KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM …/Kajian... · Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya NIM :...

download KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM …/Kajian... · Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya NIM : E1107183 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

If you can't read please download the document

Transcript of KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM …/Kajian... · Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya NIM :...

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

    (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA

    Penulisan Hukum (Skripsi)

    Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

    dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Oleh : MOHAMAT SINGGIH HARI SANJAYA

    NIM : E 1107183

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

    2011

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Penulisan Hukum (Skripsi)

    KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

    (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA

    Oleh :

    Mohamat Singgih Hari Sanjaya

    NIM : E 1107183

    Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

    (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Surakarta, 25 Oktober 2011

    Dosen Pembimbing Skripsi

    KRISTIYADI, S.H., M.H. MUHAMMAD RUSTAMAJI, S.H.,M.H. NIP. 195812251986011001 NIP. 198210082005011001

    ii

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    PENGESAHAN PENGUJI

    Penulisan Hukum (Skripsi)

    KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA

    DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN

    HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA

    Oleh : Mohamat Singgih Hari Sanjaya

    NIM : E 1107183

    Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

    Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada

    Hari : Selasa Tanggal : 25 Oktober 2011

    DEWAN PENGUJI

    1. Edy Herdyanto, S.H.,M.H (................................................) Ketua

    2. Kristiyadi, S.H.,M,H. (................................................) Sekretaris

    3. Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H (................................................) Anggota

    Mengetahui, Dekan

    Prof. Hartiwiningsih, S.H. NIP 195702031985032001

    iii

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    PERNYATAAN

    Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya

    NIM : E1107183

    Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul KAJIAN KONSEPSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

    Surakarta, 20 Oktober 2011

    yang membuat pernyataan

    Mohammat Singgih Hari Sanjaya

    NIM.E1107183

    iv

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    MOTTO

    Tidak setiap orang mampu mengubah keadaan yang ada,

    kecuali manusia yang menjadi utusan Tuhan

    (M. Singgih H.S)

    Whoever is prepared to do good and to suffer will be reward by the Lord

    (John F. Kennedy)

    Ngelmu iki kelakone nganti laku

    (M. Singgih H.S)

    v

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    PERSEMBAHAN

    Karya sederhana ini didedikasikan kepada :

    1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada penulis

    sehingga dapat menyelesaikan Penelitian Hukum ini .

    2. Bapak Suharno H.S dan Ibu Sularmi yang selama ini telah memberi kasih

    sayang dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan

    Penelitian Hukum ini.

    3. Keluarga Besar Eyang Taru Warsito dan Eyang Sumokarso yang selama ini

    memberi motivasi bagi penulis.

    4. Kakak Turis dan Fajar Ayu Fatmawati yang senantiasa memberikan nasihat dan

    motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum

    ini dengan baik.

    5. Bernanda Daniar yang selalu menjadi inspirasiku sehingga penulis dapat

    menyelesaikan penulisan hukum ini.

    6. Seseorang yang senantiasa mencintai dan menyertai di setiap langkahku, Elida

    Yoviana Penulis bersyukur bisa memilikimu, Percayalah Tuhan memberkati

    rencana indah untuk kita.

    7. Keluarga besar angkatan 2007 yang telah menjadi bagian keluarga, terimakasih

    atas pengertian dan dukungannya.

    8. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini

    yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan Bapak,

    Ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan

    Yang Maha Esa.

    9. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    ABSTRAK

    Mohammat Singgih Hari Sanjaya. E 1107183. KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011. Penulisan hukum yang berjudul Kajian Atas Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Relevansinya dengan Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa bertujuan untuk mengetahui Konsepsi Peradilan In Absentia dalam Perspektif KUHAP dan Perlindungan HAM Terdakwa.

    Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif, bersifat preskiptif dengan menggunakan sumber bahan- bahan hukum, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan melalui pengumpulan peraturan perundang-undangan, buku, dan dokumen lain yang mendukung, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) . Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Premis Minor yaitu Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dari kedua hal tersebut kemudian ditarik suatu konklusi guna mendapat jawaban atas konsepsi peradilan In absentia dalam perspektif KUHAP dan Perlindungan HAM Terdakwa.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa dasar hukum peradilan in absentia tidak diatur secara jelas dan detail dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena terdapat suatu ketentuan yang saling bertentangan (contradicti interminis) yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang tidak mengatur dan memperbolehkan pelaksanaan peradilan In absentia, ketentuan pasal ini menutup peluang dilakukanya peradilan In absentia, karena pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak hadir, sehingga dalam ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan hadirnya terdakwa, maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait perkara yang didakwaakan terhadap terdakwa sedangkan dalam Pasal 214 ayat (1) KUHAP terdapat celah hukum untuk dilakukanya peradilan In absentia yang menyatakan jika terdakwa tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan. Mencermati ketentuan pasal tersebut, terdapat celah hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan pengaturanya yang terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain, sehingga dengan demikan melanggar Hak Asasi Terdakwa dan KUHAP juga bersifat limitatif hanya untuk perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang untuk mewakilinyadi sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia didalam hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu lintas sedangkan ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia dalam Pasal 154 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) tidak jelas dan tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan. Kata Kunci : In Absentia, contradictio interminis, Kepastian hukum, HAM

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    vii

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

    melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan

    penulisan hukum (skripsi) yang berjudul KAJIAN KONSEPSI PERADILAN IN

    ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

    ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN

    PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA.

    Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh

    gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan

    hukum ini membahas tentang bagaimana konsepsi peradilan In Absentia dalam

    perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya

    dengan jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa. Penulis menyadari

    bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis

    dengan besar hati akan menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan

    penulis di kemudian hari.

    Dengan selesainya penulisan hukum ini maka dengan segala kerendahan hati

    penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

    yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini :

    1. Ibu Prof Hartiwiningsih, S.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas

    Maret Surakarta.

    2. Bapak Pembantu Dekan I, Ibu Pembantu Dekan II dan Bapak Pembantu Dekan III

    Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin

    dalam penyusunan penulisan hukum ini.

    3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.H. dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H. yang

    telah memberikan bimbingan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

    4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah

    memberikan saran dan kritik terhadap penulisan hukum ini.

    5. Bapak Hardjono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan

    saran dan nasihat kepada penulis.

    ix

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

    dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu kepada penulis

    selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    7. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata Usaha

    dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    8. Bapak Suharno H.S dan Ibu Sularmi yang selama ini telah memberi kasih sayang

    dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian

    Hukum ini.

    9. Kakak Turis dan Fajar Ayu Fatmawati yang senantiasa memberikan nasihat dan

    motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini

    dengan baik.

    10. Keluarga besar angkatan 2007 Non Reguler yang telah menjadi bagian keluarga,

    terimakasih atas pengertian dan dukungannya.

    11. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini

    yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu,

    rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan Yang

    Maha Esa.

    Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

    pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

    Surakarta, Oktober 2011

    Penulis

    Mohammat Singgih H.S

    x

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii

    HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI....................................................... iii

    HALAMAN PERNYATAAN.......................................................... ............. iv

    HALAMAN MOTTO...................................................................... ................. v

    HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi

    ABSTRAK......................................................................................... ............... vii

    KATA PENGANTAR...................................................................... ................ ix

    DAFTAR ISI..................................................................................... ................ xi

    DAFTAR SKEMA............................................................................ ................ xiii

    BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ................................................................... 3

    C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 3

    D. Manfaat Penelitian .................................................................. 4

    E. Metode Penelitian .................................................................... 5

    F. Sistematika Penulisan ............................................................. 9

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 11

    A. Kerangka Teori....................................................................... 11

    1. Tinjauan Umum Hukum

    Tindak Pidana Khusus................................................ 11

    2. Tinjauan Umum tentang Peradilan In Absentia............ 17

    3. Tinjauan Umum tentang

    Hak Asasi Manusia Terdakwa..................................... 22

    B. Kerangka Pemikiran........................................................... 27

    xi

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 29

    A. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya

    terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

    terdakwa....................................................... ..........................

