kajian kelembagaan dan regulasi untuk mendukung kebijakan ...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
233 -
download
7
Transcript of kajian kelembagaan dan regulasi untuk mendukung kebijakan ...
2015
DIREKTORAT KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL
i
KATA PENGANTAR
Kajian merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi Bappenas sebagai
lembaga perencanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan efektifitasnya dalam
menjawab permasalahan terkait pelaksanan program/kegiatan pembangunan dan landasan
dalam penetapan kebijakan. Kegiatan Kajian Kesiapan Kelembagaan dan Regulasi dalam
Mendukung Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015-2019 merupakan bagian
dari pelaksanaan RPJMN 2015-2019 bidang kebencanaan.
Proses penyusunan kajian ini dilakukan melalui seminar, diskusi kelompok terfokus
(Focus Group Discussion) dengan mitra kementerian/lembaga terkait di pusat dan SKPD
terkait di beberapa daerah dengan melibatkan narasumber terkait, pengumpulan data
penyebaran kuesioner ke kabupaten/kota.
Kajian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana kesiapan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung dan melaksanakan kebijakan
penanggulangan bencana, dilihat dari kesiapan aspek regulasi dan kelembagaan terkait
penanggulangan bencana yang merupakan aspek dasar yang harus dipersiapkan oleh
pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Meskipun hasil kajian ini masih jauh dari yang diharapkan, namun hasil kajian ini akan
dapat memberikan informasi terkait kesiapan regulasi dan kelembagaan penanggulangan
bencana dan membantu pihak-pihak terkait penanggulangan bencana terutama kepada
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam merumuskan strategi untuk
memperkuat kapasitas penanggulangan bencana nasional, khususnya dalam penguatan
regulasi dan kelembagaan penanggulangan bencana.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada mitra
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Tim Penulis, pembicara, dan narasumber pada
seminar dan diskusi kelompok terfokus yang telah memberikan masukan bagi perumusan
rekomendasi penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan penanggulangan bencana di
Indonesia, dalam rangka mendukung implementasi kebijakan Penanggulangan Bencana
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019.
Jakarta, Desember 2015
Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Kementerian PPN/Bappenas
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Salah satu respon positif sekaligus kebijakan yang mendukung pengurangan risiko bencana di Indonesia adalah menjadikan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana sebagai salah satu Prioritas Nasional dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden pada perioda 2010-2014. Dalam kerangka pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan, RPJMN 2010-2014 menyediakan dukungan untuk penyusunan Kajian dan Peta Risiko Bencana, penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana pada 33 provinsi, pembangunan INA-TEWS dan penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana pada sekitar 20% kabupaten/kota. RPJMN 2015-2019 menetapkan kebijakan menurunkan risiko bencana dan meningkatkan kapasitas pemerintah, pemda dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Berdasarkan IRBI (Indeks Risiko Bencana Indonesia) tahun 2013, pada 34 provinsi terdapat 322 kabupaten/kota berisiko tinggi dan 174 kabupaten/kota berisiko sedang. Sasaran penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015-2019 adalah menurunkan Indeks Risiko Bencana pada pusat-pusat pertumbuhan berisiko tinggi. Berdasarkan kebijakan pengembangan 7 wilayah pulau yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, terdapat 136 pusat-pusat pertumbuhan yang rata-rata berisiko tinggi dan hanya 10,59% berisiko sedang. Tujuan utama kajian ialah memetakan kesiapan Pemerintah dan terutama pemerintah daerah dan masyarakat dalam melaksanakan strategi penanggulangan bencana. Regulasi dan kelembagaan yang mendukung kesiapan pemerintah daerah dan masyarakat menjadi kebutuhan mendesak karena risiko bencana berada di daerah.
METODA PENELITIAN
Untuk memperoleh gambaran umum tentang pelaksanaan strategi nasional penanggulangan bencana, pendekatan dan metodologi yang digunakan adalah penelitian kualitatif untuk memahami pendapat dan pandangan subyek kajian yaitu pemerintah daerah terhadap konsep manajemen penanggulangan bencana. Melalui metoda penelitian kualitatif diharapkan memperoleh berbagai temuan yang terkait dengan aspek kebijakan dan kelembagaan pelaksanaan strategi nasional penanggulangan bencana, dengan: a) menggunakan lingkungan subyek penelitian sebagai sumber data, b) memperkaya informasi, mencari hubungan, membandingkan dan menemukan pola dasar, c) berorientasi pada proses, d) mengumpulkan fakta di lapangan dan e) menangkap persepsi subyek yang diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan penanggulangan bencana pada RPJMN 2015-2019 dilaksanakan melalui 3 (tiga) strategi yaitu 1) internalisasi penanggulangan bencana dalam pembangunan di daerah, 2) pengurangan kerentanan masyarakat terhadap bencana dan 3) peningkatan kapasitas pemda dan masyarakat. Pembahasan tentang internalisasi penanggulangan bencana dalam pembangunan di daerah menghasilkan temuan pokok sebagai berikut ini:
Kendala utama pengarusutamaan pengurangan risiko bencana adalah belum tersedianya Kajian dan Pemetaan Risiko tingkat kabupaten menggunakan peta skala 1:50.000 dan tingkat kota dengan peta skala 1:25.000
Diperlukan peningkatan kapasitas perencanaan pada BPBD kabupaten/kota untuk menyusun dokumen perencanaan fase pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana
Pembahasan tentang upaya pengurangan kerentanan menghasilkan temuan pokok sebagai berikut ini:
Kendala utama pengenalan ancaman dan kerentanan adalah belum tersedianya Kajian dan Pemetaan Risiko tingkat kabupaten menggunakan peta skala 1:50.000 dan tingkat kota dengan peta skala 1:25.000
Belum tersedianya sistim peringatan dini yang mudah diakses masyarakat
iii
Konsep “tangguh bencana” belum dilembagakan dalam skema pemberdayaan masyarakat yang didukung Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Konsep pendidikan “aman bencana dan ramah lingkungan” untuk meningkatkan kesiapsiagaan pada usia dini belum dilembagakan
Berdasarkan temuan pokok tersebut diatas, rekomendasi bagi peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencapai sasaran RPJMN tahun 2015-2019 adalah:
No Tahun Usulan kegiatan Penanggungjawab 1 2016 Penyesuaian regulasi dan kelembagaan
penanggulangan bencana di daerah dalam pelaksanaan UU no. 23/2014
Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB
Penyusunan NSPK dan SPM Penanggulangan Bencana Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB
Harmonisasi regulasi dan mekanisme pemberdayaan masyarakat tangguh bencana dalam pelaksanaaan UU no. 6/2014
Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB
Pelembagaan konsep pendidikan aman bencana dan ramah lingkungan
Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB, Kem Pendidikan & Kebudayaan
Pengawalan internalisasi PRB dalam RPJMD Bappenas, BNPB
Penyediaan peta IGD skala 1:50000 dan skala 1:25000 BIG, LAPAN
Fasilitasi Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko BNPB
Fasilitasi peninjauan ulang RTRW yag ditetapkan tahun 2008-2011
Kem ATR, Kem Dalam Negeri
Penguatan sistim peringatan dini bencana BPPT, BMKG, LIPI, Kemen PUPR, Kemen ESDM, Kem Ristek & Dikti, Kem LH dan Kehutanan
Lokasi Kota Bogor, Bangkalan, Sidoarjo, Banda Aceh, Kota Bandung, Kab. Malang, Pacitan, Kota Bandar Lampung, Kota Yogyakarta, Kota Jayapura, Kota Merauke, Maluku Tengah, Halmahera Utara, Kep. Sula, Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Dompu, Bima, Kota Kupang, Ende, Belu, Kota Gorontalo, Takalar, Luwu Timur, Parigi Moutong, Kota Palu, Kota Bitung, Kota Denpasar, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Cirebon, Kota Semarang, Kendal, Demak, Cilacap, Magelang, Lamongan, Bojonegoro, Tanggamus, Padang Pariaman, Kota Medan, Kota Cilegon
2 2017 Penyesuaian regulasi dan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah dalam pelaksanaan UU no. 23/2014
Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB
Penyusunan NSPK dan SPM Penanggulangan Bencana Kem Dalam Negeri, Bappenas, BNPB
Pengawalan internalisasi PRB dalam RPJMD Bappenas, Kem Dalam Negeri,
Penyediaan peta IGD skala 1:50000 dan skala 1:25000 BIG, LAPAN
Fasilitasi Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko BNPB
Fasilitasi peninjauan ulang RTRW yang ditetapkan tahun 2012
Kementerian ATR, Kem Dalam Negeri
Penguatan sistim peringatan dini bencana BPPT, BMKG, LIPI, Kemen PUPR, Kemen ESDM, Kem Ristek & Dikti, Kem LH dan Kehutanan
Evaluasi pencapaian penurunan Indeks Risiko Bencana 2015-2016
Bappenas, BNPB, Kem Dalam Negeri
Lokasi Kep. Yapen, Sorong, Raja Ampat, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kota Ambon, Seram Bagian Timur, Maluku Tenggara, Buru, Ternate, Morotai, Halmahera Timur, Lombok Timur, Bima, Ngada, Sikka, Manggarai, Polewali Mandar, Maros, Gowa, Bantaeng, Donggala, Poso, Morowali, Kolaka, Kota Kendari, Singkawang, Kotabaru, Baritokuala, Kota Balikpapan, Tarakan, Tabanan, Cianjur, Bandung Barat, Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Kebumen,
iv
No Tahun Usulan kegiatan Penanggungjawab Bengkulu, Muko-muko, Rejang Lebong, Kerinci, Lampung Barat, Kota Padang, Banyuasin, Lahat, Simalungun
3 2018 Pengawalan internalisasi PRB dalam RPJMD Bappenas, Kem Dalam Negeri
Penyediaan peta IGD skala 1:50000 dan skala 1:25000 BIG, LAPAN
Fasilitasi Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko BNPB
Fasilitasi peninjauan ulang RTRW yang ditetapkan tahun 2013
Kementerian ATR, Kem Dalam Negeri
Penguatan sistim peringatan dini bencana BPPT, BMKG, LIPI, Kemen PUPR, Kemen ESDM, Kem Ristek & Dikti, Kem LH dan Kehutanan
Evaluasi pencapaian penurunan Indeks Risiko Bencana 2017
Bappenas, BNPB, Kem Dalam Negeri
Lokasi Manokwari, Tidore Kepulauan, Alor, Minahasa Utara, Pontianak, Kutai Kartanegara, Badung, Buleleng, Jambi, Langkat
2019 Penyediaan peta IGD skala 1:50000 dan skala 1:25000 BIG, LAPAN
Fasilitasi Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko BNPB
Fasilitasi peninjauan ulang RTRW yang ditetapkan tahun 2014 dst
Kementerian ATR, Kem Dalam Negeri
Penguatan sistim peringatan dini bencana BPPT, BMKG, LIPI, Kemen PUPR, Kemen ESDM, Kem Ristek & Dikti, Kem LH dan Kehutanan
Evaluasi pencapaian penurunan Indeks Risiko Bencana 2015-2019
Bappenas, BNPB, Kem Dalam Negeri
Lokasi Sarolangun dan kabupaten/kota yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan berisiko tinggi dengan RTRW yang ditetapkan pada tahun 2015 dan seterusnya
Dalam rangka mendukung Kawasan Strategis Nasional dalam RPJMN 2015-2019, melengkapi peta IGD
untuk Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dapat dilakukan pada lokasi sebagai berikut ini:
KSN Perkotaan Kabupaten/Kota Peserta Pilkada 2015 KSN Perkotaan Jabodetabekpunjur (Perpres 54/2008)
DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur
Cianjur
KSN Perkotaan Sarbagita (Perpres 45/2011)
Denpasar, Bangli, Gianyar, Tabanan Denpasar, Bangli, Tabanan
KSN Perkotaan Cekungan Bandung Kab Bandung, Bandung Barat Kab Bandung
KSN Perkotaan Kedung Sepur Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi
Kendal, Demak, Semarang
KSN Perkotaan Gerbang Kertasusila Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
Gresik, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
KSN Perkotaan Mataram Raya Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara
Mataram, Lombok Tengah, Lombok Utara
Sorong dan Jayapura menjadi PKN Sorong, Jayapura -
KSN Perkotaan Maminasata (Perpres 55/2011)
Makassar, Maros, Gowa, Takalar Maros, Gowa
KSN Perkotaan Mebidangro (Perpres 62/2011)
Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo Medan, Binjai, Karo
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................................vii
GLOSARIUM .......................................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan .................................................................................................................. 3
1.3. Hasil Yang Diharapkan .............................................................................................................. 4
BAB II RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI ........................................................................................... 5
2.1 Ruang Lingkup Kajian ............................................................................................................... 5
2.2 Metodologi .............................................................................................................................. 6
BAB III TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA ...................... 7
3.1. Potensi Kerentanan Masyarakat Indonesia Terhadap Bencana ................................................. 7
3.2. Capaian Indonesia Dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Perioda 2004-2014 .............. 9
3.3. Pokok-Pokok Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Pada Perioda 2015-2019 ........................ 13
3.4. Kerangka Sendai 2015-2030 dan Sustainable Development Goals di Indonesia ....................... 17
BAB IV PELAKSANAAN STRATEGI PENANGGULANGAN BENCANA TAHUN 2015 ................................... 23
4.1. Penanggulangan Bencana di Daerah ....................................................................................... 23
4.2. Pusat-Pusat Pertumbuhan Dalam RPJMN 2015-2019.............................................................. 32
4.3. Pelaksanaan Internalisasi PRB dalam Kerangka Pembangunan Perkelanjutan di Pusat dan
daerah ................................................................................................................................... 44
4.4. Pelaksanaan Pengurangan Kerentanan Terhadap Bencana ..................................................... 47
4.5. Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Bencana ..... 49
4.6. Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana ................. 54
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................................................................. 55
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................................ 55
5.2. Rekomendasi ......................................................................................................................... 56
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1: Data Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana di Indonesia .................................................... 2
Tabel 2. 1: Lingkup penelitian kualitatif.................................................................................................... 6
Tabel 3. 1: Proyeksi Penduduk Indonesia periode 2010-2035 ................................................................... 7
Tabel 3. 2: Indeks Multi Resiko Kabupaten/Kota ...................................................................................... 9
Tabel 3. 3: Capaian Penanggulangan Bencana s.d 2014 .......................................................................... 10
Tabel 3. 4: Capaian Pelaksanaan HFA ..................................................................................................... 11
Tabel 3. 5: Strategi Dalam Melestarikan Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan
Bencana ................................................................................................................................................ 15
Tabel 4. 1: Perbandingan substansi Permendagri dan Perka BNPB tentang BPBD ................................... 23
Tabel 4. 2: Fungsi koordinasi, komando dan pengendalian berdasarkan Perka BNPB nomor 3/2008 ...... 26
Tabel 4. 3: Ilustrasi kapasitas penanggulangan bencana di daerah ......................................................... 28
Tabel 4. 4: Kegiatan strategis RPJMN 2015-2019 pada pusat pertumbuhan berisiko tinggi ..................... 32
Tabel 4. 5: Interpretasi Indeks Risiko...................................................................................................... 36
Tabel 4. 6: Status BPBD dan RTRW pada pusat-pusat pertumbuhan berisiko tinggi ................................ 37
Tabel 5. 1: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2016 ......................................... 57
Tabel 5. 2: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2017 ......................................... 57
Tabel 5. 3: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2018 ......................................... 57
Tabel 5. 4: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2019 ......................................... 58
Tabel 5. 5: Unsur-unsur pengurangan risiko bencana ............................................................................. 58
Tabel 5. 6: Kebutuhan peta IGD untuk kabupaten/kota berisiko tinggi ................................................... 59
Tabel 5. 7: Kebutuhan peta IGD untuk Kawasan Strategis Nasional Perkotaan ....................................... 60
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1: Index Risiko Bencana Indonesia .......................................................................................... 1
Gambar 3. 1: Penanggulangan Bencana dalam Agenda Pembangunan Nasional .................................... 14
Gambar 3. 2: Kerangka Sendai 2015-2030 ............................................................................................. 18
Gambar 3. 3: Sustainable Development Goals ....................................................................................... 20
Gambar 4. 1: Rencana Tata Ruang Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana .......................... 45
Gambar 4. 2: Kedudukan Penanggulangan Bencana Dalam Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional ................................................................................................................................................ 46
Gambar 4. 3: Upaya Mengenali dan Pemetaan Potensi Genangan Banjir oleh Pemerintah Kota Tangerang
Selatan .................................................................................................................................................. 48
Gambar 4. 4: Komunikasi Visual untuk Kesiapsiagaan ............................................................................ 49
Gambar 4. 5: Perencanaan kesiapsiagaan dan tanggap darurat ............................................................. 50
Gambar 4. 6: Skema Peringatan Dini Bencana di Masyarakat ................................................................. 51
Gambar 4. 7: Kerangka Pemulihan Pasca Bencana ................................................................................. 52
Gambar 4. 8: Proses perencanaan pemulihan pasca bencana ................................................................ 52
Gambar 4. 9: Langkah dan proses PRBBK ............................................................................................... 54
Gambar 5. 1: Sinergi perencanaan dalam penyelanggaraan penanggulangan bencana .......................... 56
viii
GLOSARIUM
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
SPM Standar Pelayanan Minimum
NSPK Norma, Standar, Pedoman, Kriteria
HFA Hyogo Framework of Action for Disaster Risk Reduction
PRB Pengurangan Risiko Bencana
IRBI Indeks Risiko Bencana Indonesia
RENAS PB Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
RPB Rencana Penanggulangan Bencana
Renkon Rencana Kontinjensi
Rencana RR Rencana (Aksi) Rehabilitasi dan Rekonstruksi
DaLA Damage and loss Assessment
HRNA Human Recovery Needs Assessment
RO Rencana Operasi (Tanggap Darurat)
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah
RTRWP3K Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
RDTR Rencana Detil Tata Ruang
PZ Pedoman Zonasi
RTR KSN Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
EWS Early Warning System/Sistem Peringatan Dini Bencana
PRBBK Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Pilkada Pemilihan Kepala Daerah
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan letak geografis dan kondisi geologis, wilayah Indonesia berada pada kawasan rawan
bencana alam. Pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan,
Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur yang saling bergerak dan
bertumbukan, sehingga menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau
Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng
yaitu Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia. Lebih khusus lagi, jalur gempa bumi juga terjadi
pada jalur patahan regional seperti Patahan Sumatera/Semangko. Selain disebabkan oleh faktor geologi
tersebut, Indonesia terletak di sekitar Khatulistiwa yang beriklim tropis dan berbentuk kepulauan. Hal ini
menyebabkan, secara hidrogeografi wilayah Indonesia rawan banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem,
gelombang ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan dan abrasi. Dampak negatif dari perubahan iklim
global semakin membuat wilayah Indonesia rentan terhadap berbagai bencana terkait dampak
perubahan iklim.
Kerentanan ini dipengaruhi oleh masalah demografi, antropogenik dan masalah hukum yang tidak
terlaksana dengan baik. Perusakan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali
misalnya, menambah frekuensi kejadian bencana yang mengakibatkan peningkatan jumlah korban jiwa
dan kerusakan di Indonesia.
Gambar 1. 1: Index Risiko Bencana Indonesia
Sumber: IRBI 2013, BNPB
2
Dari berbagai kejadian bencana yang terjadi di wilayah Indonesia telah menyebabkan kerusakan dan
kerugian yang secara makro dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. 1: Data Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana di Indonesia
No. Kejadian Bencana Waktu
Kejadian
Kerusakan &
Kerugian
(Miliar Rp)
1 Gempabumi dan Tsunami, Aceh Des 2004 41.400
2 Gempabumi DIY & Jawa Tengah Mei 2006 29.150
3 Luapan Lumpur Sidoarjo Mei 2006 7.300
4 Banjir Jabodetabek, 2007 Feb 2007 5.184
5 Gempabumi–Sumatera Barat Mar 2007 1.080,7
6 Gempabumi- Bengkulu dan Sumatera Barat Sept 2007 1.790,9
7 Banjir dan Tanah Longsor– Jawa Timur Jan 2008 1.691,5
8 Gempabumi di Tasikmalaya, Jawa Barat Sept 2009 6.900
9 Gempabumi, Sumatera Barat Sept 2009 21.600
10 Banjir Bandang di Wasior, Papua Barat Sept 2010 280,6
11 Gempabumi dan Tsunami di Mentawai Okt2010 348,9
12 Erupsi Gunung Merapi Okt 2010 3.628,7
13 Bencana Lainnya 2004-2010 34.000
14 Banjir Jabodetabek, 2013 Jan 2013 8.340
15 Gempabumi Aceh Tengah dan Bener Meriah Jul 2013 1.356,6
16 Letusan Gunung Sinabung Jan 2014 865
17 Banjir Bandang Manado Jan 2014 1.569,9
18 Letusan Gunung Kelud Feb 2014 1.255,0
TOTAL 167.741,8
Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan
letusan gunung api), bencana akibat faktor hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin
topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama
tanaman), akibat kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir,
pencemaran bahan kimia), serta kerusakan lingkungan (kebakaran hutan dan lahan, tumpahan minyak,
dan lain lain).
Penanganan dampak bencana alam telah menjadi beban fiskal dan dapat menghambat target
pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah telah mempersiapkan langkah-langkah penanganan krisis
dari sisi pengelolaan fiskal, misalnya melalui penyediaan dana cadangan risiko fiskal, alokasi anggaran
3
bantuan sosial, alokasi anggaran subsidi pangan, alokasi cadangan beras pemerintah dan belanja lainnya
yang bersifat mendesak.
