berbadan hukum tidak memiliki hak gugat,
sehingga hanya mampu mendampingi konsumen, tetapi tidak dapat
mewakili konsumen secara hukum saat sengketa di pengadilan. Oleh
karena itu, LPKSM yang belum berbadan hukum perlu
pendampingan profesional di bidang hukum untuk penyelesaian
sengketa di pengadilan.
b. Secara struktur organisasi, LPKSM harus memiliki ketua, sekretaris
dan bendahara, serta anggota dengan pembagian divisi yang lebih
jelas (minimum terdapat divisi advokasi dan edukasi) untuk dapat
melaksanakan kegiatannya dengan baik.
c. Dalam hal pengelolaan, kegiatan LPKSM saat ini fokus menjalankan
fungsi advokasi, namun masih kurang dalam menjalankan fungsi
edukasinya. Kegiatan edukasi konsumen yang dilakukan baik oleh
pemerintah maupun LPKSM seringkali bersifat temporer sehingga
sulit diukur dampaknya. Dalam rangka mendorong LPKSM untuk
menjalankan fungsi edukasi, maka pemerintah perlu memberikan
insentif bagi LPKSM yang telah menjalankan fungsi edukasi dengan
memadai. Selain itu, LPKSM perlu lebih banyak dilibatkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah dalam pelaksanaan kegiatan
edukasi konsumen.
4. Hasil identifikasi hambatan dalam pelaksanaan fungsi LPKSM sebagai
berikut :
a. Keterbatasan SDM secara kuantitas dan kualitas. Kualifikasi anggota
LPKSM dengan pemahaman terhadap UU Perlindungan Konsumen
94PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
yang memadai dan product knowledge yang baik, sulit diperoleh,
sehingga pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas SDM
melalui program pelatihan dan pendidikan yang lebih terarah dan
berjenjang.
b. Keterbatasan dana operasional LPKSM, khususnya dalam
pelaksanaan kegiatan edukasi ke masyarakat. Tidak semua LPKSM
menetapkan iuran anggota dan sifat organisasi yang nirlaba tidak
memungkinkan LPKSM menetapkan biaya/fee kepada konsumen
yang memerlukan bantuan. LPKSM tidak memiliki akses yang cukup
terhadap sumber pembiayaan yang mungkin tersedia. Pemerintah
juga belum memiliki mekanisme yang mengatur tentang bantuan dana
kepada LPKSM.
c. Persepsi negatif masyarakat terhadap LPKSM. Selain belum
memahami peran dan fungsi LPKSM, sebagian masyarakat belum
sepenuhnya percaya kepada LPKSM sebagai lembaga yang
melindungi konsumen. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi peran dan
fungsi LPKSM sekaligus untuk membangun persepsi positif LPKSM di
masyarakat.
5. Koordinasi antar LPKSM dan antara LPKSM dengan pemerintah dinilai
masih kurang, sehingga peran asosiasi LPKSM yang saat ini sudah ada
yaitu Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional (PPKN) sebagai
koordinator dan wadah komunikasi perlu diperkuat dan dikembangkan.
6.2. Rekomendasi Kebijakan
1. Mendorong pembentukan LPKSM yang berbasis sektor prioritas yaitu
sektor finansial oleh Direktorat Pemberdayaan Konsumen bekerjasama
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
2. Menghimbau pemerintah daerah mendorong LPKSM untuk berbadan
hukum. Jika LPKSM belum berbadan hukum maka pemerintah daerah
perlu bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Daerah (LBHD)
untuk mendampingi LPKSM tersebut di pengadilan
3. Memberdayakan LPKSM dalam mendukung program pemerintah
dengan cara :
95PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
a. Bekerjasama dengan LPKSM dalam kegiatan pengawasan barang
dan jasa yang beredar di pasar dan pengawasan mandiri di
masyarakat
b. Bekerjasama menyelenggarakan program edukasi secara rutin ke
masyarakat dengan target: 1) anak usia sekolah dan warga sekolah;
2) ibu-ibu rumah tangga (PKK dan pengajian)
4. Membantu menyediakan informasi kepada LPKSM terkait sumber
pembiayaan operasional yang mungkin tersedia
5. Menyusun modul edukasi konsumen yang akan digunakan sebagai
materi pelatihan bagi anggota LPKSM yang berisi :
a. Standar penyampaian materi edukasi
b. Pengetahuan dasar konsumen terkait hak dan kewajiban
c. Pengetahuan dasar minimum tentang produk-produk di sektor
prioritas, terutama terkait kesehatan, keamanan dan keselamatan
d. Layanan pengaduan konsumen dan mekanisme penyelesaian
sengketa
6. Mensosialisasikan peran dan fungsi LPKSM di masyarakat dan
membangun persepsi positif
a. Mencanangkan program “LPKSM Award” dalam rangka
mengapresiasi LPKSM dan organisasi konsumen yang berdedikasi
dalam melaksanakan edukasi dan advokasi
b. Bekerjasama dengan LPKSM untuk menerbitkan majalah atau
newsletter yang berisi isu terkini terkait perlindungan konsumen,
kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan LPKSM dan
pemerintah, serta layanan pengaduan konsumen, yang
didistribusikan ke seluruh LPKSM, lembaga pendidikan dan
organisasi masyarakat lainnya.