    1. Peradilan In Absentia dalam Perspektif KUHAP ............ 29

    2. Peradilan In absentia dalam Perspektif Hak Asasi

    Manusia (HAM)............................................................... 34

    B. Analisis Kendala Normatif Konsepsi Peradilan In absentia

    dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pida

    (KUHAP)............................................................................. 35

    1. Konsepsi Peradilan In absentia terbatas........................ 36

    2. Tidak adanya kepastian hukum terhadap konsepsi

    Peradilan In absentia...................................................... 37

    BAB IV. PENUTUP ...................................................................................... 38

    A. Simpulan .................................................................................. 38

    A. Saran ......................................................................................... 39

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40

    xii

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    DAFTAR SKEMA

    Halaman

    Skema 1. Skematik Kerangka Pemikiran ..................................................... 27

    xiii

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    1

    BAB I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Implikasi dari konsep negara hukum salah satunya mengatur tindakan

    yang dilakukan masyarakat maupun penguasa harus didasarkan pada aturan

    hukum tertentu. Oleh karenanya perlu adanya pengawasan sehingga apabila

    tindakan tersebut menyimpang dari aturan yang ada maka perlu adanya sanksi

    serta ancaman pidana. Tindakan yang menyimpang tersebut bisa berupa

    kejahatan maupun pelanggaran, yang terdiri dari beberapa jenis tindak pidana

    baik tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP) maupun dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus.

    Salah satu contoh kasus peradilan in absentia yang cukup menarik

    perhatian penulis adalah kasus Bambang Sutrisno, salah seorang tersangka

    korupsi penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

    dimana dalam perkara tersebut menunjukkan bahwa terdapat sejumlah

    argumen yang menyimpulkan bahwa bahwa proses peradilan in absentia

    untuk kasus Bambang Sutrisno adalah manifestasi pendayagunaan

    kewenangan antara kejaksaan yang mendapat dukungan dari elemen

    pemerintahan lainnya dan pihak-pihak eksternal lembaga peradilan, baik dari

    kelompok bisnis atau kelompok status quo yang tidak menghendaki adanya

    penuntasan kasus-kasus korupsi secara menyeluruh.

    Mencermati terhadap contoh kasus tindak pidana dalam peradilan in

    absentia tersebut dalam praktik kasus korupsi tersebut selanjutnya Hakim

    mendayagunakan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah

    dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan Dalam hal terdakwa telah

    dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang

    sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya

    sedangkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan ketentuan Kitab

    UndangUndang Hukum Acara Pidana tidak mengenal peradilan tanpa

    1

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    2

    hadirnya terdakwa (peradilan In absentia), karena mengingat betapa

    pentingnya terdakwa hadir dalam persidangan Pengadilan Negeri yang

    memeriksa mengenai dirinya. Hal ini diatur dalam Pasal 154 KUHAP

    /Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dalam ayat ( 4 ) dan ( 6 )

    berbunyi sebagai berikut Pasal 154 ayat ( 4 ) : Jika terdakwa telah dipanggil

    secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan

    perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang

    memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi dan Pasal 154 ayat ( 6 )

    yang menyatakan: Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang

    tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua

    kalinya, dihadirkan dengan paksa di sidang pertama berikutnya.

    Problematika yang terjadi bagaimana apabila ternyata pemanggilannya tidak sah karena disampaikan ketempat yang salah atau ketidakhadiran dengan alasan yang sah tetapi dipandang tidak sah oleh hakim karena ukuran menilainya tidak jelas,dan hakim kemudian mengambil sikap untuk melanjutkan sidang meski terdakwanya tidak ada. Lebih jauh lagi bagaimana halnya bila dalam perkara yang diajukan tidak ada asset atau tidak terdapat asset yang bisa disita, Apakah In absentia masih relevan? (Djoko Prakoso,2003:54) Persoalan yang timbul bagi terdakwa yang disidangkan secara In

    absentia adalah tidak adanya ruang pembelaan bagi terdakwa atas putusan

    yang nanti akan dijatuhkan oleh hakim. Disinilah kemudian muncul dilema

    untuk memilih praksis In absentia yang menghilangkan hakhak tersangka

    atau terdakwa dan membiarkan proses yang normal berjalan atau mencoba

    mengadili secara In absentia suatu kasus yang secara obyektif yang didukung

    buktibukti hukum yang telah memenuhi kualifikasi kasus untuk disidangkan,

    sambil secara sukarela sebagai kewajiban konstitusional, aparat hukum

    mengumumkan kepada publik bahwa suatu proses peradilan dijalankan secara

    jujur dan adil sekaligus mempersilahkan publik untuk mengontrol dan

    menguji kinerja aparatus hukum secara bebas. Sehingga dalam hal ini

    Peradilan In absentia perlu diteliti lebih lanjut meskipun bukan pelanggaran

    atas non derogable rights, praksis In absentia akan menjadi preseden buruk

    bagi penegakan hukum di Indonesia. Hakhak tersangka atau terdakwa

    menjadi termpas dan hilang. Dan semua itu merupakan korban hilangnya

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    3

    indepedensi aparatus hukum dalam mengintervensi kekuasaan yudikatif

    (Dwiyanto Prihartono,2003:12)

    Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan

    penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul:

    KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF

    KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DAN

    RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK

    ASASI MANUSIA TERDAKWA

    B. Perumusan Masalah

    Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian

    hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun perumusan masalah

    yang didasarkan pada uraian latar belakang di muka. Adapun perumusan masalah

    dalam penelitian hukum ini adalah :

    1. Bagaimana peradilan In absentia dalam perspektif Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana dan relevansinya dengan jaminan

    pelindungan Hak Asasi Manusia Terdakwa?

    2. Apakah yang menjadi kendala normatif atas konsepsi peradilan In

    absentia dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak

    dicapai oleh peneliti, yang mana tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Tujuan Objektif

    a. Untuk mengetahui peradilan In absentia dalam perspektif Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya

    dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa

    b. Untuk mengetahui kendala normatif atas konsepsi peradilan in

    absentia

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    4

    Tujuan Subjektif

    a. Menambah, memperluas, dan mengaplikasikan pengetahuan penulis

    mengenai peradilan peradilan In absentia dalam perspektif Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya

    dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa

    dan kendala normatif atas konsepsi peradilan In absentia

    b. Menerapkan konsep-konsep ataupun teori-teori hukum yang

    diperoleh penulis dalam mendukung penelitian ini.

    c. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di

    bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    D. Manfaat Penelitian

    Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan

    yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat

    penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang

    menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

    1. Manfaat Teoritis

    a. Memberikan manfaat pada pengembangan Ilmu Hukum pada

    umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.

    b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan

    referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum

    selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang

    berkepentingan.

    c. Hasil penelitian diharapkan dapat menyumbangkan pemecahan atas

    permasalahan yang diteliti.

    2. Manfaat Praktis

    a. Memberikan suatu gambaran dan informasi tentang penelitian yang

    sejenis dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai peradilan

    peradilan In absentia dalam perspektif Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana dan relevansinya dengan jaminan pelindungan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    5

    Hak Asasi Manusia Terdakwa dan kendala normatif atas konsepsi

    peradilan In absentia

    b. Memberikan pendalaman, pengetahuan dan pengalaman yang baru

    kepada penulis menganai permasalahan hukum yang dikaji, yang

    dapat berguna bagi penulis di kemudian hari.

