KAJIAN DRAMA TIU - sipadu.isi-ska.ac.id
Transcript of KAJIAN DRAMA TIU - sipadu.isi-ska.ac.id
1
KAJIAN DRAMA
Mata Kuliah: Kajian Drama
Sks : 3 Sks
TIU : Setelah menempuh perkuliahan ini mahasiswa dapat mengkaji naskah
drama baik secara intrinsic maupun ekstrinsik dan pada akhirnya dapat
mengungkap nilai-nilai dalam naskah drama.
Deskripsi: Mata kuliah ini membahas struktur dalam dan struktur luar drama
(strukturalisme genetik) yang meliputi aspek ideologi, agama, latar blakang sosial
pngarang, dan psikologi pengarang berpengaruh terhadap sebuah naskah drama.
Materi : Pengertian intrinsik dan ekstrinsik; unsur intrinsik (tema, alur, pnokohan,
seting, bahasa) ; unsur kstrinsik (ideologi pengarang, agama, latar blakang sosial
budaya, psikologi).
Daftar Pustaka:
Sifat perkuliahan : dialog, diskusi saling mengisi antara satu dengan yang lain.
Dosen bertugas sebagai pemandu dan penentu materi.
Perkuliahan diawali dengan kontrak perkuliahan yang berisi ketentuan-ketentuan
akaademis atau lembaga, dan esepakatan-kesepakatan antara dosen dengan
mahasiswa.
Materi Perkuliahan meliputi :
I. Hakikat Kajian Drama (pertemuan 1)
( Mempelajari : Pengertian Drama, Ragam Drama, Sifat Drama, Logika
drama, ciri bahasa seni).
Hakekat Kajian :
Kajian umumnya menyaran kepada kegiatan pnelaahan atau penyelidikikan.
Untuk melakukan pengkajian terhadap karya fiksi drama pada umumnya
disertai oleh kerja analisis.. Istilah analisis berarti mengurai atas unsur-unsur
pembentuknya, yaitu yang berupa unsur-unsur intrinsiknya.
Sebuah fiksi dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur akan saling
berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuaanya itu akan
menyebabkan fiksi menjadi sebuah karya yang bermakna, dan hidup. Di
pihak lain, setiap unsur pembangun fiksi itupun hanya akan bermakna
jika ada kaitannya dengan keseluruhannya (Nurgiyantoro, 1995: 30-31).
Sebuah analisis bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk
memahami fiksi sebagai satu kesatuan, bukan sekedar bagian perbagian.
Tujuan Kajian Drama Sebuah naskah drama dikaji setidaknya mempunyai dua tujuan. Yang pertama,
kegiatan kajian drama dilakukan dalam rangka dipentaskan. Kedua, kajian
drama dilakukan dalam kegiatan penyelidikan atau penelitian secara ilmiah
2
demi kepentingan akademis. Ketiga, kajian dilakukan dalam rangka
menangkap makna, atau pesan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan yang luas (pendidikan: seks,
bermasyarakat, sopan santun, kesehatan, religiusitas, politik).
Kajian Drama pada perkuliahan ini disarankan pada proses mengnalisis naskah
drama, dapat menangkap makna atau manfaat dari teks drama yang dikaji.
Pengertian Drama:
Kata Drama berasal dari bhs Yunani yg berarti action, gerak.
1. Secara sederhana drama adalah salah satu jenis karya seni yg berusaha
mengunkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak atau action dan
percakapan atau dialog.
2. Naskah drama dikelompokkan dalam jenis sastra. Sebagai karya sastra,
drama mempunyai keunikan tersediri. Ia diciptakan tidak untuk dibaca, tetapi
untuk dipentaskan. Drama yang dipertunjukkan inilah yang sering disebut
teater. Oleh karena itu penulis drama tidak memiliki kebebasan
sebagaimana penulis sastra, karena ia harus memikirkan kemungkinan-
kemunkinan agar dapat dipentaskan.
3. Di Indonesia drama sering disebut sandiwara, lakon, atau toneel. Konon
katanya istilah sandiwara diciptakan oleh Mangunegara VII. Sandiwara berasal
dari kata sandi + warah. Sandi berarti tersamar, rahasia, semu (Jawa), hal ini
sesuai dengan salah satu sifat orang Jawa, yakni semu, kurang transparan.
Sedangkan warah berarti nasihat, atau ajaran. Istilah sandiwara diciptakan
untuk mengganti istilah toneel. Kata lakon dari bahasa Jawa yang berarti kisah,
cerita atau laku.
4. Di Yunani drama bersifat ritual, diciptakan dan dipentaskan untuk
mengormati dewa Dionysus.
5. Balthazar Verhagen dalam bukunya Dramaturgie mengatakan bahwa drama
adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak.Kata
gerak mendapat tekanan khusus, sebab hakikat drama adalah gerak. Yang
dimaksud dengan gerak dalam hal ini segala sesuatu yang dilakukan pemain di
atas panggung, misalnya tertawa, berbicara, menyanyi, silat. Semua itu disebut
gerak yang dalam bahasa Jawa disebut tingkah-laku, yang terjadi, teraba,
terlihat, terdengar di atas panggung yang disusun menurut rencana yang telah
ditentukan (Slametmoeljana, 1953: 210).
II. Drama sebagai karya Fiksi yang indah (pertemuan 2-3) meliputi logika
drama, Imajinasi dan Fantasi, dan ciri bahasa seni.
Logika drama (fiksi) adalah logika imainatif. Kebenaran peristiwa atau
kejadian hanya terjadi pada imajinasi manusia sehingga kebenarannya tidak
perlu diperdebatkan. Malaekat, jin, bidadari, dewa-dewa, kahyangan, dan
makluk-makluk halus lainnya hanya dibenarkan dalam imajinasi manusia.
Ketampanan Arjuna, kecantikan Sumbadra, kesaktian Gathotkaca merupakan
hasil imajinasi manusia. Langit Makin Mendung merupakan sebuah contoh
kebenaran imajinatif yang dipersoalan kebenarannya berdasarkan kebenaran
faktual. Jaka Tingkir yang mempunyai pasukan buaya; Gathotkaca yang dapat
3
terbang; Bima yang bersenjatakan kuku pancanaka; kemaluan Ken Dedes yang
memancarkan cahaya. Logika imajinatif hanya dapat dibuktikan lewat
pengalam pribadi, pengalaman batin, pengalaman bahasa, dan
pengalaman estetis pengarangnya. Fantasi= khayalan, sesuatu yang tidak nyata, lamunan. Manusia terbang;
manusia menjadi Tuhan atau malaekat; anak kecil membayangkan dirinya
menjadi superman.
Imajinasi : membuat sesuatu dengan angan-angan.
Ciri bahasa seni: adalah bahasanya bergaya, konotatif, multi interpretable.
Oleh karena sifat konotatif dan kemampuan pembaca yang berbeda itulah yang
membuat drama menjadi multi interpertable.
Contoh:
1. Pertama kali diciptakan oleh Sang Pencipta dari wujud bagian sebuah telur.
Telur yang ketika itu dilemparkan ke dunia wayang, pecah ketika menyentuh
tanah. Kulit telurnya berubah menjadi wujud bangsa raksasa yang kemudian
dikenal dengan nama Lurah Togog. Putih telur menjilma menjadi seorang
bangsa manusia yang tak lain adalah Ki Lurah Semar. Sedang kuning telur
menjadi seorang bangsa dewa yang kemudian menjadi pemimpin para dewa,
Sang Hyang Batara Guru (Pitoyo Amrih, 2006: 30).
2. Dengan tergesa-gesa Arya Penangsang mengendarai kuda kesayangannya
Gagak Rimang namanya menuju Bengawan Sore. Di sana ia bertemu dengan
Suta Wijaya yang mengendarai kepel betinanya. Begitu melihat kepel, Gagak
Rimang melonjak-lonjak kegirangan tak terkendali. Pada saat itulah
Sutawijaya menyerangnya dengan tombak Kyai Pleret.
3. Akulah Jibril, malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu. Aku suka
berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon
bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan
Tuhan ke pundakku. Sering wahyu itu kunaikkan seperti layang-layang,
sampai jauh tinggi di awan dengan seutas benang yang
menghubungkannya; sementara itu langkahku melentur-lentur melayang
di antara batang pisang dan mangga.
III. Bentuk / Garap Teater (pertemuan 4).
Ada dua bentuk drama, yaitu tradisional dan non tradisional
(modern).Keduanya hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Meskipun
ada kesamaan dalam menggunakan alat ekspresi sebagai bentuk pengucapan
seni, namun karena konsep dan titik tolaknya berbeda maka keduanya
berbeda. Cara menyajikan, cara memainkan, bahkan kelompok pendukungnya
pun berbeda.
Teater Tradisional
Merupakan teater yang dihasilkan oleh kreativitas kebersamaan suku-suku
bangsa Indonesia, dari suatu daerah etnis yang bertolak dari sastra lisan, yang
berupa: legenda, mitos, dongeng, atau cerita rakyat setempat.
Karena bertolak dari sastra lisan maka cara mengungkapkan dalam
pementasannya dilakukan dengan spontan, melalui ungkapan yang
4
improvisasis. Dari istilah tradisional itu kemudian muncul istilah teater istana
dan teater rakyat, yang masing-masing mempunyai kode yang berbeda.
Teater istana hidup untuk kalangan istana, sedangkan teater rakyat hidup dan
berkembang di kalangan rakyat. Teater rakyat banyak dilakukan melalui gaya
banyolan. Di balik banyolan itulah tersembunyi nilai-nilai tertentu.
Teater istana didukung para intelektual istana dan agama budha serta hindu.
Seni dijadikan lambang kebesaran raja. Seni yang terbaik yang diakui
sebagai seni istana. Siapa yang memberi legitimasi? Tentu para empu seni.
Drama tradisional sering disebut teater rakyat, karena lahir dari aktifitas turun-
temurun. Lakon umumnya digali dari cerita lokal atau sejarah klasik.
Ciri Drama Tradisional:
- Tidak memakai naskah karena umumnya para pelaku telah hafal dengan ceritanya.
