kadarzi ipb.docx
description
Transcript of kadarzi ipb.docx
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)
Keadaan gizi masyarakat Indonesia masih belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi
seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang
yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan
keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan
dan perilaku keluarga dalam memilih, mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga,
ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap
pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas (Depkes 2007b).
Perbaikan status gizi masyarakat merupakan fokus prioritas poin kedua dalam kerangka
kebijakan pembangunan kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) bidang kesehatan tahun 2010-2014. Salah satu upaya untuk
memperbaiki status gizi masyarakat yaitu dengan cara peningkatan pelayanan gizi dan
masyarakat melalui pembinaan gizi masyarakat yaitu melalui program KADARZI (Sarjunani
2009).
KADARZI mulai dicanangkan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh Departemen Kesehatan.
Disebut keluarga sadar gizi jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara mandiri mewujudkan
keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin pada pola konsumsi yang beraneka ragam dan
bergizi seimbang (Luciasari dkk,1996).
KADARZI adalah keluarga yang telah mempraktekkan perilaku gizi yang baik dan benar sesuai
kaidah imu gizi, dapat mengenali masalah gizi yang ada dalam keluarga atau lingkungan, serta
mampu melakukan tindak lanjut untuk mengatasi masalah gizi yang ada berdasarkan potensi
yang dimilikinya (DepkesRI 2000b).
Depkes (2009a) lebih menjabarkan lagi pengertian KADARZI sebagai suatu keluarga yang
mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Tujuan umum
program KADARZI adalah seluruh keluarga berperilaku sadar gizi, sedangkan tujuan khususnya
yaitu agar meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat untuk memperoleh informasi gizi
serta agar meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat memperoleh pelayanan gizi yang
berkualitas (Depkes 2004).
Sediaoetama (2006) perilaku sadar gizi keluarga terutama ibu memiliki peran yang sangat
penting terhadap keadaan gizi anaknya, terutama balita karena balita belum mampu untuk
mengurus dirinya sendiri dengan baik.
Strategi yang dilakukan untuk mencapai sasaran KADARZI yaitu 1) meningkatkan fungsi dan
peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini
gangguan pertumbuhan balita ; 2) menyelenggarakan pendidikan atau promosi gizi secara
sistematis melalui advokasi, sosialisasi, komunikasi informasi edukasi (KIE) dan pendampingan
keluarga ; 3) menyelenggarakan kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan dengan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumberdaya
untuk penyediaan pangan rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan
gizi ; 4) mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan
MP-ASI bagi balita GAKIN ; 5) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas
puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tata laksana pelayanan gizi ; 6)
mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk meningkatkan cakupan dan
kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya ; serta 7) mengoptimalkan survailans
berbasis masyarakat melalui pemantauan wilayah setempat gizi, sistem kewaspadaan dini
kejadian luar biasa gizi buruk dan system kewaspadaan pangan dan gizi (Depkes 2004).
Depkes (2007b) menjelaskan bahwa suatu keluarga dikatakan KADARZI apabila telah
berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi yang diharapkan terwujud
terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja
kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4)
menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Maka pada
penelitian ini keluarga dikategorikan pada dua kategori yaitu (1) belum KADARZI bila keluarga
belum melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik; dan (2) sudah KADARZI bila
keluarga telah melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007 mengenai KADARZI, menunjukkan bahwa
balita yang ditimbang selama 6 bulan terakhir dari waktu pengukuran secara rutin (≥ 4 kali),
ditimbang 1-3 kali dan yang tidak pernah ditimbang berturut-turut adalah 45.4%, 29.1% dan
25.5%. pemberian suplemen gizi 47.6%. Secara nasional, sebanyak 62.3 rumah tangga Indonesia
mempunyai garam cukup iodium. 6 provinsi salah satunya Provinsi Jambi telah mencapai target
Universal Salt Iodization 2010 (90%). Persentase nasional anak 6-59 bulan yang mendapatkan
kapsul vitamin A dosis tinggi adalah 71.5% dan Provinsi Jambi memililiki persentase diatas
persentase nasional.Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur > 10
tahun adalah 93.6% dan Provinsi Jambi memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional (Depkes
2007a).
