Jurnal Penelitian Hukum · 2019. 4. 23. · Kedudukan Hakim dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan...

41

Transcript of Jurnal Penelitian Hukum · 2019. 4. 23. · Kedudukan Hakim dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan...

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure

    Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    FOKUS DAN

    RUANG LINGKUP

    LEMBAGA PENERBIT INDEKSASI

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure memfokuskan pada bidang Hukum, menerima naskah karya tulis ilmiah hasil penelitian di bidang hukum, dan tinjauan hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain.

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM R.I.

    p-ISSN 1410-5632

    e- ISSN 2579-8561

    Edisi jurnal elektronik tersedia pada:

    http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure

    Google Scholar; Indonesian Scientific Journal Database (ISJD); Public Knowledge Project (PKP) Index; CiteULike; Academic Research Index (Research Bib); Zotero; Indonesia One Search; Neliti; dan Bielefeld Academic Search Engine (BASE)

    FREKUENSI PUBLIKASI

    KETENTUAN BIAYA PUBLIKASI ARTIKEL ALAMAT KORESPONDENSI

    Terbit sebanyak empat kali dalam setahun, pada bulan Maret, Juni, September dan Desember.

    Setiap artikel yang disampaikan ke Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum tidak dikenakan 'Biaya Pemrosesan Artikel'. Ini mencakup review mitra bestari, pengeditan, penerbitan, pemeliharaan dan pengarsipan, dan memungkinkan akses langsung ke versi teks lengkap dari artikel.

    Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 4-5, Jakarta Selatan 12940 Telepon 021- 2525015 Faksimili 021-2526438 Laman : www.balitbangham.go.id

    Email: [email protected]

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure Indexed by:

    http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejurehttp://www.balitbangham.go.id/mailto:[email protected]

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure adalah majalah hukum triwulan (Maret, Juni, September dan Desember)

    diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI

    bekerjasama dengan IKATAN PENELITI HUKUM INDONESIA (IPHI) Pengesahan Badan Hukum

    Perkumpulan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : AHU-13.AHA.01.07

    Tahun 2013, Tanggal 28 Januari 2013, bertujuan sebagai wadah dan media komunikasi, serta sarana untuk

    mempublikasikan aneka permasalahan hukum yang aktual dan terkini bagi para peneliti hukum Indonesia

    khususnya dan kalangan masyarakat pemerhati hukum pada umumnya.

    Penanggung Jawab

    Ma’Mun, Bc.I.P., S.H., M.H.

    (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)

    Pemimpin Umum

    Henry Donald Lbn Toruan, S.H.,M.H.

    (Ketua Ikatan Peneliti Hukum Indonesia)

    Wakil Pemimpin Umum

    T. Daniel L Tobing, S.H.,

    (Kepala Pusat Pengembangan Data dan Informasi Peneliti Hukum dan Hak Asasi Manusia)

    RR. Risma Indriyani, S.H.,M.Hum

    (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum)

    Pemimpin Redaksi

    Ahyar Ari Gayo, S.H.,M.H., APU (Hukum Islam, BALITBANGKUMHAM)

    Anggota Dewan Redaksi

    Marulak Pardede, S.H., M.H., APU (Hukum Ekonomi BALITBANGKUMHAM)

    Syprianus Aristieus, S.H., M.H (Hukum Perusahaan, BALITBANGKUMHAM)

    Jamilus, S.H., M.H (Hukum Perdata, BALITBANGKUMHAM)

    Nevey Varida Ariani, SH., M.H, (Hukum Pidana, BALITBANGKUMHAM)

    Eko Noer Kristiyanto, S.H, M.H. (Hukum Tata Negara, BALITBANGKUMHAM)

    Muhaimin, S.H., (Hukum Islam, BALITBANGKUMHAM)

    Redaksi Pelaksana

    Fitriyani, S.H.,M.Si.

    Jaya Laksana, S.E

    Sekretariat

    M. Virsyah Jayadilaga, S.Si.,M.P

    Asmadi, S.H

    Tata Usaha

    Dra. Evi Djuniarti, M.H

    Suwartono

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Teknologi Informasi dan Desain Layout

    Risma Sari, S.Kom.M.Si (Teknologi Informasi)

    Machyudhie, S.T. (Teknologi Infornasi)

    Saefullah, S.ST.,M.Si., (Teknologi Informasi)

    Agus Priyatna, S.Kom. (Desain Layout)

    Mitra Bestari

    1. Prof. Dr. Hibnu Nugroho

    Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto

    2. Dr. Mohd. Din, S.H., M.H.

    Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh

    3. Dr. Dra. Farhana, S.H., M.H., M.Pd.

    Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta

    4. Dr. Drs. Ridwan Nurdin, MCL.

    Hukum Ekonomi Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

    Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh

    5. Dr. Hadi Supratikta, M.M.

    Hukum Administrsasi Negara, Badan Penelitian dan Pengembangan

    Kementerian Dalam Negeri

    Alamat Redaksi:

    Gedung Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

    Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia

    Jl. HR. Rasuna Said Kav.4-5, Lantai 7, Kuningan, Jakarta Selatan

    Telefon (021) 2525015, Faksimili (021) 2526438

    Email :

    balitbangkumham@gmail

    [email protected]

    [email protected]

    Percetakan

    PT Pohon Cahaya

    Jalan Gedung Baru 18 Jakarta Barat 11440

    Telpon (021) 5600111, Faksimili (021) 5670340

    Redaksi menerima naskah karya asli yang aktual di bidang hukum berupa hasil penelitian dari berbagai

    kalangan, seperti: peneliti hukum, praktisi dan teoritisi, serta berbagai kalangan lainnya. Tulisan-tulisan yang

    dimuat merupakan pendapat pribadi penulisnya, bukan pendapat redaksi.

    Redaksi berhak menolak, menyingkat naskah tulisan sepanjang tidak mengubah isinya. Naskah tulisan

    dapat dikirim ke alamat redaksi, maksimum 30 halaman A4, diketik spasi rangkap dikirim melalui Email

    [email protected] atau melalui aplikasi Open Jounal System (OJS) pada URL/website: ejournal.

    balitbangham.go.id.

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    DAFTAR ISI

    ADVERTORIAL

    KUMPULAN ABSTRAK

    DAFTAR ISI

    Halaman

    Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia

    (Enforcement of National Arbitration Award in Indonesia) .................................................................... 309 - 320

    Mosgan Situmorang

    Kedudukan Hakim dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan Terorisme

    untuk Mewujudkan Akuntabilitas Hukum

    (Judge Position in The Reformation of Criminal Justice System

    Against Terrorism as a Form of Legal Accountability) .............................................................................. 321 - 334

    Budi Suhariyanto

    Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014 Terhadap Pemberantasan

    Money Laundering Perbandingan Indonesia dengan Tiga Negara Lain

    (The Influence of Decision of The Constitutional Court No. 77/ PUU-XII/2014

    on The Eradication of Money Laudering - Comparing Indonesia to The Other Three Countries) ......... 335 - 349

    Ajie Ramdan

    Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

    antara Republik Indonesia dan Republik Islam Iran

    (Reciprocal Judiciary Assistance Agreement in The Criminal Matters

    Between The Republic of Indonesia and The Islamic Republic of Iran) .................................................... 351 - 371

    Firdaus

    Penegakan Hukum dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

    (Law Enforcement Within The Scope of Spatial Lay-Out

    for The Purpose of Sustainable Development) ........................................................................................... 373 - 390

    Muhar Junef

    Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Kabupaten Kendal

    (Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction

    in Kendal District) ....................................................................................................................................... 391 - 409

    Agus Surono

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Pendekatan Humanis dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba

    Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan

    (Humanism Approach in Handling Juvenile Perpetrator of Drug Abuse -

    A Case Study Ii South Sulawesi Province) ................................................................................................... 411 - 427

    Yuliana Primawardani & Arif Rianto Kurniawan

    Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan

    (Putting Convicted Terrorists in Correctional Institution) ........................................................................ 429 - 443

    Insan Firdaus

    Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata

    (The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law

    And Civil Code) ........................................................................................................................................... 445 - 461

    Evi Djuniarti

    BIODATA PENULIS .............................................................................................................................. 445 - 461

    PEDOMAN PENULISAN ..................................................................................................................... 463 - 465

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    ADVERTORIAL

    Puji syukur kehadirat Allah SWT, edisi keempat Jurnal Penelitian Hukum De Jure yang diterbitkan

    Ikatan Peneliti Hukum Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum

    dan HAM Kementeraian Hukum dan HAM RI dapat kembali dihadirkan melalui Volume 17 Nomor 4

    Deseember 2017. Penerbitan Jurnal Penelitian Hukum De Jure di edisi ini memuat 8 (delapan) tulisan

    dengan materi hukum yang beragam, seperti putusan arbitrase, kedudukan hakim dalam pembaharuan sistem

    hukum, mutual legal assistance, serta perlindungan hukum kepada korban penggusuran, anak penyalahguna

    narkotika maupun pelaku tindak pidana teroris di lembaga pemasyarakatan.

