Kajian INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

264
Kajian INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2014

Transcript of Kajian INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

cover buku alt-12014
KAJIAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2014
ii
KAJIAN
Penyusun: Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Kontributor :
Dian P. Simatupang (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Ernest P. Raihan (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran)
Faisal Akbar (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Hasrul Halili (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) Hifdzil Alim (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
I Gusti Ngurah Putra (Bappeda Provinsi Bali) I Wayan Muhrta (Fakultas Hukum Universitas Udayana)
Ida Ayu Susanti (Kanwil Kemenkumham Prov. Bali) Jayadi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas)
Jumadi (Bappeda Provinsi Jawa Timur) Kodrat Wibowo (Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
Putu Gde Arya Sumerthayasa (Fakultas Hukum Universitas Udayana) Sri Winarsi (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
Sumariyandono (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) Suparto Wijoyo (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
Suria Ningsih (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Wika Harisa Putri (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
Yonathan S. Hadi (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran) Zainal Arifin Mochtar (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
Telp. (021) 3868201-05 Fax. (021) 3868208
KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN. – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2014
135 hlm.
Keterpaduan antara perencanaan dan penganganggaran merupakan isu penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain adalah: (1) belum tercapainya sinergitas program pembangunan antara berbagai K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional; serta (2) belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap tahunnya.
Terjadinya inkonsistensi program dan anggaran diidentifikasi bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja-KL dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras. Penyebab munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya ill-structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi.
Dari aspek kelembagaan, pemisahan institusi perencanaan dan penganggaran program pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan pengkotak-kotakan (fragmentation) pemerintahan, dimana fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja,
2. Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL, dan
3. Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah.
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan
iv
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benar- benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas pembangunan terlebih dahulu.
Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan dengan proses penganggaran untuk mendapatkan alokasi anggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran di daerah, serta UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Gambar Hubungan Perencanaan dengan Pengelolaan Anggaran
TUJUAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL
K E U A N G A N
N E G A R A
v
sebagai budget planning) antara fungsi perencanaan dan penganggaran yang sering menjadi permasalahan dalam hubungan perencanaan dan penganggaran, walaupun sebenarnya telah dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga beserta peraturan perubahan dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu sebagai Pelaksana dalam menyusun anggaran. Irisan “budget planning” itulah yang harus dikelola dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih baik, efisien dan equity.
Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum administrasi negara, maka untuk mewujudkan keterpaduan fungsi perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan sebagai berikut.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yang menggambarkan
permasalahan adanya disintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2 sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga Negara
3 sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
vi
mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focus group discussion (FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di daerah dan perguruan tinggi.
Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L lainnya.
Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi data berdasarkan permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan (2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokok- pokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini.
Agar terwujud integrasi perencanaaan dan penganggaran pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif jangka pendek (perbaikan tata laksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan).
1. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di Indonesia. Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut. a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja; b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh kementerian/lembaga. Target tersebut kemudian diinput dalam sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan. Selain itu, disusun pula pedoman tentang bagaimana proses penyusunan usulan program/kegiatan yang harus dilakukan oleh K/L. Sementara itu, Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke depan;
c. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/ kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang diperlukan. Usulan tersebut disampaikan melalui sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan pembangunan;
d. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan usulan program/kegiatan tahunan yang disampaikan melalui sistem aplikasi, serta menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan
vii
f. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke DPR.
2. Jangka Menengah, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran dilakukan oleh Bappenas yang akan ditempatkan di Kantor Kepresidenan, dengan nomenklatur Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran.
a. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi serta mengevaluasi dan menetapkan rencana program pemba- ngunan dan anggaran (budget planning) kementerian/ lembaga.
b. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
1) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
2) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
3) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget planning) pembangunan yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga
c. Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran:
Menetapkan program dan kegiatan pembangunan kementerian/ lembaga yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan RPJM.
Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor
Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 (tiga) opsi sebagai berikut Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi
“Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres);
Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres;
viii
Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres.
Hasil kajian ini semakin menegaskan fakta ego sektoral dan disharmoni dalam sistem perencanaan dan penganggaran, sebagaimana disampaikan dalam beberapa hasil kajian atau penelitian terkait. Untuk itu, kajian dapat menjadi trigger bagi Presiden agar segera melakukan penataan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 23 Perpres 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, paling lambat sampai November 2015, akan dilakukan penataan organisasi kabinet kerja. Terkait hal itu, hasil kajian ini dapat menjadi referensi (academic paper) bagi Presiden untuk melakukan penataan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan aspek perencanaan dan penganggaran.
Namun, penataan kelembagaan kabinet kerja dimaksud harus sinergi dengan penataan kebijakan di bidang sistem perencaaan dan penganggaran. Dalam hal ini, perlu dilakukan penataan secara sistematis dari level kebijakan Undang-Undang (bersama DPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran.
Khusus terkait pelembagaan dan mekanisme Pertemuan Tiga Pihak (trilateral meeting) --- yang berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Kajian ini diselenggarakan di Kantor Kepresidenan, tetap dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan regulasi. Hal ini berdasarkan pada kewenangan dasar Presiden selaku Kepala Pemerintahan (executive power), sehingga dapat mengeluarkan kebijakan di ranah eksekutif sepanjang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas. Dalam rangka upaya integrasi forum dan harmonisasi sistem perencanaan dan penganggaran, maka hasil kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi Presiden untuk merumuskan format forum dan mekanismenya.
Secara umum, dalam penyusunan kajian ini sudah melibatkan pimpinan instansi terkait, khusus Bpk. Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet) yang secara khusus hadir langsung dalam acara FGD di Kantor LAN. Dalam acara tersebut, pada prinsipnya beliau memahami usulan pembentukan Kantor Kepresidenan dan perlunya penataan sistem perencanaan serta penganggaran agar dapat selaras dengan prioritas dan gaya kepemimpinan (leadership style) Presiden. Tentu saja, upaya penataan ini harus tetap memperhatikan stabilitas dan
ix
Agar hasil kajian ini dapat bernilai manfaat/berdampak secara nyata dalam reformasi sistem perencanaan dan penganggaran, perlu dilakukan beberapa rencana tindak berikut ini.
1. Jangka Pendek (sebelum Februari 2015)
Mengajukan policy brief kajian ini kepada Presiden cq. Sekretaris Kabinet, sehingga dapat menjadi bagian dalam perubahan struktur organisasi kabinet kerja sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 165 Tahun 2014.
2. Jangka Menengah (akhir Desember 2015)
Mengajukan usulan perubahan kebijakan sebagai landasan hukum penataan sistem perencanaan dan penganggaran, di level Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pada saat bersamaan, mengusulkan kepada Presiden dan Menteri terkait agar revisi UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 dapat masuk dalam usulan prioritas di luar Prolegnas 2015. Selanjutnya, diharapkan proses revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut segera dilaksanakan, agar dapat menjadi landasan hukum bagi penataan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
x
xi
SAMBUTAN
Efek persaingan global terasa semakin dekat dengan negara kita, salah
satunya terlihat bagaimana setiap negara di dunia berkompetisi untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam hal ini,
fragmentasi pemerintahan yang terlalu tinggi dianggap sebagi salah satu
penyebab teradinya inefektivitas pemerintahan, karena terjadinya sejumlah
problem yang dapat menghalangi pemerintah untuk merespon dengan cepat
dinamika yang berkembang di dalam lingkungan strategisnya.