Standar pencapaian KADARZI yaitu 80% dari keluarga menjadi KADARZI (Depkes 2007b).
Target jumlah bayi dan balita yang dipantau pertumbuhannya setiap bulan dengan cara
penimbangan berat badan yaitu sebesar 90%, jumlah bayi 0-6 bulan yang memperoleh ASI
ekslusif sebesar 80%, keluarga menggunakan garam beryodium sebesar 90%, keluarga makan
beraneka ragam sesuai kebutuhan 80%, bayi usia 6 – 11 bulan serta balita usia 12-59 bulan
mendapatkan kapsul vitamin A dua kali pertahun sebesar 90%, ibu hamil mendapatkan minimal
90 tablet Fe selama masa kehamilan sebesar 95% dan ibu nifas mendapatkan kapsul vitamin A
sebanyak 2 buah sebesar 90% (Depkes RI 2008).
Indikator Keluarga Sadar Gizi
Suatu keluarga dikatakan telah menjadi keluarga sadar gizi bila telah mempraktekkan dengan
baik lima indikator KADARZI berikut :
Penimbangan berat badan secara teratur
Perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif untuk memantau pertumbuhan
anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih rendah dari yang seharusnya, pertumbuhan anak
terganggu dan anak berisiko akan mengalami kekurangan gizi. Sebaliknya bila kenaikan berat
badan lebih besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi (Depkes
2009b).
Menurut Gabriel (2008) perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan
atau gangguan kesehatan. Berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan
status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan
kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan
pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan
dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun telah banyak diketahui bahwa hal ini
terjadi karena perbedaan dalam status gizi dan status kesehatan (Suhardjo 1989).
Tujuan dari pemantauan berat badan yaitu untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
bayi dan balita, mencegah memburuknya keadaan gizi, mengetahui kesehatan ibu hamil dan
perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah dan
terjadinya pendarahan pada saat melahirkan, dan mengetahui kesehatan anggota keluarga dewasa
dan usia lanjut (Dinkes DKI Jakarta 2002 dalam Gabriel 2008).
Cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan pelayanan anak balita 12 – 59 bulan sebagai
bagian dari Pelayanan kesehatan dasar (PKD) yang termuat dalam standar pelayanan minimal
(SPM) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
741/MENKES/PER/VII/2008, bahwa bayi dan balita memperoleh pelayanan pemantauan
pertumbuhan setiap bulan, minimal 8 kali dalam setahun (Depkes RI 2008).
Senada dengan hal tersebut Dinkes Pemprov Jambi (2010) menjelaskan bahwa minimal
pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dilakukan 4 kali dalam 6 bulan. Target pemerintah
untuk pelayanan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan
balita dipantau pertumbuhannya minimal 8 kali dalam setahun (Depkes RI 2008).
Pemberian ASI eksklusif pada bayi
ASI adalah makanan dan minuman yang paling utama bagi bayi. Selain karena tidak akan pernah
ada manusia yang sanggup memproduksi susu buatan sekualitas dengan ASI, juga ASI
merupakan pemberian Allah SWT kepada seluruh anak manusia, untuk menjamin kesehatan ibu
dan anak, serta menjamin kelangsungan hidup anak manusia itu kelak di kemudian hari
(Suhendar 2002).
Depkes (2000a) mendefenisikan ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi. Tidak ada satupun
makanan lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan yang meliputi 4
aspek, yaitu aspek gizi, aspek kekebalan, aspek ekonomi, dan aspek kejiwaan, berupa jalinan
kasih sayang yang penting untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak.