    E. Metode Penelitian

    Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

    prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

    yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

    teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang

    dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

    Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian

    dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih

    dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin

    ilmunya (Johnny Ibrahim, 2008: 26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu

    hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan

    peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak

    terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2008:

    28).

    Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan

    metode penulisan antara lain sebagai berikut :

    1. Jenis Penelitian

    Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian

    ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian

    hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal

    (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum

    (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-

    bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut

    Johnny Ibrahim ialah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan

    kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi normatifnya

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    6

    (Johnny Ibrahim, 2008: 57). Pendapat ini kemudian dipertegas oleh

    Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara

    kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah

    hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum

    yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya

    peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan

    ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau

    mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole of system

    (Johnny Ibrahim, 2008: 57).

    Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut

    penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum

    sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum

    sekunder. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan

    pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan

    penulis terhadap peradilan peradilan In absentia dalam perspektif Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya

    dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa,

    sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum normatif, yang

    merupakan ciri khas hukum normatif (Johnny Ibrahim, 2008: 127). Jadi

    berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian

    hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek

    kajian atau isu hukum yang diangkat.

    2. Sifat Penelitian

    Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu

    hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang

    preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum

    mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma

    hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22).

    Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan

    preskriptif mengenai kajian atas peradilan In absentia dalam perspektif

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    7

    relevansinya dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

    Terdakwa dan kendala normatif atas konsepsi peradilan In absentia.

    3. Pendekatan Penelitian

    Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu

    penelitian normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian

    hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach),

    pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

    approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

    pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,

    2005: 93).

    Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan

    penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statue

    approach) yakni mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Relevansinya dengan

    Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa. Peneliti

    memilih pendekatan undang-undang, karena menurut penulis yang perlu

    dipahami dalam dalam menggunakan pendekatan undang-undang ini

    adalah Ratio legis yaitu dengan menelaah semua undang-undang dan

    regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

    4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

    Jenis bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan

    hukum sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud

    mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal

    adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum. dalam

    hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

    a. Bahan Hukum Primer

    Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

    autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

    primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau

    risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan

    putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    8

    Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    b. Bahan Hukum Sekunder

    Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

    bukan merupakan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter

    Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum sekunder sebagai

    pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini

    yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum,

    artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk

    mendukung penelitian ini.

    5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

    Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam

    penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan

    jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen

    reasmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan

    permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari

    bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai

    bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.

    6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

    Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis

    dengan metode deduksi. Dalam hal ini metode deduksi berpangkal dari

    pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor, dari kedua

    premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter

    Mahmud Marzuki, 2005:47). Sehingga dalam hal ini yang merupakan

    premis mayor adalah aturan hukum ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana) sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Relevansi

    Peradilan In absentia dalam Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia

    Terdakwa) dari kedua hal tersebut kemudian dapat ditarik suatu konklusi

    guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah bagaimana Peradilan In

    absentia dalam perspektif KUHAP? dan relevansinya dengan jaminan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    9

    perliundungan HAM Terdakwa dan apakah yang menjadi kendala

    normatif atas konsepsi peradilan In absentia?

    F. Sistematika Penelitian Hukum

    Untuk menjabarkan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika

    penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka

    penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika ini

    terdiri dari 4 (empat) bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang

    dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil

    penelitian ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

    BAB I : PENDAHULUAN

    Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang

    masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang

    digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

    BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi

    landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan

    literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.

    Kerangka teori tersebut meliputi Tinjauan Umum tentang Hukum

    Tindak Pidana Khusus, Tinjauan Umum tentang peradilan In

    absentia, Tinjaun umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

    Terdakwa .

    BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil

    yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah

    yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam

    bab ini yaitu bagaimana Peradilan In absentia dalam perspektif

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan

    relevansinya dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia

    (HAM) Terdakwa dan apakah yang menjadi kendala normatif atas

    konsepsi peradilan In absentia.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    10

    BAB IV : PENUTUP

    Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat

    diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti,

    serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak

    yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

    DAFTAR PUSTAKA

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    11

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kerangka Teori

    1. Tinjauan Umum Hukum Tindak Pidana Khusus.

    a) Pengertian Hukum Tindak Pidana Khusus

    Pengertian Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus,

    sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus.

    Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini.

    Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh

    karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah Undang-

    Undang Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang

    mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi

    Hukum Pidana Material maupun dari segi Hukum Pidana Formal.

    Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana

    Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.

    Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau

    berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh

    orang lain selain orang tertentu.

    Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari

    substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus

    itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam undang-undang di

    luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana

    yang terdapat dalam undang-undang pidana merupakan indikator

    apakah undang-undang pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana

    Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak

    Pidana Khusus adalah undang-undang Pidana atau Hukum Pidana

    yang diatur dalam undang-undang pidana tersendiri. Pernyataan ini

    sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :

    11

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    12

    Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi

    tersendiri.http://www.umy.ac.id/hukum/download/hukumpidsus-

    wikipedia (29 Juni 2011 pukul 16:47)

    1) Dasar Hukum dan Kekhususan

    Undang-Undang Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai

    Hukum Tindak Pidana Khusus adalah Undang-Undang Nomor 7

    Darurat Tahun 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

    2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-

    Undang No.1 /Perpu/2002 dan Undang-Undang No.2/Perpu/2002.

    Hukum Tindak Pidana Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ;

    Untuk orang/golongan tertentu. Hukum Tindak Pidana Khusus

    Menyimpang dari Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana

    Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.

    Dasar Hukum Undang-Undang Pidana Khusus dilihat dari hukum

    pidana adalah Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Pasal 103 ini mengandung pengertian :

    (a) Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku

    terhadap undang-undang di luar KUHP sepenjang undang-

    undang itu tidak menentukan lain.

    (b) Adanya kemungkinan undang-undang termasuk Undang-

    Undang Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak

    mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap

    dan tidak mungkin lengkap).

    Perundang-undangan Pidana :

    (a) Undang-Undang Pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak

    memberi pidana dari negara;

    (b) Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah

    memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar

    hukum pidana umum

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    13

    Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana

    ada 5 substansi :

    (a) Undang-undang saja yang tidak mengatur ketentuan pidana

    (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah

    dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan

    UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU

    No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah

    dengan UU No 3/2004).

    (b) Undang-undang yang memuat ketentuan pidana,

    makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi

    pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut

    dalam bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU

    No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997

    yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU

    No 23/20020, UU Nov 26/2000).

    (c) Undang-Undang Pidana, maksudnya undang-undang yang

    merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam

    dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri

    yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999,

    UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002

    yang diubah dengan UU No 25/2003)

    (d) Undang-Undang Hukum Pidana adalah undang-undang

    yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang

    ini terdiri dari undang-undang pidana materiil dan formal

    (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang

    hukum pidana ini dikenal dengan sebutan Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum

    Acara Pidana (seperti KUHP, UU No 8/1981 tentang

    KUHAP, KUHP Militer). Hukum Pidana Khusus ada yang

    berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk.

    Pidana Fiskal, UU No.31 Tahun 1999 khusus masalah

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    14

    penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum Undang-

    Undang Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah

    Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

    Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku

    terhadap Undang-Undang di luar KUHP sepenjang undang-

    undang itu tidak menentukan lain.

