Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

24
Kaidah Cabang Al-umuru bi Maqosidiha dan Penerapannya Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata kuliah : “Qawa’id Fiqiyah” Dosen Pengampu : Nilna Fauza, M.HI Disusun Oleh : Kelompok 2 (kelas J) Hafidhotut Tarbiyyah 932103013 Fajriatus Tsuroiyya 932103713 Nurul Choiriyah 932103913 Dody Utomo 932113114 JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

Transcript of Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Page 1: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Kaidah Cabang Al-umuru bi Maqosidiha dan Penerapannya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada

Mata kuliah : “Qawa’id Fiqiyah”

Dosen Pengampu :

Nilna Fauza, M.HI

Disusun Oleh : Kelompok 2 (kelas J)

Hafidhotut Tarbiyyah 932103013

Fajriatus Tsuroiyya 932103713

Nurul Choiriyah 932103913

Dody Utomo 932113114

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) KEDIRI

2016

Page 2: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha merupakan salah satu daripada

kaedah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam dalam Qawa’id

Fiqhiyyah. Jadi kaidah ini bolehlah ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari

segi bahasa dan istilah. Pengertian kaedah dari segi bahasa boleh

membawa maksud asas manakala menurut istilah pula bermaksud perkara

yang dipraktikkan daripada masalah atau perkara pokok kemudian

dipraktikkan terhadap perkara-perkara furu’ atau pecahan.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih

yang pertama, yaitu بمقاصدها .(al-Umuru bi Maqasidiha) االمور Kaidah

ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam

menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah

seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah

dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak

niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa makna al-Umuru bi maqasidiha ?

2. Apa dalil al-Umuru bi maqasidiha ?

3. Apa cabang-cabang dari al-umuru bi maqosidiha dan bagaimana

penerapannya ?

Page 3: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna kaidah االمور بمقاصدها

Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha

terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid

terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod. Secara etimologi lafadz al-

umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan,

kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi

maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.

Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf

baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan

maksud dari pekerjaan yang dilakukan.

Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad,

dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-

yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama,

beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma,

condong, mendatangi sesuatu dan menuju.

Makna Niat, Kata niat (النية) dengan tasydid pada huruf ya adalah

bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di

kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa

tasydid menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat

tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau

kesengajaan.Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa

berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah

berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam

mewujudkan tindakan.

Page 4: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa

semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: األمور .(”segala perkara tergantung kepada niatnya“) بمقـاصدها Niat sangat

penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,

apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada

Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia

tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.1

Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap

suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum

(mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.

Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum

yang dilarang dalam syari’at Islam. sebagai tambahan penjelasan perlu

kami tegaskan, bahwa apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal

yang terlarang dilakukannya dengan segala ketundukan karena ada

larangan yang berlaku dalam ketetapan syara’ maka tindakan tersebut

memperoleh pahala. Namun apabila tindakan tersebut berkaitan dengan

tabiat atau perasaan jijik terhdap sesuatu yang ditinggalkan tersebut tanpa

memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa

dan tabiat manusiawi yang tak beroleh pahala.

Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya rukhshah

(dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini,

terdapat nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai

dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan

memperoleh hukuman dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman

Allah SWT : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging

babi…” dan seterusnya. Apabila seorang mencegah diri untuk tidak

melakukan tindakan tersebut (konsumsi bangkai) dengan harapan bahwa ia

berpegang teguh pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku di

dalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah SWT dan

1 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya Ulumi ad-Diin, (Jakarta: Hidayah, 1996), Jilid 4,351

Page 5: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

pelaku mendapatkan pahala kebaikan yangditambahkan pada daftar

pahala-pahala kebaikannya disisiNya. Berbeda halnya apabila seseorang

tidak memakan bangkai karena faktor psikologis didalam diri merasa jijik

atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang

mengharamkannya atau dengan bahasa lain seseorang pasti akan

memakannya seandainya tidak merasa jijik maka tindakan tersebut tidak

berpahala sama sekali.2

B. Dalil االمور بمقاصدها

Ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang kaidah, berikut

ini :

1. Q.S Al Bayyinah ayat: 5

ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفآءالومآ امروآ االمة كوة وذ لك دين القي ويقيموا الصلوة ويؤتوا الز

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama

yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat

dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk

melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas.