- Lebih mengutamakan jalan cerita, dialog diserahkan sepenuhnya kepada kreatifitas pemain.
- Gerak lebih cenderung berbentuk tarian.
- Cerita bersumber cerita rakyat atau cerita asing yang klasik
- Tata rias dan tata busana bersifat spesifik
- Menggunakan musik tradisional
- Sutradara berperan sebagai pengatur cerita. Contoh drama tradisional adalah srandul; kethoprak; calung (Kebumen); Lenong; wayang orang;
ludrug; sintren; langendriyan; langen mandra wanaran.
Ciri Drama Modern:
- Menggunakan naskah, dialog telah diatur dalam naskah
- Mementingkan jalan cerita dan unsur literernya.
- Gerak-gerik menirukan tingkah laku manusia
- Sumber cerita dari kehidupan manusia dan segala problematikanya seperti materi yang diangkat ke dalam prosa fiksi.
- Musik telah terpengaruh musik modern.
- Sutradara bertindak sebagai pengatur laku. Sebagai contoh Manusia Baru karya Sanusi Pene; Genderang Bratayuda karya Sri Murtono; Domba-
domba Revolusi karya B. Soelarto.
Drama Kontemporer drama yang berusaha melepaskan diri dari ikatan
konvensional. Struktur sering kurang jelas, karaktersasi tokoh-tokoh cerita
terasa kabur, tidak logis bahkan terlampau metafisis, digarap secara absurd
sehingga terasa sulit dipahami. Kadang-kadang diwujudkan dalam bentuk
perpaduan antara unsur modern dan tradisional. Misalnya dalam hal tata
busana, musik, bahkan cerita. Contoh Jaka Tarub karya Akhudiat; Aduh
karya Putu Wijaya.
IV. Ragam dan Sifat Drama (pertemuan 5).
(Mengenal berbagai ragam drama ; drama tradisional dan drama modrn).
Ragam drama sangat ditentukan oleh isi dan cara penyajiannya. Bebarapa
ragam drama adalah sebagai berikut.
5
a. Opera: drama yang ditampiklan dengan memakai nyanian untuk mengganti
dialog. Contoh Yulius Caesar karya Moh. Yamin.
b. Operet : opera pendek, biasanya berupa fragmen atau penggalan dari
sebuah lakon. Contoh: Srikandhi-Mustakaweni; Damarwulan –
Menakjingga.
c. Pantomim: berusaha menggantikan dialog dengan gerak. Biasanya
dilengkapi dengan tata rias yang lucu.
d. Tablo: tokoh-tokohnya tidak bergerak hanya dalam posisi diam sambil
menghayati apa yang dikatakan sang narator.
e. Dagelan atau Lawak: lebih menonjolkan unsur humor. Biasanya
improvisasif dari masing-masing pemain.
f. Sendratari: ditampilkan tarian sebagai pengganti dialog dan gerak.
g. Drama Mini Kata: pementasannya hampir tidak memakai dialog. Drama
semacam ini akan lebih menonjolkan unsur improvisasi dan bunyi-bunyi
itu saja. Contoh Bip Bip Bop karya Rendra.
h. Sandiwara Radio: unsur dominannya adalah pembacaan dialog yang harus
mampu membangkitkan imajinasi pendengar (Brama Kumbara, Nini Pelet,
Api Di Bukit Menoreh).
i. Drama Bersajak : dialognya berupa puisi, sehingga drama seperti ini sering
disebut sebagai puitis drama. Contoh Bebasari karya Rustam Efendi; Suling
karya Utuy Tatang Sontani.
j. Langen Mandrawanaran: Drama tradisional keraton Jogjakarta. Semua
pemain dalam posisi duduk atau jongkok, dialog dilagukan secara
monoton.
Adapun sifat drama adalah:
- Tragedi: berakhir dengan suasana menyedihkan. Sebagai contoh Kapai-kapai karya Arifin C Noer; Nyai Dasima karya S.M. Ardan; Ken Arok dan
Ken Dedes karya Moh Yamin; Aduh karya Putu Wijaya; Hamlet karya
Shakespeare.
- Komedi : berakhir denga suka-cita. Drama komedi menuntut nilai sastra dalam ceritanya, sedangkan lawak mementingkan kelucuan.
- Tragikomedi: perpaduan antara yang menyedihkan dengan yang menggembirakan. Sebagai contoh Malam jahanam karya Motinggo
Boesye; Api karya Usmar Ismail.
- Melodrama: sangat menonjolkan perasaan yang sangat didukung oleh alunan musik. Dua Orang Algojo karya Fernando Arrabal diterjemahkan
Sori Siregar.
- Farce: menonjolkan gerak-gerik karikarural, sehingga kadang-kadang tidak logis, dibuat-buat. Contoh Si Bedul kaera Elwy Mitchel.
-
V. Langkah menangkap makna (pertemuan 6 dan 7)
Dalam rangka memahami karya seni yang mengunakan bahasa sebagai alat
ekspresi, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik
(hermenuetic). Kedua istilah itu yang secara lengkap disebut sebagai
pembacaan heuristik dan pembacaan hermenuetik, biasanya dikaitkan
6
dengan pendekatan semiotik (Riffaterre, 1980: 4-6). Hubungan antara
heuristik dan hermenuetik merupakan hubungan gradasi. Kegiatan
pembacaan hermeneutik harus didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja
hermeunetik ini oleh Riffaterre juga disebut sebagai pembacaan retroaktif,
memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis.
Kerja heuristik merupakan pembacaan karya pada semiotik tingkat
pertama. Ia merupakan pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan
oleh bahasa ybs. Dalam hal ini bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan
tentang sistem bahasa itu, kompetansi terhadap kode bahasa.
Jika yang dihadapi adalah teks berbahasa Jawa, maka mutlak dibutuhkan
kemampuan berbahasa Jawa. Begitu pula jika yang dihadapi teks berbahasa
Indonesia maka penguasaan bahasa Indonesia mutlak dibutuhkan, tanpa
penguasaan bahasa yang bersangkutan maka mustahil dapat menangkap
maknanya. Dengan kata lain kerja heuristik menghasilkan makna secara
harafiah, makna tersurat atau actual meaning, makna luaran, pada
halsesungguhnya makna sebenarnya yang disampaikan pada umumnya
adalah secara tersirat, dan inilah yang disebut makna intensional, intentional
meaning. Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra harus lah sampai pada
tataran semiotik tingkat kedua. Berdasarkan makna hasil kerja heuristik
dicobatafsirkan makna tersiratnya, signifikasinya. Jika pada tataran
heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, maka pada tataran
hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain,
khususnya kode sastra dan kode budaya. Dalam hal drama, teater
dibutuhkan kode budaya.
Perhatikan teks singkat berikut ini :
1. Ketika Dang Hyang Lohgawe berada di pakuwon Tumapel, setelah tiba
di Jambudwipa, di hadapan Akuwu Tunggul Ametung ia menyatakan
rahasia agung marcapada pada diri seorang perempuan Jawa bernama
Dedes, sang perempuan nareswari. Amatlah istimewa perempuan itu.
Dari kewanitaannya rahasianya memancarkan cahaya hingga disebutlah
ia perempuan utama. Siapa pun lelaki yang mampu memasukkan
kamanya ke rahim anak Empu Purwa dari Panawijen itu dan
membuahkan janin, maka lelaki itu, pendosa sekalipun, akan dapat
bertahta selaku raja (Gamal Kamandoko, Sanggrama Wijaya, 2009: 9).
2. Sampai di situ dijumpainya Senopati tidur di batu gegilang. Kyai Juru
segera membangunkan, katanya “Senopati, bangunlah. Katanya ingin
jadi raja, kenapa tidur melulu”. Lalu ada bintang jatuh dari langit,
bercahaya sebesar kelapa dengan sabutnya, jatuh di atas ulu hatinya . . .
Senopati segera terjaga melihat seraya bertanya “Apa dan siapakan
engkau ini, mencorong di atas tidurku. Selama hidupku belum pernah
aku melihatnya” Bintang bercahaya itu menjawab “Ketahuilah aku ini
bintang penjuru, memberi tahu kepadamu, bahwa ketekunanmu
mengheningkan hati, memohon perkenan Allah, sekarang sudah diterima
7
Allah . . . Engkau akan menjadi raja menguasai tanah Jawa, turun-
temurun ke anak-cucumu . . . cicitmu kelak yang mengakhiri kekuasan di
Mataram . . . Bintang kemukus tiap malam kelihatan, gunung-gunung
meletus, hujan batu dan abu, itu tanda-tandanya negara akan rusak
(Babad Tanah Jawa 2011: 155-156).
3. Jasa Sopir
Pintu surga terkenal sempit, sulit utuk dapat masuk. Maka tidak
mengherankan kalau orang brdesak-desakan berebut masuk melalui
pintu yang sempit itu. Seorang pastur tidak sabar menunggu ketika
malaikat menunjuk seorang sopir untuk masuk mendahului. “Maaf,
bukankah saya lebih duluan datang kemari?” tanyanya kepada malaikat.
“Ya, mengapa?”
“Mengapa Anda mendahulukan sopir daripada saya?”
“Dia lebih berjasa!”.
“Lho, saya seorang imam. Setiap Minggu saya berkotbah, hari-hari
kuhabiskan untuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Apa jasa
seorang sopir?”
“Pastor!” kata malaikat dengan sabar dan senyum lebar, “ketika Pastor
berkotbah, semua orang tidur. Tetapi, ketika sopir ini mengendarai
busnya, semua orang berdoa”.