    (e) Adanya kemungkinan undang-undang termasuk Undang-

    Undang Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak

    mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap

    dan tidak mungkin lengkap).

    2) Kekhususan Tindak Pidana Khusus

    Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus

    dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang

    Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal.

    Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu

    dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu.

    (a) Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang

    Hukum Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian

    menyimpang dari ketentuan HPU dan dapat berupa

    menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU

    disebut dengan ketentuan khusus. (ket.khusus)

    (1) Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)

    (2) Percobaan dan membantu melakukan tindak

    pidana diancam dengan hukuman.

    (menyimpang)

    (3) Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan

    dan pelanggaran (ket. khs)

    (4) Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstra

    teritorial). (menyimpang/ket.khs)

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    15

    (5) Sub.Hukum berhubungan/ditentukan

    berdasarkan kerugian keuangan dan

    perekonomian negara. (ket.khs)

    (6) Pegawai negeri merupakan sub. Hukum

    tersendiri.(ket. khs).

    (7) Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya

    ketentuan untuk memasukkan tindak pidana

    yang berada dalam undang-undang lain asalkan

    undang-undang lain itu menetukan menjadi

    tindak pidana. (ket.khus).

    (8) Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi.

    (menyimpang)

    (9) Perampasan barang bergerak,tidak bergerak

    (ket.khs)

    (10) Adanya pengaturan tindak pidana selain yang

    diatur dalam undang-undang itu.(ket.khs)

    (11) Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)

    (12) Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain

    terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)

    (13) Tindak pidananya dapat bersifat politik

    (ket.khs).

    (14) Dapat pula berlaku asas retroactive.

    (b) Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.

    (1) Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa, Komisi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    (2) Perkara pidana khusus harus didahulukan dari

    perkara pidana lain

    (3) Adanya gugatan perdata terhadap

    tersangka/terdakwa Tindak Pidana Korupsi

    (4) Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas

    dasar kerugian negara

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    16

    (5) Perkara pidana Khusus diadili di Pengadilan

    khusus (HPE)

    (6) Dianutnya Peradilan In absentia

    (7) Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank

    (8) Dianut Pembuktian terbalik

    (9) Larangan menyebutkan identitas pelapor

    (10) Perlunya pegawai penghubung

    (11) Dianut TTS dan TT

    3) Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus

    Alat bukti Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah

    bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah

    ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari

    Undang-Undang Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh :

    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana

    Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah Undang-Undang

    Nomor 9 Tahun 1976 dicabut dengan Undang-Undang Nomor 22

    Tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi

    bagian tindak pidana khusus. Demikian juga Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut

    dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas

    Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga undang-undang

    yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan

    tindak pidana khusus.

    Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :

    (a) Hukum Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt 1955)

    (b) Tindak Pidana Korupsi

    (c) Tindak Pidana Terorisme.

    Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang

    lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana

    ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum

    dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    17

    Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera

    ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga

    pengadilannya harus pengadilan ekonomi.

    2. Tinjauan Umum tentang Peradilan In absentia

    a) Pengertian tentang Peradilan In absentia dari segi Peraturannya

    1) Pengertian Peradilan In absentia

    (a) Sidang pengadilan diluar hadirnya terdakwa atau tanpa hadirnya

    terdakwa.

    (b) Secara formal terdapat dalam UU No.11/PnPs/1963.

    (c) Mengadili dan menjatuhkan hukuman tanpa hadirnya terdakwa (arti

    sempit).

    (d) Peradilan In absentia tidak hanya tanpa kehadiran terdakwa,tetapi

    juga kuasa hukum dan saksi (arti luas)

    2) Pengertian Peradilan In absentia Dalam UU No.7 Drt tahun 1955

    (a) Kata peradilan pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan

    salah satu tahap penyelesaian perkara pidana di samping tahap

    penyidikan dan penuntutan.

    (b) Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai ssuatu proses

    pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.

    3) Peradilan In absentia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP)

    (a) Secara umum KUHAP tidak mengatur peradilan In absentia kecuali

    perkara pelanggaran lalu lintas

    (b) Dalam Pasal 154 ayat (4) dan (6) KUHAP mengatur bahwa kehadiran

    terdakwa di pengadilan merupakan kewajiban bukan hak.

    4) Peradilan In absentia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

    (a) Merupakan pelanggaran HAM (Pasal 14 The International Convenant

    On Political Right) (non derogable rights) ada pengecualian

    (b) Pasal 4 : Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan negara

    & negara harus menjelaskan alasan-alasan pembatasan atau

    diberlakukannya peradilan In absentia

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    18

    5) Beberapa Macam Tindak Pidana yang Dapat Diadili Secara In Absentia

    1) Peradilan In Absentia pada Perkara Pelanggaran

    Pada perkara perkara pelanggaran dan kejahatan ringan,

    yaitu tindak pidana yang diancam dengan tidak lebih dari 3 bulan

    penjara dan atau denda Rp 500,00 maka hakim dapat melanjutkan

    sidang dan menjatuhkan putusan walaupun terdakwa tidak hadir.

    Sebagai syarat yang harus dipenuhi, ialah bahwa terdakwa tersebut

    telah dipanggil secara sah untuk menghadap pengadilan.

    Pelanggaran ringan ini misalnya, ialah pelanggaran lalu lintas

    yang tidak menimbulkan orang luka luka atau mati, penghinaan

    ringan, penganiayaan ringan dan sebagainya. Putusan terdakwa yang

    dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa dalam hal ini sering disebut

    putusan verstek . Dasar hukum yang dipakai ialah Pasal 6 ayat (1)

    b Undang Undang Darurat No. 1/1951, LN No. 9/1951, yang sudah

    disahkan manjadi undang undang. Pasal 6 UndangUndang

    Darurat ini merupakan pembaharuan dari Pasal 42 sampai dengan

    Pasal 52 Landgerecht Reglement Stbl. 1914 No.317,karena

    pengadilan Landgerecht sendiri telah dihapus. Pasal 6 ayat (1) huruf

    b UndangUndang Darurat No. 1/1951 berbunyi :

    dalam hal memeriksa dan memutus perkara perkara yang dimaksudkan, berlaku dalam ketentuan Pasal 46 sampai terhitung Pasal 52 dari Reglement untuk Landgerecht (Staatsblad 1914), sedang perkara perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap dengan sah .( Tresna, R. Mr., Komentar atas HIR, Pradnya Paramita Jakarta, 1975, Halaman 39 ).

    Untuk tidak mengurangi hak asasi terdakwa dalam putusan

    verstek ini, kepada terdakwa diberi hak untuk mengadakan

    perlawanan atau verzet atas putusan pengadilan tersebut. Hal ini

    diatur dalam Pasal 214 ayat (4) Kitab Undang-Undang Acara Pidana

    (KUHAP), yang berbunyi : dalam hal putusan dijatuhkan diluar

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    19

    hadirnya terdakwa dan putusan ini berupa pidana perampasan

    kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.

    2) Peradilan In Absentia pada Tindak Pidana Ekonomi

    Dasar peradilan In Absentia pada tindak pidana ekonomi

    terdapat dalam Pasal 16 Undang Undang Darurat No. 7/1955.

