KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI...

20
KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG) TESIS untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Hukum Jurusan Hukum Bisnis diajukan oleh: Ferdy Alfonsus Sihotang 17447/PS/MH/05 Kepada SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008

description

KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN ENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

Transcript of KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI...

Page 1: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

(STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

TESIS untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Magister Hukum Jurusan Hukum Bisnis

diajukan oleh: Ferdy Alfonsus Sihotang

17447/PS/MH/05

Kepada SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2008

Page 2: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)
Page 3: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

TESIS

KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

(STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

yang dipersiapkan dan disusun oleh

Ferdy Alfonsus Sihotang 17447/PS/MH/05

telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama

Prof. Emmy Pangaribuan S, S.H. tanggal …………………….

Pembimbing Pendamping

Sularto, S.H., C.N, M.H. tanggal …………………….

ii

Page 4: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini

tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan

dalam Daftar Pustaka.

Yogyakarta, Juni 2008

Ferdy Alfonsus Sihotang 17447/PS/MH/05

iii

Page 5: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

rahmatnya, ditengah-tengah kesibukan pekerjaan yang begitu padat, penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul : ”KAJIAN HUKUM

PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY

INDONESIA – JEPANG).”

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan banyak fihak sulit rasanya untuk

menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada fihak-fihak yang telah

banyak membantu dalam penyusunan tesis ini baik secara langsung maupun tidak

langsung, antara lain :

1. Ibu Prof. Emmy Pangaribuan S, S.H. dan Bapak Sularto, S.H,C.N,M.H. yang

telah memberikan bimbingan secara tulus dalam penyusunan tesis ini, serta

seluruh staf pengajar yang telah membekali penulis dengan begitu banyak ilmu

pengetahuan.

2. Isteriku dan anak-anakku tersayang serta orang tua yang selalu memberikan doa

dan semangat bagi penulis dalam menjalani hidup ini.

3. Bapak Wahyu Winardi, SE.,M.Si sebagai pejabat di Kantor Pelayanan Pajak

Badan dan Orang Asing Satu di Jakarta dan Bapak Yudi Asmara Jaka Lelana,

S.H.,M.M sebagai Kepala Seksi Harmonisasi Peraturan Ditjen Pajak, yang telah

iv

Page 6: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

menyediakan waktu untuk wawancara dan diskusi untuk melengkapi bahan

penulisan tesis.

4. Para Staf dan karyawan di Fakultas Hukum UGM baik yang di Yogyakarta

maupun di Jakarta, yang membantu penulis selama mengikuti pekuliahan.

5. Teman-teman satu angkatan penulis yang sering berdiskusi selama mengikuti

kuliah.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada

semua fihak tersebut di atas.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kelemahan dan

kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan saran

dna kritik yang membangun demi penyempurnaan tesis ini. Namun demikian, penulis

berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kita sekalian

Jakarta, Juni 2008

Penulis

v

Page 7: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

DAFTAR ISI Hal

JUDUL i

PENGESAHAN ii

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

ABSTRACT viii

INTISARI ix

Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 10

C. Keaslian Penelitian 10

D. Manfaat Penelitian 11

E. Tujuan Penelitian 12

Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Fungsi Pajak 14

B. Azas-Azas Pemungutan Pajak 17

C. Pengertian Penghasilan 20

D. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Internasional 22

E. Tinjauan Umum tentang Bentuk Usaha Tetap 35

Bab III CARA PENELITIAN A. Sifat Penelitian 45

B. Jenis Penelitian 46

C. Jalannya Penelitian 49

D. Analisis Data 50

vi

Page 8: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

Bab IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN A. Pengaturan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia menurut Undang-

Undang Pajak Penghasilan 51

B. Pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang 67

C. Analisa Pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang 80

Bab V KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan 97

B. Saran 100

DAFTAR PUSTAKA

vii

Page 9: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu sumber

penerimaan negara yang paling potensial. Target penerimaan pajak dari tahun

ketahun selalu mengalami peningkatan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah

penduduk dan tuntutan kesejahteraan masyarakat. Target penerimaan pajak sesuai

APBN Perubahan Tahun 2007 adalah sebesar lebih kurang Rp. 395, 3 trilyun, di sisi

lain penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi semakin menurun yang

disebabkan cadangan sumber daya alam yang semakin berkurang dan terbatas.

Untuk itu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara pemerintah harus

mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan domestik berupa pajak.

