KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA Spike Fiddle) … file1 kajian organologis instrumen lagia (spike...

144
1 KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NAMA : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016

Transcript of KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA Spike Fiddle) … file1 kajian organologis instrumen lagia (spike...

1

KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA

DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016

2

Lembar Pengesahan

KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O L E H

Nama : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031

Disetujui oleh,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Drs. Mauly Purba,M.A.,Ph.D. Drs.Setia Dermawan Purba, M.Si.

NIP: 196108291989031003 NIP : 195608281986012001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan, untuk

memenuhi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016

3

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu

syarat Ujian Sarjana Seni bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada Tanggal:

Hari:

Fakultas Ilmu Budaya USU,

Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S.

NIP. 19600805 198703 1 001

Panitia ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D.

4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si

5. Drs.Fadlin, M.A.

4

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Drs. Muhammad Takari., Ph.D.

NIP. 196512211991031001

5

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi , dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam

daftar pustaka.

Medan, 18 Juli 2016

Happy Majesty Waruwu NIM. 120707031

6

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul : Kajian Organologis Instrumen Lagia (Spike Fiddle) Pada

Kebudayaan Musikal Masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili

Serangkai, Kabupaten Nias. Tulisan ini mengkaji instrumen Lagia dilihat dari sisi

konstruksi bangunan instrumen dan kesejarahannya yang dihubungkan dengan latar belakang

kebudayaan masyarakat Nias. Dengan metode deskriptif-analitis dan etno-antropologis,

penelitian ini membahas bagaimana mekanisme konstruksi bangunan instrumen sehingga

dapat menghasilkan bunyi dan menguji apakah benar instrumen Lagia adalah native

instrument ( instrumen lokal) bagi masyarakat Nias.

Hasil penelitian ini menunjukkan pertama, bahwa instrumen Lagia memiliki empat

bagian penting yaitu bagian resonator, kayu penyangga senar, senar dan busur penggesek.

Keempat bagian ini membentuk satu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan bunyi pada

instrumen Lagia. Dilihat dari sisi konstruksi, Lagia memiliki konsep bangunan yanng sama

dengan Erhu yang ada di China, meskipun berbeda dari sisi ukuran dan materi pembuatan.

Kedua, terkait dengan keberadaan instrumen Erhu yang ada di China dan didukung dengan

beberapa bukti sejarah tentang kedatangan masyarakat China di pulau Nias pada abad ke -11,

menunjukkan bahwa instrumen Lagia bukan merupakan native instrument (instrumen lokal)

melainkan hasil kontak budaya antara China dan Nias.

7

ABSTRACT

This thesis is entitled: Kajian Organologis Instrumen Lagia (Spike Fiddle) Pada

Kebudayaan Musikal Masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili

Serangkai, Kabupaten Nias. This thesis examines the Lagia in terms of building

construction and its historical instruments associated with the cultural background of Nias

people. With descriptive-analytic method and ethno-anthropological approach, this study

discusses how the mechanism of construction ,so that the instrument can produce sounds and

test whether the Lagia instrument is a native instrument (local instruments) for the people of

Nias.

The results of this study indicate, first, that the Lagia has four main parts, namely the

resonator, rafters strings, strings and bow . The fourth part is to form a system that aims to

produce sound on the instrument Lagia. In terms of construction, Lagia has simillar building

concept with the Erhu in China, although they differ in the size and material of manufacture.

Second, related to the presence of the instrument Erhu in China and supported by some

historical evidence of the arrival of Chinese people on the island of Nias in the 11th century ,

indicating that the Lagia instrument is not a native instrument (local instruments) but rather

the result of cultural contacts between China and Nias .

8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Banyak aspek kebudayaan suatu masyarakat yang dapat dipelajari dan ditelusuri

melalui satu kajian yang mendalam tentang asal-usul instrumen musikal. Nettl (1964:

204-210) menegaskan bahwa keberadaan berbagai instrumen musikal merupakan satu

dari banyak kunci yang tersedia untuk mengetahui berbagai latar belakang sejarah

kebudayaan musikal. Lebih jauh Nettl menjelaskan bahwa keberadaan dua atau lebih

instrumen musikal yang sama atau hampir sama di dua atau lebih kebudayaan musikal

mengindikasikan akan adanya kontak budaya yang mungkin terjadi di antara masyarakat

dan kebudayaan tersebut. Curh Sach (1962: 94-99) juga menekankan bahwa instrumen-

instrumen musikal di dalam berbagai kebudayaan musikal berperan sebagai simbol-

simbol penting di masyarakat pemilik tradisi musikal dimaksud. Artinya, studi tentang

instrumen tidak semata berkisar pada aspek fisik atau bunyi yang dihasilkan instrumen

an sich, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih mendalam tentang sejarah

kebudayaan masyarakat yang menggunakan instrumen tersebut, khususnya tentang

kontak budaya yang terjadi di dalam latar belakang sejarah kebudayaan musikal suatu

masyarakat.

Substansi penelitian proposal skripsi ini terinspirasi dari penjelasan Nettl (1964)

maupun Curt Sach (1962) di atas terkait dengan keberadaan instrumen Lagia yang ada

pada kebudayaan musikal masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan

Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai tunggal yang

terbuat dari akar pohon Salak (salacca zalacca). Sedangkan tabung resonator Lagia

terbuat dari bongkahan batang pohon Aren (arenga pinnata). Lagia dimainkan dengan

cara digesek menggunakan busur penggesek, sementara itu senar penggesek terbuat dari

9

bahan rotan (calamus manna). Mencermati strukturnya, maka instrumen Lagia dapat

digolongkan sebagai instrumen berklasifikasi alat gesek bersenar tunggal, dimana kayu

penyangga senar menembus tabung resonatornya (chordophone-spike fiddle-single

stringed). Pada umumnya dimainkan dalam formasi solo.

Dari hasil survei yang saya lakukan di desa Dahadanȍ Botombawȍ, saya

menemukan beberapa alat musik Lagia. Meskipun sudah sangat jarang digunakan, tetapi

pemain Lagia masih ditemukan di desa tersebut. Menurut penjelasan dari salah seorang

informan, bapak Hezatulȍ ndruru, mengatakan bahwa asal usul alat musik Lagia berasal

dari sebuah cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat Nias. Lagia adalah nama

seorang laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan dari pemukiman masyarakat dan

tinggal di hutan. Ketika merasa kesepian di hutan, lagia membuat alat musik yang terbuat

dari batang pohon aren dan melalui alat musik itu,lagia melantunkan nyanyian He Lagia

sebagai ungkapan rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik

tersebut, mereka menyebutnya Lagia. sejak saat itu alat musik Lagia dikenal masyarakat

sebagai alat musik sendu. Namun, cerita rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Selanjutnya, bapak Hezatulȍ ndruru juga menjelaskan bahwa alat musik Lagia

berkembang dan dikenal berasal dari wilayah Nias bagian tengah, yaitu di desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Namun, Lagia juga ditemukan di beberapa desa di kecamatan

Lȍlȍwa’u dan kecamatan Gomo wilayah Nias bagian selatan. Meskipun demikian, tidak

ada keterangan lebih jelas tentang keberadaan instrumen Lagia dikedua wilayah

kecamatan tersebut. Hal ini semakin menarik ketika saya bertanya kepada beberapa

orangtua dan juga mahasiswa yang berasal dari kecamatan Gomo, sebagian besar dari

mereka tidak mengenal apa itu lagia. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Lagia

lebih berkembang di desa Dahadanȍ Botombawȍ dibandingkan dikedua kecamatan

tersebut di Nias selatan? Bagaimana proses perkembangan instrumen Lagia di desa

10

Dahadanȍ Botombawȍ? Dengan demikian, rekonstruksi sejarah perlu dilakukan untuk

menjawab pertanyaan tersebut.

Alat musik yang serupa juga ditemukan dalam kebudayaan China, yaitu alat musik

Erhu. Lagia sangat menyerupai bentuk alat musik Erhu. Di dalam sebuah buku Asal usul

masyarakat Nias, dicatat bahwa antara tahun 1368 s/d 1645 pada masa pemerintahannya,

Dinasti Ming melakukan pelayaran dan mendirikan pelabuhan di sekitar tepi pantai barat

Sumatera. Pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Singkuang,yang terkenal dengan eksport

kayu meranti ke China dan menjadi pemukiman orang China yang terletak berhadapan

dengan kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo di Nias (Rao dalam P.Johannes

M.H,2001:163). Pernyataan ini semakin menarik dan menimbulkan pertanyaan, apakah

pada saat itu terjadi kontak budaya antara masyarakat China dengan masyarakat Nias,dan

bagaimana proses kontak budaya itu terjadi? Apakah mungkin Lagia adalah instrumen

tradisional masyarakat Nias tetapi berasal dari China? Apakah Lagia merupakan adaptasi

dari alat musik Erhu? Bagaimana perkembangan alat musik Lagia di desa Dahadanȍ

Botombawȍ, Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.

Dalam tulisan ini, ada dua hal yang akan dianalisa yaitu: struktur bangunan

instrumen Lagia, format atau bangunan struktur musik Lagia, metode dan proses

pembuatan, serta proses perkembangan instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ.

Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji

lebih dalam lagi mengenai instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan

Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Penulis bermaksud mengangkat topik ini menjadi satu

tulisan ilmiah yaitu skripsi sarjana untuk memenuhi syarat kelulusan dari Departemen

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu

penulis mengangkat satu judul penelitian yaitu:

11

“KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA ( Spike Fiddle) PADA

KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ

BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILISERANGKAI, KABUPATEN NIAS”.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan

beberapa pokok permasalahan di dalam penelitian tersebut antara lain :

1. Bagaimana bentuk atau struktur organologi serta struktur musik instrumen

Lagia.

2. Apakah Lagia merupakan native instrument (instrumen lokal) bagi masyarakat

Nias? Ataukah merupakan instrumen yang masuk ke dalam kebudayaan musik

masyarakat Nias melalui kontak budaya? Bagaimana sejarah perkembangan

alat musik Lagia di desa DahadanŐ BotombawŐ, Kecamatan Hiliserangkai,

Kabupaten Nias.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dan manfaat penelitian in sesuai dengan pokok permasalahan,

antara lain:

1.3.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui bentuk atau struktur organologis alat musik Lagia

2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan alat musik Lagia di desa DahadanŐ

BotombawŐ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

1.3.2. Manfaat

1. Agar menjadi bahan referensi untuk kegiatan penelitian khususnya penelitian

kebudayaan musikal masyarakat Nias.

2. Agar menjadi bahan dokumentasi acuan bagi pemerintah kabupaten Nias untuk

pelestarian kesenian di Nias

12

3. Agar menjadi dokumentasi dan referensi bagi masyarakat untuk

mengembangkan wawasan mengenai kebudayaan musikal masyarakat Nias.

1.4. Konsep dan Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep dan teori sebagai

pedoman bagi penulis untuk mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan dalam

skripsi ini. Adapun konsep dan teori tersebut, antara lain:

1.4.1.Konsep

Berikut ini adalah beberapa pendapat yang menjelaskan tentang apa itu organologi.

Pertama, Mantel Hood, seorang etnomusikolog, mengatakan bahwa organologi adalah:

“the science of musical instrument-should include not only the history description of instrument but also equally important but neglected aspect of the science of musical instruments, such as particular techniques of performance, musical function, decoration (as distinct from construction), and a variety of socio-cultural consideration” (kajian ilmu tentang alat musik tidak hanya mencakup deskripsi instrumen tetapi juga aspek yang sama pentingnya tetapi diabaikan seperti teknik permainan, fungsi musik, dekorasi (seperti perbedaan dari hal konstruksi), dan berbagai pertimbangan sosial-kultural (Hood 1971: 124). Menurut Peter William (1984), organologi adalah studi deskriptif dan analitis

tentang instrumen. Bagian penting dari studi organologi adalah: klasifikasi analitis

tentang instrumen dari tradisi kebudayaan yang berbeda; kesejarahan, perkembangan,

serta penggunaan, teknik permainan dalam konteks gaya musik. Sedangkan, menurut Sue

Carole Devale organologi adalah “(1)Describe as the science of sound

instrument....(2)concerned with all sound of instrument regards of use, function, culture

or historical periode”.(ilmu tentang musik...mempelajari semua peralatan bunyi tanpa

harus dibatasi oleh penggunaan, kebudayaan atau periode sejarah (Devale 1990:4-5).

Oleh karena itu, konsep operasional organologi yang saya maksud dalam penelitian

ini adalah studi deskriptif dan analitis tentang instrumen tanpa harus dibatasi oleh

13

penggunaaan, kesejarahan, dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam penelitian ini

kajian organologis Lagia tidak hanya dilihat dari struktur instrumen saja, tetapi latar

belakang instrumen Lagia juga perlu dikaji.

Tentang spike fiddle, Mantle Hood menjelaskan sebagai berikut:

“A bow stringed instrument with a neck that pierces the body and emerges from the lower end. Spike fiddle commonly have two or three strings, no frets, and held vertically”(Dengan kata lain spike fiddle adalah sebuah instrumen bersenar dengan leher atau gagang yang menembus badan resonator serta muncul pada ujung bawah resonator. Spike fiddle biasanya memiliki dua atau tiga senar/dawai, tanpa fret, dan dipegang secara vertical (Randel 2003: 837). Struktur musik. Struktur adalah (1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan;

bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; (2)pengaturan unsur atau bagian suatu

benda;(4)ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (Suharso, 2005: 500). Jadi, struktur

musik dapat diartikan sebagai susunan kejadian bunyi yang mempunyai kombinasi nada,

ritme, dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional.

Lagia adalah alat musik yang ditemukan dalam kebudayaan musikal masyarakat

Nias, berdawai tunggal terbuat dari akar salak, dengan resonator yang terbuat dari

bongkahan batang pohon aren dan busur penggesek terbuat dari rotan. Alat musik Lagia

merupakan alat musik yang tergolong spike fiddle.

Deskripsi analitis terdiri dari dua kata yaitu deskripsi yang artinya menguraikan

apa adanya, sedangkan analitis adalah menjelaskan secara lebih dalam dan detail dengan

fokus pada pertanyaan mengapa,dan bagaimana. Sehingga deskripsi analitis dapat

didefinisikan sebagai penguraian terhadap masalah untuk mengetahui keadaan yang

sebenarnya serta proses pemecahan masalah. Objek penelitian yang akan diuraikan adalah

struktur instrumen alat musik Lagia.

14

1.4.2. Kerangka Teori

Teori klasifikasi Sach dan Hornbortel yang membagi kategori instrumen musikal di

dunia. Curt sach-Horn bostel mengatakan bahwa: “...future classifiers of instruments

should consider this aspect of instruments along with the structure and sound – producing

mechanism”. (pengklasifikasian instrumen yang akan datang harus mempertimbangkan

struktur dari suara serta mekanisme penghasil bunyi (Sach-Hornbostel 1961:8).

Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada mekanisme produksi bunyi. Kelima klasifikasi

tersebut antara lain adalah aerophone yaitu sumber penggetar utama berasal dari udara;

membranophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari membran;

idiophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari instrumen itu

sendiri, dan chordophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari

dawai/ senar. Dengan kata lain, Prinsip pengklasifikasian Sach – Hornbostel tersebut jelas

dapat juga diaplikasikan di dalam menganalisa mekanisme produksi bunyi serta di dalam

menentukan sumber bunyi yang ada pada instrumen Lagia.

Pemahaman tentang struktur dan fungsi instrumen yang dijabarkan oleh Susumu

(1987) adalah suatu pedoman atau kerangka berpikir yang dapat dijadikan acuan di dalam

membangun pemahaman dalam pembahasan tentang struktur dan mekanisme produksi

bunyi instrumen Lagia.

“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument-observing, measuring and recording the shape, size,construction,and the materials used in making the instrument. The second deal with its function as a sound-producing tool, researching, measuring,and recording, the playing method, tuning method, sound-producing uses and the loudness,pitch, timbre,and quality of the sound produced”( Susumu,1987:174) 1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara struktural . yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Secara fungsional,yaitu fungsi instrument sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran, dan mencatat metode, memainkan instrumen, kualitas bunyi yang dihasilkan.

15

Jeff Titon dalam bukunya Wolrd’s of Music, mengatakan bahwa di dalam hal

memahami gaya musik maka harus memperhatikan empat hal yaitu : (1) elemen nada yang

meliputi tangga nada, modus, harmoni dan sistem laras; (2) elemen waktu yang meliputi

ritme dan birama; (3) elemen suara meliputi warna suara dan bunyi dari instrumen dan (4)

intensitas yang meliputi keras lembutnya suara tersebut (1984:5). Tangga nada (scale)

adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang tertinggi dengan interval

tertentu. A collection of pitches arranged in order from lowest to highest or from highest

to lowest ( Randel, 2003:757). Modus (mode) adalah tangga nada dengan jumlah tujuh

nada dengan interval setengah atau satu. Sementara itu, harmoni (harmony) adalah dua

nada atau lebih dengan interval tertentu dibunyikan secara bersamaan di waktu yang sama

(George,1974). Ritme (rythm) adalah gerakan yang terjadi dalam ruang waktu. Teori

tersebut menjadi pedoman untuk mengkaji struktur musik instrumen Lagia.

Kontak budaya adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok

manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu

kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan itu lambat

laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraninggrat,1990).

Margaret Kartomi mengatakan bahwa proses kontak budaya dapat terjadi melalui

enam cara yaitu: perang, perdagangan, wisata, penyebaran agama, perkawinan antar suku

dan sekolah. Kartomi menjelaskan tiga proses terjadinya kontak budaya yaitu:

(1) synthesis adalah penyatuan dari beberapa elemen yang membentuk sesuatu yg

kompleks (Oxford English Dict). Dalam pengertian musikal, synthesis adalah menyatunya

elemen-elemen yang kontradiksi dari dua atau lebih musik yang ‘tertekan’ melalui proses

dialektikal menjadi suatu elemen musikal yang baru; (2) syncretism adalah sejak thn 1840

16

diartikan sebagai usaha menyatunya atau rekonsiliasi dari unsur-unsur praktek agama yang

berlawanan atau berbeda, yang kemudian oleh William P Malm diartikan sbg penyatuan

unsur-unsur dari dua kebudayaan yang kemudian penyatuan itu merubah nilai-nilai dan

bentuk-bentuk asli terdahulu dari kebudayaan tersebut;(3) transculturation adalah satu

proses transformasi kebudayaan ditandai dengan masuknya elemen kebudayaan baru dan

hilangnya atau tergantinya sesuatu di dalam kebudayaan yang eksis sebelumnya.

Selanjutnya, terdapat enam respon dari ketiga proses kontak budaya tersebut menurut

Margareth kartomi, antara lain: virtual rejection of an impinging music (dalam kondisi

tertentu satu kebudayaan bisa saja menolak pengaruh musikal dari kebudayaan yang

menginvasi); Tranfer of discrete musical traits (menerima atau mengambil secara terpisah

satu aspek dari suatu kebudayaan dan proses ini terjadi secara damai. Transfer ini tidak

menyebabkan terjadinya perubahan yang major, dan transfer seperti ini tidak akan disertai

perubahan ‘rasa’ musikal, sikap maupun konsep yang siginifikan; Pluralistic coexistence

of music (Sebuah kebudayaan bisa berlanjut terus, sementara memberikan toleransi

terhadap praktek musik komunitas lainnya secara paralel, dan terpisah.); Nativistic musical

revival (sebuah kebudayaan musikal yg telah lama didominasi oleh kebudayaan musikal

lainnya dan telah mengabaikan tradisi musiknya, suatu ketika tersadar akan bahaya bahwa

tradisi musiknya bisa saja punah, dan kemudian membuat usaha untuk penyelamatannya);

Musical abandonment (hilangnya suatu tradisi musik bisa terjadi akibat adanya tekanan

atau intimidasi, atau bisa saja hilang secara alamiah jika institusi masyarakat yg

mengurusinya ‘mati’ dan diganti); Musical impoverishment (hilangnya atau berkurangnya

sebagian musik (kemampuan bermusik, repertoar) yang dimiliki akibat mengakomodir

aspek kebudayaan yang dominan).

Ini penting untuk menguji Lagia benar merupakan instrumen yang terdistribusi ke

dalam kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, pada saat terjadinya kontak

17

perdagangan antara pedagang China dengan masyarakat lokal. Jika hal tersebut benar

terjadi, teori ini juga akan menjadi dasar pemikiran untuk menjelaskan bagaimana proses

terjadinya kontak budaya tersebut.

Pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology juga

menjadi dasar pemikiran penulis untuk melihat apakah benar Lagia merupakan adaptasi

dari instrumen Erhu sebagai hasil dari proses kontak budaya, mengingat adanya kemiripan

antara kedua instrumen tersebut. Berikut kutipannya:

“...The fact that instruments are relatively so complex makes it possible to use them as indicators of cultural contact between peoples. If identical forms of instruments are found in separated areas, and if these forms are fairly complex, there is a strong possibility that they were brought from one area to the other, or to both from a third area”.(keberadaan dua instrumen yang sama atau hampir sama, kemungkinan besar bahwa keduanya mengalami kontak budaya yang mungkin terjadi diantara masyarakat dan kebudayaan) (Nettl,1964:206-207).

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengacu pada pendapat Bruno Nettl,

dalam Theory and Method Ethnomusicology, mengatakan bahwa ada dua hal metode

penelitian di dalam etnomusikologi , yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja

laboratorium (desk work)( Nettl, 1964:62).

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitis, yaitu menguraikan apa

adanya dan menjelaskan secara mendalam mengenai alat musik Lagia dari sisi struktur

instrumen dan struktur musik Lagia.

Berdasarkan pendapat Nettl di atas, maka dalam penelitian ini penulis melakukan

beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, kerja lapangan, wawancara,

pengamatan terlibat, perekaman, dan studi laboratorium.

18

1.5.1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data berupa tulisan-tulisan

yang melandasi penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah mempelajari

tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Penulis mengumpulkan tulisan,

artikel, buku, ensiklopedi, jurnal, dan berbagai literatur atau sumber bacaan yang memuat

sumber informasi tentang objek penelitian. Dengan dilakukannya studi kepustakaaan maka

dapat membantu penulis untuk melakukan penelitian lapangan.

Oleh karena itu, sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu

mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan objek penelitian atau

pun sumber tulisan lainnya yang mendukung penelitian ini. Studi ini berfungsi untuk

mendapatkan data-data yang relevan untuk membahas permasalahan dalam pembahasan

ini.

Ada pun beberapa tulisan yang berhubungan dengan tulisan ini antara lain:

Buku Asal Usul Masyarakat Nias, yang ditulis oleh P. Johannes Harmmelle pada

tahun 2001. Buku ini memuat tentang asal usul sejarah masyarakat Nias, dan mengutip

beberapa tulisan tentang kebudayaan-kebudayaan luar yang pernah masuk ke dalam

wilayah kebudayaan Nias. Kemudian skripsi Titi Krisnawati Laoli yang berjudul “ Studi

Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”.

Skripsi ini membahas tentang kebudayaan musikal Nias serta identitas musikal dalam

zinunŐ BNKP. Selanjutnnya artikel-artikel yang diterbitkan oleh yayasan pusaka Nias,

salah satunya buku Pusaka Nias dalam Media Warisan. Buku tersebut berisi atrikel-artikel

dan opini tentang berbagai kebudayaan Nias.

Sejauh ini, penulis belum pernah mendapatkan kepustakaan khusus mengenai alat

musik Lagia. Nasmun ditemukan adanya beberapa buku yang memberikan sedikit

penjelasan tentang alat musik Lagia berupa pengenalan dari sisi bentuk dan ukuran, cara

19

pembuatan, sejarah serta cara memainkannya. Meskipun demikian informasi yang didapat

tidak terlalu spesifik membahas secara mendalam tentang alat musik Lagia. Melalui

tulisan-tulisan tersebut diatas cukup memberikan informasi yang mendukung penelitian ini

untuk mrngetahui kebudayaan Nias.