    Menurut Undang Undang No. 1 tahun 1961 ( LN No. 3/1961 )

    undang undang darurat ini telah dinyatakan menjadi Undang

    undang. Peradilan In Absentia pada tindak pidana ekonomi,

    sebenarnya mengatur dua hal menyebabkan tidak hadirnya terdakwa

    pada sidang pengadilan ekonomi, yaitu :

    Pertama

    Untuk terdakwa yang telah meninggal dunia, sebelum

    perkaranya dijatuhi putusan yang mempunyai kekuatan pasti

    (Pasal 16 ayat (1))

    Kedua

    Untuk terdakwa yang tidak dikenal, Pengertian perkataan

    tidak dikenal ternyata dapat menimbulkan beberapa

    masalah,Undangundang sendiri hanya menyebutkan, bahwa

    pelaku atau pembuat yang tidak dikenal ialah seorang yang

    berdasar alasan alasan yang dapat diterima oleh akal, bahwa ia

    dapat dianggap tidak dikenal. (Majalah Dharma Adhyaksa, No. 8

    Tahun III, Yayasan Tridaya Kejaksaan Agung RI, Jakarta,

    Halaman 49)

    Seorang dianggap tidak dikenal apabila orang tersebut

    sebagai terdakwa sama sekali tidak dikenal baik nama maupun

    alamatnya. Hal ini dapat terjadi pada penyelundup

    penyelundup yang meninggalkan barang barang selundupan

    dalam kapal dipantai atau muara sungai, dalam gudang gudang

    dipelabuhan dan sebagainya, karena takut tertangkap, sedang

    baranganya diketemukan oleh petugas penyidik untuk dijadikan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    20

    barang bukti. Mereka itu memang tidak dikenal, baik wajah,

    nama maupun alamatnya ( Djoko Prakoso, 1984 : 59 ).

    Mengenai pengertian istilah tidak dikenal menurut Andi

    Hamzah, S.H. dalam bukunya Hukum Pidana Ekonomi ,

    bahwa orang yang tidak dikenal yang diadili dengan In Absentia

    ( Judgement by Default, where the defendant does not appear ),

    terjadi jika terdapat bukti bukti dan alat alat bukti berupa

    barang barang sitaan tentang terjadinya delik ekonomi, tetapi

    perbuatannya tidak dikenal( Andi Hamzah, 1968 : 35 ).

    Selanjutnya dalam putusan peradilan dalam peradilan In

    Absentia pada tindak pidana ekonomi terutama hanya

    menyangkut harta benda, berupa perampasan barang barang

    yang telah disita ataupun tindakan tata tertib, atas harta benda

    terdakwa yang telah meninggal dunia atau terdakwa yang tidak

    dikenal itu. Terhadap terdakwanya sendiri sebagai pelaku,

    biasanya hanya dinyatakan ia bersalah atau tidak bersalah, tanpa

    menentukan hukuman badan.

    3) Peradilan In Absentia pada Perkara Subversi

    Peradilan In Absentia pada perkara subversi bebeda dengan

    peradilan In Absensia pada tindak pidana ekonomi, karena motifnya

    memang berbeda, walaupun tindak pidana subversi dapat pula

    berbentuk kejahatan ekonomi. Tetapi pada tindak pidana subversi,

    motifnya adalah politik secara terbuka ataupun tertutup. Hakikat

    subversi adalah manifestasi pertentangan pertentangan kepentingan,

    subversi selalu dihubungkan dengan politik, demikianlah bunyi

    memori penjelasan penpres No. 11/1963.

    Jadi obyek utama dari tindak pidana subversi adalah motif

    politik si pelaku atau jalan pikirannya yang inheren dengan orangnya

    sendiri. Oleh karena itu pada tindak pidana suversi, hanya ditentukan

    syarat syarat bagaimana peradilan In absentia dapat dilaksanakan.

    Selanjutnya tidak ada pembatasan pembatasan lain mengenai putusan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    21

    yang dapat dijatuhkan seperti pada peradilan In absentia pada tindak

    pidana ekonomi.

    b) Syarat Pemberlakuan Pradilan In Absentia

    1) Negara harus dapat mengemukakan alasasn ketidakmampuan negara

    dalam menghadirkan tersangka;

    2) Tersangka sudah dipanggil secara benar seuai alamat yang diketahui dan

    tidak memberikan alasan ketidakhadirannya;

    3) Telah dinyatakan buron;

    4) Negara tidak mampu menangkap atau menghadirkan tersangka;

    5) Ketidakmampuan negara harus dibuktikan di depan pengadilan sebagai

    alasan yang obyektif;

    6) Pihak penyidik sudah melakukan pemerikasaan terhadap tersangka untuk

    dapat menentukan apakah kasus tersebut layak dan dapat diajukan ke

    pengadilan.

    c) Peradilan In absentia dalam beberapa Undang-Undang Pidana Khusus

    1) Tindak Pidana Korupsi

    Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

    yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

    2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: dalam hal terdakwa

    sudah dipanggil secara sah dan tidak hadir di seidang pengadilan tanpa

    alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa

    kehadrannya.

    2) Tindak Pidana Pencucian Uang

    Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15Tahun 2003 sebagaimana

    yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

    Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: dalam

    hal terdakwa telah dipanggil secar 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka majelis

    hakim dngan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa

    kehadiran terdakwa.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    22

    3) Tindak Pidana Terorisme

    Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

    Terorisme: dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak

    hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, amak perkara

    dapatdiperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

    3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia Terdakwa

    a) Pengertian Hak Asasi Manusia

    Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap

    umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri

    seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan

    lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama sama tanpa

    pengecualian.

    Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua

    orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang

    sama. Sementara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

    Asasi Manusia menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat

    hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai

    makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang

    wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

    Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

    dan martabat manusia.

    Hak Asasi Manusia memiliki beberapa prinsip, yaitu :

    (1) Universal

    (2) Saling Terkait

    (3) Tidak Terpisahkan

    (4) Kesetaraan Non-Diskriminasi

    (5) Hak Serta Kewajiban Negara

    (6) Tidak dapat diambil oleh siapapun

    Saat ini, HAM telah menjadi standar norma internasional untuk

    melindungi setiap manusia dari setiap tindakan; baik secara politik,

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    23

    hukum dan sosial yang melanggar hak seseorang. Acuan utama dalam

    HAM adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia. Dalam deklarasi tersebut,

    terdapat 10 hak dasar dari setiap manusia yang wajib dijamin oleh setiap

    negara, yaitu:

    (1) Hak Untuk Hidup: hak untuk hidup dan meningkatkan taraf

    hidup, hidup tentram, aman dan damai dan lingkungan hidup

    (2) Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan: Hak untuk

    membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah

    (3) Hak Mengembangkan kebutuhan dasar: hak untuk pemenuhan

    diri, hak pengembangan pribadi, hak atas manfaat iptek, dan

    hak atas komunikasi

    (4) Hak memperoleh keadilan: hak perlindungan hukum, hak

    keadilan dalam proses hukum, dan hak atas hukum yang adil

    (5) Hak atas kebebasan dari perbudakan: hak untuk bebas dari

    perbudakan pribadi, hak atas keutuhan pribadi, kebebasan

    memeluk agama dan keyakinan politik, kebebasan untuk

    berserikat dan berkumpul, kebebasan untuk menyampaikan

    pendapat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, dan status

    kewarganegaraan

    (6) Hak atas rasa aman: hak mencari suaka dan perlindungan diri

    pribadi

    b) Hak tersangka atau terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum

    Acara Pidana (KUHAP)

    Pengertian Hak-hak terdakwa yang diatur pada bab VI KUHAP

    adalah hak yang berlaku pada umumnya terhadap tersangka atau

    terdakwa baik yang berada dalam penahanana atau di luar penahanan. Di

    samping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum tersebut, undang-

    undang masih memberi lagi hak yang melindungi tersangka atau

    terdakwa yang berada selama proses pemeriksaan persidangan

    pengadilan.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    24

    1) Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk

    umum

    2) Berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli

    3) Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam

    pemeriksaan sidang yang dibebani kewajiban untuk membuktikan

    kesalahan terdakwa adalah penuntut umum

    c) Hak Asasi Manusia ditinjau dari Putusan Hakim tanpa hadirnya

    terdakwa (Peradilan In absentia)

    Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

    mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah

    kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

    menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat,

    dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan

    melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

    pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah

    terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang

    yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

    Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak

    asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk

    menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,

    setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga

    kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud

    pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana baru.

