Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

45
KAJIAN PARTISIPASI STAKEHOLDER LOKAL DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KB DI KABUPATEN JAYAPURA Oleh: JOHN RAHAIL EMANUEL SYUKUR WELLEM MARASIAN MAURITZ KOLOTJUTJU JULIAN WERSAY PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA PROVINSI PAPUA Jayapura, 2015

Transcript of Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

Page 1: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

KAJIAN PARTISIPASI STAKEHOLDER LOKAL

DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KB DI KABUPATEN JAYAPURA

Oleh: JOHN RAHAIL

EMANUEL SYUKUR WELLEM MARASIAN

MAURITZ KOLOTJUTJU JULIAN WERSAY

PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA

PROVINSI PAPUA Jayapura, 2015

Page 2: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

akhirnya ”Kajian Partisipasi Para Stakeholder Lokal dalam Pelaksanaan Program

KB di Kabupaten Jayapura” dapat terselesaikan dengan baik mulai dari

persiapan, kegiatan pengumpulan data lapangan sampai penyelesaian laporan

akhir.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi para stakeholder lokal

(tokoh adat, agama dan perempuan) dalam implementasi program kependudukan dan

KB di Provinsi Papua, secara khusus di kabupaten Jayapura. Hasilnya akan

dideskripsikan untuk memperoleh gambaran obyektif tentang partisipasi stakeholder

local dalam program KKB terkait dengan pendekatan program KKB dan implementasi

program KKB (termasuk penggunaan alkon).

Pada kesempatan ini secara khusus kami menyampaikan ucapan terima

kasih kepada BKKBN Perwakilan Provinsi Papua melalui Bidang Pengendalian

Penduduk (DALDUK) yang telah memberikan kepercayaan kepada kami Tim

Penyusun untuk membuat kajian ini. Kiranya kerjasama yang baik ini dapat

dipertahankan dan terus dikembangkan di waktu mendatang.

Berbagai saran dan masukan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan,

dan akhirnya semoga dokumen ini dapat bermanfaat.

Jayapura, September 2015

Tim Penyusun

Page 3: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

iii

SAMBUTAN

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-Nya,

Penulisan Hasil kajian tentang “Partisipasi Para Stakeholder Lokal dalam

Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura” dapat diselesaikan. Kajian ini

merupakan salah satu upaya untuk mengetahui lebih mendalam permasalahan dan

isu-isu strategis kependudukan sampai ditingkat bawah.

Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009

tentang Perkembangaan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa BKKBN mengalami

pengayaan muatan program, selain menangani program Keluarga Berencana, juga

Program Pengendalian Penduduk, dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung

jawab dalam pengendalian Penduduk.

Terkait tugas fungsi tentang Pengendalian Penduduk tersebut, diharapkan

BKKBN menjadi rujukan data terutama yang berkaitan erat dengan isu kependudukan,

Kajian Kependudukan ini dilakukan dengan berorientasi isu-isu kependudukan pada

para pengambil kebijakan Lokal (Aktor Lokal) seperti para Tokoh Adat, Tokoh

Masyarakat, Tokoh Agama.

Akhirnya, kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah

ikut serta melaksanakan kajian tentang “Partisipasi Para Stakeholder Lokal dalam

Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura”, khususnya kepada Ketua Koalisi

Indonesia Untuk Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Papua beserta team, yang

sudah melakukan kajian ini dengan baik dan tepat waktu, walaupun dengan budget

yang sangat minim.

Semoga hasil kajian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan

sebagai bahan masukan serta rekomendasi bagi para stakeholder dan pemangku

kepentingan dalam menyusun rencana intervensi program Kependudukan, Keluarga

Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang akan datang. Kritik dan saran

yang konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini sangat diharapkan.

Jayapura, September 2015

Drs. NERIUS AUPARAY, M.Si Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Papua

Page 4: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ……………………………………………………………............................ i

Kata Pengantar ……………………………………………………………........................... ii

Sambutan ……………………………………………………………………………….. iii

Daftar Isi ……………………………………………………………........................... iv

Daftar Tabel ……………………………………………………………........................... v

BAB I. Pendahuluan …………………………………………......................... 1

A. Latar Belakang ……………………………………….................... 1

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 4

C. Metodologi ………………………….………………....................... 5

BAB II. Konsep dan Teori .………..…………………………….................... 7

A. Partisipasi Masyarakat ......................................................... 7

B. Program Keluarga Berencana (KB) ................................ 11

BAB III. Keadaan Umum Kabupaten Jayapura ..……………………... 14

A. Karakteristik Wilayah ........................................................... 14

B. Keadaan Demografi …………………………............................ 15

C. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera ............... 17

BAB IV. Hasil Penelitian .............................................................................. 19

A. Pendekatan Program KB ....................................................... 19

B. Implementasi Program KB ................................................... 21

BAB V. Penutup ………………………………………………........................... 36

A. Kesimpulan …………………………………………....................... 36

B. Saran-saran …………………………………………...................... 37

Daftar Pustaka …………………………………………...................... 38

Page 5: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah penduduk menurut Suku di Kabupaten Di Kabupaten Jayapura Tahun 2013 ……………………………........

15

2. Jumlah KK Miskin di Kabupaten Jayapura Tahun 2012 .....

16

3. Perkembangan IPM dan Komponennya di Kabupaten Jayapura Tahun 2010-2012 .............................................................

17

4. Persentase Wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus Kawin yang memakai Alat KB di Kabupaten Jayapura tahun 2012 ............................................................................................

18

Page 6: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

ii

SAMBUTAN

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-Nya,

Penulisan Hasil kajian tentang “Partisipasi Para Stakeholder Lokal dalam

Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura” dapat diselesaikan. Kajian ini

merupakan salah satu upaya untuk mengetahui lebih mendalam permasalahan dan

isu-isu strategis kependudukan sampai ditingkat bawah.

Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009

tentang Perkembangaan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa BKKBN mengalami

pengayaan muatan program, selain menangani program Keluarga Berencana, juga

Program Pengendalian Penduduk, dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung

jawab dalam pengendalian Penduduk.

Terkait tugas fungsi tentang Pengendalian Penduduk tersebut, diharapkan

BKKBN menjadi rujukan data terutama yang berkaitan erat dengan isu kependudukan,

Kajian Kependudukan ini dilakukan dengan berorientasi isu-isu kependudukan pada

para pengambil kebijakan Lokal (Aktor Lokal) seperti para Tokoh Adat, Tokoh

Masyarakat, Tokoh Agama.

Akhirnya, kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah

ikut serta melaksanakan kajian tentang “Partisipasi Para Stakeholder Lokal dalam

Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura”, khususnya kepada Ketua Koalisi

Indonesia Untuk Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Papua beserta team, yang

sudah melakukan kajian ini dengan baik dan tepat waktu, walaupun dengan budget

yang sangat minim.

Semoga hasil kajian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan

sebagai bahan masukan serta rekomendasi bagi para stakeholder dan pemangku

kepentingan dalam menyusun rencana intervensi program Kependudukan, Keluarga

Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang akan datang. Kritik dan saran

yang konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini sangat diharapkan.

Jayapura, September 2015

Drs. NERIUS AUPARAY, M.Si Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Papua

Page 7: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

PETA SAMPEL LOKASI KAJIAN DI KABUPATEN JAYAPURA

: Kelurahan Sentani, Distrik Sentani

: Kampung Yepase Distrik Depapre

: Kampung Benyom Distrik Nimboran

Page 8: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Suksesnya program Keluarga Berencana (KB) tergantung dari partisipasi

masyarakat untuk mensukseskan program tersebut, sehingga dalam posisi ini peran

aktif masyarakat sangat penting artinya bagi kelancaran dan keberhasilan program

dan tercapainya tujuan secara mantap. Secara nasional program KB dicanangkan

dalam rangka usaha pemerintah untuk membangun manusia Indonesia yang

berkualitas, termasuk di tanah Papua. Pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk

membuat perubahan dari suatu kondisi tertentu ke keadaan lain yang lebih bernilai.

Florus (1998) menyatakan bahwa agar proses perubahan itu dapat

menjangkau sasaran-sasaran perubahan keadaan yang lebih baik dan dapat

digunakan sebagai pengendali masa depan, di dalam melaksanakan pembangunan itu

perlu sekali memperhatikan segi manusianya. Karena dalam arti proses,

pembangunan itu menyangkut makna bahwa manusia itu obyek pembangunan dan

sekaligus subyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan manusia harus

diperhitungkan, sebab dia punya nilai dan potensi yang luar biasa. Oleh karena itu,

menurut Gavin dan Raharjo (1998) bahwa di dalam pembangunan perlu sekali

mengajak subyek tadi untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan

secara berkelanjutan.

Kaitannya dengan peran serta masyarakat dalam program tertentu, peranan

tokoh masyarakat baik formal maupun non-formal sangat penting terutama dalam

mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakkan keterlibatan seluruh warga

masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan program. Apalagi di

masyarakat pedesaan di Papua, peran tersebut menjadi faktor determinan karena

kedudukan para tokoh masyarakat masih sangat sentrak dan kuat pengaruhnya,

bahkan sering menjadi tokoh panutan dalam segala kegiatan hidup sehari-hari warga

masyarakat (Rumbiak, 1990 dan Rahail 2009). Persepsi warga masyarakat terhadap

program tertentu merupakan landasan atau dasar utama bagi timbulnya kesediaan

untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam setiap kegiatan program tersebut.

Makna positif atau negatif sebagai hasil persepsi seseorang terhadap program akan

menjadi pendorong atau penghambat baginya untuk berperan dalam kegiatannya.

Page 9: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

2

Berbagai hal yang terjadi dan menjadi pengalaman yang kurang

menyenangkan sering mengakibatkan warga masyarakat kurang mampu bersikap

terbuka untuk secara jujur menyatakan persepsi dan pandangannya tentang suatu

program yang diselenggarakan pemerintah, termasuk terhadap pogram KB. Rahail

(2013) melaporkan bahwa fakta bila ada masyarakat yang tidak mendukung

program KB lebih dikarenakan masyarakat sering dilandasi persepsi yang kurang

positif maka keterlibatan yang ada sering merupakan partisipasi semu.

Keadaan yang demikian itu bila sering terjadi maka akan berakibat kurang

lancarnya kegiatan sesuaii dengan rencana sehingga menyulitkan usaha pencapaian

tujuan program secara utuh dan mantap (Sutopo, 1996). Hambatan yang sering

muncul ketika partisipasi masyarakat terhadap suatu program pemerintah kurang

maksimal bisa secara internal, berupa hambatan sosio-kultural, dan eksternal,

hambatan dari birokrasi pemerintah (Rumbiak, 2000).