    Kami menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah memberikan kepercayaan kepada Jurnal

    Penelitian Hukum De Jure untuk menerbitkan hasil karyanya. Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan

    terima kasih kepada seluruh pengelola jurnal yang telah berupaya mengoperasinalkan open jornal system

    secara konsisten untuk penerbitan jurnal di tahun 2017. Semoga pengelolaan jurnal melalui open jornal system

    di tahun depan dapat ditingkatkan kualitasnya sesuai standar yang berlaku.

    Akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan

    Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI dan Ikatan Peneliti Hukum Indonesia yang telah

    berkenan dalam penerbitan Jurnal Penelitian Hukum De Jure ini. Kami juga mengucapkan terima kasih

    kepada Bapak Prof. DR.. Hibnu Nugroho, S.H.,MA, Bapak Dr. Mohd. Din, S.H., M.H., Ibu DR. Farhana,

    S.H.,M.H., Bapak DR. Hadi Supraptikta, Bapak DR. Ridwan Nurdin, MA selaku Mitra Bestari yang telah

    bersedia membantu memeriksa dan mengoreksi tulisan dari para penulis.

    Jakarta, Desember 2017

    Redaksi

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Mosgan Situmorang (A Researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research

    and Development of Law and Human Rights)

    Enforcement of National Arbitration Award in Indonesia

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 309 - 320

    The most important issue in a dispute is, the enforcement of a verdict or judgement on the dispute

    or often called as an execution. It will be useless to have a final and binding judgement only to see

    that the decision is unenforceable. In the civil cases, there are at least 2(two) important institutions that

    may be relied on in settling the dispute, i.e. the court and the arbitration center. The arbitration center may

    examine the dispute in a fairer and faster manner, however it has no organs to force the non-favored party

    to discharge his or her obligations under the awards, Therefore the role of the district court is needed.

    There are some requirements to meet for a court to enforce the award, among others are that the

    execution should be made within 30 (thirty) days from the issuance o f award , the original or authentic

    copy of the arbitral award must have been submitted and registered by the arbitrator or his proxy to the

    clerk of the district court. Non-fulfillment of the requirements above will render the arbitral award

    unenforceable. The first issue in this study is, what is the role of the courts in the enforcement of the

    national arbitration award and the second is, what is the benefits of entering the arbitration award to the

    district court. The method used in this research is the normative juridical method, and consequently

    the data is secondary data. From the research one may conclude that there are two main roles a

    d i s t r ic t court should play, the first is to accept the registration of the award and the second is to

    execute the award if the loosing party is not willingly to discharge their respective obligations. An

    arbitration award not registered by the Arbitrator within 30 days from the issuance will render the

    arbitral award unenforceable. The recomendation of the research, it is necessary to revise the Law

    No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute R e s o l u t i o n , in particular the provisions on the

    registration of arbitral award.

    Keywords: Enforcement of Arbitration Award

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Budi Suhariyanto (A Researcher at the Research and Development Center for Law and Justice The

    Supreme Court )

    Judge Position in The Reformation of Criminal Justice System Against Terrorism as a Form of Legal

    Accountability

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 321 - 334

    The growing operations and increasingly sophisticated form of terrorism need to be addressed with

    reformation to the criminal justice system and special form of law enforcement. For the purpose of legal

    accountability, the law enforcement against the specific crime of terrorism requires authorities to oversee

    the judges in order to prevent abuse of power. It is also worth to consider the judge position in the criminal

    justice system against the alleged terrorist according to the applicable laws and the urgency of the judge

    involvement in the reformation of the criminal justice system during the revision of the terrorism eradication

    laws for the purpose of legal accountability. Normative research method is used to find the answer for the

    issue. The answer will be useful as input for the House of Representative and the Government who are now

    discussing the revision of the terrorism eradication laws. Normatively the Law 15 of 2003 on Combating

    Terrorism and the Law No. 9 of 2013 on the Prevention and Eradication of Terrorism Financing should

    constitute the basis for classifying the terrorism act as a crime over the years. As their forms and modus

    operandi grow, it is necessary to reform the criminal justice system that grants the law enforcers special

    authorities in the prevention and prosecution of terrorism. For the purpose of legal accountability, judges

    require specific function and authorities in the investigation and investigation and prosecution process.

    Control models in the forms of commissioner judges or strengthening pretrial institution may be used to

    materialize the due process of law.

    Keywords: Judge, Terrorism, Legal Accountability

    Ajie Ramdan (Lecturer at the Department of Criminal Law, Faculty of Law, University of Padjadjaran)

    The Influence of Decision of The Constitutional Court No. 77/PUU-XII/2014 on The Eradication of

    Money Laudering - Comparing Indonesia to The Other Three Countries

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 335 - 349

    Money laundering is an attempt to disguise the origin of property resulted from the proceeds of a crime as

    if the property is derived from legal activities. Is the crime stand-alone or dependant to the other crimes?

    This article examines the evidencing process of money laundering by studying and analyzing the Decision

    of Constitutional Court No. 77 / PUU-XII / 2011 and comparing the money laundering crimes in Indonesia

    and the other three countries, the Netherlands, England, and United States of America. The Constitutional

    Court decision has strengthened the legal basis for the law enforcers to enforce the criminal law in the

    eradication of money laundering. In conclusion money laundering can not stand alone. Comparing

    the money laundering in Indonesia to its counterparts, Netherlands, United Kingdom and America has

    concluded that the money laundering crime is a derivative crime. For the purpose of Equality Before The

    Law, the Government and House of Representatives should have revised the Law No. 8 of 2010. In the

    process of money laundering eradication in Indonesia, the law enforcers should pay more attention to the

    principle of presumption of innocent.

    Keywords: Money Laundering, Constitutional Court Decision, Comparison

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Firdaus (A Researcher at the Human Rights Research and Development Center, The Agency for Research

    and Development of Law and Human Rights)

    Reciprocal Judiciary Assistance Agreement in The Criminal Matters Between The Republic of Indonesia

    and The Islamic Republic of Iran

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 351 - 371

    The development of science and technology, in particular the transportation, communications, and

    information has eliminated the boundaries between one country and another rendering the movement of

    people or goods from one country to another easier and quicker. This development has created some impacts

    to the crimes and their increasingly sophisticated operations, consequently the mitigation of the same would

    require cooperation between the countries. One of the efforts in overcoming the issue is by establishing good

    bilateral relations with another country of similar interests in the form of reciprocal juridical assistance on

    criminal matters. This research uses the normative juridical and juridical empirical approaches and aimed to

    answer the urgency of reciprocal juridical assistance agreement and ratification thereof in criminal matters,

    and to identify substantial provisions of the reciprocal juridical assistance agreement in the criminal matters.

    This paper focuses on the urgency to support the ratification of the reciprocal juridical assistance agreement

    of criminal matters in relation to narcotics and acts of terrorism as well as the substantial provisions of the

    reciprocal juridical assistance agreement in criminal matters. This paper recommends immediate ratification

    of the agreement subject to the applicable national laws, and strengthening some agencies to support the

    performance of the reciprocal juridical assistance agreement in criminal matters between the Republic of

    Indonesia and the Islamic Republic of Iran.