7. Meningkatkan peran PPKN bagi seluruh LPKSM di tingkat nasional
a. Memberikan informasi dan konsultasi kepada LPKSM yang menjadi
anggotanya terkait sumber pembiayaan seperti lembaga donor dan
program hibah, isu terkini dan regulasi
b. Membentuk “Media Center” dengan PPKN sebagai penanggung
jawab dan pengelola
96PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
DAFTAR PUSTAKA
Bourgeois, R. 2005. Analytical Hierarchy Process: an Overview, UNCAPSA-
UNESCAP. Bogor. Kusdiana, D. dan Gunardi, A. 2014. Pengembangan Produk Unggulan UMKM
Kabupaten Sukabumi. Trikonomika 13 (2): 153-171. Saaty, T. L. 2008. Decision Making With the Analytic Hierarchy Process.
International Journal Services Sciences 1 (1): 83-98. Soebagiyo, D. dan Wahyudi, M. 2008. Analisis Kompetensi Produk Unggulan
Daerah Pada Batik Tulis dan Cap Solo di Dati II Kota Surakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan 9 (2): 184-197.
Susila, W. R. dan Munadi, E. 2007. Penggunaan Analytical Hierarchy Process Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian. Informatika Pertanian 16 (2): 983-998.
Syaifullah. 2010. Pengenalan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Diunduh dari: www.syaifullah08.wordpress.com.
Coney, Sandra. 2004. Effective Consumer Voice and Participation for New Zealand : A Sistematic Review of Evidence. New Zealand Guidelines Group. New Zealand.
Australian Securities and Investment Commission (ASIC). 2001. What is Effective Consumer Education? : A Literature Review. Center for Popular Education. Australia.
97PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Roberts Brown Consultant. 2011. A Model for Effective Energy Advocacy – Issues Paper. Roberts Brown and Consumer Advocacy Panel. Australia.
Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG). 2015. Studi Diagnostik Perlindungan Konsumen. AIPEG. Jakarta-Indonesia.
Purnomo, Panji. 2014. Upaya Lembaga Konsumen Yogyakarta Dalam Meningkatkan Kesadaran Hak Konsumen Di Yogyakarta. Skripsi. Universitas
Negeri Yogyakarta Pusat Kajian Perdagangan Dalam Negeri. 2016. Analisis Pemetaan Kebutuhan
Konsumen Dalam Perlindungan Konsumen. Kementerian Perdagangan. Simanjuntak, Megawati. 2014. Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan
Konsumen. Dissertasi. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Pemberdayaan Konsumen. 2015. Pemetaan Indeks Keberdayaan
Konsumen Indonesia 2015. Kementerian Perdagangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2001 Tentang LPKSM Rencana Strategis Kementerian Perdagangan Tahun 2015-2019 www.fomca.org.my (diunduh pada tanggal 1 Juni 2016) www.consumerthai.org (diunduh pada tanggal 1 Juni 2016) www.caps.org.my (diunduh pada tanggal 2 Juni 2016) www.cassa.org.my (diunduh pada tanggal 2 Juni 2016)
Lampiran 1. Panduan In-Depth Interview pada Kelompok Konsumen di
Daerah
PanduanIn-depthInterview
AnalisisConsumerGroupDalamRangkaPeningkatan
PemberdayaanKonsumen
KementerianPerdaganganRepublikIndonesia
2016
Tanggalwawancara
Namapewawancara
Lokasi
I.IDENTITASRESPONDEN
1. NamaResponden:________________________________________
98PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
2. Jabatan :________________________________________
3. NomorTelepon/HP:________________________________________
4. NamaOrganisasi:________________________________________
5. TahunBerdiri :________________________________________
6. AlamatOrganisasi:_________________________________________
7. No.TelpOrganisasi:_________________________________________
Bagian1.PembentukanGrupKonsumen1. Sudah berapa lama grup konsumen ini dibentuk?