Landasan utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia saat ini merujuk kepada UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan regulasi ini maka diturunkan ke
dalam beberapa regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
Peraturan Kepala BNPB, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sejalan dengan regulasi tentang
penanggulangan bencana itu, terdapat kerangka regulasi lainnya yang memberikan panduan mengenai
penanggulangan bencana, antara lain; UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27 Tahun
2007 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Didorong oleh pengalaman pahit pasca bencana gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias pada Desember
2004 dan gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah pada Mei 2006, telah terjadi pergeseran paradigma
kebijakan dalam penanggulangan bencana dari respon menjadi pencegahan. Para ilmuwan geologi
mencatat bahwa gempa bumi Aceh-Nias tahun 2004 merupakan salah satu yang terbesar pada abad 21.
Bencana alam di dua kawasan ini menjadi istimewa karena betapa banyaknya korban yang meninggal,
hilang, luka-luka dan jumlah kerusakan dan kerugian dialami.
Pergeseran paradigma yang tercermin dalam UU No. 24 Tahun 2007 juga dipengaruhi Hyogo Framework
of Action (HFA) 2005-2015, mengamanatkan 3 (tiga) tujuan strategis sebagai berikut:
1. Pengintegrasian pengurangan risiko bencana pada kebijakan, perencanaan dan program
pembangunan yang berkelanjutan, yang memprioritaskan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan
penurunan tingkat kerentanan.
2. Pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan nasional dan daerah, serta masyarakat, untuk
bersama-sama membangun ketangguhan menghadapi ancaman bencana.
3. Penyertaan pendekatan pengurangan risiko bencana pada perencanaan dan pelaksanaan
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.
Sejak penerapan Kerangka Aksi Hyogo pada tahun 2005-2015, yang didokumentasikan dalam laporan
kemajuan nasional dan regional dalam pelaksanaannya serta laporan global lainnya, kemajuan telah
dicapai dalam mengurangi risiko bencana di tingkat lokal, nasional, regional dan global dengan negara-
negara dan pihak terkait lainnya, yang mengarah ke penurunan angka kematian dalam kasus beberapa
ancaman bencana. Mengurangi risiko bencana merupakan investasi dengan biaya yang efektif dalam
mencegah kehilangan dimasa depan. Manajemen risiko bencana yang efektif memberikan sumbangan
untuk pembangunan berkelanjutan.
1.2. Maksud dan Tujuan
Salah satu respon positif sekaligus kebijakan Pemerintah tentang penanggulangan bencana adalah
memasukkan isu kebencanaan sebagai salah satu prioritas pembangunan RPJMN 2010-2014 dalam
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Pemerintah melanjutkan arah kebijakan penanggulangan
bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pada Agenda
Prioritas “Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi
Domestik”, yang terdiri dari sub-agenda (i) Peningkatan Kedaulatan Pangan; (ii) Peningkatan Ketahanan
Air; (iii) Peningkatan Kedaulatan Energi; (iv) Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan
Pengelolaan Bencana; (v) Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan; (vi) Penguatan Sektor
Keuangan; dan (vii) Penguatan Kapasitas Fiskal Negara.
4
Maksud dan tujuan kajian ini adalah untuk melakukan penelaahan terhadap kesiapan lembaga di tingkat
pusat dan daerah untuk melaksanakan Strategi Nasional penanggulangan bencana yang meliputi:
1) Penelaahan integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan
2) Penelaahan terhadap upaya mengurangi kerentanan
3) Penelaahan terhadap kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah
Jenis ancaman bencana yang menjadi latar belakang penelaahan ini adalah dampak perubahan iklim yang
mengakibatkan berulangnya kejadian bencana seperti banjir, longsor, kekeringan serta kebakaran hutan
dan lahan. Ancaman bencana tersebut dapat diantisipasi sebelumnya sehingga memerlukan perhatian
para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah.
Kerangka Pengurangan Risiko Bencana pasca 2015 telah diadopsi pada saat penyelenggaraan Konferensi
Dunia ke-3 untuk Pengurangan Risiko Bencana, yang dilaksanakan pada tanggal 14 - 18 Maret 2015 di
Sendai, Miyagi, Jepang, yang merepresentasikan kesempatan yang unik bagi seluruh negara untuk:
1) Mengadopsi secara ringkas, terfokus, melihat kedepan, dan mengambil tindakan yang
berorientasi pada kerangka pengurangan risiko bencana pasca 2015;
2) Melengkapi penilaian dan review terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo 2005 - 2015:
Membangun ketangguhan bangsa dan komunitas terhadap bencana
3) Mempertimbangkan pengalaman yang diperoleh melalui strategi/kembaga regional dan
nasional serta perencanaan pengurangan risiko bencana dan rekomendasinya, sebagai
kesepakatan regional yang relevan dalam pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo
4) Mengidentifikasi modalitas kerjasama berdasarkan komitmen untuk menerapkan kerangka kerja
pengurangan risiko bencana pasca – 2015
5) Menentukan modalitas untuk melakukan review secara periodik terhadap pelaksanaan kerangka
pengurangan risiko bencana pasca – 2015
Selama Konferensi Dunia, Negara-negara peserta juga menegaskan komitmen mereka untuk
pengurangan risiko bencana dan pembangunan ketahanan terhadap bencana yang harus ditangani
secara serius dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dan, jika perlu,
untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan, perencanaan, program kerja, dan anggaran di semua tingkat
pemerintahan di daerah.
1.3. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kajian ini antara lain adalah:
1) Hasil identifikasi permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan dan strategi pengurangan risiko
bencana
2) Tersusunnya input strategis bagi aspek regulasi dan kelembagaan untuk pelaksanaan strategi
pengurangan risiko bencana di Indonesia.
3) Rekomendasi untuk peran Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan masyarakat
5
BAB II
RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI
2.1 Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup kajian mengacu pada Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 yang telah mencantumkan bahwa Strategi
Nasional Penangulangan Bencana dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut ini:
1) Internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat
dan daerah, melalui:
a) Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan nasional dan
daerah;
b) Pengenalan, pengkajian dan pemantauan risiko bencana melalui penyusunan kajian dan peta
risiko skala 1:50.000 pada kabupaten dan skala 1:25.000 untuk kota, yang difokuskan pada
kabupaten/kota risiko tinggi terhadap bencana;
c) Pemanfaatan kajian dan peta risiko bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
Kabupaten/Kota dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB), yang menjadi
referensi untuk penyusunan RPJMD Kabupaten/Kota;
d) Integrasi kajian dan peta risiko bencana dalam penyusunan dan review RTRW
Provinsi/Kabupaten/Kota;
e) Harmonisasi kebijakan dan regulasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah;
f) Penyusunan rencana kontijensi pada kabupaten/kota yang berisiko tinggi sebagai panduan
kesiapsiagaan dan operasi tanggap darurat dalam menghadapi bencana.
2) Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana, melalui:
a) Mendorong dan menumbuhkan budaya sadar bencana serta meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang kebencanaan;
b) Peningkatan sosialisasi dan diseminasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat baik
melalui media cetak, radio dan televisi;
c) Penyediaan dan penyebarluasan informasi kebencanaan kepada masyarakat;
d) Meningkatkan kerjasama internasional, mitra pembangunan, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
dan dunia usaha dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
e) Peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah pasca bencana, melalui percepatan
penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana alam;
f) Pemeliharaan dan penataan lingkungan di daerah rawan bencana alam; dan
g) Membangun dan menumbuhkan kearifan lokal dalam membangun dan mitigasi bencana.
3) Peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, melalui:
a) Penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur penanggulangan bencana di pusat dan daerah;
b) Penguatan tata kelola, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan penanggulangan
bencana;
6
c) Penyediaan sistem peringatan dini bencana kawasan risiko tinggi serta memastikan berfungsinya
sistem peringatan dini dengan baik;
d) Pengembangan dan pemanfaatan IPTEK dan pendidikan untuk pencegahan dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana;
e) Melaksanakan simulasi dan gladi kesiapsiagaan mengha-dapi bencana secara berkala dan
berkesinambungan di kawasan rawan bencana;
f) Penyediaan infrastruktur mitigasi dan kesiapsiagaan (shelter/tempat evakuasi sementara, jalur
evakuasi dan rambu-rambu evakuasi) menghadapi bencana, yang difokuskan pada kawasan
rawan dan risiko tinggi bencana;
g) Pembangunan dan pemberian perlindungan bagi prasarana vital yang diperlukan untuk
memastikan keberlangsungan pelayanan publik, kegiatan ekonomi masyarakat, keamanan dan
ketertiban pada situasi darurat dan paska bencana;
h) Pengembangan Desa Tangguh Bencana di kawasan risiko tinggi bencana untuk mendukung
Gerakan Desa Hebat; dan
i) Peningkatan kapasitas manajemen dan pendistribusian logistik kebencanaan, melalui
pembangunan pusat-pusat logistik kebencanaan di masing-masing wilayah pulau, yang dapat
menjangkau wilayah pasca bencana yang terpencil.
Analisa mengenai kondisi terkini dalam pelaksanaan strategi penanggulangan bencana dilaksanakan
melalui penelitian kualitatif terhadap:
Tabel 2. 1: Lingkup penelitian kualitatif
Fase Pra Bencana Fase Pasca Bencana Pencapaian pada perioda 2005-2014 di bidang
regulasi dan pengelolaan bencana
Integrasi PRB dalam perencanaan pembangunan terutama pada pusat-pusat pertumbuhan
Pencapaian di bidang pemulihan pasca bencana
Kapasitas pengelolaan pemulihan pasca bencana
2.2 Metodologi
Untuk memperoleh gambaran umum tentang pelaksanaan strategi nasional penanggulangan bencana,
pendekatan dan metodologi yang digunakan adalah penelitian kualitatif untuk memahami pendapat dan
pandangan subyek kajian terhadap konsep manajemen penanggulangan bencana. Melalui metoda
penelitian kualitatif diharapkan memperoleh berbagai temuan yang terkait dengan aspek kebijakan dan
kelembagaan pelaksanaan strategi nasional penanggulangan bencana, dengan: a) menggunakan
lingkungan subyek penelitian sebagai sumber data, b) memperkaya informasi, mencari hubungan,
membandingkan dan menemukan pola dasar, c) berorientasi pada proses, d) mengumpulkan fakta di
lapangan dan e) menangkap persepsi subyek yang diteliti.
Adapun teknik pengumpulan data kualitatif adalah:
1) Melalui dokumen kuesioner untuk memperoleh informasi yang bermanfaat tentang pelaksanaan
strategi penanggulangan bencana
2) Melalui Diskusi Kelompok Terfokus untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam
3) Catatan pengamatan langsung
4) Data sekunder tentang peraturan, kebijakan dari sumber yang syah
7
BAB III
TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA
3.1. Potensi Kerentanan Masyarakat Indonesia Terhadap Bencana
Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dilanda bencana, baik bencana alam maupun
bencana non alam. Pencatatan data bencana (http://dibi.bnb.go.id) menunjukkan bahwa rata-rata
kejadian bencana dari tahun 2000-2014 lebih dari 1000 bencana. Data ini membuktikan bahwa bencana
merupakan ancaman yang sangat nyata bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Kesiapsiagaan menjadi
isu yang sangat penting dikembangkan ke depannya, sehingga semua masyarakat sadar akan bencana
disekitarnya dan mampu untuk mengurangi risikonya. Investasi dalam kesiasiagaan diharapkan mampu
untuk mengurangi jumlah korban dan kerusakan apabila terjadi bencana. Rata-rata korban meninggal
akibat bencana selama tahun 200-2014 lebih dari sepuluh ribu jiwa, angka ini cukup besar karena pada
tahun 2004 terjadi gempabumi dan tsunami Aceh yang menelan lebih dari 100 ribu jiwa.
Indonesia mempunyai peluang untuk dapat menikmati ‘bonus demografi’, yaitu percepatan
pertumbuhan ekonomi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya
rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk non-usia kerja kepada penduduk usia kerja. Bonus
demografi yang dialami Indonesia juga disertai dengan dinamika kependudukan lain yang juga
berdampak luas, yaitu: (1) meningkatnya jumlah penduduk; (2) penuaan penduduk (population ageing)
yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia; (3) urbanisasi yang ditandai dengan
meningkatnya proporsi penduduk perkotaan; dan (4) migrasi yang ditandai dengan meningkatnya
perpindahan penduduk antar daerah.
Tabel 3. 1: Proyeksi Penduduk Indonesia periode 2010-2035
Kelompok Usia
2010 (juta)
2015 (juta)
2020 (juta)
2025 (juta)
2030 (juta)
2035 (juta)
Perubahan 2010-2035
(%) 0-14 68,1 69,9 70,7 70,0 67,9 65,7 -3,5
15-64 158,5 171,9 183,5 193,5 201,8 207,5 30,9
60+ 18,0 21,7 27,1 33,7 41,0 48,2 172,3
65+ 11,9 13,7 16,8 21,3 26,7 32,4 167,8
Total 238,5 255,5 271,1 284,8 296,4 305,7 28,2
Penduduk Perkotaan
(%) 49,8 53,3 56,7 60,0 63,4 66,6 33,4
Sumber: RPJMN 2015-2019.
Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2035 yang
mencapai 305,7 juta jiwa menunjukkan bahwa kebutuhan akan lahan terbangun semakin meningkat
sehingga tidak menutup kemungkinan daerah rawan bencana menjadi kawasan terbangun.
8
Kerentanan adalah adalah suatu keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat
untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya atau ancaman bencana. Kondisi yang dimaksud
mencakup faktor fisik, sosio-ekonomi, politik dan budaya, yang berpotensi menyebabkan sekelompok
masyarakat lebih mudah tertimpa bencana, atau yang menghambat kemampuan masyarakat untuk
melakukan tindakan terhadap bencana.
Risiko adalah suatu peluang dari timbulnya akibat buruk atau kemungkinan kerugian dalam hal
kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan harta benda, gangguan kegiatan mata pencaharian dan
ekonomi atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman bencana dan
kerentanan.
Berdasarkan perkiraan BNPB, jumlah total penduduk yang terpapar bahaya kelas sedang dan tinggi
adalah 148,4 juta jiwa atau 62,4% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut dapat
dibedakan berdasarkan kelas yaitu 6,6 juta jiwa atau 2,79% terpapar bahaya kelas tinggi dan 141,8 juta
jiwa atau 59,69% terpapar bahaya kelas sedang. Penduduk yang terpapar bahaya kelas sedang
menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang padat penduduk berada pada kelas risiko sedang,
seperti masyarakat di wilayah sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, sebagian pantai barat Pulau
Sumatera, dan wilayah utara Pulau Sulawesi. Dari total jumlah penduduk terpapar tersebut 74,6 juta jiwa
merupakan penduduk laki-laki dan 73,8 juta jiwa penduduk perempuan. Selain jumlah penduduk secara
keseluruhan, variabel lain yang juga perlu mendapat perhatian khusus adalah besarnya jumlah kelompok
rentan yang terpapar bahaya ini. Jumlah totalkelompok rentan yang terpapar bahaya gempabumi kelas
tinggi dan sedang sejumlah 27,2 juta jiwa, dari jumlah tersebut 51,8% merupakan balita, 44,09% lansia,
dan 4,02% penyandang disabilitas.
Gempabumi yang terjadi di dasar laut mampu untuk menciptakan bencana susulan seperti tsunami.
Penduduk Indonesia yang terpapar bahaya tsunami sebagian besar adalah masyarakat pesisir, terutama
di Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Aceh, Banten, Bali dan Maluku.
Indonesia memiliki 129 (13% dari jumlah gunung aktif dunia) gunung aktif yang dapat meletus dan
menimbulkan kerugian dan dampak baik secara langung dan tidak langsung. Provinsi-provinsi yang
mempunyai persentase penduduk terpapar terbanyak akan bahaya gunungapi kelas tinggi dan sedang
adalah Provinsi Aceh, Maluku, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTT, Sumatera Barat, Sulawesi
Utara, dan DI Yogyakarta.
Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas ancaman terkait iklim seperti banjir, kekeringan,
badai, gelombang ekstrem, tanah longsor dan kebakaran hutan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi
dan dampak yang meluas. Perubahan Iklim meningkatkan kerentanan, akibat degradasi ekosistem
yang mengurangi ketersediaan air dan pangan yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat
dan mempengaruhi kondisi kesehatan, keamanan, kehidupan terutama masyarakat miskin dan
kelompok rentan yang tinggal di daerah rawan bencana.
Pada awal musim penghujan dan memasuki awal musim kemarau atau yang lebih sering disebut musim
pancaroba, intensitas bencana tanah longsor, banjir dan puting beliung cenderung meningkat, dan
terjadi setiap tahun. Bencana kekeringan di berbagai daerah di Indonesia semenjak bulan Agustus 2015
semakin terasa, seiring meningkatnya fenomena EL-Nino saat ini. Perioda musim hujan mundur di
beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di bagian timur dan selatan. Frnomena EL-Nino saat ini telah
mebawa dampak kekeringan panjang di beberapa daerah seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa,
Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan.
Kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi semenjak bulan September 2015 tercatat lebih parah
dibandingkan kejadian yang sama pada tahun 1997. Berdasarkan data Terra Modis per 20 Oktober lalu,
total luas hutan dan lahan yang terbakar sudah menjapai sekitar 2 juta hektar.
9
Dalam lima tahun mendatang, tantangan resiko bencana di Indonesia adalah: dinamika geologi,
perubahan iklim, degradasi lingkungan dan demografi. Dengan berkembangnya jumlah penduduk
perkotaan seiring dengan kebijakan untuk mendorong berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan,
diperkirakan timbulnya peningkatan potensi keterpaparan pada kelompok rentan terutama pada
kelompok usia lanjut.
Berdasarkan Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013 yang disusun BNPB; 322 kabupaten/kota (±
65%) dari seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki indeks multi resiko bencana tinggi dan tidak
terdapat kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki kelas multi resiko rendah terhadap ancaman
bencana alam geologi maupun hidrometeorologi.
Tabel 3. 2: Indeks Multi Resiko Kabupaten/Kota
Wilayah Kepulauan
Jumlah kabupaten/kota
Indeks multi risiko tinggi
Indeks multi risiko sedang
Kalimantan 36 Kab/Kota 19 Kab/Kota
Maluku 19 Kab/Kota 1 Kab/Kota
Nusa Tenggara 24 Kab/Kota 7 Kab/Kota
Sulawesi 60 Kab/Kota 13 Kab/Kota
Sumatera 81 Kab/Kota 70 Kab/Kota
Jawa – Bali 90 Kab/Kota 37 Kab/Kota
Papua 13 Kab/Kota 27 Kab/Kota
NASIONAL 323 Kab/Kota 174 Kab/Kota
Sumber: IRBI tahun 2013, BNPB
3.2. Capaian Indonesia Dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Perioda 2004-2014
Urusan penanggulangan bencana adalah urusan lintas bidang yang terkait dengan RPJPN 2005-2025. UU
nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 menegaskan
bahwa aspek wilayah/spasial harus diintegrasikan kedalam dan menjadi bagian dari kerangka
perencanaan pembangunan di semua tingkat pemerintahan. Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI
pada tanggal 15 Agustus 2014 telah dengan jelas menguraikan upaya penanganan kerawanan bencana
pada berbagai bidang pembangunan yang ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025.
