Kajian Budaya Pop Pada Musik Keroncong

download Kajian Budaya Pop Pada Musik Keroncong

of 13

description

Kajian Budaya Pop Pada Musik Keroncong: Perkembangan dan Pengaruh Budaya Musik Pop

Transcript of Kajian Budaya Pop Pada Musik Keroncong

  • KAJIAN BUDAYA POP PADA MUSIK KERONCONG

    Perkembangan dan Pengaruh Budaya Musik Pop

    INTERDISIPLINER II

    Untuk memenuhi tugas analisis kajian budaya pada objek karya seni

    Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni

    Minat Studi Pengkajian Musik

    oleh

    MOHAMMAD TSAQIBUL FIKRI

    NIM. 14211125

    PROGRAM PASCASARJANA

    INSTITUT SENI INDONESIA (ISI)

    SURAKARTA

    2016

  • 2

    A. LATAR BELAKANG ILMU KAJIAN BUDAYA

    Penelitian mengenai kajian budaya cultural studies pada awalnya

    berkembang di Inggris, lalu menyebar ke Amerika Utara dan Australia.

    Chris Jenks (2013: 226-227) menjelaskan bahwa ada tiga tokoh yang

    berperan pada ilmu kajian budaya, diantaranya: Richard Hoggart dengan

    Uses of Literacy, Raymond Williams dengan Culture and Society, dan E. P.

    Thompson dengan The Making of the English Working Class. Ketiganya

    mampu membangun teori tentang landasan-landasan sosial dan politik

    dari kebudayaan.

    Cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan metode yang

    monolitik. Stuart Hall (1992) dalam Storey (2010: 1-2) menjelaskan bahwa :

    Cultural studies mengandung wacana yang berlipat ganda; bidang ini memuat sejumlah sejarah yang berbeda. Cultural studies merupakan seperangkat formasi; ia merekam momen-momen di masa lalu dan kondisi krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural studies mencakup berbagai jenis karya yang berbeda... ia senantiasa merupakan seperangkat formasi yang tidak stabil... ia mempunyai banyak lintasan; kebanyakan orang telah mengambil posisi teoritis yang berbeda, kesemuanya teguh pada pendiriannya. (278)

    Cultural studies merupakan wacana yang sudah lama

    diperdebatkan, misalnya diawali pada akhir 1970an. Pada masa tersebut

    cultural studies dikacaukan akan penegasan feminisme tentang pentingnya

    gender, dan selanjutnya munculnya perdebatan mahasiswa mengenai

    tidak munculnya perbedaan ras pada berbagai analisis cultural studies.

    Berbeda dengan perdebatan saat ini, cultural studies banyak

    mempermasalahkan tentang kegamangan segala kebenaran/pernyataan

    yang dipertanyakan kembali di era post-modernisme.

    Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis

    ketimbang secara estetis. Objek kajian yang dipahami adalah sebagi teks

    dan praktik hidup sehari-hari. John Storey (2010: 3) menjelaskan bahwa

  • 3

    cultural studies menganggap budaya bersifat politis dalam pengertian yang

    sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan.

    Cultural studies didasarkan pada marxisme. Dijelaskan bahwa

    marxisme menerangkan cultural studies dalam dua cara fundamental:

    pertama, untuk memahami makna dari teks atau praktek budaya; kita

    harus menganalisisinya dalam konteks sosial dan historis produksi dan

    konsumsinya sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan. Asumsi kedua,

    pengenalan bahwa masyarakat industrial kapitalis adalah masyarakat

    yang disekat-sekat secara tidak adil menurut beberapa kelompok,

    misalnya; garis etnis, gender keturunan, dan kelas (status sosial) yang

    menyebabkan budaya bersifat ideologis.

    John Storey menegaskan bahwa cultural studies memandang

    budaya berasal dari fakta yang membantu membangun struktur dan

    membentuk sejarah (2010: 4). Chris Jenks (2013: 233-235) dapat

    menyimpulkan dalam sembilan daftar karakteristik yang diperoleh dari

    rumusan Agger, bahwa kajian budaya merupakan;

    1. Kajian budaya beroperasi dengan sebuah konsep kebudayaan

    yang diperluas. Jenis kajian ini berpegang pada pandangan

    antropologis tentang kebudayaan yang menyatakan bahwa

    kebudayaan adalah seluruh cara hidup yang dijalani manusia

    meskipun tidak sejalan dengan pandangan kebudayaan sebagai

    sebuah totalitas.