    Keywords: Agreement, Assistance, Reciprocity, Criminal

    Muhar Junef (A researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research and

    Development of Law and Human Rights)

    Law Enforcement Within The Scope of Spatial Lay-Out for The Purpose of Sustainable Development

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 373 - 390

    The law enforcement process on violation against spatial lay-out regulation is very important in revitalizing

    the spatial lay-out plan map. One of the issues that is often found in the implementation process of the

    spatial lay-out plan is the law enforcement process. As many violations of a spatial lay-out regulations are

    left unprosecuted. This has caused the violation being legalized by means of revising the existing spatial

    lay-out plan. The issue to this research is the current law enforcement on violation against spatial lay-out

    planning and how to realize sustainable spatial lay-out planning? To investigate the existing issues, this

    study uses normative research method. The research concludes that the law enforcement of violation against

    spatial lay-out regulations in Indonesia has already had the Law No. 26 of 2007 regarding Spatial Lay-out

    that divides the violations into four regimes, i.e. administrative, civil, state administration, and criminal.

    Creating the sustainable spatial lay-out requires harmony between the natural and artificial environments,

    integrated utilization of natural resources and artificial resources by observing also the human resources as

    well as the protection of spatial function and the prevention of negative impacts on the environment due to

    space utilization.

    Keywords: Law Enforcement, Spatial Lay-out Planning

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Agus Surono (A Lecturer at the Faculty of Law, University of Al Azhar Indonesia)

    Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction in Kendal

    District

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 391 - 409

    Judicially, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided assurance of legal certainty and

    justice, however many administrative faults have been found during the land procurement process for the

    toll road construction in Kendal Regency, that in turn may adversely impact the people affected by the toll

    road development. The land acquisition process for the construction of toll roads in 27 villages in Kendal

    Regency, the province of Central Java has failed to observe the rights of the victims amid the tendency

    of demonstrating intimidation and violation of human rights, as well as many administrative errors in

    the acquisition stage the land rendering it non-compliant with the provisions of the Law no. 2 of 2012 on

    Land Procurement. Based on this background, the following issues may be raised: firstly, whether the land

    acquisition system for toll road construction as stipulated in the Law No. 2 of 2012 on Land Procurement

    has provided the victims with adequate legal protection? Secondly, whether the rights of the victims of the

    land procurement process for toll road infrastructure construction have been assured of their legal certainty

    and justice as regulated in the land laws and regulations? Thirdly, whether the realization process of land

    procurement for the construction of toll road infrastructure in Kendal District has provided the victims

    with adequate legal protection and justice? The research uses juridical normative legal research approach,

    while the data used in this study are secondary data and supported by the data from interviews and field

    observations when the researcher was advocating some local victims of the land procurement process for

    the construction of toll roads in Kendal, as a form of the researcher’s community service. Further, the data

    were collected and analyzed by using qualitative analysis methods. Based on the analysis and discussion,

    the followings are concluded: firstly, the system of land procurement for toll road development as regulated

    in Law no. 2 of 2012 on Land Procurement substantially has provided adequate legal protection for the

    victims, in particular the people who are entitled to compensation, but there were many problems during

    the implementation. Secondly, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided legal certainty to

    the rights of the victims of land procurement process for the construction of toll roads, but in reality there

    were various administrative errors highly detrimental to the people affected by the toll roads construction.

    Thirdly, the implementation of land acquisition for the construction of toll road infrastructure in Kendal

    Regency has failed to guarantee legal protection and justice for the victims. The recommendations include

    the followings: firstly, it is necessary to socialize the regulations on land procurement/acquisition so that the

    locals may understand their rights. Secondly, it is necessary to involve the supervisors to both the agencies

    and law enforcers in order to prevent practices of administrative error, manipulation and markup.

    Keywords: Protection, Victim Rights, Toll Road

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Yuliana Primawardani & Arief Rianto Kurniawan (Researchers at the Human Rights Research and

    Development Center, The Agency for Research and Development of Law and Human Rights)

    Humanism Approach in Handling Juvenile Perpetrator of Drug Abuse - A Case Study In South Sulawesi

    Province

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 411 - 427

    Juvenile drug abuser should be treated in different ways from the other children in conflict with the laws.

    As the treatment needs humanism approach in connection with the special protection to which the children

    are entitled as may be provided for in the Law of the Republic of Indonesia No. 35 of 2014 regarding

    Amendment to the Law No. 23 of 2002 regarding Child Protection. The purpose of this study is to identify

    general overview on the treatment of juvenile drug abuses and the rehabilitation (medical and social) policies

    applied to the juvenile drug abuser. The research uses a qualitative approach. The research concludes that:

    Firstly, viewed from the treatment aspects, one may see that the Laws of Juvenile Justice System has not been

    appropriately applied. One of the reasons is the different perceptions among the law enforcers that may have

    resulted the different treatment to the juvenile drug abusers. In addition, the Integrated Assessment Team

    has not successfully implemented its programs due to lack of roles played by the Correctional Institution

    in the Integrated Assessment Team. Secondly, the rehabilitation policy is applied to juvenile drug abusers

    only during the pre-trial stage and as long as it is not a relapsed act. In addition, there were many juvenile

    offenders who have abused drugs, not provided with rehabilitation under the judge’s decision, and they must

    serve prison sentences. It is therefore recommended that rehabilitation should be humanism approach in

    providing special protection to the children without prejudicing to the law enforcement process by placing the

    children in the Juvenile Correctional Institutions (LPKA). Also, when establishing an Integrated Assessment

    Team, a Correctional Institution should be immediately appointed as a member of the Team and to play its

    roles of advocation and counsel in treating the children in conflict with the law.

    Keywords: Humanism Approach, Children Drug Abuser

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.

    This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    Insan Firdaus (A Researcher at the Policy Research and Development Center, The Agency for Research

    and Development of Law and Human Rights)

    Putting Convicted Terrorists in Correctional Institution

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 429 - 443

    Convicted terrorists are classified as high-risk prisoners who require special treatment and counsel, therefore,

    the convicted terrorists should carefully be put in prisons as they would influence the success of the counsel

    and de-radicalization processes. The issues raised by this research are firstly, whether the terrorist prisoners

    have been placed in accordance with the applicable mechanisms? Secondly, the aspects that should be

    considered in putting the convicted terrorists in prison and thirdly, the obstacles that may be encountered

    during the processes. The research uses juridical empiric method and is descriptive with the aim to identify

    the mechanisms of putting the convicted terrorists in correctional institutions, aspects and obstacles for

    consideration. Placements of convicted terrorist in correctional institutions have been made in accordance

    with the mechanisms prescribed by the penal law, i.e. by applying the security and counseling approaches

    through the profiling and assessment processes in every stage of placement. Aspects to be considered in

    placing the convicted terrorists are the levels of risks and radicalism, human resources development and

    infrastructures and facilities of the prison. While the obstacles include over capacity, limited resources of

    wardens both in quantity and quality and the institution’s infrastructure and facilities. Based on the study,

    the followings are, among others, the recommendations for the Directorate General of Corrections: it

    is necessary to improve the competence of the wardens, closer cooperation with the National Agency for

    Terrorist Countermeasures, and the prison must be supported with adequate facilities and infrastructure.

    Keywords: Convicted Terrorist, Correctional Institution

    Evi Djuniarti (A Researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research and

    Development of Law and Human Rights)

    The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law And Civil Code

    Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 445 – 461

    Marital wealth is a very big problem in married life, especially when they divorce, so the Law of Marital

    Treasure has played an important role in family life even when marriage is still running smoothly. It would

    be difficult to understand how the survival of a marriage if in the marriage is not supported by the existence

    of wealth. Given the importance of family property in a marriage, this research would like to recognize how

    the common property is viewed from the perspective of marriage law and the Civil Code. The method used in

    this research is normative research method, or literature study that is a research conducted or based on the

    provisions that should be. The study found that. Under the terms of the marriage law that property acquired

    during marriage becomes a common property. Formally juridical can be understood the sense of common

    property is the husband and wife property acquired during marriage. While in Article 124 paragraph (1) and

    paragraph (2) of the Civil Code it is stipulated that, "Husbands themselves shall take care (own beheren)

    of marriage property, without the interference of wives, husbands are allowed to sell, transfer and burdens

    The conclusion of the research that property is not entitled to the rights of each can not be owned, can not be

    combined.All the property obtained from the carriage of the parties before marriage can be used together for

    the common interest in the household.