Pencapaian penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana1 pada kurun waktu 2004 sampai
dengan pertengahan tahun 2014, dalam kerangka sistem nasional penanggulangan bencana antara lain:
1 Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, BAB XII Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup, BAPPENAS, Agustus 2014
10
Tabel 3. 3: Capaian Penanggulangan Bencana s.d 2014
Bidang/Komponen Capaian RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014 Regulasi dan kelembagaan Ditetapkannya UU No. 24/2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, yang dioperasionalkan melalui PP No. 21, 22, dan 23/2008, PP No. 8/2008 Tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Perumusan Deklarasi Yogyakarta pada penyelenggaraan AMCDRR di Yogyakarta bulan Oktober 2012
Pembentukan BPBD di 34 provinsi dan 441 BPBD kab/kota dengan dukungan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008
Internalisasi PRB dalam perencanaan pembangunan
Terintegrasinya penanggulangan bencana dalam RPJMN 2010–2014 sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional
Tersusunnya pemetaan risiko pada 33 provinsi
Tersusunnya Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dan dan Rencana Penanggulangan Bencana pada 33 provinsi di Indonesia
Kesiapsiagaan Tersusunnya rencana kontinjensi pada 1 provinsi dan 21 kabupaten/kota
Pembentukan desa tangguh bencana di 80 kab/kota
Sertifikasi 10.000 orang relawan dari seluruh Indonesia
Penguatan forum pengurangan risiko bencana (Forum PRB) di 15 lokasi
Penyediaan logistik (buffer stock) dan peralatan untuk kesiapsiagaan kekeringan, banjir dan tanah longsor di 33 provinsi
Penyediaan gedung kantor, gudang dan pusdalops BPBD di 36 BPBD kab/kota
Pelaksanaan Geladi Nasional Penanggulangan Bencana di 29 prov/kab/kota
Penanganan darurat Pemberian bantuan tanggap darurat berupa paket logistik di 33 provinsi dan 26 kab/kota yang terkena bencana
Pemulihan pasca bencana Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana gempa bumi dan tsunami di Aceh-Nias tahun 2004 dan gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah tahun 2006
Pembangunan perumahan berbasis komunitas bagi korban erupsi Gunung Merapi 2010 dan banjir lahar dingin sebanyak 2.397 unit, di DI Yogyakarta 1.991 unit dan di Magelang, Jawa Tengah sebanyak 406 unit serta dukungan pemulihan mata pencaharian bagi masyarakat di yang terkena dampak bencana
Mitigasi dan PRB Penyusunan Master Plan Tsunami
Pembangunan 1 pusat pengendali peringatan dini dan 7 unit sirine sederhana, yang terkoneksi dengan sistem peringatan dini nasional di BMKG, BNPB dan BPBD, dengan lokasi terpasang di 19 kab/kota di Pantai Barat Sumatera dan Pantai Selatan Pulau Jawa
Penyusunan peta jalur evakuasi di 14 kab/kota di pantai barat Pulau Sumatera dan Pantai Selatan Pulau Jawa
11
Bidang/Komponen Capaian RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014 Pelatihan dan simulasi tsunami di 42 kab/kota, persiapan
pembangunan 37 unit shelter, dan pembangunan Greenbelt Tsunami seluas 52.54 Ha di Provinsi Sumatera Barat dan 44 ha di Provinsi Bengkulu
Tersedianya peta tematik kebencanaan antara lain banjir skala 1:50.000 dan multi rawan skala 1:25.000 sebanyak 27 NLP, peta tematik kebencanaan dan perubahan iklim sebanyak 2 NLP
Penyediaan kerangka geodesi dan geodinamika untuk system peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami
Pengoperasian 1 unit stasiun Superconducting Gravimeter yang berlokasi di kantor BIG di Cibinong Jawa Barat
Pengoperasian Jaring stasiun tetap GPS (Indonesian Permanent GPS Station Network) yang mengamati satelit GPS tiap hari (24 jam) secara terus menerus untuk pemeliharaan kerangka referensi geodetic nasional yang tunggal (single reference), Survei dan pemetaan, navigasi, dan transportasi serta mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami (Ina-TEWS)
Pengoperasian Jaring Stasiun Pasang Surut menggunakan sistim digital real time yang digunakan untuk survei dan pemetaan, penelitian, studi iklim, kelautan, dan sebagai salah satu data pendukung Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS)
Bangsa-bangsa di dunia memandang bangsa Indonesia unggul dalam upaya penyelenggaraan
penanggulangan bencana (PB), khususnya di bidang pengurangan risiko bencana (PRB). Di bawah
kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia dinilai oleh PBB telah mencapai kemajuan yang luar biasa dalam
PRB. Referensi utama pelaksanaan agenda PRB di Indonesia adalah Hyogo Framework of Action (HFA)
2005-2015; Indonesia telah mengambil beberapa langkah-langkah untuk mempromosikan PRB, yaitu
dengan mengangkat sebagai prioritas nasional dalam pembangunan nasional 2010-2014. Pemerintah
Indonesia melalui BNPB secara konsisten menyampaikan laporan implementasi HFA kepada UNISDR
setiap 2 tahun menggunakan perangkat “monitoring tools” yang akan mempermudah kegiatan
peninjauan ini, yang dikoordinasikan oleh BNPB, Bappenas, dan Planas PRB dengan melibatkan dengan
seluruh pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga non
pemerintah dalam dan luar negeri dan kelompok masyarakat pemerhati kebencanaan. Capaian
implementasi2 HFA Indonesia pada periode 2013-2015 secara garis besar adalah:
Tabel 3. 4: Capaian Pelaksanaan HFA
Prioritas Aksi HFA 2005-2015 Capaian periode 2013-2015 Ensure that disaster risk reduction is a national and a local priority with a strong institutional basis for implementation.
Disaster risk is taken into account in national development planning, sectoral planning and climate change policies
The ratio of the budget allocation to risk reduction versus disaster relief and reconstruction at national budget 0.9%:0%, at sub-national budget 0.38%:0%
Estimated % of local budget allocation assigned to DRR is 0.1-0.38%
2 National progress report on the implementation of the Hyogo Framework for Action 2013-2015, Indonesia, United Nations for International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR)
12
Prioritas Aksi HFA 2005-2015 Capaian periode 2013-2015 Civil society organizations, national finance and planning
institutions, key economic and development sector organizations represented in the national platform
Identify, assess and monitor disaster risks and enhance early warning
National multi-hazard risk assessment available
Around 20% of the districts and cities have also developed their risk assessments, the key challenge is the lack of technical capacity in many BPBDs to conduct risk assessment
Disaster loss databases exist and are regularly updated, hazards are consistently monitored across localities and territorial boundaries by relevant authorities
Early Warning Systems in Indonesia has relatively been more advanced for hazards such as flood, tsunami, extreme weather, extreme waves, volcanic eruption and forest fires, however the challenges remain on the EWS outreach and community capacity to respond the warning
Indonesia plays a leading role in the management of trans-boundary risks through the AHA Center and in Pacific Tsunami Warning and Mitigation System (PTWS) and ASEAN Earthquake Information Center (AEIC)
Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at all levels
National disaster information system publicly available through internet, public information broadcasts - radio, TV
GoI needs to advocate further the integration of DRR and recovery concepts into school education particularly at the district/city governments as the actual service providers
Line ministries/agencies have developed methods and tools for risk assessments, the challenge is to establish assessment methods that will be commonly agreed and used by the different ministries and agencies
Needs an integrated and comprehensive research policy in disaster management and risk reduction that also covers the relevant cost-benefit analysis
A limited outreach of public awareness to stimulate a culture of disaster resilience at urban and rural communities, for the lack of local funding, coordination, insufficient knowledge and poor communication strategy
Reduce the underlying risk factors DRR has been linked to environmental management and mainstreamed into development
To protect and restore ecosystem services, a mechanism for Payment for Environmental Services is already in place, but the technical guidelines may need to be further refined
Key challenges encountered to protect and restore ecosystem are includes ineffective law enforcement, overlapping of regulations and lack of inter-agency coordination
Social safety nets policy exists to increase the resilience of risk prone households and communities, but the penetration has been limited to several areas only, needs further clarification on the definition of poor and vulnerables
Policies at the local level have not been systematic and mechanism to empower vulnerable people’s livelihoods has not been adequate
13
Prioritas Aksi HFA 2005-2015 Capaian periode 2013-2015 Importance and benefit of DRR has not been internalized in the
economic and productive sectors at the local government
Indonesia has long made it obligatory for housing developers to conduct an environmental assessment, which contains risk reduction elements, prior to start building and to comply with building codes; the key challenge lies in the consistency in implementing policies and regulations related to spatial planning and infrastructure
Post-disaster programmes explicitly incorporate and budget for DRR for resilient recovery since 2006 Yogyakarta earthquake
Cost/benefits of disaster risk has not yet taken into account in the design and operation of major development projects, also, there has not been an adequate methodology for analyzing the disaster risk impacts of major development infrastructure projects
Strengthen disaster preparedness for effective response at all levels
The institutional mechanisms exist for the rapid mobilisation of resources in a disaster
Currently all provinces and more than 90% of the districts and cities in Indonesia have possessed BPBD however its have to be strengthened in implementing their duties and responsibilities.
More than 25 percent of all districts and cities have formulated contingency plans for various types of hazard
On-call budgets have been allocated at the national level by the line ministries and at the local level by a number of provincial and district/city governments, however the regulation that stipulate this issue are not clear so that the local government remain reliant on the central government assistance
Disaster risk insurance, catastrophe bonds and other risk transfer mechanisms have not been developed adequately in the country
Damage and loss assessment methodologies and capacities available, however the challenge remains to build capacity of nearly 500 districts nationwide to implement these procedures
Future outlook 1 The more effective integration of disaster risk considerations into sustainable development policies, planning and programming at all levels, with a special emphasis on disaster prevention, mitigation, preparedness and vulnerability reduction.
Future outlook 2 The development and strengthening of institutions, mechanisms and capacities at all levels, in particular at the community level, that can systematically contribute to building resilience to hazards
Future outlook 3 The systematic incorporation of risk reduction approaches into the design and implementation of emergency preparedness, response and recovery programmes in the reconstruction of affected communities.
3.3. Pokok-Pokok Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Pada Perioda 2015-2019
Dalam RPJMN 2010-2014, penanggulangan bencana adalah salah satu prioritas nasional yang terintegrasi
dengan pengelolaan lingkungan hidup dengan program aksi sebagai berikut ini:
14
1. Kerjasama lintas kementerian dalam merespon dampak Perubahan Iklim terutama di bidang
pengelolaan lahan gambut, reboisasi hutan dan menekan laju deforestasi
2. Pengendalian Kerusakan Lingkungan terutama di bidang pengendalian pencemaran air limbah
dan emisi, mengurangi hotspot kebakaran hutan dan tingkat polusi, penghentian kerusakan
lingkungan pada 11 Daerah Aliran Sungai
3. Penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) dan Sistem
Peringatan Dini Cuaca (MEWS) serta Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) pada 2013
4. Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya
kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus
penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai
dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah
Indonesia.
Agenda Pembangunan Nasional 2015-2019 yang terkait dengan penanggulangan bencana termasuk
dalam Nawa Cita “Mewujudkan Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik”. Dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-
sektor strategis ekonomi domestik disusun 7 sub agenda prioritas sebagai berikut: (i) Peningkatan
Kedaulatan Pangan; (ii) Peningkatan Ketahanan Air; (iii) Peningkatan Kedaulatan Energi; (iv)
Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (v) Pengembangan
Ekonomi Maritim dan Kelautan; (vi) Penguatan Sektor Keuangan; dan (vii) Penguatan Kapasitas Fiskal
Negara, yang seharusnya terkait satu dan lainnya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.
Gambar 3. 1: Penanggulangan Bencana dalam Agenda Pembangunan Nasional
Pokok-pokok kebijakan dalam “Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan
Bencana” sebagaimana telah dituangkan dalam Perpres nomor 2 tahun 2014 tentang RPJMN 2015-2019
adalah sebagai berikut:
15
1. Peningkatan konservasi dan tata kelola hutan dengan sasaran konservasi hutan dan tatakelola
hutan
2. Perbaikan kualitas lingkungan hidup dengan sasaran meningkatnya Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup dan meningkatnya sikap dan perilaku hidup masyarakat yang peduli terhadap alam dan
lingkungan
3. Penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana dengan sasaran menurunnya indeks
risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi
Tabel 3. 5: Strategi Dalam Melestarikan Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup dan
Pengelolaan Bencana
Kebijakan Strategi Peningkatan konservasi dan tata kelola hutan
Konservasi hutan: a) Peningkatan efektivitas pengelolaan Resort Based Management (RBM)
pada seluruh kawasan hutan konservasi b) Pembentukan pusat penelitian terintegrasi tentang keanekaragaman hayati
di dalam taman nasional, dan KPHK c) Peningkatan kerja sama (kemitraan) dengan pihak ketiga dalam
pengelolaan penangkaran ex-situ tanaman dan satwa liar, serta penyelamatan 20 satwa dan tumbuhan langka
d) Pengembangan skema pendanaan (trust fund) bagi kawasan hutan konservasi
e) Meningkatkan sarana dan prasarana perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan
f) Peningkatan kuantitas dan kualitas Manggala Agni dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan
g) Peningkatan pelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan h) Peningkatan inventarisasi keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di
luar kawasan hutan
Tatakelola hutan: a) Percepatan pengukuhan kawasan hutan melalui penataan batas, pemetaan
dan penetapan b) Mewujudkan unit manajemen yang handal di tingkat tapak pada seluruh
kawasan hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mendukung fungsi produksi, lindung dan konservasi
c) Meningkatkan kapasitas pengelola KPH d) Meningkatkan hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat,
termasuk masyarakat adat, dengan pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan
Perbaikan kualitas lingkungan hidup
a) Penguatan sistem pemantauan kualitas lingkungan hidup b) Peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui peningkatan kualitas air,
peningkatan kualitas udara dan peningkatan kualitas tutupan lahan/hutan c) Peningkatan pelestarian dan pemanfaatan keekonomian keanekaragaman
hayati d) Penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan sebagai upaya
efisiensi penggunaan sumberdaya dan pengurangan beban pencemaran terhadap lingkungan hidup
e) Penguatan instrumen pengelolaan lingkungan serta sistem insentif dan disinsentif pengelolaan lingkungan hidup
f) Penegakan hukum lingkungan, meliputi: penyelesaian peraturan operasional turunan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
16
Kebijakan Strategi Penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana
a) Internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah
b) Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana c) Peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
dalam penanggulangan bencana
Sumber: RPJMN 2015-2019, Buku I
Upaya pengurangan resiko bencana terkait erat dengan Sasaran Pembangunan Kewilayahan dan Antar
Wilayah dalam RPJMN 2015-2019 yang meliputi:
1. Peran wilayah dalam pembentukan PDB Nasional di wilayah Pulau Sumatera, Jawa-Bali, Nusa
Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua
2. Pembangunan Perdesaan yang meliputi penurunan desa tertinggal dan peningkatan jumlah desa
mandiri
3. Pengembangan kawasan perbatasan yang meliputi Pusat Kegiatan Strategis Nasional
4. Pembangunan daerah tertinggal
5. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa
6. Pembangunan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional, Pusat
Kegiatan Wilayah dan Kota Baru
Isu utama pembangunan wilayah nasional saat ini adalah masih besarnya kesenjangan
antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI). Strategi kebijakan pembangunan berdimensi kewilayahan dilakukan
dengan mendorong percepatan pembangunan pusat - pusat pertumbuhan ekonomi, sebagai
penggerak utama pertumbuhan di masing-masing pulau, terutama di wilayah koridor ekonomi,
dengan menggali potensi dan keunggulan daerah. Upaya peningkatan pembangunan ekonomi di
semua pusat pertumbuhan tersebut, harus tetap mengacu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dalam pembangunan Bidang Tata Ruang diidentifikasi 3 (tiga)
isu strategis sebagai berikut:
1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur oleh UU Penataan Ruang, terdiri dari
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mempertimbangkan masih
ada RTR dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) yang belum
selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat
dilaksanakan secara efektif. Salah satu faktor penyebab belum seluruh daerah memiliki RTR dan
RZWP-3-K adalah belum tersedianya peta berskala besar
2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang
Permasalahan kelembagaan mencakup masih belum memadainya kualitas, kuantitas dan
kompetensi SDM Bidang Tata Ruang, yang berdampak pada cenderung rendahnya kualitas RTR.
Untuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bidang Tata Ruang, selain kualitas dan kuantitas yang
masih harus ditingkatkan, wadah dan tata kerjanya belum terdefinisikan dengan baik untuk
menunjang kinerjanya. Selain itu, masyarakat pengguna ruang juga belum berperan aktif dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Minimnya pedoman yang dapat menjadi panduan bagi
Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang juga menimbulkan banyak kendala.
3. RTR sebagai acuan pembangunan berbagai sektor
17
Sebagai peraturan perundangan yang mewadahi Bidang Tata Ruang, seluruh amanat UUPR harus
dilengkapi dan selaras dengan aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi pedoman
bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum selaras dengan rencana pembangunan
yang menjadi acuan pembiayaan pembangunan
Kebijakan meningkatkan ketangguhan terhadap bencana terutama dilaksanakan melalui strategi
internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, yaitu : (i)
melakukan pengenalan, pengkajian dan pemantauan risiko bencana, melalui penyediaan peta ancaman
dan risiko bencana untuk perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang, (ii) penurunan dan
pengendalian tingkat kerentanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana, melalui penyediaan
dukungan bagi penegakan rencana tata ruang.
UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa
perencanaan pembangunan harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan, termasuk di dalamnya data dan informasi geospasial. UU No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang mengamanatkan perlunya data dan informasi geospasial dalam penentuan tata ruang,
baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. UU nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
menjelaskan urgensi informasi geospasial dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yuridiksinya untuk dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, antara lain dalam hal: (i) Pengelolaan
sumberdaya alam, (ii) Penanggulangan bencana, (iii) Penataan ruang, (iv) Penjagaan keutuhan wilayah
NKRI, (v) Pemudahan memperoleh Informasi Geospasial, (vi) Pengembangan Iptek dan Sumberdaya
Manusia, (vii) Efisiensi, (viii) Pelayanan public dan (ix) Pendorong inventasi ekonomi.
Isu strategis bidang Informasi Geospasial untuk lima tahun ke depan terkait dengan pembangunan
kewilayahan, terutama aspek tata ruang dan pertanahan adalah:
1. Koordinasi dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial
Saat ini terdapat beberapa instansi Pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
pengelolaan data dan informasi geospasial. Khususnya untuk penanggulangan bencana data dan
informasi geospasial tematik yang tersedia masih memerlukan penyamaan dalam satu referensi
geospasial
2. Produksi data dan informasi geospasial
Upaya percepatan produksi yang selama ini dilakukan tidak sebanding dengan perkembangan
kebutuhan akan data dan informasi geospasial bagi perencanaan pembangunan dan kebijakan
publik.
3. Jaringan distribusi data dan informasi geospasial
Upaya penguatan distribusi data dan informasi geospasial telah dilakukan melalui pembangunan
Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) yang dapat diakses oleh semua stakeholder
melalui jaringan internet. Namun simpul jaringan yang terkoneksi masih terbatas dan belum
terjadinya pertukaran data yang signifikan antarsimpul jaringan yang telah terkoneksi.
3.4. Kerangka Sendai 2015-2030 dan Sustainable Development Goals di Indonesia
Kerangka Pengurangan Risiko Bencana pasca 2015 telah diadopsi pada saat penyelenggaraan Konferensi
Dunia ke-3 untuk Pengurangan Risiko Bencana, yang dilaksanakan pada tanggal 14 - 18 Maret 2015 di
Sendai, Miyagi, Jepang, yang merepresentasikan kesempatan yang unik bagi seluruh negara untuk:
18
1. Mengadadopsi secara ringkas, terfokus, melihat kedepan, dan mengambil tindakan yang
berorientasi pada kerangka pengurangan risiko bencana pasca 2015
2. Melengkapi penilaian dan review terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo 2005 -2015
3. Memanfaatkan pengalaman pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo untuk menyusun perencanaan
pengurangan resiko bencana
4. Mengidentifikasi modalitas kerjasama berdasarkan komitmen untuk menerapkan kerangka kerja
pengurangan risiko bencana pasca – 2015
5. Menentukan modalitas untuk melakukan review secara periodik terhadap pelaksanaan kerangka
pengurangan risiko bencana pasca - 2015.
Kerangka Sendai 2015 menggambarkan tujuan, target dan prioritas aksi sesuai gambar berikut ini.
Gambar 3. 2: Kerangka Sendai 2015-2030
Khususnya dalam pelaksanaan prioritas aksi memahami resiko bencana, ketersediaan data dan informasi
geospasial sangat diperlukan. Data geospasial merupakan salah satu alat untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas Penanggulangan Bencana. Pada saat pra bencana, data geospasial yang diperlukan dapat
berupa: Peta Rawan Bencana/Multi Rawan Bencana, Peta Risiko Bencana, Peta Rencana Kontijensi, Peta
Tata Ruang Wilayah.