    2. Kajian budaya melegitimasi, membenarkan, memuji dan

    mempolitisasikan seluruh aspek kebudayaan populer yang

    memiliki makna di dalamnya.

    3. Sosialisasi identitas kajian budaya melalui proses media massa

    dan komunikasi massa yang berusaha mereka pahami.

  • 4

    4. Kebudayaan bersifat dinamis, sebagai sesuatu yang

    sedang/terus terbentuk, terus memperbarui diri dan lebih

    menekankan pada sebuah proses.

    5. Kajian budaya lebih didasarkan pada konflik dibanding pada

    keteraturan budaya itu sendiri.

    6. Kajian budaya bersifat menjajah secara demokratis atau dapat

    diartikan semua aspek kehidupan sosial saat ini adalah

    berbudaya.

    7. Kajian budaya merepresentasikan dalam segala tingkatan,

    diantaranya; permulaan kemunculan, mediasi dan penerimaan,

    atau produksi, distribusi dan konsumsi.

    8. Kajian budaya bersifat interdisipliner yang melibatkan

    pertemuan antar pokok bahasan disipliner dan mengakui

    sebuah pemikiran akan terus berubah dan bergerak.

    9. Peneliti kajian budaya menolak nilai-nilai mutlak dan

    melakukan pengkajian berdasarkan apa yang diinginkan.

    B. OBJEK KAJIAN BUDAYA: KERONCONG

    Bentuk musik keroncong saat ini semakin berkembang sesuai

    dengan selera masyarakatnya. Keroncong semakin banyak diminati baik

    dari kalangan tua dan muda. Berbagai bentuk sajian seperti

    penggabungan chamber orchestra1 mulai menjadi perhatian saat ini.

    Adapun lagu-lagu pop-modern yang digubah/diaransemen menjadi

    bentuk lagu keroncong, saat ini juga semakin marak disajikan.

    1 Chamber orchestra adalah orkes dalam ukuran kecil dengan jumlah pemain yang

    terbatas. (Banoe, 2003: 311)

  • 5

    Pada dasarnya keroncong di Indonesia memiliki 4 bentuk lagu,

    yaitu; keroncong Asli, Langgam, Stambul dan bentuk baru yang muncul

    saat ini yakni keroncong Ekstra/Kreatif.2 Pada dasarnya komposisi lagu

    keroncong kreatif dapat dilihat dari bentuk; percampuran dua atau lebih

    jenis genre lagu (keroncong-pop, keroncong-jazz, keroncong-dangdut, dan

    sebagainya), medley penggabungan beberapa lagu (Rayuan Kelana

    medley Rangkaian Melati, Moritsku medley Kemayoran, dan sebagainya),

    aransemen lagu (tema nuansa musik Daerah, percampuran komposisi,

    dan sebagainya), penambahan instrumen (saluang, pianika, accordeon,

    dan sebagainya), maupun gaya sajian pertunjukan (teatrikal, drama

    musikal, dan sebagainya) yang disajikan kepada penontonnya.

    Adapun dari perkembangan keroncong kreatif, muncullah wacana

    jenis baru; yaitu keroncong inkulturasi.3 Jenis keroncong inkulturasi

    tersebut merupakan penggabungan alat musik keroncong dengan alat

    musik daerah, sedangkan komposisi lagu keroncong tersebut disesuaikan

    dengan suasana tema/ide musikal daerah. Contoh; grup DOemar Bakrie

    menambahkan suling Sunda pada komposisi lagu Solo Kota Pusaka saat

    kegiatan Solo Keroncong Festival 2014.

    Selain itu, Hastanto dalam Kajian Musik Nusantara-1 menjelaskan

    bahwa; jika dikelompokkan dalam pembagian era, keroncong dapat

    dikategorikan ke dalam empat era, yakni; 1) Keroncong tempoe doeloe

    (1880-1920), 2) Keroncong abadi (1920-1960), 3) Keroncong modern, dan 4)

    Keroncong millenium (2000-sekarang) (2011: 86).

