KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM …/Kajian... · Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya NIM :...
Transcript of KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM …/Kajian... · Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya NIM :...
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : MOHAMAT SINGGIH HARI SANJAYA
NIM : E 1107183
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA
Oleh :
Mohamat Singgih Hari Sanjaya
NIM : E 1107183
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 25 Oktober 2011
Dosen Pembimbing Skripsi
KRISTIYADI, S.H., M.H. MUHAMMAD RUSTAMAJI, S.H.,M.H. NIP. 195812251986011001 NIP. 198210082005011001
ii
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA
DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN
HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA
Oleh : Mohamat Singgih Hari Sanjaya
NIM : E 1107183
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
Hari : Selasa Tanggal : 25 Oktober 2011
DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H.,M.H (................................................) Ketua
2. Kristiyadi, S.H.,M,H. (................................................) Sekretaris
3. Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H (................................................) Anggota
Mengetahui, Dekan
Prof. Hartiwiningsih, S.H. NIP 195702031985032001
iii
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Mohamat Singgih Hari Sanjaya
NIM : E1107183
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul KAJIAN KONSEPSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 20 Oktober 2011
yang membuat pernyataan
Mohammat Singgih Hari Sanjaya
NIM.E1107183
iv
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Tidak setiap orang mampu mengubah keadaan yang ada,
kecuali manusia yang menjadi utusan Tuhan
(M. Singgih H.S)
Whoever is prepared to do good and to suffer will be reward by the Lord
(John F. Kennedy)
Ngelmu iki kelakone nganti laku
(M. Singgih H.S)
v
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini didedikasikan kepada :
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Penelitian Hukum ini .
2. Bapak Suharno H.S dan Ibu Sularmi yang selama ini telah memberi kasih
sayang dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Penelitian Hukum ini.
3. Keluarga Besar Eyang Taru Warsito dan Eyang Sumokarso yang selama ini
memberi motivasi bagi penulis.
4. Kakak Turis dan Fajar Ayu Fatmawati yang senantiasa memberikan nasihat dan
motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
ini dengan baik.
5. Bernanda Daniar yang selalu menjadi inspirasiku sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
6. Seseorang yang senantiasa mencintai dan menyertai di setiap langkahku, Elida
Yoviana Penulis bersyukur bisa memilikimu, Percayalah Tuhan memberkati
rencana indah untuk kita.
7. Keluarga besar angkatan 2007 yang telah menjadi bagian keluarga, terimakasih
atas pengertian dan dukungannya.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan Bapak,
Ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan
Yang Maha Esa.
9. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Mohammat Singgih Hari Sanjaya. E 1107183. KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011. Penulisan hukum yang berjudul Kajian Atas Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Relevansinya dengan Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa bertujuan untuk mengetahui Konsepsi Peradilan In Absentia dalam Perspektif KUHAP dan Perlindungan HAM Terdakwa.
Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif, bersifat preskiptif dengan menggunakan sumber bahan- bahan hukum, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan melalui pengumpulan peraturan perundang-undangan, buku, dan dokumen lain yang mendukung, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) . Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Premis Minor yaitu Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dari kedua hal tersebut kemudian ditarik suatu konklusi guna mendapat jawaban atas konsepsi peradilan In absentia dalam perspektif KUHAP dan Perlindungan HAM Terdakwa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa dasar hukum peradilan in absentia tidak diatur secara jelas dan detail dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena terdapat suatu ketentuan yang saling bertentangan (contradicti interminis) yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang tidak mengatur dan memperbolehkan pelaksanaan peradilan In absentia, ketentuan pasal ini menutup peluang dilakukanya peradilan In absentia, karena pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak hadir, sehingga dalam ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan hadirnya terdakwa, maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait perkara yang didakwaakan terhadap terdakwa sedangkan dalam Pasal 214 ayat (1) KUHAP terdapat celah hukum untuk dilakukanya peradilan In absentia yang menyatakan jika terdakwa tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan. Mencermati ketentuan pasal tersebut, terdapat celah hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan pengaturanya yang terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain, sehingga dengan demikan melanggar Hak Asasi Terdakwa dan KUHAP juga bersifat limitatif hanya untuk perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang untuk mewakilinyadi sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia didalam hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu lintas sedangkan ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia dalam Pasal 154 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) tidak jelas dan tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan. Kata Kunci : In Absentia, contradictio interminis, Kepastian hukum, HAM
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penulisan hukum (skripsi) yang berjudul KAJIAN KONSEPSI PERADILAN IN
ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERDAKWA.
Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh
gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan
hukum ini membahas tentang bagaimana konsepsi peradilan In Absentia dalam
perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya
dengan jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
dengan besar hati akan menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan
penulis di kemudian hari.
Dengan selesainya penulisan hukum ini maka dengan segala kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini :
1. Ibu Prof Hartiwiningsih, S.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Pembantu Dekan I, Ibu Pembantu Dekan II dan Bapak Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin
dalam penyusunan penulisan hukum ini.
3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.H. dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H. yang
telah memberikan bimbingan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah
memberikan saran dan kritik terhadap penulisan hukum ini.
5. Bapak Hardjono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan
saran dan nasihat kepada penulis.
ix
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu kepada penulis
selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata Usaha
dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Bapak Suharno H.S dan Ibu Sularmi yang selama ini telah memberi kasih sayang
dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian
Hukum ini.
9. Kakak Turis dan Fajar Ayu Fatmawati yang senantiasa memberikan nasihat dan
motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini
dengan baik.
10. Keluarga besar angkatan 2007 Non Reguler yang telah menjadi bagian keluarga,
terimakasih atas pengertian dan dukungannya.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu,
rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
Surakarta, Oktober 2011
Penulis
Mohammat Singgih H.S
x
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI....................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................... ............. iv
HALAMAN MOTTO...................................................................... ................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi
ABSTRAK......................................................................................... ............... vii
KATA PENGANTAR...................................................................... ................ ix
DAFTAR ISI..................................................................................... ................ xi
DAFTAR SKEMA............................................................................ ................ xiii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 4
E. Metode Penelitian .................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 11
A. Kerangka Teori....................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Hukum
Tindak Pidana Khusus................................................ 11
2. Tinjauan Umum tentang Peradilan In Absentia............ 17
3. Tinjauan Umum tentang
Hak Asasi Manusia Terdakwa..................................... 22
B. Kerangka Pemikiran........................................................... 27
xi
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 29
A. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya
terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
terdakwa....................................................... ..........................