Hambatan internal, merupakan hambatan dari dalam masyarakat itu sendiri,

yang merupakan keengganan sebagian besar warga masyarakat untuk terlibat

langsung dalam suatu program kegiatan. Hal ini disebabkan karena keadaan

sosiokultural, sosial-ekonoomi, rendahnya pendidikan, dan kurangnya sarana dan

prasarana mereka yang belum memungkinkan untuk secara aktif menyuarakan

keinginan mereka. Sedangkan hambatan yang sifatnya eksternal adalah karena

selama ini setiap ada program pemerintah biasanya sistemnya sendiri yang lebih

menekankan perencanaan top-down atau strategi center-down, yang kurang

memperhatikan masyarakat arus bawah. Akibatnya, yang dilakukan itu kadang-

kadang menjadi tidak realistis dan mengalami stagnasi. Akibatnya juga banyak

program termasuk KB menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, sehingga

partisipasi warga masyarakat sangat kurang. Situasi ini menurut laporan ICDp

(2013) dalam beberapa studi menyebutkan program yang bertujuan untuk

mensejahterakan masyarakat, namun karena tidak realistis dengan tidak

menggeunakan pendekatan yang kontekstual sangat mempengaruhi penerimaan dan

keberlanjutan program secara mandiri.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap hidup sejahtera di provinsi

Papua, dari dulu sampai sekarang masih tetap menjadi masalah. Belum

tertanganinya masalah ini secara optimal, karena berbagai kondisi obyektif geografis

dan masyarakat yang hidup miskin, apalagi 75% penduduknya bermukim di

Page 10: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

3

kampung, pinggiran dan pedalaman. Masalah ketidakterpenuhan tersebut karena

sudah terlalu lama dan tidak ada penangganan optimal, sehingga bagi masyarakat

bukan lagi dianggap sebagai masalah. Padahal melalui Undang-Undang Nomor 21

tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Provinsi Papua, menjadi peluang

untuk mengangkat dan mendorong percepatan pembangunan sumber daya manusia

(SDM) berkualitas di provinsi Papua saat ini dan ke depan, termasuk pembangunan

kependudukan dan KB.

Namun berbagai fakta bahwa peningkatan kualitas SDM di Provinsi Papua

berkembang lambat, sebagaimana ditunjukkan rangking IPM Papua yang berada

pada urutan 33 di Indonesia pada tahun 2013. Kenyataan ini menunjukkan

kelemahan struktur birokrasi menjadi kendala, dalam menjangkau setiap honai-

honai atau rumah-rumah penduduk Papua di kampung-kampung. Kebijakan

pemekaran Papua yang ditempuh, untuk memperpendek rentang kendali

Pemerintahan tetap bukan solusi efektif, selama tingkat persebaran penduduk tidak

merata di masing-masing wilayah. Ironisnya, berbagai kebijakan pembangunan yang

dilakukan pemerintah terutama di tingkat kabupaten di Provinsi Papua belum

berbasis pada aspek kependudukan dan KB.

Demikian sesuai amanat Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang

perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, mendorong para pihak

untuk melakukan analisis, evaluasi, penelitian, pengembangan dan penyebarluasan

informasi mengenai kependudukan dan KB. Strategi ini tentu akan memberikan

potret yang tegas bagaimana situasi, potensi dan kebutuhan pembangunan

kependudukan sesuai kondisi obyektif wilayah termasuk di Provinsi Papua

khususnya Kabupaten Jayapura.

Untuk itu fakta yang obyektif bahwa peranan tokoh adat dalam kehidupan

masyarakat Papua mempunyai peran strategis terhadap berbagai aspek

pembangunan, termasuk juga dalam pembangunan KKB. Hal ini berangkat dari peran

adat yang lahir, tumbuh dan berkembang kehidupan social-budaya-ekonomi

masyarakat. Situasi ini menyebabkan berbagai pandangan yang mendudukan

program KKB dalam porsi tersendiri apakah sebagai kebutuhan dan atau hanya

sebuah program semata.

Dengan kondisi obyektif Papua saat ini, tentu prrooggrraamm KKKKBB ddaann bbeerrbbaaggaaii

pprrooggrraamm ppeemmbbaanngguunnaann llaaiinn bbeerruuppaayyaa mmeemmbbaanngguunn kkuuaalliittaass kkeelluuaarrggaa kkeecciill mmeellaalluuii

Page 11: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

4

ppeennggeennddaalliiaann kkuuaannttiittaass ppeenndduudduukk ddaann ppeennggeennddaalliiaann kkuuaalliittaass ppeenndduudduukk..

PPeennggeennddaalliiaann kkuuaannttiittaass ddaann kkuuaalliittaass ppeenndduudduukk ddii kkeelluuaarrggaa bbeerraarrttii ppeennjjaarraannggaann

((ppeemmbbaattaassaann jjuummllaahh aannaakk)) kkeellaahhiirraann ddaann ppeenniinnggkkaattaann kkuuaalliittaass hhiidduupp aannaakk ddii

kkeelluuaarrggaa,, uunnttuukk mmeenniinnggkkaattkkaann mmuuttuu kkeelluuaarrggaa,, aaggaarr tteerrcciippttaa kkeelluuaarrggaa yyaanngg kkeecciill

sseejjaahhtteerraa ddaann bbeerrttaanngggguunngg jjaawwaabb..

Fakta ini tentu perlu dikaji sehingga menjadi dasar dalam melakukan

advokasi menuju perbaikan kualitas pelayanan pembangunan KKB yang

komprehensif dan disinergikan dengan kebijakan otonomi khusus di Provinsi Papua

yang mengedepankan pendekatan berbasis kontekstual dengan melibatkan para

stakeholder lokal (tokoh adat, agama dan perempuan). Keadaan ini mendesakkan

bagaimana masalah-masalah kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua

dipecahkan melalui program KKB tanpa harus saling menyalahkan dengan langkah-

langkah kongkrit yang terencana, terarah dan terukur sesuai berbagai kondisi

obyektif social ekonomi-budaya masyarakat yang dimulai dari nilai-nilai local secara

kontekstual dan sejalan dengan visi-misi pembangunan di Provinsi Papua tahun

2013-2018 untuk mewujudkan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera melalui

strategi “Gerbangmas Hasrat Papua”.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Untuk mengetahui partisipasi para stakeholder lokal (tokoh adat, agama dan

perempuan) dalam implementasi program kependudukan dan KB di Provinsi

Papua, secara khusus di kabupaten Jayapura.

Hasilnya akan dideskripsikan untuk memperoleh gambaran obyektif tentang

partisipasi stakeholder local dalam program KKB terkait dengan pendekatan

program KKB dan implementasi program KKB (termasuk penggunaan alkon).

2. Manfaat

Sebagai masukan bagi Perwakilan BKKBN Provinsi Papua dan pihak terkait

dalam menentukan kebijakan dan prioritas pembangunan KKB yang kontekstual

berbasis local melalui penguatan dan pemberdayaan potensi sumber daya lokal

terutama stakeholder lokal (tokoh-tokoh adat, agama dan perempuan) di Provinsi

Papua.

Page 12: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

5

C. Metodologi

1. Lokasi penelitian

Lokasi kegiatan penelitian di kabupaten Jayapura pada tiga (3) distrik yang

ditentukan secara purposive menurut pendekatan keruangan wilayah

pembangunan dan masing-masing distrik dipilih satu kampung, yaitu:

a. Distrik Sentani di Sentani (wilayah pembangunan 1)

b. Distrik Depapre di Yepase (wilayah pembangunan 2)

c. Distrik Nimboran di Benyom (wilayah pembangunan 3)

2. Metode penelitian

Ditinjau dari dimensi tujuan dan waktu, maka penelitian ini menggunakan

metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Diharapkan dengan menggunakan

metode ini, dapat menggali lebih dalam informasi tentang partisipasi para

stakeholder lokal (tokoh adat, agama dan perempuan) terhadap pembangunan

kependudukan dan KB secara kualitatif dari masyarakat (data primer) dan

kuantitatif (data sekunder) dari instansi pemerintah dan lembaga terkait.

3. Populasi dan Sampel

Sasaran penelitian ini adalah semua instansi pemerintah dan lembaga

terkait, dan masyarakat di kabupaten Jayapura yaitu:

a. Data sekunder, berasal instansi pemerintah dan lembaga terkait:

- Bappeda

- Dinas Kesehatan

- Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB

- Badan Pusat Statisik

b. Data primer

- Sampel sebagai peserta FGD yang dipilih dari

tokoh adat, agama dan perempuan serta

petugas pemerintah di tingkat kampung

- Sampel wawancara mendalam dipilih dari

keluarga pasangan usia subur (PUS) secara

acak sederhana untuk dilakukan wawancara

: Wawancara Tokoh Adat di Benyom

: Wawancara Tokoh Adat di Yepase

Page 13: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

6

mendalam. Wawancara juga dilakukan terhadap beberapa petugas

pemerintah tingkat kampung dan kelompok PKK/posyandu

4. Teknik dan alat Pengumpulan Data

a. Pengamatan dan wawancara umum, kegiatan

berupa pengamatan dan wawancara umum

menggunakan panduan observasi .terhadap

aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat

b. Diskusi kelompok terfokus (FGD), kegiatan

berupa diskusi dengan pelaku pembangunan

dan masyarakat secara terpisah

menggunakan panduan untuk memperoleh

gambaran tentang partisipasi para

stakeholder lokal terhadap program KB dan

layanannya.

c. Wawancara mendalam untuk melengkapi

hasil FGD dilakukan juga wawancara

mendalam dengan perwakilan pemerintah

daerah di tingkat kampung, stakeholder lokal

(tokoh masyarakat, adat, agama dan

perempuan).

5. Analisa Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan tahapan yang dilakukan

sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi data primer dari lapangan berupa catatan harian, transkip

diskusi, wawancara dan catatan dokumen data sekunder

b. Kategorisasi data yang diperoleh sesuai peruntukkannya untuk kemudian

dideskripsikan.

c. Hasil kategorisasi data dan informasi kemudian diinterpretasikan dan

dianalisis sesuai kaidahnya.

: FGD di kampung Benyom

: FGD di kampung Benyom

: FGD di kampung Yepase

Page 14: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

7

BAB II KONSEP DAN TEORI

A. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat memiliki konsep dan tujuannya yang oleh Florus

(1998) mengartikan sebagai keterlibatan aktif dari seseorang atau sekelompok

orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam proses

pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring

sampai pada tahap evaluasi.

Sastropoetro (1998) menyatakan bahwa ada lima unsur penting yang

menentukan gagalnya dan berhasilnya partisipasi, yaitu:

- Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil

- Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian

yang menumbuhkan kesadaran

- Kesadaran yang didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan

- Enthousiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan

sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain

- Adanya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan bersama.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ada lima hal yang dapat mempengaruhi

partisipasi masyarakat, yaitu:

- Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, pendidikan sosial

dan percaya pada diri sendiri

- Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama

- Kecenderungan untuk menyalahartikan motivasi, tujuan dan kepentingan

organisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya persepsi yang

salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya

terjadi di beberapa negara

- Kesediannya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan

- Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program

pembangunan.

Partisipasi masyarakat merupakan fakta penting dalam proses

pembangunan, karena sasaran terakhir adalah tercapainya tujuan pembangunan

yang diikuti dengan tumbuhnya peranserta dan partisipasi masyarakat terhadap

Page 15: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

8

program pembangunan. Semua pembangunan ditujukan untuk masyarakat dengan

maksud untuk membangun masyarakat agar mempunyai kekuatan sendiri,

termasuk pembangunan pendidikan. Salah satu komponen pembangunan

kependudukan dan KB erat kaitannya dengan usaha membangkitkan partisipasi

masyarakat terutama pasangan usia subur sebagai akseptor KB aktif dengan

menggunakan kontrasepsi (Rumbiak, 1999).