    Keroncong saat ini masih dianggap hasil dari pecampuran musik

    local genius masyarakat Indonesia yakni karawitan Jawa dengan

    peninggalan gaya musik Portugis. Pada awalnya kedatangan bangsa

    2 Keroncong kreatif adalah keroncong dengan perpaduan genre atau perpaduan

    instrumen atau pola aransemen gubahannya. 3 Wacana ini muncul pada Solo Keroncong Festival 2015.

  • 6

    Eropa ke Indonesia di pulau Jawa, terjadi pada tahun 1513 ketika kapal

    dagang Portugis di bawah pimpinan Tom Pires singgah di pelabuhan

    Sunda Kelapa untuk mencari rempah-rempah. Kemudian pada tahun

    1527 Sunda Kelapa direbut kembali oleh Fatahillah yang berhasil

    menghalau kehadiran orang Portugis dan merubah nama menjadi

    Jayakarta (saat ini Jakarta). Tahun 1596 kapal Belanda mulai berlabuh di

    Jayakarta, setelah itu pada tahun 1619 Vereenigde Oost-Indische Compagnie

    (VOC) menaklukkan Jayakarta serta menamainya Batavia. Setelah

    penaklukan Jayakarta, VOC pada tahun 1641 berhasil merebut kekuasaan

    Portugis dari Malaka dan membawa sejumlah tawanan perang ke Batavia.

    Pembawaan tawanan tersebut akhirnya dibebaskan dari perbudakaan

    dengan syarat para tawanan merubah keyakinan mereka untuk menganut

    agama Katolik. Mereka ini disebut sebagai kelompok merdequas atau

    mardjikers; berasal dari istilah Belanda yakni maharddhika yang berarti

    pembebasan pajak.

    Pada tahun 1661 Gereja Portugis di Batavia mendesak kepada VOC

    untuk membebaskan 23 laskar Portugis asal Goa bersama keluarga yang

    berasal dari Banda, tawanan ini adalah tahanan ketika tertangkap

    melarikan diri dari Pulau Banda. Setelah 23 laskar Portugis tersebut

    bersedia berpindah agama, VOC kemudian memberikan mereka sebuah

    wilayah pemukiman di luar kota Batavia yang sekarang dikenal sebagai

    wilayah kampung Tugu atau Toegoe (ejaan bahasa Melayu) berada di

    Cilincing-Jakarta Utara.

    Setelah memperoleh status bumiputera melalui Lembaran Negara

    No. 2 tanggal 14 Januari 1840 oleh pemerintah Hindia Belanda, komunitas

    Tugu tetap mempertahankan budaya Portugisnya. Salah satu budaya

    Portugis yang hidup sampai saat ini di kampung Tugu adalah melalui

    seni musik. Purcell dalam Victor Ganap menjelaskan bahwa, lagu rakyat

    Portugis terdiri dari tiga jenis yaitu: 1). Ballada; 2). fado; dan 3). Lagu-lagu

  • 7

    lirik (2011: 88). Jenis lagu fado inilah yang dianggap sebagai dasar dari

    musik keroncong di tanah air. Fado berasal dari istilah latin fatum yang

    berarti takdir. Sebagai ciri khas fado, gitar mendominasi dari musik

    tersebut. salah satu instrumennya adalah gitar portugis atau cavaquinho

    yang berbentuk gitar kecil, panjang 50 cm serta memiliki empat dawai.

    Selain itu ada juga gitar yang lebih kecil atau cavaco yang bentuknya sama

    dengan cavaquinho, namun ukurannya lebih kecil.

    Popularitas cavaquinho berawal dari abad 19 setelah mencapai

    Hawaii dan disebut ukulele. Sebutan ukulele kemudian mendunia

    sehingga orang menganggap gitar ini berasal dari Hawaii, sejalan dengan

    punahnya popularitas cavaquinho di tanah Portugis. Instrumen cavaquinho

    tidak semata-mata menjadi tonggak dari musik keroncong, salah satu

    penyebab lainnya adalah latarbelakang pengaruh bangsa Moor terhadap

    musik Portugis seperti peninggalan instumen rebana (pandeiro) yang

    digunakan untuk mengiri tarian Moor. Cavaquinho dan pandeiro disebut-

    sebut menjadi dasar musik kerontjong Toegoe terbentuk.