1. Peradilan In Absentia dalam Perspektif KUHAP ............ 29
2. Peradilan In absentia dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM)............................................................... 34
B. Analisis Kendala Normatif Konsepsi Peradilan In absentia
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pida
(KUHAP)............................................................................. 35
1. Konsepsi Peradilan In absentia terbatas........................ 36
2. Tidak adanya kepastian hukum terhadap konsepsi
Peradilan In absentia...................................................... 37
BAB IV. PENUTUP ...................................................................................... 38
A. Simpulan .................................................................................. 38
A. Saran ......................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40
xii
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1. Skematik Kerangka Pemikiran ..................................................... 27
xiii
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Implikasi dari konsep negara hukum salah satunya mengatur tindakan
yang dilakukan masyarakat maupun penguasa harus didasarkan pada aturan
hukum tertentu. Oleh karenanya perlu adanya pengawasan sehingga apabila
tindakan tersebut menyimpang dari aturan yang ada maka perlu adanya sanksi
serta ancaman pidana. Tindakan yang menyimpang tersebut bisa berupa
kejahatan maupun pelanggaran, yang terdiri dari beberapa jenis tindak pidana
baik tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus.
Salah satu contoh kasus peradilan in absentia yang cukup menarik
perhatian penulis adalah kasus Bambang Sutrisno, salah seorang tersangka
korupsi penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
dimana dalam perkara tersebut menunjukkan bahwa terdapat sejumlah
argumen yang menyimpulkan bahwa bahwa proses peradilan in absentia
untuk kasus Bambang Sutrisno adalah manifestasi pendayagunaan
kewenangan antara kejaksaan yang mendapat dukungan dari elemen
pemerintahan lainnya dan pihak-pihak eksternal lembaga peradilan, baik dari
kelompok bisnis atau kelompok status quo yang tidak menghendaki adanya
penuntasan kasus-kasus korupsi secara menyeluruh.
Mencermati terhadap contoh kasus tindak pidana dalam peradilan in
absentia tersebut dalam praktik kasus korupsi tersebut selanjutnya Hakim
mendayagunakan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan Dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya
sedangkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan ketentuan Kitab
UndangUndang Hukum Acara Pidana tidak mengenal peradilan tanpa
1
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
hadirnya terdakwa (peradilan In absentia), karena mengingat betapa
pentingnya terdakwa hadir dalam persidangan Pengadilan Negeri yang
memeriksa mengenai dirinya. Hal ini diatur dalam Pasal 154 KUHAP
/Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dalam ayat ( 4 ) dan ( 6 )
berbunyi sebagai berikut Pasal 154 ayat ( 4 ) : Jika terdakwa telah dipanggil
secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi dan Pasal 154 ayat ( 6 )
yang menyatakan: Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang
tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan paksa di sidang pertama berikutnya.
Problematika yang terjadi bagaimana apabila ternyata pemanggilannya tidak sah karena disampaikan ketempat yang salah atau ketidakhadiran dengan alasan yang sah tetapi dipandang tidak sah oleh hakim karena ukuran menilainya tidak jelas,dan hakim kemudian mengambil sikap untuk melanjutkan sidang meski terdakwanya tidak ada. Lebih jauh lagi bagaimana halnya bila dalam perkara yang diajukan tidak ada asset atau tidak terdapat asset yang bisa disita, Apakah In absentia masih relevan? (Djoko Prakoso,2003:54) Persoalan yang timbul bagi terdakwa yang disidangkan secara In
absentia adalah tidak adanya ruang pembelaan bagi terdakwa atas putusan
yang nanti akan dijatuhkan oleh hakim. Disinilah kemudian muncul dilema
untuk memilih praksis In absentia yang menghilangkan hakhak tersangka
atau terdakwa dan membiarkan proses yang normal berjalan atau mencoba
mengadili secara In absentia suatu kasus yang secara obyektif yang didukung
buktibukti hukum yang telah memenuhi kualifikasi kasus untuk disidangkan,
sambil secara sukarela sebagai kewajiban konstitusional, aparat hukum
mengumumkan kepada publik bahwa suatu proses peradilan dijalankan secara
jujur dan adil sekaligus mempersilahkan publik untuk mengontrol dan
menguji kinerja aparatus hukum secara bebas. Sehingga dalam hal ini
Peradilan In absentia perlu diteliti lebih lanjut meskipun bukan pelanggaran
atas non derogable rights, praksis In absentia akan menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum di Indonesia. Hakhak tersangka atau terdakwa
menjadi termpas dan hilang. Dan semua itu merupakan korban hilangnya
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
indepedensi aparatus hukum dalam mengintervensi kekuasaan yudikatif
(Dwiyanto Prihartono,2003:12)
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul:
KAJIAN ATAS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERSPEKTIF
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DAN
RELEVANSINYA DENGAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAK
ASASI MANUSIA TERDAKWA
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian
hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun perumusan masalah
yang didasarkan pada uraian latar belakang di muka. Adapun perumusan masalah
dalam penelitian hukum ini adalah :
1. Bagaimana peradilan In absentia dalam perspektif Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan relevansinya dengan jaminan
pelindungan Hak Asasi Manusia Terdakwa?
2. Apakah yang menjadi kendala normatif atas konsepsi peradilan In
absentia dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak
dicapai oleh peneliti, yang mana tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui peradilan In absentia dalam perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya
dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa
b. Untuk mengetahui kendala normatif atas konsepsi peradilan in
absentia
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Tujuan Subjektif
a. Menambah, memperluas, dan mengaplikasikan pengetahuan penulis
mengenai peradilan peradilan In absentia dalam perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya
dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa
dan kendala normatif atas konsepsi peradilan In absentia
b. Menerapkan konsep-konsep ataupun teori-teori hukum yang
diperoleh penulis dalam mendukung penelitian ini.
c. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di
bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat
penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang
menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan manfaat pada pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan
referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum
selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang
berkepentingan.
c. Hasil penelitian diharapkan dapat menyumbangkan pemecahan atas
permasalahan yang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan suatu gambaran dan informasi tentang penelitian yang
sejenis dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai peradilan
peradilan In absentia dalam perspektif Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan relevansinya dengan jaminan pelindungan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Hak Asasi Manusia Terdakwa dan kendala normatif atas konsepsi
peradilan In absentia
b. Memberikan pendalaman, pengetahuan dan pengalaman yang baru
kepada penulis menganai permasalahan hukum yang dikaji, yang
dapat berguna bagi penulis di kemudian hari.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih
dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2008: 26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2008:
28).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan
metode penulisan antara lain sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian
ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum
(librabry based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-
bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut
Johnny Ibrahim ialah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi normatifnya
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
(Johnny Ibrahim, 2008: 57). Pendapat ini kemudian dipertegas oleh
Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara
kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah
hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum
yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan
ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau
mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole of system
(Johnny Ibrahim, 2008: 57).
Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut
penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum
sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan
pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan
penulis terhadap peradilan peradilan In absentia dalam perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan relevansinya
dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa,
sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum normatif, yang
merupakan ciri khas hukum normatif (Johnny Ibrahim, 2008: 127). Jadi
berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian
hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek
kajian atau isu hukum yang diangkat.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu
hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang
preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22).
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan
preskriptif mengenai kajian atas peradilan In absentia dalam perspektif
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
relevansinya dengan jaminan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Terdakwa dan kendala normatif atas konsepsi peradilan In absentia.
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu
penelitian normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian
hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 93).
Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan
penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statue
approach) yakni mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Relevansinya dengan
Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Terdakwa. Peneliti
memilih pendekatan undang-undang, karena menurut penulis yang perlu
dipahami dalam dalam menggunakan pendekatan undang-undang ini
adalah Ratio legis yaitu dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan
hukum sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud
mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum. dalam
hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau
risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum sekunder sebagai
pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini
yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum,
artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk
mendukung penelitian ini.
5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan
jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen
reasmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari
bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai
bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis
dengan metode deduksi. Dalam hal ini metode deduksi berpangkal dari
pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor, dari kedua
premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:47). Sehingga dalam hal ini yang merupakan
premis mayor adalah aturan hukum ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Relevansi
Peradilan In absentia dalam Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Terdakwa) dari kedua hal tersebut kemudian dapat ditarik suatu konklusi
guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah bagaimana Peradilan In
absentia dalam perspektif KUHAP? dan relevansinya dengan jaminan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
perliundungan HAM Terdakwa dan apakah yang menjadi kendala
normatif atas konsepsi peradilan In absentia?
F. Sistematika Penelitian Hukum
Untuk menjabarkan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka
penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika ini
terdiri dari 4 (empat) bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi
landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.
Kerangka teori tersebut meliputi Tinjauan Umum tentang Hukum
Tindak Pidana Khusus, Tinjauan Umum tentang peradilan In
absentia, Tinjaun umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Terdakwa .
BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil
yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah
yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam
bab ini yaitu bagaimana Peradilan In absentia dalam perspektif
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
relevansinya dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) Terdakwa dan apakah yang menjadi kendala normatif atas
konsepsi peradilan In absentia.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat
diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti,
serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak
yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Hukum Tindak Pidana Khusus.
a) Pengertian Hukum Tindak Pidana Khusus
Pengertian Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus,
sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus.
Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini.
Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh
karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah Undang-
Undang Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang
mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi
Hukum Pidana Material maupun dari segi Hukum Pidana Formal.
Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana
Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau
berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain selain orang tertentu.
Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari
substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus
itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam undang-undang di
luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana
yang terdapat dalam undang-undang pidana merupakan indikator
apakah undang-undang pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana
Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak
Pidana Khusus adalah undang-undang Pidana atau Hukum Pidana
yang diatur dalam undang-undang pidana tersendiri. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :
11
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi
tersendiri.http://www.umy.ac.id/hukum/download/hukumpidsus-
wikipedia (29 Juni 2011 pukul 16:47)
1) Dasar Hukum dan Kekhususan
Undang-Undang Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai
Hukum Tindak Pidana Khusus adalah Undang-Undang Nomor 7
Darurat Tahun 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang No.1 /Perpu/2002 dan Undang-Undang No.2/Perpu/2002.
Hukum Tindak Pidana Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ;
Untuk orang/golongan tertentu. Hukum Tindak Pidana Khusus
Menyimpang dari Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana
Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum Undang-Undang Pidana Khusus dilihat dari hukum
pidana adalah Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 103 ini mengandung pengertian :
(a) Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku
terhadap undang-undang di luar KUHP sepenjang undang-
undang itu tidak menentukan lain.
(b) Adanya kemungkinan undang-undang termasuk Undang-
Undang Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak
mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap
dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana :
(a) Undang-Undang Pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak
memberi pidana dari negara;
(b) Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah
memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar
hukum pidana umum
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana
ada 5 substansi :
(a) Undang-undang saja yang tidak mengatur ketentuan pidana
(seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah
dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan
UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU
No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah
dengan UU No 3/2004).
(b) Undang-undang yang memuat ketentuan pidana,
makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut
dalam bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU
No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997
yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU
No 23/20020, UU Nov 26/2000).
(c) Undang-Undang Pidana, maksudnya undang-undang yang
merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam
dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri
yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999,
UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002
yang diubah dengan UU No 25/2003)
(d) Undang-Undang Hukum Pidana adalah undang-undang
yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang
ini terdiri dari undang-undang pidana materiil dan formal
(undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang
hukum pidana ini dikenal dengan sebutan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (seperti KUHP, UU No 8/1981 tentang
KUHAP, KUHP Militer). Hukum Pidana Khusus ada yang
berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk.
Pidana Fiskal, UU No.31 Tahun 1999 khusus masalah
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum Undang-
Undang Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah
Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku
terhadap Undang-Undang di luar KUHP sepenjang undang-
undang itu tidak menentukan lain.
(e) Adanya kemungkinan undang-undang termasuk Undang-
Undang Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak
mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap
dan tidak mungkin lengkap).
2) Kekhususan Tindak Pidana Khusus
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus
dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang
Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal.
Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu
dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu.
(a) Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang
Hukum Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian
menyimpang dari ketentuan HPU dan dapat berupa
menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU
disebut dengan ketentuan khusus. (ket.khusus)
(1) Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)
(2) Percobaan dan membantu melakukan tindak
pidana diancam dengan hukuman.
(menyimpang)
(3) Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan
dan pelanggaran (ket. khs)
(4) Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstra
teritorial). (menyimpang/ket.khs)
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
(5) Sub.Hukum berhubungan/ditentukan
berdasarkan kerugian keuangan dan
perekonomian negara. (ket.khs)
(6) Pegawai negeri merupakan sub. Hukum
tersendiri.(ket. khs).
(7) Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya
ketentuan untuk memasukkan tindak pidana
yang berada dalam undang-undang lain asalkan
undang-undang lain itu menetukan menjadi
tindak pidana. (ket.khus).
(8) Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi.
(menyimpang)
(9) Perampasan barang bergerak,tidak bergerak
(ket.khs)
(10) Adanya pengaturan tindak pidana selain yang
diatur dalam undang-undang itu.(ket.khs)
(11) Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
(12) Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain
terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)
(13) Tindak pidananya dapat bersifat politik
(ket.khs).
(14) Dapat pula berlaku asas retroactive.
(b) Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.