__________________________________2. Apakahalasanatautujuandibentuknyagrupkonsumenini?
____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
3. Apakahgrupkonsumeninisudahmemilikicabang?□Tidak □Ya.BilaYa,lanjutkandenganpertanyaanJumlah_____________Lokasi__________________________________________________________________________________________________________Alasanpembentukan___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________Pengelolaandenganpusat(sama/beda)____________________________________________________________________________________________________________________________
4. Apakahadahambatandalampembentukangrupkonsumenini?□Tidak □Ya.BilaYa,lanjutkandenganpertanyaanApasajahambatanyangmunculdanbagaimanamengatasinya______________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Bagian2.PembentukanGrupKonsumen(StrukturOrganisasidanKeanggotaan)5. Bagaimanastrukturorganisasidankepengurusan?
__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
6. Apa bentuk lembaganya? Mengapa bentuk lembaga ini dipilih?___________________________
99PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
______________________________________________________________________________7. Dengan menggunakan skala 1 – 10, menurut Anda seberapa idealkah bentuk
lembagaini?Mengapa?_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
8. Bentuklembagaapakahyangidealuntukkelompok/organisasikonsumen?SudahadakahbentukLembagatsbdimasyarakat?____________________________________________________________________________________________________________________________________
9. Keanggotaana. Jumlahanggota____________________________________________________________________________________ b. sistemperekrutan ________________________________________________________________________________ c. kriteriadalammerekrutanggota ________________________________________________________________ d. Mengapaperluadakriteriatersebut ____________________________________________________________ e. sifatkeanggotaan(Sukarelaatautidak) ________________________________________________________ f. Jangkawaktukeanggotaan_______________________________________________________________________ g. Hakanggota _______________________________________________________________________________________ h. Kewajibananggota________________________________________________________________________________ i. Apakahadaiuran□Tidak□Ya,mekanismedanmengapa____________________________________
___________________________________________________________________________j. Antusiasmeanggotadalammengikutikegiatangrup□rendah□tinggi,
Alasan______________________________________________________________________________________________
10. Manfaatmengikutigrupkonsumenbagipengurusdananggota?a. Materi ______________________________________________________________________________________________ b. Nonmateri_________________________________________________________________________________________ c. Perbedaanmanfaatbagipengurusdananggota________________________________________________ _____________________________________________________________________________d. Manfaat yang diharapkan oleh amggota dan bagaimana pendapat terkait haltersebut ______________________________________________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________
11. Kegiatanyangdilakukan?□edukasi□advokasi□lainnya____________________________________ UntukkegiatanEDUKASI:a. Jeniskegiatan______________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________ b. targetkegiatan ____________________________________________________________________________________ c. outputyangdiharapkan __________________________________________________________________________ d. dampakkegiatan __________________________________________________________________________________ UntukkegiatanADVOKASI:a. Jeniskegiatan______________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________ b. targetkegiatan ____________________________________________________________________________________ c. outputyangdiharapkan __________________________________________________________________________ d. dampakkegiatan __________________________________________________________________________________
100PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
UntukkegiatanLAINNYA:e. Jeniskegiatan______________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________ f. targetkegiatan ____________________________________________________________________________________ g. outputyangdiharapkan __________________________________________________________________________ h. dampakkegiatan __________________________________________________________________________________
12. Bagaimana menurut Anda bentuk-bentuk kegiatan yang selama inidilakukanolehgrupkonsumenini? _________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
13. Menurut Anda, bagaimana bentuk kegiatan atau layanan yang ideal yangdapatdiberikankepadamasyarakat?Mengapademikian? ________________________________________ __________________________________________________________________________________________________________
14. Berdasarkan bentuk kegiatan yang saat ini telah ada, seberapa idealkegiatan-kegiatantersebut(skala1s/d10,dimana1=sangattidakideal10=sangatideal)