Jelliffe & Jelliffe (1979) menyebutkan bahwa bayi baru lahir secara kodrati memerlukan ASI
sebagai sumber zaat gizi. Melalui kegiatan menyusui, bayi tidak hanya mendapatkan makanan
dan zat gizi pelindung yang perlu bagi pertumbuhannya, tetapi juga banyak hal lain yang secara
psikologis berarti besar bagi perkembangan kualitas perilaku dan kepribadiannya kelak.
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garamgaram organik yang
disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau
anak. Keunggulan ASI sebagai makanan bayi tidak diragukan lagi karena ASI mempunyai nilai
gizi yang tinggi, mengandung zat-zat kekebalan yang dapat mencegah berbagai penyakit infeksi,
terutama di negara-negara sedang berkembang (Winarno 1995).
Menurut Depkes (1997b) ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi, yaitu kandungan asam
amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama usia bayi
6 bulan. Kandungan antibodi dalam ASI dapat melindungi bayi dari penyakit dan membantunya
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. ASI mengandung protein tinggi yang mudah diserap oleh
bayi, juga mengandung laktosa dan karbohidrat yang tinggi. Mineral yang terkandung di dalam
ASI mudah diserap oleh bayi (Perkins & Vannais 2004).
Depkes (2007b) menganjurkan pemberian ASI tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia
6 bulan (ASI eksklusif). Roesli (2009), mendefinisikan ASI eksklusif sebagai pemberian ASI
tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Lebih
tepatnya pemberian ASI secara Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan
cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan
padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara
eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi
mulai diperkenalkan dengan makanan padat. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun
atau bahkan lebih dari 2 tahun.
Menurut Muchtadi (2002), ASI eksklusif terutama diberikan selama enam bulan pertama karena
pada masa-masa ini bayi dalam kondisi kritis. Pertumbuhan dan pembentukan psikomotor terjadi
sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat
mendukung.
Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program
desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat
dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0 – 6 bulan hanya memperoleh ASI saja
tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada
tahun 2015 jumlah bayi 0 – 6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan
pendamping yang lain yaitu sebesar 80%. (Depkes RI 2008).
Makan makanan beraneka ragam
Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan
untuk fungsi normal tubuh. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi (Pramuditya 2010).
Penganekaragaman pangan adalah upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada
akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2006).
Makanan dikatakan beraneka ragam adalah apabila setiap hidangan terdiri dari minimal 4 jenis
bahan makanan yang terdiri dari bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan
yang bervariasi (Depkes 2000a).
Pada buku lain Depkes (2009a) memberi pengertian mengenai makan beraneka ragam yaitu
apabila balita mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari, apabila
tidak ada balita maka pengertiannya menjadi, apabila keluarga mengkonsumsi makanan pokok,
lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari. Dalam Depkes (2000b) menjabarkan lagi bahwa makanan
aneka ragam adalah hidangan dengan menu yang bervariasi, paling sedikit terdiri dari : 1) satu
jenis makanan pokok, misalnya nasi, jagung, ubi kayu, kentang, sagu dan sebagainya yang
merupakan sumber zat tenaga ; 2) satu jenis lauk pauk, misalnhya tempe, tahu, telur, ikan dan
daging, dan sebagainya yang merupakan zat pembangun ;dan 3) satu jenis sayuran dan buah-
buahan yang merupakan zat pengatur. Konsumsi makanan merupakan faktor yang secara
langsung mempengaruhi status seseorang (Hardinsyah & Martianto 1988).
Menurut Depkes (2000a) ketidak sukaan seseorang terhadap makanan tertentu berdampak
negatif terhadap pencapaian keseimbangan gizi. Oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi
maka perkenalan dan berikanlah aneka ragam makanan sejak usia dini. Hendaknya berbagai
jenis bahan makanan diperkenalkan sejak usia dini. Program makan makanan beragam
merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada
subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar
pelayanan minimal, bahwa keluarga sekurang-kurangnya mengkonsumsi bahan pangan yang
terdiri dari bahan pangan pokok, lauk hewani dan atau nabati serta sayur atau buah. Target
pemerintah untuk program makan makanan beragam yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga
yang mengkonsumsi sekurang-kurangnya bahan pangan pokok, lauk, sayur atau buah yaitu
sebesar 80%. (Depkes RI 2008).