(1) Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa, Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(2) Perkara pidana khusus harus didahulukan dari
perkara pidana lain
(3) Adanya gugatan perdata terhadap
tersangka/terdakwa Tindak Pidana Korupsi
(4) Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas
dasar kerugian negara
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(5) Perkara pidana Khusus diadili di Pengadilan
khusus (HPE)
(6) Dianutnya Peradilan In absentia
(7) Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank
(8) Dianut Pembuktian terbalik
(9) Larangan menyebutkan identitas pelapor
(10) Perlunya pegawai penghubung
(11) Dianut TTS dan TT
3) Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Alat bukti Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah
bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah
ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari
Undang-Undang Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh :
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana
Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 dicabut dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi
bagian tindak pidana khusus. Demikian juga Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga undang-undang
yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan
tindak pidana khusus.
Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
(a) Hukum Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt 1955)
(b) Tindak Pidana Korupsi
(c) Tindak Pidana Terorisme.
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang
lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana
ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum
dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera
ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga
pengadilannya harus pengadilan ekonomi.
2. Tinjauan Umum tentang Peradilan In absentia
a) Pengertian tentang Peradilan In absentia dari segi Peraturannya
1) Pengertian Peradilan In absentia
(a) Sidang pengadilan diluar hadirnya terdakwa atau tanpa hadirnya
terdakwa.
(b) Secara formal terdapat dalam UU No.11/PnPs/1963.
(c) Mengadili dan menjatuhkan hukuman tanpa hadirnya terdakwa (arti
sempit).
(d) Peradilan In absentia tidak hanya tanpa kehadiran terdakwa,tetapi
juga kuasa hukum dan saksi (arti luas)
2) Pengertian Peradilan In absentia Dalam UU No.7 Drt tahun 1955
(a) Kata peradilan pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan
salah satu tahap penyelesaian perkara pidana di samping tahap
penyidikan dan penuntutan.
(b) Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai ssuatu proses
pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.
3) Peradilan In absentia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
(a) Secara umum KUHAP tidak mengatur peradilan In absentia kecuali
perkara pelanggaran lalu lintas
(b) Dalam Pasal 154 ayat (4) dan (6) KUHAP mengatur bahwa kehadiran
terdakwa di pengadilan merupakan kewajiban bukan hak.
4) Peradilan In absentia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
(a) Merupakan pelanggaran HAM (Pasal 14 The International Convenant
On Political Right) (non derogable rights) ada pengecualian
(b) Pasal 4 : Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan negara
& negara harus menjelaskan alasan-alasan pembatasan atau
diberlakukannya peradilan In absentia
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
5) Beberapa Macam Tindak Pidana yang Dapat Diadili Secara In Absentia
1) Peradilan In Absentia pada Perkara Pelanggaran
Pada perkara perkara pelanggaran dan kejahatan ringan,
yaitu tindak pidana yang diancam dengan tidak lebih dari 3 bulan
penjara dan atau denda Rp 500,00 maka hakim dapat melanjutkan
sidang dan menjatuhkan putusan walaupun terdakwa tidak hadir.
Sebagai syarat yang harus dipenuhi, ialah bahwa terdakwa tersebut
telah dipanggil secara sah untuk menghadap pengadilan.
Pelanggaran ringan ini misalnya, ialah pelanggaran lalu lintas
yang tidak menimbulkan orang luka luka atau mati, penghinaan
ringan, penganiayaan ringan dan sebagainya. Putusan terdakwa yang
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa dalam hal ini sering disebut
putusan verstek . Dasar hukum yang dipakai ialah Pasal 6 ayat (1)
b Undang Undang Darurat No. 1/1951, LN No. 9/1951, yang sudah
disahkan manjadi undang undang. Pasal 6 UndangUndang
Darurat ini merupakan pembaharuan dari Pasal 42 sampai dengan
Pasal 52 Landgerecht Reglement Stbl. 1914 No.317,karena
pengadilan Landgerecht sendiri telah dihapus. Pasal 6 ayat (1) huruf
b UndangUndang Darurat No. 1/1951 berbunyi :
dalam hal memeriksa dan memutus perkara perkara yang dimaksudkan, berlaku dalam ketentuan Pasal 46 sampai terhitung Pasal 52 dari Reglement untuk Landgerecht (Staatsblad 1914), sedang perkara perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap dengan sah .( Tresna, R. Mr., Komentar atas HIR, Pradnya Paramita Jakarta, 1975, Halaman 39 ).
Untuk tidak mengurangi hak asasi terdakwa dalam putusan
verstek ini, kepada terdakwa diberi hak untuk mengadakan
perlawanan atau verzet atas putusan pengadilan tersebut. Hal ini
diatur dalam Pasal 214 ayat (4) Kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP), yang berbunyi : dalam hal putusan dijatuhkan diluar
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
hadirnya terdakwa dan putusan ini berupa pidana perampasan
kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
2) Peradilan In Absentia pada Tindak Pidana Ekonomi
Dasar peradilan In Absentia pada tindak pidana ekonomi
terdapat dalam Pasal 16 Undang Undang Darurat No. 7/1955.
Menurut Undang Undang No. 1 tahun 1961 ( LN No. 3/1961 )
undang undang darurat ini telah dinyatakan menjadi Undang
undang. Peradilan In Absentia pada tindak pidana ekonomi,
sebenarnya mengatur dua hal menyebabkan tidak hadirnya terdakwa
pada sidang pengadilan ekonomi, yaitu :
Pertama
Untuk terdakwa yang telah meninggal dunia, sebelum
perkaranya dijatuhi putusan yang mempunyai kekuatan pasti
(Pasal 16 ayat (1))
Kedua
Untuk terdakwa yang tidak dikenal, Pengertian perkataan
tidak dikenal ternyata dapat menimbulkan beberapa
masalah,Undangundang sendiri hanya menyebutkan, bahwa
pelaku atau pembuat yang tidak dikenal ialah seorang yang
berdasar alasan alasan yang dapat diterima oleh akal, bahwa ia
dapat dianggap tidak dikenal. (Majalah Dharma Adhyaksa, No. 8
Tahun III, Yayasan Tridaya Kejaksaan Agung RI, Jakarta,
Halaman 49)
Seorang dianggap tidak dikenal apabila orang tersebut
sebagai terdakwa sama sekali tidak dikenal baik nama maupun
alamatnya. Hal ini dapat terjadi pada penyelundup
penyelundup yang meninggalkan barang barang selundupan
dalam kapal dipantai atau muara sungai, dalam gudang gudang
dipelabuhan dan sebagainya, karena takut tertangkap, sedang
baranganya diketemukan oleh petugas penyidik untuk dijadikan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
barang bukti. Mereka itu memang tidak dikenal, baik wajah,
nama maupun alamatnya ( Djoko Prakoso, 1984 : 59 ).