Upaya peningkatan penerimaan pajak sangat tergantung kepada bagaimana

aktivitas ekonomi dan perdagangan di negara tersebut. Dalam hal ini peranan

investor baik domestik maupun asing sangat berperan dalam meningkatkan aktivitas

ekonomi dan perdagangan di suatu negara.

Perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi di berbagai belahan dunia

berlangsung cepat sehingga mendorong banyak perusahaan-perusahaan di negara

pengekspor modal melakukan efisiensi perekonomiannya agar stabilitas dan

peningkatan produktifitasnya dapat terjamin. Hal ini menimbulkan persaingan yang

ketat dalam perdagangan dunia. Dikaitkan dengan ini, perusahaan sebagai pelaku

utama ekonomi akan berusaha untuk terus meningkatkan efisiensi dan efektivitas

Page 10: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

2

bisnisnya dan berusaha mengembangkan usahanya sampai melewati batas yurisdiksi

suatu negara.

Untuk menjalankan operasi secara internasional, perusahaan-perusahaan bisnis

yang besar menyesuaikan struktur organisasinya untuk membagi risiko dan

memperoleh keuntungan dari keputusan ekonomi (Ray August : 192). Lebih lanjut

Ray August menyebutkan bahwa dilihat dari struktur organisasi perusahaan, maka

untuk menjalankan kegiatan usaha sampai melewati batas yurisdiksi suatu negara

dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga bentuk atau struktur organisasi

perusahaan.

Struktur organisasi perusahaan internasional yang sederhana adalah

Perusahaan Non Multinasional (Non Multinational Enterprise), yaitu suatu

organisasi perusahaan di suatu negara yang melakukan kontrak dengan perusahaan

asing yang independen untuk melakukan penjualan atau pembelian di luar negeri.

Banyak perusahaan domestik yang berfungsi dalam pasar internasional melalui

sebuah agen asing. Agen itu yang bisa saja merupakan perusahaan individu swasta

atau perusahaan independen yang bertindak atas nama perusahaan domestik untuk

menjual barang-barangnya atau jasa-jasa di luar negeri (agen seperti ini biasanya

disebut dengan “sales representative”), atau untuk membeli barang-barang atau

mendapatkan jasa untuk prinsipalnya (agen ini disebut “factor”).

Selanjutnya yang lebih kompleks adalah Perusahaan Multinasional Nasional

(National-Multinational Enterprise) yaitu suatu perusahaan induk yang berada di

suatu negara yang mendirikan beberapa cabang dan anak perusahaan di negara-

negara lain. Cabang merupakan suatu unit atau bagian dari induk (seperti kantor

pembelian di luar negeri, pabrik perakitan, pabrik manufaktur atau kantor

Page 11: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

3

penjualan), sementara anak perusahaan (subsidiaries) merupakan suatu perusahaan

yang diorganisasikan sebagai entitas hukum yang terpisah yang dimiliki oleh induk.

Organisasi perusahaan yang paling kompleks adalah Perusahaan Internasional

Multinasional (International-Multinational Enterprise) yaitu organisasi perusahaan

yang terdiri dari dua atau lebih induk perusahaan (parent company) di negara-negara

yang berbeda yang menjalankan kegiatan usaha di dua atau lebih negara. Organisasi

Perusahaan ini mirip dengan organisasi perusahaan multinasional nasional, bedanya

ada pada kepemilikan dua atau lebih perusahaan induk yang berlokasi negara yang

berbeda. Kebanyakan perusahaan internasional multinasional berasal dari

penggabungan (merger) perusahaan-perusahaan induk yang beroperasi di negara-

negara berbeda di Eropa Barat.

Perdagangan internasional yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan

internasional tersebut di atas dapat memberikan manfaat ekonomi timbal balik kedua

negara, misalnya permintaan akan suatu produk atau komoditas dari luar negeri

dapat meningkatkan atau mengoptimalkan produktivitas, kesempatan kerja dan

penghasilan bruto kedua negara. Hubungan ekonomis tersebut dapat dimantapkan

dengan investasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Investasi

asing tersebut selain dapat mengoptimalkan kapasitas produksi nasional dan

kesempatan kerja, juga dapat memperkenalkan produk dan metode penyelenggaraan

usaha, perdagangan atau produksi baru. Selain itu investasi yang dilakukan

perusahaan multinasional dengan strategi aliansinya dapat memperluas dan

memperbesar akses negara terhadap pasar internasional. Akses tersebut dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor dan perolehan devisa negara (Gunadi :

2007 : 3).