    Usaha pembaruan hukum yang telah ditandai dengan adanya

    perubahan hukum positif melalui hukum acara pidana baru yang secara

    fundamental dijiwai oleh penempatan manusia secara proporsional pada

    keluhuran harkat dan martabatnya sbagai makhluk Tuhan Yang Maha

    Kuasa, diharapkan dapat terwujud pada putusan hakim tanpa hadirnya

    terdakwa (peradilan In absentia).

    Peradilan In absentia pada perkara pelanggaran maka untuk tidak

    mengurangi hak asasi si terdakwa dalam putusan verstek (putusan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    25

    pengadilan tanpa kehadiran terdakwa), kepada terdakwa diberi hak untuk

    mengadakan perlawanan atau verzet atas putusan pengadilan tersebut

    yang harus disampaikan dalam waktu tujuh hari sesudah putusan

    diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Sehingga dengan adanya

    perlawanan dari terdakwa itu, maka putusan di luar hadirnya terdakwa

    menjadi gugur, walaupun juga apabila putusan setelah diajukannya

    perlawanan tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan, terhadap

    putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding (Pasal 214 ayat

    (4),(5),(6) dan (8) KUHAP).

    Mengadili In absentia pada tindak pidana ekonomi seperti yang

    disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi

    (Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1955) juga mengingat sebelum

    Ordonantie Bea (RO Stbl. 1931 No. 471) dimasukkan menjadi tindak

    pidana ekonomi, dimana terhadap barang-barang yang ditinggalkan para

    penyelundup atau barang-barang yang ditangkap dari pelanggar-

    pelanggar yang tidak dikenal diambil menjadi milik Negara dan

    penggunaannya ditentukan oleh Menteri Keuangan, maka demi

    kepastian hukum dan hak asasi manusia yang harus dilindungi hak

    miliknya (walaupun pemiliknya tidak dikenal) kasus-kasus tersebut di

    atas telah diselesaikan oleh pengadilan dengan jalan prosedur peradilan

    in absentia. Prosedur di atas juga dimaksudkan untuk menjaga dan

    menghindari tindakan sewenang-wenang dari pihak penangkap atau

    pengusut, umpamanya pada waktu penangkapan, pelakunya disuruh lari

    dari barang-barang yang dibawa otomatis menjadi milik Negara.

    Sehingga dengan jalan mengajukan ke Pengadilan itu, maka kontrol

    masyarakat tetap dapat dilaksanakan.

    Peradilan In absentia pada perkara subversi (hanya saja sampai

    sekarang belum pernah ada kasus perkara yang dapat dipakai sebagai

    contoh), hak-hak asasi manusia masih tetap dijunjung tinggi. Hal ini

    seperti tercantum dalam Pasal 11 Penpres No. 11/1993 yang berbunyi

    sebagai berikut :Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    26

    dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang

    mengadilinya di luar kehadirannya (In absentia).Selanjutnya putusan

    Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa dengan jalan memuat

    putusan terasebut sekurang-kurangnya dua kali berturut-turut dalam dua

    surat kabar yang ditunjuk oleh Penuntut Umum yang bersangkutan.

    Sehelai dari surat kabar yang memuat putusan tersebut dimasukkan

    dalam berkas perkara. Selain itu juga putusan In absentia ini dapat

    diajukan permohonan banding dalam tenggang waktu yang dihitung

    mulai hari tanggal terakhir surat kabar yang memuat pemberitahuan

    tersebut.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    27

    B. Kerangka Pemikiran

    Gambar 1 : Skematik Kerangka Pemikiran

    Tindak Pidana Khusus

    UU Pidana TP. Korupsi; TP. Pencucian Uang TP Terorisme

    Peradilan In absentia dilihat dari berbagai

    segi.

    Peradilan In absentia

    Peradilan In absentia dalam perspektif

    KUHAP

    Peradilan In absentia dalam perspektif HAM

    Hambatan hambatan dan dilema pelaksanaan Peradilan In Absentia

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    28

    Keterangan Kerangka Pemikiran :

    Peradilan In absentia merupakan sebuah peradilan yang mengadili suatu

    perkara tanpa hadirnya terdakwa. Peradilan In absentia mengadili perkara pada

    Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur

    dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,Tindak Pidana

    Terorisme diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

    Didalam konsepsi peradilan In absentia mengalami hambatan jika dilihat dari

    berbagai segi. Disatu sisi mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa secara umum KUHAP

    tidak mengatur peradilan In absentia kecuali perkara pelanggaran lalu lintas, dan

    sisi yang lain mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Hak Asasi

    Manusia (HAM) ,bahwa peradilan In absentia merupakan pelanggaran HAM

    sehingga peradilan In absentia harus perlu dikaji ulang supaya di dalam

    pelaksanaannya tidak menghadapi hambatan-hambatan yang sangat berarti bagi

    penegakan hukum di Indonesia.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    29

    BAB III

    PEMBAHASAN

    1. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum

    Acara Pidana (KUHAP) dan Relevansinya Terhadap Perlindungan Hak

    Asasi Manusia (HAM) Terdakwa

    Guna mengetahui bagaimana pengaturan mengenai Peradilan In

    absentia dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP) dikaitkan dengan Hak Asasi Terdakwa maka konsep Peradilan

    In Absentia harus dibedah pasal demi pasal di dalam ketentuan KUHAP

    yang akan dihadapkan dengan pengaturan Hak Asasi Terdakwa Untuk itu

    Peneliti akan mengkaji dengan (2) dua langkah, diantaranya sebagai

    berikut :

    a. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana

    Peradilan pidana secara In absentia adalah mengadili sorang

    terdakwa tanpa dihadiri oleh terdakwa sendiri sejak mulai pemeriksaan

    sampai dijatuhkannya hukuman oleh pengadilan. Salah satu prinsip

    pemeriksaan terdakwa dalam peradilan pidana menurut Kitab Hukum

    Acara Pidana (KUHAP) mengharuskan penuntut umum menghadirkan

    terdakwa di depan sidang pengadilan secara bebas dan juga terdakwa tidak

    dapat diperiksa secara pengadilan In absentia. Artinya, Seorang terdakwa

    yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam keadaan bebas dan

    merdeka artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik jasmani maupun

    rohaninya. Namun secara khusus, tindak pidana korupsi dapat dibenarkan

    menurut undang-undang untuk diperikasa secara In absentia.

    Pengadilan In absentia adalah upaya mengadili seseorang dan

    menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Pasal 27 ayat (1)

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

    mengamanatkan bahwa setiap individu dalam Negara berhak mendapat

    perlakuan hukum yang sama . Lebih ditegaskan lagi dari penjelasan

    29

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    30

    umum dari Kitab UndangUndang Acara Pidana yang baru yakni

    UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 pada nomor 2

    dikatakan : Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan

    hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk

    menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,

    setiap penyelenggaraan negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga

    kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula

    dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini (Kitab Undang

    Undang Acara Pidana dengan Penjelasannya, penerbit CV Toha Putra

    Semarang, 1981, halaman 123). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

    Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali:

    Pasal 196

    Ayat (1) pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali

    dalam hal undangundang menentukan lain.