Jadi, bisa dikatakan pembangunan kependudukan dan KB erat kaitannya

dengan usaha membangkitkan partisipasi masyarakat. Hal ini mengandung arti

bahwa masyarakat tidak akan pernah lepas dari pembangunan, sehingga

masyarakat mempunyai hak dan dapat berperan aktif dalam mensukseskan

kebijakan pemerintah baik pusat atau daerah sehingga tujuan pembangunan

kependudukan dan KB untuk mewujudkan masyarakat berkualitas dapat tercapai.

Rudito (1999) mengungkapkan hal yang sama yaitu partisipasi dari

masyarakat termasuk institusi lokal harus mutlak diperlukan. Oleh karena pada

akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan, rakyat banyak memegang

peranan sekaligus sebagai objek dan subjek pembangunan. Pengertian ini

mengandung makna bahwa masyarakat sebagai objek dari pembangunan dan

sekaligus menjadi subjek pembangunan. Sehingga pembangunan memerlukan

partisipasi dari masyarakat. Tanpa adanya partisipasi dari masyarakat maka tujuan

pembangunan yang dilakukan tidak akan tercapai bahkan akan mengalami

kegagalan.

Studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan karena

kurangnya partisipasi masyarakat, sebagaimana dikemukakan Sambuaga (1992)

dimana keadaan ini terjadi antara lain karena:

- Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil dan tidak

menguntungkan rakyat banyak bahkan merugikan.

- Pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat banyak

tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut.

- Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak semula rakyat

tidak diikutsertakan

Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah

dan masyarakat untuk membangun sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat yang dapat membuka ruang kreativitas, termasuk mengangkat dan

Page 16: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

9

memberdayakan berbagai potensi lokal yang berbasis nilai dan kearifan lokal.

Rumbiak (1999) menyatakan hal itu jelas membuat berbagai proses pembangunan

yang akan dilaksanakan dapat disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan

masyarakat tanpa harus didikte kepentingan lainnya.

Partisipasi masyarakat akan optimal apabila didukung dengan pandangan

yang positif (persepsi) terhadap sebuah konsep pembangunan. Dalam kajian ini,

persepsi tokoh masyarakat terhadap program KB, tidak hanya dilihat sebagai

proses penerimaan stimulus dari luar dirinya, tetapi juga sikap batin yang

mengarahkan seseorang mampu melihat hakekat yang terdalam dari urgensi

pelaksanaan program KB yang diselenggarakan oleh pemerintah yang lebih

bermakna. Persepsi positif masyarakat terhadap program KB, akan sangat

menentukan kesanggupan mereka untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif

dalam pelaksanaan program KB secara berkesinambungan.

Partisipasi itu sendiri adalah suatu kegiatan atau turut berperan serta dalam

suatu program kegiatan (Nasdian, 2014). Partisipasi merupakan proses aktif yang

mengkondisikan seseorang turut serta dalam suatu kegiatan yang disebabkan oleh

persepsi yang positif. Meskipun demikian, partisipasi juga sangat dipengaruhi oleh

kondisi sosiologis-ekonomis politis seseorang yang merupakan latar belakang

budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat juga dapat

berbeda-beda bentuknya.

Sastroepoetro (1988) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari 3 hal antara lain keadaan sosial

masyarakat meliputi: pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan, dan kedudukan

sosial dalam sistem sosial, kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan

yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi

masyarakat dan tindakan kebijaksanaan, keadaan alam sekitar, dalam hal ini

mencakup faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan

tempat hidup masyarakat.

Konsep persepsi menurut Ritohardoyo (2001) secara garis besar terbagi

menjadi dua pengertian yaitu persepsi merupakan proses aktivitas seseorang

dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan, memahami,

menghayati, menginterpretasikan, dan mengevaluasi terhadap sesuatu berdasarkan

informasi yang ditampilkan dan persepsi merupakan reaksi timbal balik yang

Page 17: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

10

dipengaruhi oleh diri akseptor, suatu hal yang dipersepsi dan situasi sosial yang

melingkupinya, sehingga dapat memberikan motivasi tatanan perilaku bagi para

akseptor termasuk dalam menentukan jumlah anak dalam kehidupan berkeluarga.

Nilai anak dalam suatu keluarga diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi

orang tua memiliki nilai tertentu serta menutut dipenuhinya beberapa konsekuensi

atas kehadirannya. Rumbiak (1999) menyatakan bahwa latar belakang sosial yang

berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu

kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan,

menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak. Anak memiliki nilai

universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural

dan lain-lain. Persepsi nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan

dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki

diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya

terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Rahail (2013) melaporkan bahwa

pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga, serta

pendapat para tokoh masyarakat sebagai panutan dalam kehidupan sosial dapat

merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB.

Dalam rangka mengendalikan kelahiran pemerintah Indonesia

melaksanakan program KB. Pengertian KB merupakan suatu upaya peningkatan

kepedulian dan peran serta masyarakat melaui pendewasaan usia perkawinan,

pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan

kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera

(BKKBN, 1999). Pelaksanaan program KB erat kaitannya dalam mewujudkan tujuan

MDGs, dari ke delapan tujuan MDGs, program KB menyumbang kesemua aspek dari

semua tujuan tersebut salah satunya yaitu pada tujuan MDGs yang kedua adalah

mencapai pendidikan dasar untuk semua dan peran program KB adalah dengan

menjarangkan jarak kelahiran. Dengan begitu suatu keluarga akan lebih dapat

berinvestasi untuk pendidikan anaknya (Rahail, 2013).

Setelah pertemuan evaluasi MDGs tahun 2005, KB sudah berhasil dimasukan

sebagai salah satu indikator kesehatan reproduksi (White, 2006). Program

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) dalam program KB bertujuan meningkatkan

usia kawin perempuan pada umur 21 tahun yang dalam pelaksanaannya telah

diintegrasikan dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang

Page 18: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

11

merupakan salah satu program pokok Pembangunan Nasional yang tercantum

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2014-2019).

B. Program Keluarga Berencana (KB)

Tujuan pembangunan nasional sebagaimana RPJMN 2014-2019 adalah

mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial. Dalam mewujudkan tujuan tersebut dinamika pembangunan

tidak lepas dari berbagai masalah kependudukan.

Wikjosastro (2002) menyatakan bahwa masalah-masalah pokok di bidang

kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar

dengan laju pertumbuhan penduduk yang relative tinggi, penyebaran yang tidak

merata, struktur usia muda, dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan.

Karena itu berbagai program kependudukan yang telah dilaksanakan bertujuan

mengurangi beban kemiskinan, dan keterbelakangan akibat tekanan kependudukan

dan meningkatnya upaya mensejahtrakan penduduk melalui dukungan program-

program pembangunan termasuk KB.

Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal dasar pembangunan

nasional oleh karena itu SDM harus dikembangkan dan diarahkan agar bisa

mencapai tujuan yang diharapkan. Sumber daya manusia dapat dilihat dari dua

aspek yaitu aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kuantitas mencakup jumlah

SDM yang tersedia, sedangkan aspek kualitas mencakup kemampuan SDM baik fisik

maupun non fisik (kecerdasan) dan mental dalam melaksanakan pembangunan.

Demikian dalam pembangunan pengembangan sumber daya manusia sangat

diperlukan, sebab kuantitas SDM yang besar tanpa didukung kualitas yang baik

akan menjadi beban pembangunan suatu bangsa.

Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha yang dikerjakan

dengan sengaja yang secara sadar dan bertanggungjawab dalam mengatur

kelahiran dan kehamilan serta tidak bertentangan dengan hukum dan norma

agama. Hartanto (2003) menyatakan bahwa Keluarga Berencana secara hakiki

merupakan upaya dalam peningkatan kepedulian dan peranserta masyarakat

melalui pendewasaan usia perkawinan, penundaan kehamilan, pengaturan

kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga

Page 19: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

12

untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju masyarakat

Indonesia yang berkualitas.

Paradigma Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya mewujudkan

NKKBS untuk meningkatkan keluarga berkualitas tahun 2015, maka pemerintah

merencanakan program KB untuk mendorong PUS (Pasangan Usia Subur) berusia

kurang dari 20 tahun untuk menunda kehamilan, usia 20-30 tahun merupakan

masa untuk mengatur kehamilan, sedangkan usia di atas 30 tahun masa mengakhiri

kehamilan (Hartanto, 2003).

Demikian melalui program KB mendorong terbentuknya keluarga kecil

sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan

kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya. Tujuan lainnya meliputi pengaturan kelahiran,

pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

Memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa yang

mengurangi angka kelahiran untuk menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa,

memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB yang berkualitas, termasuk

upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta

penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

Secara khusus tujuan dari program layanan KB adalah meningkatkan akses

dan ketersediaan layanan KB berkualitas melalui penggunaan kontrasepsi. Haryono

(2003) menyatakan bahwa Kontrasepsi merupakan metode untuk menghindari

atau mencegah untuk terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel

telur yang matang dengan sel sperma. Cara kerja kontrasepsi pada umumnya sama

yaitu, ovulasi, meningkatkan kekentalan lendir leher rahim, serta membuat dinding

rongga rahim tidak siap menerima hasil pembuahan dan menghalangi pertemuan

sel telur dengan sperma.

Dalam keterlibatan suami-istri pasangan usia subur (PUS) pada program KB

dapat dilakukan melalui penggunaan kontrasepsi dengan dua (2) pilihan cara KB,

yaitu menggunakan metode atau cara modern dan menggunakan cara tradisional.

Rahail (2013) melaporkan bahwa pilihan penggunaan kontrasepsi bagi

masyarakat di Papua sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap PUS sebagai

akseptor KB, melalui dukungan keluarga, lingkungannya, petugas pelayanan KB

serta pandangan tokoh kunci dalam kehidupan sosial masyarakat.

Page 20: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

13

Hasil kajian UNFPA (2011) bahwa di Provinsi Papua dan Papua Barat

sebagian besar responden KB aktif memakai kontrasepsi (65,7%) berumur 20-35

tahun dan mempunyai anak lebih dari 2 (paritas tinggi) lebih banyak yang memakai

IUD (62,3%) karena tidak ingin menambah anak lagi, dianggap paling aman bagi

pengguna, karena alat kontrasepsi ditaruh dalam tubuh sehingga pengguna tidak

perlu lagi untuk melakukan hal apapun, tidak perlu selalu untuk tiap bulannya

kembali ke puskesmas seperti kontrasepsi lainnya.

Page 21: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

14

BAB III KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA

A. Karakteristik Wilayah

1. Luas dan Batas Wilayah

Kabupaten Jayapura memiliki luas wilayah sekitar 17.514 km2 dengan batas:

Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi;

Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom;

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo

dan Yalimo; Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Kabupaten

Mamberamo Raya.

2. Letak dan Kondisi Geografis

Secara geografis Kabupaten Jayapura terletak pada dataran rendah dibagian

utara pulau Papua. Secara geostrategis posisi Kabupaten Jayapura sangat penting

karena merupakan pintu gerbang bagi Provinsi Papua melalui perhubungan

udara karena di dalamnya terdapat bandara Sentani. Kondisi ketertiban dan

keamanan, sosial budaya, perekonomian dan keadaan alam daerah ini memberi

citra awal kepada setiap orang yang datang ke Papua melalui Bandara Sentani.

3. Topografi

Keadaan topografi di kabupaten Jayapura umumnya lereng dan relatif terjal

dengan kemiringan 5-30% serta mempunyai ketinggian aktual 0,5 m dpl – 1.500 m dpl.

