KAJIAN ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEPUNG ... · PDF file757 kajian analisis...

431
757 KAJIAN ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEPUNG MOCAF DI KELOMPOK TANI SUNGAI SUCI KABUPATEN BENGKULU TENGAH Wilda Mikasari, Taufik Hidayat dan Lina Ivanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jalan Irian km 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu ABSTRAK Agroindustri pengolahan tepung mocaf memiliki peluang yang sangat cerah seiring dengan program pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses pengolahan tepung mocaf, menganalisis pendapatan pelaku usaha, serta menganalisis nilai tambah pengolahan tepung mocaf. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-Agustus tahun 2014 dengan menggunakan metode surveimelaluiwawancaradengananggota Kelompok Tani Sungai Suci Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, Analisis biaya dan pendapatan serta analisis nilai tambah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan dan nilai tambah dalam sekali proses produksi pada usaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf sebesar Rp. 645.000,- dengan tingkat keuntungan Rp. 305.000,-/250 kg bahan baku atau RC ratio sebesar 1,90. Sedangkan besarnya nilai tambah pengolahan tepung mocaf yang diperoleh sebesar Rp.1.550,-/kg. Kata Kunci: Agroindustri, Analisis Usaha, Nilai Tambah dan tepung mocaf PENDAHULUAN Agroindustri adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Proses yang digunakan mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Produk agroindustri dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya (Soekarwati, 2000) Produksi ubi kayu secara nasional pada tahun 2013 sebesar 23.458.128 ton dengan produktivitas 233,81 ku/ha (BPS 2015). Di provinsi Bengkulu, produksi ubi kayu sendiri terus mengalami peningkatan seiring semakin gencarnya sosialisasi pemanfaatan sumber daya lokal sebagai sumber pangan alternatif untuk mensubstitusi pangan impor seperti terigu. Pada tahun 2013, produksi ubi kayu mencapai 62.193 ton dengan luas panen 4.861 ha. Pada tahun 2014 produksi ubi kayu meningkat menjadi 78.853 ton dengan luas panen 4.496 ha (BPS, 2015). Hal ini merupakan salah satu dukungan terhadap program diversifikasi pangan dari sumberdaya lokal yang dicanangkan pemerintah. Upaya penganekaragaman pangan sangat penting sebagai usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu bahan pangan pokok saja.Ubi kayu merupakan salah satu potensi lokal yang memiliki prospek yang cerah untuk diolah lebih lanjut. Dengan nilai ekonomi yang sangat rendah pada saat panen raya, menjadikan peluang usaha pengolahan ubi kayu segar sangat menjanjikan. Oleh karena itu perlu suatu upaya dan kreativitas dalam meningkatkan nilai tambah (added value) dari ubi kayu dengan mengolah menjadi beranekaragam produk. Suprapto (1999) menyatakan bahwa nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu produksi. Reni Kustiari (2011) menambahkan bahwa nilai tambah dalam proses pengolahan dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai

Transcript of KAJIAN ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEPUNG ... · PDF file757 kajian analisis...

757

KAJIAN ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEPUNG MOCAF DI KELOMPOK TANI SUNGAI SUCI

KABUPATEN BENGKULU TENGAH

Wilda Mikasari, Taufik Hidayat dan Lina Ivanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jalan Irian km 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu

ABSTRAK

Agroindustri pengolahan tepung mocaf memiliki peluang yang sangat cerah seiring dengan program pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses pengolahan tepung mocaf, menganalisis pendapatan pelaku usaha, serta menganalisis nilai tambah pengolahan tepung mocaf. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-Agustus tahun 2014 dengan menggunakan metode surveimelaluiwawancaradengananggota Kelompok Tani Sungai Suci Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, Analisis biaya dan pendapatan serta analisis nilai tambah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan dan nilai tambah dalam sekali proses produksi pada usaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf sebesar Rp. 645.000,- dengan tingkat keuntungan Rp. 305.000,-/250 kg bahan baku atau RC ratio sebesar 1,90. Sedangkan besarnya nilai tambah pengolahan tepung mocaf yang diperoleh sebesar Rp.1.550,-/kg.

Kata Kunci: Agroindustri, Analisis Usaha, Nilai Tambah dan tepung mocaf

PENDAHULUAN

Agroindustri adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Proses yang digunakan mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Produk agroindustri dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya (Soekarwati, 2000)

Produksi ubi kayu secara nasional pada tahun 2013 sebesar 23.458.128 ton dengan produktivitas 233,81 ku/ha (BPS 2015). Di provinsi Bengkulu, produksi ubi kayu sendiri terus mengalami peningkatan seiring semakin gencarnya sosialisasi pemanfaatan sumber daya lokal sebagai sumber pangan alternatif untuk mensubstitusi pangan impor seperti terigu. Pada tahun 2013, produksi ubi kayu mencapai 62.193 ton dengan luas panen 4.861 ha. Pada tahun 2014 produksi ubi kayu meningkat menjadi 78.853 ton dengan luas panen 4.496 ha (BPS, 2015). Hal ini merupakan salah satu dukungan terhadap program diversifikasi pangan dari sumberdaya lokal yang dicanangkan pemerintah.

Upaya penganekaragaman pangan sangat penting sebagai usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu bahan pangan pokok saja.Ubi kayu merupakan salah satu potensi lokal yang memiliki prospek yang cerah untuk diolah lebih lanjut. Dengan nilai ekonomi yang sangat rendah pada saat panen raya, menjadikan peluang usaha pengolahan ubi kayu segar sangat menjanjikan. Oleh karena itu perlu suatu upaya dan kreativitas dalam meningkatkan nilai tambah (added value) dari ubi kayu dengan mengolah menjadi beranekaragam produk.

Suprapto (1999) menyatakan bahwa nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu produksi. Reni Kustiari (2011) menambahkan bahwa nilai tambah dalam proses pengolahan dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai

758

produk dan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya, dan balas jasa pengusaha pengolahan. Usaha pengolahan produk pertanian skala rumah tangga yang relatif banyak ditemui adalah pengolahan produk umbi-umbian. Pengolahan umbi-umbian sebagai upaya pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal.

Potensi ubi kayu untuk dijadikan produk olahan sangat besar karena berbagai macam industri memanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku. Menurut Haryati La Kamisi (2011), ubi kayu dapat dijadikan bahan baku industri makanan, tekstil, bahan bangunan, kertas, pakan ternak, farmasi, lem, dan biofuel untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pengolahan hasil ubi kayu dalam skala kecil atau rumah tangga juga ditemui di Kota Bengkulu dalam berbagai produk makanan seperti tape, keripik pedas, getuk, kue, rengginang dan pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf. Selain bahan bakunya mudah diperoleh di pasaran, juga harga ubi kayu relatif murah. Di Bengkulu harga ubi kayu sekitar Rp. 3.000/kg. Dari 22,7 juta ton produksi ubi kayu, yang diolah menjadi bahan pangan dan non pangan baru mencapai 22,3% atau setara dengan 4,6 juta ton ubi kayu segar (Anonim, 2009).

Tepung mocaf adalah tepung yang dibuat dari ubi kayu dengan memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikroba yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selullolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi tersebut akan mengubah karakteristik tepung, antara lainnaiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa ini akan terimbibisi dalam bahan, dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan citarasa dan aroma khas yang dapat menutupi aroma khas ubi kayu yang cenderung kurang menyenangkan. Selama proses fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (khususnya padaubi kayukuning), dan protein yang dapat menyebabkan warnacoklat ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkanlebih putih jika dibandingkandengan warna tepung ubi kayu biasa. Selain itu,proses ini akan menghasilkan tepung yangsecara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung dari terigu. Sehingga produk mocaf sangat cocokuntuk menggantikan bahan terigu untuk kebutuhan industri makanan (Subagio, et.al., 2009).

Pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf di provinsi Bengkulu belum berkembang, sementara sumber bahan baku cukup tersedia. Saat ini ubi kayu baru diolah menjadi opak, tape dan getuk bahkan hanya sekedar direbus ataupun digoreng untuk langsung dikonsumsi sehingga tidak memberikan nilai tambah yang signifikan.Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi proses pengolahan dan menganalisis pendapatan pelaku usaha pengolahan tepung mocaf serta mengetahui nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan tepung mocaf di kelompok Sungai Suci desa Pasar Pedati kecamatan Pondok Kelapa kabupaten Bengkulu Tengah.

METODOLOGI

Penelitianini dilaksanakan pada Bulan Maret-Agustus tahun 2014 dengan menggunakan metode survey melaluiwawancaradengananggota Kelompok Tani Sungai Suci Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Lokasidipilihsecarasengajakarena kelompok ini mengolah hasil pertanian dan salah satunya adalah produk yang jarang diolah oleh kelompok lain yaitu tepung mocaf.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan responden tentang data usaha pengolahan tepung mocaf meliputi biaya produksi, jumlah produksi, harga produk dan keuntungan.Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal-jurnal serta instansi yang terkait dengan penelitian ini.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui gambaran umum dan menjelaskan mengenai biaya dan pendapatan dari usaha agroindustri pengolahan tepung mocaf di lokasi pengkajian yang diurai secara deskriptif. Analisis kuantitatif yang

759

digunakan adalah analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Model analisis yang digunakan untuk mengetahui pendapatan usaha agroindustri pengolahan tepung mocaf adalah :

Dimana :

Π = Pendapatan (Rp) TR = Total revenue/Penerimaan total (Rp) TC = Total cost/Biaya total (Rp) (Soekartawi,2006).

Perhitungan keuntungan diketahui dengan menggunakan analisis R/C Ratio. R/C Ratio = 1 artinya usaha tidak untung dan tidak rugi, nilai R/C ratio > 1 berarti usaha menguntungkan/efisien, nilai R/C ratio < 1 berarti usaha merugikan/tidak efisien. Menurut Soekartawi, 1995. R/C ratio dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Untuk mengetahui besarnya nilai tambah pada usaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf menggunakan metode Hayami. Prosedur perhitungan nilai tambah produk menggunakan metode Hayami disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Prosedur perhitungan nilai tambah produk menggunakan Metode Hayami.

Variabel Kode I. Output, Input dan Harga 1. Output (Kg) (1) 2. Input (Kg) (2) 3. Tenaga Kerja (HOK) (3) 4. Faktor Konversi (4) = (1)/(2) 5. Koefisien Tenaga Kerja (HOK) (5) = (3)/(2) 6. Harga Output (Rp/Kg) (6) 7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7) II. Peneriman dan Keuntungan 8. Harga Bahan Baku (Rp/Kg) (8) 9. Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) (9) 10. Nilai Output (Rp/Kg) (10) = (4) x (6) 11. a.Nilai Tambah (Rp/Kg) (11a) = (10) – (9) – (8) b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a)/(10) x 100% 12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7) b. Pangsa Tenaga Kerja (%) (12b) = (12a)/(11a) x 100% 13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a) – (12a) b. Tingkat Keuntungan (%) (13 b) = (13a)/(11a) x 100% III. Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14. Marjin (Rp/Kg) (14) = (10) – (8)

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) (14a) = (12a)/(14) x 100%

b. Sumbangan Input Lain (%) (14b) = (9)/(14) x 100%

c. KeuntunganPemilik Perusahaan (%) (14c) = (13a)/(14) x 100%

Sumber: Hayami, et.al.,1989.

760

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum lokasi pengkajian Kelompok tani Sungai Suci didirikan pada tanggal 11 September 2008. Kelompok ini

diketuai oleh seorang tokoh masyarakat setempat yang dipilih dalam rapat anggota dan ditetapkan dengan surat ketetapan dari kepala desa Pasar Pedati dan PPL desa Pasar Pedati dengan jumlah anggota 15 orang. Pada awal berdirinya, kelompok tani Sungai Suci bergerak di bidang usaha budidaya ubi kayu. Luas lahan kebun ubi kayu anggota kelompok berkisar antara 0,5 ha s/d 2 ha dengan jumlah produksi rata-rata 15 ton/ha.Seiring dengan berjalannya waktu dan dalam upaya pengembangan usaha kelompok serta untuk menampung ubi kayu hasil kebun anggota kelompok terbentuklah unit usaha pengolahan tepung yang dikelola oleh 3 orang anggota. Unit usaha pengolahan tepung ini bernaung dibawah kelompok tani Sungai Suci dengan jumlah produksi mencapai 1000 kg tepung mocaf per bulan. Peralatan pengolahan tepung yand dimiliki kelompok tani Sungai Suci antara lain adalah satu set mesin perajang, mesin penepung, mesin pres, mesin sealer, pisau dan timbangan. Alat tersebut merupakan bantuan dari pemerintah.

Bahan baku utama yang diperlukan dalam pembuatan tepung mocaf terdiri dari dua, yaitu bahan baku utama berupa ubi kayu. Bahan pendukung berupa starter dan air. Untuk setiap proses produksi bahan baku (ubi kayu) per proses yang diperlukan sebanyak 250 kg/proses dan starter yang digunakan per proses sebanyak 0,25kg. Dalam seminggu kelompok tani sungai suci mengolah tepung mocaf sebanyak 2 sampai 3 kali, sehingga dalam sebulan membutuhkan bahan baku kurang lebih sebanyak 2,4 ton yang diolah dalam delapan kali proses produksi. Faktor produksi yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan yaitu tenaga kerja lepas sebanyak 3 orang dengan upah sebesar Rp.30.000/proses produksi. Kelompok tani Sungai Suci memproduksi rata-rata 250 kg tepung mocaf per minggu.

Proses pembuatan tepung mocaf

Proses pengolahan tepung mocaf diawali dengan sortasi ubi yang akan diolah kemudian dilanjutkan dengan pengupasan kulit ubi kayu. Ubi yang baru selesai dikupas langsung direndam dalam air lalu dicuci sebanyak 2 kali agar bersih dari kotoran yang menempel saat pengupasan. Selanjutnya dicacah dengan menggunakan mesin perajang ubi. Hasil cacahan kemudian difermentasi dengan cara perendaman dalam air yang telah dicampur dengan starter Bimo CF selama 12-15 jam untuk mengubah struktur ubi kayu sehingga dapat mengurangi aroma dan rasa pahit ubi kayu. Selain itu juga untuk meningkatkan kecerahan warna tepung.

Setelah difermentasi dengan larutan Bimo CF, sawut ubi kayu kemudian diperas lalu dijemur hingga kadar air dibawah 12%. Penjemuran biasanya dilakukan selama 18 s/d 20 jam (3 hari) di bawah sinar matahari sampai kering lalu digiling dengan menggunakan mesin penepung. Dalam satu kali proses pengolahan dengan bahan baku 250 kg ubi kayu, tepung mocaf yang dihasilkan lebih kurang 120 kg. Tepung mocaf ini kemudian dikemas dalam kemasan 1 kg, 5 kg dan 10 kg. Diagram proses pengolahan tepung mocaf di Kelompok Sungai Suci disajikan pada gambar 1.

761

Gambar 1. Proses pengolahan tepung mocaf di Kelompok Sungai Suci.

TEPUNG MOCAF (86 kg)

UBI KAYU (250 kg)

DISORTASI

DITIMBANG

PENGUPASAN KULIT

PENCUCIAN

PENYAWUTAN

PERENDAMAN/FERMENTASI

PENJEMURAN

PENEPUNGAN

BIMO CF (0,25 kg) Air (35 ltr)

PENGEMASAN

762

Hasil survey menunjukkan bahwa setiap satu kali proses pengolahan tepung mocaf, menghasilkan tepung mocaf sebanyak 86 kg. Ini berarti rendemen proses produksi tepung mocaf yang dilakukan oleh Kelompok Sungai Suci sebesar 34% dengan total biaya produksi sebesar Rp. 340.000,-/proses produksi. Perhitungan biaya produksi tepung mocaf disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.Biaya produksi tepung mocaf dikelompok tani Sungai Suci*.

Bahan /Komponen Harga Satuan

(Rp) Biaya per proses

(Rp) Biaya Produksi

perbulan (Rp)

-. Ubi Kayu (250 Kg) 800 200.000 1.600.000 -. Starter Bimo CF (0,25 Kg) 40.000 10.000 80.000 -. Bahan Bakar dan air 10.000 80.000 -. Tenaga kerja (3 Orang) 30.000 90.000 720.000 -. Kemasan dan biaya lainya 30.000 240.000 A. Total biayaproduksi (TC) 340.000 2.720.000 B. Hasilmocaf(86 kg) 7500 645.000 5.160.000

* Hasil Olah Data Analisis Pendapatan

Pendapatandiperolehdari selisih antara penerimaan dan biaya total selama sebulan. Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Biaya usaha diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (Fixed Cost) dan Biaya tidak tetap (Variable Cost). Lebih jelasnya mengenai hasil analisis finansial dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisa finansial pengolahan tepung mocaf dikelompok Sungai Suci*.

No Uraian Sat Vol Harga satuan (Rp) Jumlah harga

(Rp)

a B C D E F

1 Starter Bimo CF 0,25 Kg 40.000 10.000

2 Bahan Bakar + Air 1 Paket 10.000 10.000

3 Kemasan dan biaya lain 1 Paket 30.000 30.000

4 Jumlah bahan tambahan

(1f+2f+3f) 50.000

5 Nilai bahan tambahan per unit produk

(4f/7c) 581

6 Ubi kayu 250 Kg 800 200.000

7 Tenaga Kerja 3 HOK 30.000 90.000

8 Biaya produksi (4f+6f+7f) 340.000

9 Produksi tepung mocaf 86 Kg 7.500 645.000

10 Keuntungan (9f-8f) 305.000

11 R/C RATIO (9F/8f) 1,90 * Hasil Olah Data

Dalam sekali proses produksi tepung mocaf di kelompok Sungai Suci dihasilkan 86 kg tepung mocaf dengan harga jual Rp. 7.500,-/kg, sehingga penerimaan berjumlah Rp.645.000,-. Biaya tidak tetap yang dikeluarkan sebesar Rp. 340.000,- untuk pembelian bahan baku ubi kayu, starter bimo CF, bahan bakar, kemasan, tenaga kerja dan biaya lainnya.

763

Selisih antara penerimaan dan biaya sebesar Rp. 305.000,- merupakan keuntungan usaha dengan R/C rasio 1,90 dengan arti bahwa setiap pengeluaran dalam proses pengolahan sebesar satu rupiah akan diperoleh penerimaan sebesar 1,90 rupiah. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa usaha pengolahan tepung mocaf layak untuk dikembangkan (R/C rasio > 1). Proses pengolahan tepung mocaf membutuhkan input lain seperti yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sumbangan input lain dalam proses pengolahan tepung mocaf

No Uraian Biaya (Rp) 1. Starter 10.000 2. Solar + air 10.000 3. Kemasan dan lain-lain 30.000 4. Total Biaya Input Lain 50.000 5. Bahan Baku 250

Sumbangan Input lain (Rp/Kg) 200 * Hasil Olah Data

Hasil perhitungan nilai tambah dengan asumsi bahan baku ubi kayu merupakan hasil panen di lahan petani sendiri, menunjukkan bahwa dengan melibatkan jumlah tenaga kerja sebanyak 3 orang, pengolahan ubi kayu sebanyak 250 kg dapat menghasilkan 86 kg tepung mocaf. Nilai output yang dihasilkan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf adalah sebesar Rp. 2550,-/kg. Nilai output ini diperoleh dari perkalian antara faktor konversi sebesar 0,34 dengan harga output sebesar Rp. 7.500,-. Hasil analisis nilai tambah tepung mocaf selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5.Hasil Analisis Nilai Tambah Tepung mocaf *.

Variabel Kode I. Output, Input dan Harga 1. Output (Kg) 86 2. Input (Kg) 250 3. Tenaga Kerja (HOK) 3 4. Faktor Konversi 0,34 5. Koefisien Tenaga Kerja (HOK) 0,012 6. Harga Output (Rp/Kg) 7.500 7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 30.000 II. Peneriman dan Keuntungan 8. Harga Bahan Baku (Rp/Kg) 800 9. Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) 200 10. Nilai Output (Rp/Kg) 2.550 11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) 1.550 b. Rasio Nilai Tambah (%) 60,78 12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg) 360 b. Pangsa Tenaga Kerja (%) 23,23 13. a. Keuntungan (Rp/Kg) 1.190 b. Tingkat Keuntungan (%) 76,77 III. Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14. Marjin (Rp/Kg) 1.750

a. PendapatanTenagaKerjaLangsung (%) 20,57

b. Sumbangan Input Lain (%) 11,43

c. KeuntunganPemilik Perusahaan (%) 68

* Hasil Olah Data

764

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocafmampu meningkatkan nilai tambah ubi kayu sebesar Rp.1.550/kg dengan rasio nilai tambah sebesar 60,78%. Dengan demikian terdapat peningkatan nilai tambah ubi kayu melalui penerapan teknologi pengolahan tepung mocaf. Hal ini sesuai dengan pendapat Hernanto (2003) bahwa penerapan teknologi akan berpengaruh terhadap biaya dan penerimaan petani.Marjin yang diperoleh dari pengolahan tepung mocaf sebesar Rp. 1.750/kg. Pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin sebesar 20,57%, sumbangan input lain sebesar 11,43% dan keuntungan bagi pemilik modal/perusahaan sebesar 68%.

KESIMPULAN

1. Penerimaan total yang diperoleh industri pengolahankelompok Sungai Sucidalammemproduksitepungmocafdalam sekali proses sebesarRp. 645.000,-dengan pendapatanbersihsebesarRp.305.000,-.Dalam satu bulan dengan proses produksi sebanyak delapan kali, total penerimaan sebesar Rp. 5.160.000,- dengan biaya produksi sebesar Rp. 2.720.000,- keuntungan yang dihasilkan sebesar 2.440.000,-.

2. Agroindustri pengolahan tepung mocaf sangat layak untuk diusahakan, karena hasil analisis finansial menunjukkan nilai RC Ratio 1,9, sedangkan besarnya nilai tambah pengolahan tepung mocaf yang diperoleh sebesarRp. 1.550,-/kg.Hal inimenunjukanbahwasetiapsatu kilogram ubikayusegarsetelahmengalamiproses produksimampumemberikannilaitambahsebesarRp. 1550,-.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Tepung tapioka http://mengerjakantugas.com/2009/07/tepung-tapioka-

dan-tepung-maizena.html diakses pada 220 November 2014.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2013. Katalog Provinsi Bengkulu Dalam Angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu. 280

Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2014. Katalog Provinsi Bengkulu Dalam Angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu. 280

BPS (2015). Statistik Indonesia. 2015. Badan Pusat Statistik, Jakarta., Indonesia. 604

Haryati La Kamisi. 2011. Analisis Usaha dan Nilai Tambah Agroindustri Kerupuk Singkong. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) 4(2):82-87.

Hayami, Y. T., Y. Kawagoe., Maraoka, and M. Siregar. 1987. Agricultural Marketing and Processing In Up Land Java a Perspective From A Sunda Village. CEPRT. Bogor.

Hernanto, F. 2003. Ilmu usaha tani. Penebar swadaya. Jakarta

Reni Kustiari. 2011. Analisis Nilai Tambah dan Balas Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil Pertanian. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian di Bogor, 12 Oktober 2011.

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta

Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT Raja Grafindo. Jakarta.

Soekartawi, 2006. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Rajawali press. Jakarta.

Subagio, A., Rofiq, A., Cheng, T.C. 2009. Ingridien bahan baku lokal untuk produk bakery. Foodreview Indonesia, IV (4): 24-28

Suprapto, A. 1999. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan dalam memasuki Pasar Global. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Musyawarah Nasional V POPMASEPI d Medan, 16 Maret 1999

765

ANALISIS KOMPARASI USAHATANI LADA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA HITAM

DI LAMPUNG

Zahara1, Marlina S. Rangkuti2dan Robet Asnawi1

1Peneliti Pertama, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung 1Peneliti Utama, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

2Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Z.A. Pagar Alam No. 1A Rajabasa Bandar Lampung

ABSTRAK

Lada memiliki potensi dan peluang yang baik untuk dikembangkan di Indonesia, karena Indonesia merupakan negara produsen lada terbesar di dunia baik lada hitam maupun lada putih. Permasalahan utama pertanaman lada di Indonesia adalah: a) eksplosi penyakit terutama penyakit busuk pangkal batang, b) menurunnya produktivitas tanaman yang erat hubungannya dengan menurunnya tingkat kesuburan tanah, c) terdesak oleh komoditas lain yang persyaratan teknis pembudidayaannya lebih mudah dan lebih menguntungkan, dan d) fluktuasi harga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani lada, struktur biaya usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada di Lampung. Penelitian dilaksanakan di 3 kabupaten yaitu : Kabupaten Lampung Utara, Lampung Timur dan Way Kanan. Sampel dipilih secara stratifikasi random sampling sebanyak 56 orang terdiri atas 28 petani menanam lada dengan pangkas lada dan 28 petani menanam lada tanpa pangkas lada. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari wawancara langsung dan data sekunder diperoleh dari literatur. Analisis yang digunakan untuk struktur biaya adalah analisis pendapatan dan kelayakan usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada digunakan analisis fungsi produksi Cobb Douglas. Usahatani lada layak untuk diusahakan, baik dengan pangkas lada maupun tanpa pangkas lada. Tetapi dengan pangkas lada keuntungan yang diperoleh lebih besar karena produksi yang dihasilkan lebih tinggi. Struktur biaya usahatani baik dengan pangkas lada dan tanpa pangkas lada, proporsi terbesar disumbangkan dari biaya tenaga kerja masing-masing 57,01% dan 54,23% sedangkan biaya sarana produksi masing-masing menyumbangkan 42,99% dan 45,77%. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada adalah luas lahan, jumlah dan tinggi tanaman lada. Kata Kunci : Analisis komparasi, Usahatani lada dan faktor produksi

PENDAHULUAN

Lada adalah salah satu tanaman rempah yang digunakan masyarakat di seluruh dunia sebagai bumbu masakan. Di Indonesia lada menjadi komoditas ekspor unggulan penghasil devisa. Data IPC 2013 produksi lada Indonesia diperkirakan mencapai 59 ribu ton dengan total volume ekspor 41,5 ribu ton atau dengan nilai ekspor sekitar USD 354 juta. Nilai ekspor tersebut berkontribusi sekitar 0,2% dari total ekspor Indonesia pada tahun 2013 (Kemendag, 2014). Komoditas lada pada tahun 2013 menyumbang devisa bagi negara mencapai $ 221 juta atau menduduki urutan ke enam pada sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit, karet, kakao, kalapa dan kopi (BPS, 2002). Negara tujuan ekspor

Lada memiliki potensi dan peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia, hal ini berdasarkan bahwa Indonesia merupakan negara produsen lada terbesar di dunia baik lada hitam maupun lada putih. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2012) dalam IA. Diah Fitri, (2013) menyatakan bahwa negara yang menguasai produksi dan perdagangan lada dunia, yaitu Brazil, Vietnam, Indonesia, India, China, Srilanka, Malaysia. Negara Indonesia berada pada urutan keempat di dunia sebagai negara eksportir lada (hitam

766

dan putih). Lampung sebagai salah satu sentra produksi lada hitam memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Volume ekspor lada mencapai 29.681 ton menduduki urutan ke dua setelah kopi dalam sektor perkebunan (BPS, 2015). Produksi lada dalam lima tahun terakhir berfluktuasi, rata-rata mencapai 23.477 ton/tahun. Sedangkan luas areal lada periode 2010-2014 cenderung menurun, rata-rata penurunan mencapai 1.066 ha/tahun (BPS, 2015).

Selain potensi dan peluang, lada juga memiliki banyak permasalahan dan kendala. Permasalahan utama pertanaman lada di Indonesia adalah: a) eksplosi penyakit terutama penyakit busuk pangkal batang, b) menurunnya produktivitas tanaman yang erat hubungannya dengan menurunnya tingkat kesuburan tanah, c) terdesak oleh komoditas lain yang persyaratan teknis pembudidayaannya lebih mudah dan lebih menguntungkan, dan d) fluktuasi harga (Wahid dan Yufdi, 1987).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani lada, struktur biaya usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada di Lampung.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di 3 kabupaten yaitu : Kabupaten Lampung Utara, Lampung

Timur dan Way Kanan. Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa ke-3 lokasi tersebut merupakan sentra produksi lada di Lampung. Pengkajian dilaksanakan dari Bulan April sampai dengan Juli 2014. Sampel dipilih secara stratifikasi random sampling sebanyak 56 orang terdiri atas 28 petani menanam lada dengan pangkas lada dan 28 petani menanam lada tanpa pangkas lada.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada petani menggunakan kuisioner terstruktur dan data sekunder diperoleh dari literatur. Data primer yang dikumpulkan yaitu : karakteristik petani, input dan output produksi, pupuk input dan output produksi, pupuk jual.

Struktur biaya dan pendapatan usahatani dapat dihitung menggunakan rumus P = TR – TC dimana : P = Pendapatan bersih usahatani (Rp)

TR = Total penerimaan usahatani (Rp) TC = Total Biaya (Rp)

Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis rasio pendapatan dan biaya (R/C rasio). Analisis kelayakan usahatani dihitung menggunakan rumus:

R/C = BT

TP (Rasio atas biaya total)

Keterangan : TP = Total penerimaan usahatani (Rp) BT = Biaya total (Rp)

Jika : R/C > 1, maka dikatakan usahatani layak R/C < 1, maka dikatakan usahatani tidak layak R/C = 1, maka dikatakan usahatani impas

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi lada adalah luas lahan (X1), jumlah tanaman lada (X2), tinggi tanaman lada (X3), rendemen cangkang ke bulir hijau (X4), rendemen bulir hijau ke lada hitam (X5), frekuensi penyuluhan (X6), dan teknologi litbang (D1). Faktor-faktor produksi dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Persamaan Cobb-Douglas (Prastito, 2004) adalah sebagai berikut :

Y = a X1

b1 X2b2 X3

b3 X4b4 X5

b5 X6b6 X4

b4 D1 D2 D3 e Dimana : Y = Produksi lada a = Konstanta X1 = Luas lahan (ha)

767

X2 = Jumlah Tanaman Lada (batang/ha) X3 = Tinggi Tanaman Lada (m) X4 = Rendemen Cangkang Ke Bulir Hijau (%) X5 = Rendemen Bulir Hijau ke Lada Hitam (%) X6 = Frekuensi Penyuluhan (kali/tahun) D1 = Dummy Teknologi Litbang 1 = Teknologi Litbang 0 = Tanpa Teknologi Litbang D2 = Serangan Hama 1 = Tidak terserang hama 0 = Terserang hama D3 = Serangan Penyakit

1 = Tidak terserang hama 0 = Terserang hama b1, b2, b3, b4 b5 b6 = Koefisien regresi parsial X1, X2, X3, X4, X5, X6 e = Standar Errors

Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi

tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan dan teknologi Litbang terhadap produksi lada digunakan rumus koefisien korelasi dengan menggunakan program SPSS 20 for windows. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut :

b1∑X1Y+b2∑X2Y+b3∑X3Y+ b4∑X4Y + b5∑X5Y + b6∑X6Y

R = ∑Y2

Dimana : R = Koefisien korelasi b1, b2, b3, b4, b5, b6 = Koefisien regresi parsialX1, X2, X3, X4 X1,X2,X3,X4, X5, X6, = Luas lahan, jumlah tanaman, tinggi tanaman, Rendemen cangkang ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan Y = Produksi

Untuk mengetahui pengaruh luas lahan, bibit, pupuk urea, pupuk SP36, pupuk

phonska, pupuk kandang, pestisida dan tenaga kerja terhadap produksi secara parsial dilakukan uji signifikansi koefisien parsial ( Uji t).

r √ n-3

t hitung = √ 1-r2

Keterangan = r = Koefisien korelasi sederhana n = Jumlah data

Hipotesis sebagai berikut : - Ho ditolak, jika t hitung lebih besar ( ≥ ) dari t tabel pada signifikan 5% berarti Variabel

bebas (Xi) yaitu luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan, teknologi Litbang, serangan hama dan serangan penyakit berpengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu produksi (Y).

- Ho diterima, Jika t hitung lebih kecil ( ≤ ) dari t tabel pada signifikan 5% berarti Variabel bebas (Xi) jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekwensi penyuluhan teknologi Litbangserangan hama dan serangan penyakit tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu produksi (Y).

768

Untuk mengetahui apakah luas lahan, bibit jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan dan teknologi Litbang secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap produksi menggunakan Uji F (Uji Koefisiensi Regresi secara bersama-sama). R2/k F hitung = (1-R2)/(n-k-1) Keterangan : R2 = Koefisien determinasi n = Jumlah data k = Jumlah variabel independen Hipotesis sebagai berikut : - Ho ditolak, jika F hitung lebih besar (≥ ) dari F tabel pada signifikan level 5% berarti

Variabel (Xi) bebas yaitu luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan, teknologi Litbangserangan hama dan serangan penyakit berpengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu produksi (Y).

- Ho diterima, jika F hitung lebih kecil (≤ ) dari F tabel pada signifikan level 5% berarti Variabel (Xi) bebas yaitu luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekuensi penyuluhan, teknologi Litbangserangan hama dan serangan penyakit tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu produksi (Y).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik petani responden

Tabel 1.Karakteristik petani lada di Lampung

No Uraian Max Min Rata-rata Std. Deviasi

1 Luas Lahan (ha) 4 0.25 0,97 0,69 2 Pengalaman UT lada (th) 48 1 18,47

11,22 3 Umur Kepala Keluarga (th) 80 30 48,33 12,82 4 Pendidikan (th) 15 0 8,26 3,12 5 Jumlah Angg kel (org) 7 1 4,12

1,19

Sumber : data diolah, 2014

Petani yang dijadikan responden berumur antara 30-80 tahun, hal ini membuktikan bahwa profesi sebagai petani bukan saja diminati oleh orang tua, tetapi juga orang yang berusia muda. Pendidikan petani responden rata-rata mencapai 8,26 tahun atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Pendidikan petani responden ini tergolong rendah bahkan ada responden yang tidak sekolah atau tidak lulus SD, hal ini terlihat dari pendidikan minimal nol (Tabel 1). Pendidikan formal ini didukung dengan pengalaman usahatani yang sangat lama, rata-rata mencapai 18,47 tahun. Pengalaman usahatani ini sangat membantu petani dalam berusahatani lada. Pengalaman seseorang sangat menentukan keterampilan atau kemampuan teknis dan manajemen dalam mengelola usaha termasuk berusahatani padi sawah. Makin lama seorang petani menggeluti usahataninya, dapat dikatakan ia memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut akan membantunya untuk mencegah hal-hal yang menimbulkan kerugian usaha (Lamusa, 2010). Luas lahan yang dimiliki petani rata-rata mencapai 0,97 dengan luasan 25-40 ha.

769

2. Struktur ongkos dan pendapatan usahatani lada Pada penelitian ini biaya usahatani lada dikelompokkan menjadi 2, yaitu : (a) biaya

sarana produksi, (b) biaya tenaga kerja. Berdasarkan Nurasa dan Parwoto, (2012) bahwa Konsepsi yang digunakan dalam perhitungan biaya adalah sebagai berikut : Pertama, nilai sarana produksi yang diperhitungkan adalah yang riil dikeluarkan. Kedua, nilai tenaga kerja yang diperhitungkan adalah nilai tenaga kerja luar keluarga yang dibayar secara tunai. Ketiga, pangsa (share factor) dari setiap unsure biaya adalah persentasi dari biaya total. Keempat, total biaya usahatani adalah rata-rata dari seluruh petani responden.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata total biaya usahatani lada dengan teknologi pangkas lada lebih besar dibandingkan dengan tanpa pangkas lada. Rata-rata total biaya usahatani lada dengan teknologi pangkas lada adalah Rp. 10,13 juta sedangkan tanpa pangkas lada Rp. 9,6 juta, ada selisih Rp. 449 ribu. Hal ini terjadi karena petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk tenaga kerja pangkas tanaman lada.

Tabel 2. Komparasi struktur ongkos dan pendapatan usahatani lada

Uraian Pangkas Lada Non Pangkas Lada

Nilai % Biaya Nilai % Biaya A. Sarana Produksi 4.355.339 42,99 4.431.443 45,77

Bibit (btg/ha) 2.222.415 51,03 2.291.973 51,72

Urea (kg/ha) 210.000 4,2 243.750 5,50

SP36 (kg/ha) 235.000 5,40 440.000 9,93

Phonska (kg/ha) 568.344 13,05 451.200 10,18

Pupuk Organik (kg/ha) 882.570 20,26 739.935 16,70

Pestisida (liter/ha) 237.010 5,44 264.585 5,97

B. Tenaga Kerja 5.776.000 57,01 5.250.000 54,23

Pengolahan Tanah 900.000 15,58 1.000.000 19,05

Penanaman Lada 1.050.00 18,18 700.000 13,33

Pemupukan 250.00 4,33 300.000 5,71

Penyiangan 1.050.000 18,18 1.650.000 31,43

Pemangkasan Lada 326.000 5,64 0 0,00

Pengendalian HPT 250.000 4,33 150.000 2,86

Panen 1.400.000 24,24 1.050.000 20,00

Perontokan 250.000 4,33 100.000 1,90

Penjemuran 300.000 5,19 300.000 5,71

C. Total Biaya 10.131.339 9.681.443

D. Penerimaan 24.111.362 22.297.728

E. Pendapatan 13.980.023 12.616.285

F. R/C ratio 2,4 2,3

G. B/C ratio 1,4 1,3 Penerimaan usahatani yang diperoleh dengan teknologi pangkas lada juga lebih besar

dibandingkan dengan tanpa pangkas lada, hal ini disebabkan produksi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 451 kg/ha dengan harga jual Rp. 53.462,- sedangkan produksi tanpa pangkas lada mencapai 384 kg/ha dengan harga jual Rp. 58.067,-. Penerimaan yang diperoleh dari usahatani dengan teknologi pangkas lada maupun tanpa pangkas lada 2 kali lipat dari biaya totalnya, hal ini ditunjukkan dari nilai R/C rasio yang diperoleh cukup tinggi yaitu 2,4 dan 2,3, yang artinya bahwa usahatani lada layak diusahakan baik dengan pangkas lada maupun tanpa pangkas lada. Tetapi dengan teknologi pangkas lada dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pangkas lada. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

770

Sumantri dkk (2004), bahwa usahatani lada layak diusahakan karena cukup menguntungkan.

Komposisi dari struktur biaya terlihat bahwa proporsi terbesar didominasi oleh biaya tenaga kerja baik dengan pengkas lada maupun tanpa pangkas lada. Pada pangkas lada proporsi biaya tenaga kerja mencapai 57% sedangkan tanpa pangkas lada hanya 54% dari total biaya. Biaya sarana produksi dengan pangkas lada menyumbang 42% dan 45% tanpa pangkas lada dari total biaya yang dikeluarkan.

Dari hasil wawancara petani, terungkap bahwa keengganan petani melakukan pemangkasan lada karena sayang kalau dipangkas dan petani yang tidak memangkas lada biasanya merundukkan tanaman ladanya ke tanah agar tumbuh tunas baru. Padahal tujuan dari pemangkasan lada adalah untuk merangsang produksi buah lada.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada

Variabel yang diduga mempengaruhi produksi lada yaitu : luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekwensi penyuluhan dan teknologi Litbang. Hasil uji regresi linier berganda faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor-faktor yang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada di Lampung

Variabel Penelitian Koefisien Regresi t hitung Prob

Constanta -264,441 -1,628 0,108

Luas Lahan (X1) 309,437 6,726 0,000**

Jumlah Tanaman Lada (X2) 41.066 2,389 0,019**

Tinggi Tanaman Lada (X3) 0,094 2,976 0,004**

Rendemen Bulir Hijau (X4) 0,921 0, 38 0,463

Rendemen Lada Hitam (X5) -0,145 -0,046 0,964

Frekwensi Penyuluhan (X6) -4,598 -0,731 0,467

Teknologi Litbang (D1) 9,456 0,191 0,849

Serangan Hama (D2) -71,366 -1,330 0,188

Serangan Penyakit (D3) 29,963 0,375 0,708

Fhitung 11,175 Prob. Sig 0,000** R Square 0,583 ** : Nyata pada derajat kepercayaan 99% ( α = 0,01)

* : Nyata pada derajat kepercayaan 95% ( α = 0,05)

Berdasarkan hasil regresi (Tabel 3) nilai koofisien determinasi (R2) 0,583 menunjukkan bahwa 58,3 % variabel luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekwensi penyuluhan dan teknologi Litbang berpengaruh terhadap produksi lada dan sisanya 41,7 % dipengaruhi faktor lain di luar model. Hal ini mengindikasikan bahwa secara simultan variabel luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau, rendemen bulir hijau ke lada hitam, frekwensi penyuluhan, teknologi Litbang, serangan hama dan penyakit berpengaruh signifikan terhadap produksi lada pada taraf kepercayaan 99%, hal ini dapat dilihat dari nilai F hitung yang memiliki nilai probabilitas signifikan sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,01. Secara parsial variabel yang berpengaruh terhadap produksi lada adalah luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada,. Hal ini terlihat dari nilai probabilitas signifikan untuk variabel luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, lebih kecil dari α = 0,01

771

variabel luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau dan teknologi Litbang berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi, artinya peningkatan dan penurunan luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi tanaman lada, rendemen cangkang lada ke bulir hijau dan penggunaan teknologi Litbang berpengaruh terhadap naik dan turunnya produksi lada. Sedangkan variabel lainnya yaitu rendemen bulir hijau ke lada hitam dan frekwensi penyuluhan berpengaruh negatif terhadap produksi lada.

Serangan hama tidak berpengaruh nyata dan memberikan arah hubungan yang negatif terhadap produksi lada, artinya peningkatan serangan hama akan menurunkan produksi lada. Berdasarkan hasil kajian Asnawi, et al (2014) bahwa salah satu faktor yang tidak berpengaruh signifikan dan memberikan arah hubungan yang positif terhadap produksi lada yaitu penggunaan pestisida, artinya semakin tinggi dosis pemberian pestisida maka akan meningkatkan produksi lada. Hal ini jika dikaitkan dengan serangan hama dan penyakit sangat relevan karena serangan hama dan penyakit sangat sulit dikendalikan, bahkan penggunaan pestisida tidak dapat mengurangi serangan hama dan penyakit. Kondisi di lapang bahwa petani sulit mengendalikan hama dan penyakit lada khususnya penyakit busuk pangkal batang dan hama penggerek batang.

Serangan penyakit busuk pangkal batang dan hama penggerek batang pada tanaman lada yang tidak diberi agensia hayati lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi agensia hayati. Tanaman Arachis sp. sebagai tempat berlindung bagi musuh alami sehingga jumlah musuh alami di kebun dapat meningkat (Departemen Pertanian, 2002).Hal ini sejalan dengan penelitian Sari et al. (2014) bahwa Beauveria sp. dapat mematikan musuh alami parasitoid 28 – 42%.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Usahatani lada layak untuk diusahakan, baik dengan pangkas lada maupun tanpa

pangkas lada, hanya saja bila dengan pangkas lada keuntungan yang diperoleh lebih besar karena produksi yang dihasilkan lebih tinggi.

2. Struktur biaya usahatani baik dengan pangkas lada dan tanpa pangkas lada, proporsi terbesar disumbangkan dari biaya tenaga kerja masing-masing 57,01% dan 54,23% sedangkan biaya sarana produksi masing-masing menyumbangkan biaya sarana produksi 42,99% dan 45,77%. Biaya sarana produksi memiliki proporsi kecil karena input produksi yang digunakan tidak sesuai anjuran atau dosis.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lada adalah luas lahan, jumlah tanaman dan tinggi tanaman lada.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2002. Statistik Perdagangan Luar Negeri : Ekspor Volume I. Biro Pusat Statistik.

Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2015. Lampung Dalam Angka. Provinsi Lampung.

Dirjenbun. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-2002 : Lada Pepper. Direktorat

Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian Jakarta. 32 hal.

Kementerian Perdagangan. 2014. Siaran Pers : Promosi Perdagangan Dan Peningkatan Konsumsi Lada Nasional. Jakarta.

Prastito, A. 2004. Cara Mudah Mengatasi Permasalahan Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo. Jakarta. Halaman 142.

Sumantri, B., B.S. Priyono., dan M. Isronita. 2004. Analisis kelayakan finansial usahatani lada (Piper nigrum L)di Desa Kunduran Kecamatan Ulu Musi Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 6 (1): 32-42.

772

Wahid, P dan M.P. Yufdy. 1987. Kemungkinan pengembangan tanaman lada di daerah

Pasaman Barat, Sumatera Barat. Balittro, Bogor. 169p.

Wahid,P dan Amrizal M. R. 2007. Pemupukan Tanaman Lada (Piper nigrum L.).

Leaflet. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Pakuwon, Sukabumi.

I.A. Diah Fitri dan I.B. Pt. Purbadharmaja. 2015. Pengaruh Kurs Dollar Amerika, Jumlah Produksi Dan Luas Lahan Pada Volume Ekspor Lada Indonesia. E-Jurnal

Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana Vol. 4, No. 5, Mei 2015.

773

PEWILAYAHAN DAN KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG KABUPATEN BANTUL

Joko Mulyono1) dan Hery Nugroho2)

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

JL. Tentara Pelajar No. 10 Cimanggu, Bogor

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang memiliki peran sebagai bahan pangan dan sebagai bahan baku industri pakan ternak. Pencapaian swasembada jagung menjadi sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019. Jagung juga digunakan sebagai bahan tepung maizena, olahan minyak goreng, etanol dan lainnya. Menurut Kementerian Perindustrian (2015), kebutuhan jagung pada tahun 2016 diperkirakan mengalami peningkatan mencapai 13,8 juta ton terdiri dari 8,6 juta ton untuk kebutuhan industri pakan dan 5,2 juta ton untuk pangan. Pada tahun sebelumnya, kebutuhan jagung mencapai 13,1 juta ton yang terbagi menjadi 8,3 juta untuk industri pakan dan 4,1 juta ton untuk pangan atau konsumsi. Swastika et al. (2011), komponen pakan terutama pakan komplit 50 % berasal dari jagung. Kandungan energi, protein dan gizi lain pada jagung sangat sesuai untuk kebutuhan ternak, terutama untuk unggas dan babi.

Komoditas jagung dibudidayakan di semua kecamatan di Kabupaten Bantul. Pada tahun 2013, luas panen jagung mencapai 3.371 ha dengan produksi 19.077 ton dan produktivitas 5,66 ton/ha. Luas panen jagung terluas di Kecamatan Dlingo, yaitu 1.329 dan luas panen terendah di Kecamatan Kretek 20 ha. Dibandingkan dengan luas panen tahun 2012 mengalami penurunan 873 ha (4.244 ha), demikian juga produksinya turun 4.227 ton (23.304 ton). Produksi jagung di Provinsi Yogyakarta mencapai 289.580 ton dengan produktivitas 4,09 ton/ha.

Luas panen jagung di Kabupaten Bantul cenderung mengalami penurunan rata-rata 4 % per tahun. Kementan (2015), luas panen jagung di jawa, luar jawa dan nasional juga cenderung mengalami penurunan. Di jawa penurunan luas panen mencapai 2,13 %, di luar jawa 1,36 % dan di tingkat nasional mencapai 1,77 % per tahun. Penyebab menurunnya luas panen di Kabupaten Bantul dimungkinkan akibat alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian, adanya persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lainnya dan produktivitas yang rendah dimana masih ada kesenjangan produktivitas di tingkat petani dengan potensi yang mencapai 10 ton/ha. Irawan dan Friyatno (2002), dalam kurun waktu 1981-1998 alih fungsi lahan sawah ke non sawah di Kabupaten Bantul 1.412 ha. Sudirman (2012), luas lahan pertanian yang terkonversi menjadi bangunan permanen tahun 1996-2006 di Bantul 3.863,5 ha.

Berdasarkan uraian tersebut perlu dilakukan identifikasi wilayah yang menjadi basis jagung sebagai komoditas unggulan, sehingga program-program yang dijalankan oleh pemerintah tepat sasaran dan sesuai dengan potensi wilayahnya dalam rangka menjaga dan mempertahankan luas panen dan produksi jagung di Bantul. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan wilayah kecamatan yang merupakan basis komoditas jagung, menyusun peta pewilayahan komoditas jagung dan menganalisis kelayakan usahatani jagung sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Bantul.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 di Kabupaten. Data yang dikumpulkan

meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, seperti luas panen, produksi dan produktivitas jagung dan diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul. Data primer dikumpulan melalui survei dan wawancara menggunakan kuesioner terhadap petani jagung, seperti

774

karateristik petani, penguasaan lahan dan usahatani jagung. Jumlah responden sebanyak 30 petani jagung.

Penentuan wilayah kecamatan yang menjadi basis komoditas jagung sebagai komoditas unggulan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Dengan kriteria nilai LQ > 1 maka komoditas jagung menjadi basis atau menjadi komoditas unggulan. Setiyanto (2013), komoditas unggulan merupakan komoditas yang sesuai dengan agro ekologi setempat dan juga mempunyai daya saing, baik pasar di daerah itu sendiri, di daerah lain dalam lingkup nasional, maupun di pasar internasional.

Rustiadi et al. (2011), metode LQ sering digunakan sebagai indikasi sektor basis yang selanjutnya dapat digunakan sebagai indikasi sektor unggulan. Komoditas unggulan dapat ditunjukkan dengan keunggulan komparatif. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif merupakan komoditas yang diproduksi melalui dominasi dukungan sumber daya alam, di mana daerah lain tak mampu memproduksi produk sejenis. Menurut Rusastra et al. (2004), keunggulan komparatif suatu komoditas juga dapat ditunjukkan dari keuntungan ekonominya. Hendayana (2003), melakukan kajian penentuan komoditas unggulan nasional menggunakan metode LQ. Rumus Location Quotient (LQ) disajikan sebagai berikut:

LQ =

dimana: pi = luas areal panen komoditas jagung di tingkat kecamatan pt = total luas areal panen semua komoditas tanaman pangan di tingkat kecamatan Pi = total luas areal panen komoditas jagung di tingkat kabupaten Pt = luas areal panen komoditas tanaman pangan total di tingkat kabupaten

Peta pewilayahan komoditas jagung sebagai komoditas unggulan dibuat menggunakan software ArcGis. Kelayakan usahatani jagung dianalisis dengan R/C, dengan kriteria layak apabila nilai R/C > 1. Rumus R/C disajikan sebagai berikut:

R/C = TR/TC dimana: TR = total penerimaan usahatani jagung & TC = total biaya usahatani jagung

Analisis titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH) dimaksudkan untuk menentukan batas minimum penurunan produksi atau harga, dimana usahatani yang dilakukan masih memberikan keuntungan. Rumus TIP dan TIH sebagai berikut:

TIP = BP/H TIH = BP/P

dimana: P = produksi (kg); H = harga produksi (Rp/kg); BP = biaya produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah Basis Komoditas Jagung Sebagai Komoditas Unggulan

Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang dibudidayakan di Kabupaten Bantul. Untuk mengetahui wilayah yang menjadi basis komoditas jagung atau jagung menjadi komoditas unggulan di wilayah tertentu dianalisis menggunakan Location Quotient (LQ) dengan kriteria LQ > 1. Hasil analisis LQ jagung disajikan pada Tabel 1.

775

Tabel 1. Hasil analisis LQ jagung di Kabupaten Bantul*

No Kecamatan Nilai LQ Jagung No Kecamatan Nilai LQ Jagung 1 Srandakan 0,40 10 Dlingo 2,50 2 Sanden 0,73 11 Pleret 1,04 3 Kretek 0,32 12 Piyungan 1,15 4 Pundong 0,81 13 Banguntapan 0,57 5 Bambanglipuro 0,37 14 Sewon 0,28 6 Pandak 0,29 15 Kasihan 0,62 7 Bantul 0,35 16 Pajangan 5,06 8 Jetis 0,87 17 Sedayu 0,90 9 Imogiri 0,79

*Sumber: BPS Kabupaten Bantul , 2009-2013 (diolah)

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) kecamatan yang nilai LQ jagungnya lebih besar dari satu, yaitu Kecamatan Dlingo, Pleret, Piyungan dan Pajangan. Artinya di keempat kecamatan tersebut, jagung menjadi komoditas basis atau menjadi komoditas unggulan. Komoditas jagung memiliki keunggulan komparatif, dimana hasil produksinya mampu memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri dan juga mampu mengekspor ke luar wilayahnya. Nilai LQ jagung > 1 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai LQ jagung lebih besar satu (jagung sebagai komoditas basis/unggulan)

Di Kecamatan Pajangan, nilai LQ jagung paling tinggi yaitu 5,06 diikuti Kecamatan

Dlingo 2,50, Kecamatan Piyungan 1,15 dan Kecamatan Pleret 1,04. Semakin tinggi nilai LQ menunjukkan bahwa semakin tinggi potensi keunggulan komoditas tersebut. Kecamatan pajangan merupakan wilayah basis jagung yang memiliki potensi keunggulan terbesar dibanding di wilayah lainnya. Kecamatan pajangan memiliki luas lahan kering (tegalan) 503 ha dan lahan sawah 245 ha (BPS Kabupaten Bantul, 2014). Dari hasil analisis LQ kemudian dibuat peta pewilayahan jagung yang menjadi basis atau menjadi komoditas unggulan di wilayah tertentu. Peta pewilayahan komoditas jagung sebagai komoditas unggulan disajikan Gambar 1.

No Kecamatan Nilai LQ Komoditas Basis (Unggulan)

1 Pajangan 5,06 Jagung

2 Dlingo 2,50 Jagung

3 Piyungan 1,15 Jagung

4 Pleret 1,04

Jagung

776

Gambar 1. Pewilayahan komoditas jagung sebagai komoditas unggulan

Karakteristik PetaniJagung

Rata-rata umur petani jagung di Kecamatan Dlingo dan Piyungan, Kabupaten Bantul adalah 54 tahun. Artinya dengan rata-rata umur 54 berarti sudah mendekati usia tidak produktif, sehingga produktivitasnya menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang menarik bagi generasi muda, mereka lebih senang bekerja di sektor non pertanian.

Tingkat pendidikan petani jagung 46,67 % berpendidkan sekolah dasar (14 petani), 20 % berpendidikan SMP (6 petani), 30 % berpendidikan SMA (9 petani) dan satu orang petani tidak bersekolah (3,33 %). Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan petani dalam mengelola usahatani dan kemauan untuk menerima teknologi dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Pendidikan yang tinggi mendorong petani untuk lebih rasional dalam mengelola usahatani (Suharyanto et al., 2005). Menurut Isgin et al. (2008), pendidikan formal yang dimiliki petani mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi inovasi.

Pengalaman usahatani jagung petani di Kecamatan Dlingo dan Piyungan rata-rata 28 tahun. Rangkuti (2009), Pengalaman berusahatani akan membentuk karakter petani menjadi orang lebih terbuka dan kompak dalam suatu jaringan komunikasi dengan petani lain. Jumlah tanggungan keluarga petani jagung rata-rata 3 orang, dengan pekerjaan dan penghasilan utama dari petani. Penguasan Lahan Petani Jagung

Jenis lahan yang dikuasai petani jagung adalah tegalan dengan luas penguasaan 0,23 ha, sawah tadah hujan 0,14 ha, lahan sawah irigasi 0,035 ha dan pekarangan 0,14 ha. Status kepemilikan lahan lebih banyak diperoleh dari milik sendiri. Selain milik sendiri, penguasaan lahan juga diperoleh dari sewa dan bagi hasil. Keragaan penguasaan lahan petani jagung disajikan pada Tabel 3.

777

Tabel 3. Keragaan penguasaan lahan petani jagung

Jenis Lahan Luas lahan (ha) dan status

Milik Sendiri Sewa Bagi Hasil Gadai Jumlah

Sawah Irigasi 0,02 0,01 0,005 - 0,035

Sawah Tadah Hujan 0,13 - 0,01 - 0,14

Tegalan 0,22 - 0,01 - 0,23

Pekarangan 0,14 - - - 0,14

Total 0,51 0,01 0,025 - 0,545

Analisis Kelayakan Usahatani Jagung

Usahatani jagung di Kecamatan Dlingo merupakan usahatani musim tanam pertama (MT-I) atau musim hujan tahun 2014/2015 pada lahan tegalan. Pola tanam di lahan tegalan di Kecamatan Dlingo dengan sistem tumpangsari jagung dan singkong (ubi kayu). Di Kecamatan Piyungan jagung ditanam pada musim tanam kedua (MT II) tahun 2014 pada lahan sawah tadah hujan setelah padi. Benih yang digunakan petani merupakan benih unggul berlabel, seperti Bisi dan Pioner. Rata-rata penggunaan benih sebanyak 19-20 kg/ha, dimana harga benih jagung antara Rp. 50.000,00 sampai Rp. 60.000,00. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani komoditas unggulan adalah pupuk urea 151,5 kg/ha, pupuk ZA 22 kg/ha, pupuk NPK 164,5 kg/ha dan pupuk organik 1,275 ton/ha.

Total biaya usahatani jagung mencapai Rp. 8.010.299,00 (Tabel 4). Biaya sarana produksi Rp. 2.476.981,00 (30,9 %), terdiri dari biaya pembelian benih jagung, pupuk dan pestisida. Biaya tenaga kerja mencapai Rp. 5.533.318,00 (69,1 %), terdiri dari biaya untuk pengolahan tanah, tanam, pembumbunan dan penyiangan, pemupukan, penyemprotan, panen dan pasca panen. Porsi terbesar biaya sarana produksi digunakan untuk pembelian pupuk 17 %. Sedangkan porsi terbesar biaya tenaga kerja digunakan untuk biaya panen dan pasca panen 25,3 %. Biaya pemipilan jagung Rp. 200,00/kg.

Untuk mengetahui kelayakan usahatani jagung didasarkan pada nilai R/C, dimana usahatani jagung dianggap layak apabila nilai R/C lebih dari satu. Tabel 4 menunjukkan bahwa produksi jagung mencapai 4.689 kg dengan harga Rp. 2.867,00, sehingga penerimaan petani sebesar Rp. 13.441.019,00. Dari hasil analisis diperoleh nilai R/C 1,68 artinya usahatani jagung layak untuk dibudidayakan di Bantul. Dari hasil analisis titik impas, diperoleh TIP adalah 2.794 kg/ha dan TIH adalah Rp. 1.708/kg. Usahatani jagung akan menguntungkan apabila produksinya tidak kurang dari 2.794 kg/ha atau harga jual jagung minimal Rp. 1.708,00/kg. Hasil analisis kelayakan usahatani disajikan pada Tabel 4.

778

Tabel 4. Analisis usahatani jagung Kabupaten Bantul

Uraian Jumlah Biaya Persen

Biaya Sarana Produksi (Rp) 2.476.981 30,9

Benih 1.062.397 13,3

Pupuk 1.365.695 17,0

Pestisiada/Obat-obatan 48.889 0,6

Biaya Tenaga Kerja (Rp) 5.533.318 69,1

Pengolahan Tanah 1.229.556 15,3

Tanam 930.278 11,6

Pembumbunan dan Penyiangan 1.004.937 12,5

Pemupukan 323.000 4,0

Penyemprotan 29.225 0,4

Panen dan Pasca Panen 2.016.322 25,3

Total Biaya Usahatani (Rp) 8.010.299 100.0

Produksi (kg/ha) 4.689

Harga (Rp/kg) 2.867

Penerimaan (Rp) 13.441.019

Keuntungan (Rp) 5.430.720

R/C 1,68

Titik Impas Produksi (kg/ha) 2.794

Titik Impas Harga (Rp/kg) 1.708

KESIMPULAN

Kecamatan Pajangan, Dlingo, Piyungan dan Pleret merupakan wilayah basis komoditas jagung sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Usahatani jagung layak dibudidayakan di Kabupaten Bantul dengan R/C 1,68. Dengan menggunakan analisis TIP dan TIH, produksi jagung minimum yang harus dicapai agar tetap menguntungkan adalah 2.794 kg/ha atau harga minimum jagung adalah Rp. 1.708,00.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala BPP Kecamatan Dlingo dan Piyungan, Kabupaten Bantul, penyuluh lapang Ibu Panuti Amd, Bapak Slamet, SP dan Ibu Tasiatun, SP. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada petani dan ketua kelompok tani yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

779

DAFTAR USTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2009. Bantul Dalam Angka 2009. Kabupaten Bantul.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Kabupaten Bantul.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2011. Bantul Dalam Angka 2011. Kabupaten Bantul.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2012. Bantul Dalam Angka 2012. Kabupaten Bantul.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2013. Bantul Dalam Angka 2013. Kabupaten Bantul.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2014. Bantul Dalam Angka 2014. Kabupaten Bantul.

Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. 12:658-675.

Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. 2(2):79-95.

Isgin, T., A. Bilgic, D. L. Forster, and M. T. Batte. 2008. Using Count Data Models to Determine the Factors Affecting Farmer’s Quantity Decisions of Precisions Farming Technology Adoption. Computer and Electronic in Agriculture. 62:231-242.

Kementerian Perindustrian. 2015. Kebutuhan jagung nasional capai 13,8 Juta Ton di 2016. http://bisnis.liputan6.com/read/2386889/kebutuhan-jagung-nasional-capai-138-juta-ton-di-2016. Diakses Tanggal 21 April 2016.

Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Jakarta.

Rangkuti, P.A. 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 27(1):45-60.

Rusastra I.W., B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi Komoditas Palawija. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/pros-02_2004.pdf?q=tadah. Diakses tanggal 6 September 2014.

Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta.Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Setiyanto, A. 2013. Pendekatan dan Implementasi Pengembangan Kawasan Komoditas Unggulan Pertanian. Forum Agro Ekonomi. 31(2):171-195.

Sudirman, S. 2012. Valuasi Ekonomi Dampak Konversi Lahan Pertanian di Pinggiran Yogyakarta. Agrika. 6(1).103-125.

780

Suharyanto, Destialisma, dan I.A. Parawati. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Prosiding Seminar Nasional. “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal”. NTB, 30-31 Agustus 2005. Hal 122-128.

Swastika, D.K.S., A. Agustian, dan T. Sudaryanto. 2011. Analisis Senjang Penawaran dan Permintaan Jagung Pakan Dengan Pendekatan Sinkronisasi Sentra Produksi, Pabrik Pakan, Dan Populasi Ternak Indonesia. Informatika Pertanian. 20 (2):65-75.

781

PEMASARAN JERUK DI KABUPATEN MEMPAWAH KALIMANTAN BARAT

Juliana C.Kilmanun dan Riki Warman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat Jl.Budi Utomo 45.Siantan Hulu Kalimantan Barat

ABSTRAK

Jeruk Siam Pontianak (Citrus nobillis var.Microcarpa) merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang berasal dari Kalimantan Barat. Jeruk siam Pontianak mengalami masa kejayaannya pada tahun 1992 dengan luas pertanaman sekitar 21.000 ha dan tanaman produktif seluas 15.000 ha,serta total produksi mencapai 234.059 ton/tahun (Burhanuddin,2002 dan Distan Kalimantan Barat, 2003). Pada tahun 1997 mengalami penurunan produksi secara drastis yaitu sebanyak 27.960 ton atau turun81,70 % bila dibandingkan tahun 1994. Namun demikian usaha budidaya jeruk terus dikembangkan oleh petani di kabupaten Mempawah karena menurut petani jeruk tetap menjadi komoditi unggulan di Kalimantan Barat. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive sampling (secara sengaja). Penelitian dilakukan di desa Sui Duri II Kecamatan Sui Kunyit Kabupaten Mempawah pada bulan April 2015. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner, wawancara dilakukan dengan kelompok tani jeruk di desa Sui Duri II. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat saluran pemasaran atau tataniaga jeruk di Kabupaten Mempawah. Hasil penelitian didapatkan harga jual jeruk ditingkat petani ditentukan oleh agen dan sangat rendah sehingga tidak menguntungkan petani. Adapun harga jual ditingkat petani ditentukan berdasarkan grade yaitu grade A Rp. 7000, AB Rp.6000/Kg, grade C Rp.5000/Kg, grade D Rp.4000/Kg, Grade E Rp.3000/Kg

Kata Kunci: Pemasaran,jeruk, Kabupaten, Mempawah.

PENDAHULUAN

Permintaan buah jeruk semakin meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pola konsumsi buah oleh masyarakat. Saat ini, kebutuhan jeruk dalam negeri sekitar 2,5 juta ton per tahun. Jumlah kebutuhan jeruk tersebut jelas sangat jauh diatas produksi jeruk dalam negeri yang terus mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Ditjen Hortikultura (2014), produksi jeruk siam yang merupakan jenis jeruk dominan di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 1.721.880 ton mengalami penurunan menjadi 1.498.183 ton pada tahun 2012 dan terus menurun pada tahun 2013 hingga menjadi 1.288.585 ton. Sedangkan menurut BPS (2014), produksi jeruk nasional secara keseluruhan pada tahun 2013 hanya 1.411.229 ton.

Selain masalah kekurangan pasokan, segmen pasar (konsumen) tertentu juga menghendaki jenis dan mutu buah jeruk prima yang belum bisa sepenuhnya dipenuhi produsen dalam negeri. Kondisi tersebut kemudian mendorong terjadinya impor jeruk dalam jumlah cukup besar, bahkan pada tahun 2012 nilainya mencapai US $ 227.300.473 (Ditjen Hortikultura, 2014). Terlebih lagi di era perdagangan bebas sekarang ini, serbuan buah jeruk impor semakin besar. Saat ini buah jeruk impor tersebut tidak hanya masuk di pasar modern seperti supermarket melainkan juga di pasar-pasar buah tradisional. Masalah-masalah yang menimpa agribisnis salah satu komoditas unggulan nasional tersebut tentunya harus menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Upaya peningkatan produksi dan perbaikan mutu buah harus segera dilakukan di sentra-sentra produksi jeruk nasional.

782

Salah satu sentra produksi jeruk nasional adalah Kalimantan Barat yang pertanaman jeruknya tersebar di beberapa Kabupaten. Pada tahun 2013 jumlah produksi jeruk di Kalimantan Barat sebesar 154.304 ton (BPS Provinsi Kalimantan Barat, 2014). Produksi tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 171.558 ton (BPS Provinsi Kalimantan Barat, 2013). Penurunan produksi ini diantaranya disebabkan adanya serangan beberapa penyakit terutama CVPD. Serangan penyakit CVPD membuat banyak tanaman menjadi sakit, penurunan produktivitas, bahkan menyebabkan kematian tanaman sehingga mengurangi luas pertanaman jeruk yang ada. Serangan penyakit CVPD tersebut diyakini diantaranya disebabkan oleh pelaksanaan budidaya yang belum sepenuhnya mengacu pada cara budidaya yang baik dan benar (Good Agriculture Practices - GAP) berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP). Serangan penyakit CVPD tersebut semakin meluas karena upaya pengendaliannya yang tidak tepat. Teknologi pengendalian penyakit CVPD sebenarnya telah ada di Badan Litbang Pertanian yakni melalui penerapan Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat atau PTKJS (Supriyanto et.al., 1999). Namun, teknologi PTKJS tersebut belum banyak diketahui oleh petani.

BPTP Kalimantan Barat akan melakukan pendampingan pengembangan kawasan jeruk di Kalimantan Barat untuk mendiseminasikan teknologi budidaya jeruk yang baik dan benar (GAP) berdasarkan SOP serta pengenalan PTKJS untuk mengendalikan penyakit CVPD. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Mempawah, dan Kubu Raya yang merupakan daerah-daerah pengembangan kawasan jeruk di Kalimantan Barat. Mengawali kegiatan pendampingan dilakukan kegiatan l Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada petani jeruk di Kabupaten Mempawah dikatakan bahwa salah satu masalah yang sangat krusial yang ditemui petani dalam budiaya tanaman jeuk di Kabupaten Mempawah adalah pemasaran hasil produksi buah jeruk. Untuk itu tulisan ini bertujuan untuk melihat saluran pemasaran atau tataniaga jeruk di Kabupaten Mempawah.

BAHAN DAN METODE Pendekatan

Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan survey. Penelitian dengan menggunakan teknik survey menurut Supranto (1997) adalah penelitian yang bersifat diskriptif untuk menguraikan suatu keadaan tanpa melakukan perubahan terhadap variabel tertentu. Pendekatan surveydilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan deskriptif yang bersifat obyektiftentang (a) lembaga pemasaran yang terlibat dalam tataniaga jeruk siam Pontianak, (b) informasi saluran pemasaran yang terlibat dalam tataniaga jeruk siam Pontianak. Lokasi dan Waktu

Lokasi kajian adalah dilokasi kawasan sentra produksi jeruk siam di Kabupaten Mempawah dan agen jeruk di Kabupaten Mempawah, pasar lokal di Kabupaten Mempawah. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2015. Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar (agen) di Kabupaten Mempawah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu teknik observasi dan wawancara. Teknik observasi yaitu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan langsung secara cermat dan sistematik baik secara partisipatif maupun non partisipatif. Teknik wawancara yaitu cara pengumpulan data dengan bertanya langsung atau dialog dengan responden dengan bantuan daftar pertanyaan (quisioner). Metode Analisa

Mengidentifikasi lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga jeruk SiamPontianak di Kabupaten Mempawah, selanjutnya dianalisis secara diskriptif untuk melihat peran dari masing-masing lembaga tersebut dalam tataniaga. Mengidentifikasi

783

saluran pemasaran dan wilayah penyebaran produk. Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan Umum Desa Sui Duri II terletak pada 320 LU - 380 LU dan 1080 BT – 56’430 BT. Terletak pada

ketinggian3 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 250C – 370C, curah hujan 30 mm/tahun serta kelembaban 70 %. Batas wilayah desa Sui Duri II Kecamatan Sungai Kakap adalah : Sebelah Utara : Desa Sui Duri I, sebelah Selatan : Desa Sungai Bundung Laut, sebelah Barat Laut Natuna dan sebelah Timur Desa Bukit Batu. Luas wilayah ± 930 Ha, dengan sebagian besar 70 %wilayahnya terletak di sebelah Selatan Kecamatan Kunyit yang belum diolah 0% digunakan untuk perkebunan hanya 20 % dan 10 % yang digunakan pemukiman. (Profil Desa, 2016) . 2. Karakteristik Petani

Desa Sui Duri II di domisilasi oleh petani etnis Melayu Sambas, Bugis, Tiong Hua, Madura, dayak dan lainnya. Pada umumnya mereka mengusahakan tanaman padi. Tanaman lain yang diusahakan yaitu;kelapa, pisang, jeruk dan kaokao.

Jumlah penduduk berjumlah 1.813 jiwa dengan pembagian 895 jiwa merupakan laki-laki dan 918 jiwa merupakan perempuan. Sebagian penduduk (90 %) merupakan suku Melayu. Matapencaharian 45 % sebagai petani kelapa,32 % bekerja sebagai petani hortikultura (sayur-mayur), 10 % sebagai peternak sapi, 10 % diberbagai sektor (karyawan,pedagang, PNS) dan 3 % sisanya tidak menetap/pengangguran. Untuk petani jeruk di Kabupaten Mempawah banyak terdapat di desa Sui Duri II dan desa Bedung. Rata-rata kepemilikan jumlah tanaman jeruk sekitar 50-1000 pohon atau setara dengan 0,12- 2,50 Ha.

3. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah salah satu cara yang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam budidaya jeruk. Identifikasi masalah dilakukan pada petani jeruk di desa Sui Duri II dengan menggunakan Focus Group Discution (FGD). Pelaksanaan FGD dihadiri oleh Key informan atau informan kunci yang ada di desa tertentu, instansi terkait dan petani dan juga dihadiri oleh peneliti dan penyuluh. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan pada petani jeruk di Kabupaten Mempawah dapat dilihat pada Tabel.1.

784

Tabel.1. Identifikasi Masalah dan Pemecahan Masalah Budidaya Tanaman Jeruk Siam

Pontianak di Desa Sui Duri II, Kabupaten Mempawah, 2015

No Permasalahan Pemecahan Masalah 1. Busuk Akar - Mencangkul tanah disekitar pohon jeruk30-

50 cm dan akar yang membusuk dipotong sampai hilang

2. CPPD/Daun Soma - Melakukan pemangkasan cabang 3. Kutu Sisik - Menyikat batang jeruk dan disemprot

dengan menggunakan fungisida

4. Busuk Batang - Mengupas kulit atau mengikis kulit jerukdan menempelkan tanah kuning pada bagian yang telah dikikis atau dikupas

5. Phytoptora - Batang jeruk disikat atau disemprot 6. Harga - Perlu adanya kebijakan harga dari

pemerintah yangdapat mensejahterahkan petani jeruk

7. Kelangkaan Pupuk ketersediaan pupuk tepat waktu Sumber : Hasil Focus Group Discution (FGD) DiDesa Sui Duri II, Kecamatan Sui Kunyit

Kabupaten Mempawah, 2015.

Dari hasil FGD petani mengemukakan tentang semua permasalahan yang ditemui dalam budidaya tanaman jeruk Siam Pontianak dan solusi yang sudah dilakukan petani dalam memecahkan masalah tersebut. Permasalahan yang dirasakan sangat penting menurut petani adalah harga. Menurut petani terkadang harga jual petani yang ditentukan oleh pedagang pengumpul tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan petani dalam budidaya tanaman jeruk, apalagi pada saat panen raya. Petani sangat mengharapkan kebiajakan harga yang sesuai oleh pemerintah yang dapat mensejahterakan petani khususnya petani jeruk.

4. Pemasaran Jeruk

Posisi tawar petani yang lemah disebabkan rapuhnya kelembagaan petani yang sering mengakibatkan pemasaran buah jeruk tidak berpihak kepada petani. Rapuhnya kelembagaan petani mengakibatkan panen dan pemasaran tidak bisa dikoordinasikan secara kelompok dan sering petani harus berhadapan langsung dengan tengkulak atau pedagang penumpul bermodal besar yang selain sudah paham tentang seluk beluk pemasaran buah jeruk, bahkan juga tentang keseharian rumah tangga petani. Sistem pemasaran jeruk di Indonesia dinilai belum efisien. Menurut Agustian et al., (2005), biaya pemasaran di Indonesia termasuk tinggi dan pembagian balas jasa yang adil masih asimetris mengelompok pada pedagang besar, sementara petani dan pedagang pengumpul menerima bagian yang kecil. Hasil penelitian Suherty (2003), mengenai efisiensi pemasaran jeruk di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa berdasarkan analisis struktur pasar dan penampilan pasar dinilai belum efisien karena share harga yang diterima petani masih rendah. Kondisi yang sama juga dijumpai di sentra produksi jeruk Siam di Jember Jawa Timur (Zamzami et al., 2010).

Petani jeruk di Kabupaten Mempawah mengalami kesulitan dalam pemasaran hasil jeruknya. Permainan harga dari pedagang pengumpul dan agen melemahkan semangat petani dalam melakukan penjualan hasil produksi jeruk. Penentuan harga jeruk oleh pedagang pengumpul dan agen cenderung tidak sesuai dengan yang diharapkan petani sehingga terkadang petani lebih memilih tidak menjual hasil panen dan dibiarkan membusuk daripada menjualnya. Adapun sistem pemasaran jeruk Siam di Kabupaten Mempawah dapat dilihat pada Gambar.1.

785

Sistem penjualan jeruk oleh petani melalui proses yang panjang, hasil produksi

biasanya dijual ke tempat penampungan jeruk (TPK) kabupaten Mempawah dan ada juga yang menjual langsung ke pasar lokal dan pedagang keliling. Sedangkan pedagang penampung jeruk (TPK) biasanya menjual ke pedagang antar kabupaten (Sintang, Sanggau, Skadau dan Kapuas Hulu) dan pedagang pengumpul di Jakarta. Penentuan harga antar pedagang sangat dirahasiakan namun pada kenyataannya petani selalu yang dirugikan. Hal ini membuat terkadang semangat petani jeruk terkadang melemah setiap melakukan penjualan hasil produksi jeruk.

Sistem tataniaga yang terlalu panjang kerapkali menimbulkan berbagai persoalan,mulai dari terlambatnya pasokan produksi pertanian dari petani, hingga harga mahal ditingkat konsumen. Sehingga perlu diupayakan sistem rantai pasok pertanian yang efektif dan efisien serta menguntungkan semua lembaga atau produsen yang terlibat dalamnya. Semakin pendek tata niaga produksi pertanian antara petani dan konsumen, semakin besar pula keuntungan yang diperoleh petani.

Penentuan harga jeruk Siam di Kabupaten Mempawah sangat ditentukan oleh Grade atau ukuran jeruk tersebut. Di Kabupaten Mempawah terdapat ukuran jeruk yaitu : Grade A,AB,C,D dan E. Biasanya petani menjual dalam bentuk mentah dan masak dengan variasi harga yang berbeda. Adapun harga jeruk berdasarkan ukuran di Kabupaten Mempawah berdasarkan hasil survey adalah seperti terlihat pada Tabel. 2.

Tabel.2. Harga Jeruk Siam Berdasarkan Grade Dalam Bentuk Mentah dan Masak,di

Kabupaten Mempawah Tahun 2015.

Grade Harga Jual Dalam Bentuk Mentah (Rp)

Harga Jual Dalam Bentuk Mentah (Rp)

A 6.000 7.000 AB 5.000 6.000 C 4.000 5.000 D 3.000 4.000 E 2.000 3.000

Sumber : Hasil Wawancara Dengan Petani Jeruk Di desa Sui Duri II,Kabupaten Mempawah, 2015.

Berdasarkan hasil wawancara dikatakan kemampuan pedagang keliling dalam

menampung hasil produksi jeruk di desa Sui Duri II sekitar 100 Kg per satu kali panen. Sedangkan kemampuan Tempat Penampungan Jeruk (TPK) dalam bentuk Masak adalah 300-400 Kg per satu kali panen dan dalambentuk mentah sekitar 400-500 Kg persatu kali panen.

Petani

TPK

(Tempat

Penampunga

n Jeruk)

Pasar Lokal

Pedagang

Keliling

Pedagang

ke Jakarta

Gambar.1. Sistem Pemasaran Jeruk di Kabupaten Mempawah

Pedagang

antar

Kabupaten

786

Menurut petani jeruk di Kabupaten Mempawah, permasalahan utama yang dirasakan dalam mengusahakan jeruk Siam adalah rendahnya harga jual dan penentuan harga jual tersebut sangat tidak berpihak pada petani dan petani sangat dirugikan. Harga jeruk pada setiap musim tidak mengalami perubahan. Untuk itu sangat diharapkan adanya suatu kebijakan harga yang ditentukan oleh para pengambil kebijakan yang berpihak pada petani dan tidak merugikan petani jeruk.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Panjangnya saluran pemasaran jeruk Siam akan merugikan petani di Kabupaten Mempawah

2. Kebijakan harga jual jeruk oleh para pengambil kebijakan diharapkan berpihak pada petani dan tidak merugikan petani

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, et al., 2005. Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Usaha Komoditas Pertanian. Puslitbang Sosail ekonomi Pertanian. Bogor.

BPS Provinsi Kalimantan Barat. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka 2014. Pontianak, BPS Provinsi Kalimantan Barat.

Burhanuddin, A.R. 2002. Program Rehabilitasi dan Pengembangan Jeruk di Kabupaten Sambas. Pemerintah Kabupaten Sambas. Disampaikan pada Seminar Pengembangan

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Nilai Impor Dan Ekspor Buah Tahun 2012. http://hortikultura.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=339&Itemid=687 [20 Mei 2014]

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Produksi Tanaman Buah Di Indonesia Periode 2011 – 2013.http://hortikultura.pertanian.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=315&Itemid=915 [20 Mei 2014]

Distan Kalimantan Barat, 2003. Agribisnis Jeruk Pontianak : Informasi dan Peluang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak.

Profil Desa, 2016. Profil Desa Sui Duri II, Kecamatan Sunyai Kunyit KAbupaten Mempawah, Tahun 2016

Suherty,L. 2003. Analisis Efisiensi Pemasaran Jeruk Studi Kasus di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan selatan. Tesis. Program Studi ekonomi Pertanian. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang.

Supranto,J. 1997.Metode Riset : Aplikasinya Dalam Pemasaran. Rineka Cipta. Jakarta

Zamzami, Lizia dan A.Sayekti, 2010. Kinerja Pemasaran Jeruk Siam di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Pertanian Biofram Vol.XIII/N0.9.

787

KELAYAKAN FINANSIAL TEKNOLOGI PEMANFAATAN LUMPUR

LAUT DAN RUMPUT LAUT PADA USAHATANI BAWANG MERAH DENGAN POLA KEMITRAAN DI LAHAN GAMBUT

KALIMANTAN BARAT

Dadan Permana1), Azri1), Muhammad Hatta1)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Jalan Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Pontinak Utara, Pontinak, Kalimantan Barat

Telp. (0561) 882069, Faks (0561) 883883

ABSTRAK

Lahan gambut merupakan lahan suboptimal yang dalam pemanfaatannya memerlukan perlakuan tambahan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media tanam yang baik, khususnya untuk usahatani bawang merah. Teknologi pemanfaatan rumput laut dan lumpur laut untuk memperbaiki ketersedian hara di tanah gambut telah dilakukan oleh petani dan menunjukan hasil positif, dimana ada peningkatan produksi akibat penambahan lumpur laut dan rumput laut. Budidaya tanaman di lahan gambut memerlukan biaya yang cukup tinggi, namun pada pelaksanaanya, petani bermitra dengan pedagang sebagai pemilik modal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan finansial dari usahatani bawang merah yang memanfatkan lumpur laut dan rumput laut dengan pola usaha kemitraan. Analisis dilakukan dengan metode anggaran parsial. Dari hasil analisis usahatani bawang merah diketahui bahwa semua usahatani bawang merah layak untuk diusahakan karena memilki nilai R/C ratio lebih dari 1 atau pada kisaran 1,04-1,35. Sementara dari hasil analisis anggaran parsial, usahatani bawang merah yang hanya menambahkan rumput laut tidak layak untuk diusahakan karena dengan adanya penambahan biaya produksi tidak dapat meningkatkan penambahan penerimaan produksi. Teknologi penambahan lumpur laut pada usahatani bawang merah merupakan teknologi awal yang dapat diterapkan di petani karena dapat meningkatkan produksi yang nyata dengan perubahan penambahan biaya yang tidak terlalu tinggi dari perlakuan yang biasa dilakukan petani, Tahap selanjutnya petani dapat mengembangkan ketahap penambahan lumpur laut dan rumput laut. Pada tahap awal, kemitraan merupakan cara mengatasi masalah kekurangan modal di tingkat petani. Kata kunci: Lahan gambut, Bawang Merah, Lumpur laut, Rumput Laut, Kemitraan.

PENDAHULUAN

baik dengan pola usaha mandiri maupun pola usaha kemitraan. Kebutuhan dan daya

beli bawang merah yang tinggi di Kalimantan Barat mengakibatkan bawang merah menjadi salah satu sayuran yang diprediksi menjadi penyebab terjadinnya inflasi. Hal ini terjadi karena ketersedian bawang merah di Kaliamnatan Barat tidak dapat memenuhi keperluan konsumen. Sehingga sebagian besar bawang merah yang ada di Kalimantan Barat di datangkan dari pulau Jawa, akibatnya, harga bawang merah di Kalimantan Barat menjadi sangat mahal daripada komoditas sayuran yang lainnya. Bawang merah banyak diperlukan masyarakat karena berfungsi sebagai penyedap masakan dan bahan obat tradisional untuk meningkatkan kesehatan sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Mahmoudabadi & Nasery, 2009). Banyak hasil peneliti yang melaporkan bahwa bawang merah mengandung (Leelarungrayub et al., 2006), antivirus (Ashrafi et al., 2004), antimikrobia dan antidiabetik (Adeniyi & Anyiam, 2004).

788

Sebagian besar petani sayuran di Kalimantan Barat memanfaatkan lahan gambut untuk budidaya tanaman sayuran. Sentral budidaya tanaman sayuran di lahan gambut di Kalimantan Barat berada di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Mempawah. Kendala tanah gambut menjadikan produksi bawah merah tidak dapat mencapai potensi hasilnya. Hasil pengujian adaptasi di lahan gambut di Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Kalbar menunjukkan bahwa varietas Moujung dan Semenep masing-masing menghasilkan bobot kering panen 11,10 dan 12,43 t/ha (Purbiati, 2010). Bobot kering panen tanaman bawang merah yang ditanam di lahan gambut akan mengalami penyusutan sebesar 50 % pada kondisi kering jemur sebelum siap dipasarkan. Produktivitas beberapa varietas bawang merah di tanah gambut yang belum mencapai potensi hasilnya disebabkan karena beberapa sifat tanah gambut yang menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman bawang merah. Siswadi (2006) menyatakan bahwa bawang merah akan tumbuh baik pada tanah dengan kisaran pH 5,8-7,0. Tanah gambut sebagian besar mempunyai pH (<5.12) dan kandungan hara rendah(Sabiham, 2010 dan Sabiham et al., 2012). Menurut Masud et al. (2011) dan Abat et al. (2012) unsur hara K, S, Zn dan Cu jumlahnya sangat rendah di tanah gambut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Rumput laut dan lumpur laut merupakan sumberdaya lokal yang dijadikan biostimulan untuk meningkatkan hasil produksi bawang merah yang ditanam di lahan gambut.

Biostimulan dari ekstrak rumput laut mengandung unsur hara, asam amino, sitokinin, auksin, laminaran, fukoidan, alginat dan betain yang memacu metabolism tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman(Khan et al., 2009).

Lumpur laut merupakan hasil endapan laut yang tersebar luas di pesisir pantai dan keberdaannya sangat mengganggu proses transportasi kapal dan perahu-perahu nelayan karena menyebabkan pendangkalan di pesisir pantai. Hasil penelitian Suswati (2009) menunjukkan bahwa lumpur laut sebagai amelioran mampu menggantikan peran kapur dalam meningkatkan pH dan kejenuhan basa (KB) di tanah gambut. Hal ini merupakan penghematan yang cukup signifikan karena kapur pertanian di Kalimantan Barat harganya cukup mahal, sulit diperoleh dan kurang efisien karena tingkat residunya rendah (Suswati dan Heny, 2010).

Budidaya bawang merah di Kalimantan Barat memerlukan biaya yang tinggi, khususnya di lahan gambut. Namun demikian, sebagian besar petani sayuran di lahan gambut Kalimantan Barat dalam pelaksanaan budidayanya, bermitra dengan pedagang pengumpul sebagai pemilik modal. Hafsah. MJ. (2000) mendefinisikan bahwa Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh keuntungan bersama dengan perinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Pola kemitraan yang terjalin berlandaskan kepercayaan dimana pemilik modal menyediakan sarana produksi sedangkan petani menanggung biaya atas tenaga kerja dan proses budidaya. Bagi hasil antara pemitra dengan petani adalah 60% : 40%, dimana 60% adalah keuntungan bagian pemitra dan 40 % keuntungan bagian petani.

Dengan adanya penambahan perlakuan lumpur laut dan rumput laut pada budidaya bawang merah dan adanya pola kemitraan antara pemitra dengan petani, ada aspek yang perlu di kaji lebih lanjut, aspek tersebut terkait pengaruh penambahan perlakuan lumpur laut dan rumput laut terhadap nilai penambahan biaya, nilai peningkatan hasil produksi dan nilai keuntungan ditinjau dari aspek finansial, dan pengaruhnya pada pola kemitraan yang telah terbentuk. Tulisan ini bertujuan memberikan informasi terkait kelayakan finasial usahatani bawang merah dengan menggunakan teknologi petani saat ini dan alternatip teknologi lumpur laut dan rumput laut ditinjau dari aspek kelayakan finansial

789

Jumlah Penerimaan

Jumlah Biaya

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala atau peristiawa yang sekarang dilakukan untuk menggambarkan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan fenomena yang diselidiki. Daerah yang menjadi lokasi pengambilan sampel diambil secara disengaja (purposive sampling) yaitu di lahan petani bawang merah sebagai tempat pengkajian teknologi spesifik lokasi pemanfaatan biostimulan lumpur laut dan rumput laut untuk meningkatkan produktivitas bawang merah di lahan suboptimal mendukung pengembangan kawasan hortikultura di Kalimantan Barat. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari dinas-dinas terkait dan BPS sebagai data dukung dan data primer dikumpulkan dengan wawancara dengan petani dan pedagang sebagai responden dan pelaku usaha yang bermitra. Analisis usaha tani adalah suatu perhitungan yang digunakan untuk mengukur seberapa besar hasil yang dapat dicapai dari suatu usaha tani dalam satu waktu tertentu, adapun indikator yang dianalisis adalah besaran biaya produksi dan besaran biaya tenaga kerja terhadap nilai produksi untuk mendapatkan variabel penerimaan produksi, keuntungan dan R/C ratio. Adapun rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah: Biaya dihitung dengan rumus TC = FC + VC TC : Total Cost/Total biaya FC : Fixed Cost/Biaya tetap VC : Variable Cost/Biaya Variabel Besarnya penerimaan ditingkat usaha di dihitung dengan menggunakan rumus : TR = Y x Py Keterangan : TR : Penerimaan di tingkat usaha Y : Jumlah Produksi Py : Harga Besarnya keuntungan didihitung dengan menggunakan rumus: π = TR – TC Keterangan : π :Total Keuntungan total usaha TR : Total Revenue(total penerimaan) TC : Total Cost(total biaya) Besaran R/C ratio dihitung dengan menggunakan rumus :

R/C= Jika diperoleh : Nilai R/C > 1, maka usaha tersebut layak Nilai R/C ≤1, maka usaha tersebut belum atau tidak layak

Analisis data menggunakan analisis anggaran parsial (Partial Budgeting Analysis), dimana analisis anggaran parsial adalah analisis pengambilan keputusan untuk perencanaan, digunakan untuk membandingkan biaya dan penerimaan serta perubahan yang terjadi dari satu alternative dengan alternative yang lainnya (Amir P. dan Hendrik C.K. 1989), (Kay. R.D., W.M. Edward and P. A. Duffy. 2008). Menurut Horton. D. (1982), Soetiarso, T.A, et,al.(2006) Partial Budgeting Analysis dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

∆ NI = ∆TR - ∆VC…………………1 MRR= ∆NI........................................2

790

∆VC ∆ NI : Perubahan laba bersih ∆TR : Perubahan total penerimaan ∆VC : Perubahan biaya variable MRR : Tingkat pengembalian Kriteria kelayakan :

- Jika ∆ NI < 0, teknologi baru tidak memberikan nilai tambah, - Jika Jika ∆ NI >0, ∆VC ≤ 0 maka teknologi baru meberikan nilai tambah, - Jika ∆ NI >0, ∆VC> 0 dan MRR ≥ 1 maka teknologi baru memberikan nilai tambah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Usahatani Tabel 1. Analisis Usahatani Setiap Perlakuan

No Perlakuan Produksi (Kg)

Harga (Rp)

Penerimaan (Rp)

Total Biaya (Rp)

Keuntungan (Rp)

R/C Ratio

1 Lumpur laut dan Rumput laut

7976 16.000,-

127.616.000,- 94.536.000,-

33.080.000,-

1,35

2 Lumpur Laut 6957 16.000,-

111.319.000,- 89.436.000,-

21.876.000,-

1,24

3 Rumput Laut 5990 16.000,-

95.840.000,- 92.136.000,-

3.704.000,-

1,04

4 Tidak menggunakan rumput laut dan lumpur laut

6112 16.000,-

97.792.000,- 87.036.000,-

10.756.000,-

1,12

Sumber: analisis data

Hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa produksi dari masing-masing usahatani sangat bervareasi, tigkat produksi tertinggi pada usahatani dengan menambahkan lumpur laut dan rumput laut dengan rata-rata produksi dalam satu hektar mencapai 7,98 ton/ha, sedangkan produksi terendah pada usahatani bawang merah yang hanya menambahkan rumput laut sebesar 5,99 ton/ha. Kondisi ini memperlihatkan bahwa penambahan lumpur laut berperan penting pada lahan gambut dimana lumpur laut memberikan pengaruh positif dalam mempersipakan lahan sebagai media tanam sehingga lahan tersebut benar-benar siap untuk dijadikan media tanamam yang baik. Hal ini terlihat bukan hanya pada budidaya tanaman yang menggunakan lumpur laut dan rumput laut tetapi pada budidaya tanaman yang hanya menggunakan lumpur laut, nilai produksinya masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut dan yang hanya menggunakan rumput laut. Penggunaan rumput laut tidak terlihat signifikan dapat meningkatkan produksi, hal ini terlihat dari hasil peroduksinya tidak bisa lebih baik dari yang tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut. Namun pada perlakuan yang menggunakan lumpur laut dan rumput laut efek penggunaan rumput laut terlihat memberikan peran nyata karena dapat menambah produksi dibandingkan dengan yang hanya menggunakan lumpur laut.

Tingkat produksi merupakan komponen dasar untuk mendapatkan informasi lainnya terkait penerimaan dan keuntungan yang diterima petani. Dengan adanya penambahan produksi dari masing-masing penambahan kompenen input, mempengaruhi besaran penerimaan yang didapat petani ketika harga komoditas dihitung sama. Penerimaan dihitung berdasarkan hasil produksi dikalikan harga jual yang berlaku. Diketahui ketika harga bawang merah sebesar Rp. 16.000,-/Kg maka penerimaan terbesar sudah tentu akan

791

didapat oleh usahatani yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi yaitu usahatani yang menggunakan lumpur laut dan rumput laut, dengan penerimaan sebesar Rp. 127.616.000,-. Tingkat penerimaan terendah didapat oleh yang menghasilkan produksi rendah yaitu yang hanya menggunakan lumpur laut sebesar Rp. 95.840.000,-.

Komponen lain yang dianalisis dalam usahatani adalah biaya produksi. Biaya produksi adalah segala macam biaya yang dikeluarkan dalam proses usahatani bawang merah. Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi dihitung berdasarkan Total Biaya. Biaya produksi untuk usahatani bawang merah yang menggunakan lumpur laut dan rumput laut lebih besar dibandingkan biaya yang lainnya yaitu sebesar Rp. 94.536.000,-. Penambahan biaya dikarenakan adanya penambahan biaya untuk membeli lumpur laut serta rumput laut dan penambahan biaya tenaga kerja untuk aplikasi komponen lumpur laut dan rumput laut. Komponen biaya terkecil terdapat pada usahatani yang tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut sebesar Rp. 87.036.000,-. Hal ini dikarenakan tidak ada penambahan input tambahan dan penambahan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani sebagai penambahan teknologi baru dalam usahatani bawang merah.

Dari data penerimaan dan biaya produksi, analisis dapat dilanjutnkan dengan menghitung keuntungan yang akan didapat petani dari usahatani yang menambahkan kompenan teknologi baru ataupun yang bisanya petani lakukan. Keuntungan terbesar didapat oleh usahatani yang menambahakan rumput laut dan lumpur laut dengan besaran keuntungan Rp. 33.080.000,-/musim/Ha. Keuntungan pada usahatani dengan penambahan lumpur laut dan rumput laut menjadi lebih besar karena dipengaruhi oleh tingkat produksi dan penerimaan usahataninya lebih besar dibandingkan usahatani yang lainnya. Keuntungan usahatani dengan menambahakan rumput laut mendapat keuntungan yang lebih kecil dibandingan dengan usahatani yang lainnya yaitu memiliki keuntungan sebesar Rp. 3.704.000,-/musim/Ha. Keuntungan pada usahatani bawang merah dengan menggunakan rumput laut dipengaruhi oleh biaya produksinya yang besar sehingga mempengaruhi keuntungan dari usahataninya.

Ditinjau dari nilai R/C ratio, dengan asumsi bahwa nilai R/C ratio > 1 maka usahtani yang dilakukan layak untuk diusahakan, maka berdasarkan analisis yang telah dilakukan semua usahatani baik yang menggunakan lumpur laut dan rumput laut, yang menggunakan lumpur laut, yang menggunakan rumput laut dan yang tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut berada pada kisaran R/C ratio 1,04 s.d 1,35 dan lebih besar dari 1, maka semua semua usahatani layak untuk disuhakan. R/C ratio didapat dari perhitungan penerimaan/pendapatan dibagi total biaya. R/C ratio > 1 dapat diasumsikan ketika suatu usahatani mengeluarkan biaya Rp. 1,- maka akan mendapatkan penerimaan atau pendapatan yang lebih besar dari Rp.1,-, sehingga ketika suatu usahatani memiliki nilai R/C ratio 1,35 artinya ketika usahtani tersebut mengeluarkan biaya Rp. 1,- maka akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar 1,35 rupiah.

Analisis Aggaran Parsial (Partial Budgeting Analysis)

Analisis anggaran partial (partial budgeting analysis) digunakan untuk menentukan sebuah keputusan yang diakibatkan adanya teknologi baru yang berpengaruh kepada nilai pendapatan dan biaya produksi. Teknologi baru yang digunakan adalah Penambahan lumpur laut dan rumput laut, penggunaan lumpur laut dan penggunaan rumput laut terhadap tekhnologi lama yang tidak menggunakan lumpur laut dan lumpur laut.

792

Tabel 2. Keragaan hasil analisis anggaran parsial perbandingan masing-masing usahatani

NO PERBANDINGAN TEKNOLOGI

PERUBAHAN TOTAL

PENERIMAAN (Rp)

PERUBAHAN BIAYA

VARIABEL (Rp)

PERUBAHAN LABA

BERSIH (Rp)

MRR

1 Penggunaan Lumpur laut terhadap tanpa menggunkan lumpur laut dan rumput laut

13,520,000 2,400,000 11,120,000 4.63

2 Penggunaan lumpur laut dan rumput laut terhadap tanpa menggunakan lupur laut dan rumput laut

29,824,000 7,500,000 22,324,000 2.98

3 Penggunaan lumpur laut dan rumput laut terhadap hanya menggunakan lumpur laut

16,304,000 5,100,000 11,204,000 2.20

Sumber : Analisis data Pada tabel 2, perubahan total penerimaan di dapat dari penjumlahan peningkatan

penerimaan dengan pengurangan atau penghapusan biaya yang disebabkan teknologi baru. Sedangkan perubahan biaya variabel diperoleh dari penjumlahan kenaikan biaya ditambah pengurangan atau penghapusan pendapatan akibat adanya teknologi baru. Perubahan laba bersih didapat dari pengurangan total keuntungan dengan total kerugian. Dengan adanya penambahan lumpur laut dan rumput laut berpengaruh nyata terhadap adanya penambahan produksi sehingga meningkatkan penerimaan dengan kisaran MRR (marginal rate of return)/tingkat pengembalian sebesar 2.20 s.d 2.98 terhadap usahatani yang lainnya. Pada kondisi ini usahatani yang menggunakan rumput laut dan lumpur laut layak dikembangkan dari usahatani yang lainnya karena memiliki nilai tingkat pengembalian atau MRR ≥ 1, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada usahatani penambahan lumpur laut dan rumput laut terhadap usahatani tanpa menggunakan lumpur laut dan rumput laut setiap penambahan modal sebesar Rp 1,- akan menambah penerimaan sebesar Rp. 2,98,-.

Usahatani yang hanya menggunakan lumpur laut sebagai teknologi baru dibandingan dengan yang biasa petani lakukan yaitu tanpa menggunakan rumput laut dan lumpur laut layak untuk diusahakan karena memiliki nilai MRR ≥ 1 atau 4.63, sehingga dapat diasumsikan setiap modal yang dikeluarkan sebesar Rp. 1,- akan menambah penerimaan sebesar Rp. 4,63,-.

Perubahan total penerimaan terjadi karena adanya peningkatan produksi yang dihasilkan akibat teknologi baru, sementara penambahan biaya terjadi karena adanya penambahan biaya pembelian bahan dan penambahan biaya tenaga kerja.

Teknologi yang hanya menggunakan rumput laut tidak dapat memberikan penambahan penerimaan yang nyata terhadap teknologi sebelumnya (tanpa lumpur laut dan rumput laut) sehingga secara analisis anggaran partial tidak layak untuk diusahakan karena MRR ≤ 1. Keragaan perubahan nilai penerimaan dapat dilihat pada grafik 1.

793

Grafik 1. Perubahan penambahan biaya terhadap penerimaan

Garafik 1 menunjukan tingkat penerimaan yang didapat akibat penambahan lumpur

laut (LL), lumpur laut dan rumput laut (LL+RL), rumput laut (RL) terhadap tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut (TLL+TRL). Penerimaan terendah diperoleh oleh usahatani yang hanya menggunakan rumput laut dan berada dibawah usahatani yang tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut, sehingga usahatani yang hanya menggunakan rumput laut terdominasi oleh opsi teknologi yang lainnya.

Pola Kemitraan Antara Petani Dengan Pedagang Pengumpul Sebagai Pemitra Pola kemitraan terbentuk karena ada kepentingan bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang bermitra. Pada usahatani sayuran di lahan gambut Kalimantan Barat, sebagian besar petani bermitra dengan pedagang pengumpul. Terdapat keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh kerjasama seperti ini, Keuntungannya petani memiliki kepastian pasar karena komoditas-komoditas yang diusahakan petani pasti dibeli oleh pengumpul sebagai mitra. Namun disisi lain petani akan dirugikan karena pedagang pengumpul sebagai mitra memonopoli pasar dan harga, sehingga petani tidak dapat menjual hasil usahataninya ke pengumpul lain. Kerjasama yang terjalin melibatkan petani yang bertanggung jawab atas biaya usaha tenaga kerja dan pelaksanaan budidaya dilapangan, sementara pedagang pengumpul selaku mitra bertanggung jawab atas penyediaan sarana produksi yang diperlukan petani untuk pelaksanaan produksi. Kerjasama kemitraan dilaksanakan tidak dalam bentuk pemberian uang namun dalam bentuk penyedian barang, Seperti contoh pemitra menyediakan bibit, pupuk dan obat-obatan yang diperlukan petani sementara petani menyedikan hasil panen untuk dijual lagi ke pedagang pengumpul sebagai mitra.

Dalam pola kemitraan antara petani bawang merah dengan mitra, keuntungan dari hasil produksi dibagi dengan pola sistem bagi hasil keuntungan sebesar 40:60, dimana 40 bagian untuk petani dan 60 bagian untuk mitra. Namun demikian, dengan adanya pola kemitraan antara petani dan mitra, masing-masing akan memiliki nilai keuntungan yang berbeda dari modal yang masing-masing keluarkan. Tabel 3. menggambarkan pembagian keuntungan yang didapat masing-masing pemitra.

97,792,000

111,312,000

95,840,000

127,616,000

85,000,000

90,000,000

95,000,000

100,000,000

105,000,000

110,000,000

115,000,000

120,000,000

125,000,000

130,000,000

85,000,000 89,000,000 93,000,000 97,000,000

penerimaan

MRR 2.20

MRR 4,63

LL+RL

LL

RL TLL+TRL

794

Tabel 3. Gambaran pembagian keuntungan yang didapat masing-masing pemitra berdasarkan modal yang dikeluarkan

NO Perlakkuan Modal Mitra (Rp)

Modal Petani (Rp)

Persentase Modal

Mitra (%)

Petani (%)

1 Tanpa rumput laut dan lumpur laut

51.386.000 35.650.000 59 41

2 Rumput laut 53.886.000 39.250.000 57 43 3 Lumpur laut 53.786.000 35.650.000 60 40 4 Rumput laut dan lumpur

laut 55.286.000 39.250.000 58 42

Sumber: analisis data Dari data tabel 3 terlihat bahwa pola bagi hasil keuntungan atas modal yang

dikeluarkan dengan pola 40 bagian untuk petani dan 60 bagian untuk mitra sangat tidak proporsional. Dimana pada tabel 3 terlihat bahwa ada kecenderungan persentase modal yang dikeluarkan mitra lebih kecil dari 60%, dan modal yang dikeluarkan petani lebih besar dari 40%, sementara bagi hasil atas keuntungan terbalik dengan kondisi pemberian modal dimana petani mendapat bagian lebih kecil yaitu 40 % dan mitra yang mendapat 60 %. Disisi lain pedagang pengumpul sebagai mitra mengatur atau menentukan harga beli dari petani, sehingga ketika harga beli tidak sesuai dengan harga beli pasar maka petani akan lebih dirugikan lagi. Pola kemitraan bagi hasil 40:60 ditinjau dari modal yang dikeluarkan jelas sangat merugikan petani. Hanya satu perlakuan yang sesuai dengan pola bagi hasil 40:60 yaitu pada pola kemitraan untuk usahatani yang menggunakan lumpur laut. Kondisi ini perlu dipahami, baik oleh petani maupun pemitra, sehingga pola kerjasama yang lebih baik sebetulnya pola kerjasama yang diawal harus disepakati bahwa: 1) harga beli harus ditentukan atas harga beli yang berlaku saat transaksi atau megikuti harga pasar yang berlaku saat transaksi, 2) keuntungan bersih dibagi sesuai porsi besaran modal yang masing-masing keluarkan.

Kondisi lain yang dapat menggambarkan seberapa besar keuntungan investasi yang ditanamkan adalah dengan membandingkan antara investasi yang ditanamkan dalam usahatani bawang merah terhadap investasi adanya penambahan teknologi baru. Perbandingan perubahan modal dan laba akibat perbandingan opsi teknologi dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perubahan biaya dan laba bagi Petani dan Mitra NO PERBANDINGAN OPSI TEKNOLOGI PETANI MITRA

Selisih Modal (Rp)

Selisih Laba (Rp)

MRR Selisih Modal (Rp)

Selisih Laba (Rp)

MRR

1 Penggunaan lumpur Laut terhadap Tanpa Lumpur Laut dan Rumput Laut

- 4,448,000 ∞ 2,400,000 6,672,000 2.78

2 Penggunaan lumpur laut dan rumput laut terhadap tanpa menggunakan lumpur laut dan rumput laut

3,600,000 8,929,600 2.48 3,900,000 13,394,000 3.43

3 Penggunaan lumpur laut dan rumput laut terhadap penggunaan lumpur laut

3,600,000 4,481,600 1.24 1,500,000 6,722,400 4,48

Sumber: analisis data

Ditinjau dari tabel 4, kerjasama yang lebih menguntungkan kedua belah pihak adalah kerjasama usahatani bawang merah dengan menggunakan lumpur laut dan rumput hal ini dikarenakan kedua belah pihak akan diuntungkan. Investasi pada usahatani bawang merah dengan menggunakan rumput laut untuk petani maupun mitra sebaiknya tidak dilakukan karena dari data hasil perhitungan, teknologi penggunaan rumput laut

795

terdominasi oleh opsi teknologi yang lainnya. Bagi petani investasi pada usahtani dengan menggunakan lumpur laut sangat menguntungkan dibandingkan dengan yang dipakai saat ini (tanpa lumpur laut dan rumut laut) karena dapat meningkatkan laba sebesar Rp. 4,448,000 juta/Ha/musim tanpa adanya peningkatan biaya sama sekali. Namun, bagi mitra investasi usahatani dengan penambahan lumpur laut dan rumput laut lebih menguntungkan dengan MRR 4,48, asumsinya setiap penambahan biaya Rp. 1,- akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 4,48,-. Perubahan teknologi dari teknologi tanpa lumpur laut dan tanpa rumput laut ke teknologi penambahan lumpur laut dan rumput laut atau ke teknologi penambahan lumpur laut baik untuk petani maupun untuk mitra sangat menguntungkan, namun setidaknya pada tahap awal, petani akan lebih memilih teknologi penambahan lumpur laut, karena penggunaan lumpur laut tidak membutuhkan tambahan biaya tenaga kerja yang menjadi beban petani, sedangkan perubahan dengan menggunakan lumpur laut dan rumput laut memerlukan tambahan biaya tenaga kerja untuk aplikasi rumput laut. Memilih investasi usaha tani dengan menggunaan lumpur laut pada usahatani bawang merah dapat memberikan keuntungan untuk mitra, dimana ketika mitra menambahkan modalnya sebesar Rp. 1,- maka penambahan keuntungan yang akan di dapat mitra sebesar Rp. 2,78,-. Sudah tentu, bila Petani dan Mitra sudah menguasai teknologi lumpur laut dan meyakini tambahan manfaatnya maka pada tahap selanjutnya dapat menerapkan penggunaan lupur laut dan rumput laut.

Untuk mengukur keuntungan investasi, alat analisis lainnya yang dapat digunakan adalah dengan membandingkan keuntungan yang diperoleh dari investasi suatu usaha dengan usaha yang lainnya. sebagai contoh, investasi usahatani dibandingkan dengan investasi pinjaman yang dilakukan koperasi. Perbandingannya terdapat pada tabel 5. Tabel 5. Perbandingan investasi

NO Opsi Teknologi Nilai Keuntungan Investasi UsahaTani Bawang Merah

(Rp/bulan)

Nilai Keuntungan Investasi Peminjaman Uang dengan

suku bunga 1.4 % (Rp/bulan)

Petani Mitra Petani Mitra

1 Tidak menggunakan lumpur laut dan rumput laut

2,151,200 3,226,800 499,100 719.404

2 Menggunakan lumpur laut dan rumput laut

6,616,000 9,924,000 549,500 774,004

3 Menggunakan lumpur laut

4,375,200 6,562,800 499,100 753,004

Sumber : analisis data Dari tabel 5 terlihat jelas bahwa investasi pada usahatani bawang merah lebih

menguntungkan dibandingkan dengan dengan investasi peminjaman uang dengan suku bunga 1.4 % seperti yang dilakukan koperasi yang berada disekitar lokasi penelitian. Namun demikian, ada hal yang harus menjadi perhatian dimana risiko dari investasi pada usahatani lebih besar di bandingan investasi meminjamkan uang. Risiko terbesar adalah gagal panen baik yang diakibatkan oleh bencana alam ataupun gagal panen akibat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), oleh sebab itu langkah yang tepat dalam investasi usahatani adalah mengasuransikan kegiatan usahatani yang kita lakukan sehingga ketika terjadi gagal panen modal usahatani akan tergantikan oleh asuransi.

796

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Usahatani bawang merah layak untuk dilakuan karena nilai R/C ratio untuk setiap opsi

teknologi lebih dari 1, sementara keuntungan, nilai produksi dan biaya produksi tertinggi didapat oleh usahatani bawang merah dengan menambahkan rumput laut dan rumput laut.

Dari analisis anggaran parsial, usahatani bawang merah dengan menambahkan rumput laut tidak layak untuk diusahakan. Teknologi baru yang dapat diterima dan layak untuk diusahkan diantaranya adalah usahatani bawang merah dengan menambahkan lumpur laut dan rumput laut, dan usahatani bawang merah yang hanya menambahkan lumpur laut.

Usaha kemitraan menguntungkan para pihak (Petani dan Mitra). Kemitraan bermanfaat mengatasi kendala modal Petani. Dengan bermitra tidak menutup kemungkinan usahatani bawang merah akan berkembang di Kalimantan Barat.

Analisis investasi untuk usahatani bawang merah baik yang menambahkan lumpur laut dan rumput laut dan yang menambahkan lumpur laut saja, layak untuk diusahakan. Namun demikian, pada tahap awal Petani dan Mitra akan lebih rasional memilih teknologi penambahan lumpur laut. Pengalaman dalam mengadopsi lumpur laut akan menjadi dasar untuk mengadopsi lumpur laut dan rumput laut.

B. Saran

Kementerian Pertanian perlu memfasilitasi pengembangan usahatani bawang merah di lahan gambut yang selama ini terabaikan. Melalui kegiatan pengembangan kawasan hortikultura, kementerian pertanian dapat memasukan komponen teknologi lumpur laut dan rumput laut sebagai alternative teknologi spesifik lokasi untuk pengembangan usaha tani bawang merah di lahan gambut yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian maupun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang ada di daerah, perlu bersinergi untuk mengembangkan usahatani bawang merah dengan menambahkan lumpur laut dan rumput laut atau dengan hanya menambahkan lumpur laut, melalui kegiatan demplot di lokasi-lokasi sentral produksi tanaman sayuran sehingga teknologi bisa cepat diadopsi oleh masyarakat. Pengembangan dilakukan bertahap, diawali dengan introduksi pemanfaatan lumpur laut, dan sebaiknya tidak langsung ke introduksi pemanfaatan lumpur laut dan rumput laut.

Pemerintah harus dapat memfasilitasi petani untuk mendapatkan Bapak angkat sebagai pemitra karena usahatani bawang merah memerlukan biaya yang tinggi sehingga petani perlu pihak lain untuk membantu dalam permodalan.

Perlu adanya lembaga yang dapat melindungi investasi dalam usahatani dalam hal ini adalah asuransi usahatani yang dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap kegagalan usahatani. Dengan adanya lembaga asuransi usahatani memungkinkan akan banyak investor yang mau berinvestasi karena ada jaminan bahwa kegagalan panen akan diganti oleh asuransi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti menyampaikan terima kasih kepada tim kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi pemanfaatan biostimulan untuk meningkatkan produktivitas bawang merah di lahan suboptimal mendukung pengembangan kawasan hortikultura di Kalimantan Barat.

797

DAFTAR PUSTAKA

Mahmoudabadi, A. Z. and M. K. G. Nasery. 2009. Anti fungal activity of shallot, Allium ascalonicum Linn.(Liliaceae), in vitr. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 3(5), pp. 450-453.

Leelarungrayub N, V. Rattanapanone, N. Chanarat, and J. M. Gebicki (2006). Quantitative evaluation of the antioxidant properties of garlic and shallot preparations. Nutrition. 22: 266-274.

Ashrafi F, S. A. Akhavan, and A. Kazemzadeh. (2004). Effect of Aqueous Extract of Shallot (Allium Ascalonicum) on Inhibition of Growth of Pseudomonas aeroginosa. Iranian. J. Pharmaceut. Res., Supplement 2: 711-712. The Second International Congress on Traditional Medicine and Materia Medica. 4-7 Oct., 2004, Tehran, Iran.

Adeniyi B. A, and F. M. Anyiam. 2004. In Vitro Anti-Helicobacter Pylori Potential of Methanol Extract Of Allium ascalonicum Linn. (Liliaceae) Leaf: Susceptibility and Effect on Urease activity. Phytother. Res. 18: 358-361.

Rajiman. 2010. Respon pertumbuhan bawang merah tiron pada pemupukan anorganik di lahan pasir pantai. Jurnal Agrisistem, Vol. 6 No.1: 35 - 44.

Hafsah. MJ. 2000. Kemitraan usaha konsepsi dan strategi. PT Penebar Swadaya. Jakarta

Purbiati, T, A. Umar dan A. Supriyanto. 2010. Pengkajian adaptasi varietas-varietas bawang merah pada lahan gambut di Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura 25-26 November 2010 di Kampus Sudirman, Universitas Udayana, Bali: 1 – 8.

Siswadi. 2006. Budidaya tanaman Sayuran. Citra Aji Parama. Yogyakarta. 44 p.

Sabiham S. 2010. Properties of indonesian peat in relation to the chemistry of carbon emission. proc.of int. workshop on evaluation and sustainable management of soil carbon sequestration in asian countries. Bogor, Indonesia Sept. 28-29, 2010.

Sabiham S, SD Tarigan, Hariyadi, I Las, F. Agus, Sukarman, P Setyanto and Wahyunto. 2012. A case study in oil palm plantations in west and central kalimantan, indonesia. Pedologist: 426-434.

Masud MM, M Moniruzzaman and MM Rashid. 2011. Management and conservation of organic peat soils for sustainable crop production in Bangladesh. Bull. Inst. Trop. Agr., Kyushu Univ. 34: 93-101.

Abat M, MJ McLaughlin, JK Kirby, SP Stacey. 2012. Adsorption and desorption of copper and zinc in tropical peat soils of Sarawak, Malaysia. Geoderma 175–176: 58–63.

Khan, W., Usha, P.R., Subramanian, S., Jithesh, M.N., Rayorath, P., D. Mark Hodges, P.D., Critchley, A.T., Craigie, J.S., Jeff Norrie, J. and Prithiviraj, B. 2009. Seaweed Extracts as Biostimulants of Plant Growth and Development. J Plant Growth Regul 28:386–399. DOI 10.1007/s00344-009-9103-x.

Matysiak, K., Kaczmarek, S. and Krawczyk, R. 2011. Influence of Seaweed Extracts and Mixture of Humic Acid Fulvic Acids on Germination and Growth of Zea mays L. Acta Sci Pol Agri 10:33-45 p.

798

Suswati, D. 2012. Pemanfaatan Beberapa Amelioran untuk Meningkatkan Kelas Kesesuaian Lahan dalam Pengembangan Jagung di Rasau Jaya III Pontianak. Disertasi. Faferta UGM. Yogyakarta.

Suswati D dan S Heny. 2010. Pengaruh lumpur laut terhadap ketersediaan kation-kation basa pada tanah gambut untuk budidaya tanaman melon (Cucumis melo L.) Jurnal Agripura 1 (2). Faperta UNTAN.

Amir P. and Hendrik C.K. 1989. Conducting On Farm animal Research: Procedures and Economic Analysis. Winrock International Institute For Agricultural Development and International Development Research Centre.

Kay. R.D., W.M. Edward and P. A. Duffy. 2008. Farm Management. Sixth Edition. McGawhill International Edition.

Horton. D. 1982. Partial Budget Analysis for on-farm potato research: International potato centre (CIP). Technical Information Bulletin 6:9-11.

Soetiarso, T.A, M.Ameriana, L. Prabaningrum dan N. Sunarni. 2006. Pertumbuhan, Hasil dan Kelayakan Finansial Menggunakan Mulsa dan Pupuk Buatan Pada Usahatani Cabai Merah di Luar Musim. Jurnal Hortikultura.16(1):63-7

799

DAMPAK PENERAPAN PERTANIAN MODERN MELALUI SOP GAP CABAI DI CIAMIS TERHADAP FLUKTUASI HARGA CABAI DI INDONESIA DALAM ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Arsanti, IW, Nugrahapsari, RA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jl. Tentara Pelajar No 3C, Bogor

ABSTRAK Cabai merupakan komoditas penyebab inflasi, dimana pada komoditas tersebut

terdapat permasalahan ketidakstabilan produksi, permasalahan pasca panen dan penyimpanan. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas dan ketidakstabilan harga sehingga melemahkan daya saing Indonesia dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Untuk itu perlu dilakukan upaya stabilisasi harga melalui penerapan pertanian modern, yaitu dengan melaksanakan SOP dalam rangka GAP cabai yang telah memasukkan inovasi Badan Litbang Pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui dampak penerapan SOP GAP terhadap produksi cabai di Ciamis dan (2) mengkaji dampak penerapan SOP GAP cabai di Ciamis terhadap fluktuasi harga cabai. Penelitian dilakukan di Ciamis dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produksi cabai dan telah ditetapkan sebagai kawasan cabai berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 45/Kpts/PD.200/1/2015. Data yang digunakanadalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan diskusi dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri 25 orang petani cabai. Data sekunder adalah berupa data harga harian cabai selama 2010-2015 (time series). Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan membandingkan fluktuasi harga cabai sebelum dan setelah penerapan SOP GAP. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kualitas produk setelah penerapan pertanian modern melalui SOP GAP. Penerapan pertanian modern melalui SOP GAP mampu menstabilkan harga cabai keriting pada tahun 2013, namun harga kembali bergejolak tinggi pada 2014 - 2015. Sedangkan pada cabai merah besar, penerapan SOP GAP belum mampu menstabilkan harga. Oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui insentif harga berdasarkan kualitas cabai agar SOP dan GAP cabai dapat diterapkan di sentra produksi cabai lain di Indonesia. Kata kunci: SOP, GAP, cabai, fluktuasi harga, Ciamis

PENDAHULUAN Cabai merupakan komoditas sayuran strategis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi

dan prospek pasar yang baik serta memberikan andil dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya (Sukadi 2007 dan Asih 2009). Oleh karena itu, komoditas ini menjadi salah satu komoditas prioritas Kabinet Kerja dalam program swasembada cabai berkelanjutan. Implementasi dari program swasembada ini adalah ditetapkannya cabai sebagai komoditas prioritas dan pengendali inflasi pada Program Pembangunan Pertanian 2015-2019 oleh Kementerian Pertanian. Hal ini dikarenakan komoditas ini memiliki andil sebagai penyebab inflasi dalam perekonomian Indonesia, dimana inflasi merupakan indikator penting dalam perekonomian dan terkait langsung dengan daya beli masyarakat.

Tingginya kontribusi cabai sebagai penyebab inflasi dapat dilihat dari tingginya fluktuasi harga pada komoditas ini, di mana pada komoditas tersebut masih terdapat permasalahan ketidakstabilan produksi, permasalahan pasca panen dan penyimpanan. Permasalahan produksi disebabkan karena meskipun cabai telah mengalami surplus produksi, namun surplus produksi tersebut tidak terjadi sepanjang tahun karena produksi

800

bulanan komoditas ini sangat fluktuatif, tergantung kepada iklim/musiman dan mudah rusak/busuk (Ariningsih dan Tentamia 2004). Disamping itu terdapat permasalahan pengelolaan pasca panen dan penyimpan yang belum baik, sehingga menimbulkan permasalahan fluktuasi pasokan dan harga. Fluktuasi harga ini mencerminkan adanya gejala pasar yang kurang konsisten terhadap pengaruh supplydemand komoditas terebut (Winarso 2003). Fluktuasi harga yang terlalu tinggi dan bersifatunpredictable inidapat meningkatkan volatilitas harga.

Permasalahan fluktuasi harga dan ketidakstabilan pasokan akan mempengaruhi daya saing cabai dalam menghadapi MEA. MEA merupakan suatu model integrasi ekonomi di kawasan ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama dengan tujuan untuk membangun kawasan ekonomi yang kompetitif, perekonomian yang adil dan terintegrasi dengan perekonomian dunia (Austria 2011, ASEAN 2008, Media Industri 2013, Chia 2013).Konsekuansinya adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan yang berhubungan dengan kesiapan dalam menghasilkan produk dan teknologi untuk menghadapi MEA agar komoditas cabai Indonesia dapat bersaing dengan cabai dari negara sesama ASEAN dan negara lain di luar ASEAN (Haryono et al. 2014).

Untuk itu perlu dilakukan upaya stabilisasi harga melalui penerapan pertanian modern, antara lain dengan melaksanakan SOP dalam rangka GAP untuk komoditas cabai yang telah memasukkan inovasi Badan Litbang Pertanian.Kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Ciamis sebagai salah satu sentra produksi cabai di Indonesia dimana dearah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan cabai berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 45/Kpts/PD.200/1/2015. MenurutUndang-undang Nomor : 13 tahun 2010 tentanghortikultura, kawasan hortikultura merupakan hamparan sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah, sosial budaya, maupun faktor infrastruktur fisik buatan. Pengembangan kawasan hortikultura merupakan jalan untuk mengintegrasikan pengembangan kawasan budidaya dan pasca panen primer hortikultura dengan kegiatan yang lebih hilir baik berupa perdagangan domestik dan internasional maupun industri pengolahan lebih lanjut, dimana salah satu kaidah dalam pengembangan kawasan adalah adanya penerapan SOP dalam rangka GAP.

Penerapan SOP GAP cabai di Ciamis ini merupakan salah satu bentuk pertanian modern yaitu suatu cara optimalisasi usahatani melalui penerapan teknologi pertanian inovatif dan tepat guna untuk menghasilkan cabai bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, di samping juga memperhatikan prinsip-prinsip kontinuitas dan keberlanjutan. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting dilakukan, yaitu untuk (1) mengkaji dampak penerapan SOP dan GAP terhadap produksi cabai di Ciamis dan (2) mengkaji dampak penerapan SOP GAP cabai di Ciamis terhadap fluktuasi harga cabai di Indonesia.

METODE ANALISIS Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis dengan pertimbangan bahwa lokasi

tersebut merupakan sentra produksi cabai di Indonesia dan telah ditetapkan sebagai kawasan cabai berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 45/Kpts/PD.200/1/2015.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan langsung kegiatan penerapan SOP GAP di Ciamis dan diskusi dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh 25 orang petani cabai. Pengamatan di lapang dilakukan untuk mengamati peubah: (1) pertumbuhan vegetatif tanaman cabai, (2) produksi cabai, dan (3) kejadian serangan hama penyakit. Data sekunder adalah berupa data harga harian cabai selama 2010-2015 (time series). Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan membandingkan fluktuasi harga cabai sebelum dan setelah penerapan SOP GAP.

Rancangan penelitian di lapang menggunakan: metode petak berpasangan yaitu membandingkan Teknologi Badan Litbang dan Budidaya Petani. Percobaan dilaksanakan di lahan milik petani di kecamatan Sindangkasih kabupaten Ciamis. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2015 sampai dengan Desember 2015. Luas lahan yang digunakan untuk percobaan adalah seluas 1500 m2, dengan pembagian penggunaan lahan menjadi 750 m2

801

untuk teknologi Balitbangtan, sedangkan luas lahan 750 m2 lainnya akan diaplikasikan teknologi yang biasa digunakan oleh petani. Varietas cabai merah yang digunakan adalah varietas Kencana dan Tanjung. Rancangan percobaan yang digunakan untuk membandingkan dua perlakuan adalah metode pengamatan berpasangan dengan dua kelompok perlakuan sebagai berikut: A. Perlakuan Balitbangtan yang terdiri dari penggunaan pupuk hayati (pupuk mikroba) +

pupuk sintetis NPK dengan dosis separuh (500 kg/ha) dari dosis yang direkomendasikan; B. Cara budidaya petani dengan dosis pupuk sintetis penuh yaitu 1000 kg/ha. Pupuk hayati

diaplikasikan sebanyak 5 kali yaitu pada waktu benih cabai disemaikan di persemaian, pada tanaman umur 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 minggu. Pupuk hayati tersebut sebelum diaplikasikan pada tanaman cabai merah dilakukan fermentasi terlebih dahulu selama 2-3 hari sebelum aplikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak SOP GAP Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Cabai di Ciamis

Secara umum kondisi pertumbuhan tanaman cabai di lapangan adalah baik dan pertumbuhannya sehat, baik pada tanaman cabai yang diberi perlakuan dengan teknologi Balitbangtan maupun yang menggunakan cara budidaya petani. Dampak SOP GAP dapat dilihat dengan membandingkan produksi cabai yang dihasilkan dengan teknologi Balitbangtan dan teknologi petani pada variabel: (1) pertumbuhan vegetatif tanaman cabai, (2) produksi cabai, dan (3) kejadian serangan hama penyakit.

Gambar 1. Pertumbuhan tinggi dan mahkota tanaman cabai pada perlakuan

Teknologi Balitbangtan dan Petani, Ciamis MT 2015

Dampak SOP GAP pada variabel pertumbuhan vegetatif tanaman cabai dapat diukur dengan mengamati pertumbuhan tinggi dan mahkota tanaman cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan teknologi Litbangmemberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan mahkota tanaman pada varietas Kencana, namun pada varietas Tanjung perlakuan pupuk hayati nampaknya tidak menunjukkan pengaruh pada tinggi dan mahkota tanaman cabai. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa varietas Kencana memperlihatkan tinggi tanaman yang relatif lebih tinggi daripada varietas Tanjung. Hal ini disebabkan karena varietas Tanjung secara genetis termasuk tanaman tidak terlalu tinggi. Namun dengan penerapan teknologi Litbang, varietas Tanjung memperlihatkan mahkota tanaman cabai yang relatif lebih lebar dibandingkan dengan teknologi petani. Kanopi tanaman cabai yang diberi perlakuan pupuk majemuk hayati memperlihatkan kanopi yang lebih lebar, hal ini berarti bahwa pupuk majemuk hayati dapat memberikan kesuburan yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman walaupun pada perlakuan tersebut pupuk NPK yang digunakan diturunkan sampai 50% 9 (Gambar 1).

802

Dampak SOP GAP Terhadap Kejadian Serangan Hama dan Penyakit Cabai di Ciamis

Dampak SOP GAP terhadap kejadian serangan penyakit pada cabai varietas kencana dapat dilihat pada Gambar 2. Insiden penyakit yang terjadi di lapangan yang paling dominan adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Phytophthora capsicii dan Virus Mosaic. Cabai Kencana yang ditanam dengan teknologi Balitbangtan memperlihatkan insiden penyakit layu dan kematian yang jauh lebih rendah dibandingkan Cabai Kencana yang ditanam dengan cara budidaya petani. Demikian juga untuk penyakit Cirus Mosaic dengan teknologi Balitbangtan memperlihatkan persentase insiden yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan cara budidaya petani.

Gambar 2. Insiden penyakit pada tanaman Cabai Varietas Kencana, Ciamis MT 2015

Gambar 3. Insiden penyakit pada tanaman Cabai Varietas Tanjung, Ciamis MT 2015

Dampak SOP GAP terhadap kejadian serangan penyakit pada Cabai Varietas Tanjung

dapat dilihat pada Gambar 3. Cabai tanjung yang ditanam dengan teknologi Balitbangtan memperlihatkan insiden penyakit layu dan virus yang relatif lebih rendah dibandingkan Cabai Varietas Tanjung yang ditanam dengan cara budidaya petani. Kematian tanaman banyak terjadi pada Cabai Varietas Tanjung dengan teknologi petani, sedangkan pada teknologi Balitbangtan sangat rendah. Hal ini diduga karena adanya Trichoderma viridae

803

yang ada pada pupuk hayati pada teknologi Litbang, dimana T. viridae merupakan mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit yang sifatnya tular tanah.

Dampak SOP GAP Bobot Buah Cabai di Ciamis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hayati (Litbang) dengan dosis pupuk sintetis separuh dari cara budidaya petani memperlihatkan bobot buah cabai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bobot buah cabai yang dihasilkan dengan pupuk sintetis yang penuh (cara budidayapetani). Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya penurunan penggunaan pupuk sintetis pada tanaman cabai tidak akan menurunkan bobot buah cabai yang dihasilkan. Penggunnaan pupuk hayati juga memperlihatkan pertumbuhan vegetatif yang lebih tinggi dan disertai bobot buah yang relatif lebih tinggi terutama pada Cabai VarietasKencana jika dibandingkan penggunaan pupuk sintetis yang penuh (cara budidayapetani).

Gambar 4. Bobot buah cabai yang dihasilkan dengan dua teknologi,

Ciamis, MT 2015

Dampak Penerapan SOP GAP Cabai di Ciamis terhadap Fluktuasi Harga Cabai di Indonesia

Dampak penerapan SOP GAP terhadap fluktuasi harga cabai dapat dilihat baik dalam skala lokal maupun nasional. Dampak penerapan SOP GAP dalam skala lokal dapat dilihat dengan membandingkan fluktuasi harga cabai di lokasi sekitar Ciamis yaitu Jakarta dan Bandung antara sebelum dan sesudah penerapan SOP GAP. Dampak penerapan SOP GAP dalam skala nasional dapat dilihat dengan membandingkan fluktuasi harga cabai di Indonesia antara sebelum dan sesudah penerapan SOP GAP.

804

Gambar 5. Dampak Penerapan SOP GAP Terhadap Fluktuasi Harga Cabai Keriting di Jakarta

dan Bandung

Gambar 6. Dampak Penerapan SOP GAP Terhadap Fluktuasi Harga Cabai Keriting di

Indonesia Gambar 5 menunjukkan adanya fluktuasi harga cabai keriting di Jakarta dan Bandung

yang tinggi sebelum penerapan SOP GAP (2010 - 2012). Harga cabai keriting cenderung stabil setelah penerapan SOP GAP pada tahun 2013. Pada tahun 2013 kenaikan harga cabai tertinggi terjadi pada bulan juli 2013. Hal ini disebabkan karena kurangnya pasokan, sedangkan permintaan sedang tinggi karena merupakan bulan ramadhan. Namun kestabilan harga tersebut tidak berlangsung lama, karena pada periode 2014 – 2015 harga kembali berfluktuasi. Harga cabai keriting tertinggi di Jakarta dan Bandung terjadi pada Desember 2014. Tingginya harga disebabkan karena curah hujan yang tinggi dan adanya kenaikan harga BBM. Pola yang sama diperlihatkan oleh fluktuasi harga cabai keriting secara nasional, dimana harga cabai keriting cenderung stabil setelah penerapan SOP GAP pada tahun 2013. Namun kembali bergejolak tinggi pada 2014 - 2015 (Gambar 6).

Gambar 6 dan 7 menunjukkan adanya fluktuasi harga cabai merah besar secara lokal (Jakarta dan Bandung) dan nasional baik sebelum maupun setelah penerapan SOP GAP. Harga cabai merah besar tertinggi di Jakarta dan Bandung terjadi pada Desember 2014. Tingginya harga disebabkan karena curah hujan yang tinggi dan adanya kenaikan harga BBM.

0100002000030000400005000060000700008000090000

Jan

uar

i 20

10

Mar

et 2

010

Mei

20

10

Juli

201

0

Sep

tem

be

r 2

010

No

vem

ber

20

10

Jan

uar

i 20

11

Mar

et 2

011

Mei

20

11

Juli

201

1

Sep

tem

be

r 2

011

No

vem

ber

20

11

Jan

uar

i 20

12

Mar

et 2

012

Mei

20

12

Juli

201

2

Sep

tem

be

r 2

012

No

vem

ber

20

12

Jan

uar

i 20

13

Mar

et 2

013

Mei

20

13

Juli

201

3

Sep

tem

be

r 2

013

No

vem

ber

20

13

Jan

uar

i 20

14

Mar

et 2

014

Mei

20

14

Juli

201

4

Sep

tem

be

r 2

014

No

vem

ber

20

14

Jan

uar

i 20

15

Mar

et 2

015

Mei

20

15

Juli

201

5

Sep

tem

be

r 2

015

No

vem

ber

20

15

Har

ga (

Rp

/Kg)

Waktu

Jakarta Bandung

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000

03-J

an-1

1

03-A

pr-

11

03-J

ul-

11

03-O

ct-1

1

03-J

an-1

2

03-A

pr-

12

03-J

ul-

12

03-O

ct-1

2

03-J

an-1

3

03-A

pr-

13

03-J

ul-

13

03-O

ct-1

3

03-J

an-1

4

03-A

pr-

14

03-J

ul-

14

03-O

ct-1

4

03-J

an-1

5

03-A

pr-

15

03-J

ul-

15

03-O

ct-1

5

805

Gambar 6. Dampak Penerapan SOP GAP Terhadap Fluktuasi Harga Cabai Merah Besar di

Jakarta dan Bandung

Gambar 7. Dampak Penerapan SOP GAP Terhadap Fluktuasi Harga Cabai Merah Besar di

Indonesia

Belum optimumnya dampak penerapan SOP GAP cabai dalam mengatasi fluktuasi

harga salah satunya disebabkan karena sulitnya memastikan konsistensi petani dalam menerapkan SOP GAP cabai dan belum adanya insentif yang cukup memadai untuk mendorong petani menerapkan SOP GAP dalam budidaya cabai. Beberapa permasalahan penerapan SOP GAP cabai di lapangan adalah: 1) GAP dan SOP masih banyak yang didasarkan pada kebiasaan petani dalam melaksanakan budidaya, belum sepenuhnya memasukkan inovasi teknologi pertanian, hal ini disebabkan oleh adopsi teknologi yang belum banyak dilakukan oleh masyarakat, 2) pelaksanaan SL-PTT GAP belum dapat sepenuhnya memasalkan penerapan GAP – SOP di dalam masyarakat, karena petani masih memiliki kendala keterbatasan lahan pertanian, modal, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya, meskipun di beberapa lokasi sudah berjalan dengan baik, 3) konsumen hortikultura di dalam negeri umumnya masih belum peduli mutu, termasuk mutu fisik, aman pangan dan aman kesehatan. Upaya menyediakan bahan pangan aman melalui penerapan GAP belum diapresiasi secara memadai. Hal ini terbukti dari belum adanya insentif harga yang diterima petani dari penerapan GAP. Bahkan penerapan GAP membebani petani karena petani harus mengadakan pembelian sarana prasarana yang diprasyaratkan untuk mengaplikasikan GAP.

Sehubungan dengan ketiga permasalahan seperti yang disampaikan di atas, petani yang menerapkan GAP dan SOP belum banyak mendapatkan apresiasi dari pasar dalam negeri, terutama di pasar induk dan pasar di kabupaten atau kecamatan.Hal ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan harga yang signifikan antara hasil panen petani ang

0100002000030000400005000060000700008000090000

Jan

uar

i 20

10

Mar

et 2

010

Mei

20

10

Juli

201

0

Sep

tem

be

r 2

010

No

vem

ber

20

10

Jan

uar

i 20

11

Mar

et 2

011

Mei

20

11

Juli

201

1

Sep

tem

be

r 2

011

No

vem

ber

20

11

Jan

uar

i 20

12

Mar

et 2

012

Mei

20

12

Juli

201

2

Sep

tem

be

r 2

012

No

vem

ber

20

12

Jan

uar

i 20

13

Mar

et 2

013

Mei

20

13

Juli

201

3

Sep

tem

be

r 2

013

No

vem

ber

20

13

Jan

uar

i 20

14

Mar

et 2

014

Mei

20

14

Juli

201

4

Sep

tem

be

r 2

014

No

vem

ber

20

14

Jan

uar

i 20

15

Mar

et 2

015

Mei

20

15

Juli

201

5

Sep

tem

be

r 2

015

No

vem

ber

20

15

Har

ga (

Rp

/Kg)

Waktu

Jakarta Bandung

01000020000300004000050000600007000080000

03-J

an-1

103

-Mar

-11

03-M

ay-1

103

-Ju

l-11

03-S

ep-1

103

-No

v-11

03-J

an-1

203

-Mar

-12

03-M

ay-1

203

-Ju

l-12

03-S

ep-1

203

-No

v-12

03-J

an-1

303

-Mar

-13

03-M

ay-1

303

-Ju

l-13

03-S

ep-1

303

-No

v-13

03-J

an-1

403

-Mar

-14

03-M

ay-1

403

-Ju

l-14

03-S

ep-1

403

-No

v-14

03-J

an-1

503

-Mar

-15

03-M

ay-1

503

-Ju

l-15

03-S

ep-1

503

-No

v-15

806

menggunakan SOP dengan yang tidak. Hanya supermarket tertentu dan pasar ekspor yang sudah memberikan apresiasi harga, dengan melakukan grading terhadap kualitas komoditas yang sifatnya lebih seragam. Namun petani masih memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi di pasar modern (supermarket dan ekspor) terkait dengan kontinuitas jumlah pasokan dan sistem tunda pembayaran yang dipersyaratkan oleh pasar modern. Pola bertani yang menanam padi dan cabai secara bergantian tergantung musim tanam menyebabkan petani tidak mampu memenuhi kontinuitas pasokan yang dipersyaratkan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Penerapan pertanian modern melalui SOP GAP mampu memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanamman cabai, menekan kejadian serangan hama dan penyakit serta meningkatkan bobot cabai baik varietas kencana maupun tanjung.

2. Penerapan pertanian modern melalui SOP GAP mampu menstabilkan harga cabai keriting pada tahun 2013 baik secara lokal (Jakarta dan Bandung) maupun nasional. Namun harga kembali bergejolak tinggi pada 2014 - 2015. Sedangkan pada cabai merah besar, penerapan SOP GAP belum mampu menstabilkan harga.

3. Penerapan pertanian modern melalui SOP GAP cabai belum optimal dalam mengatasi fluktuasi harga dikarenakan sulitnya memastikan konsistensi petani dalam menerapkan SOP GAP cabai dan belum adanya insentif yang cukup memadai untuk mendorong petani menerapkan SOP GAP dalam budidaya cabai. Hal ini terbukti dari belum adanya insentif harga yang diterima petani dari penerapan GAP.

4. Beberapa permasalahan penerapan SOP GAP cabai di lapangan adalah: 1) GAP dan SOP masih banyak yang didasarkan pada kebiasaan petani dalam melaksanakan budidaya, belum sepenuhnya memasukkan inovasi teknologi pertanian, 2) pelaksanaan SL-PTT GAP belum dapat sepenuhnya memasalkan penerapan GAP – SOP di dalam masyarakat, karena petani masih memiliki kendala keterbatasan lahan pertanian, modal, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya, 3) konsumen hortikultura di dalam negeri umumnya masih belum peduli mutu, termasuk mutu fisik, aman pangan dan aman kesehatan.

Saran 1. Penerapan SOP GAP cabai perlu diimbangi dengan penerapan teknologi penanaman

cabai di sepanjang musim termasuk musim hujan untuk menjaga pasokan cabai pada musim hujan dan hari hari besar dan mencegah terjadinya lonjakan harga pada saat tersebut.

2. Perlunya penyediaan sistem insentif kepada petani yang menerapkan GAP dan SOP, terutama dengan menciptakan pangsa pasar khusus bagi konsumen tertentu disertai dengan kegiatan promosi dan membangun sistem kelembagaan di tingkat nasional hingga ke daerah agar penerapan GAP dapat berjalan sistemik dan kepedulian konsumen terhadap keamanan pangan, lingkungan dan kesehatan meningkat.

3. Pemerintah dapat memfokuskan dukungan ASEAN atau Global GAP berdasarkan pemetaan status petani untuk meningkatkan efektifitas dukungan terhadap produk-produk petani dalammemperoleh sertifikasi GAP secara efektif dan efisien di era MEA.

4. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi lintas sektoral untuk mendukung penerapan ASEAN GAP dan menghadapai pasar ASEAN bersama-sama, Ditjen Hortikultura sebagai implementator, Badan Litbang Sebagai pemasok teknologi, Kementerian Perdagangan sebagai penyedia informasi pasar atau akses pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, Kementerian Industri dan institusi lainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang

Pertanian dan AFACI yang telah mendanai kegiatan tersebut, juga kepada Dr. Rachmat

807

Sutarya, Nuni Media SE, dan Rahmi Dian, SP, sebagai Tim AFACI yang telah membantu secara aktif dalam kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Ariningsih, E & Tentamia, MK 2004, ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penawaran dan

Permintaan Bawang Merah di Indonesia’, ICASERD Working Paper No 34, Pusat Penelitian dan Pegembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Association of Southeast Asian Nation. 2008.ASEAN Economic Blueprint. Jakarta: ASEAN.

Austria, MS. 2011.“Moving Towards an ASEAN Economic Community”. Filipina: Springer Science+Business Media, East Asia (2012) 29, Hlm.141–156.

Chia, SY. 2013. ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and Prospects. Jepang: Asian Development Bank Institute.

Haryono, Yufdy, MP & Nugrahapsari, RA 2015, ‘Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Untuk Meningkatkan Daya Saing di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN’, Pendekatan Dinamika Sistem Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Media Industri. 2013.“Industri Nasional Jelang MEA 2015”. Dalam Media Industri., no. 02, h. 3.

Sukadi 2007, ‘Kajian Peran Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Mendapatkan Modal Usaha Agibisnis Bawang Merah di Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul Dearah Istimewa Yogyakarta’, Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian., vol. 3, no. 2, hlm. 156-164. Winarso, B 2003 ‘Dinamika Perkembangan Harga: Hubungannya dengan Tingkat Keterpaduan Antarpasar dalam Menciptakan Efisiensi Pemasaran Komoditas Bawang Merah’, Jurnal Ilmiah Kesatuan, vol. 4, no. 1-2, hlm. 7-16.

808

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI DALAM MENDUKUNG MEA DI KABUPATEN BINTAN PROVINSI

KEPULUAN RIAU

Oktariani Indri Safitri*1), Dahono1), dan Lutfi Izhar2)

1)Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Pelabuhan Sungai Jang No. 38 Tanjungpinang

ABSTRAK Membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian merupakan salah satu bentuk sistem

usahatani. Usahatani cabai dapat membantu membangun pertanian modern dan inovatif dalam mendukung MEA menjadi salah satu solusi di masa depan. Tujuan kajian adalah mengetahui jumlah pendapatan yang diperoleh petani cabai di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Metode yang digunakan adalah survey dengan teknik penentuan sampel secara sengaja (purposive sampling). Data dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi dan rata-rata. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani cabai selama satu musim tanam sebesar Rp.446.000.000,-/ha dengan B/C Ratio3,43. Nilai BEP (Break-evenpoint) untuk volume produksi pada 4.062kg/ha dan BEP harga produksi Rp. 7.222,-/kg/ha yang berarti bahwa sangat efisien dan menguntungkan dalam berusahatani cabai. Kata Kunci:Pendapatan, Cabe, MEA, Bintan

PENDAHULUAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi

ekonomi yang dianut dalam Visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas. Mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip terbuka, berorientasi ke luar, inklusif, dan berorientasi pasar ekonomi yang konsisten dengan aturan multilateral serta kepatuhan terhadap sistem untuk kepatuhan dan pelaksanaan komitmen ekonomi yang efektif berbasis aturan (Wordpress Themes. 2013).

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan membentuk ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan langkah-langkah untuk memperkuat pelaksanaan baru yang ada inisiatif ekonomi; mempercepat integrasi regional di sektor-sektor prioritas; memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja terampil dan bakat; dan memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, karakteristik utama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yaitu pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif, wilayah pembangunan ekonomi yang merata dan daerah terintegrasi penuh dalam ekonomi global (Srikandi Rahayu, 2015).

Kebijaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia senantiasa didasarkan pada amanat yang telah dituliskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Pembangunan pertanianIndonesia diarahkan untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat pertanian lebih merata. Secara nasional tujuan ini dapat dicapai melalui konsep trilogi pembangunan, yaitu: a) pemerataan hasil pembangunan; b) pertumbuhan ekonomi yang tinggi; c) stabilitas masyarakat yang dinamis. Pembangunan pertanian yang cukup luas melalui pembangunan disektor tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan untuk meningkatkankesejahteraan

809

masyarakat. Peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional dapat diukur dari sumbangan hasil produksi dan sumbangan devisa (Ghatak andIngersen, 1986 dalam Sihotang. B, 2010).

Salah satu ciri pertanian modern yaitu usahatani yang dilakukan berorientasi kepada keuntungan. Usahataniyang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapiuntuk dapat meningkatkan pendapatan petani, untuk itulah harus diupayakan peningkatan kemampuan dan keterampilan petani dalam melaksanakan usahataninya. Disamping itupula usahatani yang dijalankan harus pula memperhatikan kebutuhan gizi (Hernanto,F. 1988).

Cabai merupakan salah satu komoditas yang tidak pernah ditinggalkan masyarakat Indonesia. Bisa dibilang cabai sudah menjadi bagian budaya orang-orang Indonesia. Cabai merupakan bumbu dapur yang keberadaannya wajib ada. (Syukur Muhammad, 2012). Cabai juga bermanfaat sebagai bahan baku produk kesehatan dan memiliki peluang ekspor yang tinggi. Tentunya kondisi ini dapat meningkatkan pendapatan petani Indonesia sehingga tidak heran jika cabai menjadi komoditas pertanian dengan nilai ekonomi tinggi.

Cabai ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl, tanah sawah, tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan cukup air. Cabai dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24 – 27°C dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi dengan pH tanah yang optimal antara 5,5 – 7. Jenis tanah yang baik antara lain andosol, regosol, latosol, ultisol dan grumosol dan lempung berpasir (Alex S. 2012).

Provinsi Kepulauan Riau berdiri berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2002 yang mencakup luas Wilayah 251.810 Km2, daratan: 10.595 Km2 (4%), lautan: 241.215 Km2 (96%). Jumlah Pulau: 2.408 buah, pulau berpenghuni: 394 buah dan Pulau Terluar: 19 buah.Wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang beribukota di Tanjungpinang terbagi dalam 5 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Lingga, Kabupaten natuna, Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Kabupaten Karimun merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu 2.873,20 Km2 atau 27,12 %, sementara Kota tanjungpinang merupakan wilayah dengan luas terkecil yaitu 239,50 Km2 atau 2,26 % (BPS Kepri, 2011).

Tanah di Kabupaten Bintan berdasarkan analisis tanah maka jenis tanah yang merupakan tanah berbasis alluvial dengan ordo tanah inceptisols merupakan jenis tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman sayuran. Kondisi pH 5-6 yang sedikit masam memerlukan penambahan kapur sebanyak minimal 2 ton/ha. Kondisi unsur hara makro P yang cukup tinggi sehingga tidak membutuhkan tambahan pupuk P,sedangkan unsur hara K cukup rendah sehingga memerlukan tambahan pupuk. Kondisi bahan organik yang rendah memerlukan tambahan pupuk hayati atau pupuk kandang yang dapat meningkatkan kandungan organik tanah (BPS Kepri, 2007).

Karakteristik wilayah percobaan yang berbukit dengan kemiringan lahan kurang dari 5% mengharuskan penanaman menggunakan pola terasering bertingkat dengan guludan digunakan untuk mencegah erosi. Pencegahan erosi lainnya dilakukan dengan menggunakan mulsa plastik hitam/perak, selain keuntungan pengunaan mulsa ini adalah dapat mempertahankan kelembaban media tanaman didalam mulsanya, efisien pengunaan air, mengemat tenaga kerja dan menekan pertumbuhan gulma (Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011).

Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki potensi wilayah yang kondusif untuk pengembangan tanaman cabai. D engan keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu meningkatkan pendapatan usahatani cabai. Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai produksi dan hargajualyang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan petani dalam berusahatani cabai. Usahatani cabai skalanya relatif kecil dan adanya ketergantungan terhadap harga jual yang selalu berfluktuasi setiap waktu akan mempengaruhi hasil usahatani sertapendapatan petani. Berdasarkan uraian diatas mendorong peneliti untuk melaksanakan penelitian yang bertujuan menganalisis pendapatan usahatani cabai dalam mendukung MEA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

810

BAHAN DAN METODE Kajian ini dilaksanakan pada Tahun 2014 di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposivesampling) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra cabai yang ada di Provinsi Kepulauan Riau selain Kota Batam.

Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey. Sebanyak 25% dari 80 petani cabai menjadi responden atau dua puluh orang petani. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan mengelompokkan data.

Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait. Selanjutnya data yang diperoleh dari responden dianalisis secara kuantitatif dan di diskriptifkan. Sedangkan untuk menghitung rasio pendapatan/keuntungan digunakan rumus sebagai berikut (Soekartawi,2002): Tingkat pendapatan petani cabai digunakan rumus pendapatan sebagai berikut:

Pd = TR–TC Dimana: TR = Y.Py TC = FC+VC π = TR – TC

Keterangan: Pd = Pendapatan Usahatani TR = Total Penerimaan(totalrevenue) TC = Total BiayaProduksi(totalcost) FC = Biaya Tetap(fixedcost)

VC = Biaya Variabel (variabelcost) Y = Produksi yang dihasilkan Py = Harga Produksi π = Keuntungan

Sedangkan untuk mengetahui Benefit Cost Ratio (B/C) digunakan rumus sebagai berikut:

B/CRatio = Keuntungan Biaya Produksi Dengan Kriteria: B/CRatio < 1 : tidak memberikan keuntungan B/CRatio > 1 : Untung B/CRatio = 1 : Impas

Sedangkan untuk mengetahui Titik Impas/Break Even Point (BEP) Produksi dan Harga digunakan rumus sebagai berikut :

BEP Produksi = Biaya Produksi Harga Jual

Dengan Kriteria : Nilai BEP Produksi ≥ produksi yang diterima petani maka usaha tersebut tidak layak. Nilai BEP produksi < produksi yang diterima petani maka usaha tersebut layak.

BEP Harga = Biaya Produksi Jumlah Produksi

Dengan Kriteria : Nilai BEP harga ≥ harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut tidak layak. Nilai BEP harga < harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut layak.

811

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisrik Responden. Hasil wawancara yang dilakukan pada 20% responden

menunjukkan variasi yang berbeda, mulai dari usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luasan kepemilikan, lahan yang secara rinci disajikan pada Tabel1. Tabel1. Persentase Responden Berdasarkan Karakteristik Individu Kabupaten Bintan,

Provinsi Kepulauan Riau.

Karakteristik Individu Kategori Jumlah Persentase (%)

Usia (tahun) 17 – 25 2 10

26 – 35 5 25

36 – 45 7 35

> 46 6 30

Pendidikan SD 8 40

SLTP 2 10

SLTA 10 50

Pengalaman berusahatani cabai 1 – 10 5 25

11 – 20 7 35

21 – 30 8 40

Luasan kepemilikan lahan (ha) 0,25 – 1,00 14 70

1,25 – 2,00 6 30

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013

Usia petani responden yang ada lokasi penelitian bervariasi antara17 sampai diatas 46 tahun. 35%atau sebanyak 7 responden berada pada usia 36-45 tahun, 25% atau sebanyak sebanyak 25 responden berada pada usia 26-35 tahun,10% atau sebanyak 2 responden berada pada usia 17-25 tahun, dan sisanya 30% berada di atas usia 46 tahun atau sebanyak 6 responden.

PendidikanStrata pendidikan formal petani responden adalah 50% berada pada tingkat SLTA, 10% atau sebanyak 10 responden.SLTP sebanyak 2 responden atau sebesar 10%, dan sisanya adalah SD sebesar 40% atau sebanyak 8 responden.

Pengalaman berusahatani. Persentase pengalaman petani responden dalam melakukan usahatani cabai sangat bervariasi mulai 1 tahun hingga 30 tahun. 3 5 % petani memiliki pengalaman sebagai petani cabai selama 11 hingga 20 tahun, 40% dari 21 hingga 30 tahun dan sisanya 1 hingga 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai telah cukup lama diusahakan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, pengalaman petani dalam berusahatani cabaitelah cukup.

Luas kepemilikan lahan (Ha).Persentaseluas kepemilikan lahan petani antara0,50-1,00 hektar adalah yang terbanyak(70%), sedangkan sisanya memiliki luas kepemilikan antara 1,5-2,00 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai memerlukan pembukaan lahan baru dalam membangun pertanian modern dan inovatif berkelanjutan dalam rangka mendukung Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Menurut Jannah (2012), luas kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Keuntungan petani dengan luas penguasaan lahan usahatani yang lebih besar adalah kemampuan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, selain dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga memungkinkan berinvestasi pada sektor pertanian atau di sektor non pertanian. Investasi yang ditanamkan petanikan menghasilkan tambahan pendapatan bagi rumah tangga petani.

812

Tabel 2. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai di Kabupaten Bintan Provisi Kepulauan Riau

Komponen Usahatani Harga Satuan

(Rp) Volume Nilai (Rp)

A. Penerimaan Nilai Produksi (kg)

32,000 18,000 576.000.000

Rata-rata Penerimaan

B. Biaya – Biaya 1. Biaya Variabel

Benih Cabe Bintang Asia 130,000 4 520,000

Saprodi

- Pupuk Kandang 1,500 2,400 3,600,000

- NPK Subur 10,000 2,000 20,000,000

- NPK Buah 11,500 300 3,450,000

- Mulsa 650,000 16 10,400,000

- Pestisida Nabati 3.000.000 1 3.000.0000

- Pestisida Kimia 1.775.000 1 1.775.0000

- Dupont 173,000 15 2,595,000

- Dolomit/Kapurtani 2,000 2,000 4,000,000

- Furadan 2 kg 35,000 15 525,000

- Tali Rapiah 60,000 10 600,000

- Solar 7,000 200 1,400,000

- Ajir 500 20.000 10,000,000

Tenaga kerja

- Bendungan (15 x 8 m) 5,000,000 5,000,000

- Buka Lahan 6,500,000 6,500,000

- Bajak Lahan 5,000,000 5,000,000

- Pupuk Dasar 4,000,000 4,000,000

- Bedengan 5,000,000 5,000,000

- Pemasangan Ajir 2,500,000 2,500,000

- Pemupukan 8,000,000 8,000,000

- Penyiangan 4,000,000 4,000,000

- Penyulaman 2,500,000 2,500,000

- Panen 4,000,000 4,000,000

- Sortasi 1,500,000 1,500,000

- Pengepakan 800,000 800,000

Total Biaya Variabel 108,070,000

2. Biaya Tetap

- Mesin 175 Dong Hai 2,300,000 2 4,600,000

- Pompa NSS 50 620,000 1 620,000

- Mesin Motoyama 2,100,000 1 2,100,000

- Dinamo 3 KW 2,300,000 1 2,300,000

- Selang Daito 7,600 100 760,000

813

- Gerobak 525,000 1 525,000

- Sekop Kayu 45,000 1 45,000

- Selang Air 4,000 10 40,000

- Paralon 3" 100,000 1 100,000

- Elbow 3" 17,000 1 17,000

- Paralon 2" 72,000 40 2,880,000

- Soket 4,500 100 450,000

- Kran Air Besar 54,000 4 216,000

- Paralon 1" 16,000 1 16,000

- Lem paralon 70,000 3 210,000

- Selang fuso 12,000 100 1,200,000

- Drum 380,000 10 3,800,000

- Cangkul 101,000 3 303,000

- Parang 75,000 3 225,000

- Ember 15,000 3 45,000

- Garpu 35,000 2 70,000

- Pembolong Mulsa 50,000 2 100,000

- Gayung 8,000 3 24,000

- Handsprayer 642,000 2 1,284,000

Total Biaya Tetap 21,930,000

Total Biaya yang dikeluarkan (B1+B2)

130,000,000

Pendapatan bersih (Nilai Produksi - Total Biaya)

446,000,000

B/C Ratio 3.43

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi dimana usahanya selalu berkaitan dengan produksi (Hernanto, 1996 ; Kartasapoetra, 1998). Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan. Besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang dihasilkan (Taufik,2010). Petani dihadapkan pada biaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendapatan yang optimal.

Pendapatan usahatani cabai yang diterima oleh petani sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan rendahnya pengeluaran. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan atau nilai penerimaan total dikurangi dari keseluruhan biaya produksi dalam proses usahatani tersebut (Roza dalam Jannah, 2012).