Penggunaan garam beryodium
Garam beryodium adalah garam yang dikonsumsi setelah ditambahkan dengan kalium yodat
(KIO3) sebanhyak 30 – 80 ppm. Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di alam baik tanah
maupun air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
makhluk hidup. Bila terjadi banjir dan hujan lebat pada suatu daerah akan menyebabkan
terjadinya erosi yodium dan akan dibawa ke laut. Yodium dibutuhkan untuk pembentukan
hormone tiroksin yang diperlukan oleh tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan
mulai dari janin sampai dewasa (Dinkes Provinsi Jambi 2004) sedangkan menurut (Depkes
2000a) yodium adalah salah satu mineral yang sangat penting peranannya bagi tubuh manusia.
Kekurangan yodium dapat menyebabkan berbagai gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKY). GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan
unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (Dinkes Provinsi
Jambi 2004).
Adapun gejala dan penyakit yang disebabkan oleh GAKY yaitu gondok, gangguan pertumbuhan
fisik dan mental, serta menurunnya konsentrasi dan tingkat kecerdasan (Depkes 2000a).
Konsumsi garam yang mengandung yodium dapat mengurangi risiko kejadian GAKY (Dinkes
Provinsi Jambi 2004). Program konsumsi garam beriodium merupakan salah satu dari pelayanan
kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa keluarga
mengkonsumsi garam yang telah difortifikasidengan mineral iodium. Target pemerintah untuk
program konsumsi garam beriodium yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga yang mengkonsumsi
garam beriodium yaitu sebesar 90%. (Depkes RI 2008).
Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran
Konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan RI (2007b) yaitu kapsul
vitamin A dosis tinggi (kapsul biru untuk bayi usia 6-11 bulan, kapsul merah untuk balita usia 12
– 59 bulan), tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil, serta kapsul vitamin A merah dosis tinggi
pada ibu nifas. Pada bayi dan balita kapsul vitamin A berguna untuk kesehatan mata, terutama
pada proses penglihatan dimana vitamin A berperan dalam membantu proses adaptasi dari
tempat yang terang ke tempat yang gelap. Kekurangan vitamin A mengakibatkan kelainan dalam
penglihatan karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar-kelenjar tidak
memprosuksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata, yang disebut
xerosis konjutiva. Bila kondisi ini terus berlanjut akan terbentuk bercak bitot (bitot spot) dan
berujung pada kebutaan (Dinkes Provinsi Jambi 2004).
Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan
pelayanan anak balita 12 – 59 bulan pada pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam standar
pelayanan minimal yaitu pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi, 100.000 IU (biru) untuk bayi
dan atau 200.000 IU (merah) untuk balita sebanyak 2 buah pertahun. Target pemerintah untuk
pemberian vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan
balita telah mendapat vitamin A dosis tinggi sesuai umur sebanyak 2 tablet pertahun. Pada ibu
nifas kapsul vitamin A diberikan kepada ibu agar bayi yang disusui tercukupi asupan vitamin A-
nya mengingat bayi usia di bawah 6 bulan belum mendapatkan kapsul vitamin A (Dinkes
Provinsi Jambi 2004).
Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan pelayanan nifas pada pelayanan kesehatan
dasar yang termuat dalam standar pelayanan minimal untuk ibu nifas yaitu adanya pemberian
kapsul Vitamin A dosis 200.000 IU (merah) sebanyak 2 buah. Dinkes Provinsi Jambi (2010)
menambahkan bahwa pemberian kapsul vitamin A yaitu hingga 28 hari setelah melahirkan.