Daerah pesisir pantai utara umumnya berupa dataran rendah yang bergelombang

dengan kemiringan 0-10% yang ditutupi dengan endapan alluvial. Secara fisik, selain

daratan juga terdiri dari rawa (13,700 ha). Sebagian besar wilayah (72,09%) berada

pada kemiringan di atas 41%, kemiringan 0-15% berkisar 23,74%. Ketinggian tempat

sebagian besar di bawah 500 m dpl (61,01%), ketinggian 500–1000 m dpl dan

ketinggian 1000–2000 m dpl (15.08%).

Pegunungan antara lain pegunungan Cycloop yang terbentang antara Distrik

Sentani, Sentani Barat, Sentani Timur dan Depapre di sebelah Utara, selain itu di

sebelah Selatan terdapat pegunungan Kramor di Distrik Kaureh.

Page 22: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

15

B. Keadaan Demografi

Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura tahun 2013 sebanyak 118.182 jiwa

yang tersebar pada 19 distrik, distrik yang paling besar populasinya adalah Distrik

Sentani dan yang paling kecil adalah Distrik Gresi Selatan. Persebaran penduduk

pada 144 kampung, 348 RW dan 789 RT. Adapun jumlah penduduk menurut jenis

kelamin, laki-laki sebanyak 62.444 orang dan perempuan 55.738 orang.

Pertambahan penduduk ini lebih banyak disebabkan oleh proses masuk (in-

migration) karena imigran spontan baik dari luar Provinsi Papua maupun dari dalam

Papua (antar kabupaten). Pertambahan alamiah kurang berpengaruh, karena tingkat

kematian dan tingkat kelahiran masih sama-sama tinggi oleh karena kondisi

kesakitan (morbidity) masyarakat relatif masih tinggi.

Berdasarkan asal-usul suku, penduduk Kabupaten Jayapura dapat

diklasifikasikan atas penduduk Jayapura dan luar Jayapura tetapi sama-sama Papua,

juga dapat diklasifikasikan atas penduduk asli Papua dan Non Papua pada tahun

2013 pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah Penduduk menurut Suku di Kabupaten Jayapura

No

Distrik

Papua Non Papua

Jayapura Luar Jayapura

L P ∑ L P ∑ L P ∑ 1 Sentani 12.810 11.902 14.712 5.289 3.884 9.173 13.902 12.744 60.531

2 Sentani Timur 2.192 2.065 4.257 641 542 1183 938 891 7.269

3 Depapre 2.103 1.843 3.946 65 115 180 134 125 4.385

4 Sentani Barat 1.428 1.264 2.692 314 274 588 485 408 4.173

5 Kemtuk 1.358 1.350 2.708 251 165 416 230 223 3.577

6 Kemtuk Gresi 1.742 1.732 3.474 248 239 477 80 75 4.116

7 Nimboran 1.508 1.494 1.992 772 656 1.428 537 480 5.447

8 Nimbokrang 1.202 1.041 2.243 451 245 696 2.639 2.527 8.105

9 Unurum Guay 1.086 935 2.021 161 134 295 238 176 2.730

10 Demta 1.368 1.201 2.569 130 99 229 313 212 3.323

11 Kaureh 2.120 1.032 3.152 3.140 2.480 5.620 2.659 1.911 13.342

12 Ebungfauw 1.348 1.218 2.566 25 24 49 5 5 2.625

13 Waibu 3.006 2.676 5.682 807 673 1.479 1.169 1.065 9.396

14 Namblong 606 554 1.160 489 445 934 901 862 3.857

15 Yapsi 1.203 927 2.130 172 77 549 2.404 2.232 7.015

16 Airu 269 217 486 60 47 107 10 6 609

17 Ravenirara 532 495 1.027 23 19 42 43 30 1.142

18 Gresi Selatan 443 415 858 200 150 350 86 81 1.375

19 Yokari 1.293 1.126 2.419 15 8 23 27 17 2.486

Jumlah 37.617 33.487 71.104 13.253 10.276 23.529 26.800 24.070 145.503

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Jayapura, 2013

Page 23: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

16

Jumlah KK miskin di kabupaten Jayapura tahun 2012 sebanyak 41,33% dari

total 29.458 KK. Jumlah KK miskin terbesar di Distrik Sentani (1.368 KK), Distrik

Nimbokrang (1.080 KK) dan Distrik Waibu (1.055 KK). Indeks keparahan kemiskinan

yang memberikan gambaran sampai batas tertentu penyebaran pengeluaran di

antara penduduk miskin sebesar 1,95, menduduki peringkat lima di Provinsi Papua.

Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin

terhadap batas/garis kemiskinan yang digambarkan melalui indeks kedalaman

kemiskinan, Kabupaten Jayapura sebesar 6,06. Semakin tinggi indeks kedalaman

kemiskinan menggambarkan semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran

penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Di antara kabupaten di Provinsi Papua,

Kabupaten Jayapura menduduki peringkat empat di bawah Kota Jayapura (5,27),

Kabupaten Keerom (5,80) dan Sarmi (5,95).

Tabel 2. Jumlah KK Miskin di Kabupaten Jayapura

No

Distrik

Jumlah Penduduk Jumlah Kategori KK Jumlah KK L P Miskin Tidak

Miskin 1 Sentani Timur 5.694 5.407 11.101 782 1.400 2.182

2 Sentani 25.165 21.560 46.725 1.368 8.863 10.231 3 Ebung Fauw 1.631 1.477 3.108 622 115 737

4 Waibu 3.135 2.886 6.021 1.055 224 1.279

5 Sentani Barat 2.481 2.184 4.665 465 523 988 6 Ravenrara 1.024 958 1.982 315 15 330

7 Yokari 1.714 1.483 3.197 497 101 598 8 Depapre 2.001 1.788 3.789 518 151 669

9 Demta 1.932 1.625 3.557 579 159 738

10 Kemtuk 2.134 2.134 4.268 704 107 811 11 Kemtuk Gresi 2.558 2.287 4.845 591 386 977

12 Nimboran 2.462 2.247 4.709 560 410 970 13 Nimbokrang 3.397 3.175 6.572 1.080 609 1.689

14 Namblong 1.726 1.726 3.452 488 240 728 15 Gresi Selatan 714 677 1.391 283 22 305

16 Unurum Guay 1.186 970 2.156 452 56 508

17 Kaureh 3.831 9.178 13.009 756 3.075 3.831 18 Yapsi 3.424 2.810 6.234 818 630 1.448

19 Airu 1.073 905 1.978 243 196 439 Jumlah 67.282 65.477 132.759 12.176 17.282 29.458

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Jayapura, 2012

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu indeks komposit yang

mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu

usia hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. Dalam prakteknya ada empat

komponen pokok yang digunakan untuk mengukur besarnya IPM, yaitu: angka

Page 24: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

17

harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka pengeluaran riil

per kapita.

Tabel 3. Perkembangan IPM dan Komponennya di Kabupaten Jayapura

Tahun 2010 – 2012 Komponen IPM 2010 2011 2012

Angka Harapan Hidup (Tahun) 67.32 67.53 67.74 Angka Melek Huruf (%) 96.65 96.89 99.84 Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 9.54 9.56 9.56 Pengeluaran Riil Yang Disesuaikan (000 Rp.)

622.12 626.25 629.04

IPM 72.25 72.75 73.09

Sumber: BPS Kabupaten Jayapura, 2013 Kinerja pembangunan manusia Kabupaten Jayapura tercermin pada angka

Indeks Pembangunan Manusia tahun 2012 yang mencapai angka 73.09. Pencapaian

angka IPM tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2011 yaitu

sebesar 72.75. Dengan pencapaian IPM 73.09 maka Kabupaten Jayapura masuk dalam

kategori kinerja pembangunan manusia ”menengah atas” dengan angka pencapaian

IPM antara 66.0 sampai 79.9.

Bila dilihat perkembangan angka IPM selama kurun waktu enam tahun

terakhir, IPM Kabupaten Jayapura selalu mengalami peningkatan. Pergerakan IPM

Jayapura tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 berjalan melambat, secara absolut

mengalami kenaikan sebesar 3.12 yaitu dari 69.97 menjadi 73.09 pada tahun 2012.

Dibanding dengan IPM Provinsi Papua, pencapaian IPM Kabupaten Jayapura dari

tahun 2007 sampai 2012 selalu di atas angka IPM Provinsi.

C. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera

Pada tahun 2012, di kabupaten Jayapura 17.26 wanita usia subur (15-49

tahun) dan berstatus kawin pernah menggunakan alat KB. Sementara itu, 23.19

persen wanita usia subur dan berstatus kawin sedang menggunakan alat KB, 15.49

persen diantaranya menggunakan KB suntik.

Adapun persentase penggunaan alat KB dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 25: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

18

Tabel 4. Persentase Wanita Berumur 15-49 tahun dan Berstatus Kawin Yang Memakai Alat KB di Kabupaten Jayapura Tahun 2012 Jenis Alat Kontrasepsi Jumlah (%)

Tidak pernah menggunakan 59.55

Pernah menggunakan 17.26

Sedang menggunakan 23.19

Tubektomi/vasektomi/susuk KB 2.75

AKDR/IUD/spiral 0.52

Suntik KB 15.49

Pil/kondom 3.87

Tradisional 0.57

Sumber: IPM Kabupaten Jayapura Tahun, 2012

Page 26: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

19

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Pendekatan Program KKB

Dalam kajian ini, persepsi para stakeholder lokal terhadap program

Keluarga Berencana di kabupaten Jayapura, tidak hanya dilihat sebagai proses

penerimaan stimulus dari luar dirinya, tetapi juga sikap batin untuk mampu melihat

hakekat yang terdalam dari urgensi perjalanan pelaksanaan program Keluarga

Berencana yang lebih bermakna. Demikian persepsi positif masyarakat terutama

para stakeholder lokal terhadap program KB, akan sangat menentukan

partisipasinya baik secara langsung sebagai peserta KB maupun sebagai penggerak

yang mendorong masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam

pelaksanaan program KB secara berkesinambungan.

“Kami memandang program KB itu sebagai program pemerintah dan kami

harus dukung, tetapi karena kami juga sebagai panutan dalam masyarakat sebagai tokoh maka dalam bertindak kami harus membuat semua pihak bisa menerima untuk kebaikan bersama” (FGD di Sentani).

“Saya membuat pilihan (mendorong) untuk masyarakat tentukan mau ikut KB

moderen atau tidak dan hanya gunakan KB alam karena itu keputusan masing-masing, tetapi harus memberi manfaat kesejahteraan dan tentu harus tetap punya keturunan yang mewarisi hak ulayat suku kami” (FGD di Yepase).

Demikian berdasarkan hasil FGD ini, nampak bahwa partisipasi stakeholder

lokal sebagai proses aktif yang mengkondisikan seseorang turut serta dalam suatu

kegiatan yang disebabkan oleh persepsi yang positif, termasuk terhadap program KB

walaupun masih diikuti dengan harapan-harapan sebagai hal yang wajar. Hal ini

demikian, karena partisipasi dalam bentuk pernyataan mendukung juga sangat

dipengaruhi oleh kondisi sosiologis-ekonomis-politis yang merupakan latar belakang

budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat juga dapat

berbeda-beda.