Hasil analisis usahatani cabai menujukkan bahwa rata-rata penerimaan petani per hektar sebesar Rp.576.000.000,- dengan nilai pendapatan Rp.446.000.000,-atau B/Cratio 3,43. Produksi cabai rata-rata per hektar mencapai 18.000kg/ha. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah Rp.130.000.000,-/ha/musim tanam. Nilai B/C–Ratio lebih besar atau sama dengan satu berarti usaha tani tersebut menguntungkan (Soekartawi,2002). Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,- . Hasil analisis usahatani padi dengan sistem tanam benih langsung per hektar per musim tanam disajikan pada Tabel 2.

814

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau memberikan

keuntungan yang layak bagi petani dengan nilai B/C ratio 3,43 atau rata-rata pendapatan sebesar Rp. 446.000.000,-/ha/musim tanam. Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,-.

DAFTAR PUSTAKA

Agung,IGD, Niwayan P dan Nyoman R.D. 2002. Analisis Usahatani Cabe MerahDiDesaPereanTengahKecamatanBaturitiKabupaten Tabanan. FakultasPertanianUniversitasUdayana. Bali.

Alex S. 2012. Usaha Tani Cabai. Kiat Jitu Bertanam Cabai di Segala Musim. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

BPS 2007. Propinsi Kepulauan Riau Dalam Angka.

Distanhutnak Kepri.2010. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Pertanian Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. Laporan Akhir Dinas Pertanian Kehutanan dan Peternakan Propinsi Kepulauan Riau.

Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011. Bertanam Cabai Hibrida Untuk Indutri. Harga dan Pasar Lebih Terjamin. AgroMedia Pustaka. Jakarta

Hannum, C. 2008. Teknik Budi Daya Tanaman. Departemen Pendidikan Nasional.

Hernanto. 1996. IlmuUsahatani. Penebar Swadaya. Jakarta

Jannah,E.M.2012. Analisis Keuntungan Usahatani dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Ubi kayu pada Sentra Agroindustri Tapioka di Kab. Lampung Tengah. Jurnal Informatika Pertanian Vol.21 No.2/Desember 2012. Hal.95-105. Jakarta.

Karneta Railia, 2014. Analisis Kelayakan Usahatani Cabe Merah Keriting (Capsicum annum L) dan Kacang Panjang (Vigna sinesis L) Secara Rotasi Menggunakan Teknologi Olah Limbah Pada Lahan Sub Optimal. Prosiding Seminar Nasional, Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri Di Lahan Sub Optimal. Hal 671-681. Palembang.

Prajnanta, Final, 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta

Redaksi Agomedia, 2008. Panduan Lengkap Budi Daya dan Bisnis Cabai, Jakarta: Agomedia Pustaka.

Satyarini. 2009. AnalisisKelayakanUsahataniCabaidiLahanPantaiPandan Simo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat Analisis Sosial EkonomidanKebijakanPertanian.BadanPenelitiandan Pengembangan Pertanian. DepartemenPertanian.

Sihotang, B. 2010. http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/cabe. diakses 14 Pebruari 2013.

815

Srikandi, Rahayu, 2015.Pengertian dan Karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/08/Pengertian-karakteristik-masyarakat-ekonomi-asean.html.diakses 20 April 2016

Soekartawi. 2002.Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Press.Jakarta.

Sumarni, N dan A. Muharam. 2005. Budidaya Cabai Merah. Panduan Teknis PTT Cabai Merah No. 2. Balitsa.

Syukur Muhammad, SP, M.Si. Dr, 2012.Cabai Prospek Bisnis dan Teknologi Mancanegara. Tim Penulis Agriflo. Agriflo, Jakarta

Taufik. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Penanganan Pasca Panen. Balai Pengkajian Pertanian. SulawesiSelatan

Utami, Cahyaning Desy. 2015. Analisis Biaya dan Usahatani Cabai Merah (Capsicum Annum L) Di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Buana Sains Vol 15 No 1 : 91-99.

Wiryanta, B. T. Wahyu. 2002. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Jakarta. AgroMedia.

Wordpress Themes. 2013. Pengertian MEA dan Ciri-Ciri Masyarakat Ekonomi ASEAN. http://pengertian.website/pengertian-mea-dan-ciri-ciri-masyarakat-ekonomi-asean/.diakses11 Mei 2016.

816

ANALISIS PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI DALAM PENANGGULANGAN HPT HAYATI PADA USAHATANI CABAI DI

MOJO REJO KABUPATEN REJANG LEBONG

Rudi Hartono dan Herlena Bidi Astuti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Jl. Irian Km 6,5 38119. Telp (0736) 345568

ABSTRAK

Tingkat pengetahuan petani dalam penanggulangan hama penyakit secara hayati

masih sangat kurang ditambah lagi dengan massifnya promosi berbagai merek dagang pestisida membuat informasi tentang penanggulangan HPT secara hayati semakin jarang terdengar. Penelitian ini bertujuan untu mengetahui peneingkatan pengetahuan petani sebelum dan setelah di lakukan penyuluhan tentang penanggulangan HPT cabai secara hayati. Metode yang digunakan adalah pre-test post-test one group design dengan jumlah responden sebanyak 31 orang yang ditentukan secara purposive. Peningkatan pengetahuan responden diuji dengan menggunakan statistic paired sample t test. Hasil uji analisis diketahui nilai nilai signifikansi kurang dari ( ≤ ) 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Dimana di ketahui nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23.

Kata kunci : Peningkatan, Pengetahuan, HPT Hayati, usahatani cabai

PENDAHULUAN Budidaya cabai hingga kini masih sangat diminati oleh petani walaupun harga

komoditas ini sangat fluktuatif. Kebutuhan akan cabai yang terus meningkat menjanjikan keuntungan bagi usahatani cabai, banyak petani yang mendapatkan keutungan berlipat namun banyak juga yang gagal karena harga yang murah atau serangan hama penyakit yang massif. Hama dan penyakit tanaman menjadi factor penyebab utama turunnya produktivitas tanaman, Puluhan tahun lamanya hingga sekarang para petani mengendalikan hama dan penyakit dengan bahan-bahan kimia buatan pabrik seperti insektisida, fungisida, bakterisida, dan masih banyak lainnya dengan harga yang relatif mahal. Untuk mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani cabai petani sering menggunakan berbagai macam pestisida dalam jumlah yang besar tanpa memperhatikan keberlangsungan hayati ataupun keamanan pangan dari cabai yang di hasilkan.

Tingkat pengetahuan petani akan cara penanggulangan hama penyakit secara hayati masih sangat kurang di tambah lagi dengan gencarnya promosi produk berbagai merek dagang pestisida membuat informasi akan penanggulangan hama secara hayati semakin tidak terdengar. Pada kondisi inilah diperlukan usaha sosialisasi dan diseminasi teknologi agar berbagai inovasi penanggulangan hama penyakit dapat tersampaikan ke petani sebagai pengguna. Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian, diseminasi tidak bisa dipisahkan dengan penelitian dan pengkajian sehingga berbagai hasil penelitian dapat tersebar keberbagai kalangan khususnya petani sebagai pengguna karena diseminasi merupakan penyebaran teknologi kepadapengguna sehingga dapat memberikan manfaatyang optimalpada masyarakat.( Basuno,2003)

Peningkatan pengetahuan petani akan mempengaruhi keputusan dalam penerapan suatu teknologi pertanian untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menagetahui peningkatan pengetahuan petani dalam peanggulangan HPT hayati pada usahatani cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong.

817

METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang

Lebong. Sampel penelitian adalah anggota kelompok tani cabai di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. Jumlah sampel adalah 31 orang petani yang diambil secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan pendekatan pre-test post-test one group design yaitu eksperimen yang dilakukan pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding. Menurut Arikunto (2002) mengungkapkan “pre-test post-test one group design adalah penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen (pre-test) dan sesudah ekperimen (post-test) dengan satu kelompok subjek.” Pengambilan data menggunakan kuesioner yang harus di jawab oleh petani responden sebelum dilakukan penyuluhan. Untuk melihat Peningkatan pengetahuan petani responden kuesioner yang sama di bagikan kembali setelah penyuluhan selesai .

Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dilakukan uji statistic menggunakan statistic paired sample t test . rumusan t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2011).

t =

(

√ )(

√ )

Dimana : X1 X2 S1 S2 S1

2 S2

2 r

= = = = = = =

Rata - rata sampel 1 Rata – rata sampel 2 Simpangan baku sampel 1 Simpangan baku sampel 2 Varians sampel 1 Varians sampel 2

Korelasi antara dua sampel

880

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Karakteristik Responden Petani responden rata-rata berusia 36, 9 tahun usia yang masih sangat muda dan

berada pada usia yang produktif. Pada usia yang masih relative muda masih sangat besar peluang untuk menerima inovasi untuk perbaikan teknologi usahatani yang di terapkan seperti di jelaskan dalam Soekartawi (1988) pada usia yang muda petani akan lebih muda untuk menerima informasi dan menerapkan inovasi baru.

Pengalaman rata-rata petani responden yaitu 7 tahun, setiap petani responden sudah lebih dari 5 kali musim tanam melakukan usahatani cabai sehingga sudah banyak melihat dan mengalami berbagai kondisi iklim, serangan hama dan juga fluktuasi harga. Pengalaman ini akan membuat petani belajar cara yang paling efektif dalam penerapan usahatani cabai dan juga mempelajari kondisi yang paling menguntungkan dalam kegiatan usahataninya.

Rata-rata pendidikan formal petani responden 9,1 tahun artinya sudah berada di atas wajib belajar pemerintah 9 tahun lama pendidikan seseorang akan memepengaruhi wawasan dan kemampuan nalar serta berpikir seseoranag sehingga akan mempengaruhi kemampuan dalam manajemen usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sejalan dengan hasil penelitian menurut Hutauruk (2009) bahwa lama pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap produktifitas hasil pertanian yang di lakukan.

b. Tingkat Pengetahuan Petani

Pengetahuan petani terhadap penyebab busuk buah sudah cukup baik, petani dominan menjawab penyebab busuk buah adalah lalat buah dan jamur. Sebagaimana diketahui bahwa penyebab utama busuk buah pada cabai adalah lalat buah cendawan Colletotrichum sp. Untuk mencegah dan menangani penyakit busuk buah petani dominan (99 %) menjawab dengan sanitasi atau pembersihan lahan, menggunakan lem perangkap dan lakukan penyemprotan pestisida. Dari jawaban petani bisa dilihat bahwa petani sudah menyadari akan cara –cara pencegahan dan penanganan busuk buah namun lahan yang bersih / sanitasi dimaksud bukan hanya membersihkan gulma atau rumput pengganggu tanaman melainkan juga petani harus membuang sisa buah yang jatuh disekitar tanaman karena ketika buah cabai busuk tidak segera dibuang maka larva yang ada di dalam buah akan segera berubah menjadi pupa dan menetas menjadi lalat buah baru.

Pengetahuan petani akan pembuatan tanaman penghalang/pagar atau border masih belum begitu baik 100 % petani belum mengetahui tentang pembuatan border, petani masih beranggapan penyemprotan sebelum terserang penyakit adalah cara pencegahan yang paling baik padahal tanaman pagar bisa mencegah tertularnya tanaman dari hama penyakit yang ada di sekitar lahan. Border dapat di lakukan dengan menanam jagung 5-6 baris rapat (15-20 cm) sekeliling kebun 2-3 minggu sebelum tanam cabai dengan tujuan membuat penghalang agar serangga vector dan penyakit lain dari kebun tetangga tidak masuk ke lahan tanaman cabai.

Untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman tentulah tanaman harus sehat sejak di pembibitan atau pemilihan benih karena benih yang terkontaminasi penyakit tanaman akan membuat tanaman tidak akan sehat dan bisa meneyebabkan kegagalan dalam usahatani. Untuk memastikan benih yang dipilih adalah sehat bisa dengan menggunakan benih berlabel dan dominan petani responden 99 % tidak menggunakan benih berlabel dan mengganggap benih bisa di ambil dari tanaman yang secara kasat mata terlihat sehat.

Pengelolaan lahan perlu di jadikan perhatian yang serius karena jamur dan beberapa hama seperti ulat Gangsir (Brachytrypes portentosus) dapat menyerang tanaman sejak tanaman baru dipindahkan kelahan tanam. 80 % petani sudah mengetahui pemanfaatan jamur trikoderma untuk mencegah serangan jamur pada akar dan pangkal batang tanaman. Ismail dan tenrirawe (2012) menjelaskan, Trichoderma spp. mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai agens hayati dalam pengendalian penyakit tanaman, hal ini karenakan sifat Trichoderma spp. sebagai cendawan antagonis yang dianggap aman bagi lingkungan karena cendawan ini berasal dari tanah dan dapat berfungsi sebagai pengurai

881

unsur hara tanaman serta dalam pengendalian penyakit memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Untuk mencegah serangan hama penyakit tanaman di lakukan dengan pembuatan perangkap, dalam membuat perangkap, kita memanfaatkan sifat phototaksis postitif dalam menangkap serangga. Serangga umumnya tertarik dengan warna merah, biru, hijau, dan kuning. Dari ketiga warna tersebut, warna kuning yang paling banyak serangga yang tertarik, kemudian disusul warna biru, hijau, dan merah. Petani responden 80 % belum mengetahui pembuatan perangkap dengan menggunakan perangkap berwarna kuning. Perangkap warna dapat dimaksimalkan untuk fokus menangkap serangga tertentu. Misal lalat buah, bisa menggunakan buah tiruan yang berwarna kuning kemudian diberi perekat. Atau bisa juga papan kuning ditambahkan metil eugenol atau pheromon sebagai zat penarik melalui aroma untuk memperkuat daya tarik.

Pemanfaatan pestisida terkadang tidak bisa dihindari selama proses produksi, namun pemanfaatan pestisida yang berimbang dan tidak berlebihan masih harus terus di sosialisasikan kepada petani, 100 % atau semua petani responden belum mengetahui bahwa harus dilakukan pergiliran pestisida dalam penyemprotan hama penyakit. Sembayang (2013) menjelaskan beberapa dampak negative pestisida : (1) timbulnya resistensi hama sasaran, (2) resurjensi (timbul lagi hama sasaran, (3) residu pestisida, penggunaan pestisida berlebih pada tanaman cabai dengan perkiraan 30 x penyemprotan permusim, (4) terbunuhnya musuh-musuh alami tanaman penting pada cabai dan (5) terjadinya pencemaran lingungan. Aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkan mencapai ambang ekonomi (ambang pengendalian) hama sasaran. Jenis pestisida yang digunakan juga hendaknya bersifat efektif dan dosis penggunaannya sesuai dengan rekomendasi penyemprotan.

c. Perubahan Pengetahuan Petani.

Untuk melihat perubahan pengetahuan petani setelah di lakukan penyuluhan tentang penanggulangan hama penyakit secara hayati dilakukan uji t dari skor penilaian setiap point jawaban yang di pilih oleh petani responden dan di dapatkan hasil bahwa nilai signifikansi kurang dari ( ≤ ) 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Dimana di ketahui nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indraningsih (2011) bahwa penyuluhan dapat memberikan peningkatan persepsi petani terhadap inovasi teknologi dan akan lebih baik lagi jika materi penyuluhan ini terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal. Peningkatan persepsi petani juga akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat keberanian untuk mengambil resiko dan lebih berorientasi ekonomi. Sejalan pula dengan hasil penelitian Bahua (2015) bahwa kompetensi dan kinerja penyuluh berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam menerapkan teknologi pertanian.

Kartasapoetra (1997)menjelaskan bahwa, penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan perilaku petani, yaitu dengan mendorong masyarakat petani untuk mengubah perilakunya menjadi petani dengan kemampuan yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan menyadari akan kekurangannya atau kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri dan dapat berperan di masyarakat dengan lebih baik.

882

KESIMPULAN

1. Petani cabai masih berada pada kisaran usia produktif dengan pengalaman berusahatani cabai selama tujuh tahun dan rata-rata pendidikan juga cukup tinggi yaitu diatas wajib belajar 9 tahun.

2. Statistic ujit diketahui ada perubahan pengetahuan petani setelah dilakukan penyuluhan HPT secara hayati. Pengetahuan petani tentang penanggulangan HPT cabai secara hayati sebelum dilakukan penyuluhan sangat rendah yaitu 3,52 namun setelah dilakukan penyuluhan pengetahuan petani menjadi meningkat menjadi 7,23.

DAFTAR PUSTAKA

Arikonto,Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta

Bahua Ikbal Muhammad. 2015. Pengaruh Kompetensi pada Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo. repository.ung.ac.id

Basuno edi. 2003. Kebijakan Sistem Diseminasi Teknologi Pertanian : Belajar Dari BPTP NTB. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 1 No 3. Halaman 238-254

Hutauruk Erwin Husudungan. 2009. Pengaruh Pendidikan Dan Pengalaman Petani Terhadap Tingkat Produktivitas Tanaman Kopi Dan Kontribusi Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara (USU)

Indraningsih Suci kurnia. 2011. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan petani Dalam Adobsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal AgroEkonomi. Vol 2. Halaman 1-24

Ismail Nurmasita Dan Tenrirawe Andi. Potensi Agen Hayati Treichoderma Spp. Sebagai Agens Pengendali Hayati. Prosiding Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. Hal 177-189

Kartasapoetra AG. 1997. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara.

Semabayang Lukas. 2013. Teknik Pengendalian Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai. BPTP Sumatera Utara

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi pertanian. Penerbit Jakarta : Universitas Indonesia ( UI-Press)

Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung

883

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN ANALISIS USAHA TANI KERIPIK PISANG GEDAH SKALA RUMAH TANGGA

Sri Harnanik1*), 2)Masito dan Sidiq Hanapi 3)

1,3) Peneliti Pertama, BPTP Sumatera Selatan

ABSTRAK

Pisang gedah merupakan salah satu jenis pisang yang banyak diusahakan petani diwilayah Tanjung lubuk kab OKI. Selama ini pisang gedah baru dimanfaatkan sebagai pisang segar dengan nilai ekonomi yang rendah. Salah satu alternatif olahan yang dapat dikembangkan adalah keripik pisang. Tujuan kajian ini adalah menelaah aspek teknologi pembuatan keripik pisang gedah dan analisis usaha taninya. Kajian produksi dilakukan di KWT MSB kota Palembang sedangkan analisis usahatani dilakukan pada KWT di desa PulauGemantung Ilir kabupaten OKI.Hasil kajian menunjukkan penggunaan pisang dengan ketuaan optimallebih disukai dibanding pisang gedah dengan ketuaan sedang. Perlakuan perendaman soda dapat memperbaiki kerenyahan keripik namun mengurangi aspek penerimaan dari segi warna. Penggorengan vakum tidak dapat digunakan untuk menghasilkan keripik pisang yang masih mentah. Hasil analisis usaha tani produksi keripik pisang gedah skala rumah tangga menunjukkan nilai R/C ratio sebesar 1.52 dan nilai B/C ratio 0.52. Nilai ini menunjukkan bahwa usaha keripik pisang gedah ini cukup layak untuk diusahakan. Kata kunci :pengolahan, keripik, pisang gedah, usaha tani

PENDAHULUAN

Pisang merupakan buah yang banyak diusahakan petani diwilayah Tanjung lubuk kab OKI. Menurut sensus 2013 di Kec Tanjung lubuk terdapat 256.982 rumpun pisang dan diusahakan oleh 2141 rumah tangga (BPS kab OKI, 2014). Beberapa jenis pisang yang diusahakan petani adalah pisang kepok atau sebatu, pisang ambon, pisang nangka, pisang emas, pisang putri dan yang paling banyak dihasilkan adalah pisang gedah. Pisang gedah pemanfaatannya saat ini masih terbatas yakni diperjual belikan sebagai pisang segar yang harganya murah. Pada musim buah duku harga pisang seringkali jatuh bahkan tidak laku.

Usaha pengolahan berbasis pisang gedah diwilayah OKI masih sangat jarang

termasuk usaha yang memanfaatkan pisang mentah seperti pembuatan keripik.Bahan baku keripik pisang umumnya menggunakan pisang kepok atau pisang nangka karena hasil keripiknya banyak disukai. Namun dari aspek keuntungan margin yang diperoleh pengusaha keripik berbahan baku pisang kepok cukup kecil karena harga bahan bakunya mahal. Sedangkan pisang nangka meskipun harga bahan baku rendah namun jenis pisang ini tidak banyak diusahakan diwilayah OKI, sehingga dipasaran cukup jarang ditemui. Menurut beberapa pengolah keripik, keripik yang dibuat dari pisang gedah warnanya pucat dan teksturnya keras sehingga kurang disukai konsumen. Kajian ini bertujuan menelaah aspek teknologi pembuatan keripik pisang gedah dari pemilihan bahan baku dan perlakuan perendamanserta menghitung analisis usaha tani pada skala rumah tangga.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat penelitian Kajian percobaan produksi keripik pisang gedah dengan penggorengan biasa dan vakum frying dilakukan di KWT MSB Talang jambe Palembang sedangkan data untuk analisis

884

usahatani diambil di KWT Perempuan Bersatu Desa Pulau Gemantung Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir pada bulan Agustus-September 2015. Bahan dan Alat : Bahan yang digunakan : pisang gedah, minyak goreng dalam kemasan, soda, air, garam, kunyit. Alat yang digunakan :pisau pasah, perajang manual berputar, kompor gas, wajan, pengaduk, peniris. Alat pengukur : untuk kekerasan adalah texture analyser, untuk warna adalah spektrofotometer Minolta. Prosedur percobaan 1. Ujicoba pembuatan keripik dengan berbagai bahan perendam Pisang gedah yang digunakan adalah pisang dengan ketuaan sedang. Pisang gedah dikupas, dicuci, diiris,direndam dengan beberapa bahan perendam yakni asam cuka,asam sitrat, air nenas, dan soda. Konsentrasi bahan perendam yang digunakan adalah 1 sdm /5 liter air dan direndam 30 menit. Selanjutnya pisang ditiriskan lalu digoreng. Keripik pisang yang dihasilkan dianalisis dari segi warna dan kekerasan di lab THP Unsri. 2. Ujicoba pembuatan keripik pisang gedah pada tingkat ketuaan berbeda Pada ujicobaproduksi keripik pisang gedah skala kelompok tani diuji coba perlakuan tingkat ketuaan sedang dan ketuaan penuh dengan paket teknologi sebagai berikut : A: pisang dikupas, diiris memanjang dengan pisau pasah,langsung digoreng B: pisang dikupas ,diiris memanjang dengan pasah,direndam soda,digoreng C: pisang dikupas,diiris membulat dengan alat perajang manual,direndam soda,digoreng Selanjutnya keripik pisang hasil ujicoba dianalisis secara fisik dengan alat pengukur warna menggunakan spektrofotometer Minolta dengan data berupa koordinat warna L(lightness), a (redness), b ( Yellownes) dan kekerasan dengna alat texturizer serta diuji organoleptic yakni tingkat kesukaan dari skala 1-5 yakni dari tidak suka-agak suka-netral-suka-sangat suka.

3. Uji coba pembuatan keripik pisang gedah mentah dengan vakumfrying Ujicoba dilakukan di KWT MSB kota Palembang menggunakan alat vakumfrying kapasitas 3 kg dengan kebutuhan minyak 15 liter. Alat ini tidak dilengkapi kontroler suhu dan kaca pemonitor sampel, berbahan bakar gas. Sampel diamati visual setelah 120 menit dan diukur warna dan kekerasan dengan alat. 4. Perhitungan analisis usaha tani keripik pisang gedah skala rumah tangga Analisis kelayakan usaha tani yang digunakan adalah dengan mengitung nilai R/C dan B/C ratio. Analisis ini bertujuan untuk melihat perbandingan (nisbah) peneriman dan biaya. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut :

{ }

Dimana : R = penerimaan, Py = harga output, FC = Biaya tetap C = biaya Y = output VC = Biaya variabe Analisis data pendapatan usaha tani digunakan untuk menggambarkan faktor keuntungan usaha tani dan rasio penerimaan terhadap biaya dengan kriteria penilaian B/C ratio > 1 maka usaha tani di katakan layak untuk dikembangkan.

885

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik pisang gedah Pisang gedah berukuran cukup kecil dengan panjang 7-10 cm, lebar 4 cm berat per buah pisang sekitar 60-90 g. Dalam satu tandan terdapat 7-13 sisir pisang. Berat per sisir sekitar berkisar 700g-1,1 kg dengan jumlah buah per sisir rata-rata 14 buah. Dari 1,1kg pisang segar diperoleh berat setelah dikupas 700g atau63%. Dari satu sisir pisang berukuran 1,1 kg dihasilkan keripik sebesar 320 g atau rendemen 29 %. Pada pisang gedah kadang ditemukan biji. Uji coba berbagai bahan perendam terhadap tekstur dan warna keripik pisang gedah Menurut Prabawati et al (2011) dalam pembuatan keripik pisang dapat diaplikasikan tahap perendaman yakni dalam larutan natrium metabisulfit 0.05%, asam sitrat 0.1% dan garam 1% selama 5-10 menit. Oleh karena itu pada kajian ini diujicoba beberapa bahan perendam yang diperkirakan dapat menghasilkan keripik pisang gedah yang disukai. Hasil uji warna dan tekstur dapat di lihat di table 1. Hasil kajian menunjukkan bahwaperendaman irisanpisang dalam asam sitrat dan nenas menghasilkan tekstur yang lebih keras dibanding control, namun warna yang dihasilkan cenderung kekuningan, yakni warna yang umum disukai pada keripik pisang. Pada ujung keripik .Sedangkan perendaman dalam cuka dan soda menghasilkan perubahan warna kearah terang atau pucat dan kerenyahan yang lebih tinggi dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi sitrat kurang cocok diterapkan dalam pembuatan keripik pisang gedah, meskipun pada pisang jenis lain seperti kepok sering dianjurkan dalam bentuk kombinasi dengan sulfit. M Tabel 1. Nilai warna dan tekstur keripik pisang gedah dengan beberapa bahan perendam Jenis bahan perendam

Nilai warna (L,a,b) tekstur

L A b Peak load Final load Asam Sitrat 62.5 8.05 23.7 379.25 2.1 Cuka/asetat 49.2 4.5 15.5 95.4 69.9 nenas 52.5 8.95 18.35 619.2 0.7 Soda 49 7.65 14.95 65.5 63 Tanpa perendaman

60.25 7.90 31.15 204.3 8.6

Ujicoba pembuatan keripik pisang gedah pada tingkat ketuaan berbeda

Pada ujicoba dengan tingkat ketuaan sedang dihasilkan keripik yang berwarna pucat dan tekstur agak keras. Hasil uji warna dan kekerasan menggunakan alat dapat dilihat di Tabel 1 dan 2. Pada hasil analisis warna ditunjukkan penggorengan langsung tanpa perendaman menghasilkan warna keripik yang sedikit lebih cerah kearah kekuningan, sedangkan yang diberiperlakuan soda dihasilkan keripik dengan warna yang pucat atau cenderung putih. Dari data tekstur juga terlihat pisang tanpa perlakuan menunjukkan nilai peak load yng tinggi yang menunjukkan tenaga/gaya yang dibutuhkan jarum untuk menembus irisan keripik. Semakin tinggi nilai peakload menunjukkan tekstur sampel semakin keras.Data ini juga diperkuat dari hasil uji organoleptic yang menunjukkan perlakuan sampel tanpa perendaman mendapat skor tingkat kerenyahan yang rendah.Sedangkan sampel irisan pisang yang mendapat perlakuan perendaman soda menunjukkan nilai warna L(lightnes)lebih tinggi yakni kearah putih pucat, padahal umumnya warna keripik yang disuka adalah kekuningan. Namun dari segi tekstur atau kerenyahan, keripik menunjukkan nilai peak yang lebih rendah yang berarti lebih renyah. Demikian juga hasil organoleptic menunjukkan perlakuan soda mendapat skor kerenyahan yang lebih tinggi. Soda atau sodium karbonat telahdigunakan untuk melunakkan bahan organic seperti pada pembuatan susu kedelai, tahu dan kembang tahu dan penggunaannya pada konsentrasi 0.05% (Suprapti, 2005), dalam pembuatan marning jagung (Richana dkk,2012) dan keripik talas. Luki dan Nisa (2003) menyebutkan perendaman soda 1%

886

selama 30 menit dapat meningkatkan kerenyahan keripik talas. Rina dkk (2005) menyebutkan keripik yang diperoleh dari jenis pisang kepok, awa dan kapas pada tingkat ketuaan sedang lebih ekonomis namun kurang disukai oleh panelis. Panelis lebih menyukai keripik yang dibuat dari pisang dengan ketuaan optimal disbanding pisang setngah masak.

Tabel 2. hasil uji warna dan tekstur keripik dari beberapa paket perlakuan yang

menggunakan pisang gedah dengan kematangan sedang.

sampel warna tekstur

L a b Peak load Final load

Kontrol 47.0 50.0

5.6 5.7

13.2 50.0

513.8 449.8

0 2.8

Iris memanjang, direndam soda

54.0 55.5

9.8 9.2

20.8 20.0

196.4 137.8

127.6 137.8

Iris membulat,di rendam soda

54.7 56.9

6.5 5.4

16.0 17.3

346.4 303.2

0.8 5.8

Tabel 3. Skor kesukaan panelis terhadap paket perlakuan keripik pisang ketuaan sedang

Sampel Warna Rasa Kerenyahan Penampilan Kontrol 3,9 3,7 3.8 3,75 Iris memanjang, direndam soda

3,2 4,0 4.1 3,25

Iris membulat,di rendam soda

3,0 3,5 3,8 3,1

Penampilan keripik pisang gedah dengan tingkat ketuaan sedangtanpa ada perlakuan penambahan pewarna lebih rendah dibanding dengan keripik pisang dari varietas lainnya seperti nangka dan kepok. Keadaan ini tentu akan berpengaruh pada pilihan konsumen karena biasanya pertimbangan pertama konsumen untuk memilih keripik adalah dari penampilan, terutama jika keripik dijadikan sebagai oleh-oleh. Namun jika segmentasi pasar adalah anak-anak sekolah dan produk dikemas dalam bungkusan kecil yang terjangkau harganya, dan pada keripik ditambahai flavour yang dapat menutupi warna asli dan menambah citarasa keripik, maka keripik jenis ini masih berpeluang memberikan keuntungan.

Hasil pengujian organoleptik yang menggunakan pisang gedah dengan ketuaan penuh dapat di lihat di Tabel 3. Hasil ini menunjukkan dari segi penampilan keripik yang dibuat dari pisang gedah dengan ketuaan penuh dan adanya penambahan pewarna dapat diterima panelis dengan skor rata-rata 4 atau suka. Pisang gedah dengan ketuaan penuh lebih banyak mengandung gula dibanding ketuaan sedang sehingga rasanya lebih manis dan berpengaruh pada pembentukan warna kecoklatan pada keripik sehingga lebih menarik. Perendaman soda dapat memperbaiki kesukaan panelis terhadap kerenyahan namun dalam praktek sebaiknya dikombinasikan dengan pemberian pewarna atau coating dengan bumbu sehingga warna yang pucat dapat tertutupi.

Tabel 4. Skor kesukaan panelis terhadap keripik pisang gedah dengan ketuaan penuh dan pemberian pewarna kunyit

Sampel Warna Rasa Kerenyahan Penampilan Kontrol 4,0 3,6 4,0 4,0 Iris memanjang, direndam soda

3,6 4,0 4,0 3,8

Iris membulat,di rendam soda

3,1 3,1 3,0 3,1

887

Data diatas menunjukkan panelis kurang menyukai keripik pisang gedah yang dipotong membulat dibanding membujur. Pada irisan melintang atau membulat warna pucat keripik lebih terlihat dan adanya empulur biji yang nyata menjadikan penampilan kurang menarik.Sedangkan dari aspek kerenyahan, keripik yang diiris membulat pada penelitian ini menurut panelis lebih keras kemungkinan disebabkan irisan keripik membulat lebih tebal (karena diiris dengan alat perajang manual berputar. Irisan keripik secara membulat juga kurang disukai produsen karena pada kemasan tertentu, Volume terlihat sedikit dibanding dengan irisan memanjang pada berat yang sama. Namun cara pengirisan dengan alat perajang berputar lebih cepat karena sekali putaran terdapat 4 mata pisau.

Menurut Richana dkk (2012) pada pembuatan keripik pisang digunakan bahan perendam natrium metabisulfit 0.05%,asam sitrat 0.1% dan garam 1% selama 5-10 menit. Pada kajian ini tidak dilakukan perendaman dengan sodium metabisulfit karena bahan ini tidak mudah diperoleh di wilayah kajian. Selain itu pada percobaan pendahuluan perlakuan dengan asam sitrat pada pembuatan keripik pisang gedah dapat menghasilkan warna yang lebih kekuningan namun teksturnya keras. Ujicoba pembuatan keripik pisang mentah dengan vakumfrying

Pada percobaan penggunaan alat vakum fring untuk membuat keripik pisang menggunakan bahan baku pisang mentah diperoleh hasil secara visual penampilan keripik keras, tidak mengembang dan tidak matang meskipun sudah digoreng selama 2jam..Nilai peak load tekstur analyser menunjukkan peak load rata-rata mencapai 615 Newton dan warna yang gelap. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Wijayanti dkk (2011) yang menyatakan penggunaan vakumfrying dapat memperbaiki mutu keripik pisang kepok, juga Marvella dkk(2013) yang menyebutkan penggunaan vakumfryng dapat meningkatkan nilai jual keripik pisang agung. Hasil yang berbeda ini diduga dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya jenis alat vakum, kondisi percobaan yang digunakan (kinerja,suhu,waktu), maupun tingkat kematangan pisang. Vakum frying umumnya digunakan untuk menggoreng buah dengan kadar air dan kadar gula tinggi yang jika dilakukan pada penggorengan biasa dihasilkan keripik yang gosong, sedangkan pada pisang mentah kadar patinya masih dominan sehingga diperlukan suhu tinggi untuk mematangkan dan membuatnya dapat mengembang. Analisis usaha tani keripik pisang gedah skala rumah tangga

Pada analisis ekonomi usaha keripik pisang gedah skala rumah tangga ini proses pembuatan keripik melalui tahapan pengupasan, pencucian, pengirisan,dan penggorengan, tanpa melalui proses perendaman.Pisang yang digunakan adalah pisang gedah sebanyak 1 tandan ukuran besar dengan harga Rp 15.000 per tandan per proses dan dalam waktu 1 bulan dilakukan 8 kali proses. Dalam satu proses diperlukan 2 liter minyak dengan harga 13.000 rupiah per liter, plastik pembungkusukuran 9 x 13 cm sebanyak 4 bungkus per bulan dengan harga Rp 9.000/ bungkus. Bahan lainnya adalah flavour balado dengan harga Rp 6000 per bungkus dan dalam satu bulan diperlukan 4 bungkus. Aspek penerimaan dihitung dari output keripik yang dihasilkan yakni keripik dikemas pada plastik ukuran kecil 9x 13 cm dan dijual kewarung sekolah dengan harga 400 rupiah perbungkus. Jika dalam 1 kali proses diperoleh 300 bungkus maka dalam sebulan dihasilkan 2400 bungkus atau senilai Rp 960.000.

888

Tabel 5. Analisa Usaha Tani keripik pisang gedah dalam aktu 1 bulan

Uraian Biaya

A. Biaya Bahan dan Alat (Saprodi) Pisang gedah 120.000

Minyak Goreng 208.000

Flavor balado 24.000

Plastik 36.000

Lilin 8.000

Pisau kupas 1.250

Peraang 3.300

Aan 3.300

Gas elpii 66.000

Alat peniris (tampah) 2.500

Alat peniris minyak 3.300

Sub total A 472.550

B. Biaya Tenaga KerJa 8 HOK 160.000

Sub Total B 160.000

C. Total Biaya ( A+B) 632.550

D. Penerimaan 1) 960.000

E. Keutungan (D-C) 372.450 R/C (D/C) 1.52

B/C (E/C) 0.52

Hasil penghitungan diperoleh nilai R/C ratio sebesar 1,52 dan nilai B/C ratio 0.52. Artinya pengolahan pisang gedah menjadi keripik pisang layak di kembangkan karena nilai R/C >1, dan B/C ratio nya >0. Sebagai perbandingan, pengusahaan keripik pisang kepok, awa, kapas pada skala 20 kg bahan di propinsi Kalimantan Tengah dilaporkan menghasilkan keuntungan masing masing sebesar 61,769; 77.654 dan 103,803 rupiah (Rina dkk, 2005), sedangkan pisang agung dengan cara manual diperoleh R/C rasio adalah 1,21 (Marvella dkk, 2013). Hasil tersebut menunjukkan pengusahaan pisang awa lebih menguntungkan disbanding pisang kepok. Menurut Suharo dkk (1993) pisang gedah atau pisang awak adalah jenis pisang yang paling banyak diusahakan diwilayah Sumsel. Sedangkan analisis usaha pisang awak menjadi keripik, sale pisang , sale pisang goreng dan keripik pisang

889

bolong di kab Pacitan masing-masing menunjukkan nilai R/C adalah 1,27; 2,05;1,65 dan 1,67 (Sutanti, 2009). Perbedaan nilai R/C keripik ini dapat dipengaruhi oleh kapasitas produksi, kemasan, harga bahan baku serta penetapan nilai jual.

KESIMPULAN Untuk mendapatkan keripik pisang gedah yang disukai sebaiknya digunakan pisang

gedah dengan ketuaan penuh, jika digunakan bahan pisang gedah ketuaan sedang dapat diberi perlakuan tambahan berupa perendaman dalam air soda dan penambahan pewarna. Perlakuan perendaman soda dapat memperbaiki kerenyahan namun juga menurunkan penilaian terhadap warna, Keripik pisang gedah cukup layak diusahakan karenanilai R/C 1.98 dan B/C ratio>0.90.

UCAPAN TERIMAKASIH Disampaikan terimakasih pada SMARTD Badan Litbang Pertanian yang telah

mendanai penelitian ini dalam kegiatan KKP3SL tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Luki Y.C, Nisa F.C.2013. Pengaruh perendaman dalam calsium hidroksida dan natrium karbonat terhadap karakteristik keripik talas. Skripsi. fakultas pertanian Unibraw.

Marvella, P.E, Effendi, U. Putri, S.A.2013. Analisis Kelayakan Teknis dan Finansial Pengembangan Usaha Keripik Pisang dengan Mesin Perajang dan Vacuum Frying (Studi Kasus di UD “SAAS” Kec. Sumbersuko, Kab. Lumajang).jskriptisif.staff.ub.ac.id.

Prabawati,S.Suyanti.Setyabudi D.A.2011. Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Buah Pisang.BB Pascapanen.Litbang Pertanian.

Richana, N.Ratnaningsih, Haliza, W. 2012.Teknologi Pascapanen Jagung.BB Pascapanen.Litbang Pertanian

Rina,D.Y.Antarlina, Sri satya, Rukayah. 2005. Analisis Finansial Usahatani dan

PengolahanKeripik Beberapa Jenis Pisang Di Kalimantan Tengah. Prosiding seminar

Suharto. Trisulo.Soemargono,A.Kasirin. 1993. Wilayah pengembangan usahatani pisang di Sumatera..

Jurnal Penelitian hortikultura. Balai penelitian hortikultura Solok.

Suprapti, L.M.2005. Kembang tahu dan susu kedelai. Kanisius Jakarta.

Sutanti,T.2009.Strategi pengembangan agroindustry berbasis pisang awak di kabupaten Pacitan. Tesis. UPN Jatim.

Wijayanti,R.Budiastra,I.W.Hasbullah,R.2011.Kajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa Dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang. Jurnal Keteknikan Pertanian.Vol 25 No 2.

890

KELAYAKAN EKONOMI PADI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) DI KALIMANTAN BARAT

(Studi Kasus : Desa Sui Nipah Kecamatan Siantan Kalimantan Barat )

Juliana C.Kilmanun dan Tuti Sugiarty

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat

Jl.Budi Utomo No.45. Siantan Hulu Kalimantan Barat

ABSTRAK

Di Kalimantan Barat, produktivitas padi, jagung dan kedelai masih rendah masing-

masing hanya 31/37ku/ha untuk padi, jagung 37,38 ku/ha dan kedelai 13,69 ki/ha (Badan Pusat Statistik, 2011). Rendahnya produktivitas padi disebabkan karena sebagian besar masih menggunakan varietas lokal, pemupukan yang seadanya dan lahan yang kurang subur. Oleh karena itu introduksi teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) diharapkan dapat diadopsi oleh petani dan meningkatkan produktivitas padi khususnya di Kalimantan Barat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat kelayakan ekonomi dari introduksi VUB melalui kegiatan SLPTT di desa Sui Nipah Kecamatan Siantan Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Hasil analisis ekonomi dari keempat VUB (inpara 6, inpara 7, inpari 30 dan inpago 5) pada luasan 0,5 ha diketahui bahwa produktivitas inpari 30 lebih tinggi yaitu 4,0 dengan B/C rationya 2,8. Dari keempat varietas yang diintroduksi petani lebih menyukai inpari 30 karena selain memiliki produktivitas tinggi, rasa nasinya disukai oleh petani. Kata Kunci : Kelayakan Ekonomi, Varietas Unggul Baru (VUB),

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas strategis yang tetap mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, padi selain berfungsi sebagai makanan pokok juga merupakan sumber mata pencaharian. Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sehingga kebutuhan akan beras juga meningkat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan beras nasional yang terus meningkat, Pemerintah mencanangkan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang mentargetkan peningkatan produksi sebesar 5 % pertahun. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melaksanakan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu.

Salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan produktivitas padi sawah adalah dengan penggunaan varietas unggul baru. Badan Litbang Pertanian sejak tahun 2008 melalui Balai Besar Padi telah melepas 33 VUB terdiri 13 Inpari, 6 Inpara, 3 Inpago dan 11 Hipa. Dari VUB yang dilepas tersebut mempunyai potensi produktivitas yang tinggi, dibandingkan dengan varietas IR64 yang telah lama diintroduksi tahun 1978. Kisaran produkvitas varietas-varietas baru tersebut berkisar antara 7 – 12 t/ha ( Bambang S., et al., 2010 dalam Abidin ,Z & Kilmanun, 2014). Lebih lanjut Sularno et al (2011) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul baru inpari 13 mampu meningkatkan produktivitas hingga 33,92 %.

Pada tahun 2010, produksi padi nasional mencapai sekitar 65,9 juta ton, sementara pada tahun 2014, produksi ditargetkan menjadi sekitar 75,7 juta ton, oleh karena itu mesti ada peningkatan produksi rata-rata sekitar 5 % per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2010; Kementerian Pertanian, 2011).

Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi budidaya pertanian yang memegang peranan utama baik dalam hal peningkatan hasil persatuan luass maupun sebagai salah satu komponen utama dalam pengendalian hama penyakit (Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan, 1992).

Selain itu Badan Litbang Pertanian juga telah memperkenalkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. PTT merupakan suatu usaha untuk

891

meningkatkan hasil padi dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak. Budidaya padi dengan pendekatan PTT pada prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi usahatani (Anonim, 2007 dalam Zainal et al,2014).

Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2013) produksi padi dalam5 tahun terakhir meningkat 3,44 %/tahun dari 60,32 juta ton GKG tahun 2008 menjadi 68,96 juta ton GKG tahun 2012, sedangkan laju peningkatan produktivitas sebesar 1,14%/tahun 2,26%/tahun. Demikian juga produksi jagung meningkat rata-rata 3,94% dari 16,32 juta ton PK menjadi 18,96 juta ton PK, sedangkan laju peningkatan produktivitas sebesar 4,05%/tahun dan rata-rata luas panen menurun 0,14 %/tahun. Namun produktivitas kedelai berdasarkan ARAM II tahun 2012 baru mencapai 783.158 ton atau 34,05% dari kebutuhan kedelai setiap tahunnya yang mencapai 2,3 juta ton biji kering (Ditjen Tanaman Pangan, 2013). Disisi lain, terjadi peningkatan sasaran produksi padi, jagung dan kedelai tahun 2014 yaitu padi 75,56 juta ton GKG, jagung 29 juta ton PK dan kedelai 2,7 juta ton (Kementan, 2011). Untuk mencapai sasaran produksi tersebut, maka diperlukan beberapa strategi salah satunya melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang telah terbukti mendorong meningkatkan produksi padi dan jagung Nasional (Ditjen Tanaman Pangan, 2013).

Mulai tahun 2013, upaya peningkatan produktivitas Sekolah Lapang Pengelolaan Terpadu (SLPTT) difokuskan melalui pola pertumbuhan, pengembangan dan pemantapan yang penekatan kawasan skala luas, terintegrasi dari hulu sampai hilir, peningkatan jumlah paket bantuan sebagai instrumen stimulan serta pendampingan dan pengawalan. Satu kawasan SLPTT padi luasan 1.000 Ha, jagung 1.000 Ha, sedangkan kedelai 500 Ha.Melalui penerapan SLPTT diharapkan meningkatnya produktivitas padi inhibrida sawah 0,75 t/ha, padi hibrida 2,0 ton/ha, padi pasang surut dan rawa lebak 0,3 t/ha dan padi lahan kering/gogo 0,5 ton/ha, jagung hibrida 2,5 ton/ha,jagung komposit 1 ton/ha (Ditjentan, 2013) dan sasaran provitas kedelai 16 ku/ha (Ditjentan, 2013). Peningkatan produktivitas ini diharapkan dapat mendukung tercapainya produktivitas padi, jagung dan kedelai di Kalimantan Barat tahun 2014 sesuai Renstra Kementan Edisi Revisi 2010 - 2014 sebesar 1,6 jutaton GKG untuk padi, jagung 284 ribu ton PK dan kedelai 10,8 ribu ton BK (Kementrian Pertanian, 2011).

Dari pendampingan SLPTT padi dan jagung tahun 2010 oleh BPTP Kalbar ternyata varietas unggul Inpara 1, 2, 3, Situ Bagendit yang diuji adaptasikan cocok dilahan sawah pasang surut dan disenangi oleh petani, sedangkan Inpari 1, Inpari 4, 6 dan Cibogo cocok di Lahan sawah ½ teknis. Selain itu melalui demplot PTT padi dan jagung yang merupakan contoh teknologi lengkap PTT memberikan hasil yang cukup baik yaitu padi berproduktivitas antara 3 – 7,3 ton/ha, jagung antara 3 – 4,8 ton/ha (BPTP Kalimantan Barat, 2010).

Berdasarkan data BPS, 2011 dikatakan produktivitas padi di Kalimantan Barat masih rendah. Hal disebabkan karena sebagian besar masih menggunakan varietas lokal, pemupukan yang seadanya dan lahan yang kurang subur. Kabupaten Mempawah merupakan salah satu lokasi pelaksanaan SLPTT. Varietas unggul baru merupakan salah satu introduksi teknologi yang diterapkan di KAbupaten tersebut. Introduksi teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) diharapkan dapat diadopsi oleh petani dan meningkatkan produktivitas padi khususnya di Kalimantan Barat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat kelayakan ekonomi dari introduksi VUB melalui kegiatan SLPTT di desa Sui Nipah Kecamatan Siantan Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan pada bulan Janusi hingga Desembar 2014. Varietas yang diuji

adalah inpara 6, inpara 7, inpari 30 dan inpago 5, dilaksanakan di desa Sui Nipah Kecamatan siantan Kabupaten Mempawah. Budidaya tanaman dilakukan mengacu pada program SLPTT Badan Litbang pertanian.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder, dimana data primer diperoleh dari wawancara dengan petani dan data sekunder diperoleh dari instansi terkait.

892

Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dikumpulkan data input dan output pada petani kooperator.

Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dilakukan analisis usahatani (deberti, 1986; swastika, 2000) yaitu :

∏ = Q x pQ-ΣX x PX Keterangan : ∏ = Keuntungan (Rp/ha) Q = Jumlah Gabah Kering Panen (GKP) yang dihasilkan (Kg/ha) pQ = Harga Gabah (Rp/kg) x = Jumlah input (kg/liter/HOK) pX = harga input (Rp/kg/liter/HOK)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Wilayah Pengkajian Kecamatan Siantan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Mempawah

merupakan salah satu buffer stock padi di Propinsi Kalimantan Barat. Pada umumnya masyarakat bermatapencaharian sebagai petani. Hampir 80 % tipologi lahannya adalah sawah dengan irigasi non teknis.

Berdasarkan data dari BPP kecamatan Siantan, 2015 dikatakan bahwa luas lahan untuk penanaman 1 kali setahun adalah 3.294 ha dan luas lahan untuk 2 kali setahun adalah 1.500 ha. Pola tanam yang selama ini dilakukan ada yang 1 kali setahun dan ada juga yang 2 kali setahun. Jenis vareitaspadi yang sering ditanami petani adalah ciherang dan cisadane. Pada tahun 2014, petani mulai mengadopsi dan menanam varietas baru yaitu Inpara 1 dan inpara 3.

Hama yang biasanya menyerang tanaman padi di desa tersebut adalah hama tikus, walangsangit, wereng punggung putih, penggerek batang dan belalang. Pengendalian hama lebih banyak mengandalkan pestisida. Dalam berusahatani, petani sudah menggunakan alat dan mesi pertanian antara lain; hand traktor dan power threaser. 2. Introduksi Teknologi Melalui SLPTT

Pada tahun 2014, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat menetapkan desa Sui Nipah menjadi salah satu lokasi pelaksanaan SLPTT di Kabupaten Mempawah. Melalui SLPTT diharapkan menjadi suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan, dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan, sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Hendayana et al, 2009dalam Afrizal, 2013). Melalui SLPTT, petani diajarkan untuk menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan.

Dalam pelaksannaan SLPTT, ada beberapa rekomendasi paket teknologi yang diintroduksikan kepada pengguna dan diharapkan komponen teknologi tersebut dapat diterapkan oleh petani dan memberikan hasil yang optimal dalam berusahatani padi. Adapun komponen teknologi tersebut dapat dilihat pada Tabel. 2.

893

Tabel.2. Paket Teknologi PTT Padi di Desa Sungai Nipah, Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak 2014.

No Lokasi Paket Teknologi

1 Desa Sungai Nipah Varietas Inpara 6,Inpara 7,Inpari 30 dan Inpago 5

Label benih SS Pemupukan Berdasarkan PUTS ;

Urea122Kg/ha, NPK Ponska 240 Kg/ha dan KCl 40 Kg/ha.

Sistem Tanam Legowo 4:1 PengendalianOPT Pendekatan PHT

3. Analisis Keuntungan

Salah satu kriteria kesesuaian untuk diterimanya suatu teknologi baru oleh petani adalah kemampuan ekonomi (economic viability) dari suatu teknologi itu. Bila penerimaan bersih dari teknologi yang diuji dalam suatu pengkajian di lahan petani ternyata lebih kecil dari penerimaan bersih yang diperoleh petani pada umumnya, maka teknologi baru tersebut secara ekonomi tidak sesuai dan tidak akan diadopsi oleh petani. Meskipun demikian, kriteria kemampuan ekonomi dari teknologi baru tidak cukup untuk meyakinkan kecocokan teknologi kepada petani kecil. Kriteria lain yang diperlukan adalah kesesuaian secara teknis dan kesesuaian terhadap sumberdaya petani, kondisi sosial dan budaya masyarakat serta sarana infrastruktur yang tersedia. (Malian, 2004).

Analisis kelayakan ekonomi dilakukan untuk melihat dari empat Varietas Unggula Baru (VUB) yang diintroduksi, mana yang lebih cocok dan menguntungkan jika diadopsi. Adapun analisis ekonominya dapat dilihat pada Tabel.3.

894

Tabel.3. Analisis Ekonomi Usahatani Padi Ssawah Varietas Unggul Baru, di Desa Sui Nipah Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempwah, 2015.

Uraian Varietas

Inpara 6 Inpara 7 Inpari 30 Inpago 5

A.Biaya Sarana 1.800.000 1.750.000 1.800.000 1.750.000

- Benih 125.000 125.000 125.000 125.000

- Pupuk 1.485.000 1.485.000 1.485.000 1.485.000

- Herbisida 65.000 65.000 65.000 65.000

- Pestisida 125.000 75.000 125.000 75.000

B.Tenaga Kerja 2.144.143 2.955.967 2.254.445 2.254.445

C. Lain-lain 120.000 120.000 120.000 120.000

D. Total Biaya 4.064.143 4.825.967 4.174.445 4.124.445

E. Produksi 2670 2500 4000 2110

F. Harga 4.000 4.000 4.000 4.000

G. Keuntungan 6.615.857 5.174.033 11.825.555 4.315.555

H. B/C Ratio 1,6 1,1 2,8 1,1

Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa VUB yang diintroduksi dikatakan layak secara ekonomi dengan nilai B/C rationya > 1. Dari hasil analisis juga terlihat bahwa komposisi biaya terbesar adalah pada tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani padi masih bersifat padat tenaga kerja.

KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat Varietas Unggul Baru (VUB) yang diintroduksi layak secara ekonomi dimana nilai B/C ratio >1 dan nilai B/C ratio yang tertinggi adalah varietas Inpara 30 yaitu 2,8.

2. Penerapan Komponen teknologi SLPTT diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi di Kalimantan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal Malik, 2013. Kelayakan Teknis Ekonomis Varietas Padi Sawah Pendekatan PTT

Spesifik Lokasi di Papua. Jurnal Agros. Volum.15. No.1, Januari 2013. Fakultas Pertanian, Universitas Janabadra, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2011. Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2011. Pontianak.

BPTP Kalimantan Barat, 2010. Laporan Akhir Pendampingan Pelaksanaan SLPTT Padi dan Jagung Tahun 2010. Pontianak.

Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production economics. Machmillan publishing company. New York.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)Padi dan Jagung Tahun 2013. Jakarta

895

Malian,A.H. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan finansial teknologi Pada Skala Pengkajian. Kumpulan Materi Analisa Fianansial dan Ekonomi Bagi Pengembangan Dan Usahatani Agribisnis Wilayah. BPTP Kalbar, 2004.

Sularno, Joko Handoyo dan Nurhalim, 2011. Peran Inovasi Teknologi Varietas Unggul Baru Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Teknologin Spesifik Lokasi. BBP2TP. Bogor

Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan, 1992. Varietas Unggul Baru. Bogor

Zainal Abidin dan Juliana.C.Kilmanun,2014. Kajian Adaptasi dan Preferensi Petani Terhadap Beberapa VArietas PAdi Inpari di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Sprsifik Lokasi di Pontianak,20-21 Agustus, 2014. BBP2TP.Bogor

Zainal Abidin Sri Bananiek, Didik Raharjo dan Akhmad Musyafak,2014. Pengkajian Usahatani Varietas Unggul Baru Inpari Melalui Pendekatan PTT Untuk Mendukung P2BN di Kabupaten Konawe Sulawesi tenggara. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Sprsifik Lokasi di Pontianak,20-21 Agustus, 2014. BBP2TP.Bogor

896

KAJIAN EFISIENSI USAHATANI JAGUNG VARIETAS BIMA 3 BANTIMURUNG

(Studi Kasus Desa Mattirowalie Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan)

Andi Faisal Suddin1) dan Nur Imdah Minsyah2) Abd Gaffar3)

1)3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan

2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan Menganalisis efisensi dan kelayakan usahatani Jagung Varietas Bima-3 Bantimurung berdasarkan aspek pemasaran, teknis lingkungan, dan finansial. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mattirowalie, Kecamatan tanete Riaja, Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan mulai April hingga Juli 2013. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif tentang keadaan aktual dari aspek pasar dan pemasaran, teknis , dan lingkungan serta analisis R/C ratio.Hasil penelitian membuktikan bahwa : (1) Produksi jagung bima 3 bantimurung yang sudah dipanen dibeli langsung oleh pedagang pengumpul selanjutnya ke pedagang besar dan lembaga – lembaga pemasaran lainnya hingga sampai kepada konsumen. (2) Pengembangan teknologi jagung bima 3 bantimurung masih menggunakan teknologi sederhana. (3) Usahatani jagung varietas Bima-3 memberikan dampak yang positif dari segi social dan ekonomi terhadap masyarakat setempat, (4) Tingkat efisiensi Usahatani jagung Varietas Bima-3 cukup tinggi dengan R/C Ratio = 4,2)

Kata kunci : Efisensi, Usahatani Jagung Varietas Bima 3.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jagung bersama dengan beras dan kedelai, merupakan tiga komoditas bahan pangan

strategis dan sangat penting bagi Indonesia, baik sebagai bahan pangan pokok kedua bagi penduduknya, sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak dan dalam perekonomian nasional (Sudaryanto et al., 2007; Rurastraet al., 2005; Ishaqet al., 2010).

Sejak tahun 1990 Indonesia menjadi Negara Net Impor jagung, karena produksi dalam negeri masih dibawah kebutuhan yang menunjukkan kecendrungan semakin meningkat dalam taraf yang cukup signifikan (Kasrynoet al., 2005). Pertama, peningkatan konsumsi langsung oleh penduduk seiring dengan pertambahan jumlahnya. Penduduk Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung sebagai pangan pokok atau sebagai pengganti beras pada waktu-waktu tertentu cukup banyak dan tersebar di beberapa wilayah, seperti di Pulau Madura, Pantai Selatan Jawa Timur, Pantai Selatan Jawa Tengah, Yogyakarta, Pantai Selatan Jawa Barat, Sulawesi Selatan bagian timur, Kendari, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Boolan Mangondow, Maluku Utara, Karo, dairi, Sinalungun, NTT dan sebagian NTB (Berliana, 2010).

Kedua peningkatan kebutuhan jagung, seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas industry pakan, terutama pakan ayam ras, baik pedaging maupun petelur, dimana komponen utama dari pakan tersebut adalah jagung. Peningkatan kebutuhan jagung tersebut, belum diiirngi dengan system penyediaan (produksi) jagung yang memadai, sehinggat antara produksi dan kebutuhan terjadi ketimpangan dan untuk menutupi ketimpangan ini, sebagian dari kebutuhan jagung tersebut diimpor (Rurastraet al., 2005).

Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi jagung, karena memiliki sumberdaya alam dan lingkungan agroekologis yang cukup mendukung, dan teknologi system komoditas jagungpun cukup tersedia, hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, baik sebagai substitusi impor maupun promosi ekspor (Pasandaranet al., 2005).

897

Secara nasional pengembangan jagung pada agroekosistem lahan kering seluas 60-70% dan pada lahan sawah tadah hujan sebesar 20-30% (Amir, 2012). Luas lahan kering di Sulsel tercatat 913.446 ha (Anonim, 2007), sementara luas lahan sawah tadah hujan tercatat 228.605 ha (BPS, 2013).

Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi yang memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan dan peningkatan produksi jagung, termasuk di dalamnya Kabupaten Barru. Di Kabuapaten ini, sebagian petani telah menggunakan jagung hibrida Bima-3 Bantimurung, Vareitas ini termasuk Vareitas Baru. Untuk mempercepat pengenalan kepada petani secara luas dan sekaligus menjukkan kelebihan dan keuntungnnya, BPTP Sul-Sel bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros mengnadakan kegiatan demontrasi area (Dem Area). Demontrasi area ini dilaksanakan di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan kelayakan usahatani Jagung Varietas Bima-3 Bantimurung berdasarkan aspek pemasaran, teknis, lingkungan, dan finansial.

METODE PENELITIAN

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mattirowalie, Kecamatan tanete Riaja, Kabupaten Baru Provinsi Sulawesi Selatan mulai April hingga Juli 2013.

2.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan ada dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data primer diperoleh dari wawancara petani responden dengan menggunakan

kuisioner atau daftar pertanyaan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. 2. Data sekunder diperoleh dari instansi/ lembaga yang berkaitan dengan peneltian.

2.3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Analisis Deskriptif, yaitu untuk mengetahui status dan mendeskripsikan fenonema

berdasarkan data yang terkumpul, yang digambarkan secara deskripsi tentang keadaan aktual dari aspek pemasaran, teknis dan lingkungan.

2. Analisis Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) R/C Ratio yaitu total penerimaan (nilai produksi) dibagi dengan total biaya dengan formulasikan sebagai berikut :

R/C Ratio = TC

TR

Keterangan : TR = P x Q TR = Total penerimaan

P = Harga produk Q = Produksi yang diperoleh TC = Biaya tetap + Biaya variabel TC = Total biaya

Makin tinggi nilai R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin

besar. Nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu (R/C > 1) menunjukkan kegiatan usaha efisien karena penerimaan lebih besar dari pengeluaran. Jika Nilai R/C ratio lebih kecil dari satu (R/C < 1) menunjukkan kegiatan usaha tidak efisien karena penerimaan lebih kecil dari pengeluaran.

898

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Kelayakan dari aspek pemasaran, Teknis dan Lingkungan 3.1.1. Aspek Pemasaran

Dari hasil pengamatan di lapangan, petani jagung Bima-3 Bantimurung umumnya menjual langsung produksi jagungnya dalam bentuk pipilan kering ke pedagang pengumpul karena menurut petani ada beberapa keuntungan yang dirasakan diantaranya adalah pedagang pengumpul langsung mendatangi tempat petani dan langsung melakukan transaksi, pedagang pengumpul melakukan pembelian secara langsung atau tunai kepada petani. Selain itu pedagang pengumpul langsung membeli semua hasil produksi jagung serhingga petani bisa menghemat biaya transportasi. Petani akan memasarkan hasil produksi jagungnya kepada pedagang yang memberikan tawaran harga yang lebih tinggi dan ada juga petani yang memasarkan jagungnya dengan langsung kepada pedagang yang sudah sering membeli jagungnya.

Harga jagung Bima-3 Bantimurung berkisar Rp 3000/kg. Harga jagung Bima-3 Bantimurung cukup menjanjikan karena kualitas dari jagung Bima-3 Bantimurung tergolong bagus dibandingkan jagung lokal, warna jagung yang lebih menarik, jumlah biji lebih banyak dan bobot biji lebih tinggi serta kandungan karbohidrat yang ada pada jagung Bima-3 Bantimurung tinggi. Mekanisme kegiatan pemasaran jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie yaitu pada saat petani sudah panen dan melakukan proses pengeringan, maka pedagang pengumpul sudah melakukan negoisasi dengan petani tersebut sehingga terjadi kesepakatan antara petani dan pedagang pengumpul. Sedangkan pedagang pengumpul langsung menjual hasil panennya kepada pedagang besar. Adapun saluran pemasaran usahatani jagung Bima-3 Bantimurung berada di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Saluran Pemasaran Usahatani Jagung di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, 2013.

Berdasarkan gambar 1, menunjukkan bahwa saluran pemasaran yang terjadi di Desa

Mattirowalie dimulai dari petani jagung kemudian ke pedagang pengumpul yang selanjutkan ke pedagang besar. Pedagang besar membeli jagung dari pedagang pengumpul. Pembelian dilakukan di rumah pedagang pengumpul atau pasar. Kegiatan yang dilakukan oleh pedangan besar antara lain berupa sortasi dan grading, pengemasan, dan pengangkutan dari pedagang pengumpul. Pedagang besar menanggung resiko penyusutan maupun kerusakan barang saat penyortiran maupun selama perjalanan. Pembayaran yang dilakukan antara pedagang besar dan pedagang pengumpul kadang dilakukan secara tunai atau dengan tempo dengan jangka waktu satu sampai tiga hari, tergantung kepercayaan dan keuangan pedagang. Pedagang besar kemudian menyalurkan jagung yang akan diolah menjadi pakan ternak ke penyalur pakan ternak yang selanjutkan disalurkan ke pedagang pengecer ke berbagai daerah hingga sampai kepada konsumen.

Analisis marjin pemasaran dibatasi pada saluran pemasaran dari pedangang pengumpul sampai pada konsumen. Adapun besarnya margin, biaya dan keuntungan yang

Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Besar

Penyalur pakan Ternak Pedagang Pengecer Konsumen

899

diperoleh masing-masing lembaga pemasaran jagung Bima-3 Bantimurung dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Margin, Biaya dan Keuntungan Masing-masing Lembaga Pemasaran Jagung Bima-3 Bantimurun di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Baru, Provinsi Sulawesi Selatan, 2013.

Lembaga Pemasaran Harga

Jual (Rp/Kg)

Harga Beli

(Rp/Kg)

Margin (Rp/Kg)

Biaya (Rp/Kg)

Keuntungan (Rp/Kg)

1.Petani 2. Pedagang Pengumpul 3. Pedagang Besar 4. Penyalur Pakan Ternak 5. Pedagang Pengecer

3.000 3.300 3.600 4.000 4.500

- 3.000 3.300 3.600 4.000

- 300 300 400 500

- 100 125 250 312

- 200 175 150 188

JUMLAH - - 1.500 787 713 Sumber : Data primer diolah, 2013.

Berdasarkan tabel 1 mengenai margin, biaya dan keuntungan pada masing – masing lembaga pemasaran menunjukkan perbedaan biaya pemasaran disebabkan adanya perbedaan perlakuan pada masing-masing lembaga pemasaran. Semakin panjang saluran pemasaran semakin besar biaya yang dikeluarkan. Keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang pengecer sedangkan paling kecil pada pedagang pengumpul desa. Perbedaan keuntungan disebabkan adanya perbedaan resiko yang ditanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran. Pemilihan saluran pemasaran tergantung pada harga jual, transportasi, kemampuan finansial petani, fasilitas yang diberikan dan ketersediaan waktu.

Sarana dan prasarana trasportasi yang tersedia dengan baik memungkinkan petani untuk membeli kebutuhan yang tersedia di kota kabupaten. Jalan beraspal sudah masuk ke Desa Mattirowalie. Alat transportasi baik angkutan perkotaan maupun angkutan perdesaan membantu kelancaran dalam pemenuhan kebutuhan petani dan memudahkan petani untuk membeli input maupun menjual output pertanian. Dengan tersedianya pasar dan pemasaran di daerah penelitian, maka dapat dikatakan bahwa usahatani ini layak untuk dikembangkan di daerah ini. Menurut Firdaus (2009), aspek pasar dan pemasaran dalam suatu usaha sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena walaupun aspek lain telah dilaksanakan tetapi tidak dibarengi dengan aspek pasar dan pemasaran ini, maka usaha tersebut tidak akan berarti apa-apa.

3.1.2. Aspek Teknis dan Manajemen

Dalam aspek teknis dan manajemen ini dibahas mengenai budidaya dari tanaman jagung. Di sini dapat dilihat bagaimana penggunaan sarana produksi dan syarat-syarat budidaya yang dikehendaki tanaman jagung untuk mendukung pertumbuhannya.Suhantri 2002, mengatakan bahwa mengadopsi paket teknologi secara utuh petani perlu memiliki dan mengakses modal dan bantuan tenaga kerja keluarga serta keterampilan yang memadai. Adanya teknologi baru, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usaha pertanian dan pendapatan petani sehingga kesejahteraan petani dan keluarganya akan terjamin. Berusahatani jagung membutuhkan keseriusan dan kesabaran serta harus menggunakan teknologi yang tepat serta berkaitan dengan keahlian dalam pengelolaan lahan dan teknis budidaya tanaman jagung. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui teknologi komoditi jagung hibrida. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan peran petani bertindak atau berperilaku sesuai tingkatannya yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pengembangan teknologi jagung hibrida di Desa Mattirowalie ternyata belum dapat diterima petani secara baik dan benar. Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi petani telah dilakukan oleh pemerintah melalui dinas atau instansi terkait serta telah menjadi agenda kegiatan setiap tahun. Dari pengamatan di lapangan, fenomena ini terlihat

900

jelas di tingkat petani Desa Mattirowalie, sejauh ini tahapan inovasi teknologi jagung hibrida belum berjalan secara baik dan benar bahkan petani masih mempertahankan pola usahatani jagung sesuai kebiasaan (tradisional). Inovasi teknologi jagung yang telah diperkenalkan antara lain adalah penentuan pilihan komoditi varietas unggul, pengolahan lahan, cara penanaman, pemeliharaan serta penanganan panen dan pascapanen secara tepat.

Adapun sarana produksi yang diperlukan dalam usahatani jagung Bima-3 Bantimurung yaitu bibit, pupuk, dan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan usahatani jagung. Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan penanaman jagung. Bibit yang unggul dan berkualitas baik didukung oleh penerapan teknik budidaya yang tepat akan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil tanamannya. Aspek teknis dan manajemen pada petani responden jagung Bima-3 Bantimurung dapat dilihat berdasarkan tabel 2 berikut.

Tabel 2. Aspek Teknis dan Manajemen Usahatani Jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan, 2013.

No. Uraian Bima 3 Bantimurung

1. Bibit 15kg 2. Pupuk

Kompos Urea Ponska

50kg

250kg 150kg

3. Herbisida Gromoxone (liter)

10

4. Peralatan Usahatani Cangkul Tajak Parang Handspray

4 3 5 1

5. Transportasi (liter) 5 Sumber : Data primer diolah, 2013.

Tabel 2 menunjukkan bahwa Penggunaan bibit jagung Bima-3 Bantimurung sebanyak 15 kg. Bibit ini diperoleh dengan cara dibeli di pasar di toko tani dengan harga bibit jagung Bima-3 Bantimurung Rp. 40.000/kg. Pemberian pupuk terdiri dari dua macam, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yang digunakan yaitu pupuk kandang sebanyak 50 kg, sedangkan pupuk anorganik yaitu urea 250 kg dan ponska 150 kg. Pemakaian pupuk yang belum berimbang disebabkan harga pupuk yang mahal. Petani hanya mampu membeli pupuk sesuai dengan kondisi ekonomi mereka. Pemakaian pupuk yang masih seadanya, beberapa petani yang ada bahkan hanya memakai pupuk urea saja dan pupuk kandang yang dosisnya pun disesuaikan dengan kemampuan mereka.

Adapun manajemen waktu yang digunakan petani di Desa Mattirowalie berdasarkan curah hujan. Curah hujan adalah unsur iklim yang paling penting kaitannya dengan budidaya tanaman jagung terutama di lokasi penelitian, petani sangat tergantung dengan curah hujan karena mereka menjadikan hujan sebagai tolak ukur keberhasilan tanaman jagungnya. Persiapan lahan dengan sistem tanpa olah tanah dilakukan pada musim kemarau menjelang datangnya musim hujan dengan cara membersihkan ladang dari sisa tanaman atau gulma.

Adapun pola tanam usahatani jagung Bima-3 bantimurung di Desa Mattirowalie menggunakan pola tanam tumpang gilir. Dimana petani menanam padi terlebih dahulu kemudian ubi jalar dan jagung. Pola tanam tumpang gilir ini dilakukan secara beruntun sepanjang tahung dengan mempertimbangkan berbagai faktor untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Usahatni jagung di Desa Mattirowalie merupakan pekerjaan sampingan petani setelah menanam padi sehingga usahatani jagung di lokasi tersebut hanya ditanam sekali dalam setahun.

901

3.1.3. Aspek Lingkungan Aspek lingkungan diartikan sebagai bagian dari kegiatan yang berinteraksi dengan

lingkungan dimana elemen kegiatan dan produksi dari suatu usaha yang berinteraksi dengan lingkungan. Keberadaan suatu usaha pada suatu tempat, tentunya akan membawa dampak bagi lingkungan disekitarnya baik dampak positif dan negatif. Oleh karena itu pengelola perusahaan atau usaha perlu memahami, menilai dan berinteraksi terhadap faktor-faktor eksternal (lingkungan).

Aspek tentang pengendalian dampak lingkungan merupakan masalah serius dan mendasar dari suatu usaha. Oleh karena itu, pengetahuan tentang dampak lingkungan akan membantu pemilik perusahaan dalam memilih teknologi dan produksi yang dapat memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak Lingkungan dikategorikan atas dua bagian yaitu dampak biofisik serta dampak sosial ekonomi.

3.1.4. Dampak Biofisik

Dampak yang paling nyata terlihat akibat aktifitas usahatani adalah dampak biofisik.

Usahatani jagung Bima 3 Bantimurung dalam proses produksinya tidak lepas dari lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Adapun dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan usahatani ini adalah dampak lingkungan biofisik yaitu limbah padat yang berupa potongan-potongan batang tanaman jagung. Di sini petani jagung menanggulangi ampas dari usahataninya dengan cara ampas dari sisa tanaman jagung dijadikan sebagai bahan makanan ternak. Petani tidak membuang ampas dari tanaman jagung melainkan memberikan makanan untuk ternak sapi mereka.

3.1.5. Dampak Sosial Ekonomi

Penerimaan masyarakat di Desa Mattirowalie terhadap tanaman jagung Bima-3

Bantimurung cukup baik. Dampak yang dihasilkan dari adanya usahatani ini yaitu memberi dampak yang positif bagi masyarakat setempat, yaitu dampak sosial dan ekonomi. Dampak sosialnya yaitu masyarakat Desa Mattirowalie dapat menjalin keakraban yang lebih mendalam karena seringnya terjadi komunikasi dan kerja sama antar sesama masyarakat mengenai usahatani mereka. Selain itu, dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan meningkatkan mutu hidup. Dari segi ekonomi, dampak yang dihasilkan yaitu dapat menambah pendapatan petani sehinga dapat dikatakan bahwa usahatani jagung Bima-3 Bantimurung cukup layak untuk dikembangkan di Desa Mattirowalie.

3.2. Analisis Kelayaka Finansial

Dalam mengelolah usahatani perlu dilakukan analisis finansial dengan tujuan untuk

memperkirakan tingkat kelayakan usahatani tersebut. Analisis kelayakan finansial merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi suatu usaha. Menurut Kadariah (1999), analisis finansial ini penting dalam memperhitungkan insentif bagi orang-orang yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan usaha sebab tidak ada gunanya melaksanankan suatu usaha jika hanya menguntungkan dari sudut ekonominya tetapi para petani yang menjalankan aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya.

Suatu usahatani disebut layak apabila manfaat yang dihasilkan lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan selama usaha tersebut dilaksanakan. Karenanya berbagai faktor penunjang yang mendukung usaha tersebut secara pasti harus diketahui sebelum usaha itu dilaksanakan (Choliq, 1999). Untuk aspek finansial, akan dibahas mengenai criteria-kriteri yang digunakan untuk melihat layak tidaknya usahatani jagung yaitu dengan menggunakan analisis R/C rasio. R/C rasio Salah satu ukuran efisiensi pendapatan adalah R/C atau perbandingan penerimaan dan total biaya.

902

3.2.1. Analisis Biaya Ada dua jenis biaya yang harus diperhitungkan untuk menjalankan usahatani ini yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya variable). 3.2.1.1. Biaya Tetap

Biaya tetap dalam usahatani jagung Bima-3 Bantimurung yaitu biaya penyusutan

peralatan dan pajak lahan. Setiap alat mempunyai kondisi fisik yang berbeda-beda, ada yang mudah rusak dan ada pula yang tahan meskipun telah disimpan selama bertahun-tahun. Adapun besarnya nilai penyusutan dan pajak lahan dari usahatani jagung Bima-3 Bantimurung dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Penyusutan Peralatan dan Pajak Lahan pada Usahatani Jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie, Tanete Riaja, Kabupaten Barru, 2013.

No Jenis Biaya Tetap Jumlah (Unit)

Harga beli (Rp)

Nilai Sisa(Rp)

Umur (Tahun)

Nilai (Rp)

1

Penyusutan Peralatan: Cangkul Tajak Parang Hand Spray

4 3 5 1

50.000 22.000 35.000

350.000

35.000 9.500

13.000 300.000

5 7 7 3

12.000 5.357

15.714 16.666

2 Pajak Lahan 100.000

Jumlah 149.738

Sumber : Data primer diolah, 2013.

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa jenis peralatan yang dimiliki oleh petani jagung Bima-3 Bantimurung adalah 4 buah cangkul dengan nilai penyusutan sebesar Rp 12.000,-, 3 buah tajak dengan nilai penyusutan sebesar Rp 5.357,-, 5 buah parang dengan nilai penyusutan sebesar Rp 15.714,- dan 1 buah handspray dengan nilai penyusutan sebesar Rp 16.666,-. Sehingga diperoleh total nilai penyusutan alat pada usahatani jagung Bima-3 Bantumurung adalah sebesar Rp 49.738,-. Adapun pajak lahan seluas 1 ha dari usahatani Bima-3 Bantimurung sebesar Rp 100.000,-. Maka total biaya tetap pada usahatani jagung Bima-3 Bantimurung adalah Rp 149.738,00. 3.2.1.2. Biaya Variabel

Biaya variabel adalah biaya yang digunakan dalam proses usahatani jagung yang besarnya berubah-ubah secara proporsional terhadap kuantitas output yang dihasilkan. Adapun biaya variabel yang dikeluarkan pada usahatani jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

903

Tabel 4. Biaya Variabel pada Usahatani Jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, 2013.

No. Jenis Biaya Fisik Harga/Satuan

(Rp) Harga Total

(Rp) 1. Bibit Jagung Bima-3 Bantimurung (kg) 15 40.000 600.000 2. Pupuk :

- Kompos - Urea (kg) - Ponska (kg)

50

250 150

5.000

93.000 120.000

250.000 465.000 360.000

3. Herbisida : - Gromoxone (Liter)

10

50.000

500.000

4. Tenaga Kerja (HKSP) : - Penyediaan Bibit - Pengolahan Lahan - Penanaman - Pemeliharaan - Panen - Pengeringan - Pemipilan

0,13 31,5 10,5 22,5 5,5

2,38 3

20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000

2.500

630.000 210.000 450.000 104.000

47.500 60.000

5. Transportasi (Liter) 5 4.500 22.500 Total 3.701.500

Sumber : Data primer diolah, 2013.

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa biaya variabel usahatani jagung Bima-3 Bantimurung terbagi menjadi beberapa jenis biaya yaitu biaya bibit jagung Bima-3 Bantimurung, biaya pupuk yang dimana pupuk yang digunakan ada tiga jenis yaitu kompos, urea dan ponska, herbisida, biaya tenaga kerja mulai dari penyediaan bibit, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen, pengeringan dan pemipilan serta biaya transportasi. Total biaya variabel yang dikeluarkan pada usahatani jagung Bima-3 Bantimurung adalah sebesar Rp 3.701.500,-. 3.3. Analisis Revenue Ratio (R/C Ratio)

Analisis R/C Rasio merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu unit usaha dalam melakukan p r o s e s p r o d u k s i m eng a l a m i k e r ug i a n , i m p a s a t a u u n t u n g . Adapun Hasil analisis R/C ratio pada usahatani jagung Bima-3 Bantimurung dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Analisis R/C Ratio Usahatani Jagung Bima-3 Bantimurung di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, 2013.

No Uraian Jagung Bima 3 Bantimurung

1. Biaya Tetap 149.738,- 2. Biaya Variabel 3.701.500,-

Total Biaya 3.851.238,- 3 Produksi (Kg/ha) 6000,- 4 Harga (Rp/kg) 3000,- 5 Penerimaan (Rp.) 18.000.000,- 6 R/C ratio 4,67

Sumber : Data primer diolah, 2013. Tabel 14 menunjukkan bahwa usahatani jagung Varietas Bima 3 bantimurung di Desa

Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru yang telah dijalankan sudah efisien dan memberikan keuntungan yang sangat besar secara ekonomi. Hal ini terlihat dari hasil analisis R/C ratio usahatani jagung Bima-3 Bantimurung yang lebih dari satu yaitu revenue

904

rationya mencapai 4,67 yang menunjukkan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Semakin besar R/C rasio maka akan semakin besar pula penerimaan yang akan diperoleh produsen.

KESIMPULAN

1. Produksi jagung jagung Bima-3 Bantimurung yang sudah dipanen dibeli langsung oleh

pedagang pengumpul selanjutnya ke pedagang besar dan lembaga – lembaga pemasaran lainnya hingga sampai kepada konsumen.

2. Usahatani jagung varietas Bima 3 Bantimurung memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat setempat, khususnya pada aspek sosial dan ekonomi.

3. Usahatani jagung Varietas Bima 3 bantimurung di Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru yang telah dijalankan sudah efisien dan memberikan keuntungan yang sangat besar secara ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, 2012. Kajian Sistem Tanam Jagung Dalam Konteks Integrasi Tanaman – Ternak. Jurnal

Ilmiah AgroSaint. ISSN: 2086-2237. Vol.III No.3 Agustus-November 2012. UKI Toraja.

Anonim, 2007. Profil Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan. Luas lahan sawah di Sulawesi Selatan.

Berliana, Rodo. 2010. Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan pada Usahatani Jagung. Universitas Diponegoro Semarang.

BPS, 2013. Laporan Survey Lahan Pertanian Sulawesi Selatan (SP-LAHAN). Biro Pusat Stastik Sulawesi Selatan.

Choliq, Abdul., Rivai Wirasasmita, dan Sumarna Hasan. 1999. Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar). Edisi Revisi. Pionir Jaya. Bandung.

Firdaus, Muhammad. 2009. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Bumi Aksara.

Ishaq, I. dan K. Subayono. 2010. Pengembangan Agroindutri Jagung Melalui Penerapan Teknologi Peningkatan Mutu Jagung dan Produk Olahan. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan “Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan, Buku I. hal 135 – 146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Kadariah, Lien Karlina, dan Clive Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kasryno, F., E. Pasandaran., dan A.M. Fagi. 2005. Dinamika Produksi dan Pembangunan Sistem Komoditi Jagung Indonesia. Ekonomi Jagung Indonesia, hal 307-341. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Pasandara, E., dan F. Kasryno. 2005. Sekilas Ekonomi Jagung Indonesia: Suatu Studi di Sentra Utama Produksi Jagung”. Ekonomi Jagung Indonesia, hal 1 – 13. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Rurastra, I.W. dan F. Kasryno. 2005. Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional, hal 255 – 287. Ekonomi Jagung Indonesia, hal 307-341. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Sudaryanto, T. dan DKS. Swastika. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan, hal 1 – 27. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Suhantri. 2002. Tingkat Adopsi Petani terhadap Jagung Hibrida. Institute Pertanian Bogor.

Yasin, M. dan Zubachtirodin. 2010. Peningkatan Produksi Jagung melalui Peningkatan Indeks Pertanaman. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan “Inovasi Teknologi

905

Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan, Buku I. hal 119 - 125. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

906

IMPLEMENTASI DAN POTENSI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN

PETANI DI KALIMANTAN BARAT

Abdullah Umar1), M. Qodarrohman2), Suci Primilestari3)

1) Peneliti Pertama pada BPTP Kalimantan Barat 2) Calon Peneliti pada BPTP Kalimantan Barat

Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu Pontianak, Kalimantan Barat 3) Calon Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Samarinda Kotabaru Jambi 36128 Indonesia

ABSTRAK

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga petani adalah dengan mendorong pemanfaatan lahan pekarangan menjadi sumber pangan dan gizi keluarga. Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) bertujuan untuk memasyarakatkan konsep pemanfaatan lahan pekarangan tersebut dengan cara yang semaksimal mungkin. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan KRPL yang dilaksanakan di dua desa di Kabupaten Sekadau, yaitu Desa Sungai Kunyit Kecamatan Sekadau Hilir dan Desa Rirang Jati Kecamatan Nanga Taman. Selain itu, melihat manfaatnya secara langsung terhadap perekonomian masyarakat pelaksana program, serta menganalisis potensi pengembangannya di masa mendatang. Penelitian dilaksanakan dengan metode studi kasus pada bulan Mei s/d Desember 2014. Berdasarkan hasil observasi diketahui; a) Program KRPL dapat berkembang di lokasi pendampingan, dengan teknik budidaya dan pemilihan waktu yang disesuaikan dengan kultur masyarakat, b) Peningkatan pendapatan rumah tangga petani dapat lebih ditingkatkan melalui pemanfaatan lahan yang lebih luas yang dikelola secara kolektif oleh anggota kelompok, c) Inisiasi dan pengembangan model KRPL di lokasi pendampingan mampu bersinergi dengan program pemerintah daerah melalui penyediaan komoditi lain oleh pemerintah daerah, d) Sumberdaya lahan dan keanekaragaman varietas sayuran merupakan dua sumberdaya lokal yang menyimpan potensi besar dan dapat dikembangkan melalui pendekatan partisipatif.

Kata kunci: Lahan pekarangan, KRPL, ketahanan pangan.

PENDAHULUAN

Pembangunan ketahanan pangan mempunyai cakupan yang luas, melibatkan komponen-komponen lintas sektoral, multidisiplin serta berorientasi pada sumberdaya lokal. Menurut Suryana (2009), pembangunan ketahanan pangan akan terwujud jika dua kondisi terpenuhi, yaitu 1) pada tataran makro, setiap saat tersedia pangan yang cukup (jumlah, mutu, keamanan, keragaman dan terjangkau); 2) pada tataran mikro, setiap rumah tangga setiap saat mampu mengkonsumsi pangan secara cukup, aman, bergizi, dan sesuai pilihan untuk menjalani hidup sehat dan produktif.

Sejalan dengan cita-cita untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut, pada tahun 2009 Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura mencanangkan program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan perdesaan dan perkotaan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan, yaitu program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dan Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Dasar hukum pelaksanaan program adalah Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009 (Suswono, 2011). Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga.

Gerakan pemanfaatan pekarangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) pertama kali diperkenalkan dari sebuah desa di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Secara sederhana,

907

KRPL adalah sebut konsep pemanfaatan lahan pekarangan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, dengan cara membudidayakan aneka tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian, ternak dan ikan, se-optimal mungkin (Haryono, 2012). Luas lahan pekarangan yang biasanya sempit disiasati dengan model budidaya vertikultur.

Menurut Kepala Badan Litbang pertanian (Haryono, 2012), KRPL merupakan kegiatan hilir yang sederhana dan berkembang secara cepat dan menunjukkan hasil yang nyata di masyarakat. Sampai tahun 2014, KRPL telah direplikasi dan tersebar di lebih dari 4.000 desa termasuk di desa-desa di Kalimantan Barat. Di Kabupaten Sekadau, inisiasi dan pengembangan KRPL dilaksanakan di dua desa, yakni Desa Rirang Jati, Kecamatan Nanga Taman dan Desa Sungai Kunyit, Kecamatan Sekadau Hilir. Kegiatan utama yang dilaksanakan, yaitu; 1) Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan, 2) Pengembangan Kebun Benih Desa (KBD), dan 3) Pertemuan/pelatihan Kelompok Wanita Tani (KWT).

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan program KRPL yang dilaksanakan di Kabupaten Sekadau. Selain itu, melihat manfaatnya secara langsung terhadap perekonomian masyarakat pelaksana program, serta menganalisis potensi pengembangannya di masa mendatang.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan menggunakan metode Studi Kasus, yang berlokasi di Desa Sui Kunyit Kecamatan Sekadau Hilir dan Desa Rirang Jati Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Provinsi Sekadau Kalimantan Barat, pada bulan Mei s/d Desember 2014.

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi terhadap 2 Kelompok Wanita Tani (KWT) di masing-masing desa. Setiap kelompok terdiri 25 anggota ibu-ibu rumah tangga tani, yang secara umum mewakili gambaran rumah tangga petani di kedua desa.

Data dianalisis secara deskriptif dengan menyertakan informasi-informasi yang

mendukung untuk memperoleh kesimpulan yang se-obyektif mungkin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi dan Kooperator Secara geografis, Kabupaten Sekadau terletak di 0038’23” Lintang Utara sampai

dengan 0044’25” Lintang Selatan dan 110033’07” Bujur Barat sampai dengan 111017’44” Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Sekadau di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sintang, di Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, di Timur berbatasan dengan Kabupaten Sintang, dan di Barat berbatasan dengan Kabupaten Sanggau (BPS Kabupaten Sekadau, 2014).

Kondisi topografi di Kabupaten Sekadau berupa dataran dan perbukitan, dengan

ketinggian yang sangat bervariasi berada pada kisaran 0–1.000 mdpl. Luas wilayah Kabupaten Sekadau adalah 5.444,3 Km2. Kecamatan terbesar adalah Kecamatan Belitang Hulu, dengan luas 1.162,7 Km2 atau sekitar 21,36 persen dari total luas wilayah Kabupaten Sekadau.

Desa Sui Kunyit berbatasan langsung dengan Kabupaten Sanggau, terletak ±20 km

sebelum pusat kota, sehingga dianggap sebagai desa gerbang kabupaten. Walaupun menjadi “wajah” Kabupaten Sekadau, pengembangan desa belum menjadi perhatian pemerintah. Hal ini terlihat dari banyaknya akses jalan yang rusak dan infrastruktur desa yang belum memadai. Sehingga, pengembangan KRPL di desa ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah dalam bentuk estetika dan pendapatan masyarakatnya. Desa Rirang Jati berjarak ± 40 km di arah selatan pusat kota Sekadau, yang ditempuh dengan perjalanan darat selama 2 jam dengan akses jalan yang kurang memadai. Rumah-rumah penduduk yang terletak di sepanjang jalan terkesan tidak terawat akibat debu yang beterbangan dari jalanan yang

908

rusak. Pengembangan KRPL diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan perekonomian warga dan sebagai aktivitas harian yang positif dan produktif. Tabel 1. Gambaran karakteristik lokasi dan sumberdaya manusia di lokasi pendampingan

KRPL di Kabupaten Sekadau

Lokasi Jumlah KK

Kooperator

Karakteristik Sumberdaya

Alam Manusia

Desa Sui Kunyit, Kecamatan Sekadau Hilir

25 KK Desa yang terletak di pintu masuk Kabupaten Sekadau.

Penduduk asli dengan mata pencaharian utama menoreh karet.

Desa Rirang Jati, Kecamatan Nanga Taman

25 KK Desa pedalaman yang dikelilingi hutan dan perkebunan sawit.

Penduduk asli dengan mata pencaharian utama menanam sawit dan berladang.

Sumber : Data primer. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui kegiatan kemandirian pangan Rumah tangga tani

Kegiatan untuk mewujudkan kemadirian pangan rumah tangga tani di Desa Sui Kunyit dan Desa Rirang Jati, diinisiasi dengan menanam berbagai jenis tanaman sayuran di lahan pekarangan, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2. Cara penanaman dilakukan secara vertikultur dengan menempatkan tanaman di dalam polybag dan ditata di atas rak-rak yang telah dipersiapkan. Tabel 2. Jumlah dan jenis sayuran yang dikembangkan di lokasi pendampingan KRPL di

Kabupaten Sekadau.

Lokasi Jenis Sayuran yang Dikembangkan di KBD

Jumlah Sayuran yang Diberikan (polybag/KK)

Kategori Pekarangan Berdasarkan Luasan

Desa Sui Kunyit Sawi, lobak, bayam merah, terong, cabe rawit, kangkung, seledri, tomat, caisim, pare, kacang panjang.

20-25 Sedang – Luas

Desa Rirang Jati Sawi, lobak, bayam merah, terong, cabe rawit, kangkung, seledri, tomat, caisim, pare, kacang panjang dan bawang merah.

20-25 Sedang – Luas

Sumber : Data primer.

Budidaya sayuran di lahan pekarangan bertujuan untuk mengenalkan konsep KRPL kepada setiap anggota KWT, yang diharapkan lambat laun para anggota kelompok menjadi terbiasa dan merasakan langsung manfaat KRPL di halaman mereka. Sebelum konsep KRPL diperkenalkan, masyarakat desa yang merupakan penduduk lokal tidak terbiasa budidaya sayuran secara intensif di lahan pekarangan. Salah satu sebabnya, banyak lahan garapan yang tersedia di hutan/ladang yang budidayanya dilakukan secara sangat tradisional. Selain itu, banyaknya variasi jenis tanaman sayuran yang ditanam dimaksudkan untuk memberikan

909

pilihan kepada KWT jenis yang sesuai dengan preferesi masyarakatnya, dan diharapkan dapat dikembangkan lebih luas lagi di kemudian hari.

Kinerja Kegiatan Pendampingan

Keberadaan Kebun Bibit Desa (KBD) di Desa Sui Kunyit berfungsi baik dan bermanfaat dalam menyediakan bibit tanaman bagi anggota KWT maupun anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Selain bibit tanaman sayuran, di sekeliling KBD juga ditanami dengan tanaman Toga dan dapat diambil hasilnya atau diperbanyak lagi untuk anggota KWT. Sedangkan di Desa Rirang Jati, program yang dilaksanakan antara lain: pengembangan KBD, pengembangan pemanfaatan lahan pekarangan, dan pelatihan pembuatan Pupuk Organik Cair (POC). Hasil dari KBD dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bibit anggota kelompok untuk dikembangkan lebih lanjut di pekarangan masing-masing.

Program utama dalam pendampingan KRPL adalah pengembangan KBD dan penanaman komoditi sayuran dalam medium polybag atau secara vertikultur. Seiring dengan meningkatnya antusiasme anggota kelompok serta dukungan dari pemerintah daerah, variasi komoditi dan pola penanaman di lahan pekarangan kemudian berkembang. Rumah tangga dengan luas pekarangan yang cukup mulai menanam sayuran dalam formasi bedengan, baik di halaman depan, samping maupun belakang rumah. Jenis yang sayuran yang dikembangkan di halaman pekarangan adalah tomat, terong dan kacang panjang. Dukungan pemerintah daerah diberikan dalam bentuk penyedian kolam terpal dan bibit ikan nila dan lele. Dukungan ini tentu saja semakin mendorong anggota minat anggota untuk mengembangkan KRPL di wilayah mereka.

Tabel 3. Sarana dan prasarana yang dikembangkan di lahan pekarangan di lokasi pendampingan KRPL di Kabupaten Sekadau.

Lokasi KBD Polybag & Rak

Vertikultur Kolam Terpal Bedengan

Desa Sui Kunyit Ada Ada Ada Tidak ada

Desa Rirang Jati Ada Ada Ada Ada

Sumber : Data primer. Peluang dan Tantangan Pengembangan KRPL

Tantangan terbesar pengembangan KRPL di daerah umumnya terkait dengan kultur masyarakat kelompok petani kooperator. Budidaya tanaman atau komoditi lain di lahan pekarangan, walaupun tidak dilakukan secara intensif dan tanpa input yang tinggi, tetap saja membutuhkan perawatan harian seperti menyiram tanaman, pengendalian hama penyakit atau memberi pakan ternak. Dalam kultur masyarakat desa Sui Kunyit dan Rirang Jati, rutinitas semacam ini tidak biasa mereka kerjakan, sehingga walaupun merupakan pekerjaan ringan tetapi dapat terasa berat karena tidak adanya passion bagi sebagian anggota kelompok wanita tani.

910

Tabel 4. Tabel Analisa SWOT pengembangan KRPL di lokasi pendampingan di Kalimantan Barat

KEKUATAN / STRENGTHS - Sumberdaya genetik sayuran lokal di

perdesaan sangat berlimpah, a.l; timun batu, timun batang, bayam lokal, pringgi lokal, labu, kacang panjang lokal, gambas persegi/bulat, lopang, kribang, kundur, terong asam.

- Luas lahan pekarangan yang dimiliki anggota dari sedang sampai luas. Cukup untuk budidaya berbagai jenis komoditi.

KELEMAHAN / WEAKNESSES - Jumlah dan jenis sayuran yang

dibutuhkan rumah tangga petani untuk konsumsi harian sangat terbatas.

- Secara kultur masyarakat petani tidak terbiasa denga pola budidaya tanaman/ternak secara intensif

- Menanam di dalam polybag kurang disukai karena umurnya tanaman relatif lebih pendek.

- Intensitas penyinaran di lahan pekarangan tidak penuh karena pepohonan besar yang rimbun.

- Kurangnya pengetahuan tentang hama penyakit yang menyerang tanaman sayuran.

PELUANG / OPPORTUNITIES - Waktu yang terbaik dipilih masyarakat

untuk melaksanakan KRPL adalah pada saat musim penghujan, yaitu bulan September s/d Februari, karena katersediaan air melimpah.

- Jumlah ternak sebagai sumber protein hewani mencukupi

- Terdapat lahan cukup luas di luar pekarangan, yang dapat dikelola bersama dan menghasilkan profit untuk anggota.

ANCAMAN / THREATS - Bulan September s/d Februari

bersamaan dengan dimulainya musim berladang, sehingga cukup menyita waktu.

- Ternak (babi, ayam) yang tidak dikandangkan dan dibiarkan berkeliaran di perkampungan menjadi hama bagi tanaman.

Sumber : Data primer. Manfaat Kegiatan KRPL

Walaupun terdapat banyak kendala dalam proses introduksi model KRPL dan pengembangannya, program tersebut telah disadari mampu memberikan manfaat dan dampak terhadap kehidupan dan masyarakat desa tempat pendampingan. Manfaat tersebut dirasakan secara perorangan sedangkan dampaknya dirasakan oleh masyarakat desa secara keseluruhan. Beberapa manfaat yang dirasakan mansyarakat desa, diantaranya : a) Memberikan tambahan pendapatan bagi rumah tangga KWT, terutama mereka yang

menjual kelebihan produksi sayurannya. b) Kebutuhan rumah tangga terhadap beberapa jenis tanaman sayuran seperti; cabai,

terong, seledri dan sawi dapat terpenuhi hampir sepanjang tahun tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan.

c) Ketika musim berladang sudah berakhir / belum berlangsung, beberapa anggota KWT, yang tetap menjaga ketersediaan tanaman sayuran di pekarangannya, tetap memiliki aktivitas yang produktif dan bahkan bisa menjual kelebihan hasilnya.

d) Program KRPL mampu menginspirasi masyarakat di luar anggota KWT untuk memanfaatkan lahan pekarangan mereka dan memperoleh keuntungan dari keberadaan KDB di desa tersebut.

Melalui kegiatan KRPL anggota KWT memiliki aktivitas tambahan yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Minimal mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli kebutuhan rumah tangga, yaitu konsumsi sayuran. Menurut

911

Ketua KWT Letari, Ibu Yuliana, tambahan pendapatan yang bisa diperoleh dari kegiatan KRPL di wilayahnya berkisar antara 100.000 s/d 150.000 /KK/bulan.

Inisiasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di desa pendampingan juga berhasil menarik perhatian pemerintah daerah, yang akhirnya mendorong pemerintah daerah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan lain yang sejalan dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat, fokus kepada KWT. Sebagai contoh, Desa Sui Kunyit yang diikutsertakan dalam lomba desa tahun 2014 berhasil menjadi juara tingkat kabupaten. Hasil ini tidak terlepas dari aktivitas produktif anggota KWT dalam kegiatan KRPL. Kegiatan KRPL di desa tersebut juga mendorong anggota KWT, dibantu dengan PPL setempat, untuk lebih jauh lagi melakukan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan atau lahan kosong di sekitar KBD. Lahan kosong yang biasanya tidak termanfaatkan ditanami jagung dan kacang tanah. Hasil produksinya cukup baik dan dapat dinikmati oleh masyarakat umum disamping juga mampu memberikan kebanggaan tersendiri sebab keseluruhan hasil panen jagung dan kacang tanah tersebut diborong oleh ketua penggerak PKK kabupaten. Potensi Desa sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari

Sumberdaya lahan dan keanekaragaman varietas sayuran lokal, merupakan dua kekuatan yang menyimpan potensi besar bagi kemajuan desa Sui Kunyit dan Rirang Jati. Rata-rata luas pekarangan di kedua desa tersebut masih lebih luas jika dibandingkan dengan luas pekarangan daerah perkotaan. Lahan tersebut belum termasuk ladang tempat mereka menanam padi atau tanaman lain. Lahan yang luas memungkinkan mereka untuk menanam segala macam tanaman yang dibutuhkan, walaupun tanpa kegiatan budidaya yang intensif, masyarakat desa masih bisa memperoleh manfaat dari berbagai jenis sayuran lokal yang banyak tumbuh di hutan atau ladang mereka. Namun demikian, lahan yang luas tersebut tidak sepenuhnya memiliki daya dukung yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Sebagian besar diantaranya adalah lahan-lahan kering atau marjinal yang membutuhkan perlakuan khusus agar bisa ditanami, misalnya dengan perlakuan pembakaran lahan.

Keanekaragaman varietas sayuran lokal juga merupakan salah satu kekuatan potensial untuk menopang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Varietas lokal memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh varietas hibrida atau komposit unggul hasil pemuliaan, yakni memiliki daya adaptasi yang sangat baik di lingkungan tersebut dan lebih tahan arau toleran terhadap serangan berbagai macam hama penyakit tanaman. Selain itu sayur atau buah varietas lokal diakui memiliki rasa lebih enak dan umur panen yang lebih lama Namun demikian, kendala pengembangan varietas lokal adalah; produktivitasnya rendah dan berumur panjang.

Peluang Pengembangan KRPL di Desa Pendampingan Jika potensi sumberdaya lahan bisa dipadukan dengan produktivitas yang tinggi

tentu akan memberikan dampak sosial maupun ekonomi yang sangat baik bagi desa pendampingan. Oleh karena itu, potensi lahan dan keanekaragaman varietas di desa pendampingan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga diperoleh teknologi untuk mengoptimalkan sumberdaya lahan dan meningkatkan produktivitas sayuran lokal.

Kajian terhadap sumberdaya tanah ditujukan untuk memperoleh teknologi yang mampu meningkatkan daya dukung tanah untuk pertumbuhan tanaman. Diharapkan teknologi tersebut berupa cara-cara / tehnik yang aplikatif serta tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Jika terdapat dampak negatif diharapkan dampak tersebut dapat ditekan seminimal mungkin. Sedangkan kajian terhadap varietas sayuran lokal berorientasi untuk memperoleh teknologi yang mampu mengoptimalkan produktivitas tanaman, sehingga varietas lokal dapat dibudidayakan secara intensif dan secara ekonomi menguntungkan. Dalam sudut pandang KRPL, peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya lahan dan mengoptimalkan produktivitas sayuran lokal, adalah tujuan besar yang ingin dicapai. Dengan demikian, desa-desa pendampingan di Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Sekadau memiliki potensi yang besar sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari.

912

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil observasi pada studi kasus KRPL di Kabupaten Sekadau dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut : a) Program KRPL dapat berkembang di Desa Sui Kunyit dan Rirang Jati dengan melakukan

penyesuaian teknik budidaya dan pemilihan waktu pelaksanaan dengan kultur masyarakat setempat.

b) Peningkatan produktivitas rumah tangga petani dapat lebih ditingkatkan melalui pemanfaatan lahan yang lebih luas yang dikelola secara kolektif oleh anggota kelompok.

c) Inisiasi dan pengembangan model KRPL di lokasi pendampingan mampu bersinergi dengan program pemerintah daerah yang menuju ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

d) Potensi lahan dan keanekaragaman varietas sayuran merupakan dua sumberdaya lokal yang menyimpan potensi besar dan dapat dikembangkan melalui pendekatan partisipatif.

DAFTAR PUSTAKA

2011. Pedoman Umum Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP).

Kementerian Pertanian. Jakarta

2014. Laporan Akhir Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat. BPTP Kalimantan Barat. Pontianak.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sekadau, 2014. Statistik Daerah Kabupaten Sekadau 2014. Available at: http://sekadaukab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=4 [Accessed August 15, 2015].

BPTP Kalimantan Barat. 2013. Laporan Akhir Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat. BPTP Kalimantan Barat. Pontianak.

Haryono. 2012. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X untuk Ketahanan Pangan Indonesia. Available at: http://i.litbang.pertanian.go.id/berita/1301/. [Accessed May 18, 2016].

Suryana, A. 2009. Membangun Ketahanan Pangan Nasional, Daerah Berkelanjutan. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Jakarta

Suswono. 2011. Pedoman Umum Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Kementerian Pertanian. Jakarta

913

ANALISIS SWOT STRATEGI PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK MELALUI PENGADAAN UPPO (UNIT PENGOLAHAN

PUPUK ORGANIK) DI PROVINSI JAMBI

Wenny Lestari dan Rima Purnamayani

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Pemanfaatan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan. Untuk membantu kelompok tani dalam pembuatan pupuk organik dengan sumber bahan organik yang beragam, serta mengaplikasikan pupuk organik tersebut pada usahatani yang mereka lakukan, pemerintah telah memberikan bantuan berupa Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO). Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi (2012), di Provinsi Jambi terdapat 41 UPPO yang tersebar di 11 kabupaten/kota. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh strategi pengembangan pupuk organic melalui pemberian UPPO di Provinsi Jambi. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan berdasarkan sumbernya yang terdiri dari data primer dan sekunder dengan instrumen penelitian ini berupa kuesioner dan pedoman wawancara.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan daerah tersebut telah mewakili masing-masing agroekosistem di Provinsi Jambi yaitu : KabupatenTebo, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Kerinci. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT untuk memperoleh strategi pengembangan pupuk organic melalui pemberian UPPO di Provinsi Jambi. Dari analisis tersebut diatas bahwa faktor kekuatan lebih besar dari kelemahan dan faktor peluang lebih kecil dari ancaman. Oleh karena itu posisinya berada di kwadran 4 yang berarti pengembangan pupuk organik memiliki kekuatan dan sekaligus memiliki ancaman dari luar. Strategi pengembangan pupuk organik di Provinsi Jambi melalui analisis SWOT yaitu:Meningkatkan pemahaman petani mengenai keuntungan penggunaan pupuk organik melalui kelompok tani, memberikan penghargaan bagi petani/kelompok tani yang berkomitmen menggunakan/memproduksi pupuk organik, harga pupuk organik lebih murah dan ramah lingkungan dibandingkan pupuk kimia, Penyediaan tempat khusus yang menyediakan pupuk organik padat dan cair.

Kata Kunci : pupuk, organic, UPPO, SWOT

PENDAHULUAN

Pupuk organik merupakan salah satu input produksi yang memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka memperbaiki unsur hara tanah yang saatini kondisinya sangat memprihatinkan. Jenis pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang, kompos, pupuk hijau dan limbah pertanian.Aplikasi pupuk organik pada tanaman dapat meningkatkan kesuburan tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini karena pupuk organik bukan hanya memperbaiki tanah dari segi kimia saja, akan tetapi juga memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah (Hartatik dan Setyorini, 2012). Menurut Sulistyawati dan Nugraha (2011), bahan organik dalam pupuk berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologis tanah sehingga dapat menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah, serta mengurangi ketergantungan pada pupuk anorganik/kimia. Penggunakan pupuk organik memiliki kelebihan yaitu tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air dan udara serta produknya tidak mengandung racun, tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dan umumnya produk tanaman organik lebih mahal. Pemanfaatan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan.

914

Untuk membantu kelompok tani dalam pembuatan pupuk organik dengan sumber bahan organik yang beragam, serta mengaplikasikan pupuk organik tersebut pada usahatani yang mereka lakukan, pemerintah telah memberikan bantuan berupa Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO). Adapun sebaran lokasi pengembangan UPPO di Provinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi Pengembangan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) Provinsi Jambi

No Kabupaten/Kota Jumlah Desa Jumlah Kelompok Tani yang diberikan bantuan UPPO

1 Batanghari 8 8 2 Bungo 1 1 3 Kerinci 2 2 4 Merangin 5 5 5 Muaro Jambi 4 4 6 Sarolangun 5 5 7 Tanjung Jabung Barat 4 4 8 Tanjung Jabung Timur 2 2 9 Tebo 7 7

10 Kota Jambi 1 1 11 Kota Sungai Penuh 2 2

Pupuk organik di Provinsi Jambi di tingkat petani hanya diproduksi in situ (belum

komersial) dan hanya dipakai sendiri oleh kelompok. Menurut Data dinas pertanian tanaman pangan Provinsi Jambi tahun 2013, alokasi pupuk organik masih rendah dibandingkan dengan pupuk anorganik. Oleh sebab itu dengan bantuan mesin UPPO yang diberikan kepada kelompok tani seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh petani untuk mengembangkan dan memproduksi pupuk organik, untuk mensubstitusi pupuk anorganik yang sudah ada sehingga mereka beralih menggunakan pupuk organik.

Dengan memproduksi pupuk organik sendiri melalui UPPO tentunya diharapkan jumlah produksi meningkat dan tentunya biaya pupuk dapat ditekan. Dalam pengembangan pupuk organik ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain produksi pupuk, produksi hasil usahatani, harga pupuk organik, ketersediaan bahan baku dan SDM petani. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat dihasilkan suatu strategi pengembangan pupuk organik di Provinsi Jambi

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi pengembangan pupuk organik melalui pemberian UPPPO di Provinsi Jambi.

METODOLOGI Penelitian ini mengkaji strategi pengembangan pupuk yang dihasilkan dari

pemberian bantuan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) oleh Dinas Pertanian Provinsi Jambi. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode survey dan dilaksanakan selama 6 bulan yang dimulai pada bulan Mei 2014 hingga bulan Oktober 2014.

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan daerah tersebut telah mewakili masing-masing agroekosistem di Provinsi Jambi yaitu : KabupatenTebo untuk Agroekosistem lahan kering dataran rendah, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat untuk agroekosistem lahan basah dan pasang surut dataran rendah, Kabupaten Kerinci Untuk agroekosistem lahan kering dataran tinggi

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Sumber data primer ini adalah kelompok tani yang diberikan bantuan UPPO (petani organik), kelompok tani an organik, dan penyuluh. Sedangkan data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Data tersebut dapat diperoleh dari laporan, jurnal dan hasil publikasi dari instansi yang terkait dengan penelitian.

Teknik pengambilan responden untuk data primer pada penelitian ini dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling) karena populasi tidak homogen,

915

yaitu terdiri dari dua sub populasi, seperti sub populasi petani organik dan konvensional (non-organik). Dari semua sub populasi tersebut, masing-masing diambil 15% dari populasi sehingga diperoleh 36 responden petani organic dan 36 responden petani anorganik. Petani/responden yang dipilih merupakan petani yang memahami dan berkecimpung di dalam pertanian organik (tergabung dalam Unit Pengolahan Pertanian Organik (UPPO), dan diluar petani organik disebut petani an organik.

Data yang diperoleh dari hasil wawncara dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman, instrument ini memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Analisis SWOT ini merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Dasar pijak analisis berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Sthrengths) dan peluang (Opportunities), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Jadi, analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang dan Ancaman dengan faktor internal Kekuatan dan Kelemahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O) dan tantangan (T)

dalam pengembangan pupuk organik di 4 kabupaten ini adalah : 1. Faktor-faktor Internal Faktor-faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam lingkungan petani sendiri terdiri dari kekuatan (S) dan kelemahan (W). a. Kekuatan (S) 1. Adanya hewan ternak dan bahan baku lainnya

Pemberian UPPO umumnya disertai dengan pemberian bantuan ternak yang diserahkan ke kelompok. Hal ini bertujuan untuk mencukupi ketersediaan bahan baku pembuatan pupuk organik. Jumlah kotoran ternak yang dihasilkan bisa mencapai 10 kg/ekor/hari dan urine sapi15-20 liter/ekor/hari. Kotoran dan Urin sapi menjadi bahan baku pembuatan pupuk organik padat dan cair. Selain itu, komoditas yang ditanam petani menghasilkan limbah pertanian seusai panen seperti jerami padi, serasah jagung, serasah kedelai, tandan kosong kelapa sawit, yang juga merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan pupuk organik.

2. Petani memiliki pengetahuan tentang pupuk organik dan pembuatannya Berdasarkan hasil wawancara dengan respoden, mayoritas (83,33%) pernah mengikuti pelatihan mengenai pupuk organik. Hal ini merupakan kekuatan karena setidaknya petani telah paham mengenai pentingnya penggunaan pupuk organik bagi tanaman, cara pembuatan pupuk organik dan manfaatnya untuk kesehatan di jangka panjang.

3. Aktifnya kelompok tani Kelompok tani penerima UPPO umumnya aktif dilihat dari jumlah anggota serta diadakannya pertemuan rutin untuk saling berdiskusi dan tukar ilmu pengetahuan. Umumnya ketua kelompok tani aktif membina anggotanya dalam pertemuan tersebut dengan memberikan ilmu yang baru diperolehnya karena ketua sering mengikuti pelatihan pertanian.

4. Motivasi dan kesadaran petani dalam menggunakan pupuk organik Dari wawancara dengan petani di beberapa lokasi, mereka telah menyadari dan termotivasi untuk menggunakan pupuk organik. Hal ini dilihat dari hasil yang diperoleh dan pentingnya bagi kesehatan untuk jangka panjang. Beberapa dari mereka juga mengetahui buruknya penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus bagi kesuburan tanah.

5. Pemanfaatan pupuk organik untuk digunakan sendiri, sebagian dijual Pupuk organik yang telah dibuat digunakan sendiri oleh petani dan dijual juga. Hal ini berarti pupuk organik dibutuhkan secara kontinue sehingga pembuatan pupuk organik juga akan berlangsung secara terus menerus karena sudah menjadi kebutuhan para responden.

916

6. Peningkatan produksi setelah menggunakan pupuk organik Dari hasil wawancara, 59% responden menyatakan bahwa produksi hasil usahataninya meningkat setelah menggunakan pupuk organik dan sisanya menyatakan produksi hasilnya tetap. Hal ini merupakan kekuatan karena dengan meningkatnya produksi hasil, petani akan terus menggunakan pupuk organik.

7. Harga pupuk organik terjangkau Harga pupuk organik asal kotoran hewan berkisar Rp.250– Rp.1000/Kg dan kompos berkisar Rp.500– Rp.1.100per kilogram. Harga ini dirasakan terjangkau bagi para konsumen sehingga diharapkan pupuk organik dapat terus berkembang dan penggunaannya lebih meluas.

8. Adanya komitmen penggunaan pupuk organik Dari hasil wawancara, 72% responden menyatakan bahwa terdapat komitmen dalam kelompok tani untuk menggunakan pupuk organik, walaupun masih tetap ada penggunaan pupuk anorganik. Ini merupakan kekuatan karena dengan adanya komitmen ini, maka anggota kelompok tani akan terus berupaya menggunakan pupuk organik bahkan untuk membuat pupuk organik untuk dipakai sendiri.

9. Pupuk organik yang dihasilkan memenuhi selera pasar Pupuk organik yang dijual oleh responden jarang mendapat keluhan/komplain dari konsumen. Hanya 22% responden yang menyatakan pernah mendapat keluhan, misalnya terlalu basah atau keterlambatan ketersediaan. Hal ini berarti pupuk organik yang dihasilkan dapat memenuhi selera pasar dan akan terus mengalami permintaan dari pasar.

b. Kelemahan (W)

1. Masih kurangnya ketersediaan bahan baku walaupun ada ternak dan limbah pertanian Walaupun telah mendapat bantuan ternak dan sudah berproduksi dan adanya limbah pertanian lainnya, akan tetapi dirasakan ketersediaan bahan baku untuk membuat pupuk organik ini masih kurang. Hal ini terjadi karena penggunaan pupuk organik membutuhkan takaran yang tinggi. Selain itu ada kelompok tani yang sudah melayani penjualan/permintaan dari dinas terkait dengan program pemerintah.

2. Penggunaan pupuk organik dinilai merepotkan Penggunaan pupuk organik yang harus dalam takaran tinggi dinilai merepotkan bagi 81% responden. Hal ini juga terkait pengangkutan pupuk organik ke lahan pertanian karena harus dalam jumlah banyak.

3. Harga produk organik sama dengan harga produk anorganik Harga produk pertanian yang menggunakan pupuk organik masih sama dengan harga produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Hal ini masih terjadi di daerah-daerah bukan di perkotaan besar. Hal ini merupakan kelemahan karena sudah dinilai merepotkan, tetapi harga jual produknya masih tetap sama dan tidak ada nilai tambahnya.

4. Pupuk anorganik masih digunakan dalam berusaha tani Pupuk anorganik masih tetap digunakan dalam berusaha tani, terutama untuk tanaman perkebunan karena produksi hasil tanaman perkebunan tersebut kurang baik jika hanya menggunakan pupuk organik. Hal ini diduga karena dosis pupuk organik masih kurang tepat dan kualitas pupuk organik kurang baik,

5. Pendidikan rendah Tingkat pendidikan petani sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diberikan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin cepat dalam proses alih teknologi(Ningsih, 2013).Dalam karakteristik responden di atas terlihat bahwamayoritas tingkat pendidikan petani responden masih rendah yaitu 44,44 % berpendidikan SD. Hal ini mengakibatkan adopsi teknologi pertanian berjalan lambat sehingga petani harus diberikan pendidikan secara terus menerus melalui penyuluhan pertanian.Dengan pendidikan yang masih rendah tersebut, maka keterampilan anggota kelompok tani dalam pembuatan pupuk organik menjadi rendah pula. Umumnya petani yang banyak mengikuti pelatihan pertanian memiliki kemampuan yang lebih baik dari petani lainnya.

917

6. Umur petani relatif tua Umur berpengaruh terhadap kemampuan fisik petani dalam mengelola usahataninya, semakin tua umur petani maka kemampuan kerjanya relatif menurun (Ningsih, 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dominan umur petani responden 48–54 tahun. Hal ini menunjukkan tingginya presentase umur petani responden tergolong tua sehingga berpengaruh terhadap penerimaan materi penyuluhan tentang teknologi pertanian, khususnya dalam pembuatan pupuk organik, selain itu kondisi fisik yang dimiliki semakin menurun.

7. Lahan terbatas Luas lahan garapan dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat pendapatan dan penerapan teknologi, semakin luas lahan garapan semakin mampu memberikan jaminan hidup sebagai sumber pendapatan keluarga (Ningsih, 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan petani responden yang memiliki luas lahan garapan 0 – 2 Ha mencapai 58,33%. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan yang dikelola oleh petani sangat sempit dan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga untuk mengembangkan pupuk organik menjadi terbatas.

2. Faktor-faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar lingkungan petani, terdiri dari peluang (O) dan ancaman (T). a. Peluang (O)

1. Adanya bantuan dari pemerintah Adanya bantuan dari pemerintah selain bantuan UPPO ini merupakan peluang

untuk meningkatkan pengembangan pupuk organik. Bantuan dari pemerintah berupa sarana produksi lainnya yang terkait dengan pembuatan pupuk organik misalnya terpal dan karung yang sudah dilabel. Bantuan lain seperti traktor, thesher juga dirasakan bermanfaat bagi petani/kelompok tani.

2. Adanya binaan dari pemerintah/PPL berupa pelatihan Adanya binaan dari pemerintah melalui penyuluh pertanian berupa pelatihan,

informasi dan motivasi merupakan peluang untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi petani dalam penggunaan pupuk organik. Pelatihan-pelatihan ini dilaksanakan di tingkat kabupaten maupun langsung di kelompok taninya. Transfer ilmu dari peserta pelatihan tingkat kabupaten kepada anggota kelompok tani juga dibutuhkan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani

3. Adanya program pemerintah untuk mengggunakan pupuk organik Pembangunan tidak akan terlepas dari adanya suatu program pemerintah dan

kebijakan baik kebijakan dari pemerintah daerah, provinsi, pusat dan lembaga internasional. Program yang mendukung penggunaan pupuk organik diantaranya adalah program SL-PTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu), FEATI (Farmer Empowerment Through Agricultural Technology & Information/Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian) yang memberikan pelatihan dan percontohan kepada petani. Program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) sebagai bantuan modal agar petani dapat mengembangkan usaha tani ke arah agribisnis serta PPL. Salah satu paket dalam program SLPTT adalah penggunaan pupuk organik sehingga mau tidak mau petani harus menggunakan pupuk organik dalam pengelolaan tanaman terpadu padi, jagung dan kedelai.

4. Tenaga kerja yang cukup Dari hasil analisis regresi terlihat bahwa tenaga kerja merupakan salah satu faktor

yang berpengaruh dalam produksi pupuk organik. Hal ini berarti tenaga kerja merupakan salah satu kekuatan dalam mendukung pengembangan pupuk organik. Tenaga kerja berpengaruh karena selain menggunakan tenaga kerja di luar, petani

918

juga menggunakan tenaga kerja keluarga yang tidak dikeluarkan upahnya, sehingga dapat memperbesar pendapatan.

b. Tantangan (T) 1. Tidak adanya tempat khusus untuk menampung penjualan pupuk organik

Tempat khusus untuk menampung penjualan pupuk organik masih belum ada. Umumnya konsumen langsung ke pembuat pupuk organik baik itu konsumen dari instansi terkait maupun konsumen biasa. Oleh karena itu agar sulit bagi konsumen perkotaan untuk mendapatkan pupuk organik hasil UPPO ini.

2. Tidak adanya kelompok tani lain yang membuat pupuk organik Tidak adanya kelompok tani lain merupakan peluang karena bisa menimbulkan kerjasama antar kelompok tani dalam pengembangan pupuk organik . Keterbatasan ketersediaan bahan baku dan permintaannya yang terkadang melonjak membutuhkan kerjasama dengan kelompok tani lain sehingga pupuk organik dapat mencukupikebutuhan.

3. Pupuk anorganik mudah diperoleh dengan harga subsidi Pupuk anorganik yang banyak tersedia di pasaran dengan harga subsidi menyebabkan penggunaan pupuk organik menjadi terbatas, karena penggunaan pupuk anorganik dirasakan lebih mudah.

4. Tidak adanya penghargaan dari pemerintah untuk pemakaian pupuk organik Petani yang telah menggunakan dan membuat pupuk organik belum pernah mendapat penghargaan terkait dengan pertanian organik ini. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan pupuk organik.

5. Kurang pengetahuan mengenai standar SNI pupuk organik Dari hasil wawancara dengan responden sekitar 68,75 % responden belum mengetahui standar pupuk organik sehingga diduga produksi pupuk organiknya masih di bawah standar. Informasi mengenai standar SNI ini dapat meningkatkan motivasi petani dalam pembuatan pupuk organik.

Pembuatan Matrik IFAS dan EFAS Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal, dapat dibuat matriks

IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) dengan menentukan persentase bobot dari masing– masing variabel yangtelah ditentukan sebelumnya, kemudian dilanjutkan dengan penentuan rating dan jumlahskor yang diperoleh dari perhitungan tiap variabel. Nilai rating diperoleh dari penentuanbesarnya tingkat pengaruh variabel– variabel dalam faktor internal maupun eksternalterhadap perkembangan pupuk organik di Provinsi Jambi. Sedangkan nilai skor merupakan hasilperkalian antara persentase bobot dengan rating tiap variabel tersebut.Menurut Rangkuti (2004), tabel IFAS disusun untuk merumuskan faktor – faktor strategis internal tersebut dalamkerangka strenght and weakness. Berdasarkan hasil identifikasi SWOT, berbagai kemungkinan alternatif strategis dibuat dengan matrik SWOT seperti pada Tabel 2.

919

Tabel 2. Matrik SWOT Pengembangan Pupuk Organik

Faktor Internal Faktor Eksternal

STRENGTHS (S) Adanya hewan ternak dan

bahan baku lainnya sehingga ketersediaan bahan baku cukup

Aktifnya kelompok tani Motivasi dan kesadaran

petani dalam menggunakan pupuk organik

Peningkatan produksi setelah menggunakan pupuk organik

Harga pupuk organik terjangkau

WEAKNESSES (W) Pupuk anorganik masih

digunakan dalam berusaha tani

Harga produk organik sama dengan harga produk anorganik

Pendidikan petani masih rendah

Umur petani relatif tua Lahan terbatas Keterbatasan

pengetahuan petani tentang pupuk organik dan pembuatannya

Produksi pupuk masih rendah

Komitmen kel. Tani rendah OPPORTUNITIES (O) Adanya bantuan dari

pemerintah Adanya binaan dari

pemerintah/PPL Adanya anjuran

pemerintah untuk mengggunakan pupuk organik

Pelatihan kepada petani

Pelatihan kepada PPL Penambahan

pendapatan dari produksi pupuk

Tenaga kerja yang cukup

STRATEGI SO Memanfaatkan kotoran

hewan ternak dan limbah pertanian sebagai pupuk organik

Meningkatkan pembinaan petani melalui kelompok tani yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan oleh pemerintah/penyuluh

Memanfaatkan bantuan dari pemerintah untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas

STRATEGI WO Adanya kebijakan dari

pemerintah untuk mengatur hara produk organik lebih tinggi dibandingkan produk anorganik di daerah

Meningkatkan pembinaan dari pemerintah/penyuluh agar kemampiuan dan pengetahuan petani meningkat kemampuan kelompok tani dalam penerapan teknologi

THREATS (T) Tidak adanya tempat

khusus untuk menampung penjualan pupuk organik

keengganan kelompok tani untuk membuat pupuk organik

Pupuk anorganik mudah diperoleh dengan harga subsidi

Tidak adanya penghargaan dari pemerintah untuk pemakaian pupuk organik

Kurang pengetahuan petani mengenai standar SNI pupuk organik

STRATEGI ST Meningkatkan pemahaman

petani mengenai keuntungan penggunaan pupuk organik melalui kelompok tani

Memberikan penghargaan bagi petani/kelompok tani yang berkomitmen menggunakan/memproduksi pupuk organik

Harga pupuk organik lebih murah daripada harga pupuk kimia

Penyediaan tempat khusus yang menyediakan pupuk organik

STRATEGI WT Menyediakan tempat

khusus untuk menampung penjualan pupuk organik

Meningkatkan kerjasama dengan kelompok tani lainnya untuk membuat pupuk organik

Meningkatkan penerapan teknologi untuk menghasilkan pupuk organik berkualitas

Meningkatkan pengetahuan petani melalui pembinaan dan penyuluhan

920

Matriks IFAS (Tabel 3) menunjukkan bahwa kekuatan terbesar bagi pengembangan

pupuk organik adalah diperolehnya peningkatan produksi setelah penggunaan pupuk organic, yaitu dengan skor 125. Pada matrik EFAS (Tabel 4) menunjukkan bahwa peluang terbesar bagi pengembangan pupuk organik adalah adanya program pemerintah Go Organic yang menginginkan pangan sehat melalui penggunaan pupuk organik dengan skor sebesar 125. Sedangkanancaman terbesarnya adalah pupuk anorganik mudah diperoleh dengan harga subsidi dengan jumlah skor 125.

921

Tabel 3. Matrik Internal Strategik Factors Analysis Summary (IFAS)

No Strength Bobot Ranking Nilai 1. Adanya hewan ternak dan

bahan baku lainnya sehingga ketersediaan bahan baku cukup

15 3 45

2. Petani memiliki pengetahuan tentang pupuk organik dan pembuatannya

10 2 20

3. Aktifnya kelompok tani 5 2 10

4. Motivasi dan kesadaran petani dalam menggunakan pupuk organik

10 2 20

5. Pemanfaatan pupuk organik untuk digunakan sendiri, sebagian dijual

15 3 45

6. Peningkatan produksi setelah menggunakan pupuk organik

25 5 125

7. Harga pupuk organik terjangkau

20 4 80

Total Strength

100 345

Weakness 1. Pupuk anorganik masih

digunakan dalam berusaha tani

5 2 10

2. Harga produk organik sama dengan harga produk anorganik

20 4 80

3. Pendidikan rendah 20 4 80 4. Umur petani relatif tua 5 2 10 5 Lahan terbatas 20 4 80 6 Komitmen kel tani utk

memproduksi pupuk organik rendah

15 3 45

7 Produksi pupuk organik masih rendah

15 3 45

Total Weakness 100 330 Selisih (Kekuatan-

kelemahan) 15

922

Tabel 4. Matrik Eksternal Strategik Factors Analysis Summary

No Opportunities Bobot Ranking Nilai 1. Adanya bantuan pupuk

organik atau bantuan ternak dari pemerintah

20 4 80

2. Adanya binaan dari pemerintah/PPL

15 3 45

3. Adanya program pemerintah Go Organic untuk mengggunakan pupuk organik

25 5 125

4 Pelatihan kepada petani 10 2 20

5 Produksi pupuk masih bisa ditingkatkan

15 3 45

6 penambahan pendapatan dengan memproduksi pupuk organik

15 3 45

Total Opportunities 100 360 Threats 1 Tidak adanya tempat khusus

untuk menampung penjualan pupuk organik

20 4 80

2 keengganan kelompok tani untuk yang membuat pupuk organik

15 3 45

3 Adanya subsidi harga pupuk kimia oleh pemerintah sehingga pupuk kimia mudah diperoleh

25 5 125

4 Tidak adanya penghargaan dari pemerintah untuk pemakaian pupuk organik

20 4 80

5 Kurang pengetahuan mengenai standar SNI pupuk organik

20 4 80

Total Threats 100 410 Selisih (Peluang-ancaman) -50

Berdasarkan hasil-hasil yang didapat dari analisis internal dan eksternal pada Tabel diatas dapat dirangkum sebagai berikut : 1. Skor total kekuatan 345 2. Skor total kelemahan 330 3. Skor total peluang 360 4. Skor total ancaman 410 5.

Dari hasil perhitungan diatas, didalam perhitungan strateginya memerlukan penegasan dari adanya posisi sumbu yaitu antara kekuatan dan kelemahan, maupun peluang dan ancaman. Dari analisis tersebut diatas bahwasanya faktor kekuatan lebih besar dari kelemahan dan faktor peluang lebih kecil dari ancaman. Oleh karena itu posisinya berada di

923

kwadran 4 yang berarti pengembangan pupuk organik memiliki kekuatan dan sekaligus memiliki ancaman dari luar seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 1. Posisi kuadran 4

Alternatif Strategi Pengembangan Pupuk Organik di Provinsi Jambi

Tahap yang dilakukan setelah analisis dengan menggunakan matrik IFAS danEFAS adalah dengan menentukan alternatif strategi dalam matrik SWOT. Adapun strategi yang perlu diambil untuk pengembangan pupuk organik di Provinsi Jambi meliputi :

1. Meningkatkan pemahaman petani mengenai keuntungan penggunaan pupuk organik

melalui kelompok tani Masih ada petani yang belum menggunakan pupuk organik karena diduga pemahamannya mengenai manfaat pupuk organik untuk jangka panjang belum diketahui. Untuk itu penting untuk meningkatkan pemahaman petani melalui penyuluh pertanian maupun ketua kelompok tani agar petani termotivasi menggunakan dan membuat pupuk organik.

2. Memberikan penghargaan bagi petani/kelompok tani yang berkomitmen menggunakan/memproduksi pupuk organik. Kurangnya penghargaan yang diberikan bagi petani/kelompok tani yang berkomitmen menggunakan/memproduksi pupuk organik mungkin menjadi salah satu lambatnya perkembangan pupuk organik di Jambi. Pemberian penghargaan dirasakan cukup penting untuk memotivasi petani lain dalam menggunakan/memproduksi pupuk organik .

3. Harga pupuk organik lebih murah daripada harga pupuk kimia. Petani menggunakan pupuk organik karena harganya lebih murah dan terjangkau. Petani mengakui dan menyadari pupuk organik mudah dibuat dan lebih ramah lingkungan. Hal ini bertolak belakang dengan pupuk kimia yang memiliki efek samping jika penggunaannya berlebihan dan dalam jangka waktu panjang.

4. Penyediaan tempat khusus yang menyediakan pupuk organik.

15; -50

-200

-175

-150

-125

-100

-75

-50

-25

0

25

50

75

100

125

150

175

200

-200 -175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 0 25 50 75 100 125 150 175 200

O T

S W

924

Hal ini sebaiknya diperhatikan oleh stake holder untuk menyediakan tempat khusus pupuk organik baik pupuk padat maupun cair. Hal ini dapat memudahkan petani yang ingin mendapatkan pupuk organik untuk usahataninya.

Selain itu untuk memperkuat pengembangan pupuk organik dalam menyukseskan program pemerintah Go Organic seharusnya petani dapat memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut untuk keperluan usahatani, perlunya penambahan pengetahuan petani/PPL melalui pelatihan pertanian organik dan Pemerintah terus menerus mensosialisasikan pertanian organik.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : Strategi pengembangan pupuk organik di Provinsi Jambi meliputi:Meningkatkan pemahaman petani mengenai keuntungan penggunaan pupuk organik melalui kelompok tani, memberikan penghargaan bagi petani/kelompok tani yang berkomitmen menggunakan/memproduksi pupuk organik, harga pupuk organik lebih murah dan ramah lingkungan dibandingkan pupuk kimia, Penyediaan tempat khusus yang menyediakan pupuk organik padat dan cair. Saran :

1. Dengan adanya bantuan pemerintah seharusnya petani dapat memanfaatkan bantuan tersebut untuk keperluan usahatani serta perlunya penambahan pengetahuan petani melalui pelatihan pertanian organik.

2. Pemerintah terus menerus mensosialisasikan pertanian organik melalui pembinaan petani/kelompok tani secara intensif dan berkesinambungan agar petani termotivasi untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA Hartatik, W dan D. Setyorini, 2012. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan

Kesuburan Tanah.Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Hal. 571-582. Bogor, 29-30 Juni 2012.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 2012

Kustiawati-ningsih, 2013. Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia Petani Dalam Pembuatan Pupuk Organik Di Desa Bicorong Kecamatan Pakong

Lestari, Weni. 2013. Prospek Sayuran Organik di Kota Jambi (Studi Kasus di Kelurahan Eka Jaya Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi). Jurnal Khazanah Intelektual Vol.2 No.1 Hal. 514-531.

Rangkuti, Freddy. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sulistyawati, E dan R. Nugraha. 2011. Efektivitas Kompos sampah perkotaan sebagai pupuk organik dalam meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi budidaya padi. Sekolah Tinggi Ilmu & Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung.

925

KERAGAAN DAN ANALISIS USAHATANI KEDELAI PADA KEGIATAN GP-PTT KEDELAI DI KABUPATEN NABIRE,

PROPINSI PAPUA

Pandu Laksono1)*, Syafruddin Kadir1), Marlina Susy Rangkuti2)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Yahim No.49 Sentani, Jayapura 99352 Telp (0967)-591235

ABSTRAK

Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan september tahun 2015 di Kampung Biha, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, Propinsi Papua dengan tujuan; (a) mengidentifikasi karakteristik petani kedelai yang berpartisipasi dalam kegiatan GP-PTT Kedelai tahun 2015, dan (b) menganalisis kelayakan usahatani. Penelitian menggunakan metode survey dengan kuisioner, lokasi dipilih secara purposive yakni sentra kedelai dan menerapkan GP-PTT Kedelai tahun 2015. Data primer dikumpulkan dari 25 petani yang diambil secara acak sederhana (simple random sampling). Berdasarkan hasil analisis usahatani diperoleh rata-rata produksi kedelai perhektar adalah 1,092 ton dengan rasio pendapatan dan biaya 1,76. Titik impas produksi sebesar 622,36 Kg/ha dan titik impas harga sebesar Rp.4.111,69/kg. Komponen teknologi PTT yang telah diterapkan oleh petani responden diantaranya penggunaan benih berlabel, dan rekomendasi kebutuhan benih perhektar. Rata-rata penggunaan benih kedelai sebanyak 50,8 kg/ha. Persentase input terbesar pada kegiatan GP-PTT adalah biaya tenaga kerja (61%) diikuti pengeluaran untuk pembelian pestisida (23%).

Kata Kunci: Usahatani, Kedelai, GP-PTT.

PENDAHULUAN

Produksi kedelai dalam negeri saat ini mampu memenuhi kebutuhan nasional atau 982,97 ton dari total kebutuhan sebesar 2,2 juta ton per tahun (BPS, 2015a). Produktivitas kedelai nasional sebesar 1,55 ton/ha (BPS, 2014) dengan kisaran produktivitas 0,8-2,4 ton/ha di tingkat petani. Ditingkat penelitian produktivitas mampu mencapai 1,73-3,2 ton/ha, tergantung pada jenis varietas, musim, teknologi budidaya yang diterapkan dan kondisi lahan/lingkungan (Balitbangtan, 2016).

Senjang produktivitas tersebut menunjukkan adanya peluang untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas di tingkat petani. Selain itu, hal yang paling mendasar adalah upaya untuk meningkatkan minat petani untuk berusahatani kedelai. Meskipun peluang pengembangan usahatani kedelai sangat memungkinkan dan menjanjikan namun tidak ada minat petani untuk terjun dalam usahatani ini, maka upaya peningkatan produksi kedelai sulit tercapai. Rendahnya minat petani dalam menenam kedelai dapat dijelaskan sebagaimana pendapat Gonzales, Kasryno, ND.Perez, and MW.Rosegrant (1993) yang menyatakan bahwa dilihat dari keunggulan kompetitif maupun komparatif komoditas kedelai masih lebih rendah dibandingkan padi dan jagung. Hasil penelitian oleh Ramli dan Swastika (2005) di Kalimantan juga menegaskan masih rendahnya keunggulan kompetitif kedelai dibandingkan komoditas lainnya diantaranya adalah kentang, kacang dan jagung.

Dalam upaya mencapai target peningkatan produksi kedelai tahun 2017, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan cara memberikan stimulan berupa bantuan sosial pada kegiatan Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT). GP-PTT adalah program nasional untuk meningkatkan produksi kedelai, melalui pendekatan gerakan atau anjuran secara massal kepada petani/kelompok tani untuk melaksanakan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT),

926

dalam mengelola usahatani kedelai, dengan tujuan meningkatkan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan (Ditjentan, 2015).

Di Propinsi Papua, kegiatan GP-PTT Kedelai terdapat di tiga kabupaten yakni Nabire, Mimika dan Waropen. Kabupaten Nabire mendapatkan bansos GP-PTT yang paling luas yakni 500 ha. Produksi kedelai di Kabupaten Nabire pada tahun 2014 sebesar 1.298,92 ton, menurun bila dibandingkan dengan produksi tahun 2013 (tabel 1). Pemanfaatan varietas unggul dan pemupukan yang masuk dalam komponen GP-PTT diharapkan dapat meningkatkan produktivitas serta produksi kedelai, dan juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui: (1) keragaan usahatani kedelai program GP-PTT Kedelai tahun 2016 di Kabupaten Nabire, (2) analisis usahatani kedelai yang selanjutnya dapat dijadikan model dalam perakitan teknologi budidaya kedelai di Kabupaten Nabire.

Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas kedelai selama 5 tahun (2010–2014) di

Kabupaten Nabire

Tahun Luas panen (ha) Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

2010 683 679,07 1,00 2011 710 706.60 0,99 2012 792 696,46 0,88 2013 1218 1.873,10 1,53 2014 945 1.298,92 1,34

Sumber : BPS Kabupaten Nabire (2015b)

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan September 2015 di Kabupaten Nabire, Papua dengan menggunakan metode survai. Petani responden berasal dari dua kelompok tani di Distrik Makimi dengan jumlah 25 orang yang terlibat di kegiatan GP-PTT Kedelai tahun 2015. Responden dipilih dengan teknik purposive sampling. Penentuan lokasi dilakukan secara purposif karena lebih dari 50% luasan lahan kegiatan GP-PTT Kedelai di Kabupaten Nabire berada di Distrik Makimi. Responden dipilih dengan teknik purposive sampling . Beberapa variable yang diamati adalah : 1) Karakteristik petani responden, meliputi : umu, pendidikan, pengalaman usahatani, luas

lahan, dan ketersediaan tenaga kera. 2) Komponen teknologi PTT, meliputi varietas unggul baru (VUB), benih bersertifikat,

pengaturan populasi tanaman, jarak tanam, pemupukan berimbang, pengendalian OPT, panen dan pasca panen.

3) Input - output usahatani kedelai meliputi biaya dan produksi kedelai (Kg/ha) Tabel 2. Daftar kelompok tani pada kegiatan GP-PTT Kedelai 2015 di Distrik Makimi Sumber : Sekretariat UPSUS BPTP Papua, 2015

Data diolah menggunakan statistika sederhana seperti persentase, nilai maksimum dan minimum , serta rata yang selanjutnya diinterpretasikan secara desikriptif untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh keragaan usahatani kedelai (input dan output).

No. Distrik KampungNama

Kelompok Tani

Nama Ketua

Kelompok Tani

Alamat Petani

(RT, RW)

Luas Lahan

(Ha)Varietas

1 Makimi Biha Tunas Jaya Riyadi RT. 003 RW 001 10 Anjasmoro

2 Makimi Biha Sido Mulyo Gino RT. 005 RW. 002 10 Mahameru

3 Suka Mukti Mismun RT. 002 RW. 003 10 Mahameru

4 Rukun Makmur Sarwan RT. 004 RW. 002 16 Anjasmoro

5 Suka Maju Tukul RT. 004 RW. 005 20 Anjasmoro

6 Erinanip Pius Tabuni RT. 001 RW. 001 6 Anjasmoro

7 Gotong Royong Rudi RT. 006 RW. 002 20 Anjasmoro

8 Legari Jaya Rukun Makmur Jaenab RT. 002 RW. 003 25 Anjasmoro

9 Sejahtera Karniaji RT. 003 RW 005 20 Anjasmoro

10 Karya Budi Misbaul Munir RT. 006 RW. 003 25 Anjasmoro

11 Lestari Sunyit RT. 004 RW. 002 25 Anjasmoro

12 Maju Jaya Purnomo HS. RT. 005 RW. 003 20 Anjasmoro

13 Sido Muncul Jamun RT. 001 RW. 002 20 Anjasmoro

14 Margo Mulyo Melan RT. 005 RW. 002 51 Anjasmoro

15 Mitra Tani Samuri RT. 001 RW. 003 20 Anjasmoro

16 Nifasi Sisandei Moses Manuaron RT. 002 RW. 002 12 Anjasmoro

17 Manunggal Jaya Matoa Joko Warsito RT. 001 RW. 001 20 Anjasmoro

18 Tani Makmur Lois Robaha RT. 002 RW. 002 12 Anjasmoro

19 Sido Makmur Tri Suyatno RT. 002 RW. 001 20 Anjasmoro

927

Untuk mengetahui tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani digunakan analisis ratio pendapatan dan biaya ( R/C ratio) Analisis Usahatani

Analisis pendapatan petani digunakan untuk menganalisis usahatani kedelai, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani digunakan analisis ratio pendapatan dan biaya (R/C ratio). Nilai RC ratio> 1 menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani kedelai lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, artinya usahatani kedelai menguntungkan, demikian pula sebaliknya (Fadwiwati dan Tahir 2013). Disamping itu juga akan dicari titik impas harga dan produksi yang dijelaskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden Hasil survei menunjukkan bahwa petani responden di Kabupaten Nabire didominasi

oleh petani berumur 41-50 tahun yakni 62%. Keadaan ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani masih berada pada usia produktif. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, usia produktif tenaga kerja adalah mereka yang berusia 15-64 tahun. Tabel 3. Karakteristik petani responden di daeran sampel, 2015

Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden berpendidikan SD (56%), dan hanya 16 persen petani responden yang menamatkan pendidikan SMP begitu juga SMA. Meskipun mayoritas petani berpendidikan rendah, namun hal ini dikompensasi dengan pengalaman usahatani petani responden berusahatani kedelai yakni mayoritas lebih dari 10 tahun (60%) atau secara total rata-rata pengalaman petani berbudidaya tanama kedelai selama 16 tahun. Pengalaman petani dalam berusaha tani kedelai yang sudah terbilang cukup lama dapat dikaitkan dengan sejauh mana teknologi-teknologi budidaya kedelai yang sudah diperkenalkan kepada petani baik dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan maupun kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang sebelumnya telah

Karakteristik Persentase(%)

Umur (Tahun) 20-30 31-40 41-50 > 51

4

16 62 16

Pendidikan (Tahun) Tidak sekolah Tidak tamat SD 6 Tahun (SD) 9 Tahun (SMP) Tidak tamat SMP 12 Tahun (SMA) Tidak tamat SMA > 12 Tahun (Diploma/Sarjana

8 4

56 16 0

16 0 0

Pengalaman Usahatani (tahun) < 5 5 - 10 >10

14 24 62

Luas lahan usahatani (ha) <0,5 0,5 - 1 1 - 2 >2

4

46 27 23

928

dilaksanakan di Kabupaten Nabire. Konsep PTT sendiri dalam implementasinya melibatkan petani dan petugas secara bersama-sama memilik komponen teknologi yang akan diterapkan, sesuai kebutuhan setempat (Sembiring dan Abdulrachman, 2008).

Dilihat dari luas lahan garapan usahatani kedelai, sebagian besar petani menggarap lahan minimal 1 hektar, hanya sebagian kecil saja (12%) yang memiliki lahan garapan usahatani kedelai kurang dari 1 hektar. Luasnya lahan garapan petani sangat wajar dikarenakan sebagian besar memang lokasi pertanian di Nabire berada dilokasi transmigrasi yang memang setiap Kepala Keluarga mendapatkan pembagian lahan untuk usahatani.

Dari hasil pengkajian diketahui bahwa adopsi teknologi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja keluarga, serta pendapatan dan dukungan pembiyaan (Bananiek dan Abidin, 2013). Adopsi teknologi sendiri diartikan sebagai sebuah proses perubahan perilaku dan mental baik berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani hingga diterapkannya teknologi (Rogers & Schoemaker, 1981), dan keberhasilan adopsi teknologi dapat dilihat dari penerapan teknologi di lahan usahatani petani (Mardikanto & Sutarni, 1982; Soekartawi, 1988).

Teknologi Budidaya Kedelai

Komponen teknologi budidaya kedelai meliputi penggunaan varietas unggul, benih besertifikat, dan penggunaan pupuk berimbang. Teknologi PTT yang paling banyak diterapkan oleh petani adalah penggunaan varietas unggul dan benih bersertifikat. Keterlibatan BPSB (Balai Perbenihan dan Sertifikasi Benih) Propinsi Papua, berperan aktif dalam upaya pembinaan petani penangkar kedelai. Terlebih lagi pada kegiatan GP-PTT Kedelai, penggunaan benih unggul dan bersertifikat merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mengikuti program ini.

Pengendalian OPT

Pada umumnya pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan pestisida yang pemakaiannya berdasarkan intensitas serangannya. Hanya saja pada saat kegiatan GP-PTT tahun 2015 terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan telah menyebabkan rendahnya intensitas serangan hama dan penyakit sehingga penggunaan pestisida dapat dikurangi. Menurut beberapa literatur diantaranya Syahrir, Rahayu, and Sulistyati (1998)), Bukhari (2010), Marwoto dan Inayati (2011) menerangkan bahwa pada musim kemarau intensitas serangan OPT pada tanaman kedelai lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Kondisi yang terjadi di daerah sampel dimana serangan OPT berkurang dapat dijelaskan diduga dampak dari el nino (kemarau yang berkepanjangan), dimana lahan kedelai diberakan cukup lama sembari menunggu hujan, sehingga hal ini dapat memutus siklus OPT pada tanaman kedelai, sebagaimana pendapatan Marwoto dan Inayati (2011) dimana pergiliran tanaman dapat memutus siklus hidup hama, dimana hama kehilangan tanaman inangnya.

Pengendalian gulma pada umumnya dilakukan oleh petani dengan menggunakan herbisida. Herbisida sistemik dan kontak digunakan pada saat persiapan sebelum tanam, sedangkan herbisida kontak digunakan setelah penanaman. Penyiangan gulma pada umumnya dilkakukan hanya sekali setelah tanam dan umumnya menggunakan herbisida kontak. Waktunya bervariasi, mulai dari 14 hst s/d 35 hst dan dilakukan petani sebelum terjadi fase pembungaan.

Hama yang dominan adalah lalat bibit, ulat grayak, kutu kebul, penggerek polong, belalang, dan penyakit karat yang lebih dikenal petani dengan istilah Lodo. Untuk pengendalian hama dan penyakit petani masih mengandalkan pestisida dengan alasan sangat efektif dan cepat. Pemberantasan secara mekanis hampir tidak pernah dilakukan dengan alasan karena banyak memakan waktu dan tenaga. Insektisida yang digunakan menggunakan bahan aktif diantaranya karbofuran, Deltamethrin dan Permethrin. Frekuensi penyemprotan yang dilakukan berkisar 1-7 kali selama pertanaman kedelai, namun penyemprotan tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit. Dilihat dari hasil survei, diketahui bahwa 100% responden melakukan pencampuran beberapa jenis insektisida dalam melakukan penyemprotan. Minimnya informasi dan pengetahuan diduga sebagai alasan petani melakukan pencampuran sebagaimana yang diutarakan oleh Yuantari, Widiarnako, and Sunoko (2013), didapati dalam penelitiannya petani melakukan

929

pencampuran pestisida tanpa membaca label kemasan dan dilakukan berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh teman. Sularti dan Muhlisin (2012) menambahkan bahwa pengetahuan akan bahaya pestisida petani juga masih rendah dikarenakan kurangnya informasi tentang pestisida.

Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan beberapa cara, mulai dari tanpa olah tanah (Zero tillage), dan ada juga olah tanah sempurna menggunakan traktor bajak. Pada umumnya petani tidak melakukan pengolahan tanah untuk penanaman kedelai. Meskipun demikian ada petani yang melakukan pengolahan tanah secara sempurna. Perbedaan ini disebabkan karena kondisi tanah yang berbeda-beda, dan tingkat kesuburan berdasarkan penilaian subjektif petani dan ketersediaan tenaga dan dana. Sebelum tanah biasanya dilakukan pembersihan lahan terlebih dahulu dengan menggunakan herbisida. Pengerjaan pembajakan tanah menggunakan traktor dengan sistem borongan dengan menggunakan mesin bajak. Biaya yang dibutuhkan untuk pembajakan tanah menggunakan mesin traktor sebesar Rp.600.000,- per hektar. Menurut Soedjianto (1977) dalam Noorhadi and Suwarto (2009), petani di daerah-daerah kering yang sulit pengairannya pada musim kemarau jarang melakukan pengolahan untuk pertanaman kedelai, dimana benih ditanam dengan langsung disebar atau ditugalkan.

Varietas dan benih

Terdapat dua varietas yang dominan yang ditanam oleh petani yakni Anjasmoro dan Mahameru. Benih yang digunakan adalah benih yang telah disertifikasi oleh BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih). Keberadaan BPSB di Kabupaten Nabire cukup membantu petani dalam mendapatkan benih-benih berkualitas dan berlabel. Benih-benih kedelai pada umumnya di datangkan oleh dinas pertanian maupun diperoleh dari hasil kegiatan pengkajian BPTP Papua, yang kemudian dikembangkan oleh petani penangkar benih. BPTP Papua sendiri memperoleh benih-benih berkualitas dari Balitkabi yang biasanya masih berupa benih sumber atau benih pokok. Varietas Anjasmoro banyak dimintai oleh petani kedelai di Nabire dikarenakan hasilnya cukup tinggi. Dibeberapa daerah lain di Indonesia juga terutama di daerah lahan kering, varietas anjasmoro menjadi pilihan utama petani. Menurut P.E.R.Prahardini, Retnaningtyas, and Isnaini (2013), Fatah (2011), dan Jumakir dan Endrizal, varietas Anjasmoro cukup baik beradaptasi di lahan sub obtimal dengan produktivitas 1,9 ton/ha - 3,68 ton/ha.

Penggunaan benih oleh petani perhektarnya telah sesuai dengan rekomendasi dalam

juknis GP-PTT, rata-rata penggunaan benih oleh petani perhektarnya adalah 50,8 kg dengan jarak tanam yang bervariasi (40x40, 50x50, dan tidak beraturan) dan jumlah biji perlubangnya 4-5 biji. Dalam panduan Juknis GP-PTT Kedelai tahun 2015, kebutuhan benih direkomendasikan sebanyak 50 Kg didasarkan pada rekomendasi Kepala Balitbangtan No.586/LB.130/I/7/2013 tanggal 23 Juli 2013 (Ditjentan, 2015)

Pemupukan

Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak semua petani responden melakukan pemupukan (8%), dan mayoritasnya (52%) hanya menggunakan NPK untuk memupuk tanaman kedelai dan yang hanya 12% yang hanya menggunakan urea. Pemupukan pada umumnya dilakukan petani dengan cara ditabur diantara tanaman. Pemberian pupuk pada umumnya dilakukan sebanyak dua kali. Pemupukan pertama dilakukan rata-rata pada umum 15-30 HST, sedangkan pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 35-60 HST.

Mengacu pada rekomendasi pemupukan untuk tanaman kedelai lahan kering yang dirilis oleh Balitnah (Balai Penelitian Tanah), pemberian pupuk urea yang dilakukan oleh petani responden sudah overdose. Balitnah merekomendasikan pemberian pupuk urea sebagai starter hanya 25 kg/ha, hal ini tentu saja selain mengakibatkan ketidakefisienan, juga dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal, salah satunya dapat memperpanjang fase vegetatif tanaman Fauzan, Elfarisna, and Suryati (2014).

930

Tabel 4. Kombinasi penggunaan pupuk oleh petani responden Penggunaan Pupuk Jumlah Responden (%)

Urea 12

NPK 52

SP-36 dan NPK 4

Urea, SP-36, KCl, NPK 4

Urea, SP-36 dan NPK 8

SP-36 dan Phonska 4

Pupuk Cair 8

Tidak Memupuk 8

Tabel 5. Rekomendasi dosis pemupukan dan tanaman kedelai pada tipe lahan kering

No Masukan Potensi Lahan

Tinggi Sedang Rendah

1 Urea 25 25 25 2 SP-36 100 150 250 3 KCl 50 100 150 Sumber : Balitnah (2015) Analisis Usahatani

Bila dilihat perimbangan struktur biaya, pengeluaran terbesar ada pada biaya tenaga kerja (61%). Penghitungan biaya tenaga kerja tidak menghitung biaya tenaga kerja dalam keluarga. Kompenen biaya tenaga kerja meliputi tenaga luar keluarga, sewa traktor untuk pengolahan tanah serta sewa mesin perontok kedelai. Komponen biaya terbesar kedua adalah pengeluaran untuk pestisida (insektisida dan herbisida) yakni sebesar 23%. Dari analisis usahatani, diperoleh rasio penerimaan dan biaya sebesar 1,76 artinya setiap Rp.1000 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp.1.760. Secara teori R/C ratio>1 menunjukkan bahwa usahatani layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan. Hanya saja jika dilihat dari keuntungan yang didapat petani (Rp. 3.396.908) dibagi dengan waktu yang dibutuhkan dari mulai tanam hingga panen (± 3 bulan), maka pendapatan petani sangat kecil yakni berkisar Rp 1 juta-an saja tiap bulannya. Tabel 6. Analisis usahatani kedelai per hektar Petani Responden

Uraian Jumlah (%) Total Penerimaan(Rp) 7.890.353 Total Pengeluaran (Rp) 4.493445 100 Keuntungan (Rp) 3.396.908 a. Benih (kg) 422.409 9 b. Pupuk 262.044 6 e. Pestisida (Rp) 1.031.504 23 f. ZPT (Rp) 37.781 1 g. Tenaga kerja (Pengolahan tanah s/d pasca panen + sewa mesin perontok

2.739.708 61

R/C 1,76 Titik Impas produksi (Kg/ha) 622,36 Titik Impas Harga (Rp/Kg) 4.111,69

931

KESIMPULAN

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa kegiatan usahatani kedelai pada kegiatan GP-PTT Kedelai di Kabupaten Nabire memberikan keuntungan kepada petani dengan rasio perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C) ration 1,76. Berdasarkan persentase struktur biaya usahatani, biaya tenaga kerja dan sewa mesin perontok merupakan komponen biaya tertinggi yakni sebesar 61% dari total biaya. Secara umum karakteristik petani di kabupaten Nabire di dominasi petani dengan umur 41-50 tahun, mayoritas dengan tingkat pendidikan tamat Sekolah Dasar.

Ditinjau dari teknik budidaya kedelai, mayoritas petani telah menggunakan benih berlabel yamg sebagian besar di pasok oleh petani penangkar kedelai yang dibina oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Propinsiu Papua. Umumnya petani menggunakan varietas Anjasmoro dan Mahameru. Penerapan jarak tanam secara umum belum diterapkan, artinya tidak beraturan. Pemanfaatan pupuk masih belum optimal, masih ditemukan petani yang tidak memperhatikan dosis pemakaian. Selanjutnya, pengendalian hama dan penyakit masih dilakukan dengan menggunakan pestisida, dimana biaya pestisida sendiri merupakan komponen biaya terbesar kedua dalam struktur biaya usahatani yakni mencapai 23% dari seluruh total biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2015). Rekomendasi pemupukan tanaman kedelai pada berbagai tipe penggunaan lahan. Retrieved 20 April 2016, from http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/lainnya/rekomendasi % 20 kedelai % 20 terbaru.pdf

Balitbangtan. (2016). Target National Produksi Kedelai 2016 Meningkat. Retrieved 31 Mei 2016, 2016, from http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2468/

Bananiek, Sri, & Abidin, Zainal. (2013). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Volumen 16(Nomor 2 ), 111-121.

BPS. (2014). Produksi Tanaman Pangan 2014.

BPS. (2015a). Produksi Tanaman Pangan, Angka Ramalan II 2015.

BPS. (2015b). Statistik Daerah Kabupaten Nabire 2015.

Bukhari. (2010). Efektivitas Ekstrak Daun Mimba Terhadap Pengendalian Hama Plutella Xylostella L. Pada Tanaman Kedelai.

Ditjentan. (2015). Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2015.

Fadwiwati, Andi Yulyani, & Tahir, Abdul Gaffar. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Pendapatan Usahatani Jagung di Propinsi Gorontalo. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol.16 (2)(Juli 2013), 92-101.

Fatah, Abdul. (2011). Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Kedelai Dalam Mendukung Program Sl-Ptt Di Sulawesi Selatan. Retrieved 11 Mei 2016, 2016, from http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/download/progutama/penelitiandanpengkajian/thn2010/Uji-adaptasi-varietas-unggul-baru-kedelai-dalam-mendukung-program-SL-PTT-di-sulawesi-selatan.pdf.

Fauzan, Marzeila Hazrul, Elfarisna, & Suryati, Yati. (2014). Efektivitas Pengurangan Dosis Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Kedelai Pada Beberapa Varietas. Retrieved 11 Mei 2016, 2016, from http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/fmipa2014/fmipa2014_11.pdf.

932

Gonzales, LA, Kasryno, F., ND.Perez, & MW.Rosegrant. (1993). Economic incentives and comparative advantage in Indonesian food crop production Research Report 93, Int’l Food Policy Research Institute. Washington DC.