VI. Unsur Pembentuk Drama/ Segi Intrinsik Drama (pertemuan 8 - 11).
Yang dimaksud dengan segi intrinsik adalah halhal yang membangun
drama dari dalam, misalnya tokoh dan penokohan, setting, alur, suspense
(kejutan).
a. Plot atau Alur dalam drama tidak jauh berbeda dengan plot dalam
fiksi lainnya (tahap permulaan, tahap pertikaian, perumitan, puncak,
peleraian, tahap akhir).Perbedaannya bahwa plot dalam drama dibagi
menjadi babak-babak dan adegan-adegan. Babak adalah bagian dari
plot yang ditandai dengan perubahan seting. Jika drama terdiri dari 7
babak, maka dapat dipastikan mengalami 7 kali pergantian lokasi
peristiwa atau seting. Adegan merupakan bagian dari babak yang
ditandai dengan perubahan jumlah tokoh atau pun perubahan
masalah yang dibicarakan.
Jenis plot dalam drama adalah jalinan sirkuler, linear, dan episodic. Sirkuler
adalah plot disusun dari peristiwa A kembali ke A. Linear adalah A sampai
Z, sedangkan episodic adalah jalinan plotnya terpisah, dalam sebuah drama
mengandung dua atau lebih jalinan peristiwa.
b. Tokoh dan penokohan: siapa nama tokoh, dan bagaimana ia
ditampilkan.
Plot akan bergerak jika ada yang menggerakkan. Adapun yang
menggarakkan plot adalah tokoh atau karakter.
Nama dalam setiap fiksi bukan sekedar nama, setiap nama tentu
bermakna. Nama adalah harapan, doa. Dari nama itu kadang-kadang
tampak karakter tokoh. Contoh Jaka Umbaran dalam lakon
8
Damarwulan Menak Jingga ; Arjuna; Wrekodara; Kresna;
Panembahan Senapati; Paku Buwana, Mangkubumi, Dasamuka,
Brama Kumbara, Setyawati , Werdiningsih, Sri Sumarah, Pariyem,
Bratasena.
Dalam seni tradisi, nama mempunyai makna tersendiri, sehingga
nama merupakan bagian yang penting. Berbeda dengan seni modern,
nama sering tidak dimaknai apa pun. Nama hanyalah sekedar nama,
sehingga sering terdengar ungkapan „apalah arti sebuah nama‟.
Karakter adalah segala sesuatu yang melekat pada setiap tokoh
rekaan.
Penokohan, siapa tokohnya, dan bagaimana tokoh-tokoh itu
ditampilkan. Ada dua cara menampilkan tokoh, yaitu dengan
ekspositori atau deskriptif, mendeskripsikan secara langsung, dan
secara dramatik. Secara dramatik artinya bahwa karakter tokoh
ditampilkan melalui Fisiologis, psikologis, ujaran tokoh lain, reaksi
terhadap ujaran orang lain, reaksi terhadap persoalan yang dihadapi.
Fisiologis artinya yang tampak secara fisik. Psikologis artinya
karakter tokoh tampak dari apa yang dipikirkan, diharapkan atau
diinginkan, rencana-rencananya. Sedangkan ujaran tokoh lain,
artinya bagaimana sikap atau tanggapan tokoh-tokoh lainnya dalam
fiksi itu menanggapi tentang dirinya.
Teknik Deskriptif
Pengarang menguraikan karakter tokoh secara langsung sehingga
audience akan dengan sangat mudah menangkap karakter tokoh.
Sebagai contoh:
Dia anak orang kaya yang hidupnya serba berkelimpahan. Pada
lehernya tergantung kalung emas yang berkilau, kacamatanya
menggunakan frame emas, bajunya buatan Singapura, celananya
buatan US, sepatunya buatan Itali, kalau berjalan nggembelo keberatan
kepala.
Yu Lurik pembantu yang setia, meskipun tetangganya sanggup memberi
upah lebih tinggi, tetapi ia tetap ikut pak guru karena orangnya sopan,
ramah, dan menghormati dirinya yang miskin.
Secara Dramatik meliputi fisiologis, psikologis, dan teknik ujaran.
Teknik Fisiologis, pelukisan keadaan tubuhnya. Misalnya tangan kanannya
ceko, kaki kirinya pincang, rambut panjang gimbal, rambutnya cepak,
matanya bundar, hidungnya pesek, kulitnya hitam manis dsb.
Teknik psikologis: memperhatikan apa yang dipikirkan, yang di inginkan,
apa yang akan dilakukan, citacita, sikap hatinya terhadap orang lain, sikap
hatinya ketika menghadapi suka atau un duka.
Dialog/teknik cakapan.
S Effendi berpendapat bahwa ciri formal drama adalah dialog. Hal ini
mengisyaratkan betapa pentingnya dialog dalam drama. Dialog dalam
drama mempunyai berbagai fungsi:
9
Melukiskan watak tokoh-tokohnya
Mengembangkan plot dan menjelaskan isi cerita kepada pembaca
Memberi isyarat peristiwa yang mendahului
Memberi isyarat peristiwa yang akan datang
Memberi komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi
dialog dengan lawan bicara, dengan diri sendiri (ngudarasa), berkeluh kesah, mengadu kepada Tuhan dll. Dalam dialog ini kualitas diksi sangat
menentukan keberhasilan penyampaian pesan, sangat menentukan
menyampaikan karakter tokoh. Sebagai contoh:
P : “Hai, kamu (bukan engkau) yang berdiri di situ, apa yang sedang kau
lakukan?”
O: “ Aku sedang mencari sesuatu, yang barang mungkin bisa dijadikan
uang”.
P : “ Jangan macammacam lo!”
O: “Aku hanya mencari barang yang sudah tidak dipakai dan dibuang”.
Dialog antara seseorang dengan pemulung sampah.
B: “Hai, matamu taruh dimana, ha?!”
G: “Maaf, Pak, tidak sengaja”.
B: “Sengaja atau pun tidak, tidak ada bedanya. Yang jelas aku jatuh, kaki dan
tanganku terluka, motorku rusak. Bagaimana tanggung jawabmu?”.
G: Maaf, luka bapak cuma sedikit, cukup dikasih tentir saja. Begitu pun
motor Bapak Cuma lecet sedikit”.
B: “O . . . dasar tua, miskin tidak tahu diri, sok tahu. Memangnya kamu ini
siapa, ha? Dokter?. Kalau aku infensi bagaimana?”.
G: “Hai kamu, yang kakehan bacot, apa maumu? Urusan Polisi? Ayo. Mau
ngajak rame, ya ayo aku siap. Sekalipun tua, aku siap diajak apa pun. Kasar
alus tak ladeni. Tangan kosong atau senjata aku layani. Single atau keroyokan
juga tak layani. Ayo wong sombong, apa maumu?!”.
Perhatikan diksi yang digunakan dalam cakapan di atas yang menunjukkan
karakter tokoh.
Dialog Trijatha dan Hanoman yang sedang jatuh cinta:
“Anoman, kemanakah kita akan pergi? Lihatlah, ada taman sari dari mega,
bidadari menyanyi gembira dalam terang purnama meski patah tali-tali
siternya?” kata Trijatha bahagia.
“Trijatha, maukah kau ke sana? Tidakkah permata malam sedang meleleh
dalam cahaya kunang-kunang? Mari kurangkaikan karangan bunga pada
dadamu, sebelum hari keburu pagi”. Jawab hanoman.
“Mengapa kautakuti hari yang menjadi pagi, Anoman?”.
“Aku takut akan bayang-bayang, Trijatha. Pagi dengan mataharinya yang
indah selalu menyusahkanku karena bayang-bayang yang ditimbulkannya”.
“Tapi bayang-bayang apa Anoman? Kau boleh takut akan bayang-bayangmu.
Tapi perlukan kau takut akan bayang-bayang cintamu? Jangan takut,
10
Anoman. Lihatlah di malam ini sedu-sedan derita siang hari pun reda tertidur
dalam pelukan bulan-bulan” kata Trijatha (Sindhunata, 1984: 283).
Diksi lainnya misalnya sebutan atau panggilan terhadap seseorang mengapa
digunakan kata paman, dan bukan oom; bibi bukan tante; bapak bukan papa;
ibu dan bukan mama; dewa dan bukan tuhan; simbah. Kata-kata lainnya
misalnya dipilihnya kata-kata seperti Kau, engkau bukan kamu atau anda;
hamba, sahaya, saya, aku masing-masing mempunyai nilai rasa tersendiri.
Tokoh, setting dan dialog ini biasanya disebut tekstur drama.
Relvansi tokoh:
Tokoh rekaan sering memberi reaksi emotif tertentu seperti merasa akrap,
simpati, empati, anti pati, benci dan lain-lain. Audience sering
mengidentifikasikannya dengan tokoh-tokoh rekaan tertentu, seolah-olah ia
ikut mengalami apa yang dialami sang tokoh. Bahkan banyak tokoh rekaan
yang menjadi pujaan. Tokoh rekaan yang dipuja digandrungi audience
berarti merupakan tokoh rekaan yang mempunyai relevansi (Kenny, How
to AnalyzeFiction. 1966: 27). Salah satu bentuk kerelevansian tokoh sering
dihubungkan dengan kesepertian hidup, lifelikeness. Kerelevansian tokoh
tidak terletak realistis atau tidak realistis, tetapi dikaitkan dengan
pengalaman hidup audience. Dengan kata lain dapat diajukan dengan
pertanyaan, apakah relevansi tokoh itu bagi kita? Bukan apakah tokoh
cerita it seperti kita.
Contoh tokoh yang mempunyai relevansi dengan hidup manusia antara
lain:
Superman yang selalu dirindukan anakanak. Banyak anak-anak yang
berperilaku sebagai superman; Sincan yang digandrungi baya orang karena
kelucuan dan kecerdasannya; Bhima tokoh Pandawa, banyak orang yang
menamai anaknya dengan Bhima, Bratasena, Sena; Permadi nama lain
Arjuna; Sengkuni pengkhianat ulung, tukang adu-domba; tokoh-tokoh
wayang dianggap benar-benar pernah hidup di alam nyata, hal itu didukung
dengan adanya nama-nama lokasi tempat kejadian misalnya Grojogan
Sewu di Tawangmangu; Candi Bima di Diyeng; kawah Candradimuka di
Diyeng.