“Untuk tetap jaga identitas suku yang berkualitas bukan lagi dihitung jumlah

orang yang banyak tetapi bagaimana pendidikannya, kesehatannya, pemenuhan ekonominya sehingga anak-anak bisa sekolah, sehat dan berprestasi tinggi. Kalau sebaliknya tentu akan membuat suku kita malu karena anak-anak muda tidak berkualitas dan jadi beban pembangunan saja” (FGD di Sentani).

Page 27: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

20

“Saya sebagai anak adat yang mewakili tokoh muda setuju kalau program KB dilaksanakan, karena jamannya sekarang sudah berubah dan menuntut kita untuk harus berkompetisi dalam memperoleh peluang karena waktu, kesempatan dan juga harapan untuk hidup lebih baik” (FGD di Yepase).

“Kalau anak banyak tentu ini masalah, beban ekonomi seperti biaya sekolah

semakin tinggi, harga kebutuhan naik dan tidak bisa lagi hanya harap hasil kebun sebab lahan banyak yang beralih fungsi” (FGD di Benyom).

“Ibu yang ikut KB akan dapat menolongnya memulihkan kondisi kesehatan

dalam jangka waktu yang cukup panjang setelah melahirkan dan baru kemudian hamil lagi sehingga ibu akan tetap sehat” (FGD di Sentani).

Pernyataan para peserta diskusi ini menjadi penting karena dengan

dilaksanakannya program KB tentu kini tidak hanya sekedar melaksanakan program

formal dan rutinitas belaka, melainkan juga substansinya yang besar bagi

peningkatan kualitas kehidupan manusia, terutama yang menyangkut masalah

kesehatan, kependudukan dan masalah-masalah sosial lainnya termasuk dalam hal

berkeluarga secara substantif termasuk bagian dari keyakinan bahwa kesehatan ibu

juga menjadi perhatian utama sebagai “penjaga keturunan suku”. Dengan persepsi

yang positif dari para stakeholder ini, maka diharapkan partisipasinya dalam

pelaksanaan kegiatan tersebut juga cukup tinggi.

Namun demikian, tampaknya yang masih perlu diluruskan adalah

pemahaman yang masih terlalu sederhana tentang program KB tersebut. Dalam

pandangan masyarakat yang dikemukakan dalam diskusi, program KB adalah

program rutin dan pribadi yang ditafsirkan tergantung keinginan masing-masing.

Pandangan ini masih terlalu sempit karena sebenarnya KB tidak hanya untuk

pelaksanaan program yang bersifat masalah pribadi atau keluarga, melainkan juga

sebagai upaya pemerintah dalam penanganan masalah sosial dan kependudukan.

“KB hanya untuk wilayah dengan penduduk padat, kita di Papua tanah masih

luas dan alam menyediakan” (FGD di Benyom). “Jadi peserta KB membuat beban sosial, karena nanti dianggap tidak sanggup

kasih makan keluarga (istri anak) sehingga batasi jumlah anak” (FGD di Yepase) Pernyataan ini walaupun sebagai ungkapan yang klasik namun bisa dianggap

sebagai penghambat pelaksanaan program KB, dan dari berbagai studi sebelumnya

fakta ini sangat dipengaruhi rendahnya tingkat pemahaman masyarakat, disamping

Page 28: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

21

itu juga para tenaga layanan yang tidak memberikan pelayanan yang lebih responsif

terhadap masyarakat.

Dinamika diskusi yang membahas keterlibatan para stakeholder lokal dalam

pelaksanaan program KB di kabupaten Jayapura sebagai penggerak dengan menjadi

motivator merupakan hal yang menarik, namun pendekatan yang kontekstual perlu

diberikan ruang sesuai dengan situasi lokal dan isu-isu lokal bagi kelangsungan

kehidupan yang normal dan lebih baik secara kualitas dan bukan saja secara

kuantitas.

“KB penting namun jangan hanya untuk kejar target, tetapi masyarakat saya

tidak didampingi secara baik, karena ketika ikut KB dan pakai alat KB waktu ada keluhan petugas tidak segera ditanggapi tetapi pakai alasan macam-macam” (FGD di Benyom).

“Untuk program KB bisa berjalan lancar jangan bawa nilai-nilai baru tetapi

kalau bisa kaitkan dengan nilai lokal yang berlaku dalam kehidupan kami secara adat karena yang punya masyarakat itu kami, dan kami tahu apa kebutuhan kami” (FGD di Yepase).

“Masalah yang menyangkut berbagai macam jenis KB dan tingkat kecocokan

merupakan tanggungjawab pelaksana program KB di tingkat masyarakat, sementara kami para tokoh masyarakat hanya menghimbau agar menggunakan jenis KB yang cocok dengan masing-masing individu. Karena jika dipaksakan menggunakan suatu jenis KB, padahal tidak cocok dengan kondisi tubuhnya, maka akan dihadapkan pada masalah kesehatan” (FGD di Sentani).

Dengan demikian pendekatan lokal yang melibatkan tokoh masyarakat

meskipun tidak secara signifikan, namun mereka merupakan pendorong bagi proses

internalisasi pelaksanaan program KB secara sukarela dan mandiri. Hal lain yang

masih berhubungan dengan fakta ini, para tokoh lokal juga cenderung telah melihat

positif terhadap program itu. Dengan demikian, mereka juga secara tidak langsung

terlibat juga dalam implementasi program dan sangat ditentukan pula dengan

karaktersistik ekonomi, pendidikan, budaya, dan sosial masyarakat secara

keseluruhan (homogen atau heterogen).

B. Implementasi Program KB

1. Pengetahuan tentang KB

Partisipasi para stakeholder lokal dalam mendukung implementasi

program KB sangat dipengaruhi juga oleh pengetahuannya tentang KB.

Page 29: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

22

Pengetahuan tentang KB terkait konsep, tujuan, manfaat, cara dan jenis-jenis

kontrasepsi modern di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI 2012 beberapa

kelompok masyarakat sudah cukup tinggi, disamping pengetahuan tentang alat

kontrasepsi modern, kelompok yang sama juga memiliki pengetahuan alat

kontrasepsi tradisional dengan persentase yang cukup tinggi.

Hasil diskusi di wilayah perkotaan (Sentani) hampir seluruh peserta

mengetahui dan dapat menyebut setidaknya tiga (3) jenis alat kontrasepsi

terutama pil, suntik dan implant. Kondisi berbeda saat FGD dilakukan di daerah

pinggiran (Yepase dan Benyom) terdapat peserta diskusi yang mengaku tidak

mengenal alat kontrasepsi modern dengan baik. Khusus pada kelompok bapak-

bapak, seluruh peserta di perkotaan mengenal fungsi ganda kondom bukan saja

sebagai alat kontrasepsi melainkan juga untuk mencegah penyakit (IMS dan

HIV), namun di daerah pinggiran lebih mengenal kondom sebagai alat

kontrasepsi yang diperuntukan bagi laki-laki untuk mencegah kehamilan, namun

sebagian tidak pernah menggunakannya.

Lebih lanjut, dalam FGD ketika ditanyakan pada perempuan menikah

tentang pemakaian kondom, umumnya tidak menyukai dan merasa tidak

nyaman baik untuk diri sendiri maupun untuk suami. Selain itu terjadi juga

pandangan negatif dalam masyarakat terkait dengan penggunaan kondom.

“Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada pandangan dalam masyarakat

bahwa kondom hanya digunakan oleh laki-laki yang suka ‘membeli’ seks di luar seperti ke Bar dan panti pijat, lokalisasi Tanjung Elmo atau suka berganti-ganti pasangan” (FGD di Sentani).

Umumnya peserta berpendapat bahwa menggunakan kondom akan

menimbulkan hilangnya kepercayaan antara suami istri, apalagi bila di kampung

menimbulkan kecurigaan dan dapat berujung sanksi. Bagi ibu-ibu di perkotaan,

bila mereka bila mengijinkan atau meminta suami memakai kondom, dianggap

memberi kesempatan kepada suami untuk berhubungan dengan perempuan lain.

“Sekarang ini kondom dapat dengan mudah diperoleh karena dijual di

apotik dan sering dibagi secara cuma-cuma kalau ada penyuluhan pencegahan HIV, hanya kalau kami ibu-ibu tidak bisa minta suami untuk pakai kondom nanti dianggap mencurigainya berbuat macam-macam di luar rumah” (FGD di Benyom).

Page 30: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

23

“Kapan saja kami mau dapat kondom bisa dengan mudah, tetapi tidak mau dibawa pulang ke rumah walaupun diberikan gratis karena nanti istri curiga dan bisa terjadi pertengkaran, apalagi kalau pakai kondom tidak nyaman karena itu lebih baik untuk KB istri saja yang gunakan kontrasepsi itu lebih baik” (FGD di Sentani).

Secara umum, informasi mengenai KB yang dimiliki peserta berdasarkan

hasil diskusi menunjukkan bahwa ibu-ibu yang mengetahui paling tidak salah

satu jenis alat kontrasepsi lebih banyak dibandingkan dengan bapak-bapak. Hal

ini terjadi karena intervensi terhadap perempuan tentang KB lebih tinggi

intensitasnya, dibandingkan untuk kelompok laki-laki. Disamping itu, metode

yang disediakan untuk perempuan lebih banyak dari pada untuk laki-laki. Hal ini

menyebabkan tingkat pengetahuan ibu-ibu pada setiap kelompok diskusi relatif

lebih baik dibandingkan dengan bapak-bapak, karena ibu-ibu lebih mengetahui

tentang beberapa metode KB seperti kondom, susuk, suntik dan pil.

Minimnya informasi tentang KB yang diterima oleh masyarakat

menyebabkan pemahaman masyarakat tentang KB-pun menjadi tidak utuh.

Berdasarkan hasil FGD dengan kelompok laki-laki (menikah dan tidak menikah)

diperoleh informasi bahwa bagi mereka KB yang membatasi jumlah kelahiran

dengan menggunakan implan menyebabkan tubuh ibu menjadi kurus, tidak

mendapat menstruasi, mandul setelah implan dicabut dan menyebabkan

kematian.

“Saya cerita pengalaman yang terjadi beberapa tahun lalu, ada ibu yang

ikut KB pakai implan, kami orang-orang di sini tidak cocok apalagi kalau ibu yang pakai dengan banyak keluhan sehingga ibu jadi kurus, kekurangan darah dan bahaya bagi kesehatan bahkan keselamatan nyawa ibu” (FGD di Benyom).

“Dari cerita-cerita beberapa ibu yang jadi akseptor KB, proses untuk

menjadi akseptor dengan memilih dan menggunakan salah satu kontrasepsi tidak didukung dengan informasi yang cukup dari petugas, bahkan sepertinya kami cari sendiri informasinya. Namun kalau mau cari data kami ditanya macam-macam dan ini menurut kami tidak sopan” (FGD di Yepase).

Membatasi jumlah anak, sebagai cara untuk menjaga jarak anak dan

meningkatkan derajat kesehatan ibu serta membantu tingkat ekonomi keluarga.

Kesan ini diperoleh dari hasil FGD, bahwa peserta juga memahami KB sebagai

program pemerintah yang membatasi jumlah anak sampai 2 orang saja, mengacu

pada slogan KB yang mereka ingat yaitu “2 anak cukup”, walaupun demikian

Page 31: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

24

diperoleh pula kesan bahwa masih ada peserta yang tidak pernah mendapat

informasi tentang KB secara utuh sehingga dapat memberikan image negatif

terhadap pelaksanaannya.