Secara lebih jelas, beberapa problematika mendasar terkait tata kelola
pemerintahan kita saat ini adalah: (1) kewenangan sebuah urusan yang
terfragmentasikan pada beberapa K/L sehingga alokasi menjadi tumpang tindih
yang membuat tata kelola pemerintahan menjadi kompleks. Sebagai contoh,
sebuah urusan pemerintahan tertentu seperti UKM, pertanahan, maritim dan
kelautan, perizinan selalu melibatkan belasan Kementerian/Lembaga. Struktur
ini menciptakan kerugian ganda, yakni menciptakan kebutuhan melakukan
koordinasi dan menjadikan ego sektoral tumbuh dengan subur, (2) lemahnya
institusi dan mekanisme pengintegrasian rencana dan kegiatan pembangunan
pemerintah pusat dan daerah. Mekanisme Musrenbang dari tingkat bawah
sampai dengan tingkat nasional terbukti tidak efektif. Duplikasi dan tumpang
tindih kegiatan antar tingkat pemerintahan yang berbeda terus terjadi dan
menjadi rutinitas. Bahkan, benturan kebijakan antara pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota mudah ditemui dalam berbagai bidang seperti ekonomi dan
investasi.
utamanya antara fungsi perencanaan dan penganggaran. Kedua fungsi ini
dikelola oleh kementerian yang berbeda, yaitu Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pemisahan
kedua fungsi tersebut ke dalam dua kementerian yang berbeda dengan ego
sektoralnya masing-masing membuat interkoneksi antar kedua fungsi tersebut
sangat lemah. Inovasi kegiatan sering tidak “nyambung” dengan alokasi
anggarannya.
permasalahan sebagaimana dikemukakan tersebut, terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan dalam membangun sistem perencanaan dan penganggaran
xii
institusi atau mekanisme; penerapan pendekatan whole-of-government
perspective atau dalam konteks perencanaan dan pembangunan dengan mencari
solusi terhadap masalah publik secara holistik dari kepentingan publik dan
pemerintah secara keseluruhan; mentradisikan evidence-based policy dalam
proses perencanaan dan penganggaran; serta menerapkan prinsip-prinsip better
planning and budgeting regulation, seperti: sederhana dan mudah dilaksanakan;
inklusif dan konsultasi dengan pemangku kepentingan; subsidiarity -
dilaksanakan oleh tingkat pemerintahan yang paling relevan; dan
proporsionalitas – penganggaran yang diberikan sesuai dengan perencanaan
tujuan yang akan dicapai.
dari kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintahan yang
sedang berjalan untuk memastikan bahwa proses perencanaan dan
penganggaran pembangunan yang dilakukan harus saling terkoneksi dan saling
sinergi satu sama lain dalam sebuah sistem manajemen perencanaan dan
penganggaran yang terintegrasi untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.
Jakarta, Desember 2014
salah satu kegiatan kajian di lingkungan Lembaga Administrasi Negara yang
dilaksanakan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan, melalui Pusat Kajian Sistem
dan Hukum Administrasi Negara.
mempunyai peran yang penting dalam rangka mendukung keberlangsungan
proses pembangunan nasional. Seiring perjalanan perkembangan negara
kesatuan republik indonesia, hubungan antara peran perencanaan dan peran
penganggaran pun mengalami berbagai dinamika perkembangan yang
berubah-ubah. Namun satu hal yang diakui dan disepakati baik oleh pemangku
peran perencanaan maupun pemangku peran penganggaran adalah bahwa
antar keduanya diperlukan sebuah sinergi yang tidak dapat dipisahkan untuk
menggerakan roda gigi pembangunan nasional.
Oleh sebab itu, “Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan
Penganggaran” ini dilakukan untuk memberikan alternatif solusi atas
pengakuan dan kesepakatan bahwa perencanaan dan penganggaran
merupakan sinergi yang harus terintegrasi secara kokoh dalam sistem
kebijakan pembangunan nasional. Kajian dilakukan dengan se-obyektif
mungkin dengan memperhatikan pendapat dan pandangan dari pihak
pemangku peran perencanaan dan pemangku peran penganggaran yang saat
ini tengah mengabdi, Pendapat dan pandangan tersebut dipadukan dengan
pendapat dan pandangan pembanding dari berbagai pihak lainnya, seperti
akademisi, pengamat, pengguna kebijakan perencanaan dan penganggaran
dari pemerintahan daerah maupun pemrintahan pusat, serta dari instansi
penetap kebijakan. Oleh sebab itu, hasil kajian ini diharapkan dapat
memberikan bayangan solusi berupa beberapa alternatif rekomendasi
kebijakan untuk mewujudkan suatu sistem perencanaan dan penganggaran
pembangunan nasional yang terintegrasi antar kementerian/lembaga, maupun
kelak antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para kontributor dan
narasumber, baik dari kalangan Perguruan Tinggi, Pemerintahan, maupun
organisasi non-pemerintah, yang telah berkenan bekerja sama dalam
berdiskusi dan memberikan data dan informasi yang diperlukan, serta
menyumbangkan beberapa pemikiran dan gagasannya yang menjadi bahan
utama dari bahan penyusunan kajian ini. Tanpa dukungan dan kerjasama yang
baik tersebut, kajian ini tidak akan dapat diselesaikan seperti saat ini.
xiv
Disadari bahwa banyak hal dalam hasil kajian ini yang masih belum
komprehensif dan sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang berharga
kami harapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan hasil karya
selanjutnya.
Akhir kata, kami harapkan muatan substantif yang disampaikan dalam
hasil kajian ini sesuai dengan tujuan, sasaran dan hasil yang ingin dicapai dari
kegiatan ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberi manfaat, baik bagi
pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan maupun bagi para pembaca
yang berminat terhadap muatan materi hasil kajian ini
.
Lembaga Administrasi Negara ......................................................................
INDONESIA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
1
Saat Ini........................................................................................
1
Kementerian/Lembaga ……....………………………………
14
PENGANGGARAN …………………………………...………………….
17
B. Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) … 18
C. Perspektif Akuntabilitas …......…………………………... 21
DAN PENGANGGARAN ……………………………………………….
C. Pandangan Narasumber..............…………………………. 52
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI …………………………….. 117
A. Kesimpulan …………………………………………………........ 117
A. Dampak Hasil Kajian terhadap Kebijakan
Perencanaan dan Penganggaran …………......………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..………….... 131
Penganggaran
1
SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Sistem perencanaan dan penganggaran mengalami reformasi dengan
ditetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU No.
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Untuk
operasionalisasi keempat Undang-Undang tersebut, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 20 Tahun 2004
tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah diubah dengan
PP No. 90 Tahun 2010, PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan, serta PP No. 40 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Dalam rangka
keselarasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut,
dikeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan
Menteri Keuangan No. 0142/M.PPN/06/2009 dan No. 1848/MK/2009 tanggal
19 Juni tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran.
Sesuai dengan ketentuan pada PP No. 21 Tahun 2004 yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari UU No. 17 Tahun 2003 ditegaskan bahwa ke depan
rencana kerja dan anggaran yang disusun harus menggunakan 3 (tiga)
pendekatan, yaitu: (1) Anggaran Terpadu (unified budget); (2) Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah, yang biasa disebut “KPJM” (medium term
expenditure framework); dan (3) Penganggaran Berbasis Kinerja, yang biasa
disebut “PBK” (performance based budget).
2
pada periode 2010-2014 pada hakekatnya adalah pemenuhan amanat dan
optimalisasi dari ketiga pendekatan tersebut dalam perencanaan
pembangunan nasional. Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran
dilaksanakan melalui restrukturisasi program dan kegiatan yang berfokus
pada PBK. Restrukturisasi program dan kegiatan ini bertujuan mewujudkan
perencanaan yang berorientasi kepada hasil (outcome) dan keluaran (output)
sebagai dasar penerapan akuntabilitas kabinet dan akuntabilitas kinerja
Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Sedangkan untuk kedua pendekatan
lainnya (anggaran terpadu dan KPJM) bersifat mendukung penerapan PBK.
Pendekatan anggaran terpadu merupakan prasyarat penerapan PBK,
sedangkan pendekatan KPJM merupakan jaminan kontinuitas penyediaan
anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun
ke depan.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sedangkan Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dimaknai sebagai satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
SPPN mencakup 5 (lima) pendekatan dalam seluruh rangkaian
perencanaan, yakni: (1) politik; (2) teknokratik; (3) partisipatif; (4) atas-
bawah (top-down); dan (5) bawah-atas (bottom-up).
3
Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan
yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah
(Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2004). Artinya, rencana
pembangunan adalah agenda pembangunan yang ditawarkan oleh
Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye yang dijabarkan ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan dengan
pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan
kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara
fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif
dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka bertujuan untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan,
pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan
menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan
bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, baik di
tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, maupun Desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari 4 (empat) tahapan yakni:
(1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian
pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat
tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan, sehingga secara
keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh.
Tahapan penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan
rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri
dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan
rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur.
Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan
rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana
pembangunan yang telah disiapkan. Langkah ketiga adalah melibatkan
4
dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang). Sedangkan langkah keempat
adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Tahapan berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk
hukum agar mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Berdasarkan
UU No. 25 Tahun 2004, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Nasional/Daerah ditetapkan dalam Undang-Undang/Peraturan Daerah,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional/Daerah
ditetapkan dalam Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan Rencana
Pembangunan Tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan
Presiden/Kepala Daerah.
dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran
pembangunan yang tertuang dalam rencana, melalui kegiatan koreksi dan
penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut yang dilakukan oleh
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
(K/L/SKPD). Selanjutnya, Menteri PPN/Bappenas atau Kepala Bappeda
menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana
pembangunan dari masing-masing pimpinan K/L/SKPD sesuai dengan
tugas dan kewenangannya.
kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis
mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini
dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum
dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja
mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat
(benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan,
setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban
5
melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, Kementrian/
Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk
pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode,
materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah
rencana.
Berdasarkan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional
meliputi perencanaan pembangunan jangka panjang, perencanaan
pembangunan jangka menengah, RPJM K/L, rencana pembangunan
tahunan nasional, dan rencana pembangunan tahunan
kementerian/lembaga. Penyusunan perencanaan pembangunan jangka
panjang menghasilkan RPJP, perencanaan pembangunan jangka menengah
menghasilkan RPJM, dan perencanaan tahunan nasional menghasilkan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
dilaksanakan melalui tahapan yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, salah satunya melalui musrenbang, baik
musrenbang jangka panjang nasional, musrenbang jangka menengah
nasional, maupun musrenbang perencanaan tahunan.
RPJP memuat visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk
periode 20 (dua puluh) tahun. Dokumen ini lebih bersifat visioner dan
hanya memuat hal-hal yang mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang
cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya.
RPJM Nasional adalah rencana pembangunan nasional untuk periode
5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program
prioritas Presiden yang disusun dengan berpedoman pada RPJP.
6
RPJM Nasional, dan RKP beserta dokumen turunannya (Renja K/L dan
Renja SKPD). RPJM Nasional adalah rencana pembangunan Nasional
untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan program prioritas Presiden yang disusun berpedoman pada RPJP.
Sementara itu, RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, yang
memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro,
rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat.
Tuntutan publik terhadap pemerintah demikian banyak jumlah
dan beragam jenisnya, mulai dari lahir sampai mati, mulai dari hal-hal
yang besar sampai hal-hal terkecil dalam pemenuhan kebutuhan
mendasar. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan sejumlah prioritas
Gambar 1.1 Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan
Daerah
7
kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan;
(5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha;
(8) energi; (9) lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal,
terdepan, terluar, dan paska konflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas,
dan inovasi teknologi. Prioritisasi terhadap program pembangunan
nasional ini sangat penting karena keterbatasan anggaran yang untuk
membiayai (costing) program-program tersebut (Sumariyandono,
2014).
memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia. Prinsip utama dalam
kegiatan perencanaan dan penganggaran adalah menyusun dan
menganggarkan prioritas kegiatan yang disepakati dengan tidak
melebihi kapasitas fiskal yang bersangkutan (Ibid: 38). Prioritas itulah
kata kunci yang dijadikan pertimbangan dalam melaksanakan
perencanaan dan penganggaran. Hal ini mengingat bahwa organisasi
memiliki sumber daya (resources) yang sangat terbatas baik sumber
daya manusia (SDM), peralatan (sarana-prasarana) dan terlebih lagi
sumber daya keuangan/fiskal.
Sistem dan mekanisme penganggaran era reformasi yakni sejak
terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 telah mengalami sejumlah perubahan
yang mendasar, salah satunya adalah bahwa penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman pada
RKP. RKP tidak lagi memuat daftar panjang usulan kegiatan K/L yang
selama ini dianggap sebagai “daftar keinginan” yang belum tentu dapat
dilaksanakan. Sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP disusun dengan
mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran yaitu penerapan
8
terpadu, dan penerapan penganggaran berbasis kinerja.
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional yang memuat
rancangan kerangka ekonomi makro, termasuk di dalamnya memuat arah
kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, serta rencana kerja
dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah
maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Sementara, Rencana Kinerja (Renja) K/L disusun dengan
berpedoman pada Renstra K/L dan mengacu pada prioritas pembangunan
nasional dan pagu indikatif. Renja K/L memuat kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah
maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Program
dan kegiatan tersebut disusun dengan pendekatan berbasis kinerja,
kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.
Program terdiri dari kegiatan berupa: (1) kerangka regulasi yang
bertujuan untuk memfasilitasi, mendorong, maupun mengatur kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat; dan/atau (2)
kerangka pelayanan umum dan investasi Pemerintah yang bertujuan untuk
menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan masyarakat. K/L
yang fungsinya mengatur dan/atau melaksanakan pelayanan langsung
kepada masyarakat, menyusun standar pelayanan minimum berkoordinasi
dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN),
Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait.
Di lingkup pemerintah daerah, RKPD merupakan penjabaran dari
RPJMD dan mengacu kepada RKP. RKPD memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah
maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Selanjutnya, Kementerian Perencanaan melaksanakan Musrenbang
untuk menyelaraskan antar Renja K/L dan antara kegiatan dekonsentrasi
9
rancangan RKPD. Hasil Musrenbang digunakan untuk memutakhirkan
Rancangan RKP.
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga,
RKA-KL terdiri dari Renja K/L dan anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan rencana kerja tersebut.
Di dalam Renja K/L diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program,
hasil yang diharapkan, kegiatan, dan keluaran yang diharapkan. Dalam
anggaran yang diperlukan, diuraikan biaya masing-masing program dan
kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut
jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan
sasaran pendapatan K/L yang bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh
kegiatan satuan kerja di lingkungan K/L termasuk kegiatan dalam rangka
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
a. Pendekatan Penyusunan Anggaran
penganggaran berbasis kinerja, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1) Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
KPJM digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara
berkelanjutan. K/L mengajukan usulan anggaran untuk membiayai
program dan kegiatan dalam tahun anggaran yang direncanakan
dan menyampaikan prakiraan maju yang merupakan implikasi
kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut
pada tahun berikutnya. Prakiraan maju yang diusulkan K/L
disetujui oleh Presiden dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden
tentang Rincian APBN untuk menjadi dasar bagi penyusunan
10
setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
2) Pendekatan Penganggaran Terpadu
mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran
di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen RKA-KL dengan
klasifikasi anggaran belanja menurut organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
struktur organisasi K/L. Klasifikasi menurut fungsi dan subfungsi
dilakukan sesuai dengan Lampiran I PP No. 21 Tahun 2004.
Klasifikasi menurut program dan kegiatan ditetapkan oleh Menteri
PPN/Kepala Bappenas berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga. Sedangkan,
Klasifikasi menurut rincian jenis belanja dilakukan sesuai dengan
Lampiran II PP No. 21 Tahun 2004. Perubahan terhadap klasifikasi
menurut organisasi, fungsi, sub fungsi dan rincian jenis belanja
tersebut ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
3) Penganggaran Berbasis Kinerja
dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian
hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis
kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi
kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Tingkat kegiatan
yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada
permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi dasar
untuk menentukan anggaran pada tahun anggaran yang
direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang
bersangkutan.
11
Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum
maupun yang bersifat khusus bagi Pemerintah Pusat. Tingkat
kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan
pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi
dasar untuk menentukan anggaran pada tahun anggaran yang
direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang
bersangkutan.
Pertemuan Tiga Pihak merupakan sebuah forum pembahasan
bersama yang dilakukan antara Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, dan K/L untuk konsolidasi dan penajaman
Prioritas Nasional berikut pendanaan yang diperlukan dalam rangka
melaksanakan prioritas-prioritas tersebut. Selanjutnya, hasil
pembahasan ini akan dituangkan secara konsisten dalam RKP dan
Renja K/L.
surat yang disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu
mengenai pagu indikatif. Renja K/L disusun berdasarkan pendekatan
berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan
penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan.
Beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya
kegiatan Pertemuan Tiga Pihak ini adalah:
1) meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan K/L terkait dengan
pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang
akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kebijakan belanja;
perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM,
RKP, Renja K/L dan RKA-KL;
3) mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu
dilakukan terhadap Rancangan Awal RKP.