Dalam rangka menanggapi Kerangka Sendai 2015-2030, pada akhir peringatan Bulan Pengurangan Resiko
Bencana yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2015 telah disepakati Deklarasi Surakarta yang pada
prinsipnya menyepakati hal-hal sebagai berikut ini:
1. Dalam hal pengurangan indeks risiko bencana, jumlah korban bencana, jumlah orang yang
terdampak bencana, jumlah kerugian ekonomi akibat bencana, mengurangi kerusakan akibat
19
bencana pada infrastruktur penting serta gangguan pada layanan-layanan dasar, dan
meningkatkan kerjasama internasional serta meningkatkan ketersediaan dan akses terhadap
sistem peringatan dini multi ancaman dan informasi risiko bagi masyarakat sesuai Nawa Cita
dan Kerangka Sendai, dilaksanakan melalui:
a) Meningkatkan upaya Pengurangan Risiko Bencana pada semua tataran, terutama
pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Pembangunan Nasional
dan Daerah dan menegaskan keterhubungan antara rencana dan penganggaran
pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah;
b) Mempromosikan Gerakan Nasional Pengurangan Risiko Bencana untuk Masyarakat yang
Tangguh, Sejahtera dan Berkelanjutan melalui perencanaan dan implementasi terpadu
program Desa/Kelurahan Tangguh dan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas,
program Kota dan Kabupaten Tangguh, Sekolah dan Rumah Sakit Aman, serta program
ketangguhan nasional melalui Konvergensi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan
Risiko Bencana
c) Melaksanakan langkah-langkah nyata untuk mengatasi emerging risks dan trans-boundary
risks pada kebakaran hutan, lahan dan asap, kekeringan berkepanjangan akibat perubahan
iklim dan ancaman lainnya
d) Memberdayakan dan meningkatkan peran serta relawan dalam upaya kesiapsiagaan untuk
respons yang lebih baik dan pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan masyarakat dan
bangsa
e) Meningkatkan pendidikan dan pelatihan bencana mulai dari usia dini, remaja sampai usia
dewasa demi membangun budaya aman, dengan memberi perhatian khusus kepada para
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya
f) Meningkatkan profesionalitas dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi
kebencanaan melalui peningkatan teknologi tepat guna dan inovasi teknologi kebencanaan
sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai pusat pengetahuan bencana dan center
of excellence
2. Dalam hal membangun ketangguhan kaum miskin dan mereka yang rentan, serta mengurangi
keterpaparan dan kerentanan terhadap bencana sesuai sasaran 1.5 SDGs: dilaksanakan melalui
peningkatan keterlibatan para pemangku kepentingan, terutama kaum miskin dan kelompok
rentan, termasuk masyarakat adat, ibu hamil, anak-anak, kaum lansia dan penyandang
disabilitas, dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan dan penyelenggaraan
pengurangan risiko bencana di tingkat pusat dan daerah;
3. Dalam hal membangun kemandirian pangan sebagai bagian dari penguatan kapasitas untuk
beradaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir dan bencana-bencana
lainnya sesuai sasaran 2.4 SDGs dilaksanakan melalui bekerja sama dengan para pemangku
kepentingan bidang pangan dan pertanian untuk mendorong praktik-praktik pertanian dan tata
niaga pertanian yang lebih adil dan berkelanjutan, terutama di kawasan-kawasan dengan tingkat
risiko bencana yang tinggi;
4. Dalam hal pengembangan infrastruktur yang bermutu, handal, berkelanjutan dan tangguh untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia sesuai sasaran 9.1 SDGs
dilaksanakan melalui mendorong pembangunan sarana-prasarana publik di pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan analisis risiko, mendorong integrasi PRB ke dalam
perencanaan tataruang dan tata bangunan; meningkatkan investasi dalam pengelolaan
lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan berwawasan lingkungan,
20
serta pengelolaan risiko yang berwawasan ekosistem dan penghidupan masyarakat yang
berkelanjutan;
5. Dalam hal membuat kota-kota dan permukiman menjadi inklusif, aman, tangguh dan
berkelanjutan sesuai tujuan 11 SDGs: dilaksanakan melalui mendorong Pemerintah Provinsi dan
Kota/Kabupaten untuk lebih berkomitmen dan bertanggung jawab dalam melaksanakan
Kerangka Sendai untuk PRB yang terintegrasi antara lain melalui penerapan manajemen risiko
yang terpadu dan menyeluruh, mendukung partisipasi dalam jejaring Kota/Kabupaten Tangguh;
mendukung prakarsa-prakarsa yang mendorong tercapainya sekolah dan rumah sakit serta aset
dan properti daerah penting lainnya yang aman dan berkelanjutan;
6. Dalam hal mengambil langkah yang segera untuk mengurangi dampak bencana yang
disebabkan oleh perubahan iklim sesuai dengan sasaran 13 SDGs: dilaksanakan melalui
peningkatan kapasitas seluruh masyarakat, terutama kaum miskin, anak, perempuan, lansia dan
para penyandang disabilitas, agar lebih tangguh dan mampu beradaptasi dengan bencana-
bencana alam dan bencana terkait iklim, melalui penerapan ilmu pengetahuan, pendidikan,
peningkatan kesadaran, serta peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan dalam hal
mitigasi, adaptasi dan pengurangan risiko perubahan iklim, dan sistem peringatan dini di semua
tataran, dengan mempertimbangkan karakteristik demografis dan geografis serta kearifan lokal
setiap daerah.
Gambar 3. 3: Sustainable Development Goals
Target 1.5: By 2030, build the resilience of the poor and those in vulnerable situations and reduce their exposure and vulnerability
to climate-related extreme events and other economic, social and environmental shocks and disasters
Target 2.4: By 2030, double the agricultural productivity and incomes of small-scale food producers, in particular women,
indigenous peoples, family farmers, pastoralists and fishers, including through secure and equal access to land, other productive
resources and inputs, knowledge, financial services, markets and opportunities for value addition and non-farm employment
Target 9.1: Develop quality, reliable, sustainable and resilient infrastructure, including regional and transborder infrastructure, to
support economic development and human well-being, with a focus on affordable and equitable access for all
Target 11.1: By 2030, ensure access for all to adequate, safe and affordable housing and basic services and upgrade slums
21
Target 11.2: By 2030, provide access to safe, affordable, accessible and sustainable transport systems for all, improving road
safety, notably by expanding public transport, with special attention to the needs of those in vulnerable situations, women,
children, persons with disabilities and older persons
Target 11.3: By 2030, enhance inclusive and sustainable urbanization and capacity for participatory, integrated and sustainable
human settlement planning and management in all countries
Target 11.4: Strengthen efforts to protect and safeguard the world’s cultural and natural heritage
Target 11.5: By 2030, significantly reduce the number of deaths and the number of people affected and substantially decrease
the direct economic losses relative to global gross domestic product caused by disasters, including water-related disasters, with
a focus on protecting the poor and people in vulnerable situations
Target 11.6: By 2030, reduce the adverse per capita environmental impact of cities, including by paying special attention to air
quality and municipal and other waste management
Target 11.7: By 2030, provide universal access to safe, inclusive and accessible, green and public spaces, in particular for women
and children, older persons and persons with disabilities
Target 11.a: Support positive economic, social and environmental links between urban, per-urban and rural areas by
strengthening national and regional development planning
Target 11.b: By 2020, substantially increase the number of cities and human settlements adopting and implementing integrated
policies and plans towards inclusion, resource efficiency, mitigation and adaptation to climate change, resilience to disasters, and
develop and implement, in line with the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, holistic disaster risk
management at all levels
Target 11.c: Support least developed countries, including through financial and technical assistance, in building sustainable and
resilient buildings utilizing local materials
Target 13.1: Strengthen resilience and adaptive capacity to climate-related hazards and natural disasters in all countries
Target 13.2: Integrate climate change measures into national policies, strategies and planning
Target 13.3: Improve education, awareness-raising and human and institutional capacity on climate change mitigation,
adaptation, impact reduction and early warning
Target 13.a: Implement the commitment undertaken by developed-country parties to the United Nations Framework Convention
on Climate Change to a goal of mobilizing jointly $100 billion annually by 2020 from all sources to address the needs of developing
countries in the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation and fully operationalize the Green
Climate Fund through its capitalization as soon as possible
Target 13.b: Promote mechanisms for raising capacity for effective climate change-related planning and management in least
developed countries and Small Island developing States, including focusing on women, youth and local and marginalized
communities
Pada prinsipnya, Deklarasi Surakarta mendukung pelaksanaan strategi RPJMN 2015-2019 dalam
penanggulangan bencana dan mengisi kesenjangan aksi yang belum sepenuhnya sesuai dengan indikator
pelaksanaan HFA 2005-2015 di Indonesia.
Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana kedalam perencanaan
pembangunan dapat menciptakan efektivitas sumberdaya manusia dan teknologi dalam mendukung
target pembangunan berkelanjutan dan efisiensi anggaran untuk pelaksanaan kedua program tersebut
dalam mendukung target pembangunan berkelanjutan. Arah kebijakan dan strategi untuk mencapai
sasaran Adaptasi Perubahan Iklim dalam RPJMN 2015-2019 sudah jelas yaitu : pertama, mendorong
pemerintah daerah menyusun strategi/rencana aksi adaptasi berdasarkan dokumen RAN-API dan kajian
kerentanan daerah; kedua, melaksanakan upaya adaptasi berdasarkan dokumen RAN-API terutama di
22
lokasi 15 (limabelas) daerah rentan perubahan iklim; ketiga, meningkatkan pengetahuan dan kapasitas
masyarakat terkait dengan perubahan iklim. Bappenas memilih lokasi pilot RAN-API dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Ketersediaan kajian kerentanan yang berisi kajian iklim, dampak potensial, sektor yang terkena
dampak, klaster dan rekomendasi aksi
2. Komitmen daerah, termasuk integrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran
3. Adanya kegiatan adaptasi yang telah dan sedang dibiayai APBD atau sumber pendanaan lainnya
4. Tersedianya Pokja Perubahan Iklim Daerah
5. Kesesuaian dengan RAN-API
Berdasarkan kriteria tersebut diatas, lokasi yang menjadi sasaran RAN-API adalah Provinsi Bali, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Barat, Kota Blitar, Kota Bandar Lampung, Provinsi Jawa Timur,
Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Malang, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Lombok, Kota Tarakan,
Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Sumatera Utara.
Selain kegiatan tersebut diatas, pengendalian dampak perubahan iklim didukung program yang
mendorong peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2012 tentang Program Kampung
Iklim (Proklim) yang bertujuan untuk mendorong pelaksanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Kegiatan adaptasi meliputi antara lain: (i) pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor; (ii) peningkatan
ketahanan pangan; (iii) penanganan atau antisipasi kenaikan muka laut, rob, intrusi air laut, abrasi, ablasi,
dan gelombang tinggi; dan (iv) pengendalian penyakit terkait iklim.
Kegiatan mitigasi meliputi antara lain: (i) pengelolaan sampah dan limbah padat; (ii) pengolahan dan
pemanfaatan air limbah; (iii) penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; (iv) budidaya
pertanian; (v) peningkatan tutupan vegetasi; dan (vi) pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan.
23
BAB IV
PELAKSANAAN STRATEGI PENANGGULANGAN BENCANA TAHUN 2015
4.1. Penanggulangan Bencana di Daerah
Kelembagaan penanggulangan bencana di daerah dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dan Peraturan Kepala BNPB nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Tabel 4. 1: Perbandingan substansi Permendagri dan Perka BNPB tentang BPBD
Permendagri No. 46 tahun 2008 Perka BNPB No. 3 tahun 2008 Kedudukan: 1) BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
2) BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dipimpin Kepala Badan secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah.
Pengaturan tentang kedudukan, tugas dan fungsi BPBD diatur dengan pedoman organisasi dan tata kerja BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
BPBD provinsi/kabupaten/kota bertugas: 1) menetapkan pedoman dan pengarahan
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;
2) menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;
3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
5) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Kepala Daerah setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
6) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
7) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
8) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Penetapan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Pengaturan tentang kedudukan, tugas dan fungsi BPBD diatur dengan pedoman organisasi dan tata kerja BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mempunyai fungsi: 1) perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan
Pengaturan tentang kedudukan, tugas dan fungsi BPBD diatur dengan pedoman organisasi dan tata kerja BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
24
Permendagri No. 46 tahun 2008 Perka BNPB No. 3 tahun 2008 pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; dan
2) pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Susunan organisasi BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota terdiri atas: 1) Kepala; 2) Unsur Pengarah; dan 3) Unsur Pelaksana
BPBD terdiri dari : 1) Kepala 2) Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana. 3) Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Kepala a) Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio)
oleh Sekretaris Daerah. b) Kepala BPBD membawahi unsur pengarah
penanggulangan bencana dan unsur pelaksana penanggulangan bencana.
c) Kepala BPBD bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah.
Pengaturan unsur Pengarah BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Unsur pengarah penanggulangan bencana yang selanjutnya disebut Unsur Pengarah berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala BPBD. Tugas dan fungsi unsur pengarah: 1) Unsur Pengarah mempunyai tugas
memberikan masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam penanggulangan bencana.
2) Unsur Pengarah menyelenggarakan fungsi : a) perumusan kebijakan penanggulangan
bencana daerah; b) pemantauan dan evaluasi dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana
Unsur Pengarah terdiri dari Ketua dan Anggota Ketua Unsur Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD Anggota unsur pengarah berasal dari: 1) lembaga/instansi pemerintah daerah yakni
dari badan/dinas terkait dengan penanggulangan bencana sedangkan masyarakat profesional yakni dari pakar, profesional dan tokoh masyarakat di daerah
2) Anggota unsur pengarah BPBD provinsi berjumlah 11 (sebelas) anggota, terdiri dari 6 (enam) pejabat instansi/lembaga pemerintah daerah dan 5 (lima)anggota dari masyarakat profesional di daerah
3) Anggota unsur pengarah BPBD kabupaten/kota berjumlah 9 (sembilan) anggota, terdiri dari 5 (lima) pejabat instansi/lembaga pemerintah daerah dan 4 (empat) anggota dari masyarakat profesional di daerah
1) Unsur Pelaksana BPBD Provinsi berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD Provinsi.
Unsur pelaksana penanggulangan bencana berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD
25
Permendagri No. 46 tahun 2008 Perka BNPB No. 3 tahun 2008 2) Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dipimpin Kepala
Pelaksana yang membantu Kepala BPBD Provinsi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi unsur pelaksana BPBD Provinsi sehari-hari
1) Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD Kabupaten/Kota.
2) Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota dipimpin Kepala Pelaksana yang membantu Kepala BPBD Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi unsur pelaksana BPBD Kabupaten/Kota sehari-hari.
Unsur pelaksana penanggulangan bencana berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD
Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota klasifikasi
A , terdiri atas:
a) Kepala Pelaksana;
b) Sekretariat Unsur Pelaksana;
c) Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan;
d) Bidang Kedaruratan dan Logistik; dan
e) Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Sekretariat dan Bidang terdiri paling banyak 3 (tiga) Sub bagian dan masing -masing Bidang terdiri atas 2 (dua) Seksi Eselon dan kepegawaian BPBD klasifikasi A 1) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota adalah
jabatan struktural eselon II.b 2) Kepala Sekretariat dan Kepala Bidang BPBD
adalah jabatan struktural eselon III.b 3) Kepala Subbagian BPBD Kabupaten/Kota
adalah jabatan struktural eselon IV.a.
Susunan organisasi Unsur Pelaksana BPBD (tanpa klasifikasi) terdiri atas; 1) Kepala Pelaksana; 2) Sekretariat Unsur Pelaksana; 3) Bidang/Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan; 4) Bidang/Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan 5) Bidang/Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota klasifikasi B terdiri atas: a) Kepala Pelaksana; b) Sekretariat Unsur Pelaksana; c) Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan; d) Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan e) Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Eselon dan kepegawaian BPBD kelas B a) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota
jabatan struktural eselon III.a. b) Kepala Sekretariat dan Kepala Seksi BPBD
Kabupaten/Kota jabatan struktural eselon IV.a c) Kepala Seksi BPBD Kabupaten/kota adalah
jabatan struktural eselon IV.a.
Susunan organisasi Unsur Pelaksana BPBD (tanpa klasifikasi) terdiri atas; 1) Kepala Pelaksana; 2) Sekretariat Unsur Pelaksana; 3) Bidang/Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan; 4) Bidang/Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan 5) Bidang/Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas menerapkan prinsip koordinasi,integrasi, dan sinkronisasi
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja antara BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi, komando dan pengendalian.
Tata Kerja 1) Hubungan Kerja antara BPBD Provinsi dengan
BPBD Kabupaten/Kota bersifat memfasilitasi dan/atau koordinasi dan pada saat penanganan darurat bencana
Mengatur secara rinci pelaksanaan koordinasi horizontal dan external, pelaksanaan fungsi komando dan pelaksanaan pengendalian
26
Permendagri No. 46 tahun 2008 Perka BNPB No. 3 tahun 2008 2) BPBD Provinsi dapat melaksanakan fungsi
komando, koordinasi, dan pelaksana. 3) Hubungan kerja antara BPBD Provinsi dengan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersifat koordinasi dan teknis kebencanaan dalam rangka upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan penanggulangan bencana
Pembinaan Dan Pengawasan 1) Pembinaan dan pengawasan teknis
administratif serta fasilitasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
2) Pembinaan dan pengawasan teknis operasional dilaksanakan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana dengan berkoordinasi Menteri Dalam Negeri.
Pembinaan teknis: 1) pada tingkat masyarakat dilakukan oleh BPBD
Kabupaten/Kota secara terpadu dengan instansi teknis terkait.
2) pada tingkat BPBD Kabupaten/Kota dilakukan oleh BPBD Provinsi secara terpadu dengan instansi teknis terkait.
3) pada tingkat BPBD Provinsi dilakukan oleh BNPB secara terpadu dengan instansi teknis terkait
Pengawasan: Pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan oleh BNPB dan/atau lembaga pengawas sesuai peraturan perundang-undangan Pelaporan: 1) Laporan penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana yang dibuat setiap bulan dan setiap tahun
2) Laporan penerimaan dan penyaluran bantuan yang berasal dari sumbangan masyarakat
3) Laporan pertanggungjawaban dana kontinjensi bencana, dana siap pakai, dan dana bantuan yang berasal dari BNPB.
Permendagri Nomor 46 tahun 2008 mengatur kedudukan, tugas dan fungsi BPBD provinsi dan
kabupaten/kota, organisasi termasuk aspek eselon dan kepegawaian, tata kerja, pembinaan dan
pengawasan. Perka BNPB Nomor 3 tahun 2008 mengatur secara terinci tentang unsur pengarah,
pelaksanaan fungsi koordinasi, fungsi komando dan pengendalian.
Berdasarkan Perka BNPB Nomor 3 tahun 2008, pelaksanaan fungsi koordinasi, komando dan
pengendalian meliputi:
Tabel 4. 2: Fungsi koordinasi, komando dan pengendalian berdasarkan Perka BNPB nomor
3/2008
Fungsi koordinasi Fungsi komando Fungsi pengendalian 1) Koordinasi BPBD dengan
instansi atau lembaga dinas/badan dilaksanakan secara horisontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat dan Pascabencana
2) Kerjasama yang melibatkan
peran serta negara lain,
1) Dalam hal status keadaan darurat bencana,
2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk seorang komandan penanganan darurat bencana atas usulan Kepala BPBD untuk mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan
1) Penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur menjadi sumber ancaman bahaya bencana.
2) Penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur
27
Fungsi koordinasi Fungsi komando Fungsi pengendalian lembaga internasional dan
lembaga asing non pemerintah
dilakukan melalui koordinasi
BNPB sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
bencana dan bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah
3) Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki kewenangan komando memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi: a. pengerahan sumber daya manusia; b. pengerahan peralatan; c. pengerahan logistik; dan d. penyelamatan;
4) Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan dan meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.
berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.
3) Pengurasan sumberdaya alam yang melebihi daya dukungnya yang menyebabkan ancaman timbulnya bencana.
4) Perencanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah dalam kaitan penanggulangan bencana.
5) Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh lembaga/organisasi pemerintah dan non-pemerintah.
6) Penetapan kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana.
7) Pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan/atau barang serta jasa lain (misalnya relawan) yang diperuntukan untuk penanggulangan bencana diwilayahnya, termasuk pemberian ijin pengumpulan sumbangan di wilayahnya.
Pada saat ini telah terbentuk 34 BPBD provinsi dan 427 BPBD kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dasar
pembentukan BPBD provinsi adalah Perda dengan Klasifikasi A, namun payung hukum pembentukan
BPBD kabupaten/kota sangat bervariasi, ada yang dibentuk melalui Perda, Peraturan Bupati dan
Peraturan Walikota dengan Klasifikasi A maupun Klasifikasi B. Berdasarkan status kelembagaan BPBD
sampai dengan bulan Juni 2014, 43 BPBD diantaranya dibentuk dengan Peraturan Bupati/Walikota,
sedangkan 384 BPBD lainnya dibentuk berdasarkan Perda.
Seluruh BPBD provinsi telah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana tingkat provinsi pada tahun
2012, namun hanya sekitar 15 persen dari BPBD kabupaten/kota yang dibentuk telah menyusun rencana
penanggulangan bencana di kabupaten masing-masing. Kendala kinerja BPBD kabupaten/kota pada
umumnya adalah: a) minimnya SDM yang berkualitas; b) minimnya pengetahuan tentang manajemen
bencana; c) minimnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana serta d) minimnya anggaran bagi
pelaksanaan fungsi koordinasi, fungsi komando dan fungsi pengendalian. Tingkat eselon dan
kepegawaian turut mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi koordinasi, komando dan pengendalian
dalam kerangka kerjasama denngan SKPD lainnya di daerah.
Panduan penilaian kapasitas penanggulangan bencana di daerah berdasarkan Perka BNPB nomor 3 tahun
2012 meliputi:
1. Identifikasi ancaman bencana
2. Penilaian regulasi, kelembagaan dan perencanaan
3. Penilaian sistem informasi dan peringatan bencana
28
4. Penilaian upaya penelitian, pendidikan dan pelatihan terkait penanggulangan bencana
5. Penilaian upaya pengurangan faktor-faktor risiko dasar.
6. Penilaian upaya kesiapsiagaan daerah untuk penanggulangan bencana.
Ilustrasi berikut ini memberikan gambaran umum tentang kapasitas penanggulangan bencana di Pulau
Jawa (dengan asumsi sebagai daerah maju), di daerah kepulauan (daerah tertinggal) dan di daerah
perbatasan yang kaya dengan sumber daya alam. Profil singkat ini diperoleh melalui diskusi kelompok
terfokus dengan Bappeda provinsi/kabupaten/kota dan BPBD provinsi/kabupaten/kota yang menjadi
obyek perbandingan.