2. Q.S Ali Imron ayat: 145

مؤجال كتابا الله باذن اال تموت ان لنفس كان قلى وما يرد ومن منها نؤته الدنيا منها جثواب نؤته االخرة ثواب يرد قلىومن

اكرين الش وسنجزىArtinya:barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan

kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala

akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami

akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.2 Nasher Farid M Wasil. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .(Jakarta: Amzah , 2009)hlm 6-7

Page 6: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

3. Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran

maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu

perbuatan seperti berikut:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم

ما لكل امرئ ما نوى . ات وإن ي ما األعمال بالن يقول : إن فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله

ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه( .رواه إماما المحدثين أبو عبد

الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن

مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هماأصح الكتب المصنفة

Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob

radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah 

bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan itu (tergantung)

niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan

dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya

karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka

hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa

yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena

wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai

sebagaimana) yang dia niatkan.3

(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin

Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu

Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi

3 Ma’shum Zainy Al-Hasimy, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah ( Jombang : Darul Hikmah , 2010)hlm 26

Page 7: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang

pernah dikarang).

العمل لمن ال نية لهArtinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat”. (HR. Anas Ibn Malik ra.)

إنما بعث الناس على نياتهArtinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)

Dari kaidah ini kemudian dikembangkan kaidah fikih lain seperti

“al-ibrah fi al ‘uqud bi al-maqashid wa an-niyyat”(yang menjadi patokan

dalam transaksi adalah tujuan niat).

من قتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو فى سبيل الله عزوجل

Artinya: "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عيناه حتى أصبح كتب له مانوى

Artinya: "Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat

malam, kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis

baginya pahala sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu

Zâr).4

4 Ibid, hlm 26-27

Page 8: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

C. Kaidah Cabang االمور بمقاصدها dan Penerapannya

Adapun kaidah cabangnya sebagai berikut:

بالنية إال ثواب ال“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan

perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik

itu ibadah yang mahdah (jika dilakukan tanpa niat,ibadah tersebut tidak

sah karena niat merupakan rukun) maupun ibadah yang ‘ammah (jika

dilakukan tanpa menyertakan niat beribadah maka perbuatan keduniaan

semata tidak mendatangkan pahala).5

عمله خير من المؤمن نية

“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.

Misalkan, apabila ada seseorang yang mengalami musibah

kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu

orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS

tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita

langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu,

agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu

tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu

dan menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu,

tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat

sanjungan dari orang lain.

فالمعتبر والقلب اللسان القلب  لواختلف في ما“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang

dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”

5 Suyatno.Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2011)hlm 234

Page 9: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Sebagai contoh, apabila hati niat wudhu, sedang yang diucapkan

adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.

يفعله ما جملة في تلزم إنما جزء كل في نيةالعادة يلزم ال

“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam

keseluruhan yang dikerjakan”.

Contohnya, yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk

melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan

niat pada tiap kali gerakan shalat.6

والعمرة الحج نية واحد إال تجزيهما فال ضين مفر كل“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji

dan umrah”.

Berdasarkan kaidah di atas, dapat diambil contoh sebagai berikut,

yaitu seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut

ingin berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi

wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak

boleh dengan satu niat saja.

النية بمجرد أصله عن ينتقل فال أصل له كان ما  كل

“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal

karena semata-mata niat”

Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia

berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.

Contoh lain misalnya jika kita berniat membayar hutang puasa ramadhan,

tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang

hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar

hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis,

maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk

dilaksanakan.

6 A.Djazuli.Kaidah-kaidah fikih.(Jakarta: Kencana,2007, Ed.1.Cet.ke-2)hlm 38-42

Page 10: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

  ا الالفظ للفظمقاصد نية على

“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.

Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan

seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu

sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.

Contohnya seperti jika kita memanggil seseorang dan kita

memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu

sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti

memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari

ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang

yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah

hanya sekedar bercanda.