Tokoh Utama dan tokoh Protagonis
Tokoh utama merupakan tokoh yang mendominasi sebuah cerita. Tokoh
utama belum tentu merupakan tokoh protagonis. Secara teoritis tokoh
protagonis adalah tokoh yang mencerminkan harapan dan atau norma
ideal kita. Namun kenyataan membuktikan bahwa sering sulit untuk
menentukan tokoh protagonis. Misalnya dalam Damarwulan Menak
Jingga; Sakuni Gugur; Salya Gugur; Dursasana Gugur; Dasamuka Gugur;
Ken Arok Ken Dedes. Jika demikian maka tokoh yang lebih banyak diberi
kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar
memperoleh simpati, dan empati dari audience (Luxemburg dkk, 1992:
145). Tokoh protagonis adalah tokoh yang sedang meraih cita-cita.
11
Sedangkan tokoh, dikagumi, hero merupakan pengejawantahan norma-
norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966: 59).
Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yanag menjadi penyebab konflik.
Penyebab konflik yang tidak disebabkan oleh manusia disebut kekuatan
antagonis, antagogistic force. Misalnya bencana alam, kecelakaan,
lingkungan alam, lingkungan sosial, kekuatan dan kekuasaan yang lebih
tinggi.
c. Setting, tempat dan waktu kejadian.
Fiksi, cerita rekaan termasuk di dalamnya drama adalah sebuah dunia,
dunia di dalam kemungkinan, yang membutuhkan tokoh, cerita, dan plot,
serta latar.
Latar atau setting juga disebut sebagai landas tumpu tempat terjadinya
peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175). Stanton mengelompokkan
latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta cerita, sebab ketiga hal
itulah yang akan dihadapi, dan diimajinasi uadience. Tokoh adalah pelaku
penderita kejadian yang bersebab akibat, dan itu memerlukan pijakan kapan
dan di mana.
Setting selalu memenuhi keseluruhan cerita. Cerita umumnya berawal
penyituasian dan berakhir dengan situasi tertentu pula
Setting memberi pijakan cerita secara konkrit dan jelas sehingga terasa
realistis, seolah sungguh-sungguh ada. Misalnya di Diyeng (Wonosobo)
terdapat candi Bima, sumur Jalatunda tempat hidup Antareja dan ibunya,
Naga Gini; kawah Candradumuka tempat pennggodogan Gathotkaca, bau
kentut Semar (belerang), telaga Warna. Di Tawang mangu terdapat goa
Pringgondani, Gerojogan Sewu tempat Baladewa bertapa. Pengging
(Boyolali) tempat kediaman Kiageng Pengging; Tegal Reja, dan Goa
Selarong tempat kediaman Dipanegara dlsb.
Latar Fisik dan Spiritual:
Latar tempat : desa, kota, kamar, pasar, kampus ISI Ska, sawah tempat
terjadinya peristiwa.
Latar waktu : pagi, siang, senja, malam, tahun, bulan dan tanggal, gerimis
di awal bulan.
Latar suasana: gelap, mendung, angin ribut, pengap, ramai, riuh, gaduh,
damai, tenang, duka.
Tempat dan waktu yang menyaran secara jelas itu disebut latar fisik.
Sedangkan latar spiritual adalah latar yang berwujud tata-cara, adat-istiadat,
kepercayaan dll dan nilai-nilai yang berlaku di tempat itu. Jadi latar
spiritual adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh latar fisik (Kenny 1966:
39). Kehadiran latar spiritual inilah yang memperkuat latar fisik sehingga
seolah-olah menjadi logis dan faktual.
Latar spiritual :
Semua orangDukuh Paruk tahu Ki Secamanggala, moyang mereka,
dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat, tetapi mereka memujanya.
Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah
Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan batin mereka. Gumpalan abu
12
kemenyan pada nisan Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah
kebantinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.
Tidak seperti biasanya, sore itu sudah lebih dari dua hari Sri Kresna
berdiam di sanggar pamujan, tanpa makan dan minum. Di situ dia hanya
duduk bersila di tengah ruangan. Tangannya bersandar pada kedua ujung
lutut, setengah menunduk, pandangannya seperti menerawang dan terlihat
samar-samar titik air mata menetes. . . . Terlihat dari kain penutup
sanggar pamujan yang tembus pandang, Sang Baginda Kresna
menggunakan busana serba putih, dan tidak biasanya, saat itu sang
baginda melepas mahkota kerajaannya, membiarkan rambutnya terurai
sampai bahu. Sebagian rambutnya terlihat mulai memutih (Pitoyo Amrih,
2006: 57).
Latar suasana:
Panas terik siang itu seakan menambah trenyuh suasana bagi siapa saja
yang mendengar tangisan bayi itu. Ah, bukan lagi seperti sebuah tangisan,
lebih mirip sebagai jeritanmenggema. Jelas sekali suara dari seorang bayi
yang menjerit seperti kesakitan atau kelaparan, entahlah (Pitoyo Amrih.
Perjalanan Sunyi Bhisma Dewabrata. 2010 : 11)
Latar sosial: lingkungan tertentu yang sangat berpengaruh dalam
pembentukn karakter. Misalnya pesantren, seminari, desa maling, kampus,
terminal, seniman.
Latar netral dan latar tipikal Latar sebuah fiksi kadang-kadang hanya sekedar sebagai pijakan terjadinya
peristiwa, tidak banyak mempunyai berperan dalam pengembangan cerita
secara keseluruhan. Latar yang demikian disebut latar netral. Latar netral
tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang
menonjol yang terdapat dalam sebuah latar yang justru membedakannya
dengan latar lainnya. Latar yang demikian merupakan bersifat umum,
misalnya hutan, pasar, Yogyakarta. Jika nama latar itu diganti dengan nama
latar lainnyatidak akan berpengaruh pemploan atau penokohan. Sebagai
lawannya adalah latar tipikal.
Latar tipikal adalah latar yang khas baik menyangkut tempat, waktu,
maupun sosial. Misalnya di Yogyakarta tepatnya Malioboro sekitar
pemberontakan G 30 S/PKI; 17 Agustus 1945 di Jakarta; tahun 1980
nonton kethoprak lakon Arya Penangsang di Sasana Inggil Dwi Abad
Yogyakarta.
Latar dan Unsur Fiksi Lainnya:
Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat bersifat
timbal-balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat
tokoh, bahkan tokoh sering dibentuk oleh latar. Misalnya sifat orang desa
jauh di pedalaman akan sangat berbeda dengan yang tinggal di kota, lebih-
13
lebih yang tinggal di kota besar. Cara berfikir dan bersikap orang desa
berbeda dengan orang kota. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan tradisi,
konvensi, keadaan sosial. Begitu pula dengan status sosial, penampilan
secara fisik.
Contoh:
Di sebuah kamar terdapat poster tokoh pemimpim tertentu. Besar
kemungkinannya bahwa penghuni kamar itu mengagumi orang dalam
poster tersebut. Ia terinspirasi dengan tokoh dalam poster tersebut.
Di ruang tamu terajang ayat-ayat suci dari Al Quran; atau terpajang
gambar-gambar tokoh-tokoh rohani tertentu. Hal itu mencerminkan iman
yang dianut penghuni atau pemilik ruangan.
Sebagian besar wilayah kerajaan ini adalah desa nelayan. Dengan garis
pantai yang cukup panjang, menghadap samudera luas yang memiliki
ombak sangat ganas. . . . sebagian besar penduduknya berkehidupan pas-
pasan. Kerajaan dipimpin oleh raja yang sudah sangat tua bernama
Matswapati. Seorang raja yang hidup sederhana, tetapi kadang-kadang
memiliki sifat yang sangat temperamental mudah marah (Pitoyo Amrih,
2006: 40).
Aristoteles berpendapat bahwa drama dituntut memenuhi syarat perihal
tiga kesatuan, yaitu kesatuan gerak (unity of action), kesatuan waktu (unity
of time), dan kesatuan tempat (unity of place). Dari setting sering dapat
ditangkap mengenai karakter tokoh. Misalnya di kamar orang yang hidup
pada masa perjuangan kemerdekaan akan merasa dirinya adalah pahlawan,
sedangkan generasi berikutnya hanya dianggap sebagai penikmat
kemerdekaan. Setting di rempat-tempat yang sakral akan memberi warna
tersendiri dalam sebuah fiksi.
Setting atau latar meliputi latar tempat, waktu, latar sosial.
Topik dan Tema
Topik adalah pokok pembicaraan. Biasanya topik cukup dirumuskan dalam
tiga, dua, atau bahkan satu kata saja. Misalnya, kawin paksa; tua-tua
keladi; cinta terlarang; perceraian; perebutan kekuasaan; sayembara
pilih; pelanggaran HAM; seks di luar nikah dlsb.
Kata tema berasal dari bahasa Yunani, tithenia yang berarti menempatkan
atau meletakkan. Dalam perkembangannya, tema berarti sesuatu yang
telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan.
Pengertian tema, dalam karang-mengarang dapat dilihat dari dua (2) sudut,
yaitu karangan sudah jadi 9dari sudut pembaca) dan sudut proses
penyusunan sebuah karangan (sudut pengarang). Dilihat dari sudut
karangan yang sudah jadi, tema adalah suatu amanat utama yang
disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Amanat utama akan
diketahui misalnya bila seseorang membaca roman atau novel, maka
meresaplah ke dalam pikiran pembaca suatu inti sari atau makna dari
seluruh karangan.
14
Contoh rumusan sebuah tema adalah :
1. “karena kuatnya pengaruh adat-istiadat, maka setiap perjuangan kaum
muda untuk menentukan sendiri kawan hidupnya di sekitar tahun
duapuluhan, akan selalu menemui kegagalan”.
2. “hiruk-pikuk kebisingan kota metropolitan”.
3. “Tuhan akan selalu menolong umatnya yanag tabah dan penuh pasrah
pada Tuhan dalam menghadapi segala macam cobaan”.
Dari sudut proses karangan itu sedang terjadi (pengarang) maka tema
merupakan suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan
pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tadi. Penjelasannya,
bahwa setiap pengarang harus menentukan pokok pembicaraan (topik).