Tabel 4. 3: Ilustrasi kapasitas penanggulangan bencana di daerah
Profil daerah dalam penanggulangan bencana
Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Timur
Identifikasi ancaman bencana
Telah tercantum dalam RPB 2012-2017
Telah tercantum dalam RPB 2012-2017
Regulasi dan kelembagaan
1) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2008 tentang SOTK BPBD, klasifikasi A
2) Pergub Jawa Tengah Nomor 101 Tahun 2008 tentang Tupoksi dan Tata Kerja Sekretariat BPBD
3) Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 120/42/2010 tentang Penetapan Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Tengah Periode 2010-2015
1) Perda 11 tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 2 tahun 2009 SOTK dan tata kerja lembaga lain provinsi jawa timur, klasifikasi A
2) Pergub Provinsi Jawa Timur Nomor 37 Tahun 2012 tentang Uraian Jabatan Pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Timur
3) Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 100 /KPTS/013/2012 tentang Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Timur Periode tahun 2012 - 2017
PB dalam perencanaan pembangunan
Agenda PB dalam RPJMD 2013-2018: “Meningkatkan Infrastruktur untuk Mempercepat Pembangunan Jawa Tengah yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan”
Agenda PB dalam RPJMD 2014-2019: “Memelihara kualitas dan fungsi lingkungan hidup, serta meningkatkan perbaikan pengelolaan sumber daya alam, dan penataan ruang”
29
Profil daerah dalam penanggulangan bencana
Sistem informasi dan peringatan bencana
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Upaya penelitian, pendidikan dan pelatihan terkait penanggulangan bencana
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Pedoman bagi upaya pengurangan faktor-faktor risiko dasar
Perda 6/2010 RTRW Provinsi Jawa Tengah
Perda Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan PB
RPB 2012-2017
Perda 5/2012 RTRW Provinsi Jawa Timur
Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa Timur
RPB 2012-2017
Upaya kesiapsiagaan untuk penanggulangan bencana
Telah disusun dalam Rencana Kontinjensi banjir dan longsor di Provinsi Jawa Tengah
Bimbingan Tekhnis Fasilitator penyusunan Rencana Kontijensi BPBD Kab/Kota se Jawa Timur untuk bahaya letusan gunung berapi, tsunami, banjir, longsor dan puting beliung
Wilayah Malang Raya Kabupaten Malang Kota Malang Kota Batu
Identifikasi ancaman bencana
Identifikasi kerawanan dan kerusakan lingkungan hidup
Penyusunan peta risiko bencana
Identifikasi kerawanan dan kerusakan lingkungan hidup
Pembaruan peta kerawanan bencana
Identifikasi kerawanan dan kerusakan lingkungan hidup
Regulasi, kelembagaan PB
BPBD Kabupaten Malang Raya: Perda nomor 4 tahun 2011 dan Perda nomor 7 tahun 2011 dengan klasifikasi A
BPBD Kota Malang: Perda nomor 19 tahun 2014 dengan klasifikasi A
Perwal no. 44/2014 Ttg tupoksi BPBD
Sedang menyusun Perda Penanggulangan Bencana
BPBD Kota Batu: Perda nomor 13 tahun 2014 dengan klasifikasi B
PB dalam perencanaan pembangunan
PRB tidak menjadi visi dan misi Kepala Daerah (RPJMD 2010-2015)
RTRW Kab. Malang tidak berpedoman pada UU 26/2007
Pengenalan kerawanan baru dicantumkan dalam
Agenda PB dalam Ranwal RPJMD 2013-2018: “Mengembangkan Potensi Daerah Yang Berwawasan Lingkungan yang berkesinambungan Adil, Dan Ekonomis”
Tidak ada data
30
Profil daerah dalam penanggulangan bencana
Ranwal RPJMD 2016-2020
Sistem informasi dan peringatan bencana
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Upaya penelitian, pendidikan dan pelatihan terkait penanggulangan bencana
Identifikasi kerawanan dan kerentanan
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Identifikasi kerawanan dan kerentanan
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Pelatihan Fasilitator Sistem Informasi Desa (SID)
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Upaya pengurangan faktor-faktor risiko dasar
Perda 3/2010 RTRW Kabupaten Malang
Perda 4/2011 tentang Manajemen Bencana
Perda 4/2011 RTRW Kota Malang
Perda Penanggulangan Bencana sedang disusun
Perda 7/2011 RTRW Kota Batu
Perda Penanggulangan Bencana sedang disusun
Upaya kesiapsiagaan untuk penanggulangan bencana
Pembentukan Tim TRC
Sedang menyusun Rencana Kontinjensi banjir lahar gn. Kelud
Kesiapsiagaan melalui Sekolah Siaga Bencana
Kesiapsiagaan melalui Sekolah Siaga Bencana
Baru terbentuk, belum menyusun Rencana kontinjensi
Baru terbentuk, belum menyusun Rencana Kontinjensi
Sosialisasi kesiapsiagaan pada kegiatan kepramukaan dan penyiapan sekolah siaga bencana
Daerah lainnya Kabupaten Manggarai Barat (Prov. NTT)
Kabupaten Berau (Prov Kaltim)
Identifikasi ancaman bencana
- Menggunakan kajian AMDAL dan Perubahan Iklim
Regulasi, kelembagaan Perda nomor 2 tahun 2009 tentang pembentukan BPBD dengan Klasifikasi A
Terbentuk tahun 2014 dengan Klasifikasi B
PB dalam perencanaan pembangunan
PB menjadi agenda pembangunan dalam RPJMD 2011-2015
Perda 12/2011 tentang RPJMD Kabupaten Berau Tahun 2011-2015, terintegrasi dalam kebijakan dan strategi pengelolaan geologi dan sumber daya mineral
Sistem informasi dan peringatan bencana
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi
Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi
31
Profil daerah dalam penanggulangan bencana
kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
kebencanaan secara terpadu dan terintegrasi
Upaya penelitian, pendidikan dan pelatihan terkait penanggulangan bencana
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Simulasi tanggap daurat
Pelatihan dasar manajemen penanggulangan bencana
Upaya pengurangan faktor-faktor risiko dasar
Perda 9/2012 RTRW Kabupaten Manggarai Barat
Perda 8/2014 RZWP3K Kabupaten Berau
RTRW Kabupaten Berau sedang diproses
Perda 16/2011 tentang Perlindungan Lingkungan Geologi
Upaya kesiapsiagaan untuk penanggulangan bencana
Belum menyusun Rencana Kontinjensi
Baru terbentuk, belum menyusun Rencana Kontinjensi
Hingga saat ini, belum semua provinsi/kabupaten/kota menyusun Perda Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, meskipun telah membentuk BPBD. Substansi dan proses penyusunan
rancangan peraturan daerah tentang penanggulangan bencana dapat memberikan kesempatan kepada
lembaga eksekutif (Kepala Daerah, SKPD, DPRD) di daerah untuk menyamakan persepsi tentang
tanggung-jawab dan kewenangan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Peranan
peraturan daerah tentang penanggulangan bencana ternyata sangat mendukung komitmen Kepala
Daerah, SKPD dan DPRD dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang sistematik dan
komprehensif, yang diterjemahkan dalam prosedur tetap penanggulangan bencana. Pada daerah yang
telah membentuk BPBD namun belum memiliki payung hukum penanggulangan bencana di daerah,
program aksi yang dilakukan pada umumnya bersifat respon. Upaya mitigasi risiko bencana belum
diterjemahkan sebagai isu strategis dan kebijakan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Garis besar substansi peraturan daerah tentang penanggulangan bencana pada prinsipnya memuat hal-
hal sebagaimana berikut ini:
1. Tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana
2. Kelembagaan penanggulangan bencana
3. Hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana
4. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan pra bencana, tanggap darurat dan
pasca bencana
5. Pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana
6. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana
7. Penyelesaian sengketa
8. Penyidikan dan ketentuan pidana
32
4.2. Pusat-Pusat Pertumbuhan Dalam RPJMN 2015-2019
RPJMN 2015-2019 menyajikan Indeks Multi Risiko pada 136 pusat-pusat pertumbuhan di wilayah Pulau
Papua, Kepulauan Maluku, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali dan
Kepulauan Nusa Tenggara. Indeks Multi Risiko pada pusat-pusat pertumbuhan tersebut mewakili situasi
ancaman bencana, potensi keterpaparan atau kerentanan terhadap jiwa, infrastruktur dan lingkungan
hidup serta kapasitas penanggulangan bencana di daerah pada perioda tahun 2012-2017. Indeks Multi
Risiko dapat dikurangi apabila dilakukan upaya mengurangi kerentanan dan keterpaparan terhadap
bencana serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanggulangan
bencana.
Pusat-pusat pertumbuhan yang menunjukkan Indeks Multi Risiko dengan nilai 180-2503 yaitu:
1) Pulau Papua : Jayapura, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Nabire
2) Kepulauan Maluku : Maluku Tengah, Kepulauan Sula, Seram Bagian Barat, Halmahera Utara
3) Kepulauan Nusa Tenggara : Lombok Barat, Lombok Timur, Dompu, Bima, Ende, Sikka, Alor, Belu
4) Pulau Sulawesi : Mamuju, Polewali Mandar, Luwu Timur, Donggala, Palu, Kolaka
5) Pulau Kalimantan : Sambas, Ketapang, Kotabaru, Barito Kuala
6) Pulau Jawa-Bali : Badung, Tangerang, Cilegon, Cianjur, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, Semarang, Demak, Cilacap, Kebumen, Pacitan, Banyuwangi, Jember
7) Pulau Sumatera : Muko-muko, Bandar Lampung, Tanggamus, Padang, Padang Pariaman, Kepulauan Mentawai
Rencana kegiatan strategis yang diperkirakan merupakan investasi pembangunan pada pusat-
pusat pertumbuhan dengan Indeks Multi Risiko tinggi tersebut diatas diantaranya adalah:
Tabel 4. 4: Kegiatan strategis RPJMN 2015-2019 pada pusat pertumbuhan berisiko tinggi
Pulau Papua
Perkeretaapian : Pembangunan Kereta Api Sorong-Manokwari
Perhubungan Udara : Pengembangan Bandara Domine Eduard Osok di Sorong
Pembangunan Bandara Segun di Sorong
Pengambangan Bandara Rendani di Manokwari
Perhubungan Laut : Pembangunan Pelabuhan Seget di Sorong
Pengembangan Pelabuhan Teminabuan di Sorong
Pengembangan Pelabuhan Saunek di Raja Ampat
Pembangunan Faspel Laut Arar di Sorong
Pembangunan Pelabuhan Saukorem di Manokwari
Pembangunan Pelabuhan Maruni di Kabupaten Manokwari
ASDP : Pengembangan Dermaga Penyeberangan Arar di Sorong
Pengembangan Dermaga Penyeberangan Waigeo di Raja Ampat
3 IRBI 2013 menunjukkan bahwa nilai indeks risiko tinggi minimum adalah 140 dan maksimum 250. Rentang 180-250 dipilih untuk pertimbangan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana.
33
Pengembangan Dermaga Folley (Pulau Missol) diRaja Ampat
Ketenagalistrikan : PLTU Klalin 30 MW di Sorong
PLTMG Mobile PP Manokwari 20 MW
PLTU Andai 14 MW di Manokwari
Pengembangan jaringan transmisi dan distribusi
Sumber Daya Air : Lanjutan Pembangunan Bendung Wariori di Kab. Manokwari
Peningkatan Jaringan Irigasi sekunder Oransbari di Manokwari
Pembangunan Jaringan Irigasi primer D. I Mariyat di Sorong
Pembangunan Jaringan Irigasi Rawa Wonosobo di Sorong
Pembangunan Jaringan Irigasi Rawa Kampung Segun di Sorong
Pengendalian banjir di Manokwari dan Sorong
Pengaman pantai di Manokwari dan Sorong
Kepulauan Nusa Tenggara
Perhubungan Udara
: Pengembangan Bandara Sultan Salahuddin Bima
Pengembangan Bandara Internasional Lombok*
Perhubungan Laut : Pengembangan Faspel Bima
Pembangunan Faspel Laut Pelabuhan Lombok*
Pengembangan Pelabuhan Lembar
Pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Kayangan
ASDP : Pengembangan Dermaga Penyeberangan Plengsengan di Pel. Kayangan
Pembangunan Talud di Pelabuhan Penyeberangan Kayangan
Pengembangan Dermaga Penyeberangan Kayangan 2
Ketenagalistrikan : PLTGU Lombok Peaker 150 MW
PLTMG Bima 50 MW
PLTU Lombok (FTP 2) 2x50 MW
PLTU Lombok 2 100 MW
Pengembangan jaringan transmisi dan distribusi
Sumber Daya Air : Pembangunan Jaringan Irigasi DI. Rababaka Kompleks di Kabupaten Dompu
Pembangunan Pengendali Banjir Sungai Dodokan Lombok Barat
Rehabilitasi Tanggul Banjir Sungai Babak Lombok Barat
Pembangunan Pengaman Pantai Batu Nampar Lombok Timur
Pembangunan Bendung Pengalih dan Saluran Interbasin Bendungan Tanju dan Bendungan Mila Untuk Rababaka Komplek di Kabupaten Dompu
Pembangunan Bendungan Tanju dan Bendungan Mila Untuk Rababaka Kompleks Dompu
Pembangunan Bendungan Mujur Lombok Tengah
Pembangunan Bendungan Meninting Lombok Barat
Pembangunan Embung Rakyat 50 di WS Lombok Tersebar
Pembangunan Embung Rakyat 50 di WS Sumbawa Tersebar
Kepulauan Maluku
Perhubungan Udara : Pengembangan Bandar Udara Amahai di Maluku Tengah
Perhubungan Laut : Pelabuhan Loki di Seram Bagian Barat)
Pelabuhan Pelita Jaya di Seram Bagian Barat)
Pelabuhan Taniwel di Maluku Tengah)
34
Pelabuhan Tulehu di Maluku Tengah)
Pelabuhan Amahai di Maluku Tengah)
Pelabuhan Saparua di Maluku Tengah)
Pengembangan Pelabuhan P.Buano di Seram Barat Daya
Ketenagalistrikan : PLTMG Seram Peaker 20 MW
PLTP Tulehu (FTP2) 2x10 MW di Maluku Tengah
Pengembangan jaringan transmisi dan distribusi
Sumber Daya Air : Pembangunan Waduk Way Sapalewa di Maluku Tengah
Pulau Sulawesi
Perhubungan Udara : Pengembangan Bandara Tampa Padang di Mamuju
Pengembangan Bandara Mutiara Sis Aljufri di Palu
Pengembangan Bandara Sangia Nibandera di Kolaka
Perhubungan Laut : Pengembangan Fasilitas pelabuhan laut Tanjung Silopo di Polewali Mandar
Pengembangan Pelabuhan Pantoloan di Donggala
Pengembangan Pelabuhan Ogoamas di Donggala
Pengembangan Pelabuhan Kolaka
ASDP : Pengembangan Dermaga Penyeberangan II di Mamuju
Ketenagalistrikan : PLTU Mamuju (FTP2) 2x25 MW
PLTU Palu 3 100 MW
Sumber Daya Air : Pengendalian banjir di Mamuju
Pengaman abrasi pantai di Mamuju
Pembangunan Revetment Pantai di Kab. Donggala
Pembangunan Intake dan Pipa Transmisi Air baku Sungai Tandayo Donggala
Pembangunan Intake dan Pipa Transmisi Air baku Sungai Tunu Donggala
Pembangunan Bendungan Ladongi di Kab. Kolaka
Pulau Kalimantan
Perhubungan Udara : Pengembangan Bandara Gusti Syamsir Alam di Kotabaru
Pulau Sumatera
Perkereta-apian : Pembangunan Jalur KA Shortcut Padang – Solok
Reaktivasi jalur KA antara Pariaman – Naras
Pembangunan jalur KA antara Duku – Bandara Internasional Minangkabau di Padang Pariaman
Pembangunan/reaktivasi jalur KA menuju Pelabuhan Panjang Bandar Lampung
Perhubungan Udara : -
Perhubungan Laut : Pengembangan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang*
Pengembangan Pelabuhan Tiram di Padang Pariaman
Pengembangan Pelabuhan Pasapuat di Mentawai
Jalan : Pembangunan Jalan Padang – Mukomuko
ASDP : Pengembangan Dermaga Penyeberangan Tua Pejat di Mentawai
Pengembangan Dermaga Penyeberangan Sikakap di Mentawai
Pengembangan Dermaga Penyeberangan Pagai Selatan*di Mentawai
Pengembangan Dermaga Penyeberangan P. Padang
35
Ketenagalistrikan : -
Sumber Daya Air Pembangunan Check Dam dan Perkuatan Tebing Bt. Kuranji-Limau Manis Kota Padang
Pembangunan Bangunan Terjun dan Perkuatan Tebing Bt. Timbalun Bungus Kota Padang
Pembangunan Sarana/Prasarana Pengamanan Pantai Padang Pariaman
Pembangunan Sarana/Prasarana Pengamanan Pantai Bungus Padang
Pembangunan Pengendali Banjir Mukomuko
Pembangunan Bangunan Pengaman Pantai Punggur-Air Dikit Mukomuko
Pembangunan Bangunan Pengaman Pantai Desa Ipuh Mukomuko
Pulau Jawa-Bali
Perkereta-apian : Pembangunan Jalur KA Bandung-Tanjungsari-Sumedang-Kertajati-Kadipaten-Cirebon
Pembangunan Jalur KA Bogor-Sukabumi-Cianjur-Padalarang
Pembangunan jalur KA antara Cangkring - Pelabuhan Cirebon
Pembangunan Jalur KA Stasiun Kejaksan-Pelabuhan Cirebon
Pembangunan jalur KA layang antara Jerakah - Semarang Poncol - Semarang Tawang - Alastua (perkotaan Semarang) termasuk flyover Kaligawe
Pembangunan jalur ganda KA antara Solo – Semarang
Pembangunan LRT dalam Kota Semarang termasuk akses ke bandara
Perhubungan Udara : Pengembangan Bandar Udara Nusawiru di Kab. Pangandaran
Pengembangan Bandar Udara Cakrabhuwana Kab. Cirebon
Pembangunan Airstrip Pangandaran
Pengembangan Bandara Ahmad Yani Semarang
Pengembangan Bandara Blimbingsari Banyuwangi
Perhubungan Laut : Pengembangan Pelabuhan Laut Cirebon di Kota Cirebon
Pengembangan Pelabuhan Pangandaran
Pembangunan Pelabuhan Cilacap*
Jalan : Pembangunan Jalan Tol Ciawi-Sukabumi
Pembangunan Jalan Tol Batang – Semarang
Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo
Pembangunan Jalan Situbondo-Garduatak-Silapak-Ketapang-Banyuwangi
Pembangunan Jalan Lingar (Mohoagung, Banyuwangi, Lamongan)
ASDP : -
Ketenagalistrikan : -
Sumber Daya Air : Perbaikan dan Pengaturan Sungai Cikidang di Ds. Babakan di Pangandaran
Pembangunan Acces Road Matenggeng Ciamis/Cilacap
Pembangunan Perkantoran Waduk Matenggeng Ciamis/Cilacap
Pembangunan Waduk Matenggeng Ciamis/Cilacap
36
Pembangunan Pipa Transmisi Air Baku Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, Banyumas
Rehabilitasi DI Klambu Kab Grobogan – Demak
Normalisasi dan Perkuatan Tebing Sungai BKT Kota Semarang - Kab. Demak
Rehabilitasi DI Serayu Banyumas, Cilacap Kebumen
Rehabilitasi DI Wadaslintang Kebumen, Purworejo
Pembangunan Bendungan Wonodadi, Pacitan
Penyelesaian Pembangunan Waduk Tukul Kab. Pacitan
Tabel berikut ini menyajikan secara lengkap 136 pusat pertumbuhan disertai status hukum BPBD
kabupaten/kota dan status RTRW kabupaten/kota masing-masing. Berdasarkan tabel ini, dari sejumlah
136 pusat-pusat pertumbuhan, hanya 10, 29% yang berisiko sedang.
Indeks Risiko merupakan fungsi dari kerawanan, kerentanan dan kapasitas penanggulangan bencana;
sehingga indikasi risiko dapat dibaca dengan contoh sebagai berikut:
Tabel 4. 5: Interpretasi Indeks Risiko
Ancaman (index)
Kerentanan (index) Kapasitas PB
(index)
Probabilitas Risiko(index)
Jiwa terpapar
Kerusakan lingkungan
Kerugian fisik
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang-Rendah
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang-Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang-Rendah
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang-Tinggi
Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Tinggi
Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah
Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa ancaman bencana alam adalah faktor “given” (kecuali untuk
bencana non-alam), kerentanan dapat dicegah dan dikurangi, kapasitas dapat ditingkatkan sehingga
tingkat risiko dapat diturunkan.