    Keywords: Law, Property, Together

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Mosgan Situmorang (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian

    dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)

    Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Di Indonesia

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 309 - 320

    Hal terpenting suatu sengketa adalah pelaksanaan putusan atas sengketa tersebut atau sering disebut dengan

    istilah eksekusi. Adalah sia-sia apabila dalam suatu perkara yang sudah mempunya kekuatan hukum yang

    tetap, akan tetapi pada akhirnya tidak dapat dieksekusi. Di dalam perkara perdata paling tidak ada dua

    lembaga penting yang dapat menjadi tempat penyelesaian suatu perkara, yakni lembaga pengadilan dan

    arbitrase. Badan Arbitrase dapat melaksanakan pemeriksaan sengketa secara adil dan lebih cepat akan tetapi

    Badan Arbitrase tidak punya organ untuk dapat memaksa pihak yang kalah melaksanakan putusannya, seperti

    layaknya pengadilan yang mempunyai juru sita untuk melaksanakan eksekusi. Oleh karena itu dibutuhkan

    peranan pengadilan negeri. Agar pengadilan dapat melakukan eksekusi maka ada syarat yang harus dipenuhi

    yakni dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembaran

    asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada

    panitera pengadilan negeri. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut berakibat putusan arbitrase tidak dapat

    dilaksanakan. Adapun yang menjadi ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah yang pertama,

    bagaimanakah peran pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan yang kedua apakah

    manfaat pendaftaran putusan arbitrase di pengadilan negeri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah metode Normatif Yuridis dengan demikan datanya adalah data sekunder. Dari penelitian dapat

    disimpukan banwa ada dua hal pokok yang menjadi peran Pengadilan Negeri yakni yang pertama untuk

    menerima pendaftaran putusan dan yang kedua adalah untuk melakukan eksekusi apabila para pihak tidak

    melaksanakan secara suka rela. Konsekuensi suatu perkara arbitrase yang tidak didaftarkan oleh Arbiter

    dalam jangka waktu 30 hari sejak diputus berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Dari hasil

    penelitian, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya ketentuan mengenai pendaftaran putusan arbitrase.

    Kata Kunci: Pelaksanaan Putusan Arbitrase

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Budi Suhariyanto (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan

    Mahkamah Agung R.I.)

    Kedudukan Hakim Dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan Terorisme Untuk Mewujudkan

    Akuntabilitas Hukum

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 321 - 334

    Berkembangnya modus operandi dan bentuk kejahatan terorisme yang semakin canggih perlu ditanggulangi

    dengan pembaruan kriminalisasi dan penegakan hukum yang bersifat khusus. Demi mewujudkan akuntabilitas

    penegakan hukum terorisme yang khusus tersebut maka diperlukan juga kewenangan kontrol dari hakim agar

    tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Patut dipermasalahkan bagaimana eksistensi hakim dalam sistem

    pemidanaan pelaku terorisme menurut perundang-undangan dan bagaimana urgensi kedudukan hakim dalam

    pembaruan sistem pemidanaan dalam revisi undang-undang pemberantasan terorisme untuk mewujudkan

    akuntabilitas hukum. Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut.

    Jawaban atas permasalahan tersebut berguna sebagai masukan bagi DPR dan Pemerintah yang sedang

    membahas revisi undang-undang pemberantasan terorisme. Secara normatif UU No. 15 Tahun 2003 tentang

    Pemberantasan Terorisme dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

    Pendanaan Terorisme menjadi dasar pemidanaan pelaku terorisme selama ini. Seiring berkembangnya bentuk

    dan modus operandi maka diperlukan pembaruan sistem pemidanaan baru yang memberikan kewenangan

    khusus dalam hal pencegahan dan penindakan terorisme oleh penegak hukum. Demi akuntabilitas hukum,

    maka diperlukan fungsi dan kewenangan kontrol dari hakim pada tahap penyelidikan dan penyidikan serta

    penuntutan di persidangan. Model kontrol berupa hakim komisaris atau penguatan lembaga pra peradilan

    dapat dijadikan sarana mewujudkan due process of law

    Kata Kunci: Hakim, Terorisme, Akuntabilitas Hukum

    Ajie Ramdan (Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran)

    Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014 Terhadap Pemberantasan Money

    Laundering Perbandingan Indonesia Dengan Tiga Negara Lain

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 335 - 349

    Money laundering adalah upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana

    sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Apakah tindak pidana tersebut

    dapat berdiri sendiri atau tindak pidana yang bergantung pada tindak pidana yang lain? Artikel ini mengkaji

    pembuktian kejahatan money laundering dengan kajian yuridis normatif dan menganalisa Putusan MK No.

    77/PUU-XII/2011 dengan menggunakan studi komparatif kejahatan money laundering di Negara Indonesia,

    Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Putusan MK tersebut memperkuat dasar hukum bagi penegak hukum

    untuk menegakan hukum pidana dalam hal memberantas money laundering. Kesimpulannya kejahatan

    money laundering tidak dapat berdiri sendiri. Perbandingan kejahatan money laundering Indonesia, Belanda,

    Inggris dan Amerika menyimpulkan bahwa Kejahatan money laundering bukan merupakan tindak pidana

    asal. Demi terciptanya Equality Before The Law seharusnya Pemerintah dan DPR merevisi UU No. 8 Tahun

    2010. Dalam praktik pemberantasan kejahatan money laundering di Indonesia seharusnya penegak hukum

    memperhatikan asas presumption of innocent.

    Kata Kunci: Money Laundering, Putusan MK, Perbandingan

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Firdaus (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan

    Hukum dan HAM)

    Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Republik

    Islam Iran

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 351 - 371

    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan

    informasi mengakibatkan satu negara dengan negara lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan

    orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Perkembangan ini

    menimbulkan dampak hukum pidana terhadap kejahatan dan modus operandinya semakin canggih sehingga

    penanggulangannya diperlukan kerjasama antara negara yang satu dengan negara lainnya. Upaya mengatasi

    permasalahan tersebut dengan menjalin hubungan bilateral yang baik dengan negara-negara yang memiliki

    kepentingan yang sama, salah satunya dengan melakukan kerjasamabantuan timbal balik dan masalah

    pidana. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,tulisan ini

    untuk menjawab apa urgensi yang dilakukan ratifikasi dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah

    pidana, dan untuk melihat apa substansi yang diatur dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah

    pidana.Tulisan difokuskan pada urgensi untuk mendukung pelaksanaan pengesahan bantuan timbal

    balik masalah pidana terkait pemberantasan narkotika dan tindakan terorisme dan substansi yang diatur

    dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Rekomendasi dari tulisan ini, dapat segera

    meratifikasi perjanjian dengan ketentuan hukum nasional yang berlaku, dan penguatan beberapa lembaga

    untuk mendukung pelaksanaan bantuan timbal balik hukum pidana antara Republik Indonesia dan Republik

    Islam Iran.

    Kata Kunci: Perjanjian, Bantuan, Timbal Balik Pidana

    Muhar Junef (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum, Badan Penelitian dan

    Pengembangan Hukum dan HAM)

    Penegakan Hukum Dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 373 - 390

    Proses penegakan hukum atas pelanggaran penataan ruang merupakan hal yang sangat penting dalam

    revitalisasi peta rencana tata ruang. Salah satu masalah yang seringkali ditemukan dalam proses pelaksanaan

    rencana tata ruang adalah dalam proses penegakan hukumnya. Sebab banyak pelanggaran-pelanggaran

    terhadap suatu penataan ruang yang dibiarkan begitu saja. Akibatnya melegalkan pelanggaran tersebut

    dengan mengubah rencana tata ruang yang telah ada. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana

    penegakan hukum dalam rangka penataan ruang saat ini, dan bagaimana mewujudkan penataan ruang yang

    berkelanjutan? Untuk mengkaji permasalahan yang ada, maka dalam penelitian ini menggunakan metode

    penelitian normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penegakan hukum dalam penataan ruang di

    Indonesia sudah ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membaginya menjadi

    empat rezim yaitu rezim administrasi, perdata, tata usaha negara, dan pidana. Untuk mewujudkan tata ruang

    berkelanjutan adanya harmonisasi antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, juga keterpaduan dalam

    penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia serta

    perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

    Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penataan Ruang

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Agus Surono (Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

    Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Di Kabupaten Kendal

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 391 - 409

    Secara yuridis UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, telah memberikan jaminan kepastian hukum

    dan keadilan, namun dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal,

    masih banyak terjadi kesalahan administrasi yang pada akhirnya akan sangat merugikan masyarakat yang

    terkena dampak pembangunan jalan tol. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di 27

    Desa di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, masih belum memperhatikan hak-hak korban dan bahkan

    cenderung terjadi intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta juga terdapat berbagai kesalahan

    administrasi dalam tahap pengadaan tanahnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2012

    tentang Pengadaan Tanah. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikemukakan permasalahan sebagai

    berikut: pertama, apakah sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana diatur

    dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan perlindungan hukum bagi korban?