Dalam hal lain misalnya,maksud kata-kata seperti talak, hibah,

naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat

orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya,

apakah maksudnya itu zakat, atau sedekah,apakah shalat itu maksudnya

shalat fardhu atau shalat sunnah.

والمقاصد األلفاظ مبنية عىل األيمان

“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.

Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan,

yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan

seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan

sumpahnya itu. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan

sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada

dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan

baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

Page 11: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Contohnya seperti apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah

saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu,

apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan sumpahnya itu disaksikan

oleh orang lain, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah

untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu,

apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.

ني المبا و ظ لفا لأل ني المعا و صد لمقا د العقو في ة العبر“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-

kata dan ungkapannya”.

Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang

ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun

katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut

bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.7

مبطل فيه فالخطا عيين الت فيه يشترط ما(sesuatu yang disyaratkan {diharuskan} untuk ditentukan, kesalahan pada

penentuan menjadikan sesuatu itu batal).

Misalnya, orang yang melaksanakan sholat dhuhur, tetapi ia keliru

niat sholat ashar maka sholatnya tidak sah. Sehingga dalam kasus ini

menentukan bahwa sholat dhuhur adalah keharusan bagi sahnya ibadah

tersebut.

ض له جملة وال يشترط تعيينه تفصيال عر ما يشترط التنه وأخطأ ضر أذاعي

(Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis besar, jika di

dalam pelaksanaannya ditentukan secara rinci, jika salah dalam

penentuan berakibat fatal).

7 Firdaus.Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.(Padang: IAIN Press,2010)hlm 53-58

Page 12: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

Misalnya, orang yang niat melaksanakan sholat jenazah laki-laki,

tetapi ternyata jenazahnya perempuan, maka sholatnya tidak sah. Dalam

hal ini menentukan jika sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.

نه وا خطأ لم ض له جملة وال تفصيال أذا عي عر ما ال يشترط التيضر

(Sesuatu yang tidak di syaratkan untuk menyebutkannya, baik secara

garis besar, maupun secara detail, jika disebutkan dan ternyata salah,

maka tidak membawa kerusakan).

Misalnya orang yang niat sholat ashar di Mesir, ternyata ia berada

di Irak, shalatnya tetap sah. Dalam hal ini menentukan tempat sholat tidak

dipersyaratkan sama sekali, baik secara garis besar maupun detail.8

8 Suwarjin. Ushul Fiqh .(Yogyakarta: Teras, 2012)hlm 215-216

Page 13: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengertian kaidah bahwa االمــور بمقاصــدها hukum yang

berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau

perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan

dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau

perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syari’at Islam.

Ada 12 kaidah cabang Al-Umuru bi Maqasidiha diantaranya

sebagai berikut :

بالنية إال ثواب ال

عمله خير من المؤمن نية

فالمعتبر والقلب اللسان القلب  لواختلف في ما

يفعله ما جملة في تلزم إنما جزء كل في نيةالعادة يلزم ال

والعمرة الحج نية واحد إال تجزيهما فال ضين مفر كلالنية بمجرد أصله عن ينتقل فال أصل له كان ما  كل

  ا الالفظ للفظمقاصد نية على

والمقاصد األلفاظ مبنية عىل األيمان

ني المبا و ظ لفا لأل ني المعا و صد لمقا د العقو في ة العبر

مبطل فيه فالخطا عيين الت فيه يشترط مانه ض له جملة وال يشترط تعيينه تفصيال أذاعي عر ما يشترط الت

وأخطأ ضر

Page 14: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

نه وا خطأ لم ض له جملة وال تفصيال أذا عي عر ما ال يشترط التيضر

Page 15: Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali.1996. Ihya Ulumi ad-Diin.

Jakarta: Hidayah.

A.Djazuli.2007. Kaidah-kaidah fikih.Jakarta: Kencana Ed.1.Cet.ke-2.

Firdaus.2010. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.Padang: IAIN Press.

Ma’shum Zainy Al-Hasimy.2010. Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul

Bahiyyah .Jombang : Darul Hikmah.

Nasher Farid M Wasil.2009. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .Jakarta: Amzah.

Suwarjin.2012. Ushul Fiqh .Yogyakarta: Teras.

Suyatno.2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media.