Page 12: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

4

Dari segi kekuatan modalnya, negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi

dua kelompok yaitu kelompok negara pengekspor modal (capital exporting

countries) dan kelompok negara pengimpor modal (capital importing countries).

Pengertian negara pengekspor modal adalah negara-negara yang sudah maju

sehingga membutuhkan pasal lain sebagai tempat ekspansi bagi modal yang

dimilikinya. Sebaliknya negara pengimpor modal adalah negara-negara yang

mengalami kekurangan modal untuk mendorong kegiatan ekonominya sehingga

perlu mengimpor modal sebagai sarana mendukung kegiatan perekonomiannya.

Kedua kelompok negara tersebut secara cepat atau lambat akan saling berhubungan

melalui pemasukan modal dari satu kelompok ke kelompok lain (Hutagaol : 2000 :

5).

Apabila ada aktivitas ekonomi antar negara yang dapat memberikan

penghasilan, pemerintah dari kedua belah pihak berkeinginan memungut pajak

atasnya. Negara tempat aktivitas dilakukan mengenakan pajak atas penghasilan

dengan penalaran bahwa penghasilan tersebut diperoleh dari sumber yang ada di

negara tersebut. Di pihak lain negara tempat kedudukan pelaku aktivitas

mengenakan pajak atas penghasilan dari aktivitas mancanegara tersebut berdasarkan

argumen bahwa orang atau badan itu adalah penduduk dari negara tersebut.

Aktivitas perusahaan multinasional maupun kegiatan usaha individu-individu

yang melewati yurisdiksi suatu negara akan menimbulkan pajak berganda karena

adanya keinginan dari negara lain untuk mengenakan pajak atas aktivitas bisnis dari

perusahaan multinasional maupun kegiatan usaha individu tersebut. Pajak berganda

sebagai akibat pemajakan oleh dua negara akan memberikan tambahan beban

kepada para pengusaha.

Page 13: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

5

Tanpa adanya upaya rekonsiliasi dari undang-undang perpajakan dari masing-

masing negara, maka akan timbul pengenaan pajak berganda yang akan

menghambat arus modal antara suatu negara ke negara lain. Akibat lain yang

mungkin timbul adalah semakin gencarnya upaya untuk melakukan penyelundupan

pajak (tax evasion) yang dilakukan oleh para pengusaha yang melakukan transaksi

antar negara untuk meminimalisir beban pajak yang akan ditanggung (Santoso

Brotodihardjo : 2003 : 14).

Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan transaksi internasional

akan mendorong pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional yang

dilakukan oleh Multinational Company (Majalah Inside Tax, 2007 : 6).

Disinilah pentingnya suatu persetujuan penghindaran pajak berganda antara

dua negara. Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) adalah suatu perjanjian

antar negara yang berfungsi untuk membagi hak pemajakan antara negara sumber

dan negara resident atas penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak dari dua

negara yang mengadakan perjanjian.

Persetujuan penghindaran pajak berganda ini dilakukan melalui suatu proses

kompromi yang panjang, tergantung pada sejauh mana suatu negara menentukan hak

pemajakan internasionalnya. Pada dasarnya suatu persetujuan penghindaran pajak

berganda merupakan bentuk penghindaran pajak secara yuridis. Pasal-pasal yang

ada di dalam persetujuan tersebut pada hakekatnya merupakan distributive rules

yaitu membagi hak pemajakan dua negara (Rachmanto Surahmat : 2005 : 3)

Namun proses penyusunan tax treaty atau P3B itu sendiri bukanlah sesuatu hal

yang mudah karena banyaknya kepentingan masing-masing negara di dalamnya. Hal

ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang antara negara investor dengan

Page 14: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

6

negara tujuan investasi. Negara investor yang merupakan negara yang

perekonomiannya maju menggunakan Organization for Economic Cooperation and

Development Model (OECD Model) untuk menyusun klausul-klausul dalam suatu

tax treaty atau P3B, sementara negara tujuan investasi yang merupakan negara

berkembang menggunakan United Nation Model (UN Model). Kedua model tax

treaty itu hanyalah berfungsi sebagai guideline yang berisi prinsip-prinsip umum

pembagian hak pemajakan, sedangkan isi dari suatu tax treaty merupakan hasil

kesepakatan negara-negara yang mengadakan perjanjian.