Berdasarkan topik yang telah ditentukannya itulah ia menempatkan suatu tujuan
yang akan dicapai. Denagn demikian bagi pengarang yang terpenting adalah
menentukan topik dan tujuan yang akan dicapai. Melalui topik inilah kebebasan
pengarang dibatasi.
Menafsirkan tema:
Menafsirkan tema bukan pekerjaan yang mudah. Sampai saat ini belum ada teori
yang memadai mengenai bagaimana cara merumuskan tema. Menurut Stanton
(1965: 88) dan Kenny (1966: 20) tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan
demikian ia akan tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya. Oleh karena
sifatnya yangtersembunyi itulah yang menyebabkan tema sulit ditafsirkan.
Berhubungan dengan tema yang tersembunyi di balik cerita, maka penafsiran
terhadapnya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara
keseluruhan membangun cerita itu. Kita harus mulai dengan cara memahami
cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan
latar.
Tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema. Untuk itu maka bisa
diajukan pertanyaan seperti: apa motivasinya, permasalahan yang dihadapi,
bagaimana perwatakannya, bagaimakanah sikap dan pandangannya terhadap
persoalan yang dihadapi, apa dan bagaimana cara berpikir, dirasa sentralnya, ini
penting karena konflik erat kaitannya dengan tema.
Pertemuan 12 ujian tengah semester (mengkaji sebuah dama)
Pertemuan 13 nonton bareng sebuah pertunjukan, mengkaji bersama
Pertemuan 14
Membaca tanda-tanda dalam fiksi, sinema, teater
15
T I K : setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menganalisis,
menciptakan atau menggunakan tanda-tanda dalam karya seninya.
Tanda, lambang, dan simbol
Dalam KBI tampak tidak dibedakan antara tanda, lambang dan simbol. Tanda
(sign, dr bhs Latin signum), dipahami sebagai suatu alamat atau yang menyatakan
sesuatu, gejala, bukti, pengenal, lambang, atau petunjuk.
Manusia dan Tanda
Filosof jerman, Ernes Cassirer mengatakan, bahwa semua gerak yg bersifat
manusiawi adalah bersumber dr kesanggupan asasi yg dimiliki manusia utk
memberi suatu arti pada setiap hal serta melambangkannya dengan suatu lambang
tertentu. Kemampuan yg khas seperti itu oleh Cassirer disebut sebagai HOMO
SYMBOLICUM, atau hewan yg dapat melambangkan gagasannya. Manusia
adalah makluk yg penuh dengan tanda-tanda. Ada banyak hal yang
ditandakannya, hampir semua perasaan manusia dpt dilambangkan dengan tanda-
tanda tertentu, itulah sebabnya manusia juga disebut Homo Semioticus.
Semiotika dilibatkan jika manusia disibukkan dg perilaku-perilaku interpretatif,
dg penunjuk (ini yg menggantikan itu), dg tanda (cara keberadaannya, fungsinya,
hubungannya dg tanda itu, penggunaannya, timbul tenggelamnya dan sebagainya),
dg pembentuk arti, kebiasaan-kebiasaan arti dst.
Jenis Tanda
Ada 3 jenis tanda, yaitu ikon, indeks, simbol.
Ikon: tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara
penanda dan petandanya. Misalnya potret menandai orang yang dipotret. Gambar
kuda (penanda) menandai kuda (petanda).
Indeks: tanda yang menunjukkan hubungan kausal antara petanda dan penanda.
Misalnya asap menandakan adanya api; alat penanda angin menunjukkan arah
angin.
Simbol: tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer. Arti tanda ditentukan
oleh konvensi masyarakat bahasa. Misalnya kata ibu (Indonesia), mother
(Inggris), simbok, biyung (Jawa daerah tertentu).
Simbol sama dengan lambang, sesuatu yang menyatakan sesuatu hal yang
mengandung maksud tertentu, tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifatm,
keadaan).
16
Tanda, simbol, lambang memiliki suatu ciri pokok yang sama, yakni menyunjuk
sesuatu yang lain. Lambang atau simbol termasuk tanda, tetapi tidak semua tanda
dapat disebut simbol.
Simbol atau lambang bukan tanda biasa. Ada 4 macam ciri pokok simbol:
1. Simbol adalah tanda yang menunjuk suatu realitas atau tindakan yang real.
Misalnya, ungkapan janji perkawinan merupakan simbol yang amat
bermakna dan bahkan memiliki dampak yuridis.
2. Simbol adalah realitas yang mengatasi hal inderawi, bukan seperti tanda
lalu-lintas. Lampu merah bukan simbol, tetapi tanda. Contoh simbol
adalah air melambangkan kekudusan (air baptis, wudlu, tapa kungkum,
mandi air dari 7 sumber mata air).
3. Simbol selalu dalam kontek masyarakat atau kebersamaan. Tanpa
masyarakat, suatu simbol tidak akan berarti apa-apa. Merah putih
mempunyaai arti karena dipahami dan dihayati oleh seluruh rakyat
Indonesia sebagai identitas diri, nasional, bahkan internasional.
4. Simbol bukan sekedar ada dalam tataran rasional saja, melainkan menyapa
dan menyentuh seluruh diri manusia dan benar-benar mentyentuh seluruh
pengalaman hidup manusia. Contoh foto ayah, pacar, orang-rang kudus
dsb.
Tanda Alamiah: tanda yang bersifat alami, seperti tangisan bayi karena ia lapar
atau haus; nyalak anjing karena ada orang asing; langit mendung karena akan
hujan; asap mengepul karena ada sesuatu yang terbakar.
Tanda konvensional: tanda yang dibuat berdasarkan kesepakatan dalam
masyarakat atau komunitas. Contoh, semua huruf dan tulisan, bahasa, tanda lalu
lintas, kode-kode atau sandi termasuk tanda konvensional. Contoh kata “bunga”
(Ind). Kembang (Jw), flower (Ingg), blumen (Jerman), fiori (Itali). Bunyi
kentongan.
Membaca tanda-tanda melalui karakter atau watak tokoh.
Setiap tokoh cerita mempunyai karakter atau watak. Yang dimaksud karakter
adalah segala sesuatu yang melekat pada tokoh. Misalnya keadaan fisik, pakaian
yang dikenakan, cara berbicara, apa yang dibicarakan, apa yang di pikirkan, apa
yang menjadi cita-cita atau keinginan.
Dalam keseniana tradisional karakter tokoh dapat dibaca melalui keadaan tubuh
tokoh, misalnya dari wajah dan cara berpakaian. Tokoh jahat selalu ditampilkan
dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Hal itu tampak dalam cerita
pewayangan. Arjuna selalu disebut sebagai tokoh yang cakap, tampan, disukai
para perempuan, sakti tak terkalahkan bahkan disebut lelananging jagad,
17
sebaliknya tokoh antagonis selalu dilukiskan sebagai hal yang buruk. Misalnya
buruk rupa (bertaring), tidak sopan, rakus dsb.
Karakter tokoh juga dapat dihubungkan dengan seting. Mahasiswa yang nakal
biasanya dilukiskan memiliki kamar pribadi yang kurang sedap, kurang enak
dipandang mata.
Teori tradisional di atas telah gugur, karena kenyataan membuktikan bahwa
kejahatan justru dilakukan oleh orang-orang yang cakap, cantik, sopan dsb.
Membaca kualitas manusia melalui katuranggan:
Kepala agak kecil = bakal orang kaya
Perempuan bungkuk udang = kualitas seksual yang baik
Kencet sebesar lingkaran genggaman sendiri = kualitas seksual yang baik
Pandangan lurus = tegas, jujur
Pandangan tidak tenang = kurang jujur
Diajak berbicara pandangan menuju ke berbagai arah = minder
Kulit hitam = perkasa
Firasat.
Bunyi gareng-pong – permulaan musim kemarau
Bunyi burung prenjak – ada tamu
Bunyi burung gagak – kematian
Ayam berkokok malam hari – perawan hamil
Kejatuhan cecak – mendapat kesusahan
Mimpi diserang ular, buaya, gajah, kidang, binatang berkuku
(buas), kancil, garuda, burung hantu (pertanda tidak baik meskipun
tidak selalu).
Bunga:
Mawar – cinta kasih
Melati – kesucian
Janur mlengkung
Blangkon
Warna:
Kuning – ketuhanan
Merah – keberanian
Gelap – perkabungan
Biru – kesetiaan
18
Hijau – ramah, tenteram
Hitam – keabadian
a.
Sikap tubuh:
Sangga uwang – sedih
Ongkang-ongkang – nganggur
Malang kerik – nantang
Jegang – tdk sopan
Njegadul – marah
Ndomblong – heran
Lenger-lenger – memikirkan sesuatu
Plenggang-plenggong – heran
Duduk sila – sopan
Membuka topi – hormat
Meludah di depan orang – benci,menghina
Kelompok Burung:
Burung gagak = maut
Merpati = cinta kasih, roh kudus
Kulik tuhu/ hantu = tidak aman
Garuda = kepahlawanan
Tanda- tanda alam
Hujan, petir, kilat = akan terjadi sesuatu yag negatif
Bulan purnama = berkaitan dengan kebahagiaan, hadirnya peranan roh jahat
Bintang = pertanda baik
Badai = peristiwa kurang menyenangkan
Kejatuhan, meraih bulan = kemuliaan
Hanyut = kemalangan
Naik pesawat = sukses
Mengendarai mobil pada jalan menanjak = keberhasilan
b.
Tanda-tanda lain:
Membuka jendela (sinetron) persoalan sudah terurai
Hujan, petir – akan terjadi sesuatu yang buruk
Gelas, piring jatuh dan pecah – akan terjadi sesuatu yang buruk
Air, api, tanah, angin
Mimpi tanggal gigi – akan kehilangan saudara, atau orang yng dicintai
Mimpi kebakaran – dpt rejeki
Mempi mendapat tai manusia – akan mendapatkan rejeki
Mimpi berak – akan kehilangan
Mimpi mandi – akan sakit
19
Mimpi meraih bulan – meraih cita-cita
Mimpi yang menakutkan – akan ada yang sakit
Mimpi kendaraan rusak – rejeki a lot
Cincin – keabadian
Lingga –yoni
Nama orang
Nama tempat
Bacaan Tugas :
Pesan atau tema apa yang anda tangkap? Jawablah sesuai denga pengalaman
spiritual dan iltelektual anda.