Pelaksanaan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting)
dilakukan melalui proses/mekanisme sebagai berikut:
Gambar 1.2. Mekanisme Pertemuan Tiga Pihak
Kegiatan yang dilakukan dalam Pertemuan Tiga Pihak meliputi
tahapan sebagai berikut:
menyampaikan Sasaran Prioritas Pembangunan Nasional dan
13
termasuk Inisiatif Baru yang disetujui;
2) Kementerian Keuangan menyampaikan kebijakan anggaran yang
meliputi kebijakan di bidang belanja negara, kelompok biaya, jenis
belanja, dan satuan biaya. Di samping itu, Kementerian Keuangan
juga memberikan masukan atas kepatutan penggunaan anggaran
dan pelaksanaan efisiensi yang dapat dilakukan oleh K/L;
3) K/L menyampaikan arah kebijakan, rencana program dan kegiatan
prioritas yang merupakan penjabaran dari Renstra K/L.
Dalam pelaksanaan Trilateral Meeting diharapkan
menghasilkan suatu dokumen kesepakatan yang bersifat mengikat 3
(tiga) pihak dan berisikan butir-butir kesepakatan. Apabila terdapat
ketidaksepakatan antara 3 (tiga) pihak, maka dapat diambil alternatif
tindakan sebagai berikut:
1) Alternatif pertama
dengan memperhatikan prinsip musyawarah untuk mencapai
mufakat;
dokumen kesepakatan Pertemuan Tiga Pihak dan tidak perlu untuk
diputuskan dalam forum ini. Apabila dirasakan sangat perlu untuk
mendapatkan putusan atas perbedaan yang ada, maka dapat
dilakukan alternatif berikutnya;
3) Alternatif ketiga
untuk diputuskan dapat dibawa dan diputuskan di tingkat yang
lebih tinggi (eselon I). Namun demikian, dalam hal ini perlu
memperhatikan keterbatasan waktu yang tersedia untuk
menyusun Renja K/L.
Lembaga
penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal
itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain
adalah:
untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran
nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional.
Mencermati susunan dokumen perencanaan mulai dari RPJP,
RPJMN, Renstra, RKP, Renja K/L sampai dengan tersusunnya RKA-KL
sesungguhnya merupakan sebuah rangkaian yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Keterkaitan antar dokumen perencanaan dari yang
paling makro sampai mikro merupakan kesatupaduan yang juga harus
dilaksanakan secara terpadu oleh setiap tingkatan pemerintahan baik
pusat maupun daerah.
K/L menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam menjamin
adanya keterkaitan antara program yang dijalankan pada satu kementerian
dengan yang lainnya. Sinergitas pelaksanaan program pembangunan yang
terjaga dengan baik akan dapat mengurangi terjadinya overlapping antar
K/L.
urusan yang dilaksanakan memang menjadi kewenangannya. Hal lain yang
menyebabkan terjadinya tumpang tindih tersebut karena kedudukan
Menteri PPN/Kepala Bappenas yang setara dengan K/L lainnya sehingga
tidak dapat menegur apabila terjadi hal-hal sebagaimana tersebut.
15
anggaran tidak lagi berada di bawah pengendalian Bappenas namun di
bawah Ditjen Anggaran. Selain itu, kegiatan trilateral meeting yang
dilaksanakan dalam rangka penyusunan Renja K/L yang pada gilirannya
akan melahirkan RKA-KL dinilai belum mampu menunjukkan hasil yang
sesuai harapan. Proses trilateral meeting dinilai hanya sarana normatif
guna memenuhi peraturan perundangan, sementara dampaknya belum
terlihat dalam penataan program, kegiatan dan anggaran K/L.
2. belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap
tahunnya.
bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja K/L
dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan
dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras.
Mengutip pendapat Dian P.N. Simatupang (2014), penyebab
munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya ill-
structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang
begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi. Dalam
konteks perencanaan dan penganggaran, kondisi ill-structured problems
tersebut menyebabkan beberapa hal berikut : (1) tujuan bernegara yang
belum dipahami sebagai tujuan keuangan negara; (2) perencanaan yang
tidak sinkron dengan penganggaran; serta (3) latar belakang pengambilan
keputusan atas perencanaan dan penganggaran yang termuat dalam
Undang-Undang tentang APBN, kurang memiliki latar belakang rasionalitas
yang dapat dipertanggungjawabkan legitimasinya. Konsekuensinya,
pemerintah mengalami kerumitan dalam mewujudkan tujuan bernegara,
karena implementasi pembangunan tidak berjalan sesuai dengan
16
perencanaannya, atau setidaknya penganggaran kurang dilandasi dengan
rasionalitas perencanaan yang kuat. Padahal, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
mengamanatkan tujuan penganggaran adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara
mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focussed group discussion
(FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di
daerah dan perguruan tinggi.
Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki
keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan
pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas
Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas
Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian
ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas,
Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L
lainnya.
permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan
menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan
(2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang
terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan
pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokok-
pokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini.
17
Secara konseptual, Mintzberg mendefinisikan perencanaan sebagai
pemikiran tentang masa depan, pengendalian masa depan, pengambilan
keputusan, dan integrasi pengambilan keputusan (1994: 7-9). Terkait definisi
perencanaan sebagai pemikiran tentang masa depan, Bolan (1974)
sebagaimana dikutip Mintzberg menyatakan bahwa perencanaan
menunjukkan tentang berpikir masa depan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sawyer (1983) yang menyatakan bahwa perencanaan adalah tindakan yang
ditata di awal.
secara informal dan dilakukan beberapa menit sebelumnya. Dalam hal
pengendalian masa depan, Weick (1979), sebagaimana dikutip Mintzberg
(1994), perencanaan adalah desain masa depan yang diinginkan dan cara
efektif untuk melaksanakan hal tersebut. Sejalan dengan hal itu, Ackoff (1970)
berpendapat bahwa orang lain mengekspresikan beberapa pemikiran ketika
mereka mendefinisikan tujuan perencanaan sebagai “menciptakan perubahan
yang terkendali dalam lingkungan”.
sebagaimana dikutip Mintzberg (1994: 8), menyatakan bahwa perencanaan
sebagai penentuan secara sadar tindakan yang dirancang untuk mencapai
tujuan. Menurut Koontz, segala sesuatu dimulai dengan perencanaan,
kemudian memutuskan.
sebagaimana disampaikan Ackoff (1970) dalam Mintzberg (1994:9) sebagai
berikut:
“Planning is required when the future state that we desire involves a set
of interdependent decisions; that is, a system of decisions…the principal
complecity in planning deries from the interrelated-ness of the decisions
rather than from the decisions themselves”.
Perencanaan diperlukan jika keadaan masa depan yang kita inginkan
melibatkan 1 (satu) set keputusan yang saling keterkaitan, yaitu, sistem
keputusan .... kompleksitas utama dalam perencanaan berasal dari
keterkaitan keputusan bukan dari keputusan itu sendiri. Jelas sekali
bahwa perencanaan berkaitan dengan berbagai keputusan yang saling
terintegrasi antara satu dengan yang lain.
Dalam konteks perencanaan, perencanaan pembangunan dimaknai
sebagai pemrograman suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan
nasional dengan menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar
(Myrdal, dalam Bappenas 2010). Sedangkan, menurut Kartasasmita (Bappenas,
2010) perencanaan pembangunan diartikan sebagai pendekatan manajemen
stratejik secara lebih eksplisit dalam menyusun rencana pembangunan, dengan
menggunakan konsep visi, misi dan agenda, serta instrumen kebijakan dalam
berbagai stratifikasi. Rumusan perencanaan pembangunan diperkaya dengan
perencanaan di bidang politik dan hukum serta diperkuat dengan
menempatkannya sebagai bidang pembangunan tersendiri. Sedangkan
pemikiran pembangunan perekonomian berdasarkan pada paradigma
ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat.
19
Permasalahan disharmonisasi perencanaan dan penganggaran
disebabkan oleh adanya ill-structured problems sebagaimana diuraikan di atas,
sehingga perlu dibangun upaya untuk mewujudkan keterpaduan antara sistem
perencanaan dan penganggaran dalam kerangka pembangunan nasional.