Target pemerintah untuk pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas yaitu pada tahun 2015,
90% ibu hamil telah mendapat vitamin A dosis tinggi (Depkes RI 2008).
Tablet tambah darah berguna untuk meningkatkan kandungan zat besi (Fe) dalam tubuh.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel
tubuh maupun sel otak sehingga pada ibu hamil apabila terjadi kekurangan zat besi dapat
menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir
rendah (BBLR) pada bayi yang dilahirkannya, serta dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan
sebelum dan pada saat melahirkan dan beresiko terjadinya kematian ibu dan bayi (Dinkes
Provinsi Jambi 2004).
Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu pelayanan kesehatan dasar untuk ibu hamil yang
termuat dalam standar pelayanan minimal yaitu ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet
selama masa kehamilan. Minimal 30 tablet pada masing-masing trimester kehamilan (Dinkes
Provinsi Jambi 2010).
Target pemerintah untuk pemberian TTD pada ibu hamil yaitu pada tahun 2015, 95% ibu hamil
telah mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan sebagai bagian dalam pencapaian
cakupan kunjungan ibu hamil K-4 pada pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI 2008).
Secara keseluruhan penggunaan 5 indikator KADARZI disesuaikan dengan karakteristik
keluarga sebagai berikut (Depkes 2009a) : Tabel 1 Penggunaan lima indikator KADARZI
disesuaikan dengan karakteristik
keluarga
Penilaian KADARZI
Penilaian yang dilakukan terhadap keluarga untuk menentukan apakah keluarga tersebut telah
KADARZI atau belum KADARZI dilihat berdasarkan lima indikator berikut:
Penimbangan berat badan
Depkes (2009a) menyebutkan bahwa penimbangan berat badan terutama balita sebaiknya
dilakukan setiap bulan. Untuk penimbangan anak balita hasil penimbangan dicatat dalam KMS
atau KIA. Pengukuran penimbangan berat badan dapat menjadikan 1 orang anggota keluarga
yang rajin menimbangkan berat badannya sebagai indikator, anggota keluarga yang biasa
ditimbang berat badannya adalah balita, pemantauan penimbangan berat badan dilihat 6 bulan
kebelakang dari waktu pemantauan, lalu di kelompkkan berdasarkan pengelompokan di bawah
ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) :
1. Balita berusia 12 – 59 bulan
· Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
· Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
2. Bayi berusia 6 – 11 bulan
· Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
· Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
3. Bayi berusia 4 – 5 bulan
· Belum baik : bila balita ditimbang < 3 kali sejak lahir
· Baik : bila balita ditimbang ≥ 3 kali sejak lahir
4. Bayi berusia 2 – 3 bulan
· Belum baik : bila ballita ditimbang < 2 kali sejak lahir
· Baik : bila balita ditimbang ≥ 2 kali sejak lahir
5. Bayi berusia 0 – 1 bulan
· Belum baik : bila balita belum pernah ditimbang sejak lahir
· Baik : bila balita ditimbang minimal 1 kali sejak lahir.
Pemberian ASI ekslusif pada bayi
Cara pengukuran pemberian ASI eksklusif dapat dilihat berdasarkan pengelompokan di bawah
ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) :
1 Belum baik : bila sudah diberikan makanan dan minuman lain selain ASI hingga bayi berusia 6
bulan
2 Baik : bila hanya diberikan ASI saja, tidak diberikan makanan dan minuman selain ASI hingga
bayi berusia 6 bulan.
Makan makanan beraneka ragam
Metoda untuk mengukur keanekaragaman makanan keluarga dapat dilakukan dengan cara
menanyakan kepada ibu konsumsi makan keluarga tentang konsumsi lauk hewani, buah dan atau
sayur dalam menu keluarga. Dan dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1) belum baik bila
dalam 3 hari terakhir tidak makan lauk hewani, buah dan atau sayur, 2) baik bila dalam 3 hari
terakhir keluarga makan lauk hewani, buah dan atau sayur (Dinkes Provinsi Jambi 2010).