Mengenai pengertian istilah tidak dikenal menurut Andi
Hamzah, S.H. dalam bukunya Hukum Pidana Ekonomi ,
bahwa orang yang tidak dikenal yang diadili dengan In Absentia
( Judgement by Default, where the defendant does not appear ),
terjadi jika terdapat bukti bukti dan alat alat bukti berupa
barang barang sitaan tentang terjadinya delik ekonomi, tetapi
perbuatannya tidak dikenal( Andi Hamzah, 1968 : 35 ).
Selanjutnya dalam putusan peradilan dalam peradilan In
Absentia pada tindak pidana ekonomi terutama hanya
menyangkut harta benda, berupa perampasan barang barang
yang telah disita ataupun tindakan tata tertib, atas harta benda
terdakwa yang telah meninggal dunia atau terdakwa yang tidak
dikenal itu. Terhadap terdakwanya sendiri sebagai pelaku,
biasanya hanya dinyatakan ia bersalah atau tidak bersalah, tanpa
menentukan hukuman badan.
3) Peradilan In Absentia pada Perkara Subversi
Peradilan In Absentia pada perkara subversi bebeda dengan
peradilan In Absensia pada tindak pidana ekonomi, karena motifnya
memang berbeda, walaupun tindak pidana subversi dapat pula
berbentuk kejahatan ekonomi. Tetapi pada tindak pidana subversi,
motifnya adalah politik secara terbuka ataupun tertutup. Hakikat
subversi adalah manifestasi pertentangan pertentangan kepentingan,
subversi selalu dihubungkan dengan politik, demikianlah bunyi
memori penjelasan penpres No. 11/1963.
Jadi obyek utama dari tindak pidana subversi adalah motif
politik si pelaku atau jalan pikirannya yang inheren dengan orangnya
sendiri. Oleh karena itu pada tindak pidana suversi, hanya ditentukan
syarat syarat bagaimana peradilan In absentia dapat dilaksanakan.
Selanjutnya tidak ada pembatasan pembatasan lain mengenai putusan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
yang dapat dijatuhkan seperti pada peradilan In absentia pada tindak
pidana ekonomi.
b) Syarat Pemberlakuan Pradilan In Absentia
1) Negara harus dapat mengemukakan alasasn ketidakmampuan negara
dalam menghadirkan tersangka;
2) Tersangka sudah dipanggil secara benar seuai alamat yang diketahui dan
tidak memberikan alasan ketidakhadirannya;
3) Telah dinyatakan buron;
4) Negara tidak mampu menangkap atau menghadirkan tersangka;
5) Ketidakmampuan negara harus dibuktikan di depan pengadilan sebagai
alasan yang obyektif;
6) Pihak penyidik sudah melakukan pemerikasaan terhadap tersangka untuk
dapat menentukan apakah kasus tersebut layak dan dapat diajukan ke
pengadilan.
c) Peradilan In absentia dalam beberapa Undang-Undang Pidana Khusus
1) Tindak Pidana Korupsi
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: dalam hal terdakwa
sudah dipanggil secara sah dan tidak hadir di seidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadrannya.
2) Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15Tahun 2003 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: dalam
hal terdakwa telah dipanggil secar 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka majelis
hakim dngan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa
kehadiran terdakwa.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Tindak Pidana Terorisme
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Terorisme: dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, amak perkara
dapatdiperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia Terdakwa
a) Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap
umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri
seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan
lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama sama tanpa
pengecualian.
Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Sementara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Hak Asasi Manusia memiliki beberapa prinsip, yaitu :
(1) Universal
(2) Saling Terkait
(3) Tidak Terpisahkan
(4) Kesetaraan Non-Diskriminasi
(5) Hak Serta Kewajiban Negara
(6) Tidak dapat diambil oleh siapapun
Saat ini, HAM telah menjadi standar norma internasional untuk
melindungi setiap manusia dari setiap tindakan; baik secara politik,
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
hukum dan sosial yang melanggar hak seseorang. Acuan utama dalam
HAM adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia. Dalam deklarasi tersebut,
terdapat 10 hak dasar dari setiap manusia yang wajib dijamin oleh setiap
negara, yaitu:
(1) Hak Untuk Hidup: hak untuk hidup dan meningkatkan taraf
hidup, hidup tentram, aman dan damai dan lingkungan hidup
(2) Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan: Hak untuk
membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah
(3) Hak Mengembangkan kebutuhan dasar: hak untuk pemenuhan
diri, hak pengembangan pribadi, hak atas manfaat iptek, dan
hak atas komunikasi
(4) Hak memperoleh keadilan: hak perlindungan hukum, hak
keadilan dalam proses hukum, dan hak atas hukum yang adil
(5) Hak atas kebebasan dari perbudakan: hak untuk bebas dari
perbudakan pribadi, hak atas keutuhan pribadi, kebebasan
memeluk agama dan keyakinan politik, kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul, kebebasan untuk menyampaikan
pendapat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, dan status
kewarganegaraan
(6) Hak atas rasa aman: hak mencari suaka dan perlindungan diri
pribadi
b) Hak tersangka atau terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Pengertian Hak-hak terdakwa yang diatur pada bab VI KUHAP
adalah hak yang berlaku pada umumnya terhadap tersangka atau
terdakwa baik yang berada dalam penahanana atau di luar penahanan. Di
samping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum tersebut, undang-
undang masih memberi lagi hak yang melindungi tersangka atau
terdakwa yang berada selama proses pemeriksaan persidangan
pengadilan.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
1) Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum
2) Berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli
3) Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam
pemeriksaan sidang yang dibebani kewajiban untuk membuktikan
kesalahan terdakwa adalah penuntut umum
c) Hak Asasi Manusia ditinjau dari Putusan Hakim tanpa hadirnya
terdakwa (Peradilan In absentia)
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak
asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk
menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,
setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud
pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana baru.
Usaha pembaruan hukum yang telah ditandai dengan adanya
perubahan hukum positif melalui hukum acara pidana baru yang secara
fundamental dijiwai oleh penempatan manusia secara proporsional pada
keluhuran harkat dan martabatnya sbagai makhluk Tuhan Yang Maha
Kuasa, diharapkan dapat terwujud pada putusan hakim tanpa hadirnya
terdakwa (peradilan In absentia).
Peradilan In absentia pada perkara pelanggaran maka untuk tidak
mengurangi hak asasi si terdakwa dalam putusan verstek (putusan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pengadilan tanpa kehadiran terdakwa), kepada terdakwa diberi hak untuk
mengadakan perlawanan atau verzet atas putusan pengadilan tersebut
yang harus disampaikan dalam waktu tujuh hari sesudah putusan
diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Sehingga dengan adanya
perlawanan dari terdakwa itu, maka putusan di luar hadirnya terdakwa
menjadi gugur, walaupun juga apabila putusan setelah diajukannya
perlawanan tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan, terhadap
putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding (Pasal 214 ayat
(4),(5),(6) dan (8) KUHAP).