Jumakir, & Endrizal.). Produktivitas Kedelai Varietas Anjasmoro Melalui Pendekatan Ptt Pada Lahan Sub Optimal Di Provinsi Jambi. Retrieved 11 Mei 2016, 2016, from http://jambi.litbang.pertanian.go.id/ind/images/PDF/1JumakirPRODKEDELAI.pdf.

Mardikanto, & Sutarni, Sri. (1982). Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Surakarta: Hapsara.

Marwoto, & A.Inayati. (2011). Kutu Kebul : Hama Kedelai Yang Pengendaliannya Kurang Mendapat Perhatian. Iptek Tanaman Pangan, 6(1), 87-98.

Noorhadi, & Suwarto. (2009). Kajian Penggunaan Herbisida Dan Cara Pengolahan Tanah Pada Pertumbuhan Dan Produksi Kedelai. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, Vol.6(2), 105-110.

P.E.R.Prahardini, Retnaningtyas, E., & Isnaini, L. (2013). Keragaan Adaptasi Varietas Unggul Baru Kedelai di Kabupaten Lumajang. 455-463.

Papua, BPTP. (2015). Laporan Akhir Tahun Identifikasi Calon, Koordinasi, Bimbingan, dan Dukungan Teknologi Upaya Khusus (UPSUS) Padi, Jagung, Kedelai di Propinsi Papua. Jayapura: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Ramli, Rachmadi, & Swastika, Dewa K S. (2005). Analisis keungulan kompetitif beberapa tanaman palawija di lahan pasang surut Kalimantan tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan teknologi Pertanian, Vol.8 (1).

Rogers, E.M., & Schoemaker, F.Floyd. (1981). Memasyarakatkan ide-ide baru: Usaha Nasional. Surabaya.

Sembiring, Hasil, & Abdulrachman, Sarlan. (2008). Potensi penerapan dan pengembangan PTT dalam upaya peningkatan produksi padi. Iptek Tanaman Pangan, Volume 3(Nomor 2).

Soekartawi. (1988). Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press.

Sularti, & Muhlisin, Abi. (2012). Tingkat pengetahuan bahaya pestisida dan kebiasaan pemakaian alat pelindung diri dilihat dari munculnya tanda dari munculnya gejala keracunan pada kelompok tani di karanganyar. Retrieved 26 April, 2016, from/https://publikasiilmiah .ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3671/ Sularti 20 Abi % 20 Muhlisin % 20Fix % 20bgt.pdf?sequence=1

Syahrir, Ulfa T., Rahayu, Ali, & Sulistyati, M. (1998). Pengaruh Musim Panas dan Musim Hujan Terhadap Aplikasi Formulasi Terkendali Dimetoat Pada Tanaman Kedelai. Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi, 123-126.

Yuantari, MG Catur, Widiarnako, Budi, & Sunoko, Henna Rya. (2013). Tingkat Pengetahuan Petani dalam Menggunakan Pestisida

(Studi Kasus di Desa Curut Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013, 142-148.

933

PRODUKTIVITAS LAHAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN BERDASARKAN PENGUASAAN MODAL PADA USAHATANI CABAI DATARAN TINGGI DI PROVINSI BENGKULU

Rudi Hartono, Herlena Bidi Astuti, dan Taufik Hidayat

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu,

Jl. Irian Km 6,5 38119. Telp (0736) 345568.

ABSTRAK

Alam, tenaga kerja dan modal merupakan faktor produksi yang memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting dalam produksi pertanian karena tanpa salah satu faktor tersebut produksi tidak akan diperoleh dengan memuaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan dan distribusi pendapatan berdasarkan penguasaan modal pada usahatani cabai dataran tinggi. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015, lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong dan Mangku Rajo Kabupaten Lebong. Data diperoleh dengan metode survey dan responden ditentukan secara acak (simple random sampling) yang berjumlah 60 orang. Data dianalisis dengan penghitungan financial usahatani dan diperoleh hasil bahwa produktivitas lahan petani penggarap modal sendiri adalah 1.197 kg/ Musim Tanam sedangkan rata-rata produktivitas petani penggarap 1.289 kg/ Musim Tanam. Rata-rata pendapatan petani cabai pemilik lahan dan modal adalah Rp 10.165.500/ Musim Tanam. Pendapatan petani dengan bantuan modal dari pihak lain adalah Rp.7.318.400 / Musim Tanam. Pendapatan pemilik modal tanpa menggarap lahan adalah Rp 3.659.200 / Musim Tanam.

Kata Kunci : Lahan, Modal, Usahatani,Cabai, Dataran Tinggi

PENDAHULUAN

Cabai merah ( Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang menjanjikan karena memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga banyak diusahakan oleh petani secara intensif dan usahatani cabai ditingkat petani sudah menjadi komoditas dagang yang dapat dilihat dari sebagian besar hasil produksi diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar. (Nurbaeti dkk, 2005).

BPS 2016 menjelaskan bahwa Sepanjang lima tahun jumlah penduduk miskin di Bengkulu selalu di atas 300.000 orang atau berada di angka 17 persen dan Jumlah ini sangat jauh di bawah angka kemiskinan nasional 11 persen. "Dari beberapa survei komoditas pemicu kemiskinan ternyata, beras, rokok, dan cabai merah di urutan teratas, hal ini menunjukkan bahwa komoditas cabai sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Kabupaten Rejang Lebong dan Lebong merupakan wilayah sentra penghasil sayuran dan cabai di provinsi Bengkulu dari distribusi produksi cabai merah Kabupaten Rejang Lebong merupakan sentra utama di Provinsi bengkulu dengn produksi 37.251,30 ton atau 80,69 persen dari total produksi cabai di Provinsi Bengkulu. ( BPS.2015) Namun demikian produktivitas beberapa sayuran unggulan dan cabai masih rendah hal ini bisa disebabkan karena penerapan teknologi seperti pemupukan dan penanggulangan hama penyakit serta input sarana produksi lainnya belum optimal. Pemanfaatan input sarana produksi ini sangat dipengaruhi oleh kepemilikan modal petani. Selain itu status kepemilikan lahan dapat memberikan berbagai kemungkinan dalam proses pengelolaan usahatani, pemilik lahan sendiri akan bebas menentukan langhkah-langkah yang akan diambil dalam pengelolaan lahan produksi sementara pemilik lahan sewa, gadai atau lainnya akan memiliki peraturan-perataturan yang disepakati serta mengikat kedua belah pihak dan dapat mempengaruhi tindakan petani selama proses produksi. (Ritonga dkk, 2012).

934

Pada wilayah penelitian usahatani cabai banyak diusahakan oleh petani dengan lahan dan modal milik sendiri dan juga petani pemilik lahan namun modal usahatani didapatkan dari pihak lain yang tertarik untuk investasi sarana produksi dengan sistem bagi hasil setelah panen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas dan distribusi pendapatan bedasarkan penguasaan modal usahatani cabai dataran tinggi di Provinsi Bengkulu.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2015, lokasi penelitian ditentukan secara purposive di daerah sentra cabai dataran tinggi yaitu di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong dan Mangku Rajo Kabupaten Lebong. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode survey terhadap responden petani cabai sebanyak 60 orang yang dipilih secara acak.

Data yang dikumpulkan adalah : a. karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, jumlah tenaga kerja dalam keluarga,

jenis kepemilikan lahan garapan dan asal modal usahatani. b. Data usahatani yang meliputi biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli sarana

produksi berupa benih, pupuk, mulsa, pestisida, dan biaya tenaga kerja. Data dianalisis dengan penghitungan financial usahatani meliputi penerimaan,

pendapatan serta efisiensi dari usahatani. (soekartawi,2006)

π = TR – TC Dimana : π = Pendapatan/keuntungan bersih (Rp) TR = Total Revenue/keuntungan kotor/penerimaan (Rp) TC = Total Cost/biaya usahatani (Rp) TR = Harga x Output

Untuk menganalisis efisiensi produksi usahatani digunakan analisis R/C ratio, dirumuskan sebagai berikut :

R/C =

Atau

R/C =

Keterangan : TR Py Y TC

= = = =

Penerimaan (Rp) Harga Output (Rp/Kg) Produksi (Kg) Total baiay (Rp)

Y TC VC

= = =

Produksi (Kg) Total biaya (Rp) Biaya Variabel (Rp)

Jika R/C ratio> 1, maka usahatani efisien dan menguntungkan dan sebaliknya jika R/C ratio < 1, maka usahatani tidak efisien dan tidak menguntungkan. Untuk menganalisis kelayakan digunakan B/C ratio dengan persamaan sebagai berikut:

B/C =

Dengan ketentuan jika B/C ratio ≥ 1, maka usahatani layak diusahakan dan sebaliknya

jika B/C ratio < 1 maka usahatani tidak layak untuk diusahakan.

935

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang dimaksud pada penelitian ini adalah umur, pendidikan,

jumlah tenaga kerja dalam keluarga, jenis kepemilikan lahan garapan dan asal modal usahatani. Umur petani menunjukkan produktif atau tidaknya tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani cabai. Petani responden pada penelitian ini rata-rata berada pada usia produktif yaitu 37,39 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata 8,94 tahun. Pada usia produktif kegiatan usahatani dapat dikerjakan dengan optimal dengan curahan tenaga kerja fisik yang tersedia (Nuryanti dan sahara, 2008). Menurut Soekartawi (1988) bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut, begitu pula pendidikan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam mengadobsi teknologi.

Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dikaitkan dengan jumlah penggunaan tenaga kerja terhadap kegiatan produksi usahatani. Petani cabai rata-rata memiliki anggota keluarga 4 orang yang terdiri dari 2 orang dewasa dan 2 orang anak-anak dibawah 15 tahun. Dari jumlah ini dapat diasumsikan tenaga kerja dalam keluarga untuk usahatani cabai ada 2 orang. Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga merupakan potensi yang cukup besar dalam usahatani, semakin banyak tenaga kerja dalam keluarga maka pengeluaran untuk upah dapat berkurang dan dapat juga dihitung sebagai pendapatan keluarga petani. (Suratman, 2015).

Lahan merupakan modal utama dalam pelaksanaan usahatani, semua petani responden melakukan usahatani di lahan milik sendiri dengan rata-rata luas lahan garapan 0,2 ha. Terdapat perbedaan pada modal yang digunakan oleh petani untuk membeli sarana produksi selama proses produksi dilakukan, 30 orang petani melakukan usahatani dengan modal sendiri dan 30 orang petani merupakan penggarap pada lahan sendiri dengan sebagian sarana produksi seperti mulsa, pupuk, benih dan pestisida berasal dari pihak lain yang bersedia dan tertarik berinvestasi pada usahatani cabai dengan sistem pembagian hasil 2 bagian untuk petani dan satu bagian untuk investor.

B. Produktivitas dan Pendapatan dan Kelayakan Usahatani

Terdapat perbedaan produktivitas lahan bagi petani modal milik sendiri dengan petani yang mengolah lahan dengan bantuan saprodi dari pihak lain walaupun luas garapan petani sama hal ini bisa disebabkan karena bantuan saprodi membuat petani tidak kesulitan dalam pemupukan dan pembeliaan pestisida pembasmi haha penyakit tanaman, jumlah rata-rata produksi usahatani cabai petani dengan modal sendiri adalah 1.197 kg/ musim tanam sedangkan hasil produksi petani dengan bantuan modal saprodi adalah 1.289 kg/ musim tanam. Perbedaan produktivitas hasil tidak terlalu besar karena secara teknis petani cabai secara umum telah cukup menguasai teknologi produksi.

Menurut soekartawi (1995), pendapatan usahatani merupakan selisih antara

penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pada usahatani cabai dapat dilihat pada tabel berikut :

936

Tabel. Analisis biaya dan pendapatan petani cabai berdasarkan penguasaan modal pada usaha tani cabai dataran tinggi.

No Uraian Modal sendiri Modal saprodi dari

pihak lain

1

2.

3.

Saprodi (Rp)

- Benih - Pupuk kandang - Pupuk kimia - Ajiran (Bambu dan tali) - Mulsa - Karung - Pestisida

Tenaga Kerja (Rp) Jumlah Biaya (Rp) Jumlah Produksi (Kg/ musim tanam) Penerimaan (Rp) Pendapatan petani Pendapatan pemberi modal R/C ratio B/C ratio

190.000

612.000

1.301.600

418.000

699.000

63.000

642.900

3.863.000

7.789.500

1.197

17.955.000

10.165.500

-

2,3

1,3

334.000

716.000

1.078.400

530.000

500.000

63.000

691.000

4.445.000

8.357.400

1.289

19.335.000

7.318.400

3.659.200

2,3

1,3

Sumber : Data primer diolah 2015

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah biaya yang digunakan petani cabai dengan modal sendiri lebih sedikit dengan perbedaan biaya sebesar Rp. 567.900. Jumlah pendapatan petani dengan modal milik sendiri lebih besar karena petani tidak perlu membagi hasil produksi kepada pihak lain. Namun kedua sistem usahatani ini tetap layak untuk diusahakan karena memiliki nilai B/C ratio lebih dari satu.

Adanya pihak lain yang berminat dalam memberikan bantuan modal ini sangat

membantu petani dalam menjalankan usahatani karena biaya produksi untuk usahatani cukup tinggi dengan resiko harga yang fluktuatif. Biaya saprodi yang paling besar diperlukan oleh petani adalah biaya pembelian pupuk kimia dan pupuk kandang yaitu sebesar Rp.1,794.400 apabila petani tidak memiliki modal dan mengabaikan pemupukan maka hasil yang didapat tidak akan optimal karena pemupukan akan memberikan ketersediaan unsure hara yang cukup bagi pertumbuhan tanaman namun demikian juga tidak dianjurkan memberikan pupuk secara berlebihan karena tidak selamanya peningkatan dosis pupuk akan meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi (Murwito dkk, 2010).

937

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Produktivitas lahan petani penggarap modal sendiri adalah 1.197 kg/ Musim Tanam

sedangkan rata-rata produktivitas petani penggarap 1.289 kg/ Musim Tanam. Rata-rata pendapatan petani cabai pemilik lahan dan modal adalah Rp 10.165.500/ Musim Tanam. Pendapatan petani dengan bantuan modal dari pihak lain adalah Rp.7.318.400 / Musim Tanam. Pendapatan pemilik modal tanpa menggarap lahan adalah Rp 3.659.200 / Musim Tanam.

2. Usahatani cabai kedua sistem ini efisien dan menguntungkan dengan nilai R/C ratio 2,3 dan B/C ratio 1,3.

B. Saran Masih diperlukan bimbingan dan pembinaan dari peneliti maupun penyuluh supaya hasil produksi usahatni cabai bisa lebih optimal dan pemanfaatan teknologi terutama benih berlabel bisa diterapkan secara berkelanjutan oleh petani.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2015. Produksi Cabai Besar, Cabai Rawit, Dan Bawang Merah Tahun 2014, Berita resmi statistik. No.46/08/17/Th IV, 03 Agustus 2015.

Murwito,Sakhidin dan hidayat P. 2010. Pengaruh Dosis Pemupukan Terhadap Hasil Tiga Kultivar Cabai Merah. Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 10 No 1 Hal : 47-52

Nurbaeti B, B. Kusbiantoro dan Sujitno E. 2005. Pengenalan Dan Pengembangan Varietas Cabai Merah Tanjung-2. Monograf Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Cabai Merah Jawa Barat. BPTP Jawa Barat. Litbang Kementan.

Nuryati S dan Sahara dewi. 2008. Analisis karakteristik petani dan pendapatan usahatani kakao di Sulawesi tenggara. SOCA 8 :3 halman 318-322.

Ritongan Ajuan, Diana chalil dan Luhut Sihombing. 2012. Analisis Pengelolaan Usaha Padi Sawah Berdasarkan Kepemilikan Lahan.Journal on social economic of Agriculture and Agribusiness. USU. Vol 1 No.1. Hal 1-12

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta

Soekartawi.1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian.Penerbit Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press)

Suratman Agus YY. 2015. Kontribusi Tenaga Kerja Dalam Keluarga Terhadap Pendapatan Usahatani Terong (Solanum melongena.L) di Kelurahan Landasan Ulin Utara Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. Jurnal Ziraa’ah Vol. 40. No 3 Hal : 218-225

938

ANALISIS KEBUTUHAN ALSINTAN DALAM USAHATANI TANAMAN PANGAN (PADI)

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Subagiyo dan Budi Setyono

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo, No.22. Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan alsintan pada usahatani tanaman padi, penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2015 di kabupaten Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kulon Progo. Penelitian menggunakan metode survai, data primer diperoleh langsung dari responden dan informan. Responden dalam penelitian ini adalah petani dengan jumlah 60 responden. Data sekunder diperoleh melalui data tertulis yang ada di lapangan dan instansi terkait. Hasil penelitian menujukkan bahwa bahwa penggunaan alsintan dalam usahatani padi mutlak diperlukan, hal ini ditunjukkan dengan pertanyaan apakah responden selalu menggunakan alsintan dalam berusaha taninya, dan dinyatakan dengan jawaban ya oleh responden sebesar 96% dan hanya 4% yang menyatakan tidak. Alsintan yang paling banyak digunakan oleh para petani di lapang berdasarkan hasil wawancara dengan 60 responden secara berurutan adalah: (a) traktor 65%; (b) thresher 53%; (c) RMU Mobil 48%; (d) RMU stationer; (e) mesin tanam dan hand sprayer 4%; (f) mesin panen, ereg, atabela dan pompa air 1%, sedangkan mesin combine hasvester belum ada yang menggunakan dengan alasan luas lahan sempit dan belum tersosialisasikan.

Kata kunci: Analisis, kebutuhan, Alsintan, Usahatani

PENDAHULUAN

Penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) pada saat ini sudah menjadi kebutuhan

pokok petani untuk mengelola usahataninya seperti mengolah tanah, tanam, panen dan pasca panen, mengingat tenaga kerja/buruh tani yang semakin sulit diperoleh dan mahal. Hal ini karena banyak tenaga kerja yang beralih profesi ke non pertanian yang menurut mereka lebih menjanjikan dibanding di sector pertanian yang hanya pada musim-musim tertentu saja. Sehingga pada gilirannya kesulitan mencari tenaga kerja untuk menggarap lahan sawahnya, mengakibatkan upah tenaga kerja menjadi mahal.

Penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) bertujuan untuk meningkatkan luas garapan dan intensitas tanam, selain itu alsintan juga berperan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, menekan kehilangan hasil, meningkatkan mutu dan nilai tambah produk pertanian serta memperluas kesempatan kerja di perdesaan melalui terciptanya agribisnis terpadu yang pada akhirnya akan memacu kegiatan ekonomi di perdesaan (Manwan dan Ananto, 1994). Hasil penelitian Umar, S., (2013) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan efisiensi pada penggunaan traktor tangan di lahan pasang surut yaitu sekitar 76-80 %. Dampak dari penggunaan traktor adalah adanya rangsangan untuk memasukkan sarana produksi yang optimal dan menggunakan alat lain seperti mesin perontok yang dapat memperbaiki mutu hasil. Penggunaan alat yang lain seperti mesin tanam bibit padi (rice transplanter) yang dilakukan di sawah irigasi menggunakan varietas Mekongga dengan jarak tanam 30 x 18 cm, di Desa Plosorejo Kecamatan Gondang Kabupaten Sragen pada MT I dan MT II mampu meningkatkan produktivitas masing-masing sebesar 16,13% dan 17,14% (Suhendrata, et al., 2011). Hasil penelitian yang lain dengan menggunakan varietas Inpari I mampu

939

meningkatkan produktivitas sebesar 30% dibandingkan dengan sistem tegel 20 x 20 cm (Suhendrata, et al., 2012).

Menyadari hal tersebut, maka tidak ada pilihan lain selain menggunakan jasa alsintan untuk mengelola usahataninya, seperti mengolah tanah, tanam dan kegiatan panen dan pasca panen, sehingga permasalahan tersebut dapat diatasi dengan tepat. Penggunaan alsintan di beberapa daerah di DIY khususnya hand traktor sudah lazim digunakan, namun tidak demikian halnya dengan alat perontok padi (power threser), masih banyak digunakan secara manual (digebot) dan sebagian menggunakan pedal threser yang telah dimodifikasi.

Masih banyak alsintan yang belum dimanfaatkan seperti mesin alat tanam padi (rice transplanter), mesin pemanen padi (combine harvester) dengan berbagai alasan, namun dengan perkembangan dan program pemerintah menuju swasembada pangan, maka belakangan kedua alat tersebut (mesin alat tanam dan mesin pemanen padi) sudah mulai digunakan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan suatu kajian tentang analisis kebutuhan alsintan dalam usahatani tanaman pangan khususnya padi di DIY, sehingga diharapkan kegiatan ini dapat memberikan gambaran dan informasi bagi pemangku kepentingan.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kulon Progo) yang merupakan sentra-sentra usahatani tanaman pangan (padi). Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini menggunakan teknik survai, yang menurut Singarimbun dan Effendi (1995) merupakan teknik penelitian dengan cara mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data terhadap suatu persoalan tertentu di dalam suatu daerah tertentu., pelaksanaan kegiatan secara bertahap dimulai dengan deskwork study dan pendalaman materi yang sudah ada dan tercetak.Data penelitian diperoleh melalui wawancaara langsung dengan responden serta Focus Group Discassion (FGD)(Nazir, 1988). Responden adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang dirinya sendiri, sedangkan informan adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang keadaan diri orang lain dan situasi dan kondisi di sekitarnya. Data primer diperoleh langsung dari responden, informan dan hasil pengamatan. Responden dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga tani berjumlah 80 reponden. Data sekunder diperoleh melalui data tertulis yang ada di lapangan dan instansi terkait. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel frekuensi .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Responden yang menjadi obyek dalam penelitian ini terdiri dari petani padi sawah

berjumlah 60 orang yang tersebar di empat kabupaten (Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo dan Sleman). Karakteristik responden sebagai petani padi sawah meliputi kelompok umur, tingkat pendidikan, luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga, masing-masing disajikan pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 1. Sebaran respnden

berdasarkan kelompok umur

16

39 36

9

0

10

20

30

40

50

38-48 49-59 60-70 71-81

0

10

20

30

40

50

60

SD SMP SMA D1 S1

13 18

55

7 7

Gambar 2. Sebaran respnden

berdasarkan tingkat pendidikan

940

Umur responden seperti pada Gambar 1 menunjukkan bahwa responden petani

maupun jasa alsintan termasuk dalam kategori umur produktif yaitu kisaran antara 38-48 tahun berjumlah 16%, kisaran umur 49-59 tahun berjumlah 39%, sementara kelompok umur antara 60-70 tahun sebanyak 36% (kurang produktif) dan sisannya lebih besar dari 70 tahun sebesar 7% sudah tidak produktif. Dengan demikian dilihat dari prosentasi tersebut dapat dikatakan bahwa responden dalam kategori produktif, sehingga diharapkan akan lebih mudah menerima setiap pembaharuan inovasi teknologi dan informasi-informasi penting lainnya untuk kemajuan usahataninya khususnya pada budidaya padi.

Gambar 2 memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam kategori baik yaitu responden petani dengan pendidikan tinggi sebesar 7%, dan berpendidikan diploma 7%, berpendidikan SLA sebesar 55%, berpendidikan SLP 18% dan berpendidikan sekolah dasar hanya 13%. Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap wawasan dalam menerima setiap informasi dan inovasi teknologi yang diperkenalkan, semakin baik tingkat pendidikan petani maka semakin baik pula dalam pengelolaan usahataninya.

Rata-rata tanggungan keluarga rda

Rata - rara tanggungan keluarga responden pada Gambar 3, lebih didominasi oleh

antara 1-3 orang mencapai 48%, hal ini menunjukkan bahwa dalam keluarga petani saya ada ibu dan bapak dan satu anak, dengan sedirinya dalam melaksanakan kegiatan usahatani dilakukan oleh orang tua, sedangkan yang jumlah anggota keluarganya 3-5 orang sebesar 22% dan jumlah keluarga ditas lima hanya sebagian kecil yaitu 6%. Dengan kondisi demikian maka kegiatan usahatani hanya dikerjakan oleh kelompok tua, sementara keluarga yang lebih dari 3 orang sebagian masih dalam masa pendidikan sehingga tenaga kerjanya tidak dapat diharapkan untuk membantu di sawah.

Luas pemilikan lahan petani seperti pada Gambar 4, memberikan informasi bahwa 42% petani memiliki luas lahan antara 0,5 – 0,25 ha, 38% petani memiliki luas lahan antara 0,26-0,46 ha, 13% petani memiliki luas lahan antara 0,47-0,67 ha, 5% petani memiliki luas lahan antara dan hanya 12% petani memiliki luas lahan lebih dari 0,68 ha.

Analisis Kebutuhan Alsintan

Untuk menganalisis kebutuhan alsintan dalam usahatani tanaman padi dilakukan secara deskriptif yang meliputi ketersediaan tenaga kerja, penggunaan alsintan, alsintan yang paling banyak digunakan serta kebutuhan alsintan yang sangat dibutuhkan dan mendesak, analisis secara lengkap adalah sebagai berikut:

Ketersediaan tenaga kerja

Untuk kebutuhan alsintan, maka perlu dilakukan suatu analisis kebutuhan alsintan. Sebelum dilakukan analisis maka terlebih dahulu dilakukan survai akan ketersediaan tenaga kerja di tingkat lapang. Berdasarkan hasil wawancara seperti yang disajikan dalam Gambar 5 ketersediaan tenaga kerja untuk usahatani menunjukkan bahwa 73% responden menyatakan mudah dan tersedia, 23% menyatakan agak sulit dan hanya 4% yang menyatakan sulit untuk mendapatkannya. Tenaga kerja untuk tanam 56% menyatakan

Gambar 2. Sebaran petani berdasarkan tingkat pendidikan

Gambar 4. Sebaran petani berdasarkan luas pemilikan lahan

Gambar 3. Sebaran petani berdasarkan tanggungankeluarga

0

10

20

30

40

50

1-3 3-5 5-7

48

22

6

01020304050 42

28

13 5

12

941

mudah dan tersedia, 39% menyatakan agak sulit dan hanya 5% yang menyatakan sulit. Tenaga kerja untuk perawatan tanaman 76% menyatakan mudah, 21% menyatakan agak sulit, dan hanya 3% menyatakan sulit, hal ini karena pada saat perawatan tenaga kerja realtif pekerjaannya sudah mulai kurang. Sedangkan untuk panen tenaga kerja mulai agak sulit untuk mendapatkan tenaga kerja panen, karena biasanya tenaga panen dari luardaerah dan kebanyak tenaga ini merupakan para petani yang mencari jerami untuk ternak, sehingga harus antri.

Berdasarkan Gambar 5 tersebut secara umum ketersediaan tenaga kerja untuk olah

tanah, tanam, perawatan dan panen masih dalam kategori mudah dan tersedia saat diperlukan walaupun untuk tenaga tanam agak sulit untuk mendapatkannya. Walaupun para responden menyatakan bahwa tenaga kerja mudah didapatkan, namun dalam kenyataan dilapang kadang-kadang juga agak sulit untuk mendapatkannya dan biasanya harus antri.

Penggunaan alsintan

Alsintan sudah merupakan kebutuhan bagi para petani untuk mengelola usahataninya, mulai dari hand traktor, power thresher, dan alsintan lainnya. Karena penggunaan alsintan mampu memberikan manfaat berupa penghematan biaya tenaga kerja, waktu yang lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertamanan (IP). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden seperti pada Gambar 6 memberikan gambaran bahwa penggunaan alsintan mutlak diperlukan, hal ini ditunjukkan dengan pertanyaan apakah responden selalu menggunakan alsintan dalam berusaha taninya, dan dinyatakan dengan ya oleh responden sebesar 96% dan hanya 4% yang menyatakan tidak.

73

56

76

53

23

39

21

44

4 5 3 3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Olah tanah tanam rawat panen

tersedia agak sulit sulit

0

20

40

60

80

100

ya tidak

96

4

Apakah selalu menggunakan alsintan

Gambar 5. Ketersediaan tenaga kerja

Gambar 6. Apakah selalu menggunakan alsintan

942

Gambar 6 memberikan gambaran bahwa alsintan sudah merupakan kebutuhan petani dalam mengelola usahanya taninya, hal ini dinyatakan oleh 96% responden yang menggunakan alsintan. Beberapa alasan kenapa menggunakan alsintan antara lain: menghemat biaya, menghemat waktu dan tenaga, lebih cepat.

Jenis alsintan yang banyak digunakan Jenis alsintan yang paling banyak digunakan oleh para petani di lapang berdasarkan

hasil wawancara dengan 60 responden secara berurutan adalah: (1) traktor 65%; (2) thresher 53%; (3) RMU Mobil 48%; (4) RMU stationer; (5) mesin tanam dan hand spreyer 4%; (6) mesin panen, ereg, atabela dan pompa air 1%, sedangkan mesin combine hasvester belum ada yang menggunakan dengan alasan luas lahan sempit dan belum tersosialisasikan. Untuk lebih jelasnya jenis alsintan yang paling banyak digunakan disajikan pada Gambar 7 sebagai berikut:

Gambar 7. Alsintan yang paling banyak digunakan petani

Gambar 7 memberikan gambaran bahwa walaupun banyak ragam dan jenis alsintan

namun hanya empat alsintan yang paling banyak digunakan para petani, hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi atau sulitnya pengoperasian alsintan apalagi alsintan yang lebih modern seperti mesin tanam dan combine hasvester atau kurang cocok dengan kondisi setempat.

Alsintan yang sangat diperlukan dan mendesak

Sebagai upaya untuk terus meningkatkan uahatani tanaman pangan khususnya padi, penggunaan alsintan mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya serta untuk menuju pertanian modern. Kebutuhan alsintan di tingkat lapang sangat diperlukan dan mendesak untuk segera diadakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, jenis alsintan yang saat ini diperlukan dan mendesak seperti pada Gambar 8 yaitu: (1) mesin tanam 45%; (2) thresher 35%; (3) traktor dan mesin panen 30%; (4) pompa air dan cultivator pembuat bedengan 20%; (5) RMU mobil dan Semprotan elektronik 10% dan (6) RMU stationer, mesin pengolah pupuk organik dan mesin pemotong sisa jerami 5%, sementera untuk mesin combine belum diperlukan dan tidak mendesak.

65

4 1 0

53

39

48

1 1 1 4

0

10

20

30

40

50

60

70

Alsintan yang paling banyak digunakan

943

KESIMPULAN Gambar 8. Alsintan yang sangat dibutuhkan dan mendesak

KESIMPULAN

Penggunaan alsintan mutlak diperlukan, hal ini ditunjukkan dengan pertanyaan

apakah responden selalu menggunakan alsintan dalam berusaha taninya, dan dinyatakan dengan ya oleh responden sebesar 96% dan hanya 4% yang menyatakan tidak. Alsintan yang paling banyak digunakan oleh para petani di lapang berdasarkan hasil wawancara dengan 60 responden secara berurutan adalah: (a) traktor 65%; (b) thresher 53%; (c) RMU Mobil 48%; (d) RMU stationer; (e) mesin tanam dan hand spreyer 4%; (f) mesin panen, ereg, atabela dan pompa air 1%, sedangkan mesin combine hasvester belum ada yang menggunakan dengan alasan luas lahan sempit dan belum tersosialisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Manwan I, dan Ananto, 1994. Strategi penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian tanaman pangan Dalam: Ananto et al (eds). Prospek Mekanisasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nurhidayat, E. 2012. Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Tirta Jaya Kabupaten Karawang.

Suhendrata, T., E. Kushartini, T. Sudaryanto, S. Jauhari, Budiman dan Ngadimin. 2012. Pengkajian Intensifikasi Padi padaLahan Sawah Tadah Hujan melalui Perbaikan Teknologi Budidaya. Laporan Akhir Kegiatan. BPTP Jawa Tengah.

Umar, S., 2013. Pengelolaan Dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usahatani Padi Di Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Mulawarman. Volume 8 nomor 2.

Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Gambar 8. Alsintan yang sangat dibutuhkan dan mendesak

05

1015202530354045

30

45

30

0

35

5 10

20 20

5 10

5

Alsintan yang sangat diperlukan dan mendesak

944

ANALISIS KELAYAKAN INTRODUKSI TEKNOLOGI USAHATANI KEDELAI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

1Eka Triana Yuniarsih dan 2Ida Andriani

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5, Sudiang, Makassar 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat

ABSTRAK

Analisis usahatani kedelai di lahan kering melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah dilakukan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada MT 2015. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani kedelai dan keuntungan yang diperoleh petani jika menerapkan teknologi PTT dengan pendekatan jarak tanam. Varietas yang digunakan adalah Anjasmoro dengan penerapan jarak tanam 80x30 cm, 70x30 cm dan 60x20 cm. Hasil kajian menunjukkan bahwa Introduksi PTT kedelai dengan jarak tanam Usahatani kedelei di Kab. Wajo Sulawesi dengan varietas Anjasmoro jarak tanam 60x20 cm memiliki tingkat kelayakan tertinggi di antara dua jarak tanam lainnya (80x30 cm dan 70x30 cm) untuk diusahakan dengan pendekatan PTT dengan nilai R/C ratio 3,52 dan MBCR 2,52. Melalui pola PTT, semua usahatani varietas Anjasmoro dengan jarak tanam 60x20 cm layak secara finansial untuk dikembangkan, karena nilai MBCR > 2.

Kata kunci: Kedelei, teknologi PTT, dan kelayakan UT

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung, dan sebagai sumberprotein nabati utama bagi masyarakat. Kebutuhankedelai nasional dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1998 konsumsi kedelai nasional per kapita baru 9 kg/tahun, pada tahun 2008 naik menjadi 10 kg/tahun. Berdasarkan perhitungan, jika konsumsi kedelai per kapita rata-rata 10 kg/tahun maka dengan jumlah penduduk 220 juta akan dibutuhkan kedelai sebanyak > 2 juta ton/tahun. Sebagai akibatnya hingga saat ini Indonesiamasih mengimpor kedelai untuk memenuhikebutuhan konsumsi dalam negeri.

(Deptan , 2008)Berdasarkan perhitungan, jika konsumsi kedelai per kapita rata-rata 10 kg/tahun maka dengan jumlah penduduk 220 juta akan dibutuhkan kedelai sebanyak > 2 juta ton/tahun. Sebagai akibatnya hingga saat ini Indonesia masih mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. (Pandu dan Adnan, 2011).

Menurut Budhi dan Aminah (2010), terhambatnya produksi kedelai disebabkan antara lain karena teknologi tidak digunakan sepenuhnya dan kurangnya penggunaan benih bermutu, yang menyebabkan produktivitasnya tetap rendah. Oleh karena itu penggunaan varietas kedelai yang memiliki produktivitas tinggi dan teknologi budidaya yang lebih baik perlu ditransfer ke petani agar dapat menyamai produktivitas di tingkat penelitian. Untuk itu diperlukan perbaikan sistem penyediaan benih bermutu, baik dari sistem produksi maupun distribusinya.

Menghadapi tantangan tersebut diatas maka proses produksi pertanian harus semakin efisien dalam pemanfaatan sumberdaya lahan, air, sarana produksi hingga penekanan akan susut (loss) produksi pada fase pasca panen. Untuk mendukung efisiensi tersebut teknologi produksi dengan muatan utama efisiensi harus tersedia sebagai acuan (Adie M, dkk , 2000).

Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra pengembangan kedelai di Indonesia mempunyai potensi yang cukup tinggi dengan tersedianya lahan kering 559.256 ha, sawah tadah hujan 295.504 ha, sawah irigasi 315.063 ha, sawah setengah irigasi 143.611 ha, irigasi sederhana 84.679, dan irigasi desa 164.341 ha (Distan Provinsi Sulsel, 2013).

945

Produksi dan produktivitas kedelai di Sulawesi Selatan tahun 2013 mengalami fluktuasi. Produksi Kedelai tahun 2013 sebesar 45,69 ribu ton mengalami peningkatan sebanyak 15,76 ribu ton (52,62 %) dibandingkan produksi pada tahun 2012 Meningkatnya produksi Kedelai disebabkan oleh meningkatnya luas panen sebanyak 10,97 ribu hektar (54,96 persen) Adapun produktivitas justru mengalami penurunan sebesar 0,023 ton per hektar (1,51%). (BPS, 2014).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai di SulSel, salah satu di antaranya adalahdengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman daniklim secara terpadu dan berkelanjutan dalamupaya peningkatan produktivitas, pendapatanpetani, dan kelestarian lingkungan (Deptan, 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kelayakan usaha tani kedelai dengan pendekatan PTT di SulSel. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pertanian setempat dalam mengintroduksi teknologi pertanian khususnya pola PTT.

METODE PENELITIAN

Kegiatan ini dilakukan di kabupaten Wajo mulai bulan Januari sampai Desember 2015. Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo dengan luas lahan 1 ha. Varietas kedelai yang ditanam adalah Anjasmoro. Pengkajian dilaksanakan dengan melibatkan satu petani kooperator dan satu orang petani nonkooperator. Petani yang terpilih sebagai petani kooperator adalah petani yang memiliki lahan, dapat bekerja sama, mudah menerima teknologi baru, bersedia menyebarkan informasi yang diperoleh, dan mematuhi aturan-aturan selama kegiatan berlangsung. Petani kooperator menerapkan pendekatan PTT, sedangkan petani nonkooperator menerapkan pola petani. Keragaan teknologi usaha tani kedelai antara petani kooperator dan nonkooperator ditampilkan pada Tabel 1.

Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Untuk mengukur tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usaha tani kedelai dengan penerapan teknologi PTT digunakan analisis kelayakan usaha tani berupa R/C Ratio, sedangkan untuk mengetahui atau mengukur kelayakan teknologi introduksi dalam memberi nilai tambah terhadap teknologi petani digunakan Marginal Benefi t Cost Ratio (MBCR).

Tabel 1. Keragaan Teknologi Usahatani Kedelei Pola PTT dan Pola Petani

No Uraian Komponen Teknologi PTT Komponen Teknologi

Petani 1. Varietas Anjasmoro Anjasmoro 2 Jarak Tanam 20 cm x 60 cm

20 cm x 70 cm 30 cm x 80 cm

30 cm x 80 cm

3 Pemupukan Pupuk cair Pupuk cair 4 Pengendalian hama Ambang kendali (1-2 ekor/rpn) pada

instar Sesuai kebiasaan petani

5 Panen Daun rontok atau polong berwarna coklat

Daun rontok atau polong berwarna coklat

Perontokan Power threser Power threser

Sumber : Laporan kegiatan, 2015 1. Data kelayakan usaha tani dianalisis berdasarkan rumus (Rahim dan Hastuti. 2008) :

a = R/C Di mana:

R/C = Nisbah penerimaan dan biaya R = Penerimaan (Rp/ha) C = Biaya (Rp/ha)

946

Dengan keputusan: R/C > 1, usaha tani secara ekonomi menguntungkan R/C = 1, usaha tani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) R/C < 1, usaha tani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)

2. Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) dihitung berdasarkan formulasi berikut(Gupta dan

O’Toole. 1986) : Penerimaan kotor (I) - Penerimaan kotor (P) MBCR = Total biaya (I) - Total biaya (P)

dimana : I = Teknologi introduksi P = Teknologi petani

Perhitungan MBCR menjelaskan jika nilainya <2, berarti teknologi introduksi tidak berpotensi secara ekonomis untuk dikembangkan, sebaliknya jika >2, artinya teknologi tersebut berpotensi secara ekonomis untuk dikembangkan (Pasireron Marietje, dkk. 2008)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum lokasi kegiatan Kabupaten wajo terletak pada posisi 3039’-4016’ Lintang Selatan dan 119053’-120027 Bujur Timur, merupakan daerah yang terletak ditengah-tengah Propinsi Sulawesi Selatan dan pada zone tengah yang merupakan suatu depresi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir merupakan selat. Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kab. Sidenreng Rappang - Sebelah Timur : Teluk Bone - Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng - Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap

947

Perkembangan Luas Panen Dan Produksi Kedelai Di Sulsel Untuk komoditas kedelai, kontribusi Provinsi Sulawesi Selatan terhadap nasional

sebesar 5,86 persen pada tahun 2013, kemudian turun menjadi 5,73 persen pada tahun 2014, dan meningkat lagi menjadi 6,60 persen pada tahun 2015. Subround I (JanuariApril) meningkat sebesar 1,26 ribu ton (4,27 persen), subround II (Mei-Agustus) meningkat sebesar 1,64 ribu ton (13,56 persen) dan subround III (September-Desember) meningkat sebesar 7,2 ribu ton (55,68 persen). Peningkatan di tahun 2015 disebabkan karena meningkatnya luas panen pada subround II dan III, sedangkan pada subround I luas panen menurun. Sedangkan untuk produktivitas meningkat di subround I dan II, tetapi menurun di subround III. (Grafik 1)

Usaha Tani Kedelai dengan Pola PTT di SulSel

Seperti terlihat pada Tabel 2, rata-rata hasil panen dari varietas kedelai anjasmoro. Produksi kedelai dengan jarak tanam 60 x 20 cm memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai yang ditanam dengan jarak tanam lainnya dengan rata-rata produksi 2,85 ton/ha. Peningkatan produksi yang dicapai dikarenakan bertambahnya populasi tanaman jika dibandingkan dengan jarak tanam 80x30 cm dan 70x20 cm.

948

Peningkatan produksi mencapai 38,94% dibandingkan produksi dengan jarak tanam lainnya.

Tabel 2. Rata-rata produksi yang dicapai petani menggunakan 3 jenis jarak tanam di Kab. Wajo

No. Uraian Jarak Tanam Luas Lahan (ha) Produksi (ton/ha) 1 Petani kooperator I 80 cm x 30 cm 0,5 1,74 2. 3.

Petani kooperator II Petani kooperator III

70 cm x 20 cm 60 cm x 20 cm

0,5 0,5

2,26 2,85

Sumber : Laporan Kegiatan 2015

Sedangkan petani yang menggunakan jarak tanam 70x20 cm mendapatkan hasil yang lebih tinggi yakni 2,26 ton/ha dibandingkan dengan petani yang menggunakan jarak tanam 80x30 cm. Peningkatan produksi dengan jarak tanam 70x20 cm sekitar 22%. Rendahnya produksi dengan jarak tanamn 80x30 cm disebabkan oleh rendahnya populasi tanaman.

Analisis Kelayakan Introduksi Teknologi Usahatani Kedelei

Analisis finansial usaha tani kedelai meliputi penghitungan biaya produksi, tenaga kerja, pascapanen, dan penerimaan hasil. Biaya produksi usaha tani kedelai dengan pola PTT meliputi biaya pembelian benih, pestisida, pupuk, dan biaya pascapanen. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pascapanen kedelai adalah biaya yang harus dikeluarkan petani untuk membayar sewa mesin perontok (powertresher). Besarnya biaya tersebut tergantung dari hasil panen yang diperoleh dengan sistem bagi hasil 10:1 (setiap 10 karung biji kedelai yang telah dirontokkan, 1 karung untuk pemilik mesin). Penggunaan tenaga kerja melibatkan unsur tenaga kerja dalam keluarga dan juga tenaga kerja luar keluarga. Semakin banyak tenaga kerja luar keluarga yang digunakan maka semakin besar pula biaya riil untuk upah tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh petani. Sebaliknya, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga tidak terlalu membebankan petani dari sisi pembiayaan usaha taninya. Tabel 3. Analisis Ekonomi Usaha Tani Kedelai Pola PTT Berdasarkan Jarak Tanam di Kab.

Wajo, SulSel

Sumber : Data primer setelah diolah, 2016

Pada Tabel 3 terlihat bahwa dari keempat varietas yang diusahakan dengan pola PTT, varietas Anjasmoro dengan jarak tanam 60 x20 cm dengan nilai R/C ratio 3,52. Ini berarti setiap Rp100 biaya usaha tani yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 352. Dan yang paling rendah usahataninya paling rendah dengan nilai R/C ratio yakni usahatani denga jarak tanam 80 x 30 cm dengan nilai R/C ratio 1,74.

Jenis Kegiatan Pola PTT berdasarkan Jarak Tanam Jarak Tanam Produksi (t/ha)

80 cm x 30 cm 1,74

70 cm x 20 cm 2,26

60 cm x 20 cm 2,85

Biaya Produksi a. Benih 375.000 375.000 375.000 b. Pupuk cair 400.000 400.000 400.000 c. Pestisida 1.000.000 1.000.000 1.000.000 d. Tenaga kerja 2.500.000 2.500.000 2.500.000 e. Pasca panen 1.100.000 1.250.000 1.400.000 Total Biaya Produksi (Rp) 5,375,000 5,525,000 5,675,000 Penerimaan 12.180.000 15.820.000 19.950.000 Pendapatan 6,805,000 10,295,000 14,275,000 R/C 2.27 2.86 3.52 MBCR 1.27 1.86 2.52

949

Dampak penerapan teknologi baru terhadap pendapatan usaha tani dapat didekati dengan menggunakan analisis usaha tani dengan membandingkan antara rata-rata pendapatan usaha tani petani adopter dengan penerapan jarak tanam yang berbeda. Untuk mengetahui atau mengukur kelayakan pola PTT dalam memberi nilai tambah terhadap pola petani digunakan Marginal Benefi t Cost Ratio (MBCR).

Secara teoritis, keputusan mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika setiap tambahan penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologi baru lebih besar daripada tambahan biaya (Suhaeti dan Basuno, 2004).

Nilai MBCR dari penerapan usaha tani kedelai dengan pola PTT dengan jarak tanam 80x30 cm , 1,27; jarak tanam 70x30cm, 1,86; jarak tanam 60x20cm, 2,52. Dari hasil tersebut terlihat bahwa usaha tani kedelai varietas anjasmoro dengan pola PTT jarak tanam 60x20 cm berpotensi ekonomis untuk dikembangkan. Nilai MBCR tertinggi adalah varietas Anjasmoro dengan jarak tanam 60x20 cm sebesar 2,52 yang berarti setiap tambahan biaya dalam menerapkan inovasi teknologi introduksi sebesar Rp1.000 dapat meningkatkan penerimaan sebesar Rp2.520.

KESIMPULAN

Usahatani kedelei di Kab. Wajo Sulawesi dengan varietas Anjasmoro jarak tanam 60x20 cm memiliki tingkat kelayakan tertinggi di antara dua jarak tanam lainnya (80x30 cm dan 70x30 cm) untuk diusahakan dengan pendekatan PTT dengan nilai R/C ratio 3,52 dan MBCR 2,52. Melalui pola PTT, semua usahatani varietas Anjasmoro dengan jarak tanam 60x20 cm layak secara finansial untuk dikembangkan, karena nilai MBCR > 2.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Ir. Abdul Fattah, MP selaku penanggung jawab kegiatan PTT Kedelai di BPTP SulSel.

DAFTAR PUSTAKA

Adie,M.M. dkk., 2000. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan.

Budhi, G., S., dan Aminah, M., 2010 .Swasembada Kedelai Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Penelitian Agro EkonomiVol 28. No. 1 Juli 2010 5566.

IPB, Bogor. (10 Maret 2012).

Deptan. 2008. Press Realease Mentan pada Panen Kedelai. Departemen Pertanian. (http://ditjentan.deptan.go.id., diakses tanggal 25 Mei 2009).

Deptan. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah LapangTerpadu (SL-PTT) Padi. Jakarta: Deptan.

Suhaeti, R.N. & E. Basuno. 2004. Analisis Dampak Pengkajian Teknologi Pertanian Unggulan Spesifi k Lokasi Terhadap Produktivitas Kasus: BPTP Nusa Tenggara Timur. Soca (SocioEconomicof Agriculture and Agribusiness,4 (1).

Pandu Laksono Dan Adnan. 2011. Kelayakan Usaha Tani Kedelai Dengan Pola Pengelolaan Tanaman Terpadu (Ptt): Studi Kasus Di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. Widyariset, Vol. 14 No.2, Agustus 2011.

Rahim, A. dan D.R.D. Hastuti. 2008. EkonomikaPertanian (Pengantar, Teori, dan Kasus). Jakarta: Penebar Swadaya.

950

Gupta, P.C. & J.C. O’Toole. 1986. Upland Rice AGlobal Perspective. Manila: IRRI. p. 360.

Pasireron Marietje, dkk. 2008. Kajian Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) pada Tanaman Kedelai Lahan Kering dan Lahan Sawah di Maluku. (http://maluku.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=76&Itemid=53.,diakses tanggal 1 April 2010)

.

951

EKSISTENSI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO-AGRIBISNIS PADA UMKMBERBASIS PETANI

Siti Sehat Tan

Peneliti pada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP)

Jalan Tentara Pelajar No.10 Cimanggu Bogor 16114

ABSTRAK

Pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sejalan dengan upaya tersebut pemerintah meluncurkan salah satu Program bantuan daritahun 2008 sampai saat ini yaitu Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) sebesar 100 juta per Gapoktan/Desa yang diharapkan mampu mengatasi kemiskinan di perdesaan.Pada tahun ketiga diharapkan terbentuk Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) yang merupakan unit otonom Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), mencakup pelayanan jasa pinjaman/kredit dan yang terkait dengan persyaratan pinjaman atau bentuk pembiayaan lainnya, diharapkan mampu mengatasi persoalan akses modal petani ke lembaga keuangan formal. Tujuan penulisan adalah untuk mengungkapkan sejauh mana permasalahan dalam penumbuhan LKM-A dalam usaha untuk naik kelas. Pengumpulan data dilakukan melalui e-mail menggunakan kuesioner dengan responden yaitu pendamping Penyelia Mitra Tani (PMT), penanggungjawab PUAP dan pengurus Gapoktan di 33 Provinsi. Dan survey lapangan ke Provinsi Maluku dan Maluku Utara.Data kemudian ditabulasi dan dianalisis berdasarkan indikator yang ditetapkan. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang relevan. Hasil evaluasi dari 31.527 sampel Gapoktan 2008-2013, ternyata baru 3898 Gapoktan (12,36%) yang baru membentuk LKM-A, Sementara Gapoktan PUAP 2008-2013 ada 37.123 Gapoktan, pengembangan asset sangat lambat dengan persentase terbesar berada grade E (sangat buruk) yaitu 79,51%. Permasalahan yang perlu menjadi perhatian sebagai pengungkit LKM-A naik kelas adalah kompetensi pendamping, pengurus, modal dan peran Pemda. ( Pemerintah Daerah ) Kata kunci: Lembaga keuangan, usaha mikro, kelompoktani

PENDAHULUAN

Konstitusi Negara Republik Indonesia memberikan landasan dalam pengelolaan ekonomi nasional untuk kesejahteraan kepada seluruh warga negara dengan asas demokrasi ekonomi. Hal ini dituangkan dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa perokonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Pengertiannya secara luas dirumuskan dalam ayat (4) pasal 33, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan salah satu pilar dalam proses intermediasi keuangan. Keuangan mikro ini dibutuhkan masyarakat kecil, terutama di perdesaan untuk usaha produktif serta sebagai modal usaha mereka. Lembaga keuangan mikro (LKM) sering disebut sebagai suatu lembaga ekonomi kerakyatan, batasannya dirumuskan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2013, Pasal (1) ayat (1) yaitu:

Pasal tersebut di atas,menjelaskan bahwa LKM merupakan suatu lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum, memiliki modal dan mendapatkan izin usaha, dimana badan hukumnya dapat berbentuk koperasi atau perseroan terbatas (PT). Lembaga ini berdasarkan Undang-Undang No 1 tahun 2013 dapat dimiliki sahamnya dari pemerintah.

952

Peranan lembaga keuangan mikro adalah memberikan pinjaman dalam jumlah kecil kepada orang miskin yang sulit memperoleh kredit biasa untuk usaha produktif, tanpa jaminan.

Dalam rangka usaha untuk memajukan kedudukan rakyat, terutama masyarakat petani perdesaan yang memiliki ekonomi dan akses terhadap modal terbatas, maka pemerintah melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang dimulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2014, telah menyalurkan dana sebesar 5,2 T kepada 52.186 Gapoktan/Desa,Direktorat Pembiayaan Pertanian (2015). Sementara sampai dengan tahun 2014, Penyelian Mitra Tani (PMT) yang merupakan pendamping yang telah direkrut sebanyak 1528 orang, Tujuan PUAP adalah; (1) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah; (2) meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT); (3) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis; dan (4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.

Sejalan dengan program pemerintah tersebut, menurut Rujito (2003)dalam Linda (2012),mengatakan usaha mikro adalah usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin. Sementara pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pasal 3 disebutkan bahwa, usaha mikro bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan ekonomi yang berkeadilan. Namun demkian banyak program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dinilai masih kurang berhasil. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soekidjo (2009)bahwa meskipun sudah banyak program untuk menanggulangi kemiskinan dari pemerintah, disadari program tersebut masih kurang berhasil.

Sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) yang diharapkan terbentuk pada tahun ketiga setelah bantuan PUAP diberikan dan merupakan unit otonom Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), memiliki manajemen yang terpisah dari Gapoktan yang dibangun PMT, dimana usaha lembaga ini mencakup pelayanan jasa pinjaman/kredit dan penghimpunan dana masyarakat yang terkait dengan persyaratan pinjaman atau bentuk pembiayaan lainnya (Kementan 2013). Hasil evaluasi dari 31.527 sampel Gapoktan 2008-2013, ternyata baru 3898 Gapoktan (12,36%)yang telah berhasil membentuk LKM-A. Sementara Gapoktan PUAP 2008-2013 ada 37.123 Gapoktan. Hal ini menunjukan masih rendahnya kinerja PMT dan faktor pendukung lainnya(BBP2TP.2014).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur, pengumpulan data dengan form 1 dan 2 melalui email ke 33 Provinsi dan kuesionerserta pengamatan langsung di lapangan, denganLokasi pengamatan contoh,Maluku dan Maluku Utara, dengan pertimbangan: 1) telahmendapatkanprogram PUAP dari tahun 2008 – 2013 2) penyaluran dana PUAP untuk usaha produktifsampai pada pemasaran hasil; dan 3) telah terbentuk LKM-A sesuaidengan indikator yang telah ditentukan yaitu: 1) Mempunyai AD/ART LKM-A dan peraturan lainnya 2) Pengelolaan LKM-A terpisah dari Gapoktan termasuk pembukuan dan laporannya 3) Mempunyai anggota yang terdaftar dan berusaha dibidang agribisnis, dan 4) Memiliki Kantor /Tempat usaha dan kelengkapannya

LKM-A juga harus menunjukkan kinerja moderat yang berpeluang untuk ditransformasikan ke arah kelembagaan yang lebih maju dan berbadan hukum.

953

Tahapan Pengumpulan Data Tabel 1 Asumsi Katagori Perkembangan Nilai Aset Gapoktan PUAP 2008-2013

Sumber: BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian (2013).

Pertama, ditekankan pada pengumpulan data primer tentangjumlah Gapoktan dan LKM-A yang telah terbentuk, jumlah anggota pengguna dana PUAP, perkembangan anggota pengguna, perkembangan nilai asset Gapoktan/LKM-A, jumlah LKM-A yang telah berbadan hukum, dan jumlah LKM-A yang telah bermitra dengan pihak ketiga yang diperoleh melalui pengisian form 1 dan 2 serta kuesioner yang dikirim melalui email ke masing-masing penanggungjawab PUAP disetiap Provinsi yang diperoleh dari Penyelia Mitra Tani (PMT) pendamping Gapoktan/LKM-A.

Kedua, dilakukan wawancara dengan panduan daftar pertanyaan kepada responden untuk mendapatkan data tentang permasalahan dalam penumbuhan LKM-A. Unit responden dalam penelitian ini adalah kelembagaan Gapoktan/LKM-A yang dipilih secara purposive, PMT dan Penanggungjawab PUAP. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan fokus pada analisis permasalahan dalam penumbuhan/transformasi kelembagaan Gapoktan dan LKM-A ke arah kelembagaan yang lebih maju dan berbadan hukum.

Input data dilakukan dari form1 dan 2 tentang asset LKM-A mengacu pada indikator yang telah ditetapkan (Tabel 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Agribisnis Pada Gapoktan Puap

LKM-Aberasal dari Gapoktan PUAP, berfungsi memberikan jasa layanan keuangan untuk pengembanganAgribisnis bagipetani mikro dan atau masyarakat agribisnis berpenghasilan rendah. Menurut Tohari (2003)Lembaga keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal. Jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) antara lain menyediakan jasa simpanan, dan pinjaman (pembiayaan/kredit) dll. Apabila LKM-A ingin melakukan pengembangan usaha, maka dapat memproses Badan Hukum Koperasi dan mengurus izin usaha.

Tahapan menuju LKM-A bagi Gapoktan PUAP dapat dimulai dari pencairan/realisasi dana yang dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, Dalam pelaksanaannya setiap tim teknis PUAP yang ada di Kabupaten/Kota memiliki kebijakan yang bervariatif. Namun prinsip dasar yang selalu ditekankan oleh pendamping kepada pengurus Gapoktan adalah modal 100 juta harus berkembang dan terus digulirkan kepada seluruh anggota yang membutuhkan. Dengan demikian diharapkan.

Tahun pertama

Dana PUAP yang dimanfaatkan untuk membiayai usaha produktif sesuai dengan usulan anggota secara berjenjang, melalui RUA (rencana usaha anggota), RUK (rencana

KLASIFIKASI Nilai Aset (Rp.)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sangat Baik

A > 170 > 160 > 150 > 140 >130 > 120 > 110

Baik B 167 – 170

157 – 160

147 – 150

137 – 140 127 -130

117 -120

107 -110

Sedang C 163 – 166

153 – 156

143 – 146

133– 136 123– 126

113 – 116

103 – 106

Kurang D 159 – 162

149 – 152

139 – 142

129 – 132 119 – 122

109 – 112

100 – 102

Buruk E < 159 < 149 < 139 <129 <119 <109 < 100

954

usaha kelompok) dan RUB (rencana usaha bersama). Pada tahap ini peran pendamping dan kinerja di lapangan (PMT, Penyuluh) sangat penting dalam memfasilitasi pembuatan RUA-RUK-RUB. Apabila tahapan ini tidak dilakukan dengan benar, maka akan terjadi penyimpangan dalam pemanfaatannya. Kinerja pendamping dapat dilihat pada tahap awal tersebut.

Tahun Kedua

Gapoktan sudah dapat mengembangkan usaha simpan pinjam (USP). Keberhasilan Gapoktan dalam mengembangkan USP ini dapat diukur dari (i) keteladanan/moralitas pengurus Gapoktan atau aparat pelaksana; (ii) besarnya tingkat pelunasan kredit; (iii) tingginya tingkat mobilisasi dana masyarakat; dan (iv) dukungan pamong dan kepala desa setempat. Apabila keempat syarat tesebut terpenuhi, dapat dipastikan bahwa pengelolaan dana PUAP berkembang dengan baik. Namun demikian, menurut hasil penelitian Martowijoyo (2002), beberapa program bantuan memperlihatkan keragaan yang tidak memuaskan pada lembaga keuangan yang melaksanakan salah satunya adalah rendahnya tingkat pelunasan kredit.

Tahun ketiga

Pembentukan Unit usaha LKM-A oleh Gapoktan diharapkan dapat meningkatkan akumulasi modal melalui dana keswadayaan yang dikumpulkan oleh anggota melalui tabungan maupun melalui saham (Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2015). Terbentuknya LKM-A dalam Gapoktan PUAP diharapkan mampu menyelesaikan persoalan pembiayaan petani mikro dan buruh tani yang selama ini sulit mendapatkan pelayanan keuangan melalui lembaga keuangan formal. Kinerja LKMA yang baik (good performance), akan mampu menciptakan efektivitas dan efisiensi kelembagaan, sehingga mampu meminimalisir biaya transaksi, akhirnya berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan antar petani (Chang 2011; Acemoglu 2003; Ikhsan 2000). Hasil analisis menunjukan bahwa, pembentukan LKM-A terbanyak berada pada wilayah Jawa. Diikuti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan NTT dan terakhir Maluku dan Papua (Gambar 1)danTabel 2.

Gambar 1. Persentasi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Menurut Wilayah

Faktor-Faktor Penghambat Dan Pengungkit LKM-A 1. Pendamping

Selama tahun 2008-2014 kebijakan pemerintah pusat tentang daerah binaan Gapoktan oleh PMT yaitu 20-30 Gapoktan yang tersebar dibeberapa Desa dalam satu kabupaten. Hasil analisis menunjukan, Kebijakan menyamaratakan dana operasional diseluruh provinsi menjadi masalah utama untuk daerah-daerah yang secara geografis memiliki wilayah kerja yang jauh dan sulit dijangkau atau memerlukan biaya transportasi yang cukup besar.Menurut Wang et al (2010), ketikaseorangkaryawanmerasatidakpuasataspembayaran yang diterimamaka, dapatmenimbulkanketidak puasandanamemicuuntukkeluardariorganisasi tersebut, hal ini sejalan denganhasil evaluasi yang menunjukan bahwa, pendampingan PMT dalam menaikan

Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Bali & NT Maluku

Papua

41.69% 36.61%

10.31% 4.08% 3.46% 2.85%

LKMA menurut Wilayah

955

asset dan pembentukan LKM-A di Jawa dan Sumatera lebih baik dibandingkan wilayah lain, ini disebabkan karena PMT dan penyuluh lebih intensif melakukan pembinaan, transportasi lebih mudah dan murah dibandingkan dengan wilayah lainnya, terutama wilayah Tengah dan Timur Indonesia (Tabel2).

Tabel 2. Keragaan lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM- A) berbasis katagori tahun 2008-2013.

Wilayah Jumlah Provinsi

Katagori A B C D E Jlh

Sumatera 10 121 20 17 16 1253 1.427 Jawa 6 265 61 84 128 1087 1.625

Bali dan Nusa Tenggara 3 12 2 2 1 118 135 Kalimantan 4 17 1 4 2 135 159 Sulawesi 6 3 0 1 5 432 441 Maluku dan Papua 4 20 7 7 3 74 111 Jumlah 33 438 91 115 155 3100 3898 % 11,23 2,33 2,95 3,98 79,51 100 Sumber: Data primer diolah A= sangat baik, B= Baik, C= Cukup, D= Kurang Baik dan E= Buruk

Jangkauan kerja PMT di daerah Maluku dan Papua misalnya, umumnya sangat berat, karena lokasi berada pada jarak yang berjauhan, dimana satu PMT mendampingi 15-20 Gapoktan yang tersebar di beberapa Pulau-pulau kecil yang cukup sulit dijangkau dan memerlukan biaya transportasi yang cukup mahal. dengan biaya operasional (BOP) 1,2 juta dengan wilayah binaan yang luas dimana sekali jalan bisa menghabiskan biaya Rp.10.000,- s.d Rp 100.000, bila pembinaan dilakukan sebulan sekali maka, idealnya hanya 5 Gapoktan yang bisa didampingi dan dibina selama 5 bulan. Kondisi demikian menyebabkan banyak Gapoktan yang hanya sekali dalam setahun dikunjungi oleh PMT. Variasi tingkat keberhasilan Gapoktan/LKM-A sulit untuk diukur melalui kinerja PMT, karena dari Gapoktan/LKM-A yang dibina, ada yang dikatagorikan baik, namun ada juga yang sangat buruk.

2. Kompetensi Pengurus

Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan suatu LKM, diantaranya yaitu;kemampuan pengurus Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola modal usaha. Manajemen yang baik seperti,memiliki struktur organisasi, AD/ART dan rencana kerja yang tepat. Petani pengguna dana PUAP dipilih secara selektif oleh pengurus. Serta memiliki kerjasama dengan pemangku kepentingan(Permentan No 82/Permentan/OT.140/8/2013).Hasil evaluasi menunjukan bahwa, Gapoktan yang memiliki asset yang baik dan berkembang menjadi LKM-A adalah Gapoktan yang memiliki SDM pengurus yang kompeten, mengakomodasi aspirasi anggota, dimana penumbuhan Gapoktan berdasarkan kemauan dan inisiatif anggota Poktan yang bergabung. melibatkan petani, mengakomodasi aspirasi petani, dan mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses melalui bekerja bersama.

3. Modal

Dalam konteks modal bantuan Pemerintah pada program PUAP, modal awal bantuan yang diberikan sebesar 100 juta kepada Gapoktan diperuntukan untuk usaha produktif yaitu tanaman pangan, peternakan, perkebunan, hortikultura dan of farm dengan model awal unit usaha simpan pinjam (USP), dan diharapkan dapat berkembang menjadi LKM-A pada tahun ketiga.

Pada dasarnya program ini mempunyai misi yaitu pemberdayaan masyarakat perdesaan secara partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Modal dalam usahatani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara langsung maupun tidak langsung

956

dalam suatu proses produksi (Hanafie, 2010). Sementara Daniel (2002) menyatakankan bahwa modal usahatani yang dimaksud adalah keseluruhan biaya-biaya dalam pengadaan bibit, pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja, transport, penyusutan alat dan pajak tanah.

Penguatan modal Gapoktan lainnya dapat dilakukan melalui kerjasama antara Gapoktan dengan pihak lain, seperti Bank dan swasta yangbergerakdibidangpertanianuntuk pengembangan kegiatan dari unit simpan pinjam menjadi beberapa unit usaha lainnya, seperti unit usaha jasasaprotan, unit usaha jasaproduksi, unit usaha jasapengolahandanunit usaha jasapemasaran yang kemudianbertransformasimenjadi unit (LKM-A) yang menjadi pengelola.

4. Dukungan Pemda

Peranan pemerintah tentu menjadi penting terutama untuk mengantarkan Gapoktan agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya dalam memanfaatkan MEA pada tahun 2015. Beberapa contoh kasus keberhasilan Gapoktan/LKM-A yang didukung oleh pemerintah daerah adalah: Gapoktan Hutawa di Maluku, penerima dana PUAP tahun 2012. Dana awal 100 juta berkembang dengan sangat baik menjadi 285 juta dengan unit usaha simpan pinjam dan unit usaha sarana produksi yang sangat membantu kegiatan pertanian anggota gapoktan memperoleh pupuk, benih dan obat obatan. Pengembangan usaha ini menunjukan prospek pasar yang menjanjikan. Peran pemerintah daerah, terutama aparat desa dalam pengembangan modal usaha dapat dilihat dari adanya kerjasama yang jembatani Pemda dengan Petrokimia dan PT. Panamas (penyedia benih pertanian). Selain itu pemerintah daerah sering melakukan pelatihan dalam rangka peningkatan SDM pengurus, melalui pelatihan dasar, pelatihan kepemimpinan dan pelatihan budidaya.

Cerita sukses juga terjadi di Gapoktan Mado, Pulau Hiri Ternate, dimana dana pembangunan sentra agribisnis sebesar Rp. 50.000.000,- diperoleh Desa dari bantuan Pemda Kota Ternate, diberikan sebagai tambahan modal usaha Gapoktan dalam pengelolahan dan pengembangan usaha dari usaha simpan pinjam berkembangan menjadi usaha pengasapan ikan, sesuai dengan potensi wilayah kepulauan dengan penghasil utama dari laut (ikan dll). Hasil usaha pengasapan ikan dijual di pasar ibukota Ternate. Pengelolaan yang terintegrasi antar gapoktan dan desa/lurah diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat yang tergabung dalam Gabungan kelompok tani (Gapoktan). Menurut Hubies (2010), Usaha Mikro Kecil dan Menengah tergolong dalam usaha yang marginal, yang antara lain diindikasi dengan penggunaan teknologi yang relatif sederhana, keterbatasan modal dan terkadang akses terhadap kredit yang rendah serta cenderung berorientasi dengan pasar lokal. Selanjutnya menurut Purwanto (2013), keterlibatan berbagai aktor, dukungan financial dan komitmen pemerintah sangat penting dalam mensukseskan suatu program. Dengan demikian intervensi pemerintah, khususnya pemerintah desa dalam pengembangan usaha kecil dan menengah dalam penumbuhan modal dan pengembangan usaha menjadi sangat penting dilakukan.

KESIMPULAN

Lembaga keuangan mikro agribisnis perdesaan PUAP sebagian besar belum memiliki kontribusi yang jelas dan konkret dalam pemberdayaan ekonomi anggotanya, melalui pemenuhan kebutuhan modal usahatani, untuk meningkatkan produksi dan pendapatannya.

Kompetensi pendamping sangat penting diperhatikan pada tahap awal verifikasi, denganmemiliki latar belakang keuangan mikro dan ilmu pertanian. Selanjutnya perlu langkah peningkatan kinerja Pendamping Penyelia Mitra Tani (PMT) melalui peningkatan budaya kerja, memperkecil rasio antara PMT dengan wilayah binaan atau penambahan biaya operasional dalam pembinaan, perbaikan kerjasama antara PMT dengan pengurus Gapoktan, Tim Teknis Kabupaten/Kota, dan perlu adanya pelatihan PMT yang disesuaikan dengan kepentingan atau keperluan LKM dan perkembangan ilmu pengetahuan. Peran pemerintah pusat dan daerah sebagian besar masih pasif dan diharapkan aktif dalam usaha menambah modal dan menjembatani lembaga keuangan mikroagribisnis PUAP dengan pihak luar seperti swasta dan Bank untuk menaikan kelas LKM-A. Keberpihakan

957

pemerintah pada LKM-A dan usaha mikro dalam pendanaan akan mempermudah petani yang tergolong miskin dalam mengakses modal dan memperbaiki kualitas produk pertanian sehingga mampu bersaing di pasar local maupun di luar.

DAFTAR PUSTAKA

BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2013. Data base Gapoktan PUAP 2008-2011. Kerja sama BBP2TP Kementrian Pertanian.

Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2015. Pengembangan LKM-A pada Gapoktan PUAP tahun 2015. Direktorat Pembiayaan Pertanian Jakarta.

Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, 2015. Petunjuk teknis pendamping pengembangan usaha agribisnis pertanian (PUAP) tahun 2015. Jakarta.

Departemen Pertanian, 2008. Pedoman umum pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP), 2008.

Daniel M. 2002. Buku pengantar ekonomi pertanian. Bumi aksara, Jakarta.

Hubeis, Musa, 2010. Kajian pembinaan pengembangan dan pengawasan UKM binaan PT. Sucofindo .Jurnal Manajemen LKM. Vol 5, No 1. Bogor: IPB 2010.

Hanafie R. 2010. Peran Modal Dalam Pengembangan Pertanian. Buku Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta (ID): Andi Yogakarta.

Kementrian Pertanian, 2013. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta: Kementrian Pertanian. 40 hal.

Linda, 2012. Analisis dampak kredit mikro terhadap perkembangan usaha mikro di kota Semarang. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro

Martowijoyo, S.2002. dampak pemberlakuan system Bank perkreditan rakyat terhadap kinerja lembag perdesaan. Jurnal ekonomi rakyat, tahun I, No 5, Juli 2002.

Kusuma NW, 2013. Peran pendamping dalam pendampingan dan perawatan social lanjut usia di lingkungan keluarga (Home care): studi tentang pendamping di yayasan pitrah sejahtera, keluarga Cilincing, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Dalam Jurnal Infomasi. (Internet). Dikutip 3 Mei 2016.

Purwanto SA, Sumartono, Makmur M, 2013. Implementasi kebijakan program keluarga harapan (PKH) dalam memutuskan ranta ikemiskinan (kajian di Kecamatan mojosari Kabupaten Mojokerto). Jurnal wacana .(Internet). Dikutip 3 Mei 2016.

Suprapto.A, 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap pelaksanaan PUAP. Makalah disampaikan pada workshop PUAP, Bogor, 8 Agusutus 2012.

Soekidjo, 2009. Pengembangan sumberdaya manusia. Jakarta: Rineka Cipta Thohari, Endang dalam M. Syukurdkk, 2003. Peningkatan aksesbilitas petani terhadap kredit melalui LKM .Bunga rampai lembaga keuangan mikro. Bogor: IPB press 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. (Internet).www.hukumonline.com. Dikutip 4 Mei 2016.

Wang, Chen, Hyde, dan Hsieh (2010). Chinese employees’work values and turnover intentions in multinational companies: the mediating effect of pay satisfaction. Social behavior and personality, 38 (7), 871-894.

958

KERAGAAN AGRO-EKONOMI KOPI LIBERIKA TUNGKAL KOMPOSIT PADA LAHAN GAMBUT

KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

Nur Imdah Minsyah 1)2)

1). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru, Jambi Hp 081274248990

ABSTRAK

Keragaan Agro-ekonomi Kopi Liberika Tungkal Komposit pada Lahan Gambut Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Karakterisitk yang menonjol dari jenis kopi ini adalah buahnya yang besar, cita rasa yang has, dan satu-satunya jenis kopi liberika yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lahan gambut. Tujuan penelitian: 1). Mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani kopi Libtukom, dan; 2). Menganailis biaya dan pendapatan usahatani kopi libtukom. Penelitian dilaksanakan di Desa Mekar Jaya, dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Analisisnya berupa analisis deskriptif kantitatif dan kualitatif. Bila dibandingkan dengan potensi genetiknya yang dapat mencapai 900 kg biji kering, produksi kopi libtukom yang diperoleh petani baik Pada lahan gambut di Kecamatan Barata adalah rendah (605 Kg/ha), disebabkan disebabkan oleh pemeliharaan yang sangat kurang, didalamnya termasuk frekwensi pembersihan, dosis dan jenis pupuk yang digunakan jauh dibawah dari yang dikehendaki, serta pencegahan serangan hama dan penyakit yang sangat minim. Sebagian besar (73,33 %) petani menanam kopi libtukomnya diantara tanaman piang, selebihnya menanamnya diantara kelapa (16,67 %) dan diantara kelapa sawit (10,00). selain berfungsi sebagai tanaman naungan, dari sisi ekonomi tanaman pinang merupakan sumber penghasilan yang cukup besar. Dibandingkan dengan harga jenis kopi lainnya, dalam bentuk biji kopi kering, harga kopi libtukom hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan harga kopi lainnya.

Kata kunci:Keragaan, Agroekonomi, Libtukom, lahan gambut, dan Tanjung Jabung Barat.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan wilayah.Tanaman kopi selain diekspor ke negara lain juga dikonsumsi oleh penduduk di Indonesia (Soemarno. 2009).

Dewasa ini di Indoensia dikenal dua jenis kopi utama yaitu Kopi Arabika dan Robusta. Selain kedua jenis/nama kopi tersebut, dalam luasan yang relatife sangat terbatas, di beberapa provinsi jga ditanam jenis kopi Exelsa dan liberika. Dari beberapa jenis/nama kopi di atas jenis kopi doiminan yang diusahakan adalah kopi robusta disusul kopi arabika, sedangkan untuk jenis kopi exelsa dan liberika belum terdata dengan baik. Pada tahun 2013, luas perkebunan kopi Indonesia mencapai 1.241.712 ha terdiri dari 916,503 ha kopi robusta dan 319.769 kopi arabika (Dirjebun 2014).

Kopi Arabika dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada ketinggian antara 1.000 – 2.100 – 1200 m dpl dengan suhu berkisar antara 16 – 20 o C, Kopi Robusta pada ketinggian antara 400 – 800 mpl dan suhu berkisar antara 21 - 24oC, kopi Exelsa pada ketinggian antara 0 – 750 mdpl, kopi exelsa ini tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan (Sekretariat Bakorluh Riau. 2014).

Sesuai letak daerahnya yang berada pada ketinggaian antara 3 – 938 m dpl dpl, ketiga jenis kopi yang disebutkan di atas juga terdapat di Provinsi Jambi dengan areal pertanaman

959

yang cukup luas (BPS Provinsi Jambi. 2014 dan Disbun Provinsi Jambi. 2014). Pada tahun 2013, luas areal pertanaan kopidi Provinsi ini mencapai 25.935 ha, terdiri dari 25.301 ha Kopi Robusta dan 634 ha Kopi Arabika, dengan produksi 13.209 ton dan 117 ton, dan produktivitas 814 kg/ha dan 613 kg/ha). Sedangkan untuk kopi liberika, secara statistik baik ditingkat Provinsi Jambi mauoun ditingkat kabupaten dimana kopi liberika tersebut dijumpai, belum tercatat.

Walaupun demikian, baik oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jambi maupun oleh Dinas Perkebunan dan kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat lokasi ditanamnya kopi jenis liberika, telah diakui bahwa Jenis Kopi yang ditanam pada lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan Jenis Kopi Liberika, dengan luas areal diperkirakan antara 2.546 ha – 3000 ha (Gusfarina. 2014 dan Anonymous. 2013).

Walaupun telah ditetapkan sebagai Varietas Bina dan telah dijadikan sebagai varietas kopi unggul dan sepsifik untuk lahan gambut Kabupaten Tanjung Jabung Barat pada khususnya dan Provinsi Jambi pada umumnya, keberlangsungan (eksistensi) kopi Libtukom kedepan tidak akan terlepas dari produksi dan pendapatan yang diperoleh oleh petani penanamnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani kopi Libtukom, dan : 2). Menganailis biaya dan pendapatan usahatani kopi libtukom.

METODOLOGI

Waktu Pelaksanaan dan Lokasi Kegiatan Penelitian berlangsung selama 4 bulan dari bulan September - Desember 2015,

dilaksanakan di Desa Mekar Jaya dan Desa di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara , Kabupaten batanghari. Kedua desa ditentukan secara sengaja, kriteria yang digunakan dalam menentukan desa/lokasi penelitian adalah kedua desa memiliki areal perkebunan kopi libtukom terluas pertama dan kedua.

Jenis, Jumlah dan Metoda Penentuan Responden

Responden terdiri dari petani kopi Libtukom, Penyuluh Pertanian yang desanya (wilayah kerja) menjadi lokasi penelitian , pengurus dua kelompk tani, dan pengurus Perkumpulan Masyarakat Pencinta Indikasi Georagis (MPIG) Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Penyuluh Pertanian, Pengurus Kelompok Tani dan Pengurus MPIG ditentukan secara sengaja (Purposive), sedangkan petani kopi Libtukom yang menjadi responden (petani contoh) metoda yang digunakan adalah metoda acak sederhana.

Jumlah petani yang menjadi responden (petani contoh) dari kedua desa sebanyak 15 petani, sehingga total petani kopi Libtukom dari kedua desa yang menjadi responden 30 petani.

Jenis dan Metoda Pengumpulan Data.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari petani contoh, penyuluh pertanian, pengurus dua kelompok tani, dan pengurus perkumpulan MPIG kopi libtukom. Pengumpulannya sendiri dilakukan dengan mengadakan wawancara langsung (tatap muka), yang dipandu oleh daftar penrtanyaan yang telah disiapkan. Untuk petani, kuesiner yang disipkan adalah kuesioner yang berstrukur dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Sedangkan untuk responden lain, daftar pertanyaannya tidak berstrukur, dan semua pertanyaan bersifat terbuka.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan menggunakan sistem tabulasi sederhana. Sedangkan analisisnya berupa analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah tekhnik analisis yang dipakai untuk menganalisis data dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data-data yang sudah dikumpulkan seadanya tanpa ada maksud membuat

960

generalisasi dari hasil penelitian, dan berdasarkan sifatnya analisis deskriptif dikelompok atas analisis deksrif kuantitatif dan deskriptif kualitatif (Sora, N. 2015., Winartha 2006., dan Pratiwi 2014 ).

Untuk mengetahui hubungan antara penerimaan, biaya produksi dan pendapatan, serta kelayakan usahatani kopi libtukom di desa penelitian menggunakan model matematis sederhana seperti yang dirumuskan sebagai berikut.

Pd = Pn – Bp ............................................. 1. Pn = Tp X Hjp ............................................. 2. Bp = Bt + Bv ............................................... 3. R/C = Pn/Bp .................................................... 4.

Di mana : Pd = Pendapatan (Rp) Pn = penerimaan (Rp) Bp = biaya produksi (Rp) Bt = Biaya tetap Bv = Biaya variabel (berubah) R = Revenue (Penerimaan) C = Cost (Biaya produksi)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Umur, Pendidikan dan Pengalaman Petani Kopi

Umur, tingkat (lama) pendidikan formal yang diikuti dan pengalaman berusahatani (Kopi) dari petani, secara umum, merupakan faktor-faktor yang memiliki pengaruh atas pola pengelolaan usahatani maupun terhadap penerimaannya terhadap perobahan-perobahan (inovasi) yang mengarah kearah yang lebih baik, walaupun untuk menerapkannya (teknologi baru/inovasi) masih membutuhkan dukungan faktor lainnya seperti modal, ketersediaan input yang dan adanya jaminan pasar terhadap produk-produk yang dihasilkannya (Suryono 2005).

Kemampuan fisik dan produktivitas kerja, penerimaan terhadap hal-hal baru termasuk didalamnya inovasi teknologi pertanian memiliki relevansi dengan umur seseorang. Petani dengan umur yang relative muda (produktif) mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat, lebih dinamis dalam bertindak serta memiliki sifat berani menanggung resiko kegagalan dalam menerima inovasi baru. Sedangkan petani berumur tua mempunyai cara mengolah usaha lebih matang dan memiliki banyak pengalaman sehingga sangat berhati-hati dalam bertindak, dan mempunyai kemampuan fisik yang semakin menurun. Akibatnya mereka kurang dinamis dan terbuka terhadap hal-hal baru karena mereka berpatokan pada pengalaman sebelumnya (Pratiwi. 2014).

961

Tabel 1. Karakterisitik petani contoh di Desa Mekarjaya dan Di Desa Teluk Kulbi Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2015.

Uraian Kisaran Rata-rata A. Desa Mekarjaya 1. Umur (th) 28 - 52 41, 68 2. Pendidikan 05 – 18 08, 24 3. Pengalaman (th) 07 – 23 18, 36

B. Desa Teluk Kulbi 1. Umur (th) 32 - 63 43,76 2. Pendidikan 04 - 14 09, 15 3. Pengalaman (th) 06 - 25 16,94

C. Gabungan 2 desa (Desa Mekajaya + Parit Kulbi) 1. Umur (th) 28 - 63 42, 36 2. Pendidikan 04 - 18 8, 64 3. Pengalaman 06 - 25 17, 38

Sumber : Data primer diolah (2015) Keragaan Agronomi Asal Usul Kopi Libtukom

Kopi liberika pertama kali di tanam di lahan gambut pada tahun 1940an. Hingga tahun 1980an, petani yang menanamnya tidak tahu jenis/nama kopi yang mereka tanam, petani hanya membedakan kopi berdasarkan ukuran buahnya yaitu kopi besar dan kopi kecil. Karena ukuran buahnya yang besar, kopi tersebut diidentikkan dengan kopi jenis Exelsa.

Melalui observasi yang memakan waktu yang relative lama yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, didapatkan data bahwa kopi yang ditanam petani tersebut termasuk dalam golongan jenis kopi liberikan (Hulupi. 2014). Lebih lanjut dikemukakan, karena kekhasannya dalam cita rasa, serta memiliki perbedaan dengan varian-varian kopi liberika yang dikenal selama ini, kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dilahan gambut, produksi yang cukup tinggi dan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi, disepakati bahwa liberika yang berkembang pada lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat layak dilepas menjadi varietas bina baru dan bersifat spesifik untuk lahan gambut.

Melalui usulan Tim Penilai dan Pelepasan Vareitas (TP2V) pada sidang pelepasan varietas yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2013, kopi liberika spsifik lahan gambaut ini diberi nama kopi Liberika Tungkal Komposit yang disingkat sebagai Libtukom diperoleh kesimpulan kopi exelsa dapat diepas dengan nama kopi Libtukom dan penamaannya ditegaskan dalam Surat Keputusan Menteri Petanian No.4968/Kpts/SR.120/12/2013 tgl 6 Desember 2013.

Volume dan Pola Tanam

Kisaran dan rata-rata luas, jumlah batang, dan jumlah batang kopi Libtukom produktif milik petani contoh pada masing-masing desa maupun gabungan dari kedua desa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Penyajian data dalam bentuk kisaran adalah untuk menggambarkan ukuran terkecil sampai yang terbanyak, sedangkan rata-rata dapat menggambarkan sebaran masing-masing parameter. Sebagai contoh luas lahan yang ditanam kopi oleh petani contoh di Desa Mekarjaya adalah berkisar antara 0,20 ha – 1,90 ha, ini di artikan luas lahan yang ditanam dengan kopi Libtukom oleh petani contoh terkecil 0,20 ha sedangkan yang terluas adalah 1,90 ha, sedangkan rata-ratanya 0,68 ha yang menggambarkan sebagian besar petani menanam lahannya dengan kopi libtukom di bawah 1,0 ha.

Dari Tabel 2 di atas, luas lahan petani contoh terkecil di Desa Mekarjaya 0,20 ha, Jumlah batang terkecil yang ditanam dan jumkah batang produktif masing-masing 180 batang dan 124 batang, sedangkan luas lahan terbesarnya mencapai, 1,90 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 1.254 dan 876, dan secara rata-rata luas lahan

962

yang ditanam 0,68 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 432 dan 268.

Di Desa Teluk Kulbi, luas lahan petani contoh terkecil 0,40 ha, Jumlah batang terkecil yang ditanam dan jumkah batang produktif masing-masing 298 batang dan 176 batang, sedangkan luas lahan terbesarnya mencapai 2,20 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 1.184 dan 947 batang, dan secara rata-rata luas lahan yang ditanam 0,85 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 524 dan 297.

Untuk gabungan dua desa, luas lahan petani contoh terkecil di Desa Mekarjaya 0,20 ha, Jumkah batang terkecil yang ditanam dan jumkah batang produktif masing-masing 180 batang dan 151 batang, sedangkan luas lahan terbesarnya mencapai 2,20 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 1.254 dan 912 batang, dan secara rata-rata luas lahan yang ditanam 0,85 ha, jumlah batang dan jumlah batang produktif masing-masing 524 dan 297.

Populasi kopi libtukom yang ditanam petani di kedua desa jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi yang ditolerir yaitu sebanyak 1.100 batang untuk jarak tanam 3 X 3 m dan 835 untuk jarak tanam 3 x 4 m (Gusfarina, 2014). Sedangkan jarak tanam yang diterapkan petani sangat bervariasi dan sangat tergantung dengan Jenis dan kerapatan tanaman naungannya. Pada tabel 3 terlihat sebagian besar petani di kedua desa menanam kopi libtukomnya diantara tanaman pinang. Tanaman pinang itu sendiri umumnya telah ditanam oleh petani jauh sebelum tanaman kopi libtukom itu ditanam. Selain sebagai tanaman naungan, ternyata tanaman pinang di dua desa penelitian pada khususnya, dan wilayah tungkal ilir (Kecamatan Batara, Kecamatan Bram Itam Kiri, Kecamatan Baram Itam Kanan, Kecamatan Penagbuan, Kecamatan Senyerang, dan Kecamatan TungkalIlir) pada umumnya merupakan sumber pendapatan yang cukup penting bagi rumah tangga petani.

Selain itu juga dapat dilihat antara jumlah batang rata-rata dan jumlah rata-rata batang produktif yang dimiliki petani maupun per hektar terdapat selisih yang besar. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama penanaman dilakukan secara bertahap dengan umur tanaman berkisar antara 3 – 25 tahun di Desa Mekarjaya dan antara 4 – 30 tahun di Desa teluk Kulbi, sebagian diantaranya belum berproduksi dan atau tidak berproduksi lagi karena telah berumur di atas 15 tahun, yang berproduksi (produktif) hanya sebagian. Kedua, disebabkan adanya serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan tanaman kopi tidak berproduksi lagi. Khusus mengenai serangan hama dan penyakit ini, sebagian besar petani belum mengetahui penyebab dan jenis penyakit yang menyerang pertanaman kopinya, pada awalnya petani mencoba menanggulanginya dengan menggunakan beberapa jenis pestisida, namun efektifitasnya sangat rendah, kondisi ini menyebabkan petani hanya berpasrah diri. Tabel 2. Volume usahatani petani libtukom di Desa Mekarjaya dan Di Desa Teluk Kulbi Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2015.

Uraian Kisaran Rata-rata per petani

Rata-rata per ha

A. Desa Mekarjaya 1. Luas (ha) 0,20 - 1,90 0,68 1,00 2. Jumlah Batang 180 - 1.254 432 635 3. Jumlah batang produktif 124 - 876 268 394 B. Desa Parit Kulbi 1. Luas (ha) 0.40 – 2,20 0,85 1,00 2. Jumlah Batang 298 – 1.184 524 616 3. Jumlah batang produktif 176 - 947 297 349 C. Gabungan 2 desa 1. Luas (ha) 0,20 – 2,20 0,77 1,00 2. Jumlah Batang 3. Jumlah batang produktif

180 – 1.254 151 - 912

478 283

621 368

Sumber : Data primer diolah (2015)

963

Tabel 3. Jumlah petani berdasarkan pola tanam yang berbasis tanaman kopi Libtukom, 2015.

Desa

Kopi + Pinang Kopi + Kelapa Kopi + Sawit Jumlah Petani

% Jumlah Petani

% Jumlah Petani

%

A. MekarJaya 12 80,00 2 13,33 1 6,67 B. Teluk Kulb 10 66,67 3 20,00 2 13,33

C. Jumlah 22 73,33 5 16,67 3 10,00 Sumber : Data primer diolah (2015) Produksi

Secara rinci kisaran, rata-rata per petani dan rata per hektar produksi kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi dijaikan pada tabel 4 di bawah ini. Pada tabel tersebut rata-rata produksi kopi libtukom yang diperoleh pada tahun 2015 adalah sebanyak 422 kg untuk petani di Desa Mekarjaya dan 490 Kg untik petani di Desa Teluk Kulbi. Produksi ini adalah produksi bersih dalam bentuk biji kopi kering. Produksi yang diperoleh ini tidak memeperhitungkan kopi yang tercecer dan kopi yang dimakan oleh musang (Luwak), diperkirakan buah kopi yang tercecer dan dimakan musang ini berkisar 5 – 7,5 Persen. Kopi yang tercecer dan biji kopi hasil makanan musang, dipungut oleh pemetik dan atau pelajar yang dengan sengaja mencarinya.

Setelah dikonversi ke ha, rata-rata produksi (hasil) yang diperoleh petani di kedua desa masing-masing sebanyak 621 Kg (Desa Mekarjaya) dan 576 Kg (Desa Teluk Kulbi). Bila ditambahkan dengan yang tercecer (rata-rata 5 %), maka produksi kopi libtukom yang diperoleh petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi masing-masing 652 kg biji kering dan 605 kg biji kering. Bila dibandingkan dengan potensi genetiknya yang dapat mencapai 900 kg biji kering, produksi kopi libtukom yang diperoleh petani baik di Desa Mekarjaya maupun di Desa Teluk Kulbi dapat digilongkan sebagai produksi yang rendah. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh pemeliharaan yang sangat kurang, didalamnya termasuk frekwensi pembersihan, dosis dan jenis pupuk yang digunakan jauh dibawah dari yang dikehendaki, serta pencegahan serangan hama dan penyakit yang sangat minim. Tabel 4. Poduksi Kopi Libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2015.

Uraian Kisaran (kg) Rata-rata perpetani (kg)

Rata-rata per hektar (kg

A. Desa Mekarjaya 249 – 1.051 422 621 B. Desa Teluk Kulbi 394 – 1.136 490 576 C. bungan 2 desa 149 – 1.136 456 592

Sumber : Data primer diolah (2015) Keragaan Ekonomi Penggunaan dan Penjualan Hasil

Hasil akhir yang diperoleh petani dalam bentuk biji kering, lebih dari 95 % dijual, yang digunakan untuk kebutuhan kelurganya merupakan bagian yang sangat kecil. Pedagang yang berperan dalam kegiatan jual beli di dua desa penelitian terdiri dari pedagang kecil dan pedagang pengumpul. Karena perbedaan antara harga yang diterima dari pedagang desal dan yang diterima dari pedagang pengumpul relative kecil yaitu hanya berkisar antara Rp 200,- - Rp 300,-/kg, sebagian besar petani menjualnya kopi biji keringnya ke pedagang desa.

Oleh pedagang desa, bila volumenya di bawah dua ton, kopi yang dibelinya dijual kepedagang pengumpul, dan oleh pedagang pengumpul dijual kembali ke pedagang besar yang ada di Kota Kula Tungkal, Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Oleh pedagang besar tersebut, kopi libtukom umumnya masih dalam bentuk biji kopi kering (beras) kopi di

964

Pasarkan ke Negara Tetangga terdekat, sebagian besar dinataranya di Pasarkan di Malaysia, dalam jumlah yang kecil dipasarkan ke Negara tetangga lain yaitu Singapura dan Thailand. Pengolahan lebih lanjut, umunya di lakukan dinegara tujuan penjualan. Secara digramatis alur pemasaran kopi libtukom di perlihatkan pada gambar di bawah ini.

Gambar : Alur pemasaran kopi libtukom dari Desa Mekarjaya dan Teluk Kulbi, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2015 Analisis Biaya dan Pendapatan

Biaya Produksi, Penerimaan dan Analisis usahatani kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat berturut-turut disajikan pada Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7.

Biaya produksi yang dikelurkan petani terdiri dari biaya variable dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya berupah tergantung dari volume kegiatan yang digunakan dalam masa produksi pada tahun 2015. Biaya variabel itu sendiri terdiri dari yaitu biaya berubah yang dikeluarkan dalam masa produksi tahun 2015. Biaya variable yang dimaksud adalah biaya pupuk, biaya pembersihan, biaya petik, biaya penjemuran, biaya pengolahan dan sewa lahan yang diperhitungkan. Sedangkan biaya tetap terdiri dari rata-rata biaya investasi (Total Investasi dibagi 15 tahun), biaya penyusutan peralatan yang digunakan (Parang, Cangkul, ember, keranjang, alas jemur, hand spayer, alat angkut, Pajak Tanah, gerobak, dll).

Pada tabel 5 terlihat biaya variabel yang dikeluarkan petani di kedua Desa desa lebih kecil dibandingkan dengan biaya tetapnya, baik per petani (per luas tanam) maupun per hektar. Secara total biaya produksi yang dikeluarkan petani di Desa mekarjaya adalah Rp 5.135.000,- per luas tanam dan Rp 7.7551.000,- per hektar, sedangkan di Desa Teluk Kublbi Rp.5.925.000,- per luas tanam dan Rp 6.992.000,- per hektar.

Pada Tabel 6, kisaran penerimaan yang diterima petani di Desa Mekarjaya atas kopi libtukom yang dihasilkannya terkecil Rp 8.466.000,- dan terbesar Rp 35.734.000,- rata-rata Rp 14.348.000,- per petani atau Rp 21.092.000,- per hektar. Sedangkan di desa Teluk Kulbi Penerimaan terkecil Rp 13.996.000,- terbesar Rp 38.624.000,- rata-rata Rp 16.660.000,- setara dengan Rp 19.659.000,- per hektar.

Dari tabel 5 dan 6 yaitu mengenai biaya produksi dan penerimaan, dapat dihitung pendapatan yang diperoleh baik rata-rata per perpetani/perluas tanam maupun rata-rata per hektar, yang kemudian dilanjutkan untuk menghitung ratiso antara penerimaan dengan biaya produksi (R/C) dan antara pendapatan dengan biaya (B/C). Setelah dikurangi dengan biaya produksi, pendapatan ushatani kopi libtukom yang diperoleh petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi masing-masing sebesar Rp 9.213.000,- dan Rp 10.735.000,-, bila digabung rata-rata pendapatan yang diterima petani kipi libtukom di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi adalah sebesar Rp 9.974.000,- . Bila dikonversihkan ke per hektar, pendapatan usahatani kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi masing-masing sebesar Rp. 13.543.000,- dan Rp 12.667.000,-. Bila digabung pendapatan rata-rata perpetani dari dua desa tersebut sebesar Rp 12.966.000,-.

Petani

Pedagang

Desa

Pedagang

Pengumpul Pedagang

Besar Kuala

Tungkal Pasar Negara

Tetangga

965

Tabel 5. Biaya produksi kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2015.

Desa

Biaya Variabel (Rp000)

Biaya Tetap (Rp000) Jumlah (Rp000)

Per luas tanam

Per hektar

Per luas tanam

Per hektar Per luas

tanam

Per hektar

A. Desa Mekarjaya 3.455 5.080 1.680. 2.470 5.135 7.551 B. Desa Teluk Kulbi 3.775 6.795 2.150 2.537 5.925 6.992 C. Rata-rata 3.615 4.700 1.915 2.490 5.530 7.189

Sumber : Data primer diolah (2015) Tabel 6. Penerimaan usahatani kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjab Barat, 2015.

Desa

Kisaran (Rp 000)

Rata-rata (Rp 000) Per luas tanam Per hektar

A. Desa Mekaryaya 8.466 – 35.734 14.348 21.092 B. Desa Teluk Kulbi 13.996 – 38.624 16.660 19. 659 C. Gabungan 2 desa 8.466 – 38.624 15.504 20.155

Sumber : Data primer diolah (2015) Tabel 7. Analisis Usahatani kopi libtukom petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2015.

Desa

Biaya Produksi (Rp)

Penerimaan (Rp) Pendapatan (Rp)

R/C

B/C Per Petani

Per Hektar

Per Petani

Per Hektar

Per Petani

Per Hektar

A. Mekarjaya 5.135 7.551 14.348 21.092 9.213 13.543 1.79 0,79 B. Teluk Kulbi 5.925 6.992 16.660 19659 10.735 12.667 1.81 0,81 C. Rata-rata 5.530 7.189 15.504 20.155 9.974 12.966 1,80 0,80

Sumber : Data primer diolah (2015)

KESIMPULAN

1. Umur, tingkat (lama) pendidikan formal yang diikuti dan pengalaman berusahatani (Kopi) dari petani, secara umum, merupakan faktor-faktor yang memiliki pengaruh atas pola pengelolaan usahatani maupun terhadap penerimaannya terhadap hal-hal baru (inovasi). Pembedanya baik antar cabang usahatani, maupun antar peneliti, dan antar lokasi adalah tingkat signifikansinya. Untuk menerapkan hal-hal baru (inovasi) tersebut, disamping faktor umur, pendidikan dan pengelaman di atas, masih membutuhkan dukungan faktor lainnya seperti modal, ketersediaan input yang dan adanya jaminan pasar terhadap produk-produk yang dihasilkannya.

2. Walaupun data luas areal perkebunan kopi libtukom masih terdapat beberapa versi (2500 ha – 3000 ha), namun secara umum Kopi Libtukom telah berkembang dalam areal yang cukup luas khususnya pada lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, bahkan diakui bawa areal pertanaman kopi liberika di Kabupaten ini adalah yang terluas di Indonesia.

3. Karena kekhasannya dalam cita rasa, serta memiliki perbedaan dengan varian-varian kopi liberika yang dikenal selama ini, kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dilahan gambut, produksi yang cukup tinggi dan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi, disepakati bahwa kopi liberika yang berkembang pada lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat layak dilepas menjadi varietas bina baru dan bersifat spesifik untuk lahan gambut. Kopi Liberika tersebut telah dilepas menjadi vareitas bina bernama kopi Liberika Tungkal Komposit yang disingkat Libtukom.

966

Penamaannya sendiri tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Petanian No.4968/Kpts/SR.120/12/2013 tgl 6 Desember 2013.

4. Akibat pemupukkan, pembersihan, pencegahan dan pengendalian yang sangat kurang, produksi dan produktivitas kopi libtukom yang ditanam oleh petani di Desa Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara jauh dari potensi genetiknya. Di Desa Mekarjaya, produksi kopi libtukom petaninya hanya 652 Kg biji kering, sedangkan di Desa teluk Kulbi 605 kg biji kering. Sedangkan potensi genetiknya bias mencapai 900 kg biji kering.

5. Pendapatan usahatani kopi libtukom yang diterima petani di Mekarjaya dan di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Batara masing-masing sebesar Rp 9.213.000,- per 0,68 ha dan Rp 10.735.000,- per 0,85 ha. Setelah dikonversikan ke hektar, rata-rata pendapatan usahatani kopi libtukom pada kedua desa tersebut masing-masing sebesar Rp. 13.543.000,- dan Rp 12.667.000,-

DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2013. Kopi Libtukom dan Pinang Batara Masuk Komoditas Unggulan Kementan.

infojambi.com/.../8507-kopi-libtukom-dan-pinang-betara-masuk-komoditi-unggulan-...diakses pada tanggal 20 Desember 2015

Direktorat Jendral Perkebunan. 2014. Statisitik Perkebunan Indonesia 2013 – 2015: Kopi. Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta. 96 hal.

Disbun Provinsi Jambi, 2014. Data Statistik Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2013. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Jambi. 126 hal.

Gusfarina, D.S. 2014. Mengenal Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom). Leaflet, 2 hal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanan Jambi..

Hulupi. R. 2014. Libtukom: Varietas Kopi Liberika Anjuran untuk Lahan Gambut. Hal 1- 6. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Volume 26, Nomor 1, Februari 2014.

Kuntariningsih, A. dan J. Mariyono. 2013. Dampak Pelatihan Terhadap Kinerja Usahatani

Kedelai di Jawa Timur. Hal 139 – 150. Sosiohumaniora, Volume 15 no. 2 Juli 2013. Pratiwi. 2014. Hambatan dan Strategi Peningatan produksi Kopi.

lib.unnes.ac.id/23398/1/7111411086.pdf. diakses tanggal 20 Desember 2015 Sekretariat Bakorluh Riau. 2014. Menganal Jenis-Jenis Kopi. bakorluh.riau.go.id/ berita-

pertanian-umum/429-mengenal-jenis-jenis-kopi. Dikases 4 Februari 2015. Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Manajemen Hasil-hasil Pertanian. Rajawali Pers,

Jakarta. Soemarno. 2009. Peningkatan nilai tambah pengolahan kopi arabika metode basah

menggunakan Model Kemitraan Bermediasi, hal 38 - 55. Pelita Perkebunan 25 (2) Sora, N. 2015. Ketahui Pengertian Analisis Data Dan Tujuannya.www. Pengertianku. Net ›

Umum. Diakses tangal 2 Februari 2015. Suwarto dan Y. Octavianty . 2010. Budi Daya 12 Tanaman Perkebunan Unggul Jakarta:

Penebar Swadaya. Wahyudian., Sumarwan.U dan Hartoyo (2004). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Konsumsi Kopi dan Analisis Pemetaan Beberapa Merek Kopi dan Implikasinya pada Pemasaran Kopi

Wally, A F. 2001. Analisis Keuntungan dan Efisiensi Alokatif Usahatani Kopi Rakyat di Jayawijaya Irian Jaya. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winartha, I.M. 2006. Metoda Analisis Deskriptif Kualitatif.

Elib.unikom.ac.id/download.php?id=145069. Diakses tanggal 2 Februari 2015.

967

STRATEGI VARIETAS, BUDIDAYA, DAN PEMASARAN DURIAN DI TIGA NEGARA ASEAN: THAILAND, MALAYSIA, SINGAPURA

Panca J. Santoso1*, Hendra G. Hadmidiredja2 dan Arie M. P. Rachmadi2

1Jenjang Fungsional Peneliti Muda, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya

Solok-Aripan Km. 8, P.O. Box 5 Solok 27301, Sumatera Barat 2Trijaya Agro Mandiri, Jl. Jayawijaya IV no.12A, Alam Tirta Lestari, Ciomas 16610,

Bogor, Jawa Barat

ABSTRAK

Durian merupakan komoditas khas dari Asia Tenggara. Selama tiga dekade Thailand telah mendominasi pasar ekspor dengan varietas Monthong sebagai andalan. Di era 2010an Malaysia pun muncul dengan Musang King yang mengisi pasar premium. Uniknya, Singapura yang merupakan Negara paling kecil justru tercatat sebagai pengimpor durian paling besar di rantau ini. Suatu survey yang bertujuan untuk memotret kondisi agribisnis durian di tiga Negara Thailand, Malaysia dan Singapura ditinjau dari strategi pemilihan varietas, cara budidaya dan pemasaran telah dilaksanakan pada tahun 2015 dan 2016. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Thailand membudidayakan durian dengan model ‘industri’ yang mengembangkan satu varietas dalam kawasan luas yang dilengkapi fasilitas untuk proses produksi dari hulu sampai hilir menunjang pemasaran segar dan olahan. Sebaliknya pekebun durian di Malaysia umumnya mengusahakan durian dengan model ‘boutique’, dimana satu kebun durian terdiri atas belasan varietas dengan pertimbangan variasi selera konsumen, rentang panen, dan aspek keunikan. Berbeda dari kedua Negara sebelumnya, Singapura merupakan pasar utama durian Malaysia, dimana kreatifitas pedagang sangat berperanan dalam menggapai harga yang premium. Kata kunci: durian, varietas, budidaya, pemasaran

PENDAHULUAN

Durian merupakan komoditas buah khas kawasan Asia Tenggara dengan pusat asal

dan sumber keragamannya dari Kalimantan. Disamping bukti keragaman genetik tanaman yang berlimpah di Kalimantan, fakta ilmiah berbasis DNA menunjukkan dengan jelas bahwa Kalimantan merupakan asal durian dan menyebar ke berbagai lokasi sekitarnya (Santoso et al., 2016). Durian telah dikenal dan dikonsumsi oleh bangsa Asia Tenggara sejak zaman prasejarah, tetapi baru dikenal oleh dunia barat selama sekitar 7 abad yang lalu. Di relief candi Borobudur yang dibangun pada abad 8-9 masehi ditemukan motif-motif durian yang menunjukkan buah ini telah menjadi bagian dari menu istana (Tirtawinata et al., 2016).

Kosterman (1958) dan Uji (2005) menyatakan ada sekitar 29 spesies Durio di seluruh dunia, diantaranya ada 8 dari 21 species yang ada di Indonesia buahnya dapat dimakan. Disamping itu, ditemukan durian yang diduga berasal dari persilangan alami antar spesies, misalnya mandong dan durian pelangi (Santoso et al., 2015). Dari 8 spesies tersebut sampai saat ini yang paling banyak berkembang adalah dari spesies D. zibethinus. Hasil seleksi indigeneous dan introduksi sampai tahun 2015 telah didaftarkan 98 varietas durian di Kementrian Pertanian sebagai varietas unggul (Ditjen Hortikultura, kom. Pribadi).

Komoditas durian menyimpan potensi ekonomi yang besar sebagai salah satu penggerak ekonomi dari sektor pertanian. Negara tetangga, Thailand, telah berhasil membuktikannya yang sekarang disusul oleh Malaysia. Di Indonesia, durian mampu menempati posisi ke-4 produksi buah nasional setelah pisang, jeruk dan mangga. Produksi durian nasional tahun 2014 mencapai 855.554 ton (BPS, 2015) melebihi Thailand dan Malaysia. Jumlah ini meningkat dari tahun 2010 yang mencapai 492.136 ton (BPS, 2012).

968

Namun demikian, produksi yang tinggi ini berasal dari tanaman yang tumbuh di pekarangan dan tegalan semi hutan (Santoso dan Nasution, 2015).

Kebutuhan buah durian berkualitas terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Kondisi durian dalam negeri yang masih didominasi oleh lahan pekarangan dan tegalan menyebabkan buah yang dihasilkan umumnya berkualitas rendah karena minimnya input teknologi produksi dan tidak ada jaminan pasokan. Kondisi ini menyebabkan rendahnya daya saing produk durian dalam negeri. Menyadari hal tersebut, berbagai fihak yang berkepentingan terdorong untuk menyusun strategi pengembangan durian di Indonesia kedepan agar komoditas ini dapat diperhitungkan sejajar dengan Negara lain. Upaya meningkatkan daya saing durian dalam negeri perlu berkaca pada Negara-negara yang telah berhasil dalam agribisnis durian, diantaranya adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Makalah ini mendiskusikan bagaimana kondisi agribisnis durian di tiga Negara Thailand, Malaysia dan Singapura ditinjau dari strategi pemilihan varietas, cara budidaya dan pemasaran, agar dapat diambil langkah strategis dalam meningkatkan agribisnis durian di Indonesia.

BAHAN DAN METODA

Kegiatan penelitian dilaksanakan dari tahun 2015 dan 2016 di beberapa lokasi

pusat produksi dan pemasaran durian di Thailand (Chantaburi), Malaysia (Penang, Johor, Pahang), dan Singapura. Penelitian dilaksanakan secara survey lapang mengunjungi kebun, wawancara langsung dengan pelaku usaha durian, dan desk study. Pengamatan meliputi aspek pemilihan varietas, cara budidaya, dan pemasaran. Data pengamatan disampaikan dalam bentuk deskripsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Situasi Agribisnis Durian di Thailand Walaupun bukan sebagai pusat asal durian, Thailand justru menempati posisi

sebagai produsen durian terbesar di dunia dengan realisasi ekspor rata-rata di tahun 2009-2013 sebesar 84,11% (290,76 ribu ton) terhadap total volume ekspor durian ASEAN. Durian dipercaya masuk ke Thailand bagian tengah dari Burma atau Malaysia di tahun 1787 sebagai tanaman pekarangan di provinsi Thonburi, selanjutnya mulai dikebunkan terbatas di Nonthaburi, bagian Barat Bangkok. Pada tahun 1954, durian-durian dari Thornburi berhasil ditanam di Chantaburi bagian timur Thailand, selanjutnya lebih banyak lagi ditanam dan sampai sekarang berkembang menjadi provinsi utama penghasil durian. Dari sekitar 200 kultivar yang telah diberi nama, sebanyak 60-80 kultivar telah ditanam secara komersial, diantaranya 21 kultivar ditanam di Nonthaburi yang dianggap sebagai area durian komersial pertama di Thailand. Hampir semua kultivar berasal dari biji perkawinan terbuka dan diberi nama berdasarkan bentuk buah, warna daging buah, nama penyeleksi, atau tempat tumbuh pohon induk. Banyak nama-nama yang sama atau mirip satu sama lain. Durian Thailand dikelompokkan menjadi 8 group yaitu Chanee, Kob, Kanyao, Monthong, Thongyoi, Kumpun, Luang, dan group lain-lain (Somsri, 2007).

Daerah penghasil durian di Thailand dibagi ke dalam 2 wilayah besar, yaitu durian non budidaya intensif di wilayah utara dan kawasan sentra durian di selatan terutama Chantaburi dan Rayong. Chantaburi merupakan provinsi penghasil durian nomor 1 di Thailand. Chantaburiterletak di timur Thailandsekitar 4 jam berkendara dari Bangkok dengan ketinggian sekitar 100 mdpl. Karakter tanah yang masuk jenis Andosol berwarna coklat muda abu-abu, cuaca panas > 33 celcius dengan curah hujan 1500-4000 mm/th dengan bulan kering sekitar 4 bulan dalam setahun.

Hampir 60% produksi buah durian di hasilkan dari Chantaburi dan Rayong dengan varietas utama Monthong. Walaupun sudah muncul varietas-varietas baru seperti Kanyao, Chantaburi, dan lain-lain, Monthong masih dipertahankan oleh petani setempat karena produksinya yang paling tinggi. Hasil produksi yang tinggi dapat menutupi kelemahannya yang rentan terhadap penyakit. Dominasi satu varietas juga memberikan keunggulan dalam

969

hal pengelolaah tanaman, panen dan pasca panen, dimana kawasan durian di daerah ini tampak menonjol sebagai suatu kawasan industri agro durian Monthong. Mulai dari industri hulu seperti perbenihan sampai industry hilir semisal prosesing buah dapat berjalan secara berkelanjutan di dalam satu kawasan.

Durian di Thailand, selain ditanam secara monokultur, juga secara kebun campuran (mix farming) dikombinasi dengan Manggis, Langsat, Pisang dan Salak. Di beberapa area di kombinasi dengan kelengkeng dan sedikit tanaman lada. Konsep pengelolaan kebun pada dasarnya dibuat semi hutan, artinya tidak terlalu rapi dengan penutup tanaman semak seperti rumput dan di beberapa tempat di tanam pisang. Jarak tanam relatif rapat, sekitar 8 x 8 m, dikombinasi dengan penerapan teknik pemangkasan dan pembentukan tajuk. Rata-rata pohon sudah cukup umur > 10 tahun dan tinggi lebih kurang 5-6 meter (relatif pendek) dan jari-jari tajuk rata-rata 3 meter. Sehingga dengan jarak tanam 8 x 8, antar pohon tetap tidak saling ketemu, sinar matahari cukup efektif menembus pohon, dan di sisi lain pohon tetap produktif dan memudahkan proses panen. Petani umumnya akan mempertahankan tinggi tanaman maksimal 9 meter dengan cara topping. Pemangkasan menjadi kegiatan rutin yang dilakukan, berbeda dengan di Indonesia yg umumnya kebutn tanpa melakukan pemangkasan ranting.

Semua kebun durian yang diamati menggunakan irigasi sprinkle atau tetes (drip) sebagai sarana pengairan. Dimana air dikumpulkan di tandon atau bak, kemudian dialirkan melalui pipa-pipa sepanjang kebun dan di setiap pohon di berikan 2 titik outlet. Pohon durian berdiameter tajuk 6 m diberikan airsekitar 1500 liter/pohon/minggu. Cara ini cukup mahal, tetapi di sisi lain sangat ideal untuk durian. Durian menuntut tanah tetap lembab, tetapi tidak sampai basah terendam yang rentan terhadap jamur dan busuk akar. Hal ini kembali seperti konsep durian di hutan dimana sepanjang akar tertutup humus cukup tebal untuk menjaga kelembapan dan terdapat tetesan atau rembesan air baik dari embun dan hujan hampir sepanjang waktu.

Pemupukan dan aplikasi pestisida merupakan praktek budidaya yang di lakukan intensif oleh petani Thailanduntuk mengimbangi tuntutan produksi yang tinggidan kualitas tanah yang tidak cukup ideal. Pada tanaman umur produktif, pemupukan dimulai dari saat setelah panen pada bulan Juni atau Juli.yang sebelumnya dilakukan pemangkasan ranting dan tunas-tunas air. Pada bulan Oktober dilakukan pemupukan kedua, dan setelah bunga muncul pada bulan Desember dilakukan penjarangan sekitar 20-50% jumlah bunga, setelah itu dilakukan penyemprotan fungisida. Pada saat bunga mekar dilakukan penyemprotan akarisida untuk menghindari serangan kutu pada bakal buah.Satu bulan setelah bunga mekar dilakukan pemupukan kembali. Total pupuk yang diberikan selama setahun pada tanaman produktif berkisar 8-14 kg NPK.Untuk meningkatkan kualitas buah, setelah buah berukuran bola takraw dilakukan pemupukan menggunakan Ca(NO3)2 0,2%, Mg(SO4)2 0,2%, dan KNO3 1% dengan cara disemprot pada daun setiap 15 hari sekali.

Kegiatan panen dan pasca panen telah dilakukan sejak kegiatan di kebun (on farm). Misalnya sortir buah sudah dilakukan di kebun ketika buah menjelang masak di pohon. Yang dicari adalah buah dengan bentuk simetris sempurna, sementara buah yang bentuknya tidak memenuhi kriteria langsung dipisahkan. Buah di panen dalam tingkat kematangan 70-80% (masih mengkal, belum siap makan) dan di rendam dalam etylene cair untuk pematangan dalam perjalanan. Dalam hal ini sudah diperhitungkan berapa lama waktu pematangan yang diperlukan untuk packing dan buah mulai masuk pasar. Buah yang kualitas A, akan di packing dan di kirim ke China sebagai pasar utama, sedangkan kualitas dibawahnya dipasarkan ke pasar lokal. Di sepanjang perbatasan masuk Chantaburi, bisa ditemukan puluhan perusahaan pengolahan hasil segar durian untuk pengiriman ekspor dan distribusi dalam negeri.Setiap perusahaan tersebut memiliki jaringan petani di bawahnya, terdapat system tracking untuk memonitor kualitas buah dari petani dan seterusnya dalam setiap kemasan box yang dikirim.

Disamping olahan segar, cukup banyak juga perusahan yang memproses buah untuk olahan kering seperti durian chips, vacuum fries, dll. Perusahaan ini terutama mengambil bahan dari durian dengan kualitas rendah yang tidak dapat dipasarkan sebagai buah segar. Walaupun pada saat-saat tertentu misalnya panen raya, buah yang kualitas tinggi pun diproses karena harganya yang jatuh.

970

Situasi Agribisnis Durian di Malaysia Letak geografis Malaysia yang berada pada lokasi bersinggungan dengan pusat asal

durian, yaitu pulau Kalimantan khususnya negara bagian Serawak dan Sabah, memberikan kontribusi pada tingginya keragaman durian di negara ini, setidaknya tercatat 23 spesies dan beragam variasi durian (Idris, 2011). Malaysia telah melakukan pendaftaran varietas durian sejak lebih 50 tahun lalu yaitu 1934. Ini menunjukkan upaya serius mengembangkan durian telah dimulai sekitar tahun tersebut. Sampai tahun 2015, lebih dari 200 varietas atau disini disebut klon durian telah terdaftar di Kementrian Pertanian Malaysia. Masing-masing klon yang terdaftar di berikan nomor urut pendaftaran dengan diawali huruf D sebagai singkatan dari kata Durian. Beberapa klon durian yang terkenal diantaranya D2 (Dato Nina), D10 (Gombak), D24 (Sultan), D145 (Durian Hijau), D168 (Hajah Asmah), dan D197 (Raja Kunyit) yang lebih dikenal dengan nama Musang King. Durian hasil pemuliaan diberi nama MDUR (Malaysian durian) seperti MDUR78, MDUR79 dan MDUR88 (Abidin et al., 2000; Tinggal et al., 1994). Durian-durian yang tidak terdaftar dan belum dikenal umum disebut sebagai durian kampong.

Dalam kancah perdagangan durian internasional, Malaysia berkontribusi sekitar 5,43% (18,75 ribu ton) dari total ekspor durian ASEAN (PAEDA, 2013). Tidak ada daerah khusus di Malaysia sebagai penghasil utama durian, tetapi tanaman ini menyebar hampir di seluruh wilayah Negara. Diantara sentra durian yang terkenal menghasilkan buah durian kualitas baik misalnya Pahang, Penang dan Johor. Di Pahang terutama di daerah Bentong terkenal dengan durian Musang King yang berkualitas paling baik, sedangkan di Penang masyarakat setempat lebih mengunggulkan durian Ochee. Rata-rata kebun durian dimalaysia telah dimiliki secara turun-temurun selama 50-60 tahun, sehingga pengelola saat ini adalah generasi kedua atau ketiga dari pemilik pertama. Petani durian di Malaysia umumnya menanam berbagai varietas dalam satu kebun. Dalam luasan kebun yang bervariasi antara 3-10 ha ditanam hingga belasan klon. Setiap kebun memiliki varietas unggulan seperti Musang King, D24, dan Ochee. Disamping itu juga menanam klon yang menjadi kegemaran pribadi sebagai koleksi khusus yang menjadi keunikan masing-masing kebun. Varietas yang banyak di setiap kebun diperoleh dengan cara tukar menukar antar pekebun. Para pekebun memiliki berbagai alasan untuk melakukan koleksi suatu varietas, disamping karena factor rasa terdapat alas an lain diantaranya tipe pembuahan awal, tengah, atau akhir yang tujuannya untuk memperpanjang masa panen. Sebagaimana di Thailand, pengelolaan kebun di Malaysia sudah cukup intensive dengan aplikasi pengairan springkle atau tetes. Setiap kebun memiliki instalasi mandiri berupa sumber air atau sumur buatan yang dilengkapi pipa-pipa distribusi ke tiap-tiap pohon. Pada daerah yang sulit air seperti didataran menengah daerah bentong yang kondisi iklimnya cukup ekstrim, para petani menggunakan drum-drum tangkapan air hujan yang jumlahnya sampai ratusan. Aplikasi pupuk oleh petani durian di Negara ini juga cukup intensive, tertutama pada saat pembentukan bunga dan buah.

Pelaksanaan budidaya yang cukup berbeda di tempat ini dengan di Thailand adalah pada kegiatan panen dan pasca panen. Karena durian di Malaysia dikonsumsi segar dari buah jatuhan, maka para pekebun umumnya menggunakan menganut system rapid time to market, dimala aliranproses dari durian petik matang, seleksi, pengepakan dan distribusi ke pasar dilakukan keseluruhan kurang dari 24 jam. Untuk memotong rantai ditribusi, dari petani langsung mengirimkan produknya ke stall langganan mereka di kota-kota besar. Khusus untuk Negara bagian Johor pemasaran hingga (bahkan utama) ke Singapore. Hal ini dimungkinkan karena ada jalan tol yang menghubungkan langsung dari Johor ke Singapore.

Pilihan lain yang banyak diambil oleh pekebun adalah dengan cara memasarkan sendiri hasil kebunnya. Pada pagi hari mereka mengambil hasil panen ke kebun dan langsung dijual dipinggir jalan dan lokasi-lokasi strategis seperti rest area disekitar kebun atau kota terdekat. Sehingga buah yang dijajakan benar-benar dalam kondisi segar sehingga disukai pelanggan. Pilihan pemasaran langsung durian segar jatuhan mempengaruhi kebiasan perawatan tanaman durian di Malaysia yaitu penggunaan jaring buah yang dipasang pada saat buah sudah mendekati masak. Dengan aplikasi jarring, buah yang jatuh tidak sampai menghantam tanah sehingga kondisinya masih baik dan tidak cacat. Untuk menjaga kesegaran buah, mereka biasanya hanya mempertahankan durian selama satu hari, bila tidak laku maka besuknya diolah menjadi produk lain misalnya lempok (dodol durian).

971

Situasi Agribisnis Durian di Singapura

Dalam tataran bisnis durian, Singapura bukanlah sebagai penghasil buah durian. Namun, Negara ini dikenal sebagai pasar utama untuk kawasan Asia Tenggara khususnya durian kelas premium. Tidak ada kebun durian di Negara ini, satu-satunya tempat tanaman durian adalah di taman agroteknologi (Alim et al., 1994). Pasar Singapura sangat menonjol seiring terangkatnya pamor durian Musang King dari Malaysia. Di tahun 2013 Singapura merupakan negara importir durian terbesar di ASEAN dengan rata-rata volume sebesar 22.867 ton atau memberikan kontribusi sebesar 50,06%, terhadap total volume impor di kawasan ini (PAEDA, 2013).

Disamping penjaja kecil, terdapat 4-5 pedagang besar di Singapura Para pedagang durian di sini umumnya memiliki jejaring langsung dengan pekebun di Malaysia. Dengan jarak geografis yang relatif dekat, pekebun bisa menjual langsung hasil panennya ke seller partner, yang disesuaikan dengan target market mereka. Tidak sedikit juga ada hubungan khusus antara pekebun di Johor yang relatif dekat dengan Singapura, boleh jadi pedagang warga Singapura memiliki kebun durian di Johor, atau sebaliknya warga Johor dapat menjual langsung sebagai pedagang di Singapura.

Tanpa disadari telah terjadi simbiosis mutualisme antara Malaysia dan Singapura dalam pemasaran durian. Produk yang bermutu dari Malaysia dipadu dengan kreatifitas dan inovasi pedagang di singapura memberikan sumbangan yang besar pada meningkatnya kepopuleran durian Musang King. Untuk menarik pembeli yang umumnya wisatawan, para pedagang di Singapura menciptakan brand image baru dengan istilah ‘King of King’ untuk Musang King yang dipanen dari pohon yang telah berumur >20 tahun. Karena dipercaya, pada umur tersebut kualitas durian dalam kondisi lebih prima. Walaupun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Khusus untuk Musang King grade Super ini (king of king atau minimal grade A), terlihat tidak semua pedagang bisa menjualnya karena stok terbatas, dan akhirnya hanya kebagian menjual yang kelas Grade B atau C (asumsi asal ada Musang King yang dipajang di stall).

Konsumen utama durian di Singapura adalah wisatawan yang sedang berkunjung atau para penggemar durian yang sengaja datang hanya untuk menikmati durian kualitas premium. Konsumen ini datang dari berbagai Negara, diantaranya dari Indonesia. Mereka membeli durian dimana saja stall yang dekat apartemen – selama kualitas rasa baik, warna kuning, rasa manis pahit dan mereknya Musang King. Premis ini sama saja dengan yang terjadi di Indonesia, Thailand dan Malaysia – banyak orang yang suka durian, tetapi sangat sedikit yang mengerti top grade durian. Sehingga Musang King sejatinya sudah jadi merk dagang, sebagaimana di Indonesia, semua buah yang besar disebut ‘bangkok’.

Seperti halnya Sumatera, pada dasarnya Malaysia adalah sumber durian-durian berkelas. Menarik yang dilakukan pedagang di Singapura, untuk menyiasati pasokan terbatas Musang King, maka mereka mengimpor durian lokal Malaysia yang di anggap baik dan dibuat merk atau nama komersial untuk menarik pembeli. Varian seperti Golden Phoenik, Kasap Merah, Butter dan sebagainya tidak terdaftar resmi di Malaysiatetapi merupakan merk lokal Singapore saja. Artinya selama kualitas cukup baik, bisa dijual dan jumlah memadai, maka produk durian apapun dari Malaysia bisa di kirim ke Singapura. Pembahasan Umum

Asumsi awal dalam budidaya durian dimana diperlukan varietas durian terbaik (premium) untuk dikembangkan agar masuk ke pasar global ternyata tidak berlaku di Thailand. Dimana dalam hal ini durian varietas Monthong masih menjadi varietas utama yang dikembangkan petani Thailand. Padahal dinegara ini telah dikenal varietas- varietas yang memiliki potensi mengisi kelas premium misalnya Kanyao - yang beberapa kali mendapatkan gelar durian terbaik dan mendapatkan harga lelang yang fantastis. Hal ini disebabkan para pekebun telah merasa nyaman dengan kondisi usaha durian yang mantab lengkap dengan segala infrastruktur dan fasilitas industri agro terintegrasi dari hulu-hilir, dengan proses produksi pertanian ketat untuk menjamin kualitas produk.

Dengan industri pasca panen yang sudah sangat matang, maka pilihan petani dengan varietas Monthong menjadi masuk akal, karena produktifitas tinggi, tahan simpan, dan penerimaan pasar yang cukup baik. Apalagi pasar utama yang dituju adalah China, yang

972

merupakan “new emerging market” yang menarik – potensi pasar sangat besar dan secara umum belum ter-edukasi dengan baik mengenai konsep “premium durian”. Semua produk durian dari Thailand di arahkan ke China. Sementara Indonesia menjadi sekundar market untuk produk yang tidak lolos seleksi ke pasar utama.

Kondisi yang sebaliknya terjadi di Malaysia, dimana para pekebun mengunggulkan justru mengembangkan berbagai varietas dalam satu kebun dengan mengunggulkan satu atau dua varietas yang menjadi trend setter seperti Musang King atau Ochee sebagai produk premium didampingi varietas-varietas beragam yang memiliki keunikan masing-masing. Dengan cara ini para pekebun sekaligus sebagai penjual yang dapat melakukan penjualan langsung dan memperoleh keuntungan per unit yang lebih tinggi. Keuntungan lainnya, kebun dengan beragam varietas ini dapat menjaga loyalitas pelanggan untuk ‘belanja’ varian-varian yang unik layaknya di ‘boutique’ sesuai selera masing-masing.

Kapabilitas pengetahuan petani di kedua Negara Thailand dan Malaysia yang cukup seragam dalam penerapan teknologi budidaya, menghasilkan kualitas produk yang relatif seragam. Hal ini bisa dilihat dari kontes durian yang dilakukan di kedua Negara yang lebih kearah kompetisi antar pekebun, berbeda sekali dengandi Indonesia yang masih kontes antar varietas indigenous. Inti dari kontes yang dinilai adalah proses budidaya, yang bisa tercermin dari kualitas produk yang dihasilkan.

Secara umum bila di bandingkan dengan Thailand, maka model bisnis di Malaysia benar-benar murni ‘market driven” dalam artian petani melepas produk putus, dan seller- yang dalam hal ini adalah Singapura - yang melakukan usaha kreatif untuk menjual produk dengan harga se-premium mungkin. Berbeda dengan Thailand yang sudah “product driven” dimana produk di buat dan dilakukan penyeragaman, dan kemudian market di ciptakan untuk produk tersebut. Dalam hal ini, Thailand jauh lebih matang dari Malaysia.

Dari model agrobisnis durian di ketiga Negara ini maka pilihan pengembangan dan strategi produk durian sedikit banyak sudah bisa dipahami. Langkah prakatis selanjutnya yang lebih spesifik untuk menentukan strategi hulu-hilir pengembangan agro-duriandisesuaikan dengan lokasi area pengembangan dan target market. Dua karakter produk berbeda sudah di amati, Thailand dengan durian petik mentah dengan karakter produk manis, creamy ringan, tebal berisi dan bisa dibilang tanpa pahit. Dan Malaysia dengan model durian jatuhan dengan karakter rasa yang berbeda, lebih berat, kental dan cenderung pahit. Kedua produk bisa berjaya di segmen masing-masing, kita amati di Singapore, hampir tidak ditemukan varian dari Thailand seperti Monthong, sebaliknya, varietas inibisa berjaya di pasar China. Disamping ada faktor lain, yaitu keuntungan distribusi dari Malaysia ke Singapura yang relatif mudah, dan karakter produk Malaysia yang tidak tahan dikirim lama dalam kondisi segar.

KESIMPULAN

Agrobisnis durian di Thailand bertipe “product driven” dimana produk di buat dan dilakukan penyeragaman, dan kemudian market di ciptakan untuk produk tersebut. Dinegara ini durian dikembangkan sebagai bahan ‘industri’ berupa satu varietas dalam kawasan luas yang dilengkapi dengan fasilitas untuk proses produksi dari hulu sampai hilir menunjang pemasaran segar dan olahan.

Model agrobisnis durian di Malaysia bertipe ‘market driven” dimana petani melepas produk putus, baik yang dilepas ke pedagang lain maupun dipasarkan sendiri. Pekebun disini umumnya mengusahakan durian dengan model ‘boutique’, dimana satu kebun durian terdiri atas belasan varietas dengan fasilitas pribadi.

Singapura merupakan pasar utama durian premium. Para pedagang disini melakukan usaha kreatif untuk menarik minat pembeli dan mendapatkan harga premium.

973

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis sampaikan terima kasih kepada fihak sponsor kegiatan survey Bapak Antonius Kristanto dan Bapak Hadi Sunyoto.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. Z., A. G. Mohammad, M. O. Shamsudin, N. H. N. Masdek & N. M. Ghazali. 2000. Klon durian berpotensi untuk alaf baru. In: Mohamed, Z. A., M. S. Othman, A. T. Sapii, Z. Mahmood and S. Idris (eds.). Prosiding Seminar Durian 2000: Kearah Menstabilkan Pengeluaran Kualiti dan Pasaran, 1-3 Ogos 2000. Ipoh, Perak, Malaysia. pp. 26-36.

Alim, J., J. Ahmad, S. D. B. Geronimo, K. S. huat, S. Nanthachai, & P. Tjiptono. 1994. Status of the durian Industry in ASEAN. In: Nanthachai, S (ed). Durian, fruit development, post harvest physiology, handling and marketing in ASEAN. pp. 27-43.

BPS, 2012. Statitik Pertanian Republik Indonesia Tahun 2011. BPS, 2015. Statistik Pertanian Republik Indonesia Tahun 2014. Idris, S. 2011. Durio of Malaysia. Malaysian Agricultural Research and Development Institute.

167p. Kostermans, A.J.G.H. 1958. The genus Durio Adans. (Bombac.). Reinwardtia4(3), 47-153. PAEDA [Phillippine Agricultural Economics and Development Association]. 2013. "Inclusive

and sustainable development: Issues and Challenges for Agriculture, Fishery and Natural Resources". Biennial Convention.

Santoso, P. J. & F. Nasution. 2015. Status budidaya dan harapan pelaku usaha durian terhadap idiotipe durian nasional.Prosiding Seminar Nasional Buah Tropika Nusantara II. Bukit tinggi 23-25 September 2014. Halaman 571-578

Santoso, P. J., S. Purnomo, & I. Djatnika. 2014. Sumber Daya Genetik Durian: Status Pengelolaan dan Pemanfaatan. Sumber Daya Genetik Pertanian Indonesia: Tanaman Pangan, perkebunan dan Hortikultura. Hal. 403-430

Santoso, P. J., A. Granitia, N. L. P. Indriyani, & A. Pancoro. 2016. Analisis Lokus dan Keragaman Sumberdaya Genetik Durian (Durio sp.) berdasarkan Marka Mikrosatelit. (In press. Jurnal Hortikultura)

Somsri, S. 2007. Thai Durian. Horticulture Research Institute, Department of Agriculture, Chauchak, Bangkok 10900, Thailand. 52 p.

Tinggal, S., R. A. B. S. Tirtosoekotjo, Z. A. Mohamed, R. R. C. Espino, K. S. Huat & J. Sadakorn. 1994. Durian cultivars in ASEAN. In: Nanthachai, S. (ed.). Durian: fruit development, post-harvest physiology, handling and marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. pp. 7-26.

Tirtawinata, M. R., P. J. Santoso, & L. H. Apriyantini. 2016. Durian, Pengetahuan dasar untuk pecinta durian. 142 halaman

Uji, T. (2005). Keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah durio (Durio spp.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah, 11(1), 28-33.

974

ANALISIS KOMPETITIF BEBERAPA JENIS VARIETAS JAGUNG UNGGUL DI SULAWESI UTARA

Nelson H. Kario)1, Yenny Tamburian)2

)1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur,

Jl. Timor Raya Km 32 Naibonat, Kupang )2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara,

Jl. Kampus Pertanian Kalasey Sulawesi Utara

ABSTRAK

Jagung dikenal sebagai salah satu jenis komoditas tanaman pangan yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap hampir sendi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di pedesaan sebagai sumber karbohidrat Berkembangnya industri pakan ternak mampu memberikan dampak yang signifikan ditandai 60 % produksi jagung nasional digunakan mencukupi kebutuhan konsumsi industri pakan dan industri pengolahan yang ditandai selama periode 2000 – 2010 kebutuhan pakan pabrikan masing=masing meningkat sebesar : 7,38 % (ayam petelur), 6,82 % (ayam pedaging), 3,89 % (babi), dan 7,76 % (jenis ternak lainnya). Provinsi Sulawesi Utara adalah salah satu daerah yang turut mengembangkan, terutama memanfaatkan ruang-ruang kosong diantara tanaman perkebunan seperti kelapa dan cengkeh. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR). 2. Mengetahui Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja dan Tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi 3. Tingkat Keuntungan atas biaya produksi serta 4. Menganalisis titik impas produksi dan harga serta tingkat kompetitif. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan dari bulan Maret sampai Juli 2010 di Desa Teep Kecamatan Amurang Barat kabupaten Minahasa Selatan (Minsel). Teknologi yang diintroduksi : varietas unggul, pemupukan berimbang, jarak tanam dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) berdasarkan PHT. Varietas yang ditanam : Gumarang, Lagaligo, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning. Perlakuan bibit menggunakan Metalaksi dosis 2 gr/1kg benih, pembanding : Manado kuning, jarak tanam 75 x 40 cm, 2 biji/lobang tanam ditutup dengan 2 gram pupuk kandang, Dosis aplikasi : 1/3 Urea diberikan umur 7 HST, 2/3 pupuk diberikan berdasarkan bagan warna daun. Jenis data yang diambil : jumlah dan besarnya biaya penggunaan masing-masing sarana produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. Data dianalisis menggunakan metode Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR), RRLC = Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja, RRMC = Tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi, RAMC = Keuntungan atas biaya produksi Analisis titik ampas produksi dan harga serta tingkat kompetitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : MBCR antara 3,45 – 4,02 ; tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja antara 2,10 - 2,44 ; tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi 3,43 – 4,23 dan keuntungan atas biaya produksi 6,06 – 6,96 ; titik impas produksi 2956,25 – 3061,25 kg/ha atau pada proporsi 39,25 - 43,09 % sedangkan titik impas harga 784,94 – 869,49 rp/kg atau pada proporsi 39,25 – 43,47 %. Tingkat kompetitif varietas sukmaraga memiliki tingkat persaingan produksi dan harga yang sangat kompetitif. Kata Kunci : Kompetitif, Jagung, Keuntungan, Bibit Unggul

975

PENDAHULUAN

Sampai saat ini jagung merupakan salah satu jenis komoditas tanaman pangan yang mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap kehidupan masyarakat di hampir seluruh Indonesia selain padi baik sebagai sumber karbohidrat karena dikonsumsi baik dalam bentuk masih muda maupun sudah tua yang dikonsumsi langsung dalam bentuk biji maupun diolah. Seiring dengan berkembangnya industri pakan ternak komoditas ini didorong untuk berkembang akibat semakin besar ketergantungan industry pakan pada komoditas ini. Hal ini ditandai dengan 60 persen produksi jagung nasional digunakan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi industri pakan dan industri pengolahan (Kasryno, 2007).

Untuk Industri Pakan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan bahwa produksi pakan indutri selama periode 2004 – 2008 mengalami peningkatan dengan rata-rata meningkat sebesar 8,1 % per tahun (Dirjen Peternakan Peternakan, 2010). Kemudian dari besaran nilai tersebut selanjutnya dirinci oleh Swastika, et al. (2011) bahwa selama periode 2000 – 2010 kebutuhan pakan pabrikan masing=masing meningkat sebesar : 7,38 % (ayam petelur), 6,82 % (ayam pedaging), 3,89 % (babi), dan 7,76 % (jenis ternak lainnya).

Mencermati kondisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa usahatani jagung sangat prospektif untuk lebih dikembangkan mengingat potensinya masih sangat dibutuhkan apalagi menurut laporan Ditjen Tanaman Pangan (2006) beberapa negara penghasil utama jagung seperti Amerika Serikat, Argentina dan China sudah mulai membatasi eksport jagungnya juga karena kebutuhan konsumsi di tingkat domestik mereka meningkat.

Khususnya di daerah Provinsi Sulawesi Utara tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang banyak diusahakan oleh masyarakat. Walaupun bukan sebagai sumber makanan utama penanaman tanaman pangan ini sudah merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh para petani setempat dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong yang ada maupun diantara tanaman perkebunan yang memang sudah sangat lama berkembang secara dominan seperti kelapa dan cengkeh.

BPS Sulut (2010), melaporkan bahwa di Provinsi Sulawesi Utara terdapat luas lahan sebesar 320.449 ha yang sangat potensial untuk dijadikan lahan pengembangan tanaman jagung. Dan dari besaran luasan tersebut terdapat hampir merata di seluruh daerah Tingkat II Kabupaten yang ada. Seiring dengan semakin berkembangnya penggunaan beberapa varietas unggul di tingkat petani maka pada penelitian ini akan dievaluasi sejauhmana kinerja produksi dan produktivitas dari usahatani yang telah dikembangkan melalui introduksi beberapa jenis varietas unggul seperti : Gumarang, Lagaligo, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning khususnya dari aspek sosial ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR). 2. Mengetahui Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja dan Tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi 3.Mengetahui tingkat keuntungan atas biaya produksi serta 4. Menganalisis titik impas produksi dan harga serta tingkat kompetitif.

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan dari bulan Maret sampai Juli 2010 di Desa Teep kecamatan Amurang Barat kabupaten Minahasa Selatan (Minsel). Metode

Teknologi yang diintroduksi adalah penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, jarak tanam serta pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) berdasarkan kaidah Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Jenis varietas yang digunakan terdiri atas 5 varietas unggul dan 1 lokal sebagai pembanding. Ke 5 varietas unggul yang di introduksi masing-masing terdiri atas : Gumarang, Lagaligo, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning yang sebelum ditanam dilakukan perlakuan benih menggunakan Metalaksi dengan dosis 2 gr/1kg benih sedangkan pembanding adalah Manado kuning. Jarak tanam 75

976

x 40 cm dengan 2 biji yang ditutup dengan 2 gram pupuk kandang pada masing-masing lobang tanam. Jenis pupuk yang diaplikasi terdiri atas 1/3 Urea diberikan pada umur 7 hari sesudah tanam (HST) sedangkan 2/3 pupuk ke dua diberikan berdasarkan bagan warna daun. Data

Jenis data yang diambil yaitu jumlah dan besarnya biaya penggunaan masing-masing sarana produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR), RRLC = Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja, RRMC = Tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi, RAMC = Keuntungan atas biaya produksi, analisis titik impas produksi dan harga serta tingkat kompetitif. Tabel 1. Kerangka analisis keunggulan kompetitif

Komoditas Produksi (kg/ha)

Harga (Rp/kg) Biaya (Rp/kg) Keuntungan (Rp)

Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Lokal

Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6

H1 H2 H3 N4 H5 H6

D1 D2 D3 D4 D5 D6

E1 E2 E3 E4 E5 E6

Keungulan Lokal terhadap :

Produksi minimal (Kg/ha)

Harga minimal (Rp/ha)

Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Lokal

F1 F2 F3 F4 F5 F6

P1 P2 P3 P4 P5 P6

Sumber : Ramli dan Swastika (2005) dalam Zakaria (2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR). Jenis analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana produktifitas dari pelaksanaan suatu model teknologi unggul apabila dibandingkan dengan teknologi introduksi (unggul), dan biasanya yang dijadikan teknologi pembanding adalah teknologi lokal. Hasil penelitian seperti yang nampak pada Tabel 1 menunjukkan bahwa teknologi introduksi jauh lebih unggul dibandingkan dengan teknologi petani. Hal tersebut nampak dari besarnya nilai MBCR yang ada yaitu berkisar antara 3,45 menggunakan Lagaligo sampai 4,02 yang memakai varietas Sukmaraga. Penyebab besarnya nilai MBCR nampak dipengaruhi oleh semakin besarnya produktifitas sedangkan dilain pihak biaya produksi semakin kecil. Dari penampilan beragam model usahatani jagung yang diintroduksi maka penggunaan varietas Sukmaraga mampu memberikan tingkat produktifitas usahatani yang terbaik.

977

Tabel 2. Hasil analisis marginal benefit cost ratio (MBCR) beberapa varietas unggul pada pengembangan usahatani jagung di Sulawesi Utara MT. 2012.

Uraian Varietas

Lokal Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmaraga

Srikandi Kuning

1.Penerimaan 2.Produksi 3.Biaya 4.Produksi 5.Keuntungan

6.700.000

3.350

3.115.000

2.790.000

13.800.000

6.900

3.705.000 7.852.500

13.600.000

6.800

3.670.000 7.687.500

14.000.000

7.000

3.740.000 8.017.500

15.600.000

7.800

3.880.000 9.477.500

15.400.000

7.700

3.845.000 9.312.500

MBCR - 3,49 3,45 3,52 4,02 4,01

Sumber : Hasil Analisis Keuntungan penggunaan sarana produksi

Yang dimaksud dengan keuntungan di sini adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh setelah dikurangi dengan besarnya biaya produksi yang digunakan dalam menjalankan aktifitas produksi dalam usahatani. Sedangkan penerimaan adalah hasil perkalian antara jumlah produksi yang dihasilkan setelah dikalikan dengan harga jual yang dinyatakan dalam satuan.

Untuk penerimaan dibedakan atas dua jenis yaitu tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja dan penerimaan atas biaya sarana produksi, sedangkan untuk keuntungan adalah keuntungan atas biaya produksi.

Seperti yang terlihat pada Tabel 2 berikut nampak bahwa tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja untuk masing-masing varietas berbeda-beda yaitu antara 2,10 (Lagaligo) ; 2,12 (Gumarang) ; 2,14 (Lamuru) ; 2,42 (Srikandi Kuning) dan 2,44 Sukmaraga. Untuk penerimaan atas biaya sarana produksi masing-masing sebesar 3,43 (Lagaligo) ; 3,50 (Gumarang) ; 3,58 (Lamuru) ; 4,15 (Srikandi Kuning) dan 4,23 (Sukmaraga). Selanjutnya untuk keuntungan atas biaya produksi masing-masing adalah sebesar 6,06 (Lagaligo) ; 6,15 (Gumarang) ; 6,26 (Lamuru) ; 6,87 (Srikandi kuning dan 6,96 (Sukmaraga). Tabel 3. Tingkat keuntungan terhadap penggunaan sarana produksi pada usahatani jagung

di Sulawesii Utara MT. 2012.

Uraian Varietas Lokal Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmarag

a Srikandi Kuning

Penerimaan Biaya : Variabel Saprotan Tenaga kerja

6.700.000

3.910.00

0 795.000

3.115.00

0

13.800.000

5.947.500 2.242.500

3.705.000

13.600.000

5.912.500 2.242.500

3.670.000

14.000.000

5.980.500 2.242.500

3.740.000

15.600.000

6.122.500 2.242.500

3.880.000

15.400.000 6.087.500 2.242.500 3.845.000

RRLC 0,90 2,12 2,10 2,14 2,44 2,42

RRMC 3,51 3,50 3,43 3,58 4,23 4,15 RRAMC 8,43 6,15 6,06 6,26 6,96 6,87

Sumber : Hasil Analisis

978

Ket : RRLC = Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja RRMC = Tingkat penerimaan atas biaya sarana produksi RAMC = Keuntungan atas biaya produksi

Titik Impas Produksi dan Harga

Salah satu aspek yang biasanya dijadikan indikator untuk menilai sejauhmana tingkat pengembalian terhadap sarana produksi adalah dengan menilai titik impas produksi dan harga.

Hasil analisis seperti yang nampak pada Tabel 2 terlihat bahwa titik impas produksi dan harga menggunakan varietas unggul pada umumnya berada dibawah nilai riil yang mengindikasikan bahwa pelaksanaan usahatani jagung masih efisien. Hal tersebut mengindikasikan bahwa produksi jagung mampu menutupi semua biaya usahatani yang dikeluarkan dengan masing-masing tingkat pengembalian produksi dan tingkat harga jual yang berbeda.

Untuk titik impas produksi varietas Sukmaraga mampu memberikan tingkat pengembalian produksi yang terbaik karena mampu memberikan tingkat pengembalian produksi terendah yaitu 39,25 % walaupun nilai produksi cenderung lebih tinggi dengan varietas lainnya. Demikian pula untuk titik impas harga Sukmaraga juga mampu memberikan tingkat pengembalian yang terbaik karena semua biaya mampu ditutupi pada kisaran harga terendah yaitu mencapai Rp. 784,94 /kg atau pada proporsi terendah yaitu sebesar 39,25 %. . Tabel 4. Hasil analisis titik impas produksi dan harga pada pengembangan usahatani

beberapa jenis varietas jagung di Sulawesi Utara, MT. 2012

No.

Varietas

Titik impas

Produksi (Kg/Ha)

% Harga (Rp/Kg)

%

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Lokal Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning

1.955 2.973,75 2.956,25 2.991,25 3.061,25 3.043,75

58,36 43,09 43,47 43,73 39,25 39,53

1.167,16 861,96 869,49 854,64 784,94 790,58

58,36 43,09 43,47 43,73 39,25 39,53

Sumber : Hasil Analisis. Ket :

(.. ) = Angka dalam kurung menunjukkan prosentase terhadap tingkat produksi dan harga riil

Tingkat Kompetitif

Tingkat kompetitif dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana persaingan yang dihasilkan apabila menggunakan suatu model teknologi tertentu. Dalam model ini dicoba menganalisis terhadap hasil penelitian yang diperoleh dengan menggunakan enam 6 varietas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas lokal memiliki tingkat produktifitas yang kompetitif pada tingkat produksi mencapai 5.881,25 kg/ha (Gumarang) ; 5.798,75 kg/ha (Lagaligo) ; 5.963,75 kg/ha (Lamuru) ; 6.693,75 kg/ha (Sukmaraga) dan 6.611,26 kg/ha (Srikandi kuning). Sedangkan untuk harga maka varietas lokal memiliki tingkat harga kompetitif masing-masing pada Rp. 175,56 (Gumarang) ; Rp. 173,10 (Lagaligo) ; Rp. 178,02 (Lamuru) ; Rp. 199,81 (Sukmaraga) dan Rp. 197,35 (Srikandi kuning).

Selanjutnya untuk gumarang maka untuk mencapai tingkat produktifitas yang kompetitif maka masing-masing harus dicapai pada 5.881,25 kg/ha (lokal) ; 5.798,75 kg/ha (Lagaligo) ; 5.963,75 kg/ha (Lamuru) ; 6.693,75 kg/ha (Sukmaraga) dan 6.611,25 kg/ha (Srikandi kuning). Sedangkan untuk tingkat harga kompetitif yaitu : Rp. 1.201,09 (lokal) ;

979

Rp. 1.910,87 (Lagaligo) ; Rp. 1.951,70 (Lamuru) ; Rp. 2.170,29 (Sukmaraga) dan Rp. 2.146,38 (Srikandi kuning).

Untuk Lagaligo maka produktifitas kompetitif masing-masing yaitu : 4.351,25 kg/ha (lokal ; 6.882,50 kg/ha (Gumarang) ; 6.965 (Lamuru) ; 7.965 kg/ha (Sukmaraga) dan 7.612,50 kg/ha (Srikandi kuning). Sedangkan untuk tingkat harga masing-masing dicapai pada Rp. 1.279,78 (lokal) ; 2.024,27 (Gumarang) ; Rp. 2.048,53 (Lamuru) ; 2.263,24 (Sukmaraga) dan Rp. 2.238,97 (Srikandi kuning).

Untuk Lamuru memiliki tingkat produktifitas yang kompetitif masing-masing pada : 4.387,25 kg/ha (lokal) ; 6.917,50 kg/ha (Gumarang) ; 6.835,00 kg/ha (Lagaligo) ; 7.730,00 kg/ha (Sukmaraga) dan 7.647,50 kg/ha (Srikandi kuning), sedangkan untuk kompetitif harga masing-masing pada Rp. 1.253,21 (lokal) ; Rp. 1.976,43 (Gumarang) ; Rp. 1.952,86 (Lagaligo) ; Rp. 2.208,57 (Sukmaraga) dan Rp. 2.185,00 (srikandi kuning).

Untuk Sukmaraga untuk kompetitif maka harus dicapai masing-masing pada tingkat produktifitas 1.142,63 kg/ha (lokal) ; 1.791,67 kg/ha (Gumarang) ; 1.770,51 kg/ha (Lagaligo) ; 1.812,82 kg/ha(Lamuru) serta 1.978,85 kg/ha (Srikandi kuning. Sedangkan untuk harga kompetitif masing-masing dicapai pada Rp. 1.253,21 (lokal) ; Rp. 1.976,43 (Gumarang) ; Rp. 1.952,86 (Lagaligo) ; Rp. 2.208,57 (Lamuru) ; dan Rp. 2.185,00 (Srikandi kuning).

Untuk Srikandi kuning maka untuk mampu kompetitif dari produktifitas masing-masing dicapai pada 4.456,25 kg/ha (lokal) ; 6.987,50 kg/ha (Gumarang) ; 6.905,00 kg/ha (Lagaligo) ; 7.070,00 kg/ha (Lamuru) dan 7.717,00 kg/ha (Sukmaraga). Sedangkan untuk kompetitif harga masing-masing dicapai pada Rp.1.152,92 (lokal) ; Rp. 1.810,39 (Gumarang) ; Rp. 1.788,96 (Lagaligo) ; Rp. 1.831,82 (Lamuru) serta Rp. 2.021,43 (Sukmaraga). Tabel 5. Hasil analisis perbandingan tingkat kompetitif berbagai jenis varietas jagung di

Sulawesi Utara MT 2012

No. Varietas Produksi (Kg/ha)

Harga (Rp/kg)

Penerimaan (Rp/ha)

Biaya (Rp/ha)

Keun tungan

(Rp/ha) 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Lokal Gumarang Lagaligo Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning

3.350 6.900 6.800 7.000 7.800

7.700

2.000 2.000 2.000 2.000 2.000

2.000

3.910.000 5.947.000 5.912.500 5.982.500 6.122.500

6.087.500

6.700.000 13.800.000 13.600.000 14.000.000 15.600.000

15.400.000

2.790.000 7.852.500 7.687.500 8.017.500 9.477.500

9.312.500

Keuntungan Kompetitif Produksi Harga

Kg/Ha % Rp/Kg % 7 Lokal terhadap :

- Gumarang - Lagaligo - Lamuru - Sukmaraga - Srikandi Kuning

5.881,25 5.798,75 5.963,75 6.693,75 6.611,25

175,56 173,10 178,02 199,81 197,35

3.511,19 3.461,94 3.560,45 3.996,27 3.947,02

175,56 173,10 178,02 199,81 197,35

8 Gumarang terhadap : - Lokal - Lagaligo - Lamuru - Sukmaraga - Srikandi Kuning

4.368,75 6.817,50 6.982,50 7.712,50 7.630,00

63,32 98,80

101,20 111,85 110,58

1.201,09 1.910,87 1.951,70 2.170,29 2.146,38

63,32 98,80

101,20 111,85 110,58

980

9 Lagaligo terhadap : - Lokal - Gumarang - Lamuru - Sukmaraga - Srikandi Kuning

4.351,25 6.882,50 6.965,00 7.965,00 7.612,50

63,99

101,21 102,43 111,52 110,33

1.279,78 2.024,27 2.048,53 2.263,24 2.238,97

63,99

101,21 102,43 111,52 110,33

10 Lamuru terhadap : - Lokal - Gumarang - Lagaligo - Sukmaraga - Srkandi Kuning

4.387,25 6.917,50 6.835,00 7.730,00 7.647,50

62,68 98,82 97,64

110,43 109,25

1.253,21 1.976,43 1.952,86 2.208,57 2.185,00

62,68 98,82 97,64

110,43 109,25

11 Sukmaraga terhadap : - Lokal - Gumarang - Lagaligo - Lamuru - Srikandi Kuning

4.456,25 6.987,50 6.905,00 7.070,00 7.717,00

57,13 89,58 88,53 90,64 98,94

1.142,63 1.791,67 1.770,51 1.812,82 1.978,85

57,13 89,58 88,53 90,64 98,94

12 Srikandi Kuning terhadap : - Lokal - Gumarang - Lagaligo - Lamuru - Sukmaraga

4.438,75 6.970,00 6.887,50 7.052,50 7.782,50

57,65 90,52 89,45 91,59

101,07

1.152,92 1.810,39 1.788,96 1.831,82 2.021,43

57,65 90,52 89,45 91,59

101,07 Sumber : Hasil Analisis

KESIMPULAN

- Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) antara 3,45 – 4,02 - Tingkat penerimaan atas biaya tenaga kerja antara 2,10 - 2,44 ; tingkat penerimaan

atas biaya sarana produksi 3,43 – 4,23 dan keuntungan atas biaya produksi 6,06 – 6,96

- Titik impas produksi 2956,25 – 3061,25 kg/ha atau pada proporsi 39,25 - 43,09 % sedangkan titik impas harga 784,94 – 869,49 rp/kg atau pada proporsi 39,25 – 43,47 %.

- Tingkat kompetitif varietas Sukmaraga memiliki tingkat persaingan produksi dan harga yang sangat kompetitif.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2010. Sulut dalam Angka. Kantor Biro Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara.

Ditjen Peternakan. 2010. Produksi Pabrik Pakan Ternak 2004 – 2010 (per provinsi). http: //www.ditjenak.go.id./bank\_11_8.pdf.

Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Road map Swasembada Jagung 2010 – 2014. http//balisereal.litbang. deptan.go.id./ind/images/stories/psn9news.pdf.

Kasryno. 2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Zakaria Amar. 2010. Tingkat Adopsi Teknologi Budidaya KedelaiPada Lahan Sawah Irigasi di pasuruan Jawa Timur. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

981

RESPON PETANI TERHADAP PADI VARIETAS INPARI 30 DI KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG

Ratima Sianipar dan Nurnayetti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayu Ambon No. 80 Lembang Bandung

ABSTRAK

Komitmen pemerintah untuk mengganti varietas unggul padi yang telah lama dibudidayakan dengan varitas unggul baru sangatlah tepat, guna meningkatkan produktivitas dan mencegah perkembangan hama dan penyakit tanaman padi. Varietas padi Inpari 30 adalah varietas yang tahan genangan air dan tahan hama wereng coklat. Kajian bertujuan untuk mengetahui respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung. Kajian dilaksanakan melalui pembuatan demplot di 3 (tiga ) desa, yaitu Desa Cileunyi Kulon, Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cibiru Hilir Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung pada musim hujan bulan Nopember 2013 – Maret 2014. Areal demplot menggunakan lahan seluas 3 (tiga) ha. Sistim tanam yang digunakan adalah jajar Legowo 2 : 1. Sebagai varietas pembanding digunakan varietas Ciherang dan Inpari 26. Metode pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan menggunakan kuesioner terstruktur kepada 30 orang responden. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, ditabulasikan dan dianalisis menggunakan prosentase, untuk menganalisis tingkat respon juga menggunakan prosentase. Aplikasi pengolahan data menggunakan program SPSS-19. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tingkat penerapan komponen PTT padi varietas unggul baru mempunyai kemudahan yang lebih tinggi (nilai 9,57). Respon petani terhadap padi varietas Inpari 30 tinggi . Semua responden setuju untuk mengembangkan varietas Inpari 30 pada musim tanam berikutnya karena tahan terhadap genangan air, produksi tinggi dan rasa nasi disukai. Produksi varietas Inpari 30 adalah 8 – 9 ton/ha GKP, Inpari 26 adalah 5,5 ton/ha GKP dan varietas Ciherang 4,7 ton/ ha GKP. Kata Kunci : Respon Petani, Padi, Inpari 30.

PENDAHULUAN

Kementerian Pertanian menempatkan beras sebagai salah satu komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementrian Pertanian selama 2010 – 2014 untuk beras adalah pencapaian swasembada berkelanjutan (Kementrian Pertanian, 2010). penting dalam peningkatan produksi padi dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan utama terutama beras. Perubahan iklim di Indonesia yang tidak menentu menjadi salah satu kendala yang mengkhawatirkan bagi peningkatan produksi padi. Dampak perubahan iklim terhadap pengembangan pertanian berupa banjir dan kekeringan yang sering terjadi di lahan sawah dan menyebabkan kegagalan panen (puso). Bahkan dengan semakin berkurangnya hulu resapan air dan kerusakan daerah aliran sungai memicu semakin luasnya wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi puso sehingga rentan terhadap banjir dan kekeringan.

Perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara dinamik dan terus menerus yang dampaknya sudah sangat dirasakan, terutama pada sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertanian terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama yaitu, biofiik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan erat dengan sistem

982

penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengolahan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las, et.al, 2008).

Badan Litbang Pertanian yang responsif terhadap kejadian akibat perubahan iklim berinovasi untuk menciptakan varietas padi yang dapat dikembangkan dalam cekaman lingkungan ekstrim. Akhirnya pada tahun 2012 dilepas varietas unggul baru (VUB) dengan nama Inpari 30 Ciherang Sub 1 dengan salah satu kelebihannya tahan terhadap rendaman, sehingga diharapkan dapat menunjang produksi yang tinggi dengan keadaan perubahan iklim yang ekstrim terutama resiko akibat banjir dan genangan. Varietas Inpari 30 ini sesuai ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl, di daerah luapan sungai, genangan dan rawan banjir lainnya dengan rendaman keseluruhan fase vegetatif selama 15 hari.

Pada tahun 2030, ketersediaan pangan yang diindikasikan oleh jumlah produksi tanaman pangan mengalami pertumbuhan positif dan melebihi target kinerja yang telah ditetapkan. Pencapaian produksi padi sampai Desember 2030 ini mencapai 592.647 ton GKG atau dengan peningkatan produksi sebesar 114,42% dari target atau mencapai 107,36% dari tahun 2012 dengan produktivitas sebesar 64,34 kuintal/hektar.Namun demikian, masih adanya beberapa komoditas pertanian yang belum mampu mencapai produksi sesuai dengan target yang ditentukan. Kondisi tersebut sebagian besar diakibatkan oleh keadaan alam yang berfluktuasi sacara ekstreem dan belum mampu kita tangani serta memanipulasinya secara baik.

Kecamatan Cileunyi di Kabupaten Bandung merupakan daerah rawan banjir, setiap musim hujan air menggenangi lahan persawahan yang mengakibatkan gagal pertanaman, adakalanya petani melaksanakan semai sampai 2-3 kali karena hancur akibat banjir. Oleh sebab itu kajian respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung penting dilakukan terutama pada daerah tergenang seperti di kecamatan Cileunyi kabupaten Bandung. Hal tersebut untuk mengetahui bagaimana respon dan seberapa besar produksi padi varietas inpari 30 yang dihasilkan untuk pencapaian swasembada pangan. Untuk mengetahui respon petani terhadap padi Varietas Inpari 30 di Kabupaten Bandung.

BAHAN DAN METODE Pengkajian demplot padi varietas Inpari 30 dilaksanakan di daerah rawan genangan

(dibawah tol Cileunyi) di 3 (tiga) desa yaitu Desa Cileunyi Kulon, Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cibiru Hilir Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung pada Musim Hujan bulan Nopember 2013 – Maret 2014. Varietas padi yang ditanam adalah Inpari 30 sebagai tanaman pembanding digunakan varietas Inpari 26 dan varietas Ciherang yang ditanam pada saat yang bersamaan di areal demplot seluas 3 (tiga) ha. Teknologi yang digunakan adalah PTT dan sistim tanam jajar legowo 2 : 1. Pemilihan lokasi dan responden secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa data yang akan diambil sehubungan dengan kegiatan demplot

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei terstruktur. Parameter yang diambil untuk melihat keragaan dan produksi Inpari 30. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkaan laporan dari instansi yang terkait. Jumlah responden yang diambil adalah 30 KK terdiri dari 3 (tiga) desa, 6 (enam) kelompok tani. Data yang telah diperoleh ditabulasikan, dan dianalisis menggunakan prosentase, dan untuk menganalisis tingkat respon juga menggunakan prosentase. Dalam pengolahan data menggunakan program SPSS 19 (Trihendradi, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Dan Karakteristik Responden Kabupaten Bandung dengan Ibukota Soreang, secara geografis terletak pada 6°,41' -

7°,19' Lintang Selatan dan diantara 107°22' - 108°5' Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.

983

Sementara Kecamatan Cileunyi adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Bandung, yang terletak pada perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Sumedang. Cileunyi juga merupakan ujung akhir dari Jalan Tol Purbaleunyi. Pada tahun 2013 Kabupaten Bandung adalah salah satu kabupaten yang tidak mendapat program PTT Padi dari BPTP Jawa Barat. Sehingga Tim BPTP Jawa Barat untuk kabupaten Bandung membuat demplot padi varitas inpari 30 dengan memilih lokasi di daerah yang genangan khususnya musim hujan yang berkepanjangan yaitu di kiri kanan tol cileunyi kecamatan Cielunyi. Petani di sekitar tol cileunyi selalu mengeluh karena setiap menanam padi pada musim penghujan lahannya langsung tergenang dan sering sekali harus membuat persemaian dua kali akibat persemaian terendam terus menerus. Karakteristik responden pada pengkajian ini dicerminkan oleh jabatan dalam kelompok tani (anggota kelompok tani/petani, pengurus kelompok tani), selanjutnya pengalaman berusaha tani, serta umur dan pendidikan petani. Jabatan Dalam Kelompok Tani

Pelaksana kegiatan dan sekaligus merupakan responden survey dari ketiga desa adalah terdiri dari 70 % anggota kelompok tani dan 30 % pengurus kelompok tani, semuanya pelaksana kegiatan (Gambar 1). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dan jabatan seseorang akan mempengaruhi sikap dalam kehidupan.

Umur Responden

Dari hasil survei mengenai umur petani menyatakan bahwa rata-rata umur responden 46,7 tahun dengan kisaran antara 24 tahun sampai dengan 75 tahun. Jika dilihat berdasarkan penggolongan umur menurut usia produktif dan tidak produktif, maka sebagian besar dari responden berada dalam kategori usia produktif yaitu 24 - 60 tahun (sebesar 85%), sedang responden yang termasuk dalam kategori usia tidak produktif > 60 tahun adalah 15 % (Gambar 1). Terkait dengan adanya inovasi, seseorang pada umur produktif relatif lebih mudah menerima inovasi. Hal tersebut berkaitan dengan semangat ingin tahu tentang berbagai hal yang belum diketahui relatif lebih tinggi pada orang dengan umur produktif. Selain itu usia juga mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Pernyataan Lionberger (1960) dalam Mardikanto (2007) yang menyatakan semakin tua seseorang (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Kemampuan responden dalam menjawab pernyataan ternyata dipengaruhi oleh umur responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1998), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan, dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagian dari pengalaman dan kematangan jiwa.

Gambar 2. Tingkat pendidikan responden anggota Demplot tahun 2014

Gambar 1. Tingkat pendidikan responden anggota Demplot tahun 2014

984

Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam menerapkan

suatu inovasi. Makin tinggi tingkat pendidikan formal responden diharapkan akan semakin rasional pola pikir dan nalarnya. Dengan pendidikan yang semakin tinggi diharapkan dapat lebih mudah merubah sikap dan perilaku untuk bertindak lebih rasional.

Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pendidikan cukup tinggi, yaitu tingkat SMA 73,33 % tingkat SMP 26,67 %. Dengan demikian pembina/petugas di kecamatan Cileunyi di Kabupaten Bandung perlu mengantisipasi metode diseminasi yang digunakan pada demplot padi sesuai dengan tingkat pendidikan petani.

Tingkat Pengalaman

Pengalaman petani responden kategori lama dalam berusaha tani adalah berkisar antara 43–61 tahun (23,3 % ), Sedangkan responden berpengalaman berusaha tani kategori sedang adalah antara 24-42 tahun (33,4 %) dan yang paling banyak adalah kategori pengalaman berusahatani pendek yaitu antara 5 – 23 tahun (43,3 % ). Dilihat dari segi pengalaman berusahatani ini, hanya 23,3 % (43 – 61 tahun) petani yang sudah lama berusaha tani, hal ini dikarenakan umur yang masih muda pada umumnya tidak mau meneruskan usahatani orang tua dan lebih banyak untuk bekerja di perusahaan di sekitar kecamatan Cileunyi. Pada umumnya lahan sawah disekitar tol Kecamatan Cileunyi ini diusahakan oleh petani penggarap yang berpindah-pindah, sehinggarespon nya terhadap suatu teknologi kurang dan penerima teknologi silih berganti sehingga teknologi yang diterima (komponen PTT padi kurang lengkap tidak utuh).

Azwar (2000) menyatakan bahwa respon seseorang akan muncul apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluative berarti reaksi yang timbul atas dasar proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan stimulus dalam nilai baik dan buruk, positif dan negative yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek. Pernyataan tersebut didukung oleh Suryabrata (2001) yang mengatakan respon adalah reaksi obyektif individu terhadap situasi sebagai perangsang yang wujudnya dapat bermacam-macam.

Pengalaman petani merupakan suatu pengetahuan petani yang diperoleh melalui rutinitas kegiatannya sehari-hari atau peristiwa yang pernah dialaminya. Pengalaman yang dimiliki merupakan salah satu faktor yang dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam usahataninya. Hal ini sesuai dengan pendapat Liliweri (1997), menyatakan bahwa pengalaman merupakan faktor personal yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

Pengalaman seseorang seringkali disebut sebagai guru yangbaik, dimana dalam mempersepsi terhadap sesuatu obyek biasanya didasarkan atas pengalamannya. Pengalaman berusahatani tidak terlepas dari pengalaman yang pernah dia alami. Jika petani mempunyai pengalaman yang relatif berhasil dalam mengusahakan usahataninya, biasanya mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang lebih baik, dibandingkan dengan petani yang kurang berpengalaman. Namun jika petani selalu mengalami kegagalan dalam mengusahakan usahatani tertentu, maka dapat menimbulkan rasa enggan untuk

Gambar.3.Pengalaman responden berusahatani

Gambar.4.Jabatan responden Demplot tahun 2014

985

mengusahakan usahatani tersebut. Dan bila ia harus melaksanakan usahatani tersebut karena ada sesuatu tekanan, maka dalam mengusahakannya cenderung seadanya. Dengan demikian pengalaman petani dalam berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pertanian (Syafruddin, 2003). Keragaan Produktivitas dan Daya Adaptasi Varietas Terhadap Genangan Selama pertanaman terjadi musibah banjir yang menyebabkan tanaman mengalami terendam banjir (Tabel 1). Hal tersebut terlihat berpengaruh pada umur tanaman. Pada Tabel terlihat dari umur panen Inpari 30 jadi meningkat sama dengan lama terendam (30 hari), dimana umur panennya menjadi lama (117 hari). Hal ini dapat dipahami karena tanaman yang terendam sebentar akan lebih dulu mendapatkan sinar matahari secara langsung sehingga proses fotosintesanya menjadi lebih awal. Hal ini sesuai menurut Izhar Khairullah bila saat terendam 12 hari umurnya antara 120-130 hari, maka pada rendaman 18 hari umurnya menjadi 130-140 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lebih cepat sehingga dipanen lebih awal. Sebaliknya tanaman padi yang terendam lebih lama akan lebih banyak menghabiskan energinya untukmentoleransi cekaman rendaman tersebut. Meskipun demikian kisaran umur panen seperti itu masih dalam kriteria umur sedang yang dapat diterima. Keragaan inpari 30 pada lahan tergenang, tanaman padi tumbuh tingginya sama dengan deskripsi dan umur tanaman lebih genjah dari deskripsi 107 hari (deskripsi 111 hari ).

Tabel 1. Keragaan Produktivitas, lama tergenang serta umur tanaman pada Demplot Padi Di

Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung Tahun 2014

No

Nama kelompok

tani Desa Varietas

Umur /hari

Lama Tergenang Produktivitas

(ton/ ha )

1 Garuda jaya 1

Cibiri Hilir

Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-15cm) 9

2 Garuda jaya 2

Cibiri Hilir

Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-15 cm) 9

3 Laksana Cileunyi Wetan

Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-10 cm) 8

4 Subur Makmur 1

Cileunyi Kulon

Inpari 30 1-30 Terus menerus (5-10cm) 8

5 Subur Makmur 2

Cileunyi Kulon

Inpari 26 1-30 Selang 6 hari ( 5 – 10 cm ) 5,5

6 Sri Asih Cibiru Hilir

Ciherang 1-30 Selang 6 hari (5 – 10 cm ) 4,7

Sumber : Data hasil kajian Demplot 2014 Penerapan Komponen PTT Padi

Ranks

Mean Rank

vub1 9,57 bbtmutu1 6.43 legowo2 5.87 ppkbrbg 5.53 PHT 4.87 ppkognk1 5.68 bbtmuda1 5.72 duabbt1 6.02 ppkcair 6.15 olahtanah1 4.28 panen1 6,50

Test Statistics

N 30 Kendall's Wa .244 Chi-Square 73.218 Df 10 Asymp. Sig. .000

a. Kendall's Coefficient of Concordance

986

Pada kolom ranks terlihat rating unit dalam pengolahan tanah yang mempunyai nilai terendah (4,28) dan rating yang paling tinggi nilainya adalah pada unit varitas unggul baru dengan nilai 9,57 dan 9 (sembilan) unit lainnya hampir sama (antara 4,87 sampai 6,43) nilai mean rank yang semakin besar akan tetap di pertahankan dan ditingkatkan .

Hasil evaluasi menunjukkan bahwaNilai Chi- Square table ( 0,95: 10 ) = ( 18,307 ). x2 hitung ( 73.218 > x 2 tabel ( 18,307 ) sehingga Ho di tolak atauNilai Asymp. Sig. pada penerapan komponen PTT padi adalah ( 0.00 ) < α ( 0,05) sehingga Ho ditolak. Jadi penerapan komponen PTT padi ini memiliki kemudahan yang berbeda-beda. Semua petani responden mempunyai tingkat respon tinggi/positif terhadap inpari 30 dibandingkan dengan Inpari 26 dan Ciherang. Walaupun kategori respon petani terhadap varietas Inpari 30 termasuk pada katagori tinggi, namun apabila dilihat per komponen padi, tidak semua petani menyatakan komponen tersebut mudah diterapkan khususnya pada pengolahan tanah yang belum diolah dengan baik mempunyai nilai terendah (4,28 ) .

Hasil respon petani terhadap ketiga varietas tersebut menyatakan bahwa hampir semua petani memberikan pernyataan varietas Inpari 30 sesuai untuk diterapkan pada lahan sawah di wilayahnya. Demikian juga untuk kompenen teknologi tanam bibit 1-2 batang per tancap, penggunaan pupuk organik dan penggunaan pupuk anorganik secara berimbang. Petani yang berpersepsi kurang setuju dengan kesesuaian dan kemudahan komponen teknologi tanam bibit muda dan tanam 1-2 batang per tancap mempunyai alasan tidak mau direpotkan dengan hal yang belum terbiasa dilaksanakannya, dan umur 30 hari karena takut benih hanyut terbawa air hujan dan tidak terbiasa menanam 1-2 btg kebiasaan yang dilaksanakan adalah 4-5 batang per lobang karena petani takut benih tidak tumbuh semua. Para petani di Cileunyidalam menggunakan pupuk organik lebih memilih pupuk organik seperti Petroganik karena sudah banyak tersedia di pasaran. Untuk penerapan pupuk anorganik secara berimbang petani yang tidak sependapat dengan hal tersebut karena sudah terbiasa menerapkan pupuk Urea dengan dosis tinggi dan belum terbiasa menerapkan pupuk majemuk seperti Phonska. Tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1, sebagian besar petani menyatakan sistem tanam tersebut sesuai diterapkan di lahan sawahnya namun merasa kurang mudah untuk menerapkannya dikarenakan sulitnya pada jasa tanam di lapangan. Respon petani dari hasil pengisian kuesioner didapatkan sebagian besarresponden setuju untuk menanam varietas Inpari 30 dimusim tanam berikutnya, dengan alasan; varietas Inpari 30 memberikan produksi lebih tinggi dibanding varietas Inpari 26 dan Ciherang, umur panen lebih pendek, tingkat resiko di lapangan lebih rendah, umur panen lebih pendek. Kendala yang ditemui hanyalah, benih varietas unggul baru kurang tersedia di kios dan penangkar sehingga petani sulit untuk mendapatkannya. Disisi lain, pihak penangkar berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sehingga pihak penangkar belum berani untuk mengembangkan varietas Inpari 30 secara luas karena khawatir setelah panen benihnya tidak laku untuk dijual. Perbandingan Deskripsi ketiga varietas padi pada kegiatan Demplot dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah.

987

Tabel 2. Deskripsi Varitas Padi Sawah Inpari 30, Inpari 26 Dan Ciherang.

Sumber : Deskripsi Varitas padi Tahun 2012

KESIMPULAN

1. Respon Petani terhadap padi varietas Inpari 30 sangat tinggi, karena varietas ini tumbuh dengan baik pada saat tergenang.

2. Tingkat penerapan komponen PTT padi varietas unggul baru mempunyai kemudahan yang lebih tinggi (nilai 9,57).

3. Varietas Inpari 30 layak untuk dikembangkan di kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung karena selain tahan genangan produktivitasnya lebih tinggi, mencapai 9 ton/ha GKP, dibanding dengan varietas pembanding Inpari 26 dengan produktivitas 5,5 ton/ha GKP dan varietas Ciherang dengan produktivitas 4,7 ton/ha GKP.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2000. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Ed-1. Jogjakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2003. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Ed-2. Jogjakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

BB Padi. 2013. Deskripsi Varitas padi Tahun 2013 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPADI).

BPS. 2013. Kabupaten Bandung Dalam Angka. Publikasi Badan Pusat statistik Kabupaten Bandung

Kementerian Pertanian. 2012. Deskripsi Padi sawah Varitas Unggul Spesifik Jawa Barat

Las, I et al 2008 dalam Balitbang Dep. PU. 2010. Menjawab Perubahan Iklim Global.Makalah disampaikan pada Workshop Irigasi Intermittent (Open House Balai Irigasi). Balai Irigasi, Puslitbang SDA Balitbang dan Dep. PU

Liliweri, A., 1997. Sosiologi Organisasi. C itra Aditya Bakti. Bandung.

Lionberger (1960) dalam Mardikanto (2007)

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Deskripsi varitas Inpari 30 Inpari 26 Ciherang

Umur tanaman 111 hari 124 hari 116-125 hari

Bentuk tanaman Tegak Tegak Tegak

Tinggi tanaman 101 cm 80 cm 107- 115 cm

Daun bendera Tegak Tegak tegak

Tekstur nasi Pulen Pulen Pulen

Kadar Amilosa 22,4 % 20,9 % 23 %

Rata – rata hasil 7,2 t/ha 5,7 t/ha 54,9

Potensi hasil 9,6 t/ha 7,9 t/ha 5-7 t/ha Ketahanan terhadap

Agak rentan terhadap wereng batang cokelat

Agak rentan terhadap wereng batang cokelat

Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2

988

Suryabrata, Sumadi. 2001. Psikologi Pendidikan. Rajawali Pers. Jakarta

Syafruddin, 2003. Pengaruh Media Cetak Brosur dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Beternak Ayam Broiler di Kota Kendari.Tesis. Program Pascasarjana UniversitasGadjah Mada

Trihendradi 2011. Langkah Mudah melakukan Analisis Statistik. SPSS 19.

989

PENDAMPINGAN PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) JAGUNG DI

PROVINSI ACEH

Chairunas, Basri AB dan Abdul Azis1)

1)Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh

Jl. P. Nyak Makam No. 27 Lampineung Banda Aceh 23125

ABSTRAK Pendampingan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)

Jagung di Provinsi Aceh. Tujuan kegiatan untuk melaksanakan pendampingan pada Laboratorium Lapang (LL) dari SL-PTT jagung sebanyak 200 unit dengan cara apresiasi demplot, pelatihan dan bimbingan penerapan PTT untuk mempercepat adopsi inovasi teknologi. Lokasi kegiatan di kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues dilakukan mulai Maret-Desember 2013. Setiap kabupaten didampingi dan dikawal oleh Liaison Officer (LO) yang dibantu oleh peneliti dan penyuluh. Prosedur kegiatan pendampingan SL-PTT meliputi: a) apresiasi teknologi PTT jagung, b) demplot penerapan PTT, c) pelatihan penyuluh dan petani, dan d) bimbingan penerapan PTT. Cakupan kegiatan meliputi: a) koordinasi dengan pemerintah kabupaten, b) membantu dalam pelaksanaan kajian kebutuhan dan peluang (KKP) untuk menggali potensi permasalahan di lokasi SL-PTT, c) melaksanakan apresiasi PTT, d) melaksanakan bimbingan penerapan PTT, e) pelaksanaan demplot PTT, f) melaksanakan pelatihan penyuluh dan POPT di kabupaten pelaksana SL-PTT, serta g) monitoring evaluasi kegiatan SL-PTT. Hasil kegiatan: Percepatan penerapan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produksi jagung pada LL 20 % dan pada SL 10 %. Kata kunci: Pendampingan, Adopsi Teknologi, SL-PTT dan Jagung

PENDAHULUAN Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditi pangan penting di Indonesia karena keunggulannya yang bersifat multiguna. Hal ini dicerminkan sebagai komoditas pangan maupun berbagai bahan baku industri, seperti bahan baku pakan ternak yang sampai saat ini belum tergeser oleh produk pertanian lainnya yang mengakibatkan permintaan komoditi jagung terus meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut Indonesia masih impor jagung, dan pada tahun 1994 mencapai 1,1 juta ton dan diduga pada tahun berikutnya akan mengalami peningkatan. Kondisi ini disebabkan oleh tidak berimbangnya antara perkembangan kebutuhan dengan perkembangan produksi jagung, dimana peningkatan kebutuhan setiap tahun mencapai 28%, sedang kenaikkan produksi setiap tahun hanya terbesar 3-5% (Kasryno dan Rahmat, 1988). Aceh mempunyai sumberdaya yang cukup potensi dalam pengembangan jagung, baik perluasan areal (ekstensifikasi) maupun peningkatan produksi (intensifikasi), mengingat hampir semua daerah (kabupaten/kota) merupakan daerah penghasil jagung, sementara dalam usaha peningkatan produksi masih banyak yang perlu dilakukan, karena produksi jagung masih antara 3-5 ton/ha dan rendahnya produksi ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan tanaman yang masih terbatas.

Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman ini, diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang sepesifik lokasi seperti Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani.

990

Perkembangan penduduk yang semakin pesat akan berdampak terhadap ketersedian pangan, salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan produksi. Hal ini diimplementasikan oleh pemerintah dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), melalui penerapan inovasi teknologi. Perbaikan teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dan pengkajian untuk memecahkan masalah aktual di lapangan merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan dan mengembangkan berbagai inovasi teknologi salah satunya adalah pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produksi padi dan efisiensi input produksi. Keberhasilan pengembangan PTT padi maka hal ini juga diterapkan pada pengembangan kedelai dan jagung. Untuk mengembangkan PTT secara nasional, pemerintah melalui Kementerian Pertanian meluncurkan program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program ini diharapkan mampu dimanfaat sebagai ajang pembelajaran bagi petani-petani di lapangan. SL-PTT pada dasarnya bertujuan untuk melatih petani bekerja sambil belajar dan diharapkan petani yang terlibat pada kegiatan SL-PTT dapat mengembangkan model pendekatan PTT kepada petani lain diwilayahnya.

Model PTT mengacu kepada keterpaduan teknologi dan sumberdaya setempat yang dapat menghasilkan efek sinergis dan efesiensi tinggi, sebagai wahana pengelolaan tanaman dan sumberdaya spesifik lokasi. Pada dasarnya PTT bukanlah suatu paket teknologi yang tetap, tetapi merupakan model atau cara pendekatan usahatani. Prinsip PTT adalah memprioritas pemecahan masalah setempat (petani dan lahannya) serta memadukan pengelolaan tanaman dan lingkungannya model pengembangan spesifik lokasi. Oleh sebab itu paket teknologi PTT harus benar-benar bertitik tolak dari karakterisitik sumberdaya dan kebutuhan/keinginan di daerah setempat. Menurut Makarim dan Irsal (2005), pendekatan yang ditempuh dalam PTT adalah sebagai berikut: (i) Pemecahan masalah prioritas; (ii) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di lokasi; (iii) Sinergisme dan efek berantai dari komponen-komponen produksi; (iv) Efisiensi penggunaan input; (v) Peningkatan dan pemeliharaan kesuburan tanah; (vi) Partisipasi petani dan (vii) Kerjasama antar instasi/kelembagaan.

Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT ditingkat petani menunjukan bahwa pelaksanaan SL-PTT belum sepenuhnya sesuai dengan panduan umum dan sangat beragam sesuai pemahaman petugas lapang, hal ini disebabkan karena sosialisasi ditingkat Kabupaten dan Kecamatan serta pelaksana lapangan belum memadai sehingga kegiatan pendampingan SL-PTT oleh BPTP perlu dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan program tersebut.

Sehubungan dengan hal di atas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh sebagai perpanjangan tangan dari Badan Litbang Pertanian di Provinsi melakukan pendampingan program penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) jagung. Kemampuan sumberdaya BPTP dengan dukungan Balit dalam hal sumberdaya penelitian, informasi dan teknologi dapat mengawal pelaksanaan kegiatan SL-PTT, sekaligus menghimpun umpan balik dari petani sebagai pengguna teknologi. Tujuan pendampingan untuk melakukan pendampingan dan pengawalan teknologi pada kegiatan SL-PTT jagung pada dua lokasi di Acehsehingga meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatan serta kesejahteraan petani jagung pada areal SL-PTT Jagung.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu

Kegiatan pendampingan dilaksanakan pada dua lokasi yaitu Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues mulai bulan Maret sampai Desember 2013. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih jagung varietas Bisma, Srikandi Kuning dan Sukmaraga, pupuk (Urea, SP-36, KCl dan NPK serta pupuk organik), herbisida, pestisida, dan bahan pendukung lainnya seperti: PUTK, tugal, tali rafia, papan nama kegiatan, papan

991

varietas, meteran dan lain-lain di samping petunjuk teknis sebagai acuan dalam pelaksanaan SL-PTT jagung dengan inovasi baru. Ruang Lingkup Kegiatan

Pendampingan SL-PTT dilakukan untuk memberikan dorongan/motivasi kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam memanfaatkan paket teknologi hasil Litbang pertanian.

Pendampingan oleh BPTP bertujuan agar teknologi Badan Litbang Pertanian dapat diterapkan secara optimal dalam SL-PTT jagung, sehingga pelaksanaan SL-PTT jagung lebih berkualitas dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran peningkatan produksi jagung nasional. Kegiatan SL-PTT jagung di Provinsi Aceh dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues dengan dua lokasi masing-masing lokasi luasnya 2 dan 1,0 ha. Adapun kegiatan pendampingan yang dilakukan BPTP, meliputi: Memberikan informasi PTT dalam bentuk bahan cetakan kepada petugas lapang, Pembuatan display VUB dan gelar teknologi di lokasi Laboratorium Lapangan (LL) di

dua lokasi, Sosialisasi VUB pada Laboratorium Lapangan (LL), Menjadi pemandu pada saat pelatihan di provinsi, kabupaten dan BPP, Sebagai narasumber pada pertemuan-pertemuan baik di tingkat petani maupun petugas

khususnya mengenai informasi teknologi yang digunakan dalam mengelola SL-PTT jagung terutama pada unit LL yang dikawal.

Pendekatan Kegiatan ini bersifat pendampingan, pengawalan dan koordinasi mengenai aspek

penerapan teknologi budidaya jagung pada program SL-PTT jagung di provinsi Aceh. Oleh karena itu diperlukan pendekatan dengan dinas/instansi terkait melalui koordinasi baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota maupun petugas di tingkat lapangan serta petani di lokasi/wilayah tersebut dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.

Terpadu yang merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu.

Sinergis dengan memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antara komponen teknologi.

Spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian teknologi dan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani.

Partisipatif dimana petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk Laboratorium Lapangan.

Komponen Teknologi Unggulan PTT Jagung Komponen teknologi pendukung teknologi PTT-jagung yang diterapkan adalah sebagai berikut:

1. Varietas unggul bersari bebas, yaitu Bisma, Srikandi Kuning, dan Sukmaraga. 2. Benih berkualitas, daya kecambah 95-97% 3. Penyiapan lahan olah tanah konservasi. 4. Saluran drainase, utamanya bagi petakan-petakan yang datar untuk mengantisipasi

pada saat awal pertumbuhan tanaman adanya hujan yang kadang-kadang masih cukup tinggi.

5. Populasi tanaman optimal yaitu sekitar 62.000-66.000 tanaman per hektar, jarak tanam 70-75 cm antar baris dan 40 cm dalam baris, 2 tanaman per rumpun.

6. Penananam dengan tugal, dan sebagian lahan yang petakannya luas penanaman dengan menggunakan alat tanam tugal.

7. Pemupukan, pupuk organik dan anorganik untuk penyediaan pupuk organik diusahakan bahan organik spesifik lokasi. Jenis dan takaran pupuk anorganik berdasarkan hasil analisis tanah.

8. Pengairan, dari hujan dan/atau air tanah dengan pompanisasi.

992

9. Penyiangan, dengan herbisida dan/atau manual 10. Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu 11. Panen dan prosesing hasil dengan alat pemipil tresher

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pendampingan Pelaksanaan kegiatan Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) jagung dilakukan melalui beberapa tahapan. Untuk mengetahui karakteristik lokasi dan sumberdaya yang dimiliki pada lokasi penelitian dan pengkajian, perlu adanya Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) atau Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Berdasarkan hasil survey identifikasi karakteristik lokasi yang dilakukan tim PRA BPTP, maka lokasi yang ditetapkan berdasarkan kajian KKP atau PRA adalah; 1) Desa Kuning II Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara, 2) Desa Penanggalan, Kecamatan Blangkeujeren, Kabupaten Gayo Lues. 1. Desa Kuning II, Kec.Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara

Desa Kuning II adalah sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara, ProvinsiAceh. Desa ini merupakan desa yang memiliki potensi besar untuk pembangunan pertanian di Kecamatan Bambel yang merupakan kecamatan yang berbatasan dengan desa Pinding sebelah Barat, Desa Perdamean sebelah timur dan kuning I disebelah Selatan. Luas lahan desa Kuning II 184 ha, kelompok tani “Makmur Jaya” untuk usahatani jagung, padi dan kakao dengan sumber air dari irigasi desa yang bersumber dari gunung Louser.

Pelaksanaan pendampingan display varietas pada kegiatan SL-PTT jagung telah berjalan sangat baik. Hasil display varietas yang dilakukan di Desa Kuning II, dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung dengan menggunakan beberapa varietas unggul baru seperti, Sukmaraga dengan produktivitas 6,14 ton/ha, Srikandi Kuning 6,24 ton/ha, Bisma 5,60 ton/ha dan Metro (pembanding) mencapai hasil rata-rata 5,80 ton/ha dalam kegiatan display tersebut ada terjadi peningkatan hasil produksi sebanyak 0,42 ton/ha dibanding dengan Srikandi Kuning dan 0,34 ton/ha dibandingkan dengan Sukmaraga.

Tanaman jagung pada umumnya terjadi kekeringan meskipun demikian masih memberikan hasil yang tinggi, varietas Srikandi Kuning masih menunjukkan hasil yang tertinggi. Masalah lain yang dihadapi petani adalah, ketersediaan air karena kemarau. 2. Desa Penanggalan, Kec. Blang Keujeren Kab. Gayo Lues

Desa Penanggalan merupakan desa terpilih untuk mendukung percepatan alih teknologi budidaya tanaman jagung dalam pendampingan program SL-PTT jagung di kecamatan Blang Keujeren Kabupaten Gayo Lues, ProvinsiAceh. Desa ini termasuk kawasan sentra produksi jagung dari 16 desa di kecamatan Blang Keujeren kabupaten Gayo Lues. Desa ini juga memiliki potensi dibidang tanaman pangan khususnya padi dan tanaman pangan lainnya. Luas lahan jagung desa Penanggalan memiliki luas 135 ha, pada umumnya tanaman jagung ditanam pada lahan kering dan lahan sawah, kelompok Tani Sarakata dengan jumlah petani 78 orang. Penanaman jagung dilakukan dua kali setahun. Desa ini merupakan lokasi binaan BPTP Aceh pada tahun 2013 dalam mengembangkan sektor pertanian yakni kegiatan pendampingan program SL-PTT jagung. Pada lokasi kegiatan display varietas jagung di desa Penanggalan, Kecamatan Blang Keujeren Kabupaten Gayo Lues, seluruh petani menanam jagung menggunakan sistem monokultur. Varietas yang digunakan yaitu varietas metro, Srikandi Kuning, Sukmaraga dan Bisma sedangkan pembanding digunakan varietas Metro. Umur tanam 10 hari setelah tanam dilakukan pemupukan secara tugal dan setelah tanaman berumur 30 hari dilakukan pemupukan susulan. Produktivitas Sukmaraga dengan produktivitas 5,86 ton/ha, Srikandi Kuning 5,62 ton/ha, Bisma 5,30 ton/ha dan Metro (pembanding) mencapai hasil rata-rata 5,22 ton/ha dalam kegiatan display varietas tersebut terjadi peningkatan hasil produksi

993

sebanyak 0,42 ton/ha dibanding dengan Srikandi Kuning dan 0,42 ton/ha dibandingkan dengan Sukmaraga terjadi peningkatan produksi 0,64 ton/ha. Pembahasan Program pendampingan SL-PTT jagung di lakukan di dua lokasi sentra produksi di Provinsi Aceh, setiap program SL-PTT tersebut terdiri 15 ha dan didalamnya terdapat 1 ha laboratorium lapang (LL) sebagai tempat petani belajar, menganalisa setiap masalah dan memecahkan masalah secara bersama. Dalam kegiatan SL-PTT adanya program display varietas, yaitu kegiatan demontrasi di lapangan. Ketika kegiatan berjalan dilakukan pelatihan petani oleh BPTP dan Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten (BPPK). Selain itu adanya kegiatan temu lapang (field day) atau hari tani. Kegiatan pendampingan SL-PTT jagung telah berjalan sangat baik, mulai perencanaan, persiapan, hingga penanaman. Ada beberapa kabupaten yang bergeser jadwal tanam karena kekeringan. Hal ini disebabkan terjadinya kemarau panjang di kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh pada umumnya. Pelatihan Petani

Upaya meningkatkan pemahaman tentang SL-PTT yang lebih fokus ke LL petugas pendamping dipandu untuk dapat melakukan mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan SL-PTT dari kelompok tani pelaksana. Adapun kabupaten pelaksana SL-PTT adalah seperti pada Tabel 1.

Pendampingan SL-PTT tahun 2013 di provinsi Aceh dilakukan pada semua kabupaten pelaksana program SL-PTT jagung. Pada semua kabupaten pendampingan dilakukan pelatihan, pelatihan berjenjang dan pada akhir kegiatan dilakukan temu lapang. Adanya kegiatan temu lapang (field day) atau hari tani yang diikuti petani pelaksana, petani sekitar, penyuluh pertanian lapangan, kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Badan Pelaksana Penyuluhan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan tokoh masyarakat.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang SL-PTT jagung yang lebih fokus ke LL petugas pendamping dipandu untuk dapat melakukan mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan SL-PTT dari kelompok tani pelaksana. Tabel 1. Pelatihan Petani SL-PTT Jagung Tahun 2013

No Kabupaten Jumlah peserta (org) Keterangan

1 Aceh Tenggara 32 Petani, Kontak tani, Pengurus Kelompok dan Penyuluh

2 Gayo Lues 34 3 Aceh Jaya 44 4 Aceh Timur 33 5 Pidie 65 6 Aceh Besar 68

Jumlah 276

994

Kegiatan Temu Lapang Materi yang disampaikan pada kegiatan temu lapang adalah: a) Sekolah lapang

pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) jagung b) Sistem tanam untuk meningkatkan populasi tanaman jagung 3) Panen dan pasca panen dan 4) Rencana Tindak Lanjut. Tabel 2. Temu Lapang SL-PTT Jagung Tahun 2013

No Kabupaten Jumlah peserta (org) Keterangan

1 Aceh Tenggara 38 Petani, Kontak tani, Pengurus Kelompok/petugas lapang (PPL) dan pihak terkait lainnya

2 Gayo Lues 36 3 Aceh Jaya 82 4 Aceh Besar 76

Jumlah 232

Produktivitas Hasil Display VUB

Pada unit areal SL-PTT dilaksanakan pembuatan percontohan display varietas bagi petani peserta dan disediakan benih unggul bermutu dengan harapan dengan adanya display varietas jagung dapat mempercepat alih teknologi. Pengambilan data hasil di beberapa kabupaten dengan produktivitas sebagaimana pada Tabel 3.

Tabel 3. Produktivitas Jagung Hasil Display Varietas Kegiatan Pendampingan SL-PTT Tahun

2013.

No Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Produktivitas

(ton/ha)

1 Aceh

Tenggara Bambel Kuning II

- -Sukmaraga - -Srikandi - Kuning - -Bisma - -Metro

6,14 6,24

5,60 5,80

2 Gayo Lues Blangkejeren Penanggalan

- -Sukmaraga - -Srikandi - Kuning - -Bisma

-Metro

5,86 5,62

5,30 5,22

Berdasarkan Tabel 3 pelaksanaan pendampingan display varietas pada kegiatan SL-PTT jagung di kabupaten desa Kuning II kecamatan Bambel kabupaten Aceh Tenggara, dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung dengan menggunakan beberapa varietas unggul baru seperti, Sukmaraga dengan produktivitas 6,14 ton/ha, Srikandi Kuning 6,24 ton/ha, Bisma 5,60 ton/ha dan Metro (pembanding) mencapai hasil rata-rata 5,80 ton/ha dalam kegiatan display tersebut ada terjadi peningkatan hasil produksi sebanyak 0,42 ton/ha dibanding dengan Srikandi Kuning dan 0,34 ton/ha dibandingkan dengan Sukmaraga. Pada lokasi kegiatan display varietas jagung di desa Penanggalan, Kecamatan Blang Keujeren Kabupaten Gayo Lues, Produktivitas Sukmaraga dengan produktivitas 5,86 ton/ha, Srikandi Kuning 5,62 ton/ha, Bisma 5,30 ton/ha dan Metro (pembanding) mencapai hasil rata-rata 5,22 ton/ha dalam kegiatan display varietas tersebut ada terjadi peningkatan hasil produksi sebanyak 0,40 ton/ha dibanding dengan Srikandi Kuning dan 0,64 ton/ha dibandingkan dengan Sukmaraga. Peningkatan produksi pada varietas sukmaraga mencapai 0,64 ton/ha, diduga varietas Sukmaraga toleran terhadap kekeringan dibandingkan varietas Metro. Hal ini terlihat tanaman jagung pada umumnya terjadi kekeringan meskipun demikian masih memberikan hasil yang tinggi.

995

Rekomendasi VUB Jagung Berdasarkan hasil display varietas unggul baru jagung, uji adaptasi varietas dan

demplot di lahan petani dengan benih unggul bermutu untuk mempercepat alih teknologi direkomendasikan beberapa varietas untuk dikembangkan. Adapun komoditi dan kabupaten pelaksana sebagaimana pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekomendasi Varietas Unggul Baru (VUB) Jagung Komposit perkabupaten Tahun

2013.

No Kabupaten Jagung Keterangan

1 Aceh Tenggara - Sukmaraga - Srikandi Kuning

- Sukmaraga dan Srikandi Kuning masih cukup adaptif untuk dataran medium sampai ketinggian 800 m dpl.

2 Gayo Lues - Sukmaraga

- Srikandi Kuning Pengamatan

Pengamatan keragaan umum tanaman jagung pada lahan kering berdasarkan jenis kegiatan spesifik lokasi LL, Demplot, SL-PTT dan Non SL-PTT di provinsi Aceh. Hasil pengamatan pada varietas unggul baru pada kegiatan pendampingan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) jagung sebagaimana pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pengamatan keragaan tanaman Jagung Tahun 2013.

Kegiatan LL Demplot LL SL-PTT Non SL-PTT Ekoregion: Lahan

Kering Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering

Keragaan agronomi: T. Tanaman (cm) Jlh. Tongkol Panjang Tongkol Jlh. Baris/tongkol

260

2 32 14

256

2 28 14

250

2 26 14

250

1 24 14

Pengamatan PHT: Jenis OPT dan % tingkat serangan Pengendalian OPT oleh Petani

Tikus Sanitasi dan rodentisida

Tikus Sanitasi dan rodentisida

Tikus Sanitasi dan rodentisida

Tikus Sanitasi dan rodentisida

Keragaan social ekonomi: Analisis R/C Ratio Analisis Marginal B/C Ratio (MBCR)

2,0

1,98

1,96

1,85

Panen dan Pascapanen: Panen dan pascapanen yang dilakukan petani

Penjemuran gabah KA 14%

Penjemuran gabah KA 14%

Penjemuran gabah KA 14%

Penjemuran tongkol pada batang

Penerapan teknologi SL PTT (%)

90 90 90 75

996

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Pelaksanaan pendampingan SL-PTT jagung sudah terlaksana pada semua lokasi pendampingan melalui pelatihan, display varietas ungul baru, temu lapang dan informasi melalui media massa baik media tulis maupun elektronik.

2. Pelaksanaan display varietas unggul baru jagung di Kabupaten Aceh Tenggara produksi tertinggi terdapat pada varietas Srikandi kuning (6,24 ton/ha), dan di kabupaten Gayo Lues adalah varietas Sukmaraga (5,86 ton/ha).

3. Hasil analisa usahatani jagung pada pendampingan SL-PTT ketiga varietas yang di display layak diusahakan dengan R/C Ratio masing-masing varietas adalah varietas Sukmaraga (2,0), Srikandi Kuning (1,96) dan Bisma (1,98).

Saran Pengembangan jagung pada musim tanam kering perlu dilanjutkan khususnya pada

lahan sawah dan diperlukan penyesuaian dengan iklim dengan menggunakan varietas yang komposit.

DAFTAR PUSTAKA

Adil, M. 2003. Teknologi Budidaya Jagung untuk Pangan dan Pakan yang Efisien dan Bekalan Jutas pada Lahan marginal. Laporan Akhir 2003, Balisereal.

Arief, T., 1988. Budidaya Jagung Varietas Bisma. LIPTAN. Loka Pengkajian Teknologi

Pertanian Puntikayu. Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Pedoman Umum PTT Jagung

Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Jagung.

Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapang

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah tahun 2010. Kementrian Pertanian. Jakarta.

Kasryno, F dan M. Rahmat, 1988. Pembahas Pola Konsumsi, Permintaan dan Pemasaran

Produksi Palawija. Makalah pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan II Celoto, Bogor 21 B, 23 maret 1988.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan pengembangan

Pertanian, Kementerian Pertanian, 2012. Deskrifsi Varietas Unggul Jagung. Tahun 2012. Maros.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Departemen Pertanian. Jakarta.

Saenong, S, Margaretha. SL., J. Tandiabang., Sajafruddin, Y. Sinuseing dan Rahmawati, 2003.

Sistem Perbenihan Untuk Mendukung Penyebarluasan Varietas Jagung Nasional. Laporan Hasil Penelitian Kelompok Peneliti Fisiologi Hasil. Balit Sereal, Maros.

Soeharsono, Supriadi dan Prayitno, 2004. Potensi dan Pengelolaan Limbah Pertanian dalam

Mendukung Ketersediaan Pakan Ternak Sepanjang Tahun di Lahan Kering. Makalah

997

Seminar Nasional dan Ekspose Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis. Malang, 8-9 September 2004.

Subandi, F. Kaim, M. Basir, W. Wakman, Zubachtirodin, I. uddin Firmansyah, dan M. Akil,

2003. High light. Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002. Balai Penelitian Tanaman Serealia, 24 p.

Subandi, IG. Ismail, dan Harmanto, 1998. Jagung : Teknologi Produksi dan Pascapanen. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, 57 P. Sudjana, A.A. Arifin dan M. Sudjadi, 1991. Jagung. Buletin Teknik No. 3 Badan Litbang

Pertanian. Balittan, Bogor. Wahid, A.S, Muslimin, Zainudin, S. Saenong, dan Baco. 2002. Kajian Efesiensi dan

Diversifikasi Kelembagaan Corporate Farming pada lahan sawah Tadah Hujan.

998

PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PERBENIHAN PADI BERBASIS MASYARAKAT

(Studi di Kelompok Tani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma)

Yong Farmanta1), Alfayanti2), dan Siti Rosmanah2)

1)Peneliti Muda, BPTP Jambi 2)Penelti Pertama, BPTP Bengkulu

Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp. (0736) 23030, Fax. (0736) 345568

ABSTRAK

Benih bermutu merupakan salah satu komponen produksi yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam peningkatan produktivitas padi. Pembinaan untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas calon penangkar diperlukan sebagai upaya peningkatan ketersediaan logistik atau persediaan benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kapasitas kelembagaan dan mengetahui kelayakan ekonomi usahatani perbenihan pada calon kelompok penangkar di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-September 2015 di Kelompok Tani Tunas Harapan sebagai calon kelompok penangkar. Data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah data primer. Data primer yang dikumpulkan berupa informasi mengenai kapasitas kelembagaan calon kelompok penangkar dan data usahatani untuk menghitung kelayakan ekonomi usaha perbenihan. Kapasitas kelembagaan dijabarkan secara deskriptif sedangkan kelayakan ekonomi dihitung dengan menggunakan R/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa calon kelompok penangkar belum memiliki aturan main tertulis dalam upaya pencapaian tujuan kelompok dengan jumlah sumberdaya manusia yang cukup banyak namun memiliki teknologi perbenihan yang masih sederhana. Usaha perbenihan memberikan keuntungan sebesar Rp 29.510.000,- atau 41,77% lebih besar dibandingakn usaha padi konsumsi. Nilai R/C ratio usahatani perbenihan diperoleh sebesar 2,11 yang artinya kegiatan usaha perbenihan menguntungkan secara ekonomi.

Kata kunci: Usahatani, perbenihan, padi, masyarakat

PENDAHULUAN Benih bermutu merupakan salah satu komponen produksi yang mempunyai

kontribusi cukup besar dalam peningkatan produktivitas padi. Beberapa manfaat penggunaan benih bermutu yaitu mutu benih dan kemurnian genetik terjamin, pertumbuhan benih seragam, menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, masak dan panen serempak, produktivitas tinggi sehingga meningkatkan pendapatan petani (BPTP Jateng, 2008).

Penggunaan varietas yang adaptif dan spesifik lokasi sangat diperlukan dalam mendukung peningkatan produktivitas dan produksi padi di Provinsi Bengkulu. Rata-rata produktivitas padi sawah di Provinsi Bengkulu baru mencapai 4,3 ton/ha (BPS Provinsi Bengkulu, 2013), jauh dari rata-rata produktivitas padi nasional yang sudah mencapai 5,5 t/ha). Luas tanam padi di Propinsi Bengkulu tahun 2013 seluas 137.727 ha dengan kebutuhan benih padi sebanyak 3.443,18 ton.Untuk memenuhi kebutuhan benih tersebut perlu didukung dengan penyediaan benih VUB yang tepat

Secara umum petani telah menyadari bahwa penggunaan VUB dan berlabel diyakini dapat meningkatkan produksi. Namun harga VUB dan berlabel yang lebih mahal dibandingkan dengan varietas lokal menjadi salah satu faktor penghambat petani untuk mengadopsi komponen ini (Sugandi dan Astuti, 2013). Selain itu sebagian besar benih yang

999

digunakan oleh petani berasal dari sektor informal yaitu dari gabah yang disisihkan dari hasil panen pada musim sebelumnya. Penelitian Daradjat dkk (2008) yang menyatakan bahwa lebih dari 60% benih padi yang digunakan oleh masyarakat merupakan benih yang disisihkan dari sebagian hasil panen sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang. Jika pun ada petani yang menggunakan varietas baru dan berlabel biasanya benih tersebut diperoleh dari bantuan pemerintah.

Menurut Ishak dkk (2012) secara umum, penanaman varietas unggul berlabel dalam skala luas oleh petani padi dimungkinkan oleh adanya bantuan benih dari pemerintah melalui berbagai program, seperti subsidi benih, Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), dan bantuan benih unggul pada lahan display dan demfarm SL-PTT. Sistem informasi keberadaan benih sumber masih lemah dan ketersediaan varietas unggul yang juga terbatas menjadi permasalahan dalam percepatan penyebarluasan varietas unggul baru (Wahyuni, 2011).

Pembinaan dari lembaga perbenihan yang belum optimal; rendahnya intensitas dan kualitas komunikasi serta sinergi antar lembaga perbenihan; minimnya pengetahuan petani dan calon penangkar dalam pengelolaan benih berkualitas menjadi sebab dari rendahnya pemanfaatan benih varietas unggul bermutu spesifik lokasi. Kondisi ini berdampak terhadap rendahnya produktivitas padi di suatu wilayah. Pembinaan untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas calon penangkar diperlukan sebagai upaya peningkatan ketersediaan logistik atau persediaan benih.

Pelaksanaan kegiatan penangkaran benih yang masih sederhana dan belum mengikuti teknologi yang baik menuntut adanya pengenalan komponen teknologi perbenihan yang baik untuk menghasilkan benih yang bermutu. Perbaikan teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan dapat membantu petani merespon perubahan lingkungan termasuk peningkatan produktivitas dan pendapatan (Adnyana dan Kariyasa, 2006). Peluang untuk memproduksi lebih banyak dengan korbanan yang sedikit dapat diperoleh petani dengan penerapan teknologi yang efisien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kapasitas kelembagaan dan mengetahui kelayakan ekonomi usahatani perbenihan pada Kelompok Tani Tunas Harapan sebagai calon kelompok penangkar benih di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pihak terkait.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-September 2015 di Kelompok Tani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan menggunakan metode survei dan pelaksanaan display perbenihan. Metode survei dilakukan untuk menghimpun informasi mengenai kapasitas kelembagaan berupa aturan main, tujuan, sumberdaya manusia, dan teknologi perbenihan. Informasi dihimpun dengan melakukan wawancara pada pengurus dan anggota kelompok tani. Informasi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Display perbenihan dilakukan pada lahan seluas 4 hektar yang melibatkan 5 petani kooperator. Budidaya perbenihan padi dilakukan dengan pendekatan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah berupa: 1) penggunaan Varietas Unggul Baru yaitu Inpari 22, 2) benih bermutu dan berlabel yaitu kelas benih BS/label kuning, 3) sistem tanam jajar legowo 2:1, 4) pemupukan sesuai dengan rekomendasi Kalender Tanam Terpadu, 5) tanam bibit muda (< 21 hari setelah semai), 6) rouging dilakukan pada stadia vegetatif awal (35-45 HST), vegetatif akhir (50-60 HST), generatif awal (89-90 HST) dan generatif akhir (100-115 HST).

Kelayakan ekonomi usahatani penangkaran benih padi dihitung dengan Revenue Cost Ratio (RC Ratio) dengan rumus:

(YxP)

RC Ratio = ----------- TVC

1000

dimana: RC Ratio = Nisbah penerimaan terhadap biaya Y = Total produksi padi (Kg/ha/musim) P = Harga jual padi (Rp/kg) TVC = Total nilai biaya (Rp/ha/musim) dengan keputusan: RC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan RC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) RC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kapasitas Kelembagaan Calon Kelompok Penangkar

Kelompoktani Tunas Harapan belum memiliki aturan main tertulis dalam pelaksanaan aktifitas kelompok seperti hak dan kewajiban anggota serta konsekuensi atau sanksi. Kelompok terbentuk atas kesepakatan bersama dengan kriteria keanggotaan memiliki lokasi/lahan sawah dan sanggup mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok. Perekrutan anggota masih lebih banyak berdasarkan kedekatan emosional dan kekerabatan. Namun demikian kelompok telah memiliki struktur kelompok sederhana seperti Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Kelompoktani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma

Struktur kelompok telah memiliki bidang-bidang yang melaksanakan tugas tertentu

walau dalam aplikasinya bidang-bidang ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Rapat anggota merupakan sarana pengambilan keputusan tertinggi dalam kelembagaan. Namun demikian tidak ada periode waktu untuk pelaksanaan rapat anggota. Pertemuan kelompok pun hanya dilakukan apabila ada permintaan kegiatan pertemuan dari mitra kerjasama atau akan membahas permasalahan yang sangat penting. Hal ini mengakibatkan pertemuan kelompok hanya bersifat insidentil saja.

Tujuan kegiatan perbenihan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.Bila dilaksanakan dalam skala yang lebih besar biasanyahanya apabila ada program dari pemerintah dan maupun pihak swastamelalui program kemitraan.Perbenihan belum diminati karena berkaitan dengan prosesing yang rumit, tingginya resiko, lambatnya cash flow karena prosesing dan pemasaran benih yang memerlukan waktu lebih panjang dari pada dijual dalam bentuk gabah atau beras.

KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

A

BIDANGG

PRODUKSI

BIDANG SARANA

DAN PRASAR

ANA

BIDANGGG

PEMASARAN

BIDANGG INFO

dan HUMAS

RAPAT

ANGGOTA

1001

Anggota kelompok tani Tunas Harapan berjumlah 22 orang dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 1. Jumlah anggota ini tergolong ideal karena dari hasil penelitian jumlah anggota kelompok tani yang ideal adalah 20-40 orang (Wahyuni dan Hendayana, 2001). Dari jumlah yang ada, anggota yang aktif dalam pertemuan-pertemuan kelompok hanya berkisar 40-50%. Ada kecenderungan semakin banyak anggota suatu kelompok maka makin rendah persentase keaktifannya dalam pertemuan kelompok (Wahyuni, 2003).

Tabel 1. Karakteristik Anggota Kelompoktani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui

Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Tahun 2015

No. Karakteristik Petani Kelompok Jumlah (orang) % 1. Umur 21 – 30

31 – 40 41 – 50 51 – 60

6 8 6 2

27,27 36,36 27,27 9,01

Jumlah 22 100,00 2. Pendidikan SD

SMP SMA Sarjana

12 3 6 1

54,54 13,63 27,27 4,54

Jumlah 22 100,00 3. Luas lahan 0,1 – 1,0

1,1 – 2,0 21 1

95,45 4,54

Jumlah 22 100,00 Sumber: Data primer diolah, 2015

Rata-rata umur anggota adalah 38,96 tahun dengan kisaran 24-55 tahun.Menurut

Mardikanto (1993), umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan dan kapasitas belajar seseorang. Kapasitas belajar seseorang umumnya berkembang cepat sampai usia 20 tahun dan semakin berkurang hingga puncaknya sampai dengan umur berkisar 50 tahun.

Sebagian besar anggota hanya menamatkan Sekolah Dasar dan memiliki lahan rata-rata seluas 0,61 hektar dengan kisaran luas 0,25 – 1,75 hektar. Status kepemilikan lahan anggota terbagi menjadi 3 yaitu milik sendiri, penyewa dan penggarap. Status tersebut merupakan salah satu penyebab petani sulit untuk mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani, yang akhirnya mempengaruhi keikutsertaannya dalam anggota kelompok dan adopsi teknologi (Wahyuni, 2003)

Teknologi budidaya dalam usahatani padi di Kelompok tani Tunas Harapan telah mengaplikasikan sebagian teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) seperti persemaian yang luas, sistem tanam jajar legowo (4:1 maupun 2:1), umur bibit muda (< 21 hari setelah semai) dan jumlah bibit 1-3 per lubang tanam. Namun dalam teknologi prosesing benih masih dilakukan secara sederhana tanpa pendampingan dari pihak BPSBTPH. Prosesing benih tidak memperhatikan standar mutu kelayakan benih seperti kadar air, kotoran benih, benih varietas lain dan lainnya.

Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah: 1) masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran, 2) belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm), 3) peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal. Pembinaan aspek kelembagaan harus dilakukan secara kontinyu dan terstruktur agar kelembagaan yang kuat dapat terwujud.

Penguatan kelembagaan harus dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kelompok diarahkan untuk memiliki aturan main yang tertulis, hak dan kewajiban, batas yurisdiksi, sanksi, struktur organisasi, tujuan yang jelas, partisipan, teknologi dan sumberdaya. Secara eksternal calon kelompok penangkar diarahkan untuk: 1) menjalin kerjasama dengan koperasi, mini market/swalayan, pedagang dalam pemasaran benih, 2) menjalin kemitraan dengan KTNA, Gapoktan, dan lembaga penyuluhan dalam pemasaran benih, 3) mengunjungi Gapoktan atau lembaga lainnya yang berbasis

1002

penangkaran dengan manajerial yang handal, berprinsip ramah lingkungan, dan profit oriented.

Yustika (2006) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the games) dalam masyarakat. Sebagai aturan main, kelembagaan merupakan perangkat aturan yang membatasi aktivitas anggota dan pengurus dalam mencapai tujuan organisasi. Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh serangkaian aktivitas individu, kelompok atau organisasi (Zakaria, 2009).

Tujuan pelaksanaan perbenihan diarahkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri namun juga telah berorientasi bisnis. Menurut Zakaria (2009) tujuan organisasi bisnis adalah untuk memperoleh keuntungan secara berkelanjutan. Adanya kejelasan tujuan, kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota dan tingginya tingkat pemenuhan kebutuhan anggota oleh kelembagaan merupakan salah satu indokator tercapainya kapasitas kelembagaan petani (Anantanyu, 2009).

Kesadaran untuk melakukan proses perbenihan atas dasar kebutuhan perlu dibangun agar partisipasi anggota bukanlah sebuah paksaan dan dorongan proyek-proyek tertentu. Proses penyadaran merupakan tahap awal yang dilakukan untuk meningkatkan partisipasi petani sebelum proses pengorganisasian dan pemantapan (Anantanyu, 2011).

Adanya kesadaran anggota untuk berkelompok atas dasar kebutuhan dan melakukan perbenihan dengan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dalam kelembagaan. Hal ini bertujuan untuk menggorganisasikan kekuatan petani dalam memperjuangkan hak-haknya, memperoleh posisi tawar dan informasi yang akurat serta dapat berperan dalam negosiasi dan menentukan harga produk pertanian yang diproduksi anggota (Masmulyadi (2007) dalam Nasrul (2012).

Kerjasama dan kemitraan juga harus ditumbuhkan baik dalam kegiatan produksi maupun pemasaran benih. Pada aspek produksi kerjasama dapat dilakukan dengan instansi terkait seperti Balai Benih Padi, Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB), Dinas Pertanian, Badan Pelaksana Penyuluhan dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).

Balai Benih Pad bertindak sebagai penyedia benih sumber yang akan ditangkarkan oleh calon kelompok penangkar. BPSB dilibatkan dalam proses rouging, pengawasan lapangan, pengajuan rekomendasi sebagai produsen benih bina, uji laboratorium, sertifikasi serta pelabelan. Dinas Pertanian dilibatkan untuk memberikan peluang terjadinya kerjasama penggunaan benih hasil kegiatan untuk program-program dinas yang sedang atau akan berlangsung. Badan pelaksana penyuluhan melalui PPL dan POPT membantu kelancaran produksi benih dalam usaha budidaya dan pengendalian hama dan penyakit dan BPTP diharapkan dapat memberikan dukungan teknologi. Keikutsertaan dari mitra ini diharapkan akan menjadi awal kerjasama yang saling menguntungkan antar elemen yang bekerjasama sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Kelayakan Ekonomi Usaha Perbenihan

Sebuah usahatani akan diminati oleh petani apabila usaha tersebut dapat memberikan imbalan pendapatan yang menguntungkan. Kegiatan usaha perbenihan menyangkut dua kegiatan, yaitu kegiatan memproduksi calon benih dan kegiatan prosesing calon benih menjadi benih siap jual.

Kegiatan memproduksi calon benih pada hakikatnya sama dengan kegiatan memproduksi padi untuk konsumi. Hal yang membedakannya adalah adanya kegiatan rouging (seleksi). Rouging adalah kegiatan membuang rumpun-rumpun tanaman yang ciri-ciri morfologisnya menyimpang dari ciri-ciri varietas tanaman yang benihnya diproduksi (Balitbangtan, 2015). Struktur biaya dan pendapatan usahatani padi calon benih dan padi konsumsi Kelompok Tani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Tahun 2015 disajikan pada Tabel 2.

Benih yang digunakan untuk calon benih pada tingkat petani minimal berada pada kelas Stock Seed (SS/ label ungu) atau Foundation Seed (FS/label putih). Kedua benih sumber ini mempunyai harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih padi untuk konsumsi yang biasanya berada pada kelas Extention Seed (ES/label biru).

1003

Tabel 2. Struktur biaya dan pendapatan usahatani padi calon benih dan padi konsumsi Kelompok Tani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Tahun 2015

No Keterangan Volume (Sat)

Padi calon benih Padi konsumsi

Harga (Rp/sat)

Nilai (Rp) Harga (Rp/sat)

Nilai (Rp)

A. Sarana Produksi

1 Benih 25 Kg 9.000 225.000 9.000 225.000

2 Pupuk

a. Urea 150 Kg 2.200 330.000 2.200 330.000

b. NPK Ponska 300 Kg 2.700 810.000 2.700 810.000

3 Pestisida 235.000 235.000

4 Tanam dan pemeliharaan

a. Pengolahan tanah 12 HOK 50.000 600.000 50.000 600.000

b. Perbaikan pematang

4 HOK 50.000 200.000 50.000 200.000

c. Cabut dan tanam 18,2 HOK

50.000 910.000 50.000 910.000

d. Penyiangan 1 x 7,2 HOK 50.000 360.000 50.000 360.000

e. Pemupukan 3x 6 HOK 70.000 420.000 70.000 420.000

f. Semprot 3 HOK 70.000 210.000 70.000 210.000

g. Rouging 4x 4 HOK 70.000 280.000

5 Panen 80,5 HOK

50.000 4.025.000 50.000 4.025.000

B. Biaya lainnya

1 Karung 163 Bh 3.000 489.000 3.000 489.000

2 Angkut 163 buah

2.500 407.500 2.500 407.500

3 Sewa lahan 3.000.000 3.000.000

C. Total biaya produksi:

12.501.500 12.221.500

Penerimaan 7.000 Kg 3.500 24.500.000 3.500 24.500.000

Keuntungan 11.998.500 12.278.500

R/C 1,95 2,00

Sumber: data primer diolah, 2015

Biaya tanam dan pemeliharaan usahatani calon benih akan lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi konsumsi. Hal ini disebabkan adanya kegiatan roguing yang dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada fase vegetatif awal (35-45 HST), vegetatif akhir (50-60 HST), generatif awal (89-90 HST) dan generatif akhir (100-115 HST).

Apabila calon benih dijual tanpa proses prosesing benih maka petani akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 11.998.500,- dengan nilai R/C ratio sebesar 1,95. Nilai ini lebih kecil dibandingkan apabila padi langsung dijual untuk konsumsi dengan keuntungan sebesar Rp 12.278.500,- dan R/C ratio sebesar 2,00. Namun setelah dilakukan prosesing benih dan mendapatkan label dari pihak pengawas benih, keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 29.510.000,- dengan nilai R/C rasio sebesar 2,11 (Tabel 3). Keuntungan ini 41,77% lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh apabila padi langsung dijual untuk konsumsi.

1004

Tabel 3. Kelayakan ekonomi prosesing benih padi Kelompok Tani Tunas Harapan Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Tahun 2015

Keterangan Volume

(Kg) Harga

(Rp/kg) Nilai

(Rp) A. Biaya calon benih 7.000 3.500 24.500.000 B. Biaya prosesing benih

1. Biaya penjemuran 5.600 27 150.000 2. Membersihkan 5.600 18 100.000 3. Uji benih dan label 5.600 93 520.000 5. Plastik kemasan 5.600 200 1.120.000 6. Pengemasan 5.600 18 100.000

Total (B): 1.990.000 Total biaya benih (A+B): 26.490.000 C. Penerimaan 56.000.000 Keuntungan 29.510.000 R/C 2,11 HP Benih 4.730

Sumber: data primer diolah, 2015

Keuntungan ini tidak jauh berbeda dengan kuntungan yang diperolah penangkar benih yang mendapatkan pembinaan dari Balitbangtan dalam kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) di Banten yaitu Rp.10.846.960,-/ha/musim dengan nilai R/C 2,71 (Saryoko dan Rachman, 2009) dan Nusa Tenggara Barat yaitu Rp.14.084.600/ha/musim dengan nilai R/C 1,59 (Supriatna dan Dhalimi, 2010).

Hal ini menunjukkan bahwa usaha perbenihan memberikan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan usahatani padi biasa. Namun demikian usaha perbenihan belum menjadi pilihan bagi petani. Roesmiyanto dkk (2007) melaporkan bahwa masalah yang dihadapi kelompok tani penangkar benih, yaitu: (a) keterbatasan modal kelompok untuk membeli hasil panen petani anggotanya dan fasilitas pengolahan benih; dan (b) kondisi sosial ekonomi anggota kelompok sangat beragam. Kondisi ekonomi yang beragam mengakibatkan sebagian anggota mau menunda penjualan hasil menunggu pengolahan benih dan lainnya ingin menjual langsung setelah panen untuk padi konsumsi. Pembinaan lebih lanjut dan pengembangan kemitraan usaha perlu dilakukan agar skala ekonomi usahatani dapat tercapai, adanya transfer teknologi dan informasi, peningkatan akses terhadap pasar, serta adanya keterpaduan dalam pengambilan keputusan sehingga usahatani yang dilakukan sesuai dengan dinamika permintaan pasar (Saptana et al. 2006)

KESIMPULAN

1. Calon kelompok penangkar belum memiliki aturan main tertulis dalam upaya pencapaian tujuan kelompok dengan jumlah sumberdaya manusia yang cukup banyak namun memiliki teknologi perbenihan yang masih sederhana sehingga perlu diarahkan untuk memiliki aturan main dan tujuan yang jelas, peningkatan partisipasi anggota, perbaikan teknologi dan kemitraan dengan Dinas/Instansi terkait.

2. Usaha perbenihan memberikan keuntungan sebesar Rp 29.510.000,- atau 41,77% lebih besar dibandingakn usaha padi konsumsi. Nilai R/C ratio usahatani perbenihan diperoleh sebesar 2,11 yang artinya kegiatan usaha perbenihan menguntungkan secara ekonomi

1005

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana,M.O dan K. Kariyasa. 2006. Dampak dan Persepsi Petani Terhadap Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Volume 25 (1): 21-29

Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Disertasi pada Institut Pertanian Bogor.

Anantanyu, S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Volume 7 (2): 102-109

Balitbangtan. 2015. Pedoman Umum Pengembangan Model Kawasan Mandiri Benih Padi, Jagung dan Kedelai. Kementerian pertanian Republik Indonesia

BPTP Jawa Tengah. 2008. Peningkatan Percepatan Produksi Padi melalui Perakitan Teknologi dan Perbenihan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah.

Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.

Dimyati, A. 2007. Pembinaan Petani dan Kelembagaan Petani. Balitjeruk Online. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Tlekung-Batu. Jawa Timur

Ishak, A., D.Sugandi dan Miswarti. 2012. Adopsi Petani Padi Sawah Terhadap Varietas Unggul Padi Di Kecamatan Argamakmur Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Pertanian Berkelanjutan Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jember 17 Maret 2012

Mardikanto T, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS. Press Surakarta

Nasrul, W. 2012. Pengembangan Kelembagaan Pertanian untuk Peningkatan Kapasitas Petani Terhadap Pembangunan Pertanian. Jurnal Menara Ilmu Volume 3 (29):166-174

Roesmiyanto, S.Yuniastuti, S.Roesmarkam dan Suwono,. 2007. Kajian Agribisnis Perbenihan Padi Varietas Unggul Tipe Baru Fatmawati di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur

Saptana, Sunarsih dan K.S.Indraningsih. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif menjadi Keunggulan Kompetitif melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agroekonomi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. XXIV(1): 61-76

Saryoko, A dan B.Rachman. 2009. Analisis Keuntungan dan Sensitivitas Usaha Benih Padi di Propinsi Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengambangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Petanian. Departemen Pertanian. XII (3): 195-200.

Sugandi,D dan U.P. Astuti. 2013. Persepsi dan Minat Adopsi Petani Terhadap VUB Padi Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu. Pse.go.id (diunduh 24 Juni 2015)

Supriatna, A dan A.Dhalimi. 2010. Prospek Pengembangan Model Industri Perbenihan Padi Rakyat Dari Sisi Kelayakan Usaha. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

1006

Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengambangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Petanian. Departemen Pertanian. XIII (1): 29-41

Wahyuni, S. 2003. Kinerja Kelompoktani dalam Sistem Usahatani Padi dan Metode Pemberdayaannya. Jurnal Litbang Pertanian 22 (1):1-8

Wahyuni, S. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber Padi. Makalah disampaikan dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2001 dan Koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar Penelitian Padi. Tidak dipublikasikan

Wahyuni, S. dan R. Hendayana. 2001. Laporan Pengkajian Kinerja dan Arah Pengembangan BPP di Jawa Timur. Badan Urusan Ketahanan Pangan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Zakaria,W.A. 2009. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan Petani. Makalah Seminar Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

1007

PERANAN UPBS BPTP DALAM PENYEBARAN VUB PADI DI KALIMANTAN BARAT

Pratiwi

Peneliti Pertama, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat Jl. Budi Utomo No 45 Siantan Hulu, Pontianak, Kalbar, Telp. (0561) 882069

ABSTRAK

Ketersediaan benih sumber padi secara enam tepat dapat memberikan manfaat bagi petani dalam mengoptimalkan produktivitas padi dan berdampak pada meningkatnya tingkat adopsi varietas unggul baru (VUB) padi. Adopsi terhadap VUB padi ini akan lebih baik jika ketersediaan benih sumber padi tersebar merata di seluruh wilayah. UPBS BPTP Kalimantan Barat (Kalbar) bertujuan untuk membantu menyediakan benih sumber padi di wilayah Kalbar, sehingga perlu dikaji sampai sejauh mana peranan UPBS BPTP dalam membantu menyediakan benih sumber dan mendiseminasikan ke seluruh wilayah Kalbar.

Kajian dalam makalah ini dilakukan pada tahun 2015 dengan data dukung berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa data luas tanam dan keragaan hasil produksi yang dilakukan oleh UPBS BPTP Kalbar serta distribusi benihnya. Sedangkan data sekunder berupa data produksi, luas tanam, kebutuhan benih dan data penyebaran VUB secara umum di Provinsi Kalimantan Barat. Data dukung dianalisis secara deskriptif.

Hasil analisis kajian menunjukkan bahwa pada tahun 2015 UPBS BPTP Kalbar sudah memproduksi benih sumber padi sebanyak 56.750 ton yang terdiri dari 11 varietas. Benih sumber padi hasil produksi UPBS BPTP Kalbar sudah terdistribusi ke Kabupaten Sambas 2.015 kg, Mempawah 631 kg, Landak 10.220 kg, Bengkayang 25 kg, Sanggau 2.500 kg, Sekadau 2.250 kg, Sintang 7.900 kg, Melawi 200 kg, Kapuas Hulu 3.750 kg, Kubu Raya 4.635 kg, Kayong Utara 6.630 kg, Ketapang 1.420 kg, Kota Singkawang 1.520 kg dan Kota Pontianak 560 kg. Penggunaan benih sumber padi hasil produksi UPBS BPTP Kalbar berdasarkan agroekosistemnya yaitu (a) benih Inpara 2 dan Inpara 3 tersebar merata di sepanjang pantai sebelah barat pulau Kalimantan untuk agroekosistem pasang surut, (b) varietas Situ Bagendit dan Inpago 8 tesebar di Kabupaten Landak, Sintang, Kubu Raya dan Kapuas Hulu dan (c) varietas Inpari 10, Inpari 30, Cibogo, Mekongga, Inpari 24, Inpari 1 dan Inpari 13 dengan agroekosistem irigasi semi teknis tersebar merata di seluruh kabupaten/kota se Kalimantan Barat.

Kata kunci: UPBS, VUB padi, Kalimantan Barat

PENDAHULUAN

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mendapat tugas meningkatan tambahan

produksi padi sebesar 340.000 ton sebagai bentuk dukungan tercapainya surplus beras 10 juta ton. Upaya utama yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk meningkatkan produksi padi di Kalimantan Barat adalah dengan peningkatan produktivitas padi melalui Program PTT, ekstensifikasi melalui Program Pencetakan Sawah, dan Kegiatan Optimalisasi Lahan dan Pengembangan Kawasan Food Estate.

Salah satu komponen teknologi dalam Program PTT adalah penggunaan varietas unggul. Varietas unggul ini merupakan salah satu indikator peningkatan produktifitas padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) telah banyak menghasilkan inovasi pertanian berupa varietas unggul baru (VUB) padi. Sebagai gambaran, untuk mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian terutama Swasembada Pangan Berkelanjutan khususnya padi, telah dilepas tidak kurang dari 124 varietas padi terdiri dari padi sawah 73 varietas, padi tipe baru 4 varietas, padi hibrida 11 varietas, padi ketan 4 varietas, padi gogo 13 varietas, dan padi pasang surut 19 varietas (Suprihatno el al., 2013).

1008

Untuk mencapai target Program Strategis Kementerian Pertanian 2014-2019, terutama sukses Swasembada Pangan dan Swasembada Berkelanjutanuntuk komoditas padi maka BPTP Kalimantan Barat diberi tugas mengembangkan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS). Berdasarkan pengalaman menjalankan Program UPBS dari tahun 2011-2014 ternyata permintaan benih padi terbesar adalah varietas Inpara 3 untuk lahan pasang surut, Inpari 10, Mekongga, Cibogo, Situ Bagendit untuk lahan irigasi.Pada tahun 2014, benih hasil produksi UPBS sebanyak 10.750 kg telah terdistribusi sebanyak 8.670 kg melalui jalur komersial maupun bantuan. Benih yang terjual sebanyak 8.330 atau 77,49 % dan benih bantuan sebanyak 340 kg atau 3,16 persen. Benih tersebut terdistribusi ke berbagai kabupaten dan kota di Kalbar. Konsumen utama produksi benih padi dari UPBS BPTP Kalimantan Barat adalah pemerintah kabupaten dan hanya sebagian kecil saja yang dibeli petani secara mandiri (Subekti, A., 2014).

Dalam 5 tahun terakhir, produktivitas padi di Kalimantan Barat masih tergolong rendah dan bahkan belum mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, luas panen 444.353 ha dengan produksi 1.372.989 ton dan provitas 3,09 ton/ha. Pada tahun 2015, luas panen 464.031 ha dengan produksi 1.394.883 ton dan provitas 3,006 ton/ha. Selama lima tahun ini, provitas padi rata-rata di Kalimantan Barat mencapai 3,054 ton/ha. Dari total luas sawah 527.850 ha, terdapat 17.200 ha sawah irigasi dan 145.747 ha sawah non irigasi yang tidak ditanami tanaman apapun (BPS, 2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi benih adalah Luas lahan, Pupuk, Tenaga kerja, Benih, dan pestisida (Makruf et al., 2011).

Rendahnya kualitas padi yang dihasilkan oleh petani di Kalimantan Barat disebabkan antara lain rendahnya sumber daya dan kesadaran petani terutama dalam penggunaan varietas unggul, penerapan pupuk yang berimbang dan penanganan pasca panen. Para petani masih sulit merubah kebiasaan penggunaan benih varietas lokal menjadi varietas unggul, selanjutnya para petani masih kurang memperhatikan penanganan pasca panen terutama kegiatan grading pada saat panen. Hal ini terlihat dari produk yang bermutu dicampur dengan padi yang kualitasnya kurang baik, sehingga secara umum kualitas padi produknya menjadi rendah. Diperparah lagi sifat produk pertanian yang tidak merata baik bentuk, warna, rasa,dan ukurannya yang berpengaruh terhadap kualitas produk, sehingga belum sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen (Budi et al., 2013). Ketersediaan benih bersertifikat secara nasional baru sekitar 35 % untuk padi, 10 % jagung, < 5 % kacang-kacangan dan sayuran < 1 % (Wirawan et al., 2003).

Hal ini memberikan peluang untuk diseminasi varietas unggul baru (VUB) padi dari Badan Litbang Pertanian, dalam hal ini UPBS BPTP harus lebih gencar mempromosikan hasil produksi benihnya. UPBS yang sudah berjalan dari tahun 2012 harus mampu menjawab kendala perbenihan di lapangan. Benih unggul padi yang sudah diproduksi UPBS harus dikaji penyebarannya dengan harapan benih tersebut tepat sasaran dan tepat manfaat.

METODE PENELITIAN

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peran UPBS BPTP dalam penyebaran VUB di Kalbar. Kajian ini dilakukan dengan menjelaskan kondisi aktivitas UPBS baik dari segi produksi maupun distribusinya selama empat tahun terakhir, khususnya tahun 2015, dalam hal manfaat, pengguna dan fungsinya. Data bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari data produksi dan data distribusi benih hasil UPBS, sedangkan data sekunder bersumber dari data sebaran VUB, sasaran tanam dan kebutuhan benih di Kalbar. Data dianalisis secara deskriptif dan dituangkan dalam bentuk tabulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Upaya pengenalan varietas unggul baru padi dilakukan dengan melakukan uji

adaptasi dan demplot yang sudah dilakukan oleh BPTP, baik itu dalam kegiatan pendampingan PTT, sekolah lapang mandiri benih, maupun kajian spesifik lokasi yang berkaitan dengan komoditas padi. Berbagai kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas padi. Penggunaan benih unggul dan bermutu yang ditandai dengan benih berlabel / bersertifikat mampu meyakinkan petani akan hasil panen yang optimal. Namun

1009

sampai dengan saat ini masih banyak kendala yang sering dihadapi oleh petani dengan terbatasnya ketersediaan benih unggul dan bermutu dari sisi jumlah dan harga yang cukup tinggi sehingga tidak sedikit petani yang masih menggunakan benih tidak berlabel (masih menggunakan benih sembarang) karena dituntut dengan jadwal tanam. Hal ini dapat memicu menurunnya produktifitas padi di Kalbar. Tabel 1. Data luas tanam, kebutuhan benih, dan produksi benih di Kalimantan Barat .

Tahun Luas tanam (Ha) Kebutuhan benih

(Ton) Target Produksi

UPBS (Ton)

Produksi pihak lain yang harus dipenuhi (Ton)

2011 250.000 6.250 - 6.250 2012 250.000 6.250 61 6.189 2013 378.042 9.451 35 9.390 2014 441.920 11.048 20 11.028 2015 500.000 12.500 72,2 12.427.8

Jumlah 1.819.962 45.499 188,2 45.284,8 Sumber data: Dinas Pertanian TPH Prov. Kalbar (2015) dan Laporan UPBS BPTP Kalbar (2015).

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa UPBS BPTP yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan Litbang Pertanian hanya dapat memberikan kontribusi penyediaan benih sekitar 10 % dari total kebutuhan benih di Kalbar. Pihak di luar UPBS termasuk pemda dan BUMN sebenarnya sudah berkontribusi dalam hal penyediaan benih padi ini namun kendala keterbatasan jumlah benih di lapangan masih saja terjadi. Kurangnya benih unggul di lapangan menyebabkan tidak sedikit petani yang hanya menggunakan benih sembarang untuk pertanaman padinya. Selain itu, ketersediaan benih unggul di lapangan juga tidak bisa merata di seluruh wilayah Kalbar. Pada umumnya benih unggul hanya terdapat di ibu kota kecamatan atau kabupaten yang terjangkau dengan alat transportasi. Kurangnya pengetahuan dan informasi ragam benih unggul yang ada saat ini juga memberikan dampak kurang teradopsinya benih VUB padi yang sebenarnya sudah ada di daerah namun belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini menuntut UPBS BPTP untuk selalu memberikan hasil benih yang unggul dan bermutu dan diharapkan dapat terdiseminasi ke seluruh wilayah Kalbar.

Kinerja UPBS BPTP dalam mendukung ketersediaan benih unggul padi sudah berlangsung selama 4 tahun. Varietas yang diproduksi disesuaikan dengan agroekosistem yang ada (pasang surut, irigasi semi teknis dan tadah hujan) dan preferensi konsumen.

1010

Tabel 2. Jumlah produksi benih padi di UPBS BPTP Kalbar tahun 2012-2015.

Agroekosistem Varietas Jumlah produksi UPBS BPTP Kalbar (Kg)

FS SS ES

Pasang Surut Inpara 2 3.600 0 0

Inpara 3 15.000 27.200 0

Irigasi Semi Teknis

Inpari 10 1.600 18.850 3.900

Cibogo 6.400 42.100 6.100 Mekongga 1.500 12.000 5.500 Inpari 30 5.000 3.000 0 Inpati 24 2.000 0 0 Inpari 1 1.000 0 0 Inpari 13 2.000 3.000 800 Inpari 6 220 0 0 Membramo 880 0 0 Inpari 16 0 0 1.100 Ciherang 1.600 5.000 0 Inpari 3 1.000 0 1.425 Inpari 20 450 0 0

Tadah Hujan Situ Bagendit 3.740 10.000 0

Inpago 8 5.000 0 0 Jumlah 50.990 121.150 18.825

Sumber data: Laporan akhir UPBS BPTP Kalbar. Dalam kurun waktu empat tahun, UPBS BPTP Kalbar mampu memberikan

sumbangsih benih unggul padi sebanyak 191,965 ton atau sekitar 4,2 % dari total kebutuhan benih di Kalbar (tabel 1). Dari target produksi UPBS mengalami surplus 2 %. Hal ini mengindikasikan bahwa peran UPBS dalam hal penyediaan benih unggul sangat strategis. Dan untuk memenuhi permintaan benih yang makin hari makin besar maka diperlukan dukungan dari pemerintah daerah (BBI/BBU) dan BUMN (PT. Pertani dan Sang Hyang Seri). Penyebaran benih unggul padi yang diproduksi dilakukan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Landak merupakan kabupaten terbesar yang menggunakan benih sumber padi produksi UPBS, yaitu sekitar 9,6 ton dimana benih sumber ini digunakan sebagai sarana dari program Dinas Pertanian dan sebagian lagi digunakan untuk pembinaan penangkar. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Sintang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kapuas Hulu, Sanggau, Sekadau, Ketapang, Kota Pontianak, Singkawang, Sambas, Mempawah, Bengkayang, dan Melawi. Kabupaten Mempawah dan Singkawang merupakan lumbung penangkar yang mampu mensuplay benih sampai kabupaten lain sehingga benih hasil produksi UPBS hanya sedikit terdistribusi ke daerah tersebut.

Gambar 1. Diagram pengguna benih unggul padi produksi UPBS tahun 2015.

Sambas 5%

Singkawang 3% Mempawah

1%

Landak 23%

Bengkayang 0%

Sanggau 6%

Sekadau 5%

Sintang 18%

Melawi 0%

Kapuas Hulu 9%

Kubu Raya 11%

Kayong Utara 15%

Ketapang 3%

Pontianak 1%

1011

Varietas padi yang diproduksi UPBS beraneka ragam, berdasarkan agroekosistem dan preferensi petani. Pada tahun 2015, terdapat 11 varietas unggul padi yang diproduksi yaitu Inpari 10, Inpari 30, Cibogo, Mekongga, Inpara 3, Situ Bagendit, Inpago 8, Inpari 24, Inpari 1, Inpari 13 dan Inpara 2. Ke sebelas varietas padi tersebut telah tersebar ke seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Barat. Varietas Cibogo merupakan satu-satunya varietas yang tersebar di seluruh kabupaten maupun kota di Kalbar. Varietas ini sangat diminati oleh petani karena rasanya yang pulen dan mampu beradaptasi di cekaman lingkunganseperti kekeringan. Varietas Cibogo banyak ditanam di daerah yang jauh dari pantai (daerah hulu yang didominasi perbukitan). Kabupaten Sintang merupakan pengguna berbagai macam benih varietas unggul hasil produksi UPBS. Hanya varietas Mekongga saja yang tidak tersebar ke Sintang. Kabupaten Sintang termasuk daerah hulu dengan tiga agroekosistem yang ada yaitu pasang surut sepanjang aliran sungai Kapuas, irigasi semi teknis berupa lahan sawah dan sawah tadah hujan di daerah perbukitan.

Gambar 2. Penyebaran benih padi hasil produksi UPBS tahun 2015. Benih varietas unggul padi diproduksi berdasarkan agroekosistem yang ada

meliputi agroekosistem pasang surut (Inpara 2 dan Inpara 3), agroekosistem irigasi semi teknis (Inpari 10, Inpari 30, Cibogo, Mekongga, Inpari 24, Inpari 1, Inpari 13) dan agroekosistem tadah hujan (Situ Bagendit dan Inpago 8). Penyebaran benih unggul padi hasil produksi UPBS BPTP Kalbar berdasarkan agroekosistem telah dilakukan sesuai dengan kondisi agroekosistemnya. Wilayah agroekosistem pasang surut didominasi oleh varietas Inpara yaitu Inpara 2 dan Inpara 3. Wilayah ini tersebar merata di sepanjang jalur pantai barat pulau Kalimantan, mulai dari Kabupaten Sambas, Singkawang, Mempawah, Pontianak, Kubu Raya, Kayong Utara dan Ketapang. Varietas Situ Bagendit dan Inpago 8 diperuntukkan untuk wilayah dengan agroekosistem tadah hujan, meliputi daerah hulu dengan banyak bukit seperti Sekadau dan Melawi. Wilayah dengan agroekosistem irigasi semi teknis banyak ditanami varietas untuk lahan irigasi seperti Inpari, dan tersebar merata di seluruh wilayah terutama daerah yang memiliki lahan sawah cukup besar dan berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan, seperti Kabupaten Mempawah, Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sambas. Tabel penyebaran benih unggul padi hasil produksi UPBS dapat dilihat pada gambar 3, gambar 4 dan gambar 5.

0500

10001500200025003000350040004500

Sam

bas

Sin

gkaw

ang

Mem

paw

ah

Lan

dak

Ben

gkay

ang

San

ggau

Seka

dau

Sin

tan

g

Mel

awi

Kap

uas

Hu

lu

Ku

bu

Ray

a

Kay

on

g U

tara

Ket

apan

g

Po

nti

anak

Inpari 10

Inpari 30

Cibogo

Mekongga

Inpara 3

Situ Bagendit

Inpago 8

Inpari 24

1012

Gambar 3. Penyebaran benih unggul padi produksi UPBS pada agroekosistem pasang surut

Gambar 4. Penyebaran benih unggul padi produksi UPBS pada agroekosistem tadah hujan

Gambar 5. Penyebaran benih unggul padi produksi UPBS pada agroekosistem irigasi semi

teknis Jika dilihat berdasarkan jenis penggunanya, maka sebagian besar benih padi hasil

produksi UPBS digunakan oleh Dinas Pertanian (92 %) untuk mendukung Program Jarwo

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

Inpara 3

Inpara 2

0

500

1000

1500

2000

2500

Situ Bagendit

Inpago 8

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

Inpari 10

Inpari 30

Cibogo

Mekongga

Inpari 24

Inpari 1

Inpari 13

1013

dan Program Hazton. Kecilnya volume benih yang dibeli oleh penangkar disebabkan oleh berbagai aspek antara lain: (1) Informasi keberadaan UPBS BPTP Kalimantan Barat sebagai produsen benih sumber belum seluruhnya sampai ke para penangkar; (2) Para penangkar formal sudah memiliki hubungan bisnis cukup lama dengan Balai Benih Induk sebagai produsen varietas padi yang popular seperti Ciherang dan IR-64, sedangkan UPBS bertugas memproduksi VUB padi yang belum popular sehingga minat penangkar formal untuk membeli benih sumber ini masih rendah karena mereka berpikir akan kesulitan memasarkan produksi benihnya. Dengan kondisi ini maka upaya diseminasi benih bantuan perlu ditingkatkan baik menyangkut volume, varietas padi, dan lokasi diseminasi benih bantuan dalam rangka diseminasi VUB Padi. Upaya diseminasi VUB Padi tersebut kepada penangkar formal yang sudah berorientasi pasar akan relative sulit karena kaitannya dengan pemasaran produk. Oleh karena itu target distribusi benih sumber hasil VUB Padi perlu diarahkan kepada para penangkar padi berbasis komunitas atau penangkar informal dimana hasil produksi benih sumber untuk diseminasi lebih lanjut kepada petani disekitarnya.

Gambar 6. Penyebaran benih unggul padi produksi UPBS berdasar pengguna

Perlunya penguatan penangkar sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan

penangkar sehingga dapat memenuhi kebutuhan benih secara enam tepat di tingkat petani. Tumbuh dan berkembangnya bisnis penangkaran sangat tergantung pada keseimbangan pasar benih. Salah satu upaya dalam mengoptimalkan kinerja lembaga produksi benih, adalah dengan memacu tumbuhnya para penangkar benih, yang dapat ditumbuhkan di dalam gapoktan (Darwis et al., 2010). Peran penangkar benih dalam penyediaan benih bermutu sangat diperlukan dalam rangka untuk peningkatan produksi. Hal ini penting, karena benih dan varietas padi dapat mempengaruhi produktivitas per satuan luas. Hingga saat ini penangkar benih tanaman pangan yang banyak berkembang di daerah adalah penangkar benih padi. Namun demikian, masih dijumpai di beberapa daerah yang jumlah penangkarnya minim (Ruskandar dan Sri, 2009). UPBS diharapkan selalu meningkatkan peran dan peranannya dalam mendukung ketersediaan benih sumber bagi penangkar dan stake holder terkait, sekaligus mendiseminasikan hasil produksinya agar VUB padi makin cepat diadopsi petani.

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00%

Swasta

Peneliti

Calon penangkar

Dinas pertanian

PERSENTASE DISTRIBUSI BENIH SUMBER UPBS-BPTP KALBAR

BERDASARKAN : JENIS PEMBELI

PERSENTASE (%)

1014

KESIMPULAN

UPBS BPTP memiliki peran yang strategis dalam mendukung ketersediaan benih unggul. Benih unggul hasil produksi UPBS BPTP Kalbar sudah tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Diseminasi dan promosi UPBS harus selalu dilakukan untuk mengoptimalkan penyebaran VUB. Hubungan kemitraan antara UPBS dan penangkar serta stake holder terkait dapat menciptakan kondisi yang baik untuk peningkatan ketersediaan benih sumber VUB bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA BPS Prov. Kalimantan Barat. 2015. Kalimantan Barat Dalam Angka. Pontianak. Budi, S., A.H.A. Yusra dan Sutarman, G. 2013. Strategi Pengembangan Agribisnis Padi melalui

pembangunan Rice Estate di Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. 2 (2) : 32-59.

Darwis, M., Danu, I.S., Noor, A., Barnuwati dan Ariadi. 2010. Pengkajian Pemetaan Kebutuhan

Benih Padi, Jagung, Kedelai (VUB, volume) dan Pengembangan Penangkar Benih yang Efisien (>10%) di Kalimantan Selatan. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.

Makruf, E., Yulie, O., dan Wawan E.P. 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi

Sawah di Kabupaten Seluma. Balai Pengkajian Teknologi Pertania Bengkulu. Ruskandar, A. Dan Sri, W. 2009. Menumbuhkan Penangkar Benih Padi Untuk Percepatan

Adopsi Varietas Unggul Baru. Tabloid Sinar Tani. badan Litbang Pertanian. 7 Januari 2009.

Subekti, A. 2014. Laporan Akhir UPBS BPTP Kalimantan Barat. Pontianak. Suprihatno, B., Darajat, A. A., Satoto, B. S., Widiarta, I. N., Setyono, A., Indrasari, S. D., dan

exSembiring, H. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Wirawan, B dan Wahyuni, S. 2003. Memproduksi Benih Bersertifikat Padi, Jagung, Kedelai,

Kacang tanah, Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta.

1015

UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) DI LAHAN TADAH HUJAN : STUDI KASUS DI KABUPATEN

SAROLANGUN JAMBI

Suharyon, Busyra dan Nurimdah Minsyah

Balai Pengkajian TeknologiPertanian (BPTP) Jambi

ABSTRAK Lahan tadah hujan merupakan salah satu jenis lahan yang potensial untuk

difungsikan sebagai sentra produksi padi, mendukung swasembada beras berkelanjutan, termasuk lahan-lahan tadah hujan di wilayah Kabupaten Sarolangun Jambi. Upaya optimalisasi peran lahan tadah hujan di Kabupaten Sarolangun sebagai sentra produksi padi, terus dilakukan antara lain dengan meningkatkan produktivitas padi tadah hujan melalui pengembangan varietas unggul baru (VUB) spesifik lokasi. Namun demikian, upaya pengembangan VUB di lahan tadah hujan juga dihadapkan pada kendala rendahnya adopsi VUB karena masih tingginya penggunaan varietas lokal di tingkat petani sehingga rata-rata produktivitas padi di lahan tadah hujan Kabupaten Sarolangun Jambi belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengungkap faktor-faktor pendorong dan penghambat adopsi VUB serta merumuskan upaya percepatannya. Kajian dilakukan di Kecamatan Sarolangun Kabupaten Sarolangun pada tahun 2013 dengan menggunakan pendekatan survei, focus group discussion, dan wawancara individual kepada kelompok tani pengguna VUB dan varietas lokal. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum varietas yang banyak berkembang di lokasi kajian masih didominasi varietas lokal. Faktor-faktor yang mendorong percepatan adopsi adalah potensi biofisik lahan, penyediaan benih, dan sumberdaya manusia. Peluang pengembangan VUB juga terbuka dengan adanya dukungan kebijakan pemerintah pusat, teknologi, dan infrastruktur. Sedangkan tantangan yang dihadapi sebagai penghambat dalam mengembangkan VUB adalah persaingan usahatani padi dengan usaha produktif lainnya dan preferensi masyarakat. Mengacu pada identifikasi tersebut, maka upaya percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan Kabupaten Sarolangun menggunakan pendekatan peta jalan yang diterapkan secara bertahap melalui model upaya percepatan selama satu sampai dua tahun. Upaya percepatan juga perlu didukung dengan kebijakan pemerintah daerah melalui penumbuhan penangkar benih tingkat petani dan pengalokasian dana khusus untuk pengembangan VUB, yang terintegrasi dalam program pemda.

Kata kunci : lahan tadah hujan, adopsi VUB, upaya percepatan

PENDAHULUAN

Posisi dan keberadaan lahan irigasi dalam sistem produksi pertanian sangat penting, khususnya untuk memproduksi padi. Namun demikian, di lain pihak keberadaan lahan sawah justru terancam karena laju alih fungsi lahan yang terus meningkat dan pelandaian produktivitas. Ancaman alih fungsi lahan dan pelandaian produktivitas tak pelak menuntut upaya-upaya lain untuk terus mempertahankan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Lahan-lahan non sawah telah lama disarankan menjadi prioritas pengembangan berbagai komoditas seperti yang dinyatakan dalam Sudana, W (2005) yang menyebutkan bahwa lahan tadah hujan merupakan salah satu alternatif prioritas untuk mendukung produksi pangan nasional khususnya beras.

Usahatani padi di Jambi merupakan perwujudan dari Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah Provinsi Jambiuntuk mendukung Ketahanan Pangan sebagai salah satu dari lima Program Prioritas Pembangunan Provinsi Jambi 2010 – 2015 (Bappeda

1016

Provinsi Jambi, 2010 – 2015). Pengembangan usahatani padi di Jambi didukung areal sawah sekitar149 ribu ha tersebar di beberapa wilayah kabupaten. Salah satu wilayah pendukung produksi padi di lahan tadah hujan adalah Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.

Ditinjau dari capaian produksinya, Jambi menghasilkan sekitar 515 ribu ton GKG.Jika dihubungkan dengan luas tanamnya, maka diketahui produktivitas padi di Jambi adalah 4,3 t/ha. Angka produktivitas padi itu masih relatif rendah jika dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 6 – 7 t/ha. Menurut Makarim et.al. (2004), rendahnya produktivitas padi sawah terkait dengan penggunaan varietas unggul baru (VUB).

Upaya Pemda Jambi untuk meningkatkan produktivitas padi itu mengacu pada Program Peningkatan Beras Nasional yakni melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)(Balitbangtan, 2011). Penggunaan varietas unggul baru (VUB) dengan pendekatan PTT merupakan suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani.

Dalam tataran operasional, penyelenggaraan PTT Padi menerapkan prinsip-prinsip partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis atau serasi dan dinamis. Dalam hal ini petani didorong untuk berperan proaktif menentukan teknologinya sesuai kondisi lingkungan sosial budaya dan ekonomi setempat. Pengelolaan tanaman, tanah dan air dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan antar komponen teknologi yang saling mendukung. Dengan prinsip tersebut, penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan Iptek serta kondisi sosial ekonomi setempat.

Dengan menerapkan pendekatan PTT padi dilahan tadah hujan, diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas padi sekitar 0,5 – 1 t/ha (Balitbangtan 2011). Jika pendekatan PTT di Jambi mampu diadopsi oleh petani pada sekitar 10 persen dari total areal sawahnya, maka akan memberikan sumbangan produksi padi sebesar 55 ribu ton GKG.

Inovasi PTT yang diinisiasi Balitbangtan tersebut sudah berjalan semenjak tahun 2008, namun dalam prakteknya masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala baik dari aspek teknis maupun sosial ekonomis. Dari pengalaman Mundy (2000) dan Simatupang (2004) serta Hendayana (2006, 2009), terungkap bahwa adopsi teknologi di tingkat petani memerlukan waktu. Kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektipnya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya keterlibatan penyuluh di lapangan merupakan beberapa aspek yang memberikan andil terhadap akselerasi adopsi.

Dalam hubungan dengan introduksi inovasi teknologi PTT Padi di Provinsi Jambi khususnya dilahan tadah hujan, persoalannya adalah: (1) Bagaimanakah model percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah dilahan tadah hujan; (2) Faktor-faktor apa yang diduga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah lahan ntadah hujan, dan (3) Bagaimanakah respon dan apresiasi petani terhadap teknologi dan informasi yang cepat dan efektif di Jambi?

BAHAN DAN METODOLOGI

Pendekatan

Secara teoritis, strategi percepatan adopsi diarahkan pada strategi fungsional yang menekankan pada pemaksimalan sumberdaya produktivitas. Terkait dengan adopsi VUB padi unggul di lahan tadah hujan, strategi percepatan adopsi akan mencerminkan rumusan perencanaan komprehensif menyangkut upaya pencapaian tujuan perluasan adopsi. Strategi tersebut juga akan memaksimalkan potensi dan peluang pengembangan VUB padi dengan meminimalkan dampak negatif kondisi lahan tadah hujan, lebak dan lahan suboptimal lainnya (Hendayana etal., 2010).

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun pada tahun 2012/2013, pengambilan sampel dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan luasanya lahan tadah hujan dari beberapa desa di kecamatan Sarolangun Kabupaten Sarolangun. Desa terpilih

1017

yang mewakili agroekosistem lahan tadah hujan adalah desa Aur Gading, dan desa Serkam Kecamatan Sarolangun.

Data dan Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data-data primer yang dikumpulkan mencakup faktor internal petani, eksternal petani, dan karakteristik teknologi VUB padi (Tabel 1). Data-data sekunder merupakan sintesis dari berbagai hasil kajian tentang VUB padi di lahan tadah hujan serta tingkat adopsinya.

Responden petani merupakan sumber data utama dengan pendekatan grup petani yang terdiri dari 5 – 8 orang / grup tani. Contoh responden grup petani diambil yang mewakili petani-petani yang sudah mengadopsi VUB padi dan grup petani yang mencerminkan petani-petani yang masih bertahan dengan menggunakan varietas padi lokal. Dengan demikian, diperoleh gambaran faktor-faktor yang mendorong dan menghambat petani mengadopsi dan tidak mengadopsi VUB padi di lahan tadah hujan. Tabel 1. Deskripsi faktor-faktor internal dan eksternal petani lahan tadah hujan Faktor internal petani Faktor eksternal petani

- Pengalaman berusaha tani padi - Lembaga permodalan - Pola usahatani - Kondisi infrastruktur - Penguasaan asset - Kelompok tani dan lembaga

penyuluhan - Tingkat pendidikan formal petani - Dukungan kios saprotan - Mata pencaharian utama dan

sampingan - Lembaga pengolahan dan

pemasaran - Jumlah tanggungan keluarga - Kebijakan pemda propinsi,

kabupaten, BPTP terkait VUB padi - Pendapatan dan pengeluaran

usahatani

- Persepsi dan apresiasi petani terhadap VUB

- Kearifan local

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) terhadap grup petani serta diperkaya melalui wawancara mendalam (in depth interview) dengan pemuka masyarakat atau tokoh kunci (key informan) yang memahami tentang dinamika dan keragaan usahatani padi di lokasi kajian. Selain itu pengumpulan data primer juga mengkombinasikan pendekatan Rapid Appraisal of Agricultural Knowledge Systems (RAAKS) (Solomon, 2008) dan Need Analysis (McKillip, 1987). Data-data sekunder digali dari hasil studi pustaka dan penelusuran informasi melalui internet. Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diperkaya dengan analisis kuantitatif. Dalam rangka menggali faktor-faktor pendorong dan penghambat adopsi VUB padi di lahan tadah hujan, maka pendekatan dilakukan dengan analisis strategi pengembangan berdasarkan kondisi internal dan eksternal petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi UmumUsaha Pertanian di Kabupaten Sarolangun Menurut keterangan Sakwan selaku Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian

Kabupaten Sarolangun, hingga tahun 2014 Kabupaten Sarolangun masih menghadapi kondisi kekurangan beras hingga 7.000 ton per tahun (Fatkhul Maskur, 2014). Kelangkaan beras di Sarolangun itu disebabkan oleh banyak faktor.

1018

Pertama, terjadinya alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan di luar sektor pertanian.Lahan pertanian baru tergarap sekitar 5.000 ha dari potensi lahan pertanian sekitar 9.000 ha.

Kedua, petani masih menggunakan bibit lokal yang produktivitasnya relatif rendah. Umumnya petani masih menggunakan benih yang tidak berlabel sehingga produktivitasnya rendah.

Ketiga,penggunaan teknologi pertanian oleh petani masih terbatas. Meski pemerintah melalui Balitbagtan sudah menghasilkan banyak teknologi onfarm maupun off farm untuk mendukung kinerja produksi usahatani, namun diseminasinya belum optimal.

Keempat,semakin meningkatnya kebutuhan beras yang dikonsumsi masyarakat. Hal ini berhubungan dengan semakin tingginya pertumbuhan penduduk yang terjadi baik karena kelahiran, maupun dampak mobilisasi penduduk dari daerah lain di luar Sarolangun.

Peluang untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten Sarolangun terbuka luas. Optimisme pengembangan pertanian pangan utamanya usahatani padi di daerah ini didukung oleh beberapa hal sebagai berikut:

Aksesibilitas Kabupaten Sarolangun cukup baik. Wilayahnya tergolong sebagai wilayah yang terbuka, berada pada jalur jalan lintas Sumatera, sehingga sangat strategis sebagai daerah pengembangan pertanian ke depan.

Usaha pertanian menjadi mata pencaharian utama penduduk di Kabupaten Sarolangun, sehingga pengembangan pertanian akan dapat dukungan dari penduduk setempat. Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi 6.174 Km², terdiri dari

dataran rendah 5.248 km2 (85%) dan dataran tinggi 926 km2 (15%). Secara administratif pada awal berdirinya Kabupaten Sarolangun terdiri atas 6 kecamatan, 1 kelurahan dan 125 desa. Pada tahun 2010 Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 kecamatan, 9 kelurahan dan 134 desa dengan jumlah penduduk 246.245 jiwa dengan kepadatan penduduk 40 jiwa/km2.

Selain itu, menambah alat dan mesin olah pertanian, memperkuat kelompok petani dan pemberian pendampingan dalam pembelajaran teknologi pertanian. "Kita juga menggiatkan proses pemupukan berimbang. Artinya, saat petani bercocok tanam langsung memberikan pupuk urea, TSP dan lainnya," kata Sakwan.

Secara garis besar dalam satu hektar sawah bila petani menggunakan bibit unggul berlabel maka mampu menghasilkan sekitar 6-7 ton beras per tahun. " Lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan bibit lokal yang hanya menghasilkan 3-4 ton per tahun," tuturnya.

Sakwan menegaskan, Distan Sarolangun menargetkan dapat meningkatkan hasil pertanian padi di Sarolangun sekitar 7% untuk tahun 2014 ini. Untuk itu ia mengimbau agar para penyuluh pertanian terus aktif mengajak masyarakat untuk menanam padi serta tidak malas turun ke lapangan untuk memberikan pendampingan.

Sarolangun merupakan kabupaten yang dilalui oleh jalur Jalan Lintas Sumatera. Karena letaknya yang strategis tersebut, maka kabupaten ini menjadi suatu tempat yang bisa diperhitungkan untuk membuka lahan usaha. Perekonomian kabupaten yang memiliki semboyan "sepucuk adat srumpun pseko" ini sabagian besar berasal pertanian dan sumber daya alam yang berupa minyak bumi, batu bara, dan emas. Karakteristik Petani di Lokasi Kajian

Karakteristik reponden merupakan salah satu variabel penting terkait perilaku adopsi teknologi selain variabel demografi, pengaruh kosmopolitan, dan faktor lokasi. Karakteristik responden menjadi faktor potensial karena posisinya sebagai pengguna inovasi (Isgin etal., 2008), sehingga penting untuk mengidentifikasi karakteristik reponden secara cermat.

Sebagian besar responden (75%) bermata pencaharian utama sebagai petani, dan sisanya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah setempat. Tingkat pendidikan responden dapat dikatakan cukup baik, yang ditunjukkan dengan rata-rata kisaran lamanya pendidikan adalah 12 tahun. Namun terdapat sekitar 60% di antaranya yang masih mengenyam pendidikan selama kurang dari 7 tahun, yaitu kisaran 2-6 tahun. Tingkat pendidikan responden berhubungan tingkat adopsi suatu teknologi. Tingkat pendidikan yang lebih baik memungkinkan petani memiliki wawasan dan pemikiran yang lebih luas dan

1019

terbuka. Suharyanto etal. (2005) menyebutkan bahwa pendidikan yang tinggi mendorong petani untuk lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Isgin et al. (2008) bahwa keputusan petani untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh aspek pendidikan formal yang dimiliki petani. Dengan demikian, berdasarkan hasil identifikasi, dapat dikatakan bahwa secara umum responden di lokasi kajian sudah dapat mempertimbangkan keputusan untuk mengadopsi atau tidak.

Selain tingkat pendidikan, faktor umur juga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi karena berimplikasi pada penyediaan tenaga kerja produktif. Rata-rata umur responden berkisar antara 36-50 tahun, dan sebanyak 91% termasuk dalam kategori usia produktif. Suharyanto etal. (2005) menemukan bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan adopsi, seperti pada kasus adopsi tabela. Sedangkan Rangkuti (2009) menghubungkan antara umur dengan tingkat keaktifan responden dalam jaringan komunikasi untuk menyebarkan informasi inovasi yang mempengaruhi upaya percepatan adopsi. Tingkat keterlibatan petani dalam jaringan komunikasi berbanding terbalik dengan bertambahnya umur atau semakin tua usia responden, tingkat partisipasinya justru menurun, sehingga kurang berkontribusi terhadap upaya percepatan adopsi inovasi. Dengan kondisi tersebut, maka dapat dijadikan peluang untuk mempercepat adopsi inovasi VUB di lokasi kajian, karena dengan usia responden yang tergolong produktif, menyebabkan petani lebih terbuka terhadap perubahan dan hal baru, termasuk apabila ada introduksi inovasi VUB yang diperkenalkan.

Dari segi jumlah tanggungan dalam satu rumah tangga, rataan anggota keluarga sebanyak 4 – 5 orang/KK. Meskipun tidak terlalu besar, namun tenaga kerja keluarga ini dapat pula menjadi sumberdaya tenaga kerja dalam usahatani padi di lokasi kajian, sehingga dari segi ketersediaan tenaga kerja dapat dikatakan cukup memadai.

Di lokasi kajian, responden memiliki pengalaman berusahatani yang cukup lama yaitu rata-rata 18 tahun, dengan masa tersingkat adalah 5 tahun dan yang terlama adalah 33 tahun. Rangkuti (2009) menyatakan bahwa pengalaman berusahatani akan membentuk karakter seorang petani menjadi orang yang lebih terbuka dan kompak dalam suatu jaringan komunikasi dengan petani lainnya. Seperti halnya tingkat pendidikan, sikap petani yang terbuka akan turut mendorong keputusan untuk mengadopsi inovasi atau tidak sehingga berpengaruh terhadap percepatan adopsi.

Hasil kajian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan milik sendiri untuk kegiatan usahatani berkisar pada rataan 1.5,2 ha. Hanya ada 11% dari responden yang menyewa lahan untuk meningkatkan usahataninya, dengan rataan luasan 0,4 ha. Sedangkan pekarangan dan lahan lain (kebun) yang dimiliki responden rata-rata seluas 1,5 ha. Penggunaan lahan tersebut lebih dominan untuk ditanami kelapa, karet, kelapa sawit,dan tanaman buah-buahan (mangga, rambutan, dll). Hasil kebun ini juga menjadi generating income bagi responden. Hendayana etal. (2010) dan Rangkuti (2009) menyatakan bahwa semakin besar penguasaan lahan, maka semakin besar pula keterlibatan petani dalam menjalin komunikasi dengan pihak lain tentang adopsi inovasi, yang nantinya akan mendukung percepatan adopsi teknologi. Keragaan Penerapan VUB di Lahan Tadah hujan

Dalam hal penggunaan varietas, terlihat adanya keberagaman jenis varietas yang digunakan sejak pertama kali berusahatani, antara lain: IR 42, Ciherang, IR 64, dan varietas unggul berumur panjang. Di antara varietas tersebut, terdapat sebanyak 62% responden yang menggunakan varietas Ciherang, IR 42 sejak pertama kali menanam padi. Kebanyakan responden menyatakan bahwa benih-benih yang digunakan berasal dari benih sendiri (71% responden), dan sisanya mendapatkan dari membeli ke petani lain. Sampai dilakukannya kajian ini, berdasarkan informasi dari responden, telah terjadi perkembangan pesat tentang jenis varietas yang saat ini ditanam tanpa meninggalkan varietas yang ditanam pada awal berusahatani. Hasil identifikasi memperlihatkan adanya 6 varietas baru selain varietas awal tersebut, yaitu: IR 42, IR 64, Ciherang, Inpara, Inpari, Cisokan, ini membuktikan bahwa responden telah mengadopsi varietas tersebut sebagai sebuah inovasi baru. Sumber benih dari 11 varietas yang ditanam saat ini sebagian besar berasal dari benih sendiri (50%), membeli dari petani lain (27) dan ada juga yang merupakan benih bantuan (23%).

1020

Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Penggunaan VUB

Pengembangan VUB di lahan rawa memerlukan identifikasi lingkungan internal dan eksternal yang mencakup potensi, peluang, dan tantangan pengembangan VUB ke depan. Dengan demikian dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mempercepat adopsi VUB padi. Dari hasil kajian teridentifikasi bahwa potensi yang dimiliki lahan rawa terkait dengan pengembangan VUB padi didasarkan pada tiga unsur. Ketiga potensi tersebut meliputi kondisi biofisik lahan, penyediaan benih VUB padi adaptif lahan rawa, dan potensi ketersediaan sumberdaya manusia sebagai pelaku utama dalam percepatan adopsi VUB padi di lahan rawa (Tabel 2). Tabel 2. Analisis potensi, peluang, dan tantangan pengembangan VUB di lahan tadah hujan

Potensi Peluang Tantangan 1) Kondisi biofisik lahan 2) Penyediaan benih VUB

padi adaptif lahan tadah hujan

3) Ketersediaan sumberdaya manusia

1) Dukungan kebijakan pemerintah

2) Dukungan teknologi 3) Dukungan infrastruktur

1) Persaingan dengan usaha produktif lain

2) Preferensi petani yang lebih menyukai varietas lokal

Penyediaan benih VUB padi adaptif lahan tadah hujan.

Ketersediaan benih VUB yang tetap (varietas, jumlah, waktu, lokasi, mutu dan harga), sangat penting untuk mengembangkan adopsi VUB di tingkat petani. Meskipun dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa proporsi penggunaan varietas lokal masih lebih tinggi dibandingkan dengan VUB (Dinas Pertanian Propinsi Jambi, 2010), namun dari potensi penyediaan benih, Jambi memiliki beberapa sentra penangkar benih. Sejumlah wilayah di Jambi merupakan sentra penangkar benih padi seperti di Kabupaten Tajung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Kabupaten Muaro Jambi. Ketersediaan sumberdaya manusia.

Dari potensi sumberdaya, khususnya petani sudah terungkap bahwa secara umum petani responden merupakan petani-petani yang tergolong usia produktif dan memiliki pengalaman usahatani yang memadai. Selain itu, sumberdaya keluarga sebagai tenaga kerja usahatani padi merupakan potensi yang sangat baik untuk mempercepat adopsi VUB.

Peluang pengembangan

Terdapat tiga titik kritis yang terungkap sebagai peluang percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan yaitu dukungan kebijakan, teknologi, dan infrastruktur (Tabel 3). Dukungan kebijakan yang mendukung upaya percepatan adopsi VUB adalah program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kedua kebijakan yang bersifat nasional tersebut dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan VUB adaptif lahan tadah hujan dalam rangka mendukung swasembada beras berkelanjutan. Namun demikian, dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa secara umum pemerintah daerah belum memiliki kebijakan khusus pengembangan VUB di lahan tadah hujan. Kebijakan pengelolaan tadah hujan sangat bersifat umum dan tidak khusus menyentuh peningkatan adopsi VUB. Kondisi ini menyebabkan, belum adanya alokasi dana untuk percepatan adopsi VUB karena pengalokasian anggaran menjadi kesatuan dalam program pengembangan lahan tadah hujan secara umum.

Dukungan teknologi, tidak bisa dipungkiri merupakan peluang yang sangat baik untuk upaya percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan. Bahkan khusus untuk teknologi benih, Hendayana etal.,(2010) mencatat tak kurang dari 25 VUB adaptif lahan tadah hujan, rawa dan pasang surut telah dilepas oleh Badan Litbang sejak tahun 2001. Sedangkan dari dukungan infrastruktur, secara umum, lokasi kajian memiliki kondisi infrastruktur yang memadai dan keterbukaan akses, khususnya terhadap pasar input dan output

1021

Tantangan Tantangan terbesar yang dihadapi dalam mempercepat adopsi VUB di lahan tadah

hujan adalah preferensi masyarakat (khususnya masyarakat lokal) di lokasi kajian lebih menyukai varietas lokal. Secara garis besar, disebabkan oleh mudahnya memperoleh benih lokal, rasa nasi lebih disukai, hasil panen mudah dijual, harga jual tinggi, hemat input produksi, sangat adaptif lahan tadah hujan, dan tidak membutuhkan curahan alokasi waktu dan tenaga kerja yang tinggi. Tantangan lainnya adalah tingginya curahan waktu usahatani padi dibandingkan dengan usaha produktif lainnya, dan sebagian responden menjadikan usahatani padi sebagai usaha sampingan. (Hendayana etal., 2010). Hasil temuan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ruskandar, A. et al (2006). Hasil penelitiannya menemukan bahwa di lahan lebak (Sumatera Selatan), adopsi VUB masih rendah. Hal tersebut terkait dengan ketersediaan benih, kurang tersedianya tenaga kerja untuk usahatani padi karena bersaing dengan usaha lainnya, serta tidak terjaminnya ketersediaan pupuk untuk usahatani. Upaya Percepatan Adopsi VUB di Lahan tadah hujan

Percepatan yang dimaksud dalam makalah ini mengacu pada pengertian yang digunakan Hendayana etal., (2010) dalam pengkajian terhadap disain model percepatan adopsi inovasi teknologi, yaitu perpendekan senjang adopsi (adoption lag) dan perluasan adopter. Senjang adopsi ditunjukkan oleh adanya senjang waktu antara kesadaran akan adanya teknologi introduksi sampai teknologi itu diterapkan, sedangkan perluasan adopter merujuk pada fakta semakin banyaknya penyebaran adopsi pada satuan waktu tertentu.

Perumusan upaya percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan disusun berdasarkan identifikasi potensi, peluang, dan tantangan pengembangan VUB yang dielaborasi dengan upaya-upaya percepatan melalui berbagai media diseminasi serta analisis kebutuhan dan analisis stakeholders. Dalam perumusan percepatan adopsi VUB, juga sangat penting untuk melakukan kegiatan percepatan secara bertahap, dimana setiap tahunnya dilakukan monitoring dan evaluasi untuk melihat perkembangannya.

Identifikasi potensi dan peluang yang juga menjadi faktor pendukung dalam upaya percepatan adopsi dilakukan di tahun pertama, setelah ada komitmen dari seluruh stakeholder untuk mengembangkan VUB. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi VUB di lahan tadah hujan selanjutnya ditindaklanjuti dalam perumusan rencana aksi melalui beberapa kegiatan, misalnya lokakarya, temu usaha, atau pertemuan stakeholder. Menghadapi tantangan yang menjadi kendala dalam mempercepat adopsi VUB di lahan tadah hujan, maka perlu dilakukan beberapa kegiatan advokasi, baik secara vertikal maupun horizontal, agar stakeholder memperoleh keyakinan terhadap implementasi model pengembangan VUB yang adaptif di lahan tadah hujan. Selain itu, di tingkat petani sebagai pelaku usahatani, perlu dilakukan upaya diseminasi, seperti sosialisasi, uji adaptasi, pelatihan, studi banding, dembul, kios penangkar dan lain-lain.

Keterlibatan dan dukungan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi sangat dibutuhkan, bahkan diawali sejak inisiasi kegiatan. Selain itu sangat penting bagi BPTP untuk memberikan dukungan pada kegiatan diseminasinya utamanya pada tahun pertama, karena pada tahapan ini adalah awal dari upaya untuk memperkenalkan VUB dan menggali minat petani terhadap VUB. Bahkan perlu juga untuk menjalin koordinasi dan kerjasama dengan pihak swasta, dalam hal ini dapat dilakukan dengan PT SHS atau PERTANI, sebagai pelaku yang memproduksi dan menyediakan benih sumber.

Kegiatan implementasi di setiap tahapan dibedakan oleh skala luasan lahan tadah hujan yang digunakan untuk usahatani VUB. Tahap I luasan tersebut masih berskala kecil, kemudian seiring dengan perkembangan kegiatan dan hasil monev, pada tahap kedua, luasannya menjadi skala sedang. Di tahap ini, perluasan skala berimplikasi pada adanya kebutuhan pelatihan bagi PPL. Di sisi lain, skala yang sedang tersebut merupakan hasil kinerja dari dukungan media lokal yang menyebarluaskan informasi inovasi VUB. Pada akhirnya, di tahun ketiga yang menjadi harapan dalam peta jalan upaya percepatan adalah peningkatan areal lahan tadah hujan untuk VUB dalam skala luas. Mendukung hal ini, peran media pun tidak hanya dibatasi yang lokal, akan tetapi juga media yang mampu menjangkau sasaran lebih banyak dan wilayah yang lebih luas. Dengan demikian, upaya percepatan

1022

adopsi VUB di lahan tadah hujan Jambi dapat terwujud yang tentu juga perlu dukungan dan komitmen dari para pemangku kepentingan setempat.

Secara ringkas upaya percepatan adopsi digambarkan pada Gambar 1.

KESIMPULAN

Dari hasil kajian, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : (1) lahan tadah hujan sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi padi nasional selain lahan sawah, sehingga perlu dimanfaatkan secara optimal melalui peningkatan adopsi VUB, (2) masih terdapat tantangan yang dihadapi pada rendahnya adopsi VUB karena aspek teknis (teknologi VUB) dan non teknis (petani, kelembagaan, dan dukungan kebijakan), dan (3) upaya percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan dapat ditempuh dengan menyusun peta jalan strategi percepatan secara bertahap, yang dapat diterapkan antara 1 sampai 2 tahun.

Dalam rangka mempercepat adopsi VUB di lahan tadah hujan, tidak bisa dipungkiri, bahwa preferensi masyarakat menjadi kunci utama sehingga upaya sosialiasi dan diseminasi harus terus ditingkatkan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah penyelenggaraan demplot-demplot melalui pendekatan sekolah lapang. Selain itu, dukungan pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan dan pengembangan VUB padi dijadikan program pemda dengan alokasi dana khusus. Pengembangan kelompok-kelompok penangkar benih VUB di tingkat petani juga perlu didorong, salah satunya melalui fasilitasi kredit lunak dan jaminan pasar benih oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. 2003. Menghapus Trauma Kegagalan PLG Satu Juta Hektar. Tabloid Sinar Tani. Edisi 16 Juli 2003.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2012. Jambi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik

Provinsi Jambi Kerjasama Sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi.

Fatkhul Maskur. 2014. Kabupaten Sarolangun Defisit Beras 7.000 Ton/Tahun. http://news.bisnis.com/read/20140114/78/197095/kabupaten-sarolangun-defisit-beras-7.000-tontahu

Hendayana, R., Enrico S., A. Djauhari, A. Gozali & Wirdahayati. 2010. Disain Model Percepatan

Adopsi Teknologi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian. Laporan Penelitian Kegiatan SINTA 2009. Balai Besar Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.

1023

Isgin, T., A. Bilgic, D. L. Forster. & M. T. Batte. 2008. Using count data models to determine the

factors affecting farmer’s quantity decisions of precision farming technology adoption. Computer and Electronic in Agriculture 62: 231-242.

Las, Irsal. 2009. Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan. Tabloid Sinar

Tani. Edisi 14 Juni 2009. Rangkuti, P. A. 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi

Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi 27(1): 45-60. Ruskandar, A, Tita Rustiati, Putu Wardana. 2006. Prosiding Seminar Nasional Inovasi

Teknologi dan Pengembangan Terpadu Lahan Rawa Lebak. Banjarbaru, 28 – 29 Juli 2009. Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian.

Solomon. 2008. M, 2009. Rapid appraisal of agricultural knowledge systems. Wageningen. The

Nederlands Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian.

Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 3 (2) : 141 – 151. Juni 2005. Pusat Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian.

Suharyanto, Destialisma, dan IA Parwati. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi

teknologi tabela di Provinsi Bali. Prosiding Seminar Nasional. ”Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal ”. NTB, 30 – 31 Agustus 2005. Hal. 122 – 128.

Suriadikarta, D.A dan Mas Teddy Sutriadi, 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi untuk

Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 26 (3) : 115 - 127. Badan Litbang Pertanian.

1024

ANALISIS USAHATANI DAN DAMPAK PENDAMPINGAN TERHADAP ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN

TANAMAN TERPADU (PTT) KEDELAI (Studi Kasus di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi)

Endi Putra dan Yardha

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

ABSTRAK Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu strategi kunci dalam memacu

pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan datang, karena sektor pertanian merupakan sektor yang menyangkut hidup dan kehidupan bangsa Indonesia serta memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Usahatani kedelai merupakan salah satu perwujudan dari Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah Provinsi Jambi untuk mendukung Ketahanan Pangan sebagai salah satu dari lima Program Prioritas Pembangunan Provinsi Jambi 2010–2015 (Bappeda Provinsi Jambi,2011). Pengembangan usahatani kedelai di Jambi didukung areal yang tersebar di 9 kabupaten/kota dengan luas pertanaman mencapai 1.877 hektar dan total produksi 2,372 ton biji kering.Untuk Daerah sentra produksi kedelai di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan luas masing-masing 16,89% hektar dan 42,83 % akan tetapi produktivitas komoditas ini masih rendah yaitu 13,40 kw/ha (Distan Prov. Jambi, 2014). Setelah dilakukan pendampingan pada Usahatani kedelai dalam keadaan normal B/C ratio nya>1 yaitu 1,58, hal ini menggambarkan bahwa usahatani kedelai di lokasi pengkajian menguntungkan bagi petani dan sangat layak untuk dilaksanakan. Hasil ini juga diperkuat dengan analisis sensitifitas (analisis kepekaan) yang diperoleh dengan asumsi menaikkan biaya produksi sebesar 20% dan menurunkan pendapatan 10%. Hasil asumsi tersebut menunjukkan bahwa dengan kenaikan biaya produksi 20% diperoleh B/C ratio > 1 yaitu 1,30.Hal ini menggambarkan bahwa usahatani kedelai di lokasi pengkajian masih menguntungkan dan pada saat diturunkan pendapatan 10 % diperoleh B/C ratio 1,56 juga masih tetap menguntungkan. Tingkat adopsi inovasi terlihat dari analisis t Stat dengan nilai -0.4881884 merupakan nilai t Stat atau nilai t hitung. Adapun nilai t tabel ditunjukkan t Critical Two-tall. Pada t-Test: Paired Two Sample for Means 6. Hasil Akhir Analisis Uji t t hitung (-0.4881884) < t tabel (1.987289823). Kata Kunci : Adopsi Inovasi, Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu, dampak

PENDAHULUAN

Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu strategi kunci dalam memacu pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan datang, karena sektor pertanian merupakan sektor yang menyangkut hidup dan kehidupan bangsa Indonesia serta memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut dapat diwujudkan melalui pengembangan kawasan pertanian yang memadukan; pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri,pakan dan bioenergi,penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan.

Target swasembada kedelai merupakan program utama Kementerian Pertanian di periode 2015-2019. Sebagai komoditas utama yang diprogramkan oleh pemerintah, peran kedelai cukup strategis dan merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi. Selain merupakan sumber utama karbohidrat dan protein kedelai juga merupakan bahan baku

1025

industri rumah tangga. Pada beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan untuk pakan.

Usahatani kedelai di Provinsi Jambi merupakan salah satu perwujudan dari kebijakan umum dan program pembangunan daerah Provinsi Jambi untuk mendukung ketahanan pangan sebagai salah satu dari lima program prioritas pembangunan Provinsi Jambi 2010 – 2015 (Bappeda Provinsi Jambi, 2011). Pengembangan usahatani padi di Provinsi Jambi didukung areal yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten,salah satu sentra produksi kedelai adalah Kabupaten Tebo.

Luas pertanaman kedelai di Provinsi Jambi mencapai 1.877 hektar, dengan produksi 2,372 t biji kering. Pertanaman kedelai tersebar di 9 kabupaten/kota. Daerah yang terluas pertanaman kedelai dan merupakan daerah sentra produksi kedelai di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan luas masing-masing 16,89% hektar dan 42,83 %,dan produktivitas masih rendah yaitu 13,40 kw/ha (Distan Prov. Jambi, 2014).

Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh pengelolaan komoditas belum terpadu dan dari aspek teknis dan non-teknis pada suatu kawasan,sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang kawasan pengembangan pertanian yang komprehensif.

Dalam hubungan dengan introduksi inovasi teknologi PTT Kedelai di Provinsi Jambi, persoalannya adalah: (1) Bagaimanakah model percepatan adopsi inovasi teknologi PTT Kedelai; (2) Faktor-faktor apa yang diduga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi teknologi PTT Kedelai, dan (3) Bagaimanakah respon dan apresiasi petani terhadap teknologi dan informasi yang cepat dan efektif di Jambi? Pengkajian ini bertujuan untuk untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial kedelai, dampak pendampingan terhadap adopsi inovasi teknologi PengelolaanTanaman Terpadu (PTT) kedelai dan menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam percepatan adopsi inovasi teknologi PTT Kedelai di Kabupaten Tebo.

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan pada tingkat kelayakan finansial penggunaan benih kedelai varietas anajsmoro pada usahatani kedelai dan adopsi inovasi pada kegiatan pendampingan kawasan kedelai lahan sawah di Kecamatan Tujuh Koto Hilir, Serai Serumpun dan Tujuh Koto Kabupaten Tebo.

Responden adalah petani, dipilih 22 orang dari tiap desa dengan kriteria: statusnya adalah pemilik atau pemilik penggarap sawah, dan menjadi peserta SL-PTT kedelai, dan skala usahanya mewakili lahan sempit, lahan sedang dan luas. Klaster petani menurut skala usaha tersebut dari tiap desa ditentukan secara proporsional danjumlah responden petani keseluruhan adalah 44 orang.Pembahasan utama didasarkan atas data primer yang diperkaya dengan data/informasi sekunder .

Pengumpulan data primer dari responden petani dan penyuluh dilakukan melalui wawancara menggunakan alat bantu kuesioner semi terstruktur dengan tipe tertutup dan terbuka (terlampir). Pengumpulan data primer dari pemangku kepentingan dilakukan melalui forum diskusi kelompok terfokus (focus group discussion – FGD). Sebelumpengolahan dan analisis data dilakukan validasi data, memilah data yang akurasinya tepat dan menseleksi data outlayer. Setelah diperoleh data yang akurat, masuk ke tahapan pengolahan data.

Menurut Hernanto, Fadholi (1996), untuk melihat kelayakan usaha tani dapat diukur dengan salah satu alat analisis yaitu R/C ratio, merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi.

1026

R/C Ratio = Kriteria: R/C Ratio > 1, usahatani layak dikembangkan R/C Ratio < 1, usahatani tidak layak dikembangkan R/C Ratio = 1, usahatani impas.

Adopsi yang disebabkan karena pendampingan dapat dilakukan secara langsung dengan mengukur keberhasilan indikator dimensi adopsi dan dapat juga dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan proksi produksi.

Pengujian beda produktivitas kedelaisebelum dan sesudah pendampingan, dilakukan dengan analisis sederhana dengan menggunakan uji t berpasangan atau Paired Sampel t-Test. Rumus t-test yang digunakan untuk berpasangan adalah sebagai berikut:

Ketengan: x1 = rata-rata data kelompok 1

x2 = rata-rata data kelompok 2

S1 = Simpangan baku data kelompok 1

S2 = Simpangan baku data kelompok 2

= Varian data kelompok 1

= Varian data kelompok 2

r = Korelasi antara dua contoh

Menurut Soekartawi (2006), Tahap-tahap pengujian sebagai berikut : a. Menentukan hipotesis nol dan hipotesis alternatif

Ho = Produktivitas kedelai sebelum mengikuti pendampingan sama dengan (=) produktivitas kedelai setelah mengikuti pendampingan,

H1 = Produktivitas kedelai sebelum mengikuti pendampingan tidak sama dengan (≠) produktivitas padi setelah mengikuti pendampingan

b. Menentukan taraf signifikansi 0,05. c. Pengambilan keputusan

Ho ditolak jika nilai thitung≥ttable

Ho diterima jika nilai thitung≤ ttable

Penyelesaikan analisis data, menggunakan aplikasi statistik dalam program Microsoft Excel memanfaatkan fasilitas icon Analysis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kabupaten Tebo

Secara geografis Kabupaten Tebo terletak diantara titik koordinat 0° 52’ 32” - 01° 54’ 50” LS dan 101° 48’ 57” - 101° 49’ 17” BT. Beriklim tropis dengan ketinggian antara 50 - 1.000 m dari permukaan laut (dpl) dan berada dibagian barat laut Provinsi Jambi.Luas wilayah Kabupaten Tebo adalah 6.461 km2 atau 11,86 % dari luas wilayah Provinsi Jambi. Menurut administrasi pemerintahan terdiri dari 12 kecamatan 5 kelurahan dan 107 desa. Luas kecamatan terbesar adalah Kecamatan Sumay seluas 129.695,95 Ha atau 20,1% dari luas wilayah seluruh Kabupaten Tebo.

Total Penerimaan

Total Biaya

1027

Identitas Responden

Identitas responden menjadi basis informasi dasar yang akan menjelaskan fenomena penerapan teknologi dalam pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai di Kabupaten Tebo.. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, diperoleh gambaran identitas responden sebagai berikut.

Umur Responden di Lokasi Pengkajian

Umur responden merupakan salah satu identitas yang dapat dijadikan indikator untuk mengungkapkan posisi seseorang dalam hubungannya dengan produktivitas kerja. Umur produktif pada kisaran 15-55 tahun, jika kurang dari 15 tahun diglongkan belum produktif dan diatas 55 tahun tidak produktif.

Data pada Tabel 3 menunjukkan kondisi umur anggota rumah tangga responden yang berkisar dari 23 – 30 tahun sebanyak 15.3 persen terdapat diKecamatan Tujuh Koto Hilir, Kecamatan Serai Serumpun sebanyak 6.7 persen, Kecamatan Tujuh koto sebanyak 6.7 persen atau sebesar 8.9 persen. Dilihat pada kisaran umur responden 31 – 40 tahun terdapat di Kecamatan Tujuh Koto Hilir sebanyak 23.3 persen, Kecamatan Serai Serumpun sebanyak 10.0 persen, Kecamatan Tujuh koto sebesar 31.3 persen rata-rata sebesar 22.2 persen. Pada kisaran umur responden 41 – 50 persen terdapat di Kecamatan Tujuh Koto Hilir sebanyak 23.3 persen, Kecamatan Serai Serumpun sebanyak 26.7 persen, dan Kecamatan Sarolangu sebesar 33.3 persen dengan jumlah 27.8 persen. Umur responden >50 tahun terdapat di Kecamatan Tujuh Koto Hilir sebanyak 20.0 persen, (Tabel 3)

Tabel 3. Umur Responden di Lokasi Pengkajian (dalam persentase)

Umur Tujuh Koto Hilir

(n=30 org) Serai Serumpun

(n=30 org) Tujuh Koto (n=30 org)

Jumlah (n=90 org)

23 - 30 15.3 6.7 6.7 8.9

31 - 40 23.3 10.0 23.3 22.2

41 - 50 31.3 26.7 33.3 27.8

>50 20.0 43.3 20.0 27.8

Jumlah 100 100 100 100 Latar Belakang Pendidikan Formal

Basis pendidikan formal responden di dominasi oleh yang berpendidikan di bawah 6 tahun, meskipun ada diantaranya yang berpendidikan lebih tinggi. Implikasi dari relatif rendahnya basis pendidikan formal responden terkait dengan percepatan adopsi inovasi teknologi adalah perlu pendampingan.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Tanggungan keluarga dalam kegiatan usahatani dibedakan menurut umur ke dalam dua golongan yaitu umur sekolah (< 15 tahun) dan usia kerja (> 15 tahun). Pengelompokan tersebut untuk mengetahui secara tegas, apakah anggota keluarga itu menjadi beban atau malah menjadi sumberdaya dalam usahatani kepala rumah tangga.

Berdasarkan hasil wawancara, terlihat bahwa secara rata-rata, responden memiliki tanggungan keluarga yang berumur di bawah 15 tahun, tetapi secara individu ada tujuh orang yang memiliki tanggungan tersebut dengan jumlah maksimum tanggungan dua orang. Sedangkan tanggungan keluarga yang berumur di atas 15 tahun secara rata-rata ada 1 orang, namun jumlah maksimum tanggungan di batas usia ini adalah 3 orang.

Pengalaman Berusahatani Responden di Lokasi Pengkajian

Pengalaman berusaha tani menunjukkan periode waktu seseorang responden telah menggeluti pekerjaannya dalam usahatani. Tabel 4 menunjukkan keragaman pengalaman petani, mulai 0 tahun hingga 50 tahun. Pengalaman berusahatani ini sejalan umur, artinya semakin tua seseorang semakin banyak pengalamannya. Dalam konteks adopsi teknologi,

1028

informasi pengalaman dapat menjelaskan tingkat keeretan hubungan antara pengalaman seseorang dengan percepatan adopsi teknologi. Pengalaman berusahatani kedelai dari 30 responden per kecamatan menunjukkan perbedaan. Hal ini karena rentang usia yang juga cukup berbeda seperti yang telah disebutkan di atas. Pengalaman paling singkat adalah < 5 tahun, dan yang paling lama adalah > 30 tahun. Secara rata-rata, pengalaman berusahatani kedelai di kalangan responden pada tiga kecamatan di Kabupaten Tebo adalah 8,9 tahun (Tabel 4).

Tabel 4. Pengalaman Berusahatani Responden di Lokasi Pengkajian (dalam persentase)

Pengalaman (th)

Tujuh Koto Hilir (n=30 org)

Serai Serumpun (n=30 org)

Tujuh Koto (n=30 org) Jumlah

(n=90 org)

< 5 20.0 13.3 13.3 15.6

6 – 10 50.0 40.0 30.0 40.0

11 – 20 20.0 33.3 16.7 23.3

21 – 30 3.3 6.7 26.7 12.2

>30 6.7 6.7 13.3 8.9

Jumlah 100 100 100 100

Adopsi Teknologi oleh Petani Teknologi yang dilakukan dalam pengkajian ini berbasis kebutuhan petani yang

informasinya digali pada saat sebelum program diaplikasikan. Cakupan teknologinya yaitu tanaman Kedelai. Pengkajian ini difokuskan pada subsektor tanaman kedelai. Salah satu pendekatan untuk meningkatkan produktivitas komoditas tersebut dilakukan melalui introduksi varietas unggul baru produktivitas tinggi yang dibudidayakan dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Penyebarluasan PTT dilakukan melalui sekolah lapang (SL).

Kecepatan diffusi teknologi PTT Kedelai

Kecepatan difusi teknologi menggambarkan waktu yang diperlukan oleh petani dari mengetahui sampai menerapkan sebuah teknologi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa waktu tercepat adalah 3,25 bulan untuk umur bibit dan 15,9 bulan untuk penggunaan bahan organik/pupuk kandang/amelioran. Hasil wawancara disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Kecepatan difusi teknologi PTT Kedelai

No Komponen teknologi Waktu yang Diperlukan dari

Mengetahui sampai Melaksanakan Teknologi (Bulan)

1 Penggunaan VUB 5,95

2 Bibit bermutu dan sehat 4,25

4 Pemupukan Berimbang 10,25

5 PHT sesuai OPT 9,81

6 Bahan organik/pupuk kandang/amelioran 15,90

7 Umur bibit 3,25 8 Pengolahan tanah yang baik 7,54 9 Pengelolaan air optimal 12,75 10 Pupuk cair 6,85 11 Penanganan panen dan pasa panen 6,08

Tabel di atas mengindikasikan bahwa petani sangat peduli dengan umur tanaman

kedelai yang dibudidayakan. Umumnya petani menghendaki kedelai dengan umur genjah. Selanjutnya para petani juga sangat peduli dengan benih bermutu dan benih yang sehat serta

1029

penggunaan varitas unggul baru (VUB). Semua ini akan bermuara pada peningkatan produksi tanam.

Alur Adopsi (Adoption Path Ways)

Alur adopsi dalam bahasan ini lebih pada proses atau jalan yang dilalui dalam distribusi informasi teknologi yang digambarkan melalui simpul-simpul komunikasi mulai dari BPTP sampai ke petani. Dengan demikian apa yang disebut alur adopsi tidak beda dengan alur komunikasi. Alur komunikasi ini berlangsung melalui berbagai pola, yang eksistensinya dipengaruhi oleh struktur organisasi pemerintahan setempat. BPP); dan Era Pasca UU No 16/2008 tentang Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Periode yang mempengaruhi alur komunikasi dapat dipilah menurut urutan waktu: (1) Era Eksistensi Komisi Teknologi; (2) Era Otonomi Daerah.

Adopsi Teknologi PTT Kedelai Eksisting

Kondisi adopsi teknologi PTT Kedelai di lokasi pengkajian berdasarkan indikator sebaran adopsi, percepatan adopsi, sumber informasi teknologi, dan media adopsi, ditemukan sebagai berikut:

Sebaran adopsi yang dianalisis berdasarkan pada responden yang sudah mengetahui informasi terlebih dahulu dapat dilihat pada Tabel 8. Data tersebut menunjukkan bahwa belum semua responden memiliki pengetahuan terhadap informasi komponen teknologi. Secara umum petani yang memiliki pengetahuan terhadap komponen-komponen teknologi PTT kedelai berkisar 76 – 91% dengan rataan 84,9%. Artinya masih ada 11% responden yang perlu diberikan pengetahuan tentang PTT kedelai di Kabupaten Tebo ini.

Sejumlah petani yang memiliki pengetahuan tersebut, ternyata juga tidak seluruhnya menerapkan (mengadopsi) teknologi yang sudah diketahui. Secara umum dari sekitar 85% petani yang memiliki pengetahuan PTT yang mengadopsi masih relatif rendah yakni sekitar 68,1 %.

Tabel 6. Sebaran adopsi teknologi yang diketahui dan diterapkan (%)

No Komponen teknologi Diketahui Diterapkan 1 Penggunaan VUB 78.9 70.0

2 Bibit bermutu dan sehat 83.3 76.7

3 Rouging Tanaman Kedelai 84.4 67.8

4 Pemupukan Berimbang 80.0 56.7

5 PHT sesuai OPT 85.6 58.9

6 Bahan organik/pupuk kandang/ amelioran 88.9 74.4

7 Umur bibit 91.1 73.3 8 Pengolahan tanah yang baik 91.1 80.0 9 Pengelolaan air optimal 76.7 33.3 10 Pupuk cair 86.7 81.1 11 Penanganan panen dan pasa panen 86.7 76.7 Rataan 84.9 68.1

Relaltif masih rendahnya tingkat adopsi petani tersebut diduga terkait dengan

kendala yang dihadapi. Menurut keterangan responden di lokasi pengkajian terungkap kendala penerapan teknologi PTT kedelai, antara lain: Benih kedelai VUB yang dianjurkan tidak tersedia di tempat, padahal waktu tanam telah

tiba ( tidak tepat waktu). Petani merasa kurang menerima informasi teknologi Harga benih VUB kedelai di pasar relatif mahal Kekurangan tenaga kerja. Kendala teknis: petani sulit memprediksi banjir karena faktor iklim yang tidak

menentu, yang berdampak tidak optimalnya pemanfaatan air.

1030

Adopsi terjadi setelah petani menerima informasi. Dalam hal ini petani di Kabupaten Tebo menerima informasi dari berbagai sumber, yakni dari peneliti-penyuluhBPTP, Penyuluh BPP, pejabat Bakorluh/Bapeluh, aparat Dinas Teknis terkait, dari sesama petani dalam desa, dari petani luar desa dan dari sumber lainnya. Data padaTabel 9, menunjukkan bahwa sumber informasi yang utama diperoleh petani adalah dari BPP dan pada urutan kedua dari aparat dinas terkait. Posisi BPTP sebagai sumber informasi berada pada urutan ke enam. Hal itu diduga ada keterkaitandengan faktor jarak yang relatif jauh dari lokasi usahatani petani ke BPTP di Ibu Kota Provinsi Jambi(sekitar 180 km). Tabel 7. Sumber Informasi PTT Kedelai di Lokasi Pengkajian

No. Komponen Teknologi Sumber Informasi Teknologi (%)

A B C D E F G H

1 VUB 4.4 8.9 57.8 2.2 5.6 5.6 0.0 15.6

2 Bibit Bermutu 10.0 12.2 48.9 8.9 15.6 2.2 0.0 2.2

3 Rouging Tan. Kedelai 6.7 8.9 60.0 7.8 5.6 1.1 0.0 10.0

4 Pupuk berimbang 1.1 8.9 60.0 14.4 6.7 3.3 0.0 5.6

5 PHT 1.1 11.1 36.7 11.1 7.8 8.9 0.0 23.3

6 Bahan Orgaik 1.1 10.0 47.8 15.6 14.4 6.7 0.0 4.4

7 Umur Bibit 5.6 11.1 54.4 12.2 12.2 1.1 2.2 1.1

8 Olah tanah yg baik 8.9 7.8 50.0 10.0 13.3 4.4 1.1 4.4

9 Pengelolaa air optimal

2.2 7.8 51.1 6.7 13.3 5.6 0.0 13.3

10 Pupuk cair 3.3 6.7 65.6 10.0 11.1 0.0 0.0 3.3

11 Panen dan pasca panen

3.3 4.4 66.7 7.8 11.1 5.6 0.0 1.1

PTT kedelai 4.3 8.9 54.4 9.7 10.6 4.04 0.3 7.7

Urutan prioritas 6 4 1 3 2 7 8 5

Keterangan: A = Dari peneliti BPTP ; B = Dari penyuluh BPTP ; C = Dari penyuluh BPP ; D= Dari pejabat Bakorluh/Bapeluh; E = Dari aparat Dinas Teknis terkait ; F = Dari sesama petani dalam desa; G = Dari petani luar desa , dan H = Dari sumber lainnya Penyaluran informasi dari sumber informasi kepada petani dilakukan melalui wahana (media) yang beragam (Tabel 8).

Tabel 8. Proporsi Penggunaan Media dalam Penyebaran Teknologi PTT Kedelai di Lokasi Pengkajian

No Media Persentase Urutan

1 Demplot 12,60 III 2 Gelar Teknologi 4,88 VI 3 Temu Lapang 36,99 I 4 Temu Informasi (seminar) 2,03 X 5 Temu Aplikasi Teknologi 3,93 VIII 6 Temu Tugas 2,30 IX 7 Lembar Informasi Pertanian 7,05 V 8 Petunjuk Teknis 10,16 IV 9 Kunjungan Lapang 14,63 II 10 Lainnya 11,66

Jumlah 100

1031

Petani di Kabupaten Tebo menerima informasi teknologi itu lebih dari 9 jenis media. Namun berdasarkan proporsi responden yang mengapresiasi media tersebut, media paling efektif menjadi wahana penyampaian informasi teknologi di lokasi pengkajian adalah temu lapang, diikuti kunjungan lapang, dan demplot. Kelayakan Usahatani Kedelai

Kelayakan usahatani kedelai didasarkan atas kriteria kelayakan investasi. Hasil analisis berdasarkan perhitungan diskonto dan analisis sensitifitas dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini:

Tabel 9. Nilai B/C Ratio Usahatani Kedelai

No Uraian Net R/C 1. Keadaan Normal 1,58 2. Biaya Naik 20 % 1,30 3. Pendapatan Turun 10% 1,56

Berdasarkan table 11 tersebut dapat dilihat bahwa usahatani kedelai dalam keadaan

normal B/C ratio >1 yaitu 1,58, hal ini menggambarkan bahwa usahatani kedelai di daerah penelitian menguntungkan bagi petani dan sangat layak untuk dilaksanakan.

Hasil ini juga diperkuat dengan hasil analisis sensitifitas (analisis kepekaan) dapat dilihat hasil yang diperoleh dengan asumsi menaikkan biaya produksi sebesar 20% dan menurunkan pendapatan 10%. Hasil asumsi tersebut menunjukkan bahwa untuk kenaikan biaya produksi 20% diperoleh B/C ratio > 1 yaitu 1,30 hal ini menggambarkan bahwa usahatani kedelai di daerah penelitian masih menguntungkan dan pada saat diturunkan pendapatan 10 % diperoleh B/C ratio diperoleh 1,56 juga menggambarkan bahwa usahatani kedelai di daerah penelitian masih tetap menguntungkan.

Dampak Pendampingan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Kedelai

Hasil analisis pada Tabel 12, ada t Stat dengan nilai -0.4881884 yang merupakan nilai t Stat atau nilai t hitung. Adapun nilai t tabel pada gambar itu ditunjukkan oleh t Critical Two-tall. Pada t-Test: Paired Two Sample for Means 6. Hasil akhir analisis uji t dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. t-Test: Paired Two Sample for Means

Hasil analisis pada Tabel 12menunjukkan bahwa: t hitung (-0.4881884) < t tabel

(1.987289823). Artinya: Ho ditolak dan H1 di terima, sehingga dari kajian ini disimpulkan: Produktivitas kedelai yang dihasilkan petani sebelum didampingi tidak sama ( ≠ )dengan produktivitas kedelai yang dihasilkan petani setelah dilakukan pendampingan.

100 200

Mean 627.4157303 666.6966292

Variance 838451.2002 267642.7365

Observations 89 89

Pearson Correlation 0.559290243 Hypothesized Mean Difference 0 df 88 t Stat -0.4881884 P(T<=t) one-tail 0.313315321 t Critical one-tail 1.66235403 P(T<=t) two-tail 0.626630642 t Critical two-tail 1.987289823

1032

Dengan kata lain: kegiatan pendampingan teknologi kepada petani kedelai memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap adopsi teknologi yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan produktivitas kedelai yang dihasilkan petani yang di dampingi.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Usahatani kedelai di daerah penelitian menguntungkan bagi petani dan sangat layak untuk dilaksanakan denganB/C ratio 1,58..

2. Produktivitas kedelai yang dihasilkan petani sebelum didampingi tidak sama dengan produktivitas kedelai yang dihasilkan petani setelah dilakukan pendampingan.

3. Tingkat adopsi inovasi teknologi pada pendekatan PTT kedelai di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi relatif masih rendah, karena faktor pengetahuan petani yang relatif rendah dan fasilitasi kebutuhan sarana produksi yang tidak tepat waktu dan atau tidak tersedia di tempat.

4. Implikasi dari hasil kajian ini, menuntut perlunya peningkatan intensitas pendampingan yang berorientasi untuk meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi PTT kedelai dan memfasilitasi kemudahan penyediaan sarana produksi pendukung. Wujud pendampingan yang efektif disarankan berupa temu lapang, kunjungan lapang dan pembuatan percontohan (demplot)

5. Perlu pengkajian lebih mendalam terutama untuk membuat suatu model percepatan adopsi inovasi teknologi PTT kedelai di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M Muchlish dan Ayda Krisnawati. 2013. Keragaan hasil dan kompoenen hasil biji kedelai pada berbagai agroekosistem. Prosiding Seminar Nasiional Hasil Penelitian Tanaman Pangan Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2013.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2013. Jambi Dalam Angka Tahun 2012

Baldwin, John R and Mohammed Rafiquzzaman. 1998. The Determinant of The Adoption Lag for Advanced Manufacturing Technologies. Management of Technology, Sustainable Development and Eco-Efficiency. Elsevier Science Ltd, UK

Bappeda Provinsi Jambi. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi 2010-2015. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi. Jambi.

Cipto Nugroho dan Sarjoni. 2013. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai pada lahan kering podzolik merah kuning di Kabupaten Konawe Selatan. Prosiding Seminar Nasiional Hasil Penelitian Tanaman Pangan Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2013.

Dinas Pertanian Provinsi Jambi. 2014. Sasaran Produksi Tanaman Pangan Tahun 2014.

Dirjentan. 2014. Pedoman Teknis Sekolah lapangan Pengelolaan Tanaman terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2014. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.

Gujarati. 1998. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta

Hendayana, R., Wayan Sudana, A.Rafiq, Zakiah dan Harmi Andryanita. 2010. Strategi Percepatan Adopsi Varietas Kedelai UnggulDi Agroekosistem Lahan Pasang Surut dan LebakKasus Di Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah. Makalah dipresentasikan di Graha Widya Bhakti - Puspitek Serpong, Tangerang, 29 Desember 2010

1033

Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya: Jakarta. Kasim, S. A. 2006 Ilmu Usahatani. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Unlam,

Banjarbaru.

Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Mentri Pertanian No.45/Permentan/OT.140/8/2011 tentang Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan dan Penyuluhan Pertanian Dalam Menudkung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).

Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Teradu padi dan jagung Tahun 2013. Kementerian ertanaian. Direktorat Jenderal Tanaman Panagan.

Kenneth F.G Masuki, 2009. Determinants of Farm-level Adoption of Water Systems Innovations in Dryland Areas: The Case of Makanya Watershed in Pangani River Basin, Tanzania

Linder, Pardey, dan Jarrett, 1982. Distance To Information Source And The Time Lag Early Adoption Of Trace Element Fertilizer. Working Paper 82-2. Departement Of Economics University Of Adelaide

Mundy, P., 2000. Adopsi dan Adapasi Teknologi Baru. PAATP. Bogor

Rogers,E. M., 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition, The Free Press, New York.

Simatupang, P., 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Siti Muzainah dan Subandi. 2013. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif dan hasil tanaman kedelai pada lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Pangan Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2013.

Slamet, M., 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan Dalam Pembangunan. Dalam H.R. Pambudy dan Andriyono K Adhi (Editors). Pros. Seminar Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda. Bogor

Soekartawi. 1986.Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.UI-Press. Jakarta

Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press Stanley Wood, Liangzhi You dan Wilfred Baitx, 2001.International Food Policy Research

Institute, Washington, D.C.

Subagiyo, 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8 No 2. Pusat Penelitian dan Penembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Sukartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UIP Pres

Suratiyah, Ken. 2011. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya.

1034

STATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DALAM KONSISTELASI MEA DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN BARAT

Gontom C. Kifli1) dan Erwan Wahyudi 2)

BPTP Kalimantan Barat, BPTP Jambi

Jl. Budi Utomo 45 Pontianak Jl. Samarinda Paal V Kotabaru Jambi,

ABSTRAK Penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami pasang surut dengan beragam

dinamikanya. Perkembangan terakhir pada tahun 2008 dengan adanya rekrutmen tenaga lepas pembantu penyuluh pertanian (THL TBPP) dan pemberdayaan penyuluh pertanian swadaya merupakan upaya pemerintah dalam merespon minimnya tenaga penyuluh pertanian atau PPL. Peran penyuluh pertanian tetap dirasakan sangat penting dan menjadi kunci di dalam keberhasilan pembangunan pertanian di suatu daerah, karena penyuluh pertanian merupakan agen yang menjembatani inovasi antara penghasil inovasi teknologi pertanian dengan penggunanya terutama petani, terlebih dalam era MEA saat ini yang menuntut profesionalisme dan tingginya daya saing. Tujuan kajian adalah memetakan kondisi dan posisi penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat saat ini dan merancang strategi penyuluhan pertanian yang sesuai dengan kondisi Kalimantan Barat yang memiliki wilayah yang berbatasan dengan Malaysia terkait dengan konstelasi MEA. Kajian dilakukan dengan metode analisis statistik deskriptif yang kemudian diterjemahkan dalam pembahasan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembangunan pertanian melalui penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan negara memiliki nilai strategis dan potensi yang tinggi berupa sebagian besar penyuluh pertanian berada dekat dan di sekitar wilayah perbatasan, jumlah minimal ideal penyuluh pertanian telah mencukupi sesuai ketentuan yang ada. Strategi penyuluhan pertanian yang sebaiknya dilakukan di wilayah perbatasan tersebut, kaitannya dengan konstelasi MEA adalah berupa; mengintegrasikan pembangunan pertanian melalui kegiatan penyuluh pertanian di dalam kerangka program atau kegiatan terpadu lokal dan nasional di wilayah perbatasan yang telah ada dan ditetapkan. Diperlukan regenerasi para penyuluh pertanian dari penyuluh senior kepada penyuluh yang lebih muda. Strategi lainnya adalah dengan membenahi, memantapkan dan menetapkan struktur organisasi penyuluhan pertanian terakhir adalah dengan memberdayakan penyuluh swadaya dengan melibatkan atau mengikutsertakan penyuluh swadaya dalam seluruh kegiatan atau program penyuluh pertanian di wilayahnya.

Kata kunci: Peran penyuluh, peningkatan daya saing, konstelasi MEA, wilayah perbatasan

dan Kalimantan Barat.

1035

PENDAHULUAN Provinsi Kalimantan Barat merupakan salahsatu provinsi yang memiliki wilayah

perbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia. Terdapat 5 kabupaten yang memiliki perbatasan tersebut adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Selain 5 Kabupaten tersebut, terdapat Kota Singkawang, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Landak yang memiliki wilayah strategis, karena dekat dengan wilayah perbatasan negara Malaysia. Wilayah-wilayah kabupaten perbatasan tersebut sebagian besar memiliki potensi wilayah pengembangan pertanian dan perkebunan. Wilayah pertanian yang diusahakan oleh petani adalah merupakan lahan pasang surut dan lahan kering, serta untuk wilayah perkebunan, umumnya diusahakan untuk karet, kelapa dan kelapa sawit, serta sebagian kecil untuk tanaman lada. Perkebunan sawit terbagi dalam pengusahaannya menjadi perkebunan besar dan perkebunan rakyat.

Kawasan perbatasan negara, yang termasuk 5 kabupaten tersebut, termasuk di dalam kawasan strategis nasional, seperti tertuang di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan. Penetapan kawasan tersebut didasarkan kepada pertimbangan berbagai aspek pembangunan nasional, diantaranya pemerataan pembangunan dan menjadikan wilayah perbatasan negara menjadi halaman depan negara, yang selama ini wilayah perbatasan kurang mendapatkan perhatian dibandingkan wilayah ibukota. Penetapan kawasan strategis tersebut sejalan dengan paradigma konstelasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini, yang salahsatu aspek penting adalah terbukanya pasar barang dan jasa antar negara di dalam negara anggota ASEAN dan nilai penting di dalam MEA yang menjadi perhatian dan harus disikapi dari pasar bebas tersebut adalah daya saing, yang secara generik dikatakan bahwa pemenang adalah yang memiliki daya saing tinggi atau yang dapat bersaing.

Produktivitas komoditas pertanian secara umum akan dipengaruhi oleh lingkungan dan pengelolaannya, salahsatu diantaranya adalah inovasi teknologi pertanian. Inovasi teknologi tersebut merupakan faktor dari luar petani yang diintroduksikan melalui agen inovasi, seperti penyuluh pertanian. Penyuluh pertanian merupakan salahsatu yang disebutkan oleh Rogers (2003) sebagai change agent atau agen perubahan, yang difungsikan untuk mengubah perilaku klien menjadi lebih baik seperti yang diinginkan oleh agen. Klien dalam konteks pembangunan pertanian adalah petani, serta perubahan perilaku adalah perubahan sistem berusaha tani yang dilakukan petani yang bermuara pada terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

MEA telah berlaku saat ini dan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian melalui sistem penyuluhan pertaniannya. Tantangan tersebut berupa formulasi strategi penyuluhan yang tepat untuk wilayah perbatasan negara dalam mendukung pembangunan pertanian di Kalimantan Barat, baik ditinjau dari aspek hasil produksi pertanian sebagai komoditas komersial maupun aspek sumber daya manusia penyuluh pertanian, sehingga kondisi ini menarik untuk dilakukan penelitian atau kajian dalam mendapatkan strategi tersebut. Permasalahan 1. Bagaimanakah posisi dan kondisi penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat saat ini,

khususnya di wilayah perbatasan negara? 2. Bagaimanakah rancangan strategi penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan negara di

Kalimantan Barat dalam konstelasi MEA? Tujuan 1. Memetakan posisi dan kondisi penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan Kalimantan

Barat saat ini. 2. Merancang strategi sistem penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan negara di

Kalimantan Barat dalam konstelasi MEA.