Suatu induk perusahaan yang hendak menjalankan aktivitas usahanya di

negara lain seperti Indonesia dapat dilakukan dengan mendirikan suatu perusahaan

yang berbadan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas ) atau dapat juga tidak melalui

suatu perseroan terbatas. Pendirian cabang perusahaan atau kantor perwakilan di

negara lain dengan suatu Perseroan Terbatas, maka status perpajakan nya disamakan

dengan wajib pajak badan biasa seperti perusahaan lainnya di Indonesia. Sedangkan

apabila pendirian kantor perwakilan asing itu tidak berbadan hukum Indonesia maka

akan menimbulkan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, yang kewajiban

perpajakannya diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan.

Untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari setiap kegiatan ekonomi

yang terjadi di suatu negara maka harus tersedia suatu administrasi perpajakan yang

baik di negara tersebut. Administrasi pajak yang baik akan dapat memantau

kepatuhan pelaksanaan ketentuan perpajakan dari seluruh Wajib Pajak (tax payers).

Page 15: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

7

Mengenai hal ini Carlos Silvani ( 1992 : 275) menyebutkan beberapa kriteria

bagaimana suatu administrasi pajak disebut efektif untuk mengatasi turunnya

penerimaan pajak sebagai berikut :

“Tax administration will be effective if it is able to deal with following key

shortfalls :

1. Unregistered taxpayers. The first shortfalls originates in the gap between potential taxpayers and registered taxpayers;

2. Stopfilling taxpayers. The second shortfalls reflects the difference between registered taxpayers and those who file returns;

3. Tax Evaders. The third is difference between the tax reported by taxpayers and the potential tax according to the law;

4. Delinquent taxpayers. The fourth and the last gap is the one between the amount of taxes that reported owing or that the tax administration may eventually assess and the tax actually paid by taxpayers.” Dalam kenyataannya penyebab tidak optimalnya pencapaian penerimaan pajak

tidak melulu disebabkan kelemahan administrasi otoritas pajak di suatu negara

dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh Wajib Pajak, tetapi juga bisa

disebabkan oleh ketidak jelasan peraturan atau ketentuan perpajakan yang ada,

keterbatasan pengetahuan perpajakan Wajib Pajak dan persoalan mentalitas aparatur

negara yang kurang profesional. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendapat

Soerjono Soekanto (2005 : 8), yang menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum, yang diantaranya adalah terkait dengan

keberadaan hukumnya/Undang-Undangnya, faktor penegak hukumnya dan faktor

masyarakat.

Persoalan kepatuhan terhadap pajak terkait erat dengan persoalan kepatuhan

terhadap hukum, karena pada hakekatnya pelaksanaan pajak itu merupakan wujud

dari pelaksanaan berbagai peraturan mengenai perpajakan itu sendiri.

Page 16: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

8

Dalam praktek, sering terjadi permasalahan antara otoritas perpajakan dengan

investor asing menyangkut masalah Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang

mengakibatkan potensi penerimaan pajak dari BUT kurang optimal. Permasalahan

perpajakan yang timbul bukan hanya disebabkan tidak jelasnya atau kurang

dipahaminya persoalan tentang kriteria atau kedudukan BUT diantara subyek pajak

lainnya menurut UU domestik tetapi juga kurang difahaminya perlakuan perpajakan

BUT sesuai tax treaty atau P3B. Dalam kaitan ini pemahaman terhadap asas-asas

pemungutan pajak maupun teori-teori perpajakan yang ada akan sangat membantu

semua fihak dalam memahami ketentuan UU Pajak domestik maupun perjanjian

perpajakan.

Untuk itulah disamping dilakukannya aspek pengawasan oleh otoritas pajak,

juga mutlak diperlukan pemahaman yang baik akan butir-butir ketentuan tax treaty

baik oleh pelaku dunia usaha mau pun oleh aparatur Direktorat Jenderal Pajak. Tax

treaty itu merupakan aturan main yang penting bagaimana perlakuan pajak

penghasilan atas kegiatan usaha yang dilakukan investor negara asing di Indonesia.

Penerimaan pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang dijalankan

oleh orang atau badan luar negeri tersebut dapat dioptimalisasikan oleh pemerintah

melalui pengawasan administratif berdasarkan undang-undang perpajakan Indonesia

maupun kerjasama perpajakan dengan negara domisili orang atau badan luar negeri

melalui perjanjian perpajakan (tax treaty).