Upaya dimaksud diwujudkan dalam bentuk penataan kembali atau reposisi
terhadap perencanaan dan penganggaran pembangunan, baik secara
perspektif sistem perencanaan maupun perspektif HAN. Reposisi tersebut
meliputi: (1) reposisi sistem dan tindakan hukum (rechshandelingen) tugas dan
fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; (2)
reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antar-wewenang
instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; serta (3)
reposisi sistem dan kedudukan hukum (rechstatus) kelembagaan instansi yang
melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran. Lebih lanjut mengenai
masing-masing reposisi sebagaimana diuraikan sebagaimana berikut ini.
1. Pendekatan reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen)
antar wewenang instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
tetap mempertahankan kelembagaan yang menangani tugas dan fungsi
perencanaan dan penganggaran. Dalam konsep ini, yang perlu diubah atau
diperbaiki adalah hubungan kerja antarlembaga yang selalu dibatasi
dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan atau wewenang itu
sendiri merupakan hak dan kekuasaan untuk bertindak; serta kekuasaan
untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung
jawab kepada orang lain. Dengan kata lain, pendekatan ini dapat
disederhanakan: lembaga tetap seperti saat ini, serta fungsi dan tugas
organisasi tetap, tetapi hubungan wewenang perlu diperbaiki.
20
peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Namun, terkadang
timbul permasalahan pelaksanaan kewenangan dalam hubungan kerja
dengan lembaga lain. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal (Ditjen)
Anggaran Kementerian Keuangan mempunyai kewenangan untuk merevisi
usulan anggaran yang disampaikan K/L. Namun, timbul pertanyaan,
apakah keputusan yang diambil tersebut sesuai dengan yang diharapkan?
Demikian pula Bappenas yang memiliki kewenangan untuk mengoreksi
program/kegiatan yang termuat dalam perencanaan jangka
pendek/tahunan. Patut dipertanyakan, sejauhmana kewenangan tersebut
dilaksanakan dalam hubungannya dengan instansi lain. Hal ini kiranya
menarik untuk dikaji dalam rangka mewujudkan keterpaduan sistem
perencanaan-penganggaran.
dan fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
untuk mempertahankan kelembagaan dan wewenang yang dimilikinya,
namun perlu melakukan perubahan dalam hal tugas dan fungsinya
(lembaga tetap, wewenang tetap, serta fungsi dan tugas berubah). Tugas
adalah sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk
dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau
pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan tugas pokok adalah sasaran utama
yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Adapun fungsi adalah
jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan ini
bermaksud meletakkan pekerjaan perencanaan dan penganggaran ini
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sebagai contoh, tugas
perumusan perencanaan pembangunan nasional selama ini melekat pada
setiap K/L/Daerah (K/L/D) dengan dipayungi oleh Bappenas sebagai
21
pembangunan nasional, dari perencanaan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Oleh karenanya, dapat dikatakan instansi
yang memiliki tugas pokok di bidang perumusan perencanaan
pembangunan nasional di Indonesia adalah Bappenas. Sementara itu, tugas
pokok pengelolaan keuangan negara anggaran melekat pada Kementerian
Keuangan, yang dalam konteks anggaran adalah penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN).
Persoalannya, bagaimanakah agar tugas dan fungsi tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini berhubungan erat dengan
pendekatan pertama –-- hubungan wewenang antarlembaga –--
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh: dalam penyusunan
anggaran, sejauhmana Ditjen Anggaran Kemenkeu melakukan perumusan
kebijakan terkait penyusunan anggaran. Penyusunan anggaran/RAPBN
terkait dengan dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun
oleh Bappenas. Pertanyaannya, apakah memungkinkan Ditjen Anggaran
Kemenkeu memperluas/mereposisi tugas dan fungsi tersebut?
3. Pendekatan reposisi sistem dan kedudukan hukum (rechstatus)
kelembagaan/instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
kelembagaan yang menangani fungsi perencanaan dan penganggaran.
Penataan kelembagaan semacam ini dengan sendirinya akan mengubah
hubungan wewenang antar lembaga dan tusi organisasinya.
Berbagai rekomendasi penataan kelembagaan bidang perencanaan
dan penganggaran telah disampaikan ke publik, yang terakhir adalah
rekomendasi LAN (2014) agar fungsi perencanaan dan penganggaran
dilaksanakan oleh Kantor Kepresidenan Urusan Perencanaan dan
22
kepresidenan, sebagaimana yang telah berlaku di Amerika Serikat.
C. Perspektif Akuntabilitas
negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akuntabilitas berarti
bahwa setiap program dan kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kinerja atau hasilnya kepada rakyat selaku pemegang
kedaulatan. Dengan demikian, setiap program dan kegiatan pada setiap
instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kinerja atau manfaat
yang dihasilkan kepada masyarakat. Hal tersebut juga sejalan dengan
penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang
mengamanatkan kinerja berorientasi pada hasil sebagai asas pengelolaan
keuangan negara.
sebagai alat akuntabilitas. Sejalan dengan hal itu, Undang-Undang ini juga
menegaskan perlunya mengintegrasikan sistem akuntabilitas kinerja ke dalam
sistem penganggaran, untuk menghindari terjadinya duplikasi laporan yang
menimbulkan inefisiensi waktu dan biaya. Kebijakan lain yang selaras dengan
hal tersebut adalah PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Pemerintah, sebagai turunan dari UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Peraturan Pemerintah tersebut mengamanatkan
bahwa sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus terintegrasi
dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan dan
sistem akuntansi pemerintah.
suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi
melalui pengembangan kinerja aspek-aspek yang menunjang keberadaan suatu
organisasi. Pada implementasinya, manajemen kinerja tidak hanya
23
mendukung jalannya suatu organisasi.
penganggaran, dan manajemen kinerja, baik dalam hal struktur dan kerangka
logis kinerja, istilah dan definisi, jenis dan format formulir, penanggung jawab
kinerja organisasi; dan aplikasi pengolahan data dan informasi kinerja. Tidak
ada benang merah antara perencanaan kinerja dengan penganggaran, sehingga
apa yang akan dicapai sering kali tidak sinkron dengan uang yang tersedia.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas memunculkan dua isu strategis,
yaitu:
Instansi Pemerintah (LAKIP) pada tingkat kementerian/lembaga belum
berorientasi pada hasil/outcome, serta belum dapat menjawab target
prioritas RPJMN karena tidak tersedia informasi hasil dalam Laporan
Kinerja masing-masing K/L;
dokumen perencanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi, serta
pelaporan keuangan dan kinerja.
pada hasil (outcome), peningkatan akuntabilitas kinerja instansi K/L, dan
mengurangi duplikasi dalam penyusunan dokumen dan pelaporan sehingga
diharapkan dapat menyederhanakan form dan laporan, menciptakan efisiensi,
penganggaran dan pelaporan yang lebih mudah, serta data dan informasi yang
terintegrasi. Dengan terlaksananya hal-hal tersebut, kinerja instansi
pemerintah yang selama ini belum berorientasi hasil dan belum terukur dapat
berubah menjadi kinerja yang terukur.
Ruang lingkup penyelarasan penganggaran dan manajemen kinerja
adalah:
24
2. Pengintegrasian dokumen dan data pelaporan, yang meliputi pada
penyederhanaan dokumen perencanaan, format dokumen pelaporan dan
evaluasi serta penanggung jawab kinerja pada tingkatan organisasi yang
digunakan dalam sistem perencanaan dan manajemen kinerja.
Pengintegrasian informasi dilakukan dengan melakukan penyelarasan
informasi kinerja yang ada pada dokumen-dokumen dalam ketiga sistem
tersebut sesuai dalam ilustrasi gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Perencanaan setelah Pengintegrasian
Gambar tersebut menjelaskan sebagai berikut.
1. Dokumen Perencanaan Jangka Menengah: RPJM Nasional dan Rencana
Strategis Kementerian/ Lembaga (Renstra K/L);
2. Dokumen Perencanaan Tahunan : Rencana Kerja dan Keuangan K/L yang
merupakan pengintegrasian dokumen tahunan yang ada yaitu: RKP,
Rencana Kerja Tahunan (RKT), Renja K/L, RKA K/L, Penetapan Kinerja
(PK) dan Daftar Isian Pagu Anggaran (DIPA);
25
Akuntabilitas Kinerja, Monev Rencana Kerja Pembangunan dan Monev
Rencana Kerja Anggaran.
Laporan Keuangan Instansi, Laporan Keuangan Pemerintah.