1036

BAHAN DAN METODE Metode kajian atau penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan

menggunakan analisis statistik deskriptif dan pengambilan data sekunder yang didapatkan dari koleksi data penyuluhan lingkup Kalimantan Barat yang didapatkan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Kalimantan Barat. Data tersebut selanjutnya diolah dan kemudian diartikan dan dimaknai dan dibahas untuk mendapatkan kesimpulan. Data penyuluhan meliputi 14 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Kalimantan Barat, khususnya kabupaten yang memiliki perbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia.

HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Kalimantan Barat memiliki wilayah beberapa kabupaten yang berbatasan

langsung dengan negara tetangga Malaysia dengan negara bagiannya Serawak. Ibukota Serawak adalah Kuching, yang berjarak + 132 km atau jarak tempuh kendaraan 2 jam 30 menit dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di Kabupaten Sanggau. Kabupaten lainnya selain Kabupaten Sanggau, yang berbatasan dengan wilayah Serawak Malaysia adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten lain yang berada di sekitar perbatasan namun dekat dengan wilayah perbatasan adalah Kota Singkawang, Kabupaten Landak dan Kabupaten Sekadau.

Kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan wilayah perbatasan, sebagian besar merupakan lahan kering dan lahan pasang surut yang saat ini peruntukkannya digunakan untuk lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan sebagian lainnya menjadi wilayah hutan (Gambar 1). Kondisi tersebut menjadi tantangan dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Pemanfaatan lahan kering tersebut umumnya diusahakan oleh petani dengan komoditas padi lahan kering dan palawija, terutama jagung. Kabupaten Bengkayang menjadi sentra produksi jagung di Kalimantan Barat saat ini, data Badan Pusat Statistik Provinsi (BPS) Kalimantan Barat (2015) menunjukkan luas tanam jagung mencapai 25.640 Ha dengan produktivitas rata-rata 4,05 ton/Ha pada tahun 2014. Sementara itu, Kabupaten Sambas menjadi sentra produksi padi lahan pasang surut dengan luas panen 92.152 Ha dan produktivitas rata-rata 3,342 ton/Ha. Perkebunan sawit yang diusahakan oleh perusahaan besar dan rakyat hampir merata di seluruh Kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan negara Malaysia.

Gambar 1. Peta penggunaan lahan Kalimantan Barat.

Malaysia

1037

Sumber: Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015)

Wilayah dengan selain warna putih pada Gambar 1 di atas menunjukkan lahan yang dapat digunakan sebagai fungsi hutan. Wilayah tersebut sebagian besar telah digunakan untuk pengusahaan pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Kondisi tersebut menunjukkan masih luas dan berpotensinya wilayah tersebut untuk pengembangan produksi dan produktivitas pertanian, terutama untuk pertanian lahan kering dan lahan pasang surut. Potensi upaya peningkatan produksi dan produktivitas komoditas tanaman pangan masih tinggi, karena produksi dan produktivitas komoditas utama tanaman pangan di Kalimantan Barat relatif masih rendah, terutama untuk produksi padi sawah (pasang surut) maupun padi lahan kering. Hasil produksi dan produktivitas beberapa tanaman pangan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil produksi dan produkstivitas beberapa tanaman pangan di Provinsi Kalimantan

Barat Tahun 2014 No. Komoditas Produksi

(ton) Provitas rata-rata

(Ton/Ha) Provitas rata-rata

Nasional (Ton/Ha) 1. Padi 1.372.696 3,035 5,280 Padi pasang surut 1.197.984 3,357 t.a Padi ladang 174.712 1,831 t.a 2. Jagung 135.461 3,679 5,170 3. Kedelai 3.161 1,560 1,560 Sumber: BPS Kalimantan Barat (2015)

Produksi dan produktivitas padi maupun palawija yang belum maksimal sesuai potensi yang dimiliki dan produktivitas rata-rata nasional (Tabel 1), untuk komoditas padi dan jagung, kecuali untuk kedelai, memberikan peluang untuk dilakukan rekayasa teknologi guna peningkatan produksi melalui introduksi dan adopsi inovasi teknologi pertanian. Inovasi teknologi pertanian yang telah sesuai dengan agroekosistem wilayah pengembangan setempat merupakan inovasi teknologi spesifik lokasi. Badan Litbang Pertanian (2013) menjelaskan bahwa inovasi teknologi spesifik lokasi adalah suatu hasil kegiatan pengkajian yang memenuhi kesesuaian lahan dan agroklimat setempat. Inovasi teknologi pertanian sangat erat kaitannya dengan peran dan fungsi penyuluh pertanian karena di dalam inovasi tersebut terkandung hal, ide dan teknologi baru dan terus berkembang yang dibutuhkan oleh petani sebagai pelaku utama dalam meningkatkan dan mengembangkan usahataninya.

Peran penyuluh pertanian sebagai agen perubahan (change agent) tetap relevan dalam kondisi saat ini. Agen perubahan menurut Tan (1987) merupakan bagian dari sistem perubahan atau change system dari komponen sistem penyuluhan, yang memiliki peran umum sebagai penghubung antara penghasil teknologi dan sistem klien (pengguna teknologi), sedangkan peran penghubung tersebut memiliki tugas untuk mendiseminasikan inovasi teknologi spesifik lokasi sehingga dapat dipahami dan diadopsi oleh klien, yaitu petani. Penyuluh pertanian di Indoensia pada saat ini, secara umum dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu Penyuluh Pertanian Lapangan Pegawai Negeri Sipil (PPL PNS), Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP), Penyuluh swadaya dan Penyuluh swasta. Komposisi penyuluh pertanian di Kalimantan Barat saat ini dapat diamati pada Tabel 1.

1038

Tabel 2. Komposisi dan jumlah penyuluh pertanian di Kalimantan Barat Tahun 2015

No. Propinsi/Kab/Kota PPL PNS THL TBPP Swadaya Jumlah Persen ………………..(orang)………………..

1. Propinsi 12 - - 12 0,73 2. Sambas 80 71 93 244 14,82 3. Bengkayang 39 72 34 145 8,81 4. Landak 88 60 13 161 9,78 5. Sanggau 53 47 74 174 10,57 6. Sintang 80 22 27 129 7,84 7. Kapuas Hulu 79 54 13 146 8,87 8. Sekadau 40 30 11 81 4,92 9. Kota Singkawang 27 7 2 36 2,19

10. Mempawah 65 3 24 92 5,59 11. Ketapang 64 49 - 113 6,87 12. Melawi 32 20 53 105 6,38 13. Kayong Utara 22 6 - 28 1,70 14. Kubu Raya 56 19 82 157 9,54 15. Kota Pontianak 6 1 16 23 1,40

Jumlah 741 461 442 1.644 100,00 Persentase (%) 45,07 28,04 26,89

Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2015 Keterangan:Kabupaten yang ditulis miring berbatasan langsung dan dekat dengan

perbatasan Negara Malaysia.

Penyuluh pertanian di 8 kabupaten/kota yang berbatasan dan dekat dengan perbatasan wilayah negara Malaysia, termasuk banyak atau mendominasi, yaitu sebesar 67,8% dari jumlah total penyuluh di Kalimantan Barat, serta penyuluh pertanian di Kabupaten Sambas memiliki jumlah yang paling banyak di antara penyuluh pertanian kabupaten lainnya. Kondisi tersebut sesuai dengan kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM), terutama SDM dalam konteks pembangunan pertanian di wilayah perbatasan. SDM penyuluh pertanian di Kalimantan Barat saat ini sebanyak 1.644 orang. Jumlah perbandingan minimal ideal penyuluh adalah 1 orang untuk satu desa seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Bab V Pasal 46 Nomor (4), maka untuk wilayah Kalimantan Barat dengan jumlah desa sebanyak 1.737 desa (Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2015), diperlukan sedikitnya 1.737 orang penyuluh pertanian, maka dengan demian kekurangan jumlah penyuluh pertanian yang diperlukan adalah sebanyak 93 orang. Jumlah penyuluh pertanian yang dimiliki tersebut relatif telah cukup terpenuhi (94,6%), sehingga dalam segi sumber daya manusia, kebutuhan tersebut hanya memerlukan sedikit tambahan.

Perbandingan ideal dari keperluan penyuluh pertanian termasuk di wilayah perbatasan di Kalimantan Barat, telah terpenuhi, sehingga langkah selanjutnya adalah menetapkan atau meningkatkan kualitas dari SDM penyuluh pertanian yang telah ada tersebut. Komposisi penyuluh pertanian PPL PNS di Kalimantan Barat sebagian besar memiliki jenjang pendidikan terakhir sarjana atau yang sederajat, yaitu sebanyak 49,19% dari jumlah total PPL PNS yang ada (Tabel 3). Kondisi tersebut menjadi potensi yang cukup ideal di dalam mendukung penyuluh pertanian di Kalimantan Barat, termasuk di wilayah perbatasan.

1039

Tabel 3. Pendidikan PPL PNS di Kalimantan Barat Tahun 2015

Pendidikan Jumlah Orang Persentase SMP/ sederajat 1 0,13

SMA/ sederajat 216 29,03 Diploma-1 3 0,40 Diploma-3 112 15,05 Diploma-4 40 5,38

Sarjana/ sederajat 366 49,19 Pascasarjana/ S2 6 0,81 Jumlah 744 100,00

Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2015

Penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat, selain didukung dengan tingkat pendidikan PPL PNS di Kalimantan Barat yang sebagian besar adalah sarjana, didukung juga oleh tingkat pendidikan penyuluh pertanian lainnya, yaitu THL TBPP, yang seluruhnya berpendidikan sarjana atau yang sederajat. THL TBPP merupakan penyuluh pertanian yang dikontrak kerjasamakan oleh pemerintah dengan salah satu syarat saat perekrutannya adalah memiliki pendidikan minimal sarjana atau tingkat S-1, sehingga dengan demikian sebagian besar penyuluh pertanian di Kalimantan Barat memiliki pendidikan sarjana atau yang sederajat. Potensi pendidikan yang dimiliki SDM penyuluh pertanian tersebut diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang berdampak positif dan menguntungkan bagi sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat, sehingga secara langsung dapat memperlancar proses terjadinya adopsi dan difusi inovasi teknologi spesifik lokasi, baik oleh penyuluh pertanian sendiri dan terutama oleh pengguna yaitu petani. Muara dari diadopsinya inovasi teknologi pertanian adalah meningkatnya produksi, produktivitas, pendapatan ekonomi rumah tangga dan kesejahteraan petani.

Komposisi umur penyuluh pertanian, khusunya PPL PNS saat ini menunjukkan bahwa umur PPL PNS didominasi oleh kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 42,07% dari jumlah PPL PNS yang ada dengan rata-rata umur 46 tahun. Kelompok umur tersebut secara tersirat mengindikasikan bahwa kelompok umur dengan jumlah terbanyak sebesar 42,07% tersebut, diduga pada 1-10 tahun kemudian akan memasuki atau menjadi pensiun/purna tugas, sehingga diperlukan upaya-upaya yang dirancang dan dilakukan dalam mempersiapkan terjadinya regenerasi atau peralihan generasi dari generasi senior dan mapan akan pengalaman menyuluh kepada yang lebih muda dan masih banyak memerlukan bimbingan dan pendampingan dalam melakukan penyuluhan. Upaya regenerasi tersebut akan sangat penting, mengingat penyuluh muda relatif masih minim pengalaman, selain itu diperkirakan di masa mendatang, termasuk di dalam era MEA, tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan penyuluhan akan lebih berat.

Tabel 4. Lama pengalaman menyuluh PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2015

Lama pengalaman

(tahun) Jumlah

Orang Persentase 4 – 16 156 20,97 17 – 29 275 36,96 30 – 42 313 42,07

Jumlah 744 100,00 Rata-rata 25,74 + 9,45 tahun

Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2015.

1040

Pengalaman dalam melakukan penyuluhan pertanian dari PPL PNS memiliki variasi yang dapat digolongkan kepada tiga golongan (Tabel 4). Sebagian besar PPL PNS sebesar 42,07% dari jumlah keseluruhan, memiliki pengalaman yang lama, serta rata-rata pengalaman melakukan penyuluhan dari seluruh PPL PNS adalah selama 25,74 tahun, yang berarti telah cukup lama. Kondisi tersebut menjadi potensi di dalam melakukan penyuluhan lapangan yang dilakukan PPL PNS. Lamanya pengalaman tersebut secara langsung berarti telah banyak mengalami berbagai kondisi penyuluhan yang telah dialami, sehingga memiliki berbagai pengetahuan tentang penyuluhan pertanian, baik teknis, pendekatan, metode dan kebijakan, sehingga pengalaman tersebut dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan kapasitas dalam melaksanakan tugasnya, selain itu pengalaman tersebut menjadi bahan atau materi di dalam upaya berbagi ilmu dan pengetahun dengan penyuluh pertanian yang lebih muda, termasuk penyuluh pertanian THL TBPP yang masih belum lama menjadi penyuluh pertanian.

Bidang keahlian penyuluh pertanian, beberapa mengalami perubahan istilah atau orientasi, yaitu polivalen dan monovalen, asal kata dari valent yang berarti bernilai. Polivalen dalam istilah penyuluh pertanian di Indonesia berarti seorang penyuluh menangani beberapa bidang sub-bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perkebunan dan perikanan, sedangkan monovalen berarti penyuluh tersebut menangani hanya dalam bidang tertentu saja sesuai bidang keahliannya atau potensi bidang pertanian di wilayah kerjanya. Orientasi bidang tugas tersebut pernah beberapa kali berubah dari monovalen menjadi polivalen kemudian kembali ke monovalen dan menjadi polivalen kembali.

Tabel 5. Bidang keahlian PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2015

Bidang keahlian Jumlah

Orang Persentase Tanaman pangan 609 81,85

Peternakan 61 8,20 Perkebunan 49 6,59 Hortikultura 25 3,36

Jumlah 744 100,00 Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan

Prov. Kalimantan Barat, 2015

Komposisi bidang keahlian PPL PNS di Kalimantan Barat memiliki ragam bidang keahlian (Tabel 5). Kondisi bidang keahlian PPL PNS di Kalimantan Barat, umumnya sesuai dengan potensi wilayah tersebut, seperti di Kabupaten Sambas dan Kota Singkawang yang sebagian besar PPL PNS nya memiliki bidang keahlian tanaman pangan sesuai wilayah Kabupaten Sambas yang sebagian besar lahannya diusahakan untuk tanaman pangan terutama padi, sedangkan wilayah Kabupaten Sanggau dan Sekadau sebagian besar penyuluhnya memiliki bidang keahlian dan tanaman pangan dan perkebunan, sesuai dengan lahan yang dimiliki yang sebagian diusahakan untuk tanaman pangan, perkebunan karet dan sawit.

Pada saat ini penetapan orientasi tugas tersebut diserahkan kepada kebijakan masing-masing kabupaten. Terdapat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing orientasi tugas tersebut, sehingga diperlukan pertimbangan tertentu bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan pola orientasi tersebut. Namun demikian, kondisi di lapangan di tingkat petani, kebutuhan petani akan informasi, pengetahuan dan inovasi tidak umumnya mencakup semua sub-bidang pertanian, karena terdapat petani yang memiliki dan mengusahakan tanaman pangan, ternak dan juga sekaligus kebun, sehingga dengan keterbatasan SDM penyuluh pertanian yang ada, maka orientasi penyuluh selayaknya bersifat polivalen, sehingga dapat menjawab semua informasi, pengetahun dan inovasi yang diperlukan petani.

Strategi dalam konstelasi MEA di perbatasan

Kondisi penyuluh pertanian di Kalimantan Barat yang telah diuraikan, khususnya di wilayah perbatasan terkait dengan konstelasi MEA,memberikan gambaran secara umum

1041

pada saat ini, bahwa; 1) Jumlah penyuluh pertanian di beberapa kabupaten di wilayah perbatasan merupakan bagian terbesar dari seluruh jumlah penyuluh pertanian yang ada saat ini, 2) Jumlah minimal ideal penyuluh yang diperlukan setiap desa telah tercukupi, 3) Rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki oleh penyuluh pertanian telah cukup baik atau tinggi, 4) Rata-rata lama pengalaman menyuluh dari penyuluh pertanian, terutama PPL PNS, adalah telah lama atau banyak pengalaman, sehingga menjadi hal yang positif. Adapun hal yang berpotensi menjadi penghambat dalam pengembangan penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan di era MEA tersebut adalah; 1) Umur para PPL PNS yang hampir setengahnya berumur di atas 50 tahun dan mendekati umur pensiun atau purna tugas PNS, sehingga dapat berpengaruh terhadap aktivitas fisik penyuluhannya, 2) komposisi bidang keahlian yang dimiliki PPL PNS yang kurang seimbang dan didominasi oleh bidang keahlian tanaman pangan, sedangkan di tingkat lapangan, yaitu petani, memerlukan informasi, pengetahun dan keterampilan bidang lainnya seperti perkebunan, peternakan dan hortikultura.

Potensi positif yang dimiliki dan potensi penghambat dalam mengembangkan penyuluhan pertanian di wilayah perbatasan dalam konstelasi MEA, memberikan alternatif solusi pengembangan penyuluhan berupa strategi sebagai berikut; 1) Mengintegrasikan seluruh kegiatan penyuluhan pertanian dan mengikut sertakan

penyuluh pertanian dalam beberapa model pengembangan kawasan perbatasan, seperti di dalam program agropolitan dan desa kebun wilayah perbatasan seperti yang ditetapkan oleh BAPPENAS (2003), yaitu menetapkan bahwa agropolitan merupakan sistem manajemen dan tatanan terhadap suatu kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan bagi kegiatan ekonomi berbasis pertanian (agribisnis/ agroindustri). Dalam kawasan agropolitan masyarakat diharapkan akan berubah dari masyarakat pertanian tradisional menjadi masyarakat perkebunan/pertanian komersial. Pasar dari produk pertanian dan perkebunan yang dihasilkan dapat dipasarkan di kota-kota kecil perbatasan, baik didalam maupun luar negeri. Selain itu, pengembangan penyuluhan pertanian sebaiknya terintegrasi dengan program pemerintah lainnya yang telah ditetapkan, seperti pada Rakeppres Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan yang diwujudkan dengan dibentuknya Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) dan salah satunya menurut Edyanto (2007) mengandalkan kepada sektor pertanian, karena memiliki nilai LQ tertinggi dan memiliki nilai lebih dari 1,0 di Kabupaten Sambas, yang diharapkan dapat mengungkit dan mendorong sektor lain di wilayah tersebut. Pengembangan pertanian di kawasan perbatasan selayaknya terintegrasi sesuai Rencana Kawasan Budidaya Bab V Pasal 54 Perpres Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2015Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan mengenai kawasan budidaya.

2) Meningkatkan kapasitas penyuluhan pertanian di 8 kabupaten wilayah perbatasan dengan cara membenahi kembali struktur organisasi penyuluhan pertanian di masing-masing kabupaten dengan memperhatikan integrasi, koordinasi dan konsolidasi dengan dinas, badan atau lembaga lain di kabupaten dan provinsi lingkup pertanian, sehingga diharapkan akan terjadi struktur organisasi penyuluhan pertanian yang jelas, terintegrasi dan solid, seperti yang diungkapkan oleh Mardikanto (2007), bahwa organisasi penyuluhan pertanian selayaknya memanfaatkan sumberdaya pembangunan (terintegrasi) dengan yang telah ada di wilayahnya.

3) Melakukan regenerasi SDM penyuluhan pertanian dengan memberdayakan penyuluh senior baik dari PPL PNS atau penyuluh swadaya sebagai nara sumber dalam pendidikan non-formal kepada penyuluh muda atau junior dengan memberikan ilmu, pengetahuan dan pengalaman penyuluhan melalui diskusi atau berbagi pengetahuan dan pengalaman, sehingga terjadi perpindahan ilmu, pengetahuan dan pengalaman penyuluhan yang bermanfaat bagi penyuluh junior.

4) Melakukan regenerasi penyuluh pertanian dengan mempersiapkan SDM THL-TBPP sebagai penyuluh pertanian yang handal di masa depan, salah satunya dengan memastikan status dan posisi THL-TBPP menjadi PPL PNS, sehingga memberikan kepastian peran kepada THL-TBPP dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian di masa mendatang.

1042

5) Melakukan peningkatan SDM penyuluh pertanian dengan memberikan pendidikan dan pelatihan jangka panjang, menengah maupun jangka pendek dengan bidang yang sesuai dengan kebutuhan instansi dan wilayah kerja penyuluhannya, sehingga terjadi konsistensi peningkatan ilmu, pengetahun dan keterampilan penyuluh dengan kebutuhan lingkungan dan eranya.

6) Memberdayakan kelompok penyuluh swadaya sesuai mandat Undang-Undang No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bab V Pasal 17 dengan memberikan kesempatan yang lebih luas dengan melibatkan penyuluh swadaya dalam seluruh proses penyuluhan pertanian di wilayahnya, mengingat penyuluh swadaya merupakan juga tokoh masyarakat yang dianggap berhasil dan berperan di dalam pembanguan pertanian di wilayahnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan adopsi inovasi dan difusi atau diseminasi inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi kepada penggunanya yaitu petani.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil kajian dan pembahasan mengenai strategi penyuluhan pertanian dalam

konstelasi MEA di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, menghasilkan kesimpulan dan saran sebagi berikut;

1) Pembangunan pertanian melalui penyuluhan pertanian di beberapa kabupaten yang

berdekatan dan berbatasan dengan wilayah perbatasan negara memiliki nilai strategis dan potensi yang tinggi berupa; sebagian besar penyuluh pertanian berada dekat dan di sekitar wilayah perbatasan dengan negara Malaysia, jumlah minimal ideal penyuluh pertanian telah mencukupi sesuai ketentuan yang ada, tingkat pendidikan rata-rata penyuluh pertanian didominasi oleh lulusan sarjana, lama pengalaman rata-rata PPL PNS cukup lama. Namun demikian diperlukan regenerasi para penyuluh pertanian dari penyuluh senior kepada penyuluh yang lebih muda, sehingga diharapkan akan terjadi trasnfer ilmu, pengetahun, keterampilan yang bermanfaat bagi pembangunan pertanian di wilayah perbatasan tersebut.

2) Strategi penyuluhan pertanian yang sebaiknya dilakukan di wilayah perbatasan tersebut,

kaitannya dengan konstelasi MEA adalah berupa; mengintegrasikan pembangunan pertanian melalui kegiatan penyuluh pertanian di dalam kerangka program atau kegiatan terpadu lokal dan nasional di wilayah perbatasan yang telah ada dan ditetapkan, seperti program agropolitan, KPE dan lainnya. Strategi lainnya adalah dengan membenahi, memantapkan dan menetapkan struktur organisasi penyuluhan pertanian, sehingga terintegrasi secara internal maupun ekternal dengan instansi di wilayahnya. Strategi terakhir adalah dengan memberdayakan penyuluh swadaya dengan melibatkan atau mengikutsertakan penyuluh swadaya dalam seluruh kegiatan atau program penyuluh pertanian di wilayahnya, mengingat potensi yang tinggi dari keberadaan penyuluh pertanian tersebut dalam upaya meningkatkan adopsi dan difusi inovasi teknologi spesifik lokasi di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 2015. Buku Data Penyusunan Data Base Penyuluhan Provinsi Kalimantan Barat. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Klaimantan Barat. Pontianak

Badan Litbang Pertanian. 2013. Panduan Umum Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2015. Kalimantan Barat dalam Angka. BPS Kalimantan Barat. Pontianak

1043

Bappenas. 2003. Strategi Dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional Bappenas. Jakarta

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan .2015. Peta Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi untuk Usaha Pemanfaatan Hutan Provinsi Kalimantan Barat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta

Edyanto, H. 2007. Pengembangan Ekonomi Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 9 No. 3. BPPT. Jakarta

Mardikanto, T. 2007. Sistem Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Agrobisnis dan Perhutanan Nasional, Surakarta.

Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations, fifth edition. Free Press. Newyork

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan. Jakarta

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Jakarta

Tan, A.S, 1987. Approriate Technologies for Rural Development in Valera, J.B., Martinez, V.A. and Plopino, R.F (Ed). Extension Delivery Systems. Island Publishing House, Inc. Manila

1044

ANALISIS PERAN PENYULUHAN TERHADAP TINGKAT PRODUKSI TERNAK AYAM POTONG DI DESA KALLABIRANG,

KECAMATAN BANTIMURUNG,KABUPATEN MAROS

Andi Faisal Suddin1), Endi Putra2), Abd. Gaffar3)

1,3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK Tujuan penelitian adalah 1) mengetahui hubungan antara penyuluhan (media

penyuluhan, metode penyuluhan, serta kontak dengan penyuluh) dengan tingkat produksi ayam potong, 2) mengetahui tingkat produksi ternak ayam potong. Penelitian ini dilakukan di Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. pada bulan Agustus sampai dengan September 2013. Penelitian ini mengambil responden sebanyak 30 orang peternak. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah deskriftif dan kuantitatif yaitu menggunakan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (frekuensi penyuluhan, media penyuluhan, kontak dengan penyuluh) mempunyai hubungan yang nyata (signifikan) dan keeratan hubungan yang tinggi dengan tingkat produksi sedangkan faktor metode tidak berhubungan nyata (tdk signifikan) kemudian pada tingkat produksi ayam potong dikategorikan cukup tinggi, rata-rata tingkat produksinya 13.853 kg/tahun dari total produksi 415.590 kg/tahun. Tingkat produksi sebagian besar peternak yang lebih besar adalah 16 orang peternak, sedangkan yang mempunyai tingkat produksi yang paling rendah atau sama adalah 14 orang peternak.

Kata Kunci : Peran, Penyuluhan, Produksi, Ayam Potong, Maros.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan Pertanian dalam arti luas adalah peternakan, perikanan, perkebunan dan pertanian rakyat, perlu terus di kembangkan dengan tujuan meningkatkan produksi dan memperluas penganekaragaman hasil pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri, serta memperbesar ekspor, meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan nelayan, mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan kerja dan lapangan kerja serta mendukung pembangunan daerah. (Mubyarto, 1999).

Perkembangan sektor pertanian khususnya sub sektor peternakan, terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini tidak saja nampak dari peningkatan permintaan dari sub sektor ini, melainkan juga dari bertambahnya permintaan masyarakat. Potensi sub sektor peternakan yang telah diwujudkan akan terus dioptimalkan diantaranya lahan, bibit, pakan ternak, teknologi bibit, vaksin dan juga obat-obatan. Hal tersebut kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agribisnis peternakan (pembibitan, budidaya, industri, pengelolahan hasil peternakan, dan berbagai usaha pendukung peternakan) memang sudah saatnya tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia (Rahardi F, 1999) .

Posisi sub sektor peternakan ditinjau dari perkembangan Domestic Regional Bruto Sulawesi Selatan berada pada urutan ketiga setelah sub sektor tanaman pangan dan perikanan. Dengan demikian maka peranan sub sektor ini perlu dikembangkan agar suatu saat terjadi keseimbangan diseluruh sub sektor pertanian.

Berdasarkan statistik Peternakan Kabupaten Maros bahwa pada tahun 2008 sampai tahun 2012 rata-rata mengalami kenaikan tingkat produksi. Jumlah produksi pada tahun 2008 sebanyak 6000 kg dan pada tahun 2012 produksinya sebesar 12.500 kg. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut :

1045

Tabel 1. Jumlah Produksi Ternak Ayam Potong di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

Tahun Jumlah Produksi (kg) Perkembangan (%) 2008 2009 2010 2011 2012

6000 7500 8300 9000

12.500

- 7,69 7,14 5,88

11,11

Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi ternak ayam potong yang paling banyak adalah tahun 2012, jumlah produksinya 12.500 kg dengan perkembangan 11,11%. Meningkatnya jumlah produksi ternak ayam potong dipengaruhi oleh banyaknya peternak dan peran serta penyuluh untuk memberikan informasi baik itu berupa metode cara beternak dengan baik, maupun melalui media.

Upaya yang ditempuh dalam meningkatkan produksi dan mutu ternak, antara lain adalah penyediaan sarana prasarana dan kegiatan penyuluhan yang bermutu dan intens. Kinerja seorang penyuluh peternakan pada dasarnya diarahkan untuk mengupayakan terwujudnya pembangunan peternakan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani-peternak dan usaha tani-ternak yang berkelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Wibowo (2007 ) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, dan memberikan kontribusi pada perekonomian. Olehnya itu kinerja dipandang sebagai cara melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Sebagaimana yang telah digariskan bahwa peranan penyuluh peternakan untuk memberikan sumbangsih terhadap perubahan perilaku, sikap, keterampilan, dan pengetahuan petani-peternak sehingga akan meningkatkan swadaya masyarakat, maka tingkat kinerja penyuluh akan menjadi penentu keberhasilan penyuluhan peternakan yang dapat diukur dengan menggunakan indikator produktivitas sebagai hubungan antara input dan output fisik suatu proses.

Pendidikan penyuluhan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak dalam usaha peningkatan produksi dan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui tingkat produksi dan pendapatan ayam potong di Desa Kalla’birang,

Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. 2. Mengetahui hubungan antara penyuluhan (frekuensi penyuluhan, media penyuluhan,

metode penyuluhan, kontak dengan penyuluhan) dengan tingkat produksi ternak ayam potong di Desa Kalla’birang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kalla’birang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai September 2013. Pemilihan Responden

Penentuan responden pada penelitian ini dilakukan secara sengaja (PurposiveSample) terhadap penyuluh sebanyak 2 orang. Populasi peternak ayam potong dilokasi penelitian sebanyak 105 orang. Dari populasi tersebut diambil responden sebanyak 30 orang (30 %) dengan metode acak sederhana (Simple random sampling). Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini sifatnya survei dengan menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara kepada responden dengan

1046

menggunakan quesioner yang telah disediakan. Data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan dari dokumen data instansi atau kantor terkait seperti kantor Desa atau Dinas Peternakan setempat. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus analisis kuantitatif Chi-Square sebagai berikut : X2 = ( fo - fe )2 fe Dimana : X2 = Chi Kuadrat fo = Nilai Observasi fe = Nilai harapan = (f kolom) x (f baris) Jumlah Total

Kriteria pengambilan keputusan yaitu apabila nilai X2 hitung lebih besar dari X2 tabel pada taraf kepercayaan 95 % (0,05) maka variabel yang diteliti mempunyai hubungan yang nyata. Sebaliknya apabila nilai X2 hitung lebih kecil dari nilai X2 tabel berarti mempunyai hubungan yang tidak nyata.

Bila hasil X2 menunjukkan adanya hubungan nyata antara kedua faktor, maka akan dilanjutkan dengan uji kontingensi untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara kedua faktor tersebut. Rumus kontingensi yang digunakan sebagai berikut : X2

C = √ ---------- X2 + n Keterangan : C = Koefisien Kontingensi X2 = X2 Hitung n = Banyaknya Responden Kriteria pengujian adalah :

a. 0,80 – 1,0 = Sangat Kuat b. 0,60 – 0,79 = Kuat c. 0,40 – 0,59 = Sedang d. 0,70 – 0,3 = Rendah e. 0,00 – 0,19 = Sangat Rendah

Apabila nilai koefisien kontingensi mendekati nilai kontingensi maximum maka makin

erat hubungan antara kedua faktor tersebut, demikian pula sebaliknya. Untuk menghitung keuntungan maka digunakan rumus sebagai berikut : = TR - TC keterangan : = Pendapatan responden (Rp)

TR = Total penerimaan responden (Rp) TC = Total pengeluaran responden (Rp)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pendapatan Penerimaan

Penerimaan responden adalah hasil dari seluruh penjualan ayam potong penerimaan responden masing-masing berbeda. Besarnya penerimaan dari responden dapat dilihat pada tabel berikut :

1047

Tabel 2. Penerimaan Responden di Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Uraian (Rp) Jumlah Persentase (%) 1 2 3

23.400.000 - 56.750.000,- 57.600.000 - 80.100.000,-

95.800.000 - 540.000.000,-

9 11 10

30,00 36,60 33,33

Total 30 100,00 Maximal : Rp. 540.000.000,- Minimum : Rp. 23.400.000,- Rata-rata : Rp. 872.383.300

Tabel 2. menunjukkan bahwa penerimaan tertinggi yang diperoleh adalah responden

26 sebesar Rp 540.000.000,- sedangkan penerimaan terendah diperoleh responden 21 sebesar Rp 23.400.000,-. Rata-rata dari seluruh penerimaan responden sebesar Rp 87.238.333,-

Biaya-biaya

Jenis biaya yang dikeluarkan oleh responden terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap dimana biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan yang dapat mempengaruhi jumlah produk secara langsung dan biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh responden yang sifatnya tidak mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan oleh responden.

Menurut Soekartawi (2006), biaya produksi adalah nilai dan semua factor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung. Biaya produksi yang digunakan terdiri dari sewa tanah, bunga modal, biaya sarana produksi untuk bibit, pupuk dan juga obat-obatan serta sejumlah tenaga kerja. Biaya merupakan faktor produksi yang sangat berperan penting didalam suatu proses produksi yang dilaksanakan oleh petani. Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan. Jenis biaya yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada table 3 berikut

1048

Tabel 3. Biaya-Biaya yang Dikeluarkan Oleh Responden di Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No. Uraian Unit (Fisik) Nilai (Rp)

1. Biaya Variabel - Bibit (DOC) - Jenis Pakan * SB 11 * SB 12 - Jenis Obat * Enroped * Kolibat * Dinachik * Dinasol - Vaksin * Vaksin Tetes * Vaksin Suntik - Bahan Bakar (M. Tanah) - Sekam / Dedak

281.300 ekor

1.905 sak 3.868 sak

196 bks 176 bks 202 bks 166 bks

122 btl 124 btl 741 ltr

1.440 sak

281.300.000,-

283.050.000,- 763.600.000,-

5.597.000,- 882.000,- 1.692.000,- 1.660.000,-

5.979.120,- 4.777.740,- 1.494.000,- 1.440.000,-

Total Rata-rata

1.344.471.860,- 44.815.728,67,-

2. Biaya Tetap - Penyusutan Alat

- - Listrik

1.815.763,25,-

2.487.000,- Total

Rata-rata 4.302.763,25,- 143.425,44,-

Tabel 3. memperlihatkan bahwa rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan oleh

responden dalam waktu satu tahun adalah Rp 44.815.728,67,- sedangkan biaya tetap yang dikeluarkan adalah Rp 143.425.441,-. Untuk biaya variabel peternak menggunakan jenis pakan, obat-obatan, vaksin, bahan bakar, sekam/dedak. Dalam jumlah satuan yang berbeda-beda. Untuk biaya tetap adalah penyusutan alat dan penggunaan listrik dalam jumlah nilai yang berbeda pula. Pendapatan.

Fadholi Hernanto (2001) mengatakan bahwa, pendapatan akan digunakan untuk mencapai keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya, dengan demikian pendapatan yang diterima akan dialokasikan di berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan cara penggunaan inilah yang akan meningkatkan tingkat kehidupan para petani.

Pendapatan adalah selisih antara nilai produksi yang dihasilkan oleh responden dengan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh responden selama melakukan aktivitasnya selama beternak. Besarnya pendapatan responden dapat dilihat pada table 4 berikut :

Tabel 4. Rata-rata Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Responden di Desa Kallabirang,

Kecanmatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013

No Uraian Jumlah (Rp) Rata-Rata 1 Penerimaan 2.642.450.000,- 88.081.666,67 2 Biaya 1.348.774.623,- 44.959.154,11 3 Pendapatan 1.293.675.377,- 43.122.512,56

Tabel 4. memperlihatkan bahwa rata-rata penerimaan responden keseluruhannya

dalam waktu satu tahun adalah sebesar RP 88.081.666,67-. Rata-rata biaya yang dikeluarkan responden adalah Rp 44.959.154,11,- sehingga rata-rata pendapatan yang diperoleh responden selama satu tahun adalah Rp 43.122.512,56,-.

1049

Analisis Hubungan Peranan Penyuluhan Frekuensi Penyuluhan

Frekuensi penyuluhan adalah banyaknya waktu kunjungan antara PPL dengan petani ternak pada tempat dan waktu yang ditentukan. Menurut Suhardiyono (2001 ), bahwa kegiatan kunjungan yang dilaksanakan oleh penyuluh kepada kelompok tani pada tempat dan waktu yang disepakati bersama dimana seorang penyuluh dituntut sebagai motivator pembawa informasi baru kepada peternak. Untuk melihat waktu atau frekuensi penyuluhan dapat dilihat pada table 5 berikut : Tabel 5. Frekuensi Penyuluhan Pada Peternak Ayam Potong di Desa Kallabirang, Kecamatan

Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013

No Frekuensi Penyuluhan (Per tahun Produksi)

Kriteria Jumlah Responden(Jiwa)

Persentase (%)

1 2

≥ 14 < 14

Tinggi Rendah

17 13

56,67 43,33

Total 30 100,00 Frekuensi Maximal : 18

Frekuensi Minimum : 10 Frekuensi Rata-rata : 14

Tabel 5 di atas memperlihatkan bahwa kriteria frekuensi penyuluh yang paling

rendah <14 adalah 13 orang atau 56,67 dan yang tinggi ≥14 tingkat frekuensinya adalah 13 orang atau 43,33 %. Metode Penyuluhan

Metode penyuluhan adalah cara pendekatan yang dilakukan oleh penyuluh untuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan petani sebagai sasaran untuk mencapai tujuan. Penggolongan metode penyuluhan berdasarkan pendekatan secara psycososial yaitumemperhatikan keadaan hubungan atau interaksi dan jumlah penggolongan dari sasaran yaitu perorang, kelompok dan massa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Metode Penyuluhan Pada Usaha Ternak Ayam Potong di Desa Kallabirang,

Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013

No Metode Penyuluhan Jumlah (Jiwa) Responden

Persentase (%)

1 2 3

Perorangan Kelompok

Massa

9 21 -

30 70 -

Total 30 100

Tabel 6. Memperlihatkan bahwa metode penyuluhan perorangan dengan skor 3 dan jumlah peternak 9 orang dengan persentase 30 %, dan metode kelompok skor 2 yang banyak dilakukan dengan 21 orang peternak dengan persentase 70 %. Untuk metode penyuluhan massa tidak diikuti oleh peternak yang ada di desa Kallabirang. Media Penyuluhan

Media penyuluhan adalah alat bantu yang digunakan oleh penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan atau merupakan media yang digunakan penyuluh untuk memberikan informasi baik secara langsung maupun secara tak langsung. Dalam hal pemberian informasi langsung, keahlian dan penguasaan materi sangat penting dimiliki seorang penyuluh. Menurut Nasution (2002), bahwa kompetensi/keahlian yang benar-benar dikuasai dalam hal penguasaan materi merupakan suatu yang sangat dibutuhkan

1050

sehingga kegiatan penyuluhan lebih efektif dan efisien.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Media Penyuluhan yang di Gunakan Oleh Penyuluh Pada Peternak Ayam Potong di

Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Media Penyuluhan Jumlah (Jiwa) Responden Persentase (%)

1 2 3

Tatap Langsung Brosur/ OHP

Koran

9 20 1

30 66,67 3,33

Total 30 100

Tabel 7. Memperlihatkan bahwa media penyuluhan tatap langsung jumlah peternak 9 orang dengan persentase 30 %, dan brosur/ OHP jumlah peternak 20 orang dengan peresentase 66,67 % sedangkan koran dengan jumlah peternak 1 orang dan persentase 3,33%, ini menandakan bahwa jumlah peternak yang banyak menggunakan media penyuluhan adalah brosur/ OHP, karena penggunaan brosur lebih mudah dipahami dan dimengerti dan dapat dibaca oleh banyak orang. Kontak Dengan Penyuluh

Kontak dengan penyuluh adalah frekuensi berkunjung petani kepada PPL. Untuk lebih mempermudah dan memperlancar usaha peternakan yang diusahakan, peternak langsung berhubungan dengan penyuluh dalam menghadapi kesulitan dan juga masalah-masalah yang di hadapi menyangkut dengan ternak ayam potong. Tabel 8. Kontak dengan Penyuluh peternak Ayam Potong di Desa Kallabirang, Kecamatan

Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Kontak Dengan Penyuluh

Kriteria Jumlah Responden (Jiwa)

Persentase (%)

1 2

≥ 5 < 5

Tinggi Rendah

17 13

56,67 43,33

Total 30 100,00 Frekuensi Maximal : 10 Frekuensi Minimum : 2 Frekuensi Rata-rata : 5

Tabel 8. memperlihatkan bahwa kontak dengan penyuluh sangat baik dilakukan oleh

peternak melihat waktu dan jumlah peternak. Untuk itu kontak dengan penyuluh yang sedikit waktu atau frekuensinya atau lebih rendah <5 kali berkunjung terdiri dari 13 orang atau 43,33 % sedangkan yang banyak waktu berkunjungnya atau frekuensinya lebih tinggi ≥5 terdiri dari 17 orang atau 56,67 %, ini menandakan bahwa para peternak lebih aktif atau sering melakukan kontak dengan penyuluh. Hubungan Penyuluhan Dengan Tingkat Produksi Ternak Ayam Potong

Berdasarkan model analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan model analisis Chi-Square, analisis ini digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara peranan penyuluhan peternak dengan tingkat produksi ternak ayam potong.

Adapun fungsi Chi-Square ini adalah menaksirkan hubungan variabel bebas yaitu frekuensi penyuluhan (X1), metode penyuluhan (X2), media penyuluhan (X3), kontak dengan penyuluh (X4) dan juga variabel tak bebas adalah tingkat produksi ayam potong (Y). Hubungan Frekuensi Penyuluhan Dengan Tingkat Produksi

Hubungan Frekuensi penyuluhan dengan produksi ayam potong sangat berpengaruh besar, dimana untuk mencapai hasil produksi yang baik perlu ditunjang dengan penyuluh

1051

yang baik pula. Untuk menguji dan melihat variabel bebas (x) yang berpengaruh terhadap variabel tak bebas (Y) dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 9. Frekuensi Penyuluhan Pada Peternak Ayam Potong di Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Frekuensi Penyuluhan

Produksi Jumlah

Tinggi Rendah

1

2

3

10 - 12

14 - 15

16 - 18

3 (6,9)

9 (6,4)

4 (2,6)

10 (6,6)

3 (5,6)

1 (2,3)

13

12

5

Total 16 14 30

Hasil perhitungan Chi-square pada tabel di atas didapatkan hasil sebagai berikut.

X2 Hitung = 7,92 X2 Tabel 95 % = 5,991 C Hitung = 0,43

Dari hasil perhitungan Chi-Square, terlihat bahwa nilai X2 Hitung adalah 7,92 dan X2 Tabel adalah 5,991 pada tingkat kepercayaan 95 %, karena X2 Hitung > X2 Tabel 95 %, maka terdapat hubungan nyata (signifikan) antara frekuensi penyuluhan dengan tingkat produksi ayam potong. Artinya dengan seringnya diadakan penyuluhan kepada peternak maka dapat menigkatkan produksi ternak ayam potong.

Nilai keeratan hubungan C hitung = 0,43 menjelaskan bahwa memiliki nilai keeratan yang sedang antara frekuensi penyuluhan dengan tingkat produksi ayam potong. Hubungan Metode Penyuluhan Dengan Tingkat Produksi

Penyuluhan yang digunakan sangat erat dan berpengaruh besar terhadap peningkatan produksi dimana metode penyuluhan ini terdapat metode, dan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 10. Hubungan Metode Penyuluhan Dengan Tingkat produksi Ayam Potong di Desa

Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, kabupaten maros.

No Metode Penyuluhan

Produksi Jumlah

Tinggi Rendah

1

2

3

Perorangan

Kelompok

Massa

2 (4,8)

14 (11,2)

-

7 (4,2)

7 (9,8)

-

9

21 -

Total 16 14 30

Hasil perhitungan Chi-square pada tabel di atas didapatkan hasil sebagai berikut.: X2 Hitung = 4,521 X2 Tabel 95 % = 5,991

Dari hasil perhitungan Chi-Square terlihat, bahwa nilai X2 Hitung adalah 4,521 dan X2 Tabel 5,991 Pada tingkat kepercayaan 95 % karena X2 Hitung < X2 Tabel 95 %, maka tidak terdapat hubungan yang nyata (tidak signifikan). Artinya metode apapun yang digunakan tidak akan mempengaruhi produksi sehingga yang menetukan adalah kesadaran peternak untuk mengikuti penyuluhan sehingga dapat diperoleh keterampilan dan menambah kesejahteraan peternak dan meningkatkan produksinya.

1052

Hubungan Media Penyuluhan Dengan Tingkat Produksi Hubungan media ini sangat berpengaruh sekali, dimana media yang diambil adalah

brosur/OHP, koran dan tatap langsung. Untuk melihat media penyuluhan yang berhubungan dengan tingkat produksi dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 11. Hubungan Media Penyuluhan Dengan Tingkat Penyuluhan Produksi Ayam Potong

Di Desa Kallabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Media Penyuluhan

Produksi Jumlah

Tinggi Rendah

1

2

3

Tatap Langsung

Brosur/OHP

Koran

3 (4,8)

13 (10,6)

- (0,53)

6 (4,2)

7 (9,3)

1 0.46

9

20

1

Total 16 14 30

Hasil perhitungan Chi-square pada tabel di atas didapatkan hasil sebagai berikut. X2 Hitung = 7,337

X2 Tabel 95 % = 5,991 C Hitung = 0,44

Dari hasil perhitungan Chi-Square terlihat bahwa nilai X2 Hitung adalah 7,337 dan X2 Tabel 5,991 pada tingkat kepercayaan 95 %, karena X2 Hitung > X2 Tabel 95 % maka terdapat hubungan nyata (signifikan) antara media penyuluhan dengan tingkat produksi ternak ayam potong. Artinya makin banyaknya informasi melalui media yang diperoleh responden maka akan meningkatkan produksi ayam potong.

Nilai keeratan hubungan C Hitung 0,44 menjelaskan bahwa memiliki nilai keeratan yang sedang antara media penyuluhan dengan tingkat produksi ayam potong Hubungan Kontak Dengan Penyuluh Terhadap Produksi Ayam Potong

Hubungan kontak dengan penyuluh sangat erat dalam peningkatan produksi ternak ayam potong, dimana peternak berhubungan langsung dengan penyuluh. Untuk melihat sistem kontak dengan penyuluh dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 12. Hubungan Kontak dengan Penyuluh Pada Peternak ayam Potong Di Desa

Kallabbirang, Kacamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, 2013.

No Kontak Dengan Penyuluh

Produksi Jumlah

Tinggi Rendah

1

2

3

2 - 4

5 - 7

8 - 10

9 (4,8)

4 (6,93)

3 (4,26)

- (4,5)

10 (7) 5

(4)

9

14

8

Total 16 15 30

Hasil perhitungan Chi-square pada tabel di atas didapatkan hasil sebagai berikut.

X2 Hitung = 11,65 X2 Tabel 95 % = 5,991

C Hitung = 0,52

1053

Dari hasil perhitungan Chi-Square, terlihat bahwa X2 Hitung adalah 11,65 dan X2 Tabel 5,991 pada tingkat kepercayaan 95 % karena X2 hitung > X2 Tabel 95 %, maka terdapat hubungan yang nyata (signifikan) antara kontak penyuluh dengan tingkat produksi ternak ayam potong. Artinya dengan seringnya mengadakan kontak secara langsung dengan penyuluh maka peternak lebih banyak mengetahui informasi lagi tentang produksi ternak sehingga dapat lebih meningkatkan usaha ternak ayam potong.

Nilai keeratan hubungan C Hitung 0,52 menjelaskan bahwa memiliki nilai keeratan yang rendah antara kontak dengan penyuluh dan tingkat frekuensi ayam potong

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tingkat produksi ternak ayam potong di Desa Kallabirang, Kecamatan Bantimurung,

Kabupaten Maros dikategorikan cukup tinggi. Dari analisis rata-rata tingkat produksi 13,896 kg/tahun dan total produksi adalah 416.880 kg/tahun dan untuk pendapatan yang diperoleh oleh peternak ayam potong adalah sebesar Rp.1.293.675.377,- .

2. Hasil analisis menunjukkkan bahwa faktor frekuensi penyuluhan, media penyuluhan dan

kontak dengan penyuluh mempunyai hubungan yang nyata (signifikan) dengan tingkat produksi ayam potong sedangkan faktor metode berhubungan tidak nyata dengan tingkat produksi ayam potong.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros. 2008. Maros Dalam Angka 2008. Kabupaten Maros. Sulawesi Selatan.

Hernanto, F. 2001. Ilmu Usahatani. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Mubyarto, 1999. Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit LP3ES, Jakarta. Nasution. 2002. Prinsip-Prinsip Komunikasi Untuk Penyuluhan.Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomui Universitas Indonesia, Jakarta. Rahardi F, Imam Setya Wibawa, Rina Niwan Setyowati, 1999. Agribisnis Peternakan.

Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia (U-I Press). Jakarta Suhardiyono, L. 2001. Penyuluhan ; Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian.Penerbit Erlangga,

Jakarta. Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja.Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

1054

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP EFEKTIVITAS TUJUAN PEMBELAJARAN SL-PTT PADI SAWAH

PADA KOMUNITAS PETANI DI LAMPUNG

Slameto1 dan Erwan Wahyudi2

1 Peneliti Muda, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Jln. Z.A.Pagar Alam No.Ia, Rajabasa, Bandar Lampung, Indonesia

2 Peneliti Muda, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal Kotabaru 36000, Jambi-Indonesia

ABSTRAK

Peningkatan produksi padi di Lampung dilakukan dengan implementasi inovasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Salah satu upaya dilakukan dengan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) padi sawah. Pembelajaran sekolah lapang tersebut terjadi pada berbagai komunitas etnis petani padi. Tujuan pembelajaran yang dicapai meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani. Namun masih terjadi kesenjangan dalam pembelajaran antar etnis petani tersebut, sehingga berakibat pada efektifitas tujuan pembelajaran. Efektifitas tujuan pembelajaran diduga dipengaruhi banyak faktor dari dalam diri etnis petani dan dari luar. Tujuan penelitian: menganalisis pengaruh faktor karakteristik demografi petani, karakteristik psikografi petani, perilaku komunikasi petani, karakteristik modeling, peran kelompok tani, dan intensitas penyuluhan terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SL-PTT padi sawah petani etnis Lampung, Jawa dan Bali. Metode penelitian dengan survey pada petani peserta SL-PTT padi sawah. Jumlah sampel 286 petani. Lokasi penelitian di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Selatan dan Lampung Barat. Analisis data menggunakan analisis regresi model linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan, pada pembelajaran yang meliputi komponen pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani antara etnis Bali-Lampung dan Jawa-Lampung menunjukkan perbedaan dan dipengaruhibanyak faktor. Secara bersama efektifitas tujuan pembelajaran SL-PTT padi sawah ketiga etnis dipengaruhi umur, sikap terhadap perubahan, tingkat rasionalitas, kompetensi model, status model, dan peran dalam kelompok tani. Implikasinya bahwa diperlukan penyusunan materi pembelajaran yang baik, diperlukan peningkatan pemberdayaan kelompok tani, pemberdayaan peran figur panutan dan tokoh masyarakat tani. Kata kunci: tujuan pembelajaran, sekolah lapang, padi, etnis Lampung-Bali-Jawa.

PENDAHULUAN

Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, sikap, tidak terjadi secara langsung, dapat melalui pengamatan maupun pengalaman, dan mampu mengubah perilaku (Baharuddin dan Wahyuni, 2010; Basleman dan Mappa, 2011; Gagne dalam Dahar, 2011; Hergenhahn dan Olson, 2010). Sedangkan pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung terjadinya belajar. Gagne (1985) menyatakan pembelajaran adalah pengaturan peristiwa yang bertujuan agar belajar berhasil guna. Petani mengadopsi inovasi karena proses pembelajaran yang dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain.

Proses pembelajaran memiliki kaitan erat dengan bidang pertanian dimana secara alamiah aktivitas pertanian dapat diamati dan dialami oleh para petani. Salah satu daerah lumbung pangan yang memiliki fokus pembangunan bidang pertanian adalah Provinsi Lampung. Di Lampung, padi merupakan komoditas unggulan, namun produktivitas

1055

cenderung masih rendah yaitu 4,83 ton/ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2013). Pertumbuhan produksi padi tahun 2012 mencapai 5,46% dari tahun sebelumnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, 2013). Adanya program pemerintah berupa peningkatan produksi padi nasional, maka Provinsi Lampung pada tahun 2013 meningkatkan target produksi padi dari 2,94 juta ton GKG menjadi 3,101 juta ton GKG atau target peningkatan produksi padi rata-rata 5,5 %. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas padi dari 4,83 ton/ha menjadi 5,46 ton/ha GKG.

Pencapaian target peningkatan produktivitas padi tersebut dilakukan dengan pendekatan inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT padi sawah berdampak positif terhadap produksi bahkan perubahan pendapatan petani (Bananiek dan Abidin, 2013). Percepatan dan penyampaian inovasinya melalui pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Model pembelajaran yang terjadi dalam pendekatan sekolah lapang tersebut antara lain melalui pengamatan dan pengalaman langsung, dimana prosesnya berawal dari kegiatan belajar dan interaksi yang kemudian memberikan pengalaman pribadi petani, mengungkapkan pengalaman tersebut, menganalisis masalah yang terjadi, dan menyimpulkan kegiatan yang dilakukan (Departemen Pertanian, 2008).

Komunitas petani yang berusahatani padi di lahan sawah di Lampung sebagian besar berasal dari etnis Lampung, Jawa, dan Bali. Komunitas petani etnis Jawa dan Bali keberadaannya merupakan masyarakat pendatang. Kultur usahatani di lahan sawah pada masyarakat pendatang cenderung lebih mapan dibandingkan dengan masyarakat asli (etnis Lampung) yang merupakan masyarakat pekebun.

Hasil identifikasi permasalahan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran yang bertujuan untuk mengintroduksikan inovasi PTT padi sawah masih terjadi kesenjangan hasil pembelajaran. Terjadi senjang hasil pembelajaran berupa peningkatan pengetahuan, sikap maupun ketrampilan antar komunitas petani padi etnis Lampung, Jawa, Bali di Lampung. Sehingga dampak selanjutnya berupa terjadinya gap dalam mengadopsi inovasi PTT padi sawah. Seperti hasil penelitian Nurasa dan Supriadi (2012) sejalan evaluasi Sembiring et.al. (2012) bahwa akselerasi serta tingkat adopsi PTT padi sawah cenderung berjalan lambat. Metode dan pola diseminasi PTT padi sawah bergantung pada keragaan karakteristik inovasi dan kondisi spesifik wilayah (Erythrina et al., 2013). Kondisi tersebut berimplikasi pada rendahnya pendapatan dan kesejahteraan petani padi.

Kondisi lainnya menunjukkan bahwa petani etnis Lampung, Jawa, Bali yang tinggal pada suatu masyarakat tani diidentifikasi mempunyai karakteristik yang menjadi sifat khas yang membedakan. Karakteristik tersebut berkaitan dengan sifat pribadi seseorang, kondisi sosial, budaya, ekonomi, strata masyarakat dan sifatnya bervariasi. Karakteristik tersebut antara lain dapat bersumber dari karakteristik demografi etnis petani, karakteristik psikografi etnis petani, perilaku komunikasi etnis petani. Kesemua sumber karakteristik tersebut diduga mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Faktor diluar petani berupa karakteristik figur modeling yang sering ditiru petani, peran dalam kelompok tani, dan intensitas penyuluhan diduga juga mempengaruhi terjadinya efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada masing-masing etnis petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : Menganalisis pengaruh faktor karakteristik demografi petani, karakteristik psikografi petani, perilaku komunikasi petani, karakteristik modeling, peran kelompok tani, dan intensitas penyuluhan terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SL-PTT padi sawah pada komunitas petani padi di Lampung. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam mempercepat penyebaran inovasi pertanian berkaitan dengan pembelajaran.

1056

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti

status sekelompok manusia, obyek, kondisi, sistem pemikiran, ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode tersebut bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan penelitian (Nazir, 2005). Desain penelitian berupaeksplanatory research dimana berusaha menjelaskan pengaruh antar variabel penelitian. Populasi penelitian ini adalah petani yang pernah mendapatkan pendampingan dan pembelajaran SL-PTT padi sawah tahun 2010-2011.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung meliputi Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Barat.Penentuan kabupaten, kecamatan, dan desa dilakukan secara purposive dan bertahap dengan mempertimbankan sebagai daerah sentra produksi padi, area sekolah lapang dan etnis tertentu. Jangka waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni-September 2013.

Sampel Penelitian

Unit penelitian yang menjadi objek adalah individu petani padi sawah. Jumlah keseluruhan responden adalah 286 petani meliputi: 96 orang petani padi sawah etnis Lampung di Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat, 95 orang petani padi sawah etnis Bali di Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah, dan 95 orang petani padi sawah etnis Jawa di Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan. Sampel petani dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) yang masing-masing etnis berasal dari 6 kelompok tani, 6 dusun, 3 desa per kabupaten. Dasar pertimbangan pemilihan sampel adalah petani padi sawah, pernah mendapatkan atau mengikuti pembelajaran SLPTT padi sawah, berasal dari salah satu etnis Lampung atau Jawa atau Bali. Jenis dan Sumber data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari petani dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang disusun sesuai tujuan penelitian. Kuesioner tersebut telah memenuhi syarat kesahihan (uji validitas) dan keterandalan (uji reliablitas) serta dapat dipertanggungjawabkan (Azwar, 2009). Data primer meliputi umur, pendidikan, budaya bertani, sikap terhadap perubahan, keyakinan kemampuan diri, keberanian untuk beresiko, tingkat intelegensia, tingkat rasionalitas, harapan suatu hasil, kerjasama, interaksi, kekosmopolitan, kompetensi model yang ditiru, kemiripan model, status model, peran dalam kelompok tani, intensitas penyuluhan, dan proses dan tahapan pembelajaran SLPTT padi sawah yang dilakukan petani. Sedangkan data sekunder berupa dokumentasi, catatan, laporan, yang berasal antara lain dari instansi lingkup pertanian tanaman pangan di Kabupaten/Propinsi Lampung.

Analisis Data

Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas tujuan pembelajaran SL-PTT padi sawah pada komunitas etnis petani di Lampung dilakukan dengan analisis regresimodel linear berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi SLPTT Padi Sawah di Lampung

Program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) mengupayakan peningkatan produktivitas padi dengan penerapan inovasi teknologi termasuk di Lampung. Salah satunya adalah inovasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Luas areal SLPTT padi sawah selama periode tahun 2010-2013 adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

1057

Tabel 1. Luas areal SL-PTT padi sawah varietas inbrida di Provinsi Lampung tahun 2010-2013

Kabupaten

2010

2011

2012

2013 Luas areal

tanam

Jumlah desa

sasaran

Jumlah kelompok

tani sasaran

Luas areal

tanam

Luas areal

tanam

Jumlah desa

sasaran

Jumlah kelompok

tani sasaran

Luas areal

tanam

Jumlah desa

sasaran

Jumlah kelompok

tani sasaran

(ha) (unit) (unit) (ha) (ha) (unit) (unit) (ha) (unit) (unit)

Lampung Barat 5400 55 216

10000

- - -

12000 182 480

Lampung Selatan 5400 89 216

14000

18250 198 724

20000 237 800

Lampung Tengah 8400 112 336

15000

12450 136 498

23000 220 871

Lampung Utara 3900 88 156

10000

4100 53 164

14000 152 560

Lampung Timur 5400 74 216

15000

16425 151 638

21000 209 840

Tanggamus 5443 104 219

10000

3875 70 155

12000 206 480

Tulang Bawang 1825 11 62

10000

12500 55 500

12000 44 480

Way Kanan 4500 20 180

10000

12500 127 500

11000 150 448

Pesawaran 2400 45 96

8000

1050 11 42

9000 126 360

Mesuji - - -

5000

3825 30 153

12275 46 491

Pringsewu 2400 36 96

8000

9250 97 370

9000 93 360

Tulang Bawang Barat 2525 17 101

5000

6500 53 260

6000 52 239

Bandar Lampung - - -

200

- - -

- - -

Kota Metro - - -

500

- - -

- - -

Total : 47593 651 1894 120700 100725 981 4004 161275 1717 6409 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, 2014.

Komoditas padi sawah yang didiseminasikan melalui program SLPTT padi sawah meliputi jenis inbrida maupun hibrida. Jenis padi tersebut diintroduksikan kepada masyarakat tani dengan tujuan selain untuk mengatasi berbagai kendala yang seringkali ditemukan di lapangan (hama, penyakit, kesuburan) juga bermaksud agar lebih cepat diadopsi dan ditanam sehingga diharapkan produksi padi petani semakin meningkat. Varietas padi inbrida yang diintroduksikan kepada petani cukup banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan keunggulan agroekosistem wilayahnya. Varietasnya antara lain: Ciherang, Cigeulis, Mekongga, IR-64, Cilamaya Muncul, Ciliwung, Pandanwangi, Situbagendit, Inpari 7, Inpari 10, Inpari 13.

Di Lampung peningkatan produktivitas padi sawah jenis padi inbrida pada areal SL-PTTsebesar 11,59 % lebih tinggi dibanding Non SL-PTT. Demikian juga rata-rata peningkatan produktivitas jenis padi hibrida areal SL-PTT13,70 % lebih tinggi dibanding Non SL-PTT (BPTP Lampung, 2010). Kajian Pujiharti et al. (2008) melaporkan bahwa PTT padi apabila diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak untuk menambah kebutuhan pupuk tanaman padi mampu meningkatkan produktivitas padi sebesar 16,67-33,50%. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Efektifitas Tujuan Pembelajaran Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi Sawah

Hasil analisis regresi model linear untuk menduga efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada regresi untuk semua etnis petani secara bersama (n=286) menghasilkan nilaiR2 =0,426,pada regresi untuk etnis Lampungmenghasilkan nilai R2=0,489, pada regresi untuk etnis Jawa menghasilkan nilai R2=0,510, dan pada regresi untuk etnis Balimenghasilkan nilaiR2=0,568. Hal tersebut berarti bahwa kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variasi

1058

variabel dependen adalah sebesar nilai R2.Dengan kata lain ke 17 variabel yang diduga ternyata mampu menjelaskan varians ketepatan efektifitas pembelajaran SLPTT padi sawah adalah sebesar nilai R2, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model penelitian.

Umur adalah faktor demografis individu, seseorang akan semakin mudah menerima materi pelajaran seiring bertambahnya umur, namun pada batas tertentu kemampuan tersebut akan semakin berkurang. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada etnis Lampung variabel umur berpengaruh nyata dan arahnya negatif terhadap kemungkinan efektifitas proses pembelajaran SLPTT padi sawah. Hal tersebut berarti pada petani etnis Lampung, umur muda mempengaruhi efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin dalam Haryadi (1997) yang menyatakan bahwa umur pengajar maupun pembelajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan effektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur. Penelitian dari Mc.Elreath (2004) dan Pailis (2006) melaporkan bahwa umur berpengaruh nyata terhadap pembelajaran. Sedangkan penelitian Glenna et al. (2011) melihat pengaruh umur dan pendidikan terhadap adopsi inovasi. Klasifikasi umur petani etnis Lampung sebagian besar (75,92%) berada pada kisaran umur produktif 31-55 tahun, selanjutnya 17,71% berada pada kisaran umur 18-30 tahun, dan 9,37% berada pada umur diatas 55 tahun.

1059

Tabel 2. Hasil analisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada beberapa etnis petani padi di Lampung.

Variabel

Semua Etnis (n=286)

Etnis Lampung (n=96)

Etnis Jawa (n=95)

Etnis Bali (n=95)

Koefisien regresi

(b)

Nilai t (Sig-t)

Koefisien regresi

(b)

Nilai t (Sig-t)

Koefisien regresi

(b)

Nilai t (Sig-t)

Koefisien regresi

(b)

Nilai t (Sig-t)

Konstanta 62,025 6,849 (0,000)

93,043 4,627 (0,000)

79,788 5,506 (0,000)

74,528 4,455 (0,000)

Umur -0,178 -1,864 * (0,063)

-0,385 -1,850 * (0,068)

-0,110 -0,705ns (0,483)

-0,072 -0,491 ns (0,625)

Tkt, pendidikan 0,174 0,513 ns (0,609)

0,024 0,039 ns (0,969)

0,716 1,553 ns (0,124)

0,314 0,545 ns (0,587)

Budaya bertani 0,104 0,611 ns (0,542)

-0,486 -1,343 ns (0,183)

0,188 0,540 ns (0,591)

-0,001 -0,005 ns (0,996)

Sikap terhadap perubahan 0,308 2,645 *** (0,008)

0,490 2,105 ** (0,039)

0,312 2,098 ** 0,039

0,040 0,215 ns (0,830)

Keyakinan kemampuan diri 0,007 0,086 ns (0,931)

0,288 1,861 * (0,067)

-0,019 -0,163ns (0,871)

-0,218 -1,501 ns (0,137)

Tkt, Keberanian beresiko 0,141 1,089 ns (0,277)

0,055 0,245 ns (0,807)

0,864 4,229*** (0,000)

-0,424 -1,716 * (0,090)

Tkt, intelegensia 0,107 0,730 ns (0,466)

-0,228 -0,749 ns (0,456)

-0,125 -0,592ns (0,556)

0,560 2,051 ** (0,044)

Tkt, rasionalitas 0,184 1,750 * (0,081)

0,027 0,135 ns (0,893)

0,047 0,309 ns (0,758)

0,215 1,172 ns (0,245)

Harapan akan hasil 0,171 1,607 ns (0,109)

0,145 0,611 ns (0,543)

-0,041 -0,264 ns 0,792

0,179 0,971 ns (0,335)

Kerjasama -0,066 -0,411 ns (0,681)

-0,390 -1,370 ns (0,175)

-0,230 -0,895 ns (0,373)

1,370 3,960 *** (0,000)

Interaksi -0,052 -0,280 ns (0,780)

-0,274 -0,887 ns (0,378)

0,185 0,524 ns (0,602)

-0,031 0,087 ns (0,931)

Kekosmopolitan 0,073 0,506 ns (0,613)

0,238 0,806 ns (0,423)

0,172 0,737 ns (0,463)

-0,265 -1,069 ns (0,288)

Kompetensi model 0,325 4,152 *** (0,000)

0,430 2,577 ** (0,012)

0,057 0,466 ns (0,643)

0,553 3,981 *** (0,000)

Kemiripan model 0,073 0,538 ns (0,591)

-0,462 -1,443 ns (0,153)

-0,033 -0,170 ns (0,865)

-0,076 -0,332 ns (0,741)

Status model 0,499 1,960 * (0,051)

0,236 0,426 ns (0,672)

0,267 0,717 ns (0,476)

0,950 2,346 ** (0,022)

Peran dalam Kelompok Tani

0,646 3,087 *** (0,002)

0,629 1,340 ns (0,184)

0,081 0,238 ns (0,812)

-0,180 -0,484 ns (0,630)

Intensitas Penyuluhan -0,043 -0,472 ns (0,637)

-0,274 -1,184 ns (0,240)

0,182 1,060 ns (0,292)

0,167 1,311 ns (0,194)

Dummi-1 (1=Jawa; 0=lainnya)

9,934 3,914*** (0,000)

Dummi-2 (1=Bali; 0=lainnya)

5,371 1,642 * (0,099)

R2 0,426 0,489 0,510 0,568 F 10,382*** 4,391*** 4,715*** 5,967*** Sig-F 0,000 0,000 0,000 0,000

Sumber: data primer diolah (2016).

Keterangan: *** : berbeda nyata (p≤0,01); ** : berbeda nyata (p≤0,05) * : berbeda nyata (p≤0,10); ns : tidak berbeda nyata (p>0,10).

Hasil analisis sikap terhadap perubahan menunjukkan bahwa pada petani etnis Lampung dan petani etnis Jawa variabel sikap terhadap perubahan berpengaruh nyata dan arahnya positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Berarti petani etnis Lampung dan Jawa yang mempunyai sikap terhadap perubahan yang tinggi mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam pembelajaran SLPTT padi sawah. Petani etnis Jawa berada pada kondisi kategori sikap setuju terhadap perubahan yang tinggi (72,63%) demikian juga petani etnis Lampung berada pada kategori sikap setuju terhadap perubahan yang tinggi (63,54%). Indikator sikap terhadap perubahan tersebut antara lain: memperbarui gagasan, informasi dan tindakan; keterbukaan pada informasi; perasaan terhadap kebaharuan gagasan, perasaan akan pentingnya informasi, perasaan terhadap

1060

adanya dorongan untuk memperbarui tindakan, perasaan terhadap adanya keterbukaan inovasi, tindakan memperbarui gagasan, tindakan memperbarui informasi, kesediaan memperbarui tindakan cara usahatani, tindakan keterbukaan pada inovasi. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ali dan Haider (2012) dimana variabel sikap dan pola pikir petani berpengaruh terhadap pembelajaran sekolah lapang terkait teknologi.

Keyakinan kemampuan diri (self efficacy) berpengaruh nyata dan positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada petani etnis Lampung. Artinya bahwa pada masyarakat petani etnis Lampung yang mempunyai keyakinan kemampuan diri tinggi akan mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam pembelajaran. Hasil penelitian dari Litt et al. (2002); Shirkani dan Ghaemi (2011); dan Lorenzo et al (2012) mengemukakan adanya pengaruh positif keyakinan kemampuan diri terhadap pembelajaran sosial. Menurut Bandura adanyaself efficacy yang tinggi pada tugas-tugas fisik menstimulasi tubuh memproduksi “endogenous opiod “ yang berfungsi menghilangkan rasa sakit atau lelah secara alami, sehingga orang mampu menyelesaikan tugas-tugas fisik secara baik (Hariadi, 2004;). Self efficacyyang tinggi meningkatkan kemampuan untuk mencapai keberhasilan.

Tingkat keberanian petani mengambil resiko merupakan salah satu faktor psikologis petani tersebut dalam menghadapi berbagai kemungkinan atau keputusan yang diambil dalam suatu kegiatan berkaitan dengan usahatani. Analisis terhadap tingkat keberanian mengambil resiko pada petani etnis Bali berpengaruh nyata dan arahnya negatif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Hal tersebut berarti bahwa petani yang mempunyai tingkat keberanian mengambil resiko rendah justru mempunyai efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah yang tinggi. Pindyck dan Rubinfield (1995) membedakan tingkat pengambilan resiko menjadi tiga yaitu: (1) menolak resiko (risk averse), (2) netral terhadap resiko (risk neutral), dan (3) menyukai resiko (risk loving). Data penelitian menunjukkan nilai skor keberanian mengambil resiko petani etnis Bali berada pada skala netral dalam mengambil resiko dalam setiap kegiatan yang dilakukan termasuk dalam pembelajaran (56,84% petani). Berbeda dengan hal tersebut adalah tingkat keberanian mengambil resiko bagi petani etnis Jawa mempunyai pengaruh yang positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Petani etnis Jawa yang mempunyai tingkat keberanian mengambil resiko tinggi cenderung berhasil dalam pembelajaran karena pada petani etnis Jawa sering diajarkan filosofi bahwa apabila ingin berhasil maka harus berani menanggung berbagai macam resiko yang akan dihadapi termasuk dalam pembelajaran baik berupa korbanan resiko waktu, tenaga maupun biaya.

Tingkat intelegensia berpengaruh nyata dan arahnya positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah petani etnis Bali. Petani yang mempunyai tingkat intelegensia tinggi semakin efektif dalam pembelajaran SLPTT padi sawah. Hal tersebut dimungkinkan karena petani dengan intelegensia yang tinggi mempunyai kemampuan untuk: (1) kemampuan mempertimbangkan manfaat aspek produksi, (2) kemampuan mempertimbangkan aspek teknik pasca panen, (3) kemampuan mempertimbangkan kebutuhan pasar, (4) kemampuan mempertimbangkan aspek teknik usahatani, (5) kemampuan mempertimbangkan manfaat dari aspek pendapatan pada semua etnis adalah tinggi. Tingkat intelegensia etnis Bali pada kategori sedang (55,79%) dan tinggi (32,63%).

Tingkat rasionalitas keseluruhan petani di Lampung berpengaruh nyata dengan arah positif terhadap terjadinya efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Petani yang mempunyai tingkat rasionalitas tinggi cenderung lebih efektif dalam pembelajaran SLPTT padi sawah. Petani padi sawah di Lampung mempunyai kategori tingkat rasionalitas yang tinggi (51,04 %). Tingkat rasionalitas dapat didekati melalui pikiran (berpikir) dan perasaan(Sujanto et al., 2004). Dalam penelitian ini indikator tingkat rasionalitas tersebut sangat berkaitan dengan: (a) pendapat tentang penggunaan saprodi, (b) pendapat tentang teknik budidaya dan pemeliharaan, (c) pendapat tentang teknik pemanenan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kerjasama berpengaruh nyata terhadap kefektifan tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada petani etnis Bali arah pengaruhnya positif. Hal ini berarti petani etnis Bali dengan kerjasama yang cenderung tinggi mempengaruhi lebih tinggi dalam keberhasilan tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Data penelitian menunjukkan petani etnis Bali mempunyai tingkat kerjasama yang sedang (75,79%). Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan, kesamaan,

1061

kebebasan, dan keadaban. Hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok, maka lahirlah apa yang dinamakan kerjasama. Indikator kerjasama yang berbeda dari kedua etnis tersebut berupa: kerjasama dengan pedagang, anggota kelompok tani, kerjasama dengan sumber informasi, lembaga perbankan, pemilik modal perorangan, gabungan kelompok tani, penyuluh, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kompetensi model berpengaruh nyata dan positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada analisis semua etnis petani, petani etnis Lampung, dan petani etnis Bali. Hal tersebut berarti figur model yang mempunyai kompetensi tinggi mempengaruhi efektifitas tujuan pembelajaran sekolah lapang SL PTT padi sawah. Kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya kinerja dan dapat digunakan untuk memprediksi perilaku seseorang, bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi seseorang yang berkinerja baik atau buruk, diukur dari kriteria atau standar khusus yang digunakan.Kajian tentang seorang model pernah dilakukan oleh Khajehpoura et al., (2011) dimana seorang modeling sangat berperanan dalam masyarakat sosial. Menurut Sumardjo (2008), kompetensi seseorang adalah karakteristik yang melekat pada diri seseorang tersebut yang menentukan efektifitas kinerjanya dalam mengemban misinya. Pada proses pembelajaran bahwa kompetensi model adalah kompetensi yang dipunyai oleh seorang figur yang seringkali ditiru berkaitan dengan kinerja yang dimiliki figur tersebut meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya.

Dalam masyarakat tani yang bersifat tradisional sampai menengah, kompetensi yang dimiliki oleh figur panutan masyarakat sangat strategis sekali pengaruhnya. Figur yang mempunyai pengetahuan yang tinggi, sikap yang maju, ketrampilan yang lengkap mudah sekali ditiru perilakunya oleh anggota masyarakat dalam kegiatannya.. Hasil penelitian ini menunjukkan sebaran nilai skor kategori penilaian kompetensi model (figur yang ditiru) oleh keseluruhan petani padi di Lampung bahwa 60,84% berada pada kategori kompetensi yang mampu, 56,25% berada pada kategori kompetensi yang mampu untuk etnis Lampung, dan 70,53% berada pada kategori kompetensi yang mampu untuk etnis Bali. Perbedaan kompetensi tersebut bersumber dari perbedaan tentang penguasaan isi materi suatu inovasi, penguasaan teknik dan metode, mengerti potensi dan peluang pasar, mengetahui kebutuhan usahatani, mengetahui sumberdaya usahatani, sikap positif pada diri sendiri, keberpihakan terhadap masyarakat, partisipatif dengan masyarakat, dialogis dengan masyarakat, berkomunikasi dengan petani, mendorong kerjasama petani, memotivasi petani.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa status model berpengaruh positif terhadap efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada petani etnis Bali. Status model adalah adalah penilaian petani terhadap tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Dapat diukur dari jabatan, keturunan, kekuatan, kekuasaan yang dimiliki seorang figur model. Pada masyarakat petani etnis Bali, model figur yang mempunyai status tinggi dibanding petani pebelajar mempunyai kemampuan mempengaruhi lebih tinggi pada terjadinya tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah. Hal tersebut dimungkinkan karena pada masyarakat petani etnis Bali masih memegang teguh strata sosial dalam masyarakat. Indikator status model yang membedakan berupa: jabatan di masyarakat, jabatan formal, keturunan dalam keluarga, kekuasaan dalam kelompok masyarakat, kekuatan dalam kelompok masyarakat. Status model juga mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Pembelajar akan lebih sering memperhatikan apabila model tersebut orang yang dihormati ataupun memiliki status tinggi yang dianggap seorang yang kuat dan atraktif dan dipercaya mampu memberikan hasil yang baik dibanding yang lainnya (Hergenhahn dan Olson, 2010). Penelitian Pailis (2006) juga menemukan bahwa status tokoh dan budaya masyarakat berpengaruh terhadap pembelajaran secara kolektif.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa variabel peran dalam kelompok tani berpengaruh nyata dan positif terhadap tercapainya tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada analisis semua etnis petani padi di Lampung. Hal tersebut berarti peran yang tinggi dalam kelompok tani akan tercapai tujuan pembelajaran yang lebih tinggi dalam pembelajaran SLPTT padi sawah. Peran dalam kelompok tani adalah penilaian petani terhadap peran anggota maupun pengurus kelompok dalam mempengaruhi aktivitasnyauntuk mencapai tujuan dirinya dan kelompok. Umstot (1988) mengemukakan

1062

terdapat peran-peran kelompok atau group roles, dalam hal ini peran-peran anggota kelompok dalam proses aktivitas kelompok dalam mencapai tujuan. Ada 3 peran didalam kelompok, yaknitask role, maintenance role, dan blocking role. ketiga peran tersebut ada di dalam kelompok dan selalu berinteraksi dalam berbagai aktivitas pencapaian tujuan kelompok. Demikian juga pada pembelajaran yang dilakukan terkait dengan proses pembelajaran secara kelompok.

Pada penelitian ini perbedaan peran kelompok bersumber dari peran dalam (a) memberi ide/gagasan, (b) memberi informasi, (c) menampung aspirasi, (d) mengevaluasi, (e) menghargai pendapat orang lain, (f) menentang tujuan bersama, (g) mengkomunikasikan tujuan kelompok, (h) berkompromi dalam kelompok, (i) mendominasi diskusi, (j) menentang pendapat orang lain, (k) menyerang pendapat yang tidak sepaham, (l) memotivasi kelompok. Adapun sebaran nilai skor kategori peran dalam kelompok tani bahwa 71,68% berada pada kategori peran yang sedang pada semua etnis petani padi di Lampung. Hasil penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Franco et al. (2011) tentang peran organisasi dan partisipasi masyarakat kaitannya dengankinerja pembelajaran dan penelitian Lavasania et al., (2011) dimana tentang perilaku sosial dan impulsive hubungannya dengan efektifitas pembelajaran kooperatif siswa pebelajar.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Kesimpulan

Efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah pada petani etnis Lampung dipengaruhi secara negatif oleh umur, tetapi dipengaruhi positif oleh sikap terhadap perubahan, keyakinan kemampuan diri, dan kompetensi model. Untuk itu perlu memperbaiki teknik pembelajaran pada petani sesuai usia petani, menumbuhkan sikap positif terhadap perubahan dan mendorong agar keyakinan kemampuan diri petani serta lebih giat dalam setiap pembelajaran. Dimungkinkan memanfaatkan tokoh panutan masyarakat atau model yang seringkali dianut untuk diikutsertakan sebagai nara sumber dalam proses pembelajaran. Selain itu mengajarkan berbagai macam manfaat dan hasil yang dapat dicapai akibat mengikuti pembelajaran dengan benar.

Pada petani padi etnis Jawa efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah dipengaruhi secara positif oleh sikap terhadap perubahan, tingkat keberanian mengambil resiko. Sehingga pada petani etnis Jawa masih dimungkinkan peningkatan tentang sikap terhadap perubahan dan tingkat keberanian mengambil resiko dengan cara memberikan rangsangan atau motivasi dalam pembelajaran, lebih memberikan dorongan dan menumbuh kembangkan keyakinan diri petani agar lebih berani dalam mengambil resiko.

Sedangkan efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah petani etnis Bali dipengaruhi secara positif oleh tingkat intelegensia, kerjasama, kompetensi model, dan status model. Dan dipengaruhi secara negatif oleh tingkat keberanian untuk beresiko. Tingkat pendidikan cukup riskan untuk ditingkatkan maka upaya yang dapat dilakukan dengan menumbuhkan tingkat intelegensia petani etnis Bali. Selain itu memberi dorongan terhadap keyakinan kemampuan diri agar berani untuk mengambil resiko setiap kegiatan. Kemudian menumbuh kembangkan terjadinya kerjasama dan memanfaatkan tokoh panutan dalam pembelajaran.

Secara kolektif peran figur model yang ditiru, dan peran kelompok tani masih strategis dalam proses pembelajaran bagi petani padi dari manapun asal etnisnya. Untuk itu peran tersebut masih perlu ditingkatkan keberadaannya bagi ketiga etnis. Implikasi

Untuk meningkatkan efektifitas tujuan pembelajaran SLPTT padi sawah maka pengambil kebijakan dan pelaksana kegiatan harus memperhatikan dan melakukan hal-hal penting sebagai berikut: (a) meningkatkan wawasan dan pola berpikir etnis petani, mendorong motivasi dalam pembelajaran; (b) sikap terhadap perubahan dan keyakinan kemampuan diri etnis petani yang sudah tinggi digunakan untuk mendorong terjadinya kerjasama; (c) mengintensifkan pembelajaran; (d) membentuk jejaring kerjasama dengan

1063

semua pihak terkait bidang pertanian;(e) memberdayakan peran kelompok tani serta memanfaatkan peran tokoh yang pendidikan untuk ikut membantu pembelajaran dalam masyarakat, dan (f) memanfaatkan figur panutan masyarakat dalam pembelajaran.

Perlu disusun panduan atau petunjuk teknis proses pelaksanaan pembelajaran SLPTT padi sawah yang menekankan peningkatan dorongan pembelajar agar berani mengambil resiko dan yakin akan kemampuannya sendiri, menyusun metode pembelajaran terstruktur agar tujuan pembelajaran berupa peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan meningkat dan berlangsung dengan benar.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada yang terhormat

Ir. F. Trisakti Haryadi, M.Si, Ph.D dan Subejo, SP, M.Sc. Ph.D. Atas arahan dan bimbingan dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., and M.S. Haider. 2012. An Analysis of farmer Field School As A Potential Source of Advanced Technology Dissemination Among The farmers of District Faisalabad, Pakistan. OIDA International Journal of Sustainable Development 03:01.

Azwar, S. 2009. Reliabilitas dan Validitas. Penerbit: Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2013. Lampung Dalam Angka. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Baharuddin dan E.N. Wahyuni. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Bajwa, M.S., M., Ahmad. and T. Ali. 2010. An Analysis of Effectiveness of Extension Methods Used in Farmers Field School Approach for Agricultural Extension Work in Punjab, Pakistan. J Agric. Res. 48(2).

Bananiek, S. Dan Z. Abidin. 2013. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang mempengaruhi Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi sawah di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol.16. Nomor 2. Juli 2013. p:111-121.

Bandura, A. 1986. Social Foundations of Thoughtand Action: A Social Cognitive Theory. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey.

Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise of Control. WH Freeman and Company. New York.

Basleman, A. dan S. Mappa. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

BPTP Lampung. 2010. Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Mendukung Program P2BN. Laporan Tahunan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar Lampung.

BPTP Lampung. 2011. Pendampingan Teknologi SLPTT Padi dan Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar Lampung.

1064

Dahar, R. W. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. 2013. Laporan CP/CL, BLBU SLPTT. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Enquist, M., K. Eriksson, dan S. Ghirlanda. 2007. Critical Social Learning: A Solution to Rogers's Paradox of Nonadaptive Culture. American Anthropologist Journal Vol. 109, Issue 4, pp.727-734.

Erythrina, R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajian Sifat Inovasi Komponen Teknologi Untuk Menentukan Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 16(1) Maret 2013 p:45-55.

Franco, J.S. Manuel,A.F. VillarejoRamos, and F.A. MartinVelicia. 2011. Social Integration and Post-Adoption Usage of Social Network Sites: An Analysis of Effects on Learning Performance”. Procedia Social and Behavioral Sciences15:256-262. Available online at http/www.sciencedirect.com. Diakses 14 Maret 2012.

Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Little Brown. Boston.

Glena, L. Leland, R.A. Jussaume Jr. , and J.C. Dawson. 2011. How Farmers Matter in Shaping Agricultural Technologies: Social and Structural Characteristics of Wheat Growers and Wheat Varieties. Agric Hum Values (2011) 28:213-224. DOI 10.1007/s10460-010-9275-9. Published online by Springer Science. (3 Maret 2012)

Hariadi, S.S. 2004. Kajian Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi dan Usaha. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hariadi, S.S. 2011. Dinamika Kelompok: Teori dan Aplikasinya Untuk Analisis Keberhasilan Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi dan Bisnis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Haryadi, F.T. 1997. Effektivitas Penyuluhan Sapta Usaha Peternakan Sapi Potong pada Dua Model Perkampungan Ternak. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hergenhahn, B.R. dan M. H. Olson. 2010. Theories of Learning (Teori Belajar). Penerbit Kencana. Jakarta.

Khajehpoura, M.,S.D.Ghazvinia, E. Memaria, and M. Rahmanib. 2011. Social Cognitive Theory of GenderDevelopment and Differentiation. Procedia Social and Behavioral Sciences 15(2011):1188-1198. Available on line at http/ www.science direct.com (5 Maret 2012)

Lavasania, M. Golamali, L. Afzalia, S.Borhanzadeha, F. Afzalia, M. Davoodia. 2011. The Effect of Cooperative Learning on The Social Skills of First Grade Elementary School Girls. Procedia Social and Behavioral Sciences 15 (2011) 1802-1805. Available online at http/ www.sciencedirect.com (9 Januari 2013)

Litt, M.D., A. Kleppinger, and J.O. Judge. 2002. Initiation and Maintenance of Exercise Behavior in Older Women:Predictors from The Social Learning Model. Journal of Behavioral Medicine Vol. 25, No.1, February 2002.

1065

Mc.Elreath, R. 2004. Social Learning and The Maintenance of Cultural Variation: An Evolutionary Model and Data from East Africa. Journal American Anthropologist, Vol.106, Juni 2004. Issue 2, pp.308-321.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia. Jakarta.

Nurasa, T dan H. Supriadi. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi (Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan). Analisis Kebijakan 10(4):313-329.

Pailis, F.G. 2006. The Role of Culture in Farmer Learning and Technology Adoption: A Case Study of Farmer Field Schools Among Rice Farmers in Central Luzon, Philippines. Journal Agriculture and Human Values (2006) 23:491-500.

Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfield. 1995. Microeconomics. Prentice Hall. New Jersey.

Pujiharti,Y., Muchlas, Ernawati dan B. Wijayanto. 2008. Kajian Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Lampung. Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian kerjasama dengan Perhiptani Lampung serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Sembiring, H., L. Hakim, I. Nyoman W, dan Z. Zaini. 2012. Evaluasi Adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah Lapang pada Program Nasional Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Seminar Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Medan-2012.

Shirkhani, S. and F. Ghaemi. 2011. Barriers to self-regulation of language learning: Drawing on Bandura's ideas. Procedia Social and Behavioral Sciences,29(2011):107-110. Available online at www.sciencedirect.com. (9 Januari 2013).

Subin In, C.H. Mason, and M.B. Houston. 2007. Does Innate Consumer Innovativeness Relate to New Product/Service Adoption Behavior? The Intervening Role of Social Learning Via Vicarious Innovativeness. Journal of the Academy of Marketing Science (2007) 35:63-75. Pubhlised on line 3 February 2007. (3 Maret 2012).

Sujanto, A., H. Lubis, dan T. Hadi. 2004. Psikologi Kepribadian. Bumi Aksara. Jakarta.

Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Pustaka Bangsa Press. Medan.

Umstot, D. 1988. Understanding Organizational Behaviour. West Publishing Company. New York.532p.

Utami, B.N., 2009. Proses Social Learning di Kalangan Petani Dalam Kegiatan Pengolahan Pupuk Organik Di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Tesis: Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Zappa, P. and P. Mariani. 2011. The Interplay of Social Interaction, Individual Characteristics and External Influence in Diffusion of Innovation Processes: An

Empirical Test in Medical Settings. Procedia Social and Behavioral Sciences 10(2011):140-147. Available online at www.sciencedirect.com. (9 Januari 2013).

1066

PERSEPSI DAN MOTIVASI PETANI MENGENAI TEKNOLOGI KONSERVASI LAHAN PERTANIAN BERLERENG DI

KECAMATAN LABANGKA KABUPATEN SUMBAWA NUSA TENGGARA BARAT

Yohanes Geli Bulu dan Sylvia Kusumaputri Utami

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat Jln. Raya Peninjauan Narmada - Lombok Barat NTB

ABSTRAK

Pengelolaam sumberdaya lahan pertanian berlereng oleh sebagian besar petani lahan kering di kabupaten Sumbawa belum dilakukan secara optimal. Pemanfaatan lahan pertanian berlereng untuk tanaman pangan secara intensif mengakibatkan degradasi tanah permukaan oleh erosi pada musim hujan relatif besar. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui persepsi dan motivasi petani serta adopsi teknologi konservasi lahan pertanian berlereng. Pengkajian dilaksanakan di desa Labangka, kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa dari bulan Maret hingga Desember 2014. Penelitian menggunakan pendekatan survei. Pemilihan dan penentuan sampel responden secara purposif. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi langsung dan wawancara mendalam pada 40 orang responden dengan menggunakan kuesioner. Pendekatan pengumpulan dan analisis data dalam penelitian adalah memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data kuanlitatif dilakukan dengan menyusun item pertanyaan secara sistematis

menggunakan scala Likert. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi petani mengenai teknologi konservasi lahan pertanian berlereng mencapai 83,54 %. Persepsi petani dari aspek kognitif menunjukkan sebagian besar petani mempunyai pemahaman bahwa konservasi lahan berlereng sangat perlu dilakukan untuk mengurangi erosi tanah. Motivasi petani mengenai teknologi konservasi lahan pertanian berlereng mencapai 84,98 %, meliputi Kebutuhan akan penerapan teknologi konservasi lahan (Existence) sebesar 83,29 %, Kebutuhan akan kerjasama dalam penerapan teknologi konservasi lahan berlereng (Relatedness) sebesar 89,66 %, dan Kebutuhan untuk berkembang dalam penanganan konservasi lahan pertanian berlereng (Growth) sebesar 82,25 %. Motivasi petani untuk menerapkan teknologi konservasi lahan pertanian berlereng pada hakekatnya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan, dapat dilakukan dengan biaya rendah dan menguntungkan. Tingkat adopsi teknologi konservasi lahan pertanian berlereng belum optimal yaitu 66,86 %. Kata Kunci: Persepsi, motivasi, Lahan berlereng, teknologi, konservasi

1067

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian besar lahan pertanian di kabupaten Sumbawa adalah lahan dengan kontur

yang miring atau berlereng. Bila dilihat dari segi topografinya, permukaan tanah di wilayah Kabupaten Sumbawa tidak rata atau cenderung berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 0 hingga 1.730 meter diatas permukaan air laut, dimana sebagian besar diantaranya yaitu seluas 355.108 ha atau 41,81 persen berada pada ketinggian 100 hingga 500 meter. Sementara itu, ketinggian untuk kota-kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa berkisar antara 10 sampai 650 meter di atas permukaan air laut (BPS Kabupaten Sumbawa, 2015).

Pengelolaan lahan berlereng untuk tanaman pangan tidak diikuti dengan penanganan konservasi. Umumnya degradasi lahan ini terjadi akibat penggunaan lahan tanpa tindakan konservasi yang memadai. Penanganan konservasi lahan terutama pada lahan pertanian yang ditanami tanaman pangan sampai saat ini belum dilakukan petani. Petani belum menerapkan teknik konservasi pada lahan pertanian disebabkan oleh faktor sosial, diantaranya adalah kesadaran petani yang rendah.

Individu petani dalam memahami inovasi teknologi konservasi melalui proses persepsi. Persepsi adalah stimulus mengenai individu itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikannya sehingga individu menyedari tentang apa yang diinderanya (Walgito, 2006). Ketika petani lahan kering yang mengelola lahan berlereng melihat penerapan inovasi teknologi konservasi, maka muncul stimulus yang diterima alat inderanya, kemuadian melalui proses persepsi inovasi teknologi konservasi yang ditangkap oleh indera sebagai sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi petani. Melalui suatu interpretasi dan pemaknaan dari suatu teknologi konservasi maka muncul keyakinan dan kepercayaan terhadap inovasi teknologi konservasi. Namun, individu petani masih memerlukan pembuktian terhadap kebenaran inovasi teknologi konservasi melalui uji coba atau melihat kepada sesama petaninya yang telah mencoba atau menerapkan.

Erosi dan kerusakan lahan umumnya terjadi akibat penggunaan lahan pertanian yang melampaui daya dukung lahan, salah satunya berupa penggunaan lahan berlereng untuk tanaman pangan tanpa pembuatan terassering. Petani yang yang mengelola lahan berlereng menyadiri bahwa erosi akan menurunkan kesuburan tanah, sehingga melakukan pengendalian erosi melalui pola tanam relay jagung dengan kacang hijau maupun dengan kacang tanah.

Tanaman jagung sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Sumbawa memberikan kontribsi yang besar dalam penggunaan lahan kering di daerah ini. Total luas panenn jagung di Kabupaten Sumbawa 43.043 ha dimana Kecamatan Lunyuk, Labangka, dan Plampang merupakan wilayah sentra produksi jagung terluas (BPS Sumbawa, 2015). Sebagian besar lahan pertanian yang ditanami jagung di tiga kecamatan Labangka dan Plampang adalah lahan berlereng. Teknik budidaya pertanian tanaman pangan pada lahan berlereng yang tidak memperhatikan konservasi lahan dapat menyebabkan kualitas lahan menurun berupa hilangnya lapisan tanah subur akibat erosi. Menurut Eraku (2012), melaporkan bahwa penggunaan lahan aktual merupakan salah satu faktor tingginya erosi permukaan. Kemampuan lahan dan kesesuaian lahan dipengaruhi oleh biofisik lahan.

Keadaan lahan dengan topografi berlereng dan cenderung berbukit-bukit ini tidak diimbangi dengan pembuatan terasering karena petani lebih terfokus pada penanaman tanaman pangan tanpa memperhatikan erosi tanah.Kasus erosi tanah pada lahan tanaman pangan berlereng banyak terjadi di Kecamatan Labangka dan Plampang, Kabupaten Sumbawa. Petani lebih terkonsentrasi untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan tidak melakukan penanganan konservasi lahan dengan membuat terassering pada lahan berlereng. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan lahan seperti yang diungkapkan oleh Arsyad (2006) bahwa budidaya pertanian pada lahan dengan kemiringan tinggi jika dilaksanakan dengan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi lahan maka lahan akan menjadi tidak subur, bahkan kritis, dengan produktivitas lahan rendah.

1068

Salah satu teknik konservasi pada lahan berlereng adalah dengan pembuatan terassering. Pembuatan terassering diperlukan untuk mengurangi panjang lereng dan menahan atau memperkecil aliran permukaan agar air dapat meresap ke dalam tanah. Terassering merupakan bangunan konservasi lahan, teras-teras yang dibuat sejajar dengan garis kontur alam yang dilengkapi dengan saluran peresapan, saluran pembuangan air, dan tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi. Menurut Arsyad dan Suripin dalam Suwarto (2012), pembudidayaan tanaman sesuai garis contour dimaksudkan supaya barisan-barisan tanaman dapat memotong aliran permukaan air hujan sehingga dapat menekan laju erosi tanah. Petani yang mengelola lahan berlereng menyadiri terjadinya erosi tanah pada musim hujan yang menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah.

Untuk mengurangi erosi tanah petani di Sumbawa hanya mengelola lahan tanpa olah tanah. Pengetahuan petani mengenai konservasi tanah sangat rendah yang disebabkan oleh kurangnya pendampingan dalam penanganan konservasi tanah. Pendampingan ini diperlukan untuk membentuk persepsi petani tentang pentingnya konservasi lahan terhadap penggnaan lahan dalam budidaya pertanian. Asafu dan Adjaye dalam Suwarto (2012) menjelaskan bahwa pelaksanaan konservasi lahan dimulai dari persepsi para petani dalam konservasi lahan.

Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi baru (misalnya teknologi budidaya jagung Hibrida) adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi tersebut merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil keputusan untuk berperilaku. Bentuk kebutusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk menerpakna inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan.

Persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan). Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.

Secara psikologis persepsi individu petani terhadap suatu inovasi teknologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti dari simbol-simbol teknologi itu, pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir, sumber referensi dan dan motivasi untuk belajar. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh pada seorang individu petani dalam mengadakan atau melakukan persepsi terhadap inovasi teknologi. Belajar adalah memperoleh dan memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktek (Van den Ban dan Hawkins, 2000).

Konservasi lahan bertujuan mendapatkan tingkat keberlanjutan produktivitas lahan dengan menjaga kehilangan lapisan olah lahan di bawah ambang batas yang diperkenankan (Suripin, 2004). Penanganan konservasi lahan yang dilakukan saat ini lebih banyak mengarah pada persoalan teknis, sedangkan pemberdayaan petani dan kelembagaan tani masih sangat kurang sehingga kesadaran petani terhadap perbaikan konservasi tanah masih rendah. Meskipun kegiatan penyuluhan telah dipusatkan pada petani, namun hal tersebut tidak menjamin terjadinya proses difusi teknologi konservasi lahan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai pendekatan dalam pemberdayaan petani untuk penanganan konservasi tanah terutama untuk lahan yang ditanami tanaman pangan. Diversifikasi tanaman pada lahan dengan kontur miring atau berlereng akan memberikan jaminan terhadap berkurangnya erosi lapisan permukaan tanah. Ditinjau dari aspek ekonomi bahwa diversifikasi komoditas pada teras lahan atau penanaman dengan sistem tumpang gilir atau relay akan memberikan nilai tambah bagi petani jika komoditas utama gagal panen. Penggunaan tanaman hijauan pakan ternak sebagai penguat teras juga dapat mensuplai kebutuhan pakan ternak. Penelitian ini penting dilakukan karena terdapat kecenderungan pengelolaan lahan pertanian berlereng untuk tanaman pangan sangat jarang dilakukan pengendalian konservasi tanah. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui tingkat kesadaran

1069

dan kemampuan petani dalam penanganan konservasi lahan tanaman pangan berlereng. Penelitian bertujuan untuk mengetahui persepsi, motivasi petani dan tingkat adopsi teknologi konservasi dalam pengelolaan lahan pertanian berlereng.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di kecamatan Labangka kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara

Barat dari bulan Januari hingga Desember 2014. Penelitian ini menggunakan metode survei. Jenis data yang dikumpulkan terdiri data sekunder dan data primer. Data primer yang

dikumpulkan melalui teknik diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi pelibatan, pencatatan, dan wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan. Jenis data primer yang dikumpulkan meliputi data persepsi dan motivasi mengenai teknologi konservasi serta data tingkat adopsi teknologi konservasi. Daftar pertanyaan atau kuesioner untuk mengumpulkan data pada responden dimana disusun item-tem pertanyaan pada semua variabel maupun sub variabel dengan pengukuran menggunakan skoring berdasarkan skala Likert.

Teknik penentuan sampel responden yang diwawancara secara mendalam adalah secara purposive. Jumlah responden yang mengelola lahan miring atau berlereng yang diwawancarai sebanyak 40 orang. Responden yang dipilih untuk diwawancarai secara mendalam adalah petani yang mengelola lahan pertanian berlereng dengan tingkat kemiringan lahan antara 10 % - 45 %.

Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Pendekatan analisis data adalah dengan memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dimana pendekatan kualitatif didukung oleh pendekatan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pengelolaan Lahan Berlereng Kabupaten Sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan daerah dengan

agroekosistem lahan kering iklim kering. Sebagian besar lahan kering yang diperuntukkan lahan pertanian ditanami jagung. Lahan pertanian berlereng yang ditanami jagung terdapat di kecamatan Labangka, Lunyuk, Plampang dan Tarano. Keempat kecamatan tersebut memiliki topografi bergelombang dan berbukit-bukit.

kondisi lahan di Kecamatan Labangka saat ini sudah mulai mengalami erosi. Pembuatan teras pada lahan miring berfungsi untuk mengurangi kecepatan air hujan yang mengalir di atas permukaannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terkikisnya lapisan permukaan tanah karena aliran air hujan. Apabila tanah di permukaan sudah terkikis, maka akan mengurangi kesuburan tanah karena lapisan permukaan tanah merupakan lapisan subur yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Untuk itu, pembuatan teras dimaksudkan untuk melindungi atau mempertahankan agar tanah tetap subur. Dengan adanya teras, peresapan air ke dalam tanah dapat diperbanyak.

Petani di Kecamatan Labangka telah mengalami terjadinya degradasi lahan pertanian berlereng seperti terkikisnya lapisan tanah yang paling subur bahkan ada lahan berlereng milik petani yang hanya tinggal berbatuan. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya kemauan petani terhadap penerapan teknologi konservasi lahan berlereng. Perhatian petani masih terfokus pada peningkatan produksi usahatani dan belum diimbangi dengan penanganan konservasi tanah.

Setiap musim hujan lahan pertanian berlereng umumnya ditanami jagung dan pada musim kemarau dibiarkan bero sehingga menjadi kawasan pengembalaan ternak bagi petani yang memiliki ternak banyak. Bagi petani yang menanam tanaman lain selain tanaman pangan seperti tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan maka dilakukan pemagaran keliling lahan. Lahan yang ditanam tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan yang dilakukan pemagaran adalah lahan yang agak miring dengan tingkat kemiringan berkisar 5

1070

% - 10 % serta relatif subur. Sedangkan lahan pertanian berlereng yang berkisar antara 25 % sampai 45 % jarang dilakukan pemagaran keliling oleh petani.

Petani yang melakukan pengendalian konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng relatif sedikit. Petani yang memperhatikan konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng cenderung melakukan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah dengan menggunakan herbisida. Petani yang melakukan pengendalian konservasi tanah pada lahan pertanian berelereng di kecamatan Labangka dengan membuat terassering maupun melakukan pergiliran tanam sebelum atau setelah panen komoditas yang ditanam pada musim hujan (MH) hanya sekitar 5 %.

Pergiliran tanam yang dominan dilakukan oleh petani di kecamatan Labangka adalah dengan sistem relay jagung dengan kacang hijau atau dengan kacang tanah. Penanaman kacang hijau maupun kacang tanah dilakukan menjelang umur panen jagung atau sebelum panen jagung. Pemilihan kacang hijau dan kacang tanah sebagai tanaman yang disisip sebelum panen jagung karena kedua tanaman tersebut tidak membutuhkan air yang banyak serta tahan terhadap kekeringan sehingga cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah. Disamping itu, kacang hijau dan kacang tanah juga mempunyai potensi hasil cukup baik serta harga yang cukup tinggi di Kecamatan Labangka, yaitu masing-masing produktivitas mencapai 11,3 kw/ha dan 10,2 kw/ha (BPS Kabupaten Sumbawa, 2013).

Lahan pertanian yang ada di kecamatan Labangka kabupaten Sumbawa didominasi oleh lahan kering, dengan luas lahan mencapai 10.752 ha (BPS, 2014). Luas lahan kering tersebut umumnya memiliki topografi yang berlereng, tingkat kemiringan lahan bervariasi antara 10 – 30 % dengan arah kemiringan antara lahan yang satu berbeda dengan yang lain. Arsyad (2006) menyatakan bahwa terasering pada lahan yang miring berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Idjudin, A. Abas (2011) menyatakan bahwa untuk menahan laju erosi pada lahan miring, perlu adanya teknis konservasi lahan terasiring dan sebagai penguat teras/kontur sebaiknya ditanami tanaman penguat berupa rumput makanan ternak.Tanaman pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah akibat erosi dari sebelah atas larikan (Mawardi, 2011).

Persepsi Petani Mengenai Teknologi Konservasi Lahan Berlereng Pengetahuan petani mengenai teknologi konservasi tanah bukan suatu hal yang baru bagi mereka melainkan belum mempunyai kemauan atau kesadaran untuk menerapkan teknologi konservasi. Petani mempunyai penilaian bahwa penanganan konservasi lahan pertanian berlereng memerlukan biaya yang tinggi dan tenaga yang banyak. Petani kurang menyadari bahwa pekerjaan penanganan konservasi lahan berlereng dapat dilakukan secara bertahap.

Individu petani dalam memahami suatu inovasi melalui proses persepsi. Persepsi adalah stimulus yang mengenai petani itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikannya sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya. Ketika petani mendengar atau melihat suatu inovasi teknologi, maka muncul stimulus yang diterima alat inderanya, kemuadian melalui proses persepsi suatu inovasi teknologi baru yang ditangkap oleh indera sebagai sesuatu yang berarti dan bermanfaat baginya. Melalui suatu interpretasi dan pemaknaan dari teknologi konservasi lahan berlereng yang disampaikan melalui pendampingan maka muncul keyakinan dan kepercayaan terhadap inovasi teknologi tersebut. Akan tetapi petani masih memerlukan pembuktian terhadap kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba atau melihat kepada sesama petani yang telah mencoba.

Persepsi petani terhadap inovasi teknologi konservasi lahan berlereng adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh petani melalui pertemuan kelompok dan pendampingan teknologi, sehingga inovasi teknologi konservasi tersebut merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri petani sebelum mengambil keputusan untuk berperilaku. Bentuk keputusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk menerpakan inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan.

1071

Persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi konservasi lahan pertanian berlereng dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri petani) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri seperti biaya, keterbatasan tenaga kerja, dan lingkungan). Suatu inovasi teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng seperti pembuatan terasering yang dipersepsi erat kaitannya terhadap kondisi lingkungan (agro-ekosistem), topografi dan bentuk kemiringan serta tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi konservasi lahan berlereng itu merupakan faktor-faktor internal petani dalam mempersepsikan kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.

Petani banyak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain tentang suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan yang beragam. Tingkat tindakan yang dilakukan petani tergantung pada tingkat manfaat dan keuntungan yang akan diterima. Seorang petani dengan pendidikan yang rendah seringkali bersifat apatis terhadap inovasi sebagai akibat kegagalan yang dialaminya pada masa lampau, karena kurangnya pengetahuan tentang inovasi. Sifat-sifat apatis tersebut banyak dialami oleh sebagian besar petani lahan kering akibat kegagalan usahatani yang dialaminya yang disebabkan oleh faktor kondisi iklim yang tidak menentu.

Suatu inovasi teknologi konservasi tanah yang diterima petani selalu menilai perilaku diri sendiri akan kemampuan untuk melakukan teknologi itu dengan baik. Jika seorang petani dengan tingkat penilaian diri atau pengendalian perilaku yang tinggi gagal mencapai hasil yang diinginkan, maka ia akan mencoba lagi untuk menemukan yang lebih baik. Sebaliknya jika seorang petani dengan tingkat penilaian perilaku dirinya rendah, maka cepat berhenti berusaha terutama pada pekerjaan-pekerjaan tertentu atau inovasi-inovasi yang spesifik yang lebih mudah dilakukan dengan biaya rendah.

Tabel 1. Persepsi petani mengenai teknologi konservasi lahan pertanian berlereng di kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

No Item Skor

Maksimum Rata-rata

Skor Persentase

1 Teknologi konservasi memberikan manfaat terhadap pengendalian erosi

5 4.05 81.05%

2 Teknologi konservasi mengembalikan kesuburan tanah akibat erosi

5 4.00 80.00%

3 Pembuatan teras dapat menahan aliran tanah pada musim hujan.

5 3.95 78.95%

4 Teknologi konservasi tanah meningkatkan produksi jagung pada lahan miring

4 3.53 88.16%

5 Pembuatan teras secara sederhana tidak menyita waktu

4 3.63 90.79%

6 Rumput/turi/lamtoro menguntukan untuk penyediaan pakan ternak

5 4.11 82.11%

7 Penanaman rumput, lamtoro dan turi pada teras dapat memperkuat teras

5 4.06 81.11%

8 Pergiliran tanam sebagai bentuk konservasi dapat meningkatkan pendapatan

4 3.95 98.68%

9 Pergiliran tanam akan meningkatan produktivitas lahan.

5 4.00 80.00%

10 Penerapan teknologi konservasi secara teknis dan ekonomis menguntungkan

5 4.00 80.00%

Total 39.27 83.54%

Sumber: Analisis data primer, 2015

1072

Persepsi petani mengenai teknologi konservasi lahan tanaman pangan berlereng cukup tinggi yaitu mencapai 83,54 %. Hal ini menunjukkan bahwa petani mempersepsikan teknologi konservasi akan memberikan manfaat terhadap pengendalian eosi tanah, peningkatan produktivitas lahan dan produktivitas usahatani tanaman pangan.

Motivasi Petani Terhadap Konservasi Tanah pada Lahan Pertanian Berlereng

Motivasi kerja petani dalam pengelolaan usahatani lahan pertanian berlereng merupakan seperangkat sistem nilai yang dianut sebagai daya penggerak dalam diri individu untuk berusaha melakukan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. Sistem nilai merupakan salah satu unsur budaya adalah hal-hal yang dianggap baik atau buruk, pantas atau tidak pantas dalam kehidupan bersama dalam masyarakat (Soekanto, 1983). Sistem nilai merupakan navigator perilaku seseorang, sehingga sistem nilai yang dianut seseorang sangat menentukan cara berpikir, bersikap, dan daya dorong (energi) yang bermuara pada perilaku dalam merespon setiap kondisi untuk memenuhi kebutuhannya sebagai individu maupun memenuhi kebutuhan keluarganya.

Motivasi seseorang untuk bekerja pada dasarnya bermuara pada tujuan yang ingin dicapai: (1) pemenuhan akan kebutuhan eksistensi (ketersediaan pangan, sandang, papan, dan rasa aman); (2) hubungan sosial kemasyarakatan, interaksi dan kerja gotong royong serta kerjasama dengan berbagai pihak; dan (3) kebutuhan peningkatan kapasitas atau pertumbuhan (meningkatkan pengetahuan mengenai inovasi konservasi, peningkatan produksi jagung pada lahan berlereng dan pendapatan usahatani jagung melalui penerapan inovasi teknologi konservasi, mengikuti kegiatan sosial) sebagai bentuk aktualisasi diri.

Motivasi petani lahan kering berlereng untuk memenuhi kebutuhan akan keberadaan (existence) lebih kuat (83,29 %) dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan akan peningkatan kapasitas atau pertumbuhan (growth) sebesar 82,25 %. Motivasi untuk pemenuhan kebutuhan akan kerjasama lebih kuat dibandingkan akan pemenuhan kebuthan akan keberadaan dan peningkatan kapasitas. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama kelompok dalam kegiatan usahatani maupun kegiatan sosial cukup tinggi. Hal ini merupakan indikasi bahwa dalam pengelolaan usahatani jagung oleh petani di lahan berlereng cenderung komersial guna merespon permintaan pasar, sehingga perhatian mengenai konservasi tanah menjadi lemah.

Kebutuhan akan keberadaan, kemitraan, dan peningkatan kapasitas atau pertumbuhan merupakan komponen-komponen yang memotivasi petani untuk menerapkan inovasi konservasi pada lahan tanaman pangan berlereng sesuai anjuran agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatan serta keuntungan. Pendapatan yang diperoleh petani dari berusahatani jagung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan berdasarkan prioritas yang telah ditentukan. Pemenuhan kebutuhan akan ketersedian pangan keluarga merupakan yang utama selain sandang, pendidikan anak, perumahan, dan menabung, serta pemenuhan kebutuhan inovasi yang muncul secara bersamaan. Dalam berusahatani jagung pada lahan berlereng petani cenderung berpikir mengenai kehidupan di masa depan dengan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan status sosial ekonominya.

Dalam kehidupan masyarakat di pedesaan selalu terjadi interaksi, kerjasama, dan berhubungan antara satu sama lain. Demikian pun dalam berusahatani dan penerapan inovasi selalu terjadi interaksi, komunikasi dan jaringan kerjasama. Kebutuhan akan kerjasama dengan pihak lain dalam berusahatani pada lahan pertanian berlereng dengan menerapkan teknologi konservasi akan mempererat hubungan antara satu sama lain dalam suatu jejaringan kerjasama. Kegiatan usahatani pada lahan pertanian berlereng petani selalu menjalin hubungan kerjasama dengan sesama petani, kontak tani, petani berhasil, PPL, kios sarana produksi, pengurus kelompok tani, dan pedagang untuk memperoleh informasi dan inovasi yang dibutuhkan.

Pengelolaan usahatani tanaman pangan (jagung dan kacang hijau) pada lahan pertanian berlereng yang dilakukan secara komersial dengan penggunaan inovasi teknologi konservasi seperti pembuatan terassering yang mempunyai seni memerlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi petani melalui proses belajar agar mampu menerapkan

1073

inovasi dengan lebih baik. Keinginan untuk lebih maju dalam berusahatani diwujudkan dengan meningkatkan adopsi inovasi, merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri petani agar dihargai dan dihormati oleh masyarakat disekitarnya sebagai petani berhasil serta sebagai sumber informasi. Upaya lain yang dilakukan petani sebagai wujud aktualiasi diri dan meningkatkan status sosial ekonomi, yaitu dengan mening-katkan produksi dan pendapatan usahatani melalui penerapan inovasi.

Motivasi petani dalam memilih dan menerapkan inovasi konservasi pada lahan berlereng pada hakekatnya didasarkan oleh pemenuhan kebutuhan, ketersediaan biaya, biaya rendah dan menguntungkan. Tingkat penerapan inovasi jagung sangat ditentukan oleh faktor-faktor psikologis petani. Kekuatan-kekuatan psikologis petani relatif jarang dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam kegiatan pemberdayaan, pendampingan, pembinaan dan penyuluhan pertanian.

Tabel 2. Motivasi petani mengenai teknologi konservasi lahan tanaman pangan berlereng di

kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa.

No Item Skor

Maksimum Rata-rata

Skor Persentase

(%)

1 Kebutuhan akan keberadaan dalam kegiatan konservasi lahan (Existence)

63 52 83.29%

2 Kebutuhan akan kerjasama dalam kegiatan konservasi lahan (Relatedness)

57 51 89.66%

3

Kebutuhan akan peningkatan kapasitas atau kebutuhan untuk berkembang dalam kegiatan konservasi lahan (Growth)

59 49 82.25%

Total 179 152 84.98%

Sumber: Analisis data primer, 2015

Adopsi Teknologi Konservasi Lahan Pertanian Berlereng

Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan/mental yang terjadi pada diri petani pada saat menghadapi suatu inovasi, dimana terjadi proses penerapan suatuide baru sejak didengar, diketahui, diamati diterapkannya ide baru tersebut. Padaproses adopsi akan terjadi perubahan-perubahan dalam perilaku sasaran umumnya akan menentukan suatu jarak waktu tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi teknologi konservasi lahan sangat tergantung dari sifat dinamika sasaran (petani) sebagai pelaku utama teknologi. Proses adopsi teknologi merupakan suatu proses sosiologis dan psikolgis. Namun, juga tidak terlepas dari proses ekonomi karena berkaitan dengan biaya, keuntungan dan manfaat dalam menerapkan teknologi. Dalam memilih teknologi petani selalu mempertimbangkan dari aspek keuntungan dan manfaat untuk diterapkan sehingga keputusan untuk menentukan pilihan adalah memelalui proses persepsi. Kemampuan memilih suatu teknologi yang bermanfaat bagi seorang petani menggunakan kekuatan berpikir senbagai bahan pertimbangannya. Kekuatan-kekuatan berpikir petani dalam memilih teknologi sebagai bentuk berperilakunya adalah syarat dengan pertimbangan-pertimbangan selektif. Perbaikan sumberdaya lahan melalui penerapan teknik konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng selain mengatasi erosi tanah, juga sebagai upaya meningkatkan kualitas sumberdaya lahan. Peningkatan kualitas tanah yang baik melalui penerapan teknik konservasi akan meningkatkan produktivitas usahatani. Teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng yang memberikan keuntungan dan manfaat dapat menjadi faktor mendorong bagi petani untuk menambah pengetahuan teknologi dan keterampilan serta memutuskan untuk menerapkannya.

1074

Penerapan teknik-teknik konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng merupakan operasionalisasi persepsi petani terhadap teknologi konservasi lahan tanaman pangan berlereng. Ketika petani merasa yakin keunggulan dan manfaat teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng maka petani akan menerapkan secara berkelanjutan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan terasering yang dilakukan petani mencapai 67,5 %. Meskipun penerapan teknologi konservasi tergolong rendah namun petani sudah mempunyai kesadaran untuk melakukan pengendalian erosi tanah pada lahan pertanian berlereng. Secara umum tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng belum dilakukan secara maksimal oleh petani. Tabel 3. Tingkat adopsi teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng, kecamatan Labangka kabupaten Sumbawa.

Sumber: Hasil analisis data primer, 2015

No Item Skor

Maksimum Rata-rata

Skor Persentase

1 Melakukan pembuatan terasering secara bertahap pada lahan pertanian berlereng

4 2.70 67.50%

2 Pembuatan terssering pada lahan berlereng menggunakan bingkai segitiga A

4 2.90 46.67%

3 Pembuatan terassering lahan berlereng dilakukan pada musim kemarau

3 2.70 90.00%

4 Pembuatan terssering pada lahan berlereng mengikuti kontur lahan

2 1.60 80.00%

5 Pemeliharaan dan perbaikan terasering yang rusa akibat erosi dilakukan selama musim hujan

2 1.90 95.00%

6

Melakukan pengolahan tanah minimum pada lahan berlereng

3 1.60 53.33%

7

Untuk mengurangi terjadinya erosi pada lahan berlereng maka pengolahan tanah menggunakan herbisida atau TOT

2 1.20 60.00%

8

Melakukan pergiliran tanam tanaman pangan pada lahan berlereng

2 1.60 80.00%

9

Menanam tanaman penguat teras berupa rumput dan legume pohon untuk pakan ternak

3 1.40 72.50%

10

Penanaman tanaman penguat teras berupa turi, lamtoro, dan rumput setaria

3 1.60 53.33%

11

Pengaturan jarak antara satu terassering dengan dengan yang lain ditentukan dengan kemiringan lahan

2 1.40 70.00%

12

Pembuatan terassering pada lahan berlereng dengan kemiringan antara 5% - 10% maka jarak antara teras ditentukan berdasarkan kebutuhan

3 1.70 56.67%

13

Penanaman tanaman pangan pada lahan berlereng mengikuti kontur lahan mengikuti terasering yang telah dibentuk

2 1.10 55.00%

Total 35 23.40 66.86%

1075

Rata-rata tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian

berlereng masih tergolong rendah yaitu 66,86 % (Tabel 3). Penerapan teknologi yang rendah disebabkan oleh pola pikir petani yang masih menghubungkan dengan keterbatasan tenaga kerja dan biaya, yang semestinya dapat dilakukan petani secara bertahap. Penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng dilakukan melalui penerapan jangka pendek dan jangka panjang. Penerapan tekjknologi konservasi jangka pendek, yaitu melakukan pengendalian erosi pada bagian-bagian lahan yang mengalami kerusakan berat. Penerapan teknologi konservasi jangka panjang adalah melakukan pemeliharaan dengan menanam tanaman penguat teras serta melakukan pemeliharaan tanaman penguat teras secara kontinyu.

Untuk mengatasi kesulitan biaya dan tenaga kerja dalam pembuatan terasering maka anggota kelompok tani sepakat untuk melakukan kerjasama kelompok secara gergilir dalam pembersihan lahan dan pembuatan terasering. Penerapan teknologi konservasi tanah (penerapan teknik-teknik konservasi tanah) pada lahan pertanian berlereng dilakukan melalui kerjasama dalam kelompok tanai. Kerjasama penerapan teknologi konservasi tanah merupakan suatu komitmen yang muncul dari diri petani untuk perbaikan kualitas sumberdaya lahan pertanian berlereng dalam pengelolaan usahatani. Kualitas sumberdaya lahan pertanian berlereng yang baik akan meningkatkan produktivitas usahatani. Pengendalian terjadinya erosi tanah pada lahan pertanian berlereng tidak hanya untuk mengurangi terjadinya degradasi tanah, juga pengendalian dilakukan melalui pola tanam dan diversifikasi usahatani pada lahan pertanian berlereng. Penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng memerlukan kreativitas dalam menerapkan teknik-teknik konservasi yang muncul dari kreativitas berpikir dan diaktualisasikan dalam pola bertindak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Pemanfaatan lahan pertanian berlereng secara terus menerus untuk kegiatan

usahatani tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah menyebabkan terjadinya degradasi tanah lapisan atas yang mengibatkan penurunan kesuburan tanah.

2. Persepsi petani mengenai teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng terhadap aspek teknis dan ekonomi bahwa memberikan manfaat terhadap peningkatan kesuburan tanah, produktivitas lahan, dan keuntunngan usahatani serta pendapatan petani.

3. Motivasi petani mengenai teknologi konservasi tanah pada lahan pertenian berlereng relatif tinggi. Para petani menyadari bahwa pengelolaan lahan pertanian berlereng tanpa penerapan teknik-teknik koservasi terjadi degradasi tanah yang mengakibatkan tingkat kseuburan lahan pertanian berlereng semakin menurun.

4. Untuk mengurangi terjadinya degrasi tanag pada lahan pertanian berlereng petani telah melakukan pengendalian erosi tanah melalui penerapan teknologi konservasi tanah melalui pembuatan terassering dan penanaman tanaman penguat teras.

5. Untuk menekan biaya dan penggunaan tenaga kerja dalam penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng, petani dilakukan secara bertahap.

6. Tingkat adopsi teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng masih tergolong rendah, petani belum secara serius untuk menerapkan teknik-teknik konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng.

Saran-Saran 1. Diperlukan perhatian pemerintah terutama dinas-dinas terkait terhadap

penanganan konservasi tanah dalam pengelolaan lahan pertanian berlereng untuk kegiatan usahatani tanaman pangan.

2. Untuk mengatasi terjadinya degradasi tanah pada lahan pertanian berlereng diperlukan pendampingan intensif dalam penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng.

1076

3. Peran penyuluh lapangan dalam pendampingan kelompok tani mengenai teknologi konservasi tanah pada lahan pertanian berlereng sangat rendah, sehingga diperlukan peningkatan kapasitas penyuluh mengenai teknologi konservasi tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. BPS, 2012. Kabupaten Sumbawa dalam Angka. BPS Sumbawa. BPS, 2013. Kabupaten Sumbawa dalam Angka. BPS Sumbawa.

BPS, 2014. Biro Pusat Statistik Kecamatan Labangka Kabupaten Sumbawa.

BPS, 2015. Biro Pusat Statistik Kecamatan Labangka Kabupaten Sumbawa.

Beydha, I, 2002. Konservasi Tanah Dan Air Di Indonesia, Kenyataan Dan Harapan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara: Sumatra.

Bulu, Y. G., 2011. Laporan Akhir Kajian Pola Pendampingan Inovasi Pada Program Strategis Kementerian Pertanian Di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). BPTP NTB.

Eraku, S., 2012. Konservasi lahan Pertanian Jagung Secara Spasial Ekologi di DAS Alo Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo.Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Idjudin, A. Abas, 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2, Tahun 2011. Bogor.

Mawardi, 2011. Peranan Teras Kridit Sebagai Pengendali Laju Erosi Pada Lahan Bervegetasi Kacang Tanah. Fakultas Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang. Semarang.

Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.Yogyakarta: Andi Suwarto dkk, 2012. Model Partisipasi Petani Lahan Kering Dalam Konservasi Lahan. Jurnal

Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 2, Desember 2012, hlm.218-234. Suwardji dan Tejowulan.2003. Lahan Kritis dan Permasalahan Lingkungan Hidup.Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Kritis Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Mataram. 17 Desember 2003.

Van den ban, A., W., dan H. S. Hawkin. 2000. Penyuluhan Pertanian. (Terjemahan). Penerbit kanisius.Yogyakarta.

Walgito, Bimo. 2006. Psikologi Sosial Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Penerbit Andi. Yogyakarta.

1077

PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI TRAP BARRIER SYSTEM DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Rahima Kaliky1),Tri Joko Siswanto2)

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN YOGYAKARTA Jl.StadionMaguwoharjo No.22,Wedomartani,Ngemplak,Sleman,Yogyakarta

ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji persepsi petani terhadap teknologi trap barrier system

(TBS) dalam pengendalian hama tikus sawah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan metode survey menggunakan instrument terstruktur yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Lokasi penelitian di Desa Sumber Rahayu Kecamatan Moyudan, Desa Sandangsari dan Sendang agung Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman; dan Desa Argosari Kecamatan Sedayu Kapupaten Bantul. Penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah diintroduksi dan diseminasi TBS. Jumlah responden sebanyak 90 orang dari empat desa tersebut ditentukan dengan metoda acak sederhana.Analisis data menggunakan analisis frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 83,4 % petani mempunyai persepsi positif (setuju-sangat setuju) bahwa penerapan teknlogi TBS dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, namun 43,3 % petani mengatakan bahwa biaya untuk penerapan teknologi tersebut cukup mahal. 78,9% petani menyatakan bahwa aplikasi TBS dapat meningkatkan produksi karena resiko gagal panen rendah.Sebanyak 81,1% petani menyatakan teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani untuk pengendalian hama tikus.Sebanyak 82,2%petani mengatakan bahwa teknologi TBS dapat menekan serangan hama tikus dan sebanyak 76,7% petani berpandangan bahwa teknologi tersebut sesuai dengan sosiokultural petani dalam rangka pengendalian hama tikus diDaerah Istimewa Yogyakarta.

Kata kunci: Persepsi, TBS, hama, tikus, DIY.

PENDAHULUAN

Trap Barrier System (TBS) merupakan salah perangkat teknologi pengendali tikus sawah yang cukup efektif yang telah dintroduksikan BPTP Yogyakarta untuk penyempurnaan teknologi pengendalian hama tikus terpadu (PHTT)existing sehingga menjadi model pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Efektifitas penggunaanTBS mulai dikaji dan didiseminasikan di DIY pada tahun 2013 dan 2014. Penerapan TBSdipadukan dengan penerapan semua komponen pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) existingsesuai rekomendasi, meliputi: gropyokan massal seminggu sekali saat berolah tanah, semai menjelang tanam pindah ,tanam dan panen serempak, sanitasi gulma/rumput di sepanjang galengan, dan lingkungan sawah, pemasangan empat unit TBS, dan pemasangan LTBS, pelestarian burung hantu (Tyto alba), fumigasi dilaksanakan terutama saat pertumbuhan generatif (tanaman padi bunting) hingga matang.

Hasil pengkajian diYogyakarta menunjukan tidak terdapat kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus pada fase pembentuk kananakan maksimum di hamparan tanaman ber-PHTT, sedangkan pada hamparan tanpa PHTT (kontrol) kerusakan tanaman mencapai 31,48 % dengan luas serangan mencapai 81,50 %. Pada fase padi bunting intensitas kerusakan tanaman di hamparan PHTT mencapai 10,21 % dengan luas serangan 48,83 %, lebih rendah dibanding hamparan kontrol yang kerusakannya mencapai 57,49 % dan luas serangan mencapai 97%. Menjelang panen, intensitas kerusakan tanaman dan luas serangan tikus pada control lebih tinggi dibanding hamparan PHTT (Pustika et all, 2013).

1078

MenurutPustikaetall,(2013), dengan ngepyokan seminggu sekali secara serempak dan pemasangan empat unit TBS dan dua unit LTBS penangkapan tikus bisa mencapai 3.811 ekor. Produksi padi di hamparan pengkajian PHTT mencapai 5,42 ton GKP/ha, sedangkan dihamparan control tingkat produksihanya mencapai 2,75 ton GKP/ha. Bila harga jual gabah Rp3.800/kg maka penerimaan petani yang menerapkan PHTT mencapai Rp 20.596.000/ha, sedangkan petani dihamparan control hanya memperoleh menerima Rp 10.450.000/ha. Hal tersebut menunjukan bahwa inovasi teknologi TBS dan LTBS yang diintroduksikan dalam model pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menyelamatkan produksi padi mencapai 2,675 ton/ha setara Rp10.165.000/ha.

Berdasar hasil kajian tersebut, maka inovasi teknologi TBS perlu didiseminasikan secara luas, namun sebelumnya perlu diketahui respon petani terhadap teknologi tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian ilmiah untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi TBS di DIY. Hasil kajian ini dapat dijadikan input dalam kebijakan pengendalian hama tikus di DIY.

BAHAN DAN METODE

Kajian dilakukan di Desa Sumber Rahayu Kecamatan Moyudan dan Desa Sendangsari dan Sendang Agung Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman, serta Desa Argosari Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul pada periode Februari – November 2015. Menggunakan metode survey,menggabungkan teknik eksploratif dan deskriptif. Survei eksploratif bersifat terbuka sedangkan deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu (Singarimbun dan Effendi,2006). Untuk pengukuran secara cermat menggunakan instrumen terstruktur yang teruji validitas dan reliabilitasnya.

Lokasi kajian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi tersebut menjadi lokasi pengkajian dan diseminasi TBS dalam model pengendalian hama tikus terpadu di DIY tahun 2013-2014. Petani yang menjadi responden adalah petani padi sawah dilokasi pengkajian tersebut. Jumlah responden sebanyak 90 orang dari empat desa contoh dan ditentukan dengan metoda acak sederhana (Rakhmat,2001). Analisis data menggunakan analisis statistic deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi kategorikal .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata persepsi berasal dari bahasa Latin perceptio, percipio yang bermakna tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan (Schacter,2011). Robbins (2003) memaknai persepsi sebagai kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa, diintepretasi dan dievaluasi, sehingga diperoleh makna. Hal ini berarti Persepsi timbul sebagai respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterimaseseorang masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi maknamelalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Proses terjadinyapersepsi tergantung dari pengalaman masa lalu dan pendidikan yang diperolehindividu yang diawali adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, selanjutnya terjadiseleksi, sehingga bisa saja terjadi yang dipersepsikan seseorang berbeda dari kenyataan yang obyektif (Herdayana2014), sebagaimana persepsi petani terhadap suatu informasi inovasi teknologi.

Persepsi petani terhadap informasi inovasi teknologi bisa positif, negatif, atau netral. Persepsi petani yang positif akan mendorong adopsi, sebaliknya bila persepsinegatif maka akan ditolak teknologi yang ditawarkan kepadanya. Sedangkan bila persepsinya netral, berarti dia tidak memberikan reaksi menerima atau menolak teknologi yang ditawarkan (Hendayana, 2014).

Rogers dan Shoemaker (1986) mengemukakan bahwa 49 hingga 87 persen dari varians dalam tingkat adopsi dijelaskan oleh lima atribut/karakteristik inovasi teknologi. Selanjutnya dikatakan bahwa cepat atau lambatnya proses adopsi suatu inovasi oleh

1079

individu tergantung juga pada ciri-ciri yang melekat pada inovasi. Ciri-ciri tersebut adalah (1) keuntungan relatif, yaitu derajat kebaikan suatu inovasi (gagasan atau teknologi baru) dibanding dengan inovasi sebelum / sesudahnya, (2) kompabilitas, yaitu derajat kesamaan atau keterkaitan inovasi dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan pengalaman-pengalaman termasuk cara-cara lama yang sudah diketahui, yang dimiliki penerima inovasi. Inovasi seyogyanya memiliki kompabilitas dengan kebutuhan adopternya. Kompabilitas inovasi berhubungan positif dengan kecepatan adopsi, (3) kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relaif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan suatu inovasi berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya, (4) Triabilitas suatu inovasi adalah tingkat kemungkinan dapat dicoba inovasi itu dalam skala kecil / terbatas. Triabilitas suatu inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi , (5) observabilitas, yaitu tingkat dimana hasil-hasil inovasi dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Observabilitas suatu inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi

Persepsi petani di Yogyakarta terhadap kelima karakteristik inovasi tersebut pada teknologi TBS diuraikan sebagai berikut.

1. Keuntungan Relatif

Persepsi petani terhadap keuntungan relatif teknologi TBS diukur dengan dengan 4 indikator yaitu (1) biaya rendah, (2) peningkatan produksi, (3) resiko rendah, dan (4) meningkatkan pendapatan.

Distribusi proporsi masing-masing parameter tersebut dapat didekati dengan pendekatan analisis frekuensi dengan melihat proporsi masing-masing parameter pada peubah seperti tersaji dalam Tabel 1.

Tabel1.Persepsi petani terhadap keuntungan relatif teknologi TBS di DIY tahun 2015

No Indikator

keuntungan relatif

Kategori jawaban (%) n=90

Total Sangat tidak setuju

Tidak setuju

Kurang setuju

Setuju Sangat setuju

1. Biaya rendah 3,3 11,1 28,9 46,7 10,0 100

2. Meningkatan produksi

1,1 7,8 12,2 58,9 20,0 100

3. Resiko gagal panen rendah

2,2 5,6 13,3 52,2 26,7 100

4. Meningkatkan pendapatan

1,1 4,4 13,3 65,6 15,6 100

Sumber: Analisis data primer 2015 Tabel 1 memperlihatkan bahwa sebanyak 78,9 % petani mempunyai persepsi positif

(setuju-sangat setuju) bahwa penerapan teknlogi TBS dapat meningkatkan produksi, namun demikian, hanya 56,7 % petani yang berpandangan bahwa biaya penerapan teknologi rendah selebihnya 43,3 % petani berpendapat bahwa biaya untuk penerapan teknologi tersebut cukup mahal. Dilain pihak, hampir 80 % petani menyatakan bahwa aplikasi teknologi tersebut dapat meningkatkan produksi karena resiko gagal panen rendah sebagaimana (78,9 %) sehingga dapat meningkatkan pendapatan sebagaimana diungkapkan oleh 81,2 % petani.

2. Kompatibilitas

Kompatibilitas merupakan tingkat dimana inovasi teknologi dipersepsikan sebagai sesuatu yang cocok/sesuai (kompatibel) dengan nilai yang ada, pengalaman-pengalaman masa lalu, dan kebutuhan akan teknologi oleh para pengguna (petani). Kompatibilitas suatu inovasi terkait secara positif dengan penerimaan teknologi tersebut apabila inovasi teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan keinginan, dan sesuai dengan sosiokultural masyarakat (petani) setempat.

1080

Menurut Utomo (2014) bahwa inovasi itu hidup.Inovasi tidak dalam ruang hampa. Inovas imemiliki konteks sosial yang harus diperhatikan oleh parainovatornya. Oleh karena itu, faktor ekologi perlu diperhitungkan agar inovasi tidak membentur pada sistem (hukum, sosial, ekonomi, budaya, dll) yang sudah eksis di tengah masyarakat yang diharapkan menerima dan mengadopsi sebuah inovasi. Meskipun dalam inovasi selalu terkandung unsure kebaruan, namun bukan berarti harus mengabaikan unsur-unsur lama yang hidup dalam alam pikiran masyarakat (living values).Seperti halnya dalam pengendalian hama tikus, penerapan TBS sebagai inovasi baru dipadukan dengan teknologi existing dalam PHTT menjadi model PHTT baru. Adopsi terhadap TBS dalam model PHTT baru tergantung juga pada persepsi petani terhadap aspek kompatibilitas teknologi tersebut. Persepsi petani terhadap kompatibititas teknologi TBS tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2. Persepsi petani terhadap kompatibilitas teknologi TBS di DIY tahun 2015

No Teknologi TBS

sesuai

Tingkat kesesuaian (%) n=90

Total Sangat tidak

sesuai

Tidak sesuai

Cukup sesuai

Sesuai Sangat sesuai

1. Kebutuhan petani - 5,6 13,3 54,4 26,7 100

2. Keinginan petani - 3,3 14,4 57,8 24,4 100

3. Sosiokultural petani - 7,8 15,6 67,8 8,9 100

Sumber: Analisis data primer 2015

Tabel 2 menunjukkan, inovasi teknologi TBS dipersepsi positif oleh sebagian besar petani di DIY. Sebanyak 81,1% petani menyatakan teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani untuk pengendalian hama tikus. Petani yang berpersepsi bahwa teknologi TBS dan LTB sesuai keinginan menekan mencapai serangan hama tikus mencapai 82,2%, dan sebanyak 76,7% petani berpandangan bahwa teknologi tersebut sesuai dengan sosiokultural petani dalam rangka pengendalian hama tikus di DIY.

3. Kompleksitas

Rogers (2003) mendefinisikan kompleksitas sebagai sejauh mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan. Oleh karena itu, Rogers menyatakan bahwa kompleksitas suatu teknologi berkorelasi negatif dengan tingkat adopsi. Dengan demikian, kompleksitas yang berlebihan dari suatu inovasi merupakan hambatan penting dalam adopsinya.

Persepsi petani terhadap kompleksitas teknologi TBS diukur dengan dengan 4 indikator yaitu (1) pemasangan pagar plastik, (2) pemasangan bubu, (3) dan penggenangan pagar. Persepsi petani terhadap kompleksitas teknologi TBS dapat dilihat dalam Tabel 3.

1081

Tabel 3.Persepsi petani terhadap tingkat kerumitanteknologi TBS DIY tahun 2015

Tingkat kompleksitas(%) n=90

No Uraian Sangat

sulit Sulit

Cukup mudah

Mudah Sangat mudah

Total

1. Pemasanga pagar plastik 0 2,2 2,2 74,4 21,1 100,0

2. Pemasangan bubu

perangkap 0 2,2 2,2 80,0 15,6 100,0

3. Penggenangan pagar 1,1 15,6 12,2 56,7 14,4 100,0

Sumber: Analisis data primer 2015

Tabel 3 memperlihatkan persepsi petani terhadap pengamatan aplikasi perangkat TBS di DIY. Sebagian besar petani mempunyai persepsi yang baik terhadap kompleksitas teknologi TBS. Sebagian besar petani mengatakan bahwa pemasangan pagar plastik, bubu perangkap, dan penggenanganan pagar mudah diaplikasikan.

4. Observabilitas

Observabilitas adalah sejauh mana hasil suatu inovasi dapat dilihat atau diamati oleh orang lain. Data persepsi petani tentang observabilitas teknologi TBS di DIY diperlihatkan dalam Tabel 4.

Tabel 4.Persepsi petani terhadapobservabilitas teknologi TBS di DIY tahun 2015 (n=90)

Pengamatan (%) n=90 No

Uraian

Sangat Sulit diamati

Sulit diamati

Cukup mudah diamati

mudah diamati

Sangat mudah diamati

Total

1. Pemasanga pagar plastik

- 2,2 10,0 77,8 10,0 100,0

2. Pemasangan bubu perangkap

- 5,6 8,9 74,4 11,1 100,0

3. Penggenangan pagar TBS

1,1 14,4 17,8 55,6 11,1 100,0

Sumber: Analisis data primer 2015 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagaian besar petani berpandangan bahwa inovasi

teknologi TBS mulai dari pemasangan pagar plastik, pemasangan bubu perangkap, dan penggenangan pagar TBS mudah dilihat atau diamati dengan baik oleh petani.

5. Trialibilitas

Triabilitas suatu inovasi adalah tingkat kemungkinan suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Dikatakan oleh Rogers (1983) bahwa triabilitas suatu inovasi teknologi berhubungan positif dengan adopsi inovasi teknologi tersebut. Persepsi petani terhadap trialibitas inovasi teknologi TBS tersaji dalam Tabel 5

1082

Tabel 5. Persepsi petani terhadap trialibilitas teknologi TBS di DIY tahun 2015

No

Uraian TBS dapat dicoba dalam skala kecil (%) n=90 Sangat tdk bisa

Tidak bisa

Kurang bisa

Bisa Sangat bisa

Total

1. Pemasangan pagar plastik - - 5,6 70,0 24,4 100

2. Pemasangan bubu perangkap

2,2 4,4 23,3 64,4 5,6 100

3. Penggenangan pagar TBS - 5,6 5,6 75,6 13,3 100

Sumber: Analisis data primer, 2015. Data pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa sebagian besar petani mempunyai persepsi

yang positif terhadap atribut trialibilitas pada inovasi teknologi TBS. Umumnya menurut petani TSS dapat diuji coba oleh petani perorangan pada luasan sawah yang sempit untuk memproteksi tanaman padi dari serangan hama tikus, dengan menerapkan pemasangan pagar plastik, bubu perangkap, dan penggenangan pagar untuk menghindari masuknya tikus kedalam areal persawahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa inovasi teknologi TBS dipersepsi positif oleh petani di DIY, sebagian besar petani mempunyai persepsi positif (setuju-sangat setuju) bahwa penerapan teknlogi TBS dapat meningkatkan produksi padi; teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani untuk pengendalian hama tikus; Perangkat teknologi TBS meliputi pemasangan pagar plastik, bubu perangkap, dan penggenanganan pagar mudah diaplikasikan dan dapat diobersvasi dengan mudah oleh petani; dan dapat diuji coba oleh petani perorangan pada luasan sawah yang sempit untuk memproteksi tanaman padi dari serangan hama tikus dengan penerapan pemasangan pagar plastik, bubu perangkap, dan penggenangan pagar untuk menghalangi jalan masuknya tikus ke dalam areal persawahan.

Dengan adanya persepsi positif terhadap TBS sebagai inovasi teknologi pengendalian hama tikus merupakan modal yang baik untuk proses diseminasi lanjut kepada petani. Untuk itu disarankan perlu dibangun komunikasi aktif dan partisipasi antara penyuluh dengan petani sebagai upaya percepatan adopsi teknologi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arlina B.P, Sudarmaji, SugengWidodo, AgungIswadi, CharisnaliaListyowati, Fibriyanti, SriWahyuni B, Muhzahid M, Sutarno, Catur.R, 2013. Model pengendalian Hama Tikus Terpadu dalam mengantisipasi Perubahan Iklim. Laporan akhir tahun 2013.Balai pengkajian teknologi Pertanian.Yogyakarta.

Herman, M. Parulian Hutagaol, Surjono H. Sutjahjo, AunuRauf, dan D. S. Priyarsono, 2006. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao :Studi Kasus di Sulawesi Barat. Pelita Perkebunan 2006, 22(3), 222-236.

1083

Hendayana, R. 1997. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Peluang Petani Menerapkan Teknologi Baru DalamUsahatani Padi. Kasus SUTPA di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. JAE. Vol.16 No.1.

Hendayana, R., 2006. Lintasan dan Peta Jalan (Road Map) Diseminasi Teknologi Pertanian Menuju Masyarakat Tani Progresif. Prosiding Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminas iInovasi Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa.Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Hendayana, R. 2013. Aplikas I Fungsi Logit Dalam Menganalisis Peluang Petani Mempercepat Adopsi Padi Varietas Unggul Baru. Jurnal Informatika Pertanian. Volume 22 No 1. 2013.

Hendayana, R. 2014. Persepsi dan Adopsi Teknologi. Teori dan Praktek Pengukuran. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Kusdiaman.D dan Nur’aini Herawati, 2007. Adopsi TBS sebagai salahsatu komponen teknologi pengendalian hama tikus sawah di kebun percobaan BB Padi Sukamandi. Apresiasi Hasil Penelitian 2007. www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi _2008_p2bn1_33.pdf.

Kementan, 2014.Kebijakan dan Program Pembangunan Pertanian 2015-2019. Paparan Sekretas Jenderal dalam Musrembang. Jakarta 13 mei 2014.

Rahminidan Sudarmaji, J.Yacob, and G.R. Singleton, 2003. The impact of age of breeding performance of female rice field rats in West java. In. G.R. singelton, LA. Hind C.j. Krebs, and M.D. Spratt, (eds0. Rat, mice and people: Roden Biology and management. ACIAR Canbera, p.354-357.

Robbin.S.P, 2003.Perilaku Organisasi. Edisi revisi dan perluasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Schacter,Daniel (2011). Persepsi. Psychology. Worth Publishers.https://id.wikipedia.org/wiki/ Persepsi#cite_ref-1 (17 Mei 2016)

Singarimbun, M danSofyan, E. (Editor). 2006. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta

Singleton G.R. Sudarmaji, and S.s.Permana, 2003. An experimental field study to evaluate atrap barrier system and fumigation for controlling the rice field rat. Rattusargetiventer in rice crop West Java. Crop Protection 17 (1): 55-64

SudarmajidanAnggara, 2006.Pengendalian tikus sawah dengan system bubu perangkap di ekosistem sawah irigasi.Penelitian Pertanian tanaman Pangan 25 (1): 57-64.

UtomoTri Widodo, 2014. Kompatibilitas Inovasi. Artikel. http://inovasi.lan.go.id/ index.php?r=post/read&id=37. Selasa, 12 Agustus 2014. Akses 19 Agustus 2015.

Wahyudi.A., 2007. Proses adopsi dan difusi inovasi pengelolaan tanaman padi secara terpadu (PTT) (StudiKasus di Desa Gunungrejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

1084

MEMBANGUN SINERGI KELEMBAGAAN PENDAMPINGAN KAWASAN AGRIBISNIS HORTIKULTURA KRISAN

(Dendrathema grandiflorum, Tzvelev) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Hano Hanafi dan Tri Martini

BPTP YOGYAKARTA Alamat: Jln. Stadion Maguwoharjo No.22 Karangsari, Ngemplak - Sleman, Yogyakarta

Fax: (0274) 562935

ABSTRAK Salah satu programRenstra BBP2TP tahun 2010 – 2014 adalah Pendampingan

Program Strategis Kementerian Pertanian. Kegiatan ini dimulai pada tahun 2009 dalam bentuk kegiatan pendampingan teknologi yang diarahkan untuk mendukung Program Strategis Pertanian (BBP2TP, 2009), diantaranya Pendampingan Program Pengembangan Kawasan Hortikultura. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi yang positif terhadap efektivitas kerja dalam membangun sinergi kelembagaan pendampingan kawasan agribisnis hortikultura). Konsep pengembangan kawasan merupakan konsep yang sangat tepat dalam rangka mengintegrasikan beberapa kegiatan dengan Eselon I terkait lingkup Kementerian Pertanian dan instansi di luar Kementerian. Salah satu komoditas yang menjadi andalan di DIY untuk pendampingan pengembangan di kawasan agribisnis hortikultura adalah krisan.Metode pengambilan data dilakukan melalui evaluasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan pencarian dan penentuan lokasi, pelaksanaan kegiatan sampai dengan evaluasi akhir kegiatan, evaluasi sistem koordinasi sinergi pihak terkait, mulai pemda setempat (Bupati), Dinas pertanian tingkat propinsi sampai kabupaten, BPP/BP3k, pemerintah tingkat kecamatan dan tingkat kelurahan, serta pelaku bisnis (para floris dan dekorator) penampung dan pedagang bunga. Hasil evaluasi menunjukkan koordinasi dan sinergi antar kelembagaan terkait seperti Pemda tingkat I dan II; Dinas Pertanian, BP2TPH, BPTP dan BPP berjalan sangat baik dan efektif dalam melaksanakan pendampingan kawasan agribisnis hortikultur (PKAH) Krisan , sesuai tupoksi kelembagaan masing-masing. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura krisan merupakan kegiatan yang melibatkan banyak pihak, maka koordinasi antar instansi yang terkait dengan pelaku usaha perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan.

Kata Kunci: Sinergi kelembagaan, pendampingan PKAH, krisan

PENDAHULUAN Sejalan dengan meningkatnya permintaan produksi bunga potong, harus diimbangi

dengan penyediaan benih. Salah satu program pembangunan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dibukanya kawasan agrowisata tanaman hias di Kaliurang, Pakem, Sleman dan kawasan Suroloyo, Samigaluh, Kulonprogo, yang membutuhkan mutu tanaman hias yang memenuhi standar dari pemilihan benih sampai panen. Kendala utama budidaya krisan antara lain terbatasnya keragaman genetik tanaman sehingga selalu harus impor dari Malaysia dan Belanda. Upaya untuk mengurangi ketergantungan kepada varietas luar negeri telah dilakukan dengan menyediakan varietas unggul hasil pemuliaan di dalam negeri, diantaranya oleh Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI, 2008) yang telah banyak menghasilkan varietas unggul krisan antara lain yaitu Puspita Nusantara, Sakuntala, Nyi Ageng Serang, Puspita Pelangi, Kusumapatria, Dewi Ratih, Cintamani, dan Puspita Asri. Variasi warna dan bentuk menjadi point yang sangat penting dalam segi pemasaran dan pengujian preferensi pasar. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu kegiatan pendampingan teknologi pada kegiatan budidaya bunga potong krisan dan produksi benih krisan, sekaligus dalam rangka pengenalan/introduksi berbagai macam varietas/galur/klon terpilih krisan,

1085

yang dapat mewakili tingkat kesukaan daerah sehingga dapat menjadi ciri khas hasil budidaya spesifik lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kegiatan PKAH bertujuan untuk melaksanakan pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura dengan cara menginisiasi inovasi teknologi spesifik lokasi komoditas krisan (display varietas) melalui peningkatan pengetahuan petani; penyusunan rancang bangun dan pilot model pengembangan inovasi; sebagai embrio terwujudnya sistem agribisnis industrial hortikultura yang berbasis sumberdaya lokal dan berdaya saing pada wilayah kabupaten Kulonprogo dan Sleman, sehingga terjadi peningkatan produktivitas secara kuantitas maupun kualitas, minimal sebesar 10% dari budidaya konvensional; serta mensosialisasikan SOP produksi benih krisan spesifik lokasi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk tanaman krisan (Tri Martini et al. 2014).

Sasaran kegiatan pendampingan kawasan hortikultura ini dilakukan pada 2 lokasi dengan inovasi teknologi sesuai dengan permintaan stakeholder (Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan Sleman) yang diperoleh dari kegiatan Advokasi BPTP Yogyakarta tahun 2013. Lokasi kegiatan display varietas krisan dilaksanakan di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo; serta pendampingan teknologi perbenihan dilaksanakan di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

Melalui kegiatan pendampingan PKAH diharapkan dapat tercapai stabilitas produksi dan kualitas bunga potong krisan (produktivitas 400.000 tangkai per hektar dengan SR 75%, vigor dengan diameter tangkai > 0.30 cm dan warna bunga bersih); mendapatkan kelompok petani yang aktif serta mau menerapkan teknologi budidaya spesifik lokasi sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP); serta dihasilkannya benih berbagai varietas unggul krisan yang dapat diproduksi secara masal di DIY yang bermutu; sehingga tugas pokok dan fungsi BPTP Yogyakarta dapat tercapai, diantaranya melalui dukungan dalam penerapan teknologi budidaya untuk peningkatan produktivitas kawasan hortikultura di DIY.

Strategi dasar pengembangan kawasan diawali dari optimalisasi potensi komoditas unggulan yang telah berkembang di wilayah tertentu dan kemudian secara terfokus dan terarah dikembangkan dengan basis pendekatan agribisnis dengan memperhatikan keterkaitan hulu-hilir secara berkesinambungan. Pengembangan kawasan hortikultura ini tidak berdiri sendiri, namun lebih merupakan keterpaduan dari berbagai program dan kegiatan pengembangan antar sektor/subsektor, antar institusi, dan antar pelaku yang telah ada di daerah, yang terfokus di kawasan. Pada hakekatnya pengembangan kawasan merupakan kerjasama dari setiap pelaku, termasuk di dalamnya adalah kontribusi dari berbagai sektor terkait, seperti perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, PU dan lainnya, pusat penelitian, perguruan tinggi, swasta, asosiasi, perbankan, dan lainnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi yang positif terhadap efektivitas kerja dalam membangun sinergi kelembagaan pendampingan kawasan agribisnis hortikultura (krisan).

METODELOGI PENELITIAN Pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura (PKAH) ini dilakukan

pada 2 lokasi dengan inovasi teknologi sesuai dengan permintaan stakeholder (Pemerintah Kabupaten Sleman dan Kulonprogo) yang diperoleh dari kegiatan Advokasi BPTP Yogyakarta tahun 2013 dan 2014. Lokasi kegiatan display varietas krisan dilaksanakan di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo; serta pendampingan teknologi perbenihan dilaksanakan di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Kegiatan melibatkan Kelompok tani yang beranggotakan antara 10-30 orang petani. Pendampingan inovasi teknologi bersinergi dan kerjasama koordinasi dengan beberapa kelembagaan terkait antara lain: Dinas pertanian (BP2TPH) Propinsi, Dinas Pertanian Kabupaten Sleman dan Kulon Progo, Bappeda Kabupaten Sleman dan Kulon Progo, BPP Sleman dan Kulon Progo, Pemerintah tingkat Kecamatan. Metode pengambilan data dilakukan melalui evaluasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan pencarian dan penentuan lokasi, pelaksanaan kegiatan sampai dengan evaluasi akhir kegiatan, evaluasi sistem koordinasi sinergi pihak terkait, mulai pemda setempat (Bupati), Dinas pertanian tingkat propinsi sampai kabupaten, BPP/BP3K, pemerintah tingkat kecamatan dan tingkat kelurahan, serta pelaku bisnis (para floris dan dekorator) penampung dan pedagang bunga.

1086

Parameter yang diamati: VUB krisan yang dikembangkan, Data hasil pelaksanaan kegiatan, evaluasi dari setiap periode direkord dan diolah menggunakan analisis secara deskriptif baik kuantitatif maupun kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pengenalan Varietas Unggul Baru Krisan Guna menjawab kebutuhan stakeholders, bunga krisan diperlukan pengenalan VUB

krisan yang sesuai dengan agroekosistem setempat. Sejalan dengan meningkatnya permintaan produksi bunga potong, harus diimbangi dengan penyediaan benih. Ujicoba penanaman bunga krisan di wilayah Desa Sidoharjo dan Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh sudah berhasil. Karena itu petani bunga krisan di wilayah tersebut diminta agar bisa konsisten memasok kebutuhan bunga krisan. Tabel 1. Varietas Unggul Baru krisan yang digunakan pada kegiatan PKAH

NO. VARIETAS WARNA BUNGA TIPE/INSTANSI PELEPAS 1. Yulimar Putih Standar / Balithi 2. Marimar Kuning Standar/ Balithi 3. Ratnahapsari Merah darah Spray/BPTP-Balithi-Diperta DIY 4. Kusumapatria Putih Spray/BPTP-Balithi-Diperta DIY

5. Kusumaswasti Ungu Spray/BPTP-Balithi-Diperta DIY 6. Puspita Pelangi Putih Spray/Balithi 7. Puspita Nusantara Kuning Spray/Balithi

8. 9.

Sakuntala Swarna Kencana

Kuning Kuning

Standar/Balithi Spray/Balithi

Sumber: Laporan Akhir Kegiatan PKAH, Tri Martini et al. 2014. Warna dominan bunga krisan yang dibutuhkan oleh para floris di pasar bunga Kota

Baru Yogyakarta adalah warna putih dan kuning, sedangkan warna lainnya serti merah darah dan ungu hanya digunakan sebagai pelengkap. Melalui diseminasi inovasi teknologi VUB krisan merupakan upaya dari Badan Litbang pertanian dalam menjawab kebutuhan stakeholders. Untuk mengenalkan inovasi baru atau usaha baru ke masyarakat petani bukanlah hal yang mudah. Hal ini diperlukan kegigihan, ketekunan dan kesabaran yang maksimal agar program peningkatan kesejahteraan masyarakat atau petani dapat terwujud yaitu mengenalkan komoditas alternatif yang bernilai ekonomi tinggi. Jika melihat kondisi potensi sumber daya alam yang cukup mendukung untuk pengembangan komoditas krisan serta kepemilikan lahan petani yang relatif sempit, tentunya diperlukan rencana dan strategi yang matang dalam pengelolaannya. Karena berbagai kendala dan permasalahan mesti terjadi dalam pelaksanaanya, sejak persiapan lahan, penyediaan bibit, pupuk dan pestisida serta pendukung lainnya dalam memperlancar usahatani krisan (Hanafi et al. 2014).

b. Hasil survai kelembagaan terkait dan komoditas terpilih

Berdasarkan survey yang dilaksanakan bersama-sama dengan Diperta DIY dan Dipertahut Kabupaten Sleman dan Kulonprogo, terdapat beberapa sentra atau kawasan yang bisa dikembangkan sebagai kawasan hortikultura, khususnya komoditas krisan. Lokasi tersebut berada pada dataran medium di wilayah sekitar di lereng selatan Gunung Merapi (Kaliurang), Kecamatan Pakem, Sleman, serta wilayah wisata Suroloyo di Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo. Diketahui bahwa usaha pertanian khususnya hortikultura di DIY merupakan usaha skala petani, sebagian belum dikelola secara baik dan benar. Hal ini dicirikan dengan: sebagian besar pelaku usaha masih pemula, tanpa mengikuti training, pelaku sangat banyak dan umumnya petani kecil, skala usaha per tahun kecil dan modal minimal, penguasaan managerial usaha minimal, penanaman tidak selalu pada agroekologi yang sesuai, pengelolaan tanaman/orchard management minimal, serta sentra produksi relatif sempit dan tersebar (Sumarno, 2004). Untuk itu masih diperlukan program

1087

pendampingan pengkajian dalam hal penyediaan teknologi budidaya spesifik lokasi, penanganan pascapanen, pemberdayaan kelembagaan petani, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani serta diseminasi hasil-hasil penelitian.

