kadarzi ipb.docx

27
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Keadaan gizi masyarakat Indonesia masih belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam memilih, mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas (Depkes 2007b). Perbaikan status gizi masyarakat merupakan fokus prioritas poin kedua dalam kerangka kebijakan pembangunan kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) bidang kesehatan tahun 2010-2014. Salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu dengan cara peningkatan pelayanan gizi dan masyarakat melalui pembinaan gizi masyarakat yaitu melalui program KADARZI (Sarjunani 2009).

description

kadar

Transcript of kadarzi ipb.docx

Page 1: kadarzi ipb.docx

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keadaan gizi masyarakat Indonesia masih belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi

seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang

yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan

keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan

dan perilaku keluarga dalam memilih, mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga,

ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap

pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas (Depkes 2007b).

Perbaikan status gizi masyarakat merupakan fokus prioritas poin kedua dalam kerangka

kebijakan pembangunan kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan

jangka menengah (RPJM) bidang kesehatan tahun 2010-2014. Salah satu upaya untuk

memperbaiki status gizi masyarakat yaitu dengan cara peningkatan pelayanan gizi dan

masyarakat melalui pembinaan gizi masyarakat yaitu melalui program KADARZI (Sarjunani

2009).

KADARZI mulai dicanangkan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh Departemen Kesehatan.

Disebut keluarga sadar gizi jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara mandiri mewujudkan

keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin pada pola konsumsi yang beraneka ragam dan

bergizi seimbang (Luciasari dkk,1996).

KADARZI adalah keluarga yang telah mempraktekkan perilaku gizi yang baik dan benar sesuai

kaidah imu gizi, dapat mengenali masalah gizi yang ada dalam keluarga atau lingkungan, serta

mampu melakukan tindak lanjut untuk mengatasi masalah gizi yang ada berdasarkan potensi

yang dimilikinya (DepkesRI 2000b).

Page 2: kadarzi ipb.docx

Depkes (2009a) lebih menjabarkan lagi pengertian KADARZI sebagai suatu keluarga yang

mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Tujuan umum

program KADARZI adalah seluruh keluarga berperilaku sadar gizi, sedangkan tujuan khususnya

yaitu agar meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat untuk memperoleh informasi gizi

serta agar meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat memperoleh pelayanan gizi yang

berkualitas (Depkes 2004).

Sediaoetama (2006) perilaku sadar gizi keluarga terutama ibu memiliki peran yang sangat

penting terhadap keadaan gizi anaknya, terutama balita karena balita belum mampu untuk

mengurus dirinya sendiri dengan baik.

Strategi yang dilakukan untuk mencapai sasaran KADARZI yaitu 1) meningkatkan fungsi dan

peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini

gangguan pertumbuhan balita ; 2) menyelenggarakan pendidikan atau promosi gizi secara

sistematis melalui advokasi, sosialisasi, komunikasi informasi edukasi (KIE) dan pendampingan

keluarga ; 3) menyelenggarakan kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan dengan swasta

dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumberdaya

untuk penyediaan pangan rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan

gizi ; 4) mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan

MP-ASI bagi balita GAKIN ; 5) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas

puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tata laksana pelayanan gizi ; 6)

mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk meningkatkan cakupan dan

kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya ; serta 7) mengoptimalkan survailans

berbasis masyarakat melalui pemantauan wilayah setempat gizi, sistem kewaspadaan dini

kejadian luar biasa gizi buruk dan system kewaspadaan pangan dan gizi (Depkes 2004).

Depkes (2007b) menjelaskan bahwa suatu keluarga dikatakan KADARZI apabila telah

berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi yang diharapkan terwujud

terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja

kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4)

menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Maka pada

penelitian ini keluarga dikategorikan pada dua kategori yaitu (1) belum KADARZI bila keluarga

Page 3: kadarzi ipb.docx

belum melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik; dan (2) sudah KADARZI bila

keluarga telah melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik.

Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007 mengenai KADARZI, menunjukkan bahwa

balita yang ditimbang selama 6 bulan terakhir dari waktu pengukuran secara rutin (≥ 4 kali),

ditimbang 1-3 kali dan yang tidak pernah ditimbang berturut-turut adalah 45.4%, 29.1% dan

25.5%. pemberian suplemen gizi 47.6%. Secara nasional, sebanyak 62.3 rumah tangga Indonesia

mempunyai garam cukup iodium. 6 provinsi salah satunya Provinsi Jambi telah mencapai target

Universal Salt Iodization 2010 (90%). Persentase nasional anak 6-59 bulan yang mendapatkan

kapsul vitamin A dosis tinggi adalah 71.5% dan Provinsi Jambi memililiki persentase diatas

persentase nasional.Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur > 10

tahun adalah 93.6% dan Provinsi Jambi memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional (Depkes

2007a).

Standar pencapaian KADARZI yaitu 80% dari keluarga menjadi KADARZI (Depkes 2007b).

Target jumlah bayi dan balita yang dipantau pertumbuhannya setiap bulan dengan cara

penimbangan berat badan yaitu sebesar 90%, jumlah bayi 0-6 bulan yang memperoleh ASI

ekslusif sebesar 80%, keluarga menggunakan garam beryodium sebesar 90%, keluarga makan

beraneka ragam sesuai kebutuhan 80%, bayi usia 6 – 11 bulan serta balita usia 12-59 bulan

mendapatkan kapsul vitamin A dua kali pertahun sebesar 90%, ibu hamil mendapatkan minimal

90 tablet Fe selama masa kehamilan sebesar 95% dan ibu nifas mendapatkan kapsul vitamin A

sebanyak 2 buah sebesar 90% (Depkes RI 2008).

Indikator Keluarga Sadar Gizi

Suatu keluarga dikatakan telah menjadi keluarga sadar gizi bila telah mempraktekkan dengan

baik lima indikator KADARZI berikut :

Penimbangan berat badan secara teratur

Perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif untuk memantau pertumbuhan

anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih rendah dari yang seharusnya, pertumbuhan anak

terganggu dan anak berisiko akan mengalami kekurangan gizi. Sebaliknya bila kenaikan berat

Page 4: kadarzi ipb.docx

badan lebih besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi (Depkes

2009b).

Menurut Gabriel (2008) perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan

atau gangguan kesehatan. Berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan

status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan

kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan

pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan

dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun telah banyak diketahui bahwa hal ini

terjadi karena perbedaan dalam status gizi dan status kesehatan (Suhardjo 1989).

Tujuan dari pemantauan berat badan yaitu untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan

bayi dan balita, mencegah memburuknya keadaan gizi, mengetahui kesehatan ibu hamil dan

perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah dan

terjadinya pendarahan pada saat melahirkan, dan mengetahui kesehatan anggota keluarga dewasa

dan usia lanjut (Dinkes DKI Jakarta 2002 dalam Gabriel 2008).

Cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan pelayanan anak balita 12 – 59 bulan sebagai

bagian dari Pelayanan kesehatan dasar (PKD) yang termuat dalam standar pelayanan minimal

(SPM) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

741/MENKES/PER/VII/2008, bahwa bayi dan balita memperoleh pelayanan pemantauan

pertumbuhan setiap bulan, minimal 8 kali dalam setahun (Depkes RI 2008).

Senada dengan hal tersebut Dinkes Pemprov Jambi (2010) menjelaskan bahwa minimal

pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dilakukan 4 kali dalam 6 bulan. Target pemerintah

untuk pelayanan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan

balita dipantau pertumbuhannya minimal 8 kali dalam setahun (Depkes RI 2008).

Page 5: kadarzi ipb.docx

Pemberian ASI eksklusif pada bayi

ASI adalah makanan dan minuman yang paling utama bagi bayi. Selain karena tidak akan pernah

ada manusia yang sanggup memproduksi susu buatan sekualitas dengan ASI, juga ASI

merupakan pemberian Allah SWT kepada seluruh anak manusia, untuk menjamin kesehatan ibu

dan anak, serta menjamin kelangsungan hidup anak manusia itu kelak di kemudian hari

(Suhendar 2002).