Jawaban berupa uraian, minimal 1 halaman folio diketik dengan 1,5 spasi.
Melupakan Tuhan*
Doa calon pemimpin kepada Tuhan: “Tuhan, yang maha mendengar, negeri kami
sedang mengalami krisis. Banyak partai berebut kekuasaan”.
Tuhan : “Dan para pemimpin saling menjual pengaruh?”
Kata calon pemimpin : “ Ya. Bahkan untuk menarik massa, satu menjatuhkan
yang lain”.
“Ah, itu biasa!” kata Tuhan tenang.
“Tetapi tampaknya akan sangat berbahaya, Tuhan !”. Tambah calon pemimpin.
“Manusia selalu saja berambisi membangun kekuasaan tertinggi” kata-Nya lirih.
“Bahkan mereka hampir tak mengenal Aku, karena begitu yakin akan kemampuan
mereka sendiri”. Dengan nada cukup kecewa Tuhan megakhiri dialog doa itu
“Mereka baru datang pada-Ku ketika menyadari posisi mereka lemah”.
Sementara itu diseberang rumah ada ibu yang ngrumpi dengan tetangganya. Kata
ibu itu : “Kau tidak beribadah lagi?”
Jawab ibu yang lain : “Tidak. Memangnya kenapa?”
“Beberapa waktu yang lalu Kau begitu aktif mengunjungi tempat ibadah, juga
berziarah”.
Jawabnya : “ O . . ., itu ta . . . Ketika itu suamiku lagi suka nyeleweng. Dan aku
mohon bantuan Tuhan. Tetapi, sekarang ia sudah bertobat kok. Memangnya
masalah buat lo!”.
(Agus S. Gunadi. 101 Kisah Inspirasional, Seinci Waktu Sekaki Permata 2,
2006: 82-83)
Petisi Para Malaikat
Keberatan para malaikat ketika Tuhan mrencanakan menciptakan manusia
sekarang terbukti benar, bahkan sangat benar. Pada waktu itu para malaekat
datang kepada Tuhan dan berkata:
“Tuhan, kami tidak begitu setuju jika Tuhan akan menciptakan manusia”.
“Memangnya kenaapa?” menanggapi dengan santai.
“Terlalu riskan untuk kelestarian semesta yang indah ini. Menurut prototipenya,
mereka akan terlalu bengis. Alam akan rusak karenanya. Satu akan meniadakan
yang lain, alias saling membunuh. Mereka penuh ambisi untuk berkuasa
20
menyamai Tuhan. Sebagai citra Tuhan, mereka tidak dapat menampakkan citra
Tuhan yang agung!”.
Tetapi Allah toh tetap menciptakan manusia. Diciptakan pria dan wanita sebagai
citra-Nya yang dikasihi-Nya.
Dan benar, sudah sejak awal gejala-gejala yang dikawatirkan malaikat terbukti.
Mereka makan buah terlarang untuk menyamai Tuhan. Ketika Tuhan meminta
prtanggungjawaban, Adam dan Hawa saling mengingkari kesalahan, dan
melemparkan dosa itu kepada ular. Kain membunuh Abel; Firaun menindas
bangsa Yahudi. Dari hari ke hari daftar kejahatan manusia semakin panjang.
Begitu penatnya mendampingi manusia, para malaikat mengadakan informal
meeting. Muncul perdebatan antara malaikat pencatat keburukan dan maleikat
pencatat kebaikan.
“Makin hari pekerjaanku makin menumpuk. Aku tidak sempat ke firdaus utuk
sekedar refreshing. Kau begitu enak”.
“Enak? Aku kawatir kehilangan pekerjaan. Hidupku selalu dibayangi ketakutan
tidak punya kegiatan apa-apa lagi. Tidak ada yang bisa kucatat sebagai kebaikan
manusia”.
“Lihat, berapa sehari aku mendapat laporan tentang kebobrokan manusia:
penggusuran, kesewenang-wenangan, pemerkosaan, perusakan lingkungan,
pembungkaman, korupsi, kolusi, fitnah! Aku tak tahan!”.
“Kita bikin petisi supaya Tuhan mencabut semua nyawa manusia?”.
“Ya, setuju kita kompak menghadap Tuhan” jawab yang lain.
Sementara belum reda ribut, Tuhan masuk ke dalam ruangan mereka itu. Tuhan
menyambut petisi itu dengan berkata : “Aku masih berharap mereka, citra-Ku,
mereka gambaran-Ku yang agung”. (Agus S Gunadi, 2006: 90-91).
Sastra Jendra
“ Ayahku, ketika itu aku bermimpi berada di suatu dunia yang tak mengenal
malam, tak mengenal siang. Dalam dunia itu ada alun-alun bercahaya
gemerlapan. Kendaraan makluknya adalah kereta kencana dihela binatang-
binatang elok. Di atasnya ada pelangi berupa seekor naga yang sisiknya emas
yang senantiasa menetes bagaikan hujan berkah. Ayahku, dalam keadaan
demikian itu aku menerima Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Aku tidak tahu maknanya, tetapi siapa yang dapat mengupasnya bagiku, hanya
kepadanyalah aku mau menyerahkan hidupku,” kata Dewi Sukeksi. Wajahnya
bersinar seperti surya di fajar pagi. Tiba-tiba bumi bergoncang. Kilat menggeledek. Dan hujan tangis seakan runtuh
dari kahyangan. Gelap sejenak, menutupi bumi Alengka. Burung-burung
mengurungkan niatnya untuk terbang. Dan ibu-ibu Alengka memeluk
puterinya erat-erat, seperti takut digondhol Batara Kala (Sindhunata, 1984: 8).
Ah . . .
Seorang petani tua duduk di ujung pematang sawahnya menatap ke langit dan
bekata lirih: “Bapa, adakah Engkau masih disitu? Mengapa engkau berdiam diri
21
sehingga keringatMu tak mengucuri bumi, ibuku. Kau bapaku yang menaungi
aku dan ibuku, kemanakah Engkau? Aku, anakmu dan ibuku lama menunggu di
sini”.
Di tempat lain penggembala berjalan perlahan sambil menatap bumi dan
berseru:” Ibu, ibu, apa salah anakmu ini. Lihat ibu, ternak kita yang haus dan lapar
karena lama kau tak beri makanan dan minuman. Aku sadar, karena anak-anakmu
yang nakal yang membuat ibu merana. Karena anak-anakmu Bapa kita tidak mau
meneteskan keringatnya. Ampunilah anak-anakmu. Kini aku datang kepadamu
membawa persembahan sebagai tanda anak-anakmu mau berdamai. Kubawakan
sisa hasil bumi sesendok nasi, ikan asin, dan dupa. Hantarkanlah semuanya ke
hadapan Bapa kita supaya berbelas kasih kepada kita. Jika ibu mati maka aku pun
pasti mati”.
Ibu tidak menjawab sepatah kata pun, begitu pula dengan sang Bapa yang ada di
langit yang tetap berdiam diri. Persembahan yang ku bawa bukan membuat Bapa
melunak, justru membuat nya semakin murka, karena aku munafik, kataNya.
Setiap hari banjir dimana-mana, buah pekerjaan ibuku, ibu Sri yang murah hati
habis terbawa air. Ikan-ikan hanyut entah kemana, bahkan gubug-gubuh hanyut
karenanya. Akhirnya ibu berbisik kepadaku: “Anakku, itu semua karena kamu.
Pergilah ke puncak gunung. Disitu kamu akan bertemu Bapamu, diamlah disitu
tataplah dan masuklah ke lorong hatimu, dengarkanlah Dia”.
VII Unsur Ekstrinsik
Sebagaimana unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur.
Unsur-unsur itu antara lain (Weelek & Warren, 1956: 75 – 135) keadaan
subjektifitas indivdu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan
hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya-karyanya. Singkatnya,
bahwa unsur biografis pengarang akan sangat menentukan corak karya yang
dihasilkan. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik,
kebudayaan, agama juga merupkan unsur ekstrinsik yang sangat berpengaruh
terhadap karya-karyanya. Unsur eksintrik lainnya misalnya pandangan idup suatu
bangsa, berbagai karya seni lainnya.
Unsur ekstrinsik sering dianggap kurang bahkan tidak penting, padahal
sesungguhnya untuk dapat menangkap suatu karya penting memperhatikan unsur
ekstrinsik, karena dari latar belakang itulah gagasan-gagasan lahir.
Sebagai contoh:
Langit MakinMendung karya Ki Panji Kusmin. Ia menggambarkan Tuhan sebagai
orang tua berambut putih gondrong sepanjang bahu, berkacamata emas, berjubah.
Penggambaran itu dilatarbelakangi oleh pengarang adalah seorang pemuda yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama Roma Katolik. Latar belakang
pendidikannya adalah sekolah Seminari.
Dalam tradisi agama Katolik dikenal adanya ikon-ikon orang-orang kudus yang
disebut santa dan santo. Berdasarkan ikon-ikon itulah ia menggambarkan Tuhan
secara fisik.
22
Mangunwijaya Pr, hampir semua karya-karyanya bercorak masa lampau.
Triloginya Lara Mendut, Gendhuk Dhuku, dan Lusi Lindri berkisah tentang
tokoh-tokoh mitos masa Mataram; Burung-burung Manyar tokoh-tokohnya
merupakan ekologis dari cerita pewayangan; Durga Umayi bercerita masa
peristiwa G 30 S PKI.
Ashadi Siregar banyak bercerita tentang gagalnya pemuda dalam berpacaran.
Konon katanya, novel-novelnya menceritakan perjalanan cintanya yang selalu
kandas di tengah jalan.