1.5.2. Wawancara

Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi

penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.

Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang

berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau

situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Sementara wawancara

adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peliti

mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian

(responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan seseorang tersebut (face to

face), (Soekidjo, 2010: 139). Beberapa jenis wawancara yaitu : wawancara formal,

pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara dan wawancara baku terbuka.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara berfokus (focussed interview),dan

wawancara bebas ( free interview).

Pada penelitian ini, penulis akan mencari informasi dengan melakukan wawancara

dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui tentang alat musik Lagia, pemain alat

musik Lagia. Beberapa diantaranya adalah bapak Hezatulȍ Ndruru, sebagai salah seorang

karyawan di museum pusaka nias juga sebagai pemain alat musik tardisional nias. selain

itu penulis juga akan melakukan wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa sebagai

salah seorang tokoh masyarakat, pemain musik lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ,

Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.

20

1.5.3. Kerja Lapangan

Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi

penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.

Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang

berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau

situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Selain itu penullis juga mengacu pada pendapat Nettl yang mengatakan bahwa

kerja lapangan ( field work) dalam studi etnomusikologi adalah menunjuk pada

pengumpulan rekaman dan pengalaman musikal dalam budaya masyarakat tertentu. Di

dalam kerja lapangan,hasil lapangan yang terpenting tidak hanya hasil rekaman, tetapi

kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam budaya musikal yang sedang diteliti. Hasil

jenis ini adalah bayangan pekerjaan etnomusikologi yang mengembangkan bimusicality

sebagai tujuannya ( Nettl,1964 :62-63)

Penulis akan melakukan kerja lapangan dengan mendatangi desa Dahadanȍ

Botombawȍ yang berada di kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias yang umumnya

masyarakat di desa tersebut masih mengenal dan terdapat beberapa masyarakat yang

memiliki bahkan dapat memainkan alat musik Lagia.

1.5.4. Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik visual atau audio merupakan salah satu bagian terpenting yang

digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain melakukan wawancara. Perekaman

data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pembuatan alat musik lagia

oleh seorang pemain musik alat musik Lagia. Perekaman data ini dilakukan dengan

menggunakan kamera digital Sony dan Handphone Samsung Galaxy Grandprime. Media

21

tersebut digunakan untuk merekam proses pembuatan alat musik Lagia. Selanjutnya hasil

rekaman akan dianalisis.

1.5.5. Kerja Laboratorium

Semua hasil perekaman melalui kerja lapangan akan diolah dalam kerja

laboratorium dengan menggunakan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data,

penulis akan melakukan seleksi terhadap data dengan membuang data yang tidak perlu dan

menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan

deskriptif analitis guna penganalisisan data.

1.5.6. Transkripsi dan Analisis

Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian

transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to

written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam

bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902). Selanjutnya, Nettl mengatakan bahwa ada dua

pendekatan untuk mendeskripsikan musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan

apa yang kita dengar, dan (2)kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita

lihat .Oleh karena itu untuk menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk

menotasikan/menuliskan bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol

visual. Dengan demikian, penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur

bunyi instrumen lagia dari simbol notasi visual tersebut.Hal ini lah yang disebut transkripsi

dan analisis ( Netll 1964:97-98).

Untuk melakukan kegiatan transkripsi, penulis akan menggunakan metode

Weighted Scale dari William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa

karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale

(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes

22

(jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns

(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).

Simbol-silmbol yang akan dipakai dalam proses trankripsi adalah tanda birama 6/8

dengan menggunakan simbol notasi 1/8 yang bernilai ½ ketuk.

Time signature simbol istrahat not seperdelapan bernilai ½ ketuk

½ ketuk

1.6. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian yang dipilih penulis adalah desa Dahadanȍ Botombawȍ,

kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Penulis memilih lokasi penelitian tersebut

karena masyarakat di desa ini pada umumnya masih mengenal alat musik Lagia dan

terdapat beberapa masyarakat yang masih memiliki bahkan dapat memainkan alat musik

Lagia. Hal ini memungkinkan penulis untuk mengetahui lebih banyak mengenai instrumen

Lagia.

23

BAB II

IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN

Pada bab II akan dijelaskan secara singkat gambaran umum mengenai lokasi

penelitian yaitu desa Dahadanȍ Botombawȍ. Penjelasan meliputi letak geografis, sejarah

desa Dahadanȍ Botombawȍ, keadaan penduduk, sistem mata pencaharian, sistem

pemerintahan, bahasa, agama dan kesenian/kebudayaan. Lebih jauh akan dijelaskan

mengenai kesenian lokal yaitu sistem kesenian yang berkembang di desa Dahadanȍ

Botombawȍ. Aspek lain yang penting dibahas adalah deskripsi instrumen Lagia yang

merupakan instrumen yang berkembang di masyarakat setempat. Pembahasan tentang hal

ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya. Berikut adalah uraian tersebut secara

umum.

2.1. Gambaran Umum Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah satu desa yang terletak di Kecamatan Hili

Serangkai, Kabupaten Nias (lihat peta 1). Desa ini merupakan ibukota kecamatan dari

lima belas desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Hili Serangkai. Kelima belas desa

tersebut adalah desa Lȍlȍwua, desa Dahadanȍ Botombawȍ, desa Lȍlȍwua Hiliwarasi,

desa Fulȍlȍ , desa lalai, desa Hilizia Lauru, desa Fadoro Lalai, desa Lalai, desa Fulȍlȍ

Lalai, desa Lȍlȍfaȍsȍ Lalai, desa Fadoro Hunogȍa, desa Awela, desa Ehosakhozi, desa

Onombongi, desa Lȍlȍfaȍsȍ, dan desa Orahili Idanoi1. Jika dilihat dari wilayah

kebudayaan (culture area) kepulauan Nias, desa ini termasuk wilayah Nias bagian tengah.

Desa ini berjarak ±19 km dari kota Gunung Sitoli.

Penggunaan lahan di desa Dahananȍ Botombawȍ sebagian besar dipergunakan untuk

lahan perkebunan sedangkan sisanya untuk lahan pemukiman penduduk dan fasilitas-

1 Lihat Daftar Gambar (Peta Administrasi Kecamatan Hili Serangkai

24

Peta 1: Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Sumber:Profil Desa Dahadanȍ Botombawȍ; Peta Desa, 2016

25

fasilitas desa lainnya, seperti kantor balai desa, puskesmas rawat inap, gereja, taman

kanak-kanak, dan bangunan sekolah.2

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli

terhadap kebudayaan tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar seni desa yang

disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini telah banyak mengukir prestasi disetiap festival

kebudayaan Nias di wilayah se-Kabupaten Nias, yang dilaksanakan sekali dalam dua

tahun. Terakhir pada tahun 2014, sanggar ini ikut berpatisipasi dan dinilai sebagai

pertunjukkan terbaik pada saat itu. Perlu diketahui bahwa sanggar ini pertama sekali

dipelopori oleh alm A.Tuti Mendrȍfa, yang membangkitkan kesenian tradisional Nias

meliputi penggunaan alat-alat musik tradisi, nyanyian rakyat , dan tarian maena baluse.

Tarian maena baluse adalah salah satu kesenian yang sangat terkenal berasal dari desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Hal ini akan lebih lanjut dibahas pada sub judul berikutnya.

Di Desa Dahadanȍ Botombawȍ terdapat beberapa sarana prasarana pendidikan,

agama dan pemerintahan antara lain: dua buah gedung sekolah dasar negeri, satu buah

kantor kecamatan, satu buah gedung puskesmas rawat inap, satu buah kantor penyuluh

pertanian, dan tiga gedung ibadah, yaitu dua gedung ibadah Kristen Protestan (BNKP)

dan satu gedung ibadah untuk umat beragama Kristen Katolik.

2.1.1. Letak Geografis Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± 4.400 Mଶ, dimana 35% merupakan

pemukiman penduduk dan 65% merupakan lahan daratan yang digunakan sebagai lahan

perkebunan karet. Desa ini memiliki morfologi/ bentang alam yaitu perbukitan.

Desa Dahadanȍ Botombawȍ merupakan lalu lintas antar kabupaten. Hal ini

mengakibatkan desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat ramai disinggahi oleh masyarakat dari

2 Wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa, tanggal 1 April 2016 di SMA Swasta Pemda Gunungsitoli.

26

Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Selatan. Batas-batas wilayah desa Dahadanȍ

Botombawȍ adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Lȍlȍwua Kecamatan Hili Serangkai dan desa Sisobahili

Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli

Sebelah Timur : Desa Lȍlȍwua dan desa Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai

Sebelah Selatan : Desa Lȍlȍwua Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai

Sebelah Barat : Desa Tuhegaofoa I, desa Tetehȍsi, desa Hilihambawa, desa

Hilimbȍwȍ dan desa Hiliwaele ,Kecamatan Botomuzȍi

Desa Dahadanȍ Botombawȍ beriklim tropis, yang memiliki pengaruh terhadap pola

tanaman dan lahan pertanian. Selain itu, topografi wilayah perbukitan mengakibatkan

tanaman yang paling banyak tumbuh di wilayah ini adalah tanaman karet dan kakao. Oleh

sebab itu, keadaan iklim dan topografi desa Dahadanȍ Botombawȍ mempengaruhi sistem

pencaharian masyarakat pada umumnya, yaitu bekerja sebagai petani karet dan kakao.

Selain kedua tanaman tersebut, tanaman seperti pohon aren juga banyak tumbuh di

wilayah desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sehingga tidak sedikit masyarakat desa Dahadanȍ

Botombawȍ selain bekerja sebagai petani karet, mereka juga bekerja sebagai penyadap

nira.

2.1.2. Struktur Pemerintahan

Sama seperti sistem pemerintahan desa pada umumnya, sistem pemerintahan desa

Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh seorang kepala desa dan beberapa anggota aparat

desa lainnya (lihat bagan 1). Saat ini desa Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh bapak

Yustinus mendrȍfa sekaligus menjabat sebagai sekretaris desa. Aparat desa bekerja untuk

menjalankan program-program desa yang telah ditetapkan dari pemerintah pusat demi

kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa di setiap kecamatan.

27

Bagan 1: Struktur Pemerintahan Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Sumber : Profil desa Dahadanȍ Botombawȍ; Struktur Pemerintahan Desa, 2016

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)

Ketua BPD

ELISON MENDROFA

Walkil Ketua BPD

OPERIANUS MENDROFA

Anggota BPD

Tokoh Penggerak

Sanggar Aforeteholi

MARTHIN D.S MENDROFA

YUSTINUS MENDROFA

TOLONA MENDROFA

AMIELI MENDROFA

FATOLOSA MENDROFA

PEMERINTAHAN DESA

Pj. KEPALA DESA

YUSTINUS MENDROFA

KAUR PEMERINTAHAN

YA’ARO MENDROFA

KAUR PEMBANGUNAN

FORTUMEI MENDROFA

KAUR UMUM

FIYULISON MENDROFA

KADUS I

JUNI RAHMAD MENDROFA

KADUS II

SEHATI MENDROFA

KADUS III

HATO’O MENDROFA

KADUS IV

SOKHI ATULO MENDROFA

Sekretaris BPD

HUBERTUS MENDROFA

28

Desa ini terdiri atas empat dusun yang dibagi lagi menjadi beberapa RT/RW, dimana pusat

pemerintahan desa terletak di dusun II. Setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun

yang dipilih melalui musyawarah mufakat desa.

2.2. Sejarah Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Berbicara tentang sejarah desa Dahanȍ Botombawȍ berarti membahas mengenai asal-

usul berdirinya desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sejarah desa Dahadanȍ Botombawȍ dimulai

dengan suatu perkumpulan beberapa kelompok masyarakat hingga akhirnya berdiri lah

sebuah desa yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang pada awalnya mereka disebut

sebagai kepala kampung. Berikut penjelasan mengenai sejarah desa Dahadanȍ

Botombawȍ.3

Desa Dahadanȍ Botombawȍ berawal dari sebuah daerah yang disebut Fulȍlȍ

keturunan Maru bahili, berkembang menjadi sebuah daerah yang kemudian disebut

Sobagimbȍwȍ. Ketika itu, banyak penduduk yang tinggal di daerah Sobagimbȍwȍ.

Namun, bencana wabah penyakit melanda seluruh wilayah di desa tersebut dan

mengakibatkan ±70 orang warga desa meninggal dunia. Untuk menghindari korban yang

lebih banyak lagi, akhirnya penduduk desa Sobagimbȍwȍ pindah ke daerah Salo’o (kaki

gunung Hiliwarasi).

Masyarakat tersebut semakin banyak dan berkembang sehingga mereka terbagi ke

dalam beberapa perkumpulan yang disebut perkumpulan Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,

Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Dahadanȍ berasal dari

kata “daha” yang artinya perkumpulan dari Sobagimbȍwȍ, Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,

Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Sedangkan kata “danȍ”

3 Hasil wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa pada tanggal 10 April 2016, di desa Dahadanȍ Botombawȍ

29

artinya tanah/tempat tinggal. Kata “Botombawȍ”, berasal dari nama sebuah jalan yang

mempunyai bukit dan ditumbuhi oleh pohon mawȍ ( kayu jati) yang besar. Pada masa

pemerintahan Belanda, terbentuklah suatu nagari Dahadanȍ.

Pada awalnya penduduk berjumlah lima puluh kepala keluarga dipimpin oleh seorang

salawa silimawulu ( kepala adat) yaitu Kasoala Mendrȍfa ( Ama waelu mendrȍfa/ Bawa

duha). Pada saat itu, beliau disebut sebagai kepala kampung dari tahun 1905 s.d. 1917.

Setelah beliau meninggal, kepemimpinan desa dilanjutkan oleh Tarufa mendrȍfa (Ama

Lidia/Tuha angetula), memerintah dari tahun 1917 s.d. 1937. Setelah itu, kepemimpinan

dilanjutkan oleh Botokhi Mendrȍfa (Ama Mbalazi mendrȍfa/ Tuha aro, sebagai kepala

kampung dari tahun 1937 s.d. 1979. Sejak tahun 1979 istilah kepala kampung tidak lagi

disebut kepada seorang pemimpin desa, tetapi masyarakat sudah menggunakan istilah

kepala desa.

Oleh sebab itu, pada masa pemerintahan Botokhi Mendrȍfa dari tahun 1979-1985 ,

beliau disebut sebagai kepala desa. Setelah masa jabatan beliau habis, dia digantikan oleh

Faogoli Mendrȍfa (Ama Rorogȍ Mendrȍfa/ Tuha samaedohili) yang dipilih melalui

pemilihan kepala desa oleh masyarakat dan memerintah dari tahun 1985-1998. Setelah

masa jabatannnya berakhir, maka pemilihan kepala desa yang baru kembali dilaksanakan

dan menetapkan Balazi Mendrȍfa ( Ama Gameda) sebagai kepala desa, memerintah dari

tahun 1998-1999. Di tengah masa pemerintahannya beliau meninggal dunia. Untuk

melanjutkan tugas kepemimpinannya, maka diangkat lah seorang pelaksana tugas kepala

desa yaitu Temasȍkhi Mendrȍfa yang memerintah dari tahun 1999 s.d. 2008. Pemilihan

kepala desa untuk periode selanjutnya menetapkan beliau sebagai kepala desa tetap dan

memerintah dari tahun 2009-2014. Setelah periode itu berakhir, dipilih lah seorang Pj.

Kepala desa An. Solima Gulȍ ( Ina Calvin Mendrȍfa) selama satu tahun. setelah selesai

masa jabatannya, kepemimpinan selanjutnya dipimpin oleh Yustinus Mendrȍfa (Ama

30

Christin Mendrȍfa) sebagai kepala desa sekaligus sebagai sekretaris desa sejak bulan

Maret 2015 sampai hari ini.

Dengan demikian, perkembangan kepemimpinan desa sejak berdirinya desa

Dahadanȍ Botombawȍ dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 1:

Sejarah kepemimpinan desa Dahadanȍ Botombawȍ

Tahun Nama kepala desa Keterangan

1905-1917 Kasoala Mendrȍfa Kepala Kampung

1917-1937 Tarufa Mendrȍfa Kepala Kampung

1937-1979 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Kampung

1979-1985 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa

1985-1998 Faogȍli Mendrȍfa Kepala Desa

1998-1999 Balazi Mendrȍfa Kepala Desa

1999-2014 Temazȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa

2015-sekarang Yustinus Mendrȍfa Kepala Desa

2.3. Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah penduduk asli suku Nias yang

memiliki adat istiadat yang sama dan mayoritas beragama Kristen Protestan. Menurut

informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi

nilai gotong- royong dan kearifan lokal lainnya sejak berdirinya desa Dahadanȍ

Botombawȍ. Hal tersebut secara efektif mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang

31

terhindar dari bentrok antarkelompok masyarakat desa. Meskipun jauh dari wilayah

perkotaan, namun pengaruh gaya hidup masyarakat di kota masih ditemukan di desa ini.

Penggunaan teknologi dan transportasi sudah berkembang seperti di kota Gunung Sitoli.

2.3.1. Sistem Mata Pencaharian

Keadaan morfologi geografis desa Dahadanȍ Botombawȍ yaitu lahan perbukitan.

Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di desa ini sangat cocok terhadap

perkembangan tanaman karet dan kakao. Oleh sebab itu, 65% dari luas wilayah desa

digunakan sebagai lahan perkebunan karet. Dengan demikian, untuk memenuhi

kebutuhannya sehari-hari, masyarakat di desa ini pada umumnya mengusahakan lahan

perkebunan karet. Sebagian masyarakat bekerja sebagai tukang bangunan, peternak ayam

dan babi, pedagang dan sebagian lagi penduduknya bekerja di instansi pemerintah sebagai

pegawai negeri sipil. Perbedaan status ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat

mengakibatkan adanya kelompok rumah tangga yang miskin, sedang, dan kaya (Yustinus,

2016).

2.3.2. Bahasa dan Agama

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ

adalah bahasa Nias ( Li Niha), dengan logat bahasa wilayah Nias bagian tengah (Brian,

2012:51). Meskipun demikian, pengaruh bahasa melayu Indonesia juga ditemukan di desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Masyarakat sudah mengenal bahasa Indonesia dan sebagian dari

mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ mayoritas menganut agama Kristen Protestan

dan sebagian lagi menganut agama Kristen Katolik. Kedua kelompok masyarakat ini

memiliki hubungan yang baik, dan masing-masing melaksanakan kegiatan agamanya.

32

2.3.3 Jumlah Penduduk dan Tingkat Pendidikan

Penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ berjumlah 1.243 jiwa yang terdiri dari laki-

laki: 606 jiwa dan perempuan berjumlah 637 jiwa. Sementara itu, jumlah kepala keluarga

terdiri dari 227 kepala keluarga yang terbagi ke dalam empat wilayah dusun.

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki tingkat pendidikan yang

berbeda-beda. Berikut penjelasannya:

Tabel 2:

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

Belum sekolah

Pra sekolah SD SLTP SLTA Sarjana

79 orang 265 orang 267 orang 245 orang 289 orang 98 orang

Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa

Dahadanȍ Botombawȍ pada umumnya berada di tingkat pendidikan SLTA.

2.4. Sistem Kesenian

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli

terhadap kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya satu sanggar seni budaya yang

disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini menjadi sarana bagi pemuda-pemudi desa untuk

belajar dan mengenal kesenian tradisi berupa alat musik, nyanyian, dan tarian tradisional

Nias. Informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa mengatakan bahwa sanggar desa ini sudah

berdiri sejak tahun 70-an dan selalu menjadi yang terbaik disetiap pertunjukkan festival

budaya di wilayah Kabupaten Nias, yang dilaksanakan setiap sekali dalam dua tahun.

Ada pun beberapa alat musik yang diperkenalkan dalam sanggar tersebut antara lain

gȍndra, faritia,aramba, tutuhao, lagia, fondrahi, tamburu, koroso, duri mbalȍduhi, doli-

33

doli, surune, koko. Dalam setiap pertunjukkannya, paling tidak terdapat sepuluh instrumen

yang selalu digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian tradisional nias. Perlu

diketahui bahwa hampir semua alat musik tersebut diatas dimainkan dalam bentuk

ensambel, kecuali Lagia dimainkan secara solo.

Salah satu kesenian yang sangat terkenal dari sanggar desa ini adalah tari maena

baluse. Tarian ini adalah tarian yang diikuti oleh beberapa pemuda/i dan orangtua yang

diiringgi oleh beberapa instrumen tradisional Nias. Dalam pertunjukkannya, penari maena

baluse masing-masing memegang gari (pedang) di tangan kiri dan baluse (tameng) di

tangan kanan. Mereka menari sambil diiringi oleh alat musik tradisi seperti gȍndra,

aramba, faritia, dan beberapa instrumen lainnya. Tarian ini merupakan tari penyambutan

tamu disetiap acara tertentu di desa Dahadanȍ Botombawȍ maupun di wilayah Kabupaten

Nias.

Sejarah berdirinya sanggar desa Aforeteholi pada awalnya dipelopori oleh alm. Ama

Tuti Mendrȍfa sekitar tahun 70-an. Pada saat itu beliau membangkitkan musik tradisi,

nyanyian dan tarian maena baluse di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Pada awalnya mereka

selalu mengadakan latihan bersama setiap minggunya di lapangan terbuka. Namun,

berdasarkan informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, sampai saat ini sanggar Aforeteholi

mengalami kemunduran. Badan pengurus harian sanggar ini sudah tidak jelas lagi dan

latihan rutinitas tidak lagi dilaksanakan. Beliau menambahkan bahwa pemuda/i desa hanya

akan melaksanakan latihan ketika mereka hendak mengikuti festival yang dilaksanakan

oleh pemerintah di Kabupaten Nias atau mengisi acara pada kegiatan tertentu.

Terkait dengan pembasan tulisan ini mengenai instrumen Lagia, penulis sangat

prihatin dengan eksistensi instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Lagia sudah

tidak banyak diminati oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Selain itu, pada

34

kegatan festival kebudayaan terkahir pada tahun 2014, Lagia tidak dimainkan pada saat

pertunjukkan. IPTEK telah mempengaruhi minat remaja dan warga desa Dahadanȍ

Botombawȍ untu mengembangkan instrumen Lagia.4 melihat keadaan seperti itu, penulis

berpendapat bahwa kemungkinan instrumen Lagia bisa saja punah di masa yang akan

datang.Meskipun demikian, penulis masih menemukan beberapa warga masyarakadat

desa Dahadanȍ Botombawȍ yang bisa memainkan insttrumen Lagia.

Pengaruh teknologi seperti masuknya alat musik modern mengakibatkan penduduk di

desa Dahadanȍ Botombawȍ kurang memberi perhatian terhadap kesenian tradisi, tidak

seperti yang dilakukan oleh gnerasi desa di awal berdirinya sanggar Aforeteholi.

Gbr.2: Penari maena baluse dan pemain musik tradisi pada kegiatan festival budaya nias tahun 2014

(Dokumentasi: Yustinus, 2014)

4 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Ama Logis Mendrȍfa, tanggal 10 April 2016 di Desa Dahadanȍ Botombawȍ

35

2.5. Kesimpulan

Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah salah satu dari kelima belas desa yang termasuk

ke dalam wilayah Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Dilihat dari wilayah

kebudayaan (culture area), desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk ke dalam wilayah Nias

bagian tengah. Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± 4.400 meter persegi, dan

pada umumnya merupakan lahan perkebunan karet dengan topografi perbukitan. Desa

Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh kepala desa dan beberapa aparat desa. Bahasa yang

digunakan oleh penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah bahasa Nias ( Li Niha)

yang digunakan oleh masyarakat Nias pada umumnya. Sedangkan dilihat dari sisi

kepercayaannya, mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen Protestan.