Depkes (2000a) mendefenisikan ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi. Tidak ada satupun

makanan lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan yang meliputi 4

aspek, yaitu aspek gizi, aspek kekebalan, aspek ekonomi, dan aspek kejiwaan, berupa jalinan

kasih sayang yang penting untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak.

Jelliffe & Jelliffe (1979) menyebutkan bahwa bayi baru lahir secara kodrati memerlukan ASI

sebagai sumber zaat gizi. Melalui kegiatan menyusui, bayi tidak hanya mendapatkan makanan

dan zat gizi pelindung yang perlu bagi pertumbuhannya, tetapi juga banyak hal lain yang secara

psikologis berarti besar bagi perkembangan kualitas perilaku dan kepribadiannya kelak.

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garamgaram organik yang

disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau

anak. Keunggulan ASI sebagai makanan bayi tidak diragukan lagi karena ASI mempunyai nilai

gizi yang tinggi, mengandung zat-zat kekebalan yang dapat mencegah berbagai penyakit infeksi,

terutama di negara-negara sedang berkembang (Winarno 1995).

Menurut Depkes (1997b) ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi, yaitu kandungan asam

amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama usia bayi

6 bulan. Kandungan antibodi dalam ASI dapat melindungi bayi dari penyakit dan membantunya

meningkatkan sistem kekebalan tubuh. ASI mengandung protein tinggi yang mudah diserap oleh

bayi, juga mengandung laktosa dan karbohidrat yang tinggi. Mineral yang terkandung di dalam

ASI mudah diserap oleh bayi (Perkins & Vannais 2004).

Page 6: kadarzi ipb.docx

Depkes (2007b) menganjurkan pemberian ASI tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia

6 bulan (ASI eksklusif). Roesli (2009), mendefinisikan ASI eksklusif sebagai pemberian ASI

tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Lebih

tepatnya pemberian ASI secara Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan

cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan

padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara

eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi

mulai diperkenalkan dengan makanan padat. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun

atau bahkan lebih dari 2 tahun.

Menurut Muchtadi (2002), ASI eksklusif terutama diberikan selama enam bulan pertama karena

pada masa-masa ini bayi dalam kondisi kritis. Pertumbuhan dan pembentukan psikomotor terjadi

sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat

mendukung.

Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program

desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat

dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0 – 6 bulan hanya memperoleh ASI saja

tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada

tahun 2015 jumlah bayi 0 – 6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan

pendamping yang lain yaitu sebesar 80%. (Depkes RI 2008).

Makan makanan beraneka ragam

Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan

untuk fungsi normal tubuh. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi

kebutuhan zat gizi (Pramuditya 2010).

Penganekaragaman pangan adalah upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan

masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada

akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2006).

Page 7: kadarzi ipb.docx

Makanan dikatakan beraneka ragam adalah apabila setiap hidangan terdiri dari minimal 4 jenis

bahan makanan yang terdiri dari bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan

yang bervariasi (Depkes 2000a).

Pada buku lain Depkes (2009a) memberi pengertian mengenai makan beraneka ragam yaitu

apabila balita mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari, apabila

tidak ada balita maka pengertiannya menjadi, apabila keluarga mengkonsumsi makanan pokok,

lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari. Dalam Depkes (2000b) menjabarkan lagi bahwa makanan

aneka ragam adalah hidangan dengan menu yang bervariasi, paling sedikit terdiri dari : 1) satu

jenis makanan pokok, misalnya nasi, jagung, ubi kayu, kentang, sagu dan sebagainya yang

merupakan sumber zat tenaga ; 2) satu jenis lauk pauk, misalnhya tempe, tahu, telur, ikan dan

daging, dan sebagainya yang merupakan zat pembangun ;dan 3) satu jenis sayuran dan buah-

buahan yang merupakan zat pengatur. Konsumsi makanan merupakan faktor yang secara

langsung mempengaruhi status seseorang (Hardinsyah & Martianto 1988).