37
Tabel 4. 6: Status BPBD dan RTRW pada pusat-pusat pertumbuhan berisiko tinggi
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/
Kota Sasaran Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
Perda/Perwal/Perbup Type Perdakot/Perdakab
1 PAPUA PAPUA Jayapura 203.2 TINGGI PKN Perda No.4 Th 2011 B No. 21 Th. 2011
2 PAPUA PAPUA Merauke 170 TINGGI PKW; Kawasan MIFEE Merauke
Perbup No.9 Th 2010 A No. 14 Th. 2011
3 PAPUA PAPUA Sarmi 171.6 TINGGI PKW Perda No. 5 Th 2010 B Perda No. 2 Tahun 2014
4 PAPUA PAPUA Kepulauan Yapen
117.2 SEDANG Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No 4 Tahun 2011 B No. 6 Th. 2012
5 PAPUA PAPUA BARAT Kota Sorong 183.2 TINGGI PKN Perwalkot no.13 Th 2010
A No.3 Th. 2012
6 PAPUA PAPUA BARAT Manokwari 204.8 TINGGI PKW Perda No. 10 Th 2010 A No.19 Th. 2013
7 PAPUA PAPUA BARAT Nabire 180.8 TINGGI PKW, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No.02 Th 2009 A Perda No. 13 Tahun 2009
8 PAPUA PAPUA BARAT Raja Ampat 200.8 TINGGI Kawasan Pariwisata Perbup No.6 Th 2010 A No.3 Th. 2012
9 PAPUA PAPUA BARAT Teluk Wondama 147.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 1 Th 2011 A No.11 Th. 2012
10 PAPUA PAPUA BARAT Teluk Bintuni 166.8 TINGGI Kawasan Industri (KI) Perbup No 05/TB/VII/2010
No. 4 Th. 2012
11 MALUKU MALUKU Kota Ambon 156.4 TINGGI PKN Perda No. 25 Th 2012 B No. 24 Th. 2012
12 MALUKU MALUKU Seram Bagian Barat
180.4 TINGGI PKW, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perbub 04 Th.2012 A Perda No. 3 Tahun 2014
13 MALUKU MALUKU Seram Bagian Timur
173.2 TINGGI PKW, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No. 19 Th 2010 A No. 9 Th. 2012
14 MALUKU MALUKU Maluku Tengah 214 TINGGI PKW, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No. 5 Th 2011 A No. 30 Th. 2011
15 MALUKU MALUKU Maluku Tenggara
179.2 TINGGI PKW Perda No.74 Th 2009 B No. 12 Th. 2012
16 MALUKU MALUKU Buru 179.6 TINGGI PKW Perda No. 2 Th 2010 A No. 19 Th. 2012
17 MALUKU MALUKU UTARA Kota Ternate 160.4 TINGGI PKN Perda No. 6 Th 2010 A No.2 Th. 2012
38
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
18 MALUKU MALUKU UTARA Pulau Morotai 166.4 TINGGI KEK Morotai, PKSN Morotai, KSPN
Perda No 04 Th 2010 A No.3 Th. 2012
19 MALUKU MALUKU UTARA Halmahera Utara
194.8 TINGGI PKW Perda No. 4 Tahun 2012
A No.12 Th. 2011
20 MALUKU MALUKU UTARA Kota Tidore Kepulauan
164.4 TINGGI PKW Perda No. 8 Th 2011 A No. 25 Th.2013
21 MALUKU MALUKU UTARA Kepulauan Sula 219.2 TINGGI PKW Perda No 10 Th 2010 A No. 3 Th. 2011
22 MALUKU MALUKU UTARA Halmahera Timur
173.2 TINGGI KI Buli-Halmahera Timur Perda No. 30 Th 2011 A No.11 Th. 2012
23 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Kota Mataram 149.2 TINGGI PKN Perda No. 20 Th 2009 A No. 12 Th. 2011
24 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Lombok Barat 205.2 TINGGI Usulan KSPN Mataram Raya Perda No. 9 Th 2009 A No. 11 Th. 2011
25 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Lombok Timur 180.4 TINGGI Usulan KSPN Mataram Raya Perda No. 16 Th 2009 A No. 2 Th. 2012
26 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Lombok Tengah 168.4 TINGGI PKW, KEK Mandalika Perda No. 2B Th 2012 No. 7 Th. 2011
27 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Lombok Utara 152.4 TINGGI Usulan KSPN Mataram Raya Perda No. 11 Th 2010 A No. 9 Th. 2011
28 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Kota Bima 170.8 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 5 Th 2010 A No.4 Th. 2012
29 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Dompu 184.4 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 10 Th 2010 B No. 48 Th. 2011
30 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA BARAT
Bima 209.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 5 Th 2010 A No. 9 Th. 2011
31 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Kota Kupang 138 SEDANG PKN Perda No. 9 Th 2011 A No. 11 Th. 2011
32 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Ngada 158.8 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 6 Th 2010 A No. 3 Th. 2012
33 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Ende 186 TINGGI PKW Perda No. 6 Th. 2010 B No. 11 Th. 2011
34 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Sikka 200.8 TINGGI PKW Perda No.3 Th 2009 A No. 2 Th. 2012
39
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
35 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Manggarai 174.8 TINGGI PKW Perda No.2 Th 2009 A No. 6 Th. 2012
36 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Alor 183.2 TINGGI PKSN Perda No.4 Th 2009 A No.2 Th. 2013
37 NUSA TENGGARA
NUSA TENGGARA TIMUR
Belu 181.2 TINGGI PKSN Perda No. 6 Th 2010 A No. 6 Th. 2011
38 SULAWESI GORONTALO Gorontalo 146.4 TINGGI PKN; KPB Pawonsari Perda No. 7 Th 2011 Perda No. 4 Tahun 2011
39 SULAWESI GORONTALO Kota Gorontalo 123.2 SEDANG PKN Perda No.17 Th 2008 A No. 40 Th. 2011
40 SULAWESI SULAWESI BARAT Mamuju 200.4 TINGGI PKW Perda. No. 10 Th2009 A N/A
41 SULAWESI SULAWESI BARAT Polewali Mandar 202 TINGGI PKW Perda No. 2 Th 2012 A No.12 Th. 2012
42 SULAWESI SULAWESI SELATAN Maros 168.4 TINGGI KSN Perkotaan Maminasata Perda No. 3 Th 2010 A No. 4 Th. 2012
43 SULAWESI SULAWESI SELATAN Takalar 144.4 TINGGI KSN Perkotaan Maminasata Perda No.6 Th.2010 A No. 6 Th. 2011
44 SULAWESI SULAWESI SELATAN Gowa 163.2 TINGGI KSN Perkotaan Maminasata Perda No.25 Th 2011 A No. 25 Th. 2012
45 SULAWESI SULAWESI SELATAN Luwu Timur 202 TINGGI KPB Kolonedale Perda No. 12 Th 2010 A No. 7 Th. 2011
46 SULAWESI SULAWESI SELATAN Kota Makasar 144.4 TINGGI PKN, KSN Perkotaan Maminasata
Perda No 2 Th 2011 A Perda No. 6 Tahun 2006
47 SULAWESI SULAWESI SELATAN Bantaeng 174.4 TINGGI KI Bantaeng Perda No. 2 Th 2011 B No. 2 Th. 2012
48 SULAWESI SULAWESI TENGAH Sigi 72 SEDANG Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 4 Th 2012 B No. 21 Th. 2011
49 SULAWESI SULAWESI TENGAH Donggala 189.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No 09 Th 2009 A No. 1 Th. 2012
50 SULAWESI SULAWESI TENGAH Kab. Poso 172.4 TINGGI KPB Tamporole Perda no.05 Th 2009 B No. 8 Th. 2012
51 SULAWESI SULAWESI TENGAH Parigi Moutong 173.6 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No.12 Th 2012 A No. 2 Th 2011
52 SULAWESI SULAWESI TENGAH Morowali 177.2 TINGGI KPB Kolonedale Perda No.01 Th 2010 A No. 2 Th. 2012
53 SULAWESI SULAWESI TENGAH Kota Palu 181.2 TINGGI PKN Perda No.02 Th 2009 A No.16 Th. 2011
54 SULAWESI SULAWESI TENGGARA
Kolaka 186.4 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No 12 Th 2009 A No.16 Th. 2012
55 SULAWESI SULAWESI TENGGARA
Konawe 173.6 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No 2 Th 2010 A Perda No 9 tahun 2014
56 SULAWESI SULAWESI TENGGARA
Kota Kendari 148.4 TINGGI PKN, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No 4 Th 2011 A No.1 Th. 2012
40
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
57 SULAWESI SULAWESI UTARA Kota Bitung 163.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No.12 Th 2012 A No. 40 Th. 2011
58 SULAWESI SULAWESI UTARA Minahasa Utara 158.4 TINGGI KSN (Usulan) Perkotaan Manado Raya
Perda No. 08 2010 A No. 1 Th. 2013
59 SULAWESI SULAWESI UTARA Minahasa Selatan
173.6 TINGGI KSN (Usulan) Perkotaan Manado Raya
Perda No.1 Th 2009 A Perda No. 3 Tahun 2014
60 SULAWESI SULAWESI UTARA Kepulauan Sangihe
154.4 TINGGI PKSN Sangihe Perda No.3 Th 2009 A Perda No 1 tahun 2014
61 SULAWESI SULAWESI UTARA Kota Manado 130.4 SEDANG Pusat Pertumbuhan Lainnya Perwalkot No.32 Th 2010
A Perda No. 1 Tahun 2014
62 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Kota Pontianak 96.4 SEDANG PKN Perda No 1. Th 2010 A No.2 Th.2013
63 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Kota Singkawang
178 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 3 Th 2012 A No.2 Th. 2012
64 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Bengkayang 178 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 13 Th 2011 B N/A
65 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Sambas 180.4 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya N/A N/A
66 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Sintang 156.4 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 13 Th 2011 B N/A
67 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Kapuas Hulu 163.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 13 Th 2011 B Perda No 1 tahun 2014
68 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Ketapang 192.4 TINGGI KI Ketapang Perda Nomor 2 Tahun 2011
B N/A
69 KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT
Landak 131.6 SEDANG KI Landak Perda No. 3 Th 2012 A N/A
70 KALIMANTAN KALIMANTAN SELATAN
Kotabaru 205.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 4 Th 2011 B No. 11 Th. 2012
71 KALIMANTAN KALIMANTAN SELATAN
Barito Kuala 190 TINGGI KSN Banjarbakula Perda No. 17 Th 2010 B No. 6 Th. 2012
72 KALIMANTAN KALIMANTAN SELATAN
Tanah Laut 178 TINGGI KSN Banjarbakula Perda No. 10 Th 2013 B N/A
73 KALIMANTAN KALIMANTAN TENGAH
Kota Palangkaraya
148.4 TINGGI PKN, Pusat Pertumbuhan Lainnya
N/A N/A
41
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
74 KALIMANTAN KALIMANTAN TENGAH
Kapuas 179.2 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No. 2 Th 2012 N/A
75 KALIMANTAN KALIMANTAN TIMUR
Kota Samarinda 134.8 SEDANG PKN, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No.10 Th 2011 A N/A
76 KALIMANTAN KALIMANTAN TIMUR
Kota Balikpapan 159.2 TINGGI PKN, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Perda No. 21 Th 2008 A No. 12 Th. 2012
77 KALIMANTAN KALIMANTAN TIMUR
Kutai Kertanegara
160.4 TINGGI Pusat Pertumbuhan Lainnya Perda No.10 Th 2011 A No. 9 Th. 2013
78 KALIMANTAN KALIMANTAN UTARA
Kota Tarakan 132.4 SEDANG PKN Perwalkot No.29 Th 2012
B No.4 Th. 2012
79 KALIMANTAN KALIMANTAN UTARA
Nunukan 173.2 TINGGI PKSN Perbatasan Perda No. 24 Th 2011 B Perda No. 19 Tahun 2013
80 JAWA-BALI BALI Kota Denpasar 167.2 TINGGI Kawasan Perkotaan Sarbagita
Perda No 14 Th 2012 B No. 27 Th. 2011
81 JAWA-BALI BALI Badung 179.2 TINGGI Kawasan Perkotaan Sarbagita
Perda No.3 Th 2011 A No. 26 Th. 2013
82 JAWA-BALI BALI Tabanan 174.4 TINGGI Kawasan Perkotaan Sarbagita
Perda No. 12 Th 2011 B No.11 Th. 2012
83 JAWA-BALI BALI Buleleng 167.2 TINGGI PKW Perda No.3 Th 2010 A No. 9 Th. 2013
84 JAWA-BALI BANTEN Tangerang 200.8 TINGGI PKN Jabodetabekjur No. 13 Th. 2011
85 JAWA-BALI BANTEN Cilegon 182.4 TINGGI PKN No.3 Th. 2011
86 JAWA-BALI DI YOGYAKARTA Kota Yogyakarta 124.8 SEDANG PKN Perda No.3 Th 2013 B Perda No. 2 Tahun 2010
87 JAWA-BALI DI YOGYAKARTA Sleman 153.6 TINGGI PKW Perda No. 12 Th. 2011 A Perda No.12 Tahun 2012
88 JAWA-BALI DKI JAKARTA DKI Jakarta 123.3 SEDANG PKN Jabodetabekjur Perda No. 11 Th. 2013 A Perda No. 1 Tahun 2012
89 JAWA-BALI JAWA BARAT Kota Bogor 107.2 SEDANG PKN Jabodetabekjur Perda No.02 Th. 2010 A No. 19 Th. 2008
90 JAWA-BALI JAWA BARAT Kota Depok 102.4 SEDANG PKN Jabodetabekjur N/A Perda No. 1 Tahun 2015
91 JAWA-BALI JAWA BARAT Bekasi 164.8 TINGGI PKN Jabodetabekjur Perda No 4 Tahun 2011 No. 12 Th. 2011
92 JAWA-BALI JAWA BARAT Cianjur 250 TINGGI PKN Jabodetabekjur Perda No. 34 Th 2010 A No. 17 Th.2012
42
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
93 JAWA-BALI JAWA BARAT Kota Bandung 154 TINGGI PKN Bandung Raya N/A No. 3 Th. 2008
94 JAWA-BALI JAWA BARAT Bandung Barat 162 TINGGI PKN Bandung Raya Perda No 3 Tahun 2011 A No. 2 Th. 2012
95 JAWA-BALI JAWA BARAT Cirebon 181.2 TINGGI PKN N/A No. 17 Th. 2011
96 JAWA-BALI JAWA BARAT Sukabumi 231.2 TINGGI PKW Perda No.16 Th 2012 B No. 22 Th. 2012
97 JAWA-BALI JAWA BARAT Tasikmalaya 224.8 TINGGI PKW Perda No.6 Tahun 2013 B No. 2 Th. 2012
98 JAWA-BALI JAWA BARAT Ciamis 215.2 TINGGI PKW Perda No. 3 Th 2010 A No.15 Th. 2012
99 JAWA-BALI JAWA BARAT Pangandaran 215.2 TINGGI PKW Perda No.16 Th 2012 B N/A
100 JAWA-BALI JAWA TENGAH Kota Semarang 183.6 TINGGI PKN Kedungsepur Perda No.12 Th 2010 A No. 6 Th. 2011
101 JAWA-BALI JAWA TENGAH Kendal 167.2 TINGGI PKN Kedungsepur Perda No. 19 Th 2011 B No. 20 Th. 2011
102 JAWA-BALI JAWA TENGAH Demak 183.6 TINGGI PKN Kedungsepur Perda No. 6 Th. 2010 A No. 6 Th. 2011
103 JAWA-BALI JAWA TENGAH Cilacap 215.2 TINGGI PKN Perda No.16 Th 2010 A No. 9 Th. 2011
104 JAWA-BALI JAWA TENGAH Kebumen 203.2 TINGGI PKW Perda No 8 Th 2010 A No.23 Th. 2012
105 JAWA-BALI JAWA TENGAH Magelang 143.2 SEDANG PKW Perda No.3 Th 2011 A No. 5 Th. 2011
106 JAWA-BALI JAWA TIMUR Malang 219.2 TINGGI PKN Perda No.4 Th 2011 A No. 3 Th. 2010
107 JAWA-BALI JAWA TIMUR Gresik 175.2 TINGGI PKN Gerbangkertosusila Perda No. 8 Th 2010 A No. 8 Th. 2011
108 JAWA-BALI JAWA TIMUR Bangkalan 164.4 TINGGI PKN Gerbangkertosusila Perda No. 1 Th 2011 A No. 10 Th. 2009
109 JAWA-BALI JAWA TIMUR Kota Surabaya 166.8 TINGGI PKN Gerbangkertasusila N/A Perda No. 12 Tahun 2014
110 JAWA-BALI JAWA TIMUR Sidoarjo 149.6 TINGGI PKN Gerbangkertosusila Perda No. 13 Th 2011 A No. 9 Th. 2009
111 JAWA-BALI JAWA TIMUR Lamongan 174 TINGGI PKN Gerbangkertosusila Perda No. 1 Th 2010 A No. 15 Th. 2011
112 JAWA-BALI JAWA TIMUR Bojonegoro 150 TINGGI PKW Perda No.14 Th 2010 A No. 26 Th. 2011
113 JAWA-BALI JAWA TIMUR Pacitan 215.2 TINGGI PKW Perda No.7 Th 2010 A No. 3 Th. 2010
114 JAWA-BALI JAWA TIMUR Banyuwangi 219.2 TINGGI PKW Perda No.16 Th 2011 A No.8 Th.2012
115 JAWA-BALI JAWA TIMUR Jember 219.2 TINGGI PKW Perda No.7 Th 2012 A N/A
116 SUMATERA ACEH Kota Lhokseumawe
175.2 TINGGI PKN Perwalkot Nomor 14 Tahun 2010
A QANUN NO. 1 TAHUN 2014
117 SUMATERA ACEH Kota Banda Aceh 167.2 TINGGI PKN, Pusat Pertumbuhan Lainnya
Qanun Nomor 6 Tahun 2010
A No. 4 Th. 2009
43
No Wilayah Pulau Provinsi Kabupaten/ Kota Sasaran
Indeks Risiko
Tingkat Risiko
Struktur Ruang BPBD RTRW
118 SUMATERA BENGKULU Kota Bengkulu 170.4 TINGGI PKW Perda No 03 Th 2010 A Perda No. 2 Tahun 2012
119 SUMATERA BENGKULU Mukomuko 191.2 TINGGI PKW Perda No. 08 Th 2009 A Perda No.6 Th. 2012
120 SUMATERA BENGKULU Rejang Lebong 146 TINGGI PKW Perda No. 6 Th. 2010 A Perda No.8 Th. 2012
121 SUMATERA JAMBI Kota Jambi 128 SEDANG PKN Perda No. 9 Tahun 2012
A Perda No.10 Tahun 2013
122 SUMATERA JAMBI Sarolangun 155.2 TINGGI PKW Perda No.6 Th 2012 A Perda No. 2 Th. 2014
123 SUMATERA JAMBI Kerinci 150 TINGGI PKW Perda No. 23 Th. 2009 A Perda No. 24 Th. 2012
124 SUMATERA LAMPUNG Kota Bandar Lampung
182 TINGGI PKN Perda No. 5 Th 2010 A Perda No. 1 Tahun 2010
125 SUMATERA LAMPUNG Lampung Barat 214 TINGGI PKW Perda No.13/2010 A Perda No.1 Th. 2012
126 SUMATERA LAMPUNG Tanggamus 201.2 TINGGI KI Tanggamus Perda No. 7 Th 2010 A Perda No. 16 Th. 2011
127 SUMATERA SUMATERA BARAT Kota Padang 209.2 TINGGI PKN Perda No.17 Th.2009 A No.5 Th. 2012
128 SUMATERA SUMATERA BARAT Padang Pariaman
196.8 TINGGI PKW Perda No. 15 Th 2011 A Perda No. 5 Th. 2011
129 SUMATERA SUMATERA BARAT Kepulauan Mentawai
197.2 TINGGI PKW Perda No. 35 Th.2008 A N/A
130 SUMATERA SUMATERA SELATAN
Banyuasin 156.4 TINGGI KSN (Usulan) Perkotaan Palembang Raya
Perda No.7 Th 2011 A Perda No. 28 Th. 2012
131 SUMATERA SUMATERA SELATAN
Lahat 162 TINGGI PKW Perda No 10 Th 2010 A Perda No.11 Th. 2012
132 SUMATERA SUMATERA UTARA Kota Medan 155.2 TINGGI KSN Perkotaan Mebidangro Perda No. 2 Th. 2011 A No. 13 Th. 2011
133 SUMATERA SUMATERA UTARA Langkat 155.2 TINGGI KSN Perkotaan Mebidangro Perda Nomor 12 Tahun 2011
A Perda No.9 Th.2013
134 SUMATERA SUMATERA UTARA Deli Serdang 155.2 TINGGI KSN Perkotaan Mebidangro N/A N/A
135 SUMATERA SUMATERA UTARA Karo 154 TINGGI KSN Perkotaan Mebidangro Perda No. 01 Th. 2014 A N/A
136 SUMATERA SUMATERA UTARA Simalungun 95.2 SEDANG KI Sei Mangke Perda Nomor 2 Tahun 2010
A Perda No. 10 Th. 2012
Catatan: dari sejumlah 136 pusat-pusat pertumbuhan, hanya 10,29% yang berisiko sedang.
44
4.3. Pelaksanaan Internalisasi PRB dalam Kerangka Pembangunan Perkelanjutan di
Pusat dan daerah
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan
pengurangan risiko bencana sebagai bagian penting dalam Perencanaan penanggulangan bencana.
Berdasarkan peraturan penanggulangan bencana, tujuh afirmasi mendasar dalam penanggulangan
bencana, yaitu sebagai dasar dan payung hukum; berorientasi/paradigma pengurangan risiko
bencana; mendukung pengarusutamaan pengurangan risiko Bencana termasuk pembiayaannya;
mendorong otonomi lokal; penetapan status dan tingkatan keadaan bencana; lembaga
penanggulangan bencana yang kuat; dan penjelasan terkait hak dan kewajiban masyarakat.
Terkait bidang kebencanaan, masih banyak dijumpai bahwa isu penanggulangan bencana belum
menjadi isu prioritas dalan dokumen RPJMD. Potensi ancaman bencana baru sebatas dijabarkan
dalam aspek geografis dan demografis namun pada umumnya belum diangkat menjadi isu strategis
pembangunan daerah, atau telah dicantumkan sebagai isu strategis dalam Rancangan Teknokratik
RPJMD namun tidak menjadi visi/misi politik calon kepala daerah. Dengan demikian, penganggaran
bagi penanggulangan bencana di daerah dari sumber BPBD tidak mencukupi kebutuhan pelaksanaan
tugas-tugas BPBD maupun SKPD lainnya dalam penanggulangan bencana.
Rencana pembangunan daerah memuat berbagai pertimbangan yang terkait dengan kerangka
ekonomi daerah, kebijakan umum dan prioritas pembangunan Daerah, program kewilayahan disertai
rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Rencana penanggulangan bencana juga
memuat unsur kewilayahan, kebijakan dan strategi penanganan fase pra bencana, tanggap darurat
dan pasca bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah, yang selanjutnya disingkat dengan RTRW adalah
dokumen yang memuat hasil perencanaan tata ruang wilayah.