    Kedua, bagaimanakah hak-hak korban pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol telah

    diberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

    di bidang pertanahan? Ketiga, apakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur

    jalan tol di Kabupaten Kendal telah memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban?

    Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis

    normatif, dimana data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dan didukung

    data hasil wawancara dan pengamatan langsung ketika penulis melakukan pendampingan kepada sebagaian

    masyarakat korban pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal, sebagai salah satu

    bentuk pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan

    menggunakanmetodeanalisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai

    berikut: pertama, bahwa sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana

    diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah secara subtansi telah memberikan perlindungan

    hukum bagi korban, yaitu terutama masyarakat yang berhak atas ganti kerugian, namun demikian dalam

    pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan. Kedua, bahwa hak-hak korban pengadaan tanah

    untuk pembangunan infrastruktur jalan tol secara yuridis telah diberikan jaminan kepastian hukum dalam UU

    No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, namun demikian dalam kenyataannya masih terdapat berbagai

    kesalahan administrasi yang sangat merugikan masyarakat terkena dampak pembangunan jalan tol. Ketiga,

    bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol di Kabupaten Kendal belum

    memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban. Adapun saran yang dapat dikemukakan

    meliputi sebagai berikut: pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan pengadaan tanah sehingga

    masyarakat benar-benar memahami akan hak-haknya. Kedua, perlu pelibatan pengawas dari lembaga baik

    aparat penegak hukum agar dapat dilakukan pencegahan praktek kesalahan administrasi, manipulasi dan

    markup.

    Kata Kunci: Perlindungan, Hak Korban, Jalan Tol

  • Jurnal Penelitian Hukum

    De Jure p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017

    Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Yuliana Primawardani & Arief Rianto Kurniawan (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan

    HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM)

    Pendekatan Humanis Dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba

    Studi Kasus Di Provinsi Sulawesi Selatan

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 411 - 427

    Penanganan anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang berbeda dengan penanganan pada kasus

    anak yang berhadapan dengan hukum lainnya. Hal ini dikarenakan perlu adanya pendekatan humanis dalam

    penanganannya yang berkaitan dengan perlindungan khusus yang dimiliki anak sesuai yang diamanatkan

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

    23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara

    umum mengenai penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan mengetahui

    kebijakan rehabilitasi (medis maupun sosial) diberikan kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan

    Narkoba. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa:

    Pertama, dilihat dari aspek penanganannya, dapat terlihat bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Anak

    belum diterapkan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan persepsi antar

    para aparat penegak hukum yang berdampak kepada perbedaan penanganan anak penyalahguna narkoba.

    Selain itu juga Tim Asesmen Terpadu belum dapat terimplementasi dengan baik karena kurangnya peran

    Balai Pemasyarakatan dalam Tim Asesmen Terpadu tersebut. Kedua, kebijakan Rehabilitasi pada anak pelaku

    tindak pidana penyalahgunaan narkoba seringkali diberikan sebelum sampai tahap persidangan selama bukan

    merupakan perbuatan pengulangan. Selain itu, masih terdapat anak penyalahgunaan narkoba yang tidak

    mendapatkan kebijakan rehabilitasi dalam putusan hakim, sehingga harus mendapatkan pidana penjara.

    Oleh karena itu disarankan agar Rehabilitasi menjadi pendekatan Humanis dalam memberikan perlindungan

    khusus bagi anak tanpa mengesampingkan penegakan hukum dengan tetap menempatkan anak pada Lembaga

    Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Selain itu juga dalam hal pembentukan Tim Asesmen Terpadu, hendaknya

    langsung menunjuk Balai Pemasyarakatan sebagai anggota Tim Asesmen Terpadu sebagaimana Tugas dan

    fungsi bapas dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum adalah melakukan pendampingan dan

    pembimbingan anak.

    Kata Kunci: Pendekatan Humanis, Anak, Penyalahguna Narkoba

  • Kata kunci bersumber dari artikel

    Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya

    Insan Firdaus (Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Badan Penelitian dan

    Pengembangan Hukum dan HAM)

    Penempatan Narapidana Teroris Di Lembaga Pemasyarakatan

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 429 - 443

    Narapidana teroris dikategorikan sebagai narapidana high risk yang membutuhkan perlakuan dan pembinaan

    khusus, oleh sebab itu proses penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan harus dilakukan

    hati-hati karena hal tersebut akan berpengaruh pada keberhasilan pembinaan dan program deradikalisasi.

    Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Pertama, apakah penempatan narapidana teroris sudah dilaksanakan

    sesuai dengan mekanisme yang berlaku? Kedua, aspek apa yang harus dipertimbangkan dalam penempatan

    narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan? Ketiga, apa hambatan dalam proses penempatan narapidana

    teroris?. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris dan bersifat deskritif dengan tujuan untuk

    mengetahui gambaran tentang mekanisme penempatan narapidana teroris, aspek yang harus dipertimbangkan

    serta hambatannya. Penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan mekanisme

    yang diatur dalam undang-undang pemasyarakatan yaitu menggunakan pendekatan keamanan dan pembinaan

    yang dilakukan melalui proses profiling dan assesment dalam setiap tahapan penempatan. Aspek-aspek yang

    menjadi pertimbangan dalam penempatan narapidana teroris yaitu tingkat resiko dan radikalisme, pembinaan

    sumber daya manusia dan sarana prasarana lembaga pemasyarakatan. Sedangkanhambatannyaantara lain

    over kapasitas, keterbatasan sumber daya petugas pemasyarakatan baik secara kuantitas dan kualitas serta

    sarana prasarana. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa saran untuk Direktorat Jendral Pemasyarakatan

    antara lain, perlu peningkatan kompetensi petugas pemasyarakatan, peningkatan kerjasama dengan Badan

    Nasional Penanggulangan Teroris, serta perlu didukung oleh sarana dan prasarana lembaga Pemasyarakatan

    yang memadai.

    Kata Kunci: Narapidana Teroris, Lembaga Pemasyarakatan

    Evi Djuniarti (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian

    dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)

    Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata

    Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 445– 461

    Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri,

    utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang

    penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Akan sulit dimengerti

    bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya

    harta kekayaan. Mengingat begitu pentingnya harta benda keluarga dalam sebuah perkawinan maka penelitian

    ini ingin mengerahui bagaimana harta benda bersama ditinjau dari perspektif undang-pundang perkawinan

    dan KUHPerdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, atau

    studi kepustakaan yakni suatu penelitian yang dilakukan atau didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang

    seharusnya. Penelitian ini menemukan bahwa. Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta

    benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami

    pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Sedang kan

    mneueut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH

    Perdata ditentukan bahwa, "Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan,

    tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban. Kesimpulan

    dari penelitian yaitu harta benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk dimiliki, tidak bisa digabung.

    Semua harta benda yang diperoleh dari pembawaan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan bersama

    utnuk kepentingan bersama dalam rumah tangga.