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah masyarakat yang peduli dengan

kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar yang disebut sanggar

Aforeteholi. Dari beberapa instrumen tradisi, Lagia menjadi salah satu instrumen yang

diperkenalkan dan diajarkan bahkan dipertunjukkan di festival kebudayaan se-Kabupaten

Nias. Selain itu, Desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat terkenal dengan seni tarinya yaitu tari

maena baluse .

Namun perkembangan sanggar Aforeteholi mulai surut semenjak datangnya pengaruh

perkembangan IPTEK khususnya dibidang kesenian, seperti masuknya instrumen modern

dan penggunaan MP3. Pengaruh ini mengakibatkan penurunan daya tarik masyarakat di

desa Dahadanȍ Botombawȍ untuk mempertahankan kesenian tradisional Nias yang sudah

lama berkembang di wilayah mereka. Beberapa alat musik tradisional seperti Lagia, sudah

jarang digunakan bahkan jika dilihat dari fisik instrumen, alat musik ini tidak layak pakai.

36

BAB III

DESKRIPSI INSTRUMEN LAGIA

Pada bab III akan dijelaskan mengenai deskripsi instrumen Lagia. Penjelasan tersebut

meliputi klasifikasi instrumen, konstruksi Lagia, sejarah Lagia, proses pembuatan dan

teknik memainkan Lagia. Lebih jauh akan menjelaskan konstruksi fisik instrumen Lagia

sebagai instrumen chordophone-spike fiddle-singgle stringed (instrumen berdawai tunggal

dengan kayu penyangga senar menembus tabung resonator). Aspek lain yang penting

dibahas adalah mekanisme penghasil bunyi pada instrumen Lagia yang akan dibahas di

bab selanjutnya. Berikut penjelasan deskripsi instrumen Lagia.

3.1. Klasifikasi Instrumen Lagia

Curth sach dan Hornbostel dikenal dengan teorinya yaitu sistem pengklasifikasian

instrumen dunia (1961). Sistem ini didasarkan pada sumber penggetar utama pada

instrumen, sehingga setiap instrumen dapat menghasilkan bunyi. Klasifikasi ini kemudian

dikenal dengan sistem klasifikasi Sach-Hornbostel.

Berdasarkan sistem tersebut, Sach-Hornbostel membagi instrumen dunia ke dalam

empat klasifikasi yaitu:

A. Idiophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah badan

atau tubuh instrumen itu sendiri. Contohnya adalah gong, xilophone, dll.

B. Membranophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal

dari membran/ kulit. Contohnya gendang.

C. Aerophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal dari

udara yang bergetar. Contohnya seruling, terompet,saksofon, dll.

37

D. Chordophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah

dawai/senar. Contohnya biola, cello, gitar, sitar,dll.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka instrumen Lagia digolongkan ke dalam

klasifikasi:

A. Chordophone singgle stringed, yaitu instrumen kordofon berdawai tunggal.

B. Spike fiddle, yaitu instrumen kordofon dimana gagang penyangga senar menembus

resonator.

C. Frettless, yaitu instrumen kordofon yang tidak memiliki batas pemisah pada

papan jari penghasil nadanya (fret).

3.2. Sejarah Instrumen Lagia

Lagia adalah salah satu instrumen musikal masyarakat Nias yang sudah sangat lama

dikenal. Instrumen ini hanyalah salah satu dari instrumen diantara beberapa instrumen

lainnya seperti tutuhao (idio-chordophone), gȍndr (double head-membranophone) , faritia

(Idiophone), aramba (idiophone), doli-doli (xilophone), fondrahi (membranophone),dll.

Uniknya, Lagia adalah satu-satunya instrumen berdawai tunggal pembawa melodi dalam

instrumen musikal masyarakat Nias. Instrumen ini adalah instrumen berdawai tunggal

dengan resonator yang terbuat dari batang pohon aren, senar terbuat dari tutura (rotan),

dan gagang penyangga senar menembus resonator. Instrumen ini dimainkan

menggunakan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan. Jelas bahwa Lagia

dimainkan dalam bentuk formasi solo. Hal- hal yang berkaitan dengan konstruksi Lagia

secara jelas akan dibicarakan pada sub judul berikutnya.

Sejarah mengenai asal-usul instrumen ini tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat

Nias. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, asal usul instrumen Lagia berkembang dari sebuah

38

cerita rakyat yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Pusaka Nias Dalam Media

Warisan. Di dalam buku tersebut ditulis bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang

laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan ditengah hutan, jauh dari pemukiman

penduduk. Laki-laki tersebut bernama Ba’uruna. Ketika merasa kesepian di hutan,

Ba’uruna membuat alat musik yang terbuat dari batang pohon aren dan melalui alat musik

itu, dia melantunkan sebuah nyanyian yang dikenal dengan “He lagia” sebagai ungkapan

rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik tersebut, mereka

menyebutnya Lagia. Sejak saat itu Lagia dikenal masyarakat sebagai alat musik sendu.

Lagia terus berkembang hingga banyak dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya

dimainkan di ladang saja, namun sudah dimainkan dalam upacara kematian. Namun, cerita

rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Pendapat yang kedua dikemukakan oleh bapak Yustinus mendrȍfa. Beliau

mengatakan bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang penyadap nira yang berasal

dari daerah Nias bagian tengah. Hal ini dikaitkan karena pada zaman dahulu, disaat

masyarakat Nias lebih banyak bekerja sebagai petani, mereka menciptakan sesuatu benda

yang bisa dimainkan dan menghasilkan bunyi. Benda tersebut dapat terbuat dari benda-

benda alam yang ada disekitar mereka. Jelas bahwa benda tersebut berfungsi sebagai

hiburan pribadi ketika sedang istrahat dari pekerjaan mereka. Demikian halnya dengan

Lagia. Instrumen ini diciptakan oleh seorang penyadap nira yang sedang kesepian di hutan

sembari menunggu tempat penampungan niranya penuh. Mereka memotong batang pohon

aren (Arengga Pinatta) yang sudah tidak menghasilkan nira lagi dan menjadikannya

sebagai badan dari alat musik yang mereka buat. Proses hingga benda tersebut dapat

menghasilkan bunyi mengalami proses yang lama hingga mereka menemukan akar salak

(Salacca Zallaca) sebagai senar dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan

39

(Callamus Manna) . Namun asal usul nama nama instrumen Lagia, tidak diketahui secara

jelas.

Apabila dilihat dari sisi konstruksi fisik instrumen, Lagia sangat mirip dengan

instrumen Erhu yang ada di China. Dalam sebuah buku berjudul Asal Usul Nias, pastor

Hammerle sudah menulis tentang pengaruh kebudayaan China pada tahun 1348 s/d 1684

yang ada hubungannya dengan sejarah peradaan masyarakat di pulau Nias. Meskipun

tidak ada tulisan yang secara jelas menulis tentang pengaruh kebudayaan musikal, dalam

hal ini pengaruh instrumen Erhu terhadap Lagia, namun tulisan pastor Hammerle paling

tidak menimbulkan hipotesis penulis bahwa Lagia kemungkinan besar mendapat

pengaruh dari instrumen Erhu yangg dibawa oleh masyarakat China ketika terjadi kontak

budaya antar masyarakat lokal. Penjelasan lebih detail tentang hal ini akan dijelaskan

pada pembahasan bab selanjutnya.

3.2.1. Lagia Dalam Music In Nias Oleh Japp Kunts (1939).

Tulisan tentang instrumen Lagia sudah ditulis terlebih dahulu oleh seorang

etnomusikolog bernama Japp Kunts dalam bukunya yang berjudul Music In Nias (1939).

Japp Kunts dalam bukunya tersebut menulis tentang klasifikasi instrumen musikal dalam

masyarakat Nias berdasarkan sistem klasifikasi oleh Curt sach dan Hornbostel (1961).

Dalam tulisan tersebut, Kunts menulis sebuah nama instrumen tergolong kordofon yaitu

instrumen One Stringed Spitted Lute (instrumen jenis lute yang berdawai tunggal).

Dalam tulisannya tersebut, Kunts tidak menulis secara jelas nama instrumen bahkan

mengatakan “...native name unknown” (nama lokal daripada instrumen tersebut tidak

diketahui). Kunts menambahkan bahwa instrumen ini sangat primitive dan dimainkan

dengan sebuah busur ( very primitive spitte lute played with a bow). Instrumen spitted lute

ditemukan di Nias Selatan pada tahun 1925 oleh Dr. Paul Wirz dan diperkenalkan sampai

ke museum etnologikal di Bale. Kunts mendeskripsikan bangunan instrumen yaitu

40

resonator instrumen terbuat dari kayu berbentuk konis yang keras dan berongga, bagian

belakang terbuka dan bagian depan terrtutup oleh sepotong kayu tipis. Gagang instrumen

merupakan tongkat kayu yang panjang menembus diameter resonator sehingga beberapa

sentimeter muncul pada bagian resonator dan membentuk kaki pada instrumen (..foot of

the instrumen). Senar instrumen ini terbuat dari serat bambu ( bamboo fibre). Selain itu,

Kunts juga menyebut bahwa instrumen ini memiliki bridge berbentuk setengah lingkaran

(semicircular) yang memberikan jarak antara resonator dengan senar. Untuk mengatur

ketegangan senar, Kunts mengatakan bahwa tidak hanya melalui bridge tetapi dapat juga

diatur dengan memindahkan bagian yang melingkar (loop) ke atas atau ke bawah (Kunts,

1939:43). Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud “the loop” oleh Kunts pada gagang

senar adalah Nasa5, yaitu bagian yang berbentuk cincin dipasang secara melingkar pada

gagang senar berfungsi untuk mengatur ketegangan senar.

Berdasarkan deskripsi instrumen Spitted lute yang dikemukakan oleh Japp Kunts,

penulis yakin bahwa instrumen yang dimaksud adalah Lagia. Namun, kemungkinan

istilah Lagia pada saat itu (sekitar tahun 1925 pada saat ditemukan oleh Dr. Wirz) belum

dipakai oleh masyarakat Nias sebagai native name instrument (nama lokal instrumen)

untuk menjelaskan instrumen spitted lute, sehingga Kunts tidak menyebut istilah Lagia

dalam tulisannya tersebut. Selain itu, Kunts mengatakan bahwa adanya bagian yang

melingkar pada bagian gagang (the loop). Tulisan ini menunjukkan bahwa Lagia sudah

ada sejak 91 tahun yang lalu. Namun penulis berpendapat bahwa Lagia yang ditemukan

oleh Dr. Wirz kemungkinan sudah ada sebelum tahun 1925.

3.3. Konstruksi Lagia

Untuk membahas konstruksi instrumen Lagia, penulis mengacu pada instrumen Lagia

yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Instrumen ini terdiri dari beberapa bagian yang

5 Lihat Gbr 10 dalam Bab III :Nasa. Hal. 37

41

memiliki fungsi masing-masing (lihat lampiran daftar Gambar). Penjelasan mengenai

bagian-bagian dari instrumen Lagia akan dijelaskan pada sub judul pembahasan berikut

ini.

3.4. Teknik Pembuatan Lagia

Pembahasan mengenai teknik pembuatan Lagia meliputi bahan baku pembuatan dan

proses pembuatan. Di dalam pembahasan ini penulis mengacu pada informasi dari bapak

Hezatulȍ Ndruru sebagai informan penulis.

3.4.1. Bahan Baku Pembuatan Lagia

Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai pembuat alat musik Lagia

mengatakan bahwa sesungguhnya ukuran bagian-bagian Lagia tidak memiliki standar

ukuran yang tetap. Ukuran Lagia tergantung kepada pembuatnya. Beliau juga

menambahkan bahwa pada zaman dulu, pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang

baku seperti pemggaris, tetapi mereka menggunakan sistem jengkal. Hal ini menimbulkan

perbedaan ukuran-ukuran Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis mengacu pada ukuran

Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Berikut penjelasannya:

3.4.1.1. Bahan Pembuatan Resonator

30-35 cm

18-22 cm

Gbr.4. Batang Pohon aren (Dokumentasi: penulis,2016)

42

Resonator adalah bagian daripada instrumen Lagia yang terbuat dari batang pohon

aren, nibung atau sembarang kayu yang dinilai memiliki kualitas yang baik dan tentunya

tahan lama, tidak mudah rapuh. Salah satu sisi resonator dibiarkan terbuka, sementara sisi

lainnya ditutup menggunakan pelepah pinang atau triplek. Ukuran resonator tidak tetap.

Namun, pada umumnya resonator berukuran 30-35 cm, dengan diameter ± 18-22 cm. kayu

yang digunakan sebagai resonator memiliki ketebalan ± 1,5 cm. Menurut penjelasan

bapak Hezatulȍ Ndruru, awalnya resonator Lagia terbuat dari batang pohon aren. Namun

pada perkembangannya, pembuat Lagia tidak lagi memilih batang pohon aren karena sulit

ditemukan, sehingga mereka mencari alternatif lain dan memilih kayu yang dianggap

memiliki kualitas yang baik. Meskipun demikian, batang pohon aren memiliki kualitas

kayu yang tahan lama dan tidak mudah rapuh. Namun, apabila dilihat dari kualitas bunyi

yang dihasilkan, resonator yang terbuat dari batang pohon aren menghasilkan bunyi yang

lebih kecil dan cenderung rendah dibandingkan dengan resonator yang terbuat dari kayu

yang menghasilkan bunyi yang lebih nyaring. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, hal ini

dipengaruhi oleh ketebalan kayu aren dibandingkan dengan sembarang kayu yang

memiliki ketebalan lebih tipis.

3.4.1.2. Bahan Pembuatan Gagang Senar

75-80 cm

Gbr.5. Gagang senar pada Lagia

(Dokumentasi : Penulis,2016)

Gagang senar pada instrumen Lagia dibuat sama seperti batang kayu yang

digunakan sebagai resonator. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, gagang senar

43

Lagia disesuaikan dengan kayu yang digunakan sebagai resonator. Hal ini berarti apabila

resonator terbuat dari batang pohon aren, maka gagang senarnya terbuat dari potongan

kayu aren yang sudah dipotong dan ditipiskan. Gagang ini tidak memiliki ukuran yang

tetap, tergantung kepada pembuat Lagia. pada umumnya gagang ini berukuran ± 75-80

cm. Kayu sebagai penyangga senar menembus sampai ke bagian bawah resonator. Ujung

senar yang ditarik miring dari ujung atas kayu akan diikatkan pada ujung kayu yang

menembus resonator tersebut.

3.4.1.3. Senar

Senar pada instrumen Lagia terbuat dari akar salak (wa’a guluwi). Namun,

keterbatasan sumber daya alam akar salak maka pembuat Lagia menggunakan tutura6

sebagai alternatif lain untuk dijadikan sebagai senar Lagia pengganti akar salak. Senar

yang terbuat dari tutura ( rotan) yang memiliki ukuran ± 1.5 meter. Penjelasan dari bapak

Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa sebelum senar digesek, tutura terlebih dahulu diolesi

air sehingga kesat dan bisa menghasilkan bunyi akibat gesekan pada busur penggesek.

Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, pada zaman dahulu, pemain Lagia pada

umumnya memiliki kebiasaan makan sirih, sehingga mereka cukup meludahi air sirih itu

ke atas instrumen, lalu senar pada busur penggesek dioleskan ke resonator tersebut.

Gbr.6. Senar Lagia

( Dokumentasi : penulis,2016)

6 Sejenis tumbuhan sebangsa rotan yang banyak tumbuh di wilayah hutan di Pulau Nias. di wilayah Nias Selatan, istilah untuk menyebut tumbuhan ini adalah tura-tura. Ketersediaan tutura dalam jumlah yang banyak dan tidak sulit ditemukan mengakibatkan pembuat Lagia menggunakan tumbuhan ini sebagai senar pada Lagia.

44

3.4.1.4. Bridge (Jembatan senar)

Gbr.7. Bridge (Dokumen:penulis, 2016)

Bridge pada instrumen Lagia terbuat dari sembarang kayu. Namun, pada Lagia yang

dibuat oleh Bapak Hezatulȍ Nduru, bridge terbuat dari kayu sineu yang berukuran panjang

± 5 cm dan tinggi ± 3.5 cm. Jembatan senar ini dipasang pada penutup sisi kanan

resonator yang menyangga senar supaya tidak menyentuh penutup pada sisi kanan

resonator.

Gbr. 8. Posisi bridge pada penutup resonator (Dokumentasi : Penulis,2016) Selain di bagian penutup resonator, bridge ini juga dipasang di sebelah atas nasa di

ujung atas gagang senar, berfungsi untuk mengatur ketegangan senar. Bridge ini bersifat

moveable. Apabila bridge digeser ke bawah, maka senar akan semakin tegang dan

sebaliknya. Hal ini mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Lagia.

45

3.4.1.5. Penutup Sisi Kanan Resonator

Bagian penutup sisi kanan resonator dibuat dari mowa (pelepah pinang) yang

ukurannya disesuaikan dengan ukuran diameter resonator. Penggunaaan mowa sebagai

penutup sisi kanan resonator sudah lama dikenal oleh pembuat Lagia. Namun, pada saat

ini mereka tidak lagi menggunakan mowa, tetapi menggunakan kayu yang tipis atau

triplek. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa mowa memiliki

kelemahan yaitu sifatnya yang cepat kering yang membuat penutup resonator terbuka,

sehingga dianggap tidak terlalu baik untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring.

Sementara itu, triplek memiliki batas nilai guna yang cukup lama dibandingkan dengan

pelepah pinang (mowa). Pada bagian tengah mowa atau triplek dibuat lubang dengan

diameter ± 2 cm. Lubang pada penutup sisi kanan resonator berfungsi untuk menghantar

bunyi pada bagian penutup yang diterima melalui getaran pada bridge yang dihasilkan

oleh gesekan busur penggesek pada senar Lagia.

Gbr.9. Mowa (pelepah pinang) (Dokumentasi : penulis,2016)

3.4.1.6. Nasa

Nasa adalah bagian pada instrumen Lagia berbentuk cincin yang terbuat dari tutura,

dipasang melingkar pada bagian atas gagang senar dibawah bridge (lihat gbr 10). Nasa

46

berfungsi sebagai pengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan oleh isntrumen lagia.

Sama halnya seperti bridge yang dipasang pada bagian atas gagang senar, nasa juga

bersifat moveable. Apabila nasa digeser makin ke bawah, maka nada yang dihasilkan

lagia akan semakin tinggi dan sebaliknya. Tentunya, pada saat nasa digeser bridge pun

ikut digeser mengikuti arah nasa bergeser. 7

Gbr. 10. Nasa (Dokumentasi penulis, 2106)

3.4.1.7. Busur Penggesek

Busur penggesek Lagia terbuat dari kayu yang memiliki sifat lentur sehingga mudah

melengkung membentuk busur 8. Pada saat ini pembuat Lagia lebih banyak menggunakan

bambu. Sementara itu, senar penggesek terbuat dari tutura yang juga digunakan sebagai

senar pada Lagia. Panjang kayu yang dibutuhkan adalah ± 35 cm, dilengkungkan sampai

180. Sementara itu, senar penggesek (tutura) memiliki panjang ± 30 cm (lihat daftar

gbr). Dalam teknik permainannya, senar busur penggesek terlebih dahulu diolesi dengan

air. Hal ini sangat berpengaruh terhadap intensitas bunyi Lagia. Apabila busur penggesek

7 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 14 April 2016 di Museum Pusaka Nias. 8 Lihat daftar Gambar (busur penggesek)

47

tidak diolesi air maka gesekan tidak akan menghasilkan bunyi. Pembasan lebih lanjut

mengenai hal ini akan dibahas pada sub pembasan berikutnya.

3.5. Peralatan yang Digunakan

3.5.1. Pahat

Pahat adalah berupa alat bilah besi yang memiliki ujung yang tajam. Pahat adalah

salah satu peralatan yang sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan Lagia yaitu sebagai

alat untuk melubangi resonator serta mengurangi ketebalan kayu (Hezatulȍ,2016).

Gbr.11.Pahat (Dokumentasi: Penulis,2016)

3.5.2. Gergaji

Gergaji digunakan untuk memotong kayu yang digunakan sebagi gagang peyangga

senar Lagia yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.

Gbr.12. Gergaji (Dokumentasi: Penulis, 2016)

48

3.5.3. Palu Kayu

Palu kayu merupakan alat yang digunakan untuk memukul pahat dalam proses

melubangi resonator Lagia.

Gbr.12. Palu kayu (Dokumentasi: Penulis,2016)

3.5.4. Kampak

Kampak digunakan sebagai alat untuk memotong dan batang pohon aren/ kayu lain

yang akan dijadikan sebagai resonator.

Gbr.13. Kampak (Dokumentasi: Penulis, 2016)

3.5.5. Parang

Parang digunakan sebagai alat untuk membersihkan batang pohon aren yang sudah

dipotong . Parang membersihkan bagian kulit bagian luar dari batang pohon.

Gbr.14. Parang (Dokumentasi: Penulis,2016)

49

3.5.6. Amplas

Amplas atau disebut juga sebagai kertas pasir adalah jenis kertas yang digunakan

untuk membuat permukaan benda-benda menjadi lebih halus, dengan cara menggosokkan

salah satu permukaan amplas pada permukaan benda. Dalam proses pembuatan Lagia,

amplas digunakan untuk menghaluskan permukaan batang pohon yang digunakan sebagai

resonator.

3.5.7. Lem Perekat

Lem perekat yang digunakan dalam proses pembuatan Lagia adalah lem china yang

digunakan untuk merekatkan triplek yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran diameter

resonator pada ujung kanan resonator, berfungsi sebagai penutup lubang resonator.

3.6. Proses Pembuatan

Proses pembuatan Lagia terdiiri atas beberapa tahap yang tidak sekaligus dilakukan

dalam waktu yang bersamaan, terlebih pada saat pengumpulan bahan baku seperti batang

pohon aren atau kayu sineu, rotan, dan bahan baku lainnya. Setelah bahan-bahan yang

diperlukan sudah tersedia, baik bahan baku maupun peralatan, maka selanjutnya adalah

proses pembentukan bahan dan dibentuk sesuai dengan desain kerangka, konstruksi pada

bagian Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis akan memberi informasi berdasarkan bentuk

dan ukuran instrumen lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Beliau menjelaskan

bahwa pada umumnya lagia dibuat dengan ukuran panjang resonator ± 30-35 cm, gagang

senar ± 1 m, dan panjang senar ±1,5 m. Jarak bridge dengan nasa juga akan

mempengaruhi intensitas bunyi serta tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan. Selain itu,

jarak antara lubang penyangga senar dengan ujung kanan resonator memiliki jarak ±12

cm. Sementara itu, lubang pada bagian penutup sisi kanan resonator memiliki diameter ± 2

cm.

50

Proses pembuatan Lagia pada dasarnya dilakukan secara manual tanpa menggunakan

peralatan mesin. Proses ini dimulai dari proses pengumpulan bahan baku, proses

pemahatan pada resonator, pengikisan hingga proses penghalusan.

Tabel 1.

Tahapan proses pembuatan instrumen Lagia

NO TAHAPAN

PENGERJAAN

BAGIAN

PENGERJAAN

1. TAHAP I Proses pengumpulan bahan baku

Proses pembersihan dan pengikisan bagian luar

resonator.