Diantara banyak investor asing yang telah menanamkan modal di Indonesia,

Jepang termasuk salah satu investor asing yang cukup besar menanamkan modal

bagi Indonesia. Sudah sejak lama Jepang dikenal sebagai salah satu negara maju

Page 17: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

9

yang sering memberikan bantuan modal ke Indonesia. Bantuan tersebut tidak hanya

berupa hibah (grant) tapi juga pinjaman atau utang (loan).

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal jumlah proyek

dan investasi Jepang dalam lima tahun terakhir adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Jumlah Proyek dan Investasi Jepang di Indonesia dalam Lima Tahun Terakhir

No

Tahun

Jumlah Proyek

Nilai Investasi (US $ juta)

1 2002 82 518,6 2 2003 75 1.253,5 3 2004 76 1.689,1 4 2005 76 1.176,4 5 31 Ags 2006 38 281,5

Sumber : Laporan Bulanan Perkembangan Penanaman Modal, BKPM, Agustus 2006

Belakangan ini peranan negara Jepang dalam melakukan investasi di Indonesia

mendapat perhatian yang cukup penting dimata pemerintah. Dalam kunjungan

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ke Jepang tanggal 23 Mei 2007, diperoleh pernyataan

komitmen dari sejumlah perusahaan Jepang untuk mengembangkan usaha dan

menambah investasi mereka di Indonesia (Kompas, 24 Mei 2007).

Tingginya volume investasi dari negara Jepang di Indonesia seperti tersebut di

atas akan mempunyai potensi pajak yang besar melalui Bentuk Usaha Tetap, baik

melalui pendirian suatu tempat untuk melakukan kegiatan bisnis seperti cabang,

perwakilan, pabrik atau gedung kantor atau melalui kegiatan-kegiatan tertentu.

Penerimaan pajak dari laba suatu Bentuk Usaha Tetap sangat besar peranannya

dalam mendukung penerimaan negara dari sektor pajak secara keseluruhan. Untuk

dapat memajaki Bentuk Usaha Tetap tidak hanya tergantung bagaimana UU Pajak

domestik mengatur tentang Bentuk Usaha Tetap tetapi juga bagaimana perjanjian

Page 18: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

10

penghindaran pajak berganda antara Indonesia dan Jepang menentukan kriteria suatu

Bentuk Usaha Tetap.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis hendak mengkaji bagaimana

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Antara Negara Indonesia dengan Negara

Jepang (untuk selanjutnya disingkat P3B Indonesia-Jepang) mengatur masalah BUT

ini, sehingga judul tesis ini adalah “Kajian hukum pengaturan bentuk usaha tetap

dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (Studi kasus tax treaty Indonesia dan

Jepang).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Undang-Undang Pajak

Penghasilan di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda antara Indonesia dengan Jepang ?

3. Apakah pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang telah memberikan hak pemajakan

yang menguntungkan bagi Indonesia ?

C. Keaslian Penelitian

Setelah penulis melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan

Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, maka penelitian dengan judul maupun topik

tesis yang sama belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun

Page 19: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

11

demikian tesis dengan topik Bentuk Usaha Tetap sudah pernah ditulis oleh

mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum UGM yaitu Triyono Martanto dengan

judul Tesis : “Konsep Bentuk Usaha Tetap di Era Transaksi Elektronik”. Tesis ini

membahas apakah ketentuan Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 2 ayat 5 UU

Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dapat diterapkan atas transaksi

elektronik atau tidak.

Dari judul maupun materi yang ditulis oleh penulis sebelumnya jelas

mempunyai materi yang sangat berbeda, karena topik yang ditulis sebelumnya

berhubungan dengan bagaimana Bentuk Usaha Tetap dapat timbul atas transaksi

usaha yang dilakukan melalui media elektronik (virtual), sedangkan topik yang

dipilih penulis kali ini adalah menganalisis bagaimana pengaturan BUT menurut

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya

dalam hukum pajak internasional dalam merancang suatu Tax Treaty yang

dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Republik Indonesia

khususnya Direktorat Jenderal Pajak untuk mengkaji kembali keberadaan P3B

Indonesia-Jepang dilihat dari sudut kepentingan ekonomis dan fiskal Indonesia.

Page 20: KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN  PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)

12

E. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini

adalah untuk :

1. Mengetahui pengaturan Bentuk Usaha Tetap di dalam Undang-Undang Pajak

Penghasilan di Indonesia.

2. Mengetahui pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.

3. Mengetahui apakah pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang itu telah

memberikan hak pemajakan yang menguntungkan bagi Indonesia.