Penggunaan garam beryodium
Cara pengukuran penggunaan garam yodium yaitu dengan menguji contoh garam yang
digunakan keluarga dengan tes yodina / tes amilum. Dikategorikan belum baik bila hasil tes
warna tidak berubah / muda, hal ini menunjukkan bahwa garam tidak mengandung yodium, dan
baik bila hasil tes berwarna ungu, hal ini menunjukkan bahwa garam yang digunakan sudah
mengandung yodium (Dinkes Provinsi Jambi 2010).
Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran
Cara pengukuran konsumsi suplemen gizi pada KADARZI dijabarkan oleh (Dinkes Provinsi
Jambi 2010) sebagai berikut :
1. Bila terdapat bayi usia 6 – 59 bulan
· Belum baik : bila tidak mendapat kapsul vitamin A biru dan atau merah
· Baik : bila mendapat kapsul vitamin A biru pada bulan Februari dan Agustus (pada bayi usia 6
– 11 bulan) atau bila mendapat kapsul vitamin A merah pada bulan Februari dan Agustus (pada
balita usia 12-59 bulan).
2. Bila terdapa ibu hamil
· Belum baik : bila jumlah TTD yang diminum belum sesuai anjuran
· Baik : bila jumlah di yang diminum sudah sesuai anjuran
3. Bila terdapat ibu nifas
· Belum baik : bila tidak mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28
· Baik : bila mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke28.
Karakteristik Sosial Keluarga
Keluarga sadar gizi (KADARZI) adalah keluarga yang berperilaku gizi seimbang, mampu
mengenali dan menganalisis masalah gizi setiap anggota keluarganya. Perilaku gizi seimbang
yaitu pengetahuan, sikap dan praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang
mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran (Depkes 2004).
Berdasarkan Depkes (2007c) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya kemampuan keluarga
tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota keluarga, menjaga kesehatan lingkungan,
mencegah penyakit infeksi, memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga
tersebut mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga, memantau
pertumbuhan dan perkembangan, memberkan pertolongan awal masalah kelainan gizi dan
memperoleh pelayanan kesehatan.
Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi keluarga mau berperilaku KADARZI
diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi tingkat pendidikan orang tua, umur
orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan
sikap ibu terhadap gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitri (2008) di Kota Payakumbuh
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap perilaku KADARZI
dan status gizi. Perilaku KADARZI dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan
tingkat kesadaran keluarga akan pentingnya gizi. Sedangkan berdasarkan penelitian Simanjuntak
(2009) bahwa perilaku KADARZI dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga dimana
keluarga yang memiliki pendapatan lebih tinggi lebih banyak menerapkan KADARZI dari pada
keluarga dengan pendapatan rendah.
Pendidikan orang tua
Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk
pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan
semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap.
Rahmawati (2006) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
proses tumbuh kembang anak. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih
mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak.
Adnyadewi (2004) menambahkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam
kaitannya dengan partisipasi seseorang untuk berperilaku hidup sehat. Orang tua yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara
pemberian makan yang sehat dan bergizi untuk anaknya (Soetjiningsih 1995), sedangkan
menurut Suhardjo (1989) keadaan tingkat pendidikan orang tua yang rendah terutama ibu
berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga terutama pola
konsumsi pangan sehari-hari.
Hasniyati (2010) menkategorikan tingkat pendidikan orang tua dalam 3 kategori yaitu 1) rendah,
jika ≤SMP ; 2) sedang jika tamat hingga SMU ; dan 3) tinggi jika pendidikan terakhir adalah
perguruan tinggi. Dan hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan signifikan (p-value
0,023) antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan
keluarga.