    Pasal 214

    Ayat (1) jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan

    perkara dilanjutkan.

    Ayat (2) dalam hal putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, surat

    amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

    Ayat (3).bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik

    kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku

    register.

    Ayat (4) dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan

    putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan,terdakwa dapat

    mengajukanperlawanan.

    Ayat (5) dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara

    sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan

    yang menjatuhkan putusan itu.

    Secara eksplisit Pasal 196 dan Pasal 214 Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini mengandung pengaturan terbatas

    mengenai tidak hadirnya terdakwa dalam persidangan. Namun, peradilan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    31

    In absentia harus memenuhi beberapa unsur, antara lain; karena terdakwa

    tinggal atau pergi keluar negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan

    dari terdakwa dengan contoh : melarikan diri dan terdakwa tidak hadir di

    sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara

    sah (Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

    sebagaimana yanag telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi). Ketentuan dalam KUHAP tersebut berbeda dengan

    Ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP yang diatur sebagai berikut :

    a) Pasal 154 ayat (2) : Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang

    tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan hakim

    ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.

    b) Pasal 154 ayat (3) : Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah hakim

    ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya

    terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

    c) Pasal 154 ayat (4) : Jika terdakwa ternyata sudah sah dipanggil tetapi

    tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,pemeriksaan perkara

    tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang

    memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

    d) Pasal 154 ayat (6) : Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa

    yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah

    untuk kedua kalinya,dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama

    berikutnya.

    Secara umum KUHAP tidak mengatur peradilan In absentia tetapi

    disatu sisi diperbolehkan tetapi bersifat terbatas hanya untuk perkara

    pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan cepat yang

    ditur dalam ketentuan Pasal 213 KUHAP : Terdakwa dapat menunjuk

    seorang dengan surat tilang untuk mewakilinyadi sidang.

    Berdasarkan Pasal 213 KUHAP, terdakwa dapat menunjuk

    seseorang untuk mewakilinya menghadap pemeriksaan sidang pengadilan.

    Ketentuan ini seolah olah memperlihatkan corak pelanggaran lalu lintas

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    32

    jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat suatu

    quasi yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana, karena

    menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan menghadapi

    pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam pemeriksaan yang

    bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang terkandung dalam Pasal 213

    KUHAP yang memperbolehkan terdakwa diwakili menghadap dan

    menghadiri sidang, antara lain :

    1. Undangundang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person

    di sidang pengadilan (selain sebagai Quasi perdata juga sebagai

    pengecualian terhadap asas In absentia)

    2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya

    3. Penunjukan wakil dengan surat.

    Ketentuan Pasal 214 KUHAP, membenarkan pemeriksaan perkara

    dan putusan dapat diucapkan di luar hadirnya terdakwa , ketentuan ini

    menunjukkan quasi perdata dalam perkara pidana serta merupakan

    penyimpangan dari asas In absentia. Adapun Proses pemeriksaan dan

    putusan di luar hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan 67 perkara

    pelanggaran lalu lintas jalan adalah sebagai berikut : apabila terdakwa atau

    wakilnya tidak datang, maka ; 1) pemeriksaan perkara dilanjutkan; tidak

    perlu ditunda dan dimundurkan pada hari sidang yang akan datang.

    ketentuan ini bersifat imperatif dan bukan fakultatif, 2)setelah pemeriksaan

    dilanjutkan putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa yang merupakan

    rangkaian yang tak terpisah dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu

    lintas jalan. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat

    amar putusan segera disampaikan kepada terdakwa (Pasal 214 ayat (2)

    KUHAP). Hal ini berarti bahwa setelah putusan diucapkan di luar hadirnya

    terdakwa:

    1. Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada

    penyidik

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    33

    2. Penyidik memberitahukan surat amar putusan kepada terpidana

    sesuai dengan tata cara pemberitahuan putusan yang diatur dan

    berpedoman pada Pasal 227 ayat (2) KUHAP

    3. Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah

    diberitahukan itu kepada panitera

    4. Kalau pemberitahuan amar surat putusan telah terbukti sah dan

    sempurna, panitera mencatat hal itu dalam buku register, jika

    belum sah panitera belum dapat mencatatnya dalam buku register,

    tetapi mengirimkan kembali surat amar putusan kepada penyidik,

    untuk diberitahukan kepada terpidana sebagaimana mestinya.

    Sedangkan dalam acara pemeriksaan biasa KUHAP tidak mengatur

    mengenai Peradilan In Absentia, seperti yang diatur dalam Pasal 154 ayat

    (4) KUHAP tetapi ketentuan dalam pasal ini berbeda dengan ketentuan

    dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan Pasal 214 ayat (1) KUHAP yang

    secara eksplisit memperbolehkan peradilan In absentia tetapi pengaturan

    mengenai tidak hadirnya terdakwa tersebut tidak jelas sehingga

    menimbulkan celah hukum yang dapat merugikan Hak Asasi Terdakwa,

    ketentuan Pasal 196 ayat (1) yang menyatakan pengadilan memutus

    perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang

    menentukan lain. Pengaturan dalam pasal ini tidak jelas mengenai

    undang-undang apa yang menjadi pengecualian dalam ketentuan yang

    dimaksudkan dalam pasal ini sehingga akan menimbulkan celah hukum

    dan penafsiran yang berbeda-beda karena tanpa ada pengaturan yang jelas

    yang mengakibatkan suatu peraturan tersebut sulit untuk dilaksanakan dan

    diaplikasikan. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP) ini juga terdapat ketentuan dalam pasal yang

    bertentangan satu sama lain (contradictio interminis) mengenai kehadiran

    terdakwa dalam persidangan yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) yang

    tidak memperbolehkan adanya peradilan In absentia, ketentuan ini berbeda

    dengan Ketentuan Pasal 214 ayat (1) yang memperbolehkan adanya

    peradilan In absentia. Sehinga dengan demikian terjadi silag sengkarut

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    34

    terhadap ketentuan pasal dalam KUHAP yang masing-masing terjadi suatu

    perbedaan yang berakibat adanya suatu ketidakpastian dan perlu adanya

    pengaturan yang jelas. Sehingga pengaturan mengenai Peradilan In

    Absentia dalam ketentuan KUHAP diperbolehkan adanya In absentia

    tetapi pengaturanya bersifat terbatas dalam hal undang-undang

    menentukan lain.

    Mencermati ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP) tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa KUHAP

    mengatur secara limitatif dalam hal ini perkara pelanggaran lalu lintas

    yang dilakukan dengan acara pemerikasaan cepat dan di dalam KUHAP

    juga terdapat ketentuan yang bersifat contradicti interminis antara Pasal

    154 ayat (4) dengan Pasal 213 ayat (1) yang saling bertentangan mengenai

    boleh tidaknya pelaksanaan peradilan In absentia dalam perspektif

    KUHAP. Dalam pelaksanaan peradilan In absentia harus memenuhi

    beberapa unsur, antara lain; dikarenakan terdakwa tinggal atau pergi keluar

    negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan dari terdakwa dengan

    contoh melarikan diri dan terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa

    alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (Pasal 38 Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dan ditambah

    dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

    tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

    b. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

    Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP) mengatur secara limitatif mengenai perkara pelanggaran lalu

    lintas yang dilakukan oleh seseorang pelanggar, dalam perkara

    pelanggaran lalu lintas ini Pelanggar (bukan terdakwa) dapat menunjuk

    seseorang dengan surat tilang (bukti pelanggaran) untuk mewakilinya di

    sidang, dan jika pelanggar tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara

    dilanjutkan. Mencermati ketentuan ini maka tidak adanya pelanggaran

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    35

    terhadap Hak Asasi Terdakwa dikarenakan pelaku pelanggaran lalu lintas

    ini bukan dilakukan oleh seorang terdakwa melainkan seorang pelaku

    pelanggaran lalu lintas.