Menurut Depkes (2000a) ketidak sukaan seseorang terhadap makanan tertentu berdampak

negatif terhadap pencapaian keseimbangan gizi. Oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi

maka perkenalan dan berikanlah aneka ragam makanan sejak usia dini. Hendaknya berbagai

jenis bahan makanan diperkenalkan sejak usia dini. Program makan makanan beragam

merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada

subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar

pelayanan minimal, bahwa keluarga sekurang-kurangnya mengkonsumsi bahan pangan yang

terdiri dari bahan pangan pokok, lauk hewani dan atau nabati serta sayur atau buah. Target

pemerintah untuk program makan makanan beragam yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga

yang mengkonsumsi sekurang-kurangnya bahan pangan pokok, lauk, sayur atau buah yaitu

sebesar 80%. (Depkes RI 2008).

Penggunaan garam beryodium

Garam beryodium adalah garam yang dikonsumsi setelah ditambahkan dengan kalium yodat

(KIO3) sebanhyak 30 – 80 ppm. Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di alam baik tanah

maupun air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan

Page 8: kadarzi ipb.docx

makhluk hidup. Bila terjadi banjir dan hujan lebat pada suatu daerah akan menyebabkan

terjadinya erosi yodium dan akan dibawa ke laut. Yodium dibutuhkan untuk pembentukan

hormone tiroksin yang diperlukan oleh tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan

mulai dari janin sampai dewasa (Dinkes Provinsi Jambi 2004) sedangkan menurut (Depkes

2000a) yodium adalah salah satu mineral yang sangat penting peranannya bagi tubuh manusia.

Kekurangan yodium dapat menyebabkan berbagai gangguan akibat kekurangan yodium

(GAKY). GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan

unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (Dinkes Provinsi

Jambi 2004).

Adapun gejala dan penyakit yang disebabkan oleh GAKY yaitu gondok, gangguan pertumbuhan

fisik dan mental, serta menurunnya konsentrasi dan tingkat kecerdasan (Depkes 2000a).

Konsumsi garam yang mengandung yodium dapat mengurangi risiko kejadian GAKY (Dinkes

Provinsi Jambi 2004). Program konsumsi garam beriodium merupakan salah satu dari pelayanan

kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan

pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa keluarga

mengkonsumsi garam yang telah difortifikasidengan mineral iodium. Target pemerintah untuk

program konsumsi garam beriodium yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga yang mengkonsumsi

garam beriodium yaitu sebesar 90%. (Depkes RI 2008).

Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran

Konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan RI (2007b) yaitu kapsul

vitamin A dosis tinggi (kapsul biru untuk bayi usia 6-11 bulan, kapsul merah untuk balita usia 12

– 59 bulan), tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil, serta kapsul vitamin A merah dosis tinggi

pada ibu nifas. Pada bayi dan balita kapsul vitamin A berguna untuk kesehatan mata, terutama

pada proses penglihatan dimana vitamin A berperan dalam membantu proses adaptasi dari

tempat yang terang ke tempat yang gelap. Kekurangan vitamin A mengakibatkan kelainan dalam

penglihatan karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar-kelenjar tidak

memprosuksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata, yang disebut

xerosis konjutiva. Bila kondisi ini terus berlanjut akan terbentuk bercak bitot (bitot spot) dan

berujung pada kebutaan (Dinkes Provinsi Jambi 2004).

Page 9: kadarzi ipb.docx

Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan

pelayanan anak balita 12 – 59 bulan pada pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam standar

pelayanan minimal yaitu pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi, 100.000 IU (biru) untuk bayi

dan atau 200.000 IU (merah) untuk balita sebanyak 2 buah pertahun. Target pemerintah untuk

pemberian vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan

balita telah mendapat vitamin A dosis tinggi sesuai umur sebanyak 2 tablet pertahun. Pada ibu

nifas kapsul vitamin A diberikan kepada ibu agar bayi yang disusui tercukupi asupan vitamin A-

nya mengingat bayi usia di bawah 6 bulan belum mendapatkan kapsul vitamin A (Dinkes

Provinsi Jambi 2004).

Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan pelayanan nifas pada pelayanan kesehatan

dasar yang termuat dalam standar pelayanan minimal untuk ibu nifas yaitu adanya pemberian

kapsul Vitamin A dosis 200.000 IU (merah) sebanyak 2 buah. Dinkes Provinsi Jambi (2010)

menambahkan bahwa pemberian kapsul vitamin A yaitu hingga 28 hari setelah melahirkan.

Target pemerintah untuk pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas yaitu pada tahun 2015,

90% ibu hamil telah mendapat vitamin A dosis tinggi (Depkes RI 2008).

Tablet tambah darah berguna untuk meningkatkan kandungan zat besi (Fe) dalam tubuh.

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel

tubuh maupun sel otak sehingga pada ibu hamil apabila terjadi kekurangan zat besi dapat

menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir

rendah (BBLR) pada bayi yang dilahirkannya, serta dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan

sebelum dan pada saat melahirkan dan beresiko terjadinya kematian ibu dan bayi (Dinkes

Provinsi Jambi 2004).

Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu pelayanan kesehatan dasar untuk ibu hamil yang

termuat dalam standar pelayanan minimal yaitu ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet

selama masa kehamilan. Minimal 30 tablet pada masing-masing trimester kehamilan (Dinkes

Provinsi Jambi 2010).

Page 10: kadarzi ipb.docx

Target pemerintah untuk pemberian TTD pada ibu hamil yaitu pada tahun 2015, 95% ibu hamil

telah mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan sebagai bagian dalam pencapaian

cakupan kunjungan ibu hamil K-4 pada pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI 2008).

Secara keseluruhan penggunaan 5 indikator KADARZI disesuaikan dengan karakteristik

keluarga sebagai berikut (Depkes 2009a) : Tabel 1 Penggunaan lima indikator KADARZI

disesuaikan dengan karakteristik

keluarga

Penilaian KADARZI

Penilaian yang dilakukan terhadap keluarga untuk menentukan apakah keluarga tersebut telah

KADARZI atau belum KADARZI dilihat berdasarkan lima indikator berikut:

Penimbangan berat badan

Depkes (2009a) menyebutkan bahwa penimbangan berat badan terutama balita sebaiknya

dilakukan setiap bulan. Untuk penimbangan anak balita hasil penimbangan dicatat dalam KMS

atau KIA. Pengukuran penimbangan berat badan dapat menjadikan 1 orang anggota keluarga

yang rajin menimbangkan berat badannya sebagai indikator, anggota keluarga yang biasa

ditimbang berat badannya adalah balita, pemantauan penimbangan berat badan dilihat 6 bulan

kebelakang dari waktu pemantauan, lalu di kelompkkan berdasarkan pengelompokan di bawah

ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) :

1. Balita berusia 12 – 59 bulan

· Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir

· Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir

2. Bayi berusia 6 – 11 bulan

· Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir

· Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir

3. Bayi berusia 4 – 5 bulan

· Belum baik : bila balita ditimbang < 3 kali sejak lahir

· Baik : bila balita ditimbang ≥ 3 kali sejak lahir

4. Bayi berusia 2 – 3 bulan

Page 11: kadarzi ipb.docx

· Belum baik : bila ballita ditimbang < 2 kali sejak lahir

· Baik : bila balita ditimbang ≥ 2 kali sejak lahir

5. Bayi berusia 0 – 1 bulan

· Belum baik : bila balita belum pernah ditimbang sejak lahir

· Baik : bila balita ditimbang minimal 1 kali sejak lahir.

Pemberian ASI ekslusif pada bayi

Cara pengukuran pemberian ASI eksklusif dapat dilihat berdasarkan pengelompokan di bawah

ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) :

1 Belum baik : bila sudah diberikan makanan dan minuman lain selain ASI hingga bayi berusia 6

bulan

2 Baik : bila hanya diberikan ASI saja, tidak diberikan makanan dan minuman selain ASI hingga

bayi berusia 6 bulan.