Kajian Drama: Analisis Struktur Naskah Drama Badai Sepanjang Malam
Karya Max Arifin
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah suatu seni yang hidup bersama-sama dengan Bahasa.Tanpa bahasa
sastra tidak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa
sastra lisan, maupun tertulis. Walaupun perwujudan sastra menggunakan bahasa,
kita tidak dapat memisahkan sastra dari bahasa, ataupun membuangnya dari
peradaban bahasa itu sendiri, karena itu merupakan suatu perbuatan yang sangat
23
biadab, Karena sastra adalah sebuah “hidup” bagi seorang penulis.
Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu (1) Prosa, bentuk sastra
yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-
aturan seperti dalam puisi. (2) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan
menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu
terikat oleh kaidah atau aturan tertentu (3) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan
seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada
prosa.(4)Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan
bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau
monolog.Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan
drama yang dipentaskan.
Naskah lakon atau drama sebagai salah satu jenis pengucapan kesusastraan, selain
memiliki elemen-elemen yang sama dengan roman pada umumnya yakni alur,
tema dan penokohan. Naskah lakon dibedakan dengan bentuk-bentuk lainnya
terutama dalam hal pemenuhan tuntutan kebutuhan penyajian kembali di atas
pentas.Dalam hal ini, pelaku dituntut untuk memerankan perwatakan tokoh-
tokohnya serta melaksanakan dialog-dialognya demi mendukung kelancaran
cerita.
Dengan demikian, drama atau naskah lakon sebagai sastra adalah cerita yang
unik.Ia hadir bukan untuk dibaca saja, melainkan dipertunjukkan sebagai
tontonan.Drama belum mencapai „kesempurnaan-nya‟ apabila belum sampai pada
tahap pementasan teater sebagai bentuk perwujudannya. Untuk itu pemakaian
gaya bahasa naskah lakon merupakan sesuatu hal yang „unik‟ dan telah
diperhitungkan baik oleh sang pengarang, sutradara, maupun para pemain yang
terlibat proses pementasan. Selain sebagai sarana untuk membangun atmosfir dan
suasana baik pembaca maupun penonton, bahasa juga digunakan sebagai media
untuk menyampaikan ide atau gagasan dasar pengarang sehingga drama hadir
tidak dalam kondisi yang „kosong‟.
Drama Badai Sepanjang Malam Karya Max Arifin sangat menarik untuk diangkat
sebagai kajian, karena berceritakan tentang keadaan sekitar kita.seseorang yang
lahir dan dibesarkan dikota dengan keharusan dia harus menetap di desa terpencil
menjadi seorang guru muda. Desa yang jauh, angker, tidak bersahabat: panas dan
debu melecut tubuh. Ia kering kerontang, gersang.
Penulisan yang dilakukan oleh Karya Max Arifin menggunakan gaya bahasa yang
ringan, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang
membawa penulis mengkaji Drama Badai sepanjang malam dengan pendekatan
stuktural.
1.2 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu kajian sangatlah penting hal ini dimaksudkan
24
agar permasalahan yang akan di kaji lebih terarah dan tidak terjadi penyimpangan
yang terlampau jauh dari permasalahan semula.
Berdasarkan latar belakang yang demikian luas dan umum, penulis akhirnya
membatasi permasalahan hanya dalam bidang Struktural dalam drama Badai
Sepanjang Malam karya Max Arifin.
1.3 Perumusan masalah
Berdasarkan urayan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan pengkajian sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan drama?
b. Bagaimana stuktur atau unsur-unsur intrinsik drama Badai Sepanjang Malam
tersebut?
1.4 Tujuan dan Manfaat Kajian
Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
kajian Prosa, adalah:
a) Mendeskripsikan Struktur drama Badai Sepanjang Malam.
b) Mendeskripsikan metode struktur drama.
c) Memaparkan satu contoh mengkaji Prosa secara struktural.
LANDASAN TEORETIS
2.1 Drama
2.1.1 Pengertian Drama
Drama adalah sebuah genre sastra penampilan fisiknya memperlihatkan
secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada.
Selain itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya
semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran
tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh (Wahyudi, 2006:
95). Oleh karena itu, berbeda dengan prosa dan puisi, drama diciptakan tidak
hanya untuk dibaca, melainkan juga untuk dipentaskan.
Aristoteles mendeskripsikan bahwa drama adalah tiruan atas lakuan (the
imitation of an act).Hal ini dapat diartikan juga bahwa drama adalah sebuah
tiruan dari kehidupan manusia yang kemudian dilakonkan dalam sebuah
drama.Dinamika kehidupan manusia yang mencakup berbagai persoalan
25
dalam kehidupan sehari-hari ditirukan dalam drama.Dengan demikian, jika
kita menonton drama, kita dapat merasakan perasaan takut, tegang, senang,
dan kasihan berdasarkan cerita yang dipentaskan (Sarumpaet, 1999:2-3).
2.1.2 Jenis-jenis Drama
Pada umumnya drama di bagi menjadi enam bagian. Dibawah ini akan dibahas ke
enam drama tersebut.
2.1.2.1 Tragedi
Yaitu drama yang mengisahkan kehidupan sehari-hari yang mengandung cerita
tentang kemalangan dan kesedihan.
2.1.2.2 Komedi
Yaitu drama yang mengutarakan kehidupan sehari-hari dengan pelbagai peristiwa
lucu yang menyebapkan penonton tertawa.
2.1.2.3 Tragedi-komedi
Yaitu drama yang mengisahkan kehidupan sehari-hari yang mengandung cerita
kesedihan dan unsur-unsur lucu.
2.1.2.4 Opera
Yaitu drama yang mengemukakan cerita yang digabungkan dengan musik.
2.1.2.5 Pantonim
Yaitu lakonan yang dipersembahkan melalui gerak badan dan mimik muka untuk
menyatakan aksi dan perasaan watak.
2.1.2.6 Bangsawan
Pada jenis drama ini, para pelakon membentuk dan mengubah sendiri dialog-
dialog yang ingin disampaikan.
2.1.3 Struktur Drama
unsur-unsur pokok atau struktur drama (atau sering juga disebut sebagai unsur
intrinsik) antara lain;
2.1.3.1 Tema
Setiap drama selalu mengandung unsur pokok pembicaraan yang
26
dikemukakan oleh pengarang, walaupun letaknya tersembunyi, dan
pembaca harus mencarinya sendiri. Esten (1978 : 22) mengemukakan bahwa
tema adalah sesuatu yang menjadi pemikiran, sesuatu yang menjadi
persoalan bagi pengarang. Selanjutnya Sukada (1987 : 70) mengatakan,
bahwa tema adalah ide pokok, ide sentral yang dominan dalam karya sastra.
2.1.3.2 Dialog
Menurut kamus istilah sastra yang diterbitkan oleh balai pustaka, dialog adalah
percakapan di dalam karya sastra antara dua tokoh atau lebih yang biasanya
mencerminkan pertukaran pikiran atau pendapat.
2.1.3.3 Peristiwa
Menurut kamus istilah sastra yang diterbitkan oleh balai pustaka, Peristiwa atau
kejadian merupakan unsur alur yang merupakan kejadian yang
penting.Atau kisaran pendek yang berhubungan dengan suatu situasi. Jika
peristiwa dirangkai secara berkaitan, ia menjadi episode dalam alur.
2.1.3.4 Latar atau seting
Yang dimaksud latar atau seting adalah tempat atau masa terjadinya cerita.
Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya suatu kejadian dan kapan
(Sumardjo : 1984), sedangkan menurut Zakaria (1981 : 23) mengatakan
bahwa latar merupakan tempat terjadinya peristiwa atau tempat berlakunya
peristiwa.
2.1.3.5 Penokohan atau Perwatakan
Penokohan dalam suatu cerita drama merupakan suatu hasil kreatif pengarang
secara imajinatif dalam melukiskan watak dan pribadi para tokoh melalui sikap,
cakapan serta perbuatannya. Penokohan yang baik yaitu penokohan yang berhasil
mengembangkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh
tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat
(esten : 27)
Untuk mengenal dan memahami para watak tokohyang ada di dalam sebuah cerita
, kita dapat meneliti: (1) apa yang dilakukan, (2) apa yang dikatakannya, (3) apa
sikapnya dalam menghadapi persoalan, (4) bagaimana penilaian tokoh lain atas
dirinya (Sumardjo, 1984 : 67).
2.1.3.6 Alur atau Plot
Alur atau plot adalah jalan cerita yang merupakan rangkaian peristiwa yang saling
berhubungan sehingga terjalin suatu cerita. Seperti dikemukakan oleh Rusyana
(1978 : 67), yang dimaksud alur atau jalannya cerita adalah rangkaian cerita yang
27
di bentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita.
2.1.3.7 Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pengarang akan menentukan kenikmatan dalam
membca karya sastra, karena gaya bahasa yang digunakan dalam cerita
merupakan susunan rangkayian atau perkataan kalimat yang timbul atau terjadi
dari perasaan yang tumbuh atau hidup dalam hati penulis.
Menurut selamet dan simanjuntak (sekada, 1987 : 84), mengatakan bahwa gaya
bahasa merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang tumbuh
atau yang hidup dalam hati penulis, dan yang sengaja ataupun tidak sengaja
menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.
METODE KAJIAN
3.1 Metode Kajian
Adapun metode yang dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan metode
Deskriptif. Penulis akan mendeskripsikan data untuk menemukan unsur-unsurnya.
Studi untuk menyusun makalah ini berupa pencarian referensi dari beberapa buku
yang dapat dijadikan acuan untuk menggali informasi yang aktual dan tetap
berpegang pada prinsip representatif.Selain berbagai buku apresiasi dan kajian
Drama, penulis juga menggunakan media Maya untuk mencari data yang relevan
dengan pembuatan makalah.
3.2 Sumber Data
Objek yang diteliti adalah Naskah Drama Badai Sepanjang Malam Karya Max
Arifin.naskah ini pernah dimuat dalam buku Kumpulan Drama Remaja, editor
A.Rumadi. Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1988, halaman 25-33.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan studi pustaka, yaitu teknik yang
digunakan untuk memperoleh bahan penunjang yang berhubungan dengan
permasalahan.