Mengadili In absentia pada tindak pidana ekonomi seperti yang
disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
(Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1955) juga mengingat sebelum
Ordonantie Bea (RO Stbl. 1931 No. 471) dimasukkan menjadi tindak
pidana ekonomi, dimana terhadap barang-barang yang ditinggalkan para
penyelundup atau barang-barang yang ditangkap dari pelanggar-
pelanggar yang tidak dikenal diambil menjadi milik Negara dan
penggunaannya ditentukan oleh Menteri Keuangan, maka demi
kepastian hukum dan hak asasi manusia yang harus dilindungi hak
miliknya (walaupun pemiliknya tidak dikenal) kasus-kasus tersebut di
atas telah diselesaikan oleh pengadilan dengan jalan prosedur peradilan
in absentia. Prosedur di atas juga dimaksudkan untuk menjaga dan
menghindari tindakan sewenang-wenang dari pihak penangkap atau
pengusut, umpamanya pada waktu penangkapan, pelakunya disuruh lari
dari barang-barang yang dibawa otomatis menjadi milik Negara.
Sehingga dengan jalan mengajukan ke Pengadilan itu, maka kontrol
masyarakat tetap dapat dilaksanakan.
Peradilan In absentia pada perkara subversi (hanya saja sampai
sekarang belum pernah ada kasus perkara yang dapat dipakai sebagai
contoh), hak-hak asasi manusia masih tetap dijunjung tinggi. Hal ini
seperti tercantum dalam Pasal 11 Penpres No. 11/1993 yang berbunyi
sebagai berikut :Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang
mengadilinya di luar kehadirannya (In absentia).Selanjutnya putusan
Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa dengan jalan memuat
putusan terasebut sekurang-kurangnya dua kali berturut-turut dalam dua
surat kabar yang ditunjuk oleh Penuntut Umum yang bersangkutan.
Sehelai dari surat kabar yang memuat putusan tersebut dimasukkan
dalam berkas perkara. Selain itu juga putusan In absentia ini dapat
diajukan permohonan banding dalam tenggang waktu yang dihitung
mulai hari tanggal terakhir surat kabar yang memuat pemberitahuan
tersebut.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 : Skematik Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Khusus
UU Pidana TP. Korupsi; TP. Pencucian Uang TP Terorisme
Peradilan In absentia dilihat dari berbagai
segi.
Peradilan In absentia
Peradilan In absentia dalam perspektif
KUHAP
Peradilan In absentia dalam perspektif HAM
Hambatan hambatan dan dilema pelaksanaan Peradilan In Absentia
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Keterangan Kerangka Pemikiran :
Peradilan In absentia merupakan sebuah peradilan yang mengadili suatu
perkara tanpa hadirnya terdakwa. Peradilan In absentia mengadili perkara pada
Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur
dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,Tindak Pidana
Terorisme diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Didalam konsepsi peradilan In absentia mengalami hambatan jika dilihat dari
berbagai segi. Disatu sisi mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa secara umum KUHAP
tidak mengatur peradilan In absentia kecuali perkara pelanggaran lalu lintas, dan
sisi yang lain mengenai Peradilan In absentia dalam perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM) ,bahwa peradilan In absentia merupakan pelanggaran HAM
sehingga peradilan In absentia harus perlu dikaji ulang supaya di dalam
pelaksanaannya tidak menghadapi hambatan-hambatan yang sangat berarti bagi
penegakan hukum di Indonesia.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
BAB III
PEMBAHASAN
1. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan Relevansinya Terhadap Perlindungan Hak
Asasi Manusia (HAM) Terdakwa
Guna mengetahui bagaimana pengaturan mengenai Peradilan In
absentia dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dikaitkan dengan Hak Asasi Terdakwa maka konsep Peradilan
In Absentia harus dibedah pasal demi pasal di dalam ketentuan KUHAP
yang akan dihadapkan dengan pengaturan Hak Asasi Terdakwa Untuk itu
Peneliti akan mengkaji dengan (2) dua langkah, diantaranya sebagai
berikut :
a. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Peradilan pidana secara In absentia adalah mengadili sorang
terdakwa tanpa dihadiri oleh terdakwa sendiri sejak mulai pemeriksaan
sampai dijatuhkannya hukuman oleh pengadilan. Salah satu prinsip
pemeriksaan terdakwa dalam peradilan pidana menurut Kitab Hukum
Acara Pidana (KUHAP) mengharuskan penuntut umum menghadirkan
terdakwa di depan sidang pengadilan secara bebas dan juga terdakwa tidak
dapat diperiksa secara pengadilan In absentia. Artinya, Seorang terdakwa
yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam keadaan bebas dan
merdeka artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik jasmani maupun
rohaninya. Namun secara khusus, tindak pidana korupsi dapat dibenarkan
menurut undang-undang untuk diperikasa secara In absentia.
Pengadilan In absentia adalah upaya mengadili seseorang dan
menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
mengamanatkan bahwa setiap individu dalam Negara berhak mendapat
perlakuan hukum yang sama . Lebih ditegaskan lagi dari penjelasan
29
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
umum dari Kitab UndangUndang Acara Pidana yang baru yakni
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 pada nomor 2
dikatakan : Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan
hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk
menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,
setiap penyelenggaraan negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula
dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini (Kitab Undang
Undang Acara Pidana dengan Penjelasannya, penerbit CV Toha Putra
Semarang, 1981, halaman 123). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali:
Pasal 196
Ayat (1) pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali
dalam hal undangundang menentukan lain.
Pasal 214
Ayat (1) jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan
perkara dilanjutkan.
Ayat (2) dalam hal putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
Ayat (3).bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik
kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku
register.
Ayat (4) dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan
putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan,terdakwa dapat
mengajukanperlawanan.
Ayat (5) dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara
sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan
yang menjatuhkan putusan itu.
Secara eksplisit Pasal 196 dan Pasal 214 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini mengandung pengaturan terbatas
mengenai tidak hadirnya terdakwa dalam persidangan. Namun, peradilan
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
In absentia harus memenuhi beberapa unsur, antara lain; karena terdakwa
tinggal atau pergi keluar negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan
dari terdakwa dengan contoh : melarikan diri dan terdakwa tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara
sah (Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yanag telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi). Ketentuan dalam KUHAP tersebut berbeda dengan
Ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP yang diatur sebagai berikut :
a) Pasal 154 ayat (2) : Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang
tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan hakim
ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
b) Pasal 154 ayat (3) : Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah hakim
ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya
terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
c) Pasal 154 ayat (4) : Jika terdakwa ternyata sudah sah dipanggil tetapi
tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,pemeriksaan perkara
tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
d) Pasal 154 ayat (6) : Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah
untuk kedua kalinya,dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama
berikutnya.