Makan makanan beraneka ragam

Metoda untuk mengukur keanekaragaman makanan keluarga dapat dilakukan dengan cara

menanyakan kepada ibu konsumsi makan keluarga tentang konsumsi lauk hewani, buah dan atau

sayur dalam menu keluarga. Dan dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1) belum baik bila

dalam 3 hari terakhir tidak makan lauk hewani, buah dan atau sayur, 2) baik bila dalam 3 hari

terakhir keluarga makan lauk hewani, buah dan atau sayur (Dinkes Provinsi Jambi 2010).

Penggunaan garam beryodium

Cara pengukuran penggunaan garam yodium yaitu dengan menguji contoh garam yang

digunakan keluarga dengan tes yodina / tes amilum. Dikategorikan belum baik bila hasil tes

warna tidak berubah / muda, hal ini menunjukkan bahwa garam tidak mengandung yodium, dan

baik bila hasil tes berwarna ungu, hal ini menunjukkan bahwa garam yang digunakan sudah

mengandung yodium (Dinkes Provinsi Jambi 2010).

Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran

Cara pengukuran konsumsi suplemen gizi pada KADARZI dijabarkan oleh (Dinkes Provinsi

Jambi 2010) sebagai berikut :

Page 12: kadarzi ipb.docx

1. Bila terdapat bayi usia 6 – 59 bulan

· Belum baik : bila tidak mendapat kapsul vitamin A biru dan atau merah

· Baik : bila mendapat kapsul vitamin A biru pada bulan Februari dan Agustus (pada bayi usia 6

– 11 bulan) atau bila mendapat kapsul vitamin A merah pada bulan Februari dan Agustus (pada

balita usia 12-59 bulan).

2. Bila terdapa ibu hamil

· Belum baik : bila jumlah TTD yang diminum belum sesuai anjuran

· Baik : bila jumlah di yang diminum sudah sesuai anjuran

3. Bila terdapat ibu nifas

· Belum baik : bila tidak mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28

· Baik : bila mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke28.

Karakteristik Sosial Keluarga

Keluarga sadar gizi (KADARZI) adalah keluarga yang berperilaku gizi seimbang, mampu

mengenali dan menganalisis masalah gizi setiap anggota keluarganya. Perilaku gizi seimbang

yaitu pengetahuan, sikap dan praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang

mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan

setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran (Depkes 2004).

Berdasarkan Depkes (2007c) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya kemampuan keluarga

tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota keluarga, menjaga kesehatan lingkungan,

mencegah penyakit infeksi, memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga

tersebut mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga, memantau

pertumbuhan dan perkembangan, memberkan pertolongan awal masalah kelainan gizi dan

memperoleh pelayanan kesehatan.

Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi keluarga mau berperilaku KADARZI

diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi tingkat pendidikan orang tua, umur

orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan

sikap ibu terhadap gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitri (2008) di Kota Payakumbuh

menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap perilaku KADARZI

Page 13: kadarzi ipb.docx

dan status gizi. Perilaku KADARZI dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan

tingkat kesadaran keluarga akan pentingnya gizi. Sedangkan berdasarkan penelitian Simanjuntak

(2009) bahwa perilaku KADARZI dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga dimana

keluarga yang memiliki pendapatan lebih tinggi lebih banyak menerapkan KADARZI dari pada

keluarga dengan pendapatan rendah.

Pendidikan orang tua

Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk

pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan

semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap.

Rahmawati (2006) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam

proses tumbuh kembang anak. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih

mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak.

Adnyadewi (2004) menambahkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam

kaitannya dengan partisipasi seseorang untuk berperilaku hidup sehat. Orang tua yang memiliki

tingkat pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara

pemberian makan yang sehat dan bergizi untuk anaknya (Soetjiningsih 1995), sedangkan

menurut Suhardjo (1989) keadaan tingkat pendidikan orang tua yang rendah terutama ibu

berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga terutama pola

konsumsi pangan sehari-hari.

Hasniyati (2010) menkategorikan tingkat pendidikan orang tua dalam 3 kategori yaitu 1) rendah,

jika ≤SMP ; 2) sedang jika tamat hingga SMU ; dan 3) tinggi jika pendidikan terakhir adalah

perguruan tinggi. Dan hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan signifikan (p-value

0,023) antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan

keluarga.