26
27
PENGANGGARAN
merupakan hal yang baru dalam konteks efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan. Beberapa penelitian/kajian terkait dengan persoalan dimaksud
telah dilakukan oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun
nonpemerintah, di antaranya:
Kajian ini dilakukan oleh Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan
Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada
tahun anggaran 2013. Kajian berawal dari masalah postur kelembagaan
pemerintah pusat saat ini yang bisa dikatakan masih belum mencerminkan
kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan
beban kerja organisasi. Keberadaaan UU No. 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara yang sudah efektif dijalankan sejak Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) II masih belum bisa menghadirkan suatu potret
kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan fungsi, efisien, dan efektif.
Bahkan jumlah kelembagaan pemerintah mengalami penambahan secara
signifikan, terutama untuk Lembaga Non Struktural (LNS).
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yang telah dilakukan,
maka arah penataan dalam mendesain kelembagaan pemerintah pusat,
adalah sebagai berikut:
7 Hasil kajian dari Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Lembaga
Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada tahun anggaran 2013
28
kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan
beban kerja organisasi yang ideal. Walupun dengan telah adanya UU
No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang telah dijalankan
sejak Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB ke II), tampak masih belum bisa
menghadirkan suatu potret kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan
fungsi, efisien, dan efektif. Hal ini terlihat dari pembesaran struktur,
perubahan nomenklatur, banyaknya tumpang tindih dan duplikasi
tugas dan fungsi, sampai pada pembentukan lembaga-lembaga baru
yang cukup signifikan;
mampu menjawab tantangan perubahan dan permasalahan tersebut,
ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama yaitu mandat
konstitusi, tantangan lingkungan strategis, pergeseran dalam wacana
pengelolalaan kepemerintahan (governance issues), kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, dan penataan kelembagaan yang
efektif dan efisien (machinery government)
Berdasarkan hal tersebut, maka kajian desain kelembagaan
pemerintah pusat ini memberikan arah penataan dengan menghasilkan
rekomendasi terhadap arsitektur kabinet untuk pemerintahan periode
2014-2019, sebagai berikut :
Kementerian
Portofolio
(Departemen)
Anggaran. Dari kegiatan tersebut, Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber
Daya Aparatur (PIKSA) LAN kemudian melakukan seminar nasional
“Arsitektur Kabinet 2014-2019: Meretas Jalan Pemerintahan Baru” dan
mengajukan tiga opsi penataan kabinet pasca Pilpres 2014 yang meliputi
opsi ideal, moderat, dan soft.
Dari ketiga alternatif kabinet di atas, integrasi perencanaan dan
penganggaran terlihat pada usul pembentukan Kantor Kepresidenan yaitu
Kantor Urusan Pembangunan Nasional (Perencanaan dan Anggaran).
2. Kajian Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran8
Kajian sinergitas perencanaan dan penganggaran merupakan
kajian yang dilakukan oleh Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas.
Metode yang digunakan kajian ini adalah Regulatory Impact Assesment
(RIA), yaitu suatu metode yang menilai secara sistematis, komprehensif
dan partisipatif dampak positif dan negatif adanya suatu kebijakan
(regulasi atau non regulasi) maupun rancangan kebijakan yang akan
ditetapkan.
nasional;
daerah; maupun
perencanaanpembangunan daerah
31
ini, disusun 4 (empat) alternatif kebijakan, yaitu:
a. Alternatif Kebijakan I :
b. Alternatif Kebijakan II :
Konstruksi regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan upaya
peningkatan kualitas perencanaan pembangunan dan penganggaran.
c. Alternatif Kebijakan III :
Tata aturan regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan
harmonisasi dan perbaikan rumusan substansi peraturan.
d. Alternatif Kebijakan IV :
yang menjadi payung peraturan di bidang perencanaan pembangunan
dan penganggaran.
terdapat permasalahan sinergitas perencanaan pembangunan dan
penganggaran pada ketiga level sebagaimana disampaikan di atas.
Permasalahan yang telah diidentifikasi disebabkan oleh berbagai hal
sebagai berikut:
penganggaran belum menjadi satu kesatuan yang sistemik serta
diatur dalam banyak peraturan yang terpisah bahkan di antaranya
ada yang bertentangan;
2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
pula perencanaan pembangunan dan penganggaran (di daerah).
Sayangnya pengaturan perencanaan pembangunan dan
penganggaran pada UU No. 32 Tahun 2004 tersebut pada beberapa
32
ketentuannya bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 dan UU
No. 25 Tahun 2004.
3) UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 menggunakan
pendekatan perencanaan sektoral dan regional, sedangkan UU No.
32 Tahun 2004 menggunakan pendekatan kewenangan/
konkruensi.
4) Terdapat beberapa rumusan kalimat dalam UU No. 17 Tahun 2003
dan UU No. 25 Tahun 2004 yang menimbulkan interpretasi yang
beragam (multi interprestasi) dan sulit dipahami oleh stakeholders.
5) Tidak ada muatan sanksi (administratif) bagi pihak-pihak yang
tidak mengikuti Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
6) Tidak ada peraturan yang lebih tinggi di atas Undang-Undang yang
dapat menjadi perekat perencanaan pembangunan dan
penganggaran dan yang dapat menyelesaikan pertentangan dan
perbedaan penafsiran antar Undang-Undang. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, memiliki landasan hukum yang sangat
lemah hanya diatur melalui Undang-Undang yang mudah berubah
seiring dengan pergantian Presiden dan DPR. Demikian pula halnya
dengan Rencana Kerja Pemerintah hanya diatur dengan Peraturan
Presiden, padahal APBN diatur dengan Undang-Undang.
7) Kelembagaan penyusunan perencanaan dan penganggaran
terpisah. Di tingkat pusat fungsi koordinasi penyusunan
perencanaan pembangunan nasional ada di Kementerian
PPN/Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran ada di
Kementerian Keuangan. Apapun yang direncanakan, keputusan
akhir ada di anggaran. Di tingkat Daerah, peran Kementerian Dalam
Negeri dalam proses perencanaan pembangunan daerah dan
33
pembangunan dilakukan melalui Ditjen Bangda, sedangkan dalam
penganggaran melalui Ditjen Keuangan Daerah. Namun antara
Ditjen Bangda dan Ditjen Keuangan Daerah, belum ada koordinasi
yang baik.
perencanaan pembangunan dan penganggaran, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian belum maksimal dalam
mengkoordinasikan lembaga perencanaan pembangunan
(Kementerian Keuangan). Berbeda dengan Amerika Serikat, di
mana perencanaan pembangunan dan penganggaran ada pada satu
lembaga yakni, Office of Management and Budget (OMB).
b. Legal Substance, meliputi :
tajam mengarah pada upaya mencapai tujuan pembangunan. Di
mana permasalahan utama yang muncul adalah tidak adanya
prioritas yang jelas (prioritas pembangunan dalam dokumen
perencanaan poembangunan sangat banyak dan tidak focus) serta
program K/L yang tidak mengarah pada pencapaian program
nasional.
dapat berbeda dengan Program Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Ada Program Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional yang tidak dimuat/dilaksanakan oleh Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana. Kementerian/
34
PPN/Bappenas hanya sedikit.
tandingan seperti Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011- 2025, dan berbagai
Rencana Aksi Nasional.
Pembangunan Jangka Panjang maupun Rencana Pembangunan
Jangka Menengah untuk mengubah rencana berdasarkan
kebutuhan dan perubahan lingkungan strategis.
6) Periodisasi pemilihan kepala daerah berbeda/tidak bersamaan
antar daerah sehingga periodesasi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah menjadi tidak bersamaan antar daerah yang
menyebabkan pula berbedanya substansi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
kurang memadai.
lembaga pemerintah. Koordinasi Kementerian PPN/Bappenas
dengan Kementerian Keuangan yang belum terlaksana dengan baik.
Bahkan koordinasi Ditjen Bangda (Perencanaan) dan Ditjen
Keuangan Daerah (APBD) yang berada dalam satu lembaga
(Kementerian Dalam Negeri) belum terlaksana dengan baik.
35
2) Kepentingan Politik DPR (Legislative Heavy), dimana saat ini DPR
turut berperan menentukan kebijakan teknis dan operasional,
seperti turut menentukan kegiatan dan costing.