Dalam UU No.26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang terdiri
dari (1) Rencana Umum Tata Ruang (RTRW Nasional, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota); dan (2)
Rencana Rinci Tata Ruang (RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strategis Nasional, RTR Kawasan
Strategis Provinsi, RDTR Kabupaten/Kota dan RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Peraturan
Zonasi). Berdasarkan landasan hukum dan peraturan, RTRW Kabupaten disusun berpedoman pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 16/PRT/M/2009, RTRW Kota disusun berpedoman pada
Peraturan Menteri PU No. 17/PRT/M/2009, RZWP3K (disetarakan dengan RTRW provinsi atau RTRW
kabupaten/kota) disusun berdasarkan UU No. 27/2007 dan PP No. 64/2010, dan RDTRW disusun
berpedoman pada Permen PU No. 20/PRT/M/2011.
Perencanaan penataan ruang memiliki tujuan untuk menghasilkan penggunaan ruang yang efektif,
termasuk diantaranya mengurangi risiko bencana melalui mitigasi dan pencegahan. Indonesia sebagai
negara yang sering mengalami bencana, baik karena faktor geografis atau peningkatan paparan
(exposure) terhadap bencana memerlukan upaya-upaya untuk mengurangi besarnya resiko bencana.
Bappeda memiliki posisi strategis sebagai ujung tombak untuk memastikan bahwa PRB menjadi isu
strategis pembangunan pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi. Dengan memastikan
pengarusutamaan PRB, maka berimplikasi terhadap PRB dan pemaduan dengan pembangunan,
pelindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat sesuai
standar pelayanan minimum, pemulihan kondisi dari dampak bencana, dan pengalokasian anggaran.
Peranan Rencana Tata Ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat digambarkan
sebagai berikut ini.
45
Gambar 4. 1: Rencana Tata Ruang Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Dokumen perencanaan yang terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Kontinjensi (Renkon), Rencana Operasi Tanggap
Darurat dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada Fase Pra Bencana dituangkan dalam Rencana
Penanggulangan Bencana, yang memuat pengenalan ancaman dan kerentanan masyarakat, pilihan
tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana; dan alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia di daerah. Proses
penyusunan rencana penanggulangan bencana memberikan kesempatan untuk meningkatkan
koordinasi dan komunikasi antar SKPD dalam pembagian tugas dan mengenali kewenangan masing-
masing. Pengintegrasian Rencana Penanggulangan Bencana ke dalam RPJMD merupakan upaya
strategis untuk memastikan ketersediaan pendanaan bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana
di daerah. Pada saat ini telah tersedia RPB untuk 33 provinsi, 3 diantaranya yaitu RPB Provinsi DKI
Jakarta, Banten dan Jawa Barat dimanfaatkan Sekretariat BKPRN di Bappenas untuk mereview RTR
Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur pada tahun 2013.
Permasalahan yang dihadapi dalam menginterasikan penanggulangan bencana dalam RPJMD adalah:
1. Belum tersedianya peta IGD 1:50.000 dan 1:25.000 untuk semua kabupaten/kota
2. Belum tersedianya Kajian dan Peta Risiko Bencana yang diperlukan kabupaten/kota sehingga
belum menjadi masukan strategis bagi lembaga perencanaan di daerah
3. Belum tersedianya Rencana Penanggulangan Bencana kabupaten/kota sehingga belum
menjadi masukan strategis bagi lembaga perencanaan daerah
4. Belum tersedianya Perda Penanggulangan Bencana di daerah sehingga masih terdapat
perbedaan persepsi antara Kepala Daerah dengan DPRD
5. Penanggulangan bencana tidak menjadi visi dan misi politik Kepala Daerah
6. Belum tersedianya kapasitas perencanaan pada BPBD karena persepsi penyelenggaraan
penanggulangan bencana belum bergeser dari respon atau tanggap darurat
Berdasarkan Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah; RPJMD disusun guna menjabarkan visi dan misi serta program Kepala Daerah kedalam tujuan
46
dan sasaran, arah kebijakan, strategi, kebijakan umum dan program pembangunan, program prioritas
yang disertai kebutuhan pendanaan, serta indikator kinerja pembangunan. Untuk menjamin
tercapainya sasaran dan prioritas bidang pembangunan nasional yang ditetapkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah Tahun 2015, maka Permendagri nomor 27 tahun 2014 mengatur tentang pedoman
penyusunan, pengendalian dan evaluasi rencana kerja pembangunan daerah tahun 2015. Pada
prinsipnya, RKPD tahun 2015 dapat dirubah untuk ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan
menjadi landasan penyusunan perubahan KUA dan perubahan PPAS untuk menyusun Perubahan
RAPBD Tahun 2015. Apabila perubahan yang dimaksud merupakan kebijakan nasional yang tercantum
dalam RKP, maka perubahan RPJMD tidak diperlukan. Perubahan dan/atau kegiatan baru dalam RKPD
harus ditindaklanjuti dengan perubahan dan/atau penambahan kegiatan dalam Renstra SKPD, sebagai
acuan penyusunan Renja SKPD.
Undang Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan Urusan
Pemerintahan Wajib yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah, yaitu terdiri atas Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar. Khususnya Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar meliputi sebagai berikut:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
Urusan bencana merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Ketenteraman,
Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat yang terdiri dari Sub-Ketenteraman dan Ketertiban
Umum, Sub-Bencana dan Sub-Kebakaran. Berlakunya Undang Undang nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah membuka peluang terintegrasinya penanggulangan bencana dalam
perencanaan pembangunan di daerah, yang rencananya diperkuat dengan penyelenggaraan
penanggulangan kebakaran. Rencana Penanggulangan Bencana khususnya pada
Gambar 4. 2: Kedudukan Penanggulangan Bencana Dalam Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional
47
4.4. Pelaksanaan Pengurangan Kerentanan Terhadap Bencana
Jenis-jenis kerentanan dalam perspektif penanggulangan bencana adalah:
1. Kerentanan Fisik: perumahan dan Infrastruktur dengan kualitas konstruksi yang tidak sesuai
standar
2. Kerentanan Sosial yang disebabkan oleh kemiskinan, konflik, tingkat pertumbuhan dan
kepadatan penduduk yang tinggi, kurangnya pengetahuan terhadap ancaman dan kesiagaan
menghadapi bahaya, yang terutama dapat menimbulkan lebih banyak korban pada kelompok
anak-anak dan wanita, penyandang cacat dan lansia
3. Kerentanan Lingkungan Hidup yang disebabkan eksploitasi yang berlebihan, pencemaran
lingkungan dan penyimpangan pemanfaatan ruang
Menurunkan tingkat kerentanan selalu terkait dengan menurunkan tingkat keterpaparan (exposures)
dan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Sebagai contoh, kerentanan Kota Manado terhadap
perubahan iklim4 dapat dapat dikurangi dengan cara:
1. Memperbaiki kemampuan adaptasi dan mengurangi sensitivitas; misalnya dengan
memperbaiki sistem pelayanan publik dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah
dalam merespon perubahan iklim, melaksanakan penataan ruang yang lebih baik dan
meningkatkan kesadaran masyarakat
2. Kerentanan dapat berubah, sejalan dengan dinamika urbanisasi kota; oleh karena itu
pemerintah daerah perlu memantau perubahan demografi dan penggunaan lahan untuk
menerapkan kebijakan yang tepat dalam merespon perubahan tersebut
3. Kerentanan dapat dikurangi dengan konservasi lingkungan dan juga perencanaan dan
manajemen kota yang baik
Pengenalan terhadap ancaman bencana merupakan langkah awal untuk mengurangi kerentanan dan
keterpaparan. Setiap daerah perlu memiliki kapasitas untuk mengenali kemungkinan ancaman yang
terjadi dan besaran dampak bencana yang tercatat untuk setiap jenis bencana: a) Gempabumi, b)
Tsunami, c) Banjir, d) Tanah Longsor, e) Letusan Gunung Api, f) Gelombang Ekstrim dan Abrasi, g)
Cuaca Ekstrim, h) Kekeringan, i) Kebakaran Hutan dan Lahan dan j) Kebakaran Gedung dan Pemukiman
sesuai dengan karakteristik kebencanaan di daerah. Berdasarkan Perka BNPB nomor 2 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka pengkajian risiko bencana dilaksanakan
berdasarkan:
1. Ketersediaan data segala bentuk rekaman kejadian yang ada dan peta dengan skala yang
sesuai
2. Analisis probabilitas kemungkinan ancaman dari berbagai sumber kajian ilmiah, pendapat
ahli dan berkembangnya kearifan lokal masyarakat
3. Proyeksi berdasarkan metoda perhitungan terhadap potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian
harta benda dan kerusakan lingkungan
4. Kemampuan analisis untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana
Contoh dibawah ini menggambarkan upaya mengenali ancaman banjir yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk mengantisipasi banjir tahunan di wilayahnya. Dinas Bina
Marga dan Sumberdaya Air bekerjasama dengan BPBD dan kelurahan setempat memetakan potensi
genangan banjir berdasarkan rekaman kejadian sebelumnya.
4 Kajian Kerentanan Kota Manado terhadap Perubahan Iklim, USAID, September 2014.
48
Gambar 4. 3: Upaya Mengenali dan Pemetaan Potensi Genangan Banjir oleh Pemerintah
Kota Tangerang Selatan
Peta ini dilengkapi dengan informasi lokasi genangan pada tingkat RT/RW, tinggi dan kecepatan surutnya genangan, jumlah penduduk yang berpotensi terpapar dalam kelompok usia, jumlah rumah serta fasilitas umum yang tergenang. Untuk mengantisipasi banjir, informasi ini digunakan BPBD Kota Tangerang Selatan untuk mengkoordinasikan upaya kesiapsiagaan termasuk identifikasi kebutuhan logistik, mengidentifikasi jalur evakuasi dan tempat penampungan sementara, lokasi pendirian Posko dan sosialisasi kepada masyarakat.
Secara umum, meskipun Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tingkat Kabupaten/Kota belum
menjawab kebutuhan 80% dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, namun usaha untuk
memberdayakan masyarakat dalam mengenali potensi ancaman telah dilakukan oleh Pemerintah
melalui berbagai media komunikasi seperti radio, televisi, telepon seluler, media sosial, penyuluhan
dan pelatihan siaga bencana. Media komunikasi visual yang menarik untuk anak-anak usia SD telah
disusun dan disosialisasikan di sekolah serta fasilitas publik lainnya.
BNPB meluncurkan Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana untuk jenis bencana
gempa bumi dan tsunami. Kerangka kerja penerapan sekolah/madrasah aman berdasarkan Perka
BNPB nomor 4 tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah aman dari bencana
adalah:
1. Dengan pendekatan struktural: lokasi aman dari bencana, struktur bangunan aman,
desain dan penataan kelas aman, dukungan sarana dan prasarana aman
2. Dengan pendekatan non-struktural: memberikan pengetahuan, sikap dan tindakan,
memberikan masukan bagi kebijakan sekolah/madrasah, mengajarkan perencanaan
kesiapsiagaan dan mobilisasi sumberdaya
49
Beberapa contoh komunikasi visual untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana diantaranya terdapat
pada gambar dibawah ini.
Gambar 4. 4: Komunikasi Visual untuk Kesiapsiagaan
BNPB telah menyiapkan situs mengenai siaga bencana seperti http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-
bencana/siaga-bencana dan http://www.sigana.web.id/ yang memberikan informasi tentang: a)
mengenali ancaman bencana, b) panduan menghadapi bencana dan c) siaga sebelum bencana.
Selain Program Sekolah/Madrasah aman dari bencana, Program Desa Tangguh merupakan program
Nasional yang didukung BNPB sesuai Perka BNPB 01/2012 dalam rangka mewujudkan misi Indonesia
Tangguh. Prinsipnya, karena masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana, dan
sekaligus sebagai pelaku pertama yang akan merespon kejadian disekitarnya, maka pemberdayaan
masyarakat supaya tangguh menghadapi bencana menjadi sasaran utama program ini. Kegiatan desa
tangguh bencana adalah membuat peta risiko bencana, menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
Desa, menyusun Rencana Kontinjensi dengan pendekatan partisipasi masyarakat yang kemudian
dituangkan ke dalam Rencana Aksi Komunitas. Selain kegiatan perencanaan, masyarakat difasilitasi
untuk membangun Sistem Peringatan Dini Yang Terpusat Pada Masyarakat, termasuk panduan
tentang bagaimana bertindak apabila ada peringatan untuk menghindari atau mengurangi kerentanan
dan keterpaparan.
Upaya menurunkan kerentanan harus dapat diukur melalui Indeks Risiko Bencana per jenis potensi
bencana yang disusun kabupaten/kota yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Selain itu, Indeks
Risiko Bencana diperlukan untuk merevieu RTRW Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan pada tahun
2010 dan tahun 2011. Kunci yang penting untuk mengurangi kerentanan dan keterpaparan adalah
peringatan dini, namun sistem peringatan dini yang sangat modern sekalipun belum tentu dapat
berfungsi sesuai harapan tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat.
4.5. Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan
Bencana
Sub-bab ini lebih mengutamakan pembahasan tentang peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan
masyarakat dalam penanggulangan bencana, karena bencana terjadi di daerah kabupaten/kota.
50
Hingga bulan Juni 2014, sudah terbentuk sebanyak 34 BPBD di tingkat provinsi dan 427 BPBD dari 514
kabupaten/kota di Indonesia. Hal itu berarti, masih terdapat 87 kabupaten/kota yang belum
memutuskan untuk membentuk BPBD. Kapasitas pemerintah daerah dalam fase pra bencana telah
diuraikan pada bab IV.3 yang menguraikan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam
pembangunan daerah. Dampak dari rendahnya kapasitas perencanaan pra bencana adalah sangat
minimnya investasi pengurangan risiko bencana di daerah kabupaten/kota.
Sesuai dengan kaidah penyelenggaraan penanggulangan bencana, kapasitas penanggulangan
bencana juga ditinjau pada fase terdapat potensi terjadinya bencana dan fase tanggap darurat.
Pelaksanaan penanggulangan bencana pada fase ini mengharuskan adanya kapasitas perencanaan
untuk menetapkan kebijakan, strategi yang efektif untuk menanggulangi bencana.
Gambar 4. 5: Perencanaan kesiapsiagaan dan tanggap darurat
Proses penyusunan Rencana Kontinjensi
Proses penyusunan Rencana Operasi
Gambar diatas mencoba menggambarkan hubungan antara proses penyusunan Rencana Kontinjensi
dengan Rencana Operasi tanggap darurat. Sistim Peringatan Dini dan Analisis risiko merupakan
tuntutan kapasitas untuk mengembangkan skenario, kebijakan dan strategi kontinjensi.
Kapasitas teknologi penurunan risiko bencana di Indonesia didukung oleh BPPT melalui Pusat
Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB). Berdasarkan Peraturan Kepala BPPT nomor 1 Thn 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja BPPT, PTRRB mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan
penerapan di bidang teknologi reduksi risiko bencana. Dalam melaksanakan tugasnya, PTRRB
menyelenggarakan fungsi:
a. pelaksanaan pengkajian dan penerapan teknologi di bidang adaptasi dan penataan ruang
berbasis pengurangan risiko bencana;
b. pelaksanaan pengkajian dan penerapan teknologi di bidang mitigasi bencana;
c. pelaksanaan pengkajian dan penerapan teknologi di bidang instrumentasi kebencanaan;
d. penyiapan bahan rumusan kebijakan teknologi reduksi risiko bencana; dan
e. pelaksanaan perencanaan, monitoring, evaluasi program dan anggaran di lingkungan Pusat
Teknologi Reduksi Risiko Bencana
51
Terkait dengan perubahan iklim, inisiatif strategis BPPT dalam RENSTRA BPPT tahun 2015-2019 adalah
Instrumentasi Kebencanaan Nasional dan Bencana Hidrometeorologi dengan target “Berkurangnya
risiko bencana di Propinsi paling rawan bencana alam dengan beroperasinya alat/instrumen
kebencanaan untuk mendeteksi hazard, peringatan dini dan siaga darurat”. Instrumentasi peringatan
dini BPPT diantaranya adalah AWLR (Automatic Water Level Recorder), LEWS (Landslide Early Warning
System), Rapid Timer (teknologi tangguh ketika komunikasi dan kelistrikan lumpuh). Penelitian yang
mendukung upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim juga dilaksanakan oleh universitas
terkemuka seperti UGM, ITB, UI dan lain-lain. Universitas turut berperan dalam meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam pengurangan bencana, misalnya dalam penyusunan peta risiko untuk
mewujudkan Desa Tangguh Bencana dan mengembangkan sistim peringatan dini berbasis
masyarakat.
Gambar 4. 6: Skema Peringatan Dini Bencana di Masyarakat
Sistim peringatan dini berbasis masyarakat yang efektif adalah: (i) mudah diakses masyarakat, (ii)
pesan yang disampaikan jelas, disajikan sesuai konteks sosial dan budaya setempat, (iii) pesan berasal
dari sumber resmi, (iv) digunakan untuk menghindari dan mengurangi risiko.
Rencana Kontinjensi yang disusun pada situasi terdapat potensi kejadian bencana harus
dapat digunakan sebagai acuan untuk evakuasi, mengurangi kerusakan dan kerugian dan penyediaan
tempat penampungan sementara. Jalur dan tempat evakuasi pada Rencana Tata Ruang menjadi acuan
Rencana Kontingensi yang sedapat mungkin dapat digambarkan pada peta dengan skala 1:5.000.
Ketersediaan peta dengan skala yang sesuai merupakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk
menyusun Rencana Kontinjensi yang menjadi acuan pemerintah daerah untuk merespon terjadinya
bencana di daerah masing-masing.
Kapasitas penanggulangan bencana pada tingkat kabupaten/kota saat ini pada dasarnya masih
bersifat respon di lapangan, namun pelaksanaan fungsi komando seperti yang telah ditetapkan dalam
Perka BNPB nomor 24 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Operasi Darurat Bencana
belum dilaksanakan dengan baik.
52
Penyelenggaraan Komando Tanggap Darurat meliputi (1) Rencana operasi, (2) Permintaan
sumberdaya, (3) Pengerahan sumberdaya, dan (4) Pengakhiran. Pelaksanaan ini didukung dengan
fasilitas komando posko (tanggap darurat dan lapangan), personil, gudang, sarana dan prasarana,
transportasi, peralatan, alat komunikasi, serta informasi bencana dan dampaknya. Belum tersedianya
Rencana Kontinjensi yang kemudian menjadi Rencana Operasi berdampak pada tidak tersedianya
acuan rencana tindakan bagi setiap unsur pelaksana komando, termasuk acuan bagi mobilisasi
sumberdaya ke lokasi bencana. BPBD berfungsi mendukung mobilisasi sumber daya, namun dalam
praktek sumberdaya lokal masih terbatas sehingga ketergantungan pada BNPB masih signifikan.
Setelah fase tanggap darurat dinyatakan selesai oleh Kepala Daerah, tahap penanggulangan bencana
selanjutnya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana untuk pemulihan kehidupan
dan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah pasca bencana. Penyelenggaraan pemulihan
pasca bencana dilaksanakan dengan kerangka sebagai berikut ini:
Gambar 4. 7: Kerangka Pemulihan Pasca Bencana
BNPB secara ekstensif telah memberikan pelatihan Damages and Losses Assessment (DaLA) kepada
kabupaten/kota untuk memperkirakan kebutuhan pemulihan. Pada saat ini seluruh daerah
kabupaten/kota diwajibkan untuk mampu memperkirakan kebutuhan pemulihan pasca bencana dan
skema pembiayaan dengan pendekatan pembagian kewenangan pusat-daerah. Meskipun demikian,
dengan alasan bahwa APBD tidak memadai, ketergantungan daerah pada Pemerintah untuk
pembiayaan pasca bencana masih signifikan. Proses perencana rehabilitasi dan rekonstruksi adalah
sebagai berikut:
Gambar 4. 8: Proses perencanaan pemulihan pasca bencana
53
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa apabila APBD
Pemerintah Kab/Kota tidak memadai, maka dapat meminta bantuan kepada Pemerintah Provinsi dan
apabila Pemerintah Provinsi juga tidak mampu, maka dapat disampaikan kepada Pemerintah melalui
BNPB. Sampai dengan tahun 2014, penyampaian bantuan dana bagi pemulihan pasca bencana dari
Pemerintah dilaksanakan dengan mekanisme bantuan sosial berpola hibah, yang dilaksanakan
semenjak tahun 2011. Dalam penganggaran dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut,
BNPB melaksanakan tugas identifikasi dan verifikasi usulan Kepala Daerah, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan usulan anggaran dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi kepada Menteri
Keuangan dan DPR, untuk dicantumkan dalam DIPA BNPB dan disalurkan ke daerah yang mengusulkan
bantuan pemulihan pasca bencana. Dana rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut tidak berada pada satu
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), karena Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dibentuk pada BPBD
sedangkan pelaksanaannya berada di SKPD terkait.
Pada tahun 2015, mekanisme bantuan sosial berpola hibah dirubah dengan mekanisme Hibah dari
Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Dalam Rangka Bantuan Pendanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pascabencana berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 162 tahun 2015. Hibah
untuk daerah ini dilaksanakan sesuai dengan mekanisme pengelolaan keuangan daerah dan
disalurkan sesuai dengan mekanisme APBN dan APBD dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke
RKUD. Pemerintah Daerah penerima hibah menyelenggarakan penatausahaan, akuntansi dan
pelaporan keuangan atas realisasi hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kementerian Keuangan dan BNPB melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan dana hibah dalam rangka bantuan pendanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
pascabencana baik secara bersama-sama maupun sendiri sesuai dengan kewenangannya.