Mengapademikian _____________________________________________________________________________________ ___________________________________________________________________________________________________________ 15. Bagaimanahalnyadenganarealayanan(batasanwilayahkegiatan)?Apakah
dibatasiatautidak?Apaalasannnya_________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________________________
16. Pendanaandanmekanismepengelolaana. Sumberpendanaan __________________________________________________________________________ b. Hambatanpendanaan _______________________________________________________________________ c. Caramengatasinya __________________________________________________________________________ d. Mekanismepengelolaan_____________________________________________________________________
17. Apakahmemilikimitradengangrupkonsumenlainnya?□Tidak□Ya __________________________
MengapagrupkonsumenAndabermitradengangrupkonsumentersebut?____________________ __________________________________________________________________________________________________________ Apamanfaatyangbisadiperoleh? ___________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________
Bagian3.LayananProdukAtauJasa18. Layanan untuk kategori produk atau jasa apa saja yang selama ini
diberikan? _____________________________________________________________________________________________ 19. Apakah kategori produk tertentu saja yang diberikan pelayanan ataukah
bersifatumum?Mengapademikian? ________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________
20. Bagaimanapenangananpelayananterhadapberbagaikategoritersebut?□berbeda□samaAlasan ________________________________________________________________________________________________
21. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman Anda, kategori produk atau jasaapasajayangseringdikeluhkanolehmasyarakatataukonsumen?______________________________ __________________________________________________________________________________________________________
22. Kategoriprodukataujasaapasajayangmenjadiprioritas?Alasan ________________________________________________________________________________________________ Apakahterdapatperbedaaandalamhalpenangananlayanannya ________________________________
101PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Mengapademikian ____________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________
Bagian4.PersepsiMasyarakatTerhadapGrupKonsumen
23. BagaimanapendapatAndamengenaikesadaranmasyarakatterhadapadanyagrupkonsumen?MengapaAndaberpendapatdemikian? _______________________________ ______________________________________________________________________________
24. Sumber-sumber informasi apa saja menurut Anda yang membuat masyarakatmengetahuitentangadanyagrupkonsumen? ________________________________________ ___________________ __________________________________________________________
25. Dari berbagai sumber informasi tersebut, sumber informasi apa yangmenurutAndapalingefektifuntukmenyampaikankepadamasyarakattentangmanfaatgrupkonsumen?Mengapademikian?_______________________________________________ _____________________________________________________________________________
26. AdakahsumberinformasiyangbelumadasaatininamunmenurutAndacukupefektif digunakanuntukmenyampaikan informasi kepadamasyarakat tentanggrupkonsumen?Mengapademikian?_______________________________________________ ______________________________________________________________________________
Bagian4.PeranPemerintah
27. BagaimanamenurutAndamengenaiperanpemerintahdalammendukunggrupkonsumensaatini?□penting□tidakpentingAlasan ________________________________________________________________________
28. Bagaimanaregulasipemerintahtersebutmendukunggrupkonsumenini? __________________ 29. SeberapacukupdukunganregulasitersebutbagigrupkonsumenAnda?____________________ 30. Apakahadaregulasiyangbelumadasaatiniyangdiperlukan?____________________________ 31. Dukunganoperasionalsepertiapasajayangdiberikanolehpemerintah? ___________________ 32. SeberapacukupdukunganoperasionaltersebutbagigrupkonsumenAnda? ________________ 33. Apakah selama ini pernah ada kerjasama antara grup ini dengan pemerintah
dalamhalpelaksanaanprogrampelayanankonsumen?□tidak□yaJikaya,
a. Bentukkerjasama ________________________________________________________ b. siapayangmenginisiasi ____________________________________________________ c. Frekuensi _______________________________________________________________ d. Apakahefektif ___________________________________________________________
Jikatidak.a. Alasan __________________________________________________________________ b. Seberapaperludilaksanakankerjasama _______________________________________ c. Bagaimanabentukkerjasamayangsebaiknyadilakukan __________________________ ________________________________________________________________________
34. Bagaimana pendapat Anda jika pemerintah berinisiatif membentuk grup
konsumendimasyarakat?Mengapademikian? _______________________________________ ______________________________________________________________________________
102PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
35. Apasajakelebihannyajikapemerintahmembentukgrupkonsumentersebut? ______________
36. Apasajakekurangannyajikapemerintahmembentukgrupkonsumentersebut? _____________ 37. Menurut sepengetahuan Anda, sudah adakah negara lain, dimana