Page 14: kadarzi ipb.docx

Umur orang tua

Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa

umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda (Hurlock 1995

dalam Adwinanti 2004). Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan

dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak

didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, usia muda juga cenderung

menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan

anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan terhadap anak menjadi kurang terpenuhi.

Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya sebagai seorang ibu

dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).

Berdasarkan WNPG (2004) dalam Yulianti (2010) umur orang tua dikategorikan pada 4

kelompok yaitu : 1) remaja (< 20 tahun) ; 2) dewasa muda (20-29 tahun) ; 3)dewasa madya (30-

49 tahun) ; dan 4) dewasa lanjut(≥ 50 tahun). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Hasniyati (2010) dapat diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan (p-value 0,033) antara usia

ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan keluarga. Hal ini dikarenakan semakin

matang umur ibu maka semakin baik perilaku dan pola asuhnya terhadap anak sehingga dapat

mempengaruhi perilaku kadarzi.

Besar Keluarga

Besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga karena mempengaruhi luas

penghuni dalam suatu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak.

Jumlah anggota yang banyak, menyebabkan perhatian orang tua terutama ibu terhadap anak-

anaknya dan anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan perhatian ibu terhadap

dirinya sendiri (Sukarni 1994).

Afriyenti (2002) Menambahkan bahwa jumlah anggota keluarga (besar keluarga) juga

berhubungan dengan pembagian ruang dan konsumsi zat gizi per penghuni rumah. Rumah yang

padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan

penularan penyakit. Sehingga dapat mempengaruhi status gizi keluarga (Notoatmodjo 1997).

Pada rumah tangga miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah bila jumlah orang

Page 15: kadarzi ipb.docx

yang harus diberi makan sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh paling rentan mengalami gizi

kurang bila dibandingkan anggota keluarga yang lain. Hal ini disebabkan karena bila besar

keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan orang tua tidak menyadari

bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi dari pada

golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989).

Hal ini lebih dikuatkan lagi dalam Suhardjo (1996) bahwa semakin sedikit jumlah anak makan

kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang semakin baik. Selain konsumsi, besar keluarga

juga ikut mempengaruhi perhatian orang tua, bimbingan, petunjuk dan perawatan kesehatan

(Sediaoetama 2006).

Harjono (2000) menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berdampak pula terhadap

kurangnya perhatian pada kaidah-kaidah hidup sehat, seperti penyediaan makanan yang

seimbang, kelayakan fasilitas rumah dan usaha untuk mewujudkan perilaku hidup yang sehat.

Berdasarkan Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1)

keluarga besar (≥ 8 orang) ; 2) keluarga sedang (5-7 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang).

Sedangkan untuk di Indonesia berdasarkan rujukan dari BKKBN (1998) besar keluarga

dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1) keluarga besar (≥7 orang) ; 2) keluarga sedang (5-6

orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Widiyawati (2004) menunjukkan bahwa besar keluarga mempunyai hubungan yang terbalik

dengan pola perilaku dalam pengasuhan anak oleh ibu.

Status Gizi Balita

Status gizi adalah suatu kondisi dari beberapa kesehatan satu atau sekelompok orang karena

konsumsi, penyerapan, dan pemanfaatan nutrisi (Riyadi 1993). Menurut Tarwotjo dan

Soekirman (1987) status gizi merupakan indikasi keseimbangan antara asupan gizi dan eksresi.

Dengan kata lain, bahwa status gizi merupakan cerminan dari konsumsi makanan dan

pemanfaatannya. Riyadi (2001) lebih menjelaskan bahwa status gizi menggambarkan kesehatan

Page 16: kadarzi ipb.docx

tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan

penggunaan zat-zat gizi makanan. Status gizi anak merupakan cerminan dari status gizi

masyarakat (Suharjo dan Riyadi 1990).