2 TAHAP II Proses pembuatan lubang dan pengikisan bagian

dalam resonator

Proses pembuatan lubang pada resonator sebagai

tempat gagang senar

3. TAHAP III Proses pembuatan bagian penutup resonator

Proses pembuatan lubang pada bagian penutup

resonator

4. TAHAP IV Pemotongan kayu gagang senar

Proses pemasangan gagang senar

Proses pemasangan senar ,bridge dan nasa

Proses pembuatan busur penggesek

Tahap akhir

51

3.6.1. Tahap I

3.6.1.1. Proses Pengumpulan Bahan Baku

Proses pengumpulan bahan baku adalah proses yang paling awal dalam pembuatan

Lagia. Pada proses ini, bapak Hezatulȍ Ndruru biasanya memesan bahan baku dari

Lahusa atau Gomo (wilayah Nias Selatan), sehingga beliau tidak langsung turun ke

lapangan tetapi menunggu pesanannya tersebut dikirim dari kampung. Penjelasan dari

bapak Hezatulȍ Nduru mengatakan bahwa bahan baku yang dipesan tersebut antara lain;

batang pohon akhe (aren) , dan tutura (rotan). Proses ini membutuhkan waktu selama ±2

minggu hingga sampai kepada bapak Hezatulȍ Nduru. Ukuran kayu yang dipesan

disesuaikan dengan kebutuhan yaitu batang pohon aren atau kayu sineu yang berdiameter

18-22 cm.

Panjang batang pohon seluruhnya tergantung keadaan pohon yang dipilih. Batang

pohon tersebut kemudian dipotong menjadi bongkahan- bongkahan yang memiliki

panjang 30-35 cm. Selain itu, proses pembuatan lubang pada resonator sebagian sudah

dilakukan. Menurut bapak Hezatulȍ Nduru, hal ini menghewat waktu dalam proses

pemotongan serta pembuatan lubang pada bagian dalam resonator. Beliau menambahkan

bahwa bongkahan kayu tersebut tidak hanya digunakan sebagai resonator Lagia saja,

tetapi juga digunakan sebagai bahan pembuatan tutu atau tamburu, yaitu gendang kecil

termasuk ke dalam klasifikasi membranophone-double head.

3.6.1.2. Proses Pembersihan dan Pengikisan Bagian Luar Resonator

Perlu diketahui bahwa bagian luar daripada bongkahan batang pohon aren atau

pohon sineu yang telah dipotong masih sangat kasar. Bagian luar bongkahan batang pohon

aren, misalnya, masih ditutupi oleh serabut dan kulit bagian luar, demikian juga dengan

batang pohon sineu yang masih kasar dan tertutup dengan kulit bagian luar. Oleh sebab itu

dibutuhkan proses pembersihan untuk mengikis kulit bagian luar bongkahan batang

52

pohon supaya terlihat lebih halus dan siap untuk dijadikan sebagai resonator lagia (lihat

gbr.15)

Proses ini dilakukan dengan menggunakan kampak. Selama proses ini, pembuat

Lagia harus lebih hati-hati untuk menghindari kerusakan pada bagian luar resonator.

Selain untuk membersihkan kulit bagian luar, proses ini juga sekaligus bertujuan untuk

mengurangi ketebalan resonator.

Gbr.15. proses pembersihan bagian luar resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

53

Gbr.16. Proses pembersihan bagian ujung resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.2. Tahap II

3.6.2.1. Proses Pembuatan Lubang dan Pengikisan Bagian Dalam Resonator.

Proses pemahatan/ pembuatan lubang pada resonator adalah proses yang dilakukan

setelah proses pembersihan bagian luar resonator. Proses ini menggunakan pahat untuk

melubangi bagian dalam resonator. Perlu diketahui bahwa proses ini telah dilakukan

terlebih dahulu oleh pengrajin dimana kayu ini dipesan. Sehingga, bongkahan batang

pohon aren yang diterima oleh bapak Hezatulȍ Ndruru sudah dalam keadaan berlubang.

Meskipun demikian, proses pembuatan lubang ini tidak dilakukan secara sempurna,

sehingga dibutuhkan proses pemahatan lebih lanjut. Proses ini akan dilakukan oleh bapak

54

Hezatulȍ Nduru. Selama proses ini, peralatan yang dibutuhkan antara lain; palu kayu dan

pahat.

Gbr.17. Proses pembuatan lubang pada resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

Selain pembuatan lubang , proses ini juga sekaligus bertujuan untuk mengikis bagian

dalam resonator, untuk mengurangi ketebalan kayu (lihat Gbr. 17 dan 18) Tentunya hal ini

akan sangat berpengaruh pada bunyi yang akan dihasilkan. Apabila ketebalan

resonatornya semakin tipis, maka intensitas bunyi yang dihasilkan akan lebih besar dan

sebaliknya. Perlu diketahui bahwa bongkahan batang pohon aren memiliki sifat kayu

yang sangat keras dan tebal, sehingga proses pembuatan lubang ini membutuhkan waktu

yang lama sekitar ±1 minggu bahkan lebih. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan bagi

55

pembuat Lagia untuk mencari batang pohon pengganti yang tidak lebih tebal dan keras

dibandingkan dengan batang pohon aren, seperti batang pohon sineu. Dengan

mendapatkan batang pohon pengganti, maka hal ini tentunya akan menghemat waktu

pembuatan Lagia. Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru, ketebalan kayu

yang diharapkan menjadi resonator paling tidak mencapai ±1-1,5 cm. Proses ini

membutuhkan ketelitian dan sikap hati-hati untuk menghindari kerusakan pada resonator.

Gbr.18. Pengikisan lubang resonator

(Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.2.2. Proses Pembuatan Lubang Pada Resonator Sebagai Tempat Gagang senar.

Langkah selanjutnya adalah membuat lubang pada bagian luar resonator sebagai

tempat gagang senar. Proses ini diawali dengan mengukur jarak antara ujung resonator

yang akan ditutupi dengan triplek atau pelepah pinang dengan lubang gagang senar.

56

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam hal pengukuran, pembuat Lagia tidak

menggunakan alat ukur yang baku, tetapi menggunakan sistem jengkal atau menggunakan

benda di sekitar mereka sebagai patokan dalam hal pengukuran selama proses pembuatan

Lagia.

Dalam proses pengukuran jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar,

bapak Hezatulȍ Ndruru menggunakan gergaji sebagai patokan ukuran jarak tersebut.

pertama-tama beliau mengukur diameter resonator (lihat gbr 19) , kemudian mengukur

jarak ujung resonator dengan lubang gagang senar dengan jarak setengah dari diameter

resonator (lihat gbr 20). Diameter resonator Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru adalah 22 cm, sehingga jarak antara ujung resonator dengan lubang tempat gagang

senar adalah 11 cm.

Gbr.19. Proses mengukur diameter resonator menggunakan gergaji (Dokumentasi penulis, 2016)

57

Setelah itu, langkah selanjutnya adalah mengukur lebarnya kayu/ gagang senar untuk

menentukan besarnya lubang yang akan dibuat. Kemudian mulai lah melubangi resonator

sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Mengingat Lagia adalah instrumen spike

fiddle, maka proses pembuatan lubang gagang senar tidak hanya di bagian atas resonator,

tetapi bagian bahwah resonator ikut dilubangi tegak lurus/ vertikal dengan lubang atas

resonator. Proses pembuatan lubang ini menggunakan palu kayu dan pahat (lihat gbr 22).

Perlu diketahui bahwa pembuat Lagia selain tidak menggunakan alat ukur baku,

mereka juga tidak menggunakan alat tulis sebagai alat untuk menandai ukuran yang

diinginkan pada resonator. Mereka cukup mengandalkan benda sekitar seperti parang yang

bisa digoreskan sehingga mereka dapat mengingat ukuran yang diinginkan pada resonator

(lihat gbr 21).

Gbr. 20. Proses mengukur jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar (Dokumentasi penulis, 2016)

58

Gbr.21. Menggunakan parang sebagai penanda untuk mengingat ukuran yang ditentukan

(Dokumentasi penulis, 2016)

59

Gbr.22. Proses pembuatan lubang tempat gagang senar. (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.3. Tahap III

3.6.3.1. Proses Pembuatan Bagian Penutup Sisi Kanan Resonator

Setelah proses pembuatan lubang pada resonator, maka dilanjutkan dengan

pembuatan bagian penutup lubang pada sisi kanan resonator. Pada umumnya pembuat

menggunakan pelepah pinang untuk membuat bagian penutup pada sisi kanan resonator.

Perlu diketahui bahwa pelepah pinang tidak terlalu sulit ditemukan karena tumbuhan

pinang tumbuh banyak diwilayah daratan kepulauan Nias. Namun, pelepah pinang

mempunyai kekurangan yaitu sifatnya yang tidak tahan lama dan cepat kering. Apabila

mereka menggunakan pelepah pinang, maka pembuat Lagia harus secara rutin mengontrol

bagian penutup resonator tersebut. Jika sudah tidak layak dipakai lagi maka harus

60

digantikan dengan pelepah pinang yang baru. Hal ini sangat merepotkan bagi pembuat

Lagia.9 Oleh sebab itu, pembuat Lagia mencari bahan pengganti yang lebih tahan lama,

dan akhirnya memilih triplek untuk menggantikan pelepah pinang sebagai penutup sisi

kanan resonator. Selain tahan lama, bahan penutup resonator yang terbuat dari triplek juga

akan mempengaruhi intensitas bunyi. Bagian penutup triplek akan menghasilkan bunyi

yag lebih nyaring.

Gbr. 23 Proses Pengukuran diameter pelepah pinang pada sisi resonator

(Dokumentasi penulis, 2016)

9 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, pada tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli

61

Sebelum proses pemasangan bagian penutup resonator, maka terlebih dahulu pelepah

pinang diukur sesuai dengan diameter resonator ,demikian juga halnya dengan triplek

(lihat gbr 23). Awalnya pelepah pinang yang belum dipotong, diletakkan pada resonator

tepat di bawah salah satu sisi lubang resonator. Resonator dalam keadaan didirikan.

Kemudian, oleh si pembuat Lagia akan memotong pelepah pinang secara melingkar dari

kanan ke kiri menggunakan pahat (lihat gbr 24). Dengan demikian akan didapatkan ukuran

yang sama antara diameter bagian penutup dengan sisi lubang resonator.

Gbr.24. Proses pemotongan pelepah pinang menggunakan pahat

(Dokumentasi penulis, 2016)

Setelah proses pemotongan selesai, proses selanjutnya adalah pembuatan lubang pada

bagian penutup tersebut. Ukuran diameter lubang ini diperkirakan saja, disesuaikan

62

dengan ukuran diameter resonator.10 Namun, pada umunya lubang ini berdiameter ±2 cm.

Setelah pembuatan lubang pada bagian penutup, kemudian pelepah pinang siap untuk

dipasang pada sisi kanan resonator (lihat gbr 25). Namun Perlu diketahui bahwa proses

pemasangan bagian penutup berbeda disesuikan bahan apa yang digunakan. Apabila

menggunakan triplek, maka si pembuat Lagia akan menggunakan lem perekat untuk

merekatkan triplek pada sisi kanan resonator. Tetapi apabila menggunnakan pelepah

pinang, maka si pembuat Lagia tidak menggunakan lem perekat tetapi cukup dengan

memasang bridge sebagai perekat pelepah pinang pada resonator.

Gbr.26. Proses pemasangan pelepah pinang pada sisi kanan resonator.

(Dokumentasi penulis, 2016)

10 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Nduru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yous Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli

63

3.6.4. Tahap IV

3.6.4.1. Proses Pemotongan Kayu Penyangga Senar

Setelah proses pembuatan bagian penutup sisi kanan resonator, tahap selanjutnya

adalah mempersiapkan kayu penyangga senar untuk siap dipasang pada resonator. Kayu

yang digunakan adalah kayu yang tidak mudah patah dan tahan lama. Pada awalnya

pembuat Lagia mengggunakan kayu dari batang pohon nibung, atau pohon aren. Namun,

saat ini selain kedua jenis kayu tersebut, batang pohon sineu juga menjadi alternatif lain

yang digunakan sebagai kayu penyangga senar. Pada saat bahan baku dipesan, maka kayu

penyangga senar sudah dalam keadaan dipotong dengan ukuran panjang yang tidak

teratur, tetapi ketebalan kayu sudah diukur sekitar ±2 cm.

Gbr.27. Proses pemotongan kayu penyangga senar

(Dokumentasi penulis, 2016)

64

Proses pemotongan kayu (lihat gbr. 27) penyangga senar selanjutnya akan dikerjakan

oleh pembuat Lagia dengan cara memperkirakan panjang kayu menggunakan sistem

jengkal. Apabila di ukur dengan dengan alat ukur penggaris, panjang kayu mencapai 80

cm- 1 meter. Kayu ini dipotong menggunakan gergaji.

Setelah kayu dipotong sesuai dengan ukuran yang ditentukan, langkah selanjutnya

adalah memasang kayu pada lubang tenpat gagang senar pada bagian atas resonator yang

berjarak ±11 cm dari ujung sisi kanan resonator. Perlu diperhatikan bahwa terkadang

besarnya lubang dengan ketebalan kayu penyangga senar berbeda. Apabila hal ini terjadi

maka yang dilakukan adalah mengikis bagian ujung kayu penyangga menggunakan parang

(lihat gbr 28).

Gbr.28. Proses pengikisan ketebalan ujung kayu penyangga senar (Dokumentasi penulis, 2016)

65

Proses ini bertujuan supaya kayu penyangga tidak longgar sehinggga tidak mudah

lepas. Apabila lubang yang dibuat terlalu besar, maka yang dilakukan adalah melilit

bagian ujung kayu penyangga menggunakan tutura (rotan). Setelah itu kayu penyangga

ditancapkan ke lubang resonator hingga menembus lubang di bagian bawah resonator

yang telah dibuat tegak lurus dengan lubang sisi atas resonator . Panjang ujung kayu

peyangga yang menembus resonator adalah sekitar ± 0,5-1 cm (lihat gbr 29).

Gbr. 29. Bagian bawah resonator dan panjang gagang senar yang menembus resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.4.2. Proses Pemasangan Senar, Bridge, dan Nasa

Proses selanjutnya adalah pemasangan senar, bridge dan Nasa. Pertama adalah

pemasangan senar. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa senar yang digunakan adalah

tutura (rotan) yang berukuran panjang ± 1,5 meter. Perlu diketahui bahwa pada ujung

kayu penyangga dibuat sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai tempat dimana senar

akan diikatkan pada ujung kayu. Setelah senar diikatkan pada ujung kayu penyangga,

senar ditarik miring ke arah sisi kanan resonator. Senar ditarik sampai ke bawah resonator

dimana ujungnya diikatkan pada ujung kayu penyangga yang menembus resonator. Perlu

66

diperhatikan bahwa pada saat pemasangan senar, senar harus benar-benar dibuat setegang

mungkin karena ketegangan senar akan mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.

Bridge adalah bagian jembatan senar yang dipasang pada bagian penutup resonator.

Selain itu, bridge juga di pasang pada pertengahan ujung kayu penyangga dengan nasa.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa baik nasa maupun bridge berfungsi untuk mengatur

ketegangan senar dan mengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan Lagia. Oleh

sebab itu setelah proses pemasangan senar dilanjutkan dengan pemasangan bridge baik

pada bagian penutup sisi kanan resonator maupun pada bagian pertengahan atas kayu

penyangga dan juga nasa. Dengan demikian, pembuat Lagia dengan mudah mengatur

ketegangan senar.

3.6.4.3. Proses Pembuatan Busur Penggesek

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek

menggunakan busur penggesek. Busur penggesek terbuat dari kayu yang bersifat lentur

seperti jenis bambu dan senarnya yang terbuat dari tutura (rotan). Proses pembuatan busur

penggesek diawali dengan pembuatan gagang senar yang berukuran ± 35 cm dan senar

yang berukuran panjang ± 30 cm.

Langkah pertama adalah mengikat salah satu ujung senar pada salah satu ujung kayu

(lihat gbr.30). Setelah itu, ujung senar yang lain akan diikatkan pada ujung kayu/ bambu

lainnya. Perlu diperhatihan bahwa pada proses pemasangan ujung senar kedua pada ujung

kayu penyangga/ bambu, dalam waktu bersamaan ujung kayu penyangga akan ditarik

melengkung sehingga membentuk sudut 180, diikuti dengan mengikatkan ujung senar

pada ujung kayu yang dilengkungkan tersebut (lihat gbr 31). Ornamentasi juga dibuat

untuk menambah nilai estetika pada busur penggesek.

67

Ornamen ini berupa proses dimana kayu/ bambu dililit menggunakan tutura (rotan),

sehingga bentuk asli kayu/ bambu busur penggesek tersebut tidak kelihatan karena

tertutupi lilitan rotan.

Gbr. 30. Ujung senar penggesek diikatkan pada salah satu ujung kayu

(Dokumentasi penulis, 2016)

68

Gbr. 31. Proses pemasangan senar penggeser; kayu penyangga dilengkungkan (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.4.4.Tahap Akhir

Tahap akhir dari pembuatan Lagia adalah proses akhir yang dilakukan setelah proses

utama pembuatan Lagia sudah selesai. Tahap akhir ini meliputi: penghalusan resonator,

dan penyelarasan bunyi. Pemberian ornamen pada Lagia ditentukan menurut keinginan si

pembuat Lagia. Namun pada umumnya Lagia tidak diberi ornamen ataupun diwarnai

menggunakan cat. Hal ini bertujuan untuk menjaga keaslian warna Lagia11. Adapun

ornamen yang digunakan oleh pembuat Lagia adalah ornamen kebudayaan Nias, yaitu

lambang segitiga berwarna merah, kuning dan hitam.

Proses penghalusan resonator adalah kegiatan yang menggunakan amplas untuk

membuat bagian luar resonator terlihat lebih halus. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, pada

awalnya proses ini tidak dilakukan oleh pembuat Lagia. Mereka cukup membuat

bagaimana supaya benda yang mereka buat itu dapat menghasilkan bunyi sehingga bisa

11 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli

69

menjadi hiburan bagi mereka12. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

pembuat Lagia melakukan proses penghalusan resonator untuk mendapatkan hasil kerja

yang lebih baik.

Setelah proses penghalusan maka tahap pengerjaan terakhir yang dilakukan oleh

pembuat Lagia adalah melakukan penyelarasan bunyi dengan mengatur nasa dan bridge

dengan cara menggeser ke bawah atau ke atas ujung kayu penyangga senar. Hal ini jelas

akan mempengaruhi tinggi-rendahnya bunyi dan intensitas bunyi yang dihasilkan Lagia.

Proses penyelarasan bunyi pada Lagia tidak menggunakan instrumen lain yang menjadi

patokan untuk mendapatkan tinggi –rendahnya nada yang sesuai dengan sistem notasi

barat. Proses ini dilakukan cukup sederhana,yaitu pembuat Lagia cukup menyesuaikan

pitch nada yang dihasilkan disesuaikan menurut pendengaran si pembuat Lagia. Hal ini

akan dibahas lebih jelas pada sub judul berikutnya.

Setelah proses penyelarasan bunyi dianggap sudah sesuai oleh si pembuat Lagia,

dengan demikian proses pembuatan instrumen Lagia sudah selesai dan siap untuk

dimainkan.

3.7. Teknik Memainkan Instrumen Lagia

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek (Friction)

menggunakan busur penggesek. Cara memainkan Lagia hampir sama seperti memainkan

instrumen Cello atau Erhu. Lebih lanjut dalam pembahasan akan menjelaskan tentang

bagaimana posisi tubuh pada saat memainkan Lagia. Aspek mekanisme produksi bunyi

juga akan menjadi hal penting yang akan dibahas dalam pembahasan ini.

12 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli

70

3.7.1. Posisi Tubuh Memainkan Lagia

Posisi badan pada saat memainkan sebuah instrumen adalah hal penting yang harus

diperhatikan untuk mendapatkan posisi yang nyaman bagi seorang pemain alat musik.

Posisi tubuh saat memainkan Lagia didasarkan pada kebiasaan yang berkembang dalam

kehidupan kesenian masyarakat Nias.13 Pada saat memainkan Lagia, posisi badan adalah

duduk dilantai dan kayu penyangga senar disandarkan pada bahu sebelah kiri (lihat gbr

32). Sementara itu resonator diletakkan menyentuh lantai. Posisi kaki diatur tidak terlalu

terikat. Posisi kaki disesuaikan menurut keinginan si pemain Lagia. Ada pemain Lagia

yang melipat kaki kiri sementara kaki kanan dibuat lurus ke depan mengarah ke resonator

dan sebaliknya. Hal ini mementingkan posisi kaki yang nyaman bagi si pemain Lagia.

Gbr. 32. Posisi Tubuh memainkan Lagia

( Dokumentasi : penulis, 2016)

13 Pada umumnya posisi seorang pemain musik dalam masyarakat Nias pada saat memainkan alat musik adalah duduk di lantai. Kecuali pada saat memainkan Gȍndra( gendang), faritia(canang), dan Aramba (gong) dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias, pada umumnya pemain musik dalam keadaan berdiri. Meskipun demikian dalam sebuah pertunjukkan budaya masih ditemukan pemain musik tradisional Nias memainkan alat musik dengan posisi berdiri, seperti pemain surune (seruling).

71

Selain posisi tubuh, hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi jari, khususnya jari

tangan sebelah kiri. Posisi jari sebelah kiri diletakan diatas kayu penyangga senar tepat di

bawah nasa. Posisi ini diatur untuk membentuk formasi jari-jari yang menekan senar saat

memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Sementara itu tangan kanan memegang

busur penggesek.

3.8. Mekanisme Produksi Bunyi Instrumen Lagia

Mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia adalah sebuah sistem yang

berkesinambungan antara komponen-komponen instrumen pada Lagia. komponen-

komponen daripada Lagia masing-masing memiliki fungsi masing-masing, sehingga

bekerja membentuk sebuah sistem untuk menghasilkan bunyi. Telah dijelaskan

sebelumnya bahwa instrumen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur

penggesek. Sementara itu tinggi-rendahnya nada ditentukan oleh posisi nasa dan bridge

pada kayu penyangga senar. Sedangkan jari-jari tangan sebelah kiri bergerak menekan

senar untuk memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Setelah merasa sudah nyaman

dengan posisi tubuh, pemain Lagia siap untuk memainkan Lagia.

Pada saat memainkan Lagia, posisi tangan kanan pemain memegang ujung kiri bawah

busur penggesek kemudian menarik busur dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

Perlu diketahui bahwa posisi busur penggesek diletakkan pada senar dekat dengan bagian

penutup sisi kanan resonator. Selain itu hal yang harus diperhatikan adalah sebelum

memainkan Lagia, terlebih dahulu baik itu senar maupun senar busur penggesek harus

diolesi dengan air. Apabila tidak diolesi dengan air maka gesekan busur penggesek pada

senar tidak bisa menghasilkan intensitas bunyi yang nyaring.

Proses pengolesan air pada kedua senar adalah kegiatan untuk membuat senar menjadi

kesat oleh karena air sehingga serat yang tidak terlihat pada tutura akan dihasilkan lebih

72

banyak. Serat yang dihasilkan lebih banyak pada kedua senar akan bergesek sehingga

menimbulkan bunyi yang lebih nyaring. Dalam waktu yang bersamaan jari tangan kiri

akan menekan senar sehingga menghasilkan tinggi nada yang berbeda sesuai dengan nada

yang diinginkan. Jelas bahwa pada saat busur penggesek ditarik maka terjadi gesekan pada

senar. Gesekan tersebut menimbukan getaran yang ditransfer pada bridge yang dipasang

pada bagian penutup resonator. Kemudian getaran yang diterima oleh bridge akan

diteruskan pada lubang bagian penutup resonator (pelepah pinang atau triplek) sehingga

menggetarkan udara yang ada di dalam lubang resonator dan akhinya mengeluarkan bunyi

pada lubang resonator sisi kiri yang dibiarkan terbuka. Demikian mekanisme instrumen

Lagia menghasilkan bunyi.