3.4 Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, penulis menggunakan pendekatan Struktural untuk
menganalisis data, sesuai dengan judul makalah ini.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktural
28
Drama (karya sastra) merupakan sebuah struktur.Struktur di sini dalam arti bahwa
karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara
unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan.Jadi,
kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan
hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling
terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung.
Dalam pengertian struktur ini terlihat adanya rangkaian kesatuan yang
meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transfomasi, dan ide
pengaturan diri sendiri.
Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-
bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu.
Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak
statis.
Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan
pertolongan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasi.Jadi, setiap
unsur itu mempunyai fungsi tertentu berdasarkan aturan dalam struktur itu.Setiap
unsur mempunyai fungsi tertentu berdasarkan letaknya dalam struktur itu.
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia
yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-
srukturnya. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra
merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan-
susunan hubungan daripada susunan benda-benda.Oleh karena itu, kodrat
tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya,
melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur
lainnya yang terkandung dalam struktur itu.(Hawkes, 1978:17-18).
Menurut Nyoman Kutha Ratna, unsur-unsur pokok yang terkandung di dalam
Drama antara lain:
4.1.1 Tema
Tema sebuah drama merupakan permasalahan yang mendasari sebuah cerita.
Pokok permasalahan itu mungkin berupa kehidupan, pandangan hidup atau
komentar tentang lingkungan.Tema berkedudukan sangatlah penting karena
merupakan titik sentral yang melatar belakangi suatu cerita atau peristiwa.
Drama Badai sepanjang malam merupakan sebuah cerita tentang komentar
terhadap lingkungan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut:
Saenah: [Membaca] “Sudah setahun aku bertugas di Klaulan. Suatu tempat yang
29
terpacak tegak seperti karang di tengah lautan, sejak desa ini tertera dalam peta
bumi. Dari jauh dia angker, tidak bersahabat: panas dan debu melecut tubuh. Ia
kering kerontang, gersang. Apakah aku akan menjadi bagian dari alam yang tidak
bersahabat ini?
4.1.2 Dialog
Dialog yang dibangun dalam drama Badai Sepanjang Malam Karya Max Arifin
ini merupakan dialog yang selalu bergantian, atau dialog yang teratur antara dua
tokoh utama.
4.1.3 Peristiwa atau Kejadian
Seseorang yang lahir dan dibesarkan dikota dengan keharusan dia harus menetap
di desa terpencil menjadi seorang guru muda. Desa yang jauh, angker, tidak
bersahabat: panas dan debu melecut tubuh. Ia kering kerontang, gersang, namun
dengan semangatnya juga dorongan istrinya mereka bisa tetap bertahan.
4.1.4 Latar atau seting
Latar dalam suatu cerita drama merupakan gambaran tentang tempat,
suasana, dan waktu terjadinya suatu peristiwa secara umum. Adapun latar
dalam drama Badai Sepanjang Malam dapat penulis uraikan di bawah ini.
4.1.4.1 Latar Tempat
Adapun latar tempat yang terdapat dalam Drama Badai Sepanjang Malam Karya
Max Arifin yaitu Ruangan depan sebuah rumah desa pada malam hari. Di dinding
ada lampu minyak menyala.Ada sebuah meja tulis tua.Diatasnya ada beberapa
buku besar.Kursi tamu dari rotan sudah agak tua.Dekat dinding ada balai
balai.Sebuah radio transistor juga nampak di atas meja.
4.1.4.2 Latar Suasana
Adapun latar suasana yang terdapat dalam Drama Badai Sepanjang Malam Karya
Max Arifin yaitu Suasana pada setiap dialog yang ada pada drama tersebut
menunjukkan suasana penyesalan yang mengekang.
4.1.4.3 Latar Waktu
Adapun latar waktu yang terdapat dalam Drama Badai Sepanjang Malam Karya
Max Arifin yaitu larut malam.hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut:
Saenah: Kau belum tidur juga? kukira sudah larut malam. Beristirahatlah, besok
kan hari kerja?
30
Jamil: Sebentar, Saenah.Seluruh tubuhku memang sudah lelah, tapi pikiranku
masih saja mengambang ke sana kemari.Biasa, kan aku begini malam malam.
4.1.5 Penokohan atau Perwatakan
Drama Badai Sepanjang Malam karya Max Arifin mempunyai tiga tokoh. Tapi
satu tokoh yaitu Kepala Desa, hanya ada pada flashback saja.dibawah ini akan di
uraikan tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan penokohan atau perwatakkannya.
(1) Jamil, seorang guru SD di Klaulan, Lombok Selatan, berumur 24 tahun. Dia
seorang yang memiliki pendirian dan idialis sejati.Seperti pada kutipan berikut.
Saenah: [Keras]Tidak! Mesti ada sesuatu yang hilang antara kau dengan
masyarakatmu.Selama ini kau membanggakan dirimu sebagai seorang
idealis.Idealis sejati, malah.Apalah arti kata itu bila kau sendiri tidak bisa dan
tidak mampu bergaul akrab dengan masyarakatmu. [Pause]
(2) Saenah, istri Jamil berusia 23 tahun, seorang istri yang kuat yang mau
mengikuti suaminya kemanapun dan dalam keadaan apapun. seperti pada kutipan
berikut.
Saenah: Aku akan tetap bersamamu.Yakinlah. [Jamil menuntun istrinya ke kamar
tidur.Musik melengking keras lalu pelan pelan,sendu dan akhirnya berhenti].
(3) Kepala Desa,suara pada flashback,
4.1.6 Alur atau Plot
Alur merupakan susunan peristiwa yang terpilih dan diatur oleh pengarang
secarara logis dalam hubungan sebap akibat, sehingga memebentuk suatu
cerita yang utuh.
Alur yang terdapat dalam drama Badai Sepanjang malam karya Max Arifin yaitu
alur sorot balik atau flashback. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut:
Saenah: Aku tidak berpikir sampai ke sana. Pikiranku sederhana saja.kau masih
ingat tentunya, ketika kita pertama kali tiba di sini, ya setahun yang lalu. Tekadmu
untuk berdiri di depan kelas, mengajar generasi muda itu agar menjadi pandai.
Idealismemu menyala nyala.Waktu itu kita disambut oleh Kepala Desa dengan
pidato selamat datangnya.[S aenah lari masuk.Jamil terkejut.tetapi sekejap mata
Saenah muncul sambil membawa tape recorder!]Ini putarlah tape ini.Kaurekam
peristiwa itu.[Saenah memutar tape itu, kemudian terdengarlah suara Kepala
Desa]‟…Kami ucapkan selamat datang kepada Saudara Jamil dan istri.Inilah
tempat kami.Kami harap saudara betah menjadi guru di sini.Untuk tempat saudara
berlindung dari panas dan angin, kami telah menyediakan pondok yang barangkali
tidak terlalu baik bagi saudara.Dan apabila Anda memandang bangunan SD yang
31
cuma tiga kelas itu.Dindingnya telah robek, daun pintunya telah copot, lemari
lemari sudah reyot, lonceng sekolah bekas pacul tua yang telah tak terpakai
lagi.Semunya, semuanya menjadi tantangan bagi kita bersama. Selain itu,kami
perkenalkan dua orang guru lainnya yang sudah lima tahun bekerja di sini.Yang
ini adalah Saudara Sahli, sedang yang berkaca mata itu adalah Saudara Hasan.
Kedatangan Saudara ini akan memperkuat tekad kami untuk membina generasi
muda di sini. Harapan seperti ini menjadi harapan Saudara Sahli dan Saudara
Hasan tentunya.”[Saenah mematikan tape.Pause, agak lama.Jamil menunduk,
sedang Saenah memandang pada Jamil.Pelan pelan Jamil mengangkat mukanya.
Mereka berpandangan]
4.1.7 Gaya Bahasa
Peranan bahasa merupakan hal sangat penting dalam mengungkapkan isi hati,
pikiran, dan perasaan seseorang khususnya pengarang. Pengungkapan hal tersebut
akan lebih baik apabila penggunaan bahasa itu ditafsirkan dengan gaya bahasa,
yang akan menimbulkan serta memberikan keindahan, kenikmatan, dan perasaan
tertentu bagi pembaca.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Max Arifin dalam drama Badai Sepanjang
Malam adalah gaya bahasa sehari-hari. di bawah ini akan dibahas beberapa gaya
bahasa yang disajikan oleh pengarang.
Klimaks, dimana pengarang melukiskan sesuatu yang mempunyai pola struktur
menaik. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut: Suara jangkerik. suara
burung malam. gonggongan anjing di kejauhan. Suara Adzan subuh.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan kajian terhadap drama Badai Sepanjang Malam karya
Max Arifin pada bab 4, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1) Aspek unsur stuktur atau intrinsik drama Badai Sepanjang Malam karya Max
Arifin yang meliputi tema, dialog, peristiwa atau kejadian, latar atau seting,
penokohan atau perwatakan, alur atau plot serta gaya bahasa tergambar dengan
jelas dan utuh.
2) Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam drama tersebut adalah gaya
bahasa sehari-hari. Namun pengarang menuliskannya secara penuh tanpa kata-
kata yang seharusnya tidak perlu.
DAFTAR RUJUKAN
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru.
32
Ratna, nyoman kutha, 2004. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra,
yogyakarta: Pustaka pelajar.
Santoso, Puji, 1993, ancangan semiotika dan pengkajian susastra, Bandung:
Angkasa
http://sastradewa.blogspot.com/2008/03/pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra.html
Penulis: Ferdinaen Saragih
Dukung Ferdinaen Writer dalam Kontes Mobil Keluarga Ideal Terbaik
Indonesia Posted by: Ferdinaen Saragih Penulis Mania , Updated at: 2:07 PM
ateh75 said...
wah tulisan lengkap tentang sastra nih..makasih ya dah sharing.
July 28, 2009 at 4:29 PM
Anonymous said...
mz....
bisa dijelaskan lebih lengkap lg g tentang naskah badai sepanjang malam?
cz aq butuh buat bahan kuliah...
d tunggu d [email protected]
October 18, 2009 at 8:19 AM