Menurut Suhardjo (1989), berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan

status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan

kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan

pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan

dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun telah banyak diketahui bahwa hal ini

terjadi karena perbedaan dalam status gizi dan status kesehatan. Riyadi (2001) menjelaskan

bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur status gizi adalah tinggi badan, berat

badan dan usia. Penggunaan variabel-variabel tersebut dikombinasikan menjadi pengukuran

tinggi badan menurut usia, berat badan menurut usia, dan berat badan menurut tinggi badan.

Karakteristik berat badan yang sensitif, indeks berat badan menurut umur menggambarkan status

gizi saat ini (Supariasa et al 2001).

Riyadi (2001) lebih menjabarkan lagi bahwa indeks antropometri yang sering digunakan untuk

menilai status gizi anak adalah berat badan menurut usia. Berat badan menurut umur digunakan

untuk mengetahui status gizi masa sekarang karena berat badan sangat labil terhadap perubahan

keadaan mendadak (sakit atau kurang nafsu makan). Status gizi indeks tinggi badan menurut

umur menurut Soekirman (2000) dapat memberikan gambaran perkembangan keadaan sosial

ekonomi masyarakat dari waktu ke waktu. Data status gizi berat badan menurut umur

dikategorikan dalam kategori berdasarkan Depkes (2010) yaitu 1) gizi buruk (z-score < -3 SD) ;

2) gizi kurang (z-score -3 s/d < -2 SD) ; 3) normal (z-score -2 s/d 2 SD) ; dan 4) gizi lebih (z19

score > -2 SD). Status gizi tinggi badan menurut umur di kategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1)

pendek (z-score < -2 SD) ; 2) normal (z-score ≥ -2). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi

Jambi Pada tahun 2007 terdapat balita dengan status gizi buruk yaitu sebesar 1.8%, angka ini

cenderung menurun dibanding 3 tahun sebelumnya yaitu 1.9% di tahun 2006, 2.05% di tahun

2005 dan 2.1% di tahun 2004. Kasus gizi berdasarkan indikator berat badan menurut umur di

Kota Jambi pada tahun 2007 terdapat 1.1% balita gizi buruk dan 6.7% gizi kurang (Dinkes

Provinsi Jambi 2008b).

Page 17: kadarzi ipb.docx

Kekurangan gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian secara langsung. Namun

biasanya terlebih dahulu anak mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi (Depkes

1994b).

Faktor yang menyebabkan kurang gizi pada balita menurut UNICEF meliputi beberapa tahapan

yaitu penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah. Berdasarkan

Soekirman dalam (Depkes 2000b) faktor penyebab kurang gizi dijelaskan sebagai berikut :

pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi. Kedua, penyebab tidak

langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan

dan kesehatan lingkungan. Ketiga, pokok masalah yaitu berupa kurangnya pemberdayaan wanita

dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat sehingga mempengaruhi kurangnya

pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Dan keempat, akar masalah adalah terjadinya

krisis ekonomi, politik dan sosial. Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan

fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat berfungsi sempurna bila mendapat makanan

yang cukup dan bergizi seimbang. Tingkat kesehatan yang buruk yang diakibatkan kurang

baiknya pola asuh gizi dan kesehatan di rumah, secara langsung maupun tidak langsung

berdampak pada status gizi anak (Depkes 1994a).

Pola asuh Gizi dan Kesehatan yang dapat diterapkan dalam tingkat rumah tangga salah satunya

adalah KADARZI (Depkes 2007b). Cara menjaga agar anak tetap sehat yaitu anak diberi

makanan yang cukup dengan menu seimbang, perlu adanya pemantauan berat badan dan tinggi

badan secara teratur setiap bulan, serta konsumsi suplemen yang dianjurkan (Depkes 1994b).

Berdasarkan Surjani (2009) target yang ingin dicapai pemerintah yang tertuang dalam RPJM

bidang kesehatan 2010-2014 yaitu menurunkan prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi

buruk) dari 25.8% menjadi 18.4% dan menurunkan prevalensi anak balita yang pendek dari

36.8% menjadi 25.0%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gabriel (2008) menyatakan

bahwa terdapat korelasi yang positif dan nyata (p<0,05) hubungan antara perilaku KADARZI

keluarga dengan status gizi balita.