Umur orang tua
Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa
umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda (Hurlock 1995
dalam Adwinanti 2004). Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan
dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak
didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, usia muda juga cenderung
menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan
anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan terhadap anak menjadi kurang terpenuhi.
Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya sebagai seorang ibu
dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).
Berdasarkan WNPG (2004) dalam Yulianti (2010) umur orang tua dikategorikan pada 4
kelompok yaitu : 1) remaja (< 20 tahun) ; 2) dewasa muda (20-29 tahun) ; 3)dewasa madya (30-
49 tahun) ; dan 4) dewasa lanjut(≥ 50 tahun). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Hasniyati (2010) dapat diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan (p-value 0,033) antara usia
ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan keluarga. Hal ini dikarenakan semakin
matang umur ibu maka semakin baik perilaku dan pola asuhnya terhadap anak sehingga dapat
mempengaruhi perilaku kadarzi.
Besar Keluarga
Besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga karena mempengaruhi luas
penghuni dalam suatu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak.
Jumlah anggota yang banyak, menyebabkan perhatian orang tua terutama ibu terhadap anak-
anaknya dan anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan perhatian ibu terhadap
dirinya sendiri (Sukarni 1994).
Afriyenti (2002) Menambahkan bahwa jumlah anggota keluarga (besar keluarga) juga
berhubungan dengan pembagian ruang dan konsumsi zat gizi per penghuni rumah. Rumah yang
padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan
penularan penyakit. Sehingga dapat mempengaruhi status gizi keluarga (Notoatmodjo 1997).
Pada rumah tangga miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah bila jumlah orang
yang harus diberi makan sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh paling rentan mengalami gizi
kurang bila dibandingkan anggota keluarga yang lain. Hal ini disebabkan karena bila besar
keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan orang tua tidak menyadari
bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi dari pada
golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989).
Hal ini lebih dikuatkan lagi dalam Suhardjo (1996) bahwa semakin sedikit jumlah anak makan
kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang semakin baik. Selain konsumsi, besar keluarga
juga ikut mempengaruhi perhatian orang tua, bimbingan, petunjuk dan perawatan kesehatan
(Sediaoetama 2006).
Harjono (2000) menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berdampak pula terhadap
kurangnya perhatian pada kaidah-kaidah hidup sehat, seperti penyediaan makanan yang
seimbang, kelayakan fasilitas rumah dan usaha untuk mewujudkan perilaku hidup yang sehat.
Berdasarkan Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1)
keluarga besar (≥ 8 orang) ; 2) keluarga sedang (5-7 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang).
Sedangkan untuk di Indonesia berdasarkan rujukan dari BKKBN (1998) besar keluarga
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1) keluarga besar (≥7 orang) ; 2) keluarga sedang (5-6
orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Widiyawati (2004) menunjukkan bahwa besar keluarga mempunyai hubungan yang terbalik
dengan pola perilaku dalam pengasuhan anak oleh ibu.
Status Gizi Balita
Status gizi adalah suatu kondisi dari beberapa kesehatan satu atau sekelompok orang karena
konsumsi, penyerapan, dan pemanfaatan nutrisi (Riyadi 1993). Menurut Tarwotjo dan
Soekirman (1987) status gizi merupakan indikasi keseimbangan antara asupan gizi dan eksresi.
Dengan kata lain, bahwa status gizi merupakan cerminan dari konsumsi makanan dan
pemanfaatannya. Riyadi (2001) lebih menjelaskan bahwa status gizi menggambarkan kesehatan
tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan
penggunaan zat-zat gizi makanan. Status gizi anak merupakan cerminan dari status gizi
masyarakat (Suharjo dan Riyadi 1990).
Menurut Suhardjo (1989), berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan
status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan
kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan
pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan
dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun telah banyak diketahui bahwa hal ini
terjadi karena perbedaan dalam status gizi dan status kesehatan. Riyadi (2001) menjelaskan
bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur status gizi adalah tinggi badan, berat
badan dan usia. Penggunaan variabel-variabel tersebut dikombinasikan menjadi pengukuran
tinggi badan menurut usia, berat badan menurut usia, dan berat badan menurut tinggi badan.