3.9. Nada Yang Dihasilkan Instrumen Lagia

Perlu diketahui bahwa informasi mengenai nada yang dihasilkan oleh instrumen

Lagia dalam tulisan ini didasarkan pada penjelasan dari bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai

seorang pembuat sekaligus pemain alat musik tradisional Nias. Lagia memiliki senar

tunggal yang terbuat dari tutura (rotan) yang bersifat frettless. Pada umumnya Lagia

menghasilkan empat nada dan tidak mempunyai nada terendah. Nada tersebut adalah

do,re,mi, fa, Posisi jari sebelah kiri sangat menentukan untuk menghasilkan ke empat nada

yang berbeda ini mengingat Lagia adalah instrumen yang bersifat fretlless.

Instrumen Lagia dikenal hanya dapat mengiringi lagu He Lagia .14 Lagu tersebut

memiliki melodi yang sederhana yaitu terdiri dari empat nada (tetratonik). Lagu He Lagia

adalah lagu yang dikenal oleh masyarakat Nias sebagai satu-satunya lagu yang dapat

diiringi oleh instrumen Lagia.

14 Satu-satunya lagu yang dikenal masyarakat diiringi oleh instrumen Lagia adalah lagu “He Lagia” ( hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru). mengenai hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada pembahasan bab IV tulisan ini.

73

Di dalam hal menentukan nada dasar / tonal pada instrumen Lagia, penulis

menggunakan tuner. Sebagai hasilnya, penulis menemukan bahwa nada dasar pada

instrumen Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru adalah nada Ges. Oleh sebab

itu, keempat nada yang terdapat pada instrumen Lagia adalah nada Ges, As, Bes dan B.

Posisi jari sangat menentukan untuk menghasilkan nada-nada tersebut mengingat

instrumen ini bersifat frettless.

Dengan mempelajari teknik permainan dari Bapak Hezatulȍ Ndruru, penulis

memperkirakan nada yang dihasilkan berdasarkan posisi jari pada instrumen Lagia pada

saat dimainkan adalah sebagai berikut:

Terbuka : Nada Do

Ibu jari : Nada Re

Jari telunjuk : Nada Mi

Jari tengah : Nada Fa

3.10. Kesimpulan

Dengan demikian deskripsi instrumen Lagia meliputi klasifikasi instrumen yang

didasarkan pada sistem Sach-Hornbostel, proses pembuatan, tahapan pengerjaan, teknik

memainkan, mekanisme produksi bunyi dan nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen

Lagia. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai yang termasuk klasifikasi Chordophone-

Spike fiddle- singgle-stringed yang dibuat dari bahan baku sumber alam yaitu batang aren

pohon aren atau batang pohon sineu, potongan kayu nibung atau aren, dan akar salak atau

rotan. Ketiga bahan baku tersebut dibentuk dengan pola dan ukuran masing-masing yang

memiliki fungsi masing-masing. Proses pengumpulan bahan baku cukup memerlukan

waktu dibandingkan dengan proses pembuatan instrumen Lagia yang lebih cepat. Selama

proses pengerjaan instrumen Lagia memerlukan berbagai peralatan yang bisa membantu

74

proses pembuatan Lagia lebih cepat. Perlu diketahui bahwa dalam hal pengukuran,

pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang baku seperti penggaris. Mereka cukup

mengandalkan sistem jengkal untuk memperkirakan ukuran bagian-bagian Lagia.

Teknik memainkan Lagia pertama-tama adalah memperhatikan posisi tubuh dan jari

tangan kanan-kiri. Hal ini terkait dengan posisi nyaman bagi seorang pemain Lagia.

selebihnya adalah terkait dengan mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia.

Insturmen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur penggesek.

Mekanisme produksi bunyi Lagia adalah sebuah sistem yang terbentuk dari setiap

komponen-komponen Lagia yang masing-masing memiliki fungsi sehingga Lagia dapat

menghasilkan bunyi.

Akhirnya Lagia adalah instrumen berdawai tunggal yang bersifat frettless. Oleh sebab

itu posisi jari sebelah kiri pada senar sangat menentukan untuk mendapatkan ketujuh nada

yang dihasilkan oleh Lagia. Lebih jauh akan dijelaskan pada pembahasan sub judul

berikutnya mengenai struktur musikal instrumen Lagia di dalam lagu He Lagia

75

BAB IV

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS LAGU HE LAGIA

Pada bab IV akan dijelaskan mengenai transkripsi dan analisis bunyi yang dihasilkan

oleh instrumen Lagia dalam sebuah lagu yang berjudul He Lagia. Penjelasan meliputi

pengetian transkripsi dan analisis, tranksripsi dan analisis lagu He Lagia, serta aspek

lainnya yaitu deskripsi analitis mengenai teks lagu He Lagia. Diharapkan pembahasan

akan memberikan informasi mengenai aspek musikalitas yang terdapat dalam lagu He

Lagia serta instrumen Lagia sebagai pengiring lagu tersebut. Berikut penjelasannya.

4.1. Pengertian Transkripsi dan Analisis

Berdasarkan pendapat Bruno Nettl seorang etnomusikolog (1964) dalam bukunya

yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology mengatakan bahwa ada dua hal

yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam kegiatan penelitian displin etnomusikologi.

Kedua hal tersebut adalah kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Dalam hal ini penulis mengacu pada kerja laboratorium mengingat bahwa kerja

laboratorium adalah berkaitan dengan kegiatan transkripsi dan analisis.

Lebih jelas Nettl menjelaskan bahwa ada dua pendekatan untuk mendeskripsikan

musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) kita

dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat .Oleh karena itu untuk

menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk menotasikan/menuliskan

bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol visual. Dengan demikian,

penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur bunyi instrumen Lagia dari

simbol notasi visual tersebut. Hal ini lah yang disebut transkripsi dan analisis ( Netll

1964:97-98). Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian

transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to

76

written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam

bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902).

Dengan demikian konsep transkripsi dan analisis yang dimaksud dalam pembahasan

ini adalah menuliskan apa yang di dengar serta mendeskripsikan melodi yang terkandung

di dalam lagu He Lagia.

4.1.1. Transkripsi Lagu He Lagia

Untuk memahami lebih lanjut mengenai unsur musikalitas pada instrumen Lagia,

penulis memilih lagu He Lagia sebagai satu-satunya lagu yang dikenal oleh masyarakat

Nias yang diiringi oleh instrumen Lagia. Dalam hal ini penulis akan mentranskripsikan

lagu He Lagia berdasarkan hasil rekaman lagu yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru ke dalam simbol notasi barat.

Mengenai analisis melodi dalam lagu He Lagia akan dibahas pada sub judul

berikutnya. Berikut adalah simbol yang digunakan di dalam transkripsi lagu He Lagia15

key signature tanda istrahat ½ ketuk not seperdelapan bernilai ½ ketuk 4.1.2. Deskripsi Analisis Melodi Lagu He Lagia

Di dalam mengkaji struktur lagu He Lagia, penulis akan mengacu pada metode

weighted scale oleh William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa

karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale

(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes

(jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns

(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).

15 Lihat lampiran; Transkripsi lagu He Lagia Formatted: Tab stops: 14,19 cm, Left

77

4.1.2.1. Tangga Nada (Scale)

Tangga nada (scale ) adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang

tertinggi dengan interval tertentu ( Randel,2003:757). Dengan demikian, tangga nada

dalam lagu He Lagia dipahami sebagai susunan nada-nada terendah ke nada yang tertinggi

dengan interval tertentu yang terdapat di dalam lagu tersebut.

Di dalam lagu He Lagia terdapat empat nada ( tetratonik) yaitu nada Ges, As, Bes,

dan B. Berikut tangga nadanya:

4.1.2.2 Nada Dasar (pitch center)

Untuk mengetahui nada dasar (pitch center), penulis mengacu pada hasil rekaman

permainan instrumen Lagia oleh Bapak Hezatulȍ Ndruru yang pada saat memainkan

Lagia, beliau juga menyanyikan lagu He Lagia. Rekaman terebut kemudian

ditranskripsikan ke dalam notasi barat. Dengan menggunakan tuner sebagai alat untuk

membantu penulis mendapatkan nada dasar pada lagu He Lagia, akhirnya penulis

menemukan bahwa nada dasar lagu He Lagia yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru adalah nada Ges.

4.1.2.3. Wilayah Nada (Range)

Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dengan nada terendah. Yang

dimaksud dalam hal berarti mengacu pada interval nada tertinggi dan nada terendah yang

terdapat dalam lagu He Lagia. diketahui bahwa tangga nada dalam lagu He lagia adalah 1-

2-3-4 atau do-re-mi-fa (Ges- As, Bes-B). Dengan demikian nada terendah adalah nada

78

Ges dan nada tertinggi adalah nada B. Interval keempat nada adalah 1-1-1/2. Jenis interval

ini disebut sebagai Kwart Perfect (4P) dengan wilayah nada adalah 2 ଵଶ.

4.1.2.4. Jumlah Nada (Frequency of Notes)

Jumlah nada adalah jumlah nada-nada yang dipakai secara keseluruhan dalam suatu

musik baik dalam instrumen maupun vokal. Di dalam lagu He lagia, penulis menemukan

jumlah nada Ges adalah 22, nada As berjumlah 15, nada Bes berjumlah 9, dan nada B

berjumlah 6. Perlu diketahui bahwa jumlah nada-nada tersebut diatas didasarkan pada

jumlah nada di setiap lirik. Nada yang sering muncul adalah nada Ges disusul oleh nada

As, Bes dan B. Dengan demikian, intensitas kemunculan yang paling banyak adalah Ges

sehingga mengindikasikan bahwa nada tersebut sebagai pusat tonalitasnya.

Berdasarkan jumlah nada yang diperoleh dalam setiap lirik lagu He Lagia, maka

jumlah nada secara keseluruhan dalam tiga lirik He Lagia yaitu:

Tabel 4.1. Jumlah nada dalam lagu He Lagia

No Nada Jumlah Nada Dalam 1 lirik

Total (X 3 lirik)

1 Ges 22 66

2 As 15 45

3 Bes 9 27

4 B 6 18

4.1.2.5. Jumlah Interval ( Prevalent Interval)

Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik

maupun turun. Di bawah ini adalah jumlah interval yang terdapat dalam lagu “He Lagia”

Tabel 4.2.

79

Jumlah Interval lagu “He Lagia”

Interval Posisi Jumlah Interval/1 lirik Total Total (3 lirik)

1p - 24 24 72

2M 15 31

93

16

2m 4 8

24

4

Berdasarkan tabel tersebut, maka interval yang paling banyak digunakan di dalam

penyajian lagu He Lagia adalah interval second Mayor (2M) dengan jumlah 93 kali,

interval 1P dengan jumlah 72 kali, interval 2m dengan jumlah 24 kali. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa interval 1P dan 2M memiliki peranan penting dalam membentuk

lagu He Lagia.

4.1.2.6. Pola Kadensa

Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi penutup pada

bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi

tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut dalam satu frasa. Dalam lagu

He Lagia hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik dari akhir melodi maupun pertengahan

melodi. Berikut pola kadensa pada lagu He Lagia:

4.1.2.7. Formula Melodi

80

Formula melodi dalam pembahasan ini diartikan sebagai bentuk penyajian melodi

dalam lagu He Lagia. Malm menjelaskan bahwa terdapat lima istilah yang dapat

digunakan untuk mengalisis formula melodi yaitu :

1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulang-ulang.

2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan

kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.

3. Strophic adalah bentuk melodi yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang

baru atau berbeda.

4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa

pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.

5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi

melodi yang selalu baru.

Dari beberapa istilah tersbut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa bentuk

penyajian melodi dalam lagu He Lagia termasuk ke dalam kategori nyanyian Strophic.

4.1.2.7. Kontur

Kontur adalah garis pergerakan melodi dalam sebuah nyanyian. Malm membedakan

kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:

1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih

rendah ke nada yang lebih tinggi.

2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih

tinggi ke nada yang lebih rendah.

3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih

tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau

sebaliknya.

81

4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada

yang lain baik naik maupun turun.

5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi

ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih

tinggi.

6. Disjucnt yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang

lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor.

7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan.

Berdasarkan istilah tersebut di atas makan dapat disimpulkan bahwa pergerakan garis

melodi dalam lagu He Lagia umumnya adalah ascending, descending, conjuct, dan juga

static. Untuk lebih jelas perhatikan gambar di bawah ini

- Kontur ascending dan decending

- Kontur static

- Kontur conjuct

82

4.2. Teks Lagu He Lagia

Lagu He Lagia adalah sebuah nyanyian rakyat yang berkembang dalam masyarakat

Nias. Nyanyian ini dikenal sebagai nyanyian pelipur lara yang mengandung makna

kesedihan dari kisah hidup si penyair 16. Berikut adalah teks lagu He Lagia:

1. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...............................(Hai Lagia jangan kau marah)

Ba bȍi fanaba akhe wofȍnu,.....................(dan jangan marah seperti memotong

menebang pohon aren)

Ba bȍi folau hȍlua wolau khȍgu................(dan jangan perlakukan aku seperti

semak berduri)

2. He ha Lagia bȍi ofȍnu................................(Hai Lagia jangan kau marah)

Lȍ tatu lala mbawa he aekhu,....................(belum pasti dimana bulan akan

terbenam)

Lȍ tatu lala luo he atoru,.........................(belum pasti dimana matahari akan

terbenam)

3. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...............................(Hai Lagia jangan kau marah)

Zi bȍi halȍ ba hulumȍ khȍgu....................(Jangan lah kau jadikan aku

bebanmu)

Me fa’aurigu hulȍ mo’u-mo’u.................... (karena hidupku seperti lumut)

Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru , teks lagu He Lagia diatas

adalah teks yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah Nias tengah sampai ke daerah

Lȍlȍwa’u, Nias Selatan. Sementara itu, teks lagu He Lagia tersebut di atas memiliki

perbedaan dengan teks lagu He Lagia yang berkembang di masyarakat Gomo. Meskipun

16 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias,JL. Yos Sudarso N0.134 A, kota Gunungsitoli

83

demikian pada dasarnya kedua teks lagu He Lagia baik yang berkembang di daerah

Lȍlȍwa’u maupun di Gomo pada dasarnya mengandung makna yang sama.

Dilihat dari sisi teksnya, bahasa lagu He Lagia menggunakan majas personifikasi

yaitu majas atau gaya bahasa yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seakan-

akan memiliki sifat seperti manusia17. Dalam hal ini Lagia sebagai benda mati dianggap

memiliki sikap marah seperti manusia.

Meriam dalam buku The Anthropology of Music, menulis demikian: “one of the most

striking examples is shown by the fact that in song the individual or the group can

apparently express deep-seated feelings not pemissibly verbalized in other contexts”

(1964:190) ,(salah satu contoh yang paling mencolok ditunjukkan oleh fakta bahwa dalam

lagu individu atau kelompok ternyata bisa mengungkapkan perasaan yang mendalam yang

tidak dizinkan untuk diungkapkan dalam konteks lain). Selain itu Trasey dalam Meriam

menjelaskan bahwa : “...in song express symbolically the plethora or similar incidents

which gratify, amuse, exasperate,or sadden the common people-comunity expression

through the self expression of their composers..”(1964:194), ( dalam sebuah lagu terdapat

ungkapan secara simbolis mengenai insiden yang serupa seperti kebahagiaan,

hiburan,menjengkelkan atau menyedihkan, berdasarkan ekspresi dari sebuah kelompok

atau ekspresi perasaan pencipta lagu tersebut).

Berdasarkan pendapat baik Malm maupun Tracey menjadi dasar pemikiran bahwa

teks lagu He Lagia memiliki makna ekspresi perasaan dari penyair dilihat dari isi teks

yang digunakan. Ketika seseorang menyanyikan lagu He Lagia , penyair dianggap sedang

menceritakan kisah hidupnya yang malang kepada Lagia. Instrumen Lagia sebagai benda

mati dianggap akan selalu mendengar keluh kesah si penyair tanpa bantahan dari Lagia

itu sendiri. Selain itu dalam teks lagu He Lagia, terdapat sebuah konsep pemikiran yang

17 http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-contoh.html

84

mengkritik sikap keegoisan manusia yang tidak peduli dan tidak mau mendengar keluh

kesah hidup orang disekitarnya18.

4.3. Kesimpulan

Manusia dapat mengungkapkan perasaannya dalam bentuk teks nyanyian. Lagu He

Lagia adalah salah satu nyanyian yang berkembang dalam masyarakat Nias dan memiliki

makna tersendiri bagi seorang penyair lagu tersebut. Teks lagu He Lagia mengandung

makna kiasan yang menceritakan kisah hidup si penyair yang sangat malang.

Berdasarkan hasil transkripsi lagu He Lagia menunjukkan bahwa lagu ini merupakan

lagu yang terbentuk dari tangga nada tetratonik dengan kontur pada umumnya adalah

conjuct (interval melangkah). Selain itu diketahui bahwa formula melodik yang bersifat

stropic, yaitu teks yang terus berubah namun melodi nya tetap sama.

18 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias

85

BAB V

INSTRUMEN LAGIA SEBAGAI HASIL KONTAK BUDAYA ANTARA

KEBUDAYAN CHINA DAN KEBUDAYAAN NIAS

Pada bab V akan dibahas mengenai pengaruh kebudayaan China dalam sejarah

kebudayaan masyarakat Nias. Pembahasan meliputi sumber-sumber sejarah yang

mendukung adanya peradaban kebudayaan China di Nias. Lebih jauh akan menjelaskan

bagaimana proses kontak budaya antara kedua kebudayaan China dan Nias pada abad ke-

11. Aspek penting lainnya adalah unsur-unsur kebudayaan masyarakat Nias yang diyakini

mendapat pengaruh dari kebudayaan China. Dengan demikian , pembahasan ini diharapkan

akan menjadi alasan yang kuat untuk menguji spekulasi penulis terkait pengaruh instrumen

Erhu dari China terhadap instrumen Lagia dalam kebudayaan musikal masyarakat Nias,

mengingat skripsi ini membahas mengenai kajian organologis Lagia yang tidak hanya

melihat Lagia dari sisi konstruksi tetapi lebih kepada studi kesejarahan. Pada akhir

pembahasan akan membahas kesimpulan terkait instrumen Lagia sebagai hasil kontak

budaya masyarakat China dengan masyarakat Nias. Mengenai hal ini akan dibahas lebih

lanjut pada akhir bab tulisan ini.

5.1. Jejak Kebudayaan China Di Masyarakat Nias Dalam Catatan Sejarah

Sejarah kebudayaan masyarakat Nias dapat diketahui dari sumber sejarah berupa

catatan-catatan yang dijelaskan melalui tulisan ilmiah seperti buku, jurnal dan lain-lain.

Beberapa tulisan ilmiah tersebut tampil dengan versi yang berbeda-beda. Artinya pendapat

mengenai asal-usul kebudayaan Nias dapat dilihat dari perspektif non ilmiah (kepercayaan

lokal) dan ilmiah (data teoritis). Di samping itu tidak sedikit tulisan ilmiah lainnya juga

menulis tentang pengaruh kontak budaya eksternal dalam kebudayaan masyarakat Nias.

86

Salah satu kontak eksternal dengan kebudayaan asing yang ditulis di dalam catatan

sejarah latar belakang kebudayaan Nias adalah kontak kebudayaan dengan China. Menurut

Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari

daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti

linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang

bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga

awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008)19.

Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengacu pada dua bentuk sumber sejarah yang

berupa tulisan-tulisan kuno dan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Nias.

Kedua sumber sejarah tersebut diharapkan mampu memberikan argumen yang dapat

mendukung pendapat bahwa pernah terjadi kontak budaya antara China dengan

masyarakat Nias sekitar abad ke-11.

5.1.1. Sumber Tulisan

5.1.1.1.Catatan Tuanko Tentang Pelabuhan Sing Kwang (Singkuang) (1368 -1645)

Pastor Hammerle menulis dalam buku Asal Usul Masyarakat Nias tentang pengaruh

kebudayaan Tionghoa yang diduga pernah datang ke pulau Nias. Tulisan –tulisan yang

dimuat Pastor Hammerle dalam bukunya tersebut didasarkan pada sebuah catatan kuno

yaitu catatan yang ditulis oleh Pongkinangolngolan Sinambela, gelar Tuanko Rao. Tuanko

Rao menulis tentang pelabuhan Singkwang (Singkuang) yang terletak di pantai Barat

Sumatera, berjarak sangat dekat dari wilayah Gomo dan Lahusa di pulau Nias. Pelabuhan

Singkuang didirikan oleh dinasti Ming sebagai pelabuhan eksport kayu meranti ke China.

Selain sebagai pelabuhan, Singkuang juga merupakan pemukiman masyarakat Tionghoa

19 https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/

87

yang tinggal sekitar tahun 1368 s/d 1645 atau sekitar abad ke-11(Hammerle, 2001:154-

163).

Berdasarkan catatan Tuanko Rao, pelabuhan Sing Kwang/ Singkuang di didirikan

pada masa pemerintahan Dinasty Ming sekitar tahun 1416 dibawah komando Laksamana

Haji Sam Po Bo (= Cheng Ho)20 yang merebut dan menduduki Muaralabuh di muara

sungai Batanggadis. Disitu didirikan pengerjaan kayu, dan didirikan pelabuhan Sing

Kwang (=Tanah Baru) yang lambat laun dikenal dengan Singkuang. 21

Lebih jauh Hammerle menjelaskan bahwa terdapat sebuah sungai di daerah Gomo

yang disebut sungai Nalawȍ persis berada disebelah barat Singkuang dan kota Telukdalam

terletak di sebelah barat Natal. Jarak sungai nalawȍ dengan Singkuang ±112 km

(hammerle, 2001:165). Letak geografis ini sangatlah mendukung terjadinya kontak antara

China yang berprofesi sebagai pedagang dan pemilik galangan kapal di Singkuang dulu

dengan masyarakat di pulau Nias khususnya masyarakat di daerah Gomo.

Catatan Tuanko Rao menjadi salah satu sumber sejarah yang cukup jelas mendukung

informasi kedatangan masyarakat China ke pulau Nias. Alasan geografis yang sangat

memungkinkan antara pelabuhan Singkuang dengan daerah Gomo dan Lahusa menjadi

bukti yang kuat bahwa telah terjadi kontak budaya antara China dan masyarakat Nias

sekitar abad ke -11.

20 Merupakan komando pelayaran di China pada masa pemerintahan Dinasty Ming, yang mendirikan Sing kwang dan oleh karena kepempimpinannya,koloni China yang tinggal di Singkuang memeluk agama Islam (Rao dalam Hammerle, 2001: 159). Selain itu, nama Laksamana Po Bo (=Cheng Ho) memiliki kesamaan nama leluhur suku Nias yang dikisahkan dalam sebuah tradisi lisan yaitu Hoho. Dalam teks Hoho disebutkan nama seseorang yaitu Ho=Hia yang diyakini sebagai keturunan manusia /leluhur suku Nias berasal dari daerah Gomo. Kemiiripan nama yang terdapat Catatan Tuanko Rao dan tradisi Hoho kemungkinan menjadi pendukung bahwa leluhur suku Nias berasal dari China . 21 Op.Cit. Hal 158

88

5.1.1.2. Kutipan Pendapat Ma Huan oleh Yoshiko Yamamoto Mengenai Istilah “Payung

Matahari”.