    Pengaruh musik Portugis terhadap kerontjong Toegoe dari bentuk

    lagu fado tersebut menjadi warisan budaya masyarakat kampung Toegoe

    dari bangsa Portugis. Victor Ganap menjelaskan bahwa;

    pengaruh musik Portugis abad ke-16 terhadap Krontjong Toegoe dapat dilihat dari enam point. 1). Struktur musiknya menurut tarian Portugis dalam dua dan tiga ketukan; 2). Progresi akordnya sebatas I-IV-V menurut gaya bassa dana Portugis masa lalu; 3). Syairnya berbentuk pantun model nyanyian duel Portugis dengan chorus; 4). Penggunaan instrumen keroncong ukulele atau macina yang identik dengan cavaquinho; 5). Penambahan instrumen jitera dan rebana yang identik dengan guitarra portugesa dan adufe atau pandeiro; 6) adanya lagu Portugis Moresco dan Prounga dalam repertoar Krontjong Toegoe, selain lagu-lagu berbahas Portugis cristo lainnya (2011: 97).

    lagu moresco dapat dijadikan sebagai titik temu keroncong gaya Portugis

    dan ide gagasan musikal gaya Indonesia mulai bertemu.

  • 8

    Setelah era moresco Kerontjong Toegoe, musik keroncong

    dikembangkan oleh masyarakat Betawi di daerah Kemayoran dan

    Gambir. Hal ini di tandai dengan munculnya lagu Keroncong Kemayoran

    dan lagu Pasar Gambir yang sampai saat ini masih sering disajikan.

    Perkembangan keroncong terus semakin berkembang dan digemari oleh

    kalangan masyarakat di Indonesia. Perkembangan tersebut memunculkan

    berbagai jenis dan genre baru yang terus berkembang atau dapat disebut

    dalam tulisan ini sebagai keroncong Ekstra/Kreatif. Bahkan saat ini

    keroncong menjadi sebuah ide musikal, sebagai contoh kasus; tanpa

    adanya alat musik keroncong dan hanya menggunakan keyboard

    electone dengan style keroncong, maka lagu apapun dapat dibawakan

    dengan gaya musik keroncong. Fenomena kasus yang serupa yakni;

    symphony orchestra atau chamber orchestra mengadopsi, mengubah dan

    mengorkestrasi gaya keroncong ke dalam bentuk sajian orkestra. Adapun

    perkembangan musik industri adalah; Bondan & Fade2Black

    menggunakan gaya keroncong pada lagu Keroncong Protol. Dapat

    ditegaskan bahwa keroncong saat ini menjadi sebuah ide musikal.

    Keroncong kemudian berkembang pesat di Indonesia dan saat ini

    keroncong memiliki cita rasa Indonesia dengan menggeser pengaruh

    Portugisnya. Perkembangan tersebut juga mengiri budaya musik pop

    yang semakin populer di Indonesia. Perkembangan musik pop ini

    akhirnya mempengaruhi sajian musik keroncong yang mulai ikut-ikutan

    mengadopsi dan mengaransemen lagu pop kedalam bentuk sajian musik

    keroncong. Perkembangan ini tentunya dipengaruhi oleh industri musik

    dan konsumen sebagai penentu utama kepopuleran keroncong.

  • 9

    C. KAJIAN BUDAYA POP PADA MUSIK KERONCONG

    Perkembangan budaya musik pop akhirnya mempengaruhi gaya

    musik keroncong saat ini. Hal tersebut diakibatkan kebutuhan pasar dan

    selera masyarakat akan lagu-lagu pop, sehingga menimbulkan

    kegaduhan pada beberapa seniman keroncong untuk ikut-ikutan

    terjebak pada industri musik pop. Pada akhirnya banyak grup keroncong

    mulai mengadopsi lagu-lagu pop saat ini untuk dibawakan dalam bentuk

    sajian keroncong dan mengurangi bahkan meninggalkan lagu-lagu

    keroncong.