Dewasa ini telah banyak inovasi pertanian hasil penelitian dan pengkajian yang dapat dikembangkan guna mendukung pengembangan agribisnis. Ciri teknologi yang berorientasi agribisnis adalah mampu: (1) meningkatkan efisiensi dan cost effectiveness produksi melalui teknologi inovatif, (2) menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk, (3) menghasilkan produk primer berkualitas tinggi dengan standar harga pasar yang baik, (4) mengurangi kehilangan hasil pada saat pra panen dan pasca panen, (5) mengolah by-product menjadi produk bernilai tambah, (6) mempertahankan produktivitas dan kualitas produksi, serta suplai produk ke pasar secara berkesinambungan, dan (7) mampu memperbaiki kualitas kemasan untuk transportasi (Setiono 2011).

Penguasaan teknologi budidaya hortikultura yang baik dan benar sangat diperlukan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan, seperti penggunaan bibit tidak bermutu, pengelolaan tanaman yang tidak memadai, penanganan hama dan penyakit belum efektif, pemupukan tidak berimbang, dan penanganan panen/pasca panen masih minimal. Kondisi tersebut menyebabkan produktivitas tanaman rendah, usahatani tidak efisien, standar mutu produk rendah, dan nilai jual sangat fluktuatif. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan informasi yang diperoleh petani, serta sumberdaya yang tidak termanfaatkan secara optimal, sehingga pendapatan petani menjadi rendah. Di lain pihak teknologi sudah tersedia, tetapi teknologi tersebut masih perlu diadaptasikan dan disosialisasikan pada petani. Secara ekonomi, perbaikan teknologi akan meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus menunjang pertumbuhan ekonomi daerah.

c. Pemberdayaan Kelompok tani melalui pembinaan secara rutin

Pembinaan dan pemberdayaan petani dalam bentuk kegiatan pendampingan juga menjadi tanggung jawab pemerintah baik BPTP maupun pemda setempat melalui Dinas pertanian baik tingkat Kabupaten maupun Kecamatan dan Desa. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan pertemuan rutin kelompok tani setiap selapanan (40 hari sekali). Secara umum dapat diindentifikasi lembaga-lembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pembinaan dan pemberdayaan petani. Lembaga-lembaga tersebut adalah Badan Litbang Agrokompleks (Badan Litbang Pertanian). Di tingkat daerah lembaga-lembaga ini memiliki institusi yang berkewajiban menjabarkan kebijakan pusat atau nasional. Lembaga-lembaga di daerah adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), serta berbagai UPT Direkorat Jenderal yang berkedudukan di daerah. Selain itu juga universitas dan perguruan tinggi lainnya yang dapat juga melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan petani sesuai dengan fungsi mereka untuk melaksanakan pengabdian masyarakat (Setiono, 2011).

1088

Tabel 2. Hasil Sinergi dan Sinkronisasi Program / Kegiatan Pembangunan Kawasan Hortikultura – Krisan Tahun Anggaran 2014di DIY

Komodita

s Provinsi/

Kab Uraian Program / Kegiatan Dana (Rp ,-) * Kecamatan

Pelaksanaan

Krisan (Kl Progo)

Kulonprogo

Program : Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan 65.000.000 DD

Samigaluh Juli

Kegiatan : Pengembangan Agribisnis Buah-buahan dan Tanaman Hias

(Pembangunan Kubung)

Program : Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Produk

Tanaman Hortikultura Berkelanjutan

Kegiatan : Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Produk

Tanaman Florikultura Berkelanjutan

a. Pengembangan Kawasan Tanaman Florikultura 375.000.000 TP Samigaluh Agustus

(Fasilitasi Bantuan Sarana Pengembangan Krisan)

b. SL GAP Krisan 15.900.000 TP Samigaluh Juli

c. SL GHP Krisan 20.000.000 TP Samigaluh Juli

d. Fasilitasi Sarana Prasarana Budidaya 150.000.000 TP Samigaluh Agustus

(Screen House dan Pencahayaan )

e. Sarana Prasarana Pascapanen 31.000.000 TP Samigaluh Juli

(Gerobag Motor dan Meja Pasca Panen)

Krisan (Provinsi)

Pengembangan tanaman hias 36.000.000 D KT Ayem, Pagerharjo, Samigaluh

Registrasi lahan usaha 6.000.000 N Samigaluh Dsn Karang

1089

Krisan (Sleman)

Pengembangan kawasan 405.000.000 TP Pakem, Cangkringan

Apr-Nov

Fasilitasi sarpras budidaya 100.000.000 TP Pakem, Cangkringan

Feb

Alat pasca panen 45.000.000 TP Pakem, Cangkringan

Feb-Mar

SL GHP 20.000.000 TP Pakem, Cangkringan

Feb-Mar

Pengembangan sumber air 60.000.000 N Pakem Juni

BP2TPH Pengembangan benih krisan 115 ribu stek (fiji white, fiji yellow) 46.000.000 N Pakem

BPTP DIY Pendampingan teknologi bunga potong dan manajemen asosiasi asta bunda N Pakem

Pendampingan perbenihan Krisan di Sleman (10 var Kementan, 10 Kultivar introduksi)

57.500.000 N Minggir

UPTD BPTP

Pengendalian OPT Krisan 3 kali N Samigaluh, Pakem

Jumlah anggaran Krisan 1.432.400.000

Sumber: Data Diperta DIY (2014)

1090

Beberapa program yang sudah dikerjakan oleh beberapa kelembagaan terkait dalam pendampingan kawasan agribisnis hortikultura khususnya krisan, saling bersinergi melalui pemda tingkat propinsi dan kabupaten melalui Dinas Pertanian, BPTPH, BPTP serta BPP, koordinasi ini memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap efektivitas kerja, dengan demikian jika koordinasi dilaksanakan dengan baik maka efektivitas kerja akan di capai dengan baik. Pengalokasian anggaran yang disertai dengan penjelasan bentuk kegiatan dari masing-masing kelembagaan terkait dapat mengefektifkan pelaksanaan kegiatan di lapang. Hasil koordinasi dengan kelembagaan terkait seperti pemda tingkat I dan tingkat II melalui Dinas Pertanian telah terjadi kesepahaman program dalam pengembangan krisan melalui pendampingan kawasan agribisnis hortikultura baik di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Peran BPTP dalam pendampingan PKAH adalah mengarahkan inovasi teknologi seperti VUB krisan, teknik budidaya, pengendalian hama dan penyakit, teknologi pasca panen sampai dengan membangun kelembagaan pemasaran.

Tabel 3. Keberhasilan dalam pengembangan kawasan hortikultura krisan terintegrasi dapat

ditunjukkan oleh indikator-indikator sebagai berikut:

No Indikator evaluasi Sudah dilaksanakan 1 Meningkatnya produktivitas dan kualitas produk hortikultura

krisan yang dicirikan oleh diterapkannya praktek budidaya yang baik (GAP) dan prosedur baku budidaya (SOP), serta teregistrasinya kebun dan lahan usaha tani krisan.

2 Tertatanya manajemen rantai pasokan yang dicirikan dengan terdistribusikannya secara proporsional keuntungan dalam setiap mata rantai pasar

3 Terjalinnya kemitrasetaraan antara kelompok tani dengan pengusaha

4 Meningkatnya jumlah investor untuk mengembangkan usaha hortikultura di kawasan, yang dicirikan oleh pengelolaan usaha hortikultura berskala kebun

5 Meningkatnya penggunaan benih bermutu 6 Meningkatnya jumlah dan kualitas kelembagaan petani/champion

(kelompok tani, kelompok wanita tani, gapoktan, kelompok usaha, asosiasi, karang taruna tani)

7 Meningkatnya kualitas lingkungan dengan diterapkannya aspek konservasi lahan, pola tanam dan penanganan PHT dalam pengelolaan OPT.

Sumber: Data primer Hasil evaluasi, Laporan akhir tahun 2014. Berdasarkan Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa, keberhasilan dalam pengembangan

kawasan hortikultura krisan terintegrasi dengan kelembagaan terkait dapat ditunjukkan oleh indikator-indikator sebagai berikut; telah meningkatnya produktivitas dan kualitas produk hortikultura krisan yang dicirikan oleh diterapkannya praktek budidaya yang baik (GAP) dan prosedur baku budidaya (SOP), serta teregistrasinya kebun dan lahan usaha krisan. Tertatanya manajemen rantai pasokan yang dicirikan dengan terdistribusikannya secara proporsional keuntungan dalam setiap mata rantai pasar. Terjalinnya kemitrasetaraan antara kelompok tani dengan pengusaha took bunga (penampung hasil panen). Meningkatnya jumlah investor untuk mengembangkan usaha hortikultura di kawasan, yang dicirikan oleh pengelolaan usaha hortikultura krisan berskala kebun. Meningkatnya penggunaan benih bermutu. Meningkatnya jumlah dan kualitas kelembagaan petani/champion (kelompok tani, kelompok wanita tani, gapoktan, kelompok usaha, asosiasi, karang taruna tani). Meningkatnya kualitas lingkungan dengan diterapkannya aspek konservasi lahan, pola tanam dan penanganan PHT dalam pengelolaan OPT. Meningkatnya

1091

kualitas lingkungan dengan diterapkannya aspek konservasi lahan, pola tanam dan penanganan PHT dalam pengelolaan OPT. Tabel 4. Hasil evaluasi program pendampingan pengembangan kawasan hortikultura krisan

sebelum dan sesudah 2014 di Samigaluh, Kulon Progo.

No Kriteria indikator Sebelum Sesudah 1 Kondisi fisik lahan / SDA Tanaman tahunan,

tanaman pangan (jagung, padi gogo, ubi-ubian

Tanaman krisan

2 Pendapatan Usahatani Krisan Relatif kecil (Rp.200.000 – Rp. 300.000) brutto/

Rp.2.000.000 – Rp. 4.000.000) brutto.

3 Sumberdaya Manusia (SDM) Petani tanaman pangan dan hasil kebun

Petani ahli krisan

4 Jumlah Kelembagaan Kelompok 2 Kelompok tani 7 Kelompok tani 5 Jumlah areal kebun / kubung krisan 2 unit 70 unit 6 Perhatian dan bantuan Pemerintah Tidak ada Banyak

Sumber: Data hasil survai dan evaluasi, 2014.

Data pada Tabel 4 menunjukan bahwa hasil evaluasi hasil evaluasi perkembangan kegiatan pendampingan PKAH tahun 2014 Tabel 4, dinyatakan bahwa telah terjadi perubahan perkembangan yang cukup nyata di wilayah Kecamatan Samigaluh dalam pengembangan krisan. Hal ini dibuktikan dari evaluasi penilaian kondisi beberapa fisik lahan pekarangan yang digarap petani, pada awalnya petani hanya mengelola budidaya tanaman tahunan seperti cengkeh, sengon, mangga, petai dan tanaman pangan seperti jagung, padi gogo dan umbi-umbian dengan hasil yang relatif kecil. Namun setelah mendapat pendampingan inovasi teknologi budidaya bunga krisan dari BPTP, hasilnya sangat memuaskan. Akibat perubahan dan peningkatan pendapatan petani dapat memacu petani lainnya dalam berbudidaya krisan sehingga terjadi penambahan luas areal kebun dan jumlah unit kubung. Demikian pula perhatian dan bantuan Pemerintah dalam bentuk fisik bangunan kubung krisan yaitu dari Direktorat Jenderal Hortikultura melalui Direktorat Budidaya Florikultura (tanaman hias), kemudian bantuan dari Pemda Kabupaten Kulon Progo (APBD II) untuk pembangunan kubung.

KESIMPULAN

1. Guna memenuhi kebutuhan stakeholders, diperlukan pengenalan VUB krisan yang sesuai dengan agroekosistem setempat, dikembangkan antara lain: Yulimar, Marimar, Ratnahapsari, Kusumapatria, Kusumaswasti, Puspita Pelangi, Puspita Nusantara, Sakuntala dan Swarna Kencana.

2. Koordinasi dan sinergi antar kelembagaan terkait seperti Pemda tingkat I dan II; Dinas

Pertanian, BP2TPH, BPTP dan BPP berjalan sangat baik dan efektif dalam melaksanakan pendampingan kawasan agribisnis hortikultura (PKAH) Krisan, sesuai tupoksi kelembagaan masing-masing.

Saran Mengingat pengembangan kawasan agribisnis hortikultura krisan merupakan kegiatan

yang melibatkan banyak pihak, maka koordinasi antar instansi yang terkait dengan pelaku usaha perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan.

1092

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan Teknologi Pengembangan Kawasan Hortikultura oleh BPTP.

Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI), 2008. Standar Oprasional Prosedur (SOP) Produksi Bunga Potong Krisan (Dendrathema grandiflora, Tzvlev Syn.). Segunung, Cianjur.

Hanafi H., Tri Martini dan Sri Budhi Lestari. 2014. Perubahan Sosial Budaya Petani Melalui Inovasi Teknologi Budidaya Krisan Di Lereng Gunung Merapi Dan Bukit Menoreh Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding makalah. Seminar dan Lokakarya di Universitas Kristen Satyawacana kerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.

Martini, T., Hano Hanafi, Sarjiman, Riefna A., Yeyen P.W., Evy P., Tyas R.U. 2014. Pendampingan Program Strategis Kementerian Pertanian. Pendampingan Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura(PKAH). Laporan Akhir Tahun. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

Setiono, 2011. Konsep dan Strategi Pengembangan Kawasan Horti.Selamat Datang di Gudang Ilmu Pertanian dan Lainnya.http://setiono774.blogspot.co.id/2011/01/konsep-dan-strategi-pengembangan.html

Sumarno, N., Ahmad H. 2004. Panduan Teknis Budidaya Bawang Merah. Balitsa. 20p.

1093

PERAN PENYELIA MITRA TANI (PMT) DALAM MENDUKUNG GAPOKTAN PUAP DI KABUPATEN MUARA JAMBI,PROVINSI

JAMBI

Jainal abidin Hutagaol,1)danSuharyon2)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi Telp. 0741 – 7053525, Fax. 0741- 40413

ABSTRAK Peran, tugas, dan fungsi Penyelia Mitra Tani (PMT) sangat menentukan keberhasilan

dalam pengembangan usaha agribisnis di perdesaan yang dikelola oleh Gapoktan.Dengan demikian PMT merupakan salah satu motor penggerak sehingga program PUAP yang dicanangkan pemerintah dapat berdayagunadanberhasilguna. Untuk melihat kenyataan di lapangan perlu pengkajian yang dilaksanakan pada bulan Januari s/d Desemberl 2015, di Kabupaten Muara Jambi, dan difokuskan pada peran PMT dan beberapa Gapoktan yang sudah mencairkan dana PUAP. Penelitian dilakukan dengan observasi lapang. Data yang dikumpulkan antara lain data primer dan sekunder, melalui wawancara dan penelusuran data terkait dengan kelembagaan Gapoktan. Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

Keberhasilan Penyelia Mitra Tani (PMT) dalam melakukan peran, tugas, dan fungsinya dalam melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap usaha agribisnis anggota Gapoktan PUAP dapat dilihat dari berkembangnya dana BLM PUAP yang dikelola Gapoktan tersebut. Hal ini terlihat berkembangnya usaha produktif petani baik on farm maupun off farm. Gapoktan Raja Sari, Jaring Mulyo, dan Ngudi Makmur memiliki aset tertinggi. Hal ini didukung juga dengan tingkat pembukuan yang baik dan pengembalian pinjaman sedang.

Penyelesaian peran, tugas dan fungsi ke tiga Penyelia Mitra Tani (PMT) yaitu Syahrul Riadi, SE ; Misno, CS, SPd.I dan M. Sabri, SE dalam pembinaan dan pendampingan Gapoktan PUAP di Kabupaten Muara Jambi, dapat diselesaikan dengan baik. Namun ada beberapa aspek yang perlu pembinaan antara lain pertemuan reguler bersama penyuluh pendamping perlu ditingkatkan dan pengetahuan tentang kelembagaan keuangan mikro (LKM-A) dan teknis pengembangan usaha agribisnis di tingkat petani perlu pembekalan dan pelatihan. Peningkatan pertemuan reguler PMT bersama dengan penyuluh pendamping terhadap Gapoktan terus ditingkatkan terutama dalam membahas pengembalian pinjaman oleh anggota yang kurang baik. Hal ini perlu ditumbuhkan kesadaran petani itu sendiri sehingga pengembalian pinjaman yang diterima untuk usaha produktif petani kembali dicicil ke Gapoktan, sehingga dana tersebut dapat digulirkan.

Kata Kunci : Peran tugas dan fungsi PMT, PUAP, Gapoktan

1094

PENDAHULUAN PUAP merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan petani melalui pemberian bantuan modal usaha sehingga usaha agribisnis para petani dapat berjalan dan produktif. Pemberian bantuan modal usaha tersebut tentunya disalurkan melalui kelembagaan Gapoktan, kemudian disalurkan kepada kelompok tani dan anggotanya. Kabupaten Muara Jambi sejak dimulai dikucurkan program PUAP pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2015, mendapatkan alokasi dana PUAP sebanyak 112 Gapoktan, dengan kucuran bantuan modal usaha sebesar Rp.11,2 milyar (Anonimus, 2015). Kabupaten Muara Jambi dengan luas wilayah 5.246 Km 2 , terdiri dari 11 kecamatan dan 5 kelurahan, dan 146 desa. Terletak pada ketinggian 0-300 meter dpl, beriklim tropis, rata-rata curah hujan 186 mm/hari. (Anonimus, 2014). Potensi pertanian Kabupaten Muara Jambi, meliputi lahan sawah seluas 24.898 ha, karet 55.473 ha, kelapa dalam 903 ha, dan pinang 140 Ha, dan didukung juga dengan sektor peternakan, perikanan lainnya(BPS Provinsi Jambi, 2015). Untuk lebih mempercepat perwujudan pembangunan pertanian di Kabupaten Muaro Jambi, maka kebijakan pembangunan yang ditempuh meliputi :1).PengembanganSistem dan UsahaAgribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura, Peternakan dan Perikanan, 2). Peningkatan Ketahanan Pangan,3). Peningkatan SDM petani dan Aparatur Pertanian, 4). Peningkatan Kelembagaan Pelayanan dan Petani (Bappeda Kabupaten Muara Jambi, 2016).

Untuk keberhasilan Program PUAP di lapangan,Gapoktandan semua kelompok tani mendapat pembinaan dari Tim Pembina PUAP Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota, dan untuk lebih terfokusnya kegiatan program PUAP di tingkat petani telah ditunjuk Penyelia Mitra Tani (PMT) dan Penyuluh Pendamping untuk mengarahkan dan membina Gapoktan baik teknis maupun non teknis.

Gapoktan sebagai pelaksana program PUAP ditingkat petani diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan ekonomi perdesaan dengan menumbuhkan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) sebagai salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Gapoktan. Sejalan denganformat penumbuhan Gapoktan menjadi kelembagaan tani di perdesaan, pada kelembagaan tersebut diharapkan agar mempunyai unit usaha otonom. (Kementan, 2014). Pengelompokan kelembagaan atas sistem agribisnis dapat dibagi menjadi lima, yaitu : 1). Kelembagaan pengadaan sarana input produksi, 2). Kelembagaan dalam aktivitas budidaya, 3). Kelembagaan terkait dengan aktivitas pengolahan hasil produksi, 4). Kelembagaan pemasaran, dan 5). Kelembagaan pendukung yang didalamnya termasuk permodalan, penyuluhan dan penelitian. Untuk itu Gapoktan PUAP harus dibina dan didorong dalam mengembangkan lembaga ekonomi yang difokuskan kepada kelembagaan keuangan mikro agribisnis sebagai salah satu unit usaha dalam Gapoktan untuk mengelola dan melayani pembiayaan usaha bagi petani sebagai anggota (Deptan, 2007).

Kelembagaan Gapoktan baik formal maupun informal khususnya di daerah perdesaan memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan produksi dan pendapatan serta kesejahteraan petani. Namun kinerja kelembagaan tani umumnya belum optimum yang dicirikan oleh masih sulitnya akses petani terhadap pelayanan lembaga-lembaga yang ada. Elemen kelembagaan sebagai salah satu elemen penting dalam upaya peningkatan keterampilan dan perbaikan kemampuan produksi petani sering terlupakan karena peran nyatanya dalam proses produksi sering berada pada proses marginal.

Bantuan modal usaha yang diberikan pemerintah melalui program PUAP tentunya dapat berkembang dan bergulir di dalam kelompok tani, yang tentunya di fasilitasi dan di koordinir oleh kelembagaan Gapoktan PUAP. Untuk itu fungsi dan peran kelembagaan Gapoktan PUAP sangat menentukan keberhasilan perguliran bantuan dana PUAP yang diberikan, sehingga berkembangnya lembaga keuangan mikro Agribisnis (LKM-A) di tingkat petani. Peran PMT dan Penyuluh Pendamping juga berpengaruh besar dalam keberhasilan program PUAP di lapangan. Dimana PMT merupakan penggerak yang mengarahkan Gapoktan/Poktan dan anggota kelompok tani dalam mengelola usaha produktif petani (Kementan, 2010)

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan pengkajian dan penelitian yang bertujuan mengidentifikasi peran PMT dalam pembinaan dan pendampingan Gapoktan PUAPdi tingkat petani penerima bantuan modal usaha BLM-PUAP di Kabupaten Muara

1095

Jambi, untuk mendukung berkembangnya LKM-A di wilayah tersebut sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat.

BAHAN DAN METODA Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Januari s/d Desember 2015, di Kabupaten

Muara Jambi, dan difokuskan pada peran PMT dan beberapa Gapoktan yang sudah mencairkan dana PUAP.Tiga PMT yang di kaji adalah Syahrul Riadi, SE, Misno.CS,SPd I, dan M. Sabri, SE. Penelitian dilakukan dengan observasi lapang. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder, melalui wawancara dan penelusuran data terkait dengan kelembagaan Gapoktan. Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

Fokus bahasan adalah peran Penyelia Mitra Tani (PMT)dalam melakukan pendampingan Gapoktan PUAPyang wilayah kerjanya di Kabupaten Muara Jambi.Data

primer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh Penyelia Mitra Tani (PMT) dan

pengurus Gapoktan,dilanjutkan dengan wawancara serta diskusi yang berhubungan dengan

peran dan fungsi Penyelia Mitra Tani (PMT) dalam membina Gapoktan PUAP di wilayahnya

masing-masing. Data sekunder diperoleh dari laporan bulanan dan triwulan dari PMT maupun Tim Teknis PUAP Kabupaten Muara Jambi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Penyelia Mitra Tani (PMT) Karakteristik Penyelia Mitra Tani (PMT) ditinjau dari segi umur, tingkat pendidikan,

dan pengalaman kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pembinaan Gapoktan PUAP, secara umum dapat disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik Penyelia Mitra Tani (PMT) Dalam Pembinaan Gapoktan PUAP di

Kabupaten Muara Jambi.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, jumlah Penyelia Mitra Tani (PMT) yang melakukan pendampingan dan pembinaan Gapoktan PUAP di Kabupaten Muara Jambi sebanyak 3 orang,sebagaimana sesuai dengan SK Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan tahun 2016 tentang perpanjangan kontrak PMT untuk semua Provinsi di Indonesia. Total Gapoktan PUAP yang harus dibina adalah 112 Gapoktan, yang tersebar di wilayah perdesaan di Kabupaten Muara Jambi. Rata-rata Penyelia Mitra Tani (PMT) mempunyai tanggungjawab membina Gapoktan PUAP sebanyak 31 Gapoktan. Jarak tempat tinggal PMT dengan lokasi Gapoktan bervariasi, jarak terdekat 4 Km, dan jarak terjauh 70 Km. Namun PMT masih bisa melakukan kunjungan 1-2 Gapoktan setiapharinya.

No

Nama Penyelia

Mitra Tani (PMT)

Jumlah Gapok

tan Binaan

Tempat

Tinggal

Jarak Ke Gapoktan

(Km) Umur (Tahun)

Tingkat Pendidik

an

Lama menjadi PMT

Pelatihan

PUAP

Terdekat

Terjauh

1. Syahrul Riadi, SE

44 Jambi 7 60 46 S-1 Ekonomi

7 Tahun

2 Kali

2. Misno, CS, SPd.I

31 Desa Muhajrin

10 70 34 S-1 Pendidik

an

6 Tahun

1 Kali

3. M. Sabri, SE 37 Desa Muhajrin

4 50 33 S-1 Ekonomi

1 Tahun

1 Kali

Total Gapoktan

112

1096

Umur ketiga PMT masih produktif, pendidikan S1 Ekonomi kecuali Misno, CS. PMT ini dipertimbangkan karena yang bersangkutan memang mempunyai pengalaman dan bisa melakukan pendekatan ke Gapoktan di wilayahnya. Ketiga PMT juga telah mengikuti pelatihan tentang PUAP, Sehingga dapat melakukan pendampingan dengan efektif dalam membina Gapoktan PUAP. Masa kerja PMT juga mempengaruhi peran dalam melakukan pendampingan terhadap Gapoktan. Dua PMT dengan masa pengalaman kerja 6 dan 7 tahun cukup baik dalam melakukan pendampingan terhadap Gapoktan PUAP, namun satu PMT Pergantian Antar Waktu (PAW) masa kerja 1 tahun dapat belajar dan konsultasi dengan dua PMT lainnya dalam melakukan pendekatan dan mengatasi permasalahan di lapangan sehingga kinerja PMT dapat lebih baik. Kinerja Penyelia Mitra Tani (PMT)

Perandan tugas Penyelia Mitra Tani (PMT) dalam program PUAP adalah 1). Melakukan verifikasi awal terhadap rencana usaha bersama (RUB) Gapoktan dan dokumen administrasi lainnya, 2). Bersama dengan Penyuluh dan atau Tim Teknis Kabupaten/Kota melakukan perencanaan dan pembekalan pengetahuan tentang PUAP kepada Gapoktan; 3).Melaksanakan pendampingan pemanfaatan dana BLM PUAP yang dikelola oleh Gapoktan; 4). Melaksanakan pertemuan reguler dengan Penyuluh dan Gapoktan; 5). Melakukan advokasi dan supervisi proses penumbuhan kelembagaan keuangan mikro di perdesaan yaitu; 6). Memberikan pengetahuan kepada Gapoktan tentang pengembangan agribisnis; dan 7).Bersama dengan Tim Teknis Kabupaten/Kota melaksanakan evaluasi pelaksanaan PUAP tentang perkembangan pelaksanaan PUAP(Deptan, 2009). Untuk melihat kinerja PMT terhadap pendampingan dan pembinaan Gapoktan PUAP dapat dilihat pada tabel 2.

Dari Tabel 2, dapat dilihat usaha produktif yang diminati petani adalah pangan, hortikultura, perkebunan, ternak dan juga off farm. Usaha dibidang pangan misalnya padi sawah, padi ladang, jagung, dibidang hortikultura misalnya tanaman sayuran, bidang perkebunan misalnya kebun karet, kebun sawit, pembuatan bibit okulasi, dll dan bidang ternak adalah usaha penggemukan ternak sapi bali. Ditinjau dari aset yang dimiliki, Gapoktan Raja Sari, Jaring Mulyo, dan Ngudi Makmur memiliki aset tertinggi. Hal ini didukung juga dengan tingkat pembukuan yang baik dan pengembalian pinjaman sedang. Peran PMT mendorong dan mengarahkan serta membina anggota kelompok dalam pengembalian pinjaman yang kurang baik. Kesadaran petani dan tanggung jawab petani harus ditumbuhkan sehingga pengembalian pinjaman ke Gapoktan berjalan lancar. Tabel 2. Sasaran Kinerja Penyelia Mitra Tani (PMT) Terhadap Beberapa Gapoktan PUAP di

Kabupaten Muara Jambi Tahun 2015. No. Nama PMT Gapoktan PUAP/

Tahun Aset

Gapoktan (000)

Usaha Produktif

Kriteria (*)

Pembukuan/

Administrasi

Kriteria(**) Pengembalian

Pinjaman

LKM-A

1. Syahrul Riadi, SE

1. Karya Abadi/ 2009

104.000

Pangan Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

2. Ngudi Makmur / 2009

220.000 Perkebunan

Baik Sedang Proses Pembentukan

3. Aur Gading/ 2009

124.880 Perkebunan, Off Farm

Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

4. Lestari / 2009

114.000 Hortikultura

Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

2. Misno, CS, SPd.I

1. Rawa Gading/ 2011

110.600

Pangan

Sedang Kurang Baik Proses Pengajuan

2. Jaring Mulyo/ 2010

144.946

Perkebunan

Baik Sedang Proses Pembentukan

3. Anugrah/ 2010

111.860 Ternak

Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

4. Sido Makmur/

2011

113.300 Hortikultura

Sedang Sedang Proses Pembentukan

3. M. Sabri, SE 1. Raja Sari/2008

163.500 Pangan Baik Sedang Proses Pembentukan

1097

Sumber : Data Primer diolah Keterangan : Kriteria (*) Baik = Semua Pembukuan Lengkap (buku tamu, buku harian, buku simpanpinjam, buku kas

buku hasil/jasa,buku administrasi pupuk, ADART ). Sedang=Jika pembukuan 50 % memenuhi kriteria baik

Kurang Baik=Tidak memiliki pembukuan Kriteria(**) Baik = jika pengembalian dana PUAP ≥ 75 % lancar Sedang= Antara 50 – 75 % lancar Kurang Baik= ≤ 50 % lancar

Kerja sama yang baik antara PMT dengan pengurus Gapoktan terus dibina, dalam

hal menjalankan managemen Gapoktan, antaralain kepengurusan Gapoktan, buku tamu, buku harian, buku simpanan kelompok, buku kas, dan lain-lain. PMT mengarahkan kemajuan usaha produktif petani, harga komoditi pertanian, sehingga anggota kelompok tani bisa berhasil dalam menjalankan usahanya, yang berdampak modal pinjaman PUAP yang diterima dapat dikembalikan dan digulirkan kembali ke anggota kelompok tani lainnya.

Penumbuhan lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A) ditingkat petani masih dalam proses pembentukan.Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa PMT bersama Gapoktan sudah melakukan proses administrasi pembentukan LKM-A. Gapoktan Rawa Gading Desa Tunas Baru Kecamatan Sekernan, dengan dana PUAP tahun 2011, sudah melakukan pembentukan kepengurusan, keanggotaan, registrasi, pengesahan berkas ke notaris, dll, dan sedang dalam pengajuanizin LKM-A ke OJK Provinsi Jambi.

Penyelesaian Peran, Tugas dan Fungsi Penyelia Mitra Tani (PMT)

Untuk melihat penyelesaian peran, tugas, dan fungsi PMT dalam melakukan pendampingan Gapoktan PUAP dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Penyelesaian Peran, Tugas, dan Fungsi Penyelia Mitra Tani (PMT) Terhadap

Gapoktan PUAP.

Nama PMT Jenis dan

Penyelesaian Tugas

Peran, Tugas, dan Fungsi PMT (*)

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)

Syahrul Riadi, SE

Jlh pertemuan 3 kali 2 kali 5 kali 2 kali 1 kali 2 kali 3 kali Selesai V V V V ½ selesai V V V Tidak selesai

Misno, CS, SPd.I

Jlh pertemuan 2 kali 3 kali 4 kali 1 kali 1 kali 2 kali 3 kali Selesai V V V V ½ selesai V V V Tidak selesai

M. Sabri, SE Jlh pertemuan 3 kali 3 kali 4 kali 1 kali 1 kali 2 kali 3 kali Selesai V V V V ½ selesai V V V Tidak selesai

Keterangan : Isikan dengan (V) (*)Peran, Tugas, dan Fungsi PMT : 1).Verifikasi awal terhadap (RUB) Gapoktan; 2)

Perencanaan dan pembekalan tentang PUAP kepada Gapoktan; 3).Pendampingan pemanfaatan dana BLM PUAP; 4). Pertemuan reguler dengan Penyuluh dan Gapoktan; 5)Advokasi dan supervisi proses penumbuhan kelembagaan keuangan mikro; 6)Memberikan pengetahuan kepada Gapoktan tentang pengembangan agribisnis; dan 7) Melaksanakan evaluasi tentang perkembangan pelaksanaan PUAP.

Jlh pertemuan : Jlh pertemuan untuk menyelesaikan peran tugas dan funsi PMT

2. Bangun Sari/ 2008

129.800 Perkebunan

Sedang Sedang Proses Pembentukan

3. Maju Bersama/ 2008

139.860 Ternak

Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

4. Petaling Jaya/ 2008

131.000 Hortikultura Perkebunan

Sedang Kurang Baik Proses Pembentukan

1098

Selesai : Dikerjakan dengan baik ½ selesai : Dikerjakan tapi tidak tuntas Tidak Selesai : Tidak dikerjakan sama sekali

Dari tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa ketiga PMT tersebut baik dalam melakukan

verifikasi awal dalam penyusunan RUB. Jumlah pertemuan rata-tara 2-3 kali, verifikasi awal RUB Gapoktan sudah selesai dengan baik. Demikian juga dalam perencanaan dan pembekalan tentang PUAP, hanya melakukan berberapa kali pertemuan dengan petani dan pengurus Gapoktan sudah dapat memahami tujuan kegiatan PUAP ini. Namun untuk penyelesaian tugas PMT melakukan pendampingan pemanfaatan dana BLM PUAP, membutuhkan waktu lebih lama dan butuh pertemuan 4-5 pertemuan dalam Gapoktan. Halini disebabkan harus lebih teliti dan selektif dalam menyalurkan dana PUAP ini, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan pinjaman dan harus tepat sasaran.

Peran tugas dan fungsi PMT dalam melakukan pertemuan reguler dengan penyuluh, advokasi dan supervisi serta memberikan pengetahuan kepada gapoktan tentang pengembangan agribisnis, belum dapat diselesaikandengan tuntas, hal ini disebabkan masih kurangnya pemahaman PMT dari beberapa aspek seperti penumbuhan kelembagaan keuangan mikro dan teknis pengembangan usaha agribisnis di tingkat petani. Sedangkan melaksanakan evaluasi perkembangan pelaksanaan PUAP dapat dilaksanakan dengan baik seperti laporan perkembangan dana PUAP oleh Gapoktan, evaluasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP oleh Gapoktan.

KESIMPULAN Keberhasilan Penyelia Mitra Tani (PMT) dalam melakukan peran, tugas, dan

fungsinya dalam melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap usaha agribisnis anggota Gapoktan PUAP dapat dilihat dengan berkembangnya dana BLM PUAP yang dikelola Gapoktan tersebut. Hal ini terlihat berkembangnya usaha produktif petani baik on farm maupun off farm. Gapoktan Raja Sari, Jaring Mulyo, dan Ngudi Makmur memiliki aset tertinggi. Hal ini didukung juga dengan tingkat pembukuan yang baik dan pengembalian pinjaman sedang.

Penyelesaian peran, tugas dan fungsi ke tiga Penyelia Mitra Tani (PMT) yaitu Syahrul Riadi, SE ; Misno, CS, SPd.I dan M. Sabri, SE dalam pembinaan dan pendampingan Gapoktan PUAP di Kabupaten Muara Jambi, dapat diselesaikan dengan baik. Namun ada beberapa aspek yang perlu pembinaan antaralain pertemuan reguler bersama penyuluh perlu ditingkatkan dan pengetahuan tentang kelembagaan keuangan mikro dan teknis pengembangan usaha agribisnis di tingkat petani perlu pembekalan dan pelatihan. Peningkatan pertemuan reguler PMT bersama dengan penyuluh pendamping terhadap Gapoktan terus ditingkatkan terutama dalam membahas pengembalian pinjaman oleh anggota yang kurang baik. Hal ini perlu ditumbuhkan kesadaran petani itu sendiri sehingga pengembalian pinjaman yang diterima untuk usaha produktif petani dicicil kembali ke Gapoktan.

1099

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2015. Jambi Dalam Angka, 2015. 656 halaman. Bappeda Kabupaten Muara Jambi, 2016. Bidang Pertanian dan Hortikultura.

www.Bappedamj.muarajambikab.go.id/indek.php?option=com_content&view=arricle&id=658item=121. Tanggal di akses 25 April 2016.

BPTP Jambi, 2015. Laporan Tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertaian, Jambi tahun 2014.

77 halaman. Departemen Pertanian, 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor :

273/KPTS/OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Departemen Pertanian, Jakarta. 61 hal.

Departemen Pertanian, 2009. Petunjuk Teknis Penyuluh Pendamping PUAP. Departemen

Pertanian, 22 halaman. Kementerian Pertanian, 2010. Pedoman Umum, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP), Departemen Pertanian, Jakarta. 27 halaman. Kementerian Pertanian, 2014. Pedoman Pengembangan LKM-A Pada Gapoktan PUAP Tahun

2014. Direktorat Pembiayaan Pertanian. Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta. 32 halaman.

Kementerian Pertanian, 2014. Petunjuk Teknis Pendampingan Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP). Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 36 halaman.

LaporanAkhir, 2015. Koordinasi Pendampingan PUAP Provinsi Jambi Tahun 2014. 43

halaman. Wilayah Administrasi-Kab. Muaro Jambi 2014. Situs Pemerintah Kab. Muaro Jambi.

WWW.muaraojambikab.go.id/indek.php/topmonoprofil/topmenuwilayahadministrasi. diakses tanggal 21 Maret 2016.

1100

PROFIL DAN KONTRIBUSI TERNAK SAPI POTONG DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN RUMAH TANGGA PETANI

STUDI KASUS: NAGARI BATANG AGAM, KEC. SITUJU LIMO NAGARI, KABUPATEN 50 KOTA, PROVINSI SUMATRA BARAT

Rahmi Wahyuni1)danMuhammad Ichwan2)

1) 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat,

Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366. Telp. (0755) 31122,

ABSTRAK

Pertanian terpadu merupakan upaya alternatif dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha sapi potong di lahan usahatani, namun seberapa jauh hal tersebut dapat berkembang dan memberikan kontribusi satu sama lain merupakan hal yang menarik untuk dilakukan pengkajian. Oleh karena itu suatu studi kasus dengan metode survai telah dilaksanakan di salah satu sentra sapi potong yaitu di Nagari Batang Agam, Kec. Situjuh Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat dengan tujuan untuk mengetahui kontribusi ternak sapi potong dalam struktur pendapatan rumahtangga petani dan mengetahui karakteristik petani dalam mengembangkan pertanian terpadu dimasa mendatang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner terstruktur dimana pemilihan petani dilakukan secara purposive sampling yang melibatkan 25 orang petani. Data yang diamati terdiri dari: struktur dan pendapatan rumah tangga petani, struktur dan pengeluaran pangan dan non pangan, data produksi dan pendapatan dari setiap cabang usahatani yang diusahakan dan data harga input produksi, harga output dan harga barang konsumsi yang dibayar petani serta tingkat upah. Tabulasi dan analisis data dilakukan secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabulasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur petani yang melakukan usaha pertanian terpadu berusia produktif, umumnya tamatan SD dan SLTP, merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga tidak lebih dari empat orang. Kepemilikan ternak masih rendahrata-rata 3 ekor/KK dengan penguasaan lahan tidak lebih dari 0,25ha. Sumbangan ternak terhadap pendapatan petani adalah sebesar 11,90% dari total pendapatan rumahtangga petani. Meskipun usaha pertanian adalah mata pencaharian pokok, pendapatan dari non pertanian hampir setara dengan pendapatan usaha tani.Dari pengkajian ini disimpulkan bahwa usaha pertanian terpadu di Nagari Batang Agam, Kec. Situjuh Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat bisa berkembang mengingat usia petani yang masih produktif. Kontribusi ternak terhadap pendapatan rumahtangga petani masih sangat rendah, terdapat kecendrungan hasil pertanian hanya untuk konsumsi keluarga.

Kata Kunci : sapi potong, profil petani, kontribusi, rumahtangga petani

1101

PENDAHULUAN

Latar belakang

Sapi potong merupakan komoditas subsektor peternakan sebagai penghasil daging, pembuka lapangan kerja dan sumber pendapatan petani.Bamualim et al., (2006) menyatakan sumbangan peternakan sapi terhadap pendapatan adalah sebesar 24-34% dari total pendapatan petani. Anomius (2011) menyatakan konsumsi daging di Sumatera Barat setiap tahun mengalami kenaikan sebesar 200 ribu kilogram atau sebesar 200 ton. Permintaan terhadap ternak sapi diprediksi akan meningkat secara berkesinambungan seiring perbaikan pendapatan dan tingginya kesadaran masyarakat mengkonsumsi makanan bergizi.Hal tersebutmemberikan peluang pembukaan lapangan kerja padamasa yang akan datang.

Pasokan sapi potong di Sumbar sebagian besar berasal dari peternakan rakyat. Data total populasi sapi potong di Sumatera Barat memperlihatkan bahwa populasi ternak yang tersebar pada 174 ribu kepala keluarga (KK) (Ditjennak, 2005). Kondisi demikian menjelaskan bahwa beternak sapi telah menjadi bagian yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Barat.Peternakan sapi potong tersebut umumnyamempunyai cirisebagai berikut :skala usaha kecil, modal terbatas, lokasi tersebar dan minim penggunaan teknologi. Pemeliharaan merupakan usaha sambilan selain berusaha tani tanaman pangan dan perkebunan. Beternak memang menjadi sumber pendapatan namun beban hidup mereka tidak terlalu bergantung dari penghasilan beternak (Wirdahayati dan Bamualim, 2006).

Polapertanian terintegrasi antara ternak dan tanaman upaya alternatif dalm memperbaiki usaha sapi potong (Diwyanto dan Haryanto, 2001).Namun keterbatasan modal petani adalah hal mendasar yang penting mendapat perhatian. Meskipun petani memiliki ternak besar, tetapi sulit bagi mereka untuk mempertahankan ternakdalam jangka waktu panjang. Beternak bagi petani tak lain adalah sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan tak terduga. Dinamika petani menjual ternak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendesak, keperluan biaya sekolah anak, biaya pernikahan dan membangun rumah menjadi suatu peristiwa yang lazim.

Makalah ini menelaah secara diskriptif tentang kontribusi ternak sapi dalam memenuhi rumah tangga petani dan karakterisrik rumah tangga petani dalam hal mengusahakan dan mengembangkan pertanian terpadu. Tujuan dari penulisan adalah mengetahui kontribusi ternak dalam struktur pendapatan petani dan karakteristik petani sehubungan dengan pengembangan usaha pertanian terpadu di masa datang.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Nagari Batang Agam, Kec. Situjuh Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Baratpada bulan Mei 2013. Pengumpulan Data dan Jumlah Petani

Pengumpulan data menggunakan kuesioner terstruktur. Pemilihan petani dilakukan secara purposive sampling sehingga penelitian melibatkan sebanyak 25 orang petani.Data primer terdiri dari : struktur dan pendapatan rumah tangga petani, struktur dan pengeluaran pangan dan non pangan, data produksi dan pendapatan dari setiap cabang usahatani yang diusahakan dan data harga input produksi, harga output dan harga barang konsumsi yang dibayar petani serta tingkat upah.

Tabulasi Data

Tabulasi dan analisis data dilakukan secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel-tabel.

1102

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Rumah Tangga Petani UmurPetani Keragaan umur petani yang melakukan usaha pertanian terpadu dapat dilihatdi Tabel 1. Tabel 1. Keragaan umur kepala keluarga (KK) petani yang melakukan usaha pertanian terpadu

No. Umur (Tahun)

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1. < 20 - - 2. 20 -59 24 96 3. > 59 1 4 25 100

Keragaaan umur (Tabel 1) memperlihatkan bahwapetani yang melakukan usaha

pertanian terpadu sebagian besar pada kisaran usia produktif.Kondisi inimenjelaskan bahwa secara fisik dan tenaga petani memiliki kemampuanmengelola, mengembangkan dan memperoleh hasil yang lebih baik dari usaha pertanian. Menurut Haryanto (2007), umurdikategorikan sebagai human capitalyang dapat menggambarkan kemampuan petani mengelola sumber daya yang ada. Petani dengan umur antara 18-59 tahun mempunyai peluang mengelola dan mengembangkan usahatanimengingat pada kisaran umur tersebut petani memiliki tenaga dan fisik yang kuat. Anggota Keluarga Petani

Tabel 2 menyajikan keragaan jumlah anggota keluarga petani yang melakukan usahatani-ternak.

Tabel 2. Keragaan jumlah anggota keluarga petani yang melakukan usahatani-ternak

No. Jumlah Anggota (orang)

Jumlah (KK)

Persentase (%)

1. 1 – 2 3 12 2. 3 – 4 21 84 3. 5 – 6 1 4 25 100

Jumlah anggota keluarga (Tabel 2) memperlihatkan bahwa petani yang melakukan

usaha pertanian terpadu adalah keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 4 orang.Dalam struktur rumah tangga petani, keluarga bisa menjadi sumber tenaga kerja potensial untuk membantu kegiatan pertanian sehari-hari, istri dan anak berpartisipasi mencari rumput sekaligus memberikannya kepada ternak. Mubyarto (1987) mengemukakan rumahtangga atau keluarga terdiri dari sejumlah anggota pemberi tenaga kerja dalam proses produksi dan kegiatan lainnya yang terdiri dari pria dan wanita dewasa maupun anak-anak. Oleh karena itu tenaga kerja yang terdapat dalam keluarga hendaknya dikelola sebaik mungkin agar dapat meningkatkan pendapatan.

Jika tenaga kerja keluargabisa memanfaatkan waktu sebesar 50 % maka ketersediaan tenaga kerja dari keluarga petani sekitar 2 HOK/hari atau lebih kurang 16 jam/hari.Kariyasa dan Pasandaran (2005) manyatakan ketersediaan tenaga kerja bukan menjadi kendala dalam mengusahakan pertanian terpadu mengingat ketersediaan tenaga kerja keluarga yang cukup besar yakni berkisar 2,1 – 2,7 HOK/hari atau 17 – 22 jam/hari.

1103

Pendidikan Petani

Keragaan pendidikan petani yang melakukan usaha pertanian terpadu disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Keragaan pendidikan petani yang melakukan pertanian terpadu

No. Tingkat Pendidikan

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1. Tidak tamat SD 1 4 2. Tamat SD 8 32 3. Tamat SMP 8 32 4. Tamat SMA 6 24 5. Perguruan Tinggi 2 8 25 100

Keragaan pendidikan (Tabel 3) memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan petani

didominasi tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tingkat pendidikan mencerminkan kemampuanpetani secara emosional dalam mengadopsi teknologi serta mengambil keputusan yang tepat untuk mengembangkan usaha. Sitanggang et al., (2009) dan Kariyasa dan Pasadaran (2005) menyatakan bahwa pendidikan berhubungan erat dengan rasionalisasi pemikiran dan tingkat penyerapan petani dalam mengakses inovasi teknologi. Bamualim dan Wirdahayati (2006) menyatakan bahwa mengingat kemampuan yang relatif masih marginal menyebabkanpenyerapan inovasi teknologi pertanian di tingkat petani masih sangat terbatas.

Penguasaan Lahan dan Ternak Penguasaan Ternak

Keragaan kepemilikan ternak sapi oleh petani yang melakukan pertanian terpadu dapat dilihat pada Tabel 4.

Table 4. Keragaan kepemilikan sapi potong oleh petani yang melakukan pertanian terpadu

No. Kepemilikan Ternak (ekor) Petani (orang)

Persentase

1 1-3 ekor 17 68.00% 2 4-6 ekor 7 28.00% 3 7-9 ekor 1 4.00%

Jumlah 25 100.00%

Table 4 memperlihatkan bahwa kepemilikan ternak di tingkat petani masih rendah.Hal ini menjelaskan bahwa beternak bagi petani hanya sebagai usaha sambilan dan menjadi tabungan untuk mengantisipasi kebutuhan mendesak.Meskipun menjadi sumber pendapatan namun pengeluaran rumah tangga sehari-hari tidak terlalu bergantung pada usaha peternakan.Tenaga kerja usaha ternak hanya berasal dari anggota keluarga dimana istri dan anak berpartisipasi mencari rumput dan memberikannya kepada ternak.

1104

Penguasaan Lahan Keragaan penguasaan lahan oleh petani yang melakukan usaha pertanian terpadu

dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penguasaan lahan oleh petani yang melakukan usaha pertanian terpadu

No Kepemilikan Lahan (ha)

Petani (KK)

Persentase (%)

1 0 ha 6 24% 2 0,25 ha 12 48% 3 0,5 ha 4 16% 4 0,75 ha 1 4% 5 1 ha 2 8% Jumlah 25 100%

Keragaaan luas lahan (Tabel 5) menunjukkan lahan yang dikuasai petani hanya lebih kurang 0,25ha/KK. Prioritas penggunaan lahan umumnya adalah untuk mendukung usaha pertanian ataupun perkebunan.Pakanhanya mengandalkan rumput alam yang tumbuh dipadang pengembalaan, pinggiran jalan dan pematang-pematang sawah atau rumput gajah yang sengaja ditanam di pinggiran lahan-lahan perkebunan.Keterbatasan penguasaan lahan ini bisa menyebabkan terjadinya marginalisasi di rumah tangga petani kearah petani gurem atau buruh tani. Keragaan Pendapatan Rumah Tangga Petani

Keragaan pendapatan dan pengeluaran petani yang mengusahakan pertanian terpadu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel6. Penerimaandan pengeluaran petani yang mengusahakan pertanian terpadu

No. Uraian Rp/Thn/Petani (%) 1 Penerimaan Rumah Tangga

a. usaha ternak sapi potong 2800000 11.90% b. usaha tani lahan sawah dan kebun 10500000 44.58% c. usaha lain (buruh tani/ojek/dagang dll) 10250000 43.52% Jumlah 23550000 100.00%

2 Pengeluaran Rumah Tangga a. Konsumsi non pangan 2400000 10.19% b. Konsumsi pangan 7280000 30.91% c. Investasi 13870000 58.90% Jumlah 23550000 100.00%

Pendapatan rumahtangga petani bersumber dari pendapatan usahatani dan

pendapatan non usahatani. Pendapatan dari usahatani terdiri dari usaha ternak sapi potong dan pendapatan dari lahan sawah (tanaman pangan) dan usahatani lahan kebun (tanaman tahunan).Pendapatan non usahatani meliputi buruh bangunan, buruh tani, dagang danjasa. Tabel 6 memperlihatkan bahwa kontribusi ternak terhadap total pendapatan petani sekitar 11.90%. Kontribusi pendapatan usaha ternak tidak sebesar pendapatan dari usaha non pertanian. Hal ini menjelaskan bahwa beternak bagi petani bukan sebagai sumber utama pendapatan rumahtangga tetapi hanya sebagai usaha sambilan. Agustin dan Nurmanaf (2002) menjelaskan bahwa berdasarkan kontribusinya, maka pendapatan dari usaha ternak yang kurang dari 30 % terhadap total pendapatan rumahtangga disebut sebagai usaha ternak tradisional atau sambilan.

Pendapatan dari lahan sawah(tanaman pangan) memberikan kontribusi 44,58%. Hasil ini dapat dimengerti karena usahatani lahan sawah merupakan matapencaharian pokok sebagai sumber pendapatan utama. Responden akan lebih fokus pada lahan sawah (tanaman pangan) karena untuk konsumsi beras keluarga sampai panen berikutnya mereka

1105

rata-rata mengandalkan hasil panen dari sawah mereka sendiri. Apabila hasil panen meningkat responden baru akan menjual sebagian hasil panen mereka.

Pola pengeluaran rumahtangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran kemana pendapatan tersebut didistribusikan, semakin tinggi pendapatan peternakmaka pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi presentasinya akan semakin kecil begitu sebaliknya bila pendapatan kecil maka presentasi pengeluaran untuk konsumsi semakin besar dan semakin kecil pengeluaran untuk investasi. Hasil penelitian menunjukkanbahwa peternak sapi dalam memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga dapat berasal dariberbagai sumber.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa total pengeluaran rumahtangga peternak sapi potongadalah Rp.23.550.000,-/tahun/responden. Pengeluaran rumahtangga peternak sapi potong digunakan untuk: Pengeluaran konsumsi pokok pangan dapat berupa beras, gula, dan laukpauk,sedangkan lauk-pauk dapat berupa minyak goreng, garam, vitsin, daging, telur, sayuran, buah-buahan, minuman (gula, teh, kopi, susu dan sejenisnya). Konsumsi pokok non pangan dapat berupa biaya listrik, biaya sekolah, pembelian pakaian, perbaikan rumah, peralatan rumah dan lain sebagainya. Besarnya biaya pengeluaran tidak terlepas daribanyaknya anggota rumah tangga, karena akanmempengaruhi pengeluaranrumahtangga baik konsumsi panganmaupun konsumsi non pangan.Pengeluaran disimpan dalambentuk investasi produksi. Pengeluaraninvestasi produksi lebih besar dari padapengeluaran untuk konsumsi pokokpangan dan pengeluaran pokok nonpangan, karena semakin besarpendapatan keluarga yang diperolehmaka akan semakin kecil konsumsipokok pangan. Pengeluaran investasidapat berupa pembelian ternak pembelian lahan, pembelian bibit tanaman, pembelian pupuk dan obat-obatan untuk usahatani.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa umur petani yang melakukan usaha pertanian terpadu di Nagari Batang Agam, Kec. Situjuh Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat berusia produktif umumnya tamatan SD dan SLTP, adalah keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga tidak lebih dari empat orang. Kepemilikan ternak masih rendah dengan penguasaan lahan tidak lebih dari 0,25 Ha/KK. Sumbangan ternak terhadap pendapatan petani adalah sebesar 11,90% dari total pendapatan rumahtangga petani. Kontribusi ternak terhadap pendapatan rumahtangga petani masih sangat rendah, usaha peternakan masih merupakan usaha tradisional atau sambilan, terdapat kecendrungan hasil pertanian hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, hal ini mengingat penguasaan lahan yang terbatas.Meskipun usaha pertanian merupakan mata pencaharian pokok namun pendapatan dari non pertanian hampir setara dengan pendapatan usaha tani.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin A dan AR. Nurmanaf. 2002. Karakteristik Usahatani Ternak Ruminansia Kecil dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Rumahtangga di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Vol. X No. 1 Tahun 2002.

Anonymous 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jendral Peternakan

Bamualim A.M., dan Wirdahayati R.B. 2006. Peran teknologi dalam pengembangan ternak lokal. Prosiding Seminar Nasional Peternakan BPTP Sumatera Barat. Padang, 11-12 September 2006: hal 54-61.

Bamualim, A.M, Wirdahayati R.B, Yunasri dan Marak Ali. 2006. Pengkajian karakterisasi sosial ekonomi peternak sapi lokal Pesisir. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Peternakan di Padang. 11-12 September 2006

1106

Diwyanto, K dan Haryanto, B. 2001. Importance of integration in sustainable farming system. International Seminar : Integration of Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. August 20-25, KREI/FFTC-ASPAC. Seoul, Korea.

Haryanto, H. 2007. Model Simulasi Kebijakan Untuk Pengembangan Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Kering Berbasis Pemeliharaan Ternak Kambing. Disertasi Pascasrjana, Universitas Brawijaya. Malang.

Haryanto, H. 2007. Model Simulasi Kebijakan Untuk Pengembangan Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Kering Berbasis Pemeliharaan Ternak Kambing. Disertasi Pascasrjana, Universitas Brawijaya. Malang.

Kariyasa, K dan E. Pasandaran. 2005. Struktur usaha dan pendapatan integrasi tanaman-ternak berbasis agroekositem. Dalam Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: hal 225-250.

Mubyarto. 1987. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta

Salladin. 1980. Konsep Dasar Demografi. Bina Akasara Jakarta.

Sitanggang H.I.M., T.W. Murti dan T. Hartatik. 2009. Profil peternak dan karakteristik ternak kerbau rawa lokal yang jadi pilihan peternak di kabupaten Samosir Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: hal 333-339.

Wirdahayati, R.B dan A. Bamualim, 2006. Profil Peternakan Sapi dan Kerbau Di Propinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan BPTP Sumatera Barat. Padang, 11-12 September 2006: hal 71-76.

1107

ESTIMASI PARAMETER INPUT PRODUKSI PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI BALI DENGAN FUNGSI PRODUKSI

LINEAR DAN COBB-DOUGLAS

Farida Sukmawati Mayang1, Sasongko Wijoseno Rusdianto dan Syafrial2

1Balai Pengkajian Teknologi Peranian NTB 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

ABSTRAK

Sapi Bali merupakan plasma nutfah Nusa Tenggara Barat, yang selama ini mendominasi dalam menyediakan daging sapi di wilayah lokal setempat maupun di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Sapi Bali telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di seluruh wilayah NTB dan dengan sistem manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh petani maupun peternak NTB. Usaha penggemukan ternak sapi Bali cukup besar perannya dalam mendukung pemenuhan kebutuhan daging sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi parameter input-input produksi dengan menggunakan dua metode estimasi yaitu dengan fungsi produksi linear dan fungsi produksi CD (non linear). Hasil estimasi merupakan landasan untuk menganalisis pengaruh input-input terhadap produksi.Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara pada usaha penggemukan sapi Bali pada 2 kelompok tani-ternak di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Penentuan lokasi, kelompok dilakukan secara purposive dengan kriteria responden adalah peternak yang memiliki usaha hanya penggemukan sapi, pemeliharaan secara intensif dan sapi yang dipelihara adalah sapi Bali. Penelitian dilakukan pada bulan Juli – September 2014. Jumlah observasi yang diperoleh adalah 113 produksi. Hasil hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dalam model yang sama fungsi produksi linear maupun Cobb-Douglas dapat menunjukkan hasil estmasi yang berbeda. Penentuan fungsi produksi yang digunakan dalam mengestimasi nilai perameter tergantung pada model yang dibangun dan data yang tersedia.

PENDAHULUAN Hubungan input-input yang dipergunakan untuk menghasilkan output yang dikenal dengan fungsi produksi. Penggunaan sumberdaya (input) dalam satu proses bertujuan menghasilkan produksi (output). Untuk menghasilkan output diperlukan berbagai jenis input (Pappas dan Hirschey, 1995; Debertin, 1986; Nicholson, 2002).Input produksi pada usaha penggemukan sapi yang spesifik yaitu sapi bakalan. Penelitian ini pada penggemukan sapi Bali. Pada peternakan rakyat di Nusa Tengga Barat sapi Bali mendominasi bangsa sapi yang diusahakan. Sapi Bali memiliki tingkat produktivitas yang relatif lebih rendah, dibanding dengan sapi cross breed. Sapi Bali memiliki beberapa keunggulan pada daya adaptasi terhadap pakan dan lingkungan. Disamping ketersediaan sapi bakalan di pasaran yang relatif cukup dan harga sapi bakalan terjangkau bagi peternak kecil sehingga dapat mendukung usaha penggemukan sapi potong bagi peternak yang memiliki modal terbatas. Mulyana (2009), menyampaikan hasil penelitian usaha penggemukan sapi yang menggunakan pada input-input yang setarakan dengan biaya yang dikeluarkan yaitu : biaya bakalan, biaya tenaga kerja, biaya kandang dan biaya peralatan kandang. Model produksi disusun dalam bentuk fungsi linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan input-input produksi memberikan pengaruh yang signifikan (P < 0,001), sedangkan secara parsial variabel yang memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi adalah biaya bakalan (P < 0,001) dan biaya tenaga kerja (P < 0,05).

1108

Hasil penelitian Suparman dan Aziz (2003), bahwa pemberian pakan dengan komposisi dedak, gamal (Glirisidia) dan rumput lapangan menghasilkan produksi harian sebesar 0,83 kg/ekor/hari. Dahlanuddin et al., (2013) menyampaikan dalam penelitian yang dilaksanakan di desa Montong Obo, Bun Prie dan Repok Nyerot, Kabupaten Lombok Tengah pada sapi Bali yang diberi pakan rumput dan turi menghasilkan produksiharian 0,44 ± 0,13; 0,32 ± 0,03 dan 0,58 ± 0,05 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Ratnawaty dan Budianto (2007), dengan introduksi teknologi perbaikan kualitas pakan dengan sistem pemeliharaan intensif di Nusa Tenggara Timur, dapat memperpendek lama penggemukan dari 36 bulan menjadi 8,5 bulan. Rata-rata bobot sapi awal pemeliharaan 201,55 ± 51,35 kg/ekor, pada lama pengemukan 8,5 bulan memperoleh rata-rata bobot badan 301,5 ± 37,90 kg/ekor dengan produksi harian 0,46 ± 0,17 kg/ekor/hari.

Perbedaan skala usaha menghasilkan perbedaan perolehan keuntungan, telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Risqina et al., (2011) di Kabupaten Sumenep. Peternak sapi potong memperoleh keuntungan yang relatif kecil, jika seluruh input yang digunakan diperhitungkan sebagai biaya. Pemeliharaan sapi potong skala 2-3 dan 4-6 lama pemeliharaan berturut-turut adalah 25,07 bulan dan 36,42 bulan; selisih harga pembelian dan harga penjualan per ekor berturut-turut Rp 817.715,83 dan Rp 1.334.098,33.

Kemampuan peternak menghasilkan sapi potong terkait dengan ketersediaan sumberdaya pakan, harga pakan, tenaga kerja dan modal. Dengan demikian produksi sapi Bali sangat tergantung pada input-input produksi selama pemeliharaan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa produksi sapi ditentukan oleh sapi bakalan dan pakan. Berat badan sapi bakalan pada awal penggemukan menentukan berat badan sapi potong. Pakan yang bervariasi memberikan respon terhadap berat badan (produksi) yang bervariasi. Nicholson (2002), menyatakan bahwa hubungan antara input dan output menunjukkan produktivitas fisik marginal merupakan tambahan suatu input dapat memberikan tambahan output. Untuk menghasilkan produksi sapi potong yang terukur pada pertambahan berat badan tergantung pada pakan yang diberikan, tenaga kerja yang digunakan dan modal yang dimiliki untuk membiayai input-input. Setiap penambahan pakan sebesar satu satuan akan meningkatkan berat badan sebesar satu satuan dengan asumsi input lainnya tetap. Tetapi kebutuhan pakan sapi terbatas, sehingga jika ditambahkan sejumlah pakan lagi tidak memberikan pertambahan berat badan yang meningkat; sebaliknya pertambahannya menurun dan dikatakan produktivitas marginal yang menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi parameter input-input produksi dengan menggunakan dua metode estimasi yaitu dengan fungsi produksi linear dan fungsi produksi CD (non linear). Hasil estimasi merupakan landasan untuk menganalisis pengaruh input-input terhadap produksi.

MATERI DAN METODE Data

Untuk membangun model, menganalisis model dan mengestimasi parameter input produksi menggunakan data primer cross section. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara pada usaha penggemukan sapi Bali pada 2 kelompok tani-ternak di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.Penentuan lokasi, kelompok dilakukan secara purposive dengan kriteria responden adalah peternak yang memiliki usaha hanya penggemukan sapi, pemeliharaan secara intensif dan sapi yang dipelihara adalah sapi Bali. Penelitian dilakukan pada bulan Juli – September 2014. Jumlah observasi yang diperoleh adalah 113 produksi.

1109

Tabel 2. Rata-rata dan simpangan baku variabel-variabel dalam model.

No. Variabel Satuan Rata-rata Simpangan Baku 1. PRODSP Kg/ekor 49,22 34,79 2. UMSBK hari 735,13 201,53 3. KUPSP Rp/ekor 2.766.268,29 1.966.139,20 6. PKNHMT Kg/ekor/hari 25,07 5,12 7. PKNLIMB Kg/ekor/hari 4,65 2,00 8. PKNDDK 1,16 0.09 9. WKPS Jam/orang/hari 2,02 0,91

Teori Produksi

Produksi sapi diukur berdasarkan berat badan sapi potong yang dihasilkan dari penggemukan. Fungsi produksi dapat ditulis dalam bentuk matematis yaitu :

(3)

dimana Y = Pertambahan berat badan sapi (kg/ekor/hari) x1 = Umur sapi bakalan (hari) x2 = Jumlah pakan hijauan (kg/ekor/hari) x3 = Jumlah dedak (kg/ekor/hari). x4 = Jumlah pakan limbah pertanian (kg/ekor/hari) x5 = Tenaga kerja (jam/orang/hari) Z1 = Pendapatan (Rp/ekor)

Perubahan-perubahan faktor-faktor produksi (x1, ... x4) mempengaruhi produksi (Y),

dengan input variabel x1 yaitu sapi bakalan yang akan dimaknai lebih lanjut karena merupakan input yang mengalami perubahan harga; sedangkan input lainnya diasumsikan tidak mengalami perubahan harga.

Antara Y dengan x; kontribusi input tertentu bervariasi menurut waktu; produksi tergantung pada penggunaan input tertentu dari awal pertumbuhan sampai menghasilkan produksi. Pada penggemukan sapi yang dilakukan oleh peternakan rakyat tidak memiliki batasan waktu produksi. Untuk mencapai produksi tertentu waktu yang digunakan ditentukan oleh manajemen pemeliharaan. Kuantitas dan kualitas input-input produksi yang digunakan juga memiliki kontribusi terhadap penggunaan waktu. Teori Fungsi Produksi Cobb-Douglas Dalam fungsi Produksi digunakan oleh peneliti untuk mengamati seberapa efektifnya masing- masing input produksi dalam menentukan produksi. Persoalannya adalah adanya faktor lain yang mempengaruhi diluar kontrol sehingga ada ketidakpastian. Fungsi produksi CD merupakan fungsi non linear dengan menggunakan translog.

(4)

Atau (5)

Spesifikasi model

Produksi adalah berat badan sapi potong yang dihasilkan diukur pada akhir penggemukan. Produksi sapi dipengaruhi berat sapi bakalan, input produksi yaitu pakan dan tenaga kerja, dan modal yang digunakan. Bentuk persamaan liner berganda adalah sebagai berikut :

(6)

1110

Nilai parameter diduga a1, a2 , a3, a4, a5, a6> 0. dimana : PRODSP = Produksi sapi potong (kg/ekor)

UMSBK = Umur sapi bakalan (hari) PKNHMT = Jumlah pakan hijauan (kg/ekor/hari) PKNLIMB = Jumlah pakan limbah pertanian (kg/ekor/hari) PKNDDK = Jumlah dedak (kg/ekor/hari) WKPS = Jumlah sapi (ekor) KUPSP = Keuntungan atau pendapatan (Rp/ekor)

Estimasi parameter dari model kedua yaitu fungsi produksi CD; untuk memudahkan maka persamaan dilogaritmakan menjadi persamaan linear berganda sebagai berikut :

(7) Analisis Data

Data yang diperoleh pada tahap awal dilakukan uji model menggunakan fungsi linear berganda., untuk mengetahui apakah secara parsial parameter menunjukkan beda nyata dengan nol. Selanjutnya dianalisis menggunakan teori fungsi produksi CD, uji hipotesis Constan Return to Scale(CRS) yaitu (b1 + ... + bn = 1). Estimasi terhadap parameter input produksi menggunakan perangkat lunak Statistical Analysis System (SAS 9.0). Jika nilai parameter tidak mengikuti

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil estimasi terhadap nilai parameter pada persamaan linear berganda (6), menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model mempengaruhi variabel dependen dengan tingkat signifikan (P< 0,0001). Seluruh variabel independen mempengaruhi variabel dependen sebesar 77 persen. Secara parsial masing-masing variabel independen menunjukkan pengaruh terhadap variabel dependen. Variabel independen sapi bakalan, dan modal menunjukkan pengaruh sangat signifikan (P < 0,0001); variabel jumlah pakan limbah pertanian memberikan pengaruh pada tingkat signifikan (P < 0,05).

Tabel 1. Hasil estimasi parameter persamaan produksi sapi dengan fungsi produksi linear

berganda.

Variabel Parameter Estimasi

Nilai t-hit Pr > /t/ Elastisitas VIF

Intersep 86,24956 2,80 0,0061 0 UMSBK 0,02014 2,11 0,0375 0,301 1,05 PKNHMT -1,90044 -4,87 <,0001 -0,968 1,13 PKNLIMB -5,85573 -4,98 <,0001 -0,553 1,57 PKNDDK -19,0358 -0,73 0,4687 -0,450 1,67 WKPS 4,63078 2,13 0,0354 0,190 1,11 KUPSP 1,30E-5 12,45 <,0001 0,731 1,19 R2 = 0,69 Nilai F = 39,76 Pr > F = <,0001 Radj= 0,67 DW = 2,10

Nilai paramater dalam persamaan liner menunjukkan besarnya produktivitas fisik marginal; perubahan produksi yang disebabkan oleh perubahan masing-masing input

1111

produksi. Produktivitas fisik marginal yang menurun artinya penambahan input-input produksi tertentu yang tidak dapat ditambahkan dalam jumlah yang tidak terbatas (Beattie dan Taylor, 1994; Nicholson, 2002). Pakan sapi baik hijauan, limbah pertanian maupun dedak tidak dapat ditambahkan dalam jumlah yang berlebihan melebihi kebutuhan sapi. kemampuan sapi mengkonsumsi diatur secara alami. Penambahaninput yang terus menerus setelah melewati tingkat optimum maka akan menurunkan tambahan produksi yang dihasilkan.

Estimasi parameter dengan fungsi produksi CD menunjukkan variabel-variabel independen mempengaruhi variabel dependen dengan tingkat signifikan (P < 0,001). Variabel-variabel independen mempengaruhi variabel dependen sebesar 68 persen. Secara parsial variabel pakan dedak dan modal menunjukkan pengaruh sangat signifikan (P < 0,001); sapi bakalan, pakan limbah pertanian dan tenaga kerja menunjukkan pengaruh signifikan (P < 0,05). Hipotesis CRS berderajat 1; Hipotesis nol ditolak, fungsi produksi CD dengan menggunakan produksi sapi potong tidak mencerminkan CRS pada tingkat Pr > P = 0,0268. Fungsi produksi menunjukkan CRS dengan derajat lebih dari 2.

Estimasi dengan fungsi linear menunjukkan nilai R2 lebih besar dibandingkan dengan fungsi CD; artinya bahwa variabel-variabel independen dalam model fungsi linear lebih besar kemampuan menjelaskan terhadap variabel dependen. Demikian pula dengan nilai Radj pada fungsi linear lebih besar dari fungsi CD; artinya masing-masing variabel independen dalam fungsi linear memiliki kemampuan lebih besar menjelaskan pada variabel dependen. Nilai uji Durbin-Watson pada fungsi linear lebih besar dibandingkan dengan fungsi CD tetapi kedua fungsi masih berada pada nilai antara 0,9 – 2,4; artinya bahwa kedua fungsi menunjukkan tidak adanya Autokorelasi yang serius antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Tabel 2. Hasil estimasi parameter persamaan produksi sapi dengan fungsi produksi Cobb-

Douglas.

Variabel Parameter Estimasi

Nilai t-hit Pr > /t/ VIF

Intersep -23,6609 -2,68 0,0085 0 Ln UMSBK 0,25808 0,24 0,8137 1,07 Ln PKNHMT 0,07606 0,05 0,9572 1,15 Ln PKNLIMB -3,38451 -4,18 <,0001 1,58 Ln PKNDDK 1,77339 0,90 0,3686 1,43 Ln WKPS 0,28387 0,35 0,7273 1,14 Ln KUPSP 1,99310 5,32 <,0001 1,30 RESTRICT -9,86915 -4,77 <,0001 - R2 = 0,26 Nilai F = 7,37 Pr > F = <,0001 Radj= 0,22 DW = 1,93

Variabel umur sapi bakalan pada fungsi produksi linear menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan (P < 0,05) terhadap produksi; sedangkan fungsi produksi CD tidak signifikan. Pakan hijauan pada fungsi linear memiliki hubungan negatif terhadap produksi, sedangkan pada fungsi CD menunjukkan hubungan positif. Pakan limbah pertanian pada fungsi linear maupun fungsi CD menunjukkan hubungan negatif terhadap produksi; namun pada fungsi CD menunjukkan signifikan pada tingkat (P < 0,0001). Pakan dedak menunjukkan hubungan negatif terhadap produksi baik pada fungsi linear maupun CD dan tidak menunjukkan signifikan. Tenaga kerja pada kedua fungsi produksi linear menunjukkan signifikan pada tingkat (P < 0,05) dan pada fungsi CD tidak menunjukkan dignifikan terhadap produksi. Variabel modal pada kedua fungsi produksi menunjukkan signifikan pada tingkat (P < 0,0001) dan menunjukkan hubungan positif. Elastisitas dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen menunjukkan nilai yang berbeda pada fungsi linear dan fungsi CD. Berdasarkan hasil estimasi menggunakan dua metode fungsi produksi dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan fungsi yang lebih baik untuk digunakan. Terkait

1112

dengan metode estimasi terhadap variabel-variabel independen maupun dependen dalam model yang dibangun untuk mempelajari suatu kondisi lapangan, maka perlu didukung oleh pengalaman empiris. Peneliti dapat mempertimbangkan tingkat relevansidalam melakukan pengukuran nilai parameter sehingga model yang dibangun dapat digunakan untuk menganalisis dan menyelesaikan permasalahan dan dapat memberikan kesimpulan yang lebih tepat. Masing-masing metode dapat digunakan tergantung pada tujuan penelitian sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat memberikan jawaban atas solusi permasalahan yang akan dipecahkan. nilai koefisien determinasi, signifikansi, hasil uji Multikoliner dan uji Autokorelasi, dapat dijadikan sebagai pertimbangan umum dalam statistik. Menurut Beattie dan Taylor 1994, dikatakan bahwa suatu proses produksi yang bekerja pada keadaan yang pasti sangat jarang terjadi. Faktor harga input yang digunakan dalam proses produski seringkali tidak stabil sehingga mempengaruhi proses produksi yang mengubah input menjadi output. Demikian pula perubahan harga output yang akan diteruma oleh produsen yang tidak pasti. Kompleksitas lingkungan usaha yang tidak menentu dan dinamis merupakan ciri dunia nyata.

KESIMPULAN Hasil hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dalam model yang sama fungsi produksi linear maupun Cobb-Douglas dapat menunjukkan hasil estmasi yang berbeda. Penentuan fungsi produksi yang digunakan dalam mengestimasi nilai perameter tergantung pada model yang dibangun dan data yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

Beattie B R dan Taylor CR, 1994. Ekonomi Produksi diterjemahkan oleh Soeratno J dan Gunawan S. Gadjah Mada University Press.

Dahlanuddin, Yuliana BT, Panjaitan T., Halliday M dan Shelton HM. 2013. Growth of Bali bulls on ration containing Sesbania grandiflora in Central Lombok, Indonesia. Tropical Grassland – Forrajes Tropicales Volume 1, pp 63-65. [terhubung berkala]. http://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:327614. [5 Pebruari 2014].

Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York.

Mulyana S. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi (Kasus di Kelurahan Ekajaya, Kecamatan Jambi Selatan Kotamadya Jambi). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. Vo. XII. No.4. 186-190.

Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Pappas J L dan Hirschey M. 1995. Managerial Economics. Versi bahasa Indonesia Ekonomi Manajerial. Alih bahasa Daniel Wirajaya. Edisi keenam. Binarupa Aksara. Jakarta.

Ratnawaty S, Budianto DA. 2011. Peluang Usaha Penggemukan Sapi dalam Kandang Kelompok di Desa Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. J. Ternak Tropika Vo. 12, No. 2: pp 52-59. [terhubung berkala]. http://ternaktropika.ub.ac.id/index.php [5 Pebruari 2014].

Risqina, Jannah L, Isbandi, Rianto E, Santoso SI. 2011. Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong dan Sapi Bakalan Karapan di Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep. JFTP. Vol 1 No. 3. Pp 188-192. [terhubung berkala] http://journal.unhas.ac.id/index.php [15 April 2014].

1113

Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Suparman M, dan Aziz H M S, 2003. Formulasi Pakan Murah yang Berkualitas untuk Usah Penggemukan Sapi Bali. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

1114

EFEKTIVITAS MEDIA TERCETAK DALAM DISEMINASI INOVASI AYAM KUB DI YOGYAKARTA

Retno Dwi Wahyuningrum1)*, Suparjana 2) dan Utomo Bimo Bhekti3)

1) Penyuluh Pertanian Utama, BPTP Yogyakarta 2) Penyuluh Pertanian Muda, BPTP Yogyakarta

3) Peneliti Pertama, BPTP Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo no 22, Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY

Telp (0274) 884662

ABSTRAK

Inovasi ayam KUB dari Badan Litbang sangat bermanfaat dalam membangkitkan semangat perternak ayam buras yang sedang melemah karena serang penyakit, sehingga perlu segera didiseminasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas media tercetak dalam diseminasi ayam KUB. Penelitian menggunakan Lembar Informasi Pertanian, berupa LIPTAN (didominasi tulisan) dan KOMIK (didominasi gambar), masing-masing dilakukan pada 2 kelompok peternak ayam buras. Jumlah responden LIPTAN dan KOMIK masing-masing adalah 60 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Oktober 2014 di kabupaten Sleman dan Bantul, D.I. Yogyakarta. Variabel yang diamati adalah karakter peternak, pengetahuan, sikap dan motivasi. Karakter peternak meliputi jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan. Variabel pengetahuan, sikap dan motivasi responden dievaluasi menggunakan kuesioner, dibuat dalam bentuk pertanyaan/pernyataan terkait ayam KUB. Evaluasi dilakukan setelah responden memperoleh informasi melalui LIPTAN atau KOMI, dan pemberian skor dengan skala Likert. Pengujian perbedaan tingkat pengetahuan, sikap dan motivasi adopsi ayam KUB yang diterima melalui LIPTAN dan KOMIK dilakukan dengan uji-t (t-test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik LIPTAN maupun KOMIK meningkatkan pengetahuan peternak menjadi sangat tahu, tetapi KOMIK lebih baik dalam meningkatkan sikap dan motivasi dibandingkan dengan LIPTAN. KOMIK lebih efektif dalam mendiseminasikan ayam KUB dibandingkan dengan LIPTAN.

Kata kunci: efektivitas, media tercetak, diseminasi, ayam KUB

PENDAHULUAN Dalam proses adopsi terdapat berbagai faktor yang berpengaruh, diantaranya ialah

sumber pesan, penerima pesan dan media penyampaian pesan. Sumber pesan dapat berupa lembaga atau perorangan, baik dalam hirarki struktur pemerintah maupun lembaga nonformal di lingkungan penerima pesan. Faktor penerima pesan yang berpengaruh terhadap percepatan adopsi inovasi adalah karakter sasaran dan cara pengambilan keputusan (De Vito, 1997). Media penyampaian suatu pesan/inovasi akan berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi.

Jenis media massa (baik cetak, rekaman atau siaran) mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, sehingga peruntukannya spesifik bagi kelompok masyarakat tertentu (Littlejohn dan Foss, 2009). Pemilihan jenis media masa dalam penyampaian inovasi akan menentukan cepat-lambatnya proses difusi inovasi. Bagi petani yang berpendidikan tinggi atau berpendidikan SLTA ke atas berminat terhadap media cetak, namun minat ini masih dapat ditingkatkan dengan mengubah bentuk yang semula berupa teks penuh menjadi gambar penuh (Retno et al., 2013). Hal ini seiring dengan perubahan fenomena masyarakat umum yang lebih menyukai gambar daripada bentuk teks.

1115

Media tercetak mempunyai efek yang luas dalam penyebaran inovasi, sehingga sangat baik untuk dimanfaatkan secara tepat dalam diseminasi inovasi.Model penyajian penyebaran inovasi melalui media tercetak sebaiknya secara terus menerus diperbaiki agar menarik bagi pembacanya, karena saat ini penonton semakin mempunyai banyak pilihan untuk dibaca dan ditonton.Media komunikasi tercetak yang sesuai bagi peternak dengan karakter tertentu, menjadikan media tersebut akan lebih efektif dalam penyampaian inovasi, sehingga inovasi dapat segera diadopsi oleh peternak. Karakter peternak (umur, pendidikan dan pengalaman) tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluhan, namun Marliati etal. (2008) menganjurkan bahwa dalam kegiatan penyuluhan agar memperhatikan karakter peternak.

Ayam KUB (Kampung Unggul Badan Litbang) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ayam buras yaitu produksi telur mencapai 2 kali lebih banyak dan pertumbuhannya juga 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan ayam buras (Hidayat et al., 2011). Introduksi ayam KUB inidiharapkan dapat menggairahkan peternakan ayam kampung, yang DIY menjadi lesu disebabkan adanya serang penyakit terutama flu burung. Ayam KUB diperkenalkan di DIY sejak tahun 2013 namun belum semua kelompok ayam buras mengenalnya. Oleh karena itu diseminasi inovasi ayam KUB melalui berbagai media tercetak perlu dilakukan.

Untuk mengetahui efektivitas media tercetak LIPTAN dan KOMIK terhadap motivasi adopsi ayam KUB di DIY maka dilakukan penelitian ini. Melalui penelitian ini diharapkan dapat direkomendasikan kemasan media tercetak yang terbaik bagi penyebarluasan inovasi ayam KUB kepada kelompok peternak di DIY.

METODE PENELITIAN

1. Lokasi, waktu dan cara penelitian Lokasi penelitian terdapat di Kab. Sleman dan Kab. Bantul sebagai daerah

pengembangan ayam buras. Penelitian menggunakan 2 media tercetak LIPTAN dan KOMIK. Penelitian media LIPTAN dilakukan pada Kelompok Ternak ayam buras: Arum Mekar Dusun Jetis Suruh, Desa Donoharjo, Kec. Ngaglik, Sleman dan Kelompok Makmur Jaya Dusun Krandohan, Desa Pendowoharjo, Kec. Sewon, Bantul, masing-masing kelompok sebanyak 30 orang responden. Penelitian media KOMIK dilakukan pada Kelompok Ternak ayam buras: Cinde Laras Dusun Nglaba, Desa Sinduharjo, Kec. Ngaglik, Sleman dan kelompok Cinde Laras Dusun Ngentak Dagen, Desa Pendowoharjo, Kec. Sewon, Bantul, masing-masing kelompok sebanyak 30 orang responden. Total peternak responden bagi tiap media adalah 60 orang.Penentuan kelompok tani dilakukan secara acak sederhana dalam satu kabupaten, dan penentuan responden dilakukan secara acak sederhana dalam satu kelompok.Wawancara dilakukan kepada masing-masing responden menggunakan kuesioner setelah responden membaca LIPTAN atau KOMIK tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Oktober 2014.

2. Media cetak yang digunakan

Media tercetak yang digunakan dalam penelitian ini adalah LIPTAN dan KOMIK, dalam bentuk leaflet. Di dalam media LIPTAN dan KOMIK tersebut terdapat informasi tentang karakteristik ayam KUB, keunggulan dan tipe usaha, serta tata-cara pemeliharaan ayam KUB. Penyajian informasi dalam LIPTAN menggunakan tulisan dengan sedikit gambar atau foto, sedangkan KOMIK lebih banyak menggunakan gambar dan sedikit teks tulisan. 3. Variabel yang diamati

Variabel yang diamati adalah karakter peternak, pengetahuan, sikap dan motivasi yang mengacu kepada teori sikap dan teori motivasi. Karakter peternak meliputi jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan. Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan yang merupakan dummy variable dengan simbol 1 untuk laki-laki dan 0 untuk perempuan. Umur merupakan umur responden yang diukur dalam satuan tahun dari tahun kelahirannya sampai saat wawancara dilakukan (tahun 2014). Umur dibagi menjadi tiga, yaitu umur 1 - 14 tahun disebut anak-anak atau golongan yang belum produktif, kelompok umur 15 - 64 tahun disebut golongan angkatan kerja atau produktif (tidak termasuk orang

1116

yang bersekolah dan pensiun), dan kelompok umur 65 tahun keatas yang dinamakan usia tidak produktif atau lanjut usia (Mantra 1991). Pendidikan merupakan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden, yang dikuantifikasikan dalam lama pendidikan ditempuh dalam satuan tahun. Tingkat pendidikan SD = 6 tahun, SLTP = 9 tahun, SLTA = 12 tahun, D-1 = 13 tahun, D-2 = 14 tahun, D-3 = 15 tahun, D-4 atau S-1 = 16 tahun, S-2 = 18 tahun.

Variabel pengetahuan, sikap dan motivasi responden dievaluasi menggunakan kuesioner setelah responden mendapatkan informasi mengenai ayam KUB dari LIPTAN atau KOMIK. Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan/pernyataan terkait ayam KUB, yang memuat variabel pengetahuan, sikap dan motivasi. Masing masing terdiri atas 20 pertanyaan/pernyataan dengan pilihan jawaban: sangat tidak setuju/sangat tidak ingin (STS/STI), tidak setuju/tidak ingin (TS/TI), ragu-ragu (R), setuju/ingin (S/I) dan sangat setuju/sangat ingin (SS/SI). Skoring dilakukan dengan skala Likert.

4. Analisis data

Pengujian kuisioner dengan uji validitas dan realibilitas dengan menggunakan SPSS versi 21. Berdasarkan nilai koefisien alpha Cronbach> 0,6, maka instrumen dikatakan reliabel (Ghozali, 2011), maka didapatkan hasil pertanyaan/pernyataan yang valid seperti ada Tabel 1.

Tabel 1. Realibilitas dan validitas kuisioner untuk LIPTAN dan KOMIK

Media Tercetak

Variabel Jumlah Pertanyaan Murni (item)

Jumlah Pertanyaan Valid (item)

Koefisien Alpha

Cronbach

LIPTAN Pengetahuan 20 20 0,863 Sikap 20 20 0,774 Motivasi 20 17 0,866

KOMIK Pengetahuan 20 20 0,829 Sikap 20 20 0,835 Motivasi 20 20 0,938

Hasil skala Likert yang valid dijumlah untuk masing-masing responden, kemudian

dicari reratanya sebagai skor variabel Pengetahuan, Sikap dan Motivasi. Makna skor (Setuju/Ingin dalam 5 gradasi) didapatkan dengan cara membandingkan skor tersebut dengan nilai maksimal yang mungkin diperoleh dari masing-masing variabel. Pengujian efektivitas LIPTAN dan KOMIK dianalisa berdasarkan perbedaan tingkat pengetahuan, sikap dan motivasi melalui uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakter Peternak Ayam Buras a. Jenis Kelamin.

Peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui media LIPTAN dan KOMIK didominasi oleh perempuan (59%), sedangkan laki-laki hanya 41%. Dominasi perempuan dalam peternakan ayam buras ini disebabkan karena usaha ternak ayam buras cenderung dilakukan sebagai usaha sambilan dengan ruang usaha di sekitar rumah. Sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan laki-laki, sehingga usaha ternak ayam buras lebih sering yang mengerjakannya adalah perempuan. Berbeda dengan profil petani yang bekerja di sawah di DIY yang didominasi oleh laki-laki bahkan mencapai 80% (Retno et al., 2013). Hal tersebut juga sesuai dengan budaya Jawa yaitu perempuan ada di belakang sedangkan laki-laki ada di depan, sehingga aktivitas di luar rumah dilakukan oleh laki-laki, sedangkan aktivitas di dalam rumah dilakukan oleh perempuan.

1117

b. Umur Peternak Berdasarkan klasifikasi Mantra (1991), umur 1-14 tahun (umur belum produktif),

umur 15 –64 tahun (umur produktif) dan umur > 65 tahun (umur tidak produktif), maka umur peternak yang mendapatkan informasi ayam KUB baik melalui media LIPTAN maupun KOMIK adalah 95% dalam usia produktif dan hanya 5% yang berusia > 65 tahun. Menurut Mardikanto (2009) usia sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengadopsi inovasi, petani berusia diatas 50 tahun cenderung hanya melaksanakan kegiatan yang telah diterapkan oleh masyarakat setempat. Menurut Soekartawi (2005) usia sangat berpengaruh terhadap semangat untuk mencoba dan melaksanakan apa telah disampaikan oleh penyuluh. Petani berusia muda biasanya mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman. Umur merupakan faktor intrinsik yang diyakini mempengaruhi penggunaan sistem informasi. Perbedaan umur berhubungan dengan kesulitan di dalam memproses stimulus kompleks dan mengalokasikan perhatian kepada informasi (Plude dan Hoyer dalam Jogiyanto, 2007).

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang menjadi faktor internal yang berpengaruh terhadap kemudahan dalam memberi persepsi terhadap suatu inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rasional dalam mempertimbangkan suatu keputusan. Peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui media LIPTAN dan KOMIK didominasi oleh tingkat pendidikan lulusan SLTA yaitu 46% untuk LIPTAN dan 41% untuk KOMIK, sedangkan yang berpendididkan sarjana adalah 18% untuk LIPTAN dan 17% untuk KOMIK, sehingga diharapkan penerimaan informasi teknologi ayam KUB akan lebih mudah diadopsi oleh peternak. Menurut Mardikanto (2009), tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap kapasitas belajarnya, karena dalam kegiatan belajar dibutuhkan pola pikir dan daya analitik agar mudah memahami suatu hal. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengembangan pemikiran, perasaan dan kehendak yang akan dilakukan, serta kemampuan dalam mengambil keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kemampuan untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi (Kartasapoetra, 1994).

2. Efektivitas Media Tercetak terhadap Pengetahuan, Sikap dan Motivasi

Media LIPTAN maupun KOMIK berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan motivasi peternak dalam adopsi inovasi ayam KUB (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengujian tataran pengetahuan, sikap dan motivasi dari media LIPTAN dan

KOMIK

No Media Pengetahuan Sikap Motivasi

Skor Makna*) Skor Makna**) Skor

Makna***)

1. LIPTAN 73,65 ST 30,56 R 29,96 I

2. KOMIK 74,79 ST 33,00 S 40,30 I

Hasil Uji T:

Nilai Sig 0,608 0.08 0,00

T hitung 0,487 1,765 7,073

T tabel 1,980

*) ST = Sangat Tahu **) R = Ragu-ragu, S = Setuju ***) I = Ingin

Media LIPTAN dan KOMIK, keduanya menjadikan pembacanya Sangat Tahu (ST) tentang ayam KUB. Meskipun berbeda penyajian, namun keduanya adalah media tercetak

1118

yang secara fisik sebagai informasi itu dapat dipegang, disimpan dan dibaca lagi. Hal ini sejalan dengan pendapat Slamet (1992) yang menyatakan bahwa meskipun indera yang terlibat hanyalah penglihatan, namun informasi melalui media tercetak dapat dibaca berulang-ulang, sehingga terjadi pengulangan proses berpikir. Pengulangan berpikir akan suatu informasi dalam batas tertentu akan meningkatkan penangkapan terhadap informasi tersebut.

Hasil perhitungan nilai sig > α (0,05) dan t-hitung < t-tabel menunjukkan bahwa skor pengetahuan dari peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui LIPTAN tidak berbeda dengan yang menerima melalui KOMIK. Oleh karena itu, makna pengetahuan Sangat Tahu (ST) pada peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui media LIPTAN tidak berbeda dengan yang melalui media KOMIK. Pengetahuan adalah hal yang paling mendasar dalam proses penerimaan suatu inovasi. Rogers (1983) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang yang mendapatkan stimulus, dimulai dengan awareness, yaitu individu mengetahui dan menyadari adanya inovasi, setelah itu proses diseminasi menuju adopsi akan berlangsung. Tingkat pengetahuan diperoleh dari kemampuan petani dalam menyerap informasi yang diberikan kepadanya, sehingga mempengaruhi pengembangan pemikiran dan kemampuan untuk pengambilan keputusan. Semakin tinggi pengetahuannya maka semakin tinggi pula motivasi untuk menerima inovasi.

Sikap peternak terhadap ayam KUB berbeda antara yang menerima informasi melalui LIPTAN dengan yang melalui KOMIK (Tabel 2). Sikap peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui LIPTAN adalah Ragu-Ragu (R), sementara yang menerima informasi melalui KOMIK adalah Setuju (S). Namun dari uji-t didapatkan nilai sig (0,08) > α (0,05) serta t-hitung (1,765) < t-tabel (1,980). Hasil pengujian tersebut menyatakan bahwa skor sikap peternak yang mendapat informasi ayam KUB melalui LIPTAN adalah 30,56 tidak berbeda dengan KOMIK yaitu 33,00.

Sikap didefinisikan oleh para ahli secara berbeda-beda. Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai sikap, masing-masing menurut Thurstone, Likert dan Osgood; La Piere; Secord & Backman (Azwar, 2011). Pertama, sikap menurut Thurstone, Likert dan Osgood - ketiganya memiliki pandangan serupa - merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek. Secara spesifik, Thurstone memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis. Kedua, sikap didefinisikan oleh La Piere sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Ketiga, menurut Secord & Backman, sikap didefinisikan sebagai konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Komponen kognitif merupakan representasi yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, sedangkan komponen afektif adalah perasaan yang menyangkut aspek emosional. Adapun komponen konatif didefinisikan sebagai suatu aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa sikap peternak yang memperoleh informasi tentang ayam KUB baik melalui LIPTAN maupun KOMIK cenderung untuk setuju atau menerima ayam KUB.

Motivasiadalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi tinggi dapat diartikan memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga motivasi kadang diterjemahkan sebagai niat seseorang untuk melakukan sesuatu (Azwar, 2011), Oleh karena itu setelah membaca LIPTAN atau KOMIK, orang kemudian merasa “Ingin” menerapkan ayam KUB, maka dapat diharapkan bahwa proses diseminasi akan berlangsung menuju proses adopsinya.

Motivasi peternak untuk adopsi ayam KUB adalah “Ingin” (I), baik yang menerima informasi melalui LIPTAN maupun KOMIK (Tabel 2). Skor motivasi peternak yang menerima informasi ayam KUB melalui LIPTAN adalah 29,96, dan melalui KOMIK yaitu 40,31. Hasil perhitungan sig (0,00) < α (0,05) dan t-hitung (7,073) > t-tabel (1,980), sehingga makna “Ingin” antara peternak yang menerima informasi melalui LIPTAN sangat berbeda dengan yang menerima informasi melalui KOMIK. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

1119

peternak yang menerima informasi melalui KOMIK lebih termotivasi untuk adopsi ayam KUB dibandingkan dengan yang menerima informasi melalui LIPTAN.

KESIMPULAN

Peternak ayam buras di DIY didominasi perempuan, umur produktif dan mempunyai tingkat pendidikan SLTA. Media LIPTAN maupun KOMIK meningkatkan pengetahuan peternak tersebut menjadi sangat tahu, tetapi KOMIK lebih baik dalam meningkatkan sikap dan motivasi dibandingkan dengan LIPTAN. Pada sasaran diseminasi dengan karakter demikian, media KOMIK lebih efektif untuk mendiseminasikan ayam KUB daripada media LIPTAN.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2011. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

De Vito. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Hunter College of The City University of New York. Alih Bahasa: Ir. Agus Maulan MSM, Proof reader Dr. Lyndon Saputra. Profesional Books. Jakarta. Ed. ke lima. Hal 106.

Ghozali, I., 2011. Aplikasi Analisa Multivariate dengan Program IBM SPSS 19, cetakan ke V. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hal: 45 – 52.

Hidayat, C., S. Sartika dan T. Sartika. 2011. Respon Kinerja Perteluran Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 16(2): 83 – 89.

Jogiyanto, H.M. 2007. Sistem Informasi Keperilakuan. Penerbit Andi. Yogyakarta. Ed. Pertama.

Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. 2009. Theories of Human Communication 9th edition, Alih Bahasa: Moh Yusuf Hamdan. Salemba Humanika. Jakarta. Hal 411-412.

Mantra, I.B. 1991. Pengantar Studi Demografi. Penerbit Nur Cahaya. Yogyakarta.

Mardikanto, T. 2009. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Marliati, Sumardjo, Pang S. Asngari, Prabowo Tjitropranoto dan Asep Saefuddin. 2008. Ilmu Penyuluhan. Jurnal Penyuluhan. (4)2: 92 – 99.

Retno Dwi W., Gunawan, Sri Budhi Lestari, Wiendarti, Murwati dan Sukar. 2013. Laporan Kegiatan Pengkajian Model Media Komunikasi Mendukung Percepatan M-P3MI Berbasis Ayam KUB di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, DIY. BPTP Yogyakarta.

Rogers, E.M., 1983. Diffusion of Innovations, third edition. Diunduh pada http://teddykw2.files.wordpress.com/2012/07/everet-m-rogers-diffusion-ofinnovation.pdf. Diakses 18 Februari 2015.

Slamet, M. 1992. Perspektif Ilmu penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta. 36 hal.

Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

1120

DAMPAK MUSIM KEMARAU TERHADAP PENDAPATAN PETERNAK SAPI DI PULAU TIMOR

Nelson H. Kario

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur, Jl. Timor Raya Km 32 Naibonat, Kupang

ABSTRAK Sapi merupakan jenis ternak yang sangat diandalkan oleh sub sektor peternakan

NTT dalam meningkatkan pendapatan. Seiring peningkatan permintaan daging, usaha peternakan yang ada perkembangannya terkendala dengan kondisi iklim ekstrim yang selalu melanda wilayah ini. Penelitian bertujuan untuk 1. Mengetahui perkembangan produksi usaha peternakan sapi 2. Mengetahui durasi lamanya waktu musim kemarau, 3. mengkaji besar kerugian usaha peternakan sapi akibat dampak musim kemarau. Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu April – Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1. Usaha peternakan mengalami peningkatan dengan pulau Timor mampu memberikan kontribusi terbesar yaitu antara 66,73 % pada 2013 hingga 79,83 pada 2009. 2. Durasi lamanya musim kemarau bervariasi. 3. Besarnya kerugian usaha peternakan sapi akibat dampak musim kemarau selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar Rp. 15.367.711.334.

Kata kunci : Sapi, Pendapatan, Kemarau, Pulau Timor

PENDAHULUAN

Sapi mempunyai peran terbesar dalam perekonomian nasional dibandingkan dengan jenis ternak ruminansia yang lain seperti kerbau dan kuda karena memiliki jumlah populasi yang mencapai 80 % dari total ruminansia yang ada dan tersebar hampir di seluruh provinsi. Jenis sapi Bali memiliki peran yang sangat penting karena memiliki jumlah populasi yang sangat besar yaitu sebanyak 6 juta ekor atau mencapai 60 % dari dari jumlah sapi yang ada. Keunggulan dari sapi Bali adalah mempunyai daya hidup yang tinggi, tahan penyakitdan penggembalaan yang buruk, mempunyai perdagingan yang baik dan digemari konsumen.

Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang pendapatan utama masyarakatnya bersumber dari sub sektor peternakan di samping tanaman pangan. Sub sektor peternakan tersebut selama ini memang telah menjadi andalan sektor pertanian daerah ini dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan perekonomian daerah. BPS (2014) melaporkan bahwa sub sektor ini mampu memberikan kontribusi masing-masing antara 10,02 % dan 10,38 % pada 2013 terhadap Pembangunan Domestik Regional Bruto (PDRB). Oleh karena itu usaha dibidang pemeliharaan ternak sampai saat ini masih terus dipacu karena telah menjadi tumpuan menggantungkan hidup sebagai sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat petani yang ada di wilayah ini.

Pulau Timor dikenal sebagai salah satu gugusan pulau terbesar yang ada di NTT yang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terutama dari jenis sapi Bali disamping Sumba dengan jenis Ongole. Kedua pulau ini diharapkan mampu memberikan kontribusinya berdasarkan potensi sumberdaya pendukung yang dimilikinya.

Sapi Bali selama ini telah menjadi andalan masyarakat di pulau Timor karena mampu memberikan pendapatan yang cukup signifikan terhadap para peternak Bamualim (2000) melaporkan bahwa 70 % masyarakat menggantungkan pendapatannya dari usaha pemeliharaan sapi.Penggunaan pendapatan tersebut meski hanya diperuntukkan sebagai

1121

sumber cadangan tunai terutama untuk anak sekolah, bangun rumah serta urusan keluarga seperti nikah atau adat/tradisi. Bamualim dan Wirdahayati (2006) mengatakan bahwa lamanya musim kemarau sangat berpengaruh terhadap ternak sapi terutama yang dipelihara secara ekstensif atau yang digembalakan, semakin panjang musim kemarau maka semakin besar kehilangan bobot badan. Besarnya kehilangan bobot badan tersebut akhirnya berdampak terhadap kerugian dari para peternak. Besarnya kerugian dalam bentuk penurunan bobot badan tersebut menurut Wirdahayati (2007) : antara 0,15 – 0,40 kg/ekor/hari dan kematian anak sapi 10 – 35 %. Semakin panjang musim kemarau maka semakin besar kehilangan bobot badan. Strategi yang dilakukan peternak dalam menyiasati kondisi ini sesuai saran Bamualim dan Widahayati, (2006) adalah : Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten/Kota se Provinsi NTT Tahun 2013

No. Kabupaten/Kota Jumlah (ekor) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Sumba Barat Sumba Timur Kupang TTS TTU Belu Alor Lembata Flotim Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang

1.310 52.843

151.112 165.959 108.167 118.664

4.614 4.406 1.981

13.596 34.510 26.388 24.601 45.030 12.840

2.075 5.523

27.949 12.724

3.461 5.371

0,16 6,42

18,36 20,16 13,14 14,42

0,56 0,54 0,24 1,65 4,19 3,21 2,99 5,47 1,56 0,25 0,67 3,40 1,55 0,42 0,65

Total 823.124 100 Sumber : NTT Dalam Angka (2014) 1). Mengurangi jumlah ternak yang dipelihara dengan upaya menjual sebagian ternak di

awal musim kemarau (Mei Juni) saat ternak sapi berada pada bobot puncak, 2). Memberi pakan tambahan, 3). Mentolerir terjadinya penurunan bobot badan sebagian ternak yang tidak berada dalam

masa produktif. Tabel 1 memperlihatkan bahwa kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki jumlah populasi ternak sapi yang paling besar kemudian diikuti Kupang, Belu dan Timor Tengah Utara (TTU).Pulau Timor memilki populasi yang paling besar.Data tersebut maka dapat mengidentifikasikan bahwa usaha peternakan sapi mampu berkembang di seluruh kabupaten yang ada di pulau Timor. Mencermati kondisi yang terjadi tersebut diatas maka telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji sejauhmana dampak musim kemarau terhadap pendapatan petani peternak sapi.

1122

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu April – Mei 2015. Metode

penelitian yang digunakan adalah Desk Study. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran/pengumpulan data pada beberapa institusi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Dinas Peternakan Provinsi, Biro Pusat Statistik (BPS), harga jual di tingkat peternak, kebijakan pemerintah daerah, dan lain-lain. Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan pendekatan ratio input-output.

HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Ternak Sapi di Pulau Timor Sapi dikenal sebagai jenis ternak besar yang sangat dominan di Pulau Timor bahkan NTT disamping kerbau dan Kuda. Khusus di Pulau Timor populasi ternak besar pada 2013 sebanyak 423.501 ekor yang terdiri atas sapi sebesar 398 161 ekor atau sebesar 94,02 %kemudian diikuti masing-masing kuda 22.338 ekor atau 5,25 % sedangkan kerbau hanya 3.002 ekor atau 0,0,23 % (BPS, 2014). Mencermati kondisi tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa usaha peternakan sapi adalah jenis usaha yang sangat dominan karena itu sangat potensial untuk lebih ditingkatkan lagi peranan serta kontribusinya bagi peternak di wilayah ini. Selanjutnya apabila dipilah seperti data yang nampak pada Tabel 1 berikut terlihat bahwa populasi ternak sapi baik yang ada di pulau Timor maupun NTT secara keseluruhan selama lima tahun terakhir menunjukkan trend peningkatan kecuali pada 2013 di Timor yang mengalami penurunan populasi sebesar 8.905 ekor atau 1,81 %. Dari Tabel ini apabila dirinci per kabupaten yang ada nampak bahwa terjadi pergeseran daerah sentra dominan dari kabupaten Kupang antara 2009 – 2011 yang mampu mendominasi antara 32,84 pada 2010 sampai 33,15 % pada 2009 kemudian bergeser menjadi Timor Tengah Selatan (TTS) selama tiga tahun terakhir yaitu 2011 sebesar 31,45 % dan pada 2013 sebesar 30,21 %. Sedangkan tiga kabupaten lainnya Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu cenderung lebih kecil dari kedua daearah tersebut yaitu TTU antara 14,04 % (2010) sampai 19,69 % pada 2013, untuk Belu antara 20,83 (2011) sampai 24,37 pada 2010 selanjutnya untuk kota Kupang pada umumnya < 1 %. Secara garis besar nampak pula terlihat bahwa Pulau Timor telah mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap populasi keseluruhan yang ada di NTT yaitu antara 66,73 % pada 2013 hingga 79,83 pada 2009. Namun dari tampilan distribusi data tersebut terlihat jelas bahwa walaupun jumlah populasi di NTT semakin menunjukkan peningkatan namun disisi lain kontribusi dari pulau Timor menunjukkan terjadinya penurunan. Kondisi lain yang perlu dicermati adalah mengingat sapi Bali merupakan jenis sapi yang mendominasi 66 % keseluruhan populasi dari jenis ternak sapi yang ada di pulau Timor (Bamualim, 2007) maka perlu dukungan teknologi spesifik yang diharapkan mampu tetap menopang atau meningkatkan produktifitas usaha dari para peternak.

1123

Tabel 2. Perkembangan Populasi ternak sapi di Pulau Timor selama 5 tahun terakhir Tahun Populasi (ekor/persen) Jumlah NTT

Kupang TTS TTU Belu Kupang 2009

2010

2011

2012

2013

147.554 (33,15) 151.691 (32,84) 151.250 (28,34) 158.208 (28,35) 151.112 (27,51)

128.646 (28,90) 129.218 (27,98) 167.838 (31,45) 175.554 (31,45) 165.959 (30,21)

62.938 (14,14) 64.839 (14,04) 98.631 (18,48) 103.168 (18,47) 108.167 (19,69)

102.315 (22,97) 112.412 (24,37) 111.180 (20,83) 116.294 (20,84) 118.664 (21,60)

3.650 (0,82) 3.744 (0,81) 4.784 (0,90) 5.004 (0,90) 5.371 (0,98)

445.103 (79,83)

461.904 (77,08)

533.686 (68,54)

558.178 (68,56)

549.273 (66,73)

577.552

599.279

778.633

814.450

823.134

Sumber : NTT dalam angka (2010 - 2014). (Diolah) Kondisi Iklim di Pulau Timor Hujan dikenal sebagai salah satu faktor penciri sumberdaya alam yang sangat diharapkan keberadaannya dalam pengembangan usaha peternakan termasuk usaha pemeliharaan sapi. Bamualim dan Wirdahayati (2006) melaporkan bahwa walaupun Pulau Timor didominasi oleh musim kering yang panjang dan bersifat ekstrim namun sangat potensial untuk dilakukan pengembangan ternak sapi Bali. Hal tersebut berdasarkan pengalaman masa lalu yang mampu berkembang dengan baik di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang. Pulau Timor sebagai salah satu gugusan pulau di NTT yang termasuk dalam klasifikasi iklim kering secara jelas juga memiliki kualitas lahan yang sama kering akibat durasi waktu musim panas yang mencapai 8 – 9 bulan yang biasanya terjadi antara Nopember/Desember sedangkan musim hujan hanya 3 – 4 saja pada Maret/April setiap tahun dan bersifat eratik. Mencermati kondisi iklim yang ada tersebut maka secara empirik tentunya akan berpengaruh terhadap perkembangan usaha ternak itu sendiri apabila tidak dimanfaatkan secara optimal. Hasil pemetaan Agro Ecological Zone AEZ) yang dilakukan Basuki et.al (1997) melaporkan bahwa di pulau Timor terdapat 3 ketinggian yaitu terdiri atas 84,34 % berada pada ketinggian antara 0 – 750 dpl, 15,61 % berada diantara 750 – 2.000 m dpl dan sisanya 1,05 % pada pasang surut.

Salah satu model usahatani yang sangat potensial dalam mendukung usaha pengembangan peternakan adalah alley cropping. Pola tersebut merupakan kombinasi pertanaman antara tanaman pangan, tanaman tahunan serta pakan ternak. Model usahatani ini dapat dilanjutkan pengembangannya seperti yang di sarankan Subandi, et al. (1997) dalam bentuk usahatani yang berwawasan wana tani. Luas lahan yang potensial untuk pengembangan pola alley cropping ini berada pada kategori Iiay dengan elevasi 0 – 750 m dpL sebesar 86,56 % berkemiringan > 8 % (Basuki et al. 1997). Selanjutnya berdasarkan tampilan data curah hujan dan hari hujan selama lima tahun terakhir (2009 – 2013) seperti yang nampak pada Tabel 2 dibawah terlihat bahwa pola curah hujan yang terjadi hampir sama dan merata terutama intensitasnya cukup tinggi terutama pada Bulan Nopember sampai dengan April sedangkan rendah antara April sampai dengan Oktober yang mengindikasikan terjadinya peralihan musim ke musim kemarau.

1124

Tabel 3. Data rataan curah hujan dan hari hujan di Pulau Timor selama 5 tahun terakhir (2009 – 2013)

Bln Curah hujan (ml) dan jumlah hari

2009 2010 2011 2012 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12

397,8 (171,6) 899,6 (19,6) 211,2 (14,4)

74,4 (4,8) 115 (15,8) 108 (1,6) 0,4 (0,2) 2 (0,4)

0,4 (0,4) 0 (1,4)

20,2 (15) 468,6 (10,2)

675 (18,6) 207,4 (14) 171 (11,6) 172,8 (14)

178,6 (15,2) 64,2 (7)

39,6 (6,6) 85,4 (3,7) 61 (6,8)

184 (12,4) 211,6 (12,6) 337,8 (22,4)

538,4 (22,2) 310,8 (14)

374,6 (14,6) 270,1 (15,6)

61,8 (4) 13 (2,6) 1,2 (0,6)

0 (0) 2 (0,2)

62,2 (5) 149 (10,8)

452,4 (18,4)

320,4 (17,6) 302,8 (14,8) 26,8 (12,2) 133 (7,6) 83,8 (8,4) 6,0 (0,8)

19,2 (1,2) 0 (0)

3,8 (1,8) 20,2 (1,6) 56,2 (3,8) 321 (16,6)

333,7 (16,6) 411,6 (18,8) 205,6 (11,2)

68,4 (4,2) 175,3 (8,2) 135 (7,8) 24,6 (1,2) 3,6 (0,8) 0 (0,0)

38,4 (4,2) 122 (9)

303,4 (11,8) Sumber : Data diolah Khususnya musim kemarau, untuk 2009 terjadi antara Juni sampai Nopember ; 2011 Mei sampai Oktober ; 2012 Juni sampai Oktober ; 2013 Agustus sampai Nopember sedangkan 2011 agak berbeda dengan 4 tahun lainnya karena memiliki intensitas rataan curah hujan yang cenderung lebih tinggi. Dari tampilan data ini secara jelas tersirat nampak bahwa durasi musim kemarau lebih panjang dibanding musim hujan. Kerugian ekonomi peternak sapi Pulau Timor akibat musim kemarau Musim kemarau sudah merupakan salah satu kondisi yang secara rutin terjadi setiap tahun di NTT secara umum termasuk juga Pulau Timor. Hal ini mutlak harus dihadapi setiap peternak setiap tahun sebagai bagian dari resiko dalam melaksanakan usaha pemeliharaan ternak sapi. Berdasarkan hasil perhitungan seperti yang nampak pada Tabel 4 antara besarnya populasi sapi ternak sapi jantan dewasa dengan durasi lamanya musim kemarau dalam perhitungan harian, diperoleh besarnya nilai kerugian yang cukup bervariasi selama lima tahun terakhir. Besarnya nilai kerugian terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar Rp. 3.704.103.000 sedangkan terkecil pada 2011 senilai Rp. 2.309.190.250. Secara garis besar total kerugian yang dialami oleh para peternak sapi yang ada di wilayah NTT selama lima tahun terakhir (2009 – 2013) adalah sebesar Rp. 15.367.711.334. Solusi dalam meminimalisir akibat kerugian tersebut maka Bamualim dan Wirdahayati, (2006) menyarankan yaitu : (a). Mengurangi jumlah ternak yang dipelihara dengan menjual sebagian ternak sapi yang ada di saat bobot badan ternak sapi berada pada kondisi puncak di awal musim kemarau sekitar bulan Mei-Juni sehingga diperoleh keuntungan yang lebih baik karena dijual pada saat bobot ternak berada pada kondisi terbaik, mengurangi beban petani dalam menyediakan pakan selama musim kemarau serta dapat membeli kembali ternak yang kurus di akhir musim kemarau untuk dipelihara selama musim hujan berikutnya. (b). Melakukan pemeliharaan dengan memberikan pakan tambahan terutama pada ternak yang sedang berada pada masa produktif seperti induk yang sedang menyusui dan ternak kritis di akhir musim kemarau dan (c). Mentolerir terjadinya penurunan bobot badan sebagian ternak yang tidak berada pada masa produktif.

1125

Tabel 4. Kerugian peternak akibat dampak kekeringan di Pulau Timor selama 5 tahun terakhir (2009 – 2013).

Kabupaten/kota

Sa tu an

T a h u n 2009 2010 2011 2012 2013

Kupang TTS TTU Belu Kota Kupang

Kg Rp Kg Rp Kg Rp Kg Rp Kg Rp

24.592,33 590.216.000

21.441 514.584.000

10.489,67 251.752.000

17.052,5 409.260.000

608,33 14.600.000

25.281,83 619.404.916,

7 21.536,33

527.640.167 10.806,5

264.759,250 18.735,3

459.015.666 624

15.288.000

25.208,3 642.812.500

27.973 713.311.500

16.438,5 419.181.750

18.530 472.515.000

797,33 20.332.000

26.368 698.752.00

0 29.259

775.363.500

17.194,67 455.656.66

7 19.382,3

513.631.833

834 22.101.000

25.185,33 680.004.000

27.659,83 746.815.500

18.027,83 486.751.499

19.777,33 533.987.999

895,17 24.169.500

Harga Rp/Kg

24.000

24.500

25.500

26.500

27.000

Kerugian Kg Rp

96.258,67 2.310.208.00

0

99.879,83 2.447.055.91

7

129.772,16 3.309.190.25

0

135.741,67 3.597.154.1

67

137.189 3.704.103.00

0 Sumber : Hasil Analisis.

KESIMPULAN

Populasi sapi mengalami peningkatan dan Pulau Timor mampu memberikan kontribusi terbesar diantara pulau lainnya yaitu 66,73 % pada 2013 dari 79,83 pada 2009. Durasi musim kemarau bervariasi dan besar kerugian usaha peternakan sapi yang diakibatkannya selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar Rp. 15.367.711.334.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2010. NTT dalam angka. Kantor Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Anonimous. 2011. NTT dalam angka. Kantor Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Anonimous. 2012. NTT dalam angka. Kantor Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Anonimous. 2013. NTT dalam angka. Kantor Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Anonimous. 2014. NTT dalam angka. Kantor Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bamualim, A., Wirdhahayati, R. B,. 2006. Potensi, Masalah dan Upaya Pengembangan Ternak Sapi di Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Basuki Tony, H.da Silva, Wirdahayati RM, Subandi dan Abdullah Bamualim. 1997, Karakterisasi Zona Agroekosistem (AEZs) di NTT. Prosiding Seminar Regional Hasil-

1126

Hasil Penelitian Pertanian berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem Usaha tani di Kawasan Timur Indonesia. Kupang, 28 – 30 Juli 1997. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat dengan Departement of Primary Industry and Fisheries Darwin, Northern Theritory Australia.

Subandi, Djamaludin, E. O Momuat, A. Bamualim. 1997. Sistem Usahatani Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Pertanian berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem Usaha tani di Kawasan Timur Indonesia. Kupang, 28 – 30 Juli 1997. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat dengan Departement of Primary Industry and Fisheries Darwin, Northern Theritory Australia.

1127

KERAGAAN USAHA TERNAK SAPI POTONG PADA KELOMPOK TANI SEJAHTERA DI KABUPATEN NABIRE, PAPUA

1)Usman, 1)B.M.W. Tiro, 1)Siska Tirajoh dan 2)Bustami 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Yahim Sentani - Jayapura

ABSTRAK Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Nabire umumnya dipelihara secara

tradisional tanpa pemberian pakan tambahan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan produktivitas ternak sapi potong pada kelompok tani Sejahtera di kawasan ternak sapi potong Kabupaten Nabire. Metode pengambilan data dilakukan melalui metode survei dengan menggunakan kuisioner semi-struktur terhadap 20 orang responden peternak pada kelompok tani Sejahtera dan dipertajam dengan pendekatan Focus Group Discution (FGD). Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari BPS Kabupaten Nabire dan Provinsi Papua, sedangkan data primer adalah populasi sapi potong pada kelompok tani, interval kelahiran, bobot lahir, sistem perkawinan dan tingkat mortalitas. Hasil survei terhadap produktivitas sapi potong pada kelompok tani Sejahtera masih sangat rendah. Dari 75 ekor induk dan 2 ekor pejantan bantuan sapi potong sejak tahun 2010 dan 2011 sampai tahun 2015 hanya dapat menghasilkan sapi muda/dara sebanyak 46 ekor dan anak pra sapih sebanyak 28 ekor. Tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada sapi muda/dara 43,2%. Hasil analisis usahatani diperoleh nilai RC ratio 1,0, yang berarti usaha ini hanya mampu mengembalikan biaya pokok produksi selama ± 4,5 tahun masa pemeliharaan.

Kata kunci : Keragaan, Sapi potong, produtivitas, analisis usahatani

PENDAHULUAN

Kabupaten Nabire merupakan salah satu pengembangan kawasan ternak sapi

potong di Provinsi Papua. Dalam pengembangannya usaha ternak sapi potong di Kabupaten Nabire pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pendatang, dan hanya sebagian kecil yang diusahakan oleh masyarakat asli. Sementara masyarakat asli lebih fokus pada usaha pengembangan ternak babi. Tingginya minat petani untuk mengembangkan usaha ternak sapi, selain karena harganya yang menggiurkan sebagai dampak terhadap tingginya permintaan akan kebutuhan daging yang terus meningkat juga merupakan sebagai tabungan keluarga jika sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2015) menunjukkan bahwa sampai saat ini populasi ternak sapi potong di Kabupaten Nabire mencapai 12.388 ekor atau 15,5% dari total populasi sapi potong di Papua (79.754 ekor). Secara umum populasi sapi potong di Papua mengalami laju pertumbuhan dalam kurung lima tahun terakhir (2008-2013) sebesar 3,82% lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sapi potong secara Nasional sebesar 15,87%. Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan sapi potong di Papua adalah rendahnya tingkat produktivitas dan terjadinya pemotongan sapi betina produktif.

Rendahnya produktivitas sapi potong disebabkan sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh petani pada umumnya dilakukan dengan cara tradisional dan tanpa melakukan pemberian pakan tambahan baik pada saat ternak bunting maupun pada priode pertumbuhan, sehingga menyebabkan terjadinya kinerja reproduksi yang tidak optimal. Sedangkan tingginya pemotongan terhadap sapi betina produktif disebabkan oleh semakin sulitnya untuk mendapatkan sapi jantan siap potong. Selain itu kebijakan terhadap larangan pemotongan terhadap sapi betina produktif sepertinya tidak banyak memberikan dampak dilapangan. Hal ini karena tidak diikuti oleh adanya pengawasan atau kontrol yang ketat

1128

ditingkat lapangan (desa dan kecamatan) yang merupakan sumber ternak sapi. Hasil survei dilapangan menunjukkan bahwa pada umumnya petani menjual ternaknya karena adanya kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan pendidikan anak dan keperluan biaya kebutuhan sehari-hari.

Tulisan bertujuan menyajikan data dan informasi terkait keragaan usahatani sapi potong pada kelompok tani “Sejahtera” di Kabupaten Nabire.

MATERI DAN METODE

Kajian ini merupakan kegiatan awal dari program pendampingan pengembangan kawasan ternak sapi potong yang telah dilaksanakan pada kelompok tani Sejahtera Desa Kalisemen, Distrik Nabire Barat, Kabupaten Nabire. Untuk mengetahui keragaan usahatani ternak sapi potong pada kelompok tani, selain melakukan survei dan observasi di lapangan juga dilakukan kegiatan Focus Group Discution (FGD). Dalam kegiatan survei dipilih secara acak terhadap 20 orang anggota kelompok tani sejahtera sebagai responden untuk dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner semi-struktur. Sedangkan kegiatan observasi bertujuan untuk melihat secara langsung lokasi aktivitas kegiatan kelompok, model kandang kelompok, budidaya hijauan pakan ternak, pemberian pakan, pemberian air minum dan pengelolaan limbah ternak sapi. Sementara kegiatan FGD bertujuan membahas permasalahan yang dihadapi kelompok dan alternatif pemecahannya melalui kegiatan demplot inovasi teknologi berdasarkan potensi wilayah dan harus disepakati oleh seluruh anggota kelompok.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa populasi sapi potong diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Nabire dan Provinsi Papua (2015), dan Statistik Indonesia (2015). Sedangkan data primer berupa performan kelompok tani, populasi sapi potong kelompok, sistem pemeliharaan, pemberian pakan, reproduksi/perkawinan, dan tingkat mortalitas serta aspek ekonomi. Selanjutnya data yang telah terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif. Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dilakukan analisis R/C ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Kelompok Tani Kelompok Tani Sejahtera terdiri dari 25 anggota kelompok tani eks transmigrasi. Jenis ternak sapi potong yang diusahakan adalah sapi Bali. Sapi potong yang dimiliki oleh kelompok awalnya merupakan bantuan (ternak sapi gaduhan) dari dinas peternakan. Terdapat 2 jenis bantuan ternak sapi yang diberikan oleh dinas peternakan yaitu bantuan dari program Bansos sebanyak 50 ekor per kelompok pada tahun 2010dan sapi penyelamatan induk sebanyak 27 ekor per kelompokpada tahun 2011. Sistem gaduhan yang dilakukan yaitu setiap sapi induk akan dikembalikan 2 ekor anak lepas sapi kepada Dinas Peternakan untuk digulirkan kepada petani lainnya yang belum mendapatkan ternak. Sampai saat ini populasi ternak sapi potong yang dimiliki oleh Kelompok Tani Sejahtera sebanyak 136 ekor yang terdiri dari sapi induk/betina dewasa 70 ekor, muda 41 ekor, dan anak 25 ekor.

Struktur organisasi Kelompok Tani Sejahtera mempunyai tiga pengurus inti adalah Ketua kelompok (Pak Min), Sekretaris, dan Bendahara. Hal-hal yang berkaitan dengan penyakit, IB, dan lain sebagainya semuanya dibicarakan bersama dengan ketua kelompok. Kelengkapan administrasi kelompok hingga saat ini hanya dicatat pada selembaran kertas dan buku sekolah seadanya. Secara rutin frekuensi pertemuan kelompok dilakukan sebanyak 1 – 2 kali per bulan dengan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kelompok antara lain penyetoran ternak, penyakit ternak, IB dan lain sebagainya.

1129

Karakteristik Responden Karakteristik responden peternakyang tergabung dalam Kelompok Tani Sejahtera Kabupaten Nabire seperti umur, pendidikan, mata pencaharian, pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi potong disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik petani pada kelompok tani Sejahtera Kabupaten Nabire

Karakteristik petani Jumlah Petani (Orang) Persentase (%) Umur

30 – 45 15 75 > 45 5 25

Tingkat Pendidikan SD 17 85

SLTP 3 15 Mata Pencaharian Utama

Bertani 19 95 Beternak 1 5

Pengalaman Beternak < 5 tahun 5 25

5 – 10 8 40 11 – 15 3 15 16 – 20 2 10 > 20 2 10

Kepemilikan Ternak 1 – 3 8 40

4 - 6 10 50 > 6 2 10

Sumber : Data primer, 2015 Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responden peternak sapi potong pada kelompok

tani sejahtera di Kabupaten Nabire berada pada kisaran umur 30-45 tahun atau rata-rata 37,5 tahun, berjumlah 15 orang (75,0%) dan pada kelompok umur > 45 tahun berjumlah 5 orang (25,0%). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar peternak sapi potong pada kelompok tani sejahtera masih tergolong dalam kelompok umur yang masih produktif. Hal ini menunjukkan bahwa peternak mampu untuk berpikir dan melakukan pekerjaan dengan baik serta mampu menerima inovasi-inovasi baru sehingga berguna demi kemajuan usahanya. Menurut Tarmidi (1992) yang menyatakan bahwa pada kondisi umur 15-65 tahun, seseorang masih termasuk dalam kategori umur produktif dengan kemampuan bekerja yang masih tergolong baik dan kemampuan berpikir cukup baik.

Dilihat dari aspek tingkatpendidikan responden yang tergabung dalam kelompok tani Sejahtera di Kabupaten Nabire diketahui bahwa yang berpendidikan setingkat SD sebanyak 17 orang (85,0%) lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan SLTP 3orang (15,0%). Secara umum peternak sapi potong tergolong masihberpendidikan rendah, sehingga dapat menyebabkankemampuan dalam mengadopsi suatu inovasi teknologi akanterhambat. Dikatakan oleh Hernanto(1995) menyatakan, tingkat pendidikan peternak yang relatifterbatas dapat mengakibatkan lambatnya beradaptasidengan teknologi yang baru, lemah dalam pengawasanproduksi serta lemah dalam mengolah bidang yangditekuninya. Sebaliknya dengan memiliki pendidikanyang tinggi dapat memberikan pemikiran yang positifkepada peternak sehingga ada antusias atau keinginanyang muncul untuk melakukan sesuatu gunamengembangkan usahanya.

Responden peternak pada Kelompok Tani Sejahtera di Kabupaten Nabire memiliki matapencaharian utama adalah bertani sebanyak 19 orang (95,0%), dan yang bermata pencaharian utama sebagai peternak sapi potong hanya 1 orang. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagianbesar peternak bermatapencaharian di bidang pertanianyakni sebagai petani. Usahaternak sapi potong bukan merupakan usaha pokok tetapi merupakan usaha sampingan atau sebagai tabungan keluarga yang setiap saat dapat diuangkan(Priyanti et

1130

al.,1988). Meskipun demikian peranan usaha ternak sapi potong memberikan sumbangan yang besar terhadap pendapatan petani di pedesaan.

Peternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera (Tabel 1) menunjukkan bahwa sebanyak 8 orang peternak memiliki pengalaman usaha beternak adalah sekitar 5-10 tahun atau rata-rata 7,5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa responden cukup berpengalaman sehingga usaha ternak sapi potong yang dikembangkan dapat disertai dengan peningkatan keterampilan terutama dalam mengurus ternaknya. Karena peternak yang telah berpengalaman akancenderung memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan peternak yang tidak mempunyai banyak pengalaman. Peternak yang lebih berpengalaman akan lebih cepat menyerap inovasi teknologi dibandingkan dengan peternak yang belum atau kurang berpengalaman Soekartawi (2005).

Dari hasil survei terhadap responden peternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera menunjukkan bahwa adanya variasi jumlah ternak yang dimiliki oleh responden peternak. Kepemilikan ternak sapi potong antara 4-6 ekor sebanyak 10 orang (80,0%), 1-3 ekor sebanyak 8 orang (40,0%); dan > 6 ekor sebanyak 2 orang (10,0%). Skala usaha ternak sapi potong yang berskala kecil dan merupakan usaha sambilan dengan jumlah ternak yang dipelihara berkisar antara 1-3 ekor/peternak (Khairunas et al., 2006).

Sistem Pemeliharaan

Teknologi pemeliharaan ternak sapi potong pada awalnya dipelihara secara intensif di lahan kelompoktani dengan menggunakan kandang kelompok sebanyak 2 unit, namun karena sejak adanya kasus pencurian ternak sapi dengan cara memotong ternak sapi disekitar kandang, sehingga dengan kejadian tersebut semua anggota kelompok tani sepakat menarik ternak sapinya untuk dipelihara disekitar rumah masing-masing melalui cara sistem ikat pindah, melepas sepanjang hari di kebun, dan mengandangkan pada malam hari. Penarikan ternak sapi oleh petani/peternak dilakukan dengan alasan demi keamanan. Sistem pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh peternak yang tergabung dalam Kelompok Tani Sejahtera disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Sistem pemeliharaan ternak sapi pada Kelompok Tani Sejahtera

U r a i a n Jumlah (Orang) Persentase (%)

Dilepas siang malam di kebun 4 20,0

Sistem ikat pindah di kebun/samping rumah

14 70,0

Di kandangkan sepanjang hari 2 10,0

Sumber : Data primer, 2015 Sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak umumnya ternak sapi dipelihara

dengan sistem ikat pindah sebanyak 14 orang (70,0%) baik yang dilakukan disekitar kebun maupun di samping rumah, dilepas siang malam di kebun sebanyak 4 orang (20,0%) dan hanya sebagian kecil yang sudah mengandangkan ternak sapinya sepanjang hari sebanyak 2 orang (10,0%). Hasil penelitian Tiro et al. (2014) bahwa sistem pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh peternak di Kabupaten Keerom umumnya diikat di kebun/samping rumah (66,67%), dilepas di kebun kelapa sawit tanpa ada kontrol peternak (28,57%) dan sebagian kecil sudah mengandangkan ternaknya (4,76%).

Pemberian hijauan pakan dilakukan 2 kali setiap hari yaitu pagi dan sore. Jenis hijauan pakan yang diberikan berupa rumput lapangan dan rumput gajah yang telah ditanam disekitar kandang dan dilahan kebun. Pemberian limbah seperti jerami jagung dan jerami padi hanya diberikan saat panen dalam bentuk segar. Untuk menjaga agar pakan dapat tersedia secara kontinyu dilakukan penanaman hijauan pakan ternak (HPT) jenis rumput gajah yang dilakukan pada lahan seluas kurang lebih 2 ha, tapi karena sejak adanya kasus tersebut tanaman rumput gajah tidak pernah terawat lagi dan akhirnya tanaman rumput sebagian besar sudah mati (80%) dan dapat bertahan hidup sampai dapat dipanen sekitar 20%. Jumlah pakan hijauan yang diberikan setiap harinya berkisar antara 15 – 20 kg/hari.

1131

Untuk pemberian pakan tambahan/penguat pada ternak sapi selama ini belum pernah diberikan.

Usaha ternak sapi potong yang dilaksanakan oleh petani/peternak adalah usaha pembiakan dengan sistem perkawinan yang dilakukan yaitu sistem Inseminasi Buatan (IB) masih 25% dan InKA 75%. Jenis semen ternak yang tersedia di Dinas Peternakan yaitu semen sapi Bali, Simental dan Brangus. Masih rendahnya sistem IB yang dilakukan karena kondisi induk sapi yang belum memungkinkan untuk dilakukan IB. Selain itu umumnya petani lebih menyukai sistem perkawinan secara alami karena dengan sistem IB tingkat prosentase kelahiran hanya mencapai sekitar 50 – 60%. Menurut inseminator setempat banyaknya kegagalan dalam pelaksanaan IB karena banyak petani yang belum memahami benar tanda-tanda ternak sapi yang mengalami masa birahi dengan tepat, sehingga pada saat petani melaporkan kepada inseminator sudah kurang tepat lagi untuk dilakukan inseminator.

Hasil survei diperoleh bahwa jarak melahirkan (Calving interval) ternak sapi adalah berkisar antara 17 – 24 bulan. Birahi pertama setelah melahirkan berada dalam kisaran 40-50 hari. Diantara faktor penyebab tingginya jarak kelahiran dengan kelahiran anak berikutnya adalah peternak belum memahami dengan tepatpuncak masa birahi, kegagalan dalam pelaksanaan IB, lepas sapih, dan sapi pejantan yang masih terbatas. Menurut Winugroho (2002), bahwa setiap induk dapat beranak setiap tahun maka ternak tersebut harus bunting dalam 90 hari pasca beranak. Estrus pertama pasca beranak harus sekitar 35 hari, sehingga induk mempunyai kesempatan kawin dua kali sebelum bunting (siklus estrus 21 hari). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), bahwa sebagian besar (65%) dari sapi-sapi betina kembali berahi pada 21-80 hari pasca beranak, dengan waktu untuk involusi uterus pada sapi berkisar 30-50 hari. Terjadinya kekurangan pakan pada induk setelah melahirkan dapat mengakibatkan penundaan estrus berkisar antara 5 sampai 18 bulan (Wirdahayati, 2010), dan sapi dengan kondisi tubuh yang baik saat beranak akan kembali estrus lebih awal.

Tingkat Mortalitas Sejak diterimanya bantuan dari pemerintah jumlah ternak yang sudah mati yaitu sapi dewasa sebanyak 7 ekor (9,1%), muda/dara 35 ekor (43,2%), anak pra sapih 9 ekor (24,3%). Penyebab terjadinya kematian pada sapi dewasa antara lain mengalami lumpuh dan cacingan. Sedangkan pada anak pra sapih, salah satu penyebab terjadinya mortalitas yaitu anak sapi terlihat sehat dan sedang berlari-lari disekitar kandang, namun tanpa tidak diduga tiba-tiba anak sapitersebut pada sore/besok harinyaterjadi kematian dan hal ini sering terjadi pada saat ternak sapi induk masih dikandangkan. Pengolahan Limbah

Produksi limbah ternak selama ini belum pernah dimanfaatkan, kendati telah dibangun proses pengolahan limbah untuk menjadi biogas. Alasan petani/peternak kenapa tidak memanfaatkan biogas yang tersedia yaitu petani tidak difasilitasi dengan tempat penampungan gas dan kompor gas. Demikian pula produksi limbah yang dihasilkan belum dimanfaatkan sebagai pupuk organik (pupuk kandang), karena belum pernah memperoleh pelatihan teknologi pembuatan kompos.

Analisa Usahatani Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa lahan Kelompok Tani Sejahtera telah memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi, namun karena kurangnya pendampingan dari Petugas Lapangan terutama dalam mengatasi solusi permasalahan yang ada ditingkat petani/peternak sehingga berdampak terhadap produktivitas ternak sapi potong. Analisis usaha ternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

1132

Tabel 3. Analisis usaha ternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera Kabupaten Nabire

No. Uraian Volume Satuan Nilai (Rp)

A. Biaya

- Ternak sapi 77 ekor 7,500,000 577,500,000.00

- Kandang ternak 2 unit 30,000,000 60,000,000.00

- Budidaya Rumput gajah 1 Ha 20,000,000 20,000,000.00

- Kawat berduri (pagar) 2 Ha 5,000,000 10,000,000.00

- Tenaga Kerja 365 HOK 75,000 27,375,000.00

- Obat-obatan 1 paket 3,000,000 3,000,000.00

- Biaya tak terduga 1 paket 2,000,000 2,000,000.00

Jumlah 699,875,000.00

B. Penerimaan -

- Jantan dewasa 14 ekor 13,000,000 182,000,000.00

- Betina dewasa 12 ekor 9,000,000 108,000,000.00

- Produksi sapi dara/muda 46 ekor 6,500,000 299,000,000.00

- Produksi sapi anak 28 ekor 4,000,000 112,000,000.00

Jumlah 701,000,000.00

C. Pendapatan (2010-2015) 1,125,000.00 D. R/C ratio 1.00

Hasil analisis usaha ternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera (Tabel 3) menunjukkan bahwa sejak diperolehnya bantuan dari tahun 2010 (Bansos) dan tahun 2011 (Penyelamatan Sapi Betina Produktif) sampai tahun 2015 dapat diasumsikan bahwa peternak yang tergabung dalam Kelompok Tani Sejahtera, belum mendapatkan keuntungan dari hasil usaha ternak sapinya. Hasil analisis usaha tani menunjukkan nilai R/C 1,0. Artinya bahwa usaha ternak sapi potong yang dijalankan selama ini oleh peternak belum memberikan keuntungan dan baru mampu mengembalikan modal yang diinvestasikan oleh kelompok tani. Diantara faktor penyebab belum diperolehnya keuntungan usaha adalah rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi seperti rendahnya kinerja reproduksi ternak sapi, tingginya mortalitas anak, kualitas pakan (tanpa pakan tambahan) dan jarak melahirkan yang panjang.

KESIMPULAN

Peternak sapi potong pada Kelompok Tani Sejahtera masih tergolong dalam usia produktif, dan umumnya memiliki tingkat pendidikan formal yang masih rendah. Namun peternak pada umumnya sudah mempunyai pengalaman yang cukup dengan kepemilikan ternak tertinggi antara 4-6 ekor.

Produktivitas ternak sapi potong tergolong masih sangat rendah, hal ini tercermin dari panjangnya jarak kelahiran anak pertama dengan kelahiran berikutnya, dan seringnya terjadi kegagalan bunting akibat pelaksanaan IB yang kurang tepat serta tingginya mortalitas ternak sapi muda/dara.

Analisis usahatani belum memberikan keuntungan yang layak sebagai dampak terhadap rendahnya kinerja reproduksi ternak sapi dan tingginya tingkat mortalitas yang terjadi pada ternak sapi muda/dara.

1133

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada bapak Kepala Dinas Peternakan beserta stafnya yang telah meluangkan waktunya dalam melakukan kegiatan survei dan sosialisasi pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong dengan Kelompok Tani Sejahtera di Kabupaten Nabire.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2015. Nabire Dalam Angka, 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nabire.

Badan Pusat Statistik. 2015. Papua Dalam Angka, 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia.

Hernanto, F. 1995. Ilmu Usahatani. Seri Pertanian.Penebar Swadaya, Jakarta.

Khairunas, F. Tan, & F. Madrisa. 2006. Strategipengembangan peternakan sapi potong diKabupaten Tanah Datar. http://repository.unand.ac.id/id/eprint/1697.

Priyanti, A., T. D. Soedjana, S. W. Handayani, & P. J.Ludgate. 1988. Karakteristik peternakberpenampilan tata laksana tinggi dan rendahdalam usaha ternak domba/kambing diKabupaten Bogor, Jawa Barat. ProsidingPertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2.Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian. DepartemenPertanian. Bogor. Hal 7-11.

Salisbury dan Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soekartawi, A., Soeharjo, J. L. Dillon, & J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani danPenelitian untuk Perkembangan Petani Kecil.UI-Press, Jakarta.

Tarmidi, L. T. 1992. Ekonomi Pembangunan.Penelitian Antar Universitas Studi Ekonomi.Universitas Indonesia, Jakarta.

Tiro, B.M.W., Usman, A. Kasim, P. Beeding, H. Masbaitubun. 2014. Laporan Akhir. Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman Pangan dengan Ternak Sapi Potong di Lahan Kering Kabupaten Keerom. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Winugroho, M. 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efisiensi reproduksi induk sapi. Journal Litbang Pertanian. 21: 19-23.

Wirdahayati, R.B. 2010. Penerapan teknologi dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara Timur. Wartazoa. 20(1): 12 – 20.

1134

KAJIAN PERSEPSI DAN ADOPSI PETERNAK TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA SAPI DI WILAYAH SUMATERA

Titim Rahmawati1)dan Yoshi Tri Sulistyaningsih2)

1)Jenjang Fungsional Peneliti Pertama

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. TentaraPelajar No 10, Bogor

ABSTRAK Sumatera merupakan salah satu daerah penghasil ternak yang cukup besar. Sektor peternakan di Sumatera memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian di wilayah Sumatera. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana dampak percepatan adopsi inovasi teknologi peternakan dan persepsi sapi potong di wilayah Sumatera. Survei dilaksanakan Agustus-Oktober 2014, di 6 Provinsi di wilayah Sumatera. Responden terdiri dari 30 peternak di masing-masing lokasi. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik peternak, persepsi peternak, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data sekunder dari BPS, penelurusan pustaka dan laporan yang relevan. Data dianalisis dengan statistik deskriptif, interval kelas, peningkatan persepsi peternak dengan uji Statistik Wilcoxon Signed Ranks Testdan percepatan adopsi inovasi dengan analisis pola percepatan level adopsi. Hasil pengkajian menunjukkan peningkatan persepsi peternak mengenai teknologi budidaya ternak sapi sebelum dan sesudah implementasi kegiatan diseminasi dilaksanakan, dimana rata-rata skor total awal 2,88 (cukup baik) meningkat menjadi 4,15 (baik). Persepsi inovasi teknologi tergambar menjadi 144,1% atau mengalami peningkatan sebesar 44,1%. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi peternak dalam penerapan teknologi budidaya ternak sapi di Sumatera.Usahaternak sapi potong pengembangbiakan (76%), penggemukan (15%), serta perbibitan 9%. Waktu adopsi berada pada level penerapan 2-3 tahun. Percepatan adopsi teknologi budidaya peternakan dipengaruhi oleh kepemilikan ternak sapi (t hitung 3,167 > t tabel 1,980) dan aksesibilitas sumber informasi (t hitung 1,912 > t tabel 1,658). Percepatan adopsi pemanfaatan limbah berhubungan negatif dengan faktor pendidikan, pengalaman usahaternak, umur. BC rasio pada analisis usaha ternak sebesar 1,91 dapat diartikan usaha ternak sapi cukup menguntungkan. Kata kunci: Persepsi, Adopsi, Teknologi budidaya sapi, Sumatera

PENDAHULUAN

Struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada triwulan I-2016 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 58,91%, kemudian diikuti oleh Provinsi Sumatera sebesar 22,15% (BPS, 2016).

Sumatera merupakan salah satu daerah penghasil ternak yang cukup besar. Sektor peternakan di Sumatera memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian di wilayah Sumatera. Pembangunan pertanian adalah suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Badan Litbang Pertanian, 2004). Setiap tahun Badan Litbang Pertanian menghasilkan sejumlah inovasi teknologi baru pertanian.Kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi tersebut berkaitan erat dengan rantai pasok subsistem penyampaian dan penerimaan (delivery and

1135

receiving), dimana kedua segmen tersebut merupakan penghambat (bottleneck)penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Simatupang, 2004).Menurut Tjiptopranoto (2000) dalam penerapan teknologi yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya setempat dengan biaya murah dan mudah untuk diterapkan, akan tetapi dapat memberikan kenaikan hasil dengan cepat.

Dalam tatanan praktis, pengalaman empiris menunjukkan bahwa dinamika proses adopsi inovasi teknologi dalam bidang pertanian tidak terlepas dari bekerjanya faktor-faktor pendorong dan penghambat, berupa kesenjangan teknologi introduksi dan dibutuhkan peternak, pendekatan belum mengakomodasi kondisi karakteristik peternak sangat beragam, hubungan pelaku diseminasi dan peranan penyuluh di lapangan kurang optimal (Hendayana, 2006). Implementasi teknologi hasil penelitian akan memberikan manfaat, jika proses adopsi berjalan secara informatif, aplikatif dan efektif bagi usahataninya.

Salah satu program strategis Kementerian Pertanian dalam pengembangan peternakan tahun 2015-2019 berdasarkan Kepmentan No. 43/2015 adalah peningkatan produksi pangan asal ternak melalui pendekatan kawasan untuk pengembangan komoditas (Kementan, 2015), melalui kegiatan diseminasi teknologi yang merupakan suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya mewujudkan kawasan peternakan, meningkatkan produksi dan pendapatan peternak melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama peternak. Untuk itu diperlukan suatu sistem diseminasi atau penyebaran informasi dan alih teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat memperoleh informasi maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan relatif cepat (Fawzia, 2002).

Hal ini menarik untuk dilakukan studi untuk mengetahui sejauhmana dampak percepatan adopsi inovasi teknologi peternakan dan persepsi sapi potong di wilayah Sumatera, sebagai strategi pengembangan industri peternakan untuk membangun ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan.

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014, di 6 Provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Lampung, dimana masing-masing Provinsi diwakili oleh 1 Kabupaten. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan alat ukur kuisioner, terhadap 30 orang peternak di masing-masing lokasi kegiatan diseminasi teknologi budidaya sapi, yang dipilih menggunakan metode simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik peternak, persepsi peternak terhadap komponen teknologi budidaya ternak, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data sekunder dikumpulkan dari BPS, penelurusan pustaka dan laporan yang relevan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval

NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas NSR : Nilai Skor Terendah

Peningkatan persepsi peternak dianalisis dengan menggunakan Uji Statistik

Wilcoxon Signed Ranks Test. Uji wilcoxon adalah uji Non Parametrik untuk penelitian dengan hipotesis komparatif 2 kelompok berpasangan. Sedangkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi peternak digunakan Uji Statistik Korelasi Peringkat Spearman (Alma dan Riduwan, 2009).

Untuk mengukur percepatan adopsi inovasi teknologi budidaya ternak, menggunakan analisis pola percepatan level adopsi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peluang dalam pemanfaatan teknologi budidaya ternak, menggunakan

1136

pendekatan fungsi logit:

Ln (Pi/1- Pi) = α + β1X1 + β2X2 + ....... + β9X9+Ui Dimana: Pi = Peluang peternak memanfaatkan teknologi

(P=1, jika peternak mengadopsi < rata-rata th dan P=0, jika mengadopsi > rata-rata th)

1- Pi = Peluang peternak mengadopsi suatu teknologi > - rata-rata th α = Intersep X1 = Pemilikan ternak sapi (ekor) X2 = Pendidikan formal (tahun) X3 = Pengalaman usahaternak (tahun) X4 = umur (tahun) X5 = Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga (orang) X6 = Jarak pemukiman ke sumber informasi terdekat (km) X7 = Jarak pemukiman ke pasar (km) X8 = Jarak pemukiman ke sumber modal (km) X9 = Sikap peternak terhadap resiko (skor)

βi = Parameter peubah Xi Ui = Kesalahan pengganggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak Responden Suksesnya usaha peternakan sangat tergantung pada sumberdaya peternak itu

sendiri. Adapun karakteristik peternak responden di wilayah Sumatera tersaji pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Deskripsi responden survei

No Uraian Keterangan 1. Jumlah responden 180 orang 2. Umur responden - Minimum - 28 tahun - Maksimum - 61 tahun - rata-rata - 40,2 tahun

3. Lama menempuh pendidikan - Minimum - 6 tahun - Maksimum - 12 tahun - rata-rata - 10,2 tahun

4. Jumlah kepemilikan sapi - Minimum - 2 ekor - Maksimum - 10 ekor - rata-rata - 4 ekor

5. Status kepemilikan sapi - Pemilik - 148 orang (82,22%) - Gaduhan - 32 orang (17,78%)

6. Jumlah tanggungan keluarga - Minimum - 1 orang - Maksimum - 8 orang - rata-rata - 4,14 orang

7. Pengalaman beternak sapi - Minimum - 10 tahun - Maksimum - 16 tahun - rata-rata - 11 tahun

1137

Sumber: Analisis data primer, 2014.

Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responden rata-rata 40,2 tahun yang merupakan umur produktif. Kisaran umur produktif adalah 36-56 tahun dalam melakukan suatu kinerja. Selain iturataan umur tersebut masih dibawah rataan umur tenaga kerja yang mendominasi sektor pertanian umumnya mencapai lebih dari 50 tahun (Suharyanto, 2001).

Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak manusia untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku (Mulyanudin, 1996). Lama pendidikan peternak di Sumatera rata-rata 10,2 tahun, sehingga rata-rata peternak mengenyam pendidikan setingkat SLTA. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pola berpikir, kemampuan belajar dan taraf intelektual. Rendahnya pendidikan akan membatasi peternak dalam menyerap ilmu, serta mengakses teknologi dan berinovasi, serta akan menghambat pengembangan skala usaha peternakan. Selain pendidikan formal, perlu diberikan pendidikan informal seperti penyuluhan, pelatihan dan lain-lain kepada peternak. Dengan pendidikan formal dan informal maka peternak akan memiiki pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga lebih mudah merespon suatu inovasi yang menguntungkan usahanya (Mubyarto, 1986).

Kepemilikan sapi rata-rata sekitar 4 ekor, masih efektif dipelihara oleh satu rumah tangga peternak dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sekitar 4 orang. Sebanyak 32 orang responden (17,78%) memelihara sapi dengan sistem gaduhan dan 148 orang (82,22%) memelihara sapi milik sendiri. Makin tinggi skala usaha pemilikan, maka makin besar pula tingkat pendapatan peternak.

Rata-rata peternak memiliki tanggungan keluarga 4,14 orang. Menurut Soekartawi (1988), jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru. Pengalaman peternak untuk beternak sapi potong rata-rata 11 tahun, dimana pengalaman beternak terendah 10 tahun dan tertinggi 16 tahun. Pengalaman beternak dalam memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama pengalaman beternak sapi potong maka tingkat keterampilan dan pengetahuan peternak dalam menerapkan teknologi akan semakin mudah dan cepat. Menurut Slamet (2000) yang perlu menjadi perhatian dalam proses adopsi untuk tetap menjadi efektif harus didasari motivasi peternak yang mengadopsinya. Persepsi Peternak

Hasil pengujian persepsi peternak terhadap penerapan komponen teknologi budidaya ternak sapi dengan analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks Test, memperlihatkan perbedaan antara persepsi peternak mengenai budidaya ternak sapi sebelum dan sesudah implementasi kegiatan diseminasi. Persepsi peternak sebelum adanya kegiatan diseminasi secara umum berada pada kondisi kriteria cukup baikdengan rata-rata skor total 2,88. Kemudian setelah kegiatan diseminasi aplikasi komponen teknologi budidaya ternak sapi terjadi peningkatan persepsi menjadi kondisi kriteria baik dengan rata-rata skor total menjadi 4,15. Sehingga secara keseluruhan, memperlihatkan dimana persepsi peternak mengenai budidaya ternak sapi sesudah dilaksanakannya kegiatan diseminasi percepatan adopsi inovasi teknologi menjadi 144,1% atau mengalami peningkatan sebesar 44,1% (Tabel 2).

1138

Tabel 2. Deskripsi persepsi peternak terhadap penerapan budidaya ternak sapi potong di wilayah Sumatera.

Komponen Teknologi budidaya ternak sapi potong Skor Persepsi Peternak*

Sebelum Sesudah

Pemilihan bibit 3,38 4,54 Perkandangan 3,58 4,63

Pemberian pakan 2,17 3,88

Pengelolaan reproduksi 2,51 4,71

Pengendalian penyakit 3,63 4,23

Pengelolaan limbah 2,08 4,21

Pemasaran hasil ternak 2,79 2,84

Jumlah 20,14 29,04

Rerata 2,88 4,15 Keterangan : * 1,00 -

1,80 = sangat buruk; 1,81-2,60 = buruk; 2,61-3,40 = cukup baik;

3,41- 4,20 = baik; 4,21-5,00 = sangat baik.

Tingkatan persepsi masing-masing komponen teknologi budidaya ternak sapi potong(Tabel 2) seperti pemilihan bibit, perkandangan, dan pengendalian penyakit, yang pada awalnya berada dalam tingkatan skor baik meningkat menjadi tingkatan skor sangat baik. Komponen teknologi lainnya seperti pengelolaan reproduksi dan pengelolaan limbah awalnya berada pada tingkatan skor buruk meningkat menjadi tingkatan sangat baik. Sedangkan komponen teknologi pemberian pakan, awalnya berada pada tingkatan skor buruk meningkat menjadi tingkatan baik. Komponen teknologi pemasaran hasil ternak sebelum dan sesudah kegiatan diseminasi belum secara efektif dan efisien diterapkan peternak dengan baik, walaupun tingkatan skor cukup baik (2,79 dan 2,84). Hal ini dikarenakan adanya permasalahan pada jaringan pemasaran hasil ternak yang belum terbentuk dengan baik, jaminan kualitas produk, dan kontinuitas produk.

Hasil analisis masing-masing komponen teknologi masih bervariasi, yang menggambarkan bahwa peningkatan persepsi peternak dalam penerapan teknologi budidaya sapi tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan peternak sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor luar dan lingkungan, seperti faktor kondisi, budaya atau kebiasaan sistem budidaya ternak sapi yang turun-temurun. Bulu (2010) menggambarkan, bahwa persepsi peternak terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan). Secara psikologis, persepsi individu peternak terhadap suatu inovasi teknologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti teknologi, pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir dan motivasi untuk belajar. Van den Ban dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh serta memperbaiki kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktek. Hal ini akan menimbulkan proses psikologis, sehingga individu akan menyadari apa yang ia lihat, ia dengar dan sebagainya.

Rataan skor awal pada aspek bibit mencapai 3,38 sedangkan skor akhir mencapai 4,54. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan responden terhadap aspek bibit sapi potong meningkat, utamanya pengetahuan tentang breed sapi lokal dan persilangan, sistem perkawinan dan karakteristik performans.

Rataan awal pada aspek pakan skor mencapai 2,17 dan skor akhir 3,88; dalam hal ini peternak telah melakukan perubahan dalam managemen pemberian pakan. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan air (Parakkasi, 1995). Prinsipnya faktor yang menjadi pedoman pakan ruminansia adalah kandungan protein, energi, karbohidrat, dan bahan kering pakan, serta ketepatan proporsi masing-masing sehingga sesuai dengan kebutuhan ternak sapi (McDonald dkk., 1992).

Tingkat pendidikan diduga menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi peternak.

1139

Namun dari hasil analisis menggunakan uji statistik koefisien korelasi peringkat Spearman, menunjukkan pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi peternak dalam penerapan teknologi budidaya ternak sapi di Sumatera. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh faktor-faktor eksternal lainnya yang belum terukur, seperti; norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu peternak dalam sistem sosial. Menurut Bulu (2010) hal tersebut merupakan salah satu faktor yang disebut sebagai “hambatan” dan merupakan salah satu variabel eksternal penentu persepsi peternak, terutama kesesuaian inovasi teknologi terhadap kondisi ago-ekosistem maupun agroklimat setempat.

Melalui kegiatan diseminasi inovasi komponen teknologi budidaya ternak sapi terlihat perubahan persepsi peternak bernilai positif, yaitu persepsi peternak menjadi meningkat. Peningkatan persepsi peternak mengisyaratkan bahwa peternak percaya dan setuju dengan apa yang sudah diterapkan dan didiseminasikan. Peningkatan persepsi peternak merupakan langkah awal dalam menumbuhkan minat (kepercayaan peternak) dalam merubah keterampilan, sehingga pada akhirnya komponen teknologi budidaya dapat diadopsi dan diterapkan langsung oleh peternak. Usaha Peternakan Sapi

Usaha peternakan sapi potong sebagian besar merupakan usaha dengan tujuan utama melakukan pengembangbiakan sapi potong dengan memperbanyak anakan. Persentase usaha ini mencapai 76% (Gambar 1). Usaha pengembangbiakan sapi lebih menguntungkan karena persentasenya paling besar. Sedangkan usaha peternakan dengan tujuan penggemukan, yaitu hanya membeli bakalan sapi kemudian melakukan budidaya tanpa melakukan pengembangbiakan 15%.

Gambar 1. Usahaternak di wilayah Sumatera

Sementara itu usaha sapi yang tujuan utamanya perbibitan sebesar 9%. Padahal

saat ini permintaan akan bibit sapi lebih tinggi dari produksinya. Usaha perbibitan sapi kurang menarik bagi peternak karena memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menghasilkan bakalan sapi. Saat ini belum adanya lembaga yang khusus menangani perbibitan sehingga pasokan bibit sapi lokal hanya mengandalkan peternak atau melakukan impor (BPS, 2014). Keragaan di lapangan menunjukkan bahwa ada beberapa pola usaha pembibitan ternak sapi potong yang telah berkembang di masyarakat dan mengarah ke skala menengah. Pola-pola tersebut diantaranya adalah (a) pola kelompok/gabungan kelompok ternak, (b) pola koperasi ternak, (c) pola perusahaan, (d) pola mandiri/perseorangan, dan (e) pola kemitraan (Ilham dkk., 2009). Aksesibilitas Inovasi Teknologi

Aksesibilitas wilayah menjadi faktor kunci yang memiliki peran penting dalam

Pengembangbiakan

76%

Penggemukan

15%

Perbibitan 9%

1140

mendukung atau menghambat keberhasilan usahaternak. Indikator aksesibilitas wilayah di lokasi pengkajian disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik responden pengkajian percepatan adopsi pemanfaatan limbah

pertanian untuk pakan ternak sapi dan pupuk organik.

No. Peubah Keragaman

1. Jarak pemukiman ke lokasi usaha (km) 0 - 1

2. Jarak pemukiman ke jalan raya (km) 1 - 5 3. Jarak pemukiman ke pasar input (km) 1 – 8

4. Jarak pemukiman ke pasar output (km) 1 – 8

5. Jarak pemukiman ke sumber modal (km) 1 – 10

6. Jarak pemukiman ke sumber teknologi (km) 1 - 6

7. Jarak pemukiman ke sumber limbah (km) 0 - 1

Aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya, pasar input, pasar output, sumber teknologi, dan sumber limbah secara umum cukup kondusif, jaraknya ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 10 km. Sehingga memudahkan pengangkutan input dan output hasil usahaternak dan menekan biaya pengangkutan sehingga akan dapat meningkatkan efisiensi biaya. Pendugaan Parameter Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya Peternakan 1. Waktu adopsi. Setelah dianalisis berdasarkan pola percepatan level dan inovasi yang di adopsi, maka

waktu adopsi berada pada level penerapan 2 - 3 tahun terhadap inovasi teknologi budidaya peternakan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi menggunakan analisis regresi model logit (Tabel 4), memperlihatkan variabel bebas berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi teknologi usahaternak sapi potong adalah pemilikan ternak sapi (X1) pada taraf kepercayaan 95% (nyata 5%) yang ditunjukan dengan nilai t hitung (3,167) > t tabel (1,980), peubah aksesibilitas ke sumber informasi (X6) pada taraf kepercayaan 90% (nyata 10%) yang ditunjukan dengan nilai t hitung (1,912) > t tabel (1,658).