3) Masih rendahnya SDM perencana baik di tingkat pusat maupun
daerah yang menyebabkan kualitas perencanaan pembangunan
dan penganggaran tidak memadai dalam mencapai tujuan
pembangunan.
Kementerian/Lembaga, dan masyarakat yang belum efektif.
Akibat yang ditimbulkan dengan tidak adanya sinergitas
perencanaan pembangunan dan penganggaran tersebut berdampak pada
a. tidak efektifnya perencanaan pembangunan dalam mencapai tujuan
Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945;
dan
Sebagai contoh bukti nyata dampak sebagaimana tersebut di atas
tercermin dalam hasil penelitian Rini Octaviani9 yang memetakan
konsistensi perencanaan dan penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan
Menengah di Kabupaten Solok Selatan. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa:
b. hanya 75% Renstra Dinas Pendidikan yang sinkron dengan RPJMD;
c. hanya 60% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang
Pendidikan Dasar; dan
d. hanya 25% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang
Pendidikan Menengah.
9 Rini Octaviani, Analisa Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Solok Selatan, Universitas Andalas, 2008.
36
alternatif terbaik dari alternatif kebijakan yang ada. Opsi yang diambil
adalah alternatif kebijakan yang mempunyai manfaat terbesar, yaitu
menghitung semua manfaat dikurangi semua biaya.
Kesimpulan dari kajian ini adalah dari berbagai alternatif kebijakan
yang ada, alternatif yang terpilih adalah alternatif II, yaitu “konstruksi
regulasi tetap saat ini, tetapi perlu melakukan upaya peningkatan kualitas
perencanaan dan penganggaran”.
Pekerjaan Umum Berbasis SAKIP dengan Reformasi Sistem
Perencanaan dan Penganggaran.10
Pekerjaan Umum yang selama ini dilakukan telah sejalan dengan kebijakan
reformasi sistem perencanaan dan penganggaran yang dilakukan
pemerintah.
diterapkan berdasarkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 07 Tahun 2009. Sistem perencanaan
tersebut mewajibkan instansi pemerintah untuk menerapkan penyusunan
Rencana Strategis (Renstra) dan evaluasinya berupa Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) secara berjenjang sampai dengan
Tingkat Eselon II.
tersebut belum mengatur mengenai komponen sistem dan materi
substansial dari kedua pedoman tersebut secara berjenjang sesuai dengan
10
37
tersebut juga belum menggambarkan keterkaitan yang jelas dengan sistem
perencanaan dan penganggaran berdasarkan dokumen Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Implikasinya adalah sulit untuk mengukur
akuntabilitas kinerja dan hasil pembangunan dalam rangka pencapaian
sasaran nasional maupun kementerian. Pengukuran kinerja berbasis
program juga masih sulit diukur sehingga akuntabilitas dan efisiensi
penggunaan anggaran belum terlihat.
mengalami reformasi dengan ditetapkannya Undang-undang No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua peraturan
perundang-undangan tersebut melandasi sistem perencanaan dan
pemrograman namun mempunyai landasan filosofi yang berbeda sehingga
diperlukan keselarasan dokumen perencanaan dan penganggaran yang
diturunkan dari kedua undang-undang tersebut beserta turunannya yaitu:
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga, serta
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.
Hal yang perlu diperhatikan dari sistem ini adalah masih belum
dapat diterapkan sepenuhnya pengintegrasian program yang bersifat lintas
K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran
nasional serta penjabaran program Eselon I dalam mendukung pencapaian
sasaran kementerian maupun nasional. Permasalahan lainnya adalah
belum konsistennya pemrograman dan penganggaran setiap tahunnya
melalui Konsultasi Regional (Konreg) karena dokumen Renstra dan
38
dilakukan sinkronisasi program.
perencanaan harus memperhatikan arahan di dalam UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara berkenaan dengan penerapan
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Berjangka
Menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan amanat tersebut
menegaskan agar penyusunan strategi pembangunan nasional juga
memperhitungkan kerangka pendanaan, merupakan wujud dari salah satu
tujuan UU No. 25 Tahun 2004 menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Ke depan, anggaran Negara baik pusat maupun daerah menjadi
anggaran berbasis kinerja, yaitu anggaran yang dihitung dan disusun
berdasarkan perencanaan kinerja. Untuk itu diperlukan kajian kinerja
penyelenggaraan pembangunan bidang pekerjaan umum melalui
pengembangan SAKIP berbasis arsitektur program, dalam upaya
menyiapkan materi pengembangan perencanaan dan program
pembangunan bidang pekerjaan umum.
PPN/Kepala Bappenas dengan Menkeu menyusun buku pedoman sebagai
acuan dalam penerapan reformasi perencanaan dan penganggaran bagi
seluruh K/L, yang tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menneg PPN/Ka
Bappenas (0142/M.PPN/06/2009) dan Menkeu (SE 1848/MK/2009)
tanggal 19 Juni 2009 tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan
Penganggaran, yang terdiri atas :
b. Pedoman Penerapan Pengangaran Berbasis Kinerja (PBK)
39
bidang pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem
perencanaan dan penganggaran meliputi :
Envelope;
Program dan Kegiatan;
b. Materi muatan (implementasi) perencanaan pembangunan bidang
pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem
perencanaan dan penganggaran diwujudkan dalam semua dokumen
perencanaan pembangunan Kementerian Pekerjaan Umum, yang
meliputi :
perencanaan 5 tahun;
perencanaan 1 tahun;
waktu perencanaan 1 tahun;
5) Laporan Keuangan.
dalam Perspektif Stakeholders.11
mendapatkan informasi perspektif kementerian/lembaga dan Bappeda
11
mengenai pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004 dan untuk mengetahui
kendala pelaksanaannya serta mendapatkan saran dan solusi atas
permasalahan yang ada.
ternyata masih terdapat banyak permasalahan. Undang-undang yang
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penyusunan perencanaan di
tingkat pusat dan daerah ternyata masih menghadapi berbagai
permasalahan dan tantangan yang antara lain dapat kita bagi dari sisi
terpisahnya proses perencanaan dan penganggaran, permasalahan proses
perencanaan di antar kementerian/lembaga dan permasalahan proses
perencanaan di pusat dan di daerah.
a. Permasalahan dari segi perencanaan dan penganggaran
Permasalahan utama dalam perencanaan adalah terpisahnya
antara perencanaan dan penganggaran. Dalam Pasal 8 poin a, b, c UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa
dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro, menyusun rancangan APBN dan rancangan
Perubahan APBN dan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.
Pasal 12 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
Penyusunan Rancangan APBN yang disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara, berpedoman kepada RKP dalam
rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam Penjelasan
UU No. 17 Tahun 2003, fungsi perencanaan cenderung dihilangkan.
Setahun kemudian, UU No. 25 Tahun 2004 berupaya mendorong fungsi
perencanaan. Dari sini terlihat bahwa undang-undang perencanaan dan
penganggaran yang ditetapkan terpisah dan saling mengisolasi (Jón R.
41
Indonesia”, OECD 2009).
Permasalahan yang dihadapi K/L dalam proses penyusunan
perencanaan pembangunan antara lain disebabkan oleh peraturan
pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2004 yang kurang jelas. Turunan UU
No. 25 Tahun 2004 adalah PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP
No. 40 Tahun 2006 tentang Rencana Penyusunan Pembangunan
Nasional.
proses perencanaan di K/L:
kemungkinan yang bisa disinkronkan adalah rencana kerja yang
levelnya di bawah RKP/RKPD yaitu Renja Kementerian/Lembaga
dengan Renja SKPD walaupun hal ini juga mengalami kendala.