    Industri musik yang turut mempengaruhi gaya keroncong adalah

    permintaan televisi, pemenuhan permintaan dalam event festival

    keroncong, acara pernikahan/wedding party yang melibatkan permintaan

    konsumen/request lagu-lagu pop, maupun pemenuhan permintaan

    masyarakat pasar yang saat ini mulai terpengaruh globalisasi musik pop.

    Adorno dalam Storey (2010: 118-119) menjelaskan bahwa tiga

    pernyataan spesifik perihal musik pop. Pertama, musik pop bersifat

    mekanis yang diartikan bahwa detail bagian tertentu pada musik pop bisa

    diganti dari satu lagu ke lagu lainnya tanpa efek apapun dan standarisasi

    sederhana. Para penikmat lupa bahwa apa yang didengarkan adalah

    penyederhanaan dari karya-karya sebelumnya. Kedua, musik pop

    mendorong pendengaran yang pasif. Ketiga, musik pop melakukan

    penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini. Masyarakat saat

    ini kemudian dapat dikategorikan terhadap dua tipe, yakni; tipe penurut

    yang ritmis dapat diartikan bahwa penikmat cenderung mengikuti

    eksploitasi ritme lagu yang dibawakan dan tipe emosional yang sensitif

    akan makna sentimentil, sehingga larut serta lupa pada eksistensi yang

    nyata atau terbuai dengan interpretasi lagu.

  • 10

    Leon dalam Storey (2010: 121) menegaskan bahwa:

    lebih dari setiap seni pertunjukan lain, dunia lagu didominasi oleh lelaki berduit di satu sisi dan sensor moral terhadap media di sisi lain. kemungkinan suara-suara alternatif yang membuat mereka didengarkan... (1979). Merupakan ilusi bahwa lagu adalah komoditas yang tersedia secara bebas... kenyataannya adalah bahwa lagu merupakan properti privat dari organisasi bisnis.

    Asumsi saat ini pada kenyataan budaya musik pop adalah industri

    musik yang menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan.

    Industri musik merupakan industri kapitalis kaum bermodal atau

    golongan orang kaya. Hal ini tentunya dibenarkan pada fakta lapangan,

    grup keroncong saat ini yang menjamur sebagai jasa hiburan - pengisi

    acara, suka atau tidak suka menuruti permintaan dari pemilik modal

    mengenai apapun yang disajikan. Industri musik akhirnya memiliki

    kekuatan ekonomi dan penentu budaya yang sangat besar sehingga sulit

    mengontrol selera musik konsumen.

    Pendapat dan beberapa asumsi diatas akhirnya menegaskan bahwa

    budaya musik pop tidak bisa dicegah seiring dengan permintaan

    konsumen. Budaya musik pop juga mempengaruhi sajian musik

    keroncong dengan pemenuhan pasar dan membentuk budaya baru akan

    komoditas keroncong-pop.

    Musik pop kaitannya dengan keroncong-pop sangat erat dengan

    kaum muda saat ini yang mengembangkan musik keroncong untuk

    pemenuhan industri musik. Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964) dalam

    Storey (2010: 125-126) menjelaskan bahwa potret anak muda sebagai

    orang yang lugu yang dieksploitasi oleh industri musik pop. Konflik

    eksploitasi ini menjadi ranah hiburan remaja dan juga menjadi wilayah

    hiburan massa (global) dengan sebuah setting komersial atau

    berhubungan dengan nilai guna perdagangan. Pada dasawarsa saat ini,

    budaya remaja merupakan sebuah paduan kontradiktif antara yang

  • 11

    autentik dan yang dimanufakturkan sebagai area ekspresi bagi kaum

    muda dan keuntungan yang melimpah bagi provider komersial.

    Sedangkan dapat dijelaskan bahwa; konsumsi musik merupakan

    salah satu cara bagi sebuah subkultur untuk memalsukan identitasnya

    dan cara memproduksi dirinya sendiri secara kultural dengan menandai

    pembedaan dan perbedaan dari anggota masyarakat lainnya. Hal ini

    menjelaskan bahwa musik jenis pop (budaya pop yang disediakan secara

    komersial) adalah sebuah wilayah yang bertentangan dengan jenis

    budaya yang lainnya. Beberapa buaya keroncong seniman keroncong

    mengatakan bahwa saat ini lagu-lagu keroncong tidak memiliki rasa

    ngeroncongi atau sekedar sama dengan nuansa keroncong. Perbedaan

    anggapan mengenai keroncong pada seni pop ini akhirnya memberikan

    pertentangan tersendiri mengenai rasa musikal keroncong.