Dalam tesisnya di universitas Cornell (1986), Yoshiko Yamamoto mengutip pendapat

Ma, Huan (1970) yang mengatakan bahwa suatu dokumen yang historis dari abad ke-15

memberitahukan bahwa orang China menamakan pulau Nias sebagai Payung Matahari

(Parasol Island), tetapi tidak ada keterangan lebih lanjut tentang pulau itu. Berdasarkan

kutipan tersebut diketahui pada zaman dulu di wilayah Gomo , telah ditemukan

perkampungan China dan “Parasol Island” atau “Pulau Payung Matahari”. Hal ini berarti

bahwa penghuni pulau Nias menggemari pemakaian payung matahari (Hammerle, 2001:8).

Catatan mengenai sebutan “Payung Matahari” oleh orang China terhadap masyarakat

Nias memberitahukan bahwa China pernah datang ke Nias. sehingga masyarakat China

memiliki istilah tersendiri untuk menyebut masyarakat Nias.

5.1.1.3. Tulisan Ama Norida Daeli, Nias Barat (1984)

Tulisan yang menyebutkan tentang kedatsngan orang China juga ditulis oleh Ama

Norida Daeli. Sebuah tulisan tangan yang ditulis sendiri oleh Wilhelmus Fanga’aro’ȍ

Daeli alias Ama Norida Daeli yaitu tentang tradisi dan perkembangan marga Daeli di Nias

bagian Timur dan Nias bagian Barat. Teks asli ditulis dalam bahasa daerah Nias yang

kemudian diterjemahkan oleh Pastor Hammerle. Dalam tulisannya tersebut, Ama Norida

menulis bahwa pada zaman dulu banyak orang China menggali tanah dikaki pegunungan

di Afrika untuk menghasilkan perak, batu bara, besi, sulfur, emas, dan harta tanah lainnya.

Mereka kemudian mengirimnya ke China dengan berlayar menggunakan kapal-kapal kecil

yang disebut biduk. Sewaktu mereka berada di tengah laut, terjadilah badai yang dahsyat.

Angin bertiup dari Selatan, Barat dan Timur. Badai yang dahsyat mengangkat biduk itu ke

udara dan membawanya sampai di dekat Nias Selatan. Kemudian angin reda dan kapal itu

89

jatuh di atas Tanȍ Niha ( Tanah Manusia). Banyak orang meninggal terutama yang berada

di pinggir kapal, sedangkan yang berada ditengah kapal kebanyakan selamat dan menjadi

leluhur penduduk Nias Selatan. Ketika pedagang-pedagang dari China datang berkunjung

ke Gunungsitoli mereka menemukan kapal kecil yang sudah tua dan hampir hancur

bertuliskan huruf China, lalu mereka mengatakan kapal ini adalah milik kita.

Dalam tulisannya yang kedua, Ama Norida menulis tentang Hia-Ho. Dalam tulisan

tersebut dia menulis bahwa pada zama dulu ada orang yang berlayar dari pulau

Madagaskar dekat Afrika Selatan, membawa satu biduk bermuatan perkakas keperluan

rumah tangga. Ditengah perjalanan tiba-tiba biduknya diterbangkan oleh angin topan.

Angin kemudian reda dan biduknya jatuh di bumi Gomo. Peralatan biduk ditemukan masih

teguh sampai sekarang yaitu rantai besi. Pada perkakas tersebut terdapat sebuah tulisan

huruf China yaitu Hia-Ho (nama sungai di tanah China) (Daeli dalam Hammerle,

2001:176-178).

5.1.2. Sumber Tradisi Lisan

5.1.2.1. Mite Tentang Manusia Dari Atas( Siraso/Inada Samihara Luo ) Dalam lagu Hoho

di Desa Hilinawalȍ Fau.

Sebuah tradisi lisan (folklore) yang dikenal sebagai mitos berkembang dalam

masyarakat Nias, khususnya di daerah Nias Utara dan Nias tengah meyakini bahwa leluhur

masyarakat Nias adalah seorang perempuan. Perempuan itu bernama Siraso. Menurut

tradisi lisan tersebut, masyarakat Nias percaya bahwa Siraso telah mendarat di sekitar

sungai Nalawȍ dekat sungai Susua. Ibu Siraso mempunyai seorang anak laki-laki yang

bernama Ho (Tuada Ho). Ho memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nandrua

(Aweda Nandrua) dan yang kedua bernama Laoya Ana’a. Dalam tradisi lisan tersebut, Ho

disebut juga sebagai Hia Walani Adu, Hia Walani Luo. Hukum (huku), adat istiadat

90

(Hada, bȍwȍ), adat perkawinan (Hada ba wangowalu), pertanian, pertukangan yang

ditemukan di Nias sejak ratusan tahun yang lalu diyakini berasal dari keturunan Hia. Oleh

masyarakat Nias, Hia kemudian disebut sebagai keturunan dari desa atas ( banua si yawa)

(Hammerle, 2001:60). Keturunan Ho=Hia disebut juga keturunan Lani Ewȍna yang jauh

lebih maju dan menyebut dirinya sebagai Niha (manusia). Mereka merupakan pendatang

terakhir yang lebih maju dibandingkan dengan pendatang yang masih sangat terbelakang.22

Sejarah lokal yang berkembang dalam masyarakat Nias tentang “manusia dari atas”

tersebut dikisahkan dalam nyanyian vokal yang disebut Hoho23. Lagu Hoho sebagai

bagian dari tradisi lisan di desa Hilinawalȍ Fau bercerita tentang asal-usul masyarakat

Nias. Pada teks lagu pertama berbicara tentang seorang ibu yang bernama Simadulo Hȍsi

yang datang dari Asia dan berlabuh di muara susua24. Ibu itu dikisahkan mengalami

banyak derita dan kekurangan (inada sakao dȍdȍ). Pada lagu yang kedua, teks Hoho

berbicara tentang Ho=Hia (manusia dari atas) yang memiliki keturunan sebagai hasil

incest dengan ibunya sendiri.

Sementara itu, teks lagu Hoho yang ketiga juga berbicara tentang leluhur masyarakat

Nias yaitu berasal dari keturunan Ho-Hia. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa leluhur Nias

yang disebut Siraso adalah ibu dari Ho-Hia. Namun dalam teks Hoho yang ketiga ini, tidak

menggunakan nama Siraso, tetapi dalam teks Hoho tersebut memberitahukan bahwa ibu

dari Ho-Hia bernama Sibowo Ndrȍfi Madala yang kemudian disebut juga Inada Samihara

Luo. Hoho mengisahkan Inada Samihara Luo berlayar dari Asia dan perahunya terdampar

di Nias. Ibu itu melahirkan seorang anak dan diberi nama Ho. Ho incest dengan ibunya

22 Op.cit.Hal. 171-172 23 Merupakan tradisi musik vokal Nias yang dibawakan oleh sekelompok penghoho ( Sifahoho atau solau Hoho) yang semuanya adalah pria. Tradisi musikal Hoho tersebut dibawakan dalam gaya responsorial yang oleh orang Nias gaya menyanyi dalam Hoho disebut sifagema-gema ( bersahut-sahutan) (Dachi dalam jurnal Hoho, 1992 No 1, hal. 25-26) 24 Merupakan nama sebuah sungai di daerah Gomo yang berjarak ±6 km dari sungai Nalawȍ dan berhadapan dengan koloni China di Singkuang, Sumatera (Hammerle, 2001: 168)

91

sendiri dan melahirkan dua orang anak kembar dan mereka dipisahkan oleh orangtuanya.

Anak pertama diberi nama Sadawa Mȍlȍ di tempatkan di hilir dan Soraizȍsȍma

ditempatkan di hulu. Pada suatu hari Sadawa Mȍlȍ menemukan sekuntum bunga hibiskus

terlilit dengan rambut yang hanyut di dalam sungai. Ketika Sadawa Mȍlȍ pergi ke hulu,

dia bertemu dengan Soraizȍsȍma dan akhirnya mereka menikah. Mereka mempunyai

sembilan anak dan ini lah yang menjadi leluhur dari suku Nias (Ono Niha).

Teks lagu Hoho tersebut dapat dipandang sebagai dongeng. Namun, apabila

dihubungkan dengan koloni China di pelabuhan Singkuang maka kemungkinan besar

dongeng tentang putri raja dari Asia sangat mendekati kenyataan (Hammerle, 2001: 176).

pendapat Hammele cukup menjelskan bahwa tradisi Hoho yang berkembang dalam

masyarakat Nias berhubungan dengan kedatangan orang China ke Nias.

5.2. Bukti Fisik Pengaruh Kebudayaan China Dalam Kebudayaan Nias

5.2.1 Ornamen Pada Takula Ana’a : Temuan Bapak Tapak Wong

Bukti pendukung kontak budaya antara China ternyata tidak hanya dilihat melihat

catatan sejarah berupa tulisan dan tradisi lisan masyarakat lokal. Seorang ahli budaya

keturunan China bernama Tapak Wong telah membuktikan adanya kontak budaya antara

China dengan Nias dengan melihat ornamen yang ada di Takula Ana’a (topi emas) yang

digunakan oleh masyarakat Nias pada zaman dulu. Tapak Wong adalah seorang pengrajin

emas sekaligus ahli budaya yang merupakan keturunan China. Ayahnya berasal dari

Kanton di negara China yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1927. Pada awalnya beliau

berdomisili di Teluk Dalam kemudian pindah ke Gunung Sitoli pada tahun 1937.

Tapak Wong sebagai pengrajin emas memiliki koleksi topi emas ( Takula Ana’a) yang

dibeli dari beberapa masyarakat Nias yang memiliki topi emas tersebut. Hal yang menarik

92

ketika bapak Tapak Wong memperhatikan setiap ornamen yang ada di Takula Ana’a ,

beliau menemukan bahwa adanya ornamen yang mirip dengan diagram yang ditemukan di

Provinsi Kanton di China. Bentuk ornamen tersebut berbentuk lingkaran yang masing-

masing lingkaran memiliki jenis simbol yang berbeda. Lingkaran yang paling luar tampak

ukiran Wȍli-wȍli ( tumbuhan pakis) yang melambangkan kesuburan tanah. Lingkaran

yang kedua tampak ukiran 16 ujung tombak (Hulayo) yang melambangkan keberanian

atau kesatria. Lingkaran yang ketiga tampak ukiran buah dada wanita ( Ni’omeme) sebagai

lambang kesuburan manusia. Pada pusat diagram tampak ukiran empat daun yang

melambangkan niat untuk mempertahankan diri. Daun tersebut dinamakan Gese’ese dan

merupakan obat pendingin dan obat penawar (Hammerle,2001)25

Ornamen yang serupa juga tidak hanya ditemukan di topi emas tetapi dapat ditemukan

di ukiran pada papan rumah adat masyarakat Nias yang ada di Gomo ( Rafisa dalam

Hammerle, 2001).

5.2.2. Istilah Dalam Bahasa Nias Yang Mirip Dengan Istilah Bahasa di China

Dalam bukunya Asal-usul Nias, pastor Hammerle menulis bukti yang sangat

mendukung peradaban masyarakat Tionghoa dan hubungannya dengan latar belakang

kebudayaan masyarakat Nias. Hammerle menulis bahwa adanya kemiripan bahasa yang

digunakan oleh kedua kebudayaan tersebut menjadi bukti yang cukup jelas untuk

mengetahui bahwa leluhur orang Nias berasal dari China. Berikut daftar penggunaan

beberapa kata yang hampir memiliki makna yang sama antara bahasa Kanton (China)

dengan bahasa Nias.

Pertama, penggunaan kata Kehai atau Gehai oleh masyarakat Nias untuk menyebut

orang China. Kata “ Hai” dalam bahasa China berarti ke laut. Kemungkinan besar sebutan

25 Lihat gambar 5.2.1

93

“Gehai” lebih kurang menjelaskan bahwa mereka yang disebut “Gehai” datang ke pulau

Nias melalui pelayaran. Dalam bukunya tersebut, Hammerle mengutip pendapat dari

Pastor Carol, seorang keturunan China dari pulau Penang, Malaysia. Carol mengatakan

bahwa penggunaan kata “ Kehai” memiliki persamaan dengan sebutan orang China di

Surabaya. Orang China di kota Surabaya mendapat sebutan “Sihai” atau “Sehai”.

Perbedaannya hanya terdapat pada awalan kata saja. Sementara itu, kata “Sihai” dalam

sejarah lokal masyarakat Nias merupakan salah seorang nama leluhur suku Nias.

berdasarkan penjelasan dari pastor Carol tersebut, Hammerle meyakini bahwa istilah “

Sihai” atau “ Kehai” sama sekali bukan bahasa Nias, melainkan sebuah istilah yang masuk

ke Nias bersamaan dengan kesinggahan orang China di Pulau Nias untuk berdagang atau

menetap di Nias ( Hammerle, 2001: 184-185).

Kedua, keterangan dari bapak Tapak Wong sebagai pengarajin emas yang

memberikan argumen terkait dengan bahasa Kantonis (bahasa penduduk di Kanton,

China), yang memiliki kemiripan dengan bahasa yang berkembang dalam masyarakat Nias

(Wong dalam Hammerle, 2001:186). Berikut Penjelasannya.

Tabel 5.1.

Daftar Bahasa Kanton-Nias yang memiliki kemiripan menurut bapak Tapak Wong

No Bahasa Kantonis Bahasa Nias

1 Ho Artinya dalam bahasa China: gandum, padi. Dalam bahasa Nias : “Uliho” = sekam padi.

2 Malu Artinya dalam bahasa Kantonis: berjalan cepat seperti kuda. Artinya: tidak sopan. Dalam bahasa Nias: Mȍi Malu : memburu.

3 Zai Artinya dalam bahasa Kantonis: kecil. Di Nias dikatakan : “ Fa’ebua ezai...., artinya besarnya seperti.....

94

4 Lou Wa lang Artinya dalam bahasa Kantonis : Lou : tua; Wa : kata, nasehat; lang: sejuk, nyaman; Nama seorang leluhur di Nias : Lo-wa-Langi?

5 Hae Arti pertama adalah :laut; Kehai=pelaut. Seandainya nama leluhur Nias ditulis Sihae artinya adalah pelaut. Arti yang kedua dari Hae adalah : alas, dasar, sandal.

6 Hai Artinya :baik, bagus,indah, benarkah? Maka nama leluhur Sihai di Nias dapat diartikan sebagai :, Yang bagus, Yang baik.

7 Go Mo Dalam bahasa Kanton merupakan kalimat frustrasi: “ saya tidak ada lagi!”- bisa saja orang China yang terdampar di pantai Nias mengucapkan demikian. Apakah istilah ini ada hubungannya dengan nama kecamatan Gomo yang ada di Nias saat ini?

8 Siefo Dalam bahasa Kanton kata ini berarti: seberang. Sama artinya dengan kata Nias “Siyefo, misiyefo”.

9 Ho Artinya dalam bahasa Kanton :bagus

10 Hao Artinya dalam bahasa Mandarin : putih, suci, terang, bakti. Arti ini identik dengan kata Nias : Ohahau

11 Tae Artinya : besar, nama sungai di Nias : Idanȍ Tae

12 Sao Dalam bahasa Kantonis: membuang. Sama dengan kata Nias: Sasao= yang dibuang / sampah.

13 Oi fanȍ Artinya dalam bahasa Kanton sama dengan kata Nias “ Mofanȍ”, yang berarti : mau pulang/ pergi.

14 Fanȍ Artinya : berangkat ; sudah pulang

15 Yi’a Sama dengan kata Nias “ I’a” artinya ikan.

16 Ya’ohou Artinya dalam bahasa Kantonis: sehat, baik, bagus. Bila sapaan Kantonis ini diucapkan cepat, hanya kedengaran: “Yahou”! Sama halnya dengan sapaan Nias : “Ya’ahowu” menjadi “ Yahowu” atau “ Yahou”.

17 Li Artinya dalam bahasa Kantonis mengandung unsur-unsur: hukum, pengajaran, pepatah, aturan, pokok, asal, budi, kepatuhan, upacara, budibahasa. Dalam bahasa Nias Nias : osa-osa-li = osali (singkatan); Li-gu da’ȍ! o’ȍ li namau! Taroma li= tahta dari suara, sabda.

95

18 Mao Artinya dalam bahasa Kantonis: kucing. – sama hal nya di Nias.

5.2.3. Pendapat Bapak Tapak Wong tentang Afore Asli di Nias

Afore adalah alat ukur berskala yang digunakan oleh masyarakat Nias untuk mengukur

besarnya babi. Tapak Wong menjelaskan bahwa Afore asli yang ada di Nias mirip dengan

Afore yang dipakai di provinsi Kanton, China. Afore terbuat dari kayu atau rotan yang

berskala ukuran panjang ditandai dengan irisan pisau pada badan tongkat. Afore Nias asli,

menurut bapak Tapak Wong, bukan alat untuk mengukur panjang melainkan untuk

mengukur berat dan merupakan suatu timbangan yang digantung atau diangkat dengan

tangan saja (Wong dalam hammerle, 2001:188).

5.2.4. Persamaan Roman Muka dan Postur Tubuh

Masyarakat Nias seringkali memberi kesan mirip seperti orang China. Hal ini

dibuktikan oleh seorang antropolog Italia, Elio Modigliani ( 1890). Ketika beliau

berkunjung ke pulau Nias pada tahun 1886 mengakui bahwa di Nias Selatan terdapat orang

bermata sipit yang mirip dengan orang China. Selain Modigliani, bapak Tapak Wong juga

membenarkan bahwa mata sipit khas China banyak ditemukan di Nias, teristimewa di

kecamatan Gomo (Hammerle, 2001: 189; 191).

Pendapat yang serupa juga pada umumnya diterima oleh sebagian orang Nias yang

bepergian ke luar daerah Nias. Mereka dianggap sebagai keturunan orang China. Selain

bentuk roman muka yang mirip dengan orang China, bahasa yang digunakan oleh orang

Nias kedengaran seperti bahasa China. Sehingga tidak sedikit pendapat yang mengatakan

bahwa suku Nias adalah keturunan China.

96

5.2.5.Persamaan Adat Istiadat Dalam Pesta Pernikahan

Bukti fisik lainnya yang mendukung pernyataan bahwa Nias adalah keturunan China

adalah budaya yang terdapat dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias yang mirip

dengan budaya yang terdapat dalam adat pernikahan di China. Budaya menyuguhkan sirih

kepada tamu ( fame’e afo) pada masyarakat Nias juga ditemukan di Kanton yang disebut

pangte. Selain itu dalam masyarakat Nias terdapat istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” (Cross-

cousin). Istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” digunakan untuk menjelaskan keadaan apabila

seorang laki-laki suku Nias menikahi putri dari pamannya sendiri. Zibaya artinya paman.

Tradisi yang sama juga ditemui dalam masyarakat di Kanton, China. Hal lain adalah

persamaan atraksi Alisan de Kunyang26 di Taiwan yang sama dengan atraksi yang ada di

Nias, seperti tari elang ( tari moyo), pemakaian gong kecil dan besar ( faritia dan Aramba)

serta tradisi pengusungan pengantin wanita dengan hiasan di kepala ( sai-sai dan bala

hȍgȍ).

Selain pendapat dari bapak Tapak Wong, seorang keturunan China yang tinggal di

Sibolga bernama Pang Wai Tib (1999) ketika diwawancarai mengatakan bahwa adanya

persamaan antara adat pernikahan di China dan di Nias. Pemberian sirih merupakan

kehormatan besar di China seperti di Nias. Perlu diketahui bahwa dalam pesta adat

pernikahan masyarakat Nias, pemberian sirih ( fame’e Afo) sangat berperan penting

sebagai simbol penghormatan. Pemberian sirih adalah bagian dari urutan acara yang

dilaksanakan dalam pesta adat Nias. Oleh karena dianggap sangat penting, pada saat

acara pemberian sirih (fame’e afo), rasa hormat disampaikan melalui nyanyian vokal yang

dinyanyikan secara responsoria.

26 Adalah sebuah atraksi tradisi yang dipertunjukkan oleh orang Taiwan yang terdapat di seluruh negeri China. Alisan adalah nama tarian, sedangkan Kunyang adalah istilah untuk menyebut mempelai wanita ( Hammerle, 2001: 189)

97

Pang Wai Tib menambahkan bahwa kegiatan memukul faritia (canang) dilakukan

juga di China dalam perarakan pengantin perempuan menuju rumah mempelai laki-laki. Di

China, pengantin perempuan dijemput dirumahnya, ditangisi, dia dikenakan tutup muka

dan diusung, sama seperti tradisi pengantin wanita di Nias (Tib dalam Hammerle,

2001:184)

5.2.6. Kebudayaan Megalithikum ( Hȍgȍ Lasara) yang Ditemukan Di Daerah Lahusa dan

Gomo

Eksistensi benda megalitihikum di Nias juga menunjukkan bahwa adanya pengaruh

kebudayaan China pada kebudayaan Nias. Benda yang dimaksud berupa ukiran motif

kepala naga. Pada masyarakat China , naga adalah simbol hewan yang melegenda sehingga

motif kepala naga adalah simbol hewan yang sangat diagungkan. Di seluruh wilayah di

Indonesia,tidak ada satu pun kebudayaan yang dikenal menggunakan motif kepala Naga

selain masyarakat China. Dengan demikian, keberadaan Hȍgȍ Lasara (motif kepala naga )

di Nias menunjukkan bahwa kebudayaan China eksis dalam kekebudayaan Nias.

Dalam masyarakat Nias, motif kepala naga disebut sebagai Hȍgȍ Lasara27. Hȍgȍ

adalah kepala, dan lasara adalah perahu. Sehingga Hȍgȍ Lasara diartikan sebagai kepala

atau ujung daripada perahu. Di kecamatan kepulauan Batu, nama Lasara dipakai untuk

menyebut “suatu perahu yang ajaib”28. Ukiran ini dapat ditemukan di bagian depan rumah,

pegangan pedang, peti mayat yang dibuat dalam bentuk Lasara (perahu). Di daerah Talu

Susua kecamatan Lahusa dan Gomo ditemukan patung yang dipahat terbuat dari batu.

27 Lihat gambar 5.2.6 28 Elio Modigliani (1886) dalam Hammerle, 2001: 205

98

Pahatan pada patung berbentuk Hȍgȍ Lasara yang terdiri dari satu atau tiga kepala yang

disebut osa-osa.29

Keberadaan ukiran Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan menurut Pastor Hammerle memiliki

pengaruh dari China mengingat motif ukiran Hȍgȍ Lasara adalah berupa kepala Naga

yang persis terdapat dalam kebudayaan China. Hammerle menjelaskan bahwa koloni

China di Singkuang mempunyai pabrik kapal, sehingga dapat ditafsirkan bahwa fenomena

Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan mendapat pengaruh dari kebudayaan China seiring dengan

kedatangannya ke pulau Nias pada abad ke-11 (Hammerle, 2001:206).

5.3. Proses Kontak Budaya Kebudayaan China dengan Kebudayaan Nias

Catatan sejarah tentang kedatangan masyarakat China ke pulau Nias memberi

informasi bahwa telah terjadinya kontak budaya antara China dengan masyarakat lokal.

Proses kontak budaya dapat terjadi melalui perdagangan, perkawinan, wisata,

peperangan,penyebaran agama dan sekolah30

Catatan dari Tuanko Rao menekankan letak geografis yang sangat memungkinkan

kedatangan orang China ke pulau Nias di daerah Gomo dan Lahusa. Rao menjelaskan

bahwa pelabuhan Singkuang adalah pelabuhan yang terkenal dengan eksport kayu meranti

ke China. Jelas bahwa keberadaan orang China di Singkuang terkait hubungan

perdagangan dengan masyarakat lokal. Letak pelabuhan Singkuang yang berdekatan

dengan daerah Gomo memungkinkan bagi orang China untuk datang ke pulau Nias melalui

jalur pelayaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses kontak budaya antara

29 Lihat Gambar 5.2.6.1

30 Kartomi, Journal for Society of Ethnomusicology. Vol. 3. 1981. pp 275 s.d. 297.

99

China dan Nias terjadi melalui jalur pelayaran. Selain proses pelayaran, perkawinan juga

menjadi salah satu media kontak budaya China dengan Nias. Artinya, orang China yang

datang ke Nias berbaur dengan masyarakat lokal dan kemungkinan orang-orang China

kawin dengan masyarakat setempat. Penulis berpendapat kemungkinan proses seperti ini

berkaitan dengan keberadaan masyarakat dari Nias Selatan yang menyebut dirinya

keturunan China Telukdalam.