Undang Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyempurnakan mekanisme
bantuan dana pemulihan pasca bencana dengan tujuan penguatan kelembagaan dan regulasi dalam
penanggulangan bencana di daerah. Dana darurat dapat dialokasikan pada Daerah dalam APBN untuk
mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana yang tidak mampu ditanggulangi oleh
Daerah dengan menggunakan sumber APBD, untuk mendanai perbaikan fasilitas umum dalam rangka
pemulihan pelayanan bagi masyarakat. Menteri Dalam Negeri berwenang mengkoordinasikan usulan
Dana darurat kepada Kementerian Keuangan, setelah sebelumnya hanya Kepala BNPB dan Menteri
Keuangan yang mengambil keputusan tentang alokasi bantuan kepada daerah yang tidak mampu
mendanai pemulihan pasca bencana dari sumber APBD. Penguatan kapasitas BPBD pada bidang
pemantauan dan evaluasi rehabilitasi dan rekonstruksi sangat relevan karena SPM penanggulangan
bencana sedang disusun untuk memastikan terselenggaranya mutu pelayanan dasar yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal di bidang penanggulangan bencana.
Untuk penguatan kapasitas BPBD, Kementerian Dalam Negeri sedang melakukan berbagai
pertimbangan untuk memperkuat kelembagaan penanggulangan bencana daerah yang dilebur
dengan fungsi pemadam kebakaran serta menyusun Standar Pelayanan Minimal Penanggulangan
Bencana dan Kebakaran. Opsi yang sedang dikembangkan adalah transformasi BPBD menjadi Dinas
dengan tugas dan fungsi untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah atau tetap sebagai Badan yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah meliputi: a) Perencanaan, b) Keuangan, c)
Kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, d) Penelitian dan pengembangan, dan e) Fungsi lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
54
4.6. Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana
Tidak ditemukan bukti tertulis yang memadai terkait sejarah mitigasi dan pengetahuan kerangka kerja
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) di Indonesia. Pengelolaan Risiko Bencana
Berbasis Komunitas (PRBBK) adalah salah satu pilar penting dalam upaya pengelolaan risiko bencana
saat ini. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) atau Community Based Disaster Risk
Management (CBDRM) adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam
mengelola risiko bencana di tingkat lokal. Upaya tersebut memerlukan serangkaian upaya yang
meliputi: a) melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang dihadapinya, b)
melakukan prioritas penanganan/ pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, c) mengurangi serta
memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan bencana.
Berbagai inisiatif membangun Desa tangguh, Desa Siaga, Kampung Siaga Bencana, Mukim Daulat
Bencana dan berbagai sebutan lainnya dimulai dari proyek percontohan berbagai organisasi non
pemerintah maupun pemerintah dan donor. Proses PRBBK yang secara generik diadopsi dalam
berbagai inisiatif tersebut adalah sebagai berikut ini.
Gambar 4. 9: Langkah dan proses PRBBK
Salah satu kendala PRBBK adalah keberlanjutan, karena pada awalnya kegiatan PRBBK didukung
pendanaan dari Donor Internasional. Peluang terintegrasinya penanggulangan bencana dalam
rencana pembangunan desa didukung oleh Undang Undang nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang mencantumkan sub-penanggulangan bencana dan kebakaran dalam
urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dibawah Ketenteraman dan Ketertiban Umum
dan Perlindungan Masyarakat.
Musrenbang Desa sebagai mekanisme perencanaan dan proses dialogis dapat dimanfaatkan untuk
mengidentifikasi dan menyepakati bersama prioritas kebutuhan/masalah dan kegiatan desa yang
akan menjadi bahan penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Desa. Melalui proses Musrenbang
Desa, masyarakat dapat menyepakati: a) prioritas yang akan dilaksanakan oleh desa sendiri dan
dibiayai melalui dana swadaya desa/masyarakat; b) prioritas kegiatan desa yang akan dilaksanakan
oleh desa sendiri yang dibiayai melalui Alokasi Dana Desa dari APBD kabupaten/kota atau sumber
dana lain; c) Prioritas masalah daerah yang ada di desa yang akan diusulkan melalui Musrenbang
kecamatan untuk menjadi kegiatan pemerintah daerah dan dibiayai melalui APBD kabupaten/kota
atau APBD provinsi.
55
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada Bab III dan Bab IV, kesimpulan pokok pada kajian ini adalah:
1. Internalisasi PRB dalam kerangka pembangunan berkelanjutan
Khususnya di daerah kabupaten/kota memerlukan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana skala
1:50.000 dan 1:25.000
Masih tersisa 80% dari 514 kabupaten/kota yang belum menyusun Kajian dan Pemetaan
Risiko Bencana
Belum tersedianya Rencana Penanggulangan Bencana di tingkat kabupaten/kota
berkontribusi langsung pada rendahnya investasi pengurangan risiko bencana di tingkat
kabupaten/kota
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) tingkat provinsi belum dimanfaatkan untuk
memberikan masukan bagi reviu maupun perencanaan tata ruang kecuali RPB Provinsi DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat (semua disusun tahun 2012) yang digunakan untuk melengkapi
audit RTR-Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur pada tahun 2013
Dengan berlakunya Undang Undang nomor 23 tahun 2014 diperlukan harmonisasi kebijakan
serta berbagai perubahan yang terkait dengan peraturan, kelembagaan, SDM, perencanaan,
keuangan, pengawasan dan sebagainya
2. Upaya mengurangi kerentanan
Untuk mengurangi kerentanan, diperlukan:
Ketersediaan data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada disertai peta dengan skala
yang sesuai dengan kebutuhan di daerah ( skala minimum 1:5000)
Kemampuan untuk melakukan analisis probabilitas kemungkinan ancaman dari berbagai
sumber kajian ilmiah, pendapat ahli dan berkembangnya kearifan lokal masyarakat
Kemampuan untuk melakukan proyeksi berdasarkan metoda perhitungan terhadap potensi
jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan
Kemampuan analisis untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana
Dalam upaya mengurangi kerentanan, partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Peluang
untuk bekerjasama dengan masyarakat akademis, dunia usaha, masyarakat internasional dan
berbagai pihak pemerhati kebencanaan perlu didukung dengan kebijakan yang mengatur
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, sesuai dengan Undang Undang nomor
23 tahun 2014
3. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat
Pembentukan BPBD pada umumnya tidak dilengkapi dengan Perda penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah
Kapasitas perencanaan BPBD pada fase situasi tidak terdapat potensi bencana perlu diperkuat
untuk memberikan masukan kepada Bappeda dalam proses penyusunan RPJMD dan RTR dan
Pedoman Zonasi serta meningkatkan kualitas RENSTRA dan RENJA BPBD
Kapasitas perencanaan BPBD pada fase situasi terdapat potensi bencana perlu diperkuat
untuk mendukung penyelenggaraan Komando Tanggap Darurat
56
Tersedianya SPM penanggulangan bencana sebagai urusan wajib pemerintahan daerah
menuntut penguatan kapasitas BPBD dalam pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah
Perencanaan penanggulangan bencana erat kaitannya dengan perencanaan tata ruang yang
berfungsi sebagai instrumen pencegahan dan mitigasi, referensi rencana kontinjensi dan
acuan relokasi pada fase pasca bencana.
Gambar 5. 1: Sinergi perencanaan dalam penyelanggaraan penanggulangan bencana
5.2. Rekomendasi 1. Internalisasi PRB dalam kerangka pembangunan berkelanjutan
Tujuan internalisasi PRB dalam kerangka pembangunan berkelanjutan adalah penurunan
Indeks Risiko Bencana di daerah dalam kerangka pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019 dan
meningkatkan investasi pengurangan risiko bencana di daerah
Pemanfaatan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana atau minimal hasil pengenalan ancaman
dan potensi kerentanan bencana dalam RPJMD kabupaten/kota peserta Pilkada tahun 2015.
Bappeda dan seluruh SKPD memastikan bahwa penanggulangan bencana sebagai urusan
wajib pemerintahan menjadi salah satu fokus pembangunan daerah
Diperlukan percepatan penetapan Perda RTRW provinsi Sumatera, Riau, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara dan Papua untuk melaksanakan pembagian kewenangan dalam
pelaksanaan Undang Undang nomor 23 tahun 2014
Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua
pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda), dengan
masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Pemanfaatan hasil reviu Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tingkat provinsi tahun 2015
untuk melakukan tinjauan ulang RTRW Provinsi dan RTR KSN yang ditetapkan pada tahun
2009-2010-2011
57
Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana pada pusat-pusat pertumbuhan
kabupaten/kota berisiko tinggi dan peninjauan ulang RTRW
Tabel 5. 1: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2016
No Penetapan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi: pemanfaatan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tahun 2015
1 2009-2010-2011 Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Gorontalo
Tingkat kabupaten/kota: penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dan peninjauan ulang RTRW kabupaten/kota 1 2008-2009 Kota Bogor, Bangkalan, Sidoarjo, Banda Aceh, Kota Bandung
2 2010 Kab. Malang, Pacitan, Kota Bandar Lampung, Kota Yogyakarta
3 2011 Jayapura, Merauke, Maluku Tengah, Halmahera Utara, Kep. Sula, Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Dompu, Bima, Kota Kupang, Ende, Belu, Kota Gorontalo, Takalar, Luwu Timur, Parigi Moutong, Kota Palu, Kota Bitung, Kota Denpasar, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Cirebon, Kota Semarang, Kendal, Demak, Cilacap, Magelang, Lamongan, Bojonegoro, Tanggamus, Padang Pariaman, Medan, Cilegon
Pemanfaatan hasil reviu Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tingkat provinsi tahun 2015
untuk melakukan tinjauan ulang RTRW Provinsi dan RTR KSN yang ditetapkan pada tahun 2012
Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana kabupaten/kota pusat-pusat pertumbuhan
berisiko tinggi dan peninjauan ulang RTRW
Tabel 5. 2: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2017
No Penetapan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi: pemanfaatan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tahun 2015
1 2012 Jawa Timur, Bengkulu, DKI Jakarta, Sumatera Barat
Tingkat kabupaten/kota: penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dan peninjauan ulang RTRW kabupaten/kota
1 2012 Kep. Yapen, Sorong, Raja Ampat, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Ambon, Seram Bagian Timur, Maluku Tenggara, Buru, Ternate, Morotai, Halmahera Timur, Lombok Timur, Bima, Ngada, Sikka, Manggarai, Polewali Mandar, Maros, Gowa, Bantaeng, Donggala, Poso, Morowali, Kolaka, Kendari, Singkawang, Kotabaru, Baritokuala, Balikpapan, Tarakan, Tabanan, Cianjur, Bandung Barat, Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Kebumen, Bengkulu, Muko-muko, Rejang Lebong, Kerinci, Lampung Barat, Padang, Banyuasin, Lahat, Simalungun
Pemanfaatan hasil reviu Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tingkat provinsi tahun 2015
untuk melakukan tinjauan ulang RTRW Provinsi dan RTR KSN yang ditetapkan pada tahun 2013
Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana kabupaten/kota pusat-pusat pertumbuhan
berisiko tinggi dan peninjauan ulang RTRW
Tabel 5. 3: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2018
58
No Penetapan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi: pemanfaatan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tahun 2015
1 2013 Jambi, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Tengara, Aceh
Tingkat kabupaten/kota: penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dan peninjauan ulang RTRW kabupaten/kota
1 2013 Manokwari, Tidore Kepulauan, Alor, Minahasa Utara, Pontianak, Kutai Kartanegara, Badung, Buleleng, Jambi, Langkat
Pemanfaatan hasil reviu Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tingkat provinsi tahun 2015
untuk melakukan tinjauan ulang RTRW Provinsi yang ditetapkan pada tahun 2014 dan 2015
Penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana kabupaten/kota pusat-pusat pertumbuhan
berisiko tinggi dan peninjauan ulang RTRW
Tabel 5. 4: Usulan kegiatan penanggulangan bencana pada RKP tahun 2019
No Penetapan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi: pemanfaatan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana tahun 2015
1 2014-2015 Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Papua
Tingkat kabupaten/kota: penyusunan Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dan peninjauan ulang RTRW kabupaten/kota
1 2014 Sarolangun dan kabupaten/kota yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan berisiko tinggi yang ditetapkan pada tahun 2015 dan seterusnya
2. Upaya pengurangan kerentanan
Menurunkan risiko bencana adalah upaya yang kompleks, multi-dimensi dan memerlukan
partisipasi banyak pihak untuk mewujudkannya. Tabel dibawah ini menggambarkan unsur-
unsur pengurangan risiko bencana dengan pendekatan yang menyeluruh untuk mengurangi
kerentanan dan ancaman bencana.
Tabel 5. 5: Unsur-unsur pengurangan risiko bencana
Bidang tematik U Unsur-unsur utama Tata pemerintahan Kebijakan dan perencanaan
Sistem hukum dan tata peraturan
Sumber daya dan kapasitas
Pemaduan ke dalam pembangunan
Mekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan
Komitmen politik
Akuntabilitas dan partisipasi Pengkajian risiko Data dan analisis bahaya/risiko
Data/indikator-indikator kerentanan dan dampak
Sistem-sistem peringatan dini
Inovasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknis Pengetahuan dan pendidikan
Manajemen informasi dan saling berbagi informasi
Pendidikan dan pelatihan
Kesadaran masyarakat
Pembelajaran dan penelitian
59
Bidang tematik U Unsur-unsur utama Manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
Manajemen sumber daya alam dan lingkungan; adaptasi perubahan iklim
Penghidupan yang berkelanjutan
Perlindungan sosial
Ketahanan fiskal
Mitigasi struktural/non-struktural Kesiapsiagaan dan tanggap bencana
Koordinasi kelembagaan
Perencanaan kesiapsiagaan dan kontinjensi
Prosedur tanggap darurat
Partisipasi dan kerelawanan
Sumber: Tools for Mainstreaming DRR: Guidance Notes for Development Organisations, 2007
Pengkajian dan analisis risiko merupakan perangkat perencanaan yang wajib dimiliki oleh
pemerintah daerah dan masyarakat agar supaya dapat dimanfaatkan pada proses
perencanaan penanggulangan bencana, perencanaan pembangunan daerah, perencanaan
sektoral, dan perencanaan tata ruang
Melengkapi peta IGD skala 1:50.000, skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota berisiko tinggi
sebagai berikut ini:
Tabel 5. 6: Kebutuhan peta IGD untuk kabupaten/kota berisiko tinggi
Tahun Kabupaten/Kota 2016 Kota Bogor, Bangkalan, Sidoarjo, Banda Aceh, Kota Bandung, Kab. Malang,
Pacitan, Kota Bandar Lampung, Kota Yogyakarta, Kota Jayapura, Kota Merauke, Maluku Tengah, Halmahera Utara, Kep. Sula, Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Dompu, Bima, Kota Kupang, Ende, Belu, Kota Gorontalo, Takalar, Luwu Timur, Parigi Moutong, Kota Palu, Kota Bitung, Kota Denpasar, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Cirebon, Kota Semarang, Kendal, Demak, Cilacap, Magelang, Lamongan, Bojonegoro, Tanggamus, Padang Pariaman, Kota Medan, Kota Cilegon
2017 Kep. Yapen, Sorong, Raja Ampat, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kota Ambon, Seram Bagian Timur, Maluku Tenggara, Buru, Ternate, Morotai, Halmahera Timur, Lombok Timur, Bima, Ngada, Sikka, Manggarai, Polewali Mandar, Maros, Gowa, Bantaeng, Donggala, Poso, Morowali, Kolaka, Kota Kendari, Singkawang, Kotabaru, Baritokuala, Kota Balikpapan, Tarakan, Tabanan, Cianjur, Bandung Barat, Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Kebumen, Bengkulu, Muko-muko, Rejang Lebong, Kerinci, Lampung Barat, Kota Padang, Banyuasin, Lahat, Simalungun
2018 Manokwari, Tidore Kepulauan, Alor, Minahasa Utara, Pontianak, Kutai Kartanegara, Badung, Buleleng, Jambi, Langkat
2019 Sarolangun dan kabupaten/kota yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan berisiko tinggi dengan RTRW yang ditetapkan pada tahun 2015 dan seterusnya
Melengkapi peta IGD skala 1:5.000, terutama untuk kabupaten/kota dengan Indeks (multi)
Risiko Bencana antara 180-250, sesuai kebutuhan pemerintah daerah, yaitu:
1) Pulau Papua : Jayapura, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Nabire
2) Kepulauan Maluku : Maluku Tengah, Kepulauan Sula, Seram Bagian Barat, Halmahera Utara
3) Kepulauan Nusa Tenggara : Lombok Barat, Lombok Timur, Dompu, Bima, Ende, Sikka, Alor, Belu
60
4) Pulau Sulawesi : Mamuju, Polewali Mandar, Luwu Timur, Donggala, Palu, Kolaka
5) Pulau Kalimantan : Sambas, Ketapang, Kotabaru, Barito Kuala
6) Pulau Jawa-Bali : Badung, Tangerang, Cilegon, Cianjur, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, Semarang, Demak, Cilacap, Kebumen, Pacitan, Banyuwangi, Jember
Kawasan Strategis Nasional ditetapkan berdasarkan kepentingan: a) pertahanan dan
keamanan, b) pertumbuhan ekonomi, c) social budaya, d) pendayagunaan sumber daya alam
dan/atau teknologi dan e) fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Dalam rangka
mendukung Kawasan Strategis Nasional dalam RPJMN 2015-2019, melengkapi peta IGD
untuk Kajian dan Pemetaan Risiko Bencana dapat dilakukan pada lokasi sebagai berikut ini:
Tabel 5. 7: Kebutuhan peta IGD untuk Kawasan Strategis Nasional Perkotaan
KSN Perkotaan Kabupaten/Kota Peserta Pilkada 2015 KSN Perkotaan Jabodetabekpunjur (Perpres 54/2008)
DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur
Cianjur
KSN Perkotaan Sarbagita (Perpres 45/2011)
Denpasar, Bangli, Gianyar, Tabanan Denpasar, Bangli, Tabanan
KSN Perkotaan Cekungan Bandung
Kab Bandung, Bandung Barat Kab Bandung
KSN Perkotaan Kedung Sepur
Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi
Kendal, Demak, Semarang
KSN Perkotaan Gerbang Kertasusila
Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
Gresik, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
KSN Perkotaan Mataram Raya
Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara
Mataram, Lombok Tengah, Lombok Utara
Sorong dan Jayapura menjadi PKN
Sorong, Jayapura -
KSN Perkotaan Maminasata (Perpres 55/2011)
Makassar, Maros, Gowa, Takalar Maros, Gowa
KSN Perkotaan Mebidangro (Perpres 62/2011)
Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo Medan, Binjai, Karo
Peta IGD digunakan untuk menyusun peta risiko dan melakukan tinjauan ulang terhadap
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. Pengawalan internalisasi penangulangan
bencana dalam perencanaan pembangunan daerah dapat dilakukan pada kabupaten/kota
dalam Kawasan Strategis Nasional yang menjadi peserta Pemilihan Kepala Daerah tahun 2015
Percepatan penetapan peraturan pemerintah tentang partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah untuk mendukung penguatan kapasitas pemerintah daerah dan
masyarakat dalam pelaksanaan urusan wajib pemerintahan di daerah
Pelatihan bagi Tim Reaksi Cepat untuk melakukan Analisis Risiko sebagai input bagi
penyusunan scenario, kebijakan dan strategi Rencana Kontinjensi
61
Menyusun Rencana Kontinjensi berbasis komunitas untuk jenis bencana yang sering terjadi
pada kawasan dalam kabupaten/kota yang berisiko tinggi dalam rangka meningkatkan
pengetahuan tentang ancaman, kerentanan dan risiko
Pelembagaan pembangunan Desa Mandiri melalui harmonisasi kriteria konsep “tangguh
bencana” dan “kampung iklim” melalui Musrenbang Desa/Kelurahan memberikan peluang
bagi peningkatan kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan pengurangan risiko bencana dan
desa ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam
Pelembagaan konsep “sekolah aman bencana”dengan mengintegrasikan pendidikan ramah
lingkungan untuk pembentukan perilaku siswa yang peduli lingkungan melalui model
pembelajaran yang aplikatif dan menyentuh kehidupan sehari-hari, dengan memanfaatkan
sumber daya alam sekitar sekolah sebagai media pembelajaran
3. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat
Pada prinsipnya, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat ditujukan bagi
meningkatkan investasi pengurangan risiko bencana dalam pembangunan daerah dan
meningkatkan kesiapsiagaan untuk mengurangi kerentanan dan keterpaparan
Undang Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengisyaratkan
perubahan tata pemerintahan yaitu pada kebijakan, kelembagaan, SDM, keuangan,
pengawasan, insentif dan disinsentif pada urusan penanggulangan bencana.
BNPB, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga perlu berkoordinasi untuk
merumuskan dan menyepakati SPM Penanggulangan Bencana karena menjadi urusan
pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Untuk penyesuaian bentuk, tugas pokok dan fungsi kelembagaan penanggulangan bencana di
daerah, perlu segera di-identifikasi kebutuhan SDM, anggaran, payung hukum dan
penyesuaikan NSPK penanggulangan bencana di daerah sesuai pembagian kewenangan
antara provinsi dan kabupaten/kota
Perubahan kebijakan dalam Undang Undang nomor 23 tahun 2014 digunakan untuk
meningkatkan koordinasi antar provinsi dan antar kabupaten/kota dalam penanganan
bencana yang berdampak luas.
62