Walaupun topik FGD terakit dengan KB, muncul juga informasi dan

pendapat mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Informasi-

informasi tentang sering terjadinya kasus KDRT juga disampaikan oleh peserta

FGD dari kelompok perempuan yang menyampaikan bahwa tetangga satu

kampungnya pernah dipukul suaminya karena ketahuan ikut KB diam-diam dan

menggunakan kontrasepsi tanpa sepengetahuan dan persetujuan suaminya.

“Kasihan ibu (“K”) karena setiap tahun selalu hamil dan sekarang anaknya

sudah enam orang sehingga ibu dia merasa berat, sehingga lewat beberapa ibu mengajak untuk ikut KB. Karena diam-diam suaminya curiga sebab selang satu tahun ibu tidak hamil seperti tahun sebelumnya sehingga muncul kecurigaan dan akhirnya ibu mengaku pakai kontrasepsi, suami marah dan ibu dipukul serta disuruh berhenti ikut KB” (FGD di Yepase).

Berkaitan dengan Kesehatan Reproduksi, KDRT juga sering terjadi bila

istri menolak berhubungan seks meskipun dengan alasan bahwa mengurus anak

yang masih kecil. Disisi lain, ada pendapat peserta FGD bahwa dengan

peningkatan ekonomi dalam keluarga maka KB tidak diperlukan, karena dengan

ekonomi keluarga yang lebih baik memungkinkan anak untuk bersekolah.

Tentang perlunya sekolah bagi anak-anak di Jayapura seperti diungkapkan salah

seorang bapak bahwa tidak perlu mengikuti KB selama anak tetap bisa

bersekolah walaupun jumlahnya banyak. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa laki-

laki lebih perlu untuk bersekolah karena sebagai penerus keturunan, sementara

perempuan bukan menjadi prioritas dan lebih baik membantu di rumah saja.

Dari hasil FGD ini diperoleh gambaran bahwa walaupun masih terdapat

perbedaan pandangan antara stakeholder lokal yang berusia tua dan muda,

namun ada harapan bahwa bila komunikasi dilakukan secara terus menerus

dengan pendekatan yang berbasis kontekstual, maka memberikan peluang dan

ruang bagi masyarakat untuk membuat pilihan terhadap penerimaan program

KB sebagai sesuatu yang harus dilakukan karena alasan ekonomi, kesehatan dan

kesejahteraan. Data dari hasil FGD nampak bahwa telah terjadi pergeseran

Page 32: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

25

pandangan antara tokoh yang tua dengan muda yang semakin memperlihatkan

kesadaran akan tujuan dan manfaat program KB dilaksanakan.

2. Pengetahuan tentang metode KB tradisional

Metode KB tradisional adalah metode KB yang tidak menggunakan alat

dan obat kontrasepsi modern atau konsep modern. Termasuk dalam pengertian

alat kontrasepsi tradisional selain pantang berkala dan sanggama terputus juga

adalah alat kontrasepsi yang biasa dibuat atau dilakukan masyarakat yang dalam

laporan SDKI 2012 dikategorikan sebagai cara lain, sementara di masyarakat

dikenal sebagai KB alam.

Hasil dari FGD diperoleh beberapa informasi tentang KB alam yang

biasanya dilakukan dengan melibatkan suami dan istri terutama bagi masyarakat

kampung di kabupaten Jayapura. Selain mempraktekan cara tertentu (seperti

pantang berkala) dan memanfaatkan ramuan tradisional mereka juga

menggunakan doa-doa sebagai salah satu metode yang biasa digunakan.

Beberapa ramuan kontrasepsi tradisional yang diperoleh dari FGD diantaranya

dengan menggunakan batang kayu, akar kayu, daun tertentu yang direbus dan

diminum airnya.

“Bagi kami KB alam itu mempunyai kekuatan yang tidak memberikan efek

sampingan dan sudah digunakan sejak dulu, dan ini dilakukan atas kesepakatan suami-istri” (FGD di Yepase).

“KB alam sangat sederhana, kalau saatnya mau tunda punya anak cukup

minum air dari ramuan-ramuan yang dimasak atau dengan doa maka ibu tidak akan hamil sesuai dengan jangka waktu yang diinginkan” (FGD di Sentani).

Di wilayah Depapre ada sejenis ramuan dedaunan yang dimakan dengan

daun pinang dan ini harus dimakan oleh suami-istri, atau bagi perempuan yang

tidak ingin punya anak lagi ada ramuan dibuat dari kulit kayu yang dicampur

dengan daun kembang sepatu dan daun bayam untuk dijadikan ramuan yang

diminum sampai ke ampasnya. Diungkapkan juga metode tradisional lainnya

setelah ibu melahirkan, ari-arinya dibalik dan dikubur.

Penggunaan alat kontrasepsi tradisional dengan mengikat kuat-kuat tali

pusat diungkapkan dalam FGD di Nimboran, kalau ingin punya anak lagi tinggal

dilepas saja. Di Depapre alat kontrasepsi tradisional dilakukan dengan

Page 33: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

26

memanjatkan doa untuk air minuman sambil berpegangan tangan antara suami

dan istri atau anak dengan ibunya, kemudian air tersebut minum dan kalau ingin

punya anak lagi bisa dengan berdoa saja.

Pemakaian metode KB tradisional selain ditujukan untuk perempuan

atau istri juga diperuntukan untuk laki-laki atau bapak. Dalam penggunaan

metode tradisional peran suami cukup penting, bahkan ada beberapa metode

yang secara langsung melibatkan laki-laki seperti meminum ramuan atau

menggunaakan doa. Pada metode pantang berkala dan sanggama terputus sangat

membutuhkan kerjasama dari pihak laki-laki, tanpa kerjasama dan niat tulus

dari pasangan laki-laki kedua metode tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Penerapan metode tradisional untuk tidak bercampur dengan istri

selama memiliki anak masih bayi atau anak kurang dari tiga tahun (batita)

seringkali juga mendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu

kebiasaan tersebut juga menjadi pendorong untuk laki-laki melakukan hubungan

di luar nikah dengan perempuan lain atau poligami.

“Karena ikut KB tradisional dan takut untuk melanggar, maka sering

terjadi laki-laki atau suami yang melanggar dengan cari pasangan di luar rumah dan bila ketahuan bisa jadi masalah dan harus diselesaikan secara adat” (FGD di Yepase).

3. Sumber Informasi tentang KB

Berkaitan dengan sumber informasi mengenai KB ditemukan beragam.

dari hasil FGD dan wawancara individual menunjukkan bahwa sumber informasi

tentang KB berasal dari sumber formal dan informal. Sumber formal terutama

dari tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat serta mantri) dan juga petugas

lapangan KB (hanya jarang terjadi dan mungkin juga itu bukan petugas

lapangan). Sumber informal berasal dari tokoh agama (pendeta dan pastor),

kader posyandu, buku, media massa (televisi, radio dan koran), media luar ruang

seperti: poster dan stiker atau komunikasi melalui orang tua, keluarga dan

tetangga.

“Kami ibu-ibu punya pengetahuan tentang KB umumnya diperoleh dari

tenaga kesehatan dan kader posyandu karena kami hadir ke tempat pelayanan tersebut, kalau didatangi petugas jarang terjadi bahkan tidak pernah” (FGD di Yepase dan Sentani)

Page 34: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

27

Dalam hal memutuskan jenis alat kontrasepsi, terungkap dalam FGD

bahwa seringkali seorang klien memutuskan jenis yang akan dipergunakan

mengikuti saran yang diberikan oleh petugas kesehatan atau orang lain yang

memberikan informasi seperti kader KB, layanan posyandu dan pengalaman

tetangga atau teman dan bukan atas pilihan sendiri, apalagi keputusan bersama

suami di rumah.

Hasil FGD dan wawancara individu dengan beberapa tokoh perempuan

diperoleh gambaran mengenai bagaimana memperoleh informasi layanan KB.

“Selain kami mengandalkan tenaga kesehatan dari Puskemas dalam

promosi dan peningkatan pengetahuan, beberapa waktu yang lalu kami juga mendapatkan informasi dari Petugas Lapangan KB yang sekarang sudah sangat jarang bertemu” (FGD di Yepase).

“Kami berharap untuk keberadaan para petugas lapangan KB perlu

dilakukan lagi, karena mereka yang biasa datang ke rumah-rumah, bila dibandingkan dengan petugas kesehatan” (FGD di Sentani).

Baik masyarakat maupun para stakeholder lokal merasakan manfaat

dari keberadaan PLKB/PKB, karena selain memberikan informasi berupa

penyuluhan, juga mempermudah akses masyarakat terhadap alat kontrasepsi

sehingga diharapkan keberadaan dan peran PLKB/PKB dapat dilakukan lagi.

4. Persepsi terhadap Layanan KB dan Biaya

Terlepas dari beberapa sikap yang kurang mendukung terhadap KB yang

dilandasi karena kurangnya pengetahuan terhadap fungsi KB itu sendiri dan

pendampingan karena keterbatasan sumber daya (petugas), dari hasil

penggalian lebih jauh dari FGD diperoleh gambaran bahwa sebenarnya

kebutuhan akan KB masih cukup tinggi terutama pada PUS kelompok muda

dengan jumlah anak 1-2 orang. Namun kebutuhan ini belum optimal dipenuhi

bahkan terbatas dalam berbagai akses (informasi dan layanan) tentang KB

kepada masyarakat.

“Kami suami istri punya rencana untuk menjarangkan kelahiran anak,

dan sekarang sejak anak kedua lahir istri masuk kerja namun layanan KB belum dapat memenuhi kebutuhan kami karena ketika ada keluhan dan kebutuhan lainnya tidak segera ditanggapi” (FGD di Yepase).

Page 35: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

28

Akses terhadap informasi yang tepat juga dapat mempengaruhi

keputusan seseorang untuk mengakses layanan KB dengan menggunakan alat

kontrasepsi atau tidak. Salah satu contoh dari hal tersebut dapat diperoleh dari

hasil FGD di Nimboran, hanya beberapa peserta yang dapat bercerita tentang KB.

Ini dimungkinkan setelah mendapat penerangan tentang KB dari fasilitator

diskusi bukan karena layanan yang diterima sebelumnya. Salah seorang peserta

diskusi mengatakan bahwa:

“Masyarakat kami di kampung in, khususnya bapak-bapak berpikir bahwa

kalau ikut KB dengan menggunakan kontrasepsi bisa mandul selamanya, padalah kami ibu-ibu mau ikut KB” (FGD di Benyom).

“Layanan KB harus ke Puskemas yang ada di ibukota distrik sehingga

menjadi beban karena kami harus keluarkan biaya transport naik motor ojek, padahal kalau ada gangguan tentu akan berulang-ulang. Untuk itu petugas yang seharusnya rutin kunjungan ke lapangan, karena mereka punya biaya pelayanan” (FGD di Benyom).

Peran perempuan di kampung-kampung umumnya bekerja sebagai

pekerja keluarga untuk mendukung ekonomi keluarga, kebanyakan sebagai

petani dan menjual hasil panennya di pasar distrik (kalau jualan banyak) atau

sebaliknya hanya pasar kampung. Salah seorang ibu peserta FGD bercerita

bahwa mama-mama di tempatnya pernah mendapat suntikan dari suster yang

disebut “suntik KB”. Tapi dia tidak tahu alat KB itu apa dan dapat suntik KB itu

bagaimana. Dari cerita ini terlihat bahwa karena akses terhadap informasi tidak

ada, masyarakat menjadi tidak tahu atau tidak memiliki persepsi tentang KB

secara tepat.