    Perkembangan budaya pop ini juga berdampak pada dimensi

    politik. Keroncong dipolitisasikan, dijadikan sebagai media kampanye,

    dijadikan sebagai hadiah, dijadikan sebagai media diplomasi dan

    dijadikan sebagai bagian pariwisata. Solo mewacanakan menjadi kota

    keroncong dunia dan menegaskan bahwa Solo adalah kota budaya.

    Akibat kepopuleran dan adanya nilai guna dibalik musik keroncong saat

    ini para provider kapitalis berlomba-lomba untuk mencari kemanfaatan

    dan keuntungan dibalik nilai adiluhung budaya musik keroncong.

    Sebelum munculnya budaya musik pop ini, keroncong memiliki nilai

    moral yang tinggi jika dilihat dari syair teks lagu-lagu keroncong. Irama

    yang mendayu-dayu memberikan kesan ketenangan, namun sekali lagi

    ditekankan bahwa budaya musik pop tidak mungkin terhindarkan dari

    segala bentuk kesenian terutama dalam hal ini seni musik.

    Berbanding terbalik jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda,

    kemanfaatan budaya musik pop ini juga tidak kalah pentingnya bagi

    kehidupan musik keroncong. Bagong Chrisye (wawancara 2015)

  • 12

    menjelaskan bahwa munculnya budaya pop ini dapat membantu menjaga

    keberlanjutan musik keroncong. Jika strategi musik pop mengindustrikan

    dan menyederhanakan musik keroncong, maka dari industri tersebut

    sebenarnya akan membiarkan kaum muda untuk terlebih dahulu tertarik

    pada lagu-lagu pop yang dikeroncongkan, jika sudah tertarik pada lagu

    keroncong tersebut; maka tidak menutup kemungkinan kaum muda

    tersebut akan belajar budaya dan sejarah keroncong. Beberapa

    pembuktian diantaranya adalah saat ini beberapa kaum muda mulai

    tertarik untuk mulai melakukan penelitan-penelitan mengenai kajian

    musik keroncong.

    D. KESIMPULAN

    Hakikat kajian ini mengungkap perkembangan dan pengaruh

    budaya musik pop terhadap musik keroncong. Budaya musik pop tidak

    dapat dicegah kedatangannya. Efek dan pengaruhnya juga terasa pada

    musik keroncong karena saat ini lagu-lagu pop banyak diadopsi kedalam

    bentuk keroncong. Para pelaku pasar ini sadar bahwa selera konsumen

    mengenai musik-musik/lagu-lagu pop tidak dapat dibendung, maka

    muncullah ide untuk mengeroncongkan lagu-lagu pop sebagai industri

    musik keroncong.

    Budaya musik pop tidak sepenuhnya mengurangi adiluhung

    budaya keroncong. Jika dipolitisasikan, maka budaya musik pop menjadi

    media untuk menjaga keberlangsungan musik keroncong tetap eksis dan

    berkembang pada masyarakat saat ini. Tujuan politisasi ini adalah pada

    generasi muda sebagai penerus, pewaris dan penjaga budaya musik

    keroncong. Terlepas dari komersial musik keroncong itu sendiri, budaya

    musik pop akan terus mengalami perkembangan yang menyesuaikan

    dengan selera para konsumen dan dijaga oleh provider komersil.

  • 13

    E. DAFTAR RUJUKAN

    Ganap, Victor. 2011. Krontjong Toegoe. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

    Hastanto, Sri. 2011. Kajian Musik Nusantara-1. Surakarta: ISI Press Solo.

    Jenks, Chris. 2013. Culture: Studi Kebudayaan. Terj. Erika Setyawati.

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Storey, John. 2010. Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories

    and Methods, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar

    Komprehensif Teori dan Metode. Terj. Layli Rahmawati. Yogyakarta:

    Jalasutra.