Unsur-unsur pengaruh kebudayaan China dalam kebudayaan Nias dapat dipandang

sebagai sebuah proses akulturasi budaya. Dalam proses akulturasi tersebut, kebudayaan

China sebagai kebudayaan pendatang membawa pengaruh yang dominan terhadap

perkembangan kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, ketika terjadi kontak

budaya antara kedua kebudayaan tersebut.

5.4. Deskripsi Instrumen Erhu Pada Masyarakat China

Erhu adalah instrumen yang dikenal berasal dari kebudayaan China31. Persebaran

kebudayaan China di daratan Asia, termasuk Indonesia, telah membawa dampak positif

terhadap perkembangan instrumen Erhu di Indonesia. Dengan demikian, tidak heran jika

Erhu dikenal hampir diseluruh wilayah di Indonesia.

Erhu merupakan instrumen yang memiliki resonator terbuat dari kayu eboni,

berukuran sekitar 13 cm, dengan panjang kayu penyangga senar adalah 81 cm. Bagian sisi

kanan tertutup oleh kulit ular sedangkan sisi kiri dibiarkan terbuka. Erhu memiliki dua

senar metal dengan panjang 76 cm dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari bulu

ekor kuda. Dalam hal ini, posisi busur penggesek tidak bisa dipisahkan dengan senar,

karena busur penggesek terletak antara kedua senar. Erhu merupakan instrumen yang tidak

memiliki fingerboard (frettless), serta memiliki tala (pasak) dekat ujung atas gagang senar

31 Lihat gambar 5.4. Erhu

100

Instrumen Erhu pada awalnya digunakan dalam ensambel musik China pada opera peking,

dan pada abad ke-21, Erhu digunakan dikenal sebagai instrumen solo. Pada umumnya

dimainkan bersamaan dengan nyanyian lokal (Randel, 2003: 192).

Melihat konstrusi instrumen Erhu, instrumen ini sangat mirip dengan konstruksi

instrumen Lagia. Perbedaan antara kedua instrumen terletak pada jumlah senar, besar

resonatornya , bentuk busur penggesek, dan material pembuatannya. Konsep bangunan

secara umum antara Lagia dan Erhu memiliki kesamaan seperti bagian sisi kiri resonator

yang dibiarkan terbuka, dan sisi kanan tertutup meskipun dengan material penutup yang

berbeda (Lagia dengan mowa, sedangkan Erhu menggunakan snakeskin), dan keduanya

merupakan jenis spike fiddle chordophone.

Dengan, mempelajari semua data ini bahwa sumber sejarah sebelumnya cukup

memberikan informasi bahwa China pernah datang ke Nias melalui proses pelayaran.

Bukti sejarah tersebut mendasari spekulasi penulis sehingga menyimpulkan bahwa Lagia

merupakan instrumen yang mendapat pengaruh dari instrumen Erhu yang di bawa oleh

masyarakat China sekitar abad ke-11 ketika terjadi kontak budaya dengan masyarakat

lokal. Hal ini berarti Lagia bukan merupakan native instrument dalam masyarakat Nias,

tetapi merupakan hasil kontak budaya antara China dan Nias.

101

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Kepentingan merupakan satu hal yang abadi dalam pribadi manusia selama hidup di

dunia ini. Kepentingan membawa manusia untuk terus berubah dari zaman ke zaman.

Oleh sebab itu manusia yang hidupnya dinamis akan melakukan semua hal untuk

memenuhi kebutuhannya yang semakin kompleks. Demikian halnya dengan masyarakat

China yang menginvasi daratan Asia ratusan tahun yang lalu, termasuk ke Indonesia.

Kepentingan perdagangan telah membawa masyarakat China melalui jalur pelayaran ke

pulau Sumatera sekitar abad ke-7.

Pengaruh kebudayaan China di Sumatera berdampak hingga ke pulau Nias yang

terletak di pantai barat Sumatera. Tuanko Rao menulis bahwa keberadaan pemukiman

masyarakat China di tepi pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Singkuang memiliki

jarak yang sangat dekat dengan kecamatan Gomo dan Lahusa yang ada di Pulau Nias

bagian Selatan. Beberapa sumber sejarah telah mmberikan informasi yang cukup

membuktikan bahwa China pernah datang ke Nias. Hal ini didukung dengan penemuan

unsur-unsur kebudayaan China dalam kebudayaan masyarakat Nias sampai hari ini.

Terlepas dari asli atau tidak aslinya, jelas bahwa Lagia adalah instrumen yang hanya

ada di Nias. Lagia memiliki konsep konstruksi yang sama dengan Erhu yang ada di China.

Lagia memiliki empat bagian penting yaitu resonator, gagang senar, senar dan busur

penggesek, yang membentuk satu sistem untuk menghasilkan bunyi pada instrumen Lagia.

Kehadiran instrumen Erhu mengarahkan penulis untuk melihat lebih jauh bahwa Erhu

adalah instrumen yang harus dipandang sebagai inspirasi terbentuknya instrumen Lagia.

Oleh karena itu, pembahasan dalam skripsi ini melihat hubungan sejarah yang mungkin

102

ada dalam masyarakat Nias. Hal ini terbukti dengan sumber-sumber sejarah yang menulis

bahwa masyarakat China pernah datang ke Nias sekitar abad ke-11.

Dengan demikian, maka penulis menyimpulkan bahwa, pertama, Lagia memiliki

konsep konstruksi yang mirip dengan Erhu, yaitu spike- fiddle chordophone, dan frettless,

dengan empat bagian penting; Kedua, Lagia bukan merupakan native instrument

(instrumen lokal) dalam masyarakat Nias melainkan hasil kontak budaya dengan

masyarakat China pada abad ke-11. Dengan melihat unsur-unsur pengaruh kebudayaan

China yang ditemukan dalam kebudayaan masyarakat Nias, maka penulis menyimpulkan

bahwa kebudayaan yang dominan dalam proses kontak budaya antara China dan Nias

adalah kebudayaan China.

6.2. Saran

Tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari teknik penulisan terutama

cara penyampaian informasi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu dibutuhkan

perbaikan –perbaikan demi kesempurnaan tulisan ini. Hubungan sejarah kebudayaan

China dengan masyarakat Nias masih dapat diuraikan lebih detail lagi sehingga

kemungkinan identifikasi lebih lanjut akan memberikan informasi-informasi baru tentang

hasil kontak budaya pengaruh kebudayaan China pada masyarakat Nias.

Penulis yakin bahwa apabila ditelusuri lebih lanjut , hasil kontak budaya antara China

dan Nias dilihat dari sisi musikal tidak cukup hanya dilihat dalam instrumen Lagia yang

mirip dengan Erhu. Penulis berharap akan ada kedepannya penelitian oleh masyarakat

Nias terutama para etnomusikolog yang berasal dari Nias untuk melihat lebih jauh tentang

unsur musikal China yang telah mempengaruhi kesenian masyarakat Nias sampai hari ini.

Selain sebagai kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian lanjutan diharapkan menjadi

suatu wujud kepedulian akan pelestarian kebudayaan Nias. Sudah sewajarnya ono niha

menyadari akan kekayaan budayanya sendiri.

103

DAFTAR PUSTAKA

Dachi, Calvin. 1992. Hoho :Tradisi Musik Vokal Nias . Buletin Mahasiswa Etnomusikologi-Medan, Vol.1, No.1, hal. 25 s.d. 26

Devale,Carole sue. 1990. “Organising organology”. Dalam Selected Reports in Ethnomusicoloy. California. University of California. Volume VIII, Januari 1990

Hammerle, Johannes. 2001. Asal usul masyarakat Nias suatu Interpretasi. Nias: Yayasan Pusaka Nias Jones, Thaddeus George.1974.Music Theory. New york. A Division of Harper and Row Kartomi,Margareth.1981.The Processes and Result of Musical Culture Contact: A Discussion

of Terminology and Concepts. Dalam Journal for Society of Ethnomusicology.Vol.III. pp 275 s.d. 297

Kunt,Japp.1939.Music in Nias.Amsterdam Malm, William.P, 1977. Music Culture of Pasific: The Near East and Asia. New Jersey:

Prontice Hall, Inc May, Elizabeth.1980. Music in Many Culture: An Introduction. California. University of

California press Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collie Star, Publisher. Parlindungan, Mangaradja Onggang. 2001. “Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanko

Rao” dalam Asal usul Masyarakat Nias. Nias: Yayasan Pusaka Nias Randel,Michael. 2003. The Harvard Dictionary of Music. London: The Belknap Press of

Harvard University Press Sach, Curt. 1968. “Terminology” dalam The History of Musical Instruments Suharso. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang. Widya Karya Titi Krisnawati, 2015. Studi Deskriptif Dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang

Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”. Medan: Universitas Sumatera Utara (skripsi Sarjana).

Titon, Jeff, 1984. World of Music. New York: Scirmer Books. William, Peter.1984. “Organology” dalam The New Grove Dictionary Of Music and

Musician. Stanley Sadie Delau, Adil. 2014. “Asal-Usul Leluhur Ono Niha” https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/ http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-

contoh.html

104

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Hezatulȍ Ndruru alias Ama Elsa Ndruru

Umur : 43 tahun

Tempat/tgl lahir : Tȍgizita, 10 Juli 1973

Pekerjaan : Karyawan tidak tetap di Museum Pusaka Nias ( Pembuat

sekaligus pemain musik tradisional Nias).

Alamat : Jl. Yos Sudarso No.134 A, Museum Pusaka Nias, Gunung

Sitoli.

2. Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa alias Ama Christin Mendrȍfa

Umur : 56 tahun

Tempat/tgl lahir : Dahadanȍ/ Nias, 10 Agustus 1960

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil ( Dosen IKIP Gunung Sitoli dan Kepala

desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai

Kabupaten Nias.

Alamat : Jl. Nias Tengah Km. 11,5, Desa Dahadanȍ Botombawȍ,

Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

105

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Hili Serangkai

Diadaptasi dari : http//ppsp.nawasis.info/dokumen/profil/profil_kota/kab.nias/

Oleh : Yulius Gulȍ, 2016

Formatted: Font: (Default) TimesNew Roman, 12 pt

106

Gambar 3.1 Lagia Tampak Depan

107

Gambar 3.2. Lagia Tampak Belakang

108

Gambar 3.3. Lagia Tampak Kanan

109

110

Gambar 3.4. Lagia Tampak Kiri

111

Gambar 3.5. Busur Penggesek Lagia

112

Gambar 3.6. Detail Resonator

113

Gambar 3.7. Lagia oleh Japp Kunts

(Music in Nias, 1939)

114

Gambar 5.2.1

Diagram yang ditemukan di topi emas (Takula Ana’a)

Sumber : Sampul buku Asal- Usul Masyarakat Nias (2001) oleh P.Johannes Hammerle

115

Gambar 5.2.6.

Hȍgȍ Lasara ( motif kepala Naga)

Gambar 5.2.6.1.

Osa-osa

Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&s

a=1&q=peti+masti+khas+nias&oq

116

Gambar 5.4. Erhu

Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&sa=1&q=erhu+instrumen+image&oq=erhu+instrumen+image&gs_l=img.3...372557.3

117

TRANSKRIP LAGU HE LAGIA

118

TRANSKRIP WAWANCARA

RESPONDEN I

Nama : Hezatulȍ Ndruru

Umur : 43 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Karyawan Tidak Tetap di Museum Yayasan Pusaka Nias

VERBATIM I

Hari/ tanggal : 16 November 2015

Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias

Waktu : 15.30-15.55

Judul Rekaman : Suara012.

No Pertanyaan Respon Analisa Refleksi kode 1 2 3 4 5

Menurut bapak, alat musik lagia itu seperti apa sih?

Hmmm....alat musik ini biasa dimainkan pada saat sedang, nalawa’Ő khŐda galau ya. Karena ceritanya lagia ini alat musik merengek-rengek,semacam

Lagia merupakan alat musik tradisional masyarakat Nias yang dianggap sebagai simbol kesedihan. Lagia menurut cerita rakyat, diciptakan oleh seorang

1

119

6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

kesedihan. Jadi kan, awalnya lagia ini ,menurut cerita mitos ya,jadi seorang penderita kusta, macam penyakit kulit, jadi dia diasingkan dikampung, jadi karena dia hanya seorang diri, jadi nasibnya itu dia meratapinya.Habis sesudah meratapi, dia membuat alat musik ini. Jadi alat musik ini dia mengikuti nada nyanyiannya itu.Contohnya,heee...lagia (sambil bernyanyi). jadi seandainya sama orang dia menceritakan kisah hidupnya itu, mungkin orang lain bisa membantah, tapi karena musik ini tidak bisa membantah. Jadi dia semacam mengadukan bagaimana kemalangannya. Lagia artinya mengikuti apa yang kita ingin bicarakan. Alat musik ini tidak membantah.

penderita kusta yang meratapi nasibnya dengan memainkan Lagia sambil bernyanyi lagu He Lagia. Pada kenyataannya, cerita rakyat ini tidak dapat dipastikan kebenarannya sehingga sejarah terciptanya Lagia belum diketahui secara jelas.

27 28 29 30

Ohh,,jadi semenjak itu berkembang lah alat musik ini ya pak?

Iya. Semenjak itu Lagia dikenal oleh masyarakat. bahkan sudah dipakai dalam acara kemalangan seperti kematian.

Lagia berkembang setelah dimainkan oleh seorang si penderita kusta sehingga dikenal oleh masyarakat banyak.

1

31 32 33 34 35

Trus cerita tentang sejarah Lagia ini memang nyata atau hanya sebatas cerita rakyat pak?

Iya, ini bisa dikatakan sebagai cerita rakyat biasa dan disesuaikan apakah bisa masuk akal. Menurut saya cerita ini bisa di masuk akal.

Sejarah Lagia hanya sebatas cerita rakyat, tidak bisa dipastikan kebenarannya.

1

36 37

Jadi, Lagia ini masih dipakai sampai

Ohhh,,ini sudah jarang dipakai juga dipertunjukkan. Kalau di museum

Lagia sudah jarang dipertunjukkan kecuali oleh pihak

1

120

38 39 40 41 42 43

sekarang ya pak, seperti di pertunjukkan?

pernah dilakukan pertunjukkan dalam rangka pelatihan alat musik tradisional untuk anak-anak sekolah. Yah, mungkin kalau tidak ada museum, kita tidak dapat mengetahui alat musik Lagia ini.

museum untuk keperluan pelatihan bagi anak-anak sekolah.

44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62

Dimuseum apakah masih ada yang bisa memainkan alat musik ini pak?

Ya jelas, saya sendiri bisa memainkan alat musik ini. Tapi tidak pintar, asal bisa memainkan. Karena biasanya memainkan alat musik bisa karena biasa. Sama seperti mmainkan gitar. Begitu juga lagia ini. Saya belajar hampir 6 bulan, tidak ada hasilnya, akhirnya saya capek. Tapi akhirnya bisa terus-menerus berlatih. Tapi tidak seperti sepintar mereka dulu. Karena dulu biasanya dulu yang memainkan lagia ini adalah orangtua yang sudah tidak lagi bisa bekerja di ladang.saya pernah belajar dari seorang orangtuua yang sudah sangat tua di Gomo. Saya sudah tidak tau apakah dia masih ada sampai sekarang atau tidak.

Lagia sama seperti memainkan gitar. Membutuhkan ketekunan selama proses belajar memainkan instrumen Lagia.

2

63 64 65 66 67 68 69

Jadi alat musik ini sebenarnya berkembang dimana di wilayah Nias bagian mana ya pak?apakah mungkin di Nias Selatan?

Yah,,,terakhir kita bisa temukan di wilayah Nias Tengah, juga di Nias Selatan. Mungkin saja bisa ditemukan di Nias Utara atau Nias Barat, tapi mungkin tidak berkembang dan punah karena pengaruh budaya luar. Itu faktor

Lagia ditemukan di wilayah Nias Tengah hingga ke daerah Nias bagian Selatan. Lagia jarang ditemui dan hampir punah karena adanya pengaruh budaya dari luar seperti alat musik barat.

1

121

70 71

paling berbahaya, karena alat musik ini hampir tidak ditemukan.

72 73 74 75 76 77 78 79 80

Ohh,,, begitu ya pak. Trus seberapa sering Lagia dipertunjukkan di museum pak?

Ohh,,hanya kalau ada kegiatan tertentu saja. Ya sperti saya bilang tadi kalau ada kegiatan seperti pengenalan alat-alat musik tradisional Nias kepada anak-anak sekolah. Selain itu, ya kadang-kadang saja. Karena sebenarnya saya juga agak segan memainkan alat musik ini

Lagia sudah sangat jarang digunakan pada saat ini, hanya pada saat kegiatan tertentu saja seperti kegiatan pengenalan alat-alat musik tradisional Nias kepada anak-anak sekolah yang ada di wilayah kota Gunung sitoli.

1

81 82 83 84 85 86 87 88 89 90

Kenapa pak? Yah, karena seseorang yang memainkan Lagia biasanya hidupnya melarat. Hehehe Saya takut nanti hidup saya melarat. Hehehe Tapi ini hanya sebuah kepercayaan masyarakat biasa.

Adanya suatu kepercayaan masyarakat lokal bahwa seorang pemain Lagia aadalah seseorang yang sangat malang nasibnya dan dikucilkan dari masyarakat. mereka mengganggap bahwa seseorang yang suka memainkan Lagia pastilah dalam hidupnya tidak akan pernah hidup senang.

1

91 92 93 94 95 96 97 98 99

Ohh,,hehehe... Selain bapak, ada karyawan lain yang bisa memainkan Lagia di sini pak?

Hmmm... setau saya sampai sekarang hanya saya yang bisa sedkit memainkan Lagia ini. Memang di Lȍlȍwa’u ada yang bisa membuat Lagia tapi mereka tidak bisa memainkan. Di Gomo juga, saya sering memesan bahan-bahan Lagia ini dari sana. Lalu kemudian saya olah di sini.

Sampai saat ini di Museum Pusaka Nias, bapak Hezatulȍ Ndruru adalah satu-satunya karyawan sekaligus pemandu wisatawan yang dapat memainkan Lagia.

1

122

VERBATIM II

Hari/ tanggal : 08 April 2016

Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias

Waktu : 16.46- 17.10

Judul Rekaman : suara029,proses pembuatan Lagia

No Pertanyaan Respon Analisis Refleksi kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Baik pak, untuk roses pembuatan Lagia ini, apa saja bahan-bahan yang perlu dipersiapkan untuk tahap awal pak?

Biasania ua bale siofȍna fato kan ba wolobȍ. Memotong ini (menunjuk bongkahan pohon aren).Jadi, Baru sesudah dipotong, awena latoto faoma fato zui. Aefa la toto, awena la bersihkan da’ȍ, awena la’alȍsi ketebalan da’a ( menunjuk bagian lubang pada bongkahan pohon aren).

Hal yang pertama dilakukan dalam proses pembuatan Lagia adalah memotong batang pohon aren menggunakan kampak. Lalu kulit bagian luar nya dibersihkan.

2

10 11 12

Bagian yang mana yang dibersihkan

Guli nia. Ini kan, biasanya saya memesan dulu batang pohon aren atau batang Sineu ini dari kampung sana. Jadi waktu sampai

2

123

13 14

pak ? disini, kulit bagian luarnya ini masih belum bersih.

15 16 17 18

Ohh, Berarti sebelumnya ada kulit luarnya disini?

Iya, masih so guli baero nia ba daa. Awena na no labersihkan da’ȍ , la’alȍsi tebalnia da’a khȍnia ( menunjuk ujung bongkahan pohon aren)

Setelah dibersihkan, ujung bongkahan pohon aren yang sudah di potong akan dikurangi ketebalannya.

2

19 20 21 22 23 24

Mengapa harus dikurangi ketebalannya pak? Untuk apa itu pak?

Ba kan, dengan awe’e-we’e da’a kan ambȍ suara. Jadi, ini mempengaruhi suara.

Ketebalan resonator akan mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan.

2

25 26 27

Benda ini untuk apa pak?

Da’a fahȍ geu untuk mengurangi ketebalan bagian dalam da’a khonia.

Pahat digunakan sebagai alat untuk mengurangi ketebalan bagian dalam lubang resonatot.

2

28 29 30

Lalu, setelah itu apa langkah selanjutnya pak?

Setelah itu, awena persiapkan ba wangehaogȍ lubang ini, naha tangkai nia dania

Pembuatan lubang tempat kayu penyangga senar

2

31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

Jarak tangkai dengan ujung resonator ini berapa ya pak?

Panjang tangkai ua bale kira-kira 75-80 cm.lalu, diameternya antara 18 sampai ke 22. Lalu, jarak ujung ke lubang tangkai da’a sekitar 11 cm, biasanya ini harus lebih panjang ke belakang (menunjuk jarak lubang gagang senar dengan ujung resonator sebelah kiri). Artinya letak lubangnya tidak boleh terlalu ke tengah. Aefa daȍ, lubang tangkai da’a khȍnia harus sesuai simane tebal kayu da’a. ena’ȍ lȍ aefa dania

Penjelasan mengenai ukuran kayu penyangga senar, jarak lubang kayu penyangga senar dengan ujung sisi kanan 2resonator. Diameter lubang kayu penyangga senar harus disesuaikan dengan tebal/diameter kayu penyangga senar.

2

41 42

Trus senarnya diikat dimana

Nah, inikan ujungnya harus sampai ke bawah ini (menunjuk ke bawah bagian

ujung senar bagian bawah akan diikatkan pada ujung kayu

2

124

43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

nanti pak? resonator yang tegak lurus dengan lubang gagang senar di bagian atas resonator). Nah,nanti ujung senarnya diikat di ujung kayu ini. Nah, ujungnya ini harus ditutup dulu pakai pelepah pinang. Atau lawa’ȍ ia khȍda mowa wino. . Sebenarnya disini juga bisa triplek. Cuman saja kalau triplek harus pakai lem cina itu biar bisa lengket di sini ( menunjuk ujung sisi kanan resonator yang akan ditutup)

penyangga senar yang menembus bagian bawah resonator.

53 54 55 56 57 58 59 60

Besarnya disesuaikan dengan dimaternya yang ini ya pak? ((menunjuk diameter resonator)

Iya. Ini dipotong sesuai diameter yang ini (menunjuk batang pohon aren).baru, di atas pelepah ini dikasi kayu kecil penyangga tali

.diameter peleah pinang/bagian penutup dipotong sesuai dengan diameter resonator.

2

61 62 63 64 65 66 67 68 69 70

Kayu ini apa namanya pak?

Ini sebenarnya boleh sembarang kayu.tidak menentukan. Nah, bentuknya ini sebenarnya beda-beda.ya disesuaikan selera pembuat. Biasanya dibuat setengah lingkaran. Jadi, pas di depan diamater ujungnyanya ini dilubangi supaya bisa menghasilkan suara. Kalau ini ditutup , suaranya akan berbeda. jadi dengan ini dilubangi maka dia bisa menghasilkan suara lebih enak, atau lebih besar.

Kayu penyangga senar (bridge) yang diletakkan di atas pelepah pinang/triplek dapat diambil dari sembarang kayu yang dibentuk seperti setengah lingkaran.atau disesuaikan bentuk yang diingi oleh pembuat.