Praktek dalam pelaksanaan Musrenbang yang sering dialami oleh
Kementerian/Lembaga adalah, materi yang dibahas bukan
mengenai RKP dan RKPD namun cenderung kepada kegiatan
dekonsentrasi/tugas pembantuan yang dirancang K/L yang
disandingkan dengan kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan
yang diusulkan oleh daerah.
nasional K/L masuk ke dalam daftar persandingan (long list) dan
hanya masuk dalam short list. Seleksi short list dari long list hanya
berdasar kegiatan prioritas nasional K/L yang mendapatkan
alokasi anggaran besar saja yang masuk short list. c. Permasalahan
lainnya yang dihadapi oleh K/L adalah kualitas Renja K/L yang
dihasilkan tidak maksimal. Kualitas penyusunan Renja K/L
42
dalam penyusunan Renja K/L, aplikasi Renja K/L yang berubah
setiap tahun serta keterbatasan waktu sejak masuknya Renja K/L
ke Bappenas ke penyelenggaraan Musrenbangnas padahal materi
yang disiapkan Bappenas bersumber dari Renja K/L yang
kualitasnya kurang baik.
sektoral cenderung berkurang dan memberikan peluang lebih besar
dalam proses ‘bottom up planning’.
c. Permasalahan Perencanaan di Pusat dan di Daerah
Permasalahan juga ditemukan dalam sinkronisasi antara
perencanaan pembangunan di pusat dan di daerah. Banyak
ketidakselarasan siklus perencanaan pembangunan antara pusat dan
daerah yang menyulitkan tercapainya sinergi pembangunan lintas
sektor, antar ruang, antar waktu, maupun antara pusat dan daerah.
Dalam uraian Bab IV tentang Analisis Hasil Survey dan FGD
kajian ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 25 Tahun 2004 belum
mencapai tujuan dari SPPN sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 ayat (4)
yaitu:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
43
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Koordinasi antar pelaku pembangunan belum berjalan dengan
baik. Hal ini dikarenakan kurangnya peran Bappenas dan Bappeda
dalam mengkoordinasikan perencanaan pembangunan. Integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu,
antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah juga belum
tercipta, salah satunya dikarenakan adanya disharmoni, inkonsistensi
dan pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Ada
ketentuan yang saling bertentangan (ada konflik norma), tidak
konsisten, dan tidak dapat dijalankan antara peraturan yang satu
dengan peraturan yang lain. Dikarenakan peran Bappenas dan Bappeda
yang hanya dapat mengawal pada tahap perencanaan saja, maka SPPN
juga dinilai belum dapat menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Oleh
karena itu dengan perencanaan dokumen perencanaan pembangunan
yang kurang optimal, pelaksanaan SPPN berdasarkan UU No. 25 Tahun
2004 dinilai belum dapat menjamin tercapainya penggunaan sumber
daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Ketidaktercapaian tujuan SPPN tersebut kemudian
terakumulasi dan menjadikan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004
menurut perspektif stakeholders dinilai kurang dapat dilaksanakan dan
dijalankan secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian perlu
adanya beberapa perbaikan dan pembenahan mekanisme serta
penambahan aturan pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2004 untuk
dapat memperjelas dan mengoptimalkan UU No. 25 Tahun 2004 dalam
mendukung pelaksanaan SPPN.
Berdasarkan hasil survey dan FGD, ada disharmoni, inkonsistensi dan
pertentangan antar peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Perencanaan Pembangunan Nasional.
b. perlu pembuatan aturan pelaksana baru dari UU No. 25 Tahun 2004
dan memperkuat aturan pelaksana yang sudah ada.
c. perlu penguatan SDM Perencana dan kelembagaan instansi diklat
perencanaan.
5. Kajian Penerapan dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja 12
Kajian ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q. Ditjen
Anggaran. Tujuan kajian ini adalah untuk menilai kontribusi penerapan
anggaran berbasis kinerja bagi kesejahteraan rakyat Indonesia,
mengidentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya
pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dan menyusun implementasi
anggaran berbasis kinerja yang tepat, cepat, dan transparantif yang
mengarah pada transparansi good governance.
Berdasarkan kajian ini disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Menerapkan penganggaran berbasis kinerja memang tidak semudah
membalik telapak tangan, karena butuh proses dan upaya serius dari
berbagai pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga dan otoritas
anggaran. Sebagai hal yang baru diterapkan di K/L, sangat wajar kalau
masih ada kelemahan. Yang penting adalah upaya untuk terus
berbenah agar penganggaran berbasis kinerja tidak melenceng dari
filosofi dan tujuannya;
dukungan sistem penganggaran yang lebih responsive. Dengan
12
45
dampak pembangunan, kualitas layanan dan efisiensi pemanfaatan
sumber daya. Beberapa paradigma baru mengenai pengelolaan
keuangan negara telah terlontar, seperti konsepsi kerangka
penganggaran jangka menengah.
lain:
dan kegiatan dalam RKP, Renja dan RKA-KL sehingga pendefinisian
program lebih mencerminkan outcome pemerintah yang dapat
dinikmati masyarakat dan berisi program-program yang menjadi core
business masing-masing K/L. Keterkaitan antara output kegiatan dan
outcome program harus tergambar dengan jelas. Oleh karena itu,
Bappenas bersama-sama dengan K/L perlu menyiapkan tolok ukur
kinerja untuk setiap instansi pemerintahan yang menjadi ukuran
keberhasilan instansi tersebut;
Keuangan perlu menyusun standar biaya umum yang lebih berorientasi
ke output/outcome. Masing-masing instansi juga didorong untuk
menyusun Harga Standar Biaya Khusus per kegiatan dan program.
Penyusunan standar biaya tersebut dilakukan dengan suatu
studi/penelitian selama beberapa tahun atau menggunakan benchmark
yang cocok;
mempergunakan data kinerja sebagai acuan. Untuk itu, data
perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) semestinya
juga disampaikan kepada DPR agar menjadi referensi dalam
pembahasan anggaran.
disempurnakan. Departemen Keuangan perlu menyederhanakan
formulir RKA-KL agar tidak perlu detil sampai dengan sub kegiatan
tetapi cukup sampai dengan program dan kegiatan saja dan difokuskan
pada hal-hal strategis yang merupakan layanan instansi pemerintah
kepada masyarakatnya.
dihasilkan (output) dan manfaat yang dapat dinikmati oleh
masyarakat/stakeholders (outcome). Hal penting yang perlu diingat
adalah bahwa penganggaran kinerja tidak boleh berhenti hanya sampai
penyusunannya, namun harus diatur mekanisme pelaporannya agar
dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Untuk itu,
Departemen Keuangan bersama-sama dengan Bappenas, LAN, dan
Menpan juga perlu mendisain pelaporan realisasi anggaran berbasis
kinerja yang mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran, seperti
yang dilakukan Australia dengan Annual Report-nya.
B. Studi Banding (Benchmarking)
berikut "benchmarking is a continuous process of comparison, projection, and
implementation". Dalam pengertian tersebut sangat ditekankan adanya proses
yang terus menerus berkesinambungan dalam hal membandingkan, membuat
proyeksi dan juga dalam pelaksanaan program. Sementara McNair & Leibfried
(1992) mendefinisikan “benchmarking is an external focus on internal activities,
fungtions or options in order to achieve continuous improvement".
Benchmarking lebih ditekankan kepada pengamatan ekternal untuk melihat
kegiatan/program, fungsi-fungsi maupun operasional dalam organisasi sendiri
dalam rangka peningkatan atau keberhasilan yang berkesinambungan.
47
Benchmarking sering dinamakan dengan ”patok duga praktik terbaik”
atau ”patok duga proses” yaitu suatu proses yang digunakan dalam manajemen
(terutama manajemen strategis), dimana organisasi mengevaluasi berbagai
aspek proses bisnis untuk menghasilkan praktik terbaik di dalam industri,
dengan membuat perbandingan sistematik kinerja dan proses organisasi untuk
menghasilkan standar baru atau penyempurnaan proses. Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa benchmarking adalah suatu cara
yang sistematik dan berkesinambungan untuk dapat mengidentifikasi produk-
produk unggulan, pelayanan yang prima, proses yang efisien dan efektif, sistem
operasi organisasi yang tepat dan dapat dilaksanakan, dalam rangka menekan
biaya, memperpendek siklus produksi, serta dapat meningkatkan kepuasan
pelanggan.
negara Amerika Serikat, Belanda, dan Singapura, sebagaimana diuraikan
berikut ini.
sebuah lembaga yaitu Office Management Budgeting (OMB) atau Kantor
Manajemen Penganggaran. OMB adalah kantor anggaran pusat di Amerika
Serikat dan merupakan badan pemerintahan yang sangat kuat. OMB
merupakan bagian dari Kantor Eksekutif Presiden dalam Gedung Putih.
Direktur OMB adalah setingkat menteri dan anggota Presiden Kabinet. Di
samping fungsi penganggaran sebagai intinya, OMB juga memiliki peran
penting untuk dalam mengawasi koordinasi dan pengelolaan untuk
seluruh cabang ekse