Sementara itu, pendapat beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama

juga mengatakan bahwa KB modern tidak terlalu diperlukan karena secara

budaya masyarakat memiliki cara untuk ber-KB, salah satunya adalah dengan

tidak melakukan hubungan seks ketika anak masih kecil-kecil.

Dari beberapa diskusi dengan masyarakat melalui FGD diperoleh

informasi bahwa beberapa peserta yang pernah menggunakan alat kontrasepsi

pernah mengalami efek samping. Mereka kemudian berhenti menggunakan alat

kontrasepsi tersebut atau beralih ke alat kontrasepsi tradisional. Efek samping

yang sering dikeluhkan ketika menggunakan alat kontrasepsi suntik adalah, sakit

Page 36: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

29

kepala, tidak mengalami menstruasi, gatal-gatal, sakit pada lutut dan alergi.

Setelah berhenti menggunakan obat suntik tersebut dan beralih kepada

kontrasepsi tradisional mereka merasakan keluhannya hilang. Sebagian lainnya

mengatakan mereka berhenti menggunakan alat kontrasepsi karena

keterbatasan ketersediaan alat kontrasepsi yang dibutuhkan dan tingginya biaya

layanan.

Hal-hal mengenai ini dikemukakan oleh beberapa peserta diskusi di

antaranya:

“Saya tidak percaya KB apalagi sekarang petugas sudah tidak aktif seperti

dulu, saya ikut KB suntik tapi kebobolan anak saya sekarang sudah 14 tahun, pernah juga saya menggunakan spiral tetapi 6 tahun kemudian saya sakit perut rasa ditusuk-tusuk dan saya punya badan ini kurus terus maka saya lepas” (FGD di Benyom)

“Saya, juga pernah ikut KB suntik, itu tidak pernah haid, sampai 3-6 bulan

baru haid, itu setengah mati , akhirnya dari situ saya lepas KB” (FGD di Yepase) “Saya tidak KB karena tidak dapat haid dan lutut sakit, dan saya lepas KB

dapat haid dan lutut sakit hilang”( FGD di Benyom) “ Ada keinginan untuk pakai KB, saya pernah pakai suntik tapi gatal-gatal,

jadi saya tidak mau lagi, sekarang pake kalender. Tidak cocok pake KB, saya stop sudah” (FGD di Sentani).

Beberapa ibu-ibu peserta FGD yang menggunakan kontrasepsi KB

mendapat alat kontrasepsi pil atau suntik dari petugas kesehatan, baik diperoleh

melalui layanan di puskesmas maupun di tempat praktek bidan. Namun bila

tidak tersedia di layanan kesehatan atau pada petugas kesehatan, maka akan

membeli di apotik atau pada petugas lapangan yang menyediakan obat tersebut.

Bila akseptor membeli sendiri alat kontrasepsi yang dibutuhkannya, khususnya

alat KB suntik, maka harus mendatangi bidan atau mantri untuk minta

disuntikan.

“Situasi untuk layanan ini kami harus keluarkan biaya tiga kali, pertama datang ke pusat layanan, kedua kalau kontrasepsi yang dibutuhkan tidak ada maka harus pergi beli alat kontrasepsi, baru kemudian kembali kepada petugas lagi untuk minta bantu suntikan bila menggunakan alat suntik. Kalau begini lebih baik tidak usah saja, karena uang pakai untuk beli beras atau kebutuhan lainnya” (FGD di Yepase).

Page 37: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

30

Berbeda dengan hasil wawancara dengan petugas layanan yang

menyatakan alat kontrasepsi yang didistribusikan tidak dikenakan biaya alias

gratis, pada kenyataannya biaya yang dikenakan untuk memperoleh alat

kontrasepsi bermacam-macam di setiap distrik. Biasanya berkisar antara Rp.

5.000 sampai Rp. 150.000, sangat tergantung dari jenis dan sumber pengadaan

alat kontrasepsi tersebut.

Diungkapkan bahwa bila alat kontrasepsi diperoleh dari BKKBN atau

Dinas Kesehatan, layanan KB di Puskesmas tidak dikenakan biaya, tetapi jika

sumber alat kontrasepsi tersebut dibeli dari apotik atau disediakan oleh bidan

akseptor akan dikenakan biaya untuk pemasangannya.

5. Sikap Masyarakat terhadap KB

Dari hasil FGD dan wawancara mendalam dengan para stakeholder lokal

di kampung, diperoleh jawaban bahwa masyarakat terbagi dalam kelompok:

- mendukung dan berpartisipasi dalam program KB karena dapat menjadikan

hidup keluarga berkualitas

- mendukung tetapi tidak berpartisipasi karena tidak mendapatkan manfaat

langsung

- kurang mendukung karena alasan geografis Papua yang masih luas dan masih

jumlah penduduk untuk mengisi, daripada orang lain yang bukan pemilik

ulayat mewarisinya

- kurang mendukung karena dianggap bertentangan dengan agama dianut

- kurang mendukung karena bertentangan dengan budaya/adat dan norma

yang berlaku pada penduduk asli Papua

Sikap mendukung dan berpartisipasi artinya memberi dukungan positif

terhadap program KB dan juga berpartisipasi baik sebagai akseptor atau

mendukung pasangannya untuk menggunakan alat kontrasepsi maupun

dukungan lain seperti memfasilitasi penyuluhan maupun turut mempromosikan

program KB dalam kelompoknya.

Sikap seperti ini memang hanya ditemui pada beberapa peserta di

berbagai tempat FGD, bahkan beberapa ibu peserta FGD di Sentani,

menyebutkan mendukung program KB karena mempermudah ibu mengurus

Page 38: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

31

anak dengan baik sebagaimana kebutuhannya, karena apabila banyak anak akan

repot karena kebutuhannya bermacam-macam.

Kondisi ini ditunjukkan pula dengan hasil wawancara pada beberapa

petugas di tingkat di distrik yang menunjukan bahwa mereka memahami

program KB dan mendukungnya. Petugas di tingkat distrik juga cukup memiliki

pengetahuan tentang sikap masyarakatnya terhadap KB, seperti disampaikan di

distrik Sentani, Depapre dan Benyom.

“Saya pikir program KB ini sudah lama dilaksanakan dan hasil dari

program ini sangat positif, banyak masyarakat yang sudah berhasil. Memang pada awalnya masyarakat belum mengetahui mereka tidak libatkan diri, tapi setelah melihat hasilnya mereka melibatkan diri pada program inu walaupun pertama mereka menolak karena kepercayaan bahwa manusia itu perlu berkembang biak” (Wawancara di Sentani).

“KB untuk masyarakat kami bukan suatu hal yang baru, karena di sini

sebelum ada KB pemerintah KB alam sudah ada buat mereka. Setelah KB masuk di Jayapura masyarakat menerima KB ini secara baik pada kenyataannya pada saat kami di lapangan masyarakat ini datang setiap kita adakan pelayanan posyandu” (Wawancara di Depapre).

Demikian hampir semua stakeholder berpendapat bahwa jika program

KB akan dikembangkan di Papua dan khususnya di kabupaten Jayapura, maka

keterlibatan tiga unsur dalam masyarakat yang disebut “Tiga Tungku” yang

terdiri dari tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat penting untuk

dilibatkan karena dapat menjadi jembatan antara pemerintah (melalui petugas

layanan) dengan masyarakat dalam mempromosikan dan melaksanakan

berbagai program pemerintah untuk masyarakat termasuk KB.

Namun bagi peserta FGD yang mendukung tetapi tidak berparti sipasi,

berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh kunci juga ditemui sikap

yang sama, bahwa mereka menyetujui KB sebagai metode untuk menjaga jarak

kelahiran, tetapi bukan untuk membatasi jumlah anak, juga dengan KB yang

dapat menjaga jarak kelahiran akan meningkatkan kualitas keluarga baik dari

segi ekonomi maupun pendidikan.

Fakta lapangan di kampung Benyom seorang ibu berusia muda sebagai

aktivis mendukung program KB di wilayahnya dengan menjadi kader posyandu,

walaupun ia sendiri baru mempunyai seorang anak. Situasi sama terjadi di

Yepase seorang tokoh agama dan seorang tokoh adat menunjukkan sikap yang

Page 39: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

32

sama, mereka mendukung KB dan aktif mendukung istrinya untuk menggunakan

alat kontrasepsi. Sikap serupa juga ditunjukan seorang tokoh masyarakat di

Sentani yang mendukung anak perempuannya yang menjadi akseptor KB suntik

agar dapat menjaga jarak anak dan jumlah yang tidak terlalu banyak.

Bila ada yang kurang mendukung karena alasan geografis karena

mereka berpendapat bahwa tanah Papua saat ini dan ke depan belum

membutuhkan program KB dengan alasan kondisi geografis Papua yang luas dan

sumber daya yang besar. Tanah Papua masih membutuhkan banyak penduduk

untuk mengelola sumber daya yang ada dan tidak ingin menjadi minoritas di

tanahnya sendiri. Berdasarkan hasil FGD diperoleh gambaran bahwa peserta

diskusi yang menyatakan bahwa KB belum diperlukan di Papua karena alasan

geografis Papua yang luas umumnya dikemukakan oleh peserta diskusi laki-laki

dan ini sangat terkait dengan kepemilikan hak ulayatnya.

Beberapa pendapat dari hasil FGD dan wawancara individu yang

menunjukan pernyataan tersebut:

“KB ini memang bagus, tapi untuk kami di sini itu bisa-bisa kita habis begitu, kalau sekarang hanya baru punya anak 1 orang dan tunggu 5 tahun lagi baru kita punya anak lagi itu bisa ya atau tidak karena kalau ada efek samping bagaimana ? Saya kuatir jumlah warga suku kami makin lama makin kurang sehingga apapun harus dan harus punya keturunan” (FGD di Yepase).

“KB menurut saya tidak perlu, karena tanah Papua ini masih luas dan

masyarakat asli Papua masih sedikit sedangkan hasil sensus penduduk lalu dilaporkan pendatang sudah lebih banyak dari kami penduduk lokal Papua, jadi sepertinya masyarakat Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri, jadi sistem KB tidak perlu karena akan menjadikan masyarakat Papua menjadi minoritas bukan mayoritas”.

Bagi peserta FGD yang Kurang mendukung karena alasan bertentangan

dengan agama dianut, sebagian besar peserta yang beragama Kristen Protestan

menyakini bahwa KB dilarang oleh agama karena Tuhan memerintah manusia

untuk berbiak-biak, sehingga mengikuti KB dengan membatasi jumlah anak,

bertentangan dengan ajaran agama.

Pada sebagian kecil peserta juga diperoleh kesan bahwa KB belum perlu

untuk diterapkan di Papua dengan alasan akan memberikan berdampak negatif

pada kehidupan perempuan dan keluarga. Hal ini dianggap berkaitan dengan

budaya dan norma yang berkembang pada suku-suku di Papua.

Page 40: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

33

Pendapat-pendapat yang mendukung pernyataan tersebut dapat dilihat

dari beberapa kutipan pendapat di bawah ini.

“Dulu KB itu memang banyak orang senang ikut, tapi bila kita baca dalam Alkitab Tuhan mau supaya di dunia ini manusia harus menjadi banyak berkembang, tapi karena lewat KB akhirnya janin dengan sendirinya akan mati , jadi termasuk membunuh” (FGD di Yepase).