pemerintahnya yang berinisiatif membentuk grup konsumen di masyarakat?Jikaada,negaramanakahitu?BagaimanamenurutpendapatAnda? ______________________ ______________________________________________________________________________
38. Jika ternyatanantinyapemerintah Indonesiaakanmembentukgrupkonsumendimasyarakat,hal-halapasajakahyangperludilakukanolehpemerintahagarkehadiran grup konsumen tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakatIndonesia? ____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________
Lampiran 2. Panduan In-Depth Interview pada Pemerintah Daerah
103PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
PanduanIn-depthInterview
AnalisisConsumerGroupDalamRangkaPeningkatanPemberdayaanKonsumenKementerianPerdaganganRepublikIndonesia
2016
Tanggalwawancara
Namapewawancara
Lokasi
I.IDENTITASRESPONDEN
1. NamaResponden:________________________________________
2. Jabatan :________________________________________
3. NomorTelepon/HP:________________________________________
4. NamaOrganisasi:________________________________________
5. TahunBerdiri :________________________________________
6. AlamatOrganisasi:_________________________________________
7. No.TelpOrganisasi:_________________________________________
1. BagaimanamenurutAndamengenaiperanpemerintahdalammendukunggrupkonsumensaatini?Mengapademikian?___________________________________ ________________________________________________________________________
2. Bagaimana halnya dengan dukungan regulasi? Sejauh mana regulasi-regulasi tersebut mendukung grup konsumen saat ini? Mengapademikian?________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________
3. Seberapacukupdukunganregulasitersebutbagigrupkonsumensaatini?Mengapademikian? _______________________________________________________ ________________________________________________________________________
i. Apakahadaregulasiyangbelumadasaat iniyangkiranyamenurutAndadiperlukan oleh grup konsumen yang sudah eksis? Regulasi sepertiapakahitu?Mengapademikian? ____________________________________________
j. Bagaimanahalnyadengandukunganoperasional?Dukunganoperasionalsepertiapasajayangdiberikanolehpemerintahsaatini? ________________________
104PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
k. Seberapacukupdukunganoperasionaltersebutbagigrupkonsumensaatini?Mengapademikian ____________________________________________________
l. Selama ini, apakah pernah grup konsumen meminta bantuan kepadapemerintah?Jikaada,dalambentukapakahitu? _______________________________
m. Apakahtargetyangdiharapkandaridiberikannyabantuantersebut? ________________ ________________________________________________________________________
n. Bagaimana hasil yang diperoleh dengan diberikannya bantuan tersebutkepadagrupkonsumen ___________________________________________________ ________________________________________________________________________
o. Apakahada feedback yangdiberikanolehgrupkonsumen tersebut? Jikaada,dalambentukapa? ___________________________________________________ ________________________________________________________________________
p. Bagaimanaevaluasidaripihakpemerintahsetelahmemberikanbantuantersebut _______________________________________________________________
q. Sejauhmana informasi yang telah diberikan oleh pemerintah dalam halmemberikanbantuankepadagrupkonsumenyangadasaatini?Informasisepertiapasajakahitu?____________________________________________________
r. Apakah selama ini sudah pernah ada kerjasama antara grup konsumensaat ini dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan program pelayanankonsumen?□Tidak □Ya.jikaYa,bentukkerjasamadaninisiator ______________________________________________ frekuensikegiatan_________________________________________________________ apakahefektif ____________________________________________________________ jikaTidak,seberapaperlukerjasamatersebutdilakukandenganpihakpemerintah _____________ ________________________________________________________________________ alasan __________________________________________________________________ Bentukkerjasamaapasajayangsebaiknyadilakukan?Mengapademikian?___________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________
s. Bagaimana pendapat Anda jika pemerintah berinisiatifmembentuk grupkonsumendimasyarakat?Mengapademikian? ________________________________ `
105PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
________________________________________________________________________
t. Apa saja kelebihannya jika pemerintah membentuk grup konsumentersebut _______________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________
u. Apa saja kekurangannya jika pemerintah membentuk grup konsumentersebut _______________________________________________________________
v. SepengetahuanAnda, sudah adakah negara lain, dimana pemerintahnyayang berinisiatif membentuk grup konsumen di masyarakat? Jika ada,negaramanakahitu?BagaimanamenurutpendapatAnda?_______________________ ________________________________________________________________________
w. Jika ternyata nantinya pemerintah Indonesia akan membentuk grupkonsumendimasyarakat,hal-hal apa sajakahyangperludilakukanolehpemerintah agar kehadiran grup konsumen tersebut dirasakanmanfaatnyaolehmasyarakatIndonesia? ______________________________________ ________________________________________________________________________