    Kata Kunci: Hukum, Harta, Bersama

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 391

    PERLINDUNGAN HAK KORBAN PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL DI KABUPATEN KENDAL

    (Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction in Kendal District)

    Agus Surono

    Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

    Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

    HP/Fax: 082113072425/(021) 7244767

    Email: [email protected]

    Tulisan Diterima: 11-08-2017; Direvisi: 13-11-2017; Disetujui Diterbitkan: 21-11-2017

    ABSTRACT

    Judicially, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided assurance of legal certainty and justice, however

    many administrative faults have been found during the land procurement process for the toll road construction in Kendal

    Regency, that in turn may adversely impact the people affected by the toll road development. The land acquisition process

    for the construction of toll roads in 27 villages in Kendal Regency, the province of Central Java has failed to observe

    the rights of the victims amid the tendency of demonstrating intimidation and violation of human rights, as well as many

    administrative errors in the acquisition stage the land rendering it non-compliant with the provisions of the Law no. 2

    of 2012 on Land Procurement. Based on this background, the following issues may be raised: firstly, whether the land

    acquisition system for toll road construction as stipulated in the Law No. 2 of 2012 on Land Procurement has provided the

    victims with adequate legal protection? Secondly, whether the rights of the victims of the land procurement process for toll

    road infrastructure construction have been assured of their legal certainty and justice as regulated in the land laws and

    regulations? Thirdly, whether the realization process of land procurement for the construction of toll road infrastructure

    in Kendal District has provided the victims with adequate legal protection and justice? The research uses juridical

    normative legal research approach, while the data used in this study are secondary data and supported by the data from

    interviews and field observations when the researcher was advocating some local victims of the land procurement process

    for the construction of toll roads in Kendal, as a form of the researcher’s community service. Further, the data were

    collected and analyzed by using qualitative analysis methods. Based on the analysis and discussion, the followings are

    concluded: firstly, the system of land procurement for toll road development as regulated in Law no. 2 of 2012 on Land

    Procurement substantially has provided adequate legal protection for the victims, in particular the people who are entitled

    to compensation, but there were many problems during the implementation. Secondly, the Law no. 2 of 2012 on Land

    Procurement has provided legal certainty to the rights of the victims of land procurement process for the construction

    of toll roads, but in reality there were various administrative errors highly detrimental to the people affected by the toll

    roads construction. Thirdly, the implementation of land acquisition for the construction of toll road infrastructure in

    Kendal Regency has failed to guarantee legal protection and justice for the victims. The recommendations include

    the followings: firstly, it is necessary to socialize the regulations on land procurement/acquisition so that the locals may

    understand their rights. Secondly, it is necessary to involve the supervisors to both the agencies and law enforcers in order

    to prevent practices of administrative error, manipulation and markup.

    Keywords: Protection, Victim Rights, Toll Road

    ABSTRAK

    Secara yuridis UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, telah memberikan jaminan kepastian hukum

    dan keadilan, namun dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal,

    masih banyak terjadi kesalahan administrasi yang pada akhirnya akan sangat merugikan masyarakat yang

    terkena dampak pembangunan jalan tol. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di 27

    Desa di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, masih belum memperhatikan hak-hak korban dan bahkan

    cenderung terjadi intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta juga terdapat berbagai kesalahan

    administrasi dalam tahap pengadaan tanahnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2012

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    392 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)

    tentang Pengadaan Tanah. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikemukakan permasalahan sebagai

    berikut: pertama, apakah sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana

    diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan perlindungan hukum bagi

    korban? Kedua, bagaimanakah hak-hak korban pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan

    tol telah diberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

    undangan di bidang pertanahan? Ketiga, apakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur

    jalan tol di Kabupaten Kendal telah memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban?

    Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis

    normatif, dimana data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dan didukung

    data hasil wawancara dan pengamatan langsung ketika penulis melakukan pendampingan kepada sebagaian

    masyarakat korban pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal, sebagai salah satu

    bentuk pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan

    menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai

    berikut: pertama, bahwa sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana

    diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah secara subtansi telah memberikan perlindungan

    hukum bagi korban, yaitu terutama masyarakat yang berhak atas ganti kerugian, namun demikian dalam

    pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan. Kedua, bahwa hak-hak korban pengadaan tanah

    untuk pembangunan infrastruktur jalan tol secara yuridis telah diberikan jaminan kepastian hukum dalam UU

    No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, namun demikian dalam kenyataannya masih terdapat berbagai

    kesalahan administrasi yang sangat merugikan masyarakat terkena dampak pembangunan jalan tol. Ketiga,

    bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol di Kabupaten Kendal belum

    memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban. Adapun saran yang dapat dikemukakan

    meliputi sebagai berikut: pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan pengadaan tanah sehingga

    masyarakat benar-benar memahami akan hak-haknya. Kedua, perlu pelibatan pengawas dari lembaga baik

    aparat penegak hukum agar dapat dilakukan pencegahan praktek kesalahan administrasi, manipulasi dan

    markup.

    Kata Kunci: Perlindungan, Hak Korban, Jalan Tol

    PENDAHULUAN

    Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol

    di Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan

    lahan, yang sebagian besar tanah-tanah yang

    terkena objek pengadaan tanah tersebut

    merupakan tanah masyarakat yang telah diberikan

    alas hak yang sebagian besar berupa hak milik

    baik yang sudah bersertifikat maupun yang masih

    berupa girik. Ketidaktersediaan lahan selalu

    menjadi kendala yang serius dalam pembangunan

    infrastruktur di Indonesia, sehingga masyarakat

    korban pengadaan tanah untuk kepentingan

    pembangunan jalan tol juga harus dilindungi hak-

    haknya. Tentu saja berbagai permasalahan tentang

    pengadaan tanah bagi keperluan pembangunan

    infrastruktur ini dapat menghambat perkembangan

    ekonomi di Indonesia. Hal ini yang untuk

    selanjutnya menjadi fokus dari Pemerintahan

    Jokowi yang terus menggenjot peningkatan

    pembangunan infrastruktur di Indonesia. Berbagai

    upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk

    terus mendukung mensukseskan program ini.

    Mulai dari kemudahan perizinan atau deregulasi

    perizinan hingga penciptaan peluang kerja sama

    dengan sektor swasta dalam mengembangkan

    pembangunan infrastruktur di Indonesia.

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

    tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria

    merupakan hukum nasional di bidang pertanahan

    untuk seluruh rakyat Indonesia. Tanah mempunyai

    nilai kerakyatan sehingga baik dalam pembuatan

    kebijakan, pengambilan keputusan maupun

    penerapan kebijakannya perlu dilakukan dengan

    cara musyawarah tanpa keputusan sepihak, tanpa

    ada tekanan fisik, senjata, penganiayaan tubuh,

    perusakan harta, tekanan moril, ancaman keamanan

    dan sebagainya. Tanah juga mempunyai nilai

    keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan memihak

    pada rakyat. Nilai-nilai tersebut merupakan grund

    norm atau norma dasar bagi bangsa Indonesia

    untuk bertindak dan berperilaku serta untuk

    dijadikan pedoman dan landasan bagi peraturan

    perundang-undangan di bidang pertanahan (Zora

    Febriena Dwitha H.P., 2014:3).

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 393

    Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1960, terkait

    pembangunan fasilitas umum dapat dilihat dalam

    beberapa ketentuan peraturan Perundang-undangan

    antara lain: Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

    tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden

    Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

    Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

    Kepentingan Umum sebagaimana diubah terakhir

    dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015.

    Selanjutnya secara lebih teknis lagi diatur dalam

    beberapa peraturan perundang-undangan antara

    lain: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

    Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis

    Pelaksanaan Pengadaan Tanah, PMK Nomor 13/

    PMK..02/2013 tentang Biaya Operasional dan

    Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan

    Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum Yang Bersumber Dari Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Negara.

    Meskipun dalam pelaksanaan pengadaan

    tanah bagi untuk infrastruktur pembangunan jalan

    tol secara normatif telah diatur secara jelas dan

    rinci tahapan-tahapan pelaksanaan pengadaan

    tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-

    undangan sebagaimana disebutkan di atas, namun

    dalam kenyataannya masih terdapat berbagai

    permasalahan hukum yang sering muncul dalam

    proses pengadaan tanah yang menimbulkan

    sengketa. Bentuk sengketa pertanahan yang

    kadang kala muncul dalam proses pengadaan tanah

    ini pun bermacam-macam. Mulai dari sengketa

    tata usaha negara (TUN) yang kerap digunakan

    untuk menggungat surat keputusan atas penetapan

    lokasi, sengketa keperdataan yang terkait dengan

    keberatan penetapan ganti rugi, konsinyasi,

    maupun sengketa lainnya, sengketa pidana

    yang terkait dengan pemalsuan dokumen tanah,

    penggelapan, dan bahkan korupsi. Sedangkan

    sengketa adat terkait dengan persoalasan hak

    ulayat, sengketa tumpang tindih lahan, kesalahan

    administrasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah,

    hingga sengketa lingkungan hidup. Berbagai

    sengketa ini yang untuk selanjutnya menghambat

    pembangunan sebuah proyek, bahkan tak jarang

    proyek tersebut menjadi mangkrak hingga

    tahunan. Disinilah untuk selanjutnya penegakan

    atas UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

    Tanah, beserta dengan peraturan turunannya

    sebagai payung hukum sangat diharapkan untuk

    menjamin kelancaran dalam proses pengadaan

    tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

    umum, khususnya infrastruktur.