Secara umum KUHAP tidak mengatur peradilan In absentia tetapi
disatu sisi diperbolehkan tetapi bersifat terbatas hanya untuk perkara
pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan cepat yang
ditur dalam ketentuan Pasal 213 KUHAP : Terdakwa dapat menunjuk
seorang dengan surat tilang untuk mewakilinyadi sidang.
Berdasarkan Pasal 213 KUHAP, terdakwa dapat menunjuk
seseorang untuk mewakilinya menghadap pemeriksaan sidang pengadilan.
Ketentuan ini seolah olah memperlihatkan corak pelanggaran lalu lintas
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat suatu
quasi yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana, karena
menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan menghadapi
pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam pemeriksaan yang
bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang terkandung dalam Pasal 213
KUHAP yang memperbolehkan terdakwa diwakili menghadap dan
menghadiri sidang, antara lain :
1. Undangundang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person
di sidang pengadilan (selain sebagai Quasi perdata juga sebagai
pengecualian terhadap asas In absentia)
2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya
3. Penunjukan wakil dengan surat.
Ketentuan Pasal 214 KUHAP, membenarkan pemeriksaan perkara
dan putusan dapat diucapkan di luar hadirnya terdakwa , ketentuan ini
menunjukkan quasi perdata dalam perkara pidana serta merupakan
penyimpangan dari asas In absentia. Adapun Proses pemeriksaan dan
putusan di luar hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan 67 perkara
pelanggaran lalu lintas jalan adalah sebagai berikut : apabila terdakwa atau
wakilnya tidak datang, maka ; 1) pemeriksaan perkara dilanjutkan; tidak
perlu ditunda dan dimundurkan pada hari sidang yang akan datang.
ketentuan ini bersifat imperatif dan bukan fakultatif, 2)setelah pemeriksaan
dilanjutkan putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa yang merupakan
rangkaian yang tak terpisah dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu
lintas jalan. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat
amar putusan segera disampaikan kepada terdakwa (Pasal 214 ayat (2)
KUHAP). Hal ini berarti bahwa setelah putusan diucapkan di luar hadirnya
terdakwa:
1. Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada
penyidik
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2. Penyidik memberitahukan surat amar putusan kepada terpidana
sesuai dengan tata cara pemberitahuan putusan yang diatur dan
berpedoman pada Pasal 227 ayat (2) KUHAP
3. Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah
diberitahukan itu kepada panitera
4. Kalau pemberitahuan amar surat putusan telah terbukti sah dan
sempurna, panitera mencatat hal itu dalam buku register, jika
belum sah panitera belum dapat mencatatnya dalam buku register,
tetapi mengirimkan kembali surat amar putusan kepada penyidik,
untuk diberitahukan kepada terpidana sebagaimana mestinya.
Sedangkan dalam acara pemeriksaan biasa KUHAP tidak mengatur
mengenai Peradilan In Absentia, seperti yang diatur dalam Pasal 154 ayat
(4) KUHAP tetapi ketentuan dalam pasal ini berbeda dengan ketentuan
dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan Pasal 214 ayat (1) KUHAP yang
secara eksplisit memperbolehkan peradilan In absentia tetapi pengaturan
mengenai tidak hadirnya terdakwa tersebut tidak jelas sehingga
menimbulkan celah hukum yang dapat merugikan Hak Asasi Terdakwa,
ketentuan Pasal 196 ayat (1) yang menyatakan pengadilan memutus
perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang
menentukan lain. Pengaturan dalam pasal ini tidak jelas mengenai
undang-undang apa yang menjadi pengecualian dalam ketentuan yang
dimaksudkan dalam pasal ini sehingga akan menimbulkan celah hukum
dan penafsiran yang berbeda-beda karena tanpa ada pengaturan yang jelas
yang mengakibatkan suatu peraturan tersebut sulit untuk dilaksanakan dan
diaplikasikan. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ini juga terdapat ketentuan dalam pasal yang
bertentangan satu sama lain (contradictio interminis) mengenai kehadiran
terdakwa dalam persidangan yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) yang
tidak memperbolehkan adanya peradilan In absentia, ketentuan ini berbeda
dengan Ketentuan Pasal 214 ayat (1) yang memperbolehkan adanya
peradilan In absentia. Sehinga dengan demikian terjadi silag sengkarut
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
terhadap ketentuan pasal dalam KUHAP yang masing-masing terjadi suatu
perbedaan yang berakibat adanya suatu ketidakpastian dan perlu adanya
pengaturan yang jelas. Sehingga pengaturan mengenai Peradilan In
Absentia dalam ketentuan KUHAP diperbolehkan adanya In absentia
tetapi pengaturanya bersifat terbatas dalam hal undang-undang
menentukan lain.
Mencermati ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa KUHAP
mengatur secara limitatif dalam hal ini perkara pelanggaran lalu lintas
yang dilakukan dengan acara pemerikasaan cepat dan di dalam KUHAP
juga terdapat ketentuan yang bersifat contradicti interminis antara Pasal
154 ayat (4) dengan Pasal 213 ayat (1) yang saling bertentangan mengenai
boleh tidaknya pelaksanaan peradilan In absentia dalam perspektif
KUHAP. Dalam pelaksanaan peradilan In absentia harus memenuhi
beberapa unsur, antara lain; dikarenakan terdakwa tinggal atau pergi keluar
negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan dari terdakwa dengan
contoh melarikan diri dan terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (Pasal 38 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
b. Peradilan In Absentia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) mengatur secara limitatif mengenai perkara pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan oleh seseorang pelanggar, dalam perkara
pelanggaran lalu lintas ini Pelanggar (bukan terdakwa) dapat menunjuk
seseorang dengan surat tilang (bukti pelanggaran) untuk mewakilinya di
sidang, dan jika pelanggar tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara
dilanjutkan. Mencermati ketentuan ini maka tidak adanya pelanggaran
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
terhadap Hak Asasi Terdakwa dikarenakan pelaku pelanggaran lalu lintas
ini bukan dilakukan oleh seorang terdakwa melainkan seorang pelaku
pelanggaran lalu lintas.
Ketentuan lain dalam KUHAP, Menurut Pasal 154 ayat (4) yang
menyatakan Jika terdakwa ternyata sudah sah dipanggil tetapi tidak
datang di sidang tanpa alasan yang sah,pemeriksaan perkara tersebut tidak
dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi, ketentuan pasal ini menutup peluang
dilakukanya peradilan In absentia, karena pemeriksaan perkara tersebut
tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak hadir, sehingga dalam
ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan hadirnya terdakwa,
maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait perkara yang
didakwaakan terhadap terdakwa.