2

71 72

7374

Jadi, bagaimana cara

Ya kita bisa melihat langsung. Artinya dia tidak punya ukuran khusus. Kita harus melihat keseimbangan lubang ini dengan

Lubang pada bagian penutup sisi kanan resonator disesuaikan dengan keseimbangan besarnya

2

125

75 76

menentukan besar kecilnya lubang di bagian penutupnya ini pak?

dimaternya. terhadap diameter pelepah pinang/triplek sebagai bagian penutup sisi kanan resonator

77 78 79 80

berarti dibunyikan dulu atau gimana pak?

Tidak. Cukup diperkirakan saja. Ukuran ini bisa beda-beda. disesuaikan dengan ukuran diameternya.

Ukuran Lubang pada bagian penutup diperkirakan sesuai kebutuhan.

2

81 82 83

Setelah itu gimana pak?

Nah, setelah itu dipersiapkan pemasangan gagang senarnya ini. Setelah itu, tali sudah bisa dipasang.

Setelah pembuatan bagian penutup dan pembuatan lubang, maka senar dipasang

2

84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95

Trus ujung kayu yang menembus bagian bawahnya ini, berapa ukurannya pak?ukurannya memang pada umumnya seperti ini atau bisa lebih panjang pak?

Hmmm.....tidak. terganggu nanti. Ujung ini kalau terlalu panjang, nanti terganggu. Ini sekitar satu cm lah, ujung gagangnya ini.

Ujung kayu penyangga senar tidak boleh lebih dari 1 cm, hal ini bisa mempengaruhi posisi instrumen ketika dimainkan.

2

96 97

Ohhh..setelah iitu gimana pak?

Awena pasang tali tadi. Tali itu di...hadia la fasikȍ ba khȍda ba?

Pemasangan senar, harus diketatkan terlebih dahulu

2

98 99

Oho,, diketatkan ya pak?

Hmm,, iya. Sesudah diketatkan, setelah itu dipasang nasa.

2

126

100 101 102 103 104 105 106

Panjang kayu penyangga senar sebenarnya berapa pak biasanya?

Oho, sebenarnya saya tidak pernah mengukurnya secara pasti. (mengukur panjang penyangga senar menggunakan jengkal). Ohh,, ini ukurannya ini sekitar 75 lah sampai 80 cm.

Sistem ukur yang digunakan oleh pembuat Lagia adalah menggunakan sistem jengkal. Ukuran panjang tidak mempunyai ukuran yang mutlak. Cukup diperkirakan oleh pembuat Lagia.

2

107 108 109 110 111 112 113 114

Senarnya berapa panjangnya pak?

Ini panjangnya sekitar 1,5 meter, Panjang senar harus lebih besar dari panjang penyangga senar karena sebagian dari senar akan diikatkan pada kedua ujung kayu penyangga , baik di ujung atas kayu maupun pada bagian ujung bawah kayu yang menembus resonator.

2

115 116 117 118 119 120 121 122

Trus, ini senarnya memang dipasang harus melilit diujung kayu pak?

Tidak. Itu hanya sekedar hiasan seninya saja. Ini sebenarnya bisa dilepaskan. Ujung kayunya dilubangi, nah, ujung atas senarnya itu diikatkan dilubang kayu ini.

Beberapa pembuat Lagia menggunakan tutura (bahan baku senar) sebagai ornamentasi yang dililit dibagian ujung atas kayu penyangga senar. Hal ini sama sekali tidak memberikan pengaruh pada kualitas bunyi, hanya sekedar ornamentasi.

2

123 124 125 126 127 128 129

Trus gimana caranya mengetatkan talinya pak?

Ini harus ditarik sampai ketat dipasang di atas kayu penyangga ini diatas ini ( menunjuk bridge) sampai ditarik ke ujung bawah ujung kayu ini.

Senar yang hendak dipasang dan diikatkan pada ujung bawah kayu penyangga harus benar-benar tegang karena ketegangan senar yang dipasang akan mempengaruhi kualitas bunyi yang dihasilkan Lagia.

2

130 131

Ujung kayu nya ini

Tidak. Ujung ini tidak dilubangi. Cukup saja ujung tali nya di ikatkan ke ujung ini

Dalam proses mengikat senar pada kayu penyangga, ujung

2

127

132 133 134 135 136 137 138 139 140

(menunjuk bagian bahwah resonator) dilubangi juga ya pak seperti ujung atas kayu penyangga.ini ?

(sambil menunjukkan cara mengikatkan senar pada ujung kayu penyangga senar)

bawah kayu yang menembus resonator tidak dilubangi seperti ujung atas kayu. Senarnya cukup ditarik dan diikat.

141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152

Oiya pak, tadi bapak pakai gergaji ya untuk mengukur jarak ini (sambil menunjuk lubang kayu penyangga dengan ujung resonator)

Iya. Biasanya saya pakai gergaji saja untuk memperkirakan panjangnya ini. Nah, enao tola u’ila dania, u tandra fake si’ȍli da’a

2

153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163

Memangnya tidak pakai penggaris ya pak?

Hmmm....tidak, biasanya orangtua dulu biasa pakai gergaji , bisa juga di jengkal saja untuk memperkirakan panjangnya ini. Orang nias dulu tidak kenal penggaris.hehehe..itaria yaaga lȍ ma’ila melȍ sekola.hehehe

Di dalam proses pembuatan Lagia, seorang pembuat Lagia tidak menggunakan alat pengukur yang baku. Mereka menggunakan gergaji atau sistem jengkal untuk memperkirakan ukuran-ukuran dalam pembuatan Lagia. Hal ini menyebabkan sistem ukuran dalam pembuatan instrumen Lagia tidak lah mutlak.

2

128

164 165 166 167 168 169

Meskipun demikian, pada umumnya lagia yang dibuat oleh pembuat Lagia yang berbeda akan menghasilkan Lagia dengan ukuran-ukuran yang hampir sama.

170 171 172 173 174 175 176

Ohhh..Oiya, pak. Ini kan Lagia nya ada juga ya 2yang terbuat dari kayu apa ni pak?

Oh,ini Sineu. Kayu ini bisa juga dipakai untuk pengganti batang pohon aren.

Salah satu kayu yang dipakai oleh si pembuat Lagia sebagai alternatif lain pengganti batang pohon aren sebagai resonator Lagia adalah kayu sineu.

2

177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188

Kenapa bisa begitu pak? A2pa bedanya dengan batang pohon aren?

Hmm... ini kan kayu nya sedkit tipis dibanding dengan kayu aren. Jelas ini berpengaruh pada bunyi yang dihasilkan Lagia ini.

Pembuat Lagia memilih kayu sineu sebagai pengganti batang pohon aren disebabkan karena alasan karateristik kayu sineu yang cukup tipis dibandingkan dengann batang pohon aren yang cukup tebal yang bisa mengakibatkan proses pengerjaan pembuatan lubang resonator membutuhkan waktu yang lama.

2

189 190 191 192 193 194

Iya tapi kan bisa ditipiskan kan pak, kan bisa dikurangi ketebalannya?

Iya, tapi ini kayu aren ini sifatnya keras. Susah mengikisnya. Butuh waktu yang lama. Selain itu, kayu aren kan tebal, bunyi Lagia nanti tidak begitu nyaring.

Selain karena alasan proses pengerjaan yang cukup lama, ketebalan batang pohon aren juga dianggap akan mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan oleh Lagia

2

195 Ohhh iya juga Senarnya kan sebenarnya akar salak. tapi Pada awalnya, bahan baku yang 2

129

196 197 198 199 200 201 202 203 204

ya pak, trus kalau senarnya?

iadaa sae lafake tutura. Bȍrȍ me susah mendapat waa guluwi da’a.

dijadikan senar pada Lagiia adalah terbuat dari akar salak. namun, keterbatasan sumber daya alam akar salak di wilayah Nias saat ini mengakibatkan pembuat Lagia menjadikan tutura sebagai alternatif lain sebagai bahan baku senar pada Lagia menggantikan akar salak.

205 206 207 208

Senar penggesek nya juga sama ya pak?

Iya, senarnya sama saja dengan yang ini ( sambil menunjuk senar Lagia).

Senar pada busur penggesk terbuat dari tutura, sama seperti bahan baku yang dijadikan senar pada Lagia.

2

130

RESPONDEN II

Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil; Dosen Bahasa Indonesia IKIP Gunung Sitoli, 1989 ( tokoh penggerak sanggar Aforeteholi desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

VERBATIM I

Hari/ tanggal : 23 November 2015

Lokasi Wawancara: Kantor Kepala Sekolah SMA Swasta Pemda 2, Kota Gunung Sitoli

Waktu : 15.44 - 16.20

Judul Rekaman : happy004.Mend

No Pertanyaan Respon Analisa Refleksi kode 1 2 3 4 5 6 7 8

Lagia itu apa pak?

Hmm... Lagia salah satu musik tradisional Nias, ya musik ini slalu digunakan dalam mengiringi lagu-lagu yang punya not, kenapa? Karena musik Lagia bisa mengikuti nada atau melodi, lagia adalah salah satu alat musik yang boleh dikatakan berbentuk tabung. Dan lagia ini diumpamakan seseorang manusia yang belum terbuka mata

Lagia adalah salah satu alat musik tradisional Nias

131

9 10 11

dalam arti, pencipta atau pembuat pertama Lagia, karena dia sudah menemukan maka ia menganggap dia hebat, paling tau.

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Menurut sepengetahuan bapak, Lagia ini lebih banyak berkembang dimana pak?

Alat musik ini tercipta pada awalnya di Nias tengah. Kenapa begitu, karena di Nias Tengah banyak yang melakukan kegiatan sehari-hari dalam arti mencari nafkah , yaitu menyadap nira. dan kegiatan sehari2 itu ia akan berpikir karena sendirian di pondok, maklum pada zaman dulu tidak seperti keadaan sekarang yang begitu ramai, dan banyak musik2 elektronik dari dan berbagai musik luar negeri. Dulu, masyarakat menciptakan musik sendiri tanpa memperhatikan tangga nada. Tetapi ia menciptakan musik itu hanya untuk menghibur diri sendiri karena kesenduan pribadi di pondok. Pada waktu luang, penyadap nira akan mencoba-coba menggunakan benda-benda sekitar dan mencoba menciptakan satu bunyi yang berbeda dari yang sudah dia dengar sebelumnya. Dengan begitu, dia memotong batang pohnon nira yang sudah tua yang tidak menghasilkan nira, bermanfaat untuk keluarganya. Manfaatnya banyak, bisa dijadikan kayu api, dan daunnya bisa jadi sapu, dan batangnya juga bisa digunakan untuk membuat pisau. Nah sepotong bagian yang tertinggal batang pohon nira ini lah yang djadikan sebagai alat musik Lagia.

Lagia berasal dari Nias tengah

40 Bagaimana Oh,, ini alat musik nya digesek, bukan di Lagia dimainkan dengan cara

132

41 42 43 44 45 46

cara memainkan alat musik Lagia pak?

petik. Sama seperti biola. Nah, senarnya itu di tekan untuk menghasilkan nada.

digesek

47 48 49 50

Senarnya itu terbuat dari apa ya pak?

Hmm..itu senarnya sebenarnya dari akar salak.ma wa’a guluwi nalawaȍ khȍda. tapi sekrang sudh ada yang memakai tura-tura ma tutura. Itu sebangsa rotan.

51 52 53 54 55 56 57 58

Berarti sekarang pembuat Lagia lebih banyak memakai rotan ya pak?kenapa bisa begitu pak?

Hmmmm....wa’a guluwi agak sulit tasȍndra iadaa. Nah sedangkan tutura andre aoha wangalui. Bȍrȍ wa’a guluwi biasania tesȍndra ia bazinga nidanȍ ma ba ma sungai. Andrȍ oya lafake simane tutura jadi senar Lagia andre.

Akar salak saat ini sulit ditemukan. Biasanya ditemukan ditepi sungai. Sekarang pembuat Lagia lebih banyak menggunakan tutura sebagai senar pada Lagia.

59 60 61 62 63

Oho,tadi bapak bilang Lagia ini diciptakan oleh seseirang penyadap nira?

Iya,, yang sedang kesepian dipondoknya sehingga ia menciptakan alat musik ini untuk menghibur dirinya sendiri.

Lagia diciptakan oleh seseorang yang bekerja di ladang sebagai penyadap nira untuk menghibur dirinya sendiri.

64 65 66 67 68 69 70 71 72

Iya pak, terus bagaimana alat musik ini berkembang shingga Lagia ini disebut sebagai alat musik tradisional

Nah, alat musik Lagia ini kemudian dikenal oleh banyak masyarakat Nias. digunakan sebagai alat musik tradisional Nias, yang mana digunakan sampai sekarang, terakhir pada tahun 2012, diadakan perlombaan alat musk tradisional dan salah satunya dibawakan Lagia, yang pada saat itu dibawakan dari Kecamatan Hili Serangkai, dan akhirnya mereka mendapat kejuaraan

Lagia sudah dikenal oleh masyarakat Nias terbukti denga dipertunjukkan di dalam kegiatan festival kebudayaan.

133

73 74 75 76

Nias? dalam memainkan alat musik traidsional lainnya. Lagia ttp digunakan sampai saat ini untuk mengiringi lagu-lagu sendu yang dinyanyikan oleh orang-orang Nias.

77 78 79 80 81 82 83 84 85 86

Oho, trus istilah Lagia ini darimana pak? Kenapa mereka menyebutnya Lagia? darimana istilah alat musik ini pak?

Nah, sebelumnya Lagia ini adalah diumpakan sebagai nama seorang Nias. pencipta Lagia mengumpakan dirinya sebagai orang yang sangat terpencil. Sehingga dia menyebut dirinya Lagia.

Istilah Lagia diumpakan sebagai nama seorang manusia.

87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98

Tadi bapak bilang, lagia ini mengiringi lagu sendu? Kenapa harus lagu sendu ya pak? Atau alat musik ini memang hanya bisa memainkan lagu sendu?

Ya...sebenarnya kenapa lagu sendu, karena memang pada zaman dulu, orang Nias itu kan banyak bekerja di ladangg dan mereka lebih banyak menyukai lagu-lagu sendu untuk menghibur dirinya yang kesepian dipondok diladang tempat bekerja.

Masyarakat Nias lebih banyak menyukai lagu yang berkarakter sedih.

99 100 101 102

Ohh, lagu He Lagia ya pak?

Iya, itu lah lagu yang diiringi oleh alat musik ini. jadi dulu pencipta Lagia menyanyikan lagu ini

103 104

Ohh,, terus selain lagu ini,

Segala lagu sekarang yang berbeda nada bisa diiringi alat musik Lagia. tapi salah satu

Lagu He Lagia dikenal merupakan lagu yang diiringi

134

105 106 107 108 109

ada lagi lagu lain gag yang bisa diiringi sama Lagia ini?

lagu yang menceritakan alat musik ini ada, itu lah lagu He Lagia.jadi, ada lagunya, ada alat musiknya.

oleh instrumen Lagia.

110 111 112 113 114 115

Berarti pencipta alat musik lagia ini juga sekaligus pencipta lagu He Lagia?

Nyanyian ini sebelumnya ssama seperti lagu Nias lainnya. Bisa kita katakan anonim. Jadi karena terus dinyanyikan turun temurun sehingga masyarakat Nias mengenal lagu inni.

Nyanyian lagu He Lagia merupaka lagu rakyat yang diwariskan secara lisan.

116 117 118 119 120 121 122 123 124

trus Lagia dimainkan bersamaan dengan alat tradisional Nias lainnya ya pak? Sama kayak mamȍzi Aramba?

Ohh,, dulunya memang solo, sampai sekarang pun dimainkan solo, tapi sekarang ada juga yang dimainkan bersamaan dengan aalat musik tradisional Nias lainnya. Lagia ini sebagai pembawa melodi.

Lagia dimainkan daam formasi solo

125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136

Hmmm... tadi bapak bilang Lagia ini lebih banyak ditemukan di Nias Tengah. Sepengetahuan bapak, ada gag mungkin di Nias Selatan, Utara atau Nias barat alat

Hmmm.. tidak ada, Lagia hanya ada di Nias tengah. Di Nias Selatan, Barat, atau di Nias utara tidak ada musik Lagia.

Lagia hanya ada di Nias bagian tengah.

135

137 138

musik Lagia ini ?

VERBATIM II

Hari/ tanggal : 10 April 2016

Lokasi Wawancara: Rumah Bapak Yustinus Mendrȍfa, Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias

Waktu : 14.46- 16.05

Judul Rekaman : Happy029.Mend

No Pertanyaan Respon Analisis Refleksi Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17

sudah sejauh mana perkembangan Lagia di desa ini pak?

Hmm...jadi begini nak,Lagia ini sudah dipertunjukkan oleh masyarakat dari desa ini , terakhir dilaksanakan pagelaran di Gidȍ tahun 2014. Pagelaran budaya dan musik tradisional sekabupaten Nias. waktu itu diharapkan paling tidak delapan alat musik tradisional harus ditampilkan. Lagu yang yang ditampilkan adalah lagu-lagu tradisional Nias. dan saat itu desa kita dinilai sebagai penampilan terbaik . Nah, tapi dulu memang Lagia ini dipakai oleh masyarakat disini. Tapi masuknya alat-alat musik modern, membuat generasi sekarang lebih suka memainkan alat

Lagia sudah dipertunjukkan oleh masyarakat dari desa Dahadanȍ Botombawȍ dalam kegiatan festival kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah Kabupaten Nias sekali dalam dua tahun.

3

136

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

musik modern itu. Kalau alat musik tradisional ya dibiarkan begitu saja. Ya mungkin lebih mudah memainkannya karena modern dan elektrik. Untuk kegiatan pagelaran 3musik ini diadakan sekali dua tahun dilaksanakan. Hal itu tergantung pada APBD dinas pariwisata kabupaten Nias. sekrang memang pemerintah lagi menggalakkan pelestarian kesnian tradisional di Nias akhir-akhir ini.

30 31 32 33 34 35 36 37

Pak, disini saya dengar ada sanggar ya kesenian desa ya?

Iya ada. Di desa kita ada sanggar .Namanya sanggar Aforeteholi. Dulu penggeraknya itu sekarang sudah meninggal, Ama tuti mendrȍfa. Sehingga kegiatan itu sudah tidak jalan, ya hanya kadang-kadang kalau mau ada kegiatan, ya akan dilakukan latihan.

Sanggar Aforeteholi adalah sanggar kesenian yang berasal dari desa Dahadanȍ Botombawȍ.

3

38 39 40 41 42

Tapi sanggarnya masih ada sampai sekarang ?

Ya masih, hanya saja pengurusnya perlu disegarkan kembali.

3

43 44 45 46 47 48 49

Berarti dulu da sistem latihan rutin ya pak di sanggar ini?latihannya di balai desa tadi ya pak?

Bukan. Dulu memang sering dilakukan latihan menari, maena, memainkan alat musik tradisional Nias, biasanya dulu kadang hari minggu. Dan biasanya dulu latihannya di lapangan. Dari desa kita memang terkenal dengan

Masyarakat pada awalnya melaksanakan latihan bersama secara rutin.

3

137

50 51 52 53 54 55 56

pemain musik tradisi termasuk Lagia, juga maena pada pesta pernikahan, maena baluse, folaya baluse.biasanya itu dilaksanakan untuk menyambut tamu. dan menyanyikan nyanyian tradisional Nias

57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73

Berarti Lagia yang masih ada sekarang ini milik desa ya pak, penduduk desa lainnya tidak punya sebagai milik pribadi?

Iya, ini milik desa, cuman dulu memang ada, tapi ya entah kemana. hanya beberapa saja dari mereka yang masih di desa ini yang bisa memainkan Lagia, tapi tidak memiliki Lagia secara pribadi. Kenapa? Karena masyarakat sekarang lebih senag sama lagu-lagu modern itu. Aefa daȍ, jarang iadaa niha khȍda zi so alat musik tradsional andrȍ. Bȍrȍ, lebih omasi ira hiburan lain. simane hp bale so zinunȍ, televisi, yah itu lah maslaahnya. Itu sebabnya alat musik tradisional Nias sekarang tidak begitu menarik bagi masyarakat di sini.

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ pada umumnya tidak memiliki instrumen Lagia secara pribadi. Namun, masih terdapat beberapa di antara mereka yang bisa memainkan alat musik Lagia. alasan ketidaktertarikan masyarakat dengan instrumen tradisional nias (Lagia) karena adanya pengaruh teknologi

3

74 75 76 77 78 79 80 81

Bapak sendiri bisa memainkan Lagia?

Ohh,, kalau saya tidak bisa memainkan Lagia. memainkan Lagia itu harus dengan perasaan.yah agak sedikit sulit. Disini kita masih punya beberapa pemain Lagia hanya saja alatnya sudah tidak layak dipakai (menunjukk instrumen Lagia milik desa). saya hanya pelatih pada

Teknik memainkan Lagia bagi masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah sesuatu hal yang sedikit sulit. Selain itu beberapa orang masyarakat yang dapat memainkan Lagia tidak memiliki alat musik Lagia secara pribadi

3

138

82 83 84

saat pertunjukkan misalnya seperti festival kebudayaan yang tadi itu di Kabupaten.

85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99

100

Kalau tidak salah bapak pernah bilang kalau disini masyarakatnya lebih banyak bekerja bertani ya pak, termasuk seperti menyadap nira. selain itu apa lagi mata pencaharian masyarakat di sini pak?

Iya memang. Disini masyarakatnya banyak bertani. Tidak menyadap nira, juga menyadap karet. Juga beberapa dari mereka beternak, ya beternak babi, ayam. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai PNS, guru, dan kerja kantoran.

3

101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113

Baik pak, mau tanya lebih jauh tentang sejarah Lagia di desa ini. seperti bapak bilang tadi, alat musik ini sudah dipakai lama oleh masyarakat desa ini di dalam sebuah

Hmmmm....ya seperti yang saya katakan tadi, Lagia ini sudah lama dipakai dalam sanggar milik desa. disini Lagia sudah dipakai sejak tahun 1973 , atau mungkin sebelum itu juga Lagia sudah ada di desa ini. Dulu di desa ini salah satu mata pencaharian masyarakat ya itu lah penyadap karet. Ya namanya dulu masih belum ada hp seperti sekrang. Ya mereka cari-cari benda-benda di sekitar mereka lah yg bisa dibunyikan dan bisa menghilangkan

3

139

114 115 116 117 118 119 120 121 122 123

sanggar, yaitu sanggar Aforeteholi. Nah, itu sejarah awalnya perkembangan Lagia di desa ini seperti apa ya pak?

kesenduan mereka di pondok mereka. seperti saya ceritakan sebeumnya bahwa Lagia ini diciptakan oleh seorang penyadap nira yang kesepian di hutan

124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134

Ohh,,kalau begitu Lagia memang berasal dari desa ini ya pak? Atau mungkin dari desa lain yang termasuk wilayah Nias tengah?

Ohh kalo itu saya kurang tau. Lagia itu memang berasal dari Nias tengah. Nah salah satu nya Lagia ada di desa ini. sepertinya di Lȍlȍwa’u juga ada . di sana mereka membuat Lagia. di museum juga ada.

3

135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 146

Trus dulu bagaimana respon masyarakat terhadap lagia ini pak? Apa dulu semua masyarakat bisa memainkan atau tertentu

Hmmm...sebenarnya Lagia ini bisa dimainkan oleh siapa saja. Dulu juga begitu. Tapi pada saat ditampilkan kan tidak semuanya harus tampil. Ya dulu orang tua dulu banyak yang bisa memainkan Lagia. anak-anak muda juga dulu seperti itu. Tapi sekrang sudah tidak lagi. Anak muda sekarang lebih suka main band. Hehehe...

3

140

147 saja?

141

142

143

144