“Kalau menurut saya, KB bisa dibilang penting karena bisa menjarangkan

anak supaya ibu sehat dan juga anak2 sehat. Terus saya juga mau bilang tidak pentingnya begini, mungkin lewat agama Tuhan dia larang karena mencelakakan bakal janin dalam kandungan, jadi KB penting atau tidak, dari kita saja, bisa langsung minta Tuhan supaya jarangkan anak, bisa saja kalau mau percaya sama Tuhan” (FGD di Sentani).

Menyikapi hal tersebut beberapa tokoh agama, terutama Kristen

Protestan mengatakan bahwa pemahaman masyarakat seperti itu kuranglah

tepat, karena di dalam gereja sendiri terdapat berbagai interpretasi tetapi secara

umum gereja memahami KB sebagai “Keluarga yang Bertanggungjawab” artinya

berapapun jumlah anak yang dimiliki oleh setiap keluarga harus dikelola dengan

penuh tanggungjawab. Pemahaman tentang berbiak-biak untuk penuhi bumi

harus diartikan dalam kerangka bertanggungjawab, dimana jika umat Kristen

memiliki sejumlah anak tetapi tidak dipelihara dan dipikirkan masa depannya

maka umat tersebut akan jatuh dalam dosa.

Untuk itu bagi gereja yang memaknai KB sebagai keluarga yang

bertanggungjawab tidak mendorong umatnya untuk membatasi jumlah anak,

tetapi lebih menekankan pada bagaimana tanggungjawab yang harus dibangun

para orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan. Pada gereja-gereja dari

berbagai denominasi banyak dilakukan himbauan tentang pengaturan jarak

kelahiran. Terlepas dari adanya berbagai interpretasi terhadap ayat tersebut,

gereja secara prinsip tidak mengeluarkan larangan bagi umatnya untuk

mengikuti program KB, tetapi sepenuhnya menyerahkan pada keputusan

individu umat.

Khusus bagi mereka yang kurang mendukung karena bertentangan

dengan budaya/adat dan norma karena program KB dapat berakibat buruk pada

perempuan dan atau mengganggu keutuhan rumah tangga. Beberapa peserta

diskusi berpendapat bahwa dengan ber-KB maka laki-laki maupun perempuan

dapat dengan bebas berganti-ganti pasangan, karena dianggap tidak dapat

Page 41: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

34

menghamili dan dihamili, sehingga KB dapat berdampak buruk pada hubungan

suami-istri.

KB juga dianggap bisa menjadi salah satu sebab terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga. Salah seorang peserta FGD dari kelompok perempuan

menikah mengatakan ia tidak merasa perlu ikut KB karena kandungannya telah

rusak dipukul oleh suaminya ketika sedang hamil, saat ini ia sudah tidak dapat

memiliki anak lagi.

Dari informasi yang disampaikan oleh salah seorang tokoh agama yang

diwawancarai, diperoleh gambaran bahwa bila ada sikap kurang mendukung

dari masyarakat terhadap KB diantaranya karena ada masyarakat yang

berpendapat bahwa anak adalah tanggungjawab keluarga jadi pemerintah tidak

perlu mengatur dan membatasi jumlahnya, yang perlu diatur itu jarak

kelahirannya, untuk menjaga kesehatan ibu melalui pelayanan kesehatan yang

berkualitas.

Sikap kurang mendukung terhadap KB juga dipengaruhi oleh budaya

Papua yang cenderung ingin memiliki anak banyak anak sebagai pewaris

keturunan dan hak ulayat. Kesan tersebut diperoleh dari hasil diskusi terutama

dengan kelompok laki-laki dan perempuan menikah juga pada beberapa peserta

dari kelompok laki-laki bahwa Papua membutuhkan penduduk untuk

mengisinya, tetapi mereka berharap jika saat ini baru memiliki anak 1-2 orang ke

depan hanya menginginkan anak dalam jumlah kecil tidak lebih dari 4 orang

seperti keluarga orangtuanya yang memiliki anak lebih dari 6 orang.

Dari hasil diskusi diperoleh gambaran bahwa keluarga-keluarga di

Papua senang memiliki anak lebih dari 4 atau 5 orang karena dengan jumlah

anak yang banyak maka keturunan dari satu keluarga atau suku akan terus

berkembang keberadaannya. Disisi lain peserta diskusi juga berpendapat dengan

memiliki banyak akan maka kehidupan kelak bila sudah tua akan lebih terjamin,

anak laki-laki diharapkan dapat melindungi orang tua jika dewasa dan anak

perempuan dapat membantu di kebun untuk peningkatan ekonomi keluarga.

Berkaitan dengan budaya tersebut beberapa peserta diskusi

menyampaikan pendapat berikut:

Page 42: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

35

“Kalau beristri maka istri harus hamil dan melahirkan sebagai hal yang wajib karena memang harus punya anak, tetapi kalau tidak dapat anak maka harus kawin lagi dan atau kalau dapat anak perempuan saja maka harus kawin lagi sampai dapat anak laki-laki. Kami dalam kehidupan demikian, walaupun tidak tertulis tetapi itu sudah wajib untuk jadi perhatian” (FGD di Yepase).

“Kalau menurut saya memang anak itu penting sebagai anugerah dari

Tuhan untuk meneruskan keturunan, sebagaimana dalam alkitab yang sudah dijanjikan dari Tuhan bahwa berbiak-biaklah kamu, jadi tidak mungkin juga kami dapat dua anak saja dan pasti lebih, apalagi bila mas kawin untuk istri sudah dibayar lunas sehingga tidak beban ... selain itu dengan anak banyak bisa bantu kami untuk kerja dan waktu kami sudah tua” (FGD di Sentani).

“Kalau dalam adat, …. jumlah anak kalau boleh banyak supaya waktu dia

bertindak dia tidak susah, apalagi anak itu khususnya perempuan juga sebagai mas kawin. Jadi anak itu perlu, mamanya dibeli karena bapak bayar mas kawin, kalau tidak dapat anak itu rugi,” (FGD di Yepase).

Page 43: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

36

BAB V P E N U T U P

A. Kesimpulan

1. Peran stakeholder lokal dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Jayapura

dianggap sudah cukup baik walaupun peran tersebut tidak secara langsung,

namun sebagai penggerak yang mendorong masyarakat (pasangan usia subur)

untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan program KB

secara berkesinambungan dengan menggunakan kontrasepsi.

2. Keterlibatan para stakeholder lokal dalam pelaksanaan program KB di

kabupaten Jayapura sebagai penggerak dengan menjadi motivator merupakan

hal yang menarik, namun pendekatan yang kontekstual perlu diberikan ruang

sesuai dengan situasi dan isu-isu lokal bagi kelangsungan kehidupan yang

normal dan lebih baik secara kualitas dan bukan saja secara kuantitas.

3. Pengetahuan tentang KB belum didukung dengan ketersediaan KIE yang

memadai, walaupun pandangan tokoh perempuan tentang program KB

mendukung dan positif bahkan mereka tahu 3 alkon dan merupakan pilihan

yang digunakan saat ini, namun situasi itu tidak terjadi pada tokoh laki-laki

walaupun mendukung namun masih terdapat anggapan negatif dan tidak paham

tentang alkon (kecuali kondom).

4. Pandangan positif yang mendorong partisipasi dalam program KB karena dapat

menjadikan hidup keluarga berkualitas, namun dianggap merupakan

tanggungjawab dan urusan perempuan dengan tetap mempertimbangkan

jumlah anak yang akan dilahirkan sebagai keturunan suku.

5. Program KB yang merupakan program pemerintah sebenarnya mendapat

dukungan tetapi tidak berpartisipasi karena tidak mendapatkan manfaat

langsung. Kalaupun tidak mendukung terutama karena alasan geografis Papua

yang masih luas dengan jumlah penduduk sedikit, dianggap bertentangan

dengan agama dianut dan juga budaya/adat dan norma yang berlaku pada

penduduk asli Papua.

6. Penyebab belum optimalnya dukungan dan keterlibatan aktif masyarakat yang

digerakkan para tokoh lokal secara berkelanjutan sangat kompleks, mulai dari

kurangnya dukungan layanan petugas, keterbatasan dan ketersediaan alkon,

sedikitnya KIE KB serta pendekatan program yang lebih mengedepankan target

Page 44: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

37

kuantitas daripada kualitas yang dapat mendukung keberlanjutan masyarakat

sebagai akseptor KB. Kondisi ini menyebabkan hampir semua kelompok diskusi

mengemukakan adanya rumors dalam masyarakat bahwa program KB membuat

populasi masyarakat lokal jadi sedikit

B. Saran-Saran

1. Perlu meningkatkan frekuensi advokasi yang mendorong peran stakeholder

lokal secara berkelanjutan dalam pelaksanaan program KB dengan pendekatan

yang berbasis kontekstual

2. Perlu peningkatan KIE KB dengan muatan lokal yang terdistribusi merata antara

wilayah perkotaan, pinggiran dan pedalaman sehingga tidak menimbulkan

persepsi yang berbeda antara para pihak dalam ruang dan waktu yang sama

3. Perlu mendorong layanan KB mobile secara komprehensif dan terpadu dengan

mengoptimalkan potensi dan sumber daya lokal secara berkelanjutan

Page 45: Kajian Partisipasi Stakeholder Lokal Dalam Pelaksanaan Program KB di Kabupaten Jayapura

38

DAFTAR PUSTAKA

BKKBN, 2012., Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Provinsi Papua, Perwakilan BKKBN Provinsi Papua, Jayapura.

Florus Paulus, 1998, Pemberdayaan masyarakat, Penerbit Institute of Dayakologi

Research and Development (IDRD), Pontianak. Hamzah, Jabir, 1999., Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam

Rangka Kemandirian Wilayah, Pasca Sarjana Magister Manager, UNHAS-UNCEN, Jayapura.

Jones Gavin dan Yulfita Raharjo, 1998., Penduduk, Lahan dan Laut (Tantangan

pembangunan di Indonesia Timur), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998. Mc Chesney, 2003., Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Insist Press,

Yogyakarta. Megawangi, Ratna, 1999., Kemiskinan Ditinjau Dari Aspek Gizi, Warta Demografi, No. 4,

1999, Lembaga Demografi FE UI, Jakarta. Nasdian FT, 2014, Pengembangan Masyarakat, Penerbit Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, Jakarta. Parenta, Tadjuddin, 1999., Kemandirian Lokal Sebagai Alternatif Paradigma

Pembangunan Nasional dan Daerah, FE-UNCEN. Rahail John 2013, PenyusunN peta kerja pelayanan KKB wilayah GALCITAS berbasis

pendekatan kontekstual di Provinsi Papua, Perwakilan BKKBN Provinsi Papua, Jayapura.

Rudito Bambang, 2003, Askes Peran Serta Masyarakat, Lebih jauh memahami Community

Development, Penerbit ICSD, Jakarta. Rumbiak, M.C, 1999., Membangun Keluarga Irian Yang Maju, Produktif dan Mandiri

Menyonsong Era Millenium Ketiga, Pusat Studi Kependudukan, Universitas Cenderawasih, Jayapura.

Stanley (Ed.), 2006, Memberdayakan Orang Papua, Penerbit Institut Studi Arus

Informasi, Jakarta