    Pelaksanaan pengadaan tanah untuk

    pembangunan jalan tol sebagaimana diatur

    dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

    Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum di Kabupaten Kendal meliputi 27 Desa

    yang tersebar di 8 Kecamatan, masih terdapat

    berbagai permasalahan yang secara umum terjadi

    karena beberapa hal yaitu antara lain: masalah

    data nominatif, nilai besaran ganti rugi, adanya

    kesalahan administrasi dalam pelaksanaan tahapan

    pengadaan tanah, adanya intimidasi dan tekanan

    dari oknum pelaksana pengadaan tanah, dan

    juga bahkan terdapat indikasi markup terhadap

    obyek ganti rugi, bahkan juga di beberapa desa

    terdapat berbagai penolakan oleh warga desa

    dalam eksekusi terhadap putusan pengadilan hasil

    konsinyiasi sebagaimana terjadi di Desa Tegorejo

    dan Desa Wungurejo.

    Beberapa permasalahan tersebut akan

    diuraikan kedalam tiga hal yaitu terkait dengan

    masalah kesalahan administrasi dalam pengadaan

    tanah, permasalahan penolakan penggantian

    ganti rugi terhadap 10 warga di Desa Magelung,

    Kecamatan Kaliwungu Selatan, dan juga adanya

    indikasi markup dalam penggantian objek ganti

    rugi bengkok desa di Desa Sumbersari. Adanya

    permasalahan kesalahan administrasi juga secara

    umum terjadi di beberapa desa lainnya.

    Berdasarkan latar belakang tersebut diatas

    dapat dikemukakan beberapa permasalah sebagai

    berikut:

    1. Apakah sistem pengadaan tanah untuk

    kepentingan pembangunan jalan tol

    sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun

    2012 tentang Pengadaan Tanah telah

    memberikan perlindungan hukum bagi

    korban?

    2. Bagaimanakah hak-hak korban pengadaan

    tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan

    tol telah diberikan jaminan kepastian hukum

    dan keadilan sebagaimana diatur dalam

    peraturan perundang-undangan di bidang

    pertanahan?

    3. Apakah pelaksanaan pengadaan tanah

    untuk pembangunan infrastruktur jalan tol

    di Kabupaten Kendal telah memberikan

    jaminan perlindungan hukum dan keadilan

    bagi korban?

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    394 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)

    Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam

    penulisan artikel sesuai judul diatas meliputi hal-

    hal sebagai berikut:

    1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang

    sistem pengadaan tanah untuk kepentingan

    pembangunan jalan tol sebagaimana diatur

    dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang

    Pengadaan Tanah telah memberikan

    perlindungan hukum bagi korban.

    2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang

    hak-hak korban pengadaan tanah untuk

    pembangunan infrastruktur jalan tol telah

    diberikan jaminan kepastian hukum dan

    keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan

    perundang-undangan di bidang pertanahan.

    3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang

    pelaksanaan pengadaan tanah untuk

    pembangunan infrastruktur jalan tol di

    Kabupaten Kendal telah memberikan

    jaminan perlindungan hukum dan keadilan

    bagi korban.

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah metode penelitian hukum

    yuridis normatif. Metode penelitian hukum

    normatif pada dasarnya meneliti kaidah-

    kaidah hukum dan asas-asas hukum, menelaah

    permasalahan hukum yang dikemukakan dengan

    berpedoman pada data sekunder yaitu: bahan

    hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan

    hukum primer yang dimaksud adalah UUD RI

    1945, undang-undang yang relevan, peraturan

    pemerintah dan peraturan perundang-undangan

    lainnya yang relevan dengan judul artikel ini.

    Selanjutnya yang dimaksud dengan bahan hukum

    sekunder adalah doktrin, pendapat ahli, hasil

    karya ilmiah dalam berbagai jurnal ilmiah. Selain

    menggunakan data sekunder sebagaimana tersebut

    di atas, penulis juga didukung dengan data-data di

    lapangan berdasarkan wawancara dan pengamatan

    langsung ketika penulis melakukan pendampingan

    kepada sebagaian masyarakat korban pengadaan

    tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten

    Kendal, sebagai salah satu bentuk pengabdian

    kepada masyarakat. Data yang terkumpul di atas

    yang berasal dari data sekunder, penelusuran

    jurnal-jurnal ilmiah, maupun yang lainnya,

    kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan

    metode analisis kualitatif.

    PEMBAHASAN

    A. Sistem Pengadaan Tanah untuk

    Kepentingan Pembangunan Jalan Tol

    dan Perlindungan Hukum Bagi Korban

    Menurut UU No. 2 Tahun 2012 tentang

    Pengadaan Tanah.

    Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang

    sangat penting dalam kehidupan karena merupakan

    komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang

    tinggi dan sulit dikendalikan. Karena kegunaannya

    yang sangat strategis dan ketersediaannya terbatas,

    maka sering kali terjadi perselisihan penguasaan

    dan pemilikan tanah (Aartje Tehupeiory, 2017:23).

    Tanah merupakan salah satu sumber daya alam

    yang memiliki peran penting dalam kehidupan

    makhluk hidup terutama manusia. Penggunaan

    tanah yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

    masyarakat harus didukung dengan pelestarian

    yang baik, agar tanah serta ekosistem yang ada

    didalamnya tidak mudah rusak atau punah. Dalam

    Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa:

    “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di

    dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

    untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Ayu

    Trixie Trisilia, 2017:1).

    Konstitusi Indonesia telah memberikan

    pedoman dalam penataan hak-hak atas tanah.

    Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,

    telah memberikan landasan kebijakan di bidang

    pertanahan di Indonesia. Selanjutnya Pasal 16

    UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

    Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dijelaskan bahwa:

    “jenis-jenis hak atas tanah antara lain hak milik,

    hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,

    hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah,

    hak memungut hasil hutan dan hak-hak sementara

    lainnya.”

    Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Ayat (3)

    UUD 1945, terdapat hak penguasaan atas tanah,

    yang salah satunya adalah hak menguasai negara.

    Pasal 4 Ayat (1) UUPA menetapkan bahwa atas

    dasar hak menguasai negara, ditentukan adanya

    macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

    disebut tanah yang diberikan kepada dan dipunyai

    oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun

    bersama-sama dengan orang lain, serta badan-

    badan hukum. Hak atas tanah bersumber dari hak

    menguasai negara atas tanah. Negara berdasarkan

    hak menguasai negara berwenang menetapkan

    macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 395

    disebut hak atas tanah yang dapat diberikan

    kepada dan dipunyai oleh orang yang berasal dari

    Warga Negara Indonesia atau orang asing yang

    berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum,

    yaitu badan hukum privat dan publik, atau badan

    hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

    dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum

    asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

    (Urip Santoso, 2013: 84).

    Adanya pembangunan infrastruktur termasuk

    juga untuk pembangunan jalan tol, industri,

    perumahan, pertanian maupun perkebunan skala

    besar, pertambangan termasuk pertambangan

    minyak dan gas bumi merupakan akibat dari

    pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan

    meningkatnya pembangunan fisik di satu pihak dan

    berkurangnya tanah negara yang tersedia di lain

    pihak, tidak jarang menjadi fenomena sengketa

    tanah tersebut muncul kepermukaan saat ini.

    Terkait dengan sistem pengaturan pengadaan

    tanah bagi kepentingan pembangunan di Indonesia

    terdapat berbagai peraturan yang pernah menjadi

    dasar hukum yang saat ini telah mengalami

    perubahan. Pengaturan pengadaan tanah yang

    pernah berlaku antara lain: Permendagri No.

    15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan

    Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keppres

    No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

    Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum, Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang

    Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah

    diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006,

    serta terakhir diberlakukan UU Nomor 2 Tahun

    2012 tentang Pengadaan Tanah. Perlindungan

    hukum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan

    umum bagi masyarakat, merupakan usaha-usaha

    untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat

    mungkin mengurangi terjadinya sengketa berupa

    sarana perlindungan hukum yang preventif patut

    diutamakan dari pada sarana perlindungan hukum

    represif. (Tivanya Nikita Wangke, 2016:126).

    Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2012

    tentang Pengadaan Tanah, disebutkan bahwa:

    “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan

    tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang

    layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Adapun

    yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah

    kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang

    harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan

    sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal

    1 Angka 6 UU No. 2 Tahun 2012).

    Perbedaan yang sangat mendasar dengan

    peraturan pengadaan tanah sebelumnya, bahwa UU

    No. 2 Tahun 2012 mencantumkan tujuan pengadaan

    tanah untuk kepentingan umum. Ketentuan Pasal

    3 UU No. 2 Tahun 2012, dinyatakan bahwa:

    “pengadaan tanah untuk kepentingan umum

    bertujuan “menyediakan tanah bagi pelaksanaan

    pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan

    dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat

    dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak

    yang berhak”.

    Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

    diselenggarakan sesuai dengan: 1) Rencana

    Tata Ruang Wilayah; 2) Rencana Pembangunan

    Nasional/Daerah; 3) Rencana Strategis; 4)

    Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan

    tanah (Tivanya Nikita Wangke, 2016:126). Apabila

    pengadaan tanah dilakukan untuk infrastrukturjalan

    seperti jalan tol antar provinsi, maka pengadaannya

    diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis

    dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan

    tanah dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan

    Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam pengadaan

    tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan

    melalui perencanaan dengan melibatkan

    semua pengampu dan pemangku kepentingan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU No. 2

    Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

    Dalam sistem pengadaan tanah untuk

    kepentingan umum sebagaimana diatur dalam

    Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

    Tanah, terdapat beberapa asas-asas dalam

    pengadaan tanah yaitu:

    a. Asas kemanusiaan yang memberikan

    perlindungan serta penghormatan terhadap

    hak asasi manusia, harkat, dan martabat

    setiap warga negara terutama yang terkenan

    dampak pengadaan tanah;

    b. Asas keadilan yang memberikan jaminan

    penggantian yang layak kepada pihak yang

    berhak dalam proses pengadaan tanah

    sehingga mendapatkan kesempatan untuk

    melangsungkan kehidupan yang lebih baik;

    c. Asas kemanfaatan, yang diharapkan hasil

    pengadaan tanah dapat bermanfaat bagi

    kepentingan masyarakat;

    d. Asas kepastian yang memberikan kepastian

    hukum tersedianya tanah dalam proses

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    396 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)

    pengadaan tanah untuk pembangunan dan

    memberikan jaminan kepada pihak yang

    berhak guna memperoleh ganti rugi yang

    layak;

    e. Asas keterbukaan pengadaan tanah yaitu

    dengan memberikan akses kepada masyarakat

    untuk mendapatkan informasi yang berkaitan

    dengan proses pengadaan tanah;

    f. Asas kesepakatan proses pengadaan tanah

    yang dilakukan dengan musyawarah para

    pihak tanpa paksaan guna mendapatkan

    kesepakatan bersama;

    g. Asas keikutsertaan yaitu adanya dukungan

    penyelenggaraan pengadaan tanah melalui

    partisipasi masyarakat, baik secara langsung,

    sejak perencanaan sampai dengan kegiatan

    pembangunan;

    h. Asas kesejahteraan yaitu pengadaan tanah

    untuk pembangunan dapat memberikan nilai

    tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak

    yang berhak dan masyarakat secara luas;

    i. Asas berkelanjutan yaitu kegiatan

    pembangunan dapat berlangsung secara terus

    menerus, berkesinambungan untuk mencapai

    tujuan yang diharapkan;

    j. Asas keselarasan yaitu pengadaan tanah untuk

    pembangunan dapat seimbang dan sejalan

    dengan kepentingan bangsa dan negara.

    Menurut ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun

    2012 tentang Pengadaan Tanah menyatakan

    bahwa: “pengadaan tanah untuk kepentingan

    umum dilaksanakan melalui tahapan: perencanaan,

    persiapan, pelaksanaan, penyerahan hasil.” Istilah

    kepentingan umum merupakan suatu konsepsi yang

    sifatnya sangat umum tanpa adanya penjelasan

    yang lebih spesifik untuk operasionalnya sesuai

    dengan makna yang terkandung dalam pengertian

    tersebut (Oka Mahendra, 1996: 279). Secara

    sederhana pengertian kepentingan umum dapat

    dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau

    kepentingan orang banyak atau tujuan yang

    luas. Kepentingan umum termasuk kepentingan

    bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari

    rakyat dengan memperhatikan segi-segi sosial,

    politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar

    pembangunan nasional dengan mengindahkan

    ketahanan nasional dan wawasan nusantara (John

    Salindeho, 1988:40). Berdasarkan ketentuan Pasal

    13 UU No. 2 Tahun 2012 tersebut yang meliputi

    empat tahapan dalam pengadaan tanah untuk

    pembangunan bagi kepentingan umum seringkali

    terjadipermasalahan yaitu dalam tahap perencanaan

    yang tidak melibatkan masyarakat dan juga dalam

    tahap pelaksanaannya yang seringkali tidak sesuai

    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    antara lain masalah penentuan data nominatif

    yang tidak valid dan juga masalah penghitungan

    ganti rugi oleh appraisal yang tidak sesuai prinsip

    berdasarkan harga pasar, sehingga masyarakat

    korban pengadaan tanah cenderung mengelamai

    kerugian.

    Adapun menurut penjelasan ketentuan Pasal

    18 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan

    Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa:

    “untuk keperluan kepentingan umum termasuk

    kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

    bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat

    dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

    layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-

    undang.”

    Kepentingan umum sebagaimana dimaksud

    dalam penjelasan Pasal 18 UUPA diatas sudah

    sangat sejalan dengan apa yang diatur dalam UU

    Nomor 2 Tahun 2012, hanya ditambahkan dengan

    istilah baru yaitu: kepentingan pembangunan.

    Selanjutnya Pasal Huruf b UU Nomor 2 Tahun

    2012, dinyatakan bahwa: “terdapat 18 (delapan

    belas) kategori tanah untuk kepentingan yang

    digunakan untuk pembangunan, sebagai berikut:

    …., b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur

    kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi

    kereta api.”

    Prosedur pelaksanaan pengadaan tanah untuk

    kepentingan pembangunan jalan tol menurut UU

    No. 2 Tahun 2012, secara umum terdiri dari empat

    tahapan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

    Pertama, tahap perencanaan. Instansi

    yang memerlukan tanah terlebih dahulu membuat

    perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

    umum berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah

    dan Prioritas Pembangunan yang tercantum

    dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah,

    Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah

    Instansi yang bersangkutan dalam bentuk

    dokumen. Pada tahap perencanaan pengadaan

    tanah dalam pelaksanaannya masih terdapat

    beberapa perencanaan yang tidak sesuai dengan

    Rencana Tata Ruang Wilayah dan juga Rencana

    Strategis, yang sering kali kurang melibatkan

    masyarakat dari sejak awal. Biasanya masyarakat

    terlibat dalam proses perencanaan adanya rencana

  • Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

    e-ISSN 2579-8561

    De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

    Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 397

    pengadaan tanah untuk pembangunan bagi

    kepentingan pada saat di akhir proses.

    Kedua, tahap persiapan. Dalam

    melaksanakan kegiatan pengadaan tanah

    dokumen yang telah diterima oleh Gubernur

    untuk selanjutnya membentuk Tim persiapan

    pengadaan tanah dalam waktu paling lambat

    10 hari. Pada tahap persiapan ini jarang sekali

    terjadi permasalahan karena sifatnya masih satu

    arah yaitu oleh Pemerintah dan belum melibatkan

    masyarakat, sehingga relatif tidak terdapat kendala

    dalam pelaksanaannya.

    Ketiga, pelaksanaan pengadaan tanah.

    Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk

    kepentingan umum, instansi yang memerlukan

    tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah

    kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan

    dilengkapi Dokumen Perencanaan Pengadaan

    Tanah, Penetapan Lokasi Pembangunan, data

    awal Pihak yang berhak dan objek pengadaan

    tanah. Kemudian pelaksanaan pengadaan tanah

    dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan

    Pertanahan Nasional selaku Ketua Pelaksana

    Pengadaan Tanah. Pada tahap pelaksanaan

    pengadaan tanah sering kali timbul permasalahan

    terkait dengan pendataan pihak dan objek

    yang terkena pengadaan tanah. Disamping itu

    permasalahan yang lain yang seringkali muncul

    adalah terkait dengan penentuan nilai besaran

    ganti rugi yang didasarkan pada perhi