Pelaksaan In absentia juga diperbolehkan oleh KUHAP, sesuai
dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP yang menyatakan
pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal
undangundang menentukan lain dan Pasal 214 ayat (1) yang
menyatakan jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang,
pemeriksaan perkara dilanjutkan, mencermati ketentuan pasal tersebut
terdapat celah hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan
pengaturanya yang terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain,
sehingga dengan demikan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
Terdakwa.
2. Analisis Kendala Normatif Konsepsi Peradilan In Absentia dalam
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pelaksanaan konsepsi peradilan In absentia dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat banyak
kendala yang terjadi, di dalam ketentuan KUHAP konsepsi peradilan In
absentia harus dibedah pasal demi pasal, Untuk itu Penulis akan
menganalisis mengenai kendala normatif Konsepsi Peradilan In Absentia
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
sebagai berikut :
a. Konsepsi Peradilan In Absentia Terbatas
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) terhadap konsepsi peradilan In absentia bersifat limitatif untuk
perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam acara pemeriksaan
cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang untuk
mewakilinya di sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia di
dalam ketentuan KUHAP hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu
lintas, Ketentuan ini seolaholah memperlihatkan corak pelanggaran lalu
lintas jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat
suatu quasi yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana,
karena menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan
menghadapi pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam
pemeriksaan yang bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang
terkandung dalam Pasal 213 KUHAP yang memperbolehkan terdakwa
diwakili menghadap dan menghadiri sidang, antara lain :
1. Undangundang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person
di sidang pengadilan (selain sebagai Quasi perdata juga sebagai
pengecualian terhadap asas In absentia)
2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya
3. Penunjukan wakil dengan surat.
Konsepsi peradilan In absentia dalam ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini hanya terbatas pada perkara
pelanggaran lalu lintas dalam acara pemeriksaan cepat, sedangkan dalam
acara pemeriksaan biasa KUHAP tidak mengatur mengenai Peradilan In
Absentia, Sehingga Ketentuan KUHAP ini berakibat terhadap adanya
perlindungan hukum bagi Hak asasi Terdakwa.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
b. Tidak Adanya Kepastian Hukum terhadap Konsepsi Peradilan In
Absentia
Konsepsi Peradilan In absentia dalam Ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat contradictio interminis
mengenai kehadiran terdakwa dalam persidangan yang diatur dalam Pasal
154 ayat (4) KUHAP yang tidak memperbolehkan adanya peradilan In
absentia, ketentuan ini berbeda dengan Ketentuan Pasal 214 ayat (1)
KUHAP yang memperbolehkan adanya peradilan In absentia. Dalam
Pasal 196 KUHAP juga mengatur mengenai konsepsi In absentia yang
menyatakan bahwa pengadilan memutus perkara dengan hadirnya
terdakwa kecuali dalam undangundang menentukan lain. Dengan
demikian ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia
tidak jelas dan tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan
dan diimplementasikan. Terhadap ketentuan yang ada dikarenakan
terdapat ketentuan pasal-pasal di dalam KUHAP yang bertentangan
(contradicti interminis) dan adanya pengaturan yang tidak jelas mengenai
konsepsi peradilan in absentia tersebut maka dengan demikian peraturan
tersebut sulit untuk diaplikasikan dan berakibat tidak adanya kepastian
hukum.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Mencermati Dari pembahasan yang penulis kemukakan diatas, dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum peradilan In absentia di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur secara jelas dan
detail mengenai ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan In
absentia. KUHAP hanya mengatur secara limitatif mengenai konsepsi peradilan
In absentia dalam perkara pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh seorang
pelanggar lalu lintas (bukan terdakwa) yang dalam pengaturannya Pelanggar
tersebut dapat menunjuk seseorang dengan surat tilang untuk mewakilinya di
sidang sehingga dengan demikian konsepsi tersebut tidak melanggar Hak Asasi
Terdakwa. Mengenai Konsepsi tersebut dibagi menjadi dua (2):
1. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
juga terdapat suatu ketentuan yang saling bertentangan (contradicti
interminis) yang diatur dalam Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang tidak
mengatur dan memperbolehkan pelaksanaan peradilan In absentia, ketentuan
pasal ini menutup peluang dilakukanya peradilan In absentia, karena
pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan jika terdakwa tidak
hadir, sehingga dalam ketentuan ini hak terdakwa dilindungi, dan dengan
hadirnya terdakwa, maka terdakwa dapat memberikan pembelaan berkait
perkara yang didakwaakan terhadap terdakwa sedangkan dalam Pasal 214
ayat (1) KUHAP terdapat celah hukum untuk dilakukanya peradilan In
absentia yang menyatakan jika terdakwa tidak hadir di sidang, pemeriksaan
perkara dilanjutkan. Mencermati ketentuan pasal tersebut, terdapat celah
hukum untuk dilakukanya Peradilan In absentia dengan pengaturanya yang
terbatas dalam hal undang-undang menentukan lain, sehingga dengan
demikan melanggar Hak Asasi Terdakwa.
2. Ketentuan dalam KUHAP terhadap konsepsi peradilan In absentia bersifat
limitatif hanya untuk perkara pelanggaran lalu lintas yang termasuk dalam
38
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang
menyatakan bahwa Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat tilang
untuk mewakilinyadi sidang pengadilan. Konsepsi peradilan In absentia
didalam ketentuan KUHAP hanya terbatas pada perkara pelanggaran lalu
lintas sedangkan ketentuan KUHAP mengenai konsepsi peradilan In absentia
dalam Pasal 154 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) tidak jelas dan tidak diatur
secara rinci sehingga sulit untuk diaplikasikan. ketentuan pasal-pasal di dalam
KUHAP yang bertentangan (contradicti interminis) dan adanya pengaturan
yang tidak jelas mengenai konsepsi peradilan In absentia tersebut sehingga
dengan demikian peraturan tersebut sulit diaplikasikan dan berakibat tidak
adanya kepastian hukum
B. Saran
Sebaiknya Konsepsi Peradilan In Absentia harus diatur secara tegas, jelas
dan rinci dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang digunakan sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan peradilan In
absentia. Dengan demikian Konsepsi peradilan In absentia dapat diaplikasikan
dengan baik tanpa adanya ketentuan pasal demi pasal dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saling bertentangan satu sama lain
(contradicti interminis) sehingga dengan demikian kepastian hukum akan
terwujud sebagai suatu tujuan hukum itu sendiri.
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Humas Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,
1968.
Bagir Manan.2006. Hakim dan Pemidanaan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI
Nomor 249 Agustus 2006. Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia.
Darwan Prinst.1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta : Djambatan
Dwiyanto Priharton