Tabel 4. Hasil analisis faktor-faktor peubah variabel yang mempengaruhi percepatan adopsi teknologi peternakan menggunakan Regresi Model Logit.

Peubah Variabel Standar error Koefisien t hitung

X1 Pemilikan ternak sapi 0,154 0,590 3,167*

X2 Pendidikan formal 0,087 0,043 0,501

X3 Pengalaman usahaternak 0,035 -0,032 -0,906

X4 Umur 0,030 0,026 0,887

X5 Ketersediaan tenaga kerja 0,466 -0,485 -1,042

X6 Jarak ke sumber informasi 0,126 0,247 1,912**

X7 Jarak pemukiman ke pasar 0,097 -0,273 -2,797

X8 Jarak ke sumber modal 0,084 0,097 1,145

X9 Sikap peternak terhadap resiko 0,055 0,027 0,503

* = Berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% ** = Berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 90%

1141

Dari hasil regresi model logit terdapat koefisien estimasi variabel kepemilikan

ternak sapi sebesar 0,590 dapat diartikan, bahwa setiap penambahan 1% variabel pemilikan ternak sapi cenderung akan diikuti percepatan adopsi budidaya ternak dan pupuk organik sebesar 0,590 kali dari sebelum setiap dibekali pengetahuan. Begitu juga dengan akses jarak untuk mendapatkan sumber informasi akan mempermudah peternak meningkatkan pengetahuan sebesar 0,247 kali lipat setiap pengurangan jarak aksesibilitas ke sumber informasi.

Untuk peubah variabel lain seperti faktor pendidikan, pengalaman usahaternak, umur, penggunaan tenaga kerja keluarga, aksesibilitas ke pasar dan sumber modal, belum memberi pengaruh terhadap percepatan adopsi. Subagiyo, dkk., (2005) menyampaikan bahwa aspek jarak tempat tinggal peternak dari sumber informasi serta sistem dan nilai-nilai norma sosial memberi pengaruh dalam proses percepatan adopsi, begitu juga dengan faktor lingkungan strategis juga merupakan hal yang perlu menjadi perhatian (Fagi, 2008). Analisis Usahaternak Sapi

Nilai B/C dalam analisis usahaternak sapi potong di wilayah Sumatera, dapat digunakan sebagai indikator kelayakan usahaternak. Analisis usahaternak sapi di wilayah Sumatera disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Analisis usahaternak sapi di Wilayah Sumatera

1142

Peternak tidak membeli pakan (hijauan) dan tidak menyewa tenaga kerja untuk mengurus ternaknya (menggunakan tenaga sendiri). Dengan demikian mereka memperoleh pendapatan sebagai buruh bagi ternaknya. Dalam usaha tani dan usaha peternakan, pembagian kerja dan tugas manajemen jarang dilakukan, kecuali untuk skalausaha besar (Kay and Edward, 1994). Peternak dalam usaha ternak tidak hanyamenyumbangkan tenaga saja tetapilebih dari itu. Dia adalah pemimpin (manager) usahaternak yangmengatur organisasi produksi secara keseluruhan (Mubyarto, 1991).

Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual(Soekartawati, 1995). Penerimaan usaha ternak dari analisis yang dilakukan sebesar Rp. 262.000.000,00. Keuntungan yang diperoleh petani merupakan hasil dari penjualan ternak sapi potong dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama masa produksi. Analisis menunjukkan keuntungan sebesar Rp. 125.038.000,00. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pada setiap akhir panen petani akan menghitung hasil bruto yang diperolehnya(Daniel, 2002). BC rasio pada analisis usaha ternak sebesar 1,91 dapat diartikan usaha ternak sapi cukup menguntungkan.

KESIMPULAN

1. Terjadi peningkatan persepsi peternak mengenai teknologi budidaya ternak sapi sebelum dan sesudah implementasi kegiatan diseminasi dilaksanakan, dimana persepsi peternak sebelum adanya kegiatan diseminasi berada pada kriteria cukup baik dengan rata-rata skor total 2,88 yang kemudian meningkat menjadi 4,15 dengan kriteria sangat baik dan secara keseluruhan memperlihatkan perserpsi inovasi teknologi tergambar menjadi 144,1% atau mengalami peningkatan sebesar 44,1%

2. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi peternak dalam penerapan teknologi budidaya ternak sapi di Sumatera.

3. Usahaternak sapi potong sebagian besar merupakan usaha dengan tujuan utama melakukan pengembangbiakan dengan memperbanyak anakan (76%). usahaternak dengan tujuan penggemukan, yaitu hanya membeli bakalan sapi kemudian melakukan budidaya tanpa melakukan pengembangbiakan sebesar 15%, serta perbibitan sebesar 9%.

4. Waktu adopsi terhadap inovasi teknologi budidaya peternakan untuk diadopsi berada pada level penerapan 2 - 3 tahun .

5. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi teknologi budidaya peternakan adalah kepemilikan ternak sapi (t hitung 3,167 > t tabel 1,980) dan aksesibilitas sumber informasi (t hitung 1,912 > t tabel 1,658).

6. Percepatan adopsi pemanfaatan limbah berhubungan negatif dengan faktor pendidikan, pengalaman usahaternak, umur.

7. BC rasio pada analisis usaha ternak sebesar 1,91 dapat diartikan usaha ternak sapi cukup menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alma B dan Riduwan. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. Badan Litbang Pertanian. 2004. Prosiding Lokakarya Sinkronisasi Program Hasil Penelitian

dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta Badan Pusat Statistik Pusat. 2016. www.bps.go.id. Diakses 17 Mei 2016. Bulu Yohanes Geli. 2010. Persepsi Petani Terhadap Peran Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

(LUEP) dalam Usahatani Padi di Kecamatan Sukaharjo Kabupaten Sukoharjo

1143

(Online). http://h0404055. wordpress.com/2010/04/07/. Diakses 30 April 2016. Bengkulu.

Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian Untuk Perencanaan. Univesrsitas Indonesia

Press, Jakarta. Fagi, A.M., 2008. Alternatif Teknologi Peningkatan Produksi Beras Nasional. Iptek Tanaman

Pangan. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Vol.3 No.1.

Fawzia, S. 2002. Revitalisasi Fungsi Inmformasi dan Komunikasi Serta Diseminasi Luaran

BPTP. Makalah di Sampaikan Pada Ekspose dan Seminar Teknologi Pertanian Speszifik Lokasi., 14 – 15 Agustus 2002 di Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor.

Hendayana, R., 2006. Lintasan dan Peta Jalan (Road Map) Diseminasi Teknologi Pertanian

Menuju Masyarakat Tani Progresif. Prosiding Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Pembangunan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Ilham N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso dan Supadi, 2009. Perumusan Model Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Kay, R. D. And Edward, W. M., 1994. Farm Management. Third Edition. Mc. Graw-Hill. Inc,

Singapore. Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019.

Kementerian Pertanian. Jakarta McDonald, P, Edwards, R.A., and Greenhalgh., J.F.D. 1992. Animal nutritiuon (4th Ed.).

Longman Scientific & Technical. John Wiley & Sons, Inc. Nerw York. Mubyarto, 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta Mubyarto., 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta Mulyanudin, A.D. 1996. Keragaan Penggemukan Sapi Potong Bantuan Presiden Dana

Masyarakat Perhutani Indonesia (MPI) di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas I

ndonesia. Jakarta. Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah

Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya. Palembang.

Simatupang, P. 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha

Agribisnis Industrial. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Soekartawati. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sugeng, B.

2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta. Subagiyo, 2005. Kajian Faktor-Faktor Sosial yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Inovasi

1144

Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan TeknologiP ertanian. Vol 8 No 2. Pusat Penelitian dan Penembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Suharyanto, Destialisma dan I. A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi

Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Bali.

Tjiptopranoto, P. 2000. Strateg iDiseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pusat

Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor. Van Den Ban dan Howkins. 2000. Penyuluhan Pertanian. Penerbit CV. Kanisius. Yogyakarta. Winarso B dan E Basuno, 2013. Pengembangan Pola Integrasi Tanaman-Ternak Merupakan

Bagian Upaya Mendukung Usaha Perbibitan Sapi Potong dalam Negeri. Forum Penelitian Agro Ekonomi, FAE Vol 31. Pusat

1145

PROFIL KELOMPOK DAN KINERJA REPRODUKSI TERNAK BABI LOKAL PADA KELOMPOK TANI DOLIGAME DISTRIK

TIOM, KABUPATEN LANNY JAYA, PAPUA

1)Usman, 1)Batseba M.W. Tiro, 1)Siska Tirajoh, dan 2)Bustami

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl. Yahim Sentani - Jayapura

ABSTRAK Usaha ternak babi lokal di Kabupaten Lanny Jaya pada umumnya dipelihara secara

tradisional, dan sebagian kecilnya dipelihara semi intensif. Bagi masyarakat lokal pegunungan tengah memelihara ternak babi adalah suatu keharusan dan erat kaitannya dengan sosial budaya setempat yang sudah turun temurun. Kajian ini bertujuan menyajikan data dan informasi terhadap profil kelompok dan kinerja reproduksi babi lokal pada kelompok tani Doligame. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi populasi, sedangkan data primer meliputi profil kelompok tani, karakteristik petani, kepemilikan ternak, jenis ternak, kelahiran, bobot lahir, pakan dan mortalitas. Data dikumpulkan melalui metode FGD dan wawancara responden menggunakan koesioner semi-struktur. Hasil kajian menunjukkan bahwa kelompok tani Doligame memiliki jumlah ternak babi lokal 134 ekor. Ternak babi dewasa induk 22 ekor, dewasa jantan 5 ekor, muda/dara 24 ekor dan anak pra sapih 83 ekor. Karakteristik petani berupa umur 25-45 tahun (50,0%), pendidikan <6 tahun (53,57%), pengalaman beternak 5-10 tahun (39,29%), dan kepemilikan ternak 1-3 ekor (60,71%). Kinerja reproduksi ternak babi terhadap jumlah anak sekelahiran (Litter size) adalah 5-10 ekor, bobot lahir 0,5-0,8 kg/ekor, jarak kelahiran dengan bunting kembali (Days open) 60-120 hari dan jarak antara kelahiran pertama dengan kelahiran berikutnya (calving interval) 5-7 bulan serta tingkat mortalitas 50 – 70%.

Kata kunci : babi local, kinerja reproduksi, kelompok tani

PENDAHULUAN

Kabupaten Lanny Jaya memiliki luas wilayah 6.448 km2 dengan jumlah penduduk 161.077 jiwa. Kabupaten Lanny Jaya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya wilayah pegunungan tengah Papua. Masyarakat Lanny Jaya umumnya memelihara ternak babi lokal dan dipelihara secara tradisional, hanya sebagian kecil yang dipelihara secara semiintensif. Dalam kehidupan sosial budaya, ternak babi memiliki peranan penting dalam acara ritual dan juga merupakan sumber nutrisi bagi masyarakat pegunungan tengah, khususnya masyarakat Lanny Jaya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2015) diketahui bahwa jumlah populasi ternak babi di Kabupaten Lanny Jaya mencapai 37.048 ekor atau 6,4% dari total populasi ternak babi di Provinsi Papua.

Memelihara ternak babi bagi masyarakat pegunungan di Lanny Jaya sangat penting artinya terutama dalam keterkaitannya dengan adat istiadat yang telah diusahakan secara turun temurun. Usaha pemeliharaan ternak babi bagi 90% petani di Lanny Jaya seolah-olah sudah menjadi keharusan. Hal ini karena untuk memenuhi tuntutan kebutuhan adat dalam budaya lokal. Untuk memenuhi tuntutan adat, masyarakat rela menyumbangkan ternak babinya atau membeli ternak babi yang berumur sekitar 2 – 4 tahun seharga Rp 20 – 40 juta. Perkembangan populasi ternak babi sangat lambat sebagai akibat dari rendahnya tingkat produktivitas ternak babi, seperti tingginya tingkat mortalitas anak yang dilahirkan dan jarak kelahiran anak dengan kelahiran berikutnya berkisar 5-7 bulan.

1146

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Lanny Jaya dalam mengembangkan usaha ternak babi diantaranya faktor pakan dan perkandangan. Pemberian pakan pada ternak babi baik kualitas maupun kuantitasnya belum memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak babi. Demikian pula terhadap teknologi perkandangan yang belum memenuhi persyaratan, dimana kandang babi dibangun umumnya menyatu dengan dapur rumah. Hal ini karena sangat berkaitan dengan sosial budaya dan keamaanan ternak babi. Jenis pakan yang diberikan pada ternak babi umumnya berupa hijauan (daun dan tangkai) ubijalar dan umbi ubijalar. Untuk menghindari terjadinya persaingan antara kebutuhan manusia, maka pengembangan ubi jalar dibedakan antara bahan pangan manusia dan pakan babi. Varietas ubi jalar untuk bahan pangan dibudidayakan dengan cara khusus, serta memiliki kadar pati tinggi dan rasa manis (Widyastuti, 1995). Sementara varietas dengan rasa umbi kurang enak dan kandungan seratnya tinggi, serta umbi yang kecil atau rusak digunakan untuk pakan babi (Achmady dan Schneider, 1995). Ubijalar merupakan makanan pokok terutama bagi masyarakat, disamping menggunakan umbi dan daunnya sebagai pakan ternak babi (Soplanit dan Tiro, 2010). Kajian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan dan kinerja reproduksi usaha ternak babi pada kelompok tani Doligame di Kabupaten Lanny Jaya, Papua.

MATERI DAN METODE

Kajian ini merupakan bagian dari kegiatan pendampingan pengembangan kawasan ternak babi di kabupaten Lanny Jaya tahun 2015. Kegiatan dilaksanakan pada kelompok tani Doligame, Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Sebagai responden adalah petani/peternak yang tergabung dalam kelompok tani Doligami sebanyak 28 orang. Data yang dikumpulkan yaitu data sekunder meliputi keadaan umum wilayah dan populasi ternak babi yang diperoleh dari BPS Kabupaten Lanny Jaya dan Provinsi Papua (2015), sedangkan data primer meliputi struktur organisasi kelompok, jumlah anggota, karateristik petani, kepemilikan ternak, jenis ternak babi, jumlah anak sekelahiran (Litter size), interval kelahiran (calving interval), tingkat mortalitas induk dan anak, pakan, kandang, sistem pemeliharaan dan kesehatan ternak diperoleh melalui wawancara menggunakan koesioner semi-struktur dengan pendekatan Focus Group Discution(FGD).

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka data yang telah terkumpul dilakukan tabulasi data dan analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kelompok Tani Kelompok tani Doligame dibentuk pada tahun 2015 dan memiliki sebanyak 28

anggota. Struktur organisasi kelompok hanya terdiri 3 orang pengurus inti yaitu ketua kelompok (Ernus Wenda), Sekretaris (Yoko Yoman), dan Bendahara (Yaria Wenda). Sementara seksi-seksi meliputi seksi kesehatan ternak, seksi produksi, seksi pakan, dan seksi pemasaran. Kegiatan usahatani ternak babi yang dijalankan selama ini lebih fokus pada usaha pembiakan. Dalam menjalankan aktivitas kelompok tani mereka dibantu oleh seorang Dokter Hewan (Drh. Herlina Sihombing) dari Dinas Peternakan dan Perkebunan.

Pada awal pembetukan kelompok Doligame mendapatkan bantuan ternak babi dari pemerintah daerah sebanyak 27 ekor, yang terdiri dari 25 ekor betina dan 2 ekor pejantan. Untuk milik pribadi setiap anggota yang tergabung dalam kelompok tani Doligame mempunyai ternak babi 67 ekor. Sehingga keseluruhan populasi ternak babi kelompok Doligame pada awal pembentukan kelompok mencapai 94 ekor. Dalam perkembangannya sampai tahun 2016, jumlah populasi ternak babi telah mencapai 134 ekor. Artinya perkembngan populasi ternak babi kelompok Doligame mengalami pertumbuhan sebesar 42,55%. Struktur populasi ternak babi kelompok tani Doligame adalah babi dewasa betina

1147

induk 22 ekor dan dewasa jantan 5 ekor, muda/dara jantan 24 ekor dan anak pra sapih 83 ekor.

Kelengkapan administrasi belum berjalan seperti buku tamu, buku catatan terkait perkembangan ternak babi dan buku catatan terkait pertemuan kelompok serta bantuan yang diberikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lanny Jaya tidak pernah dilakukan pendataan. Pertemuan anggota kelompok tani kadang-kadang dilakukan hanya 1 kali dalam sebulan, kecuali jika ada bantuan terkait kelompok tani untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan bantuan tersebut. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan perkembangan kelompok tidak pernah dilakukan pertemuan. Setiap ada pertemuan terkait bantuan tingkat kehadiran anggota mencapai sekitar 80 – 100%. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen kelompok tani Doligame belum berjalan dengan baik. Salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya tingkat kecemburuan antara sesama anggota kelompok.

Karakteristik Peternak Karakteristik peternak yang tergabung dalam kelompok tani Doligame berupa umur, pendidikan, mata pencaharian, pengalaman beternak, dan kepemilikan ternak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik peternak pada kelompok tani doligame, distrik tiom Kabupaten Lanny

Jaya

Uraian Jumlah Petani (orang) Persentase (%) Umur (tahun)

25 - 45 14 50.00 46 - 60 9 32.14 > 60 5 17.86

Pendidikan (tahun) < 6 15 53.57

6 - 9 8 28.57 10 - 12 4 14.29 > 12 1 3.57

Mata Pencaharian Utama Bertani 27 96.43

Beternak 1 3.57 Pengalaman beternak (tahun)

< 5 7 25.00 5 - 10 11 39.29 11 - 15 5 17.86 16 - 20 3 10.71 > 20 2 7.14

Kepemilikan Ternak 1 - 3 17 60.71

4 - 6 6 21.43 7 - 9 3 10.71 > 9 2 7.14

Sumber : Data primer (2015)

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa umur peternak babi pada kelompok tani Doligame berada pada kisaran umur 25-45 tahun berjumlah 14 orang (50,0%), kelompok umur 46-60 tahun berjumlah 9 orang (32,4%), dan umur >60 tahun sebanyak 4 orang (17,86%). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar peternak pada kelompok tani Doligame tergolong dalam kelompok umur produktif. Kondisi umur yang demikian, peternak mampu untuk berpikir dan melakukan pekerjaan dengan baik serta mampu menerima inovasi-inovasi baru sehingga berguna demi kemajuan usahanya. Menurut Tarmidi (1992) bahwa pada kondisi umur 15-65 tahun, seseorang masih termasuk

1148

dalam kategori umur produktif dengan kemampuan bekerja yang masih tergolong baik dan kemampuan berpikir cukup baik.

Tingkat pendidikan peternak dalam anggota kelompok tani Doligami terdiri dari pendidikan < 6 tahun 15 orang (53,57%); 6-9 tahun 8 orang (28,57%); 9-12 tahun 4 orang (14,29%); dan >12 tahun 1 orang (3,57%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan < 6 tahun atau tergolong masih berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan kemampuan dalam mengadopsi suatu teknologi akan terhambat. Menurut Hernanto (1995), bahwa tingkat pendidikan peternak yang relatife terbatas dapat mengakibatkan lambatnya beradaptasi dengan teknologi yang baru, lemah dalam pengawasan produksi serta lemah dalam mengolah bidang yang ditekuninya. Sebaliknya dengan memiliki pendidikan yang tinggi dapat memberikan pemikiran yang positif kepada peternak sehingga ada antusias atau keinginan yang muncul untuk melakukan sesuatu guna mengembangkan usahanya.

Mata pencaharian utama peternak babi dalam kelompok tani Doligame adalah kegiatan bertani sebanyak 27 orang (96,43%), dan beternak 1 orang (3,57%). Persentase ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak bermata pencaharian utama di bidang pertanian sebagai petani. Menurut Priyanti et al. (1988) bahwa usaha ternak bukan merupakan usaha pokoktetapi merupakan usaha sampingan atau sebagai tabungan keluarga yang setiap saat dapat diuangkan. Meskipun demikian peranan usahatani ternak memberikan sumbangan yang besar terhadap pendapatan petani di pedesaan.

Pengalaman beternak merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai dasar bagi seorang peternak terutama dalam mengembangkan usaha dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Hasil survei menunjukkan bahwa peternak babi yang memiliki pengalaman tertinggi adalah sekitar 5-10 tahun 11 orang (39,29%) dan terendah >20 tahun 2 orang (7,14%). Hal ini dapat dikatakan bahwa peternak babi pada kelompok Doligame cukup berpengalaman, sehingga dalam menjalankan usahataninya disertai dengan peningkatan keterampilan dalam mengurus usaha ternaknya. Menurut Soekartawi (2005) bahwa peternak yang lebih berpengalaman akan lebih cepat menyerap inovasi teknologi dibandingkan dengan peternak yang belum atau kurang berpengalaman.

Tingkat kepemilikan ternak babi pada kelompok tani Doligame bervariasi. Kepemilikan ternak babi tertinggi adalah berkisar antara 1-3 ekor 17 orang (60,71%) dan terendah adalah >9 ekor 2 orang (7,14%). Peternak pada umumnya dalam mengelola usaha ternak dengan skala usaha masih kecil merupakan usaha sambilan dengan jumlah ternak yang dipelihara berkisar antara 1-3 ekor/peternak (Khairunas et al., 2006).

Kinerja Reproduksi Salah satu faktor penentu tingkat keberhasilan dalam peningkatan produktivitas ternak babi adalah kinerja reproduksi. Usaha ternak babi kelompok tani Doligame memiliki usaha ternak babi yang lebih fokus pada usaha pembiakan dengan sistem perkawinan secara alami (InKA). Perkembangan ternak babi lokal pada kelompok tani Doligame berdasarkan indikator kinerja reproduksi ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kinerja reproduksi ternak babi lokal pada kelompok tani Doligame, Distrik Tiom,

Kabupaten Lanny Jaya.

Uraian Kinerja Reproduksi

Umur pertama kali kawin 10 – 18 bulan

Umur pertama kali melahirkan 14 – 24 bulan

Berat lahir anak setiap kelahiran 0,4 – 0,7 kg/ekor

Jumlah anak sekelahiran (Litter size) 4 – 11 ekor

Jarak kelahiran dengan bunting kembali (Days Open) 70 – 120 hari

Jarak antara kelahiran sebelum - selanjutnya (Calving Interval) 5 – 8 bulan

Tingkat Mortalitas 40 – 60 % Sumber : Data primer di olah, 2015

1149

Berdasarkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa usahatani ternak babi yang

tergabung dalam kelompok tani Doligame adalah umur pertama kali kawin yaitu antara umur 10 – 18 bulan dengan umur pertama kali melahirkan antara 14-24 bulan. Menurut Renyaan (2014) bahwa ternak babi pada umur 5 – 6 bulan umumnya sudah dewasa kelamin, namun dewasa tubuh saat mencapai umur 10 – 12 bulan dan rata-rata lama bunting ternak babi mencapai 114 hari. Hal ini menunjukkan bahwa ternak babi pada kelompok tani Doligame mengalami keterlambatan mencapai dewasa tubuh dan dewasa kelamin sehingga berdampak pada umur pertama kali kawin.

Jumlah anak yang dilahirkan setiap kelahiran (Litter size) sekitar 4 – 11 ekor per induk. Bila dilihat dari jumlah anak yang dilahirkan setiap kelahiran induk masih rendah. Hasil kajian Tirajoh dan Usman (2011) menunjukkan bahwa jumlah anak yang dilahirkan setiap kelahiran untuk kelahiran pertama rata-rata 9 ekor, dan kelahiran ke-6 rata-rata 11 ekor serta jumlah kelahiran 65% dipengaruhi oleh faktor induk dan 35% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Rendahnya angka kelahiran selain disebabkan oleh rendahnya kualitas pakan terutama keseimbangan antara energi dan protein yang dibutuhkan selama periode awal kebuntingan ternak babi (Aritonang dkk, 1995).

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan diketahui berat lahir ternak babi setiap kelahiran adalah sekitar 0,4 – 0,7 kg/ekor. Berat lahir ternak babi pada kelompok tani Doligame tergolong sangat rendah. Salah satu faktor penyebab rendahnya bobot lahir adalah kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan belum sesuai dengan standar kebutuhan ternak, karena umumnya petani hanya memberikan pakan berupa daun singkong dan limbah dapur. Pemberian pakan dari campuran jagung, dedak padi, ampas tahu, ikan teri, dan limbah dapur dapat meningkatkan bobot lahir rata-rata 1,0 kg/ekor dan bobot sapih yang berumur 2,5 – 3 bulan sekitar 14 – 16 kg/ekor (Tirajoh dan Usman, 2011).

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jarak antara melahirkan sampai dengan bunting kembali (Days open) sekitar 70 – 120 hari. Sementara jarak beranak dengan kelahiran selanjutnya (Calving interval) sekitar 5 – 8 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa induk babi pada kelompok tani Doligame rata-rata melahirkan dua kali dalam setahun. Hasil penelitian Chrysostomus (2013) menunjukkan bahwa produktivitas ternak babi yaitu jumlah beranak per tahun sebesar 1,77±0,43 kali, jumlah anak seperindukan lahir dan disapih sebesar 5,88±1,80 ekor dan 6,92±1,95 ekor, induk yang beranak sekali per tahun 10,9% dan induk yang beranak dua kali per tahun 89,1%. Penurunan produksi pada kelahiran ternak babi ada kecenderungan bahwa sistem pemberian pakan yang kurang tepat (kelebihan pakan, kekurangan pakan bahkan ketidakseimbangan kandungan nutrisi) (Tirajoh dan Usman, 2011).

Tingkat mortalitas ternak babi pada kelompok tani Doligame adalah sekitar 40 – 60%. Kematian ternak babi terjadi pada umur < 1 bulan (40-50%), babi muda/dara (10-15%), dan induk (2-5%). Tingginya kematian pada umur <1 bulan disebabkan karena pada umumnya peternak tidak melakukan pemisahan anak setelah melahirkan, sehingga anak yang dilahirkan mengalami kematian karena terinjak-injak oleh induknya. Demikian pula disebabkan oleh produksi air susu induk yang kurang sebagai dampak dari kurangnya suplay nutrisi pakan. Sedangkan kematian pada induk babi selain dapat disebabkan oleh penyakit kudis juga dapat disebabkan karena keracunan makanan.

KESIMPULAN

Usaha ternak babi yang dilakukan oleh kelompok tani Doligame mempunyai kinerja reproduksi yang masih rendah. Umur pertama kali kawin dan umur pertama kali melahirkan masih sangat lambat, jumlah anak yang dilahirkan setiap kelahiran (Litter size) dan bobot lahir masih tergolong rendah. Jarak kelahiran dengan buntung kembali (Days Open) dan jarak antara kelahiran sebelum - selanjutnya (Calving Interval) tergolong pajang. Tingkat mortalitas mencapai 50-70%, dengan tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada anak babi umur <1 bulan.

1150

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Malikin Wanimbo, SP (Ka. Dinas Peternakan dan Perkebunan) dan Drh. Herlina Sri Sihombing (Kabid. Keswan) Kabupaten Lanny Jaya atas bantuan dan kerjasamanya dengan BPTP Papua selama kegiatan pendampingan ternak babi di Kabupaten Lanny Jaya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmady, L. dan J. Schneider. 1995. Tuber crops in Irian Jaya: Diversity and the need for conservation. In Schneider, J. (Ed). Indigenous knowledge in conservation of crop genetic resources: Proceedings. Pp. 71-87. International Potato Center

Aritonang, D.M. Silalahi, T. Manurung, 1995. Perbedaan Produktivitas Berbagai Galur Babi Lokal. Seminar Sains dan Teknologi Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2015. Lanny Jaya Dalam Angka, 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lanny Jaya.

Badan Pusat Statistik. 2015. Papua Dalam Angka, 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura.

Chrysostomus, H.Y., 2013. Produktivitas Ternak Babi dan Peranannya Dalam Pemberdayaan Masyarakat Asli Papua di Kabupaten Manokwari. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Renyaan, M. 2014. Budidaya Ternak Babi Ramah Lingkungan. http://www.papualives.com/ir-mourids-renyaan-budidaya-ternak-babi/.

Soplanit, A. dan B.M.W. Tiro. 2010. Pengkajian integrasi babi-ubijalar dalam sut ternak babi lokal di dataran tinggi jayawijaya. Seminar Nasional, inovasi teknologi pertanian mendukung ketahanan pangan dan agribisnis perdesaan. Kerjasama Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

Tirajoh, S. dan Usman, 2011. Litter Size” Suatu Faktor Penentu Keberhasilan Dalam Usaha Ternak Babi. Seminar Nasional. Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementrian Pertanian. Cisarua, 9 – 11 Desember 2010.

Widyastuti, C.A. 1995. The collection of associated knowledge during short germplsm collections: field experiences in Java and Irian Jaya. In J. Schneider (Ed). Indigenous Knowledge in Conservation of Crop Genetic Resources. International Potato Center (CIP) and Central Research Institute for Food Crops (CRIFC). Bogor. Pp. 35-45.

1151

KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENDAPATAN PETERNAK AYAM KAMPUNG di KABUPATEN KULON PROGO DI.

YOGYAKARTA

Tri Joko Siswanto, Rahima Kaliky dan Nur Hidayat

ABSTRAK

Peternakan ayam kampung mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan, diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung masih sangat tinggi, hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga tidak heran jika bisnis kuliner dengan bahan baku ayam kampung kian menjamur dan meningkat pesat, terutama di tempat-tempat tujuan wisata di Indonesia. Tampaknya menjadi angin segar bagi para peternak pemula dan bagi yang ingin mencoba usaha ternak ayam kampung.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) untuk mengetahui karakteristik peternak ayam kampung, dan 2) untuk mengatahui tingkat pendapatan dalam usaha ternak ayam kampung. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan adalah metode survey dan pengumpulan datadilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner dan diskusi kelompok (Focus Group Discussion/FGD). Data sekunder diperoleh dari dinas/instansi terkait, untuk selanjutnya data yang terhimpun dianalisis secara diskriptif.Data yang diperoleh dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan analisis input-output usahatani dengan parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap, serta biaya lain yang dianggap perlu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam kampung sangat potensial sebagai sumber pendapatan dan sumber protein hewani bagi kebutuhan keluarga. Jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah ayam kampung Jawa Super dengan sistem pemeliharaan yang banyak dilakukan adalah dengan sistem pemeliharaan secara semi intensif. Perhitungan analisa usaha untuk 500 ekor ayam, dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 1.287.500 dengan nilai R/C sebesar 1,14

Kata kunci : karakteristik, ayam kampung dan pendapatan

PENDAHULUAN

Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian secara umum dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta memenuhi kebutuhan pangan dan gizi yang sesuai. Pencapaian tujuan ini dilakukan dengan usaha pembinaandaerah-daerah produkpeternakan, yang telah ada maupun pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang dapat menunjang pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Ternak ayam kedepan akan tetap menjadi tumpuan sebagai sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani karena adanya beberapa hal yang menguntungkan bagi masyarakat : murah, mudah didapat dan disukai. Untuk memacu industry perunggasan supaya lebih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersaing di pasar global, maka pengembangan peternakan ayam hendaknya tidak tertumpu hanya pada ayam ras. Hal ini didasari pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1) ayam ras tingkat ketergantungannya sangat tinggi terhadap luar negeri dalam pengadaan sarana produksi

1152

(bibit, ransum, obat) dan teknologi. 2) penyebaran produk ayam ras belum mampu menjangkau pelosok-pelosok wilayah yang terpencil, hanya terbatas disekitar kota-kota besar.

Peternakan ayam kampung mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan, diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung masih sangat tinggi, hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan konsumsi ayam kampung meningkat menjadi 1,52 juta ton dalam rentang waktu 3 tahun terakhir. Sehingga tidak heran jika bisnis kuliner dengan bahan baku ayam kampung kian menjamur dan meningkat pesat, terutama di tempat-tempat tujuan wisata di Indonesia. Tampaknya menjadi angin segar bagi para peternak pemula dan bagi yang ingin mencoba usaha ternak ayam kampung.

Ayam kampung pada saat ini banyak diternakkan di daerah pedesaaan yang pada umumnya diternakan secara tradisional oleh peternkan rakyat sebagai usaha sambilan, Sesungguhnya jika dipelihara secara serius, ayam buras mampu memenuhi kebutuhan hidup lebih banyak, dengan kata lain cocok untuk dijadikan usaha yang menjanjikan.

Salah satu jenis ternak yang mempunyai prospek cukup bagus dan stabil beberapa tahun terakhir ini adalah peternakan ayam buras atau lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung. Ayam kampung mempunyai konsumen tersendiri dengan citarasa yang lebih gurih dan berkarakter kuat. Jumlah peternak ayam kampung di daerah Yogyakarta dan sekitarnya cenderung meningkat.

Sampai saat ini produktivitas ayam lokal masih rendah, sehingga baru mampu memenuhi sekitar 23% saja dari total populasi ternak unggas, karena masih dikelola secara tradisional sebagai usaha sambilan. Oleh karena itu pengembangan ayam lokal sebaiknya diarahkan selain untuk meningkatkan produktivitas, harus juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, kemandirian usaha, melestarikan dan memafaatkan keanekaragaman sumberdaya lokal serta mendorong dan menciptakan produk yang berdaya saing ekspor.

Petani peternak yang tinggal di desa sebagian besar masih belum menemukan pola usaha yang tepat untuk meningkatkan pendapatan mereka. Diperlukan arahan dan bimbingan dari pemerintah melalui para petugas pertanian maupun peternakan yang berada di pedesaan.Mengingat ayam kampung merupakan jenis ternak yang mempunyai prospek cukup bagus dan stabil beberapa tahun terakhir ini, maka dipandang perlu untuk dilakukan kajian terhadap analisis tingkat pendapatan pada usaha peternakan ayam kampung di Yogyakarta.

Usaha ternak ayam kampung telah menjadi bagian dari sistem budidaya petani dan menjadi sumber pendapatan rumah tangga juga memiliki nilai sosial ekonomi tinggi Muryanto et al. (2007).

Pemeliharaan dengan cara tradisional banyak diusahakan oleh petani di pedesaan. Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas yang mudah di kenal di masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Keberadaan ternak ayam atau dikenal sebagai ayam kampung sangat bermanfaat selain penghasil daging dan telur untuk dikonsumsi.

Usaha pemeliharaan ayam kampung di perdesaan sangat berpengaruh terhadap pengembangan sumber daya manusia yang merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan petani dalam mengelola usaha tani ternaknya.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) untuk mengetahui karakteristik peternak ayam kampung, dan 2) untuk mengatahui tingkat pendapatan dalam usaha ternak ayam kampung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan adalah metode survey dan pengumpulan datadilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner dan diskusi kelompok (Focus Group Discussion/FGD). Data sekunder diperoleh dari dinas/instansi terkait, untuk selanjutnya data yang terhimpun dianalisis secara diskriptif.Data yang diperoleh dalam penelitian ini, dianalisis dengan

1153

menggunakan analisis input-output usahatani dengan parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap, serta biaya lain yang dianggap perlu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Ayam kampung mempunyai konsumen tersendiri dengan citarasa yang lebih gurih dan berkarakter kuat. Di daerah Yogjakarta dan sekitarnya menunjukan peningkatan jumlah peternak yang beternak ayam kampung dalam kurun waktu 2 tahun terakhir seperti yang dilaporkan oleh pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak). Peternakan ayam kampung secara umum menghasilkan dua jenis komoditi utama yaitu daging dan telur walaupun masih ada lagi hasil ekonomis lainnya seperti pemanfaatan kotoran untuk pembuatan pupuk organik dan pemanfaatan bulu dan cangkang telur sebagai bahan tambahan pakan.

Tingkat produksi daging dan telur ayam kampung di DIY dan Jateng mengalami kenaikan yang fluktuatif seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1: Populasi ternak ayam kampung di Kabupaten Kulon Progo

No Tahun Kabupaten Kulon Progo 1 2009 694.661 2 2010 779.137 3 2011 762.509 4 2012 789.887 5 2013 801.032

Sumber : Ditjennak (2013).

Data tersebut menunjukkan peningkatan populasi yang signifikan dibandingkan dengan 5 tahun sebelumnya, hal ini dapat berindikasi bahwa ternak ayam kampung tetap tumbuh di wilayah yogyakarta dan sekitarnya. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Ternak Kepemilikan ternak dari responden, dapat menunjukkan besarnya potensi untuk dapat mengembangkan usahanya. Semakin banyak ternak yang diusahakan, maka keuntungan yang akan diperoleh akan semakin banyak. Tabel 2. Sebaran responden berdasarkan tingkat kepemilikan ternak

No Jumlah Ternak Jumlah Responden Persentase (%) 1 >20 10 16,67 2 10 – 20 35 58,33 3 <10 15 25,00

Jumlah 60 100

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa responden memiliki jumlah ternak yang tidak begitu banyak. Sebagian besar ada 35 orang (58,33 %) memiliki ternak berkisar antara 10-20 ekor, ada 15 orang (25,00 %) memiliki ternak kurang dari 10 berkisar antara 10 – 20 ekor, dan ada 10 orang (16,67%) responden yang hanya memiliki ternak diatas 10 ekor. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Ayam Kampung Yang Diusahakan Peternak

Ayam kampung atau ayam buras (bukan ras) sudah banyak dikenal oleh masyarakat dan banyak dibudidayakan di pedesaan. Karena perawatannya tergolong mudah, daya tahan hidupnya cukup tinggi, adaptasi dengan lingkungan dan makanan mudah serta banyak

1154

digemari masyarakat karena baik daging maupun telurnya memiliki cita rasa yang lebih disukai dibandingkan ayam ras. Tabel 3. Jenis ayam kampung yang diusahakan

No Jenis Ayam Kampung Jumlah Responden Persentase (%) 1 Jawa Asli 9 15,00 2 Jawa super 45 75,00 3 KUB 6 10,00

Jumlah 60 100 Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa jenis ayam kampung yang paling banyak

diusahakan peternak adalah ayam kampung Jawa Super, yaitu ada 45 orang (75,00%) yang mengusahakannya. terdapat 9 orang responden (15,00%) yang mengembangkan ternak ayam Jawa Asli, dan sisanya ada 6 orang (10,00 %) yang mengembangkan ternak ayam KUB.

Jenis ayam kampung yang bisa diusahakan sebagai penghasil telur adalah ayam kampung asli (ayam sayur, ayam berkeliaran dan sebutan lainnya), ayam nunukan, ayam kedu putih, ayam kedu hitam, ayam pelung dan jenis lainnya. Produksi telur tertinggi (per tahun) dari jenis tersebut secara berurutan adalah ayam kedu hitam, kedu putih, dan nunukan, pelung dan sayur.

Saat ini dengan adanya teknologi baru, kini hadir ayam Kampung Super atau ayam Jawa Super. Ternak ayam Kampung Super secara nyata lebih menjanjikan karena dalam masa pemeliharaan panen membutuhkan waktu 55-60 hari saja. Masa panen yang cepat pada ayam Kampung Super memberikan keuntungan yang cukup menggiurkan diantaranya tingkat kematian yang relatif rendah, penghematan biaya pemeliharaan dan pakan. Ayam Kampung super merupakan hasil persilangan terbaru yang melibatkan teknologi persilangan ternak sehingga didapatkan pertumbuhan yang cepat dan memiliki karakteristik daging dan bentuk ayam kampung. Ayam kampung super memiliki keunggulan antara lain:

1.Memiliki fisik dan corak seperti ayam kampung pada umumnya. 2.Masa panen yang relatif lebih singkat. 3.Harga jual yang lebih tinggi dan stabil. 4.Lebih ramah lingkungan karena tidak menimbulkan bau yang menyengat. 5.Pemeliharaanya mudah karena memiliki daya tahan tubuh yang tinggi.

Masih sedikitnya peternak yang mengusahakan ternak KUB, disebabkan oleh harga pakan unggas yang relatif mahal karena masih mengandalkan dari pabrik pakan, serta tingginya tingkat kematian maupun pertumbuhan yang tidak merata. Karakteristik Responden Berdasarkan Sistem Pemeliharaan Ayam Kampung

Pemilihan sistem pemeliharaan yang diterapkan pada usaha ternak ayam kampung sangat menentukan keberhasilan usaha tersebut. Petani peternak yang berkecimpung pada usaha ternak ayam kampung, dalam memilih sistem pemeliharaan dapat berpedoman, pada sejauh mana hasil atau imbalan jasa yang dapat diperoleh dari sistem pemeliharaan yang diterapkan.Hasil atau imbalan jasa ini tergantung pada beberapa hal, antara lain mutu atau kemampuan genetis ayam kampung yang dipelihara, pakan yang diberikan dan pengelolaan termasuk pemeliharaan. Tabel 4. Sistem pemeliharaan ayam kampung

No Sistem Pemeliharaan Jumlah Responden Persentase (%) 1 Semi Intensif 60 100 2 Tradisional 0 0 3 Intensif 0 0

Jumlah 60 100

Pada Tabel 4 diatas menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan yang banyak dikembangkan peternak adalah sistem pemeliharaan secara semi intensif, yaitu ada 60 orang

1155

(100%). Selanjutnya pemeliharaan dengan sistem tradisional dan sistem intensiftidak ada yang menerapkannya.

Banyaknya peternak yang telah mengembangkan pemeliharaan dengan sistem semi intensif, karena dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan secara tradisional. Dengan biaya usaha yang lebih rendah dibandingkan dengan pemeliharaan secara intensif. Pemeliharaan dengan sistem semi intensif sudah disediakan kandang dengan pagar disekeliling tempat ayam berkeliaran, telah dilakukan penyapihan anak ayam dari induknya dan diberikan pakan tambahan. Pemeliharaan dengan sistem semi intensif juga menjadi salah satu syarat bagi setiap anggota untuk menerapkannya.

Pemeliharaan ternak ayam secara tradisional, umumnya dilakukan rumah tangga dipedesaan dengan produksi yang masih rendah, ayam tidak dikandangkan, pakan yang seadanya yang dapat diperoleh disekitar pekarangan petani dan pada sistem ini belum diperhatikan aspek teknis maupun perhitungan ekonomisnya.

Sedangkan untuk sistem pemeliharaan intensif, dimana pada sistem ini ayam sudah dikurung sepanjang hari dengan pemberian pakan dan pencegahan penyakit yang dilakukan secara teratur dan intensif. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPPT pada tahun 1993, pemeliharaan ayam kampung secara intensif memberikan keuntungan terbesar bagi peternak, namun apabila dilihat dari perbandingan keuntungan dan biaya usaha maka sistem pemeliharaan semi intensif menunjukkan angka keuntungan tertinggi. Tingkat Pendapatan Peternak Ayam Kampung

Suatu usaha peternakan perlu dilakukan analisis usaha kelayakan, dengan menganalisis kelayakan usaha tersebut maka akan dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu usaha yang akan dilakukan. Achmad Gusasi, dkk (2006), menyebutkan bahwa analisis pendapatan dan efisiensi usaha ternak ayam pada skala usaha kecil,tujuannya adalah untukmenelusuri komponen faktor produksi yang digunakan dalam pengelolaan usaha,dan ingin mengetahui pendapatan bersih yang dapat diperoleh pada setiaptingkatan skala usaha serta tingkat efisiensinya. Biaya Modal Usaha 1. Doc 500 x 4500 = Rp 2.250.000 2. Pakan 20 sak x 350.000 = Rp 7.000.000 3. Vaksin dan vitamin = Rp 100.000 4. Lain-lain = Rp 50.000 Total Modal Usaha = Rp 9.400.000 Pendapatan Usaha

1. Jumlah ayam dengan asumsi kematian 5 % = 475 ekor 2. Harga jual rata-rata = Rp 25.000 3. Bobot rata-rata 9 ons x 475 = 427,5 kg 4. Hasil penjualan 427,5 x 25.000 = Rp 10. 687.500

Di dapatkan dari pendapatan usaha dikurangi biaya usaha/tahun

= 10.687.500 – 9.400.000 = Rp 1.287.500 Analisa Kelayakan Usaha Return Cost Ratio (R/C) = 1,14 Nilai R/C 1,14 Menunjukkan bahwa usaha inilayak untuk diusahakan. Setiap penambahan biaya Rp 1, akan memperoleh penerimaan Rp 1,14, Pendapatan akan masih bisa bertambah apabila kita bisa menekan biaya pakan. Secara garis besar usaha ini layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Semakin besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh peternak. Hal ini dapat dicapai apabila peternak mengalokasikan faktor produksi dengan lebih efisien.

1156

KESIMPULAN

Ayam kampung sangat potensial sebagai sumber pendapatan keluarga. Jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah ayam kampung Jawa Super dengan sistem pemeliharaan yang banyak dilakukan adalah dengan sistem pemeliharaan secara semi intensif. Perhitungan analisa usaha untuk 500 ekor ayam, dapat member keutungan sebesar Rp 1.287.500 dengan nilai R/C sebesar 1,14

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 1995. Ekonomi Manajerial Ekonomi Mikro Terapan Untuk Manajemen Bisnis.Edisi 3 BPFF.Yogyakarta.

Arsyaf. 2001. Manajemen Peternakan Ayam Buras. Penebar Swadaya, Jakarta

Bambang Suharno, 2004. Agribisnis Ayam Buras. Penebar Swadaya, Jakarta

Cahyono, B. Ir, 2005. Ayam Buras Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta

Harnanto. 1992. Akuntansi Biaya Perhitungan Harga Pokok Produk. Edisi Pertama. BPFE, Yogyakarta.

Manullang, M. 2002. Pengantar Bisnis Edisis Pertama.Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Partowijoto, 2003.Tingkat adopsi teknologi oleh peternak dan potensi produksi ayam buras di daerah transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.hlm. 116−120.Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil- Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak.Bogor, 20−22 Februari 1992. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Patong.D dan Soeharjo. 1978. Sendi-Sendi Pokok Usaha Tani. Lembaga Penerbitan UNHAS, Makassar.

Pramudyati, Y.2009. Beternak Ayam Buras. Skripsi Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (Bptp) Sumatera Selatan.

Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Kampung. Penerbit Swadaya, Jakarta

Sayuti, R. 2002. Analisis agribisnis Ayam Buras Melalui Pendekatan Keuntungan Multi Output (Kasus Jawa Timur). Disertasi Program PascasarjanaUniversitas Padjajaran.

Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Subangkit Mulyono, 1996, Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis, Penebar Swadaya, Jakarta.

1157

DIVERSIFIKASI USAHA PERTANIAN DALAM RANGKA ANTISIPASI MEA KEBUTUHAN PANGAN

DI INDONESIA

Cut R. Adawiyah1) S.Russiana2) dan Muhammad Ichwan3)

1) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jalan Ahmad Yani No.70 Bogor 2) Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor

P.O.Box. 221, Bogor 16002 3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

Jl. Raya Padang Solok Km. 40, Solok

ABSTRAK Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan yang strategis dalam

struktur pembangunan secara nasional, pertanian merupakan sektor yang paling ditentukan sebagai titik akhir penentu keberhasilan pembangunan menuju persaingan ekonomi Asean (MEA), bagi masyarakat yang sejahtera, penduduk di Indonesia tergantung pada hasil pangan. Potensi pertanian di Indonesia berpengaruh terhadap maju mundurnya pembangunan pertanian dan perekonomian, namun pada kenyataan sampai saat ini sebagian petani di pedesaan masih ada berkatagori golongan miskin, hal tersebut mengindikasikan pemerintah masa lalu kurang memberdayakan para petani untuk terjun ke usaha mandiri dan memperhatikan lahan yang dimiliki oleh petani tidak sampai terjual ke pihak lain, pembaruan agrari, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, ditambah dengan adanya kasus pelanggaran hak asasi petani Indonesia. Berkaitan dengan masalahdiatas maka tujuan tulisan ini, mereview hasil penelitian, informasi dan dari pengalaman dilapangan, dibahas dengan beberapa segmen yang ditampilkan melalui disikriptif secara kuantitatif dan tabel, untuk mengetahui potensi pengembangan pertanian dan diversifikasi pangan dalam rangka antisipasi MEA kebutuhan pangan di Indonesiayang dapat dikembangkan melalui kebijakan berikutnya. Rataan harga eceran barang yang dipengaruhi oleh kebutuhan konsumen, kenaikan harga setiap tahun adalah daging sapi, daging ayam 2009 sekitar Rp.30.400/kg 2010-2011, ada penurunan harga menjadi 27.800-28.200/kg 2012 harga menjadi 30.100/kg, harga cabe merah 2009 sekitar Rp. 21.500/kg 2010 naik menjadi 28,900/kg 2011-2012 harga cabe merah turun sekitar Rp.22.700-21.300/kg, kemudian untuk ikan kembangharga tidak terlalu tinggi sekitar 1,5 persen per/tahun yang diikuti dengan jenis barang lainnya.

Kata Kunci :diversifikasi,pertanian, antisipasi MEA, pangan Indonesia

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sektor yang paling ditentukan sebagai titik akhir dalam menentukan keberhasilan pembangunan pertanian menunju persaingan MEA, diharapkan dengan adanya pesaingan MEA tersebut masyarakat Indonesia tetap dapat bersaing dan menjadikannya suatu kemajuan, kamakmur dan sejahtera. Maju mundurnya bangsa Indonesia tergantung keberhasilan pembangunan pertanian, hampir 99 persen pendudukdi Indonesia tergantung pada pertanian, termasuk didalamnya peternakan dan perikanan (Adawiyah dan Rusdiana, 2012). Menurut (Ismail, 2013) perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia hingga saat ini masih belum menunjukkan hasil yang maksimal, jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional belum maksimal.

1158

Masyhuri (2015), dalam paparannya bahwa, tujuan di adakannya seminar ini adalah untuk melihat sejauh mana kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapai Asean Community terutama dalam sektor pertanian. Jika dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, sektor ekonomi Indonesia cukup kalah, terutama pada sektor pertanian,contohnya saja di Hanoi, Vietnam, produktifitas pertanian di sana tiga kali lipat lebih maju dari pertanian di Indonesia. “Kemudian kalau kita mau melihat dan belajar dari tahun-tahun yang lalu, pada rentang tahun 2009 hingga 2012 saja, kontribusi produk pertanian Indonesia ke negara-negara ASEAN saja masih belum signifikan. Indonesia tidak akan lama lagi atau di penghujung tahun 2015 masyarakat Indonesia akan di hadapi ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN Community mencakup akan kemudahan arus barang, arus modal, dan arus tenaga kerja sesama negara ASEAN.

Terbukanya peluang pelaku usaha negara ASEAN lainnya yang dapat beroperasi di Indonesia, baik usaha pertanian, peternakan, perikana, perkebunan dan non pertanian lainnya. Namun ada salah satu sektor ekonomi di Indonesia yang ternyata masih belum bisa dilihat secara pasti kesiapannya untuk menghadapi MEA ini, yakni pada bidang pertanian, sehingga pertanian perlu digalu dalam teknologinya, sehingga menghadapi MEA sedikit tidak jauh dengan pertanian dengan negara luar. Ekspor hasil produk pertanian ke ASEAN dalam masa 5 tahun terakhir ini belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dibanding ekspor ke negara tujuan non ASEAN,karena Indonesia masih terpusat pada dua negara ASEAN untuk dijadikan negara tujuan utama ekspor produk pertanian, yaitu Malaysia dan Singapura.

Pertanian di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh musim, wilayah pasarnya lokal, dan pada umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga. Pembangunan pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik, akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha kecil, dengan modal yang terbatas dan penggunaan teknologi yang masih sederhana. Terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), teknologi dan pasar sangat rendah dan pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani.

Untuk dapat lebih serius lagi, dalam upaya penyelesaian masalah pertanian di Indonesia demi terwujudnya pembangunan pertanian, tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dukungan invesatsi dari pemerintah, swasta, masyarakat (petani) merupakan dukungan inovasi penyediaan teknologi input untuk pegolahan lahan sebagai tempat usaha pertanain dan peternakan.Dalam rangka meningkatkan tambahan ekonomi bagi petani dipedesaan perlunya serta menghasilkan teknologi yang sesuai dengan kondisi lingkungan, harus ada dukungan dan kerjasama yang baik antar pelaku melalui sektor pertanai, sektor peternakan, sektor pemerintah dan sektor swasta. (Rosganda dan Rusdiana, 2011) mengatakan bahwa, dinamika krisis ekonomi selalu menghempit kehidupan masyarakat kecil baik di pedesaan maupun di perkotaan, yang dipacu naiknya harga produksi pangan dunia, sehingga mengakibatkan gejolak ekonomi di Indonesia semakin rumpit, terutama bagi masyarakat kecil.

Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kecil pelu adanya penerapan aspek teknologi pengolahan pertanian, penyediaan infrastruktur, sehingga dapat memudahkan cara penghitungan input-output pemasaran hasil produk pertanin maupun hasil produk peternakan, dan olahannya. Polemik tersebut cukup dan tidak akan berhenti sampai disini, karena perekonomian pada saat ini sangat sulit, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah(Elizabeth, 2007). Pengeluaran rumah tangga sampai saat ini sangatlah berat yang dirasakan oleh masyarakat di Indonesia baik di pedesaan muapun di perkotaan, khususnya di pedesasan.

Menurut (Elizabeth, 2008) bahwa,berkaitan dengan masalah tersebut diatas, makalah mereview ini dari hasil penelitian terdahulu,yang ditunjang dari pengalaman dilapangan maupun dari informasi serta ide-ide, yang akan dibahas melalui beberapa tahapan, yang dapat ditampilkan dengan melalui disikriptif secara kuantitatif dan table. Tujuan tulisan ini adalah untuk mereview mengenai diversifikasi usaha pertanian dalam

1159

rangka antisipasi kebutuhan pangan dan ekonomi di Indonesia diharapkan dapat dikembangkan mellaui kebijakan berikutnya.

Diversifikasi Usaha Pertanian Di Indonesia Menuju Mea Pertanian mempunyai potensi yang cukup besar dalam menaikan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat dan berpengaruh terhadup maju mundurnya perekonomian bangsa Indonesia menjelang MEA. Namun pada kenyataan dilapangan sampai saat ini sebagian besar masih banyak petani di pedesaan berkatagori golongan miskin atau rendah, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kemorosotan petani dalam menghadapi MEA.Hal ini diakibatan bahwa masih mengindikasikan, pemerintah pada masa lalu kurang memberdayakan petani untuk terjun ke usaha tani mandiri dan memperhatikan lahan yang dimiliki, tidak sampai terjual ke pihak lain (Dewidan Haris, 2007). Akibatnya semakin tidak terkendali lagi dan kurangnya penyediaan lahan, benih bermutu bagi petani, dan kelangkaan pupuk pada saat musim tanam, swasembada beras yang tidak meningkatkan kesejahteraan petani, impor peternak dan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Petani akan terjadi.

Permasalahan yang menghambat pembangunan pertanian di Indonesia, seperti pembaruan agraria (konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian,Salah satunya hasil pertanian dan peternakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan patani disamping dapat menghasilkan produksi pertanian yang optimal, pada tahun 2011 produksi padi sawah mengalami peningkatan 15,74 persen dibanding tahun 2010, peningkatan terjadi karena meningkatnya luas panen. Luas panen pada tahun 2011 meningkat sebesar 941 ha atau sekitar 20,05 persen dibandingkan luas panen pada tahun 2010 (BPS, 2012).

Pengaruh potesi sumber daya alam Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber

daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah, sumber daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energy (Anonimous, 2012). Sebagai Negara agraris, pertanian menjadi mata pencaharian terpenting bagi sebagian besar rakyat Indonesia, Luas lahan pertanian lebih kurang 82,71 persen dari seluruh luas lahan, lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk areal persawahan, penyebaran produksi padi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa sehubungan dengan tingginya produktivitas dan luas panen dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, (Tikupandanget al, 1995)

Pembangunan peternakan masa mendatang masih akan di hadapkan kepada masalah sumberdaya alam berupa pakan, karena meningkatnya tuntutan dan kebutuhan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks. Tantangan yang sering dihadapi usaha ternak adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan melalui perbaikan produksi dan kualitas ternak dengan jalan pembinaan kepada petani yang daerahnya kurang berpotensial(Rusdiana dan Priyanto, 2009). Produksi pertanian lainnya adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai, produksi holtikultura jenis sayur mayur meliputi bawang merah besar, bawang daun, kentang, kubis dan wortel, sedangkan produksi holtikultura jenis buah-buahan meliputi mangga, durian, jeruk, pisang, pepaya dan salak.

Berdasarkan usia tanaman, perkebunan di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu tanaman semusim (tebu, tembakau, kapas, jarak, sereh wangi, nilam dan rami dan tanaman tahunan (karet, kelapa, kopi, kelapa sawit, cengkeh, pala, kayu manis, panili, kemiri, pinang, asam jawa, siwalan, nipah, kelapa deres, aren dan sagu).

Potensi peternakan di Indonesia Sapi potong, kerbau, dan kuda, populasi ternak kecil meliputi kambing, domba, dan

babi, sementara populasi ternak unggas terdiri dari ayam kampung, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik, diantara hasil ternak yang saat ini memiliki prospek ekspor untuk luar negeri, terutama trenak kambing dan domba sampai saat ini belum terpenuhi untuk Negara Darusalam dan Arab, Brunai dan Arabsaudi. Pertanian dan Peternakan sebagai salah satu faktor yang memberikan sumbangan kepada peningkatan kualitas, dan kuantitas, yang

1160

sangat perlu ditingkatkan peranannya dalam era otonomi daerah, terutama yang menyangkut ke sektor pertanian. Diperlukan perubahan visi-misi dan strategi pada dunia peternakan agar peternakan menjadi unsur pendukung bagi ketahanan pangan nasional sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satunya dalam mendukung diversifikasi pangan asal ternak dalam analisis ekonomi, dengan kegiatan investasi pada usaha pembibitan sapi potong ditingkat rumah tangga dengan modal sendiri, disamping itu pula petani dalam pemeliharaanya tidak begitu banyak sekitar 1-5 ekor/kk yang paling besar adalah untuk pembelian bibitnaga kerja, Populasi sapi potong tahun 2011 sekitar 14.824 ribu ekor, pada tahun 2012 populasi sapi potong sekitar 16.034 ribu ekor kenaikannya sekitar 32 persen/ tahun (BPS, 2012). Populasi ternak kambing di Indonesia mencapai 17.862.203 ekor peningkatan populasi ternak kambing dimulai pada tahun 2005 sekitar 629 ribu atau sektar 5 persen dari pertumbuhannya Ditjennak (2012).Selama kurun waktu 2006-2012 jumlah populasi kambing naik dan tidak ada kecenderungan yang terjadi dalam penenurunan semua jenis ternak hanya sedikit pada populasi kerbau dan kuda.

Pengembangan usaha tani ternak dipandang sangat cocok dalam kondisi lahan pertanian, karena ternak ruminansia dikenal mudah beradaptasi pada berbagai kondisi agroekosistem pedesaan, serta merupakan usaha komplementer dalam suatu sistim pertanian tanaman pangan dan ternak, (Saenab et al, 2005). Kusnadi (2006), berpendapat bahwa salah satu faktor penentu dalam keberhasilan usaha ternak ruminansia adalah jaminan ketersediaan tanaman pangan yang berkualitas sehingga keduanya dapat berkesinambungan antara tanaman pangan dan peternakan.

Antisipasi perubahan perekonomian di Indonesia Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Krisnamurti

(2015) mengatakan, bahwa penetapan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan membawa banyak konsekuensi pada pembangunan ekonomi nasional, termasuk pembangunan pertanian.Penetapan ini harus dilihat sebagai proses alamiah dan disikapi secara proporsional dengan tetap mengedepankan upaya antisipatif yang sejalan dengan aturan serta kesepakatan yang ada. Secara umum daya saing produk pertanian Indonesia masih cukup beragam, sehingga Indonesia haus dapat merubah tatan usaha dalam menghadapi MEA sehingga perekonomian di Indonesia tetap berjalan mulis. Sedangkan untuk produk dari hasil perkebunan secara relatif kondisinya lebih baik.

Beberapa produk pangan, untuk padi misalnya rata-rata produktivitas Indonesia hanya sedikit di bawah Vietnam dan jauh lebih tinggi dari negara Asean lainnya.Persoalannya adalah bahwa masih banyak hasil produk yang dihasilkan oleh petani keluar dari lahannya, petani menghadapi berbagai tantangan, di antaranya kualitas infrastruktur yang buruk, regulasi yang tidak sepenuhnya mendukung upaya petani untuk mendapatkan nilai jual yang baik dan peluang untuk meningkatkan nilai tambah produk hasil pertani Indonesia menjadi rendah. Berdasarkan fakta fisik alam, bahwa dua per tiga wilayah Indonesia berupa laut, maka sumber daya alam di laut memiliki potensi yang sangat besar, selain mengandung minyak, gas, mineral dan energi laut non-konvesional, serta harta karun yang sudah mulai digali meskipun masih terbatas.

Pertambangan dan energi diharapkan menjadi primadona sumber penerimaan devisa, khususnya dari pendapatan ekspor minyak dan gas, selain dari hasil pertanian, dua komoditi tersebut kuantitasnya sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia, sering digunakan sebagai asumsi dasar dalam perencanaan APBN, pemerintah juga menggali sumber-sumber energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan kepada BBM, sumber energi aternatif yang dimiliki dalam jumlah besar adalah gas, batubara, tenaga hidro, panas bumi, dan tenaga surya.Dukungan untuk mengembangakann biogas, akan diperoleh manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, manfaat langsung yang dapat dirasakan adalah mendapatkan sumber energi alternatif berupa gas bio yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, penerangan dan sebagai bahan bakar mesin disel (Harahapet al,1998).

Energi alternatif pada saat ini tengah digarap oleh pemerintah adalah energi yang berbasis nabati atau biofuel dengan bahan dasar dari tanaman pangan dan dari hasil perkebunan seperti kelapa sawit, tebu, singkong dan jarak yang dapat mengantisipasi

1161

kekurangan bahan bakar dan mengurangi pengeluaran bagi masyarakat Indonesia menjelang MEA mendatang. Selain itu juga swasembada pangan terutama beras, jangung dan kedelai untuk lima tahun mendatang perlu di lakukan untuk persiapan kebutuhan pangan menjelang pesaingan MEA yang memang benar-benar akan terjadi. Prioritas utama selama tiga tahun ke depan adalah fokus pada swasembada beras yang merupakan kebutuhan pokok nasional dan menjadi sumber pendapatan utama petani khususnya di pedesaan.

Oleh karena produk utama dari pengembangan biogas ini adalah gas bio dan pupuk organik, maka secara tidak langsung akan berpengaruh positif terhadap lingkungan, diantaranya membantu program pelestarian hutan, tanah dan air, mengurangi polusi udara, meningkatkan sanitasi lingkungan dan mendukung kebijakan pemerintah dalam menurunkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). (Ismail, 2012), pembangunan pertanian di masa yang akan datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, namun juga dihadapkan pula pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani.

Target tersebut dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus mengurangi kran impor sehingga petani memiliki gairah untuk memproduksi pangan. Dalam upaya peningkatan swasembada tersebut pemerintah melalukan langkah awal yaitu perbaikan dan peningkatan input input produksi salah satunya adalah infrastruktur irigasi sebagai sumber input penting dalam meningkatkan produksi padi. Selain itu, manfaat lain yang secara lansung dapat dinikmati dari pengembangan biogas adalah, menyediakan pupuk organik siap pakai. Disamping itu, dihadapkan pula pada tantangan untuk mengantisipasi perubahan tatanan dunia yang mengarah pada globalisasi dunia dalam perdagangan ekspor inpor dan MAE, pembangunan pertanian di Indonesia tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan daerah serta pemberdayaan masyarakat.

Permasalahan pada sektor pertanian: Pertama berupa permasalahan lahan khususnya yang terkait dengan ketersediaan, laju konversi, kualitas, kecilnya luas garapan, serta status kepemilikan garapan, Kedua adalah permasalahan infrastruktur khususnya terkait kerusakan dan keterbatasan jaringan irigasi serta sarana transportasi pertanian. Ketiga adalah permasalahan benih khususnya terkait dengan sistem dan kelembagaaan penyediaan benih, Keempat adalah permasalahan regulasi dan kelembagaan khususnya terkait perizinan dan organisasi petani, Kelima adalah permasalahan sumber daya manusia. Khususnya, kemampuan terkait dengan teknologi, menurunnya minat generasi muda di sektor pertanian, dan kapasitas tenaga pelayanan pertanian di lapangan, dan Keenam adalah permodalan khususnya akses petani untuk mendapatkan perkreditan.

Tantangan tersebut menjadi sebuah kerja keras bagi kita semua, apabila menginginkan pertanian dapat menjadi harapan Negara, sehingga didorong agar tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan dapat dijadikan sebagai motor penggerak pembangunan (Anonomous, 2011). Setelah mendengar, melihat, merasakan dan memperhatikan secara seksama mengenai permasalahan, perkembangan dan pembangunan pertanian di Indonesia serta kaitannya dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat tani dan kesejahteraannya yang dapat dikatakan belum maksimal, terdapat beberapa rekomendasi, dalam penentuan, menentukan kebijakan, keberhasilan serta mengantisipasi adanya perubahan faktor ekonomi sebagai berikut:

1. Mengoptimalisasikan program pertanian secara menyeluruh di Indonesia, pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian yang produktif dan ramah lingkungan. Regulasi konversi lahan dengan ditetapkannya kawasan lahan abadi yang eksistensinya dilindungi oleh undang-undang dan panguatan sistem kelembagaan tani dan pendidikan kepada petani, berupa program insentif usaha tani, penyuluhan, program perbankan pertanian, pengembangan pasar dan jaringan pemasaran yang berpihak kepada petani.

2. Perlunya suatu kebijakan yang serius dari pemerintah pusat dan daerah, sehingga , Indonesia dihadapkan langsung pada kerjasama atau konsekuensi dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang benar-benar tertuju untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan aktifitas usaha, pada tahun 2015 sebenarnya secara tidak langsung bahwa Indonesia sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di

1162

mana sektor pertanian dan peternakan yang merupakan salah satu sektor yang harus siap bersaing dengan sektor pertanian dari negara ASEAN lainnya.

3. Pengembangan industrialisasi yang berbasis pertanian, pedesaan, dan mempermudah akses-akses terhadap sumber-sumber informasi IPTEK yang dapat terjangkau dengan baik untuk kelancaran perekonimian di pedesaan.Indonesia kalau mampu dapat keluar dari WTO dan segala bentuk perdagangan bebas dunia pada tahun 2015-2020 yang akan menjaring ketidak mampuan dalam pengelolaan perdagangan dunia secara global. Perbaikan infrastruktur pertanian dan peningkatan teknologi tepat guna, tepat sasaran yang berwawasan pada konteks kearifan lokal serta pemanfaatan secara maksimal dari hasil-hasil penelitian, ilmuwan lokal, yang termanfaatkan oleh pengguna terutama petani dan semua pihak

4. Dapat mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia, sebagaimana mestinya yang telah diatur dalam UUD 45, bahwa perekonomian di Indonesia, peningkatan mutu dan kesejahteraan penyuluh pertanian, membuat dan memberlakukan Undang-Undang perlindungan atas Hak Asasi Petani, mewujudkan segera reforma agraria dan perimbangan muatan informasi yang berkaitan dengan dunia pertanian. Penyusunan konsep jam tayang khusus untuk publikasi dunia pertanian di seluruh media massa yang ada, sehingga dapat diakses dengan lancer untuk kepentingannya dan berorientasi life skill, entrepreneurial skill dan kemandirian berusaha, program pendidikan dan pelatihan dimana sektor pertaniannya telah berkembang maju, peningkatan mutu pertanian bertujuan untuk menggali potensi. Anonimous (2015), Indonesia dengan populasi luas kawasan dan ekonomi terbesar

di ASEAN, dapat menggerakkan pemerintah untuk lebih tanggap terhadap kepentingan nasional, khususnya pertanian. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah: (1) Menghitung kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Untuk itu Perpres No.39/2014 perlu dievaluasi mengingat sangat merugikan petani Indonesia, (2) Mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan dan permodalan agar Indonesia tidak bergantung pada impor, (3) Menyiapkan perlindungan bagi petani dengan penetapan tarif maksimal untuk produk impor, dan (4) Menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani guna meningkatkan kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanain seperti benih dan pupuk.

Banyak hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan pertanian pada masa yang akan datang, kesejahteraan petani dan keluarganya merupakan tujuan utama yang menjadi prioritas utama dalam melakukan program apapun, tentu hal itu tidak boleh hanya menguntungkan satu golongan saja namun diarahkan untuk mencapai pondasi yang kuat pada pembangunan nasional (Andriati dan Sudana, 2007). Pembangunan dapat penciptaan sistem dan tata nilai yang lebih baik hingga keadilan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan lebih baik. Pembangunan pertanian harus mengantisipasi tantangan demokratisasi dan globalisasi untuk dapat menciptakan sistem yang adil, selain itu harus diarahkan ketempar sasaran shingga dapat terwujudkan masyarakat yang sejahtera, khususnya petani melalui sistem pembangunan pertanian dalam wadah usaha pertanian yang kuat.

DIVERSIVIKASI PERTANIAN DAN KELAYAKAN EKONOMI SECARA

Diversifikasi tanaman ternak dalam analisis ekonomi Usaha pertanian dan peternakan melalui diversifikasi dapat meningkatkan

keuntugan yang optimal. Namun kondisi pertanian kita saat ini dengan areal lahan yang semakin menciut, mendorong pengembangan pertanian secara intensif dan terintegrasi (Kamaruddin, 2008). Kondisi tersebut kembali ditekankan pada Workshop Jagung Regional Asia ke-10, tahun 2008 di Makassar yang merekomendasikan penerapan Model Farming System, Crops-Livestock System (CLS), dan Organic and Un-Organic Farming (Suharto, 2000). Kesejahteraan petani merupakan tujuan utama dalam pembangunan, begitu pula disektor pertanian dan peternakan sangat besar sekali perannya, terutama dalam peningkatan perekonomian masyarakat petani.

1163

Pembangunan pertanian dan peternakan dalam peran usahanya harus ditunjang dengan adanya pemasaran hasil pertanian, pemasaran hasil ternak, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh manfaat yang sangat besar bagi pengembangan sumberdaya manusia khususnya masyarakat petani dalam meningkatkan pendapatan guna kesejahteraan petani, sehingga perekonomian meningkat terutama daya beli di masyarakat. Pengembangan sumber daya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan, serta kemampuan petani ternak (Demitria et al, 2006). Pengembangan sumber daya manusia ini merupakan proses investasi secara efektif dalam pembangunan ekonomi bruto (PDB) nasional dari berbagai sektor.

Seiring dengan itu ekonomi Indonesia memperlihatkan kecenderungan terjadinya pergeseran sektor dari pertanian ke nonpertanian dan pergeseran perdagangan internasional dari migas ke nonmigas. Peranan sektor dan jasa mengalami peningkatan sementara sektor pertanian secara relatif mengalami penurunan kontribusi dalam produk domestik bruto nasional. Melalui pemberdayaan para petani akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya,pertanian selain menyelesaikan masalah kemiskinan juga akan membawa masyarakat ke dalam era baru memasuki kehidupan pertanian modern (Stefen, 2010).Sebagaimana yang dilaporkan (Murtiyeni et al, 2007) kebutuhan akan informasi inovasi cukup tinggi 85 persen terhadap peningkatan pendapatan petani.

Para petani akan meninggalkan kebiasaan lama yang tradisional (subsisten) yang tidak relevan dan menghambat kemajuan kehidupannya, menanamkan nilai pertanian modern (komersial) seperti kerja keras, hemat, disiplin, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan kemampuan menghadapi persaingan global adalah bagian pokok upaya memberdayakan petani. Pemberdayaan petani membuka peluang besar dalam proses akulturasi perputaran nilai-nilai baru dengan lama yang menggambarkan jati diri dalam perubahan perekonomian, Indonesia sebagai negera berkembang, banyak faktor penentu keberhasilan perekonomian,dilihat dari kebutuhan pangan hasil produksi pertanian dan peternakan secara nasional rata-rata harga eceran berfluktuasi setiap tahun.

Tabel.1.Rataan harga eceran barang yang dipengaruhi oleh kebutuhan konsumen, kenaikan harga setiap tahun adalah daging sapi, daging ayam tahun 2009 sekitar Rp. 30,4 ribu/kg tahun 2010-2011, ada penurunan harga menjadi 27,8-28,2 ribu/kg tahun 2012 harga menjadi 30,1 ribu/kg, harga cabe merah tahun 2009 sekitar Rp. 21,5 ribu/kg tahun 2010 naik menjadi 28,9 ribu/kg tahun 2011-2012 harga cabe merah turun sekitar Rp.22,7-21,3 ribu/kg, kemudian untuk ikan kembang kenaikan harga tidak terlalu tinggi sekitar 1,5 persen per/tahun yang diikuti dengan jenis barang lainnya.

Faktor penentu fluktuasinya harga pangan di dunia tergantung kebutuhan dan jumlah stok produksi yang ada, analisis kebutuhan pasar, pengaruh pasar akan terjadi apabila kebutuhan konsumen lebih banyak daripada persediaan barang, akibatnya ketidak seimbangan permintaan dan stok barang, akan terjadi kenaikan harga yang tidak seimbang dengan pendapatan masyarakat. Rata-rata dari beberapa pajenis barang terlihat pada Tabel.1

Tabel.1. Rata-rata harga eceran nasional beberapa jenis barang 2009-2012/rupiah Jenis barang Satuan 2009 2010 2011 2012 Daging ayam, Kg 30.499,23r 27.813,35r 28.239.36 30.197.60 Daging sapi Kg 60.954,46r 62.894,25r 65.902,87 72.708,72 Susu kental Kaleng 7.257,91r 7.432,92r 7.687,68 7.995,36 Minyak goring Kg 11.471,42r 11.438,58r 11.438,92 13.119.33 Gula pasir Kg 8.573,35r 10.856,33r 10.818.44r 11.119.960.92 Tepung terigu Kg 7.379,29r 7.216.25 r 7.235.52 7.372.28 Cabai rawit Kg 18.681,31r 26.531.50r 27.693.18 r 21.549,27 Cabai merah Kg 21.598,42r 28.945.92r 22.679.16 r 21.365,74 Telur ayam ras Kg 12.760,86r 1.242.17 r 14.697.41r 15.773,06 Ikan kembung Kg 20.936,06r 20.734.96 21.835.28 23.335.20 Minyak tanah Liter 4.883,87r 5.632.08 r 5.957.54r 6.060.82 Statistik Pertanian Indonesia (2013) (r)Angka diperbaiki

1164

KESIMPULAN DAN SARAN

Maju mundurnya perekonomian, di Indonesia tergantung dari kemajuan sub bidang

pertanian, karena pertanian merupakan salah satu ujung tombaknya bangsa Indonesia, dan masa sekarang pesaingan pertanian menuju MEA sedang berjalan, secara tidak langsung masyarakat Indonesia harus dapat mengimbangi adanya MEA. Namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar banyak petani di pedesaan masih ada berkatagori golongan miskin, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada masa lalu kurang memberdayakan petani ke usaha mandiri dan memperhatikan lahan yang dimiliki tidak sampai terjual ke pihak lain.

Rataan harga eceran barang yang dipengaruhi oleh kebutuhan konsumen, kenaikan harga setiap tahun adalah daging sapi, daging ayam 2009 sekitar Rp.30.400/kg 2010-2011, ada penurunan harga menjadi 27.800-28.200/kg 2012 harga menjadi 30.100/kg, harga cabe merah 2009 sekitar Rp. 21.500/kg 2010 naik menjadi 28.900/kg 2011-2012 harga cabe merah turun sekitar Rp.22.700-21.300/kg, kemudian untuk ikan kembung kenaikan harga tidak terlalu tinggi sekitar 1,5 persen per/tahun yang diikuti dengan jenis barang lainnya.

Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian secara nasional, sektor ini merupakan sektor yang paling ditentukan sebagai titik akhir dalam menentukan keberhasilan pembangunan pertanian manuju persaingan MEA untuk kesejahteraan Indonesia. Diharapkan Indonesia tidak tergantung kepada produk-produk luar dan dapat menghasilkan produk-produk yang bersaing dengan luar, karena masyarakat di Indonesia dalam kehidupannya hampir 99 persen dari usaha pertanian, dan untuk kebutuhan konsumen pangan sebagai pangan konsumi hasil pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Andriati dan Wayan Sudana. 2007. Keragaman dan Analisis Finansial Usahatani Padi (Kasus Desa Primatani, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 2, Juli 2007 Hal. 106-118.

Anonimous. 2012. Potensi sumberdaya alam di Indonesia, dikutip dari beberapa sumber. www/Wordpress.com,id/.../potensi-sumber-daya alam Indonesia, IPB, 5 September

2012 diakses tgl, 10 Juni 2014.

Anonimous. 2015. Pertanian membelit pertarungan Mea 2015. http://www.kompasiana.com /artikel. Diakses tgl, 6 April 2016

Badan Pusat Statistik Peternakan Idonesia tahun 2012 dalam angka sementara Jakarta

Demitria.D., Harianto, Sjafri.M., dan Nunung. 2006. Peran Pembangunan Sumberdaya Manusia dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Pascasarjana. IPB. Vol.33. No.3. Juli 2010. hal. 155-164.

Dewi.S., Alam dan Haris. 2007. Analisis Titik Impas dan Sensitivitas Terhadap Kelayakan Finansial Usahatni Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 2, Juli 2007, hal, 119-125

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Kementrian Pertanian Republik Indonesia Jakarta 2012

Elizabeth, R. 2007. Penomena sosiologis metamorphosis petani kearah keberpihakan masyarakat petani dipedasaan yang terpinggirkan terkait konsep ekonomi kerakyatan Forum Agro Ekonomi, FAE. Vol. 26 Juli 2007. Hal, 119-127

1165

Elizabeth, R. 2008. Restrukturasi pemberdayaan kelembagaan pangan mendukung perekonomian rakyat dipedesaan dan ketahanana pangan dan berkelanjutan Prosiding Simposim Tanaman Pangan V, 28-29 Agustus 2008, Puslitbangtan Bogor.

Harahap. F.M., Apandi dan S. Ginting. 1998. Teknologi Gasbio Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung.

Ismial. 2012. Potensi pertanian Indonesia, diperoleh dari berbagai sumber, berita: http:/www/. Ismail/com.id//topic/php?uid. topic/13465, hasil telusur diakses tgl, 10 Juni 2014.

Kamaruddin. A.S. 2008. Pembuatan dan penggunaan unit produksi biogas sederhana skala pedesaan. Penyuluh Pertanian Madya pada BPTP Makassar. http/www/bogs/energy/ daksies tgl, 6 Juni 2014.

Krisnamurti.B. 2015. Tantangan sektor pertanian menghadapi MEA tahun 2015. Bisnis.com, MAKASSAR--Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia menilai tantangan sektor pertanian cukup berat menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean yang akan mulai diberlakukan pada akhir Desember 2015.http://industri.bisnis.com/read di akses tgl, 6 April 2016

Kusnadi.U., B. Setiadi dan E. Juarini. 2006. Analisis potensi wilayah peternakan di pulau Sumatera. Prosiding Seminar Nasional Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Kerjasama, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Mangatas, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Padang 11-12 September 2006. hal. 32-41.

Masyuri. 2015. Sektor pertanian di Indonesia belum siap menghadapi MEA 2015, Seminar nasional yang diselenggarakan atas kerjasama program studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Komda DIY ini, diselenggarakan pada Sabtu (23/5)http://www.umy.ac.id/sektor-pertanian-indonesia-belum-siap-hadapi-mea-2015.html, d akses tgl, 6 April 2016

Murtiyeni, Elizabeth.J., Broto.W., Sofiyan.I., Isbandi dan R.Asniru. 2007. Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Peternakan sebagai Pupuk Organik Guna Mengatasi Pencemaran Lingkungan di Lahan Marjinal di Donggala. Laporan Akhir Penelitian, Balai Penelitian Ternak bekerjasama dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), Badan Litbang Pertanian, Kebutuhan Informasi, hal. 28-37.

Rosganda, E., dan S.Rusdiana. 2011. Efektivitas pemanfaatan biogas sebagai sumber bahan bakar dalam mengatasi biaya ekonomi rumah tangga dipedesaan. Prosiding Seminar Nasional, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kemetrian pertanian, nopember 2011, hal. 220-234

Rusdiana.S., dan D. Priyanto. 2009. Analisis ekonomi penggemukan ternak domba jantan berbasis tanaman ubi kayu di perdesaan. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, hal. 176-194, 1 April 2009.

Saenab.A. dan Waryati. 2005. Strategi Pengembangan Tanaman Pakan Ternak di Wilayah Perkotaan. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor 16 September 2005, hal. 83-86

Statistik Pertanian Indonesia (2013). Statistik Kmentrian Pertanian Republik Indonesia Jakarta, Pasar Minggu Jakarta Selatan

1166

Stefen. S. 2010. Sumber Daya Manusia Pertanian dan Indutrialisasihttp://id.shvoong.com/authors/drs.-stefan-sikone/ ditampilan pada tanggal Summaries 1-10 dari 116. kunjungan ke 2.46227 Okt 2010 19:21:48 GMT.

Suharto. 2008. Konsep pertanian terpadu (integrated farming system) mewujudkan keberhasilan dengan kemandirian. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Solo, 21 Pebruari-6 Maret 2000. Puslitbangnak Bogor. EAAP Publ. Denmark. 102: 117-120.

Tikupandang.A., A. Prabowo dan D. Sugandi. 1995. Aspek tenaga kerja kelurga dalam sistem usahatani ternak terpadu di daerah transmigran Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Pengelolaan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, hal. 539-545.

1167

TEKNIS-EKONOMIS PADI SAWAH IRIGASI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI KABUPATEN

NABIRE PAPUA

Afrizal Malik1) dan Syafri Edi 2)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah

2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Pengkajian bertujuan untukmengetahui perilaku petani dalam penerapan teknologi dan menganalisis input output usahatani padi sawah irigasi. Kajian dilaksanakan di sentra padi sawah irigasi Kabupaten Nabire. yang melaksanakan usahatani padi sawah minimal dua tahun terakhir. Pengumpulan data primer secara acak sederhana proposional dalam bentuk survei menggunakan quisioner pada bulan April 2015 dari hasil penanaman padi sawah MH (Oktober/November 2014-Januari/Pebruari 2015) sebanyak 43 petani sebagai responden. Data primer meliputi penerapan teknologi budidaya, input dan output. Semua data ditabulasi dan diinterprestasikan. Analisis data secara deskripif dan analisis kuantitatif. Hasil kajian menunjukan respon petani terhadap penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi sawah irigasi di kawasan sentra Kabupaten Nabire saat ini sangat tergantung kepada seberapa besar teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Dinamika respon petani terhadap teknologi peningkatan produktivitas relatif stabil terutama pada komponen yang lazim diterapkan petani dalam budidaya padi sawah (cara olah tanah, penyiangan dan aplikasi pemupukan). Komponen teknologi yang sensitif terhadap produktivitas dan berpengaruh kepada pendapatan seperti varietas dan dosis pupuk yang digunakan hampir mendekati anjuran. Produktivitas yang dihasilkan 4,92 ton/ha GKG dengan tingkat keuntungan Rp 11.588.600 (B/C 1,89). Perlu dilakukan kajian penggunaan dosis pupuk, karena anjuran pupuk Phoska didasarkan prakiraan. Memberi keyakinan kepada petani jajar legowo meningkatkan produktivitas padi sawah. Kelangkaan tenaga kerja saat tanam dan panen, diseminasi alsintan seperti (transplanter dan rice harvester/combine haevester) perlu diseminasikan ditingkat petani dan pemangku kebijakan di daerah.

Kata kunci: Teknis, Ekonomis, Padi sawah.

PENDAHULUAN

Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dalam pembangunan sub sektor tanaman pangan, khususnya pengembangan padi selalu fokus, karena beras merupakan makanan pokok selain ubi jalar dan sagu serta banyak melibatkan tenaga kerja, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Berbagai program kebijakan pembangunan pada sub sektor ini telah dan sedang dilaksanakan diantaranya melalui program intensifikasi dan perluasan areal yang diusahakan secara simultan untuk mendukung peningkatan produktivitas padi (Malik dan Kadir, 2015).

Namun, usaha pengembangan padi tersebut belum banyak dan mampu mengangkat perekonomian yang lebih baik dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Dikawasan sentra padi di Provinisi Papua masih jauh ketinggalan dalam perkembangannya. Hal ini disebabkan karena antara faktor bio fisik (sumberdaya lahan), sosial budaya (sumberdaya manusia dan kelembagaan), tekno-ekonomi dan politis (Malik dan Limbongan, 2008; lefaan, 2010). Rumitnya interaksi faktor-faktor tersebut menyebabkan adopsi inovasi sangat lambat yang bermuara pada tingginya tingkat kemiskinan dan kesejahteraan serta rendahnya ketahanan pangan (Sudaryanto dan Pranadji, 2006; lefaan, 2010).

Untuk itu perlu dilakukan terobosan teknologi spesifik lokasi agar pengguna mengadopsi teknologi sesuai kebutuhannya. Teknologi yang diciptakan harus efisien dalam arti biaya perunit produk yang dihasilkannya serendah mungkin sehingga mampu bersaing

1168

di pasaran, serta optimal yaitu mampu memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki petani secara seimbang dan maksimal (Sudana, 2005; Malik dan Limbongan, 2008).

Untuk mengurangi ketergantungan beras dari luar Papua, Pemerintah daerah melalui Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi Papua berupaya untuk mengenjot produktivitas melalui penerapan teknologi (intensifikasi) dan ektensifikasi padi sawah. Intensifikasi ini dalam rangka pemenuhan kebutuhan beras, diantaranya melalui penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di kawasan sentra yang potensial untuk dikembangkan sesuai dengan program pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Bahkan sesuai SK kementan Nomor 1243/Kpts/OT.160/12/2014 tentang upaya khusus peningkatan produksi padi, kedelai dan jagung.

Menurut Dinas TPH Papua (2014) kebutuhan konsumsi beras di Papua 230.292 ton atau setara gabah 382.820 ton GKG dengan asumsi tingkat konsumsi beras 62,9 kg/tahun/kapita, sedangkan kemampuan produksi 185.781 ton gabah GKG atau setara 111.468 ton beras. Jika disimak dari data diatas terjadi difisit (383.820 ton-185.781 ton) sebesar 198.039 ton, kemampuan produksi beras di Provinsi Papua hanya 52%, difisit 42%. Difisit ini didatangkan dari luar Papua (Sulawesi Selatan dan Jawa Timur).

Teknologi hasil penelitian/pengkajian pertanian merupakan bahan dasar untuk pengembangan inovasi teknologi terpadu yang dapat diterapkan dan sekaligus diadopsi oleh pengguna teknologi di lapang (Hendayana, 2010; Subagyono dan Kariyasa, 2012). Berbagai inovasi teknologi peningkatan produktivitassudah banyak diterapkan di lapangan. Namun demikian, secara umum berdasarkan hasil evaluasi internal maupun eksternal, kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Balitbangtan cenderung melambat, dan bahkan menurun.

Penerapan inovasi teknologi pada komoditas-komoditas unggulan harus mempertimbangkan kondisi spesifik lokasi karena beragamnya faktor abiotik dan biotik, serta kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Oleh sebab itu, penerapan suatu inovasi teknologi pada berbagai kondisi spesifik lokasi, akan memerlukan upaya-upaya yang berbeda, khususnya dalam metode diseminasinya (Prijosusilo, 2011). Untuk itu perlu dilihat sejauhmana penerapan teknologi padi sawah tersebut diterapkan petani dan bagiamana tingkat keuntungan yang diperoleh.

Pengkajian bertujuan untukmengetahui perilaku petani dalam penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi sawah irigasi, dan menganalisis input dan output usahatani padi sawah irigasi dan pendapatan di Kabupaten Nabire Papua.

METODOLOGI

Makalah ini merupakan bagian dari kegiatan PTT padi di Provinsi Papua. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Nabire. Kabupaten Nabire adalah merupakan salah satu sentra padi sawah dan terluas kedua setelah Kabupaten Merauke di Provinsi Papua (Dinas TPH Papua, 2014; BPS Papua, 2015). Dari Kabupaten ini ditentukan Distrik Nabire Barat (Kampung Bumi Raya), Distrik Makimi (Kampung Biha) dan Distrik Wanggar (Kampung Bumi Mulia) sebagai sentra padi sawah irigasi terluas dan yang melaksanakan penanaman secara rutin minimal dua tahun terakhir.

Pengumpulan data primer menggunakan kuisioner terstruktur dan dikumpulkan proposional secara acak sederhana sebanyak 43 petani padi sawah sebagai responden berdasarkan luasan pengembangan padi sawah. Kajian dilaksanakan pada bulan April 2015 dari hasil penanaman padi sawah MH (Oktober/November 2014-Januari/Pebruari 2015).

Data primer yang dikumpulkan meliputi umur, pendidikan, penerapan teknologi budidaya padi sawah, input dan output dan dilengkapi dengan data sekunder yang terkait dengan kajian ini dari instansi yang relevan.Datayang sudah terkumpul ditabulasi dan diinterprestasikan. Analisis yang digunakan dalam pengkajian ini didasarkan pada dua pendekatan, yaitu analisis deskripsi dan analisis kuantitatif (Daniel, 2001).

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan keadaan umum usahatani padi sawah di daerah pengkajian. selain itu analisis deskriptif digunakan juga untuk mendeskripsikan gambaran atau penjelasan mengenai usahatani padi sawah irigasi. Dengan demikian metode analisis ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang hal-hal

1169

yang berhubungan dengan usahatani padi sawah irigasi yang tidak dapat dijelaskan secara detail melalu analisis kuantitatif.

Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis data yang berupa angka yang digunakan dalam menganalisis usahatani padi sawah. beberapa analisis kuantitatif yang dilakukan dalam pengkajian ini mengacu kepada formula yang lazim digunakan dalam analisis sederhana untuk penelitian adalah FAO, (1993); Malian (2004); Manti dan Hendayana (2006); Malik dan Limbongan (2008):

Analisis biaya, produksi, penerimaan, pendapatan dan efisiensi usahatani padi sawah: (1) Total biaya produksi pada usahatani padi sawah: TC = TFC + TVC.TC (Total cost), TFC (total fixed cost), TVC (variabel cost), (2) Penerimaan usahatani padi sawah: TR = P.Q.TR (penerimaan usahatani padi sawah), P (harga jual gabah) dan Q (hasil/gabah) dan (3)Efisiensi usahatani padi sawah. Untuk mengetahui apakah usahatani padi sawah telah efisien atau tidak, digunakan analisis B/C. B/C merupakan perbandingan antara hasil penjualan gabah dengan total cost dari seluruh biaya produksi yang telah dikeluarkan dalam usahatani padi sawah. Semua data dikonversi menjadi satuan hektar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan umum daerah pengkajian

Wilayah kajian didominasi daerah transmigran yang berasal dari pulau Jawa, NTT dan petani lokal (penduduk asli Papua).Kabupaten Nabire berbatasan langsung dengan Kabupaten Yapen Waropen di sebelah Utara, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Kaimana di sebelah Selatan, Kabupaten Paniai dan Kabupaten Waropen disebelah Timur serta Kabupaten Teluk Wandama dan Kaimana di sebelah Barat.

Dari luasan Kabupaten Nabire 12.011 Km2 (12.011.000 Ha), yang terluas terdapat pada distrik Uwapa (1.808,96 Km2) sedangkan yang tersempit terdapat pada Distrik Nabire Barat (79Km2), yang menjadi lokasi kajian dan Distrik Makimi (1.006 Km2) dan Distrik Wanggar 611 Km2). Rincian luas wilayah Kabupaten Nabire berdasarkan distrik dapat dilihat pada Tabel 1.

Kabupaten Nabire mempunyai rerata curah hujan 383,1 mm/bulan dan curah hujan tertinggi terdapat pada bulan Nofember sampai Januari, dengan rata-rata hari hujan 18 hari/bulan. Sedangkan suhu rata-rata terendah 23,8 C0 dan tertinggi 32,1 C0. Jika disimak dari rata-rata curah hujan dan hari hujan peluang pengembangan padi sawah sangat dimungkinkan (BPS Nabire, 2014).

Tabel 1. Luas daerah berdasarkan distrik dan jumlah kampung Kab. Nabire

No Distrik Luas (Km2) Rasio terhadap total (%)

Banyak Desa (satuan)

1 Uwapa 1.808,96 15,06 6 2 Menou 1.416,41 11,79 4 3 Dipa 838,63 6,98 5 4 Teluk Umar 1.009 8,40 4 5 Wanggar 611 5,09 4 6 Nabire Barat 246 2,05 5 7 Nabire 79 0,66 5 8 Teluk Kimi 127 1,06 12 9 Napan 178 1,48 5 10 Makimi 1.006 8,38 8 11 Wapoga 1.421 11,83 6 12 Siriwo 1.040 8,66 5 13 Yaro 830 6,91 6 Jumlah 12.011 100,00 81

Sumber: BPS Kabupaten Nabire (2014)

1170

Dari hasil pewilayahaan komoditas pertanian yang dilakukan BPTP Papua (2005), terdapat 192.666 hektar lahan basah yang sangat sesuai dan bisa dikembangkan untuk padi sawah dan 96.391 hektar lahan kering untuk pengembangan padi gogo. Disamping itu dukungan potensi irigasi yang mampu mengairi persawahan 8.000-an hektar dan sudah diusahakan untuk padi sawah sekitar 2.000-an hektar, yaitu bendungan irigasi Kali Bumi. Untuk mendukung pengembangan pertanian di Kawasan ini terdapat 7 buah BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan), PPL 101 orang dan sudah terdapat luas pertanaman padi sawah 2.100 hektar (Distanbun Nabire, 2015).

Penduduk Kabupaten Nabire 132.348 jiwa (70.366 jiwa laki-laki dan 61.982 jiwa perempuan). Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada distrik Nabire (35%). Sedangkan penduduk yang menjadi lokasi pengkajian adalah distrik Wanggar 5,52%, distrik Makimi 4,12% dan penduduk Nabire Barat 8,23% dari jumlah penduduk Kabupaten Nabire (BPS Nabire, 2014).

2. Karakteristik responden Kemampuan petani dalam melaksanakan usahataninya sangat dipengaruhi oleh kemampuan fisik.Seseorang yang berada dalam usia produktif atau usia kerja akan bekerja lebih efisien dan kemampuan bekerja akan meningkat sampai mencapai umur tertentu kemudian akan menurun. Dari hasil kajian umur petani padi sawah didominasi pada usia produktif, 31-50 tahun (Tabel 2). Hal ini menunjukkan kemampuan kerja dalam usahatani padi sawah cukup tinggi.Menurut Amin (2014) umur kategori produktif berada 30-50 tahun.

Tingkat pendidikan formal petani tidak jauh berbeda dengan gambaran umum tingkat pendidikan petani pedesaan di Indonesia. Dari hasil kajian masih didapatkan petani yang setara dan tamat Sekolah Dasar (9,26%) dan 62,79% tamat SLTP (Tabel 2). Disimpulkan tingkat pendidikan petani padi sawah di Kabupaten Nabire masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini akan menghambat proses diseminasi. Menurut Mulyandari (2011) petani dalam mengakses teknologi informasi cenderung memiliki pendidikan yang relatif tinggi, karena teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan pengetahuan yang reaktif tinggi dibanding dengan media komunikasi lainnya.

Tabel 2. Karakteristik umur, pendidikan responden dan luas garapan padi sawah di Kabupaten Nabire, 2015.

No Uraian Persentase (%) 1 Umur (Tahun) ≤ 30 6,97 31-40 25,58

41-50 55,81

≥ 51 11,91 2 Pendidikan SD 9,30 SLTP 62,79 SLTA 23,25 Diploma 4,66

Sumber: data primer (2015)

3. Penampilan budidaya usahatani padi sawah Petani padi sawah yang ada di Kabupaten Nabire merupakan transmigran era tahun

1982-an yang berasal dari Jawa Timur (Tulung Agung, Banyuwangi, Trengalek) dan Jawah Tengah (Boyolali, Purwodadi, Purworejo) dan NTT (Flores). Awal kedatangan para transmigran mendapat paket kepemilikan lahan masing-masing kepala keluarga 2 hektar dan sebagian petani membeli secara swadaya. Jika dilihat pada Tabel 3 terlihat kepemilikan lahan kepala keluarga relatif luas dan didominasi kisaran luas lahan sawah 0,5-1 hektar sebanyak 58,14%. Dari kajian, petani yang mengusahakan usahatani sawah hampir rata-rata

1171

petani sehamparan mempunyai hand traktor untuk mengolah tanah. Hand traktor didapatkan dari bantuan pemerintah dan sebagian dibeli secara swadaya dan atau dengan cara kredit melalui perbankan. Pola tanam yang dominan adalah padi sawah-padi sawah-bera, padi sawah-padi sawah-kedelai/kacang tanah dan padi-sawah-padi sawah-sayuran (tomat, cabe, kubis).

Petani menggunakan varietas unggul diantaranya Inpari 22 lebih banyak disukai. Alasan yang dikemukakan petani karena produktivitas tertinggi dari hasil display varietas yang dilakukan BPTP Papua dan direkomendasikan Dinas Pertanian setempat. Petani masih menggunakan varietas Ciherang dan Cigelius dengan alasan rasa nasinya yang enak dan disenangi konsumen serta harga jual lebih tinggi. Hal senada juga dikatakan Sembiring (2008); Arsyad dan Jamal (2011); Taufik et al., (2011) bahwa varietas unggul merupakan inovasi teknologi berpeluang besar diadopsi petani, karena secara teknis mudah dilakukan, daya hasil tinggi dan tahan hama/penyakit (H/P) tertentu.

Tabel 3. Penggunan benih dan statusnya dalam berusahatani padi sawah di Kab. Nabire,

2015.

No Uraian Persentase (%)

1 Luas lahan garapan (ha) 0,5-1 58,14 >1-1,5 27,90 >1,5-2 9,30 >2 4,66

2 Varietas unggul baru (VUB) a. Cigelius 16,28 b. Ciherang 39,53 c. Inpari 22 44,19

3 Sumber benih a. Bantuan pemerintah 30,23 b. Penangkar lokal 39,53 c. Tukar tetangga 20,93 d. Sendiri (hasil panen sebelumnya) 9,31

4 Periode penggantian varietas a. Tiap musim tanam 4,63 b. Dua musim tanam 16,28 c. Tiga musim tanam 74,46 d. Tidak menentu 4,63

5 Alasan pemilihan varietas a. Produktivitas tinggi 27,90 b. Harga jual beras tinggi 30,23 c. Ketahanan terhadap OPT 37,27 d. Umur panen pendek 4,63

Sumber: data primer (2015)

Petani dominan menggunakan benih berlabel, karena paket dari bantuan pemerintah melalui Dinas Pertanian setempat, namun masih ditemukan petani menggunakan varietas tidak berlabel dengan alasan ketidakyakinan dari mutu benih yang diberikan, maka petani menggunakan benih sendiri dari hasil panen sebelumnya, bahkan ditukar dengan petani tetangga yang mereka anggap cukup baik. Petani mengganti varietas setelah 2-3 kali tanam, alasan petani adalah produktivitas menurun dan tidak seragam penampilan di areal pertanaman. Alasan pemilihan varietas setiap petani cukup beragam namun didominasi pada ketahanan terhadap hama, penyakit dan harga jual beras yang relatif tinggi dari varietas lain (Tabel 3).

Pengolahan tanah bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi tanah agar didapatkan pelumpuran tanah yang baik dan sesuai untuk persyaratan pertanaman padi sawah. Dari

1172

hasil kajian, petani melakukan pengolahan tanah dengan traktor setelah itu dilakukan penyemprotan dengan herbisida, berselang <10 hari dilakukan penanaman. Petani melakukan penyiangan didominasi kombinasi herbisida dan manual yang didominasi dilakukan wanita. Petani melakukan penyemprotan herbisida pra tumbuh dengan jenis merek dagang DMA, Gramaxone dan Run Up. DMA digunakan untuk gulma yang berdaun lebar, sedangkan jenis Gramaxone dan Run Up digunakan pada tanaman pra tumbuh.

Petani mengusahakan padi sawah dengan sistem jajar legowo. Menurut Abdulrachman et al., (2013) sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam berselang seling antara dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Baris tanaman (dua atau lebih) dan baris kosong (setengah lebar di kanan dan kirinya) disebut satu unit legowo. Bila terdapat dua baris tanam unit legowo disebut legowo 4:1. Petani mengetahui tentang legowo, terutama keunggulannya untuk meningkatkan populasi tanaman dan menggurangi serangan tikus, mudah penyiangan dan mudah dalam mengendalikan keong mas dan pertumbuhan tanaman lebih sehat dan seragam dan mudah dalam melakukan penyiangan.

Penerapan penanaman sistem jajar legowo oleh petani belum sesuai dengan kaidah sistem jajar legowo yang sebenarnya. Bagi petani yang penting lurus dan memudahkan dalam pemupukan dan penyiangan. Alasan yang dikemukakan petani adalah kelangkaan tenaga kerja saat tanam dan petani beranggapan terlalu rumit. Hal ini dapat dipahami, luasnya kepemilikan lahan setiap petani dan keterbatasan tenaga kerja saat dibutuhkan. Umur benih yang digunakan petani cukup beragam dengan kisaran 18-20 hari setelah semai (HSS) dengan kisaran 2-4 batang perumpun tanaman.

Frekuensi pemupukan Urea didominasi petani dua kali, 2-7 hari hari setelah tanam (HST) dan menjelang masa primordia (60-65 HST). Sedangkan frekuensi pemberian SP-36 dan Phoska petani lebih banyak memberikan satu kali bersamaan dengan pemberian pupuk Urea dengan mencampur ketiga pupuk tersebut dan menghambur dalam barisan tanaman padi setelah penyiangan dilakukan. Petani tidak menggunakan pupuk KCl dengan alasan harga cukup mahal. Tingginya serangan hama dan penyakit, petani melakukan lebih dari empat kali penyemprotan dengan menggunakan berbagai jenis pestisida berdasarkan tingkat serangan (Tabel 4).

1173

Tabel 4. Keragaan teknologi budidaya padi sawah di Kabupaten Nabire, 2015.

No Uraian Persentase (%) 1 Cara pengolahan tanah sampai siap tanam a. Herbisida, bajak 1 kali dan cangkul 20,93 b. Herbisida, bajak1 kali dan garu 1 kali 41,86 c. Bajak 1 kali dan garu 1 kali 37,21 2 Frekuensi penyiangan a. Satu kali 11,63 b. Dua kali 88,37

3 Cara penyiangan

a. Mekanis (landak) 13,95 b. Herbisida 16,28

c. Manual (manusia) 9,30 d. Kombinasi herbisida dan manual 60,47

4 Tenaga kerja penanaman dan sistem a. Wanita dan gotong royong 55,81 b. Laki-laki dan wanita gotong royong 44,19

5 Sistem tanam jajar a. Legowo 2:1 20,93 b. Legowo 4:1 67,44 c. Tegel (20x20 cm) 11,63 6 Frekuensi pemupukan Urea a. Satu kali 20,93 b. Dua kali 79,07 7 Frekuensi pemupukan SP-36 a. Satu kali 90,70 b. Dua kali 9,30 8 Frekuensi pemupukan NPK (Phonska) a. Satu kali 74,90 b. Dua kali 25,10 9 Aplikasi Insektisida a. Satu kali 2,32

b. Dua kali 6,97 c. Tiga kali 11,62 d. >empat kali 79,09

Sumber: data primer (2015)

4. Keragaan teknologi padi sawah Peningkatan produktivitas padi sawah sangat dipengaruhi oleh pemberian input produksi diantaranya pupuk. Pemberian seharusnya tepat dosis dan aplikasi sehingga produktivitas optimal dapat dicapai. Petani menggunakan beberapa jenis pupuk diantaranya Urea, SP-36 dan Ponskha. Rendahnya penggunaan pupuk oleh petani lebih banyak disebabkan ketersediaan pupuk belum tersedia tepat waktu dan aplikasi. Kalau itupun pupuk ada kelangkaan modal oleh petani sangat mempengaruhi dalam penggunaan pupuk yang diberikan kepada padi sawah. Hal senada dikatakan Malik dan Kadir (2015) penyebab lainnya rendahnya produktivitas padi sawah di sentra padi di Papua lebih banyak disebabkan penggunaan input yang rendah dan teknologi budidaya belum banyak dikuasai petani serta masalah sosial ekonomi seperti kelangkaan modal dan budaya. Disamping itu rendahnya produktivitas padi sawah yang dihasilkan di tingkat petani di sentra padi sawah di sentra produksi Papua menurut Djaenudin dan Hendrisman (2008) kurangnya hara untuk diperlukan penambahan pupuk organik, fosfat dan kalium sehingga hasil yang dicapai belum optimal.

Dari hasil kajian tingkat produktivitas padi sawah yang dicapai petani berkisar 4,80-5,4 ton//ha GKG dengan rata-rata 4,92 ton/ha GKG (Tabel 5). Hasil yang dicapai lebih rendah dari hasil pengkajian. Kasim et al., (2014) melaporkan produktivitas padi sawah

1174

varietas Inpari 22 mencapai 6,3 ton/ha GKG, sedangkan Rauf et al., (2009) dan Djufry et al., (2010) melaporkan produktivitas padi sawah di sentra produksi Papua dengan pemberian input sesuai dengan rekomendasi dan dikelola secara optimal produktivitas bisa dicapai 5,6-7,1 ton/ha GKG. Rendahnya produktivitas padi sawah yang dihasilkan petani tidak saja pedipengaruhi dosis pupuk yang diberikan, akan tetapi juga disebabkan faktor lingkungan dan musim tanam. Menurut Makarim dan Suhartatik (2009) produktivitas padi sawah merupakan hasil akhir dari pengaruh interaksi antara faktor genetik atas tanaman, lingkungan dan pengelolaan melalui suatu proses fisiologik dalam bentuk pertumbuhan tanaman.

Dosis pemupukan untuk padi sawah irigasi yang dianjurkan di sentra produksi Kabupaten Nabire adalah Urea 150 kg+100 kg SP-36+300 kg Phonska perhektar. Penggunaan dosis pupuk ini belum banyak dilakukan kajian, dosis pupuk yang ada didasarkan prakiraan dan mengacu kepada dosis pupuk secara umum. Kajian tentang dosis pupuk untuk peningkatan produktivitas padi sawah irigasi spesifik lokasi dikawasan ini sangat diharapkan.

Tabel 5. Kisaran dan rata-rata penggunaan pupuk dan produktivitas per hektar padi sawah

irigasi di kabupaten Nabire, 2015

No Input Kisaran Rata-Rata 1 Benih (kg) 26 – 33 27,5 2 Pupuk (kg) - Urea 100 – 125 95,5 - SP-36 50– 100 83,50 - Phonska 200-250 256,5 3 Hasil (ton/ha) 4,80-5,40 4,92

Sumber : Data Primer, 2015 Kontribusi terbesar dalam pembiayaan usahatani padi sawah irigasi adalah upah tenaga kerja (TK). Upah TK yang berlaku di lokasi kajian Rp 100.000/orang/hari. Upah TK penanaman, penyiangan dan panen memberikan kontribusi terbesar (58,04%), disusul upah perontokan dengan tresher (18,90%). Pengeluaran terkecil berada pada pembelian benih. Jika semua biaya diperhitungkan kecuali nilai sewa lahan tidak dinilai maka keuntungan yang diterima petani sebesar Rp 11.588.600 per hektar. Tabel 6. Analisis Input-Output usahatani padi sawahirigasi di Kabupaten Nabire Papua, 2015

No Uraian Per hektar % kontribusi 1 Pengeluaran (Input) 13.011.400 2 Peneriman (Output)*) Rp 5.000/kg 24.600.000

a. Benih (Rp) 275.000 2,11 b. Pupuk (Rp) 851.900 6,55 c. Obat-obatan (Rp) 874.500 6,72 d. Olah tanah (traktor) (Rp) 1.000.000 7,68 d. Tenaga kerja (Rp 100.000/HOK) 7.550.000 58.04 e. Upah treser 10% dari hasil 2.460.000 18,90

3 Total Keuntungan (2-1) (Rp) 11.588.600 B/C 1,89

Sumber : Tabel 5.*) harga gabah disesuaikan dengan harga yang berlaku di lokasi kajian

Jika petani mengusahakan usahatani padi sawah selama 4 bulan, maka petani menerima keuntungan Rp. 2.897.150/bulan. Keuntungan ini tidak jauh berbeda dengan upah minimum regional (UMR) Papua 2015 (Rp. 2.853.000/bulan). Keuntungan ini dapat ditingkatkan, jika petani menerapkan teknologi peningkatan produktivitas padi sawah irigasi secara utuh.

1175

KESIMPULAN DAN SARAN

Respon petani terhadap penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi sawah irigasi di kawasan sentra Kabupaten Nabire saat ini sangat tergantung kepada seberapa besar teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Dinamika respon petani terhadap teknologi peningkatan produktivitas relatif stabil pada komponen yang lazim dilakukan dalam budidaya padi sawah (cara olah tanah, penyiangan dan aplikasi pemupukan).

Komponen teknologi yang sensitif terhadap produktivitas dan berpengaruh kepada pendapatan seperti varietas dan dosis pupuk yang digunakan hampir mendekati anjuran. Kosekwensi dari pemberian input pada padi sawah, produktivitas yang dihasilkan 4,92 ton/ha GKG dengan tingkat keuntungan Rp. 11.588.600 dengannilai B/C 1,89. Usahatani padi sawah yang diupayakan petani di Kabupaten Nabire menguntungkan, karena B/C >1.

Perlu dilakukan kajian terhadap anjuran penggunaan pupuk, karena anjuran pupuk Phoska didasarkan prakiraan karena langka dan mahalnya pupuk KCl. Memberi keyakinan kepada petani jajar legowo meningkatkan produktivitas padi sawah. Kelangkaan tenaga kerja perlu penggunaan alat tanam (transplanter) serta alat panen perlu diseminasikan ditingkat petani dan pemangku kebijakan di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, D.M dan E. Jamal. 2011. Karakter Inovasi Teknologi Padi Sawah Guna Percepatan

Adopsinya. Prosiding Semnas dan Diseminasi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Hal 1.473-1.481.

Abdulrachman, S., M.J. Mejana., N, Agustina., I, Gunawan., P, Sasmita dan A, Guswara. 2013. Sistem Legowo. Badan Litbang Pertanian.

Amin, M. 2014. Efektifitas dan Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Berbasis Cyber Extension. Jurnal Informatika Pertanian. Vol. 23 Nomor 4: 211-219 (Jurnal).

BPTP Papua. 2005. Pewilayahaan Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ mendukung Agropolitan di Kabupaten Nabire. Laporan kegiatan TA 2005. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan).

BPS Nabire. 2014. Nabire Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik. Nabire.

Djufry, F., M.S. Lestari., Sudarsono., A. Kasim., A. Malik., D. Wamaer., A. Soplanit dan S.R. D. Sihombing. 2010. Pendampingan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Laporan kegiatan TA 2010. BPTP Papua. Balai Besar P2TP. Badan Litbang Pertanian(tidak dipublikasikan).

Daniel, M. 2001. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta (Buku).

Dinas TPH Papua. 2014. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. DinasPertanian dan Hortikultura Provinsi Papua. Jayapura (tidak dipublikasikan).

Distanbun Nabire. 2015. Program Kebijakan Pengembangan Padi sawah di Kabupaten Nabire. Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Nabire (tidak dipublikasikan).

FAO. 1993. Farming System Development: A. General Guideline. FAO. Roma

Hendayana, R. 2010. Disain Model Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Unggulan Badan Litbang Pertanian. Prosiding Seminar Nasional di Cisarua, 9-10 Desember 2010. Balai Besar P2TP. Badan Litbang Pertanian. Buku 2 hal. 1.055-1.062.

Kasim, A dan S. Kadir. 2014. Display Beberapa VUB pada Padi Sawah Irigasi di Kabupaten Nabire, Papua. laporan Kegiatan TA 2014. BPTP Papua. Balai Besar P2TP. Badan Litbang Pertanian (tidak dipulikasikan).

1176

Lefaan, A. 2010. Adaptasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan pangan Agrobisinis Perdesaan Pendekatan Sosiologi Pembangunan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua. Kerjasama Balai Besar P2TP dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Jayapura, 7-8 Oktober 2010. Hal 12-19.

Malian, A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Materi Disampaikan dalam Pelatihan Analisis Finansial dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem Usahatani Agribisnis Wilayah. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor, 29 November-9 Desember 2004.

Mulyandari, R.S.H. 2011. Perilaku Petani Sayuran dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian Nomor 20 Vol. 1: 22-24. Badan Litbang Pertanian (Jurnal).

Makarim, K dan Suhartatik. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Padi. Buku I. Hal. 295-330.

Malik, Adan Syafruddin Kadir. 2015. Mengenjot Produksi Padi Sawah Kabupaten Merauke, Papua. Bunga Rampai "Menguak Potensi Teknologi Spesifik Lokasi Guna Mancapai KesejahteraanPetani. Penerbit: Kristal Multimedia, Bukittinggi April 2015 (Buku).

Prijososulo, B. 2011. Brain-Brain dan Fragmentasi Sosial yang Menyengsarakan Masyarakat Petani dalam Subejo., et al (eds) Prosiding Semnas Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Hal456-467.

Sudana, W. 2005. Evaluasi Kinerja Diseminasi Teknologi Integrasi Ternak Kambing dan Kopi di Bongancina, Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA. Vol 5 No.3; 326-333. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar (Jurnal).

Sudaryanto, T dan T. Pranadji. 2006. Transformasi Kelembagaan untuk Percepatan Adopsi Teknologi Pertanian pada Masyarakat Papua. dalam Limbongan et al., (eds). Prosiding seminar Nasional BPTP Papua. kerjasama BBP2TP dengan Pemerintah Provinsi Papua. Jayapura, 24-25 Juli 2006.

Sembiring, H. 2008. Kebijakan Penelitian dan Rangkuman Hasil Penelitian Balai Besar Padi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Besar Nasional. Prosiding Seminar Apresiasi Balai Besar Tanaman Padi Sukamandi. Subang

Taufik, M., Raliman dan R. Hermawan. 2011. Analisis Produktivitas Padi Sawah di Kupang Timur Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian, Vol 8 Nomor2:105-114 (Jurnal).

Rauf, A.W., Musrifah., Syamsudin dan M. Maulud. 2004. Teknologi Budidaya Padi dengan Sistem Tabela pada Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan di Kabupaten Merauke.Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua, Jayapura 5-6 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Hal 105-112.

Subagyono, K dan K. Kaiyasa. 2012. Dampak Prima Tani Terhadap Pemanfaatan dan Produktivitas Sumberdaya Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Petani. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 15 Nomor 1:69-81 (Jurnal).

1177

STRATEGI MANAJEMEN RISIKO PETANI BAWANG MERAH PADA LAHAN SAWAH DATARAN RENDAH

DI KABUPATEN BULELENG

Suharyanto1, Nyoman Ngurah Arya2, Jemmy Rinaldi2 dan Rahmat Hasan1

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kep. Bangka Belitung

Jl. Muntok Km 4 Pangkalpinang 33134 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar, Bali 80222

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menganalisis perilaku petani dalam menghadapi risiko dan strategi manajemen risiko pada usahatani bawang merah pada lahan sawah dataran rendah. Pengumpulan data dilakukan melalui survei tehadap 30 petani bawang merah pada bulan Juli-Agustus 2015 di subak Yang Ai Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif mengunakan tabel frekuensi yang difokuskan pada persepsi petani terhadap risiko, perilaku dan strategi manajemen petani terhadap risiko. Hasil analisis menunjukkan bahwa strategi manajemen ex ante yang diterapkan petani dengan mengusahakan bawang merah sebagai tanaman bernilai ekonomis tinggi dalam pola tanam usahataninya. Strategi manajemen risiko interaktif dilakukan petani antara lain melalui penggunaan input produksi yang berlebih. Strategi manajemen risiko ex post yang ditempuh petani untuk menghindari kegagalan usaha yang dapat berdampak terhadap sumber pendapatan rumahtangga dan keberlanjutan usahatani antara lain menggunakan pendapatan dari usahatani lain, meminjam dari pihak lain dan menjual sebagian asset. Untuk meningkatkan tingkat stabilitas dan keberlanjutan pendapatan usahatani maka perencanaan pola tanam harus mempertimbangkan komoditas bawang merah sebagai salah satu komoditas dalam pola tanamnya dengan memperhatikan varietas,penggunaan sarana produksi, iklim dan harga.

Kata kunci : strategi, manajeen risiko, bawang merah

PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman sayuran semusim yang

memiliki nilai ekonomis tinggi, berumur pendek, dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi, maupun generatif dengan biji (True Shallot Seed). Bawang merah merupakan salah satu komoditas tanaman sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat dikembangkan di wilayah dataran rendah sampai tinggi dan dapat dibudidayakan sepanjang tahun. Menurut Winarso (2003) budidaya bawang merah di samping banyak membutuhkan dana, biaya, dan tenaga namun sekaligus merupakan investasi yang memiliki risiko tinggi. Kondisi yang demikian menjadikan faktor ekonomi merupakan pertimbangan utama.

Keberhasilan pengembangan budidaya tanaman bawang merah sangat ditentukan oleh intensitas upaya petani sejak persiapan lahan, pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani sampai dengan penanganan pasca panen, dan yang terakhir tentu saja adalah masalah harga, sebagai insentif yang diterima petani. Hal ini disebabkan karena tanaman bawang merah tidak saja rentan terhadap serangan hama/penyakit yang jenis maupun jumlahnya cukup banyak, namun juga rentan terhadap perubahan iklim, cuaca dan juga rentan terhadap persyaratan yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang terutama ketersediaan air maupun kebutuhan pupuk sebagai media tumbuh. Di sisi lain pembentukan harga komoditas ini, sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga tidak mengherankan apabila

1178

perkembangan harganya sangat berfluktuasi sesuai keadaan permintaan dan penawaran di pasar.

Sebagian besar petani bawang merah pada lahan sawah dataran rendah merupakan petani dengan penguasan lahan yang sempit hingga sedang Perilaku petani dalam melaksanakan kegiatan usahatani sangat tergantung perilaku mereka terhadap risiko serta strategi mereka dalam menghadapi risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui dan menganalisis karakteristik petani dan risiko usahatani bawang merah, mendeskripsikan persepsi petani bawang merah terhadap risiko dan mendeskripsikan strategi risiko yang dilakukan oleh petani bawang merah.

METODE PENELITIAN Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja di Desa Bungkulan tepatnya di

Subak yang Ai, Kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng yang merupakan sentra produksi bawang merah di Kabupaten Buleleng. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2015 terhadap 30 petani bawang merah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai petani contoh dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Data-data yang dikumpulkan mencakup karakteristik usahatani, penguasaan lahan, pola tanam, struktur input dan output usahatani. Aspek yang terkait dengan perilaku petani dalam menghadapi risiko adalah persepsi petani terhadap risiko, persepsi petani terhadap factor-faktor yang berpengaruh terhadap risikousahatani, strategi petani dalam manajemen risiko serta informasi lain yang terkait dengan penelitin ini.

Analsis data dilakukan secara deskriptif kualitatif menggunakan tabel frekuensi yang difokuskan pada persepsi petani tentang risiko, serta perilaku dan strategi manajemen risiko oleh petani dalam menghadapi risiko. Analisis risiko usahatani bwang merah meliputi analisis risiko produksi usahatani bawang merah. Untuk mengetahui besarnya risiko produksi dianalisis dengan menggunakan koefisien variasi (CV). Koefisien variasi (CV) merupakan ukuran resiko relatif yang diperoleh dengan membagi standar deviasi dengan nilai yang diharapkan (Pappas dan Hirschey,1995). Secara matematis risiko dirumuskan sebagai berikut :

CV =

Nilai koefisien variasi yang lebih kecil menunjukkan variabilitas nilai rata-rata pada distribusi tersebut rendah. Hal ini menggambarkan risiko yang dihadapi untuk memperoleh produksi tersebut rendah. Kriteria yang digunakan adalah apabila nilai CV ≤ 1 maka usahatani yang dianalisis memiliki risiko produksi yag relative kecil dan sebaliknya jika nilai CV ≥ 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Persepsi Petani Terhadap Risiko Usahatani

Pada Tabel 1 diperlihatkan pemahaman risiko berdasarkan persepsi petani bawang merah pada agroekosistem lahan sawah dataran rendah. Sebagian besar petani menganggap bahwa risiko berkaitan dengan kemungkinan mengalami kerugian. Dengan demikian, petani dalam memandang risiko telah mempertimbangkan bahwa risiko produk si maupun risiko harga produk dan tidak lagi hanya sebagai penyimpangan atau deviasi dari hasil yang diharapkan seperti yang dinyatakan Adiyoga dan Setiarso (1999). Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai koefisien variasi menunjukkan nilai 13,26 yang mengindikasikan bahwa produksi usahatani bawang merah di lokasi penielitian memiliki nilai risiko produksi yang tinggi.

1179

Tabel 1. Persepsi Petani Mengenai Risiko Usahatani Bawang Merah di Lahan Sawah Dataran Rendah, Kabupaten Buleleng, 2015.

Secara umum usahatani bawang merah dikategorikan gagal menurut persepsi petani

adalah jika produksi rendah sekaligus harga bawang merah rendah. Sedangkan tingkat risiko produktivitas usahatani bawang merah menurut persepsi petani berpendapat bahwa risiko produktivitas usahatani bawang merah adalah tinggi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa teknologi produksi belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh petani. Sebagian petani berpendapat bahwa risiko harga bawang merah adalah tinggi karena seringnya terjadi fluktuasi harga. Hal ini mengindikasikan bahwa harga adalah benar-benar diluar kendali petani dan merupakan factor eksternal. Sedangkan tingkat keuntungan usahatani bawang merah menurut persepsi petani adalah sedang-tinggi dimana sebagian besar petani menempatkan bawang merah sebagai salah satu komoditas unggulan dan menjadi sumber pendapatan utama.

Strategi Manajemen Risiko Ex-ante Sebagian besar petni (76%) menggunakan pola tanam padi-bawang merah-padi dalam setahun, dimana bawang merah dpat ditanam sebanyak dua kali tanam, yang merupakan pilihan terbaik dan memiliki tingkat risiko rendah, karena Sebagian besar petni (76%) menggunakan pola tanam padi-bawang merah-padi dalam setahun, dimana bawang merah dpat ditanam sebanyak dua kali tanam, yang merupakan pilihan terbaik dan memiliki

No Persepsi Petani

Usahatani Bawang Merah

Frek (N=30)

(%)

1 Risiko menurut persepsi petani a. Suatu ukuran penyebab terjadinya penyimpangan dari

produksi bawang merah yang diharapkan 3 10.00

b. Semua hal yang menjurus terjadinya kerugian usahatani bawang merah

16 53.33

c. Semua hal yang membahayakan usahatani bawang merah, tetpi dapat dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspai sejak awal

9 30.00

d. Konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani bawang merah, misalnya menyediakan modal, saprodi dsb

2 6.67

2 Usahatani bawang merah kategorikan gagal menurut persepsi petani

a. Produksi bawang merah relatif rendah (<50% dari produksi biasanya)

8 26.67

b. Harga bawang merah yang diterima relatif rendah (mendekati biaya pokok)

12 40.00

c. Produksi dan harga bawang merah relatif rendah 10 23.33 3 Tingkat risiko produktivitas usahatani bawang merh menurut

persepsi petani

a. Tinggi (> 50% gagal panen) 19 63.33 b. Sedang (25%- 50% gagal panen) 7 23.33 c. Rendah (< 50% gagal pnen) 4 13.33 4 Tigkat risiko harga bawang merah menurut perepsi petani a. Tinggi (harga jatuh > 50% dari rata-rata) 16 53.33 b. Sedang (harga jatuh 25% - 50% dari rata-rata) 11 36.67 c. Rendah (<25% dari rata-rata) 3 10.00 5 Tingkat keuntungan usahatani bawang merah a. Tinggi (rasio penerimaan terhadap biaya ≥ 2) 14 56.67 b. Sedang ( rasio penerimaan terhadap biaya 1,5 – 2) 11 36.67 c. Rendah (rasio penerimaan terhadap biaya ≤ 1,5) 5 6.67

1180

tingkat risiko rendah, karena memberikan tingkat, stabilitas dan kontinyuitas pendapatan yang lebih baik. Strategi manajemen risiko yang ditempuhapetani sebelum timbulnya risiko pada dasarnya ditunjukkan untuk memperkecil variabilitas penerimaan. Sistem produksi bawang merah yang digunakan kesemuanya merupakan tanaman monokultur dengan alasan bahwa produktivitas bawang per umbi lebih baik dan manajemen usahatani lebih mudah. Sebanyak 93 persen petani selalu menggunakan varietas tunggal pada lahan yang diusahakan, yaitu menggunakan varietas lokal karena secara lokal lokasi telah teruji kelayakannya. Untuk mengurangi risiko kegagalan sebagian besar petani bawang merah memilih bibit yang diproduksi oleh sesama petani dalam satu kelompok atau memproduksi sendiri, dengan anggapan bahwa spesifikasi umur panen, ketahanan terhadap hama penyakit dan ketahanan terhadap cekaman lingkungan) dan kualitas produk yang dihasilkan sudah diterima pasar dan dapat menghemat biaya untuk bibit. Umumnya petani mengusahakan usahatani bawang meah dalam luasan yang relatif sempit setelah tanam padi sawah baik dalam satu lokasi maupun beberapa lokasi yang berbeda. Selain lahan usahatani milik sendiri petani juga mengusahakan bawang merah dengan cara menyewa lahan, sepanjang modal usahatani tersedia dan enawaran lahan juga tersedia. Menurut Saptana et al., (2010) hal tersebut sebenarnya merupakan salah satu strategi pengendalian risiko, karena melalui diversifikasi hamparan petani juga dapat mengurangi kovariasi hamparan hasil dan variabilitas produksi secara keseluruhan. Demikian pula jika secara spasial lokasi hamparan tersebut tersebar, variabilitas produki keseluruhan yang diakibatkan oleh dampak spesifik lokasi ( seperti serangan OPT atau kekeringan) dapat diminimalisir..

1181

Tabel 2. Strategi Manajemen Risiko Ex-ante pada Usahatani Bawang Merah di Lahan Sawah Dataran Rendah Kabupaten Buleleng, 2015.

No Uraian Frek

(N=30) (%)

1 Pola tanam dominan setahun a.Padi-bawang merah-lainnya b. Padi-bawang merah-padi c. Padi-palawija-bawang

4

23 3

13.33 76.67 10.00

2 Alasan menanam bawang merah dalam pola tanam selama ini a. Pola tanam tersebut dinilai paling menguntungkan b. Sesuai dengan kondisi iklim setempat c. Sesuai dengan kondisi lahan (topografi, kesuburan) d. Jika berbeda dapat terjadi serangan HPT e. Menjaga kesuburan lahan dan berkelanjutan

13

8 7 2 0

43.33 26.67 23.33

6.67 0.00

3 Sistem produksi bawang merah yang digunakan a. Monokultur b. Tumpang sari atau tumpang gilir

30

0

100.00

0.00 4 Alasan menggunakan sistem produksi monokultur

a. Manajemen usahatani lebih mudah b. Penampilan pertumbuhan tanaman bagus c. Produktivitas per umbi lebih bagus d. Kualitas hasil lebih baik e. Memberikan keuntungan yang lebh besar

11

7 3 4 5

36.67 23.33 10.00 13.33 16.67

5 Jumlah atau varietas bawang merah yang diusahakan a. Selalu varietas tunggal pada semua lahan yang diusahakan b. Lebih dari satu varietas pada lahan/hampran yang sama c. Lebih dari satu varietas pada lahan/hamparan yang berbeda

28

0 2

93.33

0.00 6.67

6 Sumber dari benih bawang merah yang digunakan a. Hasil produksi sendiri b. Hasil produksi kelompok tani c. Membeli dari toko/kios saprodi

13 17

0

43.33 56.67

0.00 7 Banyaknya lokasi/persil pertanaman bawang merah dalam

setahun a. Hanya ditanam disatu lokasi b. Ada di beberapa atau lebih dari satu lokasi c. Semua lokasi

19 11

0

63.33 36.67

0.00

Strategi Manajemen Risiko Interaktif Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani bawang merahlhn sawah dataran rendah dalam menentukan waktu tanam bawang merah. Pada Tabel 3 menunjukkan banyaknya petani Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani bawang merahlhn sawah dataran rendah dalam menentukan waktu tanam bawang merah. Pada Tabel 3 menunjukkan banyaknya petani yang memutuskan waktu tanam bawang merah pada akhir musim hujan (36.67%) dengan asumsi ketersediaan air masih mencukupi untuk usahatani bawang merah. Para petani berharap bahwa probabilitas terjadinya hujan masih ada di musim kemarau I, secara intiutif petani menyadari bahwa probabilitas kondisional dari keberhasilan pertanaman melalui penanaman akhir MH dapat berjalan dengan baik. Strategi risiko interaktif yang dilakukan petani berkaitan dengan waktu penanaman dan kekurangan air pada saat awal pertanaman sehingga memungkinkan ada tanaman yang mati adalah dengan melakukan penyulaman (76.67%) dan melakukan penyiraman secara rutin. Sebagian besar petani menggunakan jarak tanam sedang (63.33%) dan jarak tanam rapat (26.67%). Jarak tanam yang dipilih merupakan strategi untuk menyiasati harapan kelembaban dan jenis tanah, dalam rangka antisipasi terhadap tingkat kematian bibit dengan menggunakan mulsa dari jerami padi sawah. Sebagian besar petani juga menggunakan

1182

pupuk tunggal+pupuk majemuk (46.67%) dan pupuk tunggal+pupuk majemuk+pupuk organik (33.33%). Tabel 3. Strategi Manajemen Ridiko Interaktif pada Usahatani Bawang Merah pada Lahan

Sawah Dataran Rendah di Kabupaten Buleleng, 2015. No Uraian Frek

(N=30) (%)

1 Waktu penanaman bawang merah a. Akhir MH dengan perkiraan ketersediaan air masih mencukupi

b. Akhir MK agar kebutuhan air dapat terjamin c. Pertengahan MK pada saat air masih tersedia d. Pertengahan MH dengan pertimbangan bersifat non teknis

11 7 9 3

36.67 23.33 30.00 10.00

2 Bila sebagian tanaman di lapangan mati, maka a. Dilakukan penyulaman b. Tidak dilakukan penyulaman

23

7

76.67 23.33

3 Jarak tanam yang digunakan a. Jarak tanam rapat

b. Jarak tanam sedang c. Jarak tanam renggang/lebar

8 19

3

26.67 63.33 10.00

4 Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani bawang merah a. Pupuk tunggal b. Pupuk tunggal + majemuk c. Pupuk tunggal + pupuk organik d. Pupuk majemuk + pupuk organic e. Pupuk tunggal + pupuk majemuk + pupuk organik

0

14 4 2

10

0.00

46.67 13.33

6.67 33.33

5 Penggunan pupuk pada MH vs MK a. Tidak berbeda jenis maupun volumenya b. Tidak berbeda jenis, tetapi berbeda volumenya c. Berbeda jenis maupun volumenya

5

18 7

16.67 60.00 23.33

6 Metode pengendalian HPT yang dilakukan a. Sebagai tindakan pencegahan (preventif) b. Sebagai tindakan pembasmian (kuratif) c. Sebagai tindakan preventif dan kuratif

11

4 15

36.67 13.33 50.00

7 Kecenderungan petani dalam pengendalian HPT yang dilakukan a. Cenderung menggunakan pestisida kimiawi + mekanis b. Cenderung menggunakan pestisida hayati/PHT c. Cenderung menggunakan pestisida hayati dan kimiawi

26

1 3

86.67

3.33 10.00

8 Pengoplosan pestisida dalam pengendalian HPT a. Sebagai tindakan pencegahan (preventif) b. Sebagai tindakan pembasmian (kuratif) c. Sebagai tindakan preventif dan kuratif

11

2 17

36.67

6.67 56.67

9 Alasan melakukan pengoplosan pestisida a. Mencegah/membasmi beberapa jenis HPT b. Menghemat biaya antara pestisida mahal dan pestisida murah c. Hasil coba-coba menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi

dibanding pestisida tunggal d. Menghemat waktu dan tenaga

8 7 3

12

26.67 23.33 10.00

40.00

10 Tindakan yang dilakukan saat mengalami kelangkaan TK upahan a. Memanfaatkan TK keluarga semaksimal mungkin b. Memanfaatkan TK yang ada secara bergantian c. Mencari TK upahan dari luar wilayah

7 4

19

23.33 13.33 63.33

11 Tindakan yang dilakukan jika mengalami kesulitan permodalan a. Meminjam dari sumber kredit formal b. Meminjam dari kredit informal c. Meminjam dari kelompok tani/gapoktan/koperasi tani d. Memijam dari saudara/tetangga/kerabat

5 9 6

10

16.67 30.00 20.00 33.33

1183

Dari aspek efisiensi, penggunaan kedua jenis pupuk (tunggal dan majemuk) dapat dipandang sebagai suatu pemborosan, walaupun petani mengetahui bahwa kandungan unsur hara yang terdapat dalam pupuk majemuk juga terdapat pada pupuk tunggal. Menurut Asaad et al., (2013) pemberian pupuk majemuk sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan hasil umbi bawang merah. Namun jika ditinjau dari aspek manajemen risiko, hal tersebut juga dapat dikategorikan sebagai metode strategi manajemen risiko interaktif, karena petani dapat mengatur penambahan dan pengurangan pupuk sesuai dengan persepsinya. Pada saat aplikasi pupuk, sebagian besar petani (60%) tidak membedakan jenis pupuk yang digunakan baik pada MH maupun MK, namun terdapat perbedaan pada jumlah volume pupuk yang diaplikasikan, dimana pada musim hujan petani lebih sedikit menggunakan jumlah pupuk yang diaplikasikan.

Sebanyak 50 persen petani berpendapat bahwa penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT dilakukan sebagai tidakan preventif sekaligus kuratif dan 36.77 persen petani yang beranggapan bahwa penggunaan pestisida sebagai tindakan preventif terhadap OPT, hal ini sejaan dengan hasil penelitian Ratnaningsih (2005). Temuan ini mengindikasikan bahwa pengambilan keputusan pengendalian cenderug dilakukan untuk mengantisipasi risiko terhadap OPT dan sekaligus untuk mengatasi terjadinya OPT. Berkaitan dengan strategi manajemen interaktif, petani sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk mengatur perlu tidaknya penggunaan pestisida pada saat pertanaman. Dalam pengendalian OPT sebagian besar petani (86.67%) menggunakan pestisida kimiawi, karena dipandang lebih efektif dan praktis dibandingkan pestisida hayati. Selain itu sebagian besar petani juga melakukan pengoplosan pestisida dengan tujuan efektivitas secara preventif maupun kuratif, dengan alasan menghemat waktu dan tenaga.

Tenaga kerja merupakan faktor penting pada usahatani bawang merah, terutama pada saat tanam dan pengendalian OPT secara mekanis Jika terjadi kelangkaan tenaga kerja upahan pada periode tersebut, mereka umumnya mencari tenaga kerja upahan dari luar desa/wilayah. Demikian halnya jika terjadi kekurangan atau kesulitan permodalan terutama untuk membeli sarana produksi, maka sebagian besar mereka akan meminjam modal usahatani pada sesama petani/tetangga atau kerabat. Selain itu juga melakukan pinjaman modal pada kredit informal (pelepas uang). Upaya-upaya tersebutmerupakan strategi manajemen risiko interaktif jika petani mengalami kesulitan modal pada saat pengelolaan usahatani bawang merah. Strategi Manajemen Risiko Ex-Post

Strategi ex-post adalah strategi yang akan dilakukan agar tidak mengalami kerugian.

Jika terjadi kegagalan panen, walaupun petani telah melaksanakan strategi pengelolaan risiko ex-ante, maka pilihan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah strategi ex-post (Djauhari, 2014). Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa 46.67 persen petani menyatakan bahwa usahatai bawang merah masih merupakan sumber pendapatan utama rumahtangga, karna menduduki pangsa yang cukup besar dalam struktur pendapatan rumahtangga.

1184

Tabel 4. Strategi Manajemen Risiko Ex-Post pada Usahatani Bawang Merah pada Lahan Sawah Dataran Rendah di Kab Buleleng, 2015.

No Uraian Frek

(N=30) (%)

1 Status usahatani bawang merah dalam rumah tangga a. Sumber pendapatan utama b. Sumber pendapatan sampingan

14 16

46.67 53.33

2 Jika usahatani bawang merah mengalami kegagalan, usaha untuk menutupi kegagalan tersebut bersumber dari a. Pendapatan dari usahatani lainnya b. Mengambil tabungan c. Meminjam dari petani lain/tetangga/kerabat d. Mencari pekerjaan tambahan e. Menjual sebagian sset yang dimiliki

13 2 8 5 2

43.33 6.67

26.67 16.67

6.67 3 Jika mengalami kerugian, tindakan apa atau sumber modal mana

yang dipilih untuk pertanaman berikutnya a. Luas tanam berikutnya disesuaikan dengan modal yang tersedia b. Menambah modal dengan mengambil dari tabungan c. Menambah modal dengan meminjam uang d. Meminjam sarana produksi dari toko/kios saprodi e. Mengusahakan tanaman yang berisiko kecil

14 2 7 3 4

46.67 6.67

23.33 10.00 13.33

4 Tindakan yang dilakukan jika pertanaman dianggap gagal a. Tidak menanam bawang merah lagi karena takut gagal kembali b. Hanya akan menanam pada waktu/musim yang aman c. Hanya akan menanam pada waktu yang diperkirakan harga baik d. Tetap akan menanam bawang lagi dan mencari solusinya

1

10 8

11

3.33

33.33 26.67 36.67

Untuk menutupi kekurangan dalam menghidupi rumahtangga akibat kegagalan panen, maka strategi manajemen ex-ante yang diterapkan petani berturut-turut adalah : (a) menggunakan pendapatan usahatani lainnya, (b) meminjam dari Untuk menutupi kekurangan dalam menghidupi rumahtangga akibat kegagalan panen, maka strategi manajemen ex-ante yang diterapkan petani berturut-turut adalah : (a) menggunakan pendapatan usahatani lainnya, (b) meminjam dari petani lain/tetangga/kerabat, (c) mencari pekerjaan tambahan, (d) mengambil tabungan dan menjual sebagian asset yang dimiliki. Sejalan dengan hasil penelitian Andiyono dan Darmansyah (2014) melakukan pekerjaan off farm dan meminjam dari sesame petani/kerabat merupakan manajemen ex-ante yang lazim dilakukan para petani. Walaupun usahatani bawang merah bukan sebagai pendapatan utama rumahtangga, dalam artian kedua terbesar setelah padi sawah, jika terjadi kerugian bukan berarti petani berhenti menanam bawang merah pada musim tanam berikutnya. Mereka melakukan strategi ex-post antara lain : (a) menyesuaikan luas tanam bawang merah dengan modal yang tersedia, (b) menambah modal usahatani dengan meminjam uang baik pada lembaga keuangan formal dan informal, yang mengindikasikan petani tersebut berani menghadapi risiko, (c) bagi petani yang kekurangan modal, mengusahakan tanaman yag berisiko kecil, (d) dengan modal kepercayaan antara toko/kios saprodi, mereka meminjam sarana produksi untuk keberlanjutan usahataninya, (e) bagi petani yang memiliki tabungan, mereka akan mengambil tabungan yang dimiliki untuk modal usahatani bawang merah. Demikian halnya jika usahatani bawang merah dianggap gagal, maka : (a) bagi petani yang bersikap berani mengambil risiko, mereka tetap akan menanam bawang merah dan mencari penyebab kegagalan tersebut, Fariyanti et al., (2007) menyatakan bahwa risiko produksi periode tertentu dipengaruhi oleh risiko produksi periode sebelumnya semakin tinggi risiko produksi periode sebelumnya maka risiko produksi periode beriktnya semakin tinggi dan (b) bagi petani yang bersikap menghindar terhadap risiko mereka hanya akan

1185

menanam pada waktu atau musim tanam yang dianggap aman, hanya akan menanam jika harga produksi dianggap tinggi atau tidak menanam bawang merah kembali.

KESIMPULAN

Strategi manajemen ex ante yang diterapkan petani dengan mengusahakan bawang

merah sebagai tanaman bernilai ekonomis tinggi dalam pola tanam usahataninya. Strategi manajemen risiko interaktif dilakukan petani antara lain melalui penggunaan input produksi yang berlebih. Strategi manajemen risiko ex post yang ditempuh petani untuk menghindari kegagalan usaha yang dapat berdampak terhadap sumber pendapatan rumahtangga dan keberlanjutan usahatani antara lain menggunakan pendapatan dari usahatani lain, meminjam dari pihak lain dan menjual sebagian asset. Untuk meningkatkan tingkat stabilitas dan keberlanjutan pendapatan usahatani maka perencanaan pola tanam harus mempertimbangkan komoditas bawang merah sebagai salah satu komoditas dalam pola tanamnya dengan memperhatikan varietas, penggunaan sarana produksi, iklim dan harga.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W dan T.A. Setiarso. 1999. Strategi Petani dalam Pengelolaan Risiko pada Usahatani Cabai. Jurnal Hortikultura 8 (4) : 1-16.

Ameriana, M. 2008. Perilaku Petani Sayuran dalam Menggunakan Pestisida Kimia. Jurnal Hortikultura 18 (1) : 95 – 106

Andiyono dan E Darmansyah. 2014. Persepsi Terhadap Risiko Usahatani Jeruk di Kabupaten Sambas. PATANI 1 (1) : 1 – 10.

Assad, M., W. Halil, Warda dan Nurjanani. 2013. Uji Adaptasi Teknologi Budidaya Bawang Merah di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 16 (1) : 1 – 7.

Budiningsih, S dan Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Ajibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Agritech 3 (1) : 109 – 126.

Djauhari, M.J. 2014. Manajemen Risiko Produksi Benih Kentang Aeroponik. Agric.Sci. J 1 (4) : 235 – 243.

Fariyanti, F., Kuntjoro, S. Hartoyo dan A Daryanto. 2007. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Jurnal Agroekonomi 25 (2) : 178-206.

Pappas, J.M dan M. Hirschey. 1995. Ekonomi Managerial. Edisi Keenam Jilid II. Binarupa Aksara. Bandung.

Ratnaningsih, N. 2005. Perilaku Petani Dalam Menghadapi Risiko pada Usahatani Bawang Putih di Kecamatan Tawangmangu. Eksakta 26 (1) : 61-70.

Saptana, A. Daryanto, H.K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Strategi Manajemen Risiko Petani Cabai Merah pada Lahan Sawah Dataran Rendah di Jawa Tengah. Jurnal Manajemen dan Agribisnis 7 (2) : 115-131

Winarso, B. 2003. Dinamika Perkembangan Harga : Hubungannya dengan Tingkat Keterpaduan Antarpasar dalam Menciptakan Efisiensi Pemasaran Komoditas Bawang Merah. Jurnal Ilmiah Kesatuan 4 (1-2) : 7 – 16.

1186

ANALISI USAHATANI KELAPA SAWIT RAKYAT DENGAN APLIKASI PUPUK DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

Anis fahri

Peneliti Muda. Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Riau Jl. Kaharuddin Nasution 346, km 10. Pekanbaru. Telp. 0761-674206

ABSTRAK Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit di Provinsi Riau, dengan luas areal seluas 118.970 hektar, terdiri dari 56.886 hektar perkebunan rakyat, 6.832 hektar perkebunan negara dan 55.252 hektar perkebunan besar swasta. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi alternatif paket teknologi pemupukan kelapa sawit rakyat yang efisien serta meningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Kajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 (lima) kali ulangan. Paket teknologi (PaTek) yang diuji adalah sebagai berikut adalah: 1) PaTek Introduksi (Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon) ; 2) PaTek perbaikan ( Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon); 3) PaTek perbaikan cara petani (Urea 1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon). Pupuk kandang sebanyak 15 kg/pohon diberikan sebagai pupuk dasar.Hasil penelitian menunjukkan PaTek Introduksi menghasilkan rata-rata TBS kelapa sawit sebesar 21.168 kg/ha/th, kemudian diikuti PaTek Perbaikan sebesar 17.486 kg/ha/th dan PaTek cara petani sebesar 17.703 kg/ha/th. Rata – rata pendapatan PaTek Introduksi sebesar Rp. 12.281.330/ha/th, nilai B/C ratio 1,15 kemudian diikuti PaTek Perbaikan sebesar Rp. 11.106.000/ha/th, nilai B/C ratio 1,25 dan PaTek cara petani sebesar Rp.11.058.730/ha/th, nilai B/C ratio 1,5. Kata Kunci: Pemupukan, usahatani, kelapa sawit, Indragiri Hulu

PENDAHULUAN Kelapa sawit memiliki kedudukan yang penting baik secara nasional maupun

regional, diantaranya merupakan sumber bahan baku industri bahan pangan, kosmetika bahkan bahan baku sumber energi alternatif. Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit di Provinsi Riau, dengan luas areal seluas 118.970 hektar, terdiri dari 56.886 hektar perkebunan rakyat, 6.832 hektar perkebunan negara dan 55.252 hektar perkebunan besar swasta. (BPS Riau, 2014);

Produksi perkebunan rakyat pada umumnya jauh dibawah perkebunan milik negara maupun perkebunan swasta dengan tingkat produktivitas antara 12 hingga 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar sementara potensi produksi komoditas ini bisa mencapai 30 ton/ha. Produktivitas CPO perkebunan rakyat rata-rata 2.5 ton dan 0.33 ton minyak inti (PKO) per hektar sementara pada perusahaan perkebunan rata-rata mencapai 4.82 ton CPO dan 0.91 ton PKO per hektar (BBP2TP, 2008).

Permasalahan rendahnya produksi perkebunan kelapa sawit rakyat salah satunya adalah belum diterapkannya paket teknologi pemupukan secara tepat. Pemupukan dilakukan tidak tepat jenis maupun dosisnya sehingga cenderung tidak sesuai dengan prinsip pemupukan berimbang maupun sesuai dengan kebutuhan tanaman. Petani pada umumnya belum memanfaatkan bahan organic seperti kotoran ternak, limbah tandan kosong kelapa sawit untuk memperbaiki kesuburan lahan.

Penggunaan bahan amelioran merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi usahatani kelapa sawit.Amelioran dapat menetralkan asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman (Mawardi et al, (1999), Pemupukan pada tanaman kelapa sawit membutuhkan biaya yang sangat besar sekitar 30% terhadap biaya produksi atau sekitar 60 % terhadap biaya pemeliharaan (Sugiyono et al., 2005).

1187

Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik. Penggunaan pupuk anorganik dirasakan mahal oleh petani dan sering kali tidak tersedia; selain itu memiliki sifat yang mudah larut dan mudah menguap (Luma, 2012). Disisi lain pemupukan mempunyai peranan yang sangat penting untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang sehat dan menghasilkan produksi yang tinggi. Oleh karena itu, rekomendasi pemupukan yang baik sangat dibutuhkan agar biaya pupuk yang mahal tersebut dapat memberi keuntungan yang tinggi, baik melalui peningkatan produksi maupun penggunaan pupuk yang lebih efektif dan efisien.

Penentuan jenis dan dosis pupuk dalam rekomendasi pemupukan tanaman kelapa sawit umumnya menggunakan beberapa bahan pertimbangan antara lain : a) hasil analisis tanah, b) hasil analisis daun, c) gejala defisiensi hara dan kondisi tanaman di lapangan, d) produktivitas, serta kondisi iklim.Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah alternatif teknologi usahatani kelapa sawit yang efisien serta meningkatan produktivitas dan pendapatan petani kelapa sawit rakyat.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida Kabupaten

Indragiri Huludari bulan Januari hingga Desember 2015dengan luasan sekitar 2 ha. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari: pupuk kandang, pupuk Urea, pupuk SP 36, Pupuk KCl, Kieserit, Borax, herbisida, insektisida, fungisida, dan bahan bantu lainnya sedangkan peralatan yang digunakan adalah cangkul, tali nilon, ember, dan alat bantu lainnya.

Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 (lima) kali ulangan. Paket teknologi (PaTek) yang diuji adalah sebagai berikut adalah: 1) PaTek Introduksi (Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon) ; 2) PaTek perbaikan ( Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon); 3) PaTek perbaikan cara petani (Urea 1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon). Pupuk kandang sebanyak 15 kg/pohon diberikan sebagai pupuk dasar.

Tanaman kelapa sawit yang digunakan adalah kelapa sawit rakyat yang sudah berproduksi berumur lebih > 5 tahun. Pemupukan dilakukan pada piringan tanaman. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman menggunakan prinsip pengendalian terpadu.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi keragaan hasil tanaman dan usahatani kelapa sawit. Analisis usahatani kelapa sawit dilakukan berdasarkan data produksi dan biaya usahatani. Nilai dari data yang diperoleh dikelompokan dalam dua bagian, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Selisih antara keduanya merupakan manfaat bersih (net benefit). Nilai penerimaan dan biaya tersebut kemudian diprediksi selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman kelapa sawit dan discount factor sebesar 10%. Present Value of Net Returns (PVNR), merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskonto dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini, bentuk persamaan adalah sebagai berikut:

PVNRi = ∑

............. 5

Keterangan: PVNRi = Present Value Net Return komodi i (Rp per hektar) B = Benefit usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar) C = Cost usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar) r = Interest rate t = Jangka waktu analisis (tahun) (Rustiadi, et.al. 2011)

1188

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa contoh tanah lokasi percobaan terlampir pada tabel 1. Dari data hasil

analisa tanah, diketahui bertekstur agak kasar, bereaksi masam, kandungan bahan organik dan kesuburan tanah yang rendah. Tabel 1. Hasil analisa tanah lokasi kajian Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida, Inhu

(2015) No Uraian Kriteria 1 Tekstur (%)

Pasir Debu Liat

61 35 4

2 PH (Ekstrak 1,5)

H2O KCl

4,2 3,1

Sangat masam

3 Bahan Organik (%)

C-organik N-toal C/N

2,88 0,18 16

Sedang Rendah

4 P dan K Potensial: Ekstrak HCl 25% (mg/100g)

P2O5 K2O

4 1

Sangat rendah Sangat rendah

5 P tersedia Bray-1 P2O5 (ppm) Morgan (K2O) ppm

2,2 6

Sangat Rendah Sangat Rendah

6 NTK (NH4-Acetat 1N. pH7) Cmol/kg Ca Mg K Na

0,48 0,13 0,01 0,05

Sedang Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah

Jumlah 0,67 7 KTK 7,79 Rendah KB+ (%) 9 Sangat Rendah Al3+ (Cmol/kg) 0,38 Sangat Rendah H+ (Cmol/kg) 0,73 Sangat Rendah Sumber : Laboratorium Balai Penelitian Tanah (2015) Data gambar 1menunjukkan keragaan hasil kelapa sawit menunjukkan kecendrungan pertumbuhan hasil yang meningkat. PaTekIntroduksi menghasilkan rata kelapa sawit lebih tinggi dibanding PaTek perbaikan dan PaTekcara petani. Rata – rata produksi PaTek Introduksi sebesar 1.764 kg/ha/bulan, kemudian diikuti PaTek perbaikan sebesar 1.457 kg/ha/bulan dan PaTek cara petani sebesar 1.423 kg/ha/bulan.

1189

Gambar 1. Grafik rata-rata hasil panen kelapa sawit (Juni – Nov 2015).

Produksi yang lebih tinggi pada perlakuan PaTek introduksi diduga disebabkan jumlah pupuk yang diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit pada lokasi kajian dan diserap tanaman lebih baik dibanding PaTek perbaikan dan PaTek cara petani.

Analisis Usahatani Kelapa Sawit

Tahapan pembangunan kelapa sawit secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu berdasarkan fase pertumbuhan tanaman, fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan (TBM) dan fase generatif atau tanaman menghasilkan (TM). Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu memberikan produksi yang tinggi, sedangkan tanaman menghasilkan pengelolaan tanaman terutama pada perawatan dan pengaturan penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida. Fase vegetatif dilahan mulai setelah bibit ditanam sampai tanaman berumur 2,5 – 3 tahun.

Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan

Pada tahap pembangunan kebun kelapa sawit penggunaan sarana produksi yang utama adalah tenaga kerja dan bibit. Penggunaan tenaga kerja terutama untuk persiapan lahan, seperti pembersihan lahan dari gulma, pengaturan jarak tanam dengan memberi ajir sebagai penanda lubang tanam, pembuatan lubang tanam, dan penanaman. Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 120 batang/hektar, pola tanam kelapa sawit yang umum digunakan adalah pola segitiga sama sisi dengan jarak 9 x 9 meter antara barisan dan 7,79 dalam barisan. Pada sebagian petani karena kontur lahan jarak tanam menjadi lebih rapat menjadi 8 x 9 meter sehingga kebutuhan bibit menjadi lebih banyak.

Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani belum melaksanakan

paket teknologi yang direkomendasikan, terutama penggunaan bibit dan pupuk. Bibit tanaman yang digunakan petani biasanya adalah bibit atau kecambah yang tidak bersertifikat, dibeli dari pedagang bibit keliling yang katanya berasal dari Balai Penelitian Kelapa Sawit Marihat. Kendala utama bagi perkebunan rakyat untuk memperoleh bibit unggul bersertifikat adalah kurangnya informasi untuk mendapatkan bibit tersebut dan kurangnya permodalan usahatani. Saat ini harga kecambah kelapa sawit produksi Pusat Penelitian Kelapa sawit Medan sekitar Rp. 7.500/ kecambah.

Implikasi dari penggunaan sarana produksi adalah timbulnya biaya usahatani, biaya rata-rata pada tahap pembangunan kebun yang digunakan saat pembukaan lahan serta perawatan dan pengendalian sebesar Rp 7.515.288/ha.

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

Kg/

Ha

rata-rata produksi kelapa sawit

Hasil kelapa sawit

PaTek Introduksi

PaTek Perbaikan

PaTek cara petani

1190

Penggunaan biaya terbesar adalah untuk pengadaan bibit sebesar Rp 2.469.257/ha (32,86%), kemudian biaya tenaga kerja Rp 3.268.000/ ha (43,48%) dengan tingkat upah Rp 80.000/hari. Biaya lainnya adalah pembelian pupuk sebesar Rp. 1.065.028/ha (14,17%) dan herbisida Rp 603.428/ha/th (Tabel 3). Biaya peralatan diasumsikan sama selama 25 tahun periode analisis, biaya dihitung berdasarkan harga beli dan masa pakai peralatan tersebut. Peralatan usahatani yang digunakan seperti cangkul, parang, arit, gerobak, garpu. Selain itu ada beberapa alat yang digunakan untuk pemanenan seperti dodos dan egrek.

Tabel 2. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun pertama. Input usahatani Volume Biaya

(Rp/ha) Persentase (%)

Bibit (tanaman / ha) 120 2.469.257 32,86 Urea(kg / ha) 56 296.800 3,95 SP-36 (kg/ha) 50,29 286.629 3,81 KCl (kg / ha) 56 425.600 5,66 Dolomit (kg/ ha) 50,30 56.000 0,76 Herbisida (l / ha) 11 603.428 8,03 Tenaga Kerja ( HOK / ha) 44,07 3.268.000 43,48 Biaya peralatan (Rp/ha/th) 1 109.575 1,45 Jumlah 7.515.288 100 Sumber : Data diolah (2015)

Pengelolaan tanaman pada tahun kedua terutama pada pengendalian gulma dan pemupukan. Rata-rata penggunaan pupuk urea sebesar 56,00 kg/ha/th, SP-36 dan KCl sebanyak pemupukan 64,43 kg/ha/th dilakukan 1 - 2 kali dalam satu tahun. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan secara merata pada daerah bokoran, atau daerah di bawah pelepah daun kelapa sawit. Pengendalian gulma dilakukan dengan penyemprotan herbisida, dan penebasan gulma dibawah tajuk tanaman atau membersihkan piringan tanaman dengan rata-rata penggunaan sebanyak 10,96 liter/hektar/tahun. Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 13,32 HOK untuk pekerjaan pengendalian gulma, pemupukan, dan perawatan tanaman.

Tabel 3. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun kedua. Input usahatani Volume Biaya

(Rp/ha) Persentase (%)

Urea(kg / ha) 56,00 296.800 9,97 SP-36 (kg/ha) 63,43 361.542 12,15 KCl (kg / ha) 63,43 482.057 16,20 Dolomit (kg/ha) 50,30 56.000 1,88 Herbisida (l / ha) 10,96 603.428 20,28 Tenaga Kerja ( HOK / ha) 13,32 1.065.951 35,82 Peralatan (Rp/ha/th) 1 109.575 3,68 Jumlah 2.975.354 100 Sumber : Data diolah (2015)

Untuk tanaman berumur dua tahun biaya rata-rata yang dikeluarkan hanya 39,59% dari biaya tahun pertama, yakni sebesar Rp. 2.975.3540/ hektar. Biaya pembelian pupuk sebesar Rp 1.196.400/hektar (40,21 %), kemudian diikuti biaya pembelian pestisida terutama herbisida sebesar Rp. 603.428/hektar atau (20,28%) dan biaya tenaga kerja sebesar 1.065.951/hektar atau sebesar 35,82 % dan biaya peralatan sebesar Rp. 109,575.- (3,68 %).