Karakteristik berat badan yang sensitif, indeks berat badan menurut umur menggambarkan status
gizi saat ini (Supariasa et al 2001).
Riyadi (2001) lebih menjabarkan lagi bahwa indeks antropometri yang sering digunakan untuk
menilai status gizi anak adalah berat badan menurut usia. Berat badan menurut umur digunakan
untuk mengetahui status gizi masa sekarang karena berat badan sangat labil terhadap perubahan
keadaan mendadak (sakit atau kurang nafsu makan). Status gizi indeks tinggi badan menurut
umur menurut Soekirman (2000) dapat memberikan gambaran perkembangan keadaan sosial
ekonomi masyarakat dari waktu ke waktu. Data status gizi berat badan menurut umur
dikategorikan dalam kategori berdasarkan Depkes (2010) yaitu 1) gizi buruk (z-score < -3 SD) ;
2) gizi kurang (z-score -3 s/d < -2 SD) ; 3) normal (z-score -2 s/d 2 SD) ; dan 4) gizi lebih (z19
score > -2 SD). Status gizi tinggi badan menurut umur di kategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1)
pendek (z-score < -2 SD) ; 2) normal (z-score ≥ -2). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi
Jambi Pada tahun 2007 terdapat balita dengan status gizi buruk yaitu sebesar 1.8%, angka ini
cenderung menurun dibanding 3 tahun sebelumnya yaitu 1.9% di tahun 2006, 2.05% di tahun
2005 dan 2.1% di tahun 2004. Kasus gizi berdasarkan indikator berat badan menurut umur di
Kota Jambi pada tahun 2007 terdapat 1.1% balita gizi buruk dan 6.7% gizi kurang (Dinkes
Provinsi Jambi 2008b).
Kekurangan gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian secara langsung. Namun
biasanya terlebih dahulu anak mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi (Depkes
1994b).
Faktor yang menyebabkan kurang gizi pada balita menurut UNICEF meliputi beberapa tahapan
yaitu penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah. Berdasarkan
Soekirman dalam (Depkes 2000b) faktor penyebab kurang gizi dijelaskan sebagai berikut :
pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi. Kedua, penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan
dan kesehatan lingkungan. Ketiga, pokok masalah yaitu berupa kurangnya pemberdayaan wanita
dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat sehingga mempengaruhi kurangnya
pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Dan keempat, akar masalah adalah terjadinya
krisis ekonomi, politik dan sosial. Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan
fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat berfungsi sempurna bila mendapat makanan
yang cukup dan bergizi seimbang. Tingkat kesehatan yang buruk yang diakibatkan kurang
baiknya pola asuh gizi dan kesehatan di rumah, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pada status gizi anak (Depkes 1994a).
Pola asuh Gizi dan Kesehatan yang dapat diterapkan dalam tingkat rumah tangga salah satunya
adalah KADARZI (Depkes 2007b). Cara menjaga agar anak tetap sehat yaitu anak diberi
makanan yang cukup dengan menu seimbang, perlu adanya pemantauan berat badan dan tinggi
badan secara teratur setiap bulan, serta konsumsi suplemen yang dianjurkan (Depkes 1994b).
Berdasarkan Surjani (2009) target yang ingin dicapai pemerintah yang tertuang dalam RPJM
bidang kesehatan 2010-2014 yaitu menurunkan prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi
buruk) dari 25.8% menjadi 18.4% dan menurunkan prevalensi anak balita yang pendek dari
36.8% menjadi 25.0%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gabriel (2008) menyatakan
bahwa terdapat korelasi yang positif dan nyata (p<0,05) hubungan antara perilaku KADARZI
keluarga dengan status gizi balita.