    Ketentuan lain dalam KUHAP, Menurut Pasal 154 ayat (4) yang

    menyatakan Jika terdakwa ternyata sudah sah dipanggil tetapi tidak

    datang di sidang tanpa alasan yang sah,pemeriksaan perkara tersebut tidak

    dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar

    terdakwa dipanggil sekali lagi, ketentuan pasal ini menutup peluang

    dilakukanya peradilan In absentia, karena pemeriksaan perkara tersebut

    tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak hadir, sehingga dalam

    ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan hadirnya terdakwa,

    maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait perkara yang

    didakwaakan terhadap terdakwa.

    Pelaksaan In absentia juga diperbolehkan oleh KUHAP, sesuai

    dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP yang menyatakan

    pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal

    undangundang menentukan lain dan Pasal 214 ayat (1) yang

    menyatakan jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang,

    pemeriksaan perkara dilanjutkan, mencermati ketentuan pasal tersebut

    terdapat celah hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan

    pengaturanya yang terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain,

    sehingga dengan demikan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)

    Terdakwa.

    2. Analisis Kendala Normatif Konsepsi Peradilan In Absentia dalam

    Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    Pelaksanaan konsepsi peradilan In absentia dalam ketentuan

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat banyak

    kendala yang terjadi, di dalam ketentuan KUHAP konsepsi peradilan In

    absentia harus dibedah pasal demi pasal, Untuk itu Penulis akan

    menganalisis mengenai kendala normatif Konsepsi Peradilan In Absentia

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    36

    dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

    sebagai berikut :

    a. Konsepsi Peradilan In Absentia Terbatas

    Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP) terhadap konsepsi peradilan In absentia bersifat limitatif untuk

    perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan

    cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa

    Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang untuk

    mewakilinya di sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia di

    dalam ketentuan KUHAP hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu

    lintas, Ketentuan ini seolaholah memperlihatkan corak pelanggaran lalu

    lintas jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat

    suatu quasi yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana,

    karena menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan

    menghadapi pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam

    pemeriksaan yang bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang

    terkandung dalam Pasal 213 KUHAP yang memperbolehkan terdakwa

    diwakili menghadap dan menghadiri sidang, antara lain :

    1. Undangundang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person

    di sidang pengadilan (selain sebagai Quasi perdata juga sebagai

    pengecualian terhadap asas In absentia)

    2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya

    3. Penunjukan wakil dengan surat.

    Konsepsi peradilan In absentia dalam ketentuan Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini hanya terbatas pada perkara

    pelanggaran lalu lintas dalam acara pemeriksaan cepat, sedangkan dalam

    acara pemeriksaan biasa KUHAP tidak mengatur mengenai Peradilan In

    Absentia, Sehingga Ketentuan KUHAP ini berakibat terhadap adanya

    perlindungan hukum bagi Hak asasi Terdakwa.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    37

    b. Tidak Adanya Kepastian Hukum terhadap Konsepsi Peradilan In

    Absentia

    Konsepsi Peradilan In absentia dalam Ketentuan Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat contradictio interminis

    mengenai kehadiran terdakwa dalam persidangan yang diatur dalam Pasal

    154 ayat (4) KUHAP yang tidak memperbolehkan adanya peradilan In

    absentia, ketentuan ini berbeda dengan Ketentuan Pasal 214 ayat (1)

    KUHAP yang memperbolehkan adanya peradilan In absentia. Dalam

    Pasal 196 KUHAP juga mengatur mengenai konsepsi In absentia yang

    menyatakan bahwa pengadilan memutus perkara dengan hadirnya

    terdakwa kecuali dalam undangundang menentukan lain. Dengan

    demikian ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia

    tidak jelas dan tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan

    dan diimplementasikan. Terhadap ketentuan yang ada dikarenakan

    terdapat ketentuan pasal-pasal di dalam KUHAP yang bertentangan

    (contradicti interminis) dan adanya pengaturan yang tidak jelas mengenai

    konsepsi peradilan in absentia tersebut maka dengan demikian peraturan

    tersebut sulit untuk diaplikasikan dan berakibat tidak adanya kepastian

    hukum.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    38

    BAB IV

    PENUTUP

    A. Simpulan

    Mencermati Dari pembahasan yang penulis kemukakan diatas, dapatlah

    ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum peradilan In absentia di dalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur secara jelas dan

    detail mengenai ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan In

    absentia. KUHAP hanya mengatur secara limitatif mengenai konsepsi peradilan

    In absentia dalam perkara pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh seorang

    pelanggar lalu lintas (bukan terdakwa) yang dalam pengaturannya Pelanggar

    tersebut dapat menunjuk seseorang dengan surat tilang untuk mewakilinya di

    sidang sehingga dengan demikian konsepsi tersebut tidak melanggar Hak Asasi

    Terdakwa. Mengenai Konsepsi tersebut dibagi menjadi dua (2):

    1. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    juga terdapat suatu ketentuan yang saling bertentangan (contradicti

    interminis) yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang tidak

    mengatur dan memperbolehkan pelaksanaan peradilan In absentia, ketentuan

    pasal ini menutup peluang dilakukanya peradilan In absentia, karena

    pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak

    hadir, sehingga dalam ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan

    hadirnya terdakwa, maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait

    perkara yang didakwaakan terhadap terdakwa sedangkan dalam Pasal 214

    ayat (1) KUHAP terdapat celah hukum untuk dilakukanya peradilan In

    absentia yang menyatakan jika terdakwa tidak hadir di sidang, pemeriksaan

    perkara dilanjutkan. Mencermati ketentuan pasal tersebut, terdapat celah

    hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan pengaturanya yang

    terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain, sehingga dengan

    demikan melanggar Hak Asasi Terdakwa.

    2. Ketentuan dalam KUHAP terhadap konsepsi peradilan In absentia bersifat

    limitatif hanya untuk perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam

    38

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    39

    acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang

    menyatakan bahwa Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang

    untuk mewakilinyadi sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia

    didalam ketentuan KUHAP hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu

    lintas sedangkan ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia

    dalam Pasal 154 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) tidak jelas dan tidak diatur

    secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan. ketentuan pasal-pasal di dalam

    KUHAP yang bertentangan (contradicti interminis) dan adanya pengaturan

    yang tidak jelas mengenai konsepsi peradilan In absentia tersebut sehingga

    dengan demikian peraturan tersebut sulit diaplikasikan dan berakibat tidak

    adanya kepastian hukum

    B. Saran

    Sebaiknya Konsepsi Peradilan In Absentia harus diatur secara tegas, jelas

    dan rinci dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    yang digunakan sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan peradilan In

    absentia. Dengan demikian Konsepsi peradilan In absentia dapat diaplikasikan

    dengan baik tanpa adanya ketentuan pasal demi pasal dalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saling bertentangan satu sama lain

    (contradicti interminis) sehingga dengan demikian kepastian hukum akan

    terwujud sebagai suatu tujuan hukum itu sendiri.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    40

    DAFTAR PUSTAKA

    Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

    Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Humas Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,

    1968.

    Bagir Manan.2006. Hakim dan Pemidanaan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI

    Nomor 249 Agustus 2006. Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia.

    Darwan Prinst.1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta : Djambatan

    Dwiyanto Priharton