1191

Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan

Tanaman kelapa sawit mulai berbunga setelah berumur 2,5 tahun dan bisa panen setelah 5,5 bulan dari penyerbukan. Pada lahan dengan pertumbuhan tanaman serta pengelolaan yang baik, produksi sudah dapat diperoleh setelah tanaman berumur 31 bulan, mulai berbuah “buah pasir” .

Pemupukan kelapa sawit biasanya dilakukan 1 sampai 2 kali per tahun pada saat awal musim hujan dan akhir musim hujan. Faktor kemampuan untuk membeli dan jenis pupuk yang tersedia mempengaruhi dosis pupuk yang digunakan. Rekomendasi pemupukan tersebut akan sulit diterapkan ditingkat petani, mengingat kisaran biaya per pohon yang sangat tinggi.. Penggunaan sarana produksi, seperti pupuk Urea, TSP, KCl, Kiserit, dan Borax dan herbisida pada tanaman berproduksi berumur 4 sampai 25 tahun relatif sama, sehingga biaya usahatani diasumsikan sama. Demikian juga halnya dengan curahan tenaga kerja untuk perawatan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian gulma.

Tabel 4. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun ketiga. Input usahatani Volume Biaya

(Rp/ha) Persentase

(%) Urea (kg/ha) 126,29 669.314 17,41 SP-36 (kg/ha) 90,29 514.269 13,38 KCl (kg/ha) 126,29 957.771 24,96 Herbisida (l / ha) 10,97 603.429 15,68 Tenaga Kerja ( HOK / ha) 12,41 992.914 25,83 Peralatan 1,0 103.750 3,45 Jumlah 3.843.807 100 Sumber : Data diolah (2015) Tabel 5. Biaya produksiusahatani kelapa sawit tahun 4 s/d 25 pada tipologi lahan datar. Input usahatani PaTek Introduksi PaTek

Perbaikan PaTek cara petani

Pupuk (Rp/ha/th) 6.070.000 4.520.000 3.020.000 Herbisida (Rp/ha/th) 600.000 600.000 600.000 Tenaga Kerja (Rp/ha/th) 900.000 900.000 900.000 Peralatan(Rp/ha/th) 100.000 100.000 100.000 Produksi (kg/th) 21.168 17.486 17.703 Upah panen (Rp/ha/th) 150 x prod 150 x prod 150 x prod Jumlah 7.670.000 + 150 x

prod 6.120.000+ 150 x prod

4.420.000 + 150 x prod

Sumber : data primer (2105) Keterangan: *) Biaya panen Rp 150/kg TBS, **)

Rata- rata biaya produksi teknologi introduksi 1 pada tahun 4 s/d 25 dapat diformulasikan adalah biaya produksi ditambah biaya panen. Hasil kelapa sawit relatif mudah dan lancar untuk dipasarkan, petani pekebun hanya menyiapkan TBS di tepi jalan kemudian pedagang pengumpul akan membawa ke peron atau tempat penimbangan. Setelah penimbangan, petani langsung mendapat pembayaran dari penjualan TBS. Harga tandan buah segara ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan harga pasar atau harga DO dari pabrik dan juga berdasar kepada kualitas buah. Pemanenan dilakukan setiap dua minggu sekali atau 24 kali panen dalam satu tahun.

Perubahan pengelolaan lahan umumnya dipengaruhi oleh faktor nilai manfaat yang akan diperoleh dari suatu usahatani. Pa Teknologi Introduksi memberikan hasilyang lebih tinggi dibandingkan PaTek Perbaikan dan PaTek cara petani. Produksi kelapa sawit yang lebih tinggi tersebut akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani. Rata-rata produksi PaTek Introduksi sebanyak 21.168 kg/ha/th, PaTek perbaikan sebesar 17.486 kg/ha/th dan

1192

PaTek cara petani sebesar 17.703 kg/ha/th. Penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani kelapa sawit tersaji pada Tabel 6.

Penggunaan input produksi lebih tinggi pada PaTek Introduksi dibanding PaTek Perbaikan dan PaTek cara petani diikuti dengan peningkatan hasil tanaman tetapi belum diikuti dengan peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan pada tanaman tahunan respon dari pupuk yang diberikan baru akan berdampak pada waktu jangka panjang, minimal 6 bulan setelah aplikasi pemupukan. Disamping itu respon pemupukan juga dipengaruhi oleh bibit tanaman yang digunakan. Jika bibit yang digunakan meruapakan bibit unggul bersertifikat maka pemupukan yang diberikan akan menghasilkan produksi lebih tinggi. Tabel 6 Rata – rata produksi dan pendapatan usahatani kelapa sawit. Uraian Paket Teknologi

Introduksi 1 Paket Teknologi Introduksi 2

PaTek Introduksi 3 (perbaikan )

Produksi (kg /ha/th) 21.168 17.486 17.703 Harga (Rp/kg) 1.000 1.000 1.000 Penerimaan (Rp/ha/th) 21.168.000 17.486.000 17.703.000 Biaya input (C)(Rp/ha/th)

10.698.670 8.886.560 7.325.270

Pendapatan(B) (Rp/ha/th)

12.281.330 11.106.000 11.058.730

PVNR (Rp) 83.150.136 74.588.626 74.356.716 B/C ratio 1,15 1,25 1,50 Sumber : Data diolah (2015).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. PaTek Introduksi menghasilkan rata-rata TBS kelapa sawit sebesar 21.168 kg/ha/th, lebih tinggi dibanding PaTek Perbaikan sebesar 17.486 kg/ha/th dan PaTek cara petani sebesar 17.703 kg/ha/th. Rata – rata pendapatan PaTek Introduksi sebesar Rp. 12.281.330/ha/th, nilai B/C ratio 1,15 kemudian diikuti PaTek Perbaikan sebesar Rp. 11.106.000/ha/th, nilai B/C ratio 1,25 dan PaTek cara petani sebesar Rp.11.058.730/ha/th, nilai B/C ratio 1,5.

Saran 1. Dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan PaTek Introduksi (Urea 3,0 kg +

TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg/pohon/th) dapat diterapkan petani perkebunan kelapa sawit rakyat di desa Bukit Meranti Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.

2. Untuk mendiseminasikan penerapan PaTek Introduksi, Petani kelapa sawit memerlukan dukungan pemerintah daerah dan akses lembaga permodalan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Indragiri Hulu Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Indragiri Hulu.

BBP2TP. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Luma H.S. 2012. Pemberian Pupuk Majemuk dan Kompos Tandan Kosong kelapa Sawit pada Media Tanam untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit di Main nursery. Makalah. http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2501/1/

Jurnal%20Hendra%20Luma%20S.pdf

Mawardi, E., Syafei dan A Thaher, 1999. Pemanfaatan kaptan Super Fosfate (KSP) dalam paket tampurin untuk meningktkan produktivitas kubah gambut. BPTP Sukarami.

1193

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID) Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sugiyono, E.S. Sutarta, W. Darmosarkoro, dan H.Santoso. 2005. Peranan Perimbangan K, Ca dan Mg Tanah Dalam Penyusunan Rekomendasi Pemupukan Kelapa Sawit. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sawit. Medan, 19-20 April 2005. Hal 43 – 56

1194

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI JERUK TERHADAP PENGENDALIAN PENYAKIT HUANG LUNG BIN

(HLB) DI KABUPATEN BANGLI

Suharyanto1, Ni Putu Sutami2, Eko Nugroho Jati2 dan Zikril Hidayat1

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kep. Bangka Belitung

Jl. Muntok Km 4 Pangkalpinang 33134 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar 80222

ABSTRAK Penyakit Huang Lung Bin (HLB) atau dahulu dikenal dengan CVPD (Citrus Vein

Phloem Degeneation) merupakan penyakit utama tanaman jeruk yang sampai saat ini belum juga tuntas pengendaliannya dan sangat merugikan bagi pengembangan jeruk di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap penyakit HLB sebagai langkah awal upaya pengendaliannya. Peneltian dilakukan melalui survei terhadap 60 petani jeruk yang dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Desa Kintamani dan Desa Abangsongan, Kecamatan Kintamani. Penentuan lokasi ditetapkan secara purposive, dimana kecamatan Kintamani merupakan sentra produksi jeruk di Bali, lebih dari 70 persen produksi jeruk di Bali berasal dari Kintamani. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui tabulasi silang dan tabel frekuensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengetahuan petani terhadap penyakit HLB tergolong rendah, sikap tergolong netral dan perilaku tergolong rendah. Strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengendalian CVPD di lokasi penelitian antara lain melalui penerapan Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS) melalui penggunaan bibit jeruk bebas penyakit, pengendalian serangga penular CVPD, sanitasi kebun, pemeliharaan tanaman dan konsolidasi pengelolaan kebun. Hal tersebut dapat didiseminasikan melalui pelatihan, sekolah lapang dan metode diseminasi lainnya.

Kata kunci : pengetahuan, sikap, perilaku, HLB

PENDAHULUAN Jeruk merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura Provinsi Bali dapat

tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, baik di lahan sawah ataupun tegalan. Luas pertanaman jeruk di Provinsi Bali pada tahun 2014 mencapai 3.212,082 ha dengan produksi 98.523,9 ton atau produktivitas rerata 30,67 ton per hektar. Kabupaten Bangli merupakan sentra produksi jeruk tertinggi di Provisi Bali dimana sekitar 71,76% produksi jeruk di Bali berasal dari Kabupaten Bangli (BPS Provinsi Bali, 2014) Upaya peningkatan produksi dan mutu hasil tanaman jeruk terhambat oleh rendahnya tingkat adopsi teknologi yang dikuasai petani, belum terbebasnya daerah sentra produksi dari serangan penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) atau huang lung bin (HLB) dan pengelolaan kebun yang belum dilakukan secara optimal oleh petani.

Penyakit huang lung bin (HLB) disebabkan oleh Candidatus liberobacter asiaticum (Jaqoueix et al., 1996) termasuk bakteri gram negatif (Garnier et al. 1984) dan dapat ditularkan oleh serangga vektor Diaphorina citri (Tirtawidjaja 1983). Pada dasarnya pengendalian terhadap penyakit ini telah diformulasikan dan harus diterapkan secara utuh yaitu menggunakan bibit jeruk bersertifikasi bebas penyakit, pengendalian serangga vektor, melakukan sanitasi kebun secara konsekuen,pemeliharaan secara optimal, serta penerapan teknologi secara terpadu dalam kelompok pada suatu wilayah pengembangan yang dikenal dengan pendekatan Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS) (Supriyanto et al.2010). Salah satu kendala dalam penerapan strategi pengendalian tersebut adalah sanitasi kebun, keterbatasan kemampuan petani atau petugas menentukan gejala HLB di lapang

1195

menyebabkan tertundanya eradikasi dan sanitasi kebun. Sampai saat ini deteksi secara visual masih sulit dilakukan dengan tepat mengingat gejala serangan mirip defisiensi unsur hara seng (Zn) atau bercampur dengan gejala fisiologis lain. Di samping itu, infeksi HLB juga menyebabkan gejala kekurangan unsur hara karena gangguan metabolisme dan translokasi fotosintat dan hara dalam jaringan tanaman. Hasil penelitian Dwiastuti et al. (2003) mengidentifiksi bahwa daerah penyebaran HLB dengan menggunakan teknik deteksi PCR, penyebaran HLB di Bali Utara khususnya terdapat di daerah dengan ketinggian 10-700 m dpl Pada daerah penanaman jeruk dengan ketinggian 850-1.250 m dpl. tidak ditemukan HLB.

Menurut Saptana dan Sudaryanto (1995), walaupun sudah terserang penyakit secara serius, ternyata usahatani jeruk masih menguntungkan petani. Oleh karena itu anjuran untuk melakukan eradikasi tanaman yang terinfeksi secara total nampaknya tidak akan berhasil, kecuali kalau petani diberikan konpensasi terhadap hilangnya pendapatan karena pemusnahan tanaman tersebut. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam pengembangan agribisnis jeruk, penggunaan bibit jeruk bebas penyakit diharuskan dengan ketat terutama untuk perluasan pertanaman ke arah lahan baru. Untuk itu diperlukan langkah yaitu (a) melarang penangkar jeruk yang sudah terinfeksi penyakit dengan didukung perangkat hukum/peraturan, (b) memasyarakatkan teknologi pembibitan jeruk bebas penyakit kepada kelompok-kelompok penangkar, sehingga teknologi tersebut menyebar secara luas, (c) memberikan subsidi awal bagi penggunaan bibit jeruk bebas penyakit sehingga harga lebih rendah atau sama dengan bibit jeruk lokal.

METODE PENELITAN Penelitian dilakukan di salah satu lokasi kegiatan pengembangan kawasan agribisnis

jeruk, yaitu di Desa Kintamani dan Desa Abangsongan Kecamatan Kintamani yang merupakan sentra produksi jeruk di Kabupaten Bangli. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 dengan metode survai. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dari para petani yang pernah memperoleh sekolah lapang PTKJS dalam usahatani jeruk dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Dinas Pertanian setempat dan instansi terkait lainnya. Responden dipilih secara purposif, yaitu 30 petani yang berasal dari kelompok tani Paket Kaja, Desa Kitamani dan Kelompok Tani Simakrama, Desa Abangsongan, keduanya di Kecamatan Kintamani. Data primer yang dikumpulkan adalah pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap teknologi PTKJS yang diintroduksikan (bibit jeruk berlabel bebas penyakit, pengendalian OPT, sanitasi kebun, pemeliharaan secara optimal, dan konsolidasi pengelolaan kebun).

Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk mengetahui tingkat perilaku petani dalam pengendalian penyakit HLB diukur dalam skor yang meliputi : (a) penggunaan bibit jeruk berlabel bebas penyakit, (b) pengendalian OPT, (c) sanitasi kebun yang baik, (d) pemeliharaan secara optimal, dan (e) konsolidasi pengelolaan kebun dengan kelompok tani sebagai unit terkecil pembinaan. Masing-masing kategori pengetahuan, sikap dan perilaku petani dikategorikan menjadi 3 kelas. Adapun nilai skor yang digunakan untuk perilaku petani adalah : (1) hampir tidak pernah, (2) kadang-kadang dan (3) sering, untuk aspek pengetahuan : (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi sedangkan untuk aspek sikap : (1) tidak setuju, (2) ragu-ragu dan (3) setuju. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor total Tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku Petani terhadap PTKJS dikategorikan menjadi tiga kelas, denganmenggunakan rumus interval (Dajan, 1996): J I = ------ K Dimana :

I = Interval kelas

J = Jarak antara skor maksimum dan skor minimum

1196

K = Banyaknya kelas yang digunakan

Tabel 1. Deskripsi Pengendalian HLB dengan Pendekatan (PTKJS) beserta Skala Penilaiannya

No Komponen PTKJS Pilihan jawaban responden

Rendah/Negatif Sedang/Netral Tinggi/Positif

1. Menggunakan bibit jeruk berlabel bebas penyakit

Tidak mengetahui; tidak setuju; hampir tidak pernah

Ragu-ragu; kadang-kadang

Mengetahui; setuju; sering

2. Pengendalian OPT (perangkap kuning, penggunaan bubur California, penyiraman dengan larutan insektisida, penyemprotan dengan insektisida, pemasangan sex feromon metil eugenol, pembrongsongan dan penyemprotan dengan fungisida)

Tidak mengetahui; tidak setuju; hampir tidak pernah

Ragu-ragu; kadang-kadang

Mengetahui; setuju; sering

3. Sanitasi kebun (memangkas bagian tanaman yang sakit, membuang pohon yang terserang HLB, penanaman sulaman dengan bibit berlabel)

Tidak mengetahui; tidak setuju; hampir tidak pernah

Ragu-ragu; kadang-kadang

Mengetahui; setuju; sering

4. Pemeliharaan tanaman ( pemangkasan bentuk arsitektur pohon, pemangkasan pemeliharaan, pengolahan tanah, pemupukan berimbang, penyiraman, penjarangan buah, pengendalian gulma dan pemanenen secara benar)

Tidak mengetahui; tidak setuju; hampir tidak pernah

Ragu-ragu; kadang-kadang

Mengetahui; setuju; sering

5. Konsolidasi pengelolaan kebun Tidak mengetahui; tidak setuju; hampir tidak pernah

Ragu-ragu; kadang-kadang

Mengetahui; setuju; sering

Total skala 10.00–16.67 16-68-23.34 23.35-30.00

HASIL DAN PEMBAHASAN Bioekologi Penyakit HLB dan Gejala Kerusakan

Kutu loncat jeruk Diaphorina citri Kuwayama merupakan hama penting pada tanaman jeruk karena berperan sebagai vektor penyakit HLB. Kutu loncat jeruk selama perkembangannya mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa dan dewasa. Siklus hidupnya mulai dari telur sampai dewasa berlangsung selama 16-18 hari pada kondisi panas, sedangkan pada kondisi dingin kutu ini mampu bertahan hidup sampai 45 hari. Telur D. citri diletakkan pada primordial tunas yang belum berkembang sempurna dan nimfa yang menetas akan berpindah ke permukaan daun bagian bawah. Seekor dewasa betina mampu bertelur sebanyak 500-800 butir selama masa hidupnya. Serangga dewasa terus menerus bereproduksi, sehingga dalam satu tahun mampu menghasilkan 9-10 generasi kutu. Ketertarikan kutu loncat jeruk terhadap tunas-tunas muda sebagai tempat peletakkan telur,

1197

menjadikan pola pertunasan tanaman merupakan faktor penting dalam perkembangbiakannya.

Gejala awal serangan penyakit HLB dapat dikenali dengan adanya ‘blotching/motling’, yaitu belang-belang kuning pada daun dengan pola tidak teratur dan biasanya tidak simetris antara kiri dan kanan daun. Sekilas, gejalanya sangat mirip dengan daun yang mengalami defisiensi unsur hara mikro Zn. Warna kuning tersebut tembus ke bagian belakang daun sehingga untuk mengamati daun yang terserang HLB, permukaan daun bagian bawah harus bersih dari serangan serangga dan jamur. Pada gejala selanjutnya, dapat mengakibatkan pertumbuhan daun terhambat yang ditunjukkan oleh daun mengecil, relatif kaku, runcing dan menghadap ke atas. Pola pertunasan pohon terinfeksi HLB biasanya enderung lebih sering (Garnier & Bove 1993).

Lebih lanjut Supriyanto et al, (2010) menyatakan bahwa tanaman jeruk sehat yang terinfeksi HLB melalui vektor biasanya menimbulkan gejala sektoral, yaitu hanya di bagian tertentu dari tajuk; sedangkan jika semenjak bibit telah terserang HLB, tanaman akan tumbuh lambat dan merana. Penyebaran paothgen HLB dalam jaringan phloem daun relatif lambat dibandingkan dengan yang diakibatkan serangan patogen sistemik lain seperti Tristeza sehingga penyebaran gejala ke seluruh bagian tajuk lebih disebabkan oleh vektor dibandingkan dengan pergerakan pathogen dalam jaringan tanaman. Buah dari pohon yang terserang HLB, jika dibelah dari ujung atas ke bawah nampak bagian buah yang tidak simetris (“lop-sided”) dan bijinya abortus, tidak bernas dan ujung biji berwarna coklat.

Karakteristik Responden dan Usahatani Jeruk Secara umum rata-rata umur petani responden adalah 42.84 dengan kisaran 26 – 62

tahun, hal ini mengindikasikan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam yang berarti masih terdapat generasi muda yang berminat pada bidang pertanian khususnya usahatani jeruk. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Rata-rata tingkat pendidikan petani adalah tamat sekolah menengah pertama, walaupun tidak sedikit dijumpai petani yang tidak tamat sekolah dasar dan pendidikan tertinggi adalah tamat sekolah menengah atas. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi. Sedangan pengalaman petani mengusahakan tanaman jeruk juga sangat bervariasi dengan kisaran 2- 15 tahun dengan rata-rata pengalaman selama 6.8 tahun. Pengalaman yang dimiliki oleh petani ini sesungguhnya dapat digunakan sebagai peluang kearah efisiensi dalam penggunaan input-input produksi yang mereka gunakan. Karena sebagian besar petani dalam melaksanakan kegiatan usahataninya didasarkan pada pengalaman empiris yang diperoleh di lahannya.

Dalam melakukan usahatani jeruk umumnya petani menerapkannya dengan pola tumpangsari atau diversivikasi dengan beberapa tanaman sayuran dan bunga dalam satu hamparan dengan berbagai pola tumpangsari. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dan efisiensi produksi. Selain berusahatani jeruk, mereka mempunyai mata pencaharian lain, yaitu usahatani sayuran (23%), beternak sapi (14%), berdagang (3%), dan sebagai pengurus desa (2%) dan lain-lain (8%).

Luas lahan usahatani jeruk berkisar 0.15-1.20 ha dengan Jumlah populasi yag diusahakan rerata 162 pohon atau seluas 0.29 ha dengan jarak tanam yang sangat bervariasi 3 x 2 m, 3 x 3 m bahkan ada yang 3 x 4 m. Varietas jeruk yang dominan ditanam adalah jeruk siam Kintamani walau terdapat beberapa yang mengusahakan jeruk keprok selayar dengan kisaran umur 1-7 tahun dengan rerata 4,8 tahun. Menurut Taufik (1999), skala usahatani jeruk siem dari 100-200 pohon, 201-300 pohon, 301-400 pohon, dan >400 pohon layak dikembangkan karena memenuhi nilai kekayaan investasi, yaitu BC rasio >1, dengan skala usahatani terbaik adalah 301-400 pohon karena mempunyai nilai BC rasio 2,06 dan IRR 55,67.

1198

Pengetahuan Petani Terhadap Penyakit HLB Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian membentuk

sikap dan pada akhirnya menciptakan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat pengetahuan petani terhadap pengendalian HLB tergolong dalam kategori rendah (20%), sedang (53.33%), dan tinggi (26.67%). Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian HLB tentunya akan berdampak terhadap tingkat gejala penyakit dan perilaku petani dalam mengendalikan penyakit tersebut. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan sekolah dasar (39%). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan keberlanjutan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Indrasti et al., (2013) mengungkapkan bahwa salah satu kendala belum terbebasnya kebun jeruk dari penyakit HLB adalah belum banyak tersedianya bibit jeruk bebas penyakit dan masih minimnya pengetahuan petani tentang PTKJS. Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal pengendalian penyakit HLB adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit HLB beserta dampak kerugian apabila tanaman jeruk sampai terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan menerapkan PTKJS.

Tabel 2.Tingkat Pengetahuan Petani Terhadap Penyakit HLB di Desa Kintamani, Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli, 2015

No Klasifikasi/Skor Rata-rata skor

Jumlah Petani (org)

Persentase (%)

1 Rendah (10.00-16.67) 12.86 43 71.67 2 Sedang (16.68-23.34) 17.25 11 18.33 3 Tinggi (23.35-30.00) 23.94 6 12.00 Jumlah 60 100

Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang

kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap PTKJS, maka dapat mendorong untuk menerapkan PTKJS pada usahataninya. Sikap Petani Terhadap Penyakit HLB

Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian penyakit HLB masing-masing bersikap positif/setuju (18.33%), netral/ragu-ragu (68.33%) dan negatif/tidak setuju (13.33%). Hal ini mengindikasikan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap teknologi PTKJS yang baru mereka ketahui. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai dengan praktek lapang mutlak untuk dilakukan untuk lebih meyakinkan petani bahwa peningkatan produksi jeruk dengan pendekatan PTKJS sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan OPT walaupun tidak sampai menghilangkan sama sekali, karena seperti diketahui penyakit HLB sangat mudah sekali untuk menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain yang disebarkan oleh vector kutu loncat Diaphorina citri.

1199

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.

Tabel 3. Pendapat Petani Terhadap Sikapnya Terhadap Penyakit HLB di Desa Kintamani,

Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, 2015.

No Klasifikasi/Skor Rata-rata skor

Jumlah Petani (org)

Persentase (%)

1 Negatif (10.00-16.67) 15.24 8 13.33 2 Netral (16.68-23.34) 21.23 41 68.33 3 Positif (23.35-30.00) 24.13 11 18.33 Jumlah 60 100

Perilaku Petani Terhadap Penyakit HLB

Tingkat perilaku petani terhadap pegendalian HLB di Desa Kintamani, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, rata-rata termasuk dalam kategori rendah (70%) dengan nilai skor 15.09 (Tabel 4). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian HLB yang didominasi dalam kategori sedang (53.33%). Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa tidak semua komponen dan subkomponen teknologi PTKJS pernah diterapkan oleh petani jeruk di Kabupaten Banglir. Beberapa komponen dan subkomponen teknologi PTKJS lainnya, seperti penggunaan bibit berlabel bebas penyakit yang merupakan komponen penting dalam pengembangan agribisnis jeruk, perangkap kuning, penyiraman tanah dengan insektisida, pemberongsongan, penanaman sulaman dengan bibit berlabel, pemanenan secara benar, penyaputan batang bawah (dengan bubur California), penggunaan sex feromon, membuang bagian tanaman yang sakit, eradikasi tanaman, pemangkasan arsitektur tanaman, pemupukan berimbang, penjarangan buah dan dan konsolidasi pengelolaan kebun hampir tidak pernah dilakukan oleh petani karena sebagian besar merupakan hal baru bagi mereka.

Tabel 4. Perilaku Petani Terhadap Penyakit HLB di Desa Kintamani, Kecamatan Kintamani,

Kabupaten Bangli, 2015

No Klasifikasi/Skor Rata-rata skor

Jumlah Petani (org)

Persentase (%)

1 Rendah (10.00-16.67) 15.09 38 63.33 2 Sedang (16.68-23.34) 18.50 13 21.67 3 Tinggi (23.35-30.00) 24.60 9 15.00 Jumlah 60 100

Menurut Soekartawi (1988) mengatakan, bahwa perilaku penerapan inovasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain: kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi. Hasil kajian Ridwan et al.(2008) tentang sifat inovasi dan aplikasi teknologi PTKJS dalam pengembangan agribisnis jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat menunjukkan bahwa faktor utama yang

1200

memengaruhi tinggi rendahnya adopsi teknologi adalah faktor keuntungan, kesesuaian, dan kerumitan dari teknologi tersebut dibanding teknologi kebiasaan petani. Sedangkan hasil penelitian Hothongcum et al. (2014) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan dan perilaku petani didasarkan pada skala usahataninya.

KESIMPULAN Tingkat pengetahuan petani terhadap komponen Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk

Sehat (PTKJS) sebgai strategi pengendalian HLB secara umum termasuk dalam kategori rendah (71.67%).. Sikap petani rata-rata (68.33%) bersikap netral terhadap PTKJS dengan rata-rata nilai skor 21.23. Sedangkan perilaku petani dalam pengendalian HLB masuk dalam kategori rendah (63.33%) dan hanya 15% saja yang termasuk dalam kategori tinggi. Rendahnya tingkat perilaku petani dalam pengendalian HLB melalui pendekatan PTKJS dikarenakan petani baru mendapatkan informasi pengetahuan tentang PTKJS sebagai strategi pengendalian HLB, hal ini didukung dengan tingkat pengatahuan petani yang termasuk kategori rendah.

Untuk lebih meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap PTKJS maka upaya yang perlu ditempuh antara lain melalui sosialisasi disertai praktek lapang (sekolah lapang) melalui demplot pada skala yang lebih luas, sehingga diharapkan proses adopsi juga akan berjalan lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Azwar, S. 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta. BPS Provinsi Bali. 2014. Statistik Hortikultura Provinsi Bali 2014. Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali. 2014. Denpasar. Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II . Penerbit LP3ES. Jakarta Dwiastuti, M.E., A. Triwiratno, A. Supriyanto, M. Garnier, dan J.M. Bove. 2003. Deteksi

Penyebaran Geografis Penyakit CVPD di Bali Utara dengan Metode Polymerase Chain Reaction. Jurnal Hortikultura 13 (2) :138-145.

Garnier, M. and J. M. Bove. 1993. Transmission of the organism associated with citrus

greening disease from sweet orange to peri winkle by dodder. Phytopathol 73 :1358-1363.

Hothongcum, H., O Suwunnamek and S Suwanmaneepong. 2014. Assessment of Farmers

Knowledge and Attitude Towards The Commercialitation of Tailor-made Fertilizers in Thailand. Asian Journal of Scientific Research 7 (3) : 354-365

Indrasti R., A Muharam and J Pitono. 2013. The assessment on the implementation of Integrated Management of Healthy Citrus Orchards (IMHCO) to increase good quality citrus production in Garut District West Java Province. Crop & Environment 4 (1) : 51-54.

Jaqoueix S., J.M Bove, and M. Garnier 1996. PCR detection of the two candidatus Liberobacter

species associated with greening disease of citrus. Molecular and Cellular Probes. 10:43-50.

Ridwan, H.K., A. Ruswandi, Winarno, A. Muharam, dan Hardiyanto. 2008. Sifat Inovasi dan

Aplikasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat dalam Pengembangan

1201

Agribisnis Jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Jurnal Hortikultura 18 (4) : 477-490.

Saptana dan T. Sudaryanto. 1995. Analisis Sistem Agribisnis Jeruk di Jawa Timur. Jurnal

Hortikultura 5 (2) : 14-22. Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu.

Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA l (2) : 31 – 34. Supriyanto, A., Dwiastuti, M.E., Triwiratno, A., Endarto, O dan Suhariyono. 2010. Pengelolaan

Terpadu Kebun Jeruk Sehat. Strategi pengendalian CVPD. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Malang.

Taufik, M. 1999. Skala Usaha Tani dan Sistem Pemasaran Jeruk Siem di Sulawesi Selatan.

Jurnal Hortikultura 9 (2):172-187. Tirtawidjaja, S. 1983. CVPD penyakit yang sangat merusak jeruk. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 2 (1) : 36-41.

1202

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN ADOPSI PENGGUNAAN BAGANWARNA DAUN PADA KEGIATAN PTT

PADI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Nur Hidayat(1)Trijoko Siswanto (2)dan Rahima Kaliky(3)

1)Peneliti Madya, BPTP Yogyakarta2) Peneliti muda BPTP Yogyakarta3) Penyuluh Pertanian Madya BPTP Yogyakarta

Balai pengkajian teknologi pertanian yogyakarta Jl.StadionMaguwoharjo No.22,Wedomartani,Ngemplak,Sleman,Yogyakarta

ABSTRAK Untuk mendapatkan pertumbuhan padi yang baik,petani cenderung menggunakan

pupuk N secara berlebihan padahal cara ini tidak hanya merupakan pemborosan, tetapi juga dapat menyebabkan tanaman peka terhadap penyakit dan mudah rebah selain menggangggu kesehatan lingkungan.Dengan bantuan Bagan Warna Daun (BWD) dapat diketahui apakah tanaman perlu segera di beri pupuk N atau tidak dan berapa takaran N yang perlu diberikan. Tujuan dari penelitian untuk menganalisis hubungan karakteristik petani dengan adopsi BWD secara berkelanjutan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Sleman, menggunakan metode survei. Jumlah responden masing-masing Kabupaten sebanyak 30 orang sehingga total responden sebanyak 120 orang petani. Penentuan responden menggunakan metode simple random.Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi rank spearman.Hasil penelitian menunjukkan tingkat adopsi BWD secara berkelanjutan di DIY sangat rendah hanya mencapai 29,20 %.Pendidikanresponden berkorelasi negatif dan signifikan dengan adopsi BWD dua peubah lainnya yaitu umur dan jarak rumah ke BPP berkorelasi positif dengan signifikandengan adopsi masing dengan nilai korelasi 0,05(95 %) dan 0,01(99 %).

Kata kunci :tingkat adopsi, BWD, PTT padi.

PENDAHULUAN Beras telah menjadi pangan pokok utama dan cenderung tunggal di berbagai daerah

di Indonesia termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras, sehingga sebagian besar energi dan protein yang dikonsumsi oleh masyarakat berasal dari beras dan kurang terdiversifikasi. Untuk memperbaiki pola konsumsi pangan masyarakat dan mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dalam pasal 9 menetapkan bahwa penganekaragaman pangan dilakukan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Hal tersebut dilakukan dengan : 1) meningkatkan keanekaragaman pangan; 2) mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pangan dan 3) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2002 dalam Sudi Mardianto dan Mewa Ariani, 2004).

Simatupang dan Susastra (2004) mengatakan bahwa walaupun cenderung menurun, sistem agribisnis padi masih tetap memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Pertama, beras masih tetap merupakan makanan pokok penduduk sehinga sistem agribisnis padi berperan strategi dalam pemantapan ketahan pangan, baik dalam penyediaan, distribusi maupun akses terhadap beras guna menjamin kecukupan pangan penduduk. Kedua, system agribisnis padi menciptakan lapang kerja dan nilai tambah yang sangat besar karena hingga saat ini usahatani padi masih yang paling dominan dalam sektor pertanian. Ketiga, sistem agribisnis padi sangat instrumental dalam upaya pengentasan kemiskinan.

1203

Peningkatan produksi dan produktivitas padi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal dan nasional yang kecenderungannya terus meningkat sekaligus sebagai upaya untuk mendukung keberlanjutan swasembada beras nasional tahap kedua.

Untuk mendukung keberlanjutan swasembada beras tersebut maka perlu diupayakan peningkatan produksi padi dengan aplikasi teknologi pertanian. Salah satu teknologi diantaranya adalah teknologi pemupukan secara berimbang.

Dengan pemupukan berimbang maka akan terpenuhi kebutuhan hara tanaman baik unsur hara makro maupun mikro. Kebutuhan hara tersebut harus terpenuhi tepat waktu, tepat jumlah dan tepat jenisnya. Untuk menjamin ketepatan jenis pemupukan N maka dapat ditentukan dengan penggunaan BWD.

Petani padi sawah umumnya cenderung menggunakan pupuk N secara berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya. Pemupukan N yang berlebihan selain pemborosan juga dapat menyebabkan tanaman peka terhadap penyakit, mudah rebah, dan rusaknya struktur kimia tanah dan mengganggu kesehatan lingkungan.

Dengan penggunaan BWD dapat diketahui apakah tanaman perlu segera diberi pupuk N atau tidak dan berapa takaran N yang tepat.Pemberian pupuk N berdasarkan pengukuran warna daun dengan BWD dapat menekan biaya pemakaian pupuk sebanyak 15 – 20 % dari takaran yang umum digunakan petani tanpa menurunkan hasil (http;//lampung.litbang.pertanian.go.id). BWD telah didiseminasikan melalui berbagai media dan metode. Salah satu metode diseminasi yang telah digunakan adalah sekolah lapang PTT.

Setelah diseminasi tersebut, bagaimanakah adopsi teknologi tersebut? Adakah korelasi antara karakteristik petani dengan adopsi BWD? Untuk mengetahui hal tersebut, maka telah dilakukan suatu kajian ilmiah untuk mengkaji tingkat adopsi dan menganalisis hubungan karakteristik petani dengan adopsi BWD secara berkelanjutan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode survei Lokasi penelitian di Kab. Gunungkidul,

Bantul, Kulonpropgo dan Sleman. Pemilihan lokasi dilakukan secara terpilih (purposive) yaitu berdasarkan pertimbangan bahwa pelaksanaan demfarm PTT oleh BPTP Yogyakarta pada tahun 2011 dilaksanakan di daerah tersebut. Jumlah responden di srtiap kabupaten sebanyak 30 orang sehingga total responden sebanyak 120 orang petani. Penentuan responden menggunakan metode acak sederhana (simple random).

Analisis data mengggunakan analisis deskriptif (Azwar, 1995) dan analisis korelasi rank spearman dengan formula sebagai berikut (Siegel, 1997):

N 6 ∑ di

2 i=1 rs = 1 - ------------------- N3 - N

Untuk mengetahui tingktat signifikansinya digunakan uji t. Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak, dan t hitung ≤ t tabel maka Ho diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik responden. Karakteristik responden yang diamati antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok dan kepemilikan lahan. Karakteristik responden tersebut dideskripsikan sebagai berikut. a. Umur responden.

Keragaan umur petani terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.

1204

Sumber: Analisis data primer, 2013

Gambar 1. Keragaan umur responden

Gambar 1 menunjukkan sebagian besar petani respondenberumur antara 51 hingga 61 tahun(47 %). Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa masyarakat di pedesaan usia produktif (26-38 tahun) yang bekerja di bidang pertanian sebagai petani kurang dari 10 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa generasi muda di pedesaan kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Hal ini perlu mendapat perhatian semua stake holders dibawah kementerian pertanian, agar menciptakan strategi dan berbagai rekayasa sosial sehingga dapat menarik minat kawula muda agar mau dan mampu berusaha dalam sektor pertanian. b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang berlangsung teratur,bertingkat, dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat dan berlangsung disekolah (Ahmadi dan Ubbiyati, 2001). Pendidikan formal bertujuan untukmengembangkan kualitas sumber daya manusia yang terarah, terpadu, dan menyeluruh. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan kualitas sumberdaya manusia semakin baik. Bagi petani, semakin tinggi tingkat pendidikannya diharapkan akan mempermudah penerimaan terhadap suatu inovasi teknologi.Keragaan tingkat pendidkan petani di DIY dapat dilihat pada gambar 2.

Sumber: Analisis data primer, 2013

Gambar 2. Keragaan tingkat pendidikan petani

Gambar 2 memperlihatkan, tingkat pendidikan petani bervariasi mulai dari tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Petani yang mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar saja 34%, yang tamat SLTP dan SLTA masing masing 28% dan yang berpendidikan perguruan tinggi mencapai 4%.

Dengan banyak petani yang berpendidikan sekolahan dasar, maka pendekatan diseminasi teknologi BWD perlu dilakukan dengan media komunikasi interpersonal disertai demontrasi cara untuk menyakinkan mereka terhadap keunggulan teknologi tersebut. c. Pekerjaan Pokok

Pekerjaan pokok petani responden cukup beragam, namun sebagian besar berprofesi sebagai petani seperti terlihat dalam Gambar 3.

26-38 39-50 51-61 62-73 74-85

7 31 47 31 4

Kisaran umur petani

Persentase

4 34

2 28 28 4

Tkt pendidikan petani

Persentase

1205

Sumber: Analisis data primer, 2013

Gambar 3. Keragaan pekerjaan pokok petani responden

Gambar 3 memperlihatkan 77% responden mempunyai pekerjaan pokok sebagai petani sedangkan yang berprofesi sebagai buruh tani mencapai 6% selebihnya mempunyai pekerjaan pokok diluar sektor pertanian.

d. Kepemilikan lahan sawah Salah satu faktor yang membuat produk pertanian Indonesia sulit bersaing dengan

produk pertanian dari negara lain adalah sempinya luas kepemilikan lahan pertanian oleh petani, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta luas pemilikan lahan pertanian sangat sempit seperti terlihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Keragaan kepemilikan lahan pertanian petani di DIY

Gambar 4 memperlihatkan sebanyak 31 % petani tidak memiliki sawah sehingga

mereka harus menyewa atau menggarap lahan milik orang lain. Sementara 56 % petani memiliki lahan pertanian dengan luasan sangat sempit antara 200 – 2000 m2 dan hanya 2 % petani yang memiliki lahan lebih dari setengah hektar. Hal ini menunjukkan bahwa petani di D.I. Yogyakarta umumnya adalah petani gurem. 2. Pemupukan urea berdasar Bagan Warna Daun (BWD)

Warna daun adalah suatu indikator yang berguna untuk menentukan kebutuhan pupuk N tanaman padi. Daun yang bewarna pucat atau hijau kekuningan menunjukkan bahwa tanaman kekurangan N. Bagan Warna Daun (BWD) adalah suatu alat yang sederhana, mudah digunakan dan tidak mahal, untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. Keragaan petani responden dalam pemupukan urea berdasar Bagan Warna Daun(BWD) di DIY disajikan pada Tabel 1.

Persentase

Persen; Tidak punya sawah; 31

Persen; 200--1000 m2;

34 Persen; >1000--2000

m2; 22 Persen;

>2000--5000 m2; 12 Persen;

>5000; 2

Tidak punya sawah 200--1000 m2

>1000--2000 m2 >2000--5000 m2

>5000

1206

Tabel 1. Keragaan petani dalam pemupukan urea berdasar Bagan Warna Daun (BWD) di DIY

Pemupukan urea berdasarkan BWD

Frekwensi Persentase

YA 35 29,20 Tidak 85 70,80

Jumlah 120 100

Tabel 1 menunjukkan, adopter BWD di DIY hanya 29,20 %; hal ini perlu mendapat perhatian para penyuluh pertanian untuk lebih meningkatkan lagi intensitas penyuluhan tentang BWD dalam penentuan dosis dan waktu pemupukan urea yang tepat dalam usahatani padi. 3. Hubungan Karakteristik Responden dengan Adopsi penggunaan Bagan Warna

Daun (BWD) untuk Penentuan Jumlah pemupukan Urea Analisis korelasi rank Spearman antara variabel karakteristik responden dengan

Adopsi penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) untuk penentuan penggunaan jumlah urea menghasilkan koefisien korelasi, seperti tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 : Koefisien korelasi dan tingkat signifikansi karakteristik responden dengan adopsi penggunaan BWD untuk Penentuan jumlah Urea

Uraian Adopsi BWD untuk Penentuan

Penggunaan Jumlah Urea rs Sig

Karakteristik Responden

Umur 0,180* 0,049 Pendidikan Formal -0,203* 0,029 Jarak rumah ke BPP 0,245** 0,007 Jarak rumah ke lembaga Penelitian

-0,137 0,223

Jarak rumah ke Pasar Kec -0,165 0,074 *= Signifikan 95 % ; ** = Signifikan 99 %

Tabel 2memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan responden berkorelasi negatif dan signifikan dengan Adopsi BWD (r=-0,203*). Maknanya adalah tingkat pendidikan responden berhubungan terbalik dengan Adopsi BWD yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan responden justru semakin rendah dalam mengadopsi BWD. Kondisi ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi tidak dipengaruhi oleh jenjang pendidikan.

Variabel umur dan jarak rumah ke BPP berkorelasi positif dan signifikan dengan koefisien korelasi masing-masing masing masing r= 0,180* dan r= 0,245** dengan tingkat kepercayaan masing-masing 95% dan 99% yang bermakna bahwa semakin tinggi umur semakin tinggi adopsi BWD. Kondisi ini mengindikasikan bahwa umur terkait dengan pengalaman dalam penerapan suatu teknologi, semakin tua semakin tinggi pengalamannya. Sedangkan jarak rumah petani ke BPP yang berpengaruh signifikan menandakan bahwa semakin dekat akses petani terhadap teknologi maka akan semakin tinggi dalam menerapkan teknologi tersebut.

Sedangkan jarak rumah petani ke lembaga penelitian berkorelasi negatif dan tidak signifikan dengan adopsi BWD (r=-0,137). Kondisi mengindikasikan bahwa semakin sulit akses terhadap teknologi maka adopsinya akan rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasar hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwasebagian besar

petanidi DIYbelum mengadopsi penggunaan BWD secara berkelanjutan; tingkat pendidikan

1207

petani berkoelasi negatif dan signifikan dengan adopsi BWD; jarak rumah petani ke BPP berkorelasi positif dan signifikan dengan adopsi sedangkan jarak rumah petani ke lembaga penelitian berkorelasi negatif dan tidak signifikan dengan adopsi BWD.

SARAN Untuk mengatasi rendahnya akses petani terhadap teknologi tersebut(penggunaan

BWD), maka komunikasi hasil-hasil penelitian kepada petani perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2005. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik DIY. Badan Litbang Pertanian, 2003 . Panduan Umum Pelaksanaan Litkaji dan Program 3-Si. Hasil

Litkaji Edisi 2003. Departemen Pertanian. Jakarta Irawan.B., 2004. Dinamika Produktivias dan Kualitas Budidaya Padi Sawah. Ekonomi Padi

dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

KOMPAS, 2004. Lahan Jenuh, Petani Buat Pupuk Organik. Harian KOMPAS edisi Senin, 9

Agustus 2004. Anonimus, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Azwar.s , 2007. Sikap Manusia. Teori dan pengukurannya. Edisi ke 2. Pustaka pelajar Opset.

Yogyakarta BPS, 2005. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik DIY. Irawan.B., 2004. Dinamika Produktivias dan Kualitas Budidaya Padi Sawah. Ekonomi Padi

dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Levis, R.L.1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Citra Aditya Bakti. Bandung Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Bogor. Republika online (20 Juni 2013). Produktivitas Padi DIY Naik Signifikan.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/03/01/miz3fd-

produktivitas-padi-diy-naik-signifikan

Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung Suryana, A dan Utamo Hadi, P. 2001. Dampak Penghapusan Subsidi benih Terhadap

Pengadaan Benih Nasional. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Rogers, E.M dan Shoemakers, F.F. 1971. Communication of Inovation. A Cross Cultural Approach. 2ed.

Rogers. E.M.1983. Diffusion of Inovation. 3ed. Collier Macmillan Publishing Co.Inc.New York. Siegel. S., 1994 Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT. Gramedia. Jakarta Singarimbun, M. dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Yogyakarta. Koes Sulistiaji balai Besar Pengembangan Mesin Pertanian Balitbang, 2007. Buku Alat dan

Mesin(Alsin)Panen dan perontokan padi di Indonesia. Sudi Mardianto Dan Mewa Ariani, 2004. Kebijakan Proteksi Dan Promosi Komoditas Beras Di

Asia Dan Prospek Pengembangannya Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 340-353

1208

PREFERENSI PETANI TERHADAP CABAI RAWIT EKSISTING DI GORONTALO

Nanang Buri, Ari Widya Handayani, dan Muhammad Yusuf Antu

BPTP Gorontalo

Jl. Muh. Van Gobel No.270 Iloheluma Kec. Tilong Kabila, Kab. Bone Bolango, Gorontalo 96183

ABSTRAK

Tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme Gorontalo. Kajian dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015 di Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan melibatkan 25 orang petani sebagai responden. Analisis preferensi petani terhadap varietas cabai rawit diukur menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA), dengan variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga, penampilan, umur panen, proses budidaya, dan memperoleh benih. Varietas yang diukur tingkat preferensinya adalah varietas cabai rawit lokal Malita FM, varietas cabai rawit hibrida Dewata dan Sret. Hasil kajian menunjukkan bahwa karakteristik petani khususnya pengalaman dan usia sangat menentukan tingkat preferensi. Selanjutnya hasil analisis bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai rawit Dewata dibanding dengan varietas Malita FM dan Sret. Varietas dewata berada pada posisi mendekati ketiga variabel utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen, sehingga varietas tersebut dijadikan varietas rekomendasi. Kata kunci: Cabai rawit, preferensi, petani

PENDAHULUAN

Disadari bahwa cabai merupakan penyumbang inflasi, karena pada waktu-waktu

tertentu khususnya pada musim hujan, produksi cabai kurang baik. Hal ini yang menjadi penyebab produksinya pada bulan tertentu kurang dari kebutuhan atau konsumsi, sehingga berdampak pada kenaikan harga. Selain itu menurunnya harga disebabkan panen raya hanya pada musim tertentu. Menurut Sutardi (2014) cabai rawit dan cabai merah memberikan andil inflasi sebesar 0.02% - 0.03% dan 0.08% - 0.1%. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia yang suka cabai segar, sehingga menyebabkan harga menjadi tinggi. Disisi lain secara nasional produk cabai tidak bisa masuk industri di Indonesia karena kualitasnya rendah. Kualitas rendah ini tidak lepas dari soal pemupukan dan pestisida.

Tingginya permintaan akan cabai rawit khususnya di Gorontalo menjadi pendorong bagi petani untuk mengusahakan atau berbudidaya cabai rawit sesuai dengan keinginan dan preferensi konsumen dipasaran. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lim et al.,(2013), dalam merencanakan sebuah produk harus berorientasi pada konsumen dan pasar. Permintaan pasar yang menjadi dasar petani untuk menentukan varietas yang akan dibudidayakan yaitu cabai rawit yang sangat pedas, seperti halnya cabai rawit lokal yang terkesan sangat pedas. Selain itu preferensi lainnya adalah cabai rawit yang dapat menjangkau pasar, karena daya simpannya yang lama pada suhu ruang serta harga yang optimal.

Menurut Fachrista et al., (2012), preferensi merupakan minat dan keinginan yang ditunjukkan oleh konsumen atau petani terhadap kombinasi atribut –atribut suatu produk yang baru maupun lama yang paling disukai. Sedangkan menurut Sanjur (1982),preferensi konsumen adalah derajat kesukaan atau tidak suka seseorang terhadap suatu produk, selain itu preferensi yang dilakukan masyarakat terhadap suatu produk lebih dikenal dengan sebutan preferensi konsumen. Selai itu terkait preferensi, dimana tekanan konsumen dapat

1209

secara implisit terdapat dalam permintaan varietas tanaman yang hasilnya tinggi, mutu prima, aman dikonsumsi yang akan berdampak pada akselerasi diseminasi (Adiyoga, 2011).

Berdasarkan permasalahan, kegiatan kajian dilakukan sebagai upaya untuk mengungkapkan preferensi petani terhadap cabai rawit yang dibutuhkan konsumen dan pasar. Sehingga upaya tersebut akan menjadi langkah selanjutnya petani untuk merencanakan penerapan dan kontinuitas budidaya, khususnya penggunaan varietas cabai rawit eksisting. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme Gorontalo.

METODOLOGI

Kajian dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015 di Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Lokasi tersebut merupakan wilayah kawasan pengembangan hortikultura provinsi Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan melibatkan 25 orang petani sebagai responden. Varietas yang diamati preferensinya adalah varietas lokal Malita FM, Hibrida, Dewata dan Sret. Analisis data dilakukan melalui wawancara dengan petani yang menggunakan kuesioner. Preferensi petani terhadap varietas cabai rawit diukur menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) pada perangkat lunak MINITAB ver. 16. Variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga,penampilan, umur panen, proses budidaya, dan memperoleh benih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani dan Deskripsi Varietas Cabai Rawit Tabel 1. Karakteristik petani

Karakteristik Responden (n=25) Jumlah (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Perempuan 9 36 Laki-laki 16 64 Umur 18-39 Tahun 15 40 40-60 Tahun 10 60 Pengalaman 6-12 bulan 2 8 13-24 bulan 23 92

Data menunjukkan bahwa preferensi terhadap varietas cabai rawit tidak

dihubungkan dengan tingkat jenis kelamin petani, karena petani baik perempuan maupun laki-laki dapat menilai dan mengukur tingkat kesukaannya terhadap cabai rawit baik yang dibudidayakan maupun yang dikonsumsinya. Selain itu terkait dengan pengalaman dalam berusahatani cabai rawit rata-rata + 6 bulan. Pengalaman petani berhubungan dengan usia petani, karena semakin lama petani dalam berusahatani, maka semakin meningkat pula pengalaman dalam budidaya yang menjadi usahanya. Pengalaman usaha tani berpengaruh terhadap daya respon, tanggapan, penerimaan petani terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada petani (Novia, 2011). Menurut Hendarini (2011) preferensi dipengaruhi oleh umur, dimana preferensi anak-anak akan sangat berbeda dengan orang dewasa, kemudian pereferensi juga dipengaruhi oleh waktu dan kondisi produk yang disediakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa deskripsi varietas yang menjadi informasi produk merupakan suatu atribut untuk dipertimbangkan petani untuk mengetahui potensi hasil cabai rawit dan umur panennya, karena atribut tersebut salah satu yang akan menjadi dasar petani untuk melakukan budidaya. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sesuai deskripsi, varietas Sret produksinya lebih tinggi dibanding dengan varietas cabai rawit Dewata dan Malita FM, namun pada kenyataannya sesuai preferensi petani lebih memilih cabai rawit Dewata karena faktor umur panen, sedangkan untuk cabai rawit Malita FM lebih

1210

unggul pada tingkat kepedasannya. Menurut Basuki et al., (2014) petani enggan mengadopsi varietas apabila belum mengetahui secara jelas informasi keunggulan suatu varietas, sehingga perlu adanya bukti-bukti baik penampilan dan preferensi harga. Tabel 2. Deskripsi Varietas Cabai Rawit

Komponen Dewata Sret Malita FM Umur panen 65 HST 90 -100 HST 120 HST Produksi + 700 gr/tanaman 1kg/tanaman 8 – 15 ton/ha

Preferensi Petani Terhadap Visual Cabai Rawit

Cabai rawit merupakan sayuran khas yang digemari masyarakat di Gorontalo karena kepedasannya. Alasan tersebut menjadi kriteria utama dalam memilih cabai rawit, namun bukan hanya kepedasan melainkan juga ukuran cabai rawit dan umur berbuah (Gambar 1). Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa ukuran cabai rawit yang kecil menjadi pilihan pasar (pedagang dan konsumen), dengan alasan bahwa cabai rawit kecil jumlah per buahnya akan menjadi banyak dalam volume satu kilo gram, sehingga ketika dijual dalam bentuk eceran akan terlihat banyak. Faktor tersebut yang menjadi pertimbangan petani untuk menentukan cabai rawit berdasarkan ukurannya. Sementara itu untuk kriteria umur berbuah, petani lebih menyukai cabai rawit yang umur berbuahnya genjah (umur panen + 60 hari), alasannya petani dapat mengejar harga pasar yang sesuai, selain itu umur cabai rawit yang genjah dapat menjaga kestabilan harga dan ketersediaan cabai rawit di pasaran. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa keputusan petani dalam memilih varietas cabai rawit dipengaruhi oleh penampilan (warna dan ukuran), umur panen, proses budidaya hingga harga.

Gambar 1. Preferensi petani terhadap cabai rawit

Analisis Preferensi Pada Gambar 2 menunjukkan hasil analisis preferensi petani terhadap cabai rawit menggunakan analisis PCA, didapatkan bahwa komponen utama mampu menjelaskan keragaman sebesar 100%, dengan komponen pertama sebesar 84.4% dan komponen kedua sebesar 15.6%. Pada Gambar 2, menunjukkan bahwa tingkat preferensi petani terhadap varietas cabai rawit ditentukan oleh tiga kelompok preferensi yaitu (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen. Kelompok preferensi tersebut pada dasarnya diharapkan menyatu, dimana vektornya menjadi satu atau saling berdekatan. Sementara dalam kenyataannya petani memberikan penilaian yang berbeda terhadap cabai rawit yang disukai, misalnya untuk cabai rawit Malita FM dimana

1211

harga, proses budidaya dan preferensi visual disukai. Namun untuk umur panen dan mendapatkan benih bersertifikat vektornya berbanding terbalik atau berkorelasi negatif dengan preferensi lainnya. Selain itu untuk cabai rawit Sret menjauh dari semua vektor preferensi, sehingga varietas tersebut sulit untuk direkomendasi dan dikembangkan petani. Hal ini berbeda dengan varietas cabai rawit Dewata, varietas tersebut meskipun korelasinya lemah dengan kelompok atau vektor preferensi satu, akan tetapi sangat dekat dengan umur panen, artinya petani dapat mengejar waktu panen meskipun harganya Rp. 45.000 – Rp.55.000 per kg dibawah dari cabai rawit Malita FM sebesar Rp. 85.000 – Rp. 100.000 per kg. Berdasarkan pengamatan bahwa umur panen cabai rawit Malita FM sekitar 4 - 5 bulan, sedangkan untuk cabai rawit Dewata umur panennya + 2 bulan. Hal ini yang menjadi daya tarik petani memilih cabai rawit dewata untuk dikembangkan sebagai usahataninya.

Gambar 2. Analisis komponen Utama Petani Terhadap Preferensi Cabai Rawit

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai rawit dewata dibanding dengan varietas malita FM dan sret. Varietas dewata berada pada posisi tidak menjauh dari ketiga varieabel utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen , sehingga varietas tersebut dapat dijadikan varietas rekomendasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada saudara Ibrahim Laita dan Nurul Aisyah yang telah membantu peneliti dalam mengoleksi data di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. 2011, Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku dan Keputusan Konsumen untuk Membeli Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah. J. Hort. (21) 3: 280-94.

Basuki, RS., Arshanti, IW., Zamzani, L., Khaririyatun, N., Kusandriani, Y., Luthfy. 2014. Studi Adopsi Cabai Merah Varietas Tanjung-2 Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. J. Hort. (24) 4: 355-362.

3210-1-2-3

1.5

1.0

0.5

0.0

-0.5

-1.0

First Component (84,4%)

Seco

nd C

om

ponent

(15,6

%)

Umur Panen

Harga

Memperoleh Benih

Proses Budidaya

Ukuran

Penampilan

Warna KuningWarna Merah

Dewat

a

Sre

t

Malita

FM

1212

Fachrista, IA, Issukindarsyah., Rusmawan, D., Dewi, HA. 2012. Preferensi Petani Kabupaten Bangka Selatan Terhadap Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah. Artikel Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energy Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.

Hendarini A.T. 2011. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Kesehatan dan Pengembangan Produk Minuman Fungsional dari Ekstrak Daun Hantap (Sterculia oblongata r.brown). [Tesis] Pasca Sarjana IPB: 96 hlm

Lim, JH., Seo, JY., Shim, MS. 2013. Characteristics that Affect Japanese Consumer Preference for Chrysanthemum, Korean Journal of Hort. Sci. & Tech. (31) 5: 640-6477. DalamNurmalinda dan Hayati, NQ. 2014. Preferensi Konsumen Terhadap Krisan Bunga Potong dan Pot. J. Hort. (24) 4: 363-372.

Novia, R. A. 2011. Respon Petani Terhadap Kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol. 7 No. 2: 48-60

Sanjur, D. 1982. Social and Culture Perspective in Nutrition: Prentice Hall, New York

Sutradi D. 2014. pemerintah kesulitan stabilkan produksi cabai. [internet]. [diakses tanggal 31 Januari 2015 tersedia dari http://radarpena.com/read/2014/04/23/10797/18/1/pemerintah-kesulitan- stabilkan-produksi-cabai.

1213

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARIDI KABUPATEN SUMEDANG

Siti Lia Mulijanti, dan Nurnayetti

BPTP Jawa Barat

ABSTRAK Pengembangan kawasan rumah pangan lestari mengalami hambatan sesuai dengan dukungan Sumberdaya manusia dan kondisi agroekosistem masing-masing lokasi. Tujuan pengkajian ini untuk identifikasi masalah, potensi, peluang dan ancaman pengembangan Kawasan Rumah Pagan Lestari (KRPL). Pengkajian dilakukan di lahan petani dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA), dilanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD). Selanjutnya diambil 23 responden anggota KWT Kuncup Mekar dan 18 responden anggota KWT Hanjuang. Data primer yang dikumpulkan terdiri atas data masalah, potensi, peluang dan ancaman pengembangan KRPL. Data sekunder dari Dinas Instansi terkait. Data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan metode SWOT. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan KRPL mengalami kendala kurangnya pengetahuan anggota KWT dalam budidaya sayuran di lahan pekarangan, kinerja pengelola Kebun Bibit Desa (KBD), penyediaan media tanam, dan sarana pertanian serta motivasi anggota KWT dalam memelihara KBD dan RPL. Sehingga pengembangan KRPL memerlukan pendampingan dalam hal peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam budidaya sayuran di lahan pekarangan, peningkatan kinerja organisasi KWT khususnya dalam mengelola KBD, penentuan komoditas komersil yang bernilai ekonomi sehingga dapat menambah pendapatan anggota KWT. Kata Kunci: KRPL, masalah, potensi, peluang

PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan merupakan salah satu faktor

penentu kualitas sumberdaya manusia (SDM). Ketahanan pangan nasional akan terwujud apabila secara mikro pangan dapat terjangkau secara langsung oleh rumah tangga atau masyarakat (Nainggolam, 2006). Rumah tangga petani di pedesaan berperan dalam menyelenggarakan, menyediakan, memperdagangkan dan mendistribusikan pangan serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.

Perhatian petani terhadap pemanfaatan lahan pekarangan masih terbatas sehingga pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman pangan, hortikultura, ternak, ikan, tanaman obat keluarga (toga) dan lainnya selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga, juga berpeluang menambah penghasilan rumah tangga apabila dirancang dan direncanalan dengan baik (Badan Litbang Pertanian, 2011a),

Kementerian Pertanian telah mengembangkan suatu konsep pemanfaatan lahan pekarangan dengan sebutan Kawasan Rumah Panga Lestari. Kawasan dapat merupakan RT, RW dusun atau Desa yang memiliki Rumah Pangan Lestari. Rumah Pangan Lestari adalah rumah yang pekarangannya dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan mengacu empat prinsip, yaitu : (1) ketahanan dan kemandirian pangan, (2) diversifikasi pangan berbasis sumber pangan lokal, (3) konservasi sumberdaya genetik, dan (4) upaya lestari melalui kebun bibit desa, menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani/masyarakat (Badan Litbang Pertanian, 2011b). Kemandirian pangan nasional dimulai dari kemandirian pangan keluarga. Wanita sebagai salah satu pilar utama dalam menyediakan pangan keluarga memiliki andil yang besar. Wanita tani sebagai target kunci dalam usaha-usaha untuk menangani persoalan ketersediaan pangan (FAO, 2009)

Program kegiatan yang telah didukung oleh kebijakan pemerintah baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Presiden dalam pelaksanaanya dilapangan diharapkan dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan program kegiatan. Pada kenyataannya tidak

1214

seluruh program kegiatan tersebut dapat diterapkan secara berkelanjutan. Makalah ini membahas masalah, potensi, peluang penerapan program KRPL di dua desa lokasi pendampingan KRPL di Kabupaten Sumedang.

METODE Kegiatan ini dilakukan di KWT Kuncup Mekar Desa Sukarapih Kecamatan Sukasari

dan di KWT Hanjuang Desa Kadakajaya. Metode pengkajian dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif, yaitu 1) di lahan petani, 2) adanya partisipasi aktif petani sebagai pemangku kepentingan, 3) bertujuan memecahkan masalah, 4)pendektan maslah dilakukan ecara interdisiplin, 5) memanfaatkan informasi dan teknologi yang tersedia, 6) teknologi yang dihasilkan dapat diadopsi pengguna, dan 7) menempatkan petani sebagai subjek dan mitra (Ishaq, et al 1997)

Pengumpulan data masalah, potensi, peluang pengembangan KRPL dilaksanakan dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Focus Group Discussion (FGD). Data primer diperoleh dengan metode wawancara dan diskusi mendalam (indepth interview) mengenai masalah, potensi dan peluang pengembangan KRPL. Data sekunder diperoleh dari Dinas instansi terkait. Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk memberi gambaran mengenai situasi, masalah, potensi, peluang dan implikasi suatu masalah yang akan dibahas da dibuat alternatif strategi dalam mengatasi permasalahan dengan analisis SWOT.

HASIL DAN PEBAHASAN KRPL Desa Sukarapih

KWT Kuncup Mekar di Desa sukasari merupakan kelompok wanita tani yang telah memiliki kegiatan kelompok utamanya dalam pengolahan hasil seperti pembuatan dendeng roll ikan, kerupuk tulang ikan, kicimpring, dan olahan dari singkong lainnya. Anngota kelompok memiliki dasar kesamaan, kepentingan, kesamaan kondisi dan lingkungan sosial ekonomi dan sumberdaya serta keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota (Departemen Pertanian, 2009)

Prioritas masalah disusun berdasarkan besar kecilnya pengaruh masalah terhadap pendapatan petani. Prioritas masalah KWT Kuncup Mekar dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa masalah utama di KWT Kuncup Mekar adalah pengetahuan dan ketrampilan budidaya sayuran di lahan pekarangan masih rendah, belum memiliki sumber bibit (KBD), sarana usahatani terbatas, lahan pekarangan terbatas.

Strategi penanganan masalah dapat diperoleh berdasarkan kekuatan yang dimiliki KWT guna memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman, dapat pula diperoleh dengan menggunakan peluang dan menghindari ancaman dengan memperhatikan adanya kelemahan di KWT.

Beberapa teknologi budidaya hemat lahan dengan teknik vertikultur untuk budidaya sayuran dalam polibag dapat diintroduksikan di KWT Kuncup Mekar khususnya yang memiliki lahan sempit. Sehingga optimlasasi lahan pekarangan dapat diterapkan. Pada salah satu lahan pengurus telah dibuat KBD sebagai sumber bibit.

1215

Tabel 1. Prioritas Masalah KWT Kuncup Mekar No Masalah Pengaruhnya terhadap

pendapatan petani Urutan

Prioritas 1 Pengetahuan dan ketrampilan petani masih

rendah Besar 1

2 Belum memiliki sumber bibit (KBD) Besar 2 3 Sarana usahatani terbatas Besar 3 4 Lahan pekarangan terbatas Besar 4 5 Sumber informasi terbatas Sedang 5

Analisa sumber masalah pada KWT Kuncup Mekar yang telah teridentifikasi

dilakukan dengan prinsip triagulasi yaitu ditempuh melalui pemeriksaan silang informasi (cross-check) dan konfirmasi (re-check) yang dilakukan melalui pelaksanaan diskusi saat RRA dan peninjauan langsung kondisi agroekosistem dan lembaga agribisnis yang ada. Cross chech dan re check informasi sangat penting agar informasi tentang masalah yang dikumpulkan dalam RRA lebih lengkap. Analisis sumber masalah KWT Kuncup Mekar telah disusun berdasarkan proritas dan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Analisis Sumber Masalah KWT Kuncup Mekar No Masalah Sumber Masalah 1 Pengetahuan dan ketrampilan petani masih

rendah Kurangnya pembinaan terhadap KWT

2 Belum memiliki sumber bibit (KBD) Belum menyadari perlunya KBD 3 Sarana usahatani terbatas Keterbatasan modal 4 Lahan pekarangan terbatas Keterbatasan aset rumah tangga tani 5 Sumber informasi terbatas Kurangnya fasilitas sumber informasi

Tabel 3. Analisis Swot

Kekuatan (Strengths) Pengurus dan Anggota

KWT aktif Kegiatan pertemuan KWT

diikuti arisan KWT Domisili berdekatan,

sehingga memudahkan koordinasi

Ketersediaan air terjamin Memiliki lahan dan lokasi

yang strategis untuk KBD

Kelemahan (Weakness) Pengetahuan budidaya

sayuran dilahan pekarangan masih terbatas.

Belum memilki KBD Peralatan usahatani

terbatas Variasi pengolahan

usahatani terbatas Modal terbatas

Peluang (Opportunities) Adanya dukungan program KRPL Tersedia lahan pekarangan yang

belum dimanfaatkan Tersedia teknologi untuk

penyediaan bibit tanaman Tersedia teknologi untuk

pemanfaatan berbagai skala luas lahan

S - O Peningkatan pengetahuan

petani melalui kegiatan pertemuan KWT

Pengelolaan KBD sebagai oleh seluruh anggota KWT melalui organisasi pengelola KBD

Penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan berbagai strata luas lahan

W – O Pembinaan pengetahuan

petani melalui program KRPL

Pembuatan KBD Fasilitasi sarana usahatani

melalui program KRPL Pembinaan pasca panen Pemupukan modal KWT

dengan fasilitas program KRPL

Ancaman (Threats) Kontinuitas hasil panen terbatas

S – T Penentuan komoditas

W – T Peningkatan kualitas hasil

1216

Persaingan dari lahan usahatani yang luas

Tingkat kesuburan lahan beragam

komersil Pengaturan waktu tanam

di polibag

pengolahan sesuai permintaan pasar

Berdasarkan analisis SWOT (tabel 3) maka dapat disimpulkan bahwa strategi penanganan masalah yang dapat dilakukan di KWT Kuncup Mekar adalah : Peningkatan pengetahuan petani melalui kegiatan pertemuan KWT, pembuatan dan pengelolaan KBD oleh seluruh anggota KWT melalui organisasi pengelola KBD, penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan berbagai strata luas lahan, fasilitasi sarana usahatani melalui program KRPL, penentuan komoditas komersil dan pengaturan waktu tanam di polibag. Tabel 4. Strategi Penanganan Masalah KWT Kuncup Mekar No Strategi Kebijakan Kegiatan 1 Meningkatkan pengetahuan

anggota Pembinaan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam mengelola lahan pekarangan

- Pelatihan budidaya - Pelatihan pembuatan

pupuk organik dan media tanam

- Pelatihan pemberantasan hama penyakit

- Pelatihan panen dan pasca panen

2 Inisiasi sarana dan prasarana usahatani

Fasilitasi sarana dan prasarana usahatani untuk kesinambungan usaha dan penguatan modal kelompok

- Pembuatan KBD - Bantuan benih dan

bibit - Bantuan tempat

penamanam (polibag, rak vertikultur, dll)

3 Penentuan komoditas komersil

Kontinuitas dan kualitas hasil panen untuk dijual

- Pembinaan organisasi pengelola KBD

- Musyawarah penentuan komoditas dominan

- Musyawarah penentuan waktu semai dan tanam komoditas dominan

4 Penerapan teknologi cara tanam

Inovasi teknologi sesuai strata luas lahan yang dimilki

- Pembuatan paranggong

- Pembuatan vertikultur - Pemakaian mulsa

plastik 5 Pembinaan Kader RPL Pengembangan RPL dalam

mewujudkan KRPL - Penyusunan waktu,

narasumber dan materi pembinaan kader RPL

- Pelaksanaan pembinaan Kader RPL

- Pengembangan RPL di lokasi Kader RPL

KRPL Desa Kadakajaya

KWT Hanjuang merupakan KWT yang berasal dari kegiatan tabungan hari raya (THR). Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga tidak terlepas dari kemampuan ekonomi keluarga. Diantara anggota keluarga yang produktif untuk menambah pendapatan adalah

1217

para istri (Sugeng, H, 2008). Anggota KWT menyimpan uang setiap bulannya untuk dicairkan pada hari raya. Kegiatan ini menarik minat anggota yang bertujuan menyimpan uang untuk keperluan hari raya. Kegiatan wanita pada budidaya pertanian jarang dilakukan secara berkelompok karena masing-masing memiliki mata pencaharia umumnya sebagai buruh tani. Tabel 1. Prioritas Masalah KWT Hanjuang No Masalah Pengaruhnya terhadap

pendapatan petani Urutan

Prioritas 1 Pengetahuan dan ketrampilan petani masih

rendah Besar 1

2 Anggota kurang aktif Besar 2 3 Belum memiliki sumber bibit (KBD) Besar 3 4 Sarana usahatani terbatas Besar 4 5 Sumber air terbatas sedang 5 6 Sumber informasi terbatas sedang 6

Prioritas masalah disusun berdasarkan besar kecilnya pengaruh masalah terhadap

pendapatan petani. Prioritas masalah KWT Hanjuang dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa masalah utama di KWT Hanjuang adalah pengetahuan dan ketrampilan budidaya sayuran di lahan pekarangan masih rendah, belum memiliki sumber bibit (KBD), sarana usahatani terbatas, lahan pekarangan terbatas. Masalah dalam kelompok dapat diatasi dengan adanya kebersamaan yang merupaakn modal sosial dalam bentuk kemampuan untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama didalam berbagai kelompok dan organisasi (Fukuyama, 2007). Kebersamaan dibetuk dalam mendukung pembangunan KBD untuk kepentingan bersama, mengatasi keterbatasan sumber bibit da sarana prasarana yang diperlukan untuk mengebangkan KRPL. Tabel 2. Analisis Sumber Masalah KWT Kuncup Mekar No Masalah Sumber Masalah 1 Pengetahuan dan ketrampilan petani masih

rendah Kurangnya pembinaan terhadap KWT

2 Anggota kurang aktif Belum merasakan manfaat berkelompok

2 Belum memiliki sumber bibit (KBD) Belum menyadari perlunya KBD 3 Sarana usahatani terbatas Keterbatasan modal 4 Sumber air terbatas di musim kemarau Lokasi pada lahan dataran tinggi 5 Lahan pekarangan terbatas Keterbatasan aset rumah tangga

tani 6 Sumber informasi terbatas Kurangnya fasilitas sumber

informasi

Analisa sumber masalah pada KWT Hanjuang yang telah teridentifikasi dilakukan dengan prinsip triagulasi yaitu ditempuh melalui pemeriksaan silang informasi (cross-check) dan konfirmasi (re-check) yang dilakukan melalui pelaksanaan diskusi saat RRA dan peninjauan langsung kondisi agroekosistem dan lembaga agribisnis yang ada. Cross check dan re check informasi sangat penting agar informasi tentang masalah yang dikumpulkan dalam RRA lebih lengkap. Analisis sumber masalah KWT Hanjuang telah disusun berdasarkan proritas dan dapat dilihat pada tabel 2.

1218

Tabel 3. Analisis SWOT Kekuatan (Strengths)

Domisili berdekatan, sehingga memudahkan koordinasi

Mata pencaharian sebagia besar anggota sebagai buruh tani

Memiliki lahan dan lokasi yang strategis untuk KBD

Kelemahan (Weakness) Anggota KWT kurang aktif

Belum memilki KBD

Peralatan usahatani terbatas

Belum memiliki usaha pengolahan hasil

Sumber air terbatas di MK

Modal terbatas

Peluang (Opportunities) Adanya dukungan

program KRPL

Tersedia lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan

Tersedia teknologi untuk penyediaan bibit tanaman

Tersedia teknologi untuk pemanfaatan berbagai skala luas lahan

S - O Peningkatan pengetahuan

petani melalui kegiatan pertemuan KWT

Pengelolaan KBD sebagai oleh seluruh anggota KWT melalui organisasi pengelola KBD

Penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan berbagai strata luas lahan

W – O Pembinaan kinerja KWT

melalui kegiatan KRPL

Pembuatan KBD

Fasilitasi sarana usahatani melalui program KRPL

Pembinaan pengolahan pangan

Pemupukan modal KWT dengan fasilitas program KRPL

Ancaman (Threats) Kontinuitas hasil panen

terbatas

Persaingan dari lahan usahatani yang luas

Keterbatasan waktu sebagai buruh tani

S – T Penentuan komoditas

komersil

Pengaturan waktu tanam di polibag

W – T Penanaman komoditas

pangan tahan kekeringan di MK

Strategi penanganan masalah dapat diperoleh berdasarkan kekuatan yang dimiliki

KWT guna memanfaatkan peluang dan engatasi ancaman, dapat pula diperoleh dengan menggunakan peluang dan menghindari ancaman dengan memperhatikan adanya kelemahan KWT.

1219

Tabel 4. Strategi Penanganan Masalah KWT Hajuang No Stategi Kebijakan Kegiatan 1 Meningkatkan pengetahuan

anggota Pembinaan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam mengelola lahan pekarangan

- Pelatihan budidaya

- Pelatihan pembuatan pupuk organik dan media tanam

- Pelatihan pemberantasan hama penyakit

- Peningkatan pengetahuan komoditas tahan kekeringan

2 Inisiasi sarana dan

prasarana usahatani Fasilitasi sarana dan prasarana usahatani untuk kesinambungan usaha dan penguatan modal kelompok

- Pembuatan KBD

- Bantuan benih dan bibit

- Bantuan tempat penamanam (polibag, rak vertikultur, dll)

- Bantuan sarana penampung air

3 Penentuan komoditas komersil

Kontinuitas dan kualitas hasil panen untuk dijual

- Pembinaan organisasi pengelola KBD

- Musyawarah penentuan komoditas dominan

- Musyawarah penentuan waktu semai dan tanam komoditas dominan

4 Penerapan teknologi cara tanam

Inovasi teknologi sesuai strata luas lahan yang dimilki

- Pembuatan paranggong

- Pembuatan vertikultur

- Pemakaian mulsa plastik

Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat diketahui pengembangan KRPL

dilakukan secara menyeluruh mulai dari pembinaan sumberdaya manusia untuk meningkatkan pengetahuannya, inisiasi sarana dan prasaraana usahatani, penentuan komoditas dan penerapan teknologi. Semua ini dapat dilakukan dalam satu wadah kelompok wanita tani. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari harus dilaksanakan dengan penerapan yang yang teapt melalui pembentukan kelompok, identifikasi kebutuhan,

1220

penyusunan rencana kegiatan, penyelenggaraan pelatihan, pembuatan kebun bibt dan penatan lingkungan kawasan (Wedhany dan Gunawanm 2012).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Startegi penanganan masalah untuk KRPL KWT Kuncup Mekar adalah Peningkatan

pengetahuan petani melalui kegiatan pertemuan KWT, pembuatan dan pengelolaan KBD sebagai sumber bibit oleh seluruh anggota KWT melalui organisasi pengelola KBD, dan penerapan teknologi budidaya di lahan pekarangan pada berbagai strata luas lahan, penentuan komoditas komersil, fasilitasi sarana usahatani melalui program KRPL, pembinaan pasca panen dan pemupukan modal KWT dengan fasilitas program KRPL,

2. Strategi penanganan masalah untuk KRPL KWT Hanjuang adalah Pembinaan kinerja kWT melalui kegiatan KRPL, pembuatan dan pengelolaan KBD sebagai oleh seluruh anggota KWT melalui organisasi pengelola KBD, penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan berbagai strata luas lahan, Fasilitasi sarana usahatani melalui program KRPL, Pemupukan modal KWT dengan fasilitas program KRPL, Penentuan komoditas komersil pengaturan waktu tanam di polibag dan penanaman komoditas pangan tahan kekeringan di MK.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., Departemen Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagan Petani.

Badan Litbang Pertanian, 2011a. Naskah akademik Pelaksanaan Program Diversifikasi Pangan Lingkup Badan Litbang Pertanian

Badan Litbang Pertanian , 2011b. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian.

FAO, 2009. Declaration of World Summit on Food Security. World Sumit on Food Security. Rome. Acces on line http://www .FAO.org /fileadmin /template /wsfs/ summit /occs/finaldeclaration/wsforg_declaration.pdf.

Fukuyama, F. 2007. Trust, Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemkmuran. Penerjemah : Ruslani; Terjemahan : Trust. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Penerbit Qalanm, Yogjakarta.

Ishaq., I, A. Supriiatna, dan R.D. Andayani, 1997. Pemahaman Konsep Penelitian dan Pengkajian Sistem Usahatani Spesifik Lokasi dengan pendekatan On Farm Participatory Research (OFPR). Makalah Seminar Ilmiah Berkala BPTP Lembang; InP2TP Bojonegoro Serang.

Nainggolan K. 2010. Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. Tarubudaya dalam Agribisnis Vol. 1 (3) : 14-15. BBMKP Provinsi Jawa Tengah. Semarang

Sugeng. H., 2008. Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendpatan Rumah Tangga Miskin, Studi Kasus pada Wanita Pemecah Batu di Puncanaganak Kecamatan Tugu Trenggalek. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9, No. 2. Desember 2008.

Werdhany, W.I. dan Gunawan. 2012. Teknik Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari di Daerah Istmewa Yogjakarta. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 16 (2): 76-83

1221

PENGKAJIAN KELANGKAAN TENAGA KERJA DAN KONTRIBUSI MEKANISASI PERTANIAN PADA USAHATANI PADI DI JAWA

TIMUR

Tri Sudaryono1) dan Nugroho Pangarso2)

1) Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

2)Penyuluh Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRAK

Sampai saat ini, pelaku/pekerja di sektor budidaya padi, masih didominasi petani tua, sementara pelaku berusia produktif minim. Kondisi tersebut dapat mengancam keserentakan waktu tanam, produktivitas dan susut panen yang pada akhirnya mengancam swasembada beras. Salah satu strategi agar terhindar dari ancaman tersebut adalah dengan intervensi mekanisasi pertanian khususnya untuk alat tanam dan panen padi, sekaligus menarik minat pemuda terjun kesawah. Untuk mengetahui kontribusi dan opsi kebijakan mekanisasi pada sektor budidaya padi, maka telah dilakukan pengkajian di 9 kabupaten di Jatim (Juni-Oktober 2015), dengan responden petani, bengkel, penjual jasa dan pengusaha Alsin. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa ada beberapa jenis transplanter yang secara nyata dapat mempercepat waktu tanam, mengurangi biaya tanam, serta combine harvester yang dapat mengurangi biaya panen, meningkatkan harga gabah serta mengurangi susut panen. Jenis/merk Alsin yang berada di lapangan sangat banyak dan mempunyai kinerja yang bermacam-macam, sehingga diperlukan rumusan kebijakan dari pemerintah yang mengatur pemanfaatan, penggunaan dan produksi Alsin. Opsi kebijakan yang sesuai antara lain sebagai berikut : (1) Pemerintah menguji dan merekomendasi jenis Alsin yang dapat dioperasionalkan, bermanfaat, menguntungkan dan menunjang swasembada, (2) Pemerintah membina pabrikan Alsin, (3) Sebelum Alsin dibantukan, terlebih dahulu dilatih tenaga teknis mesin dan tenaga operatornya, (4) Bantuan Alsin seyogyanya satu paket dengan tenaga pendampingnya, (5) Demplot Alsin yang dilakukan pemerintah harus “berhasil”, untuk meyakinkan petani, (6) Pemerintah hendaknya memfasilitasi suku cadang dan kredit Alsin, (7) Belum semua wilayah siap menerima Alsin, pemerintah daerah perlu melakukan pendekatan aktif pada masyarakat, (8) Perlu pengkajian cara tanam spesifik lokasi sesuai Alsin, (9) Petani memerlukan Alsin multiguna (untuk padi dan palawija), sehingga dapat dioperasionalkan maksimal (satu tahun penuh), (10) Pemerintah membina kelembagaan petani pemanfaat Alsin, sehingga kelembagaan dan Alsin lebih berdaya guna Kata Kunci: Kontribusi, Mekanisasi Pertanian, Opsi Kebijakan

PENDAHULUAN

Usaha pemerintah provinsi Jatim untuk mewujudkan program swasembada beras

selalu dibayang-bayangi oleh berbagai kendala saat ini, antara lain: (i) menurunnya luas lahan pertanian (alih fungsi); (ii) ancaman perubahan iklim global; (iii) terbatasnya air irigasi dan rusaknya sebagian sistem pengairan; (iv) serangan OPT penting dan susut panen padi; (v) kelangkaan tenaga kerja di sektor budidaya dan (vi) menurunnya minat generasi muda pada usaha sektor pertanian. Hingga saat ini, pelaku usaha dan pekerja di sektor budidaya, masih didominasi petani berusia tua, sementara tenaga kerja atau pelaku usaha budidaya berusia produktif masih minim. Berbagai kendala tersebut dapat mengancam keserentakan waktu tanam, peningkatan produktivitas dan susut panen tanaman padi di suatu wilayah yang pada akhirnya menghambat tercapainya target swasembada beras. Salah satu strategi agar terhindar dari ancaman kelangkaan tenaga kerja adalah intervensi mekanisasi pertanian, khususnya untuk tanam bibit dan pemanenan padi, sekaligus menarik minat pemuda untuk terjun ke sawah. Penerapan mekanisasi tersebut diperlukan untuk: (i)

1222

meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja; (ii) mempercepat dan mengefisiensikan proses; (iii) menekan biaya produksi. Sampai saat ini, kajian mengenai kontribusi mekanisasi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di usahatani padi masih langka. Tidak kalah pentingnya juga adalah kontribusi teknologi mekanisasi yang telah diciptakan dan digunakan petani sendiri (indigenous). Kajian kontribusi mekanisasi secara menyeluruh dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja sangat diperlukan untuk dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan dan umpan balik bagi para praktisi dan peneliti mekanisasi (Balitbangtan 1981, dan Simatupang, 2003).

Mekanisasi pertanian tumbuh sebagai akibat kebutuhan terhadap efisiensi, kualitas, kekurangan tenaga, dan kenyamanan kerja dengan mengatisipasi faktor harga sebagai pendorong utama. Sementara itu kebutuhan domestik sebagian besar rakyat adalah pangan, kesempatan kerja dan pendapatan. Karena itu, strategi intervensi mekanisasi di akar-rumput (grass root) adalah dengan menumbuhkan partisipasi rakyat yang bertumpu pada pengguna, produsen, industri terkait, lembaga keuangan dan perbankan, serta lembaga penelitian (Saragih,1999). Sementara itu, keberhasilan pembangunan pertanian, selalu diikuti dengan kebijakan, baik yang menyangkut penerapan teknologi, penggunaan sarana produksi, jenis komoditas, penetapan harga-harga input-output dan sebagainya. Kebijakan pembangunan pertanian merupakan keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan guna mewujudkan tujuan pembangunan pertanian (Suyamto, 2002, dan Pangarsa dkk, 2014).

Pengkajian yang telah dilakukan mempunyai luaran: (a) Teridentifikasinya Alsin, khususnya alat tanam (transplanter) dan alat panen (combine harvester) yang telah diaplikasikan pada usahatani padi di jatim (pabrikan/indigenous), dan (b) Tersusunnya rumusan opsi kebijakan mekanisasi pertanian di Jatim. Manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan ini adalah dapat dipenuhinya kekurangan tenaga kerja di usahatani padi (baik budidaya maupun pasca panen) melalui partisipasi masyarakat dalam implementasi mekanisasi pertanian, sedangkan dampak dari kegiatan ini adalah dipercepatnya pencapaian surplus beras Jatim dan swasembada berkelanjutan melalui kontribusi mekanisasi pertanian.

METODOLOGI

Untuk dapat mencapai tujuan dan luaran pengkajian, maka digunakan kombinasi berbagai metode yang meliputi telaah pustaka, konsultasi, survei lapangan dan FGD (focus group discussion). Data primer diperoleh melalui dua cara, yaitu mengamati secara langsung penggunaan Alsin di lahan petani serta wawancara dengan responden. Sebelum data primer dikumpulkan, dilakukan telaah data sekunder (pustaka/laporan) hasil penelitian Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, BPS/dinas/instansi kabupaten. Untuk mendalami permasalahan yang ditemukan di lapangan dan untuk menyusun opsi kebijakan mekanisasi pertanian dilakukan FGD. Pada dasarnya kegiatan pengkajian terdiri dari dua sub kegiatan. Identifikasi dan Observasi Alat dan Mesin Pertanian

Pada sub kegiatan ini dilakukan identifikasi Alsin yang meliputi alat tanam dan alat panen baik yang dihasilkan oleh Balai Besar Mekanisasi, swasta maupun Alsin ciptaan petani yang telah diterapkan di lapangan. Selain dilakukan identifikasi, dilakukan juga observasi untuk melihat kinerja Alsin di lapangan. Untuk melengkapi data/informasi Alsin yang digunakan, dilakukan juga wawancara dengan responden yang meliputi: petani pengguna Alsin, pengusaha/distributor Alsin, pemilik pabrik Alsin, pemilik bengkel Alsin, penjual jasa perbaikan Alsin serta nara sumber dari instansi/dinas yang terkait dengan bantuan Alsin. Data yang dikumpulkan meliputi unsur kecepatan tanam, pengurangan susut panen, kapasitas alat (volume/satuan waktu), biaya operasional, keperluan tenaga operator lapangan, dan biaya pembuatan (harga Alsin). Kebijakan daerah yang terkait dengan sistem produksi padi dan mekanisasi, masalah sosial budaya masyarakat, obilitas tenaga kerja antar/dalam satu kawasan dan musim dikonsultasikan dengan dinas pertanian setempat. Data kuantitatif dan kualitatif dianalisis secara diskriptif.

1223

Perumusan Opsi Kebijakan Mekanisasi Pertanian Partisipatif Rumusan opsi kebijakan mekanisasi pertanian diperoleh dari hasil FGD yang

dilakukan di tingkat provinsi. Peserta FGD meliputi unsure Gapoktan, petani yang menggunakan Alsin, penyuluh pertanian, pengusaha jasa Alsintan, dan petugas dinas. Sebagai nara sumber adalah BPTP Jatim dan sebagai materi FGD adalah hasil identifikasi dan observasi pada sub kegiatan 1. Beberapa pertimbangan yang digunakan untuk merumuskan opsi kebijakan Alsintan adalah: (a) Alsin dapat memberikan dampak langsung/tidak langsung pada peningkatan produksi, (b) Biaya operasional Alsin, (c) Biaya pembuatan/pembelian Alsin, (d) Penggunaaan tenaga kerja manusia dan (e) Tidak berlawanan dengan kebijakan ketenaga kerjaan/mekanisasi pertanian di kabupaten/kota serta (f) Sedapat mungkin sinergi dengan sistem sosial budaya yang ada di masyarakat. Untuk memenuhi prinsip partisipatif, maka sebelum FGD dilakukan, dilaksanakan pertemuan tatap muka yang melibatkan stake holder (dinas dan Pemkab) dari kabupaten dan provinsi. Pertemuan tatap muka dilakukan sebagai berikut: (a) Sosialisasi dan koordinasi rencana kajian, (b) Sosialisasi hasil inventarisasi alat dan mesin pertanian, dan (c) Koordinasi dan konsultasi opsi kebijakan mekanisasi pertanian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden Untuk mendapatkan responden sangat sulit, mengingat informasi dari instansi/dinas

tentang petani pengguna Alsin sangat minim. Responden diperoleh dengan cara “hunting”, konsultasi dengan dinas pertanian dan BP4K kabupaten untuk menentukan responden 1. Selanjutnya informasi keberadaan responden 2, 3 dan responden selanjutnya diperoleh dari responden 1 atau 2. Responden 2, 3 dan seterusnya yang didapat bisa berlokasi satu desa dengan responden 1 atau satu kecamatan dan bahkan lintas kabupaten (Gambar 1).

Responden yang telah didapatkan belum mewakili seluruh kabupaten/kota yang ada

di Jawa Timur, karena informasi petani pengguna Alsin sangat terbatas. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa petani yang berpengalaman menggunakan transplanter dan combine harvester juga terbatas, pengalaman menggunakan Alsin umumnya baru 1-2 musim. Kabupaten yang respondennya telah diobservasi meliputi Gresik, Lamongan, Ngawi, Tulungagung, Ponorogo, Jember dan Blitar, sedangkan pabrik Alsin yang dikunjungi Pabrik Mekanisasi Delopo, Madiun, distributor besar Alsintan “Kubota” di Blitar dan importer Alsin “Saam” di Jember. Nama petani responden dan lokasi digunakannya Alsin seperti tercantum pada Tabel 1 berikut:

Dinas Pertanian atau BP4K

Petani 1

Petani 2

Petani 3 Petani 4

Petani 5

Petani 6

Petani 7

Gambar 1. Skema Pencarian Responden

1224

Tabel 1. Responden dan Satusnya serta Lokasi Digunakannya Alsin

No Nama Petani Alamat Status Nama Alsin

1. Sugiyo Desa Bangeran, Kecamatan Dukun, Gresik

Petani, Ketua Kelompok Bangeran

Transplanter “Yanmar” dan mini combine harvester “quick”

2. Mislan Desa Gempoltukmloko, Kecamatan Sarirejo, Lamongan

Petani, Ketua Kelompok Gempoltukmloko

Transplanter “Kubota”

3. Sugeng Desa Keniten, Kecamatan Geneng, Ngawi

Petani, Ketua Kelompok Keniten

Combine harvester “Crown”

4. Kasmin Desa Dempil, Kecamatan Geneng, Ngawi

Petani, Ketua Kelompok Dempil

Combine harvester “Crown”

5. Kasri Desa Genting, Kecamatan Geneng, Ngawi

Anggota kelompok Mini combine harvester “Quick”

6. Kayat Desa Talun Kulon, Kecamatan Bandung, Tulungagung

Talun Kulon Petani, Ketua Kelompok

Mini combine harvester “Zaaga”

7. Sijen Desa Kali Malang, Kecmatan Pakel, Tulungagung

Petani anggota kelompok

Mini combine harvester “Futata”

8. Wasisno Desa Gandekan, Kecamatan Wonodadi, Blitar

Usaha Jasa Panen Pribadi

Mini combine harvester “Futata”

9. Agus Imron Kecamatan Delopo, Madiun

Pemilik Pabrik Mini Combine Harvester “Zaaga”

10. Rudin Desa Bono, Kecamatan Pakel, Tulungagung

Teknisi dan Usaha Jasa Panen Pribadi

Super Combine harvester “Maxi”/ “Crown”

11. Samsudin Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakel, Tulungagung

Usaha Jasa Panen Pribadi

Combine harvester “Maxi”

12. Amir Faisol Desa Kencong, Kecamatan Kencong, Jember

Ketua Asosiasi Super Combine Harvester Kabupaten

Super Combine harvester “Crown”

13. Antoni Desa Muneng, Kecamatan Gumuk Emas, Jember

Pengusaha Jasa Combine Harvester

Mini Combine Harvester merk “SAAM”

14. Jhony Desa Karanggebang, Kecamatan Jetis, Ponorogo

Petani pembenihan jagung

Minicombine harvester “Kubota”

15. Andre Ismail Kecamatan Sanan Kulon, Blitar

Petani, Dealer/ Pengimpor Alsin Wilayah Indonesia Timur

“Kubota”

1225

Jenis dan Kinerja Alsin 1) Transplanter “YANMAR”

Lokasi penggunaan Alsin ditemukan di Desa Bangeran, Kecamatan Dukun, Gresik, di Kelompoktani Bangeran. Transplanter “Yanmar”, mempunyai daya 6.5 PK. Berdasarkan wawancara, alat dapat digunakan antara (6.5-7.0 jam)/ha, satu hari hanya dapat menggarap lahan 1 ha. Alat bisa distel dengan jarak tanam (16,18,20X30). Alat ini dioperasikan oleh 2 orang. Masalah di lapangan yang ditemui: (a) tenaga operator masih terbatas, (b) petani tidak mau membuat pembibitan “dapok” sendiri, dapok dibuatkan kelompok. Luas lahan kelompok 100 ha, jika tanam serentak harus dilakukan minimal dalam waktu 3 minggu (21 hari), maka 1 unit transplanter hanya dapat melayani 21 ha. Untuk memenuhi seluruh lahan kelompok maka diperlukan 4 transplanter. Perbandingan penggunaan biaya dengan transplanter dan cara konvensional seperti Tabel 2.

Table 2. Perbandingan Biaya Tanam Transplanter “Yanmar” dan Cara Konvensional per Ha di

Desa Bangeran, Kecamatan Dukun, Gresik

No Uraian Transplanter (Yanmar) Konvensional Keterangan Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

1 Sewa tempat pembibitan untuk 1 ha

- - 1 ha 350,000

2 Pembelian benih

28 kg 700,000 50 kg 400,000

Pesemaian bibit/ perawatan bibit

- - 3 OH 300,000

-Cabut bibit - - 14 OH 1,400,000

4 Pembelian BBM

5.5 liter 45,000 - -

5 Biaya tanam - 1,050,000 *)

31.5 OH 1,575,000

*) 60% unt kelompok, 40% untuk operator

6 Tanam sulaman pinggir

2 OH 100,000 - -

7 Jumlah biaya 1,895,000 - 4,025,000

8 Selisih Biaya 2,130,000

Keterangan: untuk menghitung biaya invenstasi dan nilai kerusakan selama pemakaian belum dapatdilakukan, karena para petani masih baru memakai (2 musim tanam).

Transplenter “KUBOTA”

Lokasi penggunaan transplanter berada di Desa Gempoltukmloko, Kecamatan Sarirejo, Lamongan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pembagian upah tanam dengan menggunakan alat adalah: 40% untuk operator, 30% untuk operasional (bibit, oli, BBM), 10% untuk kelompok, 20% untuk perawatan. Harga transplanter Rp 128 juta (impor), jika buatan sendiri sekitar Rp 51 Juta. Beberapa catatan mengenai kerusakan dan servis alat sebagai berikut: kekuatan alat diperkirakan 3 tahun (mulai ada yang rusak), setiap 50 jam ganti oli dengan ongkos Rp 27,000 (600 ml), tiap 2 minggu ganti ban belt (Rp 47,000), tiap minggu ganti busi (Rp. 12,100,-), tiap bulan ganti kuku cupit (Rp 150,000,-), tiap 3 bulan ganti gigi payung (Rp 375,000 X 4), tiap 2 minggu ganti klaker (Rp 17,500 X 8). Satu hari mampu beroperasi maksimal 3 ha (Jam 6 sd 17.30). Menurut petani hasil produksi lebih

1226

tinggi dibanding cara manual, karena tanaman padi tidak stagnan, tancep bibit dangkal. Perbandingan biaya tanam antara penggunaan transplanter dan cara konvensional seperti tabel berikut:

Tabel 3. Perbandingan Biaya Tanam Transplanter “Kubota” dan Cara Konvensional per Ha di Desa Gempoltukmloko, Kecamatan Sarirejo, Lamongan

No. Uraian Transplanter

(KUBOTA) Konvensional Keterangan

Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp) 1. Sewa tempat dan

pembibitan - - 1 ha 1,900,000

2. Cabut bibit/daut - - 20 OH 2,400,000 4. Pembelian BBM 5.5 liter 45,000 - - 5. Biaya tanam 2,100,000 40 OH

wanita 4,000,000

6. Tanam sulaman pinggir

2 OH 100,000 - -

7. Biaya penyusutan alat dan investasi per satu kali tanam

33,500 - -

8. Jumlah biaya 2,278,500 8,300,000 9. Selisih biaya 6,021,500

Tabel 4. Perhitungan Biaya Investasi dan Servis Tiap Kali Tanam per ha Transplanter

“Kubota”di Desa Gempoltukmloko, Kecamatan Sarirejo, Lamongan

No. Uraian Nilai (Rp) Biaya Investasi (Biaya Servis)

(Rp)

Biaya Investasi (Biaya

Servis/kali tanam)

(Rp) 1. Pembelian alat (daya tahan

3 tahun) 51,000,000 47,222/hari

15,740,-

2. Ganti oli setiap 50 jam 27,000 12,960/hari 4,320,- 3. Tiap 2 minggu ganti ban

belt 47,000 6,714/hari 2,238,-

4. Tiap minggu ganti busi 12,100 1,728/hari 576,- 5. Tiap bulan ganti kuku

cupit 150,000 5,000/hari 1,666,-

6. Tiap 3 bulan ganti gigi paying

1,500,000 16,666/hari 5,555,-

7. Tiap 2 minggu ganti klaker 140,000 10,000/hari 3,333,- Jumlah invest dan servis 33,500

Mini Combine Harvester “QUICK”

Mini Combine “Quick” selama 3 minggu dapat memanen 15 ha, satu hari dapat memanen 500 ru (0.70 ha), memerlukan bahan bakar 10 liter solar/hari, dioperasikan oleh 1 orang. Lokasi penggunaan alat dapat ditemukan di Desa Bangeran, Kecamatan Dukun, Gresik (Kelompoktani Bangeran) dan di Desa Keniten, Kec Geneng, Ngawi.

1227

Tabel 5. Perbandingan Biaya Panen Mini Combine Harvester “QUICK” dan Cara Konvensional per Ha di Desa Keniten, Kecamatan Geneng, Ngawi.

No Uraian Mini Combine Konvensional

Keterangan Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

1. Ongkos panen *)

1,575,000 *) 50% untuk kelompok, 50% operator

2. Tenaga panen (pria dan wanita)

- - 14 OH, 14 OH

2,240,000

3. Tenaga perontok dan sewa alat

700,000

4. Jumlah biaya 1,575,000 - 2,940,000 5. Selisih biaya 1,365,000

Keterangan: Biaya penyusutan dan biaya perbaikan/pemeliharaan belum dapat dihitung, karena petanibaru menggunakan 2 musim panen

Combine Harvester “Crown”

Combine Harvester “CROWN”, bermesin buatan Cina, jika digunakan dapat memanen padi seluas 1 ha selama 3 jam, 1 hari dapat memanen maksimum 3 ha, membutuhkan Solar dalam 3 jam Rp200,000,-. Ongkos op. erator Rp. 150,000,-, Tenaga kerja pembantu Rp 1,350,000,-, Alat dapat ditemukan di Desa Geneng, Kecamatan Geneng, Ngawi dan Desa Dempil Kecamatan Geneng, Ngawi.

Tabel 6. Perbandingan Biaya Panen Combine Harvester “CROWN” dan Cara Konvensionalper

Ha di Desa Geneng, Kecamatan Geneng, Ngawi

No Uraian Combine Harvester Konvensional

Keterangan Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

1. Ongkos panen 3,200,000 *)

*) 40% untuk Gapoktan, 40% pekerja, 20% perawatan

2. Biaya panen (Hasil panen gabah 9 ton)

- - 5,500,000 Bagi hasil 1 : 8

3. Uang makan 180,000 4. Selisih rendemen 2 kg/ku 5. Selisih losses 1.5 ku/ha 6. Selisih harga jual Rp

1000/ku

7. Selisih biaya panen 2,480,000 Keterangan: Biaya penyusutan dan biaya perbaikan/pemeliharaan belum dapat dihitung,

karena petanibaru menggunakan 2 musim panen Mini Combine Harvester “Futata”

Alat ini dapat ditemukan di Desa Pakel, Kecamatan Ngantru, Tulungagung dan Desa Gandekan, Kecamatan Wonodadi, Blitar. Harga Alat Rp 81 Juta. Kapasitas alat dalam 2 jam bisa memanen 1,400 m2 menghabiskan 2 liter solar. Dalam satu hari alat hanya mampu memanen 0.5 ha. Tiap 1,400 m2 jika panen memakai alat hanya menghabiskan biaya Rp. 350,000,- ditambah ongkos angkut ke jalan 2 orang (Rp 50,000,-), sedangkan jika menggunakan cara konvensional menghabiskan biaya Rp 500,000,- ditambah tenaga angkut 4-5 orang (2 hari).

1228

Tabel 7. Perbandingan Biaya Mini Combine Harvester “FUTATA” dan Cara Konvensional per Ha di Desa Pakel, Kecamatan Ngantru, Tulungagung

No Uraian Mini Combine Konvensional Keterangan

Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp) 1. Ongkos

panen 1 ha 2,500,000 1 ha 3,500,000

2. Tenaga angkut

14 orang 350,000 28 700,000

3. Jumlah biaya

2,800,000 4,100,000

Selisih biaya

1,300,000

Keterangan: Biaya penyusutan dan biaya perbaikan/pemeliharaan belum dapat dihitung, karena petanibaru menggunakan 2 musim panen

Tabel 8. Perbandingan Biaya Penggunaan Combine Harvester “MAXXI” dan Cara

Konvensional per Ha di Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakel, Tulungagung

No Uraian Combine Harvester Konvensional

Keterangan Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

1. Ongkos panen *) 3,200,000 *) 40% untuk Gapoktan, 40% pekerja, 20% perawatan

2. Biaya panen (Hasil panen gabah 9 ton)

- - 5,500,000

Bagi hasil 1 : 8

3. Uang makan 180,000 4. Selisih rendemen 2 kg/ku 5. Selisih losses 1.5

ku/ha

6. Selisih harga jual Rp 1000/ku

7. Biaya Investasi per musim

2,500,000 - -

8. Biaya Servis/Msm 14,312,400

9. Jumlah 5,700,000 5,680,000

1229

Tabel 9. Perhitungan Biaya Investasi dan Servis Combine Harvester “Maxxi” di Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakel, Tulungagung

No. Uraian Nilai (Rp) Biaya Investasi Per Bulan Per Hari

Biaya Servis Per Bulan Per Hari

1. Pembelian alat (daya tahan 25 tahun)

250,000,000 833,000 27,000

2. Ganti skrew tiap 7 tahun 2,700,000 9,000 300

3. Ganti Ban tiap 7 tahun 39,000,000 130,000 433

4. Ganti Lacker roda (60 buah), tiap musim

150,000 5,000

5. Ganti Van belt tiap tahun 2 kali (3 unit)

350,000 11,600

6. Ganti Pisau tiap tahun 1 kali

91,600 3,055

7. Ganti Ayakan per bulan 3,200,000 106,600

8. Ganti Geblok per bulan 750,000 25,000

9. Ganti oli mesin tiap 10,000 jam, sebanyak 10 liter

9,000 300

10. Isi oli mesin tiap hari ¼ liter

25,000 800

11. Isi oli hidrolis tiap tahun 20 liter

41,600 1,400

12. Oli garden tiap tahun ganti 16,600 555

13. Jumlah 833,000 27,000

4,772,800 155,043

Cara Kerja Combine Harvester

Skema cara kerja super combine harvester “crown/maxxi” yang telah dilakukan petani pada umumnya seperti pada Gambar 2. Dari hasil pengamatan di lapangan, maka ada titik-titik dimana terjadi loses, yaitu: (a) di tempat combine masuk (tanaman rusak), (b) di titik dimana alat memutar (tanaman rusak dan gabah tumpah), tetapi volume losses diperkirakan sangat kecil jika dibandingkan cara konvensional. Beberapa hal yang perlu diperhitungkan agar alat dapat bekerja dengan baik dan loses kecil adalah: (a) Kondisi tanaman. Jika kondisi tanaman basah (karena embun, air hujan), maka sebaiknya

ditunggu hingga kering benar, tanaman yang roboh sebaiknya dipanen manual, tanaman yang masih muda sulit untuk dipanen, untuk tanaman yang lebih rimbun (jarak tanam rapat), sebaiknya alat dijalankan pelan-pelan,

(b) Varietas ciherang umumnya lebih mudah dipanen dari varietas yang lainnya, (c) Jumlah loses akan dipengaruhi oleh ketrampilan operator walaupun alatnya sama, (d) Jumlah loses dipengaruhi juga oleh merk Alsin, karena kapasitas dan tipe mesin berbeda

tiap Alsin, (e) Kondisi lahan (berlumpur dalam atau dangkal), gunakan combine kecil jika lumpur dalam, (f) Lakukan pemeriksaan lahan dan bersihkan dari tonggak kayu atau bambu, sebelum

combine dioperasionalkan, karena tonggak bambu dapat mematahkan gigi pisau combine (Gambar 1.).

1230

Terjadi loses

Tempat masukcombine (terjadiloses)

Asosiasi Pengguna Combine Harvester

Asosiasi petani pengguna combine harvester bantuan pemerintah telah terbentuk di Kabupaten Jember. Asosiasi ini telah mewadahi 7 Gapoktan dan 2 kelompok dengan Alsin jenis super combine “Crown”. Asosiasi dibentuk untuk mengatasi beberapa hal: (a) teknisi pabrik lambat datang jika diperlukan, (b) penjual suku cadang hanya satu tempat, (c) sering suku cadang tidak tersedia (impor), (d) alat harus dijadwal, biar tidak cepat rusak. Untuk itu asosiasi telah mengambil fee/keuntungan sebesar 5% dari biaya operasional. Untuk mengatasi agar Alsin di lapangan tidak dirusak orang (ketika diparkir/tidak digunakan), maka setiap Alsin dioperasikan, asosiasi menyisihkan biaya sebesar 7.5% untuk Gapoktan/kelompok sebagai biaya jaga atau disumbangkan ke masjid atau untuk material urukan jalan desa.

Dari hasil wawancara, maka diketahui bahwa asosiasi tidak akan dapat eksis, dikarenakan beberapa hal: (a) biaya panen menggunakan combine ditekan di bawah Rp 450,000/1770m2, padahal perhitungan ekonominya combine akan eksis jika biaya di atas nilai tersebut, (b) di lahan milik asosiasi, padi tidak ditanam terus menerus, sehingga Alsin tidak terpakai mulai bulan Agustus-Maret (karena tanam palawija), (c) pengoperasionalan Alsin di luar wilayah asosiasi dilarang oleh anggota dengan alasan bantuan pemerintah (tidak boleh diobyekkan), (d) adanya biaya sosial (fee). Dengan aturan-aturan tersebut, maka diperkirakan dalam waktu 5 tahun, Alsin akan rusak dan asosiasi tidak dapat membeli lagi. Biaya panen menggunakan mini combine saat ini di masyarakat sebesar Rp 275,000 dan super combine Rp. 300,000,- per 1770 m2.

KESIMPULAN

Kecenderungan kelangkaan tenaga kerja di pertanian di satu sisi dan di sisi lain terjadinya perubahan lingkungan sosial ekonomi seperti meningkatnya daya beli serta masuknya Alsin dari China, telah mendorong penggunaan mekanisasi pada usahatani padi (Friatno dkk, 2009). Banyak jenis transplanter (Kubota, Indojarwo, Yanmar, Saam) dan combine harvester (Saam, Futata, Quick, Crown, Maxxi, Kubota, Gunung Biru) didapati di lapangan (baik dengan cara impor langsung atau rakitan) dengan kinerja yang sangat bervariasi (Lampiran Gambar 2.) Belum semua masyarakat bisa menerima kehadiran Alsin (transplanter maupun combine harvester), Contoh: Asosiasi pengguna Alsin di Jember. Karena persaingan usaha di intern kelompok menyebabkan asosiasi justru tidak dapat berkembang dan Alsin bantuan

Gambar 2. Skema Alur Kerja Combine Harvester “Crown/Maxxi”

1231

pemerintah bisa rusak dan tidak berlanjut Suku cadang masih dirasakan sulit dan mahal (penjual suku cadang hanya di satu tempat, karena barangnya impor), menyebabkan Alsin tidak dapat dipakai dalam jangka waktu tertentu. Tenaga trampil mesin masih langka, umumnya tenaga trampil mesin masih disediakan pabrikan. Di lapangan diperlukan tenaga ahli mesin yang dapat merekayasa suku cadang berasal dari mesin lain yang tersedia di lokasi. Selain itu juga diperlukan operator yang ahli yang dapat men “Setting” Alsin sesuai dengan kondisi tanaman dan tanah. Dinas/Kantor/Badan seolah-olah lepas tangan setelah Alsin bantuan diserahkan ke petani (tidak ada kontrol, monitoring dan pembinaan), sehingga terkesan petani mencari sendiri/memecahkan masalah sendiri. Masih ada Alsin yang belum dapat digunakan di lapangan, tetapi diijinkan beredar (sebagai bantuan program), seharusnya Alsin memenuhi persyaratan Ditjen PSH (Lampiran Gambar 3). Transplanter merk tertentu secara nyata berkontribusi mempercepat keserempakan tanam (1 minggu), biaya tanam per ha lebih efisien (Rp 2 juta) dan peningkatan produksi minimal 2 kuintal dibandingkan cara konvensional. Ini akan memberikan dampak peningkatan IP, jika air tersedia, peningkatan pendapatan (peningkatan produksi dan efisiensi biaya tanam). Combine harvester pada umumnya berkontribusi mengefisienkan biaya Rp 2.5 Juta dan selisih kehilangan panen (1.5 - 3.5 ku)/ha, harga gabah lebih tinggi Rp 1,000,-/kg dan rendemen lebih tinggi selisih 2 kg/ha. Ini akan memberikan dampak pada peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan. Di Wilayah tertentu (musim palawija) Alsin padi tidak dapat dioperasionalkan maksimal, sehingga diperlukan Alsin yang memungkinkan untuk dapat digunakan di padi dan palawija.

RUMUSAN OPSI KEBIJAKAN

Pemerintah menguji dan merekomendasi beberapa jenis Alsin yang bisa dioperasionalkan, bermanfaat, menguntungkan petani dan secara nyata menunjang swasembada Pemerintah membina pabrikan Alsin yang masih belum dapat menghasilkan Alsin dengan baik (sampai Alsin jadi dan dapat digunakan). Sebelum Alsin dibantukan, terlebih dahulu dilatih tenaga teknis mesin dan tenaga operator ahli (saran penyuluh muda) untuk mendampingi petani. Bantuan Alsin seyogyanya satu paket dengan tenaga pendamping di lapangan yang ahli : (a) teknis mesin dan (b) teknis operator lapangan (saran penyuluh muda) Demplot Alsin yang dilakukan pemerintah/dinas/instansi harus berhasil karena ini sebagai pilot project (percontohan), untuk lebih meyakinkan petani Pemerintah seyogyanya dapat memfasilitasi suku cadang Alsin dan kredit pembelian Alsin Belum semua wilayah siap menerima Alsin, pemerintah daerah perlu melakukan pendekatan aktif pada masyarakat Perlu dilakukan pengkajian mengenai cara tanam spesifik lokasi yang sesuai untuk Alsin. Contoh: Combine Harvester akan mudah digunakan jika tanaman tidak terlalu dekat dengan pematang (diberi jarak). Perlu diciptakan Alsin multiguna yang dapat digunakan untuk panen padi dan palawija, sehingga bisa dioperasionalkan maksimal dalam satu tahun penuh. Pemerintah membina kelembagaan petani pemanfaat Alsin, sehingga kelembagaan dapat berkembang dan Alsin lebih berdaya guna

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kegiatan pengkajian ini dapat terlaksana diucapkan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih secara khusus ditujukan pada para Kepala Dinas/Sub Dinas Pertanian Kabupaten (lokasi pengamatan Alsin) yang telah memberikan informasi dan bantuan konsultasi, para Ketua Kelompok/Gapoktan yang telah meluangkan waktu bersama sama melakukan pengamatan di lapangan dan para pemilik bengkel, penjual jasa Alsintan dan distributor Alsin yang telah memberikan informasi/data.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan, 1981. Pengaruh Mekanisasi Pertanian Pada Produktivitas, Pendapatan dan Kesempatan Kerja. Prosiding Seminar Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

1232

Friyatno, S., H.P. Rachman, Supriyati. 2009. Kelembagaan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. ttp://kelembagaandas.wordpress.com /kelembagaan-jasa-Alsintan/supena-friyatno-dkk/.

Pangarsa, N., IB Raharjo dan Z. Arifin, 2014. Analisis Kebaijakan Surplus Beras Jatim (Kontribusi Inotek PTT, Pemupukan Berimbang, Jajar Legowo, Diversifikasi, Peningkatan IP terhadap Indeks Swasembada Jatim). Makalah Workshop di Mercure Hotel, Maret, 2014).

Simatupang. P. 2003. Analisis Kebijakan. Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanain. 1 (1) : 14 – 35.

Suyamto, H. 2002. Analisis dan Penanggulangan Masalah Pembangunan Pertanian di Jawa Timur. Laporan Penelitian. BPTP Jawa Timur

Saragih. 1999. Kumpulan Pemikiran Agribisnis. Paradigma baru Pembangunan Pertanian. Pustaka Wirausaha.

LAMPIRAN

Gambar 1. Gigi Pisau Combine Rusak (karena tonggak bambu)

1233

Gambar 2. Harvester Manual “SAAM” (Impor dari China, belum ada petani yang menggunakan)

Gambar 3. Mini Combine (bantuan pemerintah), tetapi Tidak dapat Digunakan di Lapangan

1234

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI PADI DALAM PEMANFAATAN SUMBER PERMODALAN: STUDI

KASUS DI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN

Tian Mulyaqin, Yati Astuti, dan Dewi Haryani

Peneliti, Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM 01 Ciruas Serang Banten

ABSTRAK

Aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan masih sangat terbatas. Permodalan usahatani yang terbatas akan membatasi juga jumlah input teknologi yang digunakan, sehingga produksi padi yang dihasilkan tidak maksimal. Kajian ini bertujuan mengetahui faktor yang mempengaruhi petani padi dalam memanfaatkan sumber permodalan yang tersedia di sentra produksi padi di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Metode penelitian yang digunakan adalah survey kepada 103 petani padi. Kajian dilakukan di empat kecamatan (Ciruas, Lebak Wangi, Pontang, Tirtayasa) di Kabupaten Serang Provinsi Banten pada musim tanam pertama tahun 2014/2015. Data dianalisis menggunakan regresi probit. Hasil kajian menunjukkan bahwa Faktor yang mempengaruhi pemanfaatan sumber permodalan usahatani padi secara signifikan adalah luas lahan garapan dan status lahan. Semakin luas lahan yang digarap oleh petani, maka semakin besar upaya petani untuk memanfaatkan sumber permodalan yang tersedia. Namun petani dengan status lahan sebagai pemilik penggarap lebih berpeluang untuk memanfaatkan modal sendiri saja. Kata kunci: akses permodalan, padi, regresi probit

PENDAHULUAN

Kendala yang dihadapi para petani dan pelaku agribisnis skala kecil untuk mengembangkan usahanya salah satunya adalah kurang aksesnya ke sumber-sumber permodalan. Ketersediaan sumber permodalan yang dapat diakses oleh petani masih sangat terbatas, sehingga pembelian input usahatani padi terkadang disesuaikan dengan modal sendiri yang tersedia. Hal ini berakibat kepada pencapaian produksi usahatani padi yang kurang maksimal.

Kesulitan akses yang cukup pada lembaga keuangan (mikro), hampir seluruh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri yang sangat terbatas atau pada kelembagaan keuangan informal seperti rentenir, tengkulak ataupun pelepas uang. Kondisi ini akan membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Kelompok miskin yang umumnya tinggal di pedesaan dan berusaha di sektor pertanian justru seharusnya lebih diberdayakan agar mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Sektor pertanian tentu saja akan tetap menjadi sektor kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan serta memperkokoh perekonomian pedesaan (Krinamurti, 2003).

Menurut Mudlak (1988), perkembangan sektor pertanian tidak mungkin terjadi tanpa akumulasi modal. Perubahan teknologi pertanian sebagai pemacu pertumbuhan sektor pertanian dalam arti luas akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan modal. Pada umumnya masalah yang dihadapi sebagian besar petani (terutama petani kecil) adalah tidak sanggup membiayai usahataninya dengan biaya sendiri. Sehingga diperlukan sumber modal lain diluar dana pribadi berupa pinjaman atau kredit. Menurut Mubyarto (1977), modal adalah faktor produksi yang penting setelah tanah dalam produksi pertanian dalam arti sumbangannya pada nilai produksi. Sumber modal petani sangat beragam baik yang berasal dari lembaga kredit formal maupun informal. Petani sebagai pelaku agribisnis yang bergerak pada subsistem budidaya relatif diharapkan pada risiko usaha yang sangat besar. Risiko ini terutama berkaitan dengan sifat kegiatan pertanian yang tergantung pada musim.

1235

Berbicara mengenai masalah permodalan dalam pertanian tidak bisa lepas dari masalah kredit, karena kredit tidak lain adalah modal pertanian yang diperoleh dari pinjaman (Mubyarto, 1977). Kredit adalah alat untuk membantu pembentukan modal. Memang ada petani yang dapat memenuhi semua kebutuhan modalnya dari kekayaan yang dimilikinya, bahkan petani kaya dapat meminjamkan modal kepada petani lain yang membutuhkan. Secara ekonomi, modal pertanian dapat berasal dari milik sendiri atau pinjaman dari luar. Modal yang berasal dari luar usahatani biasanya merupakan kredit. Kredit pertanian diharapkan memiliki kontribusi terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani dengan memanfaatkan kredit tersebut dengan efektif. Petani dalam menyelenggarakan kegiatan usahatani berusaha supaya produksinya tinggi, yaitu dengan cara memadukan faktor produksi yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen yang baik. Produksi tersebut merupakan proses penggunaan sumber daya, jasa atau kedua-duanya (Malcham, 1991).

Penerapan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas usahatani bukan hanya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga modal untuk membeli input yang dibutuhkan. Faktor modal memegang peranan penting yang dipertimbangkan petani sebelum melakukan usahatani (Hermanto, 1992). Modal diperlukan terutama untuk pengadaan sarana produksi (benih/bibit, pupuk dan pestisida) yang dirasakan petani semakin mahal harganya. Sumber dana yang berasal dari rumah tangga petani sering dipandang tidak cukup untuk membiayai peningkatan usahataninya, karena pada umumnya rumah tangga petani di Indonesia adalah petani kecil dan bermodal lemah.

Keputusan untuk mengakses sumber permodalan sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal petani. Pemerintah sudah berupaya meningkatkan aksesibilitas petani dan ketersediaan sumber permodalan melalui berbagai program seperti pengembangan lembaga keuangan mikro pertanian melalu Pengembangan Usaha Pertanian Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), dan berbagai program lainnya. Namun masih banyak petani yang hanya menggunakan modal sendiri saja untuk usahataninya. Mulyaqin dan Astuti (2013) menyatakan terdapat beberapa alasan petani hanya menggunakan modal sendiri diantaranya 1) Modal sendiri sudah mencukupi untuk melakukan usahatani padi; 2) Tidak mengetahui prosedur pinjaman kredit; 3) Prosedur pinjaman sulit; 4) Tidak mempunyai agunan. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk memanfaatkan sumber permodalan selain dari modal sendiri atau modal yang dimiliki oleh petani untuk melakukan usahatani padi sawah.

METODE PENELITIAN

Kajian dilaksanakan di empat kecamatan di Kabupaten Serang Provinsi Banten (Kecamatan Ciruas, Kecamatan Lebak Wangi, Kecamatan Pontang, dan Kecamatan Tirtayasa) pada musim tanam pertama tahun 2014/2015. Pengambilan lokasi tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Serang (BPS Serang, 2014)

Data yang digunakan dalam kajian ini dikumpulkan menggunakan metode survey menggunakan kuesioner terstruktur kepada 103 petani padi. Data tambahan berasal dari dokumen resmi dan artikel lain yang berhubungan dengan kajian ini. Data dianalisis menggunakan regresi probit menggunakan aplikasi R.

Model probit sering digunakan dalam situasi dimana individu memilih dua alternatif pilihan. Dalam hal ini, keputusan untuk memanfaatkan sumber permodalan lain selain modal sendiri atau hanya menggunakan modal sendiri saja untuk melakukan usahatani padi sawah. Wulandari, dkk. (2013) Model regresi probit dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = β0 + βiXi + ε Dimana Y adalah variable terikat berdistribusi normal, β0 adalah parameter intersep

yang tidak diketahui, βi = (β1, β2, … βi) adalah parameter koefisien, Xi =(X1 , X2,… Xi) adalah variabel bebas dan ε adalah error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan mean dan varians δ2. Variabel terikat (Y) merupakan peluang keputusan petani untuk memanfaatkan

1236

sumber pembiayaan atau permodalan yang tersedia. Sementara variabel bebasnya terdiri dari umur petani, pendidikan, pekerjaan utama, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman usahatani, pendapatan petani, status lahan, dan luas lahan yang digarap oleh petani responden. Tabel 1. Variabel Terikat dan Bebas

Variabel Unit Deskripsi Variabel Respon Yang Diharapkan

Y Pemanfaatan Sumber Permodalan

Dummy D = 1 Jika memanfaatkan sumber pembiayaan lain; 0 hanya memanfaatkan

modal sendiri

+

X1 Umur Tahun Umur responden + X2 Pendidikan Tahun Tingkat pendidikan formal

responden +

X3 Pekerjaan Utama Dummy D = 1 Jika pekerjaan utamanya petani; 0

lainnya

+

X4 Tanggungan Keluarga

Orang Tanggungan keluarga responden

+

X5 Pengalaman Usahatani

Tahun Pengalaman usahatani padi petani responden

+

X6 Pendapatan Petani Rp Pendapatan petani responden per bulan

+

X7 Status Lahan Dummy D = 1 Jika status lahan milik sendiri, 0 lainnya

-

X8 Luas Lahan Hektar Luas kepemilikan dan garapan petani responden

+

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden Kajian ini menyurvey 103 petani responden yang melakukan usahatani padi pada

musim tanam pertama Tahun 2014/2015. Karakteristik responden yang diamati dalam kajian merupakan variabel bebas yang akan diukur pengaruhnya terhadap keputusan petani untuk menggunakan modal lain yang tersedia selain modal sendiri yang terdiri dari umur petani, pendidikan, pekerjaan utama, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman usahatani, pendapatan petani, status lahan, dan luas lahan yang digarap oleh petani responden (Tabel 2.)

1237

Tabel 2. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik Responden Min Maks Median Rata

Umur (tahun) 21 67 45 45.3

Pendidikan (tahun) 0 12 6 7.252

Pekerjaan Utama (Petani :1, lainnya: 0) 0 1 0 0.1262

Tanggungan Keluarga (orang) 2 10 4 4.738

Pengalaman Usahatani (tahun) 1 45 10 14.46

Pendapatan Petani (Rp/bulan) 500,000 10,000,000 2,000,000 2,080,248

Status Lahan (Milik:1, lainnya:0) 0 1 1 0.5243

Luas Lahan (hektar) 0.25 4 1 0.9293

Sumber: data primer, 2015

Petani responden pada saat pengkajian memiliki umur berkisar antara umur 21 tahun – 67 tahun dengan rata-rata umur sekitar 45 tahun. Proporsi rataan umur responden berada pada posisi umur produktif, tentunya akan mempengaruhi kepada produktivitas kerjanya dalam melakukan usahatani padi.

Pendidikan merupakan salah satu sarana yang mengatur kebutuhan ilmu pengetahuan, dan kecakapan atau keterampilan. Selain itu pendidikan juga merupakan salah satu faktor penentu sikap seseorang dalam pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pola dan cara berpikir seseorang, kecenderungan semakin tinggi pendidikan seseorang, biasanya semakin baik pola berpikirnya, kemampuan seseorang dalam kecepatan untuk mengadopsi suatu informasi dipengaruhi salah satunya dengan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Pendidikan petani responden sebagaian besar baru mencapai pendidikan dasar dengan nilai rataan pendidikan formal sebesar 7, 252 tahun, dimana masih terdapat petani yang tidak merasakan pendidikan formal sama sekali, namun terdapat petani juga yang sudah mendapatkan pendidikan formal sampai menengah atas (12 tahun).

Jumlah tanggungan keluarga erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Tanggungan keluarga petani terdiri dari istri, anak dan orang yang hidupnya dibiayai oleh petani tersebut. Jumlah tanggungan keluarga mempengaruhi terhadap pengeluaran responden. Rata-rata petani responden memiliki tanggungan sebanyak 5 orang dengan kisaran tanggungan sebesar 2 orang – 10 orang. Pekerjaan utama petani responden sebagian besar hanya berprofesi sebagai petani, pekerjaan utama lainnya yaitu sebagai pedagang input, pedagang beras, tukang bangunan, supir, dan PNS.

Pengalaman berusaha sangat diperlukan untuk mengembangkan kegiatan, dikarenakan semakin lama usahatani yang dikelolanya maka semakin matang dalam pengembangan usahataninya, petani responden memiliki pengalaman usahatani padi berkisar antara 1 tahun - 45 tahun, tetapi rata-rata petani responden memiliki pengalaman usahatani padi selama 14 tahun. Semakin berpengalaman tentunya dapat semakin memahami upaya peningkatan produktivitas dalam usahatani padi.

Pendapatan petani perbulan bervariasi tergantung dari pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan lainnya. Rata-rata perbulan petani responden memperoleh pendapatan sekitar Rp 2.000.000,- dengan kisaran pendapatan sebesar Rp 500.000 – Rp 10.000.000,-

Status kepemilikan lahan petani responden bervariasi, terdapat petani responden yang berstatus pemilik penggap dan hanya penggarap saja dengan sistem bagi hasil ataupun sewa. Sementara luas garapan petani responden berkisar antara 0,25 hektar – 4 hektar dengan rata-rata responden memiliki luas garapan sebesar 0,91 hektar. Status kepemilikan dan luas lahan garapan sangat mempengaruhi terhadap keputusan dan proses produksi yang akan dihasilkan. Semakin luas penguasaan lahan maka semakin tinggi nilai yang diperoleh dan secara aksesibilitas permodalan akan semakin mudah. Hal ini karena petani mempunyai agunan berupa sawah. Petani responden merupakan petani pemilik penggarap dengan asumsi petani

1238

Ketersediaan Sumber Permodalan Usahatani Padi Perbankan dan Sumber Pembiayaan Formal

Bank dan lembaga perkreditan merupakan sumber pembiayaan yang sudah banyak tersedia, namun bagi petani responden sumber pembiayaan dari lembaga ini sangat sulit untuk diakses. Petani responden banyak mengakses pembiayaan dari kredit program seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang dikelola oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang ada di daerahnya.

Kios Sarana Produksi Pertanian Kios sarana produksi pertanian merupakan usaha perorangan yang menyediakan

keperluan sarana produksi bagi petani. Namun dikarenakan sering membantu petani dalam memberikan pinjaman atau bantuan modal berupa sarana produksi, sehingga dimasukan kedalam lembaga keuangan informal. Kios sarana produksi pertanian memberikan bantuan kepada petani dalam bentuk barang atau sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida. Prosedur pemberian pinjaman kios sarana produksi pertanian ini terbatas kepada petani yang memiliki hubungan baik atau dikenal oleh pemilik dan dianggap memiliki tanggung jawab dalam pengembaliannya.

Keberadaan kios sarana produksi pertanian sangat membantu petani dalam penambahan modal untuk pengadaan sarana produksi pertanian. Prosedurnya sangat sederhana yaitu berupa kesepakatan secara langsung antara pemilik kios dengan petani, petani dapat memperoleh bantuan sarana produksi yang dibutuhkan. Biasanya akses ke lembaga ini bersifat insidensial atau mendadak ketika benar-benar membutuhkan sarana produksi tersebut. Kelebihan dari kios sarana produksi yaitu petani dapat memanfaatkan pinjaman dengan efektif untuk usahatani padi sawah karena biasanya berupa sarana produksi dan prosedurnya sangat mudah hanya dengan modal kepercayaan saja.

Pedagang Hasil Pertanian Pedagang hasil pertanian adalah orang atau perusahaan yang membeli hasil dari

petani secara langsung atau sering dikenal dengan tengkulak. Tetapi keberadaan tengkulak sangat membantu petani dalam permodalan usaha karena memberikan bantuan kepada petani dalam bentuk uang atau barang yang berupa sarana produksi pertanian dengan jaminan barang hasil pertaniannya harus dijual kepada yang member bantuan modal.

Prosedurnya sangat mudah, hanya kepercayaan dan kesepakatan antara pemberi modal dengan petani. Bunga yang ditanggung petani bervariasi antara 2-3 persen per bulan. Ada juga yang tidak dikenakan bunga pinjaman, namun petani diharuskan menjual seluruh hasil produksinya dengan harga di bawah harga pasar (umumnya Rp 100/kg dibawah harga pasar), sedangkan jangka waktu pembayaran umumnya satu musim (4 bulan).

Pelepas Uang Pelepas uang adalah orang yang memiliki modal lebih, sehingga dapat memberikan

bantuan modal kepada orang lain dengan menerapkan tingkat bunga tertentu. Petani kebanyakan terpaksa meminjam kepada pelepas uang, karena tidak dapat mengakses sumber permodalan lain dan prosedurnya mudah walau dengan bunga yang cukup tinggi.

Sumber Keuangan Informal Lainnya (Saudara, Teman, dan Tetangga) Sumber keuangan informal ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan

sebagai saudara, teman, atau tetangga yang memberikan bantuan modal kepada petani dengan atau tanpa balas jasa di kemudian hari. Petani banyak mengakses lembaga ini dikarenakan kedekatan dan tanpa prosedur yang rumit hanya sebatas perjanjian dan kesepakatan pengembaliaanya.

Pemanfaatan Sumber Permodalan Sifat kegiatan pertanian yang tergantung musim berarti menghadapi banyak

ketidakpastian, sehingga dalam rangka mendukung usahatani diperlukan sumber modal yang lebih fleksibel. Untuk memproduksi lebih banyak, petani harus mengeluarkan uang untuk benih/bibit unggul, pestisida, pupuk dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti

1239

itu harus dibiayai dari tabungan atau dengan meminjam (Mosher, 1966). Sumber permodalan petani responden di lokasi pengkajian dalam berusahatani padi sawah berasal dari modal sendiri, kombinasi antara modal sendiri sebagai modal utama dan modal dari luar berupa pinjaman kredit, bantuan pemerintah berupa saprotan (pupuk, benih,) dan lainnya seperti modal pemilik dengan penggarap sebagai modal tambahan.

Berdasarkan Tabel 3. sebagian besar modal yang digunakan petani untuk usahatani padi sawah berasal dari kombinasi modal sendiri sebagai modal utama dan sisanya berasal dari modal luar berupa bantuan pemerintah atau pinjaman kredit (63,11%). Petani responden lainnya hanya menggunakan modal sendiri (29,13%), dan pinjaman (7,77%).

Tabel 3. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi

n Persentasi

(%)

Sumber Pembiayaan Usahatani

Modal Sendiri 30 29,13

Pinjaman 8 7,77

Modal Sendiri + Pinjaman 65 63,11

Total 103 100,00 Sumber: data primer, 2015

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani Responden Dalam Pemanfaantan Sumber Permodalan

Hasil analisis regresi probit yang disajikan pada Tabel 4. Menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk memanfaatkan sumber permodalan yaitu status lahan dan luas lahan garapan. Status lahan berupa dummy jika merupakan pemilik maka bernilai 1 lainnya 0 menunjukkan nilai negatif sebesar -0,53 namun signifikan pada taraf signifikansi 10%. hal ini menunjukkan bahwa jika status lahan sebagai milik petani, maka kemungkinan untuk memanfaatkan sumber pembiayaan selain modal sendiri semakin kecil. Petani pemilik memiliki kecenderungan sudah dapat mencukupi kebutuhan usahatani padinya dengan hanya menggunakan modal sendiri.

Faktor lainnya yang signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk memanfaatkan sumber permodalan lainnya selain permodalan sendiri yaitu luas lahan garapan. Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien untuk luas lahan garapan yaitu sebesar 1.25 signifikan pada level 5%. Hal ini menunjukkan bahwa jika luas lahan garapan semakin luas, maka kemungkinan untuk memanfaatkan sumber pembiayaan selain biaya sendiri semakin tinggi. Faktor umur, pendidikan, pekerjaan utama, tanggungan keluarga, pengalaman usahatani, dan pendapatan petani responden tidak signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk memanfaatkan sumber pembiayaan selain biaya sendiri.

1240

Tabel 4. Hasil analisis regresi probit menggunakan R

Coefficients: Estimasi Std. Error z value Pr(>|z|) Signifikansi

(Intercept) -0.237 0.957 -0.248 0.80442

Umur 0.0154 0.01837 0.838 0.40183

Pendidikan -0.02425 0.06347 -0.382 0.70243

Pekerjaan Utama -0.4177 0.4285 -0.975 0.32975

Tanggungan Keluarga -0.03516 0.0854 -0.412 0.68056

Pengalaman Usahatani

-0.01847 0.01922 -0.961 0.33658

Pendapatan Petani 3.476E-08 6.67E-08 0.521 0.60206

Status Lahan -0.5317 0.307 -1.732 0.08332 . Luas Lahan 1.252 0.4211 2.974 0.00294 ** Kode Signifikansi: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1 Null deviance: 124.28 on 102 degrees of freedom

Residual deviance: 104.14 on 94 degrees of freedom

AIC: 122.14

KESIMPULAN

Faktor yang mempengaruhi pemanfaatan sumber permodalan usahatani padi secara

signifikan adalah luas lahan garapan dan status lahan. Semakin luas lahan yang digarap oleh petani, maka semakin besar upaya petani untuk memanfaatkan sumber permodalan yang tersedia. Namun petani dengan status lahan sebagai pemilik penggarap lebih berpeluang untuk memanfaatkan modal sendiri saja. Terdapat beberapa dengan alasan petani hanya menggunakan modal sendiri: 1) Modal sendiri sudah cukup untuk membiayai usahatani padinya; 2) Tidak mengetahui prosedur melakukan pinjaman ke sumber pembiayaan lain. 3) Sumber pembiayaan yang ada sangat terbatas.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementerian Pertanian yang sudah mendanai pengkajian ini. Penyuluh Pertanian Kecamatan Ciruas, Kecamatan Lebak wangi, Kecamatan Tirtayasa, dan Kecamatan Pontang yang telah membantu dalam pelaksanaan survey. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. 2014. Kabupaten Serang Dalam Angka. Kabupaten Serang Provinsi Banten

Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian: Suatu Analisis Data Makro.Monograph Series No.3. Perkembangan Kredit Pertanian di Indonesia (Andin H.Taryoto. Abunawan Mintoro. Soentoro. Hermanto (Editor). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.63-85.

Malcham. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis.LP3S. Bogor

Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Sosial Ekonomi (LP3ES). Jakarta.

Mudlak, Y. 1988. Capital Accumulation: The Choice of Techniques and Agriculture Output, in Mellor and Achmad (Ed). Agriculture Price Policies for Development Countries. John Hopkins, London.

1241

Mulyaqin, Tian dan Astuti, Yati. 2013. Ketersediaan Dan Pemanfaatan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Sawah Di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Bulletin Ikatan BPTP Banten Volume 3 No. 1

Wulandari, Evy. Dan Sutanto, Herry Tri. 2013. Model Regresi Probit Untuk Mengetahui Faktor-Faktor yang mempengaruhi Jumlah Penderita Diare di Jawa Timur. E-Journal UNESA Vol 2 No. 1. http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/mathunesa/article/view/1358 Diakses tanggal 5 April 2016.

1242

KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA DI LOKASI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (MKRPL)KABUPATEN

BENGKULU TENGAH DAN BENGKULU SELATAN

Siswani Dwi Daliani

Balai Pengkajian Teknologi Bengkulu Jl. Irian km 6.5 Kelurahan Semarang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga di lokasi MKRPL Kabupaten Bengkulu Tengah (dekat perkotaan) dan lokasi MKRPL Desa Sulau Kabupaten Bengkulu Selatan (perdesaan) (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis, menggunakan metode” purposive random sampling” untuk penentuan daerah penelitian dan metode “simple random sampling” untuk pengambilan sampel. Sampel data adalah anggota kelompok wanita tani (KWT) yang menjadi kooperator MKRPL dengan jumlah sampel 40 kooperator yang terdiri dari 20 kooperator dari Desa Sulau, Kecamatan Kedurang ilir Kabupaten Bengkulu Selatan, dan 20 kooperator dari Desa Jaya Karta , Bengkulu Tengah yang dilakukan pada bulan Oktober 2014 dan bulan Mei tahun 2015. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, pemilikan lahan, pendapatan, pola konsumsi pangan rumah tangga dan pengeluarannya. Analisis data yang digunakan meliputi: (1) tabulasi data konsumsi pangan, pendapatan dan pengeluaran untuk kebutuhan pangan, (2) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi pangan dengan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan pola konsumsi terutama padi-padian (beras) di lokasi MKRPL di kedua Desa tersebut, Desa Jayakarta dekat perkotaan sedangkan Desa Sulau Perdesaan. Konsumsi beras di dekat perkotaan rata-rata (24,15 kg/bln) lebih rendah dari pada di perdesaan ( 36,59 kg) dengan jumlah rata-rata 3 jiwa/KK. Konsumsi sumber protein hewani ( ikan, ayam, telur) dan nabati (kacang-kacangan) serta kebutuhan pokok (minyak goreng, susu, teh dan kopi) lebih tinggi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk konsumsi sayuran hampir seimbang antara perkotaan dan perdesaan hanya saja untuk wilayah perkotaan jenis sayuran yang dikonsumsi lebih beragam (katuk, daun singkong, oyong, pare, terong, labu siam dan kacang panjang). Selain itu juga wilayah perkotaan terbiasa mengkonsumsi makanan ringan seperti kue, roti, gorengan dan lain-lain. Dilihat dari pendapatan, pendapatan rumah tangga di lokasi MKRPL perkotaan sebesar Rp. 1.940.000/bln lebih tinggi dibanding pendapatan rumah tangga di lokasi MKRPL perdesaan yaitu Rp. 1.017.803 Secara keseluruhan pengeluaran untuk konsumsi pangan di perkotaan sebesar Rp. 959.493,99,-/bln, lebih tinggi di banding pengeluaran konsumsi di perdesaan sekitar Rp. 642.387,-/bln. Dari hasil analisis, faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi pangan adalah: umur, pendapatan dan asset. Kata kunci: Pola konsumsi pangan, perkotaan, perdesaan

PENDAHULUAN

Kualitas Sumber Daya Manusia sangatlah dibutuhkan dalam Pembangunan masyarakat Indonesia yang berkesinambungan. Peran pangan dan gizi menjadi lebih penting dalam mencapai tujuan ini. Orientasi pembangunan pangan saat ini bergeser dari program berorientasi beras ke program berorientasi pangan dan akan menekankan pada perbaikan ketahanan pangan, kesempatan kerja dan pendapatan petani. Hal ini dapat dicapai melalui diversifikasi pangan (produksi dan konsumsi), peningkatan kualitas pangan dan pengamanan kestabilan harga pada tingkat yang terjangkau oleh masyarakat.

1243

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut, terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia.

Permasalahan ketahanan pangan pada dasarnya masih berkisar pada tiga hal yang selama ini belum dicarikan solusinya secara tuntas, yaitu: akses, distribusi dan daya beli bahan pangan. Pada tingkat nasional, ketersediaan pangan dianggap sudah tercukupi, namun pada tingkat makro sekitar 20 % keluarga mengkonsumsi pangan kurang dari takaran yang direkomendasikan. Lebih jauh Rachman dan Ariani (2007) menyebutkan bahwa tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat keharusan dari terwujudnya ketahanan pangan nasional, namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan pangan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga/individu. Oleh karena itu, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan untuk mengantisipasi kerawanan pangan, yang meliputi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pangan strategis secara berkelanjutan, peningkatan efisiensi dan efektifitas distribusi pangan, pemberdayaan masyarakat/petani yang berkelanjutan dan percepatan penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada pangan utama beras. Hal ini diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang belum sesuai harapan, dan belum optimalnya pemanfaatan sumber bahan pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan (BKP, 2010).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah dengan kendala dalam distribusi pangan antar daerah, menyebabkan pola konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi. Seperti diketahui, provinsi Bengkulu terbagi dalam beberapa wilayah yang penduduknya sangat beragam dengan baragam adat istiadatnya (sosial budaya, ekonomi, kebutuhan biologis) yang akan mempengaruhi pemilihan jenis makanan yang mereka konsumsi.

Lokasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL) di provinsi Bengkulu dua diantaranya berada Kabupaten Bengkulu Tengah dan Bengkulu Selatan, yang masing-masing wilayah mewakili wilayah perdesaan dan perkotaan. Kedua wilayah ini memiliki karakteristik yang berbeda terutama dari sumber pendapatan, masyarakat lokasi MKRPL Kabupaten Bengkulu Selatan sebagian besar sumber pendapatannya dari hasil usahatani sedangkan masyarakat lokasi MKRPL kota Bengkulu Tengah (Perkotaan) sebagian besar sumber pendapatannya berasal dari non usahatani. Terdapat dugaan bahwa pola konsumsi sangat berkaitan erat dengan pola produksi setempat. Hal ini menyebabkan munculnya penelitian-penelitian yang membandingkan tingkat partisipasi konsumsi pangan dengan tipe agroekosistem daerah (Sudaryanto dan Sayuti, 1999) karena variasi daerah menurut tipe agroekosistem menunjukkan perbedaan sistem usahataninya. Penelitian ini membedakan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan yang ditetapkan sebagai lokasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Perbedaan sistem usahatani /usaha otomatis menunjukkan perbedaan tingkat pendapatan yang selanjutnya menimbulkan perbedaan pola konsumsi. Dari beberapa hal yang dikemukakan, maka secara spesifik dapat dirumuskan masalah yang perlu diteliti yaitu: bagaimanakah pola konsumsi pangan rumah tangga di wilayah perkotaan dan perdesaan, apakah sudah sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) serta faktor-yang mempengaruhi pola konsumsi pangan di perdesaan dan di perkotaan.

Bertolak dari uraian tersebut, maka peneltian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga perdesaan dan perkotaan (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi pangan di lokasi MKRPL perdesaan dan diperkotaan.

1244

METODE

Penelitian dilakukan di lokasi MKRPL tepatnya di Desa Sulau, Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Desa Jayakarta Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Tengah pada bulan Oktober 2014 dan bulan Mei tahun 2015. Sampel data adalah anggota kelompok wanita tani (KWT) yang menjadi kooperator MKRPL. Pengambilan data dilakukan secara sampel random sampling dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dengan jumlah sampel 40 kooperator yang terdiri dari 20 kooperator dari Sulau dan 20 kooperator dari Desa Jayakarta.Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, pemilikan lahan, pendapatan, pola konsumsi pangan dan pengeluarannya. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan regresi linier berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kooperator Karakteristik rumah tangga (kooperator MKRPL) di Desa Jayakarta dan Kabupaten Bengkulu Selatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Kooperator di Jayakarta (Perkotaan) dan Kabupaten Bengkulu Selatan ( Perdesaan).

Uraian Perkotaan Perdesaan

Umur 41.15 38.63

Pendidikan 8.55 6.5

Pekerjaan utama Bangunan, tani dan guru tani

Pendapatan 1940000 1017803.03

Jumlah tanggungan Keluarga 2.95 3.45

Keluarga yang ikut usaha tani 0.5 2.27

Tegalan 140 2340

Pekarangan 261 483.34 Kolam 1 1

Umur Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang dalam kegiatan usaha,

pengalaman berusaha dan pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan yang menyangkut dirinya, yang tentunya berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa umur rata-rata rumah tangga (kooperator MKRPL) di perkotaan dan kooperator MKRPL perdesaan tidak berbeda secara nyata, sama-sama termasuk usia sangat produktif yaitu untuk perkotaan 41,15 dengan kisaran 23-64 tahun dan di perdesaan umur rata-rata rumah tangga kooperator 38,63 tahun dengan kisaran 19-55 tahun. Dengan demikian diperkirakan kooperator memiliki kemauan dan kemampuan yang cukup dalam menyikapi program.

Pendidikan Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui

kemampuan berpikir dan kualitas seseorang. Dilihat dari pendidikan rata-rata kooperator perkotaan (8,55 tahun) atau setingkat SMP lebih tinggi dibanding yang berada diperdesaan (6,5 tahun) atau setingkat SD.

1245

Ditinjau dari segi pekerjaan utama yang digeluti kooperator, untuk wilayah

perdesaan 100% petani dan sekitar 50 % memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan dan pedagang. Sedangkan jenis pekerjaan yang digeluti kooperator perkotaan beraneka ragam yaitu: buruh bangunan (35 %), tani (20 %), PNS (20 %) dan sisanya 25 % wiraswasta (dagang, bengkel, jasa salon, pembantu rumah tangga dll).

Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan rumah tangga dalam

berusaha dan merupakan indikator kesejahteraan masyarakat dan pendapatan juga dapat berpengaruh pada pola konsumsi. Rata-rata pendapatan rumah tangga kooperator MKRPL Perkotaan di Desa Jayakarta (Bengkulu Tengah) sebesar Rp. 1.940.000,- lebih tinggi dari pendapatan kooperator MKRPL Bengkulu Selatan ( Perdesaaan ) yang sebesar Rp. 1.017.803,-.

Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu keluarga merupakan beban keluarga dalam

penyediaan segala kebutuhan hidup, tetapi disisi lain merupakan sumber tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan usaha. Jumlah tanggungan keluarga kooperator MKRPL di perdesaan dan di perkotaan tidak berbeda nyata, di perdesaan 3,45 Jiwa dan kooperator MKRPL di perkotaan 2, 95 jiwa.

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk menilai tingkat

kesejahteraan (ekonomi) penduduk, dan perubahan komposisinya sebagai indikasi perubahan tingkat kesejahteraan. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana wilayah perdesaan dan perkotaan konsumsi pangannya, akan diuraikan gambaran tentang: konsumsi pangan rumah tangga yang dirinci menurut jenis pangan dalam tiap kelompok pangan, perkotaan dan perdesaan per bulan dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa konsumsi padi-padian khususnya beras untuk lokasi MKRPL di perkotaan sebesar 24,15 kg/bulan dengan jumlah jiwa rata-rata 2,95/KK lebih rendah dibanding di perdesaan dengan jumlah konsumsi sebesar 36,59 kg/bulan dengan jumlah jiwa rata-rata 3,45/KK. Berarti untuk perkotaan perjiwa hanya mengkonsumsi beras 8,18 kg/bulan sedangkan di perdesaan sebesar 10,65 kg/bulan. Lebih rendahnya konsumsi beras di perkotaan disebabkan sebagian keluarga untuk sarapan pagi terbiasa mengkonsumsi kue/roti-rotian.

Konsumsi sumber protein hewani yang meliputi ikan daging ayam dan telur mendapatkan proporsi yang tinggi di lokasi MKRPL perkotaan sekitar 19,77%, lebih tinggi daripada proporsi pengeluaran untuk konsumsi beras yang hanya 17, 88%. Sementara di lokasi MKRPL perkotaan tingkat konsumsi hewani juga mendapatkan proporsi cukup layak sekitar 16,92 % atau peringkat kedua setelah beras yang proporsinya tinggi (39,87%).Tetapi bila kita bandingkan antara perkotaan dan perdesaan, tingkat konsumsi sumber protein hewani di perkotaan lebih tinggi seperti konsumsi daging ayam di perkotaan perbulan rata-rata rumah tangga sebanyak 2,1 kg sedangkan di perdesaan hanya 0,68 kg. Selain mengkonsumsi sumber protein dari hewani, rumah tangga kooperator MKRPL juga mengkonsumsi sumber protein nabati (kacang-kacangan) seperti tempe, tahu dan kacang hijau dengan proporsi yang layak yaitu 11,8 % di perkotaan dan 9,98 % di perdesaan, dan bila kita bandingkan rumah tangga kooperator di perkotaan tingkat konsumsi akan kacang-kacangan lebih tinggi dari pada perdesaan.

Konsumsi sayuran dan buah-buahan pada rumah tangga kooperator di lokasi MKRPL perkotaan dan perdesaan masih rendah, di perkotaan konsumsi sayuran dan buah-buahan menduduki peringkat ke dua dan ketiga terendah setelah umbi-umbian yaitu 4,94 % (sayuran) dan 6,94 % (buah-buahan). Sementara di perdesaan proporsinya sebesar 6,8 % (sayuran) dan 4,36% (buah-buahan). Bila kita bandingkan antara perkotaan dan perdesaan

1246

untuk konsumsi sayuran dan buah-buahan hampir seimbang, hanya saja untuk wilayah perkotaan jenis sayuran yang dikonsumsi lebih beragam (katuk, daun singkong, oyong, pare, terong, labu siam dan kacang panjang).

Tingkat konsumsi kebutuhan pokok seperti gula, kopi, teh dan minyak goreng lebih tinggi di lokasi MKPL perkotaan dibanding perdesaan, ini dapat diketahui bahwa konsumsi kebutuhan pokok mendapatkan proporsi yang cukup tinggi (13,14 %) sedangkan di perdesaan 10,1 %. Selain itu juga wilayah perkotaan terbiasa mengkonsumsi makanan ringan seperti kue, roti, gorengan dan lain-lain dengan proporsi cukup layak dalam pola konsumsi pangan bagi rumah tangga yaitu 8,34 % sedang di perdesaan proporsinya sangat rendah, hanya 0,22 %.

Konsumsi tembakau (rokok) terlihat cukup menonjol baik di lokasi MKRPL perkotaan maupun di perdesaan dengan proporsi 16,96 % di perkotaan dan 11,29 di perdesaan

1247

Tabel 2. Konsumsi Pangan Rata-Rata Per Bulan Pada Rumah Tangga Kooperator MKRPL Di Lokasi MKRPL Perdesaan Dan Perkotaan

No. Jenis pangan Perkotaan (kg)

Perdesaan Pengeluaran (Rp)

Perkotaan Perdesaaan 1. Padi-padian (beras) 24,15 36,59 171585,75 256130

2. Umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, kentang)

0,6 3,49 1800 3010

3. Ikan Ikan laut Ikan air tawar Ikan asin

3,43 1,6

1,65

2,4

1,18 1,15

49500 25600 26400

28800 18800 18400

4. Daging ayam 2,1 0,68 42000 13600

5. Telur 308 1,94 46200 29100

6. Sayur-sayuran Kangkung Bayam Sawi Pare Terong Toge

3,72

0,871 1,263 0,35 3,2 1,3

4,418 0,65 0,72

1 3,36 0,09

9300

10050 8420 1400

12800 5400

11045 5000 9600 4000

13440 630

7. Kacang-kacangan (tahu, tempe dan kacang hijau

17,25 9,61 113398,24 63934,53

8. Buah-buahan (pisang, jeruk, apel, salak, mangga, pepaya)

6,325 3,59 66600 28050

9. Kebutuhan pokok minyak goreng susu (kaleng) teh (kotak) kopi gula pasir

5,05 1,6 3,1

0,55 1,2

2,93

0 2

0,47 1,72

58580 13600 6200

16500 15600

29300

0 5000 4700

18920

mie (bungkus) 10,44 10,44 15660 6988

10. Makanan ringan kelanting keripik chiki (bungkus) roti (buah) kue (buah) pisang goreng (buah)

0,7 0,4 3 7,5 93 16,8

0.09 0 0 0,045 0 0

6800 6400 4500 7500 46500 8400

1080 0 0 315 0 0

11. Tembakau (bungkus) 17,6 12,09 162800 72540

Total 959.493,99 642.387

Rata-rata angota keluarga lokasi MKRPL di perkotaan = 2,95 dan di perdesaan = 3,45

1248

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumah Tangga Kooperator

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator MKRPL disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator MKRPL Variabel Independen Koefisien Rgresi T Hitung X1 (umur) 9785,458 2,269** X2 (pendidikan) 11231,882 0,535 ns X3 (jumlah anggota keluarga 25425,585 0,809ns X4 (luas lahan pekarangan) -136,077 -1,67 ns X5 (pendapatan) 0,244 4,337*** X6 (Asset) -0,014 -2,056** Konstanta 37885,504 R2 0,686 F 8,686 Durbin-Watson 1,936 Sumber: Analisis data primer, 2012 Keterangan: *: Signifikan pada tingkat kesalahan 10 % **: Signifikan pada tingkat kesalahan 5 % ***: Signifikan pada tingkat kesalahan 1 % ns: tidak signifikan

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3 diperoleh nilai R2 sebesar 0,471, hal ini menunjukkan bahwa keenam variabel bebas (umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan pekarangan, pendapatan dan asset) menjelaskan variabel terikat sebesar 68,6 % dan sisanya 31,4 % dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai F hitung sebesar 8,686 dengan tingkat kesalahan 0,1 % secara bersama variabel independen (xi) berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Y), artinya pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator MKRPL dipengaruhi oleh variabel independen (xi).

Dari hasil uji t, diketahui untuk variabel umur, pendapatan dan asset berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator MKRPL masing-masing pada tingkat kepercayaan 5 % dan 1 %. Sedangkan untuk variabel pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan pekarangan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator MKRPL.

Berdasarkan uji statistik secara parsial diketahui bahwa variabel umur dengan nilai t hitung 2,269,pendapatan dengan nilai t hitung 4,337 lebih besar dari nilai t-Tabel (2,021) pada tingkat kesalahan 5 %. dan nilai t Tabel 2,704 pada tingkat kesalahan 1 %. Hal ini menunjukkan bahwa umur dan pendapatan berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga kooperator, dengan nilai koefisien regresi bertanda positif, artinya semakin tua umur dan pendapatan seseorang akan meningkatkan besarnya pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga. Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang dalam kegiatan usaha, pengalaman berusaha, yang tentunya berpengaruh terhadap pendapatan keluarga, yang secara tidak langsung berpengaruh pada besarnya pengeluaran konsumsi pangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Penny (1994) dalam Anwar (2009) yang menyatakan besarnya konsumsi yang dapat dinikmati seseorang sangat tergantung pada besarnya pendapatan. Sementara menurut pendapat Nicholson (1991) dalam Anwar (2009), menyatakan bahwa persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatannya meningkat. Namun demikian untuk wilayah penelitian besarnya pendapatan yang diperoleh baru mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sedangkan untuk variabel asset berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan

1249

rumah tangga kooperator, dengan nilai regresi bertanda negative, artinya semakin tinggi asset yang dimiliki keluarga maka pengeluaran konsumsi pangan semakin menurun.

KESIMPULAN Dari hasil hasil penelitian dan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan pola konsumsi pangan di lokasi MKRPL perkotaan dan perdesaan terutama padi-padian (beras).

2. Konsumsi sumber karbohidrat (beras) perkotaan lebih rendah dibanding perdesaan 3. Konsumsi sumber protein hewani (ikan, ayam, telur) dan nabati (kacang- kacangan)

serta kebutuhan pokok (minyak goreng, susu, teh dan kopi) lebih tinggi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk konsumsi sayuran hampir seimbang antara perkotaan dan perdesaan.

4. Di wilayah perkotaan terbiasa mengkonsumsi makanan ringan seperti kue, roti, gorengan dan lain-lain.

5. Pendapatan rumah tangga di lokasi MKRPL perkotaan sebesar Rp. 1.940.000/bln lebih tinggi dibanding pendapatan rumah tangga di lokasi MKRPL perdesaan (Rp.1.017.803, 03)

6. Secarakeseluruhan pengeluaran untuk konsumsi pangan di perkotaan sebesarRp. 959.493,99,-/bln, lebih tinggi dibanding pengeluaran konsumsi di perdesaan sekitar Rp. 642.387,-/bln.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi pangan adalah: umur, pendapatan dan asset.

DAFTAR PUSTAKA

Ayiek, SS.2008. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di wilayah Historis

Pangan Beras dan Non Beras di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Bogor19 November 2008.

Anonim. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Konsumsi Pangan.

Badan Ketahanan Pangan, 2010. Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan. Jakarta Tahun 2010.

Ekstensia.2011. Peran Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung ProgramDiversifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Ekstensia edisi 4. Jakarta.

Handewi P. Saliem. 2011. Kawasan Rumah pangan Lestari Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah.

Khairil A, 2009. Analisis Pola Konsumsi masyarakat Pedesaan Di Kabupaten Bireuen Aceh. Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Lhokseumawe.

Kasryno, F.1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur. Yayasan Penelitian Survey Agso Ekonomi, Bogor.

Rachman dan Ariani, 2007. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga pasca Krisis Ekonomi di Propinsi Jawa Barat, Puslitbang Sosial Ekonomi pertanian, Bogor.

Rini A, Retno L. 2005. Pendapatan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Tani di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman. Agros Vol 6, No. 2. Fakultas Pertanian Janabadra. Yogyakarta.

Sudaryantodan Sayuti. 1999. Reorientasi Kebijakan Pembangunan Tanaman Pangan Pasca Krisis Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI. Jakarta.